Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertanaman Kubis Dataran Tinggi
37
Deddy Erfandi, Umi Haryati, dan Irawan Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114
Abstrak. Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya didominasi oleh tanah Andisols yang peka terhadap erosi. Namun sebagian besar petani sayuran belum menerapkan teknologi konservasi tanah. Penelitian usahatani konservasi tanah telah dilakukan di lahan petani di Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Tujuan penelitian adalah untuk memperbaiki rekomendasi konservasi tanah dalam berusahatani tanaman kubis pada dataran tinggi. Komponen yang diteliti adalah sistem usahatani konservasi (SUT-KTA), yang terdiri dari 3 model usahatani konservasi, yaitu: 1) praktek petani; 2) tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng; dan 3) tanaman searah kontur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; perlakuan sistem usahatani konservasi dengan penanaman searah lereng dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng memberikan hasil tanaman yang tertinggi dan berbeda dengan tanaman searah kontur dan praktek petani. Perlakuan praktek petani memberikan hasil tanaman terendah. Perlakuan bedengan tanaman searah lereng dipotong gulud setiap 5 m memberikan keuntungan (Rp 2.588.000,-) dan nilai B/C ratio (1,51) yang paling tinggi dibandingkan praktek petani dan tanaman searah kontur. Perlakuan praktek petani mengalami kerugian sebesar Rp 1.901.000,-. Kata kunci: Kubis, konservasi tanah, dataran tinggi, kerinci. PENDAHULUAN Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir nilai ekspor hortikultura buahbuahan meningkat dari US$ 54,2 juta (2003) menjadi US$ 73,6 (2005) dan US$ 113,2 juta (2007) atau rata-rata peningkatannya mencapai 20,4% th-1. Peningkatan nilai ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya produksi hortikultura buah-buahan dimana volume ekspor meningkat dengan laju 17,3% tahun-1 (BPS, 2008). Sedangkan produksi hortikultura sayuran, seperti kentang pada tahun 2006-2007 meningkat sekitar 2,3% th-1. Kawasan hortikultura dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS). Sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng lebih dari 15 %. Disamping itu umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan rentan terhadap aliran permukaan dan erosi tanah. Ada beberapa alasan yang menyebabkan adopsi teknologi konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi sangat rendah. Pertama, kekhawatiran akan terganggunya tanaman akibat pembuatan drainase pada searah kontur (Sumarna dan Kusbandriani, 1992; Suganda et al. 1999). Kedua, teknik pengerjaannya sangat berat dan memerlukan waktu
417
Deddy Erfandi et al.
lama (Undang Kurnia, 2000), serta mengurangi populasi tanaman (Haryati et al. 2000). Hal ini menyebabkan petani sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi tanah dengan baik. Penelitian konservasi tanah pada Inceptisols Campaka, besarnya erosi pada bedengan searah kontur sebesar 2,3-2,4 t ha-1, jauh lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada bedengan searah lereng sepanjang 5 meter dipotong teras gulud mencapai 10,6-15,0 t ha-1 (Erfandi et al. 2002). Sutapraja dan Asandhi (1998) mendapatkan bahwa jumlah tanah tererosi pada guludan searah kontur adalah 32,06 t ha-1.tahun-1, dua kali lebih kecil dibandingkan dengan guludan arah diagonal terhadap kontur yaitu 68,63 t ha-1 tahun-1. Teknik bedengan searah kontur yang diperkuat dengan Vetiveria zizanoides, Paspalum notatum atau Flemingia congesta pada Andisols Dieng dapat menekan laju erosi dibandingkan dengan bedengan searah lereng atau bedengan 45 O terhadap kontur (Haryati et al. 2000), Selain itu, bedengan searah lereng yang panjangnya tidak lebih dari 4,5 m, dan dilengkapi dengan teras gulud pada ujung bagian bawah bedengan mampu menghambat aliran permukaan dan erosi. Hasil penelitian Soleh dan Arifin (2003) di Sundoro, Lumajang menunjukkan penerapan teknik konservasi tanah berupa guludan searah kontur dengan strip cropping memberikan hasil kentang lebih tinggi dibanding cara petani (guludan searah lereng tanpa strip rumput), yakni 12,64 ton berbanding 10,63 ton. Dari hasil penelitian tersebut belum dijelaskan, mengenai keuntungan tanaman pada dataran tinggi. Makalah ini menginformasikan mengenai teknologi usahatani konservasi pada dataran tinggi dengan tanaman kubis. