Im plementasi Peraturan Daerah tentang Penataan dan Pem berdayaan Pedagang Kaki Lim a
(Studi Kasus: Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasar W age, Purwokerto)
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai wilayah perkotaan, tentunya tidak terlepas d ari perkembangan dan perubahan yang terjadi di tiap tahunnya. Kota sebagai lingkungan kehidupan perkotaan dapat tum buh dan berkembang melalui salah satunya dengan proses perubahan yang dibentuk, diarahkan, dikendalikan melalui proses perencanaan kota (dalam Ilhami, 1990: 5). Pola kehidupan manusia berjalan secara dinamis dan berdampak pada tata kelola wilayah perkotaan. Bagi negara-negara berkembang peranan kota sebagai pusat pengembangan justru relatif lebih menonjol (dalam Ryadi, 1981: 93). Tidak dapat dipungkiri, perubahan tata kelola wilayah perkotaan telah memunculkan tempat-tempat baru dari tempat-tempat lama yang sudah digantikan atau beralih fungsi. Fungsi dan peranan kota hakekatnya ditentukan oleh keadaan geografis dan potensi daerah sekelilingnya (dalam Ilhami, 1990:13). Dengan adanya pergeseran fungsi tempat dan perubahan tata kelola wilayah perkotaan, dapat dilihat sejauh mana perjalanan wilayah perkotaan berkembang dari waktu ke waktu.
Dalam pergerakkan perekonomian kota, sektor informal mempunyai pengaruh dan mem ainkan peranan yang cukup kuat. Sektor informal biasanya
digunakan untuk
menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Tumbuhnya sektor formal dan informal dalam kegiatan bidang ekonomi merupakan konsekuensi logis dari proses pembangunan. Sektor informal dikaitkan dengan keadaan ketenagakerjaan di wilayah
5
perkotaan. Di Indonesia biasanya terjadi gejala yaitu tingkat pengangguran terbuka yang relatif tinggi dan membengkaknya sektor informal.
Sebagian besar penduduk miskin perkotaan bekerja di se ktor informal, yang pertumbuhannya melebihi sektor formal. Pertumbuhan sektor informal juga disebabkan ketidakmampuan sektor formal menyerap lebih banyak tenaga kerja. Para pekerja di se ktor informal memiliki ciri yang berbeda dengan pengangguran, banyak diantaranya berasal dari desa, berpendidikan rendah dan cukup banyak diantara mereka yang berusia relatif tua serta sudah berkeluarga. Dari sini munculah sektor informal yang lebih berfikir tentang peluang kerja untuk mempertahankan hidup dengan mencari pendapatan daripada berfikir soal keuntungan (M anning dan Effendi, 1996 : 90).
Salah satu produk dari sektor informal adalah pedagang kaki lima. M enurut Evens & Korff (dalam M ustafa, 2008: 42) pedagang kaki lima adalah bagian dan sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. Keberadaan pedagang kaki lima sering dianggap menimbulkan berbagai persoalan terutama terkait dengan masalah ketertiban, keamanan, serta kebersihan . Dalam melakukan aktivitasnya, pedagang kaki lima banyak memanfaatkan trotoar, taman kota, dan ruang publik lainnya yang mudah untuk dijangkau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ruang terbuka publik yang semestinya dimanfaatkan untuk aktivitas sosial telah berubah menjadi kawasan komersil. Rata-rata pedagang kaki lima menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan.
