BAHASAN UTAMA
AGENDA NEOLIBERAL
MENYUSUP MELALUI KEBIJAKAN AGRARIA DI INDONESIA1 Achmad Ya'kub2
ABSTRACT Ever since the effectiveness of TAP MPR No. IX/2001, the apprehension that a group of people would push their “capitalist” agendas to ensure their legality in controlling and exploiting the natural resources becomes more of a reality. This becomes obvious with various agrarian rulings that “follow” TAP such as drafts of law, decrees, and presidential orders that clearly go against and kill the spirit of UUPA No. 5/1960 and 1945 Constitution Article 33 clause 3.
PENDAHULUAN
M
enarik pernyataan yang dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso atas kebijakan penggusuran yang dilakukan pada akhir tahun 2003 lalu, “sebagai Gubernur, saya malu pada orang asing yang datang ke Jakarta. Setelah keluar dari bandara (SoekarnoHatta Cengkareng), mereka
1
2
3
langsung disuguhi pemandangan pemukiman kumuh di wilayah banjir kanal.” Simak juga, ”Pemerintah tidak harus mengganti rugi korban penggusuran. Tidak ada satu pun dari warga korban gusuran itu yang merupakan warga DKI Jakarta. Mereka adalah pendatang yang menyerobot tanah orang lain. Kenapa dipikirkan.”3 Itu adalah
Tulisan ini banyak didasarkan pada dokumen-dokumen, pandangan dan sikap dasar, pernyataan sikap serta komunike bersama yang dikeluarkan oleh Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Juga diperkaya dengan tulisan penulis yang diterbitkan pada kursus-kursus bahaya neoliberalisme bagi petani yang secara reguler dilakukan oleh Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Penulis adalah mantan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sumatera Salatan (SPSS), Deputi Pengkajian Kebijakan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Medium edisi 24 Desember-6 Januari 2004
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
47
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
realitas bagaimana pemerintah di ibukota Negara Republik Indonesia ini menyelesaikan persoalan perebutan tanah/lahan terhadap warganya. Hal tersebut dilakukan di hadapan kita semua dengan begitu banyak media massa cetak maupun elektronik yang dalam sekejap dapat menyiarkan apa yang terjadi secara langsung atau berselang beberapa jam saja ke seantero nusantara ini, politik bumi hangus adalah pilihannya. Terbayang oleh kita, bagaimana tindakan pemerintah jika konflik pertanahan tersebut terjadi di wilayah perdesaan/ hutan yang jauh dari jangkauan publik, jauh dari hiruk pikuk media massa? Mungkin catatan dua konflik ini dapat memberikan sedikit pandangan. Pertama, peristiwa penyerbuan, penembakan, dan pembunuhan atas petani dan masyarakat adat Kajang, Kabupaten Bulukumba yang sedang melakukan aksi menuntut hak atas tanah yang telah dirampas/ diserobot oleh PT London Sumatera (PT LONSUM) dan digunakan sejak tahun 1980-an sebagai perkebunan
4 5
6
48
BAHASAN UTAMA
karet. Saat itu sekitar pukul 14.00 WIB tanggal 21 Juli 2003, data sementara mengatakan bahwa peristiwa itu telah mengakibatkan 4 orang tewas, 20 orang luka-luka, serta 24 orang ditangkap.4 Kedua, peristiwa pada tanggal 12 Agustus 2003, terjadi sebuah insiden dalam sebuah operasi bernama Operasi Wana Laga Lodaya yang dilakukan oleh 1 Batalyon DALMAS POLDA JABAR, 190 orang PERHUTANI unit III Jawa Barat , 1 Batalyon BRIMOB, BKSDA dan beberapa intansi yang terkait dengan kehutanan, serta Departemen Kehutanan sebagai penanggung jawab operasi, mendatangi beberapa wilayah lahan pertanian masyarakat dan memasuki kampung-kampung tempat tinggal petani anggota Serikat Petani Pasundan. Operasi ini dilaksanakan dengan bersenjata lengkap, senjata laras panjang, pistol, juga peta lokasi dan daftar orang sebagai target operasi.5 Kejadian dalam catatan di atas adalah peristiwa yang terjadi pada saat situasi politik Indonesia semakin terbuka, bagaimanakah kejadian itu
Seperti dilaporkan Solidaritas Nasional untuk Bulukumba (SnuB) Seperti yang dilaporkan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP), konflik-konflik agraria seperti yang dicatat oleh Endang Suhendar dari AKATIGA Bandung selama empat tahun saja (1988-1992) terjadi sekitar 3.200 kasus. Dari jumlah itu yang berdampak sosial luas adalah sebanyak 1.240 kasus. Dari konflik tersebut sekitar 87% adalah konflik rakyat dengan perusahan dan pemerintah. Pembangunan berbuah sengketa, kumpulan kasus-kasus sengketa pertanahan sepanjang Orde Baru, pengantar Noer Fauzi, penerbit Yayasan SINTESA dan Serikat Petani Sumatra Utara (SPSU), Medan, 1998 Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
