TUGAS PRIBADI
KEMISKINAN, PEDAGANG KAKI LIMA, DAN WANITA TUNA SUSILA Kajian Masalah Sosial dan Penggunaan Teori, Pendekatan, dan Model dalam Menyelesaikannya
MATA KULIAH: TEORI DAN PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DOSEN: Dr. HERRY KOSWARA, M.Si WAKTU: 24 JAM
Disusun oleh: HERU SUNOTO (13.01.003)
PROGRAM PASCASARJANA SPERSIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL (STKS) BANDUNG 2013
JAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI:
1. Kemiskinan masih merupakan masalah sosial dominan di Indonesia. Pandangan dari ekonomi makro, penyebab kemiskinan adalah low of human capital investment, low of manpower demand dan adanya discrimination issue dalam beberapa pelayanan. Bagaimana pendapat Saudara terhadap pandangan tersebut bila dikaji dari perspektif yang sudah dipelajari dalam teori pekerjaan sosial.
JAWABAN: Ada beberapa teori dan pendekatan yang bisa digunakan untuk menyasar permasalahan kemiskinan. Perbedaan teori dan pendekatan yang akan digunakan sangat bergantung kepada spesifik masalahnya, diantaranya adalah:
Kemiskinan yang disebabkan oleh faktor “low of human capital investment, low of manpower demand dan adanya discrimination issue”.
Kemiskinan yang disebabkan faktor “mental miskin”.
A. Kemiskinan yang Disebabkan oleh Faktor “Low of Human Capital Investment, Low of Man-power Demand, and Idscrimination Issues”. Gambaran dari kemiskinan ini ada tiga keadaan, yaitu: 1- Rendahnya investasi sumber daya manusia 2- Rendahnya permintaan tenaga manusia 3- Issu diskiminasi Empowerment Theory. Teori yang bisa digunakan untuk menyasar masalah (i) “rendahnya investasi sumber daya manusia (SDM)”, (ii) Rendahnya permintaan tenaga manusia, dan (iii) Issu Diskriminasi adalah empowerment theory.
2|Halaman
Definisi Empowerment. Ada beberapa definisi tentang empowerment (pemberdayaan), yaitu: 1. Proses perubahan internal dan eksternal. Proses internal akal atau kepercayaan
diri
untuk
membuat
keputusan
dan
memecahkan
masalahnya sendiri. Perubahan eksternal menemukan ekspresi dalam kemampuan untuk bertindak dan melaksanakan pengetahuan praktis, informasi, keterampilan, kemampuan, dan sumber baru lainnya yang didapatkan selama proses (Parsons, 1988) 2. Proses transisi dari keadaan powerlessness (ketidakberdayaan) ke keadaan relatif mampu mengkontrol kehidupan, masa depan, dan lingkungan.
Transisi
ini
dapat
memanifestasikan
dirinya
dalam
peningkatan kemampuan yang dirasakan untuk mengontrol, serta seperti dalam peningkatan kemampuan aktual untuk mengendalikan.1 3. Pemberdayaan dapat merujuk pada partisipasi pengguna dalam layanan dan gerakan self-help umumnya, di mana kelompok mengambil tindakan atas nama mereka sendiri, baik bekerja sama dengan, atau secara independen dari layanan hukum.2 4. Upaya membantu klien untuk mampu mengambil keputusan dan bertindak atas hidup mereka sendiri dengan mengurangi efek sosial atau personal bloks untuk menjalankan kekuasaan yang ada, meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri untuk menggunakan kekuatan dan mentransfer kekuasaan dari kelompok-kelompok dan individu.3 Pencetus Pertama. Tentang empowerment theory dalam lapangan pekerjaan
sosial,
ada
tiga
orang
yang
pertama
menulis
dan
menggunakannya dalam 3 lapangan berbeda4, yaitu:
1
Elisheva Sadan (1997), Empowerment and Community Planning: Theory and Practice of People-Focused Social Solutions, Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad Publishers [in Hebrew]. 2 Thomas, M. and Pierson, J. (1995) Dictionary of Social Work, London, Collins Educational, 134. 3 Malcolm Payne (1997), Modern Social Work Theory, 3th Ed., Palgrave, Macmillan, NY, US., hal 295. 4 Elisheva Sadan (1997), Empowerment and Community Planning: Theory and Practice of People-Focused Social Solutions, Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad Publishers [in Hebrew], hal 73.
