Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
SISTEM PEMELIHARAAN DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI BEBERAPA AGROEKOSISTEM DI KABUPATEN LEBAK (Management System and Buffalo Productivity on Some Agro-Ecosystem in Lebak District) LISA PRAHARANI, E. JUARINI, I.G.M. BUDIARSANA, U. KUSNADI dan ASHARI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Buffaloes have known for their adaptability in harsh environment compared to cattle, therefore, they can be raised in different kind of agro-ecosystem. A studi was done to evaluate rearing system buffalo stock in some agro-ecosystem. There was three villages which were Solear, Neglasari and Malingping, represented each agro-ecosystem of oil-palm estate, low land and coastal. A survey, farm record keeping and interviewing of 20 – 30 famers were conducted for obtaining data. Parameters observed were manajemen system of raising buffalo breeding stock, including feeding, housing, reproductivity, breeding system and population structure. Management system of raising buffalo breeding stock affected buffalo productivity in three different agroecosystem whereas higher productivity in oil-palm estate agro-ecosystem due to abundantly forage availability in both quantity and quality. Therefore, oil-palm plantation is suitable for established buffalo breeding farms. Results recommended that to obtain higher buffalo production in semi-intensive system, buffaloes should be grazed on oil-palm plantation and provided bulls for natural mating. This system management of buffalo breeding stock model can be used as a model based on agro-ecosystem in supporting the availability of superior breeding stock continously to construct village breeding center especially in surplus forage area. Key Words: Management System, Buffalo Breeding Stock, Agro-Ecosystem, Lebak ABSTRAK Kerbau terkenal dengan daya adaptasinya yang tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan ternak sapi sehingga dapat dipelihara di berbagai agroekosistem. Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui sistem pemeliharaan bibit kerbau di beberapa agroekosistem dan membangun model pembibitan berbasis agroekosistem. Penelitian dilakukan di tiga lokasi yaitu di Desa Solear, Neglasari dan Malingping, Kabupaten Lebak dengan agroekosistem lingkungan pemeliharaan berturut-turut perkebunan sawit, persawahan dan pantai. Penelitian dilakukan melalui metode survei, farm recording dan wawancara dengan kelompok peternak kerbau sebanyak 20 – 30 peternak. Data primer meliputi tatalaksana pemeliharaan (pakan dan sistem perkandangan), reproduktivitas betina, sistem perkawinan, dan struktur populasi (umur dan jenis kelamin ternak). Sistem pemeliharaan mempengaruhi produktivitas ternak kerbau pada ketiga agroekosistem, dimana pada pemeliharaan kerbau pada agroekosistem perkebunan kelapa sawit lebih tinggi produktivitas ternaknya disebabkan ketersediaan pakan hijauan lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Agroekosistem perkebunan (sawit) sangat cocok untuk digunakan sebagai lokasi pembibitan kerbau. Sistem pemeliharaan digembalakan ditunjang penyediaan hijauan yang cukup dan penggunaan pejantan dalam sistem kawin alam sangat direkomendasikan. Model pembibitan yang tepat guna berbasis agroekosistem diperlukan guna mendukung ketersediaan bibit yang berkualitas dan berkelanjutan melalui pembentukan pusat pembibitan pedesaan (village breeding center) pada daerah surplus hijauan seperti pada perkebunan kelapa sawit. Kata Kunci: Sistem Pemeliharaan, Bibit Kerbau, Agroekosistem, Lebak
136
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PENDAHULUAN Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia besar yang memiliki potensi besar dan peran signifikan dalam penyediaan daging nasional, sehingga untuk menujang swasembada daging, ternak kerbau layak dimasukan ke dalam program PSDS 2014. Dalam acara Semiloka Kerbau Nasional ke-4 di Brebes, Jawa Tengah tahun 2009, telah diusulkan untuk memasukan kerbau dalam program swasembada daging nasional menjadi PSDS/K dan pencanganannya baru dilakukan setahun kemudian pada Semiloka Kerbau Nasional ke-5 di Lebak, Banten. Pada tahun 2014 Indonesia diharapkan dapat mencapai swasembada daging sapi dan kerbau. Meskipun kondisi saat ini import daging sapi masih sebesar 30% dari kebutuhan daging nasional (DITJENNAK, 2009) dan total impor kerbau sejak tahun 2007sampai 2009 mencapai sebesar 10.774 ekor dari Australia (LEMCKE, 2010). Berdasarkan populasinya sebesar 2.01 juta ekor atau 14,7% dari populasi sapi potong, ternak kerbau mampu menghasilkan produksi daging sebesar 37,3 ribu ton dan mengkontribusi daging sebesar 8,7% (DITJENNAK, 2010) yang diharapkan meningkat menjadi 15% pada tahun 2014. Pada beberapa daerah seperti di Kabupaten Blora dan Banten, Sumatera Utara dan Sumatera Barat preferensi daging kerbau lebih tinggi dibandingkan daging sapi dimana masyarakatnya sangat fanatik dalam mengkonsumsi daging kerbau baik untuk konsumsi sehari-hari maupun pada acara adat atau hari raya sehingga kontribusi daging kerbau menjadi > 50%. Selain itu, kerbau memiliki kualitas daging lebih baik dan lebih kaya gizinya dibandingkan dengan daging sapi terutama dalam hal kandungan cholesterol 40% lebih rendah, kalori 55% lebih rendah, protein 11% lebih tinggi, dan mineral 10% lebih tinggi (USDA, 2000; NANDA dan NAKAO, 2003). KANDEEPAN et al. (2009) melaporkan juga bahwa daging kerbau merupakan daging ruminansia tersehat dan menguntungkan 2 – 3 kali dibandingkan dengan kambing dan domba. Sementara NEATH et al. (2007) melaporkan bahwa dengan perlakuan pakan yang sama pada umur yang sama dan perlakuan karkas yang sama, keempukan daging kerbau melebihi
