MILITER DAN POLITIK DI SELATAN AMERIKA LATIN Oleh: Christoph Wagner
Amerika Selatan saat ini sudah bebas dari pemerintahan militer. Ditandai sebagai “Abad yang hilang,” tahun 80-an secara politis-konstitusional di kebanyakan negara di bagian benua itu ditandai dengan mundurnya angkatan bersenjata dari kursi pemerintahan. “Wind of Change” menerpa para diktator militer di negara-negara itu. Dimulai dengan Ekuador (pergantian rezim sudah terjadi pada 1979), Peru (1980), Bolivia (1982), Argentina (1983), Brazil (1985), Uruguay (1989 dan 1993), dan Chilli (1990). Banyak harapan yang bangkit berkat adanya visi tentang sebuah awal abad yang demokratis, namun segera diikuti berbagai kenyataan politik. Terutama kenyataan bahwa pemerintahanpemerintahan pasca masa otoriter nampak relatif tidak berkuasa jika berhadapan dengan penguasa terdahulu. Contohnya adalah munculnya fenomena meluas mengenai kekebalan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini menjadi semacam “penghapusan keajaiban” sang demokrasi muda. Formulasi Democracia Tutelada -- demokrasi yang terlalu dipengaruhi militer -- pun dengan cepat dikenal oleh masyarakat. Dalam artikel ini 4 negara Amerika Latin yakni Argentina, Chilli, Uruguay dan Paraguay akan dibahas dari aspek yang menjadi Conditio sine qua non (berfungsi sebagai titik peka) bagi konsolidasi demokrasi, yakni terbentuknya supremasi sipil yang dipahami sebagai subordinasi militer di bawah otoritas dan kontrol pemerintah hasil pemilu yang demokratis. Di bawah ini juga akan dilihat, bahwa keberhasilan-keberhasilan tersebut saling berhubungan satu sama lain. Misalnya, pengalaman masa lalu sebelum era kediktatoran dengan demokrasi sebagai bentuk kekuasaan dan budaya politik yang mampu mengatasi kekuasaan otoriter. Ataupun gambaran konkret berbagai proses transisi demokratis melalui kekuasaan militer. Setelah sebuah kilas balik
sejarah mengenai peran politis angkatan bersenjata di empat negara dan gaya rezim-rezim militer, juga akan dibahas tipe sistem pergantian kekuasaan yang berlaku saat ini. Lantas muncullah pertanyaan: apakah setelah berpisah dengan kursi pemerintahan, sebagai elit politik militer telah benar-benar undur diri? Apakah militer mengabaikan kontrol sipil yang demokratis? Adakah sebuah bentuk kekuasaan politik tertinggi yang jelas, ataukah militer menentukan hak veto terhadap pemerintah? Yang jelas, supremasi sipil dianggap muncul di bawah simbol-simbol demokrasi jika persyaratan di bawah ini terpenuhi: 1. Kontrol sipil terhadap militer terpraktekkan dengan jelas dan merupakan bagian yang hidup dalam budaya politik selama beberapa tahun. 2. Tidak ada satu pun peluang untuk bersikap otoriter (baik yang diamankan oleh institusi maupun yang dijamin konstitusi) yang dapat digunakan pihak militer untuk mengabaikan otoritas sipil. 3. Tidak adanya demonstrasi kekuatan militer dengan tujuan represi terhadap pemerintah (misalnya dalam bentuk huru-hara atau pemberontakan) dalam tahun-tahun terakhir. 4. Tidak adanya kesiapan intervensi militer secara jelas, di mana ancaman kudeta muncul, seperti penekanan politis terhadap pemerintahan terpilih (misalnya melalui aliansi sipil-militer dengan kekuatan sosial-politik lain yang relevan).
5. Dalam sebuah situasi konflik yang konkret, pihak eksekutif berhasil melaksanakan perlawanan terhadap kepentingan-kepentingan militer, di mana keputusan yang diambil kemudian diterima dan dianggap sesuai. Gambaran : Pemerintahan militer tahun 1948 sampai 1973 Tahun
48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Uruguay
Chilli
Argentina
Paraguay
Pemerintahan sipil yang dipilih Pemerintahan militer, termasuk pemerintahan dukungan militer
I. Hubungan Tradisional Antara Militer dan Politik “Pergantian
kekuasaan
yang
dipaksakan
oleh
militer
setelah
pemilu
dilaksanakan; penempatan pasukan untuk melawan petani-petani yang memberontak, para pemogok dan demonstran; seorang jenderal berpose di atas kursi kepresidenan. Berita-berita dan foto-foto seperti itu muncul selama
puluhan tahun terutama dari Amerika Latin, di mana sejak perang-perang kemerdekaan milliter memainkan peran sentral dalam politik.” Walaupun pemaparan di atas secara keseluruhan benar-benar sesuai, di dalamnya tidak diperhitungkan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara yang sedang dibicarakan ini. Hal ini akan cepat menjadi jelas jika (lihat data di atas) yang dibahas di sini bukan hanya masa 25 tahun terakhir, tetapi juga masa 25 tahun sebelumnya. Mulai tahun 1954 Jenderal Stroessner berkuasa selama 35 tahun di Paraguay, setelah di negara itu selama bertahun-tahun terjadi ketidakstabilan politik akibat
sering
bergantinya
pemerintahan.
