SKRIPSI
APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
Oleh:
PAHRUDIN F24101068
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Pahrudin. F24101068. Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Ratih Dewanti-Hariyadi. 2006. RINGKASAN Penggunaan bahan yang dilarang seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Formalin dan boraks dilarang penggunaannya dalam makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/1999. Namun, dari tahun 1970-an sampai sekarang penggunaan kedua bahan yang dilarang tersebut masing berlangsung. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja. Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di daerah Jabotabek adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.914,36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie di daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3.423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.941,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005). Untuk itu perlu dilakukan upaya pencarian bahan pengawet yang diizinkan penggunannya dalam makanan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan bahan pengawet yang dapat meningkatkan umur simpan mie basah matang, serta analisis terhadap mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik terhadap mie basah matang yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pembuatan mie basah matang dalam skala laboratorium, aplikasi bahan pengawet pada mie basah matang, serta analisis mutu mie basah matang meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Tahap awal pembuatan mie dalam skala laboratorium adalah perlakuan pemberian garam alkali. Mie basah matang dengan mutu yang baik mempunyai warna yang kuning dan tekstur yang kenyal dan elastis. Karakteristik fisik ini dipengaruhi oleh adanya garam alkali. Dari ketiga jenis garam alkali yang digunakan (Na2CO3, K2CO3 dan NaOH), ternyata Na2CO3 menghasilkan mie basah matang yang berwarna kuning, bertekstur kenyal dan elastis. Selanjutnya dilakukan perlakuan pemasakan, yaitu perebusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, dan pengukusan yang diikuti dusting (penaburan) dengan tapioka. Dari ketiga perlakuan tersebut, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa menghasilkan mie yang lebih baik secara visual dibandingkan dua perlakuan lainnya. Selain itu, dilakukan pula berbagai perlakuan waktu pengukusan yaitu 5, 10, 15 dan 20 menit untuk
mendapatkan waktu pengukusan optimum. Dari keempat perlakuan waktu pengukusan didapat waktu pengukusan optimum 10 - 15 menit dan setelah dilakukan penelitian selanjutnya, didapatkan waktu pengukusan terbaik adalah 13 menit. Pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil paraben, kalsium propionat, natrium asetat, dan monolaurin. Kombinasi monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dengan parameter kerusakan bau asam, mempunyai umur simpan yang paling lama yaitu 56 jam. Berdasarkan pertimbangan biaya dipilih juga kombinasi metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% yang mempunyai umur simpan 52 jam. Mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Capropionat 0,075% + Na-asetat 2,5% mempunyai warna kuning, tekstur kenyal dan elastis. Aktivitas air (Aw) 0,96, kadar air 50,30% (bb), derajat keasaman (pH) 9,06, total asam tertitrasi (TAT) 4,73 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,08 CFU/g, sementara kapang dan kamir tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 8,23, sedangkan TAT meningkat menjadi 7,46 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 5,82 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan. Mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Naasetat 2,5% mempunyai warna lebih kuning, tekstur lebih kenyal tetapi kurang elastis dibandingkan mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%. Aktivitas air (Aw) 0,95, kadar air 50,79% (bb), derajat keasaman (pH) 9,10, total asam tertitrasi (TAT) 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,43 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, tetapi tidak signifikan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 5,99, sedangkan TAT meningkat menjadi 11,15 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 6,76 CFU/g, log kapang 2,40 CFU/g dan E. coli tidak ditemukan. Mutu organoleptik mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metilparaben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% meliputi bau tepung, bau asam, warna, kecerahan, tekstur, dan adanya lendir selama penyimpanan mengalami perubahan. Selama penyimpanan, bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun dari 6,95 menjadi 3,64), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,19 menjadi 2,66). Warna mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,46 menjadi 9,84) dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,97 menjadi 10,34). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,36 menjadi 6,02), sementara lendir mengalami peningkatan yang tidak signifikan (skor meningkat dari 0,27 menjadi 1,99). Mutu organoleptik mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Capropionat 0,075% + Na-asetat 2,5% juga mengalami perubahan selama penyimpanan. Bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun
dari 7,37 menjadi 4,20), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,21 menjadi 3,51), warna mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 6,16 menjadi 8,34), dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 6,99 menjadi 8,70). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,09 menjadi 5,62), sementara lendir mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 0,38 menjadi 3,10).
APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: PAHRUDIN F24101068
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh: PAHRUDIN F24101068 Dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1982 Di Karawang Tanggal Lulus:
Maret 2006
Menyetujui, Bogor,
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing I
Maret 2006
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Pahrudin, dilahirkan di Karawang pada tanggal 28 Maret 1982 dari pasangan Ayahanda Suma Sastrawinata dan Ibunda Karsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis ditempuh pada tahun 1989-1995 di SD Negeri Waringinkarya I. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP di SLTP Negeri Lemahabang dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 1998-2001 penulis menempuh pendidikan di SMU Negeri 3 Karawang. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis pernah menjadi pengurus Persatuan Remaja Islam Mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi Angkatan 38 (Prisma Pagi ’38) di divisi kesekretariatan tahun 2002. Penulis juga pernah menjadi panitia bedah buku ”Indahnya Pernikahan Dini” tahun 2002, panitia BAUR 2003. Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa Korindo. Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2 bulan dengan tema “Mempelajari Aspek Produksi dan Pengawasan Mutu Sirup di PT. Heinz ABC Indonesia Karawang”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ” Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang”. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada: 1. Mama dan Papa, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil selama ini. 2. Rohman adikku tercinta, dan kedua kakakku tersayang, Aa Kartono dan Teh Ratmi, yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis yang tak akan dapat dilupakan. 3. Ihat Solihat, yang selalu setia mendampingi penulis dalam suka dan duka, atas perhatian dan dukungan, serta atas kasih sayang dan cinta yang tulus. Tetaplah seputih melati. 4. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian maupun penyusunan tugas akhir. 5. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan kritik yang sangat membantu penulis. 6. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 7. Australian Wheat Board (AWB) yang telah mendanai penelitian ini. 8. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rojak, Pak Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, Mas Edi dan semua laboran di laboratorium Departemen ITP atas bantuan dan kerjasamanya. 9. Kelompok C1: Fajri, Sidiq, Anwar yang selalu kerja bareng selama praktikum, semoga selalu kompak. 10. Teman-teman satu bimbingan: Anwar, Tantri dan Daniel.
11. Tiga sekawan : Udin, Hadie, Sofyan yang selalu membuat penulis ceria 12. Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Chamdani, Sanjung, Mimi, Nia, Putri, Christina, Vivin, Astri, Hendry, Stela, Sigit, Derry, Riyadi, dan Gilang. 13. Sahabat-sahabat TPG 38 lainnya atas dukungan, kebersamaan dan persahabatan yang penuh makna. Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya yang sempurna selain karya-Nya. Dengan segala kekurangan yang masih ada, penulis berharap semoga tulisan ini tetap bermanfaat.
Bogor, Maret 2006 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………….....
Hal viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………
x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR ...………………………………………………………
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
xv
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ……………………………………………...
1
B. TUJUAN ……………………………………………………………
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE …………………………………………………………………
3
1. Jenis Mie ………………………………………………………..
4
2. Proses Pengolahan Mie Basah Matang …..……………………..
5
B. KERUSAKAN MIE BASAH MATANG .........................................
7
C. BAHAN PENGAWET ......................................................................
8
1. Metil Paraben ...............................................................................
11
2. Kalsium Propionat ........................................................................
12
3. Natrium Asetat .............................................................................
14
4. Monolaurin ...................................................................................
14
D. PENGGUNAAN BAHAN YANG DILARANG ..............................
16
1. Formalin .......................................................................................
16
2. Boraks ...........................................................................................
18
III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................
21
1. Bahan ............................................................................................
21
2. Alat ...............................................................................................
21
B. TAHAP PENELITIAN ......................................................................
21
1. Pembuatan Mie Basah Matang dalam Skala Laboratorium .........
22
2. Aplikasi Bahan Pengawet pada Mie Basah Matang......................
24
3. Analisis Mutu Mie Basah Matang ................................................
26
a. Mutu Fisik ..............................................................................
26
(1) Warna (Chromameter Minolta CR 200) ......................
26
(2) Tekstur (Texture Analyzer) ............................................
27
b. Mutu Kimia ............................................................................
28
(1) Aktivitas Air (Aw) (Aw-Meter Shibaura WA-360) .........
28
(2) Kadar Air (AOAC, 1995) ..............................................
29
(3) Derajat Keasaman (pH) (AOAC, 1984) .........................
29
(4) Total Asam Tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1985)
29
c. Mutu Mikrobiologi (Fardiaz, 1989) .......................................
30
d. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) .....................................
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN MIE BASAH MATANG DALAM SKALA LABORATORIUM .......................................................................... B. APLIKASI
BAHAN
PENGAWET
PADA
MIE
34
BASAH
MATANG .........................................................................................
39
C. PENGARUH BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE BASAH MATANG ...........................................................................
48
1. Mutu Fisik ...................................................................................
48
a. Warna .....................................................................................
48
b. Tekstur ...................................................................................
50
2. Mutu Kimia .................................................................................
52
a. Aktivitas Air (Aw) ..................................................................
52
b. Kadar Air ...............................................................................
54
c. Derajat Keasaman (pH) .........................................................
55
d. Total Asam Tertitrasi (TAT) .................................................
57
3. Mutu Mikrobiologi ......................................................................
58
4. Mutu Organoleptik ......................................................................
60
a. Bau Tepung ............................................................................
61
b. Bau Asam ..............................................................................
62
c. Warna ....................................................................................
63
d. Kecerahan (Brightness) .........................................................
65
e. Tekstur ...................................................................................
66
f. Adanya Lendir .......................................................................
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ..................................................................................
70
B. SARAN ..............................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
73
LAMPIRAN .....................................................................................................
79
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 .......................
Hal 3
Tabel 2. Beberapa jenis pengawet yang digunakan pada bahan makanan berdasarkan literatur ........................................................................
9
Tabel 3. Formulasi mie basah matang ...........................................................
22
Tabel 4. Konsentrasi garam alkali yang digunakan dalam pembuatan mie basah matang ...................................................................................
22
Tabel 5. Perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali .....................
23
Karakteristik fisik mie basah matang yang dihasilkan dari dua formulasi ………………………………………………………….
34
Tabel 7. Perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit terhadap karakteristik fisik mie basah matang ...............................................
36
Tabel 8. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ...................................................................................
37
Tabel 9. Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ...................................................................................
38
Tabel 10. Pengaruh penambahan pengawet terhadap karakteristik fisik mie basah matang ...................................................................................
40
Tabel 11. Pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap karakteristik fisik mie basah matang ............................................................................
43
Tabel 12. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ...................................................................................
45
Tabel 13. Hasil pengukuran warna mie basah matang ....................................
48
Tabel 14. Hasil pengukuran kekerasan (firmness) mie basah matang ............
50
Tabel 15. Analisis kelengketan (adhesiveness) mie basah matang .................
51
Tabel 6.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Diagram alir pembuatan mie basah secara umum ...…………..
Hal 21
Gambar 2.
Kurva hubungan kekerasan dan kelengketan …………………
28
Gambar 3.
Histogram pengaruh penambahan pengawet terhadap waktu kerusakan mie basah matang …………………………..……..
42
Histogram pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap umur simpan mie basah matang ………………………………
44
Histogram pengaruh perlakuan terhadap umur simpan mie basah matang dengan parameter bau asam ……………………
46
Gambar 6.
Histogram aktivitas air (Aw) mie basah matang ………..……..
53
Gambar 7.
Histogram kadar air (% bb) mie basah matang selama penyimpanan …………………………………………………..
54
Histogram derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan ..............................................................................
56
Histogram total asam tertitrasi (TAT) mie basah matang selama penyimpanan ..................................................................
57
Gambar 10. Grafik total plate count (TPC) mie basah matang selama penyimpanan ..............................................................................
59
Gambar 11. Grafik total kapang mie basah matang selama penimpanan ......
60
Gambar 12. Histogram uji skalar garis terhadap bau tepung mie basah matang selama penyimpanan .....................................................
61
Gambar 13. Histogram uji skalar garis terhadap bau asam mie basah matang selama penyimpanan .....................................................
63
Gambar 14. Histogram uji skalar garis terhadap warna mie basah matang selama penyimpanan ..................................................................
64
Gambar 15. Histogram uji skalar garis terhadap brightness mie basah matang .......................................................................................
65
Gambar 16. Histogram uji skalar garis terhadap tekstur mie basah matang selama penyimpanan ..................................................................
67
Gambar 17. Histogram uji skalar garis terhadap adanya lendir mie basah matang selama penyimpanan .....................................................
68
Gambar 4. Gambar 5.
Gambar 8. Gambar 9.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Form uji organoleptik ………………………………………..
Hal 79
Lampiran 2.
Analisis warna mie basah matang selama penyimpanan .........
80
Lampiran 3.
Analisis sidik ragam warna kontrol …………….……..……..
80
Lampiran 4.
Analisis sidik ragam warna sampel A …..……………………
80
Lampiran 5.
Analisis sidik ragam warna sampel B ….…………………….
81
Lampiran 6.
Kekerasan (firmness) mie basah matang ………………...…..
81
Lampiran 7.
Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan kontrol ……………………......................................................
81
Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel A ……………………………………………………..
82
Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel B ..................................................................................
82
Lampiran 10. Kelengketan (adhessiveness) mie basah matang selama penyimpanan …………………………………………………
82
Lampiran 11. Aktivitas air (Aw) mie basah matang .......................................
83
Lampiran 12. Analisis sidik ragam aktivitas air (Aw) mie basah matang ......
83
Lampiran 13. Kadar air mie basah matang selama penyimpanan ..................
83
Lampiran 14. Analisis sidik ragam kadar air kontrol .....................................
83
Lampiran 15. Analisis sidik ragam kadar air sampel A .................................
84
Lampiran 16. Analisis sidik ragam kadar air sampel B .................................
84
Lampiran 17. Derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan …………………………………………………
84
Lampiran 18. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH kontrol …..
85
Lampiran 19. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel A ..
85
Lampiran 20. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel B ..
85
Lampiran 21. Total asam tertitrasi mie basah matang (ml NaOH 0,1 N/100 g ) …………………………………………………………….
86
Lampiran 22. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT kontrol ...
86
Lampiran 23. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel A
86
Lampiran 24. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel B
87
Lampiran 25. Hasil analisis mikrobiologis mie basah matang yang dibuat pada skala laboratorium ...........................................................
87
Lampiran 8. Lampiran 9.
Lampiran 26. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel A ..................................................................................
88
Lampiran 27. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel B ..................................................................................
89
Lampiran 28. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel A ..................................................................................
89
Lampiran 29. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel B ..................................................................................
90
Lampiran 30. Analisis sidik ragam parameter warna sampel A ....................
90
Lampiran 31. Analisis sidik ragam parameter warna sampel B .....................
91
Lampiran 32. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kecerahan (brightness) sampel A ..............................................................
91
Lampiran 33. Analisis sidik ragam parameter kecerahan (brightness) sampel B ..................................................................................
