Toby Carroll
Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia Pasca-Konsensus Washington
Neo-liberal Development Policy in Asia Beyond the Post-Washington Consensus
Toby Carroll
International NGO Forum on Indonesian Development
Kebijakan Pembangunan Neo-liberal
Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia Pasca-Konsensus Washington TOBY CARROLL
Diterbitkan oleh: INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Jl. Jati Padang Raya Kav. 3 No. 105 Pasar Minggu, Jakarta 12540 INDONESIA Email:
[email protected] Website: www.infid.org Telp : +62 - 21- 7819734 Fax : +62-21-78844703
Daftar isi
Pendahuluan: Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia Pasca-Konsensus Washington 7 Bekerja terhadap Negara, melalui Negara, dan tanpa Keterlibatan Langsung Negara: International Finance Corporation (IFC) dan Marketisasi Mendalam pada Pembangunan di Asia-Pasifik 19 Politik Baru Pembangunan serta Munculnya Respon Kebijakan Pembangunan yang Mendorong Sektor Swasta 53 Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia 63
5
6
Journal of Contemporary Asia Vol. 42, No. 3, Agustus 2012
Pendahuluan: Kebijakan Pembangunan Neo-liberal di Asia Pasca-Konsensus Washington TOBY CARROLL Pusat Kajian Asia dan Globalisasi, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Singapore. ABSTRAK Makalah ini membahas sebuah isu khusus tentang kebijakan pembangunan neo-liberal kontemporer di Asia. Makalah ini mengkontekstualisasikan kondisi terkini kebijakan pembangunan neo-liberal yang telah berubah melampaui dua fase pendahulunya: yakni yang ingin membatasi peran negara dan melepaskan kekuatan-kekuatan pasar dan, selanjutnya, yang berorientasi ke arah pembentukan kembali negara dalam bentuk pasar liberal yang ideal. Sembari membangun dari leluhurnya, kebijakan neoliberal kontemporer – apa yang kita sebut sebagai “bangunan pasar” – menampilkan sebuah bentuk baru dari berbagai forum dan modalitas yang tidak hanya terus melanjutkan untuk menargetkan negara sabagai ajang dari perubahan (meski sering dengan berbagai cara baru) tapi yang juga yang secara teratur bekerja di ranah negara guna menyemaikan kegiatan sektor swasta. Selain itu, sebagai produk pada masanya, bangunan pasar menggabungkan peningkatan pengaruh atas risiko dan managemen risiko dengan risiko pelaksanaan program dan modal merupakan pusat perhatian utama dalam agenda neo-liberal saat ini. Namun, seperti halnya dengan fase awal neo-liberal, agenda bangunan-pasar adalah keduanya dikendalikan dan memproduksi pola tertantu dari politik. Sebagaimana makalah-makalah di edisi spesial ini menunjukkan, barangkali tiada tempat lain yang lebih menarik daripada realitas di Asia, di mana pola baru dan berani dari akumulasi modal begitu nyata dan dimana juga, Negara-negara bangsa tidak lagi secara material tergantung pada organisasi seperti Bank Dunia seperti sebelumnya. Kata kunci: Bangunan pasar, neo-liberalism, pasca-Konsensus Washington, Konsesus Washington
Edisi khusus Journal of Contemporary Asia menyatukan enam artikel yang meneliti berbagai aspek mutakhir dari upaya-upaya neo-liberal untuk memberi gambaran tentang hubungan pasar: upaya kita sebut sebagai “bangunan pasar.”1 Setiap kontribusi melihat pada contoh bangunan pasar di Asia dengan badan-badan multilateral dan bilateral yang mengatasnamakan pembangunan. Setiap kontribusi juga mengambil serius gagasan bahwa berbagai ukuran bangunan pasar adalah bagian dari dorongan baru guna mewujudkan hubungan sosial kapitalis, menurut gambaran neoliberal tertentu, dalam skala yang benar-benar global, dan, lebih jauh, bahwa dorongan baru ini menuntut perhatian analitis kritis yang segar (lihat CamToby Carroll
7
mack, 2009; Cammack, 2012; Carroll 2012). Dioperasikan melalui pelembagaan disiplin pasar kompetitif untuk area baru dan, di mana sudah ada, untuk derajat baru, bangunan pasar dengan cepat, meskipun sering diam-diam, mentransformasikan gagasan-gagasan pembangunan. Di sini, penanaman peraturan sektor pro-swasta secara konsisten, semakin pentingnya ditempatkan pada pengelolaan konsepsi risiko tertentu, advokasi berbasis luas dari kemitraan publik-swasta, dan peningkatan dramatis dalam dukungan perantara keuangan untuk menciptakan sektor perusahaan mikro, kecil dan menengah, semua fitur menonjol dalam menekan bangunan pasar. Lebih dari sekedar membandingkan perubahan untuk “membiarkan kekuatan pasar bekerja” atau “membangun institusi untuk pasar,” unsur-unsur di dalam liputan edisi khusus ini mencakup semua agenda teknokratis yang dioperasionalisasikan atas nama pembangunan. Pentingnya lagi, meskipun beberapa sirine lonceng kematian neo-liberalisme menggema akhir-akhir ini, fase baru ini telah mendapatkan dukungan meningkat dalam era “darurat ekonomi permanen’’ (Zizek, 2010). Bagi mereka yang terlibat dalam pembangunan pasar atas nama pembangunan, konstitusi kapitalisme yang tidak sempurna dalam ilustrasi tertentu memerlukan upaya “pengobatan” kuat untuk mendorong berbagai “ilmu pengetahuan” (melalui bantuan teknis), “membentuk” berbagai lembaga tertentu dan membesarkan semua ruang baru kegiatan sektor swasta lewat mitigasi risiko dan instrumen baru berupa bantuan keuangan (sering langsung ke sektor swasta). Tidak hanya dibatasi pada negara yang berorientasi reformasi (pro-pasar), sebagaimana yang terjadi di masa lalu, berbagai upaya pembaruan ini - mencerminkan peralihan dalam ekonomi politik global dan bersamaan dengan pembaruan politik pembangunan (dibahas di bawah) - bekerja pada, melalui dan di seluruh negara, dengan setiap komponen reformasi saling mengacu dan melengkapi yang lain. Secara krusial, meskipun tidak dapat disangkal bahwa berbagai upaya neo-liberal, bangunan pasar baru bergerak lebih dalam ketimbang fase terdahulu kebijakan pembangunan neoliberal - kenyataan yang tidak sesuai realita untuk menganalisa terjebak pada cara sederhana negara/ non-negara dalam memahami bentuk neo-liberalisme dan pengaruhnya. Jika Konsensus Washington dan strategi penyesuaian struktural pada 1980-an semua tentang mengurangi peran negara untuk membebaskan pasar, dan pascaKonsensus Washington berikutnya pada 1990 dan awal 2000-an adalah “mengembalikan peran negara” untuk mendukung pasar, bangunan pasar sebagai sebuah proyek pembangunan dalam kapitalisme akhir merupakan – pemanfaatan gagasan ide pembangunan en vogue – dengan pendekatan “masyarakat secara keseluruhan’’ yang menggabungkan sektor publik dan swasta di dalam pelembagaan aturan propasar yang kuat di mana risiko terhadap modal diprioritaskan dan dikurangi, dan di mana risiko semakin dibebankan ke masyarakat dan individu. Sementara dorongan 8
Toby Carroll
ini tidak hanya menyebar dari negara transnasional/supranasional ke ranah domestik di negara berkembang (politik membuat mewujudkan tujuan akhir ideal dari bangunan pasar tidak mungkin), realita nyata, lebih rumit dan kontestasi sekarang menjadi fokus perhatian. Realitas ini melukiskan kembali hubungan antara negara dan warga negara dan menjerat keduanya dalam pola pikir cari untung/akumulatif/ kompetitif global yang dijual atas dasar peningkatan kesejahteraan dalam kondisikondisi material obyektif akan tetapi menghasilkan ketimpangan yang besar. Dalam konteks geografis dan politik, Asia merupakan kasus paripurna untuk konsepsi dan penelitian proses bangunan pasar di bawah kapitalisme akhir, bukan hanya karena unsur-unsur dalam penyelidikan sedang dikerahkan di wilayah ini tetapi juga karena Asia merupakan tuan rumah bagi 60% dari populasi dunia, mayoritas penduduk miskin di dunia, dan - secara bersamaan dan berhubungan – merupakan pusat produksi global dan mata rantai konsumsi. Selanjutnya, analisa pengukur bangunan pasar dalam konteks Asia juga memerlukan keterlibatan baik implisit dan eksplisit dengan berbagai “kebangkitan Asia”/tesis dunia multi-polar yang populer sekarang. Dalam poin akhir ini, berbagai sumbangsih atas isu ini menunjukkan bahwa sementara Asia bisa menjadi “kutub” penting dalam kancah dunia baru, khususnya dalam hal pertumbuhan (Cammack, 2012), maksud sebenarnya ini (bersama dengan konsep pasar itu sendiri) perlu dibongkar untuk mengungkap basis yang sebenarnya dan dinamika pertumbuhan di wilayah ini, pola operasi tata kelola pemerintah dan berbagai perjuangan dan berbagai hasil terkait dengan hal tersebut. Proses-proses dan aktor-aktor yang disebut dalam berbagai artikel edisi khusus ini jelas menampakkan kondisi di mana sebuah pergolakan besar sedang berlangsung dimana struktur pemerintahan dan hubungan sosial yang lebih luas dianggap sebagai penghubung atau penghalang untuk memperdalam pola tertentu dari pertumbuhan dan akumulasi – sebuah proses yang memerlukan perjuangan yang signifikan sebagai kekuatan sosial dengan berbagai cara menolak, membantu dan / atau mengkapitalisasi nilai bangunan pasar. Dengan kata lain, sementara modalitas institusionalisasi pasar baru yang sedang diteliti merupakan wujud nyata dari “gagasan” ideal tatanan sosial, politik, dan ekonomi di bawah kapitalisme akhir, susunan dan fungsi dari modalitas ini sangat diperebutkan di ranah hukum, yang secara teratur menghasilkan ketidakstabilan, (untuk sebagian) tidak terduga dan hasil yang semu (etsatz). Selanjutnya, edisi khusus ini menyertakan enam artikel-artikel kritis yang mengkonsepsikan dan meneliti secara empiris peran baru, proses dan perjuangan terkait dengan organisasi-organisasi multilateral dan bilateral dan bangunan pasar di Asia. Semua kontributor memandang berbagai proses terkait bangunan pasar sebagai fokus analitis sentral dalam kapitalisme akhir, serta setiap penulis menyadari bahwa organisasi-organisasi dalam penelitian di edisi ini sangat sentral dalam mengoperasikan proyek bangunan pasar dan bahwa aktor negara dan non-negara, seperti Toby Carroll
9
Lembaga Swadaya Masyarakat, telah menjadi sasaran reformasi bangunan pasar baru dan juga menjadi komprador/pembelanya. Yang juga diakui semua kontributor adalah bahwa organisasi karib neo-liberal, seperti Bank Dunia, kini memainkan peran agak aneh dalam “mendorong pembangunan” dan memang, gagasan tentang apa yang disebut “pembangunan” sedang disusun ulang. Di sini, dukungan sektor swasta dan operasi mitigasi risiko yang sangat dikuasai oleh badan-badan multilateral sangat terkait dengan pendekatan baru yang mana organisasi publik seperti Bank Dunia sedang bermain dalam pembangunan pasar-pasar dengan kesan tertentu di Asia. Dalam banyak hal, modalitas bangunan pasar baru dalam penelitian ini bermula dari kemunculan politik pembangunan - politik yang mendorong aktor-aktor pembangunan ternama untuk mengubah cara mereka mengatur reformasi negara dan campur tangan yang pro-pasar lainnya. Ini terutama diperlukan dalam arti politik untuk lembaga multilateral dan bilateral dalam lingkungan di mana kisah sukses pembangunan yang dicapai dari reformasi neo-liberal secara matang telah ambigu dan pengaruh yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut atas negara secara teratur menjadi tantangan pembangunan terkini dalam ekonomi politik global. Di sini, kemunculan (yang harus diletakkan dalam konteks yang lebih bijak/tidak angkuh) dari negara-negara yang mulai terlibat atau “Pasar Baru”, seperti yang disebut BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina), sebagai kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi global; gudang cadangan devisa asing; dan peserta dalam bantuan pembangunan resmi, kegiatan penggusuran, mengubah banyak hal terutama untuk lembaga multilateral dan reformasi pasar. Pergeseran - yang telah dideskripsikan sebagai pergeseran ke “multipolaritas” (Lin, 2011: xiii) – sebagian tercermin dengan desakan untuk representasi yang lebih besar negara-negara yang sebelumnya selaras dengan pengambilan keputusan di lembaga-lembaga multilateral. Namun, perubahan itu juga tercermin dalam pergeseran pengaruh di ranah domestik, dimana negaranegara tersebut sekarang kurang membutuhkan pendanaan multilateral dibanding saat sebelumnya. Bahkan, negara-negara seperti Cina kini menjadi pesaing sengit bagi sumber pembangunan resmi tradisional karena mereka telah menjadi sumber keuangan dan infrastruktur dalam suasana di mana pasar modal juga lebih dalam dan lebih mengglobal. Fakta terakhir ini penting dalam menentukan arah politik pembangunan baru dan ukuran bangunan pasar, yang sepadan dengan kenyataan berkurangnya peluang meraup keuntungan untuk modal di banyak negara maju dan pencarian ladang baru di tempat lain. Meski yang pasti, untuk semua pembahasan tentang multi-polaritas dan pertumbuhan tinggi (yang terakhir bukanlah hal baru bagi banyak negara Asia), sebagian besar negara di kawasan ini masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kesejahteraan. Sementara Pendapatan Nasional Bruto (PNB) di negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan pembangunan (OECD) berada sekitar US $41 10
Toby Carroll
triliun (PNB dunia sekitar US$60 triliun) atau sekitar US$ 35.000 per kapita, PNB untuk semua Asia Timur dan Pasifik sekitar US$12,5 triliun atau US$5.953 per kapita atau sekitar sepertujuh dari negara-negara OECD. Untuk beberapa kalangan, angka-angka ini mungkin tampak tinggi, namun angkanya agak menipu dan jika anggota OECD Jepang dan Korea dihilangkan. Sesungguhnya, Jepang dan Korea memiliki 176 juta populasi - atau 8% - di kawasan dengan populasi 2,1 miliar tapi memiliki lebih dari US$6 triliun dari GNI regional. Menghilangkan dua ekonomi negara tersebut menurunkan per kapita regional menjadi sekitar US$3.334. Bahkan angka ini menutupi angka pendapatan per kapita yang lebih rendah, misalnya, Laos dan Kamboja dengan GNIs per kapita masing-masing US$880 dan US$650).2 Tentu saja, nilai agregat PNB melukiskan gambaran yang sumir yang sering tidak bisa memuaskan mereka yang bergelut dengan kondisi kualitatif di lapangan. Memang, di seluruh Asia, isu-isu pembangunan - terkadang bergeser ke bentuk yang mereka inginkan - tampaknya hanya meningkat besar ukuran saja. Misalnya, ketimpangan dan dampak politik dan ekonomi (konsumsi yang terlalu rendah dan perampasan, kohesi sosial) melimpah. Di Cina, hasil pertumbuhan ekonomi yang sangat asimetris adalah fakta yang memisahkan tidak cuma desa-kota tetapi juga meningkatkan kesenjangan kota/kota yang semakin nyata, dengan kaum elit baru yang mampu “mengkonsumsi super” dan banyak pekerja (terutama pekerja migran staf perusahaan yang mendukung pertumbuhan China) terjerembab ke konsumsi rendah dan bentuk peminggiran warga negara yang hanya memperkeruh keadaan. Indikasi kondisi ini adalah ketimpangan Cina yang meningkat pesat, dengan koefisien Gini naik dari 0,28 pada 1983 menjadi 0,473 pada 2009 (Selden dan Wu, 2011: 3, 6). Di tempat lain di Asia potret pertumbuhan yang mengesankan ini dengan masalah yang terus ada dan persoalan yang semakin dalam bagi kebanyakan orang adalah bukti dalam perjuangan mencari uang dalam keluarga Jawa ketika anggota keluarga membutuhkan perawatan medis atau ketidakmampuan bagi kebanyakan orang untuk pulih setelah bencana alam, seperti Tsunami 2004 yang melanda daerah Aceh dan area sekitarnya. Lalu lintas macet dan infrastruktur yang sangat tidak memadai yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan di kota besar seperti Jakarta atau Manila, jangan lupakan degradasi lingkungan dan alinasi yang menyertai pembangunan di sebagian besar Asia, hanya memperindah citra ini. Untuk banyak negara di kawasan Asia dan di luarnya, kenyataan ini telah menyebabkan semua jadi lebih buruk oleh berbagai krisis kapitalisme akhir, dengan arus modal yang terkadang membeku sementara dan goyahnya permintaan eksport (kondisi yang mungkin paling tepat dicirikan dengan kosongnya pabrik-pabrik di Cina tidak lama setelah krisis ekonomi global melanda). Negara-negara di Asia juga menghadapi persoalan besar dalam kaitannya dengan perubahan kondisi iklim dan meroketnya harga pangan, yang terkadang membulatkan racikan spekuliasi najis, penToby Carroll
11
imbunan, dan perampasan tanah. Khususnya terkait hal terakhir, ekspor tanaman untuk bahan bakar seperti kelapa sawit saat ini masyhur di Asia untuk menghasilkan kekayaan yang sangat banyak bagi segelintir di atas lahan yang dulunya hutan tropis yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat (isu-isu ini, lihat Gellert, 2010 dan Westra, 2011). Semua ini berfungsi baik untuk meningkatkan pengaruh politik baru pembangunan sebagaimana dijelaskan di atas dan menyajikan titik awal bagi upaya responsif baru yang berasal dari organisasi-organisasi yang menjadi fokus di edisi khusus ini. Seperti yang akan dijelaskan, tanggapan tersebut meneruskan orientasi terhadap perubahan yang dipicu pasar yang dalam banyak kasus telah secara langsung dan tidak langsung terkait dengan berbagai masalah yang disorot di atas. Namun, bukannya persoalan tersebut secara fundamental mengancam neo-liberalisme, modalitas bangunan pasar baru yang diselidiki dalam edisi ini menunjukkan kemampuan neo-liberalisme berkembang dalam menghadapi tantangan atas legitimasinya. Memang, karena banyak kontribusi dalam edisi ini menjelaskan, krisis dan kontradiksi neo-liberalisme dan pola akumulasi modal yang menyertainya telah menghasilkan tekanan yang kuat untuk sebuah evolusi dalam reformasi neoliberal reformasi suatu realitas tercermin dalam standar ukuran bangunan pasar kontemporer. Sebagaimana telah disebutkan dengan singkat di atas, istilah “bangunan pasar” digunakan di sini dan di seluruh edisi khusus sebagai istilah umum untuk menunjukkan berbagai proses pelembagaan pasar. Proses ini harus dipahami sebagai bagian dari evolusi neo-liberalisme yang sedang berlangsung dan yang memiliki akar langsung “fase tengah” neo-liberalisme - fase sering mengacu pasca-Konsensus Washington (PKW) (Carroll, 2010; Stiglitz, 2001). Sebelum PKW, kegiatan neo-liberalisasi meliputi penyesuaian struktural dan Konsensus Washington berupaya untuk memasung atau mengerdilkan peran negara melalui privatisasi, liberalisasi, deregulasi dan penghematan fiskal dalam suatu proses yang telah dijuluki oleh para ekonom politik kritis sebagai “menarik kembali neo-liberalisme” (Brenner dan Theodore, 2002: 26; Williamson, 1990; WilliamSon, 2000). Beranjak dari hal ini dan beragamnya reaksi dari dalam neo-liberalisme atas pertentangan mengikuti Konsensus Washington dan krisis legitimasi yang dihasilkan, pendukung PKW seperti Joseph Stiglitz mendorong peran yang lebih luas bagi negara sebagai pengawas peraturan aktivitas pasar, bagian penting dari apa yang sebagian orang sebut sebagai “membuka” neo-liberalisme (Brenner dan Theodore, 2002: 27; Carroll, 2010; Stiglitz, 2001). Simbol dari PKW adalah persyaratan tanpa henti oleh Bank Dunia tentang bentuk dan fungsi negara dengan cara melengkapi pasar, kecenderungan ini tampak nyata dalam seri Laporan Pembangunan Dunia tahunan (lihat laporan 1997 dan 2002 sebagai contoh). Spesifikasi bentuk dan fungsi negara ini didampingi beragam prakarsa yang dirancang untuk menargetkan negara tidak sebagai musuh dari pasar (seperti yang terjadi dengan, misalnya, penyesuaian struktural) melainkan sebagai 12
Toby Carroll
pijakan reformasi di mana negara perlu dibangun kembali (rolling out) dalam citra pasar yang kompatibel. Krusial, citra ini - yang dirancang dengan cara yang sangat teknokratis - menuntut bahwa negara, terisolasi dari politik, menyediakan fungsifungsi dan pengaturan lainnya yang dipandang oleh pasar sebagai syarat untuk “biaya transaksi” dan “informasi asimetris” yang harus dikurangi dan efisiensi pasar bisa direalisasikan. Mengingat bahwa PKW melibatkan bentuk tertentu dari negara - apa yang Jayasuriya (2000) dan teman-temannya sebut sebagai “negara pengatur” - perlu dipahami bahwa PKW menyaratkan dampak signifikan bagi hubungan antara negara dan warga negara. Sementara proses pengerjaan ulang hubungan antara negara dan warga negara telah dituangkan dalam bentuk yang brutal di bawah penyesuaian struktural (dimana negara sering dipaksa untuk meninggalkan pemenuhan layanan penting bagi masyarakat), PKW menyaratkan konstitusi yang lebih dalam untuk mendikte pasar ke dalam kelembagaan aparatur negara. Salah satu capaiannya adalah bahwa hasilnya terkadang tidak jelas kelihatan ketimbang di bawah penyesuaian struktural. Namun, untuk memastikan, putaran “pembangunan institusi”- bagian dari apa Gill (2000) tangkap dengan menawan dalam konsep “konstitusionalisme baru” - menyaratkan masyarakat untuk menerima tidak hanya bahwa hubungan pasar dan kompetisi sosial bukanlah satu-satunya pilihan namun susunan lembaga-lembaga tersebut “secara normatif baik.” Dilihat dalam konteks ini, lembaga pengatur independen yang menguasai pelaksanaan layanan swasta secara khusus dihargai. Namun, agak menawan dan membingungkan bagi sebagian orang, adalah dimasukkannya penekanan pada jaring pengaman sosial, kesehatan dasar dan pendidikan, dengan dua yang awal dianggap penting dalam menjaga reformasi pasar dan yang terakhir penting dalam meningkatkan sumber daya manusia. Secara singkat, agenda PKW dikembangkan dan dijalankan dengan cetak biru yang muncul untuk mengatur negara apa yang boleh dilakukan dan yang tidak, sementara juga menetapkan tuntutan, harapan dan hak-hak yang warga negara akan miliki terkait dengan negara baru dan “secara normatif baik.” Di sini, warga mempertahankan haknya untuk terlibat dalam membangun institusi baru dari pasar, dengan kemitraan dan proses partisipatif dari PKW penting dalam menyusun ulang kewarganegaraan, mengembangkan konstituensi untuk perubahan dan mengkarantina lembaga yang bukan konstituen neoliberal (lihat Jayasuriya dan Hewison, 2004). Selain itu, warga negara, tentu saja, dikonseptualisasikan lebih jauh sebagai konsumen, klien, buruh dan produsen dalam sebuah masyarakat kompetitif. Namun, di luar ini, dengan absennya keputusan kelembagaan yang dibuat selain yang berkenaan dengan mewujudkan negara pasar, batas-batas pasar kewarganegaraan menjadi sangat sempit dan perlu ditilik secara teknokratis. Namun, berbagai kontribusi dalam edisi ini membuat jelas, modalitas neo-liberalisme dan bangunan pasar saat ini tidak tinggal diam dengan peraturan PKW Toby Carroll
13
negara mereka. Memang, mereka jauh dari itu. Sementara banyak bangunan pasar era kontemporer memperluas proses fase awal neo-liberalisme, misalnya dengan meneruskan pola marketisasi melalui dukungan kemitraan publik-swasta dan pengembangan aturan hukum baru untuk sektor-sektor tertentu, banyak yang berubah. Sebagaimana Paulus Cammack tunjukkan dalam makalah pertama di edisi ini, bangunan pasar harus dilihat sebagai bagian dari proyek yang lebih besar, yang berakar dalam Adam Smith dan diakui oleh Marx dan Engels (1978), untuk mengembangkan kapitalisme dalam skala yang benar-benar global. Manifestasi terkini dari proyek ini, yang hanya diperoleh dalam momentum, saat ini menempatkan risiko sebagai pusat strategi untuk menciptakan pasar global. Karena alasan inilah kontribusinya Cammack untuk memahamkan bangunan pasar membuat perbedaan penting antara “risiko negatif ” (risiko yang mengancam takaran bangunan pasar dan proyek neo-liberal yang lebih luas) dan “risiko positif ” (risiko yang takaran bangunan pasar coba untuk bangkitkan dan dorong melalui penanaman hubungan sosial kompetitif). Cammack menunjukkan bagaimana pengertian tentang risiko yang tertanam dalam literatur berpengaruh pada politik ekonomi reformasi dan dalam strategi “manajemen risiko sosial” dari dua inti pembangun pasar: Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia. Sama pentingnya dengan makalah Cammack untuk edisi ini, dalam artikel kedua saya rinci bagaimana kadar bangunan pasar sekarang bekerja pada, melalui dan di sekitar negara dalam proses menciptakan pasar kapitalisme global dan yang penting, pergeseran pola pemerintahan dan akumulasi modal di Asia. Makalah ini menekankan bahwa meskipun bentuk-bentuk awal dari neo-liberalisme bekerja pada dan melalui negara, konstitusi pasar dalam citra neo-liberal sekarang sering “langsung ke sektor” - yakni langsung ke ranah swasta. Saya mengkonsepsikan proses kekuatan sektor swasta Bank Dunia, Kerjasama Keuangan Internasional (International Finance Corporation), dan sektor swasta lainnya--dana organisasi publik terlibat dalam “pendalaman pemasaran pembangunan.” Muncul pendekatan di dalam praktik pengarusutamaan pembangunan yang berpusat pada mitigasi risiko untuk modal dalam mengejar terbukanya dan memperluas lingkup akumulasi. Mitigasi risiko ini dan kreasi pasar yang ada melibatkan strategi baru dan instrumen yang dioperasionalkan di dunia berkembang, termasuk memprioritaskan ukuran patokan kompetitif baru dan penyebaran investasi ekuitas dan pinjaman kepada entitas seperti perantara keuangan. Sementara strategi ini dengan cepat menjadi gaya “pembangunan” terakhir, saya menasihatkan bahwa imbalan dari inisiatif tersebut akan rendah dan potensi untuk merusak bentuk perlindungan pemerintahan dan menciptakan gelembung ekonomi yang besar tinggi. Dalam makalah ketiga, Shahar Hameiri menunjukkan bagaimana kadar bangunan negara telah mengadopsi gagasan “kegagalan negara” sebagai pintu masuk untuk menyebarkan serangkaian tindakan yang bertujuan membangun kapasitas 14
Toby Carroll
negara tertentu dan, melalui struktur kelembagaan yang pasar dipandang perlu, mendukung pengembangan pasar liberal. Fokus pada Misi Bantuan Regional untuk Kepulauan Solomon (RAMSI) intervensi Australia di Kepulauan Solomon, Hameiri menyajikan nuansa analisis tentang bagaimana logika teknokratik bangunan negara telah diterapkan dan bagaimana, kemudian, lintasan pembangunan telah berjalan, dengan hasil yang tidak diinginkan jelas kelihatan. Dia menjelaskan bahwa sementara berbagai upaya terkait dengan RAMSI telah membantu dalam meningkatkan kegiatan ekonomi, mereka dengan tanpa sadar bertindak untuk mengurangi risiko untuk akumulasi primitif,” yang paling menonjol di sektor kehutanan. Di sini, kekhawatiran yang sangat nyata ada bahwa pola kegiatan ekonomi tidak hanya sangat tidak berkelanjutan dalam hal menguras sumber daya pokok tetapi itu juga bisa berfungsi sebagai dasar menumbuhkan bentuk konflik sosial dari bawah. Fokus pada sumber daya alam dan bangunan pasar juga menjadi tema untuk artikel keempat dalam edisi khusus oleh Pascale Hatcher. Hatcher membuat catatan usaha Grup Bank Dunia (GBD), menyusul Review Industri Ekstraktif 2003, untuk tetap terlibat di negara berkembang, tapi sangat kaya sumber daya ekonominya. Berfokus pada Filipina, Papua New Guinea dan Laos, tiga negara yang mendapat dana hibah besar untuk sumber daya alam, Hatcher melukiskan cara di mana GBD memainkan peran penting dalam tata kelola ulang pertambangan, mencoba untuk membangun rezim pemerintahan tertentu untuk ekstraksi sumber daya. Rezim-rezim, yang meliputi jaminan sosial dan lingkungan, bertugas, pertama dan terutama, menuju mitigasi risiko pada industri di atas dan di bawah yang dihadapi oleh penduduk lokal. Namun, sementara rezim baru membantu penetrasi modal ke negaranegara kaya sumber daya alam, mengubah pengertian risiko dan tanggung jawab, permusuhan lokal dan nasional yang ekstraksi sumberdaya hasilkan tidak begitu mudah dipahami oleh kaum teknokratis dari GBD. Sebagaimana Hatcher jelaskan, kenyataan ini mungkin, memang, berarti bahwa dalam jangka panjang upaya GBD mungkin tidak dapat dipertahankan. Dalam makalah kelima, Andrew Rosser dan Thomas Wanner melanjutkan penyelidikan tentang hubungan antara risiko dan bangunan pasar dengan memberikan analisis kritis atas kerja Australian Agency for International Development (AusAID). Identifikasi risiko sebagai fokus baru dalam ukuran bangunan pasar, Rosser dan Wanner menunjukkan bahwa agenda ini muncul dari kepentingan politik dan sosial tertentu. Mereka berpendapat bahwa sementara kebijakan dan pedoman AusAID berorientasi pada pengelolaan luasnya susunan risiko, poin yang lebih penting adalah bahwa manajemen risiko telah ditargetkan pada persoalan utama dari pengembangan pasar neo-liberal dan mengamankan tujuan kebijakan luar negeri Australia secara lebih luas. Study menunjukkan bahwa upaya mitigasi risiko AusAID telah merugikan konstituen miskin yang tinggal di negara tempatnya beroperasi. Dipertajam dengan program Kemitraan Filipina-Australia untuk Reformasi Toby Carroll
15
Tata Kelola Ekonomi sebagai wujud nyata dari fusi manajemen risiko dan bangunan pasar dalam bantuan pembangunan resmi, Rosser dan Wanner meminta perhatian jauh lebih besar yang harus dibayar dengan isu inklusi dan masyarakat sipil. Dalam makalah keenam dan terakhir untuk edisi khusus ini, Darryl Jarvis memandang upaya untuk menanamkan negara hukum di Indonesia dan, khususnya, tata kelola sektor kelistrikan. Sebagai contoh unggulan bangunan pasar, Jarvis menantang ortodoksi pembangunan dengan menanyakan apakah, dalam cara penuh makna, negara hukum bisa hadir di negara seperti Indonesia dan apakah, memang, kita menginginkan mereka. Di sini, perhatian utama Jarvis tidak hanya kemungkinan penerapan negara hukum tapi yang terpenting, logika menggabungkan negara hukum dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Jarvis membongkar gagasan tentang negara hukum yang secara kritis dan empiris membumi, mendetailkan bahwa banyak dari apa yang membentuk “pemerintahan yang baik” untuk yang semisal Bank Dunia, secara khusus mendukung penetapan lembaga-lembaga standardisasi dan aturan yang akan diadopsi oleh negara, bisa jadi membantu dalam melindungi kemunduran negara-negara terbelakang. Setiap makalah dalam edisi khusus ini mencoba untuk mengkonsepsikan proses marketisasi di Asia yang kadang ruwet dan berjumlah besar dan politik ini - baik politik yang menghasilkan ukuran marketisasi baru di awal tempatnya dan apa yang standard marketisasi, pada gilirannya, hasilkan dan jumpai. Pada dasarnya kumpulan makalah ini bertanya secara kolektif apa arti neo-liberalisme di bawah kapitalisme akhir dan apa, yang terpenting, itu berarti di wilayah yang paling dinamis di dunia: Asia. Mengingat ciri khas fokus edisi khusus ini, diharapkan bahwa ide dan analisis yang disajikan di setiap artikel ini akan menjadi titik penting untuk putaran baru analisis berorientasi pada pemahaman lintasan neo-liberalisme dalam ekonomi politik global yang penuh gejolak dan, khususnya, pengaruhnya dalam ekonomi dan masyarakat menghadapi tantangan pembangunan besar. Catatan 1 Makalah-makalah berasal dari lokakarya yang diselenggarakan di Sekolah Lee Kuan Yew of Public Policy di Universitas Nasional Singapura pada April 2011. Lokakarya, bagian dari proyek berjudul Pendekatan Baru untuk Pasar Pembangunan di Asia, ini didanai oleh Kementerian Pendidikan Singapura Tier 1 Dana Penelitian Akademik Pemberian judul yang sama. 2 Angka-angka GNP yang ada di sini dihitung secara manual oleh penulis menggunakan alat DataBank, Bank Dunia. Angka untuk 2009 dalam US$ dan berasal dari daftar negara-negara Bank Dunia di kawasan Asia dan Pasifik (EaaP) demarkasi regional. Pendapatan per kapita sub-region dihitung dengan menjumlahan total GNP tiap negara yang mana Bank ada datanya untuk membaginya sesuai dengan jumlah populasi. Untuk negara-negara tertentu (misalnya Brunei, Korea Utara, Myanmar, Timor-Leste dan Tuvalu) di kawasan ini ada baik data yang tidak lengkap atau tidak ada dalam databank Dunia untuk periode waktu yang dicakup. Oleh karena itu, angka-angka untuk negara-negara ini tidak termasuk dalam perhitungan di atas. 16
Toby Carroll
Referensi Brenner, N. and N. Theodore (2002) “Cities and the Geographies of ‘Actually Existing Neoliberalism,’” in N. Brenner and N. Theodore (eds), Spaces of Neoliberalism, Malden: Blackwell, pp. 1–32. Cammack, P. (2009) “All Power to Global Capital!,” http://e-space.openrepository. com/e-space/ bitstream/2173/67573/1/All%20Power%20to%20Global%20Capital. pdf, (downloaded 20 June 2011). Cammack, P. (2012) “Risk, Social Protection and the World Market,” Journal of Contemporary Asia, 42, 3, pp. 359–77. Carroll, T. (2010) Delusions of Development: the World Bank and the post-Washington Consensus in Southeast Asia, London: Palgrave-MacMillan. Carroll, T. (2012) “The Cutting Edge of Accumulation: Neoliberal Risk Mitigation, the Baku-Tbilisi- Ceyhan Pipeline and its Impact,” Antipode, 44, 2, pp. 281–302. Gellert, P. (2010) “Rival Transnational Networks, Domestic Politics and Indonesian Timber,” Journal of Contemporary Asia, 40, 4, pp. 539–67. Gill, S. (2000) “The Constitution of Global Capitalism,” http://www.theglobalsite.ac.uk/ press/010gill.htm (downloaded 29 June 2011). Jayasuriya, K. (2000) “Authoritarian Liberalism, Governance and the Emergence of the Regulatory State in Post-Crisis East Asia,” in R. Robison, M. Beeson, K. Jayasuriya and H. R. Kim (eds), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis, London: Routledge, pp. 315–30. Jayasuriya, K. and K. Hewison (2004) “The Antipolitics of Good Governance: From Global Social Policy to a Global Populism?” Critical Asian Studies, 36, 4, pp. 571– 90. Lin, J. (2011) “Foreword,” in World Bank, Global Development Horizons 2011 – Multipolarity: The New Global Economy, Washington DC: World Bank, pp. xi–xiii. Marx, K. and F. Engels (1978) “Manifesto of the Communist Party,” in R. Tucker (ed.), The Marx-Engels Reader, New York: W.W. Norton, pp. 469–500. Selden, M. and J. Wu (2011) “The Chinese State, Incomplete Proletarianization and Structures of Inequality in Two Epochs,” Japan Focus, http://www.japanfocus.org/Jieh_min-Wu/3480 (downloaded 29 June 2011). Stiglitz, J. (2001) “More Instruments and Broader Goals: Moving Towards a PostWashington Consensus,” in H.-J Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank, The Rebel Within, London: Anthem Press, pp. 17–56. Westra, R. (2011) “Renewing Socialist Development in the Third World,” Journal of Contemporary Asia, 41, 4, pp. 519–43. Williamson, J. (1990) “What Washington Means by Policy Reform,” in J. Williamson (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened?, Washington: Institute for International Economics, pp. 5–20. Williamson, J. (2000) “What Should the World Bank Think About the Washington Consensus,” The World Bank Research Observer, 15, 2, pp. 251–64. Zizek, S. (2010) “A Permanent Economic Emergency,” New Left Review, 64, pp. 85–95.
