STRATEGI KOMUNIKASI PEDAGANG KAKI LIMA PERANTAU MINANGKABAU DAN PENDUDUK ASLI (Studi Kasus di Pasar Jatibarang Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu-Jawa Barat
Oleh : ERNITA ARIF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK ERNITA. ARIF. 2007. Strategi Komunikasi Pedagang Kaki Lima Perantau Minangkabau dan Penduduk Asli (Studi Kasus di Pasar Jatibarang, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu - Jawa Barat). Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan SUTISNA RIYANTO Pedagang kaki lima merupakan salah satu sektor informal yang banyak digeluti oleh sebagian kelompok masyarakat. Salah satunya adalah etnik Minangkabau yang berada di perantauan tepatnya di pasar Jatibarang. Di pasar tersebut tidak hanya pedagang kaki lima Minang namun juga ada penduduk asli. Dalam menjual barang dagangannya tentunya masing-masing pedagang tersebut memiliki cara tersendiri untuk mengkomunikasikan barang dagangannya agar laku terjual. Untuk itu penelitian ini bertujuan ingin: (1) menganalisis perbedaan strategi komunikasi pedagang kaki lima perantau Minangkabau dengan penduduk asli di Pasar Jatibarang, (2) menganalisis hubungan strategi komunikasi pedagang kaki lima perantau Minangkabau dan penduduk asli dengan persepsi pembeli mengenai pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli, (3) merumuskan strategi komunikasi yang efektif bagi pedagang kaki lima di pasar Jatibarang. Metode penelitian adalah deskriptif korelasional dan data dianalisis dengan program SPSS versi 12.00. uji statistik yang digunakan adalah Rank Spearman untuk melihat hubungan antar peubah dan uji T-Test untuk melihat perbedaan antara dua pedagang. Jumlah responden sebanyak 60 orang pembeli. Hasil penelitian menunjukkan : (1) strategi komunikasi pedagang kaki lima Minangkabau secara verbal dan non verbal sedang, begitu juga dengan penduduk asli. Artinya strategi yang dilakukan oleh kedua pedagang biasa-biasa tidak secara berlebihan (2) secara verbal tidak terdapat perbedaan antara pedagang kaki lima minang dengan penduduk asli, namun secara non verbal terdapat perbedaan. Namun secara keseluruhan strategi komunikasi pedagang kaki lima minangkabau lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk asli. (3) pembeli memiliki persepsi yang rendah terhadap pedagang kaki lima Minang dalam pemahaman, tinggi dalam daya tarik dan tinggi juga dalam dorongan membeli. Sedangkan pada penduduk asli, pembeli juga rendah dalam pemahaman, sedang dalam daya tarik dan tinggi dalam dorongan membeli. (4) strategi komunikasi verbal pada pedagang kaki lima MInang memiliki hubungan dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli. Secara non verbal hanya berhubungan dengan pemahaman. Sedangkan pada pedagang kaki lima penduduk asli, secara verbal berhubungan dengan pemahaman dan secara non verbal dengan pemahaman dan daya tarik. (5) strategi komunikasi yang efektif bagi pedagang kaki lima di pasar Jatibarang adalah secara verbal menyapa dan mempersilahkan, sedangkan secara non verbal tersenyum, posisi tubuh dan memajang Kata kunci: strategi komunikasi pedagang kaki lima, persepsi pembeli, efektifitas komunikasi
ABSTRACT Communications Strategy of Retail Dealer Originated of Minangkabau Ethnics and Natives (Case Study in Jatibarang Market, District of Jatibarang, Sub-Province of Indramayu- West Java). Under the direction of SJAFRI MANGKUPRAWIRA and of SUTISNA RIYANTO Retail dealer originated is one of the informal sectors which are deeply involved by some of group societies. One of them is come from ethnic of Minangkabau who live in Jatibarang market. In the Jatibarang market, retail dealer originated not only come from Minang ethnics but also natives. The ways they sell their products, off course each merchant have different way to communicate their products to be sold. The aim of this research are: (1) to analyzed the difference of communications strategy retail dealer originated of Minangkabau ethnics compare with natives in Jatibarang market, (2) to analyzed the relation of communications strategy retail dealer originated between Minangkabau ethnics and natives with perception of buyer concerning understanding, motivation and fascination buy, (3) to formulate effective communications strategy for retail dealer originated in Jatibarang market. Research method using descriptive of data and correlation analysis with SPSS version 12.00 program. Test of statistic using Rank Spearman to see the relation between test and variable. T-Test is used to see the difference between two merchants. Amount of responders counted 60 buyer people. Result of research show: (1) communications strategy retail dealer originated of Minangkabau ethnics using verbal and non verbal, so do the natives. It means that the strategy used by both of groups in ordinary way (2) by verbal, there are no difference between retail dealer originated of Minang ethnics and natives. But by non verbal there are differences. Merchant of Minang ethnics prefer to show and display the product with lowest price of their products, while natives don’t do that way. Communications strategy retail dealer originated of minangkabau ethnics is much better than natives. (3) Buyer has low perception in understanding to retail dealer originated of minang ethnics, high in fascination and also high in motivation to buy. While of natives merchant, buyer also low in understanding, average in fascination and high in motivation to buy. (4) Communications strategy of verbal at retail dealer originated of Minang ethnics have relation with understanding, motivation and fascination to buy. By non verbal only relating to understanding. While at retail dealer originated of natives, by verbal relate to understanding and by non verbal with fascination and understanding. (5) Effective communications strategy for retail dealer originated in Jatibarang market is by verbal address and passes in, while by non verbal smile, body position and display the products. Keyword: communications strategy retail dealer originated, perception of buyer, communications effectiveness
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Strategi Komunikasi Pedagang Kaki Lima Perantau Minangkabau dan Penduduk Asli (Studi Kasus di Pasar Jatibarang, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
Ernita Arif
STRATEGI KOMUNIKASI PEDAGANG KAKI LIMA PERANTAU MINANGKABAU DAN PENDUDUK ASLI (Studi Kasus di Pasar Jatibarang Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu-Jawa Barat)
Oleh : ERNITA ARIF
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA IPB 2007
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Strategi Komunikasi Pedagang Kaki Lima Perantau Minangkabau dan Penduduk Asli di Pasar Jatibarang, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramyu – Jawa Barat Ernita Arif P054040181 Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira,M.SC Ketua
Ir. Sutisna Riyanto Subarna, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sumardjo, MS
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian :!6 Juli 2007
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tanggal 15 Juni 1977. Anak pertama dari empat bersaudara pasangan Z. Arifin Wahid dan Murniati. Penulis memulai pendidikan dasar di SD N 1 Bukit Malintang, namun tidak sampai tamat karena mengikuti orang tua pindah ke Jatibarang. Sekolah dasar penulis tamatkan di SDN 1 Jatibarang. Kemudian lulus SMP N 1 Jatibarang pada tahun 1993. Tahun 1997 lulus dari SMA N 1 Indramayu. Pada tahun 1997 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di IPB pada Fakultas Pertanian, program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian lewat jalur UMPTN dan mendapat gelar sarjana pada tahun 2002. Karena merasa selalu rindu untuk kuliah pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Pasca Sarjana IPB Jurusan Komunikasi Pembangunan. Selama menempuh pendidikan penulis aktif berorganisasi dan menyukai petualangan alam bebas. Selain itu penulis memiliki minat yang tinggi terhadap dunia pendidikan, mengajar adalah salah satu hobbi yang ditekuninya. Sejak kuliah penulis sudah mulai mengajar diantaranya: fasilitator lingkungan hidup untuk anak SD Darmaga 1, fasilitator lingkungan hidup untuk tenaga sukarelawan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) di Kebun Raya Bogor, mengajar mengaji di TPA Al-Malikussaleh, asisten dosen pada mata kuliah sosiologi umum selama tiga semester, dosen luar biasa pada Fakultas Peternakan IPB. Setelah penulis lulus dari kuliah, penulis bekerja di sebuah lembaga pendidikan sebagai tenaga pengajar dan marketing. Disela-sela berkerja penulis juga mengajar di SMA Al-hidayah dan SMK Bakin. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Syamsul Bahri, ST. MM dan dikaruniai dua anak yaitu Aruusalkhofiqoini Bahri Chaniago (2 tahun) dan Nibras Khalida Bahri Chaniago (3 bulan).
PRAKATA Puji dan syukur selalu tercurahkan kehadirat Illahi Robbi atas nikmat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini selesai tidak dengan sendirinya. Butuh perjuangan dan support dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan ke berbagai fihak diantaranya: 1. Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, motivasi dan kemudahan untuk berkonsultasi. Beliau bukan hanya sebagai dosen tetapi juga seorang guru, dari beliaulah penulis banyak belajar. 2. Ir. Sutisna Riyanto. MS, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuat penulis mudah untuk berkonsultasi. 3. Dr. Ir. Amiruddin Shaleh. MS, yang telah bersedia menjadi penguji dan memberikan arahan, kesempatan serta motivasi selama mengikuti perkulihan di Pascasarjana. 4. Kedua orang tua tercinta yang sampai kapanpun cinta, pengorbanan dan doanya tak pernah putus. Karena beliaulah penulis termotivasi untuk selalu memberikan yang terbaik. 5. Suami tercinta Syamsul Bahri, ST. MM, yang selalu memberikan support dan kesempatan kepada penulis untuk terus belajar, berkarya dan memperkaya ilmu serta sangat mengerti penulis. 6. Pemimpinku “Aruusalkhofiqoini Bahri Chaniago” dan lenteraku “Nibras Khalida Bahri Chaniago” semoga kalian dapat menghiasi dan menerangi dunia. Bunda bangga memilikimu. 7. Adik-adikku Uwa, Imen, Evi dan Fitri, yang telah banyak membantu. Semoga kalian menjadi orang yang bermanfaat dan dapat menopang serta membanggakan keluarga. 8. Teman-teman KMP 2004. Dini (telah banyak membantu), Mba Aan, Icha, Pegi, Bagyo, Narso, Jufri, Melki, Deden, Muji. Selamat telah menjadi Master. Kebersamaan itu indah dan mengesankan. Semoga kita selalu kompak.
Bogor, Agustus Ernita Arif
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xi
PENDAHULUAN .....................................................................................................
1
Latar Belakang .............................................................................................
1
Perumusan masalah ....................................................................................
2
Tujuan Penelitian .........................................................................................
4
Manfaat Penelitian .......................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................
6
Komunikasi Verbal .......................................................................................
6
Komunikasi Non verbal ................................................................................
11
Efektivitas Komunikasi................................................................................
18
Strategi Komunikasi .................................................................................
23
Pedagang Kaki Lima .................................................................................. Fenomene Pedagang Kaki Lima................................................................... Promosi Penjualan........................................................................................ Persepsi........................................................................................................ Kelompok Etnik............................................................................................. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .......................................................... Kerangka Pemikiran Konseptual
25 25
Kerangka Pemikiran Operasional Hipotesis ......................................................................................................
26
METODE PENELITIAN ..........................................................................................
27
Desain Penellitian ........................................................................................
27
Populasi dan Sampel......................................................................
27
Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................
28
Data dan Instrumen...................................................................................... Teknik Pengolahan dan Analisa Data ...................................................
29
Validitas dan Reliabilitas ..............................................................................
29
Definisi Operasional .....................................................................................
30
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................................
38
Desa Jatibarang........................................................................................
38
Letak dan Wilayah...................................................................................... Kependudukan ..........................................................
40
Kondisi Ekonomi Masyarakat ................................................................
49
Sosial Budaya...............................................................................................
Kelompok Etnik) ...........................................................................................
49
Pasar Tradisional jatibarang ........................................................................
60
Lngetak Geografis dan Sejarah Pasar .........................................................
68
Komoditi Dagangan.......................................................................................
74
Proses Kedatangan PKL ..............................................................................
79
Tempat Bermukim.................................................................................... ....
84
Kegiatan Berdagang ...................................................................................
91
Karakteristik Responden ..............................................................................
93
Deskripsi Stratategi Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli...............
95
Analisa Perbedaan Stratategi Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli................................................................................................................
102
Persepsi Pembeli tentang Efektifitas Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli...............................................................................................
104
Hubungan antara Strategi Komunikasi dengan Pemahaman, Daya Tarik dan Dorongan Membeli.................................................................................
105
Strategi yang Efektif di Pasar Jatibarang...................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................
108
Kesimpulan ..................................................................................................
108
Saran ............................................................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
111
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah penduduk Desa Jatibarang menurut mata pencaharian.......................
41
2 Jumlah pedagang Pasar Jatibarang menurut etnik...........................................
42
3 Deskripsi karakteristik responden.....................................................................
50
4 Rataan skor strategi komunikasi PKL Minang dan Penduduk asli .................
51
5 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dan Penduduk Aslli ...................
61
6 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dan Penduduk Aslli..................
62
7 Persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi .............................................
70
8 Hubungan antara strategi komunikasi dengan efektifitas ................................
71
9 Keinginan pembeli untuk menerapkan strategi komunikasi bagi PKL .............
75
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka konseptual penelitian .....................................................................
7
2 Kerangka pemikiran operasional ..................................................................... 25
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil korelasi antara strategi komunikasi dengan efektifitas ...................
116
2 Hasil realibilitas instrumen ......................................................................
117
3 Hasil uji T-Test ........................................................................................
118
4 Kuisioner penelitian .................................................................................
121
PENDAHULUAN Latar Belakang Disadari atau tidak sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja disektor informal. Salah satu sektor informal yang digeluti oleh berbagai masyarakat etnik di Indonesia adalah pedagang kaki lima. Mereka biasanya identik dengan keramaian seperti di pasar, di pusat perbelanjaan di stasiun, di trotoar bahkan sampai pada acara-acara wisuda. Jenis dagangannyapun sangat beragam dari menjual pakaian, makanan, kebutuhan rumah tangga sampai dengan buku-buku komik ataupun pelajaran. Memang tak dapat disangkal, ketika kita mendengar tentang PKL hal pertama terbayang adalah bahwa sektor informal (Pedagang Kaki Lima) identik dengan kemacetan, semrawut, kumuh, terlihat umumnya tidak teratur, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap, berlaku di kalangan orang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian atau keterampilan khusus, bergerak di lingkungan kecil dan kekeluargaan, tak harus mengenal sistem perbankan, pembukuan atau perkreditan. Akibatnya, sektor informal di mana Pedagang Kaki Lima merupakan bagian yang terbesar sering ditolak keberadaannya dan sama sekali tidak memperoleh perlindungan. Kebalikannya mereka diburu-buru dan digusur, karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Sering perilaku mereka menjengkelkan, karena menguasai trotoar atau menutup pintu masuk ke toko-toko formal, namun hal ini terjadi karena tak ada tempat khusus untuk menampung mereka sesuai dengan sifat alamiah informal mereka yang selalu mendekati kerumunan orang dan lokasilokasi yang ramai dikunjungi orang. Namun pada kenyataannya ditengah kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan sektor informal termasuk salah satu sektor yang dapat bertahan dan menjadi klep pengaman kehidupan ekonomi kota dan daerah. tak hanya itu pedagang kaki lima ternyata juga sebagai penyumbang terbesar PAD (pendapatan asli daerah) di beberapa daerah,
Disamping itu sektor ini adalah sektor yang bisa menyerap tenaga kerja karena sektor ini relatif lebih mudah untuk ditekuni oleh setiap orang yang memiliki
kekurangan dalam hal modal, pendidikan, keahlihan dan
sebagainya (Nusantara, 2002). Memang terasa sangat dilematis, disatu pihak PKL memberikan kontribusi yang cukup besar, namun disisi yang lain mereka juga dapat menjadi sumber masalah di perkotaan. Namun apabila kita lebih jeli melihat bahwa aktifitas yang dilakukan oleh PKL penuh dengan keunikan dan menarik untuk diamati. Seperti cara atau strategi mereka dalam menawarkan barang dagangannya. PKL biasanya memiliki ciri khas masing-masing sesuai dengan latar belakang etnik mereka. Seperti PKL etnik Minang yang memiliki ciri khas tersendiri dalam menawarkan atau menarik
perhatian pembeli. Dengan cara atau strategi yang mereka
gunakan tersebutlah yang membuat mereka tetap bertahan dan maju di suatu wilayah. Seperti kondisi PKL etnik Minang di Pasar Jatibarang, dimana pedagang kaki lima mendapat tempat yang layak dan menjadi sebuah percontohan bagi pedagang lain. Bentuk dan pola perdagangan yang mereka lakukan sangat berbeda dengan pedagang kaki lima pada umumnya, dimana dilokasi sekitar pasar sampai di sepanjang jalan menuju jalan raya banyak terdapat pedagang kaki lima terutama pada hari pasar yaitu Minggu dan Rabu. Akan terlihat suasana yang ramai mirip dengan pasar sepanjang jalan menuju pasar dengan pedagang dan pembeli dengan jenis barang dagangan sama berupa pakaian.
Para
pedagang tidak pernah mengenal istilah pengusiran atau penertiban seperti yang banyak dialami oleh pedagang kaki lima lainnya malahan difasilitasi dengan membolehkan mereka berdagang di tempat yang seharusnya bukan tempat berdagang seperti tempat parkir, jalan dan pinggir sungai. Satu hal yang menarik bagi peneliti adalah setelah kedatangan perantau Minang ke daerah tersebut dan memulai berdagang sebagai pedagang kaki lima, menjadikan pasar tersebut semakin ramai oleh pedagang baik pedagang dari Minang maupun penduduk asli. Jenis
barang dagangannya tidak jauh berbeda dengan yang dijual di dalam kios atau toko, sehingga pembeli lebih ramai di lokasi pedagang kaki lima dibandingkan dengan di dalam pasar. Umumnya mereka menjual jenis barang dagangan yang sama yaitu pakaian. Diantara mereka memiliki cara tersendiri untuk menarik pembeli dengan beragam strategi. Apapun strategi yang digunakan oleh PKL pada dasarnya adalah untuk menarik pembeli. Untuk itu penelitian ini akan mengkaji strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL dari sudut pandang pembeli khususnya kepada PKL etnik Minang dan penduduk asli.
