BAB IV PERAN LASKAR PUTRI INDONESIA DALAM REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA
A. Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta 1948-1949 Perjanjian Renville menyebabkan posisi Republik Indonesia (RI) sangat tidak menguntungkan, baik dari segi militer maupun ekonomi.1 Perjanjian Renville mengakibatkan sebagian wilayah Indonesia jatuh ke tangan Belanda dan tinggal 1/3, yaitu seluas tujuh karesidan di Jawa. Wilayah-wilayah seperti Pasundan, Madura dan ujung timur Jawa Timur berhasil dikuasai Belanda.2 Wilayah tersebut yang nantinya digunakan sebagai Negara-negara bagian untuk melancarkan strategi politik, mengepung dan mempersempit Republik Indonesia3, sehingga posisi militer, politik, dan ekonomi Belanda akan menjadi lebih kuat, dan sebaliknya untuk Indonesia. Pihak Republik Indonesia berharap dengan adanya perjanjian Renville maka penyelesaian politik antara Indonesia-Belanda akan tercapai. Harapan tersebut akhirnya pupus, karena penyelesaian yang dinantikan tidak kunjung datang. Sebaliknya Indonesia disambut dengan serangan mendadak dari Belanda yang posisinya lebih kuat dari pada sebelum Persetujuan 1
A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan: Perang Gerilya Semesta I, Jilid 6. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat, 1978, hlm. 480481. 2
Lihat lampiran 2
3
Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No.1). Jakarta: Gramedia, 2006, hlm. 145.
90
91
Renville. Bagi pihak Belanda, Renville merupakan suatu strategi politik dan militernya untuk mengepung, mempersempit wilayah Indonesia, dan mengulur waktu untuk mempersiapkan basis-basis penyerbuan. Tanggal 18 Desember 1948 pukul 21.00 Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi KTN Merle Cochran bahwa Belanda secara sepihak telah memutuskan perundingan diplomatik. Upaya pengiriman kabar itu melalui telegram ke Yogyakarta tidak berhasil, karena semua hubungan telah diputus oleh Belanda.4 Pada hari Minggu pagi, pasukan-pasukan Belanda di Jawa Timur dan Sumatra melewati garis status quo untuk melakukan aksi militernya. Dr. Beel selaku wakil tertinggi Belanda di Indonesia, menyiarkan maksud aksi militer tersebut melalui siaran radio. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Belanda ingin membentuk Negara Indonesia Serikat yang merdeka, bebas dan berdaulat. Selain itu pihak RI dinilai telah melanggar gencatan senjata , sehingga tidak ada jalan lain satu-satunya yang dapat dilakukan Belanda untuk menciptakan suasana nyaman dan damai di Indonesia yaitu dengan melakukan serangan bersenjata.5 Serangan udara secara mendadak di bawah pimpinan Jenderal Spoor, dilancarkan Belanda keesokan harinya. Serangan udara yang membabi buta membuat rakyat panik dan berlarian menyelamatkan diri. Penyerbuan tersebut
4 5
Himawan Soetanto, op.cit., hlm. 278.
Ide Anak Agung Gde agung, Renville. Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 194.
92
dilakukan untuk merebut Pangkalan Udara Magoewo.6 Serangan yang menyebabkan kepanikan penduduk sipil bukannya dilakukan tanpa alasan. Hal tersebut dilakukan untuk memancing kepanikan warga sipil sehingga dapat
mengacaukan
mobilitas
dan
efektifitas
pasukan
RI
dalam
mempertahankan daerah. Pemerintah RI sebenarnya sudah membaca bahwa sewaktu-waktu serangan Belanda terhadap RI akan dilancarkan. Maka untuk mengantisipasi agresi kedua dari Belanda, RI telah mempersiapkan diri dalam bidang politik dalam negeri, luar negeri, dan militer. Bidang dalam negeri yaitu diadakannya rasionalisasi dan rekonstruksi dalam segala bidang, tujuannya untuk lebih mengoptimalkan kekuatan, melihat daerah RI yang menjadi lebih sempit. Bidang luar negeri yaitu diusahakan hubungan diplomasi dengan Negaranegara Arab dan mengirimkan misi ke Negara-negara sosialis untuk mendapatkan pengakuan luar negeri. Sedangkan dalam pihak militer RI telah mempunyai konsep “Perang Rakyat Semesta”, mengadakan aksi bumi hangus yang luas, dan nonkooperasi di kota-kota yang diduduki musuh.7 Rencana tersebut jauh berbeda pada saat menghadapi agresi militer yang pertama.
6
Magoewo adalah nama landasan udara, sekitar delapan kilometer di timur Yogyakarta (sekarang Bandara Adi Sucipto). Belanda bertekad merebut Magoewo, karena selama ini Magoewo digunakan Republik untuk menembus blokade Belanda. Lihat juga Sutopo Jasamiharja, dkk, 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Jakarta: Yayasan 19 Desember, 1998. 7
A. H. Nasution, Sedjarah Perdjuangan Nasional Dibidang Bersendjata. Jakarta: Mega Bookstore, 1966, hlm. 119.
93
Strategi perlawanan telah disusun untuk melumpuhkan tentara Belanda dengan perang gerilya yang menyertakan kekuatan rakyat secara total, dirumuskan dalam “Perintah Siasat” No.1/Stop/1948 yang ditanda tangani oleh Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) Letnan
Jenderal
Sudirman.8
“Perintah
Siasat”
No.1/Stop/1948
itu
selengkapnya berbunyi:9 a. Tidak melalukan pertahanan yang linear, b. Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh serta pengungsian total (semua pegawai dsb), serta bumi hangus total, c. Tugas membentuk kantong-kantong di tiap onder distrik militer yang mempunyai pemerintahan gerilya (disebut Wehrkreise) yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan, d. Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari “daerah federal” untuk ber”wingate”10 (menyusup kembali ke daerah asalnya) dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya yang besar. 8
R. Maladi, “Perang Rakyat Semesta 1948-1949”. Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan Pembangunan Bangsa, di Museum Benteng Yogyakarta, 16 November 1994, hlm. 2. 9
Daud Sinjal, Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.102-103. 10
Istilah Wingate di ambil dari buku karangan Brigadir Orde Wingate dari Inggris yang merupakan operasi infiltrasi (penyusupan) jarak jauh menyusup ke daaerah yang telah diduduki musuh untuk melakukan perlawanan gerilya. Lihat juga Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, Hijrah Siliwangi. Jakarta:Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, 2008, hlm.118. Dan Daud Sinjal, op.cit., hlm.104.
