Peran Militer dalam Politik Cina Secara garis besar bab ini akan membicarakan dua hal penting. Pertama, struktur Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) — khususnya komando militer di tingkat regional sebagai faktor penting perpolitikan di Cina — dan kedua, peran politik militer dengan penekanan khusus pada masa Revolusi Kebudayaan dan sesudahnya. 1. Struktur Militer Cina Konstitusi 1975 dan Konstitusi 1978 menetapkan bahwa ketua Partai Komunis Cina adalah juga Panglima Angkatan Bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk mengontrol militer melalui Komite Urusan Militer (KUM) partai. Namun, pada Konstitusi 1982 ada perubahan besar, yaitu kontrol militer dilaksanakan oleh Komite Militer Pusat (KP) yang bertanggung jawab secara langsung kepada Kongres Rakyat Nasional (KRN). Perubahan ini dilakukan dengan maksud untuk tidak lagi menempatkan militer di bawah kontrol partai, tetapi lebih bersifat "belongs to nation". Meski begitu, partai tetap saja menempatkan orang-orangnya pada posisiposisi puncak di tubuh militer sehingga wilayah yurisdiksi KUM dan KMP menjadi tidak jelas. Dalam KRN VI 1983, Deng Xiaoping terpilih sebagai Ketua KMP dan bersamaan dcngan itu juga mengepalai KUM sehingga dia menjadi komandan puncak AB Cina. Menteri pertahanan yang bertindak di bawah Dewan Negara dan perdana menteri adalah kepala administrasi TPR yang juga membawahi kepala staf Markas Besar TPR di Beijing. Partai menerapkan kontrol ideologis dan politis terhadap AB melalui Departemen Politik Umum (DPU) yang bertanggung jawab kepada partai dengan jalan propaganda pendidikan dan aktivitas kultural dari tentara. Pada level regional, sekitar empat juta tentara dioperasikan dalam tujuh daerah militer, 23 distrik militer setingkat provinsi, dan sembilan komando garnisun untuk daerah-daerah populasi penting. Tujuh daerah militer tersebut adalah Shenyang, Beijing, Jinan-Wuhan, Nanjing-Fuzhou, Guangzhou, Kumming-Chengdu dan Lanzhou-Inner Mongolia. Hubungan yang dekat antara komando daerah militer
Universitas Gadjah Mada
dengan otoritas sipil di provinsi-provinsi terlihat seperti dalam pemberontakan Guomindang, di mana komite pengawas militer mengambil alih fungsi administrasi pcmerintahan di Guomindang sampai keadaan normal kembali. Beberapa pejabat militer juga memegang posisi-posisi puncak pernerintahan lokal. Di samping itu, lembaga-lembaga seperti sekolah, pabrik, perusahaan dan sistem komunikasi pun ada yang ditempatkan di bawah yurisdiksi komite pengawas militer. Walaupun usaha memutus kontrol militer telah dimulai sejak tahun 1953, namun hubungan militer dengan otoritas lokal dan regional tetap berlanjut. Pasca Lin Biao Affair misalnya, meskipun ada 'reshuffling' beberapa pejabat militer, kecenderungan untuk terus menempatkan pejabat-pejabat militer dalam pos-pos administrasi lokal masih kuat. Di samping struktur formal militer (tentara reguler), Cina juga memiliki apa yang disebut sebagai milisi rakyat. pembentukan milisi rakyat dimulai pada masa Jiang Xi untuk menambah kekuatan Tentara Merah dan kekuatan unit-unit gerilya. Sejak
berdirinya
RRC,
milisi
rakyat
telah
mengalami
beberapa
tahapan