3|Halaman
Barbara Solomon (1976), ia menggunakan teori empowerment untuk penguatan kasus diskriminasi terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat.5 Peter Berger dan Richard Neuhaus (1977) mengusulkan empowerment sebagai cara untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan dengan cara mediasi lembaga sosial. Julian Rappaport (1981) mengembangkan konsep teoritis dan disajikan sebagai pandangan dunia yang mencakup kebijakan sosial dan pendekatan untuk solusi dari masalah-masalah sosial yang berasal dari powerlessnes (ketidakberdayaan). Ketiga penulis tersebut menyatakan pentingnya mengkaitkan individu dengan
masyarakat,
motivasi
(encouragement)
dengan
contextual-
ecological appproach (pendekatan ekologis kontekstual. Ketiganya juga menyatakan bahwa kegagalan program sosial dalam menciptakan solusi sosial, bahkan program tersebut justeru merusak tatanan, yaitu menciptakan ketidakberdayaan diantara mereka. Akar kejahatannya adalah karena pengetahuan dan sumber lokal diabaikan dalam proses correctiveintervention (intervensi korektif), dan bahwa sumber daya yang hilang itu baru terasa tanpa disadari, tanpa mempertimbangkan apa yang sudah ada.6 Dari penjelasan di atas, maka kemiskinan untuk jenis ini bisa disasar dengan empowerment theory, dan pendekatan yang digunakan adalah contextualecological approach. Pendekatan dalam Empowerment Theory. Empat Pendekatan yang bisa digunakan dalam teori empowerment untuk penanganan kemiskinan, yaitu: An Ethnocentric Approach (pendekatan etnosentris), yang mencari solusi untuk masalah-masalah sosial yang sulit dari etnis dan minoritas lainnya (Solomon, 1976; Gutierrez & Ortega , 1991). 5 6
Robert Adam, Social Work and Empowerment, Palgrave, 3th Ed., 2003, hal. 28. Elisheva Sadan , hal 74.
4|Halaman
A Concervative Liberal Approach (pendekatan liberal konservatif) yang berusaha untuk menghidupkan kembali masyarakat sebagai unit sosial yang antara lain harus merawat warga yang lemah juga (Berger & Neuhaus, 1977). A Socialist Approach (pendekatan sosialis) yang menuntut kesetaraan dan tanggung jawab sosial dalam treatment masalah sosial (Boyte, 1984). A
Democracy
Approach
(Pendekatan
Demokrasi),
implementasi
mendalam dan profesional demokrasi. Ini adalah pandangan dunia progresif-demokratis yang memutuskan untuk hidup dalam harmoni dengan pendekatan dan upaya untuk menciptakan integrasi dengan lainnya. Sasaran
Empowerment.
Ada
beberapa
kelompok
sasaran
dari
empowerment, yaitu: Individu, Kelompok, Keluarga, Masyarakat, dan Negara. Untuk individu, kelompok, keluarga, dan masayrakat, dalam rangka penanggulangan kemiskinan, dilakukan melalui self-help and participation7 atau self-empowerment8. Khusus sasaran negara, maka empowerment dilakukan
melalui
advocacy
kebijakan.
Ini
sesuai
dengan
model
empowerment yang dilakukan oleh Julian Rappaport.
Policy Advocacy. Advokasi kebijakan sangat perlu karena jika penindasan dan diskriminasi itu dilakukan oleh negara, maka satu langkah penting yang harus dilakukan adalah perubahan kebijakan. Jangan sampai ada sebagian warga negara yang mendapat perlakuan istimewa, mampu mengakses 7
Malcolm Payne, Modern Social Work Theory, Palgrave, 1997, Linda Fleming and Carole McSparran, Empowerment as a Participative Process, in Developing Good Practice in Community Care, Partnership and Participation, Edited by VickyWhite and John Harris, Jessica Kingsley Publisher, NY, US., 2001. 8 Robert Adam, Social Work and Empowerment, Palgrave, 3th Ed., 2003
5|Halaman
berbagai kesempatan sehingga mereka sejahtera, sementara itu ada sebagian warga negara yang didiskriminasi, baik karena warna kulit, agama, suku, dan lain-lain.
