MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN 2013 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Miftachul Choir Al Ayyubi 1110112000024
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 / 1436 H
ABSTRAK
Miftachul Choir Al Ayyubi Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013 Di Mesir, militer menjadi kelompok yang berkuasa dalam jalannya pemerintahan. Militer sejak lama berkuasa di Mesir lewat kelompok Free Officer, kelompok yang melakukan kudeta pertama kali pada Raja Farouq pada tahun 1952. Sejak saat itu tampuk kekuasaan, pergantian pemimpin, dan penentuan regulasi di Mesir dipengaruhi Militer. Ditambah Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces – SCAF) yang kini mengawasi setiap jalannya pemerintahan di Mesir. Mohammad Mursi, presiden terpilih dari kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bulan-bulanan, hanya setahun kepemimpinannya kemudian dikudeta militer. Militer belum rela bila kekuasaan di Mesir kini beralih ke tangan pihak lain, lewat ultimatum 48 jam militer mengumumkan pengambilalihan pemerintahan atas Mursi. Dengan begini militer mengalami kemunduran secara profesional dan termasuk menjadi tentara pretorian. Tentara yang intervensi dalam jalannya politik. Rakyat berdemontsrasi di alun-alun Tahreer dengan alasan ekonomi tidak membaik pada setahun jalannya Mursi berkuasa, menganggap Mursi hanya perwakilan yang mementingkan Ikhwanul Muslimin karena dominasi parlemen, dan menuduh gagal menertibkan huru-hara yang terjadi akibat faktor tersebut. Ditambah dekrit Mursi pada 22 November yang disinyalir memiiki kekuasaan tidak terbatas yang akan dimiliki Mursi, padahal itu langkah Mursi untuk mengamankan pemerintahannya dari geliat politik militer yang coba menggerogoti dari dalam. Militer berafiliasi dengan kelompok oposisi menggadang-gadang Mursi untuk turun, dengan menyamakan persepsi rakyat dan oposisi. Setelah militer berhasil menyamar dalam pesamaan persepsi dengan rakyat, militer bertindak sebagai harapan rakyat. Padahal langkah militer ini untuk kudeta agar pengambilalihan kekuasaan menjadi tidak begitu kentara. Akibat kudeta ini membuat demokrasi yang baru dijajaki mesir menjadi cacat, Mesir kembali diperintah oleh militer yang memenangkan pemilu pascakudeta.
i
KATA PENGANTAR
Penelitian
ini
merupakan
yang
paling
menarik
untuk
dikaji.
Kepemimpinan Mesir setelah Mubarak jatuh dipegang oleh Muhammad Mursi, presiden yang kala itu maju lewat sayap politik Ikhwanul Muslimin. Setelah Mursi terpilih militer melakukan kudeta pada setahun kepemimpinannya, menjadi menarik karena banyak hal yang terjadi. Selain Mesir baru saja menjajaki demokrasi, ada ketidakrelaan militer yang sejak lama menguasai Mesir kini harus kehilangan pamornya dalam segala bidang. Pada awalnya penelitian ini ingin melihat apa saja kah faktor yang memotivasi militer melancarkan kedetanya, dan bagaimana militer melakukannya. Karena idealnya pada negara yang baru menjajaki demokrasi, berbagai golongan turut serta mendukung jalannya transisi, bukan menjegal. Semoga penelitian ini bermanfaat dan dapat berkembang menjadi lebih baik lagi. Peneliti ingin menyampaikan banyak terimkasih ada tiap orang juga lembaga yang turut membantu menyeleaikan penelitian ini. Dalam kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. 3. Bapak Dr. Iding Rosyidin selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.
ii
4. Ibu Suryani M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. 5. Bapak Dr. Nawiruddin selaku pembimbing juga teman diskusi yang selalu menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya. Berkat pembimbing membuat peneliti hati-hati dan teliti dalam menulis, sehingga penelitian ini bisa berhasil dengan baik. 6. Terimakasih yang terdalam peneliti sampaikan kepada Mukarrom Chusni Amari dan Siti Hodijah. Sebagai orang tua tak henti-hentinya memberikan dukungan moril dan materil. Serta doa yang tak pernah putus membuat semangat peneliti tak putus hingga akhir penelitian ini. Adinda adik tersayang
Isti
dan
Nadya
yang
tiap
malamnya
menyempatkan
membangunkan peneliti kala tertidur dalam pengerjaan penelitian ini. 7. Kepada Bapak Hamdan Basyar dan Zuhairi Misrawi peneliti ucapkan terimakasih telah memberikan data dan pengetahuan bagi kebutuhan penulisan skripsi ini. Sehingga penelitian ini menjadi matang untuk dipresentasikan. 8. Kepada Radityo, Chacha, Alfi, Azha, Nafis Ayok, Nurhadi, Jekry, Sulton, Nafis, Wases, Silvi Widodo, Yan, dan Farhany. Peneliti ucapkan banyak terimakasih karena canda tawa kalian selalu jadi penghibur dalam kebuntuan berfikir tengah malam. 9. Kepada Aisyah, Andini, Lulu, Lela, Afril, Adis, Indragiri, Erwin, Camen Ferdi, Rizky Botsam, Ompong Novian, Ikbal, Angga, Aslusani, Ambon Febri, Ican, Ade, Dona, Oye, Rijal Jideng, Yosep, Masrizal, Dara Amalia,
iii
Zhahrah Qamarani, Ismet, Ade Kumis, Brian dan seluruh kawan-kawan Ilmu Politik 2010 Peneliti ucapkan terimakasih. Karena setia berdiskusi kecil dan mendengar keluh kesah peneliti. 10. Tak lupa terimakasih peneliti ucapkan pada staf TU Pak Jajang dan Pak Amali yang banyak membantu peneliti dalam melengkapi urusan administrasi.
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK .........................................................................................................................i KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v DAFTAR TABEL ........................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. viii BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
BAB II
Pernyataan Masalah ............................................................................. 1 Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 11 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 11 Tinjauan Pustaka ................................................................................. 12 Metodologi Penelitian ......................................................................... 14 Sistematika Penelitian ......................................................................... 15
KERANGKA TEORI A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern ............................. 17 1. Kontrol Sipil Atas Militer Dan Intervensi Militer ........................ 17 B. Konflik. ............................................................................................... 20 1. Pengertian Konflik. ....................................................................... 20 2. Jenis Konflik. ................................................................................ 23 3. Resolusi Konflik. .......................................................................... 23 C. Kudeta ................................................................................................. 24 1. Pengertian Kudeta. .......................................................................... 24 2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta ................................................... 26 D. Tentara Pretorian ................................................................................. 31 1. Pretorian Jenis Moderator ............................................................. 37 2. Pretorian Jenis Pengawal............................................................... 39 3. Pretorian Jenis Penguasa ............................................................... 40
BAB III
DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR A. Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir .................................. 43 B. Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir ..................................... 47
BAB IV
KUDETA PRESIDEN MURSI A. Krisis Pemerintahan Sipil.................................................................... 60 B. Politik Militer Dan Oposisi ................................................................. 67 C. Militer Pasca Kejatuhan Mursi............................................................ 74
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 79 B. Saran .................................................................................................... 80 v
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................ix LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel III.B.1
Hasil Pemilu Parlemen 2011 ..............................................50
Tabel III.B.2.
Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden Mesir Putaran .....54
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Data Transkip Wawancara Hamdan Basyar
Lampiran 2
Data Transkip Wawancara Zuhairi Misrawi
Lampiran 3
Surat Pengantar Wawancara/Mencari Data
Lampiran 4
Surat Keterangan Selesai Wawancara
Lampiran 5
Foto Dokumentasi Wawancara
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah Di kawasan Middle East and North Africa (MENA), perkembangan dan gaya pemerintahan banyak diwarnai oleh kekuatan basis lokal suku tradisional (kabilah), doktrin agama, dan kelompok bersenjata atau biasa disebut tentara militer. Pada negara yang penguasanya didukung oleh kelompok bersenjata dan basis lokal yang sengaja dibuat loyal bagi penguasa, akan mengarah pada gaya kepemimpinan yang otoritarian1. Dibeberapa bagian negara seperti Mesir dan Libya tidak lepas dari kekuasaan rezim militer yang melakukan kudeta. Rezim Gammal Abdul Nasser di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya berhasil melakukan kudeta dan berkuasa dalam kurun waktu yang lama. Mereka bertahan dengan menggunakan aparat militer, polisi rahasia serta partai politik dominan buatan sendiri untuk menguasai parlemen, dan menggunakan jaringan antar suku untuk menjaga stabilitas kekuasaan ditingkat bawah. Pemimpin ini banyak memperoleh kekuatan politiknya karena latar belakang militer mereka. Esprit de corps, jaringan komunikasi dan hirarki ala militer membuat kekuasaan mereka tetap terjaga di tengah arus oposisi yang mereka hadapi.2
1
Otoritarianisme adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuasaannya secara keras, kaku, dan tanpa kompromi. Semua dijalankan atas nama negara dan untuk negara, jenis pemerintahan ini mirip dengan pemerintahan model militer yang dilakukan dengan kekerasan, disertai dengan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hak pribadi, hak-hak politik, serta sipil. Otoritarianisme juga merupakan gaya pemerintahan dari filsafat kekuasaan monarki absolut abad 16-17 M di Inggris dan Prancis. 2 Mohammad Riza Widyarsa, “Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya,” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial I, no. 1 (4 September 2012): h. 273.
1
Penelitian ini mengambil kasus Mesir karena memiliki perbedaan dengan negara yang lain, Mesir pasca kejatuhan Mubarak adalah mulainya penjajakan negara Mesir pada sistem yang lebih demokratis. Menjadi Mesir pertama kali mempunyai pemimpin yang bebas dari latar belakang militer bukan hasil kudeta, tapi menjadi yang paling demokratis dalam sejarah Mesir. Karena dalam sejarah dominasi militer yang kuat membuat Mesir tidak menjadi negara yang sepenuhnya demokratis, melainkan hanya demokrasi secara simbolik. Dibagian lain, perbedaan kasus penggulingan rezim terjadi di Libya yang merupakan dampak dari kelanjutan perubahan rezim di Tunisia dan Mesir, yaitu efek domino dari Arab Spring3(musim semi Arab).4 Pada perjalanan pemerintahan Mesir, rezim Husni Mubarak berkuasa kurang lebih tiga puluh tahun dengan gayanya yang otoriter. Hal-hal paling mendasar dari sistem otoritariansme
yang diterapkan Mubarak
adalah
pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak hakhak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan.5 Sebelum Mubarak, pemerintahan Mesir dipegang oleh Jendral Mohammad Naguib lewat kudeta
3
Di penghujung tahun 2010 dan awal tahun 2011 terjadi pergolakan besar-besaran di Dunia Arab yang terjadi dari Afrika Utara sampai ke Timur Tengah, dari Aljazair sampai ke Bahrain. Satu persatu rezim diktator bertumbangan mulai dari Zein al-Abidine Ben Ali di Tunisia dan Husni Mubarak di Mesir. Demikian rezim lainnya di Aljazair, Suriah, Yaman, Libya dan Bahrain yang masih bertahan diterpa angin demonstrasi.Berawal dari Muhammad Bouazzi di Tunnisia yang membakar diri, aksi ini menyulut semangat pemuda berdemonstrasi menuntut keadilan, dan semangat ini menular ke negara negara Arab. 4 Hery Sucipto, “Babak Baru Mesir-AS.” Republika,17 Februari 2012, h. 5. 5 Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule (United States of America: Lynne Rienner Publisher Inc, 2004), h. 3.
2
militernya tahun 1952 yang melibatkan Kelompok Perwira Bebas (Free Officer)6. Naguib tak lama memerintah karena segera digeser oleh Nasser (1952-1970), kemudian diteruskan Anwar Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011) setelah Sadat ditembak mati pada acara parade militer. Perlu diketahui mereka semua adalah tentara, dan bagian dari kelompok Perwira Bebas (Free Officer).7 Pada 25 Januari 2011 terjadi demonstrasi yang dimulai oleh pemuda menentang kepemimpinan Mubarak dan menuntut perubahan, massa menamakan hari itu dengan Yawm Al Ghadab(hari kemarahan). Pergolakan yang terjadi di sejumlah provinsi seperti Bani Suez, Mansoura, Tanta, Alexandria, dan Port Said. Aksi ini membawa pesan penting yaitu tidak inginnya rakyat dengan kepemimpinan totaliter secara politik, rakyat yang berkumpul di lapangan Tahrer berhari-hari membuktikan bahwa Mesir sedang mengalami kebuntuan politik yang luar biasa.8 Kesalahan lain Mubarak adalah terlena begitu lama dengan kekuasaannya ditambah Mubarak ingin mewariskan kekuasaan pada putranya Gamal Mubarak, proses politik itu memperjelas ke arah pembentukan dinasti politik. Rakyat juga bosan dengan gayanya yang reaktif terhadap kritik yang mudah menangkap para pengkritik.9
6
Kelompok Perwira bebas adalah kelompok yang secara politis dan rahasia terbentuk pada tahun 1939, kelompok ini beranggotakan Anwar Sadat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. karena Anwar Sadat ditahan pada musim panas, pucuk kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan. Pada awalnya kelompok ini bersepakat melakukan revolusi membebaskan Mesir di bawah jajahan Inggris. Selanjutnya kelompoknya ini terlibat dalam kudeta raja Farouq pada 23 Juli 1952,di bawah komando Jendral Naguib dan Kolonel Gamal Abdul Nasser. 7 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), h. 62-71. 8 Zuhairi Misrawi, “Mesir di Persimpangan Jalan,” Kompas, 11 Februari 2011, h. 6. 9 “Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah,” Kompas, 7 Februari 2011, h. 1.
3
Gaya pemerintahan otoriter dipandang menjadi sebuah penurunan kualitas pemerintahan, bahkan penurunan ini juga dirasakan oleh kelompok yang notabenenya pro dengan peguasa otoriter itu sendiri. secara jelas Guillermo A. O'Donnell mengatakan: ”Tidak hanya pihak oposan, tetapi juga kebanyakan mereka yang berada di dalam rezim menyimpulkan bahwa pengalaman pemerintahan otoriter adalah sebuah kegagalan total, bahkan pun jika diukur dengan standar yang ditetapkan oleh rezim yang bersangkutan. Pihak oposisi terdorong bertindak karena kegagalan yang sudah demikian jelasnya. Kelompok penguasa, termasuk angkatan bersenjata, semakin lama semakin tidak percaya pada kapasitas mereka sendiri. Mereka terpecah secara parah akibat tuduhan-tuduhan mengenai siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan yang diderita rezim tersebut.”10
Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah gelombang protes kurang lebih selama 15 hari yang diwarnai kekerasan berdarah. Pemerintahan transisi diserahkan pada militer di bawah Jendral Hussein Tantawi, Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri Ahmad Syafiq untuk menjalankan pemerintahan selama enam bulan sampai akhir pemilu parlemen dan presiden.11 Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan di bawah Husssein Tantawi dituntut rakyat sebagai kelompok pengawal demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan itu, pemerintahan transisi segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011. Terdapat hasil 10
Guillermo A. O'Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 28. 11 Muhammad Ikbal dan Nuran Soyomukti, Ben Ali, Mubarak, Khadafy: Pergolakan Politik jaziah Arab Abad 21 (Bandung: MEDIUM, 2011), h. 84-87.
4
yang sangat berbeda pada Pemilu parlemen karena Partai Demokratik Nasional (NDP)12, yaitu partai alat Mubarak tidak lagi mendominasi dan ini menjadi pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. kemudian pemilu presiden dlaksanakan, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.13 Pemilu presiden dilaksanakan dua kali pada tanggal 23-24 Mei dan 16-17 Juni, ini dilakukan karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara mayoritas pada putaran pertama. Hasil pemilu ini dimenangkan oleh Muhammad Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik Ikhwanul Muslimin, dengan perolehan 51,73% suara. Sedang Ahmad Syafiq yang berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.14 Terlihat militer tetap ingin mengambil andil tampuk kekuasaan Mesir, dengan Syafiq yang mengikuti kontestasi pemilu presiden. Perlu diketahui Syafiq adalah Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap loyalis dan representasi dari rezim Mubarak.15 12
NDP (Partai Demokat Nasional) adalah partai yang dibentuk dan diketuai oleh Mubarak. Partai ini dibentuk guna mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional (parlemen), terbukti sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang ditumbangkan revolusi rakyat. Sejak kudeta tahun 1952, konstitusi Mesir memberikan kesempatan kepada presiden untuk dipilih kembali melalui referendum. Dalam referendum itu parlemen hanya mengajukan satu calon presiden. Prosedur ini dikontrol oleh partai yang berkuasa pada masa itu, dan merupakan bentuk negara otoritarian yang dikuasai oleh satu partai politik. Partai politik yang berkuasa sejak tahun 1952 memiliki berbagai nama, namun kenyataannya hanya satu, atau partai lain mewarisi kekuasaan monolit dan tabiat partai sebelumnya. Sebelum muncul NDP (Partai Demokratik Nasioal) partainya Mubarak yang dibuat pada 1976 sudah ada beberapa partai yang sifatnya mendominasi. Dalam pemilu parlemen yang diselenggarakan antara 1976 dan 2005, NDP terus mempertahankan suara mayoritas di parlemen. Selama itu NDP tetap mempertahankan kandidat tunggalnya sebagai presiden yaitu Husni Mubarak. 13 Zuhairi Misrawi, “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis,” Kompas, 8 Februari 2011, h. 7. 14 “Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,” BBC Indonesia, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.shtml 15 “Egyptian Elections: Preliminary Results,” Jadaliyya Egypt Updates. Dalam Wikipedia The free Encyclopedia, artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated- dan http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt
5
Setelah Mursi menang dan menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokatis, massa terjun ke alun-alun Tahreer unjuk rasa menuntut Mursi turun. Massa mengatakan parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam (Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Dari hasil pemilu parlemen, Kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga kursi di parlemen, hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.16 Massa juga mengatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis 22 November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas tertinggi, final, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Para demonstran anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarod, juga koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National Salvation Front / NSF) yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi, Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi.17 Mursi sendiri berdalih, kalau dekrit yang dikeluarkannya untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa, keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan 16
“Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,” Republika Online, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baru-Mesir 17 Ali Munhanif, “Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi,” GATRA 4 September 2013, h. 87.
