PERAN MASYARAKAT KEBONBIMO DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN TENTARA PELAJAR SA/CSA PADA AGRESI MILITER BELANDA II TAHUN 1948-1949 Ari Wibowo, Emy Wuryani, Sunardi Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
ABSTRACT This research was purposed in order to reveal the role of Kebonbimo’s people in supporting SA/CSA Student Army during The Dutch Military Aggression II on 1948-1949. The research method that used is historical method in descriptive narrative text. It may concluded that since The Dutch Military Aggression II, Kebonbimo turned into the center of SA/CSA Student Army section II company I lead by Sunardi (Kebo). The offensive toward Dutch troops on July 14, 1949 in Kebonbimo were known as Pruputan War. Kebonbimo people took an important role in chasing the Dutch troops away. Beside supporting SA/CSA Student Army in physically by being Guerrilla Army Village, they also availed in espionage and fulfilling logistics. Keywords: SA/CSA Student Army, Pruputan War, Guerrilla Army Village
PENDAHULUAN Dengan proklamasi bukan berarti bahwa perjuangan bangsa Indonesia telah selesai, tetapi proklamasi itu harus mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Di samping itu juga harus berusaha untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Selama tahun 19451949, bangsa Indonesia telah berjuang dengan sekuat tenaga, baik dengan melalui secara fisik maupun secara diplomasi untuk berusaha mempertahankan kemerdekaan dari ancaman bangsa asing, terutama Belanda yang masih merasa berkuasa di Indonesia dan tidak mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara bangsa Indonesia merasa bahwa dengan proklamasi kemerdekaan telah menjadi negara yang merdeka bebas dari segala bentuk penjajahan. Dari dua persepsi yang berbeda antara Belanda dan Indonesia tersebut, maka timbullah pertentangan antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi secara hebat pada tahun 1945-1949 yang dikenal dengan periode perang
kemerdekaan Indonesia (Subaryana, 2004: 5-6). Dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II menggunakan sistim Wehrkreise yaitu sistem pertahanan dengan membagibagi daerah pertempuran dalam lingkaranlingkaran (bahasa Jerman Kreise) yang dapat mengadakan pertahanan (bahasa Jerman Wehr) secara berdiri sendiri dengan memanfaatkan untuk menggabungkan semua tenaga manusia dan materiil serta bahan-bahan yang sudah ada dalam lingkaran–lingkaran sekitarnya. Konsepsi strategi ini pada segi taktis militernya dilengkapi dengan taktik gerilya (Moehkardi, 1983:180). Dengan adanya Perintah Panglima Besar No.I tertanggal 10 November 1948 yang menjadi landasan dari berlangsungnya siasat perang gerilya semesta yang digelar dalam bentuk Wehrkreise, Wingate atau Long March (N.S.S. Tarjo, 1984:15). Menurut A.H. Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilya (2012), menjelaskan bahwa perang gerilya 45
Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar (Ari Wibowo, Emy Wuryani, Sunardi)
adalah perang yang melibatkan seluruh kekuatan masyarakat, yang lebih dikenal dengan perang rakyat semesta. Dalam perang rakyat semesta secara bersamaan melaksanakan beberapa aspek yang sangat bermanfaat dalam mendukung perang gerilya, diantaranya seperti: aspek militer, politik, sosial-ekonomi, dan psikologis (A.H.Nasution, 2012:27).
tingan masing-masing selalu menimbulkan bentrokan yang melibatkan antara pihak nasionalis dan pihak yang berkuasa (Slamet Muljana, 1968:7-9). Para eks Tentara Pelajar SA/CSA menyadari bahwa langkah yang harus ditempuh setelah dapat mengusir Belanda dari wilayah Republik Indonesia adalah harus membangun bangsa dan Negara. Dasar untuk membangun dan mencerdaskan bangsa adalah melalui pendidikan, sebagai salah satu sarana memupuk rasa kebangsaan. Melalui landasan inilah eks Tentara Pelajar SA/CSA membangun sekolah di tengahtengah masyarakat pedesaan yang pada waktu perang gerilya melawan tentara Belanda digunakan sebagai basis (Eks Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:2).
