PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Zaenal Arifin NIM: 101033221853
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H. / 2008 M.
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 03 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. J a k a r t a , 0 3 J a n u a r i 2 0 0 8 Sidang Munaqasyah
Sekretaris Merangkap Anggota
Ketua Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP. 150 283 228
Drs. Edwin Syarif, M.A. NIP. 150 262 447
ii
Anggota
Dra. Haniah Hanafi, M.Si.
Dr. Sirojuddin Aly, M.A.
NIP. 150 299 932
NIP. 150 318 684
Drs. Chaider S. Bamualim MA. NIP: 150 295 313
iii
KATA PENGANTAR
Bismillâh al rahmân al rahîm Dengan penuh rasa syukur atas selesainya skripsi ini, penulis memanjatkan puji kepada Allah Subhânah wa Ta‘âla. Dia-lah Dzat yang Maha Agung yang telah menciptakan manusia dan seluruh ciptaan-Nya baik di bumi maupun di langit. Dia-lah yang selalu ada ketika manusia fana. Shalawat dan salam tetap penulis haturkan kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad shalla Allâh ‘alaih wa sallam yang telah meletakkan pondasi yang kuat bagi peradaban manusia. Perjalanan menempuh sarjana bagi penulis memang tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai halangan yang mengganggu baik selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini selalu ada. Namun dengan kekuasaan-Nya, Allah memperlihatkan kasih sayang-Nya dengan cara-Nya sendiri sehingga penulis mampu menuntaskan skripsi ini sesuai ketentuan tradisi akademik. Dalam hal ini penulis mengangkat tema tentang “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.” Skripsi
ini
disusun
untuk
menambah
khazanah
keilmuan
dan
pengembangan wacana politik Islam di Afghanistan pasca invasi Amerika Serikat. Atas selesainya skripsi ini, penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan peranan penting dan kontribusi berharga terhadap penulis, baik selama penyusunan skripsi ini maupun ketika menjalani masa perjuangan di kampus tercinta sampai menempuh jenjang pendidikan sarjana. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa terima kasih dari
iv
lubuk hati yang dalam atas kerjasamanya.Ucapan terima kasih ini saya haturkan kepada: 1. Kedua orang tuaku, H. Ali Murtadlo dan Hj. Siti Rahmah. Tanpa mereka penulis mustahil bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini. Merekalah sesungguhnya yang telah berhasil melewati masa-masa sulit dengan segala kesabarannya. Adik-adikku yang sangat aku sayangi yaitu Rien Zumaroh, Nurul Afifah Marwatin, dan Fatmawati (Almh) yang selalu bertanya: mas …, kapan skripsinya selesai? Pertanyaan inilah yang mengusik hati penulis untuk secepatnya menyeselasikan studi ini. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu rektor lainnya, semoga cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas Islam bertarap internasional segera terwujud. Amin….. 3. Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah berusaha menciptakan lingkungan intelektual yang kondusif sehingga memungkinkan penulis khususnya dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat umumnya bisa belajar dengan nyaman. 4. Drs. Agus Darmaji, M.Fils., Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan masukan dan saran yang berharga pada draft awal pengajuan skripsi ini. 5. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A., Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan pelayanan akademik sebaik-baiknya. .
v
6. Drs. Chaider S. Bamualim MA. selaku pembimbing yang dengan segala kesibukannya bersedia menyempatkan waktunya untuk membimbing penulis serta mendukung penulis dalam kehidupan kampus yang lain. 7. Penguji Skripsi yaitu Bpk. Dr. Sirojuddin Aly MA. Dan Ibu Dra. Haniah Hanifie M.Si. yang telah banyak memberikan masukan-masukan dan saran-saran atas skripsi ini. 8. Kyai saya, guru saya KH. Abdurrahman Wahid selaku pengasuh PONPES Luhur Mahasiswa Ciganjur, KH. Jamaluddin Ahmad selaku pengasuh PONPES Tambak Beras Jombang, K. Imam Syafa’at selaku pengasuh PONPES Nurul Isyhar Nganjuk, K. Syamsul Hadi (Alm) selaku pengasuh PONPES Mambaul Ulum Bojonegoro, beserta kyaikyai yang lain. 9. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Freedom Institute, CSIS, Deplu, dan LIPI. 10. Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan pelayanan pengetahuan dengan profesional, memberikan ruang diskusi yang dialogis, terbuka dan memberikan kebebasan berpikir pada setiap pokok bahasan yang disampaikan, telah memberikan wawasan intelektual dengan penuh rasa saling menghargai, terbuka, dengan tetap bertumpu pada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Mereka juga telah memberikan apresiasi terhadap aneka ragam pemikiran yang muncul sehingga memungkinkan terjadinya pendewasaan intelektual.
vi
11. Bapak HM. Mukri dan Mr. Foo Kim Chooi, pimpinan saya di PT. Pertamina, UPms-III Cab. Bandara Internasional Soekarno-Hatta atas partisipasinya selama proses penelitian ini. 12. Giyono dan Lek Lilin beserta keluarga di Pondok Ranji yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan selama proses perkuliahan. 13. Keluarga besar Yayasan Wahid Hasyim khususnya kepada Bpk. H. Muhammad Musthafa, Prof. KH. Said Aqiel Siroj, H. Syaifullah Yusuf, H. Muhaimin Iskandar M.Si, dan H. Aris Junaidi. 14. Para kawan-kawan di organisasi HMI, PMII, IMM, Formaci, Kompak, HIMABI, dll. 15. Teman-temanku angkatan 2001 di program studi Pemikiran Politik Islam: Abdul Muhid, Abdul Manaf, Bahrul Ulumuddin, Nyai Susilawati, Ramdan Muhaimin, Sondang Ria, dll. Penulis yakin masih banyak nama yang belum disebutkan yang memiliki andil besar dalam penulisan karya ilmiah ini, baik langsung maupun tidak langsung. Kepada mereka semua, penulis tetap menghaturkan rasa terima kasih yang banyak. Semoga Allah membalas amal mereka dengan balasan yang lebih…..Amin Ya Robbal Alamin. Jakarta, 3 Januari 2008
Z a e
vii
n a l
A r i f i n
viii
DAFTAR ISI . ............................................................................... LEMBAR PENGESAHAN i ........................................................................................KATA PENGANTAR v .............................................................................................
DAFTAR ISI
vii ...................................................................... PEDOMAN TRANSLITERASI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah.......................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................
8
D. Metode Penelitian ...........................................................
9
E. Sistematika Pembahasan .................................................
10
DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN
….
BAB I
BAB II
A. Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan.....
12
B. Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban
19
28..................... C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban
30 ... .................... D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban
PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA
BAB III
SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan .... 34 ... ...................
tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban
35 ... ..................................
A.1. Pelaksanaan Invasi Militer
ix
..
A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap
36 ... .............................................................
Afghanistan
B. Proses Menuju Demokrasi ..............................................
44
B.1. Terjadinya Transisi Rezim di 45 .................................................................. Afghanistan B.2. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan 47 B.3. Peran AS dalam Proses Rekonstruksi Pasca Transisi 56 ...........................................................
di Afghanistan
C. Proses Demokrasi di Afghanistan ...................................
60
C.1. Peran AS dalam Proses 63 ........................................... Demokrasi di Afghanistan C.2. Pemilihan Umum 2004 Wujud 66 ............................................................. dari Demokrasi
PENUTUP
BAB IV
A. Kesimpulan ..................................................................
x
72
PEDOMAN TRANSLITERASI
Indonesia
Indonesia
Arab
Vokal
Konsonan b t ts j h kh d r z s sy s d t z ‘ g f q k l m n w h ’ y
Arab
a i u
ا ب ت ث ج ح خ د ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ـﻩ ء ي
ــَـ ــِـ ــُـ
Vokal Panjang â û î â ’â
اــ وــ يــ ى ﺁ
Difthong aw/au ay
وـــ يـــ
Kata Sandang alal-sy wa’l-
ـل ا... ــشل ا ـل او...
Lainnya ât âh
xi
تاــ ةاــ
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Serangan teroris internasional terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001 secara langsung membuktikan kepada bangsa Amerika termasuk dunia internasional mengenai rendahnya kesiapsiagaan sistem pertahanan domestik Amerika sebagai negara adidaya dalam melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur- infrastruktur yang vital dari suatu serangan yang dipola secara lokal. WTC dan Pentagon sebagai lambang supremasi ekonomi dan militer untuk pertama kalinya dilumpuhkan oleh suatu serangan yang non-militer oleh satu kelompok teroris. Kejadian katastropik itu menciptakan celah kerawanan dan celah kesempatan bagi setiap teroris lokal atau internasional untuk menyerang Amerika Serikat kembali. Hal tersebut menimbulkan suatu ketakutan yang mendalam dalam masyarakat atau pemerintah Amerika.1 Sejak peristiwa 11 September 2001, tampak jelas Amerika Serikat (AS) telah mendemonstrasikan praktek politik unilateralis2 dan arogansi tanpa raguragu. Tanpa proses penyidikan dan penyelidikan yang seksama atas kasus itu, 1
Perasaan takut itu seperti terungkap dalam kata-kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat, William J. Perry (1994-1997), “As Deadly as the World Trade Center disaster was, it could have produced a hundredfold more victims if the terrorist had possessed nuclear or biological weapons. And the future threat could come form hostile nations as well as terrorist”. Lihat Badan pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Wilayah Amerika Program Pasca-Sarjana Universitas Indonesia, “Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” (Jakarta: UI Press, 2003), h. 2 2 Unilateralis adalah kebijakan sepihak dalam urusan internasional tanpa mengindahkan aturan, kesepakatan, atau lembaga internasional atau kepentingan negara serta pihak non-negara lainnya. Sebagaimana telah kita lihat, Unilateralisme itu ditampakkan secara terang-terangan dalam sikap Amerika Serikat terhadap PBB, terutama dalam hal terorisme global. Dimana Amerika Serikat menunjukkan penolakan nyata terhadap resolusi Dewan keamanan PBB.
12
dengan serta merta Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap Afghanistan tanpa mandat yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan pembenaran atas serangan militer yang sangat kejam itu, Afghanistan dituduh melindungi teroris bernama Osama bin Laden tanpa bukti yang nyata. Jadilah negara Islam yang lemah itu sebagai korban kekerasan militer Amerika Serikat yang dengan gencar membombardir tanah para mullah yang lemah dan sedang tercabik pertikaian internal itu. Inilah peristiwa pertama dalam sejarah, melancarkan serangan militer besar-besaran dengan dalih mengejar teroris yang sedang dicari. Menurut Presiden George W.Bush, tindakan atas negeri naas itu sengaja dilakukan demi kebebasan dan Demokrasi.3 Tetapi mengapa dalam upaya untuk menyebarluaskan kebebasan dan demokrasi Amerika Serikat menggunakan cara yang tidak berkeprimanusiaan, misalnya dalam kasus Afghanistan dan Irak. Amerika Serikat mengaku ingin menggulingkan rezim otoriter dari kedua negara tersebut demi terjaminya perdamaian dunia serta menciptakan dunia yang menghargai hak asasi manusia. Namun, proses ini di lakukan dengan menggunakan kekerasan, yaitu melalui invasi militer.4 Dengan tindakan militer itu, seluruh infrastruktur Afghanistan hancur dan belasan ribu warga tidak berdosa tewas sia-sia. Ternyata Osama pun tidak tertangkap, dicari pun tidak ditemukan hingga kini. Pastinya, serangan militer Amerika Serikat itu berakhir dengan kehancuran segala fasilitas dan infrastruktur sosial ekonomi, kerugian jiwa raga dan psikologi rakyat Afghanistan, pendepakan rezim berkuasa yang sah di Afghanistan dan dipasangnya rezim boneka yang 3
Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 32-34 4 Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 ( Mei 2005 ): h.42
13
bersedia disetir. Jadi, jelas sepak terjang Amerika Serikat sangat bertentangan dengan demokrasi, sebagaimana ditunjukkan dengan pembunuhan umat manusia secara kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Apakah tindakan menangkap seorang teroris dengan pengerahan kekuatan militer dan membombarder besarbesaran terhadap negara kecil, lemah, dan tidak bersalah dapat dibenarkan? Apalagi tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ). Sangat jelas, bahwa apa yang dimaksud Amerika Serikat sebagai serangan balasan (Counter Attack) terhadap terorisme itu sesungguhnya merupakan invasi militer yang tidak dapat diterima karena negara Afghanistan tidak terbukti berbuat salah terhadap Amerika Serikat dan juga tanpa dasar yang kuat dituduh sebagai pelindung teroris. Serangan militer itu juga merupakan serangan yang melawan hukum internasional karena dilancarkan pada saat keadaan dalam negeri Afghanistan sedang dilanda kecamuk pertikaian antar faksi yang berkepanjangan dan melelahkan. Jadi, Invasi militer sepihak tanpa mandat PBB itu ternyata bertujuan untuk menyelamatkan wajah teroris yang sebenarnya yang berada di dalam jaringan birokrasi tingkat tinggi pemerintahan Amerika Serikat.5 Hal ini tampak jelas karena kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elit politik Gedung Putih. Mereka yang dimotori Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Deputi Menhan Paul Dundes Wolfowitz, serta Penasehat Keamanan Nasional (NSC) Condoleezza Rice, memang dikenal sebagai kelompok “neokonservatif“ yang selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristik. Yang ada dalam benak mereka hanya perang dan perang. Sementara persoalan HAM dan
5
Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika, h. 32-34.
14
demokrasi justru dikesampingkan. Tidak mengherankan, jika seorang Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan) menuduh AS di bawah Bush sebagai negara yang sama sekali tidak memiliki sopan santun dalam pergaulan Internasional.6 Tindakan pembalasan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap rezim Taliban di Afghanistan, untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu dari negara lain yang tidak berkaitan langsung dengan rezim tersebut, melangkah jauh dari perang pembalasan yang diperbolehkan oleh piagam PBB ketika menghadapi agresi militer dari negara lain. Namun hal ini tampaknya tidak diperdulikan oleh pemerintahan Bush, walaupun aksi militer Amerika Serikat di Afghanistan mendapat banyak kecaman Internasional. AS berdalih bahwa rezim Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok Al-Qaeda yang tetap merupakan ancaman bagi Amerika Serikat, Sehingga untuk menghancurkan Al-Qaeda dan mencegah aksi teror selanjutnya rezim Taliban pun harus ikut dihancurkan. Dalam perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat negara yang membiarkan kelompok teroris berada di wilayahnya tampaknya juga dianggap sebagai teroris atau pendukung terorisme sehingga perlu diperangi, sebelum ancaman itu menjadi kenyataan. Sikap Pemerintah Bush itu merupakan kelanjutan dari doktrin pre- emptive strike7 yang dikemukakan Pentagon tahun 1992, sama sekali tidak mengindahkan piagam PBB dan hukum internasional lainnya tentang perang yang sah. Doktrin ini membenarkan tindakan agresi terhadap negara lain hanya berdasarkan kecurigaan Amerika Serikat terhadap niat atau kemampuan yang dimiliki negara 6 7
Riza Sihbudi, Menyandera Timur-Tengah (Jakarta : Mizan, 2007) Cet. I h.151 Pre emptive strike adalah menyerang lebih dulu sebelum kembali diserang.
15
tersebut. Tentara Amerika Serikat dapat melakukan serangan dimana saja, kapan saja, melawan siapa saja sesuai persepsi ancaman Washington, tanpa memerlukan mandat PBB ataupun dukungan internasional.8 Secara sepihak upaya yang telah dilakukan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah: pertama, mengisolasi negara yang memberi dukungan terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua, memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak upaya tawar-menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris. Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau melindungi teroris. Bagi Amerika, hal itu penting dilakukan karena selama masih ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok senjata, maupun memberikan bantuan logistik maka upaya pemberantasan terorisme akan sulit dilakukan. Setiap tahun pemerintah Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme, negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme, dan negara yang tidak sungguh-sungguh menanggulangi kegiatan terorisme.9 Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi, diplomatik maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait.10 8
“ Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak, “ Jurnal Demokrasi & HAM,Vol.3 No.2 , (Mei – September 2003), h.21-22 9 Setiyo Budhi Cahyo Padma Gandhi, “ Respon Amerika Serikat menghadapi terorisme ( Studi Kasus ); Pasca serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ), Tahun 2001-2002,“ (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003), h.7 10 Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara
16
Sementara, pemerintah George W. Bush telah bekerja cepat dan menyimpulkan bahwa dalang dari serangan terorisme ke negaranya adalah Osama bin Laden dengan jaringan al-Qaedanya yang bermarkas di Afghanistan sejak tahun 1996. Keputusan Taliban untuk tidak menyerahkan Osama bin Laden kemudian dianggap sebagai upaya pemerintah negeri itu melindungi terorisme, dan ini menimbulkan kemarahan Amerika Serikat. Osama bin Laden sendiri dianggap menjadi gembong teroris yang menjadi perhatian Amerika Serikat sejak terjadinya serangan bom terhadap kedutaan Besar Amerika Serikat di Afrika.11 Taliban merupakan suatu kelompok kekuatan politik yang berkuasa di Afghanistan. Osama memang sedang dicari oleh intel Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini, karena tuduhan melakukan beberapa aksi teror terhadap fasilitas Amerika Serikat di luar negeri. Kelompok Taliban menjadi kuat karena bantuan Amerika Serikat ketika perang melawan Uni Soviet (1979-1989).12 Sebelum memutuskan untuk melakukan serangan militer terhadap Afghanistan, Amerika Serikat terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan pemerintahan Taliban di Afghanistan, tetapi upaya ini gagal karena pemerintahan pendukung terorisme ini, sehingga negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk pembangunan nasionalnya. Tekanan ekonomi baru dihentikan setelah negara tersebut mau mematuhi keinginan Amerika Serikat. Kuba, Irak, Iran, Libya, Korea Utara, Sudan, dan Suriah sejak 1993 selalu masuk dalam daftar negara sponsor terorisme yang dibuat oleh Amerika Serikat. Sedangkan Afganistan sejak tragedi 11 September 2001 telah dikategorikan sebagai negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme karena menolak menyerahkan Osama bin Laden dan menolak tuduhan memberi pelatihan militer bagi pejuang Chechnya, sehingga telah lama mendapat hukuman sanksi ekonomi dari PBB dan embargo bahan bakar. 11 Jauh sebelum peristiwa 11 September 2001 terjadi, al-Qaeda telah memiliki catatan pembunuhan dan penghancuran yang panjang. Pada Oktober 1993, mata-mata yang dilatih jaringan al-Qaeda membunuh 18 tentara Amerika Serikat yang sedang bertugas sebagai penjaga perdamaian PBB di Somalia. Pada Agustus 1998, organisasi ini mengebom kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania dan membunuh 223 orang dan melukai lebih dari 4000 orang, yang sebagian merupakan warga negara Kenya. Lalu pada Oktober 2000, para teroris tersebut menyerang kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Cole dengan menabrakkan perahu kecil yang membawa bom. Sebanyak 17 awak berkebangsaan Amerika tewas. Al-Qaeda disinyalir juga memiliki jaringan dengan gerakan jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekisan dan beberapa kelompok teroris. 12 Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat MenghadapiTerorisme, h.5.
