Kehidupan Sosial dan Spiritual Wanita Tuna Susila (Studi Kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh LUFIARNA NIM: 1110054100035
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
ABSTRAK
Lufiarna Kehidupan Sosial dan Spiritual Wanita Tuna Susila (Studi Kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta) Kehidupan sosial para WTS sama seperti wanita pada umumnya yang merawat dan menyayangi anak-anak mereka serta berusaha menjadi contoh istri dan Ibu yang baik bagi keluarganya. Sebagian dari mereka walaupun menjadi seorang WTS juga memiliki tingkat spiritual dan pemahaman agama yang cukup baik, meski memang banyak juga yang mengabaikan nilai spiritual. Dengan keadaan seperti ini maka perlu dikaji sisi kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila yang belum masyarakat pahami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami serta menjelaskan kepada masyarakat mengenai sisi kehidupan sosial dan spiritual dari wanita tuna susila yang patut kita pahami bersama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research yaitu penelitian langsung yang dilakukan di PSKW Mulya Jaya Jakarta. Data yang digunakan penulis diperloleh dari hasil wawancara dan observasi. Setelah melakukan wawancara dan observasi, penulis mengetahui bahwa beberapa dari para WTS yang dibina di PSKW merupakan seorang single parents yang menjadi tulang punggung keluarga, menjadi seorang wanita tuna susila bukan untuk kesenangan mereka pribadi tetapi semata-mata hanya untuk memberikan kehidupan serta pendidikan bagi anak-anak dan keluarga mereka. Selama dibina di PSKW Mulya Jaya Jakarta mereka juga bersikap sopan, baik serta menanamkan sikap saling menghargai di lingkungan lembaga. Pemahaman spiritual WTS yang dibina di PSKW beragam ada yang kurang peduli terhadap nilai spiritual tetapi juga ada yang menanamkan nilai spiritual sesuai agama yang mereka anut bahkan mereka memiliki tingkat kerajinan dalam beribadah yang patut untuk dicontoh. Perilaku menjadi WTS mereka sadari merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama tetapi di sisi lain mereka tidak bisa meninggalakan profesi menjadi WTS karena dianggap pilihan terakhir untuk melanjutkan kehidupan. Melihat sisi kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila tersebut, diharapkan semua masyarakat dapat lebih memperhatikan kehidupan sosial dan spiritual dari para wanita tuna susila yang jarang sekali kita perhatikan. Di samping itu bagi pemerintah diharapkan dapat membuat program pelayanan yang menyentuh bagi kehidupan sosial dan spiritual dari wanita tuna susila. Keyword social support, Kehidupan sosial, Spiritual, Wanita tuna susila, PSKW
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang maha paham atas segala tingkah laku manusia baik yang tersembunyi ataupun yang tampak, yang lahir serta yang batin. Semoga dengan kasih sayangnya yang tiada henti kita semua dilimpahkan kesehatan, kebahagiaan serta kesejahteraan. Shalawat serta salam semoga senantiasa juga tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, yang sudah menjadi suri tauladan yang baik bagi kita semua. Manusia adalah mahluk lemah, maka dengan Ruh-Nya menjadi perkasa. Manusia adalah bodoh, maka dengan pengetahuan-Nya, tabir rahasia kuasa-Nya kian tersingkap. Hanya dengan kebajikan manusia dapat berguna bagi sesama. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, sekalipun penulis telah berusaha melakukan yang terbaik, namun tidak terpungkiri pasti skripsi ini memiliki kekurangan baik dari segi isi maupun teknik penyusunannya. Dengan demikian, penulis mengharapkan serta membuka diri untuk menerima saran dan kritik demi perbaikan skripsi. Penyelesaian skripsi ini pun banyak dihadang oleh rintangan dan hambatan tetapi atas berkat rahmat Allah SWT skripsi ini pun dapat segera terselesaikan. Dengan demikian sebagai luapan syukur atas selesainya penyusunan ini, maka penulis mengungkapkan penghormatan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drs. Arief Subhan, MA. Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Ibu Siti Napsiyah. MSW. Selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Ahmad Zaky, M.Si. Selaku Sekertaris Program Studi Kesejahteraan Sosial. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing saya, serta memberikan masukan, pengetahuan dan arahan yang sangat bermanfaat. Juga terimaksih atas waktu yang selalu di luangkan untuk membimbing saya dan memberikan motivasi agar saya dapat selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh Dosen Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan terkait ilmu kesejahteraan sosial sehingga dapat menambah pengetahuan dan kecintaan saya terhadap ilmu kesejahteraan sosial ini. 6. Dra. M. Ali Samantha, MM. Selaku Ketua Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan penelitian di PSKW Mulya Jaya Jakarta. 7. Bapak Achmad Afandi, S.Sos.I. Selaku pembimbing saya di PSKW Mulya Jaya Jakarta yang sudah memberikan waktu setiap saat untuk membimbing saya selama di PSKW serta memberikan pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
iii
8. Ibu Dra. Elmiwati dan Bapak Hasan Otoy. Selaku Pekerja Sosial PSKW Mulya Jaya Jakarta yang telah memberikan waktu untuk berdiskusi dan menambah pengetahuan terhadap permasalahan Wanita Tuna Susila di PSKW. 9. Ibu S dan N selaku informan dari wanita tuna susila yang telah mempercayai saya dalam mencurahkan permasalahan yang dialami, telah bersedia diwawancara, berdiskusi, menyempatkan waktu serta banyak sekali pembelajaran hidup yang saya dapatkan dari kisah kehidupan sosial dan spiritual mereka yang dituangkan dalam skripsi ini. 10. Ibu Karlina dan Bapak Saiful. Selaku orang tua saya yang setiap saat memberikan dukungan baik materi maupun non materi, tidak pernah lelah menasehati saya, menyayangi dan menjadi motivasi terbesar dalam hidup saya khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Aditya Darmawan, Okta Viani dan Siska Amanda. Selaku ketiga adik saya yang selalu memberikan motivasi dan doa. 12. Shabrina Dwi Pitarini, Ulfa Andriani, Anies Noor Ismi, Putri Puspita Sari, Dian Anggraeny Utomo, Nurbani Ulfah, Gina Rainisa, Ida Fatmawati dan Virda Syifa. Selaku Sahabat dalam hidup saya baik suka ataupun duka. Terimakasih atas dukungan, nasihat dan teman diskusi yang sangat baik buat saya. Termikasih banyak sahabat. 13. Kepada seluruh rekan-rekan Kesejahteraan Sosial angatan 2010. Terimakasih atas dukungan yang diberikan kepada saya dan juga atas kebersamaan selama
iv
kurang lebih empat tahun ini, semoga kita senantiasa diberikan kesuksesan dalam menempuh pendidikan. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya, saya mengucapkan terimakasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Amin Jakarta, Agustus 2014 Penulis
Lufiarna
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..........................................................................................
i
KATA PENGANTAR ........................................................................
ii
DAFTAR ISI .......................................................................................
vi
DAFTAR TABEL..............................................................................
x
DAFTAR GAMBAR..........................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ..........................................
1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................
9
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................
9
1.4 Manfaat penelitian ...................................................
10
1.5 Tinjauan Pustaka......................................................
10
1.6 Metode Penelitian ....................................................
13
1.7 Sistematika Penulisan ..............................................
22
TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Wanita Tuna Susila ................................ 2.1.1
24
Penyebab timbulnya pelacuran ....................
24
2.1.2 Akibat-akibat pelacuran ...............................
26
2.2 Pengertian kehidupan sosial ....................................
26
2.2.1
Aspek Kehidupan sosial .............................. vi
27
BAB III
2.2.2 Manusia Sebagai Mahluk Sosial ..................
27
2.3 Hubungan sosial ......................................................
29
2.4 Pengertian Spiritualitas ............................................
30
2.4.1 Prinsip spiritualisme .....................................
31
2.4.2 Aspek-aspek spiritual ...................................
32
2.5 Kebutuhan Spiritual .................................................
32
2.5.1 Masalah Kebutuhan Spiritual .......................
33
2.5.2 Karakteristik Spiritualitas .............................
34
2.5.3 Terpenuhi kebutuhan Spiritual .....................
36
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas ......
37
2.7 Pengaruh keyakinan agama atau spiritual ...............
39
PROFIL LEMBAGA 3.1 Latar Belakang PSKW Mulya Jaya.........................
40
3.1.1 Visi dan Misi PSKW ...................................
41
3.1.2 Sejarah Berdirinya dan Beroperasi ..............
42
3.1.3 Pengakuan Hukum/Ijin Operasional ............
43
3.1.4 Status Kepemilikan ......................................
45
3.2
Struktur Organisasi Lembaga .................................
45
3.3
Manajemen Program Layanan Perencanaan ..........
47
3.4
Jangkauan Layanan ................................................
49
3.5
Proses Penerimaan .................................................
49
3.6
Pengasuhan/Bimbingan ..........................................
50
3.7
Proses Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial ..............
50
3.8
Indikator Keberhasilan ...........................................
55
3.9
Kebijakan dan Praktek Perlindungan HAM ...........
56
3.10 Sumber Daya ........................................................
56
3.11 Lembaga mitra PSKW “Mulya Jaya” Jakarta .......
58
vii
BAB IV
TEMUAN & ANALISIS DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi informan ..................................................
60
4.2 Kehidupan Sosial Wanita Tuna Susila ....................
71
4.2.1 Aspek Kehidupan Sosial ..............................
71
4.2.1.1 Toleransi .........................................
71
4.2.1.2 Hubungan Keluarga .......................
73
4.2.1.3 Sikap tolong-menolong ..................
76
4.2.1.4 Hormat............................................
78
4.2.1.5 Sopan santun ..................................
80
4.2.2 Hubungan Sosial ..........................................
83
4.2.2.1 Norma.............................................
83
4.2.2.2 Penyesuain diri ...............................
88
4.2.2.3 Menghargai ....................................
90
4.2.2.4 Menghadapi Perbedaan ..................
92
4.3 Spiritualitas Wanita Tuna Susila .............................
93
4.3.1 Pengertian Spiritual .....................................
93
4.3.1.1 Makna Hidup ..................................
93
4.3.1.2 Kecintaan Terhadap Keluarga ........
94
4.3.1.3 Tingkat Spiritual di Lembaga ........
95
Prinsip Spiritualisme...................................
96
4.3.2.1 Keadilan ........................................
96
4.3.2.2 Kecintaan Terhadap Allah SWT ....
97
4.3.2.3 Kecintaan Terhadap Diri Sendiri ...
98
4.3.2.4 Kejujuran .......................................
99
4.3.2
4.3.3
Aspek-aspek Spiritual ................................ 100 4.3.3.1 Ketidapastian Dalam Hidup........... 100 4.3.3.2 Kekuatan ........................................ 101 4.3.3.3 Mengenal Diri Sendiri ................... 102 4.3.3.4 Dekatkan Diri pada Allah SWT..... 103
viii
4.3.4
Kebutuhan Spiritual .................................... 106 4.3.4.1 Pentingnya Kebutuhan Spiritual ...... 106 4.3.4.2 Pengampunan .................................. 107 4.3.4.3 Memaknai Penderitaan Hidup ......... 108 4.3.4.4 Mengambil Hikmah ......................... 109 4.3.4.5 Bersabar ........................................... 110 4.3.4.6 Berdamai Dengan Diri Sendiri ........ 111 4.3.4.7 Ketenangan hidup ............................ 112
4.3.5
Karakterisik Spiritual ................................... 113 4.3.5.1 Kepercayaan Kepada Allah SWT .... 113 4.3.5.2 Kepercayaan Pada Diri Sendiri........ 113 4.3.5.3 Harapan ........................................... 114 4.3.5.4 Arti Kematian .................................. 115 4.3.5.5 Konflik Dalam Keluarga ................. 116 4.3.5.6 Memaknai Arti Doa ......................... 117 4.3.5.7 Kerajinan Menunaikan Solat .......... 117
4.3.6
Faktor Mempengaruhi Spirituaitas .............. 118 4.3.6.1 Orang Tua ........................................ 118 4.3.6.2 Suami ............................................... 119
4.4 Analisis Data 4.4.1 Kehidupan Sosial WTS ..................... 120 4.4.2 Spiritualitas WTS ............................... 128
BAB V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan ................................................................. 144 5.2 Saran ........................................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 149 LAMPIRAN ........................................................................................ 151
ix
DAFTAR TABEL 1.
Table 1.1 Kerangka Pemilihan Informan ..................................
16
2.
Tabel 2.1 Jumlah Personil Panti/pegawai PSKW......................
57
3.
Tabel 2.2 Sarana dan Prasarana PSKW ....................................
57
4.
Tabel 4.1 Deskripsi Keluarga Informan “S” .............................
61
5.
Tabel 4.2 Deskripsi Keluarga Informan “N..............................
68
x
DAFTAR GAMBAR 1.
Gambar 4.1 Informan “S” Mengikuti Dinamika Kelompok .....
85
2.
Gambar 4.2 Informan “S” Mengikuti Keterampilan Pangan ....
85
3.
Gambar 4.3 Informan “S” Mengikuti Terapi Zikir Qolbu.........
86
4.
Gambar 4.4 Informan “S” Mengikuti Bimbingan Sosial ..........
86
5.
Gambar 4.5 Informan “N” Mengikuti Dinamika Kelompok .....
87
6.
Gambar 4.6 Informan “N” Mengikuti Keterampilan Pangan ....
87
7.
Gambar 4.7 Informan “N” Mengikuti Terapi Zikir Qolbu ........
87
8.
Gambar 4.8 Informan “N” Mengikuti Bimbingan Sosial ..........
87
9.
Gambar 4.9 Informan “S” Mengikuti Solat Zuhur Berjamaah .. 104
10. Gambar 4.10 Informan “S” Sedang Membaca Al-Quraan ....... 104 11. Gambar 4.11 Informan “S” Sedang Melaksanakan Solat Duha
105
12. Gambar 4.12 Informan “S” Menghafal Doa dan Bacaan Zikir . 105
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara Informan 2. Pedoman Observasi 3. Pedoman Studi Dokumentasi 4. Transkrip Wawancara Informan 5. Hasil Observasi 6. Hasil Studi Dokumentasi 7. Pernyataan Persetujuan Untuk Menjadi Informan 8. Foto-Foto Kegiatan 9. Surat Izin Penelitian Skripsi 10. Surat Persetujuan Izin Penelitian Skripsi
xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang dikembangkan adalah
program
peningkatan
peranan
kaum
perempuan
dalam
kehidupan
bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan, pelatihan keterampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006). Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan ini, sehingga masih banyak kaum wanita yang melakukan aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya adalah mereka yang bekerja sebagai WTS atau pekerja seks komersial (PSK).1 Bagi sejumlah perempuan menjadi WTS merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia dengan keterbatasan pilihan disebabkan karena mereka kurang mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang memadai.2 Wanita-wanita
1
Miskawi, “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) antara peran positif terabaikan dan termarginalkan dalam bentuk pembelaannya tahun 1970=2009” Jurnal Ilmiah PROGRESSIF v, no. 18 (Desember 2009): h. 25-25. 2 Louise Brown, Sex Slaves Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 33.
1
tuna susila ini berpenghasilan setiap malam lebih dari satu juta rupiah yang pasti dapat menghidupi dirinnya dan keluarganya. Menjajakan seks adalah bisnis raksasa di Asia bahkan Dunia, ia adalah bisnis yang cepat merambah dan kerap kali ajang untuk “saling sikut”. Pula sangat sulit untuk dipantau, Ia memiliki beribu dan beragam wajah. Sebagaimana industriindustri lainnya, bisnis menjajakan seks memiliki hierarki dan sektor-sektor dilapisan bawahnya tak terhitung. Produk dasarnya yang serupa telah dikemas rapi dan dihargai agar menarik bagi beragam jenis konsumen, lagi transaksinya dilaksanakan dalam berbagai jenis tempat.3 Wanita-wanita tersebut pasti membawa lebih dari sejuta rupiah setiap malam untuk menghidupi dirinya dan keluarga.4 Di Utara Thailand WTS merupakan pilihan karir bagi banyak gadis muda. Jika mereka berhasil maka mereka akan mampu membeli rumah dan produk barangbarang yang diinginkannya serta rasa hormat dari keluarga dan para tetangganya. Banyak WTS miskin namun kemiskinan mereka tersebut relatif dan tidak absolut.5 Para WTS memiliki akses terbatas ke sumber daya keuangan dan materi, beberapa wanita tertarik untuk terjun menjadi wanita tuna susila sebagai resistensi atau respon terhadap kemiskinan dengan kata lain, dapat dilihat sebagai strategi bertahan aktif dalam menghadapi kekurangan hidup. Demikian juga Delacoste dan
3
Louise Brown, Sex Slaves Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. h. 17. Elizabeth Pisani, Kearifan Pelacur Kisah Gelap di Balik Bisnis Seks dan Narkoba (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 143. 5 Ibid., h. 34. 4
2
Alexander (1998) berpendapat bahwa, kurangnya alternatif pekerjaan yang layak sehingga yang tersedia hanya menjadi wanita tuna susila.6 Hierarki pelacuran berbentuk seperti piramida. Pada puncaknya bertengger sejumlah kecil pelacur elite, mayoritas dari mereka sengaja memilih pekerjaan itu karena mampu menghasilkan jumlah uang yang sangat banyak dalam waktu singkat dengan cara memanjakan seks. Perempuan-perempuan jenis ini memiliki pelanggan terpilih dan jumlah lelaki yang mereka layani pun sangat terbatas. Biasanya mereka luar biasa cantik, berpendidikan tinggi dan sangat fasih berbahasa inggris. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah dan keluarga kaya, dan mereka bukan hanya menjajakan seks sekedar hanya miskin, sebab mereka memiliki nafkah dari tempat lain. Kunjungan mereka yang sangat singkat di hotel-hotel terkemuka di kota-kota besar di mana perempuan-perempuan elegan ini dapat menghasilkan penghasilan yang sangat tinggi dari melayani para turis dan usahawan kaya.7 Di bagian tengah piramida terdapat lebih banyak lagi jumlah pelacur yang melayani lelaki yang tidak sedemikian kaya. Banyak perempuan yang termasuk kategori ini menjajakan tubuhnya karena tidak mempunyai pilihan lain. Banyak yang masuk profesi ini karena pilihan mereka terbatas dan dipaksa untuk menjajakan seks karena kesulitan ekonomi. Pada bagian dasar piramida, terdapat gadis-gadis dan perempuan muda di pasar massal. Perempuan ini mencangkup jumlah pelacur terbanyak dan mereka melayani laki-laki termiskin masyarakat. Hanya segelintir
6
Rochelle L. Dalla, “Exposing the "pretty woman" myth: A qualitative examination of the lives of female streetwalking prostitutes,” The Journal of Sex Research vol 37 no 4 (November 2000): h. 354. 7 Louise Brown, Sex Slaves Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia, h. 19.
3
gadis dan perempuan jenis ini yang menjadi pelacur berdasarkan pilihan bebas mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka dipaksa menjadi pekerja seks karena kemiskinan menahun dan peluang hidup yang amat terbatas.8 Di Indonesia masalah wanita tuna susila sangat pula memperihatinkan. jumlah PSK teringgi di Indonesia yakni terdapat di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Kaltim dalam hal ini Bidang Rehabilitasi Sosial (Rehsos), untuk tahun 2013 lalu jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Kaltim dan Kaltara tercatat sebanyak 4.449 jiwa yang tersebar di 13 Kabupaten/kota. Populasi PSK terbesar terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara yakni tercatat sebanyak 1.084 PSK yang beroperasi di daerah dengan APBD terbesar di Indonesia tersebut. Berikut Data Populasi PSK 13 Kabupaten/kota di Kaltim dan Kaltara bulan Oktober Tahun 2013: 1. Samarinda 648 Jiwa 2. Balikpapan 284 Jiwa 3. Kutai Kartanegara 1.084 Jiwa 4. Paser 332 Jiwa 5. Berau 299 Jiwa 6. Bulungan 177 Jiwa 7. Tarakan 88 Jiwa 8. Nunukan 199 Jiwa 9. Malinau 215 Jiwa 8
Louise Brown, Sex Slaves Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia, h. 20.
4
10. Kutai Timur 234 Jiwa 11. Bontang 461 Jiwa 12. Kutai Barat 324 Jiwa 13. Penajam Paser Utara 104 Jiwa.9 Peran dan resiko menjadi wanita PSK sangat dilematis sekali, sebab kebanyakan PSK/WTS (Wanita Tuna Susila) distereotip masyarakat sebagai manusia rendah. Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan WTS tampaknya tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masyarakat seperti umumnya.10 Pada hakikatnya menjadi anggota kelompok sosial atau masyarakat terdiri dari individu-individu yang beragam dalam beberapa aspek kehidupannya baik mengenai tingkatan usia kemampuan ekonomi, pemahaman science, kesadaran bermasyarakat, solidaritas sosial, rasa saling tergantung di antara sesama serta kesadaran beragama juga harus selalu dimiliki oleh setiap individu termasuk di dalamnya seorang pekerja seks komersial..11 Dalam kenyataan sehari-hari menunjukan bahwa wanita tuna susila yang melakukan profesi menjajakan tubuhnya dengan cara melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan untuk materi semata sebagian besar kurang memahami normanorma agama bahkan mungkin lalai menunaikan perintah-perintah agama antara lain 9
Administrator, Jumlah PSK di Kaltim-Kaltara Capai 4.449 Jiwa,” artikel di akses pada 19 Maret 2014 dari http://dinsos.kaltimprov.go.id/berita-659-jumlah-psk-di-kaltimkaltara-capai-4449jiwa.html 10 11
Miskawi, “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) antara peran positif terabaikan, h. 25. Drs. Sudarsono, S.H, Kenakalan Remaja (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1990), h. 114.
5
mengikuti acara kebaktian, acara missa, puasa dan shalat. 12 Namun tidak dipungkiri pula ada sebagai kecil dari mereka yang memiliki jiwa spiritual yang baik dan sangat memahami norma dan ajaran agama yang mereka anut. Mereka paham dalam mengerjakan kewajiban agama dengan baik dan tahu bahwa profesi yang mereka jalankan sebagai PSK adalah profesi yang melanggar agama dan sangat dilarang. Sebagaimana yang tercantum di dalam al-quraan berikut ini: Larangan berzina tersebut tegas diutarakan dalam Al-Qur’an yakni pada QS, Al-Isra Ayat 32 yang berbunyi
شتً وَسَبءَ سَبِيهًب َ ِوَنَب حَ ْقزَبُىا انّزِوَب إِ َوهُ كَبنَ فَبح “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.dan suatu jalan yang buruk” (QS, Al-Isra’: 32) Ayat ini merupakan suatu peringatan yang keras, peringatan ini berkaitan dengan keharaman perbuatan zina. Sebelum sampai jenis perbuatan yang sebenarnya (zina), Allah SWT sudah melarangnya. Baru pada tahap hendak “berdekatan” dengan perbuatan tersebut atau berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menjebak seseorang kedalam perbuatan keji itu, Allah SWT sudah melarangnya dengan tegas.13 Di kehidupan keluarga WTS (Wanita Tuna Susila) mempunyai peranan penting dan
secara tidak langsung menjadi katub penyelamat bagi kehidupan
ekonomi dirinya dan keluarganya serta memiliki kehidupan sosial dan spiritual yang patut dipahami oleh kalangan masyarakat umum. Dilihat dari resikonya, pekerjaan
12
Ibid., h. 120. Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual: Advokasi atas Hak Asasi Perempuan (Malang: PT Refika Aditama), h. 121. 13
6
WTS sangat besar, tetapi pada kenyataan sebagian kelompok-kelompok tertentu yang menganggap WTS sebagai mahluk kotor, hina dan jahat. Sehingga keberadaan WTS sudah menjadi kodrat atau ketentuan yang tidak bisa berubah dan pada akhirnya diterima oleh masyarakat umum tanpa melalui proses berfikir kritis analitis dan kurang dilihat secara bijak.14 Atas dasar pemikiran inilah maka keberadaan WTS sebagai bagian dari kelompok sosial masyarakat yang memiliki kehidupan sosial dan spiritual juga patut untuk kita pahami bersama merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Salah satu lembaga yang menangani permasalahan sosial dan spiritual wanita tuna susila adalah Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta. Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta adalah salah satu unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Sosial RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.15 Dalam pelayanan Rehabilitasi Sosial PSKW Mulya Jaya memberikan bimbingan sosial, mental, fisik, keterampilan dan keagamaan. Bimbingan sosial bertujuan untuk memulihkan dan meningkatkan keberfungsian klien. Bimbingan mental bertujuan untuk memahami diri sendiri dan orang lain serta berfikir positif dan berkeinginan untuk berprestasi. Bimbingan fisik bertujuan agar klien dapat hidup dengan pola sehat dan memahami arti pentingnya sebuah kesehatan serta selalu dalam kondisi sehat. Bimbingan keterampilan yang bertujuan sebagai modal keahlian
14 15
Miskawi, “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) antara peran positif terabaikan, h. 1. “Profil PSKW,” di akses pada 19 Maret 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id
7
untuk bekerja setelah selesai rehabilitasi. Bimbingan keagamaan bertujuan untuk membentuk klien agar memiliki kesadaran spiritualitas yang baik sehingga membentuk prilaku yang baik terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar.16 Di PSKW Mulya Jaya, banyak dari para WTS yang di bina di sana memiliki kehidupan sosial dalam keluarga yang menarik untuk di teliti terkait bagaimana peran WTS sebagai istri yang memiliki kewajiban untuk menghormati suami serta bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Kehidupan sosial mereka selama di PSKW pun sangat menarik, karena sebagian mereka yang di bina merasa terpaksa bahkan tidak jujur terhadap prilaku mereka yang menjadi WTS, sehingga semua itu berdampak pula pada kerajinan mereka dalam melaksanakan setiap kegiatan di PSKW menjadi kurang bersemangat. Tetapi tidak semua dari penerima manfaat yang di bina memiliki sikap yang kurang baik beberapa dari mereka juga ada yang memiliki keikhlasan dan kesabaran selama menjalani hari-hari di PSKW. Kehidupan spiritual WTS yang di bina di sana juga beragam ada yang sangat memahami normanorma agama seperti solat, puasa dan ibadah lainnya yang mereka anut ada pula yang memiliki pengetahuan rendah terkait pemahaman spiritual dalam diri mereka. Melihat latar belakang di atas dari segi permasalahan kehidupan sosial wanita tuna susila serta spiritual mereka yang membuat peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul Kehidupan Sosial dan Spiritual Wanita Tuna Susila (Studi Kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta).
16
Hariyanto, “Pelaksanaan Proses Rehabilitasi Sosial Untuk Anak Wanita Usia 15-18 Tahun Korban Trafficking,” (Thesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univeritas Indonesia Depok, 2011), h. 6.
8
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Ada banyak hal yang dapat diangkat dari kehidupan WTS sebagai satu tema penelitian. Berangkat dari tinjauan pustaka yang peneliti kaji dan berdasarkan minat penelitian penulis serta kemanfaatan penelitian ini untuk lembaga juga mengingat keterbatasan penulis dalam hal ilmu pengetahuan, waktu, dana dan tenaga. Maka dari itu demi terfokusnya pikiran peneliti membatasi permasalahan penelitian ini hanya pada kehidupan sosial wanita tuna susila meliputi kehidupan sosial dalam keluarga dan kehidupan sosial selama berada di PSKW mulya jaya, serta kehidupan spiritual dalam diri wanita tuna susila. 1.2.2 Perumusan masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian dan berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana kehidupan sosial wanita tuna susila di PSKW Mulya Jaya Jakarta? 2. Bagaimana kehidupan spiritual wanita tuna susila di PSKW Mulya Jaya Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini ialah 1. Menggambarkan kehidupan sosial wanita tuna susila di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta. 2. Menggambarkan spiritual wanita tuna susila di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta.
9
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1.4.1 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi praktik pekerjaan sosial di PSKW Mulya Jaya khususnya dalam hal asessment klien mengenai kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk pengembangan pendekatan model asessment dan intervensi. 1.4.2 Manfaat Akademis Secara akademis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang berhubungan dengan studi masalah sosial dan intervensi sosial pada isu mengenai perempuan, khususnya pemahaman mengenai kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna Susila. 1.5 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap jurnal internasional, skripsi dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Adapun jurnal internasional, skripsi dan jurnal ilmiah tersebut yakni: “Exposing the "pretty woman" myth: A qualitative examination of the lives of female streetwalking prostitutes”. Oleh Rochelle L. Dalla The Journal of Sex Research University of Nebraska-Linclon. Jurnal ini menjelaskan tentang para pelacur jalanan dari segi permasalahan kehidupan mereka hingga advokasi yang seharusnya mereka dapatkan.