6
segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan. Namun yang terjadi justru Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.18 Pergantian kekuasaan di Mesir memperlihatkan situasi politik Mesir tidak terlepas dari gerak militer yang selalu membayangi kekuasaan, proses transisi demokratisasi di Mesir tidak berjalan baik dan berumur pendek. Secara jelas Guillermo A. O'Donnell mengatakan: “..transisi-transisi dari beberapa rezim otoriter tertentu menuju „sesuatu yang lain‟, yang tidak pasti. “sesuatu” yang bisa jadi pemulihan suatu demokrasi politik, atau restorasi bentuk baru yang mungkin lebih buruk. Hasilnya mungkin hanya kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik. Transisi juga dapat berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan politik yang ada.”19
Transisi menjadi begitu rentan terhadap perubahan-perubahan politik yang diakibatkan dari banyaknya kekuatan politik yang ingin menyelesaikan transisi itu sendiri, atau dengan kata lain ingin mengisi kekosongan pemerintahan tersebut. Pada awal kepemimpinannya Mursi mencopot Jendral Hussein Tantawi dengan alasan ingin melepas semua hal yang berbau rezim Mubarak, kemudian Mursi mengangkat Abdul Fattah Al Sisi sebagai Kepala Angkatan Bersenjata.20 Pada perjalanannya Sisi juga lah yang mengkudeta Mursi dengan mengumumkan ultimatum 48 jam bagi Mursi untuk mundur, menahan Mursi pasca kudeta, dan 18
Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), h. 23-228. 19 Guillermo A. O‟Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 1. 20 Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir, h. XXII.
7
menangkapi serta menembaki anggota Ikhwanul Muslimin yang dianggap pendukung militan Mursi. Pada Rabu 3 Juli 2013, Mursi resmi digulingkan oleh militer Mesir. Sebelum kudeta, pihak militer mengultimatum Mursi untuk berkompromi agar kondisi Mesir yang sedang bergejolak bisa dipadamkan dalam waktu selambat-lambatnya 48 jam sejak Senin 1Juli 2013. Bila itu tidak berhasil dilakukan, militer mengancam akan mengambil “langkah sendiri” dengan dalih menyelamatkan negara.21 Soal transisi Guillermo A. O'Donnell mengatakan secara jelas: “Militer mungkin mendukung transisi lebih karena mereka meyakini hal ini baik bagi angkatan bersenjata, bukan karena antusiasme terhadap demokrasi. Hal ini membuat perencanaan kudeta berisiko tinggi dan rawan akan kegagalan, terutama jika kita mempertimbangkan banyaknya perwira mliter yang bersikap oportunis pada pilihan-pilihan politiknya. Kalangan oportunis ini pada dasarnya berharap untuk berada pada pihak pemenang, dan jika mereka ragu terhadap pertarungan itu, mereka tampaknya akan memilih untuk mendukung situasi yang ada daripada daripada alternatif-alternatif yang sifatnya memberontak.”22
Militer menyelaraskan sejauhmana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan kepentingan sendiri. Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama
21
Muhammad Ibrahim Ramdani, “Krisis Politik di Mesir,”artikel diakses pada 1 September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdf-ids,50-id,46756-lang,id-c,esait,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx; 22 Guillermo A. O‟Donnell, Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, h. 37.
8
dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat.23 Beberapa alasan mengapa Mursi dengan cepat kehilangan dukungan di dalam negeri dan selanjutnya dikudeta militer, diantaranya adalah: Petama, karena dominasi kaum Ikhwanul Muslimin. Meningkatnya rasa ketidaksukaan rakyat pada Ikhwanul Muslimin, yaitu partai pemenang Pemilu Mesir yang juga partai asal Mursi. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada Ikhwanul Muslimin. Terakhir, dia menunjuk tujuh gubernur baru yang semuanya berlatar belakang Ikhwanul Muslimin. Namun pendukung Mursi membantah hal ini, Mursi beralasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu oposisi namun semua ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal, dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis.24 Kedua, karena memburuknya ekonomi. Kondisi perekonomian Mesir kian memburuk setelah setahun Mursi memerintah. Mulai dari investasi yang jarang datang, harga pangan meroket, serta seringya mati listrik karena kurangnya bahan bakar. Menyebabkan kesejahteraan Mesir semakin memburuk. Di sisi lain sebenarnya sudah diusahakan pinjaman lunak dari IMF sebnyak US$ 4,8 miliar. Namun andai itu disetujui malah membuat Mesir semakin sulit, ini mengharuskan pemerintah Mesir memotong subsidi di berbagai sektor. Ketiga, karena pelanggaran demokrasi dan HAM. Mursi dinilai gagal memelihara kesetabilan pada setahun kepemimpinannya. Baik dalam pelanggaran 23
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 92. 24 Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir, h. 67.
9
Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Belum lagi Mursi dinilai gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, militer dan dinas intelijen Mesir. Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, Januari 2013 lalu dan 30 orang meninggal, Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas pun meningkat.25 Keempat, karena Dekrit Presiden 22 November 2012. Keputusan Mursi menerbitkan dekrit presiden ini pada 22 November 2012 lalu, dinilai sebagai kesalahan fatal. Dalam dekrit ini, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review), dan menegaskan keabsahan parlemen Mesir, keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat beberapa pihak termasuk pihak militer.Sebulan setelah dekrit itu diterbitkan, pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru. Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.26
25
Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181. 26 The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14 November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-AlasanPresiden-Mesir-Digulingkan
10
B. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini ingin meneliti kejatuhan Presiden Mursi yang dilakukan pihak militer pada tanggal 3 Juli 2013. Peneliti membatasi pada alasan-alasan dan proses militer mengkudeta Presiden Mursi yang telah terpilih secara demokratis lewat pemilu 24 Juni 2012. Dari ulasan dan pembatasan masalah di atas, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apa faktor-faktor yang membuat militer mengkudeta Mursi? 2) Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Mursi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Melihat realita yang terjadi di Mesir, dengan mengetahui penyebabpenyebab terjadinya penggulingan oleh pihak militer. Penelitian ini sangat bermanfaat untuk menganalisis kasus kudeta militer. Apalagi pada masa isu Arab Spring yang marak dengan susulan-susulan protes, penggulingan rezim, serta revolusi yang sebenarnya didalangi militer. Jadi, dalam penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui faktor-faktor penyebab militer melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi yang telah dipilih secara demokratis. 2) Mengetahui langkah-langkah yang diambil militer dalam proses kudeta Presiden Mursi di Mesir tahun 2013.
11
Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah adalah: 1. Mengetahui soal penyebab dan bagaimana langkah militer mengkudeta Presiden Mursi. Serta mengidentifikasi tentara militer Mesir yang mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian. 2. Sebagai sarana untuk menambah literatur ilmu politik dalam kajian politik Timur Tengah, khususnya terhadap hubungan militer dan pemerintahan sipil dalam suatu negara. 3. Sebagai tambahan informasi ataupun literatur dalam penelitian serupa bagi insan akademis khususnya di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi masyarakat luas.
D. Tinjauan Pustaka (Literatur Review) Telah banyak studi yang memfokuskan diri pada penilitian Timur tengah, di antara banyaknya buku dan jurnal yang telah ditemukan. Ada beberapa buku penelitian yang sangat berkesinambungan dalam kasus ini. Di antaranya yang pertama adalah,Skripsi Penelitian Andi Anggana mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, tentang Proses Demokratisasi di Mesir: Studi Kasus Penggulingan Hosni Mubarak pada tahun 2011 lalu. Dalam skripsi ini menjelaskan proses demokratisasi dan runtuhnya rezim Mubarak, pembahasan mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang mengakibatkan runtuhnya rezim. Dalam skripsi ini lebih mengedepankan pedekatan-pendekatan demokrasi untuk melihat secara luas kejatuhan Husni Mubarak. Skripsi ini banyak mejelaskan polemik politik yang 12
terjadi di Mesir sebelum terjadinya kudeta Presiden Mursi setelah terpilih lewat pemilu. Sehingga penelitian yang kini peneliti buat adalah kesinambungan dari rangkaian kejadian politik di Mesir dan lebih menyoroti soal hubungan militer dan pemerintahan sipil. Kemudian, buku Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel yang ditulis oleh Hamdan Basyar, pada bahasan khusus Negara Mesir buku ini menjelaskan efek domino dari Musim Semi Arab dan polemik politik di Mesir. Dalam buku ini banyak menjelaskan bagaimana militer dan golongan oposisi di Mesir terhadap Mursi betarung lewat kebijakan-kebijakan dalam parlemen. Memberikan penjelasan pada peneliti langkah-langkah yang diambil oleh militer lewat jalur pertarungan konstitusi. Sedangkan tulisan peneliti lebih melihat kepada langkah yang selanjutnya militer ambil setelah mendapatkan kekuatannya melalui perdebatan konstitusi. Serta, pada buku Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir yang ditulis oleh Trias Kuncahyono. Buku ini membahas tentang keadaan Negara Mesir pada saat tergulingnya Mubarak sampai terjadinya kudeta Presiden Mursi, memberikan gambaran keadaan kota Mesir pada saat berkecamuknya konflik. Dalam bukubuku tersebut memberikan peniliti informasi yang banyak tentang keadaan sosial politik di Mesir, membantu peneliti dalam penulisan skripsi yang berjudul Militer dan Politik: Studi Kasus Kudeta Militer Pada Presiden Mohammad Mursi di Mesir Tahun 2013. Dalam penelitian ini sama sekali berbeda dengan literatur yang sudah disebutkan, dan penelitian ini sifatnya berkelanjutan dari hal-hal yang sudah dijelaskan di atas.
13
E. Metodelogi Penelitian 1. Metodelogi Penelitian Peneliti ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Secara umum jenis ini bisa menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dihasilkan oleh penelitian statistika. Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai sejarah, kondisi sosial poliik, aktivitas sosial, dan lainnya. Jenis penelitian ini berguna melihat sedetail mungkin mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi kudeta Presiden Mursi di Mesir, dan melihat langkah-langkah militer dalam kudeta. 2. Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada lembaga-lembaga penelitian yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muslim and Moderate Society, dan Kedutaan Besar Mesir untuk Indonesia. Di antara lembaga tersebut adalah lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu politik Timur Tengah dan mendukung dalam memahami penelitian ini. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara bertahap sampai penelitian selesai. 3. Teknik Pengumpulan Data a.
Wawancara
Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan responden, di mana pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, Lalu mencatat atau merekan jawaban-jawaban
14
responden.27 Peneliti melakukanwawancara dengan Pengamat Politik Timur Tengah Hamdan Basyar, Zuhairi Misrawi, dan Trias Kuncahyono. b. Dokumentasi Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data sekunder, lalu melalui literatur dengan tujuan memeroleh bahan-bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer ataupun hasil penelitian seperti, jurnal, karya tulis, dan sebagainya.28 4. Analisis Data Penelitian Analisis data penelitian untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan, menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menggambarkan halhal yang menjadi objek penelitianyang diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut.29
F. Sistematika Penelitian Untuk menjelaskan penelitian ini secara lengkap, peneliti memberikan sistematika penelitian. Sistematika penelitian ini terangkum dalam beberapa bab, disertai beberapa sub-bab yang terangkum secara garis besar.Adapun deskripsi dari sistematika penelitian ini dilampirkan sebagai berikut:
27
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.
67. 28
Pupuh Fathurrahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146. 29 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 148.
15
BAB 1
: Pendahuluan meliputi: Pernyataan Masalah,
Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, danSistematika Penelitian.
BAB II
:
Kerangka
Teori
bahasannya
meliputi:
PenjelasanTeori Hubungan Sipil Militer dalam Perspektif Modern, Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer, Konsep dan Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta, Penjelasan Definisi Militer Jenis Pretorian Moderator, Jenis Pretorian Pengawal, dan Jenis Pretorian Penguasa.
BAB III
:Pada
bab
ini
membahas
seputar
Dinamika
Kekuasaan dan Demokratisasi di Mesir, yang bahasannya meliputi Peran Militer dalam Peta Kekuasaan di Mesir, dan Perkembangan Demokratisasi dalam Transisi Demokrasi.
BAB IV
:Pada bab ini membahas tentang teknis bagaimana
militer mengkudeta Mursi yang bahasannya meliputi Krisis Pemerintahan Sipil, Politik Militer dan Oposisi, dan Militer Pasca Kejatuhan Mursi.
BAB V
: Pada bab ini berisi kesimpulan dan Saran untuk
menyimpulkan pembahasan, guna tercapainya kefahaman yang komprehensif.
16
BAB II KERANGKA TEORI
A. Hubungan Sipil Militer Dalam Perspektif Modern 1. Kontrol Sipil Atas Militer dan Intervensi Militer Berbicara tentara yang ikut campur dalam politik sama dengan mengamati hubungan antara sipil dan militer, hubungan sipil militer merupakan kajian yang baru populer pada pertengahan abad 20 pasca Perang Dunia II. Barulah setelah pasca perang itu para mahasiswa, sarjana sosial, dan ahli sejarah membahas hubungan sipil militer. Mereka menganalisis secara ilmiah tentang hubungan sipil militer menyangkut dua aspek, yaitu: kontrol sipil atas militer dan intervensi militer pada domain polittik.1 Dalam pandangan Huntington, ia melihat bahwa ada dua bentuk hubungan sipil militer. Pertama, kontrol sipil obyektif (Objective Civilian Control). Istilah ini mengandung makna profesionalisme militer yang tinggi dan memiliki pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, subordinasi yang efektif dari militer pada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan negara.2 Kedua, kontrol sipil subyektif (Subjective Civilian Control), bentuk kontrol ini 1
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. XLIII. Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 4. 2
17
adalah memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini juga bisa diartikan sebagai upaya meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil.3 Michael C. Desch dengan mengacu pada Huntington, menganalisis munculnya hubungan sipil militer dari persoalan internal maupun eksternal dalam suatu negara. Desch mencatat suatu negara yang menghadapi tantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, akan lebih memungkinkan memiliki hubungan sipil militer yang stabil. Ancaman lingkungan seperti itu memaksa institusi sipil lebih menyatu dan berkerjasama menangani masalah bersama-sama dengan militer.4 Dalam tulisannya Desch menegaskan: ”Sebaliknya, jika negara menghadapi ancaman internal yang signifikan, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan terpecah belah, yang menyulut mereka untuk mengontrol militer. Situasi seperti ini akan membuat hubungan sipil militer terganggu atau tidak sehat.”5
Sedangkan dalam penjelasan intervensi militer, secara sederhana diartikan ketika tentara atau militer masuk, berpartisipasi, mempengaruhi kebijakan poltik (baik secara langsung atau tidak). Amos Perlmutter melihat ada dua kondisi yang memberi kesempatan bagi militer untuk melakukan intervensi, yaitu: kondisi sosial dan politik suatu negara itu sendiri. Pertama, kondisi sosial. Dalam suatu negara yang kondisi sosialnya lemah, maka kepentingan kelompok akan tersebar dalam frekuensi yang tinggi. Kalau struktur negara lemah maka institusi-institusi
3
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. 7. 4 A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 330331. 5 A. Malik Haramain, Gus Dur, militer, dan Politik, h. 331.
18
politik tidak berfungsi efektif. Dengan demikian kontrol sosial menjadi tidak efektif. Sebab saluran-saluran komunikasi terhambat, kemudian membuat militer berkesempatan untuk melakukan intervensinya. Kedua, kondisi politik. Intervensi militer muncul dari persoalan-persoalan sipil. Sering sekali pemerintah sipil sengaja kembali, atau merapat kepada militer untuk mencari dukungan. Ketika struktur politik sipil terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak berjalan.6 Bila Perlmuter lebih melihat faktor eksternal yang mempengaruhi hubungan sipil militer, S. F. Finner lebih melihat kepada faktor internalnya. Ia mengatakan: “…lebih melihat internal militer sebagai faktor utama terjadinya intervensi. Faktor motivasi biasanya sangat berpengaruh besar apakah militer akan mengintervensi atau tidak. Faktor ini mencakup beberapa motivasi antara lain; motivasi sebagai tujuan akhir tentara, dorongan dari kepentingan nasional, kepentingan kelompok yang meliputi kepentingan kelas, kepentingan regional, kepentingan korps, dan kepentingan individu.”7
Dari dua pandangan itu, kita bisa melihat adanya dua jalan yang menyebabkan militer akhirnya melakukan intervensi terhadap pemerintahan sipil. Yaitu melihat dari faktor eksternal dan internal yang menjadi motivasi militer melakukan intervensi. Di lain sisi Finner juga mencatat berapa jalan yang memungkinan militer melakukan intervensi, yaitu:
6
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 144-145. S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics (Colorado: Westview Press, 2002) h. 20-24. 7
19
a. Melalui saluran-saluran konstitusi normal (The normal constitusional chanels). b. Kolusi dan/atau persaingan dengan otoritas sipil (Collusion and/or competition with the civilian authoritis). c. Intimidasi terhadap otoritas sipil (The intimidation of the civilian authoritis). d. Mengancam dengan menolak bekerjasama dan/atau dengan kekerasan terhadap otoritas sipil (Threaths of non-cooperation with, or violence towards the civilian authoritis). e. Gagalnya mempertahankan otoritas sipil terhadap kekerasan (Failure to defend the civilian authoritis from violence). f. Menggunakan kekerasan terhadap otoritas sipil (The exercise of violence againts the civilian authorities).8
B. Konflik 1. Pengertian Konflik Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang
8
S. F Finer, The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics, h. 127.
20
selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan. Istilah “konflik” secara etimolois berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.9 Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminasi saingannya.10 Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
9
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 345. 10 Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), h. 156.
