SKRIPSI
KAJIAN SISTEM PRODUKSI DISTILAT ASAP TEMPURUNG KELAPA DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PENGAWET MIE BASAH
Oleh : FAJAR MUSPRIANTO GUMANTI F14102088
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR]
KAJIAN SISTEM PRODUKSI DISTILAT ASAP TEMPURUNG KELAPA DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PENGAWET MIE BASAH SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : FAJAR MUSPRIANTO GUMANTI F14102088
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN SISTEM PRODUKSI DISTILAT ASAP TEMPURUNG KELAPA DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN PENGAWET MIE BASAH SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: FAJAR MUSPRIANTO GUMANTI F14102088 Dilahirkan pada tanggal 20 Pebruari 1984 Di Tangerang Tanggal Lulus : September 2006 Disetujui, Bogor, Oktober 2006 Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si
Dr.Ir. Sugiyono, M.App.Sc
Mengetahui, Ketua Departemen Teknik Pertanian IPB
Dr.Ir. Wawan Hermawan, M.S
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan kemampuan pada kita semua dalam melaksanakan setiap aktivitas kehidupan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang kecintaan dan syafaatnya senantiasa kita harapkan. Sungguh setiap desahan nafas adalah amanah yang harus ditunaikan, setiap amal adalah bekal untuk kembali kepadaNya, setiap jengkal kehidupan hanya layak untuk dipersembahkan kepadaNya. Setelah sekian banyak peluh tertumpah dan sekian waktu telah tercurah, akhirnya atas izin Allah penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir ini. Tiada lain harapan selain agar tugas akhir ini dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya serta menjadi pemicu bagi penulis khususnya untuk menjadi lebih baik lagi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu sejak penyiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si dan Dr.Ir. Sugiyono, M.App.Sc selaku dosen pembimbing, atas bimbingan dan bantuannya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Suroso, M.Agr yang telah berkenan menjadi penguji dalam sidang skripsi sekaligus memberikan arahan serta perbaikan. 3. Bapak dan Ibu tercinta, Usman Gumanti Koba dan Mursity, semua yang nanda punya tiada akan pernah cukup meski hanya untuk membalas belaian kalian. 4. Keluarga besar H. Koba (Palembang) dan Parjo Kartosuwiryo (Purworejo), atas berjuta kasih dan dukungan selama ini. 5. Adik-adikku tersayang, Iyus, Dini, Ibnu, Wulan. Teriring doa dan harapan semoga Allah menjadikan kita anak-anak soleh dan solehah. 6. Ian Sopian, Fajri Helmi, Abdul Hakim, untuk pinjaman komputernya. Jazakumullah khoiron jaza. 7. Wastono, STP dan Sutanto, STP, M. Maftuh Fuadi, rekan seperjuangan. Semoga ilmu yang kalian peroleh menjadi ilmu yang bermanfaat.
8. Bapak Mamat sekeluarga untuk keikhlasan dan bantuannya selama penelitian. 9. Rekan-rekan TEP 39. Sungguh indah ketika persahabatan kita tiada pernah terpisahkan ruang dan waktu. Semoga Allah memberikan jalan terbaik bagi kita semua. 10. Himateta IPB, terutama rekan-rekan pengurus tahun 2004 dan 2005. Insya Allah setiap peluh yang kita korbankan menjadikan kita generasi harapan yang bersih, bersahabat dan berkompeten. Tentu saja dengan keikhlasan dan kesungguhan. 11. Ir. Erizal sekeluarga dan pemuda-pemuda harapan untuk motivasi dan dukungannya. 12. Keluarga besar Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Inayah dan Wisma Al-Iffah. Jadilah kalian generasi robbani yang senantiasa mengajarkan dan mempelajari Kitabullah. 13. Insan-insan menakjubkan di Forum Bina Islami Fateta, DKM Al-Hurriyyah dan DKM Al-Ghifary IPB. Tetapkanlah kedudukan dan kuatkanlah kesabaran, karena kalian adalah ruh baru yang mengalir di tubuh umat, pewaris risalah para Nabi dan Rasul. 14. Seluruh ikhwah serta keluarga besar dakwah dan tarbiyah. Walau tak kita hadapi masanya, tetaplah Al-Haq pasti menang. Buatlah negeri ini selalu tersenyum, bahagia dan sejahtera dalam cinta-Nya. 15. Semua pihak yang luput dari ingatan. Jasa kalian tetap tercatat di sisi Allah. Terima kasih. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat. Atas segala kekurangan yang ada di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf sekaligus mengharap kritik dan saran demi perbaikan. Bogor, Oktober 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Pebruari 1984, sebagai anak pertama dari pasangan Usman Gumanti Koba dan Mursity. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Karawaci Baru 2 Tangerang pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 1999 penulis lulus dari SLTPN 6 Tangerang dan menamatkan pendidikan dari SMAN 2 Tangerang pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima melalui jalur USMI di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Pada tahun 2002/2003 penulis aktif sebagai staf Departemen PSDM Badan Eksekutif Mahasiswa-Tingkat Persiapan Bersama (BEM-TPB). Tahun 2003/2004 penulis diamanahi sebagai staf Divisi Pendidikan dan Latihan (Diklat) Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Ketua Bidang Layanan Informasi Pagi Anaba DKM Al-Hurriyyah IPB, dan Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi Himateta-IPB. Selanjutnya pada tahun 2004/2005 penulis menjadi Ketua Umum Himateta-IPB dan turut aktif sebagai salah satu penggagas dan anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Teknik Pertanian Indonesia (Formatetani), cikal bakal Himatetani yang sekarang telah berdiri. Tahun 2004/2005 penulis menjadi Asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan praktek lapang di PT Interkemas Flexipack,
Tangerang
dengan
topik
”Aspek
Keteknikan
Pada
Sistem
Penyimpanan dan Penggudangan di PT Interkemas Flexipack”. Sejak tahun 2005 penulis terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat melalui LSM Rahmatan Lil ’Alamin. Selain itu penulis juga aktif dalam pembinaan pemuda melalui Yayasan Binar Iman Al-Kahfi sejak tahun 2006.
Fajar Musprianto Gumanti. F14102088. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa Dan Pemanfaatannya Sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Dibawah bimbingan Dr.Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si dan Dr.Ir Sugiyono, M.App.Sc.
RINGKASAN Dewasa ini sering ditemukan bahan pengawet makanan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Untuk itulah perlu diusahakan suatu bahan tambahan pangan yang selain aman untuk kesehatan juga murah dan mudah dalam pembuatannya. Salah satu temuan baru dalam teknologi pengawetan bahan pangan adalah distilat asap (liquid smoke) yang berasal dari pendinginan dan pencairan asap hasil pembakaran tempurung kelapa. Memanfaatkan limbah asap pada industri pembuatan arang tempurung kelapa menjadi distilat asap sebagai alternatif bahan pengawet akan menaikkan nilai tambah bagi industri tersebut, bahkan dapat mengatasi pencemaran lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat sekitarnya. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan distilat asap tempurung kelapa untuk pengawetan bahan pangan. Beberapa tujuan khusus dari penelitian ini adalah: merancang sistem produksi distilat asap dan menguji unjuk kinerjanya, mengidentifikasi kandungan kimia distilat asap tempurung yang dihasilkan, serta mengkaji pengaruh penggunaan distilat asap terhadap masa simpan produk mie basah. Alat penyuling distilat asap yang dibuat dalam penelitian ini terdiri atas beberapa bagian dengan fungsi-fungsi tertentu. Bagian-bagian utama dari alat ini adalah tanur tempat pembakaran tempurung kelapa, sungkup penangkap asap, pipa penyalur asap, dan kondensor. Untuk mensuplai air ke kondensor dibuat juga suatu menara air. Sistem produksi distilat asap yang diamati pada penelitian ini adalah sistem produksi industri kecil arang tempurung kelapa di Desa Cihideungudik Kecamatan Ciampea Bogor. Produksi distilat asap dirancang untuk memanfaatkan prinsip proses penyulingan atau destilasi. Proses pembakaran pada tanur pembakaran akan menghasilkan asap yang ditangkap oleh sungkup dari alat penyuling untuk selanjutnya disalurkan menuju kondensor. Asap ini dikondensasikan pada kondensor dengan memanfaatkan media pendingin air. Keseluruhan proses memerlukan waktu 16 jam. Perbedaan jumlah tanur tidak berpengaruh terhadap laju distilat asap sehingga distilat asap yang dihasilkannya tidak berbeda jauh. Laju air pendingin relatif tetap karena air dialirkan dengan sistem gravitasi. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa efisiensi penyulingan untuk perlakuan 4 tanur adalah 10,75 %, efisiensi penyulingan untuk 3 tanur adalah 11,89 % dan efisiensi penyulingan untuk 2 tanur sebesar 13,21 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kondensor yang dirancang pada penelitian ini cukup efektif hanya untuk 1 atau 2 tanur pembakaran saja. Selain itu dari pengukuran dapat diketahui bahwa perbandingan bahan baku yang digunakan dengan arang yang dihasilkan adalah 1:4 dengan rendemen distilat asap rata-rata 2.087%. Hasil perhitungan efisiensi kondensor menunjukkan bahwa kondensor yang digunakan pada penelitian ini memiliki efisiensi sebesar 7,94 %. Rendemen distilat asap masih sangat kecil jika dibandingkan dengan arang tempurung ataupun bahan yang digunakan, yakni
hanya berkisar antara 2,07% hingga 2,10%. Namun dari data harian, distilat asap yang dihasilkan mencapai 17 hingga 20 liter per hari dari sekitar 800 kg tempurung kelapa. Berdasarkan analisis kimia terhadap kandungan kimia distilat asap diperoleh hasil kandungan fenol sebesar 5,5%, methyl alkoholnya sebesar 0,37% dan total asam sebesar 7,1%. Dilihat dari perbandingan dengan penelitian terdahulu, hasil penelitian ini menghasilkan distilat asap dengan kandungan fenol yang cukup tinggi. Sehingga, distilat asap tempurung kelapa yang dihasilkan termasuk distilat asap dengan kualitas yang cukup baik, dengan kandungan fenol yang di atas rata-rata kandungan fenol pada penelitian sebelumnya. Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah pengkajian penggunaan distilat asap sebagai pengawet pada bahan pangan. Tahap ini bertujuan mendapatkan formula penambahan bahan pengawet distilat asap yang tepat, yakni memiliki daya awet yang baik dengan tidak merusak kualitas mie (rasa, bau, warna, tekstur ataupun penampilan), serta menentukan masa simpannya. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap berpengaruh nyata terhadap warna, penampilan, rasa dan tekstur sampel namun tidak berpengaruh nyata terhadap aroma sampel. Mie dengan penambahan distilat asap 1500 ppm memiliki warna, aroma, penampakan rasa dan tekstur yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil organoleptik juga menunjukkan bahwa penambahan distilat asap berpengaruh nyata terhadap warna, penampakan, rasa dan tekstur, namun tidak berpengaruh nyata terhadap aroma mie basah. Mie basah yang diproduksi pada penelitian ini memiliki kadar air yang masih sesuai dengan syarat mutu mie basah berdasarkan SNI. Dari tiga kali pembuatan mie sampel, kadar air berada pada selang 20,01 – 22,82 %. Perlakuan penambahan bahan pengawet Ca-Propionat 0.075%+Parabens 0.025%+ Na-Asetat 2.5% menghasilkan mie basah dengan masa simpan paling lama yakni 46 jam pada ulangan ke-1 dan 44 jam pada ulangan-2. Sementara, mie basah yang mengalami kerusakan paling cepat adalah perlakuan kontrol, yakni 25 jam pada ulangan-1 dan 16 jam pada ulangan-2. Sedangkan pada perlakuan dengan penambahan distilat asap, hasilnya menunjukkan keragaman. Pada perlakuan penambahan 300 ppm distilat asap masa simpan mie basah dapat mencapai 36 jam pada ulangan-1 dan 28 jam pada ulangan-2. Perlakuan penambahan 900 ppm dan 1500 ppm distilat asap sama-sama menghasilkan mie basah dengan masa simpan 40 jam pada ulangan-1 dan 36 jam pada ulangan-2. Hasil ini menunjukkan penambahan distilat asap 900 ppm dan 1500 ppm mampu menghasilkan mie dengan daya tahan yang cukup lama hingga mendekati masa simpan 2 hari (48 jam). Hal ini dapat dikatakan cukup baik, mengingat daya tahan mie dengan perlakuan ini mendekati daya tahan mie dengan pengawet kimia.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP RINGKASAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL....................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ii DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... iv I. PENDAHULUAN................................................................................... 1 A. Latar Belakang.................................................................................... 1 B. Tujuan.................................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4 A. Bahan Tambahan Makanan................................................................. 4 B. Formalin............................................................................................... 5 C. Pengasapan........................................................................................... 6 D. Distilat asap.......................................................................................... 7 E. Mie........................................................................................................ 7 III. METODE PENELITIAN
9
A. Waktu Dan Tempat............................................................................... 9 B. Bahan Dan Alat..................................................................................... 9 C. Prosedur Penelitian................................................................................ 10 D. Rancangan Percobaan............................................................................ 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 18 A. KAJIAN SISTEM PRODUKSI............................................................. 18 1. Tahap Rancang Bangun..................................................................... 18 2. Pengujian Performansi Sistem Produksi Distilat Asap...................... 23 a. Sistem Produksi Distilat Asap....................................................... 23 b. Performansi Sistem Produksi Distilat Asap.................................. 26 c. Rendemen Asap Cair.................................................................... 30 B. TAHAP IDENTIFIKASI KANDUNGAN KIMIA............................... 31
C. TAHAP PENGKAJIAN PENGGUNAAN ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH............................................... 35 1. Pembuatan Mie Basah dan Penambahan Bahan Pengawet................ 35 2. Pengujian Kualitas Mie Basah........................................................... 40 a. Keadaan Fisik Mie........................................................................ 40 b. Kadar Air Mie............................................................................... 48 c. Masa Simpan Mie Basah............................................................... 49 V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 52 A. KESIMPULAN..................................................................................... 52 B. SARAN.................................................................................................. 53 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 54 LAMPIRAN.................................................................................................. 56
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Spesifikasi bahan penyusun alat penyuling asap............... 18 Tabel 2. Hasil pengamatan sistem produksi distilat asap tempurung kelapa............................................................... 26 Tabel 3
Data suhu uap, suhu air dan massa distilat asap................ 27
Tabel 4. Rendemen distilat asap....................................................... 30 Tabel 5. Hasil analisis komponen kimia distilat asap tempurung kelapa............................................................... 31 Tabel 6. Komposisi distilat asap menurut Maga (1988).................. 32 Tabel 7. Komposisi distilat asap menurut Trenggono,dkk.(1996)... 32 Tabel 8. Komposisi fenol distilat asap tempurung kelapa menurut Febriani (2006)..................................................... 33 Tabel 9. Perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol distilat asap tempurung kelapa........................................... 33 Tabel 10. Komposisi kimia sabut kelapa dan batok kelapa (Hanendyo,2005)................................................................ 34 Tabel 11. Komposisi dasar adonan mie basah.................................... 38 Tabel 12. Penambahan bahan pengawet pada percobaan ke-1........... 38 Tabel 13. Penambahan bahan pengawet pada percobaan ke-2 dan ke-3...................................................................... 39 Tabel 14. Tabel Anova untuk warna sampel.................................... 42 Tabel 15. Tabel Anova untuk aroma sampel..................................... 43 Tabel 16. Tabel Anova untuk penampakan sampel.......................... 44 Tabel 17. Tabel Anova untuk rasa sampel......................................... 46 Tabel 18. Tabel Anova untuk tekstur sampel.................................... 47 Tabel 19. Rekapitulasi skor uji organoleptik..................................... 47 Tabel 20. Kadar air mie basah........................................................... 48 Tabel 21. Hasil pengamatan waktu kerusakan mie basah................. 49