92
Lampiran 34. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel A ..............................................................................................
92
Lampiran 35. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel B ...............................................................................................
93
Lampiran 36. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel A ..................................................................................
93
Lampiran 37. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel B ..................................................................................
94
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia. Selain lezat dan bergizi tinggi, pangan yang dikonsumsi harus aman. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat dikatakan masih sangat rendah. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, jumlah yang tidak mengerti lebih banyak. Hasil penelitian BPOM pada 2003 menunjukkan bahwa dari
19.456 sampel produk pangan sebanyak 5,6% tidak memenuhi
persyaratan. Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 15/09/2004). Karena itu, untuk menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang tidak aman dikonsumsi atau berbahaya bagi kesehatan perlu diadakan usaha keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan
benda
lain
yang
dapat
mengganggu,
merugikan,
dan
membahayakan kesehatan manusia (Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996). Upaya ini perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik dari produsen
maupun
konsumen.
Untuk
itu,
upaya-upaya
peningkatan
pengetahuan keamanan pangan menjadi sangat penting bagi produsen maupun konsumen. Meskipun demikian, sering dijumpai permasalahan produk pangan yang tidak memenuhi peraturan tersebut. Salah satu contohnya adalah produk mie basah. Penggunaan bahan yang dilarang, seperti formalin dan boraks, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah banyak dilakukan oleh para produsen. Mereka melakukan ini untuk meraih keuntungan yang lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan.
Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan yang dilarang, yaitu formalin dan boraks. Dari survei tersebut 13 industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%) menggunakan boraks. Sebanyak 12 industri (70,59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja. Kabid Humas Pimpinan Pemprop Sumatera Utara Eddy Syofian (2005) menyatakan bahwa dari 29 mie basah yang diuji oleh Balai POM Medan, 10 positif mengandung formalin dan 3 positif mengandung boraks (Waspada On Line, 30/12/2005). Balai Besar POM Yogyakarta selama tahun 2005 telah melakukan pengujian terhadap 40 sampel mie basah dan sebanyak 38 sampel mengandung formalin (Republika On Line, 29/12/2005). Kepala BPOM Sampurno (2006) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap 213 sampel mie basah menunjukkan 137 sampel mengandung formalin (www.kedaulatan-rakyat.com, 04/01/2006). Dari hasil tersebut, perlu usaha-usaha memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Usaha yang diperlukan adalah mencari alternatif bahan pengawet yang aman digunakan.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan mie basah matang dan pengaruhnya terhadap mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIE Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Dewan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Tabel 1. Syarat mutu mie basah No. Kriteria Uji 1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 2. Kadar air 3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering), 4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering) 5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna
6.
7. 8.
5.3 Formalin Cemaran logam : 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : 8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli 8.3 Kapang
Satuan % b/b % b/b
Persyaratan Normal Normal Normal 20 – 35 Maks. 3 Min. 3
% b/b
-
mg/kg mg/kg
Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.05
Koloni/g Maks. 1.0 x 106 APM/g Maks. 10 Koloni/g Maks. 1.0 x 104
1. Jenis Mie Menurut Pagani (1985) berdasarkan ukuran diameter produk, mie dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie (0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan baku, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance noodle) dari bahan baku pati misalnya soun dan bihun. Berdasarkan jenis produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis yaitu mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie instan).
Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang
hampir sama. Perbedaan keduanya adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan. Mie basah dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Pada proses pembuatan mie basah matang terdapat tahap pemasakan (perebusan/pengukusan) dan penambahan minyak sawit sehingga kadar airnya meningkat sampai 52%, sedangkan pada mie basah mentah tidak melewati tahapan tersebut sehingga kadar airnya sekitar 35% (Astawan, 1999). Menurut Winarno dan Rahayu (1994), berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie gandum dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie mentah/segar dengan kadar air 35%, dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, (2) mie basah dengan kadar air 52%, adalah mie mentah, yang sebelum dipasarkan mengalami penggodokan dalam air mendidih lebih dahulu, (3) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, (4) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng, dan (5) mie instan (mie siap hidang) di Jepang produk ini disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang telah mengalami pengukusan dan dikeringkan atau digoreng sehingga menjadi mie instan.
2. Proses Pembuatan Mie Basah Matang Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mie basah matang adalah tepung terigu, garam dapur, air dan garam alkali (Bogasari, 2005). Terigu merupakan bahan dasar utama dalam pembuatan mie.
Garam
berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, pengikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Astawan, 1999). Garam alkali yang bisa terdiri atas kalium karbonat (K2CO3), natrium karbonat (Na2CO3) atau kalium polifosfat (KH2PO4) berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik. Secara khusus, natrium karbonat lebih berperan untuk kehalusan tekstur, kalium karbonat untuk meningkatkan kekenyalan sedangkan kalium polifosfat untuk
meningkatkan
elastisitas dan
fleksibilitas mie (Badrudin, 1994). Air berfungsi untuk melarutkan garam dapur dan garam alkali, serta membantu pada pembentukan gluten (Winarno dan Rahayu, 1994). Bahan pengembang kadang digunakan dalam proses pembuatan mie. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah Carboxymethyl Cellulose (CMC), Na-casseinate dan Na-alginat. Bahan-bahan tersebut berfungsi untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak sewaktu penggorengan (Sunaryo, 1985). Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses pencampuran, pengadukan, pembentukan lembaran, pengistirahatan, penipisan,
pemotongan,
pemberian
minyak
sawit.
perebusan/pengukusan, Tahap
pendinginan
pencampuran
bertujuan
dan untuk
menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses
pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan sekitar 34 - 40% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran.
Jika air yang
ditambahkan lebih dari 40%, adonan menjadi basah dan lengket (Bogasari, 2005). Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40 0C.
Apabila
suhunya kurang dari 25 0C adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40 0C adonan menjadi lengket dan mie kurang elastis (Badrudin, 1994). Pengadukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengadukan dengan kecepatan lambat selama 1 menit.
Selanjutnya
pengadukan dilakukan dengan kecepatan sedang selama 4 menit. Pengadukan ini berfungsi untuk mendistribusikan air secara merata pada tepung (Bogasari, 2005). Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994). Bogasari (2005) menyatakan bahwa pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah pembentukan lembaran dari
adonan dengan jarak roll 3 mm.
Tahap kedua, lembaran yang telah
terbentuk dilipat menjadi tiga bagian dan dilewatkan kembali pada roll yang berjarak 3 mm sebanyak dua kali. Tahap ketiga, lembaran tersebut dilipat menjadi dua bagian dan dilewatkan kembali di antara dua roll yang berjarak 3 mm. Selanjutnya lembaran digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten. Setelah diistirahatkan, lembaran ditipiskan sampai terbentuk lembaran dengan ketebalan 1,5 mm. Lembaran dengan ketebalan 1,5 mm inilah yang siap untuk dipotong menjadi untaian benang-benang mie. Setelah tahap pemotongan lembaran didapatkan produk berupa mie basah mentah. Untuk memperoleh produk mie basah matang, selanjutnya mie direbus atau dikukus. Proses perebusan dilakukan selama 2 menit, sedangkan proses pengukusan dilakukan selama 13 menit. Pemasakan bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula
(Winarno, 1991).
Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan
membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994). Setelah itu didinginkan dalam air es selama 1 menit untuk menghentikan reaksi kimia yang masih terjadi. Tahap terakhir dalam pembuatan mie basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran mie dengan minyak sawit dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain serta untuk memberikan citarasa agar mie tampak mengkilap (Mugiarti, 2001; Bogasari, 2005). B. KERUSAKAN MIE BASAH MATANG Kerusakan mie basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam (Astawan, 1999). Kerusakan yang terjadi adalah tumbuhnya kapang, sedangkan perubahan warna tidak terjadi, karena pemasakan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Setelah terjadi perubahan warna, perubahan yang timbul adalah aroma mie menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir. Pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mie. Miselium kapang pada mie umumnya berwarna putih atau hitam (Hoseney, 1998). Mikroba yang terdapat pada mie diduga berasal dari bahan baku mie yaitu tepung.
Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang terdapat
pada tepung adalah kapang, kamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa terdapat pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium. Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium. Selain dari tepung, mikroorganisme yang tumbuh pada mie kemungkinan juga berasal dari air yang digunakan dalam pembuatannya. Mikroorganisme yang terdapat dalam air yang tidak tercemar adalah kamir, spora Bacillus, spora Clostridium dan bakteri autotrop (Alcamo, 1983).
Mie basah mudah mengalami kerusakan atau kebusukan sehingga banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan mie basah dengan penambahan bahan kimia tertentu. Seringkali bahan kimia yang ditambahkan bukan bahan pengawet yang ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan terlarang seperti formalin dan boraks banyak dilakukan oleh produsen mie basah di daerah Jabotabek (Indrawan, 2005). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Gracecia dan Priyatna (2005) terhadap pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah Jabotabek, menunjukkan bahwa umur simpan mie basah mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang bisa mencapai 14 hari. Secara umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir sama (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005). Dari hasil survei dapat diketahui bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam, mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Begitupun halnya untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. C. BAHAN PENGAWET Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Depkes, 1988). Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam pangan yang mudah rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau kapang. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH atau keasaman dari pangan. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pengawet asam hampir tidak aktif dalam suasana netral, dan aktivitasnya meningkat bila pH diturunkan. Pengawet akan efektif bila digunakan dengan tepat pada bahan pangan dengan kondisi tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi pengawet untuk mencari dan memilih bahan pengawet yang dapat digunakan pada bahan pangan, dalam hal ini mie basah matang. Penggunaan antimikroba yang tepat
tergantung pada beberapa faktor termasuk zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan dan regulasi bahan pengawet yang digunakan. Beberapa pengawet yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Beberapa jenis pengawet yang digunakan pada bahan makanan berdasarkan literatur Konsentrasi Jenis/bahan yang digunakan Referensi Jenis pengawet makanan (%) Produk bakery, jus buah, marmalad, Belitz dan sirup, zaitun dan 0,03-0,06 Grosch (1999) pickle sour Metil paraben vegetables Produk bakery, minuman, dan 0,1 FDA (2001) sirup Sediaan keju 0,3 Depkes (1988) Kalsium propionat Roti 0,3 Smith (1993) Keju 0,8 Davidson dan Natrium asetat Condiments dan Branen (1994) 9-10 relishes Bautista et al. 0,025-0,05 Cottage cheese (1993) Monolaurin Mappiratu et al. Santan kelapa 0,25-1,0 (2003) Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemilihan bahan pengawet ini.
Menurut Alcamo (1983),
syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh bahan pengawet kimia adalah harus ekonomis, meningkatkan umur simpan makanan, aman pada level yang dibutuhkan, cepat diidentifikasi dengan analisis kimia, menunjukkan kemampuan antimikroba pada pH makanan, cepat larut, tidak menurunkan kualitas makanan, mudah dikontrol pada makanan, menunjukkan aktivitas terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan, terdistribusi secara seragam dalam makanan, tidak menghambat aktivitas enzim pencernaan dan harus menjadi alternatif terakhir setelah metode pengawetan yang lain telah digunakan.
Mie basah matang merupakan produk pangan yang mempunyai kisaran pH 8 – 9. Oleh karena itu pemilihan pengawet harus memperhatikan kondisi tersebut.
Pengawet yang dipilih harus mempunyai nilai pKa yang tinggi
sehingga diharapkan dapat bekerja pada suasana basa. Pengawet yang digunakan pada penelitian ini adalah metil paraben, kalsium propionat, natrium asetat dan monolaurin (Tabel 2). Pemilihan pengawet ini lebih diutamakan efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya yang biasa tumbuh dalam mie basah matang. Umumnya bahan pengawet atau zat antimikroba dalam bentuk asam lemah. Hal ini disebabkan kemampuan asam lemah dalam menembus membran plasma mikroba lebih efektif dalam bentuk terprotonasi, dan akan sangat efektif dalam bentuk tak terdisosiasi (Davidson, 2001). Oleh karena itu, pKa (pH dimana 50% asam dalam bentuk tak terdisosiasi) dari bahan pengawet sangat penting dalam pemilihan bahan pengawet untuk aplikasi yang spesifik. pKa sangat berhubungan erat dengan konstanta asam (Ka), karena pKa = -log Ka. Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar nilai Ka maka semakin kecil nilai pKa, atau semakin kuat suatu asam. Sebaliknya, semakin besar nilai pKa maka semakin lemah sifat asamnya. Secara umum senyawa asam yang memiliki pKa > 4 termasuk asam lemah. Oleh karena itu, paraben, propionat dan asetat termasuk asam lemah karena Paraben memiliki nilai pKa 8,5 (Smith, 1993), propionat memiliki nilai pKa 4,9 (http://webmineral.com/chem/Chem-Ca.shtml; Smith, 1993), dan asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Doores, 1983; Smith, 1993). Selain itu, metil paraben, kalsium propionat dan natrium asetat dipilih karena memiliki nilai pKa yang cukup tinggi. Dengan tingginya nilai pKa diharapkan masih banyak asam dalam bentuk tak terdisosiasi sehingga akan efektif membunuh mikroba. Pada penelitian ini juga digunakan monolaurin sebagai pengawet. Monolaurin
adalah
monoasilgliserol
(MAG)
dari
asam
laurat.
Monoasilgliserol selain berfungsi sebagai pengemulsi, juga dapat berfungsi sebagai antimikroba. Monolaurin dilaporkan mempunyai aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas mencakup bakteri gram positif, kapang dan kamir serta sebagian bakteri gram negatif (Kabara, 1984). Penggunaan monolaurin
sebagai pengawet pada bahan pangan sudah dilakukan oleh beberapa ilmuwan dalam penelitiannya. Bautista dan Griffiths (1992) melaporkan monolaurin dalam cottage cheese dapat memperpanjang masa simpan 4 – 5 hari tanpa mempengaruhi sifat organoleptik keju lembut tersebut. Penggunaan monolaurin 250 dan 500 ppm dalam cottage cheese dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas sp, koliform, kamir dan kapang di atas 90% selama 7 hari penyimpanan pada suhu 6, 15 dan 21 oC (Bautista et al., 1993 di kutip Mappiratu, 1999). Monolaurin dapat membunuh Vibrio parahaemolitycus (Beuchat, 1980 di kutip Mappiratu, 1999). Penelitian yang dilakukan Schlievert et al. (1992) di kutip Mappiratu (1999), mengindikasikan bahwa monolaurin efektif untuk menghambat atau menunda produksi eksotoksin oleh bakteri patogen gram positif. Dari penelitian tersebut belum ada informasi tentang penggunaan monolaurin pada mie basah matang. Oleh karena itu, penggunaan monolaurin dilakukan untuk melihat efektifitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada mie basah matang. Selain itu, monolaurin tidak dipengaruhi pH produk dan efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif serta beberapa jenis kapang dan kamir (Kato, 1981). a. Metil Paraben Paraben adalah ester dari asam parahidroksi benzoat dan diizinkan sebagai pengawet yang aman untuk digunakan pada makanan ataupun farmasi. Paraben tersedia dalam bentuk metil, etil, propil dan butil paraben. Paraben digunakan pada bahan pangan karena efektif menghambat pertumbuhan kapang dan kamir. Paraben mempunyai kisaran pH yang luas, yaitu pH 1 – 14, sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Aktivitas antimikroba paraben semakin tinggi dengan meningkatnya panjang rantai alkil. Akan tetapi rantai alkil yang pendek lebih dipilih karena kelarutannya yang lebih baik. Pada penelitian ini digunakan metilparaben. Pemilihan gugus metil bertujuan untuk memperoleh kelarutan yang lebih baik karena dalam aplikasinya akan dicampurkan dengan air (Smith, 1993) dan metil paraben mudah didapatkan.