perkembangan. Aktivitas milisi bertambah pasca kemerdekaan dan dalam perang Korea, termasuk di dalamnya penjagaan hukum dan ketertiban, partisipasinya dalam TPR di area-area perbatasan, serta upaya untuk mempelopori land reform. Milisi rakyat mendapat peranan baru dengan kenaikan status pada masa Lompatan Jauh ke Depan, yakni menjadi gerakan massa yang menasional dan terintegrasi ke dalam struktur masyarakat di seluruh pelosok negeri. Akibatnya milisi mampu memperolch keanggotaan sekitar 220 juta pada tahun 1959. Dengan konsep `everyone is a soldier, keanggotaan milisi yang besar memungkinkan terjamahnya sektor-sektor pertanian, industri dan perdagangan oleh milisi rakyat. Pada tahun 1960, karena kegagalan Lompatan, peran milisi dibatasi. Dari tahun 1960 sampai 1961 milisi rakyat berada di bawah kontrol politik yang ketat. Pada masa Revolusi Kebudayaan milisi ditempatkan bukan hanya sebagai mitra dan pembantu TPR, tetapi juga merupakan slat penting diktator proletariat dan senjata massa revolusioner. Meski Konstitusi 1982 menetapkan bahwa milisi harus dikurangi, tetapi hal itu tidak menghapus seluruh konsep "perang rakyat". Ini sejalan dengan pandangan mantan Meehan Nie Rongzhen: Cina tidak hanya harus memiliki kekuatan tentara reguler, tetapi juga hams mengorganisir milisi rakyat seperti termaktub dalam doktrin Mao. Karena itu, Deng tidak mengubah doktrin milisi, tetapi hanya
mereformasinya
dengan
mengurangi
personel
dari
pedcsaan
dan
meningkatkan teknik profesional.
Universitas Gadjah Mada
2. Militer Dalam Perpolitikan di Cina Militerisme, paling tidak dalam masa setengah abad terakhir, menjalankan peranan penting dalam perpolitikan di Cina. Hadirnya militerisme, hubungannya dengan organisasi politik dan sosial, dan akibatnya terhadap proses transformasi masyarakat komunis adalah kerangka yang sangat berguna untuk menganalisis peran militer dalam politik di Cina. Seorang pengamat Cina, Martin Wilbur mengatakan bahwa militerisme dalam pembangunan politik Cina adalah sebuah sistem organisasi kekuatan politik di mana kekuatan bersenjata berfungsi sebagai penengah normal dalam distribusi kekuasaan dan pelaksanaan kebijakan. peran militer sudah masuk dalam usaha-usaha unifikasi oleh kaum nasionalis Cina pada tahun 1926, yaitu sistem pemisahan daerah-daerah militer yang mendominasi layar politik Cina. Hal ini logis mengingat dalam sistem politik yang tersentralisir dan hierarkis, adalah institusi dan kultur militer yang paling memenuhi. Inilah kiranya yang membuat Robert Tucker menyebut masyarakat Cina sebagai millitary communism untuk membedakannya dengan sistem komunisme pada umumnya. Peran politik TPR. 1949-1966 Begitu rejim komunis berkuasa, TPR melanjutkan penguasaan atas propinsipropinsi
di
bawah
komisi
pengawasan
militer.
Setelah
sebelumnya
ada
pembubaran pemerintahan militer di provinsi-provinsi, Perang Korea membuat para pemimpin militer berkeinginan untuk memodernisasi angkatan bersenjata dalam hal persenjatan dan teknik peperangan. penggagas terkuat program ini adalah Menteri Pertahanan Peng Dehuai, sebagai kritiknya atas pemikiran Mao dan program Lompatan. Akan tetapi, strategi modernisasi peng ini ditentang oleh mayoritas dalam konferensi partai di Lushan pada tahun 1969. Peng bahkan dituduh berkhianat atas kebijakan Mao tentang mobilisasi massa dan komunisme; sebagai konsekuensinya is harus disingkirkan. Lin Biao yang menggantikan peng Dehuai adalah seorang yang dekat dengan ide-ide Mao. Salah satu kebijakan yang dibuatnya adalah "Kampanye Pendidikan Sosialis" yang ditujukan untuk profesionalisme kekuatan teknik dan persenjataan. Kampanye ini juga ditujukan untuk memasukkan pemikiran Mao ke dalam politik dan strategi militer revolusioner guna diikuti seluruh pejabat dan prajurit "IPR. Sebuah
terbitan 'little redbook;
Quotations from
Chairman
Mao
Zedong
didistribusikan kepada pejabat-pejabat TPR, dan kemudian kepada seluruh rakyat.
