Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
MENGUAK WTS (WANITA TUNA SUSILA) ANTARA PERAN POSITIF TERBAIKAN DAN TERMARGINALKAN DALAM BENTUK PEMBELAANNYA TAHUN 1970-2009 Miskawi * ABSTRAK WTS (Wanita Tuna Susila) mempunyai peranan penting dan secara tidak langsung menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, walau dilihat dari resikonya sangat besar. Akan Tetapi, pada kenyataan sebagian kelompok-kelompok tertentu yang menganggap WTS sebagai mahluk kotor, hina dan jahat. Sehingga keberadaan WTS sudah menjadi kodrat atau ketentuan yang tidak bisa berubah dan pada akhirnya diterimah oleh masyarakat umum tanpa melalui proses berfikir kritis analitis dan kurang dilihat secara bijak. Para WTS bagian dari kelompok sosial yang ingin mendapatkan pengakuan sama dan tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan sehingga WTS mempunyai hak untuk membela dirinya sendiri .Sebenarnya Eksistensi WTS sangat tergantung pada permintaan dan penawaran. Kata kunci : WTS, Peran , Termarginalkan,Pembelaannya PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kesetaraan gender sesungguhnya telah menempatkan posisi kaum wanita pada tingkatan yang sama dengan kaum pria. Kini, kaum wanita telah mendapatkan pengakuan yang sama untuk melakukan berbagai aktivitas publik yang dulu dianggap terlarang untuk dilaksanakan oleh kaum wanita. Dalam kehidupan rumah tangga, keberadaan kaum wanita bukan hanya sebagai penyandang peran domestik (seorang ibu rumah tangga). Namun, kaum wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama umtuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dan di bidang politik. Menurut Stoler (1984:184) pada umumnya, motivasi perempuan untuk bekerja di ranah publik didasari oleh kepentingan
ekonomi rumah tangga, mendapatkan kemandirian, belajar menghadapi tantangan sosial ekonomi, dan untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Namun, bagi rumah tangga miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha ekonomi memberi kesempatan untuk memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga. Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang dikembangkan adalah program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
24
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan dan pelatihan ketrampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006:4). Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan ini, sehingga masih banyak kaum wanita yang melakukan aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya adalah mereka yang bekerja sebagai WTS atau pekerja seks komersial (PSK). Menurut Purwanto (2008:10) salah satu alasan yang melatar belakangi kaum wanita bekerja sebagai WTS/PSK adalah masalah ekonomi keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh fakta menarik yang ditulis oleh Purwanto tentang sebagian kehidupan seorang PSK. Purwanto menuliskan kisah seorang PSK yang bernama Karis (27), bukan nama sebenarnya, sudah tiga setengah tahun merantau ke Bali. Memang tujuannya mencari kerja. Apa hendak dikata, ternyata hanya pekerjaan sebagai PSK yang harus dilakukan oleh warga Banyuwangi ini. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa wanita ini mengidap HIV. Keluarga bahkan suaminya pun tidak mengetahui sang istri telah mengidap virus ganas penyebab AIDS tersebut. Untuk membantu perekonomian keluarga, Karis harus tetap bekerja sebagai PSK. Hal tersebut dilakukan hanya sekedar untuk menambah penghasilan kebutuhan rumah tangganya. Walau hal tersebut tabu di mata masyarakat
umum dan bahkan dilarang keras agama yang dianutnya. Karis tetap saja menjalankan pekerjaan yang dilarang tersebut. Fakta yang ditulis Purwanto tersebut telah memberikan gambaran tentang sebagian peran dan resiko menjadi wanita PSK. Kondisi ini sangat dilematis sekali, sebab kebanyakan PSK/WTS (Wanita Tuna Susila) distereotip masyarakat sebagai manusia rendah. Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan WTS tampaknya tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masysrakat seperti umunnya. Menurut Siregar (1982) pandangan masyarakat yang cenderung menyalahkan satu pihak, yaitu WTS, sedangan di lain pihak yaitu pihak laki-laki tidak memperoleh tudingan apapun (gigolo), maka pandangan masyarakat tersebut terhadap kehidupan WTS pada kenyatannya tetap menunjukkan bahwa WTS tidak diterima kehadirannya dan perlu segera diatasi. Masyarakat pada umumnya menyalahkan satu pihak, yaitu para WTS sebagai pihak yang bersalah. Padahal dalam kenyataannya prostitusi sangat tergantung pada permintaan dan penawaran. Dalam sosial jual beli (transaksi ini) kedua pihak tersebut secara penuh terlibat dan berperan seimbang, selama itu pula prostitusi akan terus berlangsung (Krisna, 1979). Hal ini mengisyaratkan bahwa pada kenyatannya keberadaan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