Metil paraben (C8H8O3) mempunyai sifat hampir tidak berbau, berbentuk kristal putih, larut dalam air, etanol, propilen glikol dan eter, serta memiliki titik lebur 125-128 oC, dan mempunyai efek samping berasa
pahit
(http://www.chemicalland21.com/lifescience/foco/
PARABENS%20(METHYL,%20ETHYL,%20PROPYL,%20BUTYL).ht m.). Nama lain dari metil paraben adalah Methyl 4-hydroxybenzoate; Methyl Chemosept; Methyl Parasept; 4-Hydroxybenzoic acid methyl ester; Nipagin M; Tegosept M; Aseptoform; Nipagin; 4-Hydroxy methyl benzoate. Sebagai pengawet, paraben digunakan sebanyak 0,03 – 0,06% pada produk bakery, jus buah, marmalad, sirup, zaitun dan pickle sour vegetables (Belitz dan Grosch, 1999). Digunakan pula pada produk minuman, produk buah-buahan, jem, jeli, gelatin, ikan asap, dan salad dressing
(http://www.efsa.eu.int/science/afc/afc_opinions/630/opinion_
afc16_ej83_parabens_v2_en1.pdf). Paraben juga digunakan pada produk daging, snack berbahan dasar sereal dan kentang, coated nut, dan produk konfeksioneri (www.foodproductiondaily.com, 30/09/2004). Metil paraben termasuk GRAS (Generally Recognize As Save) (21 CFR 184.1670). Paraben digunakan sebanyak 0,1% pada produk bakery, minuman dan sirup (FDA, 2001). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) dari alkil
ester
paraben
berkisar
antara
0-7
mg/kg
berat
badan
(http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj06.htm). Namun, European Commission (EU) Scientific Committee for Food (SCF) (1994), nilai ADI (Acceptable Daily Intake) berkisar antara 0-10 mg/kg berat badan (untuk metil, etil dan propil paraben serta garamnya). b. Kalsium Propionat Propionat (C2H6O2) umumnya digunakan sebagai penghambat kapang dan kamir. Pada pH 6, propionat dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembentuk spora (Belitz dan Grosch, 1999). Mie basah matang mempunyai pH 8 – 9, sehingga popionat yang digunakan adalah dalam bentuk garamnya. Garam-garam propionat tersedia dalam bentuk
kalsium, kalium dan natrium propionat. Pada penelitian ini digunakan kalsium propionat karena mudah didapatkan. Kalsium propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) berbentuk serbuk putih, berbau tengik dan menyengat, bersifat larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak larut dalam aseton dan benzena. Kalsium propionat mempunyai kisaran nilai pH 7,0 – 9,0 (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/ ndustrialchem/organic/CALCI UM%20PROPIONATE.htm), sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Nama lain dari kalsium propionat adalah Propanoic acid calcium salt; Calcium dipropionate; Propionate de calcium; Calcium propanoate. Kalsium propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi (Merck Index, 1989). Propionat bersifat non toksik dan biasa digunakan sebagai pengawet pada produk bakery untuk menghambat kapang dan mencegah ropiness yang disebabkan oleh Bacillus mesentericus (Belitz dan Grosch, 1999), juga pada jem, jeli, puding, gelatin
dan
beberapa
meat
product
(http://www.ams.usda.gov/
nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropionate.pdf). Propionat merupakan bahan pengawet yang termasuk GRAS (21 CFR 184.1221). Penggunaannya pada bahan pangan antara 0,1 - 0,4 % (http://www.ams.usda.gov/nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropio nate.pdf), pada roti maksimal sebesar 3000 ppm dan pada produk confectionary sebesar 1000 ppm (Smith, 1993), sedangkan pada produk yang berbahan dasar terigu adalah 0,38% (Dessroir, 1977). Kalsium propionat digunakan pada roti (0,2%) dan sediaan keju (0,3%) (Permenkes RI No.722/MENKES/PER/IX/1988). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) kalsium atau natrium propionat
berkisar
antara
0–20
mg/kg
berat
(http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj13.htm).
badan Dari
segi toksisitas, kalsium propionat mempunyai nilai LD50 sebesar 3.920 mg/kg berat badan (tikus).
c.
Natrium Asetat Natrium asetat (CH3COONa) berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat higroskopis, memiliki titik lebur 324oC, larut dalam air dan etoksietan serta sedikit larut dalam etanol (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/ organic/SODIUM%20ACETATE.htm). Natrium asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai buffer pada produksi petroleum, sebagai pengawet dan pada industri elastomer. Natrium
asetat
mempunyai
kisaran
pH
8,0
–
9,0
(http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/SODIU M%20ACETATE.htm), sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Nama lain dari natrium asetat adalah Acetic acid sodium salt; Acetic acid sodium salt (1:1); Sodium Ethanoate; Acetate De Sodium; Natrium Aceticum. Natrium asetat lebih efektif terhadap kamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang (Ingram et al., 1956). Sebagai bahan pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS (21 CFR 184.1721). Natrium asetat dapat digunakan pada saos, mayonaisse, acidpickle vegetables, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch, 1999). Penggunaan asetat pada keju (0,8%) dan sebagai pickling agent pada condiments dan relishes adalah 9% (Davidson dan Branen, 1993). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) natrium asetat tidak dinyatakan ttp://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je05.htm). Dari segi toksisitas, natrium asetat mempunyai nilai LD50 sebesar 3.530 mg/kg berat badan (tikus). d.
Monolaurin Asam laurat pertama kali ditemukan dalam minyak kelapa oleh John J. Kabara, pada tahun 1960-an. Asam laurat merupakan asam lemak rantai sedang (medium chain fatty acid). Asam lemak rantai sedang dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba. Asam laurat (C12) memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan asam kaprat (C10)
dan asam miristat (C14) (Kabara, 1984). Asam laurat merupakan asam lemak utama dalam minyak kelapa (45 – 50 %) dan palm kernel oil (45 – 55 %) (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/ LAURIC%20ACID.htm). Asam laurat juga ditemukan dalam breast milk. Kadar asam laurat dalam minyak kelapa 48% (hampir setara dengan air susu ibu/ASI yang kadarnya 50 %) (Fife, 2003). Asam laurat dalam bentuk monoasil-gliserol laurat (monolaurin) mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan asam lemaknya. Monolaurin diperoleh dari hidrolisis trilaurin yang banyak terdapat pada minyak
kelapa
ataupun
pada
palm
kernel
oil
(PKO)
(www.palcomtech.com). Monolaurin berperanan sebagai inhibitor bakteri gram positif, kapang, kamir, virus HIV-1 dan sel-sel tumor (Kato, 1981). Selain itu, monolaurin juga sangat efektif membunuh berbagai jenis mikroorganisme seperti HIV, hepatitis C, herpes, influensa, Cytomegalovirus, Streptoccocus sp, Staphiloccocus sp, Gram positif dan Gram negatif, Helicobacter pyroli, Candida (www.lauric.org). Penggunaan monolaurin sebagai bahan pengawet pangan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Bautista dan Griffiths (1992) melaporkan monolaurin dalam cottage cheese dapat memperpanjang masa simpan 4 – 5 hari tanpa mempengaruhi sifat organoleptik keju lembut tersebut. Penggunaan monolaurin 250 dan 500 ppm dalam cottage cheese dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas sp, koliform, kamir dan kapang di atas 90% selama 7 hari penyimpanan pada suhu 6, 15 dan 21 oC (Bautista et al., 1993 di kutip Mappiratu, 1999). Monolaurin dapat membunuh Vibrio parahaemolitycus (Beuchat, 1980 di kutip Mappiratu, 1999). Penelitian yang dilakukan Schlievert et al. (1992) di kutip Mappiratu (1999), mengindikasikan bahwa monolaurin efektif untuk menghambat atau menunda produksi eksotoksin oleh bakteri patogen gram positif. Monolaurin termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe) dan banyak digunakan dalam food supplement sebagai antibakteri dan antivirus. Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) dari monolaurin tidak
terbatas (http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je44.htm). Dari segi toksisitas, asam laurat mempunyai nilai LD50 sebesar 12.000 mg/kg berat badan (tikus). D. PENGGUNAAN BAHAN YANG DILARANG 1. Formalin Formalin adalah larutan formaldehid dalam air dengan kadar 36 – 40%. Nama lain formalin adalah Formol, Morbicid, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, formoform, atau paraforin. Di pasaran, formalin juga bisa diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehid 10, 20 dan 30%. Di samping dalam bentuk cairan, formalin dapat diperoleh dalam bentuk tablet yang masing-masing mempunyai berat 5 gram (Winarno dan Rahayu, 1994). Formalin biasanya juga mengandung alkohol sebanyak 10 – 15% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formaldehid tidak mengalami polimerisasi. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana, namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif di antara aldehid yang lain. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfir untuk membentuk asam format. Senyawa ini juga mudah mengalami oksidasi oleh cahaya matahari menjadi karbon dioksida (WHO, 2002). Pada suhu 150oC, formaldehid terdekomposisi menjadi metanol dan karbon monoksida. Selain itu, formaldehid mampu berkondensasi dengan banyak komponen membentuk turunan metilol dan metilen (IARC, 1982). Formaldehid mempunyai banyak kegunaan dalam industri. Senyawa ini digunakan dalam produksi plastik dan resin, produk intermediet, dan keperluan lain yang bervariasi seperti agen pengkelat. Salah satu penggunaannya yang paling umum adalah dalam resin ureaformaldehid dan melamin-formaldehid. Di Amerika Serikat, resin dan plastik yang berbasis formaldehid mencapai 60%. Resin formaldehid digunakan sebagai alat perekat pada produksi triplek dan kayu.
Formaldehid diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi, sebagai pengawet, dan bahan pembersih rumah tangga. Fungsinya sebagai desinfektan untuk membunuh virus, bakteri, fungi, dan parasit baru efektif jika konsentrasi penggunaannya besar. Algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain cukup sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi akut letal berkisar 0,3-22 mg/l (WHO, 1989). Mekanisme formaldehid sebagai desinfektan adalah membunuh sel dengan cara mendehidrasi sel jaringan dan sel bakteri dan menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku seperti gel sehingga sel bakteri akan kering. Formaldehid sangat reaktif dan sangat larut dalam air. Oleh karena lapisan mucous epitelium saluran pernapasan 95% tersusun dari air, formaldehid dengan mudah terserap ke dalam membran mucous saluran pernapasan atas. Walaupun demikian, paparan formaldehid melalui inhalasi tidak memperlihatkan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi formaldehid dalam darah (Heck et al., 1985). Studi dilakukan terhadap tikus, monyet, dan manusia, dengan dosis paparan masing-masing 14,4 ppm selama 2 jam untuk tikus, 6 ppm selama 4 minggu untuk monyet, dan 1,9 ppm selama 40 menit untuk manusia. Konsentrasi formaldehid dalam darah diukur sebelum dan sesudah pemaparan, dengan hasil berturut-turut 2,24/2,25 μg/g (tikus), 2,42/1,84 μg/g (monyet), dan 2,61/2,77 μg/g (manusia). Akan tetapi, beberapa objek yang lain memperlihatkan adanya perbedaan kandungan formaldehid yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemaparan. Hal ini membuktikan perbedaan variasi pada individu (Heck et al., 1985). Kandungan formaldehid diukur pada beberapa jaringan tikus yang dipaparkan formaldehid (14C-formaldehid) selama 6 jam. Konsentrasi formaldehid tertinggi terdapat dalam esofagus, diikuti ginjal, hati, usus, dan paru-paru. Hal ini berarti
14
C-formaldehid cepat didistribusikan dari
aliran darah ke seluruh tubuh (WHO, 1989).
2. Boraks
Boraks merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Boraks merupakan garam natrium Na2B4O7.10H2O (natrium tetraborat dekahidrat) yang banyak digunakan di industri non pangan (Winarno dan Rahayu, 1994).
Boraks
pertama kali ditemukan di danau Searles, California, Amerika Serikat. Boraks yang ditemukan di danau Searles mempunyai berat molekul 381,44 dan pH dari 0,1 M larutan boraks adalah 9,2. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, sabun, perekat, kosmetik, lapisan kertas, desinfektan buahbuahan dan sebagai pelarut gum, dextrin, dan kasein. Selain itu, boraks juga digunakan pada industri kulit, kertas, plastik, dan kaca (Anonim, 1982). Menurut Egan et al. (1981), boraks merupakan pengawet makanan yang sudah ada sejak dulu, tetapi dilarang penggunaannya pada tahun 1925. Larangan ini dilonggarkan selama perang dunia II dengan mengizinkan penggunaan boraks di dalam minyak babi dan margarin. Kelonggaran ini dicabut kembali pada tahun 1959 oleh FSC (Food Standard Committee) dengan alasan bahwa pengawet boron sebagai bahan yang tidak diinginkan karena bersifat kumulatif (menimbulkan efek dengan penambahan berturut-turut) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), daya pengawetan boraks kemungkinan disebabkan adanya senyawa aktif asam borat. Asam borat merupakan asam organik lemah yang sering digunakan sebagai antiseptik. Boraks ternyata memiliki efek toksik (Brooks et al., 1973 di dalam http://infoventures.com/e-hlth/pestcide/borax.html), di antaranya: a. Toksisitas oral akut. Akut oral dengan LD50 5.400 mg/kg pada tikus jantan dan 5.000 mg/kg pada tikus betina. b. Toksisitas dermal akut. Akut dermal (kulit) dengan LD50 >2.000 mg/kg pada kelinci. c. Skor iritasi primer, pada kelinci, 0.5 gram tidak menyebabkan iritasi kulit. d. Iritasi mata primer, iritasi pada mata kelinci.
a. Kronik karsinogenik. Tikus yang diberi ransum mengandung boraks selama dua tahun perlakuan, tidak ditemukan efek karsinogenik. e. Kronik dalam pertumbuhan. Ransum yang mengandung 0.1% asam borat tidak memberikan efek dalam perkembangan tikus selama masa kehamilan. f. Kronik reproduksi. Jika ransum yang mengandung 1.03% boraks diberikan pada tikus sampai turunan ketiga, maka fertilitas menurun. g. Pada manusia, toksisitas akut memberikan gejala keracunan seperti halusinasi, muntah, diare, dan sakit perut. Pada anak-anak yang menelan 5 sampai 10 gram boraks dapat menyebabkan kematian mendadak. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), daya toksisitas boraks adalah sebagai berikut : LD50 akut 4,5 – 4,98 g/kg berat badan (tikus). Di samping besar pengaruhnya terhadap enzim-enzim metabolisme, boraks juga dapat mempengaruhi alat reproduksi. Boraks juga dapat berpengaruh buruk seperti mengganggu berfungsinya testis (testicular).