jika konflik itu terjadi pada situasi kepemimpinan Orde Baru yang dikenal “berdarah dingin” dalam menanggapi aksi-aksi rakyat dalam menegakkan haknya. Secara permukaan anatomi konflik agraria pada masa Orde Bbaru disebabkan oleh ekspansi perusahaan industri, ekspansi perusahan agro-industri, ekspansi perusahaan industri pariwisata, proyek-proyek pemerintah untuk “kepentingan umum”6 kesemuanya dalam rangka menguasai, memanfaatkan, mengeksploitasi, dan mengelola kekayaan alam yang terkandung didalamnya maupun di permukaan baik berupa pertambangan, air terjun, atau pun pemandangan seperti pada industri pariwisata. Munculnya ribuan kasus konflik agraria dalam kurun waktu puluhan tahun terutama sejak Orde Baru berkuasa- telah menyebabkan terjadinya konsentrasi penguasaan terhadap sumber-sumber agraria yang tentunya menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur agraria. Sementara Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang diharapkan sebagai payung hukum untuk membongkar
7 8
ketidakadilan tersebut menjadi dead letter7, justru makna filosofis dan kesejatiannya di bolak-balik oleh penguasa orde baru yang berpihak kepada modal. Hal inilah yang memicu rakyat untuk mengambil langkah sendiri dalam merebut kembali haknya, yang dalam prosesnya dapat dipastikan selalu terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian, sudah tentu untuk memahami persoalan konflik tanah sebagai alas dari kekayaan alam yang paling dominan terjadi dalam konflik agraria itu tidak berhenti pada kekerasan yang digunakan sebagai alat untuk memenangkan konflik. Karena dalam konflik agraria tersebut terkandung soal-soal kedaulatan, sosial, ekonomi-politik, budaya, dan harga diri suatu bangsa.
PEMBELOKAN PEMBARUAN AGRARIA SEJATI A. Kelahiran UUPA 1960 Kelahiran UUPA 1960 melalui proses
Dikenal dalam sosiologi hukum terhadap kebijakan yang tak pernah dilaksanakan (lihat Widodo, 2003) Idham Samudra Bey, “UUPA, Hari Tani, dan Isra Mi'raj,” Kompas 20 September 2003
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
49
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
panjang yang memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan “Panitia Agraria Yogya” (1948), “Panitia Agraria Jakarta” (1951), “Panitia Soewahjo” (1955), “Panitia Negara Urusan Agraria” (1956), “Rancangan Soenarjo” (1958), “Rancangan Sadjarwo” (1960), akhirnya digodok dan diterima secara bulat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin oleh Haji Zainul Arifin8. Melalui proses panjang dan serius itulah UUPA lahir dan merupakan manifestasi dari UndangUndang Dasar 1945 pasal 33 (naskah asli) dan merupakan cerminan dari adanya upaya dari pendiri negara (founding fathers) Republik Indonesia saat itu untuk menata kembali ketimpangan struktur agraria yang ada sebagai akibat dari sistem corak produksi kolonialisme dan feodalisme menjadi struktur yang lebih adil. Oleh karena itu, bagi rakyat Indonesia, terutama petani miskin dan buruh tani, lahirnya UUPA 1960 merupakan tonggak penting yang memungkinkan dilaksanakannya pembaruan agraria. Kemudian oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963 menjadikan hari kelahiran UUPA 1960 sebagai Hari Nasional Petani Indonesia. Oleh
BAHASAN UTAMA
karena itu, jiwa dan semangat UUPA 1960 sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial untuk membangun kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui pembaruan agraria dalam rangka penuntasan Revolusi Nasiona. Dengan alasan yang sangat pragmatis, yaitu untuk menerapkan dan mecapai pertumbuhan ekonomi, pada awal kekuasaannya Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencakup lingkup agraria, antara lain: Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Dalam Negeri (UUPMDN) tahun 1967meski seakan-akan kelahiran kedua undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal ini tidak berkaitan langsung, perlu dicatat bahwa orientasi penguasaan dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia pada saat itu (hingga sekarang) diperuntukkan bagi modal-modal tersebut --, UU No. 11/1967 tentang K e t e n t u a n - K e t e n t u a n Po k o k Pertambangan (sedang direvisi), Undang-Undang No.5/1967 tentang
Ketentuan Pokok Kehutanan (dan UU No. 41/1999 yang menggantikannya), Undang-Undang No. 1/1974 tentang Pengairan sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang Sumber Daya Airundang-undang ini sangat kontroversial karena ada indikasi terjadinya privatisasi pada sumber air dan juga terkait langsung dengan program Bank Dunia yang mempromosikan jaul-beli air dengan program yang berama Water Structural Adjustment Loan (WATSAL) , Undang-Undang No. 7/1970 tentang Penghapusaan Pengadilan Land Reform, serta Undang-Undang No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, yang kesemuanya bukan saja tak mengacu tetapi juga bertentangan dengan UUPA 1960 yang mengakibatkan tumpang tindihnya peraturan tentang Agraria. Dengan demikian, apa yang dialami dari dulu hingga sekarang adalah terancamnya kehidupan petani, menurunnya produktivitas petani, meluasnya jumlah orang miskin, dan memburuknya layanan alam dewasa ini. Jadi, macetnya pelaksanaan pembaruan agraria bukanlah terletak pada UUPA yang dianggap
9
50
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
tidak jelas, tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa sistem ekonomi-politik pembangunan Indonesia yang ditetapkan oleh rezim Orde Baru dan masih diteruskan oleh pemerintahan sekaranglah yang bertentangan dengan semangat UUPA No. 5 1960.
B. TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Menambah kisruh kondisi agraria di Indonesia. Sampai saat ini banyak orang yang diuntungkan dengan lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA/PSDA) -dalam suasana menguatnya neoliberalisme -- bersikukuh untuk menjalankannya padahal mestinya isi TA P t e r s e b u t d i t o l a k d a n dihapuskan. Mengapa demikian? Untuk itu, sangat penting untuk tidak hanya menyentuh kulitnya namun dapat juga “menguliti” isi TAP tersebut. Secara tegas ingin disampaikan kembali bahwa, isi TAP MPR No. IX tahun 2001 tersebut
Jayadi Damanik, Kebijakan di Bidang Agraria yang Menjalankan Prinsip-prinsip Neoliberalisme, Jakarta April 2003
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
51
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
sebenarnya tidak diperlukan karena substansi dari pasal-pasal yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 telah jelas menjabarkan prinsipprinsip tentang pembaruan agararia yang merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 (nakah asli). Beberapa 'temuan' hasil dari pemeriksaan atas TAP ini adalah: Pertama, TAP ini mengemukakan konsep “sumber daya agraria” yang disamakan begitu saja dengan konsep “sumber daya alam,” meski hal ini tidak secara konsisten diikuti dalam bagian-bagian selanjutnya dalam TAP ini. Kedua konsep ini dimaknai sebagai “yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya…….”9. Secara filosofis bangsa kita tidak mengenal istilah sumber daya alam, yang ada adalah kekayaan nasional yang dalam pengertiannya termasuk dalam sumber agraria. Kedua, konsep Pembaruan Agraria dalam TAP ini diartikan sebagai yang mencakup suatu proses berkesinambungan dengan penataan kembali penggunaan,
10 11
52
BAHASAN UTAMA
pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 2). Bagi ahli di bidang agraria, pengertian ini kurang tepat, karena pembaruan agraria bukanlah suatu proses berkesinambungan, melainkan berlangsung dalam jangka waktu terbatas10 -- laiknya ketika membangun rumah dibongkar habis kemudian ada proses pembangunan kembali dan selesai pada jangka waktu terbatas. Ketiga, munculnya istilah Pengelolaan Sumber Daya Alam telah membuat hakikat Ketetapan MPR yang seharusnya berupa suatu penetapan (beschikking), direduksi menjadi hal yang sifatnya teknis “pengaturan” (regeling). Keempat, locus dari pengelolaan sumber daya alam yang dimaksudkan dalam TAP ini tidak disebutkan secara eksplisit, maknanya “ngawur” dan tak tegas apa yang ingin dimaksud dan ingin dicapai, hanya menambah barisan
Ibid “KOMNAS HAM, TAP MPRS, dan MPR yang Bertentangan dan yang Sesuai dengan Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia, Jakarta 17 Juni 2003. “ Juga lihat Jayadi Damanik (2003) Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
istilah yang dituangkan begitu saja dari hasil KTT Bumi. Lihat saja pada pasal 3 hanya disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut, dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Kelima, TAP tersebut juga akan membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM dan eksploitasi terhadap sumber-sumber agraria yang didukung oleh imperialiasme yaitu liberalisasi dalam segala lini. Pandangan ini sejalan dengan hasil pengkajian yang telah dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang menyebutkan bahwa TAP MPR No. IX/2001 ini berpotensi untuk memicu pelanggaran HAM, antara lain disebabkan oleh capital violence ( k e k e r a s a n y a n g dilakukan/disebabkan oleh modal/kapital), hal ini dapat dilihat dari arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam (pasal 5 ayat 2 ), antara lain11: “Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam
12
sebagai potensi pembangunan nasional (butir b); Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut (butir d); Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional (butir g). Pada butir “b”, “d”, dan “g” TAP tersebut ringkasnya menyebutkan bahwa yang ingin dicapai adalah optimalisasi pemanfaatan, peningkatan nilai tambah, dan strategi pemanfaatan yang didasarkan pada optimalisasi manfaat, yang tentunya akan membuka peluang kepada modal untuk mengeksploitasi sumbersumber agraria. Juga telah nyata bahwa konsep “nilai tambah” dan “optimalisasi” adalah istilah-istilah dalam wilayah teori-teori neoliberalisme.12 Keenam,
saat
ini
sejak