Adanya pedagang kaki lima tentunya terkait dengan k ebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Dalam kasus ini, penulis menekankan pada tahapan implementasi kebijakan. Pengertian mengenai tahapan implementasi kebijakan tidaklah sedikit, namun penulis mengacu pada tulisan Purw o Santoso, yaitu proses administratif untuk mengeksekusi
6
keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian instr umen kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negoisasi antara implementator dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan. M enurut Grindle (dalam Subarsono, 2005: 93) keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan ( content of policy) dan lingkungan im plementasi (context of im plementation). Isi kebijakan meliputi, pertama kepentingan kelompok sasaran, kedua tipe manfaat, ketiga derajad perubahan yang diinginkan, keempat letak pengambilan keputusan, kelima pelaksanaan program, dan keenam sumber daya yang dilibatkan. Isi kebijakan mempengaruhi proses im plementasi karena dalam lingkungan implementasi menentukan apa yang harus di-deliver melalui sebuah kebijakan, perubahan yang muncul sebagai akibat dari kebijakan yang diimplementasikan, dimana kebijakan tersebut diimplementasikan, dan siapa saja yang mengimplementasikan kebijakan tersebut (dalam Santoso, 2010: 127).
Di sisi
lain,
ada
lingkungan implementasi yang mempengaruhi
kekuasaan,
kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, lalu karakteristik lembaga dan penguasa, dan yang terakhir kepatuhan dan daya tanggap. Variabel ini cenderung diabaikan ketika orang terlalu naif dengan pendekatan teknokratis-adm inistratif. Tahapan implementasi kebijakan selalu terjadi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi tertentu. Dalam hal ini, implementator harus berinteraksi dengan aktor kebijakan yang lainnya. Interaksi ini, dengan derajad yang bervariasi, niscaya akan melibatkan proses tawar -menawar, akomodasi, dan konflik (dalam Santoso, 2010: 128).
M engulas mengenai implementasi kebijakan, tentunya berhubungan dengan peraturan yang sudah berlaku. Pemerintah Daerah Banyumas mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Kriteria penataan pedagang kaki lima yang diatur dalam Peraturan Daerah tersebut meliputi lokasi, waktu, 7
ukuran, dan bentuk sarana. Kriteria di atas terdapat di dalam P eraturan Daerah bab IV pasal 6. Di dalam aktifitas perdagangan sektor informal di Kabupaten Banyumas terdapat di berbagai tempat, termasuk alun-alun, trotoar, di sekitar pasar atau bahkan memanfaatkan ruang milik publik lainnya, sehingga perlu dilakukan pe ngaturan, penataan, pemberdayaan, pembinaan dan pengawasan. Diharapkan sektor informal ini dapat mengembangkan usahanya menjadi kegiatan perekonomian sektor formal yang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Para pedagang kaki lima harus mempunyai surat penempatan pedagang kaki lima agar dagangan yang dijual bersifat legal. Surat penempatan pedagang kaki lima diterbitkan oleh Kepala Dinas atas nama Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Di dalam pasal IV pasal 10 sudah dicantumkan tata cara untuk mendapatkan surat penempatan pedagang kaki lima.
Sebagai salah satu contoh kasu s, pedagang kaki lima di kawasan Pasar Wage menjadi sorotan penting bagi masyarakat Purw okerto pada tahun 2009. Pasar Wage merupakan pasar tradisional terbesar se-Banyumas yang mempu nyai dua tingkat dengan lahan yang luas. Di kawasan Pasar Wage terdapat banyak rumah toko (ruko) yang dimana di depannya ada pedagang kaki lima yang berjualan, khususnya berjualan baj u dan sepatu. Pada tahun 2009, Pemerintah Daerah berencana akan merelokasi pedagang kaki lima tersebut untuk dipindahkan ke dalam Pasar Wage yang berada di lantai 2. M enurut Kepala Disperindag kop Banyumas Didi Rudwiyanto, penawaran atas relokasi ini ditolak oleh para pedagang kaki lima, karena mereka tetap ingin berjualan di pinggir jalan (dalam M DN, 2009). Pada tanggal 18 Oktober 2009, pedagang kaki lima melakukan demonstrasi menentang relokasi. M ereka membawa spanduk dan poster kecaman yang ditujukan untuk Bupati Banyumas. Para pedagang kaki lima menyatakan akan nekat bertahan berjualan di trotoar selama Pemerintah Daerah tidak memberikan solusi relokasi. Pedagang kaki lima menilai tempat baru yang ditawarkan tersebut tidak mendatangkan keuntungan.