Toby Carroll
17
18
Toby Carroll
Journal of Contemporary Asia Vol. 42, No. 3, Agustus 2012
Bekerja terhadap Negara, melalui Negara, dan tanpa Keterlibatan Langsung Negara: International Finance Corporation (IFC) dan Marketisasi Mendalam pada Pembangunan di Asia3DVL¿N TOBY CARROLL Pusat Kajian Asia dan Globalisasi, Departemen Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Universitas Nasional Singapura ABSTRAK: Makalah ini menjelaskan tentang adanya suatu desakan baru dari lembaga keuangan internasional untuk memperluas dan memperdalam hubungan sosial kapitalis di negara-negara kurang maju dengan cara-cara yang melampaui konsensus penyesuaian struktural Washington atau bahkan pascakesepakatan Washington (Post-Washington Consensus, PWC) dengan berbagai bentuk “neoliberalisme partisipatif ” yang berorientasi kelembagaan. Disebutkan di sini sebagai “marketisasi mendalam atas pembangunan” (deep marketisation of development) atau cukup dengan sebutan “marketisasi mendalam”, proses ini dapat menarik semakin banyak sumber daya yang secara formal dialokasikan langsung bagi aktor swasta tanpa keterlibatan langsung negara. Proses ini juga menuntut dan mendorong pergeseran bentuk dan fungsi negara dalam upaya membina “lingkungan yang mendukung” penciptaan modal dan memfasilitasi “akses terhadap pembiayaan”. Makalah ini dimulai dengan penjabaran konsep marketisasi mendalam dan menempatkannya dalam konteks historis dan politik. Bagian kedua makalah ini menyajikan beberapa contoh marketisasi mendalam yang berlangsung di wilayah Asia-Pasifik sehubungan dengan kegiatan kerja unit sektor swasta dari Bank Dunia, yaitu International Finance Corporation.1 Makalah ini diakhiri dengan menyoroti beberapa masalah serius, terkait agenda marketisasi mendalam. Kata Kunci: Doing Business, lingkungan yang mendukung, International Finance Corporation, marketisasi, kemitraan publik-swasta, risiko
PENDAHULUAN Meskipun praktik Pembangunan2 sepertinya terhenti pada reformasi neoliberal yang berorientasi pada negara dari pascakesepakatan Washington (lihat bagian pendahuluan dari topik ini), dalam makalah ini saya mengemukakan bahwa sebenarnya evolusi dan ekspansi yang signifikan jelas terlihat dalam kebijakan Pembangunan neoliberal, khususnya dalam kerja organisasi berorientasi sektor swasta, seperti unit sektor swasta dari Bank Dunia, yaitu International Finance Corporation (IFC). Evolusi ini harus dilihat dalam kaitannya dengan berbagai dinamika utama yang terjadi pada kapitalisme tingkat lanjut (termasuk dampak neoliberalisme) -dinamika yang telah mengubah lanskap temToby Carroll
19
pat Pembangunan berlangsung. Secara khusus, pergeseran “kutub-kutub” pertumbuhan global dan pertentangan terkait reformasi neoliberal dan kapitalisme tingkat lanjut secara lebih luas dalam beberapa tahun terakhir telah melatarbelakangi pertumbuhan pesat pada dukungan sektor swasta yang berasal dari organisasi Pembangunan, serta meningkatnya jumlah dan bentuk modalitas Pembangunan yang dikerahkan. Di balik ekspansi dan evolusi ini, IFC kini harus dilihat sebagai protagonis penting, tidak hanya dalam Kelompok Bank Dunia (World Bank Group, WBG), tetapi juga dalam proyek neoliberal yang lebih luas untuk mendirikan sebuah “pasar dunia”, yang terpusat pada hubungan sosial yang kompetitif dan pada akumulasi (Cammack, 2009; 2011; Gill, 2000; Marx dan Engels, 1888: 475). Argumen yang saya kemukakan dalam tulisan ini adalah bahwa IFC sekarang memainkan peran penting, meskipun seringkali diremehkan, dalam memperkuat aktivitas pasar tanpa keterlibatan langsung negara, sementara secara bersamaan mendorong pergeseran pada negara yang dianggap kondusif bagi berlangsungnya pola akumulasi modal yang telah “dirancang secara ideal”. Atau, jika kita menggunakan istilah Pembangunan yang populer saat ini, IFC sekarang menjadi aktor utama yang berupaya menciptakan “lingkungan [kelembagaan] yang mendukung” bagi modal serta memfasilitasi dan menyediakan “akses terhadap pembiayaan” sebagai perpanjangan dari akumulasi modal. Dalam hal ini, salah satu bagian proyek yang dijalankan IFC dan badan-badan sejenis (seperti European Bank for Reconstruction and Development, EBRD) lebih tidak bersifat teknokratis/kelembagaan dibanding bentuk-bentuk awal kebijakan Pembangunan neoliberal, yang mewujud melalui cara-cara yang bersifat sangat instrumental dan langsung (dalam hal ini “langsung ke sektor”). Yang pasti, elemen lain dari upaya baru ini –yang melibatkan modalitas sebagaimana tahap awal kebijakan neoliberal yang bekerja terhadap negara dan melalui negara (work on and through the state)– masih menunjukkan kecenderungan teknokratik klasik dari pendekatan “membangun lembaga-lembaga untuk pasar” yang berorientasi pada negara dari pascakesepakatan Washington (PostWashington Consensus, PWC), dengan adanya berbagai penambahan dan pengurangan dari pendekatan tersebut (Carroll, 2010; Stiglitz, 2001a, 2001b; Bank Dunia, 1997; 2002). Namun demikian, tidak seperti pendekatan tradisional dari kebijakan Pembangunan neoliberal –yang terikat secara tidak sempurna melalui persyaratan untuk pengalokasian uang– berbagai upaya baru dari badan seperti IFC dilakukan dengan lebih memberi perhatian atau tidak terlalu memberi perhatian pada pembangunan kelembagaan yang terkait PWC, tetapi sebaliknya berupaya mewujudkan akuntabilitas individu dan organisasi melalui mekanisme kedisiplinan langsung dari pasar dan profitabilitas (bergantung pada unsur pengamanan yang diterapkan) dari investasi tertentu. Singkatnya, apa yang sedang diteliti di sini adalah pendekatan baru untuk mengembangkan, memperluas, dan memperdalam hubungan sosial yang kompetitif, dan secara bersamaan, pola akumulasi dengan cara mengurangi ketergantungan pada upaya yang dilakukan melalui negara sebagai tempat terjadinya reformasi dan lebih kepada upaya untuk secara langsung mengembangkan aktivitas pasar yang nyata (dimana upaya secara langsung mengembangkan aktivitas pasar yang secara nyata digunakan untuk mendorong transformasi negara sebagai hasil sampingnya). 20
Toby Carroll
Merujuk pendekatan materialis historis untuk memahami kemunculan kapitalisme tingkat lanjut (bdk. Cammack, 2003; Gill, 2000; Harvey, 2006), makalah ini dimulai dengan menempatkan proyek yang dilakukan IFC dan lainnya dalam konteks historis dan politik, serta menguraikan berbagai aspek inti proyek. Saya berpendapat bahwa dorongan dalam kebijakan Pembangunan neoliberal –apa yang saya sebut sebagai “marketisasi mendalam atas pembangunan” atau singkatnya “marketisasi mendalam”– menjadi semakin menonjol seiring munculnya politik pembangunan yang baru. Politik baru ini ditandai pergeseran pola akumulasi, terutama terhadap kapitalisme tingkat lanjut dan keselarasannya dengan kepentingan kelembagaan dari berbagai entitas, seperti WBG dan negara-negara anggotanya (baik donor maupun klien). Secara lebih spesifik, marketisasi mendalam memiliki kesesuaian yang tepat dengan berbagai kepentingan utama kapitalisme tingkat lanjut, serta kepentingan ideologis yang mendukung kepentingan-kepentingan utama tersebut, sehingga membantu munculnya pola-pola baru yang lebih mendalam dari akumulasi melalui apa yang mungkin ahli geografi politik menyebutnya sebagai “penyelesaian tata ruang” (spatial fixes) –suatu solusi spasial (atau sementara) untuk berbagai hambatan dan krisis yang terkait akumulasi (Harvey, 2006: 415-19). Permintaan terhadap solusi spasial seperti ini sangat tinggi, terutama pada situasi dimana pengembalian modal sangat diharapkan dan sumber daya semakin sulit ditemukan di negara maju, serta pemerintah sangat membutuhkan solusi bagi berbagai masalah berkepanjangan terkait infrastruktur, penyediaan layanan, dan keterbelakangan secara lebih umum. Guna mencapai berbagai tujuan ini, tidak mengherankan apabila modalitas marketisasi mendalam –meliputi bantuan teknis (yang tanpa henti mendukung kemitraan publik-swasta (public-private partnerships, PPP)– dalam segala bentuk dan ukuran misalnya), berbagai pola baru untuk investasi saham, pembinaan terhadap perantara keuangan untuk mendorong sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta tolok ukur yang kompetitif –ditargetkan pada negara yang belum berkembang yang ternyata seringkali memiliki pertumbuhan ekonomi pesat. Namun demikian, jangan sampai dilupakan bahwa marketisasi mendalam juga melayani kepentingan kelembagaan dari organisasi Pembangunan (kepentingan material serta kepentingan ideologi dan legitimasi) yang dalam hal ini menghindari terjadinya berbagai kesulitan yang dihadapi langsung oleh organisasi seperti Bank Dunia yang terkait agenda reformasi “tata kelola yang baik” yang secara signifikan bergantung pada kerja terhadap negara dan melalui negara. Bagian kedua makalah ini menyajikan tiga contoh marketisasi mendalam di kawasan Asia-Pasifik sebagaimana dilaksanakan oleh protagonis yang paling penting: IFC. Setiap contoh telah dipilih untuk menunjukkan, melalui analisis kualitatif dari modalitas tertentu, cara yang berbeda namun saling melengkapi dimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan (secara khas) tanpa keterlibatan langsung negara dalam upaya untuk memperluas lingkup hubungan pasar. Contoh pertama dari marketisasi mendalam terfokus pada aspek tolok ukur/penetapan indikator/kedisiplinan proyek yang sedang dikaji melalui analisis seri laporan Doing Business dan operasionalisasinya di Asia. Analisis ini menunjukkan cara dimana Doing Business semakin mempertegas IFC dan WBG sebagai lembaga pemeringkat kuasi dari Toby Carroll
21
pemerintah serta kemampuan (atau sebaliknya) bagi pembangunan “lingkungan yang mendukung” untuk modal. Ini bukan tugas yang pasif, dimana Doing Business dirancang untuk menyatukan negara dan warganya ke dalam suatu dinamika yang kompetitif terkait penerimaan mereka (atau sebaliknya) terhadap suatu bentuk negara tertentu, terutama bagi kepentingan sektor swasta. Contoh pertama marketisasi mendalam ini merupakan contoh dimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara dan merupakan keberlanjutan dari PWC. Contoh kedua marketisasi mendalam dapat dilihat pada komodifikasi layanan air bersih kota Manila. Kasus ini merupakan contoh pendekatan yang semakin sering dipromosikan IFC untuk mewujudkan kepemilikan swasta atas layanan publik dan fasilitas umum –suatu pendekatan yang juga banyak merujuk pada PWC namun telah banyak mengalami perkembangan dan semakin canggih. Pada dasarnya, dengan merujuk pada preferensi PWC terhadap penyediaan layanan umum sektor swasta yang diatur secara independen, pendekatan ini memadukannya dengan jasa konsultasi yang mendorong PPP sebagai kebijakan yang dianjurkan, seringkali atas perintah para teknokrat dan politisi yang mencari jawaban terhadap berbagai masalah terkait layanan umum. Namun demikian, kecenderungan untuk mendorong PPP ini sering dipadukan dengan pemberian pinjaman dan modal untuk penyedia swasta agar dapat menstabilkan, mempertahankan, dan memperluas pengaturan privatisasi tersebut, dimana pinjaman dan modal seringkali disediakan hanya bagi perusahaan yang tercatat di bursa efek (persyaratan ini sendiri merupakan langkah lebih lanjut untuk pendalaman pasar). Contoh kedua ini menunjukkan bagaimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara untuk mengubah hubungan antara negara dan warganya dari waktu ke waktu. Contoh terakhir marketisasi mendalam mengkaji secara seksama peran baru yang dimainkan IFC dan pihak lain dalam membuka lingkup produksi dan akumulasi dengan bekerja tanpa keterlibatan langsung negara sejak tahapan awal. Ulasan berikut adalah dua contoh berbeda yang menggambarkan marketisasi mendalam yang mendukung berbagai bentuk modal (internasional dan domestik). Contoh pertama akan menyoroti peran IFC dalam upaya pengurangan risiko penting (pengamanan) terkait modal untuk proyek-proyek dunia berskala besar (contoh kasusnya pipa BTC) di berbagai wilayah atau “pasar yang belum digarap dan yang baru berkembang”. Dalam contoh kedua, kita akan melihat bagaimana IFC bekerja melalui organisasi keuangan mikro dan organisasi perantara keuangan lainnya, terutama dalam mempromosikan keuangan mikro sebagai modalitas penting yang berorientasi pada penanaman disiplin pasar di negara-negara seperti Timor-Leste dan Indonesia. Makalah ini akan menyimpulkan bahwa karena marketisasi mendalam didasarkan pada asumsi-asumsi neoliberal yang memiliki kontradiksi terkait hubungan antara negara dengan modal, maka potensi pendekatan baru ini untuk dapat ikut memperbaiki kondisi material kebanyakan negara akan tetap rendah. Berdasarkan situasi ini, maka di masa mendatang, pihak wirausahawan serta fasilitator dan penerima manfaat dari pihak birokrat dan politikus (baik di negara maju maupun negara kurang maju) pasti akan memanfaatkan gagasan marketisasi mendalam dengan baik dan juga beranggapan bahwa marketisasi mendalam bagi pasar yang sedang berkembang/masih baru merupakan bagian yang penting –bahkan kadangkala sebagai katalisator. Selanjutnya, fakta 22
Toby Carroll
bahwa marketisasi mendalam sepertinya merupakan solusi legitimasi bagi neoliberalisme dan solusi spasial bagi modal (merupakan solusi berbagai hambatan sebelumnya dari akumulasi) akan menjamin ekspansinya (Harvey, 2006: 415-19; Arrighi, 2003). Namun demikian, berbagai kontradiksi yang melekat, baik pada neoliberalisme maupun kapitalisme tingkat lanjut itu sendiri (hasil reformasi yang bersifat semu dan tak terduga, krisis kelebihan produksi, dll.) menunjukkan bahwa marketisasi mendalam sebagai upaya utama menuju penyempurnaan pasar dunia akan lebih memungkinkan untuk ikut lebih berperan memperluas penyebaran akibat krisis kapitalis, bentuk-bentuk baru hubungan sosial yang tidak setara, dan pola tata kelola pemerintahan (seringkali merusak) yang mengambil manfaat hubungan ini. Selain itu, kita tidak boleh meremehkan fungsi marketisasi mendalam dalam mengaburkan sumber-sumber utama keterbelakangan dan juga politik untuk mengatasi hal ini.
Marketisasi Mendalam sebagai Respon terhadap Politik Baru Pembangunan Di bagian pertama ini, secara singkat saya menempatkan marketisasi mendalam pada konteks historis dan politik dan memberikan rincian tentang “logika” inti dan modalitasnya. Saya telah melakukan hal ini bersama-sama (meskipun dalam urutan tertentu) untuk menunjukkan adanya politik tertentu bagi kebijakan Pembangunan di bawah kapitalisme tingkat lanjut yang hingga tingkat tertentu menjelaskan penyebab marketisasi mendalam telah berkembang begitu pesatnya akhir-akhir ini. Upaya ini layak diberi ruang yang memadai karena berbagai tindakan dan kepentingan di balik marketisasi mendalam kurang memperoleh perhatian dari yang semestinya –bahkan dalam literatur penting. Secara historis dan politik, marketisasi mendalam harus dipahami sebagai bentuk terbaru kebijakan Pembangunan neoliberal yang seperti bentuk-bentuk awal kebijakan Pembangunan neoliberal, merupakan produk signifikan kepentingan material dan ideologis yang dominan dari kapitalisme tingkat lanjut dan (berbagai) upaya dari berbagai macam kepentingan tersebut untuk merespon kontradiksi dan kebutuhan guna melanjutkan dan memperluas pola akumulasi. Dengan demikian, marketisasi mendalam merupakan tahap terakhir dari tiga fase umum dalam kebijakan Pembangunan neoliberal yang telah berusaha menanamkan hubungan sosial kapitalis yang kompetitif pada skala yang benar-benar global (lihat Cammack, pada terbitan ini). Tahap pertama yang membidik negara dengan cara yang seringkali kejam telah diwujudkan dalam program penyesuaian struktural (structural adjustment programs, SAPs) dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, serta berbagai kebijakan yang kemudian disebut sebagai “kesepakatan Washington”. Mengingat perhatian ilmiah yang cukup besar yang diberikan di tahap awal dari kebijakan Pembangunan neoliberal, maka cukup dikatakan di sini bahwa pendekatan ini (sebagian dari pendekatan ada yang menyebutnya sebagai “neoliberalisme roll back” (Brenner dan Theodore, 2002: 26)) memerlukan kebijakan yang berorientasi pada pembatasan dan perampingan negara secara kasar (untuk “membiarkan kekuatan pasar bekerja”) melalui intervensi yang mencakup privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan seringkali langkahToby Carroll
23
langkah kaku yang terkesan mendadak (Mosley, Harrigan dan Toye, 1991; Williamson, 1990). Kebijakan-kebijakan yang semakin mencuat sejak awal tahun 1980-an ini, berasal dari kontra-revolusi dalam kebijakan pembangunan yang menyatu dengan perlambatan pertumbuhan global secara jangka panjang, krisis utang yang masif di dunia ketiga, dan hadirnya pemerintah sayap kanan di Inggris, Amerika Serikat, dan Republik Federal Jerman (Colclough, 1991: 5-6; Leys, 1996: 21; Mosley, Harrigan dan Toye, 1991: 7; Toye, 1987: 23). Namun demikian, pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an, kegagalan besar kesepakatan Washington terlihat lebih jelas, bahkan lazim diterima dengan hasil buruk dan sungguh mengerikan, terutama jelas terjadi di negara Afrika Sub-Sahara dan bekas negara komunis. Ketegangan yang dihasilkan berbagai pembaharuan (ditambah efek samping proyek multilateral tertentu), berakibat pada krisis legitimasi yang dialami Bank Dunia dan IMF yang semakin tampak dari waktu ke waktu. Hal penting adalah bahwa perjuangan berkelanjutan para aktivis dari berbagai kalangan (kiri, hijau, dan anarkis) diiringi peningkatan pengawasan kaum konservatif di Amerika Serikat yang terus-menerus merasa skeptis terhadap multilateralisme dan dukungan publik terhadap upaya pembangunan “liberal” secara umum (Pincus dan Winters, 2002: 2 4 ; Carroll, 2010: 175-6). Bagi Bank Dunia –sebagai lembaga kebijakan Pembangunan neoliberal terkemuka dan penghasil utama “pengetahuan pembangunan”– agar dapat tetap kredibel menghadapi krisis legitimasi yang besar ini dan memastikan suntikan reguler uang dari negara-negara anggota utamanya untuk program “pinjaman lunaknya”, maka lembaga ini minimal harus menunjukkan adanya pergeseran dalam cara kerjanya. Selanjutnya, karena masih terkendala politik pro-pasar/konservatif yang telah menghasilkan tahap pertama kebijakan Pembangunan neoliberal, Bank Dunia tidak menekankan pada upaya untuk meluruhkan neoliberalisme, tetapi lebih pada penanganan masalah terkait bagaimana melembagakan hubungan sosial yang kompetitif dan menaklukkan masalah pelaksanaan reformasi resmi –yaitu fokus utama kebijakan Pembangunan neoliberal tahap kedua (Cammack, 2009: 2-3; Carroll, 2010). Bagi mereka yang terlibat dalam pengembangan upaya ini, hal ini bukan mengenai masalah pertentangan neoliberalisme (dan kapitalisme) yang mengakibatkan munculnya berbagai masalah Pembangunan dan bahkan masalah keterbelakangan itu sendiri. Sebaliknya, permasalahan utama –yang akan melegitimasi seluruh intervensi baru yang akan dijalankan kader “pakar” teknokratis yang dibayar tinggi dengan mobilitas global –adalah cara pasar dihadirkan dan dipelihara dalam arti kelembagaan. Bagi kader teknokratis yang bertugas melakukan reorientasi kebijakan Pembangunan neoliberal, penyesuaian struktural kesepakatan Washington tidak hanya berlangsung tanpa mempedulikan perlunya membangun dukungan konstituensi yang luas, tetapi juga tanpa mekanisme pengaturan dan struktur penting lainnya (yang seringkali merupakan bagian dari negara yang sebelumnya rusak dan hancur) yang kini dianggap perlu bagi pasar. Selanjutnya, Laporan Pembangunan Dunia dan pejabat senior Bank Dunia menyatakan sangat pentingnya “tata kelola yang baik” –pada dasarnya adalah pembentukan sebuah negara tertentu (didepolitisasi dan terisolasi secara politik pada saat pembentukannya) yang dianggap penting untuk mengurangi “biaya transaksi” dan “asimetri informasi” (World Bank, 1993; 1997; 2002; Stiglitz, 2001a; 2001b). Bahkan, lembaga-lembaga sosial –yang 24
Toby Carroll
tampaknya begitu dikesampingkan dalam kebanyakan kebijakan Pembangunan dan ekonomi ortodoks yang mendasarinya– telah menarik perhatian, karena kontribusinya dalam memanfaatkan pasar secara maksimal dan memperkuat dan memelihara pasar tersebut (Harriss, 2002: 76-96; Carroll, 2010, 88 -89, 109-113). Tahap kedua, yaitu bagian yang telah digambarkan sebagai “neoliberalisme roll out” (Brenner dan Theodore, 2002: 27) dan telah mendominasi wacana dan praktik pembangunan selama lima belas tahun terakhir, merupakan apa yang sering digambarkan sebagai “PWC”. Namun demikian, pelaksanaan “neoliberalisme roll out” juga telah dihadapkan pada tantangan berat, dimana ada beberapa pihak (mungkin agak terlalu bersemangat) yang mengisyaratkan bahwa neoliberalisme dan ekonomi politik global kini berada di titik yang secara fatal dapat merusak legitimasi neoliberalisme (Peck, Theodore dan Brenner, 2009: 95). Krisis keuangan global pada akhir dasawarsa pertama abad ke-21 (yang berubah menjadi krisis ekonomi global yang lebih luas dan berkepanjangan), stagnasi ekonomi serta utang publik dan swasta yang semakin membumbung yang terjadi di negara-negara maju di perekonomian global, dan bangkitnya negara Cina dan negara lain yang muncul atas pertumbuhan yang sangat asimetris, telah mengubah (meskipun tidak secara keseluruhan) keseimbangan hegemoni, baik dalam ekonomi politik global maupun neoliberalisme yang berkaitan. Namun demikian, tanpa perlu melawan kebijakan Pembangunan neoliberal secara fundamental, berbagai dinamika ini mungkin lebih tepatnya telah membawa pada politik pembangunan yang baru –menyesuaikan kembali berbagai tuntutan dan tekanan yang terus membentuk kebijakan dan praktik Pembangunan neoliberal. Sangat jelas bahwa politik pembangunan yang baru merupakan tantangan bagi neoliberalisme yang berorientasi pada negara dari PWC –dengan “pasar-pasar berkembang” dengan pertumbuhan tinggi yang telah melewati masa ketergantungan berlebihan pada pinjaman berbagai pihak, seperti Bank Dunia, dan di beberapa kasus bersaing dengan organisasi multilateral sebagai sumber keuangan dan kegiatan yang menggantikan pembiayaan. Sebagai contoh, beberapa “negara berpendapatan menengah” yang biasanya meminjam dari berbagai lembaga Bank Dunia, baik yang bersifat lunak, yaitu International Development Association (IDA), maupun tidak lunak, yaitu International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), tidak begitu terpengaruh oleh pinjaman dari organisasi multilateral beserta segala persyaratannya. Kenyataan ini tercermin dalam pinjaman neto yang menurun dari IBRD pada dekade terakhir menjelang terjadinya krisis (kenyataan yang terutama tampak di wilayah Asia Timur, Pasifik, Eropa Timur, dan Asia Tengah), sedikit penurunan dalam “ketergantungan bantuan” di negara berpenghasilan menengah secara keseluruhan, dan penurunan tajam dalam total hutang yang dinyatakan sebagai persentase ekspor barang dan jasa, baik di negara-negara berpenghasilan rendah maupun menengah (Bank Dunia, 2010: 392, 400-401, 408) .3 Gambaran keseluruhan tantangan terhadap pengaruh organisasi Pembangunan yang mengupayakan reformasi pasar yang membidik negara/pro-liberal juga didukung peningkatan besar dalam obligasi publik dan swasta yang diterbitkan pasar-pasar “berkembang” sejak akhir 1990-an dan aliran penanaman modal asing (PMA) yang (sempit), namun semakin deras ke negara berkembang, yang telah meningkat dari hanya kurang dari AS $100 miliar pada tahun 1995 menjadi hampir AS $600 ratus miliar pada tahun Toby Carroll
25
2008. Persentase PMA yang mengalir ke negara berkembang tumbuh pesat sebesar 10% antara tahun 2007 dan 2008, sementara negara maju terpukul krisis dan permodalan terpaksa mencari sumber alternatif dari surplus. Tentu saja, tidak mengherankan bahwa banyak dari PMA tersebut ditujukan kepada negara “BRICS” yang mencetak performa dahsyat yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, dan mewakili separuh lebih dari seluruh PMA bagi dunia terbelakang (Bank Dunia , 2010: 396-397; Bank Dunia, 2011, 98). Namun demikian, angka di atas menunjukkan memudarnya pengaruh berbagai organisasi “pembangunan kelembagaan” PWC terhadap beberapa “klien” utama mereka. Situasi ini digabung dengan tantangan berkelanjutan yang terkait legitimasi organisasi Pembangunan dalam bentuk berbagai permasalahan serius yang berkenaan pelaksanaan (penolakan terhadap reformasi, korupsi yang terus terjadi, dll.), dan adanya kenyataan bahwa banyak contoh keberhasilan pembangunan yang terikat persyaratan –seperti Cina dan Vietnam– sesungguhnya tidak dapat disebut sebagai suri teladan bagi “pembangunan kelembagaan” neoliberal dan kelebihan dari “tata kelola yang baik” (lihat Carroll, 2010: 167). Sementara, politik pembangunan yang baru merupakan tantangan bagi legitimasi PWC dan pembenarannya terhadap pengaturan kelembagaan tertentu sebagai aspek penting pembangunan. Politik pembangunan baru juga menyediakan kondisi yang kondusif bagi organisasi yang melakukan marketisasi mendalam. Hal ini karena marketisasi mendalam adalah suatu dorongan yang bertujuan memenuhi kepentingan permodalan yang haus akan tingkat pengembalian dan sumber daya yang semakin tidak terjangkau di negara maju (elemen solusi spasial) dan tampaknya, merupakan jalan keluar bagi pemerintah di bagian selatan dunia yang menghadapi berbagai dilema pembangunan berkepanjangan (penyediaan infrastruktur, layanan, dan akses terhadap pembiayaan). Yang pasti, marketisasi mendalam dibangun dan dilengkapi berdasarkan berbagai tema PWC, misalnya menyertakan penilaian dampak sosial dan lingkungan, proses konsultasi dan partisipasi, dan penekanan pada lembaga pendukung pasar yang seringkali tercermin dalam istilah-istilah ala PWC, seperti “enabling state” atau “negara yang mendukung”. Namun demikian, lebih dari sekedar sebagai perpanjangan yang sederhana dari PWC, marketisasi mendalam menggunakan bahasa sektor swasta dan memperoleh banyak perhatian dari sektor swasta, khususnya terkait masalah keuangan –yang menekankan pada “mitigasi risiko” dan hubungannya dengan pengerahan modal atau “akses terhadap keuangan”. Hal lain yang berhubungan langsung adalah bahwa marketisasi mendalam menitikberatkan pada penciptaan “lingkungan yang mendukung” bagi modal –yang seakan-akan merupakan paket kelembagaan “ideal” (bentuk-bentuk negara) yang diklaim sebagai hal yang khususnya kondusif untuk menarik modal (dengan mengurangi risiko serta biaya lainnya), sehingga memberikan berbagai manfaat bagi pasar. Bukan hanya sekadar terciptanya hubungan sentral antara pemberi pinjaman publik multilateral dengan peminjam berdaulat (negara anggota), namun hubungan yang menyertakan persyaratan programatik untuk mempromosikan pasar, mengupayakan marketisasi mendalam untuk meleburkan pihak publik dan swasta ke dalam realitas pasar liberal yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang secara beragam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Dalam upaya ini, pen26
Toby Carroll
dekatan yang diterapkan menggunakan berbagai instrumen (seperti pinjaman sektor swasta bersyarat dan investasi ekuitas) untuk tidak hanya mencapai hal ini tetapi juga “mengunci” keadaan dan bahkan memperpanjang proses privatisasi PWC sebelumnya. Selanjutnya, tidak dipersulit masalah legitimasi dan campur tangan politik sebagaimana neoliberalisme yang berorientasi pada negara, upaya marketisasi mendalam dalam banyak kasus dapat berlangsung dengan atau tanpa adanya “enabling state”, bahkan yang masih pada tahap awal. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seperti dua fase pertama kebijakan pembangunan neoliberal, reformasi kelembagaan tidak perlu menjadi prasyarat bagi berlangsungnya berbagai langkah yang membangun pasar. Hal yang seringkali lebih penting dalam proses marketisasi mendalam dibandingkan reformasi klasik PWC bukan karena tolok ukur utama telah terpenuhi terkait reformasi kelembagaan, melainkan karena proyek yang dilakukan langsung mempunyai nilai komersial dan karena telah terbentuknya hubungan sentral tertentu antara pemberi pinjaman dan peminjam (hubungan pribadi/kelembagaan yang regular terpisah dengan yang “terpatri” dalam kontrak dan perundang-undangan). Bukti yang ada menunjukkan bahwa pendekatan “langsung ke sektor” ini digunakan untuk mewujudkan transformasi negara neoliberal dari “cara yang sebaliknya” –menciptakan konstituen baru dari reformasi pro-sektor swasta dengan terlebih dahulu menciptakan kegiatan sektor swasta itu sendiri (penjelasan lebih lanjut akan diberikan pada bagian berikut ini). Sangat jelas bahwa marketisasi mendalam masih banyak menggunakan instrumen Pembangunan neoliberal yang berorientasi negara, seperti pinjaman, bantuan teknis, serta upaya pemantauan, evaluasi dan penerapan barometer (Carroll, 2010: 68-114). Namun demikian, dengan adanya marketisasi mendalam, maka pinjaman akan beralih ke sektor swasta dan bantuan teknis secara bersamaan juga akan berpindah, baik ke sektor publik maupun swasta. Selain itu, banyak upaya pengukuran barometer (seperti yang ada pada seri laporan Doing Business yang dibahas pada bagian berikutnya), secara sangat spesifik berorientasi pada negara dan pada kemajuan yang dicapai untuk membentuk kondisi yang dianggap paling kondusif bagi sektor swasta –suatu fokus yang jauh lebih sempit dari PWC. Hal selanjutnya yang membedakan marketisasi mendalam dengan praktik Pembangunan yang sudah ada yang tidak hanya terbatas pada pinjaman negara adalah bahwa marketisasi mendalam menyangkut jaminan pengerahan modal (informal dan formal) serta investasi ekuitas. Jaminan dapat bersifat formal sepanjang organisasi seperti IFC menjamin beberapa risiko (seringkali bersifat politik) yang menyertai proyek yang bersangkutan. Jaminan juga dapat bersifat informal, dimana kehadiran IFC dapat mengurangi risiko tertentu terhadap sektor swasta berdasarkan status keadaan suatu negara/status multilateral yang diberikan IFC. Secara krusial, instrumen berbentuk ekuitas, yang sangat berbeda dengan pinjaman yang berorientasi pada negara, memungkinkan organisasi marketisasi mendalam memperoleh kepemilikan saham di dalam perusahaan, baik untuk menyediakan likuiditas maupun untuk mendorong perusahaan yang berada pada masa transisi agar bergerak terus menuju arah marketisasi. Dengan cara ini, marketisasi mendalam memerlukan pengamanan risiko bagi modal dalam proses perluasan pola akumulasi kapitalis. Hal penting adalah bahwa marketisasi mendalam juga menyangkut kegiatan kerja melalui perantara keuangan (financial intermediary, FI) dalam proses pembangunan Toby Carroll