21
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.11 Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.12 Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.13 Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan.
Konflik
sosial
sesungguhnya
merupakan
suatu
proses
bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan 11
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 99. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 68. 13 Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (Jakarta:universitas terbuka 1994), h. 53. 12
22
eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya. 2. Jenis Konflik Dalam konflik ini terbagi dua jenis, diantaranya: (1) Konflik vertikal. Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. (2) Konflik horizontal. Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama.14 3. Resolusi Konflik Dalam terjadinya konflik ada beberapa cara dalam menyelesaikan masalah diantaranya: (1) Konsiliasi, cara ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusankeputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. (2) Mediasi, cara ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihatnasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan. (3) Arbitrasi, cara ini melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.15
14 15
Kusnadi, Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja (Malang : Taroda, 2002), h. 67. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 25.
23
C. Kudeta 1. Pengertian Kudeta Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan (mendominasi) suatu kelompok atau rezim yang menjadi saingannya dengan rezim
sendiri.16
Dalam
melakukan
kudeta,
banyak
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi para perwira militer. Namun segala faktor itu tergantung pada kondisi sosial politik yang ada pada masing-masing negara. Yang paling sering menjadi motif militer melakukan kudeta adalah kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah sipil yang mengakibatkan menurunnya keabsahan pemerintahan sipil, baik karena pemerintahan sipil yang dianggap tidak bisa mengolah negara dengan baik atau juga karena kesengajaan militer ingin merebut kekuasaan demi kepentingan politiknya.17 Banyak sebutan, konsep, juga definisi yang dipakai dalam hal perebutan kekuasaan. Demi tercapainya penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan gejolak perebutan kekuasaan itu sendiri. Secara teknis Edward Luttwak membagi beberapa penjelasan terkait hal perebutan kekuasaan dalam suatu negara atau pemerintahan. Pronounciamiento, ini sebetulnya adalah kudeta versi klasik di Spanyol abad sembilan belas. Dalam versi ini muncul istilah yang namanya trabajos (kerja) sebelum adanya pronounciamiento itu sendiri, trabajos adalah fase di mana semua opini-opini perwira terkait pemerintahan dijajaki satu persatu,
16
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 150. 17 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 91.
24
kemudian timbul yang namanya copromisos yang maksudnya adalah langkah pembuatan komitmen serta perhitungan imbalan-imbalan, dan resiko dalam melakukan tindakan perebutan kekuasaan. Pronounciamiento ini dilaksanakan oleh seluruh korps perwira dan dipimpin oleh pimpinan angkatan darat. Selain pronounciamiento, ada yang namanya Putsch, sebenarnya putsch tidak
berbeda
secara
signifikan
dengan
pronounciamiento.
Kalau
pronounciamiento direncanakan dan dilakukan oleh seluruh perwira angkatan darat, sedangkan putsch dilakukan salah satu faksi dalam angkatan darat, atau sipil yang memberontak namun menggunakan kekuatan unit angkaan darat. Sedangkan kudeta adalah, termasuk campuran dari beberapa pejelasan di atas. Kudeta tidak harus berjalan dibantu oleh kekuatan massa, namun tidak menutup kemungkinan karena dengan bantuan massa dapat mempermudah efektifitas kudeta. Kudeta juga merupakan infiltrasi ke dalam suatu segmen dari segala kekuatan negara yang kecil namun menentukan, yang kemudian digunakan untuk mengambil alih pemerintahan.18 Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama, sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada, lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial tidak bisa beroperasi secara efektif, saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan 18
Edward Luttwak, Kudeta: Praktek Penggulingan Kekuasaan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 20-22.
25
masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin komunikasi dengan rakyat bawah. Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial berdasarkan kelompok-kelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.19 Masyarakat terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri, program pemerintah tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal, sumber materil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha tidak membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya menimbun hasil pertaniannya. 2. Sebab-Sebab Terjadinya Kudeta Dalam pembahasan ini, perlu dikatakan bahwa banyak faktor yang membuat militer melakukan kudeta, atau mengambil alih pemerintahan. Dari pertanyaan sederhana tentang kapan kah militer akan mengambil alih pemeritahan? Sederhananya adalah ketika terdapat kegagalan pemerintahan sipil dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya. Militer seringkali menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, melakukan tindakan yang tidak sah di luar kelembagaannya, tidak bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan penentangan politik tanpa menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Kegagalan itu 19
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 141-182.
26
memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer pada pemerintah, kegagalan ini biasanya akan menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata masyarakat yang interest pada politik. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai golongan nasionalis utama, militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan negara sendiri adalah militer. Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi negara.20 Penggambaran motif dan faktor-faktor penyebab terjadinya kudeta dapat dilihat sebagai berikut: (1) Adanya kepentingan politis dari korporat militer sendiri; (2) menurunnya keabsahan pemerintahan sipil yang disebabkan gagalnya mengendalikan kemerosotan kesejahteraan ekonomi (3); banyak timbulnya huruhara kekerasan; (4) dan tindakan pemerintah sipil yang mengacu pada sentralisasi kekuasaan. Faktor-faktor tersebut menjadi motif pendorong para perwira untuk melakukan campur tangan, apalagi ketika para perwira memandang rendah para pemangku kekuasaan. ini lebih memudahkan militer memberi alasan dan menghalalkan tindakan kudeta pada kelompok sedang berkuasa yang mereka anggap lemah. Belum lagi kegagalan pemerintah yang keabsahannya menurun pada kalangan masyarakat yang sadar poitik. Selanjutnya akan dijelaskan motif dan fakor-faktor terkait timbulnya kudeta. Pertama, dalam tubuh mliter sendiri. Tidak dipungkiri para perwira militer memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita
20
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 124-125.
27
politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan kepentingan sendiri. 21 Militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, akan dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat. Kedua, dalam suatu pemerintahan yang keadaan ekonominya baik adalah suatu kritera prestasi yang sangat penting, tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik itu dijunjung tinggi di seluruh dunia, dan pemerintah dianggap yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap pemerintah, memeperkuat anggapan para perwira profesional dapat berperan sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan keputusan ekonomi guna
21
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 92.
28
mempertahankan kepentingan masyarakat dan negara.22 Birokrasi militer yang solid dan otonom, dapat menciptakan peraturan-peraturan yang penting guna memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer harus menghadapi dan meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan, dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar menuju kemajuan negara.23 Ketiga, pemerintah sebagai penguasa juga dipercaya sebagai pengelola keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.24 Pemerintah juga dinilai tidak berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta melindungi
negara,
dengan
tidak
dapatnya
mengatasi
kekacauan
dan
menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara akan rubuh.25 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan pemerintah. Kemudian banyak orang yang terlibat dalam kancah politik
22
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130. Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 223. 24 Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988), h. 128-131. 25 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 134. 23
29
melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan miiter melakukan kudeta. Keempat, militer juga menuduh pemimpin sipil melakukan berbagai tindakan inkonstitusional, termasuk melaksanakan undang-undang secara sewenang-wenang, perluasan kekuasaan mereka ke dalam bidang yang dilarang oleh konstitusi dan mempertahankan jabatan melampaui batas yang ditentukan oleh peraturan. Militer berdalih pada kudeta yang mereka lakukan bertujuan menghidupkan kembali kegiatan politik yang sehat, memberangus korupsi, dan meningkatkan kejujuran yang tinggi pada masyarakat. Penyelewengan yang dilakukan oleh pihak sipil memudahkan para perwira untuk mengambil tindakan yang inkonstitusional, militer beranggapan pemerintah sipil telah menunjukan sikap tidak hormat pada konstitusi, ini juga berakibat pada keabsahan pemerintah sipil yang akan menurun.26 Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada di sepanjang antara keabsahan dan ketidakabsahan. Sebagian rakyat percaya bahwa pemerintah mempunyai hak moral untuk memerintah, dengan begitu rakyat akan mematuhinya. Namun bila sebagian besar masyarakat merasa pemerintah tidak memerintah sesuai dengan peraturan yang ada, dan tidak membuat rakyat sejahtera, sudah dipastikan pemerintah tidak layak menerima kesetiaan mereka. Senada dengan yang dikatakan Samuel Huntington bahwa:
26
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 129.
30
“romantisnya hubungan sipil-militer sebagaian besar tergantung dari tindakan pemimpin sipil dalam mengelola pemerintahan. Romantisme itu akan hilang ketika pemerintah sipil tidak mampu meningkatkan perkembangan ekonomi, memelihara ketertiban umum, dan hukum. Dalam situasi seperti itu, politisi mungkin tergoda untuk menggunakan militer dalam setiap permasalahan yang terjadi, dan mungkin lebih jauh lagi demi memperoleh ambisi politik mereka. atau malah mliter sendiri yang sedari awal aktif berniat untuk memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan momentum tersebut.”27
Apalagi ketika pemerintah memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan umum, lalu terindikasi terdapat kesewenangan dalam memerintah, dan menghalangi kelompok lain dalam pemerintahan untuk memperoleh fungsinya sebagai penguasa politik.28
D. Tentara Pretorian Dalam kudeta dan perebutan kekuasan, militer memiliki peran yang besar. Bahkan kudeta telah diidentikan oleh kekuatan militer dalam pengambilalihan kekuasaan. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan. Istilah ini diambil dari campur tangan militer pada Kerajaan Roma, pada awalnya kerajaan ini dibentuk sebagai kesatuan unit khusus yang bertugas melindungi maharaja. Namun akhirnya dengan kekuatan militer yang mereka punya, menumbangkan raja dan menguasai pemerintahan juga pemilihan umum. Angkatan bersenjata dalam semua negara
27
Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, h. xv. 28 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 135.
31
mempunyai pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruh politik. Selain sebagai lambang kekuatan negara, ia juga merupakan alat penahan utama dari serangan luar maupun dalam. Soal militer, Samuel Huntington berpandangan dalam kerangka hubungan sipil militer menjadi dua yaitu, tentara pretorian dan tentara profesional. Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusankeputusan politik. Paham ini tumbuh dan berkembang sebelum abad ke-19 ketika profesi perwira sebagai pengelola kekerasan (manager of violence) masih merupakan monopoli para kerabat istana. Munculnya revolusi Perancis 1789, menandai perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara panggilan suci (abdi negara)”, inilah yang kemudian dikatakan Huntington sebagai awal berkembangnya paham tentara profesional. Sebenarnya bukan hanya dinyatakan oleh Huntington, jauh sebelumnya seorang ilmuwan Perancis, de Tocqueville sudah berbicara tentang profesi dan kehormatan militer. Huntington
memberikan
tiga
ciri
pokok
tentang
tumbuhnya
profesionalisme militer, yaitu : pertama, mensyaratkan keahlian, profesi militer menjadi spesifik serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Kedua, militer memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya seorang perwira militer mempunyai tugas pokok kepada negara. Berbeda dengan sebelumnya, di mana seorang perwira seolah hanya menjadi milik pribadi komandan dan harus setia kepadanya sebagai suatu bentuk disiplin mati. Pada masa profesionalisme, seorang perwira berhak untuk mengoreksi atasannya, jika si atasan melakukan
32
hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketiga, seorang militer harus berkarakter korporasi (corporate character) yang pada kemudian melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.29 Ketika ketiga ciri militer profesional di atas terpenuhi, pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Huntington the military mind, yang menjadi dasar hubungan militer dan negara. Ini membuat Negara Kebangsaan (nation state) mejadi suatu bentuk tertinggi organisasi politik. Sehingga inti dari military mind menjadi suatu ideologi yang berisi pengakuan militer pada supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil. Jadi menurut Huntington, kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran ke arah tentara pretorian.30 Tetapi dalam perspektif tentara pretorian, militer seolah akan terlihat seperti kaum elite yang membawa pada modernisasi, kaum militer juga dinilai melihat jauh ke depan, punya keinginan kuat untuk kepentingan korporasinya, dan untuk mendorong modernisasi di negaranya. Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorianisme modern yang campur tangan
29
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 7-18. 30 Samuel P. Huntington, Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 37-40.
33
dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif. Kemudian rezim pemerintahan akan menjadi rezim militer karena perwira militer sendiri yang merebut kekuasaan. Timbul pertanyaan, apakah rezim ini terus menjadi rezim militer pada duapuluh tahun kemudian dan seterusnya? Eric Nordlinger mengatakan, “rezim militer adalah rezim di mana militer telah merebut kekuasaan melalui kudeta, perwira atau mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi pemerintahan. Mereka bergantung terutama pada perwira militer yang masih aktif untuk mempertahankan kekuaaan itu, walaupun pihak sipil juga diberi bagian untuk peran yang penting (namun biasanya tidak penting).”31
Contohnya adalah Mesir, walaupun sudah dijabat oleh Nasser (lalu Sadat dan Mubarok pada berikutnya), tetapi strukturnya banyak diisi oleh orang-orang berlatar belakang militer. Nampaknya Eric melihat ini secara substnsial pada pemerintahan. Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta ini dilakukan bila militer merupakan kelompok yang paling solid, paling terorganisir secara politik dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta dilaksanakan oleh aktivis politik dan kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang memiliki ambisi politik dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur hidup. Korps Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena kejadian perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan
31
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 45.
34
ekonomi. Kudeta militer diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer dan sekutu-sekutu mereka atau oleh persekongkolan para perwira yang mendapat dukungan politik dari luar militer. Keputusan kudeta tergantung dari kesiapan politik dan saat yang tepat. Adapun kudeta ini memperoleh legitimasinya dari sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rezim lama serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rezim lama dan para oportunis. Para perwira yang bersatu mempunyai kekuatan yang besar, dan berpotensi mempertahankan atau pun mengambil alih pemerintahan sipil. Biasanya, mereka menggunakan senjata pada perebutan kekuasaan (sebagian lainnya tidak musti menggunakan senjata). Pihak militer biasanya terang terangan menonjolkan diri mereka dan menuntut agar diberi ruang dalam politik, dia meminta arena politik diperluas. Secara tidak langsung ini adalah acaman militer kepada pemerintah sipil, militer mengatakan bila diberi hak-hak politik, maka kudeta akan terhindarkan, padahal ini adalah awal masuknya militer yang sedikit demi sedikit akan menguasai kekuasaan pmerintahan sipil itu. Dalam kajian mengenai pretorianisme, yang menjadi acuan adalah prestasi pemerintahan sipil. Ini sangat penting, karena selalu menjadi penilaian sejauh mana pemerintahan sipil dapat mengelola negara seperti yang dikehendaki oleh rakyat, dan malah dikagumi oleh negara lain. Karena militer pretorian selalu menyepelekan kinerja pemerintahan sipil, dan berpidato akan memulihkan ekonomi dan memelihara keamanan negara pada saat pemeintahan sedang hiruk pikuk diterpa goncangan politik.
35
“Militer selalu ahli membandingkan dan menonjolkan kineranya yang lebih baik, ketika kinerja pemerintah sipil melemah. Militer mempunyai landasan, apabila pemerintahan tidak lagi mampu mengelola ekonomi dengan baik, huru-hara kekerasan tejadi di mana-mana, pemerintah betindak tidak sah, militer lah yang seharusnya turun tangan dan menjadi harapan.”32
Walau pada berikutnya, militer juga akan dinilai kinerjanya oleh rakyat apakah lebih baik atau buruk dari pemerintah sipil yang militer gulingkan. Terkadang rakyat agak sulit memberontak kekuatan persenjataan militer yang telah berkuasa, tidak semudah militer menjatuhkan pemerintahan sipil. Seorang pretorian coba untuk menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Seorang pretorian memiliki rasa nasionalisme yang kuat untuk mementingkan orang banyak, ini membuat pretorian tidak mempunyai pilihan lain untuk mempertahankan konstitusi dari pengaruh pemerintahan sipil yang tidak stabil. Pretorian akan segera menentukan apakah perlu adanya campurtangan ketka negara terancam. Dalam campurtangan, sebagian kudeta dianggap perlu dengan urgensi rusaknya prinsip konstitusi karena tindakan pemerintah yang korup, tindakan yang sewenang-wenang dan tidak sah. Pemerintah melakukan suatu yang bertentangan dengan kepentingan negara dengan membenarkan anasir subversif yang mengancam keamanan negara dengan memicu konflik kelas, golongan, dan suku. Yang pada akhirnya menyulut pada kekacauan politik, mengarah pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah, memperbesar pengannguran, dan meningkatkan inflasi, atau gagal menjalankan rancangan ke arah modernisasi dan perubahan sosial ekonomi.
32
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 14.
36
Pada waktu yang sama, para pretorian dengan yakin akan memulihkan kembali situasi politik dan ekonomi dalam negeri. Mereka bersedia dan merasa mampu karena perwira militer mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi, tidak mempunyai kelemahan seperti para politisi, serta mahir dalam bidang teknik manajerial.33 “Yang menonjol dari pretorian adalah sebagai juru selamat, dan berjanji akan memulihkan dan memperbaiki kegagalan pemerintah sipil.”34
Hampir semua pretorian menyatakan akan menyerahkan kembali pemerintahan kepada pihak sipil yang dipilih secara demokratis, dan para pretorian pun menerima prinsip penguasaan sipil. Tetapi terpaksa ikut campurtangan karena terdorong rasa tanggung jawab mereka pada konstitusi dan negara. Jadi, pemerintah sipil akan dipulihkan secepat mungkin, segera setelah dipulihkannya ekonomi dan politik dan mengadakan pemilu yang bebas dan teratur. Tentara yang menjadi pretorian dibedakan manjadi tiga macam, yaitu jenis (1). pretorian moderator, (2). pretorian pengawal, dan (3). pretorian penguasa. 1. Pretorian Jenis Moderator Sebetulnya semua jenis tentara pretorian adalah tentara yang sama-sama menggunakan kekuasaannya untuk intervensi dan menggulingkan kekuasaan pemerintah. Perbedaannya adalah mereka mempunyai motif dan batas-batas dalam ikut campur yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasannya agar lebih mudah memahami tentara pretorian dan jenis-jenisnya.