94
Instruksi Panglima Besar Soedirman itu sudah dikeluarkan sejak 9 November 1948. Dikeluarkannya perintah operasi oleh para Panglima Divisi kepada kesatuan-kesatuan di bawahnya, para komandan lapangan sudah siap melaksanakannya. Ketika agresi kedua tersebut terjadi pada 19 Desember 1948 dini hari mereka sudah mengerti apa yang harus diperbuat. Serbuan
pasukan
Belanda
ke
Yogyakarta
memang
sudah
direncanakan dengan matang dan menerapkan beberapa strategi perang yang digunakan pada Perang Dunia II. Strategi serangan secara mendadak yang dirancang oleh Jenderal Spoor sebenarnya mengadopsi strategi perang dari Jepang yang digunakan pada saat menyerang Pangkalan Laut Amerika Serikat di Pearl Habour, Hawaii. Penggunaan kendaraan perang seperti Jeep, pesawat tempur, fasilitas artileri11 dibawa dengan pesawat transport C 47 Dakota. Serangan pesawat tempur yang membuat kepanikan penduduk meniru dari serangan Nazi semasa menyerbu Negeri Belanda tahun 1940.12 Operasi militer yang dijalankan Jendereal Spoor ini dinamakan Operasi Kraai.13
11
Artileri adalah pasukan tentara yang bersenjata berat. Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. 12
Julius Pour, Doorstoot Naar Djokja; Pertikaian Pemimpin SipilMiliter. Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 4-5. 13
Operasi Kraai merupakan operasi gaya modern perang dunia kedua dimana penyerangan digelar secara serentak dimulai dengan serangan bombardermen, penerjunan pasukan komando lalu pasukan infantri didukung dengan kavaleri. Lihat, Sutopo Jasamiharja, dkk, op.cit., hlm. 115.
95
Belanda dalam penyerbuannya ke Jawa Tengah ini, telah mempersiapkan kekuatan yang besar, dengan bantuan 3 brigade KNIL masing-masing dipimpin oleh Kolonel Van Langen, Breemouwer dan De Vriers. Didukung dengan Korps Istimewa Baret Hijau dan satu pasukan angkatan udara semakin mendukung kekuatan pasukan yang dipimpin Jenderal Spoor tersebut. Tujuan utama Agresi Belanda ini adalah untuk menghancurkan TNI, melenyapkan Pemerintahan Republik Indonesia, dan membujuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX agar memihak Belanda. Perlawanan awal yang dilakukan pasukan RI diakui kurang terorganisir, namun perlawanannya cukup gigih dan pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi mampu menghambat gerakan lawan. Sejak pukul 05.30 tanggal 19 desember 1948 Belanda memulai usahanya untuk menduduki wilayah Ibukota Republik Indonesia. Selain tembakan dari udara Belanda juga mendatangkan dua kompi pasukan baret merah KST (Korps Speciale Troepen) yang bertugas merebut Magoewo, kemudian mereka menerjunkan pasukan payung berbaret hijau KST sesudah landasan Magoewo berhasil di lumpuhkan oleh baret merah. 14 Setelah Maguwo berhasil dikuasai, rombongan demi rombongan pesawat Dakota Belanda terbang mondar-mandir antara Kalibanteng dan Maguwo untuk mengangkut satu Brigade Pasukan Pelopor mereka.15 Serangan yang
14
Sutopo Jasamiharja, dkk, 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Jakarta: Yayasan 19 Desember, 1998, hlm. 115. 15
Moehkardi, Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 19451949. Jakarta: P.T. Inaltu, 1977, hlm. 149.
96
dilakukan Jenderal Spoor diluar dugaan masyarakat Yogyakarta, sehingga pendaratan pasukan Belanda berjalan dengan mudah karena tidak ada balasan yang berarti dari pasukan Republik. Serangan pasukan militer gabungan darat, laut, dan udara Belanda ke Yogyakarta dan Daerah Republik saat itu, bertumpu pada unsur pendadakan strategis. Kekuatan antara tentara RI dengan Belanda tidak berimbang, kekuatan untuk menangkis serangan musuh dari udara terhadap Maguwo dan ibukota tidak cukup kuat. 16 Persenjataan RI terbatas, tidak memiliki sepucuk pun meriam penangkis udara, artileri dan panser tidak ada, hanya tersedia ranjau dalam jumlah terbatas serta beberapa mitralyur 12,7 dan 20 mm yang tersebar dikesatuan-kesatuan.17 Pihak Belanda telah mengetahui bahwa RI tidak berdaya atas serangan dari udara, maka dari itu kekuatan udara musuh dibuat menjadi suatu kekuatan yang berdiri sendiri. Pihak Belanda telah melancarkan serangan dari udara dengan mengerahkan pasukan istimewa yang dipersiapkan jauh-jauh hari. Pasukan lengkap dengan persenjataan materiil termasuk jeep-jeep dan senjata infantri18 berat telah disiapkan di Semarang, khususnya di Lapangan
16
A. H. Nasution, 1996, op.cit., hlm. 200.
17
G. P. H. Djatikusumo, “TNI Lahir oleh Semangat ‘Cinta Bangsa’”, dalam Majalah Teknologi & Strategi Militer. Nomor 4 Tahun I/1987, hlm. 112. 18
Senjata yang digunakan oleh angkatan bersenjata yang termasuk dalam kesatuan pasukan berjalan kaki. Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hlm. 431.
97
Kalibanteng yang luput dari pengamatan intelejen Republik.19 Sekitar pukul 05.30, pesawat-pesawat pemburu Mustang dan Kittyhawk sudah menyambarnyambar di atas kota Yogyakarta. Pesawat-pesawat yang menuju kota mulai menembaki dan menjatuhkan granat-granat di berbagai tempat. Di sebelah timur diatas Maguwo pun mulai terdengar baku tembak yang lebih hebat dari pada di kota. Bombardement serta mitrailement dilakukan secara kejam oleh musuh.20 Penduduk Kota Yogyakarta tidak menyangka bahwa ledakan dan tembakan-tembakan tersebut datang dari pasukan Belanda. Mereka mengira tembakan-tembakan tersebut adalah latihan perang-perangan dari pasukan RI, sebagaimana yang telah disiarkan oleh pihak APRI sebelum tanggal 19 Desember 1948.21 Praktis aksi militer Belanda ini dalam waktu singkat mampu membuat kekacauan di Yogyakarta. Rakyat panik dan berlarian menyelamatkan diri, para pengungsi yang berasal dari Jawa Barat, Banyumas, Pekalongan, Surabaya, dll, bingung harus pergi kemana lagi. Tentara, polisi, dan alat-alat Negara kelihatan sibuk menjalankan tugasnya, sedangkan Divisi Siliwangi bersiap-siap meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke Jawa Barat. 22
19
A. H. Nasution,1996, op.cit., hlm. 203.
20
Gerilya Wehrkreise III. Yogyakarta: Percetakan Keluarga, Tanpa Tahun, hlm. 9. 21
Ki Nayono, Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta: Perwakilan, 1979, hlm.131. 22
Buku Gerilya Wehrkreise III, hlm. 10.