25
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
WTS tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika dicermati secara mendalam, para WTS juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Peran penting tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi. Atas dasar pemikiran inilah maka keberadaan WTS sebagai bagian dari kelompok sosial masyarakat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian di Lokalisasi Padangbulan Kabupaten Banyuwangi. Menariknya,Lokalisasi Padangbulan eksis mulai tahun 1970-2009, padahal banyak lokalisasi baik di Kabupaten yang lain ditutup karena dipandang berdampak negatif (Jember, Situbondo, Bondowoso). Umumnya motif ekonomi menjadi hal yang melatar belakangi mereka sebagai WTS. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisai memainakan peran penting dalam bidang ekonomi bagi keluarga para WTS. Namun demikian, peran ekonomi yang dimainkan oleh para WTS bagi keluarga sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya yang pada akhirnya tetap termarginalkan. Atas dasar inilah, maka dipandang perlu untuk mengkaji secara mendalam mengenai
eksistensi, marginalisasi peran WTS dalam kajian sejarah. Rumusan Permasalahan Permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sejarah lokaliasi Padang Bulan mulai tahun 19702009? 2. bagaimanakah peranan WTS dan Persepsi masyarakat terhadap keberadaan lokalisasi? 3. bagaimanakah bentuk pembelaan WTS terhadap persepsi masyarakat ? Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mendeskripsikan sejarah lokaliasi Padang Bulan mulai tahun 1970-2009; 2. Untuk mendeskripsikan peranan WTS dan Persepsi masyarakat terhadap keberadaan lokalisasi, dan 3. Untuk mendeskripsikan bentuk pembelaan WTS terhadap persepsi masyarakat Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan khususnya tentang keberadaan Wanita Tuna Susila. 2. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan keberadaan WTS di lokalisasi Padang Bulan.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
26
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian : Pendekatan Historis dan Deskriptif kualitatif yang digunakan secara berdampingan. Penetuan Lokasi penelitian :metode purposif adalah menentukan tempat penelitian berdasarkan tujuan khusus yang ditetapkan oleh peneliti di Desa Benelan Kidul Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Ruang lingkup waktu dimulai tahun 19702009. 1970 sebagai awal berdirinya lokalisasi dan 2009 batas akhir penelitian. Objek Penelitian :kondisi WTS dikompleks lokalisasi pelacuran di desa Benelan Kidul kecamatan singojuruh yang berketerkaitan dengan peran WTS dalam bidang ekonomi bagi keluarganya, latar belakang wanita berperan sebagai WTS. Objek kajian berikutnya adalah sejarah lokalisasi Padang Bulan dan persepsi masyarakat terhadap WTS. Sumber Imformasi dan Teknik Penetuan Imformasi : data primer dan data sekunder dengan metode Snowball atau bola salju. Poses Pengumpulan Imformasi : (1) Observasi, (2) dokumentasi dan (3) Wawancara. Metode Analisis Informasi/Data :metode analisis historis HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum lokasi penelitian: Lokalisasi Padang bulan terletak di Desa Benelan Kidul terletak di Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Desa Benelan Kidul terdiri dari enam Dusun yaitu Dusun cawang, Dusun
gambol, Dusun Suko, Dusun Tabanan, Dusun Padang Bulan dan Dusun Gebang. Jarak Desa benelan Kidul dari kota Kabupaten Banyuwangi kurang lebih 17 Km, jarak ke Ibu Kota Propinsi 228 Km, jarak ke Kecamatan Singojuruh 3 Km. Jumlah dari keseluruhan desa benelan Kidul sebanyak 4491 jiwa (1365 KK) yang terdiri dari 2296 jiwa laki-laki dan 2195 jiwa perempuan (data Monografi Desa Benelan Kidul, 2010). Dilihat dari jenis pekerjaan yang paling banyak ini termasuk golongan menengah kebawah yaitu sebagai buruh tani dan petani. Pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan pemasukan dari penghasilan tersebut, sehingga banyak masyarakat mencari pekerjaan sampingan seperti tukang ojek dan pembantu rumah tangga (tukang cuci dan bersih-bersih rumah)dan TKI. Berdasarkan gambaran diatas, dapat diberikan gambaran bahwa keberadaan lokalisasi dapat memberikan pengaruh sosial ekonomi masyarakat di luar lingkungan lokalisasi, sehingga tidak salah jika masyarakat lingkungan luar lokalisasi lebih memilih diam (tidak menolak keberadaan lokalisasi) karena disini tampak ada dua komponen yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat desa benelan Kidul termasuk kurang maju karena masih banyak ditemui penduduk yang belum lancar membaca, menulis maupun berbahasa Indonesia yang baik dan benar dan bahkan ada yang sama sekali buta huruf. . (data monografi Desa Benelan Kidul,2009)
