KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET
OLEH: LILIS SUCAHYO F14051196
2010 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
a
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: LILIS SUCAHYO F14051196
2010 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
b
Judul Skripsi : Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan Koagulan Lateks dalam Pengolahan Ribbed Smoked Sheet (RSS) dan Pengurang Bau Busuk Bahan Olahan Karet. Nama
: Lilis Sucahyo
NIM
: F14051196
Menyetujui :
Pembimbing,
(Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si.) NIP : 19640813 199102 1001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng.) NIP : 19661201 199103 1004
Tanggal Lulus :
c
Lilis Sucahyo. F14051196. KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si. 2010.
RINGKASAN Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan karet alam yang berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya mutu sit yang dihasilkan karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai plastisitas PRI (Plasticity Retention Index) menjadi rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang digunakan sebagai bahan pembekunya bermacam-macam. Pada kebun inti bahan pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buah-buahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabkan terbentuknya gas amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet. Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair diantaranya adalah fenol, asam dan karbonil. Komponen-komponen tersebut berpotensi sebagai alternatif bahan koagulan pengganti asam semut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam pengolahan karet alam. Hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui pemanfaatan dan cara penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar. Penelitian ini dilakukan pada Pabrik Pengolahan RSS dan Laboratorium Analisis Mutu PTPN VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta Jawa Barat. Percobaan pada penelitian tahap I dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi serta jumlah asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai bahan koagulan serta pengaruhnya terhadap mutu produk RSS yang meliputi kelas mutu sit, nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Perlakuan yang digunakan terdiri dari 6 taraf perbandingan komposisi pemberian bahan koagulan yaitu ; 100% asam semut (kontrol), 100% asap cair, 25% asam semut : 75% asap cair, 50% asam semut: 50% asap cair, 75% asam semut : 25% asap cair serta 200% asap cair. Cara penentuan jumlah bahan koagulan yang digunakan mengacu pada
d
persamaan pemberian asam semut konsentrasi 90%. Percobaan pada penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui jumlah dosis penggunaan asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai pengurang bau busuk lump dengan 6 taraf perlakuan yaitu ; 0 ml (kontrol), 10 ml, 20 ml, 30 ml, 40 ml serta 50 ml asap cair per kilogram berat kering lump. Pengujian terhadap penerimaan atau kesukaan para pekerja pabrik terhadap penambahan asap cair tempurung kelapa untuk menghilangkan bau dilakukan dengan uji hedonik. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa dengan 6 taraf perlakuan. Respon yang diamati pada tahap I meliputi kelas mutu RSS, nilai PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Sedangkan pada tahap II respon yang diamati adalah tingkat kesukaan/penerimaan panelis terhadap bau bahan olahan karet. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki pH yang rendah. Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Kombinasi penggunaan dengan perbandingan 75% asam semut : 25% asap cair, secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan kualitas yang baik seperti nilai PRI sebesar 80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan penggunaan murni asap cair dengan perbandingan 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2 dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200% secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai plastisitas karet. Pengunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar kotoran dan kadar abu pada produk RSS. Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump. Kandungan fenol dan asam dalam asap cair dapat menghambat aktivitas bakteri pengurai protein di dalam lump sehingga tidak menghasilkan bau busuk selama proses penyimpanan. Sebagai saran, perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar zat menguap, potensi pencoklatan, potensi pengerasan selama penyimpanan, kadar nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair dapat mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya misalkan karet remah (SIR).
e
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT semoga senantiasa tercurah dari lisan dan hati ini, yang telah memberikan kemampuan dan kemudahan kepada kita dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya. Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang menjadi sauri teladan dalam mengarungi kehidupan ini. Ucapan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, saran dan masukan, penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam tahap pelaksanaan hingga penyelesain tugas akhir ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini serta kesempatan untuk mengembangkan dan berkarya dengan asap cair. Terimakasih yang sebesar-besarnya. 2. Administratur, Bapak Arifin Mustafa, Bapak Kadarusman, SE, Bapak Kasiono, Bapak Edi Kurniawan, Bapak Upi, Ibu Cucu, Ibu Santi serta staf dan Karyawan PTPN VIII Perkebunan Cikumpay yang telah memudahkan serta banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. 3. Bapak Mamad, Bapak Hasyim serta keluarga CV Wulung Prima atas kerjasama dan bantuannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya. 4. Bapak dan Ibu tercinta, Sutino dan Rohmayati serta adik tersayang Izna yang senatiasa memberikan dukungan, keceriaan, motivasi serta doa yang tulus dalam setiap aktivitas. 5. Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian 2005, Keluarga Himateta 2008, Rekan-rekan Bem Fateta Totalitas Perjuangan serta Saudara Ikhwah Madani. Terimakasih. Semoga karya ini dapat meberikan banyak manfaat dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Atas segala kekurangan yang terdapat di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf yang serta mengharap kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang.
Bogor, Februari 2010 Lilis Sucahyo
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah seorang laki-laki yang dilahirkan pada 11 Agustus 1987, dari pasangan Bapak Sutino dan Ibu Rohmayati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Larangan Utara 10 Tangerang pada tahun 1999. Selanjutnya pada tahun 2002 penulis lulus dari SLTPN 267 Jakarta dan menamatkan pendidikan dari SMAN 90 Jakarta tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tinggi melalui jalur USMI di Institut pertanian Bogor sebagai Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah selain menimba ilmu di dalam kelas, penulis juga aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan serta kepanitiaan, diantaranya penulis diamanahkan sebagai Komti Teknik Pertanian 42 (2005/2007), Kepala Departemen Minat dan Bakat Mahasiswa BEM Fakultas Teknologi Pertanian (2006/2007), Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian IPB (2007/2008), Badan Pengawas dan Dewan Pembina Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian Indonesia (2008/2010), Ketua SAPA Himateta 2008 dan lain sebagainya . Beberapa prestasi akademik dan keilmiahan yang pernah ditorehkan oleh penulis diantaranya adalah Mahasiswa Berprestasi Departemen Teknik Pertanian 2008, Students Exchange Program Indonesia-Malaysia 2008, Penyaji Pameran Teknologi pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional, Brawijaya 2009, Ide Terbaik “Sang Pengumpul Asap” Eagle Awards Kompetisi Film Dokumenter Metro TV 2009 serta menjadi Perwakilan Indonesia dalam Forum Lingkungan Bayer Young Environmental Envoy di Leverkusen Jerman 2009. Pada Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek lapang di PT Perkebunan Nusantara VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta dengan judul “Aspek Keteknikan Pada Proses Budidaya Dan Pengolahan Karet Alam Di PTPN VIII Perkebunan Cikumpay, Jawa Barat”. Penulis juga aktif bersama LPPM IPB dan LIPI dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat desa khususnya dalam bidang penerapan teknologi lingkungan seperti penerapan teknologi biogas, konversi limbah asap pada industri arang menjadi asap cair serta teknologi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
iiii
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN KATA PENGANTAR ...................................................................................... i RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Tujuan ................................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4 A. Karet Alam............................................................................................ 4 B. Partikel Lateks....................................................................................... 6 C. Ribbed Smoked Sheet (RSS) ................................................................. 9 D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet ............................................................ 13 E. Asap Cair Tempurung Kelapa ............................................................... 14 F. Aplikasi Asap Cair pada Industri Pengolahan Karet Alam ..................... 18 III.METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 20 A. Waktu dan Tempat ................................................................................ 20 B. Alat dan Bahan ...................................................................................... 20 C. Tahapan Penelitian ................................................................................ 20 D. Analisis Sifat Fisik dan Kimia ............................................................... 27 E. Rancangan Percobaan............................................................................ 34 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35 A. Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks .......................................................... 35 B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS ............ 41 C. Analisis Mutu Hasil RSS ....................................................................... 47 1. Kelas Mutu RSS .............................................................................. 47 2. Plasticity Retention Index (PRI) ...................................................... 53 iii iii
3. Kadar Kotoran ................................................................................. 56 4. Kadar Abu ....................................................................................... 58 D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet .................. 60 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 64 A. Kesimpulan ........................................................................................... 64 B. Saran ..................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66 LAMPIRAN ..................................................................................................... 70
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia .............................................................................................. 14 Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia ....................... 14 Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa ..................................... 16 Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane ............... 16 Tabel 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap uji bau busuk lump .................... 24 Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa ................. 35 Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 42 Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 49 Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub ................................... 55 Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet .............. 55 Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet .......................................................................................... 57 Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS .............. 59 Tabel 13. Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump menggunakan DMRT ........................................................................ 63
v
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Bagan komponen lateks ................................................................... 7 Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS ......................................................... 12 Gambar 3. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pembeku lateks pada pengolahan RSS ............................................................ 25 Gambar 4. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet .................................................. 26 Gambar 5. Protein dipolar pada lateks ............................................................... 37 Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ....................... 39 Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan Pembekuan sempurna (b).......... 45 Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan 100% asam semut ............................................................................................... 50 Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair ................................................................................ 50 Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair .................................................... 51 Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair .................................................... 51 Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair .................................................... 52 Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair ............................................................................... 52 Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen ............................................... 53 Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan ..................... 54 Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap perlakuan ....................................................................................... 56 Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan ............ 58 Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk .............................................................. 60 Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.................. 61
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam.............................................................................................. 71 Lampiran 2. Analisis kandungan kimia asap cair tempurung kelapa .................. 72 Lampiran 3. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 1 ........... 73 Lampiran 4. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 2 ........... 74 Lampiran 5. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 3 ........... 75 Lampiran 6. Spesifikasi Teknis SNI 06-1903-1990 ........................................... 76 Lampiran 7. Hasil penilaian kelas mutu RSS berdasarkan SNI 06-0001-1087 karet konvensional .......................................... 77 Lampiran 8. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai PRI ............................... 79 Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran ................ 82 Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu .................... 84 Lampiran 11. Form uji organoleptik bau ........................................................... 86 Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau ............................................ 87 Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau ........................................... 88
vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting baik untuk lingkup nasional maupun internasional sebagai bahan baku atau bahan campuran dalam dunia industri. Di Indonesia, karet dapat berperan sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa non migas, pendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar perkebunan karet serta pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Penggunaan bahan karet yang mempunyai banyak manfaaat dalam kehidupan memacu para industri karet alam untuk menghasilkan kualitas karet yang baik sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3.2 juta ha dengan jumlah total produksi karet alam sebanyak 2,271 juta ton, terdiri dari produksi petani sebanyak 1,839 juta ton (81%), perkebunan Negara (PT. Perkebunan Nusantara) sebanyak 210 ribu ton (9%) dan perkebunan swata sebanyak 222 ribu ton (10%), dengan melibatkan lebih dari 10 juta petani (Departemen Pertanian, 2007). Permintaan karet yang semakin besar turut mendorong perkembangan teknologi pada proses pengolahan karet untuk menghasilkan kualitas yang semakin baik. Agribisnis karet alam dimasa mendatang akan mempunyai prospek yang semakin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan material ramah lingkungan, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka dan mahalnya minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis. Sebagian besar bahan olahan karet dari total produksi nasional dihasilkan oleh petani karet atau perkebunan rakyat. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288,039 ha (9%) dibangun melalui bantuan proyek pemerintah (Departemen Pertanian, 2007). Bahan olah karet dari petani pada umumnya berupa bekuan karet seperti sit angin, sit asap, slab serta lump yang dibekukan dengan bahan pembeku yang direkomendasikan maupun yang
1
tidak direkomendasikan. Pada saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi pasar karet di Indonesia karena dinilai petani lebih praktis dan menguntungkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya mutu bahan olahan karet sit karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai PRI (Plasticity Retention Index) rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang digunakan sebagai penggumpal/pembekunya bermacam-macam dan seringkali tidak sesuai dengan yang digunakan oleh kebun inti. Pada kebun inti bahan pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buahbuahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabakan terbentuknya amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet. Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan yang berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Prinsip pengolahan jenis karet ini adalah mengubah lateks kebun menjadi lembaran-lembaran sit melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan serta pengasapan. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi mutu akhir pada pengolahan RSS diantaranya adalah pembekuan atau koagulasi lateks, pengasapan dan pengeringan. Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya (Hamm, 1977). Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya. Penggunaan asap cair terutama dikaitkan dengan sifat-sifat fungsionalnya, antara lain sebagai antioksidan, antibakteri,
2
antijamur dan potensinya dalam pembentukan warna coklat pada produk sit (Solichin, 2007). Penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Balai Penelitian Karet Sembawa Palembang, menghasilkan teknologi yang lebih baik dan efisien dalam pengolahan karet terutama untuk produk RSS, yaitu dengan penggunaan asap cair Deorub (Deodorizer rubber) yang diperoleh dari pirolisis cangkang kelapa sawit sebagai bahan koagulan lateks serta pengendali bau. Hasil percobaan yang dilakukan pada skala laboratorium, skala pabrik dan pada kelompok petani menunjukkan bahwa Deorub dapat menggantikan fungsi asam semut sebagai koagulan lateks sekaligus menggantikan fungsi asap dari kayu karet sebagai pengawet RSS. Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit Deorub dinilai cukup berhasil dari segi mutu karet yang dihasilkan dan disamping itu dapat mengurangi waktu pengeringan (Solichin, 2007). Kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam pengolahan karet alam dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan dan cara penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar.
B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS. 2. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengurang bau busuk bahan olahan karet pada industri pengolahan karet alam.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Karet Alam Tanaman karet (Hevea brasiliensis) bukan merupakan tanaman asli Indonesia melainkan berasal dari hutan lembah sungai Amazon, Brazil. Pada tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa dapat mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Pada bagian ini banyak mengandung getah yang dinamakan lateks. Potongan melintang batang pohon karet dari arah luar ke dalam adalah lapisan kulit keras, kulit lunak, kambium serta kayu. Pembuluh lateks terletak diantara lapisan kulit lunak dan kambium, berbentuk tabung dengan dinding kenyal. Dalam pohon yang sama pembuluh tersebut memiliki ukuran diameter yang berbeda-beda, umumnya rata-rata diameter pembuluh sekitar 30 mikron (Triwijoso, 1995). Pembuluh lateks terletak dalam posisi miring dari kiri bawah ke kanan atas dengan sudut sekitar 3-4o terhadap garis vertikal. Pada potongan melintang, pembuluh lateks tampak seperti lubang-lubang pita yang berbaris melintang mengelilingi lapisan kayu secara konsentris dan disebut juga dengan cincin pembuluh lateks. Antara pembuluh-pembuluh lateks dalam satu cincin terdapat saluran-saluran penghubung antara yang satu dengan lainya. Cincincincin pembuluh lateks ini semakin dekat dengan kambium akan semakin rapat, sebaliknya semakin ke lapisan luar akan semakin jarang. Jumlah cincin pembuluah lateks bergantung pada keadaan mutu kulit, semakin baik mutu kulit akan semakin banyak jumlah cincin pembuluh lateks (Triwijoso, 1995). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis yang mencakup luasan antara 15o Lintang Utara sampai 10o Lintang Selatan. Curah hujan optimal antara 1,500-2,500 mm/tahun dengan musim kering sekitar 3 bulan. Kelembaban yang diperlukan cukup tinggi sekitar 75% dengan suhu harian rata-rata antara 2530 oC. Tanaman karet dapat dengan tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dari permukaan laut. Dalam sehari, tanaman ini membutuhkan sinar matahari dengan
4
intensitas yang cukup paling tidak selama 5-7 jam (Anonim, 1993). Dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika taksonomi sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Familia
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis
Jenis tanah yang dapat digunakan untuk budidaya karet diantaranya adalah tanah podsolik merah kuning, latosol serta aluvial. Tanah yang derajat keasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman yang paling cocok adalah 5-6. Batas toleransi pH tanah bagi tanaman karet adalah 4-8. Tanah yang agak asam masih lebih baik dibandingkan dengan tanah yang basa. Topografi tanah untuk perkebunan karet sebaiknya menpunyai kontur yang datar dan tidak berbukit-bukit. Kemiringan tanah sebaiknya berkisar 0-15o, tetapi kemiringan antara 15-30o masih dapat digunakan dengan tindakan konservasi tanah yang lebih baik (Triwijoso, 1995). Perbanyakan tanaman karet dapat dilakukan secara genaratif dan vegetatif. Cara generatif merupakan jenis perbanyakan melalui biji yang didapat dari buah karet hasil penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang, sedangkan cara vegetatif yang banyak digunakan biasanya menggunakan okulasi. Pada umumnya bagian induk yang dipakai untuk perbanyakan vegetatif adalah mata okulasi yang ditempelkan pada batang bawah. Batang bawah sendiri diperoleh dari hasil pembesaran biji dengan perbanyakan generatif. Klon adalah tanaman yang didapat dari hasil perbanyakan vegetatif atau aseksual. Klon memiliki kelebihan dibanding tanaman yang dikembangkan melalui biji. Kelebihan klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur produksi lebih cepat dan jumlah lateks yang dihasilkan juga relatif lebih banyak (Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Akan tetapi, klon juga memiliki kekurangan seperti daya tahan yang rendah, diperlukan adaptasi terhadap
5
lingkungan sebelum dapat tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji coba penanaman terlebih dahulu sebelum suatu klon dibudidayakan secara luas. Klon diberi nama menurut tempat asal induknya dan nomor urut seleksi. Beberapa jenis klon yang banyak dikembangkan pada perkebunan karet di Indonesia antara lain : WR 101 : Wangun Rejo (nomor seleksi 101) GT
: Gondang Tapen
LCB
: Lands Caoutchouc Bedrijiven
PR
: Proefstation
AVROS : Algemene Vereneging Van Rubberonderneming En In Oost PPN
: Perusahaan Perkebunan Negara
LH
: Labuhan Hadji
RRIM
: Rubber Research Institut of Malaysia
PB
: Prang Besar
BPM
: Balai Penelitian medan
GYT
: Good Year Type
Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan (fatigue) (Tim Penulis PS, 2007). Berdasarkan keunggulan tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban. Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet konvensional (karet sit dan krep) serta karet spesifikasi teknis (SIR).