Perumusan Masalah Fenomena yang melekat pada pelaku Pedagang Kaki Lima terutama yang berada di pasar tradisional Jatibarang sangatlah unik,. dimana kondisi pedagang kaki lima yang berada di pasar tersebut sangat berbeda dengan pasar lain, sebab pedagang kaki lima tidak mengenal penggusuran dan mereka memenuhi lokasi parkir, tepi sungai, trotoar bahkan sampai kerumah-rumah penduduk. Aktifitas ini sangat terlihat pada hari-hari pasar yaitu Minggu dan Rabu. Kondisi ini baru terlihat setelah kehadiran pedagang kaki lima etnik Minangkabau yang terkenall dengan sifat ulet, tekun, mandiri dan pandai berdagang yang membuat pasar tersebut semakin ramai dikunjungi oleh pembeli, dengan sendirinya menarik pedagang lain untuk berdagang di lokasi tersebut. Melihat
begitu
semaraknya
aktifitas
perdagangan
di
pasar
Jatibarang, tentu setiap pedagang memiliki strategi tersendiri yang sedemikian rupa dalam rangka menarik pembeli untuk membeli dagangan mereka. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa orang Minangkabau memiliki ciri khas tersendiri dalam berdagang dan ciri yang melekat kepada mereka dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah adanya budaya merantau. Pola-pola yang mereka terapkan dalam berdagang khususnya dalam menawarkan barang dagangan kepada pembeli memiliki strategi khusus. Begitu juga dengan penduduk asli pasti
mereka memiliki strategi tersendiri dalam memenangkan persaingan untuk menarik pembeli. Masing-masing pedagang tentu berupaya menemukan cara-cara tersendiri supaya dagangan mereka laku terjual. Namun apapun yang mereka lakukan tentu akan dirasakan oleh pembeli. Melalui respon atau tanggapan dari pembeli inilah akan terlihat apakah yang selama ini mereka lakukan tepat atau tidak. Bertitik tolak dari
uraian di atas maka dirumuskan beberapa
permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana perbedaan strategi komunikasi penjualan Pedagang Kaki Lima perantau etnik Minangkabau dan penduduk asli di pasar tradisional Jatibarang? 2. Bagaimana hubungan strategi komunikasi Pedagang Kaki Lima perantau
etnik Minangkabau dan
penduduk asli dengan
pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli di pasar tradisional Jatibarang? 3. Bagaimana strategi komunikasi penjualan yang efektif bagi pedagang kaki lima di pasar tradisional Jatibarang? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis perbedaan strategi komunikasi penjualan Pedagang Kaki Lima perantau etnik Minangkabau dan penduduk asli di pasar tradisional Jatibarang. 2. Menganalisis hubungan strategi komunikasi Pedagang Kaki Lima perantau
etnik Minangkabau dan
penduduk asli dengan
pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli di pasar tradisional Jatibarang 3. Merumuskan strategi komunikasi penjualan yang efektif bagi pedagang kaki lima di pasar tradisional Jatibarang.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi pedagang kaki lima di daerah Jatibarang
untuk mengetahui pandangan pembeli mengenai
strategi yang mereka terapkan dan mengetahui strategi apa yang sesuai di pasar tersebut. 2. Memberikan informasi yang bermanfaat bagi pemerintah daerah dan kota untuk pengembangan dan penataan pasar-pasar tradisional serta memahami dan mengerti kebutuhan Pedagang Kaki Lima dalam membuat kebijakan. 3. Bahan pustaka dan pembanding tentang strategi Pedagang Kaki Lima perantau Minangkabau bagi penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Verbal Secara etimologis, kata komunikasi atau communication
dalam
Bahasa Inggris berasal dari kata communis yang berarti ”sama”. Komunikasi menyarankan bahwa fikiran, suatu makna atau pesan dianut secara sama (Mulyana, 2001). Dengan demikian berkomunikasi artinya menyamakan makna atau pengertian dengan rekan komunikasi. Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya mengenai berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri maupun bersifat alami. Manusia dalam keberadaannya memang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Selain kemampuan daya pikirnya maupun memiliki keterampilan berkomunikasi yang lebih indah dan lebih canggih,sehingga dalam berkomunikasi mereka bisa mengatasi rintangan jarak dan waktu. Manusia mampu menciptakan simbol-simbol dan memberi arti pada gejala-gejala alam yang ada disekitarnya. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya. Sekali lagi kita sepakat atas suatu sistem simbol verbal, kita dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, tentu saja bila semua kata yang digunakan hanya menunjuk pada benda maka komunikasi menjadi sederhana. Terkait dengan komunikasi verbal, menurut Tubbs and Moss (2001), komunikasi verbal dimulai dengan konsep makna, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang serupa dengan konsep makna dalam pikiran sipengirim. Pesan verbal tersebut bisa melalui kata-kata yang merupakan unsur dasar bahasa. Devito (1997), mengatakan bahwa komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri dari simbol-simbol
yang cepat lenyap dan bermakna bebas serta dipancarkan secara kultural. Selain itu Mulyana (2002) mengemukakan komunikasi verbal adalah semua jenis simbol atau pesan verbal yang menggunakan satu kata atau lebih yang disebut bahasa. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu
sistem kode verbal. Bahasa juga dapat didefinisikan
sebagai seperangkat simbol dengan aturan yang mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunikasi. Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga fungsi itu pertama, untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita. Kedua untuk
membina hubungan yang baik diantara
sesama manusia dan ketiga untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia. Untuk mempelajari dunia sekeliling kita, bahasa menjadi peralatan yang sangat dalam memahami lingkungan. Melalui bahasa kita dapat mengetahui sikap, perilaku dan pandangan suatu bangsa. Dengan bahasa juga dapat dijadikan sebagai alat pengikat dan perekat dalam hidup bermasyarakat, bahasa dapat membantu kita menyusun struktur pengetahuan menjadi logis dan mudah diterima oleh orang lain. Sesuai dengan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi verbal sangat terkait dengan bahasa yang diucapkan. Terkait dengan strategi komunikasi secara verbal yang dilakukan oleh PKL
dapat
berbentuk berteriak, menyapa dan mempersilahkan. Komunikasi nonverbal Manusia
dalam berkomunikasi selain menggunakan komunikasi
verbal juga memakai komuniasi nonverbal. Komunikasi nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam. Komunikasi nonverbal yang digunakan dalam berkomunikasi sudah lama menarik perhatian para ahli terutama dari kalangan antropolgi, bahasa dan bidang kedokteran. Porter dan Samavar yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) bahwa komunikasi
nonverbal mencakup semua ransangan (kecuali ransangan verbal) dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima. Selain itu menurut Mark L Knapp dalam Hafied (2004)
bahwa istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan
semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Fungsi dari komunikasi nonverbal (Mark L Knapp dalam Hafied, 2004) antara lain: a) Meyakinkan apa yang diucapkan b) Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata c) Menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalinya d) Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna Pemberian arti terhadap kode nonverbal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya masyarakat yang menggunakannya. Kode nonverbal dapat diartikan dalam beberapa bentuk antara lain: kinesis adalah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan, gerakan mata, mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata. Sentuhan adalah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan. Paralanguage adalah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik yang diucapkan, diam, postur tubuh, kedekatan dan ruang, artifak dan visualisasi, warna, waktu, bunyi dan bau. Berdasarkan pemaparan mengenai komunikasi non verbal jadi dapat
disimpulkan
bahwa
komunikasi
nonverbal
adalah
bentuk
komunikasi selain yang diucapkan guna menyampaikan pesan dan dijadikan sebagai penekanan bagi komunikasi verbal misalnya gerakan tubuh, senyuman, raut wajah dan isyarat lainnya. Jika dikaitkan dengan strategi komunikasi pedagang kaki lima, maka selain pedagang tersebut
menggunakan komunikasi verbal, tak lepas juga dari komunikasi nonverbal seperti tersenyum, sikap tubuh, mimik wajah / ekspresi wajah menghadapi pembeli, cara memajang dagangan, dan memasang bandrol harga.
Efektifitas Komunikasi Menurut Vardiasyah, D (2004), efek komunikasi adalah pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikasi dalam diri komunikannya. Efek komunikasi dapat kita bedakan atas efek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan tingkah laku (konatif). Efek komunikasi adalah salah satu elemen komunikasi yang penting untuk mengetahui berhasil atau tidaknya komunikasi. Pesan yang sampai pada komunikan menimbulkan dampak,s ehingga persolan utama dalam komunikasi efektif adalah sejauh mana tujuan komunikasi komunikator terwujud dalam diri komunkannya: a. Apabila hasil yang didapatkan sama dengan tujuan yang diharapkan dikatakan bahwa komunikasi berlangsung efekti b. Apabila hasil yang didapatkan lebih besar dari
tujuan yang
diharapkan dikatakan bahwa komunikasi berlangsung sangat efekti c. Apabila hasil yang didapatkan lebih kecil dari
tujuan yang
diharapkan dikatakan bahwa komunikasi berlangsung tidak atau kurang efekti Menurut Goyer dan Tubs S.L dan Moss, S (1996) bila S adalah sumber pesan dan R adalah penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap bila respon yang diinginkan S dan respon yang diberikan R identik:
Strategi Komunikasi Strategi banyak kita dengar dalam kehidupan manusia sehari-hari, bahkan strategi tidak hanya milik manusia sebagai salah satu makhluk hidup dibumi ini tapi juga merupakan sebuah keharusan yang dimiliki oleh
setiap makhluk hidup yang perlu bertahan hidup. Kata strategi itu sendiri berasal
dari
bahasa
Yunani
yang
berarti:
kepemimpinan
dalam
ketentaraan. Dimana pada jaman Yunani masih terdapat dan terjadi perang dalam berbagai kondisi, baik antar suku maupun antar kelompok kecil maupun besar, disitulah telah diterapkan berbagai strategi-strategi yang tumbuh dan berkembang menjadi sebuah manajemen ketentaraan dalam mengelola dan mobilisasi tentara atau anggota kelompok perang ( Crown, 2001). Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukan arah saja, melainkan harus mampu menunjukan bagaimana taktik operasionalnya (Effendy, 1990). Banyak sekali definisi-definisi strategi yang ada dan berkembang dalam segenap lapisan masyarakat. Bagi pelaku olahraga sepak bola, strategi diperlukan sebagai cara untuk mengatur posisi dan serangan kearah gawang lawan untuk memciptakan gol sebanyak-banyaknya, maka disini strategi telah didefinisikan sebagai cara untuk pencapaian sebuah tujuan dengan mengatur dan optimalisasi potensi yang dimiliki. Mahasiswa yang akan mengikuti tes ujian kelulusan, akan mempersiapkan strategi belajar, buku mana yang harus dibaca, catatan mana yang mesti dipahami dan contoh-contoh soal mana seharusnya mendapatkan perhatian khusus, maka disini terlihat bahwa mahasiswa tersebut telah berstrategi. Definisi strategi bagi mahasiswa adalah bagaimana mempersiapkan diri dan memperbanyak pengetahuan dan mengembangkan wawasan agar mampu menjawab semua pertanyaan yang diujikan. Dari dua contoh kondisi diatas dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwa pada kenyataanya definisi strategi sangat banyak, kembali kepada konteks kondisi dan pelaku yang memainkan strategi tersebut. Tidak sebuah bukupun yang memberikan sebuah definisi yang baku tentang strategi. Namun didunia bisnis strategi dapat didefinisikan sebagai kemampuan
manajemen
menetapkan
arah
bagaimana
mengidentifikasikan kondisi yang yang memberikan keuntungan terbaik untuk membantu memenangkan persaingan di dalam pasar. Dengan kata lain, definisi strategi mengandung dua komponen yaitu: (1) Future Intentions atau tujuan jangka panjang dan (2) competitive advantage atau keunggulan bersaing (Dirgantoro, 2001). Demikian pula dengan strategi komunikasi yang merupakan paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan manajemen komunikasi (communication management) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Strategi komunikasi ini harus mampu menunjukan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan kondisi. Tujuan sentral kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama, yaitu: a.to secure understanding, b.to establish acceptance, c. to motivate action. Pertama adalah to secure understanding, memastikan bahwa komunikasi mengerti dan menerima, maka penerimaannya itu harus dibina (to establish acceptance) pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (to motivate action). Dalam strategi komunikasi perlu diperhatikan komponen-komponen dan
faktor-faktor pendukung dan penghambat pada setiap komponen
tersebut diantaranya (Effendy,1990): a.
Mengenali sasaran komunikasi
b.
Pemilihan media komunikasi
c.
Pengkajian tujuan pesan komunikasi
d.
Peranan komunikator dalam komunikasi
Dari penjelesan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi adalah milik siapa saja dan
merupakan suatu cara
yang mengoptimalkan segala
sumber daya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, begitu juga dengan strategi yang dimiliki oleh pedagang kaki lima dalam rangka untuk meraih keuntungan dan memenangkan persaingan.
Pedagang Kaki Lima Perdagangan adalah kegiatan jual-beli barang atau jasa yang dilakukan secara terus-menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi yang seimbang. Berniaga atau berdagang adalah salah satu bentuk manusia mencari rezeki yang halal di muka bumi ini. Berdagang merupakan suatu proses komunikasi antara penjual atau pedagang dengan pembeli atau pedagang lainnya. Dimana proses komunikasi tersebut untuk mencari sebuah kata sepakat, yaitu sepakat penjual/pedagang memberikan barang dagangannya kepada pembeli dan sepakat pembeli memberikan uang atau bentuk materi lainnya yang dijadikan nilai tukar kepada penjual. Komunikasi antara pedagang dengan pembeli dapat berlangsung secara langsung maupun tidak langsung, baik di tempat terbuka maupun tertutup, dijalan ataupun dirumah. Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu bentuk sebutan bagi profesi pedagang/penjual atau pelaku perniagaan. Tarjo dalam Yulia (1986), mengatakan bahwa istilah Pedagang Kaki Lima timbul pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, pada masa Raffless memimpin tahun 1811. Ketika itu Raffless mengeluarkan peraturan lalu lintas untuk perencanaan kota yang menyatakan bahwa 5 feet (lima kaki) disebelah kiri kanan jalan dari tepi jalan ditetapkan untuk pejalan kaki yang kemudian digunakan sebagai tempat bedagang. Maka timbullah istilah Pedagang Kaki Lima. Hal lain yang mendukung istilah Pedagang Kaki Lima muncul pada akhir abad silam, bahwa dalam tata kota di era tersebut bangunan rumah
toko yang berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih. Bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat melintas. Lajur ini kemudian dikenal sebagai kaki lima, dari lebarnya yang lima kaki itu. Pedagang yang memanfaatkan lajur itu, kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima (Sidharta, 2000).
Fenomena Pedagang Kaki Lima Menurut Budiantoro dalam www.ekonomirakyat.org (2002), tahun 1998 pertumbuhan ekonomi merosot menjadi –13,7 persen dari pertumbuhan sebesar +4,9 persen, atau jatuh -18,6 persen dalam setahun. Pakar ekonomi ortodoks pesimis ekonomi nasional akan pulih kurang dari 5 tahun. Namun terbukti, meski mengalami bleeding berupa pelarian modal $ 10 milyar per tahun dan ambruknya industri besar, hanya dalam 2 tahun ekonomi nasional telah tumbuh 4,8 persen. Akhirnya diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (sering disebut ekonomi rakyat atau non formal), memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi ekonomi sektor non formal yang telah menyelamatkan Indonesia dari krisis, yaitu ekonomi yang ”berdikari” dan ulet. Mereka yang berjuang dari apa yang ada, atau modal sendiri. Pedagang Kaki Lima yang merupakan bagian ekonomi sektor non formal (ekonomi kerakyatan), yang memiliki keterbatasan modal dan beusaha dengan apa adanya. Namun mampu bertahan ditengah-tengah deraan badai keterpurukan ekonomi nasional Indonesia. Pedagang Kaki Lima merupakan sebuah fenomena yang timbul dalam masyarakat, banyak sikap-sikap negatif yang diperlihatkan sebagian masyarakat kepada Pedagang Kaki Lima, tapi pada kenyataan Pedagang Kaki Lima dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi apapun. Pedagang Kaki
Lima
adalah
sebuah
profesi
fenomenal
yang
terbukti
mampu
menyelamatkan perekonomian bangsa. Hasil penelitian tentang pedagang kaki lima telah banyak dilakukan diantarannya oleh kerja sama PPES UNPAD dan BKPMD DKI Jakarta dengan judul pola pembinaan usaha pedagang kaki lima di wilayah DKI Jakarta, studi ini telah dipublikasikan pada Maret 1981. Penelitian ini mempunyai tujuan tunggal yaitu menyusun pola pembinaan pedagang kaki lima di DKI Jakarta dengan suatu paket pembinaan yang terpadu. Sehingga dengan pola demikian akan dilibatkan secara aktif pihak pemerintah daerah, perguruan tinggi, asosiasi-asosiasi, perbankan dan pedagang kaki lima itu sendiri. Pola pembinaan ini adalah untuk memberikan kemungkinan eksistensi usaha pedagang kaki lima dengan suatu tata cara pedagang yang lebih baik dan dalam iklim yang memungkinkan untuk berkembang. Selain itu juga ada penelitian yang dilakukan oleh Suriatmi (2006) yang mengkaji tentang pedagang kaki lima sebagai dampak sosial dari peningkatan jumlah pengangguran di Kota Bogor. Penelitian ini ingin melihat seberapa jauh pengaruh tingkat pengangguran terhadap timbulnya PKL khususnya di Kota Bogor. Beliau mengambil sampel sebanyak dua ratus PKL dengan menggunakan kuisioner. Hasilnya ternyata krisis ekonomi mempunyai dampak pada keberadaan PKL. Akibat krisis tersebut banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Untuk bertahan hidup salah satu alternatif adalah dengan menjadi PKL. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Riani (2005) yang ingin melihat dampak krisis ekonomi terhadap maraknya PKL. Studi ini dilakukan terhadap PKL di Kota Surabaya. Ternyata akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia, menyebabkan maraknya timbulnya PKL di Kota Surabaya. Studi mengenai pedagang kaki lima Minang juga pernah diteliti oleh Yulia (1986), yang melihat kehidupan sosial mereka di Pasar Tanah Abang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pedagang kaki lima Minangkabau di Pasar Tanah Abang saling terlibat dalam kerjasama seperti acara arisan, pinjam meminjam uang dan saling bantu membantu
dikala dapat musibah. Pada saat mereka berjualan juga terdapat suatu fenomena yaitu kegiatan maantau yaitu suatu cara dengan menjualkan barang dagangan pedagang lain dengan mengambil keuntungan dari harga jual. Setiap pembeli yang sedang lewat mereka selalu bertanya kebutuhan pembeli, dan mereka selalu mengatakan barang tersedia, tetapi dengan mengambilnya di tempat lain. Ini adalah salah satu strategi yang mereka lakukan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan menunjukkan kepada pembeli bahwa di temapt mereka selalu tersedia. Mereka tidak pernah mengatakan barang tidak ada.
Promosi Penjualan Menurut Arifin (2005), penjualan merupakan urat nadi dari semua unit usaha. Orang yang tidak bekerja pun sebenarnya juga melakukan penjualan.
