SKRIPSI
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)
Oleh : INDRA RETNOWATI F14103045
2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : INDRA RETNOWATI F14103045
2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : INDRA RETNOWATI F14103045 Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1985 Di Kendal, Jawa Tengah Tanggal Lulus : 28 Desember 2007 Menyetujui, Bogor, Januari 2008
Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Ketua Departemen Teknik Pertanian
RINGKASAN Indra Retnowati. F14103045. Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Disinfektan Dalam Penanganan Pascapanen Buah Pepaya (Carica papaya L.). Dibawah bimbingan Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si. Buah pepaya merupakan komoditas hortikultura yang memiliki kulit buah yang tipis dan banyak mengandung air, sehingga mudah rusak akibat benturan fisik atau gangguan hama dan penyakit. Teknik penanganan pascapanen yang tepat untuk mengatasi hama atau penyakit antara lain fumigasi, iradiasi, dan perlakuan panas. Selama ini digunakan larutan benomyl sebagai disinfektan namun kini penggunaannya sudah ditinggalkan karena tingkat residu yang berbahaya bagi konsumen dan lingkungan. Penggunaan asap cair dapat menjadi salah satu alternatif dalam penanganan gangguan penyakit pascapanen buah. Asap cair mempunyai kandungan senyawa fenol 5.13%, karbonil 13.28% dan asam 11.39% (Tranggono, dkk. 1996). Ketiganya secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia (disinfektan dan antisepteik) serta memberikan efek warna dan cita rasa khas asap pada produk pangan (Maga, 1987; Girrad, 1992 di dalam Karseno, dkk. 2001). Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai disinfektan dalam pengendalian penyakit pascapanen buah-buahan. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mempelajari efektivitas asap cair sebagai disinfektan melalui uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap antraknosa, (2) mengkaji pengaruh konsentrasi asap cair dalam menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya dengan mengamati perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Agustus 2007. Tempat pelaksanaan penelitian adalah laboratorium Teknik Pengolahan dan Hasil Pertanian, laboratorium Mikrobiologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; laboratorium Fitopatologi, Seameo Biotrop-Tajur; dan laboratorium AP4 (Agricultural product Processing Pilot Plants) Fateta IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buah pepaya (Carica papaya L.) varietas IPB 3 dengan tingkat kematangan yang seragam, beberapa bahan kimia seperti NaCl, media agar (PDA dan PDB) serta alkohol untuk uji total cendawan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rheometer tipe CR-300 (untuk mengukur kekerasan), refraktometer model N-1 Atago (untuk mengukur total padatan terlarut), timbangan digital, lemari pendingin (refrigerator) serta beberapa peralatan tambahan seperti cawan petri, pipet, erlenmeyer, gelas ukur dan lain-lain. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penelitian tahap I untuk menguji aktivitas antimikroba asap cair dan penelitian tahap II yaitu mengkaji pengaruh asap cair terhadap mutu buah pepaya. Pengamatan mutu meliputi susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, serangan penyakit, dilakukan setiap 4 hari selama 20 hari. Selain itu dilakukan uji total cendawan pada hari ke-0 dan hari ke-14, serta uji organoleptik terhadap warna kulit, warna daging buah, aroma, dan rasa kepada 10 orang panelis. Dari hasil uji aktivitas antimikroba asap cair menunjukkan bahwa dengan konsentrasi asap cair 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang diujikan. Asap cair sebagai disinfektan pada penanganan pascapanen pepaya
terbukti mampu menghambat serangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeospoiroides sehingga dapat mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buah. Dari asap cair sebagai disinfektan pada pepaya berpengaruh terhadap susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total cendawan serta uji organoleptik. Pada akhir penyimpanan (hari ke-20) nilai susut bobot tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol tanpa pelilinan yaitu sebesar 6.87%, sedangkan nilai susut bobot terendah terjadi pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% dengan pelilinan yaitu sebesar 3.37%. Nilai kekerasan menurun seiring dengan bertambahnya umur penyimpanan buah. Perlakuan konsentrasi asap cair 1% dengan pelilinan memiliki nilai kekerasan tertinggi sedangkan kontrol tanpa pelilinan memiliki nilai kekerasan terendah, hal ini berarti asap cair dapat mempertahankan kekerasan buah. Nilai total padatan terlarut pada semua perlakuan dan kontrol cenderung menurun seiring dengan waktu penyimpanan, namun pada asap cair konsentrasi 1% nilai total padatan terlarut cenderung konstan. Penurunan nilai total padatan terlarut disebabkan karena terjadinya hidrolisa pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Uji total cendawan menunujukkan dengan penambahan konsentrasi asap cair pada pepaya cukup efektif menghambat pertumbuhan penyakit pada pepaya. Hasil ini mengacu pada hasil uji aktivitas antimikroba asap cair dengan metode kontak yang dilakukan pada awal penelitian, bahwa penambahan asap cair dengan konsentrasi sebesar 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Berdasarkan pengamatan penyakit secara visual, serangan penyakit mulai terlihat pada hari ke-6 yaitu pada kontrol tanpa pelilinan, Pengamatan untuk kontrol tanpa pelilinan dihentikan pada hari ke-13 karena serangan penyakit sudah mencapai 90%. Sedangkan kontrol dengan pelilinan masih bisa bertahan sampai hari ke-15. Pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan mulai menunjukkan gejala serangan penyakit pada hari ke-10. Kondisi fisik pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% tanpa pelilinan semakin menurun dan kerusakan mencapai puncaknya pada penyimpanan hari ke-16, yaitu sebesar 75%. Keadaan ini diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tanpa pelilinan dengan kerusakan mencapai 35%-70% pada hari ke-18. Sedangkan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan mampu bertahan sampai akhir pengamatan dengan kerusakan tidak lebih dari 10%. Dari hasil organoleptik diketahui bahwa perlakuan konsentrasi asap cair 1% dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan lebih disukai karena rasanya lebih manis dan tidak beraroma asap daripada perlakuan yang lain. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan asap cair sebagai disinfektan maupun pengawet pada produk hortikultura yang lain dengan menggunakan parameter mutu yang lebih lengkap seperti laju respirasi, uji vitamin A, uji dan identifikasi cendawan jenis lainnya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kendal, 26 Juni 1985. Penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara, dengan ayah bernama Drs. Bagiyo Santoso dan ibu bernama Sulasih. Pendidikan penulis dimulai dari bangku Taman Kanak-Kanak ”Putra Tanjung” lulus pada tahun 1991. Dilanjutkan ke jenjang berikutnya di SDN II Tanjungmojo dan lulus pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 2000, penulis lulus dari SLTPN I Cepiring dan menamatkan pendidikan dari SMAN I Kendal pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima melalui jalur USMI di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai staf Departemen Profesi Himateta-IPB pada tahun 2004/2005 sampai tahun 2005/2006. Pada tahun 2006 penulis mengikuti kegiatan praktek lapangan di Gudang Bulog, Demak, Jawa Tengah. Topik yang diambil “Mempelajari Aspek Keteknikan Pada Proses Pengolahan dan Penyimpanan Gabah/Beras Di Perum Bulog Subdivre, Semarang, Jawa Tengah”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian,
penulis
melakukan
penelitian
yang
berjudul
“KAJIAN
PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI DISINFEKTAN DALAM PENANGANAN PASCAPANEN BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim. Alhamdulillahirobbil’alamin,
puji syukur
penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan kekuatan serta kesabaran yang selalu tercurah, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, semoga kita termasuk umat yang akan mendapat syafaat dan perlindungan di yaumul akhir. Skripsi ini berjudul Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Disinfektan Dalam Penanganan Pascapanen Buah Pepaya (Carica papaya L.). Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu sejak penyiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku dosen pembimbing, atas bimbingan dan bantuannya selama penelitian dalam penyusunan skripisi ini. 2. Dr. Ir. Suroso, M.Agr dan Ir. Mad Yamin, MT sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak dan Ibu tercinta, Drs. Bagiyo Santoso dan Sulasih, semua yang Ananda lakukan sampai detik ini adalah bukti bakti dan cinta kasih Ananda, meski Ananda tahu hal itu tiada akan pernah cukup untuk mambalas semua pengorbanan dan cinta kasih kalian. 4. Adik-adikku tersayang, Intan, Ida, Sekar, Erlin dan Raffi. Terima kasih untuk semua keceriaan yang selalu ada di tengah kita. Kalian adalah semangat untuk Mbak. Teriring doa dan harapan semoga Allah menjadikan kita anak-anak soleh dan solehah. 5. Panji Aminullah, terima kasih untuk semua kasih sayang dan semangatnya. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk kita. 6. Rekan seperjuangan, Ali Parjito, STP., dan Kindi Kalabadi. Semoga ilmu yang kita peroleh bisa menjadi bekal hidup kita. 7. Try Ryantini dan Hariatun KS. Telah banyak kenangan, canda tawa dan tangis haru antara kita. Persahabatan dan kebersaman yang terjalin empat tahun ini
i
akan selalu menjadi bagian yang termanis dalam hidupku. Semoga cerita kita tak berakhir sampai di sini. ” Peluk tubuhku dan usapkan juga airmataku”. 8. Tri Wahyuni, Heni R, St. Muchidah, R. Puspita, Monica R, Eriza S. Pegang pundakku jangan pernah lepaskan jika ku mulai lelah dan tak bersinar. Cerita kita adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan. Merdeka kita merdeka! 9. Dedi, Gia, Raning, Iwa K, Ojan. Motor-motor kalian telah menjadi teman seperjuanganku saat panen. Thanks ya Bro. 10. Teman-teman TEP 40; Rini Susilo, Kaltika, dan semuanya. Semoga Allah memberikan jalan terbaik bagi kita semua. 11. Teman-teman Mobster; Winsih, Lisda, Luluk, Ina, Likah, Second. Terima kasih untuk dukungan kalian. 12. Mbak Ita Zuraida, Mbak Elpodesy, Mbak Ari Seafast. Semoga allah membalas budi baik kalian. 13. Para teknisi dan laboran, pak Sulyaden, pak Ahmad, pak Koko, pak Basri. Maaf kalau selama ini selalu merepotkan kalian. 14. Dr. Okky S. Dharmaputra dan Mbak Ina Retnowati. Terima kasih atas bantuan analisa cendawannya. 15. Semua pihak yang luput dari ingatan. Jasa kalian tetap tercatat di sisi Allah. Terima kasih. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat. Atas segala kekurangan yang ada di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf sekaligus mengharap kritik dan saran demi perbaikan. Bogor, Desember 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................i DAFTAR ISI ................................................................................................iii DAFTAR TABEL .........................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vi I. PENDAHULUAN .................................................................................1 A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN .................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4 A. Pepaya (Carica papaya L)..............................................................
4
B. Penanganan pascapanen pepaya.........................................................
6
C. Penyakit pascapanen pepaya............................................................... 10 D.Pengendalian penyakit pascapanen...................................................... 13 E. Pelilinan..........................................................................................
19
F. Asap Cair…………………………………………………………….. 21 III.METODOLOGI PENELITIAN............................................................. 26 A. Waktu dan Tempat............................................................................... 26 B. Bahan dan Alat..................................................................................... 26 C.Prosedur Penelitian................................................................................ 26 D.Pengamatan........................................................................................... 31 E.Rancangan Percobaan............................................................................ 32 I V. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….. 34 A. Uji aktivitas antimikroba asap cair………………………………..... 34 B. Pengaruh Konsentrasi Asap dan Pelilinan Terhadap Mutu Pepaya……………………………………………… 35
iii
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 59 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 60 LAMPIRAN……………………………………………………………… 63
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkembangan Produksi Kelapa Indonesia Tahun 1996 - 2000 ............1 Tabel 2. Komposisi zat gizi pepaya per 100 g bahan ..........................................6 Tabel 3. SNI Pepaya Malang Segar. .....................................................................9 Tabel 4. Klasifikasi/golongan pepaya malang segar.............................................10 Tabel 5. Persyaratan dosis dalam berbagai penerapan iradiasi pangan.................15 Tabel 6. Contoh fungisida yang dapat digunakan pada buah-buahan dan sayuran...................................................................................................17 Tabel 7. Konsentrasi emulsi lilin optimal untuk beberapa komoditas hortikultura............................................................................................20 Tabel 8. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-0 ........................................46 Tabel 9. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-14 ......................................46
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair ..............28 Gambar 2. Diagram alir penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan terhadap mutu pepaya .......................................................................................30 Gambar 3. Aktivitas penghambatan asap cair terhadap Colletotrichum gloeosporiodes ..........................................................34 Gambar 4. Susut bobot pepaya selama penyimpanan pada suhu 10° C (hari ke-20)...................................................................................
37
Gambar 5. Nilai kekerasan pepaya hari ke-4 .......................................................40 Gambar 6. Nilai Total Padatan Terlarut pepaya hari ke-16 .................................45 Gambar 7. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-0..............48 Gambar 8. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-14............49 Gambar 9. Perubahan visualisasi pepaya selama penyimpanan ..........................52 Gambar 10. Nilai warna kulit pepaya pada hari ke-12. .......................................53 Gambar 11. Nilai warna daging pepaya pada hari ke-20.....................................55 Gambar 12. Nilai aroma pepaya pada hari ke-20 ................................................56 Gambar 13. Nilai rasa pepaya pada hari ke-16. ...................................................58
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan. ....................64 Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada pepaya selama penyimpanan ..................................................66 Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan........................70 Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada pepaya selama penyimpanan…………………………………...... 72 Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama penyimpanan ...................................................................................76 Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan........................78 Lampiran 7. Hasil uji organoleptik selama penyimpanan ...................................82 Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada pepaya selama penyimpanan...........................................................83 Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging pada pepaya selama penyimpanan. .................................................85 Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya selama penyimpanan...........................................................87 Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya selama penyimpanan...........................................................89 Lampiran 12. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna kulit pada pepaya selama penyimpanan...........................................................91 Lampiran 13. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna daging pada pepaya selama penyimpanan...........................................................92 Lampiran 14. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya selama penyimpanan.......................................................................93 Lampiran 15. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya selama penyimpanan.......................................................................94
vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi perkelapaan Indonesia di dunia bila dilihat dari arealnya adalah rangking pertama, yaitu seluas 3.712 juta ha (31.2%) dari total areal dunia 11.909 juta ha (100%) pada tahun 1999, diikuti oleh Philipina seluas 3.077 juta ha (25,8%), India 1.908 ha (16.0%), Srilanka 0.422 juta ha (3.7%), Thailand 0.372 juta ha (3.1%) dan negara lainnya 2.398 juta ha (20.2%) (BPS, 2002). Sebagai produsen kelapa terbesar di dunia, kelapa Indonesia menjadi ajang bisnis raksasa mulai dari pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dll); proses produksi, pengolahan produk kelapa (turunan dari daging, tempurung, sabut, kayu, lidi, dan nira), dan aktivitas penunjangnya (keuangan, irigasi, transportasi, perdagangan). Areal tanaman kelapa di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat (96.6%) dan oleh perusahaan perkebunan besar (3.4%). Perkembangan luas areal dan produksi sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 1.Perkembangan Produksi Kelapa Indonesia Tahun 1996 - 2000 No
Uraian
1996
1997
1998
1999
2000*
1 Perkebunan Rakyat (000 ton/ha)
2,687
2,620
2,690
2,700
2,688
2 Perkebunan Besar Negara (000 ton/ha)
19
21
22
22
22
3 Perkebunan Besar Swasta (000 ton/ha)
55
62
66
67
68
2,761
2,703
2,778
2,789
2,778
Jumlah
Sumber : Biro Pusat Statistik, 2002. *) Sementara
Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15.5 milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3.75 juta ton air, 0.75 juta ton arang tempurung, 1.8 juta ton serat sabut, dan 3.3 juta ton debu sabut. Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Daerah sentra produksi kelapa di Indonesia adalah Propinsi
1
Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Beberapa wilayah yang bukan sentra produksi tetapi memiliki potensi bahan baku tertentu yang berkualitas seperti NTB dan NTT untuk industri kayu. Salah satu industri yang berkembang dari hasil sampingan kelapa adalah industri pengolahan tempurung kelapa. Namun perkembangan industri ini menimbulkan dampak pada lingkungan, karena hasil ikutannya berupa asap yang dapat menyebabkan polusi udara. Asap yang ditimbulkan sebagai hasil pembakaran untuk memperoleh arang selama ini belum termanfaatkan secara optimal bahkan lebih banyak terbuang dan mengganggu lingkungan sekitarnya. Padahal asap dapat dikondensasikan menjadi asap cair yang dapat digunakan sebagai bahan disinfektan untuk penyakit pascapanen buah-buahan, bahan pengawet makanan sebagai pengganti formalin, dan sebagai fertilizer. Asap cair mempunyai kandungan senyawa fenol 5.13%, karbonil 13.28% dan asam 11.39% (Tranggono, dkk. 1996). Ketiganya secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia serta memberikan efek warna dan cita rasa khas asap pada produk pangan (Maga, 1987; Girrad, 1992 di dalam Karseno, dkk. 2001). Adanya sifat fungsional (antioksidan, antimikrobia, efek cita rasa dan warna) dari asap cair yang tidak berbeda dari asap alami, maka asap cair tempurung kelapa ini dapat diaplikasikan ke produk pangan maupun hortikultura. Sebagai antiomikrobia, asap cair dapat berfungsi sebagai disinfektan untuk mengatasi penyakit pascapanen pada komoditas buah-buahan, salah satunya yaitu pada buah pepaya. Pada tahun 2000 produksi buah pepaya di Indonesia sebesar 429 ribu ton. Produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai Negara penghasil buah pepaya ke-5 terbesar di dunia. Meskipun demikian Indonesia belum mampu mengekspor buah pepaya di pasar dunia secara berarti. Pada tahun 2000, Indonesia mampu mengekspor 18,110 kg namun tahun 2001 ekspor buah pepaya tersebut mengalami penurunan sebesar 27% yaitu hanya mencapai 4,934 kg (Ditjen BPPHP, 2002). Buah pepaya merupakan komoditas yang mudah rusak karena tekstur buah pepaya memiliki kulit buah yang tipis dan banyak mengandung air, sehingga mudah rusak akibat benturan fisik atau gangguan hama dan penyakit. Oleh karena itu buah pepaya memerlukan teknik penanganan pascapanen yang
2
tepat. Salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan kerugian atau kehilangan produksi buah pepaya adalah gangguan penyakit pada pascapanen buah. Menurut Prabawati, Sjaifullah, dan Dwi (1991), penyakit pascapanen yang banyak menginfeksi buah pepaya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides dan penyakit busuk buah Rhizopus. Upaya untuk mengendalikan gangguan penyakit antraknosa pada buah pepaya telah banyak dilakukan, terutama aplikasi pestisida (fungisida) sintetik (Prabawati, et al., 1991). Akan tetapi, aplikasi tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan karena meninggalkan residu, bersifat toksik, dan membentuk resistensi hama dan penyakit. Penggunaan fungisida botani menjadi pilihan alternatif untuk dikembangkan karena tidak hanya mengendalikan pertumbuhan cendawan, tetapi juga memiliki residu yang kecil dan mudah terdegradasi lingkungan. Asap cair dari tempurung kelapa dapat dijadikan salah satu alternatifnya.