8
Alasan penulis memilih judul ini karena ingin menyoroti sejauh mana peran dan kinerja dari Pemerintah Daerah Banyumas mengimplementasikan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2011 yang sudah dibuat. Dalam hal ini, Pemerintah D aerah yang mempunyai kewenangan adalah Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi (Disperindag kop) dan dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). M engimplementasikan Peraturan Daerah dilakukan oleh D isperindagkop. Di satu sisi, Satpol PP membantu dalam menegakkan aturan aturan yang ada di dalam Peraturan D aerah tersebut. Selain itu, penulis akan melihat bagaimana berjalannya implementasi dan konteks serta konten dari Peraturan Daerah tersebut. Dengan dikeluarkannya Peraturan D aerah tentunya menjadi acuan kebijakan dan bertujuan untuk menjadi landasan hukum yang harus ditegakkan. Sampai saat ini, para pedagang kaki lima tetap berjualan di pinggir jalan dan menutupi pertokoan. Para pedagang kaki lima menggunakan trotoar untuk berjualan, akibatnya hak pejalan kaki mulai terampas.
Kebingungan penulis semakin besar ketika tenda pedagang kaki lima tersebut sudah berlabel “PPKL Soedirman”. PPKL merupakan kepanjangan dari Paguyuban Pedagang Kaki Lima. Pemberian label “PPKL Soedirman” mengisyaratkan bahwa interaksi antara Pemerintah Daerah dengan para PKL sudah mengalami penurunan konfliktual. K ondisi di lapangan juga menandakan adanya hubungan yang adem ayem, karena akhir-akhir ini jarang terdengar lagi berita mengenai aksi demonstrasi.
Dengan terjadinya aksi demontrasi pada lima tahun yang lalu, dapat dilihat berbagai kepentingan, terlebih lagi para pedagang kaki lima sudah mempunyai sebuah paguyuban yang bernama Hidup M ulia. Akan tetapi, di bagian pembahasan nanti penulis akan memaparkan paguyuban tersebut secara ringkas, hanya sebagai pemanis tulisan. Dengan demikian, pada akhirnya penulis akan mengetahui bagaimana implementasi kebijakan itu berjalan dan hambatan yang terjadi pada saat tahapan implementasi kebijakan berlangsung. Di sisi lain, penulis juga meninjau konteks dan konten dari Peraturan Daerah itu sendiri. 9
B. Rumusan Masalah Di dalam penelitian ini terdapat rumusan masalah, yaitu :
Bagaimana implementasi kebijakan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima di kawasan Pasar Wage yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Banyum as di tahun 2011 ?
C. Tujuan Penelitian Setelah mendapatkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan : Untuk
mengetahui
sejauh
mana
Pemerintah
Daerah
dapat
mengimplementasikan
kebijakannya terkait penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011. Untuk mengetahui konteks dan konten yang mendorong serta menghambat implementasi kebijakan.
10
D. Kerangka Teori D.1Implementasi Kebijakan M emaparkan mengenai implementasi kebijakan, penulis mengacu pada tulisan M erilee S. Grindle. Grindle berpendapat bahwa dalam tahapan implementasi kebijakan seharusnya mempertimbangkan berbagai dimensi yang ada. Dalam pengertian yang luas, implementasi kebijakan merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama -sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diim pikan (dalam Winarno, 2002: 102). M enurut Grindle (dalam Santoso, 2010 : 127) dinamika proses implementasi melibatkan paling tidak dua variabel utama, yaitu context of im plementation (konteks kebijakan) dan content of policy (isi kebijakan). Kedua variable ini saling mempengaruhi. Konteks kebijakan merupakan representasi dari lingkungan dimana kebijakan publik itu akan berlangsung, sedangkan isi kebijakan merujuk pada substansi yang terkandung di dalam kebijakan publik. Isi kebijakan dapat mempengaruhi proses im plementasi kebijakan dikarenakan yang dihasilkan melalui pembuatan kebijakan di-deliver melalui sebuah kebijakan (dalam Grindle, 1980: 8-10). Untuk lebih jelasnya, lihat bagan 1. i.