Kekuasaan
rezim
otoriternya
dibangun di atas 3 pilar yaitu: Partai Colorado, aparat negara, dan militer (yang sejak akhir Perang Chaco melawan Bolivia pada tahun 1935 menjadi aktor politik yang jelas-jelas sangat berperan). Sementara Jendral Stroessner sukses menciptakan stabilitas represif sistem politik di Paraguay, perkembangan politik di Argentina berlangsung secara berubah-ubah. Sejak tahun 1930, pemerintahan-pemerintahan militer yang dibentuk
melalui
kudeta
dan
presiden-presiden
yang
terpilih
secara
demokratis di Argentina berusaha saling menggeser kedudukan. Tidak ada kekuasaan demokratis yang sungguh-sungguh berusia lama. Tak satupun presiden terpilih dapat menyelesaikan masa bakti mereka secara reguler, apalagi sampai bisa menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta tahun 1976 merupakan goncangan keenam yang berhasil terhadap negara, sejak tahun 1930. Pihak militer Argentina saat itu merupakan penguasa politik nasional dalam jangka waktu lama. Konstelasi sejarah di Chilli dan Uruguay sangatlah berbeda dengan kedua negara di atas. Dalam kurun waktu 143 tahun sebelum kudeta pada September 1973 (di mana pemerintahan sosialis Allende yang dipilih secara demokratis
digulingkan),
Chilli
mengalami
4
bulan
saja
di
bawah
pemerintahan junta militer. Fenomena ini tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan hilangnya peran militer sebagai aktor politik. Terutama pada pertengahan tahun 20-an sampai awal tahun 30-an, mereka membuat pengaruh yang tidak sepele pada politik nasional. Berbeda dengan itu, militer di Uruguay pada abad 20 hingga akhir tahun 60-an tidak tampil sebagai tokoh politik yang relevan. Bahkan pada awal 30-an, ketika terjadi masa singkat kediktatoran, mereka juga tidak memainkan peranan penting. Sebagai kesimpulan, dari sudut pandang stabilitas sistem politik, bisa diidentifikasi di sini 4 tipe berbeda hubungan tradisional antara militer-politik, yaitu: Stabilitas dengan bantuan angkatan bersenjata dalam kerangka sistem otoriter (Paraguay) Pergantian rezim yang sering (instabilitas) dengan campurtangan pihak militer (Argentina) Stabilitas demokrasi dengan angkatan bersejata sebagai aktor politik (Chili) Stabilitas demokrasi tanpa relevansi politik khusus pihak militer (Uruguay) Rezim-rezim militer yang didirikan di Argentina, Chili, dan Uruguay pada tahun 70-an adalah tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis. Mereka beroperasi dengan sebuah basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin Keamanan Nasional. Dengan doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa dengan tuntutan untuk melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin menghadirkan kembali kedamaian dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat kekuasaan di tiga negara ini memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera setelah runtuhnya Allende, sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan dapat menciptakan kediktatoran yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990), pihak junta militer Argentina yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan bersenjata membagi-bagi kekuasaan sejak 1976 sampai 1983. Junta militer ini, bersama-sama dengan boneka-boneka yang berbeda-beda,
hampir tidak menciptakan kesan sebuah blok kekuasaan yang tertutup. Sebaliknya para penguasa militer Uruguay memanfaatkan sebagian besar waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai 1985) untuk melakukan agitasi berkedok orang-orang sipil, sehingga sampai tahun 1981 mereka tidak pernah menempatkan
anggota
militer
sebagai
pimpinan-pimpinan
puncak
pemerintahan. Berbeda dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di Paraguay terdapat sebuah kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri khas Amerika Tengah, khususnya
ciri
Karibia.
Rejim
Stroessner
mengikat
elemen-elemen
pemerintahan militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang berkiblat pada perseorangan pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan ekstra melalui sebuah partai negara.