17
Taliban merasa diintimidasi oleh Amerika Serikat. Pemerintahan Taliban merasa keberatan untuk menyerahkan Osama bin Laden yang telah berjasa dalam membangun Afghanistan, tanpa ada bukti-bukti yang jelas mengenai keterlibatan Osama bin Laden dalam serangan 11 september 2001. Keputusan Pemerintahan Taliban telah membuat Amerika Serikat marah, sehingga konflik di antara kedua negara tidak dapat dihindarkan.13 Amerika Serikat memutuskan untuk jalan terus dan menyatakan perang terhadap terorisme. Menghancurkan basis kelompok teroris yang dituding berada di balik serangan 11 September, al-Qaeda adalah tujuan terdekat dan paling mendesak. Hal ini menyebabkan serangan militer berkelanjutan di Afghanistan. Sebelas bulan setelah operasi militer dimulai, Amerika berhasil menjatuhkan Taliban dari tampuk kekuasaan di Afghanistan dan telah mengguncang serta memperlemah, jaringan sel-sel al-Qaeda. Namun, Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden belum tersentuh. Demikian pula Mullah Muhammad Omar, Pemimpin Taliban yang sudah dijatuhkan namun sulit ditangkap.14 Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dan dengan bersendikan kepada ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Pemikiran Politik Islam maka, penulis tertarik untuk mengkaji, memahami, dan menganalisa fenomena yang menjadi perhatian dunia internasional ini. Dengan ini, penulis mengambil judul, " Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”
13 14
Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat Menghadapi Terorisme, h.22 Chandra Muzaffar, Muslim, Dialog dan Teror (Jakarta : Profetik, 2004) Cet.I, h.174
18
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. Mengingat kompleksitas masalah di atas, penulis perlu membatasi penelitian ini pada pelaksanaan serangan militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan pada Oktober 2001 hingga berakhirnya proses pemilihan umum di Afghanistan
pada
Oktober
2004,
yang
menandakan
hadirnya
sebuah
pemerintahan baru. Maka dari itu, dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hubungan internasional dan pengetahuan tentang ilmu pemikiran politik Islam khususnya kepada peneliti umumnya kepada pembaca.
2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan. 2. Untuk menjelaskan terjadinya transisi rezim di Afghanistan pasca kekalahan Taliban. 3. Untuk menjelaskan pengaruh Amerika Serikat dalam suksesi pemerintahan di Afghanistan sampai pelaksanaan Pemilu 2004.
19
4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian Di dalam karya ilmiah metode penelitian merupakan hal yang harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini, maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Pendekatan penelitian kualitatif ini, didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan.15 Dalam hal ini penulis berusaha menggambarkan fenomena pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan secara sistematis, faktual, dan akurat, kemudian mengkritisinya dengan menggunakan berbagai literatur yang tersedia.16 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku wajib dan bahan-bahan tertulis lainya seperti dokumen Surat Kabar, Majalah, Internet dan lain-lain dari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. h. 4 – 8
15
Lexi J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000),
16
Moch. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63
20
Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh data yang terkumpul untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam proses penelitian. Adapun dalam penulisan Skripsi ini, Penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, Disertasi ) Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Tahun 2006.
E. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan secara keseluruhan pembahasan Skripsi ini, Maka diperlukan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut : : Bab I berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
BAB I
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. : Bab II adalah bagian pembahasan yang akan diarahkan untuk menggambarkan
dinamika
kehidupan
sosial
dan
politik
BAB II
di
Afghanistan yang dipengaruhi oleh etnisitas dan selalu mengalami pergolakan, kegagalan pemerintahan mujahidin: lahirnya Taliban, dan akar-akar sosial doktrinal Taliban serta sikap Amerika Serikat terhadap Taliban dari keempat bagian ini, diharapkan akan dapat terlihat jelas mengenai kemunculan Taliban dan hubungannya dengan alasan Amerika Serikat melakukan invasi tersebut. : Bab III merupakan bagian dari pembahasan, namun akan lebih difokuskan pada penjelasan mengenai invasi militer Amerika Serikat
21
BAB III
dan pengaruhnya terhadap proses demokrasi di Afghanistan, transisi menuju demokrasi, proses menuju demokrasi, proses demokrasi di Afghanistan, serta terlaksananya pemilihan umum 2004 sebagai wujud dari demokrasi. : Kesimpulan, bab ini merupakan akhir dari Skripsi yang berisikan kesimpulan penelitian.
22
BAB IV
BAB II DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN
A. Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan Afghanistan merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Barat Daya. Negara ini berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan di sebelah utara, dengan Pakistan di sebelah timur dan selatan, serta dengan Iran di sebelah barat.17 Afghanistan memiliki nama nasional Dowlat-e Eslami-ye Afghanestan, atau Emirat Islam Afghanistan, dan mendapat kemerdekaannya dari Inggris pada 19 Agustus 1949. Luas area Afghanistan adalah 647.500 km2 yang dihuni oleh 28.513.677 penduduk menurut sensus tahun 2004. Pertumbuhan penduduk di Afghanistan kira-kira mencapai 4,9% pertahun.18 Terdapat 34 provinsi di Afghanistan, yaitu Badakhsthan, Badghis, Baghlan, Balkh, Bamian, Daykondi, Farah, Faryab, Ghazni, Ghor, Helmand, Herat, Jowzjan, Kabul, Kandahar, Kapisa, Khost, Konar, Kunduz, Laghman, Loghar, Nangarhar, Nimruz, Nurestan, Oruzgan, Pakhtia, Paktika, Panjshir, Parvan, Samangan, Sar-e Pol, Takhar, Vardak, dan Zabol. 19 Kelompok-kelompok suku utama adalah Pashtun (35-40%), Tajik (25-30%), Uzbek (10%), Hazara (1015%), Turkman (5%) dan lain-lain (2%). Bahasa resmi Afghanistan adalah Pashto
1.
Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” dalam Verinder Grover (ed)., Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan (New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002), h.1. 18 “Afghanistan,” diakses pada 13 November 2007 dari http://www.infoplease.com/ipa /A0107264. html. 19 “Afghanistan,” diakses pada 16 November 2007 dari http://www.odci.gov /cia/ publication /factbook /geos/af.html,
23
dan Dari.20 Sementara itu, agama mayoritas adalah Islam, yang terdiri dari 84% Islam Sunni dan 15% Islam Syi’ah.21 Afghanistan bukan merupakan unit etnis yang self-contained22 dan kebudayaan nasionalnya tidaklah seragam. Hanya sedikit di antara kelompok etnis di Afghanistan yang benar-benar berasal dari negara tersebut.23 Hal ini menjadi salah satu penyebab adanya sejarah perang yang panjang di negaranya, sehingga kehidupan sosial dan politik rakyat Afghanistan dapat dikatakan tidak pernah berjalan mulus. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menjelaskan masalah dan pengaruh etnisitas dalam kehidupan sosial dan terutama politik Afghanistan. Seperti halnya negara-negara ataupun wilayah-wilayah lain yang dilanda konflik, salah satu akibat sosial yang paling terlihat adalah munculnya masalah pengungsian yang sangat serius. Hampir sepanjang sejarah Afghanistan, terutama dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir, kehidupan rakyat Afghanistan diwarnai dengan kegiatan pengungsian ke negara-negara tetangga terdekatnya, terutama Pakistan dan Iran. Pada masa perang internal misalnya, yaitu sekitar 1992 hingga 1994, jumlah pengungsi Afghanistan di Pakistan adalah sekitar 3,2 juta penduduk dan di Iran sebanyak 2,9 juta penduduk.24 Walaupun kemudian sejak 1993 banyak pengungsi Afghanistan dibantu oleh PBB untuk pulang ke negara mereka, namun jumlah pengungsi Afghanistan masih besar. Ketika invasi militer Amerika Serikat ke Afghanistan, pengungsian rakyat Afghanistan secara besar-besaran ke negaranegara terulang kembali. 20
Dari adalah dialek Afganistan dari bahasa Persia Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” hlm. 2. 22 Self-Contained adalah negara yang dapat berdiri sendiri. 23 P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 1, Afghanistan: The Land and People (New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD., 2002), h. 62. 24 Diakses pada 17 November 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com /Afghanistan_ timeline_1991-1995, 21
24
Gambaran seperti inilah yang kerap terjadi ketika Afghanistan dilanda perang besar. Para pengungsi Afghanistan telah mengalami gangguan-gangguan yang radikal dalam kebudayaan, organisasi sosial, serta kehidupan perekonomian mereka, terutama sejak mereka diharuskan mengungsi akibat perang yang berkepanjangan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial budaya rakyat Afghanistan sangat kental dengan unsur agama Islam. Hal ini dikarenakan hampir seluruh rakyat Afghanistan, terutama etnis Pashtun, merupakan muslim taat bahkan cenderung fanatik. Pihak-pihak yang berusaha mempropagandakan ajaran agama selain Islam diancam oleh hukum adat dengan hukuman mati. Sekitar 40% rakyat Afghanistan mengikuti aliran sunnah wal jama’ah dari mazhab Hanafiah Maturidiyah (sunni hanafi). Mazhab Hanafi dikembangkan oleh Abu Hanifah, salah seorang pelajar Islam pertama yang berupaya menginterpretasikan syari’atsyari’at Islam ke dalam kehidupan sehari-hari manusia. Interpretasinya terhadap hukum Islam sangat toleran terhadap perbedaan di dalam komunitas-komunitas umat Islam. Beliau juga membedakan antara kepercayaan dan pelaksanaan, di mana beliau menganggap bahwa kepercayaan lebih penting.25 Aliran ini memiliki ciri-ciri pemahaman agama yang sangat tekstual, sesuai dengan apa yang tersurat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan sikap hidup keagaman seperti itu kaum muslimin Afghanistan dengan cepat dapat memutuskan apa yang halal (diperbolehkan dalam Islam) dan apa yang haram (dilarang oleh Islam), tanpa melalui banyak prosedur yang membutuhkan interpretasi yang tinggi dari para ulama mereka. Kepercayaan tersebut juga sebenarnya membuat rakyat
25
Diakses pada 17 November 2007 dari http://countrystudies.us/afghanistan/65.htm,.
25
Afghanistan menjadi toleran terhadap perbedaan, dengan syarat ada kepercayaan antara satu kelompok dengan yang lainnya. Rakyat Afghanistan hidup dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan norma-norma suku Pashtun dan adatistiadat lokal lainnya. Meski demikian, terdapat perbedaan pandangan terhadap implementasai syari’ah Islam di antara mereka. Ada yang liberal, konservatif, maupun ortodoks. Walaupun beberapa pemimpin Afghanistan pernah mencoba untuk melakukan reformasi yang radikal terhadap nilai-nilai yang dianut oleh rakyat Afghanistan, misalnya penghapusan kewajiban menggunakan cadar bagi perempuan Afghanistan yang digantikan dengan pakaian bergaya internasional, nilai-nilai Islam telah tertanam dengan mendalam di kehidupan sehari-hari rakyat Afghanistan. Selain itu, tradisi-tradisi kesukuan juga tidak memperbolehkan perubahan yang diusulkan tersebut. Dengan demikian, dari sisi norma-norma sosial yang berlaku, kehidupan masyarakat Afghanistan secara sosial diatur berdasarkan syari’ah Islam, yang oleh pihak asing disebut hukum adat. Kewibawaan para ulama yang lebih dikenal dengan gelar mullah sangat kuat. Untuk memenuhi kebutuhan menghadapi tantangan dunia modern, pemerintah Afghanistan mendirikan sekolah-sekolah agama untuk mempersiapkan para ulama yang diharapkan akan lebih handal.26 Berkaitan dengan syari’at Islam di atas, ketika Taliban mengambil alih kekuasaan pada September 1996, kehidupan di Afghanistan bagi kaum wanita seolah-olah berhenti. Perlu diingat bahwa organisasi Taliban sendiri sebagian besar beranggotakan rakyat Afghanistan dari kelompok etnis Pashtun. Di bawah 26
Z.A. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia Tengah (Jakarta: Dalancang Seta, 2002), h. 4-5.
26
pemerintahan Taliban, wanita direnggut dari hak asasinya sebagai manusia, antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk memberikan dan mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk bekerja, dan hak untuk dapat secara bebas berjalan di rumah.27 Padahal, sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, kaum perempuan Afghanistan menikmati kebebasan dalam menjalani hidup. Pada saat itu, sebagian besar
perempuan Afghanistan bukan saja berpendidikan tinggi,
tetapi juga merupakan 70% dari seluruh guru sekolah Afghanistan, setengah dari pejabat pemerintah, dan 40% dari seluruh dokter di Kabul.28 Dari sisi kehidupan sehari-hari, perjalanan kehidupan rakyat Afghanistan sangat memprihatinkan. Perang yang berkepanjangan menyebabkan banyak terjadinya masalah sosial seperti: pengungsian, kelaparan, angka kematian yang tinggi (terutama balita), banyaknya perempuan yang menjadi janda perang, serta pendidikan rakyat yang semakin tidak terurus. Anak-anak terbuka terhadap risiko trauma, terpisah dari keluarga, mengalami gangguan perekonomian, tidak memiliki negara, marjinalisasi sosial, serta tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan oleh CIA, yaitu bahwa tingkat kematian bayi di Afghanistan adalah 163,07 kematian per 1.000 jiwa, usia harapan hidup rata-rata adalah 42,9 tahun, penyakit menular utama yang berisiko tinggi berupa diare, hepatitis A, typhus, malaria, rabies, dan tingkat buta huruf hanya 36% dari seluruh populasi. 29
27
Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage. com/partners/wapha. html. 28 P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 6: US War on Terror in Afghanistan and Aftermath (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD, 2002), h.127. 29 Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology/projects/ Afghan refugees/project.html.
27
Sementara, dalam kehidupan politik, pergolakan selalu terjadi di Afghanistan. Kudeta pemerintahan telah terjadi sejak sejarah politik kontemporer Afghanistan dimulai pada 1919, hingga Afghanistan mengalami invasi eksternal oleh Uni Soviet. Pada 1979 pun perebutan kekuasaan politik terus berlangsung. Pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menginvasi Afghanistan berkaitan dengan perjanjian persahabatan 1978. Dewan Revolusi kemudian memilih Dr. Sayid Mohammed Najibullah sebagai Presiden Afghanistan pada September 1987. Setelah melakukan perundingan pada November 1991 dengan gerakan oposisi Afghanistan (Mujahidin), pemerintah Uni Soviet setuju untuk mentransfer dukungannya dari rezim Najibullah ke rezim Islamic Interim Government atau pemeritahan Islam Interim. Ketika pasukan mujahidin mulai menguasai Kabul, Presiden Najibullah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 16 April 1992. Setelah kepergian Presiden Najibullah, power di Afghanistan dipegang dan dikuasai penuh oleh dewan pemimpin yang beranggotakan 10 orang, dipimpin oleh Burhanuddin Rabbani yang dinobatkan menjadi presiden Interim Afghanistan pada 28 Juni 1992. Pada Desember 1992, pertemuan dewan yang terdiri dari 1.335 delegasi nasional mengikuti konvensi dan memilih kembali Burhanuddin Rabbani sebagai presiden Afghanistan. Mandat Presiden Rabbani seharusnya berakhir pada Juni 1994, namun ia tetap memegang jabatannya, sehingga kembali terpilih menjadi presiden Afghanistan secara resmi pada 30 Januari 1995.
28
Setahun berikutnya, Taliban telah berhasil mengendalikan dua pertiga Afghanistan, termasuk Kabul. Sejak saat itu, Afghanistan terpecah antara wilayah selatan yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis Taliban dan wilayah utara yang dikuasai faksi yang lebih liberal.30 Hanya tiga negara, yaitu Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan. Pengakuan internasional sebagai pemerintahan yang sah merupakan salah satu agenda kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas Taliban pada saat mereka berkuasa. Perlu dicatat bahwa kursi Afghanistan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih didelegasikan kepada perwakilan pemerintahan yang dijatuhkan oleh Taliban pada 1996, yang masih juga diakui dan dilayani oleh faksi United Islamic Front for the Salvation of Afghanistan (UIFSA). UIFSA merupakan cikal bakal kelompok Aliansi Utara yang didirikan oleh Ahmad Shah Mashood. UIFSA merupakan koalisi anti-Taliban yang melibatkan pihak-pihak yang merupakan bagian dari rezim pemerintahan yang didukung oleh Uni Soviet, serta beberapa kelompok yang berbasis suku minoritas yang sangat menentang pemerintahan Taliban yang keras serta menentang prinsip untuk dipimpin oleh pemerintahan yang sangat didominasi oleh tokoh-tokoh dari kelompok etnis Pashtun, seperti Abdul Rashid Doshtum dari kelompok milisi Uzbek dan Ahmad Shah Mashood yang mendapatkan dukungan dari Tajikistan. Komponen kunci dari kekuatan ini adalah kelompok etnis Tajik yang mengendalikan lembah Panshjir yang sangat penting secara strategis. Taliban gagal mengusir mereka dari wilayahnya meskipun telah melakukan seranganserangan hebat. Namun mereka telah berhasil memberikan pukulan hebat terhadap 30
Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/encyclopedia / country facts /afghanistan.html.