10
Kesimpulan yang diberikan jurnal di atas adalah para pelacur jalanan tidak pernah membayangkan bahwa mereka suatu hari akan terlibat dalam kegiatan pelacuran, tidak ada seorang wanitapun menjadi pelacur sebagai tujuan karir jangka panjang. Mereka melakukan hal tersebut karena tidak memiliki pilihan lain. Memang seharusnya diperlukan advokasi bagi mereka agar terlepas dari kegiatan menjajakan diri tersebut.17 “Pemahaman Agama Islam Pada Pekerja Seks Komersial” (studi kasus PSK lokalisasi Komplek Kedung Banteng Desa Kedung Banteng Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo) oleh Syariful Hidayatulloh Skripsi S1 Fakultas Usulludin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta.” Skripsi ini menjelaskan tentang Pemahaman dan pengaruh Agama Islam Pada Pekerja Seks Komersial di Kedung Banteng. Saran dari skripsi di atas adalah tidak semua para PSK mengambil pekerjaan melacurkan diri untuk mendapatkan uang hanya untuk kesenangan belaka sebagian dari mereka terpaksa melakukan hal tersebut untuk dapat membiayai kehidupan dirinya dan keluarganya. Jadi sangat diperlukan penelitian yang dapat menjelaskan hal tersebut secara mendalam. 18 “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009” Oleh Miskawi Jurnal Ilmiah Progressif. Jurnal ini menjelaskan tentang peran positif 17
Rochelle L. Dalla, “Exposing the "pretty woman" myth: A qualitative examination of the lives of female streetwalking prostitutes,” h. 351. 18
Syariful Hidayatulloh, “Pemahaman Agama Islam Pada Pekerja Seks Komersial,” Skripsi Fakultas Usulludin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 70.
11
WTS (Wanita Tuna Susila) yang mereka jalankan dalam kehidupan sosial.dan resiko yang mereka dapat dari pilihan menjadi WTS (Wanita Tuna Susila). Saran dari jurnal ilmiah diatas adalah kepada pemerintah dan masyarakat umum disarankan agar semata-mata tidak menghujat tanpa memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan WTS.19 Berdasarkan dengan jurnal internasional, skripsi dan jurnal ilmiah di atas dan dilihat dari kesimpulan serta saran yang diberikan. Maka memotivasi peneliti membuat penelitian berjudul “Kehidupan sosial dan Spiritual Wanita Tuna Susila (studi kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta) guna menggambarkan kepada masyarakat mengenai kehidupan sosial dan spiritual dari seorang wanita tuna susila yang menarik untuk kita ketahui bersama. Di samping itu penelitian ini diharapkan dapat membuka mata pemerintah dan lembaga yang menangani permasalahan WTS agar dapat membuat solusi atau program-program yang dapat menyentuh kehidupan sosial dan spiritual WTS secara lebih mendalam. Adanya jurnal internasional, skripsi dan jurnal ilmiah di atas tersebut juga peneliti jadikan sebagai bahan perbandingan terhadap skripsi yang peneliti buat. Dalam hal ini peneliti memfokuskan kajian tentang Kehidupan Sosial dan Spiritual Wanita Tuna Susila (Studi kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta) yang belum pernah diteliti secara mendalam pada skripsi manapun.
19
Miskawi, “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) antara peran positif terabaikan dan termarginalkan,” h. 35.
12
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu metode yang digunakan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah. Metode itu sendiri diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.20 Kehidupan sosial yakni kehidupan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan, seperti adanya hubungan sosial, komunikasi dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Sedangkan spiritualitas adalah hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain.21 Proses yang harus dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang dinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini kemudian dibagi menjadi: 1.6.1
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan cara-cara kuantifikasi. Pendekatan kualitatif dapat menunjukan kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, funsionalisasi organisasi, pergerakan sosial dan hubungan kekerabatan. Pendekatan kualitatif merupakan
20
Drs. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendeketan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 24 21 Wawanacara Pribadi dengan Informan S, Hari Sabtu 6 September 2014 pukul 11.30 WIB.
13
pendekatan yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan berbagai metode yang ada.22 Pendekatan kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggung jawabkan.23 Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam melakukan penelitian karena berharap dengan menggunakan pendekatan kualitatif, didapatkan hasil penelitian yang menyajikan data akurat dan menggambarkan dengan jelas kondisi sebenarnya mengenai kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila. 1.6.2
Jenis Penelitian Dilihat dari jenis penelitian, maka jenis penelitian yang penulis gunakan
adalah deskriptif. Pada jenis penelitian deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan mungkin menjadi kunci apa yang telah diteliti.24 Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya.25
22
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media , 2012), h. 25-26 23 Ibid., h. 32. 24 M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif,” h. 34. 25 Ibid., h. 35.
14
Penelitian
deskriptif
ini
penulis
gunakan
dengan
tujuan
untuk
mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasi penelitian mengenai kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila 1.6.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitain ini adalah Panti Sosial Karya Wanita
“Mulya Jaya” Pasar Rebo Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan dari tahap pralapangan, pembuatan instrument penelitian, pengumpulan data, pengolahan data hingga terakhir proses analisis data. Di mana dilakukan mulai bulan Maret 2014 sampai dengan Agustus 2014. Dilaksanakan dalam satu minggu 2 kali pertemuan dengan intensitas waktu pertemuan kurang lebih 3 jam. 1.6.4
Teknik Pemilihan Informan Teknik yang digunakan dalam pemilikan informan dalam penelitian ini adalah
teknik purposive sampling yakni teknik pemilihan informan yang dilakukan serta dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yakni peneliti menganggap bahwa informan yang di pilih mampu untuk menjawab pertanyaan dari rumusan permasalahan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu sampel ditentukan dengan cara purposive (sengaja) sehingga sampel penelitian tidak perlu mewakili populasi, tetapi lebih kepada kemampuan sampel (informan) untuk memberikan informasi selengkap mungkin kepada peneliti.26 Selain purposive sampling juga digunakan Snow ball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama menjadi membesar. Dalam penentuan 26
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif”. h. 89.
15
sample di mana pertama-tama dipilih satu atau dua orang sampel, tetapi karena dengan dua orang sampel ini belum merasa lengkap, terhadap data yang diberikan maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sampel sebelumnya. Begitu seterusnya sehingga jumlah sampel semakin banyak.27 Penelitian ini menggali data seluas-luasnya dari pihak yang terlibat dalam meneliti kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila (studi kasus di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta). Pihak-pihak tersebut antara lain: dua pekerja sosial yang menangani kedua informan WTS, teman wisma dari kedua informan WTS, kerabat atau keluarga dari kedua informan WTS, penyuluh agama yang menangani spiritual dari kedua informan WTS, dua wanita tuna susila (WTS) yang di bina di PSKW, dua staf PSKW dan instruktur keterampilan dari kedua informan WTS. Table 1.1 Kerangka pemilihan informan No 1 2 3 4 5 6 7
Informan Pekerja Sosial Teman wisma dari WTS Kerabat atau Keluarga dari WTS Penyuluh agama Wanita Tuna Susila Staf PSKW Instruktur keterampilan
27
Informasi Yang Dicari Jumlah Kehidupan sosial dan spiritual WTS 2 orang Kehidupan sosial dan spiritual WTS 2 orang Kehidupan sosial dan spiritual WTS 2 orang Kehidupan sosial dan spiritual Kehidupan sosial dan spiritual Kehidupan sosial dan spiritual Kehidupan sosial dan spiritual
WTS WTS WTS WTS
1 orang 2 orang 2 orang 1 orang
Sugiyono, Memahami penelitian kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2010),” h. 61.
16
Pemilihan informan di atas didasari pada pemikiran berikut ini: a. Pekerja sosial, Teman wisma dari WTS, Penyuluh agama, Staf PSKW dan Instruktur keterampilan dianggap peneliti mampu menjawab rumusan pertanyaan dari penelitian ini serta dapat menjelasakan secara lengkap, akurat dan mendalam terkait kehidupan sosial dan spiritual dari wanita tuna susila yang menjadi objek penelitian. b. Kerabat atau keluarga dari WTS, dianggap peneliti mampu menjawab rumusan pertanyaan penelitian serta mampu menjelasakan kehidupan sosial dan spiritual dari kedua informan WTS terkait kehidupan sosial dan spiritual mereka pada saat di lingkungan keluarga. c. Dua informan WTS, di mana peneliti mengambil dua informan WTS tersebut karena memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain terkait kehidupan sosial dan spiritual mereka baik di keluarga maupun di lingkungan PSKW sehingga menarik untuk diteliti.. 1.6.5 Sumber Data Data yang didapatkan dalam penelitian ini terbagi dua yakni: 1. Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.
28
Informan dalam data primer ini adalah yang telah
disebutkan dalam kerangka pemilihan informan. 2. Data sekunder adalah merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, baik melalui orang maupun melalui catatan dokumen sifatnya lebih baku sering pula disebut “sumber 28
Ibid., h. 164.
17
pustaka baku” atau sifatnya lebih permanen, pada umumnya memiliki waktu dan masa usia terbit yang lebih lama. Data sekunder antara lain dapat berupa catatan atau dokumen yang diambil dari beberapa literatur, buku-buku, internet atau tulisan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti seperti brosur, arsip dan lain-lain.29 1.6.6 Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang peneliti pakai adalah teknik pengumpulan data kualitatif. Di mana dalam Pengumpulan data kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kondisi yang alami, sumber data primer dan lebih banyak pada teknik observasi berperan serta, wawancara mendalam dan dokumentasi Teknik pengmpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Teknik Observasi Teknik observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun kelapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan. Metode observasi merupakan cara yang sangat baik untuk mengawasi perilaku subjek penelitian seperti perilaku dalam lingkungan atau ruang, waktu dan keadaan tertentu.30 Di sini peneliti terjun langsung kelapangan dengan mendatangi PSKW “Mulya Jaya” guna memperoleh data yang kongkret mengenai hal-hal yang menjadi objek penelitian, yaitu informasi tentang
29 30
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif,” h. 164 Ibid., h. 165.
18
kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila, yang hasilnya akan dituangkan dalam catatan lapangan. 2. Teknik Wawancara Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu.31 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif lebih menekankan pada teknik wawancara, khususnya wawancara mendalam (depth interview) yakni teknik wawancara yang digunakan untuk dapat lebih memahami persepsi, perasaan dan pengetahuan seseorang. Teknik ini merupakan teknik pengumpulan data yang khas penelitian kualitatif.32 Dalam hal ini peneliti berusaha mendapatkan data atau informasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung yang berkaitan tentang kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila Dalam penelitian ini penulis langsung mewawancarai pekerja sosial selaku pembimbing kedua informan WTS, staf PSKW, teman wisma kedua informan WTS, kerabat atau keluarga kedua informan WTS, penyuluh agama, instruktur keterampilan dari kedua informan WTS dan dua informan WTS yang ingin peneliti ketahui kehidupan sosial dan spiritual mereka. 3. Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah teknik yang menggunakan dokumen meliputi materi (bahan) seperti: fotografi, video, film, memo, surat, diary, rekaman kasus
31 32
Sugiyono, Memahami penelitian kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2010), h. 72. M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 175.
19
klinis dan sebagainya yang dapat digunakan sebagai bahan informasi penunjang, dan sebagai bagian dari kajian kasus yang merupakan sumber data pokok dari hasil observasi partisipan dan wawancara mendalam.33 Metode ini digunakan oleh peneliti guna mengumpulkan data-data atau dokumen-dokumen yang menunjang terhadap penelitian. Dokumen-dokumen yang dikumpulkan yaitu berupa buku, data kepustakaan, brosur, artikel baik itu yang tertulis maupun melalui internet. Dalam teknik ini peneliti berusaha memperoleh data-data dokumentasi yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila. 1.6.7 Teknik Analisis Data Secara umum dinyatakan bahwa analisis data merupakan suatu pencarian, pola-pola dalam data-prilaku yang muncul, objek-objek yang terkait dengan fokus penelitian.
Analisis
mengategorikan,
data
mencangkup
mengevalusi,
menguji,
membandingkan,
menyeleksi,
menyortir,
menyintesiskan
dan
merenungkan data yang telah direkam, juga meninjau kembali data mentah dan terekam.34 Dalam menganalisa data penulis menggunakan analisis induktif yang berarti bahwa kategori-kategori, tema-tema, dan pola berasal dari data. Kategorikategori yang muncul berasal dari hasil catatan lokasi penelitian, berasal dari dokumen dan hasil wawancara tidak ditentukan sebelum pengumpulan data.35
33
Ibid., h. 199. M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 246. 35 Ibid., h. 247. 34
20
Dari hasil analisis tersebut didapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian ini dan mampu memberikan rekomendasi yang dapat dijadikan alternatif dalam meneliti kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila. 1.6.8
Teknik Keabsahan Data Keabsahan data merupakan upaya meningkatkan derajat kepercayaan data
dengan cara membandingkan keadaan, pendapat dan pandangan orang lain.36 Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan keabsahan data yang dilakukan dengan cara triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Data lain yang dikumpulkan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari studi literatur, wawancara, pengamatan, dan data-data sekunder lembaga.37 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan metode, di mana yang dimaksud triangulasi sumber adalah penggunaan beberapa sumber atau informan yang berbeda, dalam triangulasi sumber peneliti menanyakan pertanyaan kepada informan yang sama dalam waktu yang berbeda serta menanyakan pertanyaan yang sama pada informan yang berbeda. Sedangkan yang dimaksud triangulasi metode adalah penggunaan metode-metode ganda untuk menstudi masalah atau program tunggal. Dalam triangulasi metode peneliti menggunakan metode tertentu yang nantinya dicek dengan metode yang lain yakni data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode/teknik wawancara
36 37
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 313. Ibid., h. 319.
21
yang nantinya dicek dengan menggunakan teknik observasi dan analisis dokumen.38 1.6.9
Teknik Penulisan. Adapun teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan berpedoman
pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, tesis dan disertasi) yang disusun oleh Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurahman, M.Syairozi Dimiyati, Netty Hartati dan Syopiansyah Jaya Putra yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Jakarta. Cet. Ke 2. 1.7
Sistematika Penulisan Penulisan ini terbagi ke dalam 5 Bab yaitu Bab I pendahuluan, berisi latar belakang masalah berupa data dan permasalahan wanita tuna susila yang melatari munculnya penelitian ini. Selain itu juga berisi pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teori, berisi pembahasan yang terdiri dari pengertian wanita tuna susila, penyebab wanita tuna susila. akibat wanita tuna susila, pengertian kehidupan sosial, aspek kehidupan sosial, manusia sebagai mahluk sosial, hubungan sosial, pengertian spiritual, prinsip spiritual, aspek-aspek spiritual, kebutuhan spiritual, karakteristik spiritualitas, dan faktor-faktor spiritualitas. Bab III, gambaran Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya Jakarta. Menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yang terdiri 38
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 317.
22
dari latar belakang berdirinya PSKW, visi, misi, tujuan, sasaran, fungsi lembaga, sarana dan prasarana, jenis layanan, ruang lingkup kegiatan, struktur lembaga, jumlah SDM, alur Pelayanan, jumlah penerima manfaat dan rekomendasi Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta. Bab IV, temuan lapangan dan analisa. Pada bab IV ini peneliti memaparkan tentang temuan hasil lapangan dan analisis yang menguraikan tentang, deskripsi Informan perempuan wanita tuna susila serta kehidupan sosial dan spiritual yang mereka jalankan. Bab V, penutup. Bab V berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
23
BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pelacur (Wanita Tuna Susila) Pelacuran atau prostitusi berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundelan, percabulan dan pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundel. Dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tuna susila. “Tuna susila atau tidak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan seksual dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga dapat diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan mala atau celaka dan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri.” 39
2.1.2 Penyebab timbulnya pelacuran Beberapa peristiwa sosial yang membuat munculnya pelacuran antara lain sebagai berikut: 1. Tidak adanya Undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan. Yang di larang dan diancam dengan hukuman ialah praktik germo pasal 296 KUHP dan mucikari pasal 506 KUHP. KUHP 506 sebagai berikut: Barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, di hukum dengan
39
Kartini Kartono, Patologi sosial jilid I Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 207.
24
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Namun dalam praktik seharihari, pekerjaan sebagai mucikari itu selalu di toleransi, secara inkonvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang tidak resmi. 2. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan. 3. Komersialisasi dari seks, baik dari pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks, jadi seks dijadikan alat yang jamak guna (multipurpose) untuk tujuan-tujuan komersialisasi di luar perkawinan. 4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang mengenyam kesejahteraan hidup dan ada pemutar balikan nilai-nilai pernikahan sejati. 5. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia. 6. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini. Khusunya mengeksploitasi kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil. 7. Ekonomi Laissez-Faire menyebabkan timbulnya system harga berdasarkan hukum “jual dan permintaan”, yang diterapkan pula dalam relasi seks. 8. Perkembangan kota-kota, daerah pelabuhan dan industri yang sangat tepat dan menyerap banyak tenaga buruh serta pegawai pria. Juga peristiwa urbanisasi
25
tanpa adanya jalan keluar untuk mendapat kesempatan kerja kecuali menjadi wanita panggilan bagi anak-anak gadis.40 2.1.3 Akibat-akibat pelacuran Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut: 1. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. 2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, suami-suami yang tergoda pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga. 3. Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolensi. 4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin dll). 5. Merusak
sendi-sendi
moral,
susila,
hukum,
dan
agama,
terutama
menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama. 6. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. 7. Bisa menyebakan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, ejakulasi premature, satiriasis dan lain-lain.41 2.2 Pengertian kehidupan sosial Kehidupan sosial adalah kehidupan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sosial/kemasyarakatan. Sebuah kehidupan disebut sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi di mana terdapat peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain 40
Ibid., h. 249-251. Kartini Kartono, Patologi sosial jilid I Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 242-
41
244.
26
ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain.42 2.2.1 Aspek Kehidupan sosial Gejala yang tampak sebagai perkembangan pada aspek kehidupan sosial, antara lain: 1. Semakin berkembangnya sifat toleran, empati, memahami dan menerima pendapat orang lain. 2. Semakin santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada orang lain. 3. Adanya keinginan untuk selalu bergaul dengan orang lain dan bekerja sama dengan orang lain. 4. Suka menolong kepada siapa yang membutuhkan pertolongan. 5. Kesediaan menerima sesuatu yang dibutuhkan dari orang lain. 6. Bersikap hormat, sopan, ramah dan menghargai orang lain.43 2.2.2 Manusia sebagai mahluk sosial Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan seorang diri, ia tidak memiliki peralatan fisik yang lengkap untuk hidup menyendiri. Untuk melangsungkan hidupnya harus bekerja sama dengan manusia yang lain di sekitarnya. Secara mandiri tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya, akan tetapi jika seseorang menjalin kerjasama dengan orang lain maka kemungkinan kebutuhan hidupnya secara minimal akan dapat terpenuhi sehingga ia dapat hidup layak. Hubungan kerjasama antara sesorang dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tadi biasanya terjadi di dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering 42
Muhamad Ali dan Mohamad Asrori, Psikologi Remaja (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h.
43
Ibid., h. 3.
85.
27
tampak adanya kelompok-kelompok manusia, akan tetapi kelompok-kelompok manusia tersebut belum dapat dinamakan kelompok sosial masyarakat. Menurut sosiologi kelompok sosial/ masyarakat memiliki beberapa persyaratan: 1. Adanya kesadaran dari setiap anggota kelompok bahwa dia adalah bagian dari kelompoknya. 2. Antara anggota yang satu dengan yang lain terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sesamanya. 3. Anggota-anggota kelompok memiliki faktor yang sama yang menyebabkan hubungan mereka menjadi erat. Faktor tersebut biasanya disebut solidaritas sosial atau setia kawan yang dapat berupa: a. Persamaan nasib. b. Kepentingan yang sama. c. Tujuan yang sama termaksuk persamaan ideologi.44 Plato mengatakan, mahluk hidup yang disebut manusia merupakan mahluk sosial dan mahluk yang senang bergaul/berkawan (animal society = hewan yang bernaluri untuk hidup bersama). Status mahluk sosial selalu melekat pada diri manusia. Manusia tidak bisa bertahan hidup secara utuh hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Ciri utama mahluk sosial adalah hidup berbudaya. Dengan kata lain hidup menggunakan akal budi dalam suatu sistem nilai yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Hidup berbudaya tersebut meliputi filsafat
44
Drs. Sudarsono. S.H, Kenakalan Remaja (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), h. 113.
28
yang terdiri atas pandangan hidup, politik, teknologi, komunikasi, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Menurut Aristoteles (384 – 322 SM), manusia adalah mahluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya (zoon politicon yang artinya mahluk yang selalu hidup bermasyarakat). Pada diri manusia sejak dilahirkan sudah memiliki hasrat/bakat/naluri yang kuat untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya. Naluri manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya disebut gregoriousness. Manusia berperan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai kebahagiaan bersama. 2.3 Hubungan sosial Hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan hubungan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya” (Anna alisyahbana, dkk., 1984). Hubungan sosial ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, mentaati
29
peraturan atau norma, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya dan sejenisnya.45 2.4 Pengertian Spiritualitas Spiritualitas adalah pencarian manusia akan makna dan tujuan hidup, sehingga memiliki keseluruhan kepribadian dari sejumlah pengalam hidup yang beragam.
46
Spiritualitas pada hakikatnya adalah sesuatu kekuatan yang datang dari
luar kekuatan diri sebagai manusia.47 Spiritualisasi dari segi bahasa berarti aksi spiritualitas, kondisi spiritualitas atau karakter spiritual jiwa manusia. Dalam psikologi spiritualitas berarti pembentukan kualitas kepribadian yang akan menuntun seseorang individu menuju kekhusyukan (kedewasaan, kematangan) dirinya dengan isu-isu moral dan agama serta jauh dari sifat keduniaan dan sensual.48 Stoll (1989) menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi: dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut.49
45
Muhamad Ali dan Mohamad Asrori, Psikologi Remaja, h. 85. Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayattuloh Jakarta, 2011), h. 81. 47 Ibid., h. 86. 48 DR. Yahya Jaya , M.A, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 52. 49 Alimul Hidayat, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Jakarta: Salemba medika, 2004), h. 51. 46
30
2.4.1 Prinsip spiritualisme Prinsip spiritualisme adalah 1. Menghormati orang lain 2. Menghargai orang lain 3. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia 4. Demokrasi 5. Musyawarah 6. Keadlilan 7. Kesetaraan 8. Cinta 9. Kepedulian 10. Kejujuran.50 Salah satu prinsip spiritualisme yakni kejujuran juga diterangkan dalam ayat Al-quraan yang dijelaskan Allah SWT dalam QS An-Nahl ayat 105 yang berbunyi:
ك هُ ُم ٗنۡڪَـٖذِبُىن َ ِٕج ٗنهَّ ۖهِ وَأُوْنَـٖٓٮ ِ ٖه نَب يُؤۡمِىُىنَ بِـَٔبيَـ َ ة ٗنَّذِي َ ِإِوَّمَب يَفۡخَزِي ٗنۡكَذ Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orangorang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orangorang pendusta. (QS An-Nahl:105)51 Jika prinsip kejujuran telah membudaya, maka akan tegaklah suatu masyarakat yang harmonis, aman dan sentosa seperti halnya pribadi mukmin yang hatinya selalu merasa aman dan damai karena berkata dan bertingkah laku yang benar. 89.
50
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial , h.
51
Al-Quraan QS An-Nahl Surah ke-16 ayat 105.
31
2.4.2 Aspek-aspek Spiritual Menurut Burkhardt (1993) Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: 1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan. 2. Menemukan arti dan tujuan hidup. 3. Menyadari kemempuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. 4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi. 2.5 Kebutuhan Spiritual Menurut (Carson, 1989) Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mencintai, menjalin hubungan penuh dan memiliki rasa percaya pada Tuhan serta mendapatkan maaf atau pengampunan. Orang yang meminta ampun serta bertaubat, akan diganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman dalam QS Al-Furqan ayat 70 yang berbunyi:
ن انهَّ ُه َ ث وَكَب ٍ ل انهَّهُ سَِّيئَبحِهِمْ حَسَىَب ُ ِّك يُبَد َ ِه وَعَ ِممَ عَمَهًب صَبنِحًب فَأُونَئ َ َة وَآَم َ إِنَّب مَهْ حَب غَفُىرًا رَحِيمًب ”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan: 70)52 52
Al-Quraan QS Al-Furqan Surah ke-25 ayat 70.
32
Kebutuhan spiritual juga merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, dan kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf.53 Hendaknya seorang muslim mengetahui bahwa dengan memberikan maaf ia akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Hal tersebut diterangkan dalam ayat Al-quraan yang dijelaskan Allah SWT dalam QS An-Nur ayat 22 yang berbunyi:
ون ي ع فىا ون ي ص فحىا أال ت ح بىٌ أٌ ي غ فر اهلل ن كى واهلل غ فىر رح يى Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah akan mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” (Qs.An-Nur: 22).54 2.5.1 Masalah Kebutuhan Spiritual Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikan kekuatan, harapan dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan,
adanya
keraguan
yang
berlebih
dalam
mengartikan
hidup,
mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian dan sesudah hidup, adanya keputusasaan, menolak kegiatan ritual, dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah.55
53
Alimul Hidayat, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, h. 69. Al-Quraan QS An.Nur Surah ke-24 ayat 22. 55 A. Aziz Alimul Hidayat, Pengantar Kebutuahan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Keperawatan (Jakarta: Salemba Medika, 2012)), h. 256. 54
33
Distress spiritual terdiri atas: 1. Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang dicintai atau dari penderitaan yang berat. 2. Spiritual yang khawatir, yaitu terjadinya pertentangan kepercayaan dan sistem nilai seperti adanya aborsi. 3. Spiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan dalam kegiatan keagamaan.56 2.5.2 Karakteristik Spiritualitas sebagai berikut: 1. Hubungan dengan diri sendiri a. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya). b. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri). Dalam AlQur'an juga dijelaskan tentang percaya diri dalam QS Ali-Imran ayat 139 yang berbunyi:
َن كُىْخُمْ مُؤْمِىِيه ْ ِن إ َ ْوَنَب حَهِىُىا وَنَب حَحّْزَوُىا وَأَوْخُ ُم انْأَعْهَى Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 139).57
Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dalam alQur'an disebut sebagai orang yang tidak takut dan sedih menghadapi
56 57
Ibid., h. 257. Al-Quraan Ali-Imran Surah ke-3 ayat 139.
34
kegelisahan karena mereka orang orang yang beriman dan orang-orang yang istiqomah 2. Hubungan dengan alam a. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim. b. Berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki), mengabdi dan melindungi alam. 3. Hubungan dengan orang lain a. Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik. b. Mengasuh anak, orangtua dan orang sakit. c. Meyakini kehidupan dan kematian Kepastian datangnya kematian juga diterangkan dalam ayat Al-quraan yang dijelaskan Allah SWT dalam QS Ali-Imran ayat 185 yang berbunyi:
انًى و ًَ تى ىٌ أ
ا
ىر ى يىو ان ي ي م َف
Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu”. (QS. Ali `Imran: 185).58 d. Konflik dengan orang lain. e. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi. 3. Hubungan dengan ketuhanan (Agamais atau tidak agamais) Setiap mahluk hidup di bumi ini dan segala isinya wajib berhubungan serta tunduk pada Allah SWT yang juga diterangkan dalam ayat Al-quraan QS Ar-Ra’d ayat 15 yang berbunyi:
58
Al-Quraan Ali-Imran Surah ke-3 ayat 185.
35
ي ان سًىا
ٍواالرض طىع و ره وظ ه ههى ب ن غدو وهلل ي سجد ي واال ص ل
Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di 1angit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra’d: 15).59 a.