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran perbandingan teknologi cara petani dengan teknologi introduksi yang dapat meningkatkan pendapatan petani. Disamping itu teknologi usahatani konservasi tanah mampu mengurangi erosi dan aliran permukaan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian berlokasi di kaki Gunung Kerinci pada posisi 01 O41’ 58,3” LS dan 101O20’50,3” BT. Berbahan induk volkan dengan fisiografi berombak sampai bergunung dan berlereng 15–30 %, di Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi pada subordo tanah Hapludult. Perlakuan dan luas lahan disajikan pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan pada MH 2010-2011 dengan tanaman indikator kubis. Praktek petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha tani kubis. Praktek petani yang diperbaiki diartikan sebagai kebiasan petani yang dikombinasikan dengan perbaikan teknik konservasi tanah, sedangkan teknologi pengelolaan lahan yang diintroduksi/perbaikan teknologi didefinisikan sebagai cara berusaha tani kubis dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah.
418
Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertamanan Kubis
Tabel 1. Perlakuan penelitian yang dilaksanakan pada usahatani konservasi tanah Perlakuan P-1 P-2 P-3
Jenis perlakuan
Kemiringan (%)
Luas (ha)
15
0,30
18
0,30
27
0,40
Cara petani, barisan tanaman sejajar lereng Barisan tanaman sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m Barisan tanaman sejajar kontur -1
Pemupukan untuk tanaman kubis adalah100 kg urea ha , 100 kg SP-36 ha-1 dan 100 kg KCl ha-1, dan pupuk kandang 10 t ha-1. Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah: sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan dan produksi tanaman, input dan output usahatani, serta respon dan persepsi petani. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi sifat fisik tanah Hasil analisis sifat fisik tanah disajikan pada (Tabel 2). Perubahan sifat fisik tanah sebelum dan sesudah tanam kubis belum memperlihatkan peningkatan. Hal ini selain kondisi tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat fisik tanah yang cukup baik dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Juga keadaan sifat fisik tanah membutuhkan waktu lama untuk perbaikannya. Ini mengindikasikan bahwa tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat andik, sehingga tanah kemungkinan besar termasuk Ordo Andisols. Disamping itu jenis tanah ini mempunyai kerapatan jenis jarah yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah mineral pada umumnya. Distribusi ruang pori lebih banyak didominasi oleh ukuran pori yang menguntungkan bagi tanaman (Tabel 2). Pada blok P-1 memperlihatkan bahwa ruang pori total tinggi, pori aerasi, dan pori air tersedia yang tinggi baik pada sebelum tanam maupun setelah panen kubis. Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik tanah pada perlakuan teknologi usahatani Perlakuan P1 I II P2 I II P3 I II Keterangan:
BD (g cc-1)
Ruang pori Pori aerasi Air tersedia total (% vol) (% vol) (% Vol) 0,55 70,57 20,27 24,97 0,60 65,30 22,10 16,35 0,69 66,43 19,90 23,57 0,61 66,80 25,80 12,40 0,68 68,10 19,47 23,90 0,76 64,00 21,70 22,50 I, analisis awal; II, analisis setelah panen kubis
Permeabilitas (cm/jam) 6,57 23,25 3,62 22,05 5,47 14,30
419
Deddy Erfandi et al.
Tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah lempung. Ini berarti terdapat susunan yang relatif seimbang diantara partikel-partikel tanah primer. Ini juga menguntungkan tanaman, sehingga akar tanaman dapat lebih penetrasi ke lapisan tanah yang lebih dalam yang selanjutnya akar tanaman lebih mudah mengekstrak air dan atau unsur hara dari dalam tanah untuk mendukung pertumbunhannya. Namun keadaan sifat fisik tanah demikian mempunyai efek jelek terhadap erosi dan aliran permukaan, sehingga memudahkan hara hanyut. Kondisi sifat kimia tanah Hasil sifat kimia tanah disajikan pada (Tabel 3). Pada P-1, pH masam, kandungan bahan organik yang sangat tinggi, C/N rasio rendah, P tersedia tinggi pada lapisan atas dan sedang pada lapisan bawah, KTK dan KB tergolong sedang baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta Al-dd yang sangat rendah. Berdasarkan pengamatan bahwa terjadi peningkatan sifat kimia tanah. Terjadi peningkatan bahan organik C dan N, P tersedia yang tinggi. Begitu juga KTK tanah terjadi peningkatan yang tinggi. Perlakuan introduksi atau perbaikan cara petani(P-2) memiliki sifat kimia yang baik dan menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman. Namun untuk perlakuan (P-3), sifat kimia tanah yang tidak jauh berbeda dengan P-1. Kelebihannya diharapkan mampu mengurangi erosi dan aliran permukaan, sehingga hara yang hilang dapat diperkecil. Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah pada perlakuan teknologi usahatani Perlakuan P1 I II P2 I II P3 I II Keterangan:
pH (H2O)
C(%)
N (%)
P2O5 (Bray 1)
5,42 5,42 0,79 10,96 5,15 6,33 0,97 40,91 4,90 5,44 0,77 14,04 5,09 5,99 0,92 32,79 5,12 4,52 0,53 3,49 4,96 6,15 0,80 21,98 I, analisis awal; II, analisis setelah panen kubis
KTK (cmol+/kg) 22,86 29,09 24,76 29,63 18,08 28,13
KB (%) 45 56 25 44 28 40
PERTUMBUHAN TANAMAN Keragaman pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun diameter kanopi tanaman kubis terlihat berbeda antar perlakuan. Perlakuan P-1 selalu mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 1). Demikian juga halnya dengan diameter kanopi, perlakuan P-1 selalu mempunyai diameter kanopi tanaman kubis yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 2).
420
Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertamanan Kubis
Tinggi tanaman (cm)
25.0 20.0 P-1 15.0
P-2 P-3
10.0 5.0
Diameter kanopi (cm)
30.0
20.0 15.0 P-1 10.0
P-2 P-3
5.0 0.0 8
0.0 2
4
6
m ur tanam an (MST)
Gambar 1. Usahatani konservasi tanah terhadap tinggi tanaman kubis
10
12
Umur tanaman (MST)
Gambar 2.Usahatani konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis
Perlakuan P-1 berpengaruh paling baik terhadap tinggi tanaman kubis, diikuti oleh P-3 dan kemudian P-2 memberikan nilai tinggi tanaman paling rendah (Gambar 1). Demikian juga halnya terhadap perkembangan diameter kanopi tanaman kubis, perlakuan P-1 berpengaruh lebih baik, diikuti oleh perlakuan P-3 dan akhirnya perlakuan P-2 Gambar 2). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya kondisi tanah yang lebih kondusif bagi pertumbuhan tanaman kubis pada perlakuan P-1, dimana tanaman ditanam sejajar lereng, sehingga tercipta drainase yang lebih baik dan kondusif dibandingkan P-2 dan P-3. Pada perlakuan P-2, sistem drainase agak terhambat dengan adanya guludan. Sedangkan pada perlakuan P-3, dimana tanaman atau barisan tanaman mengikuti kontur, sehingga drainase lebih terhambat dibandingkan P-2 yang mengakibatkan tanaman tumbuh kurang baik. HASIL TANAMAN Hasil kubis/crop tanaman kubis pada saat panen memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan sistem usahatani konservasi yang berbeda. Perlakuan P-2 memberikan hasil tanaman yang tertinggi yaitu 7,7 t ha-1 dan berbeda dengan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan P-3 yaitu 6,3 t ha-1 (tanaman sejajar kontur) dan perlakuan P-1 adalah 3,0 t ha-1 memberikan hasil yang paling rendah. Secara umum, hasil tanaman kubis pada perlakuanm ini kurang baik. Hasil tanaman kubis hanya berkisar dari 3 sampai dengan 8 t ha-1 berat segar. Hal ini karena dalam masa pertumbuhan dan pembentukan crop, tanaman kubis mengalami cekaman air, sehingga tanaman tumbuh tidak normal (crop kecil) dan hampir 60% tananan kubis mati kekeringan, kemudian disulam, sehingga masa panen tidak serempak.