29
kelompok oposisinya dengan membunuh ketua militer Aliansi Utara yang menjadi tokoh kunci, yaitu Ahmad Shah Mashood, “Singa Lembah Panshjir”. Pasukan Aliansi Utara hanya menguasai lima persen dari total wilayah negara
Afghanistan,
namun
pemerintahan
Taliban
yang
keras
telah
membangkitkan rasa benci yang semakin berkembang, bahkan di antara rakyat Afghanistan yang pada awalnya menyambut baik pengambil-alihan mereka atas pemerintahan Afghanistan.31
B. Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban Sejarah Afghanistan modern memperlihatkan bahwa tidak ada satu kelompok etnis pun yang mampu memerintah Afghanistan sendirian. Maka cara terbaik untuk membentuk pemerintahan adalah dengan melakukan koalisi tradisional yang memiliki legitimasi nasional. Untuk mencapai kesepakatan dalam hal ini, para pemimpin kelompok-kelompok mujahidin harus membagi kekuasan antara mereka sendiri, karena terciptanya stabilitas di Afghanistan banyak tergantung pada penyelesaian elit, di mana banyak pemimpin mujahidin tidak hanya
bertindak
atas
nama
kelompok
atau
faksinya,
namun
juga
merepresentasikan perbedaan etnolinguistik. Hasil dari pemikiran di atas adalah Peshawar Accord pada 24 April 1992, yang melibatkan para pemimpin mujahidin yang berbasis di Pakistan serta pemerintah Pakistan yang saat itu berada di bawah pimpinan Perdana Menteri Nawaz Syarif. Secara esensial kesepakatan ini dirancang untuk menghasilkan kerangka kerja pemerintahan sementara yang diimplementasikan dalam dua tahap. Pertama, menobatkan Sibghatullah 31
Tony Karon, “Understanding Bin Laden’s Hosts, the Dilemma He Poses for Them,and the Politics of the Neighborhood,” Artikel ini diakses pada 24 November 2007. Dari http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,175372,00.html.
30
Mojaddedi sebagai pemimpin pemerintahan transisi. Kedua, memberikan kesempatan kepada pemerintahan sementara selanjutnya yang dipimpin oleh Burhanuddin Rabbani.32 Hekmatyar, yang juga tidak sempat menandatangani Peshawar Accord tersebut, mengacaukan pelaksanaan kesepakatan ini. Dia berpendapat, sesuai dengan kesepakatan mengenai kedudukan perdana menteri (yang ada pada penandatanganan dari Hezb), ia tidak harus tunduk kepada presiden dan kedudukan menteri pertahanan, dijabat oleh Mashood yang diangkat oleh Mojaddedi, berada di bawah kontrol perdana menteri. Hekmatyar kemudian mengambil inisiatif untuk menempatkan tangan kanannya, Abdul Sabur Farid, untuk menempati posisi perdana menteri. Hekmatyar sendiri menolak memasuki Kabul dan menggunakan segala alasan untuk meruntuhkan pemerintahan Rabbani. Pada awal Agustus 1992, Hekmatyar melancarkan serangan roket ke Kabul dengan tujuan melemahkan dominasi faksi Jami’at Islami. Serangan dan konflik antara Hekmatyar dan Rabbani menjadikan Afghanistan sekali lagi menjadi medan perang, di mana keadaan sudah tidak aman bagi rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, pemerintahan mujahidin tidak dapat bertahan lama, dan diambil alih oleh Taliban pada September 1996.33 Beberapa literatur telah berupaya menjelaskan asal mula gerakan Taliban. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk menjelaskan asal usul Taliban adalah bahwa sosok Taliban relatif dapat mudah ditemui diperbatasan Barat Laut Pakistan di daerah itu bertebaran para penuntut ilmu (Talib-ul-ilm) mereka bukan hanya muncul dari Afghanistan namun juga dari Pakistan, yaitu dari partai ulama 32
Amin Saikal, “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” dalam William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 45. 33 Amin Saikal, “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” hal. 46.
31
Islam pimpinan maulana Fazlur Rahman yang menyediakan sarana pendidikan agama konservatif bagi anak laki-laki dari kamp-kamp pengungsi Afghan, khususnya anak-anak dhuafa’. Mereka mengenyam pendidikan madrasah di sekitar Quetta dan Peshawar yang tidak puas dengan
keadaan mereka di
Afghanistan. Para pejabat senior pemerintah Pakistan menyangkal dengan mengatakan bahwa tidak ada madrasah di Pakistan yang menjadi tempat belajar para anggota Taliban, walaupun terdapat bukti kuat yang menunjukkan demikian. Professor Ahmad Hasan Dani mempercayai bahwa Taliban mendapatkan pendidikan madrasah di Pakistan dan juga mendapatkan dukungan dari elemenelemen atau pihak-pihak tertentu di Pakistan. Dani menegaskan bahwa para pelajar muda tersebut dipersiapkan untuk melakukan jihad melawan siapa pun yang dirasa tidak mentaati syari’at Islam. Hal inilah yang menyebabkan mereka dilaporkan memiliki rasa tidak suka terhadap kelompok-kelompok Afghan, yang mereka salahkan sebagai pihak yang mengakibatkan begitu banyak kematian dan kehancuran tanah kelahiran mereka.34 Sementara itu, terdapat alasan langsung yang dianggap menyebabkan munculnya gerakan Taliban. Pada 1992 rata-rata penduduk Afghanistan sudah merasa muak dan lelah akan terus berlangsungnya perang saudara di negeri mereka yang telah berkobar selama tiga tahun. Masoom Afghani menyatakan bahwa sekitar 50.000 penduduk Afghanistan terbunuh dalam pertikaian untuk mendapatkan kekuasaan antara Hekmatyyar dan Rabbani. Rakyat Afghanistan kemudian kehilangan kepercayaan mereka terhadap para pemimpin, yang terus beraliansi ataupun memutuskan aliansi hampir setiap hari. Rakyat juga 34
P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan Vol. 5: Taliban and Muslim Fundamentalism (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD., 2002), hal. 182.
32
menganggap tidak ada satupun di antara pemimpin tersebut yang dapat dipercayai lagi karena kenyataannya tidak ada yang menepati janji. Pesimisme terhadap kepemimpinan para elit politik Afghanistan ini semakin meningkat ketika rakyat melihat tidak ada tanda-tanda bahwa perang dan pembunuhan yang terjadi akan segera berakhir saat itu. Kondisi yang selalu nyaris kelaparan terus menambah kemarahan rakyat Afghanistan dan menumbuhkan keinginan untuk melawan kepemiminan Afghanistan yang sangat mereka hormati pada awalnya.35 Dengan demikian, seiring berjalannya waktu, popularitas mujahidin di Afghanistan semakin lama semakin berkurang. Mereka tidak saja gagal dalam mewujudkan perdamaian di negara mereka yang dilanda perang, namun yang lebih buruk lagi adalah mereka mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan asusila. Beberapa di antara mereka memiliki peran ganda sebagai bandit yang memeras uang dari para pemilik toko dan memajak kendaraan-kendaraan berpenumpang yang melalui wilayah-wilayah kekuasaan mereka. Salah satu alasan mereka meminta uang dengan paksa, selain keserakahan pribadi, adalah kenyataan bahwa para pejuang tidak lagi menerima bayaran tetap dari pemimpin yang merekrut mereka. Selain itu banyak di antara para pejuang juga terlibat dalam kasus-kasus korupsi, penjarahan, pengedaran narkoba, dan pemerkosaan. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam tata pemerintahan dan tata kehidupan di seluruh Afghanistan. Kepemimpinan mujahidin pada saat itu tidak mau dan tidak mampu meredam berkembangnya anarkisme di Afghanistan. Kondisi kacau mewarnai seluruh Afghanistan pada saat itu, kecuali enam provinsi di bagian utara Afghanistan yang dipimpin dan dikelola
35
P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan.,h. 184.
33
oleh Jenderal Uzbek, Abdul Rashid Dostum. Kondisi yang terjadi membuat Afghanistan masuk dalam kategori failed state, seperti halnya Somalia, Rwanda dan Burundi. Walaupun perbatasan fisik masih ada, dan negaranya masih memiliki bendera nasional, lagu kebangsaan, pemerintahan, keanggotaan PBB, dan perwakilan di luar negeri, namun perintah tertulis bagi pemerintah sama sekali tidak dijalankan, bahkan di ibukota sekalipun. Warlord dan kepala-kepala suku telah mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, yang terjadi ketika keamanan Afghanistan berada dalam kondisi kacau balau akibat konflik perebutan kekuasaan antara Hekmatyar dan Rabbani. Ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan mujahidin Afghanistan semakin lama semakin meningkat. Kerukunan yang telah terbentuk di antara mereka pada masa jihad Afghanistan telah pudar dan rakyat Afghanistan kembali mencari “juru selamat” yang baru. Oleh karena itu, tidaklah sulit bagi Taliban untuk mendapatkan dukungan dari rakyat yang berharap mereka dapat menghentikan anarkisme yang telah menyebar ke seluruh Afghanistan. Pendidikan yang didapatkan oleh para anggota Taliban menjadikan mereka orang-orang yang fanatik dalam beragama. Mereka diyakinkan bahwa tidak ada seorang pun dari pemimpin Afghanistan saat itu yang tulus dalam niat dan upaya untuk membentuk negara Islam di Afghanistan. Mereka juga diinformasikan bahwa perselisihan antara Rabbani dan Hekmatyar dan juga para pemimpin lain merupakan suatu proses perebutan kekuasan dan power, bukan mengenai upaya untuk memperkenalkan praktik-praktik Islam dan perbedaan pandangan mereka mengenai Islam.36 Hal ini mudah untuk dilakukan terhadap
36
P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan., hal. 185.
34
rakyat Afghanistan karena secara tradisional, rakyat Afghanistan selalu sangat hormat kepada tetua suku atau tokoh agama untuk membantu mereka menyelesaiakan masalah, sehingga ketika seseorang muncul dan mampu mengeluarkan mereka dari masalah yang melanda saat itu, mereka akan patuh tanpa banyak pertimbangan. Mullah Mohammad Omar, seorang veteran jihad dari distrik Maiwand di sebelah barat Kandahar, yang ikut berperang melawan pasukan Uni Soviet untuk membantu mewujudkan pemerintahan Islam di negaranya, sangat kecewa terhadap kejadian-kejadian yang menimpa negaranya setelah pembunuhan Dr. Najibullah. Setelah memutuskan untuk kembali menuntut ilmu di Madrasah Sang i-Hisar di Maiwand, akhirnya pada September 1994 ia menghentikan studinya untuk mengupayakan secara konkret tercapainya perdamaian dengan cara menghancurkan kelompok pro-komunis serta memperkenalkan nilai-nilai Islam di Afghanistan. Pada 20 September 1994, sebuah keluarga di Herat, dalam perjalanan mereka menuju Kandahar, diberhentikan di sebuah post pemeriksaan sekitar 90 kilometer sebelum Kandahar oleh sekelompok bandit mujahidin. Seluruh anggota keluarga tersebut dibunuh dan jasadnya dibakar. Ketika itu Mullah Mohammad Omar merupakan orang pertama yang mendatangi tempat kejadian itu. Ia mengumpulkan para talib (pelajar) untuk membantunya mengangkat jenazah para korban, dan sejak saat itu ia bersumpah untuk memulai kampanye serta tindakan untuk melawan para kriminal untuk melindungi rakyat Afghanistan. Untuk mencapai tujuannya diatas, Mullah Mohammad Omar pergi dari masjid ke masjid di desanya untuk mengumpulkan dukungan. Banyak pelajar
35
yang tidak bersedia untuk bergabung dengannya karena merasa bahwa tugas yang ditawarkan terlalu berat bagi mereka. Pada akhirnya, Mullah Muhammad Omar berhasil mengumpulkan kurang lebih 50 pelajar yang bersedia mendukung misinya. Ia kemudian menjelaskan tujuan-tujuan pergerakannya, dan ia tidak memiliki uang ataupun persenjataan yang dapat ia tawarkan kepada para pelajar. Namun, Haji Bashar, anak laki-laki dari Haji Isa Khan, seorang mantan komandan mujahidin dari Hizb-i-Islami memberikan Mullah Mohammad Omar dan pasukannya persenjataan serta kendaraan. Inilah permulaan dari gerakan Taliban, sebuah faksi politik baru dengan nama resmi Tehreek-i-Islam-i-Taliban Afghanistan.37 Gerakan Taliban didirikan oleh para santri militan di Kandahar, sebuah kota di seberang perbatasan Pakistan, pada Juli 1994. Organisasi itu baru secara resmi diproklamasikan pada Oktober 1994. pada 1996, Taliban resmi berkuasa di Afghanistan dan membentuk pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, dengan syari’at Islam sebagai dasar negara. Para pejabat negara Emirat Islam Afghanistan dipilih di antara para ulama dan tokoh Islam yang amanah sebagaimana masa Rasulullah SAW. Dengan misi nasional untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.38 Tujuan langsung dari organisasi yang baru terbentuk ini adalah pertama, untuk melucuti senjata milisi yang menjadi musuh. Kedua, melawan pihak yang menolak untuk menyerahkan senjata mereka. Ketiga, menerapkan hukum Islam di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan oleh organisasi Taliban. Keempat, mempertahankan seluruh wilayah yang telah menjadi kekuasaan Taliban. 37 38
P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan., hal.186. Z.A. Maulani, Perang Afganistan, h. 9-10.
36
Pemimpin terkemuka yang bergabung dengan Mullah Mohammad Omar antara lain: Mullah Mohammad Rabbani, Mullah Mohammad Shahod, Mullah Mohammad Hassan, Mullah Borjan, dan Haji Amir Mohammad Agha. Semua tokoh ini tadinya merupakan anggota faksi Younus Khalis dari Hizb-e-Islami. Tokoh-tokoh lain yang ikut bergabung dengan Taliban adalah Syeikh Nuruddin Turabi, Ustad Sayyaf, Mullah Abbas, Mullah Muhammad Sadiq, dan Syeikh Abdus Salam Rocketi.39 Dalam praktik pemerintahannya, setelah berhasil menguasai kota Kabul hanya dalam hitungan hari, para pemimpin Taliban mengeluarkan sederet aturan sosial yang melumpuhkan aktivitas kota Kabul. Kaum wanita yang selama empat dekade leluasa melakukan aktivitas sosialnya dan mendominasi Universitas Kabul, sekarang tiba-tiba dilarang keluar rumah, kecuali memakai Burqah (pakaian yang menutupi muka dan seluruh badan). Kaum pria diharuskan memanjangkan jenggot.40 Namun lama-kelamaan, karena keinginannya untuk mewujudkan hukum Islam yang ketat, maka rakyat Afghanistan, terutama kelompok-kelompok oposisi lantas menganggap Taliban menjadi terlalu keras dan ekstrem dalam pemberlakuan hukum Islam tersebut. Sebenarnya terdapat beberapa tindakan positif yang dilakukan oleh pemerintahan Taliban, salah satu yang terpenting adalah pelanggaran pengedaran obat-obatan terlarang. Para pecandu ditahan dan dilakukan investigasi terhadap bandarnya, yang diberi hukuman berat. Walaupun tidak terlalu berhasil karena Afghanistan hampir tidak memiliki sumber penghasilan lain, namun langkah ini patut dipuji. Selain itu, pada dasarnya Taliban meyakini wajib sekolah bagi anak 39
P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan, hal. 187. Iwan Hadi Broto dkk, Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs Taliban (Jakarta: Gramedia, 2002), h.85. 40
37
laki-laki dan perempuan. Namun, keikutsertaan perempuan dalam pendidikan dan sekolah diberhentikan dengan alasan keamanan dan keadaan finansial negara yang tidak memungkinkan untuk menyokong biaya pendidikan bagi banyak anak Afghanistan.41 Taliban juga dituduh menyulitkan pihak asing untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan. Namun, terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa pihak Taliban bersedia bekerjasama demi kesejahteraan dan kebaikan rakyatnya. Sebagai contoh, vaksinasi polio berhasil dilaksanakan pada September 2001 sebelum pemboman dimulai dan kemudian dilanjutkan kembali pada November, walaupun beberapa bahkan banyak daerah yang tidak dapat dicapai pada saat perang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor yang mengganggu proses vaksinasi atau proses pemberian bantuan kemanusiaan lainnya-bukanlah Taliban, melainkan konflik dan perang yang terus menerus terjadi di Afghanistan.42 Berdasarkan realitas yang ada, di mata Taliban, masalah yang terjadi di Afghanistan tidak terlalu serius pada masa pemerintahannya. Satu-satunya tindakan terpenting yang dianggap Taliban harus segera dilakukan justru bagi negara-negara di dunia untuk mengakui Taliban sebagai pemerintahan yang sah di
Afghanistan.
Mereka
menyatakan
41
bahwa
merupakan
bagian
dari
P. Bajpai dan S, Ram (eds), Vol 5, hal.199-200. Stephen R. Shalom dan Michael Albert, “45 Questions and Answers: 9-11 and Afghanistan One Year Later,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.globalissues.org geopolitics/WarOnTerror/ 45qaAfghan.asp 42
38
tanggungjawab dunia internasional untuk membantu Afghanistan membangun kembali negaranya di bawah pemerintahan Taliban.43
C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban Doktrin Taliban tampaknya banyak dipengaruhi oleh Pashtunwali, hukum tradisional suku Pashtun. Pashtunwali menjadi pedoman hidup bagi anggota suku Pashtun, dan dijunjung tinggi terutama di kalangan Pashtun pedesaan di berbagai kawasan Rural di timur dan selatan Afghanistan. Nilai-nilai dalam Pashtunwali di antaranya adalah: badal, yaitu tuntutan untuk membalas dendam dengan darah, tureh, keberanian, istiqamat, kegigihan, kesabaran, budi pekerti yang mulia, dan pembelaan terhadap kehormatan perempuan. Di antara nilai-nilai utama Pashtunwali, dua nilai yang sangat dijunjung tinggi adalah malmastiya, yaitu kewajiban untuk bertingkah laku sopan terhadap tamu tanpa pamrih dan nanawati, yaitu memberikan suaka kepada yang meminta, bahkan kalau perlu membela sampai mati siapapun yang telah diberikan suaka. Meski Islam memiliki tempat yang khusus di dalam kehidupan masyarakat Afghanistan, tetapi tidak semua nilai dalam Pashtunwali sesuai dengan ajaran Islam. Badal misalnya, yaitu kewajiban untuk membalas dendam, jika perlu dengan nyawa, hal ini bertentangan dengan agama Islam yang melarang sesama muslim untuk saling membunuh.44
43
Laili Helms, “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security and Options for International Action”, diakses pada tanggal 18 Desember 2007 dari http://www.usip.org/pubs/special reports/early/srafghan.html 44 Wilhendra Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994: Penelaahan terhadap Struktur Politik Zaman Modern Negara Afganistan,” (Skripsi S1 Fakultas IIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004), h. 76.