II. Karakteristik Proses Transisi yang Demokratis Secara ideal, pergantian sistem bisa dibedakan menjadi 5 model, yaitu: transisi yang kompromistis Peralihan yang lentur dari kalangan elit rezim lama Pergantian sistem yang dipaksa dari bawah (revolusi) Kolaps (runtuhnya rezim lama) Pembentukan negara “baru” Kasus Argentina berlaku secara tipologis sebagai sebuah parade contoh runtuhnya sebuah rezim otoriter. Perbedaan-perbedaan kian terlihat jelas dan menguat sejak 1981 di atas basis pembangunan kekuasaan yang rentan terhadap konflik internal. Perpecahan meliputi politik ekonomi. Tendensitendensi terbuka yang terkontrol dari rezim otoriter harus dimulai. Setelah hanya enam bulan berkuasa sebagai presiden, Jenderal Viola digulingkan, dan
para hardliner (kelompok garis keras) pun menguasai jajaran militer. Meski basis kekuasaan mereka meningkat, mobilisasi masyarakat yang membesar makin mengarah pada perlawanan terhadap sang diktator. Dalam upaya mencari sumber-sumber baru legitimasi, angkatan bersenjata mengembangkan kreativitas merusak tingkat tinggi. Dengan invasi ke pulau Falkland/Malvinas yang sejak 1833 dikuasai Inggris (dan dituntut oleh Argentina), mereka berupaya membangkitkan gelombang rasa nasionalisme pada masyarakat Argentina. Tentu saja efek “Perebutan Kembali Malvinas” ini tidak sungguh-sungguh muncul sebagai penstabil kekuasaan. Karena dengan kekalahan militer pada pertengahan 1982, angkatan bersenjata Argentina terbukti gagal juga pada bidang keahlian mereka. Dalam waktu satu setengah tahun kemudian, perundingan-perundingan antara penguasa dan wakil-wakil serikat buruh dan partai (terutama dari partai Peronistis) pihak militer tidak berhasil melakukan pergantian kekuasaan dengan prasyarat apapun. Bahkan karena faktor kehilangan legitimasi yang komplet, militer juga didiskreditkan secara ekonomis, moral, dan militeris. Di Uruguay, pihak militer, yang tidak menginginkan proses transisi, memulai satu proyek yang sesungguhnya melayani stabilisasi sistem kekuasaan dalam jangka panjang. Sangat tidak disangka, dalam sebuah plebisit di akhir tahun 1980, sebagian besar masyarakat menentang disusunnya sebuah konstitusi, yang akan dipakai oleh pemegang kekuasaan otoritas untuk mempertahankan peran dominan mereka dalam perkembangan politik selanjutnya di negara itu. Dalam kerangka proses transisi bertahap, pada 1983 diadakan perundinganperundingan antara militer dan partai-partai politik sebagai aktor utama politik pada era pra-kediktatoran. Karena itulah posisi kekuasaan angkatan bersenjata dipertanyakan, ketika pada akhir 1982 diadakan pemilihan internal partai untuk memilih badan pemimpin partai-partai tradisional, di mana jelasjelas kekuatan yang kritis terhadap rezim keluar sebagai pemenang. Dengan
begitu militer tidak hanya mengalami kekalahan telak kedua secara tak langsung, yakni kekalahan dalam pemungutan suara, tetapi juga karena pihak lawannya dalam perundingan-perundingan tersebut mendapatkan legitimasi secara demokratis. Kemudian berlangsunglah suatu proses transisi mobilisasi massa secara luas melawan penguasa otoriter. Sebagai hasil dialog resmi antara sipil-militer, angkatan bersenjata tidak berhasil mempertahankan posisi mereka sebagai faktor kekuasaan politis baik secara institusional maupun struktural dalam bentuk apapun. Berbeda dengan di Uruguay, militer di Cilli berhasil mengeluarkan konstitusi yang mereka kerjakan. Pada tahun 1980, melalui sebuah plebisit dibentuk sebuah diktator transisi yang bertugas sampai akhir dasawarsa. Posisi pemerintahan militer ini begitu kuat, sehingga penguasa tidak melihat adanya alasan untuk melakukan perundingan-perundingan dengan pihak oposisi mengenai kemungkinan mundur dari demokrasi. Setiap usaha untuk melawan proses transisi yang didukung pihak militer, ataupun untuk menggulingkan Jenderal Pinochet, berlangsung tanpa hasil. Plebisit tahun 1988 (di mana kandidat
presiden
yang
diusulkan
militer
yakni
Pinochet,
disetujui)
memberikan kesempatan kepada kekuatan yang kritis terhadap rezim, dan mengalahkan pemegang kekuasaan. Dengan segala pertimbangan, militer telah
melakukan
berbagai
tindakan
pencegahan.
Misalnya:
untuk
pengamanan harta benda dan status hukum, mereka telah menetapkan posisi kekuasaan mereka juga di bawah pemerintahan demokratis masa depan.
