22
STAIN Palangka Raya
PEMBINAAN WANITA TUNA SUSILA DI PANTI SOSIAL KARYA WANITA RUHUI RAHAYU PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Asmawati Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembinaan Wanita Tuna Susila (WTS) di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya Propinsi Kalimantan Tengah, terkait dengan: perencanaan, pelaksanaan, keberhasilan, dan hambatan-hambatan yang dijumpai. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Subyek penelitian adalah Warga Binaan, Pembina, Pengurus dan mantan warga binaan. Pengumpulan data di lakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi sumber dan metode, serta perpanjangan waktu penelitian. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data, menggunakan metode interaktif yang terdiri atas 3 tahap yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisis mengungkapkan bahwa di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya: 1) Perencanaan program pembinaan WTS di sesuaikan dengan minat warga binaan dan kebutuhan masyarakat. 2) Dalam melaksanakan pembinaan, WTS diberi kepercayaan untuk memilih keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya terhadap program-program keterampilan yang tersedia yaitu keterampilan pokok dan keterampilan tambahan. Keterampilan pokok meliputi menjahit dan tatarias, sedangkan keterampilan tambahan terdiri atas industri rumah tangga, kewiraswastaan pembuatan kue dll. Di samping itu, warga binaan juga diberikan pembinaan kepribadian yang terdiri atas pembinaan fisik, psikologi, mental spritual, dan keluarga. Pembinaan kepribadian merupakan materi wajib, 3) Keberhasilan program pembinaan WTS dapat ditunjukkan dengan adanya mantan warga binaan yang sudah berhasil membuka usaha sendiri berupa salon, penjahit dan memasarkan produk-produk dari Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu dan ada yang kembali menjadi ibu rumah tangga, namun demikian masih ada yang kembali sebagai WTS. 4) Hambatan-hambatan dalam pembinaan di antaranya adalah : a) Para warga binaan sulit menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk, b) Pendidikan warga binaan yang rendah, sehingga sulit utuk dibina. c) Adanya pembina yang latar belakang pendidikannya kurang sesuai, d) Rasio kecukupan antara kelengkapan peralatan dan peserta warga binaan masih kurang, e) Pemakaian alat-alat keterampilan yang belum optimal, f) Dana yang masih kurang untuk keberlangsungan program.
Kata kunci: Pembinaan Wanita Tuna Susila (WTS). A. Pendahuluan Tuntutan Reformasi dan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 19991 tentang Pemerintah Daerah, berbagai perubahan luar biasa terjadi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung menyebabkan ketimpangan distribusi sumber daya ekonomi, politik dan administrasi perlu direvisi untuk membangun tata pemerintahan yang baik. Tata pemerintahan yang baik adalah tata pemerintahan yang mampu *
Penulis adalah dosen pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palangka Raya. Menyelesaikan studi S2 di Universitas Negeri Yogyakarta program studi PIPS tahun 2007. Alamat kantor Jl. G. Obos Komplek Islamic Centre Palangka Raya Kalimantan Tengah 73112. 1 Undang-Undamg, Nomor 22, Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
23
STAIN Palangka Raya
menempatkan kepentingan warga negara (masyarakat) sebagai sentral kebijakan yang artinya kepentingan publik selalu menjadi kriteria utama dalam pengambilan keputusan. Tujuan pembangunan nasional Bangsa Indonesia membangun manusia Indonesia seutuhnya yang adil dan merata berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Dalam pembangunan manusia seutuhnya yang memegang peranan sangat penting adalah manusia itu sendiri, meliputi pembangunan jasmani dan rohaninya. Dengan demikian manusia merupakan subyek pembangunan sekaligus objek pembangunan, yang akan menentukan keberhasilan pembangunan bangsa Indonesia di masa akan datang. Pembangunan pada aspek rohani merupakan pembangunan moral manusia Indonesia. Apabila pembangunan pada aspek moral