Kerusakan
testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari dengan akibat testis mengecil dan pada dosis yang lebih tinggi, yaitu 5250 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad. Formalin dan boraks merupakan bahan pengawet yang dilarang penggunaannya dalam bahan pangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/1999). Namun demikian, dari tahun 1970-an sampai sekarang penggunaan formalin pada produk pangan terutama mie basah masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh laboratorium Farmakologi dan Toksikologi UGM, melaporkan penggunaan boraks dan formalin pada beberapa industri mie basah di kabupaten Bantul, Yogyakarta (Kompas, 30/04/02). Badan POM juga melaporkan lebih dari 80% mie basah yang dijual di pasaran Bandung (dari 29 sampel yang diuji) mengandung formalin dan boraks (Kompas, 6/03/03). Survei yang dilakukan Gracecia (2005) pada pasar tradisional di daerah Jabotabek diketahui bahawa kandungan formalin rata-rata dalam
mie basah di pasar tradisional adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.914,36 mg/kg (mie basah matang). Di pedagang produk olahan mie, kandungan formalin rata-rata adalah 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3.423,51 mg/kg (mie basah matang).
Sementara itu,
kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di supermarket adalah 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.941,82 mg/kg (mie basah matang).
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu bahan untuk produksi mie dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk produksi mie adalah tepung terigu merk Segitiga Biru, tepung terigu merk Cakra Kembar, garam dapur, soda abu, air, aquades, minyak sawit, minyak kelapa, kalsium propionat, metil parabens, natrium asetat dan monolaurin. Bahan yang digunakan untuk analisis digunakan media Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA), Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), Tryptone Broth (TB), Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP), Koser Citrate (KS), pereaksi IMViC, NaCl, plastik High Density Polyethylene (HDPE), alkohol 70%, spiritus, NaOH 0,1 N, asam oksalat dan fenolftalein. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam produksi mie adalah noodle machine, mixer, timbangan, baskom, peralatan memasak, saringan, gelas ukur, gelas piala, sendok dan pisau. Peralatan yang digunakan untuk analisis fisik, kimia dan mikrobiologi adalah kromameter Minolta tipe CR 20, Aw-meter Shibaura WA-360, texture analyzer, cawan aluminium, oven, neraca analitik, desikator, stomacher, inkubator, bunsen, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, mikro pipet, tips, otoklaf, hot plate, buret, labu takar, dan pH-meter. B. TAHAP PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan mie basah matang dalam skala laboratorium, aplikasi pengawet
pada mie basah matang, serta analisis mutu mie basah matang meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. 1. Pembuatan Mie Basah Matang dalam Skala Laboratorium Tahap awal pembuatan mie basah matang adalah dengan membuat mie dengan dua formula seperti yang tercantum dalam Tabel 3. Hasilnya kemudian dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, meliputi warna, tekstur dan elastisitas. Formula yang menghasilkan mie yang lebih baik digunakan dalam tahap selanjutnya. Tabel 3. Formula mie basah matang Bahan Tepung terigu Air Garam Natrium karbonat CMC
Komposisi (%)* Anonim (2003) Bogasari (2005) 100 100 35 34 2 1 0,32 0,6 0,2 -
* Semua perhitungan persen didasarkan pada berat tepung yang digunakan
Pada pembuatan mie selanjutnya sampel dibedakan dari jenis garam alkali yang digunakan dan perlakuan pemberian minyak sawit. Konsentrasi masing-masing garam alkali disajikan dalam Tabel 4., sedangkan perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali disajikan dalam Tabel 5. Tabel 4. Konsentrasi garam alkali yang digunakan dalam pembuatan mie basah matang Konsentrasi Garam alkali (% tepung terigu) Na2CO3 0,6 K2CO3
0,6
Na2CO3 + K2CO3 (1 : 1)
0,6
NaOH
0,5
sumber: Hou dan Kruk, 1998
Tabel 5. Perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali Pemberian garam alkali Pemberian Na2CO3 + K2CO3 minyak sawit Na2CO3 K2CO3 (1 : 1) Saat perebusan ● Setelah ● perebusan Saat perebusan ● Setelah ● perebusan Saat perebusan ● Setelah ● perebusan Saat perebusan Setelah perebusan
NaOH
● ●
Pembuatan mie basah matang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan menjadi adonan, pembentukan adonan menjadi lembaran, pemotongan lembaran menjadi untaian mie, pemasakan (perebusan/pengukusan) mie, dan pelumuran mie dengan minyak sawit. Diagram alir pada Gambar 1 menyajikan tahapan-tahapan pembuatan mie basah matang. Secara subyektif mie yang dihasilkan dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, yaitu warna, tekstur dan elastisitas. Kemudian dipilih mie yang paling bagus untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya adalah pembuatan mie dengan penambahan garam alkali dan perlakuan pemberian minyak sawit yang terbaik pada tahap pertama, tetapi minyak sawit diganti dengan minyak kelapa. Perlakuannya juga berbeda yaitu direbus, dikukus dan ditaburi tapioka. Penaburan dengan tapioka hanya dilakukan pada mie yang dikukus saja. Hasilnya kemudian dibandingkan secara subyektif dari segi karakteristik fisiknya (warna, tekstur, elastisitas). Kemudian dipilih hasil yang paling bagus untuk selanjutnya digunakan dalam pembuatan mie dengan penambahan pengawet.
Air, garam dapur, garam alkali, pengawet*
Terigu
Pencampuran
Pengadukan 5 menit
Pembentukan lembaran
Pengistirahatan 15 menit
Penipisan lembaran
Pemotongan
Pengukusan 100oC, 13 menit
Perebusan 100oC, 2 menit
Pendinginan
Pemberian minyak sawit
Mie basah matang
Keterangan: * = sesuai formula
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah matang 2. Aplikasi Bahan Pengawet Pada Mie Basah Matang Pengawet hasil eksplorasi kemudian diaplikasikan pada pembuatan mie basah matang untuk mengetahui efektivitasnya.
Konsentrasi
pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrasi tertinggi berdasarkan literatur. Pengawet tersebut digunakan secara tunggal maupun kombinasi. Metode yang digunakan adalah metode By Design. Pada metode ini perbandingan pengawet yang ditambahkan sama dengan satu. Perbandingannya menggunakan 0,25 dan kelipatannya atau 0,25; 0,50; dan 0,75. Jumlah masing-masing pengawet yang ditambahkan dihitung dari koefisiennya
dalam
kombinasi
dikalikan
konsentrasi
maksimum
penggunaannya dikalikan berat adonan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut: Jika satu jenis pengawet P=1
dengan P = konsentrasi maksimum yang diizinkan
Jika dua jenis pengawet P 1 : P2 = 1 0,50P1
: 0,50P2
= 1
0,75P1
: 0,25P2
= 1
0,25P1
: 0,75P2
= 1
dengan P1
= konsentrasi maksimum pengawet 1
P2
= konsentrasi maksimum pengawet 2
Jika tiga jenis pengawet P 1 : P2 : P 3 = 1 0,50P1
: 0,25P2
: 0,25P3
= 1
0,25P1
: 0,50P2
: 0,25P3
= 1
0,25P1
: 0,25P2
: 0,50P3
= 1
dengan P1
= konsentrasi maksimum pengawet 1
P2
= konsentrasi maksimum pengawet 2
P3
= konsentrasi maksimum pengawet 3
Jika empat jenis pengawet P 1 : P2 : P 3 : P4 = 1 0,25P1
: 0,25P2 : 0,25P3 :
0,25P4 = 1
dengan P1
= konsentrasi maksimum pengawet 1
P2
= konsentrasi maksimum pengawet 2
P3
= konsentrasi maksimum pengawet 3
P4
= konsentrasi maksimum pengawet 4
Perhitungannya sebagai berikut: Misalkan pengawet 1 (P1), konsentrasi maksimumnya 0,3%, koefisien dalam kombinasi sebesar 0,25, serta berat adonan mie 339 gram, maka banyaknya pengawet 1 (P1) yang ditambahkan (T): T = koefisien x konsentrasi maksimum x berat adonan T = 0,25 x 0,3% x 339 g = 0,2543 g Untuk pengawet yang lain dihitung dengan cara yang sama.
3. Analisis Mutu Mie Basah Matang a. Mutu Fisik (1) Pengukuran Warna menggunakan alat chromameter Minolta tipe CR 200 Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a dan b dari sampel dengan kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai + a (positif) dari 0 sampai + 100 untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran bitu-kuning dengan nilai + b (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning
dan nilai – b (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna.
Semakin tinggi
ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus : o
Hue = tan-1
b a
Jika hasil yang diperoleh : 18o – 54o
maka produk berwarna red (R)
54o – 90o
maka produk berwarna yellow red (YR)
90o – 126o
maka produk berwarna yellow (Y)
126o – 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o – 198o maka produk berwarna green (G) 198o – 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o – 270o maka produk berwarna blue (B) 270o – 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o – 342o maka produk berwarna purple (P) 342o – 18o
maka produk berwarna red purple (RP)
(2) Pengukuran Tekstur menggunakan Texture Analyzer Pengukuran
tekstur
dilakukan
terhadap
kekerasan
(firmness) dan kelengketan (adhesiveness). Penggunaan Texture
analyzer disesuaikan dengan settingan standar untuk pengukuran mie. Settingnya sebagai berikut: pre test (2,0 mm/s); test speed (0,1 mm/s); post test speed (2,0 mm/s); strain (75%); trigger type (auto, 10 g); data acquisition rate (200 pps). Sampel diletakkan
pada tempat yang telah disediakan sebanyak dua utas yang disusun sejajar (dempet). Lalu diklik tombol quick test run atau dengan menekan tombol ctrl+Q pada keyboard dan ditunggu beberapa saat sampai alat selesai mengukur. gf kekerasan
t (s) kelengketan
Gambar 2. Kurva hubungan kekerasan dan kelengketan Setelah selesai, kemudian diklik tombol absolute (+)
peak, yang menunjukkan kekerasan; dan diklik tombol absolute (-) peak, yang menunjukkan kelengketan serta dicatat semua datanya. Satuan kekerasan dan kelengketan adalah gram force. b. Mutu Kimia (1) Pengukuran Aktivitas Air (Aw) Menggunakan Aw-meter Shibaura WA-360 Alat yang digunakan untuk mengukur Aw adalah Awmeter Shibaura WA-360. Sampel diletakkan di dalam cawan sensor. Kemudian cawan sensor dimasukkan ke dalam sensor Aw-meter dan ditekan tombol start untuk memulai pengukuran. Nilai Aw dapat dibaca pada layar setelah ada tulisan completed. Sebelum digunakan untuk mengukur sampel, alat dikalibrasi
dengan NaCl jenuh (Aw = 0.750). Kalibrasi dilakukan dengan cara menempatkan NaCl pada cawan sensor yang kemudian dimasukkan ke dalam Aw-meter. Nilai Aw dibaca setelah ada tulisan ”completed” pada layar. Bila Aw yang terbaca tidak tepat 0.750, maka bagian switch diputar sampai angka yang terbaca tepat 0.750. Setelah itu, kalibrasi diulangi sampai tertulis ”completed” dan nilai Aw pada layar tertulis tepat 0.750. (2) Pengukuran Kadar Air (AOAC, 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan aluminium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapat bobot konstan. Sebanyak 2 – 10 gram contoh ditimbang dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam, dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit.
Setelah itu, cawan dan sampel
ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar air (% basis basah) =
a −b x100% a
Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram)
(3) Pengukuran pH (AOAC, 1984) Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 10 gram contoh dihaluskan, ditambahkan 100 ml air dan diaduk sampai merata.
Kemudian elektroda ditempatkan dalam sampel
sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.
(4) Pengukuran Total Asam Tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989). Sebanyak 10 gram sampel ditambahkan sedikit air, kemudian dihancurkan sampai menjadi pulp.
Kemudian
campuran dipanaskan sampai mendidih dan dipindahkan ke labu takar 100 ml. Selanjutnya ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diambil 25 ml larutan dan ditambahkan fenolftalein 3 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang telah distandaridisasi sampai terbentuk warna merah muda.
c. Mutu Mikrobiologi (Fardiaz, 1989) Mutu mikrobiologi ditentukan melalui analisis mikrobiologis. Analisis mikrobiologis yang dilakukan yaitu analisis total mikroba, total kapang dan total bakteri E. coli. Analisis total mikroba dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count). Sebanyak 25 gram sampel dimasukkan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 225 ml larutan pengencer steril.
Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan
menggunakan alat stomacher selama 60 detik sehingga dihasilkan sampel mie basah matang dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril dan diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya. Dari masing-masing pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan ditambahkan 15 – 20 ml medium PCA (Plate Count Agar) steril bersuhu 45 – 50oC (duplo). Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator dengan suhu 37oC
selama 2 hari. Penghitungan total mikroba dilakukan menggunakan metode Standard Plate Count (SPC). jumlah koloni Koloni/g = 2x(1+0,1+0,01+....)xpemupukan terendah
Analisis total kapang juga dilakukan dengan metode TPC menggunakan media APDA (Acidified Potato Dextrose Agar). Penghitungan jumlah koloni/g sampel dilakukan dengan metode SPC. Sedangkan analisis bakteri E. coli dilakukan dengan metode MPN (Most Probable Number) menggunakan media BGLBB (Brilliant Green Lactose Bile Broth) 3 seri.
Dengan cara yang sama, dari
masing-masing pengenceran dipipet 1 ml lalu dimasukkan secara steril ke dalam tabung berisi media BGLBB. Setelah itu dilakukan inkubasi selama 2 hari pada suhu 44oC. Jika ada pertumbuhan pada BGLBB, selanjutnya dilakukan uji penguat dengan penggoresan pada media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar). Koloni positif yang tumbuh pada media EMBA dilakukan uji konfirmasi dengan IMViC.
d. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) Mutu organoleptik ditentukan melalui uji oganoleptik. Uji organoleptik dilakukan dengan uji skalar garis menggunakan delapan orang panelis terlatih. Panjang garis yang digunakan adalah 15 cm. Nilai 0 terletak diujung kiri garis, nilai 15 terletak diujung kanan garis, sedangkan moderat terletak ditengah-tengah garis. Panelis memberikan tanda silang (X) pada garis setelah mereka melakukan uji sesuai respon masing-masing. Parameter yang diamati adalah bau tepung, bau asam warna, brightness, tekstur, dan adanya lendir. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan program komputer statistik untuk uji keragaman atau ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Program komputer statistik yang digunakan adalah SPSS 11.