Tahapan
Community
Empowering.
Ada
beberapa
tahapan
dalam
pemberdayaan masyarakat, yaitu9: No
Tahapan Proses Pemberdayaan Masyarakat
1
Temukan karakteristik
2
Ciptakan Partnership
3
Definisikan sendiri
4
Wakili diri sendiri
5
Aktif menghadapi
6
Hadirkan alternatif
7
IMPLEMENTASI Evaluasi terhadap capaian dan menemukan keterbatasan dari empowering
Tahapan Proses Memfasilitasi Pemberdayaan Kembangkan relasi yang penuh kepercayaan dan dialog Ciptakan infrastruktur partisipasi Definisikan tugas perencana Kembangkan organisasi Kembangkan strategi Hadirkan berbagai alternatif rencana IMPLEMENTASI Evaluasi bagaimana dan seberapa besar empowering mampu menyentuh proses
Tahapan proses perencanaan secara komprehensif Identifikasi masalah dan kumpulkan data Definisikan target populasi Definisikan masalah dan susun tujuan Siapkan alternatif rencana Pilih rencana yang terbaik Hadirkan rencana final IMPLEMENTASI Evaluasi dampak rencana pada kedalaman masalah
B. Kemiskinan yang Disebabkan oleh Faktor “Mental Miskin”. Apabila kemiskinan disebabkan oleh faktor “mental miskin” seperti malas bekerja, malas berusaha, inferioritas, perilaku konsumerisme, dan lain-lain. Maka, betapapun banyak kesempatan untuk beranjak dari kemiskinan, maka tidak akan dilakukan oleh si miskin yang berjenis “mental miskin” ini. Orang miskin tipe ini, meski dibantu PKH, dibantu KUBE, dibantu Raskin, dibantu Jamkesmas, dibantu PNPM, jika mentalnya adalah mental miskin, maka 9
Elisheva Sadan (1997), Empowerment and Community Planning, hal 262.
6|Halaman
tidak akan beranjak dari kemiskinannya. Maka, menurut saya, teori yang bisa digunakan oleh seorang pekerja sosial untuk jenis ini adalah psycho-dynamic theory. D. Westen (1998) dalam Steven K. Huprich10 menyatakan bahwa salah satu pandangan yang paling komprehensif dan cermat dari warisan Sigmund Freud adalah adanya lima hal yang menjadi alasan untuk mendefinisikan teori psiko-dinamika, yaitu: a. Sebagian besar kehidupan mental, termasuk pikiran, perasaan, dan motif, adalah tidak disadari, artinya orang dapat berperilaku dengan caranya atau dapat mengembangkan gejala yang dijelaskan untuk diri mereka sendiri. b. Proses mental, termasuk proses afektif dan motivasi, berjalan secara paralel terhadap orang atau situasi yang sama, sehingga individu dapat memiliki perasaan yang bertentangan yang memotivasi mereka dengan cara yang berlawanan dan sering menyebabkan kompromi solusi. c. Pola kepribadian yang stabil mulai terbentuk di masa kanak-kanak, dan pengalaman masa kecil memainkan peran penting dalam pengembangan kepribadian, terutama
dalam membentuk cara orang membentuk
hubungan sosial dikemudian hari. d. Representasi mental dari diri sendiri, orang lain, dan relasi sosial membimbing interaksi masyarakat dengan orang lain dan mempengaruhi cara menjadi gejala psikologis. e. Pengembangan kepribadian melibatkan tidak hanya belajar untuk mengatur perasaan seksual dan agresif tetapi juga bergerak dari “belum matang”, menuju proses matang, dan benar-benar matang dan mandiri.
10
Steven K. Huprich, Psychodynamic Therapy: Conceptual and Empirical Foundation, Routledge, NY, US, 2009, 10th Ed, p 4-5.
