Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
KARAKTERISASI BIBIT KERBAU PADA AGROEKOSISTEM DATARAN TINGGI LISA PRAHARANI dan E. TRIWULANNINGSIH Balai Penelitian Ternak, Bogor
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi kondisi bibit ternak yang tersedia di daerah sumber bibit dan memperoleh informasi ukuran tubuh sebagai standar mutu bibit ternak pada agroekosistem dataran tinggi. Penelitian dilakukan di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Kerbau dan Babi Siborongborong, Sumatera Utara. Data ukuran tubuh, skor kondisi dan frame tubuh kerbau dikumpulkan dari 307 ekor milik BPTU (129 ekor), peternak (112 ekor) dan yang dijual di pasar kerbau (66 ekor) melalui pengamatan langsung. Wawancara dengan 32 orang peternak dilakukan untuk memperoleh data pendukung mengenai sistem pemeliharaan dan produktifitas ternak kerbau. Hasil penelitian menunjukan bahwa ternak kerbau di BPTU memiliki ukuran tubuh (panjang badan, tinggi pundak, tinggi panggul, lingkar badan) lebih besar (P<0,05) dibandingkan ternak milik peternak dan pasar kerbau. Ukuran tubuh yang dapat dijadikan standar seleksi pada agroekosistem dataran tinggi masing-masing untuk betina dewasa dengan tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada sebesar 122,3 cm, 122,1 cm, 121,4 cm, 179,1 cm; jantan dewasa: 125,8 cm, 125,7 cm, 127,1 cm, 191,0 cm. Ternak kerbau BPTU Siborongborong memiliki kualitas performan lebih baik dan merupakan ternak terseleksi yang digunakan sebagai bibit, tetapi perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas pemberian pakan karena skor tubuh yang lebih rendah. Kata Kunci: Kerbau, agroekosistem, dataran tinggi
PENDAHULUAN Ternak kerbau memiliki potensi sangat besar dalam rangka menopang ketahanan pangan khususnya ketersediaan dan kecukupan daging tahun 2010, dimana daging kerbau diharapkan pada lima tahun mendatang dapat meningkatkan kontribusinya dalam mendukung ketersediaan daging sapi sampai 15% (DITJEN PETERNAKAN, 2005) saat ini masih di bawah 10%. Disamping perannya sebagai penghasil daging, ternak multiguna ini berperan sebagai penghasil tenaga kerja untuk mengolah sawah dan transportasi di pelosok wilayah Indonesia. Sementara di daerah Sumatera Barat dan Sumatera Utara kerbau dimanfaatkan sebagai penghasil susu yang selanjutnya diolah menjadi produk lokal yang terkenal dan berguna bagi peningkatan gizi masyarakat pedesaan khususnya. Nilai ekonomis ternak kerbau semakin tinggi pada wilayah tertentu seperti di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dimana kerbau menjadi ternak khusus yang digunakan dalam upacara ritual keagamaan. Populasi ternak kerbau di Indonesia sebesar 2.201.111 ekor, dimana Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi kedua terbesar
populasi kerbaunya setelah NAD (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006), sehingga dapat dikatakan bahwa daerah Sumatera Utara merupakan salah satu sentra bibit kerbau di Indonesia. Secara umum, populasi kerbau mengalami penurunan meskipun di beberapa propinsi mengalami peningkatan. Penurunan populasi kerbau disebabkan pemotongan ternak yang tinggi untuk memenuhi permintaan daging, pemotongan ternak betina produktif, dan kemungkinan akibat dari mekanisasi pertanian. Ternak kerbau tersebar luas di segala agroekosistem disebabkan daya adaptasi kerbau yang sangat tinggi. Ternak kerbau yang berkembang dan dipelihara sejak lama pada suatu agroekosistem yang spesifik telah mengalami seleksi alam yang diduga akan menghasilkan tipe kerbau dengan karakteristik yang spesifik menurut agroekosistem yang membentuknya. Karakter spesifik menurut agroekosistem membentuk beberapa tipe kerbau seperti kerbau Jawa, kerbau belang, kerbau Binanga dan Kerbau Moa dengan keragaman performan eksterior tubuh yang berbeda. Pengembangan ternak kerbau tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan bibit kerbau yang
113
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
bermutu genetik tinggi di wilayah-wilayah sentra bibit, seperti di Sumatera Utara. Usaha perbaikan mutu genetik kerbau merupakan hal penting dalam peningkatan produktivitas ternak yang salah satunya melalui seleksi ternak. Dalam program seleksi diperlukan informasi baku yang digunakan dalam pemilihan ternak antara lain kriteria-kriteria seleksi yang sebaiknya telah distandarisasi. Informasi-informasi dasar mengenai karakteristik ternak kerbau yang akan digunakan sebagai standar dalam seleksi masih sangat terbatas. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi penyediaan bibit kerbau pada agroekosistem dataran tinggi 2. Mendapatkan standar ukuran tubuh untuk menseleksi bibit kerbau pada daerah penelitian. Dampak Penelitian 1. Perbaikan mutu bibit ternak kerbau melalui seleksi bibit berdasarkan standar ukuran tubuh pada spesifik agroekosistem 2. Peningkatan produktifitas ternak kerbau 3. Peningkatan pendapatan peternak TINJAUAN PUSTAKA Ternak kerbau berfungsi multiguna yaitu sebagai ternak perah, penghasil daging, tenaga kerja dan ritual. Ternak kerbau dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) sebagai tipe pedaging dan kerbau sungai (river buffalo) sebagai penghasil susu. Populasi kerbau di dunia mencapai 172.6 juta ekor tersebar di 129 negara dimana 167,5 juta ekor atau 97,1% terdapat di Asia (FAO, 2004). Populasi kerbau lumpur sebanyak 20% atau 34 juta, sedangkan populasi kerbau lumpur di Indonesia sebesar 2,2 juta atau 6% dari total populasi kerbau dunia. Ternak kerbau adalah ternak semi akuatik dan Indonesia adalah habitat yang baik untuk ternak kerbau dimana 40% dari wilayah Indonesia beriklim tropis basah. Penyebaran populasi ternak kerbau terbesar terdapat di Propinsi NAD (Aceh) menurut