B. Tujuan Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai disinfektan dalam pengendalian penyakit pascapanen buah-buahan. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mempelajari efektifitas asap cair sebagai disinfektan melalui uji aktifitas cendawan antraknosa, (2) mengkaji pengaruh konsentrasi asap cair dalam menghambat
serangan
penyakit
antraknosa
pada
buah
pepaya
selama
penyimpanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pepaya (Carica papaya L) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nicaragua. Bersama pelayar-pelayar bangsa Portugis di abad ke-16, tanaman ini turut menyebar ke berbagai benua dan negara, termasuk ke Benua Afrika dan Asia serta negara India. Dari India, tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis lainnya, termasuk Indonesia. Menurut Samsudin (1985) di dalam Firmaningsih (1993) buah pepaya termasuk dalam: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledoneae
Ordo
: Caricales
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Species
: Carica papaya L
Pepaya merupakan tanaman herba. Batangnya tidak bercabang namun apabila pucuknya dipotong, cabang akan terbentuk. Bentuk batang lurus, bulat, berongga di dalam, lunak dan dapat mencapai ketinggian hingga 10 meter (Ashari, 1995). Daun-daun pepaya tersusun secara spiral, berkelompok dekat dengan ujung batang. Helaian daunnya menyerupai telapak tangan manusia. Apabila daun pepaya tersebut dilipat menjadi dua bagian persis di tengah, akan nampak bahwa daun pepaya tersebut simetris. Tangkai daunnya sangat panjang hingga mencapai 1 meter dan berongga. Jika tidak terdapat gangguan, dua lembar daun akan muncul setiap minggunya. Menurut Kalie (1999), pepaya memiliki tiga jenis bunga, yaitu bunga jantan (masculus), bunga betina (femineus), dan bunga sempurna (hermaprodit). Bunga jantan berbentuk tabung ramping dengan panjang kira-kira 2.5 cm, mahkota bunga terdiri dari lima helai, benang sari berjumlah 10 dan ovarium
4
mengalami rudimenter sehingga tidak menghasilkan buah. Bunga betinaberukuran agak besar dan memiliki bakal buah berbentuk bulat, mahkota bunga terdiri dari lima helai dan tidak memiliki benang sari. Bunga sempurna pada pepaya dibedakan menjadi bunga sempurna elongata, bunga sempurna petandria dan bunga sempurna antara. Bunga sempurna elongata memiliki bakal buah berbentuk lonjong dan 10 benang sari yang tersusun melingkar pada bakal buah. Bunga sempurna petandria mempunyai lima buah benang sari yang bertangkai agak pendek dan bakal buah berbentuk bulat. Bunga sempurna antara mempunyai benang sari yang berbeda jumlahnya, antara 2-10 buah dan akan menghasilkan buah yang bentuknya tidak sempurna. Rongga dalam pada buah pepaya berbentuk bintang apabila penampang buahnya dipotong melintang. Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah protein atau enzim proteolitik yang disebut papain. Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam industri, diantaranya industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, tekstil, dan penyamak. Buah pepaya termasuk tipe buah buni berdaging, berbetuk bulat telur sampai lonjong, hampir bulat, berbentuk avokad dan silinder, panjangnya 7-30 cm, bobotnya bisa mencapai 10 kg, kulit buahnya tipis, halus, jika matang berwarna kekuning-kuningan atau jingga, dagingnya berwarna kekuning-kuningan sampai jingga merah, rasanya manis dengan aroma yang sedap, bijinya bulat, kecil, warnanya hitam dan jumlahnya banyak sekali. Menurut Kalie (1999), pepaya tergolong buah yang banyak diminati hampir di seluruh dunia. Daging buah yang lunak warnanya merah atau kuning, rasanya yang manis dan mengandung banyak air. Nilai gizi buah ini cukup tinggi karena banyak mengandung provitamin A, vitamin C, dan mineral. Buah pepaya mengandung berbagai jenis enzim, vitamin, dan mineral. Kandungan vitamin A-nya lebih banyak daripada wortel, vitamin C-nya lebih tinggi daripada jeruk. Mengandung juga vitamin B kompleks dan vitamin E. Oleh karena teksturnya yang lunak dan nilai gizi yang tinggi maka buah ini sangat baik diberikan untuk anak-anak dan lansia. Kandungan pepaya secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Komposisi zat gizi pepaya per 100 g bahan. Unsur Komposisi Air (g) Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Vitamin A (mg) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Fosfor (mg)
Buah Masak 86.70 46.00 0.50 * 12.20 365.00 0.04 78.00 23.00 1.70 12.00
Buah Mentah 92.30 26.00 2.10 0.10 4.900 50.00 0.02 19.00 50.00 0.40 16.00
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1979 di dalam Kalie, 1999.
Tanaman pepaya memiliki daya adaptasi yang cukup luas terhadap lingkungannya. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Meskipun di dataran tinggi tanaman pepaya dapat tumbuh dengan baik, namun demikian makin tinggi tempat penanaman justru akan mengurangi manisnya buah. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari yang relatif rendah dan kelembapan udaranya tinggi. Menurut Kalie (1999) tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.000 m dpl. Tanaman ini lebih senang tumbuh di lokasi yang banyak hujan (cukup tersedia air), curah hujan 1000-2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Di daerah yang beriklim kering, musim hujannya 2-5 bulan, dan musim kemaraunya 6-8 bulan, tanaman pepaya masih mampu berbuah, asalkan kedalaman air tanahnya 50-150 cm. Tanah yang subur dengan porositas baik, mengandung kapur, dan ber-pH 6-7 paling disenangi oleh tanaman pepaya (Rismunandar, 1981). Tanaman pepaya lebih menyukai daerah terbuka (tidak ternaungi) dan tidak tergenang air. Tanah yang berdrainase tidak baik menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit akar. Sedangkan untuk suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22o-26o C, suhu minimum 15o C, dan suhu maksimum 43o C. perkecambahan biji
6
pepaya akan berlangsung cepat bila suhu siang hari 35o C dan malam hari 26o C. biji akan berkecambah dan tumbuh setelah 12-14 hari (Kalie, 1999). Menurut Kalie (1999) varietas pepaya dikenal dari bentuk, usuran, warna, rasa, dan tekstur buahnya. Dari parameter tersebut maka dikenal buah pepaya yang berukuran besar atau kecil, berbentuk bulat atau lonjong, daging buah berwarna merah atau kuning, keras atau lunak berair, rasanya Manis atau kurang Manis, dan kulit buah licin menarik atau kasar tabal. Berat buah pepaya berkisar antara 0.5-9 kg. Di Indonesia, varietas pepaya yang banyak ditanam adalah pepaya semangka, pepaya jinggo, dan pepaya cibinong. Selain itu, dikenal juga varietas pepaya mas, pepaya item, dan pepaya ijo. Varietas buah pepaya yang berhasil dikembangkan di Indonesia, diperoleh dari pengumpulan berbagai hasil eksplorasi dari daerah. Berdasarkan pengujian dan seleksi diantaranya pepaya Arum Bogor dikenal dengan nama varietas Pepaya IPB1 dan Pepaya Prima Bogor dikenal dengan nama varietas Pepaya IPB2 serta IPB 3. Masing-masing memiliki umur panen 140 ,150, dan 120 hari setelah bunga mekar (PKBT, 2003).
B. Penanganan Panen dan Pascapanen Pepaya Tanaman pepaya yang dibudidayakan di dataran rendah mulai berbunga pada umur empat bulan. Enam bulan kemudian tanaman pepaya sudah dapat dipanen. Umur berbunga dan umur petik ini akan bertambah bila tanaman pepaya ditanam pada lahan-lahan yang lebih tinggi atau di wilayah iklim yang lebih dingin (Kalie, 1999). Buah pepaya dipanen pada stadium mendekati matang pohon, yakni setelah buah menunjukkan garis-garis menguning. Untuk pasaran setempat biasanya buah dipetik pada tingkat kemasakan mengkal, sedangkan untuk pasaran jarak jauh buah dipetik pada tingkat kemasakan tua. Buah masak mengkal bila kulit buah di bagian ujung tampak mulai menguning, sedangkan daging buah masih tetap keras. Buah pepaya yang masak ditandai dengan kulit dan dagingnya berwarna cerah, rasanya manis, dan aromanya sudah tercium. Menurut Kalie (1999) waktu memanen harus dijaga agar kulit buah jangan samapi tergesek atau tergores, apalagi sampai terluka. Gesekan, goresan, atau luka membuat buah menjadi cacat. Akibatnya, warna kulit maupun penampilan buah tidak utuh lagi. Goresan pada buah menjadi jalan masuk atau
7
tempat terjadinya infeksi mikroorganisme. Akibat lebih lanjut adalah daya simpan buah menjadi berkurang. Untuk itu, pada saat melakukan pemanenan harus dihindari kerusakan fisik ini. Pemanenan
harus
memperhatikan
tingkat
kemasakan.
Tingkat
kemasakan buah pepaya biasanya dinyatakan dalam bentuk buah muda, buah tua, buah mengkal, dan buah terlalu masak. Buah muda adalah buah yang masih dalam proses pertumbuhan dan pembentukan ke arah tingkat buah tua. Bentuk, berat, dan komposisi buah masih belum utuh dan belum lengkap. Kulit buah berwarna hijau muda dan mengandung banyak getah. Daging buah dan biji masih berwarna putih. Buah tua (green mature stage) ditandai dengan warna kulit masih berwarna hijau tetapi getah sudah banyak berkurang dan encer, daging buah masih keras dan sudah mengalami perubahan warna. Buah mengkal (firm ripe stage) ditandai dengan mulai menguningnya warna kulit buah, terutama di bagian ujung buah. Pada buah masak (ripe stage) seluruh kulitnya telah berubah warna menjadi kuning atau kuning kemerahan. Daging buah seluruhnya telah lunak dan berwarna kuning atau merah menyala. Rasanya manis segar beraroma dan berair banyak (Kalie, 1999). Setelah dipanen, biasanya buah pepaya diperam terlebih dahulu atau dikarbit. Hal ini dilakukan karena buah pepaya yang dipanen biasanya masih dalam keadaan mengkal. Pengkarbitan dilakukan dengan memasukkan buah pepaya ke dalam peti atau ruangan yang ditutup rapat kemudian di bagian bawah peti diberi karbit yang dibungkus daun pisang. Bila buah yang dikarbit masih muda, rasa buah menjadi kurang enak, yaitu kurang manis, dingin, dan ada rasa pahit. Setelah dilakukan pengkarbitan, pepaya siap untuk diangkut ke lokasi pemasaran. Pada umumnya, pedagang buah pepaya mengangkut buah dengan menggunakan keranjang bambu atau alat pengangkut lain. Untuk menjaga agar buah pepaya tidak saling bergesekan maka di bagian bawah dari keranjang dialasi dengan daun pisang kering. Selain di bagian alas keranjang, daun kering tersebut juga ditempatkan di sekeliling keranjang dan celah-celah diantara buah. Penempatan buah di dalam keranjang dilakukan dengan cara berdiri dengan tangkai di sebelah bawah.
8
Di Hawaii, buah pepaya yang akan diekspor ke Amerika, Jepang atau pasar lainnya dikemas dalam kotak karton atau kotak sterofoam berukuran 6.5 x 10.5 x 14 inci. Untuk mencegah serangan busuk buah selama pengangkutan, sebelum dikemas buah dicelup air panas yang bersuhu 43-48oC selama 20 menit. Setelah itu, buah difumigasi selama dua jam dengan etilen bromida (EDB) sebanyak 8 g/m3 ruangan. Ruangan fumigasi tersebut hanya boleh diisi tiga perempat bagian saja. Perlakuan dengan EDB ini adalah untuk membunuh lalat buah dan larvanya. Perlakuan pencelupan air panas dan fumigasi merupakan perlakuan standar yang harus dilakukan terhadap buah-buah pepaya yang akan diekspor. Buah kemudian diangkut pada suhu 10oC dan kelembapan 80-90%. Dalam kondisi tersebut buah dapat disimpan selama 3-4 minggu. Pengangkutan atau penyimpanan buah pepaya pada suhu yang lebih rendah dari 10oC, tepatnya lebih rendah 7.2oC, dapat menimbulkan gangguan fisiologis pada buah yang disebut chilling injury. Buah menjadi berbintik-bintik, tidak dapat masak, rasanya tawar dingin, atau bahkan menjadi busuk (Kalie, 1999). Pepaya untuk ekspor atau pasar swalayan menghendaki suatu standar buah tertentu. Pepaya Malang Segar digolongkan dalam 3 (tiga) ukuran yaitu kelas A, B, C, dan D berdasarkan berat tiap buah, yang masing-masing digolongkan dalam 3 (tiga) jenis mutu yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III (Tabel 3 dan 4). Tabel 3. SNI Pepaya Malang Segar. Kelas A B C D
Berat per buah kg – 3.0 kg 1.8 kg – 2.4 kg 1.5 kg – 1.7 kg < 1.5 kg atau > 3 kg
Sumber : SNI-01-4230-1996
Buah Pepaya Malang Segar masing-masing digolongkan dalam 3 (tiga) jenis mutu yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III. Kriteria dalam menentukan jenis mutu buah Pepaya Malang Segar dinilai dari tingkat ketuaan dimana jumlah strip berwarna jingga pada permukaan kulit buah yang berwarna hijau botol saat
9
dipanen, kebenaran kultivar, keseragaman ukuran berat, tingkat kerusakan, kebusukan, dan kadar kotoran, serta tingkat kesegaran. Tabel 4. Klasifikasi/golongan pepaya malang segar Spesifikasi
Satuan Mutu I
a. Tingkat ketuaan warna kulit (jumlah strip warna jingga) b. Kebenaran kultivar c. Keseragaman ukuran berat d. Keseragaman bentuk e. Buah cacat dan busuk f. Kadar kotoran g. Serangga hidup atau mati h. Tingkat kesegaran
Strip % % % % % % %
Mutu II
Mutu III
3
2-3
1
97 97 97 0 0 0 100
95 95 95 0 0 0 < 25
90 90 90 0 0 0 >25
Sumber : SNI-01-4230-1996
Buah pepaya lebih lanjut dapat diolah menjadi berbagai produk pangan yang digemari oleh masyarakat. Biasanya buah yang diolah adalah buah yang tidak memiliki standar buah untuk pasar, seperti buah yang terlalu besar atau terlalu kecil, buah yang tidak memiliki bentuk sempurna. Bentuk olahan pepaya antara lain manisan pepaya, koktil pepaya, jeli pepaya, jam pepaya, sirup pepaya dan saus buah pepaya. C. Penyakit Pascapanen pepaya Penyakit pascapanen pada pepaya merupakan sesuatu kerugian besar yang harus ditangani secara serius karena dapat menurunkan produksi dan mutu produk yang dihasilkan. Penyakit pascapanen biasanya disebabkan oleh luka-luka pada komoditi selama dan sesudah pemanenan, seperti batang-batang yang dipotong, dan kerusakan mekanik pada sel-sel permukaan selama penanganan dan pengangkutan. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan pascapanen yang berat pada buah pepaya adalah akibat pembusukan cendawan. Berikut ini penyakit yang sering menyerang pada pascapanen tanaman pepaya: 1. Penyakit Antraknosa Penyakit
ini
disebabkan
oleh
sejenis
cendawan
yang
disebut
Colletotrichum, termasuk kelas Deuteromycetes ordo Melanconiaceae, subklas cendawan imperfecti yang belum diketahui tingkat seksualnya (teleomorf)
10
(Semangun, 2000). Menurut Pantastico (1986) penyakit antraknosa merupakan penyakit laten pada buah-buahan dan akan tampak nyata bila buah menjadi matang. Cendawan ini memiliki tubuh buah (aservulus) berbentuk piring dangkal. Konidium oval sampai memanjang, agak melengkung dan dalam jumlah banyak berwarna kemerahan. Cendawan ini sesungguhnya tidak hanya menyerang buah saja, tetapi juga menyerang daun, bunga, ranting, dan tanaman semai (Kalie, 1999). Konidia diproduksi di aservulus dalam kondisi lembab dan menyebar dengan bantuan percikan air dan serangga pada malam hari yang berupa massa lendir berwarna merah jambu. Pada kondisi lingkungan yang kering, konidia mengeras dan berwarna kekuningan. Salah satu cendawan Colletotrichum yang menimbulkan penyakit antraknosa yaitu Colletotrichum gloeosporioides (Penz) Sacc. Serangan antraknosa pada pepaya terjadi secara sporadis dan banyak tergantung pada keadaan iklim serta perlakuan-perlakuan teknis budidaya. Iklim yang senantiasa basah, serta kondisi lahan dan pertanaman yang menunjang kelembapan sangat serasi bagi pertumbuhan dan perkembangan penyakit ini. Buah-buah yang diserang umumnya buah-buah yang menjelang masak. Semua buah jeruk, mangga, pepaya, alpukat, dan pisang yang tumbuh di daerah tropika basah menderita infeksi laten oleh Colletotrichum gloeosporioides dan Gloeosporium musarum pada kulit waktu pemanenan (Baker et al., 1934 di dalam Pantastico, 1986). Pada saat buah masih berada di pohon, patogen Colletotrichum gloeosporioides berada dalam keadaan laten dan bertahan dalam kondisi dorman. Spora-spora Colletotrichum gloeosporioides terdapat pada mulut kulit buah-buah pepaya muda dan pada lentisel buah-buah mangga dan alpukat (Stanghellini dan Aragaki, 1966 di dalam Pantastico, 1986). Colletotrichum gloeosporioides adalah parasit yang kuat sehingga dapat berkembang setelah jaringan menjadi lemah karena proses penuaan (Prabawati et al., 1991 di dalam Hutari, 2005). Gejala penyakit ini secara umum pada buah berupa bulatan-bulatan kecil berwarna gelap. Bila buah bertambah masak, bulatan-bulatan tadi semakin membesar dan busuk cekung ke arah dalam buah. Saat buah masih mentah gejala
11
serangan cendawan ini tampak berbentuk luka kecil ditandai oleh adanya getah yang keluar dan mengental. Menurut Kalie (1999) pada pepaya tanda serangan Colletotrichum gloeosporiodes (Penz) Sacc berupa bercak-bercak basah agak cekung berwarna jingga merah jambu oleh adanya massa spora. Bercak-bercak ini kemudian membesar, dapat mencapai diameter 5 cm, dan warnanya menjadi lebih gelap. Bila infeksi sampai pada daging buah bagian dalam,maka buah menjadi busuk bonyok dengan rasa pahit. Penyakit ini menyebar dengan lebih cepat di daerah dengan iklim basah, yang mengakibatkan keriput pada kulit, hitamnya buah, pelunakan, dan pembusukan buah. Kebusukan selama penyimpanan dapat dicegah dengan cara mencelupkan buah ke dalam air panas yang bersuhu 43-49o C selama 20 menit. Colletotrichum gloeosporioides (Penz) Sacc dapat tumbuh dalam kisaran suhu 33-52o C Suhu optimum untuk perkecambahan sporanya adalah 43 oC (Pantastico, 1986). 2. Penyakit busuk buah Rhizopus Cendawan Rhizopus termasuk keluarga Mucoraceae, klas Phycomycetes. Sporangia keluarga Mucoreceae mengandung kolumela yang berdinding tipis. Cendawan Rhizopus mempunyai miselia dan menyebabkan penyakit busuk buah pada buah-buahan, seperti anggur, jambu mete, durian, melon, semangka, pepaya dan sebagainya. Salah satu penyebab penyakit busuk buah pada pepaya yaitu Rhizopus stolonifer Lind. Menurut Kalie (1999) penyakit busuk buah ini menyerang buah-buah pepaya tua yang terluka. Luka ini terjadi saat pemanenan atau selama pengangkutan yang dilakukan dengan tidak hati-hati. Buah-buah mentah utuh, sehat, dan tidak terluka tidak akan diserang. Buah yang terkena serangan penyakit ini akhirnya menjadi busuk, bonyok, dan berair. Bila keadaannya lembap, buah dilapisi oleh sporangiospora berwarna hitam dan cendawan akan menyerang. Cendawan Rhizopus stolonifer Lind menyerang pula strawberi, buah yang terserang menjadi lunak dan berair. Buah ini bila ditekan akan mengeluarkan cairan. Buah-buah yang busuk akan tertutup oleh massa cendawan putih dan banyak sporangium hitam. Pada buah almond Rhizopus stolonifer Lind menimbulkan busuk kulit (hull rot).
12
Usaha pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan mencelup buah ke dalam air panas yang bersuhu 48o C selama 20 menit. Pada suhu atau perlakuan tersebut sporangiospora akan mati. Di tempat penyimpanan, buah pepaya yang telah terserang penyakit segera dipisahkan dan dimusnahkan agar tidak menular ke buah lain yang masih sehat (Kalie, 1999).
D. Pengendalian Penyakit Pascapanen Pengendalian yang dilakukan untuk menangani penyakit pascapanen buahbuahan sehingga dapat menekan laju perkembangan penyakit dan juga dapat memperpanjang masa simpan buah-buahan adalah : 1. Pendinginan Penurunan mutu produk segar seperti buah-buahan dan sayuran dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kesalahan penanganan pada saat panen, terutama karena pengaruh temperatur. Aktifitas enzim yang mengatur metabolisme produk sangat dipengaruhi oleh temperatur. Setiap kenaikan temperatur sebesar 10 oC akan meningkatkan aktifitas enzim dua sampai empat kali. Semakin tinggi aktifitas enzim, semakin cepat terjadi penurunan produk. Pendinginan merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk menghambat penurunan mutu produk (Long et al., 1986 di dalam Novitaningsih, 1993). Penyimpanan di bawah suhu 15oC dan di atas titik beku bahan dikenal sebagai penyimpanan dingin (chilling storage). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu buah-buahan dan sayur-sayuran. Disamping pengaturan kelembaban dan komposisi udara serta penambahan zat-zat pengawet kimia. Pendinginan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menurunkan laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins, 1971). Perlu diperhatikan bahwa buah pepaya dapat rusak karena suhu rendah/dingin (kerusakaan fatal bila disimpan pada suhu rendah tetapi di atas titik beku air). Kerusakan oleh suhu rendah ini antara lain terlihat sebagai berubahnya warna kulit menjadi abu-abu, terbentuknya lubang-lubang pada kulit dan buah tidak merata menjadi masak (warna buah jelek dan juga rasanya pun tidak enak).
