Tingkat Pengetahuan Pegawai Tentang Kesehatan Kerja di Kearsipan Surabaya dan Kearsipan Jawa Timur Oleh : Riyansa Kanzul Haqiqi (071116073) Fitri Mutia, A.KS.,M.SI (197510022008012011) Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2015
ABSTRAK Kesehatan Kerja secara umum lebih di pahami sebagai upaya untuk mengendalikan dan memelihara kesehatan para pegawai atu staf yang bekerja di dalamnya. Fokus utama pemeliharaan kesehatan fisik dan kesehatan psikologis para pegawai. Kesehatan fisik dapat di lihat secara kasat mata dan kesehatan psikologis yang dapat dilihat dari tingkah laku ataupun pemikiran dari masing-masing. Dalam UUD menyatakan bahwa mewujudkan derajat kesehatan yang optimal di selenggarakan melalui pendekatan pemeliharaan dan peningkatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Selain itu UUD juga menyatakan bahwa kesehatan kerja di selenggarakan untuk mewujudkan produktifitas kerja yang optimal, yang meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit kerja dan syarat kesehatan kerja. Penelitian ini di kaji berdasarkan pendapat dan teori dari beberapa ahli mengenai kesehatan kerja dan tingkat pengetahuan. Aspek yang di ukur pada Badan Kearsipan dalam standart kesehatan kerja yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja antara lain: beban kerja, lingkungan kerja dan kapasitas kerja. Teori tingkat pengetahuan di gunakan untuk mengukur kesehatan kerja dengan penggunakan tahapan-tahapan dalam tingkat pengetahuan antara lain: tahu, memahami, analisis, aplikasi, sintesis dan evaluasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pegawai tentang kesehatan kerja sebagian besar menunjukkan hasil sedang, dengan berada pada tingkat diantara 78% dimana hasil masuk pada rata-rata (60-80%) dalam teori pengukuran tingkat pengetahuan. Kata Kunci: Kesehatan Kerja, Tingkat pengetahuan, Kearsipan 1. Pendahuluan Kesehatan kerja adalah hal yang di dalamnya terkandung pemahaman mengenai perlindungan kesehatan kerja. Masyarakat lebih mengenal kesehatan kerja tidak berbeda dengan program K3. Memang hal tersebut tidaklah salah karena di dalam Undang-Undang dasar yang mengatur, tidak membedakan pengertian keselamatan dengan kesehatan kerja. Di dalam pengertian keselamatan telah melekat dengan pemahaman kesehatan kerja. Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1970 di jelaskan bahwa kesehatan kerja merupakan bagian dari
keselamatan kerja. Dengan berkembangnya waktu dan semakin luas ilmu pengetahuan maka kesehatan kerja menjadi cabang ilmu tersendiri. Kesehatan kerja secara umum dapat di pahami sebagai upaya untuk memberikan pemeliharaan, pencegahaan dan perlindungan bagi seluruh tenaga kerja. Hal tersebut di lakukan guna untuk menjamin kesehatan serta keselamatan para pekerja dan mengurangi resiko penyakit kerja yang di timbulkan oleh tempat kerja seperti: alat yang di gunakan pada saat bekerja, lingkungan kerja, fasilitas yang di berikan, ataupun hubungan tenaga kerja satu dengan tenaga kerja lainnya. Hal-hal di atas dapat menimbulkan penyakit kerja yang dapat timbul dalam jangka panjang. Penyakit bisa saja terjadi dari lingkungan kerja yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Penempatan dan peletakan perlengkapan kerja harus diletakan sesuai dengan aturan dan prosedur, dan seringkali penempatan bahan-bahan kimia yang berbahaya yang tidak di tempatkan pada ruangan yang aman ataupun banyak debu yang menempel pada alat atau objek yang di gunakan pada saat bekerja. Kesehatan kerja dapat di ukur dengan melihat faktor-faktor yanga ada di dalam kesehatan kerja seperti faktor beban kerja, lingkungan kerja dan kapasitas kerja, yang di dalamnya mengukur hal-hal kecil yang berkaitan dengan kesehatan fisik maupun mental. Pentingnya kesehatan kerja di Indonesia di tunjukkan oleh Direktur Bina Keselamatan Kerja dan Olahraga