Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KELAYAKAN USAHA TERNAK KERBAU UNTUK PENGHASIL BIBIT DAN DAGING DI BEBERAPA AGROEKOSISTEM (Feasebility of Buffalo Rearing System in Several Agroecosystem) UKA KUSNADI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The province of Banten is one of the most populated of buffalo in Indonesia (100.000 heads). The animal has been used mainly for draught power, besides providing meat and fertilizer. Population of buffaloes decreased 2.72% per year occurred between year 2000 and 2005 mainly due to low productivity and reproductivity performance causing less profit from buffalo in farming system. The objective of this study was to identify the profile of farming system and to evaluate the production and reproduction performance of buffaloes in different agro-ecosystems in Banten Province. The study was conducted in Lebak District and Pandeglang District represented low land and high land, respectively. A survey involved 60 farmers in each agro-ecosystem and 60 female and 30 male buffaloes aged more than 2 year old for investigating their productivity and reproductivity as well as the measurement of body size. Research showed that condition of farming system in each agro-ecosystem was still potential to increase buffaloes population; however, availability of land for supporting forage was limited. Most buffaloes were raised traditionally. In high land, buffalo farming system was integrated with food crops. Re-productivity performance of buffaloes in high land was lower that those of in low land. Production performance of buffaloes was better in low land than those of high land, with the body length, body height and width girth were 118.1 cm, 122.1 cm and 176.2 cm, respectively. Reprodutivity was higher in low land with fertility of 76%, maturity age of 3.5 years old, first calving of 4.1 years old, calving interval of 21 months. The profit from bull fattening per head for 90 days was Rp. 939.000 – Rp 1.032.500. This condition indicated that development of buffalo agribusiness in Banten Province can be considered to be improved. Key Words: Farming System, Production, Buffalo, Banten ABSTRAK Kerbau selain sebagai sumber tenaga kerja juga berperan sebagai penyediaan daging (3,18%). Banten merupakan salah satu propinsi yang memiliki populasi kerbau terbanyak (lebih dari 100.000 ekor), Populasi kerbau di propinsi Banten tahun 2000 – 2005 mengalami penurunan 2,72% per tahun. Penurunan ini diduga karena produktivitas dan reproduktivitas kerbau rendah sehingga tidak menguntungkan bagi petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil usahatani, tingkat produktivitas dan reproduktivitas serta keuntungan usaha kerbau di propinsi Banten. Penelitian dilakukan di dataran rendah Kabupaten Lebak dan dataran tinggi Kabupaten Pandeglang, dengan metode survei melalui wawancara langsung terhadap 60 orang petani dan pengukuran langsung terhadap 60 ekor kerbau induk dan 30 ekor jantan umur kurang lebih 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi petani cukup potensial untuk pengembangan kerbau, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan terbatas. Usahatani kerbau dilakukan secara tradisional. Untuk dataran tinggi usahatani kerbau lebih terintegrasi dengan tanaman. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran rendah lebih baik dari pada kerbau di dataran tinggi yaitu panjang badan 118,1, tinggi pundak 122,1 dan lingkar dada 176,2 dibandingkan dengan kerbau di dataran tinggi yaitu panjang badan 112,1 tinggi pundak 120 dan lingkar dada 168,5. Begitu juga angka produktivitas reproduktivitas kerbau di dataran rendah lebih baik yaitu fertilitas 76%, umur dewasa kelamin 3,5 tahun, umur beranak pertama 4,1 tahun calving interval 21 bulan. Sedangkan di dataran tinggi adalah fertilitas 70%, umur dewasa klamin 3,6 tahun, umur beranak pertama 4,3 tahun dan Calving interval 24 bulan. Usaha
186
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
penggemukan atau pembesaran kerbau cukup memberi keuntungan yaitu Rp. 939.000 – Rp 1.032.500/ekor/90 hari. Dari kondisi ini sebenarnya pengembangan kerbau bagi pengusaha di propinsi Banten cukup menjanjikan. Kata Kunci: Kerbau, Usahatani, Produktivitas dan Reproduktivitas