114
laporan DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (2006). Urutan sepuluh propinsi terbanyak populasi kerbau yang merupakan kantong ternak kerbau antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, NTB, Banten, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Selatan. Secara umum, populasi kerbau di Indonesia menurun sebesar 8% antara tahun 2002 sampai 2006, meskipun di beberapa propinsi meningkat. Populasi kerbau di Propinsi Sumatera Utara tidak mengalami penurunan yang nyata sehingga memungkinkan dijadikan sebagai daerah pengembangan atau sumber bibit yang terjaga kualitasnya. Penurunan populasi kerbau terjadi karena tingginya angka pemotongan; mekanisasi pertanian yang merubah fungsinya sebagai pembajak sawah dengan traktor; menyempitnya lahan pemeliharaan/habitat kerbau untuk pemukiman khususnya di Pulau Jawa (MATONDANG dan SIREGAR, 2000); rendahnya tingkat reproduksi ternak kerbau (MISRA, 2006). Selain itu kurangnya perhatian sistem perkawinan sehingga dikhawatirkan terjadi inbreeding sebagai akibat kurangnya pejantan yang baik dan pengaturan pejantan pada sistem perkawinan alam. Perkembangan ternak kerbau tergolong lambat disebabkan kurangnya perhatian terutama pada sistem perbaikan mutu bibit; sistem perkawinan dengan rasio pejantan dan betina yang tinggi, dimana satu pejantan dengan kualitas rendah melayani lebih dari 20 ekor betina; sistem pemberian pakan yang kurang memperhatian kualitas hijauan dan kebutuhan nutrisi ternak; penanggulangan dan pencegahan penyakit belum ditangani. Lingkungan Agroekosistem Lingkungan yang optimum diperlukan ternak untuk kehidupan dan menghasilkan produksi. Apabila suhu lingkungan terlalu tinggi di luar batas toleransi maka ternak akan mengalami stress. Hal ini dapat menurunkan produktivitas ternak kerbau. Suhu optimum untuk kerbau berkisar antara 15 - 250C dengan kelembaban 60-70% (YURLENI, 2000). Penelitian lain menunjukkan hasil yang serupa bahwa zona nyaman untuk kerbau berkisar 15,5 - 210C dengan curah hujan 500 - 2000 mm/tahun. Ketinggian tempat dapat
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap ternak. Pengaruh tidak langsung terjadi melalui ketersediaan hijauan pakan ternak baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kondisi suhu yang rendah pada daerah dataran tinggi memberikan situasi lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan ternak kerbau. Faktor suhu dan radiasi sinar matahari sangat berpengaruh terhadap thermoregulasi kerbau yang memiliki sedikit kelenjar keringat Untuk mempertahankan pada kulit. kelangsungan hidup karena lingkungan panas, ternak kerbau melakukan adaptasi fisiologis melalui perubahan tingkah laku seperti panting, berkubang atau berbaring di tempat yang dingin. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa lingkungan internal seperti umur dan jenis kelamin, dan berupa lingkungan eksternal seperti lokasi kerbau berkembang yang berkaitan dengan kondisi pakan, klimat setempat, dan kemungkinan terjadinya perkawinan silang dalam (inbreeding). Pengembangan ternak kerbau tidak terlepas dari perannya sebagai ternak kerja pada lahan pertanian. Performan ternak secara umum dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan habitatnya dan mutu genetik warisan orangtuanya. Lingkungan/habitat ternak terdiri dari suhu udara, kelembaban dan kuantitas serta kualitas serat yang merupakan pakan utama pada ternak kerbau. Kualitas hijauan pakan berhubungan dengan lingkungan agroekosistemnya, dimana jenis dan kualitas berbeda tergantung pada agroekosistem. Berdasarkan curah hujan pada bulan basah dan bulan kering, wilayah Indonesia dibagi menjadi 14 zona agroklimat menurut Oldeman. Komponen yang paling berpengaruh pada pertumbuhan tanaman pakan ternak adalah termasuk curah hujan dan suhu udara dimana suhu udara akan naik 1oC pada setiap perubahan ketinggian 100 meter. Agroekosistem Indonesia terbagi pula berdasarkan jenis lahan ke dalam enam kategori yaitu lahan rawa, pasang surut, lahan kering iklim kering, lahan kering iklim basah, lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan dan lahan hulu aliran sungai. Vegetasi yang merupakan tanaman pakan ternak (TPT) yang tumbuh pada masing-masing daerah juga sangat berbeda. Setiap jenis TPT yang cocok berkembang di masing-masing lahan/