98
Pada waktu itu kekuatan pasukan yang berada di dalam kota sangat terbatas. Kesatuan Brigade 10/Divisi III yang bertugas di Yogyakarta hanya tertinggal kekuatan 2 (dua) Seksi yaitu Sie. Dekking-Staf Brigade dan Sie. Dekking-Batalion IV Brigade 10/Div.III, sedangkan yang lainnya sedang bertugas di luar kota. Polisi Negara dan C. P. M yang berada di dalam kota kira-kira sekitar 3 (tiga) kompi. Pada pukul 07.15 kekuatan dua seksi dari Brig 10/Div III diperintahkan untuk menghambat gerakan Belanda dari Maguwo. Baru sekitar pukul 09.00 pasukan ditambah dari Militer Akademi dengan kekuatan 2 peleton.23 Tugas mereka hanya menghambat gerakan pasukan Belanda yang menuju kota, supaya memberi kesempatan yang sebanyak-banyaknya bagi pasukan untuk secepatnya keluar dari kota, sebab serangan Belanda datang dari berbagai arah.24 Dilihat dari segi militer Belanda, aksi itu seolah-olah mencapai hasil gemilang, karena pada hari pertama semua obyek militer (Republik) berhasil diduduki. Pasukan payung (pasukan gerak cepat) Belanda di bawah komando Kolonel Van Lagen mendarat di bawah komando Letnan Kolonel Van Beek berhasil mencapai Istana Kepresidenan pada pukul 14.00. Hampir seluruh anggota kabinet, yang hadir dalam sidang khusus di Istana Kepresidenan berhasil ditawan tanpa perlawanan yang berarti, sebab Presiden sudah menghimbau penjaga istana untuk tidak terjadi baku tembak dengan pasukan Belanda, mengingat jumlah penjaga-penjaga di istana terlalu sedikit 23
Ibid.
24
Lihat lampiran 3
99
dibanding kekuatan besar dari belanda.25 Tepat sebelum pasukan Belanda menguasai istana, pimpinan TNI dan perwira tinggi lainnya berhasil meloloskan diri melalui pintu belakang untuk melanjutkan perjuangan dengan bergabung bersama tentara Republik di front. Kira-kira pada pukul 16.00 hari itu juga Belanda baru dapat menduduki kota seluruhnya, suara tembakan terus terdengar di dalam kota membuktikan bahwa perlawanan sekalipun kecil masih tetap ada. Pasukanpasukan RI sudah banyak yang keluar kota, pada umumnya semua pasukan hanya berpangkalan di tepi kota dan tidak jauh dari kota. 26 Pasukan Belanda pada Agresi Militer Belanda II menggunakan taktik Benteng Stelsel, yaitu sistem pertahanan dimana pasukan akan menduduki tempat-tempat yang telah dikuasainya.27 Taktik Belanda tersebut memberikan keuntungan kepada Pasukan RI, karena dengan begitu pasukan Belanda terpecah-pecah dan tersebar ke berbagai daerah, sehingga menjadikan kekuatan mereka kecil. Menghadapi Belanda untuk kedua kalinya harus dengan siasat dan perencanaan serangan yang jitu serta belajar dari pengalaman agresi pertama. Maka dari itu satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam menghadapi
25
Ide Anak Agung Gde Agung, ibid., hlm. 195.
26
Buku Gerilya Wehrkreise III, hlm. 11.
27
Anwar Sanusi, dkk. Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta Jilid I. Yogyakarta: Dinas Sosial Propinsi DIY Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa, 1983, hlm. 183.
100
Belanda adalah Perang Gerilya.28 Dalil taktik gerilya yang umum pada intinya berpedoman sebagai berikut:29 1. Dimana musuh kuat, kita mundur/menyingkir dengan menghemat tenaga tempur. 2. Dimana musuh lelah, kita imbangi. 3. Dimana musuh lengah, kita serang. 4. Dimana musuh lemah, kita binasakan. Taktik perang gerilya demikian tidak mungkin akan berhasil tanpa simpati dan dukungan dari rakyat, baik di desa maupun terlebih di kota-kota. Hakekat dari perang gerilya adalah Perang Rakyat, karena dalam perang ini bukan saja tentara yang berperang, tetapi rakyat juga ikut terlibat dan memikul tanggung jawab nasional untuk mencapai kemenangan. Perang gerilya bukan hanya menyangkut aspek militer, melainkan menyangkut semua aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.30 Partisipasi rakyat dalam perang gerilya sangat besar, tanpa dukungan dari rakyat perang gerilya tidak akan pernah berhasil. Aksi Militer Belanda II terhadap Indonesia menggemparkan dunia. Reaksi atas tindakan Belanda tersebut muncul di mana-mana, baik dari lingkungan Negara-negara boneka ciptaan Belanda sendiri maupun Negaranegara lain yang bersimpati terhadap Indonesia. Negara-negara tersebut 28
Moehkardi, Ibid., hlm. 153.
29
Ibid., hlm. 170.
30
Ibid., hlm. 165.
101
antara lain Negara-negara Arab, dan Negara-negara di Asia Selatang maupun Tenggara. Perdana Menteri India berinisiatif untuk membentuk konferensi di New Delhi, anggotanya adalah Negara-negara Arab, Negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, konferensi tersebut dilaksanakan untuk merundingkan masalah Indonesia.31 Negara-negara Arab dan Asia selain mengadakan konferensi di New dehli, juga melakukan pemboikotan terhadap jalur lalu lintas Belanda. Pemerintah Birma, Sri Langka, India, Pakistan, dan Arab Saudi memutuskan bahwa, Pemerintah belanda di kemudian hari tidak boleh mempergunakan rute-rute darat, laut, dan udara melalui wilayah-wilayah mereka. Serikatserikat buruh Amerika Serikat juga mengancam akan memboikot kapal-kapal dan pesawat-pesawat Belanda di pelabuhan serta badar udara di Amerika Serikat. Bahkan Australia juga mendesak PBB untuk memberikan sanksi atas aksi Belanda.32 Sedemikian besar perhatian luar negeri kepada Indonesia dan sebaliknya mereka mengecam Negera Belanda supaya menarik pasukannya dari wilayah RI, serta mengembalikan daerah-daerah Indonesia sebagaimana keadaannya sebelum 19 Desember 1948.33 Protes dan pemboikotan terhadap Belanda dari Negara-negara luar merupakan pukulan besar bagi Pemerintah Belanda, karena hubungan bandar udara dan perusahaan penerbangan 31
Ide Anak Agung Gde Agung, ibid., hlm. 199.
32
Ibid., hlm. 200.
33
Arsip ANRI, Kementerian Penerangan, No. 86
102
Belanda menuju Jakarta di persulit, sehingga harus mendapatkan rute perjalanan lain. Ketika aksi militer Belanda ke Yogyakarta ini berlangsung, LPI dalam posisi yang sudah dibubarkan atas dasar Penetapan Presiden No.9, 27 Februari 1948. LPI secara resmi dibubarkan pada 27 Oktober 1948, meskipun LPI sudah dibubarkan namun sebagian anggotanya masih bertugas di frontfront Salatiga, Ampel, Tengaran, dll. Meskipun organisasinya telah dibubarkan namun semangat anggota LPI masih tinggi untuk ikut memerdekakan Indonesia dari Belanda. Selang beberapa bulan setelah pembubaran, ternyata Belanda menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Menghadapi tantangan ini, maka Srini dan beberapa anggota lainnya memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta, hendak turut gerilya ke daerahdaerah.34
34
Djumarwan, Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah, 2010, hlm. 71-72.