B. Partikel Lateks Lateks yang diperoleh dari penyadapan bagian antara kambium dan kulit pohon Hevea brasiliensis, adalah suatu cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan. Lateks terdiri atas partikel karet dan bahan bukan karet (nonrubber) yang terdispersi di dalam air. Menurut Nobel (1963) lateks merupakan suatu larutan koloid dengan partikel karet dan bukan karet yang tersuspensi di dalam suatu media yang mengandung berbagai macam zat. Dalam penelitiannya, Triwijoso (1995) menyebutkan bahwa di dalam lateks mengandung 25-40% bahan
6
karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum yang terdiri dari air dan zat yang terlarut. Bahan karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 12% asam lemak, 0.2% gula, 0.5% jenis garam dari Na, K, Mg, Cn, Cu,Mn dan Fe. Partikel karet tersuspensi atau tersebar secara merata dalam serum lateks dengan ukuran 0.04-3.00 mikron dengan bentuk partikel bulat sampai lonjong Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata yang disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang terlarut dalam air, seperti protein, garam-garam mineral, enzim dan lainnya termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan, terdiri dari butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein. Bahan bukan karet yang jumlahnya relatif kecil ternyata mempunyai peran penting dalam mengendalikan kestabilan sifat lateks dan karetnya. Menurut Triwijoso (1995), jika lateks segar tanaman Hevea dipusingkan dalam alat sentifugasi dengan kecepatan 18,000 rpm selama 15 menit, maka lateks akan terpisah menjadi empat fraksi dengan urutan dari bagian atas ke bawah yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Fraksi karet (36%) Fraksi Lateks
frey wyssling (1%)
kebun Serum (53%)
Fraksi dasar (10%)
Karet Protein Lipid Ion logam
Karotenoid Lipid
Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam
Protein dan senyawa nitrogen Karet dan karotenoid Lipid dan ion logam
Gambar 1. Bagan komponen lateks.
7
Lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air (Tim Penulis PS, 2005). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam lateks, isoprene diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra, 2006). Lateks kebun akan menggumpal atau membeku secara alami dalam waktu beberapa jam setelah dikumpulkan. Penggumpalan alami atau spontan dapat disebabkan oleh timbulnya asam-asam akibat terurainya bahan bukan karet yang terdapat dalam lateks akibat aktivitas mikroorganisme. Hal itu pula yang menyebabkan mengapa lump hasil penggumpalan alami berbau busuk. Selain itu, penggumpalan juga disebabkan oleh timbulnya anion dari asam lemak hasil hidrolisis lipid yang ada di dalam lateks. Anion asam lemak ini sebagaian besar akan bereaksi dengan ion magnesium dan kalsium dalam lateks membentuk sabun yang tidak larut, keduanya menyebabkan ketidakmantapan lateks yang pada akhirnya terjadi pembekuan (Triwijoso dan Siswantoro, 1989). Prakoagulasi merupakan pembekuan pendahuluan tidak diinginkan yang menghasilkan lump atau gumpalan-gumpalan pada cairan getah sadapan. Kejadian seperti ini biasa terjadi ketika lateks berada di dalam tangki selama pengangkutan menuju pabrik pengolahan. Hasil sadapan yang mengalami prakoagulasi hanya dapat diolah menjadi karet dengan mutu rendah seperti karet remah jenis SIR 10 dan SIR 20. Prakoagulasi dapat terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang terkandung di dalam lateks berkurang akibat aktivitas bakteri, guncangan serta suhu lingkungan yang terlalu tinggi. Bagian-bagian koloidal yang berupa partikel karet ini kemudian menggumpal menjadi satu dan membentuk komponen yang berukuran lebih besar dan membeku. Untuk mencegah prakoagulasi, pengawetan lateks kebun mutlak diperlukan, terlebih jika jarak antara kebun dengan pabrik pengolahan cukup jauh. Zat yang digunakan sebagai bahan pengawet disebut dengan zat antikoagulan. Syarat zat antikoagulan adalah harus memiliki pH yang tinggi atau bersifat basa. Ion OH- di
8
dalam zat antikoagulan akan menetralkan ion H+ pada lateks, sehingga kestabilannya dapat tetap terjaga dan tidak terjadi penggumpalan. Terdapat beberapa jenis zat antikoagulan yang umumnya digunakan oleh perkebunan besar atau perkebunan rakyat diantaranya adalah amoniak, soda atau natrium karbonat, formaldehida serta natrium sulfit (Tim Penulis PS, 2007).
C. Ribbed Smoked Sheet (RSS) Ribbed Smoket Sheet (RSS) adalah adalah produk yang berasal dari lateks tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Prinsip pengolahan jenis karet ini adalah mengubah lateks segar menjadi lembaranlembaran sit melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan serta pengasapan. Pemanfaatan karet RSS umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan ban radial serta beberapa komponen peralatan mesin industri. Tahap awal dalam pengolahan RSS adalah penerimaan lateks kebun. Lateks yang berasal dari mangkuk sadap dikumpulkan dalam suatu tempat kemudian disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks yang telah mengalami prakoagulasi. Setelah proses penerimaan selesai, lateks kemudian dialirkan ke dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air. Air yang digunakan harus air yang bersih dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0, kesadahan air maks 6o, serta kadar bikarbonat tidak melebihi 0.03%. Tujuan pengenceran ini adalah untuk menyeragamkan KKK sehingga cara pengolahan dan mutunya dapat dijaga tetap serta memudahkan penyaringan kotoran (Suwarti, 1989). Pengenceran dapat dilakukan hingga KKK mencapai kadar 12-15%. Air ditambahkan pada bak koagulum sesuai dengan tabel pengenceran pada instruksi kerja pada setiap pabrik pengolahan, atau dapat ditentukan dengan Persamaan (1).
A=
BC g g
(1)
9
Dimana, A
= volume air (liter)
B
= volume lateks (liter)
C
= KKK Lateks (%)
g
= pengenceran (%)
Tahap berikutnya ialah pembekuan lateks yang dilakukan dalam bak koagulasi dengan menambahkan zat koagulan. Biasanya digunakan larutan asam format/asam semut atau asam asetat/asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke dalam lateks yang telah distandarkan KKK-nya. Tujuan dari penambahan asam adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks akan membeku, yaitu pada pH antara 4.5-4.7 (Zuhra,2006). Penambahan diikuti dengan pengadukan agar asam tercampur ke dalam lateks secara merata serta membantu mempercepat proses pembekuan. Pengaduk yang digunakan adalah plat alumunium yang berlubang-lubang dengan ukuran 1/4 lebar bak. Pengadukan dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk mencegah terjadinya busa. Bila timbul ke permukaan akibat pengadukan maka harus dibuang sampai bersih untuk menghindari gelembung udara pada koagulum. Kecepatan penggumpalan dapat diatur dengan merubah perbandingan lateks, air dan asam sehingga diperoleh hasil bekuan/koagulum dengan kekuatan yang dikehendaki. Proses selanjutnya ialah pemasangan plat penyekat yang berfungsi untuk membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam. Langkah berikutnya adalah penggilingan yang dilakuan setelah proses pembekuan selesai. Koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air, mengeluarkan sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan memberi garis batikan pada lembaran. Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum digiling dengan beberapa gilingan rol licin, rol belimbing dan rol motif. Di bagian atas mesin gilingan dilengkapi dengan saluran air bersih yang disemprotkan untuk pencucian lembaran sit selama penggilingan. Di bawah gilingan terakhir terdapat bak air pencuci lembaran untuk membersihkan sisa asam. Air dalam bak ini diusahakan mengalir karena lembaran gilingan masih banyak mengandung serum dan asam yang harus dicuci. Setelah melewati gilingan terakhir, lembaran
10
kemudian digantung dalam lori untuk ditiriskan selama 1-2 jam. Penirisan dilakukan pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari. Setelah ditiriskan, lembaran sit diangkut ke dalam kamar asap. Tujuan pengasapan adalah untuk mengeringkan sit, memberi warna khas cokelat dan menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan. Proses yang terjadi di kamar asap adalah sebagai berikut : a. Hari pertama, pengasapan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC. b. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC. c. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 55-60 oC. Pada hari pertama dibutuhkan asap yang lebih banyak untuk pembentukan warna. Untuk memperbanyak asap dapat digunakan jenis kayu bakar (umumnya menggunakan kayu karet) yang masih basah. Pada hari kedua lembaran sit harus dibalik untuk melepaskan lembaran yang lengket terhadap gantar dan juga agar sisi lain lembaran sit bisa terkena asap sehingga pengasapan merata. Mulai hari ketiga dan seterusnya yang dibutuhkan adalah panas guna memperoleh tingkat kematangan yang tepat. Sit yang telah matang dari kamar asap diturunkan kemudian ditimbang dan dicatat dalam arsip produksi. Proses sortasi dilakukan secara visual berdasrkan warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu pada standard yang terdapat pada SNI 06-0001-1987 The Green book. Diagram proses pembuatan RSS dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil sit yang telah disortasi dan digolongkan ke dalam beberapa kelas mutu, kemudian ditimbang seberat 113 kg. Sit dilipat dan ditata ke dalam peti berukuran 48 × 48 × 48 cm untuk memudahkan proses pengepresan membentuk ukuran persegi yang disebut juga dengan bandela atau bal. Bandela kemudian dibungkus dengan lembaran sit lalu di labur menggunakan talk. Pelaburan dilakukan untuk mencegah serangan jamur atau kapang serta menghindari pelekatan pada masing-masing bandela yang bersentuhan. Perhitungan untuk penjualan produk dikenal dengan istilah lot, dengan jumlah 1 lot setara dengan 18 bandela.
11
Pengangkutan Lateks Kebun
Penerimaan di Pabrik
Pengenceran KKK
Pengolahan Lateks (Pembekuan)
Penggilingan
Penirisan
Pengasapan
Sortasi
Pengepakan
Dilakukan penimbangan. Bak penerimaan lateks dipastikan keadaan bersih. Penyaringan lateks dengan 5 mesh. Pengukuran volume lateks. Penentuan KKK.
dalam
Penggunaan air yang bersih. Pengenceran hingga KKK mencapai 12-14 %. Pembuangan busa.
Pemberian asam format (semut) 2 %. Pengadukan sebanyak 7 kali maju dan mundur. Pembuangan busa. Pemasangan penyekat. Setelah pembekuan (40 menit), ditambahkan air pada koagulum untuk mencegah oksidasi.
Pembersihan celah gilingan. Pemberian air pada proses penggilingan. Ketebalan sit antara 2-3 mm. Penirisan dengan cara dianginkan selama 1-2 jam. Penggunaan kayu bakar sebanyak 3 m2/ton. Pengaturan suhu kamar asap. Pada hari ke-2 lembar sit dibalikkan. Pemilihan sesuai dengan standard mutu, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting. Penimbangan. Pengepakan dan pengemasan dalam bandela. Pelaburan.
Pengiriman
Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS.
12
D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet Selain memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian indonesia, di lain pihak industri karet juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat selama proses kegiatan produksinya, salah satunya adalah emisi gas penyebab bau tak sedap (polusi bau). Sumber emisi gas yang menimbulkan bau tak sedap bersal dari beberapa kegiatan pengolahan, salah satunya adalah kegiatan penyimpanan bahan olahan karet yang berupa lump. Lump yang dikumpulkan dan disimpan dalam gudang penyimpanan akan mengalami penumpukan jika tidak dapat diolah pada hari yang sama. Perkebunan besar biasa menyimpan lump karena kapasitas produksi yang terbatas atau digunakan sebagai penyangga bahan baku produksi berikutnya. Selama proses penyimpanan, lump akan mengalami reaksi aerob dan anaerob akibat aktivitas bakteri yang menguraikan bahan organik serta menghasilkan gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat terutama amoniak, hidrogen sulfida serta senyawa organik lainnya yang mudah menguap (Purwati, 2005). Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3 hasil transformasi N-organik melalui proses amonifikasi (Jenie dan Rahayu 1993). Pada suhu dan tekanan standar amoniak berbentuk gas. Amoniak memiliki bau yang tajam, bersifat toksik dan korosif untuk beberapa bahan. Amoniak tidak berwarna dan berbau menyengat. Amoniak dapat mencair pada suhu -33.7 oC dan menjadi padat pada suhu -75 oC berupa masa kristal putih. Gas amoniak sangat berbahaya bagi manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Turk et al., 1972). Pengaruh amoniak terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada Tabel 1. Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, toksik, mudah terbakar dan menyebabkan bau busuk. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan protein pada kondisi anaerob, seperti pada rawa dan saluran air selokan. H2S mempunyai bau seperti telur busuk dan kadang lebih toksik dibandingkan karbon dioksida (Lens dan Pol, 2000). Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan diantaranya sakit kepala, mual dan muntah, pingsan serta pada konsentrasi lebih dari seribu ppm, akan menyebabkan kehilangan kesadaran sampai kematian
13
(Jones et al., 2005). Beberapa dampak negatif bagi manusia yang ditimbulkan oleh gas H2S pada berbagai konsentrasi (ppm) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia Konsentrasi 0.5 ppm 50 ppm 500 ppm 5000 ppm
Efek bagi manusia Kadar minimal risk Ringan, iritasi mata dan tenggorokan dan rangsangan batuk Menaikan udara ke paru-paru, nyeri hidung dan tenggorokan Mati mendadak (Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam Pahlevi, 2005)
Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia Konsentrasi 0.03 ppm 10 ppm 20 ppm
30 ppm 100 ppm
Efek bagi manusia Bisa dibau, aman dihirup selama 8 jam. Bisa menyebabkan iritasi mata, harus menggunakan masker karena dapat merusak metabolisme. Maksimum terhirup selama 10 menit. Bau membunuh dalam 3 samapi 15 menit. Menyebabkan gas mata dan luka pada tenggorokan. Terhirup lebih dari satu menit menyebabkan beberapa kerusakan urat saraf mata. Kelumpuhan pernapasan dalam 30 sampai 45 menit, pingsan dalam dalam waktu singkat (15 menit). (Pahlevi, 2005)
E. Asap Cair Tempurung Kelapa Asap merupakan sistem kompleks yang terdiri dari fase cairan terdispersi dan medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1998). Menurut Hamm (1977), asap mengandung sejumlah besar senyawa-senyawa yang terbentuk oleh pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kelompok-kelompok terpenting dari senyawa tersebut meliputi fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, ester, lakton dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH).