III. Peranan Angkatan Bersenjata Dalam Demokrasi Peran politis angkatan bersenjata dalam demokrasi di beberapa negara ditentukan tidak saja oleh bentuk konkret dari proses transisi, tetapi juga oleh kesiapan mundur dari pemegang kekuasaan otoriter. Di Argentina dan
Uruguay,
karena
membuktikan
pelanggaran
ketidakmampuan
HAM
yang
mereka
kejam,
secara
pihak
militer
etis-moralis
dan
telah juga
didiskreditkan, terutama jika itu menyangkut kapasitas memodernisasi dan merombak rezim otoriter. Militer, yang oleh banyak ahli teori perkembangan dilihat sebagai pelaku “perubahan sosial” era 60-an, ternyata telah gagal melakukannya. Dalam kenyataannya, perubahan sosial berarti pembatasan yang
kejam
terhadap
kebebasan
politik
dan
sipil,
sebagaimana
juga
pembentukan aparat-aparat represif yang meremehkan kemanusiaan. Hasil dari politik ekonomi mereka adalah sebuah kerusakan ekonomi, sehingga citra mereka di masyarakat pun sangat buruk. Mereka juga tidak lagi diperlakukan sebagai partner, oleh “kelas yang berkuasa.” Berbeda dengan itu, angkatan bersenjata di Chilli dan Paraguay tidaklah keluar sebagai pecundang dari kursi pemerintah. Bahkan diktator militer Chilli tidak kalah dari militer Uruguay dan Argentina, dilihat dari segi tindakan represif mereka. Tetapi dari sudut ekonomi mereka telah memberi hasil positif. Di Paraguay dan Chilli, militer mampu memulai (memimpin) sebuah transisi ke arah “demokrasi yang terlindungi.” Peran politis apa yang dimainkan angkatan bersenjata ini setelah peralihan kekuasaan kepada pemerintah yang dilegitimasi secara demokratis di sana? Tahun 90-an di Paraguay adalah masa-masa perubahan politik. Banyak partai, persatuan petani, serikat kerja, dan organisasi-organisasi politik kemasyarakatan baru bermunculan. Pada bulan Mei 1994, terjadi pemogokan besar yang pertama selama 35 tahun. Secara tidak langsung setelah kudeta 1989, sensor terhadap pers di negeri itu ditiadakan. Media-media yang baru muncul juga tidak merasa takut untuk mengupayakan liputan berita yang kritis terhadap pemerintah. Reformasi institusional menciptakan kondisi mendasar bagi terciptanya hubungan-hubungan yang demokratis. Misalnya, reformasi sistem pemilu 1990, pengukuhan atas pemisahan dan pembagian kekuasaan formal dalam konstitusi 1992, serta dihapuskannya beberapa
peraturan tidak demokratis yang mengabdi pada kepentingan penguasa Partai Colorado. Sayangnya, setelah pemilu 1993 beberapa divisi militer tetap menjadi elit yang berkuasa. Di samping itu, untuk melindungi hak-hak istimewa ekonomi yang mereka peroleh dalam sistem patrimonial, pemimpin militer juga berada dalam hubungan-hubungan korupsi yang erat dengan puncak-puncak eksekutif. Pejabat-pejabat militer seperti mantan jenderal Oviedo memainkan budaya politik Paraguay bentukan otoriter yang masih bertahan dan tuntutan berkuasa dari angkatan bersenjata. Ketika masih berdinas sebagai jendral, Oviedo seperti juga pejabat militer lainnya mendukung total kampanye pemilihan Wasmosy dan berkeyakinan bahwa untuk memerangi oposisi harus digunakan intervensi angkatan bersenjata. Setelah memenangkan pemilu, Wasmosy
memasang
Oviedo,
pendukungnya,
sebagai
Panglima
Tinggi
angkatan bersenjata, tanpa mengimplikasikan bahwa hal ini adalah sebuah subordinasi militer di bawah otoritas pemerintah. Ketika Wasmosy, misalnya, membiarkan seorang jenderal yang loyal padanya untuk tetap bertugas padahal Oviedo ingin menggeser jenderal itu ke posisi yang tidak penting, muncullah desas-desus kudeta. Ketegangan-ketegangan di antara keduanya memuncak pada bulan April 1996 dalam
sebuah
percobaan
kudeta,
ketika
Oviedo
berusaha
menentang
pemecatannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Strategi penyelesaian konflik Wasmosy berakhir dengan cara menawarkan Jenderal yang memberontak itu jabatan menteri pertahanan. Karena tekanan dari dalam dan luar negeri, Oviedo menerima pemberhentian tersebut. Pada masa berikutnya, sampai dengan pemilihan presiden pada Mei 1998, Oviedo menjadi tokoh utama berbagai sandiwara politik, dan mendapatkan hukuman penahanan
karena
pencemaran
nama
baik
presiden
dan
disambung