13
Guna mencegah kerusakan oleh suhu rendah, sebaiknya buah pepaya disimpan pada suhu 10 – 15oC. Kisaran ini disebabkan oleh varietas, tingkat masak buah, lokasi, pengaruh musim pada buah, dan sebagainya.(Pracaya, 1998). 2. Iradiasi Iradiasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah. Iradiasi termasuk salah satu cara fisika dalam pengawetan makanan seperti halnya pemanasan, pendinginan, dan pembekuan (Maha, 1985 di dalam Risnawati, 1993). Iradiasi mengakibatkan penundaan kematangan, serangan serangga minimal, dan hambatan kerusakan buah-buahan oleh mikroba. Pengaruh ini dapat menghasilkan perpanjangan umur simpan atau penghancuran organisme yang mengadakan kontaminasi (Pantastico, 1986). Menurut Hermana (1991) di dalam Risnawati (1993), dosis radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Seringkali, untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kalau jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan tercapai. Sebaliknya, jika menggunakan dosis berlebihan, bahan pangan mungkin akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen. Besarnya dosis iradiasi yang dipakai dalam pengawetan makanan tergantung pada jenis makanan dan tujuan iradiasi. Tabel 1 menunjukkan dosis yang dibutuhkan untuk meradiasi pangan tertentu. Jumlah energi yang diserap dinyatakan dalam gray (Gy), yaitu energi yang dihasilkan radiasi pengion yang diserap bahan per satuan massa. Satu Gy setara dengan satu joule per kg (satuan radisai yang lama, rad, setara dengan 0.01 Gy). Penelitian tentang pengawetan makanan dengan iradiasi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1967, dan sampai sekarang telah cukup banyak memperoleh hasil. Sedangkan di luar negeri, banyak negara-negara yang sudah menyetujui proses iradiasi misalnya di Amerika Serikat, proses iradiasi untuk kentang disahkan tahun 1965, di Kanada tahun 1960, di Israel tahun 1967 dan negara-negara lainnya menyusul kemudian (Hermana, 1991 di dalam Risnawati, 1993).
14
Tabel 5. Persyaratan dosis dalam berbagai penerapan iradiasi pangan Tujuan Dosis rendah (sampai 1 kGy) Pencegahan pertunasan
Dosis (kGy)b
Produk
0.05-0.15
Kentang, bawang putih, bawang , bawang bombay, jahe
Pembasmian serangga dan disinfeksi parasit
0.15-0.50
Serealia dan kacang-kacangan, buah segar dan kering, daging babi segar
Pelambatan proses fisiologi
0.50-1.0
Buah dan sayuran segar
Perpanjangan masa simpan
1.0-3.0
Ikan dan arbei segar.
Pembasmian mikroorganisme perusak patogen
1.0-7.0 gh
Hasil laut segar dan beku, daging dan daging unggas segar/beku.
Perbaikan sifat teknologi pangan
2.0-7.0
Anggur (meningkatkan hasil sari), dan sayuran kering (mengurangi waktu pemasakan).
Pensterilisasi-industri (kombinasi dengan panas sedang)
30-50
Pensterilan bahan tambahan makanan tertentu dan komponennya
10-50
Daging, daging unggas, hasil laut, makanan siap hidang, dan makanan steril (di rumah sakit). Rempah-rempah, sediaan enzim, dan gum alami.
Dosis menengah (1-10 kGy)
Dosis tinggi (10-50 kGy)c
a
Hermana, 1991 di dalam Risnawati, 1993 Gy: gray – unit yang menunjukkan dosis terserap c Hanya digunakan untuk tujuan khusus. Komisi Codex Alimentarius Gabungan FAO/WHO belum menyetujui penggunaan dosis tinggi b
Penggunaan iradiasi pada pepaya dengan dosis 75-100 krad (0.75-1 Gy) tidak mempengaruhi kerentanan jaringan terhadap penyakit pascapanennya. Ketahanan organisme-organisme pembusukan terhadap kisaran takaran ini berbeda-beda. Misalnya, pada biakan buatan, baik spora-spora Fusarium maupun Colletotrichum mempunyai ketahanan yang tinggi selama perkecambahan, namun
15
koloni-koloni Fusarium seluruhnya terbunuh dan 75% dari koloni-koloni Colletotrichum dapat mempertahankan diri (Buddenhagen dan Kojima, 1966 di dalam Pantastico, 1986). Penyinaran-penyinaran dengan takaran rendah tidak dapat mengendalikan pembusukan dalam penyimpanan. Suatu kombinasi perlakuan yang terdiri atas penyinaran dan fumigasi dengan fungisida 2-AB lebih efektif untuk mengendalikan pembusukan daripada penyinaran atau fumigasi saja, tetapi tidak begitu efektif seperti perlakuan dengan air panas ditambah dengan penyinaran (Buddenhagen dan Kojima, 1966 di dalam Pantastico, 1986). 3. Penggunaan fungisida Menurut Horsfall (1956) fungisida berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata yaitu fungus (cendawan, jamur) dan caedo (membunuh), jadi secara harfiah fungisida berarti pembunuh cendawan atau jamur. Cendawan adalah makhluk hidup tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau daun (klorofil) oleh karena itu cendawan termasuk konsumen seperti binatang dan bukan produsen seperti tanaman hijau (Horsfall, 1956). Pemberian suatu fungisida kepada komoditi yang telah dipanen, dapat mencegah penularan melalui luka-luka. Suatu spora jamur atau suatu bakteri yang hinggap dalam luka pada permukaan buah, jika tidak dihambat maka akan segera berkembang dan menginfeksi jauh ke dalam sehingga akan sulit diberantas. Waktu antara penularan dan perlakuan yang berhasil baik bergantung suhu dan kelembapan sekitarnya, kemasakan buah, laju pertumbuhan patogen, dan sifat perlakuan dengan fungisidanya. Menurut Pantastico (1986) pertumbuahanpertumbuhan petogen seperti Gloeosporium, Thielaviopsis, Botrydiplodia, Rhizopus dan Geotricum dalam lingkungan tropika terjadi dengan cepat, dan perlakuan dengan fungisida secara konvensional yang ditujukan untuk mencegah infeksi harus dilakukan dalam waktu 12 sampai 24 jam setelah pemanenan. Pemberian fungisida ini sebagai disinfektan. Campuran fungisida yang bersifat energetik seperti TBZ (2-4-thyazolyl benzamidazole) dengan AOAP (merupakan suatu garam metal alkali dari orthophenyphenol tetrahydrate) dapat digunakan secara efektif untuk menghambat pertumbuhan dan sporulasi kapang yang menyebabkan kebusukan buah-buahan (Hanson, 1976 di dalam Noorhakim, 1992). Campuran fungisida tersebut tanpa
16
diikuti efek sampingan yang kurang baik. Menurut FDA (Food and Drug Administration) penggunaan TBZ pada buah-buahan tidak lebih dari 2 ppm (berdasarkan berat) dan untuk AOAP adalah tidak lebih dari 10 ppm. Contoh fungisida yang dapat digunakan untuk buah-buahan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 6. Contoh fungisida yang dapat digunakan pada buah-buahan dan sayuran Komoditi Pisang
Fungisida/Bakterisida SOPP FLITT-406 Benlate-50 Thiobendazole-60
Konsentrasi 0.5 0.4 0.1 0.2
Pepaya
SOPP FLITT-406
0.5 0.5
Nenas
SOPP FLITT-406
0.25 0.4
Jeruk
Benlate-50 Thiobendazole-60
0.1 0.1
Apel
SOPP
0.5
Jambu biji
SOPP FLITT-406
0.5 0.4
Kentang
SOPP
0.05-0.1
Wortel
SOPP
0.25
Cabe
SOPP FLITT-406
0.5 0.4
Ketimun
Chlorax
0.2
Tomat
SOPP Chlorax FLITT-406 Benlate-50 Thiobendazole-60
0.5 0.5 0.4 0.1 0.1
Sumber : Setyowati dan Budiarti (1992) di dalam Nugroho (2002).
Fungisida yang sering digunakan adalah Benlate-50, yang dikenal dengan nama perdagangan benonyl dan nama kimianya adalah ester metil 1-(butil karbomil)-2-benzimidazole dari asam karbonat. Cara pembuatan larutan fungisida
17
(benlate 50) yang disesuaikan dengan metode CFTRI (Central Food Technological Research Institut, Mysore) adalah fungisida dilarutkan dalam air dengan konsentrasi tertentu (0.10 – 0.20) %. Fungisida ini dalam konsentrasi tinggi dapat mengendalikan busuk pangkal buah dengan baik, tidak menimbulkan luka-luka pada kulit buah dan tidak mempengaruhi rasa. Namun, pemakaian benomyl masih harus menunggu izin kesehatan untuk pemakaiannya. 4. Perlakuan panas (Heat Treatment) Perlakuan panas (heat treatment) pada buah-buahan dan sayur-sayuran untuk mengendalikan penyakit dan disinfestasi hama telah digunakan selama beberapa
tahun.
Perlakuan
ini
dapat
memperlambat
kebusukan
dan
memperpanjang masa simpan produk pangan. Metode yang dipergunakan untuk perlakuan panas buah-buahan dan sayuran antara lain menggunakan air panas (HWT), uap panas (VHT) dan udara panas (HAT) digunakan untuk mengendalikan jamur dan hama serta untuk mempelajari respon suatu komoditas terhadap suhu tinggi. Heat treatment sebagai salah satu teknologi karantina, efektif untuk mengatasi masalah hama pascapanen. Tetapi perlakuan ini juga dapat menyebabkan kerusakan produk. Penggunaan suhu tinggi dalam waktu lama dapat menyebabkan penurunan mutu produk. Pada mangga ’Irwin’ pencelupan dalam air panas memberikan hasil yang terbaik dilakukan pada suhu 47.2 oC selama 90 menit, dalam hal ini suhu pusat buah mangga mencapai 46.5 oC (Rokhani et al., 2000). Perlakuan panas menggunakan uap telah dilakukan pada Mangga Tommy Atkins dengan suhu 46 oC selama 160, 220, atau 260 menit dan suhu 50 oC selama 120, 180, atau 240 menit. Pada umumnya buah-buahan dan sayuran masih toleran dalam air bersuhu 50-60oC sampai 10 menit, tetapi pada waktu yang lebih singkat telah dapat membunuh larva-larva penyebab penyakit pada komoditas tersebut. Menurut Lurie (1998), pencelupan buah-buahan dalam air panas pada suhu 46oC membutuhkan waktu 90 menit dan perlakuan panas dengan uap panas menggunakan suhu 40-50oC sudah dapat membunuh telur serangga yang terinfestasi pada buah dan sayuran. Pencegahan kebusukan akibat jamur dapat dilakukan dalam hitungan menit pada suhu diatas 50oC (Lurie, 1998).
18
Pada beberapa komoditi, perlakuan panas dapat mempertahankan kadar gula. Sebagai contoh perlakuan panas dengan air suhu 45 oC selama 3 jam sebelum penyimpanan dingin terhadap buah melon mencegah kehilangan sukrosa yang dapat terjadi pada buah yang tidak diberi perlakuan panas selama penyimpanan. Kecenderungan adanya tekanan panas media telah digunakan dalam perkembangan perlakuan panas ini untuk mencegah kerusakan komoditi selama pemberantasan hama penyakit dan jamur penyebab penyakit (Lurie, 1998).
E. Pelilinan Di tempat-tempat yang tidak terdapat fasilitas-fasilitas penyimpanan dingin, perlindungan dengan pemberian lapisan lilin merupakan salah satu cara yang dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan buah-buahan dan sayursayuran segar pada suhu sekitar (Dalal dkk., 1971; Srivastava, 1962 di dalam Pantastico, 1986). Buah-buahan dan sayur-sayuran pada dasarnya mempunyai selaput lilin alami di permukaan luar, namun sebagian hilang oleh pencucian. Pemberian lapisan lilin tambahan perlu diberikan pada buah-buahan dan sayur-sayuran tertentu untuk mengurangi kehilangan air, dan dengan demikian mengurangi kelayuan dan pengisutan dan menaikkan daya tarik bagi pembeli (Hardenburg, 1967 di dalam Pantastico, 1986). Lapisan lilin ini dapat menutupi luka-luka dan goresan-goresan kecil pada permukaan buah atau sayur. Selain itu pemberian lapisan lilin pada buah dapat memberikan efek mengkilat sehingga penampakan buah terlihat lebih menarik dan lebih dapat diterima oleh para konsumen (Pantastico, 1986). Sedangkan menurut Roosmani (1975), buah yang dilapisi oleh lilin akan tertutupi sebagian stomatanya sehingga dapat mengurangi kehilangan air, memperlambat proses fisiologis dan mengurangi aktivitas enzim-enzim pernapasan sehingga proses pematangan terhambat. Dengan kata lain, pelapisan lilin dapat menekan respirasi dan transpirasi yang terlalu cepat dari buah-buahan dan sayuran segar, sehingga komoditi tersebut dapat bertahan selama penyimpanan tanpa perubahan kualitas. Lilin (wax) adalah ester dari asam lemak berantai panjang dengan alkohol monohidrat berantai panjang atau sterol (Anonim, 1977 di dalam
19
Firmaningsih, 1993). Lilin alami yang komersial diantaranya adalah lilin lebah, lilin karnauba, dan spermaceti. Lilin karnauba ini mempunyai titik leleh/cair yang tinggi (80-87 oC), keras dan kedap air. Lilin ini didapat dari pohon palem (Copernica cerifera). Spermaceti adalah lilin dari dari kepala ikan paus (Physester macrocephalus). Lilin ini banyak digunakan dalam industri obat dan komestik. Lilin lebah merupakan hasil sekresi dari lebah madu (Apis mellificia) atau lebah lainnya. Lilin ini berwarna kuning terang sampai coklat kehijauan, titik cairnya 61-69 oC dan berat jenisnya 0.96. lilin lebah banyak digunakan untuk pelilinan hortikultura karena mudah didapat dan murah. Pelapisan lilin untuk buah-buahan pada umumnya mempergunakan lilin lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi antara 4-12 %. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), lapisan lilin untuk komoditi hortikultura segar harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu (a) tidak berpengaruh terhadap bau dan rasa komoditi, (b) tidak beracun, (c) mudah kering dan tidak lengket, (d) tidak mudah pecah, mengkilap dan licin, dan (e) mudah diperoleh dan murah harganya. Sedangkan persyaratan komoditi yang akan dilapisi lilin adalah (a) komoditi sudah cukup tua, (b) segar, utuh tanpa cacat dan (c) permukaan mulus. Tabel 7. Konsentrasi emulsi lilin optimal untuk beberapa komoditas hortikultura Komoditas Pisang raja Pepaya Nanas Mangga Alphonso Jeruk Apel Alpukat Kentang Wortel Cabe Tomat
Konsentrasi optimum (%) 9 6 6 6 12 8 4 12 12 12 9
Sumber : Sub Balai Penelitian Hortikultura Pasar Minggu (1987) di dalam Rike Anggraini (2005).
Pemberian lilin semata-mata tidak dapat mengendalikan pembusukan, dan bahkan sering menaikkannya, karena dengan lapisan lilin patogen-patogen terjebak dalam retak-retak dan luka-luka kecil. Lilin sering dikombinasikan
20
dengan fungisida dan bakterisida untuk mengendalikan pembusukan. Fungisida dapat diberikan bersama dengan pelapisan lilin, diserapkan dalam material pengemas atau kain keras pembalut, atau dengan cara fumigasi (Pantastico, 1986). Roosmani (1975) mengatakan ada dua macam penggunaan fungisida pada pelapisan lilin, yaitu dengan mencelupkan buah-buahan atau sayuran ke dalam larutan fungisida kemudian baru dicelupkan dalam emulsi lilin, atau jika fungisida yang digunakan tidak merusak emulsi lilin dapat mencelupkan komoditas langsung ke dalam emulsi lilin yang telah dicampur dengan fungisida. Menurut Pantastico (1986) kombinasi lilin dengan suatu zat kimia ternyata tidak begitu efektif seperti kalau zat-zat kimia itu diberikan secara terpisah. Sebagai contoh, ubi yang dicelupkan dalam emulsi lilin polietilen nabati yang dioksidkan, tidak memperoleh keuntungan-keuntungan fisiologik dan patologik selama penyimpanan, umur simpan buah sukun yang diberi lapisan lilin secara nyata menjadi lebih pendek, terutama dalam penyimpanan dingin. Supaya lebih efektif, lilin harus diberikan sebagai lapisan yang merata dengan ketebalan tertentu. Lapisan lilin yang tipis hanya memberi perlindungan sedikit terhadap kehilangan air, sedangkan pemberian lilin terlalu banyak akan dapat menghasilkan atmosfer di dalam komoditi yang mengandung sedikit O2 dan CO2
banyak, yang dapat menimbulakan kerusakan, bau dan rasa yang
menyimpang dan pembusukan yang lebih banyak (Pantastico, 1986). Pemberian
lapisan
lilin
dapat
dilakukan
dengan
pembusaan,
penyemprotan, pencelupan atau pengolesan. Pembusaan merupakan cara pemberian lilin yang terbaik karena cara ini meninggalakn lapisan lilin yang sangat tipis pada buah setelah air menguap. Penyemprotan cenderung memboroskan pemakaian lilin, namun lilin dapat diperoleh kembali dalam pancipanci penangkap. Pencelupan dilakukan dengan membenamkan bauh atau sayuran dalam tangki pencelupan berisi emulsi lilin selama 30 detik., sedangkan pengolesan dengan kuas merupakan pemberian lapisan lilin yang efisien (Pantastico, 1986).