PENDAHULUAN Propinsi Banten, termasuk sepuluh propinsi yang memiliki populasi kerbau lebih dari 100.000 ekor (terbanyak) di Indonesia, (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005). Selain sebagai sumber tenaga kerja, kerbau termasuk ternak ruminansia besar yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging (protein hewani), dan susu juga sebagai sumber pupuk. Oleh karena itu, kerbau perlu dilestarikan dan dikembangkan secara optimal. Pada tahun 1994 populasi kerbau di Propinsi Banten adalah 172.384 ekor namun pada tahun 2004 tercatat hanya 163.834 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2005) ini berarti terjadi penurunan rata-rata 0,5% per tahun. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa penanganan khusus tidak mustahil kerbau di Propinsi Banten akan terkuras terutama yang memiliki bibit yang unggul, sehingga untuk pengembangan selanjutnya akan lebih sulit lagi. Populasi kerbau masih rendah yaitu 2.572.169 ekor jika dibandingkan dengan ternak sapi 10.726.347 ekor. Oleh karena itu, perlu ada peningkatan populasi di beberapa wilayah yang sumber daya alamnya mendukung dan cukup potensial untuk pengembangan ternak kerbau seperti kerbau kalang di Kalimantan Selatan, kerbau belang di Toraja (Sulawesi Selatan), kerbau murah di Asahan dan kerbau Lumpur di Banten, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah serta beberapa daerah lainnya di Indonesia. Kerbau mempunyai sifat “progresif”, dapat tumbuh berkelanjutan tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Ternak kerbau dapat ditingkatkan produksinya melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penggunaan faktor produksi dan teknologi serta kelembagaan. Pada umunya kerbau dipelihara petani dalam skala pemilikan yang kecil dengan tujuan utama dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan sawah dan sebagai ternak penghasil daging khususnya di Propinsi Banten (WIRYOSUHANTO 1980, KUSNADI et al., 2005).
Terjadinya penurunan populasi kerbau di Propinsi Banten diduga salah satu penyebabnya adalah sifat usaha yang masih tradisional dan peran kerbau dalam meningkatkan pendapatan petani relatif rendah. Dalam kaitan inilah penelitian kelayakan usaha ternak kerbau untuk penghasil bibit dan daging di dua agroekosistem yang berbeda dilakukan dengan tujuan pada tahun pertama adalah: 1. Untuk mengetahui kelayakan usaha ternak kerbau ditinjau dari profil baik identitas peternaknya maupun teknik budidayanya. 2. Untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi kerbau di dua agroekosistem yang berbeda. 3. Untuk mengetahui struktur biaya dan penerimaan dari usaha kerbau baik penghasil bibit maupun penghasil daging serta kontribusinya terhadap total pendapatan petani. Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman dasar dalam membuat kebijakan selanjutnya. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Propinsi Banten Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang (mewakili daerah lahan kering dataran tinggi beriklim basah) dan Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Lebak (mewakili daerah lahan sawah dataran rendah). Pemilihan lokasi untuk setiap Kabupaten berdasarkan pada : 1. Wilayah pengembangan ternak kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat (dipilih satu Kecamatan terpadat ternak kerbau). 2. Lokasi yang memiliki agroekosistem dan sistem pemeliharaan yang berbeda. 3. Lokasi yang memiliki prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan dan sarana prasarana wilayah.
187
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode survai yang dilanjutkan dengan farm record keeping (MANWAN dan MADE, 1996; KUSNADI et al., 1993) terhadap 60 orang peternak kerbau di dua kabupaten dalam memperoleh data dasar. Tahap selanjutnya dilakukan farm record keeping terhadap peternak terpilih sebanyak ± 20 orang (± 30% dari sampel survei) untuk memperoleh data dinamika usaha kerbau pada sistem pemeliharaan, status kepemilikan dan agroekosistem yang berbeda. Petani kooperator terpilih diharapkan memiliki skala usaha lebih dari 2 ekor induk. Sebelum survei dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pra survei (penjajagan) dalam memperoleh informasi mengenai faktorfaktor usaha dan variable teknis. Data yang dikumpulkan Data primer yang dikumpulkan mencakup identitas peternak, aspek teknis, budidaya kerbau, (sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan, penggemukan) dan input-output usaha yang berkaitan dengan sistem usaha ternak kerbau. Untuk melengkapi pembahasan diambil pula data sekunder dari dinas yang terkait. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara berstruktur (instrument questionaire), diskusi kelompok fokus (focus group discussion) terhadap petani peternak, petugas dinas terkait serta kelompok petani melalui pendekatan (Rapid Rural Appraisal (RRA). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisa data Semua data diolah secara parsial sesuai dengan status kepemilikan dalam satu tahunan. Analisa finansial dilakukan dengan melihat keuntungan usaha dengan cara menghitung penerimaan dikurangi biaya (GRAY et al., 1996).