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema alat penyulingan distilat asap............................ 11 Gambar 2. Mie pada rak penyimpanan.......................................... 15 Gambar 3. Bagan alir penelitian..................................................... 17 Gambar 4. Alat penyuling di lokasi penelitian............................... 19 Gambar 5. Pemasangan sungkup penangkap asap pada tanur pembakaran......................................................... 19 Gambar 6. Lokasi penelitian .......................................................... 19 Gambar 7. Drum pembakar tempurung kelapa............................... 20 Gambar 8. Sungkup penangkap asap.............................................. 20 Gambar 9. Pipa penyambung.......................................................... 21 Gambar 10. Kerangka pipa pengumpul asap.................................... 21 Gambar 11. Kondensor..................................................................... 22 Gambar 12. Tangki air...................................................................... 22 Gambar 13. Penyiapan bahan baku pembuatan distilat asap............ 23 Gambar 14. (a) Sungkup penangkap asap dan (b) Kondensor.......... 24 Gambar 15. Distilat asap dalam wadah kemasan.............................. 25 Gambar 16. Perbedaan suhu logaritmik alat penyuling.................... 29 Gambar 17. Mesin pembuat mie....................................................... 35 Gambar 18. Pencampuran bahan pada pembuatan mie basah........... 36 Gambar 19. Pembentukan lembaran pada adonan mie basah ........... 36 Gambar 20. Pembentukan mie dengan alat pencetak mie................. 37 Gambar 21. Mie basah...................................................................... 37 Gambar 22. Kelima perlakuan pada penelitian.................................. 37 Gambar 23. Kelima sampel dalam kemasan plastik......................... 40 Gambar 24. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter warna dengan skala penilaian 1-5.................................................................. 41 Gambar 25. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter aroma dengan skala penilaian 1-5.................................................................. 42 Gambar 26. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter penampakan dengan skala penilaian 1-5......................................................... 44
Halaman
Gambar 27. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter rasa dengan skala penilaian 1-5.................................................................. 45 Gambar 28. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter tekstur dengan skala penilaian 1-5.................................................................. 46 Gambar 29. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap waktu kerusakan mie basah............ 50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Syarat Mutu Mie Basah.......................................................56 Lampiran 2. Perhitungan efisiensi penyulingan dan rendemen distilat asap...........................................................................57 Lampiran 3. Perhitungan efisiensi kondensor..........................................58 Lampiran 4. Tabel anova pengaruh perlakuan untuk masa simpan.........59 Lampiran 5. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik warna mie basah..................................................................60 Lampiran 6. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik aroma mie basah..................................................................61 Lampiran 7. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik penampakan mie basah........................................................62 Lampiran 8. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik rasa mie basah.....................................................................63 Lampiran 9
Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik tekstur mie basah………………………………………….64
Lampiran 10. Rekapitulasi data organoleptik……………………………65 Lampiran 11. Form test organoleptik…………………………………….66 Lampiran 12. Data suhu dan massa distilat pada pengukuran efisiensi kondensor………………………………………..67 Lampiran 13. Perhitungan pindah panas kondensor……………………..69 Lampiran 14. Rancangan kondensor yang disarankan…………………...70
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam industri pembuatan arang tempurung kelapa ataupun dengan bahan lainnya, masalah utama yang dihadapi adalah masalah limbah asap. Asap yang ditimbulkan sebagai hasil pembakaran untuk memperoleh arang selama ini belum termanfaatkan secara optimal bahkan lebih banyak terbuang dan mengganggu lingkungan sekitarnya. Padahal, banyak sekali potensi asap ini yang belum banyak diketahui khalayak, salah satunya sebagai bahan pengawet pangan. Memanfaatkan limbah asap pada industri pembuatan arang tempurung kelapa menjadi distilat asap sebagai alternatif bahan pengawet akan menaikkan nilai tambah bagi industri tersebut,
bahkan
dapat
mengatasi
pencemaran
lingkungan
yang
dapat
mengganggu kehidupan masyarakat sekitarnya. Dewasa ini banyak sekali produk makanan dan minuman yang memakai bahan pengawet atau zat aditif yang biasa disebut bahan tambahan makanan (BTM) dalam memproduksinya. Penggunaan formalin, boraks atau zat pewarna berbahaya merupakan isu lama yang seringkali diabaikan oleh kebanyakan konsumen. Pada umumnya, bahan-bahan ini digunakan untuk memperbaiki tekstur, warna, rasa dan tingkat keawetan produk. Tanpa disadari kita tidak banyak tahu tentang bahaya yang terdapat pada makanan dan minuman yang memiliki kandungan bahan tambahan makanan tersebut. Bahan tambahan makanan adalah bahan yang berguna sebagai pelengkap pada suatu bahan. Aditif digunakan untuk menghasilkan fungsi teknologi tertentu, misalnya untuk menambah rasa, warna, melembutkan tekstur, mengawetkan dan seterusnya. Zat aditif pada produk makanan dan minuman berfungsi sebagai bahan yang dapat memperpanjang masa simpan produk serta untuk memperoleh mutu sensoris (cita rasa, warna dan tekstur). Penggunaan bahan tambahan makanan yang berbahaya masih sangat banyak di sekitar kita. Badan Pengawasan Obat dan Makanan menyebutkan, hingga November 2005 ditemukan 935 produk yang diketahui mengandung bahan berbahaya
dari
total
sampel
produk
sebanyak
26.990.
Yang
amat
mengkhawatirkan, hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa beberapa bahan kimia bersifat toksik atau beracun, dan jika digunakan terus menerus dapat
menimbulkan berbagai penyakit bahkan kematian. Penggunaan zat aditif secara berlebihan dapat membahayakan kesehatan karena bahan tersebut ada kemungkinan bersifat mutagenik/karsinogenik yang dapat menimbulkan kelainan genetik seperti kanker, penuaan sel dan kerusakan organ yang lain. Dengan segala risiko yang mungkin terjadi akibat penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya tersebut, sudah saatnya dicari alternatif bahan tambahan pangan lain yang lebih aman untuk digunakan. Hanya saja permasalahannya para produsen makanan memanfaatkan bahan tambahan pangan yang berbahaya dengan alasan untuk menekan biaya produksi. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab bahan-bahan tambahan makanan sintesis jauh lebih murah dibandingkan yang alami. Untuk itulah perlu diusahakan suatu bahan tambahan pangan yang selain aman untuk kesehatan juga murah dan mudah dalam pembuatannya. Salah satu temuan baru dalam teknologi pengawetan bahan pangan adalah distilat asap (liquid smoke). Secara singkat, distilat asap berasal dari pendinginan dan pencairan asap hasil pembakaran tempurung kelapa. Pemilihan distilat asap sebagai suatu usaha dalam mengawetkan produk pangan didasarkan atas beberapa kelebihannya, antara lain flavor yang dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang tinggi, lebih intensif dalam pemberian flavor, kontrol hilangnya
flavor
lebih
mudah,
memperkecil
polusi
lingkungan,
dapat
diaplikasikan pada berbagai jenis produk dan dalam berbagai cara (Maga,1988) Pengasapan merupakan salah satu usaha pengolahan dan pengawetan yang paling tua. Pengasapan berarti menempatkan bahan pangan agar dikenai oleh hasil pembakaran dari suatu bahan tertentu. Tujuan awal dari pengasapan adalah untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan. Dalam perkembangannya, pengasapan dilakukan untuk mendapatkan suatu penampakan bahan pangan ataupun flavor tertentu (Damayanti,2002). Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan distilat asap dengan kandungan senyawa fenol 4,13%, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 %. Distilat asap ini sudah digunakan di Amerika Serikat untuk pengolah daging setelah sebelumnya diendapkan dan disaring untuk memisahkan senyawa
tar. Pasar internasional untuk produk distilat asap ini meliputi AS. Eropa, Afrika, Australia dan Amerika Selatan. B. Tujuan Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan distilat asap tempurung kelapa untuk pengawetan bahan pangan. Sedangkan beberapa tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Merancang sistem produksi distilat asap dan menguji unjuk kinerjanya. 2. Mengidentifikasi kandungan kimia distilat asap tempurung yang dihasilkan 3. Mengkaji pengaruh penggunaan distilat asap terhadap masa simpan produk mie basah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bahan Tambahan Makanan Menurut
Komite
Gabungan
Ahli
FAO
(Food
and
Agriculture
Organization) dan WHO (World Health Organization) zat aditif bahan pangan merupakan suatu substansi bukan gizi yang ditambahkan dalam bahan pangan dengan sengaja, pada umumnya diberikan dalam jumlah sedikit dan bertujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur atau sifat penyimpanannya (Surjana, 2001). Yang dimaksud dengan bahan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme (SK Menkes RI No.722 tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan).
Pada dasarnya, pengawet
dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme atau mencegah proses peluruhan yang terjadi seiring pertambahan waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas yang memadai sebagaimana yang diinginkan. Bagaimanapun juga, penggunaan bahan pengawet dalam pengolahan makanan
harus
tetap
mempertimbangkan
keamanannya.
Ada
beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bahan pengawet untuk dapat digunakan dalam upaya memperpanjang masa simpan produk pangan: (i) tidak mengubah flavor, bau, warna atau tekstur bahan makanan, (ii) aman bagi konsumen pada konsentrasi yang efektif sebagai pengawet atau aman untuk dikonsumi selama masa simpan tertentu, (iii) pengawet harus mudah dikenal dan kadarnya dapat dideteksi secara pasti serta harus memenuhi kebutuhan yang diijinkan (legal), (iv) kualitas bahan makanan harus tidak merugikan konsumen, dan (v) ekonomis. Satu hal yang menjadi kekhawatiran kita dewasa ini penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering terjadi dan penggunaannya telah tersebar sedemikian luasnya sehingga tidak lagi mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen. Sebagai contoh, beberapa kapal penangkap ikan sering menambahkan formalin pada ikan hasil tangkapannya tanpa memikirkan bahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Penambahan formalin oleh nelayan dapat
dilakukan di dalam kapal penangkap ikan atau dapat juga dilakukan setelah kapal merapat di pelabuhan. Pemakaian zat aditif dalam bahan pangan bagi keuntungan konsumen secara teknologi dapat dibenarkan apabila bahan tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut (Surjana, 2001): 1. Dapat mempertahankan kualitas gizi bahan pangan 2. Dapat meningkatkan kualitas atau stabilitas simpan sehingga mengurangi kehilangan bahan pangan 3. Membuat bahan pangan lebih menarik bagi konsumen yang tidak mengarah pada penipuan 4. Diutamakan untuk membantu proses pengolahan bahan pangan. B. Formalin Formalin pertama kali ditemukan di Rusia oleh Alexander Butlerov pada tahun 1859. Formalin atau formaldelhida adalah bentuk aldehid yang paling sederhana (H2CO). Formalin bersifat mudah larut dalam air sampai kadar 55%, sangat reaktif dalam suasana alkalis serta bersifat sebagai zat pereduksi yang kuat, mudah menguap pada suhu ruang karena titik didihnya yang rendah yaitu -21˚C. Formalin biasa digunakan sebagai bahan antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, terutama untuk mensterilkan peralatan kedokteran, desinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, sebagai germisida dan fungisida pada tanaman dan sayuran, serta sebagai pembasmi lalat dan serangga lain serta untuk mengawetkan spesimen biologi termasuk mayat dan kulit. Formalin dapat digunakan sebagai pengawet karena formaldelhida dalam larutan akan berikatan dengan protein dari jaringan sehingga membuatnya keras dan tidak larut dalam air. Formalin memiliki sifat yang sangat reaktif, sangat larut air dalam segala perbandingan, dan larut dalam pelarut yang polar. Formalin merupakan pengawet yang biasa digunakan untuk selain makanan, akan tetapi saat ini penggunaannya sampai pada produk-produk pangan. Formalin memang terbukti mampu memperpanjang umur simpan tahu hingga 4-5 hari hanya dengan perendaman dalam larutan formalin 2% selama 3 menit saja. Padahal tahu yang direndam air hanya akan bertahan selama 1-2 hari saja (Winarno, 2002). Yang menjadi permasalahan, formalin bukanlah merupakan
bahan tambahan makanan (BTM), sehingga penggunaannya tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan berbagai penelitian telah disimpulkan bahwa formalin tergolong sebagai karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya kanker. Padahal, sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan para ahli pangan bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh dipergunakan dalam makanan maupun minuman. C. Pengasapan Pengasapan merupakan pemanfaatan panas dan asap hasil pembakaran. Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan makanan, namun dalam perkembangannya mengalami perubahan yaitu untuk menghasilkan produk dengan aroma tertentu, meningkatkan citarasa, memperbaiki penampilan dan meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girard, 1992). Asap mengandung sejumlah besar senyawa yang terbentuk oleh pirolisis konstituen dari kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin, dan dari hasil ikutan hewani seperti tulang, darah dan sebagainya (Djatmiko et.al., 1985) Metode pengasapan terdiri dari dua cara, yaitu pengasapan tradisional dan pengasapan modern. Pengasapan tradisional dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana. Pengasapan ini terbagi menjadi dua jenis yaitu pengasapan panas (hot smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking) (Hanendyo, 2005). Pengasapan panas suhu 24-40 ˚C dan pengasapan panas dengan suhu 55-80 ˚C. Sedangkan pengasapan moderen merupakan pengasapan dengan fase gas (gas phase smoke) dan dengan distilat asap (liquid smoke). Menurut Daun (1989), berdasarkan pengaruhnya pada nilai gizi produk yang diasap, komponen asap dapat dibagi menjadi empat golongan: a. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan melawan perubahan kimiawi dan biologi yang merugikan (misal; antioksidan dan bakterisida) b. Komponen yang tidak menunjukkan kerja dari segi nilai gizi c. Senyawaan yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menurunkan nilai gizi produk yang diasap d. Komponen beracun
D. Distilat asap Distilat asap didefinisikan sebagai kondensat cair alami dari asap kayu yang diperam dan difiltrasi untuk menghilangkan tar dan partikel-partikel endapan. Distilat asap mengandung lebih dari 400 komponen (Hawley, 1952). Distilat asap ini memiliki fungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri dan sangat aman sebagai pengawet alami. Cara memproduksi distilat asap seperti yang diamati Pszezola (1995) adalah sebagai berikut : bahan pengasap dikeringkan agar kadar airnya konsisten, kemudian dibakar dalam perapian dengan pengontrolan oksigen, kadar air, waktu dan suhu. Gas seperti metana dihilangkan dan digunakan ulang dalam proses pembakaran. Asap kemudian dikondensasi dan dicampur dengan air dingin. Produk kasar ini didiamkan dalam tangki stainless steel selama kurang lebih 10 hari untuk mengendapkan materi tak larut (seperti benzopirena yang merupakan pembentuk senyawa PAH/polisiklik aromatik hidrokarbon) melalui filtrasi multitahap. Produk-produk asap sintetik misalnya distilat asap, konsentrat, minyak, bubuk distilat asap terlarut dan distilat asap cair buffer. Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Distilat asap mengandung senyawa fenol dengan titik didih tinggi yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri sehingga dapat digunakan sebagai pengawet. Proses pengawetan melalui distilat asap ini, sebenarnya sudah dimulai pada 1982 dan diproduksi tahun 1992, tapi peminatnya masih sedikit namun setelah ada isu formalin, banyak industri kecil mulai melirik distilat asap ini. Sokolov et.al. (1972) diacu oleh Daun (1989) menyatakan bahwa mencelupkan pangan dalam distilat asap akan mencegah pembentukan agregat protein pada saat pengeringan sehingga meningkatkan nilai biologis dari produk yang dihasilkan. Disamping itu karena asap memiliki efek antioksidan maka vitamin-vitamin larut lemak yang ada dalam bahan pangan juga dapat terhindar dari degradasi oksidasi (Haras, 2004). F. Mie Mie adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan,
berbentuk khas mie (Dewan Standardisasi Nasional, 1992). Saat ini mie telah digunakan sebagai salah satu pangan alternatif pengganti nasi. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditinjau dari sudut pandang penganekaragaman konsumsi pangan. Dengan demikian, kita akan terhindar dari ketergantungan lepada satu bahan pangan pokok terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2002). Akhir-akhir ini konsumsi mie semakin meningkat. Hal ini didukung oleh berbagai keunggulan yang dimiliki mie, terutama dalam hal tekstur, rasa, penampakan dan kepraktisan penggunaannya. Dengan demikian peluang usaha industri pengolahan mie, baik dalam skala industri kecil maupun industri besar, masih sangat terbuka luas. Mie telah lama digunakan sebagai makanan pokok selain nasi oleh masyarakat Cina. Sekitar abad pertengahan, Marcopolo berhasil menjelajahi Cina dan mempelajari berbagai macam kebudayaan, termasuk pembuatan mie. Aplikasi dari hasil belajar tersebut adalah munculnya makanan khas Italia, spaghetti. Semenjak itu hingga saat ini, mie telah menjadi hidangan yang sangat familiar di berbagai belahan dunia (Pagani, 1985). Jika ditinjau dari segi gizi, mie sarat akan karbohidrat dan zat tenaga (energi) dengan kandungan protein yang relatif rendah. Berdasarkan sumbangan energinya, sebungkus mie telah mencukupi kebutuhan untuk sarapan pagi, namun sangat tidak dianjurkan untuk makan siang. Asupan gizi mie dapat diperbaiki dengan mengkombinasikan bahan-bahan lain dalam penyajiannya (Bahrudin, 1994).
