ADOPSI SISTEM PERTANIAN KONSERVASI USAHATANI KENTANG DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI KECAMATAN PANGALENGAN, BANDUNG
RATNA KATHARINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang Di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari, 2007
Ratna Katharina NIM 062024121
RINGKASAN RATNA KATHARINA. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang Di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung (di bawah bimbingan SANTUN R. P. SITORUS sebagai ketua, BUNASOR SANIM, dan ERNAN RUSTIADI, sebagai anggota). Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah mengakibatkan semakin besarnya luas kerusakan lahan yang ada. Berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penanggulangan kerusakan lahan kering telah dilakukan pemerintah. Namun demikian, proses erosi tanah di lahan-lahan pertanian masih cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan karena masih banyak petani yang belum menerapkan sistem pertanian konservasi secara benar, khususnya pada lahan kering yang diusahakan di daerah hulu dengan kemiringan lereng yang cukup besar. Usahatani sayuran di lahan kering dataran tinggi Pangalengan diharapkan telah menerapkan sistem pertanian konservasi. Pada kenyataannya petani sayuran di Pangalengan belum sepenuhnya mempraktekkan teknik konservasi tanah dengan baik. Hal ini ditandai dengan: (a) tingginya erosi tanah pada areal pertanaman sayuran, (b) turunnya produksi usahatani kentang dan kubis, dan (c) bertambahnya lahan kritis sebesar 1556 hektar (Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, 2004). Penerapan konservasi tanah dalam bentuk pertanian konservasi akan mencegah berbagai permasalahan lingkungan seperti telah disebutkan di atas. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi, (2) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi, dan (3) menganalisis pengaruh adopsi sistem pertanian konservasi kualitas sumberdaya lahan dan pendapatan usahatani kentang. Teknik konservasi tanah yang diobservasi adalah teknik konservasi tanah mekanik yaitu penanaman kentang pada tanah berbentuk teras bangku dan penanaman kentang pada guludan searah kontur. Bentuk usahatani yang menanam kentang pada guludan searah lereng termasuk usahatani yang tidak mengadopsi konservasi tanah. Untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang menentukan adopsi konservasi tanah oleh petani digunakan model logit. Setelah itu hasil dugaan model logit dimasukkan ke dalam fungsi produksi Cobb-Douglas untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produktivitas usahatani kentang. Untuk mengetahui pengaruh adopsi teknik konservasi tanah terhadap tingkat pendapatan digunakan analisis biaya dan manfaat dari teknik penanaman usahatani kentang di Pangalengan. Analisis finansial petani dihitung dengan menggunakan harga input yang dikeluarkan dan harga penerimaan yang diterima dengan menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2004-2005. Untuk menghitung manfaat jangka panjang konservasi tanah digunakan indikator NPV. Model SCUAF digunakan untuk memprediksi produktivitas usahatani kentang dan memprediksi hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah akibat erosi selama 20 tahun. Produktivitas dan hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah ini merupakan komponen yang diperlukan untuk menghitung keuntungan usahatani selama 20 tahun tersebut.
Penelitian dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi di tiga belas desa Kecamatan Pangalengan Bandung sejak bulan Desember 2004 sampai Desember 2005. Data primer yang digunakan dalam penelitian merupakan data cross sectional dengan jumlah responden sebanyak 180 petani sayuran. Sampel diambil secara acak sederhana (simple random sampling). Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan hasil estimasi terhadap model adopsi, ada tiga variabel yang parameternya berbeda nyata daripada nol (0). Ketiga variabel independen tersebut adalah status lahan usahatani (SLHN), tingkat kecuraman lereng (CURM), dan jumlah anggota keluarga dewasa (JAK), sedangkan variabel independen lainnya, parameternya tidak berbeda nyata dengan nol. Status lahan sewa memiliki peluang lebih besar untuk tidak mengadopsi konservasi tanah dibandingkan dengan mengadopsi. Tidak semua petani kentang di Pangalengan memiliki sendiri tanah untuk usahataninya. Cukup banyak petani yang status lahannya adalah sewa. Hal ini tercermin pada responden penelitian, dimana dari 180 petani responden sampel terdapat 103 responden yang lahannya berstatus sewa. Tingkat kecuraman lereng juga berpengaruh nyata pada adopsi konservasi tanah. Nilai odds ratio untuk variabel tingkat kecuraman (CURM) adalah 1.025. Hal ini berarti, apabila kemiringan lereng semakin meningkat maka peluang untuk mengadopsi konservasi tanah relatif lebih besar daripada peluang tidak mengadopsi. Variabel independen lainnya yang berpengaruh nyata terhadap peluang adopsi konservasi tanah adalah variabel jumlah anggota keluarga dewasa (JAK). Nilai odds ratio untuk variabel ini adalah 0.752, yang berarti peluang untuk tidak mengadopsi konservasi tanah lebih besar daripada peluang mengadopsi. Semakin besar jumlah anggota keluarga dewasa, semakin turun peluang untuk mengadopsi konservasi tanah. Hasil regresi terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan dari 9 variabel independen yang terdapat pada model, ada lima variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen produksi. Empat variabel yaitu nitrogen, tenaga kerja, pestisida dan luas lahan berpengaruh positif. Dengan peningkatan penggunaan unsur nitrogen, tenaga kerja dan pestisida sebesar 10% akan terjadi peningkatan produksi berturut-turut sebesar 1.23 persen, 1.66 persen dan 1.52 persen. Peningkatan produksi kentang sangat dipengaruhi luas lahan, semakin luas lahan semakin besar jumlah produksi. Peningkatan 10 persen penggunaan lahan meningkatkan hasil produksi 7.28 persen. Besarnya kontribusi lahan tercermin pada harga sewa lahan untuk tanaman kentang yang cenderung terus meningkat. Variabel adopsi konservasi berpengaruh nyata negatif terhadap tingkat produksi kentang, yang artinya semakin besar peluang untuk mengadopsi konservasi tanah semakin kecil tingkat produksi. Nilai koefisien untuk adopsi – 0.077. Pengaruh adopsi konservasi tanah yang negatif terhadap tingkat produksi kentang sudah diperkirakan sejak awal. Petani enggan menerapkan konservasi tanah, karena penggunaan teras bangku ataupun penanaman searah kontur tidak saja mengurangi luasan areal tanam tetapi juga meningkatkan serangan layu bakteri. Analisis usahatani kentang jangka pendek (satu atau dua musim tanam saja) memperlihatkan usahatani kentang yang menerapkan konservasi tanah - teras dan searah kontur - memberikan tingkat keuntungan yang lebih rendah dibandingkan usahatani kentang yang tidak menerapkan konservasi tanah. Usahatani kentang yang tidak menerapkan konservasi tanah, searah lereng, dapat menghasilkan
jumlah produksi yang tinggi karena petani mensubstitusi hilangnya hara yang hilang akibat erosi dengan jumlah pupuk kimiawi maupun pupuk kandang. Dengan model SCUAF, juga dari percobaan petak erosi dan pemeriksaan tanah terlihat bahwa adopsi konservasi tanah mampu menahan hilangnya unsur C dan hara N,P akibat erosi. Apabila analisis dilakukan selama 20 tahun, ternyata usahatani yang menerapkan konservasi tanah memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi daripada usahatani yang tidak menerapkan konservasi tanah. NPV usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng adalah yang paling rendah. Keuntungan usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng dalam satu musim tanam adalah Rp. 13,3 juta per hektar, sedangkan dengan menggunakan sistem penanaman searah kontur ataupun teras bangku keuntungan yang diperoleh berturut-turut adalah Rp 8,6 juta dan Rp 5,9 juta per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat adopsi konservasi tanah hanya akan dirasakan dalam waktu jangka panjang. Tidaklah heran mengapa petani enggan mengadopsi sistem pertanian konservasi karena yang diinginkan petani adalah hasil pengembalian yang segera dapat dirasakan yaitu keuntungan yang setinggi mungkin dalam jangka pendek. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disampaikan saran sebagai berikut (a) pemerintah disarankan memberi insentif kepada petani yang mengadopsi konservasi tanah seperti pengurangan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) atau diberi bunga kredit yang lebih rendah, (b) pemerintah disarankan membuat peraturan untuk kecuraman lereng lahan tertentu harus mengadopsi konservasi tanah. Bila tidak mau mengadopsi, diberi denda berupa pembayaran biaya lingkungan sebesar besarnya erosi off-site yang timbul dari usahataninya, (c) pemerintah disarankan membuat peraturan durasi sewa menyewa lahan agar ada insentif bagi petani penyewa untuk menerapkan konservasi tanah, (d) dalam rangka mempertinggi adopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan, disarankan perlu peningkatan pengetahuan bagi petani maupun PPL serta pihak terkait (aparat desa, dinas pertanian) tentang keuntungan jangka panjang yang diperoleh dari menerapkan sistem pertanian konservasi.
ABSTRAK RATNA KATHARINA. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS, BUNASOR SANIM, dan ERNAN RUSTIADI.
Erosi tanah merupakan masalah yang serius di dataran tinggi Pangalengan, Bandung. Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi, menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi, serta menganalisis pengaruh adopsi sistem pertanian konservasi terhadap kualitas sumberdaya lahan dan pendapatan usahatani kentang. Data yang diperlukan untuk analisis merupakan data cross-sectional dengan responden rumahtangga petani. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi tanah digunakan fungsi model logit dengan menggunakan variabel dummy, sedangkan untuk mengetahui pengaruh adopsi teknik konservasi tanah terhadap produksi dan erosi tanah usahatani sayuran digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dan model SCUAF. Manfaat teknik konservasi tanah terhadap pendapatan jangka pendek maupun jangka panjang serta erosi dihitung dengan menggunakan analisis Manfaat-Biaya dan model SCUAF. Hasil estimasi model logit menunjukkan bahwa adopsi sistem pertanian konservasi dipengaruhi oleh faktor kecuraman lereng, status lahan dan jumlah tenaga kerja keluarga. Hasil estimasi Cobb-Douglas menunjukkan faktor pupuk N, pestisida, tenaga kerja, dan luas lahan berpengaruh positif terhadap produksi. Peningkatan masing-masing faktor tersebut akan meningkatkan produksi. Adopsi teknik konservasi (teras bangku dan penanaman searah kontur) berpengaruh negatif terhadap produksi. Teras bangku dan penanaman searah kontur tidak saja menurunkan luasan areal tanam tetapi juga meningkatkan serangan penyakit layu bakteri. Hasil estimasi analisis Manfaat-Biaya dan model SCUAF menunjukkan dalam jangka panjang, sistem penanaman yang menerapkan teknik konservasi tanah tidak hanya meningkatkan pendapatan yang lebih baik, tetapi juga menurunkan erosi tanah. Teknik konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur menghasilkan nilai kini bersih (NPV) yang lebih tinggi dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Untuk mendorong adopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan perlu diberikan prioritas pada pengelolaan lahan berkelanjutan, peningkatan pengetahuan dan dukungan teknis bagi petani dan semua pihak terkait.
Kata kunci: adopsi, konservasi tanah, usahatani kentang dataran tinggi
ABSTRACT RATNA KATHARINA. The Adoption of Conservation Farming System of Potatoes Farming in the Dryland of Upland Pangalengan, Bandung. Under the direction of SANTUN R. P. SITORUS, BUNASOR SANIM, and ERNAN RUSTIADI).
Soil erosion is a serious problem in upland Pangalengan, Bandung. A study was carried out to determine factors affecting adoption of conservation farming practices, to analyze factors that influence its production and to analyze impact of conservation farming practices in soil fertility and potatoes farmer’s income. The data for study analysis is collected from cross-sectional data of farm households. The logit model using dummy variables was applied to determine factors affecting farmer’s adoption of conservation farming practices. Adoption of conservation farming practices was applied as one of parameters in Cobb-Douglas production function. Financial Analysis, Benefit Cost Analysis and SCUAF model were applied to quantify farm income, productivity, and soil erosion of conservation farming practices in the short and long run. The results of logit function analysis show that adoption of conservation farming practices is affected by farm characteristics such as slope, land status, and labor resources. The Cobb-Douglas function analysis shows N fertilizer, pesticide, labor and land size have a positive influence to production. Increasing those factors will increase production. While adoption of soil conservation technology of bench terraces and contour cultivation has a negative influence in production. Farmer is reluctant to adopt bench terraces and contour cultivation. Bench terraces reduce cultivated land size while contour cultivation increases Pseudomonas sp attacking. The findings of the study highlighted a significant difference in farm income, productivity, and soil erosion between farming practices with and without conservation measures. In the long run, bench terraces and contour cultivation yield higher net present value (NPV) and productivity, and they also conserve the soil. To promote areas of farming conservation system in the Pangalengan, the top priority policies should be on land, training on crop production and soil conservation technology and technical support for farmers.
Key words: adoption, soil conservation, upland potatoes farming
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mokrofilm, dan sebagainya
ADOPSI SISTEM PERTANIAN KONSERVASI USAHATANI KENTANG DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI KECAMATAN PANGALENGAN, BANDUNG
RATNA KATHARINA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 ini ialah Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Sayuran di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun. R. P. Sitorus, Bapak Prof. Dr. Ir. Bunsor Sanim, MSc, dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Mia Resmiati dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Benih Kentang Pangalengan beserta staf,
Bapak Ir. Pidio
Laksono MSi dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Jawa Barat,
Bapak
Odji sebagai koordinator Petugas Penyuluh Lapang (PPL) Kecamatan Pangalengan beserta staf,
Bapak Tatang dari Koperasi Unit Desa Walatra beserta staf, staf
Kantor Perhutani III Kecamatan Pangalengan, Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Kabupaten Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Stasiun hujan PLTA Plengan, Bapak Wildan, Finus, aparat kecamatan dan desa yang telah membantu selama pengumpulan data. Tidak lupa juga penghargaan kepada petani (responden) yang mau bersabar memberikan informasi
dalam
pengumpulan
data
selama
di
lahan
usahataninya
yang
menyebabkan kadang-kadang petani harus pulang terlambat dari lahannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga dan juga teman-teman seperjuangan dalam masa menempuh studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari, 2007 Ratna Katharina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 1 Agustus 1960 sebagai anak sulung dari pasangan Gustaf Tambunan dan Theodora S. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Magister pada program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003. Setelah bekerja di perusahaan swasta dan lembaga pemerintahan, saat ini penulis lebih banyak berkecimpung pada pengembangan masyarakat desa.
DAFTAR ISI Halaman
I.
DAFTAR TABEL .....................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................
x
PENDAHULUAN ......................................................................
1 1 3 7 7 7 8 12 12
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7. 1.8.
II.
Latar Belakang ...................................................................... Perumusan Masalah................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................... Ruang Lingkup ........................................................................... Kerangka Pemikiran .................................................................. Hipotesis Penelitian ................................................................... Kebaruan Penelitian ..................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 2.1. 2.2. 2.2. 2.3. 2.4.
Erosi, Dampak dan Upaya Pengendaliannya ............................ Erosi Yang Diperbolehkan ......................................................... Biaya Erosi Tanah .................................................................... Peran Konservasi Tanah dalam Mencegah Erosi...................... Pertanian Lahan Kering Dataran Tinggi dan Sistem Pertanian Konservasi (SPK) ...................................................................... 2.5. Andisols, Potensi dan Kendalanya ............................................ 2.6. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi dan Manfaatnya .............. 2.7. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Adopsi Sistem Pertanian Konservasi ................................................................................. 2.8. Model SCUAF dan Hasil Penelitian Terdahulu ........................... 2.9. Tanaman Kentang .....................................................................
III.
METODE PENELITIAN ........................................................... 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
IV.
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... Teknik Pengambilan Contoh ..................................................... Jenis dan Sumber Data ............................................................. Analisis Data ............................................................................. 3.4.1. Analisis Data untuk Tujuan 1 ........................................ 3.4.2. Analisis Data untuk Tujuan 2 ........................................ 3.4.3. Analisis Data untuk Tujuan 3 .........................................
KARAKTERISTIK WILAYAH DAN SISTEM USAHATANI RESPONDEN ........................................................................... 4.1. Geografi dan Administrasi .........................................................
14 14 19 20 24 29 32 33 37 44 47 48 48 45 49 51 51 52 55
62 62
v
Halaman 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6.
V.
Iklim ........................................................................................... Penggunaan Lahan dan Kondisi Tanah ................................... Populasi dan Kegiatan Ekonomi ............................................... Sarana Pendidikan ................................................................... Kebijakan dan Program Pembangunan Pertanian Kabupaten Bandung 2004.......................................................... 4.7. Karakteristik Sistem Usahatani Responden .............................
69 71
ADOPSI SISTEM PERTANIAN KONSERVASI .......................
85
5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Pertanian Konservasi.................................................................................. 5.2. Pengaruh Faktor-faktor Produksi dan Adopsi Konservasi Terhadap Produksi Usahatani Sayuran ...................................... 5.3. Pengaruh Adopsi Sistem Pertanian Konservasi terhadap Kualitas Sumberdaya Lahan dan Pendapatan Usahatani ... 5.3.1. Pendapatan, Kentang dalam Satu Musim Tanam (MT)................................................................................ 5.3.2. Erosi, Kadar Bahan Organik dan Unsur Hara Tanah serta Pendapatan Usahatani Jangka Panjang (Proyeksi untuk 20 tahun).............................................. 5.4. Sintesis dan Implikasi Hasil Penelitian....................................
62 63 66 68
87 93 102 103
106 124
6.1. Simpulan .................................................................................. 6.2. Saran untuk aplikasi .................................................................. 6.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan.................................................
130 130 131 132
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
133
LAMPIRAN ........................................................................................
145
VI.
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Produktivitas tanaman kentang dan kubis di Kecamatan Pangalengan, 1995-2004...................................................................
9
2
Jumlah sampel desa, PPL, dan petani ..............................................
49
3
Jenis dan sumber data .....................................................................
50
4
Ringkasan tujuan, data yang dikumpulkan, sumber data, teknik analisis dan output penelitian ...........................................................
52
Diskripsi tiga sistem usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan yang digunakan dalam simulasi SCUAF ..........................................
57
6
Tata guna lahan di Kecamatan Pangalengan, 2005 .........................
64
7
Luas lahan kering dan lahan sawah Kecamatan Pangalengan, 2004
64
8
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pangalengan, 2005 .....
66
9
Sarana perekonomian di Kecamatan Pangalengan .........................
67
10
Sarana pendidikan Kecamatan Pangalengan, 2005 ........................
69
11
Jumlah penduduk menurut pendidikan ............................................
69
12
Penggolongan umur responden .......................................................
71
13
Pendidikan responden ......................................................................
71
14
Pengalaman bertani responden ......................................................
72
15
Pengalaman kursus usahatani dan organisasi responden ...............
73
16
Luas tanam, panen, produksi dan produktivitas jagung di tiga kecamatan, Kabupaten Bandung, 2004 ............................................
76
Luas tanam, luas panen, dan produktivitas enam jenis sayuran di Kecamatan Pangalengan, 2004 .......................................................
76
18
Analisis usahatani beberapa komoditas pertanian per hektar, 2004..
77
19
Sistem tanam responden dan luasan lahan sistem tanam ................
83
5
17
vii
Halaman 20
Data kemiringan lereng lahan dan sistem penanamannya Per responden dan per petak usahatani..................................................
88
21
Hasil estimasi model adopsi .............................................................
89
22
Persentase serangan penyakit layu bakteri pada pertanaman kentang dengan berbagai teknik konservasi tanah di Kecamatan Batur, Jawa Tengah ...........................................................................
95
Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani kentang responden, di Kecamatan Pangalengan ............................................
97
Perbandingan penerimaan, biaya, keuntungan, produktivitas tanah usahatani kentang di Pangalengan berdasarkan sistem penanaman per MT 2005 ......................................................................................
104
25
Studi terdahulu erosi petak percobaan pada tanaman kentang.........
105
26
Proyeksi erosi tanah ketiga sistm tanam kentang di kecamatan Pangalengan pada tahun ke-1 (T1) dan tahun ke-20 (T20) ..............
108
23
24
27
Perbandingan sifat kimia tanah Pangalengan pada tahun 1991 dan 2003 ...................................................................................................
28
Proyeksi hilangnya unsur C, hara N dan P akibat erosi tanah ketiga sistem tanam kentang pada tahun ke-1(T1) dan tahun ke-20(T20)...
113
Proyeksi pupuk kandang, urea, dan SP36 pengganti untuk hilangnya C, hara N dan P ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan pada tahun ke-1(T1) dan tahun ke-20 (T20) ...............
115
Nilai kini (PV) unsur C, N, dan P yang hilang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanamannya (Rp) ....................................................................................................
116
31
Kandungan hara N, P, K tanah di Kecamatan Pangalengan .............
118
32
Perbandingan nilai kini bersih (NPV) usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanaman (Rp) ................................................................................
119
Perbandingan nilai kini bersih (NPV) usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan faktor diskonto 18%, 25%, dan 35% (Rp).....................................................
122
29
30
33
110
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pikir adopsi konservasi tanah usahatani sayuran lahan kering dataran tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung ...................
6
2
Mengukur biaya erosi tanah di lokasi (on-site) dengan pendekatan biaya pengganti......................................................................................
23
3
Kerangka kerja pemodelan biofisik-ekonomi ........................................
56
4
Curah hujan Pangalengan tahun 1998 - 2004 ......................................
63
5
Penanaman pada guludan searah lereng..............................................
78
6
Penanaman pada pada guludan searah lereng ...................................
79
7
Penanaman kentang pada teras bangku ..............................................
79
8
Penggunaan mulsa plastik perak hitam ................................................
82
9
Tenaga kerja wanita usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan...
96
10 Teras bangku yang diubah menjadi penanaman pada guludan searah lereng ....................................................................................................
100
11 Proyeksi erosi tanah pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun..............................................
108
12 Hilangnya Unsur C pada tiga sistem penanaman di Kecamatan Pangalengan..........................................................................................
111
13 Hilangnya unsur hara N pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan.......................................................................
112
14 Hilangnya unsur hara P pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan. .....................................................................
113
15 Proyeksi produksi kentang pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan untuk 20 tahun ................................................................
117
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Lokasi penelitian .................................................................................
143
2
Lokasi desa penelitian di Kecamatan Pangalengan ............................
144
3
Data curah hujan Pangalengan 1998 – 2004 dari statsiun pencatat curah hujan Plengan, Pangalengan .....................................................
145
Kebutuhan tenaga kerja untuk penanaman searah kontur dan pembuatan teras bangku per hektar .....................................................
145
5
Topografi, sifat fisik, dan kimia tanah Pangalengan ............................
146
6
Parameter model SCUAF ....................................................................
147
7
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + adopsi 2 ...............................
148
8
Korelasi antar variabel independen ......................................................
149
9
Respesifikasi model untuk mengurangi gejala multikolinearitas............
150
10
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + adopsi 2-respesifikasi ..........
151
11
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + adopsi 2 (tanpa luas lahan)..
152
12
Kondisi hubungan masing-masing input dengan output usahatani kentang di Pangalengan .......................................................................
153
13
Prediksi erosi tanah, unsur C, dan hara N, P ........................................
154
14
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 15%...............
155
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 15%...............
156
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng15%...........
157
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 50%...............
158
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 50% .............
159
4
15
16
17
18
x
Halaman 19
20
21
22
23
24
25
Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 50% .........
160
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada duludan searah lereng dengan kecuraman lereng 15% .....................................
161
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 15% .....................................
162
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 15% .............................
163
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 50% .....................................
164
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 50% .....................................
165
Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 50% .............................
165
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kepedulian akan
berbagai akibat dari degradasi lahan karena kegiatan
pertanian dan munculnya berbagai masalah seperti erosi tanah lahan pertanian, pendangkalan waduk, dan sebagainya, menyebabkan berbagai negara mengambil kebijakan untuk menerapkan konservasi tanah.
Beberapa negara membuat
undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan konservasi tanah dengan maksud untuk mencegah petani melakukan kegiatan usahatani yang bersifat merusak lahan dengan mendorong para petani mengadopsi praktek-praktek konservasi. Sementara beberapa negara lainnya memilih memberi subsidi pada penerapan praktek konservasi tertentu – khususnya bangunan-bangunan konservasi mekanik seperti teras bangku. Kenyataannya, usaha-usaha yang dilakukan tersebut sering memberikan hasil jauh dari harapan. Berbagai peraturan yang berhubungan dengan penggunaan lahan yang telah dibuat pemerintah, di lapangan sangat sukar untuk dilaksanakan karena sangat luasnya ruang penyebaran berbagai kegiatan pertanian dan apalagi untuk negaranegara berkembang sering diikuti oleh lemahnya kekuatan hukum. Subsidi walaupun sering cukup berhasil bila dipakai sebagai alat untuk mendorong adopsi konservasi, namun kenyataannya - dalam beberapa kasus - petani justru sering tidak mengadopsi teknik konservasi yang diperkenalkan – bahkan kadang-kadang dengan sengaja merusak bangunan konservasi yang sudah dibuat begitu subsidi selesai (Pagiola, 1999) atau dengan kata lain efek dari subsidi hanya bersifat sementara (Huszar et al., 1995). Pada kasus yang lain, usaha-usaha untuk mendorong praktek konservasi, oleh petani sering dianggap hanya berupa tanda pernah bekerjasama dengan pemerintah (Enters, 1996). Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia saat ini, ternyata telah diikuti oleh semakin besarnya luas kerusakan lahan yang ada. Berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penanggulangan kerusakan lahan kering telah dilakukan pemerintah. Usaha-usaha konservasi tanah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia menurut BAPPENAS Bidang Regional dan Daerah antara lain Upland Agriculture and Conservation Project (UACP) di Daerah Aliran Sungai (DAS)
2
Citanduy II Jawa Barat dan DAS Brantas dan Jatrunseluna Jawa Timur (1984-1992), Yogyakarta Upland Agriculture Development Project (YUADP) di Perbukitan Kritis Yogyakarta, Jawa Tengah (1990-1998), National Watershed Management dan Conservation Project (NWMCP) di DAS Cimanuk, Jawa Barat (1995-2000) dan Upland Farmer Development Project (UFDP) di Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur (1993-2000). Namun demikian, proses erosi lahan di lahanlahan pertanian masih cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan karena masih banyak petani yang belum menerapkan teknik-teknik konservasi tanah secara benar, khususnya pada lahan kering yang diusahakan di daerah hulu dengan kemiringan topografi yang cukup besar. Pada pertanian di daerah hulu, erosi tanah di lokasi usahatani (on-site) dapat menyebabkan hilangnya kapasitas produktivitas dan hilangnya kemampuan tanah untuk menyimpan air. Data hasil estimasi lapangan dan pengukuran erosi petak kecil menunjukkan beberapa kasus, antara lain: (a) jumlah erosi pada jenis tanah haplohumults Jasinga, Bogor dengan kemiringan lahan 5-15% adalah 90,5 ton/ha/tahun (Kurnia et al., 1997), (b) jumlah erosi pada jenis tanah andisol di Desa Batulawang, Pacet, Cianjur dengan kemiringan lahan 922% sebesar 252,0 ton/ha/tahun (Suganda et al., 1997), dan (c) erosi DAS Citarum, Jawa Barat untuk lahan sawah sebesar 0,3–1,5 ton/ha/tahun sedangkan erosi lahan kering 5,7-16,5 ton/ha/tahun (Sutono et al., 2003). Dampak erosi di daerah hulu mengakibatkan kerusakan di daerah hilir (off-site) atau di luar lokasi usahatani. Kerusakan di daerah hilir (off-site) ini ditandai dengan adanya sedimentasi yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada saluran sungai, situ, waduk, sistem tata air dan saluran irigasi, peningkatan biaya-biaya pada pengguna air di daerah hilir.
Di Jawa hampir semua sungai, situ, atau waduk
mengalami sedimentasi yang tinggi. Magrath dan Arens (1989) menyatakan bahwa perkiraan kehilangan tanah di lahan kering Jawa Barat sebesar 144.3 ton/ha/tahun dengan kehilangan kapasitas produktivitasnya setiap tahun berkisar antara 0-12%. Penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani tanaman sayuran di lahan kering dataran tinggi diharapkan selain mampu menekan laju erosi juga harus dapat memberikan hasil yang cukup tinggi bagi petani dalam jangka pendek tanpa merusak sumberdaya lahan untuk penggunaan jangka panjang. Upaya pegendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik konservasi tanah yang paling tepat diterapkan pada suatu lahan pertanian karena setiap teknik konservasi mempunyai kekurangan
3
dan kelebihan masing-masing serta mempunyai persyaratan berbeda pula. Pendekatan baru pengelolaan lahan kering yang menjadi fokus pembangunan pertanian adalah kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya lahannya yang dapat diwujudkan dalam Sistem pertanian konservasi/SPK (Conservation Farming System). SPK merupakan pertanian yang memadukan penerapan pola tanam dan tindakan konservasi tanah yang disesuaikan dengan keadaan setempat (site spesific). Sesuai tidaknya pilihan teknik konservasi sangat ditentukan oleh faktor hujan, topografi daerah, dan vegetasi (Sinukaban, 1994). Usahatani tanaman sayuran di Pangalengan seyogianya diharapkan juga mampu menekan laju erosi lahan pertanian dan dapat memberikan hasil yang cukup tinggi bagi petani dalam jangka pendek tanpa merusak sumberdaya lahannya dalam waktu jangka panjang. Harapan ini dapat diwujudkan bila petani di Pangalengan menjalankan sistem pertanian konservasi dalam usahataninya mengingat lahan di Pangalengan merupakan lahan kering dataran tinggi. Sejauh mana petani Pangalengan sudah mengikuti kaedah sistem pertanian konservasi menjadi kajian penelitian ini. Kajian dalam penelitian ini meliputi bagaimana dampak berbagai teknik penanaman yang ada di Pangalengan terhadap erosi tanah, produktivitas, faktorfaktor yang mempengaruhi petani mau atau tidak mengadopsi sistem pertanian konservasi, serta manfaat ekonomi yang dilakukan melalui pendekatan fisik, sosial dan ekonomi. Dengan mengerti apa manfaat dari sistem pertanian konservasi ini jangka panjang maka akan mendorong petani untuk lebih mau mengadopsi sistem pertanian konservasi dilahannya.
1.2. Kerangka Pemikiran Sistem pengelolaan lahan (pertanian) mempunyai hubungan yang erat dengan erosi. Laju erosi tanah sangat dipengaruhi oleh bagaimana lahan tersebut dikelola. Tidaklah mungkin menekan laju erosi sampai nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian tertutama pada tanah-tanah berlereng. Namun demikian, jumlah maksimum tanah yang hilang agar produktivitas lahan tetap lestari, harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Untuk daerah-daerah yang digunakan untuk pertanian terutama daerah berlereng, jumlah tanah hilang hampir selalu lebih besar dari tanah yang terbentuk. Oleh karena itu perlu penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau
4
ditoleransi. Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Jika laju Edp dapat diperkirakan maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Laju erosi pada sebidang lahan dipengaruhi oleh erosivitas (intensitas dan jumlah) hujan (R), erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman (C), dan faktor pengelolaan lahan/tindakan konservasi (P). Apabila laju erosi tanah dari suatu lahan pertanian tergolong tinggi maka perlu dianalisis faktor erosi mana yang berpeluang untuk dikurangi pengaruhnya melalui perbaikan-perbaikan tindakan konservasi. Jumlah dan intensitas hujan tidak dapat diubah, sehingga peluang perubahan ada pada faktor erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, faktor pengelolaan pertanaman, dan tindakan konservasi tanah. Erodibilitas tanah dapat diubah atau diturunkan, antara lain dengan penambahan bahan organik (kompos, pupuk kandang, pupuk hijau). Kemiringan dan panjang lereng dapat diubah dengan pembuatan teras bangku atau teras gulud, atau pembuatan saluran memotong lereng, dan sebagainya. Pengubahan kemiringan dan panjang lereng ini dianggap tindakan-tindakan konservasi untuk mengubah nilai faktor P. Sedangkan untuk faktor C berhubungan dengan pemilihan tanaman sebagai vegetasi penutup lahan oleh tumbukan dan aliran air hujan. Kualitas lahan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Pemanfaatan sumberdaya lahan kering di dataran tinggi untuk pertanian di satu sisi merupakan perwujudan dari upaya pemanfaatan optimal sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
Namun demikian keberhasilan pemanfaatan lahan
kering dataran tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari motivasi petani yang tercermin dari pemilihan pola usahatani untuk memenuhi kebutuhan diversifikasi pangan. Usahatani secara intensif di dataran tinggi dengan kemiringan lereng yang tajam secara langsung sering berbenturan dengan tujuan konservasi tanah padahal peningkatan produktivitas sangat berhubungan erat dengan konservasi tanah. Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan di masa mendatang akan menyebabkan bertambah tingginya resiko yang akan dialami
5
petani khususnya petani marjinal karena erosi tanah akan menyebabkan penurunan produktivitas lebih besar lagi. Oleh karena itu sistem pertanian konservasi selain bertujuan untuk meningkatkan produktivitas yang sekaligus juga berpengaruh terhadap pendapatan, juga bertujuan untuk mempertahankan kualitas lahan sehingga sistem pengelolaan suatu lahan dapat berkelanjutan tanpa batas. Manfaat sistem pertanian konservasi ini tidak saja akan dapat dirasakan oleh petani di lokasi (on-site) tetapi juga akan dirasakan oleh masyarakat/petani di luar lokasi (off-site). Namun demikian manfaat ekonomi dari konservasi ini tidak langsung dirasakan segera. Manfaat ini akan terlihat setelah (T) tahun mengadopsi sistem pertanian konservasi (Barbier, 1995). Untuk itu petani/pengguna lahan perlu mendapat informasi bagaimana tindakan konservasi yang diadopsi
mempunyai implikasi
finansial maupun ekonomi. Manfaat dan biaya dari setiap tindakan pengelolaan atau teknik penanaman pertanian hortikultur sayuran di Pangalengan akan dihitung sehingga berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat tindakan pengelolaan lahan mana yang paling memberikan manfaat ekonomis terbesar. Secara
umum
faktor
penghambat
terbesar
dalam
memperkenalkan
pelaksanaan konservasi tanah di negara berkembang dipengaruhi dua kelompok variabel, yaitu variabel yang termasuk ke dalam lingkungan sosial ekonomi dan variabel yang termasuk ke dalam lingkungan bio-fisik (Juo dan Thurow, 1998; Pagiola, 1999; Thao, 2001; The, 2001; Ravnborg, 2002; Sanim dan Siregar, 2002; Antle et al., 2004). Variabel-variabel lingkungan sosial ekonomi antara lain adalah karakteristik rumah tangga (umur, pendidikan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga/jumlah tenaga kerja yang tersedia, luas lahan yang dimiliki, tingkat pendapatan luar usahatani, jarak lahan ke rumah/ aksesibilitas tempat tinggal ke lahan, keadaan pasar (pasar input maupun pasar output), tingginya biaya modal, biaya tambahan untuk menerapkan konservasi tanah), manfaat konservasi terhadap produktivitas dan pendapatan, dan kelembagaan (status lahan, perkreditan, insentif, keanggotaan dalam suatu organisasi). Sedangkan variabel yang termasuk lingkungan bio-fisik, antara lain adalah kondisi iklim atau curah hujan, kemiringan lahan, ancaman hama dan penyakit, dan jenis tanah. Kedua variabel tersebut tidak saja mempengaruhi pemilihan petani terhadap jenis tanaman apa saja yang akan ditanam di lahan yang dimilikinya, tetapi juga mempengaruhi pemilihan metode konservasi tanah yang diterapkannya.
6
Karena manfaat konservasi tidak dapat langsung dirasakan segera sedangkan petani ingin mendapatkan hasil yang segera, khususnya petani marjinal, maka akan sulit bagi petani untuk melakukan tindakan konservasi, apalagi tindakan konservasi juga akan meningkatkan pengeluaran bagi petani. Oleh karena itu, perlu dicari faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat petani, terutama petani marjinal, mau mengadopsi teknik konservasi tanah dalam usahataninya dengan meneliti hubungan antar variabel yang mempengaruhi adopsi konservasi.
Secara
diagramatis skema kerangka pemikiran adopsi sistem pertanian konservasi usahatani sayuran di lahan kering dataran tinggi Pangalengan, Bandung dapat dilihat pada Gambar 1.
Faktor biofisik - kemiringan lereng - Iklim dan jenis tanah
Karakteristik RT petani - umur dan pendidikan kepala keluarga - jumlah tenaga kerja - jarak usahatani ke rumah - tingkat pendapatan di luar usahatani - luas lahan - produksi - pasar (input/output)
Kelembagaan - status lahan - kredit - insentif - keanggotaan dalam organisasi pelestarian SDA
Adopsi Sistem Pertanian Konservasi
Manfaat Adopsi Sistem Pertanian Konservasi - Erosi - Produktivitas - Pendapatan
Gambar 1 Kerangka pikir adopsi sistem pertanian konservasi usahatani kentang di lahan kering dataran tinggi Pangalengan, Bandung.
7
Eksternalitas sistem usahatani di Pangalengan terutama berhubungan dengan erosi tanah dan penggunaan bahan kimia pestisida. Erosi dan pencemaran pestisida tidak hanya berdampak pada daerah hulu atau di tingkat usahatani (on-site) tetapi juga berdampak pada daerah hilir atau di luar lokasi usahatani (off-site) akibat aliran permukaan (run-off) dari hulu/dataran tinggi. Dampak tersebut meliputi sedimentasi di situ/dam, kerusakan pada saluran irigasi, dan juga berdampak pada pertanian, perikanan, industri di daerah dataran rendah dan pantai. Dampak lainnya berupa turunnya kualitas air, siklus banjir dan kekeringan. Dampak ini tentunya bersifat lokal dan bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan pertanian dataran tinggi adalah memperkenalkan pelaksanaan teknik konservasi tanah ke dalam sistem pertanian. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami hambatan. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi, dari hasil studi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi petani maupun pemerintah untuk menjawab mengapa adopsi sistem pertanian konservasi di Kecamatan Pangalengan masih rendah.
1.3. Perumusan Masalah Kecamatan Pangalengan berada di wilayah Sub-DAS Citarik, dengan daerah tangkapannya Citere, terletak di hulu sungai Cisangkuy dari DAS Citarum. Daerah tangkapan Citere berfungsi sebagai penyangga suplai air untuk tiga waduk yaitu Waduk Cirata, Waduk Saguling, dan Waduk Jatiluhur. DAS Citarik merupakan wilayah yang mempunyai tingkat kekritisan yang paling besar bila dibandingkan SubDAS lain dalam DAS Citarum dan mengancam daerah-daerah di bawahnya termasuk Kabupaten Bandung bagian Selatan dan sekitarnya. Sub-DAS Cisangkuy, termasuk di dalamnya Kecamatan Pangalengan, merupakan prioritas kedua dalam penanganan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah DAS Citarum. Sebagaimana DAS lainnya di Indonesia, kondisi Sub-DAS Citarik cukup memprihatinkan. Erosi di Sub-DAS Citarik berkisar antara 22.7–335.0 ton/ha/tahun (SBRLKT Sub-DAS Citarik, 1987). Sebagian besar wilayah Sub-DAS Citarik (71%) merupakan areal pertanian lahan kering dataran tinggi (± 1450 m dpl). Erosi tanah menjadi salah satu
8
kendala penting dalam keberlanjutan produktivitas pertanian di berbagai tempat di dunia ini (Pimentel et al., 1995 dan Pagiola, 1999). Hidayat et al. (2002) menyatakan bahwa pengembangan tanaman yang baik untuk wilayah Pangalengan adalah tanaman tahunan. Kenyataannya, Pangalengan merupakan kawasan usahatani tanaman semusim, sentra hortikultur sayuran terutama kentang dan kubis, yang memang cocok tumbuh di daerah Pangalengan dimana tanaman tersebut juga mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, sehingga banyak petani yang mengusahakannya secara intensif. Mengingat lebih dari 70% Pangalengan merupakan wilayah berbukit sampai bergunung dan mempunyai curah hujan yang tinggi maka usahatani sayuran seharusnya memperhatikan konservasi tanah. Disamping itu jenis tanah dataran tinggi Pangalengan termasuk dalam ordo Andisols. Tanah andisols memang subur dan baik untuk pertanian karena banyak mengandung bahan organik. Masalah yang paling menonjol adalah andisols pada wilayah berlereng mempunyai sifat stabilitas tanah yang rendah. Bila mengalami kekeringan, andisols tidak mempunyai kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air kembali seperti semula (Munir, 1996). Selain itu, Rompas (1996) juga menunjukkan bahwa kepekaan tanah Pangalengan terhadap erosi (erodibilitas) adalah 0.29 (kriteria sedang). Walaupun masih dalam kriteria sedang, namun angka tersebut sudah mendekati 0.3 yang dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi (K) masuk dalam kriteria agak tinggi (Hardjowigeno, 2003). Keadaan ini mengharuskan usahatani sayuran Pangalengan menerapkan sistem pertanian konservasi. Usahatani sayuran di lahan kering dataran tinggi Pangalengan diharapkan telah menerapkan sistem pertanian konservasi. Pada kenyataannya petani sayuran di Pangalengan belum sepenuhnya mempraktekkan konservasi konservasi tanah di dalam usahataninya. Dengan kata lain adopsi sistem pertanian konservasi yang menjamin keberlangsungan sumberdaya tanah dan air di Pangalengan masih rendah (Hernawati, 1992; Yuwono, 1993; Banuwa, 1994; Sinukanan et al., 1994; Jaya 1994; Rahmawati, 1995; Rompas, 1996; Katharina, 2001). Hal ini ditandai dengan: (1) tingginya erosi tanah pada areal pertanaman sayuran. Berdasarkan pendekatan penetapan nilai erosi yang masih dapat dibiarkan menurut konsep Hammer (1981) dalam Arsyad (2000) maka batas tertinggi laju erosi di Pangalengan yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi adalah 12.75 ton/ha/tahun. Banuwa
9
(1994) melaporkan erosi yang terjadi per musim tanam (MT) pada tanaman kentang yang ditanam pada guludan searah lereng dan kontur masing-masing sebesar 45.2 ton/ha dan 11.6 ton/ha. Sinukaban et al. (1994) menyatakan jumlah erosi yang terjadi pada areal pertanian tanaman pangan di Pangalengan tanpa teknik konservasi tanah setiap tahunnya sebesar 218.0 ton/ha. Pidio (2004) melaporkan erosi yang terjadi pada tanaman kentang per musim tanam (MT) yang ditanam di atas guludan searah lereng dan kontur masing-masing sebesar 56.31 ton/ha dan 26.31 ton/ha, (2) turunnya produktivitas kentang dan kubis di Pangalengan. Dinas Pertanian Kabupaten Bandung (2004) melaporkan terjadinya gejala penurunan produktivitas dan stagnasi pada tingkat input yang lebih tinggi di Pangalengan (Tabel 1). Tabel 1 Produktivitas tanaman kentang dan kubis di Kecamatan Pangalengan 1995 – 2004 Produktivitas (ton/ha) Tahun Kentang Kubis 1995 21.26 30.0 1996 22.46 28.3 1997 20.80 29.9 1998 20.00 30.0 1999 19.76 29.0 2000 16.60 26.3 2001 17.31 27.8 2002 18.29 23.7 2003 19.77 23.6 2004 19.91 27.8 2005 * 18.75 (per MT) Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004), * diolah, per musim tanam
Untuk kentang, sejak tahun 1999 sampai 2004 produktivitasnya selalu di bawah 20 ton/ha dari yang seharusnya 25-30 ton/ha sedangkan untuk kubis juga menurun, di bawah 30 ton/ha dari yang seharusnya 35-40 ton/ha.
Rata-rata
produksi kentang yang diperoleh dari penelitian untuk tahun 2005 adalah 18.79 ton per musim tanam (MT) yang juga menunjukkan gejala penurunan produktivitas dibandingkan tahun sebelumnya, dan (3) munculnya lahan kritis di Pangalengan. Lahan kering untuk pertanian yang berpotensi menjadi lahan kritis yang ada di kecamatan Pangalengan adalah sebesar 6 223 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, 2004). Jumlah lahan kritis di Kecamatan Pangalengan tahun 2004 adalah sebesar 2 227 ha dan penanganan lahan kristis yang sudah dilakukan pada tahun
10
yang sama adalah 660.50 ha, sehingga sisa lahan kritis di kecamatan Pangalengan sampai akhir 2004 adalah 1556.50 ha (Dinas Pertanian, Kab. Bandung, 2004). Dari berbagai studi terdahulu erosi dan teknik konservasi tanah yang sudah dilakukan di Pangalengan, menunjukkan bahwa teknik konservasi tanah secara mekanik
pengolahan
tanah
menurut
kontur
atau
penanaman
pada
guludan/bedengan memotong lereng (searah kontur) dianggap memberikan dampak erosi relatif lebih kecil dibandingkan dengan penanaman pada guludan searah lereng. Teknik konservasi tersebut efektif menekan aliran permukaan dan erosi, tidak menyebabkan munculnya hama penyakit seperti yang dikuatirkan oleh petani Pangalengan, tidak menurunkan produktivitas, serta mudah dilakukan petani. Namun demikian, dari berbagai studi yang dilakukan di atas belum menyebutkan bagaimana dampak produktivitas dan erosi yang muncul dari penanaman sayuran kentang yang mengadopsi teknik konservasi tanah mekanik teras bangku sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan produktivitas dan erosi yang muncul dari penanaman sayuran pada guludan searah kontur. Seperti diketahui bahwa untuk dataran tinggi berlereng/bergunung, selain teknik pengolahan tanah menurut kontur, teknik konservasi tanah mekanik lainnya yang juga cocok dan baik untuk dataran tinggi adalah teras (bangku/berdasar lebar). Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan tanah. Dengan demikian erosi berkurang. Di Pangalengan didapati juga petani yang sudah menerapkan teknik konservasi tanah mekanik teras dalam usahatani sayurannya. Penerapan teknik konservasi tanah, baik pengolahan tanah menurut kontur maupun teras, dalam usahatani sayuran di Pangalengan akan mencegah berbagai permasalahan lingkungan yang telah disebutkan di atas. Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah jika sistem pertanian konservasi memang bermanfaat, mengapa tidak semua petani mengadopsinya? Apakah adopsi sistem pertanian konservasi memang mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan? Faktorfaktor apa yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi? Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut.
11
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini secara umum
adalah menganalisis adopsi sistem pertanian konservasi di lahan kering dataran tinggi Pangalengan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mendorong praktekpraktek penggunaan lahan berkelanjutan pada areal dataran tinggi. Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi usahatani kentang. 3. Menganalisis pengaruh adopsi sistem pertanian konservasi terhadap kualitas sumberdaya lahan dan pendapatan usahatani kentang.
1.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran maka hipotesis penelitian adalah: 1. Keputusan petani kentang mengadopsi sistem pertanian konservasi dipengaruhi oleh kondisi lahan dan kondisi sosial ekonomi. 2. Adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng dalam jangka pendek menurunkan produksi usahatani kentang. 3. Adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng dalam jangka panjang meningkatkan pendapatan usahatani lebih besar dibandingkan yang tidak mengadopsi.
1.6. Manfaat Penelitian 1. Membekali petani (pengguna/pemilik lahan) untuk mendapatkan informasi dalam memutuskan adopsi sistem penggunaan lahan/teknik konservasi tanah yang tepat bagi lahannya. 2. Membantu petani dan pemerintah untuk lebih sadar lagi akan dampak/biayabiaya yang muncul dari erosi tanah di lokasi (on-site) dan manfaat-manfaat konservasi tanah.
12
3. Bagi peneliti lain yang berminat pada masalah yang sama, penelitian ini diharapkan merupakan sumbangan yang berharga, terutama penelitian yang berkaitan dengan penilaian ekonomi lingkungan.