27
berbagai ruang baru yang seutuhnya agar tercipta aktivitas pasar tanpa keterlibatan langsung negara. Dalam hal ini, dukungan FI, yang meliputi organisasi pembiayaan mikro, dana ekuitas swasta, dan bank komersial telah menjadi strategi utama marketisasi mendalam, dimana ekuitas dan pinjaman multilateral untuk FI semakin memainkan perannya dalam menopang peningkatan kapitalisasi FI untuk memfasilitasi pinjaman yang bersifat on-lending serta pengembangan sektor UMKM. Karena tidak bersifat lemah dalam menghadapi “berbagai masalah yang terkait tata kelola pemerintahan” dibanding lembaga neoliberal yang berorientasi negara, marketisasi mendalam dalam banyak hal –meskipun tidak secara eksklusif– adalah proyek “frontier” (wilayah pasar yang belum terjamah sebelumnya) (IFC, 2009: 24) yang secara berani diterapkan di wilayah transisi dan pascapenjajahan yang terkenal dengan “kegagalan kelembagaannya”, “permasalahan tata kelola pemerintahan”, dan “defisit kapasitas” mereka. Organisasi marketisasi mendalam semakin menjadi pemain sentral dalam upayanya membuka peluang baru bagi akumulasi di kawasan dengan tingkat risiko/ tingkat pengembalian yang tinggi dalam industri ekstraktif, jasa keuangan, dan sektor sensitif, seperti air dan energi –dimana faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi permasalahan, namun terdapat peluang signifikan untuk meraih keuntungan, dimana motif keuntungan dapat diklaim sebagai kesempatan meningkatkan kondisi sosial. Pada wilayah “frontier” dan berisiko lainnya bagi modal internasional, keterlibatan organisasi marketisasi mendalam dengan terjalinnya hubungan yang berdaulat dan adanya dukungan finansial akan memberikan keyakinan terhadap pihak sektor swasta (khususnya sektor keuangan swasta), bahwa suatu proyek tertentu akan lebih sedikit menghadapi masalah (renasionalisasi, pengambilalihan/penggunaan laba, dll.) dibanding jika terjadi hal yang sebaliknya. Menurunkan risiko tersebut berarti biaya peminjaman untuk perusahaan swasta akan berkurang, dan adanya (potensi) peningkatan margin. Namun lebih dari itu, marketisasi mendalam mensyaratkan terbentuknya struktur pengaturan tertentu (setidaknya secara formal) dan diterapkannya berbagai langkah pengamanan oleh pelaku sektor swasta untuk mengurangi risiko (termasuk risiko reputasi) terhadap modal. Hal penting adalah bahwa marketisasi mendalam mengaitkan keharusan dan kepentingan modal, khususnya modal keuangan dari negara-negara maju dengan negara-negara kurang maju yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan demikian, marketisasi mendalam menyebarkan beberapa elemen proses yang lebih luas dari “finansialisasi” –istilah yang diberikan untuk menggambarkan pengalihan dari “bentukbentuk produktif ke bentuk-bentuk finansial akumulasi modal”– ke wilayah-wilayah yang sampai sekarang belum tersentuh oleh tekanan tersebut (Duménil dan Retribusi, 2011: 99-112; Gunnoe dan Gellert, 2010: 7; Foster dan Magdoff, 2009). Dalam hal ini, organisasi seperti IFC secara teratur menerbitkan obligasi, baik dalam dolar maupun dalam mata uang negara berkembang yang dibeli investor kelembagaan dan lainnya (seperti dana pensiun utara) untuk penggalangan dana agar dapat digunakan di wilayah selatan dalam berbagai proyek IFC yang menghasilkan laba, seperti yang terkait dengan keuangan mikro.4 Namun lebih dari itu, keterlibatan organisasi marketisasi mendalam, seperti IFC, 28
Toby Carroll
tidak sekedar berarti bahwa proyek-proyek tertentu (termasuk megaproyek) yang sebelumnya tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat berlangsung, tetapi juga bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat menarik pembiayaan lebih baik dari lembaga keuangan internasional, sehingga dapat menjamin bahwa langkah pengamanan tertentu telah diterapkan, risiko keuangan dan risiko reputasi dapat dikurangi, serta marjin terlindungi dan meningkat. Ketika suatu perusahaan telekomunikasi asing atau perusahaan air minum multinasional bermaksud melakukan investasi dalam suatu kemitraan publik-swasta pada suatu “pasar frontier/pasar berkembang” masih merasa cemas tentang masalah pengambilalihan keuntungan atau masih ragu tentang bagaimana rezim tertentu di suatu negara tuan rumah akan berdampak pada suatu usaha komersial, maka organisasi seperti IFC dan EBRD siap menyediakan dana riil (dibuat lebih murah karena peringkat AAA atau triple A yang mereka miliki), instrumen penilaian dan mitigasi risiko, ditambah adanya hubungan berdaulat serta kapasitas penetapan sinyal global (“negara ini merupakan/tidak merupakan negara dengan suatu risiko investasi”) dalam upaya mengurangi kecemasan atau keraguan terhadap penanaman modal.5 Yang pasti, di negara-negara kurang maju, mobilisasi modal dalam jumlah besar seringkali menjadi jauh lebih mudah jika suatu organisasi marketisasi mendalam seperti IFC dan EBRD ikut berpartisipasi, baik berperan sebagai investor maupun sebagai penasihat, atau idealnya memainkan kedua peran tersebut. Kenyataan ini terjadi karena berbagai alasan dan hal ini layak dijabarkan untuk membuat lebih jelas tentang hal yang dimaksud marketisasi mendalam. IFC –seperti organisasi-organisasi marketisasi mendalam lainnya– sering tidak hanya meminjamkan dana untuk proyek tertentu, tetapi juga secara teratur ikut berpartisipasi dalam bentuk ekuitas (kepemilikan saham) di dalam proyek tersebut. Hal ini menempatkan organisasi seperti IFC di posisi agak unik sebagai lembaga multilateral yang mempromosikan dan berinvestasi di perusahaan swasta. Dengan demikian, organisasi-organisasi ini memiliki koneksi kuat dan sangat berpengaruh, baik dengan “negara tuan rumah” maupun negara-negara besar dimana modal internasional berasal. Selanjutnya, organisasi marketisasi mendalam juga menikmati pengaruh signifikan dan memunculkan posisinya sebagai organisasi “ahli” yang “berpengetahuan” tentang masalah sektoral dan pembiayaan, dan sebagai organisasi penetapan sinyal/bermanfaat untuk modal, khususnya modal asing/internasional/ multinasional. Tidak banyak organisasi internasional yang dapat meyakinkan investor bahwa suatu pemerintah atau kepentingan domestik yang kuat di negara-negara kurang maju tidak akan “memburu rente” atau menggoyang proyek komersial tertentu dengan cara yang dapat dilakukan suatu organisasi sebagaimana dilakukan IFC. Singkatnya, jika pemerintah atau perusahaan tertentu tampak sepertinya melibatkan IFC dan/atau IFC terlibat dalam proyek tertentu, maka risiko terhadap modal menjadi berkurang –maka proyek dapat terselenggara dan memberi dampak pada profitabilitas. Dengan demikian, organisasi marketisasi mendalam memainkan peran penting terhadap modal yang berada di bawah kapitalisme tingkat lajut. Dalam hal ini, mereka dapat dianggap sebagai pemberi pinjaman multilateral dan penyedia asuransi kepada sektor swasta, investor multilateral, “lembaga pemeringkat”, pembangun sektor, dan penegak, semuanya menjadi satu! Dengan memanfaatkan politik baru pembangunan seperti yang dijelaskan di atas, Toby Carroll
29
Gambar 1: Komitmen tahunan dan komitmen portofolio kumulatif IFC, untuk tahun fiskal 2001-2011 (jumlah dalam AS $ miliar). Disusun oleh penulis dari data laporan tahunan IFC (IFC, 2001; 2005; 2009; 2011a) organisasi-organisasi ini memainkan peran sentral dalam memperluas wilayah kompetitif produksi dan konsumsi yang baru dan mendorong pengaturan regulasi/mitigasi risiko baru untuk membantu hal ini. Hal ini tercermin dengan jelas pada perluasan besar dalam jumlah dan jangkauan geografis atas upaya marketisasi mendalam. Coba perhatikan misalnya, kemunculan IFC –organisasi yang berada di garis terdepan dalam mendorong marketisasi mendalam. Baru-baru ini, IFC berada di bawah bayang-bayang IDA dan IBRD (keduanya mencerminkan sisi tradisional WBG).6 Meskipun demikian, baru-baru ini situasi tersebut telah mengalami perubahan signifikan yang ditunjukkan kenaikan besar dalam komitmen dan portofolio IFC. Sejak tahun fiskal 2001, portofolio kumulatif IFC meningkat dari AS $10,9 miliar menjadi lebih dari $42 miliar, dengan komitmen baru tahunan untuk periode yang sama, naik dari AS $2,7 miliar menjadi sekitar AS $12,2 miliar (lebih dari sepertiga jumlah ini dialokasikan bagi negara “IDA”). Pada saat yang sama, IFC juga telah meningkatkan jangkauan spasialnya dengan melakukan proyek-proyek baru di 102 negara (naik dari 69 negara di setengah dekade lalu) (IFC 2011a: 9; (lihat gambar 1). Dorongan IFC telah menjadi bagian suatu tren yang menunjukkan peningkatan besar yang pada umumnya terkait dukungan bagi sektor swasta dari jalur multilateral dan bilateral –tidak termasuk jumlah yang lebih besar yang dikerahkan organisasi-organisasi tersebut– yang telah melonjak sepuluh kali, dari kurang dari AS $4 miliar menjadi lebih dari AS $40 miliar (Bretton Woods Project, 2010b; IFC, 2009). Selanjutnya, dalam setengah dekade terakhir, marketisasi mendalam telah memungkinkan terlaksananya banyak megaproyek yang berada di negara kurang maju –proyek seperti jalur pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan yang bernilai multimiliar dolar yang dibahas di bagian berikutnya. Selain itu, bentuk baru praktik Pembangunan telah memainkan peran semakin penting 30
Toby Carroll
sejak terjadinya krisis keuangan/ekonomi baru-baru ini –dengan IFC, misalnya, yang kini bertindak sebagai kustodian dari banyak inisiatif yang dianggap penting untuk mempertahankan aktivitas reformasi dan ekonomi di negara-negara kurang maju.7
&RQWRK,)&GDQ0DUNHWLVDVL0HQGDODPGL:LOD\DK$VLD3DVL¿N Doing Business dan Kerja Marketisasi Mendalam terhadap Negara Di bagian ini, saya akan menyajikan beberapa contoh marketisasi mendalam dalam praktik dan cara yang modalitasnya bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Contoh pertama memperkenalkan pilar penting agenda IFC saat ini, kemudian marketisasi mendalam. Pilar ini berhubungan dengan upaya pembandingan dan pemeringkatan negara dalam upaya mereka (atau kurangnya upaya mereka) membangun “lingkungan yang mendukung” –pada dasarnya menyangkut kondisi yang dianggap sangat penting untuk menarik modal dan memastikan perluasan kegiatan sektor swasta. Seri laporan Doing Business (yang sebenarnya merupakan inisiatif bersama antara IFC dengan Bank Dunia) patut diteladani, karena perannya dalam mendorong standar normatif tertentu dan menilai kepatuhan negara atau tidak patuhnya negara terhadap standar tersebut. Terkait masalah standar normatif, laporan Doing Business memainkan peran yang sama dengan publikasi tahunan unggulan Bank Dunia, yaitu World Development Report (WDR) yang bersifat tematis dan sangat penting dalam penetapan norma-norma praktik Pembangunan, termasuk penentuan unsur-unsur penting dari negara yang berorientasi pada regulasi (Jayasuriya, 2000) dan selanjutnya mengekalkan lingua franca atau bahasa universal praktik pembangunan. Namun demikian, seri Doing Business mempunyai beberapa perbedaan dimana laporan tersebut berisi laporan tahunan, lengkap dengan peringkat negara dan serangkaian laporan individu negara yang terpisah yang menyajikan rincian kerja negara tertentu dalam upaya menciptakan lingkungan yang kondusif (laporan Doing Business Indonesia 2011 akan disajikan di bawah ini). Dengan cara ini, maka dengan memberi tekanan kompetitif pada negara, Doing Business dapat dianggap sebagai kelanjutan dari semacam kedisiplinan neoliberalisme (Gill, 2000) yang ditemukan pada Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan (Country Policy and Institutional Assessment, CPIA) Bank Dunia yang menantang negaranegara bergerak menuju seperangkat kelembagaan normatif tertentu dengan menilai sejauh mana mereka telah menerapkan atau tidak menerapkan negara berorientasi pada regulasi dan mengaitkan aspek ini dengan Strategi Bantuan Negara (Country Assistance Strategies, CASs) Bank Dunia, dan alokasi sumber daya yang terkait dengannya (van Waeyenberge, 2006: 20; Bank Dunia, 2003: 1). Doing Business juga menitikberatkan pada hasil pembangunan dan pemantauan yang menjadi bagian penting, bukan hanya dari PWC dan Kerangka Pembangunan Komprehensif (Comprehensive Development Framework, CDF) saja, tetapi juga yang terlihat pada agenda efektivitas bantuan dari Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) yang diwujudkan dalam Deklarasi Paris dan Deklarasi Roma (Carroll, 2010: 99-103). Sebagaimana bentuk serupa dari pendekatan pembandingan/pemantauan lain, Doing Business harus dianggap sebagai respon yang Toby Carroll
31
dibatasi secara paradigmatis dan berorientasi pada kepentingan terhadap berbagai pertentangan pada Pembangunan neoliberal, dengan orientasinya pada negara (dalam hal reformasi), tumpuan ideologisnya pada kelebihan sektor swasta dibanding sektor publik, ketertarikannya pada seperangkat lembaga tertentu sebagai “pelaksana” pembangunan, generalisasi yang terlalu agresif sebagai pembenaran melakukan intervensi kelembagaan tertentu, dan pengikisan hubungan sosial yang berbeda, terutama golongan tertentu yang sangat penting dalam memahami pola pembangunan. Terpenting, daripada mempertanyakan logika upaya pembangunan neoliberal, pendekatan pembandingan pasar seperti Doing Business melihat akuntabilitas dan disiplin hanya dari satu sisi, yaitu terhadap entitas yang “sakit”8 dan tidak patuh: negara miskin. Seri Doing Business dikelola dari Washington DC dan dioperasionalkan oleh staf sebanyak kurang-lebih lima puluh orang. Pada tahun 2010, tujuh laporan tahunan telah diterbitkan, laporan terakhir, secara komparatif menilai regulasi berorientasi bisnis di 183 negara. Laporan tahunan ini membandingkan berbagai negara satu sama lain terkait “keramahan peraturan” untuk bisnis di sepuluh bidang utama pada “siklus” bisnis: memulai suatu usaha; berurusan dengan izin konstruksi; mempekerjakan pekerja; mendaftarkan properti; mendapatkan kredit; melindungi investor; membayar pajak; perdagangan lintas batas; melaksanakan kontrak; dan menutup suatu usaha (Bank Dunia dan IFC 2009: iii, v).9 Penilaian kuantitatif dari performa suatu negara untuk berbagai aspek ini (berlaku bagi usaha kecil dan menengah dalam negeri) dilakukan tidak hanya untuk membandingkan negara terhadap berbagai bidang tersebut, tetapi lebih penting juga, untuk mendorong mereka agar melakukan reformasi.10 Dalam hal ini, laporan dirancang sepenuhnya “untuk memberikan basis yang obyektif untuk memahami dan memperbaiki lingkungan hukum dalam bisnis (Bank Dunia dan IFC 2009: v).” Sebagaimana telah dipaparkan Doing Business 2010 dengan jelas: Dasar pemikiran Doing Business adalah bahwa kegiatan ekonomi memerlukan aturan baik. Ini termasuk aturan yang menetapkan dan memperjelas hak milik serta mengurangi biaya menyelesaikan perselisihan, aturan yang meningkatkan prediktabilitas interaksi ekonomi dan aturan yang memberikan mitra kontraktual dengan perlindungan utama terhadap penyalahgunaan. Tujuan: peraturan yang dirancang agar efisien, agar dapat diakses oleh semua yang membutuhkannya dan sederhana dalam pelaksanaannya (Bank Dunia dan IFC 2009: v). Sebagaimana WDR, masing-masing laporan tahunan memiliki judul tematik –laporan 2010 berjudul Reforming through Difficult Times (“Melakukan Reformasi melalui Masa-masa Sulit”) –dan menggunakan dua jenis data: yang diambil dari analisis hukum dan peraturan, yang diambil dari karya de Soto dan Frederick Taylor, “Indikator Waktu dan Gerak” yang menilai kemajuan menuju pencapaian peraturan hukum tertentu dalam pembentukan masyarakat pasar (Bank Dunia dan IFC 2009). Tujuan kita di sini, penting ditekankan bahwa Doing Business sangat jelas terkait hal-hal yang tidak tercakup olehnya. Misalnya, seri Doing Business hanya terfokus pada “sektor formal” (negara-negara miskin seringkali memiliki “sektor informal” yang luas, 32
Toby Carroll
lengkap dengan segala bentuk permasalahannya), Doing Business tidak menilai sistem keuangan atau peraturan keuangan suatu negara. Hal penting lainnya, pada bidang yang dicakup Doing Business terdapat pengabaian signifikan yang mengungkapkan dinamika marketisasi mendalam secara nyata. Hal ini tampak nyata terutama pada indikator laporan yang terkait “mempekerjakan pekerja”, yang menyisihkan pembandingan “peraturan yang menyangkut keselamatan di tempat kerja atau hak atas perjanjian kerja bersama” (penjelasan lebih lanjut ada di bawah) (Bank Dunia dan IFC 2009: iv).11 Namun demikian, jika Doing Business tampak terkesan rendah hati dengan menyatakan apa yang tidak dicakupinya, hal ini sesungguhnya menutupi suatu agenda yang benar-benar ambisius. Doing Business 2010 memang menjual dirinya sebagai sesuatu yang mirip “tes kolesterol” bagi negara –dengan tidak mengungkapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan pasien, tetapi masih fokus pada indikator penting yang “membuat kita waspada untuk mengubah perilaku dengan cara yang tidak hanya akan meningkatkan peringkat kolesterol kita, tapi kesehatan kita secara keseluruhan” (Bank Dunia dan IFC 2009: vi). Selanjutnya, laporan tahun 2010 dengan bangga menyatakan bahwa Doing Business berdasarkan pada landasan metodologis yang kuat mengingat korelasinya yang kuat dengan “tolok ukur ekonomi utama” lainnya seperti peraturan pasar produk dari OECD dan Global Competitiveness Index dari The World Economic Forum. Penting juga untuk melihat keterkaitan antara Doing Business dan relevansinya dengan kemiskinan dan pembangunan dimana laporan ini juga secara jelas merujuk pada kajian Bank Dunia berjudul Voices of the Poor (“Suara Kaum Miskin”) dan kesimpulannya bahwa harapan laki-laki dan perempuan terletak “terutama pada pendapatan yang dihasilkan dari bisnis mereka sendiri atau upah yang diterima dari pekerjaan” (Bank Dunia dan IFC 2009: vi-vii). Dalam hal ini, laporan menyatakan bahwa upaya untuk merealisasikan hal ini membutuhkan “enabling growth” atau “pertumbuhan yang mendukung”, maupun partisipasi masyarakat miskin dalam manfaat pertumbuhan. Dalam bahasa marketisasi mendalam, “enabling growth” membutuhkan lingkungan regulasi yang “tepat” –apa yang semakin sering disebut sebagai “enabling environment” atau “lingkungan yang mendukung”. Pada dasarnya, Doing Business akan menguraikan, mengukur, dan memotivasi negara untuk mengupayakan lingkungan kondusif yang bertujuan memfasilitasi kegiatan sektor swasta. Meskipun terdapat beberapa kelonggaran dalam Doing Business dimana reformasi regulasi bisnis bukanlah segalanya dan bukan tujuan akhir dari pembangunan, Doing Business kini merupakan upaya unggulan yang mendorong reformasi berorientasi bisnis yang secara cepat digabungkan dengan Pembangunan. Dalam laporan tahunan, tabel dari negara yang melakukan reformasi dan berkinerja paling baik telah disajikan –dimana “para pemenang” disorot sebagai “kemenangan” dalam kategori jumlah dan dampak reformasi bisnis yang diterapkan (Rwanda adalah pemenang 2010). Dalam laporan tahun 2010, Timor-Leste dinyatakan sebagai pembaharu teratas di bidang “pembayaran pajak”, Azerbaijan disorot dalam kemampuannya membangun “one stop shop” atau “layanan terpadu satu pintu” untuk memulai suatu bisnis, sementara posisi terdepan untuk “kemudahan berbisnis” diberikan kepada Singapura. Doing Business juga memberi gambaran global tentang kemajuan yang berpihak pada bisnis; dan menunjukkan bahwa pada tahun 2008/09 sebanyak Toby Carroll
33
287 reformasi telah mempermudah melakukan bisnis, sementara 27 reformasi lainnya mengakibatkan hal yang sebaliknya (tindakan reformasi yang teratas dan terbawah di setiap bidang pembaharuan disebutkan). Informasi tentang negara mana yang melakukan reformasi apa (dan pada arah yang mana) juga disajikan, sehingga memungkinkan lintas perbandingan kemajuan yang dicapai menuju penetapan persyaratan Pembangunan yang kini menjadi sentral, yaitu lingkungan yang mendukung (Bank Dunia dan IFC 2009: 2-7). Tidak mengherankan jika reformasi yang lebih disukai oleh Doing Business (seputar sepuluh bidang utama yang disebutkan di atas) kebanyakan terkait upaya “penghapusan birokrasi” yang mendahulukan kepentingan pengusaha dan investor, dengan memberi contoh-contoh instruktif tentang “smart regulation” atau “regulasi cerdas”. Meskipun demikian, dalam hal ini Doing Business tidak sekedar melakukan upaya advokasi: Doing Business merupakan instrumen justifikasi dan intervensi yang mencoba menormalisasikan gagasan bahwa serangkaian reformasi tertentu yang mengistimewakan kepentingan bisnis itu selaras dengan kepentingan sosial yang lebih luas, kesemua ini dilakukan atas nama Pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Sebagai contoh, di bidang “Memulai Bisnis”, peringkat suatu negara ditentukan dari gabungan empat sub-indikator (“waktu”, “biaya”, “prosedur”, dan “modal minimum yang disetor”). Selanjutnya, “regulasi cerdas” menurut Doing Business mencakup pengurangan persyaratan modal minimum untuk memulai bisnis, membuat pendaftaran bisnis secara administratif (dibanding pendaftaran yang melibatkan entitas seperti pengadilan), sentralisasi pendaftaran bisnis dan menyediakan layanan pendaftaran bisnis secara online (Bank Dunia dan IFC 2009 : 10-16). Dalam hal “Mempekerjakan Pekerja”, suatu bidang pada Doing Business yang senantiasa menuai kritik dari LSM, Doing Business menyadari adanya kesulitan dari pihak pemerintah dalam mencari “keseimbangan yang tepat” antara fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan perlindungan pekerja. Namun, sub-indikator yang digunakan untuk pemeringkatan posisi suatu negara (yang tampaknya didasarkan pada pemahaman tentang keunggulan komparatif dari negara miskin yang kebanyakan terletak pada melimpahnya tenaga kerja murah (Cammack, 2004: 191; Bank Dunia, 1990: 3)), jelas tidak memiliki kesulitan dalam mempromosikan kerangka kerja yang mendorong negara menerapkan rezim tenaga kerja yang lebih condong pada “fleksibilitas pasar tenaga kerja” –salah satu pilar agenda neoliberal dari waktu ke waktu. Di sini, peringkat suatu negara ditentukan seperangkat sub-indikator lainnya– “kekakuan jam kerja”, “kesulitan dalam mempekerjakan tenaga kerja”, “kesulitan dalam hal pemutusan hubungan kerja”, “kekakuan dalam pekerjaan”, “biaya PHK”. “Peraturan cerdas” dalam hal ini memerlukan fleksibilitas dalam jam kerja, fleksibilitas pasar tenaga kerja secara lebih luas dan dinamis, misalnya, dari uang pesangon (dibayar oleh pengusaha) hingga asuransi pengangguran yang secara teratur didanai oleh pekerja (Bank Dunia dan IFC, 2009: 23 - 26, 83).12 Melanjutkan tema terkait kebijakan yang mengistimewakan pihak swasta yang seolah-olah untuk kepentingan publik ini, pemeringkatan negara menurut Doing Business untuk “Perlindungan Investor” (satu lagi bidang reformasi lainnya) ditentukan oleh “sejauh mana indeks pengungkapan”, “sejauh mana indeks kewajiban direktur”, dan “in34
Toby Carroll
deks kemudahan gugatan pemegang saham”. Dalam bidang “Pembayaran Pajak”, Doing Business fokus pada jumlah dan ukuran pajak yang dikenakan terhadap UKM, selain biaya kepatuhan. Oleh karena itu, “peraturan cerdas” di bidang yang disebutkan terakhir, melibatkan rezim perpajakan dengan basis yang luas (dengan tarif tetap), serta pencatatan dan pembayaran elektronik (Bank Dunia dan IFC 2009: 38-43). Dalam semua bidang dan lebih lagi, Doing Business sangat jelas berkaitan dengan apa yang dianggap “kebijakan yang masuk akal” dan memberi penilaian kuantitatif terhadap penerapannya atau sebaliknya. Selain laporan tahunan Doing Business, laporan individu negara Doing Business merupakan unsur lain dalam upaya untuk menyebarluaskan konsep “lingkungan yang kondusif ” marketisasi mendalam, melalui pembandingan kompetitif dan penetapan status, hingga ke wilayah-wilayah baru. Sebagai contoh adalah seri Doing Business untuk Indonesia tahun 2011, yang berjudul Making a Difference for Entreprenuers (“Membuat Perbedaan bagi Pengusaha”). Laporan ini banyak mengupas Indonesia dengan membandingkannya dengan negara-negara lain terkait sepuluh bidang reformasi menurut Doing Business. Secara keseluruhan, Indonesia berada di peringkat yang relatif rendah (pada posisi 121) dalam hal realisasi lingkungan yang mendukung, yaitu dengan membandingkannya secara strategis dengan negara-negara di Asia Tenggara, yaitu Singapura (1), Thailand (19), dan Malaysia (21). Diagnosa laporan tersebut menekankan pada kesehatan Indonesia yang buruk terkait berbagai “aspek vital” yang diperlukan untuk membangun lingkungan yang kondusif. Sebagai contoh, memulai suatu bisnis membutuhkan sembilan jenis prosedur dan 47 hari di Indonesia (laporan ini melakukan perbandingan dengan negara yang melakukan “praktik baik” seperti Selandia Baru yang hanya memerlukan satu jenis prosedur dan satu hari). Selanjutnya, biaya dan jangka waktu masing-masing sembilan prosedur untuk membuka usaha di Indonesia kemudian dirinci, dimana setiap proses dijelaskan secara sangat rinci (World Bank dan IFC, 2010: 2, 6-14). Contoh lain dikemukakan pada bagian “Pembayaran Pajak”, dimana Indonesia berada di peringkat 130 di dunia. Dalam hal ini, negara dengan penduduk paling padat keempat di dunia dengan begitu “mudahnya” dibandingkan terhadap negara dengan performa tinggi seperti negara Maladewa yang berukuran sangat kecil (yang hanya memiliki tiga pembayaran dan waktu kepatuhan “0 jam”). Demikian juga, Timor-Leste –yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan Indonesia– sebagai perbandingan dinyatakan memuaskan dengan pajak rata-rata terhadap laba sebesar 0,2%. Berbeda dengan Indonesia yang tercatat memiliki 51 pembayaran, membutuhkan 266 jam kepatuhan, dan mengenakan pajak rata-rata sebesar 37,3% dari laba. Memperoleh beberapa hasil terburuk, skor Indonesia untuk “Penegakan Kontrak” tercatat 40 prosedur, dengan total 570 hari dan biaya sebesar 122,7% dari jumlah yang diklaim –dimana angka-angka dibandingkan secara selektif terhadap beberapa negara tetangga di tingkat regional dan negara-negara hebat di tingkat global (Bank Dunia dan IFC 2009: 48-49, 61). Terpenting di sini sesungguhnya bukan mengenai angka-angka –meskipun beberapa darinya cukup menghibur– seperti apa yang sebenarnya diupayakan melalui Doing Business. Secara keseluruhan, laporan tahunan dan laporan negara merupakan upaya baru untuk menetapkan pola tata kelola pemerintahan neoliberal dengan menggunaToby Carroll
35
kan metode “name and shame” (mempublikasikan nama negara yang berkinerja buruk untuk menimbulkan rasa malu) dan pembandingan kompetitif, dimana metode pembandingan kompetitif secara bijaksana membandingkan negara terhadap negara lain di wilayah yang sama dan negara yang efektif melakukan reformasi secara global. Dalam hal ini, sejarah, politik, dan geografi –belum lagi analisis berdasarkan kasus tentang apa yang mungkin bermanfaat bagi bisnis dalam suatu lingkungan tertentu (Høyland et al, 2008: 1)– telah diabaikan dalam suatu upaya yang seolah-olah dikaitkan dengan fasilitasi pembangunan melalui pemberian dorongan untuk menerapkan serangkaian pengaturan kelembagaan yang seragam. Tidak peduli bahwa Indonesia memiliki penduduk 238 juta orang, pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sekitar AS $1.650, atau memiliki sejarah dimana Indonesia menjadi sasaran kolonialisme ekstraktif yang diikuti kleptokrasi di rezim Orde Baru. Dengan Doing Business, apa yang baik bagi satu negara dianggap baik bagi yang lain, dan tersirat bahwa menerapkan “regulasi cerdas” dapat membantu suatu negara untuk bergerak dari kondisi kurang maju menjadi maju dengan menerapkan rezim Doing Business. Tentu saja, seluruh diskusi ini menjadi tidak relevan jika Doing Business diabaikan oleh mereka yang pihak Doing Business berusaha mempengaruhinya. Namun demikian, terdapat banyak indikasi bahwa pemerintah menganggap serius tentang pemeringkatan ini. Meskipun jumlah reformasi yang terkait dengan “kemudahan berbisnis” telah meningkat cukup tajam (seperti yang disebutkan di atas), hal ini tentu saja bukan hanya merupakan hasil Doing Business, tetapi penyebarluasan secara umum dari neoliberalisme yang lebih luas (yang terjadi melalui banyak sarana, termasuk proyek-proyek Bank Dunia dan pendidikan para birokrat di sekolah-sekolah pemerintahan dan ekonomi tertentu). Namun demikian, sebagaimana yang tampak dari para pelaksana pembangunan, ketika hasil Doing Business 2006 dipublikasikan dan Timor-Leste berada di posisi mendekati terbawah, pihak pemerintah menjadi prihatin, sehingga melakukan investigasi, pertama-tama untuk mengetahui bagaimana hasil tersebut diperoleh, dan kedua, untuk melihat langkah reformsi mana saja yang dapat diterapkan untuk meningkatkan skor dengan cepat (wawancara, Dili, Februari 2011). Demikian juga, pemerintah Malaysia dengan bangga menyatakan niatnya untuk melakukan apa pun yang diperlukan agar dapat berada di peringkat sepuluh terbaik Doing Business (Høyland dkk, 2008: 1). Jelasnya, di era ketika reformasi PWC telah mencapai tahap kelelahan, Doing Business merupakan strategi baru bagi marketisasi mendalam, bekerja terhadap negara untuk mendorong pembentukan lingkungan yang kondusif bagi modal yang dilegitimasi berdasarkan kontribusinya terhadap upaya mengatasi kemiskinan dan meningkatkan hasil pembangunan.
