1
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI SURABAYA, JAWA TIMUR
VETERIANI NOVA MILASARI C44070036
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
1
ABSTRAK VETERIANI NOVA MILASARI, C44070036. Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Surabaya, Jawa Timur. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan AKHMAD SOLIHIN. Surabaya adalah sebuah kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur, pemerintahan Kota Surabaya, serta pusat bisnis jasa yang sangat signifikan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Kota ini memiliki kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan untuk berbagai fungsi, terutama dalam kegiatan bisnis perdagangan. Pada kenyataannya nelayan dan kegiatan perikanan tetap ada meskipun kota Surabaya telah berkembang menjadi pusat pemerintahan dan bisnis jasa. Perikanan tangkap di Surabaya sangat penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal yang mengandalkan hasil tangkapan nelayan Surabaya dalam bidang pengolahan produk perikanan yang menjadi ciri khas masyarakat lokal. Nelayan Surabaya masih menggunakan perahu berukuran kurang dari 5 GT, sesuai dengan daerah penangkapan ikan sekarang. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan Surabaya adalah jaring klitik, trammel net dan pancing rawai dasar. Permasalahan perikanan tangkap di Surabaya yaitu konflik nelayan lokal dengan nelayan luar, degradasi lingkungan, tidak akuratnya data perikanan, minimnya sumber daya manusia, mahalnya harga BBM dan akses bantuan yang tidak merata. Keadaan internal perikanan tangkap di Surabaya dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada, namun kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada untuk merespons kondisi perkembangan perikanan tangkap di Surabaya. Rumusan strategi berdasarkan urutan prioritas untuk mengelola perikanan yang berbasis di Kenjeran adalah:, (1) meningkatkan kualitas sumber daya manusia, (2) mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap, (3) meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap, (4) membuat kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap, (5) meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan, (6) meningkatkan pengawasan daerah pesisir dan (7) mengendalikan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan.
Kata kunci : Permasalahan, perikanan, strategi pengembangan, Surabaya
ii
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Surabaya, Jawa Timur” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Veteriani Nova Milasari C44070036
i
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI SURABAYA, JAWA TIMUR
VETERIANI NOVA MILASARI C44070036
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iii
Judul skripsi
: Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Surabaya, Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Veteriani Nova Milasari
NRP
: C44070036
Program studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui :
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc NIP.19630315 198703 1 003
Akhmad Solihin, S.Pi.MH NIP. 19790403 200701 1 001
Diketahui : Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001
Tanggal lulus : 13 September 2011
iv
KATA PENGANTAR Skripsi dengan judul “Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Surabaya, Jawa Timur” ini adalah salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2011 di Surabaya, Jawa Timur. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1) Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Akhmad Solihin, S.Pi.MH atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 2) Dr.Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku dosen penguji tamu dan Vita Rumanti S.Pi. MT selaku Komisi Pendidikan Departemen PSP FPIK IPB; 3) Seluruh dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB atas ilmu yang telah diberikan selama ini; 4) Mamah, Ayah, Kak Erik dan seluruh keluarga besar atas semangat, motivasi, doa, nasehat dan kasih sayang kepada penulis; 5) Nelly Nailufar, Yayu Siti Nurhasanah, Nurhidayanti, Fathia Amalia dan Annisa Morinda atas persahabatan yang indah dan suka cita selama ini; 6) Pramudya Pratama Putra atas dukungan dan bantuannya selama penelitian; 7) Via, Fanny, Vera, Ibay, Nela, Siti Rohanah dan seluruh PSP 44 Tercinta atas kenangan-kenangan indah yang tak terlupakan; 8) Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga dapat menyempurnakan hasil yang diperoleh. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2011
Veteriani Nova Milasari
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 2 November 1989 dari pasangan Drh.Helmi Suwardi dan Elys Watie. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1994 di TK Al-Hamidiyah Depok. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SDN Depok Jaya I pada tahun 1995. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 2 Depok dan pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 3 Depok. Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 dengan mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis menjadi asisten mata kuliah Manajemen Operasi Penangkapan Ikan dan asisten mata kuliah Eksplorasi Penangkapan Ikan. Penulis mendapatkan
kehormatan
sebagai
Mahasiswa
Berprestasi
Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 2010. Penulis juga aktif dalam mengikuti kepanitiaan dan organisasi. Penulis menjadi Bendahara pada kepengurusan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) pada dua periode 2008-2010. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Surabaya, Jawa Timur” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
1
2
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .............................................................................
3
1.3 Manfaat Penelitian ...........................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Daya Ikan (SDI) .................................................................
5
2.2 Perikanan Tangkap ..........................................................................
6
2.3 Unit Penangkapan Ikan ...................................................................
7
2.4 Kebijakan .........................................................................................
14
2.5 Pengelolaan Perikanan ....................................................................
17
2.5.1 Pengelolaan berbasis masyarakat ......................................... 2.5.2 Pengelolaan terpusat ............................................................. 2.5.3 Pengelolaan co-management ................................................
19 21 23
2.6 Landasan Hukum Pengelolaan Perikanan ........................................
23
2.6.1 UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan j.o. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan ............................................. 2.6.2 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ......... 2.6.3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan ....................... 2.6.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap .
3
24 24 24 25
2.7 Analisis Permasalahan Perikanan Tangkap .....................................
25
2.8 Analisis Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap .....................
27
2.9 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM)..........................
29
METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................
31
3.2 Metode Penelitian ............................................................................
31
3.2.1 Pengumpulan data ................................................................ 3.2.2 Indepth-interview .................................................................
31 32
vii
4
5
3.3 Analisis Data ...................................................................................
33
3.3.1 Deskripsi ............................................................................. 3.3.2 Analisis SWOT..................................................................... 3.3.3 Matriks QSPM ......................................................................
33 33 37
3.4 Pengambilan Keputusan ..................................................................
38
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Iklim ..........................................................
39
4.2 Iklim dan Curah Hujan ....................................................................
39
4.3 Kondisi Demografi ..........................................................................
40
4.3.1 Penduduk .............................................................................. 4.3.2 Pendidikan ............................................................................
40 40
4.4 Perdagangan dan Industri ................................................................
41
4.5 Perekonomian Daerah .....................................................................
43
KEADAAN PERIKANAN TANGKAP SURABAYA 5.1 Perikanan Kota Surabaya ................................................................
45
5.2 Perikanan Tangkap Kota Surabaya .................................................
45
5.3 Unit Penangkapan Ikan ...................................................................
45
5.3.1 Kapal atau perahu ................................................................. 5.3.2 Alat tangkap ......................................................................... 5.3.3 Nelayan ................................................................................
46 47 47
5.4 Jenis Hasil Tangkapan yang Didaratkan .........................................
49
5.5 Daerah Penangkapan Ikan ...............................................................
49
5.6 Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap .............................
49
5.7 Penanganan Hasil Tangkapan .........................................................
51
5.8 Pemasaran Hasil Tangkapan............................................................
51
5.9 Sarana dan Lembaga Penunjang Usaha Perikanan ..........................
52
5.9.1 5.9.2 5.9.3 5.9.4 6
Pasar produk hasil laut ......................................................... Sentra kerajinan hasil laut dan olahan hasil laut .................. Kelompok nelayan ............................................................... Dinas Pertanian Surabaya ....................................................
52 53 53 55
HASIL PENELITIAN 6.1 Deskripsi Teknis Unit Penangkapan Ikan Dominan di Surabaya ...
57
6.1.1 Jaring klitik .......................................................................... 6.1.2 Trammel net ......................................................................... 6.1.3 Pancing rawai dasar..............................................................
57 60 62
6.2 Permasalahan Perikanan Tangkap Surabaya ...................................
64 viii
6.3 Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman pada Perikanan Surabaya ..........................................................................................
67
6.3.1 Identifikasi potensi dan masalah umum perikanan laut ....... 6.3.2 Matriks IFAS dan EFAS ...................................................... 6.3.3 Matriks SWOT .....................................................................
67 70 72
6.4 Prioritas Strategi Pengembangan .....................................................
75
7
PEMBAHASAN ....................................................................................
79
8
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
83
8.1 Kesimpulan ......................................................................................
83
8.2 Saran ..............................................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
85
LAMPIRAN
88
..............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL 1
Halaman Klasifikasi alat penangkap ikan .............................................................. 8
2
Beberapa prinsip dasar pengelolaan perikanan .......................................
18
3
Faktor internal dan eksternal ...................................................................
33
4
Faktor strategi internal (IFAS) ................................................................
35
5
Faktor strategi eksternal (EFAS).............................................................
35
6
Tabel SWOT ...........................................................................................
36
7
Jumlah armada penangkapan di Surabaya Tahun 2005-2010 .................
46
8
Jumlah dan jenis alat tangkap di Surabaya .............................................
47
9
Perkembangan jumlah nelayan Surabaya Tahun 2005-2010 ..................
48
10 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Surabaya2005-2010 .....
50
11 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Perikanan tangkap Kota Surabaya ..................................................................................................
71
12 Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) perikanan tangkap Kota Surabaya ..................................................................................................
72
13 Matriks SWOT pengembangan usaha perikanan tangkap Surabaya ......
74
14 Matriks QSPM pengembangan usaha perikanan tangkap Surabaya .......
75
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka formulasi strategis pengambilan keputusan berdasarkan analisis SWOT ...........................................................................................
27
2 Kuadran posisi dan strategi pengelolaan menurut analisis SWOT ...........
28
3 Matriks internal-eksternal..........................................................................
37
4 Perkembangan jumlah nelayan Surabaya 2005-2010 ...............................
48
5 Produksi perikanan tangkap Surabaya 2005-2010 ....................................
50
6 Nilai produksi perikanan tangkap Surabaya 2005-2010 ...........................
51
7 Konstruksi alat tangkap jaring klitik .........................................................
58
8 Konstruksi alat tangkap trammel net .........................................................
61
9 Konstruksi alat tangkap rawai dasar ..........................................................
63
xi
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Halaman Peta lokasi penelitian .............................................................................. 88 Daftar pertanyaan wawancara nelayan dan Subdinas Perikanan dan Kelautan ..........................................................................................
89
3
Lokasi daerah penangkapan ikan nelayan Kota Surabaya ......................
92
4
Struktur organisasi dari Dinas Pertanian Kota Surabaya ........................
93
5
Penilaian bobot faktor strategis internal perikanan tangkap Kota Surabaya ..................................................................................................
94
Penilaian bobot faktor strategis eksternal perikanan tangkap Kota Surabaya ..................................................................................................
95
6
xii
1
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Basis kegiatan penangkapan ikan di Indonesia saat ini tidak hanya di
tempat-tempat terpencil yang jauh dari perkotaan dimana biasa terdapat pusatpusat pemerintahan, bisnis ataupun pemukiman. Hal ini dapat dijumpai di beberapa kota, seperti Cirebon (Keristina 2011), Yogyakarta (Nadeak 2009) dan Pekalongan (Liswardana 2011). Adanya basis penangkapan ikan di kota-kota tersebut biasanya disebabkan kegiatan perikanan telah ada jauh sebelum tempattempat tersebut tumbuh menjadi kota-kota seperti saat ini. Adanya basis-basis tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa kegiatan perikanan dapat bertahan sementara kota-kota tersebut cenderung mengembangkan sektor ekonomi secara konvensionil, yaitu mengandalkan sektor bisnis jasa dan perdagangan sebagai andalan utama. Kota-kota tersebut masih dapat mengakomodasi kegiatan ekonomi masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam (resource-based), dalam hal ini sumber daya ikan. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota/Provinsi) untuk mengelola sumber daya alam yang berada dalam wilayah sesuai undang-undang yang berlaku, tentu pemerintah daerah memiliki kebijakan yang dapat menjaga pembangunan perikanan secara berkelanjutan. Surabaya adalah sebuah kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia dengan penduduk sebanyak 4.389.140 jiwa (Dispenduk 2010). Kota ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Pemerintahan Kota Surabaya, dan pusat bisnis jasa yang sangat signifikan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Kota ini memiliki kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan untuk berbagai fungsi, terutama dalam kegiatan bisnis perdagangan. Saat ini, Surabaya memiliki sembilan kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir dan terdapat perikanan tangkap. Kesembilan kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kenjeran, Kecamatan Gununganyar, Kecamatan Rungkut, Kecamatan Mulyorejo, Kecamatan Bulak, Kecamatan Asemrowo, Kecamatan Benowo, Kecamatan Krembangan dan Kecamatan Sukolilo (Lampiran 1). Penelitian ini difokuskan pada perikanan di Kecamatan Bulak dan Kenjeran
2
karena kedua kecamatan tersebut dianggap dapat mewakili keadaan perikanan tangkap di Surabaya dengan hasil laut paling baik, sarana prasarana yang memadai dan mewakili alat tangkap yang digunakan oleh nelayan-nelayan di Surabaya. Secara sepintas, dari aspek sosial-ekonomi, kehidupan nelayan di pesisir Surabaya masuk dalam kategori menengah ke bawah (Pristyandana 2010). Potensi perikanan yang dimanfaatkan oleh nelayan Surabaya tampaknya tidak terbatas pada perairan pesisir Surabaya. Selat Madura dengan perairan pesisir utara Jawa Timur dan pesisir selatan Madura adalah perairan potensial yang telah dimanfaatkan oleh nelayan Surabaya. Masyarakat nelayan Surabaya memproduksi hasil laut yang kemudian dijual dalam bentuk ikan segar atau diolah menjadi bahan makanan, seperti kerupuk, terasi, ikan asin dan ikan asap. Anggota masyarakat
yang
bukan
nelayan
namun
memiliki
keterampilan
memanfaatkan hasil laut dalam bentuk lain, seperti memanfaatkan
dapat
cangkang
kerang, pecahan terumbu karang dan kulit kerang sebagai bahan baku untuk membuat kerajinan suvenir atau cinderamata. Banyak masyarakat di pesisir Surabaya yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut tersebut. Keberadaan para nelayan di kawasan perkotaan sangat menarik untuk diteliti mengingat kondisi lingkungan, termasuk lingkungan perairan, dari suatu kota industri biasanya tergolong tidak sehat karena sudah tercemar logam berat sehingga habitat yang sehat untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya mungkin sudah sangat terbatas atau bahkan tidak ada lagi. Dalam kondisi lingkungan seperti itu, tentu nelayan tersebut memiliki cara yang berbeda dari nelayan di tempat lain yang ikannya masih melimpah dan lingkungan perairannya masih sehat atau mendukung. Mengingat kegiatan perikanan termasuk kegiatan masyarakat yang penting, tentu Pemerintah Kota Surabaya juga menerapkan cara-cara tertentu pula sehingga kegiatan perikanan rakyat tersebut dapat berkelanjutan. Beberapa pertanyaan berikut menarik untuk dicari jawabannya, seperti: (1) sejauh mana Pemerintah Kota Surabaya berperan dalam mendukung kegiatan perikanan tangkap dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) usaha apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam memperhatikan atau mengendalikan penyebab kerusakan ekosistem pantai di Surabaya, seperti
3
penambangan pasir liar, pembuatan
jembatan
reklamasi di sekitar pantai secara besar-besaran,
Surabaya-Madura
(Suramadu)
yang
menyebabkan
pendangkalan sehingga nelayan sulit pergi melaut, serta (3) sejauh mana Pemerintah Kota Surabaya memperhatikan keterampilan masyarakat agar mereka dapat mandiri dan mengembangkan usahanya agar dapat mensejahterakan diri di kota ini juga menarik untuk diketahui. Penelitian ini menyangkut kebijakan perikanan tangkap Kota Surabaya terhadap masyarakat nelayan di pesisir Surabaya. Penelitian ini dilandasi kenyataan bahwa nelayan dan kegiatan perikanan tetap ada meskipun kota Surabaya telah berkembang menjadi pusat pemerintahan dan bisnis jasa. Sumber daya ikan di perairan yang menjadi kewenangan pengelolaan Pemerintah Kota setempat sangat terbatas sehingga nelayan harus beroperasi juga di tempat lain. Meskipun kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Surabaya rendah (kurang dari 5%), namun perikanan tangkap berperan besar terhadap sumber kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal bergantung penuh terhadap kegiatan perikanan tangkap, terutama sebagai sumber bahan baku pembuatan produk ikan yang menjadi ciri khas masyarakat lokal. Produk ikan lokal tersebut di antaranya adalah ikan asap dan keripik maupun kerupuk yang berbahan dasar dari hasil tangkapan nelayan lokal. Memperhatikan potensi dampak pembangunan ke depan dan agar kegiatan perikanan yang penting tersebut dapat terus berjalan dengan baik maka diperlukan suatu kebijakan yang efektif dalam rangka mengelola sumberdaya ikan yang ada. Pengambilan dan pelaksanaan
kebijakan
yang
tepat
merupakan
langkah
awal
untuk
mengembangkan perikanan tangkap guna meningkatkan perekonomian daerah, khususnya kesejahteraan masyarakat pesisir yang mengandalkan penangkapan ikan sebagai sumber utama pendapatan keluarganya.
1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:
1) Mengetahui kondisi umum perikanan tangkap di Surabaya; 2) Mengidentifikasi permasalahan perikanan tangkap di Surabaya;
4
3) Merumuskan strategi kebijakan yang efektif dalam pengelolaan perikanan tangkap di Surabaya.
1.3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada Pemerintah
Kota Surabaya sebagai pengelola perikanan, masyarakat nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya ikan, dan kepada kalangan akademisi ilmu perikanan dan kelautan pada umumnya.
Pemerintah Kota
Surabaya dapat mempertimbangkan pilihan kebijakan yang direkomendasikan dari penelitian ini. Para nelayan dapat segera memperhatikan hasil penelitian ini untuk membangun kemampuan diri dalam mempertahankan atau menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap tren perkembangan di masa yang akan datang. Semoga para akademisi memperhatikan dan menyadari bahwa kegiatan perikanan tangkap juga terjadi di kota-kota besar, dan keberlanjutan perikanan dalam sinergi dengan pembangunan rumusannya.
perkotaan
merupakan
tantangan
yang
harus
dipecahkan
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Daya Ikan Definisi sumber daya ikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan adalah potensi semua jenis ikan. Ikan merupakan segala jenis mahluk hidup yang seluruh atau sebagian dari daur hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. Jenis ikan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah : 1)
Pisces (ikan bersirip);
2)
Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sejenisnya);
3)
Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sejenisnya);
4)
Coelenterata (ubur-ubur dan sejenisnya);
5)
Echinodermata (teripang, bulu babi, dan sejenisnya);
6)
Amphibia (kodok dan sejenisnya);
7)
Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sejenisnya);
8)
Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sejenisnya);
9)
Algae (rumput laut dan tumbuhan yang hidupnya di dalam air);
10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis di atas. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Luas perairan laut Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan kepulauan, dan 2,7 juta km2 perairan ZEE Indonesia. Perairan laut yang sangat luas, kaya akan jenis-jenis maupun potensi sumberdaya perikanan yang bila dikelola secara optimal
tanpa mengganggu
kelestariannya akan memberikan manfaat yang besar dalam menyediakan pangan berprotein hewani, perikanan
laut,
meningkatkan devisa negara dari hasil ekspor komoditi
meningkatkan
penghasilan
sekaligus
pendapatan
untuk
kesejahteraan nelayan (Subani dan Barus 1989). Menurut DKP (2005),
potensi lestari sumber daya ikan Indonesia di
perairan teritorial dan ZEE Indonesia untuk pelagis besar sekitar 1,65 juta
6
ton/tahun, pelagis kecil sekitar 3,6 juta ton/tahun, demersal sekitar 1,36 juta ton/tahun, ikan karang sebesar 145 ribu ton/tahun, udang paneid sebesar 94,8 ribu ton/tahun, lobster sebesar 4,8 ribu ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 28,25 ribu ton/tahun.
Pemerintah telah menetapkan bahwa jumlah tangkapan yang
diperbolehkan adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun. Ikan merupakan sumberdaya yang bersifat renewable atau bersifat dapat pulih/diperbaharui. Namun sumberdaya ikan bukannya tak terbatas. Oleh karena itu sumberdaya yang terbatas itu harus dikelola dengan baik karena tanpa adanya pengelolaan yang baik akan menimbulkan eksploitasi berlebihan dan tenaga kerja berlebihan.
