Alternatif Anti-Neoliberal di Amerika Latin Oleh Rudi Hartono 10 March 2013 INDONESIA2014 -Transformasi sosial yang berlangsung sejak tahun 1998 di Venezuela membawa dampak regional di Amerika Latin. Kecenderungannya tampak jelas, meski tidak mutlak: setiap kandidat presiden yang mengusung program alternatif, atau berbeda dari neoliberalisme, akan memperoleh dukungan dari rakyat dalam pemilihan umum. Tercatat kejadian ini di negara-negara, seperti Brazil, Bolivia, Paraguay, Argentina, Nikaragua, Uruguay, dan El Savador, yang segera menyusul Venezuela. Kemudian mereka bersama-sama membentuk sebuah blok (Alternatif Bolivarian Untuk Amerika).
alternatif
yang
dinamakan
ALBA
Sejak itu Amerika Latin menjadi sumber pembelajaran bagi politik alternatif di seluruh dunia, atau menjadi mitra bagi pemerintahan-pemerintahan yang berniat mempertahankan kedaulatannya. Sebaliknya, bagi negara-negara Barat dan segolongan lapisan elit di sana, yang sangat berkepentingan dengan penerapan neoliberalisme, situasi ini dianggap merisaukan. Sekilas Neoliberalisme Istilah “neoliberalisme” menjelaskan sebuah periode zaman. David Harvey, dalam A Brief History of Neoliberalism (2008) menunjuk titik waktu antara tahun 1978-1980 sebagai permulaannya, yang ditandai empat kejadian: reformasi ke arah pasar bebas di Cina di bawah Deng Xiao Ping, terpilihnya Margareth Thatcher sebagai PM di Inggris, terpilihnya Paul Volcker sebagai kepala The Fed di Wall Street, dan terpilihnya Ronald Reagen sebagai Presiden di Amerika Serikat. Posisi penting dari orang dan negara yang terlibat dalam kejadian-kejadian ini mendorong perubahan di seantero bumi. Deregulasi, penghapusan hambatanhambatan investasi dan perdagangan, menciptakan pasar buruh yang fleksibel,
1
pasar bebas, menjadi mantera bagi pemerintahan-pemerintahan hampir di seluruh dunia. Lebih lanjut, menurut Harvey, penambahan jangkauan dan frekuensi transaksi telah mendorong lahirnya teknologi untuk menciptakan informasi dan kemampuan mengakumulasi, mentransfer, menganalisa, dan menggunakan gudang data (database) untuk memandu keputusan-keputusan dalam pasar global. Dari sinilah teknologi informasi berkembang menjadi sedemikian masif seperti sekarang ini. Dalam konsep neoliberal, peran negara mengambil jalan yang seolah bercabang, tapi berarah tujuan yang sama, yakni akumulasi keuntungan (profit) di tangan segelintir orang. Pertama, peran negara diperkuat untuk menjamin hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sistem moneter yang menguntungkan perbankan. Dalam hal ini negara dapat menggunakan segala instrumen, termasuk instrumen kekerasan, untuk menjamin jalannya kepentingan tersebut. Kedua, peran negara harus dipangkas dalam hal jaminan sosial, sehingga segala urusan terkait kesejahteraan umum ‘diserahkan’ pada mekanisme pasar. Subsidi negara terhadap kebutuhan rakyat dianggap distorsi ekonomi, dan penguasaan negara terhadap sumber-sumber ekonomi (seperti BUMN) dianggap sebagai inefisiensi. Tahun 1978-1980 disebut sebagai titik balik, karena sebelumnya, sampai dengan dekade 1960-an, negara-negara Barat masih menggunakan pendekatan ekonomi yang dikenal dengan istilah Keynesian. Dengan pendekatan ini, negara-negara Barat masih mengintervensi dunia industri untuk menjamin kesempatan kerja penuh (menekan pengangguran) disamping memberikan jaminan sosial (terutama pendidikan dan kesehatan). Booming ekonomi menyusul berakhirnya Perang Dunia II menyediakan kesanggupan bagi berdirinya negara kesejahteraan (welfare state), yang sekaligus digunakan sebagai “tameng sogokan” untuk menghadapi pengaruh komunis. Dalam perjalanannya, kemerosotan ekonomi mulai terjadi. Keuntungan sektor swasta berkurang, inflasi naik tidak terkendali, dan pengangguran meningkat. Inggris menghadapi stagflasi, sehingga Margareth Thatcher yang terpilih tahun 1979 dimandatkan untuk mengakhiri situasi tersebut sekalian dengan melucuti kekuatan serikat buruhnya. Demikian halnya dengan Amerika Serikat di bawah Ronald Reagen, yang mendukung perubahan besar oleh Paul Volcker terhadap sistem moneter. Volcker menekan inflasi AS dari 13,5% di tahun 1981 menjadi 3,2% (1983), dan suku bunga dinaikkan dari 11,2% tahun 1979 menjadi 20% (1981). Kapitalis finansial (perbankan) mulai menikmati kekayaan melimpah. Transaksi di pasar 2