1.7. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan pada rumahtangga pertanian sayuran, yaitu komoditas kentang karena selain menjadi komoditas unggulan sehingga petani lebih memilih menanam kentang, Pangalengan juga menjadi sentra penghasil kentang di Jawa Barat. Lingkup penelitian ini dibatasi pada aspek fisik dan sosial ekonomi usahatani. Untuk kajian fisik meliputi analisis terhadap kondisi lahan yaitu kemiringan lereng lahan dan teknik konservasi tanah secara mekanik yang digunakan petani sayuran Pangalengan.
Untuk kajian sosial ekonomi usahatani meliputi analisis terhadap
kondisi sosial, ekonomi, dan juga kelembagaan petani sayuran Pangalengan. Pola tanam dengan penanaman kentang dengan sistem teras bangku dan penanaman kentang pada guludan searah kontur dikategorikan sebagai usahatani yang sudah menerapkan konservasi tanah mekanik (sistem pertanian konservasi) dan pola tanam dengan penanaman kentang pada guludan searah lereng dikategorikan sebagai pertanian yang belum mengadopsi sistem pertanian konservasi. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan kajian kebijakan, meskipun hasil penelitian bermanfaat bagi perumusan kebijakan yang terkait dengan konservasi lahan. Saran atau rekomendasi yang dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari hasil penelitian, memang berguna dan bersifat khusus untuk daerah penelitian namun rumusan detail dari kebijakan serta bagaimana caranya kebijakan itu
dapat
diimplementasikan
tentunya
memerlukan
memfokuskan pada analisis kelembagaan.
penelitian
yang
lebih
Dalam penelitian ini masalah
kelembagaan tidak dibahas secara mendalam.
1.8. Kebaruan Penelitian Permasalahan
erosi
dan
degradasi
tanah
pada
dasarnya
adalah
permasalahan yang bersifat multiaspek. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan
fenomena
mengapa
petani
tidak
menerapkan
praktek-praktek
usahatani yang dapat menjaga keberlanjutan dari tanah yang diusahakan. Namun
13
penelitian-penelitian tersebut cenderung membatasi kajiannya pada aspek tertentu dari erosi dan degradasi tanah. Sebagai contoh, penelitian oleh Sinukaban et al. (1994), Suganda et al. (1997) dan Kurnia et al. (1997) lebih memfokuskan penelitiannya pada aspek bio-fisik tanah dari konservasi, Pagiola (1999), Pedro et al. (1997), dan Sanim dan Siregar (2002) meninjau konservasi tanah dari aspek sosial dan finansial, sementara Hwang et al. (1994) meninjau konservasi tanah dari aspek biaya konservasi tanah dan kelembagaan. Penelitian adopsi sistem pertanian konservasi ini meninjau dari sudut pandang petani (private) – sesuai dengan arahan permasalahan penelitian mengapa petani banyak yang tidak mengadopsi sistem pertanian konservasi padahal sistem pertanian konservasi bagus – namun sudut pandang petani/private ini mempunyai implikasi yang bersifat atau berlaku bagi banyak petani atau orang lain dengan demikian dapat mengetahui perilaku petani sehingga dapat mengetahui atau memformulasikan kebijakan publik yang tepat. Penelitian adopsi sistem pertanian konservasi ini menggunakan pendekatan multiaspek untuk menjawab mengapa dan faktor-faktor apa saja yang terkait dengan adopsi konservasi oleh petani. Dalam penelitian ini berbagai parameter biofisik dimanfaatkan untuk menduga pengaruh adopsi sistem pertanian konservasi terhadap produksi dalam jangka panjang. Di samping itu, dalam penelitian model adopsi konservasi tidak saja menggunakan variabel-variabel sosial ekonomi, tetapi juga memasukkan aspek kelembagaan dan aspek fisik (kecuraman lereng) lahan petani. Pada penelitian ini setiap sampel lahan milik petani diukur kemiringan lerengnya dan data kemiringan lereng tadi masuk ke dalam pendugaan model. Dari berbagi literatur yang diperoleh, variabel lereng belum dimasukkan sebagai faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi. Kebaruan penelitian ini terletak pada permasalahan yang sederhana namun memiliki implikasi yang luas dari sisi kebijakan dan memperkuat landasan teori yang ada dalam konservasi bahwa konservasi memiliki manfaat nyata dalam jangka panjang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Erosi, Dampak dan Upaya Pengendaliannya Sebagai sumberdaya alam, tanah mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai
sumber unsur hara bagi tanaman, dan (2) tempat akar tumbuh, tempat air tersimpan dan tempat unsur hara ditambahkan. Menurun atau hilangnya kedua fungsi tanah tersebut disebut degradasi tanah (Arsyad, 2000). Menurunnya fungsi tanah pertama dapat diperbaiki dengan pemupukan, tetapi menurunnya fungsi tanah kedua tidak mudah diperbaharui sehingga memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk memperbaharuinya. Salah satu penyebab terdegradasinya lahan berlereng adalah erosi. Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, turun/rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya, turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan untuk membuka lahan baru, munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak. Dampak langsung di luar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan. Dampak tidak langsung di luar tempat kejadian erosi yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000). Salah satu dampak lingkungan yang muncul akibat pembangunan pertanian – baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi – adalah degradasi lahan atau erosi tanah. Erosi tanah merupakan ancaman lingkungan utama terhadap keberlanjutan dan kapasitas produksi pertanian dunia saat ini. Selama hampir 40 tahun, hampir
15
sepertiga tanah yang baik untuk ditanami (arable land) dunia telah rusak atau hilang akibat erosi dan kehilangan ini akan terus berlanjut dengan laju rata-rata lebih dari 10 juta hektar per tahun. Pimentel et al. (1995) melaporkan di Amerika setiap tahun diperkirakan 4000 juta ton tanah dan 130 000 juta ton air hilang dari 160 000 juta ha lahan pertanian. Bila angka tersebut dihitung sebagai kehilangan ekonomi erosi onsite maka akan setara dengan $ 27 juta setiap tahun, dimana $ 20 juta untuk penggantian hara tanah, sedangkan $ 7 juta untuk pengganti kehilangan air dan lapisan permukaan tanah. Dari jumlah ini terlihat bahwa komponen yang nyata hilang adalah hilangnya hara tanah. Biaya total erosi tanah on-site dan off-site di Amerika yang disebabkan erosi angin dan air dan biaya total pencegahan erosi per tahun adalah $ 44 399 juta. Pierce (1991) mengemukakan bahwa erosi tanah mempengaruhi produktivitas tanah. Erosi dapat mengubah kondisi fisik dan kimiawi tanah. Erosi tanah merupakan penyebab utama dari degradasi tanah di seluruh dunia. Di samping dapat menyebabkan degradasi tanah, erosi dapat juga merusak tanaman yang pada akhirnya mengurangi produktivitas. Dampak erosi tanah terhadap produktivitas bervariasi cukup besar antar tempat dan waktu. Semua lahan, beserta jenis tanaman apapun yang tumbuh di atasnya, sewaktu-waktu dapat mengalami erosi. Laju erosi tanah sangat dipengaruhi oleh bagaimana lahan tersebut dikelola/digunakan.
Setiap bentuk penggunaan lahan
yang berbeda akan menghasilkan tingkat erosi tanah yang berbeda pula. Tingkat erosi suatu lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ditanam dan teknik pertanian yang digunakan (Miranda, 1992). Di Indonesia, dampak buruk dari proses erosi tanah tidak hanya dialami oleh lahan-lahan pertanian saja, melainkan dialami juga oleh kawasan hutan daerah pemukiman, daerah industri yang sedang dibangun, daerah pertambangan, dan sebagainya. Di areal pertanian sendiri, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan konservasi tanah (Abdurachman dan Sutono, 2002). Erosi yang terpenting di Indonesia adalah erosi yang disebabkan oleh air. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi, menurut Hardjowigeno (2003), adalah curah hujan (erosivitas) sifat-sifat tanah (erodibilitas) panjang dan kemiringan lereng, vegetasi, dan manusia. Dari curah hujan, yang terpenting dalam
16
mempengaruhi besarnya erosi adalah intensitas hujan atau hujan yang jatuh sangat deras, bukan jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan kandungan bahan organik. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah makin peka terhadap erosi.
Bentuk
struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat) menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah, dan aliran permukaan tanah menjadi kecil sehingga erosi juga kecil. Tanah-tanah yang mempunyai strutur tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan. Sebaliknya pada struktur tanah yang tidak mantap sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan menjadi butir-butir halus sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat, aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat. Bila daya infiltrasi tanah besar berarti air mudah meresap ke dalam tanah sehingga aliran permukaan kecil dan erosi yang akan terjadi juga kecil. infiltrasi tanah dipengaruhi oleh porositas dan kemantapan tanah.
Daya
Kandungan
bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya menyebabkan tanah menjadi mantap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi (Hardjowigeno, 2003) Pengaruh lereng pada erosi adalah erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang.
Semakin curam lereng maka kecepatan
aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkutnya meningkat juga. Bila kecepatan aliran permukaan naik dua kali lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut menjadi 64 kali lebih besar, sedangkan berat benda yang dapat diangkut menjadi 32 kali lebih berat.
Lereng yang semakin panjang akan
menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar. Bila dalamnya air menjadi 4 kali lebih besar, akibatnya besar maupun berat benda yang dapat diangkut juga berlipat ganda (Hardjowigeno, 2003).
17
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak jatuh
langsung
dipermukaan
tanah,
menghambat
aliran
permukaan
dan
memperbanyak air infiltrasi, serta memperkuat penyerapan air ke dalam tanah oleh transpirasi melalui vegetasi.
Makin rapat vegetasi makin efektif terjadinya
pencegahan erosi. Vegetasi yang tingginya lebih dari 7 m kadang-kadang tidak efektif karena air yang tertahan di pohon dan di daun akan terkumpul dan akan jatuh kembali ke tanah dengan kekuatan yang besar juga. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi erosi adalah memanipulasi faktor yang mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, kemiringan dan panjang lereng, dan vegetasi. Faktor erosivitas (jumlah dan curah hujan) tidak dapat diubah. Pembuatan teras merupakan upaya menurunkan tingkat kemiringan lereng sehingga aliran permukaan dapat dikurangi dan erosi dapat ditekan. Pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki kemantapan struktur tanah sehingga tanah lebih tahan terhadap kerusakan akibat pukulan air hujan. Dengan demikian pupuk kandang merupakan faktor yang mampu menurunkan erodibilitas tanah. Beberapa jenis tanaman dapat bertindak sebagai penghalang jatuhnya air hujan ke tanah dan jenis tanaman lainnya mampu memperbaiki kemantapan strutur tanah. Hutan adalah paling efektif mencegah erosi karena daun-daunnya rapat, tetapi rumput-rumput yang tumbuh rapat juga sama efektifnya. Untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi. Cara lain yang juga dipakai untuk menutup lahan yang terbuka adalah dengan pemakaian mulsa alami (jerami padi, daun/batang tanaman jagung, dan/atau tanaman lainnya) atau mulsa plastik. Namun ada juga beberapa jenis tanaman yang merusak struktur tanah seperti tanaman ubikayu. Dengan demikian, tanaman juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi erosi. Dixon dan Hufschmidt (1993) menyatakan pemberian mulsa sisa tanaman mampu menurunkan biaya produksi sebesar 64 % pada tahun kedua karena terjadi penurunan erosi dan penurunan kehilangan hara serta meningkatnya produktivitas lahan di Korea. Kurnia (1996) melaporkan bahwa mulsa jerami padi sangat efektif dalam mengurangi erosi tanah sebesar 86-98%, sedangkan mulsa Mucuna sp mampu mengurangi erosi sebesar 74-85%.
Pada tanah Podsolik Merah Kuning Bogor,
pemberian mulsa jerami mampu menaikkan hasil jagung 47,5 % dan kacang tanah 47,5%.
Satu tahun kemudian perlakuan pemberian mulsa jerami padi tersebut
18
mampu meningkatkan hasil jagung lebih dari 50% atau produksi jagung melebihi 3 ton/ha. Kurnia et al. (1997) menyatakan penggunaan 10 ton per hektar mulsa jerami padi ditambah 7 ton per hektar batang dan daun jagung ditambah 6 ton per hektar mulsa Flemingia congesta merupakan cara rehabilitasi lahan yang paling efektif pada tanah Haplohumults di Jasinga, Jawa Barat untuk mencegah erosi, menurunkan
konsentrasi
sedimen
dan
jumlah
hara
yang
hilang,
serta
mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Rehabilitasi dengan cara tersebut dapat diterapkan pada tanah yang mempunyai tingkat erosi sampai 10 cm. Kurnia et al. (1998) melaporkan bahwa biaya pengendalian erosi dengan mulsa jerami padi dan mulsa Mucuna sp berturut-turut Rp 2 175.- dan Rp 1 640,- per ton tanah erosi. Pengendalian erosi dengan pupuk kandang menghasilkan biaya yang lebih tinggi yaitu Rp 4 085,- per ton tanah tererosi.
Sedangkan biaya
kerusakan lahan Podsolik Merah Kuning Bogor tanpa rehabilitasi adalah Rp 291 715,- per ha sehingga biaya rehabilitasi kerusakan lahan dengan mulsa padi dan mulsa Mucuna sp hanya 1.2 – 9.2% dari biaya kerusakan lahan tanpa rehabilitasi. Manusia juga berperan terhadap laju erosi tanah. Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi baik atau lebih buruk. Pembuatan terasteras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik manusia karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah-daerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat menyebabkan erosi dan banjir. Aktivitas manusia seperti pertanian pangan tanpa menggunakan teknologi konservasi yang tepat, penggembalaan yang berlebihan (over-grazing), penambangan lahan (yang mengganggu vegetasi penutup lahan alami dan merusak sifat-sifat tanah) akan mempercepat proses erosi alami. Aktivitas manusia/petani menerapkan tindakan konservasi menurut Sinukaban (1994) sangat dipengaruhi oleh (1) pemahaman petani tentang fungsi komponen teknik konservasi yang telah dibangun, (2) kurangnya penyuluhan tentang pentingnya pemeliharaan komponen pengendali erosi untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas secara lestari, (3) biaya untuk pembuatan atau pemeliharaan teknik konservasi yang dibangun, (4) rendahnya pendapatan keluarga.
19
2.2. Erosi Yang Diperbolehkan (Edp) Laju erosi tanah sangat dipengaruhi oleh bagaimana lahan tersebut dikelola. Tidaklah mungkin menekan laju erosi sampai nol dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian tertutama pada tanah-tanah berlereng. Namun demikian, jumlah maksimum tanah yang hilang agar produktivitas lahan tetap lestari, harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Untuk daerah-daerah yang digunakan untuk pertanian terutama daerah berlereng, jumlah tanah hilang hampir selalu lebih besar dari tanah yang terbentuk. Oleh karena itu perlu penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi. Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Jika laju Edp dapat diperkirakan maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Hardjowigeno (2003) menyatakan bahwa tanah yang mempunyai solum tebal, memiliki nilai Edp lebih tinggi dari tanah yang bersolum tipis. Di daerah dengan proses pembentukan tanah yang cepat, nilai Edp lebih tinggi daripada di daerah dengan proses pembentukan tanah yang lambat. Kecepatan pembentukan tanah di Indonesia cukup beragam, tergantung dari jenis batuan (bahan) induk dan faktor-faktor pembentuk tanah lainnya. Tanah-tanah yang berasal dari batuan yang keras proses pembentukan tanahnya akan lambat sedangkan tanah-tanah berasal dari bahan-bahan yang lebih lunak proses pembentukan tanah akan berjalan lebih cepat. Suhu dan curah hujan yang tinggi di Indonesia juga mempercepat proses pembentukan tanah. Kecepatan pembentukan kecepatan tanah di daerah tropika basah diperkirakan dua kali lebih besar daripada di daerah beriklim sedang (Arsyad, 2000). Di Amerika Serikat kecepatan tertinggi pembentukan tanah diperkirakan 0.8 mm/tahun, sedangkan di Indonesia mencapai 2 mm/tahun. Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa tanah-tanah berasal dari abu volkanik gunung Krakatau di Pulau Rakata, kecepatan pembentukan tanahnya mencapai 2.5 mm/tahun. Bila 2.5.mm/tahun dianggap sebagai kecepatan tertinggi pembentukan tanah di Indonesia, maka rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia diperkirakan 1
20
mm/tahun. Untuk daerah beriklim sedang, kecepatan rata-rata proses pembentukan tanah sering digunakan angka 0.5 mm/tahun. Berdasar atas perbedaan kecepatan proses pembentukan tanah tersebut, (Arsyad, 2000) mengajukan pedoman penetapan besarnya erosi diperbolehkan untuk tanah-tanah di Indonesia yang besarnya kurang lebihdua kali lebih besar dibanding dengan tanah-tanah di Amerika. Menurut Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (2003) ada dua cara perhitungan Edp yaitu perhitungan Edp berdasar persamaan Hammer dan persamaan Wood dan Dent. Persamaan Hammer merumuskan Edp (ton/ha/tahun) sama dengan kedalaman tanah ekivalen dibagi jangka waktu kelestarian sumberdaya tanah. Hasil pembagian tersebut kemudian dikalikan dengan kerapatan lindak dan dikali 10 ton/ha/th. Persamaan Wood dan Dent merumuskan Edp adalah kedalaman ekivalen dikurangi kedalaman tanah yang diperbolehkan, hasilnya dibagi dengan kelestarian tanah lalu ditambah kecepatan pembentukan tanah. Hasil EDP kemudian dikalikan kerapatan lindak tanah dan dikali 10 ton/ha/th. Untuk menentukan tingkat bahaya erosi (TBE), Departemen Kehutanan menggunakan tebal solum tanah yang ada dan besar erosi. Makin dangkal solum tanah maka makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Indeks bahaya erosi (IBE) juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui sejauh mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang bersangkutan.
IBE merupakan hasil pembagian jumlah tanah yang tererosi
(ton/ha/th) dengan Edp (ton/ha/th). Sinukaban et al. (1994) melaporkan bahwa erosi tanah di Pangalengan 218 ton/ha. Edp Pangalengan 12.75 ton/ha, maka IBE Pangalengan adalah 17. Angka ini menunjukkan kriteria sangat tinggi. Bila menggunakan hasil penelitian Pidio (2004) yang melaporkan erosi tanah Pangalengan untuk sistem tanam searah lereng 56.31 ton/ha maka maka IBE Pangalengan masuk kriteria tinggi.
2.3. Biaya Erosi Tanah Seperti disebutkan di atas sebelumnya, erosi tanah mempunyai dua dampak yaitu erosi tanah on-site dan erosi tanah off-site di daerah hilir akibat terbawa oleh aliran permukaan. Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara
21
tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan lahan pertanian. Dampak ini bersifat spesifik untuk suatu lokasi dan bervariasi dari suatu tempat ke tempat yang lain (Barbier, 1995). Midmore et al. (1996) menyatakan bahwa biaya lingkungan di luar lokasi yaitu rusaknya infrastruktur berupa sedimentasi pada saluran irigasi dan Pembangkit Tenaga Listrik di situ/reservoar, yang ditimbulkan oleh praktek-praktek usahatani sayur mayur di dataran tinggi Cameron, Malaysia sebesar M$ 2 juta per tahun atau 4 % lebih rendah dari total nilai kotor produksi sayuran di dataran tinggi Cameron, Malaysia. Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan akan menyebabkan bertambah tingginya resiko yang akan dialami petani khususnya petani marjinal (Barbier, 1995). Dampak erosi tanah pada penurunan produktivitas lebih besar terjadi di daerah yang beriklim tropis daripada di daerah beriklim sedang karena daerah tropis mempunyai tanah yang relatif rentan dan iklim yang ekstrim (Lal, 1990). Pada daerah berkembang, biaya degradasi lahan akan 15 % lebih tinggi dari produk nasional kotornya (Barbier dan Bishop, 1995). Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di lokasi (on site), menurut Barbier (1995) antara lain adalah pendekatan perubahan produktivitas (Productivity Change Approach) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach). Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan usahatani sama/setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai dengan harga pasar.
Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan
perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi rendah (Barbier, 1995). Magrath dan Arens (1989) menggunakan pendekatan perubahan produktivitas untuk mengukur erosi tanah di Jawa, Indonesia.
Studi
menunjukkan adanya penurunan produktivitas tahunan sebesar 1% yang setara dengan Rp. 2.686 per hektar. Fransisco (1998) menggunakan analisis regresi untuk mengukur hubungan antara hasil panen dengan tingkat erosi tanah di Filipina. Hasil analisis pada sistem
22
pertanaman lorong dengan input rendah menunjukkan hasil panen jagung menurun seiring dengan naiknya tingkat erosi tanah. Thao (2001), dengan menggunakan analisis fungsi regresi linier, mengukur hubungan antara hasil panen dengan tingkat erosi tanah. Studi membuktikan bahwa pada sistem pertanaman jagung tradisional, hasil panen semakin rendah dengan naiknya tingkat erosi tanah. Sebaliknya pada sistem pertanaman jagung dengan teknik konservasi vegetatif tanaman pagar, hasil panen semakin meningkat dengan menurunnya tingkat erosi tanah. Ada hubungan yang erat antara produktivitas dengan tingkat erosi tanah. The (2001) memperkirakan total hilangnya tanah per hektar per tahun di Xuanloc, propinsi Thua Thien Hue, Vietnam Tengah pada sistem pertanian padi dataran tinggi sebesar 80 ton yang setara dengan VND 1.022.000, sedangkan pada sistem pertanian tebu total hilangnya tanah sebesar 53 ton setara VND 635.000, pada pertanian tanaman buah-buahan total hilangnya tanah sebesar 40 ton dan pada pertanian minyak kayu putih total kehilangan tanahnya 42 ton. Metode pendugaan biaya erosi tanah di lahan usahatani dengan pendekatan biaya pengganti (the Replacement Cost Approach) diilustrasikan dalam Gambar 2. Pendekatan biaya pengganti adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang tersebut yang ekuivalen dalam penggunaan pupuk. Dalam metode pendekatan biaya pengganti, semua pengeluaran untuk keperluan pengganti sumberdaya lingkungan, jasa atau aset yang hilang diidentifikasi.
Biaya pengganti aset produktivitas, kerusakan akibat
kualitas lingkungan yang rendah atau akibat praktek pengelolaan pertanian yang salah dapat dianggap sebagai suatu pendekatan manfaat dari program perlindungan atau perbaikan aset lingkungan (Hufschmidt et al., 1983).
Metode ini kadang-
kadang juga dipakai dalam metode penilaian sumberdaya yang berhubungan dengan perkiraan biaya pengganti relatif. Melalui pendekatan biaya pengganti untuk menghitung biaya erosi tanah onsite, kesuburan tanah diperlakukan sebagai input dalam produksi tanaman. Tanah diasumsikan akan digunakan secara optimal oleh petani. Karena itu, kontribusi unsur hara tanah terhadap produksi (seperti nilai marjinal produk dari produksi tanaman) sama dengan atau setara dengan harga unsur hara tanah (Gambar 2). Akibat erosi, total unsur hara tanah yang digunakan, X1, lebih besar dari jumlah unsur hara
23
yang secara efektif digunakan tanaman untuk produksi biomasnya, X0. Perbedaan dari X1 - X0 digambarkan sebagai erosi tanah. Harga (Rp)
b
a
A
e
Pi
Nilai produk marjinal B
0
Xo
X1
Tingkat penggunaan input
Gambar 2 Mengukur biaya erosi tanah di lokasi (on-site) dengan pendekatan biaya pengganti (Barbier, 1995). Untuk mengevaluasi biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti, nilai dari jumlah kehilangan unsur hara
yang dianggap sama dengan jumlah
penggunaan pupuk digunakan untuk menduga nilai unsur hara yang hilang dari tanah. Pada harga pupuk Pi, biaya kehilangan unsur hara melalui erosi tanah diukur melalui area B, atau Pi (X1 - X0 ). Seluruh kehilangan nilai bersih output berhubungan dengan pengurangan unsur hara tanah (A+B). Dalam pendekatan ini, area B dijadikan sebagai suatu perkiraan total kehilangan petani (A+B) akibat erosi tanah. Semakin tinggi input yang digunakan maka nilai produk marjinal semakin kecil. Pedro et al. (1997) mengukur erosi lahan pertanian terbuka di Claveria, Mindanao, Filipina dengan memakai pendekatan biaya pengganti (The Replacement Cost Approach). Unsur C, hara N dan P yang hilang melalui erosi diprediksi melalui model SCUAF. Perkiraan total hilangnya tanah yang terjadi per hektar per tahun adalah 5.858 Peso yang setara dengan 75 Peso per ton. Sutono et al. (2003) melaporkan bahwa biaya pengganti kehilangan sawah di DAS Citarum pada tahun 2000 sebesar Rp 18,6 milyar dan akan bertambah sebesar Rp. 28,3 juta/tahun sampai tahun 2005 sehingga biaya pengganti keseluruhannya sampai tahun 2005 menjadi Rp. 19,3 milyar. Peningkatan biaya pengganti ini sejalan
24
dengan berkurangnya lahan sawah sebesar 6% per tahun sejak tahun 2005. Sawah sebagai
pertanian
penghasil
pangan
lebih
mampu
mengendalikan
erosi
dibandingkan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah (0,3-1,5 ton/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5,716,5 ton/ha/tahun). Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil. Sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga sebagai fungsi penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan.
Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi
bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan. Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air.
2.4. Peran Konservasi Tanah Dalam Mencegah Erosi Sitorus (2004a) menyatakan bahwa pada dasarnya konservasi tanah dan air sama dengan konservasi tanah karena antara tanah dan air terdapat hubungan yang erat. Setiap tindakan atau perlakuan yang diberikan terhadap sebidang tanah akan juga mempengaruhi keadaan tata air di lahan tersebut dan di daerah hilirnya, karena itu konservasi tanah pada prinsipnya adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Arsyad (2000) menyatakan bahwa masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Selanjutnya Arsyad mengemukakan bahwa usaha konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Menurut Hardjowigeno (2003) tujuan konservasi tanah adalah melindungi tanah dari curahan langsung air hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan (run off), dan meningkatkan stabilitas agregat tanah. Dalam kaitannya dengan erosi, ada dua prinsip dasar pengelolaan lahan yaitu: (1) kegiatan pengelolaan lahan yang mampu mempertahankan tingkat infiltrasi tanah
25
yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah aliran permukaan sampai pada batas yang tidak membahayakan, (2) kegiatan pengelolaan lahan yang mampu mengalirkan aliran permukaan dengan aman apabila jumlah hujan sudah melampaui kapasitas infiltrasi tanah (Lal, 1981). Berdasarkan tujuan di atas dikenal tiga metode konsevasi tanah yang meliputi metode vegetatif, mekanik dan kimia (Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003). Metode vegetatif dalam konservasi tanah mempunyai tiga fungsi yaitu melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran permukaan atau aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan kemampuan tanah menyerap atau mengabsorpsi air. Termasuk dalam konservasi tanah metode vegetatif adalah (1) penghutanan atau penghijauan, (2) penanaman dengan rumput makanan ternak, (3) penanaman dengan tanaman penutup tanah permanen, (4) penanaman tanamtanaman dalam strip (strip cropping) (5) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, (6) penggunaan sisa-sisa tanaman (residue management), (7) penanaman saluran-saluran pembuangan air dengan rumput (vegetated atau grassed waterways). Arysad (2000) mengemukakan berbagai jenis tanaman atau vegetasi dan penggunaan tanah mempunyai efisiensi yang berlainan dalam konservasi tanah. Vegetasi permanen menunjukkan efisiensi relatif tertinggi, sedangkan tanaman semusim yang biasanya ditanam dalam barisan seperti tembakau, kentang, ubi kayu, dan jagung menunjukkan efisiensi relatif kedua terendah dalam pencegahan erosi. Efisiensi terendah adalah tanah gundul tanpa vegetasi. Konservasi
tanah
metode
mekanik
mempunyai
dua
fungsi,
yaitu
memperlambat aliran permukaan, dan menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. Termasuk konservasi tanah metode mekanik adalah (1) pengolahan tanah (tillage), (2) pengolahan tanah menurut kontur, (3) pembuatan galengan dan saluran menurut kontur, (4) pembuatan teras seperti teras tangga/bangku dan teras berdasar lebar, (5) perbaikan drainase dan pembangunan irigasi, dan (6) pembuatan waduk, dam penghambat (check dam), tanggul dan sebagainya (Arsyad, 2000; Hardjowigeno, 2003).
26
Konservasi tanah metode kimia mempunyai fungsi untuk memantapkan struktur tanah karena kemantapan struktur tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi.
Beberapa senyawa kimia yang telah dikembangkan untuk
membentuk struktur tanah dan dinamakan soil conditioner. Bahan kimia pemantap tanah ada dua kelompok besar yaitu alami dan sintetis. Kelompok alami (organik) antara lain getah karet atau lateks (Pidio, 2004), sedangkan kelompok sintetis antara lain Polyvinylalcohol (PVA), Polyvinyl acetat (PVAC), Polyacrymilade (PAM), emulsi Bitumen (Hardjowigeno, 2003). Metode konservasi tanah yang banyak dan mudah diterapkan petani antara lain adalah pengolahan tanah menurut kontur, guludan, dan teras. Pada pengolahan tanah menurut kontur pembajakan maupun pencangkulan dilakukan menurut kontur atau memotong lereng (belit sabuk) sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga, yaitu barisan tanaman dibuat sejalan dengan arah garis kontur. (Arsyad, 2000).
Keuntungan
utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Oleh karena itu, terutama di daerah beriklim kering, pengolahan menurut kontur juga sangat efektif untuk konservasi air (Arsyad, 2000). Guludan adalah adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang memotong lereng atau menurut arah garis kontur. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25-30 cm dengan lebar dasar sekitar 25-30 cm. Jarak antar guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan (Arsyad, 2000). Untuk tanah yang kepekaan erosinya rendah, guludan dapat diterapkan pada tanah dengan kemiringan sampai 6%. Pada lereng yang lebih curam, guludan mungkin tidak akan mampu mengurangi erosi sampai batas yang masih dapat dibiarkan. Untuk itu dipergunakan metode lain yaitu guludan bersaluran yang dibuat memanjang menurut garis kontur atau memotong lereng. Pada guludan bersaluran, di sebelah atas lereng dari guludan dibuat saluran yang memanjang mengikuti guludan. Ukuran guludan pada guludan bersaluran sama seperti ukuran guludan biasa, sedangkan kedalaman saluran adalah 25 sampai 30 cm, lebar permukaan 30 cm (Arsyad, 2000). Guludan bersaluran dapat dibuat pada tanah dengan lereng sampai 12%.
Guludan dapat diperkuat dengan penanaman rumput atau tanaman
27
pohon yang dijaga agar tetap rendah. Pengolahan tanah menurut kontur dan penanaman pada guludan dapat mengurangi erosi 80-90% (Hernawati, 1992) Banuwa (1994) melaporkan meskipun intensitas hujan dan tingkat penutupan tajuk tanaman yang berbeda-beda menyebabkan aliran permukaan dan erosi bervariasi, namun tindakan konservasi tanah berupa penanaman sayur pada guludan memotong lereng (searah kontur) tetap konsisten dan mampu menekan aliran permukaan dan erosi dibanding dengan penanaman sayuran pada guludan searah lereng maupun searah diagonal. Suganda et al. (1997) menyatakan bahwa pengendalian erosi pada pertanian hortikultur kubis dan buncis di desa Batulawang, Pacet, Cianjur pada kemiringan lahan 9-22% dengan ketinggian tempat 1000 m dpl dan jenis tanah andisol dapat dilakukan dengan membuat model bedengan searah kontur dengan model jarak tanam (panjang bedeng) yang tidak terlalu panjang. Hasil penelitian menunjukkan semakin panjang jarak tanam, semakin tinggi pula aliran permukaan dan erosi. Erfandi et al. (2001) melaporkan bahwa aliran permukaan dan erosi suatu lahan miring dapat diperkecil dengan membuat bedengan searah kontur. Aliran permukaan dan erosi tanah pada tanah Andic Eutropepts di desa Cempaka, kecamatan Cempaka, Cianjur, Jawa Barat dengan ketinggian 800 m dpl dan lereng 10-20% dapat dikurangi hingga masing-masing 70% dan 69%. Dengan perlakuan tersebut sifat fisik tanah menjadi lebih baik. Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah sehingga erosi berkurang. Ada dua tipe utama teras yaitu teras bangku dan teras berdasar lebar. Teras bangku dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah dibagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk tangga/bangku. Teras bangku cocok untuk lereng 20 – 30 persen atau lebih, tidak cocok untuk pertanian yang menggunakan mesin-mesin pertanian yang berat. Untuk pembuatannya perlu tenaga dan modal besar. Akibat pemotongan dan perataan tanah, tanah-tanah tidak subur mungkin muncul ke permukaan sebagai tempat untuk ditanami sehingga perlu pemberian pupuk organik. Makin curam lereng, makin sempit teras dan makin kecil pula luas lahan yang dapat ditanami. Pada lereng 30 persen misalnya, dengan jarak vertikal satu meter maka lebar bagian yang dapat ditanami adalah 1.83 m atau hanya 55% luas areal yang
28
dapat ditanami. Teras berdasar lebar merupakan saluran yang permukaannya lebar yang dibuat memotong lereng pada tanah-tanah berombak dan bergelombang (tanah berlereng antara 2 – 8 persen). Lebar teras berdasar lebar berkisar 6 – 15 m. Kemampuan sistem pertanian lahan kering dataran tinggi mengontrol erosi dipengaruhi oleh faktor pengelolaan pertanaman dan faktor teknik konservasi tanah (Young et al., 1998). Penelitian terhadap berbagai teknik konservasi telah banyak dilakukan, di antaranya telah menghasilkan data berupa nilai faktor C (pertanaman) dan nilai P (teknik konservasi), dan nilai CP (Abdurachman dan Sutono, 2002). Model prediksi erosi, seperti USLE (Universal Soil Loss Equation), RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation), GUEST (Griffith University Erosion System Template), SCUAF (Soil Change Under Agriculture, Agroforestry, and Forestry), dan lain-lain dapat digunakan untuk memperkirakan apakah teknik pengendalian erosi yang akan diterapkan atau yang sudah diterapkan cukup efektif atau tidak. Apabila laju erosi dari suatu lahan pertanian masih tergolong tinggi, maka perlu dianalisis faktor erosi mana yang masih berpeluang untuk dikurangi pengaruhnya melalui perbaikan-perbaikan tindakan konservasi. Jumlah dan intensitas hujan tidak dapat diubah, sehingga peluang perubahan ada pada faktor erodibilitas tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), dan faktor pengelolaan pertanaman dan tindakan konservasi tanah (CP). Nilai faktor tindakan konservasi (P) sering tidak dapat dipisahkan dari nilai pengelolaan pertanaman (C), seperti pembuatan gulud yang diperkuat dengan tanaman rumput/legum, pertanaman dalam strip yang dilengkapi larikan dan saluran memotong lereng, dan sebagainya. Gabungan kedua macam tindakan konservasi tersebut cukup efektif dalam pengendalian erosi. Pemilihan jenis tanaman konservasi yang bernilai jual cukup tinggi, seperti rumput pakan pada guludan, legum, murbei, dan lain-lain, dapat membantu petani dalam menambah pendapatan (Abdurachman dan Sutono, 2002). Abujamin et al. (1985) menyatakan bahwa di Indonesia penggunaan rumput sebagai tanaman strip untuk mencegah erosi dan mulsa sisa tanaman untuk rehabilitasi lahan berturut-turut dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar US$ 70 dan 120 masing-masing pada tahun kedua dan ketiga setelah penggunaan rumput dan penggunaan mulsa.
29
Dixon (1995) mengemukakan bahwa biaya rehabilitasi tanah termasuk penanaman kembali, menurut survey lembaga dunia, adalah $ 500 – 3.000 ha/th sedangkan untuk melakukan sistem agroforestri pada tanah yang tidak terdegradasi di daerah tropis beriklim sedang dibutuhkan biaya kurang dari $ 1.000 ha/th. Sutono et al. (2003) menyatakan bahwa lahan sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah (0.3-1.5 ton/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5.7-16.5 ton/ha/tahun). Lahan sawah merupakan salah satu ekosistem yang stabil, sehingga jumlah erosinyapun sangat kecil. Sawah mempunyai banyak fungsi, selain sebagai fungsi produksi, juga sebagai fungsi penyelamat lingkungan dan memperpanjang usia bendungan. Sawah lebih mampu mengurangi sedimentasi bendungan karena erosinya lebih kecil dibandingkan lahan tegalan.
Perubahan luas lahan sawah akan berpengaruh
terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan bendungan, saluran air, dan situ-situ penampung air.
2.5. Pertanian Lahan Kering Dataran Tinggi dan Sistem Pertanian Konservasi (SPK) Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun, sedangkan yang dimaksud dengan lahan kering dataran tinggi adalah hamparan lahan kering yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 m dpl (700 – 2500 m dpl). Suhu udara tergolong sejuk sampai dingin.
Pertanian lahan kering adalah suatu sistem
pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi, dimana kebutuhan air hanya bergantung pada curah hujan. Beberapa ciri biofisik pertanian lahan kering diantaranya adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah, pH tanah masam, kandungan bahan organik dan unsur hara tanah yang terbatas, berada pada wilayah hulu (upland) dan topografi berlereng. Carson (1989) menyatakan secara umum upaya pengelolaan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) memperbaiki praktek usahatani konvensional (bibit unggul, peningkatan penggunaan bahan organik, dan sebagainya), (2) pengelolaan tanaman dan pola tanam, (3) pemberian mulsa, (4)
30
diversifikasi komoditas pertanian, (5) pengendalian hama dan penyakit terpadu dan (6) konservasi tanah (mekanik, vegetatif atau kimia). Lahan kering dataran tinggi yang berada pada wilayah beriklim basah pada umumnya akan cepat mengalami degradasi apabila diusahakan atau dikelola tanpa disertai usaha-usaha konservasi yang tepat.
Potensi degradasi lahan ini akan
semakin tinggi bila wilayah tersebut mempunyai curah hujan dengan intensitas yang tinggi, tanah peka erosi, lereng curam, dan pola tanam yang diterapkan kurang baik. Kondisi
tersebut
menyebabkan
terjadinya
penurunan
produktivitas
lahan.
Permasalahan pada usahatani lahan kering dataran tinggi adalah keberlanjutan dalam produktivitasnya di masa mendatang yang akhir-akhir ini ternyata menurun atau mengalami stagnasi pada tingkat input yang lebih tinggi. Sitorus (2004b) menyatakan bahwa penurunan produktivitas usahatani lahan kering dataran tinggi tersebut karena adanya kendala pada lahan kering dataran tinggi dalam pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: (1) kendala fisik-relief dengan lereng curam (berbukit sampai bergunung) yang peka terhadap erosi dan longsor, (2) berkurangnya
kesuburan
tanah
karena
erosi
sehingga
terjadi
penurunan
produktivitas lahan, (3) kendala sosial budaya keluarga petani yang mempunyai sifat individualisme yang tinggi. Dengan adanya kendala tersebut, maka pola pengembangan pertanian di lahan kering dataran tinggi di masa mendatang selain perlu memperhatikan kondisi sosial-ekonomi, harus pula didasarkan atas karakteristik lahan, dan kesesuaian jenis/varietas komoditas pertanian yang akan dikembangkan, serta lingkungan. Agar produktivitas dan kelestarian lahan lebih terjamin, maka perlu penerapan teknologi maju sesuai dengan kondisi spesifik lokasinya, antara lain berupa penggunaan varietas unggul, pemupukan, rehabilitasi dan konservasi tanah, pencegahan hama/penyakit, dan mekanisasi pertanian (Abdurachman, 2001). Sinukaban (1994) menyatakan fokus pendekatan baru untuk pembangunan pertanian berkelanjutan adalah dengan menerapkan Sistem Pertanian Konservasi (Conservation Farming System). Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan kerusakan tanah oleh erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus
31
tanpa batas waktu. Jadi tujuan utama konservasi tanah bukan menetapkan tindakan/teknik konservasi tanah dan air saja tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari. Oleh karenanya SPK mempunyai ciri-ciri : 1. Produksi pertanian cukup tinggi, agar petani tetap bergairah melanjutkan usahanya. 2. Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya. 3. Teknologi yang diterapkan, baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi tepat guna sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya secara terus-menerus tanpa bantuan dari luar. 4. Komoditi pertanian yang diusahakan sangat beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar. 5. Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produktivitas yang cukup tinggi tetap dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. 6. Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani. Agar ciri di atas terwujud, maka dalam SPK harus diterapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yaitu menempatkan sebidang ladang dalam penggunaan yang sesuai dengan kemampuannya dan memberlakukannya sesuai dengan syaratsyarat yang diperlukan untuk itu. Oleh sebab itu dalam SPK diintegrasikan tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai dan memadai ke dalam sistem pertanian yang cocok untuk setiap daerah yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Komoditi pertanian yang dikembangkan akan sangat bervariasi, dapat terdiri dari tanaman pangan, palawija, sayuran, buah-buahan, kayu termasuk ternak dan ikan yang sesuai dengan keadaan setempat sehingga SPK tersebut dapat dikembangkan secara lestari. Teknik pemilihan tanaman dan teknologi yang akan diterapkan didasarkan pada prosedur yang telah sering dilaksanakan. Ciri ini menunjukkan SPK adalah sistem pertanian yang khas kondisi setempat (site specific). SPK cocok di suatu tempat belum tentu cocok di tempat lain.
32
2.6. Andisols, Potensi dan Kendalanya Andisols adalah tanah-tanah yang 2/3 lapisan atas setebal 60 cm atau lebih mempunyai sifat andik, dan sifat-sifat tanah andik ini terutama disebabkan oleh kandungan mineral-mineral amorf. Sifat andik dicirikan oleh kandungan C-organik < 25% dan bobot isi tanah kurang dari 0,90 g cm-3 (Soil Survey Staff, 1999). Penyebarannya terutama terbatas pada wilayah sekitar atau dekat daerah volkan (gunung api). Luas seluruh jenis Andisols diperkirakan 5,39 juta ha, atau sekitar 2.9% wilayah daratan Indonesia (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Di Pulau Jawa, Andisols umumnya berasal dari bahan induk andesitik sampai basaltik, karena itu umumnya berupa tanah-tanah yang subur (Munir, 1996). Andisols merupakan tanah yang berwarna hitam, sangat porous, mengandung bahan organik dan liat tipe amorf, terutama alofan serta sedikit silika dan alumina atau hidroksi besi (Darmawidjaja, 1990). Warna hitam pada Andisols menurut Aomine dan Jacksons (1959), dikarenakan akumulasi humus yang tinggi berasosiasi dengan alofan dimana alofan tersebut mempunyai kapasitas memegang air yang sangat tinggi. Masalah yang paling menonjol pada Andisol adalah sifat kemampuan menyerap dan menyimpan air yang tak pulih kembali seperti semula apabila mengalami kekeringan (irreversible drying). Hal ini dikarenakan koloid amorf seperti abu vulkan dan bahan organik mempunyai daya jerap air tinggi (ekuivalen 80-90% dari bobotnya). Jika andisols mengalami kekeringan sampai 15 atmosfir (terbukanya tanaman penutup tanah) maka lapisan air yang terikat pada permukaan partikel akan menguap/hilang dan selanjutnya pada permukaan antar partikel akan terjadi kontak ikatan kimia, sehingga tanah mengkerut dan bersifat irreversible, akibatnya jika sudah mengalami kekeringan sulit untuk dibasahi kembali. Kohesi tanah pada sub soil yang basah lebih tinggi, sehingga gerakan air dalam tanah selalu dapat ditahan oleh kohesi yang rendah pada permukaan tanah yang kering. Bila ikatan antar partikel tanah putus/rusak kekuatan tanah menjadi rendah, sehingga menyebabkan terjadinya gerakan tanah bila terdapat air hujan yang berlebihan. Hal ini tersebut menggambarkan bahwa Andisols pada wilayah berlereng mempunyai sifat stabilitas tanah yang rendah (Munir, 1996). Andisols, yang umumnya terletak di dataran tinggi, dengan kesuburan tanahnya yang baik dan didukung oleh kondisi suhu udara yang sejuk berkisar antara 16-220C sangat memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
33
komoditas pertanian dataran tinggi (Prasetyo, 2005). Namun karena lokasi Andisols yang umumnya berada di kawasan berlereng pada bentuk wilayah berbukit sampai bergunung, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan asas kelestarian lingkungan. Pada kenyataannya, hampir di setiap daerah sayuran dataran tinggi tidak dijumpai teknik-teknik konservasi tanah yang benar, dan aktivitas budidaya sayuran yang intensif serta memiliki curah hujan yang tinggi, mengakibatkan kondisi tersebut sangat rentan terhadap erosi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Di Indonesia terjadinya erosi terutama disebabkan oleh curah hujan. Hujan di Indonesia sebagian besar termasuk tipe orografis, yakni makin tinggi suatu tempat semakin tinggi pula curah hujannya, sebaliknya penguapan semakin berkurang. Makin besar selisih antara curah hujan dengan penguapan mengakibatkan bahaya erosi semakin besar ditunjang dengan kondisi banyaknya lahan berlereng dan curam.
Melihat potensi Andisols dengan tingkat kesuburan yang tinggi, namun
berada pada kondisi yang dapat menyebabkan risiko terjadinya erosi, maka dalam pemanfaatannya
sebagai
lahan
pertanian
harus
memperhatikan
upaya
penanggulangan erosi, agar produktivitas lahan tetap dapat dipertahankan.
2.7. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi dan Manfaatnya Sistem pertanian konservasi (SPK) dapat dikatakan sebagai suatu bentuk inovasi pertanian lahan kering dataran tinggi (Sinukaban, 1994 dan Hoesle, 1997) dan sebagai inovasi memerlukan suatu proses sampai diadopsi oleh petani. Menurut Rogers (1995), yang dikenal sebagai guru dalam studi adopsi/difusi sejak tahun 1960, menyatakan bahwa adopsi suatu inovasi merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolak dan kemudian mengukuhkannya. Secara lebih rinci, proses adopsi dapat dibagi dalam lima tahapan yaitu pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi. Tiga tahapan terakhir dapat dipandang sebagai satu tahapan implementasi atau adopsi inovasi.
Lebih lanjut Rogers mengemukakan
bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi banyak faktor terutama karakteristik inovasi, lingkungan sosial budaya, karakteristik individu petani, dan kondisi usahataninya. Yang dimaksud adopsi dalam studi ini adalah ‘sudah menerapkan’. Kriteria adopsi atau sudah menerapkan konservasi diketahui dari melihat langsung di lapang bentuk teknik konservasi mekanik seperti apa yang
34
digunakan. Adopsi dalam penelitian ini tidak melihat secara rinci proses dari adopsi tersebut seperti yang didefinisikan oleh Rogers. Studi tentang adopsi teknologi konservasi secara umum pada dasarnya dibangun dari dua pemikiran ilmiah. Pendekatan pertama memberi penekanan pada peran dominan insentif ekonomi dalam hubungannya dengan penggunaan teknologi tertentu, sedangkan pendekatan kedua menekankan pentingnya variabel-variabel non-ekonomi dalam
proses adopsi.