188
Dalam analisa finansial digunakan ketentuan semua input dan out put dinilai dengan rupiah sesuai harga yang berlaku pada saat kegiatan farm record keeping dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas peternak kerbau Pada umumnya peternak di kedua lokasi penelitian (dataran tinggi dan dataran rendah) memelihara kerbau sebagai pekerjaan sambilan artinya beternak kerbau bukan merupakan usaha pokok, disamping pekerjaan utama mereka sebagai petani gurem dengan rataan pemilikan lahan antara 0,34 ha petani didataran tinggi dan 0,7 ha didataran rendah. Rata-rata usia dan pendidikan petani di kedua lokasi tidak jauh berbeda hanya sampai sekolah dasar (Tabel 1). Sementara pengalaman beternak jauh berbeda, Petani di dataran tinggi rata-rata mempunyai pengalaman beternak 15 tahun sementara petani di dataran rendah hanya 6 tahun, hal ini seiring dengan status pemilikan dimana sekitar 90% petani di dataran tinggi memiliki ternak sendiri sedangkan petani didataran rendah hanya 60%. Meskipun begitu rata-rata pemeliharaan ternak di dataran rendah lebih tinggi yaitu 6,3 ekor dibanding didataran tinggi yang hanya memiliki 3,2 ekor (Tabel 1). Ditinjau dari umur, pengalaman dan pendidikan petani, kondisi petani cukup layak untuk mengembangankan usaha. Sementara itu kalau ditinjau dari pemilikan lahan dibandingkan dengan pemilikan kerbau tidak akan mencukupi kebutuhan pakan, sehingga petani mengandalkan pakan dari luar usahatani. Teknik budidaya kerbau Sementara itu hasil pengamatan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan kerbau juga berbeda diantara kedua lokasi penelitian, semua petani didataran rendah memelihara kerbau mereka secara ekstensif 50% dari mereka tidak mempunyai kandang, 50% selebihnya mempunyai kandang yang sangat sederhana. Petani di dataran tinggi memelihara kerbau secara semi intensif, kerbau dikandangkan pada waktu malam hari sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 1. Identitas peternak kerbau Uraian
Dataran rendah
Dataran tinggi
Rata-rata umur petani (tahun)
36
42
Pengalaman beternak (tahun)
6
15
Pendidikan
SD
SD
Rata-rata pemilikan lahan (ha)
0,7
0,34
Pekerjaan utama
Bertani
Bertani
Beternak kerbau
Beternak kerbau
6,3
3,2
Milik sendiri (%)
60
90
Gaduhan (%)
40
10
Pekerjaan tambahan Pemilikan kerbau (ekor) Status pemilikan
Tabel 2. Teknik budidaya kerbau Uraian
Dataran rendah
Dataran tinggi
Sistem pemeliharaan
Ektensif
Semi intensif
Kandang
- 50% Tidak ada
Malam hari di kandangkan
- 50% kandang sederhana Pakan
Cari sendiri di lapangan, sawah, - Cari sendiri di kebun, sawah, hutan bera, kebun kelapa dan lahan - Disediakan dalam kandang rumput lapangan kosong dan rumput kebun - Limbah pertanian (daun jagung dan daun ubi)
Tenaga kerja
Tidak dikerjakan
68% sebagai tenaga pengolah lahan
Tujuan usaha
- Penghasil anak
- Penghasil anak
- Produksi daging
- Produksi daging
-Tambahan pendapatan
- Sumber tenaga kerja - Sumber pupuk - Tambahan pendapatan
Inovasi teknologi
Belum ada
Tabel 2 juga menunjukkan bahwa sistem usahatani kerbau yang dilakukan petani baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi masih bersifat tradisional, dimana belum ada sentuhan teknologi. Namun hasil pengamatan menunjukan, apabila dibandingkan antara kedua sistem pemeliharaan tersebut ternyata di dataran tinggi pemeliharaan kerbau lebih terintegrasi dengan usaha tanaman ditinjau dari kebutuhan tenaga kerja dan sumber pupuk. Sebagai antisipasi kedepan dala upaya peningkatan populasi, maka untuk memenuhi kebutuhan pakan khususnya hijauan perlu ada intervensi teknologi budidaya rumput kultur
Insiminasi buatan pada sebagian kecil
yang berkualitas dan teknologi pemanfaatan limbah pertanian atau perkebunan yang berkualitas seperti kelapa sawit. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau Tabel 3 menunjukkan bahwa penampilan produktivitas dan Reproduktivitas kerbau di dataran tinggi lebih rendah dari dataran rendah, mungkin disebabkan karena di dataran tinggi kerbau digunakan sebagai tenaga kerja sehingga mempengaruhi pertumbuhan produksi dan reproduksi kerbau.