Pada masa Agresi Militer Belanda II, jumlah masyarakat di Desa Kebonbimo belum padat. Desa Kebonbimo adalah desa yang belum ramai dengan letaknya yang strategis, dekat dengan jalan raya SalatigaSolo, berada di antara jalan Simo-Boyolali Kota, terletak diantara dua sungai yaitu Kali Pepe di sebelah Utara Desa Kebonbimo yang sekaligus berbatasan langsung dengan Desa Pager (wilayah Kab. Semarang) dan Kali Tlatar di sebelah Selatan Desa Kebonbimo yang berbatasan dengan Desa Mudal. Dari faktor tempat yang strategis itulah dan adanya Umbul (sumber mata air), Desa Kebonbimo menjadi salah satu basis gerilyawan dari kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA. Meskipun suasana pedesaan masih terlihat, hal tersebut tidak mengurangi rasa nasionalisme dan patriotisme bagi masyarakat Desa Kebonbimo untuk mendukung Tentara Pelajar SA/CSA dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1948-1949.
Masyarakat, dalam bahasa Inggris disebut dengan society yang berasal dari bahasa Latin socius, yang berarti kawan. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul dan berinteraksi.Tetapi tidak semua kesatuan manusia yang bergaul dan berinteraksi merupakan masyarakat, karena masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Ikatan tersebut ialah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu dan pola tersebut sudah menjadi adat istiadat yang khas (Koentjaraningrat, 2002:144).
Nasionalisme pada masa penjajahan pada hakikatnya baru mencapai taraf ingin mempunyai negara. Nasionalisme meliputi perjuangan untuk melepaskan ikatan kesatuan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dengan tujuan untuk mencapai kemerdekaan. Kepentingan pihak terjajah yang ingin melepaskan diri dari penjajahan berlawan dengan kepentingan pihak penjajah yang berusaha untuk mempertahankan dan mengabadikan kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu dalam usaha memperjuangkan kepen-
Sebagai tanda bukti ucapan terima kasih kepada masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya yang sudah membantu pada masa gerilya dari para eks Tentara Pelajar SA/CSA yang dahulu berjuang di daerah Tlatar dan sekitarnya ditambah dengan adanya usulan serta masukan Pamong Desa dari 9 kelurahan yaitu Kebonbimo, Mudal, Pager, Kener, Udanuwuh, Kradenan, Siwal, Dlingo, dan Ngargosari, 46
Widya Sari Edisi Khusus Vol. 16, No. 3, Juni 2014: 45-52
mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Tlatar. Selain mendirikan sekolah (SMA), juga membangun monumen perjuangan masyarakat bersama Pelajar Pejuang (Tentara Pelajar SA/CSA) tepatnya di halaman depan sekolah SMA N 2 Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo dimana lebih dikenal masyarakat dengan Patung Pruputan yang diresmikan pada tanggal 19 Juli 1982 (Ex Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:3-6). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik meneliti tentang Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949.
KONDISI GEOGRAFIS DAN PEMERINTAHAN DESA KEBONBIMO Desa Kebonbimo masuk wilayah di Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pager Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngargosari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Desa Kebonbimo terletak sekitar 4 KM ke arah Utara dari pusat kota Boyolali. Desa ini beriklim tropis dan kaya akan sumber mata air yang pada masa pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1945 sumber mata air tersebut dijadikan tempat untuk mencuci Serat, karena di lokasi dekat sumber mata air itu dahulu berdiri sebuah pabrik Serat yang dibangun tahun 1918 dan mulai beroperasi dari tahun 1922 1945 (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode sejarah dalam bentuk deskriptif naratif dengan metode sejarah yang terdiri dari empat langkah yaitu heuristik, verifikasi (kritik), interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menggunakan tiga jenis sumber diantaranya: buku, bulletin/warta, brosur, dokumen,/arsip, dan informan (narasumber). Dalam hal penelitian ini, peneliti mencari sumber pustaka (buku, bulletin/warta, brosur), maupun dokumen/arsip di berbagai instansi diantaranya yakni perpustakaan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, perpustakaan SMA N 2 Boyolali dan kantor pengurus Keluarga Besar Tentara Pelajar SA/CSA daerah Surakarta dan D.I.Y. Sedangkan untuk sumber informan, peneliti mewawancarai para pelaku maupun saksi-saksi sejarah masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Untuk memperoleh data yang valid dilakukan kritik sumber yang terdiri dari kritk Intern dan kritik Ekstern. Kemudian untuk teknik analisis data menggunakan dua data yaitu data primer dan data sekunder yang berhubungan dengan tema penulisan. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial politik.