Bekerja Melalui Negara dan tanpa Keterlibatan Langsung Negara -Kasus Layanan Air Minum di Manila Jika Doing Business merupakan senjata baru yang penting bagi pendisiplinan untuk meluncurkan konsep neoliberalisme dan memperluas hubungan sosial kapitalis yang “ideal” atas nama pembangunan, maka Doing Business bukanlah satu-satunya alat bantu yang tersedia. IFC, bank-bank Pembangunan regional dan badan-badan bantuan 36
Toby Carroll
bilateral (lembaga yang terakhir ini seringkali melakukannya melalui trust fund atau dana amanah yang diberikan kepada lembaga multilateral) memiliki sejumlah instrumen baru yang penting terkait upaya untuk melakukan transformasi, tidak hanya penyediaan layanan dan infrastruktur tetapi –juga dengan bersama-sama lembaga tersebut merubah hubungan antara negara dengan warganya. Pada bagian ini kita akan melihat salah satu contoh –transformasi layanan air minum di Manila– tentang bagaimana hal ini terjadi melalui upaya marketisasi mendalam yang bekerja, baik melalui negara dan tanpa keterlibatan langsung negara. Kasus ini tidak hanya menarik, tetapi sekaligus agak mengkhawatirkan, dimana IFC berperan mendorong perluasan pasar –pertama, dengan menggunakan bantuan teknis (bekerja melalui negara) untuk membangun penyediaan layanan yang esensial, dan kedua, (bekerja tanpa keterlibatan langsung negara) dengan menggunakan investasi serta pinjaman untuk menyoroti “kisah sukses” kemitraan publik-swasta di tengah-tengah kegagalan, upaya untuk mengurangi risiko terhadap modal dan memperluas marketisasi dari waktu ke waktu. Pada tahun 1990-an, sebelum pertumbuhan pesat IFC, lembaga ini diminta memberikan bantuan teknis tentang privatisasi layanan air minum untuk kota metropolitan Manila –sebagaimana kebanyakan penyediaan layanan di negara-negara dengan populasi besar dan GNP per kapita sekitar AS $1.000 pada pertengahan 1990-an, ditandai oleh tekanan rendah, konektivitas rendah, besarnya volume air yang hilang (melalui kebocoran dan pencurian), dan kualitas rendah (Buenaventura dan Palatto, 2004: 1; Esguerra, 2003: 10, 13). Demikian juga tidak jarang terjadi, baik di negara maju maupun negara kurang maju pada saat itu, dimana layanan air minum di Manila disediakan oleh negara. Dibebani dengan hutang publik (sebagian besar dari lembaga multilateral), maka pemerintah selalu akan dihadapkan pada pilihan terbatas –suatu realita umum yang juga penting dalam memahami kepentingan dan berkembangpesatnya kemitraan publik-swasta oleh pemerintah di belahan selatan dunia. Namun demikian, angka statistik penting dalam pemerintahan (termasuk Presiden pada waktu itu) yang meyakini langkah-langkah neoliberalisasi sebagai solusi bagi layanan negara yang buruk dan sangat terkesan dengan kemampuan IFC sebagai organisasi publik yang beroperasi menurut aturan sektor swasta, untuk memberikan bantuan teknis yang diperlukan guna mengatasi masalah tersebut (Dumol, 2000: 4, 19, 27). Apa yang kemudian muncul dari hubungan antara IFC dengan pemerintah Filipina merupakan kerja sama hibrida antara publik dengan swasta (kemitraan publik-swasta), dimana kini terdapat beragam variasinya di seluruh dunia.13 Kemitraan publik-swasta kini berada di garis terdepan dan sentral dalam seperangkat instrumen dari agenda lembaga Pembangunan dan khususnya, dalam kerja IFC. Pelaksanaan bentuk kerja sama seperti ini kini sedang didorong di beberapa negara termiskin di dunia dimana IFC bersemangat mempromosikan operasinya di negara-negara yang melakukan pinjaman dari IDA (IFC, 2009). Pembicaraan dengan pejabat IFC juga tidak jauh dari diskusi mengenai konsep kemitraan publik-swasta serta peran sentralnya dalam Pembangunan. Secara sederhana, kemitraan publik-swasta dapat berupa gabungan apa saja dari partisipasi publik dan swasta terkait penyediaan layanan dan infrastruktur. Namun demikian, istilah “kemitraan publik-swasta” secara umum kini mengandung arti pembagian kerja yang terikat dalam pengaturan kontraktual, dimana perusahaan swasta harus tunduk Toby Carroll
37
pada peraturan publik dalam memberikan layanan, mulai dari penyediaan listrik hingga kesejahteraan. Karakteristik utama kemitraan publik-swasta untuk Pembangunan adalah negara mengatur –melakukan “tugasnya” sebagai negara yang mengatur (Jayasuriya, 2000)– dan tidak terlibat langsung dalam penyediaan layanan. Dalam kasus kota Manila, layanan air minum terbagi menjadi dua wilayah perizinan atau konsesi yang terpisah (zona timur dan barat) dalam suatu struktur yang dikenal sebagai “model Paris”. Kedua konsesi ini akan melalui proses tender yang kompetitif, dimana pemenangnya adalah pihak yang dapat memasok air pada biaya terendah, namun harus tetap mentaati berbagai kewajiban yang tercantum dalam perjanjian. Sesuai dengan praktik terbaik bagi suatu negara yang mengatur, maka telah dibentuk badan pengaturan yang baru –Kantor Layanan Air Minum dan Pembuangan Limbah Metropolitan (Metropolitan Water and Sewerage Service Regulatory Service, MWSS-RO)– untuk mengawasi konsesi. Kantor ini menjadi badan pengawas “otonom” terhadap konsesi, membantu mewujudkan efisiensi dan manfaat umum yang seakan-akan berasal dari partisipasi swasta. Logika ini terpusat pada pemikiran bahwa penyedia layanan yang berorientasi pada keuntungan dan terikat perjanjian hukum, akan termotivasi untuk memperluas cakupan layanan, mengurangi hilangnya volume air, dan meningkatkan kualitas air. Adanya pembatasan hak kekayaan (untuk pemain swasta), lembaga pengawas ini menjadi kunci dalam mengimbangi asimetri informasi, memastikan bahwa para pihak yang terikat kontrak akan menepati perjanjian yang telah disetujui, serta memastikan pencapaian manfaat yang lebih luas secara teratur oleh pihak neoliberal untuk efisiensi pasar. Yang pasti, kemitraan publik-swasta sebagai pilihan kebijakan secara umum merupakan kelanjutan logis untuk putaran pertama privatisasi –di negara-negara dunia pertama, kedua, dan ketiga– dimana segala bentuk masalah yang muncul berkaitan dengan upaya mendamaikan kepentingan swasta dengan publik.14 Begitu layanan air minum di Manila telah diprivatisasi, para elite di Filipina sangat menyadari akan adanya permusuhan terhadap privatisasi –dimana mereka melihat bahwa privatisasi skala penuh tidak dapat dipertahankan secara politik (Dumol, 2000:14). “Privatisasi sebagian” sepertinya merupakan jawaban yang lebih sesuai secara politik di sini –sebuah jawaban yang IFC tidak hanya dapat memberikan nasihat relevan, tetapi juga secara diam-diam mendorong agenda ini lebih lanjut dengan berjalannya waktu. Apa yang terjadi dengan IFC dan layanan air minum di Manila lebih dari sekedar hubungan penasihat jangka pendek, dimana IFC memberikan “nasihat ahli” yang diperlukan dan “legitimasi” karena posisi “independennya” sebagai organisasi multilateral –sesuatu yang jelas terpikirkan oleh para birokrat yang menghendaki keterlibatan IFC (Dumol, 2000: 27). Sebagaimana tercermin dari proses yang kini telah menjadi norma, IFC benar-benar terlibat secara aktif dalam membentuk sifat kemitraan publik-swasta dari waktu ke waktu, khususnya kepentingan memperkuat unsur pihak swasta dalam kemitraan tersebut. Di sini, IFC secara sadar memainkan peran melakukan “stabilisasi” dan “perluasan pasar” dalam menghadapi masalah yang terkait pengaturan kemitraan publik-swasta15 –dimana berbagai dokumen proyek IFC menunjukkan kekhawatiran atas perlunya mendukung “salah satu dari segelintir kisah sukses privatisasi di sektor air minum dan sanitasi di pasar yang berkembang” (IFC, 2004). 38
Toby Carroll
Bagi tujuan ini, setelah terlebih dahulu memberi nasihat tentang kemitraan publik-swasta, IFC kemudian menjadi sangat aktif terlibat dalam mendukung salah satu diantara kedua konsesi yang kurang bermasalah –yang dikelola sebuah perusahaan yang dikenal sebagai Manila Water, gabungan yang sangat baik antara keluarga oligarki Filipina dengan modal internasional.16 Dukungan IFC untuk konsesi dan perusahaan tersebut berupa pinjaman dan ekuitas. Penting di sini adalah, ekuitas dalam kasus ini bukan hanya merupakan kontribusi modal untuk memperluas perusahaan. Sementara, pinjaman dan saham ekuitas semuanya dianggap penting untuk mendukung perusahaan agar dapat memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian konsesi, dukungan IFC juga terikat persyaratan, bahwa perusahaan harus melakukan penawaran umum perdana (IPO) (yang tercatat di bursa efek), yang berlangsung pada bulan Maret 2005.17 Beberapa bulan setelah perusahaan tercatat di bursa efek dan sekitar tujuh tahun setelah dimulainya kemitraan publik-swasta, IFC meningkatkan kepemilikan sahamnya di Manila Water dengan pembelian 176 juta saham (bernilai sekitar AS $15 juta). IFC juga menyetujui paket pinjaman sebesar AS $60 juta untuk perusahaan, dimana IFC kini merupakan pemegang saham penting (Carroll, 2010: 130; Manila Water, t.t.: 4, 41). Di sini terlihat bagaimana proses privatisasi yang dimulai dengan bantuan teknis dan kemitraan publik-swasta –mengingat bahwa privatisasi langsung tidak dapat terbayangkan secara politik– kemudian berkembang dari waktu ke waktu menjadi lebih swasta, dengan kepemilikan perusahaan semakin dibiayai pihak lain (lebih banyak pemilik) dan tunduk pada pengaturan langsung dari pasar saham. Penting dicatat, situasi seperti ini makin mempersulit renasionalisasi atau bahkan intervensi negara dalam bentuk pengaturan yang lebih ringan, dimana kepemilikan semakin tersebar (termasuk keikutsertaan investor asing) melalui bursa efek, sehingga integritas kepemilikan seperti ini tidak dapat diganggu-gugat dengan mudah oleh pemerintah. Hal ini jelas terlihat pada IPO Manila Water bulan Maret 2005 dimana 70 persen saham dibeli investor asing (hampir dua pertiga lari ke investor Asia, sementara sepertiga sisanya ditangan investor Eropa dan Amerika Serikat (Landingin, 2005). Pencatatan IPO Manila Water di bursa efek berarti tidak hanya penyediaan layanan air semakin mengalami marketisasi –tetapi juga sebenarnya dibawa ke dalam proses global finansialisasi, dimana Manila Water (sebagai penyedia jasa) kini tidak hanya bertanggung jawab kepada “klien” dan lembaga regulator, tetapi juga terhadap pemegang saham asing yang tertarik akan pengembalian modal yang telah diberikan. Penting juga di sini, bahwa dukungan yang diberikan IFC kepada Manila Water penting bagi alasan-alasan tertentu –baik secara ideologis maupun material– yang mengarah pada peran baru yang dimainkan IFC dengan mengambil saham di perusahaan. Di sisi ideologisnya, tugas memperkuat kisah sukses marketisasi yang jarang terjadi jelas merupakan bagian dari insentif yang mendorong diberikannya dukungan IFC, seperti yang jelas ditunjukkan pada kutipan dokumen berikut: MWCI secara mencolok muncul sebagai salah satu dari sejumlah kecil privatisasi yang sukses di sektor air dan sanitasi di negara berkembang. Perusahaan ini telah membuat terobosan baik ke daerah miskin di wilayah konsesinya. Bantuan IFC bagi MWCI dibangun berdasarkan nasihat tentang privatisasi yang Toby Carroll
39
diberikan sebelumnya dengan mendukung pemegang konsesi yang telah menunjukkan efisiensi dan responsif terhadap klien sebagaimana yang diperlukan penyedia sektor swasta untuk menyediakan layanan publik (IFC, 2004). Tentu saja kepentingan materi juga ikut ambil bagian di sini –bagaimanapun juga IFC adalah organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan privatisasi yang potensial tentunya menjadi elemen penting dalam portofolio IFC. Namun demikian, lebih dari semua ini adalah kepentingan materi dari Manila Water itu sendiri. Sebelum IPO, Manila Water dan pemegang saham utama lainnya (Ayala, United Utilities, Bechtel, dan Mitsubishi) sangat antusias melibatkan IFC, karena meyakini bahwa IFC sebagai lembaga “bergengsi” dan yang bertindak sebagai “penilai status keadaan suatu negara” akan menanamkan rasa keyakinan pada calon pemegang saham, berikut berbagai peluang yang mungkin akan hadir dengan adanya partisipasi IFC dalam hal akses terhadap pembiayaan dengan persyaratan menguntungkan dalam situasi “pasar berkembang” yang rumit (untuk pembiayaan) (IFC, 2002). Sebagaimana akan kita lihat di bagian berikut, berbagai peran ini dipandang sangat penting apabila IFC terjun langsung ke sektor, bekerja tanpa keterlibatan langsung negara sejak dari tahap awal.
Bekerja tanpa Keterlibatan Langsung Negara (Bagian 1): Peran IFC pada Mitigasi Risiko dalam Menciptakan dan Memperluas Ruang untuk Akumulasi Sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, peran dalam mengurangi risiko adalah fokus penting marketisasi mendalam dan merupakan salah satu cara IFC bekerja tanpa keterlibatan langsung negara. Sebagai organisasi marketisasi mendalam yang terlibat dalam ruang publik-swasta, IFC mengurangi risiko terhadap modal dengan cara yang tidak dapat dilakukan lembaga lain. Peran ini bermanfaat terutama bagi modal internasional yang beroperasi di pasar “frontier” dan “pasar berkembang”, dimana risiko politik yang terkait “pemburuan rente” dan potensi terjadinya pengambilalihan secara besarbesaran dapat mendorong kenaikan biaya dan mengurangi profitabilitas dan kelangsungan proyek. Dalam lingkungan seperti ini terdapat potensi biaya dan kelemahan lainnya, misalnya, ketika bekerja sama dengan rezim patrimonial dengan catatan buruk dalam hal hak asasi manusia dan lingkungan, dan dari sudut pandang modal internasional kini dapat menjadi kelemahan serius yang akan mengurangi nilai suatu produk. Selanjutnya, IFC kini memainkan peran penting bagi modal internasional di pasar frontier karena IFC tidak hanya mengurangi risiko melalui investasi ekuitas dan jaminan formal (serta informal), tetapi juga melalui penggunaan berbagai instrumen pengamanan dan standar yang melindungi perusahaan dari kesalahan, dan kadangkala melegitimasi proyek yang bersifat kontroversial (penjelasan lebih lanjut ada di bawah ini). Dukungan IFC untuk pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (selanjutnya disebut “BTC”) yang melintasi Azerbaijan, Georgia, dan Turki merupakan bukti kehadiran IFC yang semakin nyata di berbagai megaproyek di lingkungan “frontier” dan khususnya, cara dimana IFC telah membangun keunggulan komparatif terkait mitigasi risiko untuk membuka dan memperluas lingkup akumulasi.18 Adanya BTC, sebuah konsorsium yang dipimpin BP 40
Toby Carroll
tertarik untuk mengelola proyek pipa utama bagi penyaluran minyak Kaspia ke kawasan Mediterania. Jalur pipa tersebut terbentang sepanjang sekitar 1760 kilometer dan melewati berbagai wilayah konflik –ditambah bahwa jalur pipa merupakan duri Rusia yang melihat pipa tersebut sebagai tanda meningkatnya kehadiran Barat dalam jarak tidak jauh dari mereka, dan berarti akan terkikis pula pengaruh Rusia atas sejumlah bekas Republik Soviet. Selain itu, putusan rezim kekuasaan Azerbaijan –yang berbasis kekeluargaan, otoriter, dan dikenal karena sikapnya yang meremehkan masyarakat sipil dan berbagai “permasalahan tata kelola pemerintahan” yang penting– telah menjadikan BTC sebagai proyek berisiko (terutama dalam hal risiko reputasi) terhadap modal. Namun demikian, karena adanya potensi membuka ladang minyak tidak hanya di lepas pantai Azerbaijan tetapi juga yang terletak di bagian timur arah Kazakhstan, maka masih banyak faktor lain yang membuat BTC sebagai proyek menarik. Meskipun demikian, upaya merealisasikan hal ini tentunya harus layak secara keuangan. Hal ini bergantung pada harga minyak (yang ternyata menguntungkan bagi proyek) dan juga memerlukan pembiayaan dengan tarif menguntungkan (terutama bagi mitra konsorsium BP). Hal ini berarti bahwa BP perlu melindungi dirinya dari kerusakan yang telah dipicu perusahaan tersebut pada berbagai proyek di sejumlah negara seperti Kolombia dan Angola, dimana proyek BP mengalami kecaman berat dari kelompok hak asasi manusia karena hubungannya dengan rezim yang jahat. Sementara, Azerbaijan diharapkan akan menghasilkan pendapatan tinggi untuk BTC (ada yang memperkirakan nilai total proyek minyak terkait BTC sebesar lebih dari AS$20 miliar), masih jelas tersisa kekhawatiran terhadap apa yang akan diberikan proyek tersebut dalam hal pencapaian nyata dari sisi sosial dan politik. Karena adanya persepsi risiko terhadap modal swasta, BTC memerlukan suntikan dalam jumlah besar dari pembiayaan publik dan asuransi yang didukung sektor publik. Guna merealisasikan hal ini, IFC (bekerja sama dengan EBRD) akan memimpin sejumlah lembaga kredit ekspor dan lembaga pembiayaan publik terkemuka dari AS, Inggris, dan Jepang. Struktur pendanaan yang diusulkan telah mengumpulkan AS $1,7 miliar dalam dana publik untuk proyek tersebut, dalam bentuk perbandingan 70:30 untuk hutang dan ekuitas (Lazard, 2005). Sementara, IFC dan EBRD hanya menyediakan jumlah yang tidak begitu besar (masing-masing AS $125 juta), kedua lembaga ini memegang peran utama dalam membangun proyek tersebut hingga bentuk akhirnya. Keterlibatan IFC dan pihak lain sangat penting untuk mitigasi risiko politik secara umum dan pada gilirannya, dapat memperoleh pembiayaan sektor swasta dengan persyaratan yang lebih murah dibanding situasi dimana tidak ada keterlibatan berbagai pihak tersebut. IFC (yang telah melakukan investasi dalam proyek “minyak sebelumnya” yang kemudian dikembangkan BTC) dan EBRD mulai terlibat dalam proyek ini dengan bekal status multilateral mereka, koneksi langsung dengan pemerintah penerima dan posisi mereka sebagai wali atau pemelihara khazanah dana penting, memberikan rasa aman terhadap modal dibanding yang dapat diberikan oleh pemerintah tuan rumah. Dalam hal ini, IFC dan organisasi publik lainnya memainkan peran “mitigator risiko” –peran yang sangat kurang dihargai– dalam upaya menggali sumber daya Kaspia tersebut, dan membantu dalam menarik minat partisipasi berbagai pihak, seperti Citibank, ABN Amro, dan SoToby Carroll
41
ciété Générale untuk menyediakan sisa pembiayaan yang diperlukan. Namun demikian, dalam memainkan peran mitigasi risiko yang terkait BTC, IFC, dan mitra sektor publiknya, memerlukan upaya untuk mengurangi beberapa risiko pada lembaga mereka sendiri. Hal ini menyangkut penerapan prinsip transparansi dan instrumen pengamanan –yaitu elemen-elemen yang banyak terkait dengan PWC serta kecaman yang meluas terhadap berbagai proyek infrastruktur multilateral berskala besar. Seperti disebutkan di atas, sudah tidak asing lagi bagi WBG (termasuk IFC) untuk menerima suara-suara kritis yang mengamati dan menelaah operasional proyeknya, termasuk dalam mendanai proyek minyak dan gas berskala besar. Mengenai poin terakhir ini, seorang staf IFC yang bekerja pada BTC menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa dari proyek jalur pipa Chad-Kamerun –proyek terdahulu yang mirip BTC– telah diperoleh pembelajaran berharga. Sebagai proyek minyak transnasional berskala besar yang melibatkan berbagai negara yang diketahui rekam jejak korupsi dan konfliknya, maka BTC tentunya memiliki banyak kesamaan dengan proyek Chad-Kamerun. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi IFC dan unsur-unsur lain dari Bank Dunia (yang juga secara bersamaan sedang melakukan Tinjauan Industri Ekstraktif yang merupakan suatu penilaian sebagai respon terhadap “kekhawatiran pemangku kepentingan” terkait penambangan sumber daya dan kaitannya dengan hak asasi manusia dan lingkungan). Hal ini tentu menambahkan kekhawatiran yang ada, dimana pengembangan proyek BTC juga disertai kampanye internasional bersama yang dilakukan pihak LSM dari London ke Baku. Surat yang menyatakan kekhawatiran atas BTC dari berbagai LSM telah banyak dialamatkan kepada Presiden Bank Dunia (James Wolfensohn) dan kepada personil inti IFC dan EBRD. Hal menarik, meskipun kecemasan mulai melanda dewan IFC, personil inti berpendapat bahwa justru proyek ini adalah proyek yang tepat bagi IFC untuk ikut terlibat (wawancara, Ankara, 2008). Pendekatan IFC terhadap BTC juga dibentuk oleh keterlibatannya dengan “proyek minyak terdahulu” di Azerbaijan, dimana organisasi tersebut telah memberikan pembiayaan pada tahun 1998, serta pengalaman lembaga multilateral lainnya di negara tersebut (International Finance Corporation, 2003: 3). Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya telah membebankan persyaratan atas penerimaan fasilitas pinjaman Enhanced Structural Adjustment Facility (ESAF) yang mengharuskan pengadaan dana minyak formal “dengan aturan yang jelas dan tegas terkait operasional, investasi dan pengeluaran” (Bagirov, Akhmedov, dan Tsalik, 2003 : 107-108). Tanpa terbentuknya dana formal tersebut, IFC sepertinya segan berpartisipasi dalam BTC. Namun, dengan adanya dana tersebut, pendekatan IFC terhadap BTC adalah dengan memberikan perhatian yang tinggi dalam menangani berbagai aspek lainnya yang memiliki potensi masalah dalam struktur proyek yang telah ada, terutama dalam menitikberatkan perhatian pada permasalahan yang terkait dengan pengungkapan. Selama dua tahun, organisasi telah melakukan uji tuntas terhadap proyek serta meminta BP dan afiliasinya untuk menyusun Tinjauan Regional (dokumen yang akan “melengkapi dan menambah” penilaian dampak lingkungan dan sosial (Environmental and Social Impact Assessment, ESIA) yang melihat berbagai permasalahan yang belum pernah ditangani sebelumnya –seperti latar belakang rute pipa yang kontroversial itu). IFC juga menuntut dikeluar42
Toby Carroll
kannya Rencana Aksi Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Action Plan, ESAP), Rencana Aksi Perpindahan Tempat Tinggal (Resettlement Action Plan, RAP), dan mengungkapkan dialog berkelanjutan IFC dengan pihak LSM yang prihatin terhadap proyek tersebut (IFC, 2003). Organisasi ini telah berhasil meminta diberikannya Perjanjian Pemerintah Setempat (Host Government Agreement, HGA) dan Perjanjian Antar-Pemerintah (Inter-Government Agreement, IGA) –yaitu kerangka hukum utama yang mengatur proyek tersebut, dan (bersama dengan EBRD) mengadakan enam pertemuan multistakeholder (dua pertemuan di setiap negara yang terkena dampak) sebelum penandatanganan BTC (CDR Associates atas nama IFC dan EBRD, 2003). IFC juga menuntut adanya daftar pencatatan komitmen dan rencana aksi untuk mengatur tanggung jawab para kontraktor. Terakhir, IFC bermitra dengan BP serta pihak lainnya untuk mendirikan Linkage Program untuk UKM (mencerminkan upaya-upaya serupa dengan yang dilakukan untuk proyek pipa Chad-Kamerun) yang berusaha membantu perusahaan setempat mewujudkan manfaat project BTC.19 Secara keseluruhan, upaya mitigasi risiko yang dilakukan IFC seperti yang telah diulas di atas dipandang penting dalam memberi legitimasi, baik dalam hal keterlibatan IFC maupun kliennya, yang pada gilirannya membuka ruang baru bagi akumulasi modal internasional dengan bekerja tanpa keterlibatan langsung negara.20 Penting untuk dicamkan bahwa hal ini bukanlah kasus yang jarang terjadi. Keterlibatan IFC dalam BTC merupakan indikasi, bagaimana IFC dan organisasi lain (seperti EBRD) membangun keunggulan komparatif mereka secara global dan membantu menciptakan pasar dunia yang menyisakan sedikit saja wilayah yang tak tersentuh.