189
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 3. Rata-rata penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau Uraian Ukuran tubuh (Cm) Induk umur > 2 tahun (60 Ekor) Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor) Jantan umur > 2 tahun (30 ekor) Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual (Rp/ekor) Produktivitas dan Reproduktivitas Fertilitas (%) Umur dewasa kelamin (tahun) Umur beranak pertama (tahun) S/C Calving interval (bulan) Estrus cycle (hari)
Dataran rendah
Dataran tinggi
30 ekor 118,1 ± 16,2 122,1 ± 9,6 176,2 ± 13,1 4.200.000 15 ekor 126,3 ± 12,4 124,9 ± 8,6 184,6 ± 13,2 5.600.000
30 ekor 112,1 ± 14,7 120 ± 11,2 168,5 ± 9,3 4.000.000 15 ekor 116,1 ± 10,8 121 ± 11,4 173,3 ± 9,8 5.200.000
76 3,5 4,1 3 21 16 – 28
70 3,6 4,3 4 24 16 – 29
s/c = service per conseption
Struktur pendapatan petani Secara ekonomis sistem pemeliharaan kerbau di lokasi penelitian menunjukan bahwa pemeliharaan kerbau memberikan keuntungan cukup besar, terlihat bahwa struktur pendapatan petani berasal dari tanaman padi, tanaman palawija dan di luar usahatani (buruh, dagang, jasa) serta sebagian besar berasal dari beternak kerbau 54,6% di dataran rendah dan 40,6% di dataran tinggi, sehingga prospek untuk pengembangannya cukup menarik sebagai usaha pokok (Tabel 4). Tabel 4. Struktur dan kontribusi usaha kerbau terhadap pendapatan (Rp/tahun) Lokasi penelitian Jenis kegiatan usaha
Dataran rendah
Dataran tinggi
Bertanam padi sawah Bertanam palawija Beternak kerbau Diluar usahatani
1.716.000 429.000 2.730.000 120.000
853.125 284.375 1.050.000 400.000
Jumlah Rata-rata/bulan
4.995.000 416.250
2.587.500 215.625
190
Gambaran keuntungan usaha ternak kerbau penghasil bibit dan daging Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap 5 ekor kerbau jantan yang sedang digemukkan/dibesarkan oleh 4 orang peternak, serta hasil analisa finansial menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau untuk menghasilkan daging dapat memberi keuntungan rata-rata per ekor per bulan adalah Rp. 344.000 di dataran rendah dan Rp. 313.000 di dataran tinggi (Tabel 5). Hal ini cukup baik dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh DITJEN PETERNAKAN (2005) yang hanya mampu memberikan pendapatan Rp. 240.000/bulan. Oleh karena itu, keuntungan usaha peternak kerbau cukup layak dan menjanjikan apabila skala pemilikannya diperbesar. Hal ini terlihat pula dari besarnya IRR 119 di dataran rendah dan 118 di dataran tinggi yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku untuk usaha pertanian saat ini, yaitu 13% per tahun. Namun demikian untuk usaha ternak kerbau sebagai penghasil bibit hanya memberi keuntungan yang relatif kecil yaitu Rp 87.500
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
per bulan di dataran tinggi dan Rp 100.000 di dataran rendah (tabel 6). Rendahnya keuntungan untuk usaha penghasil bibit ini kemungkinan disebabkan karena siklus produksi yang terlalu panjang (jarak beranak) dan tidak efisiennya usaha dalam skala kecil.
Oleh karena itu perlu adanya perbaikan mutu bibit kerbau dan sistem reproduksinya sehingga dapat memperpendek jarak beranak dan umur beranak pertama, sehingga usaha kerbau lebih efisien.