Menurut penuturan dari Minto Suwarno yang didapat dari cerita orang tuanya yang bernama Marto Rejo, mengatakan bahwa sebelum Republik Indonesia berdiri. Tanah Desa Kebonbimo dulunya merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. Melalui politik sewa tanah yang dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda membuat proyek di wilayah Desa Kebonbimo dengan mendirikan perkebunan Kopi, namun dalam perkembangannya mulai tahun 1918 perkebunan Kopi diganti dengan ditanami Serat dan dibarengi dengan membangun Pabrik Serat yang berada di Dukuh Tlatar yang dapat digunakan mulai tahun 1922. Karena secara kebetulan orang tua dari Minto Suwarno yang bernama Marto Rejo merupakan salah satu pegawai pabrik sejak awal berdiri dari perkebunan kopi sampai dengan perkebunan Serat. Selain sebagai 47
Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar (Ari Wibowo, Emy Wuryani, Sunardi)
kaki tangan orang Belanda yaitu dijadikan “Jongos” (pembantu Laki-laki), Marto Rejo juga sebagai perawat dan penebang di perkebunan (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013).
Desa Kebonbimo yang dipimpin Citro Budoyo, tanah perkebunan yang sudah ditinggalkan Belanda tersebut kemudian di bagi-bagikan kepada masyarakat Desa Kebonbimo. Tanah bekas perkebunan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dikenal dengan nama tanah D.C. Masyarakat Desa Kebonbimo rata-rata mendapat jatah tanah D.C. seluas 1000 M2 - 2000 M2. Pembagian tanah diatur secara merata disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap masyarakat. Setelah adanya pembagian tanah DC, masyarakat Desa Kebonbimo pada tahun 1948 bermata pencaharian sebagai petani penggarap lahan sendiri (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Menurut Haryono, yang disebut dengan tanah Drooge Culture (DC) yaitu tanah tanaman kering peninggalan milik Belanda. Adapun luas dari wilayah Desa Kebonbimo kurang lebih 239 Ha (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014).
Dukuh Tlatar memiliki jumlah penduduk paling banyak di bandingkan dengan dukuh yang lain yang masuk dalam wilayah Desa Kebonbimo. Hal ini dikarenakan Dukuh Tlatar berfungsi sebagai pusat pemerintahan Desa Kebonbimo dan terdapat pabrik Serat yang pada waktu masih aktif berproduksi memiliki tenaga kerja yang cukup banyak sehingga mempengaruhi peningkatan jumlah warga (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). Pada masa Agresi Militer Belanda II, pemerintahan Desa Kebonbimo dipimpin oleh Citro Budoyo sebagai Kepala Desa pertama yang menjabat sampai tahun 1974 dan Mangun Suyoto sebagai Sekretaris Desa atau Carik (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Kantor Balai Desa Kebonbimo bertempat di rumah Citro Budoyo dikarenakan pada waktu itu belum mempunyai kantor Balai Desa sehingga harus menumpang di rumah Kepala Desa. Padukuhan Desa Kebonbimo dipimpin oleh 2 Kepala Dusun (Bayan). Kepala Dusun wilayah Barat dipimpin oleh Bandi yang meliputi: Baturan, Kebonbimo, Karang Tengah, Titang, Dukuh, dan Ngablak. Sedangkan di wilayah Timur dipimpin Suroso meliputi: Wates, Gombol, Tlatar, dan Gatak (Wawancara Henri Sugiman, 28 Januari 2014).