Dasar model ekonomi untuk menganalisis
tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi petani adalah bahwa manfaat yang positif (bersih) dapat menghasilkan tingkat kegunaan (utility) yang lebih tinggi bagi petani. Maksudnya, petani akan mengadopsi teknologi konservasi tanah apabila manfaat bersih keputusan tersebut (net benefit) positif, yang juga berarti tingkat kegunaan atau utilitas yang lebih tinggi, misalnya pada produktivitas dan pendapatan. Keputusan memilih sistem praktek pertanian di lahan berada di tangan petani sendiri. Keputusan yang dibuat biasanya berhubungan dengan tujuan petani itu sendiri seperti mencari berbagai kemungkinan untuk menaikkan produksi dan juga berhubungan dengan faktor-faktor penghambat/kendala yang dihadapi. Di dataran tinggi Jawa, Barbier (1990) menunjukkan bahwa hubungan antara erodibilitas dan keuntungan dari berbagai bentuk sistem pertanian pada tanah dan kemiringan yang berbeda merupakan penentu yang penting bagi petani dataran tinggi untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Barbier juga menyatakan bahwa akses pada input tertentu yang disubsidi seperti pupuk dan bibit terbukti merupakan insentif dalam mengontrol erosi tanah jangka panjang, pencabutan subsidi-subsidi tersebut akan mendorong berkurangnya investasi pada konservasi tanah. Alimaras et al. (1991) mengemukakan bahwa alasan utama petani mengadopsi konservasi tanah adalah kelayakan ekonomi. Petani akan melakukan konservasi tanah jika dengan tindakan tersebut petani akan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pagiola (1999) menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, adopsi sistem pertanian konservasi bahkan justru tampak tidak memberikan hasil yang nyata.
Penyebabnya antara lain rendahnya harga output sehingga
kenaikan produktivitas tidak berdampak terhadap biaya yang telah dikeluarkan, atau adanya penghambat lain seperti kemiskinan, kredit, dan status kepemilikan lahan. Pada kasus penanaman pohon oleh petani marjinal di Filipina, Shivelly (1997) mengemukakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi keputusan menanam
35
pohon ditentukan oleh perubahan harga relatif output dan berbagai resiko yang muncul akibat mengambil keputusan menanam pohon. Rerkasem (1996) mengidentifikasi tiga faktor penting dalam pengelolaan penggunaan lahan secara berkelanjutan yaitu: (a) adanya pemecahan biaya teknologi konservasi secara efektif dan tepat, (b) adanya pengelolaan organisasi sosial dan sumberdaya masyarakat, (c) adanya kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan krusial yang berhubungan dengan manajemen lahan. Hwang et al. (1994) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Lahan sewa cenderung akan dimanfaatkan secara maksimal (intensif). Keputusankeputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status lahan/kepemilikan lahan.
Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi
positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987) dibandingkan dengan lahan status sewa. Young (1987) mengemukakan tiga kendala utama petani dalam memutuskan sistem penggunaan lahannya yaitu jenis tanah, ukuran lahan, dan permasalahan yang muncul/ada dari pengelolaan lahan itu sendiri. Juo dan Thurow (1998) menyatakan bahwa adopsi teknik konservasi tanah dipengaruhi oleh faktor bio-fsik, sosial, ekonomi dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal. Arifin (2002) menyatakan beberapa variabel diduga mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknik konservasi, terutama teras (contour terracing) adalah faktor personal, faktor ekonom, faktor kelembagaan, dan faktor biofisik. Hediger (2003) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dapat mempertahankan pendapatan ditingkat petani untuk jangka waktu yang lama. Pendapatan pertanian tergantung pada faktor-faktor biofisik lahan dan ekonomi seperti harga komoditas, biaya produksi, penanaman intensif, rotasi tanaman, unsur hara tanah, kedalaman tanah, dan faktor produktivitas yang ada kaitannya dengan karakteristik tanah. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel faktor personal dan faktor ekonomi relatif dominan dalam mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan adopsi teknologi konservasi. Manfaat sistem pertanian konservasi adalah jangka panjang. Untuk melihat manfaat jangka panjang dapat dilakukan dengan perhitungan nilai kini bersih (NPV) dalam waktu jangka tertentu. Keputusan memilih sistem penggunaan lahan bersifat
36
langsung artinya lahan yang digunakan harus memberikan nilai yang tinggi bagi pemiliknya, yang diukur melalui nilai sekarang bersih/NPV (net present value) dari manfaat bersih berturut-turut yang diharapkan dalam jangka panjang. Petani hanya peduli (concern) pada manfaat dan biaya internal saja. Oleh karena itu dari sudut pandang pemilik lahan, manfaat sekarang bersih (NPV) privat merupakan kriteria terbaik untuk mengevaluasi keberlanjutan ekonomi sistem penggunaan lahannya. NPV sistem penggunaan lahan dapat diukur dengan membandingkan nilai manfaat dan biaya dari lamanya sistem penggunaan lahan tersebut digunakan dan kemudian menghitung nilai manfaat sekarang bersih/NPV secara berturut-turut dengan menggunakan tingkat diskon yang berlaku (The, 2001). Dengan menggunakan kerangka analisis manfaat-biaya, Current dan Scherr (1995) menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari 56 sistem penggunaan lahan agroforestry di Amerika Tengah.
Hasil menunjukkan bahwa 75% dari 56
sistem penggunaaan lahan agroforestry menghasilkan NPV positif pada tingkat diskon 20%. Dua pertiga dari kasus menunjukkan NPV dan tingkat pengembalian (returns) untuk tenaga kerja lebih tinggi pada sistem penggunaan lahan agroforerstry dibandingkan pada sistem penggunaan lahan alternatif lainnya seperti lahan pertanian atau lahan yang hanya terdiri dari pohon saja (misalnya hutan saja). Irawan (2001) menganalisis manfaat finansial dan ekonomi dari sistem pertanaman lorong (alley cropping system), salah satu teknologi budi daya pengendalian erosi secara vegetatif, di lahan kering berlereng di Kubang Ijo, Jambi. Sistem pertanaman lorong tersebut terdiri dari menanam tanaman pangan, tanaman pagar, rumput pakan ternak, dan tanaman kayu-kayuan. Setelah memperhitungkan kehilangan unsur hara yang terangkut erosi sebagai manfaat yang hilang (forgone benefit), nilai NPV dan B/C rasio pengembangan sistem pertanaman lorong menunjukkan hasil positif (layak). Pada tingkat diskon 12% nilai indikator NPV dan B/C rasio relatif lebih baik dibandingkan dengan sistem pertanaman yang telah ada (tradisional) di Kubang Ijo, Jambi. The (2001) menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi empat sistem penggunaan lahan di Vietnam Tengah.
Keempat sistem penggunaan lahan itu:
sistem pertanian sawah dataran tinggi, sistem perkebunan tebu, sistem agroforestry tanaman buah-buahan, sistem pertanaman pohon kayu putih (eucalyptus). Dengan kerangka waktu penggunaan lahan 30 tahun, analisis manfaat-biaya menunjukkan
37
NPV sistem agroforestry pada tingkat diskon 10%, 12%, 15%, 20%, maupun 25% menunjukkan hasil positif, sedangkan sistem pertanian sawah dan kayuputih pada tingkat diskon yang sama memberikan nilai NPV paling kecil.
2.8. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi sistem pertanian konservasi telah dilakukan di beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, Afrika, China, Pegunungan Andes, Kenya, Republik Dominica, dan lainnya. Pakpahan dan Syafaat (1991) menganalisis hubungan konservasi tanah dengan komoditas yang diusahakan, struktur pendapatan serta karakteristik rumah tangga di DAS Cimanuk dan Citanduy, Jawa Barat. Hasil analisis regresi menggunakan model logit menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan umur kepala keluarga tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan erosi. Namun dari tanda parameternya terdapat kecenderungan bahwa tingkat pendidikan semakin tinggi memberikan peluang berkurangnya tingkat erosi. Dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, diharapkan kemampuan orang tersebut
dalam
memproses
informasi
dan
keputusan
dalam
pengelolaan
sumberdaya semakin baik, sehingga dorongan terjadinya erosi menjadi semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga dan semakin tua umur kepala keluarga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar akan cenderung meningkatkan permintaan terhadap eksplotasi sumberdaya lahan sehingga cenderung meningkatkan peluang terjadinya erosi. Umur semakin tua cenderung kurang adaptif dan inovatif terhadap teknologi baru, sehingga semakin tua seseorang maka dorongan untuk menerapkan praktek-praktek konservasi semakin berkurang. Selanjutnya Pakpahan dan Syafaat (1991) mengemukakan bahwa kondisi erosi berasosiasi positif dengan pangsa pendapatan dari sektor pertanian terhadap pendapatan total rumah tangga. Makin tinggi pangsa pendapatan yang berasal dari sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga, makin tinggi tingkat erosi yang terjadi. Hubungan yang lebih kuat antara struktur pendapatan dengan erosi tanah adalah semakin tinggi sumber pendapatan rumah tangga berasal dari lahan kering, semakin berat erosi yang terjadi di wilayah yang bersangkutan. Di daerah sayuran penerapan praktek-praktek konservasi tanah relatif lebih rendah dibanding dengan di
38
daerah non-sayuran, walaupun tingkat pendapatan rumahtangga di daerah sayuran lebih tinggi dibanding daerah non-sayuran. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa faktor tanaman lebih besar pengaruhnya dibanding faktor pendapatan terhadap erosi yang terjadi. Fujisaka (1994) menyatakan alasan petani lahan kering dataran tinggi South Cotabato, Filipina kurang mau mengadopsi teknologi konservasi tanah yang diperkenalkan kepada mereka adalah inovasi teknologi yang diberikan salah menjawab permasalahan yang ada di lapang sehingga justru menciptakan masalah baru seperti terlalu mahalnya inovasi yang diperkenalkan dan tidak adanya jaminan sosial sewa lahan. Petani penyewa lahan segan mengkonservasi lahan sewaannya karena tidak yakin kapan lahan yang dikonservasi tersebut mulai menunjukkan hasil dan bila ingin melanjutkan penggunaan lahan sewaannya petani penyewa takut pemilik lahan mengambil alih lahannya. Huzar et al. (1994) mengkaji dampak dua bentuk subsidi yang diberikan kepada petani pada program konservasi yang diperkenalkan oleh UACP di dua areal DAS Jratunseluna (Jawa Tengah) dan Brantas (Jawa Timur). Ada dua bentuk subsidi yang diberikan yaitu subsidi opersional berupa input pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida serta subsidi kapital untuk membuat teras atau konstruksi lainnya yang berhubungan. Hasil menunjukkan bahwa efek subsidi operasional berupa input seperti benih, pupuk, pestisida terhadap program konservasi yang diperkenalkan tidak berlanjut. Pada awal proyek, petani yang mengikuti program konservasi menghasilkan panen yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program konservasi. Namun demikian dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan hasil panen menurun. Penurunan hasil panen ini ternyata berhubungan dengan menurunnya penggunaan input yang diperkenalkan atau yang disubsidi. Tujuan subsidi berupa input ini adalah bahwa semakin tingginya pendapatan yang diterima petani diharapkan akan memotivasi dan meningkatkan kemampuan petani untuk tetap mempertahankan penggunaan berbagai input tersebut setelah subsidi dihentikan. Dalam kenyataannya, kenaikan pendapatan yang diterima petani ternyata digunakan untuk membeli barang-barang lain seperti memperbaiki rumah daripada menginvestasikan kembali pendapatan yang diterima tersebut pada produksi tanaman di tahun berikutnya. Akibatnya ketika subsidi dihentikan, petani tidak lagi mampu membeli berbagai input yang lebih baik yang
39
diperkenalkan oleh proyek. Hal ini menunjukkan secara finansial petani mungkin tidak mampu mempertahankan praktek produksi yang diperkenalkan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan memberikan kredit. Namun demikian aternatif pemberian kredit untuk petani dataran tinggi ini perlu dikaji secara mendalam agar menjadi insentif yang baik bagi petani sehingga petani mempunyai kemampuan tidak saja untuk meminjam uang tetapi juga kemampuan untuk mengembalikan uang pinjamannya. Bila petani tidak mampu untuk membeli input maka akan juga berpengaruh terhadap pemeliharaan teras. Dari pengalaman di atas, Huzar et al. (1994) menyarankan agar program konservasi untuk dataran tinggi di masa mendatang perlu belajar dari pengalaman program-program konservasi sebelumnya. Penilaian ekonomi proyek pertanian dataran tinggi seharusnya dilakukan dengan membandingkan nilai kini bersih manfaat konservasi dengan nilai kini bersih biaya konservasi. Huzar et al. juga mengemukakan bahwa biaya lingkungan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan konservasi lahan kritis di dataran tinggi yang dilakukan oleh the Uplands Agriculture and Conservation Projects (UACP) di Citanduy II, Yogya, Bangun dan Wonogiri tahun 1980 adalah $ 20–50 juta. Ndiaye et al. (1994) mengkaji persepsi petani di Rwanda, Afrika terhadap sumber masalah praktek adopsi konservasi. Kendala utama memperkenalkan praktek konservasi pada petani Rwanda adalah ketidak pedulian dan ketidak-tahuan para petani akan dampak degradasi lahan terhadap kesuburan tanah atau erosi. Hal ini disebabkan kemiskinan, tekanan penduduk, pendidikan rendah, dan pendapatan yang rendah juga. Hwang et al. (1994) meneliti biaya (cost) beberapa bentuk teknik konservasi tanah yang diperkenalkan di Republik Dominika dalam rangka memenuhi target konservasi pada lahan pertanian dengan kecuraman tajam. Penelitian tersebut juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi. Teknik konservasi tanah yang diperkenalkan adalah penanaman rumput strip (grass strips), pembuatan parit/saluran (hillside ditches), dan teras sedangkan komoditas yang menjadi obyek penelitan Hwang et al adalah tanaman kopi, jagung buncis, ubi kayu dan ubi jalar. Dari ketiga teknik konservasi yang diperkenalkan, penanaman rumput strip merupakan teknik konservasi dengan biaya yang paling murah. Hasil penelitian menunjukkan walaupun pengurangan erosi penanaman rumput strip tidak seefektif
40
teknik konservasi hillside ditches atau teras, namun biaya pembuatan dan pemeliharaan penanaman rumput strip merupakan alternatif yang bersifat lebih ekonomis.
Pada tahun ketiga penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi
sebesar 50% dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 5%, sedangkan pada tahun ke empat penanaman rumput strip dapat menurunkan erosi sebesar 75% dengan menurunkan kehilangan pendapatan sebesar 34% dibandingkan pertanian tradisional (tidak mengadopsi teknik konservasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi petani Republik Dominika adalah harga output di pasar, faktor kelembagaan seperti status lahan dan kredit. Hasil penelitian Hwang et al. (1994) menunjukkan bahwa perubahan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tingkat harga yang diterima oleh petani yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi. Pengalaman pada komoditas kopi, jagung dan buncis di Republik Dominika menunjukkan bahwa liberalisasi harga dan tata niaga membuat harga di tingkat petani mencerminkan harga komoditas yang terjadi di pasar internasional. Akibat liberalisasi, harga komoditas kopi yg diterima petani meningkat sebaliknya harga komoditas jagung dan buncis yang diterima petani turun. Harga kopi yang meningkat relatif terhadap harga jagung dan buncis tersebut mengakibatkan banyak petani pemilik lahan yang tadinya menanam jagung dan buncis beralih menanam tanaman kopi. Dengan beralihnya penanaman komoditas tersebut berakibat pada turunnya laju erosi. Tanaman kopi menghasilkan erosi yang jauh lebih kecil dibandingkan tanaman jagung dan buncis. Status lahan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menerapkan konservasi tanah. Turunnya harga jagung dan buncis, menyebakan petani penyewa lahan beralih menanam ubi kayu dan ubi jalar. Pemerintah Republik Dominika mengeluarkan keputusan masa sewa menyewa lahan minimal selama dua tahun, dengan harapan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah grass strip.
Penelitian Hwang et al. (1994) menunjukkan biaya untuk
melakukan konservasi tanah dalam bentuk grass strip akan kembali dalam waktu minimal satu tahun. Untuk tanaman kopi yang merupakan tanaman tahunan dan manfaat baru dapat dirasakan setelah penanaman selama 10 tahun, agar petani kopi bersedia melakukan konservasi maka pemerintah memberikan insentif berupa subsidi suku bunga kredit.
41
Watson (1995) melakukan studi sosial ekonomi dampak program Sloping Agricultural Land Technology (SALT) pada pertanian lahan kering yang mempunyai kemiringan bervariasi mulai 18 % di Mindanao, Filipina.
Pengamatan dilakukan
selama 10 tahun (1981-1990). Hasil menunjukkan satu hektar lahan petani yang mengadopsi SALT mengalami kenaikan pendapatan secara dramatis. Pada tahun kedua setelah mengadopsi SALT pendapatan kotor petani lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani dengan praktek pertanian tradisional. Dari pengamatan 10 tahun tersebut ditunjukkan bahwa selama musim keringpun SALT tetap menguntungkan.
Dibandingkan pertanian jagung tradisional dengan pendapatan
tahunan petani $12.00 -$80.00/ha, maka petani yang mengadopsi program SALT mendapat keuntungan hampir tujuh kali lipat. Penyebab keberhasilan inovasi SALT di Mindano, Filipina adalah karena SALT melakukan berbagai modifikasi programnya sesuai dengan kondisi topografi, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat. Melalui SALT, petani marjinal di Filipina dapat melakukan konservasi ditanahnya, mengurangi ketergantungan terhadap pupuk buatan, mampu meningkatkan hasil panen dan secara umum petani mampu mencukupi dirinya sendiri. Selain itu petani marjinal di dataran tinggi juga dapat memutus siklus pertanian monokultur yang mahal, ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida impor, dan hutang kepada petani besar atau bank. SALT juga melibatkan berbagai organisasi non-pemerintah seperti the Philippine Soil Conservation Society (PSCS) dan Conservation Farming Movement (CFM), berbagai universitas pertanian di Filipina, dan membangun komunitas petani serta membuka program sekolah bagi anak-anak muda yang drop out sekolah karena miskin. Dalam sekolah ini, anak-anak muda juga mendapat pelatihan pertanian yang menggunakan teknologi dan materi yang tepat sesuai yang dibutuhkan supaya tidak mempunyai ketergantungan terhadap teknologi mahal seperti traktor. Rozelle et al. (1997) menyatakan permasalahan erosi di China disebabkan karena kurang effektifnya berbagai peraturan dan institusi pemerintah/lingkungan yang ada. Para pimpinan banyak yang belum mengerti dan memahami dampak jangka panjang erosi tanah. Pagiola (1999) menyatakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi sistem pertanian konservasi di Kenya adalah faktor personal yaitu kepedulian. Adopsi teknik konservasi tanah dalam usahatani
42
menjadi insentif yang kuat bagi petani Kenya ketika mengetahui degradasi lahan akan mengancam produktivitas dalam jangka panjang. Arifin (2002) melakukan analisis adopsi teknik konservasi pada petani di Subik dan Pekurun, Abung Barat, Lampung Utara.
Petani Abung Barat telah lama
mengadopsi teknik konservasi yang diperkenalkan oleh Proyek Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (UPSA) pada tahun 1980an.
Beberapa variabel diduga
mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan investasi teknik konservasi, terutama teras bangku adalah (1) faktor personal – umur dan pendidikan, (2) faktor ekonomi – jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan luar usahatani, jarak ke pasar, (3) faktor kelembagaan – status kepemilikan lahan, keanggotaan dalam USPA dan akses pada bantuan teknis, (4) potensi erosi – kecuraman lahan dan keberadaan tanaman keras. Hasil observasi menunjukkan bahwa adopsi teknik konservasi petani Subik dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendapatan di luar usahatani serta penanaman tanaman keras (pepohonan) di lahan usahatani. Petani setengah baya Subik cenderung menjadi penerap teknik konservasi, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang negatif. Pendapatan di luar usahatani dan penanaman tanaman keras berpengaruh positif terhadap adopsi teknologi konservasi. Adopsi teknik konservasi di Pekurun dipengaruhi tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pendapatan di luar usahatani dan keberadaan tanaman keras (pepohonan) di lahan usahatani, yang ditunjukkan oleh tanda koefisien yang positif. Secara umum dapat dikatakan bahwa variabel yang relatif dominan mempengaruhi keputusan petani Abung Barat untuk melakukan adopsi konservasi adalah variabel faktor personal dan faktor ekonomi. Variabel fisik seperti pembuatan teras bangku dan penanaman pepohonan cenderung menjadi faktor komplemen dalam adopsi konservasi secara umum. Studi ini menunjukkan ada hubungan yang positif antara adopsi teknik konservasi dengan produktivitas usaha. Manfaat bersih peningkatan produktivitas akibat mengadopsi teras bangku di Abung Barat ternyata lambat laun juga diikuti oleh petani yang bukan adopter, yang di Indonesia konsep ini dikenal istilah ‘petani dampak’ dalam proyek USPA tahun 1980an. Menurut Arifin, inilah esensi sebenarnya dari adopsi teknik konservasi yaitu diikuti oleh petani lainnya (non-adopter) yang bukan petani contoh (non-adopter).
43
Sanim dan Siregar (2002) menganalisis apa penyebab petani padi di kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Lore Lindu tidak mengkonservasi lahannya. Hasil analisis regresi dengan menggunakan model logit menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya adalah tingkat produksi, kualitas tanah, jumlah anggota keluarga dewasa, dan umur kepala rumah tangga petani. Pada kasus petani Taman Nasional Lore Lindu, produksi mempunyai efek negatif pada pengambilan keputusan untuk konservasi tanah. Adopsi konservasi mempunyai efek negatif terhadap jumlah output produksi padi. Petani yang mengadopsi konservasi tanah teras menghasilkan produksi padi yang lebih rendah (<1 ton/ha) dibandingkan petani yang tidak menerapkan konservasi tanah teras (>1 ton/ha). Petani menganggap bahwa konservasi tanah akan mengurangi produksi karena penerapan teras mengurangi efektivitas permukaan luasan lahan Hal ini dapat dimengerti karena petani mempunyai perspektif jangka pendek. Penyebab petani mempunyai perspektif jangka pendek adalah karena terbatasnya akses terhadap kredit dan pasar output. Kualitas tanah memberikan efek positif terhadap keputusan adopsi konservasi tanah. Signifikansi dari estimasi menunjukkan jika petani merasa bahwa kualitas tanahnya rendah atau turun, petani cenderung akan melakukan intensifikasi pada lahannya untuk menaikkan produksi. Hal ini berimplikasi petani tidak perduli akan keberlanjutan lahannya dengan mengabaikan konservasi tanah. Jumlah orang dewasa dalam keluarga petani - yang merefleksikan tenaga kerja keluarga memberikan efek positif pada keputusan petani untuk mengadopsi konservasi tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi tanahnya akan lebih tinggi jika ketersediaan tenaga kerja keluarga juga meningkat. 80% petani yang mengadopsi teknik konservasi tanah teras memiliki empat atau lebih tenaga kerja keluarga dewasa, sedangkan petani yang tidak mengkonservasi tanah tetapi jumlah tenaga kerja keluarga dewasa empat orang hanya sebesar 58%. Tersedianya tenaga kerja yang tinggi dalam keluarga memungkinkan petani menerapkan konservasi tanah di lahannya. Umur kepala rumah tangga memberikan hasil yang positif terhadap keputusan mengadosi konservasi tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi pengalaman bertani penting dalam mengambil keputusan untuk menerapakan konservasi tanah. Disamping itu, frekuensi konsultasi pada ahli pertanian juga menunjukkan pengaruh
44
positif terhadap keputusan untuk adopsi konservasi tanah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa petani yang tidak mengadopsi konservasi tanah tampaknya mengerti imbang rugi (trade off) antara output yang muncul dari adopsi konservasi atau tidak adopsi konservasi (jangka pendek). Antle et al. (2004) menyatakan bahwa tingkat adopsi teknik konservasi dalam usahatani di Pegunungan Andes dipengaruhi oleh interaksi antara variabel-variabel kondisi bio-fisik dan ekonomi. Keuntungan/manfaat yang didapat dari adopsi teknik konservasi tanah merupakan hal yang sensitif terhadap variabel-variabel ekonomi dan biofisik seperti dampak jangka panjang adopsi terhadap kualitas tanah, tingkat diskon dan produktivitas.
2.9. Model SCUAF dan Hasil Penelitian Terdahulu SCUAF (Soil Changes Under Agriculture, Agroforestry and Forestry) adalah model komputer yang dapat memprediksi dampak-dampak sistem penggunaan lahan tertentu pada kondisi lingkungan tertentu terhadap tanah. Sistem penggunaan lahan tertentu tersebut dapat berupa sistem penggunaan lahan untuk tanaman pangan/pertanian (agriculture), sistem penggunaan lahan untuk hutan (forestry), dan sistem penggunaan lahan untuk tanaman pangan dan hutan (agroforestry) sekaligus.
SCUAF yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCUAF Versi 4
dikembangkan oleh Centre for Resource and Environmental Studies of the Australian National University dalam proyek ‘Improving smallholder farming systems in Imperata areas Southeast Asia: a bioeconomis modelling approach’ (Young et al., 1998). Versi 4 merupakan revisi dari SCUAF versi 1 dan 2 yang dibuat oleh Peter Muraya. Muraya memprogram kembali model SCUAF versi 1 dan 2 untuk meningkatkan fleksibilitas dan validitas model tersebut. Model SCUAF menggunakan MUSLE (the Modified Universal Soil Loss Equation), dengan parameter karakteristik tanah (sifat fisik dan kimia tanah), iklim, dan sistem tanam yang diadopsi (Young dan Muraya, 1990). USLE (Universal Soil Loss Equation) pada dasarnya adalah metode untuk memprediksi erosi yang berbasis empiris (empirical based). USLE juga merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk memprediksi erosi yang disebabkan oleh air (Elliot et al. 1991).
45
SCUAF merupakan suatu model respon proses. Model tersebut menyajikan simulasi tahunan dari perubahan kondisi tanah di bawah sistem penggunaan lahan tertentu dan dampak perubahan tanah tersebut terhadap tanaman dan produksi. Prediksi proses perubahan kondisi tanah tersebut berupa: (a) prediksi laju erosi tanah, (b) prediksi kadar bahan organik tanah yang diwakili uncur C, (C) prediksi hara untuk tanaman yang diwakili unsur hara N (nitrogen) dan P (fosfor), dan (d) prediksi panen (produksi). SCUAF terutama bermaksud mensimulasi sistem penggunaan lahan untuk periode 10 – 20 tahun yang dalam penilaian penggunaan lahan berkelanjutan dikategorikan dalam jangka menengah. SCUAF juga dapat digunakan untuk mensimulasikan
penggunaan
lahan
berkelanjutan
untuk
jangka
panjang.
Keuntungan utama dari penggunaan SCUAF adalah mudah dioperasikan. Dari deskripsi input, proses dapat menjelaskan hubungan antara tanah dan tanaman. Jika sesuatu terjadi seperti peneliti mungkin kurang teliti, tidak ada ‘kotak hitam’ (black boxes) yang tersembunyi. Peneliti akan segera mudah mengoperasikan model. Model ini telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian yang telah diterbitkan. Kegunaan
aplikasi
SCUAF
antara
lain
(a)
dapat
membantu
menginterpretasikan hasil-hasil percobaan lapang/teknis yang telah dilakukan, (b) dapat dipakai untuk memprediksikan bagaimana dampak hasil percobaan lapang tersebut dari waktu ke waktu,
jangka menengah maupun jangka panjang, (c)
membantu mengerti hubungan antara tanaman, tanah, dan sistem penggunaan lahan, dan (d) membantu membuat rekomendasi pengelolaan lahan untuk kondisi lingkungan tertentu. Model SCUAF dapat memberikan gambaran atau pengetahuan (in sight) tentang ‘apa yang terjadi’ dalam proses-proses berbagai jenis tanah dengan tanaman misalnya erosi, kandungan kadar bahan organik atau unsur hara tanah. Model juga dapat memberikan gambaran dampak sistem penggunaan lahan tertentu terhadap tanah dengan atau tanpa pemberian pupuk (organik maupun anorganik) atau mulsa. Model juga dapat mensimulasi dan membandingkan efek berbagai alternatif sistem penggunaan lahan. Hasil SCUAF juga dapat digunakan sebagai data untuk analisis ekonomi. Walaupun
tidak secara langsung mengandung komponen ekonomi, SCUAF
menyediakan nilai-nilai input dan output untuk analisis ekonomi. Sebagai contoh,
46
gejala (trends) erosi (kesuburan tanah) dan konsekuensinya untuk tanaman selama 20 tahun yang muncul dari hasil simulasi dapat digunakan sebagai dasar analisis aspek ekonomi sistem penggunaan lahan berkelanjutan.
Data bersifat langsung
yang relevan untuk digunakan sebagai input analisis ekonomi adalah areal tanam – input bibit, tenaga kerja, pupuk, dan sebagainya. Hasil panen dan perubahan sifat tanah digunakan sebagai output analisis ekonomi.
Panen dan sifat-sifat tanah
merupakan dasar untuk menilai perubahan nilai kapital tanah. SCUAF dapat diaplikasikan untuk mengevaluasi ekonomi konservasi tanah yaitu dengan membandingkan dampak masing-masing sistem penggunaan lahan dengan konservasi dan sistem penggunaan lahan tanpa konservasi. Kerangka kerja yang mengkombinasikan analisis biofisik dan ekonomi ini dinamakan model bio-ekonomi. Data biaya input dan harga output (panen) dapat diperoleh dari survei pada tingkat petani. Data ini kemudian dapat digunakan untuk model ekonomi seperti nilai kini bersih (Net Present Value) atau pengukuran nilai ekonomi lainnya. Beberapa studi yang menggunakan model SCUAF adalah Vermuelen (1993) di Zimbabwe, Young (1994), Gunawan et al. (1995) di Indonesia, Grist dan Menz (1996) dan Menz and Grist (1996) di Australia, Nelson et al. (1996a, 1996b) di Filipina, Magcale-Macandog et al. (1997), Magcale-Macandog dan Rocamora (1997) di Filipina: suatu laporan berseri dari sistem penggunaan lahan di Asia Tenggara menggunaakan hasil output SCUAF untuk analisis ekonomi, Ranola dan Pedro (1997) di Filipina, Young (1997), Pedro et al. (1997) di Filipina, Rusastra et al. (1998) di Indonesia, The (2001) di Vietnam. Berbagai studi menunjukan bahwa SCUAF mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan
adanya
hubungan
antara
kesuburan
tanah
dengan
keberlangsungan sistem ekonomi.
Menz dan Grist (1996) menyatakan bahwa
kesuburan
dengan
tanah
berhubungan
prinsip
pertanian
berkelanjutan.
Pengetahuan ini penting untuk menentukan teknik konservasi tanah yang tepat untuk didisain di suatu lokasi. Ranola et al. (1997) juga menegaskan bahwa model SCUAF sangat berguna dalam mengatasi kekurangan data time series. Serangkaian penelitian yang menggunakan model SCUAF dalam mengevaluasi sistem penggunaan lahan di Asia Tenggara telah membuktikan validitas SCUAF (Young et al., 1998).
47
2.10. Tanaman Kentang Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk tanaman jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi, setelah itu mati. Umur tanaman kentang bervariasi menurut varietasnya dan dapat tumbuh dengan tegak dengan ketinggian 0.5 m – 1.2 m, tergantung varietasnya. Tanaman kentang bukan tanaman asli Indonesia, kebanyakan merupakan introduksi dari benua Eropa seperti Belanda dan Jerman Barat. Untuk mendapatkan hasil maksimum, tanaman kentang membutuhkan suhu optimum yang relatif rendah, terutama untuk pembentukan umbinya yaitu 15.60C – 17.80C. Oleh kerena itu di Indonesia kentang cocok ditanam di dataran tinggi >1000 m dpl. Selain membutuhkan iklim yang sesuai, juga membutuhkan kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhannya. Keadaan tanah yang baik dan sesuai untuk tanaman kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, subur, mudah mengikat air (porous), dan solum tanah dalam. Sedangkan tekstur tanah yang cocok adalah tanah lempung ringan dengan sedikit kandungan pasir. Keadaan pH yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kentang bervariasi antara 5.0 -.7.0. Faktor cahaya yang penting untuk pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya dan lama penyinaran. Lama penyinaran yang dibutuhkan oleh tanaman untuk kegitan fotosintesa adalah 9 – 10 jam per hari. Umumnya tanaman kentang diperbanyak dengan umbi (vegetatif) (Samadi, 1997). Varietas Granola merupakan varietas yang banyak ditanam di Pangalengan. Varietas ini merupakan introduksi dari Jerman Barat. Kentang varietas ini mempunyai potensi produksi yang tinggi, dapat mencapai 25-30 ton/ha. Kulit umbi dan daging berwarna kuning., umbinya berbentuk oval, kualitas umbi baik, berumur genjah (90 - 100 hari), dan tinggi tanaman 60 – 70 cm. Varietas ini tahan terhadap penyakit virus Potato Virus A (PVA) dan Potato Virus Y (PVY) dan Potato Leaf Roll Virus (PLRV), namun agak peka terhadap penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit busuk daun (Phytophthota infestans). Andisol merupakan jenis tanah yang cocok untuk tempat tumbuhnya tanaman kentang. Tanah Pangalengan selain memliki sifat fisik tanah yang baik dan juga memiliki potensi kesuburan kimia yang tinggi sehingga baik untuk kentang sayur dan cocok dikembangkan di Jawa Barat.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung (Lampiran 1 dan 2). Pelaksanaan penelitian dari bulan Desember 2004 sampai Desember 2005. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan: (1) merupakan areal pertanian, perkebunan,
dan hutan sekunder di lahan kering
dataran tinggi, (2) di daerah tersebut saat ini sudah terjadi peningkatan luas areal usahatani tanaman semusim yang intensif sehingga penggarapan lahan sudah sampai pada lereng dengan kecuraman tinggi, dan (3) daerah ini merupakan sentra produksi tanaman sayur-mayur terutama kentang di Propinsi Jawa Barat. 3.2.
Teknik Pengambilan Sampel Populasi yang diteliti adalah adalah petani yang mengusahakan usahatani
sayuran, terutama kentang, di lahan kering dataran tinggi kecamatan Pangalengan. Di lokasi penelitian daftar nama petani sayuran diperoleh dari Koperasi Unit Desa (KUD) dan petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) kecamatan Pangalengan. Pemilihan sampel penelitian didasarkan atas daftar nama-nama petani tersebut. Dengan demikian, nama-nama petani yang ada di dalam daftar merupakan kerangka sampel (sampling frame) untuk penelitian ini. Tidak ada data berbagai atribut pada daftar nama petani. Jumlah populasi 1148 orang. Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling).
Sampel
diambil secara acak dari nama-nama yang ada dikerangka sampel. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 180 petani ( ± 15%) dari 1148 orang. Banyaknya sampel dari masing-masing desa ditentukan secara proporsional.
Jumlah sampel masing-
masing desa tertera pada Tabel 2. Pertimbangan jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini berdasarkan: (a) jumlah pengamatan yang mencukupi untuk keperluan analisis regresi, (b) ketersediaan biaya, dan (c) homogenitas sampel. Yang dimaksud homogenitas sampel dalam penelitian ini adalah kondisi biofisik ke 13 desa dalam satu kecamatan relatif sama karena letaknya tidak berjauhan. Cara bertani/budidaya petani usahatani sayuran Pangalengan juga sama.
49
Untuk mengetahui kondisi lahan respoden -kemiringan lereng lahan - dilakukan dengan mengukur langsung kemiringan lereng di lahan responden dengan menggunakan abney level dan sekaligus melihat peluang adopsi konservasi tanah dari responden. Konservasi tanah dalam penelitian ini dibatasi pada konservasi tanah secara mekanik berupa penanaman tanaman pada guludan searah kontur dan penanaman tanaman dengan teras. Responden dikatakan sudah menerapkan konservasi tanah bila menanam tanaman pada guludan searah kontur maupun menanam tanaman dengan teras. Sedangkan usahatani yang menanam sayuran pada guludan searah lereng dikategorikan sebagai usahatani yang tidak mengadopsi teknik konservasi tanah. Penentuan kategori di atas didasarkan atas sistem penanaman sayuran yang umum dilakukan petani Pangalengan dan juga berdasarkan hasil berbagai penelitian terdahulu yang menunjukkan penanaman pada guludan searah lereng menghasilkan erosi yang lebih besar dibandingkan penanaman pada guludan searah kontur. Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga diwawancarai untuk melengkapi informasi yang dicari. Jumlah PPL yang ada di wilayah penelitian sebanyak empat orang. Untuk lebih jelas, jumlah sampel PPL dan sampel tiap desa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah sampel PPL dan petani tiap desa Uraian Responden a. PPL b. Petani
3.3.
Jumlah sampel 4 180 (Lamajang 9, Warnasari 20, Sukamanah 18, Margamekar 12, Margamukti 10, Pangalengan 20, Sukaluyu 11, Margaluyu 12, Tribaktimulya 10, Pulosari 16, Margamulya 27, Banjarsari 8, Wanasuka 7)
Teknik Pengambilan Sampel Disengaja Acak sederhana
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
yang digunakan dalam penelitian merupakan data cross sectional dengan responden rumahtangga petani sayuran. Data diperoleh dengan metode wawancara kepada resonden yang terpilih dan dilakukan di lahan saat petani melakukan aktivitasnya dengan daftar pertanyaan (kuesioner) yang meliputi:
50
1. Informasi usahatani secara umum: luas lahan, lokasi lahan, jenis usaha tani, kepemilikan lahan, kemiringan lereng, sistem pergiliran/rotasi tanaman dalam satu tahun, serta sistem pertanaman menerapkan konservasi tanah atau tidak. 2. Karakteristik rumahtangga petani: umur, jenis kelamin, pekerjaan kepala rumahtangga, jumlah keluarga, dan pendidikan keluarga, serta pengalaman berorganisasi dan mendapatkan kredit. 3. Variabel input yang digunakan dalam produksi: tenaga kerja (keluarga maupun bukan keluarga), benih, pupuk (organik/anorganik) , pestisida, dan input lainnya. 4. Hasil panen dan pendapatan: Pendapatan termasuk total pendapatan usahatani dan pendapatan di luar usahatani. 5. Informasi pasar dan kredit. Harga pasar dari output usahatani, tersedianya kredit untuk usahatani, jumlah yang boleh dipinjam dan tingkat suku bunga. 6. Pengetahuan petani dan pengalaman petani dalam konservasi tanah. 7. Motivasi dan perilaku petani terhadap pertanian konservasi serta respon petani terhadap isu kebijakan pemerintah mengenai konservasi tanah. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait
(Dinas Pertanian
Kabupaten Bandung, Kantor Kabupaten dan Kecamatan, Kantor Kepala Desa, Kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor, literatur, dan hasil penelitian terdahulu. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai kependudukan, keadaan geografis dan administrasi, tata ruang pemanfaatan sumberdaya lahan kering dataran tinggi, data biofisik Pangalengan, Bandung, peta desa, dan lain-lain. Secara ringkas jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis dan sumber data Jenis Data I. Data Primer 1. Luas garapan (termasuk metode pertanaman) 2. Jumlah input yang digunakan 3. Jumlah output yang dihasilkan 4. Kemiringan lereng individu petani
Sumber Data Petani Petani Petani Diukur langsung dengan abney level
II. Data Sekunder 1. Monografi Kecamatan Pangalengan 2. Biofisik (topografi, jenis dan sifat tanah, curah hujan) 3. Hasil berbagai penelitian yang sudah pernah dilakukan di Pangalengan
Kantor Kecamatan Pengalengan,Tim Survey Tanah IPB 1991, Stasiun hujan PLTA Plengan, Pangalengan, Laporan penelitian, Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor
51
3.4. Analisis Data Untuk menjawab tujuan penelitian, model didisain dalam tiga bagian. Pertama, model logit yang menggunakan variabel dummy sebagai variabel dependennya untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi. Kedua, model fungsi produksi Cobb-Douglas untuk melihat pengaruh faktor-faktor produksi dan adopsi konservasi (teknologi) terhadap produksi. Ketiga, model biofisik-ekonomi untuk melihat manfaat adopsi sistem pertanian konservasi terhadap kualitas lahan dan pendapatan. Secara ringkas tujuan penelitian, data yang dikumpulkan, sumber data, teknik analisis dan output analisis tertera pada Tabel 4. 3.4.1. Analisis Data untuk Tujuan 1 Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi Petani
lahan
kering
dataran
tinggi
Pangalengan
diasumsikan
sudah
mempunyai pengalaman untuk menentukan sistem pertanian sayuran dataran tinggi. Keputusan untuk mengadopsi sistem pertanian koservasi akan dilakukan jika harapan manfaat dari pertanian konservasi tanah yang diadopsinya lebih besar dari manfaat
sistem
pertanian
lainnya.
Untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi adopsi konservasi tanah dilakukan analisis dengan menggunakan model logit yang menggunakan variabel dummy sebagai variabel dependennya. Parameter-parameter dalam model diestimasi dengan menggunakan metode maximum-likelihood (Judge et al., 1988). Unit analisis adalah rumahtangga petani. Secara matematis bentuk persamaan umumnya sebagai berikut: Dadopsi
= β0 + β1 PKL + β2KRD + β3 PDK + β4 UMR + β5 SLHN + β6 CURM + β7JLKR + β8 JAK
Keterangan: Dadopsi : adopsi konservasi tanah D = 1, mengadopsi teknik konservasi D = 0, tidak mengadopsi teknik konservasi PKL : pendapatan keluarga di luar usahatani ( Rp) KRDT : akses pada kredit usahatani D = 1, memperoleh kredit D = 0, tidak memperoleh kredit PDK : tingkat pendidikan kepala rumah tangga D = 1, pendidikan SMA ke atas D = 0, pendidikan SMP ke bawah
52
Tabel 4 Ada di Lampiran berbentuk landscape
53
UMR SLHN CURM JLKR JAK
: umur (tahun) : status lahan usahatani D = 1, sewa D = 0, milik sendiri. : tingkat kecuraman lahan usahatani (%) : jarak lahan usahatani ke rumah (km) : jumlah anggota keluarga dewasa, ≥ 17 tahun (orang).
3.4.2. Analisis data untuk tujuan 2 Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi usahatani kentang. Petani dataran tinggi mengerti bahwa erosi tanah menyebabkan berkurangnya hasil panen. Namun demikian, petani hanya mau melakukan adopsi sistem pertanian konservasi bila dapat melihat manfaat dari adopsi tersebut, seperti produksi yang tinggi. Produksi dan pengembalian yang tinggi pada petani berarti petani dapat merasakan manfaat modal yang telah dikeluarkannya untuk adopsi teknik konservasi tanah pada usahataninya. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh sistem pertanian konservasi terhadap produksi usahatani kentang di Pangalengan, digunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi didefinisikan sebagai suatu hubungan kuantitatif antara input dan produksi. Analisis fungsi produksi dapat memberikan informasi efisiensi produksi dari input.
Fungsi Cobb-Douglas sering dipakai para peneliti
karena memiliki tiga keunggulan (Soekartawi, 2003) yaitu: (1) penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif mudah dibandingkan dengan fungsi lain, seperti fungsi kuadratik. Fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear, (2) hasil pendugaan fungsi Cobb-Douglas menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas, (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus juga menunjukkan tingkat besaran keadaan skala usaha (return to scale) dari proses produksi yang berlangsung. Jika nilai jumlah elastisitas kurang dari satu, sama dengan satu, atau lebih besar dari satu maka masing-masing dari nilai menunjukkan keadaan skala yang menurun, konstan, atau menaik. Asumsi yang harus dipenuhi dalam fungsi Cobb-Douglas adalah (1) tidak ada pengamatan yang bernilai nol, (2) tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan, (3) tiap variabel independen (X) adalah perfect competition, dan (4) perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada
54
faktor kesalahan, u. Kesulitan yang umum ditemui dalam penggunaan fungsi CobbDouglas adalah munculnya spesifikasi variabel yang keliru, kesalahan pengukuran variabel, bias terhadap variabel manejemen, mulitikolinearitas, data (khususnya untuk data yang bersifat cross sectional harus mempunyai variasi yang cukup). Variabel yang digunakan untuk model fungsi produksi dalam penelitian ini adalah produksi, pupuk N,P,K,S, pupuk kandang, tenaga kerja, pestisida, luas lahan, dan harapan peluang adopsi konservasi tanah. Unit analisis adalah usahatani rumahtangga petani per petak. Secara matematis bentuk umum persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam penelitian ini adalah:
Qkentang
β1
= β0 . Ntot
β2
.
β3
β4
β5
Ptot . Ktot . Stot . Fkan . TK
β6 .
β7
β8
Pest . Llahan e
β9Dadop + ε
Model tersebut terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk linear, yaitu dengan mengkonversi menjadi persamaan: Ln Q = β0 + β1 ln NTot + β2 ln PTot + β3 ln KTot + β4 ln STot + β5 ln Fkan + β6 ln TK + β7 ln Pest + β8 ln Llahan + β9Dadop + ε Keterangan: Q = produksi kentang (kw) Ntot = unsur nitrogen pupuk (kg) PTot = unsur fosfor pupuk (kg) Ktot = unsur kalium pupuk (kg) Stot = unsur sulfur (kg) Fkan = jumlah pupuk kandang (kg) TK = jumlah tenaga kerja (hok) Pest = banyaknya pestisida (Rp) Llahan = luas lahan usahatani (ha) Dadop = harapan peluang adopsi konservasi tanah (antara 0 sampai 1) β0 = intersep β = parameter regresi, dengan i = 1,2,......,9. e = 2.7128 ε = galat sisa Variabel adopsi (Dadop) dalam model fungsi produksi di atas adalah nilai dugaan besarnya peluang petani mengadopsi konservasi tanah. Untuk menghitung besaran nilai dugaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi tersebut dapat diketahui dari analisis data tujuan
55
1 yang menggunakan model logit dengan variabel dummy sebagai variabel dependennya. Fungsi produksi Cobb-Douglas diestimasi dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mempergunakan metode OLS adalah penduga OLS linear, tidak bias, mempunyai ragam yang minimum pada semua bentuk linear dan tidak bias, dan OLS masih mempunyai nilai sisa. Dengan kata lain OLS harus memenuhi syarat BLUE (the best linear unbiased estimate). Untuk mendapatkan BLUE tidak mudah karena problem
yang
sering
muncul
dalam
regresi
antara
lain
mispesifikasi,
multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. 3.4.3.
Analisis Data untuk Tujuan 3 Menganalisis pengaruh adopsi sistem pertanian konservasi terhadap kualitas sumberdaya lahan dan pendapatan usahatani kentang. Kualitas sumberdaya lahan dan pendapatan usahatani sayuran kentang dalam
studi ini dihitung dengan menggunakan kerangka kerja pemodelan biofisik-ekonomi (Grist et al., 1997). Dampak ketiga sistem penanaman (konservasi dan tanpa konservasi) terhadap tanah dan produksi diprediksi dengan model SCUAF. Indikator kualitas sumberdaya lahan adalah tingkat erosi, kadar bahan organik (C), dan unsur hara tanah (N dan P). Perhitungan pendapatan dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melihat kelayakan usahatani kentang melainkan untuk membandingkan tingkat profit (keuntungan) antara usahatani yang menerapkan konservasi dengan yang tidak menerapkan konservasi.
Analisis manfaat biaya
(NPV) digunakan karena jangka waktu perhitungan keuntungan usahatani dalam kasus ini 20 tahun. Agar keuntungan tahun sekarang (kini) dapat dibandingkan dengan keuntungkan tahun-tahun berikutnya maka perlu dilakukan proses discounting
(diskonto)
sehingga
besaran
keuntungan
antar
waktu
dapat
dibandingkan. Perhitungan pendapatan usahatani kentang per musim tanam (MT) dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan (penanaman pada guludan searah lereng, penanaman pada guludan searah kontur dan penanaman dengan teras) juga dihitung. Hasil keuntungan usahatani per musim tanam (MT) dan keuntungan usahatani dalam waktu 20 tahun dibandingkan.