Yakni
bagaimana
menjual
diri
mereka,
ide-ide,
atau
pengetahuan yang dimilikinya agar bisa diterima, dipandang, dan dihargai sebagaimana mestinya. Kita bertutur kata, berpakaian, dan berperilaku sedemikian rupa setiap hari juga karena ingin dihargai dan diterima oleh orang lain. Dan itu semua adalah prinsip dasar dari menjual. Pendapat lain mengatakan bahwa, penjualan adalah sebuah proses interaksi langsung antara penjual dengan pembeli dimana para penjual dapat mengkomunikasikan produk/jasa
yang dimiliki kepada
calon pembeli atau konsumen. Sebaliknya pembeli dapat melihat secara langsung kondisi produk/jasa yang akan dibeli atau ingin dimiliki serta layanan yang akan digunakan. Kamus istilah penjualan kementrian koperasi dan usaha kecil dan menengah, kegiatan penjualan dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok berdasarkan proses transaksi antara penjual dan pembeli, yaitu penjualan langsung (tatap muka) dan tidak langsung (penjualan melalui media). Penjualan langsung (direct Sales) didefinisikan sebagai sebuah kegiatan penjualan dimana penjual (pemilik usaha) dan pembeli dapat bertatap muka langsung dalam melakukan transaksi penjualan. Umumnya pemilik
usaha merangkap sebagai tenaga penjual. Sedangkan penjualan tidak langsung (indirect sales) proses transaksi terjadi melalui media perantara (misalnya: Internet, agent yang tidak menyediakan barang), dimana antara pembeli dengan penjual atau pemilik produk tidak terjadi interaksi secara tatap muka. Kekuatan kemandirian
dari
layanan
sistem ke
penjualan konsumen,
langsung dimana
adalah
tradisi
penjual
dapat
mengkomunikasikan dan mengemas keunggulan produk/jasa yang dimiliki kepada konsumen secara langsung dengan melihat suasana dan kondisi konsumen. Interaksi sosial antara penjual dengan pembeli sangat tinggi, terutama dalam memastikan jenis, bentuk dan kualitas produk atau jasa yang dijadikan objek transaksi/penjualan. Bahkan sebagian orang mengatakan, bahwa kelebihan proses penjualan interaksi langsung antara pembeli dan penjual dapat tawar-menawar harga. Dalam kegiatan usaha perdagangan Pedagang Kaki Lima sebagai pemilik,
juga
berfungsi
menjalani
kegiatan
penjualan
dalam
kesehariannya. Jadi Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu pelaku penjualan secara langsung. Ini sangat terlihat jelas dalam memasarkan barang dagangannya, dimana interaksi dengan pembeli sangat terlihat, komunikasi dan tawar-menawar antara Pedagang Kaki Lima dengan pembeli sudah umum terlihat. Untuk mencapai tingkat penjualan yang optimum dibidang bisnis kita mengenal bauran pemasan yang dikenal dengan marketing mix 4P yaitu serangkain kegiatan penentu harg, pengembangan produk, promosi dan pendistribusian produk yang harus dikombinasikan dengan baik. Salah satu bauran pemasaran yang erat kaitannya dengan komunikasi adalah promosi. Dimana promosi
penjualan terdiri dari kumpulan alat-
alat insentif yang beragam sebagian besar berjangka pendek, dirancang untuk mendorong pembelian suatu produk/jasa tertentu secara lebih cepat dan/atau lebih besar oleh konsumen atau pedagang. Promosi konsumen mencakup alat untuk promosi konsumen (sampel, kupon, tawaran pengembalian uang, potongan harga, premi, hadiah, hadiah langganan,
percobaan gratis, garansi, promosi berhubungan, promosi silang, pajangan
dan
demonstrasi
di
toko
tempat
pembelian;
promosi
perdagangan mencakup potongan harga, tunjangan iklan dan pajangan, dan barang gratis dan promosi bisnis dan wiraniaga misalnya pameran dan konvensi perdagangan, konteks untuk wiraniaga dan iklan khusus (Kotler, 2000). Kiat promosi digunakan oleh sebagian besar organisasi termasuk juga pedagang kaki lima dimana dalam rangka menarik pembeli mereka melakukan promosi penjualan dengan berbagai cara diantaranya potongan harga, pajangan dan menjanjikan barang dikembalikan atau dapat ditukar kalau terdapat barang rusak. Tujuan promosi penjualan sebagai alat promosi penjualan berbedabeda dalam hal tujuan spesifiknya. Contoh gratis mendorong konsumen untuk mencoba, sementara jasa konsultasi manajemen gratis bertujuan untuk mempererat hubungan jangka panjang dengan seorang pengecer. Penjual menggunakan promosi tipe insentif untuk menarik pencoba baru, untuk menghargai pelanggan setia dan untuk menaikkan tingkat pembelian ulang dari pemakai sesekali. Promosi penjualan yang digunakan di pasar dengan kesamaan merek yang tinggi menghasilkan tanggapan penjualan yang tinggi dalam jangka pendek tetapi sedikit perolehan permanen dalam pangsa pasara. Dalam pasar dengan perbedaan merek yang tinggi promosi penjualan dapat mengubah pangsa pasar secara lebih permanen. Dalam menggunakan promosi penjualan sebuah
organisasi
mengembangkan
harus
program,
menetapkan menguji
tujuan,
program
memilih
itu
terlebih
alatnya, dahulu,
menerapkan dan mengendalikan serta mengevaluasinya. Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indrawi. Menurut Devito (1997) persepsi adalah proses dengan mana kita
menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang kita serapdan apa makna yang kita berikan kepada mereka ketika mencapai kesadaran Porter dan Samovar yang dikutip oleh Mulyana (1996) mengartikan persepsi
dalam
kaitannya
dengan
faktor
budaya
yang
akan
mempengaruhi persepsi seseorang dan persepsi-persepsi yang berlainan dari para pelaku komunikasi seringkali mengganggu saling pengertian antar budaya. Persepsi adalah proses internal yang dilakukan seseorang untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara seseorang mengubah energi fisik lingkunganya menjadi pengalaman yang bermakna. Landasan-landasan untuk seleksi dalam kegiatan persepsi sangat dipengaruhi
oleh
pengalaman-pengalaman
kebudayaan.
Walaupun
pengalaman pribadi turut menentukan variasi-variasi dalam persepsi, tetapi seringkali kebudayaan mempunyai dampak sebagai kekuatan pemersatu dalam persepsi sekelompok orang tentang lingkunganya. Perilaku-perilaku dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya. Seseorang
memberi
respon
terhadap
stimulasi
sedemikian
rupa
sebagaimana yang budaya ajarkan kepada orang tersebut. Karakter budaya cenderung memperkenalkan kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan karenanya membawa kepada persepsi yang berbeda pula. Proses pembentukan persepsi menurut Feigl dalam Yusuf (1991) terjadi melalui tiga mekanisme pembentukan yaitu pertama selectivity dimana terjadi ketika seseorang diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseklesian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Kedua proses closure, dimana terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan yang ketiga adalah interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.
Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi persepsi adalah perhatian. Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulinya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indra kita dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain. Manusia akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain seperti pengulangan kata-kata yang sering diucapkan. Jadi persepsi pada dasarnya merupakan pandangan seseorang terhadap apapun berdasarkan pengamatan dan pengalamannya terhadap sesuatu tersebut yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Terkait dengan persepsi pembeli terhadap strategi komunikasi penjualan yang dilakukan oleh PKL juga dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan.
Kelompok Etnik Menurut Francis dalam Sunarto (1993), kelompok, wilayah, sejarah, sikap dan sistim politik. Sementara itu etnik merupakan sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan Narroll dalam Barth (1969), mendefinisikan kelompok etnik
dikenal sebagai suatu
populasi yang: a. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri dan diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Pendekatan
kelompok
atau
golongan
etnik
terletak
pada
pengorganisasian sosialnya, sedangkan asal usul, asal negara, ataupun keaslian dari para pelaku hanyalah salah satu referensi atau kerangka acuan bagi pengorganisasian identitas sosial tersebut (Suparlan dalam Hidayah dan Raharjo, 1997).
Pada umumnya kelompok etnik timbul akibat dari kondisi alam dan iklim disuatu wilayah, dimana sekompok masyarakat yang berada dalam sebuah wilayah tertentu dan hanya dapat berinteraksi sesama mereka, akan melahirkan sebuah kelompok etnik dengan budaya dan kebiasaan yang menyesuaikan dengan kondisi alam dimana mereka berada. Laut, sungai, gunung, hutan belantara (jenis tumbuhan/pohon), cuaca dingin dan panas merupakan kondisi alam yang mampu membentuk kelompokkelompok etnik.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Konseptual Pedagang Kaki Lima dari etnik Minangkabau merupakan kelompok terbesar dalam kelompok pedagang kaki lima yang ada diseluruh wilayah Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Minangkabau termasuk ke dalam kelompok yang paling banyak bergerak dalam arti berpindahpindah tempat untuk merantau. kondisi tersebut didukung oleh budaya masyarakat Minangkabau yang gemar merantau dan melakukan kegiatan perdagangan. Untuk menemukan Pedagang Kaki Lima dari etnik Minangkabau bukanlah sesuatu hal yang sulit, baik dikota-kota besar maupun
dipelosok
daerah
diseantero
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia, bahkan sampai ke manca negara etnik Minangkabau dapat menyebar luas disana ( Naim, 1979). Begitu juga di pasar tradisional Jatibarang yang terletak di dalam wilayah kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, provinsi Jawa Barat, banyak dijumpai Pedagang Kaki Lima perantau Minangkabau. Dari pengamatan yang penulis lakukan, ternyata pedagang kaki lima perantau Minang semakin bertambah jumlahnya, dimana sekitar tahun 1980-an pada awal pasar Jatibarang terbentuk hanya terdapat empat (4) orang pedagang kaki lima yang berasal dari Minangkabau, namun pada saat ini orang Minang di Jatibarang sudah mencapai sekitar 140 KK, umumnya berprofesi sebagai pedagang kaki lima. Kalau ditanya mengapa mereka menjadi pedagang kaki lima tentu jawabannya beragam, namun yang pasti mereka tentu memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan. Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan, setelah itu baru loyalitas eksistensi. Untuk mencapai ketiga hal tersebut mereka perlu berbagai strategi dalam berdagang khususnya dalam mempromosikan barang dagangan mereka, yang lebih dikenal dengan strategi komunikasi
penjualan. Strategi komunikasi tersebut dapat berbentuk verbal maupun non verbal. Kaitannya dengan strategi komunikasi pedagang kaki lima bentuk
verbal
dapat
berupa
berteriak,
menyapa
pembeli
dan
mempersilahkan, sedangkan dalam bentuk non verbal berupa tersenyum, posisi tubuh, bentuk pajangan dan bandrol harga. Dari bentuk-bentuk verbal dan non verbal tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektifitas komunikasi. Strategi komunikasi yang dilakukan oleh pedagang kaki lima, ditujukan untuk pembeli supaya pembeli tertarik
datang dan membeli,
namun semua yang dilakukan oleh pedagang kaki lima tak luput dari tanggapan/persepsi dari pembeli. Persepsi ini dapat berupa persepsi terhadap penampilan, harga, pelayanan, fasilitas dan proses transaksi. Selain pembeli memiliki persepsi terhadap pedagang kaki lima, mereka juga mempunyai harapan tertentu yang mau tidak mau harus mendapat perhatihan khusus, harapan tersebut antara lain: harapan terhadap strategi komunikasi verbal dan nonverbal, individu, mutu, harga, pelayanan, fasilitas dan proses transaksi. Dari keseluruhan proses yang dilakukan oleh pedagang kaki lima diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembeli dan loyalitas dalam arti lain pembeli menjadi puas. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 1.
Harapan: -keuntungan -loyalitas -eksistensi
Penjual
Persepsi: -penampilan -harga -Pelayanan -Fasilitas -Transaksi
Verbal: -Berteriak -Menyapa -mempersilahkan
Strategi Komunikasi (promosi)
Efektifitas komunikasi penjualan
Nonverbal: -Tersenyum -posisi tubuh -Bentuk pajangan -Harga bandrol
Pembeli
Kepuasan - sesuai yang diinginkan -loyalitas
Harapan: - Strategi kom.verbal -strategi kom. nonverbal -Individu -harga -Pelayanan -Fasilitas -Transaksi
Margin Penjualan/laba
Gambar. 1. Kerangka Konseptual penelitian
Kerangka Pemikiran Operasional Lingkup penelitian dibatasi pada hubungan strategi komunikasi verbal dan non verbal dengan persepsi pembeli terhadap efektifitas komunikasi penjualan. Variabel bebas adalah strategi komunikasi verbal dan non verbal, serta variabel terikat adalah persepsi pembeli terhadap efektifitas komunikasi penjualan. Strategi komunikasi penjualan PKL merupakan teknik atau caracara yang dilakukan oleh pedagang dalam rangka mengkomunikasikan barang dagangannya dalam rangka untuk mencapai keuntungan. Strategi komunikasi penjualan terdiri dari aspek verbal yang terdiri dari tiga indikator yaitu berteriak, menyapa dan mempersilahkan. Sedangkan aspek non verbal terdiri dari empat indikator yaitu tersenyum, posisi tubuh, pajangan dan bandrol harga. PKL yang berjualan di Pasar Jatibarang umumnya terdiri etnik Minang dan penduduk asli. Masing-masing PKL memiliki strategi komunikasi yang ditujukan untuk pembeli. Strategi komunikasi penjualan
yang dilakukan oleh PKL diduga akan menimbulkan persepsi dari pembeli mengenai apakah strategi tersebut efektif. Efektifitas tersebut diukur berdasarkan pemahaman,
daya tarik dan dorongan membeli. Agar
penelitian lebih bermakna dan memiliki nilai maka strategi komunikasi penjualan yang dilakukan oleh PKL Minang akan dibandingkan dengan penduduk asli. Dari hasil hubungan antara strategi komunikasi verbal dan non verbal dengan persepsi pembeli terhadap efektifitas komunikasi penjualan maka akan dapat
dirumuskan strategi apa yang cocok
atau efektif bagi PKL. Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar. 2.
Minang
Deskriptif PKL
Analisis deskriptif
PKL
T-Test Penduduk asli
verbal
Strategi komunikasi
Persepsi pembeli
Non Verbal
Rank Spearman
Gambar. 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian di atas, maka dapat dikemukan beberapa hipotesis sebagai berikut:
Strategi Komunikasi efektif
1. Terdapat perbedaan yang nyata antara strategi komunikasi verbal PKL Minang dengan penduduk asli. 2. Terdapat perbedaan yang nyata antara strategi komunikasi non verbal PKL Minang dengan penduduk asli. 3. Terdapat hubungan yang nyata antara strategi komunikasi verbal PKL
Minang
dengan
persepsi
pembeli
tentang
efektifitas
komunikasi (pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli). 4. Terdapat hubungan yang nyata antara strategi komunikasi
non
verbal PKL Minang dengan persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi (pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli). 5. Terdapat hubungan yang nyata antara strategi komunikasi verbal PKL penduduk asli dengan persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi (pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli). 6. Terdapat hubungan yang nyata antara strategi komunikasi
non
verbal PKL penduduk asli dengan persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi (pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli).
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai metode penelitian survey yang bersifat deskriptif korelasional yang menggambarkan dan menjelaskan strategi komunikasi pedagang kaki lima etnik Minang dengan penduduk asli di Pasar Jatibarang. Disamping itu juga melihat hubungan antara strategi komunikasi dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli.
Populasi dan sampel Penelitian ini melihat strategi komunikasi PKL etnik Minang dan penduduk asli yang dilihat dari sudut pandang atau persepsi pembeli. Maka yang menjadi subyek penelitian adalah pembeli meskipun tak lepas dari pengamatan terhadap pedagang itu sendiri. Populasi
dalam
penelitian ini adalah seluruh pembeli yang datang ke pasar Jatibarang. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
convenience
sampling atau sampel secara kebetulan. Dikarenakan sampel dalam penelitian ini adalah pembeli maka orang yang dijadikan sampel adalah orang- orang yang mudah ditemui atau yang berada pada waktu yang tepat, mudah ditemui dan dijangkau. Orang yang dijadikan sampel adalah orang yang sudah selesai
melakukan transaksi atau membeli kepada
pedagang kaki lima etnik Minang maupun penduduk asli, setelah mereka selesai
bertransaksi
baru
kemudian
diminta
kesediaannya
untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penelitia. Mengenai jenis kelamin dan usia dipilih secara sengaja. Mengenai jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 60 orang. Karena penelitian ini mencoba membandingkan antara PKL etnik Minang dan penduduk asli, maka setiap grup terdiri dari 30 orang, sesuai dengan pendapat Gay dan Diehl dalam Rahayu (2005), bahwa ukuran sampel
pada penelitian kausal perbandingan sampelnya sebanyak 30 subyek per grup. Obyek dari strategi komunikasi ini adalah PKL etnik Minang dan penduduk asli yang berjualan pakaian jadi karena umumnya PKL dipasar Jatibarang menjual pakaian jadi. Dari kelompok pakaian jadi ini juga akan dipecah menjadi pakaian dewasa, pakaian anak-anak, pakaian bayi dan pakaian dalam. Namun peneliti hanya fokus pada kelompok pedagang yang menjual pakaian jadi dewasa hal ini dikarenakan jumlah
yang
menjual pakaian jadi dewasa lebih banyak dari kelompok pakain jadi lainnya disamping itu juga pada kelompok pakaian jadi dewasa tidak terlalu
beragam dibandingkan dengan kelompok pakaian jadi lainnya.
Karena peneliti ingin membandingkan dua kelompok pedagang yaitu Minang
dengan
penduduk
asli
maka
jenis
dagangan
yang
diperbandingkan juga harus sama dari segi produk, harga dan merek. Namun untuk mengklasifikasi ketiga komponen tersebut tidaklah mudah, maka peneliti menggunakan asumsi bahwa pedagang kaki lima yang menjual pakaian jadi dewasa rata-rata tidak berbeda jauh dari segi produk, harga dan merek, karena target pembeli mereka adalah golongan menengah kebawah. Dari kedua kelompok pedagang ini akan dilakukan wawancara secara mendalam dan pengamatan bereperan serta.
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di pasar tradisional Jatibarang yang terletak di kecamatan Jatibarang, kabupaten Indramayu, provinsi Jawa Barat pada bulan November- Desember
2006. Penulis sengaja memilih lokasi ini
karena pesatnya perkembangan dan semakin banyaknya Pedagang Kaki Lima perantau Minangkabau yang datang dan berjualan, walaupun pasar tersebut masih merupakan pasar tradisional yang hanya ramai pada waktu-waktu tertentu.. Pemilihan Pedagang Kaki Lima etnik perantau Minangkabau sebagai objek penelitian dikarenakan kekhususan pola perdagangan yang mereka lakukan dan penulis sudah lama tinggal
didaerah tersebut, sehingga memudahkan penulis untuk masuk serta beradaptasi dilokasi dan dalam mengumpulkan data. Agar penelitian ini lebih bermakna maka akan dibandingkan dengan PKL penduduk asli. Penulis sengaja memilih judul ini karena tertarik untuk mengetahui strategi komunikasi yang dilakukan Pedagang Kaki Lima perantau Minangkabau di pasar tradisional Jatibarang dalam menjual barang dagangan.