AGRESI MILITER BELANDA II DI BOYOLALI Desa Kebonbimo merupakan markas Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II/Kompi I yang dipimpin oleh Sunardi (Kebo). Anggotanya tersebar di wilayah Desa Kebonbimo dan Ngargosari. Sedangkan Seksi I yang dipimpin oleh Soeyono para anggotanya tersebar di Desa Metuk, Dlingo dan Mudal. Kompi I SA/CSA yang dipimpin oleh Muktio bermarkas di Timur Desa Pager tepatnya di Dukuh Kentengsari, Desa Kener yang masuk wilayah dari Kabupaten Semarang (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:5). Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SA/CSA dari Kompi I yang meliputi Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, Seksi II di Desa Kebonbimo maupun pasukan Staf Kompi yang bermarkas di Dukuh Kentengsari Desa Kener (Timur Desa Pager) yang masuk dalam wilayah kabupaten Sema-
Setelah berakhirnya kekuasaan pemerintah militer Jepang pada tahun 1945, tanah perkebunan serat di wilayah Desa Kebonbimo antara tahun 1945-1948 terbengkalai. Dengan adanya siasat bumihangus menjelang Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, secara otomatis tanah perkebunan menjadi tanpa pemilik. Atas kebijakan dari pemerintah 48
Widya Sari Edisi Khusus Vol. 16, No. 3, Juni 2014: 45-52
rang. Dengan seringnya Dukuh Tlatar digunakan sebagai tempat berkumpul, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa Tlatar sebagai markas resmi dari Pasukan SA/CSA Kompi I pimpinan Muktio. Karena sebetulnya hanya dari Seksi II yang bemarkas di Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17).
Belanda dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang dibantu oleh masyarakat Tlatar dan sekitarnya. Peristiwa ini dikalangan masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya dinamakan dengan “Perang Pruputan” (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17). PERAN MASYARAKAT KEBONBIMO DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN TENTARA PELAJAR SA/CSA Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo dibentuk Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa). Karena Desa Kebonbimo termasuk daerah yang maju dan aktif dibandingkan desa-desa disekitarnya dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II, sehingga pemerintah Desa Kebonbimo membentuk pasukan gerilya desa (Pager Desa). Pager Desa bertugas sebagai keamanan desa atau memperluas dan memperdalam pertahanan keamanan ditingkat desa, kegiatan utama mengkoordinasi kegiatan sistem keamanan lingkungan (siskampling) di seluruh wilayah Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014).
Desa Kebonbimo menjadi incaran Tentara Belanda karena mengira bahwa markas Kompi I dari Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh Tlatar. Karena Desa Kebonbimo terletak paling belakang dibandingkan desa-desa yang ditempati selain dari Seksi II, yang lainnya terletak dekat dengan kota Boyolali. Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo sering didatangi temanteman dari Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, maupun pasukan eks Pesindo untuk mandi atau berenang karena ada mata air yang jernih dan melimpah. Selama masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo diserang Belanda sebanyak 3 kali. Pada serangan yang pertama pasukan Belanda menghujani mortir dari luar Desa Kebonbimo. Serangan yang kedua Tentara Belanda berhasil dipukul mundur karena Tentara Pelajar SA/CSA sudah mengetahui dan bersiap ketika pasukan Belanda sudah sampai di pinggir Desa Kebonbimo. Serangan ketiga terjadi pada dini hari kurang lebih pukul 04.00 WIB (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:71-72). Untuk serangan yang ketiga kalinya, Tentara Belanda sudah masuk Desa Kebonbimo dan membangunkan Tentara Pelajar SA/CSA yang dikenal dengan “TNI Bangun”. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 14 Juli 1949 dini hari, pasukan Belanda menyerang dari Boyolali melewati Dukuh Karang Tengah, Kebonbimo, dan Gatak yang datang dari arah Desa Kiringan. Setelah terjadi kejar-kejaran dari arah Barat Desa Kebonbimo setelah sampai di lapangan Dukuh Tlatar terjadi insiden tembak menembak antara pasukan
Pemerintah Desa Kebonbimo membuat badan pertahanan desa yang berfungsi selain untuk keamanan di dalam desa dan umumnya diperbantukan untuk tenaga cadangan pasukan tentara untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia. Sistem perekrutan untuk menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo ialah dengan cara memanfaatkan para pemuda disetiap dukuh di wilayah Desa Kebonbimo. Rata-rata setiap dukuh ada 2 orang pemuda yang ditunjuk menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo, yang sebelumnya sudah diseleksi oleh petugas dari pemerintah Desa Kebonbimo. Namun, jika dalam satu dukuh terdapat banyak pemuda maka tidak menutup kemungkinan lebih dari 2 orang yang ditunjuk sebagai perwakilan. Bayan Suroso ditugaskan 49
Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar (Ari Wibowo, Emy Wuryani, Sunardi)
pemerintah Desa Kebonbimo untuk menunjuk pemuda-pemuda di setiap dukuh yang memenuhi persyaratan menjadi anggota Pager Desa seperti yang diutamakan mempunyai pengalaman dalam ilmu kemiliteran dan belum menikah contohnya: dapat baris berbaris, mampu dalam menggunakan senjata, dan mampu bekerja sama secara kelompok. Pager Desa Kebonbimo mempunyai anggota kurang lebih 30 orang (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Setelah terbentuk dan disahkan oleh pemerintah militer tingkat Kecamatan dengan disaksikan oleh Kepala Desa, anggota Pager Desa Kebonbimo diberi pembekalan di Balai Desa tentang fungsi maupun tugas yang akan dilakukan beserta jadwal gerilya yang sudah dibagi dalam bentuk kelompok. Pada masa Agresi Militer Belanda II selain sudah dibentuk Pager Desa, di Desa Kebonbimo juga terdapat kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA, dan ada kesatuan yang lainnya seperti: Pasukan eks Pesindo, dan ada juga dari Kepolisian (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014).