Kemenkes Dr. Muchtaruddin mansyur bahwa Kesehatan kerja kini menjadi masalah utama dalam persoalan pemeliharaan kesehatan penduduk Indonesia. Dengan proporsi penduduk lebih dari 50% adalah usia produktif, maka gangguan kesehatan menjadi masalah yang dapat berimbas terhadap aspek sosial dan ekonomi terutama bagi keluarganya. Kepentingan diciptakan kesehatan kerja di dalam perusahaan, instansi ataupun lembaga tersebut berguna untuk kepentingan organisasi sendiri. Sebab tenaga kerja harus mendapatkan jaminan yang menyeluruh dan pekerja merasa nyaman sehingga produktifitas kerja akan naik dan menguntungkan bagi perusahaan atau instansi. Maka dari itu semua jenis pekerjaan harus dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Muchtaruddin (poskotanews kamis 28 november 2013) mengatakan bahwa orang bekerja memiliki resiko gangguan kesehatan 3 kali lipat di banding mereka yang tidak bekerja. Mulai dari sepanjang jalan menuju tempat kerja, di tempat kerja dan ketika kembali ke rumah. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang menderita resiko psikis hingga resiko gangguan penyakit, 90% orang penderita tubercolosi adalah orang-orang yang usianya produktif yang berlatarbelakang adalah seorang pekerja. Hasil survai juga mengatakan bahwa hampir 37,25 % perusahaan yang terdapat di Indonesia tidak menyediakan biaya kesehatan dalam anggaran perusahaan meski hampir 57% pihak manajemen perusahaan mengaku paham akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, dikutip dari Paulus Londo (Kompasiana 22 Desember 2012). Selain perusahaan yang harus memiliki kesehatan kerja juga instansi-instansi dan lembagalembaga, karena di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 menyatakan bahwa kesehatan kerja di selenggarakan untuk mewujudkan produktifitas kerja yang optimal, yang meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit kerja dan syarat kesehatan kerja. Untuk itu, setiap tempat kerja wajib untuk menyelenggarakan dan memperhatikan aspek kesehatan kerja. Dengan adanya Undang-Undang tersebut lembaga yang bergerak dalam bidang jasapun juga wajib untuk menyelenggarakan kesehatan kerja seperti halnya perpustakaan dan lembaga arsip yang dimana ke dua lembaga tersebut adalah lembaga yang bergerak di bidang jasa dan mempunyai tenaga kerja yang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kerja yang optimal. Hasil kajian yang di lakukan oleh Kusuma (2009) yang meneliti tentang “ Resiko Kerja bagi Pengelola Arsip BPAD Provinsi DIY” hasil yang di temukan adalah terdapat beberapa kelemahan dalam lingkungan kerja di BPAD Provinsi DIY kelemahan yang ada seperti kelemahan pemantauan kesehatan bagi tenaga kerja yang ada secara rutin, kurangnya
perhatian serta perbaikan secara menyeluruh agar pegawai memiliki tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya. Selain itu terdapat masalah lain yang di temukan pada kajian Nisa Kusuma adalah di BPAD Provinsi DIY dalam faktor fisik di kesehatan kerja terdapat yaitu kebisingan dimana terdapat di dalam ruangan BPAD setelah di lakukan pengujian tingkat kebisingan dinyatakan berada dalam ambang batas, pencahayaan yang ada di ruanganpun pada dasarnya kurang dan jauh dari standart. Peneliti memilih meneliti tingkat pengetahuan dari pegawai tentang kesehatan kerja. Selain kesehatan kerja sangat penting dilaksanakan dalam lingkungan kerja seorang pegawai juga harus mempunyai pedoman ataupun pengetahuan apa itu sebenarnya kesehatan kerja. Tingkat pengetahuan yang di miliki oleh seseorang mempengaruhi tingkah laku dalam mengerjakan suatu hal pada setiap harinya. Sedangkan kondisi yang terjadi di lapangan penerapan kesehatan kerja bukan di dasarkan dengan bagaimana pegawai itu membutuhkan tetapi karena adanya aturan yang berlaku dan hanya sebagai pelengkap. Pada kenyataannya di setiap instansi sudah pernah disosialisasikan pengetahuan tentang kesehatan kerja. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Tingkat Pengetahuan Definisi yang di kemukakan bahwa pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang di milikinya seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan berasal dari panca indra yang di peroleh dari mata yaitu dengan melihat dan telinga dengan mendengar (Notoatmojo,2007.p.143). 6 tingat pengetahuan (Dewi dan Wawan, 2010,p.12). 1. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu: a) Tahu (know) Tahu di artikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang telah di terima. b) Memahami (comprehension) Memahami di artikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang yang telah paham terhadap objek atau materi dapat menjelaskan, menyebutkan dan menyimpulkan. c) Analisis (analysis) Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat di lihat dari penggunaan kata-kata kerja. d) Aplikasi (application) Di artikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode dan prinsip. e) Sintesis (synthesis) Menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistensis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang ada. 2.2 Definisi Pegawai Kearsipan Mengingat terdapat Undang-undang yang mengatur tentang kearsipan UU No 43 Tahun 2009 di mana di dalam pasa 30 di jelas kan bahwa pengembangan sumberdaya manusia di maksutkan adalah arsiparis dan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan profesionalisme tentang kearsipan. Mengingat didalam penelitian ini tidak hanya arsiparis dimana seluruh sumber daya yang ada di dalam lembaga memperoleh hak untuk menerima dan mengetahuinya maka peneliti mengambil seluruh sumber daya yang ada yang dapat di namakan sebagai pegawai. Menurut Musanef di dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kepegawaian di Indonesia (1984) pegawai adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapat imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari pemerintah atau badan swasta. 2.3 Konsep dasar Kesehatan Kerja Kesehatan kerja adalah semua upaya promosi dan pemeliharaan derajat yang setinggitingginya dari kesehatan fisik, mental dan sosial dari pekerja pada semua pekerjaan, pencegahan gangguan kesehatan pada tenaga kerja yang di sebabkan oleh kondisi kerjanya, perlindungan pekerja dari resiko akibat faktor yang mengganggu kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerjaan dalam suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologisnya, guna penyesuaian pekerjaan kepada setiap tenaga kerja kepada pekerjaannya (menurut Joint ILO/WHO Committe, 1995). Tujuan dari adanya kesehatan kerja adalah untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial dari pekerjaan, guna meningkatkan kapasitas kerjanya, mencegah terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit pada pekerja yang di sebabkan oleh kondisi kerjanya, melindungi pekerja dari resiko akibat faktor lingkungan kerja yang mengganggu kesehatan, menempatkan dan memelihara pekerja dalam suatu lingkungan kerja sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologinya, dan mengembangkan organisasi dan budaya kerja yang mendukung K3, melalui sisitem manajemen , pengembangan sumber daya manusia dan manajemen mutu perusahaan. Tingkat kesehatan dan produkvitas kerja sangat di pengaruhi oleh faktor bebena kerja, lingkungan kerja dan kapasitas kerja., untuk mendapatkan derajat kesehatan kerja yang optimal dan produktivitas kerja yang tinggi.Obyek kesehatan kerja adalah meneliti sumber bahaya, mengidentifikasi bahaya dan penataan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan kerja. Secara lengkap obyek di maksud yaitu sumber bahaya, identifikasi sumber bahaya dan kaitannya dengan perundang-undangan. Sumber bahaya meliputi golongan fisik, kimiawi, biologi, fisiologi dan psikologi. Identifikasi sumber bahaya terdiri dari bahan baku, bahan baku tambahan, hasil antara, hasil produksi, hasil sampingan, peralatan, cara kerja, waktu kerja, lingkungan kerja, limbah penyimpanan/gudang, dan pemusnahan. Tingkat kesehatan dan produkvitas kerja sangat di pengaruhi oleh faktor bebena kerja, lingkungan kerja dan kapasitas kerja., untuk mendapatkan derajat kesehatan kerja yang optimal dan produktivitas kerja yang tinggi. 