III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2006 sampai dengan bulan Juli 2006. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di industri kecil arang tempurung kelapa di Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea, laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan laboratorium AP4 (Agricultural Processing Pilot Plants) Fateta IPB. B. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Bahan untuk produksi distilat asap; terdiri atas arang tempurung kelapa pada industri kecil penghasil arang tempurung kelapa, air sebagai pendingin pada kondensor. b. Bahan pembuatan mie basah; terdiri dari tepung terigu merek ”Cakra Kembar”, soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat), garam, natrium asetat, kalsium propionat, parabens dan air. 2. Alat-alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian sistem produksi distilat asap ini antara lain: a. Drum sebagai tanur arang b. Alat ekstrasi distilat asap c. Penampung distilat asap d. Pompa air e. Destilator Sedangkan peralatan untuk pembuatan mie dan analisis meliputi : a. Cawan petri b. Timbangan digital c. Mesin pencetak mie d. Tungku perebusan mie e. Loyang
C. PROSEDUR PENELITIAN Dalam penelitian ini akan dilakukan tiga tahapan utama yakni tahapan rancang bangun alat produksi distilat asap, tahapan identifikasi kandungan kimia distilat asap serta tahapan pengkajian penggunaan distilat asap sebagai bahan pengawet mie basah. Diagram alir penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Sistem produksi distilat asap yang akan digunakan pada penelitian ini adalah sistem produksi yang efisien dan mudah pengoperasiannya serta tidak mengganggu proses pembuatan arang yang sedang berlangsung. Rancangan alat terdiri dari sungkup penangkap asap, pipa pengumpul asap, kondesor tipe ‘tubular condensor’ dengan pipa pendingin, penampung distilat asap, pompa air dan tangki air serta menara air sebagai penyedia air pendingin. Pengujian performansi alat meliputi analisis neraca bahan, laju pengeluaran distilat asap (liter/jam), laju air pendingin (liter/jam), suhu uap masuk dan keluar kondensor, kehilangan panas melalui kondensor, dan efisiensi penyulingan. Distilat asap yang dihasilkan akan diidentifikasi kandungan kimianya baik dalam bentuk distilat asap kasar (crude liquid smoke) maupun setelah melalui proses redestilasi di laboratorium. Selanjutnya akan dikaji penggunaan distilat asap hasil redestilasi sebagai pengawet mie basah, dalam hal ini mie basah yang akan digunakan adalah produk mie basah yang diproduksi sendiri. 1. Tahap Rancang Bangun Bahan yang digunakan untuk pembuatan sistem penyulingan distilat asap terdiri dari besi plat esser dengan ketebalan 2 mm untuk sungkup penangkap asap, pipa besi diameter 3 inchi untuk pengumpul asap, besi galvanis diameter 2½ inchi untuk kondensor, besi siku 4x4 cm untuk menara air, pompa air dan tangki air. Bagian-bagian utama dari alat produksi distilat asap ini adalah tanur tempat pembakaran tempurung kelapa, sungkup penangkap asap, pipa penyalur asap, dan kondensor. Selain itu untuk mensuplai air ke kondensor dibuat juga suatu menara air. Rancangan sistim penyulingan distilat asap secara skematik diperlihatkan pada Gambar 1.
Kondensor Pipa penyalur asap
Saluran Pengeluaran Distilat
Rangka Penyangga
Tanur Pembakaran
Gambar 1. Skema alat penyulingan distilat asap Pengujian performansi sistem produksi asapa cair ini dilakukan untuk mengetahui kinerja alat yang meliputi analisis neraca bahan, laju pengeluaran distilat asap (liter/jam), laju air pendingin (liter/jam), suhu uap masuk dan keluar kondensor, efisiensi kondensor, dan efisiensi penyulingan. Perlakuan yang akan dicobakan adalah jumlah tanur tempurung kelapa (2,3,dan 4 tanur). Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Respon yang diamati adalah efisiensi kondensor (Ek) dan efisiensi penyulingan (Ep) serta rendemen distilat asap yang dihasilkan (R). a). Efisiensi Kondensor Energi yang dilepaskan oleh uap air pada waktu mengembun di dalam kondensor dapat dihitung dengan persamaan berikut (Welty, 1978): Qu = Mu * C * (Tu – Td) + Mu* Ke Sedangkan energi yang diserap air pendingin adalah: Qa = Ma * C * (Tk – Tm) Dimana:
Qu = energi yang dilepas uap air, kJ Qa = energi yang diserap air pendingin
Mu = massa air distilat, kg Ma = massa air pendingin, kg C = kalor jenis air, 4190 J/kgoC Tu = suhu uap masuk kondensor, oC Td = suhu distilat keluar kondensor, oC Tm = suhu air pendingin masuk kondensor, oC Tk = suhu air pendingin keluar kondensor, oC Ke = kalor laten pengembunan, J/kg Jadi efisiensi kondensor dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: Efisiensi Kondensor (Ek) =
Energi yang dilepas uap
_____________________________
x 100% Energi yang disediakan air
b). Efisiensi Penyulingan (Ep) Untuk menentukan efisiensi penyulingan, harus diketahui jumlah uap air aktual yang terdapat pada tempurung kelapa yang akan dibakar: ∑ uap aktual = [ ∑ air tempurung - ∑ air arang ] Ua = [ (KAt x berat tempurung) – (KAa x berat arang) ] Selanjutnya, jumlah uap aktual ini dibandingkan dengan jumlah distilat yang dihasilkan pada proses penyulingan: Efisiensi penyulingan (Ep) = ( ∑ distilat / Ua) x 100%
c). Rendemen Distilat asap Jumlah distilat asap yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah kandungan air pada tempurung kelapa : Jumlah distilat asap Rendemen =
x 100% Jumlah bahan tempurung kelapa
2. Tahap Identifikasi Kandungan Kimia Pada tahap ini akan dilakukan pengujian terhadap kualitas distilat asap yang dihasilkan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, kandungan kimia yang paling berpengaruh dalam penentuan kualitas distilat asap adalah senyawa fenol. Selain itu juga akan dilakukan pengukuran nilai pH distilat asap yang dihasilkan, total asam organik, kandungan alkohol, aldehid dan keton. Penentuan kadar fenol dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Siapkan sampel 0.5-0.6 gr + 30 ml aquades, masukkan dalam labu 250 ml b. Tambahkan 5 ml NaOH 0.2 N, encerkan sampai dengan tanda garis c. Ambil sebanyak 25 ml dengan pipet, masukkan dalam Erlenmeyer 500 ml d. Tambahkan 25 ml Bromat bromida 0.2 N, 50 ml aquades, 5 ml HCl pekat, tutup lalu goyangkan 1 menit agar homogen. e. Tambahkan 5 ml KI 15%, goyang 1 menit f. Titrasi dengan thio (Na2S2O3) 0.1 N (a ml) dengan amilum sebagai indikator, bila warna berubah dari hitam menjadi bening g. Siapkan pula blanko (b ml) dengan prosedur sama tanpa sampel Kadar fenol dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : KadarFenol =
Dimana :
[(b − a ) x NThio x BM Fenol /6 x1000] 0.1 x bobot contoh
a = ml titrasi larutan thio pada blanko b = ml titrasi larutan thio pada filtrat 6 = jumlah atom Brom pada proses bromisasi 5-30 menit
3. Tahap Pengkajian Penggunaan Distilat Asap sebagai Pengawet Mie Basah Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan distilat asap sebagai pengawet pada bahan pangan. Pada tahap ini bahan pangan yang akan digunakan adalah mie basah yang diproduksi sendiri. Untuk itu sebelumnya akan dilakukan pembuatan sampel mie dengan prosedur sebagai berikut : a).Pencampuran bahan; bahan-bahan yang telah disiapkan dicampurkan seluruhnya hingga terbentuk adonan homogen, adonan ini diberi perlakuan
penambahan bahan pengawet dengan dua taraf perlakuan. Yang pertama adalah penambahan distilat asap dengan konsentrasi 300, 900 dan 1500 ppm dari berat keseluruhan adonan. Kemudian yang kedua adalah penambahan 0.075% CaPropionat, 2.5% Na-Asetat dan 0.025% Paraben. Sebagai kontrol adalah tanpa penambahan bahan pengawet. b).Pengulenan adonan; pengulenan dengan silinder kayu berulang selama 15 menit c).Pembentukan lembaran; adonan dimasukkan ke mesin pembentuk lembaran dengan mengatur ketebalan selama 20 menit d).Pembentukan mie; dilakukan dengan alat pencetak mie (roll press) e).Perebusan; masak mie pada api besar selama 2 menit sambil diaduk perlahan f).Pendinginan; tiriskan mie hasil rebusan kemudian dinginkan Setelah mie selesai dibuat, sampel mie diambil sebanyak 500 gram dan akan dilakukan pengamatan dengan faktor-faktor yang diamati sebagai berikut:
a. Keadaan fisik mie Berdasarkan standar mutu mie dari Departemen Perindustrian (Astawan, 2002), mie yang bermutu baik harus memiliki keadaan bau, warna dan rasa yang normal. Artinya mie tersebut harus tetap dalam kondisi yang baik, dengan target masa simpan selama 48 jam. Pengamatan akan dilakukan dengan tes organoleptik dengan uji hedonik (kesukaan) menggunakan 30 orang panelis dengan skala penilaian 1-5 terhadap warna, aroma, penampakan, rasa dan tekstur sampel. Skala penilaian diberikan untuk sampel dengan keterangan sebagai berikut: nilai 1 diberikan untuk tingkat sangat tidak suka, nilai 2 untuk tingkat tidak suka, nilai 3 untuk kurang suka, nilai 4 untuk tingkat suka serta nilai 5 untuk tingkat sangat suka. Sebelum digunakan pada tes organoleptik, sampel direbus terlebih dahulu. Perebusan ini dilakukan dengan menggunakan air mendidih selama 2 menit. Setelah ditiriskan dan didinginkan, tanpa penambahan bahan lainnya, tiap sampel kemudian masing-masing ditempatkan pada wadah plastik transparan untuk disajikan pada panelis. Dengan 5 perlakuan dan 30 orang panelis, maka jumlah keseluruhan sampel pada uji organoleptik berjumlah 150 buah.
b. Kadar air mie Mie basah yang baik harus memiliki kadar air antara 20-35 % basis basah. Semakin tinggi kadar air maka masa simpannya akan semakin singkat. Pengukuran kadar air akan dilakukan dengan metode oven. Sampel diambil sebanyak 5 gram dan diletakkan pada cawan sebanyak 3 kali ulangan. Oven diset pada suhu 105˚ C. Pengukuran kadar air dilakukan dalam persen basis basah dan dihitung dengan rumus : K.A (% bb) = [(A – B) / A] x 100% Dimana ;
A = berat bahan sebelum dikeringkan (gram) B = berat bahan setelah dikeringkan (gram)
c. Masa simpan mie basah Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan kondisi mie dengan selang pengamatan tiap satu hari. Kondisi mie yang diamati adalah hingga mie menunjukkan gejala kerusakan fisik yang berbeda dengan kondisi semula. Hal ini dapat ditentukan saat indikator kerusakan yang pertama muncul pada sampel mie. Beberapa indikator kerusakan yang biasa timbul pada produk mie diantaranya tumbuhnya kapang, bau asam, timbulnya lendir (mie menjadi lengket), serta perubahan tekstur. Mie disimpan pada suhu kamar di rak penyimpanan. Pengemasan sampel mie yang diamati dilakukan dengan menggunakan wadah plastik transparan pengemas makanan yang umum digunakan sebagai pembungkus. Untuk mengamati kerusakan yang terjadi, wadah diambil kemudian diperhatikan kondisi mie untuk melihat pertumbuhan kapang atau timbulnya lendir serta dengan sedikit membuka wadah untuk mencium baunya.