Lihat Jayadi Damanik dan Sonny Keraf (2003) dalam “Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah.” Yogyakarta: Kanisius, 1996
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
53
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
dikeluarkannya TAP MPR No. IX/2001 tersebut, kekuatiran banyak kalangan tentang TAP MPR ini akan mengundang segelintir orang mendesakkan agenda-agenda 'pemodal' untuk memastikan legalitas dalam menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam menjadi makin nyata. Lihat saja sekarang banyak peraturan di bidang agraria yang “menindaklanjuti” TAP dengan menggunakannya sebagai konsideran/pijakan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang (RUU), Undang-Undang (UU), dan Keputusan Presiden (Keppres) yang nyata-nyata bertentangan dan menghilangkan semangat dari jiwa UUPA No. 5/1960 dan UUD Pasal 33 ayat 3 (naskah asli) . Selain itu kerancuan peraturan di bidang agraria di Indonesia yang makin menyuburkan ketidakadilan struktur penguasaan agraria semakin parah. Oleh karena itu, upaya-upaya tersebut harus segera dihentikan. Adapun kebijakankebijakan dan peraturan-peraturan yang telah menggunakan TAP MPR No. IX tahun 2001 sebagai konsiderannya adalah sebagai berikut: q Keppres No. 34 tahun 2003
q
q q
q
BAHASAN UTAMA
tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. R U U t e n t a n g Pe n g e l o l a a n Sumber Daya Alam. RUU tentang Pertambangan. RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. RUU tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik.
TAP ini juga digunakan berbagai pihak untuk meredam perjuangan rakyat (terutama petani dan masyarakat adat) dengan membuat semacam kelembagaan tentang penyelesaian konflik atas sumber agraria. Bahkan Sidang Tahunan 2003 memberikan saran agar memasukkan implementasi TAP No. I X / 2 0 0 1 k e d a l a m TA P N o . V/MPR/2003 tentang Saran kepada Lembaga-lembaga Negara. Kepada Presiden dan DPR, dalam butir saran bagi pelaksanaan Pembaruan Agraria, saran MPR adalah: “menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukumnya sampai implementasinya di lapangan…..” serta “Membentuk lembaga atau
institusi independen lainnya untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam guna menyelesaikan sengketa agraria dan sumber daya alam……..”13. Kenyataannya, “Lembaga” jenis ini lebih ditujukan untuk meredam konflik belaka, dan bukannya untuk mengimplementasikan pembaruan agraria. Pendekatan yang digunakan dalam mekanisme ini adalah konsep transitional justice ala Afrika Selatan yang terbukti gagal sekaligus berhasil. Berhasil meredam perlawanan rakyat tetapi justru menghambat pembaruan agraria sejati. “Penyempurnaan” UUPA 1960 melalui Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pemerintah/departemendepartemen menyambut gembira lahirnya TAP MPR No. IX/2001, mereka menjabarkannya secara sendiri-sendiri dengan merancang dan mengusulkan berbagai undangundang yang sifatnya sektoral yang kemudian menimbulkan inkonsistensi dan tumpang tindih, koordinasi yang lemah di tingkat 14
13
54
Komnas HAM, KPA, HuMA, Pokja PA-PSDA, Merumuskan Pokok-Pokok Pikiran Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia, Januari 2004. Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
pusat, antara pusat dan daerah serta antardaerah; kerusakan dan kemunduran kualitas alam; ketidakadilan; serta memicu timbulnya konflik agraria. Dari kelima rancangan kebijakan tersebut di atas, yang sedang dijalankan pemerintah, dalam hal ini oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), adalah Keputusan Presiden No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam Keputusan Presiden yang ditetapkan pada tanggal 31 Mei 2003 lalu, secara garis besar isinya adalah dalam rangka pelaksanaan dan penjabaran dari TAP MPR No. IX/2001 memandatkan BPN untuk: Pertama, untuk menyusun RUU penyempurnaan UUPA 1960 dan RUU tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan; Kedua, menyusun pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan untuk menunjang land reform dan pemberian hak atas tanah; Ketiga, menyusun norma-norma dan/atau standardisasi mekanisme
Menurut Peter Rosatt, Land Research Action Network (LRAN), gejala di Indonesia sudah jelas terlihat pada awal tahnu 1990-an bagaimana banyak lembaga masyarakat terlibat dalam proyek-proyek pemetaan, walau secara langsung tidak terlihat bagaimana keterlibatan Bank Dunia dalam kerja-kerja tersebut.