daging sapi. Oleh karena itu menurut CRUZ (2007) dan FAO (2008) daging kerbau mampu mengkontribusi 12 – 50% dari total daging sapi di Asia. Kerbau merupakan ternak semi akuatik di daerah panas dan lembab. Kondisi alam Indonesia merupakan habitat yang baik untuk ternak kerbau dimana 40% dari wilayah Indonesia beriklim tropis basah. Ternak kerbau tersebar luas di segala agroekosistem disebabkan daya adaptasi kerbau yang sangat tinggi dibandingkan dengan ternak sapi sehingga mampu berkembang baik pada kondisi ekstrim tropis. Pada kondisi pemeliharaan ekstensive dilaporkan bahwa produktivitas kerbau (persentase beranak, mortalitas, bobot sapih, bobot potong, umur potong) lebih baik dibandingkan dengan ternak sapi (REGGETI dan RODRIGUES, 2004) disebabkan oleh kemampuan daya adaptasi lingkungan dan kemampuannya mencerna serat kasar yang tinggi (LEMCKE, 2010). Oleh karena, itu potensi ternak kerbau sebagai penghasil daging sangat layak untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi kerbau di Indonesia adalah 2.010.077 ekor atau 6% dari populasi, kerbau di dunia, yang tersebar di pulau Sumatera (47%), Jawa (21%), Nusa Tenggara (8%), Sulawesi (7%), dan Kalimantan (3%) dimana Provinsi NAD memiliki kerbau tertinggi selanjutnya berdasarkan urutan populasi terbanyak adalah, Sumbar, NTB, Banten, Sumut, NTT, Jabar, Sulsel, Jateng dan Jatim. Namun populasi kerbau di Indonesia saat ini mengalami penurunan sebesar 8% sejak tahun 2002 dan 39% sejak tahun 1985 (DITJENNAK, 2010). Penurunan populasi kerbau dialami juga di Asia Tenggara terutama disebabkan oleh mekanisasi pertanian, alih fungsi lahan untuk industrialisasi, pemotongan ternak, dan rendahnya reproduktivitas (CRUZ, 2010). Provinsi Banten termasuk urutan ke-lima yang memiliki populasi kerbau terbesar tingkat nasional dengan jumlah ternak sebanyak 156.670 ekor (DITJENNAK, 2010). Populasi ternak kerbau di Banten lebih banyak hampir dua kali lipat dari populasi sapi potong yang hanya sebesar 86.763 ekor. Sementara jumlah rumah tangga peternak kerbau 15 kali peternak sapi (53,543 vs 3,461) yang mencerminkan peran kerbau bagi masyarakat Banten. Oleh karena itu, Provinsi Banten (Lebak dan
137
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Pandeglang) merupakan lokasi pendukung pada road map PSDS/K 2014 berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.19/2010. Sementara kabupaten lainnya adalah Humbang Hasundutan, Toba Samorsir, Sijunjung, Simeuleu, Batanghari, Ogan Komering Ilir, Cirebon, Brebes, Ngawi, Kutai Kertanegaram Kota Baru, Tanah Toraja, Toraja Utara, Sumbawa, Sumba Timur, Sumba Barat dan Poso. Populasi kerbau di propinsi Banten terbesar terdapat di Kabupaten Lebak yaitu sebanyak 56.105 ekor atau 37% dari total populasi Banten. Kerbau di Kabupaten Lebak tersebar di berbagai agroekosistem dari dataran tinggi sampai rendah meliputi perkebunan, sawah dan pantai dengan pola pemeliharaan yang berbeda. Sebagian besar yaitu 40% wilayah kabupaten Lebak merupakan kawasan perkebunan dimana terbesar adalah perkebunan sawit dan karet. Populasi dan produktivitas kerbau secara umum mengalami penurunan antara lain disebabkan oleh pola pemeliharaan masih tradisional,berkurangnya lahan penggembalaan tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kurangnya pakan (musim kemarau), kematian pedet yang cukup tinggi (sekitar 10%), penurunan produktivitas. Akan tetapi, di beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah seperti pada daerah perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa) yang memiliki sumber biomass cukup tinggi, usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan dengan pola integrasi dan diharapkan dapat menjadi kawasan pusat pembibitan kerbau. Pengembangan pembibitan ternak kerbau bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau, membentukan kawasan sumber bibit, membentuk kelompok pembibit yang mandiri dan berkelanjutan, dan sekaligus ikut melestarikan plasma nutfah kerbau lokal (DITJENNAK, 2010). Saat ini, program pengembangan bibit masih terfokus pada penyediaan dan penyebaran ternak bibit betina, dan belum memperhatikan penyediaan pejantan yang sebenarnya merupakan masalah utama dalam usahaternak kerbau dimana sebagian besar berpola semi intensive
138