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif. Menurut sanafiah (2008:20) penelitian deskriptif yaitu metode penelitian yang tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak di maksudkan untuk
menarik generasi yang menjelaskan variabel-variabelanteseden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial. Pada suatu penelitian deskriptif tidak menggunakan hubungan antar variabel dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Tujuan dari penelitian deskriptif ini sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena yang ada dengan mendeskripsikan yang telah di dapati dari sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang akan di teliti. Pendekatan ini di pilih karena format deskriptif hanya bermaksud mendeskripsikan dan menggambarkan tingkat pengetahuan pegawai kearsipan tentang kesehatan kerja tidak menggunakan dan melakukan pengujian hipotesis. Seperti yang di ungkapkan Taylor dalam Pendit(2003) bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian dimana peneliti menyajikan gambaran (deskripsi) fenomena secara valid dan objektif. 4. Hasil dan Pembahasan 1. Tahap I : Tahu Pada tahap tahu ini pegawai memulai awal untuk mengingat materi yang di dapatkan pegawai tentang kesehatan kerja maupun tentang segala beban kerja yang sedang di tanggung oleh pegawai. Pengingatan segala tugas-tugas yang di berikan, mengingat teman-teman sekitar yang sering bekerja sama ada suatu beban yang dapat menjadi beban secara fisik, mental dan sosial. Di tahap ini juga pegawai mengingat segala sesuatu tentang lingkungan kerja dan kapasitas kerja yang selama ini mereka hadapi. Tingkat pengetahuan pegawai kearsipan pada tahap ini menunjukkan prosentase yang cukup baik dengan rata-rata yang dimiliki adalah 75% hal ini berada pada 60-80%. Dimana hal ini dapat di simpulkan bahwa tingkat pengetahuan pegawai pada tahap tahu tentang kesehatan kerja adalah sedang. Maka dari itu di perlukan untuk meningkatkan sosialisasi tentang kesehatan kerja di lingkungan kearsipan. 2. Tahap II: Memahami Pada tahap memahami ini pegawai sudah melakukan peningkatan untuk proses pengukuran tingkat pengetahuan. Di dalam tahap ini pegawai di tuntut untuk memahami semua hal yang berhubungan dengan kesehatan kerja dimana hal tersebut sudah di ketahui sebelumnya. Memahami tentang beban kerja yang sedang di berikan dan di tanggung oleh pegawai. Memahami tentang lingkungan kerja yang terdapat di sekitarnya dan memahami kapasitas kerja yang di miliki oleh pegawai. Tingkat pengetahuan pegawai kearsipan pada tahap ini menunjukkan hasil yang cukup baik dimana pegawai kearsipan mempunyai rata-rata prosentase sebesar 77% hal ini berada pada 60-80%. Dimana hasil ini dapat di simpulkan bahwa pegawai kearsipan pada tahap memahami memiliki tingkat pengetahuan yaitu sedang. Maka dari itu dapat di tingkatkan lagi pembelajaran tentang kesehatn kerja di lingkungan arsip dengan lebih mengutamakan zero accident dalam setiap pekerjaanya. 3. Tahap III: Analisis Menganalisis yang di ketahui dan di pahami adalah tahap tingakat pengetahuan dimana tahap menganalisis adalah mampu membedakan hal yang penting dan tidak, hal yang benar dan tidak, hal yang baik dengan yang tidak. Menganalisis semua informasi yang di dapatkan tentang kesehatan kerja adalh hal yang di butuhkan untuk dapat membuat keputusan program kesehatn kerja apa yang cocok untuk instansi masing-masing. Pegwai Badan Kearsipan menunjukkan tingkat pengetahuan pada tahap memahami kesehatan kerja di tunjukkan dengan rata-rata prosentase yang dimiliki sebesar 78% hal ini berada pada 60-80%. Hasil ini dapat di simpulkan bahwa pada tahapan memahami tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai kearsipan adalah sedang. Karena dari hasil temuan data yang di peroleh