pembatalan vonis melalui pengadilan tingkat banding, penggeledahan rumah, persekongkolan pembunuhan, rencana revolusi kekuasaan, dll. Akhirnya
tentu saja Oviedo gagal meraih ambisinya untuk menjadi kandidat presiden. Bukannya berhasil ikut pemilu, dia malah masuk penjara. Memang
Partai
Colorado
muncul
sebagai
pemenang
pemilu
dan
menempatkan Raul Cubas Grau sebagai presiden, yang tidak saja berperan menjadi pembela Oviedo, melainkan juga mengambil posisi sedemikian rupa sehingga menjadi tidak jelas siapa yang sesungguhnya memimpin negara itu. Selanjutnya menjadi jelas bahwa supremasi sipil di Paraguay tetap menjadi hal mustahil selama kerjasama partai berkuasa dan angkatan bersenjata tetap terjadi. Dalam konteks ini, bisa dilihat undang-undang amnesti yang diproklamasikan oleh partai Colorado pertengahan Mei 1998 lalu. Undangundang itu memungkinkan tidak saja pembebasan Oviedo tetapi juga kembalinya para pelarian politik jaman mantan diktator Stroessner dari Brazil. Selain Paraguay, Chili saat ini adalah satu-satunya rezim pasca otoriter di Amerika Latin dengan partai-partai yang kuat, yang mengidentifikasi diri dengan rezim militer yang lalu. Walau hasil pemilu yang penting adalah partai kanan yang dekat dengan mantan diktator Pinochet, di negara ini tidak ada kontinuitas otoriter dalam pemerintahan. Sejak kembali menjadi negara demokrasi,
gabungan
partai
kristen
demokrat
dengan
partai
sosialis
menduduki kursi pemerintahan. Tidak tergantung pada dukungan, yang dinikmati militer dari partai-partai politik, mereka memiliki tempat yang kokoh dalam tatanan institusional, sebagai kekuasaan keempat di samping eksekutif, legislatif, dan judikatif. Bersamaan dengan bertahannya Pinochet sebagai panglima tinggi angkatan bersenjata, militer dapat melindungi hak otonomi mereka. Otonomi yang membuat mereka bisa bebas dari “bahaya” kontrol politik oleh pemerintah. Dalam hal ini, beberapa hal yang termasuk tindakan pengamanan yang ditentukan dalam proses transisi ini adalah: hanya 4/5 anggota senat yang dipilih secara demokratis; dari 47 senator ada 9 yang dipilih, di mana tiga di antaranya adalah mantan komandan tinggi angkatan bersenjata. Selain itu
sebuah dewan keamanan nasional juga dibentuk. Dewan ini bertugas memutuskan vonis keadaan keadaan darurat-perang, dan berperan sebagai instansi kontrol terhadap tiga lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Selain presiden, dalam dewan keamanan nasional itu juga terdapat panglima
tinggi
ketiga
angkatan
dalam
militer.
Sehubungan
dengan
pertanyaan mengenai pengusutan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM, militer telah mengantisipasinya dengan UU amnesti yang telah siap sejak 1978. Sebuah komisi yang dibentuk Aylwin dapat memeriksa dan mendokumentasikan
lebih
dari
2000
kasus
pelanggaran
HAM
yang
mengakibatkan kematian, dan memberikan ganti rugi kepada para korban. Dalam hal ini, ia tidak berhasil menghapus UU amnesti, misalnya dalam hal penghukuman para tersangka sebagai titik sentral program pemerintah. Di samping aspek-aspek kekuasaan politis ini, angkatan bersenjata juga telah mengamankan
kepentingan
ekonomi
mereka.
Sehingga
tidak
hanya
ditentukan bahwa tindakan militer tidak boleh melampaui posisi tahun 1989, tetapi militer juga mendapatkan secara otomatis 10 % keuntungan penjualan tembaga (yang merupakan produk ekspor terpenting) setiap tahunnya. Secara keseluruhan, militer Chilli berhasil mencabut kembali kontrol sipil terhadap wilayah otoriter. Selain banyaknya contoh bagaimana militer menunjukkan kekuasaan dan kesiapan intervensi mereka, militer juga memiliki kesempatan untuk mengintervensi proses politik secara aktif dan melampaui mekanisme yang sah. Dengan demikian segala upaya pemerintah telah gagal untuk menyingkirkan para senator yang ditunjuk. Demikian juga gagalnya berbagai usaha untuk meniadakan tanggal 11 September (yang merupakan tanggal terjadinya kudeta) sebagai hari besar nasional; bahkan sebuah rancangan UU mengenai hal itu telah diumumkan pada akhir Mei 1998 oleh Presiden Frei. Begitu juga halnya dengan Pinochet yang tidak berhasil dihukum, meski setelah lengsernya yang terencana dari posisi panglima militer pada Maret 1998 ia tidak beralih menjadi senator seumur hidup.