tradisional dan hampir sepenuhnya menggunakan sistem perkawinan alam. Dalam rangka pengembangan pembibitan, sebagai tahap awal diperlukan penyediaan ternak bibit yang siap untuk disebarkan dan salah satunya adalah penyediaan calon pejantan terseleksi. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui sistem pemeliharaan calon bibit kerbau di beberapa agroekosistem dan merekomendasikan model pembibitan pada agroekosisitem yang tepat. Manfaat dari penelitian adalah untuk perbaikan sistem perbibitan sehingga dapat membentuk sistem perbibitan pada agroekosistem yang tepat guna mendukung ketersediaan bibit yang berkualitas dan berkelanjutan melalui pembentukan pusat pembibitan pedesaan (village breeding center). MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten dengan melibatkan kelompok peternak kerbau dan Dinas Peternakan. Penentuan lokasi penelitian didasari oleh agroekosistem yang berbeda yaitu perkebunan sawit (Solear), persawahan (Neglasari), dan pantai (Malingping). Selain itu kelompok peternak pilihan yang berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan kelompok peternak yang kooperatif, aktif dan berkeinginan membangun sistem perbibitan di kawasan kelompoknya. Selain itu pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pada: 1. Rencana wilayah pengembangan ternak kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat. 2. Lokasi yang memiliki agroekosistem dan sistem pemeliharaan yang berbeda. 3. Lokasi yang memiliki prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan dan sarana prasarana wilayah. Data primer dikumpulkan melalui survei dan farm rekording serta wawancara dengan 20 – 30 orang peternak per kelompok yang mencakup aspek teknis meliputi potensi dan kendala, sistem perkandangan, tatalaksana pemberian pakan, reproduksi, pembibitan. Selanjutnya data dianalisa secara deskriptif.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum Populasi kerbau di Kabupaten Lebak tersebar di 10 Kecamatan dengan total populasi kerbau sebanyak 56.105 ekor. Kecamatan Maja memiliki populasi kerbau sebesar 3418 ekor yang terdiri dari 1061 jantan dan 2357 betina, Meskipun populasi ternak kerbau tidak cukup besar, Kecamatan Maja memiliki peranan cukup penting dalam mendukung produksi daging kerbau bagi Kabupaten Lebak karena sebagian besar luasan lahan merupakan perkebunan kelapa sawit yang banyak dimanfaatkan peternak sebagai lokasi penggembalaan. Dinas Peternakan Kabupaten Lebak memilih Kampung Solear, Desa Sindang Mulya di Kecamatan Maja sebagai tempat lokasi wilayah pengembangan berdasarkan keberadaan kelompok peternak kerbau dengan pertimbangan ketersediaan pakan hijauan yang melimpah sepanjang tahun dan keaktifan serta besarnya minat kelompok peternak. Lokasi kelompok berada di perkebunan sawit dengan sistem pemeliharaan integrasi sawit-kerbau. Perkebunan kelapa sawit seluas 1500 ha merupakan sumber pakan hijauan yang mampu menampung sedikitnya 3000 ekor kerbau berdasarkan perhitungan 1 ha kebun sawit dapat menampung 2 – 3 ekor ternak besar (MATHIUS, 2009), Perkebunan sawit ini sangat cocok sebagai lokasi pembibitan kerbau karena memiliki sumber pakan yang melimpah baik dari biomasa berupa cover crop maupun dari pelepah sawit. Lokasi ini menurut Dinas Kabupaten termasuk wilayah pengembangan ternak kerbau yang akan dijadikan sebagai pusat pembibitan kerbau khususnya di Kampung Solear mengingat letaknya berada di dalam kawasan perkebunan kelapa sawit. Kandang koloni pemeliharaan kerbau berada di pinggir kebun sawit. Sementara itu, penggembalaan kerbau dilakukan di bawah kebun sawit yang telah berumur 6 – 7 tahun sehingga keberadaan kerbau di dalam kebun sawit sama sekali tidak mengganggu produktivitas pohon sawit. Kelompok peternak telah mendapat ijin resmi dari Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dari PTP VIII melalui Dinas Peternakan Lebak. Luasan lahan perkebunan kelapa sawit ini
diharapkan dapat menampung ternak kerbau lebih banyak lagi yang memberikan keuntungan kompos bagi tanaman kelapa sawit, sehingga mengurangi biaya pemupukan organik dari perusahaan. Melihat potensi kawasan perkebunan kelapa sawit ini sebagai kawasan sumber pakan hijauan, Dinas Peternakan Lebak merencanakan akan menjadikan tempat ini sebagai pusat pembibitan kerbau dan diharapkan bertambahnya kelompok peternak pembibit yang baru. Sistem pemeliharaan Lokasi Neglasari sistem pemeliharaannya di dalam kandang yang terletak di sebidang tanah yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya yang dapat berubah fungsi penggunaanya setiap saat, dan menggusur peternakan kerbau pada lokasi tersebut. Kandang dibangun secara berkelompok antara 2 – 3 kandang individu per peternak. Jumlah peternak per kelompok sebanyak 42 peternak, Kerbau biasanya dibawa ke sungai dekat kandang kelompok pada siang hari untuk berkubang. Oleh karena itu umumnya lokasi kandang kelompok kerbau dipilih tidak jauh dari sungai yang digunakan sebagai tempat berkubang. Rata-rata kepemilikan lahan 0,5 – 1 ha per petani yang terdiri