14
Asap cair dapat diperoleh dari hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Bahan baku yang banyak digunakan sekarang ini adalah kayu, bongkol kelapa sawit, cangkang tempurung kelapa, ampas hasil penggergajian kayu dan lain sebagainya. Sifat dari asap cair dipengaruhi oleh komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang proporsinya bervariasi tergantung pada jenis bahan yang akan di pirolisis (Kollman dan Cote, 1984). Proses pirolisis sendiri melibatkan berbagai proses reaksi diantaranya dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal menghasilkan fural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi ini tergantung pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, fural dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya (Darmadji, 2002). Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 oC dan berakhir pada suhu 400 oC (Girrad, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa menghasilkan senyawa asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaikol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988). Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu keras, tetapi memiliki kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah. Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan ketebalan berkisar antara 3-6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah dengan kadar air sekitar 6-9% (dihitung berdasarkan berat kering) dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Tilman, 1981). Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia yang terkandung di dalam sabut dan tempurung kelapa.
15
Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa Komposisi Pektin Hemiselulosa Lignin Selulosa Mineral Komponen larut air Komponen tidak larut air
Sabut Kelapa (%) 14,06 7,69 30,02 18,42 5 5,8 19,19
Tempurung Kelapa (%) 15,07 8,8 35,02 19,24 7,1 6,4 20,1 (Suhardiyono, 1988)
Apabila tempurung kelapa dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan yang tidak berhubungan dengan udara maka akan terjadi rangkaian proses penguraian penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang destilat, tar dan gas (Anonim, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Tranggono dan Darmadji (1996), melaporkan bahwa pirolisa tempurung kelapa mengandung senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11.30% dan asam 10.2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rokhani (2006), di dalam distilat asap cair tempurung kelapa terdapat senyawa fenol 5.5%, metil alkohol 0.37% dan total asam 7.1%. Dalam asap cair tempurung kelapa yang telah mengalami redistilasi memiliki keasaman pH sebesar 1.76-2.97, kadar asam sebesar 4.15% dan kadar fenol 0.83% (Luditama, 2006). Identifikasi menggunakan GCMS (Tabel 4) yang dilakukan oleh Zuraida (2008), menunjukkan terdapat sekitar 40 jenis komponen kimia penting yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa.
Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane. No. 1 2 3 4 5 6
Waktu retensi
Nama komponen
3.184 3.771 4.525 4.728 5.358 5.793
Keton 2-methyl-2-cyclopentenone 3-methyl-2-cyclopentenone 2-hydroxy-1-methylcycopenten-3-one 2,3-dimethylcyclopenten-1-one 4,5-dimethyl-4-hexen-3-one 3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one
16
7 8
5.984 6.909
9 10
3.213 3.702
11 12 13 14
7.532 7.994 8.549 9.180
15 16 17 18 19 20
3.917 4.979 5.260 5.716 6.260 6.492
21 22 23 24 25 26 27 28 29
5.458 6.617 6.699 6.776 7.717 8.442 8.684 9.415 9.682
30 31 32 33 34 35
7.313 8.285 10.410 10.840 11.570 11.876
36 37 38 39 40
6.077 7.197 7.915 9.112 9.767
Cyclohexanone 2-ethylcycloheptanone Furan dan turunan pyran 2-acetylfuran 5-methyl furfural Karbonil dan asam 1-cyclohexene-1-carboxaldehyde 2,3-dihidroxy-benzoid acid 3-methoxybenzoic acid methyl ester 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester Fenol dan turunannya Phenol 2-methylphenol 3-methylphenol 2,6-dimethylphenol 2,4-dimethylphenol 3-ethylphenol Guakiol dan turunanya 2-methoxyphenol (guaiacol) 3-methylguaiacol p-mathylguaiacol 2-methoxy-4-methylphenol 4-ethyl-2-methoxyphenol Eugenol Vanillin Acetovanillone methyl vanillate Siringol dan turunannya 2,6-dimethoxyphenol 3,4-dimethoxyphenol 4-(2-propenyl)-2,6-dimethoxyphenol syringyl aldehyde Acetosyringone 3,4-dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid Alkil aril eter 1,2-dimethoxybenzene 2,3-dimethoxytoluene 1,2,3-trimethoxybenzene 1,2,4- trimethoxybenzene 5-methyl-1,2,3-trimethoxybenzene (Zuraida, 2008)
17
Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan yang terkandung dalam asap cair tempurung kelapa tersebut adalah senyawa-senyawa fenolik. Hal ini dapat disebabkan karena komponen yang paling banyak terdapat pada bahan pengasapan kayu, terutama kayu keras adalah lignin. Lignin apabila dibakar dan mengalami pirolisis akan menghasilkan senyawa fenol (Gould 1995). Selain senyawa fenol terdapat juga senyawa asam dan karbonil. Komponen-komponen tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur tanaman serta kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah. Senyawasenyawa asam yang terkandung dalam asap cair umumnya berupa jenis asam organik lemah seperti 2,3-dihidroxy-benzoid acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester serta 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester. Sedangkan senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam asap cair umumnya hidrokarbon aromatik yang tersusun dari cincin benzena dengan sejumlah gugus hidroksil yang terikat. Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid, keton, asam dan ester (Maga, 1988).
F. Aplikasi Asap Cair pada Industri Pengolahan Karet Alam Untuk mengolah karet sit diperlukan asam semut sebagai bahan pembeku lateks dengan dosis 4 ml/kg karet kering atau 4 liter/ton karet kering. Penambahan asam ini bertujuan untuk menurunkan pH lateks hingga berada pada titik isolektriknya yang menyebabkan protein polar menjadi netral dan dapat saling berdekatan hingga akhirnya menyatu membentuk gumpalan-gumpalan dan membeku (Goutara, 1985). Lateks akan mulai membeku pada suasana pH sekitar 4.5-4.7. Jika kisaran produksi sit di indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini mencapai 60,000-100,000 ton sit/tahun, maka diperlukan sekitar 250,000 sampai 500,000 liter asam semut setiap tahunnya. Bahan penggumpal yang umunya digunakan oleh perkebunan besar adalah asam semut atau asam cuka 2%. Bahan penggumpal lain seperti air buah-buahan, iles-iles, pupuk TSP dan sebagainya banyak digunakan oleh petani karet rakyat untuk menggumpalkan lateks, namun hasilnya tidak baik dan tidak dianjurkan (Solichin, 2007). Selama ini penggunaan asam semut dinilai memberatkan oleh para petani karena harganya yang cukup tinggi, terlebih harus bersaing dengan
18
para perkebunan besar. Oleh sebab itu diperlukan suatu alternatif bahan koagulan yang memiliki kualitas bekuan yang sama dengan asam semut serta terjangkau oleh para petani karet. Penelitian yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Karet Sembawa, menunjukkan bahwa asap cair tidak hanya dapat diaplikasikan pada produk pangan tetapi juga dapat digunakan pada proses pengolahan karet sebagai bahan koagulan serta pengendali bau (malador). Asap cair cangkang kelapa sawit yang dipasarkan dengan nama dagang Deorub terbukti dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks pengganti asam semut pada produk karet remah serta RSS. Asap cair dapat membekukan lateks dengan sempurna serta memiliki nilai plastisitas yang tinggi dan sifat fisik vulkanisat setara atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan karet yang dihasilkan dengan pembeku asam semut (Solichin, 2007). Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit dinilai cukup berhasil dari segi mutu karet yang dihasilkan dan disamping itu dapat mengurangi waktu pengeringan produk. Penyemprotan asap cair cangkang kelapa sawit diatas bahan olahan karet dapat digunakan untuk menghilangkan atau menetralkan bau busuk terutama pada gudang penyimpanan lump serta mobil pengangkutan. Fenomena tersebut berkaitan dengan kandungan asap cair yang berupa asam organik volatil dan senyawa fenol yang berfungsi sebagai antimikrobial dan antioksidan. Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit sebagai bahan koagulan dalam pembuatan RSS memiliki fungsi ganda, selain sebagai pembeku lateks juga melindungi hasil sit dari jamur selama penyimpanan dan memberikan efek warna khas cokelat asap, hal ini terkait kandungan asam serta fenol yang terdapat di dalam asap cair tersebut (Solichin, 2007). Sementara itu penelitian yang dilakukan Maspanger (2003), juga menunjukkan bahwa asap cair kayu karet dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks kebun untuk pembuatan karet sit, waktu pengeringan yang lebih singkat dengan tetap menghasilkan karet sit berkualitas setara dengan RSS konvensional. Selain itu, produk samping pirolisis seperti tar mampu berfungsi sebagai
processing
aids
dalam
pembuatan
barang
jadi
karet,
yakni
mempertahankan ketahanan kikis dan ketahanan lekuk lentur vulkanisat.
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2009. Tempat dilakukannya penelitian ini adalah di Pabrik Pengolahan RSS dan Laboratorium Analisis Mutu PT. Perkebunan Nusantara VIII Pabrik Karet Cikumpay serta Laboratorim Lingkungan dan Bangunan, Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
B. Alat dan Bahan 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain asap cair tempurung kelapa yang diperoleh dari industri rumah tangga yang mengolah arang, lateks kebun, kayu karet pengasapan, asam semut (HCOOH), natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCL), amoniak (NH3), natrium bisulfit, indikator metil merah, fenolptalin, Cureo TS dan pelarut karet terpentin. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wadah koagulasi, mesin penggilingan sitter, pengaduk, saringan mesh, universal pH, pH meter, lori penirisan, gantar bambu, rumah pengasapan serta beberapa peralatan analisis seperti timbangan analitik, cawan petri, labu elenmeyer, pipet, gelas ukur, gelas piala, lampu infra red, titrasi, oven, sudip, spatula, mikrometer, rapid plastimeter MK V, termometer dan lain sebagainya.
C. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahapan utama yang dilakukan yakni; penelitian pertama yang bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pembeku lateks dalam pengolahan karet RSS dan penelitian kedua yang bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan asap cair
20
tempurung kelapa sebagai bahan pengurang/penghilang bau busuk bahan olahan karet khususnya lump pada gudang penyimpanan bahan baku.
1. Penelitian Tahap I Percobaan
pada
penelitian
tahap
I
dilakukan
untuk
menentukan
perbandingan konsentrasi serta jumlah asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai bahan koagulan serta pengaruhnya terhadap mutu produk RSS yang meliputi kelas mutu sit, nilai plastisitas PRI (Plasticity Retention Index), kadar abu serta kadar kotoran. Untuk membekukan lateks dapat digunakan larutan asam semut atau asam cuka 2%. Untuk setiap kg karet pada semua kadar karet kering (KKK 8-35) tanpa penambahan amoniak sebagai zat anti koagulan, diperlukan 4 ml larutan asam semut dengan konsentrasi 90%. Jumlah asam perlu diperbesar jika pada lateks kebun ditambahkan zat antikoagulasi yang berupa amoniak (basa) sesuai dengan Persamaan (2) berikut atau sesuai dengan tabel pemberian asam semut pada Lampiran 1. Persamaan untuk menentukan jumlah pemberian asam : F = F1 + F2 ml/kg karet kering
(2)
Dimana : F
= volume asam semut yang dibutuhkan
F1
= volume asam semut untuk menggumpalkan lateks
F1
= 3.6 x 100/C ml/kg karet kering (3.6 adalah nilai konstanta untuk F1)
C
= konsentarsi asam semut
F2
= volume asam semut untuk menetralkan ammonia
F2
= 2.71 x 100/C x A (2.71 adalah nilai konstanta untuk F2, yang artinya 1gram ammonia dapat dinetralkan oleh 2.71 ml asam semut 100%).
A
= jumlah amoniak yang harus dinetralkan oleh asam semut.
A
= P/100 x L x 1000
P
= hasil titrasi amoniak (%)
L
= jumlah lateks yang mengandung 1 kg lateks
L
= 100/ KKK
21
Beberapa taraf perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pemberian bahan koagulan asam semut dengan perbandingan jumlah 100% (kontrol). 2. Pemberian bahan koagulan asap cair tempurung kelapa dengan perbandingan jumlah 100%. 3. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan perbandingan jumlah 25% : 75%. 4. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan perbandingan jumlah 50% : 50%. 5. Pemberian bahan koagulan campuran asam semut dan asap cair dengan perbandingan jumlah 75% : 25%. 6. Pemberian bahan koagulan asap cair tempurung kelapa dengan perbandingan jumlah 200%.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa dengan 6 taraf perlakuan. Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan sehingga menghasilkan 18 kali satuan percobaan. Respon yang diamati berupa mutu karet sit yang dihasilkan dari beberapa perlakuan diatas, yang meliputi kelas pemutuan secara visual berdasarkan SNI 06-0001-1987 Karet Konvensional, nilai plastisitas PRI, pengukuran kadar kotoran/padatan serta kadar abu berdasarkan SNI 06-1903-1990 Standar Karet Spesifikasi Teknik (SIR).
2. Penentuan Cara Pemberian Bahan Koagulan Yang dimaksud dengan pemberian jumlah asam semut 100% adalah ; misalkan untuk membekukan lateks diperlukan asam sebanyak 4 ml/kg karet kering, maka bahan koagulan yang diberikan keseluruhannya berupa asam tanpa pemberian bahan apapun (murni asam). Sedangkan yang dimaksud pemberian campuran asam semut dan asap cair dengan perbandingan jumlah 25% : 75% adalah ; misalkan untuk membekukan lateks diperlukan asam sebanyak 4 ml/kg karet kering, maka bahan koagulan yang diberikan berupa campuran antara 1 ml
22
(25% bagian dari 4 ml/kg karet kering) bahan asam serta 3 ml (75% bagian dari 4 ml/kg karet kering) bahan asap cair tempurung kelapa (kombinasi). Begitupun perlakuan selanjutnya. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium. Pembekuan lateks menggunakan wadah koagulasi dengan dimensi 68 x 42 x 13 cm. Penggunaan wadah telah disesuaikan dengan lebar dan ketebalan sit standar, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan peralatan pengolahan selanjutnya, seperti mesin penggilingan sit pada proses produksi. Lateks yang diperoleh dari kebun PTPN VIII Cikumpay ditentukan terlebih dahulu KKK-nya serta kandungan amoniak, hal ini terkait dengan penentuan jumlah bahan koagulan yang akan diberikan nantinya. Lateks kemudian disaring untuk memisahkan kotoran kayu serta bagian yang telah mengalami prakoagulasi. Selanjutnya lateks dimasukkan ke dalam wadah koagulan untuk di encerkan sampai batas KKK yang diinginkan (12-14%). Proses selanjutnya adalah pemberian bahan koagulan pada masing-masing wadah sesuai dengan perlakuan diatas. Besarnya suhu pada proses reaksi antara bahan koagulan dan lateks adalah 28-30 oC (suhu ruangan). Koagulum hasil bekuan lateks akan digiling pada keesokan harinya (metode giling pagi) kemudian dimasukkan ke dalam kamar asap serta diuji beberapa respon yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini. Secara umum tahapan penelitian I ditunjukkan oleh diagram alir pada Gambar 3.
3. Penelitian Tahap II Percobaan pada penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh serta menentukan jumlah dosis penggunaan asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai pengurang bau busuk lump pada gudang penyimpanan dengan 6 taraf perlakuan sebagai berikut : 1. Perlakuan tanpa menggunakan zat tambahan (kontrol) 2. Pemberian asap cair sebanyak 10 ml/kg karet kering. 3. Pemberian asap cair sebanyak 20 ml/kg karet kering. 4. Pemberian asap cair sebanyak 30 ml/kg karet kering. 5. Pemberian asap cair sebanyak 40 ml/kg karet kering. 6. Pemberian asap cair sebanyak 50 ml/kg karet kering.