Bekerja tanpa Keterlibatan Langsung Negara (Bagian 2): Dukungan IFC terhadap Perantara Keuangan dalam Menciptakan dan Mengembangkan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Cara kedua IFC bekerja tanpa keterlibatan langsung negara adalah melalui dukungannya terhadap perantara keuangan (Financial Intermediary, FI), seperti bank dan organisasi keuangan mikro. Di tingkat domestik, organisasi IFC dan marketisasi mendalam lainnya secara agresif mendukung FI untuk kepentingan penyediaan “akses terhadap keuangan” untuk menciptakan dan mengembangkan sektor UMKM di negara-negara kurang maju. Hal ini nampak pada tahun 2009 dimana IFC diharapkan memberikan kontribusi tambahan sebesar AS $1 miliar kepada UMKM melalui FI dalam bentuk pinjaman dan ekuitas di Asia Timur dan Pasifik, dengan lebih dari 1,5 juta pinjaman akan disediakan oleh para kliennya.21 Di Vietnam dan Cina, IFC mengklaim bahwa berkat dukungannya, “lembaga mitra telah memberikan AS $9,6 miliar bagi pembiayaan” kepada sektor UMKM, dengan indikasi terakhir menunjukkan bahwa angka-angka ini akan meningkat secara substansial (IFC, 2009: 60-61). Pinjaman dan investasi yang dilakukan IFC secara khusus dirancang untuk meningkatkan kapitalisasi FI untuk kepentingan pembukaan peluang baru bagi FI agar dapat memperluas pinjaman dan menarik lebih banyak modal. Sebagai contoh, di Indonesia, dimana IFC mencatat bahwa UMKM “mempekerjakan” 97,3% dari populasi, IFC telah berkomitmen mendukung PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. sebesar AS $70 Toby Carroll
43
juta, dimana hampir AS $16 juta berupa hutang konversi menjadi ekuitas untuk IFC, dan sisanya berupa “pinjaman senior” (IFC, 2011b, 2011c).22 Bank ini melayani 64.000 pelanggan, “yang kebanyakan adalah pedagang kecil dan pemilik kios”, dan dukungan IFC dianggap telah memfasilitasi peningkatan perluasan layanan keuangan. Demikian juga, IFC telah mendanai 20% Bank Andara –organisasi keuangan mikro pertama di Indonesia yang melayani organisasi keuangan mikro di tingkat yang lebih rendah (contoh investasi di sebuah FI yang melakukan investasi ke FI lainnya) (IFC, 2011c). Meskipun tingginya tingkat keraguan yang beralasan terhadap keuangan mikro dan hubungannya dengan pembangunan (lihat Weber, 2010; Bateman dan Chang, 2009 dan Chang, 2009: 7-9), banyak komitmen IFC terhadap FI (baik yang bersifat keuangan maupun nasihat) sebenarnya berorientasi pada upaya memperluas dan normalisasi jangkauan keuangan mikro. IFC memang memainkan peran yang semakin besar dalam normalisasi dan relegitimisasi keuangan mikro sebagai solusi bagi Pembangunan. Dalam hal ini, IFC tidak hanya mencoba merangkul anggota baru ke dalam agenda keuangan mikro saja, tetapi juga mempromosikan dan membantu LSM keuangan mikro agar berkembang menjadi bank yang menerima deposito dan peminjam komersial yang tidak perlu mengandalkan modalitas pembangunan tradisional. Sebagaimana beberapa modalitas yang telah dijelaskan sebelumnya, berbagai proses ini –besar dan kecil– adalah bagian dari upaya menanamkan disiplin pasar di wilayah-wilayah baru. Peluncuran Inisiatif Keuangan Mikro Pasifik (Pacific Microfinance Initiative, PMI) (suatu kemitraan uang bernilai AUS $12,3 juta yang baru-baru ini disepakati antara IFC dengan Pemerintah Australia) merupakan indikasi dorongan keuangan mikro IFC. PMI secara khusus bertujuan untuk menyediakan jasa keuangan –melalui dana hibah berbasis kinerja dan saran– untuk Papua Nugini, Timor Leste, dan Kepulauan Pasifik (IFC, 2010, 1). Terutama melalui PMI. IFC memberikan dana hibah dan saran bisnis bagi lembaga keuangan bank dan non-bank untuk memperkuat kapasitas mereka agar dapat melakukan pinjaman yang berkelanjutan dan menyesuaikan produk mereka agar dapat memberikan layanan yang lebih baik bagi masyarakat yang sulit dijangkau dan tidak memiliki akses terhadap kredit, tabungan, dan jasa perbankan maupun ritel lainnya. Sebagai bagian program, bank dan organisasi lain yang berpartisipasi dalam inisiatif ini telah sepakat mencapai serangkaian target, antara lain peningkatan jumlah klien. Begitu target telah dipenuhi, mereka akan diberikan dana hibah (IFC, 2010: 2, penekanan telah diberi). Permintaan untuk pinjaman yang berkelanjutan, mengingat lemahnya pembangunan di negara-negara yang dibidik dan dukungan donor yang bersifat kebetulan dan seringkali sementara, pasti cukup besar, disertai pula oleh kesediaan para aktor kunci untuk memberikan dorongan terhadap IFC. Sebagai contoh, Tuba Rai Metin (TRM) –sebuah LSM keuangan mikro di Timor-Leste yang pada awalnya bagian Save the Children dan kemudian dialihkan ke Catholic Relief Service. TRM yang terletak di sebuah bangunan kumuh di jalan sempit bersebelahan dengan kedutaan Cina di Dili, saat ini memiliki cabang di lima distrik di Timor-Leste. LSM ini memiliki sekitar 65 petugas kredit, kurang lebih 6500 pelanggan (baru-baru ini, LSM tersebut meningkatkan basis 44
Toby Carroll
kliennya secara signifikan) dan merupakan organisasi keuangan mikro kedua terbesar di negara ini. Hal ini tentu tidak mengherankan, mengingat kondisi Timor-Leste yang sangat terbelakang –ditandai oleh basis keterampilan bernilai tambah yang masih rendah, kurangnya teknologi yang bernilai tambah atau yang mampu meningkatkan produktivitas, dan rendahnya tingkat pendapatan –TRM menyalurkan pinjaman bernilai sedang (meskipun dengan plafon bunga tinggi) untuk jangka pendek hingga menengah, yang berkisar antara AS $50 sampai AS $3000, baik untuk individu maupun kelompok (TRM, 2010: 5-6; MCRIL, 2010: 1). Pada tahun fiskal 2010, TRM membukukan laba sebesar AS $116.000 (TRM, t.t). Namun, setelah berjuang menjaga keberlanjutan finansial, direncanakan melakukan perluasan layanan, dan organisasi saat ini sedang berupaya menggalang dana sebesar AS $1,5 - 2 juta dari investor, dimana dalam proses tersebut memperoleh tingkat kebebasan finansial tertentu dari pihak regulator yang memungkinkan LSM ini melakukan transisi menjadi bank penerima deposito. Dalam hal ini, rencana bisnis terpusat pada upaya mengambil berbagai “kesempatan” yang ada dari suatu negara yang 70% penduduknya hidup dengan hanya AS $2 per hari, atau bahkan kurang dari itu. Agar berbagai peluang ini tetap layak, berbagai upaya sedang dilakukan untuk menangkap pasar keuangan mikro yang belum tersentuh yang diperkirakan bernilai AS $50 juta (pasar yang terlayani saat ini diperkirakan sebesar AS $29,5 juta) atau sekitar AS $50 per orang (TRM, 2010: 3). Jelas bahwa manajemen TRM ingin menstabilkan dan memperluas operasi (secara cukup signifikan, mengingat ketergantungan LSM ini di masa lalu terhadap dukungan para donor dan kebutuhan untuk meningkatkan kondisi materi di Timor-Leste) (wawancara, Dili, 2011; MCRIL, 2010: 10). Ketika membahas rencana stabilisasi, maka manajemen TRM akan menyebutkan terutama tentang peran IFC yang masih berlangsung dalam proses ini, khususnya yang terkait komunikasi rutin antara petugas IFC di Dili dengan LSM, dan dukungan IFC yang memberikan saran dan peralatan kantor. Menurut manajemen TRM, rekomendasi yang diberikan IFC jelas –TRM harus berubah menjadi sebuah bank swasta (yang juga merupakan pendapat manajemen TRM). Besar harapan untuk hal ini terwujud, bahkan mungkin dengan dukungan dari PMI. Setidaknya, satu penilaian menyatakan bahwa TRM berada pada posisi yang baik untuk mengumpulkan dana secara komersial, sehingga LSM tersebut telah mengajukan permintaan pada IFC dan Pemerintah Australia (diantara aktor publik dan swasta lainnya) untuk memperoleh dukungan, meskipun pada bulan Desember 2010 LSM tersebut masih belum mengambil pinjaman pada tingkat bunga komersial (MCRIL, 2010: 11). Tentu tidak pantas jika kita menyangkal bahwa negara-negara seperti Indonesia dan Timor-Leste menghadapi berbagai masalah pembangunan yang besar dan bahwa sebagian besar penduduk mereka perlu melakukan peningkatan dramatis dalam kondisi materi obyektif mereka. Namun demikian, penanganan situasi seperti itu dengan mikro kredit berdasarkan pinjaman komersial, paling tidak merupakan solusi yang dapat meredakan keadaan, namun pada sisi lain hanya merupakan elemen untuk menggantikan agenda yang berasal dari ideologi dan kendala bunga jangka pendek untuk metode yang sesungguhnya secara substansial telah meningkatkan taraf hidup di masa lalu. Toby Carroll
45
Sementara implikasi yang lebih luas dari dukungan IFC untuk sektor UMKM melalui FI memerlukan analisis yang lebih mendalam, ujicoba yang sedang berlangsung yang terkait dengan hal ini (seperti yang disebutkan di atas atau Bank Grameen yang lebih terkenal), sepertinya tidak mungkin menghasilkan kondisi yang para praktisi Pembangunan sendiri akan menyebutkannya sebagai kondisi maju, seandainya mereka harus hidup dalam kondisi tersebut. Dengan demikian, praktisi Pembangunan akan terfokus pada upaya membangun portofolio proyek yang terikat ideologi dan kepentingan materi (hasilnya diukur secara kuantitatif menurut pengukuran sempit dari “hasil pembangunan”: jumlah pinjaman senilai x; jumlah klien sebesar x). Mengingat penyelarasan kepentingan yang berperan di sini dan terkait dengan sedikitnya alternatif yang ada saat ini, kita hanya bisa mengharap berbagai bentuk marketisasi mendalam yang bekerja tanpa keterlibatan langsung negara ini dapat meningkat di tahun-tahun mendatang.
Kesimpulan Makalah ini telah memaparkan pengenalan terhadap apa yang saya sebut sebagai marketisasi mendalam atas pembangunan –suatu desakan sektor swasta neoliberal pada tahap lanjut yang didorong IFC yang telah mengubah pengertian tentang pembangunan dan juga negara-negara kurang maju. Makalah ini telah menunjukkan bahwa marketisasi mendalam berasal dari politik baru pembangunan yang muncul dari berbagai pertentangan dan persaingan di seputar neoliberalisme dan kapitalisme tingkat lanjut. Jika penyesuaian struktural kesepakatan Washington sangat mencurigai negara, dan secara agresif mencoba membatasi dan bahkan memusnahkannya dengan berbagai cara, sementara PWC meletakkan kembali negara sebagai regulator yang berperan sentral dalam pembentukan hubungan sosial-kapitalis yang “ideal”, maka marketisasi mendalam harus dianggap sebagai elemen sentral dalam langkah berikutnya untuk memperluas dorongan ini dan membangun “sebuah ‘pasar dunia’ dengan skala yang benarbenar global” (Cammack, 2011: 1). Dalam banyak hal, marketisasi mendalam merupakan hibrida publik-swasta, dimana marketisasi mendalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Namun demikian, seperti kemitraan publik-swasta yang sangat dianjurkan marketisasi mendalam ke kawasan selatan global, hal ini merupakan suatu proyek yang mengutamakan –secara bertentangan– kepentingan swasta sebagai kepentingan publik yang lebih luas. Literatur yang bersifat kritis telah menguraikan berbagai masalah yang terkait pemahaman seperti ini tentang hubungan antara publik dengan swasta di bawah PWC, yaitu masalah yang terbagi antara kekhawatiran terhadap “kapasitas” negara-negara miskin dengan keraguan atas kemampuan agenda teknokratis untuk menyelaraskan kepentingan elite dan non-elite di bawah kapitalisme –suatu kecenderungan yang semakin jelas di negara-negara ketika marketisasi mendalam berlangsung dengan cepat. Namun demikian, munculnya marketisasi mendalam di tengah-tengah ketiadaan alternatif yang terorganisir dengan baik yang berdasarkan repolitisasi pembangunan, menunjukkan bahwa marketisasi mendalam akan menempuh perjalanan yang masih panjang, yaitu di saat IFC dan pihak lainnya telah siap mengelola portofolio yang se46
Toby Carroll
makin luas dan memainkan peran semakin penting dalam politik ekonomi global yang penuh gejolak. Dengan demikian, masih banyak yang harus dilakukan para akademisi dan aktivis dalam memahami “logika” marketisasi mendalam, intervensi yang mendasarinya, dan hasil aktual intervensi tersebut. Poin terakhir ini menuntut pemahaman lebih baik tentang hubungan antara marketisasi mendalam dengan kepentingan materi tertentu –terutama yang terkait dengan berbagai bentuk modal– dalam tatanan pasar dunia. Terakhir dan mungkin yang terpenting, upaya ini harus dilakukan berdasarkan berbagai contoh alternatif tentang bagaimana kondisi materi benar-benar telah membaik secara substansial di bawah kapitalieme tingkat lanjut. Dalam hal ini, kisah pembangunan berbagai negara, seperti Korea Selatan dan yang terbaru dan lebih sederhana yaitu Vietnam, merupakan kandidat untuk pelaksanaan analisis baru. Namun, analisis ini hendaknya tidak memfokuskan diri pada kajian yang terkait proses-proses tertentu yang berorientasi pada upaya memperbaiki kebijakan teknokratis yang ditakdirkan gagal. Sebaliknya, kasus-kasus ini seharusnya memberikan sudut pandang baru untuk menggali berbagai aspek historis, politik, dan ideologis dari apa yang sebenarnya membuat kisah pembangunan tertentu berhasil. Dengan senantiasa menyadari berbagai pertentangan dan pencapaian kisah pembangunan tersebut, ditambah sistem yang lebih luas tempat pembangunan tersebut terjadi, hal ini akan menjadi awal yang baik dalam menangani proyek palsu yang disebut marketisasi mendalam, dan yang lebih penting yaitu pengembangan repolitisasi.
Catatan 1 Makalah disajikan pada Konferensi Tahunan Asosiasi Kajian Internasional 2012, San Diego, 31 Maret - 5 April 2012. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Stuart Shields, Paulus Gellert, Shahar Hameiri, Darryl Jarvis, dan dua peninjau anonim atas komentar mereka dan pembicaraan yang membantu dalam penyusunan makalah ini. Peringatan yang lazim tentu saja berlaku di sini. TIDAK UNTUK DIKUTIP TANPA SEIZIN PENULIS. 2 Merujuk pada penggunaan kata oleh David Craig dan Doug Porter, saya menggunakan kata “Pembangunan” dengan huruf kapital “P” untuk membedakan antara kerja organisasi seperti Bank Dunia dengan apa yang dipahami secara umum dari kata “pembangunan” –perbaikan atas kondisi materi, sebagaimana dialami negara “maju”. Lihat Craig dan Porter (2006). 3 Perlu dicatat bahwa pemberian pinjaman oleh IDA untuk negara-negara termiskin di dunia telah meningkat selama periode yang sama, dan memperlihatkan munculnya pembagian yang signifikan di negara-negara kurang maju (Bank Dunia, 2010: 401). 4 Keuntungan dari beberapa proyek ini diserahkan kepada IDA untuk operasionalisasi pinjaman lunak. 5 Sebagaimana dijelaskan di bawah, penggunaan ekuitas ini dapat digunakan sebagai alat bantu untuk lebih mendorong marketisasi dari waktu ke waktu. 6 IFC dibentuk pada tahun 1956. Hal ini berarti bahwa pendiriannya mendahului pembentukan IDA –bagian WBG yang bekerja dengan negara-negara termiskin di dunia– dengan jarak waktu empat tahun. IBRD resmi didirikan pada akhir tahun 1945 setelah ratifikasi perjanjian pada konferensi Bretton Woods pada tahun 1944. 7 Berbagai inisiatif ini mencakup Fasilitas Krisis Infrastruktur, Fasilitas Peningkatan Keuangan Mikro dan Dana Kapitalisasi. 8 Seperti yang akan kita lihat di bawah ini, analogi “kesehatan” ini bukan dibuat oleh penulis, tapi merupakan analogi yang disebarluaskan oleh Doing Business. Toby Carroll
47
9 Dalam laporan tahun 2010, penelitian pada dua bidang baru –“mendapatkan arus listrik” dan “perlindungan pekerja”– telah ditambahkan pada metodologi. 10 Metodologi Doing Business juga mencakup metodologi yang banyak merujuk pada tanggapan dari praktisi hukum dan para profesional, seperti pada transaksi yang relevan di lapangan. 11 Hal menarik, pencantuman “berbagai temuan awal... [tentang] tingkat adopsi dalam peraturan nasional yang terkait berbagai aspek standar inti perburuhan tentang pekerja anak dari Organisasi Buruh Internasional (ILO)” dalam laporan 2010 senantiasa menuai kritik dari masyarakat sipil dan kelompok serikat terhadap seri laporan tersebut (Bank Dunia dan IFC 2009: ix). 12 Beberapa asumsi “menarik” tentang pekerja dan bisnis diikutsertakan dalam perhitungan. Lihat (Bank Dunia dan IFC, 2009: 82). Metodologi dan asumsi dalam Doing Business memang telah terbukti sangat bermasalah pada berbagai tingkatan. Lihat, misalnya, Marais (2006), Bath (2007) dan McCleod (2007). Dengan demikian, dalam tulisan ini saya setuju bahwa pendekatan saat ini bersifat operasional dan berpengaruh, serta patut dicermati bukan hanya terkait pada metodologinya, tetapi juga karena perannya dalam agenda politik tertentu yang lebih luas. 13 Finger telah memberi rincian dari beberapa bentuk manifestasi yang berbeda di sektor air (Finger, 2004: 286). 14 Masalah ini mungkin paling menonjol di Rusia, yaitu privatisasi secara efisien telah mengalihkan sejumlah besar sumber daya publik (seringkali melalui praktik busuk) ke segelintir pihak oligarki (Hedlund, 2001: 213). 15 Dalam waktu yang sangat singkat setelah pemberian konsesi, kesulitan yang serius muncul di salah satu konsesi (konsesi wilayah barat) –suatu kenyataan yang kemudian disebabkan berbagai faktor yang terkait krisis Asia dan fluktuasi mata uang, masalah dengan proses tender, dan manajemen buruk pemegang konsesi itu sendiri. Konsesi ini kemudian untuk sementara waktu diambil kembali oleh negara –melalui proses yang agak berkepanjangan, dan hal ini banyak memberi gambaran tentang asumsi yang dibuat oleh para pendukung kemitraan publik-swasta (PPP) tentang masalah antara negara dengan modal– dan selanjutnya ditawarkan pada pemegang konsesi baru melalui proses tender. Lihat Carroll (2010: 126-129). 16 Grup Ayala terkenal karena kepemilikan properti mereka, dan memiliki kepentingan real estate yang sangat signifikan dalam konsesi air yang dipegang Manila Water. Perusahaan ini sebagian dimiliki Bechtel dan Mitsubishi. 17 Pencatatan ini adalah penawaran umum internasional pertama oleh penerbit Filipina sejak tahun 1997 (Manila Water, t.t. 4, 41). 18 Bagian ini menyajikan materi yang telah direvisi dari Carroll (2011). Pembaca yang tertarik dengan kajian yang lebih mendalam tentang proyek BTC sebaiknya merujuk pada referensi ini. 19 BTC juga merupakan ujicoba pertama yang signifikan untuk “Equator Principles” atau “Prinsip-prinsip Ekuator” yang baru, yaitu satu lagi perangkat prinsip yang bersifat sukarela, namun kali ini ditandatangani oleh organisasi keuangan swasta dan disusun setelah melalui tahap konsultasi dengan Bank Dunia. 20 Proyek-proyek ini beserta dampaknya biasanya membawa risiko besar bagi penduduk domestik. Saya telah menyajikan hal ini secara rinci dalam kaitannya dengan BTC di tempat lain (Carroll, 2011). 21 Laporan Tahunan IFC tahun 2009 mengklaim bahwa pada tahun 2008 para klien IFC menyediakan AS $41,3 miliar untuk 486.550 perusahaan dan AS $4,5 miliar untuk 5 juta perusahaan keuangan mikro (IFC, 2009: 93). 22 IFC telah berkomitmen membantu bank dalam menggalang lebih banyak modal.
Reference Arrighi, G. (2003) “Spatial and Other ‘Fixes’ of Historical Capitalism,” paper presented at the Globaliza48
Toby Carroll
tion in the World-System: Mapping Change over Time, University of California (February 7-8, 2003). Bagirov, S., Akhmedov, I. and Tsalik, S. (2003) “State Oil Fund of the Azerbaijan Republic,” in Tsalik, S. (ed.), Caspian Oil Windfalls: Who Will Benefit?, New York: Open Society Institute, pp. 89-125. Bateman, M. and Chang, H.-J. (2009) “The Microfinance Illusion,” http://www.hajoonchang.net/downloads/pdf/Microfinance.pdf (downloaded 10 April 2011). Bath, V. (2007) “The World Bank Doing Business Reports–Regulation and Change in China and Australia,” http://www.gip-recherche-justice.fr/aed/publications/working-papers-sydney/05-Bath. pdf (downloaded 7 July 2011). Brenner, N. and Theodore, N. (2002) “Cities and the Geographies of ‘Actually Existing Neoliberalism,’” in N. Brenner and N. Theodore (eds), Spaces of Neoliberalism Malden: Blackwell, pp. 1-32. Bretton Woods Project. (2010b) “Bottom Lines, Better Lives? Rethinking MDB Finance to the Private Sector,” http://www.brettonwoodsproject.org/art-566197 (downloaded 22 April 2010). Buenaventura, M. and Palatto, B. (2004) “Taking Stock of Water Privatization in the Philippines,” Jubilee South and Freedom from Debt Coalition. Cammack, P. (2003) “The Governance of Global Capitalism: A New Materialist Perspective,” Historical Materialism, 11, 2, pp. 37-59. Cammack, P. (2004) “What the World Bank Means by Poverty Reduction and Why it Matters,” New Political Economy, 9, 2, pp. 189-211. Cammack, P. (2009) “All Power to Global Capital!,” http://www.e-space.mmu.ac.uk/e-space/bitstream/2173/67573/1/All%20Power%20to%20Global%20Capital.pdf (downloaded 20 June 2011). Cammack, P. (2011) “Risk and the World Market,” paper presented at the workshop, “New Approaches to Building Markets in Asia,” Lee Kuan Yew School of Public Policy (April 17-19). Carroll, T. (2010) Delusions of Development: The World Bank and the post-Washington Consensus in Southeast Asia, London: Palgrave-MacMillan. Carroll, T. (2011) “The Cutting Edge of Accumulation: Neoliberal Risk Mitigation, the Baku-TbilisiCeyhan Pipeline and its Impact,” Antipode (forthcoming). CDR Associates (on behalf of IFC and EBRD) (2003) “Report of IFC and EBRD Multi-stakeholder (MSF) Forum Meetings”. Chang, H.-J. (2009) “Hamlet Without the Prince of Denmark: How Development has Disappeared from Today’s ‘Development’ Discourse,” http://www.econ.cam.ac.uk/faculty/chang/pubs/HamletwithoutthePrinceofDenmark-revised.pdf (downloaded 10 April 2011). Colclough, C. (1991) “Structuralism versus Neo-liberalism,” in C. Colclough and J. Manor, (eds), States or Markets: Neoliberalism and the Development Policy Debate, Oxford: Clarendon Press, pp. 1-25. Craig, D. and Porter, D. (2006) Development Beyond Neoliberalism - Governance, Poverty Reduction and Political Economy, New York: Routledge. Duménil, G. and Lévy, D. (2011) The Crisis of Neoliberalism, Cambridge, Massachusetts Harvard University Press. Dumol, M. (2000) The Manila Water Concession, Washington: World Bank. Esguerra, J. (2003) “The Corporate Muddle of Manila’s Water Concessions: How the World’s Biggest and most Successful Privatisation Turned into a Failure,” http://www.servicesforall.org/html/WaterPolicy/Esguerra-Corporate%20Muddle%20Manila.pdf (downloaded 7 February 2007). Finger, M. (2004) “The New Water Paradigm: The Privatization of Governance and the Instrumentalization of the State,” in D. Levy and P. Newell (eds), The Business of Global Environmental Governance, Cambridge, Mass. and London: MIT Press, pp. 275-304. Foster, J. B. and Magdoff, F. (2009) The Great Financial Crisis, New York: Monthly Review Press. Gill, S. (2000) “The Constitution of Global Capitalism,” http://www.theglobalsite.ac.uk/press/010gill. Toby Carroll
49
htm (downloaded 29 June 2011). Gunnoe, A. and Gellert, P. K. (2010) “Financialization, Shareholder Value, and the Transformation of Timberland Ownership in the USA,” Critical Sociology, 37, 2, pp. 1-24. Harriss, J. (2002) Depoliticizing Development, London: Anthem Press. Harvey, D. (2006) Spaces of Global Capitalism, London and New York: Verso. Hedlund, S. (2001) “Property without Rights: Dimensions of Russian Privatization,” Europe-Asia Studies, 53, 2, pp. 213-237. Høyland, B., Moene, K. and Willumsen, F. (2008) “Be Careful When Doing Business,” available at: http://www.ifiwatchnet.org/sites/ifiwatchnet.org/files/Doing%20Business_ESOPanalysis.pdf (downloaded 19 November 2010). International Finance Corporation (2001) Annual Report, Washington D.C.: IFC. International Finance Corporation. (2002) “Summary of Project Information,” http://ifcln1.ifc.org/ ifcext/eastasia.nsf/Content/SelectedProject?OpenDocument&UNID=B934D24FDD48B157852 56BB300740406 (downloaded 5 May 2005). International Finance Corporation (2003) “BTC Pipeline and ACG Phase 1 Projects Environmental and Social Documentation: IFC Response to Submissions Received During the 120-day Public Comment Period,” http://www.ifc.org/ifcext/btc.nsf/AttachmentsByTitle/ESIAPublicComments Response/$FILE/BTC+-+IFC+Reply+to+comments.pdf (downloaded 16 September 2010). International Finance Corporation (2004) “Summary of Project Information - MWC II,” http://www. ifc.org/ifcext/spiwebsite1.nsf/2bc34f011b50ff6e85256a550073ff1c/e887f06d8637e6b485256e670 07f0017?OpenDocument (downloaded 10 June 2005). International Finance Corporation (2005) Investing in Progress - Annual Report, Washington D.C.: IFC. International Finance Corporation (2009) Creating Opportunity Where it is Needed Most - IFC 2009 Annual Report, Washington D.C.: IFC. International Finance Corporation (2010) “The Pacific Microfinance Initiative”, http://www1.ifc.org/ wps/wcm/connect/cc83298047116344862fd7b2572104ea/PMI+Factsheet.pdf?MOD=AJPERES (downloaded 26 November 2011). International Finance Corporation (2011a) “Annual Report - I am Opportunity “. Washington D.C. International Finance Corporation. (2011b) “Increasing Access to Finance for Low-income Indonesian Households and Enterprises,” http://www.ifc.org/ifcext/eastasia.nsf/Content/BTPN (downloaded 9 April 2011). International Finance Corporation. (2011c) “Mainstreaming Microfinance-Bank Andara,” available at: http://www.ifc.org/ifcext/eastasia.nsf/Content/Indonesia_project_andara (downloaded 9 April 2011). Jayasuriya, K. (2000) “Authoritarian Liberalism, Governance and the Emergence of the Regulatory State in Post-Crisis East Asia,” in R. Robison, M. Beeson, K. Jayasuriya and H.-R. Kim (eds), Politics and Markets in the Wake of the Asian Crisis, London and New York: Routledge, pp. 315-330. Landingin, R. (2005) “Foreign Investors Ensure Strong Manila Water Debut,” FT.com: http://www. ft.com/cms/s/0/948b7fc4-99ae-11d9-ae69-00000e2511c8.html#axzz1Iux6idOj (downloaded 7 July 2011). Lazard. (2005) “Financing large Scale Pipeline Projects In and Out of Russia: Past Experiences and Challenges for the Future,” http://www.eng.rpi-inc.ru/materials/1/Doklad/PrChavarotEn.pdf (downloaded 2 March 2009). Leys, C. (1996) The Rise and Fall of Development Theory, London: James Curry Press. McLeod, R., H. (2007) “Doing Business in Indonesia: Legal and Bureaucratic Constraints,” available at: http://www.gip-recherche-justice.fr/aed/publications/working-papers-sydney/03-McLeod.pdf (downloaded 28 November 2010). 50
Toby Carroll
Manila Water. (n.d.) “Manila Water 2004 Annual Report,” available at: http://www.manilawater.com/ downloads/annual_report_2004.pdf (downloaded 7 July 2011). Marais, B. (2006) “Methodological Limits of ‘Doing Business’ Reports,” available at: http://www.giprecherche-justice.fr/aed/publications/WP-AEDDuMaraisMethodologicalLimitsDB_EN09-0906.pdf (downloaded 23 November 2010). Marx, K. and Engels, F. (1888) “Manifesto of the Communist Party,” in R.C. Tucker (ed.), The MarxEngels Reader, New York and London: W.W. Norton and Company, pp. 469-500. Micro Credit Ratings International Ltd. (MCRI). (2010) “Tuba Rai Metin”, http://www.tubaraimetin. com/download/mcrilrep.pdf (downloaded 25 November 2011). Mosley, P., Harrigan, J. and Toye, J. (1991) Aid and Power. The World Bank and Policy-based Lending, Volume 1, Analysis and Proposals, London: Routledge. Peck, J., Theodore, N. and Brenner, N. (2009) “Postneoliberalism and its Malcontents,” Antipode, 41, S1, pp. 94-116. Pincus, J. and Winters, J. (2002) “Reinventing the World Bank,” in J. Pincus and J. Winters (eds), Reinventing the World Bank, Ithaca: Cornell University Press, pp. 1-25. Stiglitz, J. (2001a) “Redefining the Role of the State,” in H.-J. Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank: The Rebel Within, London: Anthem, pp. 94-126. Stiglitz, J. (2001b) “Towards a New Paradigm for Development: Strategies Polices and Processes,” in H.-J. Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank. The Rebel Within, London: Anthem, pp. 57-93. Toye, J. (1987) Dilemmas of Development, Oxford: Basil Blackwell Ltd. Tuba Rai Metin. (n.d.) “Financial services to unreached families in Timor-Leste,” http://www.tubaraimetin.com/download/abttrm.pdf (downloaded 25 November 2011). Tuba Rai Metin (2010) Investment Opportunity: Taking Financial Services to Excluded Families in Timor-Leste, Dili: TRM. Van Waeyenberge, E. (2006) “The Missing Piece: Country Policy and Institutional Assessments at the Bank,” http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/csgr/activitiesnews/workshops/2006ws/world_bank/ papers/van_waeyenberge.pdf (downloaded 5 January 2007). Weber, H. (2010) “Politics of Global Social Relations: Organising ‘Everyday Lived Experiences’ of Development and Destitution,” Australian Journal of International Affairs, 64, 1, pp. 105-122. Williamson, J. (1990) “What Washington Means by Policy Reform,” in J. Williamson, (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened?, Washington: Institute for International Economics, pp. 5-20. World Bank (1990) World Development Report 1990, New York: Oxford University Press. World Bank (1993) The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, Oxford: Oxford University Press. World Bank (1997) The State in a Changing World, World Development Report 1997, Washington: Oxford University Press. World Bank (2002) World Development Report 2002, Building Institutions for Markets, Washington: Oxford University Press. World Bank (IDA). (2003) “Allocating Funds Based upon Performance,” http://siteresources.worldbank.org/IDA/Resources/PBAAR4.pdf (downloaded 3 January 2007). World Bank (2010) 2010 World Development Indicators, Washington D.C.: The World Bank. World Bank (2011) “Multipolarity: The New Global Economy,” Washington D.C.: The World Bank. World Bank and International Finance Corporation (2009) “Doing Business 2010. Reforming Through Difficult Times,” Washington D.C.: World Bank. World Bank and International Finance Corporation (2010) “Doing Business in Indonesia 2010,” Subnational Series. Washington D.C.: World Bank. Toby Carroll
51
52
Toby Carroll
Pusat Kajian Tata Kelola Pemerintahan Indo-Pasifik: Rekomendasi Kebijakan Edisi No. 3 Juni 2011
Politik Baru Pembangunan serta Munculnya Respon Kebijakan Pembangunan yang Mendorong Sektor Swasta Toby Carroll A Senior Research Fellow at the Centre on Asia and Globalisation, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore.