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
55
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
ketatalaksanaan, kualitas produk, dan sumber daya manusia yang diperlukan dalam rangka pemberian sebagian besar kewenangan pemerintah dibidang pertanahan kepada pemerintah provinsi/ kabupaten/kota. Beberapa catatan kritis atas keluarnya Keputusan Presiden tersebut adalah: Pertama, dalam hal mandat untuk “menyempurnakan” U U PA N o . 5 / 1 9 6 0 , s a n g a t dikhawatirkan bahwa penyempurnaan itu justru akan mengubah hakikat UUPA No. 5/1960 yang merupakan penjabaran semangat dan jiwa yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 (naskah asli). Kekhawatiran adanya usaha-usaha untuk mengkhianati pelaksanaan land reform atas dasar hukum sangat beralasan, karena seperti yang kita tahu BPN pernah mengeluarkan RUU Pertanahan yang isinya sangat “mengerikan” bagi kaum tani, walaupun RUU tersebut ditunda namun tetap ada kemungkinan akan dibahas kembali sesuai dengan mandat Keppres tersebut.
15 16
56
BAHASAN UTAMA
Sebagai undang-undang yang berisikan pokok-pokok pembaruan agraria di Indonesia, UUPA berisi prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Tanah mempunyai fungsi sosial 2. T a n a h u n t u k penggarap/petani/rakyat 3. P e n g a k u a n t e r h a d a p h a k masyarakat adat 4. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di bumi Indonesia, tidak untuk warga negara lain 5. P e r a n u t a m a u s a h a keluarga/koperasi mengelola dan mengurus agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 6. Pelestarian lingkungan hidup 7. Partisipasi dan inisiatif berbasis rakyat 8. Peran negara yang besar dalam melindungi dan memenuhi hakhak asasi manusia untuk mencapai keadilan dan kemakmuran Prinsip-prinsip tersebut tentu sangat berbeda sekali dengan prinsip Pembaruan Agraria yang dipromosikan oleh kekuatan-
Widodo Dwi Putro, “Kebijakan Agraria di Negeri Para Petani,” Kompas, 5 September 2003 Data-data dasar dari dinas perpajakan juga tak menjamin bahwa tanah yang membayar pajak itu dilindungi kepastian kepemilikannya secara hukum, kita dapat belajar dari penggusuran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta. Warga tetap saja digusur walau para pemukim sudah membayar pajak dan ada aliran air minum. Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
kekekuatan neoliberal (World Bank, IMF, dan ADB ). Lazimnya, kebijakankebijakan tanah oleh Bank Dunia melalui tahapan-tahapan perubahan: 1) penentuan batasbatas tanah; pendaftaran, penelitaian tanah, dan pemetaan; 2) privatisasi tanah umum dan tanah komunal; 3) pemberian hak atas tanah dengan hak yang dapat dipindahtangankan; 4) fasilitasi pasar tanah; 5) bank tanah-redistribusi berdasarkan pasar; 6) skema-skema produksi kredit bagi pihak penerima14. Keenam anak tangga tahapan liberalisasi tanah tersebut menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Tanah dijadikan sebagai milik individual (private) 2. Tanah dijadikan sebagai barang atau komoditas yang diperdagangkan (market assisted land reform policy) 3. Ta n a h d i t u j u k a n u n t u k kepentingan perusahaan, terutama kepentingan perusahaan transnasional 4. Pe r a n u t a m a p e r u s a h a a n berskala besar dalam pengelolaan agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 5. Peran dan inisiatif partisipasi rakyat dieliminasi
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
6. Menjadikan negara hanya sebagai alat administrasi belaka Ketika UUPA dilahirkan pada tahun 1960, suasana saat itu antimodal asing. Berbeda dengan saat ini, kehadiran modal asing sudah menjadi kebutuhan negara. Demikian pula, secara ideologis, tanah untuk petani (land to the tiller) yang diamanatkan dalam UUPA tidak lagi menjadi kenyataan, tetapi sudah menjadi objek spekulan dan komoditas. Bahkan, pada fase kapitalisme global, tanah tidak lagi menjadi nilai guna tetapi berubah menjadi nilai tukar dalam bentuk saham --saham yang setiap saat dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar15.