39
Doktrin Taliban banyak juga dipengaruhi oleh mazhab Deoband (berasal dari Darul Ulum Deoband), sebuah institusi pendidikan yang didirikan di kota Deoband, India pada tahun 1867. Mazhab Deoband mengajarkan agama dengan cara-cara ortodoks,45 dan madrasah-madrasah yang berada di bawah pengaruhnya, telah menghasilkan sejumlah ulama terkemuka di Afghanistan.46 Ciri khas dari ajaran Deoband adalah mereka melihat bahwa dunia ini pada dasarnya adalah sebuah ketidakberdayaan dan melihat masa lalu dan teks keagamaan sebagai sumber kebanggaan budaya dan peta jalan yang harus ditempuh menuju kebangkitan kembali. Diperlengkapi dengan telaah Hadist, mereka kaum Deoband menyesali sejumlah upacara dan praktek-praktek adat, termasuk apa yang mereka pandang sebagai perilaku yang berlebihan di kuburankuburan orang suci, perayaan-perayaan siklus kehidupan yang rumit, dan praktekpraktek yang dihubungkan dengan pengaruh syi’ah. Kaum Deoband juga memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap perempuan yang mereka lihat sebagai simbol moral masyarakat. Mereka lebih suka bergerak secara independen yang terlepas dari institusi kenegaraan dan tidak terlibat dalam politik praktis. Kelompok lain yang terpengaruh ajaran Deobandi adalah Jamaah Tabligh47 dan Partai Ulama Islami di Pakistan. Doktrin Taliban merupakan bentuk ekstrim dari ajaran Deoband. 48 Di samping Deobandi, Doktrin Taliban memiliki beberapa kesamaan dengan aliran Wahabi yang muncul pada abad ke-18 di Arab Saudi. Gerakan yang 45
Aliran yang berpegang teguh pada ajaran murni. William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan, h.29 47 Jamaah Tabligh adalah jamaah dakwah yang pertama kali muncul di Pakistan pada pertengahan abad ke-19, mengikuti ajaran pemimpin mereka Maulana Muhammad Ilyas. Pengikut Jamaah Tabligh memfokuskan kegiatan dakwahnya kepada sesama muslim yang dinilai telah lepas dari hakekat agama Islam. Di dalam perkembangannya Jamaah Tabligh telah membangun jaringan yang luas di seluruh dunia, bahkan sampai ke Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Utara. 48 Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994”, h. 75. 46
40
dipelopori oleh Abdul Wahab (1703-1792) bertujuan untuk membersihkan sukusuku Badui di Semenanjung Arab dari pengaruh sufisme. Penyebaran wahabisme menjadi bagian penting di dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi setelah tahun 1970-an wahabisme dan deobandisme memiliki beberapa kesamaan dalam hal sikap mereka yang menyesalkan tradisi dan praktek-praktek adat yang telah bercampur dengan agama dan pelarangan terhadap representasi bentuk makhluk hidup yang merupakan dasar pelarangan segala seni lukis dan gambar, serta foto dan televisi. Beberapa kesamaan ini ikut menjelaskan tergabungnya kelompokkelompok non-Afganistan khususnya Arab yang di dalamnya gerakan Taliban. Kaum Wahabi telah terlibat di Afganistan sejak masa perlawanan terhadap penduduk Soviet. 49
D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban Awalnya, Amerika Serikat ikut menyambut positif lahirnya Taliban dan memberikan dukungan atas kekuasaan milisi tersebut di Kota Kabul. Amerika Serikat punya kepentingan politik dari lahirnya Taliban yang menganut madzhab Sunni, yaitu dalam upaya meredam pengaruh Iran yang menganut madzhab Syi’ah di Afganistan.50 Kecurigaan AS semakin kuat, setelah Iran juga turut mendukung koalisi anti Taliban yang berbasis di Afganistan Utara. Hal ini membuat Amerika Serikat menuding Iran telah melampaui garis merah permainan di Afganistan. Gelagat 49
Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994,” h. 76-77. AS menganggap dukungan penuh Iran atas milisi Syi’ah pimpinan Abdul Karim Khalili yang menguasai wilayah Afghanistan Tengah, sebagai bagian dari upaya Teheran ikut nimbrung menanamkan pengaruh di Afghanistan. Lihat Mushafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan ( Jakarta: Kompas, 2002.), h.28.
50
41
Iran tersebut sudah dianggap mengancam kepentingan Amerika Serikat di Afganistan. Seperti dimaklumi, hubungan AS-Iran sangat buruk pasca revolusi Iran tahun 1979. Dalam konteks tersebut, AS memilih berkoalisi dengan Taliban meskipun diketahui sangat puritan dan konservatif dalam pemahaman agama, sebagai bagian dari strategi Washington mengepung musuh lamanya, Iran.51 AS juga melihat milisi Taliban yang notabene berasal dari etnik Pashtun, sebagai penyanggah yang efektif bagi kemungkinan meluasnya pengaruh Rusia di Afghanistan. Rusia dicurigai main mata dengan etnik-etnik minoritas di Afghanistan seperti etnik Uzbek dan Tajik. Dua etnik minoritas Afghanistan tersebut menjalani hubungan khusus dengan Uzbekistan dan Tajikistan yang berada di bawah atmosfir pengaruh Rusia. Faktor ekonomi juga berada di balik dukungan AS atas Taliban. Sebuah perusahaan minyak AS, Delta Oil saat itu berniat membangun pipa untuk menyalurkan gas alam dari Turkmenistan ke pesisir Pakistan melalui Afghanistan. Panjang pipa tersebut sekitar 1000 mil dengan menelan biaya 2,5 juta dollar Amerika Serikat. Tentu saja pihak Delta Oil sangat mendukung kekuasaan Taliban yang telah mengeluarkan fatwa agama bahwa mendorong investasi asing bagian ajaran agama. 52 Afghanistan juga merupakan bagian dari suatu mata-rantai yang dikenal dengan nama ‘Cekungan Kaspia’ (Caspian Basin) yang merentang dari Turkmenistan, Azerbaijan, Uzbekistan, Afghanistan, Tajikistan, dan Kirgystan dengan deposit minyak Cekungan Kaspia yang ditaksir tidak kurang dari 30
51 52
Musthafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan, h.29. “Redupnya Nilai Strategis Taliban,” Kompas, 23 September 2001.
42
trilyun barrel, suatu jumlah yang mampu memasok paling tidak untuk 80-100 tahun kebutuhan minyak Amerika Serikat. Selama itu rezim Taliban yang ada di Afganistan merupakan kekuatan satusatunya di kawasan itu yang bebal dan menentang kehendak Amerika Serikat yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Ketakukan Taliban kepada hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Tengah itu membuat Taliban mempertimbangkannya untuk memberikan konsesi kepada sebuah negara Amerika Latin. Resikonya lebih kecil, tetapi hal itu membuat Amerika Serikat murka sekali. Sebuah delegasi presiden Amerika Serikat menemui Mullah Muhammad Omar, pimpinan Taliban, bekas sekutu Amerika Serikat ketika memerangi Uni Soviet. Utusan itu kesal sekali ketika pihak Taliban tetap bersikeras dengan kebijakan mereka. Kesabaran delegasi Amerika Serikat habis dan ditutup dengan pernyataan, “If you agree with us, we will provide you with golden carpet; but if you don’t agree with us, we will pump you with carpet bombing!” Taliban tetap menolak. Kesimpulannya, Taliban harus dihabisi!53 Selain itu, ada empat faktor khusus yang menyebabkan ketidakpuasan Amerika Serikat terhadap Taliban: pertama, Taliban dianggap tidak mampu untuk mengontrol Afghanistan akibat ekspansinya yang terlalu cepat. Washington mengharap bahwa dengan menangnya Taliban, bisa tercipta rasa damai di seluruh kawasan
Afghanistan.
Namun
harapan
itu
tidak
menjadi
kenyataan.
Pengambilalihan Kabul oleh Taliban malah melahirkan “negara polisi” di ibukota, pembersihan etnis di wilayah utara, dan banyaknya kerusuhan di wilayah-wilayah yang sebelumnya malah relatif aman. Pendapat yang menyatakan bahwa Taliban
53
Z.A. Maulani, Mengapa? Barat Memfitnah Islam (Jakarta: Daseta, 2002), h.130-131.
43
akan menyebar stabilitas dalam negeri sama sekali tidak terbukti. Kedua, harapan Taliban akan segera menghentikan penanaman ganja dan opium, seperti banyak diramalkan akhirnya hanyalah sebuah ilusi. Bukannya Taliban menjadi partner dalam memerangi beredarnya obat-obat terlarang, namun sebaliknya malah mereka mengambil untung yang sebesar-besarnya. Di akhir 1997, 7,5% dari keseluruhan hasil panen opium yang berjumlah 2.500 ton dilaporkan berasal dari Kandahar, tempat Taliban bermarkas. Dan 90% dari hasil panen opium itu berada di bawah kontrol Taliban. Ketiga, Taliban sama sekali tidak sensitif terhadap kebijakan politik AS, tidak seperti yang diharapkan oleh Washington, contoh paling jelas adalah perlindungan yang diberikan Taliban pada Osama bin Laden, seorang milliyuner asal Arab Saudi, yang dituduh Amerika Serikat telah mendanai orang-orang yang anti terhadap Amerika seperti pengeboman barak militer di Arab Saudi di mana beberapa personil tentara Amerika mati terbunuh. Keempat, perlakuan Taliban terhadap wanita, yang secara luas disebarkan lewat media massa menyusul jatuhnya Kabul, dianggap sebagai penghinaan terhadap nilainilai HAM dan Amerika menyatakan diri sebagai pembelanya. Dan itu menjadikan harapan Taliban untuk diakui oleh Amerika Serikat setelah setahun penaklukan kota Kabul adalah sia-sia. Amerika Serikat beranggapan lebih baik menutup kedutaan Afghanistan di Washington, ketimbang memberikannya kepada orang-orang Taliban.54
54
William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan, h.109-110.
44
BAB III PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN
A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban Amerika Serikat melakukan invasi militer sebagai bagian dari pendirian ideologi, di mana tujuan akhir invasi militer yang dilakukannya adalah untuk mengubah struktur negara agar sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Satu hal yang dapat menyebabkan invasi militer ini menjadi sah adalah apabila alasan penyelenggaraan berdasarkan self-defence, yang didefinisikan sebagai tindakan untuk melawan kekerasan dengan kekerasan juga. Alasan inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan, dengan tujuan untuk menggulingkan rezim otoriter yang dianggap tidak kooperatif
dan
menggantikannya dengan rezim demokratis seperti negaranya. Menurut John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, 55 Amerika Serikat sering kali memiliki peran dalam upaya-upaya rekonstruksi pasca konflik internasional serta memimpin invasi militer ke berbagai negara. Namun, bagi Amerika Serikat, keputusan untuk terlibat atau tidak dalam proses semacam itu tergantung pada seberapa besar kepentingan Amerika Serikat. Ketika kepentingan vital nasionalnya dipertaruhkan, Amerika Serikat berinisiatif untuk mengambil peran utama. 55
John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, “Toward Postconflict Raconstruction,” dalam the Washington Quarterly, Vol25 No.4 Autumn 2002, h.93.
45
A.1. Pelaksanaan Invasi Militer Amerika Serikat Tekad Amerika Serikat untuk menggulingkan rezim Taliban semakin terlihat ketika dalam waktu empat hari pada November 2001, kota-kota kunci Afganistan berhasil direbut pasukan anti-Taliban. Pada 9 November, Mazar-iSyarif jatuh ke tangan pasukan yang dipimpin Dostum, pemimpin Syiah Ustad Mohaqqeq, dan Komando Atta Muhammad. Sehari berikutnya, pasukan Front Persatuan melancarkan serangan-serangan simultan ke bagian utara Afganistan, di Khwajaghar, Eshkamesh, Baghlan, Pul-e Khumri, Nahrin, Aibak, dan Bamiyan. Semua kota tersebut berhasil direbut, bersamaan dengan kota Hairatan dan Shibarghan ke tangan pasukan Dostum. Kota Maimana berhasil direbut pada 11 November, disusul oleh Herat pada 12 November. Pada 13 November, Taliban melarikan diri dari Kabul, dengan merampok pusat penukaran mata uang asing dan bank nasional Afganistan, yaitu Da Afghanistan Bank. Front Persatuan kemudian berhasil menguasai ibukota Kabul tanpa perlawanan. Pada 11 Desember, pasukan bin Laden melarikan diri ke pegunungan di sekitar Gua Tora Bora yang terletak di Afganistan bagian timur. Amerika Serikat kemudian melancarkan bom terhadap gua-gua yang diduga sebagai tempat persembunyian bin Laden dan pasukannya.56 Setelah dibombardir habis-habisan oleh Amerika Serikat, kekuatan pertahanan Taliban akhirnya ambruk. Kabul pun jatuh dan pasukan Aliansi Utara hampir tanpa perlawanan berhasil mamasuki ibukota Afghanistan yang selama 56
Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.infoplease.com/sport/taliban-time.
html.
46
lima tahun terakhir ini dikuasai rezim Taliban. Dengan hengkangnya pemimpin dan pasukan Taliban dari Kabul, harapan akan berakhirnya konflik dan peperangan tampak dirasakan oleh penduduk setempat.57 Sebuah koran Jakarta berbahasa Inggris menulis judul dengan huruf yang besar “Kabul Falls, Taliban Flee” Kabul jatuh, Taliban Melarikan Diri.58
A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan Terdapat beberapa prinsip yang dapat mendasari suatu aktor eksternal untuk melakukan invasi militer dengan tujuan melakukan transisi rezim, di antaranya: kediktatoran pemimpin, profilerasi senjata pemusnah massal, dan genosida.59 Dalam kasus Afghanistan, alasan yang digunakan Amerika Serikat adalah kediktatoran rezim. Pemerintahan negara dunia ketiga yang otoriter atau totaliter dinilai sangat potensial mendukung kelompok pemberontak, bahkan kelompok teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika Serikat. Oleh sebab itu, negara dengan pemerintahan totaliter seperti Afghanistan sangat dicurigai menampung al-Qaeda yang menyebabkan Amerika Serikat menyerang Afghanistan. Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat memang memiliki kepentingan untuk melindungi kemerdekaan, harkat dan martabat manusia, kebebasan, kesejahteraan, dan perdamaian, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Amerika Serikat seringkali memutuskan untuk melakukan invasi militer ke suatu negara dengan misi “membebaskan” 57
T. Yulianti, “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21 November 2001, h.1. 58 The Jakarta Post, 14 November 2001. 59 Pascal Boniface, “What Justifies Regime Change”, dalam The Washington Quarterly, vol. 26 No. 3 Summer 2003, hal. 64-70.
47
negara yang bersangkutan, dengan tujuan meninggalkan negara tersebut dalam keadaan yang lebih baik, dalam hal ini artinya lebih bebas dan demokratis dibandingkan dengan keadaan sebelum invasi militer Amerika Serikat. Hal ini antara lain dilakukan dengan secara aktif melibatkan diri di seluruh dunia dalam mendukung negara-negara lain untuk mengkonsolidasikan lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis, menyokong demokrasi baru, serta memberikan pencerahan kepada pemerintah yang menginginkan masyarakatnya akan kebebasan dan kemerdekaan.60 Presiden Bush dalam pidatonya di depan sidang Amerika Serikat
gabungan Kongres
pada 20 September 2001, menyatakan dimulainya perang
Amerika Serikat melawan teror atau war on terror. Dalam kesempatan ini Presiden Bush meminta kepada Taliban untuk menyerahkan seluruh pemimpin kelompok (teroris) al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan, menutup seluruh kamp pelatihan teroris, menyerahkan seluruh anggota kelompok teroris kepada aparat yang berwajib, dan memberikan akses penuh terhadap kamp pelatihan teroris kepada Amerika Serikat. Presiden Bush juga menyatakan bahwa perang melawan terorisme dimulai dengan perang melawan al-Qaeda, namun Amerika Serikat tidak berhenti sampai di situ saja. Amerika Serikat memang menghormati seluruh rakyat Afghanistan, namun mengutuk rezim Taliban yang dianggap oleh pemerintah Amerika Serikat menindas rakyatnya sendiri dan mengancam orang di belahan dunia dengan mendukung dan menampung kelompok-kelompok teroris. Lebih lanjut, secara spesifik Presiden Bush mengatakan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah kaum muslimin ataupun bangsa Arab, tetapi jaringan teroris 60
Paula J. Dobriansky, “Shining a ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide “ (Jurnal US Foreign Policy Agenda: 2003), hal. 25. Vol. 8 No. 1.
48
radikal dan semua pemerintah di dunia yang mendukung mereka.61 Terdapat pernyataan penting dalam pidato Bush di atas yang sangat menggambarkan motivasi dan tujuan Amerika Serikat melakukan invasi militer terhadap Afghanistan :
“In Afghanistan, we see al-Qaeda’s vision for the World. Afghanistan’s people have been brutalized – many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long enought… Americans are asking : why do they hate us? They Hate what we see right here in this chamber – a democratically elected government. Their leaders are self-appointed. They hate our freedoms – our freedoms of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other….. these terrorist kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life. With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the world and forsaking our friend. They stand against us, because we stand in their way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the twentieth century. By sacrificing human life to serve their radical visions – by abandoning every value except the will to power – they follow in the path of fascism, and Nazism, and totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in history’s unmarked grave of discarded lies… This is not, however, just America’s fight. And what is at stake is not just America’s freedom. This is the world’s fight. This is civilization’s fight. This is the fight of all who believe in progress and pluralism, tolerance and freedom.” Dari retorika ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Amerika Serikat ingin mengubah total kehidupan di Afghanistan menjadi kehidupan seperti yang dianut Amerika Serikat, yaitu kehidupan yang demokratis – sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia serta perlindungan bagi hak-hak (rakyat) sipil.62 Salah satu alasan paling kuat bagi Amerika Serikat
untuk melakukan hal ini adalah
karena tren ancaman keamanan baru bagi Amerika Serikat
61
adalah anarchy
Text: Bush Announces Start of a “War on Terror” Distributed by the office of International Information Programs, US Departmen of State,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov. 62 Colin L. Powell, “Demokrasi Bangkit di Afghanistan”, Kompas 1 Oktober 2004.
49
abroad—kekacauan lain yang terjadi di belahan dunia lain.63 Hal ini dikarenakan anarki yang terjadi di negara lain memiliki karakteristik di mana pemegang kekuasaan adalah pihak yang memenangkan peperangan terakhir dan di mana orang asing dapat bebas untuk keluar masuk perbatasan negara tersebut tanpa ada catatan apapun, membuat negara tersebut menjadi tempat yang sangat nyaman bagi kelompok-kelompok teroris untuk mengembangkan rencana mereka. Untuk mencegah hal ini, maka pemerintah baru di negara-negara semacam ini memerlukan bantuan dari pihak eksternal hal inilah yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Mendukung pernyataan Presiden Bush, wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld dalam pernyataannya mengenai invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan kepada wartawan di Pentagon pada 7 oktober 2001, mengatakan bahwa serangan tersebut tidak ditujukan kepada rakyat Afghanistan, tetapi kepada kaum teroris yang mendapatkan perlindungan di Afghanistan, yang tindakan-tindakannya mengancam bukan hanya Amerika Serikat
tetapi juga
pemerintah-pemerintah lain di seluruh dunia. Dampak yang diharapkan oleh Amerika Serikat melalui invasi militernya, menurut Rumsfeld, adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif bagi operasi-operasi militer yang dilaksanakan pada akhir 2001 dan 2002 memiliki tujuan untuk memperjelas kepada para pemimpin Taliban dan pendukungnya bahwa memberikan perlindungan kepada kelompok teroris tidak dapat diterima dan menimbulkan konsekuensi sanksi tertentu, mendapatkan informasi intelijen untuk memfasilitasi operasi-operasi di masa depan dengan kelompok-kelompok di Afghanistan yang 63
Kimberly Zisk Marten, “Defending against Anarchy: From War to Peacekeeping in Afghanistan:, dalam The Washington Quarterly, Vol. 26 No. 1, 2002-2003, hal. 35.