Gambar 2. Mie pada rak penyimpanan
D. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan model linier aditif. Jumlah perlakuan sebanyak 2 yakni perlakuan penambahan pengawet kimia dengan 1 taraf yakni penambahan Ca-propionat 0.075% + Paraben 0.025% + Na-Asetat 2.5%, serta perlakuan penambahan distilat asap dengan 3 taraf yakni 150 ppm, 900 ppm dan 1500 ppm. Model matematikanya adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij Dalam hal ini : Yij = hasil pengawatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = perata umum αi = penyimpangan hasil dari nilai µ yang disebabkan oleh pengaruh perlakuan ke-i εij = pengaruh acak yang masuk ke dalam percobaan Apabila hasilnya menunjukkan berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut Duncan.
Secara umum, prosedur penelitian adalah sebagai berikut :
Industri Arang
Asap
Penyulingan
Distilat asap
Pengawet Mie Basah
Perlakuan Penambahan Distilat asap Dengan konsentrasi 300, 900, 1500 ppm
Perlakuan Penambahan 0.075% Ca-Propionat 2.5% Na-Asetat 0.025% Paraben
Penyimpanan Suhu Ruang
Pengamatan : Organoleptik Kadar Air Masa simpan
Gambar 3. Bagan alir penelitian.
Kontrol Tanpa Penambahan Bahan Pengawet
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KAJIAN SISTEM PRODUKSI 1. Tahap Rancang Bangun Langkah pertama dalam penelitian ini adalah merancang suatu sistem penyulingan asap untuk mendapatkan distilat asap. Alat yang dirancang merupakan alat yang didesain untuk skala industri kecil, bukan skala laboratorium. Sehingga dimensi alat yang dibuat cukup besar. Untuk itu diperlukan bahan-bahan penyusun alat yang sesuai untuk kebutuhan tersebut. Spesifikasi bahan-bahan penyusun alat penyuling asap ini adalah sebagai berikut: Tabel 1. Spesifikasi bahan penyusun alat penyuling asap
No. Bahan 1 Plat esser 2 Pipa besi
Spesifikasi 2 mm Ø 3 inci
Jumlah 2 lembar 2 unit @ 6 meter
4 5
Besi galvanis Ø 2,5 inci 2 unit @ 6 meter Besi siku 4 cm x 4 cm 25 meter Pompa air 125 watt, 2850 rpm 1 unit
6 7 8
Tangki air Selang air Cat besi
3
Volume 350 liter 4 meter Warna perak
1 unit 2 unit disesuaikan
Bahan-bahan tersebut kemudian dibuat menjadi bagian-bagian alat penyuling di bengkel perakitan alat AP4 Fateta untuk kemudian dirangkai secara utuh menjadi alat penyuling di lokasi industri tempurung kelapa di Desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea. Sebelumnya, dimensi alat telah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lokasi industri, yang meliputi luasan area, jumlah tanur pembakaran, ergonomika untuk operator, ukuran tanur, serta kapasitas produksi harian. Alat penyuling ini terdiri atas beberapa bagian dengan fungsi-fungsi tertentu. Bagian-bagian utama dari alat produksi distilat asap cair ini adalah tanur tempat pembakaran tempurung kelapa, sungkup penangkap asap, pipa penyalur asap, dan kondensor. Selain itu untuk mensuplai air ke kondensor dibuat juga suatu menara air. Sumber air diperoleh dengan pompa air yang mengambil air dari sumur berkedalaman 5 meter.
Berikut ini adalah gambar alat penyuling asap di lokasi industri.
Gambar 4. Alat penyuling di lokasi penelitian.
Gambar 5. Pemasangan sungkup penangkap asap pada tanur pembakaran.
Gambar 6. Lokasi penelitian.
Deskripsi dari beberapa bagian penting pada alat penyuling asap secara lengkap adalah sebagai berikut:
a. Drum Bagian ini berfungsi sebagai tanur pembakaran. Drum yang digunakan sudah terdapat pada lokasi industri karena telah digunakan sebagai sarana produksi arang tempurung kelapa. Pada tiap unit pembakaran terdapat 4 buah tanur. Tanur diletakkan di tanah dengan jarak antar drum 25 cm. Ukuran drum seragam dengan diameter 60 cm, tinggi 90 cm dan volume 250 liter. Drum ini memiliki lubang kecil pada bagian bawahnya sebagai saluran udara masuk ketika pembakaran.
Gambar 7. Drum pembakar tempurung kelapa
b. Sungkup Bagian ini memiliki fungsi sebagai penutup tanur untuk menangkap asap hasil pembakaran. Sungkup terbuat dari plat esser dengan ketebalan 2 mm. Pemilihan ukuran plat dimaksudkan agar plat mudah dilas dan mampu menahan kerangka pipa pengumpul asap. Bentuk sungkup berupa kerucut dengan diameter bawah 70 cm, diameter atas 6.25 cm dan memiliki tinggi 30 cm. Sungkup tersebut disambungkan dengan pipa berdiameter 6.25 dengan tinggi 16 cm dan ditengahnya terdapat pengait.
Gambar 8. Sungkup penangkap asap
c. Pipa penyambung Bagian ini menghubungkan antara sungkup dengan Pipa penyambung terdiri dari dua ukuran pipa yaitu pipa dengan diameter 7.5 cm dengan ketinggian 15 cm dan pipa berdiameternya 6.25 cm dengan ketinggian 30 cm. Kedua ukuran pipa tersebut dirancang untuk disesuaikan dengan ukuran sungkup dan kerangka pengumpul asap.
Gambar 9. Pipa penyambung.
d. Kerangka pipa pengumpul asap Kerangka pipa terdiri dari dua ukuran pipa yaitu 6.25 cm dan 7.5 cm. Pemilihan pipa dengan dua ukuran tersebut dimaksudkan agar pipa 6.25 cm dapat masuk secara tepat ke pipa 7.5 cm sehingga tidak banyak asap yang terbuang. Disamping kanan dan kiri kerangka pipa pengumpul asap terdapat penyangga yang terbuat dari besi siku dengan ukuran 4x4 cm dengan ketinggian 191.98 cm
Gambar 10. Kerangka pipa pengumpul asap
e. Kondensor Kondensor yang dirancang untuk mengkondisikan asap terdiri dari dua pipa pendingin didalamnya. Hal ini bertujuan untuk menghambat laju uap yang masuk ke kondensor sehingga proses kondensasi menjadi sempurna. Bahan dari pipa pendingin terbuat dari pipa galvanis sehingga tahan karat. Panjang kondensor 180 cm dengan panjang pipa pendingin 140 cm. Selain itu didalam kondensor terdapat ruangan yang berfungsi sebagai penampung asap sehingga laju asap menjadi lambat dan hasil kondensasinya menjadi sempurna.
Gambar 11. Kondensor
f. Tangki dan menara air Tangki air yang digunakan dalam rancangan memiliki volume 350 ml. Ketinggian tangki lebih tinggi dari tinggi kondensor. Hal ini bertujuan agar air yang berfungsi sebagai pendingin dapat mengalir secara gravitasi ke kondensor. Bahan yang digunakan untuk menara terbuat dari besi siku 4x4 cm. Menara air tersebut terdiri dari 4 penyangga dengan jarak antar penyangga adalah 1 m dan memiliki ketinggian 3 m.
Gambar 12. Tangki air
2. Pengujian Performansi Sistem Produksi Distilat Asap Pengujian performansi sistem produksi distilat asap ini dilakukan untuk mengetahui kinerja alat yang meliputi analisis neraca bahan, laju pengeluaran distilat asap cair (liter/jam), laju air pendingin (liter/jam), suhu uap masuk dan keluar kondensor dan efisiensi kondensor. Perlakuan yang dicobakan adalah jumlah tanur tempurung kelapa (2, 3,dan 4 tanur). Percobaan masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Respon yang diamati adalah rendemen distilat asap cair yang dihasilkan (R) dan efisiensi penyulingan (Ep).
a. Sistem Produksi Distilat Asap Sistem produksi distilat asap yang dilakukan pada industri kecil arang tempurung kelapa di Desa Cihideungudik Kecamatan Ciampea Bogor yang diamati selama penelitian ini, memanfaatkan prinsip proses penyulingan atau destilasi. Produk utama yang dihasilkan industri kecil ini adalah arang tempurung kelapa yang disuplai ke industri pengecoran besi di Cilegon sebagai sumber karbon. Dalam satu hari industri tersebut mampu menghasilkan 4 hingga 5 kuintal arang tempurung kelapa sehingga dalam satu bulan industri ini mampu menghasilkan 10 – 12.5 ton arang untuk memenuhi permintaan pabrik pengecoran besi di Cilegon tersebut. Pembakaran arang dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sampai disini proses pembakaran berhenti, setelah itu tanur pembakaran ditutup dengan rapat. Selanjutnya, pembakaran dilanjutkan keesokan harinya pada waktu yang sama di pagi hari hingga keseluruhan proses pembuatan arang selesai pada pukul 14.00 WIB. Total waktu yang dibutuhkan untuk membuat arang tempurung kelapa adalah 16 jam.
Sortasi tempurung kelapa
Pengeringan tempurung kelapa
Pembakaran tempurung kelapa
Gambar 13 . Penyiapan bahan baku pembuatan distilat asap
Bahan baku pembuatan arang pada industri berupa tempurung kelapa, diambil dari pedagang kelapa di beberapa pasar di Wilayah Bogor. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 12, ada beberapa langkah sebelum produksi arang dan distilat asap. Langkah pertama adalah sortasi bahan, yakni memisahkan bahan tempurung kelapa dari kotoran dan benda asing lainnya. Selanjutnya bahan baku tempurung kelapa dikeringkan dengan cara dijemur untuk menurunkan kadar air yang masih tinggi. Hal ini dimaksudkan supaya arang tempurung kelapa yang dihasilkan seragam dan memiliki kualitas yang baik. Selanjutnya, tempurung kelapa dibakar pada tanur pembakaran berupa drum volume 250 liter dengan suhu rendah. Kondisi di dalam tanur pembakaran dikondisikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kobaran api. Caranya ialah dengan memasukan bahan baku secara bertahap sehingga yang terjadi hanya asap hasil pembakaran. Proses pembakaran pada tanur pembakaran akan menghasilkan asap. Asap ini ditangkap oleh sungkup dari alat penyuling untuk selanjutnya disalurkan menuju kondensor. Kemudian, asap ini dikondensasikan pada kondensor dengan memanfaatkan media pendingin air. Di dalam kondensor arah aliran air pendingin adalah berlawanan dengan arah aliran asap. Distilat asap dikeluarkan melalui pipa pengeluaran di ujung kondensor dan ditampung menggunakan wadah sebelum disaring dan dikemas untuk diendapkan.
(a)
(b)
Gambar 14. (a) Sungkup penangkap asap dan (b) Kondensor. Kelemahan yang masih terjadi pada sistem produksi distilat asap ini adalah asap yang dihasilkan dari pembakaran tidak seluruhnya dapat dialirkan ke kondensor. Sebagian asap tersebut telah terkondensasi pada pipa saluran pengumpul asap sehingga distilat asap yang dihasilkan menetes kembali ke tanur
pembakaran tempurung kelapa. Hal ini dikarenakan posisi pipa saluran pengumpul asap sejajar dengan tanur pembakaran, sehingga menyebabkan asap yang terkondensasi pada saluran ini terakumulasi kemudian mengalir kembali menuju tanur pembakaran. Selain itu, jumlah asap yang dihasilkan tidak sebanding dengan diameter pipa menuju kondensor yang masih terlalu kecil. Hal ini mengakibatkan asap telah terkondensasi bahkan sebelum masuk ke dalam kondensor. Selanjutnya, setelah proses kondensasi, distilat asap ditampung pada wadah plastik (jerigen) berbagai ukuran dan disimpan untuk diendapkan. Proses pengendapan ini dilakukan di lokasi industri. Pengendapan dilakukan untuk memisahkan fraksi tar berat dan fraksi campuran antara tar ringan dan cairan distilat (Sari, 2004). Berdasarkan pengamatan, semakin lama pengendapan dilakukan, kualitas distilat akan semakin baik, karena pemisahan fraksi tar berat dan fraksi campuran antara tar ringan dan cairan distilat akan semakin baik. Kemudian dilakukan proses penyaringan sebelum distilat asap dapat dimanfaatkan sebagai pengawet atau disenfektan. Proses penyaringan dilakukan 2-3 kali dengan menggunakan kertas saring. Hal ini bertujuan untuk memisahkan partikel-partikel kasar yang ada pada distilat asap selain itu penyaringan juga dapat menjadikan warna distilat asap menjadi bening.