Kedua, tentang menyusun pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan untuk menunjang land reform dan pemberian hak atas tanah, yang sangat dikwatirkan adalah jalan pintas yang diambil oleh BPN yaitu dengan menggunakan data-data hanya dari dinas perpajakan dengan alasan teknologi yang digunakan sudah digital16. Artinya tanah-tanah yang tidak tercakup dalam Dinas Pajak tersebut dianggap tidak ada
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
57
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
yang memiliki, dapat dipastikan ini akan berbenturan dengan masyarakat adat, petani di pedalaman, serta petani/warga yang keterangan atas penguasaan dan milik tanahnya atas dasar batasbatas alam. Juga data-data dasar dari dinas perpajakan tak menjamin bahwa tanah yang membayar pajak itu dilindungi kepastian kepemilikannya secara hukum. Ketiga, tentang pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah (sembilan kewenangan) di bidang pertanahan kepada pemerintah kabupaten/kota, yang dilaksanakan secara lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi oleh pemerintah provinsi. Penyusunan norma-norma dan atau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk, dan kualifikasi sumber daya manusia dalam rangka pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan atau kabupaten/kota harus segera diselesaikan dalam jangka waktu tiga bulan sejak Keppres itu dikeluarkan. Sementara itu, semangat dari rujukan hukum itu belum rampung, yang menurut Keppres tersebut harus sudah selesai pada tanggal 30 Agustus 2003. Hal ini telah membuat
58 60 62 64
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
BAHASAN UTAMA
kerancuan pada logika tata urutan perundangan yang berlaku karena Keputusan Presiden ini sendiri, di satu sisi, ingin “menyempurnakan” UUPA No. 5/1960 namun, disisi lain, sudah menjalankan kebijakan terlebih dahulu yang seharusnya m e n g a c u p a d a “ U U PA y a n g disempurnakan” tersebut. Jadi, penyusunan norma-norma tersebut bersandar pada apa? Dengan demikian, seharusnya aturan payung dibuat terlebih dahulu baru kemudian aturan-aturan di bawahnya. Keempat, bahwa kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertanahan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang dalam rangka pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan provinsi sebagai daerah otonom di bidang pertanahan dijelaskan pada pasal 2 ayat 3 butir 14. Sedangkan mengenai kewenangan Provinsi maupun daerah tidak mengatur mengenai kebijakan pertanahan, terdapat pada pasal 3. Namun, dengan Keputusan Presiden No. 34/2003 ini, kewenangan provinsi atas pertanahan itu diperluas, dalam situasi sosial politik dan
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
kelembagaan negara saat ini sangat riskan memberikan kewenangan yang lebih luas lagi kepada pemerintah daerah/provinsi. Selain itu, faktor kebijakan tentang pertanahan ini belum komprehensif sehingga kebijakan pertanahan dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dengan kebijakan agraria lainnya. Pandangan sepotong-sepotong inilah yang membuat kerancuan kepastian hukum pelaksanaan Reforma Agraria. Kebijakan pertanahan tidak dapat bersendiri sendiri, dalam kaitannya dengan Reforma Agraria, berarti harus ada keterpaduan dengan sektor lain sebab selain aspek yuridis, pelaksanaan land reform juga sangat dipengaruhi oleh aspek lain seperti politik, ekonomi, sosial, hankamnas, dan pengaruh global. Oleh karena itu, sekali lagi Keputusan Presiden ini akan memperpanjang daftar peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 (naskah asli) dan UUPA No. 5/1960.
C. Gambaran singkat pengalaman negara-negara lain Apa yang terjadi di Indonesia ini sesungguhnya telah terjadi lebih dahulu di negara-negara lain di
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
belahan dunia ini. Atas nama perdagangan bebas semua kebijakan agraria diliberalisasikan, dan diprivatisasikan untuk menjadikan segala-galanya sebagai barang komoditas yang bisa diperdagangkan. Sebagai contoh, Srilanka dalam lima tahun terakhir ini telah mengeluarkan sebanyak 35 UU di bidang agraria, permodalan, dan keuangan. Keadaan serupa telah terjadi juga di Philipina dan Thailand. Afrika Selatan sebagai negara yang selalu di contohkan oleh Bank Dunia dan lembaga dana lainnya -- kaki tangan neoliberal -- sebagai negara yang sukses dalam melakukan transitional justice, termasuk land reform sesungguhnya adalah negara yang gagal menjalankan agendaagenda revolusi yang dituntut oleh rakyat. Tidak ada perubahan dalam hal penguasaan tanah di Afrika Selatan walaupun ini telah menjadi mandat dalam konstitusi mereka. Sekitar 85% dari 122 juta hektar tanah pertanian masih hanya dikuasai oleh 60.000 petani besar yang bukan penduduk asli. Bahkan setelah hampir 10 tahun berakhirnya rezim apartheid, jumlah rakyat yang tidak bertanah semakin meningkat -saat ini mencapai 26 juta orang --, semakin sulitnya akses rakyat terhadap air bersih, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Keadaan itu Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
59
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
mendorong lahirnya gerakan Landless People Movement (LPM), dan ketika WSSD dilaksanakan di Johannesburg, mereka memperlihatkan tuntutannya yang sangat radikal “ REBUT KEMBALI TANAH - TAKE BACK THE LAND”
BAHASAN UTAMA
dalam mendesakkan perubahanan kebijakan agraria di Afrika Selatan. Dan saat ini, perjuangan rakyat Afrika Selatan tersebut direspons oleh pemerintah Afrika Selatan dengan menyiapkan undang-undang baru yang akan mengkriminalkan pendudukan lahan.