2.2 Perikanan Tangkap Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan definisi penangkapan ikan ialah kegiatan memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan mengawetkan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi dalam penangkapan/ pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di laut maupun perairan umum secara bebas. Pengembangan perikanan tangkap di Indonesia hingga saat ini belum dapat dikatakan berhasil karena masih terdapat permasalahan yang dihadapi. Permasalahan perikanan tangkap yang dihadapai Indonesia saat ini diantaranya adalah: (1) masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan penguasaan teknologi tepat guna yang berakibat pada rendahnya produksi; (2) kompetisi pada penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir; (3) masih berlangsungnya overfishing di beberapa wilayah; (4) kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut; (5) tingginya illegal fishing yang mengakibatkan kerugian negara dan semakin cepatnya penurunan sumberdaya perikanan dan kelautan; (6) kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam; (7) tumpang tindih kewenangan dalam pemberian ijin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim kondusif bagi
7
investasi perikanan; (8) rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan yang berakibat sebagai rendahnya mutu, nilai tambah dan daya saing produk perikanan; (9) proses penangan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan produk perikanan; dan (10) keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagan perikanan (Monintja,1989 yang dikutip oleh Ismuryandi, 2006).
2.3 Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan adalah seperangkat teknologi berikut penggunanya yang menyebabkan teknologi tersebut dapat berfungsi atau digunakan untuk menghasilkan ikan, baik jenis ikan sasaran utama maupun bukan. Perangkat teknologi tersebut adalah kapal ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan. Menurut UU Nomor 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian (eksplorasi) perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat dibedakan menjadi tiga kategori berikut (Diniah 2008): 1) Perahu tanpa motor (PTM), yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal; 2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu; dan 3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak
yang diletakkan di dalam kapal. Unit penangkapan ikan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasanya terdiri dari kapal penangkap ikan dan alat penangkapan ikan yang dipergunakan. Hal ini berarti bahwa jika satu kapal penangkap ikan dalam satu tahun operasi dengan menggunakan dua jenis alat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula, maka jumlah unit penangkapan ikan dihitung 2 (dua). Berdasarkan data KKP (2009) klasifikasi unit penangkapan
8
ikan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi jenis alat penangkapan ikan, untuk perikanan tangkap di laut berikut klasifikasinya (Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi alat penangkapan ikan No
Grup
1
Pukat tarik
2
Pukat kantong
3 4
Pukat cincin Jaring insang
5
Jaring angkat
6
Pancing
7
Perangkap
8
Alat pengumpul rumput laut dan Penangkap kerang, teripang dan kepiting Lain-lain
9
Kategori statistic Nama Indonesia Nama Inggris 1.1 Pukat tarik udang ganda Double-rig shrimp trawl 1.2 Pukat tarik udang tunggal Stern shrimp trawl 1.3 Pukat tarik berbingkai Beam trawl 1.4 Pukat tarik ikan Fish net 2.1 Payang (termasuk Lampara) Pelagic danish seine 2.2 Dogol (termasuk Lampara Demersal danish seine dasar, Jaring arad, Cantrang) 2.3 Pukat pantai Beach seine 3.1 Pukat cincin Purse seine 4.1 Jaring insang hanyut Driftgill net 4.2 Jaring insang lingkar Encircling gillnet 4.3 Jaring klitik Shrimp entangling gillnet 4.4 Jaring insang tetap Set gillnet 4.5 Jaring tiga lapis Trammel net 5.1 Bagan perahu/rakit Boat or raft lift net 5.2 Bagan tancap Stationary lift net 5.3 Serok dan Songko Scoop net 5.4 Anco Shore lift net 5.5 Jaring angkat lainnya Other lift nets 6.1 Rawai tuna Tuna long line 6.2 Rawai hanyut lainnya Drift long line other selain rawai tuna than tuna long line 6.3 Rawai tetap Set long line 6.4 Rawai dasar tetap Set bottom long line 6.5 Huhate Skipjack pole and line 6.6 Pancing tonda Troll line 6.7 Pancing ulur Hand line 6.8 Pancing tegak Vertical line 6.9 Pancing cumi Squid jigger 6.10 Pancing lainnya Other liner 7.1 Sero (termasuk kelong) Guiding barrier 7.2 Jermal Stow net 7.3 Bubu (termasuk bubu Portable trap ambal) 7.4 Jaring perangkap Set net 7.5 Perangkap lainnya Other traps 8.1 Alat pengumpul rumput Seaweed collectors laut Shell fish gears 8.2 Alat penangkap kerang 8.3 Alat penangkap teripang (ladung) Sea cucumber gears 8.4. Alat penangkap Kepiting Crab gears 9.1. Muroami 9.2. Jala tebar 9.3. Garpu dan tombak
Muroami Castnet Harpoon
Sumber : KKP (2009) Beberapa jenis alat penangkapan ikan yang umum dioperasikan oleh nelayan kecil diantaranya adalah jaring insang dasar (bottom gillnet), trammel net,
9
pancing dan rawai dasar. Jenis alat bantu yang digunakan nelayan yang menangkap atau mengumpulkan biota di dasar laut adalah kompresor yang digunakan untuk mengalirkan udara untuk pernapasan nelayan di bawah laut. Berikut adalah penjelasan singkat tentang beberapa contoh unit penangkapan ikan yang biasanya dioperasikan oleh nelayan kecil.
1)
Jaring insang Jaring insang atau gillnet mempunyai beberapa nama lain, di antaranya
adalah jaring rahang. Istilah gillnet didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan tertangkap dengan cara terjerat mata jaring pada bagian tutup insang atau operculum pada mata jaring. Jaring insang merupakan alat penangkap ikan berbentuk empat persegi panjang yang ukuran mata jaringnya disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap (ikan, udang) dan dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali is bawah atau tanpa ris bawah untuk menghadang arah renang ikan, sehingga ikan sasaran terjerat mata jaring atau terpuntal pada bagian tubuh jaring. Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tingting (pieces). Di dalam pengoperasiaanya biasanya terdiri atas beberapa tingting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan suatu perangkat (unit) yang panjang, tergantung dari banyaknya tingting yang akan dioperasikan. Jaring insang ini ada yang terdiri dari satu lapis maupun tiga lapis jaring (jatilap). Jaring insang termasuk alat tangkap yang selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap. Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini ada yang dihanyutkan (drift gillnet), dilabuh (set gillnet), dan dilingkarkan (encircling gillnet). Pengoperasian jaring insang ini ada yang di dasar perairan (bottom gillnet), permukaan perairan (surface gillnet) maupun lapisan tengah perairan (Subani dan Barus 1989). (1) Jaring insang dasar Jaring insang dasar atau bottom gillnet adalah jaring insang, jaring rahang yang dioperasikan dengan cara direntangkan secara vertikal dekat dasar laut. Cara penempatan jaring insang dasar ini disesuaikan dengan ikan-ikan yang menjadi jenis ikan yang tujuan penangkapan ikan, yaitu ikan-ikan dasar (bottom fish) ataupun ikan-ikan damersal. Pada umumnya yang disebutkan dengan gill net
10
dasar ialah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain, jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jaring. Pada lembaran-lembaran jaring, pada bagian atas dilekatkan pelampung (float) dan pada bagian bawah dilekatkan pemberat (sinker). Dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari float yang bergerak menuju keatas dan sinking force dari sinker ditambah dengan berat jaring didalam air yang bergerak menuju kebawah, maka jaring akan terentang (Subani 1989). Kondisi jaring, seperti baik buruknya rentangan jaring, tidak dapat diketahui dengan mudah dari permukaan laut. Pada kedua ujung jaring insang dasar terdapat tali yang menghubungkan dengan jangkar agar posisi jaring tetap tidak berpindah tempat, baik secara vertikal maupun horizonal. Posisi jaring dapat diperkirakan dengan melihat posisi pelampung tanda di permukaan laut yang terhubung dengan ujung jaring yang berada di bawah air. Jenis-jenis ikan yang biasa menjadi tujuan penangkapan dari jaring ini di antaranya adalah cucut, ikan sebelah (flatfish), manyung dan berbagai jenis ikan lain yang berada di dasar atau dekat dasar perairan, baik jenis ikan dasar maupun ikan pelagis yang kebetulan mendekati dasar laut, terutama di perairan pantai yang dangkal. Teknik dan tahapan pengoperasian jaring insang dasar terdiri dari setting dan haulling. Pada saat melakukan setting, kapal diarahkan ke tengah kemudian dilakukan pemasangan jaring bottom gillnet oleh anak buah kapal (ABK). Jaring bottom gill net dipasang tegak lurus terhadap arus sehingga nantinya akan dapat menghadang gerombolan ikan.
Setelah dilakukan setting dan ikan yang telah
terkumpul dirasa sudah cukup banyak, maka dilakukan haulling dengan menarik jaring bottom gill net dari dasar perairan ke permukaan (jaring ditarik keatas kapal). Setelah semua hasil tangkap dan jaring ditarik ke atas kemudian baru dilakukan kegiatan penyortiran (FAO 1980).
11
(2) Trammel net Trammel net merupakan jaring berbentuk empat persegi panjang namun terdiri dari tiga lapis jaring, yaitu dua lembar jaring luar (outer net) dan satu lembar jaring dalam (inner net). Sama seperti jaring insang lainnya, trammel net dilengkapi dengan pelampung, pemberat dan tali ris. Dengan konstruksi tersebut, trammel net sering juga disebut sebagai jaring insang berlapis tiga (triple net). Ikan atau udang yang tertangkap oleh trammel net biasanya tersangkut jaring oleh lebih dari satu mata jaring, dan tidak selalu terjerat pada bagian insangnya. Agar dapat memuntal dengan baik jaring ini harus sangat fleksibel atau tidak kaku; bahan yang biasa dipakai adalah polyamide (PA). Bagian pinggiran jaring (selvedge) yang berfungsi sebagai pelindung agar trammel net tidak mudah rusak biasanya terbuat dari bahan dari polyethylene (PE) (Subani dan Barus 1989). Salah satu contoh spesifikasi trammel net menurut Departemen Pertanian (1985) adalah sebagai berikut: (1) tubuh jaring terdiri dari 3 lapis, yaitu 1 lapisan jaring dalam dan 2 lapisan jaring luar yang mengapit lapisan jaring dalam; ukuran mata jaring lapisan dalam lebih kecil dari pada ukuran mata jaring lapisan luar, (2) lapisan jaring dalam terbuat dari bahan polyamide (PA) berukuran 210 dp210 d4 dengan ukuran mata jaring nya berkisar antara 1,5 – 1,75 inci (38,1 mm -44,4 mm), setiap lembar jaring mempunyai ukuran panjang 65,25 m (1.450 mata) dan tingginya 51 mata, (3) Lapisan jaring luar terbuat dari polyamide (PA) dengan benangnya lebih besar (210 d6), setiap lembar jaring panjangnya terdiri dari 19 mata dan tingginya 7 mata dengan ukuran mata jaring 10,4 inci (265 min), (4) Serampat (selvedge) berfungsi untuk memperkuat kedudukan jaring pada penggantungnya, mata jaring berukuran 45 mm dan terdiri dari 1 – 2 mata pada pinggiran jaring bagian atas dan 5 – 6 mata pada pinggiran jaring bagian bawah. Bahan serampat adalah kuralon atau polyethylene (PE) dengan ukuran 210 d4 – 210 d6, (5) Tali ris, trammel net dilengkapi dengan dua buah tali ris yaitu tali ris atas dan tali ris bawah; tali ris terbuat dari bahan polyethylene (PE) dengan
12
garis tengah tali 2 – 4 mm. Panjang tali ris atas berkisar antara 25,5 – 30 m, sedangkan tali ris bawah antara 30 – 32 m; (6) Pelampung yang digunakan adalah pelampung plastik No. 18 dengan jarak pemasangan antara 40 – 50 cm. Tali pelampung terbuat dari bahan polyethylene dengan garis tengah 3 – 4 mm; (7) Pemberat dibuat dari bahan timah (timbal) yang berbentuk lonjong, dengan berat antara 10 – 13 gram/buah. Pemasangan pemberat dilakukan dengan jarak antara 19 – 25 cm, pada sebuah tali yang terbuat dari Polyethylene dengan garis tengah 2 mm. Disamping itu biasanya pada jarak 12 m dari ujung jaring pada tali yang diikatkan ke kapal masih dipasang pemberat tambahan dari batu seberat kira-kira 20 kg. (8) Tali penghubung jaring dan perahu, terbuat dari polyethylene bergaris tengah 7,5 – 10 mm, dilengkapi sebuah swivel dengan garis tengah 6 – 7,5 cm yang dipasang pada sambungan tali ke kapal dan kedua tali ris atas dan bawah.
Trammel net dapat dioperasikan dengan tiga cara, yaitu cara lurus, cara setengah lingkaran dan cara lingkaran. Berikut adalah penjelasan singkat tentang kedua cara mengoperasikan trammel net. 1. Cara lurus: Cara ini adalah yang biasa dilakukan oleh para nelayan, Jumlah lembaran jaring berkisar antara 10 – 25 tinting. Perahu yang digunakan adalah perahu tanpa motor atau motor tempel, dengan tenaga kerja antara 3 – 4 orang. Pada cara ini Trammel net dioperasikan di dasar laut secara lurus dan berdiri tegak. Setelah ditunggu selama 1/2 – 1 jam, kemudian dilakukan penarikan dan penglepasan ikan atau udang yang tertangkap. 2. Cara setengah lingkaran: Pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam (inboard motor) atau perahu motor luar (outboard motor). Satu unit trammel net dapat mengoperasikan jaring 60 – 80 tinting (lembar jaring) dengan tenaga kerja sebanyak 8 orang. Pada cara ini trammel net dioperasikan di dasar perairan
13
dengan melingkarkan jaring hingga membentuk setengah lingkaran. Kemudian ditarik ke kapal dan ikan & udang yang tertangkap dilepaskan. 3. Cara lingkaran: Pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam seperti pada cara setengah lingkaran. Caranya adalah dengan melingkarkan jaring di dasar perairan hingga membentuk lingkaran. Setelah itu jaring ditarik ke kapal dan udang serta ikan yang tertangkap diambil. Jenis hasil tangkapan utama alat tangkap trammel net adalah udang. Beberapa jenis ikan lain yang tertangkap dengan alat tangkap ini antara lain jenis ikan dasar seperti ikan pari, gulamah, kerot-kerot dan lain-lain (Deptan 1985). 2) Pancing rawai dasar Pancing merupakan salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat. Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu tali dan mata pancing. Meskipun terdiri dari dua komponen utama, namun sesuai dengan macam dan jenisnya dapat dilengkapi dengan komponen-komponen lain seperti pemberat dan pelampung. Rawai dasar merupakan salah satu alat tangkap ikan demersal yang sudah dikenal oleh nelayan. mempunyai mata pancing yang banyak yang digantungkan pada suatu tali yang panjang melalui tali penghubung yang disebut tali cabang,agar mata pancing dapat berada disekitar dasar perairan secara menetap maka dilengkapi pemberat dan pelampung pada posisi dan kedalaman tertentu.tali cabang relatif pendek (5-10 m). Oleh karena itu, tali pelampung dibuat relatif panjang. Pengoperasian rawai dasar dilakukan di dasar perairan dengan menggunakan umpan saat melakukan penangkapan. Berikut adalah tahapan dan cara mengoperasikan pancing: 1) Penurunan rawai (setting) Setting dilakukan setelah kapal sampai di daerah penangkapan ikan yang dituju, alat-alat yang dipersiapkan meliputi unit rawai, boks pendingin, dan umpan. peralatan yang pertama diturunkan adalah pelampung dan tiang bendera, kemudian tali pelampung, tali utama dan tali cabang yang telah diberi umpan pada mata pancingnya. Penurunan alat ke dalam perairan harus diperhatikan agar unit pancing rawai memotong arus. Hal ini disebabkan karena ikan mempunyai kebiasaan berenang menentang arus, sehingga dengan posisi alat menentang arus
14
berarti akan memperluas areal penangkapan. Waktu yang dibutuhkan untuk setting sekitar 1-2 jam. 2) Pendiaman rawai (soaking) Soaking dilakukan kurang lebih 1-3 jam, hal ini dilakukan untuk menunggu ikan hasil tangkapan terjerat pada rawai yang telah dipasang. 3) Penarikan rawai (hauling) Pada saat melakukan hauling, yang pertama dilakukan adalah mengangkat pelampung yang terpasang pada tali utama ke atas kapal. Setelah tali pelampung tanda dilepas, kemudian tali utama dimasukkan ke dalam penggulung. Tali utama yang tidak bisa masuk ke dalam penggulung biasanya ditampung dalam keranjang, kemudian tali cabang disusun di sepanjang tali utama dan yang terakhir ditumpukkan dalam tali pelampung (Subani dan Barus 1989). Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu kerja yang dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan, berikut klasifikasinya (Diniah 2008) : 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga memiliki pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain.
2.4 Kebijakan Kebijakan merupakan sebuah rujukan yang dipertimbangkan, diperhatikan dan dipakai oleh pengelola dalam merancang bentuk-bentuk upaya, tindakan atau aksi untuk menangani isu atau permasalahan hingga tuntas. Dengan kata lain, suatu kebijakan kemudian diterjemahkan dan diterapkan dalam bentuk programprogram dan implementasinya. Kebijakan yang dianggap resmi adalah kebijakan
15
Pemerintah yang memiliki kewenangan dan dapat memaksa masyarakat agar mematuhinya karena kebijakan tersebut dibuat atas nama kepentingan masyarakat yang proses penyusunan dan perumusannya seyogianya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Proses perumusan ini hendaknya mengakomodasi partisipasi masyarakat agar kebijakan yang dibuat dapat dilaksanakan dengan efektif (Suseno 2007). Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial yang menerapkan berbagai metode pengkajian yang menerapkan pendekatan argumentasi untuk menghasilkan rumusan atau kesimpulan yang relevan dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan. Menurut Dunn (2000), berdasarkan maksud atau kegunaannya, analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu analisis untuk merumuskan definisi suatu kebijakan, analisis untuk meprediksi konsekuensi kebijakan, analisis untuk merancang kebijakan (preskripsi), analisis untuk menjelaskan kebijakan (deskripsi) dan analisis untuk menilai dampak kebijakan (evaluasi). Kegiatan perikanan tangkap dilakukan oleh nelayan atau pengusaha untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Kegiatan yang memanfaatkan sumber daya milik bersama ini tentu memerlukan pengaturan sehingga perlu ada pengendalian terhadap kegiatan ini. Secara umum, pengaturan penangkapan ikan secara nasional tergantung pada kebijakan pembangunan perikanan suatu negara. Sementara ini, pengaturan kegiatan penangkapan ikan pada umumnya bertujuan untuk memperoleh manfaat optimum, baik secara fisik maupun nilai ekonomi, dari sumber daya ikan. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan seperti itu merupakan keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna mewujudkan pembangunan nasional (Suganda, 2003 yang dikutip oleh Ismuryandi, 2006). Ditinjau dari segi cakupan wewenang pengelolaannya, kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan sentralistik dan desentralistik. Definisi kebijakan desentralistik dapat dibuat dengan mempertimbangkan asal usul kata yang menyusunnya. Ditinjau dari etimologi, desentralistik berasal dari bahasa latin, yaitu dedan centrum. De berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Dengan
16
demikian desentralistik secara kasar dapat diterjemahkan sebagai sifat dari keadaan dimana terjadi pembebasan diri dari pusat. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralistik merupakan penyerahan wewenang pemerintah dari pemerintah pusat ke daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya maksud daerah otonom dalam ketentuan umum merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu dan berwenang mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Suseno 2007). Kebijakan desentralistik setidaknya membawa sejumlah implikasi penting, diantaranya terhadap dampak kelembagaan, pengelolaan sumber daya ikan, dan partisipasi masyarakat. Melalui otonomi, lembaga pemerintah diharapkan mampu merumuskan tugas, fungsi, dan kewenangannya dengan baik sehingga mampu melayani masyarakat dengan baik. Obsorne dan Gaebler (2001) menyatakan ada empat manfaat desentralistik ditinjau dari segi kelembagaan, yaitu : 1) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih fleksibel dibandingkan yang tersentralistik; 2) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih efektif dibandingkan yang tersentralistik; 3) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih inovatif dibandingkan lembaga yang tersentralisasi; 4) Lembaga yang terdesentralistik menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi. Tugas pemeritah daerah yang menyangkut otonomi daerah adalah: 1) Mengontrol dan memanfaatkan secara optimal sumberdaya; 2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 3) Menyelesaikan problema ketimpangan; 4) Mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan (penyusunan formulasi kebijakan). Pasal 18 UU No 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.