Sembahyang/berdoa/meditasi. Inti hubungan Tuhan dengan manusia adalah aturan, yaitu perintah dan
larangan. Manusia diperintahkan berbuat menurut aturan yang telah ditetapkan Allah. Jika manusia menyimpang dari aturan itu, maka ia akan tercela, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Aturan yang dituangkan dalam kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi, misalnya tentang perintah sholat agar kita terhindar dari perbuatan munkar yang juga diterangkan dalam ayat Al-quraan QS Al-Ankabut ayat 45 yang berbunyi:
ِه انْفَحْشَب ِء وَانْمُىْكَز ِ َن انّصَهَب َة حَىْهًَٖ ع َ ِإ “Sesungguhnya salat itu pencegah perbuatan fahsya’ dan munkar” (QS Al-Ankabut: 45).60 b.
Perlengkapan keagamaan.
c.
Bersatu dengan alam.
2.5.3 Terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila: a. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan.
59 60
Al-Quraan QS. Ar-Ra’d Surah ke-13 ayat 15. Al-Quraan QS Al-Ankabut Surah ke-39 ayat 45.
36
b. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. c. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta. d. Membina integritas personal dan merasa diri berharga. e. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan. f. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.61 2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual 1. Perkembangan Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan. 2. Keluarga Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari Perintah tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan agama pada keluarga mereka, juga diterangkan dalam ayat Al-quraan yang dijelaskan Allah SWT dalam QS AtTahrim ayat 9 yang berbunyi:
س وَانْحِجَبرَ ُة عَهَيْهَب مَهَبئِكَت ُ ه آَمَىُىا قُىا أَوْفُسَكُ ْم وَأَهْهِيكُمْ وَبرًا وَقُىدُهَب انىَب َ يَب أَيُهَب انَذِي َن انهَ َه مَب أَمَزَهُ ْم وَيَفْعَهُىنَ مَب يُؤْمَزُون َ غِهَبظٌ شِدَا ٌد نَب يَعّْصُى
61
Alimul Hidayat, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, h. 88.
37
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim: 9).62 3. Budaya/Suku Budaya merupakan hasil aktivitas budidaya manusia yang mengatur dan merumuskan berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan manusia itu sendiri. Hal itu diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia serta mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya, lingkungan dan Tuhan. Dengan demikian budaya itu meliputi tradisi, sistem pemikiran, falsafah hidup dan agama yang hidup di dalam masyarakat yang meliputi segala pemikiran, cara hidup dan hasil karya suatu bangsa atau golongan masyarakat tertentu. Segala pemikiran, cara hidup, dan hasil karya tersebut diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang mempunyai nilai-nilai dan kegunaan yang baik bagi bangsa yang bersangkutan, sesuai dengan tempat dan waktunya. Nilai-nilai dan kegunaannya itu dijaga serta diteruskan dan dapat ditemukan unsur-unsurnya di dalam agama Kristen dan agama-agama lainnya. Narvaes dan Lapleys (2009), menyatakan bahwa budaya mendukung pembentukan karakter, dalam hal ini spiritualitas. Melalui
ketersediaan
institusi, ritual, kepercayaan, peran model, dongeng, pepatah, dan cerita anak.
62
Praktik budaya
yang
tergambar
Al-Quraan QS At-Tahrim Surah ke-66 ayat 9.
38
melalui
ritual
agama
dan
kepercayaan filosofi memberikan kesempatan kepada anggota budaya tersebut dalam memandang perannya dalam komunitas, mendefenisikan apa yang menjadi kebutuhan, pengalaman emosi, perasaan, cara membina hubungan dengan orang lain, mendefenisikan kesedihan dan kebahagiaan, coping terhadap masalah, serta nilai dan prinsip yang penting dalam kehidupan kepribadian
seseorang dan
yang
karakter
akhirnya mempengaruhi seseorang,
dengan
perkembangan
kata lain
dapat
mempengaruhi spiritualitasnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hubungan yang erat sekali antara budaya dan agama. Keduanya saling mempengaruhi. Pada satu pihak, kebudayaan dirubah dan dibentuk oleh agama. Dan pada pihak lain, agama dibatasi ruang lingkupnya oleh budaya. 4. Agama yang dianut Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual. 5. Kegiatan Keagamaan Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya dengan Tuhan, dan selalu mendekatkan diri kepada Penciptanya.63 2.7 Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi: a. Tujuan dan arti hidup. b. Tujuan dan arti kematian.
63
A. Aziz Alimul Hidayat, Pengantar Kebutuahan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Keperawatan, h. 255.
39
c. Kesehatan dan pemeliharaannya. d. Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain.64
64
Ibid., h. 102.
40
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA 3.1
Latar Belakang Lembaga Panti sosial karya wanita mulya jaya yang selanjutnya disebut PSKW Mulya
Jaya, yang bertempat di Jl. Tat Twam Asi Komp. Depsos Nomor 47 RT. 08 RW. 02 Kelurahan Gedong Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur .13760, awalnya merupakan pilot project pusat pendidikan wanita Mulya Jaya di Jakarta yang diresmikan oleh Menteri Sosial RI. Bapak H. Moelyadi Djoyomartono (Alm) pada tanggal 20 September 1960. Kata “Mulya Jaya” sendiri berarti “Wanita Mulya Negara Jaya”. Pada tanggal 1 Juni 1963, pusat pendidikan wanita Mulya Jaya diresmikan sebagai panti pendidikan wanita (PPW Mulya Jaya). Lalu di tahun 1969, PPW diubah menjadi pusat pendidikan pengajaran kegunaan wanita (P2KW), kemudian berdasarkan SK Kementrian Sosial RI. No41/HUK/Kep./XI/1979. P2KW berubah nama menjadi panti rehabilitasi wanita tuna susila (PRWTS) Muya Jaya dan sejak tanggal 24 April 1995 PRWTS ditetapkan sebagai Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya berdasarkan keputusan Menteri Sosial RI. No. 22/HUK/1995.65 3.1.1
Visi dan Misi Dalam melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para penerima
manfaat PSKW Mulya Jaya Jakarta menetapkan visi dan misi lembaga yakni sebagai berikut:
65
Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Tahun 2013.
41
Visi: Mewujudkan PSKW “Mulya Jaya” sebagai lembaga penyelenggara pelayanan prima bagi wanita tuna susila. Misi: 1. Melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para wanita tuna susila sesuai dengan norma, prosedur, dan standar pelayanan. 2. Melaksanakan perencanaan program dan kegiatan dalam meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para wanita tuna susila yang efektif. 3. Meningkatkan dukungan manajemen pelayanan sosial dalam panti yang akuntabel, transparan dan efisien.66 3.1.2
Sejarah Berdirinya dan Beroperasi Lahirnya PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki sejarah yang cukup panjang.
Beikut ini adalah kronologi sejarah PSKW Mulya Jaya Jakarta: Tahun 1959
:Sebagai Pilot Proyek Pusat Pendidikan Wanita, merupakan proyek percontohan Depsos.
Tahun 1960
:Dibuka Menteri Sosial RI Bapak H. Moelyadi Djoyomartono (Alm) dengan nama “Mulya Jaya” berdasarkan motto tanggal 20 Desember 1960, yaitu “Wanita Mulya Negara Jaya”.
Tahun 1963
:Diresmikan menjadi Panti Pendidikan Wanita (PPW) “Mulya Jaya” tanggal 1 Juni 1963.
Tahun 1969
: Diresmikan menjadi Pusat Pendidikan Pengajaran Kegunaan Wanita ( P3KW )
66
Ibid
42
Tahun 1979
:Ditetapkan menjadi Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila ( PRWTS) “Mulya Jaya” dengan SK Menteri Sosial RI No. 41/HUK/Kep/XI/1979 tanggal 1 Nopember 1979.
Tahun 1994
: Ditetapkan menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) “Mulya Jaya” dengan Keputusan Menteri Sosial RI No. 14/HUK/1994 tanggal 23 April 1994.
Tahun 1995
: Ditetapkan menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) “Mulya Jaya” dengan Keputusan Menteri Sosial RI No. 22/HUK/1995 tanggal 24 April 1995.67
3.1.3 Pengakuan Hukum/Ijin Operasional Sesuai Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 106/HUK/2009, PSKW “Mulya Jaya” Jakarta adalah Panti Rehabilitasi Sosial yang menangani penyandang masalah tuna susila, dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsi, sebagai berikut: A.
Kedudukan Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta adalah salah satu Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh Direktur Pelayanan Rehabilitasi Tuna Sosial. Panti Sosial dipimpin oleh seorang Kepala.68
67
Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 68 Ibid
43
B.
Tugas Pokok Panti Sosial mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial agar mampu berperan aktif, berkehidupan dalam masyarakat, rujukan regional, pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian informasi serta koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Panti Sosial Karya Wanita mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi bimbingan lanjut bagi para wanita tuna susila agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan pengembangan standar pelayanan dan rujukan.69 C.
Fungsi Berdasarkan tugas pokok tersebut, PSKW “Mulya Jaya” Jakarta, mempunyai
fungsi yakni: 1. Penyusunan rencana dan program ; evaluasi dan laporan. 2. Pelaksaan Registrasi, Observasi, Identifikasi, Diagnosa sosial dan perawatan. 3. Pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi bimbingan mental, sosial, fisik, dan keterampilan. 4. Pelaksaan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut.
69
Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
44
5. Pelaksaan pemberian perlindungan sosial, advokasi sosial, informasi dan rujukan. 6. Pelaksanaan pusat model pelayanan rehabilitasi dan perlindungan sosial.. 7. Pelaksanaan urusan tata usaha7071 3.1.4 Status Kepemilikan Panti Sosial Karya Wanita “Mulya Jaya” Jakarta adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh Direktur Pelayanan Rehabilitasi Tuna Sosial. Panti Sosial dipimpin oleh seorang Kepala.72 3.2 Struktur Organisasi Lembaga PSKW Mulya Jaya memiliki struktur organisasi yang sesuai dengan peraturan menteri sosial RI No:106/HUK/2009. Dimana struktur organisasi tersebut dipimpin oleh seorang kepala panti yang dibawahi oleh kepala bagian tata usaha, kepala bagian advokasi sosial, kepala bagian rehabilitasi sosial serta kelompok jabatan fungsional dan shelter intalasi produksi. Struktur organisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
70
Ibid Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat. 72 Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 71
45
KEPALA PANTI Dra.M.Ali Samantha,MM 195809291986031005 KA.SUB.BAG. TATA USAHA Emil Salamun, S.Sos. 196211091990101002 KASIE. PROGRAM DAN ADVOKASI SOSIAL
KASIE. REHABILITASI SOSIAL
Kustaman, S.ST., M.SI.
Dra. Sri Gantini, M.Si.
196801201990031002
196710071993032005
196710071993032005
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
SHELTER INTALASI PRODUKSI (WORKSHOP)
46
3.3 Manajemen Program Layanan Perencanaan 3.3.1 Perencanaan Setiap staf baik dari kepala seksi maupun para bawahan pasti membuat suatu perencanaan. Proses perencanaan tersebut di pimpin oleh kepala seksi masingmasing. Dalam menentukan perencanaan kepala seksi juga melibatkan para bawahan dalam menenttukan perencanaan dimana nanti perencanaan yang sudah direncanakan akan dikonsultasikan ke kepala panti agar mendapat keputusan apakah perencanaan tersebut dapat di jalankan,73 A. Teknik Perencanaan Dalam membuat suatu perencanaan memakai dua teknik yakni: 1. perencanaan dengan bekerjasama/berdiskusi oleh para bawahan. 2. Perencanaan yang dilakukan sendiri oleh para atasan/kepala seksi.74 3.3.2
Program
A. Deskripsi Target 1. Sasaran utama Sasaran utama PSKW Mulya Jaya Jakarta dalam memberikan pelayan dan rehabilitasi sosial adalah Wanita tuna susila (WTS) 2. Sasaran Penunjang Sedangkan Sasaran penunjang PSKW Mulya Jaya Jakarta dalam memberikan pelayan dan rehabilitasi sosial bagi para penerima manfaat adalah 1. Keluarga Kelayan atau siswa 73
Ibid., h. 17 Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 74
47
2. Tokoh masyarakat 3. LSM Orsos/Instansi Pengirim 4. Germo atau mucikari 5. Perantara atau broker75 3. Sasaran Pelayanan Sasaran pelayanan PSKW Mulya Jaya Jakarta dalam memberikan pelayan dan rehabilitasi sosial bagi para penerima manfaat adalah: 1. Wanita tuna susila hasil razia yang dirujuk dari dinas sosial Satpol PP, kepolisian dan instansi terkait lainnya. 2. Para wanita tuna susila dan eks wanita tuna susila hasil motivasi dan penjangkauan pekerja sosial. 3. Para wanita tuna susila dan eks wanita tuna susila yang datang dengan keinginan sendiri mengikuti program rehabilitasi sosial. 3.3.3
Kriteria Pemilihan PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki kriteria pemilihan dalam menetapkan
penerima manfaat yang akan dibina selama 6 bulan adalah sebagai berikut: Persyaratan Calon Klien PSKW “Mulya Jaya”
1.
1. Penyandang masalah Tuna Susila 2. Usia 15 s/d 58 tahun 3. Sehat jasmani dan rohani /tidak sakit ingatan 4. Tidak dalam keadaan hamil dan tidak menyusui 5. Tidak mengidap penyakit berat dan menular kecuali penyakit kelamin 75
Ibid
48
6. Wajib tinggal di asrama dengan mematuhi tata tertib dan ketentuanketentuan yang berlaku 7. Wajib mengikuti bimbingan mental, fisik, sosial dan keterampilan selama 6 bulan.76 3.4 Jangkauan Layanan Jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial PSKW “Mulya Jaya” Jakarta yaitu Regional – Nasional, meliputi: 3
DKI Jakarta
4
Banten
5
Jawa Barat
6
Batam
7
Kalimantan77
3.5
Proses Penerimaan Proses penerimaan klien hingga menjadi penerima manfaat yang dibina di
PSKW Mulya Jaya Jakarta adalah sebagai berikut: 1. Registrasi. 2. Penelaahan dan Pengungkapan masalah (Assesment). 3. CC yang dihadiri oleh staf medis, pekerja sosial, staf PAS , penyuluh, Ketua Tim CC, Ketua TU, Dan Satpol PP yang bersangkutan. 4. Penempatan kelayan pada program.78
76
Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat. 77 Ibid
49
3.6 Pengasuhan/Bimbingan Panti Sosial merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis (UPT) Departemen Sosial RI yang menitikberatkan pada fungsi
pelayanan sosial, diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial mulai dari tahap pendekatan awal sampai dengan terminasi.79 A. Maksud Dan Tujuan 1. Maksud Kegiatan pelayanan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila yang dilaksanakan di PSKW “Mulya Jaya” Jakarta, dimaksudkan untuk memperoleh hasil penanganan yang optimal dalam upaya mencapai sasaran program pelayanan dan rehabilitasi sosial; serta adanya keterpaduan langkah pelaksanaanya 2. Tujuan Program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila ini yaitu: memulihkan kondisi fisik, mental, psikis, sosial, sikap dan perilaku wanita tuna susila agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat.80 3.7 Proses Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial 3.7.1 Rehabilitasi Sosial meliputi: Rehabilitasi sosial di PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki prosedur dan tahapan mulai dari pendekatan awal, penerimaan hingga masuk kepada bimbingan 78
Lufiarna, “ Praktikum 1 Kesejahteraan Sosial,” (Praktikum 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 19. 79 Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 80 Ibid
50
fisik, mental dan ketermapilan sesuai dengan minat para penerima manfaat. Tahapantahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pendekatan Awal terdiri dari: 1. Orientasi dan Konsultasi. 2. Identifikasi. 3. Motivasi. 4. Seleksi.81 b. Penerimaan terdiri dari: 1. Registrasi (kapasitas tampung 110 per angkatan atau 220 orang per tahun). 2. Penelaahan dan Pengungkapan masalah (Assesment). 3. Penempatan kelayan pada program.82 c. Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan keterampilan meliputi: 1.
Bimbingan fisik dan mental terdiri dari: Olah raga jasmani, Bimbingan kerohanian.
2.
Bimbingan Sosial terdiri dari: penyuluhan sosial, terapi kelompok, dinamika kelompok, konseling.
3.
Bimbingan Keterampilan terdiri dari: menjahit bordir, haig speed, tata rias rambut, tata rias pengantin, tata boga.83
81
Ibid Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 83 Ibid 82
51
d. Bimbingan Keagamaan di PSKW terdiri dari: 1. Ceramah/Klasikal Yakni pemberian ceramah yang diberikan penyuluh spiritual di PSKW yang berlangsung kurang lebih selama 60 Menit. Di saksikan oleh seluruh penerima manfaat yang sedang di bina di PSKW dengan bantuan arahan para staf PSKW, di mana dalam ceramah tersebut diberikan pengetahuan, motivasi serta ajakan untuk selalu menamkan spiritual yang baik pada diri penerima manfaat dalam menjalankan hubungan pada tuhan, diri sendiri dan orang di sekitar termaksuk keluarga. 2. Bimbingan Seni Membaca Al-Quraan Yakni pemberian pemahaman serta pengajaran kepada penerima manfaat dalam membaca kitab al-quraan ataupun Iqra. Serta pemahaman mengenai arti dan makna isi dalam setiap ayat yang dipelajari. Dengan kegiatan ini diharapkan setiap penerima manfaat dapat lancar membaca alquraan serta mengamalkan kandungan dari al-quraan tersebut dalam kegiatan sehari-hari. 3. Terapi Dzikir Qolbu Yakni kegiatan dzikir bersama-sama oleh seluruh penerima manfaat yang ada di PSKW dengan di pandu oleh Bapak H. Syafwaldi yang memberikan arahan kepada para enerima manfaat untuk dzkir bersama
52
menyebut asma Allah SWT dengan penuh penghayatan sehingga dapat menyentuh qolbu seluruh penerima manfaat di PSKW.84 Adapun tujuan dari kegiatan bimbingan mental spiritual di PSKW ini agar dapat memberikan pengertian kepada penerima manfaat yaitu dengan: 1. Pemahaman Dalam hal ini memberikan pemahaman mengenai pekerjaan WTS yang tidak sesuai dengan norma-norma agama aosial, budaya dan negara. 2. Menumbuhkan Kesadaran Menumbuhkan kesadaran kepada penerima manfaat bahwa hidup itu punya tata cara, aturan-aturan, yang harus di taati untuk mengangkat diri sendiri dengan tidak merendahkan harga diri demi uang, serta dapat menumbuhkan kesadaran bahwa mereka juga memiliki keterampilan yang lain dibanding menjadi pekerja seks komersial WTS. 3. Mempunyai sikap/pendirian yang kuat Menjauhkan diri dari WTS dan pergaulan yang tidak baik, serta tidak akan kembali pada kegelapan masa lalu. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Bimbingan Mental Spiritual di PSKW sebagai berikut: a. Faktor Pendukung 1. Sarana dan prasarana yang memadai (buku-buku keagamaan dan perlengkapan solat) 2. Adanya modul atau materi yang diberikan penyuluh 84
Observasi Peneliti 19 Mei 2014
53
3. Adanya SDM penyuluh yang memadai b. Faktor Penghambat 1. Perilaku penerima manfaat yang terkadang malas mengikuti kegiatan
bimbingan keagamaan dan harus dipaksa terlebih
dahulu oleh staf. 2. Budaya dan Suku yang berbeda sehingga beberapa penerima manfaat sulit untuk beradaptasi. 3. Penerima manfaat lupa dan kurang mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari materi yang telah dipelajari.85 1.7.2
Resosialisasi dan bimbingan lanjut. Di PSKW Mulya Jaya Jakarta melakukan kegiatan resosialisasi dan
bimbingan lanjut bagi para penerima manfaat disana guna mencapai pelayan yang optimal. 1. Resosialisasi meliputi: 1. Bimbingan Kesiapan dan peran serta masyrakat. 2. Bimbingan sosial hidup bermasyarakat. 3. Bimbingan pembinaan bantuan UEP. 4. Bimbingan Usaha/kerja produktif. 5. Penempatan dan penyaluran.86 2. Bimbingan lanjut meliputi: 1. Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat. 85
Wawancara dengan Penyuluh Spiritual Bapak Ahmad Affandi S.Sos.i Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 86
54
2. Bantuan pengembangan usaha/kerja. 3. Bimbingan pemantapan usaha/kerja.87 3.8 Indikator Keberhasilan Indikator keberhasilan dalam pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila, antara lain: 1. Adanya perubahan perilaku dan sikap hidup yang konstruktif, untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai wanita 2. Tidak lagi melakukan prostitusi atau sebagai wanita tuna susila. 3. Tidak berkumpul kembali dengan teman-teman wanita tuna susila. 4. Diterima kembali dan hidup secara normatif ditengah-tengah keluarga dan masyarakat. 5. Timbulnya dorongan semangat untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak 6. Berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak untuk meningkatkan taraf ekonomi atau kehidupannya. 7. Melakukan pekerjaan yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan memperoleh penghasilan yang halal. 8. Melakukan pekerjaan
dengan sungguh-sungguh sehingga mutu dan
kualitasnya baik/ tinggi 9. Timbulnya kemampuan untuk mengendalikan diri dan disiplin diri 10. Timbuilnya keinginan atau dorongan untuk hidup sehat, teratur, tertib.88
87
Ibid
55
3.9 Kebijakan dan Praktek Perlindungan HAM Kebijakan dan praktek perlindungan HAM yang diterpak di PSKW Mulya Jaya Jakarta adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat 2, pasal 28 & pasal 34. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konfensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. 6. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 7. Undang-Undang RI. No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. 8. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak. 9. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 106/HUK/2009 Tentang Organisasi dan tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. 10. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Bekas Penyandang Masalah Tuna Sosial.89 3.10 Sumber Daya PSKW Mulya Jaya memiliki seluruh pegawai panti berjumlah 51 orang yang dapat digambarkan pada tabel di bawah ini. 88
Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id 89 Ibid
56
Tabel 2.1 Jumlah personil panti/pegawai NO TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
1.
Pasca sarjana (S-2)
3 orang
2.
Sarjana(S-1)
19 orang
3.
Sarjana muda/Diploma
3 orang
4.
SLTA
18 orang
5.
SLTP
7 orang
6.
SD
1 orang
JUMLAH :
51 orang
Selain itu dibantu Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 15 orang 3.10.1 Sarana dan Prasarana PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki sarana dan prasarana dalam menunjang dan meningkatkan proses pelayan serta rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Sarana Dan Prasarana No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
SARANA & PRASARANA Kantor (Kepala Panti dan Tata Usaha) Kantor (Rehabsos, PAS, Peksos) Guest House Rumah Dinas Pimpinan Rumah Dinas Pegawai I Rumah Dinas Pegawai II Rumah Dinas/Mess Pegawai Ruang seleksi Aula Ruang Keterampilan Tata Rias dan Olahan Pangan Ruang Keterampilan Menjahit Manual Ruang Keterampilan Menjahit High Speed Ruang Kesehatan, Konsultasi dan data Asrama Siswa Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang Asrama Siswa Kartini Satu dan Dua Asrama Siswa Malahayati (Tingkat) 57
KET. 187 M2 420M2 195M2 185M2 155M2 115M2 200M2 179M2 216M2 231 M2 156M2 200m2 140m2 130m2 260m2 266m2
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37 38. 39. 40. 41.
Ruang Makan dan Dapur Ruang Serbaguna (Ruang Pendidikan) Pos Jaga Depan Pos Jaga Belakang Rumah Ibadah Mesjid Al Khairat Lapangan Tenis Lapangan Olah Raga dan Upacara Selasar Taman Lahan Pertanian Empang I Empang II Jalan dalam Komplek Pagar Tembok Keliling Drainase (Saluran Air) Gardu PLN Lahan Penghijauan dan Semak Belukar Gedung TPA Gedung Traficking (Tingkat) Aula atau Ruang serbaguna Lapangan Bulutangkis Lapangan Tenis Roda Enam (mini bus) Roda Empat Roda Dua
275m2 353m2 12m2 9m2 433m2 757m2 1280m2 90m2 1680m2 2903m2
780m2 785m2 1750m2 1 unit 2427m2 257m2 340m2 573m2 144m2 757m2 1 Buah 3 Buah 2 Buah
3.11 Lembaga mitra PSKW “Mulya Jaya” Jakarta Lembaga mitra yang bekerja sama dengan PSKW Mulya Jaya Jakarta dalam mengembangkan pelayanan dan rehabiitasi sosial bagi wanita tuna susila adalah sebagai berikut: 1. Dinas sosial provinsi kotamadya/kabupaten. 2. Satuan polisi ramong praja provinsi/kotamadya/kabupaten. 3. Bareskrim mabes polri/polda/polres. 4. PSBI Bangun Daya Cipayung. 5. RSCM Jakarta. 6. Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo.