tercapai dengan baik maka manusia dapat melaksanakan pembangunan di segala bidang, sebaliknya, kegagalan dalam segi moral maka proses pembangunan akan mengalami kemacetan, yang dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan Negara, oleh karena itu pembangunan moral merupakan proses yang berkesinambungan. Pembinaan moral dewasa ini menjadi sangat penting karena kemerosotan moral di masyarakat sudah sangat nyata. Zakiah Darajat menyatakan: ”...moral sebagian anggota masyarakat telah rusak atau mulai merosot, kepentingan umum bukan dinomorsatukan akan tetapi kepentingan dan keuntungan pribadilah yang menonjol dari sebagian orang.”2 Bentuk kemerosotan moral di masyarakat dapat dilihat antara lain tindakan seksual asusila yang sangat mencolok mata dalam bentuk pelacuran yang dilakukan oleh wanita-wanita karena sengaja atau tidak telah menyalahgunakan kodratnya.3 Tindakan tersebut sangat mengganggu ketentraman masyarakat bahkan menghancurkan masa depan bangsa. Menurut Koetoer Partowisastro 1987 Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan perusak rumah tangga, perusak pekerjaan dan sumber dari bentuk-bentuk tindakan kriminalitas, sedangkan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia bahwa Wanita Tuna Susila adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan berganti-ganti pasangan di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi dan/atau jasa4. Hal ini sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh Irsyadi bahwa: Wanita Tuna Susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan berganti-ganti pasangan di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.5 Dengan demikian Wanita Tuna Susila (WTS) termasuk orang yang terganggu mental dan moralnya. 2
Zakiyah Drajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Haji Mas Agung, 1988, h. 4. 3 Kartini Kartono, Psikologi abnormal dan abnormal seksual. Bandung: Mandar Maju, 1992, h.14. 4 Departemen Sosial RI. Pola pembangunan kesejahteraan sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI, 2003, h. 100 5 Irsyadi. Wanita Tuna Susila. Diambil pada tanggal 11 Juni 2007, dari www.irsyadi.com/fhpsm/Panksdef/Takalar , 2007.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
24
STAIN Palangka Raya
Ajaran Islam mensyariatkan pemeluknya agar memelihara hasrat seksualnya melalui pernikahan, sehingga tindakan seks yang dilakukannya merupakan ibadah. Sedangkan perbuatan seksual yang dilakukan di luar nikah itu adalah perbuatan yang keji terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat dan sangat meracuni kehidupan bangsa yang beradab. Oleh karena, itu seks di luar nikah, baik yang komersial (prostitusi) maupun non komersial harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Menurut Shahabudin ledakan pelacuran di Asia Tenggara, terutama dimulai sejak perang Vietnam hingga saat ini pelacuran di Indonesia dan Asia Tenggara masih merupakan masalah pokok.6 Pekerjaan ini sering dianggap hina, tetapi bagi sebagian orang sering dianggap menguntungkan. Seperti ditegaskan Shahabudin As long as prostitution is seen as a valuable national resource and men whether foreign or local are willing to use these women to satisfy their sexual needs at an incredible rate, often without regard to disease or any common moral restraints, women will continue to be oppressed.7 Selama prostitusi dipandang sebagai sumber pendapatan nasional dan orang memanfaatkan para wanita untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan tanpa mempertimbangkan penyakit-penyakit dan nilai-nilai moral perilaku seksual, maka WTS akan terus beraksi. Pelanggaran terhadap norma kesusilaan, bertentangan dengan kaidah di dalam aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, bahkan bertentangan dengan hukum agama maupun hukum kenegaraan, tetapi hukum tidak mampu menghentikan praktik-praktik prostitusi, bahkan secara kekerasan praktik tersebut tidak bisa diberantas. Praktik tersebut selalu diikuti oleh beberapa gejala sosial lainnya yang merupakan patologi sosial, yang akibatnya