17
Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2) Pengaturan administratif; 3) Pengaturan tata ruang; 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; 6) Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
2.5 Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 merupakan semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Tujuan dari pengelolaan perikanan seperti yang disebutkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah pemanfaatan jangka panjang atas sumber daya perikanan secara berkesinambungan. Secara umum, tujuan perikanan dapat dibagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial, dimana tujuan sosial mencangkup tujuan politik dan budaya. Pengelolaan perikanan memerlukan suatu keberanian para pengelola untuk mengambil beberapa keputusan. Namun, sejumlah prinsip dasar dapat diidentifikasi yang selanjutnya dapat membantu memusatkan perhatian pada langkah awal bagi pengelolaan perikanan yang efektif. Berbagai hasil kajian yang berkembang selama ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal tersebut didorong oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat, dengan sedikit upaya pengelolaan telah menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar
18
keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy, 2003 yang dikutip oleh Widodo, 2008) Prinsip pengelolaan perikanan terdapat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Beberapa prinsip dasar pengelolaan perikanan No 1
2
3
4
5
6
7
8
Prinsip
Fungsi pengelolaan
Stok dan komunitas ikan terbatas dan Potensi lestari perlu diestimasi dan faktor produksi secara biologi mempengaruhi biologi yang berpengaruh perlu potensi lestari dari suatu perikanan. diidentifikasi. a) Produksi biologi dari suatu stok a) Target titik referensi perlu ditentukan merupakan fungsi dari ukuran stok, melalui koleksi data dan pengkajian b) juga fungsi dari lingkungan, yang juga stok ; dan dipengaruhi oleh perubahan alamiah b) Dampak lingkungan juga harus atau perubahan lingkungan yang diidentifikasi dan dimonitor, dan bersifat antopogenik. memerlukan strategi pengelolaan yang dapat disesuaikan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan. Kebutuhan konsumsi ikan secara Tujuan dan sasaran pengelolaan yang fundamental menimbulkan konflik realistik perlu ditetapkan. Pencapaian dengan berbagai upaya dalam menjaga tujuan memerlukan kontrol atas upaya kelestarian sumberdaya. dan kapasitas. Dalam perikanan multispesies dimana Tujuan dan sasaran yang realistis perlu deskripsi mencangkup seluruh ditetapkan menurut ekosistem sehingga perikanan, tidaklah mungkin untuk dapat mengelola spesies dan interaksi memaksimumkan atau mengoptimalkan antar perikanan. tangkapan dari semua perikanan secara simultan. Ketidakpastian menyertai pengelolaan Pengkajian resiko dan pengelolaan harus perikanan menghambat pembuat dilakukan dalam rangka mengembangkan keputusan untuk dapat memperoleh dan mengimplementasikan rencana informasi yang memadai. Semakin besar pengelolaan, tindakan dan strateginya. ketidakpastian harus semakin konsevatif pendekatan yang dilakukan. Ketergantungan jangka pendek Perikanan tidak dapat dikelola secara masyarakat atas suaru perikanan akan terpisah dan harus diintregasikan kedalam menentukan prioritas tujuan sosial dan kebijakan pembangunan daerah pesisir, ekonomi dalam kaitannya dengan perencanaan dan kebijakan nasional. pemanfaatan berkelanjutan. Perasaan memiliki dari mereka yang Suatu sistem hak akses yang efektif dan mempunyai akses (individu, komunitas memadai harus ditetapkan dan atau kelompok) sangat kondusif untuk ditegakkan. menjaga perikanan yang bertanggung jawab. Partisipasi dalam proses pengelolaan Komunikas, konsultasi dan pengelolaan oleh pengguna yang menerima informasi bersama (co-management) harus merupakan konsistensi dengan prinsip mendasari semua langkah pengelolaan. demokrasi.
Sumber: Widodo (2008) Menurut pihak yang berwenang mengendalikan, pengelolaan sumber daya alam dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pengelolaan berbasis masyarakat,
19
pengelolaan terpusat, dan pengelolaan co-management. Berikut adalah penjelasan singkat tentang keunggulan dan kelemahan dari masing-masing jenis pengelolaan tersebut.
2.5.1 Pengelolaan berbasis masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan suatu hal yang penting dalam pemerintahan yang demokratis, terutama dalam praktek pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan secara terus menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat mempengaruhi kepentingan umum (Suseno 2007). Partisipasi masyarakat terwujud jika nelayan dapat memainkan peranannya secara jelas, memperoleh keadilan, akses, dan kendali atas sumberdaya. Tujuan utama dari pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan harus dilakukan secara berkesinambungan dan berwawasan pada kelestaran lingkungan. Pengelolaan melalui pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Peran serta masyarakat dalam pembangunan dimaksudkan agar masyarakat mengetahui secara jelas tujuan dari pembangunan, sehingga nantinya tidak ada pihak yang dirugikan. Menurut Suryaningsih (2006), peran serta masyarakat dalam bidang perikanan tangkap dapat dilihat dari beberapa hal berikut: 1. Perencanaan Masyarakat ikut menyusun dan menentukan rencana kerja kegiatan yang akan dilakukan dalam pengembangan perikanan tangkap; 2. Pelaksanaan Masyarakat ikut serta menyumbang pikiran, tenaga dan materi dalam pelaksanaan kegiatan; 3. Evaluasi Kegiatan evaluasi dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengetahui hasil kegiatan serta dampak yang ditimbulkan dengan mengacu pada data yang dikumpulkan dari masyarakat sebagai sasaran kegiatan.
20
Konsep pengelolaan berbasis masyarakat ini memiliki beberapa keunggulan, berikut keunggulan pengelolaan berbasis masyarakat: 1. Keputusan yang dibuat sesuai aspirasi dan budaya lokal Pelaksanaan pengelolaan berbasis masyarakat akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat lokal. Masyarakat akan lebih peka terhadap masalah yang terjadi dan akan sesegera mungkin menyesuaikannya dengan keinginan dan aspirasinya. 2. Keputusan diterima masyarakat lokal Komitmen
masyarakat
sejak
awal
untuk
menerima
pendekatan
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan modal utama untuk mengimplementasikan pengelolaan sumberdaya secara arif dan bijaksana sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal. 3. Pengawasan dilakukan dengan mudah. Pengawasan pengelolaan berbasis masyarakat dilakukan sendiri oleh masyarakat, sehingga pelaksanaannya akan lebih efektif. Di samping keunggulan yang menjanjikan, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan keunggulan. Menurut Nikijuluw (2002), kelemahan tersebut di antaranya seperti: 1. Pengelolaan ini belum tentu dapat mengatasi masalah inter-komunitas. Konflik antar nelayan yang berasal dari dua komunitas berbeda tidak dapat diatasi dengan pendekatan ini. Konflik dapat diatasi dengan membuat sistem yang berjenjang pada tingkat komunitas yang lebih tinggi dari dua komunitas yang saling konflik; 2. Pengelolaan ini bersifat lokal. Masalah yang lebih besar di luar kemampuan masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan pengelolaan berbasis masyarakat ini; 3. Pengelolaan ini mudah dipengaruhi faktor eksternal. Faktor eksternal dengan mudah mempengaruhi pendekatan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan oleh kurang diperhitungkannya dan kurang antisipasi pada saat pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat ini dibentuk sehingga faktor eksternal dapat dengan mudah dalam mempengaruhi pendekatan ini;
21
4. Jika terbatas untuk masyarakat lokal, maka kemungkinan besar akan sulit mencapai skala ekonomi. Pengelolaan berbasis masyarakat yang bersifat lokal dan hanya dianut oleh suatu masyarakat saja, skala usaha secara keseluruhan sering tidak ekonomis. Kondisi seperti ini memberi justifikasi agar skala usaha serta spektrum pengelolaan berbasis masyarakat ini diperluas; 5. Tingginya biaya institusionalisasi. Pendirian pengelolaan berbasis masyarakat membutuhkan biaya yang relatif mahal. Biaya tersebut diperlukan untuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan berbasis masyarakat.
2.5.2 Pengelolaan terpusat Pengelolaan terpusat merupakan suatu pengelolaan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat (centralized goverment management/CGM) dimana dalam perikanan, pengelolaan tersebut dikuatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai wewenang penuh baik, secara makro maupun ekstensif, terhadap pengelolaan sumber daya alam. Pemikiran bahwa laut merupakan milik negara dengan model kebijakan CGM telah memunculkan eksternalitas di bidang perikanan tangkap. Munculnya eksternalitas di perikanan tangkap, dicirikan oleh doktrin milik bersama (common property) yang menyebabkan laut bersifat open access, dimana tidak ada batas seberapa banyak sumber daya ikan boleh ditangkap, jumlah dan jenis alat tangkap yang boleh digunakan, kapan dan dimana saja kegiatan penangkapan ikan boleh dilakukan, dan siapa saja yang mempunyai hak tersebut. Akibat dari doktrin ini adalah laut menjadi perebutan para pelaku yang serakah. Dalam persaingan tersebut, nelayan kecil biasanya selalu mejadi korban perilaku nelayan atau pengusaha bermodal besar.
Kompetisi yang tidak-seimbangan
ini biasanya juga disertai dengan
terjadinya degradasi lingkungan, over fishing, dan masalah-masalah lain yang seringkali memicu terjadinya konflik. Jenis pengelolaan yang sentralistis ini juga cenderung menghasilkan kebijakan hingga pengawasan yang sifatnya cenderung kurang mengakomodasi keterlibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan (Solihin 2010).
22
Beberapa kelemahan dari pengelolaan terpusat, menurut Nikijuluw (2002), di antaranya: 1. Kegagalan mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya perikanan karena keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi karena keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat membutuhkan waktu yang lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah; 2. Kesulitan dalam penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya personil dan fasilitas untuk melakukan pengawasan di lapangan; 3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Peraturan dari pemerintah seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, adat maupun budaya. Sehingga peraturan pemerintah dianggap tidak ada karena kepatuhan masyarakat terhadap peraturan lokal; 4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan. Seringkali masayrakat dihadapkan pada peraturan yang saling bertentangan dan tidak sinergi. Hal ini membuat masyarakat dilema dalam memutuskan peraturan mana yang harus diikuti; 5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang cukup tinggi. Bentuk-bentuk biaya itu adalah biaya administrasi di pusat dan daerah, biaya sosialisasi, biaya pemantauan, biaya pelaporan, dan biaya kegiatan yang tidak diantisipasi sebelumnya; 6. Wewenang yang tebagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. Pelaksanaan pengelolaan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh salah satu lembaga pemerintah. Oleh karena itu, pelaksanaan pengelolaan harus melibatkan beberapa lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan akan lebih besar; 7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat. Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan informasi yang akurat. Jika pengumpulan dan analisis data berada pada tingkat pusat, hal itu akan sulit dilaksanakan karena butuh biaya, waktu dan tenaga yang relatif besar; 8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen. Hal ini dapat terjadi ketika pemerintah harus sesegera mungkin mengatasi permasalahan yang
23
terjadi di lapangan. Jika permasalahan tersebut harus dibawa ke pemerintah pusat dulu untuk mencari perumusan pemecahannya, mungkin masalah lain akan muncul lagi bersamaan ketika solusi masalah pertama dilaksanakan.
2.5.3 Pengelolaan co-management Pengelolaan co-management di dalam perikanan didefinisikan sebagai suatu pengaturan yang bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya perikanan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan masyarakat. Pengelolaan seperti ini dapat dijadikan sebagai salah satu solusi bagi permasalahan yang selama ini timbul mengenai eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan. Pengaturan co-management dapat didefinisikan pula sebagai suatu kemitraan yang dinamis antara kapasitas dan kepentingan pengguna-kelompok dilengkapi dengan kemampuan administrasi perikanan untuk menyediakan perundang-undangan yang mendukung. Keterlibatan
dan
partisipasi
masyarakat
dapat
menciptakan
suatu
keseimbangan kerja sama antara keinginan masyarakat dengan pemerintah dalam rangka merumuskan dan menerapkan skema manajemen yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan yang akan menguntungkan semua pihak. Comanajemen memberikan rasa memiliki terhadap sumberdaya ikan, yang akan membuat masyarakat lebih bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Sistem pengelolaan seperti ini dapat menghemat dalam hal administrasi dan penegakan dibandingkan dengan sistem terpusat (Nikijuluw 2002).
2.6 Landasan Hukum Pengelolaan Perikanan Hukum merupakan suatu peraturan tertulis yang bersifat mengikat dan memiliki sanksi yang tegas terhadap pelanggarannya. Pengelolaan perikanan memerlukan suatu landasan hukum guna menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang boleh dilakukan serta dilarang dalam suatu pengelolaan perikanan. Berikut merupakan penjelasan singkat mengenai hukum-hukum pengelolaan perikanan yang berlaku di Indonesia :
24
2.6.1 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jucto UU No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 menyatakan dalam Bab I Pasal 1 ayat (7) bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati dan Bab IV Pasal 6 ayat (1) menyatakan, pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan RI dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. UU No. 45 Tahun 2009 merupakan revisi terhadap UU No. 31 Tahun 2004, pada Pasal 2 mengenai asas dan tujuan pengelolaan perikanan ditambahkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan.
2.6.2 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam, dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras”. Pada Pasal 18 disebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Selain itu, daerah di berikan hak untuk mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/ di dasar laut. Daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke perairan kepulauan untuk pronvinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
2.6.3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan Usaha perikanan berdasarkan PP No.54 Tahun 2002 didefinisikan sebagai usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan
25
ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Dibutuhkan beberapa dokkumen surat izin sebagai syarat untuk melakukan usaha penangkapan, antara lain : (1) Izin Usaha Perikanan (IUP); (2) Surat Penangkapan Ikan (SPI); (3) Surat Izin Kapal Pengankut Ikan (SIKPI); (4) Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM).
2.6.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan perupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Usaha perikanan tangkap didefinisikan sebagai usaha yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan. Jenis usaha perikanan tangkap meliputi penangkapan ikan, penangkapan dan pengangkutan ikan dalam suatu armada penangkapan ikan dan pengangkutan ikan. Surat-surat izin yang harus dipenuhi dalam usaha perikanan tangkap antara lain: (1) Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP); (2) Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI); (3) Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
2.7 Analisis Permasalahan Perikanan Tangkap Wawancara mendalam (indepth-interview) merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Penelitian studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain. Dalam penelitan kualitatif perlu menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.
26
Pewawancara adalah orang yang menggunakan metode wawancara sekaligus bertindak sebagai ”pemimpin” dalam proses wawancara tersebut. Dia juga berhak menentukan materi yang akan diwawancarakan serta kapan dimulai dan di akhiri. Namun seringkali informan pun dapat menentukan perannya dalam hal kesepakatan mengenai kapan waktu wawancara mulai dilaksanakan dan di akhiri. Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara . informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu obyek penelitian. Pada
metode
penelitian
ini
wawancara
akan
dilakukan
dengan
menggunakan pedoman wawancara. Menurut Poerwandari (1998) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara ini, interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian interviwer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Terdapat 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara (Poerwandari 1998) : 1.
Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan.
2.
Fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu.
3.
Menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Menurut Poerwandari (1998) selain memiliki kekuatan, metode wawancara
juga memiliki kelemahan antara lain : 1.
Retan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang penyusunanya kurang baik.
27
2.
Retan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai.
3.
Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat.
4.
Ada kemungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh interviewer.
2.8
Analisis Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats)
merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Analisa SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif. Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses) dalam menentukan kebijakan perikanan tangkap, serta untuk menganalisis peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip “kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap kesempatan/peluang, dan hilangkan ancaman”.
Pengumpulan Data 1) Faktor internal 2) Faktor Eksternal
Analisis data (Matriks SWOT)
Pengambilan keputusan
Sumber : Rangkuti (2005)
Gambar 1 Kerangka formulasi strategis pengambilan keputusan berdasarkan analisis SWOT. Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan.
28
Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi merupakan hal yang sangat penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan perikanan tangkap. Adanya pola pikir masyarakat yang positif terhadap pemerintah akan memberikan peluang bagi kebijakan pengembangan perikanan tangkap
yang disusun oleh pemerintah. Semakin banyak harapan yang
masyarakat inginkan, maka semakin banyak pula tantangan yang ada, sehingga dalam menganalisis faktor tersebut harus dilakukan dengan penilaian yang benar dan tepat, sehingga tercipta kesepakatan antara pihak masyarakat dengan pemerintah. Peluang Kuadran 1
Kuadran 3 Mendukung strategi turn around
Mendukung strategi agresif
Kelemahan
Kekuatan Kuadran 4
Mendukung strategi defensif
Kuadran 2 Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman Sumber : Rangkuti (2005)
Gambar 2 Kuadran posisi dan strategi pengelolaan menurut analisis SWOT (Rangkuti 2005)
Keterangan : Kuadran 1
: Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan, dimana suatu organisasi mempunyai peluang dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengambilan keputusan. Strategi yang diterapkan disituasi ini adalah kebijakan pertumbuhan;
Kuadran 2
: Meskipun ada ancaman, namun masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam memanfaatkan peluang atas pelaksanaan kebijakan;
29
Kuadran 3
: Dalam kuadran ini, organisasi mempunyai peluang dalam melaksanakan kebijakan, akan tetapi dari pihak internal masih terdapat kelemahan-kelemahan yang harus dikurangi;
Kuadran 4
: Situasi yang sangat tidak menguntungkan karena dalam menentukan dan melaksanakan suatu program terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal.
Keputusan yang dihasilkan analisis SWOT teresbut merupakan suatu strategi yang harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan, yaitu : 1) Strategi SO : Strategi
ini
memanfaatkan
seluruh
kekuatan
unuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk mengatasi ancaman; 3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan yang ada; 4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
2.9 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada. QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang dipaparkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian
30
tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang baik untuk organisasi (David 2003).
31
3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2011 di Surabaya, Jawa Timur. Daerah yang menjadi objek penelitian adalah kawasan pesisir pantai Surabaya (Sukolilo, Kedung Cowek, Kenjeran, Tambak Wedi, Bulak Cumpat, Kejawan Lor, Nambangan) (Lampiran 1).
3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Survei dilakukan untuk mengumpulkan data inventarisasi kegiatan-kegiatan produktif perikanan tangkap, unit penangkapan ikan, kinerja usaha perikanan dan produktivitas perikanan tangkap di pantai Kenjeran, Surabaya.
3.2.1 Pengumpulan Data Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data terkait unit penangkapan ikan, daerah penangkapan ikan, produktivitas perikanan tangkap, efektivitas kebijakan pemerintah kota terkait perikanan tangkap dan permasalahan perikanan tangkap di pantai Kenjeran, Surabaya. Menurut sumbernya, data yang akan diambil bersifat primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui studi pustaka terhadap kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya, pengisian kuisioner, dan wawancara dengan pihak terkait. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang berasal dari Pemerintah Kota Surabaya dan Dinas Perikanan setempat, serta akses internet melalui situs-situs yang terkait dengan penelitian. Dalam pengumpulan data ini akan digunakan kuisioner dan wawancara dengan sejumlah pihak terkait untuk mengetahui aspek teknis unit penangkapan ikan, produktivitas perikanan tangkap, efektivitas kebijakan pemerintah kota terkait perikanan tangkap, dan permasalahan perikanan tangkap di pantai Kenjeran, Surabaya. Kuisioner dibagikan kepada beberapa pihak, yaitu Dinas Perikanan Surabaya (1 buah), perangkat desa (Sukolilo, Kedung Cowek,
32
Kenjeran, Tambak Wedi, Bulak Cumpat, Kejawan Lor, Nambangan) (total 7 buah) dan nelayan (27 buah).