Dalam konfrontasi dengan pihak penguasa militer, tidak selalu pihak eksekutif dan yudikatif mengalami kekalahan. Contohnya, Jendral Contreras (mantan kepala dinas rahasia) dan stafnya yang pada 1995 dihukum beberapa tahun karena kasus pembunuhan mantan menteri luarnegeri pemerintahan Allende tahun 1976 di Washington. Dengan keputusan yang sekali-kalinya hingga saat ini, pada bulan November 1997 mahkamah agung Chile telah membatalkan amnesti yang dikeluarkan militer, dalam kasus kedua pada tahun 1974 lenyapnya murid sekolah lanjutan atas. Sebelumnya, Presiden Frei yang berkuasa sejak Maret 1994, memberikan kejutan dengan vetonya yang menentang pengangkatan seorang kepercayaan Pinochet menjadi jenderal. (karena pengangkatan itu dihubung-hubungkan dengan pembunuhan seorang diplomat asing pertengahan tahun 70-an. Kemenangan melawan militer ini akan bertahan, jika militer bisa mempertahankan posisinya yang dijamin secara struktural sebagai “negara di dalam negara.” Berbeda dengan itu, militer di Argentina dan Paraguay saat ini bukanlah elit politik yang relatif penting. Berkat bentukan konkret proses transisi dan posisi kekuasaan militer yang lemah, pemerintahan pertama pasca otoriter di Argentina memiliki ruang lingkup berkuasa yang cukup leluasa, dibanding di Chilli. Pada Desember 1983, amnesti (yang dikeluarkan sendiri oleh militer tiga bulan sebelumnya) dibatalkan kongres karena dianggap melanggar konstitusi, sehingga anggota junta militer yang melanggar HAM dapat dihukum hukuman penjara bertahun-tahun lamanya. Dengan sederetan tindakan lebih lanjut, subordinasi militer di bawah eksekutif pun diamankan. Untuk itu ada 2 dekrit pemerintah (yang dipakai militer untuk mengontrol paket
saham
kelompok-kelompok
industri
terbesar)
dialihkan
kepada
kementrian pertahanan. Akhirnya pada Desember 1986 muncullah apa yang disebut Undang-Undang Titik Akhir, dengan apa sebuah batas waktu bagi dakwaan pemberontakan diatur, dan lima bulan kemudian aturan itu menjadi Undang-Undang Kondisi
Darurat Perang yang terdiri dari 270 peraturan. Dua revolusi yang terjadi kemudian pada tahun 1988 kian memperjelas, bahwa usaha Presiden Alfonsin untuk mengintegrasikan militer ke dalam sistem demokrasi, tidaklah berhasil. Kenyataan bahwa berbagai pimpinan militer bisa diminta pertanggungjawabannya secara hukum (berbeda dengan yang terjadi di negara tetangga), menjadi sebuah langkah penting untuk melemahkan kekuasaan politik tradisional militer dan membuat sebuah konsolidasi ke arah demokrasi. Pemberontakan militer pertama terhadap pemerintahan Menem pada 1990 langsung menjadi yang terakhir, setelah para pemberontak ditundukkan oleh pasukan yang setia pada pemerintah, dan dijatuhi hukuman berat. Ketika tiga pemberontakan dapat ditekan Carapintadas, yang merusak otoritas presiden, Menem pun menjadi semakin kuat. Di masa berikutnya, kesiapan intervensi yang serius dari pihak militer pun tak terlihat lagi. Menem sendiri menyadari hal itu, dan membentuk aliansi dengan militer.
Selain
memberi
penghargaan,
Menem
juga
memberi
berbagai
kedudukan sipil sebagai penghargaan kepada militer. Karenanya meski Menem
tak
terlalu
bersikap
demokratis,
politik
militernya
dapat
diinterpretasikan sebagai usaha untuk membentuk ikatan dengan militer. Dengan cara itu, Menem pun bisa mempertahankan kekuasaan politiknya di Argentina. Redemokratisasi di Uruguay berbeda jika dibanding negara-negara lain di Subkontinen ini, yang merupakan restorasi perubahan yang diidamkan demorasi lama. Hal ini mencakup sistim politik partai-partai sebagai aktor politik sentral dengan Peraturan Pelaksanaan yang biasa dilakukan sebelum masa kediktatoran untuk memproses politik sesuai dengan nilai pokok demokasi yang dikukuhkan dalam kultur politik. Tanpa pengaruh lingkungan yang diamankan secara institusional bagi militer hal ini berarti sebuah subordinasi terhadap kedudukan tertinggi politik.