Panelis terlatih didapatkan melalui pelatihan (training) terhadap delapan mahasiswa teknologi pangan semester delapan yang notabene
sudah
menjadi
panelis
semi-terlatih
karena
sudah
mendapatkan pengetahuan mengenai tata cara uji organoleptik dalam kuliah. Pelatihan dilakukan selama tiga minggu dan dalam seminggu diadakan pelatihan sebanyak tiga kali atau dua hari sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelelahan (fatigue) panelis. Pelatihan terhadap kelima parameter tersebut diuraikan sebagai berikut:
Bau tepung Tepung terigu dituangkan dalam wadah, kemudian dicium aroma tepung terigu tersebut beberapa saat. Perlakuan ini diulang sebanyak tiga kali sampai panelis dapat mengingat aroma tepung terigu. Pemberian nilai bau tepung pada uji skalar garis, makin ke kiri berarti intensitas bau tepung makin lemah dan makin ke kanan berarti intensitas bau tepung makin kuat.
Bau asam Mie basah matang yang terdiri dari dua macam yaitu mie basah matang yang masih segar (baru dibuat) dan mie basah matang yang sudah berumur satu hari atau sudah basi disajikan dalam piring. Kemudian dicium bau dari kedua mie tersebut beberapa saat. Perlakuan ini diulang sebanyak tiga kali sampai panelis dapat membedakan yang tercium bau asam dan tidak tercium. Pemberian nilai bau asam pada uji skalar garis, makin ke kiri berarti intensitas bau asam makin lemah dan makin ke kanan berarti intensitas bau asam makin kuat.
Warna Mie basah matang tanpa pewarna yang masih segar (baru dibuat) disajikan dalam piring yang berwarna putih. Kemudian diamati dengan seksama warna mie tersebut dan panelis memberikan respon masing-masing.. Pemberian nilai warna pada uji skalar
garis, makin ke kiri berarti warna makin coklat dan makin kekanan berarti warna makin kuning.
Kecerahan (brightness) Sama dengan parameter warna, untuk kecerahan juga digunakan mie basah matang tanpa pewarna yang masih segar (baru dibuat). Mie diamati dengan seksama dan panelis memberikan respon masing-masing. Pemberian nilai kecerahan pada uji skalar garis, makin ke kiri berarti makin gelap dan makin kekanan berarti makin cerah.
Tekstur Mie basah matang yang masih segar (baru dibuat) disajikan dalam piring. Kemudian diambil seuntai mie dan diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk dan dengan perlahan ditekan sampai mie hancur. Perlakuan ini dilakukan pada lima untaian mie yang diambil secara acak dan panelis memberikan respon masing-masing. Pemberian nilai tekstur pada uji skalar garis, makin ke kiri berarti tekstur makin lembek dan makin kekanan berarti tekstur makin keras.
Adanya lendir Mie basah matang yang terdiri dari dua macam yaitu mie basah matang yang masih segar (baru dibuat) dan mie basah matang yang sudah berumur satu hari atau sudah basi disajikan dalam piring. Mie tersebut dioles-oles permukaannya dengan ujung-ujung jari. Perlakuan ini dilakukan sebanyak tiga kali sampai panelis dapat membedakan yang berlendir dan tidak berlendir. Pemberian nilai adanya lendir pada uji skalar garis, makin ke kiri berarti lendir makin sedikit dan makin ke kanan berarti lendir makin banyak.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN
MIE
BASAH
MATANG
DALAM
SKALA
LABORATORIUM Pembuatan mie basah matang pertama kali dilakukan menggunakan formula Anonim (2003) dan formula Bogasari (2005). Mie yang dihasilkan kemudian dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, meliputi warna, tekstur dan elastisitas. Berdasarkan hasil pengamatan, mie basah matang yang dibuat dengan dua fomula tersebut menghasilkan karakteristik fisik yang berbeda, seperti yang disajikan dalam Tabel 6. Mie dengan formula Bogasari (2005) mempunyai warna yang lebih kuning dibandingkan dengan mie dengan formula Anonim (2003). Warna kuning ini berasal dari pigmen flavonoid yang terdapat pada tepung. Pigmen warna ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali (Kruger et al., 1996; Hatcher, 2001). Semakin tinggi pH maka pigmen flavonoid yang terlepas semakin banyak, sehingga warna yang dihasilkan semakin kuning. Tabel 6.
Karakteristik fisik mie basah matang yang dihasilkan dari dua formula Formula Warnaa) Teksturb) Elastisitasc)
Anonim (2003) dengan CMC
++
++
+
Bogasari (2005) tanpa CMC
+
+
++
Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa penambahan CMC ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur mie. Tekstur mie yang kenyal dihasilkan dari formula Bogasari (2005) yang konsentrasi garam alkalinya lebih tinggi dibandingkan formula Anonim (2003), seperti yang tercantum dalam Tabel 3. Selain dapat meningkatkan pH, garam alkali juga dapat meningkatkan kekenyalan dan kehalusan tekstur mie (Badrudin, 1994). Penambahan CMC dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pengembangan adonan
(Sunaryo, 1985). Namun demikian, mie yang ditambahkan CMC mempunyai karakteristik fisik yanng lebih elastisitas dibandingkan mie tanpa CMC. Berdasarkan hasil ini maka dapat diketahui bahwa mie yang dibuat dengan formula Bogasari (2005) (tanpa CMC) lebih baik dari segi warna dan teksturnya dibandingkan mie dengan formula Anonim (2003) (dengan CMC). Oleh karena itu, pembuatan mie basah matang selanjutnya dilakukan dengan menggunakan formula Bogasari (2005). Selain
warna dan tekstur yang
dihasilkan lebih baik, secara umum para produsen mie basah tidak menggunakan CMC karena harga CMC yang cukup mahal akan berkontribusi terhadap biaya produksi. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya (Tabel 6) diketahui bahwa warna dan tekstur mie basah matang dipengaruhi oleh adanya garam alkali yang dicampurkan pada adonan mie. Oleh karena itu, pada tahap selanjutnya dilakukan pembuatan mie basah matang menggunakan beberapa jenis garam alkali yang biasa digunakan pada pembuatan mie. Garam alkali yang digunakan adalah Na2CO3, K2CO3 dan NaOH. Konsentrasi masing-masing garam alkali disesuaikan dengan konsentrasi yang biasa digunakan pada pembuatan mie secara umum. Natrium karbonat (Na2CO3) digunakan pada pembuatan Chinese wet noodle dan pada pembuatan mie basah secara umum di Indonesia dengan konsentrasi 0,6% dari berat tepung terigu (Bogasari, 2005). Kalium karbonat (K2CO3) digunakan pada pembuatan Chukamen noodle dengan konsentrasi 0,6% dari berat adonan, sedangkan natrium hidroksida (NaOH) digunakan pada pembuatan Hokkien noodle dengan konsentrasi 0,5% dari berat adonan (Hou dan Kruk, 1998). Agar hasilnya dapat dibandingkan, maka semua garam alkali dihitung berdasarkan berat tepung terigu dengan persentase tetap. Mie basah mentah sangat rentan terhadap reaksi pencoklatan enzimatis, sedangkan mie basah matang relatif lebih tahan. Hal ini disebabkan enzim polifenol-oksidase (PPO) telah diinaktifkan selama perebusan. Mie basah mentah yang masih segar berwarna kekuningan. Warna mie basah matang di pasaran lebih dipengaruhi oleh pewarna buatan. Dalam penelitian ini, mie dibuat tanpa penambahan pewarna buatan. Namun demikian, dengan
adanya penambahan minyak sawit menjadikan warna mie basah matang berbeda dengan warna mie basah mentah. Oleh karena itu, dilakukan pula perlakuan penambahan minyak sawit pada saat perebusan dan setelah perebusan untuk memperoleh warna mie basah matang yang lebih bagus. Pengukuran karakteristik fisik mie basah matang dilakukan secara subyektif. Penilaian secara subyektif sangat tergantung pada interpretasi masing-masing panelis terhadap suatu produk. Namun demikian, secara keseluruhan dapat diketahui perbedaan antar sampel mie basah matang. Pada pengamatan subyektif ini digunakan tiga orang panelis tetap. Hal ini dilakukan untuk menghindari perbedaan interpretasi yang besar antar sampel yang sejenis. Hasil penilaian mie basah matang dengan perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit terhadap karakteristik fisik mie basah matang Penambahan Pemberian Warnaa) Teksturb) Elastisitasc) garam alkali minyak sawit Saat perebusan + + + Na2CO3 0,6% Setelah perebusan + + + Saat perebusan ++ + ++ K2CO3 0,6% Setelah perebusan ++ + ++ Na2CO3 0,3% Saat perebusan ++ +++ + + K2CO3 Setelah perebusan ++ ++ + 0,3% Saat perebusan +++ +++ ++ NaOH 0,5% Setelah perebusan +++ ++ ++ Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 7) diketahui bahwa penambahan garam alkali sangat berpengaruh terhadap tekstur mie basah matang. Dari ketiga garam alkali yang ditambahkan, terlihat bahwa mie basah matang dengan tekstur yang kenyal dan elastis adalah yang ditambah Na2CO3. Mie basah matang yang ditambah K2CO3 juga dapat meningkatkan tekstur mie basah matang, tetapi tidak meningkatkan elastisitasnya. Begitupun halnya dengan penambahan kombinasi Na2CO3 dan K2CO3 (1 : 1) tidak begitu
berpengaruh terhadap tekstur mie basah matang, tetapi hanya berpengaruh terhadap elastisitasnya. Adapun penambahan NaOH tidak begitu berpengaruh baik terhadap tekstur maupun elastisitas mie basah matang. Pemberian minyak sawit pada saat perebusan dan setelah perebusan tidak begitu berpengaruh terhadap warna mie basah matang. Dari Tabel 7 terlihat bahwa pemberian minyak sawit hanya berpengaruh nyata pada mie basah matang yang ditambah Na2CO3, sedangkan yang paling tidak berpengaruh adalah pada mie basah matang yang ditambah NaOH baik pada saat perebusan maupun setelah perebusan. Selanjutnya dari keempat sampel tersebut dipilih sampel yang terbaik, yaitu mie basah matang yang ditambah Na2CO3 dengan pemberian minyak sawit setelah perebusan (Tabel 7). Sampel yang terbaik ini digunakan dalam pembuatan mie berikutnya, yaitu perlakuan perebusan dan pengukusan dengan pemberian
minyak sawit setelah pemasakan
(perebusan/pengukusan).
Perbedaan perlakuan pemasakan mie ini dilakukan untuk membandingkan perlakuan yang lebih baik antara perebusan dan pengukusan dengan membandingkan warna, tekstur, dan elastisitasnya. Pada pembuatan mie basah matang ini dilakukan juga penaburan (dusting) dengan tapioka setelah pengukusan sebagai pengganti minyak sawit. Tujuannya sama yaitu untuk memperoleh mie basah matang yang lebih bagus dari segi penampakan, tekstur, elastisitas dan warnanya. Lamanya pengukusan 15 menit. Tabel 8. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang Perlakuan Warnaa) Teksturb) Elastisitasc) Rebus minyak sawit + ++ + Kukus
minyak sawit
+
+
+
Kukus
dusting dengan tapioka
++
+
++
Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 8) terlihat bahwa mie basah matang yang dimasak dengan pengukusan dan diberi (dilumuri) minyak sawit setelah pengukusan mempunyai warna yang kuning, tekstur yang kenyal dan
agak elastis. Menurut Prangdimurti (1991), pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan mie menjadi kenyal. Hal ini disebabkan putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat. Mie yang dikukus dan ditaburi tapioka mempunyai tekstur yang sama dengan mie yang dikukus dan dilumuri minyak sawit, tetapi dari segi penampakan terlihat kusam dan lengket serta tercium bau tapioka. Mie yang dimasak dengan perebusan dan dilumuri minyak sawit setelah perebusan juga mempunyai karakteristik fisik yang sama, tetapi dari segi penampakan mie basah matang yang dikukus terlihat lebih padat dan tidak terlalu lengket. Perlakuan pengukusan dengan pelumuran minyak sawit (Tabel 8) merupakan perlakuan pemasakan yang dipilih karena mie basah matang yang dihasilkan mempunyai karakteristik fisik dan penampakan yang lebih bagus dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Selanjutnya dilakukan pembuatan mie basah matang dengan waktu pengukusan yang berbeda, yaitu 5, 10, 15, dan 20 menit. Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang Waktu pengukusan (menit)
Warnaa)
Teksturb)
Elastisitasc)
5 10 15 20
+++ ++ + ++++
+ ++ + +
++++ ++ ++ ++++
Keterangan : a. + : ++ : +++ : ++++ :
kuning agak kuning putih kekuningan kuning kecoklatan
b. + ++ +++ ++++
: : : :
keras kenyal agak kenyal lembek
c. + ++ +++ ++++
: : : :
sangat elastis elastis agak elastis rapuh
Waktu pengukusan sangat berpengaruh terhadap karakteristik fisik mie yang dihasilkan, seperti terlihat dalam Tabel 9. Pengukusan selama 5 menit menghasilkan mie yang keras dan rapuh serta warna masih tetap sama dengan
warna mie mentahnya. Hal ini terjadi karena mie hanya mengalami gelatinisasi pati pada permukaannya saja, sehingga hanya memberikan kelembutan mie. Begitu pula pada pengukusan selama 20 menit, tekstur mie keras dan rapuh dengan warna kecoklatan. Pada pengukusan selama 10 dan 15 menit, mie yang dihasilkan hampir sama. Pengukusan selama 10 menit menghasilkan mie yang kenyal dengan sedikit elastis serta warna yang putih kekuningan, sedangkan pemasakan selama 15 menit menghasilkan mie yang kenyal, elastis dan berwarna agak kuning. Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 9) secara subyektif terhadap keempat sampel mie dengan waktu pengukusan yang berbeda, diketahui bahwa waktu pengukusan 15 menit menghasilkan mie yang lebih baik dibandingkan waktu pengukusan 5, 10, dan 20 menit. Oleh karena itu, pembuatan mie basah matang dengan penambahan pengawet dilakukan dengan perlakuan pengukusan selama 15 menit dan dilumuri minyak sawit. Setelah didapatkan pengawet yang terbaik, maka dilakukan reduksi waktu pengukusan untuk mempercepat proses pemasakan, tetapi tidak merubah karakteristik fisiknya.