Perhitungan harga input yang
dikeluarkan dan harga penerimaan yang diterima menggunakan harga yang berlaku
56
pada tahun 2004 - 2005. Nilai Kini Bersih (NPV) ketiga teknik penanaman usahatani kentang di Pangalengan dihitung dengan menggunakan kerangka kerja pemodelan biofisik-ekonomi seperti terlihat pada Gambar 3.
Survei pada petani
Model SCUAF (Sistem Penggunaan Lahan)
Tingkat Erosi dan Kesuburan Tanah
Jumlah input Harga dan Biaya
kalibrasi
Penelitian Terdahulu
Biaya/Manfaat Lingkungan (Biaya erosi tanah on-site dan dampak off-site)
Produksi tanaman (output)
Nilai Kini Bersih (NPV)
Gambar 3 Kerangka kerja pemodelan biofisik-ekonomi (Grist et al., 1997). Tahapan kerangka kerja pemodelan biofisik-ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi SCUAF dalam penelitian ini: •
SCUAF diaplikasikan untuk memprediksi dampak tiga sistem usahatani sayuran kentang di Pangalengan terhadap tanah dan produksi untuk periode 20 tahun. Ketiga sistem usahatani tersebut adalah usahatani kentang dengan penanaman tanaman pada guludan searah lereng, penanaman tanaman pada guludan searah kontur dan penanaman tanaman dengan teras. Hasil simulasi ketiga sistem penanaman dibandingkan.
•
Pola pergiliran jenis sayuran untuk ditanam dalam satu tahun ditentukan oleh petani sendiri. Pola tanam sayuran dalam satu tahun untuk simulasi SCUAF diwakili oleh penanaman kentang dua kali. Dasar penentuan pola tanam menanam kentang dua kali sebagai berikut:
57
1. Petani lebih menyukai menanam kentang dengan alasan: (a) kentang merupakan tanaman komersial, (b) walaupun biaya usahatani kentang paling tinggi dibanding usahatani sayuran lainnya tetapi usahatani kentang memberikan keuntungan tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya, (c) B/C ratio wortel dan memang cabe lebih tinggi dari B/C kentang dan kubis, namun masa tanam kentang pendek (3 bulan), hasil panennya bersifat lebih tahan lama, dan disamping itu harga jual kentang lebih stabil dibandingkan harga tomat atau cabe yang sangat berfluktuasi. 2. Hasil studi terhadap 180 responden, untuk masa tanam 2005, 167 responden atau 92% responden sudah menanam kentang satu kali, dan 58% dari 92% responden tersebut sudah menanam kentang dua kali. 3. Untuk semua jenis tanaman sayuran yang ada di Pangalengan, dalam sepuluh tahun terakhir ini, luasan tanam tanaman kentang tertinggi, yang kemudian diikuti oleh luas tanaman kubis (Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung, 2004). 4. Kebijakan
pemerintah
daerah
Kabupaten
Bandung,
Pangalengan
menjadi sentra penghasil kentang di Jawa Barat. 5. SCUAF berbasis persamaan erosi (USLE). Ketiadaan literatur nilai C (vegetasi) untuk pola tanam berurutan kentang dengan tanaman lain ataupun nilai C untuk tumpang sari kentang dengan tanaman lain maka penentuan nilai C dalam simulasi SCUAF diambil dari nilai C kentang yang ditanam secara monokultur. •
Deskripsi tiga sistem usahatani kentang Pangalengan dalam satu tahun yang disimulasi dalam SCUAF tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Deskripsi tiga sistem usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan yang digunakan dalam simulasi SCUAF Sistem Usahatani 1. Penanaman pada guludan searah lereng
PolaTanam Penanaman tanaman kentang – kentang dalam setahun
2. Penanaman pada guludan searah kontur
Penanaman tanaman kentang – kentang dalam setahun
3. Penanaman pada teras bangku
Penanaman tanaman kentang – kentang dalam setahun
58
•
Analisis usahatani, perhitungan nilai kini bersih (NPV) dan biaya pengganti tanaman hortikultur pada ketiga teknik penanaman di Pangalengan diwakili oleh tanaman kentang
•
Hasil keluaran SCUAF yang digunakan adalah prediksi jumlah produksi (panen), prediksi erosi tanah yang terjadi, dan kandungan nitrogen (N), fosfor (P) dan carbon (C, bahan organik tanah) tanah.
•
Erosi dalam SCUAF dimodelkan oleh persamaan umum erosi tanah (universal soil loss equation) (Wischmeier dan Smith, 1978), siklus C tanah dalam SCUAF dihitung berdasarkan prinsip pendekatan Nye dan Greenland (1960) yang dimodifikasi oleh Young (1997). Modifikasi tersebut sekaligus juga dapat memprediksi siklus hara N dan P tanah. Besaran prediksi panen tergantung pada perubahan hara, carbon dan kedalaman tanah.
•
Parameter agroklimat yang diperlukan SCUAF adalah iklim, kemiringan lereng, drainase tanah, bahan induk tanah, tekstur tanah, pH tanah, status organik tanah (C), status N dan P tanah, dan status kesuburan tanah. Parameter agroklimat daerah Pangalengan tertera pada Lampiran 5 dan 6. Parameter lain yang diperlukan untuk SCUAF adalah nilai C (faktor penutup tanaman), P (masing-masing sistem teknik konservasi), K (erodibilitas tanah), dan A (erosi) tertera pada Lampiran 6. Proporsi daun dan umbi kentang adalah 20 persen dan 80 persen. Fraksi N dan P dari umbi kentang sebesar 0.03 dan 0.3. Keterbatasan dalam model SCUAF 4 adalah hanya dapat memprediksi bahan
organik (C), unsur hara tanah N dan P.
Unsur hara K belum dapat diprediksi
padahal unsur hara tanah yang penting adalah N, P dan K. Perhitungan NPV dan biaya erosi tanah dalam penelitian ini belum memperhitungkan kehilangan K.
2. Analisis Manfaat dan Biaya Untuk mengukur keuntungan ketiga sistem usahatani kentang di Pangalengan selama 20 tahun, digunakan analisis manfaat dan biaya. Produksi kentang dari ketiga sistem usahatani sayuran Pangalengan selama 20 tahun dalam analisis ini diperoleh dari model SCUAF. Hasil panen dikalikan dengan harga pasar (harga kentang yang biasa berlaku di Pangalengan) untuk mendapatkan penerimaan
59
panen. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk ketiga sistem penanaman meliputi biaya untuk bibit, pupuk organik, pupuk anorganik (NPK), pestisida, dan tenaga kerja. Analisis manfaat dan biaya berguna untuk membandingkan manfaat dan biaya dari praktek pertanian. Karena pengukuran keuntungan akan dilihat dalam masa 20 tahun, maka dimensi waktu dimasukkan dalam perhitungan analisis manfaat biaya melalui penggunaan diskonto. Proses diskonto adalah proses memperoleh nilai sekarang dari nilai yang akan datang. Menurut Gittinger (1982), ukuran arus uang berdiskonto dari keuntungan praktek pertanian yaitu nilai kini bersih (NPV), tingkat pengembalian internal (IRR), dan rasio manfaat biaya (BCR). Nilai kini bersih (NPV) dari ketiga sistem pertanaman usahatani kentang Pangalengan dalam kurun waktu penilaian t tahun, dihitung dengan persamaan: NPV
n ( Bt - Ct ) Σ --------t=1 (1+r)t
=
(1)
Persamaan rasio manfaat-biaya ( Benefit Cost Ratio/BCR) adalah: BCR
=
n n Σ Bt / (1 + r )t / Σ Ct /(1 + r)t t=1 t=1
Keterangan: Bt Ct t r NPV BCR n
(2)
= manfaat yang diperoleh dari tiap sistem usahatani kentang pada tahun ke t = total biaya yang dikeluarkan untuk tiap sistem usahatani Kentang pada tahun ke t = kurun waktu penilaian (1,2,3,....,n) = faktor diskon = nilai bersih kini (Net Present Value) = rasio manfaat biaya (Benefit Cost Ratio) = jumlah tahun
Kriteria penilaian yang digunakan adalah bila NPV > 0 atau bila BCR > 1, maka usahatani sayuran lahan kering dataran tinggi Pangalengan dikatakan layak. Asumsi yang dipakai dalam analisis NPV adalah: (a) perhitungan NPV yang dilakukan berdasarkan umur teknik konservasi tanah teras yang dalam dalam 20 tahun sudah memerlukan perbaikan yang cukup besar, (b) penghitungan nilai penyusutan/depresiasi tidak dimasukkan dalam cash flow untuk menghindari penghitungan ganda (double counting), (c) diskon faktor yang digunakan berdasarkan pada tingkat suku bunga untuk proyek-proyek pertanian (18%), (d) nilai sisa untuk barang-barang pertanian dianggap nol/habis, dan (e) sumber pendanaan
60
berasal dari dalam rumahtangga petani sendiri. Hasil analisis akan disajikan sebagai nilai kini bersih (NPV) komulatif dari setiap sistem usahatani sayuran. Keuntungan dari menggunakan NPV adalah karena NPV mampu menggambarkan tingkat keuntungan yang diperoleh usahatani kentang setelah memperhitungkan nilai waktu dari uang (time value of money). Menurut Gittinger (1982), perhitungan tingkat pengembalian internal (IRR) dapat dilakukan jika IRR dari sederetan nilai-nilai seperti nilai arus uang hanya jika paling tidak ada satu nilai negatif. Jika semuanya positif maka tidak ada satupun tingkat diskonto (discount rate) yang dapat membuat NPV sama dengan nol. Berapapun besarnya tingkat diskonto, NPV akan positif jika tidak terdapat bilangan negatif. Analisis sensitivitas (perlakuan terhadap ketidaktentuan) bertujuan meneliti kembali suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Analisis sensitivitas tidak dilakukan terhadap kenaikan biaya ataupun kenaikan harga output, karena akan memiliki dampak yang sama baik terhadap NPV usahatani kentang yang mengadopsi sistem pertanian konservasi maupun yang tidak mengadopsi. Sensitivitas dilakukan terhadap besaran tingkat diskonto (discount rate) yang digunakan. Tingkat diskonto dapat menggambarkan preferensi petani terhadap pendapatan kini ataukah pendapatan masa yang akan datang. Semakin besar tingkat diskonto dapat berarti petani lebih mementingkan atau memberi bobot yang lebih tinggi terhadap keuntungan masa kini dibandingkan keuntungan masa depan (Lumley, 1997). Keputusan petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi sistem pertanian konservasi bersifat privat. Analisis manfaat biaya ditingkat usahatani (field level) dari perspektif petani dapat memberikan gambaran kepada petani untuk memutuskan akan mengadopsi sistem pertanian konservasi atau tidak.
Biaya erosi tanah usahatani kentang Pangalengan Erosi tanah usahatani sayuran kentang di Pangalengan terutama berhubungan dengan erosi tanah on-site. Biaya erosi on-site didekati melalui nilai kini (PV) biaya pengganti hara yang hilang melalui erosi tanah untuk ketiga sistem pertanaman dalam kurun waktu 20 tahun, dengan diskon faktor 18%. Pendekatan biaya pengganti (The Replacement Cost Approach) dalam penelitian ini adalah mengukur
61
unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dengan menghitung nilai bahan organik (C) dan unsur hara tanah (N dan P) yang hilang tersebut yang ekuivalen dalam penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan. Metode ini kadang-kadang juga dipakai dalam metode penilaian sumberdaya yang berhubungan dengan perkiraan biaya pengganti relatif. Melalui pendekatan biaya pengganti untuk menghitung biaya erosi tanah onsite, kesuburan tanah diperlakukan sebagai input dalam produksi tanaman. Tanah diasumsikan akan digunakan secara optimal oleh petani. Karena itu, kontribusi unsur hara tanah terhadap produksi (seperti nilai marjinal produk dari produksi tanaman) sama dengan atau setara dengan harga unsur hara tanah. Nitrogen, fosfor dan bahan organik (C) yang hilang melalui erosi tanah dapat diduga dengan SCUAF. Dari hasil wawancara, dapat diketahui biaya kehilangan unsur hara yang ekuivalen dalam pupuk organik dan anorganik yang digunakan yang hilang melalui erosi.
Harga pupuk dihitung melalui harga pasar. Biaya
pengganti tahunan erosi lahan didiskon sepanjang waktu analisis (discounting over time) untuk menghitung nilai pengganti sekarang dari tanah yang hilang. Eksternalitas usahatani di Pangalengan terutama berhubungan dengan dampak off-site (di luar tempat kejadian erosi) yaitu munculnya sedimentasi seperti pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, dan sebagainya. Eksternalitas off-site Pangalengan hasil penelitian Katharina (2001) akan digunakan sebagai data sekunder untuk ditambahkan dalam penghitungan NPV sistem penanaman pada guludan searah lereng (tanpa teknik konservasi tanah) dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan NPV penanaman dengan teknik konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur. Pembandingan ini ditujukan untuk melihat manfaat jangka panjang adopsi sistem pertanian konservasi.
.
IV. KARAKTERISTIK WILAYAH DAN SISTEM USAHATANI RESPONDEN
4.1. Geografi dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Secara geografis Kecamatan Pangalengan termasuk dalam DAS
Citarum, Sub DAS Citarik (Cisangkuy Hulu) dan berjarak 51 km dari ibukota propinsi, Bandung dan 23 km dari ibukota kabupaten, Soreang, dengan batas-batas Wilayah sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pasir Jambu, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pacet, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cimaung dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kertasari dan Kabupaten Garut (Lampiran 1 dan 2). Secara administratif, total luas wilayah Kecamatan Pangalengan 25 552.31 ha yang terbagi menjadi 13 desa yaitu desa Lamajang, desa Tribaktimulya, desa Margamulya, desa Pulosari, desa Pangalengan (ibukota kecamatan), desa Sukamanah, desa Margamukti, desa Warnasari, desa Margamekar, desa Sukaluyu, desa Margaluyu, desa Banjarsari, dan desa Wanasuka (Lampiran 2).
4.2. Iklim Tinggi wilayah kecamatan Pangalengan dari permukaan laut berkisar antara 1050 – 1600 m dpl (tertinggi desa Sukaluyu, terendah desa Lamajang). Berdasarkan data curah hujan tahun 1998 – 2004 dari stasiun pengamat hujan PLTA Plengan, rata-rata hujan tahunan adalah 2324 mm, dengan rata-rata hari hujan tahunan adalah 158 (Gambar 4). Oldeman (1977) menyatakan bahwa untuk keberlanjutan ekonomi pertanian dataran tinggi setidaknya dibutuhkan curah hujan 100 mm per bulan. Jika periode kekeringan kurang dari dua bulan, maka petani masih dapat menanam komoditas apa saja sepanjang tahun tersebut. Tetapi jika periode kekeringan terjadi selama lima sampai enam bulan tanpa hujan sama sekali maka petani memerlukan irigasi atau sumber air tambahan untuk menanam selama periode tersebut. Bulan-bulan kering di Pangalengan (curah hujan <100 mm) terjadi pada bulan Juni sampai September, sedangkan bulan-bulan basah ( curah hujan >200 mm) terjadi pada bulan Nopember sampai dengan bulan April. Hujan maksimum terjadi bulan Nopember sebesar 378,5 mm sedangkan hujan minimum
63
terjadi pada bulan Agustus sebesar 41 mm. Hari hujan terbanyak yaitu pada bulan
Jumlah hujan (mm/tahun)
Nopember 24,4 dan paling sedikit bulan Juli 3,8. (Lampiran 3).
3000 2791.3 2500
2821 2354.5 2457
1906.6
2000
2097
1841
1500 1000 500 0 1
3
5
7
Tahun 1998 - 2004
Gambar 4 Curah hujan Pangalengan tahun 1998 – 2004 Temperatur rata-rata di Pangalengan berkisar antara 13.340C - 22.80C. Suhu minimum berkisar antara 10.60C - 21.20C sedangkan suhu maksimum berkisar antara 14.90C – 23.80C. Kelembaban rata-rata Pangalengan berkisar antara 60.3% 74.1%.
Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Nopember dan kelembaban
terendah pada bulan Agustus. Daerah Pangalengan dapat dikatakan mempunyai kelembaban cukup tinggi sepanjang tahun.
4.3. Penggunaan Lahan dan Kondisi Tanah Pola penggunaan lahan di Kecamatan Pangalengan, berdasarkan Monografi Kecamatan Pangalengan 2005, terdiri dari tanah sawah (irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan), tanah kering (pekarangan, bangunan, tegal, kebun, ladang), tanah basah (empang/kolam), tanah hutan (hutan lebat, hutan belukar, hutan sejenis), tanah perkebunan (negara/swasta), dan tanah keperluan lain (Tabel 6). Dari Tabel 6 terlihat bahwa dari luas keseluruhan wilayah di kecamatan Pangalengan yaitu sebesar 25 552.31 ha, sebagian besar lahan didominasi oleh tanah hutan seluas 9 316.88 ha (36.46%), tanah kering seluas 7 710.66 ha (30.17%) dan tanah perkebunan seluas 6 992.91 ha (27.37%).
64
Tabel 6 Tata guna lahan di Kecamatan Pangalengan, 2005 No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan Tanah Sawah Tanah Kering Tanah Basah Tanah Hutan Tanah Perkebunan Keperluan fasilitas umum Lain-lain (tandus, pasir) Jumlah
Luas (ha) 573.695 7710.660 71.343 9316.880 6992.908 334.060 552.759 25552.305
Persentase 2.25 30.17 0.28 36.46 27.37 1.31 2.16 100.00
Sumber: Monografi Kecamatan Pangalengan (2005)
Menurut Laporan Tahunan Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004) luas lahan kering yang ada di Kecamatan Pangalengan adalah 18 957 ha, dimana dari luas keseluruhan lahan kering tersebut didominasi oleh hutan negara (6 197 ha) dan perkebunan (5 704 ha) (Tabel 7). Sedangkan luas hutan di kecamatan Pangalengan menurut Perum Perhutani/KPH Bandung Selatan (2005) adalah sebesar 8789.47 ha. Tabel 7 Luas lahan kering dan lahan sawah Kecamatan Pangalengan, 2004 No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan Pekarangan Tegal/kebun Ladang/huma Ditanami pohon/hutan rakyat Hutan Negara Perkebunan (negara/swasta Lain-lain JUMLAH Lahan lain: kolam Lahan Sawah Jumlah lahan sawah lahan kering
dan
Luas (ha) 1 175 2 625 2 427 134 6 197 5 704 155 18 957
Persentase 6.20 13.85 12.80 0.71 32.69 30.09 0.82 100
12 573 19 542
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004)
Lahan kering untuk pertanian yang berpotensi menjadi lahan kritis yang ada di kecamatan Pangalengan adalah sebesar 6223 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, 2004). Lahan yang berpotensi menjadi lahan kritis yang dimaksud adalah lahan
yang
tidak/kurang
baik
untuk
pertanian
karena
pengolahan
dan
penggunaannya yang tidak atau kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah.
65
Salah satu sebab timbulnya lahan kritis tersebut karena petani masih melakukan usahatani secara tradisional tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air secara benar. Hal ini mengakibatkan erosi pada lahan yang diusahakan sehingga menimbulkan lahan-lahan kritis di Pangalengan. Jumlah lahan kritis di Kecamatan Pangalengan tahun 2004 adalah 2 227 ha dan penanganan lahan kristis yang sudah dilakukan pada tahun yang sama adalah 660.50 ha, sehingga sisa lahan kritis di kecamatan Pangalengan sampai akhir 2004 adalah 1 556.50 ha. (Dinas Pertanian, Kab. Bandung, 2004). Pangalengan merupakan sentra tanaman hortikultur terbesar di Jawa Barat terutama kentang dan kubis. Komoditas lain yang juga banyak ditanam di Pangalengan adalah wortel, petsay, bawang merah, dan cabe disamping buncis, sledri, bawang daun dan paprika.
Pertanian hortikultur di Pangalengan
sudah berlangsung lama, lebih dari 50 tahun, dan diturunkan turun temurun dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Berdasarkan kemiringan lahan, wilayah penelitian dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu datar sampai berombak sekitar 29%, berombak sampai berbukit sekitar 33%, dan berbukit sampai bergunung sekitar 38% (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2005). Dari data tersebut terlihat bahwa bentuk wilayah kecamatan Pangalengan didominasi oleh bentuk berbukit sampai bergunung. Tigabelas desa yang diteliti juga mempunyai topografi beragam, dari agak landai sampai sangat curam (kemiringan 8% sampai dengan >65%). Tanah di Pangalengan termasuk tipe Andisol dengan kesuburan sedang sampai tinggi akibat kandungan bahan organik. Nama Andisol resmi digunakan pada soil taxonomi pada tahun 1990 (Prasetyo, 2005). Sebelumnya tanah Andisol disebut dengan berbagai nama seperti Andosols (Dudal dan Soepraptohardjo, 1961) dan Andepts (Soil Survey Staff, 1975). Berdasarkan sifat fisik dan kimia, tanah di Pangalengan pada umumnya subur (Lampiran 5). Tanah Pangalengan mempunyai kerapatan lindak (bulk density) rendah, porositas tanah tinggi dan mempunyai kemampuan menahan air baik. Itu sebabnya walaupun di musim kemarau kandungan air lapisan atas tanah rendah tetapi kelembaban (moisture) tanah cukup baik pada lapisan tanah lebih dalam (kedalaman >20 cm). Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan air di musim kemarau, sebagian petani pada umumnya menanam jagung, ubi kayu atau cabe merah/keriting yaitu jenis tanaman yang akarnya dapat menembus tanah lebih dalam dan tidak
66
memerlukan air yang banyak. Kejenuhan basa tanah Pangalengan sangat rendah, karena adanya pencucian oleh curah hujan yang relatif tinggi. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi air hujan cukup besar. Bila hujan yang terjadi mempunyai intensitas tinggi, maka faktor sifat fisik tanah tidak menjadi pembatas, namun lebih tergantung pada kondisi fisik lainnya seperti tingkat kejenuhan, penutupan vegetasi, serta sifat hujan itu sendiri.
4.4.
Populasi dan Kegiatan Ekonomi Jumlah penduduk di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2005 adalah
sebanyak 124 489 orang yang terdiri dari 32 879 kepala keluarga dengan kepadatan penduduk 468 jiwa/km. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah jumlah laki-laki 62 489 orang dan jumlah perempuan 62 069 orang (Monografi Kecamatan Pangalengan, 2005). Penyebaran penduduk di kecamatan Pangalengan tidak merata. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan sayuran merupakan kontribusi terbesar bagi perekonomian Pangalengan. Mata pencaharian penduduk di kecamatan
Pangalengan
adalah
petani,
peternak,
buruh
non-tani
pedagang/pengusaha, pegawai negeri sipil/ABRI, dan lain-lain (Tabel 8). Tabel 8 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pangalengan, 2005 No 1 2 3 4 5 6 7
Mata Pencaharian Petani Peternak (sapi perah) Buruh non-tani Pengusaha/pedagang Pensiunan (PENEG/ABRI) Pegawai Negeri Sipil ABRI
Jumlah (orang) 36 176 15 718 11 334 4 897 1 257 945 327
Persentase (%) 51.20 22.25 16.04 6.93 1.78 1.34 0.46
Sumber: Monografi Kecamatan Pangalengan (2005)
Dari Tabel 8 terlihat bahwa mata pencaharian penduduk di kecamatan Pangalengan terbanyak adalah petani 36 176 orang (51.20%) yang terdiri dari petani pemilik tanah 8 332 orang, petani penggarap tanah 11 179 ha, dan buruh tani 16 995 orang. Variasi pekerjaan lainnya yang cukup banyak adalah peternak, terutama peternak sapi karena di kecamatan Pangalengan terdapat Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang menghasilkan susu segar dan hasil olahan susunya
67
seperti permen karamel, dodol, dan keripik susu. Sebagian produksi dari susu segar tersebut dikirim ke pabrik pengolahan susu di luar kecamatan Pangalengan. Mata pencaharian lainnya yang cukup banyak adalah buruh non tani yang meliputi buruh perkebunan, terutama di desa Banjarsari karena merupakan desa perkebunan, yaitu desa yang terletak di areal perkebunan teh, buruh bagunan, buruh pertambangan, dan buruh industri. Kegiatan mencari nafkah penduduk kecamatan Pangalengan cukup beragam, baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Secara umum masyarakat kecamatan Pangalengan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Penduduk berusaha melakukan berbagai jenis kegiatan yang menghasilkan uang. Banyak dari penduduk juga melakukan pola nafkah ganda, seperti misalnya pegawai negeri/ABRI merangkap petani, petani merangkap peternak atau pedagang, petani menjadi pengusaha keripik kentang, dan sebagainya. Dengan pola ini mereka sebenarnya telah menerapkan potensi yang ada baik suami, istri, maupun anak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun demikian karena kegiatan utamanya adalah di sektor pertanian, maka sektor pertanian merupakan sektor yang perlu untuk dikembangkan
sesuai
dengan
kondisi
masyarakat,
tetapi
dengan
tetap
memperhatikan kondisi lingkungan mengingat kecamatan Pangalengan yang berada di dataran tinggi dan peka erosi. Kegiatan perekonomian kecamatan Pangalengan ditunjukkan oleh adanya pasar,
koperasi,
KUD,
tempat
pelelangan
hasil
usahatani
sayuran,
dan
toko/kios/warung, baik yang menjual barang-barang kebutuhan pertanian maupun kebutuhan rumah tangga lainnya. Perekonomian di kecamatan Pangalengan juga ditunjang oleh prasarana/sarana pengangkutan dan komunikasi seperti stasiun bus, stasiun oplet/taksi, dan telepon umum (Tabel 9). Tabel 9 Sarana perekonomian di Kecamatan Pangalengan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sarana Perekonomian Koperasi Simpan Pinjam + Produksi Koperasi Unit Desa (KUD) Badan Perkreditan/Bank Pasar umum Toko/kios/warung Stasiun bis Stasiun oplet/taksi Telepon umum
Sumber: Monografi Kecamatan Pangalengan (2005)
Jumlah (buah) 46 1 4 5 2075 1 1 428
68
Penjualan hasil pertanian dan kebutuhan rumah tangga dilakukan di ibukota kecamatan yaitu Pangalengan yang terletak di desa Pangalengan. Koperasi Unit Desa (KUD) Walatra merupakan KUD yang besar di Pangalengan dan sudah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat setempat karena KUD tersebut sudah berkembang dengan baik dan bahkan pernah menjadi KUD terbaik di kabupaten Bandung.
Pengaruh
krisis
perkembangan kehidupan KUD.
yang
berkepanjangan
cukup
mempengaruhi
Walaupun pengembalian pinjaman tidak seperti
sebelumnya, yang mencapai 100 persen, namun KUD tersebut masih tetap bertahan dan masih dikatakan terbaik karena pengembalian pinjaman masih mencapai sekitar 60 persen (Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus dan Pengawas KUD Walatra Pangalengan Bandung, 2005). Pasar utama di Pangalengan merupakan pasar yang berkembang dengan baik, ramai dan dibuka setiap hari.
Selain menjadi tempat
menjual hasil pertanian, pasar ini juga merupakan tempat pelelangan hasil pertanian terutama kentang, kubis, tomat, dan wortel, dan cabe merah. Pelelangan hasil pertanian dilakukan secara terbuka. Pada umumnya pedagang pengumpul berasal dari desa-desa yang ada di kecamatan Pangalengan namun dapat juga berasal dari luar Pangalengan.
4.5. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan di kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 10. Sarana pendidikan tertinggi berupa Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 6 buah dan satu buah sekolah kejuruan yaitu Sekolah Ketrampilan Peternakan di desa Sukamanah. Di Pangalengan juga terdapat Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPDT) Balai Benih Induk (BBI) Kentang Pangalengan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Propinsi Jawa Barat di desa Sukamanah dan Balai Bibit Intensif (BBI) kentang di desa Margamulya.
Balai BBI ini menjadi tempat pendidikan/pelatihan bagi para
petani/petugas dari dinas pertanian lain di seluruh Indonesia maupun dari luar negeri. Balai BBI tersebut juga dilengkapi fasilitas pendukung seperti laboratorium modern, gudang bibit, lahan pembibitan, dan sebagainya. UPDT BBI Pangalengan menjadi salah satu sentra bibit kentang untuk Indonesia.
69
Tabel 10 Sarana pendidikan Kecamatan Pangalengan, 2005 Sekolah Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar/SD (Negeri dan Swasta) Sekolah Menengah Pertama/SMP (Negeri dan Swasta) Sekolah Menengah Atas/SMA (Negeri dan Swasta) Sekolah Kejuruan (Sekolah Ketrampilan Peternakan)
Jumlah (buah) 9 49 12 6 1
Sumber: Monografi Kecamatan Pangalengan (2005)
Jumlah penduduk menurut pendidikan disajikan dalam Tabel 11. Dari Tabel terlihat bahwa mayoritas penduduk mempunyai pendidikan hanya sampai tingkat Sekolah Dasar/SD (42.3%) yang kemudian diikuti tingkat Sekolah Menengah Pertama/SMP (23.47%). Dari hasil wawancara dengan responden, jika penduduk ingin menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, kebanyakan dari mereka menyekolahkannya di Bandung. Tabel 11 Jumlah penduduk menurut pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan Belum sekolah Tidak tamat Sekolah Dasar Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat Akademi/sederajat Tamat Perguruan Tinggi/sederajat Buta huruf
Jumlah (orang) 12 813 1 321 52 774 29 213 22 469 3 273 2 355 271
Persentase (%) 10.29 1.06 42.39 23.47 18.05 2.63 1.89 0.22
Sumber: Monografi Kecamatan Pangalengan (2005)
4.6.
Kebijakan dan Program Pembangunan Pertanian Kabupaten Bandung 2004 Kebijakan umum Pemerintah Daerah yang telah dituangkan dalam Peraturan
Daerah No. 15 Th. 2004 tentang Rencana Strategis Kabupaten Bandung, telah menetapkan Visi Kabupaten Bandung yaitu terwujudnya ketahanan pangan dan agribisnis yang tangguh dan dinamis melalui pembangunan pertanian partisipatif yang berwawasan lingkungan. Upaya untuk mewujudkan visi ini dituangkan dalam lima misi yaitu: 1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan/air berwawasan lingkungan 2. Meningkatkan propfesionalisme aparatur dan petani
70
3. Memperkuat sarana dan prasarana serta kelembagaan usahatani 4. Meningkatkan daya saing produk pertanian 5. Mengembangkan dan meningkatkan penerapan teknologi tepatguna spesifik lokasi dan ramah lingkungan Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian di Kabupaten Bandung 2004, sesuai kesepakatan antara DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bandung N0. 132/102-Um. 403/08-Huk/2003. Tentang Arah Kebijakan Umum (AKU) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bandung, maka ditetapkan kebijakan umum yaitu: 1. Peningkatan Pendapatan Petani 2. Pengembangan Agribisnis Terpadu 3. Pengendalaian Pangan dalam Rangka Ketahanan Pangan 4. Berkurangnya Lahan Kritis 5. Meningkatkan Produksi Hutan Rakyat 6. Peningkatan Lahan Perkebunan 7. Peningkatan Produksi Lahan Perkebunan. Untuk tercapainya Arah Kebijakan Umum Tahun 2003 maka Dinas Pertanian menjabarkan ke dalam dua Program melalui delapan kegiatan, yang dibiayai dari Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Bandung , DAU Propinsi Jawa Barat, dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Program-program tersebut antara lain: program Pemutahiran Data Pertanian, program Penanganan Pasca Panen Pengolahan Hasil dan Pemasaran, program Pemberdayaan Sumberdaya Pertanian, program Bantuan Operasional Penyuluhan Pertanian, program Pengembangan Komoditas Hortikultur, program kegiatan Mutu Intensifikasi Padi dan Palawijaya, program Analisa Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan, dan program Pengembangan Komoditas Kehutanan dan Perkebunan Hasil, program Pembinaan Kawasan Sentra Kentang Industri, program Pengembangan Konservasi Areal Perkebunan, program Pengembangan Sistem Agribisnis berdaya saing tinggi (kentang, anggrek), program Peningkatan Produktivitas Padi dan Pengembangan Sentra Produksi jagung, program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Arah kebijakan umum Dinas Pertanian Kabupaten Bandung untuk Kecamatan Pangalengan adalah: sentra produksi palawija untuk tanaman jagung, sentra produksi sayuran untuk kentang (utama), kubis, tomat, dan cabe merah.
71
4.7. Karakteristik Sistem Usahatani Responden Kepala Rumah Tangga dan Anggota Keluarga Dari 180 responden yang diwawancara, sebagian besar kepala rumah tangga responden berada di atas umur 40 tahun yaitu sebanyak 135 orang (75%). Petani yang berumur 30-39 tahun juga cukup banyak sekitar 21%, sedangkan petani yang berumur di bawah 29 tahun sedikit (3.95%) (Tabel 12). Angka ini menunjukkan penduduk yang berusia produktif tampaknya lebih tertarik bekerja sebagai petani daripada bekerja di tempat lain, apalagi kenyataannya pertanian hortikultur dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya Tabel 12 Penggolongan umur responden Penggolongan Umur (tahun) < 29 30 - 39 40 – 49 50 – 59 60 - 70 Jumlah
Jumlah Responden 7 38 56 49 30 180
Persentase 3.9 21.1 31.1 27.2 16.7 100
Pendidikan formal sebagian besar responden adalah lulusan SD, SMP dan SMA (Tabel 13). Umumnya responden beranggapan untuk menjadi petani tidak perlu menempuh jenjang pendidikan yang tinggi. Tabel 13 Pendidikan responden Pendidikan Tidak Lulus SD Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Akademi/PT Jumlah
Jumlah 13 60 54 42 11 180
Persentase 7.2 33.4 30.0 23.3 6.1 100
Demikian juga dengan pengalaman bertani yang memperlihatkan bahwa hampir seluruh responden mempunyai pengalaman bertani di atas 10 tahun (Tabel 14). Pengalaman bertani berpengaruh terhadap kearifan menentukan waktu tanam, jenis yang akan ditanam, rotasi tanam dalam hubungannya dengan iklim. Pada umumnya pengetahuan bertani responden didapat karena diwariskan oleh orangtua atau keluarga lainnya yang lebih dahulu berpengalaman. Jika ada informasi baru dalam hal inovasi budidaya, maka sesama petani saling bertukar informasi.
72
Tabel 14 Pengalaman bertani responden Lama Bertani (tahun) 5–9 10 – 19 20 – 29 > 30 Jumlah
Jumlah Responden 15 62 61 42 180
Persentase 8.3 34.4 34.0 23.3 100
Jumlah anggota keluarga petani rata-rata 3.4 orang. Walaupun wawancara yang dilakukan terfokus pada rumahtangga petani, di lapang ditemukan juga ada kepala rumahtangga yang tidak berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan pertanian karena bekerja sebagai pedagang sayuran, pegawai negeri (guru/ABRI), sehingga hanya keluarganya yang terlibat. Selain sebagai petani ada juga petani yang membuka toko, berdagang, membuka industri keripik kentang, dan sebagainya untuk menambah pendapatan di luar pertanian. Dari 180 responden, terdapat 65 responden (30%) yang mempunyai pendapatan di luar usahatani dengan pendapatan berkisar antara Rp. 500 000 – Rp 30 juta per bulan. Istri petani pada umumnya juga ikut bekerja di lahan pertaniannya.
Pengalaman Kursus Usahatani, Anggota Organisasi Petani dan Konservasi Dari 180 responden yang diwawancara, sebanyak 65 responden pernah mengikuti kursus yang berhubungan dengan usahatani, terlibat dalam organisasi petani maupun organisasi yang berhubungan konservasi. (Tabel 15). Lama rata-rata responden aktif dalam organisasi KUT 1 - 2 tahun. Petani yang ikut aktif dalam organisasi KUT ini mengatakan tidak terlalu banyak mendapat manfaat dari organisasi tersebut karena aktifitas dalam KUT tersebut hanyalah dalam bentuk peminjaman uang. Ada 4 responden yang pernah mengikuti kursus Pengendalian Hama Terpadu yang diselenggarakan lembaga swasta, dengan tingkat pendidikan 2 orang SMA, 1 orang SMP dan 1 orang SD. Namun ke empat responden ini kembali menggunakan pengontrolan hama secara tradisional melalui pemakaian pestisida secara teratur tanpa memperhatikan konsentrasi/jumlah hama di lahan.
Alasan
mereka kembali ke cara tradisional adalah alasan waktu dan tenaga kerja. Lahan di Pangalengan juga sering menjadi praktek Pengendalian Hama Terpadu bagi mahasiswa pertanian dari berbagai perguruan tinggi antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Padjadjaran, dan sebagainya. Walaupun petani
73
mengetahui adanya manfaat pengendalian hama tepadu ini, namun seperti yang disebutkan sebelumnya karena pertimbangan waktu dan tenaga kerja maka adanya praktek pengendalian hama terpadu di daerah mereka tersebut tidak memberikan pengaruh sama sekali. Responden yang pernah mengikuti organisasi yang berhubungan dengan lingkungan/konservasi hanya 3 orang dengan tingkat pendidikan 2 orang SD dan 1 orang SMP. Bentuk organisasi konservasinya adalah organisasi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), Kursus Konservasi Hutan, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Ke empat orang ini mendapat pelatihan dari Dinas Kehutanan. Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang ada di Pangalengan merupakan kerjasama antara pemerintah daerah kecamatan Pangalengan dengan Dinas Kehutanan berupa penanaman kopi dilereng-lereng hutan yang gundul.
Bentuk
kerja sama adalah bagi hasil panen kopi, 90 % untuk petani dan sisanya 10% untuk Dinas Kehutanan. Demikian juga dengan GERHAN, insentif yang diberikan berupa bibit tanaman keras dan biaya penanaman. Tabel 15 Pengalaman kursus usahatani dan organisasi responden Jenis Kegiatan Koperasi Unid Desa (KUD) Kelompok Usaha Tani (KUT) Konservasi Kursus PHT (Pengendalian Hama Terpadu) Asosiasi P.D. Hikmah Jumlah
Jumlah 9 48 3 4 1 65
Secara keseluruhan, hampir sebagian besar responden (63.9%) tidak pernah mengikuti kursus atau terlibat organisasi apapun.
Pengetahuan mereka tentang
budidaya hortikultur didapatkan dari pengalaman keluarga atau dari sesama teman. Peran Petugas Penyuluh Lapang dalam Kaitannya dengan Usahatani dan Konservasi Kecamatan Pangalengan mempunyai empat petugas penyuluh pertanian lapang (PPL).
Dua orang PPL berstatus Pegawai Negeri dari Dinas Pertanian
Kabupaten dan dua orang lagi berstatus PPL yang diperbantukan untuk mendampingi PPL yang sudah ada,
dari Dinas Propinsi.
Empat PPL tersebut
berasal dari daerah Pangalengan.
Tiga orang PPL berpendidikan Sekolah
Pendidikan Pertanian Menengah Atas (SPPMA) dan satu orang berpendidikan
74
Sekolah Menengah Atas (SMA) yang kemudian dilatih dasar penyuluhan pertanian oleh Balai Penelitian Pertanian.
Satu orang PPL mempunyai keahlian dalam
usahatani tomat (sesuai dengan spesialisasi pendidikan), satu orang lagi mempunyai ketrampilan dalam menanam budidaya bawang merah.
Mayoritas petani desa
Lamajang dan desa Tribaktimulya lebih menyukai menanam bawang merah karena desa tersebut tidak begitu baik untuk ditanam kentang. Dari empat PPL yang bertugas, satu orang mengerti konservasi tanah dan air cukup baik karena pernah mendapat kursus mengenai konservasi tanah dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) selama 6 bulan dari perusahaan obat. Pada umumnya ke empat PPL tersebut pernah mendengar apa yang dimaksud dengan pertanian konservasi, dalam hubungannya dengan budidaya tanaman hortikultur dan kemiringan lereng, walaupun tidak secara mendalam. Mereka mendengar dari Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup atau perusahaan pupuk maupun obat-obatan yang datang ke Pangalengan. Dari sudut pandang PPL permasalahan yang ditemui oleh PPL dalam melaksanakan tugasnya adalah: 1.
Dengan luasan wilayah yang besar dan jumlah petani yang banyak, empat orang PPL tidak cukup. Menurut kordinator PPL yang ada, seharusnya Pangalengan dilayani oleh minimal delapan PPL.
Kordinator PPL sendiri
mengakui bahwa dalam tugasnya, 75% waktunya habis untuk masalah-masalah dinas seperti pengaturan, rapat dan sebagainya, sedangkan untuk pelayanan kepada petani hanya 25%. penyuluhan
Hal ini mengakibatkan sistem pembinaan dan
kemasyarakatan
belum
optimal,
ditambah
lagi
banyaknya
formulator obat dan pupuk yang datang ke Pangalengan. 2.
Alasan petani tidak mau menanam dengan teras dan penanaman searah kontur adalah di samping pengurangan luas lahan untuk ditanam, juga meningkatkan resiko serangan penyakit layu bakteri. Alasan lain tidak mengadopsi konservasi tanah adalah lahan yang berstatus sewa.
3.
Alasan petani lebih suka menanam searah lereng antara lain mereka tidak merasakan secara langsung manfaat menanam teras bangku maupun searah kontur.
Menanam searah lereng lebih mudah dalam pengelolaannya, baik
dalam pencangkulan, lebih sedikit waktu dan tenaga kerja, air lancar waktu hujan dan mengurangi penyakit
75
4.
Jumlah petani semakin meningkat sementara areal lahan pertanian tetap. Luas areal lahan petani rata-rata 0.6 ha.
5.
Pemakaian pupuk dan pestisida yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, kekurangan bibit tanaman, dan harga produksi yang tidak stabil.
6.
Hambatan permodalan. Cukup banyak petani (20-30%) yang modalnya sangat tergantung tengkulak (bandar) sehingga ketika panen petani tidak mempunyai hak untuk menentukan harga jual hasil panennya. Dari 180 responden yang diwawancara, 113 (62.8%) responden menyatakan
mereka tidak pernah bertemu dengan PPL sama sekali. Sedangkan sebanyak 57 (31.7%) responden menyatakan bertemu dengan PPL hanya jika PPL datang ke desanya mendampingi perusahaan obat atau pupuk untuk menawarkan harga dan jenis produknya. Dalam pertemuan ini PPL tidak pernah menyinggung konservasi tanah dan air sama sekali. Hanya 10 (5.5%) responden yang menyatakan pernah mendengar tentang konservasi tanah dan air melalui teknik penanaman searah kontur maupun teras bangku. Mereka mendengar dari pegawai Dinas Kehutanan yang didampingi oleh PPL. Penggunaan Lahan dan Intensitas Penanaman. Luas areal pertanian keseluruhan wilayah Pangalengan adalah 6 223 hektar. Petani Pangalengan dapat memiliki lebih dari satu plot lahan, baik di lokasi yang saling berdekatan atau lokasi yang agak jauh (beda desa). Hal ini memungkinkan petani untuk menanam lebih dari satu macam komoditas pada plot yang berbeda dalam satu musim dengan tujuan untuk menghindari ketidakpastian dan resiko gagal produksi dari sistem penanaman monokultur.
Bagi petani yang lahannya tidak
terlalu luas, mereka juga melakukan budidaya tumpang sari. Walaupun ada tanaman padi dan palawija (jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar) kegiatan utama pertanian yang diusahakan masyarakat di kecamatan Pangalengan adalah pertanian hortikultur sayuran seperti kentang, kubis, tomat, wortel, cabe, petsay, lobak, bawang merah dan bawang daun. Pada tahun 2004, Kecamatan Pangalengan menjadi salah salah satu kecamatan dari tiga besar kecamatan (dari 43 kecamatan) penghasil jagung di Kabupaten Bandung (Tabel 16). Pada musim kemarau, khususnya petani kecil, dalam mengatasi kekurangan air
76
petani biasanya menanam jagung di lahannya dengan alasan jagung tidak memerlukan air yang banyak dan pengolahannya sederhana. Tabel 16 Luas tanam, panen, produksi dan produktivitas Jagung di Tiga Kecamatan, Kabupaten Bandung, 2004. Kecamatan Pangalengan Cipeundeuy Nagreg
Luas Tanam (ha) 3 170 1 752 1 752
Luas Panen (ha) 2560 1665 1529 Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004)
Produksi (ton) 11 391 7 825 6 799
Untuk jenis sayuran, dari tujuh utama jenis sayuran di Pangalengan, tanaman kentang paling banyak ditanam yaitu 9788 ha, diikuti oleh kubis, wortel, tomat, petsai dan cabe (Tabel 17). Petani Pangalengan lebih mengutamakan menanam kentang di lahan usahataninya. Dapat dikatakan bahwa petani menanam sayuran tertentu lebih dari sekali dalam satu tahun. Hal ini diindikasikan dengan tingginya penanaman (jumlah tanaman yang di tanam) dibandingkan dengan luas areal pertanian yang tersedia. Sebagai contoh: total luas tanam dari enam jenis sayuran di Pangalengan adalah 24 057 ha, tetapi luas areal pertanian sesungguhnya adalah 6 223 ha. Ini berarti bahwa petani menanam jenis sayuran hampir empat kali (± 3.9 kali) setahun. Tabel 17 Luas tanam, luas panen dan produktivitas enam jenis sayuran di Kecamatan Pangalengan, 2004 Jenis Sayuran Kentang Kubis Wortel Tomat Petsai Bawang merah Cabe Jumlah
Luas Tanam (ha) 9 778 5 695 2 267 2 109 1 961 1 651 596 24 057
Luas Panen (ha) 9 331 5 695 2 019 2 098 1 744 1 483 530 22 900
Produktivitas (ton/ha) 19.9 27.8 18.2 24.0 14.2 10.7 6.3
Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004)
Sebagian besar komoditas yang ditanam di Pangalengan dipanen dalam 2 – 3 bulan, tetapi tomat dan cabe 5-6 bulan untuk setiap musim. Perbedaan waktu panen mempengaruhi jumlah tanaman yang dapat dirotasi pada lahan yang sama dalam satu tahun. Khusus untuk kentang, petani Pangalengan menanam minimal 2 kali dalam setahun. Intensitas penanaman kentang didefinisikan sebagai rasio jumlah lahan yang ditanami kentang dengan jumlah areal yang diusahakan petani
77
dalam satu tahun. Luas keseluruhan lahan 180 responden adalah adalah 106.5 ha. Maka intensitas penanaman jenis sayuran adalah 213%. Dengan asumsi bila untuk penanaman kentang satu musim 90 – 100 hari, maka lahan pertanian akan ditanami kentang kira-kira 200 hari dalam satu tahun. Rotasi penanaman komoditas dari 180 responden dalam satu tahun adalah mayoritas responden menanam kentang 2 kali dengan dengan disela kubis, tomat, cabe atau bawang merah. Dari 180 responden, ada 167 (92%) responden yang pada masa tanam 2005 sudah menanan tanaman kentang, dan di antaranya sebanyak 97 responden (58%) sudah menanam kentang 2 kali. Pemilihan komoditas dalam rotasi tanam ini juga dipengaruhi oleh sifat dan keuntungan yang didapat dari usahatani setiap komoditas.
Analisis usahatani beberapa komoditas pertanian
kabupaten Bandung dapat dilihat pada Tabel 18.
Walaupun R/C kentang lebih
rendah dari R/C wortel, cabe, tomat, bawang merah dan kubis, masa tanam yang pendek, sifat komoditas yang lebih tahan lama serta komersial, dan harga yang stabil menjadi pertimbangan petani lebih menyukai menanam kentang dibandingkan komoditas lainnya. Tabel 18 Analisis usahatani beberapa komoditas pertanian, per hektar, 2004 Komoditas Jagung Kentang Kubis Wortel Tomat Petsay Bw. Merah Cabe
Hasil (kg)
Harga (Rp/kg)
Hasil (Rp)
11391 19900 27800 18050 23835 14250 10744 6356
100 2000 935 965 1896 500 2800 3500
11391000 39800000 25993000 17418250 45191160 7125000 30083200 22246000
Total Biaya Produksi (Rp) 11372809 27498667 16257166 6220000 26139001 5665000 15322425 10120000
Pendapatan Usahatani (Rp) 18191 12301333 9735834 11198250 19147499 1 460000 14760775 12126000
R/C 1.4 1.5 2.7 1.7 1.2 2 2.1
Sumber: Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung (2004)
Budidaya Pertanian Persiapan lahan dilakukan dengan mencangkul tanah 1 atau 2 kali tergantung jenis tanaman yang akan ditanam. Pada umumnya untuk penanaman kentang lahan dipersiapkan secara intensif tetapi dengan pembalikan tanah minimum (minimum tillage).
