27
TEKNIK KONSERVASI, HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT FISIK TANAH SERTA SERANGAN PENYAKIT PADA TANAMAN KENTANG DI DATARAN TINGGI KERINCI
Umi Haryati, Deddy Erfandi, dan Yoyo Soelaeman
Peneliti Badan Litbang Pertanian pada Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Cimanggu, Bogor
Abstrak. Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya didominasi oleh tanah Andisols yang peka terhadap erosi. Meskipun demikian, sebagian besar petani sayuran belum menerapkan teknologi konservasi tanah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik konservasi tanah terhadap sifat fisik tanah serta hubungannya dengan serangan penyakit pada pertanaman kentang di dataran tinggi. Penelitian dilakukan di Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi pada posisi koordinat 01o41 '58,3 " LS dan 101o20'50,3" BT dan ketinggian 1500 m dpl dari MT 2011 s/d MT 2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun perlakuannya adalah: (1) kontrol, yaitu tanaman searah lereng (KTA-1), (2) KTA-1, + teras gulud setiap 5 meter (KTA-2), (3) KTA-2 + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di samping teras gulud, (KTA-3) dan (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Plot percobaan berukuran lebar 3 m dan panjang 20 m dengan tanaman indikator kentang varietas Granola-4. Pada MT 2011, teknik konservasi KTA-2 menimbulkan serangan layu fusarium tertinggi (86 %) sedangkan KTA-1, KTA-2 dan KTA-3 menimbulkan serangan layu fusarium yang tidak berbeda secara statistik (73%). Pada MT 2012, perlakuan KTA-2 selalu memberikan persentase umbi kentang busuk tertinggi. Teknik konservasi KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling tinggi sedangkan KTA-2 memberikan hasil tanaman kentang yang paling rendah dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (KTA-1). Dengan demikian, teknik konservasi (kecuali KTA-2) dapat menurunkan serangan layu fusarium dan mempertahankan hasil tanaman kentang. Kata kunci: Teknik konservasi, sifat fisik tanah, layu fusarium, DT Kerinci
PENDAHULUAN Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS), sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng lebih dari 15 % yang sangat rentan terhadap bahaya erosi (Subagyo 2000). Lahan dengan lereng demikian umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian ≥700 m di atas permukaan laut (dpl). Lahan di kawasan ini sangat penting sebagai penghasil berbagai komoditas pertanian terutama sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, teh, kayu manis, kina, dan lain-lain, selain berfungsi juga sebagai kawasan lindung (Undang Kurnia, 2000).
305
Haryati et al.
Tanah yang umum dijumpai di kawasan hortikultura dataran tinggi adalah ordo Andisols, Entisols, dan Inceptisols. Andisols dan Entisols biasanya berada di ketinggian > 1.000 m dpl., sedangkan Inceptisols dijumpai di ketinggian 700-1.000 m dpl (Suganda et al. 1997; Suganda et al. 1999). Luas Andisols diperkirakan 5.395.000 ha atau 3% dari tanah-tanah di Indonesia (Subagyo et al. 2000). Meskipun tidak dominan, tanah ini merupakan jenis tanah utama di lahan pertanian sayuran dataran tinggi atau pegunungan. Ciri-ciri sifat fisik Andisols adalah berat isi rendah, yaitu sekitar 0,6 sampai 0,9 g cm-3, total porositas tanah tinggi (>60%), kapasitas infiltrasi tanah tinggi, horizon A tebal (bervariasi dari 40 cm - > 100 cm). Sifat-sifat tanah cukup baik untuk pertumbuhan tanaman, namun karena berada di wilayah dengan lereng curam dan curah hujan tinggi (>2000 mm tahun-1) serta pengusahaan yang intensif, kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Undang Kurnia dan Suganda 1999). Sebagian besar petani sayuran belum menerapkan teknologi konservasi tanah. Rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah pada usahatani sayuran dataran tinggi disebabkan oleh berbagai alasan, seperti kekhawatiran akan terganggunya drainase tanah, karena tanah selalu lembab yang akan mengganggu pertumbuhan tanaman (Sumarna dan Kusbandriani 1992; Suganda et al. 1999), pengerjaannya sangat berat dan memerlukan waktu lama (Undang Kurnia 2000), serta mengurangi populasi tanaman (Haryati et al. 2000). Salah satu