ang gerilya. Semua itu diberikan dengan secara tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dengan dibuktikannya para Tentara Pelajar SA/CSA sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, rumah dibukakan untuk berlindung dari ancaman Tentara Belanda dan makanan yang sudah paspasan disisihkan untuk Tentara Pelajar SA/CSA tanpa menghitung apa dan berapa yang sudah diberikan dengan tulus ikhlas (Panitia Peresmian Gedung SMA TlatarBoyolali, 1982:7). Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi salah satu daerah yang dijadikan markas Tentara Pelajar SA/CSA. Untuk makan dan tempat tinggal dibantu oleh masyarakat Desa Kebonbimo. Masyarakat bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan bagi Tentara Pelajar SA/CSA terutama dalam hal makan dan tempat tinggal. Dari pemerintah Desa Kebonbimo, selain Kepala Desa dan Perangkat Desa juga sudah menunjuk dan membagi kepada warga masyarakat yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA. Di Desa Kebonbimo hanya 3 Dukuh yakni: Tlatar, Gatak, dan Kebonbimo yang terlihat secara kebetulan masyarakatnya dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA sehingga tidak membebankan kepada rakyat yang tidak mampu. Ada 5 keluarga di setiap dukuh yang ditunjuk Kepala Desa Kebonbimo yaitu Citro Budoyo, diutamakan yang berketempatan untuk bertanggung jawab memberi makan dan menyediakan tempat tinggal. Kepala Desa bertanggung jawab untuk 10 Tentara Pelajar SA/CSA, Perangkat Desa bertanggung jawab untuk 5 Tentara Pelajar SA/CSA, sedangkan untuk masyarakat biasa maupun Modin (tokoh agama) bertanggung jawab untuk 2 sampai 3 orang Tentara Pelajar SA/CSA (Wawancara dengan Henri Sugiman 5 Oktober 2013).
Selama masa Agresi militer Belanda II pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Desa Kebonbimo beserta Pager Desa yang dibentuk oleh pemerintah Desa Kebonbimo sering mengadakan penghadangan iring-iringan pasukan Belanda yang datang dari di jalan raya arah Salatiga-Solo atau sebaliknya di Jembatan darurat Kenteng. Usaha yang dilakukan yaitu melakukan pembongkaran jembatan yang bagian-bagiannya masih terbuat dari kayu menggunakan peralatan seadanya (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Dalam sambutan dari sesepuh (orang yang dituakan) Eks Tentara Pelajar SA/CSA pada peresmian gedung SMA Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar mengatakan bahwa betapa besar bantuan serta dukungan masyarakat Tlatar dan sekitarnya kepada Tentara Pelajar SA/CSA para peju50
Widya Sari Edisi Khusus Vol. 16, No. 3, Juni 2014: 45-52
Perang gerilya Tentara Pelajar SA/CSA berhasil karena dukungan penuh dari rakyat yang berjuang tanpa pamrih, tanpa imbalan uang, malah seringkali mengalami resiko balas dendam dari Tentara Belanda berupa penyiksaan, pembakaran rumah-rumah desa serta perampasan harta benda mereka. Dalam bidang komunikasi peranan masyarakat Desa Kebonbimo sangatlah penting, salah satunya ialah menjadi mata-mata untuk para Tentara Pelajar SA/CSA. masyarakat mengenal dengan sebutan “Cenguk” (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Pada masa Agresi Militer Belanda II, Untuk menjaga kesehatan masyarakat Desa Kebonbimo seringkali membuat ramuan sendiri untuk mengobati penyakitnya dengan cara tradisional. Mereka menggunakan daun-daunan yang mereka temukan di alam sekitar, meskipun pengetahuan mengenai obat-obatan sangat terbatas, hanya sebatas pertolongan pertama. Penyakit yang sering menyerang para Tentara Pelajar SA/CSA adalah gatal dan banyak kutu-kutu, untuk mengobati gatal-gatal seperti kudis menggunakan Belerang (“Lirang” dalam Bahasa Jawa), dengan cara Belerang ditumbuk lalu dicampurkan dengan air dibuat untuk mandi karena pada masa itu para Tentara Pelajar SA/CSA pakaiannya terbatas (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014).