421
Deddy Erfandi et al.
ANALISIS INPUT-OUTPUT USAHATANI KONSERVASI Tabel 4 merupakan dasar dalam analisis finansial usahatani, dengan harga pasar kubis pada bulan September 2011 adalah Rp 1000 kg-1. Penggunaan bibit Kubis dan pupuk (organik dan anorganik) pada setiap perlakuan on-farm disajikan pada (Tabel 9). dengan harga pasar sarana produksi tersebut adalah bibit kubis Rp 11.000/bungkus, pupuk urea Rp 1.600 kg-1, pupuk SP-36 Rp 2.600 kg-1, pupuk KCl Rp 10.000 kg-1, dan pupuk kandang Rp 300 kg-1. Hasil analisis finansial usahatani konservasi tanaman kubis disajikan pada (Tabel 5). Tabel 4.
Penggunaan bibit kubis dan pupuk pada penelitian usahatani konservasi tanah Bibit dan Pupuk
Kubis (bungkus) Urea (kg ha-1) SP-36 (kg ha-1) KCl (kg ha-1) Pupuk kandang (kg ha-1)
Tabel 5.
P-1 12 200 150 100 10.000
P-1 A -Persemaian 1. Persemaian 2. Pemeliharaan -Tanam/di panen 1. Pengolahan tanah 2. Tanam 3. Pemupukan 4. Pemeliharaan 5. Panen Sub-total (A)
422
Bibit Urea SP-36 KCl Pupuk Kandang Sub-total (B) Total (A+B) (Input) Nilai Produksi (Out-put) Keuntungan (Rp) B/C rasio
Perlakuan P-2 Biaya upah
P-3
110.000 170.000
110.000 170.000
110.000 170.000
450.000 250.000 210.000 750.000 200.000 2.140.000
600.000 280.000 240.000 750.000 200.000 2.350.000 Biaya bahan 132.000 440.000 570.000 620.000 1.000.000 2.762.000 5.112.000 7.700.000 2.588.000 1,51
540.000 260.000 220.000 750.000 200.000 2.250.000
B
C D F
P-3 12 200 150 100 10.000
Analisis finansial usahatani kubis pada penelitian usahatani konservasi tanah Deskripsi
1 2 3 4 5
Perlakuan P-2 12 200 150 100 10.000
132.000 440.000 570.000 620.000 1.000.000 2.762.000 4.902.000 3.000.000 -1.902.000 0,61
132.000 440.000 570.000 620.000 1.000.000 2.762.000 5.012.000 6.300.000 1.288.000 1,26
Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertamanan Kubis
Hasil analisis finansial (input–output) usahatani konservasi pada pertanaman kubis memperlihatkan bahwa nilai hasil (output) dari perlakuan P-2 dan P-3 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P-1. Hal ini karena P-2 dan P-3 memberikan produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan P-1. Oleh karena itu perlakuan P-2 dan P-3 memberikan nilai B/C ratio > 1 yang lebih tinggi dibandingkan P-1, sedangkan perlakuan P-1 memberikan nilai B/C ratio < 1. Ini berarti bahwa pada perlakuan P-1 usahatani kubis merugi, sedangkan pada P-2 dan P-3, usahatani konservasi kubis menguntungkan. Lebih lanjut tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa perlakuan P-2 lebih menguntungkan dibandingkan P-3 dan mempunyai keuntungan yang hampir dua kali lipat P-3. Hal ini karena perlakuan P-3 disamping memberikan produksi yang lebih rendah, juga memerlukan biaya, dalam hal ini upah tenaga kerja, yang lebih tinggi. Upah tenaga kerja tersebut dipakai untuk pembuatan bedengan dan atau pembuatan serta penanaman tanaman yang searah kontur. PERSEPSI DAN PREFERENSI PETANI Hasil wawancara dan kunjungan lapang selama kegiatan FGD, mengindikasikan bahwa petani cukup antusias dengan teknologi konservasi yang diintroduksikan. Petani sepakat bahwa teknologi konservasi yang diintroduksikan akan sangat mengurangi erosi, akan tetapi lebih banyak memerlukan waktu dan tenaga kerja. Namun demikian para petani ingin lebih membuktikan teknik konservasi yang mana yang dapat mengurangi erosi tetapi masih menguntungkan secara ekonomi. Sampai dengan saat ini petani