bukti, bahwa petani sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi tanah dengan baik dan menyebabkan kerusakan lahan adalah tingginya kandungan lumpur pada beberapa anak sungai di DAS Serayu hulu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan 1995). Dengan demikian praktek usahatani yang diterpakan petani tidak ramah lingkungan karena menyebabkan erosi dan pencemaran lingkungan di badan–badan air. Alasan umum yang dikemukan petani sayuran kenapa enggan menerapkan teknik konservasi tanah adalah khawatir produksi tanaman sayuran akan menurun akibat terjadinya peningkatan kelembaban tanah, sehingga intensitas serangan penyakit tinggi, dan berkurangnya populasi tanaman. Kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya benar, Sutapraja dan Asandhi (1998) melaporkan bahwa penerapan bedengan diagonal terhadap kontur pada usahatani tanaman kentang di Batur, Banjarnegara lebih baik daripada bedengan searah kontur dengan perbandingan hasil kentang 15,55 ton dan 14,88 ton. Hasil sayuran khususnya kentang dan cabai keriting pada bedengan searah kontur dan bedengan 4,5 m searah lereng yang dipotong teras gulud, tidak berbeda nyata dengan hasil tanaman dari bedengan searah lereng (Suganda et al. 1999). Hasil kubis dari bedengan searah kontur dan bedengan 450 terhadap kontur yang diperkuat V. zizanoides, P. notatum atau F. congesta sebagai tanaman penguat teras tidak berbeda dengan hasil kubis dari bedengan searah lereng (Haryati et al. 2000). Hasil kentang dengan penerapan teras bangku dengan bedengan sejajar kontur atau 45o terhadap kontur (cara perbaikan) tidak berbeda nyata dengan cara petani, yakni 16,13 ton berbanding 16,29 ton (Haryati dan Undang Kurnia, 306
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
2001). Demikian juga penerapan bedengan searah kontur atau bedengan searah lereng yang dilengkapi dengan guludan setiap 5 m tidak menurunkan hasil sayuran kacang tanah, buncis, dan kubis dibandingkan dengan praktek petani berupa bedengan searah lereng tanpa guludan di Cempaka, Cianjur (Erfandi et al. 2002). Bahkan, hasil penelitian Soleh dan Arifin (2003) di Sundoro, Lumajang menunjukkan penerapan teknik konservasi tanah berupa guludan searah kontur dengan strip cropping memberikan hasil kentang lebih tinggi dibanding cara petani (guludan searah lereng tanpa strip rumput), yakni 12,64 ton berbanding 10,63 ton. Kentang merupakan komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis di kalangan petani sayuran di dataran tinggi. Apabila tanaman ini ditanaman pada musim penghujan, maka resiko terhadap penyakit cukup tinggi, sehingga produksi menurun dan petani kentang menderita kerugian. Untuk itu diperlukan suatu teknologi yang disamping dapat mengendalikan erosi, mempertahankan produktivitas tanah, juga dapat menurunkan serangan penyakit dan mempertahankan produktivitas tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan teknik konservasi pada lahan budidaya sayuran terhadap perubahan sifat fisik tanah, serangan penyakit dan produktivitas tanaman kentang di dataran tinggi Kerinci.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi pada posisi koordinat 01o41 '58,3" LS dan 101o20'50,3" BT dan ketinggian 1500 m dpl dari MT 2011 s/d MT 2012. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Adapun perlakuannya adalah: (1) kontrol, yaitu praktek budidaya yang umum dilakukan petani yaitu bedengan atau barisan tanaman searah lereng (KTA-1), (2) bedengan searah lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud (KTA-2), (3) bedengan searah lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di samping teras gulud (KTA-3) dan (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Sebelum penelitian, dilakukan pengambilan ring sampel dan contoh tanah komposit untuk dianalisa sifat fisik dan kimia tanahnya. Hasil analisis sifat fisik memperlihatkan bahwa tanah mempunyai BD rendah (< 0,70 g cm-3), partikel density (PD) 2,04 – 2,10 g cm-3, ruang pori total (RPT) tinggi , pori drainase cepat (PDC), dan pori air tersedia (AT) yang tinggi baik pada lapisan 0-20 cm maupun pada 20-40 cm dari permukaan tanah. Selain itu, mempunyai pori drainase lambat
307
Haryati et al.