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
27
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
Sejarah Lokaliasi Padang Bulan Lokalisasi WTS/PSK Padang Bulan dirintis dari tahun 1970 yang dikemas dalam bentuk warung yang hanya menyediakan makan dan minum sebagai usaha di sektor informal dengan harapan agar ekonomi keluarganya bisa lebih baik. Dalam perkembangannya usaha warung mak Upin mengalami kemajuan, sehingga membutuhkan seorang pembantu seorang wanita muda. Pembantu Mak Upin yang masih relatif muda yang dikatakan masih berusia sekitar dua puluh lima tahun tersebut, dan juga statusnya yang janda. secara tidak sengaja dijadikan tempat PSK untuk transaksi yang dikemas dengan warung kopi “esek-esek”. (Miskawi dan Matali,2009). Dalam perkembangannya Keberadaan PSK sampai pada tahun 1974 masih belum terlokalisir dan bertambah banyak . Para PSK masih nampak berkeliaran di sekitar pinggir jalan desa Padang Bulan tepatnya sebelah barat dari tempat lokalisasi PSK saat ini, yaitu kurang lebih 500 meter. Pengemasan tempat mangkal para PSK masih tradisional. Maksudnya para PSK mangkal diwarung-warung kecil (warung nasi dan kopi) seperti warung milik Mak Upin yang berdiri sekitar tahun 1970an. Sampai tahun 1974 ada sekitar tiga warung yang berdiri di sekitar Padang Bulang mengikuti jejaknya Mak Upin. Setiap warung kopi dihuni oleh 2-3 PSK Keberadaan PSK yang demikian menimbulkan pandangan kurang positif dari lingkungan masyarakat
sekitarnya, karena tambah berkeliaran dengan bertambahnya jumlah PSK. Oleh karena itu Pemerintah yang dimotori oleh Pemerintah desa setempat melembagakan pelacuran tersebut. Tujuannya agar segala bentuk pelacuran dan segala konsekuensinya dapat lebih mudah diawasi serta diatur secara lebih baik. Pada tahun 1984 para PSK yang berkeliaran diorganisir dan dilokalisir posisi mangkal mereka dipindah ke pedalaman, yaitu 500 meter dari tempat semula, mendapat ijin dari pemerintah desa dan bahkan diresmikan oleh Muspida Banyuwangi. secara resmi keberadaan Lokalisasi padangbulan tidak disertai dengan Surat keputusan Bupati (SK Bupati) tetapi bukti adanya penyuluhan, sosialisasi HIV dan klinik sebagai bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi mengilegalkan. (Miskawi dan Matali, 2009). Pembangunan perumahan atau wisma PSK mulai dilakukan pada tahun 1992. Para mucikari yang bermodal mulai membeli tanah dan mulai diadakan pembangunan perumahan, tetapi baru beroperasi secara penuh pada tahun 1994. Pada awal tahun 1994 lokalisasi Padang Bulan baru dihuni oleh 10 wisma atau rumah yang di huni oleh 10 Kepala keluarga yang terdiri dari mucikari dan PSK. Setiap wisma bisa menampung 3-7 PSK karena memiliki 3- 7 kamar yang berukuran rata-rata 3 x 2 meter, tetapi ada juga kamar yang berukuran 2x3 meter, ada juga yang agak luas yaitu berukuran 3x4 meter. Pada tahun 1970-1989 setiap pelayanan PSK adalah antara 2 ribu rupiah sampai dengan 5 ribu rupiah,
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
28
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
dalam hal ini tergantung kesepakatan harga antara PSK dan Laki-laki pelanggannya. Pada tahun 1990-1997 setiap pelayanan PSK ada kenaikan antara 10 ribu rupiah sampai dengan 20 ribu rupiah. Pada tahun 1998-2000 setiap transakasi dengan PSK berkisar antara 20 ribu sampai dengan 30 ribu rupiah. Pada tahun 2000 sampai dengan sekarang untuk lokalisasi di Banyuwangi selain di Padang Bulan adalah 30 ribu sampai dengan 50 ribu rupiah (lokalisasi LCMketapang, lokalisasi Pakem, lokalisasi padang pasir- Rogojampi, lokalisasi sumber loh-Pesanggaran, lokalisasi klopoan-Ketapang, dll). Namun untuk dilokalisasi Padang Bulan setiap transaksi dengan PSK berkisar antara 80 ribu sampai dengan 100 ribu rupiah. Bahkan ditemukan dalam penelitian ini ada dua orang PSK mematok harga 150 ribu rupiah. Berdasarkan hasil penelitian Miskawi dan Matali (2009) Faktor lainnya yang menjadikan relative mahalnya PSK diPadang Bulan adalah dari sisi Usia para PSKnya relative banyak yang berusia muda berkulit bersih dan berparas cantik. Bahkan ditemukan 2 orang PSK yang masih berusia 19 tahun dan bisa dikatakan mirip artis Luna Maya. Perilaku para PSK sering berpindahpindah tempat dari lokalisasi yang satu ke lokalisasi yang lainnya. “ Terus terang Mas, saya ini tidak pernah lama tinggal di satu lokalisasi, kalau saya paling lama tiga bulan. Saya biasanya lebih dari waktu itu pindah-pindah supaya dikira orang baru terus oleh pelanggan Lokalisasi. Selain itu