7|Halaman
Dengan melihat kelima alasan penggunaan teori psiko-dinamika, maka kemiskinan yang disebabkan oleh “mental miskin”, seluruhnya, masuk ke dalam point-point tersebut. Sebab mental miskin adalah wujud dari: (1) Mental miskin adalah aktivitas mental, tidak disadari sebagai aktivitas yang destruktif; (2) Mental miskin adalah perkembangan kepribadian yang bermasalah; (3) Mental miskin juga merupakan wujud ketidakmatangan, ketergantungan, dan ketidakstabilan. Solomon (1983) dalam DuBois11 menyatakan: Satu hal yang harus digarisbawahi, system nilai kelayan bisa menjadi target perubahan apabila: - Nilai-nilai kelayan tersebut bertabrakan dengan kesejahteraan orang lain atau - Nilai-nilai kelayan tersebut menghambat pencapaian tujuan kelayan itu sendiri. Siporin (1985) dalam Dubois12 menyatakan: Seringkali masalah kelayan juga merupakan nilai yang ia yakini. Permasalahan kelayan, secara moral dan etika, biasanya bersingungan dengan konflik/dilema nilai dan etikanya sendiri. Kelayan juga suka menampakkan perilaku-perilaku yang merugikan diri dan orang lain. Dari pendapat Solomon dan Max Siporin, ini jelas bahwa “mental miskin” adalah konsTruksi kelayan tentang nilai kehidupan klien yang layak untuk dijadikan sasaran perubahan. Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip selfdetermination of client. Karena prinsip self-determination of client juga tidak dibuat serta-merta namun demi sebesar-besarnya keberfungsian klien.
11 12
Brenda L. Dubois, (1995), Social Work: an Empowering Profession DuBois L. Dubois, (1995), Social Work: an Empowering Profession
8|Halaman
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)13 Ada empat kategori CBT14 yang bisa digunakan untuk menyasar kemiskinan yang disebabkan oleh “mental miskin”, yaitu: Coping skills (ketrampilan mengatasi), dalam hal ini klien kita terapi dengan stress inoculation training (SIT). Pelatihan ini ditujukan untuk mengurangi dan mencegah stress dengan mengajari klien tentang apa yang mesti dilakukan dalam situasi sulit. Problem-solving (penyelesaian masalah), CBT ini melihat kehidupan sebagai proses menyelesaikan isu-isu kehidupan. Dalam kasus ini, Problem Solving Approach mirip dengan Task-Centered Approach (pendekatan yang berpusat pada tugas). Klien kita motivasi untuk terbuka dan belajar mendefinisikan masalah kehidupannya, yaitu kemiskinan, mencari solusi secara umum atas masalahnya tersebut, pilih solusi yang terbaiknya,
laksanakan
solusi
tersebut,
dankemudian
pantauu
perkembangan/kemajuannya. Cognitive restructuring (menyusun kembali fikirannya). Pendekatan ini oleh Beck disebut Cognitive Therapy (CT), dan oleh Ellin disebut juga Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT). Dengan pendekatan CT ini, klien kita minta untuk mencari informasi tentang kemiskinan, lalu kita minta ia menginterpretasikan makna situasi kemiskinan tersebut. Pekerja Sosial hanya mengajukan pertanyaan dan mengujinya bagaimana hal itu bisa diterapkan. Dengan pendekatan REBT, peksos bertanya tentang jalan fikiran klien yang irrasional tentang “mental miskin”, lalu lihat bagaimana reaksinya. Lakukan hal itu hingga ia melakukan restrukturisasi jalan fikirannya secara logis dan rasional tentang “mental kaya”. Structural Cognitive Therapy (terapi kognitif struktural). Terapi ini fokus pada tiga struktur kepercayaan di dalam diri klien, yaitu: core belief
13
Steven K. Huprich, (2009), Psychodynamic Therapy: Conceptual and Empirical Foundations, Routlegde, NY, US, hal. 93 – 96. 14 Malcolm Payne, Modern Social Work Theory, Palgrave, 1997, hal 126-127.
9|Halaman
(kepercayaan inti), intermediate belief (kepercayaan pertengahan), dan peripheral belief (kepercayaan cabang). Core belief adalah asumsi-asumsi tentang diri klien sendiri. Intermediate belief adalah ungkapan yang jelas dari klien tentang bagaimana membuat masa depan tentang kehidupannya. Peripheral belief adalah rencana aksi dan strategi problem-solving yang digunakan setiap hari. Pekerja sosial hendaknya berfokus pada peripheral belief yang merupakan penyebab masalah kemiskinan klien, kemudian menggunakan prosesn pengubahan untuk menggali kepercayaan yang sesungguhnya (asli) dari gagasan yang terdalam dari klien. ***
10 | H a l a m a n
2. Masalah Pedagang Kaki Lima (PKL) sampai saat ini masih merupakan masalah yang aktual di perkotaan. Bila menggunakan teori yang sudah dipelajari dalam teori pekerjaan sosial, bagaimana anda menganalisis masalah tersebut dan intervensi seperti apa yang menurut Saudara dapat diterapkan.