103
B. Aktivitas Laskar Putri Indonesia dalam Revolusi Fisik di Yogyakarta (1948-1949) Menghadapi aksi militer Belanda yang kedua, Pemerintah RI melakukan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) yang berdasar pada Penetapan Presiden N0.9 pada 27 Februari 1948, Penetapan Presiden No.14 pada 2 Mei 1948, dan Undang-undang No.3 pada 5 Maret 1948.35 Pemerintah menghendaki adanya RERA dalam segala bidang, termasuk dalam angkatan bersenjata RI.36 Perintah ini dilaksanakan atas perhitungan bahwa RI merupakan Negara miskin dan daerahnya telah dipersempit, maka segala penggunaan kekuatan dan sumber daya harus secara efisien. Pengertian rekonstruksi adalah usaha penyusunan kembali organisasi di lingkungan Kementrian Pertahanan dan APRI disesuaikan dengan UndangUndang No. 3 tahun 1948, sedangkan rasionalisasi adalah pengurangan jumlah pasukan militer dan penyesuaian kepangkatan di Lingkungan APRI, untuk disesuaikan dengan jumlah senjata, pendidikan, dan kemampuan pembiayaan Negara.37 Peraturan RERA menyebabkan banyaknya anggota pejuang yang disederhakan, dikurangi, atau bahkan dibubarkan. LPI yang merupakan salah satu badan perjuangan di Surakarta, juga turut tergerus oleh peraturan RERA ini.
35
Djumarwan, op.cit., hlm. 69.
36
A. H. Nasution, 1966, op.cit., hlm. 119.
37
Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, Hijrah Siliwangi. Jakarta:Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, 2008, hlm.127.
104
Pada Juni 1947 sebelum RERA dijalankan, pemerintah telah mulai menyatukan kekuatan militer, dengan diresmikannya TNI sebagai satusatunya Tentara RI. Peresmian TNI ini mengakibatkan semua tenaga perjuangan di luar TKR (TRI) yang dianggap memenuhi syarat disatukan dalam TNI.38 Pejuang yang tidak tergabung di dalam TNI (di luar TNI) tidak memiliki kekuatan hukum sehingga sewaktu-waktu dapat dibubarkan pemerintah atau bubar dengan sendirinya. Pelaksanaan RERA tidak berjalan mulus, banyak anggota pejuang yang merasa tidak puas dengan peraturan tersebut, sehingga menyebabkan perpecahan pada tubuh TNI. Divisi IV Panembahan Senopati merupakan salah satu penentang RERA yang cukup kuat. Konflik yang terjadi di kalangan TNI semakin sengit, sebab telah dimanfaatkan oleh beberapa partai politik untuk mencapai tujuannya. Perpecahan dalam tubuh TNI tersebut semakin merebak dengan meletusnya konflik senjata antara Divisi IV Panembahan Senopati dengan Divisi Siliwangi, kejadian ini menyebabkan diangkatnya Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Surakarta. Tugas dari Kolonel Gatot Subroto yaitu memulihkan keamanan, dan merasionalisasi, secara tidak langsung semua pengikut Divisi IV menjadi sasaran operasi Gatot Subroto. LPI berdiri di bawah naungan Divisi IV sehingga juga masuk dalam daftar rasionalisasi.39
38
Djumarwan, loc.cit.
39
Ibid., hlm. 29-30.
105
Sebagian besar Biro Perjuangan Daerah Surakarta masuk kedalam TNI bagian masyarakat dan menjadi bibit bagi kesatuan-kesatuan territorial. Demikianlah laskar-laskar perjuangan telah dilebur ke dalam tubuh TNI, hanya LPI yang tidak dapat dilebur ke dalam TNI. Pada waktu itu selain LPI berada di naungan Divisi IV, juga karena belum ada ketentuan tentang kesatuan-kesatuan wanita (Korps Wanita) dalam angkatan bersenjata, maka dengan terpaksa LPI dibubarkan oleh Kolonel Gatot Subroto. Secara resmi LPI dibubarkan pada 27 Oktober 1948, LPI baru meninggalkan asrama pada akhir November 1948.40 Pembubaran LPI sebagai organisasi perjuangan, tidak menghapus jiwa perjuangan para anggotanya. Selepas LPI dibubarkan anggotanya pun kembali melanjutkan sekolah, sebab anggota LPI adalah pelajar. Namun, sebagian dari mereka juga ada yang tidak kembali ke bangku sekolah, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan.
Guna melanjutkan perjuangan, pertemuan dan
koordinasi para eks LPI dilakukan di rumah Srini yakni di Danukusuman. Srini selalu menyerukan kepada eks anggota LPI bahwa perjuangan tidak ada batasnya, maka siapa pun yang masih ingin berjuang tetap bergabung dengan LPI.41 Satu setengah bulan setelah pembubaran LPI, Pasukan Belanda menyerang dan menduduki Ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. 40
Sejarah Militer Angkatan Darat Resimen Infanteri 15, Sejarh TNI di dalam Daerah Karesidenan Surakarta Periode Pertama:Tahun 1942-1948. Surakarta: tanpa penerbit, 1960. 41
Djumarwan, op.cit., hlm. 71.
106
Para eks anggota LPI kembali terketuk hatinya untuk melanjutkan perjuangan, sehingga dikoordinasilah warga LPI untuk kembali memanggul tugas. Anggota LPI bersedia kembali berjuang karena mendengar kabar bahwa Srini telah mendapat ilham kalau Kota Yogyakartalah yang pertama akan diserahkan kepada Republik. Oleh sebab itulah mereka turut serta bergerilya ke Yogyakarta bersama Srini.42 Pada 21 Desember 1948 Belanda mulai menyerbu Surakarta. Sebagian anggota LPI ditugaskan untuk membantu perjuangan di Surakarta dengan bergabung pada badan-badan perjuangan. Akhirnya anggota LPI tersebar di beberapa tempat, selain di Surakarta dan Yogyakarta. Srini pun memutuskan untuk terjun langsung ke daerah gerilya, dengan berjalan kaki. Pada 25 Desember berangkatlah Srini beserta 20 anggota LPI ke Imogiri.43 Pemberangkatan ke Imogiri secara bersama-sama dari rumah Srini, sebelum berangkat setiap orang dibebani membawa bahan makanan seberat 5 kg. Anggota LPI berangkat bersama-sama melewati pintu belakang rumah Srini.44 Perjalanan gerilya Srini dan anggota LPI tidak lepas dari serbuan pasukan musuh, pesawat Belanda berterbangan di setiap perjalanan yang mereka lewati. Pada waktu memimpin perjalanan ke Yogyakarta Srini selalu mengenakan kerudung putih. Setiap malam mereka beristirahat di makam42
Wawancara Sri Temoe, 17 Mei 2014.
43
Djumarwan, op.cit., hlm. 72.