3.2.2 Indepth-interview Wawancara
Mendalam
(indepth-interview)
merupakan
metode
pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Dalam metode ini terdapat dua tahap penelitian, yaitu : 1. Tahap Persiapan Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. 2. Tahap pelaksanaan Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasarkan wawancara dalam bentuk verbatim tertulis. Interview dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas (Patton dalam Poerwandari, 1998). Materi wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah atau tujuan penelitian. Materi wawancara yang baik terdiri dari: pembukaan, isi dan penutup. Pembukaan wawancara adalah kata-kata tegur sapa, seperti nama ibu siapa, alamatnya dimana, berapa anaknya, umurnya berapa dsb. Isi wawancara sudah jelas, yaitu pokok pembahasan yang menjadi masalah atau tujuan penelitian (Lampiran 2). Sedangkan, penutup adalah bagian akhir dari
33
suatu wawancara. Bagian ini dihias dengan kalimat-kalimat penutup pembicaraan, antara lain: saya kira cukup sampai disini wawancara kita, terimakasih atas bantuan bapak, bapak sudah banyak membantu saya, dsb. Pada penelitian ini melibatkan 27 responden yang berasal dari nelayan dan 1 responden berasal dari Subdinas Perikanan dan Kelautan dan 7 responden berasal dari perangkat desa.
3.3 Analisis Data 3.3.1 Deskripsi Analisis secara deskriptif digunakan untuk mengkaji keragaan teknis unit penangkapan ikan di Surabaya dan kegiatan operasi penangkapan ikan. Analisis ini meliputi kapal, alat tangkap, nelayan dan metode pengoperasian penangkapan ikan. Analisis deskriptif juga digunakan untuk menjabarkan permasalahan perikanan tangkap di Surabaya. Informasi yang digunakan berasal dari wawancara mendalan (in-depth interview). 3.3.2 Analisis SWOT Penentuan kebijakan alternatif dianalisis menggunakan SWOT. Tahap pertama dalam analisis ini adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang) yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap. Faktor-faktor yang akan diisi pada tabel internal dan eksternal didasarkan pada kondisi sebenarnya yang diupayakan sekuantitatif mungkin. Informasi yang dipakai dalam melakukan analisis SWOT berasal dari kuisoner, in-depth interview, dan data sekunder.
Tabel 3 Faktor Internal dan Eksternal Faktor internal Kekuatan ............ ............
Faktor Eksternal Ancaman ............ ............
Kelemahan ............ ............
Peluang ............. .............
Sumber : Rangkuti (2005)
34
Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan eksternal (EFAS). Pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut ( Rangkuti 2005): 1) Pada kolom satu diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (matriks internal) serta peluang dan ancaman (matriks eksternal); 2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting) bobot ditentukan berdasarkan penilaian antara faktor horizontal dan vertikal beri nilai 1 apabila faktor vertikal lebih besar pengaruhnya dari faktor horizontal, beri nilai 2 apabila faktor horizontal dan vertikal memberikan pengaruh yang seimbang dan beri nilai 3 bila faktor horizontal memberikan pengaruh lebih besar dari faktor vertikal; 3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4 (pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan kelemahannya sangat kecil maka nilainya 4 ; 4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan rating; 5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom 4. Nilai total tersebut menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal. Perhitungan nilai dimulai dari 1-4. Kriteria nilai adalah sebagai berikut: 1) Penentuan kebijakan yang akan diambil sangat sulit dilakukan karena faktor internal dan eksternal sangat tidak mendukung; 2) Penentuan kebijakan sulit dilakukakan karena masih banyak faktor yang belum mendukung dalam penentuan kebijakan; 3) Penentuan kebijakan lebih mudah dilakukan karena banyaknya faktor pendukung dalam penentuan kebijakan meskipun masih ada beberapa faktor yang kurang mendukung; 4) Penentuan kebijakan sangat baik untuk dilakukan karena faktor internal dan eksternal
sangat
mendukung
dalam
menentukan kebijakan yang akan diambil.
pengambilan
keputusan
untuk
35
Tabel 4 Faktor Strategi Internal (IFAS) Faktor Internal 1. Kekuatan
Bobot
Rating
Bobot x Rating
(hal 34,point 2 IFAS)
(hal 34, point 3 IFAS)
(perkalian antara bobot dengan rating)
Bobot
Rating
Bobot x Rating
(misal: 0,1)
(misal: 4)
(misal: 0,1x4 = 0,4)
............. ............. 2. Kelemahan ............. ............. Sumber: Rangkuti (2005)
Tabel 5 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Faktor Eksternal 1. Peluang ............. ............. 2. Ancaman ............. ............. Sumber : Rangkuti (2005)
Faktor-faktor yang dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, jumlah nilai terbobot dapat berkisar antara 1,0 yang terendah hingga 4,0 yang tertinggi dan 2,5 sebagai rata-rata. Total nilai terbobot yang jauh di bawah 2,5 merupakan ciri organisasi yang lemah secara internal. Sedangkan jumlah yang jauh di atas 2,5 menunjukkan posisi organisasi kuat secara internal. Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT.
36
Tabel 6 Tabel SWOT IFAS EFAS Oportunities (O) ............... ..............
Threats (T) ................. .................
Strengths (S) .................. .................
Weaknesses (W) .................. ...................
Strategi SO (Strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang)
Strategi WO (Srategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang)
Strategi ST (Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman)
Strategi WT (Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman)
Sumber: Rangkuti (2005) Strategi-strategi yang dihasilkan merupakan suatu langkah yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan terbaik yang dapat dilaksanakan. Matriks internal-eksternal (IE) didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE dan EFE yang diberi bobot. Sumbu X adalah total nilai IFE yang diberi bobot dan sumbu Y adalah total nilai EFE yang diberi bobot. Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai dampak strategi yang berbeda, yaitu : 1) Divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV merupakan kondisi tumbuh dan membangun. Strategi yang digunakan adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi kedepan, integrasi kebelakang dan integrasi horizontal). 2) Divisi yang masuk dalam sel III, V dan VII merupakan strategi pertahankan dan pelihara. Strategi yang banyak digunakan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. 3) Divisi yang masuk dalam sel VI, VIII dan IX merupakan kondisi yang tidak menguntungkan. Strategi yang digunakan adalah strategi defensif (divestasi dan likuidasi).
37
Total nilai EFE yang diberi bobot
Total nilai IFE yang diberi bobot Kuat 3.0-4.0
Rata-rata 2.0-2.99
Lemah 1.0-1.99
Tinggi 3.0-4.0
I
II
III
Sedang 2.0-2.99
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Rendah
Sumber: David (2003) 1.0-1.99
Gambar 3 Matriks internal-eksternal (IE) Sumber : David (2003) Gambar 3 Matriks internal – eksternal (IE)
3.3.3 Matriks QSPM Langkah-langkah dalam membuat matriks QSPM adalah sebagai berikut : 1) Buatlah daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan internal kunci di kolom kiri QSPM. 2) Berilah bobot pada setiap faktor internal dan eksternal kunci. 3) Periksalah matriks-matriks pencocokan dan kenalilah strategi-strategi alternatif yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan. 4) Tentukan nilai daya tarik (AS). Cakupan daya tarik adalah : 1 = tidak menarik; 2 = agak menarik; 3 = wajar menarik; 4 = sangat menarik. 5) Hitunglah nilai total daya tarik (WS). Total nilai daya trik didefinisikan sebagai hasil mengalikan bobot dengan daya tarik di masing-masing baris. 6) Hitunglah jumlah total nilai daya tarik. Jumlahkan total nilai daya tarik di masing-masing kolom strategi QSPM, jumlah total nilai daya tarik mengungkapkan strategi yang paling menarik (David, 2003).
38
3.4
Pengambilan Keputusan Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang
diperoleh maka kebijakan yang ditetapkan semakin baik. Hal ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut dapat mengatasi adanya kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya, maka kebijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak yang tidak memuaskan bagi objek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan.
39
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis dan Iklim Surabaya merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, berada pada posisi 07o 09’- 07o 21’ LS dan 112o 36’ – 112o 54’ BT. Memiliki luas wilayah sekitar 33.306,30 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah utara dibatasi oleh Selat Madura; (2) Sebelah timur dibatasi oleh Selat Madura; (3) Sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Sidoarjo; (4) Sebelah barat dibatasi oleh Kabupaten Gresik (Lampiran 3). Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur memiliki 31 kecamatan dengan 160 desa/kelurahan. Adapun dari 31 kecamatan, terdapat 12 kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Namun hanya 9 kecamatan yang terdapat perikanan
tangkap.
Kesembilan
kecamatan
tersebut
adalah
Kecamatan
Gununganyar, Kecamatan Rungkut, Kecamatan Mulyorejo, Kecamatan Bulak, Kecamatan
Asemrowo,
Kecamatan
Benowo,
Kecamatan
Krembangan,
Kecamatan Kenjeran dan Kecamatan Sukolilo. Secara topografis, menurut situs Pemerintah Kota Surabaya yang ditanyangkan dalam website www.surabaya.go.id, Surabaya terdiri atas 80% dataran rendah dengan ketinggian 3-6 m, kemiringan kurang dari 3 % dan 20% wilayah perbukitan dengan gelombang rendah, ketinggian kurang dari 30 m serta kemiringan 5-15%
4.2 Ikim dan Curah Hujan Iklim yang ada di Kota Surabaya adalah iklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau yang berlangsung pada Bulan Mei sampai Bulan Oktober dan musim hujan pada Bulan November sampai Bulan April. Suhu rata-rata maksimum di Kota Surabaya sebesar 35, 2oC dan suhu rata-rata minimum sebesar 23,3oC. Curah hujan yang terdapat di Kota Surabaya rata-rata sebesar 183,2 mm. Namun, pada Bulan Desember hingga Bulan Mei curah hujan mengalami peningkatan menjadi 200 mm. Kota Surabaya memiliki kelembapan udara ratarata maksimum sebesar 42% dan rata-rata minimum sebesar 96% serta memiliki
40
tekanan udara rata-rata maksimum sebesar 1.014,41 Mbs dan rata-rata minimum sebesar 1.005,38 Mbs. Kecepatan angin rata-rata mencapai 7 knot dan kecepatan angin maksimum mencapai 26,3 knot. Arah angin terbanyak pada bulan Januari berasal dari Barat-Barat Laut, bulan Februari berasal dari Barat Laut, bulan Maret sampai bulan Desember berasal dari Timur, menurut situs Pemerintahan Kota Surabaya yang ditayangkan dalam website www.surabaya.go.id.
4.3 Kondisi Demografi 4.3.1 Penduduk Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya budaya. Beragam etnis ada di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa. Etnis Nusantara pun dapat dijumpai, seperti Madura, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli Surabaya membentuk pluralisme budaya yang selanjutnya menjadi ciri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura. Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, sampai dengan bulan Desember 2010. Jumlah penduduk Kota Surabaya yang terdaftar di Kartu keluarga hingga Desember 2010 sebanyak 4.389.140 jiwa. Komposisi penduduk Kota Surabaya pada tahun 2010 berdasarkan jenis kelamin sebanyak
1.459.612 jiwa penduduk laki-laki (33,26%) dan 2.929.528 (66,74 %)
jiwa penduduk perempuan.
4.3.2 Pendidikan Pendidikan adalah salah satu indikator yang dapat digunakan utuk melihat perkembangan kota, termasuk tingkat kecerdasan masyarakat. Di Surabaya, pengembangan kegiatan pendidikan beserta penyediaan fasilitasnya, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh pihak swasta dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Catatan
sejarah
menunjukkan,
pendirian
sekolah
dan
penyelenggaraan pendidikan di Surabaya pertama kali dilakukan pada tahun 1818. Sebagai kota pendidikan, Surabaya telah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, meliputi tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Hampir di semua bidang ilmu pengetahuan dengan tingkat
41
stratum dari akademi dan politeknik, dari S0, S1, S2 hingga S3, dapat ditemukan di lembaga pendidikan di Surabaya. Pengembangan sebagai kota pendidikan bertujuan untuk pengembangan kualitas SDM yang ada. Hingga saat ini, jumlah sekolah yang ada di Surabaya, adalah : (1) Kelompok bermain/pra sekolah : 1070 buah; (2) SD negeri dan swasta : 969 buah; (3) SLTP negeri dan swasta : 342 buah; (4) SMU dan SMK negeri dan swasta : 266 buah; (5) Perguruan Tinggi negeri dan swasta : 60 buah.
4.4 Perdagangan dan Industri Sejak jaman Majapahit, Surabaya telah menjadi area bertemunya berbagai manusia dalam kegiatan perdagangan. Dalam perjalanannya, semenjak jaman Hindia Belanda hingga kemerdekaan, hingga sekarang ini, Surabaya menjadi pusat berbagai aktivitas bisnis dan perdagangan. Di Surabaya, Berbagai kegiatan transaksi perbankan berlangsung. Kantor-kantor bank yang terdapat di Surabaya, bukan hanya melayani warga Surabaya, tetapi juga ”mengendalikan” operasional perbankan di berbagai daerah lainnya di Jawa Timur maupun propinsi lainnya. Di pusat kota, juga terdapat pusat perdagangan internasional atau yang terkenal disebut World Trade Centre; kegiatan valas (perdagangan uang), serta lembaga keuangan lainnya. Surabaya memiliki beberapa sentra bisnis yang bisa dijadikan investasi. Di Surabaya Pusat, dapat ditemui berbagai macam kantor bisnis. Diantaranya perbankan, valas dan bursa modal, jasa telekomunikasi, pengangkutan, ekspor impor, pariwisata, dan lain sebagainya. Tak ketinggalan, di kawasan tengah kota juga terbuka luas peluang bisnis jasa yang luas. Di Surabaya Timur, perkembangan bisnis juga cukup bagus. Sebuah mall mewah, berdiri disana dan menjadi pusat perbelanjaan yang ramai. Sepanjang jalan Kertajaya (menuju arah ITS), berkembang pesat bisnis kuliner dan tempat makan. Surabaya bagian timur tidak terlalu banyak terdapat perkantoran, hanya ada bisnis perbankan di kawasan Kertajaya, Mulyosari dan sekitar Sukolilo. Selain itu, bisnis yang juga banyak dijumpai di kawasan ini adalah penginapan, rumah kost dan jasa hiburan serta telekomunikasi.
42
Kawasan Surabaya Barat juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ditandai dengan berdirinya beberapa sentra bisnis baru daerah HR Muhammad, kawasan perkantoran dan bisnis di Graha Family dan pusat perbelanjaan Supermal Pakuwon, maupun apartemen-apartemen dan perumahan baru. Kini, Surabaya Barat telah menjadi wilayah modern dan sangat ramai. Sejumlah kawasan telah menjadi pusat kuliner yang menjadi tempat santai di kala malam hari; seperti GWalk di kawasan Citra Land, dan kawasan sepanjang Graha Family. Akses ke Surabaya Barat sangat mudah dan menjadi wilayah yang menarik banyak orang untuk mengunjunginya. Di kawasan Surabaya Utara, yang lebih dekat dengan kawasan pelabuhan Tanjung Perak, banyak berdiri kantor-kantor yang bergerak di bidang pengangkutan barang, ekspor-impor dan agen perjalanan wisata. Di kawasan ini, sejak lama telah berlangsung transaksi perdagangan dan sekaligus tempat bongkar muat barang antar negara dan antar pulau. Bahkan kini Tanjung Perak menjadi semakin sibuk dan Pemerintah Kota Surabaya berencana mengembangkan wilayah pelabuhan kearah Kali Lamong. Ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan yang terus meningkat untuk tempat bongkar-muat dan arus barang yang masuk dan keluar melalui Surabaya. Di kawasan Surabaya Selatan, pertumbuhan bisnis juga terus berkembang. Jika dahulu sentra bisnis bagian selatan hanya berpusat di Wonokromo, maka kini terus mengarah ke selatan. Sepanjang Jalan Ahmad Yani bertumbuhan pusat bisnis; seperti Royal Plaza, Graha Pena, dan sebagainya. Saat ini di bagian selatan Kota Surabaya, tepatnya di Waru sebuah sentra bisnis baru muncul, dengan dibukanya CITO. Pusat bisnis baru ini juga melengkapi pusat bisnis yang sudah ada, Graha Pena dan Graha Pangeran disamping dibangunnya apatemen-partemen di kawasan Surabaya Selatan. Dalam perkembangannya, bisnis di Surabaya selatan lebih mengarah pada edukasi, ini ditandai dengan pembangunan apartemen metropolis, yang dikhususkan bagi pelajar dan mahasiswa serta Universitas Pelita Harapan dan DBL Arena yang dimanfaatkan untuk kegiatan kompetisi bola basket para siswa SMA dan sederajat. Bisnis lain yang mungkin dikembangkan adalah teknologi informasi dan media yang selama ini masih terus berkembang.
43
4.5 Perekonomian Daerah Kota Surabaya merupakan suatu kawasan yang mengedepankan sektor perdagangan industri dan jasa. Perdagangan, industri dan jasa mendapat prioritas utama bagi para investor yang akan berinvestasi di kota ini. Bermunculannya para investor di kota ini membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya mengalami peningkatan. Kota Surabaya merupakan kota tercepat pertumbuhan ekonominya di Wilayah Jawa Timur. PDRB Kota Surabaya Pada Triwulan III tahun 2010 Atas Dasar Harga Berlaku sebesar Rp.44,57 triliun dan Atas Dasar Harga Konstan sebesar Rp.20,3 triliun. Ditinjau secara sektoral, PDRB Harga Berlaku untuk Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran pada triwulan III-2010 sebesar Rp. 17,9 triliun atau menyumbang 40,17% dari total PDRB. PDRB Sektor Industri Pengolahan sebesar Rp. 12,42 triliun atau menyumbang 27,87% PDRB total. PDRB Sektor Jasa-Jasa sebesar Rp. 2,87 triliun atau sebesar 6,45% dari total PDRB. Pertumbuhan Ekonomi Surabaya pada triwulan III-2010 sebesar 7,53%. Pertumbuhan tertinggi berdasarkan sektor ekonomi adalah Sektor Pengangkutan dan Komunikasi sebesar 9,98% pada triwulan III-2010. Pertumbuhan yang cukup tinggi juga dialami oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 9,67% dan Sektor Konstruksi sebesar 9,13%. Fluktuasi nilai PDRB subsektor perikanan, lebih dikarenakan faktor internal seperti aktifitas penangkapan ikan, armada penangkapan ikan dan kenaikan harga BBM. Sedangkan faktor eksternal seperti penambangan pasir secara liar, permintaan tenaga kerja di sektor lain, pembangunan-pembangunan di pesisir serta reklamasi secara besar-besaran. Namun, subsektor perikanan masih mendominasi dari persentase sektor pertanian. Penjelasan mengenai keadaan umum lokasi penelitian, menggambarkan bahwa Surabaya merupakan kota besar dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Selain itu, Surabaya merupakan kota yang mengedepankan jasa perdagangan dan Industri. Hal ini dikarenakan berbagai akses yang mudah dijangkau dari Kota Surabaya untuk melakukan perdagangan dan berbagai
44
fasilitas yang terdapat di Surabaya sehingga Surabaya mampu menjadi kota jasa perdagangan dan industri.
45
5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP SURABAYA
5.1 Perikanan Kota Surabaya Sektor perikanan di Kota Surabaya terdiri dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap umumnya dilakukan oleh nelayan yang bermukim di sekitar pesisir Kota Surabaya dengan alat tangkap yang relatif sederhana. Nelayan Kota Surabaya masih tergolong nelayan tradisional. Terdapat dua belas kecamatan yang berada di pesisir Kota Surabaya, namun hanya ada sembilan yang terdapat sektor perikanan tangkap. Perikanan budidaya masih mendominasi jika di bandingkan dengan perikanan tangkap. Sumberdaya ikan yang tersedia di perairan Surabaya pada umumnya terdiri dari udang dan sejumlah ikan dan binatang air lainnya dengan nama lokal seperti keting, ikan bulu ayam, gelomoh, sembilang, gerago, teri, rajungan, kepiting, lobster, kerang manuk dan kerang darah (Pristyandana 2010).