Poin Utama Politik baru pembangunan telah mengakibatkan dorongan yang berpihak pada sektor swasta dalam praktik pembangunan. Dorongan ini mencakup modalitas baru yang bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Pendekatan ini membawa beberapa risiko nyata pada sisi pelaksanaan dan dampaknya.
Pendahuluan Sepanjang satu dekade lalu atau lebih, bentuk baru praktik pembangunan telah muncul. Kemunculannya melengkapi dan mengubah agenda organisasi yang bertujuan memfasilitasi pembangunan. Rekomendasi kebijakan ini menjelaskan secara rinci ciri-ciri yang kini menjadi ‘tren’ bagi banyak praktisi pembangunan, yaitu sejumlah modalitas pembangunan baru yang digunakan lembaga multilateral dan bilateral untuk meningkatkan dukungan sektor swasta di negara-negara kurang maju. Dorongan yang berpihak pada sektor swasta ini lebih banyak dipromosikan oleh bagian organisasi Bank Dunia yang berhubungan dengan sektor REKOMENDASI KEBIJAKAN IPGRC Rekomendasi Kebijakan IPGRC menyajikan penelitian kebijakan yang relevan tentang masalah tata kelola pemerintahan yang berada di dalam dan di luar wilayah Indo Pasifik. Dokumen ini disusun oleh anggota IPGRC serta rekan peneliti mereka, dan dirancang agar memberikan kontribusi pada diskusi maupun debat publik tentang masalah-masalah krusial terkait tata kelola pemerintahan global. Pandangan yang dikemukakan dalam rekomendasi kebijakan ini merupakan pandangan penulis dan tidak selalu menceminkan pandangan dari IPGRC atau Universitas Adelaide. Kontak: Email:
[email protected] http://www.adelaide.edu.au/indo-pacific-governance/policy/
Toby Carroll
53
swasta, yaitu Korporasi Keuangan Internasional (International Finance Corporation, IFC), dan merupakan agenda pengembangan dan perluasan yang sebelumnya dikenal sebagai pascakesepakatan Washington (Post-Washington Consensus, PWC). Akan tetapi, dalam banyak hal, upaya-upaya yang dilakukan IFC dan badan-badan lainnya menggambarkan adanya pergeseran kualitatif dalam semangat mendorong pembangunan yang dimotori pasar. Hal ini tampak dengan adanya pengakuan di kalangan berbagai pihak yang terlibat dalam pembangunan, bahwa reformasi pasar yang berorientasi negara memiliki banyak keterbatasan dan berlangsungnya politik baru pembangunan saat ini. Rekomendasi kebijakan IPGRC ini dimulai dengan penjabaran latar belakang politik dari dorongan baru –suatu dorongan yang saya sebut ‘finansialisasi pembangunan’ (Financialisation of Development, FoD). Pengetahuan tentang latar belakang politik FoD sangat penting untuk memahami ‘logika’ dan instrumen yang mewujudkan dan mengoperasionalisasikan logika ini. Setelah menjabarkan latar belakang politik FoD, rekomendasi kebijakan ini kemudian akan mengemukakan bentuk dan modalitas yang tepat FOD, dimana modalitas FoD mencakup bantuan teknis yang berpihak pada sektor swasta, investasi saham dan peminjaman langsung kepada sektor, serta melakukan pembandingan dan memantau negaranegara dalam upaya mereka mendorong ‘lingkungan yang mendukung’ untuk memperkuat kegiatan sektor swasta. Saya akan menarik kesimpulan dengan menggarisbawahi beberapa contoh proses pendekatan tersebut berlangsung di Asia-Pasifik dan di berbagai masalah, dan risiko nyata yang terkait penggunaan FoD, yang sekarang disebut pasar ‘frontier’ (wilayah pasar yang belum terjamah sebelumnya) dan ‘emerging’ market (pasar yang berkembang). Finansialisasi Pembangunan –Dorongan Kuat Baru dalam Praktik Pembangunan Sejak pertengahan dekade yang lalu, kegiatan kerja Bank Dunia serta lembaga bantuan multilateral dan bilateral lainnya banyak dikembangkan berdasarkan landasan yang disebut PWC –secara singkat merupakan seperangkat reformasi kelembagaan yang membidik negara atau berorientasi pasar, dan dianggap sangat penting untuk mengurangi ‘biaya transaksi’ dan ‘asimetri informasi’ –ilmu ekonomi ortodoks mencerminkan hambatan terhadap perluasan dan efisiensi pasar. Identifikasi yang dilakukan Bank Dunia dan lembaga lainnya tentang perlunya mengurangi biaya transaksi dan asimetri informasi untuk memfasilitasi pembangunan yang dimotori pasar, telah membuat praktisi pembangunan pada umumnya ‘merangkul kembali negara’ –suatu peralihan signifikan setelah serangan ideologis dan materi terhadap negara yang diusung oleh agenda penyesuaian struktural. Diikutsertakannya kembali negara secara signifikan ke dalam praktik pembangunan, tercermin dalam Laporan Tahunan Pembangunan Dunia (World Development 54
Toby Carroll
Report) Bank Dunia yang telah banyak mengupas tentang upaya ‘membangun’ lembaga-lembaga tertentu ‘untuk memastikan agar pasar bekerja dengan baik’ dan melihat peran/posisi sentral negara dalam proses tersebut. PWC telah melihat serangkaian proyek dan program baru yang diluncurkan di berbagai negara miskin. Berbagai intervensi ini –seringkali secara luas berada di bawah istilah umum ‘tata kelola pemerintahan’– telah dirancang untuk memperkuat penegakan hukum, menjamin hak-hak kepemilikan, membentuk badan pengaturan yang semiotonom, dan bertujuan meningkatkan efisiensi dan memastikan pola pembangunan yang dimotori pasar lebih merata. Tidak mengherankan jika kebanyakan program PWC ditargetkan langsung kepada negara sebagai upaya pembaharuan. Meskipun, sejumlah proyek PWC yang paling populer telah mencoba memfasilitasi perubahan kelembagaan yang berorientasi pasar dari bawah ke atas (bottom up) melalui program pembangunan ‘berbasis masyarakat dan komunitas’ dan dirancang untuk mendorong masyarakat agar menuntut tata kelola pemerintahan yang baik, dari mereka yang berada di jenjang atas. Dengan demikian, reformasi PWC yang membidik negara atau yang berorientasi kelembagaan telah mengalami masalah besar, dimana kebanyakan masalah tersebut serupa dengan masalah yang dihadapi oleh intervensi pembangunan sebelumnya. Dalam hal ini, politik pelaksanaan proyek (penolakan/distorsi reformasi, korupsi, dll.) dan hasil proyek beserta pola ekonomi-politik global yang seringkali rumit dan tidak menentu yang berada di bawah kapitalisme tingkat lanjut (late capitalism), merupakan hal sentral. Hasil menyeluruh dari situasi ini adalah para pengusung PWC hanya memiliki segelintir kisah sukses yang tidak jelas korelasinya yang dapat mereka banggakan, terutama dengan adanya negara yang dapat menyumbang pada berkurangnya kemiskinan penduduk dunia, seperti Cina dan Vietnam –dua negara yang bukan merupakan contoh perlakuan terhadap anakanak yang baik bagi PWC. Hal yang memperparah agenda PWC yang menargetkan negara atau berpihak pada pasar adalah masuknya ‘aktor pembangunan baru’. Aktor-aktor ini terdiri dari negara yang terlibat pada tingkat internasional (seperti Cina) dan dana kekayaan negara mereka, yayasan swasta dan organisasi keuangan mikro, serta hal yang sangat krusial bagi kepentingan modal transnasional (dimana modal transnasional mengintai negara-negara kurang maju untuk mendapatkan pengembalian modal yang semakin sulit ditemukan di negara OECD). Semua aktor ini telah memainkan peran sangat penting dalam merancang kembali ‘lanskap pembangunan’ dimana dalam banyak kasus, hal ini melemahkan pengaruh organisasi multilateral terhadap pelaksanaan reformasi yang ditargetkan pada negara (kadangkala banyak terjadi di negara-negara besar berpenghasilan menengah dan yang lazimnya merupakan ‘klien’ utama Bank Dunia dan lembaga lainnya). Politik baru pembangunan ini, meskipun masih berlangsung krisis melanda Toby Carroll
55
kawasan negara-negara kurang maju dan organisasi multilateral mengalami peningkatan signifikan dalam operasi mereka, organisasi-organisasi tersebut ‘hadir namun masih terpinggirkan’ di banyak negara tempat mereka beroperasi –negara yang masih mengalami berbagai tantangan besar dalam menangani tuntutan politik, ekonomi, dan kebutuhan sosial. Hal yang bukannya tidak berkaitan adalah bahwa pada masa situasi ekonomi sulit, organisasi-organisasi ini juga harus terus menghadapi berbagai tantangan berat dari negara maju yang memiliki anggaran yang semakin menipis terkait manfaat dan kebijaksanaan pendanaan kerja PWC yang sedang berlangsung, dan hanya membawa hasil nyata yang tidak seberapa, dan seringkali menuai banyak kritik dari pihak konservatif dan golongan kiri. Namun demikian, meskipun agenda PWC yang berorientasi negara dan dimotori pasar sepertinya berada dalam situasi yang tidak berubah, inovasi perluasan kebijakan tampak dalam bentuk peningkatan angka dan sifat berbagai upaya yang secara luas berhubungan dengan peningkatan kegiatan sektor swasta di kawasan negara-negara kurang maju –proses yang saya sebut sebagai ‘finansialisasi pembangunan’ atau FoD. Dalam banyak literatur ilmu sosial yang kritikal, ‘finansialisasi’ merujuk pada transformasi masyarakat sesuai dengan preferensi dan kepentingan keuangan. Sejalan dengan hal ini, FoD mengoperasionalisasikan kepentingan utama dari sisi keuangan –seperti berorientasi pada keuntungan dan terfokus pada penghitungan dan pengamanan risiko dalam menjalankan ‘Hal yang memperparah proses ini– atas nama penguatan agenda pemagenda PWC yang menarbangunan. getkan negara atau berTanpa keraguan akan hasil politik baru pempihak pada pasar adalah masuknya ‘aktor pembanbangunan seperti yang dijelaskan di atas, inisiatif gunan baru’ yang terdiri FoD telah meluas secara signifikan selama satu dari negara yang terlibat dekade terakhir. Berada di garis terdepan perluapada tingkat internasional san ini adalah IFC –pendukung multilateral sek(seperti Cina) beserta dana tor swasta yang utama di dunia. Dalam sepuluh kekayaan negara mereka, tahun terakhir, IFC mengalami peningkatan peryayasan swasta, dan orsetujuan proyek tahunannya lebih dari dua kali ganisasi keuangan mikro lipat, komitmen investasinya meningkat lima –demikian juga kepentingan modal transnasional, dimana kali lipat (dari AS $3,9 miliar menjadi AS $18 modal transnasional mengin- miliar), sedangkan pencairan investasinya mentai negara-negara kurang ingkat tiga kali lipat. Sejak tahun 1990, dukungan maju untuk mendapatkan dari lembaga seperti IFC kepada sektor swasta – pengembalian modal yang tidak termasuk jumlah yang jauh lebih besar dari semakin sulit ditemukan di yang dikerahkan oleh organisasi seperti ini– telnegara-negara OECD.’ ah melonjak sepuluh kali lipat, mulai kurang dari AS $4 miliar menjadi lebih dari AS $40 miliar. 56
Toby Carroll
Barangkali yang lebih penting bagi mereka yang tertarik pada perubahan ‘kebijakan pembangunan’ arus utama motivasi politik yang melatarbelakangi FoD serta perubahan jumlah dana yang dialokasikan dan dikerahkan organisasi seperti IFC adalah berbagai modalitas baru yang hadir bersama FoD. Dalam hal ini kita dapat jelas melihat bagaimana organisasi-organisasi ini berupaya mengatasi politik baru pembangunan dengan melakukan reposisi diri mereka dan secara bersamaan merubah sudut pandang hal-hal yang dianggap sebagai praktik pembangunan arus utama. Secara prinsip, organisasi FoD membanggakan dan mengeksploitasi kemampuan mereka dalam menjembatani antara sektor publik dengan swasta dalam rangka mengamankan kepentingan modal domestik dan asing sambil memperluas hubungan pasar yang kompetitif atas nama pembangunan. Bersamaan dengan pelaksanaan fungsi ini, organisasi FoD juga berupaya melakukan transformasi negara, baik dengan menciptakan berbagai konstituensi baru yang berminat dalam memastikan reformasi kelembagaan yang berpihak pada sektor swasta maupun melakukan pembandingan pelaksanaanya. Untuk mencapai hal ini, FoD menggunakan seperangkat instrumen guna memastikan dan memperluas sektor swasta di pasar frontier dan pasar yang berkembang –instrumen yang menunjukkan pendekatan FoD dalam bekerja terhadap negara, melalui negara, dan tanpa keterlibatan langsung negara. Banyak diantara instrumen tersebut, seperti bantuan teknis, pinjaman proyek, pembandingan kompetitif, monitoring, dan evaluasi sudah akrab diketahui akademisi dan penentu kebijakan dari PWC. Namun demikian, pengejawantahan FoD dari berbagai instrumen tersebut meliputi berbagai perbaikan dan modifikasi penting yang secara khusus ditujukan untuk menangani politik baru pembangunan dan menentukan keunggulan komparatif FoD dalam lingkup politik ini. Misalnya, organisasi FoD saat ini tidak hanya memberikan saran umum untuk negara miskin tentang cara mengatur sektor tertentu dan cara memberikan pinjaman berbasis negara kepada sektor tersebut (berbagai hal yang telah lama dilakukan oleh Bank Dunia), tetapi juga mendorong kemitraan publik-swasta (public-private partnership, PPP) serta meminjamkan dan memiliki saham di pemegang konsesi swasta dalam kerangka PPP. Inisiatif terakhir ini khusus ditujukan untuk menghindari aliran modal yang menghindari risiko terhadap negara-negara miskin yang rentan risiko, sambil memastikan dan memperluas reformasi pasar yang kompetitif Organisasi FoD tidak hanya menilai seberapa jauh suatu negara menerapkan seperangkat lembaga tertentu (dengan cara yang dilakukan oleh Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan dari Bank Dunia), tetapi juga menilai dan membandingkan berbagai negara secara kompetitif yang terkait penerapan upaya membangun ‘lingkungan yang mendukung’ (pengaturan kelembagaan yang ‘ideal’) untuk kegiatan sektor swasta. Upaya terakhir ini, yang paling banyak direalisasikan dalam Toby Carroll
57
bentuk seri laporan Doing Business dari IFC/ Bank Dunia, dirancang agar memungkinkan sektor publik melakukan penilaian risiko maupun peluang suatu investasi tertentu di negara tertentu, dan mendorong ketertarikan domestik, baik publik maupun swasta, untuk melakukan reformasi yang berpihak pada sektor swasta. Terakhir, sebagaimana kerja lembaga multilateral, FoD melibatkan penggunaan peminjaman proyek tertentu. Akan tetapi, dengan adanya FoD –situasi dimana pinjaman akan beralih ke negara dengan persyaratan reformasi yang cenderung dinegosiasikan– pinjaman dari FoD akan dialirkan ke perusahaaan swasta dan semakin banyak ke perantara keuangan swasta (seperti bank dan lembaga keuangan mikro domestik). Sebagaimana PPP, organisasi FoD juga sering mengambil ekuitas dalam lembaga perantara keuangan –dengan kehadiran organisasi FoD ini– membantu menggalang modal dan mengurangi risiko politik. Hal yang penting adalah bahwa pinjaman dan investasi pada perantara keuangan ditujukan agar dapat dipinjamkan bagi ‘wirausaha’ mikro dan wirausaha lainnya dalam rangka mendorong sektor UKM baru dan yang diperluas. Dengan kata lain, organisasi FoD mencoba merekayasa berbagai sektor perdagangan yang sama sekali baru. Organisasi FoD dan modalitas mereka berada dalam posisi yang baik, setidaknya dalam hal pelaksanaan formal untuk mencapai berbagai aspek yang disebutkan di atas. Di wilayah ‘frontier’ dan wilayah berisiko lain untuk modal internasional, keterlibatan organisasi FoD berhubungan dengan negara dan dukungan finansial akan memberikan sektor swasta (terutama sisi keuangan sektor swasta) rasa keyakinan bahwa proyek tertentu hanya akan mengalami lebih sedikit masalah (renasionalisasi, perampasan/pengambilalihan keuntungan dll.) dibandingkan jika hal tersebut tidak dilakukan. Pengurangan berbagai risiko ini, berarti biaya pinjaman perusahaan swasta dapat dikurangi, sehingga marjin laba semakin membaik. Di negara-negara kurang maju, mobilisasi modal (terutama dalam jumlah besar) seringkali menjadi jauh lebih mudah dengan keberadaan organisasi FoD, apakah sebagai investor, penasihat, atau kedua-duanya. Organisasi FoD juga menikmati pengaruh signifikan, karena posisinya se‘Selain itu, karena FoD juga mensyaratkan dipenuhinya berbagai mekanisme pengamanan lingkungan dan sosial, maka pihak investor dapat bernafas sedikit lebih lega –dimana banyak dari kegiatan uji tuntas dan pengamanan ini dilakukan oleh para penentu standar seperti IFC –sehingga investasi korporasi yang disalurkan, identitas, dan legitimasi akan kurang menuai gangguan atau gugatan dari masyarakat sipil.’
58
Toby Carroll
bagai organisasi ‘ahli’ yang ‘memiliki pengetahuan’ tentang masalah sektoral dan pembiayaan serta perannya dalam memberikan penilaian terhadap status negara (misalnya, ‘negara/peraturan ini tidak prospektif –sedangkan yang satunya prospektif ’) yang dianggap serius, baik oleh negara maupun oleh sektor swasta. Selain itu, karena FoD juga mensyaratkan dipenuhinya berbagai mekanisme pengamanan ligkungan dan sosial, maka pihak investor dapat bernafas sedikit lebih lega –dimana banyak kegiatan uji tuntas dan pengamanan ini dilakukan oleh para penentu standar, seperti IFC –sehingga investasi korporasi yang disalurkan, identitas, dan legitiMisi Penelitian IPGRC masi akan kurang menuai gangguan atau Fokus utama agenda penelitian gugatan dari masyarakat sipil. kami adalah pada dinamika poliDengan kata lain, organisasi FoD tik atas tata kelola pemerintahan, dapat dianggap sebagai pemberi pinjaserta inovasi kelembagaan dalam man, investor, penyedia asuransi, penpenyediaan barang publik mauegak aturan, lembaga pemeringkatan, pun regulasi, terutama karena hal ‘perancang’ dan ‘pembangun’ sektor – ini berkaitan dengan pembangusemuanya menjadi satu! Dalam politik nan ekonomi dan pembangunan baru pembangunan, beragam peran ini sosial di wilayah ini. akan dianggap bermanfaat baik bagi neHal ini akan menangani berbagai masalah, terkait pengaturan gara (yang tertarik dengan penerimaan pasar dan politik, serta tingkat pendapatan dan solusi biaya rendah unefektivitas dan keadilan dalam tuk penyediaan layanan) maupun bagi mengatasi berbagai masalah sektor swasta (yang mencari keuntungan ekonomi dan sosial yang komdi lingkungan yang risikonya harus dapat pleks. Begitu juga termasuk dikurangi dan aspek keuangan yang ditkajian tentang transformasi orinjau pada tarif serendah mungkin). ganisasi politik dan otoritas di µ3HQMXDO\DQJ%DLN¶GL$VLD3DVL¿N Diluar angka-angka tinggi yang disebutkan di atas, tidaklah begitu sulit menemukan bukti penerapan FoD. Misalnya, di wilayah Asia-Pasifik, IFC telah memainkan peran perubahan dalam melakukan transformasi sektor layanan air minum di Manila, dengan menggunakan berbagai modalitas FoD yang telah disajikan sebelumnya. Pada awalnya, IFC memberikan bantuan teknis yang terkait dengan PPP untuk mengatasi masalah
berbagai skala –global, nasional, dan regional– yang berdampak pada tata kelola pemerintahan di berbagai tingkatan yang bersifat kompleks atas penyediaan barang publik maupun regulasi. IPGRC memberi perhatian khusus pada tantangan global dan regional yang muncul dari pergeseran kekuasaan ekonomi dan politik yang terjadi di wilayah Indo-Pasifik.
Toby Carroll
59
layanan air minum di kota Manila yang semakin parah pada periode tahun 1990an. Namun, lebih dari sekedar pemberian bantuan tersebut, IFC kemudian menawarkan pinjaman dan memiliki ekuitas pada salah satu perusahaan konsesi air minum di kota Manila, yang dengan jelas bertujuan mendukung apa yang digambarkan IFC sebagai salah satu dari segelintir kisah sukses privatisasi air minum. Selain itu, investasi ini mensyaratkan agar perusahaan konsesi tercatat di bursa efek. Dalam hal ini, kita melihat, bagaimana organisasi FoD tidak hanya berperan sentral dalam memberikan saran pada sektor reformasi sebagai syarat awal, sekaligus sebagai aktor sentral dalam memperluas dan mentransformasi proses marketisasi/reformasi seiring berjalannya waktu. Hal ini tentu mempunyai dampak serius terhadap hubungan negara-masyarakat. Beranjak dari tema transformasi modalitas pembangunan beserta implikasinya, pengaruh FoD yang semakin besar atas sektor keuangan mikro juga semakin nyata di berbagai negara, seperti Timor Leste dan Indonesia. Bekerja melalui LSM dan ‘lembaga keuangan mikro berskala besar’, ‘dorongan yang berada dalam dorongan’ ini menyangkut beragam strategi. Dalam beberapa kasus, organisasi FoD dengan berbagai cara telah menghimbau dan mendorong LSM untuk melakukan transisi dari lembaga nirlaba/koperasi menjadi bank berorientasi laba/penerima deposito. Dalam kasus lain, organisasi FoD meningkatkan kapitalisasi lembaga keuangan mikro untuk memperluas operasinya dan memberi pinjaman kepada lembaga perantara keuangan lainnya serta peminjam sebagai pengguna akhir. Terakhir, elemen penilaian dan pembandingan kompetitif dari FoD juga semakin lazim di wilayah Asia-Pasifik –dimana pihak birokrat dan politisi di berbagai negara, dari Timor Leste hingga Malaysia semakin memiliki kepedulian untuk memperbaiki peringkat Doing Business mereka dan laporan masing-masing negaranya. Hal yang juga penting, berbagai kasus FoD seperti yang disebutkan di atas semakin bertambah banyak dalam waktu singkat yang terjadi di wilayah tersebut dan bahkan lebih luas lagi. FoD sedang bergerak menuju peran yang semakin penting karena merupakan organisasi menjanjikan bagi negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang sangat memerlukan pinjaman dalam mencari keuntungan. Namun demikian, dalam teori dan praktik, FoD masih perlu dipertanyakan –merupakan masalah yang akan disajikan di bagian kesimpulan rekomendasi kebijakan ini. Kesimpulan –Potensi Risiko FoD terhadap Negara-negara Kurang Maju Kekhawatiran atas FoD dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, terkait masalah yang perlu diperhatikan oleh para pembuat kebijakan tentang pelaksanaan –masalah yang tidak pernah selesai bagi para praktisi kebijakan pembangunan. Kedua, terkait masalah dampak. Para pembaca akan melihat bahwa kedua hal ini merupakan masalah inti yang dialami PWC (dan telah dialami di pe-
60
Toby Carroll
riode pembangunan terdahulu). Bagi kedua masalah tersebut, pola perkembangan dari banyak PPP, manfaat dari bantuan teknis dan pembandingan FoD, dan potensi substantif terbatas dari perantara keuangan, menunjukkan bahwa FoD menuju arah yang sama dengan yang dialami oleh berbagai agenda sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan, pelaksanaan FoD akan sangat tidak berimbang, sehingga menyebabkan terjadinya hasil yang tidak direncanakan, tidak diinginkan, dan saling bertentangan. Hal yang pasti, peran FoD terkait semakin mengakarnya posisi pihak elite yang jahat, reproduksi berbagai kegiatan lain yang tidak berkelanjutan secara sosial dan lingkungan, dan ketidakjelasan berbagai agenda alternatif yang bisa membawa pada perubahan positif, sudah tampak dengan adanya upaya analitis yang baru muncul untuk konseptualisasi dan pengamatan berbagai proses ini. Kenyataan ini muncul bermula dari politik FoD, terutama sebagai ‘solusi’ pembangunan (terhadap metode praktik pembangunan yang stagnan), maupun sebagai ‘solusi tata ruang’ bagi modal, sebagaimana disebut para pemeta politik. Dikembangkan berdasarkan berbagai metode praktik pembangunan yang berorientasi pada peningkatan dan pembukaan ruang-ruang baru sebagai akumulasi yang berada di bawah kapitalisme tingkat lanjut, pada saat yang sama juga menunjukkan kecenderungan teknokratis kuat yang lazim di dalam praktik pembangunan arus utama, sehingga potensi FoD untuk menghasilkan pengalaman pembangunan sebagaimana yang dialami negara-negara seperti Korea, Cina, dan Vietnam kelihatannya tampak menggiurkan. Hal ini bukan berarti bahwa pola pembangunan yang dialami negara-negara ini tidak bermasalah –bahkan jauh dari sempurna. Namun demikian, sedikitnya contoh berskala besar dari pembangunan pasca-Perang Dunia II –dengan seluruh masalahnya– seharusnya menjadi titik awal empiris guna memahami politik pembangunan yang berada di bawah kapitalisme tingkat lanjut. Artinya, pihak analis perlu mengesampingkan cara pemahaman yang bersifat nasionalis dan arogan dan/atau bersifat mengontrol terhadap masalah pembangunan, serta menghilangkan asumsi liberal, dan benar-benar menangani masalah produksi politik-historis/domestik/ transnasional dari pembangunan dan keterbelakangan. Hal ini bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah dilakukan dengan teori bangsa-negara/teori yang terpusat pada negara yang sudah ada, terutama teori yang mengabaikan peran kelas sosial. Dengan demikian, hingga revolusi pasif bahwa FoD merupakan bagian yang berhadapan dengan alternatif-alternatif politik yang serius, maka dapat kita pastikan bahwa modalitas FoD akan tetap menjadi tren tahun-tahun mendatang, karena pentingnya modalitas tersebut bagi kepentingan tertentu dalam politik baru pembangunan.
Toby Carroll
61
62
Toby Carroll
Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia* Toby Carroll
ABSTRAK Artikel ini mencoba mengonseptualisasi ulang pasca-Konsensus Washington (PWC) dengan tidak sekadar memfokuskan pada struktur-struktur kelembagaan dan ideologi yang dikembangkannya, namun cara ia dikampa- nyekan di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengungkap perbedaan mendasar antara Konsensus Washington dengan PWC yang selama ini cenderung diabaikan. Penulis memfokuskan pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia. Program itu dianggap radikal karena ia “Kuda Troya” baru untuk menanamkan sekaligus meneruskan norma-norma dan praktik berorientasi pasar. Secara umum, inilah yang menjadi kunci perbedaan dalam banyak analisis.