Gambar 15 . Distilat asap dalam wadah kemasan
b. Performansi Sistem Produksi Distilat Asap Secara umum, pengujian performansi alat sistem produksi distilat asap dilakukan untuk mengetahui analisis neraca bahan, laju pengeluaran distilat asap (liter/jam), laju air pendingin (liter/jam) dan efisiensi penyulingan yang dilakukan dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada jumlah tanur pembakaran yang digunakan yaitu 2, 3 dan 4. Tabel 2. Hasil pengamatan sistem produksi distilat asap tempurung kelapa Jumlah
tanur
Jumlah bahan (Kg)
KA Bahan (%)
Waktu Pembaka ran
Laju Laju air
distilat
(Ltr/jam)
(Ltr/
(jam)
Jumlah arang
KA
Distilat
Arang
Asap
Efisiensi penyuling an
(Kg)
(%)
(Liter)
(%)
jam)
2
333
17.9
16
98.4
2.04
83
8.84
6.9
13,21
3
526
20.23
16
79.88
2.38
133
10.21
11.04
11,89
4
842
22.43
16
79.39
2.9
210
11.63
17.68
10,75
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa perbedaan jumlah tanur tidak berpengaruh terhadap laju distilat asap sehingga distilat asap yang dihasilkannya tidak berbeda jauh. Hal ini dikarenakan pengukuran laju distilat asap dilakukan pada saat awal pembakaran sehingga jumlah asap yang masuk ke kondensor baik yang menggunakan 2, 3, maupun 4 tanur hampir sama. Selain itu juga laju distilat asap dipengaruhi oleh suhu air pendingan, semakin dingin air yang digunakan sebagai media pendingin maka semakin besar pula laju distilat asapnya. Laju air pendingin relatif tetap karena air dialirkan dengan sistem gravitasi. Air dialirkan dari penampung air menuju pipa pemasukan pada kondensor dengan menggunakan selang. Efisiensi penyulingan dapat diketahui dengan cara membandingkan jumlah uap yang terkondensasi dengan jumlah uap air pada tempurung kelapa dan dikalikan dengan 100%. Jumlah uap air pada tempurung kelapa dapat ditentukan dengan cara mengurangi kadar air bahan sebelum pembakaran dengan kadar air arang setelah proses pembakaran kemudian dikalikan dengan jumlah bahan baku yang digunakan. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa efisiensi penyulingan untuk perlakuan 4 tanur adalah 10,75%, efisiensi penyulingan untuk 3 tanur adalah 11,89% dan efisiensi penyulingan untuk 2 tanur sebesar 13,21%
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kondensor yang dirancang pada penelitian ini hanya efektif untuk 1 atu 2 tanur pembakaran saja. Hal ini diduga karena semakin sedikit jumlah tanur yang digunakan maka asap yang dihasilkannya banyak yang terkondensasi oleh kondensor, lain halnya dengan jumlah tanur yang banyak maka semakin banyak asap yang keluar melalui celahcelah sambungan dan terkondensasi sebelum masuk ke kondensor. Selain itu dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa perbandingan bahan baku yang digunakan dengan arang yang dihasilkan adalah 1:4 dengan rendemen distilat asap rata-rata 2.087%. Untuk menghasilkan sebanyak mungkin distilat asap sebaiknya digunakan bahan baku dengan kadar air yang tinggi. Hanendyo (2005) mengungkapkan, tingginya kandungan air dalam bahan baku sangat berpengaruh terhadap rendemen distilat asap yang dihasilkan. Semakin tinggi kandungan kadar air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah rendemen distilat asap yang dihasilkan. Selain itu semakin panjang kondensor yang digunakan maka kemungkinan mengkondensasikan asap hasil pembakaran dalam proses ekstrasi distilat asap akan lebih optimal. Hal ini dikarenakan asap dapat bergerak lebih lama dalam kondensor sehingga asap hasil pembakaran tersebut mengalami proses kondensasi yang lebih lama. Selanjutnya, dilakukan pengukuran efisiensi kondensor. Untuk mengukur efisiensi kondensor ini diperlukan data mengenai keadaan kondensor. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 yang diambil pada pembakaran dengan 4 tanur. Tabel 3. Data suhu uap, suhu air dan massa air pendingin dan massa uap. Ulangan
Menit 20 1 40 60 20 2 40 60 20 3 40 60 Rataan
Tu 64.3 65.8 71.3 71.3 69.3 68.5 68.6 41.7 44.9 62.86
Tk 58.3 58.7 58.8 59.2 59.8 59.8 60.1 49.6 42.8 56,34
Tm 27.1 27.5 28.4 28.5 28.3 28.7 29.1 28 27.3 28,1
Td 37.3 38.3 38.8 39.5 39 38.5 38.2 34.1 29.5 37,02
Mu
Ma
16,44
79.39
16,44
79.39
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termokopel, sementara massa distilat didapatkan dengan menampung distilat asap pada suatu wadah selama satu jam, kemudian ditimbang massanya. Hasil pengukuran menghasilkan data suhu uap masuk kondensor rata-rata sebesar 62,86 ˚C, suhu distilat keluar kondensor rata-rata sebesar 37,02 ˚C, suhu air masuk kondensor rata-rata sebesar 28,1 ˚C, suhu air keluar kondensor rata-rata sebesar 56,34 ˚C. Data
tersebut
kemudian
dimasukkan
dalam
perhitungan
dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Welty,1978) : Qu = Mu * Cu * (Tu – Td) + Mu* Ke Qa = Ma * Ca * (Tk – Tm) Qu = energi yang dilepas uap air, kJ
Dimana:
Qa = energi yang diserap air pendingin, kJ Mu = massa uap air, kg/jam Ma = massa air pendingin, kg/jam Cu = kalor jenis uap air, Ca = kalor jenis air, 4190 J/kgoC Tu = suhu uap masuk kondensor, oC Td = suhu distilat keluar kondensor, oC Tm = suhu air pendingin masuk kondensor, oC Tk = suhu air pendingin keluar kondensor, oC Ke = kalor laten pengembunan, J/kg
Efisiensi Kondensor =
Energi yang dilepas uap
_____________________________
Energi yang diserap air
x 100%
Hasil perhitungan efisiensi kondensor (Lampiran 3) menunjukkan bahwa kondensor yang digunakan pada penelitian ini memiliki efisiensi sebesar 7,94 %. Nilai ini sangat kecil dan menunjukkan bahwa kondensor dengan spesifikasi dan rancangan seperti dalam penelitian ini belum efisien untuk digunakan. Angka ini menunjukkan bahwa kondensor ini hanya efektif digunakan untuk 1 atau 2 tanur pembakaran.
Dari keadaan kondensor di atas dapat disusun grafik perbedaan suhu logaritmik seperti pada Gambar 16 berikut ini: ai
uo
ui
ao
Suhu (˚C) Tui 62,86 Tao 56,34
Tuo 37,02
Tai 28,1 0
1,8 Panjang Kondensor (m)
Gambar 16. Perbedaan suhu logaritmik alat penyuling Sehingga, perbedaan suhu logaritmiknya dapat dihitung sebagai berikut:
∆TLMTD = =
(Tu – Tk) – (Td – Tm) Ln (Tu – Tk) / (Td – Tm) (62,86 – 56,34) – (37,02 – 28,1) = 7,66 ˚C Ln [(62,86 – 56,34) / (37,02 – 28,1)]
Dengan menggunakan perhitungan pada Lampiran 12, angka perbedaan suhu logaritmik ini digunakan untuk mengetahui luas penampang pindah panas kondensor yang seharusnya digunakan. Luas penampang pindah panas pada kondensor secara teoritis seharusnya sebesar 6.95 m2. Sedangkan luas penampang aktual pada kondensor di alat penyuling pada penelitian ini adalah sebesar 0,0875 m2. Dari perhitungan ini terlihat bahwa luasan pindah panas pada kondensor belum memenuhi kebutuhan luasan yang sesungguhnya, bahkan masih terpaut jauh.. Rancangan kondensor yang disarankan disajikan pada Lampiran 14.
c. Rendemen Asap Cair Pada langkah ini jumlah distilat asap yang dihasilkan dibandingkan dengan jumlah kandungan air pada tempurung kelapa : Jumlah distilat asap x 100% Jumlah bahan tempurung kelapa Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 4. Rendemen distilat asap Tanur
Jumlah
Lama
Jumlah
Rendemen
bahan (kg) Pembakaran (jam) distilat (kg)
(%)
2 tanur
333
16
6,9
2,07
3 tanur
526
16
11,04
2,09
4 tanur
842
16
17,68
2,10
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa rendemen distilat asap masih sangat kecil jika dibandingkan dengan arang tempurung ataupun bahan yang digunakan.
Hal
ini
disebabkan
masih
banyaknya
asap
yang
tidak
terkondensasikan, atau terlepas begitu saja ke udara. Jumlah asap yang dikondensasikan sangat sedikit dibandingkan asap yang lolos dari kondensor atau lewat sela-sela tanur pembakaran maupun pipa penghubung. Hasil perhitungan ini bisa dikatakan sesuai dengan hasil perhitungan efisiensi kondensor dan efisiensi penyulingan yang menghasilkan jumlah yang masih kecil. Dengan efisiensi kondensor yang hanya sebesar 7,94 % serta efisiensi penyulingan yang hanya berkisar antara 10,75% hingga 13,21% amat wajar jika distilat asap yang dihasilkan pun masih amat kecil. Hal ini dikarenakan kondisi alat secara keseluruhan memiliki perbedaan pada masing-masing waktu pembakaran. Sebagai contoh, ketika awal pembakaran, asap yang dihasilkan akan sangat melimpah, sedang pada pertengahan dan akhir, jumlah asapnya tidak sebanyak kondisi awal tersebut. Sementara, berdasarkan observasi di lokasi industri, berdasarkan data yang diperoleh dari penampungan distilat asap setiap harinya, jumlah distilat yang dihasilkan dapat mencapai kisaran 17 hingga 20 liter per hari dari sekitar 800 kg tempurung kelapa yang dibakar.
B. TAHAP IDENTIFIKASI KANDUNGAN KIMIA Pada tahap ini dilakukan analisis kimia untuk mengetahui kandungan kimia dari distilat asap hasil penyulingan. Kandungan kimia ini kemudian akan digunakan untuk menentukan kualitas distilat asap yang dihasilkan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya, kandungan kimia yang paling berpengaruh dalam penentuan kualitas distilat asap adalah senyawa fenol. Selain itu juga akan dilakukan pengukuran total asam organik, serta kandungan alkohol. Berdasarkan hasil analisis kimia di laboratorium, dihasilkan data kandungan kimia distilat asap tempurung kelapa pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 5. Hasil analisis komponen kimia distilat asap tempurung kelapa No
Komponen kimia
Kandungan
Persentase
1
Total Fenol
5,5 gr / 100 gr
5,5 %
2
Methyl Alkohol
0,37 gr / 100 gr
0.37 %
3
Total Asam
7,1 ml / 100 ml
7,1%
Seperti yang terlihat pada tabel di atas, kandungan fenol dalam distilat asap tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar 5,5%. Kandungan methyl alkoholnya sebesar 0,37% dan total asam yang terdapat dalam distilat asap tempurung kelapa ini adalah sebesar 7,1%. Dari ketiga senyawa yang dianalisis tersebut, fenol dapat digunakan sebagai patokan dalam menentukan efektivitas pengasapan, karena sifatnya yang bakterisidal, sehingga mempunyai daya pengawet. Fenol juga berperan dalam menimbulkan rasa dan aroma yang khas dari produk asap. Selain itu, asam-asam organik (asam asetat dan asam format) yang melekat dan masuk ke dalam produk asap dapat menurunkan pH sehingga suasana pH produk akan menjadi rendah dan pertumbuhan bakteri akan terhambat (Nurhayati, 2000). Penelitian tentang komposisi asap pertama kali dilakukan oleh Pettet dan Lane pada tahun 1940. Mereka mendapati sekitar 1000 jenis senyawa kimia yang terkandung di dalam asap, 300 diantaranya telah dapat diidentifikasi. Senyawasenyawa yang dapat dideteksi diantaranya: 85 jenis fenol dalam kondensat dan 20 jenis dalam asap, 45 jenis karbonil, keton, aldehid, 35 jenis asam, 11 macam
furan, 15 macam alkohol dan ester, 13 macam lakton serta hidrokarbon alifatik sebanyak 1 jenis dalam kondensat dan 20 jenis dalam asap (Djatmiko,1985). Maga (1988) menyebutkan bahwa komposisi distilat asap adalah sebagai berikut: Tabel 6. Komposisi distilat asap menurut Maga (1988) Komposisi Kimia Persentase (%) Air
11 - 92
Fenol
0.2 - 2.9
Asam
2.8 – 4.5
Karbonil
2.6 – 4.6 1 - 17
Ter
Trenggono,dkk (1996) menyatakan bahwa distilat asap mengandung 7 komponen dominan yakni fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-metoksifenol, 2metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol, 2,5-dimetoksi benzil alkohol. Mereka juga menemukan bahwa dari beberapa jenis kayu lain (jati, lamtorogung, mahoni, kamper, bangkirai, kruing dan glugu) asap cair yang dihasilkan memiliki kandungan sebagai berikut: Tabel 7. Komposisi distilat asap menurut Trenggono,dkk.(1996) No
Komponen kimia
Persentase
1
Fenol
2,10 – 5,13 %
2
Senyawa karbonil
8,56 – 15,23 %
3
Total Asam
4,27 – 11,3 %
Yulistiani (1997) menemukan kandungan fenol dalam distilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28 %. Sedangkan Hanendyo (2005) mendapatkan dua hasil pengukuran kadar fenol, masing-masing pada panjang kondensor yang berbeda, yakni 1,38% pada panjang kondensor 2,5 meter dan 1,41% pada panjang kondensor 4 meter. Hasil penelitian terbaru dari Febriani (2006) dalam menganalisis komponen volatil distilat asap tempurung kelapa dengan menggunakan metode GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrometry) adalah sebagai berikut:
Tabel 8. Komposisi fenol distilat asap tempurung kelapa menurut Febriani (2006) Komponen kimia (Fenol)
Rumus Molekul
Jumlah (%)
2-methoxy-4-methyl
C8H10O2
14,44
4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-ethylguaiacol
C9H12O2
5,89
2-6-dimethoxy
C8H10O
10,50
C10H12O2
0,86
2-methoxy-4-(2-propenyl)-(CAS)-eugenol
Keempat senyawa fenol di atas merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap cita rasa asap dan juga sebagai antibakteri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas dan dalam beberapa penelitian terdahulu, dapat dibandingkan kualitas distilat asap tempurung kelapa yang dihasilkan berdasarkan kandungan fenol yang dimiliki. Hal ini dikarenakan kandungan fenol sangat berpengaruh terhadap daya awet distilat asap. Makin tinggi kandungan fenol maka pH produk akan semakin rendah yang akhirnya menurunkan aktivitas bakteri. Tabel 9 . Perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol distilat asap tempurung kelapa No.
Penelitian
Kandungan fenol (%)
1
Febriani (2006)
2-methoxy-4-methyl = 14,44 % 4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-ethylguaiacol = 5,89 % 2-6-dimethoxy = 10,50 % 2-methoxy-4-(2-propenyl)-(CAS)-eugenol = 0,86 %
2
Tim Fateta IPB (2006)
5,5 %
3
Trenggono,dkk (1996)
2,10 – 5,13 %
4
Maga (1988)
0.2 - 2.9
5
Hanendyo (2005)
1,38% hingga 1,41%
6
Yulistiani (1997)
1,28 %.
Dilihat dari perbandingan di atas, hasil penelitian ini (Tim Fateta IPB) menghasilkan distilat asap dengan kandungan fenol yang cukup tinggi. Sehingga, distilat asap tempurung kelapa yang dihasilkan termasuk distilat asap dengan kualitas yang cukup baik, dengan kandungan fenol yang di atas rata-rata kandungan fenol distilat asap tempurung kelapa pada penelitian sebelumnya. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya kandungan zat-zat mudah terbakar yang terdapat pada bahan baku tempurung kelapa yang digunakan. Karena, kualitas maupun kuantitas unsur kimia dalam distilat asap sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan, tepatnya pada kandungan zatzat yang mudah terbakar seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, resin protein dan abu (Daun,1989). Secara khusus, Daun (1989) menyebutkan bahwa perbedaan kandungan fenol sangat ditentukan oleh banyaknya lignin yang terkandung dalam bahan baku distilat asap tersebut. Semakin tinggi kandungan lignin dalam bahan baku maka kandungan fenol dalam distilat asap akan semakin tinggi pula (Firmansyah,2004). Data kandungan kimia tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 10. Komposisi kimia sabut kelapa dan batok kelapa (Hanendyo,2005). Komposisi
Sabut Kelapa (%) Tempurung Kelapa (%)
Pektin
14,06
15,07
Hemiselulosa
7,69
8,8
Lignin
30,02
35,02
Selulosa
18,42
19,24
Mineral
5
7,1
5,8
6,4
19,19
20,1
Komponen larut air Komponen tidak larut air
C. TAHAP PENGKAJIAN PENGGUNAAN ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH 1. Pembuatan Mie Basah dan Penambahan Bahan Pengawet Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan distilat asap sebagai pengawet pada bahan pangan. Pada tahap ini bahan pangan yang akan digunakan adalah mie basah yang diproduksi sendiri. Tahap ini bertujuan mendapatkan formula penambahan bahan pengawet distilat asap yang tepat, yakni memiliki daya awet yang baik dengan tidak merusak kualitas mie (rasa, bau, warna, tekstur ataupun penampilan). Secara umum tujuan dari tahap ini adalah untuk mengkaji pengaruh penggunaan distilat asap terhadap masa simpan produk mie basah. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mie basah adalah tepung terigu merek ”Cakra Kembar”, soda abu (natrium karbonat dan kalium karbonat), garam, natrium asetat, kalsium propionat, parabens dan air. Terigu merupakan bahan dasar utama dalam pembuatan mie. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, serta untuk mengikat air. Air sendiri berfungsi untuk melarutkan garam dapur, bahan pengawet dan soda abu, serta membantu dalam pembentukan gluten. Pembuatan mie menggunakan mesin pembuat mie yang terdapat pada laboratorium AP4, Fateta, IPB (Gambar 17).