Data dan Instrumen Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini didahului dengan pengumpulan data sekunder terutama yang menyangkut data desa, pasar dan Pedagang Kaki Lima. Data sekunder ini diperoleh dari data jumlah pedagang di pasar Jatibarang yang diperoleh dari instansi pengelola pasar Jatibarang dan data kependudukan di desa Jatibarang yang berhubungan dengan penelitian. Data primer merupakan data yang diambil langsung dari subjek penelitian dengan cara melakukan wawancara terstruktur terhadap pembeli dengan menggunakan kuisioner dan mengadakan wawancara mendalam kepada pedagang. Subjek dalam penelitian ini adalah pembeli. Untuk mendukung data ini juga diadakan wawancara terhadap kelompok Pedagang Kaki Lima perantau Minangkabau
dan penduduk asli yang
berjualan pakaian jadi yang sudah lama maupun yang baru. Pada penelitian survey, instrumen penelitian yang digunakan ada dua yaitu kuisioner dan wawancara mendalam. Instrumen dalam bentuk kuisioner berupa daftar pertanyaan tertutup yang meliputi: a. Data umum responden yang meliputi: usia, alamat, status perkawinan, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan pekerjaan b. Data strategi komunikasi verbal meliputi: berteriak, menyapa dan mempersilahkan
c. Data strategi komunikasi non verbal meliputi: tersenyum, posisi tubuh, memajang dan bandrol harga d. Data mengenai persepsi pembeli terhadap efektifitas strategi komunikasi meliputi: pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil menggunakan
kuisioner
untuk
wawancara
melihat
terstruktur dengan
perbedaan
antara
strategi
komunikasi PKL etnik Minang dengan penduduk asli akan menggunakan uji beda dengan uji T-Test menggunakan SPSS versi 12.
Tabel
dideskripsikan dan dinterpretasikan dengan penguraian yang logis. Untuk melihat
hubungan
antara
strategi
komunikasi
dengan
efektifitas
komunikasi menggunakan analisis Rank Spearman. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam akan dideskripsikan dengan penguraian yang logis secara kualitatif.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Suatu
instrumen
dikatakan
layak
untuk
digunakan
dalam
pengukuran apabila telah memenuhi syarat dalam validitas (kesahian) dan reliabilitas (keterandalan). Yang dimaksud dengan validitas dalam hal ini adalah ketepatan alat ukur dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Menurut
Arikunto
(1998)
bahwa
validitas
adalah
keadaan
yang
menggambarkan tingkat instrumen yang digunakan mampu mengukur yang diinginkan. Suatu instrumen pengukuran dinyatakan telah memenuhi standar validitas apabila instrumen tersebut sungguh-sungguh dapat mengukur apa yang ingin diukur dan adanya derajat ketepatan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana instrumen tersebut konsisten atau hasil pengukurannya relatif tidak berbeda bila digunakan untuk mengukur
aspek yang sama yang dimaksud dengan reliabilitas mengacu kepada kemantapan, konsistensi dan ketepatan atau akurasi dari hasil penelitian tersebut, Agar diperoleh validitas instrumen, daftar pertanyaan disusun dengan cara sebagai berikut : 1. Menyesuaikan isi pertanyaan dengan keadaan respoden 2. Menyesuaikan dengan apa yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk memperoleh data yang sama 3. Mempertimbangkan teori dan kenyataan yang telah diungkapkan para ahli dari berbagai pustaka empiris 4. Memperhatikan nasihat-nasihat para ahli dan dosen pembimbing Untuk menentukan reliabilitas instrumen digunakan dengan cara terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen pada responden yang memiliki karakteristik relatif sama dengan karakteristik obyek penelitian. Lalu dihitung tingkat reliabilitas dengan menggunakan cronbach alpha dimana pengukuran dilakukan hanya satu kali. Metoda tersebut digunakan untuk kuisioner yang memiliki lebih banyak pilihan jawaban serta bukan merupakan skor 1 dan 0, melainkan dalam bentuk kategori dan uraian (Arikunto, 1998), sehingga melahirkan bentuk kategori dan uraian. Adapun rumus tersebut adalah: 2 ⎡ k ⎤ ⎡ ∑σ b ⎤ r11 = ⎢ ⎥ ⎢1 − σ 2 ⎥ ( ) k 1 − ⎣ ⎦ ⎣⎢ t ⎦⎥
Keterangan : r11
= Reliabilitas instrument
K Σ σb σ12
= Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal 2
= Jumlah varians butir = Varians total
Setelah kuesioner selesai disusun kemudian instrumen diuji cobakan terhadap 20 orang responden pada pembeli di pasar Citeureup Bogor Pedagang dipasar ini banyak terdapat PKL Minang.
Menurut
Ancok dalam Singarimbun (1995) angka korelasi nilai n. Jika nilai korelasi dan reliabilitas hasil perhitungan lebih besar dari tabel maka instrumen tersebut dianggap valid dan reliabel. Dalam penelitian ini, reliabilitas instrumen diuji pada awal pelaksanaan penelitian. Untuk instrumen komunikasi verbal diperoleh nilai R =hitung sebesar 0,776 lebih besar dari nilai Rkritis sebesar 0,444. Untuk instrumen strategi komunkasi non verbal
diperoleh nilai nilai Rhitung
sebesar 0,696 lebih besar dari nilai Rkritis sebesar 0,444. Untuk instrumen persepsi pembeli terhadap efektifitas komunikasi dengan pemahaman diperoleh nilai Rhitung sebesar 0,913 lebih besar dari nilai Rkritis sebesar 0,444. dengan daya tarik diperoleh nilai Rhitung sebesar 0,748 lebih besar dari nilai Rkritis sebesar 0,444. sedangkan dengan dorongan membeli diperoleh nilai Rhitung sebesar 0,863 lebih besar dari nilai Rkritis sebesar 0,444. Sesuai dengan kriteria perbandingan untuk menemukan reliabilitas variabel, maka alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian ini sudah andal dan layak dipakai.
Definisi Operasional 1. Karakteristik individu adalah identitas individu responden yang diamati dalam penelitian yang terdiri dari: a. Umur adalah lamanya tahun hidup responden yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini dilakukan. Diukur dalam satuan tahun b. Jenis kelamin adalah perbedaan status sosial biologis responden. Terdiri dari (1) laki-laki, (2) perempuan. c. Alamat adalah domisili atau dimana responden tinggal menetap dalam suatu wilayah.
d. Status perkawinan adalah keadaan respon dalam berumah tangga, dikategorikan sebagai (1) kawin, (2) belum kawin, (3) duda/janda e. Jumlah keluarga adalah banyaknya semua orang yang mendiami satu rumah (tempat tinggal responden. Diukur dalam jumlah jiwa f. Tingkat pendidikan adalah lamanya responden menempuh jenjang sekolah formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh responden, terdiri dari lulusan (1) SD, (2) SMP, (3) SLTA, (4) Diploma, (5) sarjana g. Jenis pekerjaan adalah kegiatan ekonomis yang dilakukan oleh responden setiap hari. Untuk data ini dilakukan pengkodean terhadap jenis pekerjaan. 2. Strategi komunikasi adalah paduan perencanaan dan
manajemen
dalam komunikasi penjualan untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh pedagang kaki lima di pasar Jatibarang. Strategi komunikasi ini diukur berdasarkan persepsi pembeli dilihat dari aspek: a. Aspek verbal adalah segala bentuk pesan verbal yang disebut bahasa yang digunakan oleh pedagang untuk menarik perhatian pembeli yang diukur dari tiga indikator utama sebagai berikut: 1. Berteriak yaitu ucapan-ucapan yang keluar dari mulut si penjual yang cenderung lebih keras untuk dapat didengarkan juga oleh orang lain dan bukan hanya untuk yang
membeli.
Dalam
berteriak
biasanya
disampaikan mengenai: produk, harga,
yang
dan kualitas
barang dagangan. Dengan kategori (1) selalu (2) sering (3)
kadang-kadang
(4)
tidak
pernah.
Penilaian
menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadang-kadang (1-2), tidak pernah (0).
2. Menyapa yaitu ucapan-ucapan yang keluar dari mulut si penjual seperti ”mau cari apa” ataupun ucapan salam, ketika melihat pembeli lewat di depan dagangannya dan biasanya disertai dengan sikap yang ramah.
Dengan
kategori (1) selalu (2) sering (3) kadang-kadang (4) tidak pernah.
Penilaian
menggunakan
skala
berjenjang
dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadangkadang (1-2), tidak pernah (0). 3. Mempersilahkan yaitu ucapan-ucapan yang keluar dari mulut sipenjual seperti ” silahkan lihat-lihat aja dulu” atau ”silahkan masuk” yang mempersilahkan pembeli untuk melihat-lihat barang dagangannya ataupun memegang barang dagangan. Dengan kategori (1) selalu (2) sering (3)
kadang-kadang
(4)
tidak
pernah.
Penilaian
menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadang-kadang (1-2), tidak pernah (0). . b. Aspek nonverbal adalah segala bentuk pesan selain verbal yang digunakan untuk menarik perhatian pembeli yang diukur dari tiga indikator utama sebagai berikut: 1. Tersenyum yaitu sikap ramah dari si penjual melalui senyuman saat melihat pembeli lewat atau datang. Dengan kategori (1) selalu, (2) sering, (3) kadangkadang, (4) tidak pernah. Penilaian menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (34), kadang-kadang (1-2), tidak pernah (0). 2. Posisi tubuh yaitu posisi kaki si penjual ketika melihat pembeli datang ataupun sedang melayani pembeli. Sub indikatornya adalah duduk dan berdiri di depan atau di samping dagangan. Dengan kategori
(1) selalu, (2)
sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah. Penilaian menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadang-kadang (1-2), tidak pernah (0). 3. Memajang adalah menampilkan barang dagangan yang ditata sedemikian rupa sehingga menarik pembeli untuk datang, seperti dimana menempatkan barang yang baru dan
yang
lama,
bagaimana
pemilihn
warnanya,
bagaimana supaya terlihat banyak dan alat apa saja yang digunakan. Dengan kategori kadang-kadang,
(4)
(1) selalu, (2) sering, (3)
tidak
pernah.
Penilaian
menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadang-kadang (1-2), tidak pernah (0). 4. Memasang bandrol harga adalah tulisan yang ditulis dengan huruf besar yang diletakkan diatas dagangan atupun
digantung
contohnya
Rp.15.000.
Yang
menginformasikan harga dari suatu produk. Dengan kategori
(1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4)
tidak pernah. Penilaian menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan: selalu (>5 kali), sering (3-4), kadangkadang (1-2), tidak pernah (0). 3. Persepsi pembeli terhadap PKL adalah penilaian atau pendapat yang dikemukan responden terhadap PKL etnik Minang maupun penduduk asli yang diukur dengan
tiga indikator yang meliputi: pemahaman,
daya tarik dan dorongan membeli. a. Pemahaman adalah responden menjadi tahu dan mengerti mengenai produk yang dijual oleh pedagang. Dengan indikator apakah pembeli tahu jenis barang dagangan, dapat membedakan barang yang bagus dan tidak, model yang sedang digemari, harga, merek, warna yang sedang digemari, bahan dasar, tempat membeli, dan ukuran-ukuran.
Dengan kategori (1) sangat tidak setuju (2) tidak setuju (3) cukup setuju (4) setuju (5) sangat setuju b. Daya tarik adalah tingkat persuasif yang dilakukan oleh PKL sehingga pembeli menjadi tertarik untuk datang. Dengan indikator sikap ramah, teriakan yang keras, penampilan, alat bantu, dialek, bentuk pajangan, variasi barang yang dijual, tempat mudah dijangkau. Dengan kategori (1) sangat tidak setuju (2) tidak setuju (3) cukup setuju (4) setuju (5) sangat setuju c. Dorongan membeli adalah tindakan yang dilakukan oleh pembeli untuk membeli barang dagangan. Indikator yang digunakan adalah nilai kegunaan, kepercayaan, harga, kualitas dan adanya garansi atau jaminan dari pedagang. Dengan kategori (1) sangat tidak setuju (2) tidak setuju (3) cukup setuju (4) setuju (5) sangat setuju
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa Jatibarang Letak dan Wilayah Kecamatan Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat memiliki sebuah desa yang namanya persis sama dengan nama kecamatannya,
yang
menjadi
pusat
keramaian
dan
kegiatan
perekonomian Kecamatan Jatibarang. Desa Jatibarang mencakup luasan 144.079 Ha yang dibagi menjadi tujuh RW dan lima puluh enam RT. Dari luasan tanah tersebut dipergunakan untuk: pertokoan/perdagangan (termasuk pasar Jatibarang) luasnya 10.252 Ha, pemukiman/perumahan 6.144 Ha, tanah wakaf 1,5 Ha, sawah 75 Ha, pekarangan 0,175 Ha, perladangan 2.465 Ha dan lain 18 Ha. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Kebulen, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Jatibarang Baru. Di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Widasari dan disebelah timur dengan Desa Bulak. Jarak desa dari pusat kecamatan 1 km, kabupaten 17 km, provinsi 134 km dan dari ibukota negara 205 km (Monografi Desa, 2005). Jatibarang merupakan jalur lintas pantura (pantai Utara Jawa), dimana jalur ini selalu ramai dilalui oleh berbagai macam kendaraan bermotor baik angkutan umum maupun angkutan pribadi. Pada hari pasar jalur ini selalu macet, bahkan sangat padat sebelum adanya pembagian kendaraan yang melalui jalur pantura ke Indramayu sejak tahun 2003. Sarana transportasi darat di Jatibarang umumnya mobil, motor, sepeda dan becak. Becak merupakan angkutan utama yang ada di desa tersebut dan dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian oleh sebagian penduduk disamping bertani. Pemukiman penduduk di Desa Jatibarang terdiri dari pemukiman biasa
dan
pemukiman
perumahan,
pemukiman
perumahan
BTN
merupakan satu-satunya pemukiman perumahan yang ada, luasnya 5,6 Ha yang terdiri dari 650 unit. Pemukiman biasa terdiri dari rumah
permanen yang berjumlah 225 buah, rumah semi permanen 799 dan rumah non permanen 772 buah (Monografi Desa, 2005).
Kependudukan Jumlah penduduk Desa Jatibarang pada tahun 2005 berjumlah 7109 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 1536 KK. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3468 orang dan penduduk perempuan 3641 orang. Kepadatan penduduk berdasarkan jumlah penduduk dibagi dengan luas desa adalah 49 orang per km2. Penduduk Desa Jatibarang tidak hanya penduduk asli tetapi ada juga yang berasal dari etnik lain seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali dan keturunan Cina. Mengenai jumlah dari setiap etnik tersebut secara pasti tidak ada data yang mendukung, namun demikian ciri-ciri sikap sosial dan pembawaan budaya dari setiap etnik ini tidak sulit dibedakan di lapangan. Walaupun data tentang jumlah etnik di Jatibarang tidak tersedia karena memang tidak ada sensus kependudukan dengan kategori demikian. Gambaran tentang beragam etnik tersebut dapat diperoleh melalui pengakuan informan dari masing-masing etnik dan perkiraan dari aparat desa, serta pengamatan peneliti di lapangan. Menurut hasil wawancara dengan informan dan pengamatan peneliti di lapangan jumlah dari etnik Minangkabau sekitar 135 KK, Sunda 105 KK, Batak 24 KK, Jawa 53 KK, Bali 4 KK, keturunan Cina berjumlah 200 KK sedangkan penduduk asli sekitar 1236 KK. Masyarakat Jatibarang mempunyai mata pecaharian yang berbedabeda, sebanyak 574 orang sebagai karyawan pegawai negeri sipil, 23 orang prajurit TNI/POLRI dan 465 karyawan swasta. Mereka ini terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Sedangkan kegiatan berdagang pada umumnya didominasi oleh etnik Minangkabau, Cina yang berjumlah 500 orang. Hanya 25 orang yang tercatat sebagai petani dan buruh tani sebanyak 8 orang (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Jatibarang menurut mata pencarian, 2005 No
Jenis Mata Pencarian
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
1
Pegawai Negeri Sipil
574
26,5
2
Wiraswasta / Pedagang
500
23,1
3
Pensiunan
482
22,3
4
Pegawai Swasta
465
21,5
5
Pertukangan
87
4,0
6
Petani
25
1,2
7
TNI / POLRI
23
1,1
8
Buruh Tani
8
0,3
Jumlah
2164
100,0
Hampir setiap tahun di Jatibarang terjadi perpindahan penduduk, baik yang datang maupun yang keluar. Pada tahun 2005 tercatat jumlah orang yang datang ke Jatibarang berjumlah 35 orang laki-laki dan sebanyak 26 perempuan. Sedangkan penduduk yang pindah berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Data ini diperoleh karena pendatang dan yang pindah tersebut melaporkan diri, sedangkan yang tidak melaporkan diri jumlahnya mungkin lebih banyak.