33 34
Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan, h.221. Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 32.
37
Pretorian moderator tidak menguasai pemerintahan secara menyeluruh, tetapi mengawasi pemerintahan sipil dengan tidak serta merta menerima supermasi penuh dari pihak sipil. Moderator pretorian bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik, kadangkala juga mengancam pemerintah untuk kudeta. Terkadang, mereka akan melakukan suatu kudeta pemerintah sipil dan menggantinya dengan pemerintahan sipil lain yang sejalan dan dapat diterima oleh militer. Apalagi ketika militer sudah menunjukan keinginan mereka, ini harus diserap oleh pemerintahan sipil guna menghindari kudeta dan mempertahankan kekuasaan masing-masing (militer dan pemerintah sipil sama-sama memiliki peran kuat dalam pemerintahan). Tentara pretorian moderator ini coba menghindari diri untuk menguasai pemerintahan, dan jenis pretorian ini juga tidak terlalu menonjol dari jenis tentara lain. Mereka mempertahankan status quo, menjaga keseimbangan (atau ketidak seimbangan)
kelompok
yang
sedang
bersaing,
dan
menjaga
stabilitas
pemerintahan. Pretorian jenis ini lebih memusatkan perhatiannya pada konflik politik yang sedang terjadi. Pihak militer mengambil alih pemerintahan sementara guna mencegah berlangsungnya pemilhan umum, karena militer lebih suka langsung mengganti pemerintahan sipil dengan peemimpin sipil yang baru, karena sudah pasti lebih sejalan dan diterima oleh militer (militer sudah mempersiapkan pengganti sebelum kudeta pengganti dilakukan). Kudeta ini juga dilakukan seandainya kelompok yang baru aktif dalam politik mengangkat terlalu banyak wakil pemerintahan dari kelompoknya sendiri, karena itu kudeta pengganti
38
dilakukan untuk menentang hal semacam itu dan lebih memudahkan militer mengangkat lebih banyak orang yang sesuai dengan kehendak miiter.35 Hematnya, tentara jenis pretorian ini bertindak sebagai golongan yang konservatf, sesuai dengan penjelasan mengapa mereka tidak menguasai pemerintahan secara keseluruhan. Di lain sisi, moderator pretorian beranggapan lebih mudah mengalihkan perubahan kekuasaan dengan menggunakan kuasa mutlak, tanpa menguasai pemerintahan sepenuhnya sendiri. Di sini militer moderator bertindak sebagai penekan, namun secara tidak langung mengarahkan pemerintah sipil atas dasar kemauannya, namun juga siap mengancam akan melakukan kudeta bila pemerintah berjalan tidak sesuai dengan keinginan militer (tidak menutup kemungkinan miiter moderator ini akan menjadi pemerintah atau penguasa). 2. Pretorian Jenis Pengawal Berbeda dengan pretorian moderator yang menguasai pemerintahan secara tidak langsung, tetapi secara substansial mengarahkan pemerintah sesuai dengan kemauannya. Namun, pretorian pengawal adalah jenis yang akan menguasai pemerintahan secara langsung, dan ia menguasai kurang lebih sampai beberapa tahun kedepan. Karena pretorian pengawal beranggapan akan lebih mudah menguasai pemerintahan secara keseluruhan, daripada hanya dari belakang layar, mereka merasa lebih leluasa. Pengawal pretorian berbuat demikian disebabkan tidak adanya pilihan lain karena tidak ada golongan elit yang dapat mempertahankan status quo politik dan ekonomi, atau bila militer tidak 35
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 35.
39
mengkudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang tujuannya berbeda sama sekali dengan militer.36 Pretorian pengawal coba meningkatkan kecakapan atau merubah arah kebijakan pemerintah sebelumnya. Sasaran pada pasca awal-awal kudeta biasanya pemecatan elit politik yang sering melakukan korupsi, elit yang suka berlaku curang dalam penyusunan struktur pemerintahan dan pembagian fungsi administrasi juga kekuasaan. Pengawal pretorian memberi perhatian besar pada pertumbuhan ekonomi dan menangkal inflasi yang malambung tinggi, anggaran belanja yang berlebihan, dan neraca pembayaran defisit yang terjadi di bawah pemerintahan sipil. Pretorian pengawal adalah “dokter bedah yang ganas”, berani melakukan pembedahan di dalam organisasi politik, walau sebenarnya tidak melakukan secara benar untuk memperbaiki kelemahan dan kecacatan pemerintah sipil setelah militer ini berhasil merebut kekuasaan. Perlu diketahui kalau semua rezim militer (rezim yang berkuasa hasil dari kudeta) adalah otoritarian, karena mereka menghapuskan atau membatasi hak berpolitik. Sebagian kelompok suku (kepentingan, serikat pekerja, atau juga keagamaan), surat kabar dibolehkan untuk berekspresi, namun sebenarnya mereka dibatasi. 3. Pretorian Jenis Penguasa Pretorian penguasa ini tidak jauh berbeda dengan jenis pretorian yang lain, tetapi cita-cita politiknya sangat besar dan tinggi melebihi kedua jenis pretorian yang sebelumnya. Penguasa pretorian ini jarang di temukan dibandingkan dua 36
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 38.
40
jenis pretorian lain, diperkirakan juga kasusnya tidak lebih dari 10 % dari semua kasus campur tangan militer. Namun cita-cita politik mereka yang amat tinggi membuat mereka menjadi bagian yang sangat penting. Dibanding jenis pretorian yang lain, pretorian penguasa tidak hanya menguasai pemeritnahan, tetapi mendominasi rezim tersebut, dan kadangkala menguasai sebagian besar kehidupan politik, ekonomi, dan sosial melalui pembentukan struktur yang termobilisasi. Kadang kala mereka menganggap dirinya sebagai golongan modernisasi yang radikal dan revolusioner.37 Pretorian jenis ini mendominasi sebuah rezim sebelum kudeta dengan waktu yang cukup panjang, karena mereka menyadari bahwa perubahan yang mereka inginkan membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Kalau pretorian pengawal berajanji akan mengembalikan pemerintahan setelah beberapa tahun mereka berkuasa, pretorian penguasa tidak pernah membuat janji dan hanya mengatakan akan mengembalikan pemerintahan. Pretorian penguasa bermaksud mengadakan perubahan yang radikal dan menyeluruh dengan menghapuskan hampir semua pusat kekuasaan dominatif yang ada. Seperti pretorian pengawal, pretorian jenis ini memberikan perhatian di bidang ekonomi terutama memulihkan kembali kegiatan ekonomi yang sudah beku dengan menggunakan cara yang hampir sama seperti jenis pretorian lain lakukan. Penguasa pretorian tidak bersedia kompromi dengan kritik dan penentangan, tidak seperti dua jenis pretorian lainnya. Sebagian kelompok penguasa pretorian mencoba memobilisasi orang banyak dengan membentuk partai (atau gerakan) massa yang mereka kuasai
37
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 40.
41
secara eksklusif. Pola pemerintahan ekonomi dan masyarakat mereka dilakukan dari atas secara langsung, demi mencapai ambisi pretorian penguasa.38
38
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 42.
42
BAB III DINAMIKA KEKUASAAN DAN DEMOKRATISASI DI MESIR
Dalam bab ini menjelaskan Mesir yang dalam sejarahnya diikuti oleh peranan militer yang aktif, menggambarkan dari awal bagaimana peran militer dalam sosial dan politik di Mesir. Pembahasan perkembangan pemerintahan pasca runtuhnya Mubarak, juga mulainya proses politik yang lebih demokratis pada pemerintahan Muhammad Mursi. Serta bagaimana respon masyarakat dan oposisi dalam menyikapi pemerintahan yang terpilih secara demokratis ini. A.
Peran Militer Dalam Peta Kekuasaan Di Mesir Sejarah keterlibatan militer di Mesir pertama kali adalah, ketika para
perwira militer yang tergabung dalam Organisasi Perwira Bebas (Free Officer) menggulingkan (kudeta) rezim Raja Farouk pada 23 Juli 1952. Para perwira bebas ini adalah perwira yang peduli dengan bangsanya, karena pada waktu itu Mesir dijajah Inggris. Itulah yang membuat para perwira mulai membicarakan masa depan bangsanya pada pertemuan-pertemuan rahasia (di Klab Perwira daerah Kubri Al Qubbah). Puncak dari diskusi itu adalah terbentuknya Organisasi Perwira Bebas (Free Officer) pada tahun 1939, bersepakat mempergunakan kesempatan untuk melakukan revolusi bersenjata melawan Inggris yang sedang menjajah. Beberapa anggota Organisasi Perwira Bebas di antaranya: Anwar Saddat, Abdel Munim, Abdul Rauf, Abdul Lathief El Baghdadi, Hussein, Hassan Izzat, Amned Ismail Ali. Namun karena Anwar Saddat ditahan pada musim panas,
43
pucuk kepemimpinan ini dipegang oleh Gamal Abdul Nasser pada awal tahun 1943 yang baru saja kembali dari Sudan.1 Kudeta ini dikomandoi oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser dan Jendral Muhammad Naguib. Setelah kudeta berhasil, menjadi bentuk penguasaan militer yang diwujudkan dalam RCC (Revolution Command Council) yang dipimpin Naguib, Naguib dikukuhkan menjadi perdana menteri dan gubernur militer, sedangkan Nasser menjadi Deputi Perdana Menteri pada bulan September 1952.2 Pada Desember 1952 mereka menyatakan Konstitusi Mesir tahun 1923 tidak berlaku lagi, partai politik dilarang, dan puncaknya pada Juni 1953 dihapusnya sistem monarki Mesir. Selanjutnya dengan cepat Naguib memproklamirkan Mesir sebagai negara republik yang secara otomatis menjadikannya sebagai kepala pemerintahan, dan Nasser menjadi menteri dalam negerinya.3 Namun pada April 1954 RCC memaksa Naguib untuk mengundurkan diri secara sukarela, dan Nasser yang menggantikannya, kemudian Nasser memasukkan sebagian besar perwira-perwira mantan Organisasi Perwira Bebas (Free Officer) ke dalam kabinetnya. Mesir diperintah dengan kepemimpinan tunggal Nasser yang melibatkan RCC sebagai alat pendukung kekuasaannya. Pada 23 Juni 1956, Nasser melakukan reformasi politik domestik dengan mengeluarkan konstitusi baru lewat referendrum nasional dan membubarkan RCC pada Juli 1956. Walau RCC telah dibubarkan, Mesir tetap dipegang oleh suatu
1
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan (Jakarta: P2P-LIPI, 2001), 75-76. 2 Emory C. Bogle, The Modern Middle East: From Imperealism to Freedom 1800-1958 (New Jersey: Prentice Hall, 1996), 336. 3 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 64.
44
rezim militer di bawah kepemimpinan tunggal Nasser. Selanjutnya Nasser membentuk ASU (Arab Socialist Union) pada Desember 1962, sebelumnya Nasser telah membentuk Partai Kemerdekaan yang didominasi oleh tentara, tujuannya adalah propaganda dan menanamkan ideologi tentara pada masyarakat untuk mendapat dukungan sipil. Namun usaha Nasser gagal total dan berikutnya juga gagal ketika membentuk NU (National Union).4 Pada perjalanannya, ASU menjadi satu satunya organisasi yang diakui oleh pemerintah dan menjadi alat pendukung Nasser dalam memerintah. ASU dibuat guna menggiring seluruh komponen masyarakat Mesir agar pro dan mendukung Nasser, jika masyarakat tidak mau mendukung akan menjadi target tekanan politik dari penguasa militer Mesir.5 Seperti kelompok Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin) yang menjadi oposisi karena menolak kooperatif dengan ASU juga Nasser, akhirnya membuat Ikhwanul Muslimin dianggap organisasi ilegal, dan dikecam keberadaannya oleh negara. Ikhwanul Muslimin menjadi organisasi bawah tanah dalam penantiannya menggulingkan rezim Nasser. “Gamal Abdul Nasser memberikan peranan utama kepada kelompok militer untuk melakukan penggalangan terhadap masyarakat sipil di Mesir. Di samping itu ia berkeyakinan bahwa hanya tentara yang dapat memperbaharui, memerintah, dan memperkuat negeri Mesir dengan berhasil.”6
4
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 83. 5 Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 66-67. 6 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, h. 242.
45
Setelah masa kepemimpinan Nasser berakhir karena sakit yang dideritanya, membuat Anwar Saddat secara otomatis selaku wakil presiden menggantikan Nasser. Pada saat pergantian kepemimpinan, agaknya Saddat terlihat setengah hati. Namun Saddat maju karena melihat sengitnya perebutan untuk menggantikan kursi kepresidenan. Setelah mendapat restu dan keputusan Komite Eksekutif ASU juga dukungan dari Majelis Nasional (memang peran dari lembaga ini dirancang untuk hanya menyetujui keputusan Komite Eksekutif ASU), Saddat akhirnya menang. Secara aklamasi rakyat memilh Saddat sebagai presiden dengan suara 90.04% pada 15 Oktober 1970.7 Saddat melancarkan program liberalisasi politik dan ekonominya. Dalam politik Saddat membentuk Partai Demokrat Nasional (NDP) pada bulan Juli 1978 dan menjadi ketuanya, partai pemerintah ini adalah alat andalan bagi Saddat, partai ini menguasai dua peritga parlemen.. Saddat juga membubarkan ASU pada tahun 1979 demi menghindari persaingan politik. Dalam bidang ekonomi, Saddat memberikan kewenangan luas pada militer sebagai hadiah dukungan pada rezimnya. Peranan militer dalam ekonomi meningkat, karena Saddat sendiri yang mengarahkan militer untuk mengembangkan ekonomi mereka.8 Anwar Saddat mengakhiri masa kepemiminannya dengan meninggal karena ditembak kelompok Jihad radikal pada saat melihat parade militer pada 6 Oktober 1981.9 Yang kemudian membuat Husni Mubarak memegang tampuk kekuasaan di
7
Mohammad Heikal, Autum of Fury: The Assossonation of Saddat (London: Corgi,
1984), 46. 8
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 69. 9 M. Agastya ABM, Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah Yang Penuh Darah (Yogyakarta: IRGiSoD, 2013), 49.
46
Mesir, perpolitikan di bawah Mubarak stabil dengan mengandalkan partai pemerintah NDP (Partai demokat Nasional) yang juga diketuai Mubarak. Terbukti dengan berhasilnya mempertahankan dominasinya dalam Dewan Nasional sejak pemilihan umum tahun 1984 hingga akhir pemerintahannya yang ditumbangkan revolusi rakyat. Mubarak sangat diuntungkan karena para Pejabat Perwira Bebas banyak yang sudah tua, meninggal dunia, dan mengundurkan diri dari perpolitikan. Mubarak juga tidak terlibat langsung dalam Organsasi Perwira Bebas yang dibentuk pada 1939.10 Ketiga pemimpin Mesir tersebut menggunakan pola yang sama, yaitu dengan menggunakan militer sebagai unsur utama mempertahankan dan menjalankan pemerintahan. Ditambah dengan organisasi atau partai politik dominan yang isinya juga militer.
B.
Perkembangan Transisi Demokrasi Di Mesir Pada perjalanan pemerintahan Mesir, otoritarianisme menguasai Mesir
kurang lebih tiga puluh tahun di bawah rezim Husni Mubarak. Hal-hal paling mendasar dari sistem otoritariansme yang diterapkan Mubarak adalah, pemerintahan yang sewenang-wenang menggunakan hukum dengan segala instrumen negara yang memaksa untuk memonopoli kekuasaan dan menolak hakhak politik kelompok lain untuk meraih kekuasaan. Maye Kassem mengatakan bahwa negara-negara otoriter (termasuk dalam kasus Mesir), keberhasilan penguasa
otoriter
dalam
melanggengkan
10
kekuasaannya
adalah
dengan
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, h. 71-72.
47
menggunakan sistem patronage dan cooptation, dan pemaksaan aparat negara untuk mengatur masyarakat.11 Strategi itu juga terlihat digunakan pada rezim Nasser dan Saddat. Sejak awal berkuasa, Mubarak menyatakan dirinya berjalan bersamaan dengan prinsip-prinsip demokrasi, Mubarak juga sangat menentang terlalu lamanya seorang presiden dalam menjabat dan tidak ingin memonopoli pembuatan kebijakan. Pada realitanya pandangan Mubarak berbeda, Mubarak mendasari pendapatnya dengan alasan bahwa Mesir adalah negara yang sedang berkembang dan harus berprioritas pada pembangunan ekonomi, alasan itu lah yang menjadi dasar legitimasinya dalam berkuasa.12 Selain itu Mubarak melakukan pemberlakuan hukum darurat setiap tiga tahun setelah terbunhnya Saddat. Dengan begitu memberikan keleluasaan pada rezim untuk mengontrol setiap bentuk aktifitas politik. Dalam hukum darurat itu misalnya: rezim berhak mensensor segala bentuk kegiatan yang mengandung unsur kebebasan berpendapat. Hukum darurat itu juga membuat sah pemerintah mensensor segala media (pers) dan bentuk ekspresi lainnya sebelum terpublikasi.13 Begitulah fenomena pada masa pemerintahan Mubarak, yang kemudian mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah gelombang protes selama kurang lebih 15 hari yang diwarnai kekeraan berdarah. Ini dipicu oleh kemuakan, kemarahan, dan frustasi rakyat Mesir. Setelah Mubarak tumbang, ia menyerahkan kekuasaannya pada militer. Mahkamah Agung Mesir kemudian memerintahkan Perdana Menteri
11
Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule (United States of America: Lynne Rienner Publisher Inc, 2004), h. 3. 12 Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule, h. 27. 13 Maye Kassem, Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule, h. 55.