agroekosistem memiliki kandungan nutrisi yang berbeda (PRAWIRADIPUTRA et al., 2006) sehingga dapat mempengaruhi performan ternak kerbau secara langsung. Jenis rumput dan leguminosa yang cocok hidup pada setiap zona berbeda baik sebagai hijauan potongan maupun hijauan pada padang penggembalaan. Pada zona dataran sedang (200 - 700 meter di atas permukaan laut), jenis yang tumbuh adalah rumput Pangola, Benggala dan Signalgrass, sedangkan leguminosa adalah jenis Centrocema, Stylosanthes, Siratro, Desmodium (PRAWIRADIPUTRA et al., 2006). Selain rumput dan leguminasa, limbah tanaman pangan sering dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Jenis tanaman pangan yang cocok pada zona tertentu juga mempengaruhi nilai gizi dan performan ternak kerbau. Secara umum, performan kerbau dipengaruhi oleh pola tanam dan usahatani pada setiap zona. Pada daerah tertentu preferensi jenis kerbau memegang peranan penting dalam perkembangan ternak kerbau, seperti di Sulawesi Selatan (Tana Toraja) yang menyebabkan lebih berkembangnya kerbau bertipe belang karena berkaitan dengan sosial budaya pada upacara adat. Kerbau lumpur dijumpai mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan dan ukuran tubuh maupun warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang, Moa dan lain sebagainya. Berbagai faktor yang menyebabkan variasi jenis kerbau antara lain agroekosistem berkaitan dengan lingkungan pakan dan eksternal (suhu dan kelembaban udara) serta sosial budaya (preferensi ternak kerbau). Ternak kerbau di Asia Tenggara mempunyai fenotipe yang serupa, tetapi mempunyai keragaman genetik yang cukup besar. Akan tetapi pengujian terhadap jarak genetik dan jarak geografi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Keadaan ini menunjukkan perbedaan genetik tersebut disebabkan terisolasinya ternak kerbau dari satu lokasi lainnya, yang menyebabkan random genetic drift (MUKHERJEE et al., 1991). Ukuran Tubuh Ukuran tubuh sering digunakan untuk mempelajari karakter fenotipik ternak. Tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada
115
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
merupakan parameter yang sering digunakan untuk membandingkan performan kerbau. Parameter ukuran tubuh dapat digunakan sebagai standar seleksi untuk mendapatkan kerbau yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar karena berkaitan dengan bobot badan dan pertumbuhan. Ternak kerbau yang memiliki ukuran tubuh lebih besar mencerminkan kualitas pertumbuhan yang baik dibanding dengan ternak lain pada umur yang sama. Parameter ukuran tubuh yang biasa dipakai sebagai standar seleksi yaitu tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada yang mempunyai korelasi positif dengan berat badan. Hasil penelitian AISIYAH (2002) terhadap pendugaan bobot badan, diperoleh nilai korelasi tertinggi dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya. Lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dalam memilih calon bibit dan untuk menggambarkan eksterior hewan sebagai ciri khas suatu bangsa ternak. Lingkar dada, berpengaruh nyata terhadap bobot badan, sehingga karakter tersebut dapat digunakan sebagai penduga maupun sifat seleksi bagi bobot badan. Rataan ukuran tubuh ternak pada suatu daerah tertentu mengindikasi kualitas bibit yang tersedia pada daerah tersebut yang dapat dipakai sebagai dasar ukuran standar dalam pemilihan ternak untuk daerah tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh TRIWULANNINGSIH et al. (2004) seperti yang ditampilkan dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan ukuran tubuh kerbau dewasa di Propinsi Banten adalah tinggi pundak 120 cm,
panjang badan 112 cm dan lingkar dada 170 cm. Ukuran tubuh kerbau di Propinsi Jawa Barat adalah tinggi pundak 122 cm, panjang badan 114 cm dan lingkar dada 178 cm. Ukuran tubuh kerbau di Propinsi Jawa Tengah adalah tinggi pundak 123 cm, panjang badan 119 cm dan lingkar dada 180 cm. Ukuran tubuh kerbau di Propinsi Sumatera Utara adalah tinggi pundak 124 cm, panjang badan 119 cm dan lingkar dada 176 cm. Meskipun jumlah sampel ternak yang diamati sedikit sekali, tetapi informasi ukuran tubuh pada daerah-daerah tersebut dapat dijadikan gambaran dasar mengenai keberadaan bibit kerbau di setiap daerah. Bila dibandingkan dengan kerbau di Asia, kerbau di Indonesia lebih kecil ukuran tubuhnya. CHANTALAKHANA dan SKUNMUM (2002) meneliti ukuran tubuh kerbau di beberapa negara Asia. Ukuran tubuh kerbau jantan di Cina antara lain: tinggi pundak 129 cm, panjang badan 143 cm dan lingkar dada 188 cm. Pada kerbau betina: tinggi pundak 124 cm, panjang badan 132 cm dan lingkar dada 179 cm. Ukuran tubuh kerbau jantan di Malaysia adalah tinggi pundak 129 cm, panjang badan 123 cm dan lingkar dada 183 cm. Kerbau betina mempunyai tinggi pundak 121 cm, panjang badan 121 cm dan lingkar dada 180 cm. Ukuran tubuh kerbau jantan di Thailand adalah tinggi pundak 129 cm, panjang badan 144 cm dan lingkar dada 197 cm. Kerbau betina mempunyai tinggi pundak 123 cm, panjang badan 134 cm dan lingkar dada 182 cm.