orang tidak gampang mengenali saya.” (hasil wawancara, 28 juni 2009). Pengetahuan WTS pada resiko terhadap kesehatannya, misalnya rentan terkena penyakit menular seksual relative rendah “Saya memang pernah dengar ada penyakit spilis, HIV –Aids tapi terus terang saya kurang paham Mas tentang penyakit itu. Saya juga tidak tahu bagaimana mencegahnya.” Ketika peneliti menyarankan agar WTS memakai kondom maka Tina teman dekatnya Rofi menjawab: “Wah pelanggan saya jarang mau memakai kondom ya Mas, repot ya posisi saya….gak mungkin saya menolak keinginan pelanggan, malah bisa jadi dia gak mau lagi pada saya, maka saya yang rugi. Saya juga gak mau rugi lho Mas.” (hasil wawancara, 28 juni 2009). Perjalanan Lokalisasi PSK mengalami dinamika, tidak selalu mulus, mengalami pro dan kontra, tidak sedikit pihak yang menghendaki agar lokalisasi ditutup. Pihak yang menghendaki lokalisasi ditutup terutama dari kalangan kaum ulama. Pada tahun 2006 saat Bupati dijabat oleh Ratna Ani Lestari pernah juga menghendaki penutupan lokalisasi .Pihak pengelola lokalisasi tentu tidak tinggal diam. Pada prinsipnya para mucikari bersedia lokalisasi WTS ditutup asal ada jalan keluarnya terutama nasib para PSK dan Mucikari dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi . Pihak pemerintah dan masyarakat juga ulama yang
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
29
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
menentang lokalisasi tidak mampu memberikan solusi kongkrit dari masalah akibat penutupan lokalisasi maka sampai sekarang lokalisasi tersebut diberi Stoleransi untuk tetap eksis .WTS yang berada dilokalisasi Padang Bulan secara tidak langsung telah melalui proses seleksi. Tidak sembarangan wanita bisa masuk dan menjadi PSK di lokalisasi Padang Bulan, tetapi harus memenuhi criteria yang ditentukan oleh pengurus lokalisasi yang diketuai oleh RT setempat. Persepsi Dan Peran WTS Terabaikan dan Termarjinalkan Persepsi masyarakat dalam sejarah perjalanan kaum perempuan agar menggapai pengakuan agar keberadaanya dimasyarakat agar diterimah secara proporsional penuh dengan liku-liku, faktor utama yang menjadi penghambat kearah tersebut selain mitos sosial yang telah berlangsung berabad-abad juga pemahaman doktrin yang diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat. Gambaran tersebut, masih dalam persoalan kaum perempuan secara umum, apalagi persoalan perempuan yang berprofesi sebagai WTS. Kenyataan dilapangan sebagian kelompok-kelompok tertentu yang menganggap WTS sebagai mahluk kotor, hina dan jahat. Sehingga keberadaan WTS sudah menjadi kodrat atau ketentuan yang tidak bisa berubah dan pada akhirnya diterimah oleh masyarakat umum. Sampai saat ini masih menjadi polemic, pro dan kontra dari masyarakat menyangkut persepsi
mereka terhadap WTS di lokalisasi Padang Bulan. Seperti yang diungkapkan oleh Prayitno, hadi (1990:34) bahwa prostitusi yang berada dalam lokalisasi membawa sikap, reaksi dan dampak bagi masyarakat sekitarnya. Sikap reaktif masyarakat luas atau reaksi bergantung pada 4 faktor yaitu: 1. Derajat penampakan atau fasibilitas tingkahlaku yaitu menyolok tidaknya perilaku imoril para WTS; 2. Besar pengaruhnya yang mendomisalir lingkungan sekitarnya; 3. Kronis tidaknya kompleks tersebut, menjadi sumber penyakit kotor seperti spilis dan GO serta penyebab terjadinya Abortus dan kematian bayi-bayi; dan 4. Pola cultural; adapt istiadat, norma-norma susila dan agama yang menentang pelacuran yang sifatnya represif dan memaksakan. Masyarakat yang kontra terhadap keberadaan lokalisasi dalam bentuk reaksi sosial dalam diri masyarakat. Reaksi sosial ini bersifat menolak sama sekali dan mengutuk keras serta memerlukan hukuman berat, sampai pada sikap netral, masa bodoh dan acuh takacuh serta menerima dengan baik. Menurut Miskawi dan Matali (2009), bahwa Sikap menolak dan rasa benci masyarakat yang kontra terhadap keberadaan lokalisasi dan WTS sebagai pelaku yaitu dengan reaksinya dengan sikap meolak bercampur dengan rasa benci,menjijikkan danmarah dan lebihlebih mengutuk sebagai wanita