kurang terlalu memahaminya kesehatn kerja seperti apa maka tahap analisis tentang kesehatan kerja juga sedang-sedang saja. 4. Tahap IV: Aplikasi Mengaplikasikan segala sesuatu yang di ketahui dengan dasar-dasar permasalahn dan tujuan yang baik adalah suatu langkah yang benar. Dalam tahap aplikasi di tingkat pengetahuan ini pegawai di tuntut untuk menilai seberapa mengaplikasikannya pegawai dan instansi dengan kesehatan kerja yang di lihat dar faktor beban kerja yang di berikan kepada pegawai, lingkungan kerja yang di sediakan dan kapasitas kerja yang di miliki oleh masing-masing pegawai. Dalam tahap aplikasi ini pegawai menunjukkan hasil dalam penilaiannya terhadap pegawai dan instansi yang di naunginya memiliki rata-rata prosentase sebesar 75%. Hasil dalam tahap memahami ini dapat di simpulkan bahwa tingkat pengetahuan pegawai kearsipan pada tahap memahami ini adalah sedang. Karena kurang meratanya pengplikasian program kesehatan kerja yang dicanangkan oleh pemerintah, maka badan pemerintah seperti Badan Kearsipan juga tidak terlalu mengutamakan perwujudan kesehatn kerja dalam setiap bekerja. 5. Tahap V: Sintesis Memadukan tugas yang di kerjakan dengan melihat kaidah-kaidah kesehatan kerja yang berlaku dapat menghindarkan pegawai dari penyakit kerja yang dapat di timbulka selama bekerja. Dalam tahap ini pegawai di nilai dapat memadukan atau mencampurkan pengetahuan tentang kearsipan yang memang dasarnya sudah di miliki pegawai kearsipan dengan pengetahuan kesehatan kerja yang di berikan untuk mencegah terdainya penyakit kerja di tempat kerja. Pegawai kearsipan menunjukkan hasil pengukuran tingkat pengetahuan pada tahap ini dengan di tunjukkan hasil ratarata prosentase yang dimiliki pegawai kearsipan tentang kesehatan kerja sebesar 73%. Hasil ini dapat di simpulkan bahwa tingkat pengetahuan pegawai tentang kesehatan kerja pada tahap sitensis adalah sedang. Hal tersebut juga menunjukkan pegawai masih belum mampu menghindari penyakit kerja ketika sedang bekerja di lingkungan tempat kerjanya. Karena pengaplikasian kesehatan kerja yang kurang di utamakan dalam Badan Kearsipan maka kemampuan pegawai dalam memadukan pekerjaa dengan kebutuhan hidup sehat juga kurang di perhatikan. 6. Tahap VI: Evaluasi Tahap evaluasi sangat di perlukan untuk mengetahui hal-hal apasaja yang kurang dan lebih. Di dalam kesehatan kerja terdapat program-progarm kesehatan kerja yang seharusnya di ketahui dan di laksanakan oleh seluruh instansi yang di dalamnya terdapat tenaga kerja. dalam tahapan ini pegawai di minta pendapatnya untuk menilai kesehatn kerja yang ada di lingkungan tempat kerjanya dan kesehatan kerja yang di lakukan oleh masing-masing pegawai kearsipan. Dimana hasilnya nanti akan menunjukkan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai kearsipan. Dalam tahapan ini pegawai kearsipan menunjukkan hasilnya dimana pegawai memiliki ratarata prosentase sebesar 69%. Hasil ini dapat di simpulkan bahwa tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai kearsipan tentang kesehatan kerja pada tahap ini adalah sedang. Dapat di simpulkan juga bahwa pegawai belum mampu melakukan evaluai dengan baik. Dilihat dari kesimpulan masing-masing tahap tingkat pengetahuan untuk mengukur tingkat pengetahuan pegawai tentang kesehatan kerja. dapat di ambil garis besar bahwa pegawai kearsipan memiliki pengetahuan tentang kesehatan kerja, tetapi pegawai kearsipan hanya menguasai kesehatan kerja sampai dengan tahap analisis dimana pada semua tahap menunjukkan hasil yang sedang. Tetapi yang memiliki prosentase paling rendah adalah tahap evaluasi