Orang yang tertarik dan terkait dengan pembangunan berorientasi pasar telah banyak membahas pasca-Konsensus Washington sejak akhir tahun 1990-an. Istilah “pascaKonsensus Washington” (post-Washington Consensus) lazim digunakan untuk merujuk paradigma dominan yang menjadi landasan praktik pembangunan saat ini, terutama pendekatan yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh Bank Dunia.1 Di sini dinyatakan, pemahaman kontemporer PWC, termasuk pemahaman yang kritis, tidak banyak memberitahu kepada kita mengenai cara ia dijalankan di lapangan, dan karenanya, apa sebenarnya konsep itu. Pendukung-pendukung PWC ortodoks mendefinisikannya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan “fundamentalisme-pasar” Konsensus Washington.2 Kritik terhadap PWC, sebaliknya, lebih banyak didominasi oleh pernyataan-pernyataan dari para pendukung PWC yang bersifat menentukan, kerap mempergunakan dokumen-dokumen seperti laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report baik untuk mendefin* Saya mengucapkan terima kasih kepada Garry Rodan, Kasnishka Jayasuriya, Teresita del Rosario, Shahar Hameiri dan dua orang pengulas yang tidak ingin disebut namanya atas komentar mereka terhadap versi awal artikel ini. Setiap kekeliruan dan kesalahan tentu menjadi tang- gung jawab penulis. Penggunaan istilah “Kuda Troya” di sini adalah plesetan terhadap penga- matan John Harriss tentang cara bagaimana beberapa praktisi pembangunan mencoba meng- gunakan konsep modal sosial untuk mengubah agenda pembangunan neoliberal dari dalam (lihat di bawah). Toby Carroll
63
isikan maupun menilai perwujudan terbaru pembangunan berorientasi pasar.3 Sumbersumber tersebut telah memberi wawasan berharga yang membantu kami menguraikan PWC atau paradigma pembangunan baru.4 Namun demikian, fokus pada resep-resep tersebut telah mengurangi pemahaman terhadap beberapa karakteristik pembeda terpenting dari PWC. Hal ini khususnya berlaku bagi elemen-elemen utama agenda pembangunan baru yang dirancang untuk menangani frustrasi besar neoliberalisme—hambatan- hambatan dalam menerapkan dan melanjutkan reformasi pasar liberal.5 Artikel ini banyak mengambil kontribusi para penulis yang dikutip di atas sebagai titik awal memahami PWC dalam praktik. Namun, ketimbang memfokuskan secara langsung pada resep-resep yang sama artinya dengan PWC, tulisan ini mengambil posisi bahwa PWC mempromosikan bentuk baru tata pemerintahan pembangunan neoliberal—saya menyebutnya neoliberalisme kelembagaan sosial (socio-institutional neoliberalism/SIN)—yang keduanya merupakan setumpuk resep serta seperangkat metode dan mekanisme untuk membentuk medan politik di dunia terbelakang ke arah penegakan dan kelangsungan masyarakat pasar liberal. Kegunaan konsepsi PWC terlihat tatkala kita memeriksa beberapa jenis proyek baru yang berasal dari PWC. Ini karena membantu kita untuk memahami apa yang sebenarnya berubah, dari sekadar fokus kelembagaan, dalam pergeseran dari Konsensus Washington ke PWC. Memang, analisis seperti itu khususnya penting bagi proyek-proyek “sosial” yang tampaknya berangkat dari penyesuaian struktural (structural adjustment) sederhana Konsensus Washington. Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Indonesia yang didanai Bank Dunia, dengan penekanan pada partisipasi warga setempat serta pilihan dalam alokasi dana, merupakan sebuah contoh kasus sangat menarik. Pada satu tingkat, PPK mewakili titik keberangkatan substansial dari pendekatan pembangunan neoliberal sebelumnya. Namun, apa yang radikal tentang hal ini adalah cara di mana reformasi neoliberal disampaikan pada intinya berusaha membangun kembali kewargaan dari “bawah ke atas” (bottom up), yang tetap kompatibel dengan pasar liberal, dengan memakai dana berbasis-utang untuk infrastruktur ekonomi dan sosial produktif sebagai insentif. Pendek kata, para pendukung PPK menggunakan teknologi politik “pembangunan partisipatif ” sebagai alat pengantar yang jelas berbeda dan sementara waktu efektif untuk memperluas hubungan sosial kapitalis dan lembaga-lembaga yang ditempatkan oleh ortodoksi pembangunan untuk mengiringi hubungan semacam itu. Bahwa dana sejumlah US$ 1,6 miliar yang diperoleh PPK bisa menghindari banyaknya hambatan politik yang mengganggu pelaksanaan bentuk-bentuk intervensi neoliberal sebelumnya agaknya memerlukan perhatian kritis. Bagi program yang sangat banyak didanai oleh utang untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia—sebuah negeri dengan pendapatan nasional bruto per kapita US$ 1.2806—dalam kerangka pasar liberal, tanpa menyentuh titik-lemah paradigmatis liberal yang berkaitan dengan kepemilikan alat produksi dan perjuangan kelas yang lebih luas. Memang, proyek tersebut mengga64
Toby Carroll
bungkan tugas penanggulangan kemiskinan dengan proses teknis yang dirancang untuk menciptakan pasar kompetitif baru dengan memberdayakan warga melalui transparansi dan akuntabilitas—perbaikan kelembagaan baru yang utama dalam PPK. Dalam hal ini, program tersebut bersesuaian di dalam batasan-batasan yang dapat diterima oleh program kerja dan paradigma Bank Dunia yang melekat padanya, yang menurut pendapat Cammack telah mendorong proletarisasi kaum miskin se-dunia.7 Kami mengangkat persoalan ini untuk memperluas pemahaman kita mengenai PWC dengan menggarisbawahi unsur-unsur pokok SIN, dan khususnya potongan-potongan itu yang menurut saya kurang mendapat perhatian daripada semestinya (metode dan mekanisme yang ditujukan langsung pada rekayasa kewargaan pasar). Dengan landasan ini, kita kemudian beralih ke PPK sebagai sebuah contoh operasional SIN, untuk menunjukkan manfaat mengevaluasi PWC di luar konten preskriptifnya. PPK Sebagai Sebuah Contoh Neoliberalisme Kelembagaan- Sosial yang Anti-politik Neoliberalisme kelembagaan-sosial (SIN) berkembang sebagai jawaban terhadap krisis legitimasi yang menjangkiti bentuk-bentuk kebijakan pembangunan neoliberal awal.8 Ini menunjukkan konten preskriptif yang sama sekali baru, karena ditopang oleh ekonomi kelembagaan baru (new institutional economics/NIE), dengan penekanan pada hubungan antara lembaga dan biaya transaksi.9 Penekanan kelembagaan ini mengubah beberapa kebijakan Konsensus Washington seperti privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi,10 dengan menempatkan fokus “pengembangan industri” dalam matrik pentingnya kelembagaan khusus bagi operasi pasar (dipahami dalam istilah ortodoks sebagai “tata pemerintahan yang baik”). Bahkan, dorongan kelembagaan ini khususnya telah memilah-milah peran lembaga sosial dan me- manfaatkan saham “modal sosial” mereka.11 Hal terpenting, banyak bentuk SIN yang berkaitan dengan metode dan mekanisme mutakhir diarahkan menuju pencapaian implementasi masyarakat pasar dan dijuluki Jayasuriya sebagai “kewargaan pasar”12—di mana hak dan kewajiban warga dalam hubungan dengan negara pada dasarnya dikondisikan oleh imperatif pasar. Di pusat arsitektur SIN diciptakan saluran-saluran pengantar baru—perangkat yang membungkus isi ketentuan kelembagaan baru SIN. Contohnya, Poverty Reduction Strategy Papers, Country Assistance Strategies, Country Development Partnership, serta proyek dan program-program yang ditargetkan Bank Dunia. Perangkat pengantar ini disampaikan oleh dan memasukkan bentuk-bentuk teknologi politik, seperti proses partisipatif dan latihan konsultasi. Teknologi tersebut ditugaskan mengelola tuntutan representasi politik yang memiliki potensi berseteru supaya tercapai masyarakat monopolitik, yakni mencakup keadaan pasar yang kuat (yang membuat kegagalan pasar dan bagian dari persediaan pasar yang dibutuhkan matriks kelembagaan) serta persekutuan fleksibel secara politik di antara pelaku pasar yang tuntutan satu-satunya adalah kesetaraan akses pasar.13 Umpamanya, proses partisipatif, yang merupakan teknologi politik kunci dalam SIN, terkait Toby Carroll
65
dengan pemanfaatan koalisi dukungan bagi reformasi, dengan menghadang masukan dari posisi yang berlawanan, dan penyingkiran oposisi.14 Mereka juga memainkan sebuah peran ideologis penting dalam menyebarluaskan gagasan-gagasan Bank Dunia tentang pembangunan — yang kerap disebutnya “alih pengetahuan”. Poin sangat penting di sini adalah mengatasi rintangan dalam menerapkan dan mempertahankan pasar liberal adalah inti dari SIN. Memang, bersama pengaruh terbuka NIE, adalah perangkat pengantar dan teknologi politik SIN yang paling membedakannya dari bentuk kebijakan pembangunan neoliberal sebelumnya. Kombinasi perangkat pengantar dan teknologi politik SIN memainkan fungsi penting, baik dalam upaya menyelaraskan kembali negara dan masyarakat sepanjang garis neoliberal maupun mengejar pengentasan kemiskinan ala liberal. Hal terpenting, pendekatan ini menghindari titik-titik lemah paradigmatik seperti kelas dan lokasi historis suatu negeri di dalam lingkup ekonomi politik global yang secara analitis penting dalam desain program dan proyek, sekaligus mencoba memperluas hubungan sosial kapitalis. Alhasil, Cammack menuding komitmen pengentasan kemiskinan (melekat dalam SIN) Bank Dunia sebagai “nyata di dalam batas-batas”, namun “bergantung pada, dan sekunder untuk tujuan yang lebih luas”: pengekalan kelembagaan dan prasarana lain yang diperlukan bagi akumulasi kapitalis global dan transformasi hubungan sosial (proletarianisasi) yang menyertainya.15 Meskipun seruan berulang-ulang para akademisi dan sejumlah kalangan memandang organisasi semacam Bank Dunia sebagai non-monolitik, bahkan sayap paling “progresif ” dari organisasi ini menunjukkan sikap konsisten dengan kritik pedas yang dilontarkan kepada SIN dan proyek perluasan pasar liberal. Ini tidak lantas berarti bahwa secara internal Bank Dunia bebas dari beberapa keanekaragaman dan kontestasi intelektual. Namun, mereka yang memilih dan diterima bekerja dalam dunia organisasi, terlepas dari politik pribadi mereka, harus melekat erat dalam batasannya. Agen-agen tersebut (dipahami dalam istilah kontemporer sebagai ‘usahawan norma’ atau ‘agen perubahan’) tentu harus mengikuti dunia “pernyataan dan pengucapan yang bisa diterima di tempat tinggal mereka”,16 dikondisikan sebagaimana dunia ini didefinisikan dengan jelas oleh batasan-batasan ideologi hegemonik. Selanjutnya, proyek Bank Dunia harus membagi-bagi kesatuan ikatan-negeri dengan rapi, difokuskan pada intervensi di area khusus yang diidentifikasi sebagai wilayah yang membutuh- kan pembaruan, dijalankan selama jangka waktu tertentu dan memiliki struktur pendanaan yang “cocok”. Pendek kata, Bank Dunia — kendati beberapa eklektisisme dalam staf-nya — bertanggung jawab untuk proyek dan program-program yang menunjukkan ketaatan sesuai dengan ideologi tertentu (neoliberalisme) dan selalu memelihara kekakuan tertentu lainnya dalam desain mereka. Program Pengembangan Kecamatan yang didanai Bank Dunia, terkait dengan unit pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta, terutama membantu menjelaskan hal ini. 66
Toby Carroll
Program Pengembangan Kecamatan khususnya menarik banyak perhatian karena perbedaannya tampak jelas dengan proyek lain Bank Dunia – kualitas yang sama sekali tidak kecil dikaitkan dengan usaha mereka yang berada di tengah proyek ini.17 Namun, bagi mereka yang secara kritis tertarik pada corak pembangunan neoliberal, ada banyak hal yang menakutkan tampak tidak asing dalam program itu. Memang, meski berpenampilan sebaliknya, dalam kenyataannya PPK banyak meletakkan penekanan kelem- bagaan SIN seperti modal sosial dan tatakelola (governance) dalam praktik. Menyuarakan hal senada, Tania Li menggambarkan tim pembangunan sosial Bank Dunia di Jakarta sebagai “pelopor dalam mengubah konsep menjadi program intervensi”.18 Mengikuti Nikolas Rose, dan pengaruh yang tak dapat dihilangkan dari Foucault, TM Li melihat PPK sebagai contoh “pemerintahan melalui komunitas”;19 sebuah gagasan yang menurutnya mengandung banyak kecocokan dengan neoliberalisme. Dari perspektif ini, PPK dipandang sebagai contoh program pembangunan yang menampilkan masyarakat sebagai solusi untuk masalah-masalah tertentu — walaupun solusi ini membutuhkan intervensi elite “pakar” yang diperhitungkan dengan hati-hati untuk mengolah dan memanen manfaat nyata komunitas.20 Dalam hal PPK, Li berpendapat bahwa para pakar menempatkan masyarakat di pusat program besar dan mahal yang dirancang untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan perencanaan tata pemerintahan di Indonesia, sembari mengabaikan “hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara”.21 Sebagaimana terbukti kemudian, analisis PPK yang disajikan di sini memiliki timbang rasa signifikan dengan kritik Li terhadap program itu, yang secara teguh mengikuti tradisi Ferguson dan lainnya. Secara khusus, analisis ini melihat pentingnya mengidentifikasi PPK sebagai suatu intervensi yang dirancang oleh pakar tertentu yang beroperasi di dalam batasan operasional dan gagasan tertentu. Namun, analisis saya terhadap PPK lebih banyak dikondisikan oleh garis silsilah tertentu di dalam materialisme historis22 ketimbang Foucault, menggeser fokus ke arah pemahaman program itu sebagai contoh evolusi politik neoliberalisme yang sedang berlangsung. Pendek kata, artikel ini menekankan bagaimana upaya para “pakar” sebenarnya dikondisikan secara substantif dengan ideologi dan struktur, menghasilkan suatu program yang pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme penyampaian besar-besaran dan inovatif untuk memperluas hubungan-hubungan sosial pro- duksi kapitalis dan infrastruktur (keras dan lunak) yang dibutuhkannya. Artikel ini meletakkan neoliberalisme (sebagai proyek yang didorong oleh kepentingan modal) — dan bukan para pakar — di tengah panggung analisis. Dalam hal ini, PPK berusaha mengubah pola perilaku di pelbagai tingkat masyarakat (mencoba menormalisasi transparansi dan akuntabilitas serta memperdalam kompetisi) dengan menggunakan ketentuan pendanaan bagi infrastruktur yang terkait dengan kegiatan produktif dan kredit mikro pada aras lokal sebagai sebuah insentif. Perubahan ini merupakan perhatian klasik SIN. Namun, pendekatan PPK dalam mengantarkan reformasi yang membuatnya benar-benar berbeda dari mayoritas proyek yang biasanya terkait Toby Carroll
67
dengan Bank Dunia (terutama wataknya yang sangat inklusif, memberi kuasa pengambilan-keputusan pada aras desa dan memastikan tingkat tinggi partisipasi perempuan). Dengan demikian, ketimbang memperhatikan PPK sebagai sesuatu yang menyimpang dari anomali dalam neoliberalisme, atau secara umum hanya cocok dengannya, analisis ini memandang PPK bersaing mencapai posisi kepeloporan, yakni sebuah proyek yang sesungguhnya, setidaknya dalam jangka pendek, memecahkan persoalan neoliberalisme paling berkanjang: pelaksanaan. Pemerintah Indonesia menggambarkan PPK sebagai sebuah proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal perdesaan Indonesia.23 Bagi Bank Dunia, yang menggolongkan PPK sebagai sebuah proyek pemberdayaan masyarakat/perlindungan sosial, program itu digambarkan dalam makna lebih formal sebagai “perencanaan partisipatif dan pengelolaan pembangunan di perdesaan melalui program luas infrastruktur sosial ekonomi, (yang) juga akan memperkuat institusi-institusi formal dan informal tingkat lokal melalui pelibatan lebih besar dan akuntabilitas kebutuhan dasar pembangunan”.24 Program Pengembangan Kecamatan telah melewati beberapa fase, masing-masing meluas secara signifikan dibanding fase sebelumnya. Versi percontohannya, pada 1997, meliput dua puluh lima perdesaan, fase pertama dan utama (PPK 1) mencapai 15.000 perdesaan dan sekarang mencapai lebih setengah dari seluruh desa (sekitar 38.000) di Indonesia.25 Salah satu versinya pernah digunakan Bank Dunia di Aceh dan Sumatera Utara untuk membantu lingkungan pasca-tsunami dan proyek serupa dibentuk kembali di Afganistan, Timor Timur, dan Filipina.26 Inilah proyek pembangunan masyarakat terbesar di Asia Tenggara,27 dan menjadi contoh utama dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “scaling-up” — peningkatan pesat jumlah program-program baru untuk mengurangi kemiskinan. Hal penting, program tersebut dipandang (khususnya mereka yang terjalin erat dengan program ini) sebagai sesuatu yang secara substantif berbeda dari “proyek-proyek pembangunan baku”.28 Ulasan singkat struktur PPK menggambarkan banyaknya perbedaan itu berasal. Di sini, watak pengantar pembaruan adalah kuncinya. PPK menyediakan dana hibah sebesar US$ 50.000-150.000 untuk tingkat kecamatan.29 Daftar umum yang mendapatkan pembiayaan PPK begitu panjang dan mencakup banyak bidang. Namun, ada penekanan khusus yang ditujukan pada infrastruktur (ekonomi dan sosial) yang dapat memfasilitasi output produktif dalam pasar.30 Dalam hal ini, Bank Dunia menyatakan PPK telah memiliki tingkat pengembalian internal tinggi yang sebagian besar diperoleh dari perannya dalam memfasilitasi kegiatan ekonomi baru dan pengetatan “kapasitas produksi terpendam/ditekan yang akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal”.31 Khususnya, program tersebut disanjung oleh Bank Dunia karena kapasitasnya dalam memproduksi infrastruktur berbiaya-rendah (yang diklaim telah membangkitkan 39 juta hari kerja dan memfasilitasi ekspansi peluang usaha) dan “751 ribu penerima pinjaman dan pengusaha yang berpartisipasi dalam kegiatan usaha dan penyaluran kredit PPK “.32 68
Toby Carroll
Hal penting, PPK memasukkan proses “sosialisasi”, mengabarkan kepada orang mengenai proyek itu dan menguraikan panjang lebar caranya beroperasi.33 Ini dianggap sebagai hal menentukan bagi keberlangsungan proyek tersebut, menggambarkan pentingnya aturan yang sederhana (namun tegas) serta peran sentral fasilitator dalam pelaksanaan proyek. Tahap sosialisasi PPK dipandang sebagai tahap mendasar yang penting untuk mendukung “keberhasilan proses dan kegiatan yang dilaksanakan pada tahap berikutnya”.34 Keberadaan berbagai forum itu amat penting dalam proses ini.35 Awalnya, istilah tentang PPK ditebar melalui lokakarya di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan, “untuk menyebarluaskan informasi dan mempopulerkan program tersebut”.36 “Lokakarya tersebut melibatkan tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah, pers daerah, perguruan tinggi, dan organisasi non-pemerintah (Ornop).37 Pertemuan-pertemuan kelompok, dusun, dan desa, juga diselenggarakan untuk menebar informasi lebih lanjut mengenai PPK serta “mendorong orang untuk mengajukan gagasan yang mendukung PPK”.38 Rapat-rapat perencanaan selanjutnya dilakukan di tingkat dusun dan desa. Dalam pertemuan itu, fasilitator dari tingkat dusun hingga desa dilibatkan untuk menyebar informasi mengenai prosedur PPK dan mendorong pengajuan ide untuk pendanaan PPK. Pada tahap ini, kaum perempuan juga mengadakan rapat sendiri untuk memutuskan “proposal perempuan”.39 Selanjutnya diadakan pertemuan desa membahas proposal masing-masing warga desa. Proposal yang terpilih kemudian diangkat ke forum kecamatan. Setiap desa mengajukan tiga proposal untuk dibahas dalam forum kelurahan, salah satu proposal berasal dari “perempuan desa dan proposal kedua diajukan oleh kelompok simpan pinjam perempuan”.40 Semua itu kemudian dibahas di tingkat kelurahan. Proses verifikasi kelengkapan persyaratan teknis masing-masing proposal juga dilakukan sebelum pemilihan proyek. Itu dilakukan untuk menilai kelayakan ekonomis dan teknis proyek bersangkutan, jumlah orang yang akan memperoleh manfaat dari proyek itu, perencanaan biaya atau pengembalian pinjaman (bila melibatkan pinjaman), tingkat partisipasi orang dalam proses penyusunan proposal, serta kontribusi masyarakat setempat. Proposal tersebut kemudian dibahas dalam rapat kelurahan kedua untuk menentukan urutan prioritas. Setelah ini, sekali lagi diadakan rapat desa, proposal dipilih dan perjanjian hibah dirancang untuk proposal yang berhasil lolos.41 Hal penting, persaingan di antara proposal individu adalah fitur utama PPK. Apabila tidak dapat dicapai mufakat bulat, warga desa diberi kriteria untuk memprioritaskan proposal tertentu, sering kali dengan bantuan seorang fasilitator (dibahas lebih lanjut di bawah ini).42 Menariknya, unsur persaingan ini disorot dalam pertemuan warga desa di Jawa Barat pada 2005 sebagai sebuah aspek tidak diinginkan dari proyek yang seharusnya dihilangkan.43 Salah seorang peserta pertemuan juga mencatat bahwa menyusun prioritas proyek adalah sulit, karena masing-masing desa mengklaim berada di peringkat tertinggi, denToby Carroll
69
gan proses tawar-menawar yang terjadi antar-desa. Namun, bagi Scott Guggenheim (mantan ketua tim program), konflik di dalam PPK bukanlah faktor utama.44 Salah seorang yang pernah bergabung dengan Guggenheim mungkin sedikit lebih hati-hati dengan menyatakan bahwa “mufakat di tingkat desa umumnya tercapai — meskipun ada be- berapa perselisihan”.45 Dikatakannya, tidak mengherankan jika fasilitator dan konsultan (hampir semuanya orang Indonesia) menjadi sangat penting bagi pengelolaan dan pengoperasian PPK — hal ini diperkuat oleh banyak orang yang pernah terlibat dalam program itu.46 Memang, barisan konsultan swasta sangat banyak (4.200 orang dalam PPK II) dilibatkan di semua tingkatan sampai ke tingkat kecamatan untuk “melaksanakan aspekaspek teknis proyek itu”.47 Selanjutnya, dua atau tiga orang fasilitator (setidaknya satu laki-laki dan satu perempuan) dipilih untuk setiap desa yang berpartisipasi dalam PPK.48 Semua berada di bawah binaan Badan Pengembangan Masyarakat, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertanggung jawab atas pengelolaan PPK sehari-hari, untuk kepentingan Bank Dunia serta badan-badan pelaksananya. Kementerian lain diwakili oleh tim koordinasi pemerintah, yang juga membantu manajemen PPK, dan ada juga peran yang dimainkan di tingkat provinsi dan kabupaten.49 Sebagian besar proyek tersebut dibiayai oleh Bank Dunia. Sangatlah penting untuk memahami struktur pembiayaan PPK, khususnya karena program itu memakai sebuah pendekatan penanggulangan kemiskinan yang mengandalkan utang, di suatu negeri tempat 50 persen penduduknya berpenghasilan kurang dari US$ 2 per hari (tahun 2002),50 dan lebih dari 6 persen utang pemerintah sebesar US$ 144 miliar (tahun 2006) berutang kepada Bank Dunia.51 Pada aras Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, PPK adalah kombinasi kredit (pinjaman tanpa bunga) dan pinjaman berbunga.52 Hal ini sendiri dianggap sebagai masalah besar oleh berbagai kalangan, mulai dari birokrat senior yang sebelumnya terlibat dalam PPK hingga organisasi non-pemerintah yang terkait dengan proyek itu.53 PPK II, III dan IIIb memakai dana pinjaman berbunga dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) maupun dana pinjaman tanpa bunga dari International Development Association (IDA) dengan berbagai tenggang jatuh tempo lima sampai sepuluh tahun.54 Kontribusi pemerintah pusat untuk proyek PPK pada dasarnya nol, meski kontribusi pemerintah daerah dan masyarakat dimasukkan sebagai kontribusi Pemerintah Indonesia.55 Dalam struktur yang ada, dana Bank Dunia untuk PPK dipindahkan ke rekening khusus di Bank Indonesia (bank sentral), kemudian ditransfer melalui Kantor Bendahara Negara sebagai dana hibah ke rekening bersama untuk desa-desa di setiap kecamatan. Pengucuran dana kemudian dikeluarkan berangsur dari rekening itu ke setiap desa dalam tiga tahap (40 persen, 40 persen, dan terakhir sebesar 20 persen), jumlah yang terakhir baru dikeluarkan setelah proses sertifikasi telah disetujui.56 Selain itu, setelah 70
Toby Carroll
masing-masing porsi dimanfaatkan, desa harus melaporkan dan menjelaskan kepada masyarakat desa bagaimana dana itu telah digunakan. Kontribusi masyarakat pada PPK juga tinggi.57 Keunikan PPK – terutama strukturnya yang memungkinkan desa memilih dalam lingkungan yang kompetitif untuk apa dana tersebut digunakan – seharusnya lebih jelas untuk mereka dengan pengetahuan mengenai pembangunan industri yang sepintas lalu lebih rendah. Selain itu, ini menjauhkan banyak pemerintah yang tak biasa menangani proyek besar Bank Dunia (pemerintah nasional bagaimanapun juga adalah penerima jasa Bank Dunia). Pada dasarnya, apa yang membuat program itu sangat berbeda terkait dengan reformasi pengantarnya. Walaupun terdapat beberapa fitur lain yang membedakan PPK dengan proyek-proyek Bank Dunia lainnya (lihat di bawah), adalah penting untuk diperhatikan cara program tersebut menyesuaikan diri dengan sangat baik di dalam reproduksi neoliberalisme dan reproduksi hubungan kapitalis pada umumnya. Tujuan PPK Kita telah melihat bagaimana PPK beroperasi; ini menjelaskan banyak hal yang berbeda dengannya dibanding proyek dan program-program lain yang didanai Bank Dunia. Juga penting untuk ditekankan apa sebenarnya tujuan PPK. Hal ini sangat relevan untuk menunjukkan bagaimana PPK jatuh ke dalam SIN.58 Pada satu sisi, PPK tampaknya sebagian besar menyangkut penyediaan infrastruktur dengan biaya rendah (dan lebih) untuk perdesaan. Namun, ini jauh lebih ambisius dan politis daripada sekadar penyediaan infrastruktur berbiaya rendah. Program Pengembangan Kecamatan pada intinya adalah sebuah proyek yang membersitkan fokus perluasan-pasar SIN tentang tata kelola pemerintahan, modal sosial, desentralisasi, dan mengantarkan reformasi melalui pembangunan partisipatif dan insentif/pengungkit penyediaan infrastruktur dan barang-barang lain. Dengan kata lain, PPK berupaya menyampaikan infrastruktur produktif yang dibutuhkan ekonomi pertanian dan institusi yang dirancang rapi untuk memfasilitasi fungsi ekonomi semacam ini dengan lebih efisien dan merata. PPK bersifat politis sekaligus ambisius, program ini dirancang untuk mewujudkan struktur kelembagaan tertentu dalam lingkungan pasca-Orde Baru.59 Dalam hal ini, PPK terkait dengan intepretasi ulang gagasan kewargaan, sebagian dengan menciptakan permintaan bagi perubahan perilaku (yaitu, berusaha untuk menanamkan norma-norma transparansi dan akuntabilitas), menggunakan insentif/pengungkit untuk mendorong proses tersebut. Dalam hal ini, memperbaiki tata kelola pemerintahan lebih dari sekadar memproduksi infrastruktur berbiaya rendah adalah output utama PPK. Tania Li, menulis tentang tim pembangunan sosial Bank Dunia di Indonesia (yang terjalin erat dengan PPK), mencatat ini pemujaan terhadap tata kelola pemerintahan melebihi isu-isu lain: Kendati tim pembangunan sosial Bank Dunia tidak menunjukkan bahwa perencanaan yang tidak memadai dan kegagalan tata kelola pemerintahan adalah satu-satunya sumber kemiskinan, kedua hal itu menjadi satu-satunya sumber yang diambil oleh tim Toby Carroll
71
sebagai basis program anti-kemiskinan yang sangat besar dan mahal. Menafikan hubungan yang sulit diperbaiki — hubungan-hubungan produksi dan alokasi yang tak setara terutama di antara mereka — adalah faktor intrinsik untuk konstruksi masyarakat sebagai sasaran intervensi.60 Hal penting dalam kaitannya dengan obsesi tata kelola ini, PPK lebih banyak bekerja di seputar pemerintahan. Sebagaimana dikatakan salah seorang staf Bank Dunia, saat program itu “dijual” kepada pemerintah sebagai inisiatif penanggulangan kemiskinan (yang menyenangkan pemerintah), sebenarnya ini menjauhkan pemerintah.61 Sedikit diceritakan di sini adalah cara desain proyek yang menggunakan kecamatan untuk memintas lembaga-lembaga politik yang ada dengan membuat atau membangun kembali lembaga-lembaga politik dan sosial yang sebelumnya tidak ada. Kutipan dari Guggenheim menjelaskan mengapa hanya tingkat kecamatan yang dipilih sebagai fokus proyek PPK: Kecamatan tampaknya menguntungkan untuk beberapa alasan tambahan di atas dan di luar aksesibilitasnya bagi warga desa. Karena kecamatan bukan satuan pemerintahan yang sepenuhnya otonom, maka kecamatan tidak punya wewenang anggaran dan perjanjian sendiri. Ini berarti pengumpulan kepentingan komersial dan politik yang dimiliki kubu pemerintah di tingkat kabupaten jauh lebih lemah dibanding di kecamatan. Kecamatan juga memiliki persyaratan untuk “mengoordinasi” pembangunan desa melalui dewan kecamatan yang mencakup seluruh kepala desa, tetapi karena kecamatan tidak memiliki anggaran sendiri untuk berinvestasi, sebagian besar dewan kecamatan hanya bertemu sekali atau dua kali setahun. Terakhir, karena warga desa saling bersaing mendapatkan dana PPK di setiap pertemuan kecamatan, kami berharap, ini akan mendorong semacam negosiasi dan kerja sama langsung yang akan menjadi dasar untuk membangun kembali lembaga-lembaga supra-desa horisontal yang dihancurkan atau diabaikan oleh Orde Baru.62
Dokumen informasi proyek terbaru (PID— Project Information Document) untuk PPK III juga mengungkapkan fokus program pada “tata kelola pemerintahan”, dan dari mana konsep ini berasal, khususnya pengertian pengaruh neo-liberal menyangkut modal sosial. “Pemberdayaan Masyarakat dan Tata Pemerintahan Daerah” adalah bagian kunci pertama yang tercakup dalam dokumen ini. Ini mengacu kembali ke serangkaian studi yang dilakukan Bank Dunia dan berbagai lembaga pemerintah yang memiliki dampak permanen pada bentuk PPK.63 Menurut PID, studi Lembaga Tingkat Lokal (LLI) “mengidentifikasi adanya kesenjangan di dalam tata pemerintahan lokal di sebagian besar daerah perdesaan di Indonesia”.64 Penggabungan semua pengertian yang diperoleh dari studi-studi ini ke dalam PID menegaskan kurangnya kepercayaan dan dialog, yang terkait dengan perkembangan situasi sekarang dan hambatannya terhadap efisiensi ekonomi. PID juga menunjukkan perhatian pada implementasinya—yang terkait dengan penyebaran SIN—serta beberapa 72
Toby Carroll
perhatian neoliberal terhadap modal sosial: Kesenjangan ini biasanya muncul dalam bentuk kurangnya kepercayaan, apatis, dan dialog berkualitas rendah dalam hubungan dengan pembangunan. Model pembangunan yang dipaksakan dari luar dan yang tidak mengenali masalah inti dari pemerintahan daerah membatasi kemungkinan keberhasilannya sendiri. Bukti akar masalah ini dapat dilihat dalam masalah yang dilaporkan secara universal menyangkut miskinnya standar pembangunan konstruksi infrastruktur publik dan pemeliharaan desa-desa Indonesia, jelas kecilnya tanda-tanda kepemilikan lokal (oleh komunitas). Akibatnya, sumber daya sosial dan ekonomi tidak digunakan dengan baik, terutama yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan perdesaan.