Gambar 17. Mesin pembuat mie
Proses pembuatan mie adalah sebagai berikut: a).Pencampuran bahan. Bahan-bahan yang telah disiapkan dicampurkan seluruhnya hingga terbentuk adonan homogen (Gambar 18). b).Penambahan bahan pengawet, sesuai dengan perlakuan: c).Pembentukan lembaran; adonan dimasukkan ke mesin pembentuk lembaran dengan mengatur ketebalan selama 10 menit (Gambar 19) d).Pembentukan mie; dilakukan dengan alat pencetak mie/ roll press (Gambar 20). e).Perebusan; mie dimasak pada api besar selama 5 menit sambil diaduk perlahan f).Pendinginan; mie hasil rebusan ditiriskan kemudian didinginkan
Gambar 18. Pencampuran bahan pada pembuatan mie basah
Gambar 19. Pembentukan lembaran pada adonan mie basah
Gambar 20. Pembentukan mie dengan alat pencetak mie
Gambar 21. Mie basah
Gambar 22. Kelima perlakuan pada penelitian
Proses penambahan pengawet pada mie basah dilakukan dalam 3 kali pembuatan. Proses pertama dilakukan untuk mencari formula penambahan bahan pengawet yang sesuai. Proses kedua merupakan penyempurnaan dari proses pertama dan proses ketiga adalah formula terakhir sekaligus untuk diuji kualitas dan organoleptiknya. Proses ke-2 dan ke-3 dijadikan sebagai ulangan, karena formula pengawet yang digunakan sama dan dapat dibandingkan hasilnya. Berikut ini adalah komposisi dasar adonan mie pada setiap percobaan yang berbeda untuk percobaan ke-1 dengan ke-2 dan ke-3: Tabel 11. Komposisi dasar adonan mie basah Bahan
Komposisi
Komposisi
Percobaan 1
Percobaan 2 & 3
Tepung terigu
0.5 kg
0.70 kg
Telur
1 butir
1 butir
Garam
3 gram
4 gram
Air
170 ml
240 ml
1.5 gram
2 gram
disesuaikan
disesuaikan
Obat mie Bahan pengawet
Sedangkan untuk penambahan bahan pengawet dilakukan dengan menambahkan bahan pengawet terkait ke dalam adonan. Bagian distilat asap selanjutnya diukur dengan membandingkannya dengan berat adonan keseluruhan. Penambahan distilat asap pada penelitian ini dilakukan dengan metode trial and error, karena belum ada referensi pemanfaatan distilat asap pada mie sebelumnya. Penambahan bahan pengawet tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 12. Penambahan bahan pengawet pada percobaan ke-1 Perlakuan
Bahan Pengawet
P1
Distilat asap 0.016 ml (25 ppm)
P2
Distilat asap 0.08 ml (150 ppm)
P3
Distilat asap 0.16 ml (300 ppm)
P4
Ca-propionat 0.075% + Paraben 0.025% + Na-Asetat 2.5%
P5
Tanpa penambahan bahan pengawet
Hasil pembuatan mie pada percobaan pertama dievaluasi secara subyektif hingga menghasilkan komposisi penambahan bahan pengawet baru untuk percobaan ke-2 dan ke-3. Evaluasi subyektif pada sejauh mana efek pengawetan yang ada serta pengaruh penambahan pengawet tersebut pada kualitas mie. Hasil yang diperoleh menunjukkan konsentrasi penambahan 300 ppm distilat asap tidak berpengaruh signifikan pada mutu mie. Artinya, penambahan 300 ppm distilat tidak menunjukkan efek negatif pada kualitas mie. Sehingga, nilai 300 ppm ini digunakan sebagai batas minimum penambahan distilat asap pada percobaan selanjutnya. Tabel 13. Penambahan bahan pengawet pada percobaan ke-2 dan ke-3 Perlakuan
Bahan Pengawet
P1
Distilat asap 0,24 ml (300 ppm)
P2
Distilat asap 0,72 ml (900 ppm)
P3
Distilat asap 1,2 ml (1500 ppm)
P4
Ca-propionat 0.075% + Paraben 0.025% + Na-Asetat 2.5%
P5
Tanpa penambahan bahan pengawet
2. Pengujian Kualitas Mie Basah a. Keadaan Fisik Mie Keadaan fisik mie menjadi salah satu parameter uji terhadap kualitas mie basah yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan tes organoleptik terhadap 30 orang panelis dengan skala penilaian 1-5 terhadap warna, rasa, aroma, penampilan dan tekstur sampel. Skala penilaian diberikan untuk sampel dengan keterangan sebagai berikut: nilai 1 diberikan untuk tingkat sangat tidak suka, nilai 2 untuk tingkat tidak suka, nilai 3 untuk kurang suka, nilai 4 untuk tingkat suka serta nilai 5 untuk tingkat sangat suka. Pengujian organoleptik dilakukan dengan uji hedonik yang bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan terhadap sampel (Soekarto, 1985), terutama sampel dengan penambahan distilat asap.
Gambar 23. Kelima sampel dalam kemasan plastik Berikut ini hasil test organoleptik berdasarkan masing-masing parameter:
1). Warna Menurut Hoseney (1998), selama penyimpanan, warna mie basah akan berubah menjadi coklat atau kehitaman. Perubahan warna tersebut kemungkinan disebabkan adanya enzim polifenoloksidase, yaitu enzim yang menyebabkan warna buah menjadi coklat (browning). Hal ini timbul sebagai akibat dari reaksi antara fenol dengan udara. Perubahan warna mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap produk karena warna merupakan parameter yang paling mudah diamati dan paling jelas penampakannya pada produk. Warna mie basah matang tidak
mengalami perubahan karena enzim polifenoloksidase menjadi inaktif akibat pemasakan (Pahrudin, 2006). Kelima perlakuan pada penelitian ini menghasilkan warna mie yang cukup berbeda. Warna mie dengan 5 perlakuan tersebut dapat dibandingkan seperti pada Gambar 22. Pada penelitian ini yang diuji adalah tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie basah yang dibuat. Hasilnya adalah sebagai berikut: Skor Warna
4.50 4.00
3.83
3.67
3.50
3.13
2.97
Skor
3.00
2.37
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
Sam pel
Gambar 24. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter warna dengan skala penilaian 1-5. Dari grafik di atas terlihat bahwa mie dengan perlakuan 1 (300 ppm distilat asap) memiliki nilai penerimaan rata-rata 3,67 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 2 (900 ppm distilat asap) bernilai 2,97 (antara tidak suka dan kurang suka), perlakuan 3 (1500 ppm distilat asap) bernilai 3,83 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 4 (pengawet kimia) bernilai 2,37 (antara tidak suka dan kurang suka) dan perlakuan 5 (kontrol) bernilai 3,13 (antara kurang suka dan suka). Hasil organoleptik tersebut menunjukkan mie dengan penambahan distilat asap 1500 ppm memiliki warna yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan perubahan kecerahan pada sampel dengan penambahan 1500 ppm distilat asap tidak terlalu mempengaruhi penampakan warnanya. Penambahan distilat asap dengan konsentrasi paling besar tersebut menjadikan perubahan kecerahan yang terjadi pada sampel tidak terlalu besar
sehingga warna sampel masih cukup baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik untuk uji organoleptik warna adalah penambahan bahan pengawet berupa distilat asap dengan konsentrasi 1500 ppm. Hasil analisis ragam menggunakan program SAS (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap berpengaruh nyata terhadap warna sampel (mie). Tabel 14. Tabel Anova untuk warna sampel Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Jumlah kuadrat 41,160 130,233 171,393
Kuadrat tengah 10,290 0.898
F hitung 11.46
Pr > F 0.0001
2). Aroma Pengujian terhadap aroma (bau) dilakukan sebagai indikator adanya perubahan bau pada mie basah. Selama penyimpanan akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada mie basah yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan aroma pada mie basah tersebut (Chamdani,2005). Perubahan bau merupakan perubahan yang paling awal terjadi pada sampel. Pada penelitian ini yang diuji adalah tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie basah yang dibuat. Hasilnya adalah sebagai berikut: Skor Arom a 4.00 3.40
3.50
2.93
3.00 Skor
2.50
3.37 2.90
2.03
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
Sam pel
Gambar 25. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter aroma dengan skala penilaian 1-5. Dari grafik di atas terlihat bahwa mie dengan perlakuan 1 (300 ppm distilat asap) memiliki nilai penerimaan rata-rata 2,03 (antara tidak suka dan
kurang suka), perlakuan 2 (900 ppm distilat asap) bernilai 2,93 (antara tidak suka dan kurang suka), perlakuan 3 (1500 ppm distilat asap) bernilai 3,40 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 4 (pengawet kimia) bernilai 2,90 (antara tidak suka dan kurang suka) dan perlakuan 5 (kontrol) bernilai 3,37 (antara kurang suka dan suka). Artinya mie dengan aroma terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik menurut panelis adalah mie dengan perlakuan penambahan 1500 ppm distilat asap. Hasil ini kemungkinan besar diakibatkan hilangnya aroma kuat asap setelah perebusan. Aroma yang terhirup berasal dari bahan lain seperti tepung terigu dan telur, sehingga seluruh sampel memiliki aroma yang tidak jauh berbeda. Aroma asap hasil penambahan distilat pada dasarnya menjadikan mie memiliki aroma khas yang berdasarkan uji organoleptik justru disukai oleh panelis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai terbesar yang diperoleh pada uji organoleptik yang justru ada pada sampel dengan penambahan distilat asap terbanyak, yakni 1500 ppm. Hasil analisis ragam menggunakan program SAS (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap tidak berpengaruh nyata terhadap aroma sampel (mie). Tabel 15. Tabel Anova untuk aroma sampel Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Jumlah kuadrat 7,693 177,700 185,393
Kuadrat tengah 1,923 1,225
F hitung 1.57
Pr > F 0.1856
3). Penampakan Penampakan sampel sangat dipengaruhi terutama oleh kecerahan (brightness) dari warna sampel tersebut. Selain itu, tekstur sampel juga memiliki pongaruh yang cukup signifikan pada penampakan sampel. Penampakan sampel harus menjadi perhatian dalam menghasilkan suatu produk Karena, tampilan yang baik dari produk akan sangat mempengaruhi tingkat kesukaan dari konsumen dimana biasanya mereka akan memilih produk dengan tampilan yang meyakinkan, selain memperhatikan kualitas rasa dari produk. Pada penelitian ini yang diuji adalah tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan mie basah yang dibuat. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Skor Penam pilan 4.50
4.10
4.00 3.50
3.17
Skor
3.03
2.80
3.00
2.27
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
Sam pel
Gambar 26. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter penampakan dengan skala penilaian 1-5. Dari grafik di atas terlihat bahwa mie dengan perlakuan 1 (300 ppm distilat asap) memiliki nilai penerimaan rata-rata 3.17 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 2 (900 ppm distilat asap) bernilai 2,80 (antara tidak suka dan kurang suka), perlakuan 3 (1500 ppm distilat asap) bernilai 4,10 (antara suka dan sangat suka), perlakuan 4 (pengawet kimia) bernilai 2,27 (antara tidak suka dan kurang suka) dan perlakuan 5 (kontrol) bernilai 3,03 (antara kurang suka dan suka). Artinya mie dengan penampakan terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik menurut panelis adalah mie dengan perlakuan penambahan 1500 ppm distilat asap. Mie dengan penambahan distilat asap 1500 ppm memiliki penampakan paling baik dibanding sampel lainnya. Hal ini disebabkan tidak terlalu besarnya perubahan tingkat kecerahan pada sampel dengan penambahan distilat 1500 ppm tersebut sehingga penampakannya lebih baik dibandingkan sampel lainnya, dengan nilai kesukaan yang terpaut cukup jauh. Hasil analisis ragam menggunakan program SAS (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap berpengaruh nyata terhadap penampakan sampel (mie). Tabel 16. Tabel Anova untuk penampakan sampel Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Jumlah kuadrat 53,693 130,500 184,193
Kuadrat tengah 13,423 0.900
F hitung 14.91
Pr > F 0.0001
4). Rasa Rasa merupakan parameter utama yang dapat menjadi indikasi kualitas mie. Dengan mengetahui tingkat penerimaan terhadap rasa dapat ditentukan apakah suatu sampel layak dan cukup baik untuk diterima, apalagi pada produk bahan pangan. Pada penelitian ini yang diuji adalah tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie basah yang dibuat. Hasilnya adalah sebagai berikut: Skor Rasa 3.50 3.00
3.17
3.33
2.73
3.13 2.70
Skor
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
Sam pel
Gambar 27. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter rasa dengan skala penilaian 1-5. Dari grafik di atas terlihat bahwa mie dengan perlakuan 1 (300 ppm distilat asap) memiliki nilai penerimaan rata-rata 2,73 (antara tidak suka dan kurang suka), perlakuan 2 (900 ppm distilat asap) bernilai 3,17 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 3 (1500 ppm distilat asap) bernilai 3,33 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 4 (pengawet kimia) bernilai 2,70 (antara tidak suka dan kurang suka) dan perlakuan 5 (kontrol) bernilai 3,13 (antara kurang suka dan suka). Artinya mie dengan rasa terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik menurut panelis adalah mie dengan perlakuan penambahan 1500 ppm distilat asap. Mie dengan penambahan 1500 ppm memiliki rasa khas (flavour) asap, yang membedakannya dengan keempat sampel lainnya termasuk sampel dengan penambahan 900 ppm dan 300 ppm distilat asap. Sebagaimana yang terjadi pada uji kesukaan aroma, rasa sampel dengan penambahan distilat asap dengan konsentrasi paling besar justru paling disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan penambahan distilat asap tersebut menambahkan rasa yang lebih khas dibandingkan sampel lainnya.