Universitas Gadjah Mada
Pada tahun 1965, politisasi militer mencapai puncaknya, di mana kerja ideologis dan politis militer ditekankan sebagai satu-satunya jalan partai untuk melakukan kontrol atas birokrasi. pejabatpejabat militer semakin banyak ditempatkan dalam pos-pos strategic partai dan pemerintahan. TPR dalam Masa Revolusi Kebudayaan, 1967-1969 Pada masa awal Revolusi Kebudayaan (April - Desember 1966), para pemimpin revolusi tidak secara langsung melibatkan militer, tetapi hanya mem-back up gerakan mahasiswa radikal menentang aparatus partai yang reaksioner. Pada awal tahun 1967, militer mulai tnelakukan intervensi ke dalam revolusi ketika kekacauan partai meluas, otoritas negara berada dalam suasana kacau, dan terjadi banyak pertumpahan darah. Dalam bulan Januari tahun ini revolusi berubah menjadi scrangan besar-besaran terhadap mesin-mesin partai. Intervensi TPR memiliki dua tujuan yang saling terkait, yaitu perbaikan hukum dan ketertiban serta upaya memasukkan kekuatan militer di belakang radikalisme mahasiswa. Pada bulan September 1967 pemegang otoritas pusat menyadari bahwa kekacauan dan kekerasan akan dapat teratasi dengan menempatkan negara di bawah kontrol militer. Untuk ini KUM diberikan tanggung jawab guna mengawasi tugas-tugas TPR sejak TPR memegang kontrol pemerintahan di daerah. Tugastugas TPR itu adalah: 1. Menjaga disiplin revolusioner dan melindungi kelompok-kelompok proletar revolusioner; 2. Mendukung faksi revolusioner dalam tubuh Biro Keamanan Publik (BKP, semacam polisi); dan 3. Menyingkirkan unsur-unsur antirevolusioner dalam BKP. Untuk menguatkan kontrol militer ini maka koran partai, penyiaran, struktur ekonomi, keuangan, budaya, komunikasi dan transportasi ditempatkan di bawah pengawasan TPR. Selain itu pejabat-pejabat TPR ditugaskan dalam berbagai struktur kementerian negara dan posisi-posisi strategis pada Komisi Perencanaan Negara. Kemudian, pada bulan Mei 1968, dengan dukungan TPR 24 propinsi dan daerah otonom membentuk komisi revolusioner berdasar prinsip Aliansi Tiga Jalur (organisasi massa seperti Tentara Merah, veteran partai, dan militer). Untuk kerja ini, TPR membentuk Unit Khusus guna membantu pejabat lokal memantapkan formasi komisi revolusioner.
Universitas Gadjah Mada
Politik Militer Pasca Revolusi Kebudayaan Dalam Kongres Nasional Partai (KNP) IX 1969, militer dipercaya oleh Revolusi Kebudayaan untuk mendominasi komisi revolusioner daerah. Posisi dominan ini bisa dilihat dalam periode 1968 - 1975, di mans dua puluh dari 29 (68%) ketua komite revolusioner untuk provinsi, daerah otonom, dan tiga kota administrasi penting dijabat oleh personel TPR selaku komandan distrik militer daerah atau komisaris politik untuk komando militer daerah. Pada tahun 1970 - 1971, 60% dari 158 sekretaris partai di tingkat propinsi adalah pejabat militer daerah, 34 kader partai, dan sisanya pemimpin organisasi massa. Ekspansi besar dalam politik menjadi faktor utama Lin Biao Affair. pertanyaan kunci dalam Lin Biao Affair adalah siapa yang sebcnarnya layak untuk melakukan kontrol politik di Cina: sipil dari sayap Mao ataukah militer di bawah komando Lin Biao. Penyingkiran Lin adalah konsekuensi langsung dari ketegangan antara partai dan militer yang masing-masing berusaha memperluas kekuasannya, serta ketegangan yang meninggi antara komando militcr pusat dengan kekuatan militer regional. Akhirnya komando regional yang mayoritas menentang Lin-lah yang menentukan penyingkirannya. Kesimpulannya, Lin Biao Affair merupakan momen yang sangat penting dalam hubungan sipil-militer: ekspansi politik yang sangat cepat dari militer di bawah Lin telah membuat ancaman terhadap kekuatan dan otoritas Mao dan Zhou Enlai. Kejadian-kejadian pasta Lin Biao Affair terpusat pada upaya perbaikan kontrol partai atas militer di bawah diktum Mao yang dikatakannya pada tahun 1929, 5`he party must command the gun". Upaya-upaya tersebut di antaranya: 1. 