Kepolisian. Masyarakat Desa Kebonbimo dengan Tentara Pelajar SA/CSA dan kesatuan lainnya, saling bekerja sama dalam menghadapi penjajah (tentara Belanda). Salah satunya yaitu masyarakat dengan Tentara Pelajar SA/CSA mengadakan aksi penghadangan di Jembatan darurat Kenteng dengan cara membongkar jembatan yang masih terbuat dari kayu dengan menggunakan peralatan seadanya. Desa Kebonbimo mendapat serangan secara besar-besaran dari pasukan Belanda sebanyak 3 kali dan untuk peristiwa serangan yang ketiga kalinya pada tanggal 14 Juli 1949, kurang lebih sekitar pukul 04.00 WIB yang dipusatkan di lapangan Dukuh Tlatar. Di kalangan masyarakat peristiwa ini dikenal dengan “Perang Pruputan”. Selama masa Agresi Militer Belanda II peran masyarakat Desa Kebonbimo dalam mendukung perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada tahun 19481949 diantaranya ikut serta menjadi anggota pasukan gerilya Desa Kebonbimo (Pager Desa Kebonbimo), sebagai penyedia jasa-jasa pendukung peperangan seperti memenuhi kebutuhan logistik, tempat tinggal, obat-obatan dan sebagai matamata. DAFTAR PUSTAKA
Ex. Tentara Pelajar SA/CSA, “SMA Negeri 2 Tlatar Boyolali Gagasan Dan Pelaksanaan Pembangunannya”, Jakarta, 1994
KESIMPULAN Selama masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali mempunyai peran penting dalam keterlibatan mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah Belanda. Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi markas dari pasukan Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II/Kompi I yang di pimpin oleh Sunardi (Kebo) dan juga terdapat kesatuan dari eks Pesindo dan
Sejarah Perjuangan Batalion 55 Kompi I-IV Keluarga Besar Eks Tentara Pelajar Pejuang Kemerdekaan SA/CSA.
Keluarga
Besar
SA/CSA.
T.T.
Jakarta: Tango Alfa Siera 2002. Pengantar Antropologi. Jakarta: P.D Aksara
Koentjaraningrat.
1983.Tentara Genie Pelajar 1945-1950. Surabaya: Yayasan Ex Batalyon TGP Brigade XVII
Moehkardi.
51
Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar (Ari Wibowo, Emy Wuryani, Sunardi)
Nasution, A.H.. 2012. Pokok-Pokok Gerilya
Dan Pertahanan Republik Indonesia Di Masa Yang Lalu Dan Yang Akan Datang. Yogyakarta: Narasi Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, “Mengenang Sejarah Perjuangan Eks Tentara Pelajar SA/CSA”, Boyolali, 1982 Slamet
Muljana. 1968. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Subaryana. 2004. Konperensi Meja Bundar
Sebagai Titik Akhir Perang Kemerdekaan Indonesia. Salatiga: Widya Sari Press Tarjo, N.S.S. 1984. Dari Atas Tandu Pak
Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta (Gerilya). Jakarta: Yayasan Wiratama 45 Yogyakarta Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014 Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013 dan 28 Januari 2014 Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014 dan 18 Maret 2014 Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013 Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014 dan 18 Maret 2014
52