cenderung menyukai teknik konservasi KTA-2 (tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m), karena lebih praktis dibandingkan dengan yang lain, tetapi dapat mengurangi erosi. Lebih lanjut FGD tersebut juga memberikan input bahwa diperlukan sosialisasi yang lebih intensif dengan lebih banyak melibatkan penyuluh untuk transfer teknologi ke dalam bahasa yang lebih dapat dimengerti oleh petani, terutama dalam hal pentingnya penggunaan pupuk organik/kandang dalam usahatani konservasi. Untuk itu petani juga bermaksud untuk mengadakan kegiatan yang sama pada saat panen tanaman kentang nanti. Selain itu mereka juga bermaksud untuk lebih sering berkunjung dan berdiskusi dengan petugas lapang yang ada di lokasi penelitian bekerja sama dengan penyuluh.
423
Deddy Erfandi et al.
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 memberikan hasil tanaman yang tertinggi dan berbeda dengan P-3 dan P-1. Perlakuan P-1 memberikan hasil tanaman terendah.
2.
Perlakuan P-2 (bedengan tanaman searah lereng dipotong gulud setiap 5 m) memberikan keuntungan (Rp 2.588.000,-) dan nilai B/C ratio (1,51) yang paling tinggi dibandingkan P-1 dan P-3. Perlakuan P-1 mengalami kerugian sebesar Rp 1.901.000,-
3.
Petani kooperator sebaiknya petani pemilik lahan, agar motivasi untuk menerapkan teknik konservasi di dalam sistem usahataninya lebih tinggi, sehingga lahan dapat digunakan secara lestari.
4.
Diperlukan koordinasi dan komunikasi yang lebih intensif dengan instansi terkait agar terjadi pemindahan tongkat estafet kepada instansi terkait di wilayah setempat.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2008.Statistik Indonesia 2007. Badan Pusat Statistik. Erfandi, D., Undang Kurnia, dan O. Sopandi. 2002. Pengendalian erosi dan perubahan sifat fisik tanah pada lahan sayuran berlereng. Hlm. 277-286 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, 2002. Haryati, U., N. L. Nurida, H. Suganda, dan Undang Kurnia. 2000. Pengaruh arah bedengan dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan hasil kubis (Brassicaoleracea) di dataran tinggi. Hlm. 411-424 dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Soleh dan Arifin. 2003. Optimalisasi Multifungsi Pertanian pada Usahatani Tanaman Kentang di Sundoro, Lumajang. Balittanah.litbang.deptan.id. 3 Januari 2011. Suganda, H., S. Abujamin, A. Dariah, dan S. Sukmana. 1999. Pengkajian teknik konservasi tanah dalam usahatani tanaman sayuran di Batulawang, Pacet. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 12:47-57. Suganda, H., H. Kusnadi dan Undang Kurnia. 1999. Pengaruh arah barisan tanaman dan bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim, (17):55-64. Sutapraja, H., dan Asandhi. 1998. Pengaruh arah guludan, mulsa, dan tumpangsari terhadap pertumbuhan dan hasil kentang serta erosi di dataran tinggi Batur, Jurnal Hortikultura, 8 (1): 1.006-1.013
424
Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertamanan Kubis
Sumarna, A., dan Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh jumlah pengairan air tehadap pertumbuhan dan hasil cabe paprika (Capsicum annum L. var groosum) kultivar orion dan Yolo Wonder A. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV (1):51-58. Undang Kurnia. 2000. Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan usahatani dataran tinggi. Hal 47-57 Dalam A. Abdurachman et al. (eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
425