Kondisi Ekonomi Masyarakat Pendapatan masyarakat Jatibarang dapat dilihat dari jenis usaha yang dikerjakannya. Pada bidang pertanian padi sekali panen produksinya dapat mencapai empat ton/ha yang bernilai empat juta rupiah. Pada bidang industri kecil seperti, industri kecap setiap minggu dapat menghasilkan satu koma delapan juta per kelompok. Pendapatan dari industri kerupuk setiap tiga hari mencapai
delapan ratus ribu per
kelompok, dan dari roti murni dapat mencapai dua setengah juta per kelompok setiap harinya. Jenis usaha industri kecil ini hanya empat
kelompok yang mengusahakan dengan menggunakan tenaga kerja sebanyak tiga puluh delapan orang. Usaha perdagangan meliputi PKL, pedagang toko dan usaha rumah makan, yang setiap minggunya mencapai omset penjualan dua belas juta sampai dengan ratusan juta per pedagang. Omset penjualan semakin bervariasi diwaktu atau musimmusim tertentu. Pendapatan pada bidang jasa seperti hotel, wartel dan bengkel las serta sebuah minimarket belum diketahui. Sektor perdagangan menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat Jatibarang. Di desa Jatibarang terdapat sebuah pasar dengan dikelilingi oleh pertokoan yang tingkat penjualan atau transaksinya tinggi. Setiap hari pasar tidak pernah sepi pengunjung baik dari warga desa sendiri maupun dari luar desa. Pasar dan pertokoan merupakan sarana kehidupan ekonomi yang paling mencolok dalam kehidupan desa. Disamping itu terdapat sarana pendukung lain berupa stasiun kereta api dan terminal bis. Sarana dan prasarana ini berfungsi sebagai pendukung dan memperlancar kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat Jatibarang. Sektor-sektor industri juga terdapat di desa ini, walaupun masih berskala kecil. Diantaranya adalah industri kecap, kerupuk dan roti. Sektor industri kecil ini umumnya diusahakan oleh penduduk asli Jatibarang. Sektor jasa yang dijumpai di desa ini meliputi, hotel, penginapan, bank, wartel, dan bengkel las. Selain sektor-sektor di atas, sektor pertanian masih ditekuni oleh masyarakat Jatibarang, dengan jumlah dua puluh lima orang. Tanaman yang diusahakan adalah padi dan palawija. Tanaman palawija terdiri dari; ketimun, terong dan kacang panjang. Luas tanah pertanian di desa Jatibarang 98 hektar. Sosial Budaya Masyarakat Jatibarang merupakan keturunan Jawa dan Sunda. Heterogen. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Jawa Indramayu. Hampir seratus persen penduduk asli Jatibarang beragama Islam. Agama
Kristen, khatolik, Hindu, dan Budha, umumnya dianut oleh perantau dan warga keturunan Cina. Masyarakat asli Jatibarang mempunyai kebiasaan setiap malam Jumat mengadakan tahlilan dan marhaban yasin yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berdoa untuk arwah orang yang telah meninggal. Disamping itu masyarakat memiliki kebiasaan setiap bulan syura (bulan Muharam/ tahun baru Islam) untuk membuat bubur putih (bubur syura) dalam rangka menolak bala atau agar terhindar dari bahaya. Selain itu ada yang dinamakan bulan bala (sebelum bulan Ramadhan). Pada bulan itu masyarakat membuat kue apem, yang dimaksudkan
untuk
mempersatukan
sesama
masyarakat.
Bagi
masyarakat petani setiap panen raya diadakan pesta menyambut panen yang dikenal dengan ”mapag sri”, pesta ini dilakukan sehari sebelum pemanenan
padi
dengan
mengadakan
pertunjukan
wayang
kulit.
Masyarakat Jatibarang masih mempercayai kekuatan dari sebuah benda seperti kekuatan keris dan jimat. Masyarakat asli Jatibarang sangat menjaga kesopanan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun di lingkungan keluarga. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan bahasa yang berbeda antara orang yang lebih tua dengan teman sebaya. Kalau berbicara denga orang yang lebih tua diharuskan menggunakan bahasa Jawa Indramayu yang halus. Namun berbicara dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih muda usianya biasanya menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa pergaulan). Kesenian utama yang terdapat didaerah ini adalah tarling dan wayang kulit. Kesenian ini biasanya dipertunjukkan pada upacara-upacara khusus seperti: pernikahan, pesta menyambut panen raya, pemilihan kepala desa (kuwu) dan khitanan.
Kelompok-kelompok Etnik Masyarakat Jatibarang terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli adalah Jawa Indramayu yang telah ada dari dulu sebelum etnik lain datang. Sedangkan pendatang berasal dari beberapa kelompok etnik seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali, dan keturunan Cina.
Masing-masing dari etnik tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. Orang Minangkabau umumnya bekerja sebagai pedagang dan Orang Batak sebagai pegawai negeri, tentara, dan tukang kredit. Orang Sunda umumnya adalah pegawai negeri baik swasta maupun pemerintah. Orang Bali menjadi Polisi dan pendatang dari Jawa sebagai penjual jamu, bakso, dan pangsit meskipun ada juga yang menjadi pegawai negeri (guru). Sementara itu keturunan Cina umumnya bekerja sebagai pedagang. Tempat tinggal masing-masing kelompok etnik ada yang berpencar dan ada juga yang berkelompok. Etnik yang tinggal berkelompok dapat terlihat dari etnik Jawa, Batak, Minangkabau dan keturunan Cina. Meskipun berkelompok mereka tidak membentuk perkampungan sendiri tetapi membaur dengan yang etnik lain. Mereka dikatakan hidup berkelompok karena sebagian besar kelompok etniknya berada disatu tempat. Etnik yang dikatakan hidup berpencar karena mereka tersebar dimana-mana atau tidak tinggal disatu tempat dimana jumlah mereka dominan. Pada awal kedatangan ke Jatibarang etnik Minangkabau tinggal secara berpencar tergantung dimana ada kontrakan. Setelah dibangunnya pemukiman warga BTN Jatibarang tahap kedua pada tahun 1998, maka orang Minangkabau memilih tinggal di pemukiman tersebut. Sebelumnya sudah ada orang Minangkabau yang tinggal dipemukiman tersebut, yang jumlahnya sekitar sepuluh KK. Saat ini sekitar sembilan puluh satu KK tinggal dipemukiman BTN, sedangkan jumlah yang berada diluar BTN sekitar empat puluh empat KK. Orang Batak juga hidup berkelompok di BTN tetapi ada juga yang tinggal diluar BTN. Orang Jawa hidup berkelompok di Blok Pulo (RW 6). Di blok ini umumnya mereka masih mengontrak. Warga keturunan Cina terdapat di sepanjang Jalan Mayor Dasuki (lintas pantura), Jalan Siliwangi dan Jalan A. Yani, ada juga yang tinggal di BTN. Umumnya tempat tinggal mereka digabung dengan tempat berusaha. Sedangkan orang sunda tidak berkelompok disuatu tempat. Keadaan ekonomi dari setiap kelompok etnik berbeda-beda. Warga keturunan Cina termasuk kedalam tingkat ekonomi atas atau paling baik.
Hal ini dapat terlihat dari usaha perdagangan yang mereka usahakan. Mereka mendominasi perdagangan di Desa Jatibarang, seperti toko mas, elektronik, pakaian jadi, perlengkapan rumah tangga, photo studio, dealer motor dan lain-lain. Selain itu juga kondisi rumah mereka tergolong mewah. Kelompok
etnik
Minangkabau
umumnya
melakukan
usaha
perdagangan seperti berjualan pakaian jadi, tas, sepatu, jam dan usaha rumah makan. Mereka ada yang telah memiliki toko/kios dan sebagian besar berjualan di kaki lima. Kondisi ekonomi perantau Minangkabau tergolong cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari kondisi rumah dan fasilitasfasilitas yang mereka miliki seperti mobil, motor dan lain-lain. Lain halnya dengan etnik Jawa. Umumnya mereka berjualan jamu, bakso, es dan pangsit. Mereka hidup berkelompok di Blok Pulo dengan mengontrak rumah yang sederhana. Perkembangan ekonomi etnik Batak tidak seperti etnik keturunan Cina dan Minangkabau. Mereka umumnya tidak beregerak pada sektor perdagangan melainkan pada sektor jasa seperti tukang kredit baik barang maupun uang. Selain itu ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Sedangkan etnik Bali jumlahnya relatif sedikit hanya sekitar empat KK, ada dua orang yang menikah dengan orang asli Jatibarang dan keturunan Cina. Orang Bali berprofesi sebagai Polisi dan pedagang.
Pasar Tradisional Jatibarang Desa
Jatibarang
merupakan
pusat
kegiatan
perekonomian
masyarakat Kecamatan Jatibarang, dimana di desa tersebut terdapat sebuah pasar tradisional yang ramai dikunjungi oleh masyarakat Jatibarang dan masyarakat sekitarnya, bahkan banyak juga dikunjungi oleh penduduk daerah lainnya yang datang dari luar kecamatan Jatibarang. Disamping untuk berbelanja para pengunjung tersebut ada juga yang datang untuk berdagang dengan memasarkan barang dagangan yang mereka bawa masing-masing, ini menambah ramai dan
semaraknya pasar tradisional Jatibarang, terutama di hari-hari pasar (Rabu dan Minggu). Pasar Jatibarang terdiri dari dua lantai yang memiliki enam ratus kios, seratus toko, sembilan puluh delapan buah warung dan sejumlah lapak PKL. Disekitar pasar Jatibarang, di sepanjang jalan Mayor Dasuki yang merupakan jalan utama menuju pasar Jatibarang (jalur pantura), terdapat
jajaran
pertokoan.
Toko-toko
tersebut
menjual
berbagai
kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan sekunder, primer maupun tersier. Toko, kios, warung dan lapak PKL dihuni oleh berbagai etnik, yaitu: Jawa Indramayu, Cina, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain. Jumlah pedagang di pasar Jatibarang berdasarkan etnik dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Jumlah pedagang pasar jatibarang menurut etnik (data pengelola pasar Jatibarang, 2006) No
Etnik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1
Jawa Indramayu
1104
51,6
2
Cina
487
22,8
3
Minangkabau
214
10,0
4
Sunda
209
9,8
5
Batak
53
2,5
6
Lain-lain
71
3,3
2138
100,0
Jumlah
Berdasarkan data dari pengelola pasar Jatibarang terdapat empat ratus PKL, namun jumlah PKL di pasar Jatibarang tidak ada catatan yang resmi. Jumlah PKL akan berlipat ganda bila dilakukan pendataan di harihari pasar. Berdasarkan informasi dari informan, jumlah PKL di pasar Jatibarang pada hari-hari ramai seperti menjelang lebaran adalah sekitar seribu lima ratus pedagang.
Letak Geografis dan Sejarah Pasar Jatibarang Sebelum pasar Jatibarang dibangun, masyarakat Jatibarang telah memiliki tempat untuk melakukan transaksi yang hampir mirip dengan pasar. Para pedagang memanfaatkan lapangan disamping stasiun kereta api untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Barang yang diperjual belikan terbatas hanya pada kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, ikan dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Menurut penuturan informan pada saat itu sekitar tahun 80-an pedagang belum menjual pakaian. Baru pada tahun 1984 pemerintah daerah membangun pasar yang diberi nama pasar ”Inpres Jatibarang”. Pasar ini mulai beroperasi pada tahun 1989-an. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia maka kebutuhan akan adanya sarana penyedia kebutuhan seperti pasar tak dapat dielakkan,
maka pemerintah daerah membangun sebuah pasar diatas
tanah seluas dua hektar. Pembangunan pasar dikerjakan oleh PT Ciso Bima Sundawa. Pasar tersebut kios, 100 toko, 98
terdiri dari dua lantai yang memiliki 600
warung dan 400 PKL. Lantai bawah (satu)
diperuntukkan untuk toko sedangkan lantai atas (dua) untuk kios, sedangkan warung dan PKL banyak memanfaatkan area parkir, tangga, jalan umum dan rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan pasar.
Komoditi Dagangan dan Kelompok Etnik Pedagang Sebagaimana
diketahui
bahwa
pasar
merupakan
tempat
bertemunya antara penjual dan pembeli, dimana di pasar dijual berbagai macam kebutuhan manusia. Begitu juga dengan pasar Jatibarang yang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup masyarakat. Jenis barang yang dijual sangat beragam yang meliputi: pakaian yang terdiri dari pakaian jadi (dewasa, anak-anak, perlengkapan bayi, perlengkapan muslim, pakaian dalam) dan bahan tekstil. Selain itu, dijual pula berbagai barang elektronik (TV, tape, jam, kipas angin dan radio), sayur mayur, sembako, alat-alat
atau perlengkapan rumah tangga, kue, jajanan (bakso, somay, mie ayam, soto, nasi, dan lain-lain), ikan, daging, kaset, VCD, dan alat-alat kosmetik. Pengelola pasar telah mengatur tempat pedagang menjual barang dagangannya dengan kata lain ada blok-blok pedagang, di lantai bawah ada blok pedagang pakaian, barang kelontong dan makanan. Sedangkan dilantai atas ada blok pakaian, sayur-mayur, ikan dan daging. Blok-blok ini dibuat
agar
mempermudah
pembeli
dan
menertibkan
pedagang.
Sedangkan PKL berada di pinggir-pinggir pasar, trotoar jalan raya, depan rumah penduduk dan di piggir bantaran kali yang dekat dengan pasar Jatibarang. Dari jenis barang dagangan yang dijual di pasar tersebut dijual oleh suku yang berbeda. Pada umumnya penjual berasal dari etnis Cina, Jawa Indramayu (penduduk asli), Sunda, Jawa, Minangkabau). Menurut informasi dari petugas pasar, bahwa umumnya pedagang etnis cina menempati kios dan toko-toko yang strategis, mereka hampir menguasai seluruh sektor perdagangan dipasar tersebut. Etnis Jawa Indramayu banyak yang menempati kios dan ada juga yang menempati kaki lima. Sedangkan pedagang dari etnis Sunda pada umumnya menempati kios dan toko dan jarang yang di kaki lima. Pedagang dari etnis Jawa banyak menempati kios-kios dan kaki lima. Khusus untuk untuk pedagang etnis Minangkabau mereka lebih banyak yang menempati lokasi kaki lima dibandingkan dengan toko ataupun kios, kalaupun ada itu jumlahnya hanya 20 pedagang. Berdasarkan daerah asalnya, orang Minangkabau di Jatibarang masing-masing memiliki kemampuan usaha tersendiri. Misalnya, orang Pariaman umumnya berdagang pakaian jadi baik anak-anak maupun dewasa. Orang ulakan umumnya memiliki toko di pasar Jatibarang dan ada juga yang mengusahakan rumah makan. Sedangkan orang Pesisir dan Solok umumnya menjual jam. Lain halnya dengan orang Bukittinggi mereka menjual tas dan sepatu.
Deskripsi Pedagang Kaki Lima di Pasar Jatibarang
Proses Kedatangan PKL PKL perantau Minangkabau yang berada di Jatibarang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat diantaranya dari Pariaman, Solok, Tiku,
Pesisir Selatan, Bukit Tinggi, Ulakan dan Taluak. Kedatangan
mereka ke Jatibarang dimulai tahun 1985. Sebagai
perintis adalah
seorang pedagang yang bernama Bahar yang ketika itu berdagang di Cirebon. Bahar adalah orang Minangkabau pertama yang datang dan berdagang ke Jatibarang, dimana kegiatan berdagang di Jatibarang dijalaninya dengan pulang pergi dari Cirebon. Sebelum berdagang di Jatibarang dan Cirebon, Bahar berdagang di Jakarta. Jatibarang bukan tujuan Bahar untuk berdagang, namun kota Cirebon yang menjadi tujuan utamanya pindah dari Jakarta. Ketika masih berdagang di Cirebon, hampir setiap minggu Bahar melintasi dan melihat jumlah masyarakat Jatibarang yang banyak, bila pergi membeli barang dagangan ke Jakarta. Karena itu, Bahar berfikir bahwa daerah tersebut cukup memiliki potensi untuk berdagang. Seminggu sekali jika tidak berdagang di Cirebon, beliau mendatangi Jatibarang untuk berdagang yang saat itu belum ada pasar, hanya tempat berjualan yang mirip dengan pasar. Karena daya beli masyarakat yang cukup tinggi, akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan tiap hari dan menetap di Jatibarang. Beliau juga mengajak keluarga dan sanak saudaranya untuk berjualan di sana. Sekitar tahun 1990-an setelah pasar Jatibarang mulai dibangun, jumlah pedagang
Minang semakin bertambah jumlahnya. Mereka
mengetahui daerah Jatibarang diantaranya: (1) ketidaksengajaan mereka sewaktu melintasi daerah Jatibarang yang memang dilewati oleh jalur pantura. (2) diberitahu oleh kerabat yang sebelumnya sudah menetap terlebih dahulu di Jatibarang, (3) tergiur oleh informasi orang bahwa daya beli tinggi di Jatibarang. Pada awalnya orang Minangkabaukabau yang berdagang di Jatibarang adalah pindahan dari Jakarta. Namun beberapa waktu kemudian baru berdatangan dari berbagai daerah seperti daerah
asal Sumatera Barat, Medan, Pekan Baru dan Tanjung Pinang. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan (M). “Orang Minangkabau yang sudah lama di Jatibarang ini semuanya pindahan dari Jakarta, karena berjualan di Jakarta butuh modal besar, tidak seperti disini berjualan sekantong plastik juga bisa hidup, makanya banyak yang pindah kesini. Sekarang saja banyak yang berdatangan dari kampung dan kota lain” Jumlah pedagang Minangkabau yang datang ke Jatibarang semakin bertambah. Kondisi ini jelas terlihat setelah dibangunnya pasar tradisional Jatibarang pada tahun 1984 dan mulai aktif pada tahun 1989an sebelum pasar ini dibangun jumlah perantau Minangkabau hanya lima kepala keluarga dan sekarang jumlah mereka mencapai seratus tiga puluh lima kepala keluarga. Perkembangan ini terjadi karena daerah Jatibarang memiliki daya beli yang tinggi, biaya hidup murah, dan mudah untuk memperoleh tempat berdagang. Hal ini yang menyebabkan perantau Minangkabau baik yang berasal langsung dari Sumatra Barat maupun dari kota lainya, memilih Jatibarang
sebagai
tempat
untuk
berusaha.Perkembangan
jumlah
perantau Minangkabau di Jatibarang tidak dihitung berdasarkan jumlah kelahiran dan kematian, namun dilahat dari perkembangan kepala keluarga, karena tidak ada data yang mendukung. Pada awal pasar
dibangun perantau Minangkabau umumnya
berdagang di kaki lima. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki modal untuk menyewa atau membeli kios. Yang menempati kios atau toko umumnya masyarakat asli dan etnik China. Masa sulit pernah juga dialami oleh PKL Minang. Penggusuran demi penggusuran tak jarang mereka temui. Namun berkat kegigihan dan ketekunan mereka tetap bertahan. Sekitar tahun 1997–an, pengelola pasar mulai memberikan kelonggaran
kepada
pedagang
kaki
lima.