23
Sebanyak 1 kg karet kering lump ditempatkan dalam sebuah wadah tertutup. Semua perlakuan pemberian asap cair tempurung kelapa diencerkan hingga mencapai
konsentarsi
10%
untuk
memudahkan
pemberian,
kemudian
disemprotkan secara merata keseluruh bagian lump dengan menggunakan hand sprayer. Selanjutnya wadah lump ditutup dan dibiarkan selama 7 hari pada suhu kamar sebesar 28-30 oC untuk mengamati perubahan yang terjadi. Respon yang diamati berupa bau tak sedap (busuk) karet yang dirasakan oleh para pekerja pada pabrik pegolahan karet tersebut. Pengujian terhadap penerimaan atau kesukaan para pekerja pabrik terhadap penambahan asap cair tempurung kelapa untuk menghilangkan bau dilakukan dengan uji hedonik. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan lump yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuannya dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Pengujian dilakukan kepada 20 orang panelis dengan menggunakan 6 skala kesukaan dengan tingkat penerimaan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap uji bau busuk lump Tingkat Penerimaan Bau busuk lump/ amoniak Berbau lump dan sedikit berbau asap Berbau lump dan asap Sedikit berbau lump dan berbau asap Berbau asap Tidak berbau lump dan asap
Skor/ nilai 1 2
Keterangan Sangat tidak suka Tidak suka
3 4
Kurang suka Agak suka
5 6
Suka Sangat suka
Secara umum diagram alir prosedur penelitian tahap II ditunjukkan oleh Gambar 4.
24
Lateks kebun
Penyaringan dan pengenceran
Pembekuan (T = 28-30 C) ; pemberian bahan koagulan : 1. Asam semut (100%, kontrol) 2. Asap cair (100%) 3. Asam semut : asap cair (25 % : 75%) 4. Asam semut : asap cair (50 % : 50%) 5. Asam semut : asap cair (75 % : 25%) 6. Asap cair (200%) o
Penggilingan
Penirisan
Pengasapan (T = 40-60 oC)
Produk RSS
Pengamatan : Kelas mutu sit, PRI, kadar abu dan kadar zat menguap.
Gambar 3. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pembeku lateks pada pengolahan RSS.
25
Lump
Pengambilan contoh
Penimbangan
Penambahan asap cair sebagai pengurang bau busuk : 1. Asap cair 0 ml/kg kk (kontrol) 2. Asap cair 10 ml/kg kk. 3. Asap cair 20 ml/kg kk. 4. Asap cair 30 ml/kg kk. 5. Asap cair 40 ml/kg kk. 6. Asap cair 50 ml/kg kk.
Penyimpanan pada suhu kamar (28-30 oC)
7 hari
Pengamatan : Uji organoleptik bau
Gambar 4. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet.
26
D. Analisis Sifat Fisik Dan Kimia 1. Penentuan Kadar Karet Kering (SNI 06-2047-2002 Bahan Olahan Karet, 2002) Kadar Karet Kering (KKK) adalah kandungan padatan karet per satuan berat (%). KKK lateks atau bekuan sangat penting untuk diketahui karena selain dapat digunakan sebagai pedoman penentuan harga juga merupakan standar dalam pemberian bahan kimia untuk pengolahan RSS, TPC dan lateks pekat. Kadar karet kering pada lateks tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis klon, umur pohon, waktu penyadapan, musim, suhu udara serta letak tinggi dari permukaan laut. Terdapat beberapa metode dalam penentuan KKK, salah satu diantaranya adalah metode laboratorium. Prinsip dalam metode laboratorium adalah pemisahan karet dari lateks yang dilakukan dengan cara pembekuan, pencucian dan pengeringan. Alat yang diperlukan adalah gelas piala 50 ml, mangkuk bersih, penangas air, desikator, timbangan analitik, dan oven. Sebagai bahan pembeku digunakan asam asetat atau asam semut 2%. Prosedur pengujian dengan metode laboratorium adalah sebagai berikut : 1. Lateks dituangkan ke dalam gelas ukur 50 ml yang sebelumnya telah diketahui beratnya, secara perlahan-lahan, kemudian catat beratnya (berat lateks adalah berat total dikurangi dengan berat gelas ukur/ wadah). 2. Lateks dibekukan dengan asam asetat atau asam format 2% dan dipanaskan di atas
penangas air pada suhu 80 oC sampai serumnya
menjadi jernih. 3. Koagulump atau bekuan digiling menjadi krep dengan ketebalan 1-2 mm, dan dicuci. 4. Krep kemudian dikeringkan di dalam oven, setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Rumus perhitungan KKK adalah ditunjukkan pada Persamaan (3).
KKK =
berat krep kering ×100% berat lateks
(3)
27
2. Penentuan Kadar Kotoran (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990) Kadar Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran didalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul serta ketahanan retak lentur. Kalor timbul adalah panas yang ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak lentur adalah retakan-retakan yang terjadi pada karet akibat daya lentur. Kotoran yang ada dapat disebabkan oleh kebersihan bahan baku dan alat yang digunakan, serta bagian mesin pengolahan. Cara pengukuran dilakukan dengan mengambil bagian dari contoh produk sebanyak 10 gram yang telah digiling tiga kali pada celah rol 0.33 mm, kemudian dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 500 ml dan dilarutkan dengan terpentin mineral sebanyak 200-300 ml, ditambahkan dengan peptiser (Cureo TS, bahan pelarut karet 2-3 ml, lalu dipanaskan pada suatu ruang dengan menggunakan sinar Infrared 250 Watt selama 2-3 jam pada suhu ± 140 oC (sampai sampel karet terlarut seluruhnya). Larutan yang telah dipanaskan disaring dengan saringan 325 mesh, lalu hasil saringan dimasukkan ke dalam oven selama satu jam dengan suhu 100 oC, dikeluarkan dan didinginkan pada suhu kamar, lalu ditimbang. Nilai kadar kotoran dapat dihitung dengan Persamaan 4. Kadar kotoran =
AB 100% C
(4)
Dimana, A = bobot saringan + kotoran B = bobot saringan kosong C = bobot potongan contoh uji
3. Penentuan Kadar Abu (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990) Abu di dalam karet mentah terdiri dari oksida karbonat dan fosfat dari kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsur lain. Abu dapat pula mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Abu dari karet memberikan sedikit gambaran mengenai jumlah bahan mineral di dalam karet. Beberapa bahan
28
mineral dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat karet alam. Cara pengujian dilakukan dengan mengambil sampel dari produk sebanyak 5 gram yang telah dihomogenisasi lalu dimasukkan ke dalam krus yang sudah ditimbang sebelumnya. Kemudian krus dipanaskan diatas elektrik bunzen, pada ruang pre ashing, dengan menggunakan crussible tank, selama 10 menit (sampai tidak mengeluarkan asap). Tahap berikutnya krus diletakkan ke dalam muffle furnance yang diatur pada suhu 550 oC selama 2 jam, kemudian dianginkan untuk menurunkan suhu selama 30 menit, setelah itu krus tersebut ditimbang. Penentuan kadar abu dapat diperoleh dengan Persamaan (5). Kadar abu =
AB 100 % C
(5)
Dimana, A = bobot krus + abu B = bobot krus kosong C = bobot contoh uji
4. Penentuan Plasticity Retention Index (SNI 06-1903-1990 SIR, 1990) Penentuan nilai Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang sederhana dan cepat untuk mengukur ketahanan karet mentah terhadap degradasi oleh oksidasi pada suhu tinggi. Pengujian ini meliputi pengujian plastisitas Wallace dari potongan uji sebelum (Po) dan sesudah pengusangan (Pa) di dalam oven dengan suhu 140 oC. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk. Cara pengujiannya yaitu, contoh yang diambil digiling pada celah rol sebanyak 7 kali ulangan, kemudian hasil gilingan digunting dengan ukuran 4 × 7 cm. Hasil guntingan tersebut kemudian dipres sehingga terbentuk 6 buah lubang lingkaran dengan diameter 1 cm yang akan digunakan sebagai contoh pengujian. Tiga buah sampel dimasukkan ke dalam oven terlebih dahulu selama 30 menit dengan suhu 140 oC, sebagai sampel perhitungan plastisitas setelah pengusangan. Pada pengukuran plastisitas wallace, letakkan potongan uji diantara 2 lembar kertas sigaret yang berukuran 35 x 40 mm diatas piringan plastimeter. Kemudian tutup piringan plastimeter tersebut. Setelah ketukan pertama, piringan bawah akan
29
bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas. Tebal potongan uji dengan ketelitian 0.01 mm setelah ketukan kedua berakhir dicatat sebagai nilai pengukuran plastisitas. Angka yang dicatat adalah angka yang ditunjukkan oleh jarum mikrometer pada waktu berhenti bergerak. Nilai PRI dapat diketahui dengan perbandingan nilai plastisitas setelah pengusangan dengan nilai plastisitas awal sesuai dengan Persamaan (6).
PRI =
Pa × 100% Po
(6)
Dimana, Pa = Nilai tengah dari ketiga pengukuran setelah pengusangan. Po = Nilai tengah dari ketiga pengukuran plastisitas awal
5. Penetapan Kelas Mutu RSS (SNI 06-0001-1987 Karet Konvensional, 1987) Menurut SNI 06-0001-1987 mengenai karet konvensional, secara umum sit diklasifikasikan dalam kelas mutu RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting. Cutting merupakan potongan dari lembaran yang terlihat masih mentah, atau terdapat gelembung udara hanya pada sebagian kecil sehingga dapat digunting. Beberapa penjelasan dari masing-masing kelas mutu RSS adalah sebagai berikut : RSS 1 Kelas ini harus memenuhi persyaratan yaitu, sit yang dihasilkan harus benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak melepuh serta tidak ada benda-benda pengotor. Jenis RSS 1 tidak boleh ada garis-garis pengaruh dari oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benarbenar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat gelembung-gelembung berukuran kecil (seukuran jarum pentul) masih diperkenankan, asalkan letaknya tersebar merata. Pembungkusan harus baik agar tidak terkontaminasi jamur. Tetapi, bila sewaktu diterima terdapat jamur pada pembungkusnya, masih dapat diizinkan asalkan tidak masuk ke dalam karetnya.
30
RSS 2 Kelas ini tidak terlalu banyak menuntut kriteria. Standar RSS 2 hasilnya harus kering, bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Sit tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Sit kelas ini masih menerima gelembung udara serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar (dua kali ukuran jarum pentul). Zat-zat damar dan jamur pada pembungkus, kulit luar bandela atau pada sit di dalamnya masih dapat ditorerir. Tetapi bila sudah melebihi 5% dari bandela, maka sit akan ditolak. RSS 3 Standar karet RSS 3 harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Bila terdapat cacat warna, gelembung udara besar (tiga kali ukuran jarum pentul), ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir. Namun, tidak diterima jika terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Jamur yang terdapat pada pembungkus kulit luar bandela serta menempel pada sit tidak menjadi masalah, asalkan jumlahnya tidak melebihi 10% dari bandela dimana contoh diambil. RSS 4 Standar karet RSS 4 harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak terdapat pasir atau kotoran luar. Yang diperkenankan adalah bila terdapat gelembung udara kecil-kecil sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak. Mengizinkan adanya nodanoda asalkan jernih. Sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet terbakar tidak bisa diterima. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit bagian luar bandela serta pada sit, asalkan tidak melebihi 20% dari keseluruhan masih mungkin untuk kelas RSS 4. RSS 5 Karet yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing, kecuali yang diperkenankan. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah yang terendah standarnya. Bintik-bintik, gelembung kecil, noda kulit pohon yang
31
besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk dalam batas toleransi. Bahan damar atau jamur kering pada pembungkus kulit bagian luar bandela serta pada sit, asalkan tidak melebihi 30% dari keseluruhan masih mungkin untuk kelas RSS 5. Pengeringan pada suhu tinggi dan bekas terbakar tidak diperkenankan untuk jenis kelas ini.
6. Penetapan Kadar Amoniak (SNI 06-3139-1992 Lateks Pekat Karet Alam, 1992) Lateks akan membeku sendiri secara alami beberapa jam setelah penyadapan. Untuk menghindari terjadinya pembekuan alami ini, di dalam lateks ditambahkan amoniak sebagai bahan pemantap dan pengawet. Kadar amoniak ditetapkan dengan cara volumetri. Sebagai pentitar digunakan larutan HCl dan indikator metil merah sebagai petunjuk. Dari volum HCl yang diketahui normalitasnya dan bobot lateks, kadar amoniak dalam lateks dapat dapat dihitung dan dinyatakan dalam % NH3 terhadap lateks beramoniak. Masukkan sejumlah lateks ke dalam botol timbang kemudian dicatat bobotnya. Tuangkan 3-5 gram lateks ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 100 ml akuades. Botol timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot adalah bobot contoh. Contoh dititrasi dengan HCl 0.1 setelah di tetesi (2-3 tetes) indikator metil merah. Titrasi selesai jika warna telah berubah dari kuning menjadi merah muda. Persen amoniak dapat dihitung dengan Persamaan (7). % Amoniak =
V × N × 1.7 W
(7)
Dimana, N
= normalitas HCl
V
= volum HCl, ml
W = berat lateks, gram
7. Penentuan pH (AOAC, 1995) Penetapan nilai pH dilakukan setelah pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel ditimbang sebanyak 10 gram, dicampurkan dengan 100 ml akuades. Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam filtrat sampai beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dicatat.
32
8. Penentuan Kadar Asam Tertitrasi (SNI, 1992) Sampel sebanyak 10 gram diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10 ml ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah bila dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sesuai dengan Persamaan (8). % Total Asam =
V × N × BM × 100% BC
(8)
Dimana, V
= volum titrasi NaOH
N
= normalitas NaOH
BM = berat molekuk asam asetat BC = bobot contoh (gram)
9. Penentuan Kadar Fenol (Hammerschidt, 1978) Sampel sebanyak 10 ml disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Lalu 10 ml sampel ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air asap cair ke dalam tabung reaksi tersebut. Kemudian ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel,
dikocok dalam vortex
shaker, lalu disimpan dalam ruangan gelap selama 60 menit. Selanjutnya, setelah 60 menit sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Pembuatan kurva standar 0.2% galat dibuat dengan pelarut air. Masingmasing sampel diambil sebanyak 0, 1, 2, 3, 4, 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml kemudian tambahkan akuades dalam labu ukur 10 ml sampai tanda tera. Masing-masing standar dipipet dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95%, 5 ml akuades, 0.5 ml reagen folin-ciocalteu dan 1 ml Na2CO3 5%. Diamkan selama 60 menit lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.
33
E. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model linier aditif. Pada penelitian tahap pertama (I) dan kedua (II) rancangan percobaannya terdiri dari satu faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa. Setiap perlakuan pada penelitian I dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Sedangkan pada penelitian tahap II menggunakan uji tingkat kesukaan. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + εij Dalam Hal ini : Yij = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ
= nilai rataan umum
αi = pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j Apabila hasil anova menunjukkan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95%.
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri rumah tangga pembuatan arang yang juga merupakan industri percontohan produksi arang dan asap cair bekerjasama dengan Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asap cair diperoleh dari asap hasil pirolisis bahan baku tempurung kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa pengumpul asap kemudian diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin bak air (Rokhani, 2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa. No 1 2 3
Komponen kimia Total Asam Total Fenol pH
Jumlah persentase 9.81 ± 0.12% 6.78 ± 0.06% 3.00 ± 0.01
Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram asap cair tempurung kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10 gram ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sehingga diperoleh nilai rata-rata total asam sebesar 9.81 ± 0.12%. Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit. Setelah penyimpanan, sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya
35
pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan kurva larutan standar dari sampel asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%. Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan pH meter. Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam gelas piala. Selanjutnya elektroda pada pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh besarnya pH rata-rata asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± 0.01. Data hasil analisis kimia komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit atau RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein, sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik (Goutara, 1985). Protein terdiri dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini terjadi bisa karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden dan Fessenden, 1986). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik. Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam
36
lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar pada lateks ditunjukkan oleh Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH antara 7-8 dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.