KOMPARASI ANTARA PEMBARUAN AGRARIA SEJATI DENGAN YANG PALSU17 PEMBARUAN AGRARIA SEJATI
PEMBARUAN AGRARIA PALSU
Dirumuskan/direncanakan dengan pelibatan penuh organisasi petani miskin dan bangsa Indonesia sendiri
Dirumuskan bukan melalui pelibatan penuh organisasi petani miskin
Dijalankan berdasarkan kekuatan petani dan kemampuan bangsa Indonesia sendiri
Dijalankan berdasarkan kekuatan pasar/modal dan atau kekuatan asing
Ditujukan bagi kemakmuran petani miskin dan rakyat/bangsa Indonesia
Ditujukan bukan bagi kemakmuran petani miskin dan justru bagi kepentingan bangsa/negara/ perusahaan asing Reforma Agraria yang palsu justru semakin memiskinkan petani serta bangsa Indonesia Hanya menguntungkan segelintir orang, perusahaan, dan lembaga-lembaga tertentu saja
Mendorong tercapainya kedaulatan petani dan bangsa Indonesia sendiri baik kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya
Justru menghancurkan kedaulatan petani dan bangsa sendiri
Diperlukan untuk meniadakan ketergantungan, penindasan, ketimpangan, dan ketidakadilan agraria
Justru untuk mengekalkan penindasan, ketimpangan, dan ketidakadilan, serta mengekalkan ketergantungan bangsa Indonesia dengan kekuatan asing Justru dijalankan untuk menyempurkan sifat penindasan itu sendiri demi menghindari protes yang lebih hebat dari kalangan petani miskin dan bangsa terjajah itu (penjinakan saja) Reforma agraria adalah kata lain dari “penjualan” kekayaan alam bangsa Indonesia
Merupakan penjabaran langsung dan tepat t e r h a d a p a s a s e k o n o m i k e k e l u a rg a a n (“sosialisme Indonesia”) yang diamanahkan oleh pasal 33 UUD 1945
17
Mengkhianati pasal 33 UUD 1945
Henry Sragih, “Pembaruan Agraria Sejati Jalan Rakyat Bangkit dan Berdaulat Menuju Keadilan dan Kemakmuran Indonesia,” Jakarta, 25 September 2003 Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
PEMBARUAN AGRARIA SEJATI
PEMBARUAN AGRARIA PALSU
Merupakan strategi utama untuk menghancurkan relasi dan struktur sosial yang menindas (termasuk budaya atau relasi sosial yang feodalistik)
Justru mengukuhkan relasi sosial yang menindas (seperti modifikasi: feodalisme yang “dimodernisir”)
Reforma Agraria menjadi strategi utama dalam membangun kekuatan ekonomi petani dan bangsa Indonesia sendiri
Reforma Agraria hanyalah persoalan di tingkat teknis semata atau
Ditujukan bagi keberlangsungan dan kelestarian serta keserasian ekosistem
Justru menjadi penyebab kehancuran ekosistem
Dijalankan secara konsisten, menyeluruh, dan integratif
Dijalankan dengan setengah hati dan diskriminatif (kasus Philipina)
Justru menjadi strategi utama kalangan nonpetani miskin dan kekuatan asing untuk menguasai kekayaan alam (agraria) petani dan bangsa Indonesia
Mengatur secara sektoral dan saling bertentangan Memandang bahwa kekayaan alam (agraria) merupakan kekayaan untuk membangun peradaban petani dan bangsa Indonesia
Sama halnya dengan kejadian di Brazil dan Mexico. Kedua negara besar yang berada di Amerika Selatan itu atas paksaan Bank Dunia, dan atas nama perdagangan bebas telah meliberalisasikan undangundang agrarianya. Keadaan itu sangat menyulitkan bagi rakyatnya dan bagi pemimpin-peminpin negara yang populis dalam membela rakyatnya. Brazil saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Lula, telah menetapkan 1 (satu) di antara 5 (lima) program nasionalnya yaitu menjalankan Pembaruan Agraria sebab Pembaruan Agraria merupakan tuntutan rakyat di Brazil, dan Presiden Lula berasal dari 18
Memandang bahwa kekayaan alam (agraria) hanya sebagai komoditas ekonomi semata
Partai Buruh yang pemilihnya umumnya berasal dari kaum buruh dan petani yang tak bertanah, seperti Movimento Trabalhadoras Siemtierra Landless People Movement (MST). Kenyataannya, Presiden Lula tidak bisa menjalankan kebijaksanaan tersebut akibat semua perangkat perundangundangan agraria di Brazil telah diliberalisasikan oleh rezim Presiden Brazil terdahulu, Henri Cardoso. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang sampai hari ini belum (masih merancang) melakukan liberalisasi semua perundangundangan di bidang agrarianya,
Untuk lebih lengkap, baca M. Nurruddin dalam tulisannya yang berjudul “Memahami dari Belakang Neo-liberalisme”, 2003
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
61
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
segera harus menghentikan segala upaya pihak kaum neoliberal dan antek-anteknya, seperti upaya yang dilakukan oleh Presiden dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengubah UUPA No. 5/1960 menjadi suatu undang-undang agraria baru yang mengakomodasi kepentingan imperialisme di Indonesia.