44
Sri Temoe, Otobiografi: Potret Seorang Lasykar Muslimah Teladan. Surakarta: tanpa penerbit, 2006, hlm. 18.
107
makam, dan untuk kapan berangkat melanjutkan perjalanan selalu menunggu perintah dari Srini. Baik pagi, siang, sore, ataupun tengah malam, kalau Srini menghendaki untuk melanjutkan perjalanan maka mereka semua pasti mengikuti, sebab hal tersebut juga menyangkut keselamatan bersama.45 Rombongan LPI bersama Srini berangkat ke Yogyakarta melalui Ndawung, Baki, dan Ngrombo, selanjutnya melalui Majasto, mBayat, kemudian menyeberang ke perbatasan Yogyakarta di Pathuk. 46 Sesampainya di Imogiri, Srini tinggal bersama dengan keluarganya. Di Imogiri terdapat banyak keluarga dari Srini, tidak lupa sebelum ikut bergerilya Srini berkunjung ke makam Imogiri dan sempat tinggal sebentar disana. 47 Anggota LPI di tampung di rumah saudara-saudara Srini yang ada Imogiri, sebagian ada yang tinggal di rumah kabupaten, dan lainnya berada di rumah Tukijan Reksowardoyo.48 Anggota LPI yang turut ke Imogiri kemudian bergabung dengan pasukan gerilya, baik dengan TNI maupun pejuang gerilya lainnya. Imogiri sejak akhir Desember berubah total, Kota Imogiri berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten (sementara), sekaligus sebagai markas
45
Ibid.
46
Irna Hadi Soewito (peny), Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45. Jakarta: Grasindo, 1995, hlm. 16. 47 48
Sri Temoe, op.cit., hlm. 22.
Tukijan Reksowardoyo merupakan saudara Srini, Pada saat itu Beliau menjabat sebagai Lurah Imogiri. Lihat, Djumarwan, op.cit., hlm. 73.
108
gerilya.49 Sesuai dengan perintah komando Panglima MBKD (Markas Besar Komando Djawa) pemerintah di tingkat kabupaten kemudian diselenggarakan secara militer sesuai dengan siasat perang Wehrkreise. Daerah Militer Istimewa III/Divisi III, terdiri dari tiga Wehrkreise, antara lain: 1. Wehrkreise I (WK I) meliputi Karesidenan Banyumas dan Pekalongan. 2. Wehrkreise II (WK II) meliputi Karesidenan Kedu. 3. Wehrkreise III (WK III) meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah ditetapkan sebagai komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Suharto pada 31 Desember 1948 berhasil mengkoordinasi dan menyusun wilayah gerilya Yogyakarta menjadi 6 Sub-Wehrkreise50 (SWK), yaitu: 51 1. Sub-Wehrkreise 101 dikomandani oleh Mayor Sakri dengan wilayah operasional Bantul Timur. 2. Sub-Wehrkreise 102 dikomandani oleh Mayor Sarjono dengan wilayah operasional Bantul Barat. 3. Sub-Wehrkreise 103 dikomandani oleh Mayor H. N. Sumual dengan wilayah operasional Sleman Barat.
49
Pada tanggal 23 Desember 1948, Pemerintah Kabupaten Bantul menginstruksikan pembumihangusan total di wilayahnya dan pusat pemerintahan kabupaten untuk sementara dipindahkan ke Imogiri. 50 51
Lihat lampiran 6
Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro, Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: CV. Borobudur Megah, 1977, hlm. 344.
109
4. Sub-Wehrkreise 104 dikomandani oleh Mayor Sukasno dengan wilayah operasional Sleman Tengah dan Sleman Timur. 5. Sub-Wehrkreise 105 dikomandani oleh Mayor Sujono dengan wilayah operasional Yogya Timur dan Gunung Kidul. 6. Sub-Wehrkreise 106 dikomandani oleh Letnan Kolonel Sudarto dengan wilayah operasional Kulon Progo. Markas Wehrkreise III pada saat terjadi revousi fisik 1948-1949 dan terjadi aksi militer Belanda II bermarkas semertara di Ngoto, Kasihan, Bantul. Kemudian pidah ke Segoroyoso, Pleret, Bantul. Pada tanggal 16 Januari 1949 terjadi perubahan dari 6 SWK menjadi 7 SWK. Kota Yogyakarta yang belum masuk dalam wadah SWK, dirasa perlu membentuk SWK kota. SWK 01 daerah Bantul Timur dimasukkan ke dalam SWK 102 yang dipimpin Mayor Sarjono. Bagian SWK 102 adalah seluruh wilayah yang berada di Bantul, kemudian SWK 101 dipergunakan untuk daerah Kota Yogyakarta.52 Perubahan SWK dari 6 SWK menjadi 7 SWK, sebagai berikut:53 1. SWK 101 daerah Kota Yogyakarta dengan komandan Letnan Marsudi. 2. SWK 102 daerah Bantul dengan komandan Mayor Sarjono. 3. SWK 103 daerah Gamping dengan komandan Letkol Suhud.
52
Suhatno, “Peranan Rakyat Tirtonirmolo, Kabupaten Bantuk Pada Masa Perang Kemerdekaan II Tahun 1948-1949”. dalam Patra-Widya, Vol. 6 No. 3. September 2005, hlm. 19. 53
Ibid., hlm. 20.
110
4. SWK 103A daerah Godean dengan komandan Mayor H. N. Sumual. 5. SWK 104 daerah Sleman dengan komandan Mayor Sukasno. 6. SWK 105 daerah Gunungkidul dengan komandan Mayor Sujono. 7. SWK 106 daerah Kulonprogo dengan komandan Letkol Sudarto. Adapun tujuan daerah Bantul dijadikan satu menjadi SWK 102 yakni untuk memudahkan koordinasi pasukan dan daerah. Kegiatan gerilya di Imogiri dilakukan dengan penggabungan semua kesatuan perjuangan. Termasuk kegiatan LPI, dilakukan secara penggabungan pula, baik kegiatan dapur umum, palang merah, maupun pemasokan bahan makanan. Secara khusus LPI mempunyai hubungan kerjasama dengan pasukan TNI SWK 102, LPI membantu di bagian pekabaran dan seksi usaha. Anggota LPI yang diperbantukan ke SWK 102 ialah Sarwenten, Dartijah, Hartati, Pramani, Mastuti, dan Siti Muljani.54 Seminggu setelah Pasukan Belanda menduduki Yogyakarta, serangan demi
serangan masih terus dilancarkan,
pernyisiran
dan
penggeledahan di desa-desa semakin sering dilakukan untuk memberantas pasukan gerilya RI. Sistem penyerangan pasukan WK dengan taktik dan siasat gerilyanya harus benar-benar dijalankan seperti, mengadakan penyerangan gerilya yang taka ada putusnya, mengadakan penghadangan atas lalu lintas (konvoi) musuh di jalan-jalan besar, mengadakan sabotase, serta
54
Djumarwan, op.cit., hlm. 73.