Di Pangalengan terdapat tiga bentuk sistem penanaman yang umum
digunakan petani yaitu penanaman pada guludan searah lereng, penanaman pada
78
guludan searah kontur dan penanaman dengan sistem teras bangku. Guludan yang dibuat searah lereng maupun searah kontur berbentuk guludan drainase tunggal yaitu setiap satu baris guludan ada saluran. Saluran tersebut berfungsi sebagai drainase. Di lapang ditemukan juga ada enam responden menanam pada guludan searah diagonal. Namun dalam kaitannya dengan konservasi, penanaman pada guludan searah diagonal tidak dimasukkan dalam tindakan konservasi karena pada percobaan erosi di lapang antara penanaman di atas guludan searah diagonal dengan searah lereng hasilnya tidak signifikan (Banuwa, 1994). Sistem penanaman pada guludan searah lereng, searah kontur dan teras bangku tertera pada Gambar 5, 6, dan 7. Tidak ada perbedaan persiapan pada sistem penanaman maupun pada perbedaan kemiringan lereng, kecuali jarak tanam tergantung jenis tanaman yang akan ditanam. Metode persiapan lahan lebih didasarkan pada komoditas yang akan ditanam dibanding pada jenis tanah dan kemiringan lereng.
Gambar 5 Penanaman pada guludan searah lereng Petani menanam dengan dua metode yaitu menanam langsung biji/benihnya dan menanam tanaman yang bijinya sudah disemaikan terlebih dahulu (tanaman kecil).
Menanam langsung dengan bijinya biasanya dilakukan pada tanaman
kentang, wortel, dan kacang/buncis sedangkan metode penanaman dengan tanaman kecil dilakukan pada tanaman kubis, tomat, cabe, lettuce, seledri, dan sebagainya. Persiapan bibit untuk persemaian sekitar 3-4 minggu.
79
Gambar 6 Penanaman pada guludan searah kontur
Gambar 7 Penanaman kentang dengan teras bangku Petani Pangalengan sering mengeluh akan ketersediaan bibit terutama bibit kentang. Pasokan bibit kentang di Pangalengan berasal dari pemerintah, baik impor maupun dari Dinas Pertanian serta pembibitan swasta. Bibit kentang import yang masuk ke Pangalengan biasanya berasal dari Belanda dan Australia untuk jenis granola, serta Amerika untuk jenis atlantik. Bibit import ini lebih sering tidak tersedia untuk dalam jangka waktu yang lama. Umumnya yang banyak ditanam di
80
Pangalengan adalah jenis granola karena jenis atlantik memerlukan persyaratan yang lebih sulit dibanding granola, dan biaya produksi yang dibutuhkan lebih tinggi. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Balai Benih Kentang Dinas Pertanian Pangan, Jawa Barat yang ada di Pangalengan tugas UPTD adalah memperbanyak produksi kualitas benih kentang bersertifikat. Jenis bibit kentang yang diproduksi adalah kentang granola G0, G1, dan G2. Walaupun UPTD mempunyai fasilitas teknologi, seperti tiga rumah kaca dan laboratorium, yang baik atas bantuan pemerintah Jepang, namun UPTD tidak mampu memenuhi permintaan pasar benih yang begitu tinggi. Kendala utama adalah karena UPDT tidak punya lahan yang cukup untuk memproduksi bibit bersertifikat. Dengan tiga rumah kaca yang dimiliki seharusnya UPTD dapat menanam 5 hektar kentang untuk satu kali tanam Lahan yang dimiliki UPTD hanya 3 hektar yang berarti yang dapat ditanami hanya 1 hektar karena lahan sisanya harus diistirahatkan (rotasi) sebagai syarat lahan untuk pembibitan. Untuk dapat menanam bibit sekaligus 5 ha maka dibutuhkan lahan sebanyak 15 ha termasuk lahan rotasi. Disamping tidak mempunyai dana, sulit mencari lahan yang baik untuk pembibitan seluas 15 ha di Pangalengan. Usaha yang dilakukan UPDT adalah menyewa lahan, sehingga setiap penanaman dilakukan di lahan seluas 2 ha (1 ha di tanah UPDT, 1 ha di lahan sewa). Kerusakan di lahan sewa sangat tinggi, meskipun produktivitas tinggi, tapi kualitas bibit turun sampai 50%. Penyebabnya adalah mungkin sejarah lahan yang disewa memang tidak baik. UPDT pernah menyewa lahan yang cukup luas dari Pemda Jawa Barat, tetapi dijarah oleh penduduk. Di lapang memang ditemukan beberapa petani yang mengolah usahataninya di lahan yang status lahannya dalam sengketa (milik Pemda yang sedang dalam sengketa). Usaha lain yang dilakukan UPDT untuk memperbanyak produksi bibit bersertifikasi adalah dengan menjalin kerjasama dengan swasta (PD Mahmin perusahaan Pemda, PD Hikmah - kuat secara modal maupun lahan yang luas, dan Paguyuban - beranggotakan 11 petani yang dididik yang bergerak dalam penangkaran).
Tidak semua petani boleh mengeluarkan bibit, karena bibit yang
berkualitas dan bersertifikasi membutuhkan syarat pembibitan yang ketat. Dengan sistem pembibitan yang dimiliki UPDT saat ini, maka UPDT hanya mampu memenuhi kebutuhan bibit kentang di Jawa Barat sebanyak 4%, termasuk
81
Pangalengan. Kepala UPDT Pangalengan menyatakan bahwa pasar benih UPDT Pangalengan selain Jawa Barat sendiri adalah Sumatera Utara (G0) dan Jawa Tengah.
Sistem penanaman yang dilakukan UPTD adalah sama dengan petani
yang ada di Pangalengan. Untuk lahan yang landai tidak mempermasalahkan arah guludan, sedangkan untuk lahan-lahan yang curam penanaman mengikuti arah kontur.
Perbedaannya adalah pada sistem pengontrolan Hama Penyakit dan
Tanaman (HPT) yang ketat. Penanaman kentang dengan pengolahan lahan serta bibit jenis granola yang baik dapat menghasilkan produksi berkisar 30-40 ton per ha. Petani menggunakan dua jenis pupuk: pupuk organik dan anorganik. Sumber pupuk organik biasanya adalah kotoran ayam (kandang baterai), sapi maupun kambing. Sedangkan sumber pupuk anorganik adalah pupuk NPK dari Urea, TSP dan KCL. Pupuk organik digunakan sebagai pupuk dasar (dalam tanah) sementara pupuk anorganik digunakan sebagai pupuk yang ditaburkan di atas permukaan tanah, walupun kadang-kadang digunakan juga sebagai pupuk dasar (dalam tanah). Pestisida digunakan secara teratur dengan mencampurkan beberapa jenis pestisida (fungisida dan insektisida) untuk mengontrol hama dan penyakit. Petani kadang-kadang juag memakai obat pemacu pertumbuhan (pupuk cair) yang dicampur bersama dengan pestisida yang disemprotkan. Jumlah pupuk dan pestisida yang digunakan berbeda untuk setiap tanaman yang ditanam. Kebutuhan pupuk organik, pupuk NPK dan pestisida tanaman kentang berbeda dengan untuk kebutuhan tanaman kubis atau tanaman sayuran lainnya. Dalam
melakukan
usahataninya,
petani
Pangalengan
juga
sering
menggunakan mulsa sintetis (plastik polietilen) dengan dua permukaan yang disebut mulsa plastik perak hitam (Gambar 8) Permukaan hitam menghadap tanah dengan tujuan membatasi radiasi matahari yang menembus sampai ke permukaan tanah sehingga permukaan tanah gelap, sedangkan warna perak menghadap ke atas tanah agar pemantulan sinar matahari menjadi lebih tinggi sehingga radiasi matahari yang diterima daun-daun tanaman menjadi lebih banyak (mempertinggi proses fotontesa). Manfaat dari penggunaan mulsa adalah: 1. Menghindari tumbuhnya gulma (tanaman pengganggu) sehingga mengurangi persaingan tanaman memperoleh sinar mata dan penyerapan hara tanah.
82
2. Pada musim hujan dapat menahan hantaman butiran air hujan sehingga agregat tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran (memperkecil erosi). 3. Mencegah evaporasi (penguapan air tanah langsung dari permukaan tanah). 4. Menurunkan suhu tanah. 5. Mengurangi tenaga kerja dan biaya antara lain pemupukan, penyiraman, dan penyiangan (tidak menyita waktu). 6. Meningkatkan produktivitas tanaman.
Gambar 8 Penggunaan mulsa plastik perak hitam Dari 180 responden yang diwawancara, 87 responden mempergunakan mulsa plastik perak hitam. Harga mulsa ini cukup mahal, yaitu Rp 320 000,- per gulung (± 19 m) pada tahun 2005. Untuk semua aktivitas produksi, biasanya petani membayar tenaga kerja. Tetapi
untuk
pekerjaan
seperti
persiapan
lahan,
menanam,
panen
dan
pengangkutan hasil panen, petani memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih besar. Tenaga kerja yang dibayar bekerja selama 8 jam per hari. Tidak ada perbedaan antara pekerja wanita dan pekerja pria.
Luas garapan, Status Lahan, dan Jarak Lahan Luas garapan lahan rata-rata petani Pangalengan menurut Dinas Pertanian Kabupaten Bandung (2004) adalah 0.3 ha. Luas garapan lahan rata-rata responden untuk tanaman kentang adalah 0.6 ha. Luas keseluruhan lahan 180 responden yang
83
ditanami kentang adalah 106.5 ha yang terdiri dari lahan dengan sistem penanaman searah lereng seluas 57.6 ha, lahan dengan sistem penaman searah kontur 13.2 ha, dan lahan dengan sistem penanaman teras bangku sebanyak 35.7 ha. Dari 106.5 ha lahan yang ditanami kentang terlihat bahwa 54% (57.6 ha) dari lahan tersebut belum menggunakan sitem pertanian konservasi. Hal ini juga diikuti oleh tingginya jumlah responden yang menanam searah lereng (Tabel 19). Tabel 19 Sistem tanam responden Sistem penanaman Searah lereng Searah Kontur Teras bangku Jumlah
Jumlah responden
Luas lahan (ha)
96 33 51 180
57.6 13.2 35.7 106.5 (Ā = 0.6 ha)
Dari 180 responden yang diwawancara, responden yang melakukan usahatani di lahan milik sebanyak 77 responden (42.78%), sedangkan yang melakukan usahatani dilahan sewa 103 responden (57.22%).
Penentuan status lahan ini
berdasarkan penggunaan lahan yang diamati langsung di lapang. Selain melakukan usahatani di lahan miliknya sendiri, banyak juga petani yang menambah usahataninya dengan meningkatkan luas lahannya dengan cara menyewa lahan milik orang lain. Jarak rata-rata lahan garapan sebagian besar responden (80%) dari rumah berkisar 0.5 – 1 km. Namun ada juga lahan responden berjarak di atas 5 km dari rumah.
Pada umumnya jarak lahan tidak menjadi kendala bagi petani
karena akses untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan panen mudah.
Permasalahan Usahatani Sayuran di Pangalengan Seperti daerah penghasil sayuran lainnya di Indonesia, berdasarkan hasil wawancara dengan responden ada beberapa masalah usahatani yang ditemukan dalam studi ini. Masalah-masalah tersebut adalah produktivitas yang rendah, harga yang sangat berfluktuasi, rendahnya infrastruktur penunjang baik di sisi produksinya sendiri maupun aktivitas pemasarannya, ketidakpastian akan ketersediaan benih maupun input kimia (pupuk dan pestisida).
Petani di Pangalengan juga
diperhadapkan dengan ketidakpastian iklim, seperti curah hujan yang tinggi terutama selama bulan Desember sampai Februari atau musim kemarau dari Juli sampai September. Hal ini juga diikuti oleh keadaan kelembaban udara yang cukup tinggi
84
serta turun naiknya temperatur yang menjadi lingkungan yang baik untuk penyebaran hama dan penyakit. Petani lahan kecil sering terjebak meminjam modal pada tengkulak (bandar) sehingga bila panen mengalami kesulitan untuk menjual sendiri hasil panennya (ditentukan bandar). Isu-isu di atas mengakibatkan sistem usahatani hortikultur di Pangalengan menghasilkan pendapatan usahatani yang tidak stabil, yang secara langsung berakibat pada pola budidaya usahatani nonkonservasi yang dipilih, dan pada akhirnya memacu lebih terjadinya erosi tanah dan kerusakan lingkungan.
BAB V. ADOPSI SISTEM PERTANIAN KONSERVASI Manfaat pertanian bagi manusia sangat besar dan yang bisa langsung dirasakan manfaatnya adalah hasil produksinya. Namun demikian sering manfaat usahatani ini hanya dilihat dari produksinya atau manfaat sesaat saja, tanpa mempertimbangkan jangka panjang seperti kelestarian atau kesuburan tanah di masa mendatang. Mengacu pada
Brundlant Comission/WECD (1987) yang
menyatakan bahwa “Development is sustainable when today’s action not compromise the development prospects of future generation” maka yang dimaksud pertanian berkelanjutan adalah ‘successfully managing resources for agricultural production, such that changing human needs met while the quality of the environment is maintained or improved and natural resource are preserved (TAC/CGIAR, 1988). Pada awal tahun 1980-an muncul
suatu konsep pertanian yang disebut
conservation farming system atau sistem pertanian konservasi (SPK). Konsep SPK ini merupakan perkembangan dari concept of site-appropriate farming yaitu bentuk pertanian yang teknik produksinya disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim lokasi pertanian. Konsep tersebut muncul berdasarkan pengalaman pada pengembangan pertanian dataran tinggi. SPK mengacu pada berbagai bentuk pertanian (palawija, sayuran, buah-buahan, perkebunan, dan sebagainya) yang dalam pengelolaannya sudah menerapkan atau mengintegrasikan teknik konservasi tanah dan iklim dari lokasi pertanian dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan memelihara lingkungan secara berkelanjutan (Hoesle, 1997). Oleh karena itu SPK bersifat spesifik untuk setiap lokasi. SPK sering dihubungkan dengan pertanian dataran tinggi karena pada areal pertanian lahan kering dataran tinggi biasanya berkaitan dengan ancaman erosi sehingga hal yang paling mendasar untuk dilakukan pada pertanian dataran tinggi adalah mengkonservasi tanah dan kesuburannya.
Jika
kesuburan tanah berkurang maka akan berpengaruh terhadap keberlangsungan ekonomi manusia juga.
Inilah yang menjadi prinsip mengelola sistem pertanian
dataran tinggi dengan teknik-teknik yang bersifat mengkonservasi tanah. Tanah merupakan sumberdaya utama dari pertanian, oleh karena itu mengkonservasi tanah atau pengelolaan lahan berkelanjutan, termasuk melindungi sumber-sumber air tanah, merupakan prasyarat untuk menghasilkan pertanian
86
berkelanjutan. Smyth dan Dumanski (1993) menyatakan “sustainable land management combines technologies, policies and activities aim at integrating socioeconomic principles with environmental concerns”. Dari definisi tersebut didapat pengertian
bahwa
tujuan
pengelolaan
lahan
berkelanjutan,
selain
mampu
meningkatkan produktivitas juga mampu mengurangi resiko pada tingkat produksi, mempertahankan dan melindungi sumberdaya tanah dan air, dan juga secara sosial diterima. Pada awalnya bentuk praktek penggunaan lahan secara individu petani tidak berpengaruh langsung pada kerusakan tanah, namun karena praktek penggunaan lahan terjadi terus-menerus maka secara kolektif praktek penggunaan lahan tersebut akan berpengaruh terhadap kerusakan tanah. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan belum diterapkannya teknik konservasi tanah dan air oleh petani secara meluas, serta belum efektifnya tindakan konservasi tanah yang diadopsi petani untuk menyimpan air. Teknik budidaya dan konservasi tanah yang
diadopsi
petani
untuk
pertanian
lahan
kering
masih
belum
efektif
memanfaatkan air hujan sebagai sumber air, karena kelebihan air hujan yang belum terinfiltrasi dibiarkan terbuang melalui saluran batas bedengan dan saluran pembuangan air (SPA) pada bangunan konservasi seperti teras gulud dan teras bangku pada lahan berlereng. Terbuangnya air hujan melalui aliran permukaan berarti hilangnya kesempatan air hujan meresap ke dalam tanah untuk menjadi cadangan air yang sangat diperlukan pada saat hujan tidak turun. Aliran permukaan mengakibatkan kehilangan bahan yang terlarut (unsur hara, pupuk, dan pestisida) maupun yang terangkut berupa bahan organik, dan bahan tanah (liat dan debu) serta mikroba yang dapat mencemari lingkungan yang dilewati. Aliran permukaan yang terbuang dari areal yang luas akibat perluasan pertanian lahan kering yang biasanya terjadi di bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai (DAS) telah menyebabkan bencana banjir dan kekeringan di bagian hilir yang merupakan lahan pertanian yang relatif subur. Penerapan sistem pertanian konservasi pada usahatani sayuran Pangalengan tentunya akan mampu mencegah berbagai permasalahan yang ada di Pangalengan seperti penurunan produktivitas, erosi tanah, dan adanya lahan kritis.
87
5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Mengingat sebagian besar wilayah Kecamatan Pangalengan didominasi oleh bentuk lahan berbukit sampai bergunung (berada pada ketinggian ± 1450 m dpl), curah hujan tinggi (Lampiran 3), dan merupakan areal pertanian tanaman semusim (sayuran), maka sistem usahatani sayuran perlu menerapkan teknik konservasi tanah. Untuk mengetahui apakah petani Pangalengan sudah mengadopsi sistem pertanian konservasi maka wawancara dilakukan secara langsung di lahan dan sekaligus mengukur kemiringan lereng lahan usahatani setiap responden dan melihat bagaimana tindakan konservasi tanah yang dilakukan sehubungan dengan kemiringan lereng lahannya. Dari 180 responden yang diamati, 52 % persen lahan responden berada pada kemiringan lereng antara 30->65% dengan kategori agak curam sampai sangat curam. Kondisi ini menggambarkan bahwa lebih dari 50% lahan responden sebenarnya tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim (Tabel 20). Eswaran et al. (1999), Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa lahan dengan
kemiringan lereng 2-8 % dengan kepekaan erosi yang rendah cocok
menggunakan teknik konservasi teras berdasar lebar, sedangkan pada lahan dengan kemiringan lereng 6-12% dapat diterapkan guludan searah kontur. Untuk lahan dengan kemiringan lereng 15-30% bila akan digunakan untuk tanaman semusim memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah seperti teras, perbaikan drainase, atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah selama 3-5 tahun. Lahan dengan kemiringan lereng 30-45% tidak sesuai untuk usahatani tanaman semusim karena mudah tererosi dan perakaran dangkal. Jika digarap untuk usahatani diperlukan pembuatan teras bangku. Sedangkan untuk lahan dengan kemiringan lereng 45 ->60% sama sekali tidak sesuai untuk tanaman semusim, sebaiknya ditanami tanaman permanen. Bila ingin digarap untuk usahatani maka harus disertai dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Jika dibuat teras bangku maka persentase areal yang akan ditanami per hektarnya akan semakin kecil dibandingkan lahan kemiringan lereng 30-45%. Selanjutnya Eswaran et al. (1999) menyatakan kendala utama untuk tanah dengan kemiringan lereng > 15% adalah kurangnya hara untuk tanaman dan untuk itu perlu mengadopsi perencanaan pemakaian pupuk yang baik. Resiko keberlanjutan produksi berkisar 20-60%. Lahan
88
yang demikian baik untuk digunakan sebagai taman nasional atau sebagai zona bioversity. Tabel 20 Data kemiringan lereng lahan dan sistem penanamannya (per responden dan per petak usahatani) Kemiringan (%) <8 8-14 15-29 30-44 45 - 60 > 65
Searah Lereng (responden) 13 32 12 19 16 4
Searah Kontur (responden) 1 8 6 13 5 0
Teras Bangku (responden) 0 0 6 15 26 4
Jumlah dan Persentase 14 (7.9) 40 (22.2) 24 (13.3) 47 (26.1) 47 (26.1) 8 (4.4)
Jumlah
96
33
51
180 (100%)
Adopsi teknik konservasi tanah petani Pangalengan tertera pada Tabel 20. Teknik konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur dikategorikan
sudah
menerapkan
sistem
pertanian
konservasi
sedangkan
penanaman pada guludan searah lereng belum menerapkan sistem pertanian konservasi karena konservasi tanah teras bangku dan penanaman pada guludan searah kontur mampu menurunkan erosi lebih baik dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Dari 180 responden, 96 responden menanam sayuran pada guludan searah lereng, 33 responden menanam sayuran pada guludan searah kontur dan 51 responden menanam sayuran dengan teknik konservasi tanah teras. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih separuh petani belum menerapkan teknik konservasi tanah pada usahatani sayurannya. Jika memang sistem pertanian konservasi bermanfaat mengapa tidak semua petani mengadopsinya? Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani Pangalengan mengadopsi konservasi tanah, dalam penelitian ini digunakan model adopsi. Model adopsi yang telah dirumuskan memiliki variabel dependen yang bersifat kualitatif. Untuk dapat menduga pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen digunakan regresi yang menggunakan variabel dummy (variabel boneka) sebagai variabel dependennya. adalah model logit.
Model adopsi tersebut pada dasarnya
Parameter-parameter dalam model diestimasi dengan
menggunakan metode maximum-likelihood (Judge et al., 1988).
89
Untuk mengetahui apakah parameter dugaan (β) berbeda nyata dari 0 (nol) maka dilakukan uji Wald atau X2. Parameter dugaan (β) mengukur perubahan ln (odds ratio) untuk setiap unit perubahan variabel independennya. Odds ratio adalah perbandingan antara besarnya peluang adopsi konservasi tanah dengan peluang tidak konservasi tanah. Jika nilai odds ratio sama dengan 1 (satu), maka peluang mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi tanah adalah sama. Odds ratio yang lebih besar daripada 1 menunjukkan peluang untuk mengadopsi konservasi tanah lebih besar daripada tidak mengadopsi. Sebaliknya jika nilai odds ratio lebih kecil daripada 1, maka peluang tidak mengadopsi lebih besar daripada peluang mengadopsi konservasi tanah. Hasil estimasi Model Adopsi tertera pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil estimasi model adopsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Variabel PKL KRDT PDK UMR SLHN CURM JLKR JAK Konstanta
β 0.000 -0.564 -0.419 -0.008 -0.840 0.025 -0.027 -0.286 1.136
Wald (X2) 0.322 0.832 1.435 0.212 5.598 8.572 0.080 2.947 1.279
Signifikansi 0.570 0.362 0.231 0.645 0.018b 0.003a 0.777 0.086c 0.258
Odds Ratio 1.000 0.569 0.658 0.992 0.432 1.025 0.974 0.752 3.113
Keterangan: a – nyata pada tingkat kepercayaan 99%, b – nyata pada tingkat kepercayaan 95%, c- nyata pada tingkat kepercayaan 90%
Berdasarkan hasil estimasi terhadap Model Adopsi, ada tiga variabel yang parameternya signifikan berbeda daripada nol (0).
Ketiga variabel independen
tersebut adalah status lahan usahatani (SLHN), tingkat kecuraman lahan (CURM), dan jumlah anggota keluarga dewasa (JAK), sedangkan variabel independen lain, parameternya tidak berbeda nyata dengan nol. Variabel-variabel tingkat kecuraman lahan (CURM) merupakan variabel fisik atau kondisi lahan, sedangkan jumlah anggota keluarga dewasa (JAK) dan status lahan (SLHN) merupakan variabel sosial ekonomi (kelembagaan) yang mempengaruhi keputusan adopsi sistem pertanian konservasi di usahatani sayuran Pangalengan.
Dalam hal ini
hipotesis 1 yang
menyatakan keputusan petani sayuran mengadopsi sistem pertanian konservasi dipengaruhi kondisi lahan dan sosial ekonomi dapat diterima. Berdasarkan hasil regresi, variabel tingkat kecuraman lahan berpengaruh nyata pada adopsi konservasi tanah. Nilai odds ratio untuk variabel tingkat kecuraman
90
(CURM) adalah 1.025. Hal ini berarti, apabila kemiringan lahan semakin meningkat maka peluang untuk mengadopsi konservasi tanah relatif lebih besar daripada peluang tidak mengadopsi. Kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras bangku ataupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau panjang (Hardjowigeno, 2003). Bila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan semakin meningkat sehingga kekuatan mengangkut tanah juga meningkat. Telah disebutkan dimuka, bila kecepatan aliran menjadi dua kali lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut 64 kali lipat lebih besar, sedangkan berat benda yang dapat diangkut 32 kali lebih berat. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar. Bila dalamnya air menjadi dua kali lipat maka kecepatan aliran menjadi empat kali lipat. Carson (1989) menyatakan untuk mengurangi kecuraman dilakukan pembuatan teras bangku atau memperpendek panjang lereng dengan guludan searah kontur.
Banuwa (1994)
melaporkan lereng yang lebih pendek memberikan aliran permukaan yang lebih rendah sedangkan lereng yang panjang menghasilkan aliran permukaan yang lebih tinggi. Dampak negatif dari tidak diadopsinya konservasi tanah cepat terlihat pada tanah-tanah yang kemiringannya tinggi.
Endapan tanah di kaki atau di bagian
bawah lahan dan tanah yang tererosi tampak jelas di lahan-lahan yang memiliki kemiringan tanah tinggi yang tidak menerapkan konservasi. Jaya (1994) menyatakan bahwa aliran permukaan dan erosi di daerah Pangalengan dipengaruhi oleh intensitas hujan dan persentase luas lahan terbuka. Oleh karena itu, pertambahan lahan terbuka, khususnya yang berasal dari hutan dan perkebunan harus dikelola dengan baik. Curah hujan Pangalengan yang tinggi akan mempercepat terjadinya erosi tanah khususnya di lereng-lereng yang curam karena akan meningkatkan aliran permukaan tanah (Banuwa, 1994 dan Rompas, 1996). Dianjurkan agar pada musim hujan jangan membiarkan lahan terbuka. Selanjutnya Rompas (1996) menunjukkan bahwa kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas) di Pangalengan sebesar 0.29 tergolong kriteria sedang. Angka ini sudah mendekati 0.3 yang dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi masuk kriteria agak tinggi. Dengan kepekaan yang sedang maka cara pengelolaan lahan dan tanaman di
91
Pangalengan perlu memperhatikan konservasi tanah berupa pengolahan tanah menurut kontur dan pembuatan teras bangku. Variabel status lahan (SLHN) juga berpengaruh nyata terhadap peluang petani kentang untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi tanah. Nilai odds ratio status lahan adalah 0.432, yang berarti peluang untuk mengadopsi konservasi tanah lebih kecil daripada peluang tidak mengadopsi konservasi tanah. Variabel status lahan diberi nilai 1 jika sewa dan nilai 0 jika milik sendiri, berarti status lahan sewa memiliki peluang lebih besar untuk tidak mengadopsi dibandingkan dengan mengadopsi konservasi tanah.
Sebaliknya adopsi cenderung didahulukan oleh
petani yang berstatus pemilik lahan. Tidak semua petani kentang di Pangalengan memiliki sendiri tanah untuk usahataninya. Cukup banyak petani yang status lahannya adalah sewa. Hal ini juga tercermin pada responden penelitian, dimana dari 180 petani sampel terdapat 103 responden yang lahannya berstatus sewa.
Petani dapat menyewa untuk satu
ataupun dua musim tanam, dan masa sewa dapat diperpanjang. Jarang petani menyewa lahan yang sama dalam waktu lama. Status sewa lahan yang berdurasi pendek ini menyebabkan tidak ada atau berkurangnya insentif untuk melakukan konservasi tanah di lahan yang sedang diusahakannya. Manfaat dari menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, dampak negatif dari tidak melakukan konservasi tanah tidak terasakan dalam jangka pendek. Dengan demikian, status lahan sewa yang berdurasi pendek menghilangkan kesempatan petani penyewa untuk memperoleh manfaat dari upaya konservasi tanah yang dilakukannya. Hwang et al. (1994) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknik konservasi di Republik Dominika. Faktor kelembagaan seperti status lahan berpengaruh negatif terhadap keputusan petani untuk menerapkan konservasi tanah. Keputusan pemerintah Republik Dominika mengeluarkan peraturan tentang perpanjangan masa sewa menyewa lahan menyebabkan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah. Pada kasus di Burkina Faso, Afrika, status lahan sewa berdurasi panjang menyebabkan petani penyewa mengelola lahan sewaannya secara berkelanjutan. Disamping durasi yang lama, diantara pemilik dan penyewa lahan dibuat suatu perjanjian bersama untuk tetap memperhatikan kesuburan tanah. Penyewa dilarang
92
menanam pohon untuk menghindari penyewa tinggal menetap di lahan tersebut (de Zeeuw, 1997). Walaupun ada perjanjian yang dibuat, namun petani penyewa mempunyai kepastian (certainty) pada lahan yang disewanya. Status penguasaan lahan berpengaruh terhadap adopsi konservasi tanah. Saat lahan berstatus sewa, petani tidak melakukan praktek konservasi. Sebaliknya, setelah lahan tersebut menjadi milik, petani menerapkan konservasi tanah. Petani mengharapkan dapat mewariskan lahan yang terpelihara kepada generasi berikutnya (Pagiola, 1994). Masalah ketidakpastian untuk memperoleh manfaat dari konservasi tanah relatif tidak dihadapi petani yang lahannya berstatus hak milik. Petani yang lahannya berstatus milik sendiri tentunya akan bersedia mengeluarkan biaya untuk konservasi tanah, apabila besarnya manfaat yang diperoleh diperkirakan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya. Petani pemilik lahan juga masih dapat memperoleh manfaat dari konservasi tanah yang dilakukannya meskipun lahannya disewakan pada pihak lain, yaitu dalam bentuk nilai sewa yang lebih tinggi. Variabel independen lainnya yang berpengaruh nyata terhadap peluang adopsi konservasi tanah adalah variabel jumlah anggota keluarga dewasa (JAK). Nilai odds ratio untuk variabel ini adalah 0.752, yang berarti peluang untuk tidak mengadopsi lebih besar daripada peluang mengadopsi konservasi tanah. Semakin besar jumlah anggota keluarga dewasa, maka semakin turun peluang untuk mengadopsi konservasi. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Arifin (2002) dan Sanim dan Siregar (2002) yang menunjukkan jumlah anggota keluarga dewasa memberikan efek positif pada keputusan untuk mengadopsi konservasi tanah. Pada awalnya diharapkan, semakin banyak jumlah anggota keluarga dewasa yang dapat dipekerjakan di usahatani kentang, maka semakin besar peluang petani mengadopsi konservasi tanah. Konservasi tanah, dalam bentuk membuat teras bangku dan penanaman guludan searah kontur, memerlukan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Ukuran keluarga petani yang besar tentunya diharapkan dapat menjadi faktor pendorong untuk mengadopsi konservasi tanah. Namun demikian hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan Pakpahan dan Syafaat (1991) yang menunjukkan semakin besar jumlah anggota keluarga dewasa maka semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya tanah yang ditunjukkan oleh semakin besarnya peluang terjadinya erosi (tidak mengadopsi teknik konservasi tanah).
93
Komoditas tanaman dalam penelitian Arifin (2002) dan Sanim dan Siregar (2002) adalah padi yang merupakan tanaman untuk kebutuhan pokok rumah tangga petani (subsisten), sedangkan komoditas dalam penelitian Pakpahan dan Syafaat (1991) adalah tanaman sayuran kubis. Petani menanam kubis untuk tujuan komersial (cash crops) bukan tanaman subsisten, sama dengan komoditas kentang dalam penelitian ini. Pada usahatani tani tanaman subsisten ketersediaan tenaga kerja keluarga yang semakin besar digunakan untuk melakukan upaya-upaya konservasi terhadap lahan yang dimilikinya, sedangkan untuk usahatani tanaman komersial, dalam hal ini kentang dan kubis, ketersediaan tenaga kerja semakin besar dalam keluarga justru dimanfaatkan untuk intensifikasi eksploitasi tanah dengan harapan memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Petani kentang pada dasarnya bermotifkan keuntungan dalam mengelola usahataninya sama seperti juga petani kubis dalam penelitian Pakpahan dan Syafaat (1991). Perhitungan biaya dan manfaat menjadi acuan, sehingga dalam memanfaatkan tenaga kerja juga memperhitungkan untung dan ruginya.
5.2.
Pengaruh Faktor-faktor Produksi dan Adopsi Produksi Usahatani Kentang
Konservasi Terhadap
Produksi sayuran kentang diperkirakan dipengaruhi oleh banyaknya input atau faktor produksi yang digunakan dan teknologi. Faktor produksi terdiri dari pupuk, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan, sedangkan aspek teknologi diwakili oleh adopsi konservasi tanah. Pupuk yang digunakan petani kentang di Pangalengan adalah urea, KCl, SP36, NPK atau pupuk majemuk Phonska, dan pupuk kandang. Kecuali untuk pupuk kandang, untuk keperluan estimasi fungsi produksi variabel pupuk tidak didefinisikan dalam bentuk agregatnya, melainkan didefinisikan dalam bentuk unsurunsur hara utamanya, yaitu N, P, K, dan S. Komposisi kandungan hara dari pupuk yang dibeli petani kentang di Pangalengan tertera dengan jelas pada kemasan, sehingga unsur-unsur utama tersebut dapat dihitung.
Sedangkan untuk pupuk
kandang tidak ada standarisasi kandungan unsur hara utamanya. Oleh sebab itu khusus untuk pupuk kandang, variabelnya tetap didefinisikan sebagai pupuk kandang dan tidak dipilah ke dalam unsur hara yang dikandungnya.
94
Petani kentang di Pangalengan juga menggunakan obat-obatan atau pestisida yang relatif banyak. Tanaman kentang di Pangalengan rentan terhadap serangan berbagai jenis hama penyakit. Hama yang biasanya menyerang tanaman kentang adalah hama ulat grayak (Spodoptera sp), hama kutu daun (Aphids), hama ulat tanah (Agrotis sp) dan hama trip (Thrips sp). Penyakit kentang di Pangalengan adalah penyakit busuk daun yang disebabkan jamur/cendawan Phytophthora sp, penyakit layu bakteri (Pseudomonas sp), dan penyakit bercak kering (cendawan Alternaria sp). Dari jumlah responden yang diwawancara sebagian besar responden pernah mengalami gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Salah satu alasan mengapa petani Pangalengan enggan menanam searah kontur - dianggap mampu mencegah kerusakan tanah akibat aliran permukaan dan erosi – adalah petani Pangalengan beranggapan penanaman searah guludan dapat menyebabkan tergenangnya air hujan di antara guludan sehingga serangan penyakit yang tidak mereka harapkan meningkat.
Hernawati (1992) menyatakan bahwa tindakan
konservasi tanah penanaman pada guludan searah kontur tidak menyebabkan timbulnya serangan hama penyakit yang hebat sebagaimana yang selalu dikuatirkan petani setempat. Hal ini disebabkan drainase yang baik dari tanah andisols Pangalengan. Arsyad (2000) menyatakan keuntungan pengolahan tanah menurut kontur adalah terbentuknya penghambat aliran permukaan yang memungkinkan penyerapan air dan mencegah pengangkutan tanah. Erfandi et al. (2001) juga melaporkan bahwa pengolahan tanah menurut kontur (contour ridges) pada lahan kering bergunung berfungsi sebagai saluran pembuangan air (SPA) sehingga tercipta aerasi tanah yang baik bagi perakaran dan sekaligus mengantisipasi penyakit yang timbul akibat kelembaban tanah yang tinggi seperti Phytophtora sp yang berkembang pada zona perakaran sayuran. Pidio (2004) juga menunjukkan kekuatiran petani bila menanam pada guludan searah kontur menimbulkan kerugian yang besar/gagal panen karena serangan penyakit layu tidak benar. Hasil pengamatan visual menunjukkan serangan bakteri pada guludan searah kontur relatif sedikit dan seragam pada setiap petak percobaan. Guludan searah kontur mampu menjaga kelembaban tanah karena adanya saluran pembuangan sehingga drainase tetap terjaga. Sutapraja dan Asandhi (1998) melaporkan bahwa pemakaian mulsa jerami dan plastik selain dapat
95
meningkatkan produksi dan mengurangi erosi, juga dapat menurunkan presentase serangan penyakit (Tabel 22). Tabel 22 Persentase serangan penyakit layu bakteri pada pertanaman kentang dengan berbagai teknik konservasi tanah di Kec. Batur, Jawa Tengah Perlakuan
Persentase serangan penyakit layu bakteri
Arah Guludan - sejajar kontur - diagonal Pola tanam dan mulsa - kentang tunggal + mulsa jerami - kentang tunggal + mulsa plastik perak - kentang tunggal tanpa mulsa - tumpang sari kentang dan kubis - tumpang sari kentang dan bawang daun
19.30 16.40 5.10 1.90 29.70 39.50 24.40
Sumber: Sutapraja dan Asandhi (1998)
Penanaman kentang tunggal dengan mulsa plastik perak menunjukkan persentase hasil serangan penyakit layu bakteri terkecil karena warna perak yang menghadap ke atas menyebabkan sinar radiasi matahari dari mulsa yang diterima daun menjadi lebih tinggi (memperbaiki fotosintesa) dan menyebabkan tanah tidak terlalu lembab dan juga tidak terlalu kering. Kelembaban yang tinggi merupakan media yang baik bagi pertumbuhan jamur dan cendawan. Walaupun harga mulsa perak hitam cukup mahal, cukup banyak petani Pangalengan yang menggunakan mulsa plastik perak hitam dalam usahataninya.
Namun ada juga petani
Pangalengan yang tidak mau menggunakan mulsa plastik perak hitam tersebut dengan alasan pemakaian mulsa plastik hanya baik untuk kentang yang peruntukkannya sebagai sayur/konsumsi. Pengalamannya menunjukkan, walaupun penampakan luar dari kentang tersebut baik, pemakaian mulsa akan meningkatkan nematoda tanah dan ini berpengaruh jelek terhadap kualitas kentang untuk bibit (disimpan). Hal ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk mencegah berbagai hama penyakit ini, petani kentang di Pangalengan memanfaatkan berbagai jenis dan merek pestisida. Pestisida yang digunakan ada yang berbentuk padat dan ada yang cair sehingga sulit untuk digabungkan jumlah satuannya. Demikian pula dengan komposisi zat aktif dalam pestisida yang ternyata juga sangat beragam sehingga untuk variabel pestisida tidak dirumuskan dalam bentuk zat aktifnya. Untuk keperluan estimasi fungsi produksi, variabel pestisida
96
diukur dalam bentuk besaran nilai uang (Rp) yang dikeluarkan petani untuk usahatani kentangnya. Usahatani kentang memerlukan perawatan yang relatif intensif. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kentang bersumber dari dalam rumahtangga itu sendiri ataupun menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga yang diupah. Tenaga kerja usahatani tidak dibedakan dalam kelompok pria atau wanita. Berdasarkan wawancara dengan petani dan juga pengamatan langsung di lahan, produktivitas atau kinerja tenaga kerja pria dan wanita relatif sama dan tidak dibedakan (Gambar 9). Oleh sebab itu, bagi keperluan efisiensi fungsi produksi kentang tidak dilakukan konversi tenaga kerja wanita menjadi ukuran tenaga kerja pria. Variabel tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK) yaitu lama kerja (kira-kira 7-8 jam) yang biasanya berlaku di usahatani kentang Pangalengan. Apabila digunakan tenaga kerja anak-anak, maka tenaga kerja ini dikonversi dengan menggunakan nilai 0.5 tenaga kerja orang dewasa.
Gambar 9 Tenaga kerja wanita usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan Hasil regresi terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilihat pada Tabel 23. Model yang dibangun mampu menjelaskan variasi variabel dependen sebesar 86 persen. Hal ini ditunjukkan oleh besaran R2 = 0.864. Nilai Fhitung sebesar 91.377 menunjukkan tingkat signifikansi dengan selang kepercayaan 95 persen. Analisis
97
fungsi produksi tertera pada Lampiran 7. Hubungan jumlah produksi kentang dan masing-masing input apabila dipetakan dalam kurva fungsi produksi (Doll dan Orazem, 1984) dapat dilihat pada Lampiran 12. Faktor produksi S (belerang) dan pupuk kandang (Fkan) berada dalam posisi negative return to a factor (pengembalian faktor produksi yang negatif) artinya pemberian S dan pupuk kandang sudah terlalu banyak dan tidak dapat meningkatkan produksi bahkan cenderung menurunkan. Sedangkan faktor input lainnya berada dalam posisi decreasing return to a factor (pengembalian faktor produksi yang menurun). Tabel 23 Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani kentang di Pangalengan Variabel 1. Konstanta 2. NTot 3. PTot 4. KTot 5. STot 6. Fkan 7. TK 8. Pest 9. Llahan 10. Dadopsi R2 = 0.864 Fhitung = 91.337a
Parameter (β) 1.966 0.123 0.032 0.010 -0.081 -0.028 0.166 0.152 0.728 -0.077
thitung 2.709 1.760 0.325 0.168 -0.701 -0.675 2.018 3.247 9.316 -1.884
Signifikansi 0.008a 0.081b 0.746 0.867 0.485 0.501 0.046a 0.001b 0.000a 0.062b
Keterangan:a-nyatapada tingkat kepercayaan 95%, b-nyata pada tingkat kepercayaan 90%
Dari 9 variabel independen yang terdapat pada model, ada 5 variabel yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (produksi kentang). Kelima variabel independen tersebut adalah jumlah unsur nitrogen pupuk yang digunakan, jumlah tenaga kerja, nilai pestisida, luas usahatani kentang, dan adopsi. Sedangkan empat variabel independen lainnya pengaruhnya tidak berbeda nyata dari nol. Koefisien untuk nitrogen, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan bertanda positif.
Apabila faktor-faktor produksi tersebut penggunaannya dinaikkan, maka
jumlah produksi kentang juga akan meningkat.
Peningkatan penggunaan unsur
nitrogen sebesar 10 persen dapat meningkatkan produksi sebesar 1.23 persen. Sedangkan untuk tenaga kerja dan pestisida, peningkatan penggunaannya sebesar 10 persen akan berakibat pada peningkatan produksi kentang, yaitu masing-masing sebesar 1.66 persen dan 1.52 persen.
98
Peningkatan produksi kentang sangat dipengaruhi oleh luasan lahan yang digunakan. Semakin luas lahan maka semakin besar jumlah produksi yang dapat diperoleh.
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model diperoleh data bahwa 10
persen peningkatan penggunaan lahan berkontribusi pada 7.28 persen peningkatan hasil atau produksi kentang.
Besarnya kontribusi lahan terhadap produksi pada
akhirnya tercermin juga pada pada harga sewa lahan untuk tanaman kentang di Pangalengan. Harga sewa lahan per hektar berkisar antara 2 juta – 2.5 juta rupiah per musim tanam (MT) tergantung kualitas lahan dan jarak lahan dari jalan utama (transportasi).
Harga sewa lahan untuk usahatani kentang ini cenderung terus
meningkat. Disamping empat faktor produksi, yaitu nitrogen, tenaga kerja, pestisida, dan luas lahan, variabel adopsi ternyata juga berpengaruh nyata terhadap tingkat produksi usahatani kentang. Pengaruh variabel adopsi konservasi tanah ternyata negatif, yang menunjukkan semakin besar peluang untuk mengadopsi maka semakin kecil tingkat produksi. Nilai koefisien untuk adopsi adalah -0.077 (Tabel 23). Pengaruh adopsi konservasi yang negatif terhadap tingkat produksi kentang ini sudah diperkirakan sejak awal. Petani enggan menerapkan konservasi tanah, baik teras maupun penanaman searah kontur, karena beranggapan adopsi teknik konservasi dapat mengurangi jumlah produksi kentang atau gagal panen. Petani mau
menerapkan
konservasi,
jika
manfaat
konservasi
yang
diadopsinya
memberikan hasil produksi yang tinggi. Adopsi teknik konservasi dengan teras bangku menyebabkan luasan tanah efektif yang dapat ditanami kentang menjadi berkurang karena termanfaatkan untuk teras. Sedangkan hasil estimasi telah menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi kentang yang dapat diperoleh. Petani Pangalengan juga enggan menanam kentang pada guludan searah kontur karena: (1)
beranggapan
bahwa
penanaman
pada
guludan
searah
kontur
dapat
menimbulkan penyakit yang dapat menyebabkan gagal panen, (2) sulitnya pengelolaan tanaman seperti penyiangan dan pembumbunan jika penanaman dilakukan pada guludan searah kontur, dan (3) pengolahan tanah memakai cangkul searah kontur
selain lebih sulit – khusus pada areal yang semakin curam –
sehingga memerlukan waktu lebih lama, juga menurunkan luasan tanah efektif yang dapat ditanami walaupun penurunannya tidak sebesar menggunakan teras
99
(Hernawati, 1992 dan Banuwa, 1994). Data responden juga menunjukkan petani yang menanam searah kontur lebih sedikit dibandingkan petani yang menaman pada teras bangku. Pengaruh negatif adopsi konservasi tanah terhadap tingkat produksi, seperti ditunjukkan hasil estimasi terhadap model fungsi produksi, membuktikan hipotesis 2 yang menyatakan adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng menurunkan produksi usahatani sayuran dapat diterima. Hasil tersebut juga diperkuat oleh kenyataan di lapangan. Dari total 180 petani sampel, hanya 51 petani (28.3%) yang menerapkan konservasi tanah dalam bentuk teras bangku dan 33 petani (18.3%) dalam bentuk penanaman pada guludan searah kontur, sedangkan yang tidak menerapkan konservasi tanah sebanyak 96 petani, bahkan ada petani yang lahan usahatani kentangnya memiliki kemiringan lebih besar daripada 30 persen, tetap menerapkan budidaya kentang dengan penanaman pada guludan searah lereng.
Alasan utama petani tidak mau menanam pada guludan searah
kontur adalah selain sulit dalam pengelolaan tanaman dan pengolahan tanah, juga karena beranggapan penanaman searah kontur dapat menimbulkan serangan penyakit layu bakteri sehingga menggagalkan panen, sedangkan alasan utama petani mengapa tidak membuat teras bangku adalah dapat mengurangi luasan lahan yang dapat ditanami. Di lapang ditemukan petani yang menyewa lahan dengan sistem teras bangku pada kemiringan 30% sengaja mengubah sistem teras bangku tersebut menjadi sistem penanaman pada guludan searah lereng (Gambar 10). Alasan yang dikemukan oleh petani tersebut adalah lahan yang dikelolanya berupa lahan sewa sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal. Petani merasakan teras bangku mengurangi luasan lahan sehingga akan berpengaruh terhadap produksi. Supaya hasil produksi dalam masa sewa tinggi, petani tersebut merubah lahan dengan konservasi tanah teras bangku yang disewanya ke dalam sistem penanaman pada guludan searah lereng. Padahal untuk membuat teras bangku untuk luasan satu hektar dengan kemiringan > 30% dibutuhkan biaya untuk tenaga kerja saja sebesar Rp 5 468 750,- (Lampiran 4). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sanim dan Siregar (2002) di Taman Nasional Lore Lindu yang menunjukkan hasil produksi mempunyai efek negatif pada pengambilan keputusan untuk mengadopsi konservasi tanah. Petani
100
Lore Lindu merasakan bahwa penerapan teras juga mengurangi luas efektif permukaan lahan yang dapat ditanam. Demikian juga dengan penemuan Antle et al, 2004 di Pegunungan Andes, petani tidak mau mengadopsi teras bangku karena mengurangi luasan lahan yang dapat ditanam.