(PDL) rendah, permeabilitas agak cepat, indeks stabilitas sangat baik pada lapisan atas (020 cm) maupun pada lapisan bawah (20-40 cm). Tanah mempunyai laju perkolasi yang sangat cepat baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah. Tanah bertekstur lempung baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah (Tabel 1). Tabel 1.
Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011 Kedalaman tanah/Kategori
Sifat Fisik Tanah Kadar Air (% vol) BD (g cm-3) PD (g cm-3) Ruang Pori Total (RPT) (% vol) Pori drainase (% volume) Cepat (PDC) Lambat (PCL) Air Tersedia (% vol) Permeabilitas (cm jam-1) Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat %) Kestabilan Agregat % Agregat Indeks (IKA) Perkolasi (cm jam-1)
(0-20) cm 49,40 0,64 2,04
Kategori
(20-40)cm 52,51 0,63 2,10
Kategori
68,70
tinggi
71,40
tinggi
19,88
tinggi
20,91
tinggi
5,76 24,15 5,22
rendah sangat tinggi sedang
5,62 24,75 6,43
rendah sangat tinggi sedang
Lempung
49,30 43,57 7,11
Lempung
47,11 44,33 8,57 46,47 96,60 63,80
rendah
sangat baik sangat cepat
47,72 85,18 75,24
rendah
sangat baik sangat cepat
Secara umum, tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat fisik tanah yang cukup bagus dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Tanah mempunyai BD < 0,80 g cm-3 (0,64 g cm-3). Ini mengindikasikan bahwa tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat andik, sehingga tanah kemungkinan besar termasuk Ordo Andisol. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai partikel density yang < 2,6 g cm-3 (nilai yang biasa dipunyai oleh tanah mineral). Ini mengindikasikan bahwa tanah ini juga mempunyai kerapatan jenis jarah yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah mineral pada umumnya. BD yang rendah mengakibatkan RPT yang tinggi (68 s/d 71% volume) dengan PDC yang tinggi (20% volume) dan PDL yang rendah (6% volume). Selain mempunyai RPT yang tinggi, tanah ini juga mempunyai pori air tersedia sangat tinggi (24% volume). Dengan demikian pori air tersedia (AT) menempati kurang lebih dari 30 % dari RPT. Hal ini bagus untuk mendukung pertumbuhan tanaman sehingga tanaman tidak kerurangan air
308
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
dan atau oksigen, karena distribusi ruang pori lebih banyak didominasi oleh ukuran pori yang menguntungkan bagi tanaman (pori air tersedia). Stabilitas agregat tanah berkontribusi terhadap distribusi ruang pori yang seimbang dalam tanah. Tingginya RPT, PDC dan AT mengindikasikan adanya agregasi yang baik dalam tanah. Dan hal ini dibuktikan dengan adanya agregasi yang sangat baik yang dicerminkan oleh adanya persentase agregat dan nilai indeks stabititas agregat yang tergolong sangat stabil. Tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung. Ini berarti terdapat susunan yang relatif seimbang diantara partikel-partikel tanah primer. Ini juga menguntungkan tanaman, sehingga akar tanaman dapat lebih petretrasi ke lapisan tanah yang lebih dalam yang selanjutnya akar tanaman lebih mudah mengekstrak air dan atau unsur hara dari dalam tanah untuk mendukung pertumbuhannya. Yang harus diwaspadai dari sifat fisik tanah ini adalah adanya sifat perkolasi atau kemampuan melalukan air ke lapisan yang lebih dalam di dalam profil tanah yang sangat cepat dan tinggi, sehingga akan terjadi pencucian hara apabila air di dalam tanah melebihi kapasitas lapang. Tanah mempunyai pH masam, kandungan bahan organik yang sangat tinggi, C/N ratio rendah, kandungan P2O5 (ekstrak HCl) sangat tinggi dan K2O (ekstrak HCl) rendah sampai sangat rendah, P tersedia sedang pada lapisan atas dan sangat rendah pada lapisan bawah, KTK dan KB tergolong sedang baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta Al-dd yang sangat rendah (Tabel 2). Tanah mempunyai sifat kimia yang cukup baik dalam menunjang pertumbuhan tanaman karena mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi serta KTK yang cukup baik. Adanya ketersediaan P yang sangat rendah sampai sedang dan P potensial yang sangat tinggi, menyebabkan tanaman kurang dapat mengekstrak unsur P dari tanah. Hal ini karena tanah andisol banyak mengandung unsur amorf (allofan) sehingga P terikat pada allofan dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Untuk itu diperlukan teknologi yang dapat merubah P potensial menjadi P tersedia bagi tanaman.