H
O
+ +H
R–C–C NH2
H
O
+ +H
R–C–C O-
+ -H
NH3+
H
O
R–C–C O-
+ -H
NH3+
OH
Protein negatif
Protein netral
Protein positif
pH > 4.7
pH = 4.7
pH < 4.7
Gambar 5 . Protein dipolar pada lateks. Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu, 1987). Tujuan dari pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan. Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan cara membuang muatan protein dari partikel karet. Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya. Muatan listrik sendiri tergantung dari pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik isoelektrik. Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau pH ketika suatu makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada pada kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif.
37
Sebaliknya, jika pH berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik isoelektrik dengan pH berkisar antara 4.7-5.3. Pada pH tersebut protein menjadi tidak stabil. Akan tetapi pada pH ini lateks tidak segera menggumpal karena partikel masih diselubungi oleh mantel air. Dalam rentang waktu tertentu, suhu dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak dan kemudian akan menggumpal. Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai pH 7-8 (dalam kondisi basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila ditambahkan asam organik atau anorganik sampai pH mendekati titik isoelekrtik maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat sudah rendah. Hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka. Ion H+ dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks serta menurunkan pH. Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya elektrolit dan garam. Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi ke arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks. Cepat lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau kecepatan reaksi, yaitu perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu satuan waktu. Menurut
38
Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah suhu atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan sebesar 10o C akan melipatkan dua atau tiga kali laju suatu reaksi antara molekul-molekul (Keenan et al., 1980). Dengan kenaikan laju reaksi maka partikel akan semakin cepat bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam penelitian ini proses pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut dan asap cair dengan lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 o
C dengan RH (kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40
menit.
Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks (Goutara, 1985).
Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan lateks pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu pembekuan sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi dapat dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan memberikan kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul akan memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi (Keenan et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala besar di pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang diperlukan, oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari
39
sisi ekonomi. Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks biasanya dilakukan oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan dengan cepat besarnya KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan koagulan asam di dalam wadah alumunium dan dipanaskan hingga suhunya mencapai 80 oC. Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu sekitar 5 menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses pembekuan lateks menjadi lebih cepat. Kadar asam serta nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Komponen asam organik yang cukup tinggi dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung kelapa memiliki kandungan hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta lignin 29.4%. Hal ini tentu bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan selama proses pirolisis tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan asam dalam asap cair tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar 9.81%. Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003) mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 33,5% dengan nilai pH 2.2. Nilai pH asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Menurut Purba (2000) nilai pH larutan menyatakan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Derajat atau tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H+ dalam larutan dimana, nilai pH sama dengan negatif logaritma konsentrasi ion H+. Semakin besar konsentrasi ion H+ semakin kecil nilai pH, dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai pH-nya berbeda sebesar n mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n. Nilai pH asap cair yang rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan sebagai bahan koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan pH lateks hingga mencapai titik isoelektriknya. Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi secara alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak
40
dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H+ sebagai hasil metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi pada lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan, enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran dari luar.
B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang lebih 2 tahun. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning kecoklatan yang jernih, berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Sedangkan koagulan asam yang digunakan adalah jenis asam semut yang banyak dijual di pasaran dengan konsentrasi 90%. Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni) atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang menghasilkan RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS, plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Tahap awal dari penelitian ini adalah pengumpulan lateks kebun di lapangan.
Lateks
berasal
dari
beberapa
klon
tanaman
yang
telah
direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB dan RRIM. Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat antikoagulan berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau prakoagulasi selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta mutu karet sit yang rendah. Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar NH3 lateks, hal ini penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan lateks. Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai 12%.
41
Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang digunakan adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam semut : 100% asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50% asap cair ; 75% asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair. Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu erlenmeyer. Bahan
koagulan
yang
konsentrasi/kepekatan
telah
yang
dicampurkan
tinggi
sehingga
masih perlu
memiliki
tingkat
diencerkan
dengan
menambahkan air hingga konsentarsinya menjadi 2%. Pengenceran larutan pekat menyebabkan volum dan kemolalan larutan berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan agar asam yang mengandung ion H+ dapat menetralkan ion negatif pada lateks secara perlahan dan merata sehingga menghasilkan koagulum yang baik. Bahan koagulan dalam penelitian ini pada setiap pengulangan menunjukkan karakteristik yang seragam (Tabel 7).
Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa
Koagulan asam semut : asap cair 100% : 0% 0% : 100%
Karakteristik Bau
Warna
25% : 75%
Jernih Kuning cerah dan sedikit hijau muda Kuning cerah
50% : 50%
Kuning cerah
75% : 25%
Kuning
0% : 200%
Kuning dan sedikit hijau muda
Berbau asam Berbau asap
pH*) 1.65 ± 0.02 3.02 ± 0.02
Sedikit berbau asap dan asam Sedikit berbau asap dan asam Sedikit berbau asap dan asam Berbau asap dan asam
1.93 ± 0.03 1.84 ± 0.04 1.77 ± 0.05 3.01 ± 0.01
*) nilai pH rata-rata dalam 3 kali pengulangan.
42
Pada tabel diatas tampak bahwa nilai pH kontrol yang berupa asam semut memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 1.65, sedangkan perlakuan yang menggunakan kombinasi dan murni asap cair cenderung mengalami kenaikan nilai pH. Pada penambahan 25% asap cair nilai pH koagulan meningkat sebesar 1.77, sedangkan pada penambahan 50% asap cair nilai pH menjadi 1.84. Semakin banyak jumlah asap cair yang diberikan maka nilai pH akan semakin besar. Hal ini terkait dengan nilai pH awal asap cair yang lebih tinggi dibandingkan asam semut, sehingga pada saat pencampuran akan terjadi kesetimbangan pH diantara 2 larutan yang berbeda. Dengan kata lain, penambahan asap cair ke dalam asam semut dapat meningkatkan nilai pH bahan koagulan. Pemberian bahan koagulan dilakuan secara perlahan dan sedikit demi sedikit ke dalam wadah koagulasi yang disertai dengan pengadukan. Hal ini bertujuan agar bahan koagulan dapat tercampur secara merata ke dalam lateks. Pemberian bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan menyebabkan koagulum menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika pemberian kurang maka koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer (tidak membeku). Pengadukan juga harus dilakukan secara perlahan untuk mengurangi busa yang timbul selama proses berlangsung. Timbulnya busa selama proses pencampuran dan pengadukan dapat menimbulkan gelembung udara yang dapat menurunkan kualitas RSS. Selanjutnya wadah koagulasi ditutup rapat untuk mengindari kontak dengan udara luar. Pada perlakuan 100% asam semut (kontrol) lateks akan membeku dalam waktu 40 menit, begitu pula pada perlakuan lainya, kecuali yang menggunakan murni asap cair (100% dan 200%) yang membutuhkan waktu kurang lebih selama 120 menit untuk membeku. Hal ini dapat disebkan karena kadar asam semut yang rendah serta pH asap cair yang lebih tinggi jika dibandingankan dengan perlakuan yang menggunakan asam murni atau kombinasi asam semut dan asap cair. Lateks yang yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada perlakuan 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25% asam semut : asap cair, menunjukkan ciri-ciri fisik yang sama dengan kontrol sedangkan pada perlakuan 100% dan 200% asap cair terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian permukaan, hasil ini terlihat seragam pada setiap pengulangan. Setiap perlakuan
43
yang menggunakan kombinasi serta murni asap cair menunjukkan adanya lapisan tipis berwarna cokelat pada permukaan koagulum serta beraroma asap. Bagian lapisan tersebut akan hilang ketika koagulum dicuci/bilas dengan air. Lapisan ini terbentuk sebagai akibat reaksi antara serum lateks serta kandungan karbonil dalam asap cair yang memiliki kemampuan memberi warna khas cokelat pada produk. Menurut Ruswanto et al. (2000), karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil. Perlakuan menggunakan kombinasi dan murni asap cair juga menunjukkan warna yang lebih kuning kecokelatan dibandingkan dengan kontrol yang berwarna putih. Warna lebih cokelat terlihat lebih pekat pada pemberian asap cair 200%. Pembentukan warna cokelat ini berbanding lurus dengan konsentrasi asap cair di dalam bahan koagulan. Dengan demikian salah satu keunggulan dari asap cair tempurung kelapa adalah dapat memberikan warna khas cokelat pada produk RSS sehingga dapat menghemat penggunaan kayu bakar karena tidak membutuhkan pengasapan yang terlalu banyak untuk memberikan warna. Bintik-bintik gelembung yang terlihat pada koagulum menunjukkan pembekuan yang kurang sempurna serta sisa gelembung yang tidak dapat naik kepermukaan selama proses pengadukan dan pembekuan. Gelembung tersebut terperangkap di dalam lateks hingga akhirnya turut membeku. Menurut Suseno (1989), gelembung gas yang timbul dalam karet sit dapat disebabkan karena penggumpalan
terjadi
terlalu
cepat
dengan
menggunakan
asam
yang
berlebih/pekat sehingga gelembung udara tidak sempat naik ke permukan atau dapat juga disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu lemah (kadar asam rendah), sehingga membutuhkan waktu penggumpalan yang terlalu lama dan kurang sempurna. Hasil pembekuan yang tidak sempurna akan memiliki tingkat kekerasan koagulum yang tidak merata serta permukaan koagulum yang kasar. Pembekuan merupakan tahapan yang penting serta membutuhkan ketelitian tinggi dalam penentuan jumlah pemberian asam. Gelembung tampak lebih banyak pada
44
perlakuan 100% dan 200% asap cair, meskipun pemberian telah dilakukan berdasarkan standar pemberian bahan koagualan RSS. Hal ini menunjukkan kandungan asam yang rendah serta pH tinggi pada asap cair tempurung kelapa sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membekukan lateks. Perbandingan hasil koagulum menggunakan asap cair yang membeku secara sempurna dan tidak sempurna ditunjukkan pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan pembekuan sempurna (b).
Proses selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan sebagian besar air yang terkandung dalam koagulum. Dengan penggilingan permukaan sit akan menjadi semakin besar, sehingga akan mempercepat proses pengeringan. Dalam penelitian ini digunakan metode giling pagi, yaitu penggilingan sit dilakukan pada pagi hari setelah semua lateks selesai dibekukuan pada sore hari sebelumnya. Metode ini banyak digunakan oleh perkebunanperkebunan besar termasuk PTPN VIII Cikumpay tempat penelitian ini dilakukan karena di nilai lebih mudah, efisien serta memberikan kesempatan koagulum untuk membeku secara sempurna. Koagulum dikeluarkan dari wadah untuk kemudian digiling menggunakan mesin penggilingan sit (sitter six in one).
45
Setelah digiling, sit dicuci dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan. Koagulum yang telah digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari selama 1-2 jam. Penirisan tidak boleh terlalu lama untuk menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan, misalnya timbul warna yang seperti karat akibat oksidasi. Sampai pada tahap ini hasil koagulum semua perlakuan masih sama dengan kontrol tidak menunjukkan warna bintik-bintik hitam atau karat yang mengidikasikan oksidasi pada bagian permukaan. Proses selanjutnya ialah pengasapan menggunakan kayu karet untuk mengeringkan koagulum menjadi lembaran sit, mengawetkan sit agar terhindar dari serangan jamur serta memberikan warna khas cokelat RSS. Asap yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan lembaran karet. Hal ini disebabkan asap mengandung zat antiseptik yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Suseno, 1989). Pengeringan dilakukan di dalam kamar asap PTPN VIII Cikumpay yang berukuran 144 m2/kamar. Kamar asap tersebut dibuat secara permanen dengan dinding yang terbuat dari tembok serta atap yang terbuat dari seng. Kamar asap juga dilengkapi dengan lubang ventilasi serta cerobong asap. Proses pengeringan dan pengasapan di Perkebunan Cikumpay ini memerlukan waktu 6-7 hari untuk mengeringkan semua sit yang terdapat di dalamnya. Pada hari ke-4 semua perlakuan telah menunjukkan tanda-tanda kematangan sehingga sit dapat diangkat. Pada hari pertama suhu pengasapan berkisar antara 38-40 oC, pada hari kedua antara 46-50 oC, pada hari ketiga dan keempat antara 50-52 oC. Pada hari pertama dan kedua pengasapan menggunakan jenis kayu basah (kadar air tinggi) untuk memberikan asap yang cukup banyak serta suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi. Pada hari ketiga dan keempat digunakan jenis kayu kering (kadar air rendah) untuk mengeringkan/mematangkan sit sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda dengan penelitian Solichin (2007), dimana pembuatan RSS menggunakan Deorub dengan dosis pemberian 75 ml/kg karet kering membutuhkan waktu 2-3 hari dalam proses
46
pengasapan. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis asap cair serta dosis pemberian yang digunakan. Sampai pada tahap ini, semua perlakuan yang menggunakan kombinasi asap cair menunjukkan warna cokelat yang lebih pekat dibandingakan dengan kontrol terlebih pada perlakuan 100% dan 200% asap cair. Hal ini menunjukkan kemampuan dari asap cair dalam memberikan warna khas cokelat pada RSS. Pembentukan warna terjadi secara bertahap dan semakin pekat sejak lateks membeku hingga sudah matang/kering. Selain pengasapan faktor pemberian asap cair secara langsung juga mempengaruhi laju pencokelatan produk RSS. Penentuan kelas mutu RSS berdasarkan pada penampakan visual dan fisik sesuai dengan standar SNI 06-0001-1987 Conventional Rubber/The Green Book serta sifat teknis yang meliputi nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran yang berpedoman pada SNI 06-1309-1990 Standard Indonesian Rubber (Lampiran 6).
C. Analisis Mutu Hasil RSS 1. Kelas Mutu RSS RSS yang telah matang dengan sempurna kemudian disortasi secara visual. Menurut Goutara (1985), penentuan mutu RSS dilakukan secara visual atau organoleptik yang meliputi bintik gelembung udara, keseragaman warna, kotoran, serpihan bambu dan noda oleh benda asing, abu pembakaran kayu, karet mentah/warna putih tidak matang, jumlah kapang, dan kekeringannya. Pemeriksaan biasanya dilakukan di meja sortasi yang terdiri dari kaca yang berwarna putih susu. Untuk memudahkan pemeriksaan biasanya digunakan beberapa jenis sit sebagai contoh atau standard pemeriksaan. Berdasarkan SNI 06-001-1987 Conventional Rubber/ The Green Book, yang termasuk ke dalam golongan RSS 1 adalah sit yang dihasilkan harus benar-benar kering, bersih, kuat, tidak ada cacat, tidak berkarat, tidak melepuh serta tidak ada benda-benda pengotor. Tidak boleh ada garis-garis pengaruh dari oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat gelembunggelembung udara berukuran kecil seukuran jarum pentul masih diperkenankan, asalkan letaknya tersebar merata. Untuk RSS 2, sit yang dihasilkan harus kering,
47
bersih, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Sit tidak diperkenankan terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna cokelat terlalu tua serta terbakar. Sit kelas ini masih menerima bintik gelembung udara kecil sebesar 2 kali ukuran jarum pentul serta noda kulit pohon yang ukurannya agak besar. Untuk RSS 3, sit yang dihasilkan harus kering, kuat, bagus, tidak cacat, tidak melepuh dan tidak terdapat kotoran. Tidak boleh terdapat noda atau garis akibat oksidasi, sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi, belum benar-benar kering, pengasapan berlebihan, warna terlalu tua serta terbakar. Bila terdapat cacat warna, bintik gelembung udara sebesar 3 kali ukuran jarum pentul, ataupun noda-noda dari kulit tanaman karet, masih ditorerir. Untuk RSS 4, sit yang dihasilkan harus kering, kuat, tidak cacat, tidak melepuh serta tidak terdapat pasir atau kotoran luar. Bila terdapat bintik gelembung udara sebesar 4 kali ukuran jarum pentul, karet agak rekat atau terdapat kotoran kulit pohon asal tidak banyak masih dapat diizinkan. Sit lembek, suhu pengeringan terlalu tinggi dan karet terbakar tidak bisa diterima. Untuk RSS 5, sit yang dihasilkan harus kokoh, tidak terdapat kotoran atau benda asing, kecuali yang diperkenankan. Bintik gelembung udara sebesar 5 kali ukuran jarum, noda kulit pohon yang besar, karet agak rekat, kelebihan asap dan sedikit belum kering masih termasuk dalam batas toleransi. Dibanding dengan kelas RSS yang lain RSS 5 adalah yang terendah standarnya. Hasil penilaian kelas mutu RSS pada penelitian ini oleh Laboratorium Analisis Mutu Perkebunan Cikumpay secara lengkap disajikan pada Lampiran 7. Pada Tabel 8 tampak bahwa perlakuan kontrol sebagai standar secara konsisten menghasilkan kelas mutu RSS 1 hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sit berjalan dengan baik serta sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditetapkan. Hasil yang optimal terlihat pada perlakuan kombinasi asam semut dan asap cair dengan komposisi 75% : 25% yang secara konsisten juga menghasilkan kualitas yang sama dengan kontrol yaitu RSS 1. Perlakuan yang menggunakan kombinasi asam semut dan asap cair lainya (25% : 75% dan 50% : 50%) menunjukkan hasil yang tidak konsisten dalam kelas mutu RSS. Sit yang dihasilkan, dominan menunjukkan kelas mutu RSS 2. Sedangkan pada perlakuan murni asap (100% dan 200%) menghasilkan kelas mutu RSS 2 dan RSS 3. Hal ini
48
menunjukkan bahwa penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan tanpa penambahan dengan bahan lain dalam pembuatan karet sit dapat menghasilkan kualitas mutu RSS 2 atau RSS 3.
Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair tempurung kelapa
Perlakuan asam semut : asap cair 100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%
Kelas Mutu RSS Ulangan 1 Ulangan 2 RSS 1 RSS 1 RSS 3 RSS 3 RSS 1 RSS 2 RSS 1 RSS 2 RSS 1 RSS 1 RSS 3 RSS 2
Ulangan 3 RSS 1 RSS 2 RSS 2 RSS 2 RSS 1 RSS 2
Perbedaan secara nyata yang mempengaruhi jenis kelas mutu tampak pada jumlah bintik-bintik gelembung udara yang terletak di dalam RSS pada masingmasing perlakuan. Perlakuan 100% dan 200% asap cair menunjukkan jumlah gelembung yang lebih banyak, merata dan berukuran 2-3 kali ukuran jarum pentul bila dibandingkan dengan perlakuan lainya sehingga digolongkan ke dalam kelas mutu yang rendah. Jumlah gelembung akan meningkat sesuai dengan dosis pemberian asap cair. Tampak bahwa, semakin tinggi jumlah asap cair yang digunakan, semakin besar potensi pembentukan gelembung udara yang tidak diinginkan. Pembentukan gelembung dapat dipengaruhi oleh kandungan asam serta nilai pH asap cair tempurung kelapa yang berpengaruh dalam proses pembekuan. Waktu pembekuan yang cukup lama serta proses yang berlangsung lambat menyebabkan gelembung udara yang terbentuk tidak dapat naik ke permukaan dan terperangkap di dalam koagulum. Berbeda dengan asam semut (kontrol) yang memiliki kandungan asam tinggi dan nilai pH rendah dimana proses pembekuan berlangsung dengan cepat dan tepat. Perbandingan kelas mutu RSS yang dihasilkan pada setiap perlakuan dan pengulangan ditunjukkan pada Gambar berikut :
49
Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan koagulan 100% asam semut.
Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair.
50
Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair.
Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair.
51
Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair.
Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair.
52
2. Plasticity Retention Index (PRI) Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makro molekul poliisopropene (C5H8)n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai poliisopropene membentuk konfigurai cis dengan susunan ruang yang teratur seperti pada Gambar 14. Karet yang memiliki susunan ruang tersebut akan mempunyai sifat elastis atau kenyal. Sifat kenyal tersebut berhubungan dengan viskositas atau plastisitas karet (Goutara, 1985).
Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen (Goutara, 1985). PRI adalah ukuran dari besarnya sifat keliatan (plastisitas) karet mentah sebelum dan sesudah pengusangan pada suhu 140 oC selama 30 menit. Dengan mengetahui nilai PRI dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lengket selama masa penyimpanan atau jika dipanaskan. Nilai PRI juga menunjukkan ketahanan karet terhadap degradasi oksidasi. Bila PRI rendah menunjukkan karet mudah teroksidasi begitu pula sebaliknya. Tinggi rendahnya PRI bergantung pada jenis bahan mentah yang digunakan termasuk jenis klon tanaman serta cara pengolahannya. Gambar 15 menunjukkan grafik perbandingan nilai PRI terhadap beberapa perlakuan serta pengulangan dalam penelitian ini. Menurut SNI 06-1309-1990 SIR, nilai PRI untuk karet spsifiksi teknis berkisar antara 50-75. Perlakuan kontrol 100% asam semut pada grafik memiliki nilai PRI sebesar 82.34, kemudian meningkat pada perlakuan berikutnya baik dengan kombinasi asap cair maupun asap cair murni. Perlakuan dengan kombinasi serta murni asap cair menghasilkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perbandingan 100% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar 90.69 sedangkan pada 200% asap cair menghasilkan nilai PRI sebesar 90.70. Pada perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair yang menghasilkan kelas mutu terbaik memiliki PRI sebesar 80.17. Nilai PRI pada keseluruhan perlakuan memiliki nilai
53
yang lebih tinggi dibandingkan persyaratan yang telah ditentukan oleh SNI yaitu sebesar min. 75. Menurut Wazyka (2000), senyawa fenol dan turunannya dapat berfungsi sebagai antioksidan yang akan melindungi molekul karet dari oksidasi pada suhu tinggi sehingga nilai PRI akan tetap tinggi. Asam-asam terutama asam asetat akan membekukan lateks kebun dan juga berperan sebagai antibakteri. Senyawa karbonil, fenol, alkohol dan ester akan menyebabkan warna cokelat dan memberikan bau asap khas pada sit. Dalam Burfield (1986), dikatakan bahwa rendahnya nilai plastisitas dapat disebabkan karena terhalangnya ikatan silang gugus aldehida oleh adanya air dan terputusnya rantai molekul karet oleh aktifitas mikroorganisme. Asap cair tempurung kelapa mengandung komponen fenol serta asam yang cukup tinggi sehingga bersifat antioksidan serta antibakteri yang mampu mencegah aktivitas mikroorganisme pengurai di dalam sit. Dengan peningkatan pemberian asap cair akan semakin besar pula kemampuan sifat antioksidan serta antibakteri tersebut serta dapat meningkatkan nilai PRI.
95
90.69
85
91.05
90.70 87.76
90 82.34
80.17
Nilai PRI
80 75 70 65 60 55 50 100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%
Perbandingan asam semut : asap cair Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan. Analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap menunjukkan nilai peluang sebesar 0.0353 dimana nilai p<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa
54
pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap nilai plastisitas PRI RSS (Lampiran 8). Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan kogulan lateks serta dapat juga meningkatkan nilai plastisitas PRI dari karet yang dihasilkan. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi serta tingkat kekuatan produk karet. Penelitian Solichin (2007) yang ditunjukkan pada Tabel 9, juga menunjukkan nilai PRI yang lebih tinggi dengan menggunakan bahan koagulan asap cair cangkang kelapa sawit dibandingkan dengan koagulan asam semut.
Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub.
Bahan koagulan Deorub 10 % (200 ml) Deorub 10 % (250 ml) Deorub 10 % (300 ml) Deorub 10 % (350 ml) Asam Semut 1 % , Kontrol
Spesifikasi teknis RSS Po Pa PRI 45 36 80 47 36 76 44 37 84 32 82 39 45 36 80 (Solichin , 2007)
Sedangkan penelitian
yang
dilakukan oleh
Maspanger
(2004)
dengan
menggunakan bahan koagulan asap cair kayu karet pada Tabel 11 menunjukkan hasil yang serupa bahwa penggunaan asap cair dapat meningkatkan plastisitas karet. Hal ini membuktikan bahwa antioksidan dan antibakteri yang terdapat di dalam asap cair berperan dalam melindungi karet pada waktu pengeringan dalam suhu tinggi serta menigkatkan nilai plastisitas PRI.
Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet.
Bahan koagulan Asam semut 1% (kontrol) Asap cair kayu karet 1% Asap cair kayu karet 0.5%
Plastisitas awal (Po) 55 57 53
PRI 82.8 83.1 84.0
(Maspanger, 2004)
55
3. Kadar Kotoran Dalam Burhanudin (1995), kadar kotoran didefinisikan sebagai benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran di dalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul serta ketahanan retak lantur. Kalor timbul adalah panas yang ditimbulkan karena adanya gesekan sedangkan retak lentur adalah retakan-retakan yang terjadi pada karet akibat daya lentur. Pada Gambar 16, menunjukkan grafik nilai kadar kotoran pada berbagai perlakuan penggunaan asam semut dan asap cair tempurung kelapa. Penggunaan 100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar kotoran sebesar 0.02, pada perlakuan 100% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 25% asam semut : 75% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 50% asam semut : 50% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 75% asam semut : 25% asap cair sebesar 0.01, pada perlakuan 200% asap cair sebesar 0.02. Pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada SNI SIR yang memberikan batas kadar kotoran karet teknik adalah maks. 0.030.20, nilai kadar kotoran pada penelitian ini lebih rendah dari yang telah ditetapkan.
0.025 0.02
0.02
Kadar kotoran
0.02 0.015 0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.005 0 100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%
Perbandingan asam semut : asap cair Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap perlakuan. perlakuan
56
Kotoran yang ada dapat disebabkan oleh kebersihan bahan baku dan alat yang digunakan, serta bagian mesin pengolahan. Pada umumnya kadar kotoran yang tinggi banyak ditemukan pada sit hasil olahan petani karet. Kotoran tersebut dapat berupa tatal kayu, batang atau ranting yang ikut bersama lateks, dedaunan, tanah, pasir serta pengotor yang berasal dari bahan koagulan yang digunakan. Pada perkebunan besar yang sangat memperhatikan kualitas mutu, perhatian serta pengawasan yang ketat dilakukan sejak penyadapan hingga proses pengolahan untuk menghindari kotoran serta bahan kontaminan lainya pada produk sit yang dihasilkan. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan pengotor dalam karet sit serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan karena asap cair yang digunakan telah mengalami penyaringan serta pengendapan dalam waktu yang cukup lama, sehingga kandungan berat seperti tar, serpihan arang dan bahan lainya yang diduga sebagai bahan pengotor telah mengalami pemisahan dengan baik. Pengujian menggunkan metode rancangan acak lengkap pada Lampiran 9 menunjukkan model tidak berpengaruh nyata (p>0.05) dengan nilai peluang sebesar 0.5157. Dapat disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar kotoran karet RSS. Penelitian yang dilakukan Maspanger (2004) dengan menggunakan asap cair kayu karet pada Tabel 12 juga menunjukkan nilai kadar kotoran yang rendah.
Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet.
Karet RSS dengan koagulan Asam semut 1% (kontrol) Asap cair kayu karet 1% Asap cair kayu karet 0.5%
Kadar kotoran (%) 0.029 0.031 0.027
Kadar abu (%) 0.28 0.24 0.29
Zat menguap (%) 0.43 0.41 0.47
57
4. Kadar Abu Kadar abu di dalam karet memberikan gambaran mengenai jumlah bahan mineral yang terdapat di dalammya, diantaranya terdiri dari oksida karbonat, fosfat dari kalium, magnesium, kalsium dan beberapa unsur lain. Abu dapat pula mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang keberadaannya tergantung pada pengolahan bahan mentah karet. Bahan-bahan mineral di dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamik dari vulkanisat karet alam (Burhanudin, 1995). Perbandingan nilai kadar abu pada peneltian ini ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 17.
0.35 0.30
0.31
0.31
0.31
0.30
0.30
0.30
Kadar abu
0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%
Perbandingan asam semut : asap cair
Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan.
Penggunaan 100% asam semut sebagai kontrol memiliki nilai kadar abu sebesar 0.31, pada perlakuan 100% asap cair sebesar 0.31, pada perlakuan 25% asam semut : 75% asap cair memiliki nilai yang sama dengan kontrol sebesar 0.31, pada perlakuan 50% asam semut: 50% asap cair sebesar 0.30, pada perlakuan 75% asam semut: 25% asap cair sebesar 0.30, pada perlakuan 200% asap cair sebesar 0.30. Pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan kontrol. Jika berpedoman pada SNI SIR yang memberikan batas kadar abu untuk karet spesifikasi teknik adalah maks. 0.5 untuk
58
bahan baku berupa lateks, maka nilai kadar abu pada penelitian ini memiliki nilai lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam persyaratan mutu. Dalam keadaan penerimaan lateks dari kebun, kadar abu tetap berada di bawah batas maksimum 0.5, kecuali jika lateks dikotori oleh benda-benda asing (non karet) seperti talk, tanah lempung dan bahan-bahan larutan seperti tawas, kalsium, sodium klorida dan lainya (Sethu, 1987). Hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 10 menunjukkan besarnya nilai peluang sebesar 0.9933 (p>0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu dalam karet RSS. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan kontaminan dalam karet serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 12. Huruf alfabet yang sama menunjukkan nilai tengah yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan tersebut.
Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS.
Perlakuan asam semut : asap cair 100% : 0% 0% : 100% 25% : 75% 50% : 50% 75% : 25% 0% : 200%
PRI
Kadar kotoran
Kadar abu
82.34 ± 4.94 c 90.69 ± 1.96 ab 91.05 ± 7.09 a 86.98 ± 4.58 abc 80.17 ± 3.09 c 90.70 ± 2.55 ab
0.02 ± 0.011 a 0.01 ± 0.004 a 0.01 ± 0.006 a 0.01 ± 0.006 a 0.01 ± 0.003 a 0.02 ± 0.007 a
0.31 ± 0.03 a 0.31 ± 0.04 a 0.31 ± 0.04 a 0.30 ± 0.05 a 0.30 ± 0.02 a 0.30 ± 0.05 a
Menghindari pencemaran dan pengotoran selama proses pengolahan merupakan prasyarat untuk menjaga kadar abu karet tetap berada di bawah batas spesisikasi. Tingkat kadar abu juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui orang-orang yang sengaja memasukkan bahan-bahan pengotor ke dalam lateks.
59
D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet Salah satu permasalahan yang ditimbulkan dalam proses pengolahan karet alam adalah bau busuk yang ditimbulkan dari bahan olahan karet lump selama proses penyimpanan. Lump adalah jenis bahan olahan karet yang berasal dari lateks kebun yang digumpalkan dengan bahan koagulan atau menggumpal secara alami. Lateks yang tidak dapat diolah menjadi RSS karena KKK yang rendah atau telah mengalami prakoagulasi sebelumnya akan menggumpal secara alami menjadi lump. Jika lump tersebut tidak segera dioalah menjadi produk karet alam lainya atau berada pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, maka dapat menyebabkan terjadinya degradasi protein serta bahan organik di dalamnya yang menghasilkan bau busuk menyengat. Akibat yang ditimbulkan oleh polusi bau terhadap kesehatan masyarakat antara lain dapat menimbulkan stres yang kemudian berdampak pada berbagai gejala seperti sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan serta gangguan emosional. Bau busuk yang timbul dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri dan mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon di dalam lump tersebut. Menurut Zuhra (1996), penyimpanan lump di tempat yang kurang baik dapat menyebabkan lump menghasilkan gas NH3 dan H2S yang berbau busuk akibat terkontaminasi mikroorganisme pengurai, selain itu bau busuk juga disebabkan oleh sisa penggunaan amoniak sebagai antikoagulan pada proses penyadapan.
Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk.