'Reshuffle' besar-besaran struktur komando pusat yang menjadi basis dukungan utama Lin. 2. Membangun gerakan-gerakan yang diarahkan untuk mengurangi peran militer dalam politik. 3. Pengurangan pengaruh militer dalam proses pembuatan keputusan dalam level nasional dan regional. KPN X pada bulan Agustus 1973 tidak hanya menyelesaikan perkara Lin Biao secara formal, tetapi jugs memberi persetujuan kepada formasi struktur kekuasaan yang baru di bawah PM Zhou dan para pengikut setia ideologi partai seperti Jiang Qing, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, serta bintang baru Wang Hongwen yang terpilih sebagai Wakil Kctua PKC. Koalisi baru ini bertugas pada tahun 1974 untuk mengadakan pergantian personel komando militer regional: tujuh dari sebelas
Universitas Gadjah Mada
komandan militer dimutasi atau disingkirkan dari jabatannya. Ellis Joffe melihat hal ini sebagai upaya memperkuat kontrol pusat terhadap daerah dan sebagai bukti yang menunjukkan disiplin militer dan komitmennya terhadap pusat. 3. Modernisasi Militer Kebutuhan akan adanya modernisasi dan profesionalisme militer semakin dirasa perlu sejak konflik-konflik perbatasan Sino-Soviet mulai memanas setelah tahun 1969. Sebagian besar pemimpin Cina, antara lain Deng Xiaoping, Hu Yaobang, Yang Shangkun, dan Yang Dezhi, telah merespon kebutuhan ini dengan baik . Cina menyadari bahwa kebutuhan dasar akan modernisasi militer adalah pengembangan industri-industri berat dengan cepat dan penelitian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi militer. Ini dapat dicapai antara lain melalui program pembelian senjata dari luar negeri. Untuk itu kontrak-kontrak pembelian dilakukan dengan negara-negara seperti Jerman Barat, Italia, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Kanada. Strategi Cina untuk membeli persenjataan modern dari Barat dalam jumlah terbatas guna memperoleh teknologi pembuatan senjata dirasa akan lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Debat di antara para pemimpin Cina mengenai prioritas isu modernisasi militer Cina selalu diselesaikan dengan menempatkan kebutuhan pembangunan ekonomi di urutan pertama. penurunan derajat modernisasi militer ke tingkat prioritas yang lebih rendah daripada modernisasi industri dan pertanian mungkin dapat lebih dimengerti jika dilihat faktor biaya yang terlibat di dalamnya, yang diperkirakan berjumlah sekitar 41 hingga 63 milyar dolar AS, sementara persediaan devisa yang dibutuhkan untuk membayar senjata tersebut masih sangat kurang. Ketidakmampuan dan keengganan Cina untuk menggunakan sumber daya finansial yang besar guna pembelian senjata modern dalam Skala besar dan luar negeri memaksa Cina untuk mengembangkan beberapa alternatif strategi pertahanan militer. Salah satunya adalah pengembangan scnjata nuklir yang berlatar belakang ideologic bahwa monopoli nuklir oleh negara adidaya harus dihentikan. Di samping itu, para pemimpin militer Cina menyadari bahwa doktrin militer lama tentang perang rakyat atau perang gerilya harus tetap merupakan bahan dasar dalam rencana persiapan perang mereka di masa mendatang. Reformasi dan modernisasi militer Cina di tahun 1980-an menghasilkan suatu
Universitas Gadjah Mada
modifikasi dasar dan doktrin Mao tentang perang rakyat yang telah mendominasi strategi militer Cina selama beberapa dekade. 4. Hubungan Sipil-Militer Cina Pasca Tiananmen 1989 Setelah