B. APLIKASI BAHAN PENGAWET PADA MIE BASAH MATANG Pengawet hasil eksplorasi kemudian diaplikasikan pada pembuatan mie basah matang untuk mengetahui efektivitasnya. Penggunaan pengawet dilakukan baik secara tunggal maupun kombinasi. Pengamatan yang dilakukan pada mie basah matang yang dihasilkan adalah pengamatan secara subyektif sampai dengan mie basah matang dinyatakan rusak. Parameter yang digunakan adalah timbulnya bau asam, tumbuhnya kapang, adanya lendir (lengket), dan perubahan tekstur (lembek). Dari hasil pengamatan secara subyektif diketahui bahwa parameter kerusakan mie basah matang yang lebih dahulu terjadi adalah timbulnya bau asam. Mengacu pada parameter tersebut, maka mie basah matang dinyatakan rusak apabila sudah tercium bau asam. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap karakteristik fisiknya. Pengamatan terhadap karakteristik fisik mie basah matang, yang meliputi warna, tekstur dan elastisitas dilakukan setelah mie basah matang selesai
dibuat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan pengawet terhadap karakteristik fisik awal mie basah matang. Pembuatan mie basah matang dilakukan dengan perlakuan pengukusan selama 15 menit dan dilakukan juga pembuatan mie basah matang dengan perlakuan perebusan sebagai perbandingan. Hasil pengamatan karakteristik mie basah matang yang ditambahkan pengawet disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh penambahan pengawet terhadap karakteristik fisik mie basah matang Bahan pengawet Perlakuan Warnaa) Teksturb) Elastisitasc) Direbus + ++ + Kontrol Dikukus + + ++ Direbus + + ++ Metil-Paraben 0,1% Dikukus ++ ++ +++ Direbus +++ + + Ca-Propionat 0,3% Dikukus +++ ++ ++ Direbus ++ + ++ Na-Asetat 1% Dikukus + + ++ Direbus ++ ++ + Monolaurin 1% Dikukus ++ ++ ++ Direbus ++ ++ + Monolaurin 0,75% Dikukus ++ ++ + Direbus +++ + + Metil-Paraben 0,05% +Ca-Propionat 0,15% Dikukus ++ + ++ Direbus + ++ ++ Metil-Paraben 0,05% + Na-Asetat 1% Dikukus + ++ + Direbus ++ + ++ Ca-Propionat 0,15% + Na-Asetat 1% Dikukus ++ + + Metil-Paraben 0,05% + Direbus ++ + ++ Ca-Propionat 0,075% + Dikukus + + ++ Na-Asetat 1% Metil-Paraben 0,025% Direbus ++ + ++ + Ca-Propionat 0,15% Dikukus + ++ + + Na-Asetat 2,5% Direbus Metil-Paraben 0,05% + + + ++ Ca-Propionat 0,075% + Dikukus + + + Na-Asetat 2,5% Direbus + + ++ Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,05% Dikukus + ++ ++ Monolaurin 0,5% + CaDirebus +++ ++ + Propionat 0,15% Dikukus +++ ++ +
Tabel 10. Pengaruh penambahan pengawet terhadap karakteristik fisik mie basah matang (lanjutan) Monolaurin 0,5% + Na-Asetat 2,5% Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,025% + Na-Asetat 2,5% Monolaurin 0,5% + CaPropionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
Direbus Dikukus
+++ +++
++ +
+ ++
Direbus
++
+
++
Dikukus
++
+
+
Direbus
++
++
++
Dikukus
+
++
+
Direbus
+
+++
++
Dikukus
+
++
++
Direbus
+
++
+
Dikukus
+
+
+
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Penambahan pengawet ternyata berpengaruh terhadap karakteristik mie basah matang. Pengaruh tersebut ada yang diharapkan, yaitu meningkatkan kekenyalan dan elastisitas dan sebaliknya ada yang tidak diharapkan, yaitu menurunkan kekenyalan dan elastisitas. Dari hasil pengamatan (Tabel 10) terlihat bahwa pengaruh penambahan pengawet pada mie yang direbus maupun yang dikukus tidak berbeda nyata terhadap warna mie. Pengaruh yang nyata terlihat pada tekstur dan elastisitas mie. Hal ini disebabkan mie yang direbus lebih banyak menyerap air sehingga teksturnya lebih lembek dibandingkan mie yang dikukus. Namun demikian, mie yang direbus lebih elastis dibandingkan mie yang dikukus. Pengaruh penambahan pengawet lainnya terhadap karakteristik fisik mie basah matang tidak berbeda nyata dengan kontrol, seperti yang disajikan dalam Tabel 10. Pada penambahan kombinasi keempat pengawet dihasilkan mie basah matang yang lebih kenyal dan elastis dibandingkan denagan kombinasi lainnya.
Waktu kerusakan mie basah matang yang ditambah bahan pengawet disajikan dalam Gambar 3. Mie basah matang yang ditambahkan pengawet secara tunggal hanya mampu bertahan 28 – 42 jam. Penambahan Ca-Propionat 0,3% (Sampel C) setara dengan penambahan Na-Asetat 1% (Sampel D) yang hanya mampu bertahan 28 jam (direbus) dan 30 jam (dikukus). Penambahan Metil-Paraben 0,1% (Sampel B) hampir setara dengan penambahan Monolaurin 0,75% (Sampel F) yang mampu bertahan 36 jam (direbus) dan 38 jam (dikukus).
60 54
Waktu kerusakan (jam)
55 50
4848
45 40 35 30
42
40
38
36 30
3838
42 40 40 36
44
50 46 46 44
46 42
48 42
48 44
4646
48 44
48 44 40
38
Direbus
30 2828 28
26
Dikukus
25 20 15 10 5 0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
Sam pel
Keterangan : A : Kontrol B : Metil-Paraben 0,1% C : Ca-Propionat 0,3% D : Na-Asetat 1% E : Monolaurin 1% F : Monolaurin 0,75% G : Metil-Paraben 0,05% + Na-Asetat 1% H : Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,15% I : Ca-Propionat 0,15% + Na-Asetat 1% J : Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 1% K : Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,15% + Na-Asetat 2,5% L : Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% M : Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,05% N : Monolaurin 0,5% + Ca-Propionat 0,15% O : Monolaurin 0,5% + Na-Asetat 2,5% P : Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% Q : Monolaurin 0,5% + Metil-Paraben 0,025% + Na-Asetat 2,5% R : Monolaurin 0,5% + Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% S : Monolaurin 0,25%+Metil-Paraben 0,025%+Ca-Propionat 0,075%+Na-Asetat 2,5%
Gambar 3. Histogram pengaruh penambahan pengawet terhadap waktu kerusakan dengan parameter bau asam pada mie basah matang
Mie basah matang yang ditambahkan pengawet secara kombinasi mampu bertahan 36 – 54 jam. Kombinasi Metil-Paraben 0,05% + Na-Asetat 1% (Sampel G) memiliki waktu kerusakan paling cepat 36 jam (direbus) dan 40 jam (dikukus), sedangkan kombinasi Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% (Sampel S) memiliki waktu kerusakan paling lama 50 jam (direbus) dan 54 jam (dikukus). Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 3) diketahui bahwa mie yang dikukus memiliki waktu kerusakan yang lebih lama dibandingkan dengan mie yang direbus. Dari 16 sampel mie basah matang tersebut kemudian diambil dua sampel terbaik yang memiliki waktu kerusakan paling lama, yaitu sampel L (Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%), dan S (Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%). Selanjutnya pada kedua sampel terbaik tersebut dilakukan perlakuan reduksi waktu pengukusan menjadi 13 menit. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pembuatan mie basah matang, yaitu dengan mengurangi waktu pengukusan selama dua menit. Hasilnya dibandingkan dengan hasil sebelumnya (selama 15 menit) dari segi karakteristik fisik dan waktu kerusakannya. Apabila sampel yang dihasilkan sama atau lebih bagus dibandingkan hasil sebelumnya, maka sampel tersebut yang digunakan. Sebaliknya, apabila sampel yang dihasilkan kurang bagus maka sampel sebelumnya yang digunakan (sampel yang dikukus selama 15 menit). Tabel 11. Pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap karakteristik fisik mie basah matang Sampel Warnaa) Teksturb) Elastisitasc) Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat + + + 0,075% + Na-Asetat 2,5% Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na++ + + Asetat 2,5% Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa karakteristik fisik mie yang dikukus selama 13 menit (Tabel 11) tidak terlalu berbeda dengan mie yang dikukus selama 15 menit (Tabel 10). Mie dengan pengawet MetilParaben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% berwarna kuning, kenyal dan elastis dan mie dengan pengawet Monolaurin 0,25% + MetilParaben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% berwarna agak kuning, kenyal dan elastis. Waktu kerusakan mie yang dikukus selama 13 menit (Gambar 4) juga tidak terlalu berbeda dengan mie yang dikukus selama 15 menit (Gambar 3). Mie dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5% yang dikukus selama 13 dan 15 menit mempunyai waktu kerusakan yang sama, yaitu 50 jam. Begitupun halnya mie dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5% yang dikukus selama 13 dan 15 menit mempunyai waktu kerusakan yang sama, yaitu 54 jam.
60 56
Waktu kerusakan (jam)
55
52
50 45 40 35 30 A
B Sam pel
Keterangan : A : Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Monolaurin 0,25%+Metil-Paraben 0,025%+Ca-Propionat 0,075%+Na-Asetat 2,5%
Gambar 4. Histogram pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap umur simpan mie basah matang
Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 4), maka pembuatan mie basah matang untuk selanjutnya dilakukan dengan waktu pengukusan 13 menit. Pada pembuatan mie basah matang selanjutnya minyak sawit diganti dengan minyak kelapa yang mengandung asam laurat. Asam laurat merupakan asam lemak rantai sedang yang mempunyai aktivitas antimikroba (Kabara, 1982). Adanya kandungan asam laurat dalam minyak kelapa diharapkan dapat meningkatkan umur simpan mie basah matang. Pembuatan mie basah matang juga dilakukan tiga macam perlakuan, yaitu (1) direbus lalu dilumuri minyak kelapa, (2) dikukus lalu dilumuri minyak kelapa, dan (3) dikukus lalu ditaburi (dusting) dengan tapioka yang dicampur 25% pengawet dari jumlah pengawet yang ditambahkan (yang selanjutnya dikatakan dengan ”tapioka + pengawet”). Hasil pengamatan mie basah matang dengan beberapa perlakuan disajikan dalam Tabel 12. Karakteristik fisik mie yang dilumuri minyak kelapa (Tabel 12) tidak berbeda nyata dengan mie yang dilumuri minyak sawit (Tabel 11). Hal ini wajar karena pemberian minyak tujuannya hanya untuk lubrikasi agar mie tidak menyatu dan lengket. Begitupun halnya dengan mie yang ditaburi tapioka + pengawet tidak berpengaruh terhadap karakteristik fisik mie. Hanya saja mie yang ditaburi tapioka + pengawet penampakannya tidak bagus, beraroma tapioka dan lengket. Tabel 12. Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang Sampel Perlakuan Warnaa) Teksturb) Elastisitasc) Rebus minyak + ++ + Metil-Paraben kelapa 0,05% + CaKukus minyak + + + Propionat 0,075% kelapa + Na-Asetat 2,5% Kukus dusting ++ + ++ Rebus minyak Monolaurin + + ++ kelapa 0,25% + MetilParaben 0,025% Kukus minyak + + ++ + Ca-Propionat kelapa 0,075% + Na- Kukus dusting ++ + ++ Asetat 2,5% Keterangan : a. + : kuning ++ : agak kuning +++ : putih kekuningan
b. + ++ +++
: : :
kenyal agak kenyal lembek
c.
+ ++ +++
: : :
elastis agak elastis rapuh
Pelumuran mie dengan minyak kelapa ternyata berpengaruh terhadap umur simpan mie, seperti yang disajikan dalam Gambar 5. Mie A yang dikukus dan dilumuri minyak kelapa mampu bertahan selama 52 jam dibandingkan dengan yang dilumuri minyak sawit yang bertahan 50 jam (Gambar 3). Begitu juga dengan Mie B yang dikukus dan dilumuri minyak kelapa mampu bertahan 56 jam dibandingkan dengan yang dilumuri minyak sawit yang bertahan 54 jam (Gambar 3). Mie yang direbus dan dilumuri minyak kelapa memiliki umur simpan yang relatif lebih pendek dibandingkan mie yang dikukus dan dilumuri minyak kelapa (Gambar 5). Hal ini disebabkan kadar air mie yang direbus lebih tinggi, berkisar antara 63 – 66 % (Nugrahani, 2005), dibandingkan dengan mie yang dikukus, berkisar antara 47 – 52 %. Tingginya kadar air mie yang direbus mengakibatkan lebih banyak mikroba yang tumbuh.
60
56 52
Waktu kerusakan (jam)
50
52
48
48 40
40 Rebus-minyak kelapa Kukus-minyak kelapa
30
Kukus-dusting 20 10 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Monolaurin 0,25%+Metil-Paraben 0,025%+Ca-Propionat 0,075%+Na-Asetat 2,5%
Gambar 5. Histogram pengaruh perlakuan terhadap umur simpan mie basah matang dengan parameter bau asam Perlakuan mie yang ditaburi tapioka + pengawet memiliki umur simpan yang lebih pendek dibandingkan dengan mie yang dilumuri minyak kelapa (Gambar 5). Penambahan 75% pengawet ke dalam adonan dari jumlah
total pengawet yang ditambahkan ke dalam produk mie serta 25% sisanya yang dicampur tapioka dan didusting ke dalam produk mie ternyata tidak efektif menghambat pertumbuhan mikroba. Tidak homogennya pencampuran pengawet dalam tapioka serta tidak meratanya penaburan dalam mie dapat mengakibatkan suatu tempat terdapat pengawet yang berlebih, sedangkan ditempat lain sedikit atau tidak terdapat pengawet sama sekali. Selain itu, kandungan mikroba dari tepung tapioka juga dapat menyebabkan mie cepat rusak. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 5), diperoleh mie basah matang terbaik dari produksi pada skala laboratorium adalah mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5% dan Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% dengan perlakuan pengukusan dan pelumuran minyak kelapa. Selanjutnya dilakukan analisis pengaruh pengawet terhadap mutu mie basah matang yang terbaik meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Bahan pengawet yang digunakan akan berkontribusi terhadap biaya produksi. metil paraben cukup banyak tersedia, yang dipasaran dikenal dengan ”nipagin”. Pemakaian Metil-Paraben 0,05% dan 0,025% akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 50,00 dan Rp 25,00/kg terigu yang digunakan untuk membuat mie basah matang. Pemakaian Ca-Propionat 0,075% akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 22,50/kg terigu yang digunakan untuk membuat mie basah matang. Natrium asetat yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan dengan kategori pure analysis (PA), sehingga mempunyai harga yang mahal. Pemakaian Na-Asetat 2,5 % akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 20.000,00/kg terigu yang digunakan untuk membuat mie basah matang. Monolaurin sangat jarang diperdagangkan di Indonesia sehingga untuk mendapatkannya harus diimpor. Oleh karena itu, harga monolaurin menjadi mahal. Pemakaian Monolaurin 0,25% akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 14.125,00/kg terigu yang digunakan untuk membuat mie basah matang.
Apabila dikalkulasikan pemakaian pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 20.072,50/kg terigu yang digunakan, sedangkan pemakaian pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + CaPropionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% akan berkontribusi terhadap biaya produksi sebesar Rp 34.172,50/kg terigu yang digunakan. Harga pengawet yang digunakan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan harga bahan baku pembuatan mie yang hanya sebesar Rp 6.042,00/kg terigu.
C. PENGARUH BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE BASAH MATANG 1. Mutu Fisik a. Warna Warna merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan kualitas mie basah matang. umumnya berwarna putih kekuningan.