sangat luas karena menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia. Prostitusi ditinjau dari sudut moral, berarti demoralitas, dari sudut sosial termasuk penyakit masyarakat, dari sudut agama perbuatan haram, dari sudut kesehatan sangat membahayakan karena dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Ditinjau dari sudut martabat kemanusiaan, prostitusi sangat merendahkan martabat wanita. Jika permasalahan ini tidak ditangani secara komprehensif dan berkesinambungan akan menimbulkan masalah yang lebih komplek dan rumit. Prilaku WTS dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, pendidikan rendah, faktor sosial budaya, kemalasan, kerapuhan jiwa karena ditimpa masalah atau beban yang sangat berat dalam hidupnya, dan korban perkosaan dan lain-lain.8 Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan jumlah WTS di Indonesia, khususnya di kota-kota besar yang semakin hari semakin meningkat dengan berbagai modus operasinya. Masalah WTS perlu mendapatkan penanganan secara serius dari semua pihak dan merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Pihak yang 6
Shahabudin. Sharifah H. (2006). Strategies of civil society to address aids in Asia: Emphasis on the sex sector.Diambil pada tanggal 6 Agustus 2007, dari htt:/www.un.org/womenwatch/daw/csw/hivaids/Shahabudun.html, 2007, h. 3 7 Ibid., h. 3 8 Departemen Sosial RI. Pola Pembangunan, h. 100.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
25
STAIN Palangka Raya
secara formal bertanggung jawab adalah Departemen Sosial dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Panti Sosial merupakan salah satu lembaga sosial yang secara khusus didirikan untuk membina WTS agar dapat hidup wajar dan kembali ke dalam masyarakat, serta mentaati norma-norma yang berlaku. Usaha yang dilakukan adalah memberikan pembinaan mental kepribadian, moral atau sikap terhadap masyarakat dan latihan-latihan keterampilan kerja agar mereka mempunyai kepercayaan diri untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat dan dapat hidup normal seperti anggota masyarakat yang lain. Dengan kata lain individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang yang dibentuk oleh interaksi struktur sosial atau dipengaruhi oleh penyimpanganpenyimpangan sosial yang meresahkan masyarakat. Irsyadi.9 Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, dalam skala luas akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola prilaku yang tidak sesuai (unconformity) terhadap kehendak masyarakat. Menurut James Vander Zanden, penyimpangan sosial adalah “penyimpangan perilaku yang oleh orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi,” sedangkan menurut Robert M. Z. Lawang, “penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.”10 Agar penyimpangan-penyimpangan yang ada di masyarakat berkurang dan pelaku penyimpangan sosial itu dapat kembali hidup di masyarakat secara wajar, maka dilakukan berbagai macam pembinaan antara lain melalui jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah memegang peranan penting dan sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan hak azasi seluruh warga negara tanpa diskriminatif. Pendidikan luar sekolah dalam sejarahnya yang panjang di Indonesia, telah mampu membuktikan jati dirinya sebagai wahana, sasaran, dan media pendidikan yang fleksibel, praktis, dan sesuai kebutuhan. Programprogramnya disusun sesuai dengan jenis, mutu, dan tingkat kebutuhan nyata di dalam masyarakat, dunia kerja, di dunia industri, dan lingkungan yang terus berubah. Dengan demikian pendidikan luar sekolah dilaksanakan sesuai dengan tuntutan pendidikan seumur hidup, hal ini juga telah tercantum di dalam GBHN bahwa: ”Pendidikan luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasyarakatan...”. Menurut pendapat Sanapiah Faisal. pengertian pendidikan luar sekolah (PLS) adalah sebagai berikut: 1) Pendidikan luar sekolah ialah pendidikan yang teratur, dengan sadar dilakukan tetapi tidak selalu mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. 9
Ibid.Wanita.