Tabel 1. Rataan ukuran tubuh kerbau pada beberapa daerah (cm) Asal
Umur/sex
Tinggi pundak
Panjang badan
Lingkar dada
Siborong- borong
Muda-dewasa
114,50 + 4,50
111,90 + 3,50
154,40 + 9,90
Tapanuli Selatan
betina
123,52 + 9,54
118,95 + 13,63
175,05 + 24,93
Tapanuli Selatan
jantan
132,82 + 6,74
124,05 + 9,34
189,41 + 11,90
Banten Brebes
betina
119,68 + 6,23
111,93 + 12,83
170,95 + 15,02
betina
122,07 + 9,05
118,05 + 14,33
179,62 + 20,06
Brebes
jantan
113,22 + 8,20
106,00 + 13,07
162,11 + 15,02
Bogor
betina
121,77 + 5,27
113,13 + 17,83
177,97 + 9,78
Bogor
jantan
113,17 + 6,97
100,83 + 12,25
156,67 + 14,14
Sumber: SIREGAR et al. (1996); TRIWULANNINGSIH et al. (2004)
116
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Ukuran statistik vital kerbau yang diterbitkan oleh DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (2006) dengan menggunakan ketentuan standar tinggi pundak 120 cm. Parameter tinggi pundak dipakai sebagai acuan standar utama pada masing-masing kelompok umur. Meskipun belum dilakukan standar yang lengkap, ukuran statistik vital dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan bibit ternak kerbau secara umum. Mengingat variasi jenis kerbau pada masing-masing zona agroekosistem, standar ukuran tubuh akan lebih baik dibuat berdasarkan agroekosistem yang sesuai untuk masing-masing jenis kerbau.
pengukuran terhadap calon bibit ternak kerbau pada Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) di Siborongborong Sumatera Utara seperti pada Tabel 2.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tinggi pundak (TP) diukur dari permukaan tanah sampai titik tertinggi pundak dengan menggunakan tongkat ukur satuan dalam cm 2. Panjang badan (PB) diukur dari sendi bahu (humerus) sampai tulang duduk (ischii) dengan menggunakan tongkat ukur satuan dalam cm. 3. Lingkar dada (LID) diukur melingkar rongga dada di belakang sendi bahu (Os scapula) menggunakan pita ukur satuan dalam cm.
Penelitian ini dilakukan di Sumatera Utara mewakili daerah/agroekosistem yang memiliki potensi ternak kerbau lumpur dan termasuk propinsi kedua populasi kerbau terbanyak sesudah Propinsi Aceh (NAD). Penentuan lokasi dataran tinggi daerah penelitian ditentukan berdasarkan ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut (dpl), sehingga ditetapkan daerah Siborongborong sebagai wilayah sumber bibit. Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah kerbau lumpur (Swamp buffalo). Jumlah ternak yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 309 ekor yang bervariasi umur dan jenis kelaminnya. Data populasi dan penyebaran ternak yang diperoleh dari data sekunder digunakan untuk menentukan lokasi di Propinsi Sumatera Utara dimana dilakukan pengumpulan data primer. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap 32 peternak kerbau di daerah terpilih dan dilakukan pengukuran ukuran dan kondisi tubuh yang mewakili lokasi setempat sebanyak 112 ekor. Disamping itu, dilakukan
Parameter Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah karakteristik fenotipik yang berkaitan dengan sifat kuantitatif (panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada). Parameter ukuran tubuh diukur dengan menggunakan pita ukur dan tongkat ukur. Metode pengukuran untuk masing-masing peubah dilakukan sebagai berikut ini:
Standar ukuran tubuh yang dipakai dalam penentuan kriteria seleksi bibit adalah berdasarkan nilai frame skor. Penentuan umur kerbau berdasarkan informasi dari peternak dan berdasarkan pergantian gigi seri dengan memperhatikan kriteria seperti yang dinyatakan oleh LESTARI (1986). Skor kondisi tubuh yang digunakan berdasarkan metoda HERD dan SPROTT (1986) dengan skala 1 sampai 9 seperti berikut: 1 (amat kurus sekali), 2 (kurus sekali), 3 (kurus), 4 (kurus, perdagingan terlihat), 5 (sedang), 6
Tabel 2. Pengambilan sampel penelitian Asal ternak
Jumlah ternak (ekor) Jantan
Betina
Peternak (32 orang)
42
70
Total 112
BPTU Siborongborong
13
116
129
Pasar hewan
33
33
66
Total
88
219
307
117
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