dari sawah tadah hujan dan kebun tanaman pangan (singkong, jagung, kacang tanah). Peternak/kelompok peternak tidak memiliki padang penggembalaan dengan komposisi dominan hijauan pakan ternak, tetapi kawasan perkebunan sawit menjadi area penggembalaan kerbau. Mata pencaharian utama adalah pertanian (padi) perkebunan tanaman pangan, tetapi pada umumnya petani memiliki kerbau 2 – 3 ekor per petani meskipun kisaran kepemilikan ternak berbeda antara agroekosistem. Kepemilikan ternak di Solear lebih banyak karena ketersediaan pakan yang melimpah di kawasan perkebunan yang dekat dengan lokasi kandang dan perumahan peternak sehingga peternak merasa masih mampu memelihara lebih banyak kerbau dibandingkan peternak Neglasari dengan sistem dikandangkan. Pada agroekosistim pantai di Malingping, kepemilikan ternak 2 – 5 ekor per peternak
139
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
dengan jumlah peternak kelompok 30 orang. Kerbau berada di pantai sepanjang hari digembalakan secara berkelompok di kebun kelapa pinggir pantai dengan memanfaatkan hijauan. Hijauan pakan yang terdapat dipinggir pantai berupa rumput lapang dan tumbuhan liar (semak). Penyediaan air secara kontinyu masih terbatas pada air hujan dan bak kecil, sedangkan pakan tambahan belum dilakukan. Sistem pemeliharaan yang digembalakan pada lokasi penelitian Solear dan Malingping tidak berbeda dimana kerbau digembalakan pada siang hari dan kembali ke kandang pada sore hari. Sistem pemeliharaan kerbau secara umum di lokasi penelitian yaitu Solear, Neglasari dan Malingping seperti terdapat dalam Tabel 1. Agroekosistem ketiga lokasi penelitian berbeda, dimana lokasi Solear agroekosistem perkebunan kelapa sawit (digembalakan), lokasi Neglasari agroekosistem persawahan (dikandangkan) dan Malingping agroekosistem pantai (digembalakan). Pemeliharaan kerbau pada ketiga lokasi penelitian bertujuan mendapatkan anak yang dibesarkan dan dijual pada umur 3 – 4 tahun. Peternak biasanya hanya menjual ternak jantan, sedangkan ternak betina tetap dipelihara dalam kelompoknya. Sistem perkandangan di Solear sedikit berbeda dimana ternak dikandangkan pada malam hari dalam kandang koloni 10 – 20 ekor per kandang koloni. Sementara di desa
Malingping (agro-ekosistem pantai), ternak tidak di kandangkan, tetapi tersedia shelter (naungan) yang digunakan pada malam hari. Kepemilikan kerbau pada ketiga lokasi lebih kecil dibandingkan dengan MAYUNAR (2007) sebesar 10-16 ekor per peternak di Kabupaten Lebak. Umumnya peternak memelihara dalam kandang koloni dimana satu kandang koloni dimimiliki oleh 2 – 3 orang peternak Kandang koloni didasarkan pada status fisiologi ternak dimana induk dan anak dipelihara dalam satu kandang koloni yang sama, sementara pejantan dan jantan muda dalam satu kandang dan induk kering/bunting dan dara dalam kandang yang sama. Sementara sumber air di Malingping menggunakan sumur dan air hujan dalam kolam penadah hujan. Ternak kerbau di Solear (agroekosistem perkebunan sawit) dipelihara dalam kandang koloni diatas tanah pribadi (anggota kelompok) dimana kelompok ternak membayar sewa. Pada mulanya pembangunan kandang koloni berukuran 10 x 3 meter dilakukan secara swadaya untuk kapasitas 10 – 15 ekor dengan luasan 2 – 3 meter2/ekor. Bahan bangunan kandang terbuat dari kayu beratap seng. Pembangunan dan konstruksi letak dan ukuran kandang berdasarkan petunjuk dari Dinas Peternakan Lebak. Sementara di Neglasari atap kandang terbuat dari daun kelapa, dan kandang diberi sekat (individu) namun bentuk dan ukuran kandang sama dengan lokasi Solear.
Tabel 1. Karakteristik pemeliharaan kerbau berdasarkan agroekosistem di Kabupaten Lebak Uraian
Solear
Neglasari
Malingping
Agroekosistem
Perkebunan sawit
Persawahan
Pantai
Jumlah peternak per kelompok
22
42
30
Kepemilikan
3 – 10 ekor
1 – 3 ekor
2 – 5 ekor
Tahun berdirinya kelompok peternak
2007
1996
2000
Sistem pemeliharaan
Digembalakan di kebun sawit
kandang
Digembalakan di bawah pohon kelapa(pantai)
Kandang
Koloni
individu
Tidak dikandangkan
Pakan
Rumput/legume dan pelepah sawit, tidak disediakan pada malam hari
Jerami/rumput lapang disediakan juga dikandang malam hari
Rumput lapangan, tidak disediakan malam hari
Sumber air
Sungai
Sungai
air hujan/sumur
Tujuan Usaha
Pembibitan dan pembesaran
Pembibitan
pembibitan
140