Mie basah matang pada Timbulnya warna kuning
tersebut disebabkan pada saat pengolahan, garam-garam alkali yang ditambahkan menyebabkan pH adonan naik menjadi 9 – 11,5. Pada pH alkali, pigmen flavonoid akan terlepas dari pati dan menghasilkan warna kuning (Kruger et al., 1996; Hatcher, 2001). Hasil analisis warna mie basah matang disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Hasil pengukuran warna mie basah matang Sampel Waktu (jam)
Kontrol
L
o
Hue
Metil-Paraben 0,05% + CaPropionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% L
o
Hue
Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + CaPropionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% o L Hue
0
71,69 84,4213o
71,90
84,6814o
71,66
84,3945o
24
74,53 85,2742o
74,59
85,2896o
74,79
85,7241o
48
75,64 85,9356o
76,16
86,4015o
77,00
87,1620o
Berdasarkan
hasil
pengujian
warna
menggunakan
chromameter, nilai L pada kontrol mengalami peningkatan dari 71,69 pada jam ke-0 menjadi 75,64 pada jam ke-48. Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5% dan mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% juga mengalami peningkatan nilai L. Adanya peningkatan nilai L tersebut berarti bahwa ke-3 sampel mie basah matang mengalami peningkatan kecerahan warna setelah disimpan selama 48 jam. Nilai oHue untuk kontrol, mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% dan mie dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% berada pada kisaran 84o – 87o yang berarti bahwa warna mie basah matang tersebut adalah yellow red (YR). Warna yellow red berada pada kisaran 54o – 90o. Karena nilai tersebut mendekati angka 90 (angka terendah warna dinyatakan yellow), maka warna sampel tersebut termasuk kuning berdasarkan o
Hue. Warna mie kontrol mengalami peningkatan nilai oHue, tetapi
tidak signifikan (Lampiran 3) dan warna mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% juga mengalami peningkatan nilai oHue yang tidak signifikan (Lampiran 4). Begitupun halnya mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% mengalami peningkatan nilai oHue yang tidak begitu signifikan (Lampiran 5). Dengan kata lain ketiga sampel mie basah matang
tersebut
tidak
mengalami
perubahan
warna
selama
penyimpanan. Mie basah matang cenderung tidak mengalami perubahan warna karena enzim polifenol-oksidase (PPO) yang menyebabkan pencoklatan telah diinaktifkan selama pengukusan.
b. Tekstur Tekstur juga digunakan sebagai indikator mutu mie basah matang. Tekstur mie yang lembut dan agak halus dihasilkan bila tepung terigu yang digunakan mengandung protein yang tinggi. Tepung terigu yang digunakan mengandung protein sekitar 14%. Semakin tinggi protein adonan, maka daya serap air makin besar dan kekerasan makin menurun. Daya serap air adonan mempengaruhi kekerasaan mie. Menurut Baik, et al (1995), dikutip Suryaalamsah (2003), pada tingkat penambahan air yang sama, tetapi pada tepung dengan kandungan protein yang tinggi, daya serap airnya lebih besar dibandingkan dengan tepung berprotein rendah. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian tekstur mie basah matang dengan Texture Analyzer.
Parameter yang diuji adalah kekerasan (firmness) dan
kelengketan (adhesiveness). Hasil analisis kekerasan (Firmness) mie basah matang disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14. Hasil pengukuran kekerasan (firmness) mie basah matang Firmness (g force) Waktu (jam)
Metil-Paraben 0,05% Kontrol + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + CaPropionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% 4662,1
0
5025,0
5187,3
24
4604,6
4610,5
4517,3
48
4067,4
4177,6
4183,4
Berdasarkan hasil analisis kekerasan (firmness) menggunakan texture analyzer, selama penyimpanan selama 48 jam, mie basah matang mengalami penurunan kekerasan yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya nilai firmness. Mie kontrol mengalami penurunan kekerasan yang signifikan (Lampiran 7). Begitupun halnya dengan mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% dan mie basah matang dengan
pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% mengalami penurunan kekerasan yang cukup signifikan (Lampiran 8 dan Lampiran 9). Atau dengan kata lain ketiga sampel mie basah matang tersebut mengalami penurunan tekstur. Hal tersebut disebabkan adanya pertumbuhan mikroorganisme yang mendekomposisi nutrisi yang terdapat dalam mie basah matang sehingga akan berpengaruh terhadap kekerasan mie basah matang tersebut. Menurut Fardiaz (1992), semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya.
Dalam
metabolismenya
bakteri
heterotropik
menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Salah satu protein di dalam mie, yaitu gluten, berperan penting terhadap pembentukan tekstur mie, sehingga aktivitas mikroorganisme dalam memecah protein akan menurunkan kualitas tekstur mie. Kelengketan (adhesiveness) menunjukkan kecenderungan suatu bahan untuk menempel pada bahan lain. Nilai kelengketan ini negatif karena pada grafik berada dibawah absis. Semakin besar nilainya maka semakin
lengket.
Berdasarkan
hasil
analisis
kelengketan
(adhesiveness) terhadap mie basah matang menunjukkan bahwa selama penyimpanan, kelengketan mie basah matang semakin meningkat.
Hal itu ditunjukkan oleh adanya kenaikan nilai
adhesiveness seperti yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Analisis kelengketan (adhesiveness) mie basah matang Adhesiveness (g force) Waktu Monolaurin 0,25% + Paraben 0,05% + CaParaben 0,025% + (jam) Kontrol Propionat 0,075% + Ca-Propionat 0,075% Na-Asetat 2,5% + Na-Asetat 2,5% 0 -564,9 -719,8 -685,4 24
-471,5
-628,0
-577,2
48
-442,6
-575,3
-462,1
Pada awalnya mie basah matang bersifat lengket akibat proses gelatinisasi
pati.
kelengketannya
Namun, meningkat.
setelah
disimpan
Peningkatan
selama
kelengketan
48
jam
tersebut
disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme, seperti pembentukan lendir yang menyebabkan mie basah matang menjadi lengket. Bakteri pembentuk kapsul jika tumbuh pada makanan menyebabkan makanan menjadi berlendir (Fardiaz, 1992).
2. Mutu Kimia a. Aktivitas air (Aw) Aktivitas air (Aw) berhubungan erat dengan kadar air bahan. Perubahan Aw dapat mengakibatkan migrasi air antara komponen bahan pangan karena air akan berpindah dari daerah Aw tinggi ke daerah dengan Aw rendah. Menurut Chaplin (2005), jika kelembaban udara sekitar 50-80% (Aw = 0,5 – 0,8), bahan pangan dengan Aw lebih rendah dari itu cenderung untuk menyerap air, sementara bahan pangan dengan Aw lebih besar dari itu cenderung untuk kehilangan air. Mie basah matang mempunyai Aw yang tinggi (>0,9) sehingga cenderung untuk kehilangan air jika disimpan di udara terbuka. Berdasarkan analisis ragam dapat disimpulkan bahwa penambahan pengawet tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap aktivitas air mie basah matang (Lampiran 12). Aktivitas air (Aw) mie basah matang disajikan dalam Gambar 6. Bahan pangan yang mudah rusak memiliki Aw>0,95 (Chaplin, 2005). Berdasarkan hasil pengukuran, diketahui Aw mie basah matang berkisar antara 0,95 – 0,97 (Gambar 6), sehingga rentan terhadap kerusakan akibat pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi-reaksi kimia seperti reaksi browning, hidrolisis, dan oksidasi lemak.
0.98 0.97
0.97 0.96
0.96 Aw
0.95
0.95 0.94 0.93 0.92 0.91 Mie Kontrol
A
B
Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Gambar 6. Histogram aktivitas air (Aw) mie basah matang Aktivitas air (Aw) menunjukkan derajat ketersediaan air untuk dimanfaatkan oleh aktivitas mikroorganisme. Tiap-tiap spesies mikroorganisme mempunyai Aw minimum yang spesifik untuk pertumbuhannya.
Beberapa kapang membutuhkan Aw yang lebih
kecil, sedangkan bakteri dan kamir memerlukan lingkungan dengan Aw lebih tinggi sebelum memulai pertumbuhan dan reproduksi (Matz, 1965). Jenis mikroorganisme yang berbeda membutuhkan Aw yang berbeda pula untuk pertumbuhannya. Bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak hanya dalam media dengan nilai Aw tinggi (0,91), kamir membutuhkan nilai Aw yang lebih rendah (0,87 – 0,91) dan kapang lebih rendah lagi (0,80 – 0,87) (Winarno, 1997). Dari hasil pengukuran (Gambar 6) diketahui Aw mie basah matang berkisar antara 0,95 – 0,97. Oleh karena itu, mikroorganisme yang
dominan
tumbuh
adalah
bakteri.
Bakteri
merupakan
mikroorganisme yang mempunyai tingkat pertumbuhan paling cepat (Troller dan Christian, 1978). Namun demikian, keberadaan kapang
dan kamir juga perlu diwaspadai. Kapang dan kamir yang menyebabkan kebusukan dapat tumbuh pada Aw 0,93 (Beuchat, 1981).
b. Kadar Air Penetapan kadar air perlu dilakukan karena sangat berpengaruh terhadap kerusakan bahan pangan. Bahan pangan yang memiliki kadar air yang relatif tinggi akan cenderung mengalami kerusakan yang lebih cepat dibandingkan dengan bahan pangan yang memiliki kadar air lebih rendah (Kadir et. al., 1982 di kutip Chamdani, 2005). Hasil pengukuran kadar air mie basah matang disajikan dalam Gambar 7.
53 52
Kadar air (%)
51
51.21
51.17 50.49
50.78
51.59
51.24
50.79 50.30 50.38
50
0 jam
49
24 jam
48
48 jam
47 46 45 Mie Kontrol
A
B
Sam pel
Keterangan : A : mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Gambar 7. Histogram kadar air (% bb) mie basah matang selama penyimpanan Kadar air mie basah matang cukup tinggi berkisar antara 50 – 52 % (Gambar 7), berbeda dengan hasil Nugrahani (2005), yang berkisar antara 63 – 66 %. Hal ini disebabkan perbedaan proses pemasakan. Mie hasil pengukuran dimasak dengan pengukusan, sedangkan hasil Nugrahani (2005) dimasak dengan perebusan. Kadar
air yang tinggi ini menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan. Pengukuran kadar air dilakukan pada jam ke-0, ke-24 dan ke48. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa kadar air ketiga sampel mie basah matang tidak begitu berbeda. Selama penyimpanan kadar air mie kontrol mengalami sedikit peningkatan yang tidak signifikan (Lampiran 14). Begitupun halnya dengan kadar air sampel A dan sampel B mengalami sedikit peningkatan yang tidak signifikan (Lampiran 15 dan Lampiran 16). Berdasarkan analisis ragam dapat disimpulkan bahwa selama penyimpanan kadar air mie basah matang tidak mengalami perubahan yang nyata (p>0,05). Hal ini disebabkan mie disimpan dalam kantung plastik tertutup sehingga walaupun ada perubahan kelembaban (RH), tidak terjadi migrasi uap air dari lingkungan ke bahan atau sebaliknya.
c. Derajat Keasaman (pH) Pengukuran nilai derajat keasaman (pH) dilakukan untuk mengetahui kadar keasaman atau kebasaan suatu bahan pangan. Mie basah matang merupakan bahan pangan yang mempunyai pH cukup tinggi, yaitu berkisar antara 8 – 9. Pengukuran pH mie basah matang dilakukan untuk mengetahui kecenderungan penurunan nilai pH selama penyimpanan. Hasil pengukuran pH mie basah matang disajikan dalam Gambar 8.
12 10
pH
8
9.20
9.10
9.06
8.87 8.23
8.20
7.80
0 jam 5.99
6
24 jam
4.70
48 jam
4 2 0 Mie Kontrol
A
B
Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Gambar 8. Histogram derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan Sampel kontrol mengalami penurunan pH yang signifikan (Lampiran 18), yang pada awalnya mempunyai nilai pH sebesar 9,20, setelah disimpan pada suhu ruang selama 48 jam, nilai pH menurun menjadi 4,70. Sampel A juga mengalami penurunan pH yang cukup signifikan (Lampiran 19), yang pada awalnya mempunyai pH sebesar 9,10 dan setelah 48 jam, pH turun menjadi 6,99. Begitupun halnya dengan sampel B mengalami penurunan pH, tetapi tidak signifikan (Lampiran 20), yang pada awalnya mempunyai nilai pH sebesar 9,06 dan setelah 48 jam, nilai pH menurun menjadi 8,23. Penurunan nilai pH tersebut menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam. Jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut, antara lain pembentukan bau asam (Winarno, 1992 di kutip Chamdani, 2005).
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa penambahan pengawet
berpengaruh
dalam
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme pembentuk asam. Pengawet dengan kombinasi Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% lebih efektif dibandingkan pengawet dengan kombinasi Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%, yang ditunjukkan penurunan pH yang tidak signifikan pada sampel B.
d. Total Asam Tertitrasi (TAT) Total asam tertitrasi menunjukkan banyaknya asam yang dinetralkan oleh NaOH. Total asam tertitrasi dinyatakan dalam satuan ml NaOH 0,1 N/100 g sampel. Hasil pengukuran total asam tertitrasi mie basah matang disajikan dalam Gambar 9.
TAT (ml NaOH 0.1 N/100 g)
16 14
12.63 11.16
12 10
0 jam 7.89
8
7.46 5.89
5.64
6 4
7.53 4.73
24 jam 48 jam
3.65
2 0 Mie Kontrol
A
B
Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 %+ Na-Asetat 2,5%
Gambar 9. Histogram total asam tertitrasi (TAT) mie basah matang selama penyimpanan Hasil pengukuran Total Asam Tertitrasi (TAT) menunjukkan untuk kontrol, nilai TAT mengalami peningkatan yang signifikan
(Lampiran 22). Nilai TAT pada jam ke-0 sebesar 3,65 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel dan meningkat menjadi 12,63 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel setelah 48 jam. Sampel A juga mengalami peningkatan nilai TAT yang cukup signifikan (Lampiran 23). Pada jam ke-0 sebesar 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel dan pada jam ke-48 meningkat menjadi 11,16 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel. Begitupun halnya dengan sampel B, nilai TAT mengalami peningkatan, tetapi tidak begitu signifikan (Lampiran 24). Hal tersebut sesuai dengan pengukuran pH. Semakin kecil nilai pH maka semakin besar TAT yang terukur. Atau dengan kata lain peningkatan jumlah asam akan menyebabkan penurunan nilai pH.
3. Mutu Mikrobiologi Mutu mikrobiologi mie basah matang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mie basah, yang meliputi Total Plate Count (TPC), total kapang dan kandungan E. coli. Hasil analisis TPC dapat dilihat pada Gambar 10., sedangkan hasil analisis total kapang disajikan pada Gambar 11.