111
merusak atau menghancurkan jalan, jembatan, atau bangunan supaya tidak dapat dimanfaatkan oleh musuh.55 Pada 19 Januari 1949 daerah Selatan Kota mendapat serangan yang hebat dari pasukan Belanda. Enam buah kapal udara yang terdiri dari Jager, Bomber, dan “Capung” (cocor merah) menyambar-nyambar di atas daerah SWK 102 dan 101. Di mana-mana terdengar suara tembakan 12,7 dari cocor merah yang ditujukan ke desa-desa. Kendaraan bermotor, truk traktor, brancarier, tank, menderu-deru. Infanteri musuh telah bergerak menyebar menuju pertahanan pasukan RI.56 Belanda terus bergerak menuju Bantul dengan tiga konvoi. Dua konvoi kendaraan ringan lewat jalur barat yaitu Sedayu dan jalur timur lewat Imogiri, Barongan, Pleret, sedangkan konvoi berat lewat utara yaitu Jalan Padokan.57 Serangan Belanda ke Imogiri sempat mengakibatkan pasukan gerilya bercerai berai. Setelah penyerangan pasukan berhasil di kumpulkan kembali oleh komandan SWK 102. Anggota LPI yang masih ingin berjuang bergabung dengan SWK 102, adapun tugas yang diemban oleh anggota LPI yaitu sebagai pembantu pos palang merah di Karangtengah, sebagai pembantu kurir dan perkabaran di markas gerilya Pundong Bantul, sebagai
55
Ibid, hlm. 20.
56
Buku Gerilya Wehrkreise III,op.cit., hlm. 19.
57
Suhatno, op.cit., hlm. 30.
112
pembantu pembuatan senjata di pabrik senjata Panggang Wonosari, dan sebagai pembantu pos Polisi Militer Kompi Sentul Yogyakarta. 58 Selain bergabung dengan SWK 102 ada beberapa anggota LPI yang bergabung dengan gerilyawan dengan markas di Demangan yang dipimpin oleh bapak Tukiman. Tugas di markas Demangan yaitu sebagai pembantu bagian penerangan ke desa-desa.59 Anggota LPI yang bergabung di demangan salah satunya adalah Sri Temoe. Selama perjuangan di Yogyakarta, kontak antara anggota LPI dengan Srini masih berjalan, walaupun sekedar sowan ataupun meminta bantuan kepada Srini. Kegiatan kaum wanita di Yogyakarta dalam perjuangan pada umumnya berada di garis belakang seperti dapur umum, palang merah, dan sebagai kurir. Dapur umum yang berada di luar kota seperti Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul ditanggung oleh penduduk desa yang dikoordinir oleh lurah-lurah setempat. Peranan lurah pada masa gerilya sangat penting, karena sikap dan kesetiaan lurah akan menentukan pula sikap dan kesetiaan penduduk daerahnya. Pelaksanaan dapur umum di daerah-daerah tersebut tetap dilakukan oleh kaum wanita. Selain berjuang melalui dapur umum, kaum wanita saat itu juga berjuang melalui kepalangmerahan. Anggota LPI yang tergabung dalam SWK 102 dan bertugas sebagai pembantu pos palang merah adalah Hartati, Sriyati, dan Suntarti.60 58
Djumarwan, op.cit., hlm. 75.
59
Wawancara Sri Temoe, lihat juga Sri Temoe, op.cit., hlm. 22.
60
Djumarwan, loc.cit.
113
Adapun kegiatan di dalam kepalangmerahan daerah Bantul sama seperti daerah-daerah lain di Yogyakarta, yaitu pelayanan pengobatan, perawatan dan pengurusan terhadap anggota pasukan yang terluka hingga gugur. Pelayanan kesehatan terhadap pejuang dengan luka ringan dilakukan di markas, sedangkan yang terkena luka berat ke rumah sakit pusat daerah. Bagi wilayah Bantul, pejuang yang terluka berat dikirim ke Rumah Sakit Ganjuran atau ke Rumah Sakit Darurat Tegalreja.61 Hal ini membuktikan bahwa perawatan, perlengkapan, dan obat-obatan yang ada di markas masih sangat terbatas. Pada waktu agresi yang kedua di Yogyakarta, perlengkapan perawatan dan obat-obatan yang digunakan oleh palang merah untuk mengobati prajurit di dapatkan dari beberapa koordinator. Jawatan Kesehatan Tentara, Palang Merah Indonesia, Rumah Sakit Panti Rapih dan Rumah sakit Umum Pusat Palang Merah Indonesia, merupakan koordinator bagi pejuang palang merah di front. Pengiriman perlengkapan dan obat-obatan ke front harus diambil sendiri oleh petugas palang merah.62 Kehadiran kaum wanita dalam Palang Merah Indonesia pada masa revolusi merupakan suatu keuntungan bagi para gerilyawan. Tenaga LPI yang bergabung dengan SWK 102 selain sebagai petugas palang merah, ada juga yang bertugas sebagai kurir dan pekabaran di
61
Suhatno, “Sumbangan Wanita Yogyakarta Pada Masa Revolusi”, dalam Jantra, Vol. 1, No. 2, Desember, 2006, hlm. 70-71. 62
Ibid.
114
markas gerilya Bantul. Adapun yang bertugas sebagai kurir dan pekabaran tersebut ialah Sutami, Katiyem, dan Irsamasri.63 Memang kurir atau caraka dan pekabaran pada masa revolusi mempunyai peranan yang sangat penting. Tugas mereka yaitu sebagai penghubung untuk menyampaikan surat atau berita sari satu markas ke markas yang lain. Hal itu disebabkan belum ada alat komunikasi yang canggih. Pada saat itu satu-satunya penghubung hanya kurir dengan jalan kaki.64 Akan tetapi, tidak semua orang dapat menjadi kurir atau utusan, hal ini disebabkan tugas kurir cukup berat dan penuh resiko. Seorang kurir harus memiliki
kejelian/kecermatan,
keberanian,
dan
ketenangan
sebagai
pengendali emosi dalam menjalankan tugas.65 Apabila seorang kurir atau mata-mata tidak memiliki sifat ketenangan maka mudah untuk dicurigai oleh musuh. Para kurir ataupun mata-mata yang akan menyelundup ke kota akan berganti pakaian, mandi dan bersepatu. Sebab pemuda atau pemudi yang berpakaian kumal dan kotor banyak dicurigai sebagai seorang gerilyawan lalu ditangkap oleh Belanda. Sebaliknya, bagi mereka yang ingin kembali ke markas yang ada di desa-desa harus melepas sepatu, berganti pakaian yang jelek. Sebab oleh rakyat, mereka yang berpakaian bersih, dan bersih, sering
63
Djumarwan, loc.cit.
64
Suhatno, 2005, op.cit., hlm. 35.
65
Djumarwan, op.cit., hlm. 76.