Konteks Kebijakan
M enurut Grindle (dalam Santoso, 2010: 136) dalam menganalisa konteks perlu memperhitungkan hal-hal, yakni kontekstualisasi tujuan kebijakan dalam setting yang lebih spesifik agar memberikan gambaran tentang yang harus dilakukan dan menentukan alternatif alternatif implementasi kebijakan. Dalam proses implemen tasi, harus dilakukan penyesuaian dengan situasi konkrit yang dihadapi. Jelas isi program dan kebijakan publik merupakan faktor penting dalam menentukan hasil inisiatif implementasi. Oleh karena itu, perlu un tuk mempertimbangkan
konteks
dimana
tindakan
administra tif
akan
dikejar.
Konteks
11
implementasi dipengaruhi adanya kekuasaan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana.
Tiga elemen dalam konteks kebijakan, antara lain :
1.
Kekuasaan dan strategi aktor yang terlibat, para implementator perlu memperhatikan salah satu aspek tersebut di dalam sebuah kebijakan publik. Hal ini wajib dilakukan agar para implementator dapat merumuskan stratagi yang tepat, sehingga proses im plementasi kebijakan publik dapat berjalan dengan lancar.
2.
Karakteristik lembaga dan penguasa, dalam hal ini Grindle menekankan bahwa lingkungan dari im plementasi kebijakan mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menentukan berhasil atau tidak.
3.
Kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana, tingkat kepatuhan serta adanya respon dari implementator kebijakan menjadi salah satu faktor penting yang ikut mempengaruhi keberhasilan dari sebuah proses kebijakan publik. ii.
Isi Kebijakan
Di dalam isi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, pertam a adanya kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi. Ketika kebijakan dipahami sebagai sebuah intervensi terhadap suatu situasi yang telah ada sebelumnya, sudah terdapat sistem yang berjalan, lengkap dengan nilai dan aktor-aktor yang terlibat didalamnya (dalam Santoso, 2010: 134-135). Faktor ini berkaitan dengan berbagai kepentingan yang dipengaruhi oleh implementasi kebijakan. Argumentasi yang dibangun adalah sebuah kebijakan publik di level implementasi, tentu melibatkan berbagai macam ke pentingan dari masing-masing aktor di ranah publik. Kedua tipe manfaat, dipengaruhi pada keberhasilan proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan. Selain itu, berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa kebijakan publik yang diformulasikan dan diimplementasikan oleh
12
pembuat kebijakan memiliki beragam manfaat serta berdampak positif di kalangan masyarakat.
Ketiga derajat perubahan yang ingin dicapai, memproyeksikan perubahan yang mendasar terhadap situasi yang ada. Setiap kebijakan publik mempunyai derajat perubahan yang hendak diraih. Keempat letak pengambilan keputusan, harus memperhitungkan konsekuensi dari isi formula kebijakan terhadap letak pengambilan keputusan untuk implementasi kebijakan dan siapa saja yang akan menjadi aktor kunci pengambilan keputusan pada proses implementasi. Pengambilan keputusan dalam tahapan kebijakan publik memegang peranan yang cukup penting.
Kelima
pelaksana
program,
hal
ini
dirasa
cukup
penting
karena
untuk
mengimplementasikan sebuah kebijakan publik dibutuhkan pelaksana kebijakan yang berkompeten,
integritas,
maupun
kapabilitas
yang
baik
demi
keberhasilan
proses
implementasi kebijakan. Dalam hubungan antara para implementator program, baik itu di kalangan agensi aparatus pemerintah maupun kelompok-kelompok di masyarakat seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan. Lalu yang keenam sumber daya yang digunakan, tingkat kebutuhan akan sumber daya dipengaruhi oleh pilihan strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Selain membutuhkan pelaksana program yang mumpuni, tahapan implementasi kebijakan juga memerlukan sum ber daya yang mendukung proses ini dengan baik. Hasil kebijakan dari isi kebijakan adalah menimbulkan dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok.