58
7. RPSO Kementrian sosial RI. 8. LPK “Tri Dewi Salon” 9. Universitas Indonesia. 10. UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta. 11. YAI Jakarta. 12. STKS Bandung. 13. Koramil Pasar Rebo..90
90
Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
59
BAB IV TEMUAN LAPANGAN Pada bab ini peneliti akan membahas tiga hal pertama, mengenai deskripsi informan, kedua temuan dan analisa mengenai kehidupan sosial wanita tuna susila, ketiga temuan dan analisa mengenai kehidupan spiritual wanita tuna susila. Dengan menggabungkan dan mengkaji temuan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan teori-teori yang telah dijelaskan pada bab ll. 4.1 Deskripsi informan Bagian ini akan menjelaskan informan dari unsur wanita tuna susila. Ada dua wanita tuna susila yang dijadikan informan dalam penelitian ini. Informan ini dipilih berdasarkan keunikan yang ada pada diri masing-masing informan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yakni untuk memahami kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila. Dalam penelitian ini peneliti mengambil dua informan WTS yang memiliki keunikan yang sangat berbeda satu sama lain agar dapat dilihat perbandingan dari kedua informan WTS tersebut. Adapun deskripsi informan lain yakni pekerja sosial, staf, penyuluh agama, teman wisma informan WTS, keluarga dari kedua informan WTS dan instruktur keterampilan yang tidak secara khusus ditulis di bagian ini, tetapi menyatu dalam transkip wawancara. 4.1.1 Deskripsi informan “S” Nama
:S
Tempat/Tgl Lahir
: Bogor/5 April 1975
Usia
: 39 Tahun
60
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
:Kampung Lemahneundeut Rt 002/003
Desa Pancawati
Kecamatan Caringin. Agama
: Islam
Pendidikan
: SD
Status Perkawinan
: Cerai Hidup
Kewarganegaraan
: WNI
Tabel 4.1 Deskripsi keluarga informan “S” berdasarkan Asal No
Nama
L/P
Asal
Umur
1
R
L
Bogor
48
2
B
L
Cianjur
45
3 4 5
Y E ARD
P L L
Bogor Bogor Bogor
58 60 7 hari
6
AR
P
Bogor
21
6
SH
P
Bogor
17
7 8
DD D
L L
Bogor Bogor
43 41
Hubungan Dengan Klien Suami Pertama Suami Kedua Ibu Ayah Anak (dari suami pertama) Anak (dari suami kedua) Anak (dari suami kedua) Kakak Kakak
9
DG
L
Bogor
40
Kakak
Tidak Sekolah
10 11 12 13
YU I IP IA
P P P P
Bogor Bogor Bogor Bogor
27 21 20 19
Adik Adik Adik Adik
SMP SD SD SD
61
Pendidikan Pekerjaan
SD
Buruh tani
SD
Pedagang pisang IRT (Alm) (Alm)
SD -
SD (Tidak Tukang Tamat) Ojek Pesantren
Pabrik Kaos
SMA SMK
Pedagang Buruh Bangunan Buka Toko Beras IRT IRT IRT IRT
4.1.2 Riwayat masalah informan “S” Informan “S” umur 39 tahun anak keempat dari 8 bersaudara pasangan bapak “E” (almarhum) umur 60 tahun dan Ibu “S” umur 58 tahun. Informan “S” pernah menikah dua kali, pernikahan pertama yakni dengan “R” umur 48 tahun, tetapi pernikahan hanya bertahan selama dua bulan saja lalu bercerai. Informan “S” dan “R” suami pertamanya tersebut menikah secara sirri dan Informan “S” bercerai dengan “R” sedang mengandung seorang anak dengan usia kandungan 1 bulan, Informan “S” terpaksa bercerai dengan “R” karena saat itu Informan “S” mendapati suaminya yakni “R” mencuri alat alat penyemprot cabe di sebuah gudang. Hal tersebut membuat marah dan memutusakan untuk menceraikan “S” dengan “R” saat itu “S” tidak bisa berbuat apa-apa karena “S” pun merasa kecewa dengan suaminya. Akhirnya setelah bercerai “S” terpaksa mengandung anak tanpa seorang suami “S” pun bekerja apapun dari menjadi pembantu rumah tangga hingga berjualan makanan ringan demi mengumpulkan uang untuk membiayai persalinannya nanti. Setalah anak informan “S” lahir “S” menamakan anak tersebut “ARD” tetapi anak “S” tersebut hanya bertahan selama 7 hari setalah dilahirkan disebabkan terserang penyakit yang menyebabkan kematian “S” sangat terpukul saat itu Setelah ditinggal meninggal oleh anaknya yang baru ia lahirkan, akhirnya “S” pun dari hari kehari mulai melupakan kesedihannya dan bertemu serta berkenalan dengan seorang pria yakni “B”. Informan “S” bertemu dengan “B” saat sedang bermain di rumah kerabat “S”. Akhirnya setelah melalui perkenalan satu sama lain “S” memutuskan untuk menikah dengan “B” kali ini dengan “B” informan “S” menikah secara resmi tidak menikah sirri seperti pernikahnnya yang pertama, 62
pernikahan pun menghasilkan satu orang anak yakni “AR”. Keluarga “S” dengan suami dan anaknya pun berjalan dengan damai dan bahagia sampai dikarunikan lagi anak kedua yang masih dalam kandungan tetapi permasalahan besar pun muncul suami “S” yakni “B” melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, “S” pun sempat memergoki suaminya berhubungan badan dengan wanita tersebut. “S” sangat sakit hati karena rumah tangga yang dibinanya selama ini harus hancur dengan kehadiran wanita lain, “S” pun kaget karena ternyata suami “S” sudah menikah diam-diam dengan wanita simpanannya itu. Akhirnya suami informan “S” yakni “B” menceraikan “S” dengan alasan sudah tidak mencintai “S”. Saat suami “S” meminta cerai “S” sedang mengandung anak kedua dari pernikahnnya dengan “B” usia kandungan sudah 6 bulan. “S” memaksa suaminya untuk tidak menceraikannya tetapi suami “S” tetap kukuh menceraikan “S”. Akhirnya “S” pun resmi berpisah dengan suami kedua. Dengan menahan sakit hati yang terulang kembali “S” berusaha merawat kandungannya tanpa seorang suami di sisinya, akhirnya anak kedua “S” dari “B” pun lahir yakni dinamakan “SH”. “S” pun sejak hari itu harus merawat kedua anaknya masih kecil karena anak pertama “S” yakni “AR” masih berusia 4 tahun, tetapi guncangan psikologis kali ini sangat berat dirasakan “S” karena sudah dua kali “S” gagal dalam pernikahan dan sekarang ditambah lagi dia harus mencukupi kebutuhan dua anaknya yang masih kecil. “S” tidak tamat SD sehingga susah mencari pekerjaan hanya dapat bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari “S” dan dua anaknya. Akhirnya pada suatu ketika “S” ditawarkan oleh temannya sendiri untuk bekerja sebagai wanita tuna susila 63
(WTS) saat itu karena sedang putus asa dan merasa kesal dengan keadaan yang menimpa dirinya “S” pun menyetujui penawaran temannya tersebut. Setiap hari “S” menjajakan diri di jalan dari pukul 21.00 WIB – 04.00 WIB selama satu malam “S” bisa melayani laki-laki hingga 5 orang dengan tarif Rp. 350.000 per orang. Dan kalau sudah langganan biasanya Rp. 500.000. “S” biasa berhubungan di hotel dengan tarif hotel Rp. 150.000 tetapi uang hotel pelanggan yang membayar. Tahun 1999 informan “S” pernah menjual diri ke Batam tetapi ternyata setiap “S” melayani para tamu berhubungan badan uangnya selalu diambil oleh geremo tidak pernah diberikan kepada “S” sehingga “S” merasa tertipu. Akhirnya pada suatu ketika “S” menceritakan kasus penipuan yang “S” alami kepada salah satu pelanggan tetap “S” yakni berwarga Negara India. Pelanggan tersebut sangat baik terhadap “S” dalam berhubungan badanpun sangat sopan dengan “S” dan merupakan pelanggan tetap yang paling baik, akhirnya setelah “S” bercerita pelanggan tersebut mengatakan akan membantu “S” kembali kerumahnya. Pelanggan itu menebus “S” dari mami (geremo) sebesar Rp. 6.000.000 lalu mami pun menyetujui dan “S” akhirnya berhasil untuk pulang kerumah. Ketika sampai di rumah “S” disambut bahagia oleh orang tua dan anak “S” di mana keluarga “S” berprasangka bahwa “S” sudah meninggal dunia tetapi akhirnya “S” pun kembali ke rumahnya bersama kedua anaknya dan orang tuanya. Setelah berhasil menyelamatkan diri dari Batam “S” pun memutuskan untuk melamar di panti pijat Ibu neneng di jalan teras air Bogor dan akhirnya “S” pun diterima bekerja di panti pijat itu. Tetapi ternyata selama proses bekerja “S” terjun 64
lagi kedalam dunia pelacuran dimana banyak lelaki yang dipijat “S” meminta berhubungan badan. “S” pun yang merasa uang hasil pijat biasa satu orang hanya Rp.30.000 tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan dia dan kedua anaknya ditambah lagi “S” harus membiayai ibu “S” yang sudah ditinggal meninggal oleh ayah “S” karena satu hari paling hanya dapat pelanggan pijat 3 orang, maka dari itu jika ada pelanggan yang ingin berhubungan badan “S” menyanggupinya. Keluarga “S” tidak mengetahui profesi “S” menjadi wanita tuna susila hanya tahu bahwa “S” kerja di panti pijat. Setiap hari “S” bekerja memijat sekaligus melayani laki-laki berhubungan badan ada yang meminta saat lagi dipijat lalu keluar untuk ke hotel ada juga yang minta tetapi menelepon terlebih dahulu karena sudah langganan. Satu pelanggan “S” memasang tarif bersih Rp. 250.000 sudah tidak mahal lagi karena “S” sekarang sudah agak tua tidak seperti dulu yang masih muda. Jika di panti pijat tidak dapat pelanggan karena sepi, “S” menjajakan diri di warung remangremang sebelum tol jagorawi dari pukul 21.00 WIB sampai 04.00 WIB terkadang “S” dalam dua hari tidak ada pelanggan “S” terpaksa hanya pijat biasa. Pelanggan “S” makin hari makin berkurang karena “S” merasa sudah tidak menarik lagi karena sudah tua. Tetapi masih saja ada yang mamakai jasa seks informan “S” tetapi dengan tarif lebih murah “S” pun tetap menerima. Alasan utama “S” pertama kali menjajakan diri di jalan hanya untuk mencukupi kebutuhan kedua anaknya dimana 17 tahun yang lalu “S” harus terpaksa berpisah dengan suami keduanya. Sedangkan harus seorang diri membesarkan kedua anaknya yang masih kecil saat itu. Sekarang kedua anaknya sudah besar, anak pertama sudah berumur 21 tahun anak kedua yang sedang mau menikah sudah 65
berumur 17 tahun. Anak-anak merupakan motivasi terbesar “S” dalam menjalankan hidup tanpa anak-anak “S” tidak akan bisa bertahan dari semua masalah yang telah dihadapi selama ini. Walaupun “S” bekerja sebagai wanita tuna susila tetapi “S” sangat berperan baik menjadi seorang ibu. Sejak 17 tahun yang lalu “S” banting tulang seorang diri menjadi Ibu sekaligus Ayah dari kedua putra putrinya. Merawat dengan penuh kasih sayang membesarkan dan memberikan pendidikan kepada mereka karena sejak bercerai Bapak dari anak-anak tersebut lepas tanggung jawab tidak memberikan nafkah. “S” menjadi wanita tuna susila semata-mata untuk kedua Anak “S” walaupun “S” mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang agama juga merupakan aib keluarga tetapi karena desakan ekonomi “S” tetap menjalani pekerjaan tersebut. Di sisi lain hubungan “S” dengan kakak-kakak “S” sangat tidak baik. Karena masalah “S” pernah menghilangkan motor dari adik “S” yang bernama “I” sehingga sejak kejadian itu sampai sekarang hubungan “S” dengan kakak-kakanya dan adiknya yang bernama “I” kurang baik. Walaupun “S” berprofesi sebagai wanita tuna susila “S” tetap rajin beribadah itu yang membedakan “S” dengan wanita tuna susila lainnya. “S” tidak pernah meninggalkan solat wajib bahkan solat sunah pun “S” jalankan. Terlihat selama berada di PSKW “S” rajin solat berjamaah, solat duha dan tahajud bahkan “S” mengajarkan beberapa teman di wisma nya bagaimana cara mengaji dan bacaan solat. Sebelum berangkat menjajakan diri menjadi wanita tuna susila pukul 21.00 WIB “S” terlebih dahulu solat Magrib dan Isya di rumah meminta agar diberikan rejeki dan kelancaran selama berada di jalan. Lalu setelah selesai menjajakan diri 66
pukul 04.00 WIB “S” tidak langsung pulang kerumah tetapi kerumah temannya membersihan diri mandi wajib lalu solat subuh baru pagi pulang ke rumah dengan membawa barang belanjaan untuk makan kedua anaknya. Begitu seterusnya. Selain solat “S” pun menyempatkan diri untuk membaca Al-quraan karena menurut “S” hati “S” menjadi tenang sesudah membaca Al-quraan. “S” pun menyerahkan semua kepada Allah SWT atas ibadah yang dijalankan diterima atau tidak yang penting “S” beranggapan sudah melaksanakan perintah agama walaupun “S” tahu dia melaksanakn pekerjaan yang sangat dibenci oleh Allah SWT tetapi “S” berasumsi bahwa Allah SWT pasti mengetahui alasan kenapa “S” menjadi wanita tuna susila yakni hanya demi anak-anaknya. 4.1.3 Deskripsi informan “N” Nama
:N
Usia
: 39 Tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: JL. Kampung gudang Rt 01/Rw 09. Desa Puspa Sari Rt Kecamatan Citerep
Agama
: Islam
Pendidikan
: SD (Tidak Tamat)
Status Perkawinan
: Cerai Hidup
Kewarganegaraan
: WNI
67
Tabel 4.2 Deskripsi keluarga informan “N” berdasarkan Asal No
Nama
L/P
Asal
Umur
1
H
L
Cibinong 50
2
AS
P
Cibinong 40
3
M
L
Citerep
60
Hubungan Dengan informan Mantan Suami Hubungan Tanpa Status Ayah
4
A
P
Citerep
60
Ibu
5
E
P
Citerep
18
Anak
6
EB
L
Citerep
18
Anak
7
EN
L
Jawa Tengah
20
Menantu
Pendidikan Pekerjaan
SD (Tidak Kuli Tamat) panggul SD Bengkel
Tidak sekolah Tidak sekolah SD (Tidak tamat) Tidak sekolah SD
Alm Alm Pabrik jahitan Tukang parker Rental PS
4.1.4 Riwayat masalah informan “N” Informan “N” umur 39 tahun anak ke 9 dari 11 bersaudara pasangan Bapak “M” almarhum dan Ibu “A” almarhum. Informan “N” memiliki suami yakni “H” umur 50 tahun berprofesi sebagai pedagang pisang dan dari pernikahan “N” tersebut dikaruniai dua anak yang pertama bernama “E” umur 18 tahun berprofesi sebagai buruh pabrik dan anak keduanya yakni “EB” umur 17 tahun berprofesi sebagai tukang parkir. “N” dan keluarganya tinggal di JL. Kampung gudang Rt 01/Rw 09. Desa Puspa Sari Kecamatan Citerep. Keluarga “N” sangat bahagia karena suami “N” merupakan suami yang baik dan perhatian tetapi semua berubah ketika kelahiran anak kedua “N” yakni “EB”, suami “N” menjadi berubah tidak perhatian, tidak pernah memberikan nafkah yang
68
cukup. “N” hanya diberikan uang Rp.15.000 satu hari dan itu hanya cukup untuk beli beras dan minyak tanah sedangkan saat itu kedua anak “N” membutuhkan jajan setiap harinya, bukan hanya itu suami “N” yakni “H” bahkan sering melakukan pemukulan terhadap “N” dengan alasan “N” tidak dapat menjadi istri yang baik padahal “N” sudah menjalankan kewajiban sebagai istri dan Ibu bagi kedua anak “N”. Sampai akhirnya karena sudah tidak dapat solusi atas berbagai permasalahan rumah tangga merekapun berpisah saat anak mereka “E” usia 6 tahun dan “EB” usia 5 tahun Lalu mereka memutuskan untuk membagi anak yakni “E” dirawat oleh suami “N” yakni “H” sedangkan “EB” ikut dengan “N”. Setelah kejadian tersebut “N” pun kerja keras di sebuah pabrik baju guna untuk mencukupi kebutuhan dia dan anaknya “EB”. “N” harus berjuang tanpa seorang suami. Sampai pada suatu hari “N” bertemu dan berkenalan dengan seorang pemuda bernama “A” umur 40 tahun berprofesi sebagai karyawan bengkel mobil saat itulah “N” jatuh cinta terhadap “A” meskipun “A” sudah memiliki seorang istri yang memang jauh yakni tempat tinggal istri “A” di Sukabumi. Mereka pun menjalin hubungan tanpa ada status yang jelas, mereka juga sudah berhubungan layaknya suami istri tinggal bersama satu kontrakan anak “N” yakni “EB” pun di bawa “N” tinggal bersama “A”. Sampai akhirnya “N” hamil “A” pun bertanggung jawab merawat “N” dan anaknya serta bayi dikandungan “N” walaupun ia tidak menikahi “N”. Lalu ketika usia kandungan “N” mencapai 6 bulan “N” merasakan mulas dan ingin melahirkan padahal belum waktunya akhirnya bayi “N” pun meninggal dunia. “N” dan “A” sangat sedih atas meninggalnya anak mereka tersebut. “A” merupakan
69
figur yang baik jauh perhatian dibandingkan dengan “H” mantan suami “N” terdahulu walaupun memang “A” tidak pernah menikahi informan “N”. Sampai akhirnya pada suatu hari istri “A” yang dari Sukabumi datang mengunjungi “A” ke Cibinong, “A” pun sangat kaget dan ia tidak ingin istrinya mengetahui hubunganya dengan “N” dan memutuskan untuk meninggalkan “N”. Saat itu “N” sangat merasa sedih dan terpukul karena ia ditinggalkan begitu saja oleh “A” dan “N” pun harus berjuang sendiri lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup ia dan “EB” putranya. Informan “N” semakin hari semakin lelah menjalani kehidupan sampai akhirnya bertemu dengan “Y” yang sekarang juga dibina di PSKW. “N” bertemu dengan “Y” di kontrakan yang saat itu “Y” mengontrak di sebelah kontrakan “N” dan mereka pun lama-lama semakin akrab. Sampai suatu hari “Y” mengajak “N” untuk menjajakan diri di jalan sebagai wanita tuna susila dan “N” pun menyetujui hal tersebut. “N” memilih profesi sebagai wanita tuna susila sejak tahun 2000 awalnya “N” menjajakan diri di jalan baru Citerep. Dalam menjajakan diri sebagai wanita tuna susila dalam semalam “N” bisa mendapatkan 2 sampai 3 pelanggan baik muda maupun tua dengan tarif bermacam-macam dari Rp. 60.000 hingga Rp. 200.000. Di lingkungan rumah “N” banyak yang mencibir karena suka pulang malam tetapi “N” tidak pernah menanggapi hal tersebut karena “N” hanya memikirkan kebutuhan hidup “N” dan anaknya yakni “EB”. Informan “N” banting tulang kerja hanya untuk mencukupi kebutuhan kedua anaknya di mana mantan suami dari informan “N” tidak pernah menafkahi “N” sejak berpisah.
70
Dalam menghadapi setiap masalah “N” hanya bisa menangis tidak pernah berdoa kepada Allah SWT karena memang dari sejak muda “N” tidak pernah melaksanakan ibadah seperti solat dan mengaji karena selalu diliputi oleh rasa malas. Akibat kemalasannya tersebut pun “N” sampai sekarang tidak dapat menulis dan membaca karena dulu ketika disekolahkan orang tuanya dia sering membolos. 4.2 Kehidupan sosial wanita tuna susila Bagian ini akan menjelaskan mengenai kehidupan sosial dari kedua informan wanita tuna susila. Baik kehidupan sosial dalam keluarga masing-masing informan WTS maupun selama dibina di PSKW Mulya Jaya Jakarta. Dengan menggabungkan dan mengkaji antara temuan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan teori-teori yang telah di jelaskan pada bab ll. 4.2.1 Aspek Kehidupan Sosial Kehidupan sosial yang terjadi di dalam masyarakat selalu memiliki gejalagejala yang tampak sebagai perkembangan pada aspek kehidupan sosial dalam masyarakat. Begitu juga dengan WTS mereka juga memiliki aspek-aspek kehidupan sosial seperti toleransi, hubungan atau pergaulan dengan orang lain/keluarga, tolongmenolong, sikap hormat, sopan-santun, ramah dan menghargai satu sama lain. 4.2.1.1 Toleransi WTS sama seperti masyarakat lainnya di mana dalam diri mereka juga tertanam sikap toleransi ke sesama baik toleransi terhadap keluarga maupun masyarakat sekitar. Di PSKW mereka juga diharapkan memiliki toleransi yang baik selama hidup di lembaga. Salah satu informan yang memaparkan toleransi yang ia
71
lakukan selama di lembaga ialah “S”seorang WTS yang sedang di bina di PSKW Mulya Jaya Jakarta mengatakan: “Toleransi yang bisa saya lakukan selama dibina di PSKW dengan tidak membeda-bedakan agama walaupun di wisma ada yang kristen saya tetap bantu jika dia membutukkan bantuan contohnya misalkan saya tidur satu kamar berlima ya tidak boleh serakah walaupun kekurangan kasur tetap berbagi kasur dengan teman yang lain seperti itu.”91 Pernyataan di atas menjelaskan bahwa “S” menanamkan toleransi beragama dan toleransi berbagi dengan sesama, hal tersebut menunjukan bahwa sikap toleransi masih tertanam pada diri WTS tersebut. Di samping itu peneliti juga mewawancarai “N” seorang WTS yang juga di bina di PSKW terkait toleransi yang ia terapkan selama berada di lembaga. Hal tersebut dilakukan peneliti untuk membandingkan kedua toleransi dari kedua informan yang ada. “N” mengatakan: “Toleransinya dengan bergaul sama siapa aja tidak pilih-pilih teman. Lalu juga saling berbagi contohnya dikamar itu kurang tempat tidur cuma ada empat kasur sedangkan orangnya lima yaudah saya yang ngalah, saya tidur berdua sama orang baru, engga apa-apa sempit asal bisa berbagi aja…”(sambil tersenyum).92
Penjelasan kedua informan di atas menggambarkan bahwa seorang WTS juga memiliki sikap toleransi yang baik. Pernyataan “S” diperkuat dengan pernyataan salah satu staf PSKW yang mengatakan: “Kalau setau saya dia baik-baik aja tidak pernah ada pertengkaran .toleransinya dengan teman-temannya juga baik-baik saja dia bergaul dengan siapa saja tidak pilih-pilih.”93
91
Wawancara pribadi dengan informan S, Kamis 5 Juni 2014, pukul 09.40 WIB s/d 10.40
WIB 92
Wawancara pribadi dengan informan N, Kamis 5 Juni 2014, pukul 10.40 WIB – 11.30 WIB Wawancara pribadi dengan staf rehabilitasi sosial Ibu Nunung Rusmana, Senin 5 Mei 2014, pukul 11.30 WIB s/d 11.50 WIB. 93
72
Sedangkan pernyataan “N” juga diperkuat oleh salah satu staf PSKW lainnya, bisa dilihat pada lampiran 19.94 Sedangkan toleransi dalam keluarga “S” sendiri, peneliti dapatkan dari keluarga “S” yakni adik kandungnya yang mengatakan: “Kalau di rumah dia suka bantu-bantu, suka masak karena dia punya anak cewe satu cowo satu. yang cewe anaknya kerja di pabrik jas. Suka masak dan beres-beres rumah juga bentuk toleransi di keluarga. Lalu toleransi Ibu “S” dengan tetangga juga baik suka ngebantu miskin atau kaya sama aja suka di bantuin, engga pilih-pilih oarngnya…”95 Lalu untuk “N” terkait toleransi yang dilakukan di rumah, peneliti mendapatkan informasi dari anak kandung “N” yang bisa dilihat pada lampiran 24.96 Terlihat dari paparan di atas bahwa sesungguhnya “S” dan “N” memiliki toleransi yang baik kesesama di lingkungan lembaga PSKW Mulya Jaya Jakarta maupun lingkungan tempat tinggal mereka. 4.2.1.2 Hubungan Keluarga Seorang WTS juga memiliki keluarga yang sangat mereka sayangi. Tidak berbeda dengan para istri dan Ibu lainnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari pernyataan informan “S” ia menjelaskan hubungannya dengan anak kandungnya dengan mengatakan: “Baik sekali. Anak saya sangat menuruti apapun perkataan saya. Anak saya merupakan motivasi saya untuk melanjutkan kehidupan.”97
94
Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk, Senin 19 Mei 2014, pukul 12.48 WIB s/d 13.00 WIB. 95
Wawancara pribadi dengan informan IA, Sabtu/10 Mei 2014, pukul 14.49 WIB s/d 15.10
96
Wawancara pribadi dengan informan EB, Kamis/22 Mei 2014, pukul 13.30 WIB s/d 14.00
97
Wawancara pribadi dengan S.
WIB. WIB
73
Terlihat dari pernyataan “S” bahwa ia memiliki hubungan baik dengan anakanaknya, bukan hanya itu “S” pun mengatakan pula hubungannya dengan orang tuanya yakni Ibu nya pun sangat baik terlihat dari ungkapan “S” yang mengatakan: “Baik. Sekarang saya yang merawat ibu saya karena ayah saya sudah meninggal.” (dengan wajah sedih).98 Berbeda sekali nampak hubungan “S” yang terlihat baik dengan anak dan orang tuanya tidak terjadi pada hubungan “S” dengan mantan suaminya dimana “S” mengatakan: “Setelah bercerai dengan suami pertama dan kedua saya tidak pernah berkomunikasi dengan mereka lagi mereka juga sudah lepas tanggung jawab pada anak-anak.” (memasang muka kesal).99 Penjelasanan di atas menggambarkan bahwa “S” memiliki hubungan yang sudah tidak baik dengan mantan suaminya dan harus menafkahi anak-anaknya seorang diri tanpa sosok suami disampingnya. Keadaan yang sama juga dialami oleh informan “N” yang juga merupakan WTS yang sedang dibina di PSKW ia menjelaskan hubungan dengan anak-anaknya dengan mengatakan: “Baik tidak pernah ada masalah, kedua anak saya tidak pernah melawan saya penurut anaknya.”100 Sedangkan hubungan “N” dengan orang tuanya juga baik terlihat dari ungkapannya yang terdapat pada lampiran 18.101
98
Ibid., Wawancara pribadi dengan S. 100 Wawancara pribadi dengan N. 101 Ibid., 99
74
Sama seperti “S” hubungan “N” dengan mantan suaminya pun tidak berjalan dengan baik, terlihat dari ungkapannya “N” yang mengatakan: “Ya kadang-kadang ketemu di pasar citerep, tapi ketemu doang engga pernah teguran yaudah saya diemin saja.”102 Pernyataan di atas menjelaskan bahwa “N” memiliki hubungan yang kurang baik dengan mantan suaminya. Pernyataan dari informan “S” juga diperkuat dengan pemaparan salah satu keluarga dari informan “S” yakni adik “S” mengatakan hubungan “S” dengan orang tuanya yakni “…Kalau bapak sudah meninggal sudah hampir 7 tahun. Tapi sekarang “S” tinggal bersama Ibunya baik hubungannya “S” sangat merawat Ibunya dengan baik.”103 Hubungan “S” dengan kedua mantan suaminya adik “S” juga dapat dilihat pada lampiran 16.104 Sedangkan keluarga dari informan “N” mengatakan hubungan “N” dengan mantan suaminya yakni: “Kalau Bapak masih suka nemuin “EB” paling datang kerumah “E” kakak saya nah saya disuruh datang juga kerumah “E” lalu ketemu disitu. Kadang-kadang memberikan uang, tapi mama sudah benci sama Bapak hubungannya sudah tidak baik. Kalau mamah engga pernah komunikasi lagi sama Bapak”105
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa seoarang WTS juga dapat berperan baik menjadi Ibu. Kebanyakan dari mereka sudah berpisah dari suaminya dan harus
102
Ibid., Wawancara pribadi dengan informan IA. 104 Ibid., 105 Wawancara pribadi dengan informan EB. 103
75
menafkahi keluarganya seorang diri. Menjadi tulang punggung keluarga bukan hal yang mudah bagi mereka sehingga mereka rela menjadi WTS hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga terutama anak-anak mereka. 4.2.1.3 Sikap tolong menolong Sikap tolong menolong juga ada dalam diri Wanita Tuna Susila (WTS), mereka sangat perhatian dengan orang-orang sekitar mereka, meskipun tidak semuanya melakukan hal tersebut tetapi banyak dari mereka yang memiliki hati nurani untuk saling tolong-menolong dalam keadaan apapun. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan informan “S” ia mengatakan: “Saya suka bantu “I” adik saya karena dia baik suka merawat anak saya dari kecil kalau saya kerja. Jika dia tidak ada uang suka saya kasih dan kalau tidak ada lauk saya suka berikan. Tetapi kalau sama yang lain saya cuek saja toh mereka juga cuek sama saya” (bernada kesal).106 Selain itu hal yang berbeda nampak pada pernyataan informan “N” yang juga mengatakan: “Kalau saya sama saudara jarang tolong-menolong. Saudara saya juga engga pernah nolongin saya justru adik saya “L” suka main kerumah minta uang tapi karena dia engga pernah bantu saya ya saya juga engga bantu dia dan saudara yang lain. Udah masing-masing aja “107 Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa “S” dapat membantu para kerabat dan saudara walaupun dalam keadaan susah. Meskipun berbeda dengan “N” di mana tidak pernah menanamkan sikap tolong menolong bahkan sesama saudara sendiri. Sikap tolong menolong “S” dan “N” pun dapat dilihat di lingkungan wisma pada saat mereka bergaul dan berkumpul dengan teman-teman senasib yang dibina di 106 107
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
76
PSKW. Salah satu teman dekat informan “S” menjelaskan sikap tolong menolong “S” selama di lembaga ia mengatakan: “Kalau masalah menolong seringlah sama saya juga suka ditolong , kayak bantu ngerokin, bantu ajarin mengaji…” Sedangkan salah satu teman dekat informan “N” juga mengatakan sikap tolong menolong “N” selama di lembaga yakni: “Kalau sama aku dia baik suka bantu ngerokin, sampai dia bilang ih dikerokin terus kan engga baik entar makin parah. Aku udah biasa sama dia suka dikerokin dan di pijitin…”108
Sikap tolong menolong mereka bukan hanya terlihat dari sesama kerabat dan teman, juga terlihat dari sikap menolong dalam keluarga. Hal tersebut dijelaskan salah satu keluarga informan “S” yakni adik kandungnya yang mengatakan: “Baik alhamdulilah, dia suka menolong, kalau sodara tidak punya apa-apa masalah keuangan dia suka membantu.”109 Berbeda dengan keluarga informan “S” keluarga dari informan “N” yakni anak kandungnya yang mengatakan: “Kalau sodara belum pernah ada yang membantu kalau ada masalah. Mama juga jarang bantu-bantuin saudara.”110
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa seorang wanita tuna susila juga dapat berbuat baik dengan saling tolong menolong sesama kerabat serta peduli ketika orang sekitar mengalamai kesusahan seperti yang dilakukan oleh “S”, meskipun memang tidak semua dari WTS yang melakukan hal tersebut karena beberapa juga 108
Wawancara pribadi dengan informan I. Wawancara pribadi dengan informan IA. 110 Wawancara pribadi dengan informan EB. 109
77
ada dari mereka yang kurang menanamkan sikap tolong menolong ke sesama dan kurang peduli terhadap orang lain seperti yang dilakukan “N”. 4.2.1.4 Hormat WTS yang ada di PSKW juga memiliki sikap hormat baik kepada orang tua mereka maupun kepada para staf dan teman wisma di PSKW. Hal tersebut diperkuat oleh paparan informan “S” dalam menghormati orang tua ia mengatakan: “Ya pasti saya sangat hormati orang tua. Saya lakukan pekerjaan ini juga untuk mencukupi kebutuhan orang tua saya.”111 Dalam menghormati mantan suami yang terdahulu informan “S” pun menjelaskan bagaimana ia menghormati sosok suami yakni: “Ya kaya gimana lah sewajarnya saja sebagai istri, kan kita harus lembut dengan suami. Saya sayang banget sama suami pertama dan kedua. Tetapi kenapa saya lagi hamil anak kedua dari suami kedua saya ditinggalin ia lebih memilih wanita lain saya sakit hati sekali.”112 Sedangkan informan “N” juga menjelaskan sikap hormat yang ia lakukan pada orang tua yakni: “Ya bantuin engga pernah ditinggalin itu cara saya menghormati bantu beres-beres dirumah. Waktu saya lagi perawan saya suka di bilang rajin sama orang tua.”113 Lalu dalam menghormati mantan suami “N” mengatakan: “Kalau suami datang pulang kerja saya buatkan kopi tapi kadangkadang juga tidak karena marah-marah terus suami saya percuma saya baik juga.” (bernada kesal).114
111
Wawancara pribadi dengan informan S. Ibid., 113 Wawancara pribadi dengan informan N. 114 Ibid., 112
78
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa “S” dan “N” dapat memiliki sikap hormat yang baik bagi orang tua mereka dan orang-orang terdekat mereka, mereka melakukan pekerjaan sebagai WTS semata-mata untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Di samping itu sikap hormat informan “S” juga terlihat dari bagaimana “S” menghormati para staf di PSKW. Hal tersebut dipaparkan oleh teman dekat informan “S” selama di lembaga yakni: “Alhamdulilah sangat hormat dengan para staf ibu “S”. tegur sapa kalau berjumpa para staf juga baik kata-katanya, sopan dan hormat ibu “S”.115 Sedangkan untuk informan “N” dalam menghormati staf. Teman dekat informan “N” mengatakan: “Ya biasa lah suka negur kalau ketemu staf. Hormat bicaranya baik, ya tegur sapa aja sih yang aku pernah lihat”116
Seperti hal nya teman dekat informan selama di lembaga. Pembimbing dari kedua informan tersebut pun menjelasakan bagaimana sikap hormat informan selama di lembaga. Hal tersebut diungkapkan oleh pembimbing informan “S” yang bagaimana sikap “S” dalam menghormati pembimbing yang dapat dilihat pada lampiran 12.117 Lalu pembimbing informan “N” pun mengatakan sikap hormat “N” kepada pembimbingnya juga bisa dilihat pada lampiran 20.118
115
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara dengan informan I. 117 Wawancara probadi dengan pekerja sosial madya Ibu Dra. Elmiwati 118 Wawancara pribadi dengan pekerja sosial penyelia Bapak Hasan Otoy. 116
79
Dari paparan di atas terlihat bahwa seorang WTS juga memiliki sikap hormat yang baik kepada orang-orang sekeliling mereka. Bukan hanya kepada teman dan kerabat kepada keluarga pun seorang WTS memiliki sikap hormat yang baik. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan salah satu keluarga informan “S” yakni adik kandungnya yang mengatakan: “Ya dia suka bantu-bantu selalu hormat tidak pernah kasar karena orang tuanya kan juga sudah nenek-nenek hehe.” (sambil tertawa).119 Sedangkan untuk informan “N” salah satu keluarganya yakni anak informan juga mengatakan: “Mama hormat tetapi Bapak saya yang galak marah-marah terus sama mama makanya pisah.”120
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa seorang WTS bisa berprilaku hormat terhadap orang-orang sekitarnya baik itu terhadap keluarga mereka maupun terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya selama mereka dibina di PSKW Mulya Jaya Jakarta. 4.2.1.5 Sopan santun Banyak orang yang menganggap seorang WTS tidak memiliki sopan santun baik berkata, bersikap maupun berpakaian. Tetapi sesungguhnya seorang WTS juga dapat berprilaku sopan kepada siapapun yang ada di lingkungan mereka. Hal ini diperkuat dengan pernyataan “S” ia mengatakan: “…jika menghadapi orang yang lebih tua ataupun yang kebih muda dari saya siapapun itu ya punten kalau kita lewat depan mereka.” 119 120
Wawancara pribadi dengan informan IA. Wawancara pribadi dengan informan EB.