Pengetahuan yang dikukuhkan secara kolektif, bahwa tradisi demokrasi tidak mengebalkan ambisi militer untuk merebut kekuasaan mungkin menyebabkan Presiden Sanguinetti tidak membuat haluan yang bertentangan dengan pemerintahan terdahulu. Untuk menghindari konflik, pada akhir tahun 1986, (setelah militer untuk pertama kali diajukan ke pengadilan karena melanggar HAM), disahkan di parlemen apa yang disebut Undang-Undang Kelemahan untuk mencegah perlawanan oposisi. Seperti di Argentina, maka dengan konstitusi ini “penghukuman” terhadap militer harus dipentingkan, di mana di masa yang akan datang keputusan ini masih harus mendapatkan legitimasi demokrasi secara kualitatif di Uruguay, karena pada plebisit bulan April 1989 terdapat 56 persen suara yang mempertahankan undang-undang itu. Merasa takut terhadap perkembangan seperti yang terjadi di Argentina, dimana kekuasaan Militer membahayakan stabilitas demokrasi, banyak yang setuju untuk memberi amnesti demi memenuhi tuntutan persamaan hak. Karena jika intervensi militer masih dirasakan oleh kebanyakan penduduk, maka penempatan masyarakat sipil pada hirarkie yang lebih tinggi belum terlihat sampai akhir tahun 80-an. Keputusan Sanguinettis pada tahun 1987 yang banyak dikritik oleh berbagai pihak, tidaklah relevan dengan penilaian tersebut. Untuk mengangkat Panglima Tertinggi Jendral Purnawirawan Medina yang reformis menjadi Mentri Pertahanan. Karena tidak adanya pengaruh militer dalam institusi ini, apalagi bukti konkret bahwa militer kurang ditempatkan di bawah kontrol pemerintah. Memang muncul pernyataan yang membuat marah pada tahun 1989, yang kemungkinan direkayasa seperti yang terjadi pada tahun 1973. Medina segera menolak anggapan ini sebagai “inisiatif yang menyedihkan dari seorang individu”. Ia memperlihatkan kesetiaan penuh Angkatan Bersenjata kepada pemerintah yang demokratis dan menjamin, bahwa hasil pemilihan umum bagaimanapun harus dihormati. Juga termasuk terhadap kemenangan
Persekutuan Partai Frente Amplio yang berhaluan kiri, (yang tidak hanya sosialis dan komunis, melainkan juga bekas gerilya kota), yang merupakan musuh bebuyutan Militer. Kenyataannya tidak ada tanda-tanda ancaman dari militer setelah kemenangan Frente Amplio, yang pemilunya dilaksanakan di Montevideo. Dengan pemilihan ini untuk untuk pertama kalinya dominasi kedua partai tradisional dipatahkan, dan kelompok yang berhaluan kiri mengambil alih jabatan pemerintahan tingkat kedua di negara itu, yaitu sebagai walikota Montevideo. Summa summarum di Uruguay, di mana kedudukan tertinggi masyarakat sipil disuap dengan pembebasan hukuman bagi militer. Pada tahun sembilan puluhan tidak tampak lagi adanya aktor politik dari kalangan militer. Tidak nampak adanya ancaman eksplisit dan implisit yang penting apalagi tuntutan terhadap sistem politik demokrasi. Tidak ada petunjuk bahwa pihak militer mengadakan intervensi. Pada akhir tahun 1997, ketika hubungan antara eksekutif dan Militer diuji, presiden berhasil melaksanakannya. Pada bulan Desember timbul kritik keras dari jajaran militer terhadap keputusan Presiden merehabilitasi 41 anggota angkatan bersenjata yang selama pemerintahan diktator telah dijatuhi hukuman di Pengadilan Kehormatan Militer sebagai penentang kudeta. Konflik berakhir setelah Presiden tetap berpegang teguh pada
keputusan
itu
dan
Panglima
Tertinggi
mengundurkan
diri
dari
ketentaraan.
Resume dan Refleksi Demokrasi di Amerika Selatan sampai sekarang masih belum bebas dari kekurangan, apalagi sampai pada pelaksanaan persamaan hak. Alternatif sistem yang kurang dalam arti democracy by default tidak menghasilkan dasar legitimasi yang mencukupi untuk menstabilkan sistem politik jangka panjang. Ketidakpuasan penduduk yang makin kuat terhadap partai politik,
institusi, peraturan-peraturan, serta politisi, tidak mengarah pada delegitimasi demokrasi yang substansial. Demokrasi yang masih baru di Amerika Selatan belum menjadi angin segar yang menyapu berbagai beban berat, apalagi memenuhi ramalan, bahwa pada tahun sembilan puluhan akan muncul ancaman baru yang dilakukan oleh militer. Tidak ada dari keempat negara berdekatan yang diamati ini muncul intervensi angkatan bersenjata yang mungkin sekali direkayasa. Setiap tindakan rasional harus menghasilkan pemikiran, bahwa pengambilalihan kekuasaan dengan gaya serupa tidak ada gunanya bagi militer. Paraguay dan Chili dapat digunakan sebagai contoh yang baik, bahwa Militer – harus mempunyai alasan mutlak jika ingin mengambilalih kekuasaan secara langsung. Di kedua negara itu, kedudukan militer merupakan masalah utama dalam
proses
konsolidasi
demokrasi.
Paraguay,
misalnya,
tetap
mempertahankan segi tiga kekuasaan lama yaitu Partai Colorado, aparat negara, dan Militer, tanpa membiarkan militer menimbulkan kerugian. Sedangkan, angkatan bersenjata Chili berhasil menegakkan kekuasaan politik dan
perlindungan
veto,
melalui
pencegahan
dini
secara
institusional,
walaupun terjadi pergantian rezim. Melaksanakan tugas dan kepentingan sendiri secara fundamental, tanpa mengutamakan pembatasan demokrasi ataupun kudeta.