50
menentang rezim Taliban dan kelompok teroris asing yang didukung oleh Taliban menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para teroris untuk memanfaatkan Afghanistan secara bebas sebagai markas besar operasi, dan menyediakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Afghanistan yang menderita dari kondisi kehidupan serba tertindas dibawah rezim Taliban.64 Dalam kesempatan lain, Rumsfeld mengungkapkan kepada pasukan Amerika Serikat di Afghanistan bahwa tugas mereka adalah untuk membela keamanan negara dengan cara menegaskan hukuman terhadap pelaku serangan terorisme 11 September 2001. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Colin Powell, menyatakan sejak awal bahwa pasukan Amerika Serikat akan tetap berada di Afghanistan hingga mereka menuntaskan misi mereka, yaitu mengalahkan Taliban untuk adanya pemerintahan baru.65 Keberadaan pasukan Amerika Serikat, menurut wakil Presiden Amerika Serikat Dick Cheney, merupakan sebuah kesempatan untuk mengingatkan rakyat Afghanistan bahwa Amerika Serikat senantiasa mendampingi mereka dalam membangun negara agar menjadi demokratis. Amerika Serikat semakin menyadari keberadaan musuh yang memiliki kebencian tidak terbatas terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Amerika Serikat memutuskan bahwa musuh semacam ini bukanlah musuh yang dapat diajak bernegosiasi atau berkompromi. Singkatnya, teroris merupakan musuh yang harus dikalahkan dan dimusnahkan.
64
Transcript “Rumsfield, Myers Brief on Military Operation in Afghanistan , Distributed by the Office of International Information Programs, US Department of state.” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov. 65 “Amerika Serikat Kibarkan Bendera di Kedubes Kabul, ” Kompas 14 Januari 2002.
51
Untuk memenangkan perang melawan musuh tersebut, Amerika Serikat menerapkan sebuah doktrin, bahwa “setiap orang, kelompok, atau rezim yang memberikan perlindungan atau dukungan bagi aksi-aksi teror sama bersalahnya dalam tindak kriminal terorisme, dan akan dimintai pertanggungjawabannya”. Invasi terhadap Afghanistan yang ditujukan untuk mengalahkan Taliban yang dianggap memberikan perlindungan kepada dalang aksi teror 11 September 2001, Osama bin Laden, sebagai salah satu bentuk implementasi dari doktrin tersebut. Amerika Serikat meyakini bahwa ketika manusia diberikan hak-hak dan kesempatan untuk hidup dalam masyarakat yang bebas, mereka akan menggunakan energi mereka untuk mewujudkan perdamaian. Tindakan invasi militer terhadap Afghanistan dipercaya oleh Amerika Serikat dapat mewujudkan perdamaian di Afghanistan, karena invasi itu ditujukan untuk menjatuhkan rezim diktator yang dianggap melindungi jaringan teror sehingga dapat membantu meningkatkan keamanan Amerika Serikat dan bangsanya.66 Selanjutnya, menurut beberapa analis, Amerika Serikat melakukan invasi ke
Afghanistan
dalam
rangka
mencapai
tujuan
utamanya.
Pertama,
menghancurkan kekuatan pasukan al-Qaeda yang diduga kuat berada di Afghanistan sebagai bagian dari kampanye global Amerika Serikat untuk memberantas kelompok tersebut hingga tuntas. Kedua, menangkap atau membunuh Osama bin Laden, walaupun Amerika Serikat menganggap bahwa keberhasilan invasi militer ke Afghanistan tidak tergantung akan hal ini. Ketiga,
66
“Komentar oleh Wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember 2001,“ diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html.
52
melumpuhkan serta menjatuhkan rezim pemerintahan Taliban yang menurut banyak sumber terkait dengan al-Qaeda.67 Setelah Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Taliban, masih terdapat banyak hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan keadaan aman di Afghanistan, yaitu pertama, membantu Afghanistan menciptakan situasi dan kondisi yang sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi kelompok teroris untuk kembali ke Afghanistan dan kedua, mendukung pembentukan kembali struktur politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang memungkinkan rakyat Afghanistan untuk membangun masa depan yang lebih baik.68 Pendapat dari pihak yang kontra mengenai tujuan dan motivasi Amerika Serikat dalam melakukan invasi ke Afghanistan antara lain datang dari Noam Chomsky, analis yang seringkali mengambil posisi berseberangan dengan kebijakan–kebikajakan Amerika Serikat. Chomsky menyatakan bahwa jelas terjadi perbaikan-perbaikan yang dihasilkan sejak dijatuhkannya rezim Taliban. Apalagi sejak lama, sebagian besar pihak sangat mendukung digulingkannya rezim Taliban, kecuali pemerintah Amerika Serikat. Chomsky berupaya mengingatkan bahwa pada awalnya, penggulingan rezim Taliban bukanlah tujuan utama dari invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Tujuan perang, yang diumumkan pada 12 Oktober 2001 atau lima hari setelah pemboman terhadap Afghanistan dimulai, adalah agar Taliban mau menyerahkan orang-orang yang dinyatakan sebagai tersangka yang terlibat dalam aksi teror terhadap Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Amerika Serikat tidak memberikan bukti yang cukup bagi Taliban untuk melakukan penyerahan itu. Lebih dari dua 67
Frederick W. Kagan, “Did We Fall in Afghanistan?”, dalam commentary Vol. 115 No. 3 March 2003, hal. 40. 68 Hamre dan Sulivan, h.95.
53
minggu setelahnya, ketika perang hampir mencapai akhir, tujuan perang baru ditambahkan, yaitu untuk menggulingkan rezim Taliban. Bahkan, seorang komandan Inggris mengumumkan bahwa rakyat Afghanistan akan terus diserang kecuali jika mereka melakukan perubahan rezim pemerintahan. Pada akhirnya, Amerika Serikat setuju untuk bergabung dalam menentang rezim Taliban.69 Dikatakan pula bahwa momen tersebut sebenarnya dimanfaatkan oleh pemerintahan Bush untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar dan dalam negeri. Saat itu, penasihat keamanan gedung putih Condolezza Rice misalnya, mengatakan bahwa ia telah “memanggil staf senior dari Dewan Keamanan nasional (National Security Council-NSC) dan meminta mereka untuk memikirkan secara serius bagaimana menggunakan kesempatan ini untuk secara fundamental mengubah doktrin Amerika Serikat serta bentuk tatanan dunia, terutama pasca 11 september 2001. Pendapat lain datang dari kepala Staf Kantor Wakil Presiden, Lewis Libby, yang mengatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa alternatif lain yang dapat dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi masalah teroris. Presiden Bush bisa menunggu bukti-bukti hukum untuk dikumpulkan sehingga memungkinkan adanya pelaksanaan negosiasi dengan pihak Taliban. Namun, pendekatan ini dinilai tidak akan memberikan kesempatan bagi Amerika Serikat untuk mengatur kembali peran sentralnya di dunia internasioinal, sehingga ditolak.70
69
Wawancara David Barsamian terhadap Noam Chomsky, “US Intervention from Afghanistan to Iraq,” diakses pada tanggal 18 Desember 2007 dari http://www. isreview.org/issue/25/chomsky interview. html. 70 Stephen R. Shalom dan Michael Albert, Diakses pada 18 Desember 2007 dari http:// www. global issues.org /geopolitics/ WarOnTerror/ 45qaAfghan.asp
54
Apapun motivasi dan tujuan yang diungkapkan oleh Amerika Serikat, kenyataan yang harus diperhatikan adalah hingga pemilihan umum presiden diselenggarakan pada 2004, Afghanistan masih sangat bergantung pada dukungan dan bantuan dari Amerika Serikat dan aktor-aktor eksternal lain untuk membangun kembali negaranya yang hancur akibat perang. Dalam proses rekonstruksi pasca konflik dan transisi rezim di Afghanistan, aktor eksternal yang berperan bukan hanya aktor negara, melainkan melibatkan pula banyak aktor nonnegara, meskipun “pemeran” utamanya tetap Amerika Serikat. Hal ini memprihatinkan mengingat sebuah negara yang kuat dan stabil harus menentukan nasib dan sikapnya sendiri, dengan seminimal mungkin intervensi asing, dan ini tidak dimiliki oleh Afghanistan. Ketergantungan secara terus menerus akan menyebabkan Afghanistan berada dalam kondisi lemah untuk waktu yang lama.
B. Proses Menuju Demokrasi Proses menuju demokrasi untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis di Afghanistan, juga meliputi transisi rezim karena di Afghanistan sebelumnya selalu dipimpin rezim-rezim otoriter, di mana rakyat Afghanistan memiliki sedikit sekali suara dalam proses-proses pembuatan kebijakan negaranya.
Akibatnya
rakyat
Afghanistan
tidak
pernah
puas
dengan
pemerintahannya karena bukan merupakan pilihan mereka, sehingga hampir selalu terjadi transisi rezim dari satu penguasa ke penguasa yang lainnya, oleh sebab itu pada bagian ini akan dijelaskan tiga hal penting yaitu:
55
B.1. Terjadinya Transisi Rezim di Afghanistan Menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, transisi adalah keadaan atau kondisi pemerintahan yang sedang berada dalam interval antara rezim pertama ke rezim berikutnya. Proses ini berkaitan dengan proses-proses setelah transisi rezim, misalnya konsolidasi demokrasi, namun proses transisi rezim dianggap berakhir setelah sebuah rezim baru terbentuk, apapun corak dan tipenya. Karakteristik pemerintahan yang mengalami transisi adalah tidak adanya rules of the game dalam politik yang jelas. Oleh sebab itu, pemerintahan yang berada dalam transisi sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Hal yang menandakan bahwa sebuah transisi rezim telah dimulai adalah apabila terjadi modifikasi aturan–aturan kearah yang menyediakan jaminan yang lebih pasti sebagai perlindungan hak-hak rakyatnya, baik individu maupun kelompok.71 Perubahan rezim yang berlangsung secara dramatis dan tiba-tiba terjadi di Afghanistan bukan karena masyarakat dunia memutuskan bahwa rakyat Afghanistan merupakan orang-orang yang sudah saatnya menyelamatkan diri dari rezim pemerintahan yang telah mengekang kebebasan mereka, tetapi karena Taliban dan sekutunya dituduh terlibat dalam peristiwa yang sangat merugikan Amerika Serikat. Apabila serangan 11 September 2001 tidak terjadi, maka kemungkinan besar Taliban masih berkuasa di Afghanistan.72 Walaupun invasi militer Amerika Serikat menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan kehidupan di Afghanistan, namun, serangan tersebut juga sekaligus merupakan
71
Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclutions about Uncertain Democracies (Baltimore & London: The John Hopkins University Press, 1996), p.36. 72 Amin Saikal, Afghanistan after the Loya Jirga, dalam Survival vol.44 No.3Autumn 2002, h.47.
56
jawaban bagi do’a sebagian rakyat Afghanistan yang ingin membebaskan diri dari apa yang dirasakan sebagai penindasan oleh rezim Taliban. Proses transisi rezim di Afghanistan sebenarnya memiliki sebuah pilihan paling optimal bagi Afghanistan untuk dapat memperbaiki kondisi negaranya, di mana hukum nyaris tidak berlaku serta diwarnai dengan menjamurnya worlodism. Para elit politik dan tokoh masyarakat Afghanistan harus mampu mengambil alih kontrol kehidupan di negaranya dan berupaya keras membentuk organisasiorganisasi berbasis masyarakat sipil di Afghanistan. Elit politik dan kaum intelektual yang memiliki komitmen kuat terhadap terwujudnya demokrasi dapat benar-benar mewujudkan terciptanya masyarakat sipil serta lembaga-lembaga demokratis yang kuat. Namun, hal ini harus dilakukan dengan melibatkan normanorma adat dan nilai-nilai yang dianut di Afghanistan, kemudian diselaraskan dengan konsep Loya Jirga. Ketika Loya Jirga berhasil dibentuk dan masyarakat Afghanistan dilibatkan dalam proses transisi rezim melalui konsultasi dan partisipasi publik, sebuah budaya politik yang mampu menopang masyarakat sipil dan lembaga-lembaga demokratis yang berkelanjutan akan dapat berkembang dengan baik. Menyelenggarakan pemilihan umum dan menggalang partisipasi dalam waktu yang terlalu singkat, dan tanpa adanya kerangka kerja yang terorganisir dengan baik akan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam upaya-upaya tersebut.73 Namun sejak awal 2002, terlihat bahwa proses transisi rezim yang semula dirancang sebagai proses demokrasi di Afghanistan tidak berjalan sesuai dengan pola-pola transisi rezim yang lazim terjadi. Transisi menuju demokrasi justru 73
“Regime Change in Afghanistan,” diakses pada 21 November 2007 dari http://www. sabawoon.com/news/miniheadlines.asp?dismode=article&artid=8517.
57
diwarnai oleh kembali maraknya warlordism dan kerajaan-kerajaan kecil di tiaptiap provinsi dan pinggiran desa, serta sebuah pemerintahan pusat yang masih otoriter di Kabul. Otoritas interim yang terdiri dari Hamid Karzai dan para anggota Aliansi Utara memiliki sedikit popularitas di Afghanistan belum terlihat adanya kebebasan berkompetisi dalam politik, pluralisme dalam ekonomi, sosial, dan politik yang signifikan yang dapat membentuk kembali struktur masyarakat sipil dan lembaga-lembaga politik di Afghanistan. Para pegawai negeri sipil yang bekerja untuk pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap kewenangan para pemimpin rezim. Selain itu, belum ada persaingan antara partai politik, kebebasan politik dan keadilan etnis pun belum terwujud. Kebebasan sipil dan politik sangat dibatasi, yang menyebabkan para pendukung orientasi ataupun kepentingan politik tentu tidak dapat mengorganisir serta mengekspresikan pendapat mereka dengan bebas.
B.2. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan Pada 27 November 2001. Saat itu, para pemimpin Afghanistan, baik tokoh masyarakat maupun pemuka agama, bertemu dengan perwakilan PBB di Bonn, Jerman, untuk menyusun pedoman pembentukan pemerintahan baru Afghanistan. Para tokoh mewakili empat faksi dari Afghanistan, yaitu Aliansi Utara, kelompok utara yang mewakili mantan Raja Afghanistan Mohammad Zahir Shah, kelompok Peshawar yang mewakili para pengungsi Afghanistan di Pakistan, dan kelompok
58
Siprus yang mewakili sekelompok rakyat Afghanistan yang berada di pengasingan.74 Persetujuan pertemuan yang dilakukan pada 5 Desember 2001 ini menghasilkan ‘Agreement on Provinsional Arrangement in Afghanistan Pending the Re-establishment to Permanent Government Institution’ yang dikenal sebagai Bonn Agreement, dengan pemilihan Hamid Karzai sebagai ketua pemerintah interim Afghanistan. Periode pelaksanaan Bonn Agreement ini adalah dua sampai tiga tahun, yang akan diakhiri dengan pemerintahan resmi dan sah Afghanistan yang dipilih melalui pemilihan umum demokratis. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan dijelaskan dua hal: Pertama, pembentukan pemerintahan baru. Bonn Agreement menyatakan bahwa sebuah otoritas interim akan dibentuk pada saat peralihan kekuasaan, pemerintahan resmi akan dilakukan pada 22 Desember 2001 yang mencakup: pertama, sebuah administrasi interim yang dipimpin seorang ketua. kedua, sebuah komisi independen khusus untuk memanggil rapat Loya Jirga darurat. ketiga, sebuah pengadilan tinggi negara Afghanistan beserta pengadilan-pengadilan lain yang dapat dibentuk oleh administrasi interim. Pada saat peralihan kekuasaan, otoritas interim secara langsung menjadi penanggung jawab kedaulatan Afghanistan sebagai suatu negara. Dengan demikian, administrasi interim juga mewakili Afghanistan dalam hubungannya dengan negara-negara lain dan mewakili Afghanistan di kursi PBB, serta dalam organisasi-organisasi dan konferensi-konferensi internasional lainnya. 74
Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.
html.