60
Pada penelitian tahap II ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet lump. Perlakuan pemberian asap cair dilakukan dengan penyemprotan menggunakan hand sprayer pada 1 kg sampel karet kering (Gambar 18). Dosis yang diberikan meningkat secara bertahap yaitu 0 ml/kg sebagai kontrol, 10 ml/kg, 20 ml/kg, 30 ml/kg, 40 ml/kg serta 50 ml/kg. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan jumlah dosis asap cair yang tepat untuk menetralisir bau busuk menjadi bau yang lebih disukai oleh para pekerja di pabrik tersebut. Pada penelitian ini digunakan murni (100%) asap cair tempurung kelapa dan tidak ada bahan lain yang ditambahkan. Lump yang telah ditambahkan asap cair kemudian disimpan selama 7 hari pada suhu ruangan yaitu sebesar 28-30 oC dengan kelembaban RH 70%, untuk melihat perubahan yang terjadi.
Tingkat kesukaan bau
6
5.3
5
4.7
4.5
4.65
30 ml
40 ml
50 ml
4 3.1 3 2 1
1
0 0 ml
10 ml
20 ml
Jumlah asap cair Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.
Grafik hasil uji terhadap 20 orang panelis yang merupakan pekerja perkebunan pada Gambar 19, menunjukkan asap cair tempurung kelapa perlakuan 1 (kontrol) dengan pemberian 0 ml/kg memiliki nilai penerimaan rata-rata sebesar 1 (sangat tidak suka), perlakuan 2 dengan pemberian 10 ml/kg bernilai 3.1 (antara agak suka dan kurang suka), perlakuan 3 dengan pemberian 20 ml/kg bernilai 5.3
61
(antara suka dan sangat suka), perlakuan 4 dengan pemberian 30 ml/kg bernilai 4.7 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 5 dengan pemberian 40 ml/kg bernilai 4.5 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 6 dengan pemberian 50 ml/kg bernilai 4.65 (antara kurang suka dan suka). Hasil organoleptik tersebut menunjukkan pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering lebih bau yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. Perhitungan nilai uji kesukaan (organoleptik) atau tingkat penerimaan bau secara lengkap disajikan pada Lampiran 11 dan 12. Percobaan yang telah dilakukan oleh Solichin (2007), menunjukkan bau yang ditimbulkan dari gudang lump pada pabrik pengolahan karet alam dapat diantisipasi dengan penambahan bahan kimia Deorub dengan dosis 30 ml/kg karet kering. Kemampuan asap cair tempurung kelapa dalam mengurangi bau busuk terkait dengan kandungan senyawa asam dan fenol yang bersifat antibakteri dan antioksidan. Asap cair dapat mengatasi bau spesifik menyengat karena mengandung senyawa-senyawa yang berbau asap seperti karbonil, furan, fenol, siklopenten, benzene dan lainnya. Asap cair mengandung senyawa antibakteri yang dapat mencegah dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam lateks sehingga tidak timbul bau busuk yang disebabkan oleh senyawa amoniak dan sulfida dari degradasi protein oleh bakteri. Karseno et al., (2002) juga mengungkapkan bahwa komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba di dalam asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunanya serta senyawa asam. Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena mamampu menginaktifkan enzim-enzim esensial dalam protein. Davidson et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya
meliputi
reaksi
dengan
membran
sel
yang
menyebabkan
meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik. Asam-asam
organik
lemah
seperti
2,3-dihidroxy-benzoid
acid,
3-
methoxybenzoic acid methyl ester dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba terutama karena pembentukan ion H+ bebas (Zuraida, 2008). Senyawa asam
62
dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi dalam membran sel mikroorganisme.
Senyawa
asam
dapat
menurunkan
pH
sitoplasma,
mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran sel (Davidson et al., 2005). Kandungan berbagai jenis asam, terutama asam asetat dapat menurunkan pH lateks yang kemudian dapat membekukan lateks serta berperan juga sebagai antibakteri. Hasil uji statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 13 menunjukkan model berpengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar 0.0001. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap perubahan bau lump selama proses penyimpan. Pengamatan dengan indra penciuman menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap cair yang digunakan maka bau busuk akan semakin berkurang, tergantikan oleh bau khas asap yang semakin meningkat. Pengurangan bau diduga karena terjadi perubahan komposisi bau spesifik menyengat yang didominasi oleh amoniak dan sulfida menjadi senyawa-senyawa yang berbau khas asap dari campuran bau fenol, karbonil, furan, asam dan lainya. Bau khas asap yang kuat dari asap cair terbukti dapat mengurangi atau menutup bau spesifik menyengat di dalam lump. Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 13 menunjukkan pemberian asap cair sebanyak 20 ml berpengaruh nyata terhadap jumlah pemberian asap cair lainya.
Tabel 13 . Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump menggunakan DMRT.
Perlakuan asap cair 0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml
Tingkat kesukaan bau 1.0 ± 0.00 c 3.1 ± 1.33 c 5.3 ± 1.30 a 4.7 ± 1.26 ab 4.5 ± 0.76 b 4.65 ± 0.75 ab
63
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks dalam proses pembuatan RSS sesuai dengan dosis standar penggunaan asam semut. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki pH yang rendah. Penggunaan asam semut dan asap cair dengan perbandingan 75% : 25% secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan nilai PRI sebesar 80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan penggunaan asap cair 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2 dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200% secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan asap cair tempurung kelapa secara nyata dapat meningkatkan nilai plastisitas karet. Penggunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar kotoran dan kadar abu pada produk RSS. Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump.
64
B. Saran Perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar zat menguap, potensi pencoklatan, pengerasan selama penyimpanan, kadar nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair tempurung kelapa dapat mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya misalkan karet remah (SIR).
65
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1983. Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair Tempurung Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian, Jakarta. Anonim. 1993. Vademecum Budidaya Karet Hevea brazilliensis. Perkebunan Nusantara XI, Jakarta. Anonim. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet . Direktorat Jendral Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Association of Official Analytical Chemist [AOAC]. 1995. Official Method Of Analysisi Of The Association Of Analytical Chemist. Virginia. Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. 1981. Penyadapan Tanaman Karet. Seri Pedoman No.1. Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, Palembang. Budijanto, S.,Rokhani, H., Setyadji., dan Prabawati, R. 2007. Pengembangan dan Pemanfaatan Asap Cair tempurung Kelapa untuk Pengawetan Produk Buah-buahan. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Burhanudin, Asep. 1995. Penentuan Analisis Standard Indonesian Rubber (SIR). Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor. Burfield, D. R. 1986. Storage Hardening of Natural Rubber : an Examination of Current Mechanistic Proposals. Journal Natural Rubber 1(3) : 202-208. Chitwood D., Devinny J. S., Amstrong C. 2000. Biological treatment of industrial waste air. Vacum Dehydration Journal, p. 22-25. Daun, H. 1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food Tech : 60-71. Darmadji, P. 1996. Anti Bakteri Asap Cair dari Limbah Pertanian. Agritech 16(4). 19-22. Davidson PM, Sofos JN., Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food 3nd ed. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press. Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1987. SNI 06-0001-1987 Conventional Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.
66
Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1990. SNI 06-1903-1990 Standar Indonesian Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Fessenden, Ralp. dan J., Joan S. Fessenden. 1986. Organic Chemistry, Thrid Edition. Wadsworth, Inc Belmont California, USA. Girard, J. P. 1992. Smoking, In : Technology of Meat and Meat Product. Ellis Hordwood, New York : 165-205. Goutara. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Agro Industri Press Departemen Teknologi Industri Pertanian, Bogor. Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hamm, R. 1977. Analysis of Smoke and Smoked Food, Pure Appl. Chem. 49 : 1655 – 1666. Hasma, H. dan Alias bin Othman. 1990. Role of Some Non Rubber Constituents on Thermal Oxidative Ageing of Natural Rubber. Journal Natural Rubber 5(1) : 1-8. Jenie, B. S. L. dan W. P. Rahayu. 1993. Rancangan Limbah Industri Pangan. Kanisius, Yogyakarta. Karseno, Darmadji P, Rahayu K. 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet Terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoked Sheet. Agritech 21 (1) : 10-15. Keenan, Charles W., Kleinfelter, Donald C., Wood, Jesse H. 1980. General Collage Chemistry (Sixth Edition). Harper and Row Publisher, Inc. England. Kollman, F. P. and Cote, W. A. 1984. Principles of Wood Science and Technology. Sprenger Verlag, New York. Kuriyama. 1961. Destructive Distilation Of Wood. Ben Brother Limited, London. Lens, P., LH. Pol. 2000. Environmental Technology to Treat Sulfur Pollution. IWA Publishing, London. Luditama, Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
67
Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida : 1-3, 131-138. Maspanger, Dadi R. 2004. Rancang Bangun Reaktor Pirolisis Limbah Biomasa Dan Pemanfaatan Destilatnya Sebagai Processing Aids Pada Pengolahan Karet. Laporan Akir. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor. Pahlevi, Derin. 2007. Penghilangan emisi gas bau dari tempat penumpukan lump industry karet remah dengan menggunakan teknologi biofilter. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Jilid 2A. Erlangga, Jakarta. Purwati. 2005. Rancang Bangun Model Biofilter Pendegradasi Limbah Bau. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rokhani, H. 2006. Limbah Sekam Sebagai Wood Vinegar. Lokakarya Nasional Peningkatan Daya Saing Beras Nasional Melalui Perbaikan Kualitas. Jakarta, 13-14 September. Rokhani, H. 2006. Pengembangan Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa di Bidang Pertanian. Proposal teknis program insentif riset terapan. Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian Masyarakat, Institiut Pertanian Bogor. Ruswanto, Darmadji, P. dan Raharjo, S., 2000. Potensi Pencoklatan Asap Cair dari Kayu Karet Hasil Reaksi dengan Beberapa Asam Amino. Seminar Nasional Industri Pangan, Yogyakarta. Sethu, S. 1987. Buku Pedoman Petunjuk Pengoperasian Pabrik Karet. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008. Composition of Phenolic Compounds and Antioxidant Activity of Commercial Aqueous Smoke Flavorings. J Agric Food Chem 56: 2727-2734. Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub dalam Pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet, Vol.25(1) : 1-12. Suhardiyono, L., 1988, Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
68
Suseno, Rs. Suwarti.1989. Pedoman Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sheet). Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor. Tilman, D., 1981, Wood Combution : Principles, Processes and Economics, Academics. Press Inc., New York, 74-93. Tim Penulis PS. 2005. Karet ; Strategi Pemasaran Budidaya dan Pengolahannya. Penebar Swadaya, Jakarta. Tim Standardisasi Pengolahan Karet.1997. Kumpulan Pedoman Pengolahan Karet (Buku I-VII). Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta. Triwijoso, Sri Utami. 1995. Pengetahuan Umum Tentang Karet Hevea. Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor. Triwijoso, Sri Utami dan Oerip, Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan Dan Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor. Tranggono, Suhardi, Bambang Setiadji, P. Darmadji, Supranto, Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Acair Dari Berbagai Jenis Kayu Dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2), 15-24. Turk, A. J. dan J. T. Wittes. 1972. Ecology, pollution, environment. W. B. Sounders Company, Philadelphia. Wazyka, Agung. 2000. Aktivitas Antioksidan Asap Cair Kayu Karet Dan Redistilatnya Terhadap Asam Linoleat Dan Poliisopropen. Tesis Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan, Jurusan Ilmu Pertanian. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet. Karya Tulis Ilmiah. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. Zuraida, Ita. 2008. Kajian Penggunaan Asap cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Awet Bakso Ikan. Tesis, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam
Tabel Pemberian Asam Semut Konsentrasi : 90% Kadar Karet Kering (KKK) NH3
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Penambahan Asam Semut (ml/kg) 0.00
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
4.0
0.01
7.8
7.3
7.0
6.7
6.5
6.3
6.2
6.0
5.9
5.8
5.7
5.6
5.5
5.4
5.4
5.3
5.3
5.2
5.2
5.1
5.1
5.0
5.0
5.0
4.9
4.9
4.9
0.02
11.5
10.7
10.0
9.5
9.0
8.6
8.3
8.0
7.6
7.5
7.3
7.2
7.0
6.9
6.7
6.6
6.5
6.4
6.3
6.2
6.2
6.1
6.0
5.9
5.9
5.8
5.8
0.03
15.3
14.0
13.0
12.2
11.5
10.9
10.5
10.0
9.6
9.3
3.0
8.8
8.5
8.3
8.1
7.9
7.8
7.6
7.5
7.3
7.2
7.1
7.0
6.9
6.8
6.7
6.7
0.04
19.1
17.4
16.0
14.9
14.0
13.3
12.6
12.0
11.5
11.1
10.7
10.3
10.0
9.7
9.5
9.2
9.0
8.8
8.6
8.5
8.3
8.2
8.0
7.9
7.8
7.6
7.5
0.05
22.8
20.7
19.1
17.7
16.5
15.6
14.8
14.0
13.4
12.9
12.4
11.9
11.5
11.2
10.8
10.5
10.3
10.0
9.8
9.6
9.4
9.2
9.0
8.9
8.7
8.6
8.4
0.06
26.6
24.1
22.1
20.4
19.1
17.9
16.9
16.0
15.3
14.6
14.0
13.5
13.0
12.6
12.2
11.9
11.5
11.2
10.9
10.7
10.5
10.2
10.0
9.8
9.6
9.5
9.3
0.07
30.3
27.4
25.1
23.2
21.6
20.2
19.1
18.1
17.2
16.4
15.7
15.1
14.5
14.0
13.6
13.2
12.8
12.4
12.1
11.8
11.5
11.3
11.0
10.8
10.6
10.4
10.2
0.08
34.1
30.8
28.1
25.9
24.1
22.5
21.2
20.1
19.1
18.2
17.4
16.7
16.0
15.5
14.9
14.5
14.0
13.6
13.3
12.9
12.6
12.3
12.0
11.8
11.5
11.3
11.1
0.09
37.9
34.1
31.1
28.6
26.6
24.8
23.4
22.1
20.9
19.9
13.1
18.3
17.6
16.9
16.3
15.8
15.3
14.8
14.4
14.0
13.7
13.3
13.0
12.7
12.5
12.2
12.0
0.10
41.6
37.5
34.1
31.4
29.1
27.2
25.5
24.1
22.8
21.7
20.7
19.8
19.1
18.3
17.7
17.1
16.5
16.0
15.6
15.2
14.8
14.4
14.0
13.7
13.4
13.1
12.9
0.11
45.4
40.8
37.1
34.1
31.6
29.5
27.7
26.1
24.7
23.5
22.4
21.4
20.6
19.8
19.1
18.4
17.8
17.2
16.7
16.3
15.8
15.4