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Sementara itu, di Malingping, ternak tidak memiliki kandang sehingga pada malam hari ternak tetap berada di penggembalaan yang memiliki beberapa peneduhan (shelter) dimana setiap peneduhan ditempati oleh 10 – 20 ekor. Peternak menyediakan hijauan pakan tambahan berupa rumput gajah atau limbah pertanian (jerami jagung/batang pisang/jerami padi) pada malam hari di lokasi Neglasari disebabkan sistem pemeliharaan intensif. Sedangkan di Solear dan Malingping pakan hijauan tambahan dan air minum tidak disediakan. Pakan tambahan seperti dedak atau singkong hanya diberikan pada saat panen. Sumber utama hijauan pakan ternak adalah rumput lapang dan legume yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit. Selain itu pelepah daun hasil panen sawit yang ada di kebun juga dimakan kerbau pada saat digembalakan. Keberadaan hijauan di lokasi Malingping tidak Garam yang dicampur air sering diberikan. Sementara itu, pakan tambahan seperti konsentrat (dedak) belum pernah diberikan oleh peternak. Pada musim kemarau, peternak mengalami kesulitan mencari pakan hijauan dimana rumput lapang di lahan penggembalaan kering, sehingga biasanya ternak hanya diberi pakan jerami dalam kandang. Meskipun pada malam hari, ternak kerbau tidak selalu diberikan tambahan pakan hijauan, disarankan pemberian pakan hijauan sebanyak 5 – 10 kg pada malam hari membantu efektifitas kerja rumen guna mengoptimalkan produktivitas ternak. Peternak memberikan rumput gajah potongan atau hasil limbah pertanian/kebun tanaman pangan berupa daun jagung, kacangan pada saat panen dan melimpah. Penyediaan hijauan pakan secara ad libitum untuk ternak sangat membantu menjaga kondisi tubuh induk berpengaruh pada kinerja reproduksi. Limbah kotoran sapi belum dikelola untuk komersial, karena ternak sepanjang hari berada di agroekosistem perkebunan sawit (Solear) dan pantai (Malingping), sehingga sulit mengumpulkan kotorannya. Tetapi sebagian kotoran yang terkumpul di dalam kandang individu (Neglasari) digunakan sebagai pupuk organik untuk lahan kebun/sawah kelompok ternak. Telah disarankan sebagain besar kotoran merupakan pupuk organik bagi kesuburan lahan perkebunan sawit sehingga terjadi integrasi kerbau-sawit yang akan menambah keuntungan bagi perusahaan
perkebunan sawit melalui pengurangan biaya pemupukan. Pelayanan kesehatan hewan yang diberikan oleh Dinas Kabupaten secara rutin dilakukan satu bulan sekali. Pemberian obat-obatan seperti obat cacing, kulit (scabies) sering diberikan oleh petugas lapangan. Bila terjadi mendadak ternak sakit, peternak memberitahukan langsung kepada petugas dan pertolongan diperoleh pada hari yang sama. Pengobatan sepenuhnya tergantung kepada petugas keswan Kecamatan dan Dinas Peternakan Lebak, sehingga peternak tidak pernah membeli obat-obatan. Pengobatan tradisional belum pernah dilakukan karena kurangnya pengetahuan peternak. Sistem perkawinan dan pemuliaan Perkawinan ternak dilakukan dengan sistem kawin alam menggunakan pejantan milik peternak kelompok. Ketersediaan pejantan di dalam kelompok peternak sangat terbatas dimana hanya ada satu pejantan yang digunakan sebagai pemacek untuk 40 – 50 ekor betina produktif di Solear dan Malingping, sedangkan di Neglasari 1 ekor pejantan mengawini 75 – 100 ekor betina. Pada Kelompok ternak Solear Jaya telah dilakukan perkawinan sistem Inseminasi Buatan (IB) yang dilaksanakan dalam rangka penelitian dari Balai Penelitian Ternak menggunakan semen Pejantan dari Taman Nasional Baluran (Jawa Timur). Hasil IB dari Balitnak terdapat kebuntingan 60%. Program IB ini hanya dilaksanakan pada tahun 2010, sementara berikutnya belum dapat ditentukan tergantung keberlanjutan penelitian. Keterbatasan pemilikan pejantan di kelompok peternak disebabkan oleh hampir semua pejantan dijual oleh peternak karena harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau betina. Pejantan pemacek berasal dari dalam kelompok yang telah digunakan selama lebih dari 4 tahun, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan antara pejantan dan anak betinanya. Pejantan pemacek pada kelompok ternak berwarna albino, sehingga sebagian ternak kerbau di dalam kelompok ternak ini berwarna albino. Kerbau jantan berwarna hitam biasanya dijual oleh peternak
141
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
karena harganya lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau albino. Kelompok kerbau dibentuk secara resmi sesudah tahun 1996, meskipun peternak sudah secara turun temurun memelihara ternaknya. Populasi ternak dalam kelompok tertutup dimana pejantan pemacek biasanya berasal dari dalam kelompok dan betina yang lahir dalam kelompok tetap dipelihara dan pemasukan ternak betina dari luar kelompok jarang dilakukan. Pada kelompok ternak di lokasi ini terdapat 42% dari jumlah ternak yang dipelihara adalah ternak albino. Tingginya kejadian albino disebabkan oleh pejantan yang digunakan sebagai pemacek berwarna putih albino sehingga menyebabkan > 40% kerbau di albino. Pejantan tersebut ratarata telah digunakan selama lebih dari 4 tahun karena kurangnya pejantan pada kelompok ini disebabkan tingginya pengeluaran ternak jantan yang dijual. Tingkat inbreeding di kelompok peternak bila dihitung menggunakan rumus FALCONER dan MACKAY (1996) berdasarkan jumlah betina dan pejantan pemacek maka diperoleh tingkat inbreeding sebesar 0,127 (PRAHARANI et al., 2010). Tingkat inbreeding yang tinggi dapat menyebabkan tekanan inbreeding yang ditandai dengan penurunan performa produksi dan reproduksi ternak (MRODE et al., 2004) mengakibatkan menurunnya keuntungan usaha ternak (CROQUET et al., 2006). Beberapa laporan menduga adanya tekanan