59
Setelah peralihan kekuasaan dilakukan, tahapan selanjutnya adalah memanggil Loya Jirga darurat dalam waktu enam bulan setelah pembentukan otoritas interim. Loya Jirga ini dibuka oleh H.M. Mohammad Zahir dan akan memutuskan otoritas transisional, termasuk sebuah administrasi transisional untuk memimpin Afghanistan hingga sebuah pemerintahan yang representatif dapat dipilih melalui proses pemilihan umum yang bebas, adil, dan demokratis, yang diadakan paling lambat dua tahun setelah persidangan Loya Jirga. Dalam hal fungsi yudikatif, administrasi interim memiliki wewenang membentuk sebuah komisi yudisial dengan dukungan PBB. Komisi ini dirancang sedemikian rupa untuk membangun kembali sistem peradilan dalam negeri Afghanistan, yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam, standar internasional, dan tradisi hukum Afghanistan. Kedua, perjanjian Bonn juga memuat ketetapan mengenai pembentukan dua komisi yang tidak kalah penting bagi kelancaran Statebuilding di Afghanistan yaitu, pertama, komisi pelayanan sipil untuk membantu otoritas interim dan otoritas transisional dalam menyediakan daftar kandidat untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam departemen-departemen administratif pemerintah Afghanistan. Pembentukan komisi ini juga didukung PBB dan dibentuk untuk menunjang pemilihan pejabat pemerintah yang kompeten. kedua, komisi hak asasi manusia independen, yang bertanggung jawab terhadap pengawasan hak asasi manusia, serta pengembangan lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia dalam negeri.75
75
William Maley, Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State in Afghanistan, diakses pada 11 November 2007 dari http://www.cesindia.org/maley.doc,
60
Berpedoman pada kerangka kerja yang telah disetujui di atas, akhirnya ketua administrasi interim Afghanistan, Hamid Karzai, disumpah sebagai ketua resmi otoritas interim Afghanistan, bersamaan dengan peresmian terbentuknya otoritas interim Afghanistan pada 22 Desember 2001. Perwakilan 32 provinsi di Afghanistan hadir dalam acara tersebut, beserta perwakilan negara-negara tetangga, negara-negara anggota Uni Eropa, organisasi konferensi Islam, dan PBB.76 Hamid Karzai dipilih karena: satu, dianggap memiliki keahlian politik yang modern serta mengenal budaya tradisionalnya dengan baik. Dua, memiliki dukungan kuat dari negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat. Tiga, memiliki dukungan dari spektrum faksi lokal yang cukup luas, yang merupakan faktor penting karena identitas etnis dan kesukuannya yang sangat mendominasi politik Afghanistan. Bahkan pendukung Taliban, yang sebagian besar suku Pasthun, lebih dapat menerima Hamid Karzai sebagai pemimpin dibandingkan para pemimpin Aliansi Utara yang berasal dari suku Tajik atau Uzbek.77 Visi pemerintahan interim disampaikan oleh Hamid Karzai dalam International Conference on Reconstruction Assistance to Afghanistan di Tokyo Januari 2002. Menyusul penyampaian visi tersebut, sebuah komisi beranggotakan 21 orang yang bertugas mempersiapkan dan membentuk Loya Jirga darurat dilantik pada 7 Februari 2002. Anggota komisi dipilih dari kelompok-kelompok etnis dan agama berdasarkan pada kualifikasi tertentu, seperti reputasi dan kedudukan mereka dalam komunitasnya. Penandatanganan
Bonn
mendapat
Agreement
reaksi
positif
di
Afghanistan. Karena pertama, bagi sebagian besar rakyat Afghanistan skema 76
Istiaq Ahmad, Post-War Afghanistan: Rebuilding a Ravaged Nation,_ dalam Perceptions Vol.VII No.1 Maret-Mei 2002, h.62-70. 77 http://www.infoplease.com./sport/afghanistan1.com.html.
61
transisi rezim yang direncanakan merupakan kesempatan unik untuk memulai kehidupan di negara yang sedang berada dalam proses statebuilding. Kedua, Bonn Agreement menghasilkan struktur pemerintahan yang lebih solid melalui tiga tahap. Otoritas interim yang ditunjuk di Bonn akan digantikan otoritas transisional yang dipilih Loya Jirga darurat. Berikutnya, otoritas transisional akan memerintah negara sampai pemerintahan resmi dan representatif terpilih melalui pemilihan umum demokratis. Ketiga, penyusunan sebuah konstitusi baru. Pemerintahan Hamid Karzai berhasil merumuskan sebuah draf konstitusi baru melalui komisi konstitusi pada November 2003. Melalui perjalanan panjang, Loya Jirga Afghanistan berhasil meratifikasi sebuah konstitusi baru setelah melalui proses amandemen pada 4 Januari 2004. Konstitusi tersebut berisikan pasal-pasal yang menyangkut nilainilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip kesetaraan bagi perempuan Afghanistan. Konstitusi inipun menjanjikan modernitas dalam kehidupan masyarakat Afghanistan pasca pemerintahan Taliban, yang menggabungkan nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, melalui konstitusi baru, diproklamasikan negara Afghanistan sebagai sebuah negara republik Islam, yang dikenal sebagai Republik Islam Afghanistan. Konstitusi baru Afghanistan memberikan penekanan pada demokrasi dan HAM. Dalam salah satu pasalnya, disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk to Create a prosperous and Progressive Society Based on Social Justice, “ to Protect Human Right”, dan to realize democracy. Proses pembuatan konstitusi di Afghanistan merupakan langkah maju dalam proses transisi menuju demokrasi. Proses ini secara aktif melibatkan rakyat
62
Afghanistan untuk pertama kali dalam pembuatan roadmap menuju perdamaian. negara transisional Islam Afghanistan memiliki komitmen untuk merancang konstitusi yang akan melibatkan setiap segmen masyarakat Afghanistan, memperkuat rasa identitas nasional, dan menargetkan tersusunnya dokumen yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Afghanistan. Komitmen ini mengikuti prinsipprinsip perjanjian Bonn, terutama prinsip yang menyatakan hal rakyat Afghanistan untuk secara bebas menentukan masa depan politik yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam, demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial. Proses pembuatan konstitusi ini akan dicapai melalui tiga badan pembuat konstitusi yaitu: Drafting Commission, Constitutional Commisssion dan Constitutional Loya Jirga (CLG).78 Constitutional Drafting Commission. Presiden Afghanistan melantik sembilan anggota komisi pada 5 Oktober 2002 dan menunjuk wakil presiden Prof. Naematullah Shahrani sebagai ketua komisi. Tanggung jawab komisi ini untuk menghasilkan sebuah draf awal konstitusi yang sekaligus berfungsi sebagai rekomendasi
kepada
komisi
konstitusional
dalam
pengaturan-pengaturan
konstitusional. Komisi akan menyerahkan draf awal konstitusional pada pelantikannya
dan
bersamaan
juga
dengan
laporan
yang
menjelaskan
rekomendasi-rekomendasi untuk format konstitusional yang baru. Constitutional
Commision. Komisi ini beranggotakan sekitar 30
komisioner yang ditunjuk oleh presiden setelah melakukan konsultasi. Presiden juga akan mengangkat ketua komisi yang merupakan salah satu komisioner. Tanggung jawab utama komisi ini adalah berkonsultasi dengan rakyat 78
Constitution Making Process’, diakses pada 22 November 2007 dari http://www.constitution-afg/.
63
Afghanistan dan menghasilkan sebuah draf konstitusional yang diserahkan kepada Loya Jirga konstitusional. Fungsi-fungsi komisi ini antara lain:
1. Menyiapkan dan menerbitkan draf konstitusi 2. Menfasilitasi dan mempromosikan informasi umum mengenai proses pembuatan konstitusi selama masa kerja komisi. 3. Melakukan konsultasi publik di setiap provinsi di Afghanistan dan kepada para pengungsi Afghanistan di Iran dan Pakistan serta di negara-negara lain yang memungkinkan dengan tujuan mengumpulkan pandangan seluruh rakyat Afghanistan dalam aspirasi nasional mereka. 4. Menerima masukan-masukan dari individu atau kelompok rakyat Afghanistan, baik yang berada di Afghanistan maupun di luar negeri yang berkehendak memberikan kontribusi pada proses perumusan konstitusi, melakukan kajian mengenai pilihan-pilihan untuk draf konstitusi. 5. Mempersiapkan laporan yang menganalisis pandangan rakyat Afghanistan yang dikumpulkan dalam konsultasi publik serta menyediakan laporan tersebut untuk konsumsi publik. 6. Memberikan pendidikan bagi rakyat mengenai draf konstitusi dengan kembali ke setiap provinsi di Afghanistan dan para pengungsi di Iran dan Pakistan. Dengan fungsi yang dijalankannya ini, komisi menjamin kesempatan berpartisipasi seluas-luasnya bagi kaum perempuan dalam pembuatan konstitusi, di mana Constitutional Drafting Commission terdiri
64
dari sembilan anggota, dua di antaranya adalah perempuan. Keseimbangan gender juga merupakan prioritas bagi pemilihan tim konsultasi regional. Constitutional Loya Jirga (CLJ). Merupakan badan paling representatif yang terbentuk di Afghanistan yang memiliki tugas menyepakati konstitusi baru Afghanistan. Perannya mencakup meninjau dan mengadopsi konstitusi baru. CLJ menyelesaikan tugasnya pada November 2003.79 Pencapaian Afghanistan melalui instansi pemerintahan baru meskipun baru berbentuk interim, dan pembuatan konstitusi baru merupakan indikasi yang baik bahwa terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan tatanegara Afghanistan. Namun demikian, hingga tahun 2004 banyak ahli berpendapat bahwa proses demokrasi di Afghanistan masih berada dalam masalah besar. Dalam sejarahnya sebagai medan konflik antara kerajaan-kerajaan dan kekuatan-kekuatan besar, Afghanistan telah mengembangkan sebuah formula untuk mempertahankan eksistensinya dan juga membantu mempertahankan identitas wilayah dan sistem kewenangan pribumi. Masalah yang menghadang Afghanistan dalam proses transisinya berakar dari kemungkinan bahwa proses tawar-menawar dan kompromi untuk mengembalikan kehidupan politik yang baik tidak akan cukup solid untuk mampu mencegah terjadinya kembali perang sipil atau sebuah Failed State yang terdesentralisasi di mana pemerintahan pusat hanya dapat mengontrol ibukota negara Kabul.80
79
“The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan, 10 March 2003, the Constitutional-making Process in Afghanistan, diakses pada 23 November 2007 dari http://www.constitution-afg.com/resrouces /Constitution-Making%20Proces%20final.doc. 80 Dr. Michael A. Weinstein, Afghanistan’s Trantition: Decentralization or Civil War,_ Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.pinr.com/report/php.
65
Di Kabul sendiri kekuasaan rezim Taliban digantikan oleh kelompok Panjshir, yang mendapatkan kekuasaan seusai invasi Aliansi Utara. Kekuatan yang mereka miliki didapat dari pemberian jabatan menteri, terutama kepada anggota faksi yang berkuasa pimpinan almarhun Ahmad Shah Mashood. Banyak rakyat merasa bahwa jumlah Phanjshiri yang cukup besar dalam pemerintahan menghambat kesempatan kelompok lain untuk ikut bergabung hanya karena mereka berasal dari suku Pasthun atau bukan dari faksi Phanjshir. Selain itu, kenyataan bahwa Presiden Hamid Karzai menggantikan posisi pengawalnya, yang tadinya diisi anggota kelompok Pansjshir menjadi tentara Amerika Serikat, memperlihatkan betapa minimnya antar etnis di Afghanistan. Tentara nasional Afghanistan dimiliki kementerian pertahanan, demikian juga dengan kelompok Phanjshiri. Sedangkan Presiden Hamid Karzai hanya memiliki loyalitas International Security Assistance Force (ISAF),81 sehingga ia tidak mampu menjamin keamanan di luar Kabul. Selain membantu Afghanistan, Amerika Serikat juga harus membasmi Taliban dan al-Qaeda, mengendalikan pemerintahan barunya, dan mengakhiri kekuasaan para panglima etnis. Setelah meredam pertikaian antar panglima etnis yang saling berebut pengaruh, maka AS akan merehabilitasi sarana publik dan pemerintahan yang rusak. Sebanyak 50.000 ranjau darat di pangkalan udara Kabul dan lainnya, perlu dimusnahkan.82 81
ISAF dibentuk berdasarkan konferensi Bonn pada Desember 2001 setelah runtuhnya rezim Taliban. ISAF dibentuk untuk membantu menciptakan lingkungan yang aman di Afghanistan, mengembangkan struktur keamanan Afghanistan, mengidentifikasi keperluan rekonstruksi serta melatih dan membangun pasukan keamanan nasional Afghanistan. Saat ini, ISAF terdiri dari 8000 pasukan dari 47 negara, baik anggota NATO maupun yang bukan. ISAF bukan pasukan keamanan PBB, namun sebuah koalisi suka rela yang ditugaskan di bawah pengawasan dewan keamanan PBB. 82 Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara Pembaharuan, 7 Juli 2002, h.1.
66
Amerika Serikat memainkan peran besar dalam masalah pembentukan kembali pemerintahan Afghanistan, di antaranya mempromosikan kandidat presiden yang dianggapnya paling dapat berkompromi dengan Amerika Serikat, yaitu Hamid Karzai. Ketika Hamid Karzai akhirnya disumpah sebagai Ketua Otoritas interim Afghanistan pada 22 Juni 2001, untuk pertama kalinya sejak tahun 1979 Amerika Serikat secara resmi mengakui pemerintahan Afghanistan di bawah Karzai sebagai pemerintah yang sah.83
B.3. Peran AS dalam Rekonstruksi Pasca Transisi di Afghanistan Dalam rentang waktu 2003 hingga 2004, Afghanistan tengah berupaya mendapatkan legitimasi politik, bukan hanya dalam konteks Asia Tengah tetapi juga secara Internasional. Pemerintahan pimpinan Presiden Hamid Karzai menemui banyak hambatan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Banyak pihak dari kelompok etnis serta organisasi politik yang tidak menyukai pemerintahan Kharzai yang diduduki oleh orang Afghanistan berpendidikan Barat. Wakil Presiden Haji Qadir terbunuh pada bulan juli 2002 dan telah terdapat beberapa upaya untuk membunuh Presiden Karzai. Pasukan koalisi masih terus berhadapan dengan pemberontakan di Afghanistan, diiringi serangan roket ke ibukota Kabul. Hal ini dikarenakan Afghanistan terbagi oleh kekuatan yang dipegang oleh warlord di daerah-daerah Afghanistan, sehingga membuat sentralisasi kekuasaan sangat sulit dicapai. Masalah demi masalah yang dihadapi oleh Afghanistan menyebabkan AS sebagai negara yang paling bertanggungjawab atas apa yang
83
USAID, Rebuilding Afghanistan, dalam September 11: One Year Later, A Special Elektronic Journal of the U.S Department of State, September 2002, h.33.
67
terjadi di Afghanistan masih harus tetap berada di negara tersebut untuk memantau dan melibatkan diri dalam proses rekonstruksi, khususnya di dalam tata pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.84 Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan oleh AS bersama-sama dengan negara-negara donor lain untuk membantu Afghanistan bangkit kembali. Salah satu upaya tersebut diwujudkan melalui konferensi Jenewa yang diselenggarakan pada Juli 2002. Konferensi ini membahas reformasi sektor keamanan diupayakan untuk mengembangkan suatu rencana komprehensif yang dapat digunakan untuk menangani masalah-masalah ketidakstabilan serta ketidakamanan di Afghanistan yang muncul setelah jatuhnya Taliban. Agenda reformasi sektor keamanan ini memiliki lima pilar utama, yang masing-masing dikontrol oleh satu negara donor: reformasi militer oleh AS, reformasi kepolisian oleh Jerman, perlucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi eks-kombatan oleh Jepang, counter narkotika oleh Inggris, serta pelatihan judicial oleh Italia. Kemajuan reformasi dalam bidangbidang ini pada 2002 ternyata berjalan lebih lambat dari yang semula diharapkan. Selain itu, AS juga mewujudkan dukungannya melalui pemberian bantuan dana bagi pembangunan di Afghanistan serta bantuan kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan yang menjadi korban konflik. Dalam hal alokasi dana bantuan, AS merupakan salah satu dari sedikit negara donor yang paling dermawan dan efektif. Pada 2002, AS menyerahkan 350 juta dolar AS, berarti 17 % lebih besar dari jumlah yang dijanjikannya pada konferensi donor di Tokyo. Selain itu, menanggapi permintaan dari badan-badan bantuan kemanusiaan internasional, AS meningkatkan anggaran belanja non-militernya pada 2003, menjadi lebih dari
84
Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 Mei 2005
68
400 juta dolar AS. Namun demikian, Perbedaan mencolok antara anggaran militer dan non-militer AS untuk Afghanistan menunjukkan bahwa sebenarnya AS masih mampu memberikan lebih untuk rekonstruksi. Setiap bulannya, AS menghabiskan satu miliar dolar AS untuk belanja militer, dan hanya 25 juta dolar AS untuk dana bantuan. Kehadiran AS di Afghanistan merupakan hal yang sangat penting bagi upaya Nations-Building yang sedang dilakukan di Afghanistan. Pada awal 2003, lebih dari 8000 pasukan AS berada di Afghanistan. Namun, setelah menyadari bahwa operasi militer tampak semakin tidak efektif, dengan aktifitas pemberontakan semakin meningkat, AS memodifikasi strategi keseluruhannya, yaitu dengan menggabungkan tujuan militer dan pembangunan. Pasukan bersenjata AS ditempatkan di kota-kota di luar Kabul untuk menjaga keamanan sekaligus mendukung proses rekonstruksi. AS menamakan pasukan tersebut sebagai Provisional Reconstructions Teams (PRT), yang mencakup tentara operasi khusus, Army Civil Affairs Officers, pasukan darat, staff USAID, dan perwakilan dari Departemen Luar negeri AS. Pada 20 Maret 2003, Departemen Pertahanan AS meluncurkan operasi militer besar-besaran yang melibatkan lebih dari 1000 orang anggota pasukan koalisi yang ditugaskan ke wilayah-wilayah pedesaan dan gua di provinsi Kandahar bagian selatan, di mana pasukan yang dianggap loyal terhadap Taliban, yaitu al-Qaeda, dan partai Hizb-I-Islami pimpinan Hekmatyar diduga beroperasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan pihak Taliban mengacaukan kembali Afghanistan yang sedang diupayakan menuju stabilitas. Terdapat dugaan bahwa kelompok-kelompok yang mendukung Taliban dapat bersatu dan
69
merancang serangan terhadap apa yang sedang berlangsung di Afghanistan saat itu. Sepanjang 2003, pemerintahan Afghanistan di bawah pimpinan Presiden Hamid Kharzai masih berjuang untuk membentuk dasar-dasar pemerintahannya. Karzai menemukan bahwa secara umum, semua sistem yang signifikan di negaranya dalam keadaan hancur. Pasukan militer terpecah akibat faksionalisme, pasukan kepolisian tidak terlatih, sistem hukum didominasi oleh kaum agama konservatif yang lebih mirip dengan Taliban daripada Kharzai, serta proses pembayaran pajak sangat tidak efektif. Hal ini menyebabkan para pembuat kebijakan AS, ketika mendiskusikan Afghanistan tidak lagi membicarakan sekolah, jalan, ataupun pelayanan jasa bagi rakyat miskin. Mereka membicarakan mengenai pembentukan badan-badan pemerintah yang dapat berfungsi dengan baik dan meluaskan wewenang pemerintah pusat Afghanistan ke wilayah-wilayah Afghanistan di luar Kabul. AS pada awalnya menentang gagasan Nation-Building, pemerintahan Bush telah menyadari bahwa proses tersebut merupakan kunci dari masa depan Afghanistan. Hal ini dapat dilihat dari proses rekonstruksi yang dilakukan di Afghanistan pada pertengahan 2003, di mana AS berupaya agar dukungan rekonstruksi
darinya dapat menyentuh semua aspek kehidupan di
Afghanistan. Pejabat AS menyatakan bahwa jumlah keseluruhan anggaran yang dikeluarkan AS untuk Afghanistan tahun 2003 di luar biaya mempertahankan 8000 pasukan AS direncanakan akan mencapai jumlah tahun 2002, yaitu 935 juta dolar AS. Sebagai tambahan, pada tahun 2003 AS lebih menitikberatkan bantuannya pada pembentukan tentara nasional Afghanistan, dan bukan untuk bantuan kemanusiaan seperti yang dilakukan pada 2002.