80
(menganggukan kepala), berpakaian juga sopan pakai jilbab kalau mau berangkat ke musola dan tidak pakai baju atau celana yang terlalu ketat sehari-harinya jadi terlihat sopan dan rapi.”121 Hal yang sama diutarakan oleh “N” yang mengatakan: “Ya saya sopan dalam berbicara yang baik tidak kasar, cara berpakain juga sopan mematuhi peraturan yang ada di lembaga dengan baik. Intinya menjaga tutur kata dan penampilan.”122 Bukan hanya sopan dalam prilaku selama di lembaga informan “S” juga mengajarkan kesopanan kepada anak-anaknya seperti yang ia ungkapkan sebagai berikut: “Ya kalau untuk “AR” anak saya yang laki saya selalu bilang kalau mau bertamu kerumah orang harus ucapkan salam, ketemu siapapun yang tua dan yang muda ucapkan salam. Lalu sama saya dan Ibu saya dirumah jika mau pergi kemana-mana ya pamitan dulu biar orang rumah tahu. Alhamdulilah pada nurut nasihat saya. Kalau untuk anak perempuan saya “SH”. saya suka ajarkan sebagai perempuan jangan berkata kasar kepada siapapun terutama laki-laki karena laki-laki bisa berbuat apapun sama perempuan.…”123 Lalu informan “N” juga menanamkan kesopanan kepada anak-anaknya seperti yang ia utarakan: “Saya kalau sama “E” anak saya selalu bilang kalau main engga boleh pulang malam kalau pacaran, kalau sama “EB” saya bilang jangan begadang terus.”124 Kesopanan informan “S” selama berada di lembaga juga diperkuat dengan pernyataan salah satu staf yang dapat dilihat pada lampiran 11.125
121
Wawancara pibadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 123 Wawancara pribadi dengan informan S. 124 Wawancara pribadi dengan informan N. 125 Wawancara pribadi dengan staf rehabilitasi sosial Ibu Nunung Rusmana. 122
81
Di samping itu kesopaan Ibu “N” juga dipaparkan oleh staf lainnya yang juga terdapat pada lampiran 19.126 Bentuk kesopanan yang dijalankan oleh kedua informan “S” dan “N” juga dijelaskan oleh instruktur keterampilan masing-masing dari mereka. Salah satunya instruktur keterampilan “S” mengungkapkan: “Sopan orangnya terlihat dari cara “S” kalau bicara dia berkatakata dengan baik dan sopan, serta hormat terhadap saya selaku instruktur.”127 Selanjutnya instruktur keterampilan “N” pun mengatakan hal yang sama dan dapat dilihat pada lampiran 23.128 Kesopanan yang dilakukan oleh para WTS tersebut juga diterapkan oleh anakanak mereka. Mereka pun menanamkan kesopanan kepada anak-anak mereka sama seperti Ibu lainnya yang mengharapkan anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki kesopanan yang baik. Hal tersebut diungkapkan oleh keluarga informan “S” yang terdapat pada lampiran 16.129 Sama hal nya anak dari informan “N” juga mengatakan kesopanan yang diajarkan oleh “N”, yang dapat dilihat pada lampiran 24.130 Pernyataan di atas menggambarkan bahwa seorang WTS juga memiliki kesopanan yang baik bahkan mereka juga menanamkan kesopanan kepada anak-anak mereka, agar anak-anak mereka tumbuh menjadi anak-anak sopan dan berprilaku baik. 126
Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita 128 Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita 129 Wawancara pribadi dengan informan IA. 130 Wawancara pribadi dengan informan EB. 127
82
4.2.2 Hubungan Sosial 4.2.2.1 Norma Peraturan dan norma selalu ada di mana pun kita tinggal. Begitu juga di PSKW Mulya Jaya Jakarta yang memiliki peraturan yang harus diikuti oleh seluruh pegawai maupun para penerima manfaat disana. Para WTS yang dibina di sana pun diharapkan dapat mematuhi peraturan dan segala kegiatan yang telah ditetapkan. Para WTS yang dibina di PSKW ada yang bisa mematuhi peraturan dengan sangat baik dan ada pula yang tidak. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan “S” yang mengatakan: “Alhamdulilah saya selalu mematuhi setiap peraturan disini saya rajin mengikuti kegiatan yang ada disini seperti bimbingan rohani, bimbingan sosial, keterampilan, dinamika kelompok semua saya jalankan dengan baik kecuali saya sakit. Contohnya jika saya sakit engga kuat ikut keterampilan biasanya saya lapor dulu ke instruktur keterampilan minta izin untuk tidak ikut seperti itu.”131 Selain itu informan yang kedua yakni “N” juga mengatakan: “Dengan patuhi semua kegiatan, kegiatan apapun kaya masak, ngaji, permainan games ya saya ikuti semua. Peraturan suruh tepat waktu untuk makan sama masuk keterampilan ya saya ikuti, Tapi kalau saya lagi males ya saya engga ikut.”132 Pernyataan dari kedua informan tersebut dapat dilihat bahwa “S” sangat mematuhi peraturan dengan baik, lalu ketika sedang sakit “S” meminta izin secara baik sehingga tidak menyalahi peraturan. Berbeda dengan “S” informan “N” sebaliknya dia mematuhi peraturan dan rajin melaksanakan kegiatan tetapi jika terdapat rasa malas dalam diri “N” ia enggan untuk melaksanakan kegiatan di lembaga cendrung terpengaruh oleh sikap malas dalam dirinya.
131 132
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
83
Pernyataan dari informan “S” juga diperkuat oleh salah satu staf yang dapat dilihat pada lampiran 11.133 Sedangkan “N” dalam mematuhi peraturan lembaga salah satu staf pun mengatakan hal yang sama dapat pula dilihat pada lampiran 19.134 Bukan hanya staf teman wisma dari “S” dan “N” juga mengutarakan hal yang sama, teman dekat “S” selama di wisma mengatakan: “Kalau ibu “S” selalu ikut kegiatan dan peraturan seperti ikuti kegiatan memasak, permainan, bimbingan rohani semua diikuti, tetapi karena ibu “S” punya penyakit suka pusing ya kadang-kadang tidak ikut kalau lagi sakit mau tidak mau harus tidak ikut istirahat.”135 Data hasil wawancara terkait sikap mematuhi norma dan peraturan “S” selama di lembaga tersebut sama dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 26.136 Sedangkan teman dekat informan “N” mengatakan hal yang berbeda yakni: “Males dia orangnya. Kalau aku suruh ke musola dia jawab “males ah” begitu terus, tetapi dia sama aku agak takut karena kan aku orangnya tegas. Kadang juga dia suka males kalau disuruh belajar atau nulis selama disini kadang-kadang suka diomelin sama staf karena dia kan sudah tua seharusnya bisa mengajari contoh pada yang lebih muda, kalau seragam juga suka engga bener atasan sama bawahannya kalau misalkan atasannya batik bawahnya suka celana ketat begitu. Kadang aku juga kesel dia tidak bisa baca dan tulis tapi dia tidak mau belajar.” (bernada kesal)137
133
Wawancara pribadi dengan staf rehabilitasi sosial Ibu Nunung Rusmana. Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk 135 Wawancara pribadi dengan informan A. 136 Observasi peneliti pada 7 Mei s.d 24 Mei 2014. 137 Wawancara pribadi dengan informan I. 134
84
Data hasil wawancara terkait sikap mematuhi norma dan peraturan “N” selama di lembaga tersebut sama pula dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 28.138 Dari hasil wawancara dan observasi di atas terkait sikap “S” yang cukup baik dalam mematuhi setiap norma dan peraturan di lembaga. dengan menjalankan kegiatan dan aktivitas selama dibina di PSKW, juga sama dengan hasil studi dokumentasi yang dilakukan peneliti. Hasil studi dokumentasi tersebut berisi kegiatan yang dilakukan informan “S” selama di lembaga. Dokumentasi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Hasil studi dokumentasi informan “S” dalam mengikuti setiap kegiatan di PSKW Mulya Jaya Jakarta
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Informan "S" Sedang Mengikuti Keterampilan Olahan Pangan
Informan "S" Mengikuti Kegiatan Dinamika Kelompok
138
Observasi peneliti pada 19 Mei s.d 24 Mei 2014.
85
Gambar 4.4
Gambar 4.3
Informan "S" Mengikuti Terapi Zikir Qolbu
Informan "S" Sedang Mengikuti Bimbingan Sosial
Berdasarkan hasil studi dokumentasi di atas, dapat diketahui bahwa informan “S” mampu melaksanakan setiap peraturan yang ditetapkan PSKW salah satunya yaitu dengan menjalankan setiap kegiatan yang ada di lembaga seperti dinamika kelompok, keterampilan, bimbingan spiritual hingga bimbingan sosial. Dalam melaksanakan keterampilan selama di lembaga penerima manfaat juga dituntut untuk mematuhi peraturan yang diberikan. Sikap mematuhi peraturan yang dilakukan informan “S” dapat dilihat dari ungkapan pembimbing instruktur keterampilannya sebagai berikut: “Ya mematuhi semua peraturan dari engga pernah telat, lalu juga mendengarkan informasi yang diberikan dengan baik. Juga kalau masak pasti semngat dan serius kalau sudah selesai baru istirahat duduk tetapi kalau belum dia bantu beres-beres dulu sampai selesai, jadi dia sangat mematuhi peraturan dan rajin.” (sambil tersenyum)139
139
Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita
86
Dari hasil wawancara, observasi dan studi dokuemantasi di atas terkait sikap “S” yang cukup baik dalam mematuhi setiap norma dan peraturan di lembaga. dengan menjalankan kegiatan dan aktivitas selama dibina di PSKW, juga sama dengan hasil studi dokumentasi yang dilakukan peneliti terhadap “N” dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Hasil studi dokumentasi informan “N” dalam mengikuti kegiatan di PSKW Gambar 4.5
Gambar 4.6
Informan "N" mengikuti dinamika kelompok
Informan "N" mengkuti keterampilan olahan pangan
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Informan "N" sedang mengikuti kegiatan terapi zikir qolbu
Informan "N" sedang mengikuti bimbingan sosial
87
Berdasarkan hasil studi dokumentasi di atas, dapat diketahui bahwa informan “N” mampu melaksanakan setiap peraturan yang ditetapkan PSKW salah satunya yaitu dengan menjalankan setiap kegiatan yang ada di lembaga seperti dinamika kelompok, keterampilan, bimbingan spiritual hingga bimbingan sosial Sedangkan hal yang berbeda diungkapkan instruktur keterampilan “N” yang mengatakan: “Kurang mematuhi peraturan kalau lagi masak ya itu belum kelar masak udah keluar-keluar. Udah sering saya bilangin tapi tetap saja.” (menggelengkan kepala).140 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa informan “S” dan “N” yang dibina di PSKW selalu berusaha untuk mematuhi peraturan yang ada di PSKW dengan melaksanakan semua kegiatan yang sudah ditetapkan oleh lembaga serta bersikap baik selama dibina di lembaga meski memang terkadang ada rasa malas dalam diri mereka. 4.2.2.2 Penyesuaian diri Selama di PSKW Mulya Jaya Jakarta para WTS yang dibina disana dapat menyesuaikan diri dengan baik. Hal ini dapat diperkuat oleh pernyataan “S” yang mengatakan: “Saya tidak pernah malu-malu dalam menyesuaikan diri, saya selalu dapat beradapatasi dengan baik selama di PSKW bahkan sama orang baru yang 30 orang baru dirazia itu saya bisa langsung beradaptasi berbaur saja begitu…”141 Sedangkan informan “N” pun mengatakan:
140
Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita
141
Wawancara pribadi dengan informan S.
88
“Ya saya langsung ngobrol saja tidak malu-malu. Kalau saya terus terang saja kenapa bisa ditangkep disini…”142 Hal yang sama juga diutarakan salah satu staf terkait penyesuain diri yang dilakukan “S”, di mana dapat dilihat pada lampiran 11.143 Sedangkan untuk “N” staf pun mengatakan hal yang sama yang juga dapat dilihat pada lampiran 19.144 Teman dekat dari masing-masing informan WTS Yang dibina di PSKW pun memberikan penjelasan terkait penyesuaian diri. Dalam hal ini teman dekat dari informan “S” mengatakan: “Ngumpul saja, orangnya cepet akrab sama orang. contohnya mau di ruang tamu, mau dikamar masuk aja ibu “S” mah, sama teman seleksi yang baru juga akrab dengan ibu “S” jadi tidak ada celahnya atau jaraknya.”145 Sedangkan teman dekat informan “N” mengatakan: “Baik sih bagus tapi malu-malu sedikit orangnya. Kalau sama aku dia paling deket selama di wisma karena suka becanda aja sama dia. Tapi kalau menyesuaikan diri dengan yang lain bisa di bilang baik”146 Dalam hal penyesuain diri selama melaksanakan keterampilan instruktur keterampilan informan “S” pun mengatakan: “Bisa mengakrabkan diri dengan baik engga canggung orangnya dia bisa berbau dengan cepat dan baik.”147 Sedangkan instruktur keterampilan informan “S” juga mengatakan: “Bisa menyesuaikan diri dengan baik. Kalau untuk menyesuaikan diri dia tidak terlihat susah. Bisa berbaur sama siapa saja”148 142
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan staf rehabilitasi sosial Ibu Nunung Rusmana. 144 Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk 145 Wawancara pribadi dengan informan A. 146 Wawancara pribadi dengan I. 147 Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita 148 Wawancara pribadi dengan instruktur keterampilan olahan pangan Ibu Endang Juwita 143
89
Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa dalam menyesuaikan diri selama di lembaga seorang WTS dapat dengan mudah bergaul serta menyesuaikan diri hidup dalam lingkungan PSKW Mulya Jaya Jakarta. Walaupun mereka masuk dan dibina di PSKW kebanyakan merasa sedih terpaksa tetapi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di lembaga meraka dapat beradaptasi dengan baik. 4.2.2.3 Menghargai WTS yang dibina di PSKW Mulya Jaya Jakarta juga memiliki sikap saling menghargai satu sama lain baik kepada para staf, teman wisma, pembimbing maupun penyuluh agama. Sikap menghargai banyak diterapkan di lembaga. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan informan “S” dalam menghargai para staf PSKW ia mengatakan: “…jika ada staf yang menegur saya dan menanyakan kabar baik atau sehat? Ya saya jawab baik. Jadi kita tegur sapa saja dengan para staf.”149 Sedangkan informan “N” juga mengatakan hal yang sama yakni: “Ya dengan sopan tegur sapa aja.”150 Sikap menghargai “S” kepada pembimbing “S” pun mengatakan hal yang sama yang dapat dilihat pada lampiran 12.151 Sikap menghargai “N” kepada pembimbing juga dapat dilihat pada lampiran 20.152 Sedangkan informan “S” dalam menghargai para teman wisma ia pun mengatakan: “…Kalau mereka lagi tidur saya tidak ganggu, engga berisik. Kalau ada anak di wisma yang lebih muda dari saya ya saya hargai juga karena 149
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 151 Wawancara pribadi dengan pekerja sosial madya Ibu Dra. Elmiwati. 152 Wawancara pribadi dengan pekerja sosial penyelia Bapak Hasan Otoy. 150
90
mereka baik dengan saya. Bukan berarti saya hanya menghargai orang yang lebih tua tetapi yang lebih muda pun saya hargai.” (tersenyum)153 Informan “N” dalam menghargai para teman wisma ia juga mengatakan: “Menghargai dengan cara kalau ada yang tidur ya kita jangan berisik. kita hargai orang itu juga takut lagi sakit atau capek, jadi kita harus menghargai orang melakukan apapun. Lalu juga kalau orang lagi bicara kita hargai pendapatnya walaupun kadang-kadang kita engga sependapat tapi harus kita dengarkan. Kadang-kadang juga banyak orang yang berisik kalau ada yang solat, walaupun saya males solat tapi saya diem kalau ada yang solat saya engga mau berisik. Lalu saya juga suka hargai nasihat dari temen disini banyak yang suka nyaranin saya solat, saya coba belajar walaupun saya engga bisa bacaan solat.”154 Ungkapan di atas juga diperkuat oleh pernyataan salah satu staf mengenai sikap menghargai informan “S” selama di lembaga yakni: “…Kalau ketemu staf dia menyapa dan tersenyum jadi dia sangat menghargai para staf”155 Lalu “S” dalam menghargai teman wismanya, ungkap teman dekatnya yang mengatakan: “Dengan bersikap baik, tolong-menolong, suka mengajari mengaji juga ke teman-teman yang lain. Engga pilih-pilih orangnya mau tua mau muda ya baik tidak membeda-bedakan. Saya juga di ajarai mengaji dengan ibu “S” kalau di wisma.”156 Pernyataan di atas menggambarkan bahwa “S” merupakan sosok yang suka menghargai kesesama dan juga di samping itu “S” suka membantu teman-temannya terlihat dari ungkapan teman wisma “S” dimana selama di wisma “S” suka membantu mengajari mengaji pata teman wisma yang belum bisa mengaji.
153
Wawancara pribadi dengan informan S. Ibid., 155 Wawancara pribadi dengan staf rehabilitasi sosial Ibu Nunung Rusmana. 156 Wawancara pribadi dengan informan A. 154
91
Sedangkan informan “N” dalam mengahargai teman wisma menurut penyuluh agamanya pun dapat dilihat dapa lampiran 22.157 Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa informan “S” dan “N” WTS selama dibina di PSKW memiliki sikap saling menghargai yang baik kepada setiap orang yang ada di lingkungan mereka. 4.2.2.4 Menghadapi perbedaan Selama berada di PSKW para WTS yang dibina berasal dari berbagai daerah sehingga sifat dan bahasa pun bermacam-macam, tetapi perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi para WTS yang dibina untuk dapat beradaptasi dengan baik satu sama lain. hal tersebut diperkuat dengan ungkapan informan “S” ia pun mengatakan: “Ya tidak apa-apa seperti jika ada perbedaan usia di wisma ya saya anggep sebagai anak saya sendiri bahkan ada satu anak “N” yang udah saya anggep sebagai anak saya sendiri tidur bareng sama saya.”158 Selain itu juga informan “N” yang juga dibina di PSKW mengatakan hal yang kurang lebih sama yakni: “Ya coba terima aja, misalkan beda pendapat ya saya diem, kalau beda umur engga sepaham saya juga diem, udah intinya diem aja saya engga banyak omong orangnya. Kalau yang lebih tua ya kita hormati anggep aja kaya orang tua sendiri. Kalau yang lebih muda anggep kaya anak sendiri aja begitu.”159 Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa perbedaan selama di lembaga yang dialami WTS yang dibina di PSKW dapat mereka terima dengan baik, terlihat dari pernyataan kedua informan yang sama-sama dibina di PSKW di mana keduanya 157
Wawancara pribadi dengan penyuluh spiritual Bapak Akhmad Affandi, S.Sos. I Wawancara pribadi dengan informan S. 159 Wawancara pribadi dengan informan N. 158
92
sangat menerima baik perbedaan baik dari segi usia maupun pendapat dan pemikiran yang berbeda, mereka bisa menanggapi dan menerima hal itu dengan baik. 4.3 Spiritualitas Wanita Tuna Susila Bagian ini akan menjelaskan mengenai spiritualitas dari kedua informan wanita tuna susila. Baik tingkat spiritualitas mereka saat di dalam lingkungan keluarga masing-masing informan WTS maupun juga tingkat spiritualitas masingmasing informan WTS tersebut selama berada di PSKW Mulya Jaya Jakarta. Dengan menggabungkan dan mengkaji antara temuan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan teori-teori yang telah dijelaskan pada bab ll. 4.3.1 Pengertian spiritual 4.3.1.1 Makna Hidup Seorang wanita tuna susila dalam menjalankan kehidupannya juga mengetahui makna hidup dalam dirinya. Hal tersebutlah yang diungkapkan oleh “S” yang mengatakan: “...Hidup penting juga untuk anak, kalau saya tidak ada semangat hidup nanti anak siapa yang ngurusin, alasannya kerja untuk anak dan emak dirumah, udah itu saja motivasi saya bertahan hidup.”160 Sedangkan hal yang sama pun terjadi pada informan “N” ia mengatakan: “Makna hidup saya untuk membahagiakan anak aja. Untuk apa si saya kerja malam kalau bukan untuk anak saya. Jadi tujuan saya hidup hanya untuk anak.”161 Dari hal di atas kita bisa lihat bahwa “S” dan “N” memaknai sebuah kehidupan yakni dengan cara hidup untuk anak-anak mereka.