21
F. Asap Cair Asap merupakan sistem komplek, terdiri dari fase cairan terdisperasi dan medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1987). Asap cair diproduksi dengan cara kondensasi dari pirolisis komponen kayu. Pirolisis selulosa berlangsung dalam dua tahap, tahap pertama merupakan reaksi hidrolisis asam yang diikuti dengan dehidrasi untuk menghasilkan glukosa, tahap kedua adalah pembentukan asam asetat dan homolognya bersama-sama dengan air serta sejumlah kecil furan dan fenol (Girard, 1992). Hemiselulosa tersusun dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi ini tergantung pada spesies kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, furan, dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama dengan selulosa pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200o-250o (Girard, 1992). Lignin dalam pirolisis menghasilkan senyawa yang berperan terhadap aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Senyawa-senyawa tersebut adalah fenol dan eter fenolik seperti guaiakol (2 metoksi fenol) dan homolognya serta turunannya. Fenol diuhasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300oC dan berakhir pada suhu 400oC (Girard, 1992). Asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa diproduksi dengan cara tempurung kelapa dibakar dalam suatu wadah yang tahan terhadap tekanan. Media pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air yang dialirkan melalui pipa inlet dan keluar dari pipa outlet secara berlawanan terhadap asap yang masuk, kemudian wadah bahan baku dipanaskan selama satu jam. Asap yang keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna tersebut dialirkan ke kondensor dan dikondensasikan menjadi asap cair (Hanendyo, 2005). Asap cair mengandung senyawa-senyawa antara lain metil alkohol, etil alkohol, asam asetat, formaldehida, asetaldehida, diasetil, fenol, tar dan air. Dalam penelitian yang dilakukan Tranggono, dkk.(1996) dapat diketahui bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2siklopentadion, 2-metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol,
22
2,6-dimetoksifenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter. Selanjutnya beberapa jenis kayu lain (jati, lamtoro gung, mahoni, kamper, bangkirai, keruing dan glugu) asap cair yang dihasilkan mengandung asam (sebagai asam asetat) antara 4.27-11.3%, senyawa fenolat (sebagai fenol) 2.105.13% dan senyawa karbonil (sebagai aseton) 8.56-15.23%. Yulistiani (1997) mendapatkan data kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1.28%. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5.5%, methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam sebesar 7.1%. Sedangkan Zuraida (2007) mendapatkan data kandungan empat senyawa terbesar dalam asap cair adalah senyawa phenol, , Pyrogallol 1,3dimethyl ether sebanyak 15.64%, 2-Methoxy-p-cresol sebanyak 11.53%, Pyrogallol trimethyl ether sebanyak 8.65%, dan p-Ethylguaicol sebanyak 6.58%. Selain itu masih banyak senyawa-senyawa fenolik yang teridentifikasi yaitu Desaspidinol, 3-Methoxy-pyrocatechol, Guaethol, Vanillin, Homopyrocatechol, m-Xylenol, p-Ethylphenol, Acetosyringone, 2-Ethyl phenol, o-Acetylphenol, Methoxyeugenol, 4-Methoxy-3-methylphenol, p-Xylenol, rans-Isoeugenol, 2,6Dimethoxyphenol, 1,3,5-Xylenol, dan o-Guaiacol. Senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol dengan titik didih sedang seperti siringol, isoguenol, dan metil guenol, sedang fenol dengan titik didih rendah seperti guaikol, metil guaiakol, dan etil guaiakol memiliki aroma yang keras dan tidak enak. Guaiakol memberikan rasa asap, sementara siringol memberikan aroma asap (Daun, 1979). Senyawa karbonil (aldehid dan keton) mempunyai pengaruh utama pada warna yang pengaruhnya pada citarasa kurang menonjol. Warna pada produk asapan terbentuk karena interaksi antara senyawa karbonil dan gugus amino (Girard, 1992) senyawa karbonil, lakton, uran juga memegang peranan penting dalam pembentukan citarasa asap. Senyawa ini meliputi homolog 1,2 asetofuran dan asetofenol dengan aroma manis (sugary) dan bunga (flowery), juga mengurangi aroma fenol yang terlalu keras (Kim dkk dalam Girard, 1992). Tetapi keseluruhan flavor asap disebabkan oleh campuran dari keseluruhan senyawa tersebut (Daun, 1979). Senyawa-senyawa tersebut selain memberikan konstribusi pada pembentukan aroma dan citarasa juga berperan
23
sebagai pengawet karena daya antimikrobia dan antioksidan dari senyawa asam, fenol, dan karbonil (Pszczola, 1995). Keuntungan dari penggunaan asap cair antara lain (1) aman, bebas PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) karena ada tahap penghilangan benzopiren dalam pembuatannya, (2) aroma dan warna makanan konsisten karena asap lebih seragam, produk tidak mengandung lemak, kolesterol ataupun sodium, (3) aplikasi pada produk seragam, dan memiliki aktifitas antioksidan (oleh fenol), (4) memiliki aktifitas anti bakteri (oleh fenol dan asam organik). Asap cair aman digunakan sebagai pengawet alami, antimikroba, maupun sebagai antioksidan pada bahan pangan, hortikultura ataupun produk olahan lainnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Zuraida (2007) bahwa nilai LD50 akut (pengamatan 14 hari) dari sampel asap cair lebih besar dari 15000 mg/kg BB. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15000 mg/kg BB, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik. Toksisitas didefinisikan sebagai efek berbahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat/bahan/senyawa pada organ yang dijadikan sasaran. Makna LD50 (Median Lethal Dose) sendiri adalah diturunkan secara statistik dari dosis zat/bahan/senyawa yang menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50% berdasarkan data pengamatan pada waktu tertentu. Dari hasil analisa menggunakan GC-MS yang dilakukan oleh Zuraida (2007) menunjukkan bahwa senyawa PAH termasuk termasuk Benzo(a)pyren tidak ditemukan pada asap cair. Sedangkan analisa formalin dengan menggunakan metode spektrofotometer menunjukkan bahwa asap cair tidak mengandung formaldehyde. Formaldehyde adalah senyawa utama yang terdapat dalam formalin. Formalin biasa digunakan sebagai antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, tetapi formalin dilarang penggunaanya pada bahan pangan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/MEN.KES/PER/IX/1988 dan tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan pangan yang diijinkan oleh Pemerintah. Menurut Yuwanti (2005) pada konsentrasi asap cair 7.5% dapat memperpanjang daya simpan bandeng presto dari 1 haei menjadi 6 hari pada suhu
24
kamar, sedang pada suhu dingin dari 21 hari menjadi 28 hari. Hal ini menunjukkan bahwa asap cair mampu bertindak sebagai pengawet bandeng presto karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat oksidasi lemak. Asap cair juga dapat digunakan sebagai desinfektan untuk memperpanjang masa simpan buah pisang (Musa paradisiaca L.) konsentrasi asap cair dan suhu perendaman berpengaruh nyata terhadap susut bobot dan kekerasan pada hari ke12, perlakuan terbaik adalah pada konsentrasi asap cair 1% dengan suhu perendaman 47oC (Wastono, 2006). Selain itu menurut Gumanti (2006), asap cair dapat digunakan sebagai alternatif
bahan pengawet mie basah, yaitu dengan
penambahan asap cair 900 ppm dan 1500 ppm mampu menghasilkan mie dengan daya tahan yang cukup lama hingga mendekati masa simpan 2 hari (48 jam).
25
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2007 sampai dengan bulan Agustus 2007. Tempat pelaksanaan penelitian adalah laboratorium Teknik Pengolahan dan Hasil Pertanian, laboratorium Mikrobiologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; laboratorium Fitopatologi, Seameo Biotrop-Tajur; dan laboratorium AP4 (Agricultural Processing Pilot Plants) Fateta IPB. B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pepaya (Carica papaya L.) varietas IPB 3 dengan berat 450-600 gram, panjang 15.0 19.0 cm, dan diameter 7.0 – 8.5 cm dengan tingkat kematangan yang seragam. Buah pepaya diperoleh dari Pusat Penelitian Buah Tropika di Tajur, Bogor. Asap cair, air untuk perlakuan perendaman dan beberapa bahan kimia seperti NaCl, media agar (PDA dan PDB) serta alkohol untuk uji total cendawan. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rheometer tipe CR300 (untuk mengukur kekerasan), refraktometer model N-1 Atago (untuk mengukur
total
padatan
terlarut),
timbangan
digital,
lemari
pendingin
(refrigerator) serta beberapa peralatan tambahan seperti cawan petri, pipet, erlenmeyer, gelas ukur dll.
C. Prosedur Penelitian Secara garis besar, penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) Penelitian tahap I, uji aktifitas cendawan yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas asap cair sebagai disinfektan dengan media agar, dan (2) Penelitian tahap II yaitu aplikasi asap cair sebagai disinfektan untuk mengatasi serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya selama penyimpanan.
26
1.
Uji aktivitas antimikroba asap cair Uji
aktivitas
antimikroba
asap
cair
terhadap
cendawan
penguji
Colletotrichum gloeosporiodes dilakukan menggunakan metode kontak dengan medium cair (modifikasi Parish dan Davidson 1993): kultur murni cendawan Colletotrichum gloeosporioides dari agar miring PDA dirontokkan sporanya menggunakan jarum ose sambil dibilas dengan 10 ml akuades steril. Cendawan penguji selanjutnya diambil 0.05 ml dan dimasukkan ke dalam 50 ml media PDB steril secara aseptik, kemudian ditambahkan asap cair yang akan diuji dengan konsentrasi 0%, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%, selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang agitasi 150 rpm pada suhu ruang selama 48 jam. Masa sel cendawan yang tumbuh setelah 48 jam dipisahkan secara penyaringan menggunakan kertas saring, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 100oC sampai beratnya tetap. Bagan alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair dapat dilihat pada Gambar 2.
27
Kultur murni cendawan Colletotrichum gloeosporioides
Perontokan
Pengenceran
Media agar PDB
Perlakuan disinfektan: 1. Konsentrasi asap cair: 0%, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%.
Inkubasi pada inkubator bergoyang agitasi 150 rpm pada suhu ruang selama 48 jam.
Penyaringan massa sel cendawan dan pengeringan dalam dalam oven suhu 100oC .
Gambar 1. Diagram alir penelitian uji aktivitas antimikroba asap cair.
28
2. Penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan terhadap mutu pepaya Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh konsentrasi asap cair dalam menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya selama penyimpanan. Pengujian asap cair ini dilakukan dengan perlakuan perendaman dengan konsentrasi asap cair hasil uji aktivitas antimikroba asap cair (tiga konsentrasi, misal C1, C2, dan C3) selama 30 menit dan perlakuan pelilinan. Pelaksanaan penelitian ini secara rinci adalah sebagai berikut: a.
Buah pepaya yang telah masak, kemudian disortasi untuk mencari warna dan tingkat kematangan yang seragam (kematangan 25%) dicuci dengan air bersih dan dikering-anginkan sampai kering. Pepaya yang digunakan untuk setiap perlakuan yaitu 3 buah.
b.
Sebelum diberi perlakuan, diambil 3 sampel buah pepaya untuk diukur total padatan terlarut dan kekerasannya pada hari ke-0. Selain itu buah pepaya sebelum perlakuan ditimbang untuk mengetahui berat awal.
c.
Buah pepaya tersebut diberi perlakuan disinfektan dengan konsentrasi asap cair yang berbeda yaitu C1, C2, dan C3. Selain itu ada kontrol untuk mengetahui respon buah pepaya tanpa perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.
d.
Pepaya direndam dalam asap cair selama 30 menit sesuai dengan konsentrasi asap cair yang digunakan sebagai perlakuan.
e.
Buah pepaya yang telah diberi perlakuan tersebut dikering-anginkan atau ditiriskan kemudian dipisahkan untuk mempermudah dalam pengamatan.
f.
Buah pepaya tersebut sebelum disimpan diberi perlakuan pelilinan 6% dan tanpa pelilinan, bertujuan untuk dilihat pengaruhnya selama penyimpanan berlangsung.
g.
Kemudian pepaya tersebut disimpan pada suhu 100C. Setelah itu dilakukan pengukuran dan pengamatan mutu buah pepaya setiap 4 hari sekali selama 20 hari. Pengamatan yang dilakukan adalah susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total mikroba, pengamatan serangan penyakit secara visual, uji organoleptik. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
29
Buah pepaya
Sortasi
Penimbangan
Perlakuan disinfektan: 2. Konsentrasi distilat asap: C1, C2, C3 3. Lama perendaman: 30 menit 4. Kontrol
Penirisan
Perlakuan pra penyimpanan: 1. pelilinan 2. tanpa pelilinan
Penyimpanan (pada suhu 10oC)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengamatan mutu (4 hari sekali) : Susut bobot Kekerasan Total Padatan Terlarut Total Cendawan Pengamatan serangan penyakit secara visual Uji Organoleptik
Gambar 2. Diagram alir penelitian pengaruh asap cair dan pelilinan terhadap mutu pepaya
30
D. Pengamatan 1.
Susut bobot Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan
digital. Pengukuran susut bobot dilakukan berdasarkan presentase penurunan bobot bahan sejak awal penyimpanan (W) sampai akhir penyimpanan (Wa) dan dinyatakan dalam persen. Untuk mengukur susut bobot digunakan rumus sebagai berikut : Susut bobot (%) =
W − Wa x100% W
Dimana : W = Bobot bahan awal penyimpanan (gram) Wa = Bobot bahan akhir penyimpanan (gram) 2. Kekerasan Kekerasan adalah komponen kualitas dan merupakan indeks kematangan pada buah-buahan dan sayuran segar. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer dengan model CR-300. Pengujian dilakukan pada bagian pangkal, tengah dan ujung buah. Selama pengujian buah dipegang dengan tangan agar buah tidak bergeser. 3. Total Padatan Terlarut Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refraktometer model N-1 Atago dalam satuan oBrix. Pengukuran total padatan dilakukan dengan sampel yang diambil secara acak dengan tiga kali ulangan dan diukur kadar gulanya selama masa penyimpanan. 4. Total cendawan Total cendawan merupakan total koloni cendawan setelah masa inkubasi. Pembuatan media agar dengan pencampuran 39g media agar (PDA) ke dalam satu liter aquades. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih semua agar terlarut. Sedangkan pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan pencampuran 8.5 NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Sterilisasi dilakukan terhadap larutan agar, larutan pengencer dan alat lainnya yang akan digunakan seperti
31
cawan petri, pipet, gelas ukur dll, dalam autoklaf selama 60 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air bersuhu 45oC agar tetap steril dan tidak membeku. Selanjutnya pembuatan sampel dengan menghancurkan pepaya yang akan diuji dengan blender kemudian 50 ml cairan pepaya tersebut dicampur bersama larutan pengencer sebanyak 500 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk pengenceran 0.1 kemudian larutan dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril dengan menggunakan pipet steril. Media agar (PDA) ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai merata. Digunakan 5 cawan petri untuk perlakuan pemberian asap cair dengan konsentrasi 1%, 5%, 10 % dan tanpa perlakuan sebagai kontrol. Cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 30oC selama seminggu. Kemudian dilakukan pengamatan pertumbuhan cendawan pada setiap cawan petri. 5. Pengamatan serangan penyakit secara visual Serangan penyakit pascapanen pada pepaya secara visual dapat diketahui dengan mengamati timbulnya bercak-bercak hitam pada kulit buah. Pengamatan dilakukan tiap 4 hari selama 20 hari. 6. Uji Organoleptik. Uji organoleptik terhadap rasa, tekstur, aroma, warna kulit, dan daging buah, yang dilakukan empat hari sekali menggunakan uji hedonik (kesukaan) dengan skor 1-5. Kriteria penilaiannya adalah (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) biasa, (4) suka, (5) sangat suka. Pengujian dilakukan pada 10 orang panelis, jika skala skor penerimaan konsumen kurang dari 2.5 maka pepaya ditolak.
E. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan model linier aditif. Pada penelitian pendahuluan (tahap I) rancangan percobaannya terdiri dari satu faktor yaitu konsentrasi asap cair. Model matematika yang digunakan adalah:
32
Yijk = µ + αi +εij Dalam hal ini : Yijk
= hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i
εij
= galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j
Sedangkan untuk penelitian utama (tahap II) rancangan percobaannya menggunakan dua faktor yaitu konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilinan dan tanpa pelilinan.. Perlakuan yang pertama adalah penambahan asap cair dengan tiga taraf konsentrasi yakni C1, C2, dan C3. Sedangkan perlakuan kedua adalah dengan pelilinan dan tanpa pelilinan. Setiap perlakuan diulang tiga kali.
Model matematikanya adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + bj + (ab)ij +εijk Dalam hal ini : Yijk
= hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i
bj
= pengaruh faktor pelilinan dan tanpa pelilinan pada taraf ke-j
(ab)ij = interaksi antara pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i dengan faktor pelilinan dan tanpa pelilinan pada taraf ke-j εij
= galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji aktivitas antimikroba asap cair
Uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan penguji Colletotrichum gloeosporioides dilakukan menggunakan metode kontak dengan medium cair (modifikasi Parish dan Davidson 1993). Hasil uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan Colletotrichum gloeosporioides memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair maka pertumbuhan cendawan semakin terhambat (Gambar 3). Konsentrasi yang dicobakan adalah kontrol, 1%, 3%, 5%, 7%, dan 10%. Gambar 3 memperlihatkan bahwa setelah kontak selama 48 jam, asap cair konsentrasi 1% telah menghambat pertumbuhan cendawan yang diujikan. Pada medium cair konsentrasi 1% terlihat bahwa tidak ada spora dan miselium cendawan yang tumbuh, sehingga pengeringan miselium dalam oven dan penimbangan tidak perlu dilakukan. Senyawa karbonil dalam asap cair menyebabkan medium cair berwarna coklat pekat. Semakin tinggi konsentrasi asap cair menyebabkan semakin pekatnya warna medium cair.
Gambar 3. Aktivitas penghambatan asap cair terhadap Colletotrichum gloeosporioides. Dengan metode kontak medium cair, asap cair memberikan pengaruh nyata dalam menghambat pertumbuhan cendawan karena cendawan langsung kontak dengan asap cair. Kandungan senyawa asam, fenol, dan karbonil yang terdapat dalam asap cair memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum gloeosporioides, karena
34
senyawa-senyawa tersebut mempunyai sifat sebagai antimikroba dan anti oksidan (Pszczola, 1995). Dari hasil penelitian ini diambil tiga konsentrasi asap cair yang memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan cendawan Colletotrichum gloeosporioides untuk digunakan sebagai disiinfektan dalam penanganan pascapanen pepaya. Konsentrasi asap cair yang diambil adalah 1%, 5% dan 10%.
B. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Dan Pelilinan Terhadap Mutu Pepaya
Kerusakan produk hortikultura terjadi pada tahap prapanen, panen dan pascapanen. Kerusakan pada tahap pascapanen dapat terjadi karena beberapa hal antara lain kerusakan fisik, kerusakan kimiawi, kerusakan biokimia karena terjadi reaksi dalam bahan yang masih hidup, kerusakan karena jasad renik yang dapat menyebabkan
mutu
buah
menjadi
turun.