Mereka
diperbolehkan
berdagang di emper-emper toko atau diruas jalan menuju pasar dengan syarat harus membayar iuran restribusi dan sumbangan lainnya. Setelah periode itu pedagang kaki lima mulai mendapat angin segar. Diantara
mereka tak jarang membuat tempat yang permanen di sepanjang ruas jalan menuju pasar.. Melihat aktivitas pedagang kaki lima yang semakin semarak, membuat masyarakat pribumi ikut pula terjun menjadi pedagang kaki lima. Mereka berbaur dengan PKL dari Minang. Awalnya masyarakat pribumi yang berdagang, berasal dari daerah sekitar pasar. Namun sekitar tahun 2004 setelah kaki lima mulai direlokalisasi maka banyak masyarakat pribumi dari luar wilayah Jatibarang berdatangan. Menurut data dari pengelola pasar jumlah PKL yang berdagang setiap hari pasar sekitar lima ratus orang yang terdiri dari orang Minang dan penduduk asli. Namun jumlah ini bisa tiga kali lipat pada bulan-bulan ramai, seperti menjelang hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Tempat Bermukim Pada awal-awal kedatangan orang Minangkabau di Jatibarang, mereka mencari tempat tinggal dengan mengontrak rumah yang relatif murah, disesuaikan dengan tingkat penghasilan, mereka ada yang sudah berkeluarga dan ada yang belum. Bagi yang sudah berkeluarga umumnya anak mereka masih kecil-kecil dan jumlahnya sedikit, sehingga mereka cukup mengontrak satu atau dua kamar. Tetapi ada juga yang mengontrak satu rumah. Sedangkan yang belum berkeluarga mereka mengontrak satu kamar atau mengontrak satu rumah secara bersamasama. Setelah banyak perantau Minangkabau yang tinggal di Jatibarang, memudahkan perantau baru untuk tinggal sementara waktu di tempat kerabat mereka baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum. Setelah itu baru mencari tampat tinggal sendiri. Mereka yang masih bujangan tinggal di tempat keluarga mereka yang lamanya sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh kerabatnya tersebut. Pekerjaan mereka membantu dan belajar berdagang tanpa digaji, tetapi akan diberi modal kalau sudah bisa berdagang dan dapat dipercaya. Berbeda halnya dengan perantau Minangkabau yang sudah berkeluarga, mereka tinggal sementara waktu paling lama sebulan.
PKL perantau Minangkabau yang awalnya mengontrak rumah atau menumpang dengan teman atau keluarga, setelah berhasil dalam perdagangan dan merasa cocok tinggal di Jatibarang, timbul keinginan memiliki rumah sendiri. Mulai ada PKL perantau Minangkabau yang memiliki rumah di BTN. Pemukiman perumahan BTN merupakan yang pertama didirikan dan dibangun di Jatibarang untuk
masyarakat luas.
Pembangunan perumahan BTN tahap kedua pada tahun 1998 banyak ditempati oleh PKL perantau Minangkabau yang berasal dari luar BTN. PKL perantau Minangkabau yang tinggal di BTN awalnya hanya dua KK, sekarang sudah sembilan puluh satu KK. Hampir seluruh PKL perantau Minangkabau Jatibarang pindah ke pemukiman perumahan BTN. Perumahan BTN yang tadinya sepi dan sunyi dari keramaian berubah semarak dengan kehadiran mereka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan (M) ” pertama-tama pindah ke BTN sangat sepi, jam delapan malam sudah sunyi. Sekarang jam dua belas malampun masih ramai, apalagi malam jumat, dimana esoknya PKL perantau Minangkabau libur berdagang” Perantau Minangkabau yang tinggal di BTN tidak seluruhnya memiliki rumah di BTN, tetapi sebagian masih mengontrak. Sewa rumah di BTN lebih mahal dibandingkan di luar, tetapi perantau Minangkabau lebih memilih tinggal di BTN karena merasa aman dan dapat berdekatan dengan orang Minangkabau lainnya dalam sebuah kelompok besar. Hidup dalam kelompok yang besar di BTN sebenarnya telah diawali dari kelompok-kelompok kecil di luar BTN berdasarkan kelompok keluarga, sebelum pemukiman perumahan BTN di bangun. Sebagaimana yang dipaparkan oleh salah seorang informan (M) ” Sebelum di BTN saya mengontrak di blok rengas, dengan saya ikut beberapa orang yang satu kampung dengan saya. Kalau PKL asal ulakan banyak tinggal dan mengontrak di gang Jaya. Asal Pasisir dan Solok tinggal di Blok Gudang ” Hidup mengelompok bagi PKL perantau Minangkabau, bukan atas kesengajaan namun cenderung kepada sebuah kebutuhan dan kebetulan,
karena mereka memiliki kesamaan kegiatan dan aktivitas. Hal ini, juga didukung
dengan
adanya
pemukiman
perumahan
BTN
di
Desa
Jatibarang. Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka umumnya sudah memiliki rumah sendiri.
Mereka tersebar di wilayah pemukiman
penduduk. Tidak seperti PKL Minang yang tinggal mengelompok, PKL penduduk asli ada juga yang mengelompok namun lebih banyak hidup tersebar. Mereka tidak hanya tinggal di sekitar wilayah Jatibarang, tetapi juga dari luar Jatibarang seperti Tegal Gubuk, Kertasmaya, Eretan dan Indramayu. Kegiatan Berdagang PKL
adalah
profesi
sebagian
besar
masyarakat
perantau
Minangkabau di Jatibarang. Hanya dua orang yang bekerja sebagai guru. Berdagang di kaki lima bukanlah pilihan mudah bagi mereka, bahkan bukan menjadi sebuah cita-cita. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk menekuni dan menjalani profesi sebagai PKL. Seperti yang diungkapkan informan (J) ” Pada tahun 1976 saya pergi merantau ke Jakarta karena tertarik melihat orang yang pulang merantau pakaiannya bagus-bagus dan bergelang emas. Waktu itu saya berumur enam belas tahun dan baru duduk dibangku kelas lima sekolah dasar, umumnya anak-anak dikampung sudah besar-besar masuk sekolah. Dengan sedikit uang hasil menjual buah kelapa saya berangkat ke Jakarta bersama seorang teman. Di Jakarta saya tinggal dengan orang sekampung (masih satu famili) yang membuka kedai tailor, saya ikut membantu-bantu sambil belajar menjahit.” Menjadi PKL bukan tujuan hidup mayarakat Minangkabau, begitu juga untuk merantau di Jatibarang bukan menjadi pilihan pertama sebagai daerah tujuan rantau. Hampir sebagian besar masyarakat perantau Minangkabau, terutama pendatang lama, sebelum bermukim dan menjadi PKL di Pasar Jatibarang mereka singgah atau merantau dulu ke Jakarta. Bahkan kalau mereka pulang kekampung halaman, seluruh sanak famili
dan kaum kerabat dikampung menyebut mereka pulang dari ”Jakarta”. Seperti yang diungkapkan oleh seorang subyek penelitian (H) ” Walaupun kami merantau dan berjualan di Jatibarang, kalau pulang kampung selalu dibilang pulang dari Jakarta. Orang kampung saya lebih mengenal Jakarta daripada Jatibarang. Makanya kami ngakunya merantau di Jakarta padahal di Jatibarang (sambil tertawa) ” PKL perantau Minangkabau mengawali berjualan di kaki lima dengan modal kecil, jenis barang yang mereka jual adalah kaos kaki, pakaian dalam dan jam tangan yang harganya relatif murah. Baru kemudian setelah memiliki modal yang cukup mereka mengganti dengan jenis pakaian jadi dewasa dan anak-anak serta pakaian busana muslim. Seperti yang diungkapkan seorang subyek penelitian (B) “Pertama datang ke Jatibarang hanya mengandalkan modal seratus ribu, Cuma bisa beli sekantong semen kaos kaki. Tapi berkat ketabahan uang segitu bisa menghasilkan seperti sekarang. Yang penting tekun, yakin dan sabar, tahan sakit senang hidup dirantau. Beda dengan perantau yang baru datang sekarang mereka maunya cepat maju saja Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka tidak melalui tahapan seperti yang dialami oleh PKL Minang. Mereka biasanya langsung berdagang dengan membawa barang dagangan secukupnya ke pasar Jatibarang setiap hari pasar. Padahal mereka di pasar lain seperti di Tegal Gubug memiliki toko atau kios. Dengan kata lain pedagang penduduk asli bukanlah pedagang kaki lima murni. PKL perantau Minangkabau yang berdagang di pasar Jatibarang, sebagian besar berdagang pakaian jadi dewasa (pria/wanita), kemudian jenis pakain anak-anak. Umumnya PKL yang berjualan pakian jadi dewasa dan anak-anak adalah mereka yang telah memiliki modal besar dan sudah cukup lama berdagang di pasar Jatibarang. Sedangkan untuk jenis barang dagangan kaos kaki, pakaian dalam, jam tangan, dompet dan ikat pinggang umumnya dijual oleh PKL belajar mandiri.
yang masih muda dan baru
Sedangkan penduduk asli sebagian besar mereka
menjual pakaian jadi dewasa, pakaian muslim, kerudung, daster, seragam sekolah. Selain berdagang di pasar Jatibarang pada ”hari pasar”, PKL perantau Minangkabau
dan penduduk asli mencari pasar lain yang
berjarak cukup jauh dari Jatibarang, diantaranya pasar Tegal Gubug di Arjawinangun, dan pasar Prapatan di Majalengka. ”Hari pasar” di pasar Tegal Gubug adalah hari Selasa dan Sabtu, sedangkan hari Senin dan Kamis merupakan ”hari pasar” di Pasar Prapatan. Dengan demikian hampir setiap hari selama seminggu para pedagang sibuk berdagang kecuali hari Jumat yang merupakan hari libur bagi PKL perantau Minangkabau. Di pasar tersebut umumnya mereka mempunyai tempat berdagang di kaki lima. Menurut informan, PKL yang berdagang di pasar Jatibarang berusia diantara lima belas sampai dengan enam puluh tahun. Umumnya PKL Minang berusia muda sekitar dua puluh sampai empat puluh lima tahun. Sedangkan PKL penduduk asli umumnya berusia diatas empat puluh tahun, meskipun ada juga yang berusia muda, namun jumlahnya tidak banyak. Untuk membawa barang dagangan ke pasar PKL perantau Minangkabau memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan penduduk asli. Penduduk asli yang rumahnya dekat dengan pasar menggunakan jasa becak namun bagi yang jauh mereka menggunakan angkutan mini bus yaitu Kopayu. Tetapi bagi PKL Minang, mereka menumpangkan barang dagangannya dengan kendaraan temannya atau PKL lainnya yang memiliki kendaraan sebagai alat angkutan. mereka akan memberikan ongkos angkut yang besarnya tergantung kepada jumlah karung barang yang ditumpangkan, umumnya sebesar dua puluh ribu rupiah pulang pergi. Hal ini dilakukan karena mereka tinggal saling berdekatan atau hidup mengelompok. Barang dagangan yang akan dibawa ke pasar Jatibarang sebelumnya telah dimasukkan kedalam karung-karung atau keranjang dari bambu dan diikat dengan tali rapia atau tali tambang agar tidak
berantakan ketika diangkut diatas mobil, begitu juga pulangnya. Umumnya setiap pedagang memiliki satu karung barang dagangan, tergantung kepada tingkat kemajuan pedagang bersangkutan, ada yang memiliki jumlah barang dagangan sebanyak lima karung yang memenuhi satu mobil mini colt diesel. Jadi kalau “hari pasar” para PKL perantau Minangkabau
tersebut
berusaha
membawa
barang
dagangannya
sebanyak mungkin, apalagi bagi mereka yang baru menambah barang dagangan atau habis ”belanja” dari Jakarta (Tanahabang, Cipulir atau Jatinegara). PKL yang membawa jumlah barang dagangan dalam jumlah besar juga mempekerjakan beberapa orang ”anak buah” yang akan membantu proses pengangkutan barang ke pasar dan operasional kegiatan berdagang di pasar, seperti: memajang, menjualkan barang dagangan atau hanya sekedar menjaga barang dari pencuri. Jumlah ”anak buah” yang diperlukan berbeda-beda setiap PKL, tergantung banyaknya dan luasnya lokasi berdagang di pasar. Bahkan sebagian dari mereka sudah dibantu oleh anak-anak dan istri atau suami masing-masing. Orang yang dipekerjakan menjadi ”anak buah” juga berbeda-beda latar belakang etniknya, ada yang berasal dari etnik Minangkabau sendiri (bisa adik, ipar, kakak atau orang sekampung, bahkan mertua) atau penduduk asli Jatibarang. Upah yang diberikan atau yang diterima oleh ”anak buah” juga beragam, tergantung kepada besarnya tanggungjawab dan fungsi masingmasing ”anak buah”. Bagi ”anak buah” yang diberi beban ”bekerja penuh” untuk menyiapkan aktivitas perdagangan dari berangkat, memajang, menjualkan dan kembali kerumah biasanya lebih besar dibandingkan dengan ”anak buah” yang hanya bertugas untuk membantu menjualkan atau menjaga barang dagangan dari pencuri. Rata-rata setiap ”anak buah” menerima upah harian sebesar lima belas ribu rupiah. Ada tabungan untuk anak buah yang ”bekerja penuh” yang biasanya akan diberikan pada akhir tahun pembukuan (malam takbiran). Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka tidak memiliki anak buah seperti PKL Minang,
karena jumlah dagangan mereka yang sedikit dan tempat berdagang juga kecil. Biasanya mereka hanya terdiri dari suami istri. Kegiatan untuk menambah atau berbelanja barang dagangan ke Jakarta (Tanahabang, Cipulir, Jatinegara) umumnya dilakukan oleh PKL perantau Minangkabau pada hari libur berdagang (hari Jumat). Namun ada juga yang berbelanja diluar hari libur tersebut, terutama pada musimmusim ramai serta juga disesuaikan dengan tuntutan permintaan barang dan juga persediaan uang. Biasanya tidak semua dari PKL perantau Minangkabau akan berangkat ke Jakarta untuk berbelanja pada hari Jumat yang sama. Berbeda dengan PKL penduduk asli mereka umumnya belanja barang di pasar Tegal Gubuk dengan sistem grosir. Mereka tidak ada waktu tertetntu untuk membeli barang, karena bisa mereka lakukan setiap hari pasar di tegal Gubuk. Tergantung dari kebutuhan dan kemampuan dari mereka. Dari tiga puluh responden PKL penduduk asli hanya lima orang yang belanja barang ke Jakarta.
Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa umur responden yang berbelanja pada PKL Minang rata-rata berusia muda, sedangkan pada PKL penduduk asli berusia setengah baya. Berdasarkan pengamatan dilapangan memang terdapat perbedaan variasi mode yang dijual meskipun sama-sama menjual pakaian jadi dewasa. Pembeli pada PKL Minang umumnya sudah menikah dan belum menikah, sedangkan pada PKL penduduk asli rata-rata sudah menikah Jika dilihat dari anggota keluarga, pembeli pada PKL Minang umumnya memiliki anggota keluarga tiga sampai lima orang sedangkan pembeli pada PKL penduduk asli rata-rata memiliki jumlah keluarga satu sampai tiga orang. Tingkat pendidikan pembeli pada PKL Minang umumnya tamatan SMA sedangkan pada PKL penduduk asli juga tamatan SMA. Hal ini menandakan bahwa rata-rata lulusan semua responden baik PKL Minang
ataupun penduduk asli cukup berpendidikan. Jika dilihat dari intensitas kunjungan ke pasar Jatibarang pembeli pada PKL Minang rata-rata mereka berkunjung dua sampai lima kali perbulan bahkan lebih dari lima kali. Hal ini menunjukan intensitas mereka cukup tinggi, disamping itu juga rata-rata tempat tinggal mereka tidak jauh dari lokasi pasar demikian juga pembeli pada PKL penduduk asli. Jika dilihat dari jenis pekerjaan pembeli pada PKL Minang beragam mulai dari PNS, pelajar, swasta, pedagang, dan lain-lain. Namun yang lebih banyak ialah yang memiliki pekerjaan lain-lain dalam arti kata bukan salah satu dari jenis pekerjaan yang disebutkan. Sedangkan pembeli pada PKL penduduk asli juga memiliki pekerjaan yang beragam namun yang terbanyak ialah sebagai ibu rumah tangga. Deskriptif responden dapat terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Deskripsi karakteristik responden No
Karakteristik
PKL Minang Kategori
1
Jenis Kelamin
2
Umur
3
Status
4
Jumlah Anggota Keluarga
5
Rata-rata Kunjungan
6
Pendidikan
7
Pekerjaan
Laki-laki Perempuan Muda (17-26) Setengah Baya (27-36) Tua (37-43) Kawin Belum Kawin Janda (1-2) (3-5) (6-7) <1 1-2 2-3 4-5 >5 Tidak Sekolah SD SMP SMA D3 S1 PNS Swasta Dagang Buruh Petani Pelajar Ibu RT Lain – lain
PKL Penduduk Asli
Jumlah (orang) 17 13 15 7
Presentase (%) 56.66 43.33 50 23.3
8 14 14 2 3 20 7 0 6 8 8 8 2
26.7 46.6 46.6 6.6 10.0 66.7 23.3 0 20.0 26.7 26.7 26.7 6.7
4 8 16 0 0 1 2 8 1 0 6 3 9
13.3 26.7 53.3 0 0 3.3 6.7 26.7 3.7 0.0 20.0 10.0 30.0
kategori Laki-laki Perempuan Muda (17-26) Setengah Baya (27-36) Tua (37-43) Kawin Belum Kawin Janda (1-2) (3-5) (6-7) <1 1-2 2-3 4-5 >5 Tidak Sekolah SD SMP SMA D3 S1 PNS Swasta Dagang Buruh Petani Pelajar Ibu RT Lain - lain
Jumlah (orang) 12 18 11 13
Presentase (%) 40 60 36.7 43.3
6 18 9 3 14 12 4 1 8 6 4 11 3
20.0 60.0 30.0 10.0 46.7 40.0 13.3 3.3 26.7 20.0 12.3 36.7 10.0
4 7 18 0 2 1 4 6 0 2 6 9 2
13.3 23.3 46.7 0.0 6.7 3.3 13.3 20.0 0.0 6.7 20.0 30.0 6.7
Strategi Komunikasi PKL di Pasar Jatibarang
Deskripsi Strategi Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli Seperti yang diketahui bahwa dipasar Jatibarang terdapat banyak pedagang yang memiliki identitas etnik tertentu begitu juga dengan PKLnya. Masing-masing pedagang tentu punya cara tersendiri bagaimana supaya dagangan mereka laku terjual. Dalam teori penjualan kita kenal dengan strategi stategi
komunikasi penjualan. Untuk itu dibahas mengenai
komunikasi penjualan
yang dilakukan oleh PKL Minang dan
penduduk asli . Tabel 4 Rataan skor strategi komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli NO
Uraian
PKL Minang
PKL Penduduk Asli
1
2
Rataan Skor
Rataan Skor
Berteriak
2.6
2.0
Menyapa
3.8
3.0
Mempersilahkan
3.2
3.3
Tersenyum
2.8
2.9
Posisi Tubuh
3.2
3.1
Memajang
3.7
3.1
Bandrol Harga
2.4
2.3
Strategi Verbal:
Strategi Non Verbal
Dari Tabel 4 terlihat bahwa PKL Minang sering melakukan strategi komunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Begitu juga dengan PKL penduduk asli. Namun jika dilihat dari keseluruhan nilai rataan skor PKL Minang sedikit lebih sering melakukan strategi komunikasi verbal dan non verbal dibandingkan dengan PKL penduduk asli. Hal ini berarti PKL Minang lebih aktif dalam melakukan strategi komunikasi. Meskipun pada
mempersilahkan dan tersenyum PKL penduduk asli lebih sedikit sering dibandingkan dengan PKL Minang. Meskipun sama-sama sering melakukan strategi komunikasi verbal dan non verbal, tetapi dalam berteriak PKL Minang hampir sering berteriak dibandingkan dengan penduduk asli. Pada PKL Minang berteriak sudah menjadi kebiasaan atau budaya. Jika PKL penduduk asli ada yang berteriak itu akibat dari terpengaruh dengan cara-cara PKL MInang. karena budaya mereka dalam berdagang tidak berteriak. Berdasarkan pengamatan dilapangan PKL penduduk asli jarang yang berteriak, mereka hanya menunggu pembeli datang sambil menyapa calon pembeli yang sedang lewat didepan mereka. Dalam hal memajang PKL Minang selalu memajang barang dagangannya. Apapun yang mereka jual tak luput dari memajang bahkan sampai pakaian dalam sekalipun. Alat yang mereka pergunakan cukup sederhana dan mudah diperoleh seperti tali dan kayu. Dengan memajang mereka telah memanfaatkan setiap sisi ruangan agar dagangan mereka terlihat ramai dan menarik. Berbeda dengan penduduk asli yang kurang suka memajang. Biasanya mereka meletakan barang dagangan diatas “amben “ atau alas yang terbuat dari bambu yang dibuat kira-kira sepuluh cm dari tanah. Diatas amben inilah mereka menyusun barang dagangan. Menurut para pedagang penduduk asli, mereka yang tidak memajang dikarenakan sudah memiliki langganan. Pembeli sudah tahu apa jenis barang dagangan mereka. Selain itu, tempat berdagang mereka mengelompok sesama pedagang yang tidak memajang, sehingga kalau mereka memajang pedagang yang lain jadi terhalang. Disamping itu mereka merasa kesulitan untuk membawa barang dengan jumlah yang banyak dan membawa perlengkapan untuk memajang, karena umumnya mereka menggunakan angkutan umum dan berdomisili di luar wilayah Jatibarang seperti dari Tegal Gubug, Eretan, Kertasmaya dan daerah lain sekitar Jatibarang. Dalam hal memasang bandrol harga kedua PKL jarang yang menggunakan, karena pembeli di Pasar Jatibarang lebih suka
menawar dibandingkan dengan harga pas atau harga bandrol. Meskipun ada yang menggunakan diperuntukkan untuk menarik minat pembeli.