10
Arief Herdianto.Penyimpangan social. Diambil tanggal 1 Agustus 2007, dari htt:/www.Arief.go.it/e-Learnin/images/Penyimpangan Sosial, 2007.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
26
STAIN Palangka Raya
2) Pendidikan luar sekolah meliputi pendidikan non formal dan informal. 3) Pendidikan luar sekolah biasanya diartikan dengan penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir di luar sistem persekolahan, isi pendidikannya terprogram, adanya konsekwensi materi yang disampaikan di dalam proses pendidikan yang berlangsung berada dalam suatu medan interaksi belajar mengajar yang sedikit banyak terkontrol, serta adanya aksidensial, meskipun tidak terlalu memiliki saksi legal.11 Menurut Soelaiman Joesoef , Pendidikan Luar Sekolah (PLS) adalah: Setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah, di luar sekolah, di mana seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya. Dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta aktif yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaannya, bahkan dalam lingkungan masyarakat dan negaranya.12 Pendidikan luar sekolah menyangkut berbagai aspek kehidupan individu dari berbagai usia, tempat, dan kebutuhan. Ruang lingkup pelayanan pendidikan luar sekolah menjangkau ke seluruh kegiatan pelayanan pendidikan di luar pelayanan yang diselenggarakan oleh pendidikan jalur sekolah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik dalam pendidikan luar sekolah pada umumnya orang dewasa. Oleh karena itu dalam pembinaan WTS di Panti Sosial harus menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa (andragogi). Pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang dilakukan untuk orang dewasa. Batasan pendidikan orang dewasa yang direkomendasikan UNESCO adalah: Pendidikan orang dewasa berarti keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apapun isi, tingkatan, metodenya, baik formal maupun tidak, yang dilanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, kolose dan universitas serta latihan kerja yang membuat orang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya meningkatkan kualifikasi teknis atau profesionalnya, mengakibatkan perubahan sikap dan perlakuan yang dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan partisipasi dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang dan bebas.13 Pengertian tersebut mengandung makna bahwa pendidikan orang dewasa dipandang sebagai segala bentuk kegiatan belajar yang ditunjukan untuk orang dewasa sesuai dengan kemampuan dan bidang perhatiannya. Selain itu dalam pendidikan orang dewasa terdapat tujuan rangkap yaitu perkembangan pribadi
11 12
Sanapiah Faisal. Pendidikan luar sekolah. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1981, h. 14. Soelaiman Joesoef. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara, 1992,
h. 50. 13
Lunandi, A.G. Pendidikan orang dewasa. Jakarta: PT.Gramedia,1989, h.1.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
27
STAIN Palangka Raya
yang utuh dan partisipasinya secara mandiri dalam perkembangan sosial, ekonomi dan budaya (culture). Darkenwald dan Meriam memberikan definisi: Adult education is a process wereby persons whose major social roles are characteristic of edult status undertake systemic and sustained learning activities for the purpose of bringing about changes in knowledge, attitudes,values, or skills.14 Pendidikan orang dewasa merupakan proses di mana seseorang yang peran sosial utamanya dicirikan sebagai orang dewasa yang melakukan aktivitas belajar tidak berkelanjutan secara sistematik, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, nilai, dan ketrampilan. Definisi tersebut menekankan bahwa yang melakukan aktivitas belajar adalah orang dewasa. Yang dimaksud orang dewasa menurut definisi tersebut adalah orang yang telah mempunyai peranan sosial di dalam masyarakat. Proses pendidikan tersebut bersifat tidak berkelanjutan secara sistemik (tidak seperti di sekolah), tetapi lebih kepada problem seiring dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan membina sikap dan nilai serta melatih keterampilan kerja. Hasil yang ingin dicapai adalah adanya perubahan positif pada pengetahuan, sikap, nilai dan ketrampilan. Sesuai dengan uraian tersebut dan karakteristik warga belajar, maka materi pembelajaran pada Pembinaan Wanita Tuna Susila bukan hanya dipusatkan