Kerusakan-kerusakan
tersebut
berlangsung selama penyimpanan karena produk hortikultura mengalami proses metabolisme. Dalam proses metabolisme, produk akan mengalami berbagai perubahan fisik dan kimia yang mempengaruhi kualitas buah. Menurut Broto et al. (1991) sifat-sifat fisik buah pepaya meliputi panjang buah, lingkar buah, bobot buah utuh, persentase kulit, persentase biji, tebal kulit, tebal daging, dan warna buah. Santoso dan Purwoko (1995) menyatakan bahwa perubahan-perubahan kimia yang terjadi diantaranya adalah kandungan Total Padatan Terlarut (TPT), vitamin C, kemasakan buah, tingkat kelunakan, bobot buah, rasa serta perubahan warna kulit dan daging buah. Sedangkan menurut Pantastico (1986) selama pematangan, buah mengalami beberapa perubahan nyata dalam warna, tekstur, bobot, dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan dalam susunannya. Salah satu alternatif untuk menahan laju penurunan mutu dalam pascapanen buah-buahan adalah dengan penggunaan asap cair. Asap cair mengandung berbagai senyawa yang dapat dikelompokkan ke dalam fenol, asam dan karbonil. Senyawa tersebut mampu bertindak sebagai antimikroba, antioksidan, pemberi flavor, dan pembentuk warna (Tilgner, 1978; Pszczla, 1995 di dalam Yuwanti, 2005). Karena asap cair mampu bertindak sebagai antimikroba dan antioksidan maka asap cair dapat berperan sebagai pengawet. Selain itu asap
35
cair dapat digolongkan sebagai pengawet alami (Maga, 1988). Menurut Yuwanti (2005) asap cair sebagai antimikroba dapat memperpanjang masa simpan produk dengan mencegah kerusakan akibat aktivitas mikroba perusak dan pembusuk, dan juga dapat melindungi konsumen dari penyakit karena aktivitas mikroba patogen. Senyawa yang mendukung sifat antimikroba dan antioksidan dalam asap cair adalah fenol dan asam. Perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dan pelilinan terhadap buah pepaya dilakukan untuk menghambat serangan penyakit antraknosa pada buah pepaya selama penyimpanan sehingga dapat mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buah pepaya. Analisis parameter mutu pepaya hasil perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dan pelilinan adalah terhadap susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total cendawan, pengamatan hama secara visual. Susut bobot dan total kapang dipilih berdasarkan nilai rata-rata terendah, sedangkan kekerasan dipilih berdasarkan nilai rata-rata tertinggi. 1. Susut Bobot
Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengidentifikasi mutu buah pepaya. Susut bobot sebagian besar terjadi karena transpirasi dan respirasi yang menyebabkan hilangnya cadangan makanan dan kadar air buah. Kehilangan substrat dan air itu tidak dapat digantikan sehingga kerusakan buah mulai terjadi (Santoso dan Purwoko, 1995). Transpirasi pada buah dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban dalam ruang simpan buah (Kartosapoetra, 1989). Menurut Kader (1992) susut bobot terjadi selama proses penyimpanan menuju pematangan, yaitu terjadi perubahan fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan. Kehilangan air ini berpengaruh langsung terhadap kerusakan tekstur, kandungan gizi, kelayuan, dan pengerutan. Pengamatan susut bobot dilakukan setiap 4 hari sekali selama 20 hari (Lampiran 1). Nilai susut bobot diukur pada akhir penyimpanan yaitu pada hari ke-20. Dari hasil pengamatan menunjukkan selama penyimpanan bobot buah mengalami penurunan untuk semua perlakuan. Hal ini disebabkan karena terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi. Berkurangnya kandungan air menimbulkan perubahan pada produk yang disimpan, yaitu penampakan, tekstur, dan bobotnya (Pantastico, 1986) selain itu juga, penurunan
36
bobot buah pepaya ini dapat juga disebabkan oleh degradasi zat-zat yang terdapat pada pepaya oleh mikroba yang menyerang pepaya tersebut. Nilai susut bobot tertinggi terjadi pada perlakuan kontrol tanpa pelilinan yaitu sebesar 6.87%. Sedangkan nilai susut bobot terendah terjadi pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% dengan pelilinan yaitu sebesar 3.37%. Nilai susut bobot pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4. Susut bobot pada semua perlakuan tanpa pelilinan mempunyai nilai yang tinggi, hal ini disebabkan karena proses transpirasi dan respirasi lebih besar sehingga menyebabkan berkurangnya kandungan air pada buah. Adanya bekas luka dan goresan-goresan kecil dapat mempercepat proses transpirasi dan respirasi. Susut bobot yang rendah disebabkan adanya lapisan lilin yang menutupi stomata, bekas luka, dan goresan-goresan kecil yang dapat mempercepat proses transpirasi dan respirasi. 8
Tanpa Pelilinan
Pelilinan
Susut bobot (gram)
7 6 5 4 3 2 1 0 KONT ROL
1%
5%
10%
Konsentrasi asap cair
Gambar 4. Susut bobot pepaya selama penyimpanan pada suhu 10° C (hari ke-20). Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2), diketahui bahwa perlakuan pelilinan pada semua hari pengamatan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap susut bobot. Hal ini disebabkan karena lapisan lilin pada kulit buah yang dapat menghambat proses respirasi dan transpirasi. Demikian juga perlakuan penambahan konsentrasi asap cair dan interaksi antara konsentrasi asap cair dengan pelilinan memberikan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot. Berdasarkan uji lanjut Duncan, pada semua hari pengamatan menunjukkan perlakuan konsentrasi asap cair 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan yang lainnya. Peningkatan konsentrasi asap cair tidak disertai dengan peningkatan
37
efektivitas dalam menahan laju peningkatan susut bobot. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena dengan pemberian konsentrasi yang tidak tepat pada pepaya dapat merusak atau memecah struktur dalam sel buah sehingga menyebabkan peningkatan susut bobot. Perlakuan terbaik dalam menahan laju susut bobot adalah penambahan asap cair konsentrasi 1% yaitu 4.0267% (uji duncan susut bobot hari ke-20). Dalam penelitian ini, nilai susut bobot cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur penyimpanan buah. Dari keseluruhan pengamatan terhadap susut bobot menunjukkan bahwa pemberian perlakuan konsentrasi asap cair sebesar 1% dengan pelilinan mempunyai hasil yang optimum. 2. Kekerasan
Penundaan penurunan kekerasan atau penundaan pelunakan adalah salah satu indikator untuk memperpanjang umur simpan pepaya. Pelunakan terjadi pada tahap klimakterik, umumnya akibat pemecahan dinding sel dan pelarutan pektin. Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman khususnya di sela-sela selulosa dan hemi selulosa. Senyawa pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Protopektin merupakan istilah untuk senyawa-senyawa pektin yang tidak larut, yang banyak terdapat pada jenis tanaman muda (Winarno, 1997). Enzim-enzim pembentuk pektin pada lamella tengah yaitu Pektin Methyl Esterase (PME) dan Polygalakturonase (PG) meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami pemasakan. Aktivitas enzim tersebut mengakibatkan pemecahan pektin menjadi senyawa-senyawa lain (Kartasapoetra, 1989). Proses pemasakan dapat menambah jumlah zat-zat pektin yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga mengakibatkan sel mudah terpisah-pisah. Hal ini dapat mengakibatkan buah menjadi lunak (Pantastico, 1986). Pengukuran kekerasan dimulai hari ke-0, selanjutnya dilakukan 4 hari sekali selama 20 hari. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Rheometer tipe CR-300. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari hasil pengukuran dapat diketahui kekerasan pada semua perlakuan mempunyai kecenderungan menurun. Menurunnya kekerasan terjadi karena degradasi pektin yang dikatalis oleh enzim esterase yang menghasilkan asam poligalakturanat
38
bebas dan methanol serta enzim poligalakturonase. Pengurangan ketegangan juga berhubungan dengan pembentukan pektin yang larut dalam air. Proses respirasi membutuhkan air yang diambil dari sel sehingga menyebabkan terjadinya pengurangan air pada sel yang membuat sel kehilangan kekerasannya. Semakin cepat laju respirasi, maka semakin cepat pula penurunan kekerasannya. Pada hari ke-0 (sebelum disimpan), rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% sebesar 3.63 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.55 kgf, dan pada kontrol sebesar 4.12 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada perlakuan asap cair konsentrasi 1% sebesar 3.83 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.65 kgf, dan pada kontrol sebesar 3.46 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-0 sebesar 3.68 kgf. Pada pengamatan hari ke-0 nilai kekerasan pada masing-masing perlakuan dan kontrol tidak begitu berbeda karena pepaya masih segar (sebelum disimpan) dan belum banyak mengalami proses respirasi sehingga kekerasan pada masing-masing perlakuan baik pada pelilinan dan tanpa pelilinan hampir sama. Pada hari ke-4, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair konsentrasi 1% sebesar 3.31 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.30 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.25 kgf, dan pada kontrol sebesar 3.07 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 3.52 kgf, konsentrasi 5% sebesar 3.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 3.31 kgf, dan pada kontrol sebesar 3.28 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-4 sebesar 3.32 kgf (Gambar 11). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui perlakuan sudah mulai berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya pada hari ke-4. Perlakuan konsentrasi asap cair, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah. Menurut uji lanjut Duncan, asap cair dengan konsentrasi 1% tidak berbeda nyata terhadap asap cair dengan konsentrasi 5% dan konsentrasi 10% tetapi berbeda nyata terhadap kontrol.
39
3.60
Tanpa pelilinan
Pelilinan
3.50
Kekerasan (kgf)
3.40 3.30 3.20 3.10 3.00 2.90 2.80 Kontrol
1%
5%
10%
Konsentrasi asap cair
Gambar 5. Nilai kekerasan pepaya hari ke-4 Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa pepaya kontrol sudah mulai melunak dan mempunyai nilai kekerasan yang paling rendah daripada perlakuan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi asap cair ternyata dapat mempertahankan nilai kekerasan pada buah, dengan kata lain asap cair berfungsi sebagai pengawet. Pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi 1% dengan pelilinan mempunyai nilai kekerasan tertinggi, dilanjutkan oleh perlakuan asap cair konsentrasi 5% dengan pelilinan kemudian perlakuan asap cair konsentrasi 10% dengan pelilinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair, nilai kekerasan tidak akan semakin tinggi. Pada hari ke-8 rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, perlakuan asap cair pada konsentrasi 1% sebesar 3.10 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.71 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.69 kgf, dan pada kontrol sebesar 2.52 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% sebesar 3.42 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.94 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.91 kgf, dan pada kontrol sebesar 2.75 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-8 sebesar 2.88 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Pada uji lanjut
40
Duncan, perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi asap cair yang lainnya. Perlakuan asap cair dengan konsentrasi 5%, konsentrasi 10% dan kontrol tidak berbeda nyata. Pada hari ke-12, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada perlakuan asap cair dengan konsentrasi 1% sebesar 2.37 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.33 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.74 kgf, dan pada kontrol sebesar
1.39 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan
pepaya pada
perlakuan dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 3.03 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.59 kgf, konsentrasi 10% sebesar 2.30 kgf, dan pada kontrol sebesar 1.74 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-12 sebesar 2.18 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Menurut uji lanjut Duncan, kontrol berbeda nyata terhadap perlakuan konsentrasi 1% dan 5% namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 10% yang diujikan. Perlakuan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi 10% namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 5%. Pada hari ke-16, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada konsentrasi 1% sebesar 1.80 kgf, konsentrasi 5% sebesar 1.38 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.06 kgf, dan pada kontrol sebesar 0.88 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 2.41 kgf, konsentrasi 5% sebesar 2.05 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.53 kgf, dan pada kontrol sebesar 1.15 kgf. Ratarata pada pengamatan hari ke-16 sebesar 1.53 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Pada uji lanjut Duncan, perlakuan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan konsentrasi 5% berbeda nyata terhadap kontrol dan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Pada hari ke-20, rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan tanpa pelilinan antara lain, pada konsentrasi 1% sebesar 1.02 kgf, konsentrasi 5%
41
sebesar 0.81 kgf, konsentrasi 10% sebesar 0.52 kgf, dan pada kontrol sebesar 0.46 kgf. Sedangkan rata-rata nilai kekerasan pepaya pada perlakuan dengan pelilinan antara lain pada konsentrasi 1% sebesar 1.66 kgf, konsentrasi 5% sebesar 1.15 kgf, konsentrasi 10% sebesar 1.12 kgf, dan pada kontrol sebesar 0.81 kgf. Rata-rata pada pengamatan hari ke-20 sebesar 0.94 kgf. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya. Pada uji lanjut Duncan, perlakuan konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan konsentrasi yang lainnya. Perlakuan konsentrasi 5% tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi 10% namun berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Dalam penelitian ini, rata-rata nilai kekerasan pepaya menurun seiring dengan bertambahnya umur penyimpanan buah. Hal ini terjadi karena pecahnya protopektin menjadi zat dengan berat molekul yang lebih rendah karena aktivitas enzim poligalakturonase. Enzim ini menguraikan propektin dengan komponen utama asam galakturonat sehingga larut dalam air dan mengakibatkan lemahnya dinding sel dan turunnya daya kohesi yang mengikat satu dengan yang lain. Turunnya daya kohesi inilah yang menyebabkan buah menjadi lunak. Dari keseluruhan pengamatan terhadap kekerasan terlihat bahwa pemberian perlakuan konsentrasi asap cair sebesar 1% dengan pelilinan mempunyai hasil yang paling optimum. 3. Total Padatan Terlarut
Total padatan terlarut akan meningkat cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring lama penyimpanan. Total padatan terlarut biasanya dindentifikasikan sebagai kandungan gula pada produk, namun total padatan terlarut sebenarnya adalah kandungan karbohidrat pada produk. Menurut Kays (1991) karbohidrat terdapat dalam jumlah melimpah dalam tanaman dan mewakili 50-80% berat kering tanaman. Karbohidrat sederhana seperti gula sukrosa dan fruktosa merupakan ciri kualitas yang sangat penting pada berbagai produk pascapanen. Pada buah pepaya dan buah klimakterik lainnya terjadi perubahan pati menjadi gula yang memberikan rasa manis dan juga
42
berfungsi sebagai prekursor berbagai komponen aroma dan cita rasa. Heddy, Susanto dan Kurniati (1994) di dalam Kurniati (2004) menambahkan zat yang termasuk golongan karbohidrat adalah gula, dekstrin, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, gum, dan beberapa karbohidrat yang lain. Kandungan gula dalam suatu produk ikut dipengaruhi laju respirasi dari produk yang bersangkutan, dimana kadar gula akan semakin meningkat apabila laju respirasinya menurun, begitu sebaliknya. Dari hasil pengukuran (Lampiran 5) diketahui bahwa pada semua perlakuan dan kontrol nilai total padatan terlarut cenderung menurun seiring dengan waktu penyimpanan, namun pada asap cair konsentrasi 1% nilai total padatan terlarut cenderung konstan. Penurunan nilai total padatan terlarut disebabkan karena terjadinya hidrolisa pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Pada proses selanjutnya, kadar gula menurun, hal ini disebabkan karena hidrolisa pati sedikit sedangkan proses respirasi meningkat dan sintesa asam yang mendegradasi gula juga berjalan terus. Perubahan total padatan terlarut pada kontrol mengalami peningkatan sampai hari ke-12 dan kemudian nilainya menurun sampai hari ke-20. Pada kontrol dengan pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut sebesar 12.4oBrix pada hari ke-0 dan selalu meningkat sebesar 12.70° Brix pada hari ke12 kemudian mengalami penurunan sampai 10.04°Brix pada hari ke-20. Sedangkan pada kontrol tanpa pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut sebesar 11.22oBrix pada hari ke-0 dan meningkat sebesar 12.69°Brix pada hari ke-4 kemudian nilainya menurun sampai 8.38° Brix pada hari ke-20. Pada hari ke-0 perlakuan asap cair konsentrasi 1% tanpa pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut sebesar 11.64°Brix dan mengalami kenaikan pada hari ke-4 menjadi 11.83°Brix kemudian menurun pada hari ke-8 sebesar 11.17°Brix, mengalami kenaikan lagi sebesar 11.91°Brix pada hari ke-12 dan cenderung menurun hingga hari ke-20 yaitu sebesar 110.84°Brix. Pada perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan dan perlakuan konsentrasi 10% tanpa pelilinan, rata-rata nilai total padatan terlarut mengalami penurunan selama proses penyimpanan, yaitu sebesar 11.61°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi 9.34°Brix pada hari ke-20 dan sebesar 12.04°Brix pada hari ke-0 menurun
43
menjadi 8.73°Brix pada hari ke-20. Pada perlakuan pelilinan mempunyai kecenderungan yang hampir sama dengan perlakuan pelilinan. Pada perlakuan konsentrasi 1% tanpa pelilinan mempunyai rata-rata nilai total padatan terlarut yang cenderung konstan sampai hari ke-20. Nilai total padatan terlarut awal (hari ke-0) sebesar 11.71°Brix mengalami kenaikan sampai hari ke-8 menjadi 12.74°Brix dan kemudian bergerak turun sampai hari ke-20 yaitu sebesar 12.32°Brix. Pada perlakuan konsentrasi 5% dengan pelilinan dan perlakuan konsentrasi 10% dengan pelilinan, rata-rata nilai total padatan terlarut mengalami penurunan selama proses penyimpanan sama seperti perlakuan konsentrasi tanpa pelilinan, yaitu sebesar 12.79°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi 8.94°Brix pada hari ke-20 dan sebesar 12.21°Brix pada hari ke-0 menurun menjadi 8.38°Brix pada hari ke-20. Dari Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan asap cair konsentrasi 1% dengan pelilinan memiliki nilai total padatan terlarut terbesar dan perlakuan konsentrasi 10% dengan pelilinan memiliki nilai total padatan terlarut terkecil. Hasil optimal yang dicapai oleh perlakuan asap cair konsentrasi 1% bahwa asap cair mampu mempertahankan nilai total padatan terlarut buah, hal ini menunjukkan bahwa asap cair dapat memperlambat metabolisme jaringan buah dan proses pematangannya menjadi lama, selain itu perlakuan konsentrasi asap cair 1% dapat menghambat aktivitas mikroba sehingga buah dapat bertahan sampai hari ke-20. Namun semakin tinggi perlakuan konsentrasi asap cair nilai total padatan terlarutnya semakin rendah. Konsentrasi asap cair yang tinggi tidak dapat menghambat kematangan dan cenderung mempercepat proses kematangan, selain itu diduga kandungan senyawa kimia terutama senyawa asam pada asap cair
yang tinggi dapat merusak sel-sel dalam buah sehingga mempercepat
kebusukan buah. Selain itu dalam Gambar 6. menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan pelilinan mempunyai nilai total padatan terlarut yang lebih tinggi dibanding perlakuan tanpa pelilinan untuk semua perlakuan konsentrasi asap cair dan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan lapisan lilin pada pepaya dapat menekan laju peningkatan total padatan terlarut, karena stomata pada kulit pepaya tertutup sehingga proses respirasi dan transpirasi berkurang dan menghambat proses pematangan buah.
44
Total padatan Terlarut (Brix
14.00
tanpa pelilinan pelilinan
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 KONTROL
1%
5%
10%
Konsentrasi asap cair
Gambar 6. Nilai Total Padatan Terlarut pepaya hari ke-16 Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi, perlakuan pelilinan dan interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap kekerasan pepaya pada tiap hari pengamatan. Menurut uji lanjut Duncan perlakuan mulai berbeda nyata setelah hari ke-12 sampai akhir pengamatan (hari ke-20). Pada hari ke-16 nilai total padatan terlarut pepaya perlakuan asap cair konsentrasi 1% berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan perlakuan konsentrasi 5% serta perlakuan konsentrasi 10%. 4. Total Cendawan
Pengamatan total cendawan dilakukan pada hari ke-0 dengan tujuan untuk mengetahui pertumbuhan cendawan pada awal penyimpanan pepaya dengan memberikan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan. Selain itu pengamatan cendawan dilakukan pada hari ke-14 di mana serangan cendawan pada pepaya yang diberi perlakuan mulai terlihat. Asap cair tempurung kelapa diketahui mengandung senyawa antimikroba seperti fenol, yaitu senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba termasuk cendawan. Fenol merupakan monoterpen yang umum digunakan sebagai antiseptik. Beberapa terpen yang lain, yang mempunyai struktur sikloheksana dengan gugus hidroksil serta tambahan gugus lainnya, juga memiliki sifat yang sama dalam menghambat pertumbuhan cendawan, khamir, maupun bakteri. (Wagner dan wof, 1997 di dalam Wastono, 2006).
45
Mekanisme senyawa fenol dalam membunuh mikroba adalah reaksi antara asam fenoleat dengan protein. Pada kondisi enzimatis dengan adanya enzim fenolase yang bekerja secara alami pada pH netral, asam fenoleat dioksidasi menjadi kunion yang dapat bereaksi dengan lisin dari protein yang menyebabkan protein tersebut tidak dapat digunakan secara biologis (Hurrel, 1984). Tabel 8. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-0 Perlakuan Pelilinan
Pelilinan
Tanpa pelilinan
Konsentrasi Asap cair (%) Kontrol 1 5 10 Kontrol 1 5 10
Populasi Colletrotichum golesporioides (koloni/g bobot basah) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
100 0 8667 0 0 0 0 0
7 0 0 0 3 0 0 0
54 0 4334 0 2 0 0 0
Tabel 9. Hasil pengujian Total kapang pada hari ke-14 Perlakuan Pelilinan
Pelilinan
Tanpa pelilinan
Konsentrasi Asap cair (%) Kontrol 1 5 10 Kontrol 1 5 10
Populasi Colletrotichum golesporioides (koloni/g bobot basah) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
367 8000 50000 223333 667 67 2000 56667
467 4333 13333 1000 1267 0 10667 600
417 6167 31667 112167 967 34 6334 28634
Pepaya yang diuji harus melewati tahapan inkubasi selama 7 hari, hal ini bertujuan untuk memudahkan pengamatan karena pada cendawan sudah mulai tumbuh dan berspora dalam media Agar. Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata pada perlakuan konsentrasi asap cair 5% dengan
46
pelilinan mempunyai nilai total cendawan tertinggi yaitu 4334 koloni cendawan. Sedangkan kontrol dengan pelilinan hanya 54 koloni cendawan. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena pepaya yang diuji tersebut telah menunjukkan adanya serangan laten oleh Colletrotichum golesporioides dibandingkan dengan yang lainnya. Serangan laten ini terjadi pada saat buah masih berada di pohon, pada saat itu patogen Colletotrichum gloeosporioides bertahan dalam kondisi dorman dan dapat berkembang setelah jaringan pepaya menjadi lemah karena proses penuaan karena Colletotrichum gloeosporioides adalah parasit yang kuat (Stanghellini dan Aragaki, 1966 di dalam Pantastico, 1986; Prabawati et al., 1991 di dalam Hutari, 2005). Pengujian total cendawan pada hari ke-0 belum dapat mengetahui efektifitas asap cair dalam menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum gloeosporioides karena secara visual serangan cendawan belum terlihat. Hal ini terjadi karena buah pepaya masih belum matang. Menurut Broto et al. (1994) patogen Colletotrichum gloeosporioides akan berkembang setelah buah menjadi matang atau mencapai fase klimakterik. Sedangkan perlakuan pelilinan dan tanpa pelilinan tidak menunjukkan pengaruh pada hasil uji total cendawan tersebut karena pepaya diuji pada hari ke-0 dimana pepaya belum mengalami proses penyimpanan. Oleh karena itu dilakukan pengujian total cendawan yang kedua yaitu pada hari ke-14 pada saat buah pepaya telah menunjukkan gejala serangan antraknosa. Dari hasil uji total cendawan pada hari ke-14 diketahui bahwa rata-rata koloni cendawan tertinggi yaitu pada perlakuan konsentrasi asap cair 10% dengan pelilinan sebanyak 11,2167 koloni cendawan dan terendah yaitu pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% tanpa pelilinan sebanyak 34 koloni cendawan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair tidak diiringi pula dengan semakin tinggi efektifitasnya dalam menghambat pertumbuhan cendawan. Konsentrasi asap cair 1% merupakan konsentrasi yang paling optimal dalam menghambat cendawan Colletotrichum gloeosporioides pada pepaya. Hasil ini mengacu pada hasil uji aktivitas cendawan dengan metode kontak yang dilakukan pada awal penelitian, bahwa dengan penambahan asap cair dengan konsentrasi sebesar 1% sudah dapat menghambat pertumbuhan cendawan.
47
Dari keseluruhan rata-rata hasil pengujian total cendawan pada hari ke-14 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair tidak memberikan pengaruh yang nyata bila diikuti dengan perlakuan pelilinan dalam proses penghambatan pertumbuhan cendawan. Perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan akan lebih berpengaruh nyata bila keduanya diberikan secara terpisah. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena terjadi reaksi kimia antara senyawa-sentawa dalam asap cair dengan senyawa pada lilin yang mengakibatkan rusaknya jaringan pada buah pepaya sehingga mempercepat proses pembusukan. Menurut Pantastico (1986) kombinasi lilin dengan suatu zat kimia ternyata tidak begitu efektif seperti kalau zat-zat kimia itu diberikan secara terpisah. Sebagai contoh, ubi yang dicelupkan dalam emulsi lilin polietilen nabati yang dioksidkan, tidak memperoleh
keuntungan-keuntungan
fisiologik
dan
patologik
selama
penyimpanan, umur simpan buah sukun yang diberi lapisan lilin secara nyata menjadi lebih pendek, terutama dalam penyimpanan dingin. Hasil uji total cendawan pada hari ke-14 disajikan pada Tabel 9.