309
Haryati et al.
Tabel 2.
Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Kimia
(0-20) cm
Kriteria
(20-40) cm
Kriteria
pH: H2O
5,14
masam
5,49
agak masam
KCl
4,83
5,14
Bahan Organik C (%)
5,12
sangat tinggi
3,50
tinggi
N (%)
0,69
tinggi
0,47
sedang
C/N
7,54
rendah
7,75
rendah
1501,77
sangat tinggi
494,99
sangat tinggi
101,65
rendah
85,22
sangat rendah
9,49
sedang
3,19
sangat rendah
Ca-dd (cmol+/kg)
0,17
sangat rendah
0,13
sangat rendah
Mg-dd cmol+/kg)
6,57
tinggi
5,06
tinggi
K-dd (cmol+/kg)
0,53
sedang
0,44
sedang
Na-dd (cmol+/kg)
0,05
sangat rendah
0,13
rendah
Ekst. HCl 25 % P2O5 (mg kg-1) -1
K2O (mg kg ) Bray 1 P2O5 (mg kg-1) Basa2-dd
Jumlah
7,33
KTK (cmol+/kg)
21,90
sedang
19,31
5,77 sedang
KB (%)
33,15
sedang
29,88
sedang
Ad-dd (cmol+/kg)
0,16
sangat rendah
0,03
sangat rendah
H-dd(cmol+/kg)
0,11
Ekst. HCl 1 M 0,09
Plot percobaan berukuran lebar 3 m dan panjang 20 m serta dilengkapi dengan bak penampung aliran permukaan dan erosi pada ujung petakan. Selain itu, dilengkapi dengan sebuah alat penakar curah hujan yang dipasang di bagian bawah areal percobaan. Tanaman indikator yang digunakan adalah kentang varietas Granola-4. Variabel yang diamati pada kegiatan penelitian ini adalah: 1. 2. 3. 4.
Sifat fisika tanah sebelum tanam dan sebelum panen. Sifat kimia tanah sebelum tanam dan sebelum panen. Pertumbuhan dan hasil tanaman. Serangan /intensitas penyakit tanaman
310
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Teknik Konservasi Tanah terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Sebelum tanaman kentang dipanen, dilakukan kembali pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah yang diambil pada kedalaman 0 – 15 cm. Hasil analisis sifat fisik tanah tersebut memperlihatkan bahwa secara umum perlakuan teknik konservasi tanah secara statistik tidak berpengaruh terhadap hampir seluruh sifat fisik tanah yang dianalisis (Tabel 3). Hal ini karena tanah mempunyai solum yang dalam (> 1 meter) sehingga penurunan erosi akibat perlakuan teknik konservasi tanah tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan sifat fisik tanah. Tabel 3.
Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011 Kedalaman tanah/Kategori
Sifat Fisik Tanah Kadar Air (% vol) BD (g cm-3) PD (g cm-3) Ruang Pori Total (RPT) (% vol) Pori drainase (% volume) Cepat (PDC) Lambat (PCL) Air Tersedia (% vol) Permeabilitas (cm jam-1) Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat %) Kestabilan Agregat % Agregat Indeks (IKA) Perkolasi (cm jam-1)
(0-20) cm 49,40 0,64 2,04 68,70
Kategori
Kategori
tinggi
(20-40)cm 52,51 0,63 2,10 71,40
19,88
tinggi
20,91
Tinggi
5,76 24,15 5,22
rendah sangat tinggi sedang
5,62 24,75 6,43
Rendah sangat tinggi Sedang
Lempung
49,30 43,57 7,11
Lempung
47,11 44,33 8,57 46,47 96,60 63,80
rendah
sangat baik sangat cepat
47,72 85,18 75,24
Rendah Tinggi
sangat baik sangat cepat
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama berbeda pada taraf 5 % DMRT
311
Haryati et al.