JAWABAN: Masalah Pedagang Kaki Lia (PKL), menurut saya dapat disasar dengan system theory. Teori sistem pertama kali dicetuskan oleh Ludwig von Bertalanffy.15 Bertalanffy mengatakan “Dalam beberapa tahun terakhir konsep "sistem" telah memperluas
pengaruhnya
dalam
psikologi
dan
psikopatologi.
Sejumlah
investigasi yang telah disebut ke dalam General System Theory (teori sistem umum) atau beberapa bagian dari itu (misalnya, F. Allport, 1955; GW Allport, 1960; Anderson, 1957; Arieti, 1962; Brunswik, 1956; Bühler 1959, Krech, 1950; Lennard & Bernstein, 1960; Menninger, 1957;. Menninger et al, 1958; Miller, 1955; Pumpian-Mindlin 1959, SYZ, 1963). Gordon W. Allport mengakhiri edisi cetak-ulangnya dari buku klasiknya (1961) dengan "Kepribadian sebagai System", Karl Menninger (1963) mendasarkan sistemnya psikiatri pada teori sistem umum dan biologi organismic, Rapaport (1960) bahkan berbicara tentang "epidemiclike popularitas di psikologi sistem terbuka "(hal. 144). Manusia dan Kepribadian. Bertalanffy mengatakan, “Fenomena kehidupan hanya bisa ditemukan pada entitas individu yang disebut organisme. Setiap organisme adalah sebuah sistem, yaitu urutan bagian yang dinamis dan proses terjadinya interaksi yang mutualistik.” Manusia adalah makhluk yang Aktif. Bertalanffy mengatakan, “Meski tidak ada rangsangan dari luar/lingkungan, manusia adalah makhluk yang pada hakikatnya 15
Ludwig von Bertalanffy, 1969, General System Theory: Foundations, Developments, Aplications, George Braziller, NY, US, 2nd Printing.
11 | H a l a m a n
sistem yang aktif. Teori Refleks menyatakan bahwa unsur utama perilaku manusia adalah respon atas stimulus dari lingkungan eksternal. Tetapi, penelitian saat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa perilaku manusia adalah produk otonomi sistem syaraf, berasal dari syaraf, dan itulah yang pokok.” Steady State. Bertalanffy mengatakan, “Manusia hidup mempertahankan ketidakseimbangan yang disebut steady state dari sistem terbuka, sehingga mampu mengeluarkan potensi yang ada atau "ketegangan" dalam aktivitas spontan atau sebagai respons terhadap rangsangan melepaskan, bahkan kemajuan menuju tatanan yang lebih tinggi dan organisasi.” Aktivitas Otonom adalah bentuk perilaku paling primitif manusia yang ditemukan di dalam fungsi otak dan proses psikhologis16. Homeostatis. Bertalanffy mengatakan, “Banyak peraturan psiko-fisiologis mengikuti prinsip-prinsip homeostasis. Namun, ada keterbatasan. Secara umum, skema homeostasis tidak berlaku untuk: Peraturan tidak didasarkan pada mekanisme yang tetap berlangsung di dalam sebuah fungsi sistem sebagai sebuah keseluruhan (misalnya, proses regulatif setelah lesi otak), kegiatan spontan; proses yang tujuannya adalah bukan pengurangan tetapi menaikkan tensi, dan untuk proses pertumbuhan, pengembangan, pembuatan, dan sejenisnya.” Diferensiasi. Bertalanffy mengatakan, “Direfensiasi adalah proses transformasi dari sesuatu yang sifatnya lebih umum dan homogen menuju sesuatu yang lebih spesifik dan khusus. Prinsip diferensiasi adalah ambigu (tidak jelas) dalam Biologi, evolusi dan perkembangan sistem syaraf, perilaku, psikologi, dan budaya.”
16
Bertalanffy, 1949a.