5.2 Perikanan Tangkap Kota Surabaya Aktivitas perikanan tangkap di Kota Surabaya telah berlangsung sejak lama. Nelayan yang bermukim disekitar pesisir Kota Surabaya telah lama melakukan penangkapan ikan di perairan Surabaya dengan alat tangkap yang sederhana. Hasil tangkapan mereka umumnya dipasarkan di pasar lokal dan beberapa langsung didistribusikan ke hotel-hotel melalui tengkulak. Nelayan Kota Surabaya umumnya menangkap di sekitar Selat Madura. Aktivitas penangkapan ikan di kota ini berlangsung sepanjang tahun. Hal ini disebabkan terlindungnya perairan Selat Madura sehingga dapat menekan berbagai macam gangguan terutama dari gangguan alam. Namun tidak semua ikan hasil tangkapan di Surabaya didaratkan langsung oleh nelayan Surabaya, sebagian diperoleh dari daerah Probolinggo, Brondong dan Lamongan.
5.3 Unit Penangkapan Ikan Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis yang tidak dapat dipisahkan dalam operasi penangkapan ikan, terdiri dari kapal, alat tangkap dan
46
nelayan. Unit penangkapan ikan yang beroperasi di sekitar perairan Pantai Kenjeran Surabaya adalah jaring klitik, Trammel Net, Pancing dan alat pengumpul kerang (kompressor).
5.3.1 Kapal atau Perahu Kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan
untuk
melakukan
penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal merupakan sarana yang penting selain alat tangkap. Perahu yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan di Surabaya terbagi menjadi dua jenis yaitu perahu tanpa motor dan perahu motor tempel.
Tabel 7 Jumlah armada penangkapan di Kota Surabaya ahun 2005-2010 Tahun Perahu Layar 2005 52 2006 156 2007 2008 700 2009 601 2010 452 Sumber : Surabaya dalam angka 2005-2010
Perahu Motor Tempel 1099 1277 1077 1257 1295 1376
Armada penangkapan ikan yang banyak digunakan nelayan Surabaya adalah perahu tradisional yang terbuat dari kayu jati dengan ukuran panjang 7 meter, lebar 1,5 meter dan draft 0,5 meter dengan alat tangkap mayoritas jaring klitik, trammel net dan pancing. Setiap armada penangkapan boleh mengoperasikan alat tangkap lebih dari satu. Perahu motor tempel yang terdapat di Surabaya menggunakan tenaga penggerak mesin tempel dengan kekuatan 5 PK. Hampir seluruh perahu di Surabaya memiliki ukuran yang seragam. Perahu yang terdapat di Surabaya umumnya berasal dari daerah Kwanyar, Madura.
47
5.3.2 Alat Tangkap Alat tangkap merupakan salah satu unit penangkapan ikan. Alat tangkap yang umum di gunakan nelayan tradisional Surabaya adalah jaring klitik, trammel net dan pancing. Pada umumnya tiap satu daerah pesisir di Surabaya memiliki alat tangkap yang seragam. Hal tersebut terjadi karena dalam satu daerah tersebut memiliki hubungan kekeluargaan sehingga mewariskan cara penangkapan yang sama. Jumlah alat tangkap yang terdapat di Surabaya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8 Jumlah dan jenis alat tangkap di Surabaya Tahun
Alat Tangkap Jaring Trammel Pancing Klitik Net 2005 1571 1466 1394 2006 165 1075 351 2007 1028 765 297 2008 1387 825 2009 1876 855 1038 2010 1876 855 1038 Sumber : Surabaya dalam angka 2005-2010
Jumlah Lainlain 1021 785 767 463 538 538
5452 2376 2857 2675 4307 4307
Terdapat tiga alat penangkapan utama yang umum digunakan oleh nelayan Surabaya, yaitu jaring klitik, trammel net dan pancing. Alat tangkap lain-lain yang terdapat di Surabaya diantaranya yaitu bubu, kompressor, petorosan dan satang. Namun, karena jumlahnya tidak sebanyak tiga alat tangkap yang telah disebutkan, pihak pengelola perikanan Surabaya mengatagorikan alat tangkap tersebut dalam katagori lain-lain.
5.3.3 Nelayan Nelayan
merupakan
orang
yang
mata
pencahariannya
melakukan
penangkapan ikan. Nelayan di Surabaya merupakan nelayan lokal yang rata-rata masih memiliki hubungan kekeluargaan di setiap daerahnya. Nelayan di Surabaya sebagian besar merupakan nelayan pemilik alat tangkap sekaligus orang yang melakukan operasi penangkapan ikan. Umumnya usaha penangkapan ikan yang
48
dilakukan nelayan Surabaya masih dalam skala kecil dan tradisional. Nelayan Surabaya sebagian besar merupakan nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya sebagai nelayan. Jumlah nelayan di Surabaya dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9 Perkembangan jumlah nelayan Surabaya Tahun 2005-2010 No Tahun 1. 2005 2. 2006 3. 2007 4. 2008 5. 2009 6. 2010 Sumber : Surabaya dalam angka 2005-2010
Jumlah (orang) 1894 2868 1982 1740 1896 1839
Jumlah nelayan Surabaya mengalami peningkatan dan penurunan di setiap tahunnya. Jumlah nelayan tertinggi berada pada tahun 2006 yaitu sebesar 2868 jiwa. Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah nelayan cenderung mengalami penurunan yang disebabkan perpindahan mata pencaharian utama, dari nelayan menjadi kuli bangunan. Hal ini dikarenakan banyaknya pembangunan di sekitar pesisir Surabaya yang memaksa nelayan mengganti pekerjaannya menjadi kuli bangunan.
Sumber : Surabaya dalam angka 2005-2010 Gambar 4 Perkembangan jumlah nelayan Surabaya Tahun 2005-2010
49
Perkembangan jumlah nelayan Surabaya meningkat pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 mengalami penurunan yang cukup signifikan dikarenakan terjadinya peningkatan harga BBM, sehingga beberapa nelayan menghentikan kegiatan penangkapan dan beralih ke profesi lain. Jumlah nelayan Surabaya dari tahun 2005 hingga 2010 mengalami penurunan sebesar 98,08 satuan.
5.4 Jenis Hasil Tangkapan yang didaratkan Jenis hasil tangkapan yang didaratkan oleh nelayan Surabaya bermacammacam, namun mayoritas ikan-ikan hasil tangkapan yang ditangkap adalah ikanikan demersal. Secara umum hasil tangkapan yang didaratkan di Surabaya meliputi ikan peperek (Leiognathus spp), manyung (Netuma thalassina), kakap(Lutjanus spp), gulamah (Nibea albiflora), belanak (Mugil cephalus), teri (Stolephorus spp), layur (Trichiurus spp), rajungan (Portunus pelagicus), kepiting (Cylla serrata), udang putih/ jerbung (Penaeus merguiensis), simping (Amusium spp), kerang darah (Anadara granosa ) dan cumi-cumi (Loligo spp). Jenis-jenis ikan yang belum teridentifikasi oleh Dinas Pertanian Subdinas Perikanan dan Kelautan Surabaya dikelompokkan dalam satu katagori, yaitu ikan lain-lain.
5.5 Daerah Penangkapan Ikan Nelayan perahu layar dan perahu motor tempel di Surabaya masih kesulitan dalam mencapai fishing ground karena mereka menggunakan perahu yang kecil berukuran 5 GT. Hal ini mengakibatkan jangkauan operasi penangkapan ikan terbatas hanya di sekitar pantai. Nelayan Surabaya hanya mempunyai jangkauan daerah penangkapan di sekitar Selat Madura, Juanda, Tanjung Perak dan yang terjauh yaitu Sidoarjo (lampiran 1). Wilayah kewenangan perairan Surabaya tidak sampai 4 mil dari pantai hal ini dikarenakan wilayah Surabaya berdekatan dengan Pulau Madura sehingga wilayah teritorial perairan Surabaya hanya sekitar 2 mil dari garis pantai.
5.6 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Surabaya dari Tahun 2005-2010 mengalami pasang surut. Pada tahun 2006, nilai produksi
50
sempat mengalami penurunan dan pada tahun 2007 produksi (ton) sempat mengalami penurunan pula. Secara garis besar, produksi dan nilai produksi perikanan di surabaya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Surabaya 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (Ton) 5.762,66 5.906,73 5.403,50 6.737,87 7.074,94 7.594,52
Jenis Nilai produksi (Rp.000) 36.474.389 34.964.308 36.658.668 49.593.560 52.028.222 122.674.239
Sumber: Surabaya dalam angka 2005-2010
Pada tabel di atas, terlihat bahwa produksi dan nilai produksi secara garis besar mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2007 produksi perikanan sempat menurun. Pada tahun 2006 terlihat nilai produksi sempat menurun sebesar 1.510.081, dari 36.474.389 menjadi 34.946.308. Namun pada tahun-tahun berikutnya baik nilai produksi maupun produksi terus mengalami peningkatan.
Sumber : Diolah dari data primer 2011 Gambar 5 Produksi perikanan tangkap Surabaya 2005-2010 Grafik yang tersaji pada produksi perikanan tangkap di Surabaya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2007 yang sedikit mengalami penurunan. Nilai persamaan yang terdapat pada grafik tersebut yaitu y = 400 x +
51
5013. Produksi perikanan tangkap Surabaya mengalami peningkatan sebesar 400 satuan dari tahun 2005 hingga tahun 2010.
Sumber: Diolah dari data primer 2011 Gambar 6 Nilai produksi perikanan tangkap Surabaya 2005-2010 Kurva di atas menunjukkan nilai produksi (Rp 000,-) perikanan Surabaya. Grafik yang tersaji mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2006. Nilai persamaan yang terdapat pada grafik tersebut yaitu y = 1E + 07x + 6E +06. Nilai
menunjukkan bahwa setiap tahunnya nilai produksi perikanan
Surabaya mengalami peningkatan sebanyak 1E + 07 satuan.
5.7 Penanganan Hasil Tangkapan Produk perikanan merupakan produk yang memiliki sifat mudah rusak sehingga diperlukan suatu penanganan khusus agar produk perikanan tersebut dapat dijaga mutunya. Pada umumnya, nelayan Surabaya kurang memperhatikan penanganan hasil tangkapan. Penanganan ikan diatas kapal dilakukan hanya dengan menyimpannya di dek kapal atau dimasukkan kedalam tong kecil tanpa memberikan es atau garam. Penyortiran terhadap hasil tangkapan dilakukan ketika nelayan telah sampai di pantai.
5.8 Pemasaran Hasil Tangkapan Pemasaran hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan Surabaya pada umumnya langsung di jual ke pengumpul. Setelah dari pengumpul, ikan hasil
52
tangkapan biasanya langsung di jual di pasar-pasar tradisional di Surabaya seperti pasar asemrowo, pasar krembangan, pasar pabean, pasar tambak rejo dan pasar keputaran. Ikan- ikan yang memiliki kualitas bagus di pasarkan ke hotel-hotel di Surabaya. Tetapi, mayoritas nelayan membawa hasil tangkapan ke rumah untuk diolah oleh keluarganya. Hasil tangkapan nelayan lokal merupakan sumber bahan baku utama dari produk-produk pangan olahan yang menjadi ciri khas produk perikanan di Surabaya. Biasanya hasil olahan hasil tangkapan tersebut berupa ikan asin, ikan asap dan berbagai macam kerupuk dari ikan. Kemudian, ikan-ikan hasil olahan tersebut dijual di sentra-sentra pemasaran hasil olahan produk perikanan yang berlokasi tidak jauh dari pemukiman mereka.
5.9 Sarana dan Lembaga Penunjang Usaha Perikanan 5.9.1 Pasar Produk Hasil Laut Pasar produk hasil laut yang akan menjadi sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut di Surabaya masih dalam tahap pembangunan. Pasar ini terletak di Kecamatan Bulak. Lokasi ini dipilih karena tempatnya strategis, berdekatan dengan kawasan wisata seperti pantai Kenjeran dan Jembatan Suramadu terlebih Bulak merupakan wilayah dengan hasil laut yang paling baik dibanding wilayahwilayah lainnya yang bersinggungan dengan laut. Pembangunan sentra pengolahan dan pemasaran produk perikanan ini ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2010. Namun, hingga tahun 2011 pembangunan pasar ini belum selesai dikerjakan. Saat ini, hampir semua fasilitas telah rampung di buat dan tinggal menunggu penyelesaian sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Pasar ini dibuat dengan tujuan untuk mengangkat perekonomian masyarakat setempat dan memberdayakan para nelayan. Pasar ini akan dibagi menjadi empat bagian, dimana setiap bagian merupakan bentuk berbeda dari olahan hasil laut. Bagian pertama adalah pasar basah untuk menjual ikan segar. Mereka dilekakkan di lantai satu bangunan. Bagian kedua ialah olahan hasil laut dalam bentuk pasar kering yang akan diletakkan di lantai satu bangunan juga. Namun, bagian kedua diletakkan agak jauh dari bagian pertama dengan konsep rapih dan bersih agar pembeli merasa nyaman. Bagian ketiga adalah kawasan kuliner. Di lokasi tersebut dijajakan
53
makanan jadi, berbahan baku hasil tangkapan nelayan. Sedangkan bagian keempat adalah pusat suvenir. Berupa oleh-oleh khas kawasan utara. Misalnya, kerajinan dari daur ulang produk laut seperti kerajinan kerang dengan berbagai variasi hiasan.
5.9.2 Sentra kerajinan hasil laut dan sentra olahan hasil laut Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membangun kawasan sentra kerajinan hasil laut berupa kerang di daerah Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang berdampingan dengan kawasan wisata Pantai Kenjeran. Pantai Kenjeran ini pada musim liburan maupun hari minggu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Wisatawan dapat membeli oleh-oleh souvenir kerang di sentra kerajinan kerang ini dengan harga yang lebih murah bila dibanding dengan membeli oleh-oleh suvenir di dalam lokasi Taman Hiburan Pantai Kenjeran. Selain oleh-oleh berupa suvenir kerang, wisatawan dapat membeli oleholeh hasil laut lainnya, seperti keripik maupun kerupuk ikan, teripang, lorjuk dan berbagai hasil laut lainnya. Sentra olahan hasil laut ini terletak tidak jauh dari Kelurahan Kenjeran, yaitu di kelurahan Sukolilo yang bersebelahan dengan Kelurahan Kenjeran. Sentra-sentra ini memudahkan wisatawan untuk menemukan lokasi pusat oleh-oleh hasil laut dengan berbagai macam pilihan kerajinan maupun olahan laut.
5.9.3 Kelompok nelayan Mayoritas nelayan Surabaya pada setiap lokasi memiliki hubungan keluarga. Namun, belum diketahui secara pasti apakah setiap pendatang boleh menjadi bagian dari nelayan tersebut. Dibanyak pemukiman nelayan Surabaya, umumnya mereka membentuk kelompok berdasarkan lokasi tinggal. Tetapi ada satu daerah yang memiliki kelompok-kelompok nelayan secara jelas, yaitu Kelurahan Kedung Cowek. Di Kelurahan Kedung Cowek ini, mayoritas nelayannya menggunakan alat tangkap jaring klitik. Terdapat tiga kelompok di Kelurahan Kedung Cowek ini, yaitu kelompok Kerapu, kelompok Mandiri dan kelompok Cumi-cumi. Meskipun namanya berbeda-beda tetapi alat tangkap dan ikan targetnya sama yaitu menggunakan jaring klitik dan sama-sama mencari
54
rajungan. Anggota kelompok terbanyak yaitu kelompok Mandiri dengan jumlah kurang lebih 86 orang nelayan, kemudian kelompok cumi-cumi dengan jumlah 67 orang nelayan dan yang paling sedikit jumlah kelompoknya adalah Kelompok Kerapu dengan jumlah 44 orang nelayan. Dilihat dari segi sosialnya, Kelompok Kerapu lebih terbuka terhadap pendatang. Namun jika dilihat dari segi organisasi dan pembagian tugas, kelompok cumi-cumi lebih unggul dengan memiliki jadwal jaga pos dan sanksi-sanksi apabila melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Setiap kelompok sudah memiliki posko masing-masing untuk berkumpul. Posko kelompok cumi-cumi paling terawat dibanding posko kelompok lainnya. Di Posko cumi-cumi juga terdapat koperasi kecil buatan mereka sendiri yang menjual berbagai keperluan melaut seperti alat tangkap, bahan bakar, spare part perahu dan lain sebagainya. Adanya kelompok-kelompok seperti ini dapat memudahkan pihak dinas-dinas terkait untuk membagikan subsidi maupun bantuan lainnya. Di beberapa lokasi pemukiman, terdapat beberapa konflik mengenai pembagian bantuan dari Pemerintah Kota (Pemkot). Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyediakan beberapa bantuan namun dalam pembagiannya, kelompokkelompok nelayan tersebut diharuskan membuat pengajuan proposal bantuan terlebih dahulu. Wilayah pemukiman yang tidak mempunyai pembagian kelompok nelayan secara jelas, akan mengalami kesulitan dalam pembagian bantuan secara adil. Biasanya, wilayah yang tidak memiliki kelompok secara jelas, akan diwakilkan oleh salah satu warga yang dianggap sebagai ketua nelayan untuk mengajukan proposal pengajuan bantuan. Namun, setelah bantuan tersebut diberikan dan diwakilkan kepada ketua nelayan tersebut, biasanya bantuan tersebut tidak dibagikan secara menyeluruh. Banyak nelayan yang tidak mendapatkan bagian dari bantuan tersebut dan mengeluhkan hal ini. Rata-rata, bantuan tersebut hanya didistribusikan kepada orang-orang terdekat dari ketua nelayan tersebut. Konflik inilah yang masih sering terjadi di wilayah-wilayah yang belum memiliki pengaturan kelompok secara jelas. Pengelolaan perikanan tangkap di Surabaya secara keseluruhan masih tergolong kepada pengelolaan berbasis masyarakat hal ini disebabkan kurangnya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat. Diharapkan pengelolaan perikanan di Surabaya di masa depan
55
dapat memakai konsep co-management agar pengelolaan perikanan tangkap Surabaya dapat lebih baik.
5.9.4 Dinas Pertanian Surabaya Dinas Pertanian Surabaya merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah Surabaya. Dinas Pertanian Surabaya membawahi Subdinas Perikanan Surabaya. Dinas Pertanian dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang secara langsung bertanggung jawab kepada Kepala Daerah, sedangkan kepala Subdinas Perikanan dan Kelautan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Pertanian. Struktur organisasi Dinas Pertanian Surabaya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tugas dari Dinas Pertanian yaitu melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan di bidang : a) Pemberdayaan Masyarakat; b) Pertanian dan Ketahanan Pangan; c) Kehutanan d) Kelautan dan Perikanan e) Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian. Subdinas Perikanan dan Kelautan mempunyai fungsi melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang Perikanan dan Kelautan. Di dalam Subdinas Perikanan dan Kelautan juga di bagi menjadi dua bidang yaitu seksi usaha dan produksi serta seksi sarana prasarana dan pengelolaan sumberdaya. Fungsi dari Seksi Usaha dan Produksi adalah : 1) Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang usaha dan produksi ; 2) Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang usaha dan produksi ; 3) Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang usaha dan produksi ; 4) Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang usaha dan produksi ; 5) Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas ;
56
6) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Perikanan dan Kelautan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Seksi Sarana Prasarana dan Pengelolaan Sumber Daya mempunyai fungsi : 1) Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang sarana prasarana dan pengelolaan sumber daya ; 2) Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang sarana prasarana dan pengelolaan sumber daya ; 3) Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang sarana prasarana dan pengelolaan sumber daya ; 4) Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang sarana, prasarana dan pengelolaan sumber daya ; 5) Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas ; 6) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Perikanan dan Kelautan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
57
6 HASIL PENELITIAN
6.1 Deskripsi Teknis Unit Penangkapan Ikan yang Dominan di Surabaya Unit penangkapan ikan di Surabaya terdiri dari tiga alat tangkap utama yaitu jaring klitik, trammel net dan pancing. Masing-masing daerah pada umumnya hanya menggunakan salah satu dari ketiga jenis alat tangkap tersebut.
6.1.1 Jaring klitik 1) Kapal/perahu Kapal/perahu yang digunakan nelayan Surabaya pada saat operasi penangkapan rata-rata memiliki umur teknis selama 10 tahun. Perahu-perahu tersebut tidak memiliki palkah untuk menampung hasil tangkapan. Perahu jaring klitik terbuat dari kayu. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu jati. Perahu jaring klitik rata-rata berukuran panjang (LOA) 7 m; lebar (b) 1,5 m; dan draft (d) 0,5 m. Pada umumnya perahu-perahu tersebut menggunakan mesin dengan kekuatan 5 PK. Perawatan perahu dilakukan setiap tiga minggu sekali berupa pendempulan. Sedangkan pengecetan perahu dilakukan setahun sekali. Perawatan mesin dilakukan hanya saat menggali oli mesin. Mesin diletakkan di bagian kiri perahu sedangkan alat tangkap diletakkan di bagian kanan perahu.