PEMBARUAN AGRARIA SEJATI Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan pembaruan agraria sejati merupakan jawaban yang paling masuk akal dan jalan terbaik yang mutlak dilaksanakan dalam upaya untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, khususnya bagi masyarakat miskin. Pembaruan agraria sejati yang berakar dari kekuatan rakyat dipercaya akan menata ulang struktur agraria yang timpang, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria, tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
BAHASAN UTAMA
segelintir orang. Keadilan agraria juga merupakan perwujudan kemerdekaan bangsa Indonesia atas tanah airnya secara substansial. Dengan demikian, dalam perjuangan Pembaruan Agraria sejati, kekuatan rakyat, dalam hal ini petani, sebagai kekuatan pokok harus menjadi kekuatan pelopor yang terorganisasi dalam satuan-satuan organisasi kaum tani. Karena Pembaruan Agraria sejati tidak dapat diharapkan datang begitu saja, namun harus diperjuangkan sampai tercapai dengan hakiki sesuai agenda yang dimaksudkan rakyat. Sejarah telah memberikan pelajaran bahwa Pembaruan Agraria yang berharap banyak pada kekuatan di luar rakyat/petani, gagal dilaksanakan di tengah jalan dan dimanipulasi seperti keadaan sekarang ini. Pembaruan Agraria yang kita maksudkan berasal dari kenyataan kehendak rakyat bukan berdasarkan cara pandang rezim politik yang tak lepas dari pengaruh global seperti World Bank, WTO, IMF, dan negara-negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris, dan negara-negara maju lainnya melalui USAID, AUSAID,
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
DFID, dan lembaga internasional lainnya. Dengan demikian, Pembaruan Agraria yang dicita-citakan harus menganut falsafah kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan pemodal, yang menghargai setinggi-tingginya keragaman kebudayaan, hak-hak asasi manusia, demokrasi, keberlanjutan ekologis, dan keadilan serta kelangsungan dan tingginya kualitas peradaban manusia. Untuk itu, jelas sekali perbedaan antara Pembaruan Agraria sejati dengan Pembaruan Agraria yang diusung oleh paham neoliberalisme, dan hal itu dapat dilihat pada tabel berikut:
PENUTUP Untuk menutup uraian ini, yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa kebijakan-kebijakan yang ada dan sesuai dengan agenda neoliberal adalah hanyalah sebuah bungkus luar atau gejala-gejala yang belum tentu memperlihatkan hakikatnya secara utuh. Salah satu di antaranya adalah penghisapan atas manusia dan alam yang dilakukan oleh manusia lainnya yang percaya bahwa dunia ini hanya dapat dibangun melalui kekuatan modal, capital finance yang licik; dengan kekuatan keuangannya negara-negara besar merekayasa sedemikian rupa agar kendali kehidupan ekonomi-politik dunia berada di tangan mereka sehingga negara-negara dunia ketiga yang mempunyai kekayaan alam dan atau yang berproduksi tak mampu berbuat banyak dan tetap bergantung. Sejarah gelap penindasan yang terjadi sekarang ini pada prinsipnya merupakan bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lainnya yang makin menjadi dan lebih halus sejak berakhirnya periode merkantilisme (kapitalisme awal) yang diperkirakan berusia lebih dari lima ratus tahun18. Dominasi Kapitalisme itu secara sederhana kita lihat melalui tiga periode formasi sosial yaitu tahap kolonialisme dengan ekspansi yang dilakukan secara fisik dan dimulai di Eropa, tahap neo-kolonialisme yaitu modusnya melalui dominasi ilmu pengetahuan dan ideologi pembangunanisme, kemudian tahap yang baru dikenal menjelang abad dua puluh satu, yaitu globalisasi (perdagangan), yang sebenarnya adalah wajah baru dari kapitalisme itu sendiri yang kemudian ditandai dengan liberalisasi dalam semua sektor kehidupan. Neoliberalisme merupakan suatu proses pengintegrasian sistem nasional (terutama ekonomi) ke dalam sistem Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
63
AGENDA NEOLIBERAL Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia
(ekonomi) dunia, yang diperankan oleh aktor-aktor utama yang dalam proses tersebut selain negara maju adalah TNCs, organisasi perdagangan dunia (WTO), dan lembaga keuangan dunia yang paling dominan yaitu IMF dan Bank Dunia, serta lembaga-lembaga riset dunia bahkan universitasuniversitas. Untuk itu dalam pembangunan di Indonesia, tugas mendesak untuk membongkar ketidakadilan struktur penguasaan agraria, secara umum yang perlu dilakukan saat ini adalah melaksanakan Pembaruan Agraria dengan: Pertama, melaksanakan dengan segera program Pembaruan Agraria yang berlandaskan pada UUPA No. 5/1960. Kedua, menegaskan kembali UUPA sebagai satu-satunya payung hukum nasional agraria serta mencabut semua kebijakan perundang-undangan
Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar
Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No.1 April 2004