48
Ahmad Syafiq untuk menjalankan pemerintaan selama enam bulan sampai akhir pemilu parlemen dan presiden.14 Pasca tumbangnya Mubarak, rakyat Mesir hidup dalam kegembiraan dan pesta pora revolusi. Namun di lain sisi, pembangunan dan penguatan demokrasi masih sangat rancu. Setidaknya ada dua hal yang dapat menghambat penguatan institusi demokrasi pasca Mubarak yang krusial dan harus diperhatikan. Pertama, masih kuatnya anasir-anasir “Mubarakisme”, yaitu mereka yang masih loyal pada rezim Mubarak. Pemerintah yang mengendalikan birokrasi di Mesir adalah para loyalis Mubarak. Militer yang mendapat mandat memimpin pemerintahan transisi adalah pihak yang paling loyal. Kedua, adalah memantau sejauh mana militer dalam menjalankan pemerintahan transisi untuk memenuhi tuntutan keadilan rakyat.15 Militer yang memegang kendali pada transisi kekuasaan di bawah Husssein Tantawi, dituntut oleh rakyat sebagai kelompok pengawal demokrasi untuk segera menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat menuntut Pemilu disegerakan, agar militer sebagai penguasa transisi tidak bertindak di luar batas. Berdasarkan tuntutan-tuntutan tersebut, pemerintahan transisi segera menyelenggarakan Pemilihan Umum Parlemen pada 2011.
14
Muhammad Ikbal dan Nuran soyomukti, Ben Ali, Mubarak, Khadafy: Pergolakan Politik jaziah Arab Abad 21 (Bandung: MEDIUM, 2011), h. 84-87. 15 Zuhairi Misrawi, “Mesir Pasca Mubarak,” Kompas, 14 Februari 2011, h. 6.
49
Tabel III.B.1. Hasil Pemilu Parlemen 2011 NO
PARTAI
JUMLAH KURSI PARLEMEN
1
Democratic Alliance for Egypt
235
2
Blok Islamis
123
3
New Wafd Party
41
4
Egyptian Bloc
35
5
Al-Wasat Party
10
6
The Revolution Continues Alliance
9
7
Reform and Development Party
9
8
Freedom Party
4
9
National Party of Egypt
5
10
Egyptian Citizen Party
4
11
Union Party
2
12
Conservative Party
1
13
Democratic Peace Party
1
14
Justice Party
1
15
Arab Egyptian Unity Party
1
16
Nasserist Party
1
17
Calon Independen
21
50
18
Calon Pilihan
10
Keterangan: (1) Democratic Alliance For Egypt terdiri dari Ketua Aliansi Freedom and Justice party, dan anggota-anggotanya seperti Dignity Party, Ghad El-Thawara Party, Civilization Party, Islamic Labour Party, Egyptian Reform Party, dan Afiliasi Independen. (2) Blok Islam terdiri dari Al-Nour Party, Building and Development Party, New wafd Party, dan Authenticity Party. (3) Egyptian Bloc terdiri dari Saine Democratic Party, Free Egyptianis Party, dan progressive Unionist Party. (4) The Revolution Continues Alliance terdiri dari Socialist Popular Alliance Party, Freedom Egypt Party Equality, dan Development Party.
Dari hasil Pemilu parlemen dapat dilihat bahwa Partai Demokratik Nasional, Partai yang selalu memenangi dan menjadi alat Mubarak tidak lagi mendominasi. Ini menjadi pertanda bahwa adanya pembaharuan konstelasi politik di Mesir. Selanjutnya diadakan Pemilu Presiden, Pemilu paling demokratis sejak tahun 1984.16 Pemilu dilaksanakan dua kali, karena pada pemilu pertama tanggal 23-24 Mei 2012 tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara Mayoritas. Pada pemilu putaran kedua yang digelar tanggal 16-17 Juni, kandidat Presiden Mesir dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP), Mohammad Mursi, meraih suara terbanyak. Berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, calon dari partai yang menjadi sayap politik Ikhwanul Muslimin ini meraih sedikitnya 51,73% suara, mengalahkan mantan perdana menteri Ahmed Shafiq. Sementara Syafiq yang berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.17
16
Zuhairi Misrawi, “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis,” Kompas, 8 Februari 2011, h.
7. 17
“Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,” BBC Indonesia, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.shtml
51
Diantara, tiga belas nama kandidat yang mengkuti Pemilihan Umum Presiden adalah: 1. Mohammad Mursi dari Ikhwanul Muslmin, yang didukung oleh Freedom and Justice Party (Partai Ikhwanul Muslimin). 2. Ahmed Shafik, (Marsekal Angkatan Udara Mesir dan Mantan Perdana Menteri Mesir, dianggap loyalis dan representasi dari rezim Mubarak. 3. Hamdeen Sabahi, yang didukung dari Dignity party sekaligus sebagai ketua partai. 4. Abdel Moneim Aboul Fotouh, Sekertaris Jendal Persatuan Dokter Arab, didukung oleh Al-Nour Party, Al-Wasat Party, dan Egyptian Current Paty. 5. Amr Moussa, sebagai Menteri Luar Negeri Mesir dengan jalur Independen. 6. Mohammad Salim Al-Awa, Kepala Asosiasi Budaya dan Interaksi Mesir, dengan jalur Independen. 7. Khaled Ali, seorang aktivis buruh dan pengacara dengan jalur Independen. 8. Abu Al-Izz Al-Hariri, anggota dan didukung oleh Sociaist Popular Alliance Party. 9. Hisham Bastawisy, Wakl Presiden Mahkamah Kasasi Mesir, didukung oleh National Progressive Unionist Party dan kelompok Tagammu.
52
10. Mahmoud Houssam, dengan jalur Independen. 11. Mohammad Fawzi Issa, didukung oleh Democratic Generation Party. 12. Houssam Khairallah, didukung oleh Democratic Peace Party. 13. Abdulla Alashaal, didukung oleh Authenticity Party.18
18
“Egyptian Elections: Preliminary Results,” Jadaliyya Egypt Updates. Dalam Wikipedia The free Encyclopedia, artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated- dan http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt
53
Tabel III.B.2. Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden Mesir Putaran Pertama 23–24 Mei dan Putaran Kedua 16–17 Juni 2012 NO
NAMA
PARTAI
KANDIDAT
PUTARAN
PUTARAN
PERTAMA
KEDUA
SUARA 1
%
SUARA
%
Mohammad
Freedom and
Mursi
Justice Party 5,764,952 24.78% 13,230,131 51.73% (FJP)
2
Ahmed
Independen 5,505,327 23.66% 12,347,380 48.27%
Shafik 3
Hamdeen
Dignity
Sabahi
Party
Abdel
Independen
4,820,273 20.72%
4
Moneim 4,065,239 17.47% Aboul Fotouh 5
Amr Moussa
Independen
6
Mohammad
Independen
Salim
Al-
2,588,850 11.13%
235,374
1.01%
134,056
0.58%
40,090
0.17%
Awa 7
Khaled Ali
8
Abu
Independen
Al-Izz Socialist
54
Al-Hariri
Popular Alliance Party
9
Hisham
National
Bastawisy
Progressive 29,189
0.13%
23,992
0.10%
23,889
0.10%
22,036
0.09%
12,249
0.05%
Unionist Party 10
Mahmoud
Independen
Houssam 11
Mohammad
Democratic
Fawzi Issa
Generation Party
12
13
Houssam
Democratic
Khairallah
Peace Party
Abdulla
Authenticity
Alashaal
Party
Sumber: Egyptian Elections: Preliminary Results Dalam Wikipedia The free Encyclopedia http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptianelections_preliminary-results_updateddan http://en.wiGLGL kipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt
55
Mursi memang menjadi presiden pertama di Mesir yang terpilih secara demokatis,
namun
pasca
terpilihnya
Mursi
justru
menjadi
masa-masa
menegangkan yang menjadi awal krisis politik di Mesir. Pasalnya, rakyat terjun ke alun-alun Tahreer berunjuk rasa menuntut Mursi turun. Massa mengatakan kalau parlemen yang baru terbentuk terlalu didominasi Islam (Ikhwanul Muslimin), rakyat menginginkan pemerintahan yang proporsional. Memang dari hasil pemilu parlemen, kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil dua per tiga kursi di parlemen. Hasil akhir menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin dan Partai Keadilan (FJP) memenangkan 235 kursi, atau 47,18 persen.19 Belum lagi dikatakan kalau Mursi akan membawa Mesir menjadi negara Islam, ini bertolak belakang dengan Mesir yang bercorak sekuler. Di lain sisi, massa berteriak setelah Mursi mengeluarkan dekritnya pada Kamis, 22 November 2012. Dekrit itu menyatakan bahwa Mursi mempunyai otoritas tertinggi, final, yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Mursi sendiri berdalih, kalau dekrit yang dikeluarkannya itu untuk melindungi revolusi, kehidupan bangsa, keamanan, persatuan, dan kesatuan nasional. Mursi berjanji akan melepaskan segala kekuasaannya itu, ketika undang-undang baru sudah disusun dan disahkan. Namun yang terjadi malah Mursi dituding menumpuk kekuasaan, ingin menjadi diktator baru yang sama seperti Mubarak hanya dengan cara dan wajah berbeda.20
19
“Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,” Republika Online, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimindominasi-parlemen-baru-Mesir 20 Trias Kuncahyono, Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013), h. 23-228.
56
Para demonstran anti pemerintah yang menentang dekrit adalah kelompok Islam moderat, kubu liberal, sayap golongan kiri, Kristen Koptik, gerakan pemuda Tamarood,
juga koalisi oposisi dalam Front Penyelamat Nasioal (National
Salvation Front NSF) yang dipimpin oleh Mohamed El Baradei. Semua kelompok tersebut adalah kelompok yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri di Mesir, namun dengan keluarnya dekrit Mursi membuat mereka mempunyai common enemy yaitu Mursi, Ikhwanul Muslimin, dan kelompok pendukung Mursi. Dekrit Mursi didukung oleh kelompok agamis (Islam) dengan motor utama Ikhwanul Muslimin yang sayap politiknya adalah Partai Keadilan dan kebebasan, yang dituduhkan oposisi mendominasi parlemen. Disamping itu, keadaan ekonomi Mesir yang sedang menurun membuat rakyat semakin frustasi. Dengan melakukan demonstrasi tersebut massa juga berharap agar ekonomi dapat pulih menjadi semakin baik. Akibat dari krisis politik di Mesir, membuat keadaan ekonomi, keamanan, kesejahteraan pangan secara sigifikan menurun. Terhitumg setelah tumbangnya Mubarak, angka pengangguran mencapai 13,2%, pada bulan Mei PBB mengumumkan angka kemiskinan dan keamanan pangan di Mesir melonjak tajam dalam 3 tahun terakhir, angka kekurangan gizi juga melesat menjadi 31%. Demikian juga aktivitas politik menjadi jalan di tempat, investasi asing terancam, dan kesempatan untuk menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF)
57
menjadi sulit. Akibat krisis politik ini, banyak pihak yang khawatir Mesir akan menyusul negara-negara berkembang lain yang tumbang.21
21
“Kudeta Mursi Hentikan Pemulihan Ekonomi Mesir,” Bisnis, 24 Juni 2012. Artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://kabar24.bisnis.com/read/20130704/19/148837/kudetaMursi-hentikan-pemulihan-ekonomi-Mesir
58
BAB IV KUDETA PRESIDEN MURSI
Dalam bab ini sebenarnya melanjutkan bahasan bab sebelumnya dalam menguak ketidakstabilan politik yang terjadi di Mesir, sebelumnya telah dijelaskan sejarah miiter yang sejak lama mendominasi arena politik Mesir. Pergantian pemimpin digawangi oleh miiter, menjelaskan bagaimana militer berkuasa di antara pergantian kepala pemerintahan yang notabenenya adalah orang militer. Pada bab ini dijelaskan alasan-alasan rakyat meneriakkan presiden terpilih Muhammad Mursi untuk mundur, polemik yang berujung pada kudeta. Selain itu juga menjelaskan mengapa demokrasi berumur pendek, padahal Mesir baru saja bereksperimen melangkah pada negara yang menjalankan nilai demokrasi. Dan menjelaskan manuver politik militer dalam pra atau pasca kudeta Presiden Mursi. Militer sebagai kelompok solid di Mesir sejak lama belum rela bila pemerintahan yang baru dipegang oleh sipil, ditambah kelompok sipil yang memenangi proses demokrasi adalah kalangan Islam yaitu Ikhwanul Muslimin, Kelompok yang sejak lama ditekan keberadaannya. Pada bab ini memiliki bahasan yang dibagi menjadi tiga: (1) krisis pemerintahan sipil di Mesir; (2) politik militer dan oposisi di Mesir; (3) dan militer pasca kejatuhan Mursi.
59
A.
Krisis Pemerintah Sipil Mursi, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis pada pemilu dua
putaran 23-24 Mei dan 16-17 Juni 2012, pemilu yang berlangsung dua putaran karena tidak satupun dari 13 kandidat yang mendapatkan suara mayoritas pada putaran pertama. Muhammad Mursi kandidat dari Partai Kemerdekaan dan Keadilan (FJP) sayap politik Ikhwanul Muslimin memperoleh 51,73% suara. Sedang Ahmed Syafiq yang berasal dari mantan Perdana Menteri rezim Mubarak mendapat 48,27% suara.1 Terpilihnya Mursi menjadi semangat baru bagi Mesir, pada keadaan transisi pasca tumbangnya Mubarak membuat Mursi di elu-elukan sebagai orang yang dapat menyatukan Mesir. Ditambah pertama kalinya Mesir mempunyai presiden dengan cara yang demokratis dan bukan dari kalangan militer yang sejak lama memimpin Mesir dengan cara yang otoriter. Selang setahun kepemimpinanya, rakyat berbalik protes dengan alasanalasan yang berujung pada kudeta yang dilakukan militer. Rakyat meneriakkan adanya dominasi kaum Ikhwanul Muslimin, rasa ketidaksukaan rakyat meningkat pada Ikhwanul Muslimin. Mursi dianggap terlalu banyak memberikan posisi penting pada Ikhwanul Muslimin di parlemen. Namun Mursi membantah hal ini, dengan alasan sudah menawarkan kursi penting di pemerintahan pada kubu oposisi namun ditolak. Begitupun para wakil dari kaum sekular, liberal, dan Kristen Koptik yang mengundurkan diri dari majelis. Faktor monopoli kekuasaan Ikhwanul Muslimin tersebut menjadi signifikan dan mengakibatkan Mursi 1
“Egyptian Elections: Preliminary Results,” Jadaliyya Egypt Updates. Dalam Wikipedia The free Encyclopedia, artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptian-elections_preliminary-results_updated- dan http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt
60
digulingkan.2 Mursi merasa percaya diri karena telah dipilih oleh rakyat. sayangnya Mursi mengabaikan ada sebagian jumlah besar yang tidak memilihnya, terlalu percaya diri kalau semua rakyat memilihnya 100%. Dengan kata lain dapat dikatakan Mursi kurang berkompromi dengan kelompok-kelompok lain dalam hal akomodasi politik.3 Dalam suatu pemerintahan yang baru terbentuk ada berbagai macam kalangan plural yang ikut serta menjadi kekuatan politik, berbagai kalangan yang plural itu tidak bisa dinafikan atau hanya menonjolkan satu golongan saja untuk unggul dalam pemerintahan. Kesepakatan pembagian kekuasaan menjadi paling penting untuk memelihara stabilitas pemerintahan yang terdiri dari berbagai macam kekuatan politik. Otto Kirchheimer dalam tulisannya menjelaskan: “Orang akan melihat semakin pentingnya kesepakatan dalam dunia ini, menunjukkan bahwa kompromi-kompromi ini melibatkan sejumlah penyesuaian terhadap kontradiksi yang berlangsung antara muatan sosial dengan bentuk politik. Ketika distribusi yang mendasari kekuasaan de facto dalam kelas-kelas, kelompok-kelompok, dan institusi-institusi berbeda dari distribusi kekuasaan secara de jure, maka kesepakatan seperti itu memungkinkan suatu masyarakat untuk mengubah struktur kelembagaannya tanpa harus disertai konfrontasi keras, dan atau dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya.”4
Tidak hanya itu, rakyat di alun-alun Tahreer menuntut soal kesejahteraan ekonomi. Selama kepemimpinan Mursi rakyat tidak merasa sejahtera karena kondisi perekonomian tidak membaik mulai dari investasi yang jarang datang dan harga pangan meroket. Ini berkaitan dengan pihak militer Mesir yang selama
2
Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015. Wawancara Pribadi dengan Hamdan Basyar, Jakarta 11 Juni 2015. 4 Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993), h. 59. 3
61
berpuluh-puluh tahun mempunyai dwifungsi dalam menjaga kestabilan politik. Kelompok militer di Mesir mempunyai taruhan besar setiap kali ada pemimpin baru, karena 5-40 persen perekonomian di Mesir dikelola dan dimiliki militer. Seperti bahan baku untuk industri, konstruksi, produksi, bahkan bisnis real-estate juga dipegang militer. Buruknya ekonomi ini berkaitan juga dengan Mursi yang mencopot Kepala Angkatan Bersenjata Hussein Tantawi yang diganti Abdul Fattah Al Sisi. Mursi menganggap Tantawi yang notabenenya loyalis Mubarak akan mengancam posisinya, justru ini adalah kesalahan Mursi karena secara tidak langsung mengancam militer. ”...di sisi lain bisa dilihat banyak perusahaan di Mesir berkaitan dengan militer, ketika militer ditekan mereka berusaha memainkan perekonomian agar rakyat tidak sejahtera. Seperti memainkan harga makanan, maka rakyat akan tidak sejahtera lalu memicu protes pemberontakan. Memicu rakyat berpikir tidak sejahtera dipimpin oleh sipil. Dengan kata lain ekonomi “dimainkan” oleh militer.”5
Dalam suatu pemerintahan, keadaan ekonomi yang baik dan sejahtera adalah kritera prestasi yang sangat penting, dan pemerintah dianggap yang paling bertanggung jawab atas kemajuan ekonomi itu. Ini sangat berkaitan dengan motif militer yang nantinya akan mengkudeta pemerintahan, karena laju ekonomi yang rendah akan memicu timbulnya kegaduhan pada masyarakat yang berpengaruh pada negara secara langsung. Kemunduran ekonomi yang dikelola pemerintah semakin menambah perasaan tidak hormat militer terhadap pemerintah, memperkuat anggapan militer dapat berperan sebagai pembuat keputusan yang
5
Wawancara Pribadi dengan Hamdan Basyar, Jakarta 11 Juni 2015.