Gambar 7. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-0
48
Gambar 8. Hasil Uji Total Cendawan pada media PDA pada hari ke-14 5. Pengamatan Serangan Penyakit secara Visual
Pengamatan serangan penyakit secara visual dilakukan setiap hari selama 20 hari setelah perlakuan. Tujuan dari pengamatan ini adalah mengetahui seberapa efektif perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan yang dibandingkan dengan kontrol terhadap serangan penyakit selama penyinpanan. Parameter yang diamati adalah timbulnya bercak-bercak kecil berwarna coklat kehitaman pada buah yang diduga merupakan gejala serangan penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Colletrotichum gloeosporioides (Penz) Sacc. Gejala serangan penyakit ini tampak pada buah menjelang masak yang berupa bulatan-bulatan kecil berwarna gelap. Bila buah bertambah masak, bulatan-bulatan tadi semakin besar dan busuk cekung kearah dalam buah. Menurut Kalie (1999) bila infeksi sampai pada daging buah bagian dalam, maka buah menjadi busuk bonyok dengan rasa pahit. Saat buah masih mentah gejala serangan cendawan ini tampak berbentuk luka kecil ditandai oleh adanya getah yang keluar dan mengental. Luka ini tetap kecil selama buah masih mentah. Pengamatan yang dilakukan pada awal penyimpanan sampai hari ke-5 belum menunjukkan adanya serangan penyakit antraknosa. Kondisi pepaya yang diberi perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan masih segar berwarna hijau kekuningan, persentase kematangan buah masih belum berubah dari kematangan awal saat panen yaitu sebesar 25-30%. Namun pada kontrol tanpa pelilinan
49
mengalami peningkatan kematangan sampai 40% pada akhir hari ke-4, hal ini ditunjukkan dengan adanya semburat kuning yang cenderung menyebar lebih cepat dibandingkan dengan pepaya yang diberi perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan. Sedangkan pada kontrol dengan pelilinan, pepaya mulai menguning pada hari ke-4 dan perubahan kematangannya tidak secepat kontrol tanpa pelilinan tetapi persentase kematangan yang terjadi lebih tinggi dari pada pepaya yang diberi perlakuan asap cair dan pelilinan. Serangan penyakit mulai terlihat pada hari ke-6 yaitu pada kontrol tanpa pelilinan. Gejala yang terjadi adalah adanya getah yang keluar dan mengental pada buah, selain itu mulai terlihat adanya bercak-bercak kecil berwarna coklat kehitaman. Hal ini terjadi pula pada kontrol dengan pelilinan, namun gejala yang terlihat tidak sebanyak pada kontrol tanpa pelilinan. Keadaan ini semakin buruk seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Sedangkan pada pepaya yang diberi perlakuan asap cair dan pelilinan kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi awal penyimpanan, masih terlihat segar dan hijau. Pada hari ke-8 daging pepaya kontrol tanpa pelilinan mulai lunak, serangan penyakit yang terjadi semakin parah yaitu diameter bercak-bercak kecil yang berwarna coklat kehitaman mulai membesar dan mulai cekung ke arah dalam buah. Selain itu pada pangkal buah mulai layu, melunak dan berubah warna menjadi kecoklatan, hal ini menunjukkan adanya serangan penyakit busuk pangkal rhizopus. Keadaan ini berlangsung terus sampai penyimpanan pada hari ke-12, dan cekungan yang terjadi semakin dalam serta diameter bercak hitam yang semakin luas mencapai 3 cm. Selain itu pada kulit buah menjadi keriput dan daging buah semakin lunak, penampakkan kontrol pada hari ke-12 ini sudah tidak menarik. Gejala-gejala tersebut juga terjadi pada kontrol dengan pelilinan namun tidak separah pada kontrol dengan pelilinan. Pengamatan untuk kontrol tanpa pelilian dihentikan pada hari ke-13 karena serangan penyakit sudah mencapai 90% lebih, ditandai dengan meluasnya area hitam dengan cekungan yang dalam pada daging buah mencapai 5 cm. Keadaan fisik buah sudah bonyok dan busuk, kulitnya keriput, dan pangkal buah yang rusak. Sedangkan kontrol dengan pelilinan masih bisa bertahan sampai hari ke-15.
50
Pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan mulai menunjukkan gejala serangan penyakit pada hari ke-10. Pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi 10% tanpa pelilinan menunjukkan gejala serangan penyakit yang lebih besar daripada perlakuan yang lainnya. Gejala yang terjadi adalah keluarnya getah yang mengental dan timbulnya bercak-bercak kecil berwarna coklat kehitaman yang mulai menyebar ke seluruh permukaan kulit buah. Pada pangkal buah terlihat perubahan warna dan pangkal menjadi lunak. Kondisi fisik pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi 10% tanpa pelilinan semakin menurun dan kerusakan mencapai puncaknya pada penyimpanan hari ke-16, yaitu sebesar 75%, gejala kerusakan yang terjadi sama dengan kontrol. Keadaan ini diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tanpa pelilinan, pepaya
dengan perlakuan
konsentrasi 5% dengan pelilinan, pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tanpa pelilinan dengan kerusakan mencapai 35%-70% pada hari ke-18. Sedangkan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan mampu bertahan sampai hari ke-20 dengan kerusakan tidak lebih dari 10%. Dari pengamatan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair tidak memberikan hasil yang lebih baik, justru penambahan konsentrasi asap cair yang berlebihan dapat merusak buah secara fisik karena sel-sel yang terdapat dalam buah tidak mampu mengadaptasi tingginya kandungan fenol dari asap cair tersebut. Perubahan visualisasi pada pepaya selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.
51
0%
5% Awal Penyimpanan (hari ke-0)
1%
0%
1%
10%
5%
10%
Akhir Penyimpanan (hari ke-20)
Gambar 9. Perubahan visualisasi pepaya selama penyimpanan 6. Uji Organoleptik
a. Warna Kulit Warna adalah indikator pertama yang digunakan konsumen dalam menentukan kematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna selama penyimpanan buah menjadi faktor yang penting. Perubahan kulit buah terjadi karena kulit buah kehilangan klorofilnya dan terjadi sintesis karotenoid dan antosianin selama proses pemasakan buah (Kays, 1991). Menurut Kader (1985) di dalam Kurniati (2004) terdapat enam tingkatan perubahan warna kulit pepaya, yaitu : (1) Hijau penuh. (2) Hijau dengan garis-garis kuning. (3) 50% hijau dan 50% kuning. (4) Lebih banyak kuning daripada hijau. (5) Kuning dengan garisgaris hijau. (6) Kuning penuh. Penilaian panelis terhadap warna kulit buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.06-3.11, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara 2.94-4.08, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.88-3.78, pada hari
52
ke-12 yaitu berkisar antara 3.35-4.46, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 2.194.28 dan pada akhir penyimpanan (hari ke-20) yaitu berkisar antara 1.33-4.22. Rendahnya penilaian panelis pada hari ke-0 terjadi karena warna kulit buah masih hijau segar dengan tingkat kematangan 25%-30%. Penilaian warna kulit tertinggi terjadi pada hari ke-12 yaitu pada pepaya kontrol dengan pelilinan yaitu sebesar 4.46 (Lampiran 7). Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pepaya dengan perlakuan asap cair konsentrasi 10% mempunyai nilai yang paling rendah dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan konsentrasi asap cair lainnya yaitu sebesar 3.44 pada perlakuan dengan pelilinan dan 3.35 pada perlakuan tanpa pelilinan. Penilaian panelis terhadap warna kulit terendah terjadi pada hari ke-20 yaitu kontrol tanpa pelilinan dengan nilai sebesar 1.33. Pada akhir penyimpanan ini pepaya kontrol baik dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan mempunyai penilaian terendah karena keadaan fisik pepaya sudah rusak akibat serangan cendawan sehingga penampilan kulit luarnya sudah tidak menarik. Penilaian terhadap warna kulit buah relatif meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan, karena buah semakin matang dan warna kulitnya semakin menguning. Dan relatif mulai menurun setelah hari ke-12 karena pada saat ini kulit pepaya mulai keriput karena kehilangan air dan mulai terserang oleh cendawan. Pemberian lapisan lilin pada buah tidak menunjukkan pengaruh yang berarti dalam penilaian panelis.
5.00
PELILINAN TANPA PELILINAN
Warna kulit
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1%
5%
10%
Kontrol
Konse ntrasi asap cair
Gambar 10. Nilai warna kulit pepaya pada hari ke-12.
53
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap warna kulit buah. Interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna kulit pepaya (Lampiran 8). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan perubahan warna pada kulit buah. Pemberian lilin juga dapat memberi kesan mengkilap pada kulit buah. Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 12 diketahui bahwa nilai warna kulit pepaya berdasarkan penilaian panelis mulai berbeda nyata pada hari ke-4 dan seterusnya. Pada hari ke-0 penilaian panelis terhadap warna kulit pepaya tidak berbeda nyata, karena pada awal penyimpanan ini kondisi buah pepaya relatif masih sama dengan tingkat keseragaman 25%-30% dan belum mengalami perubahan fisik maupun kimia akibat penyimpanan. b.Warna Daging Warna daging buah akan lebih disukai oleh panelis seiring dengan proses pematangan buah. Penilaian panelis terhadap warna daging buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.56-3.06, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara 3.28-4.11, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.78-4.46, pada hari ke-12 yaitu berkisar antara 3.12-4.49, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 2.314.44 dan pada hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.67-4.67 (Lampiran 7). Penilaian warna daging tertinggi terjadi pada hari ke-20 (Gambar 11) yaitu pada pepaya perlakuan konsentrasi asap cair 1% dengan pelilinan yaitu 4.67 diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tanpa pelilinan yaitu sebesar 4.27. Sedangkan penilaian warna daging terendah terjadi pada kontrol tanpa pelilinan yaitu sebesar 1.67. Rendahnya penilaian panelis terhadap kontrol tanpa pelilinan tersebut terjadi karena daging buah terlihat sudah bonyok dan berair akibat serangan cendawan sehingga penampakannya tidak menarik meskipun buah berwarna jingga kemerahan. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan tidak memberikan hasil yang semakin baik, justru pada konsentrasi asap cair 10% pepaya memiliki penilaian yang relatif lebih rendah dari kontrol. Hal ini disebabkan karena pepaya tidak dapat mengadaptasi tingginya kandungan senyawa kimia pada asap cair (fenol, asam, karbonil) sehingga senyawa-senyawa tersebut cenderung merusak jaringan dalam buah pepaya dan memberikan efek
54
pada perubahan warna daging buah pepaya meskipun sedikit. Perubahan warna ini terjadi karena senyawa karbonil berinteraksi dengan kandungan protein dalam buah pepaya. 5.00 Warna daging
PELILINAN
TANPA PELILINAN
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1%
5%
10%
Kontrol
Konse ntrasi asap cair
Gambar 11. Nilai warna daging pepaya pada hari ke-20. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap warna daging buah. Interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna daging pepaya (Lampiran 9). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh pada perubahan warna pada daging buah. Dalam hal ini asap cair mempunyai peranan sebagai pengawet yang dapat mempertahankan mutu buah namun dengan konsentrasi yang tepat. Pemberian lilin pada buah pepaya juga dapat mempertahankan mutu buah karena dapat menutupi stomata sehingga proses respirasi dan transpirasi berjalan lambat, selain itu juga dapat menutupi luka dan goresan yang dapat menimbulkan serangan cendawan. Pelilinan terbukti memberikan perlindungan terhadap buah dari kerusakan. Pepaya yang tidak diberi pelilinan mengalami kerusakan lebih awal sehingga kulit dan daging buah tidak diterima konsumen. Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 13 diketahui bahwa nilai warna daging pepaya berdasarkan penilaian panelis mulai berbeda nyata pada hari ke-4 dan seterusnya. Pada hari ke-4 pepaya kontrol berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair 5% dan 10%, namun tidak berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi asap cair 1%.
55
c. Aroma Penilaian panelis terhadap aroma buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.28-3.42, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara 2.37-3.50, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 2.01-3.56, pada hari ke-12 yaitu berkisar antara 1.67-3.36, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 1.34-3.73 dan pada hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.23-3.78 (Lampiran 7). Penilaian aroma tertinggi terjadi pada hari ke-20 (Gambar 12) yaitu pada pepaya perlakuan konsentrasi asap cair 1% tanpa pelilinan yaitu 3.78 diikuti oleh pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% dengan pelilinan yaitu sebesar 3.56. Sedangkan penilaian aroma terendah terjadi pada perlakuan konsentrasi asap cair 10% tanpa pelilinan yaitu sebesar 1.23. Rendahnya penilaian panelis terhadap perlakuan tersebut karena aroma asap yang tajam sehingga mengurangi tingkat kesukaan panelis bahkan cenderung sangat tidak disukai. Senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah fenol yang memiliki aroma keras dan tidak enak. Pada konsentrasi asap cair 1% aroma asap tidak tercium sehingga dan tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma asapnya. Pelapisan lilin tidak mempengaruhi penilaian karena tidak menimbulkan aroma-aroma tertentu.
4.00
PELILINAN TANPA PELILINAN
Aroma
3.00 2.00 1.00 0.00 1%
5%
10%
Kontrol
Konse ntrasi asap cair
Gambar 12. Nilai aroma pepaya pada hari ke-20. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap aroma buah. Interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap warna daging pepaya (Lampiran 10). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh pada perubahan aroma buah. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka
56
aroma asap yang timbul akan semakin tajam. Pepaya dengan aroma asap tidak akan diterima oleh konsumen. Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 14 diketahui bahwa nilai aroma pepaya berdasarkan penilaian panelis sudah berbeda nyata pada hari ke-0 dan seterusnya pada tiap pengamatan. Pada hari ke-0 pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tidak berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% namun keduanya berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1%. d. Rasa Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa-senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepet dan masam. Flavor pada buah merupakan kombinasi rasa (manis, asam, sepet), bau (zat-zat atsiri), dan terasanya pada lidah (pantastico, 1986). Penilaian panelis terhadap rasa buah pepaya pada hari ke-0 (sebelum penyimpanan) yaitu berkisar antara 2.11-3.00, pada hari ke-4 yaitu berkisar antara 1.67-3.81, pada hari ke-8 yaitu berkisar antara 1.56-3.87, pada hari ke-12 yaitu berkisar antara 1.23-4.46, pada hari ke-16 yaitu berkisar antara 1.59-4.58 dan pada hari ke-20 yaitu berkisar antara 1.25-4.39 (Lampiran 7). Penilaian rasa tertinggi terjadi pada hari ke-16 (Gambar 13) yaitu pada pepaya kontrol dengan pelilinan yaitu 4.58. Sedangkan penilaian rasa terendah terjadi pada hari ke-12 yaitu pada perlakuan konsentrasi asap cair 10% dengan pelilinan memiliki nilai sebesar 1.23. Pepaya kontrol dengan pelilinan mendapatkan penilaian yang tinggi karena nilai total padatan terlarut pada pepaya yang mencapai 11oBrix. Rasa yang manis tersebut sangat disukai oleh panelis. Pada hari ke-20 penilaian panelis terhadap perlakuan konsentrasi asap cair 10% sangat rendah yaitu 1.33 pada perlakuan dengan pelilinan dan 1.25 pada perlakuan tanpa pelilinan, panelis tidak menyukai perubahan citarasa asli pepaya menjadi citarasa asap. Perubahan citarasa asap ini terjadi karena asap cair mengandung guaiakol. Guaiakol merupakan turunan dari senyawa fenol yang memberikan rasa asap. Rasa asap pada pepaya mengurangi tingkat kesukaan panelis bahkan cenderung sangat tidak disukai. Pelapisan lilin mempengaruhi
57
penilaian terhadap rasa pepaya karena dengan pelapisan lilin dapat mengurangi terjadinya proses metabolisme dalam buah sehingga dapat mempertahankan rasa asli pepaya. 5.00
PELILINAN TANPA PELILINAN
Rasa
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1%
5%
10%
Kontrol
Konse ntrasi asap cair
Gambar 13. Nilai rasa pepaya pada hari ke-16. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan konsentrasi asap cair dan perlakuan pelilian berpengaruh nyata terhadap rasa buah. Interaksi konsentrasi asap cair dengan pelilinan berpengaruh nyata terhadap rasa buah pepaya (Lampiran 11). Perlakuan konsentrasi asap cair memberikan pengaruh nyata pada perubahan rasa buah pepaya. Semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka citarasa asap yang timbul akan semakin tajam. Pepaya dengan citarasa asap tidak diterima oleh konsumen. Dari uji lanjut Duncan pada Lampiran 15 diketahui bahwa nilai rasa pepaya berdasarkan penilaian panelis sudah berbeda nyata pada hari ke-0 dan seterusnya pada tiap pengamatan. Pada hari ke-0 pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% tidak berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% dan berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1%. Pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% tidak berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10% dan berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1%. Pepaya dengan perlakuan konsentrasi 1% tidak berbeda nyata terhadap pepaya kontrol dan berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 5% dan 10%. Sedangkan pepaya kontrol tidak berbeda nyata terhadap pepaya perlakuan konsentrasi 1% dan konsentrasi 5% serta berbeda nyata terhadap pepaya dengan perlakuan konsentrasi 10%.
58
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dalam uji aktivitas antimikroba asap cair terhadap cendawan penguji Colletotrichum gloeosporioides menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair 1% telah membunuh atau menghambat pertumbuhan cendawan. 2. Perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan pada pepaya memberikan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot, penurunan kekerasan, total padatan terlarut dan total cendawan. 3. Pelilinan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju susut bobot, perubahan nilai kekerasan, perubahan nilai total padatan terlarut. Namun belum memberikan pengaruh yang nyata pada total cendawan. Pemberian pelilinan mampu menghambat efek lunak selama penyimpanan. 4.
Asap cair konsentrasi 1% dengan pelilinan merupakan perlakuan yang optimum karena dapat mempertahankan mutu pepaya berdasarkan parameter mutu susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, uji total cendawan dan mampu bertahan terhadap serangan penyakit sampai hari ke-20.
5. Dari hasil organoleptik diketahui bahwa perlakuan konsentrasi asap cair 1% dengan pelilinan maupun tanpa pelilinan lebih disukai karena rasanya lebih manis dan tidak beraroma asap daripada perlakuan konsentrasi 5% dan konsentrasi 10 %. 6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan asap cair sebagai disinfektan maupun pengawet pada produk hortikultura yang lain dengan menggunakan parameter mutu yang lebih lengkap seperti laju respirasi, uji vitamin A, uji dan identifikasi cendawan jenis lainnya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1995. Hortikultur Aspek Budaya. U-I Press. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2002. Buletin Perdagangan Luar Negeri Ekspor Juni 2002. BPS-Jakarta. Broto, W. Suyanti dan Sjaifullah. 1991. Karakteristik Varietas untuk Standarisasi Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.). Jurnal Hortikultura 1(2): 41-44. Darmadji P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair yang Diproduksi dari Bermacam-macam Limbah Pertanian, Agritech 16(4): 19-22. Daun R. 1979. Interaction of Wood Smoke Component and Foods. Food tech. 33 (59): 61-71, 83. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2001. Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1996-2000. Firmaningsih, S. 1993. Pengaruh Pelapisan Lilin Terhadap Sifat Fisik Dan Daya Simpan Biah Pepaya (Carica papaya L.) Jenis Bangkok Selama Penyimpanan Pada Suhu Kamar Dan Suhu Dingin. Skripsi. Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Girrad J.P.1992. Smoking in Technology Meat Products. Clermont-Ferrand Ellis Horwood, New york, USA.P: 165-205. Gumanti FM. 2006. Kajian Sistem Produksi Destilat Asap Tempurung Kelapa danPemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Bogor: Fateta-IPB. Hanendyo C. 2005. Kinerja Alat Ekstraksi Asap Cair dengan Sistem Kondensasi. Skripsi. Bogor: FPIK-IPB. Heddy, S., W.H Susanto dan M.Kurniati. Pengantar Produksi Tanaman dan Penanganan Pascapanen. PT Raja Grafindo Persada.Jakarta. 245 hal. Horsfall. J.G. 1956. Principal of Fungicidal Action. Waltham, Mass. USA. Hurrel, R. F. 1984. Reaction of Food Proteins During Processing and Storage and Their Nutritional Consequences. Di dalam B. J. F. Hudson (ed). Developments in Food Proteins. Elsivier applied Science Publisher, London, New York. Hutari, S.T. 2005. Pengaruh Lateks Papaya Dan Fungisida Mankozeb Dengan Kombinasi Perlakuan Suhu Terhadap Perkembangan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz) Sacc.) Pada Buah Pepaya IPB-1. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Kader, A.A. 1992. Post Harvest Technology Of Horticulture Crops. University Of California, USA. Kalie, M.B. 1999. Bertanam papaya. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal.