Analisis Perbedaan Strategi Komunikasi PKL Minang dengan PKL Penduduk Asli di Pasar Jatibarang Masing-masing pedagang memiliki cara tersendiri untuk menarik pembeli agar mau membeli. Begitu juga dengan pedagang kaki lima yang ada di pasar Jatibarang. Analisis ini mengkaji perbedaan strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL Minang dengan penduduk asli. Seperti yang terlihat pada Tabel 5 dibawah ini. Tabel 5 Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dengan Penduduk Asli No
Uraian
p
PKL Minang N
PKL Penduduk Asli
Mean
N
Mean
1
Verbal
.515
30
17.9333
30
16.9667
2
Non verbal
.000
30
24.1333
30
23.1667
3
Total komunikasi
.004
30
42.0667
30
40.1333
Seperti yang terlihat pada Tabel 5, secara verbal ternyata tidak terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan karena masing-masing PKL melakukan strategi komunikasi verbal yang sama yaitu berteriak, menyapa dan mempersilahkan. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi sebesar 0,515. Meskipun pada kenyataannya di lapangan masing-masing PKL memiliki ciri tersendiri dalam mengaplikasikan atau menerapkan strategi tersebut. Seperti strategi berteriak, dimana PKL Minang sangat gemar berteriak, mereka tidak sungkan-sungkan atau malu untuk meneriakkan barang dagangan kepada calon pembeli, sepertinya mereka tidak perduli dengan lingkungan sekitar. Yang penting suasana menjadi ramai dan orang-orang yang berlalu lalang minimal memperhatikan mereka. Biasanya hal yang diteriakkan berkisar sekitar harga, jenis barang dagangan, kualitas, model dan tempat membeli. Namun lain halnya dengan PKL penduduk asli mereka sebenarnya jarang berteriak, kalaupun ada itu bersifat sekedar
senda gurau, karena mendengar PKL Minang berteriak, tetapi pada kenyataannya mereka tidak terbiasa dengan berteriak. Begitu juga dengan menyapa dan mempersilahkan, meskipun mereka sama-sama menyapa pembeli yang sedang lewat tetapi pasti terdapat
cara
yang
berbeda-beda.
Seperti
PKL
Minang
sering
menggunakan sapaan dengan bahasa Indonesia, sedangkan PKL penduduk asli umumnya menggunakan bahasa daerah. Begitu juga saat mempersilahkan pembeli untuk sekedar melihat-lihat ataupun masuk ke tempat dagangan mereka, komunikasi yang mereka gunakan memiliki cara tersendiri. Namun pada dasarnya kedua PKL melakukan strategi verbal yang sama. Dilihat dari strategi komunikasi non verbal terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli, terbukti rata-rata (mean score) strategi non verbal PKL Minang (24.1) lebih tinggi dari PKL penduduk asli (23.1). Hal ini disebablan secara non verbal yaitu memajang, PKL Minang lebih suka memajang barang dagangan dibandingkan dengan penduduk asli. Karena memang kenyataannya pedagang Minang baik yang berdagang di toko, kios maupun di kaki lima tak pernah lepas dari memajang. Sampai-sampai ada celotehan kalau tidak memajang bukan pedagang Minang. Apapun jenis barang yang dijual mereka selalu memajangannya sampai ke pakaian dalam sekalipun, karena menurut mereka dengan memajang maka dagangan akan terlihat ramai dan bervariasi, diharapkan pembeli akan dapat melihat barang dagangan mereka bila dibandingkan dengan tidak dipajang. Alat-alat yang mereka gunakan juga sangat sederhana, seperti tali,
kayu dan hanger/
gantungan. Mereka memasangnya sedemikian rupa sehingga akan tampak menarik meskipun dari jauh. Hal yang berbeda juga pada pemasangan bandrol harga, PKL Minang lebih suka menggunakannya. Bandrol harga ini bukan dipasang dengan stiker seperti yang biasa kita dapati pada harga di supermarket, namun mereka membuatnya dengan tulisan besar diatas kertas atau papan kira-kira berukuran 20cmx15cm. Bandrol harga ini biasanya digantung ataupun diletakkan diatas dagangan
yang menginformasikasn harga dari barang dagangan. Namun bandrol harga ini tidak digunakan pada semua jenis komoditas barang dagangan, hanya barang tertentu yang memang harganya merupakan harga pas yang tidak dapat ditawar. Biasanya harganya tidak terlalu mahal dan barangnya sejenis. Secara keseluruhan terdapat perbedaan antara strategi komunikasi PKl Minang dan penduduk asli baik secara verbal maupun non verbal. Karena PKL Minang lebih banyak melakukan strategi komunikasi dibandingkan dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan karena banyak faktor diantaranya budaya merantau, motivasi berdagang, dan lain-lain. Orang Minangkabau memang terkenal dari sejak zaman dulu dengan budaya merantau. Sehingga secara mental mereka siap bertarung dengan lingkungan baru, tidak ada kata malu yang penting bagaimana bisa hidup. Berdagang adalah salah satu pekerjaan yang banyak mereka
jalani,
karena berdagang tidak dituntut tingkat pendidikan, pengalaman dan keahlian tertentu, yang penting ada kemauan untuk belajar dan berusaha. Kerasnya lingkungan menuntut mereka untuk selalu tegar, karena sumber penghasilan mereka tergantung dari usaha berdagang. Dari sinilah mereka dapat membiayai penghidupan keluarganya. Jadi dalam berdagang
mereka
benar-benar
melakukannya
secara
maksimal,
sehingga pembeli menjadi tertarik untuk membeli. Maka mereka tak segan-segan untuk berteriak agar pembeli manjadi tertarik, begitu juga dengan mereka menyapa pembeli dengan ramah, berdiri ketika ada calon pembeli yang mendekat ataupun membuat pajangan yang menarik. Itu semua mereka lakukan dalam rangka bertahan hidup. Karena kalau dagangan mereka tidak laku atau tidak terjual maka mereka tidak bisa makan. Maka dengan sendirinya akan membuat mereka
lebih kreatif
dalam berdagang. Apabila strategi komunikasi dibedakan satu persatu ternyata tidak terdapat perbedaan dalam hal berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum,
dan
posisi
tubuh
pada
kedua
PKL.
Kedua
PKL
melakukannya, tetapi dalam hal memajang dan memasang bandrol harga
terdapat perbedaan antara PKL Minang dengan penduduk asli. PKL Minang lebih suka memajang dibandingkan dengan penduduk asli, begitu juga dengan memasang bandrol harga. Seperti yang terlihat pada Tabel 6 Tabel 6
No
Perbedaan strategi komunikasi PKL Minang dengan Penduduk Asli Uraian
P
PKL Minang
PKL Penduduk Asli
N
Mean
N
Mean
1
Berteriak
.859
30
5.333
30
4.0667
2
Menyapa
.949
30
6.1667
30
6.1333
3
Mempersilahkan
.504
30
6.4333
30
6.7667
4
Tersenyum
.944
30
5.6000
30
5.8333
5
Posisi tubuh
.069
30
6.4000
30
6.2000
6
Memajang
.000
30
7.5000
30
6.3333
7
Bandrol harga
.011
30
4.8000
30
4.6333
Persepsi Pembeli Tentang Efektifitas Komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli Setiap pedagang tentu menginginkan barang dagangan laku terjual. Untuk itu berbagai cara mereka lakukan agar tujuan mereka tercapai. Mereka harus dapat menarik minat pengunjung untuk datang dan akhirnya ada keputusan untuk membeli. Dari cara-cara yang dilakukan oleh pedagang tersebut tentu akan menimbulkan persepsi atau penilaian tersendiri bagi pengunjung dalam hal ini pembeli. Penelitian ini akan melihat sejauh mana persepsi pembeli terhadap strategi yang dilakukan oleh pedagang. Seperti yang terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Persepsi pembeli tentang efektifitas komunikasi PKL Minang dan Penduduk Asli NO
Uraian
PKL Minang
PKL Penduduk Asli
Rataan Skor
Rataan Skor
1
Pemahaman
3.7
3.7
2
Daya Tarik
3.9
3.9
3
Dorongan Membeli
4.3
4.5
Pemahaman Pemahan disini berarti pembeli jadi tahu dan mengerti mengenai produk yang dijual oleh pedagang tersebut. Indikator yang digunakan pada tingkat pemahaman ini antara lain pengetahan tentang jenis barang yang dijual, tempat membeli barang, model yang sedang digemari, merek, harga, warna yang sedang trend, bahan dasar pakaian, ukuran dan pembeli dapat membedakan barang yang bagus dan jelek.
Dari hasil
perhitungan dapat terlihat bahwa PKL Minang dan penduduk asli samasama dapat menimbulkan pemahaman bagi pembeli. Berarti PKL Minang dan penduduk asli dapat memberikan informasi mengenai komoditas atau barang dagangan mereka kepada pembeli. Meskipun dilapangan umumnya pedagang tidak memberikan informasi terlalu banyak mengenai produk mereka. Apalagi pada saat-saat suasana banyak pembeli. Menurut penuturan pedagang mereka tidak punya banyak
waktu untuk menjelaskan kepada pembeli mengenai
produk mereka, dikarenakan jumlah pembeli yang banyak.
Mereka
umumnya menginformasikan mengenai harga barang dan ukuran barang. Kalau ada pertanyaan lebih lanjut dari pembeli baru mereka dapat menjelasakannya. Inilah letak kelemahan dari PKL Minang yang kurang memberikan informasi mengenai produk mereka. Padahal informasi mengenai produk seperti mengenai model, warna pakaian yang sedang trend saat ini apalagi dapat dijelaskan kualitas bahan, merek dan dimana
tempat membelinya akan memberikan dorongan tersendiri bagi calon pembeli untuk jadi membeli.
Daya Tarik Berdasarkan hasil analisis ternyata strategi yang diterapkan oleh PKL Minang dan penduduk asli sama-sama memberikan daya tarik kepada pembeli. Dari sembilan item pertanyaan mengapa pembeli tertarik untuk datang seperti mendengar teriakan pedagang, keramahan, penampilan, menggunakan alat bantu, dialek, bentuk pajangan, variasi dagangan terlihat lengkap dan banyak, tempat mudah dijangkau. Pembeli memiliki pendapat bahwa hal diatas yang membuat mereka tertarik untuk datang atau sekedar untuk melihat-lihat. Hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa pedagang dan pembeli memang pedagang Minang menonjol dalam hal memajang barang dagangan, sehingga tempat atau lapak mereka berdagang terlihat ramai meskipun barang yang dijual tidak banyak. Mereka sangat gemar memajang barang dagangan, apa pun jenis barang yang dijual mereka tak lepas dari memajang. Disamping itu mereka selalu aktif untuk menyapa pembeli agar pembeli tertarik untuk mendekat. Terkadang bujuk rayupun mereka lontarkan dengan dialek Minang. Intinya mereka tidak sungkan atau malu untuk berkomunikasi dengan calon pembeli. Ada hal yang menarik yang di temukan di lapangan, dimana pedagang selalu tampak sibuk membereskan barang, dengan kata lain mereka tidak menunggu membereskan setelah pembeli pergi. Namun ada dan tidak ada pembeli selalu barang dagangan tersebut mereka rapihkan, membersihkan dari debu dan mengganti posisi pajangan. Hal ini mereka lakukan seolah-olah barang dagangan mereka tidak pernah sepi pengunjung.
Dorongan Pembeli Sama dengan halnya daya tarik, pembeli memiliki dorongan membeli yang tinggi kepada PKL
Minang dan penduduk asli. Hal hal
yang mendorong calon pembeli untuk membeli diantaranya bahwa barang tersebut berguna, ada jaminan/garansi barang dapat dikemballikan atau ditukar apabila rusak atau tidak sesuai dengan ukuranya. Dengan adanya hal hal tersebut membuat pembeli terdorong untuk membeli. Namun ada hal juga yang menarik peneliti temukan dilapangan, umumnya pembelli sudah memiliki langganan tetap dengan pedagang, karena memang rata rata pembeli di pasar Jatibarang adalah “Bakulan” yaitu untuk dijual kembali. Ketika peneliti menanyakan kepada pembeli yang menjadi pelangan tetap bahwa mereka berlangganan dan tetap membeli kepada pedangang tersebut karena sudah percaya, barangnya terjamin
dan
harganya bisa dikurangi serta didukung pedagangnya ramah dan baik. Apabila dilihat dari skor rata-rata, dapat terlihat bahwa PKL penduduk asli sedikit lebih mampu dibandingkan dengan PKL Minang. Berdasarkan pengamatan
di lapangan hal lain
yang membuat calon
pembeli menjadi terdorong untuk membeli kepada penduduk asli adalah adanya kesamaan bahasa dari pedagang dengan pembeli sehingga pedagang dengan mudah untuk meyakinkan calon pembeli.
Hubungan Antara Strategi Komunikasi Dengan Pemahaman, Daya Tarik dan Dorongan Membeli Dari masing-masing strategi yang dilakukan oleh PKL Minang dan penduduk Asli tentu akan berdampak atau menimbulkan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli bagi pembeli. Karena apapun yang dilakukan oleh pedagang tentu memberikan dampak tertentu bagi pengunjung atau pembeli.s eperti yang terlihat pada Tabel 8 dibawah ini.
Tabel 8
Hubungan antara strategi komunikasi verbal dan non verbal PKL Minang dan Penduduk Asli dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli
Strategi Komunikasi
Pemaham an
PKL Minang Daya tarik
Dorongan Pembeli
PKL Penduduk asli Pemahaman Daya tarik Dorongan Membeli
Verbal: Berteriak Menyapa Mempersilahkan
0.096 0,333 0,421*
0,368* 0,559** 0,374*
0,007 0,394* 0,234
0,620** 0,516** 0,428*
0,210 0,215 0,282
0,200 0,172 0,115
Non verbal: Tersenyum Posisi tubuh Memajang Bandrol harga
0,328 0,328 0,237 0,157
0,523** -0,148 -0,035 0,213
0,195 0,088 0,043 0,001
0,348 0,308 0,254 0,571**
0,483** 0,651** 0,288 0,302
0,196 0,231 0,307 0,240
Keterangan =
**
taraf α = 0,01 * taraf α = 0,05
Strategi komunikasii PKL Minang secara verbal
yaitu berteriak
berhubungan dengan daya tarik. Artinya ketika seorang pedagang sedang berteriak akan membuat orang atau calon pembeli tertarik untuk mendekat. Berdasarkan pengamatan dilapangan memang PKL Minang sangat aktif menarik perhatian pembeli, mereka tak segan-segan untuk berteriak keras-keras untuk mencari perhatian para pembeli. Hal yang diteriakkan menyangkut komoditas atau jenis barang dagangan, harga, ukuran,
dan
kualitas.
Dalam
berteriak
biasanya
mereka
tidak
menggunakan alat bantu, tetapi hanya dengan mengeraskan suara dari biasanya. Berbeda dengan PKL penduduk asli, ternyata berteriak dapat menyebabkan pemahaman bagi pembeli. Meskipun sama-sama berteriak, PKL penduduk asli
dalam berteriak menggunakan bahasa daerah
setempat sehingga akan lebih mudah
dimengerti oleh calon pembeli.