12 | H a l a m a n
Teori sistem merupakan satu aspek reaksi terhadap teori psikodinamika. Sebab, teori psikodinamika telah gagal untuk menjawab sesuatu yang bermakna sosial dalam pekerjaan sosial. Jejaring dan sistem dukungan sosial. Folgheraiter (2004) mengatakan bahwa seluruh permasalahan sosial berawal dari masalah hubungan. Ia juga menyatakan bahwa praktik pekerjaan sosial seharusnya menitikberatkan pada bekerjasama untuk bekerja merencanakan bantuan. Trevillion (1999) menawarkan jejaring sebagai dasar bagi praktik dalam mengembangkan kemitraan (partnership) dengan pengguna layanan dan masyarakat, dan ini merupakan nilai dasar dalam jejaring tim kerja multiprofesional. Menyasar PKL. Terkait dengan teori sistem ini, maka masalah PKL bisa disasar dengan pemahaman bahwa PKL adalah bagian dari sistem kehidupan yang kompleks. Karena kehidupan ada kaya-miskin, ada negeri-swasta, ada pengusaha-buruh, ada pasar tradisional-mall, ada pertokoan dan ada PKL. Apabila kita menggunakan teori sistem, maka adalah bagian dari sistem yang tetap dibutuhkan dalam kehidupan, khususnya pada kultur Indonesia. Apabila pemerintah bisa memaknai PKL sebagai potensi wisata sekaligus mendulang rupiah (baca: Pendapatan Asli Daerah), maka pemerintah bisa melakukan: Mapping sehingga terpetakan semua jenis dan jumlah PKL. Klusterisasi PKL ke dalam beberapa jenis yang berbeda, misalnya PKL kuliner, PKL onderdil/spare-part kendaraan bermotor, PKL spare-part mobil, PKL spare-part sepeda, PKL fashion, PKL industri kreatif, dan lain-lain. Menata beragam jenis PKL tersebut ke wilayah-wilayah tersendiri, misalnya PKL jenis kuliner di kawasan Dago, PKL jenis fashion dan batik di kawasan Dipatiukur, PKL jenis industri kreatif di kawasan jalan Surapati, PKL jenis spare-part di kawasan Ciroyom. Maka, ini bisa menjadi industri wisata
13 | H a l a m a n
tersendiri. Efek positifnya adalah terdongkraknya ekonomi PKL dan PAD juga meningkat karena ada sektor riil yang bergeliat. Ciri-khas pendekatan sistem adalah melibatkan multidisiplin profesi. Maka, dalam menyelesaikan PKL, pekerja sosial tidak bisa memberikan solusi sendiri. Ia harus melibatkan politisi di DPRD melalui advokasi untuk pembuatan Peraturan Daerah (Perda) yang “win-win solution” tersebut. Juga melibatkan pakar planologi (ilmu tata kota), pakar transportasi publik, pakar kebijakan publik untuk mendesain ulang Kota Bandung yang “ramah buah semua”. Karena kota yang hanya menghargai orang kaya saja tidak akan berhasil dan hanya menunggu waktu untuk menjadi kota yang gagal mensejahterakan semua elemen warganya.
14 | H a l a m a n
3. Wanita Tuna Susila (WTS) atau sekarang sering disebut sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK) dari jaman Yunani sampai sekarang juga masih merupakan masalah sosial yang klasik. Jika Saudara memandang masalah ini sebagai masalah klinis, bagaimana Saudara memahami masalah tersebut dan intervensi apa yang tepat berdasarkan teori pekerjaan sosial yang sudah dipelajari
JAWABAN: Masalah Wanita Tuna Susila (WTS) apabila dipandang sebagai masalah klinis, maka artinya masalah WTS adalah: Masalah orang secara individu Masalah itu muncul karena perilaku yang keliru yang dibangun diatas konstruksi yang juga keliru. Bagaimanapun stimulus dari eksternal, baik keluarga maupun lingkungan maka tidak menimbulkan masalah buat manusia kecuali sekedar apa yang terkonstruksi dalam fikiran manusia (psychodinamic theory).