Teknik konservasi berpengaruh terhadap seluruh sifat kimia tanah yang dianalisa kecuali N, C/N, P2O5 (Bray I), Na-dd, Al-dd dan H-dd, namun pengaruh tersebut terlihat tidak konsisten (Tabel 4). Tabel 4. Pengaruh teknik konservasi terhadap sifat kimia tanah pada pertanaman kentang di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi , 2012 Teknik konservasi Sifat kimia tanah
KTA-1
KTA-2
KTA-3
KTA-4
pH(1:5) H2O
5,50 a
4,11 b
5,45 a
3,91 b
KCl
5,23 a
3,90 b
5,24 a
3,74 b
Bahan Organik (%) C
6,08 a
4,70 b
6,13 a
4,59 b
N
0,56 a
0,59 a
0,52 a
0,56 a
C/N
9,93 a
9,97 a
10,49 a
9,98 a
30,14 a
40,00 a
25,30 a
28,30 a
P2O5
220,56 a
178,40 b
227,98 a b
168,31 b
K2O
17,68 a
10,33 b
11,86 b
9,01 b
K
0,22 a
0,09 b
0,12 b
0,09 b
Ca
9,33 a
6,95 b
9,24 a
5,51 b
Mg
0,68 a
0,70 a
0,65 a
0,40 b
Na
0,05 a
0,02 a
0,02 a
0,04 a
Jumlah
10,29 a
7,77 b
10,03 a
6,04 b
KTK
20,74 a
15,58 b
20,51 a
15,54 b
KB (%)
49,58 a
37,60 b
48,68 a
29,07 c
0,00 a 0,07 a
0,00 a 0,04 a
0,03 a 0,05 a
0,06 a 0,07 a
-1
Bray I P2O5 (mg kg ) Eks. HCl 25 % (mg/100g)
Eks.NH4OAc 1 M pH 7 (cmol (+)/kg)
Eks. KCl 1 M cmol(+)/kg Al H
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama berbeda pada taraf 5 % DMRT
Pertumbuhan Tanaman Kentang Teknik konservasi tanah secara statistik berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman kentang baik pada umur 4, 6, 8 maupun 10 minggu setelah tanam. Pada umur 4 MST, KTA-1 memberikan nilai tinggi tanaman kentang yang tertinggi dan tidak berbeda dengan KTA-4. Demikian juga halnya pada saat 6 MST KTA-1 dan KTA-4 memberikan nilai yang tidak berbeda. KTA-2 dan KTA-3 memberikan nilai yang lebih rendah dan KTA-2 yang paling rendah pada umur 6 MST. Pada umur 8 dan 10 MST teknik
312
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
konservasi tanah KTA-2 dan KTA-4 memberikan nilai tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan kontrol (KTA-1), sedangkan KTA-3 memberikan nilai yang tidak berbeda dengan KTA-1 (Gambar 1).
T ing g i tanam an (c m )
60,0
a
50,0 40,0
a c
30,0 20,0 10,0
b
a
a
b
a b
b
a
a
b
K TA -1 K TA -2 K TA -3
ab b b
K TA -4
0,0 4
6
8
10
Um ur ta na m a n (MS T )
Keterangan:
Histogram yang diberi huruf kecil yang berbeda pada umur yang sama KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng, KTA-2 = teknik petani, dipotong guludan setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap 5 m dipotong gulud dan rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur
Gambar 1. Perkembangan tinggi tanaman kentang dengan beberapa teknik konservasi tanah di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi, TA 2012 Pengaruh Teknik Konservasi Tanah terhadap Serangan Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Kentang Kentang ditanam pada saat musim hujan sehingga tidak dapat dihindari adanya serangan layu fusarium (mati gadis). Serangan penyakit tersebut diakibatkan oleh adanya cendawan fusarium akibat kelembaban yang tinggi. Pada MT 2011, serangan layu fusarium pada umur 10 minggu setelah tanam (MST) secara umum kurang dari 3 persen, namun meningkat pada saat panen, bahkan > 30 % (Tabel 5). Teknik konservasi KTA-2 dan KTA-3 meningkatkan serangan fusarium sedangkan KTA-4 tidak mendapat serangan pada 10 MST. Pada saat panen, perlakuan KTA-2 mendapat serangan layu fusarium yang paling tinggi dan berbeda nyata baik dibandingkan kontrol maupun perlakuan lainnya (Tabel 5).
313
Haryati et al.
Tabel 5.