virtual melesat jauh sampai ratusan kali lipat meninggalkan transaksi di pasar nyata (real). Neoliberalisme di Amerika Latin Pelaksanaan neoliberalisme di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Amerika Latin, berarti hilangnya kedaulatan nasional dan semakin menderitanya rakyat. Amerika Latin merupakan wilayah pertama yang menjadi kelinci percobaan resep neoliberalisme sebelum diterapkan di Inggris (Marta Harnecker, 2009). Kenyataan ini bukan suatu kebetulan. Sudah sejak lepas dari kolonial Spanyol dan Portugis, sub-benua ini (mulai dari Mexico di utara sampai ke ujung selatan) dianggap sebagai “halaman belakang” dari negara adidaya Amerika Serikat (AS). Kudeta Jenderal Agusto Pinochet terhadap Salvadore Allende di Chilie tahun 1973 yang didukung CIA merupakan pintu pembuka bagi percobaan resep neoliberal. Di tahun 1975 Pinochet mendudukkan sejumlah ekonom hasil didikan AS, yang sering disebut Chicago Boys, pada posisi-posisi penting pemerintahannya. Tugas pertama mereka adalah menegosiasikan utang dengan lembaga Dana Moneter Internasional (IMF). Utang dari IMF disertai syarat-syarat “program penyesuaian struktural”, diantaranya privatisasi aset-aset milik umum, membuka sumber daya alamnya (seperti perikanan dan perkayuan) kepada swasta dan tanpa pengaturan eksploitasi, memprivatisasi jaminan sosial, memfasilitasi investasi asing langsung dan perdagangan yang lebih bebas. Pemerintah juga menjamin hak perusahaan asing untuk memindahkan keuntungan perusahaannya ke luar negeri. Hal serupa terjadi di Argentina, dan kemudian menyebar ke negara-negara Amerika Latin lain. Utang bilateral maupun multilateral berbunga sangat tinggi, sehingga menyulitkan pembayaran. Konsekuensi dari ketidak mampuan negara melunasi utangnya sungguh pahit, yakni berpindahnya kepemilikan aset-aset negara ke tangan korporasi asing. Sepanjang penerapan kebijakan neoliberal, perlawanan demi perlawanan tidak pernah surut. Dimulai dari gerakan Zapatista di Mexico, gerakan petani MST di Brasil, kaum piqueteros di Argentina, gerakan suku asli di Bolivia, gerakan lingkungan hidup, gerakan hak azasi manusia, dan sebagainya. Di Venezuela, kebijakan penyesuaian struktural mulai dijalankan tahun 1989 di bawah pemerintahan Carlos Perez. Sebelumnya, Venezuela mengalami situasi krisis 3
pembayaran utang akibat turunnya harga minyak pada dekade 1980-an. Pada bulan Februari 1989, atas ‘petunjuk’ dari IMF, Carlos Perez menaikkan harga bahan bakar minyak sampai senilai 100%. Keputusan ini memicu protes besar-besaran dari rakyat Venezuela. Selama satu minggu jalan-jalan berbagai kota di Venezuela diramaikan oleh protes rakyat dan dihadapi secara represif oleh pemerintahan Perez. Korban meninggal yang disebutkan pemerintah 300 orang, sementara angka sebenarnya mencapai ribuan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah “Caracaso” yang oleh Chavez dikenang sebagai: “saat-saat ketika rakyat bangkit”. Kedaulatan dan visi alternatif Krisis legitimasi neoliberal sudah sedemikian parah, sehingga ekonom-ekonom dunia yang pernah mendukung neoliberalisme kini berbalik mengkritik. Sebagian kita pernah melihat kritik yang dilontarkan oleh ekonom Joseph Stiglitz (mantan wakil direktur Bank Dunia), Jagdish Bhagwati (mantan penasehat WTO), dan bahkan, dalam batas-batas tertentu, juga oleh pelaku pasar finansial seperti George Soros. Sebagian pemimpin di Amerika Latin sadar neoliberal telah gagal, sehingga mulai meninggalkan konsep-konsepnya. Mereka berjuang membendung kekayaan nasionalnya dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat, sembari menjalin kerjasama yang setara dengan negara-negara lain berdasarkan solidaritas. Dalam kerangka ini, setidaknya ada tiga langkah pemerintahan-pemerintahan tersebut yang penting digaris bawahi; pertama, adalah merebut kembali kedaulatan