(sedang-baik), 7 (baik), 8 (gemuk), dan 9 (terlalu gemuk). Pengolahan Data Semua data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisa dengan menggunakan prosedur GLM dengan menggunakan program SAS (2001) dan pengujian rataan paramater yang diukur dilakukan dengan T-test untuk mengetahui derajat signifikasi antar lokasi pengambilan sampel (peternak, pasar hewan dan BPTU). Evaluasi berdasarkan performan ukuran tubuh ternak dipakai untuk mengetahui kondisi bibit yang tersedia di daerah penelitian. Model matematika yang digunakan dalam analisa sebagai berikut: Yijkl = μ + αi + βj + γk + εijkl, dimana Y adalah ukuran tubuh (panjang badan, tinggi badan, lingkar dada, dan tinggi punggung); μ adalah rata-rata ukuran tubuh seluruh ternak; αi adalah pengaruh umur ternak (2 - 7 tahun); βj adalah pengaruh jenis kelamin ternak (jantan dan betina); γk adalah pengaruh lokasi (asal ternak: peternak BPTU Siborongborong dan pasar hewan) dan εijkl adalah pengaruh lain (error) selain umur ternak, jenis kelamin dan asal ternak. HASIL DAN PEMBAHASAN Balai Pembibitan Ternak Unggul Siborongborong Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Siborong-borong terletak pada dataran tinggi (>500 meter dari permukaan laut) memiliki ternak kerbau lumpur sebanyak 126 ekor betina dan 20 ekor jantan yang dipelihara pada instalasi Desa Bahalbatu. Ternak kerbau milik BPTU diperoleh pada umumnya dari peternak Propinsi Sumatera Utara dan merupakan hasil seleksi dari ternak kerbau yang ada di propinsi tersebut. Dari hasil seleksi ternak kerbau yang ada di BPTU sebagai Balai Pembibitan Nasional diharapkan mampu menyebarkan bibit unggul ke seluruh Indonesia. Pada Tabel 3 ditampilkan sistem pemeliharaan dan reproduktifitas ternak kerbau di BPTU Siborongborong. Pemberian pakan tambahan berupa dedak yang dicampur dengan
118
supplemen dan mineral rata-rata 1 kg/ekor/hari. Pada siang hari ternak digembalakan di padang rumput milik BPTU yang didominasi oleh campuran rumput alam dan leguminosa, sedangkan pohon leguminosa ditanam sebagai pagar hidup dan diberikan untuk ternak kerbau. Rumput unggul yang sedang dikembangkan dan mulai diintroduksi pada lahan penggembalaan antara lain rumput Gajah dan rumput Raja. Sedangkan legume pohon yang mulai ditanam adalah jenis Gilricidia sp. Perkawinan ternak secara lama dengan rasio pejantan yang cukup dan pengaturan perkawinan untuk menghindari inbreeding telah diterapkan. Reproduktifitas ternak kerbau cukup baik dengan jarak beranak 1,5 - 2 tahun. Secara garis besar disimpulkan bahwa manajemen pakan dan perkawinan telah cukup baik dimana pengawasan kesehatan dengan cara pemberian obat cacing dan vaksin penyakit menular telah dilakukan. Kondisi Umum peternakan kerbau di Kecamatan Siborongborong Sistem pemeliharaan umumnya ekstensif terutama di daerah pegunungan, namun ada yang beberapa sistem pemeliharaannya pada siang hari dilepas dan malam dikandangkan. Lahan penggembalaan masih luas menjadi sumber pakan yang cukup bagi kerbau, sehingga peternak jarang memberikan pakan tambahan seperti konsentrat maupun pakan tambahan lainnya. Tabel 3 menggambarkan sistem pemeliharaan dan reproduktifitas ternak kerbau di peternak. Beberapa perbedaan terlihat penyediaan hijauan pada malam hari saat ternak telah dikandangkan atau diikat dekat rumah serta jenis bahan dasar konsentrat lain yang dicampurkan dengan dedak seperti jagung, ubi dan garam. Hijauan pakan ternak yang terdapat pada beberapa pekarangan dan galengan sawah antara lain rumput Gajah, Digitaria sp, dan Setaria sp. Sedangkan hasil sisa pertanian yang diberikan adalah daun jagung, kacang tanah dalam bentuk segar maupun jerami. Akan tetapi belum adanya pengaturan pejantan dalam sistem perkawinan sehingga dapat meningkatkan terjadinya inbreeding dan perbandingan rasio antara jantan dan betina yang cukup besar sehingga menyebabkan jarak beranak yang cukup panjang (2 - 2,5 tahun).
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 3. Kondisi umum peternakan di BPTU dan di peternak Uraian Skala pemilikan
BPTU 146 ekor (jantan dan betina)
3 - 4 ekor (induk)
Bibit
Sebagai ternak kerja dan sumber daging
Digembalakan di padang rumput milik BPTU
Digembalakan siang dan diikat di pekarangan malam
Campuran rumput alam dan leguminosa.