kepada perubahan sikap dan nilai tetapi juga diberikan materi tentang keterampilan, untuk kebutuhan hidupnya dan mampu berhubungan dengan lingkungan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan pengertian life skillss sebagai keterampilan atau kemampuaan untuk dapat beradaptasi dan berprilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari secara efektif.15 Berdasarkan pengertian tersebut, Anwar mengindikasikan bahwa life skills sangat banyak dan beragam, contoh life skills (dalam bentuk vocasional skills) yang dibutuhkan masyarakat yaitu dapat digunakan untuk memperoleh penghasilan/mencari nafkah (income generating) seperti menjahit, memasak, pertukangan, dan sebagainya.16 Meskipun demikian para ahli mengemukakan bahwa terdapat sejumlah ketrampilan yang merupakan keterampilan dasar dan berperan penting dalam meningkatkan kesehatan baik kesejahteraan anak maupun kesejahteraan remaja. Tujuan pendidikan kecakapan hidup secara lebih konkrit dikemukakan oleh Tim BBE Depdiknas sebagai berikut: Secara umum pendidikan dengan orientasi kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik, untuk menghadapi peranannya di masa 14
Darkenwald, G.G., Marriam, S.B. Adult education: Foundations of practice. New York: Harper & Row, Publishers, 1982, h. 9. 15
Anwar. Pendidikan kecakapan hidup (Life skills education) konsep dan aplikasi. Bandung: CV Alfabeta, 2004, h. 53. 16 Ibid, h. 54.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
28
STAIN Palangka Raya
datang. Secara khusus pendidikan dengan berorientasi pada kecakapan hidup (life Skills) bertujuan untuk: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas.17 Berdasarkan uraian di atas, tergambar adanya keragaman tujuan penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan. Meskipun demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tujuan utama penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata. Untuk memperoleh hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan pendidikan bahwa mendidik adalah berupaya untuk mengembangkan kepribadian, etika dan estetika, maka materi pembelajaran pada pembinaan Wanita Tuna Susila bukan hanya pendidikan keterampilan saja tetapi juga pendidikan nilai dan moral. Pendidikan nilai dan moral merupakan pendidikan yang bersifat komprehensif, sehingga sering menjadi satu pengertian. Menurut Kirschenbaum, pendidikan nilai (values education) dan pendidikan moral (moral education) bertujuan “to help others acquire the knowledge, skills, attitudes, and values that contribute to more personally satisfying and socially constructive lives”. Pendidikan nilai dan moral sebagai satu usaha keras yang mengandung tujuan membantu seseorang untuk berkehidupan yang lebih memuaskan diri, bermakna, menyenangkan, dan untuk meguasai pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan pribadi yang layak dan kehidupan sosial yang harus efektif.18 B. Metode Penelitian Penelitan ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik, subjek penelitian adalah semua pihak yang terlibat dalam proses pembinaan WTS, terdiri atas pengurus, pembina, dan warga binaan. Mantra dan Kasto (Singarimbuan dan Effendi, 1995: 149) mengatakan bahwa pengumpulan data bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih luas, lebih lengkap dan lebih mendalam tentang subjek yang akan diteliti. Penelitian ini melibatkan beberapa golongan responden, untuk mengungkap beberapa aspek pembinaan 17
Tim Broad Based Education Depdiknas. Pendidikan berorentasi kecakapan hidup (life skill) melalui pendekatan pendidikan berbasis luas (broad base education) (Buku I Konsep). Jakarta: Depdiknas, 2002, h. 8. 18
Kirschenbaum Howard. 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings. Boston: Allyn & Bacon, 1994, h. 14.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
29
STAIN Palangka Raya