160 161
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
93
4.3.1.2 Kecintaan Terhadap Keluarga Seorang Ibu pasti sangat mencintai keluarganya terutama anak-anaknya. Hal tersebut juga yang dirasakan oleh para WTS. Seperti yang diungkapkan “S” dengan mengatakan: “Sangat berarti banget keluarga buat saya apalagi kedua anak saya. Walaupun kerjaan saya sebagai wanita malam tetapi tetap saya lakukan semua ini untuk kedua anak saya yang dari kecil saya rawat tanpa sosok seorang suami yang baik.”162 Hal yang sama pun juga diungkapkan “N” ia mengatakan: “Penting keluarga, karena saya kerja juga untuk anak saja kasian. Dengan banting tulang cari uang untuk anak, saya kan janda siapa lagi yang mau biayain anak saya. Makanya saya kerja malem jalan satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk mencukupi makan anak saya.”163 Ungkapan “S” juga diperkuat oleh teman dekatnya selama di wisma, yang dapat dilihat pada lampiran 13.164 Sedangkan untuk teman dekat dari Ibu “N” juga juga dapat pula dilihat pada lampiran 21.165 Ungkapan informan “S” dan teman dekat “S” selama di wisma di atas diperkuat juga oleh pembimbing dari Ibu “S” selama di lembaga dengan mengatakan: “Sangat berarti keluarga buat diri “S”. Dia kan menjadi tulang punggung untuk keluarga. Jadi keluarga adalah segalanya buat dia”(bernada tegas)166 Hal yang sama juga diungkapkan oleh pembimbing “N” di lembaga:
162
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 164 Wawancara pribadi dengan informan A. 165 Wawancara pribadi dengan informan I. 166 Wawancara pribadi dengan pekerja sosial madya Ibu Dra. Elmiwati. 163
94
“Ya kalau menurut saya pribadi keluarganya bagi “N” sangat penting karena keluaga “N” sangat membutuhkan “N” sebagai seorang ibu, karena walaupun dia bekerja seperti ini juga karena pengaruh kawannya, lalu dia harus menjadi tulang punggung keluarganya walaupun yang dia lakukan salah tetapi semua untuk keluarga.” (menganggukan kepala)167
Pernyataan-pernyataan di atas dapat dilihat bahwa alasan terbesar informan “S” dan “N” bekerja hanya ingin mencukupi kebutuhan keluarga guna membesarkan anak-anak mereka. Minimnya pendidikan dan keahlian membuat mereka hanya memiliki pilihan menjadi WTS karena itu merupakan jalan satu-satunya untuk menjalani hidup. 4.3.1.3 Tingkat Spiritual di lembaga Di PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki pelayanan bimbingan rohani dimana dalam pelayanan tersebut diberikan pengajaran dan pemahaman rohani oleh pembimbing spiritual. Para WTS yang dibina di sana diharapkan untuk dapat mengikuti kegiatan tersebut dengan baik sehingga akan terlihat tingkat spiritual pada diri penerima manfaat baik itu yang dapat menjalankan dan menerima pengetahuan dengan baik atau pun sebaliknya. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pembimbing rohani dari informan “S” selaku WTS yang dibina di PSKW mengenai tingkat spiritual “S” selama di lembaga ia mengatakan: “Selama di lembaga di lihat dari kegiatan bimbingan rohani suka mengikuti tetapi sekarang-sekarang ini dia jarang datang entah mungkin lagi halangan atau tidak allahualam. Tetapi dalam bimbingan agama ia serius mendengarkan tidak ribut. Dia pendengar yang baik. Spiriualnya juga bisa di bilang baik dia suka solat zuhur berjamaah walaupun kadang juga tidak karena lagi ada halangan mungkin” (sambil menaggukan kepala)168
167 168
Wawancara pribadi dengan pekerja sosial penyelia Bapak Hasan Otoy. Wawancara pribadi dengan penyuluh spiritual Bapak Akhmad Affandi, S.Sos. I
95
Sedangkan sebaliknya pembimbing rohani dari informan “N” selaku juga penerima manfaat yang dibina di PSKW pun mengatakan: “Kadang-kadang kalau solat dia bolong-bolong. Kurang dia keagamaanya baca al-quraan juga tidak bisa, disini dia hanya bisa baca IQRA itu pun belum lancar, solat jarang mungkin karena dia kurang hafal bacaan solat.”169 Dari penjelasan di atas dapat dilihat tingkat spiritual informan “S” dan “N” selama di lembaga sangat berbeda. Di mana “S” cukup rajin menjalankan ibadah dan “N” kurang kemauan dalam beribadah selama di lembaga. 4.3.2 Prinsip Spiritualisme 4.3.2.1 Keadilan Seorang WTS memiliki anak di mana seperti Ibu lainnya berjuang untuk mencukupi kebutuhan anak-anak mereka juga menyayangi anak-anak mereka dengan baik dan tidak pilih kasih. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan “S” yang mengatakan: “Ya adil aja tidak dibeda-bedakan kasih sayangnya. Misalkan kalau anak saya minta uang ya udah dua-duanya dikasih tidak yang satu dikasih yang satu tidak. Memang anak saya yang pertama suka bilang umi kalau kasih uang buat “A” terus. Lalu saya bilang kan kamu udah ada kerjaan sedangkan adik kamu tidak saya berikan pengertian pada anak pertama saya. Lagian makanan dirumah juga dari saya semua saya bagi rata untuk kedua anak saya.”170 Hal yang sama juga terjadi pada “N” yang juga mengatakan: “Ya dengan tidak dibeda-bedain. Dengan menyayangi keduanya tidak pilih kasih saya sama sayang dengan keduanya namanya anak kandung sendiri. Saya juga rawat dengan baik keduanya engga pilih kasih intinya.” (tersenyum)171 169
Wawancara pribadi dengan penyuluh spiritual Bapak Akhmad Affandi, S.Sos. I Wawancara pribadi dengan informan S. 171 Wawancara pribadi dengan informan N. 170
96
Keluarga dari informan “S” yakni adik kandung informan “S” juga memperkuat pernyataan dari “S” dan terdapat pada lampiran 16.172 Sedangkan keluarga dari pihak informan “N” yakni anaknya juga memperkuat ungkapan “N”, dan dapat dilihat pada lampiran 24.173 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa “S” dan “N” sangat menyayangi buah hati mereka dan tidak membeda-bedakan dalam memberikan kasih sayang serta perhatian. 4.3.2.2 Kecintaan terhadap allah SWT Di PSKW Mulya Jaya Jakarta beberapa dari mereka tanpa kita ketahui memiliki tingkat kecintaan terhadap Allah SWT dengan sangat baik. Terlihat dari mereka menjalankan perintah Allah SWT dengan melaksanakan ibadah sesuai dengan peraturan agama. Hal tersebut diungkapkan oleh “S” yang mengatakan: “Saya mencintai Allah SWT dengan solat wajib, sunah, seperti tahajut lalu juga puasa di bulan ramadhan.”174 Hal yang berbeda tetapi diungkapkan oleh informan “N” ia mengatakan: “Ya cinta sama allah tetapi biasa saja. Saya juga jarang solat, kadang satu hari cuma solat magrib dan subuh saya lebih suka nonton sinetron apa lagi kalau siang selama di PSKW engga pernah solat nonton tv terus, hehe.” (sambil tertawa)175 Dari pernyataan kedua informan tersebut dapat kita lihat bahwa informan “S” tetap menjalankan perintah agama lepas dari apa yang ia kerjakan sebagai WTS ia tetap menjalankan ibadah dengan baik, lalu terlihat hal yang berbeda dari informan 172
Wawancara pribadi dengan informan IA. Wawancara pribadi dengan informan EB. 174 Wawancara pribadi dengan informan S. 175 Wawancara pribadi dengan informan N. 173
97
“N” di mana ia memiliki kecintaan terhadap Allah SWT tetapi tidak menjalankan perintahNya dengan tidak beribadah lebih suka menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Ungkapan dari “S” di atas diperkuat oleh teman dekatnya selama di wisma yang dapat dilihat pada lampiran 13.176 Sedangkan teman dekat dari Ibu “N” juga mengatakan hal yang sama dan dapat pula dilihat pada lampiran 21.177 Penjelasan di atas menggambarkan bahwa kedua informan “S” dan “N” samasama memiliki kecintaan terhadap Allah SWT, tetapi “S” meyakini keyakinannya tersebut dengan mengaplikasikannya dengan perbuatan rajin beribadah sedangkan “N” hanya meyakini tetapi tidak melaksanakan perintah yang ditetapkan Allah SWT. 4.3.2.3 Kecintaan Terhadap Diri Sendri kecintaan terhadap diri sendiri juga dirasakan oleh informan “S”. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapannya yang mengatakan: “Dengan merawat diri, karena diri kan pemberian Allah SWT jadi harus dijaga walaupun muka saya jelek, ancur tapi bagaimanapun juga disyukuri dan dicintai. Allah kan adil, yang pentingkan hatinya baik. Dari pada orang cantik tapi busuk hatinya kan sama saja “ (bernada kesal)178 Hal yang sama juga diungkapkan oleh “N” ia pun mengatakan: “Ya cinta. Makanya saya pengen setelah keluar dari sini saya mau ngerawat diri. Soalnya kan yang tadi saya udah bilang kalau kerja malem kasian badan saya sakit kerja begitu, banyak penyakit menular juga nanti.”179
176
Wawancara pribadi dengan informan A. Wawancara pribadi dengan informan I. 178 Wawancara pribadi dengan informan S. 179 Wawancara pribadi dengan informan N. 177
98
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa “S” dan “N” memiliki kecintaan terhadap diri mereka sendiri dan bersyukur atas apa yang diberikan dari Allah SWT kepada mereka, sebagian dari mereka juga sadar bahwa pekerjaan yang mereka lakukan itu merusak diri mereka sendiri sehingga mereka memiliki keinginan untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih homat terhadap diri mereka sendiri. 4.3.2.4 Kejujuran Dari diri seorang WTS juga terdapat kejujuran dari setiap perkataan mereka dan mengakui kesalahan yang mereka perbuat. Hal tersebut diungkapkan oleh informan “S” yang mengatakan: “Saya kalau dengan semua orang ya jujur saja, saya juga jujur sama adek kalau saya tuh wanita malam. Saya tidak mau nutup-nutupin buat apa memang kita salah dan kenyataannya begitu.”180 Hal yang sama juga diutarakan oleh informan “N” dengan mengatakan: “…saya itu engga bisa kalau bohong, sama siapa aja berusaha untuk jujur.saya tanamkan dalam diri saya. Walaupun banyak orang yang engga jujur kalau di razia lagi mangkal, kalau saya jujur aja ngapain bohong.”181 Ungkapan dari informan “S” diperkuat pembimbingnya selama di lembaga yang mengatakan: “Ya jujur terlihat dari dia berkata sepertinya apa adanya tidak ada yang ditutup tutupi”182 Sedangkan pembimbing dari informan “N” juga mengatakan: “Jujur, engga pernah dia berbohong dengan kepolosan dia berbicara juga terlihat dari wajahnya yang polos kita bisa tahu orang yang jujur atau
180
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 182 Wawancara pribadi dengan pekerja sosial madya Ibu Dra. Elmiwati. 181
99
tidak. Dia sangat jujur walaupun dengan bahasa yang terbata-bata bahasa yang agak susah dimengerti kadang-kadang tapi penuh dengan kejujuran.”183 Bukan hanya dari pihak lembaga, keluarga dari informan “S” pun yakni adik kandung “S” dengan hal yang sama mengatakan: “Jujur dia orangnya perasaan tidak pernah berbohong. Kalau lagi ada uang engga pernah boong selalu bantuin saya soalnya saya juga sama orang susah, “S” mah jujur.”184 Sedangkan keluarga dari informan “N” juga mengatakan: “Jujur orangnya dia. Mama kalau kerja gak bawa uang ya jujur aja, kalau punya uang juga jujur”185 Dari pernyataan di atas bahwa kejujuran juga tertanam pada diri “S” dan “N” di mana apa yang mereka rasakan dan lakukan diungkapkan secara jujur. Kejujuran memang untuk sebagian WTS yang ada di PSKW itu sulit dilakukan, tetapi beberapa dari mereka tetap menanamkan kejujuran selama berada di PSKW Mulya Jaya Jakarta. Bukan hanya itu dilingkungan keluarga pun “S” dan “N” selalu bersikap dan berkata dengan penuh kejujuran. 4.3.3 Aspek-aspek Spiritual 4.3.3.1 Ketidakpastian dalam hidup Setiap orang memiliki pasang surut dalam kehidupan dan memilki ketidak pastian hidup begitu juga WTS tetapi setiap orang berbeda-beda dalam menanggapi ketidakpastian dalam kehidupan, seperti yang diungkapkan oleh informan “S” yang mengatakan:
183
Wawancara pribadi dengan pekerja sosial penyelia Bapak Hasan Otoy. Wawancara pribadi dengan informan IA. 185 Wawancara pribadi dengan informan EB. 184
100
“Ya kadang-kadang saya mengeluh namanya juga manusia. Tetapi teman-teman suka memotivasi. Jangan mengeluh kalau tidak dapat pelanggan saat mangkal saya bisa ngurut walau cuma dapet Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000 sekali mijit tidak kaya ngejablai bisa dapet Rp. 250.000 satu pelanggan tetapi saya terima aja seberapa besar rezeki ya allah SWT kasih untuk saya.”186 Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan “N” yang juga mengatakan: “Ya dijalanin aja. Udah engga usah dipikiran namanya hidup ada masalah suka dan duka, yang penting cuma satu ada yang dimakan untuk anak saya di rumah.”187 Dari ungkapan di atas dapat kita lihat bahwa ketidakpastian dalam kehidupan dihadapi “S” dan “N” dengan tidak mengeluh dan menerima apapun keadaan yang dialami baik suka maupun duka. 4.3.3.2 Kekuatan Seorang WTS memiliki kekuatan dalam dirinya untuk bertahan hidup dalam keadaan sesulit apapun mereka memiliki kekuatan untuk tetap bertahan. Hal tersebut diungkapkan oleh “S” ia mengatakan: “Kekuatan terbesar saya yang bisa buat saya bertahan sampai sekarang dari semua permasalahan dalam hidup yakni anak. Saya disini selama di PSKW suka sakit-sakitan karena fikirin anak saya yang mau nikah bulan depan kasian dia sudah tidak ada ayahnya masa tidak ada ibunya juga saat ia menikah.”188 Sedangkan “N” pun mengatakan: “Anak kekuatan saya untuk menghadapi setiap masalah inget anak aja, jadi saya kalau inget anak jadi semangat lagi engga putus asa.” (tersenyum)189
186
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 188 Wawancara pribadi dengan informan S. 189 Wawancara pribadi dengan informan N. 187
101
Ungkapan informan “S” diperkuat oleh salah satu keluarganya yakni adiknya, ungkapan tersebut dapat dilihat pada lampiran 16.190 Sedangkan ungkapan informan “N” juga diperkuat oleh keluarganya yakni anak dari Ibu “N” yang juga dapat dilihat pada lampiran 24.191 Pernyataan di atas menjelaskan kepada kita bahwa mereka dalam menghadapi permasalahan hidup kekuatan terbesarnya adalah keluarga terutama anak-anak mereka, anak-anak mereka adalah motivasi hidup dan kekukatan terbesar dalam menjalankan setiap permasalahan. 4.3.3.3 Mengenal diri sendiri Setiap orang pasti mengenal diri sendiri baik sikap buruk maupun baik yang ia rasakan dan pahami dari dirinya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh “S” ia mengatakan: “Ya saya kenal saya itu orangnya keras kepala susah di bilangin itu tuh sifat utama saya yang saya pahami dari diri saya. Saya juga orangnya kuat gak gampang sakit tapi anehnya kalau disini saya lemah. Karena kepikiran sama anak-anak terus dirumah lalu perasaan ingin keluar yang membuat saya kepikiran. Hal itu yang membuat saya tertekan sehingga kalau disini saya lemes suka sakit dan pingsan, makan juga engga nafsu selama disini.” (berwajah sedih)192 Sedangkan “N” pun mengatakan: “Ya saya tahu dan paham sama sikap saya itu gimana, saya itu pendiem, sabar tapi kalau marah cuma bisa nangis aja itu yang paling saya pahami dari diri saya,”193
190
Wawancara pribadi dengan informan IA. Wawancara pribadi dengan informan EB. 192 Wawancara pribadi dengan informan S. 193 Wawancara pribadi dengan informan N. 191
102
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa “S” dan “N” dapat pula mengenal diri mereka sendiri baik kelebihan mereka atau pun kekurangan yang ada pada diri mereka. 4.3.3.4 Mendekatkan diri kepada Allah SWT Tanpa kita ketahui beberapa dari WTS yang peneliti temui di PSKW Mulya Jaya Jakarta memiliki spiritual yang baik dalam mendekatkan diri kepada Allah. Lepas dari pekerjaan mereka yang melanggar norma agama tetapi mereka pun menjalankan ibadah dengan cukup baik. Hal tersebut terlihat dari pernyataan “S” yang mengatakan: “Solat wajib tidak pernah bolong. Selain solat wajib saya juga suka sekali solat duha, solat tahajut selama disini. Dulu ketika diluar walaupun saya kerja malam menjajakan diri tetapi saya tetap sempatkan solat magrib dan isya sebelum berangkat mangkal di warung, saya solat serta berdoa agar di berikan kelancaran di jalan dan di limpahkan rezeki oleh Allah SWT. Lalu ketika pulang saya mandi wajib membersihkan diri untuk solat subuh dan bersyukur atas rizeki yang di berikan Allah SWT walaupun saya tidak tahu solat dan ibadah saya diterima atau tidak saya serahkan ke Allah SWT. Saya cari uang seperti ini Allah juga tahu alasannya.” (menundukan kepala)194 Data hasil wawancara di atas terkait sikap “S” dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT selama “S” berada di PSKW sama dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 26.195 Berbeda dengan “S” informan “N” memiliki pendekatan diri ke Allah SWT sangat kurang. Hal tersebut tergambar dari penjelasan yang ia ungkapkan: “Solat saya juga jarang. Baca al-quraan saya tidak bisa paling Iqra saya bisa. Saat dirumah juga saya bawaannya males untuk solat mau tidur terus soalnya malamnya capek kerja. Anak saya juga suka nanya emak tidak solat? Enggah ah entar dulu emak mau tidur aja ngantuk. “EB” anak saya 194 195
Wawancara pribadi dengan informan S. Observasi peneliti pada tanggal 7 Mei s.d 24 Mei 2014.
103
juga tidak pernah solat tetapi anak saya “EN” baru dia suka solat. Saya dari gadis juga engga pernah solat. Jadi mendekatkan diri ke Allah saya kurang.”196 Ungkapan dari “S” juga diperkuat oleh ungkapan teman terdekat “S” selama di lembaga yang mengatakan. “Solat wajib, mengaji, baca yasin, ibu “S” biasa kalau lagi pusing banget pasti milih mengaji aja sampe tidak makan karena mengaji terus saya suka kasihan dan suka bawain makan untuk dia, kalau dia lupa makan saat sedang mengaji.”197 Dari hasil wawancara dan observasi di atas terkait sikap “S” dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT selama berada di PSKW juga sama dengan hasil studi dokumentasi yang dilakukan peneliti. Hasil studi dokumentasi tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Hasil studi dokumentasi informan “S” dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT selama berada di PSKW Mulya Jaya Jakarta Gambar 4.9
Gambar 4.10
Informan "S" Sedang Solat Zuhur Berjamaah 196 197
Informan "S" Sedang Membaca AlQuraan
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan
104
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Informan "S" Sedang Melaksanakan Solat Sunah Duha
Informan "S" Sedang Menghafal Doadoa dan Bacaan Zikir
Berdasarkan hasil studi dokumentasi di atas, dapat diketahui bahwa informan “S” dalam mendekatkan diri kepada Alllah SWT sangat baik selama di lembaga terlihat dari aktifitas yang dilakukan yakni suka melaksanakan solat zuhur berjamaah, membaca Al-quraan disela-sela kegiatan, menyempatkan diri untuk menunaikan solat sunah duha dan juga rajin untuk menghafal doa-doa serta bacaan zikir yang diberikan oleh pembimbing spiritual di lembaga. Sedangkan teman dekat dari “N” juga mengatakan: “Paling hanya solat magrib tapi itu juga jarang hanya yang tadi aku bilang kalau imamnya “A” baru dia solat karena terpaksa takut dengan “A” sebagai ketua di wisma.”198 Bukan hanya teman dekat dari Ibu “S” keluarga dari informan “S” yakni adik “S” juga mengatakan: “Dengan solat dia juga suka mengaji dirumah , suka mengajar anakanak kecil mengaji sore di rumah , kalau dari kerja pijit pulang sore lalu sampai dirumah masak dan mengajar mengaji anak-anak kecil.”199 198
Wawancara pribadi dengan informan I.
105
Sedangkan keluarga dari “N” yakni anak kandungnya mengatakan “Ya dengan solat tapi kadang-kadang doing itu juga solatnya.”200 Data hasil wawancara di atas terkait sikap “N” yang kurang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT selama “N” berada di PSKW sama dengan hasil observasi yang dilakukan peneliti. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 28.201 4.3.4 Kebutuhan Spiritual 4.3.4.1 Pentingnya Kebutuhan Spiritual Tanpa masyarakat umum ketahui seorang WTS juga mengaggap kebutuhan spiritual itu penting bagi dirinya, meskipun pekerjaan yang ia lakukan selama ini melanggar norma agama tetapi beberapa dari mereka juga melaksanakan dan menganggap kebutuhan spiritual itu penting bagi diri mereka. Hal tersebut diungkapkan oleh “S” ia mengatakan: “Penting banget karena itu untuk bekal kita di akhirat kalau saya sudah mati. Biarpun saya bodoh saya hidup dijalan mau diterima atau tidak solat saya itu mah serahkan ke Allah SWT. Yang penting kita udah laksanakan solat yang 5 waktu tidak boleh ketinggalan. Kalau bisa saya sudah niatkan dalam hati untuk setelah keluar dari sini agar tidak terjun di jalan lagi.” (mengangguk-angguk)202 Sedangkan hal yang berbeda diungkapan oleh “N” ia pun mengatakan: “Penting mah penting tetapi susah saya jalankan kewajiban agamanya. karena saya tidak bisa, baca iqra saja saya masih susah. Kalau puasa juga saya bulan ramadan tidak pernah karena saya juga punya sakit magh.” (sambil memegang perut)203 199
Wawancara pribadi dengan informan IA. Wawancara pribadi dengan informan EB. 201 Observasi peneliti pada tanggal 19 Mei s.d 24 Mei 2014. 202 Wawancara pribadi dengan informan S. 203 Wawancara pribadi dengan informan N. 200
106
Ungkapan “S” diperkuat oleh teman dekatnya selama di wisma yang yang dapat dilihat dalam lampiran 13.204 Sedangkan ungkapan “N” diperkuat pula oleh teman dekatnya selama di lembaga yang dapat juga dilihat pada lampiran 21.205 Bukan hanya teman dekat “S” yang mengatakan tingkat spiritual “S” selama di lembaga tetapi pembimbing agama “S” pun mengatakan: “Ya terlihat si dia sangat penting arti spiritual dalam dirinya. Dilihat saja dari dia lumayan rajin beribadah kaya solat dan mengaji selama di PSKW”206 Sedangkan pembimbing agama “N” mengatakan” “Ya begitulah kalau penting ya dia mungkin rajin ya kalau engga penting ya dia cuek aja kaya sekarang. Biasanya kalau Bapak suruh dia solat zuhur jamaah di musola dia alasan terus mau piket lah atau apalah, tapi selama ini kalau solat zuhur jamaah agak di paksa juga sama bapak baru mau kalau di paksa.”207 Pernyataan di atas menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara “S” dan “N” di mana kebutuhan spiritual sangat penting bagi “S” sedangkan bagi “N” hal tersebut penting tetapi ia tidak menjalankan ibadah spiritual tersebut 4.3.4.2 Pengampunan Informan “S” dan “N” mengetahui bahwa perbuatan menjadi WTS itu menyalahi norma agama dan sangat dibenci Allah SWT, mereka pun sering meminta
204
Wawancara pribadi dengan informan A. Wawancara pribadi dengan informan I. 206 Wawawancara pribadi dengan penyuluh spiritual Bapak Akhmad Affandi, S.Sos. I 207 Wawancara pribadi dengan penyuluh spiritual Bapak Akhmad Affandi, S.Sos. I 205
107
ampun atas perbuatan mereka meskipun menjadi WTS tetap mereka lakukan. Hal tersebutlah yang diungkapkan “S” dengan mengatakan: “Saya hanya bisa selalu meminta pengampunan dari Allah SWT agar saya bisa berenti menjadi wanita malam. Kalau pulang dari sini saya mau jualan aja sekalian mengurusi anak saya yang kedua yang ingin menikah itu, karena masih perlu bimbingan saya sebagai orang tuanya.”(sambil tersenyum)208 Sedangkan “N” pun mengatakan: “Pernah. Walaupun saya itu engga bisa nulis dan baca, lalu engga bisa baca AL-Quraan dan bacaan solat tapi saya pernah minta ampun kepada Allah SWT walaupun memang jarang karena saya juga jarang solat.” 209
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa “S” dan “N” mengetahui dengan jelas bahwa perbuatan menjadi WTS yang mereka lakukan itu adalah sebuah dosa dan melanggar aturan agama, mereka pun meminta pengampunan atas apa yang mereka lakukan tetapi karena keadaan membuat mereka tetap menajalan profesi mereka tersebut. 4.3.4.3 Memaknai Penderitaan Dalam Hidup Setiap orang berbeda-beda dalam menghadapi setiap permasalahan dan penderitaan. Begitu pula “S” dalam menghadapi penderitaan hidup ia mengatakan: “Masalah yang paling berat saya derita sepanjang hidup saya yakni saat saya ditinggalkan oleh mantan suami saya yang kedua saat dia meninggalkan saya dalam keadaan mengandung usia kandungan 6 bulan anak kedua itu rasanya sangat menderita sampai sekarang masih saya ingat jelas rasa sakitnya. Ya jalanin aja . saya rasa itu udah jalan hidup saya yang ditentukan Allah SWT. Saya cuma bisa berdoa yang awalnya saya kira bisa lagi diperbaiki saat itu saya minta ke Allah untuk mengembalikan suami saya dari rayuan wanita itu yang udah menghancurkan rumah tangga saya, tapi ternyata emang engga bisa diperbaiki lagi. Akibat perceraian itu juga saya terjun dalam profesi wanita malam ini karena saat itu engga tau harus kerja 208 209
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
108
apa untuk membiayai kedua anak saya. Pokoknya saya cuma memikirkan bagaimana cara menghidupu anak saat itu.”210 Sedangkan “N” dalam memaknai sebuah penderitaan hidup mengatakan: “Kalau ada masalah atau penderitaan saya hanya nangis, berdoa sama allah juga saya tidak pernah.”211 Dilihat dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam memaknai sebuah penderitaan di mana “S” menerima setiap penderitaan yang terjadi karena menganggap itu merupakan ketetapan Allah SWT, sedangkan “N” dalam menghadapi setiap penderitaan hidup hanya bisa menangis tanpa berdoa meminta petunjuk Allah SWT. 4.3.4.4 Mengambil Hikmah Setiap permasalah yang terjadi pada diri WTS ada yang dapat mengambil hikmah dari setiap permasalahan ada pula yang tidak dapat mengambil hikmah dari masalah hidup yang dihadapi. Hal tersebut diungkapkan oleh informan “S” selama dibina di PSKW ia mengatakan: “Kalau masalah perceraian hikmah yang bisa diambil adalah lebih kuat jadi wanita yang sebagai tulang punggung keluarga, lebih bisa ikhlas. Sekarang yang penting anak-anak sudah dewasa dan paham keadaan keluaraga gak banyak menuntut, ya intinya hikmahnya sekarang saya lebih kuat aja dalam menghadapi segala macam masalah ikhlasin aja ke Allah SWT. Selama saya ada di PSKW banyak banget hikmahnya. Saya jadi engga kerja malam lagi lalu bisa belajar agama dengan baik disini lalu diajari juga keterampilan masak buat bekal saya nanti diuluar. Yang terpenting adalah Allah itu masih sayang sama saya makanya saya ketangkep disini, setelah keluar dari sini juga saya engga mau lagi kerja malam, mau jualan aja makan-makanan ringan.”212 Sedangkan cara informan “N” mengambil hikmah dari setiap masalah ia mengatakan: 210
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 212 Wawancara pribadi dengan informan S. 211
109
“Ya selama disini baru saya bisa ambil hikmah. Aya jadi bisa mengaji sedikit, juga solat soalnya selama dirumah engga pernah solat. Saya juga engga kerja malem lagi selama ada disini. Saya jadi inget kesalahan saya selama saya berada disini ya ada hikmahnya lah.”213 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa “S” dapat mengambil hikmah dari setiap permasalahan yang terjadi sedangkan “N” tidak pernah dapat mengambil hikmah dari setiap permasalahan. 4.3.4.5 Bersabar Bersabar juga dilakukan oleh para WTS yang ada di PSKW. Dalam menghadapi setiap permasahan mereka selalu bersabar atas masalah yang mereka hadapi. Hal tersebut pula diungkapkan oleh informan “S” ia mengatakan: “Dengan berdoa dan minta kekuatan serta kesabaran sama Allah dalam menghadapi setiap masalah. Selama disini juga belajar sabar ikuti aja semua peraturan selama disini, terima aja ya memang kita salah, ini juga udah jalan dari Allah SWT. Lagian juga alhamdulilah di bina disini saya sadar akan kesalahan dan dosa saya itu aja, engga kaya orang-orang yang marah-marah di tangkep disini kalau saya ya sabar aja ini udah jalannya serahkan ke Allah aja.”(sambil tersenyum) 214 Sedangkan untuk “N” ia pun mengatakan: “Ya sabar dengan tidak marah-marah, tidak cerewet, tidak marahin orang biasanya nangis doang saya kalau ada masalah.”215 Ungkapan informan “S” diperkuat oleh salah satu staf di PSKW yang mengatakan sikap sabar yang dilakukan “S” selama di lembaga yakni: “Sabar. Dia engga banyak mengeluh cendrung pendiam sih tidak seperti yang lain minta ingin pulang terus.”216
213
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan S. 215 Wawancara pribadi dengan informan N. 216 Wawancara pribadi dengan staf rehabiltasi sosial Ibu Nunung Rusmana 214
110
Sedangkan untuk informan “N” salah satu staf pun mengatakan: “Kalau saya lihat dia sabar, nerima saja dengan kenyataan dia di bina di lembaga. Engga ngeluh kaya yang lain dia sepertinya sudah nerima saja”217 Keluarga dari informan “S” pun dalam memperjelas kesabaran “S” selama menghadapi setiap permasalahan, yakni adik kandung dari “S” yang mengatakan: “Ya alhamdulilah sabar dia mah orangnya atuh. Kalau ada masalah paling cuma berdoa aja sama Allah SWT…”218 Sedangkan keluarga dari informan “N” yakni anaknya juga mengatakan hal yang sama dapat dilihat pada lampiran 24.219 4.3.4.6 Berdamai dengan diri sendiri Seorang WTS terkadang memiliki perasaan bersalah terhadap diri mereka sendiri yang sudah melakukan pekerjaan sebagai PSK, karena mereka merasakan bahwa pekerjaan tersebut menyakiti diri sendiri, merendahkan harga diri serta banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pekerjaan tersebut. Maka dari itu beberapa dari mereka berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri dengan melakukan perubahan. Hal tersebutlah yang dilakukan “S ia mengatakan: “Untuk tidak mengulang kesalahan seperti ini lagi, merawat diri dengan baik engga kerja malam. soalnya kerja kaya saya itu menyakiti tubuh juga. Berhubungan oleh banyak lelaki kan juga sakit rasanya takut juga jika tertular penyakit. Makanya saya setelah keluar dari sini mau berubah engga mau kerja malam lagi, mau jualan aja dirumah. Anak saya juga “S” menyuruh saya untuk jualan makanan ringan setelah saya pulang dari sini begitu mau di modalin sama anak saya.” (tersenyum) 220
217
Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk Wawancara pribadi dengan informan IA. 219 Wawancara pribadi dengan informan EB. 220 Wawancara pribadi dengan informan S. 218
111
Sedangkan yang dilakukan “N” untuk merasa damai ia mengatakan: “Ya saya kalau lagi pusing banyak masalah saya cuma bisa nagis dan nagis itu aja. Setelah nangis saya merasa damai dan tenang.”221 Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa informan “S” dapat berdamai dengan diri sendiri, ia merasa bersalah atas kesalahan yang telah diperbuat pada dirinya sehingga berniat untuk memberbaiki diri. Sedangkan “N” dalam merasa damai dengan cara menangis untuk mencapai ketenangan. 4.3.4.7 Ketenangan hidup Seorang WTS juga melakukan cara untuk mencapai ketenangan hidup ada yang dengan beribadah atau melakukan aktivitas lainnya. Hal tersebut diungkapkan oleh informan “S” dengan mengatakan: “Paling dengan solat, baca-baca doa dan mengaji sangat buat hati saya tenang.”222 Sedangkan untuk informan “N” dalam mencapai ketenangan hidup ia mengatakan: “saya belum mencapai ketengan hidup, hati saya masih resah, masih mau belajar solat, mau ngurus cucu, mau bertobat. Ya intinya kalau udah keluar dari sini ketemu anak baru mungkin saya tenang.”(menundukan kepala)223 Dari pernyataan di atas terlihat bahwa”S” dalam mencapai ketenangan hidup mereka melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara solat dan mengaji hal yang jarang sekali kita duga. Tetapi di sisi lain “N” masih belum dapat mencari ketenganan hidup, ia merasa resah dan gelisah atas segala
221 222
223
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
112
permasahalan hidupnya serta belum bisa mendapatkan cara untuk memperoleh ketenangan dalam menjalankan kehidupan. 4.3.5 Karakteristik Spiritual 4.3.5.1 Kepercayaan Kepada Allah SWT Seorang WTS juga memiliki tingkat kepercayaan kepada Allah SWT dengan menjalankan apa yang diajarkan oleh agama. Sebagaian dari mereka tetap beribadah. Meskipun hanya beberapa dari mereka yang beribadah dengan baik. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan informan “S” ia mengatakan kepercayaannya kepada allah SWT yakni: “Ya percaya lah, buktinya ya saya jalankan solat walaupun saya tidak tahu diterima atau tidak solat orang seperti saya.”224 Sedangkan informan “N” berbeda dan sebaliknya ia mempercayai Allah SWT tapi tidak menjalankan kewajiban agama, dengan mengatakan: “Saya percaya adanya Allah walaupun saya tidak pernah solat.”225 Pernyataan di atas menjelaskan kepada kita semua bahwa “S” seorang WTS juga memiliki tingkat kepercayaan kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah Allah SWT seperti solat wajib. Sedangkan “N” kebalikannya tidak pernah melaksanakan ibadah seperti solat. 4.3.5.2 Kepercayaan pada diri sendiri WTS yang dibina di PSKW dilatih untuk memiliki kepercayaan diri yang baik dalam mengikuti setiap kegiatan selama di lembaga. Sehingga banyak dari mereka
224 225
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N.