Pada kualitas demokrasi di Chili dan Paraguay terdapat
perbedaan penting. Di Chili, sejak pemerintahan Aylwin dan Frei, telah jelas timbul keinginan terhadap demokrasi. Sebaliknya di Paraguay belum jelas, sejauh mana Rodriguez dan Wasmosy pada delapan tahun yang lalu, telah tertarik pada demokratisasi, juga dalam konteks supremasi sipil. Di negara-negara seperti Paraguay, walau secara historis hubungan antara militer dan politiknya mempunyai ciri simbiosis, bukan pada hal itu, peran tradisional pemerintah (yang dilegitimasi secara demokratis) diletakkan. Tertuama
jika
hal
tersebut
dapat
nengakibatkan
melemahnya
posisi
kekuasaan masing-masing. Paraguay menawarkan sebuah contoh yang baik
mengenai perubahan politik di sebuah negara dalam konteks perubahan lingkungan global, di mana pemerintahan militer tidak bersikap tendensius. Dalam konteks ini, misalnya kasus Jendral Purnawirawan Oviedo, di mana Argentina,
Brazil,
dan
Uruguay
memperjelas
bahwa
Paraguay
yang
“demokratis” memiliki tempat dalam sistem integrasi MERCOSUR secara menyeluruh. Sekitar satu setengah tahun ini kediktatoran militer telah berakhir di Argentina dan Uruguay, dengan penempatan subordinatif militer di bawah wewenang dan pengawasan pemerintah, juga dengan berhasilnya supremasi sipil. Tidak ada petunjuk konkret di Argentina, bahwa angkatan bersenjata menginginkan kedudukan yang menonjol sebagai aktor politik. Pengalaman terdahulu telah meninggalkan jejak hitam (yang mungkin berlatarbelakang cerita perwira Argentina) tentang praktek “penculikan” orang-orang yang mengikuti diskusi tentang pembaharuan pada masa pertengahan tahun 90an. Bahaya militer bagi demokrasi di Argentina sekarang terlihat lebih kecil daripada faktor kekuasaan politik yang potensial, dan Presiden yang meminjam ungkapan tentang demokrasi yang khusus, dan elit politik, yang mempercayai praktek populisme dan klientelisme. Dalam konteks Amerika Selatan, Uruguay merupakan negara yang paling maju dalam proses konsolidasi demokrasi. Supremasi sipil dapat dihasilkan kembali dalam tradisi kultur politik sebelum era kediktatoran pada demokrasi Uruguay.
Terutama
dengan
sebuah
pembatasan
hukum
pidana
yang
dijelaskan dengan referendum 1989, mengenai tugas pembaharuan moral etis yang di masa lalu tak terpecahkan. Selama pembongkaran pelanggaran hak asasi manusia tetap dianggap tabu oleh pihak eksekutif, maka dapat dispekulasikan seberapa jauh sebenarnya militer ditempatkan di bawah posisi politis lainnya.
Tema tersebut di atas merupakan prasyarat yang harus tercantum dalam agenda di Argentina dan Chile. Contohnya pada bulan Juni 1998, mantan diktator Videla ditangkap karena kasus penculikan anak di bawah umur pada masa diktator militer dan serta karena mengajukan perintah penahanan terhadap kepala marinir junta militer terdahulu, Massera, dengan tudukan mendukung kejahatan dan melanggar konstitusi. Beberapa hari sebelumnya komisi hak asasi manusia antar Amerika dari Organisasi negara-negara Amerika
telah
menerangkan
bahwa
Undang-Undang
Amnesti
Chili
bertentangan dengan hukum. Masalah umum mengenai tugas militer di masa datang juga merambah ke negara-negara Amerika Selatan lainnya, setelah masing-masing negara hampir tidak berkonfrontasi dengan musuh dari luar. Seperti juga tahun 60-an di mana juga tidak ada musuh dari dalam yang bisa memberikan legitimasi bagi angkatan bersenjata. Kini juga muncul kecenderungan baru untuk memberi militer tugas baru sebagai kekuatan sosial, seperti memberantas obat terlarang, atau menangani masalah lingkungan, dalam usaha mendapatkan karir supremasi sipil. Selain itu, angkatan bersenjata juga memiliki misi baru dan muncul sebagai satu-satunya aktivis multilateral yang penting yaitu dalam bidang penjagaan perdamaian di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pernyataan lama mengenai perubahan siklus sistem politik Amerika Latin, setelah
selama
pemerintahan
kira-kira
demokrasi
20 ke
tahun otoriter
terjadi atau
perubahan
sebaliknya,
dari
tidak
bentuk memiliki
keabsahan di masa lalu di negara-negara yang diamati ini. Dalam perspektif sekarang, kecil kemungkin bandul politis di Amerika Latin akan berayun kembali ke arah otoriterisme ciri lama di bawah pimpinan militer. Pertanyaan yang layak diajukan saat ini adalah, seberapa jauh sebenarnya demokrasi dapat berfungsi, atau dapat distabilkan dalam jangka lama di negara-negara di seluruh anak benua itu?