Rumput alam. Malam diberi 20 kg/ekor/hari rumput gajah/digitaria/setaria serta tambahan (1 – 2 kg) ubi/dedak/jagung atau garam
Fungsi Sistem pemeliharaan Pakan
Peternak
Konsentrat (campuran dedak dan supplemen/mineral) Pertama kawin
2 - 3 tahun
Jarak beranak
3,5 tahun
1,5 - 2 tahun
2 – 2,5 tahun
Alam (1:10) dan pengaturan pejantan
Alam, padang penggembalaan (1:20) dan belum ada pengaturan
Penyapihan
8 - 10 bulan
Secara alam
Kesehatan
Vaksin, obat cacing
Tidak ada
Cara kawin
Pasar Kerbau Siborongborong Pasar kerbau Siborongborong terletak tidak jauh dari kantor pusat BPTU (500 meter - 1 km) tersedia pada setiap hari Selasa. Ternak kerbau yang berada di pasar hewan sebagian besar berasal dari peternak sekitar Kecamatan Siborongborong, meskipun ada juga yang datang dari luar kecamatan atau dari kabupaten lain. Rataan ternak kerbau yang dijual setiap minggu berkisar antara 60 - 100 ekor dengan harga rata-rata Rp. 6 - 7 juta per ekor dewasa. Dari sebanyak 66 ekor kerbau yang diamati terdiri dari 12 ekor betina muda, 21 ekor betina dewasa, 21 ekor jantan muda dan 11 ekor jantan dewasa. Pada umumnya dari hasil wawancara dengan peternak/pembeli, kerbau betina (muda) yang dibeli untuk dipelihara sebagai bibit betina. Tetapi sebagian besar kerbau betina dewasa masih produktif dimana pembelian ternak-ternak tersebut untuk dipotong. Alasan peternak menjual kerbau betina dewasa selain karena kebutuhan uang mendesak, tetapi juga karena kemajiran (tidak berproduksi lagi) atau sebagai ternak afkiran. Pemeriksaan mengenai kemajiran pada betina dewasa tidak dilakukan pada penelitian ini. Hal ini menunjukan bahwa pembelian ternak betina yang masih produktif untuk dipotong dikhawatirkan masih terjadi. Oleh karena itu perlu penanganan dan penanggulangan untuk menampung betina produktif yang dijual di
pasar hewan guna mencegah pemotongan hewan betina produktif. Ukuran Tubuh Ukuran tubuh (tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada) dipengaruhi oleh umur ternak, jenis kelamin dan asal ternak (P<0,05). Secara umum, rataan ukuran tubuh kerbau muda lebih rendah dari ternak dewasa; kerbau betina lebih kecil ukuran tubuhnya dibandingkan kerbau jantan; ukuran tubuh secara berturut-turut milik kerbau BPTU Siborongborong lebih besar dibandingkan kerbau milik peternak dan lebih besar dibandingkan dengan kerbau yang dijual di pasar hewan (P<0,05). Tabel 4. menampilkan ukuran tubuh kerbau berdasarkan umur, jenis kelamin dan asal ternak. Rataan ukuran tubuh kerbau di Siborongborong lebih besar dibandingkan ketentuan ukuran standar DIRJEN PETERNAKAN (2006). Ternak kerbau yang dipelihara oleh BPTU Siborongborong merupakan kerbau bibit yang masih layak untuk digunakan sebagai kerbau bibit. Ternak kerbau yang berada di pasar hewan lebih kecil dibandingkan dengan kerbau yang berada di BPTU Siborongborong dan peternak, dengan demikian pengurasan genetik ternak diharapkan tidak akan terjadi. BPTU Siborong-borong sebagai pusat
119
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
perbibitan kerbau masih memiliki kerbau yang lebih baik dibandingkan dengan kerbau peternak dan berada di pasar hewan. Ternak kerbau BPTU Siborongborong dibeli pada tahun 2005 berdasarkan seleksi dari peternak dengan kriteria tinggi badan 120 cm. sehingga ternak-ternak tersebut umumnya memiliki ukuran di atas kriteria tersebut. Hasil penelitian SIREGAR et al. (1996) di Siborongborong, Sumatera Utara dilaporkan bahwa tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada kerbau muda dan dewasa berturutturut adalah: 114 cm, 111 cm dan 154 cm. Sementara rataan ukuran tubuh kerbau di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara dilaporkan oleh TRIWULANNINGSIH et al. (2004) bahwa panjang badan ternak dewasa 118,95 + 13,63 cm, tinggi badan 123,53 + 9,5 cm, lingkar dada 175,05 + 24,93 cm. Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan sebelumnya disebabkan tempat, waktu, metode pengukuran dan jumlah sampel ternak yang diamati. Penelitian yang dilakukan KUSNADI dan PRAHARANI (2006) memperlihatkan bahwa performan ukuran tubuh pada agroekosistem dataran tinggi terlihat lebih tinggi disebabkan penggunaan ternak sebagai ternak kerja membajak sawah pada dataran tinggi, sehingga mengurangi penampilannya bila tidak diberi pakan berkualitas baik dibandingkan dengan dataran rendah. Ukuran tubuh hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan KUSNADI dan PRAHARANI (2006) walaupun agroekosistemnya sama pada dataran tinggi, disebabkan oleh jumlah sampel ternak dan perbedaan suhu dan kelembaban udara karena perbedaan lokasi. Berdasarkan hasil penelitian seleksi bibit kerbau pada agroekosistem dataran tinggi dilakukan dengan cara memilih ternak kerbau yang mempunyai ukuran tubuh di atas sebagai berikut tinggi pundak 122 cm, tinggi panggul 122 cm, panjang badan 121 cm dan lingkar dada 179 cm untuk ternak betina dewasa; tinggi pundak 126 cm, tinggi panggul 126 cm, panjang badan 127 cm dan lingkar dada 191 cm untuk jantan dewasa.