115
dikira sebagai mata-mata musuh.66 Disini seorang kurir pun juga dituntut pandai membaca situasi dan menyamar dimana pun ia bertugas. Menghadapi gencatan dari Belanda dibutuhkan senjata dalam jumlah banyak, mengingat senjata dari Pasukan Belanda jauh lebih canggih dibandingkan dengan Pasukan RI. Usaha yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan persenjataan maka didirikanlah pabrik atau bengkel persenjataan. Pabrik atau bengkel senjata yang ada di Yogyakarta pada masa agresi kedua tersebar di beberapa wilayah seperti di Bantul dan Demak Ijo. Pabrik persenjataan yang dibantu oleh tenaga LPI berada di Panggang Wonosari, adapun anggota LPI yang bertugas di pabrik senjata tersebut antara lain Pramani, Mastuti, Siti Muljani, dan Supiyah.67 Di pabrik senjata Panggang, Wonosari anggota LPI tergabung dalam kesatuan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Sujono. Semula pabrik senjata tersebut berada di Desa Dempul, lalu dipindahkan ke Desa Gebang, Kecamatan Panggang. Pemindahan tersebut dikarenakan letak pabrik yang kurang strategis sehingga mudah dijangkau musuh. Lokasi pabrik senjata di Panggang terletak ditengah hutan jati yang cukup lebat dan sulit diketahui umum.68 Bagian persenjataan di pimpin oleh Kolonel A. A. Wiwi. Di bengkel tersebut, anggota LPI bekerja sama dengan anak-anak sekolah teknik dalam 66
Soebagio I. N., S.K. Trimurti Wanita Pengabdi Bangsa. Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 183. 67
Djumarwan, loc.cit.
68
Ibid., hlm. 77.
116
merakit senjata. Mereka tergabung dalam kesatuan geweermaaksters (pembuat senapan). Bagian-bagian senjata seperti Loop amunisi dan bagian lainnya dibuat dari bekas pipa-pipa/besi dari pabrik-pabrik69 gula yang dibongkar atau dibumihanguskan.70 Para petugas bekerja di bengkel dari pagi sampai petang, setelah selesai mereka kembali ke penginapan yang terletak di Desa Dempul, Gebang, Gunungkidul. Anggota LPI yang bertugas di sana tinggal bersama penduduk di desa tersebut. Senjata-senjata yang biasa dirakit dan diperbaiki di pabrik senjata tersebut antara lain, Karabein panjang dan pendek, Mitraliur, senjata otomatis, dll. Mengenai pengetahuan dalam bidang persenjataan, termasuk teknik bongkar pasang senjata, anggota LPI tidak ketinggalan. Bekal pengetahuan yang diperoleh selama di asrama cukup berguna untuk diterapkan dalam tugasnya pada waktu itu. Peralatan sederhana yang digunakan untuk merakit senjata, para petugas mampu menciptakan senjata api ringan. Pabrik senjata tersebut betahan sampai awal Agustus 1949.71 Serangan dan gangguan terhadap Pasukan Belanda yang telah dilakukan Pasukan RI masih belum dapat menghancurkan kekuatan tentara 69
Pada waktu Belanda menyerang Bantul, banyak pabrik-pabrik gula di wilayah itu terpaksa di hancurkan/dibumihanguskan oleh Pasukan RI, supaya pabrik-pabrik tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Pasukan Belanda. Seperti hal nya pabrik gula Plered. Sasaran taktik bumi hangus gerilya tidak terbatas pada bangunan-bangunan yang mempunyai arti militer saja, tetapi juga obyek-obyek yang mempunyai arti ekonomis semacam pabrik gula tersebut, sebab jika dibiarkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa perekonomian Belanda. Lihat juga Moehkardi, op.cit., hlm. 158-159. 70
Irna Hadi Soewito (peny),op.cit., hlm. 196.
71
Djumarwan, loc.cit.
117
agressor tersebut. Seminggu setelah serangan besar-besaran di Maguwo Pasukan Belanda yang berpusat kota memencar ke daerah-daerah.72 Senjatasenjata yang digunakan oleh gerilyawan pada waktu itu tidak terbatas pada senjata api saja. Berbagai senjata sederhana diciptakan dan dimanfaatkan untuk membalas serangan Belanda. Mulai dari senjata karabein pendek dan panjang, senjata otomatis, seperti M 23 (Water-mantel), Bren, Lewis, Thomson, Karabein Metraliur (KM) dan Stegun. Beberapa bahan peledak seperti Granat tangan, Granat Gombyok, dan Bom Molotov, hingga senjata sederhana seperti, bambu runcing, serta ada juga yang menggunakan senjata alami yaitu sarang lebah.73 Bahan peledak merupakan senjata yang sering digunakan untuk menghambat konfoi Belanda di desa-desa. Peledak seperti itu biasa disebut dengan ranjau darat. Molotov Coctail merupakan salah satu jenis ranjau yang sering digunakan oleh pasukan gerilya. Molotov Coctail adalah senjata sederhana yang terbuat dari botol limun diisi dengan bensin dan potongan-potongan karet. Jika molotov tersebut dilemparkan pada sasaran tank atau kendaraan musuh, maka seketika akan membakar kendaraan. Percikan api berasal dari pecahnya botol lantas membakar bensin dan karet, namun kadang botol tidak
72
Buku Gerilya Wehrkreise III,loc.cit.
73
Moehkardi, op.cit., hlm.153.
118
mengenai benda keras sehingga tidak pecah sehingga Molotov ini tidak dapat menyala.74 Meskipun senjata yang digunakan rakyat sederhana namun cukup membantu pasukan gerilya dalam menghalau Pasukan Belanda. Selain senjata-senjata api tersebut ada kalanya dalam menghadapi Belanda banyak dilakukan pemasangan ranjau darat. Ternyata dengan ranjau darat tersebut jauh lebih efektif dan berhasil menghancurkan banyak kendaraan milik Belanda yang lewat. Seminggu setelah penyerbuan Belanda ke Imogiri, Srini dan beberapa anggota LPI yang tidak memperoleh tugas secara khusus kembali ke Surakarta. Di Surakarta mereka bergabung dengan TP dan Brigade Slamet Riyadi. Pada pertengahan Februari 1949 anggota LPI yang bertugas di pos palang merah juga ikut menyusul ke Surakarta. Anggota yang tetap tinggal di Yogyakarta adalah mereka yang tergabung dengan pabrik senjata Panggang dan Pos Polisi Militer Kompi Sentul.75 Adapun anggota LPI yang membantu di pos Polisi Militer Kompi Sentul Yogyakarta adalah Darfijah dan Sarwenten. Selama bertugas di tepat tersebut dipimpin oleh Kapten Sudarno, dengan anggota lainnya yaitu Sugeng, Sutopo, Sutrisno, dan Subianto (dari TNI SWK 102). Mereka bermarkas di Jalan Tamansiswa 56, rumah milik Ny. Atmopenawang. 76 Di 74
Ibid., hlm. 194-195.
75
Djumarwan, op.cit., hlm. 75.
76
Ibid.