Gambar 10 Teras bangku yang diubah menjadi penanaman pada guludan searah lereng Estimasi model fungsi produksi dengan menggunakan data cross sectional sering menemukan gejala multikolinearitas (multicollinearity) atau adanya korelasi diantara variabel independen dalam model. Gejala multikolinearitas ditandai oleh relatif sedikitnya koefisien dalam model yang berbeda nyata dengan nol, meskipun secara bersama-sama variabel-variabel independen tersebut berpengaruh besar terhadap variabel dependen, seperti ditunjukkan pada nilai R2 dan Fhitung yang tinggi. Dari 10 koefisien yang terdapat pada model fungsi produksi kentang, ternyata ada enam koefisien yang berbeda nyata dari nol. Untuk memastikan apakah gejala multikolinearitas cukup serius atau tidak, dilakukan penghitungan condition index (Gujarati, 1998). Nilai condition index (CI) dari model fungsi produksi Cobb-Douglas yang diperoleh adalah sebesar 92.38 (Lampiran 7). Nilai CI ini menunjukkan adanya gejala multikolinearitas yang cukup serius. Untuk mengetahui variabel independen apa saja yang saling terkait, ternyata variabel luas lahan memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan berbagai variabel input produksi lainnya. Hasil korelasi variabel luas lahan dengan variabel lainnya
101
dapat dilihat pada Lampiran 8.
Untuk mengurangi gejala multikolinearitas yang
cukup serius paling tidak dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu (a) respesifikasi model, dan (b) menghapus salah satu variabel independen lainnya. Respesifikasi
model
untuk
menghilangkan
atau
mengurangi
gejala
multikolinearitas dilakukan dengan memberikan kendala (constraint) pada model fungsi produksi. Kendala yang ditambahkan pada model adalah: β1 + β2 + β3 + β4 + β5 + β6 + β7 + β8 = 1 sehingga respesifikasi modelnya adalah: β1 β2 β3 β4 β5 β6 β7 1-β1-β2-β3-β4-β5-β6-β7 β9Dadop + ε Q Kentang = β0 NTot PTot KTot STot FKan TK Pest Llahan e Model ini dikonversi dalam bentuk logaritma normal (ln) dan diestimasi dengan menggunakan OLS. Secara lengkap bagaimana model tersebut diturunkan agar dapat diestimasi dapat dilihat pada Lampiran 9. Setelah dilakukan estimasi ternyata keadaan atau hasilnya tidak lebih baik dibandingkan dengan model fungsi produksi awal. Daya prediksi atau penjelas yang ditunjukkan oleh nilai R2 ternyata menurun drastis, yaitu menjadi R2 = 0.168. Koefisien dugaan yang dihasilkan juga banyak yang tidak signifikan. Oleh sebab itu hasil dugaan dari respesifikasi model tidak digunakan. Uji terhadap multikolinearitas, ternyata model yang baru inipun tetap memiliki masalah multikolinearitas yang serius yang ditunjukkan dengan CI = 85.399. Hasil regresi dari model yang baru ini, yaitu setelah diberi kendala (constraint) dapat dilihat pada Lampiran 10. Kendala ini merupakan asumsi bahwa fungsi produksi yang digunakan memiliki ciri constant return to scale. Berdasarkan asumsi ini, maka berarti setiap kelipatan seluruh input produksi akan menghasilkan output dengan kelipatan yang sama. Cara kedua untuk mengurangi gejala multikolinearitas adalah dengan menghilangkan salah satu variabel independen yang memiliki korelasi erat dengan variabel independen lainnya.
Variabel independen luas lahan diputuskan untuk
dikeluarkan dari model, dengan alasan variabel inilah yang banyak berkorelasi dengan variabel independen lainnya. Dengan demikian model fungsi produksi yang baru adalah sama dengan fungsi produksi awal kecuali variabel independen luas lahan dikeluarkan dari model. Setelah dilakukan estimasi terhadap model, dengan metode OLS, ternyata memang gejala multikolinearitas berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan besaran condition index yang lebih kecil, yaitu 79.44. Koefisien regresi yang diperoleh yang
102
menunjukkan berbeda signifikan dari nol juga meningkat. Dari 9 koefisien regresi, termasuk konstanta, terdapat 7 koefisien yang menunjukkan nyata pada taraf kepercayaan 95 persen, 90 persen, dan 85 persen. Hasil estimasi terhadap model fungsi produksi, setelah variabel luas lahan dikeluarkan, dapat dilihat pada Lampiran 11. Meskipun hasil estimasi terhadap model yang baru relatif lebih baik dari aspek jumlah koefisien regresi yang signifikan, namun model ini ternyata tetap memiliki kelemahan.
Setelah variabel luas lahan dikeluarkan dari model, condition index
turun, yang berarti gejala multikolinearitas berkurang. Meskipun telah turun, angka condition index masih relatif tinggi. Gejala multikolinearitas dalam model yang baru tetap masuk dalam kategori serius.
Dikeluarkannya variabel luas lahan juga
berakibat turunnya R2. Besaran R2 yang turun, dari 0.86 menjadi 0.77, merupakan indikasi bahwa kemampuan model untuk menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel dependen, dalam hal ini jumlah produksi kentang, menurun. Variabel luas lahan yang dikeluarkan dari variabel fungsi produksi dapat menimbulkan masalah yang lebih serius dibandingkan dengan masalah adanya gejala multikolinearitas.
Model yang terbentuk setelah salah satu variabel
dikeluarkan mengalami misspesifikasi.
5.3.
Pengaruh Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Terhadap Kualitas Sumberdaya Lahan dan Pendapatan Usahatani Sitorus (2004a) menyatakan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya lahan
secara garis besar mempunyai dua tujuan yaitu tujuan fisik dan tujuan ekonomi. Tujuan fisik diukur dalam satuan-satuan fisik seperti produksi per hektar, sedangkan tujuan ekonomi diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum.
Agar
kontinuitas
produksi,
yang
juga
secara
langsung
akan
mempengaruhi pendapatan, tercapai maka melindungi sumberdaya tanah termasuk sumber-sumber air tanah merupakan prasyarat.
Mengkonservasi tanah dalam
sistem pertanian atau pengelolaan lahan berkelanjutan tidak saja mempunyai tujuan fisik dan ekonomi tetapi sekaligus juga melindungi atau mempertahankan sumberdaya tanah dan air. Keputusan mengadopsi konservasi tanah dibuat oleh petani itu sendiri dengan tujuan menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya. Apa yang mendorong petani mengambil keputusan mengadopsi teknik konservasi tanah atau tidak, dapat
103
diketahui dari analisis biaya manfaat di tingkat usahatani. Analisis biaya manfaat usahatani kentang dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis usahatani untuk satu musim tanam dan analisis usahatani untuk masa 20 tahun. Analisis satu musim tanam dilakukan untuk melihat pendapatan atau keuntungan yang dapat diperoleh petani kentang dari sudut pandang jangka pendek. Perhitungan jangka pendek biasanya dilakukan dalam analisis usahatani tanaman semusim. Perhitungan jangka pendek ini yang juga sering menjadi patokan dalam melihat profitabilitas usahatani kentang. Perhitungan manfaat dan biaya usahatani kentang dalam satu musim ini tentunya ‘tidak dapat’ memberikan informasi yang lengkap tentang manfaat dan biaya dari usahatani yang ‘menyertakan’ sistem konservasi.
Sistem konservasi
tanah pada usahatani kentang, ataupun tanaman semusim lainnya, umumnya memberikan manfaat yang dapat dirasakan dalam perspektif jangka panjang. Oleh sebab itu, sebagai pembanding dari analisis usahatani kentang dalam satu musim tanam atau jangka pendek, maka dilakukan juga analisis usahatani dalam jangka panjang. Analisis usahatani kentang yang dilakukan pada dasarnya adalah analisis finansial, dimana manfaat dan biaya yang muncul adalah manfaat dan biaya dari sudut pandang petani (private). Manfaat dan biaya yang muncul yang tidak dapat ditangkap petani, seperti manfaat dan biaya off-site, tidak diikutkan dalam analisis finansial. Harga produk yang diterima petani maupun harga faktor produksi yang dibayarkan oleh petani yang digunakan dalam analisis finansial adalah harga-harga yang berlaku di pasar. 5.3.1. Pendapatan Usahatani Kentang dalam Satu Musim Tanam (MT) Analisis finansial sistem penanaman budidaya kentang di Pangalengan per musim tanam (MT) didasarkan pada harga dan upah tenaga kerja yang berlaku pada tahun 2004 -2005. Analisis finansial dilakukan untuk ketiga sistem penanaman kentang berdasarkan data sistem penanaman responden, tanpa memperhatikan kemiringan lereng. Hasil analisis secara ringkas disajikan pada Tabel 24. Hasil analisis finansial kentang menunjukkan bahwa ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan memberikan keuntungan. Usahatani kentang dengan sistem tanam searah lereng memberikan keuntungan sebesar Rp 13 270 920,- per ha. Hasil ini
104
tidak bebeda jauh dari analisis usahatani kentang yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung (2004), yang memberikan keuntungan Rp 12 301 333,- per hektar (tanpa memperhatikan sistem penanaman). Keuntungan yang diperoleh usahatani searah lereng ini secara nyata lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh dari usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur ataupun teras bangku, yang masing-masingnya memberikan pendapatan sebesar Rp 8 568 531,- dan Rp 5 966 276,- per hektar. Tabel 24 Perbandingan penerimaan, biaya, keuntungan dan produktivitas tanah usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan berdasarkan sistem penanaman per MT 2005 Sistem Penanaman Searah Lereng (Tanpa konservasi)
Searah Kontur (Konservasi) Teras Bangku (Konservasi)
Produktivitas (ton/ha)
Penerimaan (Rp)
Biaya (Rp)
Untung (Rp)
R/C
17.78
38 354 530
25 083 610
13 270 920
1.53
16.75
36 815 020
28 246 488(1)
8 568 532
1.30
(2)
7 318 532
1.24
(1)
5 966 276
1.22
(2)
3 297 526
1.11
29 796 489 15.10
33 079 516
27 113 240
29 781 990
Keterangan: (1) dan (2) masing-masing setelah ditambah biaya konservasi pada lereng 15% dan lereng 50%
Sistem penanaman searah lereng memberikan R/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan R/C searah kontur maupun teras bangku, artinya setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk sistem penanaman searah lereng akan memberikan penerimaan (revenue) sebanyak 1.53 kali. Dibandingkan sistem searah kontur dan teras bangku, sistem searah lereng memerlukan biaya (cost) yang lebih rendah.
Keuntungan yang didapat dari usahatani kentang yang ditanam pada
guludan searah kontur dan teras bangku yang cenderung lebih rendah dibandingkan usahatani kentang yang ditanam pada guludan searah lereng, terutama disebabkan oleh luasan efektif tanaman kentang yang turun. Satu hektar lahan setelah dibuat teras bangku maka luasan efektif yang dapat ditanami untuk kemiringan lereng 15% tinggal 80 persen (Arsyad, 2000, dan berdasarkan wawancara dengan petani dan PPL). Sedangkan untuk sisi pengeluaran petani perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat teras bangku ataupun guludan searah kontur. Itu
105
sebabnya keuntungan yang diperoleh apabila menggunakan teknik konservasi tanah menjadi lebih rendah jika hanya dilihat dari perhitungan satu musim tanam saja. Dalam penelitian ini erosi per musim tanam (MT) dari ketiga sistem penanaman kentang pada satu musim tanam tidak diukur langsung. Berbagai hasil studi erosi petak percobaan terdahulu di Pangalengan digunakan sebagai data sekunder untuk menggambarkan tingkat erosi dari sistem penanaman kentang pada guludan searah lereng maupun searah kontur. Data sekunder tersebut diasumsikan dapat mewakili gambaran erosi per musim tanam.
Walaupun tingkat erosi dari
berbagai studi tidak sama, namun hasil tetap konsisten yaitu penanaman tanaman pada guludan searah lereng bersifat lebih erosif dibandingkan dengan penanaman kentang pada guludan searah kontur. Erosi penanaman tanaman dengan teras bangku dianggap setara dengan dugaan erosi lahan kering yaitu 5.7-16.5 ton/ha/th dan bila teras berkonstruksi baik maka dapat disetarakan dengan dugaan erosi pada lahan sawah yaitu 0.3 -1.5 ton/ha/th (Sutono et al., 2003). Hasil beberapa studi erosi petak percobaan di Pangalengan tertera pada Tabel 25. Hasil studi di Pangalengan tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan Suganda et al. (1998) di tanah Andisol Pacet, Cianjur yang menunjukkan penanaman pada guludan searah kontur mampu mengurangi erosi lebih baik dibandingkan penanaman pada guludan searah lereng. Tabel 25 Studi terdahulu erosi petak percobaan pada tanaman kentang Studi terdahulu Hernawati (1992) Yuwono (1993) Banuwa (1994) Pidio (2004)
Pemberian pupuk Kandang NPK (ton/ha) (kg/ha)
Erosi (ton/ha) Searah Searah lereng kontur
Desa
Tinggi (m dpl)
Lereng
Sukamanah
1400
30
30
1020
15.7
6.6
Margamekar
1472
15
20
500
27
11
Sukamanah
1450
30
30
1600
32
6
Margamulya
1250
30
15
750
56.3
26.1
Berbagai hasil studi di atas menyarankan agar produktivitas lahan pertanian di dataran tinggi Pangalengan dapat dipertahankan, maka dalam pengelolaannya petani harus merubah dari kebiasaan olah tanah dan tanam pada guludan searah lereng menjadi searah kontur.
Yuwono (1993) membuktikan bahwa efektifitas
penanaman tanaman pada guludan searah kontur mengurangi erosi akan menurun dengan semakin meningkatnya kemiringan lereng. Pada lereng 8% penanaman
106
pada guludan searah kontur akan mengurangi erosi sebesar 20 – 82%. Senada dengan Arsyad (2000) yang menyatakan guludan searah kontur baik diterapkan untuk kemiringan lereng 6 – 12 %.
5.3.2. Erosi, Kadar Bahan Organik dan Unsur Hara Tanah serta Pendapatan Usahatani Kentang Jangka Panjang ( Proyeksi untuk 20 tahun) Manfaat konservasi tanah tidak hanya terjadi dalam satu musim tanam, melainkan akan terus muncul sepanjang masa usia investasi.
Usia investasi
konservasi tanah dalam bentuk teras bangku diperhitungkan sepanjang 20 tahun. Setelah masa ini, teras bangku yang ada memerlukan perbaikan yang cukup besar. Di samping itu, masa 20 tahun diperkirakan sudah mencukupi untuk melihat perbedaan aliran manfaat dan biaya antar sistem penanaman usahatani kentang. Perhitungan keuntungan usahatani jangka panjang, 20 tahun, dapat diketahui melalui perbedaan arus penerimaan total dengan arus biaya total selama masa itu. Namun karena uang memiliki nilai waktu (time value of money), agar arus penerimaan dan arus biaya yang muncul pada tahun-tahun yang berbeda dapat diperbandingkan, maka nilai arus penerimaan dan arus biaya tersebut dikonversi menjadi nilai kininya (present value). Dengan kata lain, perbandingan penerimaan dan biaya dilakukan setelah dilakukan proses discounting terhadap arus tunai (cash flow) penerimaan dan biaya. Arus penerimaan usahatani kentang setiap tahun merupakan perkalian antara jumlah produksi per tahun dengan harga jualnya.
Arus pengeluaran atau biaya
merupakan nilai seluruh sarana produksi yang digunakan dan nilai unsur hara yang hilang akibat erosi. Untuk menduga besaran produksi dan menduga besaran unsur hara yang hilang karena erosi dari tahun ke tahun, maka dilakukan analisis dengan menggunakan model SCUAF. SCUAF digunakan untuk memproyeksikan tiga sistem penanaman kentang yang ada di Pangalengan saat ini untuk 20 tahun ke depan. SCUAF dapat menggambarkan bagaimana pengaruh tiga sistem penanaman kentang yang ada terhadap tanah dan produksinya. Parameter-parameter atau koefisien yang dibutuhkan model SCUAF diperoleh dari berbagai penelitian bio-fisik terdahulu di Pangalengan. Lokasi desa yang dipilih untuk simulasi adalah desa Margamulya, dengan kemiringan lereng 15 %. Simulasi
107
dilakukan untuk periode 20 tahun. Tanaman yang dipakai adalah tanaman kentang. Pupuk yang ditambahkan adalah pupuk kandang
dan pupuk NPK sebesar nilai
pupuk yang digunakan petani dari hasil wawancara. Sebelum disampaikan hasil perhitungan keuntungan usahatani kentang selama 20 tahun, terlebih dahulu disajikan proyeksi dugaan erosi, hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah akibat erosi dan dugaan produktivitas usahatani kentang sebagai indikator kualitas sumberdaya lahan.
Proyeksi Erosi Tanah Erosi menyebabkan potensi dan kapasitas tanah menjadi berkurang. Turunnya kapasitas tanah dapat diamati pada produktivitasnya. Hilangnya sebagian topsoil sering dapat dikompensasi dengan penggunaan pupuk yang lebih banyak ataupun dengan berbagai upaya lainnya agar produktivitas tidak turun.
Peningkatan
penggunaan pupuk ataupun upaya lainnya akan mengakibatkan peningkatan biaya per satuan produk yang dihasilkan. Erosi tanah menyebabkan hilangnya pendapatan sekarang petani dan akan menyebabkan tingginya resiko yang akan dialami petani khususnya petani marjinal (Barbier, 1995). Pangalengan
Mengetahui berapa nilai atau biaya erosi tanah yang terjadi di
akan
memperkuat
pentingnya
mengadopsi
sistem
pertanian
konservasi. SCUAF dapat memberikan proyeksi erosi tanah yang terjadi dan proyeksi hilangnya hara tanah untuk 20 tahun ke depan. SCUAF memberikan prediksi laju erosi ketiga sistem penanaman kentang yang cenderung menurun dari tahun ke tahun (Gambar 11). Besarnya penurunan laju erosi ketiga sistem tanam kentang di Pangalengan terdapat pada Lampiran 13. Walaupun laju penurunan erosi dari ketiga sistem penanaman menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahun - erosi bertambah kecil, namun proyeksi erosi
dari sistem penanaman dengan teras bangku menunjukkan hasil
yang terkecil dibandingkan dengan dua sistem penanaman lainnya.
Hal ini
bermakna bahwa metode konservasi tanah mekanik teras bangku mampu memperkecil erosi lebih baik dibandingkan dengan metode konservasi tanah searah kontur maupun penanaman pada guludan searah lereng.
108
Erosi Tanah (ton/ha)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1
3
5
7 L15%
9
11 13 Tahun K15%
15
17
19
21
TB15%
Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku
Gambar 11 Proyeksi erosi tanah pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun Sistem penanaman dengan teras bangku mampu menekan erosi sebesar 60% terhadap sistem penanaman pada guludan searah lereng, sedangkan sistem penanaman searah kontur mampu menekan erosi sebesar 25% terhadap penanaman pada guludan searah lereng. Hasil proyeksi erosi dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan berada pada kisaran antara 4.9
ton/ha/th
sampai 16.1 ton/ha/th (Tabel 26). Hasil prediksi ini tidak jauh berbeda dengan erosi di lahan kering hasil percobaan Sutono et al. (2003) yaitu berkisar antara 5.7 ton sampai16.5 ton/ha/th. Tabel 26. Proyeksi erosi tanah ketiga sistem tanam kentang di Kecamatan Pangalengan pada tahun ke-1 (T1) dan tahun ke-20 (T20) Keterangan Erosi (ton/ha/th)
Searah lereng T1 T20 16.1 12.9
Sistem tanam Searah kontur T1 T20 12.1 9.6
Teras Bangku T1 T20 6.4 4.9
Untuk tanah-tanah yang diusahakan sebagai tanah pertanian, terutama pada tanah berlereng, tidaklah mungkin untuk menekan laju erosi sampai nol. Namun demikian, jumlah maksimum tanah yang hilang agar produktivitas lahan tetap lestari, harus lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk melalui proses pembentukan tanah. Suatu kedalaman tanah tertentu harus dipelihara agar terdapat suatu volume tanah yang cukup dan baik tempat berjangkarnya akar tanaman dan tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan untuk tanaman. Berkurangnya laju erosi dari tahun ke tahun untuk ketiga sistem tanam seperti yang
109
tertera pada Tabel 9 berhubungan dengan proses pembentukan tanah. Walaupun terjadi erosi, pada saat yang bersamaan terjadi proses pembentukan tanah. Hardjowigeno (2003) melaporkan bahwa rata-rata proses pembentukan tanah di Indonesia mencapai 1 mm/tahun. Bila 1 mm/tahun dianggap sebagai kecepatan pembentukan tanah di Pangalengan maka tanah yang terbentuk selama 20 tahun dapat mencapai sekitar 20 mm. Jika erosi atau tanah yang hilang lebih kecil atau sama dengan jumlah tanah yang terbentuk maka tanah yang hilang dari tahun ke tahun juga akan berkurang. Oleh karena itu perlu penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransi. Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah yang hilang yang diperbolehkan per tahun agar produktivitas lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Jika laju Edp dapat diperkirakan maka dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan tanah dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat dipergunakan secara produktif dan lestari. Berdasarkan perhitungan rumus Hammer (1981) dalam Arsyad (2000) maka batas tertinggi erosi yang masih dapat dibiarkan atau tolerable soil loss (TSL) di Pangalengan adalah 12.75 ton/ha/tahun (memakai waktu kelestarian 400 tahun). Hasil proyeksi pada Tabel 9 dapat dipakai untuk mengevaluasi sistem pengelolaan usahatani kentang Pangalengan dan membandingkannya, sistem pengelolaan usahatani mana yang lebih baik sehingga dapat membuat kebijakankebijakan yang berhubungan dengan pertanian berkelanjutan. Proyeksi erosi pada penanaman searah lereng menunjukkan erosi yang akan muncul selama 20 tahun berada pada kisaran 13 -16 ton/ha.
Angka ini melebihi TSL Pangalengan yaitu
12.75 ton/ha, artinya apabila mayoritas petani Pangalengan menanam pada pada guludan searah lereng maka kerusakan lahan karena erosi tidak dapat dihindari dan kerusakan lahan ini akan dipercepat oleh tingginya intensitas penanaman. Hasil studi menunjukkan intensitas penanaman sayuran lahan di Pangalengan hampir empat kali setahun dan mayoritas responden menanam tanaman pada guludan searah lereng, dan di pangalengan sendiri sudah terdapat lahan kritis.
Proyeksi hilangnya bahan organik (C), hara N, P dan besarnya pupuk pengganti Pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan tumbuhan adalah sebagai granulator (memperbaiki struktur tanah), sumber unsur hara N, P, S, dan
110
juga unsur mikro, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan kapasitas tukar kation (KTK), dan sumber energi bagi mikroorganisme tanah. Tanah yang baik adalah tanah yang mengandung bahan organik sekitar 35%.
Walau jumlahnya tidak besar tapi memegang peranan dalam menentukan
kepekaan tanah terhadap erosi. Bahan organik tanah terdiri dari humus yaitu bahan organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar melalui kegiatan organisme dalam tanah. Humus mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Tingginya daya menyimpan unsur hara tersebut adalah akibat tingginga KTK dari humus. Tanah yang banyak mengandung humus adalah tanah-tanah lapisan atas (topsoil), sebab itu lapisan tanah bagian atas perlu dipertahankan. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah bagian atas (Hardjowigeno, 2003). Walaupun tanah Andisol Pangalengan mengandung bahan organik yang cukup, pengolahan lahan secara intensif dan kurang tepat menyebabkan persediaan C dan unsur hara tanah Pangalengan dalam jangka panjang akan habis akibat ketidakseimbangan antara penyerapan yang cepat dengan pembentukan yang lambat dari unsur C dan hara. Pada pemeriksaan sifat kimia tanah Pangalengan yang dilakukan di laboratorium pada tahun 1991 dan 2003 seperti yang tertera pada Tabel 27, setelah penggunaan lahan sekitar 10 tahun terlihat adanya penurunan unsur C, hara N dan P serta kenaikan C/N ratio tanah Pangalengan. Penurunan unsur C, hara N dan P akan terus berlanjut hingga dikemudian hari lahan menjadi rusak dan tidak dapat ditanami apabila pengelolaan lahan usahatani sayuran Pangalengan yang sekarang ini
tidak atau belum sepenuhnya memperhatikan
kaidah konservasi tanah. Tabel 27. Perbandingan sifat kimia tanah Pangalengan pada tahun 1991 dan 2003. 1991 2003 Pengamatan Satuan Nilai Kriteria Nilai Kriteria pH (H2O) 6.10 agak masam 5.6 agak masam C organik % 4.10 tinggi 2.37 Sedang N % 0.71 tinggi 0.15 Rendah C/N 6.0 rendah 16 Sedang mg/100g 55 sangat tinggi 83 sangat tinggi P2O5 HCl 25% mg/100g 47 tinggi 45 Tinggi K2O HCl 25% KTK me/kg 82.4 sangat tinggi 27.59 tinggi Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1991 dan 2003).
111
Kebutuhan bahan organik untuk sistem usahatani sayuran Pangalengan dipenuhi melalui pemberian pupuk kandang. Kebutuhan C ini akan semakin tinggi apabila tanah tererosi. Pupuk kandang di Pangalengan dapat berasal dari kotoran sapi (peternak sapi perah menempati urutan kedua dari mata pencaharian penduduk Pangalengan setelah bertani), kotoran ayam, kotoran kambing, atau campurannya. Penggunaan pupuk kandang oleh petani di Pangalengan per hektar untuk usahatani kentang ± 15 ton/ha per musim tanam. Haryati dan Kurnia (2000) melaporkan kebutuhan pupuk kandang untuk tanaman kentang di lahan lama (sudah ditanam berulang-ulang) adalah 10 – 15 ton/ha sedangkan kebutuhan pupuk kandang untuk lahan baru adalah 20 – 30 ton/ha. Proyeksi hilangnya bahan organik (C) pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 12. Besarnya kehilangan unsur organik C yang terangkut bersama tanah mengikuti besaran erosi yang terjadi. Dengan semakin kecilnya laju erosi yang muncul maka hilangnya uncur C dari tahun ke tahun juga semakin berkurang. 800
Erosi Unsur C(kg/ha)
700 600 500 400 300
`
200 100 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
Tahun L15%
K 15%
TB 15%
Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku
Gambar 12 Hilangnya unsur C pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun. Akibat erosi, selain unsur C yang terangkut , unsur hara juga ikut hilang. Suatu kondisi yang sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan tanaman adalah persediaan jumlah unsur hara yang memadai dan seimbang secara tepat waktu yang dibisa diserap oleh akar tanaman.
Unsur hara tanah yang penting untuk
tanaman adalah nitrogen (N) , fosfor (P), dan kalium (K). N dalam tanah berasal dari bahan organik tanah, N udara yang diikat oleh mikrooganisme tanah (bakteri tanah
112
atau bakteri bintil akar/rhizobium, pupuk (ZA, Urea) dan air hujan. Fungsi N adalah merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (terutama batang, cabang dan daun), pembentukan hijau daun, pembentukan protein. Hilangnya N dari tanah disebabkan oleh penggunaan tanaman/mikroorganisme, N dalam bentuk NH4+ diikat mineral liat, N dalam bentuk NO3- yang mudah dicuci air hujan (leaching), N mudah hilang bila hujan tinggi. Proyeksi hilangnya hara N pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 13. Dengan semakin berkurangnya laju erosi maka hilangnya hara N dari tahun ke tahun juga semakin berkurang.
Erosi Hara N (kg/ha)
60 50 40 30 20 10 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
Tahun L 15%
K 15%
TB 15%
Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku
Gambar 13 Hilangnya hara N pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun Unsur P dalam tanah berasal dari bahan organik (pupuk kandang), pupuk buatan (TSP, SP36) dan mineral-mineral dalam tanah. Fungsi P adalah pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, perkembangan akar, tahan terhadap penyakit, memperbaiki kualitas sayur mayur. Kekurangan P dalam tanah disebabkan oleh jumlahnya di tanah yang sedikit, sebagian dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman, terjadi fiksasi oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis. Proyeksi hilangnya hara P pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan yang terbawa erosi untuk 20 tahun tertera pada Gambar 14. Dengan semakin berkurangnya laju erosi maka hilangnya hara P dari tahun ke tahun juga semakin berkurang.
113
8
Erosi HaraP(kg/ha)
7 6 5 4 3 2 1 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
Tahun L 15%
K 15%
TB 15%
Keterangan: L = lereng, K = kontur, TB = teras bangku
Gambar 14 Hilangnya hara P pada tiga sistem penanaman kentang di Kecamatan Pangalengan untuk 20 tahun SCUAF hanya dapat memberi gambaran unsur hara N dan P saja, sehingga ini menjadi keterbatasan bagi model SCUAF yang belum dapat memprediksi unsur K. Dalam studi ini perhitungan hilangnya unsur hara hanya dilakukan untuk hara N dan P. Hasil proyeksi SCUAF hilangnya unsur C, hara N dan P yang terangkut tanah akibat erosi untuk 20 tahun tertera pada Tabel 28. Tabel 28. Proyeksi hilangnya Unsur C, hara N dan P akibat erosi tanah pada ketiga sistem tanam kentang pada tahun ke-1 (T1) dan tahun ke-20 (T20) Sistem Tanam Lereng Kontur Teras Bangku
Tahun T1 T20 T1 T20 T1 T20
Erosi tanah (ton/ha/th) 16.1 12.9 12.1 9.6 6.7 4.9
C hilang (kg/ha/th) 757 385.5 568 296.2 304.2 163.2
Hara N hilang (kg/ha/th) 47.96 26.37 35.99 20.24 19.21 11.03
Hara P hilang (kg/ha/th) 7.57 3.85 5.58 2.96 3.04 1.63
Untuk mengganti kadar humus (bahan organik) yang hilang dengan pupuk kandang, kadar C tanah yang hilang perlu dikonversi terlebih dahulu ke dalam kadar C dalam humus. Kadar C rata-rata dalam humus 58%, maka kadar
humus =
(100/58 x kadar C tanah) = 1.724 x kadar C yang hilang (Soil Quality Institue, 2001 dan Hardjowigeno, 2003). Untuk mengetahui berapa pupuk kandang yang dibutuhkan untuk mengganti masing-masing unsur C humus yang hilang tersebut perlu diketahui ratio C/N dari beberapa jenis kotoran hewan dan kandungan berbagai hara dari berbagai kotoran ternak (Budianta, 2001). Persentase C dapat
114
dihitung dari mengalikan hara kotoran ternak dengan C/N dari kotoran ternak. Persentase C kemudian dikalikan dengan besarnya C humus yang tererosi. Dalam penelitian ini kotoran ternak yang dijadikan acuan adalah kotoran sapi (C/N kotoran sapi 18 dan N kotoran sapi 0.31). Kebutuhan hara N untuk sistem usahatani sayuran kentang di Pangalengan dipenuhi dengan pemberian pupuk urea. Untuk mengetahui berapa pupuk urea yang dibutuhkan untuk mengganti hara N yang hilang dari masing-masing sistem pertanaman kentang perlu diketahui komposisi kandungan hara N dari pupuk urea yang dibeli petani kentang Pangalengan, yang tertera jelas pada kemasan. Kandungan N urea yang dipakai dalam penelitian ini
46% untuk setiap 100 kg
pupuk. Sebelum dosis pupuk urea yang diperlukan dihitung perlu diketahui terlebih dahulu efisiensi pupuk. Perhitungan efisiensi pupuk dalam penelitian ini didekati melalui data unsur hara N yang diserap kentang dan penggunaan dosis pupuk urea per hektar untuk kentang yang dianjurkan Dinas Pertanian, Kabupaten Bandung 2004. Untuk menghasilkan produksi kentang sebanyak 25 ton/ha, dosis pupuk urea per hektar untuk kentang adalah 256 kg/ha dan unsur hara N yang diserap kentang = 115 kg/ha. N pupuk urea = 0.46 x 256 kg/ha = 117.76 kg/ha, sedangkan unsur hara N yang diserap kentang = 115 kg/ha maka efisiensi pupuk = 0.98%. Kebutuhan hara P untuk sistem usaha tani sayuran kentang di Pangalengan dipenuhi dengan pemberian pupuk SP36 atau TSP. Sama halnya dengan N, untuk mengetahui berapa pupuk SP36 yang dibutuhkan untuk mengganti hara P yang hilang dari masing-masing sistem pertanaman kentang juga perlu diketahui komposisi kandungan hara P dari pupuk SP36 yang dibeli petani kentang Pangalengan, yang tertera jelas pada kemasan. Kandungan P SP36 yang dipakai dalam penelitian ini 36% untuk setiap 100 kg pupuk. Perhitungan efisiensi pupuk P dalam penelitian sama dengan pendekatan perhitungan efisiensi pupuk N. Untuk menghasilkan produksi kentang sebanyak 25 ton/ha, dosis pupuk SP36 per hektar untuk kentang adalah 125 kg/ha dan unsur hara N yang diserap kentang = 45 kg/ha. Efisiensi pupuk 100%. Proyeksi pupuk kandang, urea, dan SP36 pengganti untuk hilangnya C, hara N dan P akibat erosi dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan untuk 20 tahun tertera pada Tabel 29.
115
Tabel 29. Proyeksi pupuk kandang, urea, dan SP36 pengganti untuk hilangnya C, hara N dan P ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan pada tahun ke-1 (T1) dan tahun ke-20 (T20) Sistem tanam Lereng Kontur Teras bangku
Tahun
C organik (kg/ha/th)
T1 T20 T1 T20 T1 T20
1305 664.60 979.23 510.65 524.4 281.36
Pupuk kandang pengganti (kg/ha/th) 23387.78 11909.39 17548.92 9151.43 9397.85 5042.29
hara N (kg/ha/th) 48.92 26.90 36.71 20.65 20.17 11.25
Pupuk urea pengganti (kg/ha/th) 106.35 58.48 79.80 45.89 43.85 24.46
hara P (kg/ha/th) 7.5 3.8 5.6 2.9 3 1.6
Pupuk SP3 pengganti (kg/ha/th) 21 10.7 15.7 8.2 8.4 4.5
Biaya erosi tanah Erosi tanah merupakan permasalahan yang secara nyata terkait dan dapat menjadi penghambat pembangunan ekonomi maupun dibidang sumberdaya alam. Jika tanah diidentikkan dengan barang modal lainnya, maka erosi tanah merupakan salah satu bentuk penyusutan dari barang modal tersebut. Mesin dan peralatan yang mengalami penyusutan akan ditandai dengan kapasitasnya yang berkurang. Hal yang sama terjadi pada tanah, dimana erosi tanah dapat menyebabkan kapasitas produktif tanah menjadi berkurang. Namun berbeda dengan penyusutan mesin dan peralatan, erosi tanah sering tidak dimasukkan dalam struktur biaya produksi. Biaya produksi berbentuk mesin dan peralatan akan tercermin dalam nilai produk akhir atau dengan kata lain ada nilai pasar dari penyusutan tersebut. Sebaliknya, biaya yang muncul dalam erosi tanah tidak pernah diperhitungkan dalam nilai produk.
Erosi tanah dengan demikian diperlakukan sebagai barang
publik yang tidak ada pasarnya. Padahal biaya erosi tidak hanya muncul pada tingkat usahatani, tetapi dapat juga muncul dalam bentuk biaya yang harus ditanggung pihak lainnya yang sering tidak ada kaitannya dengan tanah yang mengalami erosi. Erosi tanah dapat memperpendek usia infrastruktur irigasi, listrik, air minum, pelabuhan, maupun nilai ekologis dari danau atau situ. Investasi pembangunan dibidang infrastruktur menjadi lebih mahal dan potensi ekonominya sering tidak dapat diperoleh sepenuhnya akibat erosi tanah yang tidak terkendalikan. Sebagai hasilnya, para pembuat kebijakan sering kurang memperoleh informasi yang sering diperlukan dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut
116
bidang pertanian maupun infrastruktur secara umum, seperti misalnya nilai ekonomi erosi tanah. Untuk melihat besarnya biaya erosi tanah yang muncul, nilai kini (PV) C, N, P yang hilang dari ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan dihitung. Perhitungan dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng 15% dan 50%. Hasil perhitungan tertera pada Tabel 30. Perhitungan PV C, N dan P dapat dilihat pada Lampiran 21, 22, 23, 24, 25, dan 26. Jumlah nilai kini C, N, P yang hilang selama 20 tahun untuk usahatani kentang pada kelerengan 15 %, dengan faktor diskonto 18%, adalah sebesar Rp.25 760 548,- untuk sistem lereng, Rp. 19 453 975,- untuk sistem kontur, dan Rp 10 493,- untuk teras bangku. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil erosi yang terjadi maka semakin kecil juga biaya erosi tanah yang muncul. Arsyad (2000) menyatakan jika lereng permukaan tanah semakin curam maka erosi per satuan luas juga semakin lebih banyak. Simulasi yang dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng 50% menunjukkan biaya erosi yang muncul juga lebih besar dari biaya erosi yang muncul pada lahan dengan kemiringan lereng 15%. Tabel 30 Nilai kini (PV) unsur C, hara N dan P yang hilang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanaman Nilai kini (PV) C, N dan P hilang (Rp) Sistem Penanaman
Lereng 15 %
Lereng 50%
Searah lereng (Tanpa konservasi)
25 760 548
41 833 042
Searah kontur (Konservasi)
19 453 975
31 977 856
Teras bangku (Konservasi)
10 493 413
17 400 077
Proyeksi Produktivitas Hasil proyeksi produktivitas kentang untuk 20 tahun mendatang berturut-turut untuk penanaman searah lereng, penanaman searah kontur dan penanaman dengan teras bangku masing-masing
tertera pada Gambar 15. Hasil prediksi
menunjukkan pada awalnya (tahun ke-0, nilai produksi awal untuk simulasi) produktivitas usahatani kentang yang mengadopsi konservasi tanah (penanaman searah kontur dan penanaman dengan teras bangku) lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas
usahatani
yang
tidak
mengadopsi
konservasi
tanah
(penanaman searah lereng). Hal ini sesuai dengan dugaan fungsi produksi sebelumnya, dimana koefisien adopsi berpengaruh negatif terhadap produksi.
117
Dengan berjalannya waktu, produktivitas usahatani kentang yang mengadopsi konservasi tanah meningkat, sedangkan produktivitas usahatani kentang yang tidak mengadopsi konservasi tanah relatif stagnan dan relatif tidak turun karena dengan adanya penambahan pupuk. Pada akhirnya pengaruh adopsi konservasi tanah terhadap produktivitas usahatani ditunjukkan oleh kurva produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kurva produksi usahatani yang tidak mengadopsi konservasi.
Produksi (kg/ha)
42000 40000 38000 36000 34000 32000 30000 28000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Tahun L15%
K15%
TB15%
Keterangan: L = searah lereng, K = searah kontur, TB = teras bangku Tahun 0 = nilai produksi awal simulasi
Gambar 15 Proyeksi produksi kentang pada ketiga sistem penanaman kentang di Pangalengan untuk 20 tahun Sistem budidaya kentang Pangalengan untuk ketiga sistem penanaman sama, yang membedakan hanyalah teknik penanaman atau pengolahan tanahnya yaitu searah lereng, searah kontur atau penanaman dengan teras bangku. Hasil prediksi dari Gambar 15 juga menunjukkan bahwa kontinuitas usahatani kentang di Pangalengan saat ini terjadi karena dukungan input pupuk dalam jumlah besar yang tentunya juga berdampak pada biaya produksi yang menjadi meningkat.
Hasil
dugaan perhitungan biaya erosi sebelumnya juga menunjukkan bahwa jumlah pupuk dan biaya pupuk yang dibutuhkan untuk mengganti unsur C, hara N dan P yang hilang akibat erosi pada penanaman kentang searah lereng (tidak adopsi konservasi) lebih tinggi dibandingkan jumlah pupuk dan biaya yang dibutuhkan untuk mengganti unsur C, hara N dan P yang hilang akibat erosi pada penanaman kentang searah kontur maupun penanaman dengan teras bangku.
118
Tingginya penggunaan pupuk NPK di Pangalengan ditunjukkan oleh tingginya unsur NPK tanah beberapa lahan responden (Tabel 31). Petani Pangalengan beranggapan bahwa semakin banyak pemberian pupuk maka semakin tinggi produksinya. Pentingnya petani sekali-sekali untuk memeriksakan kandungan NPK tanahnya telah dianjurkan oleh petugas KUD Walatra namun banyak petani yang tidak tertarik. Bagi mereka pemeriksaan tanah ke laboratorium merupakan biaya tambahan. Tingginya NPK tanah di Pangalengan tersebut mungkin akibat intensifikasi lahan akibat ingin memaksimalkan penggunaan lahan usahataninya. Pemberian kelebihan pupuk selain mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan juga menyebabkan peningkatan biaya.
Tanaman hanya mengambil hara
secukupnya. Pemilihan dan dosis kebutuhan pupuk yang tepat untuk tanaman tertentu dalam sistem usahatani merupakan hal yang penting. Tabel 31 Kandungan hara N, P, K lahan responden di Kecamatan Pangalengan Desa Margamulya
N (kgha) 113.0
P(kg/ha) 108.9
K (kg/ha) 385.5
Jumlah (kg/ha) 607.4
Sukamanah
926.6
777.6
711.9
2411.1
Margamukti
140.8
93.8
36.9
271.5
Pulosari
382.9
274.2
277.6
934.7
Warnasari
556.3
1067.2
588.6
2212.1
Sumber: Laboratorium Tanah KUD Walatra, Pangalengan (2005).
Rata-rata penggunaan pupuk NPK per musim tanam (MT) di Pangalengan yang diperoleh berdasarkan wawancara terhadap 180 responden adalah 696.19 kg/ha (urea 164.40 kg/ha, SP36 =197.69 kg/ha, KCl = 334.10 kg/ha). Kebutuhan NPK yang disarankan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung 714 kg/ha yang terdiri dari urea 256 kg/ha, SP36 125 kg/ha, dan KCL 333 kg/ha. Petani Pangalengan perlu menambahkan kekurangan pupuk urea 91.6 kg/ha, sedangkan untuk kebutuhan pupuk SP36 dan KCl petani pangalengan sudah melebihi dari yang dibutuhkan. Bila diasumsikan faktor lain tetap dan semua petani menggunakan pupuk memadai, seimbang dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan tanaman kentang, SCUAF memberikan proyeksi setidaknya ketiga sistem penanaman yang ada mampu mempertahankan produksi selama 20 tahun namun dengan biaya erosi tanah yang berbeda untuk setiap sistem tanam . Di lapang yang terjadi adalah gejala adanya penurunan produksi. Laporan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung (2004)
119
menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini usahatani kentang Pangalengan mengalami penurunan produktivitas dan stagnasi pada input yang lebih tinggi. Banyak
faktor
yang
mempengaruhi
petani
mengambil
keputusan
dalam
usahataninya.
Keuntungan usahatani kentang Setelah produktivitas usahatani dan biaya unsur hara yang hilang karena erosi sepanjang 20 tahun diduga dengan model SCUAF, maka data tersebut setelah dikalikan dengan harga digunakan untuk menghitung nilai kini penerimaan dan nilai kini biaya. Selisih nilai kini total penerimaan dengan nilai kini total biaya adalah nilai kini bersih (NPV) atau keuntungan yang diperoleh usahatani kentang selama usia investasi (20 tahun).
Perbandingan NPV usahatani kentang berdasarkan sistem
penanaman selama 20 tahun tertera pada Tabel 32. Perhitungan NPV tersebut tertera pada Lampiran 15, 16, 17, 18, 19, dan 20.
Watson (1995) melaporkan
bahwa petani lahan kering Mindanau, Filipina baru dapat merasakan manfaat konservasi setelah 10 tahun mengadopsi progaram SALT (Sloping Agriculture Land Technology).
Keuntungan yang didapat setelah mengadopsi SALT adalah
pendapatan bersih petani menjadi tujuh kali lipat dari pendapatan sebelum mengadopsi SALT. Tabel 32 Perbandingan nilai kini bersih (NPV) usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan sistem penanaman (Rp) Sistem Penanaman Searah lereng (Tanpa Konservasi) Searah kontur (Konservasi) Teras bangku (Konservasi)
Kemiringan Lereng 15% 50% 246 397 440 230 324 945 245 149 155* 229 076 760* 278 664 833 266 140 952 346 723 220 339 816 556
Keterangan: * setelah biaya off-site dimasukkan
Perhitungan NPV untuk setiap sistem penanaman dilakukan pada dua kemiringan lereng yaitu 15% dan 50%. Dari ketiga sistem penanaman, NPV teras bangku tradisional menunjukkan hasil yang paling tinggi dan yang terendah NPV searah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat teknik konservasi tanah baru akan dirasakan dalam waktu jangka panjang. Tidaklah heran mengapa petani enggan mengadopsi sistem pertanian konservasi, karena yang diinginkan petani
120
adalah pengembalian yang segera dapat dirasakan yaitu keuntungan yang setinggi mungkin dalam jangka pendek. Analisis finansial, terutama untuk proyek, biasanya juga mencatumkan perhitungan indikator IRR (internal rate of return). Dalam penelitian ini nilai IRR tidak dihitung karena sejak tahun pertama, usahatani kentang memberikan pendapatan (keuntungan) yang positif. Secara matematis IRR merupakan tingkat diskonto yang dapat menyebabkan nilai NPV sama dengan nol. Tentunya nilai IRR menjadi tidak dapat dihitung jika di tahun pertama keuntungan sudah positif. Hasil perhitungan NPV untuk usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng akan semakin kecil jika dimasukkan juga berbagai biaya erosi yang muncul di luar usahatani (biaya off-site). Biaya erosi off-site usahatani kentang di Pangalengan diakibatkan adanya sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan saluran irigasi, pendangkalan sungai, waduk atau situ, serta peningkatan biaya-biaya bagi pengguna air di daerah hilir.
Berdasarkan hasil penelitian
Katharina (2001) biaya erosi off-site yang ditimbulkan usahatani kentang searah lereng adalah sebesar Rp 233 186,- per tahun per hektar. Bila biaya off-site ini dimasukkan pada perhitungan NPV usahatani kentang selama 20 tahun dengan sistem penanaman searah lereng, pada kemiringan lereng 15 persen, maka NPV yang dihasilkan berkurang menjadi Rp. 245 149 155,-. Hasil
analisis
pendapatan
dan
produksi
usahatani
sayuran
kentang
Pangalengan selama 20 tahun menunjukkan usahatani kentang dengan sistem penanaman teras bangku dan searah kontur memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usatahani dengan sistem penanaman searah lereng. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV usahatani kentang searah lereng yang lebih kecil daripada NPV usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur maupun teras bangku. Sebaliknya, berdasarkan analisis pendapatan usahatani kentang dalam satu musim tanam (MT) saja, usahatani kentang dengan sistem penanaman searah lereng memberikan tingkat keuntungan/pendapatan dan produksi yang lebih tinggi daripada usahatani kentang dengan sistem penanaman searah kontur ataupun teras bangku. Dapat dikatakan konservasi tanah yang dilakukan oleh petani kentang akan memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tidak melakukan konservasi jika ditinjau dalam perspektif jangka panjang.