70
Selanjutnya di 2003, AS memperluas cakupan Provincial Reconstruction Teams (PRTs), untuk memberikan kontribusi terhadap kehidupan rakyat Afghanistan di seluruh provinsinya, terutama melalui pembangunan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur. Namun demikian, Shukraya Barekzai, seorang anggota komisi konstitusi Afghanistan mengatakan bahwa kekurangan bantuan AS adalah belum melakukan tindakan yang signifikan untuk menghentikan Warlordism, salah satu ancaman paling berbahaya bagi keamanan Afghanistan. Keamanan juga masih jauh dari sepenuhnya kembali di Afghanistan. Untuk memberikan motifasi kepada Presiden Karzai, Donald Rumsfeld, menteri pertahanan AS menyatakan bahwa meskipun AS belum berhasil membantu Afghanistan dalam hal mengembalikan keamanan, ia menjamin bahwa pihak Taliban yang kalah tidak akan dapat kembali, karena AS hanya akan mengakui pemerintahan yang sah di Afghanistan.
C. Proses Demokrasi di Afghanistan Afghanistan merupakan sebuah negara yang tidak memiliki sejarah demokrasi ataupun pemilihan umum bergaya Barat sepanjang pergantian pemerintahan dan rezim yang dialaminya. Oleh karena itu pihak yang bermaksud membangun sebuah budaya politik dan kehidupan masyarakat sipil di Afghanistan menuju kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan dengan keadaan saat ini akan memakan waktu yang panjang dan akan menghadapi banyak hambatan, terutama dari elemen-elemen dalam kebudayaan masyarakat Afghanistan. Salah satu jalan keluar utama dari masalah ini adalah dengan mengandalkan peran Loya Jirga, yaitu budaya berkumpul dan berkonsultasi Afghanistan Loya Jirga merupakan titik tolak pembentukan kembali struktur pemerintahan dan lembaga-
71
lembaga sipil di Afghanistan, yang tentu didukung faktor-faktor lain, baik internal maupun eksternal, setelah invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan pada 2001.85 Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai pada saat rezim Taliban berhasil dijatuhkan, November 2001. Namun, Taliban baru secara resmi menyerah pada Januari 2002. Pada saat itu tujuh pejabat tinggi Taliban yang menyerahkan diri di Kandahar dibebaskan oleh pemerintah interim Afghanistan.86 Dari sisi lain kehidupan berdemokrasi di Afghanistan, satu hal penting yang
harus
diperhatikan
adalah
kebebasan
rakyat
Afghanistan
untuk
mengekspresikan diri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, ternyata kebebasan itu tidak selalu berdampak positif. Sebagai contoh kongkret, sejak Kabul dan Taliban jatuh, rok mini, film, minuman keras mulai bisa ditemukan secara bebas di Afghanistan. Bahkan pencurian saja jarang ditemukan karena takut sanksi hukumnya. Setelah Amerika Serikat masuk, semuanya menjadi lain.87 Ada pendapat yang mengatakan bahwa transisi pemerintahan Afghanistan dari Taliban ke para anggota atau pendukung Aliansi Utara sebagai sebuah proses demokrasi merupakan suatu kesalahan. Argumentasi atas pendapat ini berdasar pada teori bahwa pergantian atau transisi rezim menuju demokrasi harus memiliki proses awal yang demokratis, demokratisasi struktur politik, dan konsolidasi lembaga-lembaga demokratis. Transisi ini bergantung pada prinsip-prinsip masyarakat sipil dan politik, yang pada akhirnya dapat mewujudkan suatu
85
http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.html. http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.html. 87 Bir dan Rok Mini Mulai Bebas di Kabul,_ dalam Hidayatullah.com, 24 Desember 2002, diakses pada 18 November 2007 dari http://www.hidayatullah.com/modules.php? name= News&file=article &sid= 120 86
72
kebudayaan politik yang menjadi pondasi bagi norma-norma politik dan birokrasi di suatu negara. Berdasarkan argumen di atas, dikatakan bahwa cara dan proses pemilihan para anggota otoritas interim Afghanistan yang dilakukan di Bonn, Jerman serta pemilihan anggota Loya Jirga pada 2002 belum memiliki karakteristik proses demokrasi yang mampu mewujudkan sebuah transisi rezim yang damai dari otoritarianisme menuju demokrasi. Warlord Afghanistan, yang tidak didukung rakyat Afghanistan namun mendapatkannya dari pasukan mereka, berkumpul di Bonn untuk membentuk sebuah otoritas interim. Kenyataan ini tentu menunjukkan bahwa upaya pencapaian demokrasi di Afghanistan tidak berjalan sesuai dengan kerangka kerja yang telah disusun sebelumnya, apalagi jika melihat sifat dan tindakan para warlord yang anarkis. Para warlord dapat mentoleransi beberapa gagasan dan persyaratan dari luar lingkaran mereka serta menerima beberapa elemen masyarakat yang tidak memiliki power, yang merupakan faktor pendukung krusial dalam permainan power di Afghanistan. Di bawah tekanan internasional, para pemimpin otoriter itu telah membuka diri, walapun sangat terbatas terhadap pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pandangan mereka. Sikap tersebut, mereka harapkan dapat mengurangi berbagai tekanan serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan tanpa harus mengganggu struktur otoritas yang telah terbentuk.88
C.1. Peran AS dalam Proses Demokrasi di Afghanistan
Abdul Halim Mahally, 揂S, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi http://www.republika.co.id diakses pada 18 November 2007. 88
73
dari
Setelah berhasil menjatuhkan rezim Taliban, Amerika Serikat langsung mulai memotori rencana State-building kehidupan rakyat Afghanistan, terutama penataan ulang pemerintahan demokratis yang mulai disusun. Prospek menuju stabilitas dan demokrasi di Afghanistan mulai dilakukan melalui kerjasama antara aktor eksternal, yaitu negara-negara, lembaga-lembaga donor, serta organisasiorganisasi internasional, dan pemerintah interim Afghanistan yang dipimpin oleh Hamid Karzai. Kerjasama ini berupaya untuk menyusun sebuah strategi yang koheren untuk melakukan perbaikan kehidupan masyarakat, membangun negara yang aman dan damai, serta menjamin kesejahteraan dan kelayakan hidup bagi rakyat Afghanistan. Lebih jauh lagi, terlihat adanya kesempatan untuk melakukan lebih dari sekedar bantuan kemanusiaan darurat, namun juga untuk melakukan investasi
jangka
panjang
untuk
pembangunan
perekonomian
nasional
Afghanistan.89 Prinsip-prinsip yang mendasari pendekatan Amerika Serikat terhadap transisi demokrasi juga mencakup nilai-nilai demokratis seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kaum perempuan. Paula Dobriansky, wakil menteri luar negeri untuk urusan global Amerika Serikat menyatakan bahwa pembentukan Kementerian Urusan Perempuan serta kembalinya perempuan ke bangku kuliah dan jabatan di kantor-kantor pemerintahan di Afghanistan merupakan terobosan yang sangat baik dalam proses demokrasi di Afghanistan.90 Program-program ‘promosi demokrasi’ meliputi beberapa deretan bertingkat rancangan kebijakan, pendanaan, aktivitas operasional, dan pengaruh.
89
Sima Samar, et.al., diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.asiasociety.org/ publication /asianUpdeteContent.pdf 90 Paula J. Dobriansky, Shining a Ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide, _ Diambil dari jurnal US Foreign Policy Agenda, Vol. 8 No. 1, Agustus 2003.
74
Tingkat pertama, perancangan kegiatan, dilakukan oleh pejabat-pejabat tertinggi negara Amerika Serikat, termasuk gedung putih, departeman luar negeri, pentagon, Central Inteligence Agency (CIA), dan beberapa pihak lain. Pada level ini terjadi pengambilan keputusan mengenai kebutuhan untuk melakukan tekanan politik dalam rangka mempromosikan demokrasi di negara-negara atau wilayahwilayah tertentu. Program-program promosi demokrasi seperti itu tidak pernah berdiri sendiri, melainkan menjadi salah satu aspek dari pelaksanaan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang lebih besar. Biasanya program promosi demokrasi dibarengi dengan pencapaian tujuan atau kepentingan militer, ekonomi, dan aspek lain. Pada tingkat kedua, yang paling berperan adalah (United State Agency for International Development) USAID, yang telah mengalokasikan bantuan beratusratus juta dolar AS pada Afghanistan. Dana tersebut disalurkan sendiri oleh USAID atau melalui National Endowment for Democracy (NED), dan kadang kala agen-agen lain semacam United States Institute for Peace (USIP), atau organisasi-organisasi swasta Amerika serikat yang sangat erat hubungannya dengan pembentukan kebijakan luas negeri Amerika Serikat. NED sendiri dibentuk pada 1983 sebagai suatu organ pusat untuk melakukan intervensi politik. Sebelum NED didirikan, Central Inteligence Agency (CIA), yang secara rutin menyediakan dana dan pedoman bagi partai-partai politik, dewan-dewan usaha, persatuan-perrsatuan kerja, pelajar-pelajar dan kelompok-kelompok masyarakat sipil di negara-negara yang diinvasi Amerika Serikat. Organisasi-organisasi yang menerima dana dari USAID dan NED antara lain National Republican Institute For International Affairs (NRI, juga di kenal
75
sebagai International Republican Institute atau IRI) dan National Demokratic Institute For International Affairs (NDI). Organisasi-organisasi tersebut merupakan kepanjangan tangan kebijakan luar negeri resmi dari partai politik republikan dan demokrat di Amerika Serikat. Selain itu, ada juga International Federation For Electoral System (IFES), Center For Democraci (CFD), Center For International Private Enterprise (CIPE), dan Free Trade Union Institute (FTUI). Universitas-universitas Amerika Serikat, kontraktor swasta, dan kaum intelektual termasuk juga pihak-pihak yang menerima dana untuk disalurkan. Pada tingkat ketiga, organisasi-organisasi Amerika Serikat ini menyediakan hibah, yaitu pendanaan, bimbingan, dan penyokongan politik untuk organisasiorganisasi lokal di negara –negara yang diintervensi Amerika Serikat, seperti Afghanistan. Pendaftaran pemilih untuk memperlancar pemilihan umum Afghanistan United Nations Development Program (UNDP), yang sebagian besar didanai Amerika Serikat, dengan jumlah biaya mendekati 100 juta dolar AS.91 Demokrasi sangat erat hubungannya dengan media massa, maka salah satu syarat tercapainya demokrasi politik adalah ketersediaan informasi yang bebas dan luas. Pada Desember 2001, Amerika Serikat melalui International Organization Migration (IOM) memberikan lima small grants untuk mendorong lahirnya media lokal yang independent. Hibah ini ditujukan untuk misi penilaian media, pembangunan pers di Kabul, produksi surat kabar kebudayaan nasional mingguan, unit produksi pers di Afghanistan, dan peralatan untuk Afghan Media Resource Center, yang berbasis di Peshawar. Selain itu, empat hibah lainnya 91
Jenny Francis, “Afghan Elections: the U.S. Agenda,” in Grenn left Weekly, diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.Grennleft.org.au/back/2004.html
76
diberikan untuk memulai operasi NGO lokal dan kelompok perempuan Afghanistan yang dianggap menjanjikan. Ini juga merupakan suatu bantuan besar bagi Afghanistan mengingat peran masyarakat sipil dan perempuan di Afghanistan hampir tidak pernah diperhitungkan dalam kehidupan di Afghanistan sebelumnya.92
C.2. Pemilihan Umum 2004 Wujud dari Demokrasi Pada 2004, isu yang sangat menonjol dalam transisi rezim di Afghanistan adalah mengenai pemilihan umum yang merupakan pertamakalinya bagi rakyat Afghanistan. Hal ini menyebabkan banyak sekali hambatan dan kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah Afghanistan dalam rangka mempersiapkan pemilihan umum tersebut. Pemerintah AS sangat mendukung proses ini dan terus memotivasi Presiden Karzai untuk melanjutkan upayanya merealisasikan rencana tersebut. AS dan Karzai percaya bahwa penyelenggaraan pemilihan presiden secara demokratis akan memberikan legitimasi yang lebih besar bagi pemerintah Afghanistan, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga secara Internasional. Duta Besar AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad memperingatkan Karzai bahwa apabila pemilihan tersebut tidak diselenggarakan, krisis legitimasi yang dialami pemerintahan Afghanistan akan semakin memburuk. Namun demikian, dukungan besar AS ini tidak disukai oleh negara-negara donor lain karena AS dianggap terlalu mendominasi proses menuju penyelenggaraan pemilihan umum, hingga akhirnya menghasilkan dugaan bahwa dukungan AS merupakan upaya Presiden Bush untuk membuktikan kesuksesan proses demokrasi di Afghanistan untuk 92
Field Report: Afghanistan, diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www. usaid.gov/hum _response/oti/country/afghan/rpt1201.html
77
mendukung pencalonan dirinya sebagai presiden AS untuk kedua kalinya pada November.93 Memang pada akhirnya pemilihan umum pasti dilaksanakan, akan tetapi pada saat bersamaan, persiapan pemilihan umum demokratis menghadapi masalah, karena jumlah masyarakat yang mendaftar untuk memilih pada awal 2004 sangat rendah di samping itu terdapat ancaman al-Qaeda terhadap Presiden Hamid Karzai. Masalah-masalah ini menyebabkan diundurnya pelaksanaan pemilihan umum, yang seharusnya diselenggarakan pada Juni 2004 menjadi September 2004. Hal ini merupakan akibat dari situasi keamanan Afghanistan yang masih tidak kondusif bagi penyelenggaraan pemilihan umum. Untuk mengatasi hal ini AS melibatkan diri secara teknis dalam persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Afghanistan. Dalam persiapannya, Amerika Serikat memimpin koalisinya dalam melatih pasukan kepolisian Afghanistan, memperkuat tentara, serta terus meningkatkan kewaspadaan keamanan untuk memperlancar pemilihan umum. Sayangnya, pemilihan umum dianggap tidak dapat dilaksanakan segera. Oleh karena itu, pemilihan presiden yang dianggap lebih sederhana penyelenggaraanya lebih dulu diselenggarakan pada 9 Oktober 2004, masih empat bulan terlambat dari jadwal semula. Pada hari-hari menjelang pemilihan presiden pun kericuhan masih terjadi. Adanya dugaan bahwa campur tangan AS terlalu besar dalam upayanya memenangkan calon favoritnya, Hamid Karzai menyebabkan kandidat lain mengancam memboikot hasil pemilihan presiden serta menuntut adanya pemilu ulang. Namun masalah ini akhirnya dapat diatasi, walau ada kandidat yang
93
Diakses pada 23 Novermber 2007 dari http://www.infoplease.com/ipa/A0107264.html.
78
mengundurkan diri untuk memberikan dukunganya kepada Hamid Karzai. Upaya ini dilakukan untuk mencegah perpecahan mengingat banyaknya jumlah kandidat dalam pemilihan presiden Afghanistan.94 Satu hari menjelang pemilihan umum pertama di Afghanistan, 8 Oktober 2004, banyak pihak meragukan kelancaran dari seluruh prosesnya. Padahal, keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum demokratis bagi suatu negara di era transisi menuju demokrasi merupakan salah satu indikator paling penting untuk mengukur tercapai atau tidaknya demokrasi, setidaknya demokrasi politik. Keraguan ini disebabkan karena mendekati hari pemilihan umum, (1) Taliban masih mengancam akan melakukan pemboman di Afghanistan; (2) para warlord ditakutkan tidak akan jujur dalam pemilihan; (3) banyak di antara para pemilih yang buta huruf dan sama sekali belum pernah mengikuti proses pemilihan umum sebelumnya, (4) infrastruktur jalan yang masih sangat buruk, padahal Afghanistan merupakan negara yang luas. Lebih buruk lagi, penyerangan kerap terjadi pada panitia
pemilihan umum, di mana banyak di antaranya dibunuh.
Selain itu, banyak ahli dengan mudah dapat memprediksikan bahwa kandidat presiden yang akan memenangkan pemilihan umum adalah presiden transisional Afghanistan Hamid Karzai, padahal para pemilih diberikan pilihan 18 orang kandidat presiden dengan masa jabatan lima tahun. Para kandidat utama antara lain: Hamid Karzai, Younus Qonuni, Massouda Jalal, Mohammad Mohaqeq, Abdul Rasyid Dostum, Abdul Satar Serat, dan Abdul Hafiz Mansoor. Apabila tidak ada seorang pun di antara kandidat memenangkan pemilihan umum 94
“Pemilu Afghanistan Kacau, Calon di luar Karzai Minta Ulang,” Kompas 11 Oktober
2004.