113
yang memiliki kepercayaan diri yang baik selama di lembaga. Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan informan “S” seorang penerima manfaat di PSKW ia mengatakan: “Saya percaya diri saja, ngapain malu-malu jadi orang. Kalau pak ustad disini suruh saya baca Al-Quraan saya baca engga malu…”226 Sedangkan informan “N” pun mengatakan: “Ya percaya diri aja. Kalau ikut kegiatan disini ikut aja engga pernah malu.”
227
Ungkapan informan “S” juga diperkuat oleh pernyataan salah satu staf PSKW, yang bisa dilihat pada lampiran 11.228 Sedangkan ungkapan “N” pun juga diperkuat oleh salah satu staf lainnya yang juga terdapat pada lampiran 19.229 Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa “S” dan “N” juga memiliki tingkat kepercayaan diri yang baik, terlihat dari percaya diri dalam melakukan setiap kegiatan yang ada di PSKW Mulya Jaya Jakarta. 4.3.5.3 Harapan Setiap orang memiliki harapan dalam dirinya, begitu juga WTS yang ada di PSKW memiliki harapan yang menjadi penyemangat dalam menjalankan hidupnya. Hal tersebut diungkapkan oleh informan “S” yang mengatakan: “ Saya ingin dapet jodoh lagi…”230 Sedangkan harapan informan “N” untuk kedepannya ia mengatakan:
226
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 228 Wawancara pribadi dengan staf rehabiltasi sosial Ibu Nunung Rusmana 229 Wawancara pribadi dengan staf poli klinik Bapak Nurudin, A. Mk 230 Wawancara pribadi dengan informan S. 227
114
“Mau nimang-nmang cucu, anak saya suruh insaf, mau sembahyang engga mau kerja malam lagi. Saya mau tinggal sama “EN” sama suaminya di citerep. Karena dirumah “EN” ada satu kamar, jadi bisa buat saya sama “EB”, “EN” juga bilang saya harus sembahyang karena anak saya yang cewe si “EN” suka pakai jilbab agamanya baik dari masih gadis.”231 Ungkapan dari “S” tersebut mengenai harapannya diperkuat pula oleh teman dekat “S” selama di lembaga yang dapat dilihat pada lampiran 13.232 Sedangkan harapan “N” yang disampaikan oleh teman dekatnya dapat pula dilihat pada lampiran 21.233 4.3.5.6 Arti kematian Setiap orang berbeda-beda dalam menanggapi arti dari kematian dan mempercayai datangnya kematian. Seorang WTS juga memiliki pendapat menganai arti kematian. Salah satunya adalah informan “S” ia mengatakan: “Yakinlah karena yang hidup pasti mati. Lagian umur saya juga udah tua jadi jika Allah mau ambil nyawa. Saya juga sakit-sakitan juga, siapa tahu kita lagi ngobrol-ngobrol gini saya di cabut nyawanya kan kita juga engga tahu hehehe.Ya takut juga, apalagi jika saya meninggal dalam keadaan belum tobat. Suka denger ceramah dari ustad disini kalau kita tuh di neraka dapet siksa di colok lah pake besi dan di bakar. Ustad pernah cerita seperti itu jadi saya takut. Maka dari itu saya juga mau tobat takut kalau belum tobat saya udah di panggil Allah SWT.”234 Sedangkan informan “N” dalam memaknai arti kematian ia mengatakan: “Saya takut sama kematian, karena banyak certa-cerita di tv mengenai azab Allah dan neraka, makanya saya pengen bisa solat suka di ajarin juga sama mpok karena saya engga bisa mengaji dari masih kecil karena kalau mengaji kabur-kaburan terus. Orang tua saya juga engga pernah mengjarkan mengaji kakak saya doang yang suka ngajarin saya yaitu kakak “L” Solat terus dia orangnya.”235 231
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan A. 233 Wawancara pribadi dengan informan I. 234 Wawancara pribadi dengan informan S. 235 Wawancara pribadi dengan informan N. 232
115
Dari penyataan di atas dapat digambarkan bahwa “S” dalam mengartikan kematian itu tidak merasa takut dan sudah meyakini memang kematian itu akan datang. Tetapi lain halnya dengan “N” ia merasa takut karena merasa selama ini menjalankan kehidupan belum baik masih jauh dari Allah SWT. 4.3.5.7 Konflik dalam keluarga Di dalam keluarga pasti terkadang terjadi konflik. Hal tersebut bisa kita lihat dari ungkapan “S” ia mengatakan: “Ya saya kalau ada masalah dengan saudara teruatama kakak-kakak saya dalam keluarga cara yang saya lakukan kabur dulu untuk sementara waktu memenangkan pikiran saya dan meredamkan emosi mereka,”236 Sedangkan hal berbeda dalam menghadapi konflik pada keluarga juga diutarakan informan “N” yang mengatakan: “Engga pernah konflik dengan keluarga. Paling hanya dengan mantan suami saja. Sama saudara tidak pernah bertengkar.”237 Ungkapan dari informan “S” juga diperkuat oleh salah satu keluarganya yakni adik kandungnya yang mengatakan hal yang sama dapat dilihat pada lampiran 16.238 Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa kehidupan keluarga “S” dan “N” seorang WTS juga terdapat konflik dalam keluarga. Dalam menyingkapi hal tersebut mereka tetap menjalankan kehidupan mereka walau dalam kondisi apapun.
236
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 238 Wawancara pribadi dengan informan IA. 237
116
4.3.5.8 Memaknai arti doa Dalam memaknai arti doa “S” mengatakan: “Penting banget arti doa menurut saya. Kita kan hidup ini harus banyak doa biar tidak semeraut urusan semuanya dilancarkan allah dengan berdoa.”239 Tetapi hal yang berbeda diungkapan oleh informan “N” dalam memaknai arti doa: “Saya tidak pernah berdoa sama allah. Jadi saya tidak tahu arti doa.”240 Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa “S” juga mengetahui arti doa, ketika ada masalah ia berdoa kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk atas permasalahan yang sedang dihadapi. Tetapi di sisi lain “N” sama sekali tidak pernah berdoa dan memohon kepada Allah SWT selama hidupnya. 4.3.5.9 Kerajinan dalam menunaikan solat wajib dan sunah Tanpa diketahui oleh masyarakat luas ada beberapa WTS yang dalam menjalankan kewajiban agama seperti solat wajib dan sunah itu sangat baik, lepas dari pekerjaan yang ia lakukan, tetapi juga di sisi lain banyak yang jarang melaksanakan kewajiban agama. Hal tersebut diungkapkan “S” yakni: “Saya berusaha untuk tetap menjalankan solat di PSKW juga saya suka berjamaah di musola, malam juga suka solat tahajut sama kawan-kawan disini. Sebelum disini sama saya juga berusaha untuk menunaikan ibadah entah diterima atau tidak saya serahkan ke yang kuasa.”241 Sedangkan kebalikan dari “S” informan “N” jarang sekali untuk melaksanakan ibadah. Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapanya: “Solat wajib jarang saat dirumah engga pernah solat, tetapi kalau di PSKW suka solat paling hanya magrib dan subuh kalau siang engga pernah 239
Wawancara pribadi dengan informan S. Wawancara pribadi dengan informan N. 241 Wawancara pribadi dengan informan S. 240
117
tidur terus sama nonton tv hehe. Solat sunah tidak pernah, tetapi setelah pulang dari PSKW saya ingin solat.” (menganggukan kepala).”242 Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa “S” dalam melaksanakan pekerjaan menjajakan diri juga memiliki tingat kerajinan dalam melaksanakan solat wajib dan sunah dengan baik. ia melaksanakan ibadah tersebut dengan mengikhlaskan kepada Allah SWT terhadap ibadahnya diterima atau tidak yang penting menurutnya ia bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan meyakini bahwa Allah SWT pun memaklumi hal tersebut. Tetapi di sisi lain “N” jarang melaksanakan ibadah selama menjajakan diri sebagai WTS. 4.3.6 Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas 4.3.6.1 Peran orang tua dalam meningkatkan spiritual Setiap orang tua pasti sangat berperan dalam spiritualitas anak-anaknya. Begitu juga para WTS yang ada di PSKW peran orang tua mereka menumbuhkan spiritual yang baik dalam diri, meskipun memang ada juga orang tua dari mereka yang tidak memberikan pendidikan agama sejak kecil. Hal tersebut yang diungkapkan oleh informan “S” yang mengatakan: “Ya orang tua berperan banget mengajari saya solat. Dulu ketika masih kecil saya belum solat magrib saja saya suka di cubit sampai biru disuruh solat kalau tidak solat pamali itu terus yang saya ingat dari ajaran orang tua saya.” Hehe (sambil tertawa kecil)243 Sedangkan Ibu “N” mengarakan pula sebaliknya yakni: “Engga pernah ngajarin solat orang tua saya. Cuma kakak saya aja “L” yang suka ngajarin saya solat dan ngaji tapi saya yang males kalau di ajarin karena saya masih kecil males. Remaja juga saya males kerja mulu
242 243
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan S.
118
dulu dipabrik engga penah solat jadi bacaan solat pun sampe sekarang engga bisa.”244 Ungkapan dari informan “S” juga diperkuat oleh salah satu keluarganya yakni adik kandung dari “S” yang bisa dilihat pada lampiran 16.245 Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa peran orang tua pada diri WTS sangat mempengaruhi terlihat dari peran orang tua “S” semasa ia kecil baik dalam membimbing “S” dari segi agama sehingga ketika beranjak dewasa hal tersebut tetap tertanam dalam diri “S”. Begitupun sebaliknya jika peran orang tua kurang seperti yang dialami oleh “N” maka ketika beranjak dewasa “N” pun memiliki tingat spiritual yang rendah. 4.3.6.2 Peran suami dalam meningkatkan spiritual Suami sangat berperan penting dalam meningkatkan spiritualitas para istri. Hal tersebut yang diungkapankan oleh informan “S” yang menjelaskan bagaimana peran suaminya dalam meningkakan spiritual ia mengatakan: “Suami kedua saya itu sering jadi imam di dalam keluarga saya dulu suka bertiga solatnya sama anak saya yang pertama. Dia kan orang cianjur bisa mengobati orang dengan amalan agamanya cuma karena dia tergoda saja sama wanita jadi kita berpisah itu yang paling buat saya sakit, saya rasa dia didukuni oleh istrinya itu untuk meninggalkan saya dan anak saya.” (sedit bernada kesal)246 Sedangkan hal yang berbeda diungkapkan oleh informan “N” ia mengungkapkan: “Suami juga engga pernah mengajari solat cuma mengajak berantem terus, dia juga engga pernah satu kali pun saya lihat dia solat kedua mantan suami saya itu.”247
244
Wawancara pribadi dengan informan N. Wawancara pribadi dengan informan IA.. 246 Wawancara pribadi dengan informan S. 247 Wawancara pribadi dengan informan N. 245
119
Ungkapan informan “S” diperkuat oleh salah satu keluarganya yakni adik kandungnya yang dapat dilihat pada lampiran 16.248 Dari pernyataan di atas peran suami dalam diri “S” pun sangat berperan sebagai pembimbing dalam dirinya, tetapi dilain sisi “N” tidak mendapatkan peran suami yang baik dalam mendidik dan membimbing spiritual dirinya. 4.4
Analisis Data Berdasakan temuan lapangan yang telah peneliti dapatkan terkait kehidupan
sosial dan spiritual wanita tuna susial. Maka dapat dihasilkan analisis data sebagai berikut: 4.4.1 Kehidupan sosial wanita tuna susila 4.4.1.1 Dilihat dari aspek-aspek kehidupan sosial a. Toleransi - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) dalam hal toleransi saat di lingkungan rumah berbeda, di mana (S) dapat dikatakan mampu menjalankan toleransi yang baik dengan cara menjalankan toleransi agama di mana dalam keluarga (S) suami dari adik kandung (S) merupakan non mulsim tetapi (S) mengormati perbedaan agama tersebut Sehingga dapat dikategorikan memenuhi aspek sosial yakni bertoleransi yang terdapat pada halaman 27. Berbeda dengan (S) di mana (N) belum dapat menjalankan toleransi yang baik pada kerabat atau pun keluarganya. Dikarenakan dalam keluarga (N) suka mendiskriminasi suku serta agama yang berbeda. Sebagaimana terlihat pada wawancara hal 72. 248
Wawancara pribadi dengan informan IA.
120
- Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) dalam hal menjalankan toleransi selama dibina di PSKW terlihat sangat baik. Di mana saat di wisma ada beberapa penerima manfaat yang non muslim tetapi mereka tetap menghargai teman yang berbeda agama tersebut dalam menjalankan ibadah dengan tidak mengolok-olok bahkan justru saling memotivasi untuk semangat dalam beribadah. Sehingga terlihat perubahan yang lebih baik dari sebelum dibina d PSKW hingga selama dibina di PSKW dalam hal menanamkan sikap toleransi pada diri kedua informan WTS dan dapat dikatakan mampu menjalankan aspek sosial terkait toleransi yang terdapat pada hal 27. b. Hubungan Keluarga - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) sama-sama mememiliki hubungan keluarga yang baik karena kedua informan tersebut menganggap keluarga terutama anak dan orang tuanya merupakan semangat untuk menjalani kehidupan. Mereka juga hidup rukun dan dalam tanpa adanya konflik dalam keluarga yang dapat pula ilihat dalam wawanvara hal 73. Meskipun memang hubungan kedua informan tersebut dengan mantan suaminya tidak berjalan dengan baik karena kedua mantan suami (S) dan (N) lepas tanggung jawab kepada anak-anak setelah bercerai. Maka dari itu hubungan yang baik antara kedua informan WTS tersebut dengan keluarganya menunjukan bahwa kedua informan WTS yakni (S) dan (N) dapat dikategorikan mampu menjalankan aspek kehidupan sosial dalam hal ini menjalin hubungan keluarga yang terdapat pula pada hal 27.
121
- Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) ketika dibina di PSKW hubungan mereka dengan keluarganya juga tetap baik. Keluarga dari informan (S) tetap memotivasi (S) untuk sabar menjalani kehidupan selama di PSKW, sedangkan (N) anaknya juga memberikan motivasi agar (N) tetap sabar dan mematuhi peraturan yang ada di PSKW, meski memang keluarga dari (S) dan (N) tidak dapat menjenguk ke lembaga dikarenakan masalah tidak adanya dana transportasi sehingga mereka hanya berkomunikasi melalui telepon. Melihat hal tersebut dapat dikatakan bahwa ketika di panti pun (S) dan (N) dapat menjalankan aspek sosial yakni terjalinnya hubungan keluarga yang terdapat pada hal 27. c. Tolong-menolong - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) memiliki sikap tolong-menolong yang berbeda, di mana (S) menanamkan sikap tolong menolong kepada kerabat atau keluarga secara baik, dengan membantu anggota keluarga yang membutuhkan bantuan sehingga dapat dikategorikan mampu untuk menjalankan aspek kehidupan sosial yakni tolongmenolongyang terdapat pada halaman 27. Meskipun memang keluarga (S) tidak melakukan hal sebaliknya kepada (S) justru cendrung tidak peduli ketika (S) sedang butuh pertolongan. Berbeda dengan (S) di mana (N) tidak pernah melakukan sikap tolong-menolong dalam keluarga sehingga keluarga (N) pun bersikap tidak peduli ketika (S) membutuhkan pertolongan sebagaimana terlihat pada wawanacar hal 76.
122
- Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) dalam menanamkan sikap tolong-menolong selama di lembaga sangat baik di mana mereka suka menolong dan membantu para staf dan teman wisma bahkan (S) suka membantu mengajari teman wisma dalam membaca Al-Quraan, sedangkan (N) jika ada teman wisma yang sakit dia suka bantu merawat agar teman tersebut dapat lekas sembuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama di lembaga kedua informan tersebut dapat dikatakan mampu menjalankan aspek sosial yakni rasa saling tolong-menolong yang juga diterangkan pada halaman 27. Jadi terlihat perbedaan yang tadinya (N) ketika di rumah kurang menanamkan sikap tolong-menolong tetapi saat berbeda di PSKW ia menanamkan sikap tolongmenolong yang baik kepada sesama. d. Hormat - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) memiliki sikap hormat yang baik kepada orang tua dan suami. Di mana kedua informan tersebut selalu mematuhi peraturan orang tua dan berusaha untuk selalu membahagiakan mereka, serta kepada suami kedua informan WTS yakni (S) dan (N) mematuhi dan melaksanakan peran serta tanggung jawab sebagai istri dan ibu bagi anak-anak dengan baik, meskipun kedua informan WTS tersebut harus mengalami kegagalan rumah tangga. Maka sikap hormat yang dilakukan (S) dan (N) tersebut dalam keluarga dapat dikategorikan mampu menjalankan aspek kehidupan sosial yakni sikap hormat yang terdapat pada hal 27.
123
- Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) selama dibina di PSKW memiliki sikap hormat yang baik di lingkungan lembaga, di mana mereka sangat hormat kepada para staf, pembimbing, instruktur keterampilan dan juga teman wisma sebagaimana terlihat pada wawancara hal 78. Dengan selalu mematuhi peraturan yang ada di PSKW dan bersikap baik dengan semua orang yang ada di sana. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua informan WTS tersebut dapat menjalankan aspek sosial yakni sikap menghormati orang-orang sekitar yang juga diterangkan pada hal 27. e. Sopan santun - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) menjalankan sopan santun yang baik dalam lingkungan keluarga. Kedua informan tersebut juga menanamkan sopan santun terhadap anak-anak mereka, baik sopan santun dalam berbicara, berpakaian serta berprilaku. Sehingga anak-anak mereka dapat tumbuh menjadi anak-anak yang baik sebagaimana terlihat pada wawancara halaman 80. Maka dari itu dalam hal sopan santun dapat dikatakan bahwa kedua informan yakni (S) dan (N) dapat dikategorikan mampu untuk menjalankan aspek kehidupan sosial yakni perilaku sopan santun di lingkungan sekitar yang juga diterangkan pada hal 27. - Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) menjalankan sopan santun yang baik di lingkungan PSKW, baik sopan santun dalam berbicara, berprilaku dan berbusana dengan rapi dan sopan, tidak pernah berbicara kasar serta dalam mengikuti setiap kegiatan di PSKW mereka memakai busana tidak terbuka serta rapi sehingga perilaku 124
mereka dapat menjadi contoh yang baik pada penerima manfaat yang lain sebagaimana terlihat pada wawancara hal 80. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) dikategorikan mampu menjalankan aspek sosial yakni sopan-santun di lingkungan PSKW yang juga dijelaskan pada hal 27. 4.4.1.2 Dilihat dari hubungan sosial a. Norma - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam mengikuti setiap norma atau pun peraturan di PSKW mereka dapat ikuti dengan baik. Seluruh kegiatan di PSKW baik bimbingan sosial, keterampilan hingga bimbingan spiritual mereka dapat mengikutinya tanpa halangan sebagaimana terlihat pada wawancara hal 83. Dengan demikian dapat dikatakan (S) dan (N) dikategorikan mampu menjalankan hubungan sosial yakni mematuhi norma di lingkungan PSKW yang juga dijelaskan pada hal 29. b. Penyesuaian Diri - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam menyesuaikan diri di lingkungan PSKW sangat baik. Mereka dapat langsung beradaptasi tanpa kendala dikarenakan mereka mudah bergaul serta tidak pilih-pilih teman sebagaimana terlihat pada wawancara hal 88. Dengan demikian dapat dikatakan (S) dan (N) dikategorikan mampu menjalankan hubungan sosial yakni mampu menyesuaikan diri di lingkungan PSKW yang juga dijelaskan pada hal 29.
125
a. Menghargai - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam menanamkan sikap menghargai di keluarga sangat baik, mereka dapat menghargai orang tua dengan mematuhi perintah yang dianjurkan oleh orang tua mereka, lalu (S) dan (N) juga sangat menghargai suami mereka di mana mereka dapat berperan menjadi istri yang patuh dan sangat baik dalam merawat suami serta anak-anak sebagaimana terlihat pada wawancara hal 90. Meskipun memang akhirnya mereka dikecewakan oleh suami mereka dan terpaksa untuk bercerai sehingga harus membesarkan anak-anak seorang diri. Dalam hal ini dapat dikategorikan bahwa kedua informan yakni (S) dan (N) mampu untuk menjalankan hubungan sosial dengan menanamkan sikap menghargai sebagai bentuk cara bereaksi terhadap orang-orang sekitarnya dalam hal ini keluarga yang juga diterangkan pada hal 29. - Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) selama dibina di PSKW selalu menanamkan sikap menghargai kepada siapapun yang ada di lingkungan PSKW, baik kepada staf, pembimbing hingga teman wisma sebagaimana terlihat pada wawancara hal 90. Mereka selalu menghargai dengan melakukan perintah staf dengan baik, mendengarkan nasihat yang diberikan pembimbing dan menghargai keberadaan teman wisma, pendapat teman wisma hingga perilaku yang berbeda dari perilaku (S) da (N). Sehingga mereka tidak pernah menciptakan konflik selama dibina di PSKW. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) ketika dibina di PSKW dapat
126
menanamkan hubungan sosial yakni memiliki sikap menghargai kepada setiap orang yang berada di lingkungan PSKW yang juga dijelaskan pula pada hal 29. b. Menghadapi Perbedaan - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam menghadapi perbedaan di keluarga sangat baik, perbedaan dari segi pendapat, pola pikir hingga perilaku mereka jalani itu semua dengan baik. Di mana kedua informan yakni (S) dan (N) sering kali memang mengalami perbedaan pendapat dengan anak-anak tetapi dihadapi dengan menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak mereka sehingga perbedaan pendapat tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah serta melakukan pembicaraan terbuka dengan anak-anak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kedua informan yakni (S) dan (N) dapat dikategorikan mampu untuk menjalankan hubungan sosial dengan menghadapi setiap perbedaan di dalam keluarga sebagai bentuk cara bereaksi terhadap orangorang sekitarnya dalam hal ini keluarga, yang juga diterangkan pada hal 29. - Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) selama dibina di PSKW dalam menghadapi setiap perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku dan bahasa mereka dapat menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut dengan baik sebagaimana terlihat pada wawancara hal 92. Justru dengan adanya perbedaan tersebut membuat (S) dan (N) dapat lebih menghargai satu sama lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) mampu menjalankan hubungan sosial yakni menghargai perbedaan selama di lembaga yang juga diterangkan pada hal 29.
127
4.4.2 Spiritualitas wanita tuna susila 4.4.2.1 Dilihat dari pengertian spiritualitas a. Makna Hidup Kedua informan WTS memiliki makna hidup yang sama yakni hidup untuk membahagiakan anak-anak mereka, karena anak-anak mereka merupakan sumber motivasi informan (S) dan (N) untuk tetap semangat dalam menjalankan kehidupan sebagaimana terlihat pada wawancara hal 93. Pekerjaan menjadi seorang WTS juga dilakukan bukan untuk kesenangan hidup belaka tetap hanya untuk mencukupi dan memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kedua informan yakni (S) dan (N) dapat dikategorikan mampu memiliki spiritualitas yang baik dalam hubungannya dengan diri mereka sendiri terkait makna hidup yang mereka rasakan yang juga diterangkan pada hal 30.. b. Kecintaan Terhadap Keluarga Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) memiliki kecintaan yang mendalam terhadap keluarga mereka, terutama orang tua dan anak-anak mereka. Keluarga adalah hal yang terpenting dalam hidup mereka dan juga semangat untuk tetap menjalani kehidupan bahkan kedua WTS tersebut menyayangi keluarga mereka melebihi diri mereka sendiri sebagaimana terlihat pada wawancara hal 94. Dalam hal ini dapat dikategorikan bahwa kedua informan yakni (S) dan (N) mampu untuk memenuhi spiritualitas yang baik dalam hubungannya dengan orang sekitar mereka, membangun komitmen bersama dan juga mencintai keluarga sepenuh hati yang sudah dijelaskan pula pada halaman 30.
128
4.4.2.2 Prinsip Spiritualisme a. Keadilan Kedua informan WTS dalam keluarga sangat menamkan keadilan, terutama dalam memberikan kasih sayang serta perhatian kepada anak mereka, dengan tidak membeda-bedakan dalam hal memberikan kasih sayang, meteri, hak untuk mendapatkan pendidikan dan perhatian diberikan dengan penuh keadilan sebagaimana terlihat pada wawancara hal 96. Mereka mempelakukan anak-anak mereka dengan sama tanpa membeda-bedakan dalam merawat dan mendidik. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) dapat memenuhi prinsip spiritualisme yakni aspek keadilan yang juga diterangkan pada halaman 31. b. Kecintaan Terhadap Allah SWT - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam menanamkan kecintaan terhadap Allah SWT sangat berbeda. Di mana (S) mencintai Allah SWT dengan juga menjalankan ibadah seperti solat dan membaca Al-Quraan lepas dari apa yang ia lakukan menjadi WTS ia tetap menjalankan ibadah dengan di tengah-tengah aktifitas sehari-harinya. Sehingga dapat dikatakan mampu untuk menjalankan prinsip spiritualisme dalam bentuk kecintaan kepada Allah SWT yang juga diterangkan pada halaman 31. Berbeda dengan (S) di mana (N) tidak menanamkan kecintaan yang baik terhadap Allah SWT terlihat dari tidak pernah menjalankan ibadah seperti solat dan membaca Al-Quraan selama berada di rumah.