62
berhubungan dengan ekonomi untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan negara.6 Militer sebagai birokrasi yang solid dan otonom, bisa membuat peraturanperaturan penting guna memacu pembangunan ekonomi, namun di sisi lain militer terlebih dahulu harus menghadapi dan meyakinkan kelas-kelas sosial yang ada, agar langkah yang diambil militer ini dianggap sah dan baik bagi negara. Sebelum tampil, militer harus mencitrakan kehebatan dan kepedulian yang mencolok agar semakin terlihat meyakinkan, dengan sebelumnya menawarkan konsep-konsep yang baku atas jalan keluar menuju kemajuan negara.7 Keadaan negara yang kacau dengan meluasnya protes di beberapa daerah, membuat kondisi pemerintahan semakin buruk dan membuat militer mulai mengamati untuk ambil bagian dalam mengamankan negara. Ini adalah momentum yang dimanfaatkan militer untuk ikut berpolitik di tengah kekisruhan. Seperti yang dikatakan Amos Perlmutter, Secara garis besar, ada pra kondisi untuk terjadinya kudeta. pertama, sindrom negara transisi. Di mana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru belum terbentuk. Dalam masyarakat ini, kesatuan masyarakat belum ada, lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial belum beroperasi secara efektif, saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-lambang kesatuan masyarakat. Militer dianggap yang paling mampu mengatasi sindrom ini karena militer bisa memakai simbol-simbolnya untuk memerintah, dan mempersatukan masyarakat dengan sifat netral yang dimilikinya, serta kesanggupannya menjalin komunikasi dengan rakyat bawah. 6
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 29-130. Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 223. 7
63
Kedua, terjadinya jurang kelas sosial yang tajam akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang sangat cepat sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin. Di mana secara kuantitatif kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial berdasarkan kelompokkelompok (baik yang sadar politik atau tidak) dan mobilisasi sumber-sumber materil dalam negeri yang rendah.8 Selain itu Mursi juga dikritik karena tidak dapat menjaga kedamaian pelanggaran demokrasi dan HAM. Pada setahun kepemimpinannya, Mursi dinilai gagal memelihara kesetabilan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, demokrasi dan toleransi beragama. Mursi dinilai gagal menjaga keamanan terutama di kepolisian, paramiliter dan dinas intelijen Mesir. Pada Januari 2013 terjadi pembantaian yang memakan banyak korban jiwa di Port Said yang melibatkan Kepolisian Mesir, selain itu serangan terhadap kaum minoritas seperti Gereja Kristen Koptik pun meningka. Dalam hal ini Mursi dinilai tidak berusaha menindak pelakunya dengan tegas.9 Soal keamanan negara, pemerintah sebagai penguasa dipercaya sebagai pengelola keamanan yang baik. Bila banyaknya keresahan dan pertentangan politik tidak dapat diselesaikan secara baik, akan membuat prestasi pemerintah merosot dan dinilai tidak mementingkan rakyat sehigga menimbulkan huru-hara kekerasan di kalangan masyarakat yang tidak merasa puas.10 Pemerintah juga
8
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 141-182. 9 Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir (Jakarta: KNKMD, 2014), h. 181. 10 Alfred Stephan, Militer dan Demokratisasi, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988), h. 128-131.
64
dinilai tidak berupaya menjalankan tujuan yang mendasar, yaitu menjaga ketertiban serta melindungi negara, dengan tidak dapatnya mengatasi kekacauan dan menghentikan pemogokan-pemogokan atas huru-hara tersebut. Pada saat pergolakan dan huru-hara terjadi, militer mulai menyadari kalau pemerintah sangat bergantung pada militer, tanpa dukungan dan ikut campur militer negara akan rubuh.11 Pada akhirnya, keadaan yang bergejolak itu mengurangi keabsahan pemerintah. Kemudian banyak orang yang akan terlibat dalam kancah politik melancarkan aksi-aksi ujuk rasa, menunjukkan suatu penentangan yang kuat pada pemerintah, pemerintah dianggap tidak lagi mempunyai hak moral untuk memerintah. Lalu semakin memperkuat dorongan militer melakukan kudeta. Pemerintahan Mesir di bawah kepemimpinan Mursi adalah masa transisi Mesir dalam berdemokrasi, satu langkah ke depan memulai nilai-nilai yang demokratis. Namun Mursi belum mempunyai referensi demokrasi internal yang tepat untuk diaplikasikan, tentang bagaimana cara mengakomodasi kepentingan yang beraneka ragam. Dalam demokasi pasti ada perbedaan pendapat, tetapi demokrasi hanya akan berjalan bila ada modal sosial yaitu kesepakatan untuk saling percaya sebagai suatu bangsa meskipun berbeda-beda pendapat dan kepentingan, dan ini diikat dalam kegiatan-kegiatan sosial kelompok masyarakat sipil. Hal ini lah yang belum berhasil dibangun dan dimiliki Mesir.
11
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 134.
65
“Demokrasi yang terjadi di Mesir adalah pilihan terakhir yang dipilih rakyat, daripada kembali ke zaman otoriter. Rakyat memilih Mursi karena mulai menyadari nilai-nilai demokrasi itu penting, namun di sisi lain rakyat menyadari bahwa stabilitas lebih penting. Stabilitas dan keragaman terancam di kepemiminan Mursi (Ikhwanul Muslimin), ini menjadi kemunduran demokrasi di Mesir. Pada awalnya rakyat menganggap Ikhwanul Muslimin sanggup menjaga keragaman, memulihkan ekonomi, dan menciptakan stabilitas politik. Namun pada akhirnya gagal, ini yang membuat rakyat akhirnya kembali berpaling pada militer sebagai kelompok yang mampu mewujudkan keinginan rakyat. “12
Rakyat kehilangan figur dan menganggap stabilitas itu lebih penting, daripada menjalani demokrasi bersama pemimpin yang tidak sanggup menjaga keragaman. Nilai demokrasi yang diterapkan di Mesir baiknya adalah demokrasi yang merangkul seluruh kalangan. Dalam kegaduhan yang semakin parah menambah momentum dan kekuatan militer menjadi harapan bagi rakyat atas kesalahan-kesalahan yang telah dibuat pemerintah sipil. Dengan baik Eric A. Nordlinger menjelaskan: “...dari krisis pemerintahan yang terjadi akibat kegagalan pemerintahan sipil, dan pada saat yang bersamaan kehilangan keabsahannya di mata masyarakat. Militer mulai menuduh pemerintah yang digulingkan gagal menjalankan tugasnya, tidak bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi, tidak mampu mengendalikan perasaan kecewa dan penentangan politik yang menimbulkan kekerasan dan kekacauan.”13
Kegagalan-kegagalan itu memperkuat rasa tidak hormat dan benci militer serta rakyat pada pemerintah, kegagalan ini menggambarkan kemerosotan citra pemerintah sipil di mata masyarakat baik yang interest pada politik maupun tidak. Ditambah lagi dengan citra militer sebagai golongan nasionalis utama, karena militer mengidentifikasi diri dengan negara, dan negara sendiri adalah militer. 12
Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015. Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 124-125. 13
66
Jadi, yang dianggap baik oleh militer juga baik untuk negara, dan mencitrakan kudeta sebagai kepentingan menjaga konstitusi negara.14
B.
Politik Militer dan Oposisi Fenomena Arab Spring telah menyebabkan perubahan peta politik di
sebagian negara Arab. Efek domino dari Arab Spring juga telah membuat Presiden Husni Mubarak yang berkuasa di Mesir puluhan tahun harus mundur dari jabatannya, Mesir mulai berjalan ke arah demokrasi setelah mundurnya Mubarak. Melihat perubahan ini ada harapan besar agar militer tidak terlibat lagi dalam urusan politik, namun kenyataannya militer belum rela melepaskan “kenikmatan” berpolitiknya. Proses demokrasi di Mesir tercederai dengan militer mengkudeta Mohammad Mursi, presiden Mesir yang terpilih secara demokratis lewat pemilu. Sejak lama militer menguasai politik Mesir dari tahun 1952, ketika kalangan “Perwira Bebas” yang dipimpin Gamal Abdul Nasser mengambil alih kekuasaan dari raja Farouq, ini bisa dijadikan awal keterlibatan militer dalam dunia politik. Sejak saat itu penguasa Mesir selalu dari kalangan militer. Presiden Muhammad Naguib, Presiden Gamal Abdul Nasser Presiden Anwar Sadat, dan Presiden Husni Mubarak, adalah tokok-tokoh militer yang menjalankan kekuasaan di Mesir sejak 1952 sampai 2011. Tidak hanya itu, kalangan elite militer mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat dalam strata kehidupan
14
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 125.
67
politik di Mesir. Tercermin dengan adanya Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces – SCAF).15 Pada jatuhnya Mubarak 11 Februari 2011 membuktikan eksistensi militer tetap ada dan berpengaruh pada politik Mesir, karena kekuasaan berikutnya justru berada di tanan SCAF. SCAF kemudian membuat amandemen terbatas pada konstitusi Mesir, 30 Maret 2011. Namun karena adanya desakan nasional dan internasional akan pentingnya demokrasi di Mesir, memaksa militer memberikan peluang kepada elite sipil untuk dapat bersaing meraih kekuasaan lewat pemilu. Militer mendapat penentangan keras dari rakyat bila masuk ke ranah politik terlalu jauh, seperti zaman Mubarak yang melahirkan otoritarianisme.16 Dengan adanya desakan itu maka dilangsungkan lah pertama kali pemilu parlemen, yang dilanjutkan dengan pemilu presiden. Pada pemilu parlemen (Majlis as-Sa’ab) yang menang adalah Patai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain itu rakyat juga memilih Majelis Tinggi (Majlis as-Syura) dalam parlemen Mesir. Dalam Majelis Tinggi (Majlis as-Syura) juga menunjukan kemenangan dari aliansi FJP, dengan demikian kekuatan politik Islam lah yang menguasai Mesir dalam pemilu parlemen. Kemenangan partai Islam itu mengagetkan elite Mesir yang cenderung liberal sekuler, begitupun militer yang menghawatirkan kemenangan tersebut. Kemudian kemenangan kelompok Islam (Ikhwanul Muslimin) mendapatkan tantangan dari SCAF dan kelompok liberal, dan di sisi lain militer tetap berusaha mencari peluang untuk tetap tampil dalam dunia politik. Mereka merasa tidak 15
Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel (Jakarta: UI Press, 2015), h. 27. 16 Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015.
68
cukup sebagai penonton, militer masih ingin menentukan jalannya kehidupan politik Mesir. Di beberapa negara, pemilu digunakan sebagai terminal bagi pertarungan elite. Artinya, setelah pemilu selesai mereka akan menjalankan pemerintahan sampai pada pemilu berikutntya. Namun itu tidak terjadi karena oposisi bertarung di tempat lain. Selang selesainya pemilu parlemen ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi Mesir, UU pemilu yang memperbolehkan partai politik dapat mencalonkan anggotanya lewat jalur independen dianggap inkonstitusional. Maka parlemen hasil pemilu dianggap tidak sah dan harus dibubarkan, dengan demikian kemenangan yang digapai kelompok Ikhwanul Muslimin menjadi bias. Meskipun parlemen dibubarkan, Mahkamah menyatakan keputusan yang telah dibuat oleh parlemen sah dan harus dijalankan.17 Sebelum Presiden Muhamad Mursi resmi dilantk, SCAF mengeluarkan dekrit pada 17 Juni 2012 yang memberikan kekuasaan legislatif bagi SCAF. Alasannya adalah untuk mengisi kekuasaan legislatif akibat pembubaran parlemen hasil pemilu. Dengan begitu SCAF dapat mengangkat Dewan Konstituante baru sesuai dengan kepentingan mereka. Di sisi lain Mursi yang dilantik pada 30 Juni 2012 mengeluarkan dekrit 8 Juli 2012, untuk memulihkan anggota parlemen yang telah dibekukan. Namun pada hari berikutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak ada banding untuk keputusan pembubaran Majelis Rakyat, pada 17 Juli 2012 mereka harus sudah dibubarkan. Kemudian Presiden Mursi berusaha menunjukan kekuatannya dengan mengeluarkan dekrit pada 12 Agustus 2012. 17
Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,
h. 26-31.
69
Dekrit itu berisi 4 pasal guna menjinakkan militer.18 Dengan begitu kekuasaan yang ada di tangan SCAF sejak 17 Juni itu dibatalkan, Mursi juga mengganti kepala SCAF Jendral Tantawi untuk membuat militer menjadi relatif dalam kekuasannya. Tindak perlawanan ini justru berbalik menjadi senjata makan tuan bagi Mursi. Hamdan Basyar secara jelas mengatakan: ”...adanya keterburu-buruan dari Mursi sendiri, Mursi buru-buru berdemokrasi dan menghilangkan militer dalam politik. Padahal tidak semudah itu untuk membubarkan organsasi yang telah lama solid. Membuat militer bangkit dengan berujung pada kudeta.”19
Mursi merasa belum aman dengan nasib Dewan Konstituante yang tengah menggodok konstitusi baru, karena lembaga itu masih dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan anggotanya dapat saja dikatakan inkonstitusional lagi. Maka Mursi mengeluarkan dekrit 22 November 2012, dekrit yang berisi tujuh pasal ini memberikan kekuasaan yang hampir tidak terbatas pada Mursi sendiri. Dekrit itu ternyata memicu protes dari rakyat banyak, kelompok liberal pun yang tadinya sudah agak diam kembali bersuara, dan lapangan Tahreer dipadati demonstran menuntut pencabutan dekrit yang dianggap otoriter itu. Seminggu setelah dekrit itu dikeluarkan, pada 30 November 2012 Dewan Konstituante berhasil menyepakati draft konstitusi baru tanpa kehadiran kelompok liberal. Kemudian Mursi memutuskan untuk mengadakan referendum terhadap draft konstitusi tersebut pada 15 Desember, hasilnya rakyat menyetujui draft konstitusi menjadi konstitusi baru Mesir. Rupanya referendum itu belum menyurutkan demonstran yang berunjuk rasa di lapangan Tahreer, bahkan mereka menolak 18
Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,
19
Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi, Ciputat 24 April 2015.
h. 32.
70
referendum. kaum pengunjuk rasa mengatakan konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan
kepentingan
kelompok Mursi
dan tidak dibuat
dengan
mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.20 Melihat gejolak yang semakin menjadi-jadi, Mursi mengambil langkah untuk meredakan gejolak dengan mengadakan Dialog Nasional dengan tokohtokoh nasional pada 9 Desember 2012. Hasilnya Mursi mengeluarkan dekrit lagi yang berisi pencabutan dekrit sebelumnya, setelah kurang lebih sepuluh jam mereka bertukar pikiran. Walaupun dekrit sudah dicabut, protes terhadap Mursi terus berlanjut. Memasuki tahun 2013 pihak oposisi terus menggoyang kekuasaan Mursi. Kelompok oposisi dan Tamarood yaitu kelompok yang terdiri dari pemuda tetap meramaikan lapangan Tahreer dengan tuntutan mundurnya Presiden Mursi. Pada saat itu militer kembali mengambil momentum untuk mengambil alih kekuasan di Mesir dengan menyamakan tujuannya dengan rakyat, karena militer melihat rakyat semakin banyak berdemo menuntut Mursi. Dengan sangat baik Eric A. Nordlinger menjelaskan motivasi dan cara-cara yang ditempuh militer untuk mengkudeta, adalah: “Tidak dipungkiri para perwira militer memperhatikan masa depan karir poilitik mereka, ini menjadi kepentingan pribadi para perwira militer. Keinginan mereka untuk mendapatkan promosi, cita-cita politik, dan ketakutan dipecat juga menjadi faktor penting dalan kudeta. Namun seringkali faktor ini terlihat tidak secara kasat mata, karena sebelumnya militer coba menyelaraskan sejauh mana kepentingan pribadi mereka sejalan dengan berbagai faktor pendukung lainnya, yang kemudian bisa dipakai untuk menjalankan kudeta tanpa harus terlihat kalau kudeta ini murni berdasarkan kepentingan sendiri.”21
20
The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14 November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-AlasanPresiden-Mesir-Digulingkan 21 Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 92.