inbreeding dalam kelompok populasi yang berdampak pada penurunan produktivitas dan lambatnya peningkatan populasi ternak (ALKHUDRI, 2008; SOFYADI, 2009; ACHYADI et al., 2008; Mawi, 2009; SUSILAWATI dan BUSTAMI, 2009). Perkawinan saudara dekat atau sedarah menyebabkan sifat resesif lebih banyak muncul salah satunya seperti sifat albino (resesif). Beberapa faktor penyebab terjadinya inbreeding pada kedua kelompok ternak ini antara lain populasi tertutup, sistem perkawinan tidak terarah, kurangnya tingkat pengetahuan peternak dan keterbatasan pejantan. Inbreeding pada kelompok ternak di ketiga agroekosistem tersebut dapat dihindari melalui pemasukan pejantan superior dari luar kelompok ternak, pengaturan sistem perkawinan dengan cara membatasi penggunaan pejantan hanya untuk jangka waktu pemakaian pejantan selama 2 tahun, dan
142
melakukan rotasi penggunaan pejantan antar kelompok ternak. Salah satu usaha mengurangi kejadian perkawinan sedarah/saudara dilakukan pemasukan pejantan dari luar kelompok ternak. Informasi yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Lebak menyebutkan telah dilakukannya kerjasama antara Dinas Peternakan setempat dengan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan UPT Peleihari dalam penyediaan semen untuk kerbau yang berasal dari Kalimantan Selatan termasuk semen kerbau yang berasal dari Tana Toraja. Akan tetapi kebuntingan ternak hasil IB menggunakan semen dari BIBD Kalimantan Selatan belum cukup berhasil (personal komunikasi dengan Disnak Lebak). Sementara LEMCKE (2008) melaporkan keberhasilan IB di Southern Australian hanya mencapai 33%. Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain musim kawin, kondisi tubuh, umur dan jarak waktu beranak terakhir (BARUSELLI et al., 2001). Dari hasil diskusi Balitnak dan Dinas Peternakan Kabupaten Lebak terkait masalah kelangkaan pejantan dan tingginya tingkat inbreeding maka pada bulan September tahun 2010 telah dilakukan program introduksi pejantan sebanyak 9 ekor yang merupakan dana APBN (program Tugas Perbantuan Ditjennak) dan APBD Propinsi Banten. Pembelian pejantan berasal dari luar populasi Kabupaten Lebak yaitu dari Parung panjang Kabupaten Bogor bertujuan menghindari inbreeding. Penyebaran pejantan salah satunya dilakukan di Neglasari dan Solear masingmasing sebanyak 3 ekor, sementara untuk lokasi Malingping introduksi pejantan belum dapat dilaksanakan. Tingkat kebuntingan dari introduksi pejantan belum dapat dilaporkan dan menunggu rekording tahun depan (2011). Sementara itu, introduksi semen (IB) kerbau Baluran yang dilakukan oleh Balitnak menghasilkan kebuntingan yang cukup baik seperti yang dilaporkan oleh KUSUMANINGRUM et al. (2010) tetapi menggunakan perlakuan hormon sinkronisasi yang cukup mahal. Pengadaan ternak jantan dilakukan melalui pembelian ternak dari pedagang pengumpul dengan beberapa kriteria yang diberikan oleh Dinas Peternakan Lebak terutama warna kerbau menjadi kriteria utama yaitu harus abuabu mengingat tingginya tingkat inbreeding di
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
kabupaten Lebak saat ini akibat kurangnya pejantan sehingga banyaknya kerbau albino dalam populasi. Catatan silsilah ternak yang dibeli tersebut tidak tersedia karena pada umumnya peternak tidak mempunyai rekording ternak, khususnya tetuanya, tetapi pembelian dari luar populasi (Lebak) diharapkan akan mengurangi tingkat inbreeding selain meningkatkan populasi ternak di kabupaten Lebak. Introduksi pejantan dari luar populasi telah diprogramkan oleh Disnak Kabupaten Lebak selanjutnya setiap tahun untuk memperbaiki mutu genetik kebau yang telah mengalami inbreeding sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian ternak albino yang merupakan indikator adanya inbreeding dalam populasi. Disnak Kabupaten Lebak juga berencana secara perlahan mengurangi ternak albino melalui pengeluaran ternak albino dari populasi, meskipun mengalami sedikit kesulitan disebabkan oleh preferensi sebagian peternak memelihara ternak albino yang dipercaya lebih baik atau keberuntungan. Perbaikan sistem perbibitan melalui rotasi penggunaan pejantan setiap 2 tahun sekali antar lokasi. Upaya perbaikan mutu genetik kerbau melalui introduksi pejantan dapat digunakan sebagai model untuk direplikasikan pada daerah (Propinsi) lainnya. Seleksi ternak yang dilakukan saat ini adalah mengeluarkan ternak induk yang tidak beranak dalam 2 – 3 tahun dan menggantinya dengan induk baru. Sementara seleksi terhadap pejantan kurang diperhatikan karena kelangkaan pejantan sehingga pejantan yang digunakan sebagai pemacek adalah pejantan yang masih muda dengan ukuran tubuh kecil. Kelompok ternak Solear dan Neglasari penerima bantuan bibit betina/pejantan kerbau merencanakan akan melaksanakan program seleksi kerbau berdasarkan produktivitas induk dan pertumbuhan replacement stock, dan penggantian pejantan yang dibeli setelah 2-3 tahun kedepan. Sistem rekording yang akan dilakukan adalah mengikuti petunjuk teknis pengembangan pembibitan kerbau dari Direktorat Perbibitan. Kartu catatan kelahiran/perkawinan dan pertumbuhan akan diisi oleh sekretaris kelompok. Meskipun