119
pos Polisi tersebut Dartijah dan Sarwenten diberi tugas sebagai mata-mata, kurir, dan turut serta dalam kegiatan pers. Sebagai mata-mata, pada siang hari mereka berkeliling mencari informasi tentang kekuatan musuh dan mengamati keadaan di sekelilingnya. Pada malam harinya di markas (rumah Ny. Atmopenawang) mereka membuat laporan pengamatan yang kemudian di serahkan kepada petugas kurir untuk disampaikan ke markas gerilya.77 Dalam kegiatan pers mereka berdua di bawah pimpinan Kapten Sudarno. Tugas mereka yaitu sebagai kurir dan menyalin serta memperbanyak berita. Artikel-artikel yang penting dari surat kabar Nieuwsgier diterjemahkan dan diketik rangkap tujuh. Lantas berita tersebut diambil oleh kurir dari berbagai pelosok desa, namun terkadang mereka sendiri yang mengantarkan berita ke suatu markas, tergantung seberapa penting isi berita tersebut.78 Berita dari surat kabar tersebut harus di perbanyak hingga rangkap tujuh, berita diketik di atas stensil dan diperbanyak cetakannya dengan alat cetak, Gestetner. Pada siang hari alat-alat tersebut disembunyikan, dengan cara yang unik, supaya tidak ketahuan pihak musuh. Pada suatu hari, ketika Dartijah dan Sarwenten sedang mengetik berita, ada berita bahwa Belanda akan mengadakan pembersihan dengan wilayah operasi di daerah mereka yaitu Kampung Mergangsan. Seketika itu mereka langsung membenahi peralatan pers dan dokumen-dokumen penting. Mesin ketik disembunyikan di 77
Ibid.
78
Irna Hadi Soewito (peny),op.cit., hlm. 12.
120
ruang Romo Atmopenawang di simpan di laci meja yang menghadap ke tembok, sedangkan dokumen-dokumen sebagian ada yang dibakar lantas di masukkan ke dalam WC.79
Dalam waktu singkat mereka harus mampu
berfikir kreatif untuk menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting dan selalu bersikap tenang. Menurut Hisbaron Muryantoro, semua yang berhubungan dengan berita dan informasi baik yang lisan maupun tertulis, yang berguna bagi perjuangan dikategorikan sebagai tugas perhubungan. Petugas-petugas di perhubungan yang ada dilapangan biasanya di sebut kurir. Dalam prakteknya petugas perhubungan bertugas mengadakan hubungan dengan pos-pos pertahanan yang lain.80 Kurir, mata-mata, dan petugas perkabaran atau pers adalah penghubung warga dalam dan luar kota, sekaligus memberi petunjuk mengenai keadaan dalam kota sehingga beberapa penyerbuan yang dilakukan pasukan berhasil dengan baik. Supaya para kurir atau petugas perhubungan tidak menjadi korban penggeledahan dan pembersihan oleh Pasukan Belanda, maka mereka harus mampu mngelabuhi musuh. Ada beberapa teknik atau cara menyangkut keamanan para kurir dalam menjalankan tugas, hal tersebut didukung dengan adanya surat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD). Adapun isi
79 80
Ibid., hlm. 14.
Hisbaron Muryantoro, “Aktivitas Tentara Pelajar dalam PHB Pada Masa Perang Kemerdekaan Tahun 1945-1949”. dalam Patrawidya, Vol. VIII, No. 3, September 2007, hlm. 594.
121
dari surat tersebut adalah tips supaya bebas dari penggeledahan pasukan musuh yaitu sebagai berikut:81 1. Tiap pos atau markas yang digunakan sebagai tempat beristirahat ataupun melakukan tugas bukanlah tempat yang umum diketahui masyarakat luas, hendaknya markas di dilakukan secara berpindah-pindah. 2. Surat-surat biasa dibakar setelah diketahui isinya dan surat-surat yang penting disimpan dan disembunyikan. 3. Setiap bagian atau pos-pos dan juga komandan mempunyai kurirkuris sendiri. 4. Kecepatan kurir dalam menyampaikan berita atau informasi juga perlu diperhatikan. Dengan menyempurnakan cara-cara berjalan dan penguasaan daerah, maka dapat memperpendek waktu perjalanan. 5. Terus bersiap atau waspada. Setiap pos selalu bersiap untuk menghadapi kemungkinan pembersihan, kalau perlu segera pindah. Pakaian, barang-barang, dan surat-surat harus selalu disembunyikan atau dipindahkan. 6. Menyamar. Sesuaikan diri dengan suasanan desa, inilah cara menyamar yang sebaik-baiknya. Apabila menjalankan perintah atau cara-cara seperti diatas, maka pembersihan oleh musuh tidak akan terjadi. Seperti halnya markas yang 81
A. H. Nasution, Pokok-pokok Gerilja, cet. II. Jakarta: Pembimbing, 1954, hlm. 139-142.
122
digunakan oleh LPI yaitu rumah Ny. Atmopenawang dibangun sebuah warung di depannya. Hal itu memudahkan para petugas di dalam rumah untuk mengetahui keadaan lalulintas disekitarnya, selain itu juga untuk mngelabuhi musuh. Tugas sebagai mata-mata, kurir, dan pekabaran tersebut berakhir setelah pengakuan kedaulatan pada Juni 1949.82 Berakhirnya perjuangan LPI dalam revolusi fisik menghadapi serangan Belanda II, seiring dengan kembalinya Pemerintahan Republik ke Yogyakarta. Persiapan-persiapan untuk kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta sudah berjalan, hingga Pemerintah Belanda akan menarik semua pasukan-pasukannya dan mengosongkan Karesidenan Yogyakarta pada 24 Juni. Apabila pengosongan tersebut tidak mengalami hambatan, maka Pemerintah RI dapat kembali ke Yogyakarta kira-kira tanggal 1 Juli 1949.83 LPI kembali ke Surakarta dengan rasa bangga, perjuangan mereka tidak berakhir sia-sia. Sebagaimana diketahui, LPI merupakan satu-satunya laskar wanita di Surakarta yang mayoritas anggotanya terdiri dari pelajar putri. Sekembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta, untuk menjamin kehidupan para pejuang pelajar yang turut mempertahankan kemerdekaan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 32/49.84 Peraturan tersebut merupakan penghargaan terhadap pelajar pejuang di seluruh Indonesia (termasuk LPI dan Laswi) setelah turut serta mempertahankan
82
Djumarwan, loc.cit.
83
Ide Anak Agung Gde agung, op.cit., hlm. 277-278.
84
Djumarwan, op.cit., hlm. 78.
123
kemerdekaan RI. Hal ini dimaksudkan supaya pelajar pejuang memperoleh jaminan akan pendidikan dan pekerjaannya. Peristiwa heroik dan semangat kepahlawanan yang telah ditunjukkan oleh para pejuang wanita merupakan amal perjuangan yang dipersembahkan kepada bangsa dan negaranya. Sesuai dengan irama perjuangan dan panggilan zaman, wanita Yogyakarta dan sekitarnya turut dalam mempertahankan kemerdekaan. Mereka berjuang dengan semangat rela berkorban untuk bangsanya. Oleh karena itu nilai-nilai kepahlawanan pejuang wanita perlu ditanamkan kepada generasi penerus dari zaman ke zaman.