5. Kesimpulan Kesimpulan pada tahap tingkat pengetahuan adalah tingkat pengetahuan pegawai kearsipan memiliki tingkat yang cukup bagus dengan di tunjukkan prosentase-prosentase yang ada di dalam teori. Tetapi tingkat pengatahuan pada tahap evaluasi memiliki prosentase yang paling kecil dari pada tahapan yang lainnya yaitu 69%. Hal ini dapat di katakan bahwa 5 dari 6 tingkat pengatahuan pegawai diatas 70%. 69 % termasuk dalam kategori sedang tetapi sangatlah minimal sekali. Dalam hal tersebut pihak Kearsipan di tuntt untuk memperbaiki pada tahap evaluasi pegawai. 6. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan temuan yang diperoleh dari hasil lapangan maka saran yang dapat diberikan adalah: 1. Untuk meningkatkan prosentase yang paling rendah yaitu aplikasi maka pihak kearsipan Surabaya dan Jawa Timur melakukan pembekalan yang lebih terhadap pegawai tentang pentingnya Kesehatan Kerja 2. Untuk kearsipan Surabaya dan Jawa Timur lebih memperhatikan beban kerja pada setiap pegawai yang termasuk dalam faktor kesehatan kerja, sebab beban kerja setiap pekerja dengan pekerja lainnya berbeda. 3. Fasilitas yang di miliki oleh Kearsipan Surabaya dan Jawa Timur harus lebih di perhatikan tingkat keamanan dalam segi kesehatan, dapat dilihat juga dari segi ergonomi dari fasilitasnya. 4. Untuk penelitian selanjutnya lebih mengeksplore lebih lanjut penerapan kesehatan kerja di Indonesia. Saran yang dapat di berikan untuk pihak kearsipan sebaiknya memperhatikan kesehatan kerja khususnya di lingkungan kearsipan pada dasarnya pegawai kearsipan sudah mempunyai dasar pengetahuan tentang kesehatan kerja lumayan baik. Dimana pegawai juga mengetahui kesehatn kerja berguna untuk mencegah, melindungi, merawat pegawai dari penyakit akibat kerja. Segala progaram yang di lakukan oleh pihak kearsipan harus mengutamakan kesehatan kerja yang di peruntukkan untuk pegawai. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah di kemukakan di atas, dapat di ketahui bahwa kurangnya pengetahuan yang di miliki oleh pegawai kearsipan terhadap kesehatan kerja. Dapat di ketahaui bahwa tingkat pengetahuan pegawai dalam penelitian ini di ukur dari 6 tahap tingkat pengetahun. Berhubung tingkat pengetahuan yang di miliki pegawai kurang tentang kesehatan kerja di kearsipan untuk itu di harapkan pada penelitian selanjutnya dapat mencari tahu dan memperdalam kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA A.Wawan, Dewi M. 2010. Teori dan pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Jakarta. Nuha Medika. Khomsan, Ali. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber daya Keluarga. IPB: Bogor. Kusuma, Nisa. 2009. Resiko Kerja Bagi Pengelola Arsip (resume kajian hasil BPAD provinsi DIY). Yogyakarta, D III Kearsipan UGM Markkanen, Pia K. April 2004. Keselamtan dan Kesehatan Kerja di Indonesia Musanef. 1984. Manajemen Kepegawaian di Indonesia.Jakarta.Gunung Agung. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya-ITS,2004. Dasar-dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Setyawan, Bima Agus. 2014. Persepsi Pegawai Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Perpustakaan. S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Universitas Airlangga. Surabaya. Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Undang-undang Republik Indonesia 13 Thn 2003. Ketenagakerjaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG KESEJAHTERAAN LANJUT USIA Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1970. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Undang-undang Republik Indonesia. Nomor No 28 Tahun 2012. Arsip http://poskotanews.com/2013/11/28/kesehatan-kerja-bakal-jadi-masalah-di-indonesia/ di akses 18-09-2014 pukul 19:30