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
30
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
penghuni neraka jahanam. Hal ini tentunya dikarenakan bahwa keberadaan lokalisasi membawa dampak negative bagi masyarakat dan juga akan mengganggu system norma yang sudah ada. Pertimbangan masyarakat sekitar menolak kehadiran Wanita Tuna Susila (WTS) tidak lain mengacu pada pranata atau norma agama seperti yang di ungkapkan oleh Khollil, Munawar (1991: 57) bahwa norma agama tidak boleh memperbolehkan wanita untuk berbuat zina dan berganti-ganti orang dan wanita merupakan harapan pria untuk menjadi seorang istri yang soleh. Akan tetapi, walaupun secara agama bertentangan, namun kenyataannya masyarakat tidak mungkin menentang dengan adanya kebijakan pemerintah daerah sehingga lama-kelamaan unsur lokalisasi mulai diterima walaupun dengan perasaan dan kerelaan yang memaksa. Dengan alasan akan adanya bimbingan, penyuluhan dan pendidikan bagi para WTS dan mucikari serta mudahnya pengontrolan, pengawasan, maka semua pihak khususnya masyarakat yang kontra lama kelamaan menerima keberadaan lokalisasi tersebut. Akan tetapi bagi masyarakat yang pro terhadap keberadaan lokalisasi ini tidak lain adalah masyarakat yang diuntungkan dengan adanya keberadaan lokalisasi. Keberadaan lokalisasi telah memunculkan pekerjaan baru bagi masyarakat setempat yaitu adanya peningkatan ekonomi seperti pedagang, tukang becak, tukang ojek, pembantu atau tukang cuci pakaian,
tukang pijat, dan penjual jamu. Sehingga sebagian masyarakat terutama yang mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan WTS tersebut memiliki persepsi positif terhadap WTS di Lokalisasi. Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat sekitar antara lain misalnya para pedagang biasanya mendirikan usaha warung makan dan minum yang berada diluar maupun didalam komplek lokalisasi. Biasanya yang ada didalam lokalisasi banyak dimiliki oleh mucikari dan yang diluar dimiliki oleh masyarakat diluar lokalisasi tentunya. Warung-warung yang yang ada diluar lokalisasi banyak pembeli seperti tukang becak, tukang ojek dan lain-lain. Biasanya para pedagang dan tukang-tukan tersebut banyak memilih membeli diluar lokalisasi karena harga diluar lebih murah dan bersih. Seorang pencuci pakaian mempunyai langganan wisma-wima tertentu. Kebanyakan penghuni wisma mencuci pakaiannya sehingga sebagian ada yang memiliki usaha laundry atau pencucian baju yang pada umumnya pelanggan mereka adalah penghuni lokalisasi. Pihak pemerintahan desapun mendapatkan dana kas dari pengelolaan lokalisasi, misalnya pembagian dari uang parkir dan tiket masuk. Anggota masyarakat dari kelompok ini menilai WTS di lokalisasi tidak berdampak buruk asal dikelola dengan baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Frengki mengaku berusia 45 tahun, rumahnya berada 200 meter di luar kompleks lokalisasi WTS Padang Bulan, Dia mengungkapkan sebagai berikut.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
31
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
“Sebenarnya menurut saya sebagai warga masyarakat sini, keberadaan Lokalisasi WTS tersebut tidak berdampak buruk bagi masyarakat sini, sebab lokasinya relative tersembunyi, dan secara ekonomi memberikan banyak peluang kerja, ada yang menjadi tukang parkir, ada yang menjadi pembantu rumah tangga di wisma lokalisasi, ada yang tukang cuci, bagian keamanan, penjaga tiket masuk, dan warungwarung sembako, makan-minum, rokok cukup laris karena Lokalisasi WTS. Oleh karena itu saya sangat tidak setuju jika lokalisasi WTS harus ditutup” (hasil wawancara, 16 Juni 2009). Walaupun sebagian masyarakat yang Pro terhadap keberadaan lokalisasi karena memberikan lapangan pekerjaan baru, namun kenyataannya masih sebagian besar masyarakat pada umumnya beranggapan sebagai mahluk yang kotor yang tidak mau diterimah.sehingga keberadaannya pun harus segera dimusnakan sampai keakar-akarnya. Menurut Soedjono (1974: 117) jika dibiarkan tanpa dicegah dan ditanggulangi maka lambat laun dapat dipandang masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar. Hal ini mungkin sebabnya sampai saat ini masyarakat sekitar lokalisasi WTS di Padang Bulan tidak menentang keberadaan lokalisasi. Mereka mulai terbiasa dan mulai memandang wajar mencari uang dengan usaha yang terkait dengan Lokalisasi WTS. Mereka sudah tidak malu lagi mencari uang yang terkait dengan usaha “perzinahan”.