Hasil analisis ragam menggunakan program SAS (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap berpengaruh nyata terhadap rasa sampel (mie). Tabel 17. Tabel Anova untuk rasa sampel Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Jumlah kuadrat 9,506 138,467 147,973
Kuadrat tengah 2,377 0.955
F hitung 2.49
Pr > F 0.0459
5). Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas mie basah. Adanya pertumbuhan bakteri heterostropik pada mie basah dapat menyebabkan perubahan tekstur mie basah tersebut (Fardiaz,1992). Pada penelitian ini yang diuji adalah tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie basah yang dibuat. Hasilnya adalah sebagai berikut: Skor Tekstur 4.50 3.87
4.00 3.50
3.10
3.00
2.90 2.57
2.33
Skor
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
Sam pel
Gambar 28. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap parameter tekstur dengan skala penilaian 1-5. Dari grafik di atas terlihat bahwa mie dengan perlakuan 1 (300 ppm distilat asap) memiliki nilai penerimaan rata-rata 3,10 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 2 (900 ppm distilat asap) bernilai 2,57 (antara tidak suka dan kurang suka), perlakuan 3 (1500 ppm distilat asap) bernilai 3,87 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 4 (pengawet kimia) bernilai 2,33 (antara tidak suka dan kurang suka) dan perlakuan 5 (kontrol) bernilai 2,90 (antara tidak suka dan kurang
suka). Artinya mie dengan tekstur terbaik berdasarkan hasil uji organoleptik menurut panelis adalah mie dengan perlakuan penambahan 1500 ppm distilat asap. Kesukaan panelis terhadap tekstur mie dengan penambahan 1500 ppm distilat asap menunjukkan bahwa mie dengan perlakuan tersebut memiliki tekstur yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan penambahan 1500 ppm distilat asap cukup mampu menekan aktivitas mikroorganisme dibanding perlakuan lainnya. Dengan demikian kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya yang terdapat pada mie untuk perkembangannya semakin berkurang. Hasil analisis ragam menggunakan program SAS (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan pengawet distilat asap berpengaruh nyata terhadap tekstur sampel (mie). Tabel 18. Tabel Anova untuk tekstur sampel Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Jumlah kuadrat 41,773 146,900 188,673
Kuadrat tengah 10,443 1,013
F hitung 10.31
Pr > F 0.0001
Secara keseluruhan hasil organoleptik dapat disajikan sebagai berikut: Tabel 19. Rekapitulasi skor uji organoleptik Parameter yang diamati
Perlakuan Warna
Aroma
Penampakan
Rasa
Tekstur
P1
3,67a
2,03a
3,17b
2,73b
3,10a
P2
2,97b
2,93a
2,80b
3,17a
2,57bc
P3
3,83a
3,40a
4,10a
3,33a
3,87a
P4
2,37c
2,90a
2,27c
2,70b
2,33c
P5
3,13b
3,37a
3,03b
3,13ab
2,90a
b. Kadar Air Mie Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Sampel diambil sebanyak 5 gram dan diletakkan pada cawan sebanyak 3 kali ulangan. Oven diset pada suhu 105˚ C. Pengukuran kadar air dilakukan dalam persen basis basah dan dihitung dengan rumus : K.A (% bb) = [(A – B) / A] x 100% Dimana ;
A = berat bahan sebelum dikeringkan (gram) B = berat bahan setelah dikeringkan (gram) Tabel 20. Kadar air mie basah
Perlakuan
Ulangan
Berat awal (gr)
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
17.14 14.93 14.21 14.85 17.46 17.34 16.64 16.67 17.22 13.53 13.30 15.20 14.83 13.51 14.81
P1
P2
P3
P4
P5
Berat akhir (gr) 13.58 11.70 11.25 11.75 13.48 13.73 13.06 13.01 13.68 10.94 10.47 12.12 11.86 10.51 11.81
K.A (%) 20.77 21.66 20.84 20.89 22.82 20.77 21.49 21.97 20.57 20.91 21.28 20.28 20.01 22.21 20.26
Rataan KA (%) 21.09
21.50
21.34
20.82
20.82
Berdasarkan data pengukuran kadar air tersebut terlihat bahwa mie basah yang diproduksi pada penelitian ini memiliki kadar air yang masih sesuai dengan syarat mutu mie basah berdasarkan SNI (lampiran). Dari tiga kali pembuatan mie sampel, kadar air
berada pada selang 20,01 – 22,82 %. Kadar air tertinggi
terdapat pada sampel P2 sebesar 21,50%, yakni pada penambahan asap cair 900 ppm, sedangkan kadar air terendah pada sampel P4 (pengawet kimia) dan P5 (kontrol) yakni sebesar 20,82%. Untuk mendapatkan mie basah dengan kadar air yang sesuai standar, diperlukan perhitungan yang tepat terhadap penambahan air maupun bahan lain yang mengandung air. Terutama untuk penambahan air, harus diperhatikan agar air yang ditambahkan sekitar 34 hingga 40% dari bobot tepung terigu yang digunakan. Karena apabila air yang ditambahkan kurang dari 34%, adonan akan
menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 40%, adonan menjadi basah dan lengket. Pada penelitian ini, seperti data pada Tabel 9 dan Tabel 10, jumlah air yang ditambahkan sebesar 34%. Pada percobaan pertama air yang ditambahkan sebanyak 170 ml untuk 500 gram tepung terigu. Sedangkan pada percobaan kedua dan ketiga air ditambahkan sebanyak 240 ml untuk 700 gram tepung terigu.
c. Masa simpan mie basah Berdasarkan standar mutu mie dari Departemen Perindustrian (Astawan, 2002), mie yang bermutu baik harus memiliki keadaan bau, warna dan rasa yang normal. Artinya mie tersebut harus tetap dalam kondisi yang baik, dengan target masa simpan selama 48 jam. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan kondisi mie dengan selang pengamatan ideal setiap 6 jam. Kondisi mie yang diamati adalah hingga mie menunjukkan gejala kerusakan fisik yang berbeda dengan kondisi semula. Pengamatan kerusakan pada penelitian ini baru dilakukan pada percobaan pembuatan mie ke-2 dan percobaan ke-3. Hal ini dikarenakan pada percobaan pertama masih ditujukan untuk menemukan formulasi penambahan pengawet distilat asap yang tepat. Pengamatan dilakukan terhadap sampel yang disimpan pada suhu kamar dengan bahan pengemas wadah plastik panganan yang umum digunakan. Hasil pengamatan terhadap waktu kerusakan mie basah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 21. Hasil pengamatan waktu kerusakan mie basah No. Sampel 1
P1
2
P2
3
P3
4
P4
5
P5
Pengawet Distilat asap 300 ppm Distilat asap 900 ppm Distilat asap 1500 ppm Ca-Propionat 0.075%+Parabens 0.025%+ Na-Asetat 2.5% Tanpa pengawet
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Waktu Kerusakan (jam) 36 28 40 36 40 36 46 44 25 16
Indikator Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam Bau asam
Masa Sim pan Mie Basah 60
Waktu Kerusakan (Jam)
50
46 40
40
30
36
44
40 36
36 Percobaan 1
28 25
20
Percobaan 2 16
10
0 1
2
3
4
5
Perlakuan
Gambar 29. Hubungan antara perlakuan penambahan bahan pengawet terhadap waktu kerusakan mie basah Berdasarkan data hasil pengamatan waktu kerusakan mie basah di atas, perlakuan P4 (bahan pengawet Ca-Propionat 0.075%+Parabens 0.025%+ NaAsetat 2.5%) menghasilkan mie basah dengan masa simpan paling lama yakni 46 jam pada ulangan ke-1 dan 44 jam pada ulangan-2. Sementara, mie basah yang mengalami kerusakan paling cepat adalah perlakuan P5, yakni 25 jam pada ulangan-1 dan 16 jam pada ulangan-2. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tanpa bahan pengawet, mie basah hanya mampu bertahan selama tidak lebih dari satu hari (Pahrudin, 2006). Sementara, hasil pada mie dengan penambahan pengawet kimia memang menunjukkan perbedaan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) bahwa mie dengan kombinasi pengawet tersebut mampu bertahan hingga 76 jam. Pada perlakuan dengan penambahan distilat asap, hasilnya menunjukkan keragaman. Pada perlakuan P1 masa simpan mie basah dapat mencapai 36 jam pada ulangan-1 dan 28 jam pada ulangan-2. Perlakuan P2 dan P3 sama-sama menghasilkan mie basah dengan masa simpan 40 jam pada ulangan-1 dan 36 jam pada ulangan-2. Hasil ini menunjukkan penambahan distilat asap 900 ppm dan 1500 ppm mampu menghasilkan mie dengan daya tahan yang cukup lama hingga
mendekati masa simpan 2 hari (48 jam). Hal ini dapat dikatakan cukup baik, mengingat daya tahan mie dengan perlakuan ini mendekati daya tahan mie dengan pengawet kimia. Perlakuan penambahan bahan kimia sebagai pengawet tetap menjadi perlakuan
yang menghasilkan
daya simpan paling lama dibandingkan
penambahan distilat asap. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kandungan zat-zat yang bersifat pengawet pada distilat asap terbatas, sehingga daya awetnya pun terbatas. Febriani (2006) menyatakan bahwa bahan-bahan yang diasap akan menyerap zat-zat pada asap seperti aldehida fenol dan asam yang bersifat bakteriosidal,
sehingga
apabila
jumlahnya
tidak
lagi
mencukupi
daya
pengawetannya pun akan berkurang. Selain itu, hasil pengamatan mengindikasikan bahwa parameter yang pertama kali muncul sebagai indikator kerusakan mie basah adalah bau asam. Bau asam timbul sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan timbulnya perubahan aroma pada sampel. Selain itu kerusakan selanjutnya yang terjadi pada sampel mie basah tersebut adalah timbulnya kapang dan lendir pada mie basah. Hal ini muncul seiring atau tidak lama setelah bau asam mulai tercium. Penyebabnya adalah kapang dan khamir tidak dapat dimatikan hanya dengan penambahan bahan-bahan pengawet yang digunakan pada penelitian ini, sehingga pertumbuhannya masih terjadi dan menyebabkan kerusakan pada mie.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Kondensor yang digunakan dalam penelitian ini hanya efektif digunakan untuk 1 atau 2 tanur pembakaran dengan efisiensi kondensor tersebut hanya mencapai 7,94%. Penggunaan satu kondensor untuk 4 tanur pembakaran akan menurunkan efisiensi kondensor maupun efisiensi penyulingannya. Laju distilat asap dipengaruhi oleh suhu air pendingin, semakin dingin air yang digunakan sebagai media pendingin maka semakin besar pula laju distilat asapnya. Perbandingan bahan baku yang digunakan dengan arang yang dihasilkan adalah 1:4 dengan rendemen distilat asap rata-rata 2.09%. Data harian yang diperoleh, industri arang tempurung kelapa mampu menghasilkan 17 hingga 20 liter distilat asap dari sekitar 800 kg tempurung kelapa tiap kali prosesnya. Kandungan kimia distilat asap tempurung kelapa pada penelitian ini adalah: kandungan fenol sebesar 5,5%, kandungan methyil-alkohol sebesar 0,37 % dan total asam sebesar 7,1%. Dilihat dari perbandingan dengan hasil penelitian terdahulu, hasil penelitian ini menghasilkan distilat asap dengan kandungan fenol yang cukup tinggi, di atas rata-rata kandungan fenol pada penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil organoleptik menunjukkan mie dengan penambahan distilat asap 1500 ppm memiliki warna, aroma, penampakan rasa dan tekstur yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil organoleptik juga menunjukkan bahwa penambahan distilat asap berpengaruh nyata terhadap warna, penampakan, rasa dan tekstur, namun tidak berpengaruh nyata terhadap aroma mie basah. Hasil pengamatan waktu kerusakan mie basah, perlakuan dengan penambahan bahan pengawet Ca-Propionat 0.075%+Parabens 0.025%+ Na-Asetat 2.5% menghasilkan mie basah dengan masa simpan paling lama yakni 46 jam pada ulangan ke-1 dan 44 jam pada ulangan-2. Sementara, mie basah kontrol mengalami kerusakan paling cepat yakni 25 jam pada ulangan-1 dan 16 jam pada ulangan-2. Pada perlakuan dengan penambahan distilat asap 300 ppm masa simpan mie basah dapat mencapai 36 jam pada ulangan-1 dan 28 jam pada ulangan-2.
Perlakuan penambahan distilat asap 900 ppm dan 1500 ppm sama-sama menghasilkan mie basah dengan masa simpan 40 jam pada ulangan-1 dan 36 jam pada ulangan-2. Hasil ini menunjukkan penggunaan distilat asap sebagai bahan pengawet memiliki pengaruh yang cukup baik terhadap masa simpan mie basah.
B. SARAN Kajian ulang mengenai performansi alat ekstraksi distilat asap masih harus dilakukan. Terutama mengenai rancangan struktural maupun fungsional serta efisiensi kondensor yang digunakan. Disarankan untuk melakukan perhitungan dan desain yang lebih baik lagi dalam pembuatan alat tersebut. Terkait dengan penambahan distilat asap sebagai bahan pengawet, diperlukan referensi yang lebih akurat mengenai keamanan penggunaan distilat asap tersebut. Hal ini penting untuk menentukan kadar penambahan yang diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2002. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta, Crantz) Sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie Basah. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB. Damayanti, R. 2002. Pembuatan Tahu Asap dari Tahu Keras dengan Metode Pengasapan Panas dan Pengasapan Cair. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Daun, H. 1989. Interaction of wood smoke components and foods. J. Food Tech. (32) : 66-71. Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI-01 2987-1992. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Djatmiko et.al. 1985. Arang: Pengolahan dan Kegunaannya. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Febriani, R.A. 2006. Pengaruh Konsentrasi Larutan Asap Cair Terhadap Mutu Belut (Monopterus albus) Asap yang Disimpan pada Suhu Kamar. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB, Bogor. Firmansyah. 2004. Penggunaan Kombinasi serbuk Kayu Jati dan Cangkang Telur Ayam pada Produksi Distilat asap. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont-Ferrand Ellis Horwood. New York, USA. P: 165-205. Hanendyo, C. 2005. Kinerja Alat Ekstrasi Asap Cair Dengan Sistem Kondensasi. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Haras, A. 2004. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair dan Lama Perendaman Terhadap Mutu Fillet Cakalang (Katsuwonis pelamis, L.) Asap Yang disimpan Pada Suhu Kamar. Skripsi. Departeman Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Hawley, L.F. 1952. The Thermal Decomposition of Wood. Hal. 679-695. Reinfold Publisher Corp. New York, USA. Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press. Florida,USA.