Berbeda dengan PKL Minang umumnya mereka menggunakan bahasa nasional dengan dialek Minang. Meskipun ada yang menggunakan bahasa setempat namun kurang sesuai dialek dan pengucapannya. Jadi hal yang diteriakkan PKL Minang menarik bagi calon pembeli. Namun teriakan penduduk asli mudah dipahami oleh calon pembeli. Strategi komunikasi menyapa pembeli yang dilakukan oleh PKL Minang berhubungan dengan daya tarik dan dorongan membeli. Ketika seorang pedagang Minang menyapa pembeli, pedagang tidak hanya
sekedar menyapa lalu terhenti komunikasi, namun komunikasi akan berlanjut dengan terus menggali apa sebenarnya yang diinginkan calon pembeli. Sikap aktif dan didukung dengan sikap yang ramah tersebutlah membuat pembeli tertarik untuk datang dan akhirnya kalau memang barang tersebut berguna dan dibutuhkan maka dengan sendirinya akan mendorong calon pembeli untuk jadi membeli. Mereka juga tak segan untuk menyapa pembeli dengan panggilan daerah seperti “yuk”
untuk
wanita dewasa ”nok” bagi yang masih remaja. Bagi yang sudah lama tinggal di Jatibarang umumnya mereka sudah menguasi bahasa setempat, namun bagi yang baru datang mereka mau tidak mau harus mau belajar karena pada umumnya pembeli menggunakan bahasa daerah setempat. Berbeda dengan PKL penduduk asli, dimana ketika seorang PKL menyapa pembeli justru membuat pembeli menjadi paham mengenai komoditas yang dijual. Karena pada saat itulah kesempatan bagi mereka untuk lebih banyak menginformasikan barang dagangannya. Apalagi antara mereka dengan pembeli memiliki kesamaan bahasa, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk berbicara dari hati kehati dan kemungkinan
tidak
akan
terjadi
kesalahan
dalam
komunikasi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan memang terjadi kelancaran komunikasi antara PKL penduduk asli dengan pembeli, mereka akan lebih mudah dalam menyakinkan pembeli karena adanya kesamaan bahasa. Strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL Minang dalam mempersilahkan pembeli berhubungan dengan pemahaman dan daya tarik, sedangkan pada PKL penduduk asli hanya berhubungan dengan pemahaman. Artinya mempersilahkan yang dilakukan oleh PKL Minang selain pembeli paham mengenai komoditas yang dijual juga merupakan salah satu daya tarik bagi pembeli. Apalagi disertai dengan sikap yang ramah dan terbuka kepada calon pembeli. Pertanyaan yang diajukan kepada calon pembeli saat menyapa seputar kebutuhan calon pembeli, dan berlanjut
membujuk calon pembeli untuk melihat dan berhenti di
tempat dagangan mereka.
Secara non verbal, yaitu tersenyum yang dilakukan oleh PKL Minang dan penduduk asli sama-sama menimbulkan daya tarik. Hal ini berarti ketika seorang pedagang tersenyum ramah kepada pembeli, pembeli akan tertarik untuk datang. Pada posisi tubuh yang dilakukan oleh PKL penduduk asli menimbulkan daya tarik, artinya ketika seorang pembeli mendekat, pedagang langsung berdiri melayani pembeli hal ini akan menjadi salah satu daya bagi pembeli untuk mau mendekat. Meskipun kenyataannya PKL penduduk asli susah melakukannya, karena mereka umumnya menggelar lapak diatas amben. Namun mereka tetap berusaha berdiri ketika melihat pembeli datang. Begitu juga dengan memasang bandrol harga pada PKL penduduk asli dapat menimbulkan pemahaman bagi pembeli. Karena bandrol harga tersebut dipasang secara tepat dan mudah terlihat. Arah hubungan strategi komunikasi dengan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli yang dilakukan oleh masing-masing PKL memiliki kecenderungan yang positif. Artinya apabila salah satu ditingkatkan akan menyebabkan yang lain juga meningkat. Seperti apabila strategi komunikasi secara verbal ditingkatkan akan meningkat juga dalam hal pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli.
Strategi yang Efektif bagi PKL di Pasar Jatibarang Pembahasan ini akan melihat atau merumuskan strategi apa yang efektif atau cocok diterapkan oleh PKL baik Minang maupun penduduk asli di Pasar Jatibarang. Berdasarkan pembahasan sebelumnya dan hasil pengamatan di lapangan memang banyak cara atau strategi yang dapat digunakan oleh pedagang khususnya PKL di sebuah pasar. Dalam penerapannya tidak terlepas dari pengetahuan akan medan tempur terlebih dahulu, dalam arti kata siapa yang akan kita hadapi makanya pengenalan atau pengetahuan akan sasaran itu penting. Sebelum merumuskan strategi yang efektif bagi PKL di Pasar Jatibarang terlebih dahulu digambarkan pola perdagangan yang terjadi di
pasar Jatibarang. Pasar Jatibarang hanya ramai pada hari pasar yaitu Rabu dan Minggu, dimana hanya pada hari pasar banyak terdapat pembeli dan pedagang yang menjual pakaian, sedangkan pada hari-hari biasa hanya ramai untuk pasar sayur. Disamping itu pembeli yang berbelanja umumnya membeli untuk dijual kembali yang dikenal dengan bakulan, kalaupun ada untuk dipakai sendiri itu jumlahnya sedikit dibandingkan dengan bakulan. Pasar Jatibarang sangat ramai dikunjungi oleh pembeli pada saat-saat tertentu seperti menjelang lebaran, suasana berdesak-desakan
kerap
sekali
menghiasi
pemandangan
kita.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pencuri. Untuk itu pedagang yang memiliki banyak barang dagangan sengaja memiliki pelayan atau ”anak buah” lebih dari satu. Hal lain juga terlihat dari cara pedagang meletakkan barang dagangannya. Pedagang penduduk asli lebih suka atau sudah menjadi kebiasaan untuk meletakkan barang dagangan di atas amben atau dengan istilah gelar lapak. Mereka menggelar barang dagangannya Untuk melihat strategi apa yang efektif bagi PKL tentu tidak hanya mempertimbangkan pola perdagangan yang terjadi di pasar Jatibarang. Ada aspek ilmiah yang dapat mendukung analisa tersebut. Seperti analisa tentang hubungan strategi komunikasi dengan efektifitas komunikasi dan hasil analisa pendapat responden mengenai perlu tidaknya masingmasing strategi tersebut digunakan. Dari pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan tentunya dapat diambil benang merah strategi apa yang cocok diterapkan bagi PKL di pasar tersebut. Melihat kondisi diatas dan pendapat dari responden, maka untuk melihat
strategi
yang
efektif
untuk PKL
tergantung
dari
tingkat
efektifitasnya. Strategi komunikasi yang efektif untuk menimbulkan pemahaman bagi pembeli adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan dan memasang bandrol harga. Pemahaman disini berarti bahwa pembeli menjadi tahu dan paham mengenai komoditas atau produk yang dijual oleh PKL. Analisis ini juga didukung oleh keinginan responden yang menjawab perlu dan sangat perlu PKL untuk menyapa, mempersilahkan pembeli dan memasang bandrol harga. Hal ini menandakan bahwa
pembeli ingin dihargai, bayangkan saja ketika kita lewat ataupun sedang melihat-lihat di depan dagangan, sipenjual acuh tak acuh. Tentu calon pembeli akan mengurungi niatnya untuk mendekat. Namun perlu diingat menyapa atau mempersilahkan pembeli jangan terlalu berlebihan seperti menarik ataupun memakasa mereka untuk berhenti. Hal ini akan membuat calon pembeli malah menghindar. Kedua strategi ini tidak menuntut usaha yang keras, yang dibutuhkan hanya ketulusan hati dan kemauan untuk menghargai orang lain. Begitu juga dengan memasang bandrol harga, tidak menuntut usaha yang keras. Pedagang cukup menuliskan diatas kertas atau papan dengan tulisan yang agak besar agar terlihat, kemudian mengagantungkannya atau meletakkan diatas dagangan. Yang perlu diingat adalah bandrol harga hanya efektif untuk produk yang tidak beragam atau harganya tidak banyak bervariasi. Strategi komunikasi yang efektif untuk
menimbulkan daya tarik
adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum dan posisi tubuh. Keempat hal ini juga menurut semua responden perlu dan sangat perlu PKL melakukannya. Sesuai juga dengan naluri manusia bahwa siapa yang tidak suka melihat orang tersenyum tulus dibandingkan dengan cemberut atau marah-marah. Apalagi ada pepatah pembeli itu raja, maka sudah sewajarnya penjual berlaku ramah kepada pembeli seperti tersenyum kepada mereka meskipun membeli dan tidak membeli. Tersenyum juga tidak memerlukan usaha yang keras, namun perlu yang diingat adalah ketika seorang pedagang tersenyum, maka jangan secara berlebihan yang nantinya akan ditafsirkan berbeda-beda oleh pembeli. Begitu juga dengan posisi tubuh, ketika melihat pembeli datang sebaiknya pedagang berdiri hal ini mendakan bahwa pedagang tersebut respek dan menghargai pembeli, dibanding dengan hanya duduk saja. Namun bagi pedagang yang menggelar lapak diatas tanah kondisinya bisa disesuaikan mereka tidak harus berdiri, namun dapat menunjukkan dengan ekspresi dan sikap tubuh yang ramah sehingga pembeli merasa dihargai. Jika keempat strategi komunikasi ini dilakukan dengan baik maka dengan sendirinya akan menarik calon pembeli untuk mendekat.
Berdasarkan hasil analisis hubungan strategi komunikasi dengan persepsi pembeli, ternyata strategi komunikasi yang dapat menimbulkan dorongan membeli hanya menyapa. Memang terlihat bahwa menyapa tidak hanya menyebabkan dorongan membeli, namun juga menyebabkan pemahaman dan daya tarik. Hal ini berarti bahwa pembeli di pasar Jatibarang lebih menyukai dan simpati atau respek kepada pedagang yang suka menyapa pembeli. Menyapa juga tidak menuntut usaha yang keras. Menyapa juga tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata seperti mau cari apa, namun lebih jauh dari itu, sambil menyapa juga dapat diinformasikan mengenai produk apa saja yang dijual, harga, kualitas, ukuran dan model. sehingga menyapa akan menimbulkan percakapan yang lebih banyak.
Semakin pedagang banyak memberikan informasi
mengenai produk dan mengetahui kebutuhan serta keinginan pembeli apalagi ditunjang dengan sikap yang ramah, mau tidak mau calon pembeli akan dengan sendirinya tertarik untuk mendekat dan akhirnya terjadi transaksi. Ternyata memajang tidak efektif menimbulkan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli. Hal ini disebabkan pola perdagangan di pasar Jatibarang yang sedikit berbeda dengan di daerah lain, dimana pembeli umumnya adalah untuk dijual kembali. Sehingga pembeli sudah memiliki langganan masing-masing. Untuk mendapatkan langganan, pembeli tidak mengutamakan bentuk pajangan. Hal yang terpenting adalah bagaimana si penjual dapat meyakinkan calon pembeli untuk mau membeli, diantaranya adalah dengan menginformasikan produk yang mereka jual, bisa dengan berteriak, atau memasang bandrol harga ataupun menyentuh calon pembeli secara personal seperti dengan menyapa, mempersilhkan dan sikap yang ramah. Hal-hal seperti inilah yang dibutuhkan di pasar Jatibarang, mengingat pola perdagangannya yang berbeda. Meskipun memajang tidak efektif, namun berdasarkan pendapat responden, bahwa memajang perlu dilakukan oleh pedagang kaki lima. Jadi memajang sah-sah saja dilakukan oleh pedagang, dan
pedagang tidak harus merubah gaya mereka masing-masing, sepanjang tidak merugikan mereka (Tabel 9). Namun yang perlu diperhatikan oleh pedagang adalah ketika mereka melakukan strategi komunikasi, maka jangan terlalu berlebihan. Jangan pembeli seolah-olah merasa terpaksa dan merasa tidak enak kepada
pedagang.
Pedagang
harus
dapat
menciptakan
nuansa
kebebasan kepada pembeli untuk memilih dan mengambil keputusan. Namun juga pembeli tidak dilepas begitu saja. Mereka tetap diperhatikan dan diberi informasi. Karena kalau pembeli sudah merasa tidak nyaman, sudah dapat dipastikan mereka akan pergi meninggalkan pedagang tersebut. Untuk itu pedagang harus jeli membaca situasi dan karakter orang. Kuncinya adalah tampilkan barang dagangan sebaik mungkin, jaga kualitas dan kepercayaan serta pelayanan yang ramah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi komunikasi yang efektif bagi PKL di pasar Jatibarang adalah berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum, posisi tubuh dan memasang bandrol harga. Keseluruhan strategi komunikasi ini harus dilakukan optimal dan tidak berlebihan dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi pembeli.
Tabel 9 Tanggapan Pembeli mengenai strategi komunikasi PKL di Pasar Jatibarang no
Strategi
Kategori
Komunikasi
PKL Minang Jumlah
Persentase (%)
(orang) 1
Berteriak
PKL Penduduk Asli Jumlah
Persentase (%)
(orang)
Sangat perlu
1
3.3
5
16.6
Perlu
19
63..3
13
43.3
Tidak perlu
10
33.3
12
40
Sangat tidak
0
0
0
0
Sangat perlu
8
26.6
7
13.3
Perlu
19
63.3
22
73.3
Tidak perlu
2
6.6
1
3.3
Sangat tidak
1
3.3
0
0
10
33.3
16
33.3 46.6
perlu 2
Menyapa
perlu 3
Mempersilahkan
Sangat perlu Perlu
19
63.3
14
Tidak perlu
1
3.3
0
0
Sangat tidak
0
0
0
0
Sangat perlu
5
16.6
12
40
Perlu
22
73.3
16
53.3
perlu 4
Tersenyum
Tidak perlu
3
10
2
3.3
Sangat tidak
0
0
0
0
Sangat perlu
9
30
14
46.6
Perlu
21
70
16
53.3
Tidak perlu
0
0
0
0
Sangat tidak
0
0
0
0
15
50
18
60
perlu 5
Posisi tubuh
perlu 6
Memajang
Sangat perlu Perlu
15
50
12
40
Tidak perlu
0
0
0
0
Sangat tidak
0
0
0
0
Sangat perlu
1
3.3
4
13.3
Perlu
17
60
16
53.3
Tidak perlu
12
36.6
10
33.3
Sangat tidak
0
0
0
0
perlu 7
Bandrol harga
perlu
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil pembahasan maka dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Tidak terdapat perbedaan strategi komunikasi secara verbal antara PKL Minang dengan PKL penduduk asli. Namun terdapat perbedaan yang nyata secara non verbal. Jika dilihat dari masingmasing strategi komunikasi yang dilakukan PKL ternyata dalam hal berteriak, menyapa, mempersilahkan, tersenyum, dan posisi tubuh tidak berbeda. Sedangkan dalam hal memajang dan memasang bandrol harga terdapat perbedaan antara
PKL Minang dan
penduduk asli. Namun dilihat dari keseluruhan PKL Minang lebih banyak melakukan strategi komunikasi baik secara verbal maupun non verbal dibandingkan dengan PKL penduduk asli. 2. Strategi komunikasi secara verbal yang dilakukan PKL Minang yaitu berteriak berhubungan dengan daya tarik, menyapa berhubungan dengan
daya
tarik
dan
dorongan
membeli,
sedangkan
mempersilahkan berhubungan dengan pemahaman dan daya tarik. Secara non verbal hanya tersenyum yang berhubungan yaitu dengan daya tarik. Strategi komunikasi yang dilakukan oleh PKL penduduk asli yaitu berteriak, menyapa dan mempersilahkan berhubungan dengan pemahaman. Secara non verbal yaitu tersenyum dan posisi tubuh sedangkan
bandrol
harga
berhubungan dengan daya tarik, hanya
berhubungan
dengan
pemahaman. 3. Strategi komunikasi yang efektif untuk menimbulkan pemahaman bagi pembeli yaitu berteriak, menyapa, mempersilahkan dan bandrol harga. Untuk menimbulkan daya tarik adalah berteriak, menyapa,
mempersilahkan,
tersenyum
dan
posisi
tubuh.
Sedangkan untuk menimbulkan dorongan membeli adalah berteriak dan menyapa.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat diberikan beberapa saran bagi berbagai pihak yang menaruh perhatian dan kepedulian kepada pedagang kaki lima umumnya dan khususnya kepada pedagang kaki lima perantau Minang dan penduduk asli yang berusaha di Pasar Jatibarang. Berikut saran-saran yang dapat peneliti kemukakan antara lain: 1. Strategi komunikasi yang dilakukan oleh masing-masing PKL sebaiknya lebih ditingkatkan baik secara verbal maupun non verbal, sehingga kedua aspek tersebut dapat menimbulkan pemahaman, daya tarik dan dorongan membeli bagi pembeli. 2. Sebaiknya masing-masing PKL mau saling belajar dan mencontoh hal-hal yang baik dilakukan oleh PKL, sehingga masing-masing PKL dapat maju bersama. 3. Sebaiknya ada perhatian terhadap dari berbagai pihak terhadap PKL
khususnya
dari
pengelola
pasar
dan
umumnya
dari
pemerintah daerah. 4. Masih diperlukan penelitian yang sejenis mengenai PKL yang lebih komprehensif dan luas cakupannya. Agar dapat dibuatkan satu bentuk formula strategi komunikasi yang efektif bagi PKL
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arifin A. 2005. Seni Menjual. Yogyakarta : ANDI Arikunto. 1998. Manajemen Penelitian. Edisi ke 4. Jakarta: Rineka Cipta Bart F. 1969. Kelompok Etnik dan Batasannya Jakarta: UI-Press Devito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books Dirgantoro C. 2001. Manajemen Stratejik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Effendy. 2000. llmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Rosdakarya Hafied C. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Hidayah, Joko MJ. 1997. Corak dan Pola Hubungan Sosial antar Golongan dan Kelompok Etnik di Dearah Perkotaan. Jakarta: CV. Putra Sejati Raya Kotler P. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Prenhallindo Mulyana D. 1996. Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana D. 2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya
Bandung: PT.
Naim M. 1979. Merantau: Pola Migrasi Etnik Minangkabau.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Rahayu S. 2005. SPSS. Versi 12.00: Penelitian Riset Pemasaran. Yogyakarta: ANDI Singarimbun, Effendi.1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S Sunarto K. 1993. Pengantar Sosiologi. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sunarwinadi I. 2000. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia Tubbs and Moss. 2001. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Yusuf Y. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tesis dan Laporan Penelitian Hidayat.1981. Pola pembinaan Usaha Pedagang Kaki Lima di Wilayah DKI Jakarta. [Laporan penelitian]. Jakarta: Kerjasama PPES UNPAD dan BKPMD DKI Yulia E.1986. Kehidupan Sosial Pedagang Kaki Lima Orang Minangkabau di Pasar Tanah Abang. [Tesis]. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jurnal Budiantoro. 2002. Ekonomi Rakyat. Jurnal Ekonomi Rakyat Th. I - No. 1 Maret 2002. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_6.htm14 Oktober 2005 [16 Agustus 2006] Riani R. 2003. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Maraknya PKL. http/www.pu.go.id/bapekin/buletin jurnal/bulletin 11/bulletin 115.html-43k- cached. [6 Agustus 2007] Suriatmi. 2007. Pedagang Kaki Lima sebagai Dampak Sosial dari Peningkatan Pengangguran di Kota Bogor. Jurnal Riset dan Manajemen. http//www. Unila.ac.id/fisip-sosio/referenc.html-33k. [6 Agustus 2007] Nusantara. 2002. Keberadaan Hypermarket. Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 1-No 2 http://www. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_8.htm. 10 November 2005 [2 November 2006] Sidharta, Amir. 2000. "Katanye" Kota Kaki Lima. Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya. http//www.iseisby.or.id/?attali. [6 Agustus 2007]