Terkait dengan hal ini mestinya pemerintah harus terus menerus berupaya menanggulangi, sedangkan kalau masih ada, itu dianggap sebagai penyakit yang harus tetap diupayakan penyembuhannya. Perlu dicegah dan dihalangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor penyebabnya. Berupaya melakukan pendekatan multi disipliner, misalnya pendekatan ekonomi, social, dan budaya. Menurut Siregar (1982) pandangan masyarakat yang cenderung menyalahkan satu pihak, yaitu WTS, sedangkan di lain pihak tidak memperoleh tudingan apapun, maka pandangan masysrakat tersebut terhadap kehidupan WTS pada kenyatannya tetap menunjukkan bahwa WTS tidak diterima kehadirannya dan perlu segera diatasi. Paparan diatas menunjukkan bahwa pandangan masyarakat pada umumnya kepada para WTS masih cenderung negatif dan bersifat menghakimi bahwa apa yang dilakukan oleh para WTS itu adalah salah dan juga ada sebagian yang menyatakan diuntungkan atau berdampak positif. Hal ini dikarenakan adanya akibat yang secara langsung atau tidak langsung dengan adanya lokalisasi. Bentuk pembelaan WTS Seburuk apapun penilaian masyarakat pada umunya terhadap para WTS, para WTS tersebut juga tetap manusia yang masih punya rasa malu, punya keinginan untuk dihargai oleh manusia yang lainnya. Para WTS tersebut tetap saja memiliki hak-hak
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
32
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
dasar atau hak asasi yang harus dibela dalam banyak hal. Terutama mana kala dia dilecehkan, teraniaya, dan jika hak-haknya ditindas oleh orang lain maka pemerintah ikut bertanggung dengan nasib mereka yang sampai sekarang dipandang sebelah mata. Mestinya segala bentuk eksploitasi terhadap mereka harus dihentikan. Berdasarkah hasil penelitian Miskawi dan Matali (2009) menyatakan bahwa, Keinginan WTS untuk tetap dihargai. seperti diungkapkan Tia yang mengaku berusia 27 tahun, dan sepertinya ingin mewakili suara hati para WTS lainnya di manapun berada sebagai berikut. “Mas, walaupun saya seperti ini (sebagai WTS) masih punya harga diri, saya sakit hati juga kalau ada orang laki-laki melecehkan saya dan berbuat seenaknya pada saya. Apalagi jika ada yang menghina saya. Perasaan ini pedih rasanya. Andai saja saya punya pilihan lain yang lebih baik dan saya mampu melakukan tentu saja saya berhenti jadi WTS. Sungguh mas, …….saya betul-betul terpaksa, walaupun saya tampak tersenyum, tertawa-bersama pelanggan, sungguh di dalam relung hati saya yang paling dalam merasa sedih. Tapi mau bagaimana lagi…..semua sudah terlanjur, saya masih belum bisa berhenti.” Jadi ternyata seburuk-buruk seorang pelacur di dalam hatinya tetap ingin dihargai oleh orang lain. Pada umumnya tidak dengan senang hati menjalani profesi sebagai WTS tersebut.