79
secara mayoritas, maka pemilihan tahap kedua dilakukan pada November 2004 untuk menentukan pemenangnya. Prediksi bahwa Karzai akan memenangkan pemilihan tidak terlepas dari anggapan bahwa Amerika Serikat ikut memberikan dukungan besar-besaran, bahkan ada tuduhan ikut mempengaruhi hasil pemilihan umum tersebut.95 Menjelang pemilu pasukan Amerika Serikat dan NATO berpatroli di ibukota dan pinggir desa. Tugas untuk menjaga para kandidat dan tempat pemungutan suara diserahkan pada polisi dan tentara nasional Afghanistan. Sebuah laporan dari PBB memperingatkan bahwa para warlord lokal sangat mungkin akan mencoba mengintimidasi para pemilih dan kandidat dengan menggunakan senjata. Masing-masing tindakan ini tentu memberikan kontribusi bagi terhambatnya pemilu yang demokratis di Afghanistan.96 Dari gambaran mengenai situasi di Afghanistan menjelang pemilu presiden pada Oktober 2004, terlihat jelas bahwa proses demokrasi di Afghanistan tidak berjalan dengan lancar. Secara keseluruhan pemilihan presiden Afghanistan ini berlangsung baik. Kontroversi yang menyelimuti peristiwa bersejarah bagi Afghanistan ini berangsur-angsur hilang ketika beberapa kandidat dari pihak oposisi menarik kembali tuduhan mereka mengenai kecurangan dalam proses pemungutan suara. Akhirnya Hamid Karzai memenangkan pemilihan umum 9 Oktober 2004. Hasil Survey Asia Foundation, mencatat sekitar delapan juta rakyat Afghanistan berpartisipasi dalam pemilu, dengan 42 persen di antara para pemilih adalah kaum perempuan. Pada 31 Oktober 2004, hasil dari pemilihan presiden sudah dapat
95
“Pemilu Afghanistan, Ujian Berat Demokratisasi Versi AS,” Kompas 10 Oktober 2004. Sarah Left, Ewen Mac Askill and Mark Oliver, ‘Explainet: The Afghan Election, diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.guardian.co.uk/theissues/article/0,6512, 1299137,00.html 96
80
diketahui, di mana Hamid Karzai sudah jelas memenangkan pemilihan tersebut, dengan mendapatkan 55% suara. Kemenangan ini diumumkan pada awal November 2004.97 Sebelumnya sempat timbul kekhawatiran akan terjadi kekacauan, kerusuhan, bahkan pertumpahan darah. Apalagi sisa kekuatan Taliban dan jaringan al-Qaedah mengancam akan mengacaukan dan menggagalkan pemilu. Akan tetapi pelaksanaan pemilu berlangsung mulus di luar perkiraan banyak orang. Kelegaan berlanjut ketika Karzai dilantik menjadi presiden Selasa 7 Desember. Di antara sekitar 100 tamu penting dalam acara itu hadir antara lain Wakil Presiden AS Dick Cheney dan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld. Kehadiran para petinggi asing, termasuk dua pejabat penting AS, semakin memperlihatkan dukungan dunia internasional terhadap pemerintahan baru Afghanistan. Masyarakat dunia memang mengharapkan Afghanistan mengalami perubahan dan perbaikan di bawah kepemimpinan Presiden Karzai.98 Namun ternyata sukses dari pemilihan Presiden ini tidak berdampak banyak bagi stabilitas keamanan Afghanistan. Permasalahan warlordism hingga saat ini masih tetap ada, ditambah lagi dengan kabar bahwa Taliban telah bersatu kembali dan memperkuat diri. Agaknya Presiden Hamid Karzai harus bekerja sangat keras untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan yang lebih luas lagi dari rakyatnya sendiri, setelah dunia internasional mengakui pemerintahannya sebagai pemerintahan sah Afghanistan. Selain itu, hingga saat ini, kenyataannya bahwa kehidupan di Afghanistan, setidaknya di 2003 masih terus dibentuk oleh
97
“Kerawanan Keamanan, Jadi Ancaman Utama Pemilu Afghanistan,” Kompas 18 Oktober 2004. 98 Setelah Karzai Dilantik, Afghanistan Mulai Menapak Era Baru,_ Kompas 9 Desember 2004.
81
peran AS. Kemajuan yang dirasakan dalam bidang rekonstruksi infrastruktur, keamanan, dan bentuk transisi politik yang sedang berlangsung di negara tersebut merupakan hasil dari strategi AS di Afghanistan. Walaupun pada akhirnya masalah ini berhasil diselesaikan oleh presiden dan pemerintahan baru Afghanistan, namun Ia belum bisa mengendalikan negaranya secara penuh. Hingga saat ini, di luar Kabul yang masih berkuasa adalah ketua-ketua dari masing-masing kelompok etnis ataupun warlords. Dengan terlaksananya pemilihan umum presiden di Afghanistan pada Oktober 2004, serta terbentuknya rezim pemerintahan baru yang demokratis di bawah pimpinan Presiden Hamid Karzai, memang secara sekilas dapat dikatakan bahwa Afghanistan cukup berhasil melaksanakan proses demokrasi, setidaknya demokrasi politik. Namun, bila menggunakan seluruh karakteristik demokrasi maka, di samping keberhasilan yang telah dicapai, demokratisasi belum sepenuhnya berhasil dilakukan di Afghanistan.
82
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Presiden George W. Bush memang mengharapkan bahwa invasi militer di Afghanistan akan menjadi exit strategy yang paling tepat dan efektif dalam rangka perang melawan terorisme. Namun, setelah melakukan invasi militer, Amerika Serikat menemukan kenyataan bahwa membangun sebuah negara Afghanistan yang demokratis (bahkan hanya secara politik) yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi sangat sulit, bahkan dalam jangka pendek mendekati kemustahilan. Padahal Amerika Serikat praktis telah melakukan intervensi di hampir semua komponen kehidupan Afghanistan dalam rangka mewujudkan negara demokratis agar tidak lagi menjadi ancaman bagi negaranya. Hal ini di karenakan situasi dan kondisi kehidupan di Afghanistan, terutama dalam hal keamanan, masih diwarnai persaingan antar kelompok, ambisi pribadi para warlord, perebutan kekuasaan lokal, dan perpecahan etnis serta agama di antara rakyat Afghanistan sendiri. Walaupun Amerika Serikat sudah memulai perang melawan terorisme, Afghanistan masih menghadapi banyak masalah. Di antara masalah-masalah tersebut, beberapa yang paling serius adalah: pertama, Taliban dan al-Qaeda belum terkalahkan. Mereka hanya terpecah belah dan mencari kesempatan untuk membalas tindakan Amerika Serikat. Kedua, pemerintah transisional Afghanistan terlalu menggantungkan diri pada bantuan asing dalam segala hal, baik ekonomi, politik, maupun militer, sehingga sulit untuk mendapatkan kepercayaan
83
sepenuhnya dari rakyat Afghanistan. Jika kedua masalah besar ini tidak dapat diselesaikan, keamanan dan stabilitas di Afghanistan tidak dapat terjamin. Selain itu, sistem kemasyarakatan Afghanistan yang telah terintegrasi dengan kuat dalam diri rakyat Afghanistan serta adanya kekuatan militer dari kelompok-kelompok (milisi) lokal, sangat sulit juga untuk mengharapkan Afghanistan akan mampu mewujudkan negara dengan sistem demokrasi ala Barat. Sistem terbaik, yang paling mendekati demokrasi, yang dapat dicapai adalah suatu bentuk proses tawar-menawar antara kelompok-kelompok yang bersitegang untuk berbagi kekuasaan dengan memberikan otonomi kepada satu sama lain. Dengan demikian, yang masih mungkin dilakukan Amerika Serikat adalah mencegah Afghanistan kembali menjadi negara yang dijadikan markas kelompok ekstrim Islam. Demokratisasi di Afghanistan dilakukan dalam berbagai tahapan seperti, liberalisasi yang dilakukan ketika Amerika Serikat melakukan invasi militer ke Afghanistan, yang ditujukan untuk membebaskan rakyat Afghanistan yang dianggap terkekang selama masa pemerintahan Taliban menuju rakyat demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan, hak sipil, dan hak politik. Selanjutnya dalam tahap transisi, Amerika Serikat memiliki peran besar di mana sebagian besar konvensi dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan merupakan dorongan dan didanai Amerika Serikat. Sementara dalam instalasi pemerintahan, Amerika Serikat berhasil dalam hal mendukung pembentukan rezim baru dalam pemilihan umum, namun dapat dikatakan gagal karena pemerintah hasil pemilihan umum tidak kuat. Kegagalan pemerintah pusat Afghanistan yang didukung Amerika Serikat tidak memungkinkan Afghanistan melangkah lebih jauh menuju
84
konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, peran Amerika Serikat dalam demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan hanya berhasil pada tahap pengenalan demokrasi kepada rakyat Afghanistan. Setelah Hamid Karzai terpilih menjadi presiden Afghanistan melalui pemilihan umum Oktober 2004. Proses demokrasi pun mengalami nasib yang tidak terlalu jauh. Secara historis, Afghanistan tidak pernah menganut demokrasi yang ingin dibentuk Amerika Serikat. Selain itu, meskipun pemilihan umum presiden berhasil diselenggarakan pada awal Oktober 2004, banyak yang tidak mengindahkan terpilihnya Hamid Karzai sebagai presiden pilihan rakyat Afghanistan. Para warlord masih menerapkan kekuasaan mereka di wilayah masing-masing dengan peraturan dan hukum yang mereka tetapkan sendiri. Di samping itu, meskipun terdapat niat untuk mendorong kemandirian pemerintah pusat Afghanistan, aktoraktor
internasional,
pengimplementasian
terutama
Amerika
program-program
Serikat,
pemerintah
masih
Afghanistan.
memimpin Hal
ini
menjadikan demokratisasi di Afghanistan sebagai sebuah proses yang semu. Melihat karakter Afghanistan yang unik, memang akan sangat sulit untuk melakukan proses demokrasi yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan nasional Amerika Serikat. Afghanistan tidak pernah memiliki basis demokrasi sehingga rezim politik demokratis yang kuat dan stabil akan sangat sulit terbentuk jika tidak merangkul para pemuka masyarakat di Afghanistan. Selain itu, proses demokrasi yang diharapkan menjadi pendukung utama terciptanya kehidupan demokratis di Afghanistan tidak akan terwujud selama Afghanistan masih dihadapi dengan masalah trauma dan dendam perang sipil antar faksi, perekonomian yang didominasi oleh perdagangan opium, antagonisme antar
85
kelompok etnis, tidak kuatnya institusi, dan partai politik. Kondisi-kondisi ini menjadi hambatan utama bagi Amerika Serikat yang bertujuan menjadikan Afghanistan menuju negara yang demokratis. Secara keseluruhan inti temuan skripsi ini bahwa dengan kompleksitas kehidupan di Afghanistan, terutama dalam politik, Amerika Serikat berhasil memperkenalkan demokrasi politik kepada Afghanistan, namun belum berhasil menerapkan kehidupan berdemokrasi. Dengan melihat kondisi Afghanistan di mana pemerintahan baru didukung oleh Amerika Serikat ternyata tidak mampu mendapatkan dukungan dari rakyatnya, dapat dikatakan bahwa setidaknya untuk masa depan jangka pendek, masih akan sangat sulit bagi Amerika Serikat untuk berhasil menerapkan demokrasi yang sesuai keinginannya. Hal ini mustahil tercapai apabila Presiden Karzai tidak berhasil menjalankan pemerintahan demokratis yang memiliki pengaruh kuat di seluruh wilayah Afghanistan. Tugas berat yang harus dilakukan untuk menyukseskan demokratisasi ala Amerika Serikat adalah bagi Presiden Karzai untuk dapat mengendalikan atau setidaknya berkompromi dengan para penguasa wilayah dan worlord serta mencegah kekuatan Taliban dan al-Qaeda di Afghanistan untuk tidak berkembang sehebat dulu. Tindakan inipun belum tentu disetujui oleh seluruh rakyat Afghanistan, yang berarti prospek demokrasi seperti diinginkan Amerika Serikat belum jelas. Kedudukan Presiden Karzai yang lemah di negaranya sendiri bahkan dapat jatuh apabila Amerika Serikat memutuskan untuk mundur dari Afghanistan dalam waktu dekat. Apabila Presiden Karzai jatuh sebuah konflik baru di Afghanistan sangat mungkin terjadi. Wassalam.
86
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdurrahman, Mushafa. Afghanistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan. Jakarta: Kompas, 2002. Ahmad, Istiaq. “Post-War Afghanistan: Rebuilding a ravaged Nation.” Perceptions Vol.VII No.1 Maret-Mei 2002. Akmam, Wilhendra. “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994: Penelaahan
terhadap
Struktur
Politik
Zaman
Modern
Negara
Afganistan,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Bekerjasama dengan Pusat Pengkajian
Wilayah
Amerika
Pogram
Pasca-Sarjana
Universitas
Indonesia. Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Jakarta: UI Press, 2003. Bajpai, P and S. Ram (eds). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 1, Afghanistan: The Land and People. New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD., 2002. Bajpai, P. and S. Ram (eds.). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 5: Taliban and Muslim Fundamentalism. New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD., 2002. Bajpai, P. and S. Ram (eds). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 6: US War on Terror in Afghanistan and Aftermath. New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD, 2002. Boniface,
Pascal.
“What
Justifies
Regime
Change,”
The
Washington
Quarterly. vol. 26 No. 3 Summer 2003. Broto, Iwan Hadi dkk. Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs Taliban. Jakarta: Gramedia, 2002.
87
Dobriansky, Pula J. “Shining a light: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide.“ US Foreign Policy Agenda, Vol. 8 No. 1,
Agustus 2003.
Gandhi, Setiyo Budhi Cahyo Padma. “Respon Amerika Serikat Menghadapi Terorisme (Studi Kasus): Pasca Serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ) Tahun 2001-2002.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003. Grover, Verinder. “Afghanistan: An Introduction,” In Verinder Grover (ed)., Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan. New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002. Hamre, John J. and Gondor R. Sullivan. “Toward Postconflict Raconstruction,” The Washington Quarterly. Vol25 No.4 Autumn 2002. “Jurnal Politik Internasional.” Global vol.7 No.2 Mei 2005. Kagan, Frederick W. “Did We Fall in Afghanistan?”, Commentary Vol. 115 No. 3 March 2003. Maulani Z.A. Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia Tengah. Jakarta: Dalancang Seta, 2002. Maulani Z.A. Mengapa? Barat Memfitnah Islam. Jakarta : Daseta, 2002 Moloeng Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Muzaffar, Chandra. Muslim, Dialog dan Teror. Jakarta : Profetik, 2004. Cet.I. Nasir Moch. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Saikal, Amin. “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” Dalam William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999. Saikal, Amin. Afghanistan after the Loya Jirga. Survival vol. 44 No.3 Autumn 2002. Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007. Sihbudi, Riza. Menyandera Timur-Tengah. Jakarta : Mizan, 2007. “Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak.“ Demokrasi & HAM Vol.3 No.2 Mei – September 2003.
88
Zisk Marten, Kimberly. “Defending Against Anarchy: From War to Peacekeeping in Afghanistan.” The Washington Quarterly. Vol. 26 No. 1 Winter 2002-` 2003
Media Cetak Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara Pembaharuan, 7 Juli 2002. “Amerika Serikat Kibarkan Bendera di Kedubes Kabul,” Kompas Senin 14 Januari 2002. Powell, Colin L.. “Demokrasi Bangkit di Afghanistan,” Kompas 1 Oktober 2004. “Pemilu Afghanistan Kacau, Calon di luar Karzai Minta Ulang,” Kompas 11 Oktober 2004. Yulianti, T. “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21
November 2001.
“Pemilu Afghanistan, Ujian Berat Demokratisasi Versi AS,” Kompas 10 Oktober 2004. “Kerawanan Keamanan, Jadi Ancaman Utama Pemilu Afghanistan,” Kompas 18 Oktober 2004. Setelah Karzai Dilantik, Afghanistan Mulai Menapak Era Baru,_ Kompas
9
Desember 2004. “Redupnya Nilai Strategis Taliban,” Kompas, 23 September 2001. The Jakarta Post, 14 November 2001.
Media Internet Abdul Halim Mahally, “AS, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi” dari http://www.republika.co.id diakses pada 18 November 2007.
89
A Special Elektronic Journal. “U.S Department of State September 2002.” Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.asiasociety.org /publication/asianUpdeteContent.pdf, “Afghanistan.”
Diakses
pada
13
November
2007
dari
http://www.infoplease.com- /ipa/A0107264.html. “Bir dan Rok Mini Mulai Bebas di Kabul.” Diakses pada 18 November 2007 dari http://www.hidayatullah.com /modules.php?name=News&file=article&sid =120. “Constitution Making Process.” Diakses pada 22 November 2007 dari http://www.constitution-afg/. Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com /Afghanistan_timeline_1991-1995, Diakses pada 17 November 2007 dari http://countrystudies.us/afghanistan /65.htm, Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage. com/partners/wapha.html. Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology /projects/Afghan_refugees/project.html, Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/ encyclopedia /countryfacts/afghanistan.html, Diakses pada 23 Novermber 2007 dari http://www.sabawoon.com/news/mini head lines.asp?dismode=article&artid=8517. Feiser, Jonathan. “Separating Symptoms From Sources: The Ghost of Greater Afghanistan.”
Artikel
diakses
pada
30
November
2007
dari
http://www.pinr.com/report.php?ac=view_report&report_id=70&language _id=1. Field Report. “Afghanistan Desember 2001.” Diakses pada 12 Desember 2007dari http://www.usaid.gov/hum_response/oti/country/afghan/rpt1201.html, Helms, Laili. “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security and Options for International Action.” Artikel diakses pada 12 Maret 2007 dari http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/sr_afghan.html,
90
Human Right Watch. “Afghanistan: Worlord Face Internastional Criminal Court.” Artikel diakses pada 11 November 2007 dari http://www.globalpolicy.org/ security/issues/afghan/2003 0211 war.html. Karon, Tony. “Understanding Bin Laden’s Hosts. The Dilemma He Poses for Them and the Politics of the Neighborhood.” Artikel Diakses pada 24 Nov 2007 dari http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,175372,00.html. Komentar oleh wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember
2001. diakses
pada
12
Desember
2007
dari
http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html Maley, William. “Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State in Afghanistan.” Artikel Diakses pada 11 November 2007 dari http://www.cesindia. org/maley.doc, Marquardt, Erich. “Reintegration of Factional Armies a Priority in Afghanistan.” Artikel diakses pada 18 November 2007 dari http://www.pinr.com/report. php?ac=view_report&report_id=170&language_id=1. Mark Oliver, Sarah Left, Ewen Mac Askill. “Explainet: The Afghan Election.” Artikel diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.guardian.co.uk/ theissues /article/0,6512,1299137,00.html, “Regime Change in Afghanistan.” Diakses pada 21 November 2007 dari http://www.abawoon.com/news/miniheadlines.asp?dismode=article&arti d=8517. Report of the Internastional Peace Mission to Basilan, Philippines, 23-27 March 2002, Basilan:the Next Afghanistan?” Diakses pada 26 November 2007 dari http://www.bwf.org/pamayanan/peacemission.html. Rumsfeld, Transcript. “Myers on Military Operation in Afghanistan.” Distributed by the Office of International Information Programs, US Departmen of state. Diakses pada 10 Desember 2007 dari http://www.usinfo.state.gov, Schmeidl, Susanne. “The Transition from Relief to Development from a Human Security perspective: Afghanistan.” Aertikel diakses pada 12 November
91
2007dari http://www.humansecurity-chs.org/activities/research/fghanistan .pdf. Shalom, Stephen R. and Michael Albert. “45 Questions and Answers: 9-11 and Afghanistan One Year Later.” Artikel diakses pada 12 Maret 2007 dari http://www.globalissues.org/geopolitics/WarOnTerror/45qaAfghan.asp,
Text. “Bush Announces Start of a War on Terror.” Distributed by the office of International Information Program. US Departmen of State. Diakses pada 10 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov, The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan. “10 March 2003, the Constitutional-Making Process in Afghanistan.” Diakses pada 23
November
2007
dari
http://www.constitution-afg.com/resrouces
/Constitution-Making%20Proces%20final.doc. Wawancara David Barsamian terhadap Noam Chomsky. “US Intervention from Afghanistan
to
Iraq.”
Diakses
pada
12
Desember
http://www.isreview.org/issue/25/chomsky_interview.shtml,
92
2007
dari
93