120
Skor Kondisi Tubuh (BCS) Rataan nilai kondisi tubuh ternak secara umum 6,25. Skor tubuh ternak BPTU lebih rendah dibanding ternak milik peternak dan pasar kerbau (6 vs 6,5 vs 6,75). Pada Tabel 4 terlihat bahwa kerbau BPTU lebih kurus dibandingkan kerbau peternak dan pasar hewan. Kerbau yang dijual di pasar biasanya kerbau yang digemukan terlebih dahulu agar bobot badannya meningkat dan berpenampilan baik, sehingga harga menjadi lebih tinggi. Perbedaan nilai kondisi tubuh dipengaruhi secara langsung oleh kuantitas dan kualitas pakan. Kerbau yang dipelihara oleh peternak mendapat perhatian khusus dalam pemberian pakan, dimana pakan hijauan disediakan di dalam kandang pada sore/malam hari sebagai tambahan meskipun telah merumput pada siang hari. Pakan tambahan seperti dedak sudah umum diberikan walaupun dalam jumlah sedikit. Kondisi tubuh kerbau rata-rata sedang dengan kisaran 6, meskipun kerbau milik BPTU sedikit lebih kurus dari kerbau peternak dan pasar. Kualitas dan jenis hijauan (rumput) antara kedua lokasi juga berbeda, dimana peternak lebih memberikan hasil sisa/sampingan pertanian (jagung/kacang). Berdasarkan skor kondisi tubuh calon bibit ternak kerbau di BPTU perlu mendapat perhatian terutama dalam penyediaan dan pemberian pakan baik kuantitas dan kualitasnya. Skor tubuh mempengaruhi ketersediaan energi yang diperlukan dalam aktifitas reproduksi ternak (SENGER, 2000; WETTEMANN et al., 2003). Induk-induk dengan skor tubuh rendah lebih panjang jarak beranaknya dibandingkan skor tubuh lebih dari 6 (sedang) karena estrus postpartum lebih panjang akibat dari lambatnya pertumbuhan folikel dalam siklus berahi (LENTS et al., 2000). Skor tubuh sedang menjadi nilai kritis terendah bagi ternak betina yang memiliki siklus berahi normal.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 4. Rataan ukuran dan skor kondisi tubuh berdasarkan umur, jenis kelamin dan asal ternak Asal
N
ternak BPTU
85
Jenis kelamin/umur Betina muda (2 - 4 tahun)
Tinggi pundak
Tinggi punggung
Panjang badan
Lingkar dada
Skor kondisi
(cm)
(cm)
(cm)
(cm)
tubuh
117,29a±1,10
117,88a±1,47
118,91a±4,61
179,44a±1,62
5,5
a
a
b
b
Peternak
30
117,18 ±1,35
117,92 ±1,13
117,72 ±1,78
170,57 ±2,98
6
Pasar
12
115,89b±2,78
116,33a±3,15
102,64c±1,51
167,74c±1,51
7
Total/rataan
127
116,79±2,62
117,38±1,11
113,09±1,62
172,58±1,22
6,1
c
b
d
d
BPTU
31
Betina dewasa
122,91 ±1,22
122,72 ±1,33
126,96 ±1,23
186,14 ±1,58
6
Peternak
40
(> 4 tahun)
122,48c±1,51
122,34b±0,98
123,67e±1,35
175,80e±1,11
7
Pasar
21
121,50c±1,75
121,14c±1,89
113,50f±1,01
175,31e±1,88
7
Total/rataan
92
BPTU
10
Peternak
32
Jantan muda (2-4 tahun)
122,30±1,02
122,06±1,62
121,38±1,18
179,08±1,20
6,7
122.80d±3,15
125,40d±2,92
123,20g±2,47
190,22f±3,10
6
e
120,90 ±1,35 f
e
121,19 ±1,55 f
h
116,91 ±1,48 i
g
185,32 ±2,01 h
6
Pasar
21
115,91 ±1,67
117,35 ±1,78
105,48 ±1,94
181,44 ±1,99
6
Total/rataan
63
119,87±1,88
121,31±1,97
115,20±1,22
185,66±1,35
6
BPTU
3
127,35g±4,60
126,82g±3,51
131,00j±4,28
196,50j±4,47
6
Jantan dewasa (> 4 tahun)
h
h
k
k
Peternak
10
125,00 ±3,47
125,00 ±2,10
128,00 ±3,10
191,00 ±2,89
7
Pasar
11
125,00h±2,44
125,28h±3,22
122,22l±2,98
185,57l±3,35
7
Total/rataan
24
125,78±2,49
125,70±2,35
127,07±2,10
191,03±2,78
6,7
a,b,c
Huruf yang berbeda pada kolom yang sama di kelompok umur yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
121
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
KESIMPULAN DAN SARAN Kriteria seleksi bibit ternak kerbau untuk agroekosistem dataran tinggi berdasarkan ukuran tubuh minimal sebagai berikut: tinggi pundak 122 cm, tinggi panggul 122 cm, panjang badan 121 cm dan lingkar dada 179 cm untuk ternak betina dewasa; tinggi pundak 126 cm, tinggi panggul 126 cm, panjang badan 127 cm dan lingkar dada 191 cm untuk jantan dewasa. Ternak bibit yang akan dipilih sebaiknya memiliki ukuran tubuh di atas/minimal sama dengan ukuran tubuh tersebut di atas. Kerbau BPTU masih layak digunakan sebagai kerbau bibit untuk disebarkan karena memiliki ukuran tubuh dan skor frame tubuh lebih tinggi dibandingkan peternak dan pasar kerbau, tetapi perlu perbaikan sistem pemberian pakan karena skor tubuhnya rendah. Ternak kerbau yang dijual di pasar adalah ternak yang lebih kecil dibandingkan milik peternak dan BPTU, sehingga pengurasan ternak yang memiliki genetik baik dapat dihindari. Perlunya dilakukan penelitian dengan menggunakan lebih banyak sampel untuk memperoleh standar ukuran tubuh kerbau bibit pada daerah agroekosistem tinggi dan penelitian lanjutan daerah agroekosistem rendah dan sedang sehingga diperoleh standar spesifik beberapa agroekosistem.