Tia (27 tahun) yang pernah sekolah sampai bangku SMA tetapi tidak sampai lulus, dan sekarang punya hobi membaca koran tersebut juga mempertanyakan. Seolah-olah menuntut kepada anggota masyarakat yang mencelanya dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut. “Mas, coba pikir….Apakah orangorang yang mencela kami (para pelacur) itu benar-benar orang bersih, orang suci? Apakah mereka tidak pernah berbuat dosa sedikitpun sehingga mencela kami, menghina kami? Saya yakin orangorang yang mencela saya juga pernah berbuat dosa, hanya saja mereka pintar menutupi. Lalu apakah kami tidak pernah berbuat baik? Kami juga sering berbuat baik Mas, Saya juga sering amal, untuk pembangunan Masjid, pada orang yang lebih miskin dari saya. Saya juga ikut pengajian satu Minggu satu kali. Saya merasa lebih baik daripada seorang pejabat yang korupsi, dari seorang kiai haji yang melakukan pelecehan seksual pada santrinya” Dalam posisi wanita yang kurang menguntungkan lebih-lebih menjadi wanita PSK , wanita tetap menjadi bagian integral yang tidak dapat disembunyikan dari tatanan sosial. Eksistensi wanita PSK tetap harus diperhatikan karena memberi warna sosiokultural. Dalam praktik wanita PSK dicari dan menjadi objek sasaran dari kaum pria hidung belang untuk memenuhi hasratnya.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
33
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
Adanya penghinaan, penilaian buruk pada para WTS sesungguhnya tidak diterima dengan iklas oleh para WTS tersebut. Mereka berupaya dengan segenap kemampuannya melakukan pembelaan diri agar persepsi, penilaian masyarakat pada umumnya yang buruk tidak lebih buruk lagi atas peran yang terabaikan. Agar para WTS yang cenderung dianggap sumber penyebaran penyakit, tidak memiliki nilai dan tidak berguna menjadi sedikit memiliki guna dan nilai. Bahkan para WTS sesungguhnya berupaya agar eksistensinya diakui dan diterima oleh masyarakat sekitarnya serta jika bisa masyarakat pada umumnya. Bentuk pembelaan WTS terhadap penilaian masyarakat yang cenderung negative sebagaimana yang telah disinggung didepan adalah bermacam-macam. Terkait dengan ini, Titin seorang WTS yang mengaku berasal dari Probolinggo, berusia 30 tahun, seorang janda, ketika dia ditanya apa bentuk pembelaannya terhadap hinaan, celaan dan penilaian negative dari anggota masyarakat yang tidak menyukainya menjawab sebagai berikut. “Mas, kalau saya dihina langsung didepan saya jelas saya membela dan tidak terima, Saya akan bilang bahwa saya seperti ini terpaksa, saya juga tetap berbuat baik, beramal, dan saya juga menabung agar saya tidak selamanya seperti ini, jika saya sudah tua nanti apa masih laku? Nah…jika saya gak laku lagi pasti berhenti dengan sendirinya, karena itu saya harus punya tabungan. Kalau saya kaya
nanti pasti orang merendahkan saya.”
tidak
terlalu
Jawaban dari Titin tersebut senada juga dengan jawaban temanteman seprofesinya. Mendukung jawabab Titin tersebut , seorang wanita cantik asal Jember yang bernama Kristin, berusia 30 tahun, mengaku di Lokalisasi Padang Bulan baru tiga bulan ini, sebelumnya pernah di Lokalisasi Dolli Surabaya, menyatakan sebagai berikut. “Betul, saya juga menabung Mas, Walaupun saya seperti ini (menjadi WTS) Saya juga ikut pengajian satu minggu sekali yang di adakan di lokalisasi ini, dengan demikian saya masih berharap agar masyarakat tidak terlalu buruk memberikan penilaian pada kami, bahkan dulu ketika kami di bina keagamaan sampai saat ini, mungkin masyarakat gak percaya, tapi ada yang Juara MTQ tingkat Provinsi tahun 1995, kalau tidak salah namanya Mbak Ika Fatmawati. Tetapi pada tahun 2006 ia sudah menikah karena dapat jodoh. hal ini dibenarkan juga oleh bapak Abdillah (Ketua RW). (hasil wawancara, 2 Agustus 2009). Jadi walaupun sebagai WTS mereka juga tetap menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan agama yang mereka peluk. Salah satu tujuannya selain ibadah adalah untuk membela dirinya dari penilaian buruk masyarakat, walaupun mungkin tetap saja masyarakat memberi penilaian negatif. Selain itu, sebagaimana telah disinggung bahwa WTS juga bersedia
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
34
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