Tabel 5. Gambaran usaha penggemukan / pembesaran ternak kerbau penghasil daging No uraian Kerbau jantan umur 26 bulan
Dataran rendah
Dataran tinggi
345
338
Harga beli (Rp/kg)
14.500
14.500
ADG (kg/ekor/hari)
0,72
0,7
Berat awal (kg)
1
Lama pemeliharaan (hari)
90
90
Berat jual (kg)
410
401
Biaya pakan/hari (Rp)
1.500
2.000
Harga jual (Rp/kg)
15.500
15.500
Biaya transport (Rp)
50.000
50.000
Biaya (Rp) Pembelian bakalan
5.002.500
4.901.000
Transport
50.000
50.000
Biaya pemeliharaan
135.000
180.000
Tenaga kerja
135.000
135.000
5.322.500
5.266.000
Jumlah 2
Nilai rata-rata per ekor
Penerimaan (Rp.) Penjualan ternak
6.355.000
6.215.500
3
Keuntungan (2 – 1)
1.032.500
939.000
4
Keuntungan per Bulan
344.000
313.000
5
BC Ratio
0,19
0,18
6
IRR (%)
119
118
Tabel 6. Gambaran usaha ternak kerbau penghasil bibit per ekor per siklus produksi (16 bulan) Uraian
Nilai rata-rata (Rp) Dataran rendah
Dataran tinggi
6.000.000
6.250.000
525.000
600.000
6.525.000
6.850.000
Nilai induk
7.000.000
7.000.000
Nilai anak
1.250.000
1.250.000
Jumlah
8.125.000
8.250.000
Keuntungan/periode produksi
1.600.000
1.400.000
100.000
87.500
I. Biaya Pembelian bibit Biaya pemeliharaan (pakan, tenaga, kawin) Jumlah II. Penerimaan
Keuntungan per bulan
191
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1 Ditinjau dari kondisi petani, pengembangan kerbau di Banten cukup potensial, namun ketersediaan lahan sebagai sumber pakan sangat terbatas 1. Usahatani kerbau masih dilakukan secara tradisional. Untuk di dataran tinggi pemeliharaan kerbau lebih terintegrasi dengan usaha tanaman karena berperan sebagai sumber tenaga kerja maupun sumber pupuk 2. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di dataran tinggi kurang baik dibanding di dataran rendah diduga karena dipakai untuk tenaga kerja. 3. Gambaran usaha penggemukan/pembesaran kerbau selama 90 hari dapat memberikan keuntungan Rp 344.000/ekor didataran rendah dan Rp 313.000/ekor sehingga cukup menarik untuk usaha pokok bagi petani, dari pada tidak ada pekerjaan lain. Namun untuk penghasil bibit kurang menarik karena memberi keuntungan Rp 87.500/bulan. Di dataran tinggi dan Rp 100.000/bulan di dataran rendah 4. Dari kondisi ini yang ada bahwa usaha ternak kerbau secara sosial, teknis dan ekonomis layak untuk dikembangkan. 5. Disarankan bahwa skala pemilikan kerbau perlu ditingkatkan sehingga mencapai skala ekonomis yaitu 10-20 ekor per petani. Dengan intervensi teknologi budidaya pakan hijauan dan teknologi pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan berkualitas.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Budidaya Ternak Ruminansia (kerbau) di Indoneisa. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Makalah Lokakarya Kerbau 29 – 30 Nopember 2005.
192
GRAY. C., L. K. SABUR. P. SIMANJUNTAK dan P. F. L. MASPAITELLA. 1996 Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia, Jakarta. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.G. Sianturi. dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Propinsi Banten. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier. Bogor, 17 – 18 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 316 – 322. KUSNADI, U., S. ISKANDAR and M. SABRANI. 1993. Research Methodology for Crop Animal System in Hilly areas of Indonesia. Crop Animal Interaction Proc. an International Workshop. Held at Khon Kaen, Thailand. MANWAN, I., dan MADE OKA, A. 1996. Konsep Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu. 2 Nopember 1995. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. TRIWULANINGSIH, E. 2005. Laporan Hasil Penelitian Breeding dan Reproduksi Ternak Kerbau di Indonesia. Balitnak, Ciawi, Bogor. WIRYOSUHANTO. 1980. Peternakan Kerbau di Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.