60
Kalie, M.B. 1999. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Penebar Swadaya. Jakarta. 191 hal. Karseno, Purnama Darmadji dan Kapti Rahayu. 2001. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet Terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritech 21(1): 10-15. Kartosapoetra, A. G. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Bina Aksara. Jakarta. 250 hal. Kays, S.J. 1991. Postharvest Physiology of Nostrand Reinhold. New York. 532 p.
Perishable Plant Produces. Van
Kurniati. 2004. Pengkajian Umur Petik Dan Kualitas Buah Sepuluh Genotipe Pepaya Koleksi PKBT.Skripsi. Bogor: Faperta. IPB. Lurie S. 1998. Review: Postharvest heat treatments. Postharvest Biology and Technology, 14, 257-69. Maga, J.A., 1988. Smoke in Food Processing. Boca Raton, Florida. Muchtadi, T.R., Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB. Bogor. Noorhakim, I. 1992. Pengaruh Suhu dan Penggunaan Sistem Penyimpanan Atmosfir Termodifikasi Terhadap Mutu Buah Salak (Tandanan) serta Penggunaan Fungisida sebagai Penghambat Pertumbuhan Kapang Penyebab Kerusakan Buah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Bogor: FATETA-IPB. Novitaningsih, W. 1993. Analisis Pendinginan Secara Radiasi Untuk Penyimpanan Komoditi Pertanian. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Bogor: FATETA-IPB. Nugroho, W. 2002. Pengaruh Pelilinan Terhadap Kualitas dan Daya Simpan Buah Durian (Duriozibhetinus Murr.) Varietas Rancamaya Pada Suhu Kamar. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Bogor: FATETA-IPB. Pantastico, E.B. 1986. Fisiologi Pascapanen, Penanganan dan Pemanfaatan Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarata. Parish ME, and Davidson PM. 1993. Method foe Evaluation. Di dalam Davidson PM, and Branen AL., (Ed). Antimicrobials in Food. 2nd Ed. Marcel Dekker. New York. Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2001 Jo. Peraturan Pemerintah RI No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Jakarta. PKBT. 2003. Riset Unggulan Strategis Nasional. Pengembangan Buah Unggulan Indonesia. Pepaya. Pusat Kajian Buah Tropika. LP2M-IPB. 5 hal. Prabawati, S., Sjaifullah, dan Dwi Amiarsi. 1991. Cendawan Penyebab Kerusakan Buah Pepaya Selama Penyimpanan dan Pemasaran serta Pengendaliannya. J. Hort 1(3): 47-53.
61
Pszcola DE. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke House Base Flavors. J. Food Tech. (49): 70-74. Rieke, A. 2005. Pengaruh Perlakuan Panas dan Pelilinan Terhadap Laju Produksi dan Mutu alpukat (Persea americana, Mill). Skripsi. Departemen Teknik pertanian. Bogor: FATETA-IPB. Rismunandar. 1981. Bertanam Pepaya. Terate. Bandung. Risnawati, Nina. 1993. Pengaruh Iradiasi Terhadap Mutu Udang Beku Selama Penyimpanan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Bogor: FATETA, IPB. Rokhani H., S. Kawasaki, T. Kojima and T. Akinaga. 2001. Effect of heat treatments on respiration and quality of ‘Irwin’ mango. The Journal of the Society of Agric. Structures, Japan, 32, 59-67. Roosmani, A. B. 1975. Percobaan Pendahuluan Pelapisan Lilin Terhadap BuahBuahan dan Sayuran. Buletin Penelitian Hortikultura III (2) : 17-21. Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu, Jakarta. Di dalam Toemadi, H. W. 1982. Percobaan Pelapisan Lilin Berfungisida Pada Buah Pisang Raja (Musa paradisiaca L.) Skripsi. Bogor: Departemen Teknik Pertanian. IPB. Santoso, B.B dan B.S purwoko. 1995. Fisiologi Dan Teknologi Pascapanen Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern University Project. Jakarta. 187 hal. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Gajah Mada Press, Yogyakarta Standar Nasional Indonesia. SNI-01-4230-1996. Pepaya malang segar. Tranggono, Suhardi, Bambang S., Darmadji P., Supranto dan Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2): 15-24. Yulistiani R. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap Pertumbuhan Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan-Pascasarjana UGM. Yuwanti, S. 2005. Asap Cair Sebagai Pengawet Alami Pada Bandeng Presto. Agritech 25(1): 36-40. Watkins, J.B. 1971. Post Harvest Handling Of Fruits And Vegetables. Sandy Trout Preservation Research La. Quesland. Wastono. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa Dan Aplikasinya sebagai Disinfektan Untuk Memperpanjang Masa Simpan Buah Pisang Ambon (Musa paradisica L.). Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Bogor: FATETA, IPB. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia, Yakarta. Zuraida, I. 2007. Aplikasi Asap Cair Terhadap Daya Awet Bakso Ikan Patin. Tesis. Ilmu Pangan, Bogor: FATETA, IPB.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan. 1a Perlakuan tanpa pelilinan Hari
U1 0
U2 0
U3 0
Perlakuan Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3 0 0 0 0 0 0
0.42 0.98 1.71 2.45 4.20
0.83 1.74 2.98 4.00 5.38
0.84 1.68 2.47 3.30 4.48
1.45 2.61 3.70 4.85 6.30
Konsentrasi 1%
0 4 8 12 16 20
1.55 2.88 4.27 5.73 8.39
0.84 1.60 2.42 3.28 4.47
1.16 2.09 3.05 4.03 5.40
1.22 2.33 3.43 4.62 6.80
Kontrol
1.37 2.52 3.59 4.68 6.04
U1 0
U2 0
U3 0
1.38 2.24 3.24 4.12 5.57
1.30 2.56 3.85 5.83 8.64
1.17 2.18 3.54 4.62 6.39
1b. Peningkatan susut bobot pada perlakuan tanpa pelilinan selama penyimpanan. 8
Susut bobot (%)
7 6 KONTROL
5
Konsentrasi1%
4
Konsentrasi 5%
3
Konsentrasi 10%
2 1 0 0
5
10
15
20
25
Hari ke-
1 c. Perlakuan dengan Pelilinan Hari
U1 0
U2 0
U3 0
Perlakuan Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3 0 0 0 0 0 0
0.39 0.75 1.27 2.00 2.91
0.68 1.39 2.03 2.84 3.46
0.54 1.02 1.86 2.74 3.73
0.90 1.70 2.49 3.21 4.24
Konsentrasi 1%
0 4 8 12 16 20
0.72 1.29 1.93 2.61 3.99
0.97 1.70 2.44 3.20 4.51
0.96 1.63 2.30 2.98 4.08
1.03 1.64 2.24 2.90 3.97
0.99 1.79 2.55 3.52 5.44
Kontrol U1 0
U2 0
U3 0
1.03 1.87 2.78 3.93 5.21
0.96 1.79 2.65 3.39 4.91
0.68 1.20 1.74 2.17 3.07
64
Lampiran 1. Hasil pengamatan susut bobot selama penyimpanan (Lanjutan).
Susut Bobot (%)
1 d. Peningkatan susut bobot pada perlakuan pelilinan selama penyimpanan.
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
KONTROL Konsentrasi1% Konsentrasi 5% Konsentrasi 10%
0
5
10
15
20
25
Hari ke-
65
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada pepaya selama penyimpanan. Hari ke-4
Anova Susut Bobot Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
1.658
7
.237
6.249
.732
22.768 1.029 .564 6.503E-02
1 3 1 3
22.768 .343 .564 2.168E-02
600.814 9.049 14.878 .572
.974 .629 .482 .097
Error .606 16 3.790E-02 Total 25.032 24 Corrected 2.264 23 Total a R Squared = .732 (Adjusted R Squared = .615) Duncana,b N
Subset
Konsentrasi a 1% 6 .617 5% 6 Kontrol 6 10% 6 Sig. 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
b 1.072 1.087 1.120 .692
Hari ke-8
Anova Susut Bobot Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
4.883
7
.698
5.462
.705
77.723 2.333 2.428 .121
1 3 1 3
77.723 .778 2.428 4.039E-02
608.615 6.090 19.014 .316
.974 .533 .543 .056
Error 2.043 16 .128 Total 84.649 24 Corrected 6.926 23 Total a R Squared = .705 (Adjusted R Squared = .576)
66
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) Duncana,b N
Subset
Konsentrasi a 1.260
b
1%
6
5%
6
1.965
Kontrol
6
1.973
10%
6
2.000
Sig. 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
.871
Hari ke-12
Anova Susut Bobot Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
9.487
7
1.355
5.215
.695
173.573 3.275 5.964 .248
1 3 1 3
173.573 1.092 5.964 8.261E-02
667.965 4.201 22.952 .318
.977 .441 .589 .056
Error 4.158 16 .260 Total 187.217 24 Corrected 13.644 23 Total a R Squared = .695 (Adjusted R Squared = .562) Duncana,b N
Subset
Konsentrasi a 2.053
b
1%
6
10%
6
2.860
5%
6
2.877
Kontrol
6
2.967
Sig. 1.000 .737 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
67
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) Hari ke-16
Anova Susut Bobot Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 16.080 7 2.297 Model Intercept 315.420 1 315.420 DOSIS 4.520 3 1.507 LILIN 10.687 1 10.687 DOSIS * .873 3 .291 LILIN Error 8.603 16 .538 Total 340.103 24 Corrected 24.683 23 Total a R Squared = .651 (Adjusted R Squared = .499)
F Hitung
F Tabel
4.272
.651
586.635 2.802 19.876 .541
.973 .344 .554 .092
Duncana,b N
Subset
Konsentrasi 6
a 2.888
b
1% 10%
6
3.791
3.791
5%
6
3.812
3.812
Kontrol
6
4.010
Sig. .054 .631 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-20
Anova Susut Bobot Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
31.455
7
4.494
3.783
.623
615.741 9.067 21.165 1.223
1 3 1 3
615.741 3.022 21.165 .408
518.334 2.544 17.817 .343
.970 .323 .527 .060
Error 19.007 16 1.188 Total 666.203 24 Corrected 50.462 23 Total a R Squared = .623 (Adjusted R Squared = .459)
68
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) Duncana,b Subset
N Konsentrasi 6
a 4.027
b
1% 10%
6
5.288
5.288
5%
6
5.315
5.315
Kontrol
6
5.632
Sig. .069 .612 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
69
Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan 3 a. Perlakuan tanpa pelilinan Hari Perlakuan Konsentrasi 1% Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 0 3.76 3.59 3.55 3.56 3.74 3.46 3.73 3.42 3.49 4 3.42 3.22 3.28 3.43 3.03 3.44 3.00 3.38 3.37 8 2.98 3.23 3.07 2.73 2.64 2.75 2.55 2.62 2.91 12 2.76 1.86 2.48 1.86 2.48 2.64 1.54 1.66 2.00 16 1.33 1.96 2.12 1.58 1.22 1.33 0.97 1.22 1.00 20 0.76 1.18 1.12 1.06 0.95 0.41 0.57 0.53 0.47
Kontrol U1
U2
U3
3.60 3.07 2.57 0.95 0.92 0.41
4.00 3.12 2.43 2.36 0.80 0.59
4.76 3.03 2.55 0.86 0.91 0.38
3 b. Penurunan kekerasan pada perlakuan tanpa pelilinan selama penyimpanan. 4.50 4.00
Kekerasan (kgf)
3.50 3.00
KONTROL
2.50
Konsentrasi1%
2.00
Konsentrasi 5% Konsentrasi 10%
1.50 1.00 0.50 0.00 0
4
8
12
16
20
Hari ke-
3 c. Perlakuan Pelilinan Hari Konsentrasi 1%
0 4 8 12 16 20
U1
U2
U3
Perlakuan Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3
U1
U2
U3
3.95 3.43 3.39 3.10 2.78
3.88 3.57 3.48 2.86 2.08
3.64 3.57 3.41 3.12 2.35
3.67 3.53 3.06 2.53 2.01
3.59 3.46 2.98 2.47 2.01
3.53 3.47 2.79 2.77 2.11
3.98 3.05 3.02 2.10 2.09
3.36 3.50 2.83 2.70 1.36
3.61 3.39 2.87 2.10 1.14
3.61 3.29 2.87 1.69 1.07
3.49 3.25 2.54 2.55 1.23
3.28 3.31 2.86 0.98 1.17
1.30
1.90
1.78
1.43
1.24
0.77
1.19
1.07
1.11
0.59
1.08
0.75
Kontrol
70
Lampiran 3. Hasil pengamatan kekerasan selama penyimpanan (Lanjutan). 3 d. Penurunan kekerasan pada perlakuan dengan pelilinan selama penyimpanan. 4.50 4.00
Kekerasan (kgf)
3.50 3.00
KONTROL
2.50
Konsentrasi1%
2.00
Konsentrasi 5% Konsentrasi 10%
1.50 1.00 0.50 0.00 0
4
8
12
16
20
Hari ke-
71
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada pepaya selama penyimpanan Hari ke-0
Anova Kekerasan Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
1.034
7
.148
1.568
.407
330.734 .118 .194 .722
1 3 1 3
330.734 3.931E-02 .194 .241
3510.859 .417 2.064 2.554
.995 .073 .114 .324
Error 1.507 16 9.420E-02 Total 333.276 24 Corrected 2.541 23 Total a R Squared = .407 (Adjusted R Squared = .147) Duncan a,b N DOSIS 10%
6
Subset a 3.599
1%
6
3.728
5%
6
3.729
Kontrol
6
3.792
Sig. .332 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-4
Anova Kekerasan Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
.416
7
5.940E-02
2.659
.538
264.051 .217 .175 2.414E-02
1 3 1 3
264.051 7.237E-02 .175 8.048E-03
11820.969 3.240 7.814 .360
.999 .378 .328 .063
Error .357 16 2.234E-02 Total 264.824 24 Corrected .773 23 Total a R Squared = .538 (Adjusted R Squared = .336
72
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) Duncana,b DOSIS
N
Subset
Kontrol
6
a 3.178
b
10%
6
3.281
3.281
5%
6
3.394
1%
6
3.415
Sig. .249 .160 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-8
Anova Kekerasan Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
1.110
7
.159
6.560
.742
195.168 .811 .298 1.220E-03
1 3 1 3
195.168 .270 .298 4.068E-04
8070.818 11.185 12.314 .017
.998 .677 .435 .003
Error .387 16 2.418E-02 Total 196.665 24 Corrected 1.497 23 Total a R Squared = .742 (Adjusted R Squared = .629) a,b
Duncan N
Subset
DOSIS Kontrol
6
a 2.637
10%
6
2.801
5%
6
2.824
1%
6
b
3.144
Sig. .064 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
73
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) Hari ke-12
Anova Kekerasan Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
5.907
7
.844
3.497
.605
114.450 4.498 1.259 .150
1 3 1 3
114.450 1.499 1.259 5.004E-02
474.355 6.214 5.218 .207
.967 .538 .246 .037
Error 3.860 16 .241 Total 124.217 24 Corrected 9.767 23 Total a R Squared = .605 (Adjusted R Squared = .432) Duncan Subset
N DOSIS
a b Kontrol 6 1.564 10% 6 2.017 2.017 5% 6 2.457 1% 6 Sig. .130 .140 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
c
2.457 2.697 .409
Hari ke-16
Anova Kekerasan Source
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
5.752
7
.822
10.641
.823
56.376 4.102 1.518 .132
1 3 1 3
56.376 1.367 1.518 4.402E-02
730.008 17.704 19.662 .570
.979 .768 .551 .097
Error 1.236 16 7.723E-02 Total 63.363 24 Corrected 6.988 23 Total a R Squared = .823 (Adjusted R Squared = .746)
74
Lampiran 4. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan pada pepaya selama penyimpanan. (Lanjutan) a,b
Duncan N
Subset
Konsentra si Kontrol
6
a 1.015
10%
6
1.297
5%
6
1%
6
b
c
1.713 2.105
Sig. .084 1.000 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
1.000
Hari ke-20
Anova Kekerasan Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 3.114 7 .445 Model Intercept 21.382 1 21.382 DOSIS 1.609 3 .536 LILIN 1.389 1 1.389 DOSIS * .116 3 3.873E-02 LILIN Error .947 16 5.920E-02 Total 25.443 24 Corrected 4.061 23 Total a R Squared = .767 (Adjusted R Squared = .665)
F Hitung
F Tabel
7.514
.767
361.203 9.058 23.461 .654
.958 .629 .595 .109
Duncana,b N
Subset
Konsentrasi a b Kontrol 6 .636 10% 6 .822 .822 5% 6 .978 1% 6 Sig. .204 .281 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
c
1.340 1.000
75
Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama penyimpanan
5 a. Perlakuan dengan pelilinan Hari
0 4 8 12 16 20
Konsentrasi 1% U1 U2 U3
Perlakuan Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3
Kontrol U1 U2
U3
11.43 12.13 12.43 12.23 11.93 12.6
12.80 12.33 12.13 10.93 10.17 10.10
12.17 12.83 13.17 12.63 10.6 10.23
12.67 12.13 12.73 12.70 9.83 9.8
11.57 12.53 13.20 12.13 12.73 12.33
12.13 12.30 12.60 13.33 12.27 12.03
12.97 12.47 12.47 11.70 10.33 9.73
12.60 12.57 12.03 11.97 9.07 8.20
12.29 11.37 11.93 10.53 9.97 8.27
12.23 11.90 11.40 11.20 9.90 9.10
12.12 12.87 12.47 11.47 10.10 8.83
12.37 12.57 12.60 12.83 10.27 10.1
Total padatan terlarut (Brix)
5 d. Perubahan total padatan terlarut pada perlakuan pelilinan selama penyimpanan. 14.00 12.00 10.00
KONTROL
8.00
Konsentrasi1%
6.00
Konsentrasi 5%
4.00
Konsentrasi 10%
2.00 0.00 0
5
10
15
20
25
Perlakuan
5 c. Perlakuan tanpa pelilinan Hari
0 4 8 12 16 20
Konsentrasi 1% U1 U2 U3
Perlakuan Konsentrasi 5% Konsentrasi 10% U1 U2 U3 U1 U2 U3
Kontrol U1 U2
U3
11.13 12.03 11.30 11.40 11.40 10.67
11.70 10.83 11.70 10.33 9.33 8.90
11.57 12.07 12.13 12.47 9.63 8.70
11.73 11.87 12.33 10.93 9.60 8.13
12.20 12.13 11.20 12.67 11.87 10.80
11.60 11.33 11.00 12.07 10.67 11.07
12.27 12.40 11.47 11.23 9.57 8.87
10.87 11.37 11.03 10.20 10.23 9.07
11.77 11.63 10.47 10.33 9.27 8.60
12.00 11.80 10.60 10.17 9.33 8.20
12.37 11.83 11.80 10.23 8.73 8.33
10.37 12.63 10.20 11.27 9.50 8.30
76
Lampiran 5. Hasil pengamatan Total Padatan Terlarut (TPT) selama penyimpanan (Lanjutan) 5 d. Perubahan total padatan terlarut pada perlakuan tanpa pelilinan selama penyimpanan.