Nurhayati, T. 2000. Sifat Destilat Hasil Destilasi Kering 4 Jenis Kayu dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Pestisida. Buletin penelitian Hasil Hutan. 17(3); 160-168. Pagani, M.A. 1985. Pasta Product from Non-Conventional Raw Material. P; 5268. Di dalam: Ch. Mercier dan C. Centrallis (ed.) 1985. Pasta and Extrution Cooked Foods. Proceeding of an International Symposium held in Milan, Italy. Pahrudin. 2006. Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB. Pszezola, D.E. 1995. Tour highlights production and uses of smoke base flavors. J. Food Tech. (49) : 70-74. Sari, D.K. 2004. Pemanfaatan Asap Cair dengan Bahan Pengasap Kayu Jati pada Produk Lidah Asap. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Surjana, W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan bahan Aditif Kimia pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Trenggono, dkk. 1996. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2): 15-24. Winarno, F.G. 2002. Produksi Tahu Cina Tradisional. M-BRIO Press, Bogor. Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan untuk Pangan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yulistiani, R. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap Pertumbuhan Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Tesis. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan. Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Lampiran 1. Syarat mutu mie basah
No. Kriteria Uji Satuan Keadaan: 1.1 Bau 1 1.2 Rasa 1.3 Warna 2 Kadar air % b/b Kadar abu (dihitung atas % b/b 3 Dasar bahan kering) Kadar protein ((N x 6,25) 4 dihitung atas dasar bahan % b/b kering) Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5 -
6
7
8
5.3 Formalin Cemaran logam: 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba: 8.1 Angka lempeng total 8.2 E.coli 8.3 Kapang
mg/kg mg/kg
Persyaratan Normal Normal Normal 20 – 35 Maks. 3
Min. 3 Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX/88 Tidak boleh ada Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,05
Koloni/g Maks. 1.0 x 106 APM/g Maks. 10 Koloni/g Maks. 1.0 x 104
Sumber: Dewan Standardisasi Nasional (1992)
Lampiran 2. Perhitungan efisiensi penyulingan dan rendemen distilat asap
1. Efisiensi penyulingan dengan menggunakan 2 tanur
∑ aktual uap tempurung = [ ∑ air tempurung - ∑ air arang ] Ua = [ (KAt x berat tempurung) – (KAa x berat arang) = [ (17,89% x 333 kg) – (8,84% x 83 kg) ] Ua = 52,24 Kg Maka ; Efisiensi penyulingan = ( ∑ distilat / Ua) x 100% = (6,9 kg / 52,24 kg) x 100% = 13,21 % 2. Efisiensi penyulingan dengan menggunakan 3 tanur
∑ aktual uap tempurung = [ ∑ air tempurung - ∑ air arang ] Ua = [ (KAt x berat tempurung) – (KAa x berat arang) = [ (20,23% x 526kg) – (10,21% x 133 kg) ] Ua = 92,83 Kg Maka ; Efisiensi penyulingan = ( ∑ distilat / Ua) x 100% = (11,04 kg / 92,83 kg) x 100% = 11,89 % 3. Efisiensi penyulingan dengan menggunakan 4 tanur
∑ aktual uap tempurung = [ ∑ air tempurung - ∑ air arang ] Ua = [ (KAt x berat tempurung) – (KAa x berat arang) = [ (22,43 % x 842) - (11,63 % x 210) ] Ua = 164,44 Kg Maka ; Efisiensi penyulingan = ( ∑ distilat / Ua) x 100% = (17,68 kg /164,44 kg) x 100% = 10,75 %
Lampiran 3. Perhitungan efisiensi kondensor. Energi yang dilepaskan oleh uap air pada waktu mengembun di dalam kondensor dapat dihitung dengan persamaan: Qu = Mu * Cu * (Tu – Td) + Mu* Ke Qu = (16,44)*(1864,4)*(62,86-37,02) + (2,9*2256) = 792015,02 + 6542,4 = 798557.42 kJ/jam Sedangkan energi yang diserap air pendingin adalah: Qa = Ma * Ca * (Tk – Tm) Qa = (79,39)* (4190)* (58,34-28,1) Qa = 10059157,58 kJ/jam Dimana:
Qu = energi yang dilepas uap air, kJ Qa = energi yang diserap air pendingin Mu = massa uap distilat, kg/jam Cu = kalor jenis uap, 1864.4 J/kgoC Ma = massa air pendingin, kg/jam Ca = kalor jenis air, 4190 J/kgoC Tu = suhu uap masuk kondensor, oC Td = suhu distilat keluar kondensor, oC Tm = suhu air pendingin masuk kondensor, oC Tk = suhu air pendingin keluar kondensor, oC Ke = kalor laten pengembunan, J/kg
Jadi efisiensi kondensor dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: Energi yang dilepas uap
Efisiensi Kondensor =
_____________________________
x 100%
Energi yang diserap air = (798557.42 /10059157,58) x 100% = 7,94 %
Lampiran 4. Tabel Anova dan uji lanjutan untuk masa simpan.
Sumber keragaman Model Galat Total
Analysis of Variance Procedure Jumlah Kuadrat db kuadrat tengah 4 673,600 168,400 5 90,500 18,100 9 764,100
F hitung 9.30
Alpha= 0.05 df= 5 MSE= 18.1 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range 10.94 11.28 11.42 11.47 Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping A 45.000 2 4 38.000 B A 2 3 38.000 B A 2 2 32.000 B 2 1 20.500 C 2 5 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Pr > F 0.0155
Lampiran 5. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik warna mie basah
Sumber keragaman Model Galat Total
Analysis of Variance Procedure Jumlah Kuadrat db kuadrat tengah 4 41,160 10,290 145 130,233 0.898 149 171,393
F hitung 11.46
Alpha= 0.05 df= 145 MSE= 0.898161 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .4836 .5090 .5260 .5384 Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping 3.8333 A 30 3 3.6667 A 30 1 3.1333 B 30 5 2.9667 B 30 2 2.3667 C 30 4 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata.
Pr > F 0.0001
Lampiran 6. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik aroma mie basah
Sumber keragaman Model Galat Total
db 4 145 149
Analysis of Variance Procedure Jumlah Kuadrat kuadrat tengah 7,693 1,923 177,700 1,225 185,393
F hitung 1.57
Alpha= 0.05 df= 145 MSE= 1.225517 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .5649 .5946 .6144 .6289 Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping 3.4000 A 30 3 3.3667 A 30 1 3.3667 A 30 5 2.9333 A 30 2 2.9000 A 30 4 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pr > F 0.1856
Lampiran 7. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik penampakan mie basah
Sumber keragaman Model Galat Total
Analysis of Variance Procedure Kuadrat tengah db Jumlah kuadrat 4 53,693 13,423 145 130,500 0.900 149 184,193
F hitung 14.91
Alpha= 0.05 df= 145 MSE= 0.9 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .4841 .5096 .5265 .5389 Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping 4.1000 A 30 3 3.1667 B 30 1 3.0333 B 30 5 2.8000 B 30 2 2.2667 C 30 4 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pr > F 0.0001
Lampiran 8. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik rasa mie basah Sumber keragaman Model Galat Total
Analysis of Variance Procedure db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah 4 9,506 2,377 145 138,467 0.955 149 147,973 Alpha= 0.05 df= 145 MSE= 0.954943 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .4987 .5249 .5423 .5552
Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping 3.3333 A 30 3 3.1667 A 30 2 3.1333 A B 30 5 2.7333 B 30 1 2.7000 B 30 4 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
F hitung 2.49
Pr > F 0.0459
Lampiran 9. Tabel Anova pengaruh perlakuan pada uji organoleptik tekstur mie basah
Sumber keragaman Model Galat Total
Analysis of Variance Procedure Kuadrat db Jumlah kuadrat tengah 4 41,773 10,443 145 146,900 1,013 149 188,673
F hitung 10.31
Alpha= 0.05 df= 145 MSE= 1.013103 Number of Means 2 3 4 5 Critical Range .5137 .5406 .5586 .5718 Duncan's Multiple Range Test for variable: M1 Duncan Mean N VAR Grouping 3.8667 A 30 3 3.1000 B 30 1 2.9000 B 30 5 2.5667 C B 30 2 2.3333 C 30 4 Mean dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
Pr > F 0.0001
Lampiran 10. Rekapitulasi data uji organoleptik REKAPITULASI DATA UJI ORGANOLEPTIK Sampel
Perlakuan
917 325 638 246 753
Distilat 1000 ppm Distilat 3000 ppm Distilat 5000 ppm Pengawet kimia Kontrol
Keterangan :
Warna 3.67 2.97 3.83 2.37 3.13
Skor tertinggi Skor terendah
Aroma 2.03 2.93 3.40 2.90 3.37
Skor Penampilan 3.17 2.80 4.10 2.27 3.03
Rasa 2.73 3.17 3.33 2.70 3.13
Tekstur 3.10 2.57 3.87 2.33 2.90
Lampiran 11. Form test organoleptik
FORM TEST ORGANOLEPTIK Sampel No responden
: Mie Basah :
Sampel Warna
Parameter yang diamati Aroma Penampilan Rasa
Tekstur
P1 P2 P3 P4 P5 Keterangan : Mohon diisi sesuai penilaian berikut 1= Sangat tidak suka ; 2= Tidak suka; 3= Kurang suka; 4= Suka; 5= Sangat suka =TERIMA KASIH=
Lampiran 12. Data suhu dan massa distilat pada pengukuran efisiensi kondensor
Ulangan
Menit 20 1 40 60 20 2 40 60 20 3 40 60 Rataan
Tu 64.3 65.8 71.3 71.3 69.3 68.5 68.6 41.7 44.9 62.86
Tk 58.3 58.7 58.8 59.2 59.8 59.8 60.1 49.6 42.8 56,34
Tm 27.1 27.5 28.4 28.5 28.3 28.7 29.1 28 27.3 28,1
Td 37.3 38.3 38.8 39.5 39 38.5 38.2 34.1 29.5 37,02
Mu
Ma
16,44
79.39
16,44
79.39
Hubungan Suhu Uap Masuk-Waktu
80
Suhu (Celcius)
70 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
60 50 40 30 20
40
60
Waktu pengam atan (m enit)
Hubungan Suhu Distilat-Waktu
Suhu (Celcius)
45
40 Series1 Series2
35
Series3 30
25 20
40
60
Waktu Pengam atan (m enit)
Hubungan Suhu Air Masuk Kondensor-Waktu 29.5
Suhu (Celcius)
29 28.5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
28 27.5 27 26.5 26 20
40
60
Waktu Pengam atan (m enit)
Hubungan Suhu Air Keluar Kondensor- Waktu 65
Suhu (Celcius)
60 55 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
50 45 40 35 20
40
60
Waktu Pengam atan (m enit)
Lampiran 13. Perhitungan pindah panas kondensor Kalor yang harus dilepaskan dimana kalor penguapan sama dengan kalor pengembunan; q = (m x Cp x ∆t) + (m x L)
dimana: q = kalor yang dihasilkan, J m = laju distilat asap yang diuapkan,16,44 kg/jam=4,56x10-3 kg/s Cp = kalor jenis air, J/kg ˚C (4190 J/kg ˚C)
∆t = perbedaan suhu, ˚C L = kalor laten pengembunan air, J/kg (2256 x 103 J/kg)
Sehingga; q = (4,56x10-3 kg/det) x (4190) x (62,86 -37,02) + (4,56x10-3 kg/det x 2256 x 103) = 10781,07 J/det Jadi kalor yang dikondensasikan oleh kondensor adalah 10781.07 J/det atau 10781,07 Watt. Luas penampang pindah panas yang seharusnya dirancang adalah: A = [ q / (U x ∆TLMTD ] = [ 10781,07 W / (200 W/m2 ˚C x 7,76 ˚C) ] = 6.95 m2
Lampiran 14. Rancangan kondensor yang disarankan Hasil perhitungan pada lampiran 12 menunjukkan luasan penampang pindah panas yang seharusnya dirancang adalah: A = [ q / (U x ∆TLMTD ] = [ 10781,07 W / (200 W/m2 ˚C x 7,76 ˚C) ] = 6.95 m2 Luasan penampang pindah panas ini dapat dipenuhi dengan beberapa cara yakni: 1. Memperbesar Volume Kondensor Selubung kondensor dapat diperbesar untuk meningkatkan volume air pendingin. Semakin banyak air pendingin yang digunakan akan semakin mengefektifkan proses kondensasi. Langkah ini tetap harus diikuti dengan penambahan luasan penampang pindah panas. 2. Memperpanjang Kondensor Dengan penambahan panjang kondensor, luasan pindah panas juga akan bertambah. Langkah ini akan lebih efisien dengan penambahan penampang pindah panas melalui perlakuan terhadap pipa kondensasinya. 3. Memperbanyak Pipa Kondensasi di Dalam Kondensor Jumlah pipa yang menyalurkan asap untuk dikondensasi dapat diperbanyak untuk meningkatkan luasan pindah panas. Hasil simulasi dengan asumsi panjang kondensor sama dengan penelitian ini (1,8 meter), kondisi suhu yang sama dan A yang diperlukan sebesar 6,95 m2 adalah sebagai berikut: Jari-Jari Pipa (m) 0.005 0.01 0.05 0.0625 0.1
Panjang Pipa (m) 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8
A yg diperlukan (m2) 6.95 6.95 6.95 6.95 6.95
Banyaknya Pipa yang diperlukan 122.62 61.14 11.96 9.51 5.82
Hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa jika kita memilih untuk menggunakan pipa dalam kondensor seperti pada penelitian ini yakni dengan diameter 6,25 cm, jumlah pipa yang dibutuhkan adalah 10 buah pipa. Pilihan lainnya dapat dilihat pada tabel di atas dengan pilihan pipa dengan diameter
Lampiran 14 (lanjutan) 0,5 cm hingga 10 cm. Semakin besar ukuran pipa jumlah pipa yang diperlukan semakin sedikit Selubung kondensor diperbesar Pipa dalam Diameter 6,25 cm
4. Membentuk Pipa menjadi Spiral Untuk membentuk pipa menjadi spiral, asumsi yang dipakai adalah jumlah pipa yang dipakai hanya satu, sehingga yang ditentukan adalah panjang pipanya untuk memenuhi luasan pindah panas yang diperlukan. Hasil perhitungan untuk pembuatan spiral ini sama dengan hasil perhitungan jumlah pipa yang diperlukan. Jari-jari Pipa (m) 0.005 0.01 0.05 0.0625 0.1
A yg diperlukan (m2) 6.95 6.95 6.95 6.95 6.95
Panjang pipa (m) 221.33 110.66 22.084 17.64 10.97
Dengan memperbanyak jumlah pipa ataupun membentuk spiral, diameter selubung kondensor juga harus diperbesar. Dari keempat cara tersebut, dapat disarankan untuk membentuk spiral pada pipa di dalam kondensor karena akan lebih memungkinkan untuk menyesuikan besarnya selubung kondensor yang diperlukan. Dari beberapa penelitian terdahulu, pipa kondensasinya biasanya berbentuk spiral dengan tujuan memperlambat laju asap dan mengefektifkan proses kondensasi Selain dimensi dan ukuran pipa serta kondensor, faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah faktor biaya.