15.0
14.7
14.4
14.0
13.7
0.12
49.2
44.1
40.1
36.8
34.1
31.8
29.8
28.1
26.6
25.3
24.1
23.0
22.1
21.2
20.4
19.7
19.1
18.5
17.9
17.4
16.9
16.5
16.0
15.7
15.3
14.9
14.6
0.13
52.9
47.5
43.1
39.6
36.8
34.1
32.0
30.1
28.5
27.0
25.7
24.6
23.6
22.6
2108
21.0
20.3
19.7
19.1
18.5
18.0
17.5
17.0
16.6
16.2
15.9
15.5
0.14
56.7
50.8
46.2
42.3
39.1
36.4
34.1
32.1
30.3
28.8
27.4
26.2
25.1
24.1
23.2
22.3
21.6
20.9
20.2
19.6
19.1
18.5
18.1
17.6
17.2
16.8
16.4
0.15
60.5
54.2
49.2
45.1
41.6
38.7
36.3
34.1
32.2
30.6
29.1
27.8
26.6
25.5
24.5
23.6
22.8
22.1
21.4
20.7
20.1
19.6
19.1
18.6
18.1
17.7
17.3
(Laboratorium PTPN VIII Perkebunan Cilumpay)
1
71
Lampiran 2. Analisis kandungan kimia asap cair tempurung kelapa Total Asam Sampel
Ulangan
1 2 3 Asap cair tempurung 4 kelapa 5 Rataan Standar deviasi
Bobot Sampel (gram) 10 9.94 10 9.96 10
Volume NaOH titrasi (ml) 16.5 16 16.4 16.5 16.2
N NaoH
Total Asam (%)
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
9.90 9.66 9.84 9.94 9.72 9.81 0.12
Total Fenol 1.2
Kurva larutan standar Absorbansi
Konsentrasi Absorbansi (ppm) 0 0 10 0.120 20 0.290 30 0.453 40 0.636 50 0.798 60 0.960
y = 0.163x - 0.189 R² = 0.998
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi (ppm)
Sampel
Ulangan
Absorbansi
Asap cair tempurung kelapa
1 2 Rataan Standar deviasi
0.862 0.872
Konsentrasi Fenol 51.57 52.35
Total Fenol (%) 6.74 6.82 6.78 0.06
pH asap cair Sampel Asap cair tempurung kelapa
Ulangan 1 2 3 Rataan Standar deviasi
pH 3.00 3.00 3.02 3.00 0.01
72
60
Lampiran 3. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 1
Bahan Baku Lateks Pengukuran Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) pH Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks Berat jenis lateks Volume HCL Kadar NH3 Pengenceran KKK setelah pengenceran Volume lateks Volume air Volume air + lateks Pemberian asam Dosis asam (tabel) Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
Satuan
Nilai
% -
33.82 8-9
gram gram/ml ml %
3.86 0.98 1.37 0.06
% liter liter liter
12 1 1.81 2.81
ml/kg KKK ml
9.3 3.08
73
Lampiran 4. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 2
Bahan Baku Lateks Pengukuran Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) pH Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks Berat jenis lateks Volume HCL Kadar NH3 Pengenceran KKK setelah pengenceran Volume lateks Volume air Volume air + lateks Pemberian asam Dosis asam (tabel) Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
Satuan
Nilai
% -
32.41 8-9
gram gram/ml ml %
3.24 0.971 1 0.052
% liter liter liter
12 1 1.70 2.70
ml/kg KKK ml
8.7 3.0
74
Lampiran 5. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 3
Bahan Baku Lateks Pengukuran Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) pH Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks Berat jenis lateks Volume HCL Kadar NH3 Pengenceran KKK setelah pengenceran Volume lateks Volume air Volume air + lateks Pemberian asam Dosis asam (tabel) Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
Satuan
Nilai
% -
29.8 8-9
gram gram/ml ml %
3.63 0.98 1.1 0.05
% liter liter liter
12 1 1.42 2.42
ml/kg KKK ml
9.2 2.8 ~ 3.0
75
Lampiran 6. Spesifikasi Teknis SNI 06-1903-1990
No
Jenis uji/ karakteristik
Satuan
SIR 3 CV
SIR 3 L
Jenis mutu persyaratan SIR 3 WF SIR 5 Bahan olah
Lateks 1 2 3 4 5 6 7
8
9 10 11
12
13 14
15
SIR 10
SIR 20
Koagulum lateks
Kadar kotoran (b/b) Kadar Abu (b/b) Kadar zat menguap (b/b) PRI
%
Maks. 0.03
Maks. 0.03
Maks. 0.03
Maks. 0.05
Maks 0.10
Maks 0.20
%
Maks 0.50
Maks 0.50
Maks 0.50
Maks 0.50
Maks 0.75
Maks 1.00
%
Maks 0.80
Maks 0.80
Maks 0.80
Maks 0.80
Maks 0.80
Maks 0.80
-
Min 60
Min 75
Min 75
Min 70
Min 60
Min 50
Po Nitrogen (b/b)
% -
Maks 0.6 Maks 8
Min 30 Maks 0.6 -
Min 30 Maks 0.6 -
Min 30 Maks 0.6 -
Min 30 Maks 0.6 -
Min 30 Maks 0.6 -
-
*)
-
-
-
-
-
-
-
Maks 6
-
-
-
-
-
**)
**)
**)
-
-
-
-
Hijau
Hijau
Hijau
Cokelat
merah
-
Transparan
Transparan
Transparan
Hijau bergaris cokelat Transparan
Transparan
Transparan
-
Jingga
Transparan
mm
0.03
0.03
Putih susu/ transparan 0.03
Putih susu/ transparan 0.03
Putih susu/ transparan 0.03
Putih susu/ transparan 0.03
Maks 108
Maks 108
Maks 108
Maks 108
Maks 108
Maks 108
Kemantapan viskositas/ skala plastisitas wallace Viskositas mooney ML (1+4) 100 C Warna skala Lovibond Pemasakan (cure) Warna lambang Warna plastik pembungkus bandela Warna pita plastik Tebal plastik pembungkus bandela Titik leleh plastik pembungkus bandela
o
C
76
Lampiran 7. Hasil penilaian kelas mutu RSS berdasarkan SNI 06-0001-1087 Karet Konvensional Laboratorium Analisis Mutu PTPN VIII Cikumpay. Penilaian mutu RSS Perlakuan asam semut : asap cair
Ulangan
1 100% : 0%
2 3
0% : 100%
25% : 75%
Kering, bersih, kuat Kering, bersih, kuat Kering, bersih, kuat
Tidak ada Seragam, tidak ada Tidak ada Seragam, tidak ada
Warna/ pengasapan
Noda/ garis Gelembung udara oksidasi Tidak ada
Tidak ada
RSS 1
Tidak ada
Tidak ada
RSS 1
Tidak ada
Tidak ada
RSS 1
3 kali ukuran jarum, banyak dan tersebar merata 3 kali ukuran jarum, banyak dan tersebar merata Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata
RSS 3
Ada, seukuran jarum dan tersebar Ada, 2 kali ukuran
RSS 1
Kering, bersih, kuat
Tidak ada Seragam, tidak ada
Cokelat pekat, merata
Tidak ada
Tidak ada Seragam, tidak ada
Cokelat pekat, merata
Tidak ada
2
Kering, bersih, kuat Kering, bersih, kuat
Tidak ada Seragam, tidak ada
Cokelat tua, merata
Tidak ada
3
Kering, bersih, kuat Kering, bersih,
Tidak ada Seragam, tidak ada
Cokelat terang, merata Cokelat tua,
Tidak ada
1
Tidak ada Seragam, tidak ada
Kelas mutu RSS
Cokelat terang, merata Cokelat terang, merata Cokelat terang, merata
1
2
77
Permukaan sit
Tingkat Benda kematangan/ pengotor warna putih tidak matang Tidak ada Seragam, tidak ada
Tidak ada
RSS 3
RSS 2
RSS 2
1
kuat
3
1
50% : 50%
2
3
1 75% : 25%
2 3
1
0% : 200%
2
3
78
merata
Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, kuat merata
jarum dan tersebar merata Tidak ada Ada, 2 kali ukuran jarum dan tersebar merata
Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada kuat Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada kuat
RSS 2
Cokelat terang, Tidak ada Ada, seukuran merata jarum dan tersebar Cokelat tua, Tidak ada Ada, 2 kali ukuran merata jarum dan tersebar merata Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, Tidak ada Ada, 2 kali ukuran kuat merata jarum dan tersebar merata
RSS 1
Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada kuat Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada kuat Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada kuat
RSS 1
Cokelat terang, Tidak ada Ada, seukuran merata jarum dan tersebar Cokelat terang, Tidak ada Tidak ada merata Cokelat terang, Tidak ada Tidak ada merata
Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat pekat, Tidak ada 3 kali ukuran kuat merata jarum, banyak dan tersebar merata Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, Tidak ada Ada, 2 kali ukuran kuat merata jarum dan tersebar merata Kering, bersih, Tidak ada Seragam, tidak ada Cokelat tua, Tidak ada Ada, 2 kali ukuran kuat merata jarum dan tersebar merata
RSS 2
RSS 2
RSS 1 RSS 1
RSS 3
RSS 2
RSS 2
2
Lampiran 8. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai PRI
Perlakuan 1 Pengulangan 1 1 50 2 50 3 46 4 55 5 54 6 43 Pengulangan 2 1 48 2 45 3 42 50 4 5 50 43 6 Pengulangan 3 1 60 2 57 57.5 3 4 55.5 58 5 6 49.5
Po 2
3
Parameter Pa Mean 1 2
54 48 48.5 55 53.5 43.5
54 49 49 56 55 47
52.67 49.00 47.83 55.33 54.17 44.50
46 46 47.5 47.5 43.5 39
44.5 45 44.5 47 41 40
46.5 41 41.5 50 48.5 42.5
47 41 42.5 51 49.5 41
47.17 42.33 42.00 50.33 49.33 42.17
36 38 40.5 43 37.5 37
59.5 56 58 56 57.5 50
57 56 57 56 55 50
58.83 56.33 57.50 55.83 56.83 49.83
54.5 50 47 52 48 46
Mean
PRI
43 45.5 45.5 47 41.5 40
44.50 45.50 45.83 47.17 42.00 39.67
84.49 92.86 95.82 85.24 77.54 89.14
34 38.5 39 43 38 38
38.5 38 39.5 44 42 38
36.17 38.17 39.67 43.33 39.17 37.67
76.68 90.16 94.44 86.09 79.39 89.33
45.5 51.5 47 51 47.5 49
51.5 49 49 51 47 45
50.50 50.17 47.67 51.33 47.50 46.67
85.84 89.05 82.90 91.94 83.58 93.65
3
79
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------Model 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 Error
12
231.4612667
19.2884389
Total 17 568.0023778 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.592499 5.048760 4.391861 86.98889 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 ----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------Level of ---------------PRI--------------Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------P1 3 82.3366667 4.94510195 P2 3 90.6900000 1.95951525 P3 3 91.0533333 7.09462708 P4 3 86.9766667 4.58476099 P5 3 80.1700000 3.09462437 P6 3 90.7066667 2.55077113 -----------------------------------------------------------
80
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for PRI
NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
Number of Means Critical Range
12 19.28844
2
3
4
5
6
7.813
8.178
8.399
8.546
8.647
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan grouping
Mean
N
Asap cair
A A A A A A A
91.053
3
P3
90.707
3
P6
90.690
3
P2
86.977
3
P4
82.337
3
P1
80.170
3
P5
B B B B B B B
C C C C C
81
Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran
Bobot saringan (gram) Pengulangan 1 19.7802 19.7837 20.0054 19.1135 19.2021 20.2751 Pengulangan 2 19.1955 19.1143 19.7842 20.2557 19.2027 19.7811 Pengulangan 3 19.1894 19.114 19.7838 20.255 19.2101 19.7814
Oven
Kotoran
Kadar Kotoran
19.7805 19.7842 20.0061 19.1138 19.2029 20.2761
0.0003 0.0005 0.0007 0.0003 0.0008 0.001
0.0030 0.0051 0.0070 0.0030 0.0080 0.0101
19.1971 19.1154 19.7855 20.2772 19.2038 19.7834
0.0016 0.0011 0.0013 0.0215 0.0011 0.0023
0.0160 0.0109 0.0131 0.2111 0.0109 0.0229
19.1921 19.1152 19.7858 20.2758 19.2114 19.7836
0.0027 0.0012 0.002 0.0208 0.0013 0.0022
0.0267 0.0118 0.0199 0.2099 0.0130 0.0220
82
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------Model 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 Error
12
0.00057497
0.00004791
Total 17 0.00078892 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.271189 55.08244 0.006922 0.012567 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 ----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure ---------------------------------------------------------Level of -----------Kadar kotoran--------Mean Std Dev Asap cair N ---------------------------------------------------------K1 3 0.01523333 0.01186859 K2 3 0.00926667 0.00363639 K3 3 0.01333333 0.00645316 K4 3 0.00860000 0.00586600 K5 3 0.01063333 0.00251064 K6 3 0.01833333 0.00714446 ------------------------------------------------------------
83
Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu
Perlakuan
Sample
Pengulangan 1 1 5.1841 2 5.1086 3 5.0357 5.148 4 5 5.1619 6 5.0199 Pengulangan 2 1 5.0727 2 5.1183 3 5.102 4 5.0678 5 5.0669 6 5.0638 Pengulangan 3 1 4.971 2 5.0226 3 5.0004 4 5.0892 5 5.091 6 4.9813
Bobot (Gram) Setelah Cawan Pembakaran
Abu
Kadar Abu
34.0321 33.0595 27.8981 29.4766 33.6126 32.1131
34.0465 33.0735 27.9122 29.4897 33.6271 32.1251
0.0144 0.014 0.0141 0.0131 0.0145 0.012
0.2778 0.2740 0.2800 0.2545 0.2809 0.2390
29.476 27.8984 33.06 34.0333 32.1125 33.6127
29.4935 27.9167 33.0781 34.0509 32.1287 33.6294
0.0175 0.0183 0.0181 0.0176 0.0162 0.0167
0.3450 0.3575 0.3548 0.3473 0.3197 0.3298
33.0613 33.6137 32.1134 29.4777 27.901 31.2656
33.0772 33.6292 32.1288 29.4936 27.9163 31.2822
0.0159 0.0155 0.0154 0.0159 0.0153 0.0166
0.3199 0.3086 0.3080 0.3124 0.3005 0.3332
84
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------Model 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 Error
12
0.01953950
0.00162829
Total 17 0.02022836 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.034054 13.10393 0.040352 0.307939 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 ----------------------------------------------------------------------------------------------The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------Level of ------------Kadar Abu------------Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------Abu 1 3 0.31423333 0.03395649 Abu 2 3 0.31336667 0.04195359 Abu 3 3 0.31426667 0.03779171 Abu 4 3 0.30473333 0.04687263 Abu 5 3 0.30036667 0.01940034 Abu 6 3 0.30066667 0.05343195 ------------------------------------------------------------
85
Lampiran 11. Form uji organoleptik bau
Form Test Organoleptik Bau Lump
Sampel
: lump dengan pemberian asap cair tempurung kelapa
No Responden : ......................................
Sampel
Bau busuk lump/ ammonia (1)
Bau Lump yang Diamati Sedikit Berbau Berbau berbau lump dan Berbau asap (5) sedikit lump dan lump dan berbau berbau asap (3) asap (4) asap (2)
Tidak berbau lump dan asap (6)
0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml Keterangan : berikan tanda check list (√) pada setiap kolom penilaian sesuai dengan tingkat kesukaan anda. Terima kasih.
86
Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau
Panelis
Kode Sampel 0 ml
10 ml
20 ml
30 ml
40 ml
50 ml
1
1
2
6
4
4
5
2
1
3
6
4
3
5
3
1
2
6
2
3
5
4
1
2
2
4
4
3
5
1
2
6
5
5
3
6
1
3
4
5
5
5
7
1
2
4
6
4
4
8
1
2
6
6
4
4
9
1
2
3
6
4
4
10
1
6
6
3
6
4
11
1
6
6
6
5
5
12
1
3
6
4
5
5
13
1
3
3
4
4
5
14
1
3
6
4
4
5
15
1
3
6
4
5
5
16
1
3
6
6
5
5
17
1
3
6
6
5
5
18
1
3
6
6
5
5
19
1
3
6
6
5
5
20
1
6
6
3
5
6
Jumlah
20
62
106
94
90
93
Rataan
1
3.1
5.3
4.7
4.5
4.65
87
Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------Model 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 Error 114 117.7500000 1.0328947 Total 119 369.1250000 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------R-Square Coeff Var Root MSE Bau Mean 0.681002 26.22747 1.016314 3.875000 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 ---------------------------------------------------------------------------------------------The ANOVA Procedure ---------------------------------------------------------Level of -----------Bau Lump-----------Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------Bau 1 20 1.00000000 0.00000000 Bau 2 20 3.10000000 1.33377186 Bau 3 20 5.30000000 1.30182059 Bau 4 20 4.70000000 1.26074331 Bau 5 20 4.50000000 0.76088591 Bau 6 20 4.65000000 0.74515982 -----------------------------------------------------------
88
The ANOVA Procedure Duncan's Multiple Range Test for Bau Lump
NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
114
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
1.032895
2
3
4
5
6
.6367
.6701
.6922
.7085
.7212
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan grouping
Mean
N
Asap cair
A A A A A
5.3000
20
Bau 3
4.7000
20
Bau 4
4.6500
20
Bau 6
4.5000
20
Bau 5
C
3.1000
20
Bau 2
C
1.0000
20
Bau 1
B B B B B
89