KUSNADI, U. and L.P. PRAHARANI. 2006. PRIFILE OF BUFFALO FARMING SYSTEM IN BANTEN PROVINCE. Proceedings International Seminar on Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. Bogor, Indonesia. August 29-31, 2006. p. 210214. LENTS, C. A., F. J. WHITE, D. L. LALMAN and R. P. WETTEMANN. 2000. Effects of body condition of beef cows at calving and protein supplementation on estrous behavior and follicle size. Okla. Agr. Exp. Stn. Res. Rep. P980:164–168. LESTARI, C. M. S. 1986. Korelasi antara umur dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau di pegunungan dan di dataran rendah daerah Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. MATONDANG, R.H dan A.R. SIREGAR. 2000. Dinamika populasi dan produktivitas kerbau di Jawa: Studi kasus di Kabupaten Serang. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Peneltitian Ternak, Ciawi. Bogor. Misra, A.K. 2006. Application of embryo biotechnology to augment reproduction and production in buffaloes: Current status and future possibilities. Proceedings International Seminar on Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. Bogor, Indonesia. August 29-31, 2006. p. 36-67.
AISIYAH, N. 2000. Studi Ukuran Tubuh Sapi Madura di Desa Samaran, Kecamatan Tambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
MUKHERJEE, T. K., J. S. F. BAKER, S. G. TAN, O. S. SALVARAJ, J. M. PANANDM, Y. YUSHARYATI and SREETARAM. 1991. Genetic relationship among pspulation of Swamp buffalo in Southeast Asia. In: N. M. Tullaoh (Ed). Buffalo and Goats in Asia : Genetic diversity and use application. Proc. Seminar. Kuala 3440, Aciar Proceeding series No. 34, Canberra, Australia.
CHANTALAKHANA, C. and P. SKUNMUN. 2002. Suitainable Smallholder Animal System in the Tropics. Kasetsart University Press. Bangkok.
PRAWIRADIPUTRA, B.R., N.D. PURWANTARI dan I. HERDIAWAN. 2006. Hijaun Pakan Ternak di Indonesia. Badan Litbang Pertanian.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistika Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Jakarta
SAS. 2001. SAS User’s Guide: Statistics. SAS Inst., Inc., Cary, NC.
DAFTAR PUSTAKA
FAO. 2004. The state of food and agriculture. FAO, Rome. HERD, D. B. and L. R. SPROTT. 1986. Body condition, nutrition, and reproduction of beef cows. Texas Agric. Ext. Ser. Bull. No.B-1526.
122
SENGER, P.L. 2000. Pathway to pregnancy and parturition. 2nd Ed. Current Conception Inc. Pullman , WA. SIREGAR, A.R, K. DIWYANTO, E. BASUNO, A. THALIB, T. SARTIKA, R.H. MATONDANG, J. BESTARI, M. ZULBARDI, M. SITORUS, T. PANGGABEAN, E. HANDIWIRAWAN, Y. WIDIAWATI dan N. SUPRIYATNA. 1996.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Karakteristik dan konservasi keunggulan genetik kerbau di Pulau Jawa. Buku 1: Penelitian ternak ruminansia besar. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.
WETTEMANN R. P., C. A. LENTS, N. H. CICCIOLI, F. J. WHITE and I. RUBIO. 2003. Nutritional- and suckling-mediated anovulation in beef cows. J. Anim Sci. 81: E48-E59.
TRIWULANNINGSIH, E., SUBANDRIYO, P.SITUMORANG, T.SUGIARTI, R.G. SIANTURI, D.A., KUSUMANINGRUM, I GEDE PUTU, P. SITEPU, T. PANGGABEAN, P. MAHYUDIN, ZULBARDI, S.B. SIREGAR, U.KUSNADI, C. THALIB dan A. R. SIREGAR. 2004. Data base kerbau di Indonesia. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.
YURLENI. 2000. Produktivitas dan Peluang Pengembangan Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
123