Serangan layu fusarium pada tanaman kentang dengan beberapa perlakuan teknik Konservasi tanah di Desa Talun Berasap, Kec Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov Jambi, TA 2011
Perlakuan (Teknik Konservasi) KTA-1 KTA-2 KTA-3 KTA-4
10 MST (tan plot-1) 4,0 b 4,7 a 5,7 a 0,0 c
Panen (%) 2,0 2,3 2,8 0,0
(tan plot-1) 73,7 b 86,3 a 73,3 b 73,0 b
(%) 36,8 43,2 36,7 36,5
Keterangan:Angka yang diikuti huruf yang berbeda untuk taraf 5% DMRT
Pada MT 2012 persentase kentang busuk akibat serangan layu fusarium pada saat panen tertinggi dialami oleh umbi kentang pada grade S (super) yaitu mencapai > 30 %, diikuti oleh grade KL (paling bagus) + 28 % dan kualitas umbi kentang medium mengalami busuk umbi sebanyak + 24 % (Gambar 2). Perlakuan KTA-2 selalu memberikan persentase umbi kentang busuk tertinggi untuk kualitas umbi kentang sangat baik (KL) dan kualitas umbi kentang super (S). Pada kualitas umbi kentang medium perlakuan KTA-3 memberikan persentase umbi kentang busuk yang paling tinggi (Gambar 2). Teknik konservasi KTA-4, secara umum memberikan persentase umbi kentang busuk terendah pada masing-masing kualitas umbi kentang kecuali kualitas medium (M) (Gambar 2). KTA-4 adalah teknik konservasi dengan cara menanam tanaman dan atau bedengan tanaman sejajar kontur. Hal ini membuktikan bahwa kehawatiran dan argumentasi yang menyatakan bahwa teknik konservasi dengan menanam atau membuat bedengan sejajar kontur menyebabkan drainase menjadi jelek sehingga tanah terlalu lembab dan terjadi serangan penyakit yang lebih banyak menjadi tidak benar. Hal ini juga membuktikan bahwa teknik konservasi tanah dapat menurunkan serangan penyakit layu fusarium yang terjadi pada tanaman kentang.
314
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
b K u a l i t a s
k e n t a n g
M
c
a
b c
K TA -4
b
S
a
b c
KL
K TA -2
c b
0,0
5,0
10,0
15,0
K TA -3
20,0
K TA -1
a 25,0
30,0
35,0
K e nta ng busuk (%)
Keterangan :
Histogram yang diikuti huruf kecil yang berbeda, pada kategori kualitas kentang yang sama, berbeda untuk taraf 5 % DMRT, KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng, KTA-2 = teknik petani, dipotong guludan setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap 5 m dipotong gulud dan rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur, KL = kualitas sangat bagus, S = kualitas super, M = kualitas medium
Gambar 2. Serangan layu fusarium pada tanaman kentang dengan beberapa perlakuan teknik Konservasi tanah di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi, TA 2012 Pengaruh Teknik Konservasi Tanah terhadap Hasil Tanaman Kentang Teknik konservasi tanah berpengaruh nyata terhadap hasil umbi segar kentang pada MT 2011 (Tabel 6). Teknik konservasi KTA-3 dan KTA-4 memberikan hasil tanaman yang lebih tinggi dari kontrol dan KTA-2. Teknik Konservasi KTA-2 secara statistik tidak berbeda nyata dengan control (KTA-1). Teknik Konservasi KTA-4 memberikan hasil yang tertinggi, diikuti oleh KTA-3, KTA-2 dan KTA-1 (control) memberikan hasil yang terendah (Tabel 6).
315
Haryati et al.
Tabel 6.
Hasil tanaman kentang dengan beberapa perlakuan teknik konservasi tanah di Desa Talun Berasap, Kec Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov Jambi, TA 2011 Berat umbi segar
Perlakuan Teknik Konservasi Tanah KTA-1 KTA-2 KTA-3 KTA-4 Keterangan :
(kg plot-1) 26,3 28,8 36,4 49,7
(t ha-1) 4,4 c 4,8 c 6,1 b 8,3 a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda untuk taraf 5 % DMRT, KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng, KTA-2 = teknik petani, dipotong guludan setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap 5 m dipotong gulud dan rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur
Demikian pula pada MT 2012, teknik konservasi tanah berpengaruh nyata terhadap hasil umbi segar kentang (Gambar 3). Teknik konservasi KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, disusul kemudian oleh perlakuan KTA-3, KTA-1 dan KTA-2 memberikan hasil tanaman kentang yang paling rendah. Teknik Konservasi KTA-2 secara statistik tidak berbeda nyata dengan kontrol (KTA-1).