2) Alat tangkap Jaring klitik merupakan salah satu alat tangkap di Surabaya yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan di laut. Berdasarkan cara pengoperasiannya, jaring klitik termasuk kedalam klasifikasi jaring klitik (Shrimp entangle gillnet). Secara umum, desain dan kontruksi jaring klitik yang dioperasikan di Surabaya terdiri atas badan jaring, badan jaring klitik yang dioperasikan di Surabaya umumnya terbuat dari PA monofilament berwarna putih transparan dan memiliki diameter benang sebesar 0,3 mm. Ukuran mata jaring yang digunakan untuk menangkap rajungan ini sebesar 4 inchi. Jaring ini dapat menangkap rajungan, udang dan ikan-ikan demersal lainnya.Tali ris, Tali ris pada jaring klitik terbagi menjadi tali ris atas dan tali ris bawah. Tali tersebut terbuat dari PE
58
multifilament dengan diameter 3 mm. Tali ris atas dipasang di bawah tali pelampung, sedangkan tali ris bawah dipasang di atas tali pemberat. Panjang tali ris atas dan bawah adalah 200m untuk setiap piece-nya. Pelampung dan tali pelampung, Pelampung yang digunakan pada alat tangkap jaring klitik di Surabaya terbuat dari karet sandal berdiameter 5 cm. Dalam satu piece jaring terdapat 70 buah pelampung. Pemberat, jaring klitik menggunakan pemberat yang terbuat dari timah hitam berbentuk elips dengan bobot 1,5 gram dan untuk satu piece jaring klitik dibutuhkan pemberat dengan bobot total 3 kg. Pelampung tanda, pelampung tanda yang digunakan di Surabaya, terbuat dari styrofoam dengan batang bambu dibagian tengahnya. Pemberat tambahan, pemberat tambahan yang digunakan di Surabaya berupa batu dengan bobot 3,5 kg. Pemberat ini berfungsi membuat jaring klitik lebih melengkung saat setting di laut.
Keterangan : (1) Badan jring : # 4’ ; PA Mono – 0,3 mm; (2) Tali ris : PE Multi ; 3 mm; (3) Pelampung sandal : karet ; 5 cm; (4) Tali pelampung : PE Multi ; 3 mm; (5) Pemberat : timah ; 5 mm; (6) Tali pemberat : PE Multi ; 3 mm; (7) Pelampung tanda: styrofoam ; 20 x 10 x 30 cm; (8) Tiang pelampung tanda : bambu ; 5 cm; (9) Tali pelampung tanda : PE Multi ; 6 mm; (10) Pemberat tambahan : batu ; 3,5 kg Sumber : Diolah dari data primer tahun 2011
Gambar 7 Konstruksi alat tangkap jaring klitik
59
3) Nelayan Nelayan yang mengoperasikan jaring klitik di Surabaya umumnya adalah nelayan penuh, dimana seluruh waktu kerjanya adalah sebagai nelayan. Nelayan jaring klitik berjumlah dua orang dan pada umumnya masih merupakan satu anggota keluarga. Satu orang bertugas sebagai juru mudi dan satu orang sebagai ABK. Nelayan jaring klitik mengoperasikan alat tangkap selama setahun penuh. Hal ini dikarenakan daerah penangkapan ikan nelayan jaring klitik terlindung yaitu di sekitar selat madura. Sistem bagi hasil yang diterapkan nelayan jaring klitik 50:50 setelah dikurangi dengan biaya operasional. 4) Metode operasi penangkapan Operasi penangkapan ikan nelayan jaring klitik umumnya one day fishing. Berangkat pada dini sekitar pukul 03.00 dan pulang pada siang hari sekitar pukul 14.00. Pengopeasian jaring klitik terbagi menjadi lima tahap yaitu tahap persiapan, tahap pemasangan jaring (setting), tahap perendaman (soaking), tahap penarikan jaring (hauling) dan tahap pelepasan hasil tangkapan. Tahap persiapan meliputi persiapan bahan bakar, persiapan alat tangkap dan persiapan perbekalan. Setelah tahap persiapan selesai, maka kapal menuju fishing ground. Ketika akan tiba di fishing ground, nelayan mempersiapkan alat tangkap jaring klitik beserta pelampung tanda dan pemberat tambahannya. Kemudian jaring diturunkan, selama penurunan jaring, laju kapal dikurangi. Proses penurunan diawali dengan menurunkan batu pemberat, kemudian pelampung tanda pertama diikuti dengan jaring dari piece pertama hingga piece terakhir selanjutnya diakhiri dengan pelampung tanda kedua dan batu pemberat. Setelah proses setting dilakukan, proses berikutnya adalah perendaman jaring klitik selama 3 jam. Kemudian tahap berikutnya yaitu penarikan jaring klitik, waktu yang dibutuhkan untuk menarik jaring klitik ini pada umumnya setengah jam. Proses penarikan (hauling) diawali dengan mengangkat pelampung tanda dan batu pemberat. Kemudian mengangkat jaring klitik tersebut hingga piece terakhir. Pelepasan hasil tangkapan tidak dilakukan diatas perahu melainkan saat nelayan telah sampai di fishing base.
60
6.1.2 Trammel net 1) Kapal/Perahu Perahu yang digunakan oleh nelayan Surabaya semuanya terbuat dari kayu, dengan ukuran seragam yaitu panjang (LOA) 7 m; lebar (b) 1,5 m; dan draft (d) 0,5 m. Perahu trammel net memiliki kekuatan mesin 5 PK. Daya tahan ekonomis dari perahu trammel net yaitu sekitar sepuluh tahun. Perawatan yang dilakukan adalah perawatan rutin dan perawatan tahunan. Perawatan rutin yaitu pendempulan dan perawatan tahunan yaitu pengecetan. Pendempulan dilakukan setiap tiga minggu sekali, sedangkan pengecatan dilakukan setahun sekali. 2) Alat tangkap Salah satu alat tangkap yang digunakan nelayan Surabaya adalah trammel net dalam bahasa lokal disebut dengan jaring gadang. Panjang jaring yang biasa dioperasikan nelayan setempat yaitu 30 piece, setiap piece memiliki panjang 15 meter. Bahan-bahan pembentuk trammel net yaitu : (1) Jaring lapisan luar (outer net) ; bahan jaring bagian luar terbuat dari nilon 210 d. Ukuran mata jaring luar sebesar 3,5 inchi. (2) Jaring lapisan dalam (inner net) ; bahan jaring terbuat dari nilon 210 d. Ukuran mata jaring lapisan dalam yaitu 1 inchi. (3) Selvedge ; terbuat dari Poly Etilene (PE), ukuran mata jaring sebsesar 1 inchi. (4) Tali ris atas ; biasanya terdiri dari dua tali bagian atasnya diikatkan dengan pelampung dan bagian bawahnya diikatkan dengan jaring. Terbuat dari Poly Etilene (PE). (5) Tali ris bawah ; terdiri dari dua tali, tali bagian atas diikatkan dengan jaring dan tali bagian bawah diikatkan dengan pemberat. (6) Pelampung ; terbuat dari gabus sandal berbentuk oval. (7) Pemberat ; terbuat dari timah berbentuk oval.
61
Keterangan : (1) Pelampung : gabus ; 5 cm; (2) Tali ris atas : PE Multi ; 3 mm; (3) Selvedge: PE MultiI ; 1 inchi; (4) Inner net : nilon 210 d ; 1 inchi; (5) Outer net : nilon 210 d ; 3,5 inchi ; (6) Pemberat : timah ; 5 mm; (7) Tali ris bawah : PE Multi ; 3 mm. Sumber : Diolah dari data primer tahun 2011
Gambar 8 Konstruksi alat tangkap trammel net 3) Nelayan Nelayan trammel net umumnya merupakan nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melaut. Nelayan Surabaya yang mengoperasikan trammel net berjumlah dua orang dan pada umumnya masih satu anggota keluarga. Satu orang nelayan sebagai juru mudi dan satu orang lagi sebagai ABK. Namun, dalam pengoperasiannya juru mudi juga membantu dalam penarikan maupun penurunan jaring. Bagi hasil yang dilakukan oleh nelayan trammel net 50:50 setelah dikurangi dengan biaya operasional. 4) Metode operasi penangkapan Nelayan yang menggunakan alat tangkap trammel net di Surabaya biasanya menangkap ikan mulai pukul 04.00 hingga pukul 14.00. Metode operasi penangkapan nelayan trammel net terdiri dari tahap persiapan, tahap penurunan jaring, tahap perendaman, tahap penarikan jaring. Tahap persiapan yaitu memastikan semua perlengkapan yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan ikan seperti bahan bakar, perbekalan, jaring dan perahu serta mesin dalam keadaan baik. Tahap berikutnya adalah tahap penurunan jaring yang dilakukan setelah tiba di daerah penangkapan ikan, untuk menentukan daerah penangkapan
62
ikan didasarkan pada kebiasaan sebelumnya dimana terdapat ikan-ikan tujuan penangkapan atau dengan cara coba-coba. Setelah tiba di lokasi tujuan penangkapan ikan, maka jaring mulai dijatuhkan. Mula-mula dijatuhkan salah satu ujung jaring terlebih yang terlebih dahulu diberi pemberat dan pelampung sehingga jaring berada di dasar perairan dan pelampung muncul Sampai ke permukaan perairan sebagai pertanda dimana letak ujung jaring tersebut. Perahu bergerak tegak lurus dengan arah jarum jam sambil menjatuhkan jaring. Setelah jaring telah dijatuhkan seluruhnya, perahu bergerak kembali kearah ujung jaring semula. Tahap berikutnya yaitu perendaman jaring selama 30 hingga 60 menit. Setelah perendaman, jaring diangkat kembali yang dimulai dari ujung jaring yang dijatuhkan terlebih dahulu pada saat penurunan.
6.1.3 Pancing rawai dasar 1) Kapal Kapal/perahu yang digunakan nelayan Surabaya pada saat operasi penangkapan rata-rata memiliki umur teknis selama 10 tahun. Perahu-perahu tersebut tidak memiliki palkah untuk menampung hasil tangkapan. Perahu pancing rawai dasar terbuat dari kayu. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu jati. Perahu jaring klitik rata-rata berukuran panjang (LOA) 7 m; lebar (b) 1,5 m; dan draft (d) 0,5 m. Pada umumnya perahu-perahu tersebut menggunakan mesin dengan kekuatan 5 PK. Perawatan perahu dilakukan setiap tiga minggu sekali berupa pendempulan. Sedangkan pengecetan perahu dilakukan setahun sekali. Perawatan mesin dilakukan hanya saat menggali oli mesin. Mesin diletakkan di bagian kiri perahu sedangkan alat tangkap diletakkan di bagian kanan perahu. 2) Alat tangkap Rawai dasar atau bottom long line merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Surabaya. Bagian-bagian dari rawai dasar terdiri pelampung tanda yang terbuat dari styrofoam, tali pelampung terbuat dari Poly Etilene (PE), tali utama yang terbuat dari Poly Etilene (PE), tali cabang yang terbuat dari PA monofilamen, swivel terbuat dari stainless steel, snap terbuat dari stainless steel, mata pancing terbuat dari stainless steel, tali pancing terbuat dari
63
PA monofilamen, dan pemberat dari timah hitam dan jangkar yang terbuat dari batu. Pancing rawai dasar dalam bahasa lokal disebut dengan pancing rawih. Ukuran mata pancing yang digunakan nelayan pancing rawai dasar yaitu mata pancing dengan nomor 14. Jumlah mata pancing yang digunakan dalam satu set alat tangkap kurang lebih sekitar seribu mata pancing dengan panjang branch line sebesar 60 cm dan panjang tali utama sekitar 1 km serta jarak antar branch line sebesar 1 m. Rata-rata nelayan pancing rawai dasar di Surabaya tidak hanya membawa satu set saja namun beberapa nelayan menggunakan dua set alat tangkap dalam operasi penangkapannya.
Keterangan : (1) Pelampung tanda : gabus ; 5 cm; (2) Bendera tanda; (3) Tali utama : PE Multi ; 0,7 mm; (4) Pemberat tambahan : batu ; 5 kg; (5) Mata pancing : Stainless steel ; no. 14; (6) Tali cabang : PA Monofilament; (7) Pemberat : batu. Sumber : Diolah dari data primer tahun 2011
Gambar 9 Konstruksi alat tangkap rawai dasar
3) Nelayan Nelayan yang mengoperasikan rawai dasar di Surabaya umumnya adalah nelayan penuh, dimana seluruh waktu kerjanya adalah sebagai nelayan. Nelayan rawai dasar berjumlah satu hingga dua orang dan pada umumnya masih merupakan satu anggota keluarga. Satu orang bertugas sebagai juru mudi dan satu orang sebagai ABK. Nelayan rawai dasar mengoperasikan alat tangkap selama
64
setahun penuh. Hal ini dikarenakan daerah penangkapan ikan nelayan rawai dasar terlindung yaitu di sekitar selat madura. Sistem bagi hasil yang diterapkan nelayan jaring klitik 50:50 setelah dikurangi dengan biaya operasional.
4) Metode operasi penangkapan Operasi penangkapan rawai dasar dimulai dengan tahap persiapan seperti perbekalan, bahan bakar dan pemeriksaan kondisi perahu serta pemasangan umpan runcah. Pemasangan umpan ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu. Setelah semua tahap persiapan telah dilakukan, tahap berikutnya yaitu pencarian daerah hasil tangkapan. Pencarian daerah hasil tangkapan didasarkan pada operasi penangkapan sebelumnya atau juga dengan cacara mencoba-coba. Namun daerah penangkapan berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan armada penangkapan.Alat
tangkap
ditempatkan didalam ember besar dan telah disusun dengan sangat rapih dengan mengaitkan mata pancing disisi luar ember. Tahap pemasangan pancing dimulai dengan penurunan pelampung tanda terlebih dahulu diikuti dengan tali pelampung, tali pemberat dan pemberat. Kemudian, tali utama diturunkan dan pada jarak setiap satu meter tali cabang diturunkan yang sebelumnya telah dipasangi umpan hingga tali cabang terakhir selesai diturunkan. Penurunan alat diakhiri dengan penurunan tali jangkar dan pelampung tanda kedua. Setelah didiamkan kurang lebih 3 jam, proses hauling pun dilakukan. Proses hauling dimulai dengan penarikan pelampung tanda, tali pelampung, tali jangkar dan jangkar. Bagian-bagian tersebut dipisahkan dari tali utama. Kemudian tali utama ditarik dan tali cabang diangkat satu persatu dan hasil tangkapan langsung dilepaskan dan menyusun kembali mata pancing disisi luar ember hingga tali branch line terakhir diangkat. Kemudian setelah itu dilakukan pengambilan pelampung tanda kedua dan jangkar.
6.2 Permasalahan Perikanan Tangkap di Surabaya Wawancara mendalam yang dilakukan pada saat penelitian dengan melibatkan 27 responden yang berasal dari nelayan dan 1 responden yang berasal
65
dari pihak Subdinas Perikanan dan Kelautan untuk mengetahui permasalahanpermasalahan perikanan tangkap di Surabaya mendapatkan hasil sebagai berikut.
Permasalahan-permasalahan perikanan tangkap di Surabaya : 1. Konflik nelayan Konflik nelayan masih sering terjadi di wilayah perairan Surabaya. Konflik yang terjadi merupakan konflik antara nelayan lokal dengan nelayan dari daerahdaerah yang berdekatan dengan Surabaya seperti Pasuruan. Nelayan yang berasal dari Pasuruan cenderung menangkap ikan dengan alat tangkap aktif yaitu trawl yang dapat merusak lingkungan. Sementara nelayan Surabaya cenderung menggunakan alat tangkap pasif seperti jaring klitik, trammel net dan rawai dasar. Tentunya, selain merusak lingkungan, alat tangkap trawl juga cenderung menangkap ikan lebih banyak dibanding dengan alat tangkap pasif yang digunakan oleh nelayan lokal. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial dalam hal hasil tangkapan. Oleh karena itu, konflik kerap terjadi antara nelayan Surabaya dengan nelayan dari daerah lain terutama di wilayah selat Madura.
2. Degradasi lingkungan Kota Surabaya yang terkenal dengan kota industri dan perdagangan bukan berarti bebas dari degradasi lingkungan. Wilayah-wilayah Surabaya, terutama pesisir Surabaya sudah banyak mengalami kerusakan lingkungan akibat reklamasi pantai secara besar-besaran dengan didirikannya perumahan-perumahan elit dengan view pemandangan pantai dan juga hotel-hotel yang berdiri disepanjang pesisir Surabaya. Degradasi lingkungan ini, sangat dirasakan akibatnya oleh nelayan-nelayan pengumpul kerang. Wilayah pesisir Surabaya yang terkenal dengan sate kerangnya, saat ini semakin mengalami kesulitan dalam hal bahan baku pembuatan sate kerang. Tentunya banyak nelayan yang mengeluhkan hal ini dikarenakan pendapatannya yang semakin menurun.
3. Keakuratan data perikanan Data perikanan yang akurat sangat dibutuhkan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan perikanan. Data yang akurat akan menghasilkan suatu kebijakan yang
66
tepat, sebaliknya jika data perikanan tidak akurat maka akan timbul bias dalam pembuatan kebijakan perikanan. Data perikanan di Surabaya belum akurat. Hal ini dapat dilihat pada data-data yang ada di Surabaya dalam angka ( Tabel 7,8,9,10). Banyak sekali data-data yang kosong dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dikarenakan penurunan yang sangat jauh maupun kenaikan yang sangat jauh di tahun berikutnya. Ketiadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) juga sangat mempengaruhi pendataan hasil tangkapan. Hal tersebut dapat menghambat pihak pencatat hasil tangkapan ikan dalam melakukan pendataan dikarenakan setiap nelayan langsung mendaratkan hasil tangkapannya di tepi-tepi rumah mereka yang bersebelahan dengan laut. Apabila ada sarana PPI tentunya pihak pencatat hasil tangkapa akan lebih mudah dan fokus dalam melakukan pendataan.
4. Krisis Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia sangat berperan penting dalam pengelolaan perikanan. Minimnya sumberdaya manusia dalam mengelola perikanan di Surabaya, membuat perikanan di Surabaya tidak terlalu berkembang dengan baik. Nelayan pun kurang mampu dibimbing untuk menggunakan alat tangkap yang lebih efektif dalam hal teknologi.
5. BBM yang mahal Ketiadaan SPBU disekitar pesisir Surabaya, mengakibatkan mahalnya bahan bakar yang digunakan nelayan untuk melaut. Nelayan harus mengeluarkan uang Rp 6.000,-/liter. Harga solar di SPBU sebenarnya hanyalah Rp 4.500,-/liter. Selisih angka Rp 1.500,- tentunya sangat berharga bagi nelayan dan cukup mencekik pengeluaran operasional penangkapan. Jauhnya sarana pengisian bahan bakar memaksa nelayan untuk tetap membeli bahan bakar di toko-toko bahan bakar dengan selisih harga yang cukup jauh dibandingkan membeli langsung di SPBU. Sedangkan, nelayan tidak hanya menggunakan satu liter dalam sekali operasi penangkapan. Umumnya, nelayan menggunakan 5-6 liter dalam sekali trip.
67
6. Akses terhadap bantuan yang tidak merata Pemerintah Surabaya telah beberapa kali memberikan bantuan kepada nelayan Surabaya, seperti pada tahun 2008 ada bantuan alat tangkap dan perahu, pada tahun 2009 ada bantuan subsidi BBM dan oli. Namun, sangat disayangkan bantuan tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua nelayan di Surabaya. Sistem pemberian bantuan dengan cara mengirimkan proposal dan memberikan kupon ternyata tidak cukup baik. Bantuan-bantuan tersebut hanya dapat dinikmati oleh keluarga dekat ketua nelayan ataupun orang yang mengirimkan proposal dengan mengatasnamakan seluruh nelayan diwilayahnya. Padahal dalam kenyataannya, bantuan-bantuan tersebut tidak didistribusikan secara merata kepada seluruh nelayan yang berada di dalam wilayahnya. Tentunya timbul masalah internal antara nelayan di wilayah tersebut. Pembentukan kelompok-kelompok nelayan dapat meminimalisir kecurangan pada saat pembagian atau pendistribusian bantuan.