Grindle menekankan pada sisi birokratis, yang dimana berfokus menyoroti kepada aktor internal. Aktor internal di sini adalah Pemerintah Daerah yang memiliki kekuasaan penuh dan kewenangan tinggi untuk mengatur dan menertibkan daerahny a agar salah satunya angka kesejahteraan masyarakat terus meningkat. Seperti yang dialami dalam kasus pedagang
13
kaki lima Pasar Wage, Pemerintah Daerah Banyumas tetap merespon kondisi di lapangan agar meningkatkan derajad perubahan yang diinginkan bersama. Selain itu, akan berpengaruh pada tipe-tipe manfaat yang diterima oleh pembuat kebijakan. Pelaksana program masih melakukan pengontrolan supaya aspek penataan me mberikan hasil yang maksimal, dengan dibantu dioptimalkan sumber daya yang digunakan. Faktor-faktor yang terdapa t di dalam aspek isi kebijakan dan konteks kebijakan terhadap kasus pedagang kaki lima ini dapat dikatakan cukup berhasil.
14
BAGAN 1
IM PLEM ENTASI SEBAGAI SEBUAH PROSES POLITIK DAN ADM INISTRATIF
M ENURUT M ERILEE S. GRINDLE
Policy Goals
Implementing Activities Influenced by
Goals achieved? Action Progra ms and Individuals Projects Designed and Funded
Outcomes
a.
Content of Policy
a. Impact on society,
-
Interest affected Type of benefits Extend of change envioned Site of decision making
individuals and group b. Change and its acceptance
b. -
Progra m implementors Resources committed Context of Implementation Power, interest, and strategies of Actors involved Institutions and regime characteristic Compliance and responsiveness
Progra ms delivered as designed?
M EASURING SUCCESS
Bagan 1 di atas, menjelaskan bahwa Content of Policy dan Context of Implementation merupakan dua variabel yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Terdapat Outcomes yang memposisikan sebagai instrumen dimana bersifat evaluatif dari tercapainya ataupun tidak tujuan implementasi kebijakan tersebut.
15
E. Definisi Konseptual 1.
Tahapan Implementasi Kebijakan Implementasi
kebijakan
adalah
proses
dimana
formula
kebijakan
ditransformasikan menjadi produk konkrit kebijakan.
Konteks Kebijakan Konteks kebijakan adalah representasi dari lingkungan dimana kebijakan publik itu akan berlangsung.
Isi Kebijakan Isi kebijakan adalah substansi yang terkandung di dalam kebijakan publik.
F. Definisi Operasional 1.
Tahapan Implementasi terbagi dalam dua jenis teknik atau model, yaitu : -
Berpola Bottom -Up, proses inisiatif dan prakteknya dibangun dari bawah. Terdapat proses tawar-menawar yang terjadi terus-menerus antar berbagai aktor kebijakan.
-
Berpola Top-Dow n, proses yang ditentukan dari atas berjalan secara konsekuental dalam tahap-tahap yang sudah ditentukan.
Konteks Kebijakan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
-
Adanya kekuasaan dan strategi aktor yang terlibat para aktor merumuskan strategi yang tepat agar dapat diterima oleh sasaran kebijakan dan memiliki kekuasaan sesuai dengan kewenangannya.
-
Karakteristik lembaga dan penguasa lingkungan dari rezim yang pada saat berkuasa menjalankan tugas untuk mengimplementasikan kebijakan mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menentukan berhasil atau tidak.