Total Padatan terlarut (Brix)
14.00 12.00 10.00
KONTROL
8.00
Konsentrasi1%
6.00
Konsentrasi 5% Konsentrasi 10%
4.00 2.00 0.00 0
4
8
12
16
20
Hari ke-
77
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan Hari ke-0
Anova TPT Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
5.337
7
.762
3.648
.615
3429.802 1.126 2.516 1.695
1 3 1 3
3429.802 .375 2.516 .565
16411.431 1.797 12.038 2.703
.999 .252 .429 .336
Error 3.344 16 .209 Total 3438.483 24 Corrected 8.681 23 Total a R Squared = .615 (Adjusted R Squared = .446) Duncana,b N Konsentrasi 1%
6
Subset a 11.677
Kontrol
6
11.811
I10%
6
12.129
5%
6
12.200
Sig. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
.086
Hari ke-4
Anova TPT Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 2.592 7 .370 Model Intercept 3502.532 1 3502.532 DOSIS .676 3 .225 LILIN 1.534 1 1.534 DOSIS * .382 3 .127 LILIN Error 3.502 16 .219 Total 3508.626 24 Corrected 6.094 23 Total a R Squared = .425 (Adjusted R Squared = .174)
F Hitung
F Tabel
1.691
.425
16001.273 1.029 7.010 .581
.999 .162 .305 .098
78
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan) Duncan a,b N Konsentrasi 10%
6
Subset a 11.900
5%
6
11.995
1%
6
12.078
Kontrol
6
12.350
Sig. .144 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-8
Anova TPT Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
10.382
7
1.483
4.475
.662
3370.132 1.777 8.090 .515
1 3 1 3
3370.132 .592 8.090 .172
10168.624 1.787 24.410 .518
.998 .251 .604 .089
Error 5.303 16 .331 Total 3385.817 24 Corrected 15.685 23 Total a R Squared = .662 (Adjusted R Squared = .514) Duncan N DOSIS 10%
6
Subset a 11.44450
5%
6
11.80556
I1%
6
11.95556
Kontrol
6
12.19433
Sig. .053 a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
79
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan) Hari ke-12
Anova TPT Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 16.181(a) 3187.039
df 7 1
Mean Square 2.312 3187.039
F Hitung 8.589 11842.529
F Tabel .790 .999
3.715 4.828 .069 .269
13.803 17.940 .258
.721 .529 .046
DOSIS LILIN DOSIS * LILIN Error Total Corrected Total
11.144 3 4.828 1 .208 3 4.306 16 3207.526 24 20.487 23 a R Squared = .790 (Adjusted R Squared = .698)
Duncana,b Subset DOSIS 10%
N 6
1 10.65561 11.06111
2
5%
6
Kontrol
6
12.13883
1%
6
12.23883
Sig.
.195
.743
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-16
Anova TPT Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 22.705(a)
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
3.244
16.658
.879
Intercept
2525.609
1
2525.609
12970.926
.999
DOSIS
19.271
3
6.424
32.990
.861
LILIN
2.757
1
2.757
14.161
.470
DOSIS * LILIN
.677
3
.226
1.159
.178
Error
3.115
16
.195
Total
2551.429
24
Corrected Total
25.821 23 a R Squared = .879 (Adjusted R Squared = .827)
80
Lampiran 6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Padatan terlarut pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan) Duncan a,b DOSIS
Subset
N a
b
10%
6
9.550
5%
6
9.783
Kontrol
6
9.906
1%
6
11.795
Sig.
.204
1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Hari ke-20
Anova TPT Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
40.157(a)
7
5.737
30.479
.930
Intercept
2222.721
1
2222.721
11809.136
.999
DOSIS
32.287
3
10.762
57.179
.915
LILIN
5.702
1
5.702
30.293
.654
DOSIS * LILIN
2.168
3
.723
3.839
.419
Error
3.012
16
.188
Total
2265.889
24
Corrected Total
43.168
23
a R Squared = .930 (Adjusted R Squared = .900)
Duncan a,b Subset DOSIS
N
1 8.55550
2
3
10%
6
5%
6
9.14450
Kontrol
6
9.21100
1%
6
Sig.
11.58333 1.000
.794
1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
81
Lampiran 7. Hasil uji organoleptik selama penyimpanan. 7 a. Warna kulit hari 0 4 8 12 16 20
1% L 3.11 3.83 3.78 3.86 4.28 4.22
5% L 2.44 3.17 3.60 4.33 4.17 3.44
10% L 2.67 2.89 3.33 3.44 2.89 2.78
Kontrol L 2.23 3.69 3.23 4.46 3.15 2.06
1% TL 2.06 2.83 3.72 3.89 3.17 3.39
5% TL 2.83 2.94 2.89 3.89 3.67 3.39
10% TL 2.56 3.04 2.88 3.35 3.17 2.78
Kontrol TL 2.75 4.08 3.69 3.42 2.19 1.33
5% L 2.56 3.83 4.46 4.39 4.17 3.19
10% L 3.00 3.36 3.57 3.28 3.21 2.00
Kontrol L 2.82 3.58 3.54 4.73 3.88 2.50
1% TL 2.72 3.44 3.44 4.00 3.50 4.17
5% TL 3.06 3.28 3.56 4.11 4.22 3.00
10% TL 3.00 3.44 3.36 3.12 3.00 1.89
Kontrol TL 3.00 4.11 3.48 3.53 2.31 1.67
1% L 2.94 3.50 3.44 3.53 3.39 3.56
5% L 2.56 2.67 3.35 3.11 3.17 2.56
10% L 2.77 2.44 2.63 1.64 1.34 1.23
Kontrol L 2.48 3.11 3.25 3.54 3.42 2.69
1% TL 3.00 3.22 3.33 3.33 3.58 3.78
5% TL 2.28 2.78 3.22 3.33 3.11 2.44
10% TL 2.67 2.37 2.01 1.89 1.50 1.32
Kontrol TL 3.42 3.36 3.27 2.92 2.61 1.92
1% L 2.72 3.67 3.44 3.42 4.11 4.39
5% L 2.33 3.17 3.65 3.83 3.67 2.56
10% L 2.33 1.67 1.56 1.23 1.59 1.33
Kontrol L 2.57 3.28 3.87 4.46 4.58 2.44
1% TL 2.72 3.33 3.11 3.89 3.39 4.11
5% TL 2.28 2.78 2.56 2.67 2.44 2.61
10% TL 2.11 1.87 1.67 1.56 1.63 1.25
Kontrol TL 3.00 3.81 3.48 3.31 2.08 1.67
7 b. Warna daging buah hari 0 4 8 12 16 20
1% L 2.56 4.17 2.78 3.92 4.44 4.67
7 c. Aroma hari 0 4 8 12 16 20
7 d. Rasa hari 0 4 8 12 16 20
Keterangan : L = Pelilinan, TL = Tanpa lilin
82
Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada pepaya selama penyimpanan.
H-0 Type III Sum of Squares df 2.375(a) 7 158.775 1 .069 3 .012 1 2.294 3 3.363 16 164.513 24 5.738 23 a R Squared = .414 (Adjusted R Squared = .157) Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN Error Total Corrected Total
Mean Square .339 158.775 .023 .012 .765 .210
F Hitung
F Tabel
1.614 755.366 .110 .056 3.637
.414 .979 .020 .003 .405
H-4 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
5.437
7
.777
3.924
.632
259.515 3.601 .163 1.672
1 3 1 3
259.515 1.200 .163 .557
1311.152 6.064 .825 2.817
.988 .532 .049 .346
Error 3.167 16 .198 Total 268.119 24 Corrected 8.604 23 Total a R Squared = .632 (Adjusted R Squared = .471)
H-8 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
5.548
7
.793
28.016
.925
271.219 2.590 .608 2.350
1 3 1 3
271.219 .863 .608 .783
9586.543 30.521 21.491 27.685
.998 .851 .573 .838
Error .453 16 2.829E-02 Total 277.220 24 Corrected 6.001 23 Total a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .892)
83
Lampiran 8. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna kulit pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan).
H-12 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
3.262
7
.466
5.789
.717
350.141 1.604 .753 .906
1 3 1 3
350.141 .535 .753 .302
4350.256 6.641 9.351 3.750
.996 .555 .369 .413
1.288 354.691 4.549
16 24 23
8.049E-02
Error Total Corrected Total
a R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .593)
H-16 Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 10.594
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
1.513
12.717
.848
259.187 7.402 1.475 1.717 1.904 271.684 12.498
1 3 1 3 16 24 23
259.187 2.467 1.475 .572 .119
2177.886 20.733 12.395 4.808
.993 .795 .437 .474
a R Squared = .848 (Adjusted R Squared = .781)
H-20 Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 15.848
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
2.264
72.437
.969
209.214 13.208 1.382 1.257 .500 225.562 16.348
1 3 1 3 16 24 23
209.214 4.403 1.382 .419 3.125E-02
6693.960 140.866 44.231 13.411
.998 .964 .734 .715
a R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .956)
84
Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging pada pepaya selama penyimpanan. H-0 Source
Type III Sum of Squares 1.468
df
Mean Square
Corrected 7 .210 Model Intercept 183.873 1 183.873 DOSIS .389 3 .130 LILIN .663 1 .663 DOSIS * .415 3 .138 LILIN Error 2.274 16 .142 Total 187.614 24 Corrected 3.741 23 Total a R Squared = .392 (Adjusted R Squared = .126) H-4 Source
Type III Sum of Squares 2.747
df
Mean Square
Corrected 7 .392 Model Intercept 329.375 1 329.375 DOSIS 1.476 3 .492 LILIN .473 1 .473 DOSIS * .798 3 .266 LILIN Error 1.086 16 6.785E-02 Total 333.207 24 Corrected 3.833 23 Total a R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .593) H-8 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 11.988 7 1.713 Model Intercept 269.809 1 269.809 DOSIS 1.697 3 .566 LILIN 1.349 1 1.349 DOSIS * 8.942 3 2.981 LILIN Error .184 16 1.149E-02 Total 281.982 24 Corrected 12.172 23 Total a R Squared = .985 (Adjusted R Squared = .978)
F Hitung
F Tabel
1.476
.392
1294.005 .913 4.668 .974
.988 .146 .226 .154
F Hitung
F Tabel
5.784
.717
4854.749 7.252 6.975 3.920
.997 .576 .304 .424
F Hitung
F Tabel
149.087
.985
23487.199 49.254 117.432 259.473
.999 .902 .880 .980
85
Lampiran 9. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik warna daging pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan).
H-12 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 4.743 7 .678 Model Intercept 352.283 1 352.283 DOSIS 3.642 3 1.214 LILIN .502 1 .502 DOSIS * .600 3 .200 LILIN Error 1.477 16 9.230E-02 Total 358.503 24 Corrected 6.220 23 Total a R Squared = .763 (Adjusted R Squared = .659)
F Hitung
F Tabel
7.341
.763
3816.722 13.151 5.436 2.166
.996 .711 .254 .289
F Hitung
F Tabel
19.430
.895
3497.133 18.680 39.895 13.358
.995 .778 .714 .715
H-16 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 12.339 7 1.763 Model Intercept 317.263 1 317.263 DOSIS 5.084 3 1.695 LILIN 3.619 1 3.619 DOSIS * 3.635 3 1.212 LILIN Error 1.452 16 9.072E-02 Total 331.053 24 Corrected 13.790 23 Total a R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .849)
H-20 Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares 24.486
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
3.498
27.225
.923
207.094 21.693 1.581 1.212
1 3 1 3
207.094 7.231 1.581 .404
1611.834 56.279 12.306 3.144
.990 .913 .435 .371
Error 2.056 16 .128 Total 233.635 24 Corrected 26.541 23 Total a R Squared = .923 (Adjusted R Squared = .889)
86
Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya selama penyimpanan. H-0 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 2.733 7 .390 Model Intercept 181.335 1 181.335 DOSIS 1.230 3 .410 LILIN .131 1 .131 DOSIS * 1.372 3 .457 LILIN Error 2.448 16 .153 Total 186.516 24 Corrected 5.181 23 Total a R Squared = .528 (Adjusted R Squared = .321)
F Hitung
F Tabel
2.552
.528
1185.358 2.681 .853 2.990
.987 .334 .051 .359
H-4 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
4.782
7
.683
17.869
.887
201.260 3.966 .220 .595
1 3 1 3
201.260 1.322 .220 .198
5264.578 34.582 5.766 5.192
.997 .866 .265 .493
F Hitung
F Tabel
40.920
.947
10429.050 74.594 32.501 10.052
.998 .933 .670 .653
Error .612 16 3.823E-02 Total 206.654 24 Corrected 5.394 23 Total a R Squared = .887 (Adjusted R Squared = .837)
H-8 Source
Type III Sum of Squares 5.964
df
Mean Square
Corrected 7 .852 Model Intercept 217.142 1 217.142 DOSIS 4.659 3 1.553 LILIN .677 1 .677 DOSIS * .628 3 .209 LILIN Error .333 16 2.082E-02 Total 223.438 24 Corrected 6.297 23 Total a R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .924)
87
Lampiran 10. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan)
H-12 Source
Type III Sum of Squares 11.614
df
Mean Square
Corrected 7 1.659 Model Intercept 203.467 1 203.467 DOSIS 10.774 3 3.591 LILIN 4.507E-02 1 4.507E-02 DOSIS * LILIN .795 3 .265 Error .937 16 5.853E-02 Total 216.018 24 Corrected 12.551 23 Total a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .893)
F Hitung
F Tabel
28.346
.925
3476.092 61.355 .770 4.529
.995 .920 .046 .459
F Hitung
F Tabel
38.046
.943
2775.792 80.226 2.461 7.727
.994 .938 .133 .592
H-16 Source
Type III Sum of Squares 17.855
df
Mean Square
Corrected 7 2.551 Model Intercept 186.094 1 186.094 DOSIS 16.136 3 5.379 LILIN .165 1 .165 DOSIS * LILIN 1.554 3 .518 Error 1.073 16 6.704E-02 Total 205.021 24 Corrected 18.927 23 Total a R Squared = .943 (Adjusted R Squared = .919)
H-20 Source
Type III Sum of Squares 19.056
df
Mean Square
Corrected 7 2.722 Model Intercept 147.114 1 147.114 DOSIS 17.190 3 5.730 LILIN .290 1 .290 DOSIS * LILIN 1.575 3 .525 Error 1.182 16 7.390E-02 Total 167.352 24 Corrected 20.238 23 Total a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .916)
F Hitung
F Tabel
36.835
.942
1990.605 77.534 3.929 7.104
.992 .936 .197 .571
88
Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya selama penyimpanan.
H-0 Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares 2.334
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
.333
3.279
.589
143.815 1.202 6.304E-02 1.068
1 3 1 3
143.815 .401 6.304E-02 .356
1414.517 3.942 .620 3.503
.989 .425 .037 .396
F Hitung
F Tabel
8.982
.797
926.173 20.245 .233 .636
.983 .791 .014 .107
F Hitung
F Tabel
66.031
.967
4523.387 125.079 45.836 13.714
.996 .959 .741 .720
Error 1.627 16 .102 Total 147.776 24 Corrected 3.961 23 Total a R Squared = .589 (Adjusted R Squared = .410)
H-4 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 14.639 7 2.091 Model Intercept 215.640 1 215.640 DOSIS 14.141 3 4.714 LILIN 5.415E-02 1 5.415E-02 DOSIS * .444 3 .148 LILIN Error 3.725 16 .233 Total 234.005 24 Corrected 18.365 23 Total a R Squared = .797 (Adjusted R Squared = .708)
H-8 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 21.360 7 3.051 Model Intercept 209.037 1 209.037 DOSIS 17.341 3 5.780 LILIN 2.118 1 2.118 DOSIS * 1.901 3 .634 LILIN Error .739 16 4.621E-02 Total 231.136 24 Corrected 22.099 23 Total a R Squared = .967 (Adjusted R Squared = .952)
89
Lampiran 11. Analisis sidik ragam terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya selama penyimpanan (Lanjutan).
H-12 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected 26.180 7 3.740 Model Intercept 222.103 1 222.103 DOSIS 21.866 3 7.289 LILIN .690 1 .690 DOSIS * 3.624 3 1.208 LILIN Error .854 16 5.337E-02 Total 249.136 24 Corrected 27.034 23 Total a R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .955)
F Hitung
F Tabel
70.076
.968
4161.496 136.568 12.932 22.631
.996 .962 .447 .809
H-16 Source Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
Type III Sum of Squares 32.529
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
7
4.647
84.798
.974
214.443 16.743 8.712 7.073
1 3 1 3
214.443 5.581 8.712 2.358
3913.190 101.845 158.981 43.024
.996 .950 .909 .890
Error .877 16 5.480E-02 Total 247.848 24 Corrected 33.405 23 Total a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .962)
H-20 Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F Hitung
F Tabel
Corrected Model Intercept DOSIS LILIN DOSIS * LILIN
30.057
7
4.294
104.549
.979
161.098 27.768 .778 1.512
1 3 1 3
161.098 9.256 .778 .504
3922.443 225.366 18.933 12.271
.996 .977 .542 .697
Error .657 16 4.107E-02 Total 191.813 24 Corrected 30.715 23 Total a R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .969)
90
Lampiran 12. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna kulit pada pepaya selama penyimpanan.
H-0
H-12 Subset
DOSIS konsentrasi 0% konsentrasi 10% konsentrasi 1% konsentrasi 5% Sig.
N
1 2.48833 2.57833 2.58333 2.63833 .610
6 6 6 6
N
Subset
DOSIS 10% 1% Kontrol 5% Sig.
6 6 6 6
a 3.40167
b 3.87500 3.89167 4.11000 .192
1.000
.
H-4
H-16 N
N
Subset
10% 5% 1% Kontrol Sig.
6 6 6 6
a 2.868 3.0577 3.333
b
3.895 1.000
.104
H-8
Kontrol 10% 1% 5% Sig.
6 6 6 6
a 2.555 2.952
b
3.722 3.917 .342
.064
H-20
N
Subset
Subset
DOSIS 5% 10% 1% Kontrol Sig.
Subset
DOSIS
DOSIS
6 6 6 6
a 3.000 3.072
.471
b
3.640 3.7350 .343
DOSIS
N
Kontrol 10% 5% 1% Sig.
6 6 6 6
1 1.850
2
3
4
2.740 3.415 3.805 1.000 1.000 1.000 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
91
Lampiran 13. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik warna daging pada pepaya
selama penyimpanan
H-0
H-12
DOSIS
N
1%
6
Subset a 2.640
Kontrol
6
2.667
5%
6
2.805
10%
6
2.960
Sig.
.194
DOSIS
N
10% Kontrol 1% 5% Sig.
6 6 6 6
H-4 N
10%
6
a 3.403
5%
6
3.555
1%
6
Kontrol
b 3.923 3.958 4.250 .095
1.000
.116
Subset
DOSIS 10%
6
a 3.085
Kontrol
6
3.292
3.805
1%
6
3.972
4.055
5%
6
4.195
.116
Sig.
c
3.555 3.805
.328
N
Subset b
6
Sig.
H-8
1% 5% 10% Kontrol Sig.
a 3.193
H-16
DOSIS
DOSIS
Subset
.252
b
.217
H-20 N 6 6 6 6
a 3.000
Subset b c
d
3.227 3.475 3.710 1.000 1.000 1.000 1.000
DOSIS 10% Kontrol 5% 1% Sig.
N 6 6 6 6
a 1.945 2.292
Subset b
c
3.097 .113
1.000
4.417 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
92
Lampiran 14. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik aroma pada pepaya selama penyimpanan H-0
H-12
DOSIS
N
5% 10% Kontrol 1% Sig.
6 6 6 6
Subset a 2.415 2.667
.282
2.667 2.942 2.972 .218
H-4 DOSIS 10% 5% Kontrol 1% Sig.
10% 5% Kontrol 1% Sig.
N
10% 5% Kontrol 1% Sig.
6 6 6 6
Subset a b 1.760 3.222 3.235 3.430 1.000 .176
H-16 N 6 6 6 6
a 2.318
Subset b
DOSIS
N
10% Kontrol 5% 1% Sig.
6 6 6 6
2.723
1.000
1.000
Subset
c
3.180 3.362 .127
H-8 DOSIS
DOSIS b
a 1.387
b
c
3.127 3.138 1.000
.939
3.487 1.000
Subset b
c
H-20 N 6 6 6 6
a 2.297
Subset b
N c
3.000
1.000
1.000
3.290 3.445 .081
DOSIS 10% Kontrol 5% 1% Sig.
6 6 6 6
a 1.275
2.458 2.502 1.000
.786
3.668 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
93
Lampiran 15. Uji lanjut Duncan terhadap uji organoleptik rasa pada pepaya selama penyimpanan H-0
H-12
DOSIS
N
10% 5% Kontrol 1% Sig.
6 6 6 6
DOSIS
Subset a 2.163 2.305
b
c
2.305 2.600
.453
.129
10% 5% 1% Kontrol Sig.
2.600 2.723 .512
H-4 N
10% 5% 1% Kontrol Sig.
6 6 6 6
Subset a 1.762
b
c
3.250
1.000
2.973 3.500 1.000
DOSIS
N
c
.076
10% 5% Kontrol 1% Sig.
3.500 3.757 .371
H-8
10% 5% 1% Kontrol Sig.
6 6 6 6
Subset b
a 1.430
1.000
3.653 3.835 .192
Subset b
c
H-16
DOSIS
DOSIS
N
6 6 6 6
a 1.610
3.055
1.000
1.000
3.542 3.750 .143
H-20 Subset
N
6 6 6 6
a 1.615
b
c
DOSIS
N
10% Kontro l 5% 1% Sig.
6 6
d
2.927 3.333 3.930 1.000 1.000 1.000 1.000
6 6
Subset a 1.260
b
c
d
2.268 2.585 4.250 1.000 1.000 1.000 1.000
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
94