6.3 Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman pada Perikanan Surabaya 6.3.1 Identifikasi potensi dan masalah umum perikanan laut Identifikasi masalah umum perikanan laut dapat dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal merupakan faktor dari lingkungan yang turut mempengaruhi berkembangnya usaha perikanan tangkap di Surabaya, yang terdiri dari peluang dan ancaman. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap perikanan laut Surabaya adalah sebagai berikut. Faktor internal (kekuatan) : 1.
Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan lokal Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan merupakan suatu kekuatan bagi perikanan tangkap di Surabaya. Nelayan di Surabaya pada umumnya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Dengan hubungan kekerabatan tersebut, maka dapat menimbulkan pengelolaan yang berbasis masyarakat dengan mengandalkan keeratan hubungan antar nelayan. Pengelolaan berbasis masyarakat memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) keputusan yang
68
dibuat sesuai aspirasi dan budaya lokal sehingga masyarakat lebih peka terhadap masalah yang terjadi dan sesegera mungkin menyesuaikan dengan keinginan dan aspirasinya; (2) keputusan diterima masyarakat lokal, karena keputusan tersebut dibuat berdasarkan aspirasi masyarakat, maka masyarakat akan lebih menerima keputusan yang dibuat; (3) pengawasan dilakukan dengan mudah, pengelolaan berbasis masyarakat dilakukan sendiri oleh masyarakat sehingga pelaksanaannya akan lebih efektif. 2.
Adanya kelompok nelayan yang aktif Nelayan Surabaya memiliki kelompok nelayan di tiap-tiap daerahnya. Terutama nelayan di daerah Kedung Cowek. Kelompok nelayan ini memiliki pengaturan organisasi yang baik dengan dibuatnya jadwal piket dan tugas beserta sanksi apabila melanggarnya (hal 53) .
3.
Motivasi melaut tinggi Kondisi perairan laut Selat Madura yang terbilang tenang, menyebabkan nelayan Surabaya selalu berani untuk pergi melaut demi mendapatkan hasil tangkapan. Kegiatan melaut yang dilakukan nelayan di Surabaya hampir sepanjang tahun. Produksi perikanan yang meningkat menunjukkan bahwa motivasi melaut nelayan Surabaya tinggi (Tabel 10).
4.
Daerah penangkapan yang terlindung Daerah penangkapan ikan Selat Madura, terlindungi dari berbagai gangguan alam. Selat Madura terlindungi oleh Pulau Madura yang berada di sebelah utara Pulau madura. Hal ini membuat kegiatan penangkapan ikan dapat berlangsung sepanjang tahun (lampiran 1 dan 3).
5.
Terdapat sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut Sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut dapat mengangkat derajat perekonomian masyarakat pesisir Surabaya. Lokasinya yang berdekatan dengan objek wisata membuat olahan hasil laut selalu digemari dan dicari untuk dijadikan oleh-oleh (hal 53).
Faktor internal (kelemahan) : 1.
Sistem pencatatan data perikanan laut di Surabaya kurang baik Sistem pencatatan data hasil tangkapan yang kurang baik mengakibatkan tidak efektifnya pengelolaan perikanan laut di Surabaya (Tabel 7,8,9 dan 10)
69
2.
Armada perikanan yang digunakan masih berukuran kecil Armada perikanan tangkap di Surabaya masih disominasi oleh kapal, motor tempel dengan ukuran 5 GT. Kondisi ini menunjukkan bahwa jangkauan penangkapan ikan msih terbatas pada perairan Selat Madura dan sekitarnya.(hal 46)
3.
Tidak adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ketiadaan
Pangkalan
pendaratan
Ikan
di
Surabaya
menyebabkan
terhambatnya kelancaran pembangunan perikanan di Surabaya, terutama dalam hal mempermudah usaha perikanan rakyat dalam mendaratkan ikanikan hasil tangkapan dan pembinaan mutu serta kelancaran pemasaran hasil tangkapan. 4.
Tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Selama ini nelayan Surabaya menjual ikan-ikan hasil tangkapannya kepada pengumpul, dimana harga telah ditetapkan sebelumnya oleh pengumpul. Keberadaan tempat pelelangan ikan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dengan harga jual yang lebih baik.
5.
Penanganan ikan yang kurang diperhatikan oleh nelayan Surabaya Nelayan tidak membawa es curah maupun garam pada saat operasi penangkapan. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai ekonomis dari hasil tangkapan.
6.
Tidak adanya kebijakan khusus dalam pengelolaan perikanan tangkap Belum adanya pengaturan pengelolaan yang dibuat oleh pihak dinas terkait, menyebabkan lemahnya pengelolaan perikanan tangkap di Surabaya.
7.
Tingkat pendidikan nelayan rendah Rata-rata nelayan pesisir Surabaya berpendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Faktor eksternal (Peluang) : 1.
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal Keterbatasan armada penangkapan ikan menyebabkan rendahnya eksploitasi terhadap Sumber Daya Perikanan. Jumlah nilai produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa perairan Selat Madura masih produktif untuk operasi penangkapan ikan (Tabel 10).
70
2.
Peluang pasar yang baik Perikanan tangkap di pesisir Surabaya masih sedikit, namun potensi konsumen untuk membeli hasil tangkapan dari laut cukup besar. Masyarakat Surabaya sangat menggemari makanan hasil laut. Makanan hasil laut selalu dicari oleh masyarakat Surabaya dan juga pendatang terutama ikan asap dan berbagai macam olahan keripik hasil laut.
3.
Adanya peluang kesempatan bekerja di bidang perikanan Kegiatan penangkapan ikan di Surabaya yang terus berkembang sepanjang tahun, memberikan peluang untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru seperti bidang pengolahan hasil tangkapan.
4.
Peluang wisata bahari Surabaya memiliki objek wisata Taman Hiburan Pantai Kenjeran dan berdekatan dengan Jembatan Suramadu. Setiap sore, akhir pekan maupun musim liburan, kawasan pesisir Surabaya ini ramai dikunjungi wisatawan yang sekedar menikmati suasana pantai dan kerlap-kerlip lampu Jembatan Suramadu maupun sekedar melakukan sport fishing.
Faktor eksternal (ancaman) : 1.
Pemanfaatan SDI oleh nelayan luar daerah (konflik antar nelayan) Potensi SDI yang amsih belum tereksploitasi dengan baik menyebabkan nelayan dari luar daerah melakukan aktivitas penangkapan di perairan Selat Madura dengan armada yang lebih besar daripada nelayan pesisir Surabaya.
2.
Reklamasi pantai secara besar-besaran Reklamasi pantai secara besar-besaran dapat merusak ekosistem perairan serta memaksa nelayan untuk alih profesi menjadi tenaga kuli bangunan.
3.
Penyerapan SDM Subdinas Perikanan dan Kelautan berlatar belakang perikanan tangkap masih minim Kurangnya sumber daya manusia yang berlatar belakang perikanan tangkap, membuat pengaturan pengelolaan perikanan tangkap kurang optimal.
6.3.2 Matriks IFAS dan EFAS Berdasarkan faktor internal kita dapat mengetahui kondisi perikanan tangkap di Surabaya melalui matriks internal factors evaluation (IFE). Matriks IFE ini menggambarkan secara kualitatif nilai dari kekuatan dan kelemahan yang
71
ada dalam perikanan tangkap di Surabaya. Matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) perikanan tangkap Kota Surabaya Faktor-faktor internal Bobot Rating Kekuatan 1) Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan 0,09 3 lokal 2) Adanya kelompok nelayan yang aktif 0,10 4 3) Motivasi melaut tinggi 0,09 4 4) Daerah penangkapan yang terlindung 0,07 2 5) Terdapat sentra pengolahan dan pemasaran hasil 0,08 3 laut Kelemahan 1) Sistem pencatatan data perikanan laut di Surabaya 0,08 4 kurang baik 2) Armada perikanan yang digunakan masih 0,09 3 berukuran kecil 3) Tidak adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 0,07 2 4) Tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) 0,07 2 5) Penanganan ikan yang kurang diperhatikan oleh 0,08 2 nelayan surabaya 6) Tidak adanya kebijakan khusus dalam 0,10 3 pengelolaan perikanan tangkap 7) Tingkat pendidikan nelayan rendah 0,08 1 Total 1,00
Skor 0,27 0,40 0,36 0,14 0,24
0,32 0,27 0,14 0,14 0,16 0,30 0,08 2,82
Berdasarkan hasil matriks IFE didapat skor 2,82 yang berarti bahwa kondisi internal perikanan tangkap di Surabaya didominasi oleh kekuatan yang mendorong perkembangan perikanan tangkap. Penilaian bobot pada faktor internal dapat dilihat pada Lampiran 5. Faktor-faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang telah diidentifikasi, kemudian ditabulasikan ke dalam matriks external factor evaluation (EFE). Matriks EFE ini menggambarkan secara kualitatif nilai dari peluang dan ancaman yang ada kaitannya dengan pengembangan perikanan tangkap di Surabaya. Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 12.
72
Tabel 12 Matriks eksternal factor evaluation (EFE) perikanan tangkap Kota Surabaya Faktor-faktor eksternal Bobot Rating Skor Peluang 1) Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0,16 3 0,48 2) Peluang pasar yang baik 0,13 4 0,52 3) Adanya peluang kesempatan bekerja di bidang 0,13 2 0,26 perikanan 4) Peluang wisata bahari 0,17 3 0,51 Ancaman 1) Pemanfaatan SDI oleh nelayan luar daerah 0,07 3 0,21 2) Reklamasi pantai secara besar-besaran 0,17 1 0,17 3) Penyerapan SDM Dinas Perikanan dan Kelautan 0,16 1 0,16 berlatar belakang perikanan tangkap masih minim Total 1,00 2,31
Total nilai yang diperoleh dari matriks EFE pada Tabel 12 adalah 2,31. Nilai tersebut berada di bawah rata-rata yaitu 2,5 yang berarti bahwa kondisi perikanan Surabaya belum mampu memberikan respon positif terhadap pengembangan perikanan tangkap. Peluang yang ada belum mampu dimanfaatkan untuk meminimalisir kelemahan yang ada. Penilaian bobot eksternal dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan matriks IE (David 2003) , hasil skor matriks IFE dan matriks EFE berada pada sel V yaitu pertahankan dan pelihara kekuatan yang ada di Surabaya dengan berbagai peluang yang dimiliki untuk mengembangkan perikanan tangkap. Keadaan perikanan tangkap Surabaya yang berada pada sel V megindikasikan
suatu
strategi
pengembangan
melalui
perluasan
pasar,
penambahan dan perbaikan fasilitas serta peningkatan teknologi.
6.3.3
Matriks SWOT Matriks SWOT menggambarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
dengan menyesuaikan peluang dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan perikanan tangkap di Surabaya. Matriks SWOT pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan matriks SWOT didapatkan 7 strategi alternatif dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya. Strategi tersebut antara lain:
73
1. Mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap 2. Meningkatkan kualitas SDM 3. Meningkatkan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDI 4. Meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap 5. Membuat Kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap 6. Meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan 7. Meningkatkan pengawasan daerah pesisir
74
Tabel 13 Matriks SWOT pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya Internal
Kekuatan 1. Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan lokal (S1) 2. Adanya kelompok nelayan yang aktif (S2) 3. Motivasi melaut tinggi (S3) 4. Daerah penangkapan yang terlindung (S4) 5. Terdapat sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut (S5)
Eksternal Peluang 1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal (O1) 2. Peluang pasar yang baik (O2) 3. Adanya peluang kesempatan bekerja di bidang perikanan (O3) 4. Peluang wisata bahari (O4)
Strategi SO 1. Mengoptimalkan pemanfaatan SDI dalam meningkatkan usaha perikanan tangkap (S2, S3, S4, O1, O2, O3, O4) 2. Mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap (S1, S2, S3, O3) 3. Pembinaan mengenai pemanfaatan wisata bahari (S5, O4)
Ancaman 1. Pemanfaatan SDI oleh nelayan luar daerah (T1) 2. Reklamasi pantai secara besar-besaran (T2) 3. Penyerapan SDM Dinas Perikanan dan Kelautan berlatar belakang perikanan tangkap masih minim(T3)
Strategi ST 1. Meningkatkan pengawasan daerah pesisir (S1, S3, T2) 2. Meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan (S1, S2, T1)
Kelemahan 1. Sistem pencatatan data perikanan laut di Surabaya kurang baik (W1) 2. Armada perikanan yang digunakan masih berukuran kecil (W2) 3. Tidak adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) (W3) 4. Tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) (W4) 5. Penanganan ikan yang kurang diperhatikan oleh nelayan surabaya (W5) 6. Tidak adanya kebijakan khusus dalam pengelolaan perikanan tangkap (W6) 7. Tingkat pendidikan nelayan rendah (W7) Strategi WO 1. Meningkatkan kualitas SDM (W1, W5, W7, O3, O4) 2. Meningkatkan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDI (W2, O1, O2) 3. Meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap ( W3, W4, O1, O2) 4. Membuat Kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap ( W6, O1, O2) Strategi WT 1. Meningkatkan pengelolaan usaha perikanan tangkap ( W1, W6, T3)
75
6.4 Prioritas strategi pengembangan Alat yang digunakan untuk menentukan prioritas strategi alternatif yang paling baik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya yaitu Matriks QSPM. Matriks Quantitative Strategic Planning Management dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Matriks QSPM pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya Fak tor
BoBot
Strategi Alternatif
I (S)
II
III
IV
V
VI
VII
A S
WS
A S
WS
A S
WS
A S
WS
A S
WS
A S
WS
A S
WS
S1
0,09
4
0,36
4
0,36
2
0,18
2
0,18
3
0,27
4
0,36
4
0,36
S2
0,10
4
0,40
4
0,40
3
0,30
3
0,30
3
0,30
2
0,20
2
0,20
S3
0,09
3
0,27
4
0,36
4
0,36
3
0,27
1
0,09
1
0,09
1
0,09
S4
0,07
1
0,07
2
0,14
3
0,21
3
0,21
3
0,21
3
0,21
1
0,07
S5
0,08
4
0,32
4
0,32
3
0,24
3
0,24
2
0,16
2
0,16
2
0,16
W1
0,08
4
0,32
4
0,32
1
0,08
3
0,24
4
0,32
4
0,32
2
0,16
W2
0,09
1
0,09
3
0,27
4
0,36
3
0,27
2
0,18
1
0,09
1
0,09
W3
0,07
2
0,14
3
0,21
3
0,21
4
0,28
1
0,07
2
0,14
1
0,07
W4
0,06
2
0,12
3
0,18
3
0,18
4
0,24
1
0,06
2
0,12
1
0,06
W5
0,08
2
0,16
4
0,32
2
0,16
4
0,32
3
0,24
2
0,16
1
0,08
W6
0,10
3
0,30
4
0,40
2
0,20
2
0,20
4
0,40
4
0,40
4
0,40
W7
0,08
3
0,24
4
0,32
2
0,16
3
0,24
2
0,16
1
0,08
1
0,08
O1
0,16
3
0,48
4
0,64
3
0,48
3
0,48
4
0,64
3
0,48
1
0,16
O2
0,13
3
0,39
4
0,52
3
0,39
3
0,39
2
0,26
3
0,39
3
0,39
O3 O4 (T) T1 T2
0,13 0,17
3 3
0,39 0,51
4 4
0,52 0,68
1 1
0,13 0,17
2 3
0,26 0,51
3 2
0,39 0,34
3 1
0,39 0,17
3 4
0,39 0,68
0,07 0,17
2 3
0,14 0,51
3 3
0,21 0,51
4 1
0,28 0,17
3 2
0,21 0,34
3 3
0,21 0,51
4 2
0,28 0,34
1 4
0,07 0,68
T3 0,16 Total Prioritas
4
0,64 5,85 2
4
0,64 7,32 1
2
0,32 4,58 7
2
0,32 5,5 3
3
0,48 5,29 4
3
0,48 4,86 5
3
0,48 4,67 6
(W)
(O)
Berikut merupakan uraian singkat strategi pengembangan berdasarkan matriks QSPM beserta uraian singkat mengenai kebijakan yang dapat
76
dilaksanakan dalam pengembangan perikanan tangkap di Surabaya berdasarkan Tabel 14, antara lain : 1) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) (1) Memberikan pelatihan-pelatihan mengenai metode operasional dan teknologi penangkapan ikan kepada nelayan. Pelatihan diberikan oleh Dinas Pertanian melalui Subdinas Perikanan dan Kelautan kepada nelayan Surabaya guna menambah pengetahuan tentang penangkapan ikan. (2) Pembinaan dan penyuluhan kepada nelayan terkait kegiatan penangkapan ikan. Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan berisi tentang bagaimana kegiatan
penangkapan
ikan
yang
ramah
lingkungan
dan
tidak
membahayakan keselamatan nelayan. Penyuluhan tersebut diberikan oleh staf ahli perikanan tangkap dengan bekerjasama dengan ahli penangkapan ikan. (3) Meningkatkan jumlah SDM ahli bidang perikanan tangkap (aparatur dinas). Peningkatan jumlah tenaga ahli perikanan tangkap diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kegiatan perikanan tangkap di Surabaya. 2) Mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap (1) Mewajibkan nelayan tergabung dalam suatu organisasi kelompok nelayan. Adanya kelompok nelayan memberikan manfaat kepada nelayan itu sendiri dan juga kepada pemerintah. Manfaat bagi nelayan yaitu mempermudah penyaluran bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah serta mempermudah dalam pengelolaan perikanan setempat. Manfaat bagi pemerintah yaitu mempermudah dalam pendataan nelayan pesisir Surabaya dalam pembinaan,penyuluhan maupun pembagian subsidi. (2) Pemberdayaan usaha kecil untuk menghasilkan produk yang bermutu dan bernilai jual tinggi. Sasaran masyarakat yang diberdayakan adalah masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Surabaya terutama keluarga nelayan seperti anak-anak dan istri-istri nelayan. Masyarakat yang bertempat tinggal didaerah pesisir diberikan ilmu pengetahuan untuk dapat mengoptimalkan hasil tangkapan yang mereka dapat dengan proses pengolahan hingga pemasaran sehingga dapat menghasilkan produk perikanan yang bermutu dan bernilai jual tinggi.
77
3) Meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap (1) Membangun Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Pangkalan Pendaratan Ikan diperlukan oleh nelayan Surabaya guna mempermudah pendaratan dan mempermudah proses jual-beli. (2) Membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI). TPI diperlukan guna meningkatkan pendapatan nelayan melalui lelang ikan sehingga pendapatan nelayan dapat meningkat jika dibandingkan tanpa melalui proses pelelangan serta mempermudah konsumen untuk membeli hasil tangkapan. (3) Mempercepat
penyelesaian
pembangunan
sentra
pengolahan
dan
pemasaran produk perikanan. Manfaat dari dibangunnya sentra pengolahan dan pemasaran produk perikanan yaitu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Sebaiknya pembangunan sentra ini dapat diselesaikan pada pertengahan Tahun 2011 karena pembangunanya tinggal menunggu sarana IPAL. 4) Membuat kebijakan dalam pengaturan pengelolaan perikanan tangkap oleh Dinas Pertanian melalui Subdinas Perikanan dan Kelautan melaui : (1) Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir. Kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dibutuhkan guna menjaga penggunaan kawasan pesisir agar tidak terjadi reklamasi secara besar-besaran sehingga dapat merusak ekologi pesisir. (2) Menetapkan kebijakan dalam mengelola sumberdaya perikanan. Kebijakan dalam mengelola sumberdaya perikanan dibutuhkan guna menciptakan perikanan yang berkelanjutan dan agar tidak ada tumpang tindih dengan kebijakan sektor lainnya. (3) Menetapkan kebijakan dalam pengelolaan kegiatan operasional perikanan tangkap. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dibutuhkan guna mengurangi konflik yang terjadi antara nelayan daerah setempat dengan nelayan daerah lain. Selain itu, pengelolaan perikanan tangkap dibutuhkan agar nelayan menggunakan alat tangkap yang diperbolehkan oleh pemerintah.