129
- Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) dalam menanamkan kecintaan terhadap Allah SWT selama di lingkungan PSKW terlihat berbeda, di mana (S) dalam mengaplikasikan kecintaan tersebut dengan melaksanakan ibadah secara rajin di lembaga sehingga dapat dikatakan mampu untuk menjalankan pengertian spiritual yakni kecintaan terhadap Allah SWT yang juga diterangkan pada halaman 31. Sedangkan (N) mengaplikasikan kecintaaan dengan tidak rajin beribadah kepada Allah SWT., beribadah hanya ketika dipaksa oleh staf PSKW sehingga dikatakan kurang mampu menjalankan pengertian spiritual yakni kecintaan terhadap Allah SWT sebagaimana terlihat pada wawancara hal 97. c. Kecintaan Terhadap Diri Sendiri - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS sebelum dibina di PSKW kurang memiliki kecintaan terhadap diri mereka. Mereka jarang untuk merawat diri bahkan cendrung menyakiti diri sendiri dan menganggap bahwa kesehatan itu tidak penting sehingga dalam berhubungan badan dengan banyak laki-laki mereka kurang memperhatikan penyakit yang datang dari berhubungan badan tersebut. Dalam hal ini sebelum dibina di PSKW dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum dapat memenuhi prinsip spiritualisme yakni aspek kecintaan terhadap diri sendiri yang juga diterangkan pada hal 31. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) selama dibina di PSKW memiliki perubahan dari segi mencintai diri sendiri. Di mana saat di rumah kurang 130
memperhatikan diri dari segi kesehatan, penamilan dan perilaku, tetapi ketika dibina di PSKW mereka lebih memperhatikan diri mereka dan merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan sebagai WTS karena merusak kehormatan diri juga kesehatan. Maka dari itu setelah keluar dari PSKW (S) dan (N) berniat untuk berhenti menjajakan diri sebagai WTS karena tidak ingin menyakiti diri lebih dalam lagi. Di samping itu mereka sadar bahwa menjajakan diri sebagai WTS dapat merusak kehormatan serta rentan terkena penyakit IMS (Infeksi Menular Seksual) sebagaimana terlihat pada hal 98. Sehingga ketika dibina di PSKW (S) dan (N) dapat dikatakan mampu memenuhi prinsip spiritualisme yakni aspek kecintaan terhadap diri sendiri yang juga diterangkan pada hal 31. 4.4.2.3 Dilihat dari Aspek-aspek spiritual a. Ketidakpastian Dalam Hidup Kedua informan WTS dalam menghadapi ketidakpastian dalam hidup selama di dalam keluarga sangat berbeda. Di mana (S) dalam menghadapi ketidakpastian hidup baik suka maupun duka dengan berserah diri meminta petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perubahan hidup dalam dirinya sebagaimana terlihat pada wawancara hal 101. Sehingga dapat dikatakan mampu menjalani aspek spiritual dalam hal ini menghadapi ketidakpastian hidup yang diterangkan pada halaman 32. Berbeda dengan (S) di mana (N) dalam menghadapi ketidakpastian hidupnya dengan hanya menangis dan mengeluh tanpa meminta petunjuk kepada Allah SWT.
131
b. Kekuatan - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) memiliki kekuatan dalam diri yakni terletak pada anak-anak mereka. (S) dan (N) tetap kuat bertahan hidup menghadapi setiap permasalahan hanya karena anak-anak mereka. (S) juga mendapatkan kekuatan hidupnya dengan tetap berdoa dan berharap bahwa Allah SWT akan memberikan kekuatan bagi dirinya dalam merawat anak-anaknya walaupun tanpa adanya sosok suami. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) mampu menjalankan aspek spiritual dalam hal menanamkan kekuatan dalam diri mereka yang juga diterangkan pada hal 32. - Selama dibina di PSKW Kekuatan terbesar kedua informan WTS yakni (S) dan (N) dalam menghadapi kehidupan di PSKW adalah terletak pada anak-anak mereka. Di mana anak-anak mereka memberikan motivasi agar tetap kuat dan ikhlas sehingga dengan mengingat anak-anak (S) dan (N) memiliki kekuatan untuk tetap bertahan melalui hari-hari di PSKW serta tidak pernah mengeluh dalam melaksanakan seluruh kegiatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) mampu menjalankan aspek spiritual di lembaga dalam hal menanamkan kekuatan dalam diri mereka yang juga diterangkan pada hal 32. c. Mengenal Diri Sendiri Kedua informan WTS sangat mengenal diri mereka sendiri, baik sikap buruk yang tertanam dalam diri mereka hingga sikap baik yang ada pula pada diri mereka sebagaimana terlihat pada wawancara hal 102. Sehingga mereka dapat dikatakan 132
mampu untuk menjalankan aspek spititual yakni mengenal diri sendiri dengan baik yang juga diterangkan pada hal 32. d. Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam hal mendekatkan diri selama di rumah sangat berbeda. Di mana (S) mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan baik seperti melakukan solat, puasa dan membaca Al-Quraan meskipun memang ia tetap menjalankan pekerjaan menjadi WTS untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dalam hal ini (S) dapat dikatakan mampu untuk menjalankan aspek spiritual yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT yang juga terdapat pada halaman 32. Berbeda dengan (S) di mana (N) sangat kurang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tidak pernah melakukan aktifitas ibadah karena selalu diliputi oleh rasa malas. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT di lembaga dapat dikatakan berbeda. Di mana (S) sangat rajin beribadah seperti solat, membaca Al-Quraan dan zikir selama di lembaga bahkan (S) juga mengajarkan teman wismanya dalam membaca Al-Quraan sebagaimana terlihat ada wawancara hal 103. Sehingga (S) dapat dikatakan mampu untuk untuk menjalankan aspek spiritual yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT yang juga terdapat pada halaman 32. Sedangkan berbeda dengan (S) di mana (N) dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sangat kurang harus dipaksa terlebih dahulu oleh pihak lembaga barulah bersedia mengerjakan ibadah sehingga (N) dikatakan kurang mampu
133
menjalankan aspek spiritual di lembaga dikarenakan kurang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. 4.4.2.4 Dilihat dari kebutuhan spiritual a. Pentingnya Kebutuhan Spiritual - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam menganggap pentingnya kebutuhan spiritual sangat berbeda. Di mana (S) menganggap sangat penting kebutuhan spiritual dalam dirinya, terlihat dari aktifitas ibadah yang ia lakukan selama di rumah rajin untuk solat dan membaca Al-Quraan meskipun ketika malam ia harus bekerja menjajakan diri menjadi seorang WTS. Dalam hal ini (S) mampu menjalankan kebutuhan spiritual dengan menganggap spiritualitas itu penting dalam dirinya yang juga diterangkan pada halaman 32. Berbeda dengan (S) di mana (N) kurang menganggap penting kebutuhan spiritual dalam diri sehingga jarang sekali beribadah. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) berbeda dalam hal menganggap pentingnya kebutuhan spiritual. Di mana (S) menganggap sangat penting kebutuhan spiritual dalam dirinya sehingga ia sangat rajin beribadah di lembaga sebagaimana terlihat pada wawancara hal 106.. Berbeda dengan (N) yang kurang menganggap pentingnya kebutuhan spiritual sehingga terlihat pula dari jarangan sekali (N) beribadah selama di PSKW. Maka dar itu dapat dikatakan bahwa (S) mampu menjalankan kebutuhan spiritual dengan menganggap spiritualitas itu penting dalam dirinya yang juga diterangkan pada halaman 32. Sedangkan (N) belum mampu untuk memenuhi kebutuhan spiritual dalam dirinya. 134
b. Pengampunan - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) dalam menjalankan aktifitas sebagai WTS pernah meminta ampun kepada Allah SWT atas kesalahan yang mereka lakukan, tetapi hanya sebatas permohonan ampunan kepada Allah SWT tanpa melakukan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum dapat memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal pengampunan yang terdapat pada halaman 32. - Selama dibina di PSKW Kedua informan (S) dan (N) selama dibina di PSKW dapat sadar bahwa perbuatan WTS yang mereka lakukan tersebut adalah dosa besar. Maka dari itu mereka ingin bertaubat dengan meminta pengampunan kepada Allah SWT sehingga ketika keluar dari PSKW tidak lagi menjadi seorang WTS sebagaimana terlihat pada wawancara hal 108. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) selama dibina di PSKW sudah dapat dikategorikan mampu untuk memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal meminta ampun kepada Allah SWT yang juga diterangkan pada halaman 32. c. Memaknai Penderitaan Hidup Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) dalam memaknai penderitaan hidup sangat berbeda di mana (S) menghadapi penderitaan hidup dengan beribadah, sabar, berdoa dan berserah diri kepada Allah SWT atas setiap permasalahan yang dihadapi. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan (S) mampu untuk menjalankan kebutuhan spiritual dalam hal memaknai penderitaan hidup yang juga diterangkan pada halaman 135
33. Berbeda dengan (S) di mana (N) dalam menghadapi penderitaan hidup hanya dengan menangis tanpa meminta petunjuk kepada Allah SWT sebagaimana terlihat pada wawancara hal 109. d. Mengambil Hikmah - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS belum dapat mengambil hikmah dari setiap permasalahan hidup yang mereka alami. Dari masalah perceraian, keguguran hingga harus menjadi WTS untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya. Mereka dalam hal ini dapat dikatakan belum mampu mengambil hikmah dan memetik pelajaran dari setiap permasalahan hidup yang mereka alami. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum dapat memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal mengambil hikmah yang juga diterangkan pada hal 34. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) selama dibina di PSKW mereka sudah dapat mengambil hikmah dengan baik. Mereka sadar bahwa apa yang terjadi pada mereka atas kehendak Allah SWT dan memang harus tetap dijalani dengan penuh kesabaran. Dari setiap permasalahan hidup yang mereka alami juga dapat diambil pelajarannya terutama saat dirazia dan di tempatkan di PSKW membuat (S) dan (N) sadar bahwa menjajakan diri di jalan adalah perbuatan yang tidak terpuji sehingga ketika keluar dari PSKW mereka ingin behenti menjadi WTS dan segera mencari pekerjaan yang halal sebagaimana terlihat pada wawancara hal 109. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) selama dibina di PSKW sudah dapat
136
memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal mengambil hikmah yang juga diterangkan pada hal 34. e. Bersabar - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS sama-sama memiliki kesabaran yang baik dalam keluarga. Di mana mereka selalu bersabar atas permasalahan hidup serta pula bersabar dalam merawat dan memberikan nafkah kepada anak-anak mereka seorang diri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) dapat memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal bersabar yang juga terdapat pada hal 34. - Setelah dibina di PSKW Kedua informan WTS yakni (S) dan (N) selama dibina di PSKW selalu sabar dan tidak mengeluh. Mereka menjalankan hari-hari di PSKW dengan baik serta selalu mengikuti setiap kegiatan dan peraturan yang ada di PSKW. Maka dari itu dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) selama dibina di PSKW mampu memenuhi kebutuhan spiritual dalam hal bersabar yang juga terdapat pada hal 34. f. Berdamai Dengan Diri Sendiri - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS sama-sama belum dapat berdamai dengan diri mereka sendiri, mereka masih menganggap penderitaan hidup merupakan kesalahan pribadi mereka, baik kesalahan dalam memilih suami, kesalahan berprilaku hingga merasa bersalah kepada anak. Sehingga tidak dapat berdamai dengan diri mereka sendiri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) sebelum dibina di PSKW belum
137
mencapai kebutuhan spiritual yang baik dari segi berdamai dengan diri sendiri yang juga diterangkan pada hal 34. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS baik di lingkungan keluarga maupun di PSKW masih sama-sama belum dapat berdamai dengan diri mereka sendiri, Karena masih merasa bersalah dengan diri sendiri dan juga keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum mencapai kebutuhan spiritual yang baik dari segi berdamai dengan diri sendiri yang juga diterangkan pada hal 34. g. Ketenangan Hidup - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS sama-sama belum mendapatkan ketenangan hidup karena selalu merasa bersalah terhadap diri sendiri, keluarga dan Allah SWT. Sehingga setiap saat selalu dihantui oleh perasaan tidak tenang karena menganggap diri mereka kotor, hina dan jahat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum mencapai kebutuhan spiritual yang baik dari segi mencapai ketenangan hidup yang juga diterangkan pada hal 34. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS masih belum mencapai ketenangan hidup baik di rumah maupun saat dibina di PSKW. (S) dan (N) selalu resah, gelisah serta belum dapat berdamai dengan diri sendiri. Mereka selalu merasa tidak tenang dalam menghadapi kehidupan karena merasa banyak dosa atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum mencapai kebutuhan spiritual yang baik dari segi mencapai ketenangan hidup yang juga diterangkan pada hal 34. 138
4.4.2.5 Dilihar dari karakteristik spiritualitas a. Kepercayaan kepada Allah SWT - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS sama-sama percaya akan adanya Allah SWT, tetapi berbeda
dalam
hal
mengaplikasikan
kepercayaan
tersebut
di
mana
(S)
mengaplikasikan keparacayaan kepada Allah SWT dengan beribadah yakni solat, puasa dan membaca Al-Quraan meskipun juga tetap menjalankan pekerjaan menjadi WTS sebagaimana terlihat pada wawancara hal 113. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) mampu memiliki karakteristik spiritualitas dalam hal percaya kepada Allah SWT yang terdapat pada halaman 34. Berbeda dengan (S) di mana (N) hanya sebatas percaya tanpa menjalankan perintah Allah SWT. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS sama-sama percaya akan adanya Allah SWT, tetapi berbeda dalam hal mengaplikasikan kepercayaan tersebut selama di lembaga. Di mana (S) mengaplikasikan kepercayaan tersebut dengan beribadah yakni solat berjamaah di lembaga, solat sunah, membaca Al-Quraan serta rajin menghafal doadoa. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) selama di lembaga mampu memiliki karakteristik spiritualitas yang baik dalam hal percaya kepada Allah SWT yang terdapat pada halaman 34. Berbeda dengan (S) di mana (N) saat di lembaga Selalu dihantui rasa malas dalam melaksanakan ibadah sehingga (N) hanya sebatas percaya pada Allah SWT tanpa menjalankan perintah Allah SWT.
139
b. Arti Kematian - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS dalam mengartikan kematian keduanya sama-sama takut karena menganggap bahwa diri mereka dipenuhi dosa dan belum siap untuk menghadapi kematian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) belum mampu memiliki karakteristik spiritual dalam hal ini mempercayai dan mayakini arti kematian yang juga terdapat pada hal 35. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS selama dibina di PSKW sudah meyakini arti kematian dan merasa ingin bertobat karena takut ketika dipanggil Allah SWT belum meminta ampun kepada Allah SWT. Berbeda saat di rumah, di PSKW mereka lebih berserah diri pada kematian karena sudah mendapatkan pengetahuan pada saat bimbingan rohani di PSKW mengenai kematian itu pasti akan datang sehingga mereka lebih siap menghadapi kematian dengan lebih meningkatkan ibadah dan berhenti menjadi WTS. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) dan (N) selama dibina di lembaga mampu memiliki karakteristik spiritual yakni mempercayai dan mayakini datangnya kematian yang juga terdapat pada hal 35. d. Konflik - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS berbeda dalam menghadapi konflik di mana ketika ada masalah dalam keluarga (S) lebih suka pergi dahulu untuk meredamkan emosi sehingga tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. Berbeda dengan (S) di mana (N) belum pernah menghadapi konflik dalam keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa 140
(S) dan (N) mampu memenuhi karakteristik spiritual dalam hal menghadapi konflik dengan baik dalam keluarga yang terdapat pada hal 35. - Selama dibina di PSKW Selama dibina di PSKW (S) dan (N) tidak pernah mengalami konflik dengan siapapun baik dengan pihak lembaga maupun dengan teman wisma. Dikarenakan mereka tidak pernah mencari keributan dan cendrung pendiam serta mengalah ketika terjadi perselisihan di lembaga sebagaimana terlihat pada wawancara hal 116. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa selama di lembaga (S) dan (N) dapat memenuhi karakteristik spiritual yakni menghadapi konflik dengan baik selama berada lingkungan PSKW yang terdapat pada hal 35. e. Memaknai Arti Doa - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS berbeda dalam memaknai arti doa di mana (S) selalu berdoa kepada Allah SWT dan meyakini akan pentignya doa dalam hidupnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia memiliki karakteristik spiritual yang baik dalam memaknai arti doa yang juga dijelaskan ada halaman 35. Berbeda dengan (S) di mana (N) belum pernah berdoa kepada Allah SWT sebagaimana terlihat pada wawancara hal 117. - Selama dibina di PSKW Kedua informan WTS selama dibina di PSKW berbeda pula dalam memaknai arti doa. Di mana (S) sangat rajin berdoa kepada Allah SWT selama di PSKW. Sedangkan (N) tidak pernah berdoa kepada Allah SWT. Maka dari itu dapat
141
dikatakan bahwa (S) lebih mampu menjalani karakteristik spiritual yang baik dalam memaknai arti doa yang juga dijelaskan ada hal 35. f. Kerajinan Dalam Melaksanakan Solat Wajib dan Sunah - Sebelum dibina di PSKW Kedua informan WTS berbeda dalam hal kerajinan melaksanakan solat wajib dan sunah. Di mana (S) saat berada di rumah sangat rajin dalam menunaikan solat wajib dan sunah lepas dari pekerjaan yang ia lakukan menjadi WTS ia tetap melaksanakan ibadah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa (S) memiliki karakteristik spiritual yang baik dalam hal kerajinan solat wajib dan sunah yang juga dijelaskan pada hal 34. Berbeda dengan (S) di mana (N) selama di rumah sangat malas beribadah bahkan tidak pernah melaksanakan solat wajib dan sunah. - Selama dibina di PSKW Dalam melaksanakan solat wajib dan sunah di lembaga antara (S) dan (N) sangat pula berbeda. Di mana (S) sangat rajin melaksanakan solat wajib dan sunah saat di PSKW bahkan menjadi motivasi sekaligus panutan bagi penerima manfaat lainnya dalam hal beribadah sebagaimana terlihat pada wawancara hal 117. Sedangkan (N) jarang sekali melaksanakan solat wajib dan sunah selama di lembaga. Sehingga dapat dikatakan bahwa (S) lebih mampu menjalankan karakteristik spiritual yang baik selama dibina di PSKW dalam hal kerajinan solat wajib dan sunah yang juga dijelaskan pada hal 34. 4.4.2.6 Dilihat dari faktor yang mempengaruhi spiritualitas Peran keluarga dalam hal ini orang tua informan WTS dalam meningkatkan spiritualitas mereka terlihat sangat berbeda. Di mana (S) memang sejak kecil orang 142
tuanya selalu memberikan pemahaman agama yang baik dalam diri (S), sehingga ketika dewasa pemahaman agama (S) sangat baik, meski bekerja menjadi WTS ia tetap melaksanakan ibadah seperti solat dan membaca al-quraan di sela-sela kegiatan sebagaimana terlihat pada wawancara hal 118 Berbeda dengan (S) di mana (N) memang sejak kecil kurang mendapat bimbingan spiritualitas yang baik dari orang tuanya, sehingga ketika dewasa memiliki pengetahuan spiritual yang minim bahkan (N) belum mampu mengusai bacaan solat dan bacaan Al-Quraan.
143
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan terhadap kehidupan sosial dan spiritual wanita tuna susila (Studi Kasus di PSKW Mulya Jaya Jakarta), maka hasil dari penelitian yang dilakukan penulis menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kehidupan sosial wanita tuna susila Dilihat dari segi aspek kehidupan sosial, kedua informan wanita tuna susila sama-sama memiliki toleransi yang baik dalam keluarga maupun di lingkungan PSKW, serta memiliki hubungan keluarga yang saling menyayangi satu sama lain meskipun memang (S) dan (N) mereka kurang mendapatkan dukungan dari keluarga untuk dapat lepas menjadi WTS.. Di samping itu kedua informan WTS tersebut juga menanamkan sikap hormat serta sopan santun dalam lingkungan keluarga maupun pada saat dibina di PSKW Mulya Jaya. Namun dari segi sikap tolong-menolong berbeda di mana informan (S) memiliki sikap tolong-menolong yang lebih baik dalam lingkungan PSKW dan keluarga meskipun memang kerabat dalam keluargnya kurang memberikan perhatian terkait kehidupan (S) tetapi (S) tetap menolong mereka, sedangkan informan (N) kurang menanamkan sikap tolong-menolong pada dirinya dan keluaganya begitupun keluarga (N) kurang peduli terhadap (N) dan anaknya.
144
Dilihat dari hubungan sosial, kedua informan WTS sama-sama mematuhi setiap peraturan yang berlaku di PSKW serta selalu menanamkan sikap saling menghargai satu sama lain baik di PSKW maupun dalam keluarga. Penyesuaian diri keduanya selama di lembaga juga sangat baik dapat mudah bergaul dengan siapapun serta setiap perbedaan yang ada dihadapi dengan bijak. 2. Spiritual wanita tuna susila Dilihat dari segi pengertian spiritual, kedua informan wanita tuna susila tersebut sama-sama memiliki makna hidup yang baik yakni hidup untuk membahagiakan anak, serta memiliki kecintaan yang mendalam terhadap keluarga karena keluarga merupakan motivasi hidup mereka. Namun terdapat perbedaan dari tingkat spiritual selama di lembaga di mana informan (S) lebih rajin dalam beribadah karena saat menjadi WTS di lingkungan temat tinggalnya ia tetap menjalankan solat dan ibadah lainnya. Sedangkan (N) harus dipaksa terlebih dahulu dalam melaksanakan ibadah karena memang terbiasa jarang melaksanakan ibadah saat di rumah selalu merasa malas dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Dilihat dari segi prinsip spiritualisme, kedua informan wanita tuna susila tersebut sama-sama menanamkan keadilan, kecintaan terhadap diri sendiri serta kejujuran yang baik dalam keluarga maupun di lingkungan PSKW. Namun terdapat perbedaan keduanya dari segi kecintaan terhadap Allah SWT di mana cara mengaplikasikan kecintaan tersebut informan (S)
145
menjalankan dengan beribadah, sedangkan informan (N) jarang melaksanakan ibadah. Dari segi aspek-aspek spiritual, kedua informan wanita tuna susila tersebut sama-sama mengenal sikap baik dan buruk dalam diri mereka serta kekuatan hidup mereka terletak pada anak. Namun perbedaan dari kedua informan tersebut terletak pada kerajinan dalam beribadah di mana (S) rajin beribadah baik saat berada di rumah maupun di lingkungan PSKW, Sedangkan “N” sangat malas dalam beribadah. Di samping itu terdapat pula perbedaan dari cara menghadapi ketidakpastian hidup di mana (S) menghadapinya dengan berserah kepada Allah SWT sedangkan (N) hanya dapat menangis dalam menghadapi setiap permasalahan dan perubahan hidup Dilihat dari kebutuhan spiritual, kedua informan wanita tuna susila tersebut dalam menganggap pentingnya kebutuhan spiritual, pengampunan, memaknai penderitaan hidup, mengambil hikmah, bersabar, ketenangan hidup dan berdamai dengan diri sendiri sangat berbeda di mana informan (S) menjalankan itu semua dengan baik, sedangkan (N) masih belum mencapai kebutuhan spiritual yang baik. Dilihat dari segi karakteristik spiritual, kedua informan wanita tuna susila tersebut sama-sama memiliki kepercayaan diri yang baik serta harapan yang sama agar dapat berhenti menjadi WTS, meskipun keduanya sering mengalami konflik pada diri mereka sendiri serta konflik dalam keluarga. Di samping itu dalam memaknai arti kematian keduanya juga sama-sama takut karena menganggap diri mereka dipenuhi dosa. Namun keduanya juga 146
memiliki perbedaan dari segi mengaplikasikan kepercayaan kepada Allah SWT di mana (S) mengaplikasikan kepercayaan dengan beribadah sedangkan (N) hanya sebatas percaya tanpa menjalankan perintah Allah SWT. Dari segi faktor yang mempengaruhi spiritualitas, peran orang tua dan suami dari kedua informan WTS dalam meningkatkan spiritualitas sangat berbeda, di mana informan (S) orang tua dan suaminya mengajarkan ibadah serta spiritual yang baik, sedangkan (N) tidak pernah mendapat pendidikan agama sejak kecil, mantan suaminya pun tidak dapat menjadi contoh imam yang baik. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dengan ini peneliti mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat. Saran-saran yang dapat dikemukakan antara lain: 1. Kepada masyarakat umum diharapkan untuk tidak semata-mata menghujat WTS tanpa mengetahui nilai-nilai positif yang mereka lakukan untuk orangorang sekitar mereka. 2. Kepada PSKW Mulya Jaya Jakarta diharapkan meningkatkan pelayanan pada bimbingan sosial jadi tidak hanya memberikan materi tetapi lebih masuk ke dalam kehidupan sosial mereka selama di keluarga. Dengan mengadakan sesi sharing mengenai kehidupan sosial dalam keluarga dan peran mereka sebagai istri serta Ibu bagi keluarga mereka. 3. Kepada pekerja sosial yang ada di PSKW Mulya Jaya Jakarta diharapkan lebih menjalin kedekatan dengan penerima manfaat secara baik, bahkan 147
alangkah baiknya jika dalam seminggu dijadwalkan kualitas waktu antara pekerja sosial dengan penerima manfaat yang dibimbing. 4. Kepada pemerintah juga diharapkan tidak hanya menyalurkan para WTS yang terjaring ke panti sosial untuk dibina, tetapi juga lebih memberikan pelayanan kepada keluarga dari para WTS tersebut sehingga pemerintah pun akan lebih mengetahui kondisi dan peran para WTS tersebut dalam lingkungan kehidupan sosial keluarga mereka dengan dapat dilakukan kerjasama antara pimpinan daerah asal WTS tersebut.
148
DAFTAR PUSTAKA Administrator, Jumlah PSK di Kaltim-Kaltara Capai 4.449 Jiwa,” artikel di akses pada 19 Maret 2014 dari http://dinsos.kaltimprov.go.id/berita-659-jumlahpsk-di-kaltimkaltara-capai-4449-jiwa.html Ali Muhamad, Mohamad Asrori. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005, Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial .Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayattuloh Jakarta, 2011. Brown, Louise. Sex Slaves Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Brosur PSKW “Mulya Jaya”, Membangun Pribadi Mandiri dan Berperan Aktif Dalam Kehidupan Bermasyarakat. Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Tahun 2013. Dalla, Rochelle. L. “Exposing the "pretty woman" myth: A qualitative examination of the lives of female streetwalking prostitutes,” The Journal of Sex Research vol 37 no 4. November 2000. Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial, “PSKW “Mulya Jaya” Jakarta,” artikel diakses pada 3 Mei 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id Ghony, M. Djunaedi. Metodelogi Penelitian Kualitatif .Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Hariyanto, “Pelaksanaan Proses Rehabilitasi Sosial Untuk Anak Wanita Usia 15-18 Tahun Korban Trafficking,” Thesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univeritas Indonesia Depok, 2011.
149
Hidayatulloh, Syariful. “Pemahaman Agama Islam Pada Pekerja Seks Komersial,” Skripsi Fakultas Usulludin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. Hidayat, Alimul. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba medika, 2004. Hidayat, Alimul Pengantar Kebutuahan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika, 2012. Jaya. Yahya, M.A, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1994. Kartono, Kartini Patologi sosial jilid I Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Lufiarna, “ Praktikum 1 Kesejahteraan Sosial,” Praktikum 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendeketan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Miskawi, “Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) antara peran positif terabaikan dan termarginalkan dalam bentuk pembelaannya tahun 1970-2009” Jurnal Ilmiah PROGRESSIF v, no. 18 (Desember 2009. Pisani, Elizabeth. Kearifan Pelacur Kisah Gelap di Balik Bisnis Seks dan Narkoba. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008. Profil PSKW, di akses pada 19 Maret 2014 dari http://mulyajaya.depsos.go.id Sudarsono, Drs. S.H. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 1990. Sugiyono, Memahami penelitian kualitatif. Bandung: ALFABETA, 2010. Wahid, Abdul. Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual: Advokasi atas Hak Asasi Pereempuan. Malang: PT Refika Aditama).
150