-
Kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana tingkatan respon dari para aktor menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan sebuah kebijakan.
16
Isi Kebijakan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
-
Kepentingan-kepentingan
yang
dipengaruhi
berbagai
aktor
memiliki
kepetingannya masing-masing sesuai dengan kapasitasnya yang akan menjadi acuan dalam isi kebijakan -
Tipe manfaat mempunyai beragam manfaat yang positif untuk pembuat dan penerima kebijakan.
-
Derajad perubahan yang ingin dicapai melihat sejauh mana perubahan yang hendak dicapai dari sebuah kebijakan.
-
Letak pengambilan keputusan terdapat di level eksekutif dan legislatif, yaitu Bupati dan DPRD.
-
Pelaksana program dilakukan oleh Disperindagkop dan dibantu oleh aparat Satpol PP.
-
Sumber daya yang digunakan implementasi kebijakan mempunyai hubungan keterlibatan adanya kebutuhan akan sumber daya , salah satunya terdapat financial yang mendukung.
17
G. Metode Penelitian G.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan temuan-temuan yang dilakukan dengan proses menjaring informasi dari keadaan sewajarnya dalam kehidupan suatu objek yang dihubungkan dengan suatu pemecahan masalah baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis (dalam Nanawi, 1992: 209). Dalam tradisi kualitatif, penulis harus menggunakan diri mereka sebagai instrumen, mengikuti asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data. Penelitian kualitatif data yang diperoleh bersifat a lamiah, dengan kata lain penulis hanya turun ke lapangan dan melihat apa yang terjadi berdasarkan pengamatan.
G.2 Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan kajian yang sederhana namun cakupannya bersifat luas.M enurut Robert K. Yin studi kasus adalah sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik.Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian sekitar (dalam Yin, 2003: 12). Studi kasus dipilih sebagai instrumen dalam penelitian
kualitatif karena
menitikberatkan pada
pertanyaan “bagaimana”
yang
diharapkan dapat menjawab pertanyaan pada rumusan masalah di bagian awal.
M engetahui secara mendalam bagaimana implementasi kebijakan ini berjalan terhadap penataan pedagang kaki lima merupakan persoalan yang harus dijawab pada akhir penelitian ini. Dengan menggunakan metode studi kasus, segala aspek dari kasus mendapatkan perhatian yang penuh dari penulis. Penelitian ini akan menguraikan fenomena-fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan kasus penataan pedagang kaki lima. 18
G.3 Jenis Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1.1 Data Primer, yakni keterangan-keterangan dan informasi yang diperoleh secara langsung dari sumber utama yang terkait dengan penelitian. 1.2 Data Sekunder, yakni keterangan-keterangan yang diperoleh dari sumber lain yang dapat memberikan gambaran tentang fokus penelitian yang merupakan pendukung dari data primer, yaitu berupa artikel, internet, jurnal, serta literatur lain yang relevan.
G.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan pen ulis gunakan, antara lain :
G.4.1 Wawancara
Wawancara merupakan sumber informasi yang esensial dalam penelitian studi kasus, karena penulis dapat langsung mengkonfirmasi dan berinteraksi dengan narasumber. Wawancara yang akan penulis lakukan adalah wawancara secara mendalam dan interview guide yang sebelumnya dibuat. Wawancara pada penelitian ini dilakukan kepada aktor-aktor kunci pada proses berjalannya implementasi kebijakan. Subjek wawancara pen ulis antara lain pedagang kaki lima, paguyuban, Satpol PP, dan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi.
Subjek pertama adalah pedagang kaki lima, yang menjadi sasaran atau penerima kebijakan (Ibu Arsini, Ibu Dede, dan Bapak Joko). Lalu ada ketua paguyuban sebagai subjek kedua (Bapak Dede Yayat), yang memegang peranan cukup penting sebagai perwakilan pedagang kaki lima untuk menyampaikan keinginan dan keluh kesah kepada Pemerintah Daerah. Subjek yang ketiga adalah Satpol PP, yang bertindak sebagai jajaran Pemerintah Daerah dalam hal menegakkan Peraturan Daerah dan menertibkan kawasan-kawasan yang 19
dianggap steril dari pedagang kaki lima (Bapak Nunus Danianto sebagai Kepala Seksi Operasi dan Pengen dalian).