politik negaranya dari dikte dan campur tangan kekuatan asing. Sejak pemerintahan ber-platform anti-neoliberal berkuasa, lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia, tidak lagi gampang mengintervensi kebijakan ekonominya. Tekanan politik maupun ancaman sanksi yang dilakukan negara-negara Barat tidak lagi digubris, bahkan seringkali ditantang dengan berani. Upaya menegakkan kedaulatan ini antara lain tercermin dari ungkapan Presiden Evo Morales, bahwa “Bolivia membutuhkan mitra bukan tuan.” Langkah nasionalisasi aset strategis, yang sangat diharamkan oleh doktrin neoliberal, semakin sering dilakukan. Setelah Venezuela menasionalisasi kekayaan minyak, segera menyusul Bolivia menasionalisasi kekayaan minyak dan gas (2006), nasionalisasi perusahaan telekomunikasi (2008), dan nasionalisasi dua pembangkit listrik besar masing-masing di tahun 2010 dan 2012. Bulan April 2012 lalu kembali Argentina menasionalisasi perusahaan minyak milik Respol, asal Spanyol. Selain itu, baru-baru ini pemerintah Argentina menyatakan menolak membayar 4
utang luar negerinya. Pernyataan ini diumumkan sebagai tanggapan atas keputusan pengadilan Amerika Serikat yang memerintahkan negara tersebut membayar utang kepada NLM, sebuah perusahaan kreditur asal AS, sebesar 1,3 milyar USD. Jumlah tersebut merupakan bagian dari apa yang disebut pemerintah Argentina sebagai “utang kolonial” sebesar 100 milyar USD yang telah mencekik negara tersebut sejak tahun 2001. Pemastian kedaulatan politik ini menjadi syarat bagi langkah kedua, yakni: distribusi kesejahteraan kepada rakyat lewat berbagai program sosial. Di Bolivia, pemerintahan Morales berhasil menaikkan pendapatan minyak dan gas, dari 173 juta dollar AS di tahun 2002 menjadi 1,57 milyar dollar AS tahun 2007. Keuntungan ini didistribusikan untuk program-program pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur. Langkah reformasi agraria juga dilakukan untuk memastikan kedaulatan petani dan suku asli atas tanah leluhurnya. Di Venezeula, program-program sosial terus bertambah, sehingga berhasil menekan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Saat ini Venezuela menjadi negara dengan misi sosial terbanyak di dunia. Misi-misi sosial tersebut bergerak di berbagai bidang seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, pertanian, lingkungan hidup, budaya, koperasi, jaminan sosial bagi pensiunan, fasilitas bagi kaum disfabel, dan sebagainya. Lewat berbagai misi sosial ini angka kemiskinan di bawah pemerintahan Chavez telah berhasil ditekan dari 29,8% pada tahun 2003 menjadi 6,8% pada tahun 2011. Ketiga, sebagai dasar dari seluruh perubahan, Chavez berulangkali menekankan pentingnya bentuk demokrasi partisipatoris (musyawarah mufakat dan gotong royong), yang memberi peran protagonis kepada rakyat dalam mewujudkan perubahan. Chavez mengatakan, bila kita hendak mengentaskan kemiskinan maka satu-satunya jalan adalah memberikan kekuasaan kepada si miskin. Pengorganisiran rakyat lewat komune-komune yang disebut Lingkaran Bolivarian terus diintensifkan. Fondasi demokrasi, dalam arti kedaulatan rakyat, ini mengkreasi corak baru dalam transformasi sosial. Agaknya, Amerika Latin telah banyak belajar dari kegagalan sosialisme di abad lampau yang cenderung dogmatis dan memandang hirarki pimpinan teratas sebagai pusat kebenaran. Dan yang terpenting, pelaksanaan konsep demokrasi partisipatoris ini sekaligus menjadi anti-tesis bagi konsep demokrasi liberal yang hanya membutuhkan rakyat di saat-saat kegiatan elektoral.
5
Sekarang cermin bagi dunia telah berdiri semakin terang, termasuk bagi kita di Indonesia yang masih saja percaya pada konsep neoliberal; mengijinkan pencaplokan kekayaan alam, menerapkan pasar bebas yang mematikan petani dan industri kecil, serta membayar utang luar negeri berbunga tinggi. Apakah kita akan terus bergerak pada jalur yang sudah kehilangan legitimasi ini, ataukah segera banting setir menuju cita-cita masyarakat berdaulat, adil dan makmur. Momentum pemilu 2014 sekiranya dapat melahirkan pilihan alternatif bagi rakyat.
6