Implikasinya adalah tata pemerintahan yang buruk menyebabkan kurangnya modal sosial (dalam hal ini kurangnya kepercayaan) yang, pada gilirannya, dipandang sebagai penjelasan miskinnya infrastruktur. Kurangnya kepercayaan dan masalah korupsi di lingkungan pasca-Orde Baru (yang benar-benar nyata), digunakan untuk membenarkan sebuah “program perbaikan” pemerintahan, yang dianggap seolah-olah menjadi akar penyebab situasi Indonesia.66 Khususnya, dalam kaitannya dengan hubungan antara modal sosial dengan PPK, studi LLI, yang mengidentifikasi “kesenjangan tata-pemerintahan” dan yang merupakan pelopor berpengaruh terhadap PPK, adalah bagian dari studi multinegara yang lebih luas tentang modal sosial dan ide-ide Robert Putnam—seorang figur berpengaruh yang “memberi angin” pada modal sosial sehingga lebih dikenal di Bank Dunia sebagai daya tarik PWC pada pertengahan sampai akhir tahun 1990-an.67 Penelitian LLI menemukan hal-hal khusus lainnya yang menekankan potensi di dalam masyarakat, yang hasilnya dapat dilihat mempengaruhi PPK dan yang menyebarkan kesukaan tertentu untuk inkarnasi modal sosial Putnam. Sebagai contoh, salah satu temuan menunjukkan bahwa proyek- proyek yang dimiliki masyarakat bekerja lebih baik dibandingkan proyek-proyek pemerintah atau LSM, memiliki tingkat partisipasi masyarakat miskin dan perempuan yang lebih besar, di samping masukan yang signifikan lebih banyak dari penduduk desa. Temuan lain menunjukkan fokus multi tujuan dari organisasi masyarakat yang bersifat jangka panjang dibandingkan dengan organisasi proyek pembangunan sementara. Temuan lebih lanjut menunjuk ke pemutusan antara kapasitas pengorganisasian masyarakat dan pemerintah, dan bahkan mengilustrasikan manfaatnya pada masyarakat yang “memiliki kepemimpinan kuat dan seseorang yang bisa memainkan peran sebagai fasilitator untuk berbagi informasi, meminta prosedur penyelesaian sengketa, dan membantu penduduk desa menemukan bantuan dari luar ketika diperlukan”.68 Benang merah antara temuan-temuan tersebut dengan PPK sudah jelas. Singkatnya, apa yang terjadi adalah diagnosis masalah-masalah tertentu (melalui penelitian LLI), dengan pengobatan teknis tertentu (memperbaiki kelembagaan PPK)—sebuah obat yang mengabaikan masalah Toby Carroll
73
ekonomi-politik kemiskinan yang lebih besar di Indonesia. “Pembangunan Sosial” sebagai Kuda Troya Neoliberalisme? Namun demikian, kita harus berhati-hati, agar tidak menggambarkan modal sosial di PPK hanya sebagai perpanjangan pekerjaan fungsional Bank Dunia. Memang, hubungan antara modal sosial, PPK, dan Bank Dunia harus ditandai dengan cara yang lebih bernuansa kekinian, yang mengungkapkan banyak hal tentang politik internal Bank Dunia dan bagaimana penyesuaian neoliberal dihasilkan. Bagi Guggenheim, modal sosial (istilah dan konsep) khususnya sangat berguna untuk orang yang bekerja dalam pembangunan sosial di dalam Bank Dunia dalam rangka berbicara dengan kelompok yang berkuasa di Bank itu—para ekonom—di luar skeptisisme pribadinya vis-a-vis dengan konsep tersebut.69 Dalam sebuah lingkungan yang didominasi oleh kelompok kekuasaan tertentu di dalam Bank Dunia (para ekonom), suatu bahasa tertentu membantu personil unit pembangunan sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka, yang tanpa itu mungkin akan menghadapi banyak perlawanan. Menariknya, penggunaan modal sosial ini bertemu dengan gambaran Harriss tentang cara beberapa praktisi pembangunan melihat konsep tersebut sebagai “Kuda Troya” untuk mengubah agenda pembangunan neoliberal dari “dalam”.70 Berbicara dengan orang-orang di dalam unit pembangunan sosial Bank Dunia di Indonesia, orang akan mendapat kesan bahwa ada dorongan untuk menciptakan perubahan di dalam Bank Dunia. Pertanyaannya adalah, apa yang sangat berbeda tentang proyek ini sehingga orang-orang mau terlibat dengan (PPK)? Pada intinya, jawabannya terkait dengan kebijakan penyalurannya, yang membawa kita kembali memperhatikan SIN dalam pelaksanaannya dan juga menunjukkan kendala mengubah neo-liberalisme dari dalam. Sementara unsur pemerintahan dalam PPK menunjukkan fokus yang lebih luas (terutama di luar dokumen resmi) atas kewarganegaraan dibandingkan penggunaan yang khas Bank Dunia, Harriss menunjukkan bahwa konsep seperti itu masih tetap kompatibel dengan proyek Bank Dunia yang lebih luas, khususnya dalam wacana modal sosial dan bahasa pengiringnya yaitu pengembangan masyarakat, pemberdayaan, dan partisipasi. Perlu mengutip kesimpulan Harriss atas hubungan ini dengan sedikit panjang lebar karena benar-benar relevan dengan pertanyaan apakah PPK berbeda sebagai proyek tata-pemerintahan: Intinya, untuk tujuan diskusi ini, titik-tekannya ada pada pemikiran bahwa pembangunan saat ini begitu dikaitkan dengan ‘tata pemerintahan yang baik’, yang dimaksudkan untuk pemerintahan yang transparan dan akuntabel, yang bekerja dalam kerangka hukum yang jelas dan konsisten, misalnya akan menyediakan kondisi untuk pasar yang efektif dan efisien. Dalam konteks inilah ide-ide tentang ‘masyarakat sipil’, ‘desentralisasi’, ‘partisipasi’ dan akhir-akhir ini—dalam beberapa hal ratu dari ini—adalah ‘modal sosial’ yang telah diterima luas. Ide dasarnya adalah melalui ‘partisipasi’ dalam asosiasi 74
Toby Carroll
lokal ‘sukarela’ (yang dapat–secara salah—disamakan dengan ‘organisasi-organisasi non-pemerintah’) orang-orang ‘diberdayakan’ dalam ‘masyarakat sipil’ (didefinisikan sebagai wilayah sukarela daripada asosiasi askriptif, yang terletak di luar negara, keluarga, dan kekerabatan). Masyarakat sipil yang dinamis bertindak baik sebagai pemeriksa utama aktivitas dan badan-badan negara, dan sebagai semacam penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Sebuah masyarakat sipil yang kuat harus mengandung perluasan negara dan akan membentuk ‘tata-pemerintahan yang baik’ (yaitu, ‘demokratis’, yang berarti pemerintah responsif, akuntabel, dan transparan). Diharapkan juga, bahwa dalam konteks semacam itu masyarakat sipil yang kuat akan secara luas mendukung kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar. Seluruh rangkaian gagasan tersebut digulirkan secara khusus untuk melawan pembangunan gaya lama yang ‘top-down’, yang dipandang sudah gagal. Ini adalah perpanjangan ‘konsensus Washington’ yang dulu dan bukan suatu pemikiran ulang yang radikal (mungkin ‘pasca’-konsensus Washington, tapi tidak ’melewati’).71
Konsekuensinya, PPK seharusnya lebih dianggap sebagai model garda depan SIN, daripada semacam anomali radikal di dalamnya. Sentimen ini lebih lanjut diterima ketika melihat fokus pengawasan dan pemantauan yang dibangun di dalam proyek, elemen penting untuk menghasilkan bentuk disiplin transparansi pasar tingkat lokal yang transparan. Apa yang diupayakan di dalam PPK adalah penciptaan pasar kewarganegaraan yaitu partisipasi pasar individu di dalam suatu sistem pengawasan dan pemantauan untuk menanamkan pasar yang lebih “ideal” di mana—kembali ke dua cabang ilmu ekonomi kelembagaan baru—biaya transaksi lebih rendah dan informasi mengalir bebas.72 Terdapat aspek pemantauan internal maupun eksternal terhadap PPK. Pemantauan internal didasarkan pada suatu Sistem Informasi Manajemen, yang dikelola oleh tim pengawasan nasional yang mengumpulkan informasi seputar PPK dan melaporkan tentang kemajuannya.73 Secara eksternal, Asosiasi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan LSM independen tingkat provinsi dikontrak untuk memantau PPK, kontrak yang memungkinkan AJI mengunjungi situs PPK agar mereka dapat menulis artikel di koran nasional dan regional terkait proyek tersebut.74 Dalam pengaturan ini jurnalis dianggap sebagai suatu saluran untuk memberitakan kegiatan pemantauan para LSM dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya.75 Selain itu, banyaknya rapat desa dan pengawasan pengadaan bahan baku juga penting. Penekanan pada transparansi dan pemantauan ini, yang memang menjadi fokus tata pemerintahan PPK yang lebih luas, jelas berhubungan dengan penanganan korupsi. Korupsi tentu saja meluas di Indonesia, baik menurut Bank Dunia maupun yang pada umumnya.76 Cara PPK menangani korupsi dalam program yang sedang berjalan adalah sesuatu yang dengan tajam ditunjukkan oleh Guggenheim, terutama dalam kaitannya dengan tindakan bagaimana menghadapi proyek-proyek pembangunan lainnya yang sebelumnToby Carroll
75
ya dijalankan oleh Bank Dunia.77 Di tempat lain, ia lebih lugas menyatakan bahwa desain prinsip untuk proyek-proyek pembangunan berbasis masyarakat (seperti PPK) perlu sederhana dan penegakan hukumnya harus tegas: “Tough love” (sikap sayang tapi disiplin) merupakan satu-satunya cara untuk menghentikan beberapa kesalahan kecil menjadi kerusakan yang luas untuk proyek pembangunan berskala besar”.78 Ini bukan sekedar kata-kata—Guggenheim menunjukkan contoh korupsi di Sumatera Utara, yang daripada (diberikan kesempatan untuk) ‘lain kali lebih baik’, kabupaten tersebut justru digugurkan dari proyek.79 Persyaratan neoliberal, kemudian, telah bergerak turun dari tingkat nasional ke lokal.80 Namun, terlepas dari pemantauan dan pengawasan terhadap aspek-aspek PPK, dari sudut pandang beberapa penduduk desa, korupsi dapat dipastikan masih menjadi masalah di dalam PPK dan fasilitator disorot sebagai pelaku potensial di tingkat desa.81 Mereka mengatakan, dibandingkan dengan proyek lainnya, proyek ini tampaknya memiliki reputasi yang jauh lebih baik dalam hal tingkat korupsi.82 Namun masalah yang jelas di sini adalah apakah gaya intervensi pemerintahan neoliberal di tingkat lokal, digabungkan dengan perluasan pasar, harus menjadi salah satu dorongan utama untuk mengatasi kemiskinan. Selain itu, pertanyaan yang tersisa seperti sejauh mana kemungkinan menciptakan dan mempertahankan perubahan signifikan dalam tata pemerintahan dalam lingkungan yang ekonomi dan politiknya sangat asimetri (terutama sekali setelah pembiayaan program-program seperti PPK berakhir dan meninggalkan utang). Terkait inti pertanyaan keberlanjutan reformasi dan PPK, Guggenheim mengakui bahwa pencapaian proyek PPK dapat dijungkirbalikkan (can be overturned).83 Di luar isu korupsi, namun masih terkait dengan itu dalam beberapa cara, PPK berupaya mendukung pemerintahan dalam hubungannya dengan areal SIN penting lainnya—desentralisasi, di mana Bank Dunia telah mendukungnya selama beberapa waktu.84 Hadiz, seperti halnya Harriss, telah mencatat hubungan antara desentralisasi dan jenis “pembangunan sosial” yang terkait PPK, Secara signifikan, ‘desentralisasi’, bersama dengan ‘masyarakat sipil’, ‘modal sosial’ dan ‘tata pemerintahan yang baik’, telah menjadi suatu bagian integral dari istilah neoinstitusionalis kontemporer, terutama untuk aspek-aspek yang dimaksudkan dapat menarik perhatian lebih besar pada pembangunan ‘sosial’.85 Fokus kewarganegaraan PPK merupakan hal penting—khususnya unsur-unsurnya yang berusaha menanamkan norma-norma perilaku tertentu dan tuntutan untuk membantu mengisi kekosongan kelembagaan yang ditinggalkan oleh perginya Orde Baru yang sentralistik itu. Ketika ditanya tentang potensi PPK untuk mempengaruhi kewarganegaraan dan kemungkinan selanjutnya dalam perubahan politik di tingkat yang lebih tinggi, Guggenheim sangat ingin mengungkapkan bahwa inilah maksud sebenarnya dari proyek tersebut: 76
Toby Carroll
Yah, semacam itulah gagasan di belakangnya, kan [mempengaruhi jenis kewarganegaraan dan memfasilitasi perubahan politik]? Bukannya [proyek ini] bisa mencapai perubahan tsb. sendirian, tetapi di negara pertanian besar, model reformasi politik standar bersifat sangat top-down: Anda memiliki konstitusi, kemudian Anda memiliki parlemen, kemudian mereka mulai menetapkan serangkaian peraturan, akhirnya mereka sampai di provinsi dan kemudian di suatu tempat di sana, mereka menghantam desa-desa Di Timor Timur, Indonesia, dan Afghanistan, saya pikir sama sekali tidak ada pertanyaan bahwa model bottom-up sudah mempengaruhi politik nasional.86
Memang, salah satu peran kunci PPK adalah memperkuat pemerintah daerah dan lembaga masyarakat untuk mendukung perbaikan pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru. Di sini, partisipasi dan pemberdayaan—dua sifat penting PPK dan SIN yang lebih umum—dimaksudkan untuk memainkan peran yang menentukan. Partisipasi di sini berarti melebihi apa yang dilakukannya pada sebagian besar proyek-proyek Bank Dunia. PPK sangat partisipatif dan inklusif. Namun paragraf berikut ini terkait pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam PPK tampaknya membawa kita kembali dengan cepat ke gagasan neoliberal yang terkenal menyangkut pemerintahan yang berasosiasi dengan Bank: Dalam hal keuntungan program, penduduk desa mengatakan mereka mendapatkan akses yang lebih besar terhadap pasar, sekolah, fasilitas kesehatan, ketersediaan sanitasi yang bersih, dan kesempatan ekonomi lainnya. Ada juga bukti peningkatan perbaikan tata pemerintahan lokal dan praktik pemberdayaan masyarakat di banyak daerah PPK. PPK memberikan efek berganda pada pendekatan pembangunan di tingkat masyarakat. Sebagai contoh, desa menyelenggarakan pemerintah daerah lebih akuntabel dan menuntut transparansi yang lebih besar dalam program lain yang disponsori pemerintah. Penduduk desa memindahkan prosedur PPK dan keterampilan manajemen keuangan untuk proyek-proyek pembangunan lainnya. Semua perubahan ini mensinyalkan kemajuan bertahap dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan minat dan peran pemerintah daerah dalam menjawab kebutuhan masyarakat.87 Tentu saja, perbaikan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sanitasi adalah hal yang sangat diinginkan, seperti infrastruktur lainnya yang lebih murah dengan kualitas layak. Tapi tak satu pun darinya hadir secara gratis dalam program PPK, sehingga pertanyaan yang tertinggal adalah apakah program fokus-mikro yang mahal dengan tujuan makro dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang, yang berarti bahwa unsur-unsur ini lebih dari sekadar hal-hal yang tidak berkelanjutan. Pertanyaan juga masih tersisa menyangkut keberlanjutan program perbaikan kelembagaan dan juga tekanan pengaruhnya. Sebagai contoh, masalah yang terus bergelayut terkait penangkapan elit dan penyuapan diakui terjadi di dalam PPK.88 Lebih jauh lagi, orang-orang seperti Vedi Hadiz, telah memberikan gambaran suram tentang desentralisasi secara lebih luas, menimbulkan pertanyaan Toby Carroll
77
menyangkut kapasitas PPK dalam memberikan dampak terhadap hubungan sosial tertentu ke dalam kejelasan yang tajam: Desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia telah ditandai dengan muncul dan menyebar luasnya pola-pola baru, termasuk desentralisasi korupsi, didominasi oleh pejabat-pejabat pemangsa lokal, berkembangnya politik uang dan konsolidasi para bandit politik. Dalam konteks Indonesia, pertanyaan utama yang harus ditanyakan, karena itu, adalah siapa yang paling diuntungkan dari desentralisasi dan sistem demokrasi jenis ini? Tidaklah sulit mengidentifikasi penerima manfaatnya. Pada umumnya, mereka adalah individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik adalah para koneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim.89
Jadi, di saat PPK memiliki ambisi besar di bidang tata pemerintahan, ia juga menghadapi rintangan berat, variasi dari rintangan-rintangan yang dihadapi oleh setiap proyek lembaga pembangunan neoliberal. Kesimpulan Artikel ini telah menegaskan argumen bahwa untuk memahami PWC harus dilihat dari luar konteksnya. Secara khusus, posisi ini berpendapat bahwa salah satu perbedaan paling penting antara konsensus Washington dengan PWC terkait dengan reformasi cara penyalurannya. Kasus PPK menunjukkan pentingnya memahami pergeseran ini. PPK merupakan proyek pembangunan neoliberal yang berbeda tapi tetap saja proyek neoliberal, dan banyak hal dari apa yang berbeda dari program ini berasal dari pendekatannya untuk memperluas, dari “bawah ke atas”, institusi dan infrastruktur pasar liberal. Ini adalah upaya sangat politis untuk membangun dan mereformasi lembaga-lembaga demi pasar di seputar pemerintah, sementara mengabaikan poros penyebab struktural penting atas ketidaksetaraan dan kemiskinan, menggemakan banyak keprihatinan yang sudah diisyaratkan oleh Ferguson dalam karyanya tentang Lesotho dan “mesin antipolitik”— sebuah mesin yang mahir dalam “mendepolitisasi segala sesuatu yang ia sentuh, di mana-mana menghapus realitas politik dari pandangan, sambil menjalankan, hampir tidak terasa, operasi politiknya sendiri dengan sungguh-sungguh” (Ferguson, 1990: xv). Isu-isu tata pemerintahan yang dipilih dalam PPK sebagai fokus utama reformasi, menggunakan dana dari proyek-proyek tertentu sebagai daya tarik yang menggantung di hadapan masyarakat miskin dalam upaya untuk mengabadikan norma-norma neoliberal seperti kompetisi, transparansi, dan akuntabilitas. Kalau pendekatan proyek seperti ini dianggap sejalan dengan struktur pendanaan program berbasiskan utang, PPK menampilkan kesetiaannya pada paradigma dominan yang telah begitu signifikan menentukan bentuknya. Ini mungkin menjelaskan kenapa PPK (dan “proyek saudaranya”, 78
Toby Carroll
seperti program KALAHI-CIDDS di Filipina), meskipun menjadi proyek-proyek pembangunan sosial, telah diterima di dalam ortodoksi pembangunan. Program-program sosial baru yang berkembang dalam PWC pantas terus menerus mendapat perhatian kritis, terutama mengingat potensi mereka untuk menjadi norma dibanding hal “lainnya” di dalam SIN. Dalam hal ini, fokus perdesaan PPK, bersama dengan target proyek “adik” perkotaannya, yakni Proyek Kemiskinan Perkotaan, kini telah menjadi dasar bagi program nasional pengembangan masyarakat di Indonesia yang bertujuan menghapuskan kemiskinan—suatu program yang akan menuntut pemerintah daerah untuk jatuh pada isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah-masalah pertanian. Selanjutnya, PPK terutama (walaupun tidak seluruhnya) populer di berbagai tingkatan dalam masyarakat Indonesia, dan para pendukungnya bisa membuat klaim besar terkait relatif rendahnya tingkat korupsinya dan muramnya penyediaan infrastruktur serta elemen lainnya—hal-hal yang pasti suka didengarkan oleh mereka-mereka yang bekerja di institusi-institusi mapan sektor pembangunan. Sementara untuk menilai dengan konkret kemampuan PPK untuk membebaskan orang miskin dari belenggu kemiskinan masih agak lama, kerangka kerja yang melandasi bentuknya sekarang pun sudah jelas dan jelas pula berasal dari bangunan SIN. Kerangka kerja ini dirancang untuk mengurangi kemiskinan, tetapi dengan prasyarat yang diidentifikasi oleh Cammack, seperti kerja Bank Dunia pada umumnya, yaitu bahwa program harus “bersyarat pada dan sekunder bagi” suatu usaha perpanjangan hubungan-hubungan sosial kapitalis serta membuat kelembagaan yang dianggap diperlukan untuk itu. Meski banyak kehebohan mengelilingi proyek seperti PPK dan pembangunan berbasis komunitis secara lebih umum. Tetapi pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tentang apa yang ditangani dan tidak ditanganinya, tanpa juga melupakan struktur pendanaan program (berbasiskan utang), menunjukkan bahwa ada alasan yang tepat untuk berpikir bahwa solusi kemiskinan justru akan ditemukan di lain tempat. Catatan 1. Lihat, misalnya, Ben Fine, “Neither the Washington Consensus nor the Post-Washington Consensus”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 1-27; Ben Fine dan P Rose, “Education and the Post-Washington Consensus’, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 155-181; Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London and New York: Routledge, 2003); Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters, “Reinventing the World Bank”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 1-25; Joseph Stiglitz, “Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Polices and Processes”, dalam HJ Chang (ed.), Joseph Stiglitz and the World Bank: the Rebel Within (London: Anthem, 2001), hal 57-93; Joseph Stiglitz, “More Instruments and Better Goals: Moving Towards a Post-Washington Consensus”, dalam in HJ Chang (ed.), Joseph Stiglitz Toby Carroll
79
and the World Bank: The Rebel Within (London: Anthem Press, 2001), hal. 17-56; Joseph Stiglitz, “Information and the Change in the Paradigm in Economics”, Nobel Prize Lecture, Stockholm (8 December 2001); Joseph Stiglitz, “PostWashington Consensus Consensus”, dalam Initiative for Policy Dialogue (New York: Columbia University, 2004). 2. Lihat, Stiglitz, “Towards a New Paradigm…”; Stiglitz, “More Instruments and Better Goals…”; Stiglitz, “Information and the Change …”. 3. Lihat, Paul Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction and Why it Matters”, dalam New Political Economy 9 (2), 2004, hal. 189–211; Fine et al., Development Policy in the 21th Century…; Pincus dan Winters, Reinventing the…. 4. Dalam artikel ini, istilah pasca-Konsensus Washington dan paradigma pembangunan baru digunakan secara bergantian. 5. Sebuah tulisan baru yang sangat baik menilai PWC dan caranya membongkar topik tersebut adalah Porter dan Craig’s yang dopengaruhi oleh perspektif Polanyian; lihat, D Porter dan D Craig, Development Beyond Neoliberalism: Governance, Poverty Reduction and Political Economy (London and New York: Routledge, 2006). 6. World Bank, World Development Report 2007 (Washington, DC: The World Bank, 2006), hal. 288. 7. Cammack menggambarkan proses ini sebagai landasan untuk mempersenjatai kaum miskin dalam keterlibatan mereka ke dan tunduk pada pasar kerja kompetitif serta penciptaan suatu kerangka kerja dari dalam kelembagaan untuk mempertahankan akumulasi kapitalis global, sementara secara bersamaan membangun legitimasi proyek melalui partisipasi dan suatu agenda pro kaum miskin; lihat, Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal. 190. 8. Lihat, Toby Carroll, “The Politics of the World Bank’s Socio-institutional Neoliberalism”, Disertasi PhD, Murdoch University, Perth, Australia, 2007; Toby Carroll dan Shahar Hameiri, “Good Governance and Security: The Limits of Australia’s New Aid Programme”, dalam Journal of Contemporary Asia 37 (4), 2007, hal. 413. 9. Lihat, Douglass C North, Institutions, Insti- tutional Change and Economic Performance (New York: Cambridge University Press, 1990); Douglass C North, “Economic Performance through Time”, dalam American Economic Review 84 (3), 1994, hal. 359–368. 10. Lihat, John Williamson, “What Washington Means by Policy Reform”, dalam John Wiliamson (ed.), Latin American Adjustment: How Much has Happened? (Washington, DC: Institute for International Economics, 1990). 11. Lihat, Ben Fine, “The World Bank’s Speculation on Social Capital”, dalam Jonathan R Pincus dan Jeffrey A Winters (eds.), Reinventing the World Bank (Ithaca, New York: Cornell University Press, 2002), hal. 203-221; Ben Fine, “The Social Capital of the World Bank”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas and Jonathan R Pincus (eds.), Development Policy in the 21th Century: Beyond the post-Washington Consensus (London dan New York: Routledge, 2003), hal. 136-154; John Harriss, Depoliticizing Development (London: Anthem Press, 2002). 12. Kanishka Jayasuriya, “Economic Constitutionalism, Liberalism and the New Welfare Governance”, Seri Kertas Kerja Asia Research Centre (Perth: Murdoch University, 2005), hal. 5. 13. Richard Robison, “Neo-liberalism and the Market State: What is the Ideal Shell?”, dalam Richard Robison (ed.), The Neo-Liberal Revolution: Forging the Market State (Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan, 2006), hal. 5. 14. Lihat, Toby Carroll, “Attempting Illiberalism: The World Bank and the Embedding of Neoliberal Governance in the Philippines”, dalam Richard Robison dan Wil Hout (eds), Governance and the Depoliticisation of Development (Abingdon: Routledge, 2009). 15. Cammack, “What the World Bank Means by Poverty Reduction…”, hal. 190. 80
Toby Carroll
16. James Ferguson, The Anti-Politics Machine (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1990), hal. 18. 17. Lihat, misalnya, Sebastian Mallaby, The World’s Banker: A Story of Failed States, Financial Crises and the Wealth and Poverty of Nations (New York: Penguin Press, 2004), hal. 202-206. 18. Lihat, TM Li, “Government through Community: The Social Development Program of the World Bank in Indonesia”, International Law and Justice Working Paper no. 2006/2 (New York: New York University School of Law, 2006). 19. TM Li, The Will to Improve (Durham, NC dan London: Duke University Press, 2007), hal. 230-269. 20. Li, The Will…, hal. 232. 21. Li, The Will…, hal. 238-239. 22. Pada khususnya, teori konflik sosial, materialisme baru dan beberapa pendekatan Gramscian. 23. Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs, 2002), hal. 8. 24. Lihat, World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development Program Project Information Document”, dalam http://www-wds.world-bank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/ 2001/01/18/000094946_0101170531251/Rendered/PDF/multi0page.pdf (diakses Januari 2006); World Bank, Indonesia Project Brief, 3rd Edition (Jakarta: The World Bank, 2003), hal. 38. 25. Scott Guggenheim, Tatag Wiranto, Yogana Prasta, dan Susan Wong “Indonesia’s Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/12/03/0000 90341_20041203153406/Rendered/PDF/307790IND0KDP0cty0devt01see0also0307591.pdf (diakses Oktober 2005); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project 3B”, dalam http:// web.worldbank.org/WBSITE/EXTE-RNAL/NEWS/0“contentMDK:20411876<“me-nuPK:34471 <“pagePK:34370<“piPK:34424 <“theSitePK:4607,00.html (diakses Januari 2006). 26. Lihat, Li, “Government Through Community…”, hal. 2; World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/ EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piP K:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Maret 2009). 27. Lihat, Scott Guggenheim, “Crises and Contradictions: Understanding the Origins of a Community Development Project in Indonesia’. Culture and Public Action”, dalam http://www. cultureandpublicaction.org/bijupdf/guggen-heim.pdf (diakses Oktober 2005), hal. 2. 28. Poin ini juga disampaikan pada saya oleh beberapa staf Bank di dalam unit pembangunan sosial; lihat, Scott Guggenheim, “Crises and Contradictions: Understanding the Origins of a Community Development Project in Indonesia’. Culture and Public Action”, dalam http://www.cultureandpu- blication.org/bijupdf/guggenheim.pdf (diakses Oktober 2005), hal. 4-6. 29. Lihat, World Bank, “Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http:// web.world-bank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/ INDONESIAEXTN/0“content MDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:1411 27<“theSitePK:226309,00.html (diakses Januari 2006). 30. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal 8. 31. Lihat, World Bank, “‘Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http://web. world-bank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/ EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIA EXTN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSite PK:226309,00.html (diakses Januari 2006). 32. Lihat, World Bank, “Indonesia Kecamatan Development Program”, dalam http://web. worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/CO-UNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEX Toby Carroll
81
TN/0“contentMDK:20026524<“menuPK:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSite PK:226309,00.html (diakses Januari 2006). 33. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 8. 34. World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational Manual (Jakarta: The World Bank, 2004), hal. 16. 35. World Bank, Kecamatan Development Program 2 Operational…, hal. 16. 36. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7. 37. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7. 38. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7. 39. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7. 40. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 7. 41. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9. 42. Dalam suatu wawancara dengan seorang pejabat Departemen Dalam Negeri, yang sangat positif terhadap PPK, elemen kompetitif digunakan sebagai salah satu prinsip utama PPK (bersama dengan transparansi, desentralisasi, berpihak pada orang miskin, dan berkelanjutan); wawancara dengan staf Kementerian Dalam Negeri, 2005. 43. Ketika saya tanyakan pada mereka apa yang bagus dari proyek itu, orang-orang menyatakan bahwa keterlibatan komunitas merupakan hal positif sehingga, berdasarkan kenyataan kurangnya dana di daerah tersebut, bentuk bantuan apapun dari pemerintah atau Bank Dunia secara umum akan disambut baik; pertemuan di Jawa Barat, 2005. 44. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 45. Wawancara dengan Victor Bottini, 2005. 46. Wawancara dengan Victor Bottini, 2005; wawancara dengan Tatag Wiranto, 2005; wawancara dengan Richard Gnagey dan Prabowo Ekasusanto, 2005. 47. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9. 48. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9. 49. Peran Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) digantikan oleh “badan perencanaan dan pembangunan daerah; lihat, Guggenheim et al., “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9. 50. World Bank, World Development Report 2007, hal. 288, 290. 51. Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0 “contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Maret 2009). 52. Dana Bank, dalam US$, dalam anggaran PPK I, II dan III adalah sebagai berikut (akurat hingga November 2003): PPK I, $ 275 juta; PPK II, $ 320,2 juta; PPK III, $ 249,8 juta; lihat, Guggenheim, et al., “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 25. Dalam informasi proyek terbaru untuk PPK III, jumlah yang didanai Bank dinyatakan sebesar US$ 246.4 juta; lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSCon-tentServer/WDSP/IB/2005/07/13/ 000090341_20050713092136/ Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 17. 53. Wawancara dengan Gunawan Sumodiningrat, 2005; wawancara dengan Rahadi Wiratama, 2005. 54. Lihat, World Bank, “Indonesia’s Debt and World Bank Assistance”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0 “contentMDK:20994026<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSitePK:226309,00.html (diakses Maret 2009); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Program: Supplemental Credit”, 82
Toby Carroll
dalam http://www-ds.world-bank.org/external/default/main?pagePK=64193027&piPK=64187 937&theSitePK=523679&menuPK=64187510&searchMenuPK=64187283&siteName=WDS& entityID=000094946_00111505394221 (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia Second Kecamatan Development Program Project Information Document”, dalam http://www-wds. worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/01/18/000094946_010117053125 1/Rendered/PDF/multi0page.pdf (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project II (KDP II)”, dalam http://web.world-bank.org/WBSITE/EXTERNAL/ COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0“contentMDK:20026607<“menuP K:287113<“pagePK:141137<“piPK:141127<“theSite PK:226309,00.html (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://web.worldbank. org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0“contentMDK:20117081<“menuPK:34471<“pagePK:40651< “piPK:40653<“theSitePK:4607,00.html (diakses Januari 2006); World Bank, “Indonesia: Kecamatan Development Project 3B”, dalam http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTER-NAL/NEWS/ 0“contentMDK:20411876<“menuPK:34471<“pagePK:34370<“piPK:34424<“theSitePK:4607,00. html (diakses Januari 2006). 55. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 56. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 9. 57. Guggenheim, et al. “Indonesia’s Kecamatan Development Program…”, hal. 12. 58. Guggenheim mencatat bahwa ia melihat proyek tersebut sebagai suatu contoh yang memungkinkan penerapan tujuan progresif di dalam paradigma neoliberal; wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 59. “Orde Baru” adalah istilah yang diberikan untuk tiga dekade pemerintahan Presiden Suharto. 60. Li, “Government through Community…”, hal. 9. 61. Wawancara dengan salah seorang staf Bank Dunia, 2005. 62. Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 21. 63. Li, “Government through Community…”, hal. 14. 64. World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/20 05/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156pdf (diakses Januari 2006), hal. 1. 65. Lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/ WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156pdf (diakses Januari 2006). 66. Li, “Government through Community…”, hal. 9. 67. Anthony Bebbington, Scott Guggenheim, dan Michael Woolcock, “The Ideas–Practice Nexus in International Development Organizations: Social Capital at the World Bank”, dalam Anthony Bebbington, Michael Woolcock, Scott Guggenheim, dan Elizabeth Olson (eds.), The Search for Empowerment — Social Capital as Idea and Practice at the World Bank (Bloomfield, CT: Kumarian, 2006), hal. 1-27; Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 17. 68. Guggenheim, “Crises and Contradiction…”, hal. 18. 69. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 70. Harriss, Depoliticizing…, hal. 81. 71. Harriss, Depoliticizing…, hal. 78-79. 72. Dalam dokumen informasi proyek terbaru untuk PPK III, bahasa informasi pendekatan teoritik terhadap NIE dibuktikan dalam salah satu areal pemerintahan yang hendak ditangani oleh PPK; lihat, World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.world-bank.org/servlet/WDSContentServer/ Toby Carroll
83
WDSP/IB/2005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 1. 73. World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentSer ver/WDSP/IB/2 005/07/13/000090341_20050713092136/Rendered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 20-21. 74. Wawancara dengan Rahadi Teguh Wiratama, 2005. Rahadi Wiratama dari LP3ES, suatu LSM berbasis Jakarta yang merupakan rekanan PPK, menganggap pemantauan media ini sebagai hal penting. Wiratama menyarankan bahwa sistem ini sukses dan unik, meskipun dia merasa tidak cukup banyak jurnalis melakukan pekerjaan itu; lihat juga, Guggenheim, “Crises and Contradiction…”. 75. World Bank, “Updated Project Information Document, Indonesia: Third Kecamatan Development Project”, dalam http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/200 5/07/13/000090341_20050713092136/Ren-dered/PDF/329420PID1P079156.pdf (diakses Januari 2006), hal. 20. 76. Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada posisi 137 (dari 158 negeri) atas indeks persepsi korupsinya di tahun 2005; lihat, Transparency International, “Corruption Perception Index 2005”, dalam http://www.transparency.org/policy_and_research/surveys_indices/ cpi/2005 (diakses Januari 2006). 77. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 78. Scott Guggenheim, “B-Span Video Presentation”, Disajikan pada Konferensi Scaling up Poverty Reduction: A Global Learning Process, Shanghai, 25–27 Mei 2004. 79. Guggenheim, “B-Span Video…”. 80. Li, “Government through Community…”, hal. 11. 81. Pertemuan di Jawa Barat, 2005. 82. Wawancara dengan Tatag Wiranto, 2005; pertemuan di Jawa Barat, 2005. 83. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 84. Vedi R Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspectives”, dalam Development and Change 35 (4), 2004, hal. 706. 85. Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 700. 86. Wawancara dengan Scott Guggenheim, 2005. 87. Ministry of Home Affairs, Community Development Agency, KDP National Secretariat and National Management Consultants, “Kecamatan Development Program, Phase 1: 1998–2002, Final Report” (Jakarta: Ministry of Home Affairs, 2002), hal. 10. 88. Larry Chavis, “Decentralizing Development”, Kertas Kerja (Chapel Hill, NC: University of North Carolina Chapel Hill, 2006), hal. 10. 89. Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia…”, hal. 711.
84
Toby Carroll