121
Manfaat konservasi tidak terlihat jika perhitungan pendapatan, produksi dan erosi tanah dilakukan hanya dalam satu musim tanam atau jangka pendek. Dengan demikian perbandingan hasil analisis jangka panjang (20 tahun) dengan jangka pendek membuktikan hipotesis 3 yang menyatakan adopsi sistem pertanian konservasi di dataran tinggi berlereng dalam jangka panjang meningkatkan pendapatan usahatani lebih besar dibandingkan yang tidak mengadopsi dapat diterima.
Adopsi konservasi dalam jangka panjang tidak hanya meningkatkan
pendapatan usahatani sayuran saja, tetapi juga berdampak positif terhadap konservasi sumberdaya lahan sehingga dapat diterapkan sebagai pertanian yang berkelanjutan.
Analisis sensitivitas keuntungan usahatani Analisis sensitivitas umumnya dilakukan dengan cara: (a) menaikkan atau menurunkan harga-harga input atau biaya, (b) menaikkan atau menurunkan harga output atau penerimaan, atau (c) menaikkan atau menurunkan jumlah input yang digunakan atau jumlah output yang dihasilkan. Apabila penurunan atau kenaikan harga maupun jumlah fisik input dan output dilakukan dengan persentase yang sama, maka urutan besaran NPV, tidak mengalami perubahan. Demikian juga jika harga-harga yang digunakan adalah harga bayangan (shadow price) dan bukan harga yang berlaku di pasar, maka urutan NPV juga tidak mengalami perubahan, karena jenis komponen input dan output sama di antara teknik-teknik konservasi di usahatani kentang di Pangalengan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan memvariasikan besaran tingkat diskonto (discount rate) yang digunakan dalam perhitungan NPV. Pilihan terhadap besaran tingkat
diskonto
dapat
mencerminkan
preferensi
petani
kentang
terhadap
pendapatan kini dibandingkan dengan pendapatan masa datang. Semakin besar tingkat diskonto yang digunakan, maka dapat berarti petani kentang memberikan preferensi atau bobot yang lebih besar terhadap pendapatan kini dibandingkan dengan pendapatan masa depan (Lumley, 1997). Dengan kata lain, secara teoritis, semakin besar tingkat diskonto, maka kebersediaan petani untuk mengadopsi konservasi tanah akan semakin rendah. Berdasarkan analisis sensitivitas yang hasilnya disajikan pada Tabel 33, tampak bahwa meningkatnya tingkat diskonto menyebabkan nilai NPV yang
122
menurun.
Penurunan NPV tidak terjadi secara cepat, dimana meskipun tingkat
diskonto dinaikkan secara drastis (Gitingger, 1982) dari 18 persen ke 35 persen, NPV tetap positif. Nilai kini bersih (NPV) yang tidak sensitif terhadap perubahan tingkat diskonto disebabkan oleh keuntungan yang muncul di usahatani kentang yang relatif konstan dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai juga dengan temuan Lumley (1997) pada petani dataran tinggi Filipina. Perkiraan semula, tingkat diskonto yang semakin besar, disamping akan mengurangi besaran NPV secara drastis juga akan mengubah urutan NPV di antara ketiga teknik konservasi tanah usahatani kentang di Pangalengan. Namun dari Tabel 33 terlihat bahwa urutan besaran NPV tidak mengalami perubahan. NPV dari usahatani yang menggunakan teknik konservasi tanah teras bangku tetap yang tertinggi, yang kemudian diikuti oleh NPV teknik konservasi penanaman searah kontur. Tabel 33 Perbandingan nilai kini bersih (NPV) usahatani kentang di Kecamatan Pangalengan selama 20 tahun berdasarkan faktor diskonto 18%, 25% dan 35% (Rp). Sistem Penanaman dan Kelerengan Lereng 15 % Searah lereng
18 %
Faktor diskonto 25 %
35 %
246 397 440
180 852 752
130 163 064
Searah kontur
278 664 833
204 835 137
147 628 133
Teras bangku
346 723 220
255 251 266
184 229 151
Searah lereng
230 324 945
168 414 225
120 766 376
Searah kontur
266 140 952
195 189 243
140 375 232
Teras bangku
339 816 556
249 969 286
179 321 103
Lereng 50 %
Ada motif lain yang juga berpengaruh terhadap adopsi konservasi tanah. Menurut Lumley (1997), motif etika kemungkinan ikut berperan dalam adopsi teknik konservasi tanah. Lumley melakukan penelitiannya pada petani dataran tinggi Filipina. Penelitian yang dilakukan Lumley juga menemukan fenomena bahwa petani miskin memiliki tingkat adopsi konservasi yang relatif lebih tinggi daripada petani kaya. Hasil tersebut memperkuat argumen bahwa faktor etika memiliki pengaruh terhadap adopsi konservasi, yang secara implisit berarti juga orang miskin lebih beretika dibanding orang kaya. Petani miskin tetap mengadopsi konservasi lahan meskipun dari perhitungan finansial belum tentu menguntungkan. Jadi ada faktor
123
lain, etika, yang kemungkinan mempengaruhi keputusan melakukan adopsi konservasi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap adopsi konservasi kemungkinan adalah inequility (ketimpangan) kekayaan ataupun kekuasaan. Boyce (1994, halaman 169) menyatakan: “greater inequalities of power and wealth lead, all else equal, to more environment degradation (halaman 169)”. Di Pangalengan kepemilikan lahan cukup bervariasi dari yang terluas sebesar 200 hektar sampai yang terkecil adalah 0.1 hektar. Stocking dan Tenberg (1999) dalam survei mereka di Brasil dan Argentina, menemukan bahwa dampak erosi yang disebabkan oleh pelaksanaan konservasi yang tidak terpelihara (unmaintained) lebih buruk bila dibandingkan dengan praktek pertanian yang belum pernah melaksanakan konservasi samasekali. Dengan kata lain sebaiknya jangan memperkenalkan teknik konservasi tanah kepada petani jika teknik konservasi tersebut tidak layak secara ekonomi di masa mendatang. Kriteria teknik konservasi yang tepat, baik dan perlu terus dikembangkan, tidak hanya dilihat layak secara ekonomi saja, tetapi juga harus dilihat dari sosial dan juga kelestarian sumberdaya alamnya. Akibat dari manfaat adopsi sistem pertanian konservasi yang lebih besar baru dirasakan untuk jangka panjang maka konsekuensinya bagi pertanian Pangalengan adalah masalah status penguasaan lahan menjadi penting. Petani akan bersedia melakukan investasi membuat teras bangku di lahannya apabila manfaat jangka panjang tersebut dapat menjadi miliknya. Hal ini sesuai dengan hasil model logit dimana peluang untuk mengadopsi akan turun jika status lahan adalah bukan hak milik. Petani yang hanya menyewa dalam jangka pendek dalam satu musim atau dua musim tentunya tidak akan mampu memperolah manfaat jangka panjang dari konservasi yang dialaminya. Manfaat konservasi tanah sampai saat ini belum tampak secara nyata. Merosotnya kualitas tanah di usahatani kentang di Pangalengan masih dapat disubstitusi atau ditutupi oleh asupan pupuk yang besar, sehingga produktivitas usahatani yang tidak menerapkan konservasi tanah tidak merosot. Namun jika erosi tanah yang melebihi erosi yang diperbolehkan (Edp) terus terjadi secara nyata, akibat praktek usahatani yang tidak memperhitungkan keberlanjutannya, maka akan tiba masanya dimana degradasi lahan yang terjadi tidak dapat lagi disubstitusi
124
dengan memasukkan pupuk lebih banyak lagi. Biaya produksi semakin tinggi dan tanah menjadi tidak efisien. Hal tersebut sama seperti yang dilaporkan oleh McConnel (1983) bahwa ketidak pedulian petani terhadap erosi di lahannya karena petani merasa dapat mensubstitusi hilangnya unsur-unsur tanah akibat erosi dengan berbagai input lainnya. Menurut Wade dan Heady (1979) salah satu alasan mengapa petani tidak mengadopsi konservasi adalah petani lebih menginkan keuntungan sekarang dibandingkan dengan keuntungan jangka panjang yang lebih besar yang diberikan praktek konservasi tanah.`
5.4. Sintesis dan Implikasi Hasil Penelitian Adopsi konservasi tanah oleh petani kentang di Pangalengan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang berada pada rumahtangga tani maupun faktorfaktor yang bersifat eksternal. Dalam penelitian ini adopsi konservasi tanah oleh petani dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik tanah – kemiringan lereng, sumberdaya yang dimiliki petani – jumlah anggota kerja keluarga, faktor kelembagaan – status lahan, dan ekonomi - pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian, yaitu melalui model Logit, terbukti bahwa kemiringan lereng tanah di mana usahatani kentang dilakukan mempengaruhi peluang petani untuk menerapkan konservasi.
Semakin besar
kecuraman lereng lahan, maka peluang petani mengadopsi konservasi tanah meningkat. Sumberdaya keluarga petani, dalam bentuk jumlah anggota keluarga, secara nyata berpengaruh terhadap peluang petani untuk menerapkan konservasi tanah. Pada awalnya diperkirakan bahwa jumlah anggota keluarga yang semakin banyak akan mendorong petani untuk mengadopsi teknik konservasi tanah dalam usahatani kentangnya.
Hasil penelitian Arifin (2002) dan Sanim dan Siregar (2002)
menunjukkan bahwa semakin besar ukuran anggota rumahtangga, maka semakin tinggi peluang petani untuk melakukan konservasi.
Namun dalam penelitian ini
diperoleh hasil yang berkebalikan, yaitu semakin besar jumlah anggota rumahtangga semakin kecil peluang petani menerapkan konservasi tanah. Arifin, dan Sanim serta Siregar, meneliti perilaku petani pada usahatani padi. Petani padi yang diteliti, yaitu di Lampung Utara (Arifin, 2002), dan kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu (Sanim dan Siregar, 2002), dapat diduga
125
tidak sepenuhnya bermotifkan keuntungan dalam melaksanakan usahataninya. Petani padi tersebut terlebih dahulu mengutamakan kecukupan pangan (beras) keluarganya, dan setelah itu hasil produksi selebihnya dijual ke pasar. Petani padi tersebut dapat dikatakan masih memiliki motif subsistensi dan belum sepenuhnya motif keuntungan.
Petani yang bermotifkan subsistensi lebih mementingkan
minimum resiko dalam proses produksinya.
Petani berupaya usahatani yang
dilakukannya memberikan hasil yang pasti (Ghatak dan Ingersent,1984). Dengan demikian, ketersediaan tenaga kerja yang lebih besar pada rumahtangga petani dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan mutu atau konservasi tanah agar dapat dipastikan usahatani menghasilkan produksi yang diperlukan untuk konsumsi keluarganya. Sebaliknya, petani di Pangalengan memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari usahatani kentang yang diusahakannya. Kentang adalah tanaman komersial (cash crop) yang memerlukan biaya relatif jauh lebih besar daripada usahatani padi. Apabila berhasil, usahatani kentang mampu memberikan keuntungan finansial yang juga jauh lebih besar daripada usahatani padi. Potensi keuntungan yang besar ini mendorong petani untuk mengintensifkan pemanfaatan lahan usahatani yang digarapnya. Untuk itu semakin besar sumberdaya tenaga kerja yang dimiliki, maka semakin intensif pengusahaan usahatani kentang dilakukan, artinya semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap lahan. Hasil penelitian yang menunjukkan semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin rendah peluang petani melakukan konservasi tanah, ternyata juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan dan Syafaat (1991). Pakpahan dan Safaat meneliti petani yang mengusahakan tanaman sayuran kubis di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk dan Citanduy, Kabupaten Ciamis.
Hasil
penelitian mereka menunjukkan semakin besar jumlah anggota rumahtangga, maka semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya tanah yang ditunjukkan oleh semakin besarnya peluang terjadinya erosi (tidak mengadopsi konservasi tanah). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagi petani sayuran adopsi konservasi ditentukan oleh seberapa besar tindakan konservasi itu mampu memberikan keuntungan. Jika petani beranggapan tidak akan memperoleh keuntungan dari
126
melaksanakan konservasi tanah, maka tentunya konservasi tanah tidak akan ia lakukan. Model Adopsi menunjukkan bahwa status lahan bukan milik (sewa) berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi tanah. Lahan yang berstatus sewa tentunya tidak dapat menjamin bahwa manfaat investasi yang ditanamkan petani, dalam bentuk konservasi tanah, dapat diperoleh seluruhnya. Dalam rangka mempertinggi konservasi tanah pada pertanian dataran tinggi di Republik Dominika, Hwang et al. (1994) meneliti biaya beberapa bentuk teknik konservasi tanah yang diperkenalkan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi diperkenalkan
adopsi adalah
teknik
konservasi.
penanaman
rumput
Teknik strip
konservasi
(grass
strips),
tanah
yang
pembuatan
parit/saluran (hillside ditches), dan teras. Penelitian tersebut menunjukkan walaupun kemampuan teknik konservasi tanah penanaman rumput strip dalam menurunkan erosi tidak seefektif teknik konservasi tanah dengan teras, namun penanaman rumput strip bersifat lebih ekonomis.
Biaya untuk melakukan konservasi tanah
dalam bentuk penanaman rumput strip akan kembali dalam waktu minimal satu tahun. Sementara, faktor kelembagaan seperti status lahan berpengaruh negatif terhadap
keputusan
petani
untuk
menerapkan
konservasi
tanah.
Dengan
diketahuinya masa pengembalian penanaman rumput strip dalam waktu minimal satu tahun maka pemerintah Republik Dominika mengeluarkan keputusan masa sewa menyewa lahan minimal selama dua tahun, dengan harapan petani penyewa mampu memperoleh manfaat dari konservasi tanah dengan penanaman rumput strip.
Pengalaman di Republik Dominika menunjukkan durasi sewa yang cukup
panjang meningkatkan peluang penerapan konservasi tanah oleh petani penyewa. Model Fungsi Produksi (Cobb-Douglas) usahatani kentang mendukung temuan dari Model Adopsi (Logit), bahwa petani memperhitungkan bagaimana manfaat dari adopsi konservasi tanah.
Hasil dugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa
variabel adopsi konservasi berpengaruh negatif terhadap variabel jumlah produksi kentang yang dihasilkan. Petani menyatakan bahwa pembuatan teras bangku dan penanaman searah kontur tidak saja memerlukan biaya dan mempersempit luasan tanam kentang tetapi juga meningkatkan resiko serangan penyakit layu bakteri. Budidaya kentang pada tanah yang berlereng dan tak menerapkan konservasi tanah tentunya akan berdampak buruk bagi kesuburan tanah maupun bagi
127
lingkungan. Hasil dari aplikasi model SCUAF menunjukkan bahwa tanah mengalami erosi dan kehilangan unsur C, hara N dan P yang besar jika tak menerapkan teknik konservasi tanah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan PPL,
merosotnya mutu kesuburan tanah oleh erosi disubstitusi dengan pemakaian jumlah pupuk yang besar baik pupuk anorganik maupun pupuk kandang. Hasil dugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa unsur N pupuk masih memberikan pengaruh positif pada jumlah produksi kentang yang dihasilkan.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tingkat produktivitas kentang yang dihasilkan selama ini ditopang oleh pemberian pupuk dalam jumlah yang besar. Hasil penelitian Model Adopsi (Logit) dan Model Fungsi Produksi (CobbDouglas) diperkuat oleh hasil analisis finansial usahatani kentang dalam satu musim tanam (jangka pendek) dan analisis finansial dalam perspektif 20 tahun (jangka panjang).
Hasil analisis finansial jangka pendek menunjukkan bahwa usahatani
kentang tanpa konservasi tanah memberikan keuntungan yang lebih besar daripada usahatani kentang yang menerapkan teknik konservasi tanah.
Namun apabila
analisis dilakukan dalam perspektif jangka panjang barulah terlihat bahwa usahatani kentang yang menerapkan teknik konservasi tanah akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Hal ini tampak dari nilai kini bersih (NPV) yang lebih besar dari usahatani kentang yang menerapkan konservasi daripada yang tidak menerapkan konservasi. Penemuan ini selaras dengan hasil Model Adopsi yang menunjukkan status lahan bukan milik berpengaruh negatif terhadap peluang untuk mengadopsi konservasi tanah. Lahan yang berstatus bukan milik (sewa) akan membatasi waktu petani untuk memperoleh manfaat dari adopsi konservasi tanah, sehingga perspektifnya menjadi jangka pendek. Bagaimana implikasi hasil penelitian ini bagi upaya-upaya untuk mendorong petani agar lebih bersedia mengadopsi konservasi tanah?
Uraian yang telah
dikemukakan di atas menunjukkan: (a) petani memperhitungkan manfaat atau keuntungan yang dapat diperolehnya saat memutuskan untuk menerapkan konservasi tanah, (b) keuntungan lebih besar dari konservasi tanah, jika dibandingkan dengan tanpa konservasi, akan terlihat dalam perspektif jangka panjang, sedangkan (c) petani lebih menekankan pada keuntungan jangka pendek, terlebih pada usahatani yang diusahakan pada lahan yang berstatus sewa. Dengan demikian, untuk memperbesar peluang petani untuk mengadopsi konservasi tanah
128
akan ditentukan oleh keberhasilan untuk menggeser perspektif keuntungan jangka panjang menjadi lebih menarik daripada perspektif jangka pendek. Agar petani yang mengusahakan lahan yang berstatus bukan milik (sewa) bersedia mengadopsi konservasi tanah, maka status sewa-menyewa perlu lebih panjang jangka waktunya. Pengalaman di negara Republik Dominika (Hwang et al, 1994) dapat menjadi pelajaran bahwa masa sewa yang diwajibkan untuk jangka waktu lebih lama ternyata mampu meningkatkan praktek konservasi di lahan usahatani. Jangka waktu sewa lahan untuk usahatani kentang yang lebih lama akan memampukan petani penyewa meraih manfaat maksimum dari praktek konservasi tanah yang dilakukannya. Jika sewa-menyewa hanya dalam jangka waktu satu atau dua musim tanam seperti selama ini dipraktekkan di Pangalengan, maka tidak akan ada insentif untuk menerapkan teknik konservasi tanah di usahatani kentang. Peluang petani untuk menerapkan konservasi tanah dapat dipengaruhi melalui penciptaan insentif finansial.
Perlu ada insentif bagi petani yang
menerapkan konservasi tanah dalam bentuk teras bangku. Misalnya, insentif dapat berupa pengurangan besaran pajak tanah yang perlu dibayar oleh petani kentang yang menerapkan konservasi tanah dalam bentuk teras bangku. Dengan demikian tambahan biaya yang dikeluarkan petani kentang untuk membuat teras bangku sebagian dapat dikompensasi dari pengurangan pembayaran pajak tanah. Kebijakan pemerintah Kabupaten Bandung dalam program pembangunan pertanian adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air yang berwawasan lingkungan, penerapan teknologi tepatguna spesifik lokasi dan ramah lingkungan dan mengurangi luasan lahan kritis. Adopsi konservasi tanah tentunya akan dapat ditingkatkan jika ada peraturan yang mewajibkan petani untuk menerapkan konservasi tanah (teras bangku dan searah kontur) apabila menanam pada tanah dengan tingkat kelerengan tertentu. Peraturan ini diharapkan tidak memperoleh tantangan yang berarti dari petani, karena berdasarkan Model Adopsi (Logit) terlihat adanya pengaruh yang positif tingkat kelerengan dengan peluang adopsi konservasi tanah. Peraturan tersebut perlu disertai dengan sanksi yang jelas tentang besarnya penalti yang harus dibayar jika aturan tersebut tidak dipatuhi. Besaran penalti dapat ditentukan berdasarkan perhitungan besaran biaya eksternal (off-site cost), seperti pendangkalan sungai, waduk ataupun rusaknya infrastruktur pengairan, yang
129
ditimbulkan oleh erosi akibat tidak menerapkan teknik konservasi tanah. Penalti akan menyebabkan biaya-biaya lingkungan yang muncul akibat praktek usahatani kentang yang tidak menerapkan kaidah konservasi, yang semula ditanggung oleh masyarakat, menjadi diinternalisasikan dan ditanggung oleh petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konservasi tanah menguntungkan petani, jika perhitungan dilakukan dalam perspektif jangka panjang. Upaya-upaya konservasi biasanya memang memiliki perspektif jangka panjang, sebagaimana halnya definisi pembangunan berkelanjutan (sustainability development) oleh WECD (1987).
Oleh sebab itu, faktor edukasi atau peningkatan pengetahuan petani
diperlukan untuk mengatasi hambatan persepsi waktu ini. Petani perlu memperoleh edukasi bahwa dalam jangka panjang konservasi tanah lebih menguntungkan daripada tidak menerapkan konservasi.
Kepada petani perlu ditunjukkan bahwa
produktivitas usahatani kentang yang tidak merosot yang selama ini diperoleh adalah karena pemanfaatan jumlah pupuk yang besar sebagai pengganti hilangnya kesuburan tanah akibat erosi. Jika subsidi terhadap pupuk ditiadakan, dan harga pupuk menjadi mahal, maka akan semakin terlihat manfaat dari adopsi konservasi tanah terhadap tingkat keuntungan usahatani kentang di Pangalengan.
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dalam studi adopsi sistem pertanian konservasi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keputusan
petani
sayuran
untuk
mengadopsi sistem pertanian konservasi adalah kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota dewasa keluarga. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan semakin tinggi peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang petani untuk mengadopsi teknik konservasi
tanah.
Jumlah
anggota
kerja
keluarga
di
Pangalengan
berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga semakin rendah peluang untuk mengadopsi teknik konservasi tanah. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani sayuran adalah pupuk N, pestisida, tenaga kerja, luas lahan, dan adopsi konservasi. Pada tingkat penggunaan input saat ini, pupuk N, pestisida, tenaga kerja, dan luas lahan, merupakan faktor produksi usahatani kentang yang berpengaruh positif terhadap produksi kentang. Semakin tinggi jumlah faktor-faktor tersebut digunakan dalam usahatani kentang, maka semakin besar produksi yang dihasilkan.
Sebaliknya, dalam jangka pendek, faktor adopsi konservasi
memberikan pengaruh negatif terhadap produksi kentang yaitu menurunkan produksi dan dalam jangka panjang berpengaruh positif. 3. Analisis usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan
pendapatan yang lebih rendah
dibandingkan usahatani kentang yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah. Sebaliknya, analisis usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi untuk jangka panjang (20 tahun) memberikan keuntungan lebih tinggi daripada usahatani yang tidak mengadopsi teknik konservasi tanah.
Keuntungan (NPV) usahatani yang mengadopsi
131
konservasi tanah lebih tinggi daripada NPV usahatani yang tidak mengadopsi konservasi tanah. 4. Penerapan teknik konservasi tanah mampu menahan hilangnya unsur C dan hara N, P akibat erosi. Pengaruh buruk dari usahatani kentang yang tidak mengadopsi konservasi tanah akan tampak dalam jangka panjang yaitu jumlah pupuk yang diperlukan untuk menggantikan unsur hara yang hilang akibat erosi akan semakin besar dan keuntungan (NPV) usahatani kentang akan lebih rendah daripada usahatani kentang yang mengadopsi konservasi.
6.2. Saran untuk aplikasi Saran yang dapat disampaikan untuk meningkatkan adopsi konservasi di usahatani kentang Pangalengan adalah sebagai berikut: 1. Kepada petani yang mengadopsi teknik konservasi tanah di lahan usahataninya disarankan diberi insentif. Insentif dapat berupa pengurangan besaran pajak (PBB) yang harus dibayar. Insentif juga dapat berupa bunga kredit usahatani yang lebih rendah bagi yang menerapkan konservasi tanah. Namun demikian alternatif pemberian pengurangan besaran pajak yang harus dibayar dan pemberian bunga kredit yang lebih rendah untuk petani yang mengadopsi teknik konservasi ini perlu dikaji secara hati-hati dan mendalam – dapat menjadi studi lanjutan dari penelitian ini - agar menjadi insentif yang baik bagi petani sehingga tambahan biaya yang dikeluarkan petani untuk konservasi dapat dikompensasi dari pengurangan pembayaran pajak tanah atau bunga kredit yang lebih rendah. Kebijakan yang tepat dan baik hanya dapat dikembangkan berdasarkan informasi rinci dari setiap situasi yang spesifik. 2. Pemerintah disarankan membuat peraturan yang berisi untuk kecuraman lereng 8 -14%
petani wajib menerapkan teknik konservasi tanah penanaman pada
guludan searah kontur, sedangkan untuk kecuraman lereng >15% petani diwajibkan menerapkan teknik konservasi tanah teras bangku. Bila tidak menerapkan dapat diberi sanksi/denda berupa membayar iuran lingkungan. Besarnya iuran lingkungan disesuaikan dengan besarnya dampak off-site yang ditimbulkan akibat praktek pertanian tersebut. Sanksi atau iuran lingkungan dalam bagian ini berhubungan dengan kebijakan yang diambil dalam perumusan
132
insentif pada saran pertama. Oleh karena itu sanksi atau denda ini juga perlu dikaji secara hati-hati dan disertai landasan hukum hukum yang kuat. 3. Pemerintah disarankan membuat
peraturan yang diperlukan untuk mengatur
durasi sewa-menyewa lahan. Jika petani menyewa lahan untuk satu atau dua musim tanam saja, maka tidak ada insentif untuk melakukan konservasi tanah yang disewanya. Lahan sewa yang cukup panjang memungkinkan petani penyewa memperoleh manfaat dari konservasi tanah yang dilakukannya. Pengaturan durasi sewa lahan juga perlu dikaji secara hati-hati dan mendalam. 4. Kepada petani sayuran di Pangalengan disarankan untuk diberi penyuluhan menginformasikan bahwa keberlanjutan produksi kentang di lahannya saat ini karena ditopang pupuk yang disubsidi pemerintah. Jika subsidi dicabut dan harga pupuk menjadi mahal maka akan terlihat keunggulan dari adopsi pertanian konservasi. Usahatani yang tidak mengadopsi konservasi menjadi boros dalam menggunakan pupuk, sehingga menyebabkan biaya meningkat dan keuntungan usahatani mengecil. 5. Perlu peningkatan pengetahuan bagi petani maupun PPL, serta pihak terkait lainnya (aparat desa, dinas-dinas: pertanian, kehutanan, perkebunan, dan lainnya) tentang manfaat atau keuntungan jangka panjang yang diperoleh dari menerapkan
pertanian
konservasi.
Pengetahuan
tentang
manfaat
dan
keuntungan jangka dari pertanian konservasi dapat ditingkatkan melalui kursus atau pelatihan secara bersama-sama antar petani, PPL, aparat desa dan dinas.
6.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian yang dimaksud dengan konservasi hanyalah sebatas konservasi mekanik dalam bentuk penanaman pada guludan searah kontur dan penanaman dengan teras. Konservasi tanah tidak saja secara mekanik tetapi juga secara vegetatif dan kimia.
Oleh sebab itu disarankan agar dikaji kombinasi teknik
konservasi yang paling menguntungkan dan mudah diaplikasikan daripada membuat teras bangku yang dianggap mengurangi luas lahan. 2. Dalam penelitian ini aspek finansial lebih ditekankan pada manfaat dan biaya yang dipandang dari sudut petani saja. Untuk masa yang akan datang disarankan agar dilakukan kajian yang lebih rinci terkait dengan aspek biaya offsite. Biaya off-site juga perlu dihitung dalam perspektif jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A. 2001. Prospek pengembangan pertanian lahan darat dan keperluan penelitiannya di Indonesia. Prosiding seminar pengelolaan lahan kering berlereng dan terdegradasi. Bogor, 9-11 Agustus 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Hlm.1-11. Abdurahman, A dan S. Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. teknologi pengelolaan lahan kering. Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Hlm. 103-146. Abujamin, S., A. Abdurachman, and Sudjarwo. 1985. Countour grass strip as a low cost conservation practice. SAPAC Food and Fertilizer Technology Center. Ext. Bull. Nr.221. Alimaras, R.R., G.W. Langdale, P.W. Unger, R.H. Downey, and D.M. Van Doren. 1991. Adoption of conservation tillage and associated planting systems. In R. Lal and F. J. Pierce (ed). Soil management for sustainability. Published by Soil and Water Conservation Society. Iowa. Antle, J.M., R.O.Valdivia, C.C.Crissman, J.J.Stoorvogel, and D.Yanggen. 2004. Spatial heterogeneity and adoption of soil conservation investments: integrated assessment of slow formation terraces in Andes. Working paper, Department of Agricultural Economics, Montana State University, Bozeman. Aomine, S. and M.L. Jackson. 1959. Allophane determination in Andisol. Soil.Sci. Soc. Amer.Proc. 23: 210-220. Arifin, B. 2002. Tekanan penduduk dan degradasi sumberdaya alam di tengah upaya pemulihan ekonomi. Di dalam Prosiding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan, Hlm.23 – 51. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cet. 3. IPB Press. Banuwa, S.I. 1994. Dinamika Aliran Permukaan dan Erosi Akibat Tindakan Konservasi Tanah Pada Andosol, Pangalengan, Jawa Barat [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Barbier, E.B. 1990. The farm level economics of soil conservation: the uplands of Java. Land Econ. 66 (2) :199-211. Barbier E.B. 1995. The Economic of soil erosion: theory, methodology and examples. Spesial paper. Paper based on a presentation to the fifth biannual workshop on economy and environment in Southeast Asia. Singapore, November 2830, 1995.
134
Barbier, E.B. and J.T. Bishop. 1995. Economics values and incentives affecting soil and water conservation in developing countries. J. Soil Water Conserv. 8: 133-137. Boyce, J.K. 1994. Inequality as a cause of environmental degradation. Ecol.Econ. 11 :169 – 179 Budianta, D. 2001. Pengelolaan hara terpadu untuk mempertahankan kualitas sumberdaya dan air. VISI. 20: 49-67. PSI-SDALP UNAND. Brata, K. R. 2004. Pengembangan teknologi konservasi tanah dan air tepat guna untuk menunjang sistem pertanian konservasi pada lahan kering berlereng di lokasi pemukiman transmigrasi. Makalah pelatihan fasilitator pengelolaan lahan kering berlereng dan lahan gambut untuk tanaman pangan dan atau perkebunan di lokasi pemukiman transmigrasi Jakarta, 7 Desember 2004. Carson, B. 1989. Soil conservation strategies for upland areas of Indonesia. Occasional Papers of the East-West Environment and Policy Institute, No.9. Current, D. and S.J. Scherr. 1995. Farmer costs and benefits from agroforestry and farm forestry project in Central America and the Caribbean: Implication for Policy. Agroforestry System. 30:87-103. Darmawijaya, M.I. 1990. Yogyakarta.
Klasifikasi Tanah.
Gadjah Mada University Press.
de Zeeuw, F. 1997. Borrowing of land, security of tenure and sustainable land use in Burkina Faso. Development and Change. 28 (3): 583 – 595. Blackwell Publishers. USA. Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2004. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. Dixon, J.A. dan M.M. Hufschmidt. 1993. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan. Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Terjemahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 225 hal. Dixon, R.K. 1995. Agroforestry systems: Source or sinks of green house gases? Agroforestry Systems 31:9-116. Kluwer Academic Publishers, Nederlands. Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production economics. Theory with applications. 2nd Ed. John Wiley & Sons. USA. Dudal, R dan R. Soepraptohardjo. 1961. Some consideration on the genetic relationship between Latosols and Andosols in Java (Indonesia). Trans of 7th Int. Cong. of Soil Sci. IV, Madison, Wisconsin, USA.
135
Elliot, W.J., G.R. Foster, and A.V. Elliot. 1991. Soil erosion: processes, impacts, and prediction. In R. Lal and F. J. Pierce (ed). Soil management for sustainability. Published by Soil and Water Conservation Society. Iowa. Enters, T. 1996. The token line: adoption and non-adoption of soil conservation practices in the highlands of Northern Thailand. In S. Sombatpanit, M.A. Zobisch, D.W.Sanders and M.G.Cook. (Eds.). Soil Conservation Extension: From Concepts to Adoption. Bangkok: Soil and Water Conservation Society of Thailand. Erfandi, D., U.Kurnia, dan O.Sopandi. 2001. Pengendalian erosi dan perubahan sifat fisik tanah pada lahan sayuran berlereng. Di dalam Prosiding seminar nasional pengelolaan sumberdaya dan pupuk. Cisarua, Bogor 30-31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Hal.277 – 286. Eswaran, H., P.F. Reich., F.H. Beinroth, and E. Padmanabhan. 1999. Major land resource stresses in relation to sustainable agriculture in Asia. Extension Bulletin. August, 1999, p 1-11. Food and Fertilizer Technology Center. Feder, G. and T. Onchan. 1987. Land ownership security and farm investment in Thailand. American J. of Agric.Econ. 69:311-320. Fransisco, H. A. 1998. The Economics of soil conservations in selected Asia land management of sloping lands network sites. International Board for Soil Conservation Research and Management (IBSRAM). Issues in Sustainable Land Management No.5. Bangkok, Thailand. Fujisaka, S. 1994. Learning from six reasons why farmers do not adopt innovations intended to improved sustainability of upland agriculture. Agricultural System 46: 409 – 425. Elsevier Scienced Limited. Ghatak, Subrata dan Ken Ingersent, 1984. Agriculture and Economic Development. Wheatsheaf Books Ltd. Great Britain. Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Project. 2nd Ed. Completely Revised and Expanded. The Johns Hopkins Universitu Press. USA. Gunawan, M., S.R. Susilawati, G.S.Budhi, and I.W. Rusastra. 1995. Paraserianthes falcataria - growing in Sumedang, West Jawa. In improving smallholder farming systems in imperata areas of Southeast Asia: Alternative to shifting cultivation. Editors: K. Menz, D. Magcale-Macandog and I.W.Rusastra. p 4554. Australian Centre for International Agriculture Research. Gujarati, D.N. 1988. Basic Econometric. 2nd Ed. McGraw-Hill Book Co. Singapore. Grist, P and K. Menz. 1996. Burning in an Imperata fallow/upland rice farming system. Imperta Project Papare 1996/7. Canberra, Australian National University.
136
Grist, P., K. Menz and R. Nelson. 1997. Multipurpose trees as improved fallow: an economic assessment. Imperata Project Paper 1996/97. Canberra, Australian Naytional University. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Haryati. U dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh teknik konservasi terhadap erosi dan hasil kentang (Solanum tuberosum) pada lahan budidaya sayuran di dataran tinggi Dieng. Di dalam Reorientasi pendayagunaan sumber tanah, iklim, dan pupuk. I. Prosiding seminar nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Hediger, W. 2003. Sustainable farm income in the presence of soil erosion: an agricultural Hartwick rule. Ecological Economics 45 : 211-236. Elsevier Science Limited. Hernawati, 1992. Pengaruh Beberapa Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Budidaya Kentang dan Kubis Terhadap Aliran Permukaan, Erosi, dan Produksi Tanaman [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Hidayat, M. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. Teknologi pengelolaan lahan kering. Menunju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan agroklimat Bogor. Hlm 1 –34. Hoesle, U. 1997. Site-appropriate and organic farming: similarities and differences. Agriculture Rural dan Development 4 (1):45-47. CTA Publishers. German. Hufschimdt, M.M., D.E. James, A.D.Meister, B.T.Bowner and J.A.Dixon. 1983. Environment, natural systems, and development – an economic valuation guide. The John Hopkins University Press, Baltimore and London. 338 p. Huzar, P.C., H.S. Pasaribu, and S.P. Ginting. 1994. The Sustainability of Indonesia’s upland conservations project. Bulletin of Indonesia Economic Studies 30 (1): 105 – 122. Hwang, S.W., J. Alwang, and G.W. Norton. 1994. Soil conservation practices and farm income in the Dominican Republic. Agricultural System 46: 59 – 77. Elsevier Science Limited. Irawan. 2001. Analisis kelayakan investasi sistem pertanaman lorong: studi kasus pada penelitian lahan kering berlereng di Kubang Ijo, Jambi. Di dalam Prosiding seminar pengelolaan lahan kering berlereng dan terdegradasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, 8-10 Agustus 2001. Hlm. 187-195. Jaya, A. 1994. Dinamika Aliran Permukaan, Erosi serta Kehilangan Hara Dalam Aliran Permukaan Pada Daerah Tangkapan Citere, Pangalengan [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
137
Judge, G.C., R.C.Hill, W.E. Griffiths, H.Lutkepohl, and T.C. Lee. 1988. Introduction to the theory and practice of econometrics. 2nd. John Wiley & Sons, Inc. United States of America. Juo, A.S.R and T.L. Thurow. 1998. Sustainable technologies for use and conservation of steeplands. Extension Bulletin. November 1998. Food and Fertilizier Technology Center. Katharina, R. 2001. Biaya Lingkungan Usahatani Lahan Kering Dataran Tinggi. Kasus Usahatani Sayur Mayur Di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah [Disertasi]. IPB Bogor. 131 Hal. Kurnia, U., N.Sinukaban, F.G.Suratmo, H.Pawitan, dan H.Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 10-18. Kurnia U., N. Sinukaban., K. Mudikdjo, dan H. Suwardjo. 1998. Penilaian ekonomi cara-cara rehabilitasi lahan typic haplohumults di Jasinga , Jawa Barat. Jurnal Tanah dan Iklim 16: 28-33. Lal, R. 1979. Soil conserving versus soil degrading crops and soil management for erosion control. In D. J. Greenland and R. Lal (Ed). Soil conservation and management in the humid tropics. John Willey & Sons. Lal, R. 1990. Soil Erosion in Tropics – Principles and Management. McGraw-Hill, New York, USA. Lumley, S. 1997. Analysis the environment and the ethics of discounting: an empirical analysis. Ecological Econ. 20: 71-82. Magcale-Macandog, D., C. Pedro., K.Menz., and A.Calub. 1997. Napier grass strip and livestock: a bioeconomic analisis. Imperata Project Paper 1997/1. Canberra, Australian National Project. Magcale-Macandog, D and Rocamora. 1997. A cost benefit analysis 0f a Gmelina hedgrow improved fallow system in Claveria, Northern Mindanao, Phillippines. Imperata Project Papaer 1997/4. Magrath, W. and Arens, P. 1989. The Cost of soil erosion on Java: A natural resource accounting approach. Environment Department Working Paper No. 18. The World Bank Policy Planning and Research. McConnell, K.E. 1983. An Economic model of soil conservation. American J. Agric. Econ. 65:1.
138
Menz, K and P. Grist. 1996. Changing fallow length in an imperata upland rice farming system. Imperata project Paper 1966/6. Canberra, Australia National University. Midmore, D.J., H.G.P. Jansen. and R.G. Dumsday. 1996. Soil erosion and environmental impact of vegetable production in the Cameron Highlands, Malaysia. Agriculture, Ecosystems and Environment 60: 29 – 46. Miranda, M.L. 1992. Land owner incorporation of on-site erosion costs: an application to the conservation reserve program. American J. Agric. Econ. 74: 434 – 443. Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya, Jakarta. Ndiaye S.M. and A.J. Sofranko. 1994. Farmer’s perception of resource problems and adoption of conservation practices in a densely populated area. Agriculture, Ecosystems and Environment 48: 35 – 47. Nelson, R., R. Cramb., K. Menz and M. Mamicpic. 1996a. Bioeconomic modelling of alternative forms of hedgrow intercropping in the Philippine uplands using SCUAF. Imperata Project Paper 1996/9. Canberra. Australia National University. Nelson, R., P. Grist., K. Menz., E. Paningbatan and M. Mamicpic. 1996b. A cost benefit analysis of hedgrow intercropping in the Philippine uplands using SCUAF. Imperata Project Paper 1996/2. Canberra. Australia National University. Nye, P.H. and D.J. Greenland. 1960. The soil under shifting cultivation. Commonwealth Agr. Bur. Tech. Commun. 51, pp.46-61. Harpenden. England. Oldeman, L.R. 1977. Climate of Indonesia. Proceeding of the sixth, Asian-Pacific Weed Science Society Conferencw. Vol.I: 23-32 Jakarta. Pagiola, S. 1999. Economic analysis of incentives for soil conservation environment. In D.W. Sanders, O.C. Huszar, S. Sombatpanit, dan T. Enters (Eds). Incentives in soil conservation: from theory to practice. Scientific Publishers, Inc., Enfield, nh, pp 41 – 56. Pakpahan, A., dan N. Syafaat. 1991. Hubungan konservasi tanah dan air dengan komoditas yang diusahakan. Struktur pendapatan serta karakteristik rumah tangga (Kasus DAS Cimanuk dan Citanduy). J. Agro Ekonomi 10(1):1-15. Pearce, D., A. Markandya, and E. Barbier. 1990. Sustainable development. Economics and the environment in the third world. Earthscan Publications, London.
139
Pedro, C., P.Grist,. K. Menz, and R. Ranola. 1997. Estimating the on-site costs of soil erosion in the Philippines: The Replacement cost approach. Imperata Project Paper. SEAMEO Regional, Phillipines. Pidio, L. 2004. Pengaruh Pemantap Tanah Lateks dan Berbagai Guludan Terhadap Beberapa Sifat Fisika Tanah, Erosi dan Hasil Tanaman Kentang (Solanum tuberosum, L.) Pada Andisols [Tesis]. Pascasarjana. Universitas Padjadjaran, Bandung. Pierce, F.J. 1991. Erosion productivity impact production. In R. Lal and F. J. Pierce (ed). Soil management for sustainability. Published by Soil and Water Conservation Society. Iowa. Pimentel, D., C. Harvey., P. Resusudarmo., K. Sinclair., D. Kurz., M. McNair, S. Christ., L. Shpritz., L. Fistin., R. Saffouri., and R. Blair. 1995. Environmental and economic cost of soil erosion and conservation benefitic. Science 267: 1117-1123. Prasetyo, B.H. 2005. Andisol: Karakteristik dan pengelolaannya untuk pertanian di Indonesia. J. Sumberdaya Lahan 1 (1) : 1 - 9 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumberdaya lahan Indonesia dan pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Rachmawati, N.E. 1995. Pengaruh Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Terhadap Aliran Permukaan, Erosi serta Produksi Tanaman Kubis Di Daerah Pangalengan. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Ranola, B and C. Pedro. 1997. Using the opportunity cost approach to estimate the on-site costs of soil erosion in the Philippine. Imperata Project Paper 1997/7. Canberra, Australia National University. Ravnborg, H.M. 2002. Insights and applications: poverty and soil management – relationships from three Honduran Watersheds. Society and Natural Resources 15: 523-539. Rerkasem, B. and K. and cultural International Land Use – Germany.
Rekarsem. 1996. Influence of demographic, socioeconomic factors on sustainable land use. 9th Conference of the Soil Conservation Organization (ISCO): Towards Sustainable Further Cooperation Between People and Institutions. Bonn,
Rogers, E.M. 1995. Diffusion of Innovations. 4th Ed. New York. The Free Press. Rompas, J.J., 1996. Penerapan Model Answers dalam Memprediksi Aliran Permukaan dan Erosi Di Daerah Tangkapan Citere Sub-DAS Citarik Pangalengan, Jawa Barat [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
140
Rozelle,S., J. Huang, and Zhang, L. 1997. Poverty, population and environmental degradation in China. Food Policy, 22 (3): 229-251. Elsevier Science Ltd. Great Britain. Rusastra I.W., S.H. Susilawati., G.S. Budhi and P. Grist. 1998. Biophysical and economic evaluation of hedgrow intercropping using SCUAF in Lampung, Indonesia. J. Agro Ekonomi 17 (1): 22-32. Samadi, B. 1997. Usahatani Kentang. Kanisius. Yogyakarta. Sanim, B. and H. Siregar. 2002. Why do not farmers conserve their land? An econometric evidence based on cross-sectional Lore Lindu data. Paper presented at the international symposium on land use, nature conservation and the stability of rain forest margin in South East, Hotel Salak, Bogor. 30 September – 3 Oktober 2002. [SBRLKT] Sub balai rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. 1987. Rencana teknik lapangan RLKT Sub-DAS Citarik Ds (1987/1988-1991/1992), Sub Balai RLKT Citarum, Bandung. Shivelly, E. 1997. Economics policies and the environment: the case of tree planting of low income farms in the Philippines. Environment and Development Economics. Sinukaban, N. 1994. Membangun pertanian menjadi industri yang lestari dengan pertanian konservasi. Orasi ilmiah gurubesar tetap ilmu konservasi dan pengelolaan tanah dan air. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3 Desember 1994. Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad, J.L. Amstrong, and M.G.Nethary. 1994. Effect of soil conservation practice and slope lenghts on run off, soil loss, and yield of vegetables in West Java. Australian J. Soil Water Conserv. 7(3): 25-29. Sitorus, S.R.P. 2004a. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi III. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Hal. 105 – 107. Sitorus, S.R.P. 2004b. Karakterisasi, potensi pemanfaatan, permasalahan dan pengelolaan lahan kering berlereng untuk kegitan pertanian di lokasi permukiman transmigrasi. Makalah pelatihan fasilitator pengelolaan lahan kering berlereng dan lahan gambut untuk tanaman pangan dan atau perkebunan di lokasi permukiman transmigrasi. Jakarta, 7 Desember 2004. 16 Hal. Smyth A, J, and J. Dumanski. 1993. FELSM: An International framework for evaluating sustainable land management. World Soil Reports 73. FAO. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Cet.3. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
141
Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. SCS, USDA, Handbook No. 436, U.S. Gout. Printing Office, Washington DC. Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Terjemahan. Edisi Kedua Bahasa Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Soil Quality Institute. 2001. Long-term agricultural management effects on soil carbon. Soil Quality – Agronomy Technical Note No.12. Natural Resources Conservation Service. United States Department of Agriculture (USDA). Stocking, M dan A. Tengberg. 1999. Soil conservation as incentive enough – experience from Southern Brazil and Argentina on identifying sustainable practice. In Incentives Soil Conservation from Theory and Practice. Edited by: D.W. Sanders, P.C. Huzar, S. Sombatpanit, and T. Enter. World Association of Soil and Conservation. Oxford & IBH Publising Co, PVT, LTD. Suganda, H, M.S. Djunaedi, D. Santoso, dan S..Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim 15: 38-50. Sutapraja.H. dan Asandhi. 1998. Pengaruh arah guludan, mulsa, dan tumpang sari terhadap pertumbuhan dan hasil kentang serta erosi di dataran tinggi, Batur. J. Hortikultura 8(1): 1006 -1013. Sutono, S, S. H. Tala’ohu, O. Supandi, dan F. Agus. 2003. Erosi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Hal 113 – 133. [TAC/CGIAR] The Technical Advisory Committee of the Consultative Group on International Agriculture Research. 1988. Sustainable agriculture production: implications for international agricultural research. Rome: FAO. Thao, T.D. 2001. On-site costs and benefits of soil conservation in the mountain regions of Northern Vietnam. Research Report EEPSEA. The, B.D. 2001. The Economic of soil erosion and the choice of land use system by upland farmers in Central Vietnam. Research Report EEPSEA. Singapore, 2001. Tim Survey Tanah IPB, 1991. Laporan hasil survey tanah Citere catchment. Tidak Dipublikasikan. Tim Survey Tanah, IPB.