memberi sumbangan untuk kepentingan umum, misalnya pembangunan masjid. Tidak sedikit para WTS ketika dia pulang kampung berperan aktif dalam kegiatan ritual keagamaan. Mereka berbusana sopan dan bagi yang muslim mereka memakai jilbab, (Miskawi dan Matali,2009). Kesimpulan Keberadaan WTS di Padang Bulan secara terbuka dan eksis diketahui masyarakat sejak tahun 1970-an, Lokalisasi WTS di rintis tahun 1984 serta mulai dibangun serta huni 1994-2010. Umur para WTS sebagian besar adalah 17-35 tahun. Lama menjalani profesi sebagai WTS berkisar 1 bulan - 1 tahun. Para WTS sebagian besar berstatus Janda dan pendidikannya sebagian besar setingkat SD. Keberadaan WTS telah memberikan peran ekonomi bagi keluarganya dan diluar masyarakat banyak yang diuntungkan.Akan Tetapi, pada kenyataan sebagian kelompok-kelompok tertentu yang menganggap WTS sebagai mahluk kotor, hina dan jahat. Sehingga keberadaan WTS sudah menjadi kodrat atau ketentuan yang tidak bisa berubah.Bentuk pembelaan para WTS terhadap persepsi negative masyarakat adalah dengan cara menunjukkan pada masyarakat bahwa ada sisi – sisi positif yang dimiliki WTS walaupun masih saja tetap ada yang menilai negative. Sisi positif tersebut antara lain ketika WTS tidak sedang berada di lokalisasi maka berperilaku dan berbusana sopan. Menyisihkan sebagian penghasilannya untuk amal
dan tetap menjalankan ritual agama yang mereka peluk. Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan, antara lain sebagai berikut. 1) Karakteristik dominant para WTS adalah bersetatus janda, berpendidikan rendah, dan mengalami tekanan ekonomi. Oleh karena itu disarankan agar upaya pencegahan terhadap semakin bertambah banyaknya WTS diarahkan kepada wanita yang memiliki karakteristik seperti itu. 2) Pengetahuan WTS terhadap resiko terhadap kesehatan, misalnya rentan terkena penyakit menular seksual relative rendah. Pengetahuan tersebut sangat berkaitan dengan perilakunya untuk mencegah agar tidak tertular penyakit tersebut. Maka dari itu disarankan kepada pihak terkait untuk melakukan penyuluhan – penyuluhan atau penyebaran informasi dan pembinaan kesehatan secara intensive secara langsung maupun tidak langsung melalui media masa elektronik ataupun cetak kepada para WTS khususnya tentang pencegahan penyakit menular seksual. 3) Kepada pemerintah dan masyarakat umum disarankan agar tidak semata-mata menghujat tanpa memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan WTS.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
35
Menguak WTS (Wanita Tuna Susila) Antara Peran Positif Terabaikan dan Termarginalkan Dalam Bentuk Pembelaannya Tahun 1970-2009
Disarankan untuk mengupayakan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pendidikan baik formal maupun informal, kursus-kursus, pelatihan-
pelatihan interprener atau kewirausahaan, dan melakukan pembinaan keagamaan, pembinaan perkawinan dalam upaya mencegah semakin banyaknya WTS.
DAFTAR PUSTAKA Desa Benelan Kidul, 2009. Monografi Desa. Tidak di Publikasikan. Laporan Tahunan. Singojuruh. Kholil , M. 1990. Simposium Penyakit Menular Seksual, Harian Pagi Surya, 20 Nopember 1990, Surabaya 1990 Krisna, Yuyu An.1979. Menyusuri Remang-Remang. Jakarta: PT Sinar Harapan. Kusnadi, dkk. 2006.Perempuan Pesisir.Yogyakarta:LKIS Miskawi dan Matali. 2009. Peran WTS (Wanita Tuna Susila) Dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Keluarga (Studi Kasus Pada Lokalisasi Padang Bulan Di Desa Benelan Kidul Kecamatan Singojuruh Kab. Banyuwangi. Direktorat jendral pendidikan Tinggi departemen Pendidikan Nasional. Purwanto, Didik. 1998. Pasang Perangkap ABCD dan M. dalam Koran Pak Oles, Halaman 10. Denpasar: Koran Pak Oles. Purnomo,Tjahjo & Siregar, Ashadi.1985. Dolly—Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Jakarta: Grafitipers, Prajidno, Hadi. 1990. Respon Sekitar Masyarakat Lokalisasi Terhadap Kebijaksanaan Pemindahan Lokalisasi Ke Kecamatan Puger Dati II Jember. Jember: UNEJ. Profil monografi desa PadangBulan, 2009. Stoler,Ann. 1984. ”Struktur Klas Dan Otonomi Wanita Dipedesaan Jawa”dalam Koenjaraningrat (ed). Masalah-masalah pembangunan, bunga rampai antropologi terapan. Jakarta: LP3ES.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF Vol. 6 No.18, Desember 2009 (* Dosen Pada Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi P.IPS Sejarah, Wakil Dekan I FKIP, Peneliti Kajian Wanita , pariwisata dan Kebudayaan Dan Masyarakat Sejarawan Indonesia ( MSI) Komisariat Banyuwangi
36