Model dan Teknik Pengubahan Perilaku. Model dan teknik pengubahan perilaku yang bisa gunakan adalah Task-Centered System. Model ini dikembangkan oleh seorang pekerja sosial, William Reid dan Laura Epstein. Model ini berkontribusi bagi praktek pekerjaan sosial adalah karena fokus pada masalah-masalah yang menjadi perhatian klien dan penekanannya pada tugas dan tanggung jawab kolaboratif antara klien dan pekerja sosial. Prinsip Task-Centered Approach. Tema sentral dari pendekatan ini adalah bahwa semua orang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, maka penting agar klien bisa bekerja menyasar masalah sesuai identifikasi masalahnya sendiri. Klien mengidentifikasi masalahnya sendiri dan relasi yang kolaboratif dengan pekerja sosial adalah aspek empowering dari model ini. 15 | H a l a m a n
SKEMA PENYELESAIAN WTS DENGAN TASK-CENTERED APPROACH17
Identifikasi Target Masalah dan Prioritas
Menentukan Tujuan
Tugas-Tugas Umum
Tugas-Tugas Khusus
Pantau Perkembangan
Pada skema task-centered approach di atas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut: Tahap pertama, WTS melalui relasi yang kolaboratif dengan pekerja sosial, mengidentifikasi permasalahan ke-WTS-annya. Misalnya, alasan kenapa ia terjun ke dunia WTS adalah karena sakit hati “ditipu” oleh pacar atau suaminya. Lalu dengan alasan itu, ia berfikir fatalistik dan kemudian terjun menjadi WTS. Peksos bisa berperan melalui: cognitive restructuring therapy (CRT). Peksos meluruskan cara berfikir yang keliru dari klien. Adalah terlalu mahal harga yang harus dibayar kalo hanya karena ditinggal pergi pacar atau suami lalu menerjunkan diri dalam dunia WTS. Harga yang ia harus bayar dan kerugian 17
Dean H. Hepwoth (2010), Direct Social Work Practice: Theory and Skills, 8th Ed., Brook/Cole, California, Amerika Serikat.
16 | H a l a m a n
yang ia derita begitu banyak, sementara itu “kepuasan balas dendam” yang ia dapatkan dari hal itu tidak seberapa. Tahap kedua, menentukan tujuan. Setelah klien menyadari kekeliruannya, maka tahap berikutnya adalah klien kita ajak berfikir untuk menggali tentang tujuan hidup. Hidup ini tidak akan lama, sebenar lagi akan menjadi tua, sebentar lagi menjadi nenek-nenek, maka jika “semangat balas dendam” itu diteruskan maka tidak akan lama lagi ia tidak bisa lagi meneruskan dendamnya. Lalu, jadilah ia nenek yang dibuang oleh kawan-kawannya saat ini dan oleh masyarakat. Belum lagi jika ia menyadari betapa dosa yang besar dan akibat apa yang akan diterima pelaku dosa besar kelak di akhirat. Maka, seyogyanya klien sudah bisa menentukan tujuan dari penyembuhannya itu. Tahap ketiga, menentukan tujuan-tujuan umum. Pada tahapan ini, klien sudah bia membuat tujuan dalam jumlah banyak untuk ia pilih. Tahap keempat, menentukan tujuan khusus. Tahapan ini, klien sudah bisa memilih tujuan yang paling kuat yang bisa ditempuh sebagai pilihan utama. Pastikan pilihan pertama ini merupakan pilihan yang bisa mengantarkan kepada pilihan lain yang substansial. Lalu ia melaksanakan dengan penuh konsisten. Tahap kelima, memantau perkembangan. Peksos melakukan pemantauan terhadap kemajuan klien dalam konsistensinya menjalankan pilihan-pilihannya tersebut. Pada tahapan ini, peksos juga bisa memberikan terapi konseling, terapi motivasi, dan reward and punishment. Reward dan punishment bisa berbentuk teknik token economies, bisa juga dengan sesuatu yang abstrak berupa pengenalan kepada akhirat, surga dan neraka jika sudah memungkinkan. Karena orang yang tidak takut dosa maka tidak ada halangan untuk berbuat apapun, baik merugikan diri maupun orang lain. Tapi, kalau orang sudah takut dosa, maka tidak ada dosa yang mampu ia lakukan secara kontinyu, setiap kali seseorang tersadar maka ia akan kembali kepoada jalan yang benar. Maka, peksos harus bisa mengarahkan pemahaman klien akan hal ini.***
17 | H a l a m a n