142
Vermuelen. J. 1993. Use of the SCUAF Model to simulate natural Wiombo woodland and maize monoculture ecosystems in Zimbabwe. Agroforestry Systems 22: 259-271. Wade, J. C. and E. O. Heady, 1979. Measurement of sediment control impacts on agriculture. Water Resource Res. 15: 1-8. Watson, H.R. 1995. The Development of sloping agricultural land technology (salt) in the Philippines. SALT for slope land crop-based agriculture. Extension Bulletin June 1995. Food and Fertilizer Technology Centre. [WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our common future. Bruntland Commission. Oxford University Press. NY. Wischmeier, W.H. and D.D. Smith.1978. Predicting rainfall erosion losses – a guide to conservation planning. Agriculture Handbook 537, Washington D.C. U.S. Department of Agriculture. Young, A. 1987. The Potential of agroforestry for soil conservation: Part II. maintenance of fertility. ICRAF (International Council for Research in Agroforestry). Working Paper No. 43. Nairobi, Kenya. _______ 1989. The Potential of agroforestry for soil conservation and sustainable land use. ICRAF (International Council for Research in Agroforestry). Reprint Working Paper No. 39. Nairobi. Kenya. _______ 1994. Modelling changes in soil properties. In Greenland D.J. and Szabolcs (ed). Soil Resilience and Sustainable Land Use. Wallingford, U.K., CAB International, 423 – 447. _______ 1997. Comparison of four agroforestry system with crop monoculture. Agroforestry for Soil Management. Wallingford, UK., CAB International and ICRAF. Young, A. and P. Muraya. 1990. SCUAF. Soil change under agroforestry. Computer program with User’s Handbook. Version 2. Nairobi, ICRAF, 124 p. Young, A., K.Menz., P. Muraya, and C. Smith. 1998. SCUAF Version 4: A model to estimates soil change under agriculture, agroferestry, and forestry. ACIAR Technical Report Series No. 41, 49 p. Yuwono, B.S. 1993. Karakterisasi DAS dan Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Aliran Permukaan dan Erosi Di Daerah Tangkapan Citere, Sub DAS Citarik, Pangalengan, Jawa Barat [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
143
Lampiran 1 Lokasi Penelitian
Laut Jawa JAKARTA Laut Jawa
Sungai Citarum
U
BANDUNG
KARAWANG 0
20 Km
LEGENDA : Kota Waduk Jatiluhur
: Sungai PURWAKARTA
Waduk Cirata Waduk Saguling CIANJUR
Daerah Studi Kecamatan Pangalengan
BANDUNG
7o 10’ LS
107o 39’ BT
144
Lampiran 2 Lokasi desa penelitian di Kecamatan Pangalengan
KECAMATAN CIMAUNG
D. LAMA JANG
D. TRIBAKTIMULYA
KECAMATAN PASIR JAMBU D. PULOSARI
D. MARGAMULYA D. PANGALENGAN
D. WARNASARI
D. MARGAMUKTI
KECAMATAN KERTASARI D. SUKAMANAH MARGA MEKAR
D. SUKALUYU
D. BANJARSARI D. MARGALUYU
D. WANASUKA
KABUPATEN GARUT
KETERANGAN: ++++ = BATAS KECAMATAN = BATAS DESA = IBUKOTA KECAMATAN = BBI KENTANG = BBU KENTANG = SITU CILENCA
Keterangan: Gambar tidak untuk diskalakan, hanya untuk menunjukkan posisi sampel desa penelitian
145
Lampiran 3 Data curah hujan Pangalengan 1998 – 2004 dari stasiun pencatat curah hujan Plengan, Pangalengan
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah (mm)
1998
1999
2000
286 421,6 281 488,4 252 213,5 334,8 293,8 309 439,4 206,8 226,5 94.4 64 256,5 169,4 7,98 27 36 10,2 66 18,9 1,4 91 44 0,8 47 247 13,6 245 322,5 374,4 290 310.5 260 302 2791,3 1906,6 2354,5
Tahun 2001
2002
2003
301 149 372 348 124 52 42 77 69 259 534 130 2457
470 111 442 267 40 81 45,5 0 0 9 288,5 343 2097
237 322 417 153 163 11 0 99 91 230 583 515 2821
2004
Jmlh (mm) 404 2400,6 387 1922,9 237 2405,6 77 1717,7 110 851,9 21 369,4 49 248,7 0 287,3 27 278,8 32 1035,6 257 2649,4 240 2100.5 1841 16298,4
Rata2 Hari (mm) Hujan 342,9 21,5 277,7 19 343,7 20 245,4 16,2 121,7 10 52,8 5,1 35,5 3.8 41 4,5 39,8 4,4 147,9 10,8 378,5 24,4 300 18 2324
Lampiran 4 Kebutuhan tenaga kerja untuk teras bangku
Jenis Konservasi Teras bangku (50%) Teras Bangku (15%) Sumber: Diolah (2006)
Tenaga Kerja Keluarga dan Luar Keluarga (orang) 55 50
Waktu yang Dibutuhkan (hari) 10 6
Nilai (Rp) Rp 5 468 750 Rp 2 800 000
146
Lampiran 5 Topografi, sifat fisik dan kimia tanah Pangalengan Variabel Topografi -datar – berombak - berombak - berbukit -agak curam – sangat curam Ketinggian Curah hujan Kelas tanah Jenis Tanah -hydric dystrandept
Satuan
Nilai
Kriteria
% % % m (dpl) mm -
29 33 38 1050 – 1600 2324 Andisol
3 -15% 15-30% 30 - > 65% dataran tinggi tinggi subur
%
98.35
mineral liat kaolitik, drainase sedang – baik, isohipertermik, liat halus, pada lereng landai – sangat curam
%
1.65
% % % g/cc %/vol cm/jam
24 37 39 0.58 – 0.85 70.4 -78.5 90 7.48-26.62
] ] ]
%
5.1 – 6.7 2.37 – 4.10
-N-total -C/N -P2O5 HCL 25% -K2O HCl 25% -KTK
% mg/100g mg/100g me/100g
0.1-0.71 6-16 21-200 45-47 27.59 – 82.4
masam – netral sedang – tinggi (tinggi pada lapisan sampai kedalan 50 sm, rendah pada lapisan bawahnya rendah – tinggi rendah – sedang rendah-sangat tinggi tinggi tinggi
Susunan Kation -K -Na -Mg - Ca Kejenuhan basa
me/100g me/100g me/100g me/100g %
0.2 – 1.3 0.2 – 0.3 0.2 – 4.0 3.3 – 21.1 10.2 – 28.5
- Aquic Dystropept Sifat Fisik - Struktur - Tekstur : pasir debu liat -Bulk Density (BD) -Ruang pori total -Stabilitas agregat -Permeabilitas Sifat Kimia - pH (H2O) - C Organik
mineral liat haloisit, drainase sedang, isohipertermik, lereng agak landai – landai. remah lempung berliat (agak halus)
rendah tinggi, pada kedalaman 0 – 60 cm stabil agak cepat
rendah – sangat tinggi rendah rendah – tinggi rendah – sedang rendah – sangat rendah (akibat pencucian curah hujan yang relatif tinggi)
Sumber:Tim Survey Tanah IPB (1991) dan Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, Bogor (2003)
147
Lampiran 6 Parameter model SCUAF Variabel - Lokasi - Sistem Peggunaan Lahan - Komoditas pertanian - Kelas tanah - Curah hujan - Kemiringan - Drainase - Bahan induk - Teksktur - pH tanah - Status bahan organik - Faktor penutup tanaman (C) kentang - Nilai P (pencegahan erosi) * Searah lereng * Kontur pada lereng 15 % * Kontur lereng 50% * Teras bangku tradisional - Erodibilitas tanah (K) - Adjust Erosion (A)
Keterangan Pangalengan (Ds Margamulya *) Pertanian Hortikultur Kentang Andisols 2324 mm 15% dan 50% (moderate & steep) Sedang Intermediate Lempung berliat (clayey) asam sedang
Reference Data Lapang Data lapang Data lapang Penelitian terdahulu Stasiun Pencatat Plengan Data Lapang Data Lapang Data lapang Data lapang Data lapang Data lapang
0.40
Arsyad(2000)dan Hardjowigeno (2003) Idem Idem Idem Idem Rompas (1996) Penelitian terdahulu
1.0 0.75 0.90 0.04 0.29 218 ton/ha/tahun
* Sifat fisik dan kimia tanah Desa Margamulya Satuan Nilai Variabel Sifat Fisik - Struktur % 24 - Tekstur : pasir % 37 debu liat % 39 -Bulk Density (BD) g/cc 0.58 -Ruang pori total %/vol 78.1 -Stabilitas agregat 90 -Permeabilitas cm/jam 11 Sifat Kimia 5.6 - pH (H2O) 2.37 % - C Organik 0.15 % -N-total 16 -C/N 83 mg/100g -P2O5 HCL 25% 45 mg/100g -K2O HCl 25% 27.59 -KTK
Kriteria Remah Lempung berliat Rendah
Agak masam Sedang Rendah Sedang Sangat tinggi Tinggi tinggi
148
Lampiran 7 Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + Adopsi 2 Coefficientsa
Model 1 (Constant) VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR000010 R2 = 0.86 Fhit = 91.377 VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR000010
Unstandardized B 1.966 .123 .032 .010 -.081 -.028 .166 .152 .728 -.077
Coefficients Std. error .726 .070 .100 .061 .115 .041 .082 .047 .078 .041
Standardized coefficients Beta .138 .036 .012 -.089 -.037 .099 .171 .669 -.062
t 2.709 1.760 .325 .168 -.701 -.675 2.018 3.247 9.316 -1.884
= ln Ntotal (kg) = ln Ptotal (kg) = ln Ktotal (kg) = ln Stotal (kg) = ln Fkandang (ton) = ln TKtotal (HOK) = ln Pestisida (Rp) = ln luas lahan (ha) = adopsi = ln Prod (kw)
Collinearity Diagnosticsa Model Dimension 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Eigenvalue 8.107 .882 .836 .105 .037 .014 .009 .007 .003 .001
Condition Index 1.000 3.032 3.115 8.778 14.853 24.189 30.613 34.473 53.078 92.382
Sig. .008 .081 .746 .867 .485 .501 .046 .001 .000 .062
149
Lampiran 8 Korelasi antar variabel independen
Pearson Correlation VAR00010 VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009
Pearson Correlation VAR00010 VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009
VAR00010 VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009
= = = = = = = = = =
VAR00010
VAR00001
VAR00002
VAR00003
VAR00004
1.000 .737 .699 .711 .679 .895 .624 .780 .958 -.005
.737 1.000 .754 .631 .742 .671 .185 .783 .683 .084
.699 .754 1.000 .696 .973 .641 .281 .669 .674 .026
.711 .631 .696 1.000 .706 .631 .196 .812 .717 .030
.679 .742 .973 .706 1.000 .611 .242 .665 .650 .021
VAR00005
VAR00006
VAR00007
VAR00008
VAR00009
.895 .671 .641 .631 .611 1.000 .675 .650 .894 .021
.624 .185 .281 .196 .242 .675 1.000 .183 .684 -.011
.780 .783 .699 .812 .665 .650 .183 1.000 .742 .029
.958 .683 .674 .717 .650 .894 .684 .742 1.000 -.007
-.005 .084 .026 .030 .021 .021 -.011 .029 -.007 1.000
Produksi Nitrogen Phosphat Kalium Sulfur Fertilizer Kandang Tenaga Kerja Pestisida Luas lahan Adopsi
150
Lampiran 9 Respesifikasi model untuk mengurangi gejala multikolinearitas Model awal :
Qken tan g =
β5 8 β 0 N totβ 1 ⋅ Ptotβ 2 ⋅ K totβ 3 ⋅ S totβ 4 ⋅ Fkan ⋅ TK β 6 ⋅ Pestβ 7 ⋅ Lβlahan e
β 9 Dadop +ε
Kendala constant return to scale : β1 + β 2 + β 3 + β 4 + β 5 + β 6 + β 7 + β8 = 1
Kendala ini diterapkan pada model awal, sehingga menjadi :
Qken tan g =
Qken tan g =
β5 ⋅ TK β 6 ⋅ Pestβ 7 ⋅ β 0 N totβ 1 ⋅ Ptotβ 2 ⋅ K totβ 3 ⋅ S totβ 4 ⋅ Fkan − β1 − β 2 − β 3 − β 4 − β 5 − β 6 − β 7 L1lahan +e
β 9 Dadop +ε
β1 β2 β3 β4 β 5 −β 5 β 0 N totβ 1 L−lahan ⋅ Ptotβ 2 L−lahan ⋅ K totβ 3 L−lahan ⋅ S totβ 4 L−lahan ⋅ Fkan Llahan ⋅ β6 β7 TK β 6 L−lahan ⋅ Pestβ 7 L−lahan ⋅ Llahan ⋅ e
⎛ Qken tan g ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ = ⎠
⎛ Qken tan g ln ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ = ⎠
⎛ N β 0 ⎜⎜ tot ⎝ Llahan ⎛ Fkan ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ ⎠
⎞ ⎟⎟ ⎠
β5
β1
⎛ Ptot ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎛ TK ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ ⎠
⎛ N ln β 0 + β 1 ln⎜⎜ tot ⎝ Llahan ⎛ Fkan ⎝ Llahan
β 5 ln⎜⎜
⎞ ⎟⎟ ⎠
β6
β2
β 9 Dadop + ε
⎛ K tot ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎛ Pest ⎜⎜ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ ⎠
β3
⎛ S tot ⎜⎜ ⎝ Llahan
β4
β7
⎞ β 9 Dadop +ε ⎟⎟ e ⎠
⎞ ⎛ P ⎟⎟ + β 2 ln⎜⎜ tot ⎠ ⎝ Llahan
⎞ ⎛ TK ⎟⎟ + β 6 ln⎜⎜ tot ⎠ ⎝ Llahan
⎞ ⎟⎟ ⎠
⎞ ⎛ K ⎞ ⎛ S ⎟⎟ + β 3 ln⎜⎜ tot ⎟⎟ + β 4 ln⎜⎜ tot ⎠ ⎝ Llahan ⎠ ⎝ Llahan ⎛ P ⎞ ⎞ ⎟⎟ + β 7 ln⎜⎜ pest ⎟⎟ + β 9 Dadop + ε ⎠ ⎝ Llahan ⎠
⎞ ⎟⎟ + ⎠
151
Lampiran 10
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + Adopsi 2 Respesifikasi Coefficientsa
Model 1 (Constant) VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00006 VAR00007 VAR00008 R2 = 0.168 Fhit = 3.856
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR000010
Unstandardized B 2.199 .099 .056 .008 -.071 .053 .151 -.068
Coefficients Std. error .687 .068 .101 .061 .115 .053 .046 .040
Standardized coefficients Beta .181 .097 .015 -.130 .080 .278 -.133
t 3.201 1.444 .559 .127 -.615 .999 3.287 -1.672
= ln N /ha = ln P/ha = ln K /ha = ln S /ha = ln Fkandang /ha = ln TK /ha = ln Pestisida /ha = adopsi = ln Prod /ha
Collinearity Diagnosticsa Model Dimension 1 2 3 4 5 6 7 8
Eigenvalue 7.059 .877 .033 .013 .010 .005 .002 .001
Condition Index 1.000 2.838 14.636 23.166 27.015 36.203 58.878 85.399
Sig. .002 .151 .577 .899 .539 .320 .001 .097
152
Lampiran 11
Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas + Adopsi 2 (Luas lahan dikeluarkan atau tanpa ln luas lahan) Coefficientsa
Model 1 (Constant) VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00009 R2 = 0.77 Fhit = 55.396
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR000010
Unstandardized B -2.322 .217 .161 .133 -.230 .092 .482 .272 -.036
Coefficients Std.error .723 .089 .128 .077 .147 .051 .096 .058 .052
Standardized Coefficients Beta .244 .176 .157 -.253 .124 .287 .306 -.029
= ln Ntotal (kg) = ln Ptotal (kg) = ln Ktotal (kg) = ln Stotal (kg) = ln Fkandang (ton) = ln TKtotal (HOK) = ln Pestisida (Rp) = ln Luas lahan (ha) = adopsi = ln Prod (kw)
Collinearity Diagnosticsa Model Dimension 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Eigenvalue 7.751 .881 .274 .055 .014 .014 .007 .003 .001
Condition Index 1.000 2.965 5.318 11.897 23.417 23.711 33.123 51.157 79.441
t -3.212 2.447 1.261 1.719 -1.565 1.830 5.000 4.708 -.686
Sig .002 .016 .209 .088 .120 .070 .000 .000 .494
153
Lampiran 12 : Kondisi Hubungan Masing-masing Input dengan Output Usahatani Kentang Di Pangalengan
Output (Y)
β>1
I
1>β>0
β<0
II
III Input (X)
Sumber: Doll dan Orazem (1984) Input (X) N P K S Pupuk kandang Tenaga kerja Luas lahan Total
β (Elastisitas Produksi) 0.123 0.032 0.010 -0.081 -0.028 0.152 0.728 1.102
Catatan: Tahap Produksi I Tahap Produksi II Tahap Produksi III
- increasing return to a factor - decreasing return to a factor - negative return to a factor
Tahap Produksi II II II III III II II Increasing return to scale
154
Lampiran 13. Prediksi Erosi Tanah, Unsur C, dan Hara N, P Lereng 15% Tahun 1 5 10 15 20
Erosi tanah (tanpa pupuk) (ton/ha) 18.7 58.3 82.9 126.9 239.7
Erosi tanah (pupuk) (ton/ha) 16.107 15.151 14.245 13.553 12.999
Erois tanah (tanpa [pupuk) (ton/ha) 14.9 44.5 58.2 77.6 107.4
Erosi tanah (pupuk) (ton/ha) 12.078 11.318 10.592 10.031 9.581
Erois tanah (tanpa [pupuk) (ton/ha) 8.7 23.8 28.1 32.8 37.8
Erosi tanah (pupuk) (ton/ha) 12.078 6.003 5.57 5.241 4.983
Unsur C hilang (kg/ha/th) 757 626.77 515.45 439.52 385.5
Hara N hilang (kg/ha/th) 47.96 40.38 33.91 29.5 26.37
Hara P hilang kg/ha/th 7.569 6.268 5.155 4.395 3.855
Hara N hilang (kg/ha/th) 35.99 30.51 25.83 22.57 20.24
Erosi P kg/ha/th 5.58 4.741 3.927 3.367 2.963
Hara N hilang (kg/ha/th) 35.99 16.48 14.06 12.37 11.03
Erosi P (kg/ha/th) 3.032 2.559 2.141 1.847 1.632
Kontur 15% Tahun 1 5 10 15 20
Unsur C hilang (kg/ha/th) 568.06 474.07 392.75 335.61 296.23
Teras Bangku 15% Tahun 1 5 10 15 20
Unsur C hilang (kg/ha/th) 568.06 255.83 214.07 184.7 163.21
Lampiran 14 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 15% Lereng, 15% REV 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000
Rp BIBIT 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000
Rp Urea 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040
Rp SP36 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250
Rp KCl 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250
Rp Ppk Kandang 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000
TK 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000
Pestisida 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910
RpC konversi 5665290.322 5387863.225 5134534.193 4977821.935 4690665.806 4498105.807 4316472.258 4076464.516 3998632.258 3857561.29 3726743.226 3605354.839 3492498.065 3387424.516 3289310.967 3197708.387 3111868.388 3031566.452 2956054.193 2885032.258 79286972.9
Rp NeqPupuk 127615.3044 121867.8261 116625.913 111836.3479 107445.913 103401.3913 99702.78261 96296.86956 93130.43479 90230.08696 87516 85014.78261 82673.21739 80517.91304 78495.65217 76606.43479 74823.65217 73227.13044 71630.6087 70167.13044 1848825.391
Rp PeqPupuk 26281.25 24996.52778 23822.91667 22750 21763.88889 20857.63889 20027.77778 19260.41667 18552.08333 17899.30556 17291.66667 16725.69444 16204.86111 15715.27778 15260.41667 14836.80556 14437.5 14062.5 13715.27778 13385.41667
PROFIT 45025363.32 45309822.62 45569567.18 45732141.92 46024674.59 46222185.36 46408347.38 46652528.4 46734235.42 46878859.52 47012999.31 47137454.88 47253174.06 47360892.49 47461483.16 47555398.57 47643420.66 47725694.12 47803150.12 47875965.4 90335185.94
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563 Total
155
NPV 38157087.56 32540809.12 27735045.44 23588130.04 20117809.44 17122155.27 14568741.99 12411352.99 10536517.1 8956884.303 7612299.704 6468179.179 5494964.499 4667365.112 3963795.097 3365795.373 2857648.518 2425918.028 2059199.28 1747742.303 246397440.3
Lampiran 15 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 15% Kontur, 15% REV 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000
Rp BIBIT 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000
Rp Urea 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040
Rp SP36 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250
Rp KCl 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250
Rp Ppk Kandang 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000
TK 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000
Pestisida 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910
Rp Ckonversi 4251287.742 4051842.58 3869310.967 3701821.936 3547878.71 3406209.033 3275465.807 3154750.968 3042941.935 2939290.323 2842972.903 2753390.967 2669945.807 2592038.709 2511661.936 2450967.743 2386980.645 2326810.323 2270307.098 2216947.097 60262823.23
Rp NeqPupuk 95764.69565 91666.95652 87888.52174 84429.3913 81262.95652 78336 75648.52174 73147.30435 70858.95652 68730.26087 66734.6087 64898.6087 63169.04348 61572.52174 60055.82609 58672.17391 57368.34783 56117.73913 54946.95652 53856 1405125.391
Rp PeqPupuk 19722.22222 18798.61111 17951.38889 17173.61111 16461.80556 15802.08333 15194.44444 14635.41667 14118.05556 13635.41667 13190.97222 12774.30556 12385.41667 12024.30556 11690.97222 11371.52778 11072.91667 10795.13889 10534.72222 10288.19444
PROFIT 51327775.54 51532242.05 51719399.32 51891125.26 52048946.73 52194203.08 52328241.43 52452016.51 52566631.25 52672894.2 52771651.72 52863486.32 52949049.93 53028914.66 53111141.47 53173538.76 53239128.29 53300827 53358761.42 53413458.91 1051943434
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563 Total
156
NPV 43498114.86 37009653.87 31478023.14 26764865.13 22751074.31 19334378.98 16427144.93 13954238.16 11851466.15 10063918.45 8544735.172 7253902.494 6157324.994 5225942.612 4435632.182 3763426.574 3193278.609 2709304.485 2298516.371 1949891.996 278664833.5
Lampiran 16 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 15% Teras Bangku, 15% REV 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000
Rp BIBIT 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000
Rp Urea 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347623.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2
Rp SP36 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434941.3
Rp KCl 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140
Rp Ppk Kandang 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000
TK 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600
Pestisida 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481
Rp Ckonversi 2276593.548 2169274.839 2077447.742 1992805.161 1914598.71 1842379.355 1775548.387 1713432.258 1655731.613 1602072.258 1552005.161 1505230.968 1461525.161 1420588.387 1382270.968 1346123.871 1312221.935 1280190.968 1249956.129 1221442.581
Rp NeqPupuk 51115.30435 49066.43478 47177.21739 45447.65217 43851.13043 42361.04348 40977.3913 39726.78261 38529.3913 37411.82609 36400.69565 35442.78261 34538.08696 33606.78261 32914.95652 32169.91304 31478.08696 30812.86957 30200.86957 29349.3913
Rp PeqPupuk 10527.77778 10062.5 9638.888889 9246.527778 8885.416667 8548.611111 8236.111111 7951.388889 7680.555556 7434.027778 7201.388889 7329.861111 6781.25 6593.75 6413.194444 6246.527778 6086.805556 5937.5 5798.611111 5666.666667
PROFIT 64396967.55 64506800.4 64600940.33 64687704.83 64767868.92 64841915.17 64910442.29 64974105.75 65033262.62 65088286.06 65139596.93 65187200.56 65232359.68 65274415.26 65313605.06 65350663.86 65385417.35 65418262.84 65449248.57 65478744.29 1301037808
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563 NPV Total
157
NPV 54573701.31 46327779.66 39318126.69 33365198.51 28310632.42 24019490.44 20377012.75 17285591.78 14662143.87 12436058.68 10547340.99 8944956.712 7585723.241 6432723.55 5454733.612 4625278.489 3921812.044 3325239.08 2819333.981 2390342.846 346723220.7
Lampiran 17 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 50% Lereng , 50% REV 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000 89100000
Rp BIBIT 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000
Rp Urea 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040
Rp SP36 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250
Rp KCl 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250
RpPpk Kandang 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000
TK 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000
Pestisida 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910
Rp Ckonversi 9425187.097 8900792.258 8426015.484 7995393.548 7603837.419 7247081.29 6921233.548 6623150.968 6349690.323 6098606.452 5867429.677 5654214.194 5457238.71 5274931.613 5105870.968 4948859.355 4802774.194 4666567.742 4539416.774 4420423.226
Rp Neqpupuk 212310.7826 201321.3913 191422.9565 182402.6087 174233.7391 166783.3043 159998.087 153745.0435 148077.3913 142808.8696 138019.3043 133575.6522 129451.3043 125699.4783 122187.1304 118914.2609 115880.8696 113060.3478 110426.087 107978.087
Rp PeqPupuk 43729.16667 41295.13889 39093.75 37093.75 35281.25 33625 32111.11111 30729.16667 29461.80556 28295.13889 27222.22222 26232.63889 25319.44444 24472.22222 23687.5 22961.80556 22281.25 21746.52778 21059.02778 20510.41667
PROFIT 41163323.15 41701141.41 42188018.01 42629660.29 43031197.79 43397060.61 43731207.45 44036925.02 44317320.68 44574839.74 44811879 45030527.72 45232540.74 45419446.89 45592804.6 45753814.78 45903613.89 46043175.58 46173648.31 46295638.47 887027784.1
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563 NPV Total
158
NPV 34884172.16 29949110.47 25676930.22 21987904.53 18809333.14 16075639.96 13728320.75 11715502.67 9991608.996 8516667.993 7255896.417 6179067.633 5259989.631 4476037.732 3807730.465 3238285.93 2753295.048 2340394.871 1989005.811 1690051.473 230324945.9
Lampiran 18 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 50% Kontur, 50% REV 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000 93950000
Rp BIBIT 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000 15000000
Rp Urea 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040 395040
Rp SP36 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250 494250
Rp KCl 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250 334250
RpPpk Kandang 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000 7200000
TK 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000 4070000
Pestisida 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910 10761910
Rp Ckonversi 7076074.839 6708691.613 6374761.29 6070392.258 5792441.29 5538139.355 5305016.774 5090828.387 4893553.548 4711770.323 4543757.419 4388242.581 4244103.226 4110141.935 3985535.484 3869385.806 3760944.516 3659463.226 3564492.903 3475285.161
Rp NeqPupuk 159412.6957 193902 185136.8 176970 169592 162826 156604 150960 145690 140896 136442 132294 128486 124950 121652 118592 81736 113050 110534 108154
Rp PeqPupuk 32822.91667 31128.47222 29576.38889 28163.19444 26875 25694.44444 24614.58333 21118.05556 22704.86111 21861.11111 21083.33333 20361.11111 20038.19444 19069.44444 18493.05556 17951.38889 17447.91667 16909.72222 16538.19444 16121.52778
PROFIT 48426239.75 48760828.11 49105075.72 49419024.75 49705641.91 49967890.4 50208314.84 50431643.76 50632601.79 50820022.77 50993267.45 51153652.51 51301922.78 51440388.82 51568869.66 51688621 51834421.77 51905127.25 52002985.1 52094989.51
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563
Total
159
NPV 41039186.23 35019267.53 29886865.09 25489783.19 21726794.18 18509682.55 15761646.9 13416741.9 11415427.46 9709900.558 8256780.899 7019279.91 5965784.311 5069395.095 4306827.749 3658329.583 3109024.425 2638360.453 2240114.077 1901760.439 266140952.5
Lampiran 19 Nilai kini bersih (NPV) analisis usahatani kentang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 50% Teras Bangku, 50% REV 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000 100400000
Rp BIBIT 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000 13200000
Rp Urea 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347623.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2 347635.2
Rp SP36 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434940 434941.3
Rp KCl 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140 294140
RpPpk Kandang 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000 6336000
TK 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600 3581600
Pestisida 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481 9470481
Rp Ckonversi 3780776.774 3610219.355 3453731.613 3309891.613 3177501.935 3055365.161 2942433.548 2837883.871 2740967.742 2650936.774 2567267.097 2489210.323 2416467.097 2348289.032 2284676.129 2224880 2168825.806 1816709.677 2066296.774 2019447.742
Rp NeqPupuk 85174.43478 81662.08696 78469.04348 75488.86957 72774.78261 70273.56522 67932 65803.30435 63807.65217 61971.65217 60242.08696 58645.56522 57155.47826 55745.21739 54441.3913 53244 52073.21739 50982.26087 49997.73913 49039.82609
Rp PeqPupuk 17541.66667 16750 16024.30556 15354.16667 14743.05556 14177.08333 13652.77778 13166.66667 12718.75 12302.08333 11913.19444 11548.61111 11211.80556 10895.83333 10600.69444 10322.91667 10062.5 9815.972222 9586.805556 9371.527778
PROFIT 62851711.3 63026572.73 63186979.21 63334469.53 63470184.4 63595388.37 63711185.85 63818362.33 63917710.03 64009993.67 64095781.8 64175799.68 64250369.8 64320274.09 64385485.96 64446757.26 64504242.65 64857696.27 64609322.86 64657343.83
Disc.Factor 0.84745763 0.71818443 0.60863087 0.51578888 0.43710922 0.37043154 0.31392503 0.26603816 0.22545607 0.19106447 0.16191904 0.13721953 0.11628773 0.09854893 0.08351604 0.0707763 0.05997992 0.05083044 0.04307664 0.03650563 Total
160
NPV Total 53264162.12 45264703.2 38457546.3 32667214.8 27743402.56 23557737.6 20000536.13 16978119.93 14410635.77 12230035.32 10378327.44 8806172.762 7471529.863 6338693.962 5377220.781 4561303.32 3868959.257 3296745.234 2783152.8 2360357.104 339816556.2
Lampiran 20 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 15% Lereng, 15%
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Erosi C kg/ha/th 757 719.93 686.08 665.14 626.77 601.04 576.77 544.7 534.3 515.45 497.97 481.75 466.67 452.63 439.52 427.28 415.81 405.08 394.99 385.5 10594.38
Erosi N kg/ha/th 47.96 45.8 43.83 42.03 40.38 38.86 37.47 36.19 35 33.91 32.89 31.95 31.07 30.26 29.5 28.79 28.12 27.52 26.92 26.37 694.82
Erosi P kg/ha/th 7.569 7.199 6.861 6.552 6.268 6.007 5.768 5.547 5.343 5.155 4.98 4.817 4.667 4.526 4.395 4.273 4.158 4.05 3.95 3.855 105.94
CeqPupuk kg/ha/th 13566.31 12901.97 12295.34 11920.07 11232.44 10771.33 10336.38 9761.649 9575.269 9237.455 8924.194 8633.513 8363.262 8111.649 7876.703 7657.348 7451.792 7259.498 7078.674 6908.602 189863.4
NeqPupuk kg/ha/th 104.2609 99.56522 95.28261 91.36957 87.78261 84.47826 81.45652 78.67391 76.08696 73.71739 71.5 69.45652 67.54348 65.78261 64.13043 62.58696 61.13043 59.82609 58.52174 57.32609 1510.478
PeqPupuk kg/ha/th 21.025 19.99722 19.05833 18.2 17.41111 16.68611 16.02222 15.40833 14.84167 14.31944 13.83333 13.38056 12.96389 12.57222 12.20833 11.86944 11.55 11.25 10.97222 10.70833 294.2778
Rp Ckonversi 5665290 5387863 5134534 4977822 4690666 4498106 4316472 4076465 3998632 3857561 3726743 3605355 3492498 3387425 3289311 3197708 3111868 3031566 2956054 2885032 79286973
Rp NeqPupuk 127615.3 121867.8 116625.9 111836.3 107445.9 103401.4 99702.78 96296.87 93130.43 90230.09 87516 85014.78 82673.22 80517.91 78495.65 76606.43 74823.65 73227.13 71630.61 70167.13 1848825
Rp PeqPupuk 26281.25 24996.53 23822.92 22750 21763.89 20857.64 20027.78 19260.42 18552.08 17899.31 17291.67 16725.69 16204.86 15715.28 15260.42 14836.81 14437.5 14062.5 13715.28 13385.42 367847.2
Total 5819186.9 5534727.6 5274983 5112408.3 4819875.6 4622364.8 4436202.8 4192021.8 4110314.8 3965690.7 3831550.9 3707095.3 3591376.1 3483657.7 3383067 3289151.6 3201129.5 3118856.1 3041400.1 2968584.8 81503646
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
161
PV 4931514 3974955 3210518 2636923 2106812 1712270 1392635 1115238 926695.4 757702.6 620401 508685.9 417633 343310.7 282540.4 232794 192003.5 158532.8 131013.3 108370.1 25760548
Lampiran 21 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 15% Kontur, 15%
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Erosi C kg/ha/th 568.06 541.41 517.02 494.64 474.07 455.14 437.67 421.54 406.6 392.75 379.88 367.91 356.76 346.35 335.61 327.5 318.95 310.91 303.36 296.23 8052.36
Erosi N kg/ha/th 35.99 34.45 33.03 31.73 30.54 29.44 28.43 27.49 26.63 25.83 25.08 24.39 23.74 23.14 22.57 22.05 21.56 21.09 20.65 20.24 528.07
Erosi P kg/ha/th 5.68 5.414 5.17 4.946 4.741 4.551 4.376 4.215 4.066 3.927 3.799 3.679 3.567 3.463 3.367 3.275 3.189 3.109 3.034 2.963 80.531
CeqPupuk kg/ha/th 10180.29 9702.688 9265.591 8864.516 8495.878 8156.631 7843.548 7554.48 7286.738 7038.53 6807.885 6593.369 6393.548 6206.989 6014.516 5869.176 5715.95 5571.864 5436.559 5308.781 144307.5
NeqPupuk kg/ha/th 78.23913 74.8913 71.80435 68.97826 66.3913 64 61.80435 59.76087 57.8913 56.15217 54.52174 53.02174 51.6087 50.30435 49.06522 47.93478 46.86957 45.84783 44.8913 44 1147.978
PeqPupuk kg/ha/th 15.77778 15.03889 14.36111 13.73889 13.16944 12.64167 12.15556 11.70833 11.29444 10.90833 10.55278 10.21944 9.908333 9.619444 9.352778 9.097222 8.858333 8.636111 8.427778 8.230556 223.6972
Rp Ckonversi 4251288 4051843 3869311 3701822 3547879 3406209 3275466 3154751 3042942 2939290 2842973 2753391 2669946 2592039 2511662 2450968 2386981 2326810 2270307 2216947 60262823
Rp NeqPupuk 95764.7 91666.96 87888.52 84429.39 81262.96 78336 75648.52 73147.3 70858.96 68730.26 66734.61 64898.61 63169.04 61572.52 60055.83 58672.17 57368.35 56117.74 54946.96 53856 1405125
Rp PeqPupuk 19722.22 18798.61 17951.39 17173.61 16461.81 15802.08 15194.44 14635.42 14118.06 13635.42 13190.97 12774.31 12385.42 12024.31 11690.97 11371.53 11072.92 10795.14 10534.72 10288.19 279621.5
Total 4366774.7 4162308.1 3975150.9 3803424.9 3645603.5 3500347.1 3366308.8 3242533.7 3127918.9 3021656 2922898.5 2831063.9 2745500.3 2665635.5 2583408.7 2521011.4 2455421.9 2393723.2 2335788.8 2281091.3 61947570
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
162
PV 3700656 2989305 2419400 1961764 1593527 1296639 1056769 862637.7 705208.3 577331.1 473272.9 388477.2 319268 262695.5 215756.1 178427.9 147276 121674 100617.9 83272.68 19453975
Lampiran 22 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 15% Teras Bangku, 15%
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Erosi C kg/ha/th 304.2 289.86 277.59 266.28 255.83 246.18 237.25 228.95 221.24 214.07 207.38 201.13 195.29 189.82 184.7 179.87 175.34 171.06 167.02 163.21 4376.27
Erosi N kg/ha/th 19.21 18.44 17.73 17.08 16.48 15.92 15.4 14.93 14.48 14.06 13.68 13.32 12.98 12.63 12.37 12.09 11.83 11.58 11.35 11.03 286.59
Erosi P kg/ha/th 3.032 2.898 2.776 2.663 2.559 2.462 2.372 2.29 2.212 2.141 2.074 2.111 1.953 1.899 1.847 1.799 1.753 1.71 1.67 1.632 43.853
CeqPupuk kg/ha/th 5451.613 5194.624 4974.731 4772.043 4584.767 4411.828 4251.792 4103.047 3964.875 3836.38 3716.487 3604.48 3499.821 3401.792 3310.036 3223.477 3142.294 3065.591 2993.19 2924.91 78427.78
NeqPupuk kg/ha/th 41.76087 40.08696 38.54348 37.13043 35.82609 34.6087 33.47826 32.45652 31.47826 30.56522 29.73913 28.95652 28.21739 27.45652 26.8913 26.28261 25.71739 25.17391 24.67391 23.97826 623.0217
PeqPupuk kg/ha/th 8.422222 8.05 7.711111 7.397222 7.108333 6.838889 6.588889 6.361111 6.144444 5.947222 5.761111 5.863889 5.425 5.275 5.130556 4.997222 4.869444 4.75 4.638889 4.533333 121.8139
Rp Ckonservasi 2276594 2169275 2077448 1992805 1914599 1842379 1775548 1713432 1655732 1602072 1552005 1505231 1461525 1420588 1382271 1346124 1312222 1280191 1249956 1221443 32751440
Rp NeqPupuk 51115.3 49066.43 47177.22 45447.65 43851.13 42361.04 40977.39 39726.78 38529.39 37411.83 36400.7 35442.78 34538.09 33606.78 32914.96 32169.91 31478.09 30812.87 30200.87 29349.39 762578.6
Rp PeqPupuk 10527.78 10062.5 9638.889 9246.528 8885.417 8548.611 8236.111 7951.389 7680.556 7434.028 7201.389 7329.861 6781.25 6593.75 6413.194 6246.528 6086.806 5937.5 5798.611 5666.667 152267.4
Total 2338236.6 2228403.8 2134263.8 2047499.3 1967335.3 1893289 1824761.9 1761110.4 1701941.6 1646918.1 1595607.2 1548003.6 1502844.5 1460788.9 1421599.1 1384540.3 1349786.8 1316941.3 1285955.6 1256458.6 33666286
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
163
PV 1981556 1600405 1298979 1056077 859940.4 701334 572838.4 468522.6 383713.1 314667.5 258359.2 212416.3 174762.4 143959.2 118726.3 97992.65 80960.1 66940.71 55394.65 45867.81 10493413
Lampiran 23 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah lereng dengan kecuraman lereng 50% Lereng, 50%
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Erosi C kg/ha/th 1259.4 1189.33 1125.89 1068.35 1016.03 968.36 924.82 884.99 848.45 814.9 784.01 755.52 729.2 704.84 682.25 661.27 641.75 623.55 606.56 590.66 16880.13
Erosi N kg/ha/th 79.79 75.66 71.94 68.55 65.48 62.68 60.13 57.78 55.65 53.67 51.87 50.2 48.65 47.24 45.92 44.69 43.55 42.49 41.5 40.58 1108.02
Erosi P kg/ha/th 12.594 11.893 11.259 10.683 10.161 9.684 9.248 8.85 8.485 8.149 7.84 7.555 7.292 7.048 6.822 6.613 6.417 6.263 6.065 5.907 168.828
CeqPupuk kg/ha/th 22569.89 21314.16 20177.24 19146.06 18208.42 17354.12 16573.84 15860.04 15205.2 14603.94 14050.36 13539.78 13068.1 12631.54 12226.7 11850.72 11500.9 11174.73 10870.25 10585.3 302511.3
NeqPupuk kg/ha/th 173.4565 164.4783 156.3913 149.0217 142.3478 136.2609 130.7174 125.6087 120.9783 116.6739 112.7609 109.1304 105.7609 102.6957 99.82609 97.15217 94.67391 92.36957 90.21739 88.21739 2408.739
PeqPupuk kg/ha/th 34.98333 33.03611 31.275 29.675 28.225 26.9 25.68889 24.58333 23.56944 22.63611 21.77778 20.98611 20.25556 19.57778 18.95 18.36944 17.825 17.39722 16.84722 16.40833 468.9667
Rp Ckonversi 9425187 8900792 8426015 7995394 7603837 7247081 6921234 6623151 6349690 6098606 5867430 5654214 5457239 5274932 5105871 4948859 4802774 4666568 4539417 4420423 1.26E+08
Rp NeqPupuk 212310.8 201321.4 191423 182402.6 174233.7 166783.3 159998.1 153745 148077.4 142808.9 138019.3 133575.7 129451.3 125699.5 122187.1 118914.3 115880.9 113060.3 110426.1 107978.1 2948297
Rp PeqPupuk 43729.17 41295.14 39093.75 37093.75 35281.25 33625 32111.11 30729.17 29461.81 28295.14 27222.22 26232.64 25319.44 24472.22 23687.5 22961.81 22281.25 21746.53 21059.03 20510.42 586208.3
Total 9681227 9143408.8 8656532.2 8214889.9 7813352.4 7447489.6 7113342.7 6807625.2 6527229.5 6269710.5 6032671.2 5814022.5 5612009.5 5425103.3 5251745.6 5090735.4 4940936.3 4801374.6 4670901.9 4548911.7 129863220
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
164
NPV 8204430 6566654 5268633 4237149 3415288 2758785 2233056 1811088 1471604 1197919 976804.3 797797.4 652607.9 534638.1 438605 360303.4 296357 244056 201206.8 166060.9 41833042
Lampiran 24 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun pada guludan searah kontur dengan kecuraman lereng 50% Kontur, 50%
T 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Erosi C kg/ha/th 945.51 896.42 851.8 811.13 773.99 740.01 708.86 680.24 653.88 629.59 607.14 586.36 567.1 549.2 532.55 517.03 502.54 488.98 476.29 464.37 12982.99
Erosi N kg/ha/th 59.91 57.03 54.452 52.05 49.88 47.89 46.06 44.4 42.85 41.44 40.13 38.91 37.79 36.75 35.78 34.88 24.04 33.25 32.51 31.81 841.812
Erosi P kg/ha/th 9.453 8.965 8.518 8.111 7.74 7.4 7.089 6.082 6.539 6.296 6.072 5.864 5.771 5.492 5.326 5.17 5.025 4.87 4.763 4.643 129.189
CeqPupuk kg/ha/th 16944.62 16064.87 15265.23 14536.38 13870.79 13261.83 12703.58 12190.68 11718.28 11282.97 10880.65 10508.24 10163.08 9842.294 9543.907 9265.771 9006.093 8763.082 8535.663 8322.043 232670.1
NeqPupuk kg/ha/th 130.2391 158.4167 151.2556 144.5833 138.5556 133.0278 127.9444 123.3333 119.0278 115.1111 111.4722 108.0833 104.9722 102.0833 99.38889 96.88889 66.77778 92.36111 90.30556 88.36111 2302.189
PeqPupuk kg/ha/th 26.25833 24.90278 23.66111 22.53056 21.5 20.55556 19.69167 16.89444 18.16389 17.48889 16.86667 16.28889 16.03056 15.25556 14.79444 14.36111 13.95833 13.52778 13.23056 12.89722 358.8583
Rp Ckonversi 7076075 6708692 6374761 6070392 5792441 5538139 5305017 5090828 4893554 4711770 4543757 4388243 4244103 4110142 3985535 3869386 3760945 3659463 3564493 3475285 97163022
Rp NeqPupuk 159412.7 193902 185136.8 176970 169592 162826 156604 150960 145690 140896 136442 132294 128486 124950 121652 118592 81736 113050 110534 108154 2817879
Rp PeqPupuk 32822.92 31128.47 29576.39 28163.19 26875 25694.44 24614.58 21118.06 22704.86 21861.11 21083.33 20361.11 20038.19 19069.44 18493.06 17951.39 17447.92 16909.72 16538.19 16121.53 448572.9
Total 7268310.5 6933722.1 6589474.5 6275525.5 5988908.3 5726659.8 5486235.4 5262906.4 5061948.4 4874527.4 4701282.8 4540897.7 4392627.4 4254161.4 4125680.5 4005929.2 3860128.4 3789422.9 3691565.1 3599560.7 100429474
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
165
PV 6159585 4979691 4010558 3236846 2617807 2121335 1722267 1400134 1141247 931349 761227.2 623099.8 510808.7 419243 344560.5 283524.9 231530.2 192618 159020.2 131404.2 31977856
Lampiran 25 Nilai kini (PV) C, N dan P yang hilang selama 20 tahun penanaman dengan teras bangku pada kecuraman lereng 50 %. Teras Bangku, 50% Erosi C Erosi N Erosi P CeqPupuk NeqPupuk T kg/ha/th kg/ha/th kg/ha/th kg/ha/th kg/ha/th 1 505.19 32.01 5.052 9053.584 69.58696 2 482.4 30.69 4.824 8645.161 66.71739 3 461.49 29.49 4.615 8270.43 64.1087 4 442.27 28.37 4.422 7925.986 61.67391 5 424.58 27.35 4.246 7608.961 59.45652 6 408.26 26.41 4.083 7316.487 57.41304 7 393.17 25.53 3.932 7046.057 55.5 8 379.2 24.73 3.792 6795.699 53.76087 9 366.25 23.98 3.663 6563.62 52.13043 10 354.22 23.29 3.543 6348.029 50.63043 11 343.04 22.64 3.431 6147.67 49.21739 12 332.61 22.04 3.326 5960.753 47.91304 13 322.89 21.48 3.229 5786.559 46.69565 14 313.78 20.95 3.138 5623.297 45.54348 15 305.28 20.46 3.053 5470.968 44.47826 16 297.29 20.01 2.973 5327.778 43.5 17 289.8 19.57 2.898 5193.548 42.54348 18 242.75 19.16 2.827 4350.358 41.65217 19 276.1 18.79 2.761 4948.029 40.84783 20 269.84 18.43 2.699 4835.842 40.06522 7210.41 475.38 72.507 129218.8 1033.435
PeqPupuk kg/ha/th 14.03333 13.4 12.81944 12.28333 11.79444 11.34167 10.92222 10.53333 10.175 9.841667 9.530556 9.238889 8.969444 8.716667 8.480556 8.258333 8.05 7.852778 7.669444 7.497222 201.4083
Rp Rp Ckonversi RpNeqPupuk NeqPupuk 3780777 83504.35 85174.43 3610219 80060.87 81662.09 3453732 76930.43 78469.04 3309892 74008.7 75488.87 3177502 71347.83 72774.78 3055365 68895.65 70273.57 2942434 66600 67932 2837884 64513.04 65803.3 2740968 62556.52 63807.65 2650937 60756.52 61971.65 2567267 59060.87 60242.09 2489210 57495.65 58645.57 2416467 56034.78 57155.48 2348289 54652.17 55745.22 2284676 53373.91 54441.39 2224880 52200 53244 2168826 51052.17 52073.22 1816710 49982.61 50982.26 2066297 49017.39 49997.74 2019448 48078.26 49039.83 53961778 1240122 1264924
Rp PeqPupuk 17541.67 16750 16024.31 15354.17 14743.06 14177.08 13652.78 13166.67 12718.75 12302.08 11913.19 11548.61 11211.81 10895.83 10600.69 10322.92 10062.5 9815.972 9586.806 9371.528 251760.4
Total 3883492.9 3708631.4 3548225 3400734.6 3265019.8 3139815.8 3024018.3 2916853.8 2817494.1 2725210.5 2639422.4 2559404.5 2484834.4 2414930.1 2349718.2 2288446.9 2230961.5 1877507.9 2125881.3 2077859.1 55478463
Disc.Factor 0.847458 0.718184 0.608631 0.515789 0.437109 0.370432 0.313925 0.266038 0.225456 0.191064 0.161919 0.13722 0.116288 0.098549 0.083516 0.070776 0.05998 0.05083 0.043077 0.036506
166
PV 3291096 2663481 2159559 1754061 1427170 1163087 949315.1 775994.4 635221.2 520690.9 427372.7 351200.3 288955.8 237988.8 196239.2 161967.8 133812.9 95434.55 91575.83 75853.56 17400077