kematian
Mao,
Deng
Xiaoping
melakukan
usaha
untuk
mengembangkan profesionalisme militer. Melalui usaha tersebut, Deng berharap dapat meminimalkan intervensi politik TPR. Namun demikian, kcsejahteraan ekonomi wilayah pedesaan yang dihasilkan oleh reformasi telah menghambat para pemuda untuk bergabung dalam angkatan bersenjata. Semua tindakan reformasi yang dilancarkan oleh Deng, seperti terbukanya pintu Cina bagi "tendensi borjuis" dan pemberhentian secara paksa para perwira militer dari berbagai usia (lihat Bab 6) telah menimbulkan kritik dan TPR. Guna merapatkan barisan mencntang kebijakan Deng, para pemimpin AD TPR — yang disebut-sebut sebagai "militer tradisionalis" — telah membentuk aliansi sementara dengan faksi garis keras. Menjelang musim semi 1990 suatu perombakan besar-besaran dalam Komando Daerah Militer telah disempurnakan melalui transfer para Komandan Militer dan satu daerah ke daerah lainnya sebagai suatu cara untuk mencegah ikatan mereka dalam kubu-kubu kekuatan lokal. Pemberhentian atau pembersihan sekitar empat ratus perwira dan 1600 tcntara telah dilakukan dalam tubuh TPR, dengan alasan baik membangkang maupun tidak sanggup melaksanakan Hukum Darurat untuk menggempur para mahasiswa pada peristiwa Tiananmen (lihat Bab 7). Kenaikan pangkat dalam militer setelah peristiwa Tiananmen didasarkan atas kesediaan seorang individu tentara untuk menggunakan kekerasan terhadap para mahasiswa di bawah Hukum Darurat dan kesetiaan pribadi kepada pemimpin milter Yang Bersaudara. Perwira- perwira muda yang dipromosikan dan diseleksi atas dasar profesionalisme dan kompetensi jadi tidak senang dengan komposisi perwira yang sekarang ada dalam TPR. Keluhan utama mereka menyangkut nepotisme dan penekanan kembali pada studi politik atau "redness" di luar kompctensi profesional militer. Nepotismc merajalela dalam tubuh partai dan militer; profesionalisme dan kompetensi dikesampingkan. Seluruh perwira diperintahkan untuk menghabiskan waktu dengan menghadiri sesi-sesi politik untuk mempelajari Marxisme-Leninisme dan Maoisme. Program ini diikuti pula oleh kampanve khusus guna membangkitkan tiga rangkaian tugas, yaitu : (1) menjamin kepemimpinan absolut partai, (2)
Universitas Gadjah Mada
menjamin persatuan dan stabilitas yang tinggi, dan (3) menjamin kecakapan politik yang berkelanjutan. Para tentara dan perwira militer merasakan adanya krisis berupa menurunnya respek dan prestise yang dulu dinikmati oleh TPR sebelum peristiwa Tiananmen. Para tentara, di samping kehilangan kesan dan respek masyarakat, juga menghadapi realita kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh inflasi. Akibatnya mereka hams bekerja keras di sawah dan pabrik milik militer. Keresahan dan perselisihan yang berkelanjutan dalam tubuh TPR telah mcmotivasi beberapa perwira dan Daerah Militer Shenyang, Beijing, dan Nanjing untuk mengeluarkan edaran anti-Yang Shangkun. Kebencian terhadap meningkatnya dominasi dan kontrol TPR oleh keluarga Yang mencapai puncaknva ketika dua puluh pensiunan jenderal senior TPR menghadap Presiden Jiang Zemin pada tanggal 1 Agustus 1990 untuk menyampaikan keluhan serta keprihatinan mereka. Setelah peristiwa Tiananmen, militer hams menghadapi perselisihan dan pertentangan internal tidak hanya mengenai perannya dalam menghantam para mahasiswa, tetapi juga mengenai posisinya dalam masyarakat. Setelah kehilangan prestise tradisionalnya, TPR menghadapi meningkatnya kebencian dan kritik dari masyarakat. Militer Cina kini mencoba untuk mendapatkan kembali identitas politik dan profesionalnya.
Universitas Gadjah Mada