78
5) Meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan (1) Melakukan pengawasan rutin oleh petugas di kawasan terdapat aktivitas penangkapan. Pengawasan rutin oleh petugas terkait diharapkan dapat meminimalisir penangkapan ikan secara ilegal sehingga sumberdaya ikan dapat terjaga. (2) Penambahan jumlah pengawas di lapangan. Jumlah pengawas perikanan dilapangan yang sedikit kurang efektif dalam mengawasi seluruh wilayah pesisir di Surabaya. 6) Meningkatkan pengawasan daerah pesisir (1) Memperketat perizinan pembangunan bangunan komersial di sekitar pantai. Pembangunan besar-besaran di kawasan pantai akan merusak ekologi pesisir sehingga keberlangsungan sumberdaya ikan di sekitar pantai terganggu. Memperketat perizinan pembangunan bangunan komersil di sekitar pantai dapat meminimalisir kerusakan ekologi di pesisir Surabaya. (2) Melakukan pengawasan rutin di kawasan pesisir terkait kegiatan perikanan tangkap. Pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh petugas terkait diharapkan
dapat
meminimalisir
pelanggaran-pelanggaran
terhadap
peraturan yang telah ditetapkan. 7) Meningkatkan armada perikanan tangkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Ikan. Meningkatkan kemampuan armada perikanan diharapkan mampu mengoptimalkan kegiatan penangkapan ikan melalui :. (1) Memberikan bantuan kapal dengan ukuran > 10 GT oleh pemerintah kepada nelayan pesisir Surabaya. (2) Meningkatkan ukuran kapal. Ukuran kapal yang besar mampu membawa nelayan ke daerah pennagkapan yang lebih jauh dan mampu mengangkut hasil tangkapan yang lebih banyak dengan kapasitas palkah yang lebih besar. (3) Penambahan jumlah armada perikanan. Penambahan jumlah armada perikanan akan meningkatkan produktivitas dalam kegiatan penangkapan ikan.
79
7 PEMBAHASAN Surabaya merupakan salah satu kota besar dimana terdapat kegiatan perikanan tangkap. Perikanan di Surabaya masuk ke dalam sektor pertanian. Perikanan Surabaya memang bukan sektor yang terlihat dikedepankan oleh pemerintah Surabaya. Namun, banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan perikanan tangkap. Terdapat sekitar 3000 nelayan di Surabaya, bila nelayan-nelayan tersebut rata-rata memiliki 3 orang tanggungan, maka ada sekitar 9000 jiwa yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan perikanan tangkap. Oleh karena itu, kegiatan perikanan tangkap tetap harus dipertahankan. Jika dibandingkan dengan kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta dan Cirebon, memang sektor perikanan Surabaya masih kalah saing dalam hal sarana dan prasarana. Jakarta, Yogyakarta dan Cirebon telah memiliki pelabuhan perikanan dan berbagai fasilitas lainnya yang dapat menunjang kegiatan perikanan. Jika ditinjau dari segi pencatatan data perikanan, belum satupun kotakota besar tersebut yang mampu melakukan pencatatan data dengan baik. Pencatatan data perikanan merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui keberlanjutan perikanan. Terdapat hal unik terhadap perikanan Surabaya yaitu setiap desa memiliki alat tangkap yang sama. Jika nelayan di suatu desa menggunakan alat tangkap gillnet maka hampir dapat dipastikan seluruh nelayan didesa tersebut menggunakan alat tangkap yang sama. Hal ini terjadi karena mayoritas dalam satu desa tersebut masih terdapat hubungan darah sehingga jenis alat tangkap yang mereka gunakan merupakan jenis alat tangkap peninggalan dari nenek moyangnya. Berbeda dengan daerah lainnya dimana terdapat berbagai macam alat tangkap ditiap daerahnya. Kebijakan merupakan sebuah rujukan yang dipertimbangkan, diperhatikan dan dipakai oleh pengelola dalam merancang bentuk-bentuk upaya, tindakan atau aksi untuk menangani isu atau permasalahan hingga tuntas. Kebijakan perikanan yang berlaku di kota besar maupun kota kecil pada dasarnya mengacu kepada UU No.45 Tahun 2009 tentang perikanan. Namun dalam kebutuhannya kebijakan di kota besar dan kota kecil dapat berbeda. Seperti halnya di Surabaya, diperlukan
80
kebijakan khusus dalam mengatasi permasalahan kerusakan ekologi yang diakibatkan limbah-limbah yang mencemari lautan dan pembangunan kawasan pesisir secara besar-besaran. Kebijakan tersebut belum tentu diperlukan di kota kecil. Monintja (1989) yang dikutip dalam Ismuryandi (2006) mengemukakan permasalahan-permasalahan perikanan tangkap yang dihadapai Indonesia saat ini. Perikanan tangkap Surabaya juga tak luput dari berbagai permasalahan yang diungkapkan oleh Monintja (1989) yaitu masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan penguasaan teknologi tepat guna yang berakibat pada rendahnya produksi, kompetisi pada penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir, kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut, rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan yang berakibat sebagai rendahnya mutu, nilai tambah dan daya saing produk perikanan, proses penangan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan
produk
perikanan;
dan
keterbatasan
infrastruktur
perikanan,
permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagan perikanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perikanan tangkap terdiri dari faktor eksternal dan internal. Rangkuti (2005) menyatakan bahwa analisis faktor internal dapat dilakukan dengan matriks internal factor evaluation (IFE) dan faktor eksternal dapat dianalisis dengan menggunakan matriks eksternal factor evaluation (EFE). Faktor internal menjelaskan mengenai kekuatan dan kelemahan dari perikanan Surabaya dan faktor eksternal menjelaskan mengenai peluang dan ancaman terhadap perikanan di Surabaya. Total faktor internal sebesar 2,82 yang berarti bahwa kondisi internal perikanan tangkap di Surabaya didominasi oleh kekuatan yang mendorong perkembangan perikanan tangkap. Sedangkan total faktor eksternal sebesar 2,31 berarti bahwa kondisi perikanan Surabaya belum mampu memberikan respon positif terhadap pengembangan perikanan tangkap. Peluang yang ada belum mampu dimanfaatkan untuk meminimalisir kelemahan yang ada. Berdasarkan nilai yang diperoleh dari faktor internal dan eksternal (David 2003) maka perikanan tangkap di Surabaya termasuk ke dalam sel V, dimana pada sel ini perikanan Surabaya harus mempertahankan dan memelihara kekuatan yang ada serta memanfaatkan berbagai peluang yang dimiliki untuk
81
mengembangkan perikanan tangkap di Surabaya. Peluang memanfaatkan sumber daya ikan yang ada di luar kawasan tidak serta merta disikapi dengan menambah dan memperbesar kapal ikan karena di tempat-tempat tersebut telah ada nelayannelayan lain yang beroperasi, baik nelayan lokal maupun nelayan andon dari daerah lain.
Penambahan jumlah armada penangkapan ikan akan berpeluang
meningkatkan potensi konflik antar nelayan (Satria 2009). Adanya keharmonisan di antara berbagai nelayan dari berbagai tempat sebaiknya dipelihara dan hal yang harus dilakukan adalah mengendalikan armada perikanan tangkap. Terdapat 7 strategi alternatif yang telah diurutkan berdasarkan prioritas dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Surabaya, strategi tersebut yaitu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap, meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap, membuat kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap, meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan, meningkatkan pengawasan daerah pesisir dan meningkatkan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDI. Alternatif-alternatif kebijakan tersebut diharapkan dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan Surabaya sehingga kondisi perikanan di Surabaya dapat berjalan dengan kondusif. Kebijakan perikanan di Surabaya tentunya harus didukung dan ditaati oleh seluruh stekholder yang berperan dalam kegiatan perikanan. Nelayan diharapkan mampu mengembangkan kelembagaannya guna mempermudah pemerintah dalam mendata, memberikan penyuluhan serta memberikan subsidi agar semua nelayan mendapatkan jatah yang sama dan tak luput dari pembagian subsidi tersebut. Ahli perikanan/ staf perikanan di Dinas Pertanian diharapkan dapat bekerjasama dengan nelayan dalam pengembangan sumberdaya manusia dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap teknologi penangkapan. Peningkatan kualitas pencatatan data hasil tangkapan perikanan juga harus ditingkatkan oleh dinas pertanian sehingga dapat terpantau keberlangsungan sumberdaya ikan di Surabaya. Pengolah hasil perikanan harus berperan aktif dalam berbagai pembinaan yang diberikan oleh pemerintah guna meningkatkan kemmampuan mereka dalam menciptakan produk perikanan yang bermutu dan berharga jual tinggi. Pedagang hasil perikanan juga harus bekerjasama dengan pemerintah
82
untuk selalu menjaga kualitas hasil dagangannya. Pengelola wisata bahari diharapkan mampu mengundang wisatawan untuk datang ke pesisir Surabaya sehingga
wisatawan
pantai
Kenjeran
diharapkan
dapat
perekonomian pesisir dengan membeli produk hasil perikanan.
meningkatkan
83
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan 1) Nelayan Surabaya umumnya memiliki hubungan kekeluargaan dan menggunakan alat tangkap homogen di setiap lokasi pemukiman yang menjadi sentra perikanan. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan Surabaya adalah jaring klitik, trammel net dan pancing rawai dasar. Perikanan tangkap di Surabaya masih menggunakan armada perikanan skala kecil dan tradisional dengan perahu berukuran kurang dari 5 GT. Hasil tangkapan nelayan lokal merupakan sumber utama bahan baku dalam pengolahan hasil perikanan lokal seperti ikan asap, keripik maupun kerupuk yang berbahan dasar ikan. Beberapa bahan baku lain untuk industri pengolahan ikan dipasok dari daerah Probolinggo, Brondong dan Lamongan. 2) Permasalahan-permasalahan perikanan tangkap di Surabaya yaitu: (1) konflik nelayan; (2) degradasi lingkungan; (3) tidak akuratnya data perikanan; (4) minimnya sumberdaya manusia; (5) mahalnya harga BBM; dan (6) Akses bantuan yang tidak merata. 3) Keadaan internal perikanan tangkap di Surabaya dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada, namun kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada untuk merespon kondisi perkembangan perikanan tangkap di Surabaya. Rumusan strategi berdasarkan urutan prioritas untuk mengelola perikanan yang berbasis di Kenjeran adalah: (1) meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (2) mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap; (3) meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap; (4) membuat kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap; (5) meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan, (6) meningkatkan pengawasan daerah pesisir; dan (7) mengendalikan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan.
84
8.2 Saran Upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) dalam pengembangan usaha perikanan di Surabaya yaitu : 1) Membuat
kebijakan
mengenai
pengelolaan
perikanan
tangkap
guna
membenahi permasalahan-permasalahan perikanan laut di Surabaya; 2) Menambah tenaga ahli di bidang perikanan tangkap untuk mengelola perikanan tangkap di Surabaya; dan 3) Bekerjasama dengan dinas pariwisata untuk meningkatkan promosi wisata bahari guna menarik wisatawan datang ke pesisir Surabaya.
85
DAFTAR PUSTAKA David FR. 2003. Manajemen strategis: Konsep-Konsep. Jakarta: Indeks. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. PembangunanKelautan dan Perikanan. Jakarta
Rencana
Strategis
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Jakarta Departemen Pertanian. 1985. TrammelNet (Jaringan http://pustaka.litbang.deptan.go.id [23 Maret 2011]
Udang).
Diniah. 2008. Pengenalan Perikanan Tangkap. Edisi pertama. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 62 hal. Dispenduk. 2010. Jumlah Penduduk Surabaya Berdasarkan Jenis Kelamin. http://www.surabaya.go.id/dispenduk [23 Maret 2011] Dunn. 2000. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. FAO 1980. Fishing With Bottom Gillnets. http://www.fao.org/. [23 Maret 2011] Ismuryandi F. 2006. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Perikanan Tangkap. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan sumberdaya Perikanan, Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Keristina. 2011. Peranan dan Dampak Subsektor Perikanan Tangkap terhadap Ekonomi Wilayah Kabupaten Cirebon. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan sumberdaya Perikanan, Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Liswardana BI. 2011. Peran Subsektor Perikanan Tangkap terhadap Pembangunan Daerah Serta Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan di Kota Pekalongan. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan sumberdaya Perikanan, Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor. Nadeak A. 2009. Kawasan Basis Sektor Perikanan dan Kelautan, Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Vol 4, Nomor 5, April 2009. Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.
86
Obsome D dan Ted G. 2001. Mewirausahakan Birokrasi, Mentransformasikan Semangat wirausaha ke dalam Sektor Publik. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Presindo. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pristyandana. 2010. Analisis Profil Sosial-Ekonomi umah Tangga Nelayan Di Kecamatan Bulak Pesisir Pantai Surabaya. [Skripsi]. Surabaya : ITS. Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membelah Kasus Bisnis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Satria A et al. 2009. Konflik Nelayan di Jawa Timur, Jurnal Transdisiplin sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia, Pasuruan, Vol 3, Nomor 1, 2009. Solihin Akhmad. 2010. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan: Isu, Permasalahan dan Telaah Kritis Kebijakan. Bandung: Nuansa Aulia. Subani W dan HR. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta:Balai Penelitian Perikanan Laut. Surabaya dalam Angka. 2005. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2005. Surabaya: Dinas Pertanian. Surabaya dalam Angka. 2006. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2006. Surabaya: Dinas Pertanian. Surabaya dalam Angka. 2007. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2007. Surabaya: Dinas Pertanian. Surabaya dalam Angka. 2008. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2008. Surabaya: Dinas Pertanian. Surabaya dalam Angka. 2009. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2009. Surabaya: Dinas Pertanian. Surabaya dalam Angka. 2010. Laporan Tahunan Kota Surabaya Tahun 2010. Surabaya: Dinas Pertanian.
87
Suryaningsih N. 2006.Kebijakan Pemerintah Daerah dan Peran Serta Mayarakat Dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Daerah Purworejo. [Skripsi]. Bogor: IPB. Suseno. 2004. Analisis Kebijakan pengelolaan Perikanan Tangkap: kasus Pantai Utara Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor : IPB. . 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan.Jakarta: Pustaka Cidesindo. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Widodo J. 2003 Pengkajian stok sumber daya ikan laut Indonesia tahun 2002 [Review of Indonesia’s marine fishery of 2002]. In: Widodo J, Wiadnyana N.N. & Nugroho D.(Eds). Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003.PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. pp. 1-12. . 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
88
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
N W
E S
Lokasi Penelitian
89
Lampiran 2 Daftar pertanyaan wawancara nelayan dan Subdinas Perikanan dan Kelautan Kuisioner untuk nelayan
1.
Identitas Responden
1. Nama
:
2. Umur
:
3. Asal
:
4. Status Nelayan
:
5. Lama Tinggal
:
6. Pendapatan
:
7. Pendidikan Terakhir
:
1.
Tingkat partisipasi nelayan
1)
Bagaimana kondisi perikanan tangkap di daerah Anda?
2)
Apa permasalahan yang sering dihadapi?
3)
Langkah apa yang ditempuh masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut?
4)
Apakah anda sering dilibatkan untuk membahas permasalahan tersebut oleh pemerintah daerah setempat ?
5)
Apakah anda turut serta dalam menyusun keputusan untuk mengembangkan perikanan tangkap?
6)
Apakah anda ikut dalam pelaksanaan keputusan yang diambil?
7)
Usulan apakah yang Anda inginkan guna mengembangkan perikanan tangkap di daerah anda?
90
Kuisioner untuk Subdinas Perikanan dan Kelautan
1. Identitas Responden 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Asal
:
4. Pekerjaan
:
5. Lama Bekerja
:
6. Jabatan
:
7. Pendapatan
:
8. Pendidikan Terakhir
:
2. Program Pengembangan Perikanan Tangkap 1)
Bagaimanakah kondisi perikanan tangkap secara umum?
2)
Bagaimana kondisi nelayan di Surabaya?
3)
Apakah permasalahan yang sering dikeluhkan nelayan mengenai operasi penangkapan dan fasilitas yang ada?
4)
Hal-hal apa saja yang mendukung/menghambat dalam pengembangan perikanan tangkap?
5)
Apa rencana pembangunan jangka pendek?
6)
Apa rencana pembangunan jangka panjang?
7)
Program apa saja yang telah terlaksana?kapan pelasanaannya?
8)
Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai program tersebut?
9)
Apa saja kendala dalam menjalani suatu kegiatan?
91
10)
Program apa saja yang belum terlaksana? Kapan pelaksanaannya?
11)
Dari mana asal dana untuk menjalani program-program tersebut?
12)
Siapa saja yang dilibatkan untuk mengambil keputusan mengenai kebijakan pengembangan perikanan tangkap?
13)
Alasan apa yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan perikanan tangkap?
14)
Daerah manakah yang menjadi prioritas untuk di kembangkan? Mengapa?
15)
Apakah selama ini kebijakan terlaksana dengan baik?
16)
Bagaimana peluang perikanan tangkap kedepan?
17)
Adakah ancaman/dampak dari pelaksanaan kebijakan perikanan tangkap?
18)
Kebutuhan perundang-undangan?
92
Lampiran 3 Lokasi daerah penangkapan ikan nelayan Kota Surabaya
N W
E S
Keterangan : Daerah penangkapan ikan nelayan kota Surabaya
93
Lampiran 4 Struktur organisasi dari Dinas Pertanian Kota Surabaya
94
Lampiran 5 Penilaian bobot faktor strategis internal perikanan tangkap Kota Surabaya Faktor Strategis Internal 1 Kekuatan 1. Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan x lokal 2. Adanya kelompok 2 nelayan yang aktif 3. Motivasi melaut 2 tinggi 4. Daerah penangkapan 1 yang terlindung 5. Terdapat sentra pengolahan dan 1 pemasaran hasil laut Kelemahan 6. Sistem pencatatan data perikanan laut di Surabaya kurang 2 baik 7. Armada perikanan yang digunakan masih berukuran 2 kecil 8. Tidak adanya Pangkalan Pendaratan Ikan 1 (PPI) 9. Tidak adanya Tempat Pelelangan 1 Ikan (TPI) 10. Penanganan ikan yang kurang diperhatikan oleh 1 nelayan surabaya 11. Tidak adanya kebijakan khusus dalam pengelolaan 3 perikanan tangkap 12.Tingkat pendidikan 1 nelayan rendah Total
2
3 4
5
6
7
8
9 10 11 12 Total Bobot
2
2 1
3
1
3
3
3
1
1
3
23
0,09
x
2 3
2
3
2
2
2
3
2
3
26
0,10
2 X 2
2
1
2
3
3
2
3
1
23
0,09
1
2 x
2
1
2
2
2
2
1
2
18
0,07
2
2 2 X
2
2
2
2
1
1
3
20
0,08
1
3 3
2 x
2
2
2
1
2
2
22
0,08
2
2 2
2
2 x
3
3
1
2
2
23
0,09
2
1 2
2
2
1 x
2
2
1
3
19
0,07
2
1 2
2
2
1
2 x
2
1
1
17
0,07
1
2 2
3
3
3
2
2 x
2
1
22
0,08
2
1 3
3
2
2
3
3
2 x
3
27
0,10
1
3 2
1
2
2
1
3
3
20 260
0,08 1,00
1 x
95
Lampiran 6 Penilaian bobot faktor strategis eksternal perikanan tangkap Kota Surabaya Faktor Strategis Eksternal
1
2
3
4
5
6
7 Total
Bobot
1. Potensi SDI belum x 3 3 2 dimanfaatkan secara optimal 1 x 2 2 2. Peluang pasar yang baik 3. Adanya peluang kesempatan 1 2 x 2 bekerja di bidang perikanan 4. Peluang wisata bahari 2 2 2 x
3
1
1
13
0,16
3
1
2
11
0,13
3
1
2
11
0,13
3
3
2
14
0,17
1
1
6
0,07
1
14
0,17
1 x
13
0,16
82
1,00
Peluang
Ancaman 5. Pemanfaatan SDI oleh nelayan luar daerah 6. Reklamasi pantai secara besarbesaran 7. Penyerapan SDM Dinas Perikanan dan Kelautan berlatar belakang perikanan tangkap masih minim Total
1
1
1
1 X
3
3
3
1
3 x
3
2
2
2
3