P roduks i kentang (t/ha)
9,000 8,000
a
7,000
a
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000
a b
a b
bc
c
K TA -1
K TA -2
M
a b
S a
KL
b
0,000 K TA -3
K TA -4
T e knik konse rva si
Keterangan :
Histogram yang diberi huruf kecil yang berbeda pada warna yang sama, berbeda untuk taraf 5 % DMRT, KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng, KTA-2 = teknik petani, dipotong guludan setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap 5 m dipotong gulud dan rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur, KL = kualitas sangat bagus, S = kualitas super, M = kualitas medium
Gambar 3. Hasil tanaman kentang menurut kualitasnya dengan beberapa perlakuan teknik Konservasi tanah di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Prov. Jambi, TA 2012 Teknik konservasi KTA-4 selain memberikan berat umbi kentang yang paling tinggi, juga memberikan proporsi kualitas kentang baik yang kualitas sangat baik (KL)
316
Teknik Konservasi, Hubungannya dengan Sifat Fisik Tanah Serta Serangan Penyakit
maupun kualitas super (S) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Gambar 3). Hal ini kembali membuktikan bahwa aplikasi teknik konservasi ( KTA-3 dan KTA-4) selain dapat mengendalikan serangan layu fusarium pada tanaman kentang, juga dapat mempertahankan hasil tanaman kentang dibandingkan dengan kontrol atau praktek petani (KTA-1).
KESIMPULAN DAN SARAN 1. 2.
3.
Teknik konservasi secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap beberapa sifat fisik tanah (BD, PD, distribusi ruang pori). Teknik konservasi dengan cara menanam tanaman searah kontur (KTA -4) lebih dapat mengendalikan serangan layu fusarium pada tanaman kentang dan memberikan hasil tanaman kentang tertinggi. Diperlukan sosialisasi yang lebih intensif kepada petani, bahwa teknik konservasi dengan cara menanam tanaman searah kontur tidak menyebabkan intensitas serangan penyakit yang lebih tinggi tetapi bahkan dapat mengendalikannya dan mempertahankan produksi tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Erfandi, D., Undang Kurnia, dan O. Sopandi. 2002. Pengendalian erosi dan perubahan sifat fisik tanah pada lahan sayuran berlereng. Hal. 277-286 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, 2002. Haryati, U., N. L. Nurida, H. Suganda, dan Undang Kurnia. 2000. Pengaruh arah bedengan dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan hasil kubis (Brassicaoleracea) di dataran tinggi. Hal. 411-424 dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Haryati, U dan Undang Kurnia. 2001. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap erosi dan hasil kentang (solanum tuberosum) pada lahan budidaya sayuran di dataran tinggi Dieng. Hlm. 439-460 dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan pupuk. Cipayung- Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000. Pusat penelitian dan Pengembangan tanah dan Agroklimat, Bogor. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1995. Data Tahunan Debit Sungai Wilayah Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan). Buku II/Hi-1/1995. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
317
Haryati et al.
Soleh dan Arifin. 2003. Optimalisasi Multifungsi Pertanian pada Usahatani Tanaman Kentang di Sundoro, Lumajang. Balittanah.litbang.deptan.id. 3 Januari 2011. Subagyo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia. Hal 21-66 dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim. (15):38-50. Suganda, H., H. Kusnadi dan Undang Kurnia. 1999. Pengaruh arah barisan tanaman dan bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim, (17):55-64. Sutapraja, H., dan Asandhi. 1996. Pengaruh arah guludan, mulsa, dan tumpangsari terhadap pertumbuhan dan hasil kentang serta erosi di dataran tinggi Batur, Jurnal Hortikultura, 8 (1):1.006-1.013 Undang Kurnia, dan H. Suganda. 1999. Konservasi tanah dan air pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 18 (2): 68-74. Undang Kurnia. 2000. Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan usahatani dataran tinggi. Hal 47-57 dalam A. Abdurachman et al. (eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
318