Subjek yang terakhir adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop). Disperindagkop mempunyai peranan yang sangat penting dalam kasus ini, yaitu memiliki wewenang sebagai implementator dalam Peraturan Daerah (Bapak Hari Budi Irianto selaku Kabag. Pasar, Bapak Dhewanto dan Ibu Hastuti sebagai staff ). Untuk narasumber Pemerintah Daerah, aktor yang difokuskan oleh penulis hanya bagian pasar yang terdapat di dalam Disperindagkop dan dibantu oleh Satpol PP.
G.4.2 Observasi
Observasi menjadi pijakan utama bagi pen ulis dalam mengumpulkan data sebanyak mungkin yang dimana masih relevan dengan tema penelitian. Observasi dapat dikatakan hal yang penting dalam penelitian ini, karena melalui observasi penulis dapat menemukan dan menelisik fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
G.4.3 Dokumentasi
Dokumentasi adalah catatan dan data-data penting dari lembaga terkait. Dalam penelitian ini, dokumentasi berasal dari data -data yang berasal dari Pemerintah Daerah Banyumas.
G.4.4 Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan pilihan alternatif yang tepat untuk memaksimalkan penelitian ini, selain penulis mendapatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Dengan melakukan
studi
pustaka,
penulis
dibantu
dalam
hal
mencari
teori-teori
yang
berkesinambungan dan untuk menjawab rumusan masalah.
20
G.5 Teknik Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, pertama kali yang dilakukan oleh penulis adalah menyatukan data-data yang sesuai dengan jenisnya. Data-data tersebut diperoleh dari beberapa cara, yakni observasi, wawancara, serta studi pustaka. Data yang didapat melalui wawancara pastinya membantu penulis untuk mengupas pertanyaan yang selama ini menjadi fokus utama penelitian dan diketahui secara mendalam. Data-data tersebut akan dianalisis terlebih dahulu sebelum dicampurkan dengan data -data yang dari observasi dan studi pustaka.
Data yang berasal dari observasi juga menguatkan jawaban penelitian ini. Sedangkan data yang didapatkan dari studi pustaka dapat digunakan sebagai pelengkap data p rimer. Dengan demikian, penulis akan menganalisis semua data yang terkumpul dan pada akhirnya dapat
menarik
sebuah
kesimpulan.
M enarik
kesimpulan
dilakukan
dengan
cara
menghubungkan antara satu data dengan data yang lainnya.
G.6 Lokasi Penelitian
Untuk keperluan mencari data dalam penelitian ini, terdapat lokasi yang akan menjadi tujuan utama dikunjungi oleh penulis, yaitu kawasan Pasar Wage (dari perempatan Pasar Wage sampai perempatan Srimaya) Jalan Jend. Soedirman Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
G.7 Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian. Selain itu, terdapat juga kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional, dan metode penelitian. Bab kedua berisi latar belakang pedagang kaki lima di kawasan Pasar Wage dan memaparkan sedikit mengenai hadirnya sebuah paguyuban dan profil dari Disperindagkop selaku pelaksana program . Lalu,
21
akan dijelaskan juga dampak yang ditimbulkan dari adanya Pera turan Daerah. Bab ketiga menuliskan tentang isi kebijakan dan konteks kebijakan yang dicampurkan dengan data. Bab keempat akan menghubungkan antara isi kebijakan dengan konteks kebijakan. Dan bab terakhir merupakan sebuah kesimpulan yang tentunya akan melihat hasil akhir dan melihat dengan menggunakan konsep-konsep yang sudah ada ditahap sebelumnya.
22