ternak bibit Bantuan Sosial belum memiliki nomor telinga, telah disarankan untuk memberikan nomor dan tanda menurut peternak pemilik sehingga memudahkan pencatatan. Performa reproduksi ternak Performa reproduksi ternak pada kelompok Solear, Neglasari dan Malingping disajikan dalam Tabel 2 yang merupakan keadaan saat ini (exsisting condition). Secara umum performa reproduksi kerbau di ketiga kelompok ternak hampir sama, meskipun ternak pada kelompok Solear lebih baik disebabkan oleh melimpahnya hijauan pakan ternak yang berasal dari perkebunan sawit. Sementara itu, tingkat kebuntingan kelompok ternak Malingping sedikit lebih baik dibandingkan Neglasari disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang digembalakan dimana pertemuan antara betina dan pejantan lebih sering. Kerbau betina pertama kali dikawinkan pada umur 3 – 4 tahun dimana umumnya berah pertama terjadi pada umur 2,5 – 3,5 tahun. Rataan jarak beranak kerbau antara 2,5 – 3 tahun dengan persentase beranak yang masih 40 – 60%. Panjangnya rataan jarak beranak dan rendahnya angka kelahiran ini antara lain disebabkan tingginya rasio pejantan dan betina, serta kualitas pejantan (libido, umur dan kondisi tubuh). Hal yang sama dilaporkan oleh KRISTIANTO (2007) dimana rasio pejantan dan betina yang terjadi pada kerbau Kalang di Kalimantan Timur sebesar 10 : 170 sehingga angka kelahiran hanya mencapai 35%. Performa reproduksi pada kedua kelompok Neglasari dan Malingping secara umum hampir sama dengan performa kerbau dari beberapa Propinsi di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi selatan yang dilakukan oleh SIREGAR dan DIWYANTO (1996); PASAMBE et al. (2006); DILAGA et al. (2003). Tetapi bila dibandingkan dengan performa reproduksi kerbau di Vietnam (DUNG, 2006) terlihat bahwa kelompok ternak pada agroekosistem pantai (Malingping)
143
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Tabel 2. Performa reproduksi kerbau berdasarkan agroekosistem Parameter
Lokasi (agroekosistem) Solear (kebun sawit)
Neglasari (Sawah)
Malingping (pantai)
113
98
45
Umur berahi pertama (tahun)
2
2.5
2.5
Umur berahi pertama (tahun)
2
2.5
2.5
Umur beranak pertama (tahun)
3
3.75
3.5
Jarak beranak (tahun)
2,1
2.8
2.5
Calving rate (%)
62
41
54
1–2
2
1-2
3
1
2
Jumlah ternak (ekor)
Mortalitas (%) Pejantan pemacek (ekor) Penggunaan pejantan (tahun) Rasio pejantan : betina Asal pejantan Warna bulu pejantan Introduksi pejantan (ekor) Warna pejantan introduksi Asal pejantan introduksi
3.5
>4
>4
1:25-30
1:30-40
1:10-20
Dalam populasi
desa asal
membeli
Albino (2) dan abu2 (2)
albino
Hitam abu-abu
3
3
-
Abu-abu
Abu-abu
Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor
dan sawah (Neglasari) lebih rendah, sementara hampir sama dibandingkan dengan kelompok ternak pada agroekosistem perkebunan sawit (Solear). Namun secara umum hampir sama dengan karakteristik reproduksi yang dilaporkan oleh ARMAN (2007) pada kerbau Sumbawa yang dipelihara di padang penggembalaan dengan sistem semi intensif dan PASAMBE (2007) pada kerbau Toraja pada sistem pemeliharaan tradisional. Faktor penyebab rendahnya performa kerbau antara lain rendahnya mutu genetik ternak kemungkinan disebabkan oleh tekanan inbreeding, manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan ternak. KESIMPULAN Karakteristik pemeliharaan dan performa kerbau dipengaruhi oleh agroekosistem dimana pada agroekosistem perkebunan (digembalakan) performa reproduksi kerbau lebih baik dibandingkan dengan agroekosistem pantai (digembalakan) yang sedikit lebih baik
144
dibandingkan dengan agroekosistem persawahan (dikandangkan) disebabkan perbedaan ketersediaan hijauan dan peluang pertemuan (perkawinan) pejantan dan induk. Sistem disarankan pemeliharaan kerbau dilakukan dengan sistem penggembalaan pada lahan berproduksi hijauan pakan yang cukup serta sistem kawin alam melalui penyediaan pejantan terpilih secara reguler dan penggantian pejantan setelah 2 tahun penggunaannya untuk menghindari inbreeding. Kawasan agroekosistem perkebunan (sawit) dapat dijadikan pusat pembibitan kerbau dengan model dan sistem pembibitan yang tepat seperti village breeding center. Daerah (kawasan) yang melimpah sumber hijauannya seperti perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan pusat pembibitan ternak kerbau melalui sistem integrasi sawit dan kerbau. Oleh karena itu bantuan Disnak setempat sebagai mediator untuk mengadakan pendekatan dengan Pihak Perkebunan sangat diperlukan sehingga peternak mendapat ijin penggembalaan di lahan perkebunan dan berkoordinasi dengan peternak.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