71
Pihak militer akan sigap mengkudeta ketika rakyat meneriakkan keburukan pemerintah, selain mosi tidak percaya rakyat dan segala kekacauan yang terjadi selama protes, dijadikan faktor pendukung yang membuat kepentingan pribadi militer merebut kekuasaan tidak kentara. Seolah-olah militer bersama dengan kelompok orang-orang yang merasa dirugikan pemerintah, padahal militer hanya memakai tuntutan kelompok itu agar tindakan kudeta mereka dianggap keniscayaan dan pro terhadap rakyat. Dari segala runtutan kegagalan yang pemerintah sipil lakukan, kalangan militer mengangap Mursi tidak sanggup lagi menanggung kekacauan tersebut. Maka pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 16.30 (waktu Mesir), militer di bawah kendali Abdel Fattah as-Sisi memberikan ultimatum pada Mursi untuk menyelesaikan masalah politik Mesir dalam waktu 48 jam. Militer mengancam akan mengambil langkah sendiri bila Mursi tidak menuruti tuntutan Militer. Untuk menjawab desakan militer, Mursi yang merasa dipilih oleh rakyat dan mempunyai legitimasi kekuasaan yang kuat menolak ultimatum militer. Karena permintaan militer ini ditolak oleh Mursi, maka militer melaksanakan ancamannya dengan pengambilalihan kekuasaan pada 3 Juli 2013 malam. Kudeta militer itu telah mengakhiri kekuasaan Mursi yang dipilih secara demokratis. Al-Sisi menyebutlan roadmap (peta jalan) yang ditempuh melalui empat hal, yaitu: (1). Penangguhan Konstitusi Baru yang telah di referendum pada Desember 2012; (2). Percepatan pemilihan presiden. Ketua Mahkamah Konstitusi ditunjuk menjadi presiden sementara sampai pemilu; (3). Pembentukan pemerintahan koalisi nasional; (4). Pembentukan Komisi untuk mengamandemen
72
Konstitusi. Tidak jelas atas dasar kewenangan apa Jendral Al-Sisi membuat pernyataan tersebut. Bila mengacu pada konstitusi yang berlaku saat itu maka kalangan militer tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Mereka adalah alat negara yang menjaga keamanan dan keselamatan negara, posisi mereka juga di bawah Presiden yang menjadi Panglima Tertinggi Militer. Dalam kondisi tertentu presiden tidak dapat menjalankan tugas, maka pasal 153 Konstitusi Mesir menyebutkan, bahwa yang menjalankan tugas kepresidenan sementara adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (Majlis Sa’ab). Bila Dewan Perwakilan tidak ada, maka tugas kepresidenan sementara dijalankan oleh Ketua Majlis Syuro sampai ada pemilu presiden.22 Apapun namanya dan alasannya, kudeta adalah pengingkaran dari proses demokratisasi yang tengah tumbuh di alam kebebasan Mesir pascarevolusi 11 Februari 2011. Eric A. Nordlinger secara jelas mengatakan: “Secara sederhana, kudeta diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan militer untuk merebut kekuasaan, atau aksi politik untuk menggantikan (mendominasi) suatu kelompok atau rejim yang menjadi saingannya dengan rejim sendiri.”23
Militer telah merampas proses demokrasi dan menghilangkan kesempatan Mesir untuk mengekspresikan kebebasan melalui demokrasi. Masyarakat Mesir kembali ke titik nol dan mereka mulai berdemokrasi lagi dari awal. Semestinya di negara yang mengikuti aturan berdemokrasi, semua kalangan menjadi pengawal terselenggaranya demokratisasi. Samuel Huntington mengatakan bahwa militer
22
Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,
23
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 150.
h. 2.
73
yang ikut serta dalam proses politik, adalah tentara yang mengalami kemunduran ke arah pretorian. “...kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika militer profesionalnya. Bahkan Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai pembusukan politik (political decay) dan dianggap sebagai kemunduran ke arah tentara pretorian.”
Tentara pretorian atau tentara jenis penakluk (warior) dalam hal ini mewakili kelompok militer yang berkuasa, menjalankan pemerintahan, dan menentukan keputusan-keputusan politik. Jadi, tentara akan menjadi tentara pretorian apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuatan dan kekuasaan mereka untuk mendominasi politik lalu menguasai pemerintahan. Tentara pretorian yang campur tangan dalam pemerintahan akan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan eksekutif menjadi tidak efektif. Kemudian rezim pemeritahan akan menjadi rezim militer karena perwira militer sendiri yang merebut kekuasaan.24
C.
Militer Pasca Kejatuhan Mursi Setelah militer berhasil mengkudeta Presiden Mursi lewat ultimatum 48
jam, kini militer menyiapkan taktik selanjutnya guna menguasai Mesir secara menyeluruh. Mulai dari pengubahan draft konstitusi 2012 agar menguntungkan pihak militer, dan pengadaan pemilu presiden secepatnya. Setelah kudeta. Jendral Al-Sisi membekukan konstutisi lama agar mempunyai alasan mengganti dengan konstitusi baru yang relevan, lewat pemerintahan transisi yang dibuat militer di 24
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan, h. 45.
74
bawah Adly Mansour (pengangkatan presiden sementara) dengan mengangkat 50 orang sebagai komite pembuat konstitusi dengan dilanjutkannya pemilu. Kini militer melangsungkan pemilu presiden lebih dulu daripada pemilu parlemen. Tercatat bahwa Sisi mendominasi pemilihan dengan perolehan suara 96.91%, sedangkan saingannya Hamden Sabbahi hanya mendapat 3,09%.25 Militer tidak mau kecolongan saat pemilu parlemen yang menang bukan dari golongan militer. Tujuannya adalah pada saat militer terpilih menjadi presiden maka memiliki kuasa untuk membuat konstitusi dan mendominasi jalannya pemerintahan. Langkah yang diambil miiiter selanjutnya adalah membumihanguskan Ikhwanul Muslimin. Kemudian barulah militer menyiapkan pemilu parlemen agar keabsahannya semakin diakui.26 Setelah kudeta militer yang melengserkan Presiden Mursi, Ihkwanul Muslimin menjadi organisasi tertuduh yang menyebabkan politik di Mesir tidak stabil. Kalangan militer mendeskriditkan Ikhwanul Muslimin dengan perlahan membuatnya bersalah. Bahkan militer meminta ulama-ulama moderat membantu mengkebiri Ikhwanul Muslimin yang masih melakukan tindak perlawanan pasca kudeta. Mantan Mufti Mesir, Ali Gomaa mengungkapkan kekesalannya pada kekacauan agama akibat perlawanan Ikhwanul Muslimin. Gomaa menyitir ayatayat suci tentang larangan dan pengkafiran terhadap orang lain karena tidak senada dan memiliki perspektif berbeda. Gomaa mengharamkan Muslim Mesir 25
Al-Ahram Online, “Egypt's preliminary 2014 presidential election results “, artikel diakses pada 14 November 2013 dari http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/64/102437/Egypt/Politics-/LIVE-Egypts--presidentialelection-results.aspx 26 Wawancara Pribadi dengan Hamdan Basyar, Jakarta 11 Juni 2015.
75
yang ikut dalam aksi Ikhwanul Muslimin untuk kembali mendudukan Mursi sebagai pemimpin. Dia mengatakan Ikhwanul Muslimin dan menuduh semua lini yang ikut Ikhwanul Muslimin pantas dibunuh, “Bahkan dengan darah sekalipun, kita harus melawan ini,” katanya seperti yang disadur dari New York Times.27 Selain itu militer juga membuat tayangan-tayangan di televisi Mesir untuk menyudutkan Ikhwanul Muslimin. Juru Bicara Militer Kolonel Aly membenarkan adanya tayangan-tayangan yang menyudutkan Ikhwanul Muslimin yang didanai oleh militer. Lewat tayangan pidato-pidato keagamaan dalam kajian budaya dan agama. Militer mendekati kalangan ulama moderat untuk memberikan fatwa tentang Ikhwanul Musimin, fatwa haram hukumnya bila rakyat melawan pemerintah dan komandan keamanan negara yang dikomandoi militer. Di sejumlah televisi Mesir ditemukan banyak tayangan mirip iklan yang dikemas dalam bentuk yang agamis dengan menampilkan tokoh-tokoh ulama. Tayangan tersebut menempatkan Departemen Militer sebagai sponsor. Misalnya ada pernyataan dari Abdel Galil, bekas pejabat yang mengurusi persoalan agama dan rumah ibadah ketika Husni Mubarak menjabat sebagai presiden. Dia menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kelompok yang dibenci oleh masyarakat Mesir. Peryataan tokoh agama senior ini mengimbangi desakan Ihwanul Muslimin tentang perlawanan rakyat Mesir terhadap rezim sementara. Bagi Abdul Galil
27
Republika Online, “Ikhwanul Muslimin Dikebiri Ayat Suci”. Artikel diakses pada 14 November 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/13/08/26/ms50xz-ikhwanul-muslimin-dikebiri-ayat-suci
76
Ikhwanul Muslimin adalah kelompok pemaksa di dalam kultur keberagaman di Mesir.28 Pertarungan pasca kudeta semakin menyudutkan posisi kalangan Islamis. Tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dipenjara dan dituduh menghasut rakyat untuk melawan penguasa. Ikhwanul Muslimin pun tidak mendapat kursi satu pun dalam Komite-50 bentukan Presiden sementara Adly Mansour. Jatah kaum Islam hanya diperuntukan bagi kelompok moderat dan Institusi Al Azhar, dan perwakilan agama-agama lain untuk kelompok Kristen dan minoritas. Selain itu, ada jatah sepuluh kursi mewakili perempuan, kepolisian dan militer. Terbentuknya Komite50 itu memudahkan jalan untuk mengubah paksa Konstitusi Mesir hasil referendum tahun 2012. Konstitusi itu dianggap kontroversi oleh kalangan liberal dan mliter, karena hanya mengadopsi kepentingan Ikhwanul Muslimin.29 Draft Konstitusi baru Mesir selesai selama dua hari (30 November-1 Desember 2013) oleh Komite-50, dan mereka melakukan voting pasal demi pasal terhadap rancangan konstitusi itu. Draft Konstitusi baru Mesir kini terdiri dari 247 pasal, lebih banyak daripada Konstitusi 1971 (211 pasal) maupun Konstitusi 2012 (236 pasal). Banyaknya draft dalam konstitusi baru menunjukkan adanya kepentingan dari pihak yang diadopsi di dalamnya. Tampaknya militer Mesir semakin kokoh dalam kekuasaan politik. Ada salah satu isi draft konstitusi baru yang sangat menguntungkan militer, misalnya Menteri Pertahanan adalah
28
Republika Online, ” Militer Mesir Minta Ulama Moderat Keluarkan Fatwa Haramkan IM”. Artikel diakses pada 14 November 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/08/26/ms50ln-militer-mesirminta-ulama-moderat-keluarkan-fatwa-haramkan-im 29 Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel, h. 37.
77
Panglima Militer dan harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces-SCAF). Artinya seorang presiden tidak dapat mengangkat atau menurunkan Menteri Pertahanan tanpa campur tangan SCAF. Tidak hanya itu anggaran belanja militer tidak dibahas oleh parlemen, ini menunjukkan betapa kuatnya militer yang tidak dapat diawasi oleh parlemen. Ditambah lagi adanya aturan yag menyatakan bahwa masyarakat sipil dapat dihukum oleh pengadilan militer bila menyerang tempat militer.30 Konstitusi baru Mesir memberikan kekuasaan pada militer untuk berkuasa sesuai kepentingannya. Hal itu dapat menjelaskan bahwa militer tidak mau dikembalikan ke barak dan mengalami kemunduran menjadi tentara pretorian. Karena pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama dan dominan yang secara langsung menggunakan kekerasan atau mengancam untuk merebut suatu kekuasaan.
30
Hamdan Basyar, Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel,
h. 39-42.
78
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dalam setiap negara yang menjalankan demokrasi, kudeta dianggap sebagai
hal yang melanggar anilai-nilai yang ada pada demokrasi. Kudeta menjadi tindakan yang ilegal karena secara paksa mengambil kekuasaan dari pemerintah yang secara demokratis sudah terpilih lewat pemilu. Mursi mendapatkan serangan kudeta dari militer karena militer tidak ingin dikembalikan ke barak, dan tidak rela bila pemerintahan Mesir yang telah lama dipegang Militer harus jatuh ke tangan pihak lain. Seperti telah di jelaskan pada Bab 3 sejarah militer menguasai Mesir, dan SCAF sebagai organisasi militer yang sejak lama mendominasi jalannya pemerintahan Mesir. Militer mengkudeta di saat rakyat beserta pihak oposisi meneriakkan kegagalan-kegagalan pemerintahan Mursi, militer memanfaatkan momentum itu agar kelihatan samar dalam menyamakan persepsi serta menggiring rakyat dan oposisi mengatakan kalau Mursi gagal menjalankan pemerintahan. Militer memanfaatkan momentum di mana pada setahun kepemimpinan Mursi tidak menunjukan kemajuan ekonomi yang signifikan. Serta menuduh Mursi hanyalah perwakilan yang hanya mementingkan kelompok Ikhwanul Muslimin, menuduh Mursi tidak dapat mendamai kan huru-hara yang terjadi di Mesir. Padahal kerusuhan tersebut juga merupakan hasil militer memprovokasi ada saat terjadinya ketidakstabilan di Mesir. 79
Lewat pemberian ultimatum 48 jam militer menurunkan Mursi, terlihat dari rangkaian kudeta tersebut bahwa itu adalah rangkaian skenario militer untuk mengkudeta. Dengan militer mengkudeta Mursi dan ikut andil dalam perpolitikan Mesir, menandakan bahwa Militer mesir mengalami kemunduran ke arah tentara pretorian. Tentara yang tidak profeisional menjalankan tuganya sebagai pengaman negara, namun malah menjadi penentu kebijakan. Membuat demokrasi yang bari saja dijajaki Mesir menjadi tidak sempurna dan mencederai demokrasi secara sesungguhnya. B. Saran Pada
negara
yang
sedang
menjajaki
demokasi
seharusnya
ada
kemakluman dan dukungan dari segala elemen negara dalam rangka memajukan negaranya, Mesir yang baru menjajaki demokrasi tentu saja belm sempurna dalam mengatasi masalah dalam setahun kepemimpinan. Ada baiknya bila aktor-aktor politik, kelompok oposisi dan militer tidak terburu-buru dalam menuduh pemerintah tidak dapat memajukan negara. Seharusnya bisa disadari dengan terlalu cepatnya aksi protes yang berlangsung dan aksi penuntutan yang terjadi malah membuat negara tidak stabil, dan menghambat Mesir dalam melakukan perbaikan di segala sektor. Militer pun harusnya menyadari tugas dan wewenangnya dalam negara, bukan malam bertindak diluar batas kewenangan dan haknya yang malah akhirnya memicu ketidakstabilan di Mesir. Bila militer mempunyai sikap dewasa dan patriotik yang sebenarnya, akan membela dan memberi masukan pada pemerintah agar Mesir menjadi lebih baik 80
juga konsentrasi dalam perbaikan negara. Juga mengawal jalannya demokrasi yang baru saja dijajaki Mesir.
81
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku dan Jurnal ABM, M. Agastya. Arab Spring: Badai Revolusi Timur Tengah Yang Penuh Darah. Yogyakarta: IRGiSoD, 2013. Basyar, Hamdan. Pertarungan Dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki dan Israel. Jakarta: UI Press, 2015. Bogle, Emory C. The Modern Middle East: From Imperealism to Freedom 18001958. New Jersey: Prentice Hall, 1996. Diamond, Larry dan Plattner, Marc F. Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Fathurrahman, Pupuh. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Finer, S. F. The Man on Horseback, The Role of the Military in Politics. Colorado: Westview Press, 2002. Haramain, A. Malik. Gus Dur, militer, dan Politik. Yogyakarta: LKiS, 2004. Heikal, Mohammad. Autum of Fury: The Assossonation of sadat. London: Corgi, 1984. Horowitz, Louis Irving. Revolusi, Militerisasi, dan Konsolidasi Pembangunan. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985. Huntington, Samuel P. The Soldier and The State: The Theory and Politics Civil Military Relations. Cambridge: Harvard University Press, 1957. Huntington, Samuel P.. Tertib Politik dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Jakarta: CV Rajawali, 1983. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Erlangga, 2009. Ikbal, Muhammad dan Soyomukti, Nuran. Ben Ali, Mubarak, Khadafy: Pergolakan Politik jaziah Arab Abad 21. Bandung: MEDIUM, 2011. Irving M. Zeitlin. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Kassem, Maye. Egyptian Politics: The Dynamics of Authoritarian Rule. United States of America: Lynne Rienner Publisher Inc, 2004. Komite Nasional Untuk Kemanusiaan Dan Demokrasi Mesir (KNKMD), Buku Putih Tragedi Kemanusiaan Pasca Kudeta Mesir di Mesir. Jakarta: KNKMD, 2014. Kuncahyono, Trias. Tahrir Square Jantung Revolusi Mesir. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2013. Kusnadi. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang : Taroda, 2002.
ix
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan. Jakarta: P2P-LIPI, 2001. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Transisi Menuju Demokrasi Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1993. Luttwak, Edward. Kudeta: Praktek Penggulingan Kekuasaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Nordlinger, Eric A. Militer Dalam Politik: Kudeta dan Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Riza Widyarsa, Mohammad, “Rezim Militer dan Otoriter di Mesir, Suriah dan Libya.” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial I, no. 1 (September 2012): h. 273. Robert lawang. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas terbuka 1994. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial.Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Soerjono Soekanto. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Stephan, Alfred. Militer dan Demokratisasi. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1988. Sumber Media Massa “Mubarak Terlena Begitu Lama Peringatan Bagi Pemimpin Yang Lengah.” Kompas, 7 Februari 2011. Misrawi, Zuhairi. “Mesir dan Demokrasi Kaum Islamis.” Kompas, 8 Februari 2011. Misrawi, Zuhairi. “Mesir di Persimpangan Jalan.” Kompas, 11 Februari 2011. Munhanif, Ali. “Berakhirnya Revolusi Tanpa Ideologi.” GATRA 4 September 2013. Sucipto, Hery. “Babak Baru Mesir-AS.” Republika,17 Februari 2012. Sumber Website Al-Ahram Online, “Egypt's preliminary 2014 presidential election results, “ artikel diakses pada 14 November 2013 dari http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/64/102437/Egypt/Politics/LIVE-Egypts--presidential-election-results.aspx BBC Indonesia, “Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.sh tml BBC Indonesia, “Mohammed Mursi dari Ikhwanul Muslimin menang dalam pilpres Mesir,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120624_Mesir_pilpres.s html
x
Bisnis, “Kudeta Mursi Hentikan Pemulihan Ekonomi Mesir,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://kabar24.bisnis.com/read/20130704/19/148837/kudeta-Mursihentikan-pemulihan-ekonomi-Mesir Ibrahim Ramdani, Muhammad. “Krisis Politik di Mesir.” artikel diakses pada 1 September 2013 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,pdfids,50-id,46756-lang,id-c,esait,Obama+Bukan+Juru+Damai+Sejati+Konflik+Arab+Israel-.phpx; Jadaliyya Egypt Updates, “Egyptian Elections: Preliminary Results,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptianelections_preliminary-results_updateddan http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Egypt Jadaliyya Egypt Updates, “Egyptian Elections: Preliminary Results,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.jadaliyya.com/pages/index/3331/egyptianelections_preliminary-results_updatedRepublika Online, “Ikhwanul Muslimin Dikebiri Ayat Suci,” artikel diakses pada 14 November 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/13/08/26/ms50xz-ikhwanul-muslimin-dikebiri-ayat-suci Republika Online, “Ikhwanul Muslimin Dominasi Parlemen Baru Mesir,” artikel diakses pada 30 Desember 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/12/01/23/ly890c-ikhwanul-muslimin-dominasi-parlemen-baruMesir Republika Online, ” Militer Mesir Minta Ulama Moderat Keluarkan Fatwa Haramkan IM,” artikel diakses pada 14 November 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/timurtengah/13/08/26/ms50ln-militer-mesir-minta-ulama-moderat-keluarkanfatwa-haramkan-im The Guardian, “Empat Alasan Presiden Mesir Digulingkan,” artikel diakses pada 14 November 2013 dari http://www.tempo.co/read/news/2013/07/04/115493383/Empat-AlasanPresiden-Mesir-Digulingkan Sumber Wawancara Wawancara Pribadi dengan Hamdan Basyar. Jakarta, 11 Juni 2015. Wawancara Pribadi dengan Zuhairi Misrawi. Ciputat, 24 April 2015.