WTS di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, ada berapa teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini yaitu teknik pengamatan/observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Dalam penelitian kualitatif keabsahan data berjalan seiring dengan proses pengumpulan data. Untuk mendapatkan data yang valid/absah peneliti menggunakan teknik triangulasi yaitu triangulasi sumber dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analysis Intractive model dari Miles dan Hubermen yang meliputi tiga kegiatan: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan/ferifikasi (menguji)19. Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya Kalimantan Tengah terletak di Desa Palangka, Kecamatan Jekan Raya, jalan Rajawai VII No 10. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu mulai bulan Oktober 2006 sampai Mei 2007. C. Pembahasan Hasil Penelitian Untuk melihat bagaimana proses pembinaan di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu dilakukan melalui beberapa aspek di antaranya adalah aktivitas warga binaan selama mengikuti penyuluhan, aktivitas pembina, dan aktivitas dalam pemberian keterampilan yang sesuai dengan minat dan bakat warga binaan. Untuk melihat aktivitas warga binaan dalam mengikuti pembinaan di kelas di lakukan dengan menggunakan observasi dan wawancara bahwa warga binaan sangat antusias dalam mengikuti kegiatan pembinaan. Hal itu ditunjukan bahwa warga binaan terlihat antusias yaitu ketika mereka tidak mengerti tentang materi yang dijelaskan pembina sering mempertanyakan kembali kepada pembina, bahkan ketika pembina menggerakkan partisipasi warga binaan melalui beberapa pertanyaan warga binaan selalu merespon dan menjawab pertanyaan pembina yang dilontarkan dengan baik. Dengan demikian, harapan untuk keberhasilan program ini cukup tinggi karena frekuensi warga binaan mengikuti pelatihan cukup antusias, sebab dengan seringnya warga binaan mengikuti pembinaan mereka semakin lancar dan tidak ketinggalan materi yang diajarkan, sehingga mereka benar-benar menguasai materi yang diterima sehingga dapat sebagai bekal dalam kehidupanya nanti setelah hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sehingga mereka tidak kaget dengan situasi yang berkembang. Pembina juga merupakan unsur yang sangat penting dalam mensukseskan program pembinaan ini. Karena pembina diharapkan mampu memberikan bimbingan sesuai dengan yang diharapkan warga binaan, selain itu, pembina juga diharapkan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai pembina memang harus dituntut aktif dalam berbagai kegiatan agar para warga binaan merasa yakin dengan kemampuan yang dimiliki pembina, keaktifan pembina ini bisa diwujudkan dalam berbagai aspek seperti aktif dalam melakukan pembinaan, aktif 19
Miles dan Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia, 1992, h.
20.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
30
STAIN Palangka Raya
memperhatikan peserta warga binaan dan aktif dalam mengajarkan setiap mata pelajaran untuk membekali warga binaan agar menguasai bidang pembinaan kepribadian dan keterampilan yang di ajarkan. Metode yang digunakan pembina dalam mengadakan pembinaan bervariasi yaitu ceramah, pelatihan keterampilan, dan diskusi. Penggunaan metode yang tepat dapat memperlancar proses pembinaan, dan peserta warga binaan merasa tidak bosan untuk mengikuti pembinaan, sebab metode ini juga memperlancar proses pembinaan untuk mencapai tujuan, karena kalau metode yang digunakan tidak tepat pembinaan akan sia-sia dan kurang berhasil, sebab para warga binaan tidak menguasai materi yang diajarkan. Sikap pembina dalam memberikan dorongan dan semangat dalam pelaksanaan pembinaan juga merupakan hal yang sangat penting agar warga binaan mempunyai semangat dan dorongan untuk melaksanakan bimbingan. Sedangkan kemampuan pembina dalam mengajak anggota binaan untuk mengikuti anjuran sesuai dengan program dan rencana yang telah ditetapkan di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya berdasarkan observasi dan wawancara cukup bagus. Hal ini menunjukkan bahwa pembina sudah cukup mampu mengajak warga binaan untuk mengikuti program-program yang dijalankan. Penyelenggara adalah instansi yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menyelengarakan program dan bertanggungjawab terhadap kelangsungan pelaksanaan program. Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu, sebagai pihak penyelenggara pembimbingan ini merupakan sebuah badan di bawah Departemen Sosial. Secara umum latar belakang pendidikan penyelenggara sudah cukup memadai sebagai penyelenggara program pembinaan ini, rata-rata mereka sudah memenuhi kualifikasi sebagai pengurus. Ditinjau dari keikutsertaan pengurus dalam pelatihan khusus secara keseluruhan, semua karyawan di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu sebagai pihak pengurus sudah pernah mengikuti pelatihan. Hampir semua karyawan pernah mengikuti pelatihan. Ini menunjukkan bahwa pihak pengurus di Panti Sosial Kraya Wanita Ruhui Rahayu cukup professional untuk menyelengarakan program pembinaan ini. Ini berarti program pembinaan di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu telah didukung oleh penyelenggara yang mempunyai pendidikan yang memadai dan didukung oleh penyelenggara yang mengikuti pelatihan sebagai penyelenggara. Karena pembinaan dikelola oleh lembaga yang sudah professional, maka tingkat kepercayaan warga binaan terhadap pengurus juga merupakan unsur yang sangat penting. Sehingga setiap pembukaan program pembinaan pasti selalu dipenuhi oleh orang-orang yang mau ikut pembinaan, karena mereka yakin setelah pembinaan mereka bisa mempraktikkan di luar dan mempunyai rasa percaya diri untuk kembali di tengah-tengah masyarakat. Tanpa kepercayaan, tidak mungkin warga binaan akan mengikuti bimbingan dan pembinaan tersebut dengan semangat dan sampai selesai. Dengan demikian, keberhasilan Program Pembinaan adalah dapat merubah pola hidup lebih produktif, dapat meningkatkan keterampilan dan dapat memajukan tingkat kesejahteraan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
31
STAIN Palangka Raya
D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam perencanaan program pembinaan Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu tidak hanya mengutamakan bimbingan kepribadian saja, tetapi juga bimbingan keterampilan yang merupakan pelengkap dalam mencapai tujuan pembinaan yang diharapkan 2. Sebagai pihak penyelenggara program menggunakan pendekatan yang bagus, dan cukup berhasil karena dalam pelaksanaan program memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada warga binaan untuk memilih keterampilan dan usaha yang sesuai dengan pilihan bakat dan minat warga binaan. 3. Keberhasilan program pembinaan dapat di lihat dari keinginan warga binaan untuk merubah pola hidupnya lebih produktif, meningkatkan keterampilan sehingga mempunyai pekerjaan yang baik dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dapat berperan secara aktif di keluarga dan masyarakat di lingkungannya. 4. Dalam pelaksanaan program pembinaan Wanita Tuna Susila di Panti Sosial Karya Wanita Ruhui Rahayu Palangka Raya terdapat hambatan pembinaan yaitu karena warga binaan masih sulit menghilangkan kebiasaan buruk yang dilakukan di tempat asalnya. Pembina kesulitan mengarahkan warga binaan mengingat pendidikan warga binaan tersebut masih rendah sedemikian rupa sehingga program bisa tidak sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang diinginkan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008
32
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) Konsep dan Aplikasi. Bandung: CV Alfabeta. Arief Herdianto. (2007). Penyimpangan Social. Diambil tanggal 1 Agustus 2007, dari htt:/www.Arief.go.it/e-Learnin/images/Penyimpangan Sosial. Darkenwald, G.G., Marriam, S.B. (1982). Adult Education: Foundations of Practice. New York: Harper & Row, Publishers. Departemen Sosial RI. (2003). Pola Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI. Irsyadi. (2007). Wanita tuna susila. Diambil pada tanggal 11 Juni 2007, dari www.irsyadi.com/fhpsm/Panksdef/Takalar. Kartini Kartono. (1990). Psikologi abnormal dan abnormal seksual. Bandung: Mandar Maju. Kirschenbaum Howard. (1994). 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings.Boston: Allyn & Bacon. Lunandi, A.G. (1989). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: PT.Gramedia. Miles & Huberman. (1992). Analisis data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia. Sanapiah Faisal. (1981). Pendidikan Luar Sekolah. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Shahabudin. Sharifah H. (2006). Strategies of Civil Society to Address Aids in Asia: Emphasis on the Sex Sector.Diambil pada tanggal 6 Agustus 2007, dari htt:/www.un.org/womenwatch/daw/csw/hivaids/Shahabudun.html. Soelaiman Joesoef. (1992). Konsep dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Broad Based Education Depdiknas. (2002). Pendidikan Berorentasi Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Base Education) (Buku I Konsep). Jakarta: Depdiknas. Zakiyah Drajat. (1988). Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Haji Mas Agung.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 2, Nomor 1, Juni 2008