DAFTAR PUSTAKA ACHYADI, K., S. TEGUH, R. PUJI dan AULIA. 2007. Sosialisasi dan implementasi program grading-up kerbau lumpur (Swamp buffalo) melalui teknologi inseminasi buatandi Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Workshop Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2007. hlm. ARMAN, S. 2007. Penyigian karakteristik reproduksi kerbau Sumbawa. Workshop Kerbau. di Jambi, 22 – 23 Juni 2006. BAMUALIM, A dan M. ZULBARDI. 2007. Situasi dan Keberadaan Kerbau di Indonesia. Workshop Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2007. BARUSELLI. 2001. Reproduction in Buffalo – A review of USP work, www.fmvz.usp.br/menu/BUFFALO/BUFFAL O.htm BPS. 2009. Banten dalam Angka. Pemerintah Daerah Propinsi Banten. CASSELL, B. G., V. ADAMEC, and R. E. PEARSON. 2003. Effect of incomplete pedigrees on estimates of inbreeding depression for days to first service and summit milk yield in Holsteins and Jerseys. J. Dairy Sci. 86: 2967– 2976 CROQUET, C, P. MAYERES, A. GILLON, S. VANDERICK, and N. GENGLER. 2006. Inbreeding Depression for Global and Partial Economic Indexes, Production, Type, and Functional Traits. J. Dairy Sci. 89: 2257– 2267. Cruz, L. 2007. Trends in buffalo production in Asia. Ital. J. Anim. Sci. Vol. 6 (Suppl. 2): 9 – 24. Cruz, L. 2010. Recent Developments in the Buffalo Industry of Asia. Proc. 9th World Buffalo Congress, Brazil. DITJENNAK. 2009. Statistik peternakan 2009. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Peternatian. DITJEN PETERNAKAN. 2010. Petunjuk Teknis Pengembangan Pembibitan Kerbau. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta FAO. 2008. The state of food and agriculture. Food and Agriculture Organisation, Rome. http://apps.fao.org.page/collection. KANDEEPAN G., S. BISWAS and R. S. RAJKUMAR. 2009. Buffalo as a potential food animal. Int. J. Livestock Production 1(1): 001 – 005.
KRISTIANTO, L. K. 2007. Pengembangan perbibitan kerbau kalang dalam menunjang agrobisnis dan agrowisata di Kalimantan Timur. Pros. Semiloka Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2006. hlm. LEMCKE, B. 2010. Production Parameters from Different Breeds. of Water Buffalo in Australia. Proc. 9th World Buffalo Congress, Brazil. LEMCKE, B. 2008. Australian Water Buffalo Genetic and Reproduction Improvements. Rural Industries Research and Development Corporation, Australia MASKAMIAN. 2005. Pros. Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. BPTP Kalimantan Selatan dan Puslitbang Peternakan. Bogor MATHIUS, I-W. 2009. Produk samping industri kelapa sawit dan teknologi pengayaan bahan pakan sapi yang terintegrasi. Sistem integrasi tanaman ternak Padi-sawit-kakao. Puslitbang Peternakan, Bogor. MAYUNAR. 2007. Status dan prospek pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten. Pros. Semiloka Kerbau. Jambi, 22 – 23 Juni 2006 hlm. MAWI, S.H. 2009. Program aksi perbibitan terak kerbau di Kabupaten Kutai Kertanegara. Pros. Semiloka Kerbau. Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. hlm. MRODE, R., G.J.T. SWANSON and M.F. PAGET. 2004. Computing inbreeding coefficients and effects of inbreeding, heterosis and recombination loss on evaluations for lifespan and somatic cell count in the UK. http://wwwinterbull.slu.se/bulletins/bulletin32/Mrode.pdf Interbull Bull. 32: 109 – 112. NANDA A., S. and T. NAKAO. 2003. Role of buffalo in the socioeconomic development of rural Asia: Current status and future prospectus. Anim. Sci. J. 74: 443 – 455. NEATH, K.E., A.N. DEL BARRIO, R.M. LAPITAN, J.R. HERRERA, L.C. CRUZ, T. FUJIHARA, S. MUROYA, K. CHIKUN, M. HIRABAYASHI and Y. KANAI. 2007. Difference in tenderness and pH decline between water buffalo and beef during post mortem aging. Meat Sci. 75: 499 – 505. PASAMBE, D, M. SARIUBANG, SAHARDI dan S.N. TAMBING, S.N. Tampilan reproduksi dan produksi kerbau lumpur di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Workshop Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2006.
145
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PRAHARANI, L., E. JUARINI dan I.G.M. BUDIARSANA. 2010. Parameter indikator inbreeding rate pada populasi ternak kerbau di Kabupaten Lebak. Pros. Semiloka Kerbau Nasional IV. Brebes, Jawa Tengah. hlm. SOFYADI, C. 2009. Perkembangan program aksi perbibitan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang. Pros Semi Loka Kerbau di Tana Toraja, 24 – 26 oktober 2008 SUSILAWATI, E. dan BUSTAMI. 2009. Pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi. Pros Semi Loka Kerbau di Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008. hlm. REGGETI, J. and R. RODRIGUEZ. 2004. Proc. 7th World Buffalo Conggress. 20 – 23 October, 2004: 55 – 58. Makati City, Philippines
146
TRIWULANNINGSIH, E, SUBANDRIYO, P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, R.G. SIANTURI, D.A. KUSUMANINGRUM, I GEDE PUTU, P. SITEPU, T. PANGGABEAN, P. MAHYUDIN, ZULBARDI, S.B. SIREGAR, U. KUSNADI, C. THALIB, A.R. SIREGAR. 2005. Data Base Kerbau di Indonesia. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. UNITED STATES DEPARTMENT OF AGRICULTURE (USDA). 2000. Technical Bulletin, number 10. USDA, New York. ULFI, N. 2005. Pros. Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. BPTP Kalimantan Selatan dan Puslitbang Peternakan. Bogor