xi
MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN 2013
Pertanyaan penelitian : 1. Mengapa militer mengkudeta Presiden Mursi? 2. Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Presiden Mursi? Daftar pertanyaan wawancara: Hamdan Basyar 1. Di MENA (Middle East and North Africa) segala perkembangan politik, kekuasaan dan gaya pemerintahan diwarnai oleh tiga faktor yaitu; kekuatan basis lokal tradisional (kabilah), doktrin agama dan tentara (militer). Bagaimana menurut anda dan sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh? Atau kah ada faktor lainnya? Jelaskan ! Manakah faktorfaktor yang paling signifikan? Sejauh mana itu berpengaruh dan apa dampaknya bagi pemerintahan di Mesir? Jawab: Saya kira segala faktor yang anda sebutkan itu masih ada. Setelah kudeta tahun 1952, militer menjadi lebih menonjol yang tadinya tentara berada di bawah kekuasaan pemerintah. Semenjak kejadian itu tampuk kekuasaan Mesir selalu dipegang oleh militer. Ada pertanyaan mengapa Mesir dikatakan sebagai negara militer padahal pemimpinnya sudah pensiun? Karena pergantian kekuasaan itu beralih dari militer ke militer. Jadi memang di Mesir kekuatan militer lah yang sekarang menonjol. 2. Dalam sejarahnya, Mesir selalu dipimpin dari kalangan militer. Apakah dengan begitu membuat model kekuasaan Mesir harus selalu diisi oleh kalangan militer? Sebagai contoh Mursi dikudeta oleh militer dari jabatannya karena Mursi bukan dari militer. Jelaskan ! Jawab: Sebenarnya tidak selalu harus dari kalangan militer. Bila kita berkaca dari negara demokrasi versi barat, pemerintahan yang penguasaannya diduduki oleh militer adalah bentuk yang tidak sehat dalam demorasi. Dalam pemerintahan militer, militer menafikan adanya perbedaan karena militer mengguakan sistem komando. Jadi bila ada yang tidak sejalan dan tidak sesuai dengan perintah maka akan dilibas. Padahal nilai nilai demokrasi itu adalah adanya perbedaan dan pluralitas sangat dihargai. Jadi bila ingin melihat peran militer dari sistem demokrasi seharusnya militer dipisahkan dari praktik politik.
3. Pada saat Mursi memenangi pemilu, adalah goresan sejarah awal bagi Mesir untuk menuju pemerintahan yang bercorak demokratis. Namun mengapa demokrasi di Mesir berumur pendek? Faktor apa saja yang menyebabkan? Mana faktor yang paling signifikan? Jawab: Pertama saya melihat adanya keterburu buruan dari Mursi sendiri, Mursi buru buru berdemokasi dan menghilangkan militer dalam politik. Padahal tidak semudah itu untuk membubarkan organsasi yang telah lama solid. Membuat militer bangkit dengan berujung pada kudeta. Kedua, Mursi merasa percaya diri karena telah dipilih oleh rakyat. sayangnya Mursi mengabaikan ada sebagian jumlah besar yang tidak memiih Mursi, terlalu percaya diri kalau semua rakyat memilih dia 100%. Dalam kata lain bisa dikatakan Mursi kurang berkompromi dengan kelompok kelompok lain dalam hal akomodasi politik. 4. Menurut anda faktor faktor apa saja kah yang menyebabkan Mursi diprotes rakyat hingga berakhir dengan kudeta? Mana yang paling signifikan? Jawab: Selama kepemimpinannya rakyat tidak merasa sejahtera karena kondisi perekonomian tidak membaik. Namun di sisi lain bisa dilihat banyak perusahaan di Mesir itu berkaitan dengan militer, nah ketika militer ditekan mereka berusaha memainkan agar rakyat tidak sejahtera. Seperti memainkan harga makanan, maka rakyat akan tidak sejahtera lalu memicu protes pemberontakan. Memicu rakyat berpikir tidak sejahtera dipimpin oleh militer. Dengan kata lain ekonomi “dimainkan” oleh militer. 5. Pasca Mubarak tumbang dan terplihnya Mursi, adalah masa-masa transisi bagi Mesir, apakah ketidaksiapan pemerintah Mesir dalam fase transisi dimanfaatkan militer untuk berpolitik? Jawab: Ya, militer dengan organisasi SCAF yang cukup mempunyai andil dalam politik. Selain itu juga Ikhwanul Muslimin yang mengakar sejak lama namun dianggap terlarang oleh negara. Namun militer lebih kuat dan diakui secara formal sebagai kelompok yang solid. Pada saat tumbangnya Mubarak, rakyat meminta demokratisasi dengan diadakannya pemilu. Segera kemudian pemilu parlemen, namun militer tidak menduga ketika keran demokrasi dibuka kelompok islam lah (IM) yang mencuat ke permukaan. 6. Bagaimana kah anda melihat kasus kudeta ini, setuju atau tidak kah anda bila dikatakan kudeta ini atas mandat rakyat? jelaskan? Jawab: Apapun bahasanya, ini tetaplah kudeta. Karena dlihat dalam sistem demokrasi kudeta itu menyalahi aturan. Dalam demokrasi pergantian kekuasaan melewati proses pemilu. Di sini militer hanya berdalih mengkudeta untuk kepentingan rakyat. padahal pada akhir cerita militer
mengambil tampuk kekuasaan dari pemerintahan yang telah dipilih. Atau dengan kata lain ingin berkuasa lagi. 7. Dapatkah anda jelaskan bagaimana militer menyamakan persepsi dengan rakyat sehingga kudeta yang dilakukan adalah untuk kebaikan rakyat? Momentum apa yang digunakan? Dan motivasi apa yang digunakan militer dalam kudeta ini? Jawab: Sebelum adanya kudeta (ancaman 48 jam) Sisi melakukan pertemuan dengan Mursi dengan menyuruhnya mundur, namun Mursi menolak karena merasa dipilih oleh rakyat. setelah itu Sisi melakukan pertemuan dengan kelompok lain (Al Azhar, Kristen Koptik, Golongan Liberal) untuk melihat persepsi mereka terhadap pemerintah. Dalam pertemuan ini Sisi melihat keuntungan kepentingan bersama tidak memihak pada Mursi (kontra). Dengan begitu Sisi melihat hitungan politik memihak pada milter bila akan melakukan kudeta. 8. Dapatkah anda jelaskan langkah langkah taktis militer dalam mengkudeta Mursi sedari awal? Jawab: Setelah kudeta pengambil alihan 48 jam. Sisi membekukan konstutisi lama agar ada alasan untuk mengganti dengan konstitusi baru yang relevan, lewat pemerintahan transisi yang dibuat militer di bawah Adly Mansour (pengangkatan presiden sementara). Mengangkat 50 orang sebagai komite pembuat konstitusi. Selanjutnya melakukan pemilu, namun berbeda seperti dahulu saat Mubarok turun. Kini militer melangsungkan pemilu presiden lebih dulu daripada pemilu parlemen. Militer tidak mau kecolongan saat pemilu parlemen yang menang bukan dari golongan militer. Karena pada saat militer telah terpilih menjadi presiden maka memiliki kuasa untuk membuat konstitusi dan mendominasi jalannya pemerintahan. Selanjutnya miiiter membumihanguskan Ikhwanul Muslimin. Kemudian baru lah militer menyiapkan pemilu parlemen agar keabsahannya semakin diakui secara tanda kutip. 9. Menurut anda apakah intervensi militer ke dalam politik dapat dianggap sebagai kemunduran ke arah tentara pretorian? Termasuk kepada tipe pretorian yang mana kah militer Mesir ini? Jawab: Jelas ini adalah kemunduran. Tapi bila melihat pada sejarahnya memang militer sudah kuat dan bercokol lama. Ditandai dengan SCAF yang ikut campur. Dilihat dari demokrasi tentu ini adalah kemunduran.
MILITER DAN POLITIK: STUDI KASUS KUDETA MILITER PADA PRESIDEN MOHAMMAD MURSI DI MESIR TAHUN 2013
Pertanyaan penelitian : 1. Mengapa militer mengkudeta Presiden Mursi? 2. Bagaimana proses militer dalam mengkudeta Presiden Mursi? Daftar pertanyaan wawancara: Zuhairi Misrawi 1. Di MENA (Middle East and North Africa) segala perkembangan politik, kekuasaan dan gaya pemerintahan diwarnai oleh tiga faktor yaitu; kekuatan basis lokal tradisional (kabilah), doktrin agama dan tentara (militer). Bagaimana menurut anda dan sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh? Atau kah ada faktor lainnya? Jelaskan ! Manakah faktorfaktor yang paling signifikan? Sejauh mana itu berpengaruh dan apa dampaknya bagi pemerintahan di Mesir? Jawab: Secara umum, itu memang menjadi pilar pilar konstelasi politik di Timur Tengah. Tetapi di setiap negara mempunyai ke khasan nya sendiri, misalnya di Mesir militer menjadi faktor penentu dalam politik karena Mesir mempunyai sejarah panjang tentang bagaimana militer berkuasa. Di samping itu militer menguasai kantong kantong ekonomi sekitar 70%, dan sebagiannya lagi dikuasai oleh Ikhwanul Muslimin. Jadi untuk kasus Mesir harus diakui bahwa militer mempunyai pengaruh yang signifikan dalam stabilitas politik. 2. Dalam sejarahnya, Mesir selalu dipimpin dari kalangan militer. Apakah dengan begitu membuat model kekuasaan Mesir harus selalu diisi oleh kalangan militer? Sebagai contoh Mursi dikudeta oleh militer dari jabatannya karena Mursi bukan dari militer. Jelaskan ! Jawab: Sebenarnya bukan hanya persoalan apakah pemimpin yang ada di Mesir ini harus dari kalangan militer atau tidak, tetapi lebih tentang siapa yang mampu menjaga stabilitas kekuasaan politik dan nasionalisme. Mesir mepunyai banyak keragaman paham agama, politik dan keragaman budaya yang terbentuk dari sejarah panjang Mesir sendiri, juga terbentuk dari banyaknya budaya negara tetangga. Pada saat dibukanya keran demokrasi di Mesir, memang masyarakat (sipil) yang mempunyai peluang terutama dari kalangan Ikhwanul Muslimin (terbukti dari kemenangannya pada pemilu). Namun sayangnya Ikhwanul Muslimin sebagai mayoritas tidak menjamin keberagaman di sana. Lalu militer selain mempunyai senjata
untuk mejaga stabilitas juga dipercaya menjadi golongan yang paling nasionalis. Jadi masyarakat percaya militer bisa menjaga nilai nilai yang plural di Mesir, namun juga tidak melulu membuat militer menjadi golongan yang dikedepankan jika ada golongan lain yang sanggup menjaga keberagaman. Bila ada golongan lain yang sanggup, maka militer akan kembali ke barak untuk menjaga pertahanan. 3. Pada saat transisi tumbangnya Mubarak, pemerintahan dipegang oleh Jendral Tantawi, apakah ini indikasi kalau militer ingin kembali mengonsolidasikan kekuasaan untuk menguasai Mesir pasca Mubarok? Jawab: Bukan, itu adalah pilihan rakyat. Rakyat lebih percaya pada militer untuk menjaga transisi kekuasaan. karena tidak ada institusi yang lebih kuat dari militer, namun juga militer mendapat penentangan keras dari rakyat bila militer masuk ke ranah politik terlalu jauh layaknya zaman Mubarok yang melahirkan otoritarianisme. Di sisi lain Ikhwanul Muslimin membuat koalisi dengan militer dengan harapan mendapat dukungan. 4. Pada saat Mursi memenangi pemilu, adalah goresan sejarah awal bagi Mesir untuk menuju pemerintahan yang bercorak demokratis. Namun mengapa demokrasi di Mesir berumur pendek? Faktor apa saja yang menyebabkan? Mana faktor yang paling signifikan? Jawab: Sebenarnya demokrasi yang terjadi di Mesir adalah pilihan terakhir, dibanding kembali ke zaman otoriter. Rakyat memilih Mursi karena mulai menyadari nilai nilai demokrasi itu penting, namun di sisi lain stabilitas juga penting. Stabilitas dan keragaman terancam di kepemiminan Mursi (Ikhwanul Muslimin), sebenarnya ini juga kemunduran demokrasi di Mesir. Pada awalnya rakyat menganggap Ikhwanul Muslimin sanggup menjaga keragaman, memulihkan eknomi, dan menciptakan stabilitas politik. Namun pada akhirnya gagal, ini yang membuat rakyat akirnya kembali berpaling kepada militer sebagai kelompok yang mampu mewujudkan keinginan rakyat. Pada intinya adalah rakyat kehilangan figur dan menganggap stabilitas itu lebih penting, ketimbang menjalani demokrasi bersama pemimpin yang tidak sanggup menjaga keragaman. Nilai demokrasi yang diterapkan di Mesir baiknya adalah demokrasi yang merangkul seluruh kalangan. 5. Menurut anda apa saja faktor-faktor dan kebijakan yang dibuat Mursi sehingga membuat Mursi terguling dan terlihat minus di mata rakyat? Mana yang paling signifikan, jelaskan ! Jawab: Beberapa faktor signifikan yang mengakibatkan Mursi digulingkan adalah monopoli kekuasaan oleh Ikhwanul Muslimin. Mursi (Ikhwanul Muslimin) memonopoli dewan konstituante yang hampir 75 % dikuasai Ikhwanul Muslimin, dilain hal juga Mursi mengganti 17 gubernur yang
diganti dari kalangan Ikhwanul Muslimin. Dari monopoli kekuasaan ini tercermin adanya Ikhwanisasi di Mesir, yang membuat Mursi kehilangan pengaruhnya. Ini juga dianggap sebagai penentangan terhadap amanat revolusi yaitu kebebasan, keadilan dan hidup mulia. Ini yang membuat rakyat berbalik memprotes Mursi. Seandainya Ikhwanul Muslimin mau referendum dan mau pemilu ulang kemungkinan akan membuat Mursi mendapatkan wibawa dan keabsahannya di mata masyarakat. Sayangnya mereka ngotot, dengan melakuan pilihan buruk tidak mau mengikuti mekanisme demokrasi. Sehingga terjadilah demonstrasi besar besaran yang di galangi gerakan Tamarood beserta oposisi, kemudian demonstrasi ini didukung oleh militer. Secara tidak langsung ini adalah kudeta militer atas mandat rakyat. Seandainya Mursi mau berkomromi tidak akan terjadi demonstrasi, Mursi (dan Ikhwanul Muslimin) menganggap pemenang dapat mengambil segalanya (the winner take all). 6. Menurut anda bagaimana pola hubungan antara pemerintahan Mursi dengan militer dan oposisi? Jelaskan ! Bisa kah anda jelaskan afiliasiafiliasi kubu politik yang ada di Mesir. Di mana posisi militer, oposisi, kelompok pendukung dan kontra Mursi. Dalam peristiwa kudeta ini. Jelaskan ! Jawab: Pola hubungan pemerintahan antara Mursi dengan militer berjalan seperti biasa, militer menjadi dewan penasehat yang menjelaskan tentang keadaaan kondisi sosial politik negara. Namun Mursi bersikap keras kepala dengan menganggap sebagai presiden yang terpilih secara sah dan kurang begitu menanggapi teriakan teriakan rakyat dan oposisi. Ini yang membuat protes meledak besar. Faktor ini juga yang membuat Mursi kehilangan wibawanya. 7. Menurut anda apakah demonstrasi yang berujung kudeta terhadap Mursi masih bagian dari keberlanjutan protes pada Mubarok yang belum usai dan bagian dari efek domino Arab Spring? Jawab: Iya, memang gelombang Arab Spring itu berawal dari Tunnisia dan menjadi semangat menjalar ke negara negara tetangga. 8. Menurut anda kapankah militer mencoba masuk ke dalam politik yang berujung pada kudeta terhadap Mursi? Jawab: Dalam hal ini, rakyat yang meminta militer untung mengambil langkah. Selain itu juga militer melihat bahwa adanya kesamaan cita cita dengan rakyat, maka waktu itu diadakan pertemuan antara militer dengan kelompok kelompok oposisi. Militer menganggap rakyat sukar menggulingkan penguasa tanpa militer, dan rakyat melihat militer menjadi partner yang tepat untuk menjalankan cita cita bersama rakyat.
Foto Dokumentasi Wawancara Zuhairi Misrawi
Foto Dokumentasi Wawancara Hamdan Basyar