8.00 7.26
7.00
Log CFU/g
3.00
6.11 5.67
5.00
3.97
4.57
3.72 3.36
3.74 3.91
3.51
3.43 3.08
5.32
4.98 5.36 4.54 4.08
4.9 3.89 3.98
6.76
6.53
6.34
5.75
6.00
4.00
7.04
6.86
5.82
2.00 1.00 0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu (jam ) Mie Kontrol Mie basah matang dengan pengaw et Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5 % Mie basah matang dengan pengaw et Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025 % + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5 %
Gambar 10. Grafik total plate count (TPC) mie basah matang selama penyimpanan Pada SNI disebutkan standar TPC untuk mie basah maksimal sebesar 1,0 x 106 cfu/g (log TPC = 6), kapang 1,0 x 104 cfu/g (log kapang = 4) dan E. coli sebesar 10 MPN/g. Mie basah matang kontrol sudah dinyatakan rusak menurut SNI pada jam ke-30 karena pada jam tersebut nilai log TPC mie basah matang kontrol sebesar 6,34 (Gambar 10), nilai log kapang sebesar 3,38 (Gambar 11) dan kandungan E. coli adalah 0.
5.00 4.50
4.36 4.04
4.00 3.2
Log CFU/g
3.50
3.73
3.38
3.00 2.50
2.49
2.00 1.50
1.32
2.4
2.15
1.81
1.9
1.00
1.00
1.11
0.50 0.00
00
0
0 0
6
0 0
12
0
00
0
18
0
24
0
30
36
0
42
0
48
Waktu (jam ) Mie Kontrol Mie basah matang dengan pengaw et Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5 % Mie basah matang dengan pengaw et Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025 % + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5 %
Gambar 11. Grafik total kapang mie basah matang selama penyimpanan Penambahan pengawet yang dilakukan cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, terutama kapang. Hal ini terlihat pada mie dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% tidak ada pertumbuhan kapang sampai jam ke24, sedangkan mie dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% tidak ada pertumbuhan kapang sampai jam ke-48. Penambahan Monolaurin 0,25% ternyata dapat meningkatkan penghambatan terhadap pertumbuhan kapang. Kondisi sanitasi pada proses pembuatan mie juga cukup baik. Hal ini terlihat dari tidak adanya kandungan bakteri E. coli pada mie.
4. Mutu Organoleptik Mutu organoleptik adalah mutu suatu produk berdasarkan kepekaan alat indera manusia, yaitu indera penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan pendengaran.
Untuk mengetahui mutu
organoleptik suatu produk pangan maka dilakukan uji organoleptik. Uji
organoleptik sangat beragam tergantung pada tujuannya. Pada penelitian ini dilakukan uji skalar garis untuk mengetahui penurunan kualitas mie basah matang menggunakan delapan orang panelis terlatih. Parameter yang diamati adalah bau tepung, bau asam, warna, brightness, tekstur, dan adanya lendir.
a. Bau tepung Pengujian terhadap bau tepung dilakukan sebagai indikator adanya perubahan bau pada mie. Selama penyimpanan, akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada mie basah matang yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan aroma. Oleh karena itu pengujian terhadap adanya bau tepung pada mie perlu dilakukan. Respon panelis terhadap adanya bau tepung pada sampel yang diuji disajikan pada Gambar 12.
9 8
7.37 6.95
7 6
5.61
Skor
5.15
0 jam
5
4.2
24 jam 3.64
4
48 jam
3 2 1 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Gambar 12. Histogram uji skalar garis terhadap bau tepung mie basah matang selama penyimpanan
Dari Gambar 12. diketahui bahwa penambahan pengawet tidak berpengaruh terhadap aroma mie basah matang. Berdasarkan hasil pengamatan, sampel A mengalami penurunan intensitas bau tepung dan perbedaan bau tepung jam ke-0 dan jam ke-48 cukup signifikan (Lampiran 26). Begitupun halnya dengan sampel B yang mengalami penurunan intensitas bau tepung yang cukup signifikan (Lampiran 27). Berdasarkan analisis ragam dapat disimpukan bahwa masing-masing sampel mempunyai intensitas bau tepung yang berbeda nyata antara jam ke-0 sampai jam ke-48 (p<0,05). Terciumnya bau tepung pada awal penyimpanan disebabkan perlakuan pengukusan tidak menghilangkan semua senyawa volatil pembentuk aroma tepung terigu. Senyawa volatil ini akan menguap dan mungkin juga tertutupi oleh aroma asam yang terbentuk selama penyimpanan akibat aktivitas mikroorganisme, sehingga intensitasnya menurun.
5. Bau asam Pengujian terhadap bau asam dilakukan untuk mengetahui adanya pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam pada mie basah matang. Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pengan tersebut, antara lain pembentukan bau asam. Respon panelis terhadap bau asam sampel mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan hasil uji, sampel A dan Sampel B mengalami peningkatan bau asam yang dideteksi panelis selama penyimpanan.
Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran pH
(Gambar 8) dan TAT (Gambar 9), yaitu dengan terbentuknya asam akan menurunkan pH dan meningkatkan TAT. Pada Sampel A jam ke0, panelis memberikan skor 1,21 dan meningkat menjadi 3,51 pada jam ke-48 dan peningkatannya cukup signifikan (Lampiran 28). Begitupun halnya dengan sampel B pada jam ke-0 panelis memberikan skor 1,19
4 3.51
3.5 3
2.66
2.65
Skor
2.5
2.13
2 1.5
0 jam 24 jam 48 jam
1.21
1.19
1 0.5 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%
Gambar 13. Histogram uji skalar garis terhadap bau asam mie basah matang selama penyimpanan dan meningkat menjadi 2,66 pada jam ke-48 dan peningkatannya juga cukup signifikan (Lampiran 29). Dari hasil analisis ragam, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan intensitas bau asam yang nyata dari masing-masing sampel selama penyimpanan (p<0,05). Pemberian skor yang kecil ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan intensitas bau asam yang dideteksi panelis hanya sedikit. Dari hasil ini terlihat bahwa intensitas bau asam sampel B lebih kecil daripada sampel A atau dapat dikatakan penambahan pengawet pada sampel B lebih efektif daripada pengawet pada sampel A.
3. Warna Warna mie basah matang tidak mengalami perubahan karena enzim polifenoloksidase menjadi inaktif akibat pemasakan. Walaupun demikian, mie basah matang mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Peningkatan kecerahan ini akan berpengaruh
terhadap penampakkan mie, sehingga panelis menganggap ada peningkatan intensitas warna. Hasil uji organoleptik terhadap warna mie basah matang disajikan pada Gambar 14.
12 9.84
10 8.46
8.34
Skor
8
8.65
7.32
0 jam
6.16
6
24 jam 48 jam
4 2 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%
Gambar 14. Histogram uji skalar garis terhadap warna mie basah matang selama penyimpanan Dari Gambar 14., panelis menyatakan bahwa Sampel A mengalami peningkatan intensitas warna akibat peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Begitupun halnya dengan Sampel B mengalami peningkatan intensitas warna selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan chromameter bahwa mie mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan (Tabel 12). Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 14), sampel A mengalami peningkatan intensitas kecerahan yang cukup signifikan (Lampiran 30), begitupun halnya dengan sampel B yang mengalami peningkatan intensitas kecerahan, tetapi tidak signifikan (Lampiran
31). Berdasarkan analisis ragam tidak ada perbedaan warna yang nyata (p>0,05) dari masing-masing sampel selama penyimpanan.
4. Kecerahan (Brightness) Kecerahan (brightness) merupakan parameter yang juga berpengaruh terhadap kualitas mie basah matang. Kecerahan secara umum akan mempengaruhi penampakan mie basah matang tersebut secara visual. Hasil respon panelis terhadap kecerahan mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 15.
12 10.36
10 8.3
8.97
8.7
9.09
8 Skor
6.59
0 jam
6
24 jam 48 jam
4 2 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%
Gambar 15. Histogram uji skalar garis terhadap brightness mie basah matang selama penyimpanan Dari Gambar 15., terlihat bahwa kecerahan Sampel A mengalami peningkatan selama penyimpanan. Demikian pula dengan Sampel B mengalami peningkatan kecerahan selama penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 15), diketahui bahwa sampel A mengalami peningkatan kecerahan yang cukup signifikan
(Lampiran 32) selama penyimpanan. Hasil ini sesuai dengan uji terhadap warna mie (Gambar 14) dengan skor yang relatif sama. Sampel B juga mengalami peningkatan kecerahan, tetapi tidak signifikan (Lampiran 33). Hasil ini juga sesuai dengan uji terhadap warna mie (Gambar 14) dengan skor yang relatif sama pula. Hasil uji kecerhan ini juga sesuai dengan hasil pengukuran nilai L menggunakan chromameter (Tabel 13) yang menunjukkan adanya peningkatan kecerahan mie selama penyimpanan. Dari analisis ragam dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kecerahan yang nyata (p<0,05) dari masing-masing sampel mie selama penyimpanan. Berdasarkan
hasil
ini
ternyata
penambahan
pengawet
tidak
berpengaruh terhadap kecerahan mie.
5. Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter yang juga digunakan untuk mengukur kualitas mie basah matang. Adanya pertumbuhan bakteri heterotropik pada mie basah matang dapat menyebabkan perubahan tekstur mie tersebut. Bakteri tersebut dapat menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya untuk pertumbuhannya (Fardiaz, 1992). Protein gluten mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan tekstur mie, sehingga apabila ada pertumbuhan bakteri yang memecah protein maka kualitas tekstur mie menurun. Respon panelis terhadap tekstur mie basah yang diuji disajikan pada Gambar 16. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pada Sampel A terjadi penurunan tekstur selama penyimpanan. Begitupun halnya dengan Sampel B mengalami penurunan tekstur selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan texture analyzer bahwa mie mengalami penurunan tekstur selama penyimpanan (Tabel 14).
10 9
8.36
8.09
8 6.92
7
6.55 6.02 5.62
Skor
6
0 jam
5
24 jam
4
48 jam
3 2 1 0 A
B Sam pel
Keterangan : A : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5%
Gambar 16. Histogram uji skalar garis terhadap tekstur mie basah matang selama penyimpanan Dari Gambar 16. terlihat bahwa sampel A dan sampel B pada awalnya mempunyai tekstur yang hampir sama. Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengukuran (Tabel 14) yang disebabkan respon panelis yang beragam terhadap sampel. Sampel A mengalami penurunan tekstur yang cukup signifikan (Lampiran 34), begitupun halnya dengan sampel B (Lampiran 35). Berdasarkan analisis ragam, dapat disimpulkan bahwa tekstur sampel A dan B mengalami penurunan yang nyata (p<0,05) selama penyimpanan dan hal ini sesuai dengan hasil pengukuran menggunakan texture analyzer (Tabel 14).
6. Adanya lendir Adanya lendir pada mie basah matang menunjukkan aktivitas mikroorganisme telah terjadi pada mie tersebut. Pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998).
Jumlah mikroba pada saat terbentuknya lendir berkisar antara 3,0 x 106 – 3,0 x 108 cfu/g (Frazier dan Westhoff, 1978). Lendir tersebut dibentuk oleh bakteri pembentuk kapsul. Menurut Fardiaz (1992), bakteri pembentuk kapsul jika tumbuh pada makanan menyebabkan makanan menjadi berlendir. Respon panelis terhadap adanya lendir pada sampel mie basah matang yang diuji disajikan pada Gambar 17.
3.5 3.1
3 2.5 Skor
1.99
2
0 jam
1.77
24 jam
1.5
48 jam
1 0.5
0.79 0.38
0.27
0 A
B Sam pel
Keterangan : : Mie basah matang dengan pengawet Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% B : Mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075 + Na-Asetat 2,5% A
Gambar 17. Histogram uji skalar garis terhadap adanya lendir mie basah matang selama penyimpanan Dari hasil uji (Gambar 17) dapat dilihat bahwa panelis menyatakan adanya lendir sangat sedikit pada jam ke-0 sampai pada jam ke-48. Panelis untuk sampel A memberikan skor 0,38 pada jam ke-0 dan 3,1 pada jam ke-48, tetapi peningkatan skor ini tidak signifikan (Lampiran 36). Untuk Sampel B skor yang diberikan adalah 0,27 pada jam ke-0 dan 1,99 pada jam ke-48 dan peningkatan skor ini juga tidak signifikan (Lampiran 37). Hal ini disebabkan kecilnya skor yang diberikan yang menandakan selama penyimpanan hanya sedikit
lendir yang dapat dideteksi oleh panelis. Hasil ini sesuai dengan pengukuran terhadap kelengketan mie (Tabel 15) yang menunjukkan ada peningkatan lendir, tetapi jumlahnya sedikit. Dari analisis ragam diketahui bahwa tidak ada perbedaan jumlah lendir yang nyata (p>0,05) pada masing-masing sampel selama penyimpanan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Mie basah matang merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai Aw dan kadar air yang cukup tinggi. Nilai Aw mie basah matang berada pada kisaran 0,95-0,97, sedangkan kadar air mie basah matang berkisar antara 50 – 52 % (bb).
Dengan kondisi tersebut, mie basah matang rentan terhadap
serangan mikroorganisme yang akan menurunkan kualitas dan umur simpannya. Upaya untuk meningkatkan umur simpan dan mempertahankan kualitas mie basah matang tersebut mempunyai hambatan besar berupa tingginya nilai pH mie basah matang tersebut. Nilai pH mie basah matang berkisar antara 8 – 9. Jarang ditemukan pengawet kimia yang mempunyai aktivitas antimikroba pada kisaran pH tersebut. Mie basah matang yang diproduksi dengan perlakuan pengukusan selama 13 menit yang diikuti pelumuran dengan minyak kelapa menghasilkan mie yang terbaik secara visual, dengan waktu pengukusan optimumnya antara 10 – 15 menit. Mie basah matang yang diproduksi menggunakan kombinasi pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075 % + Na-asetat 2,5 % merupakan hasil terbaik yang diperoleh pada penelitian ini.
Secara visual, pada jam ke-56 mie tersebut sudah dinyatakan rusak.
Berdasarkan analisis mikrobiologis, pada jam ke-48 mie tersebut masih memenuhi standar nasional Indonesia dari nilai total plate count (TPC)-nya maupun total kapangnya. Nilai TPC mie tersebut adalah sebesar 5,82 (log cfu/g) dan total kapangnya 0, dan bakteri E. coli tidak ditemukan pada pengujian. Dilakukan pula analisis mie basah matang dengan pengawet Metilparaben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%. Mie tersebut sudah dinyatakan rusak pada jam ke-36 karena nilai TPC sudah melebihi standar yang ditetapkan, yaitu sebesar 6,11 (log cfu/g) dengan nilai total kapang pada jam ke-36 tersebut sebesar 1,9 (log cfu/g). Analisis lain yang dilakukan berupa analisis kadar air, pH, total asam tertitrasi (TAT), warna, tekstur dan organoleptik. Kadar air sampel mie basah
matang dengan pengawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025% + Capropionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 50,30 – 51,24 % (bb) dengan nilai Aw sebesar 0,96. Derajat keasaman (pH) mengalami penurunan, dari 9,06 pada jam ke-0 menjadi 8,23 pada jam ke-48, nilai TAT mengalami kenaikan dari 4,73 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-0 menjadi 7,46 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-48. Warna mie tersebut adalah yellow dengan nilai oHue dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 84,1823o – 86,1045o.
Pengujian tekstur
menunjukkan adanya penurunan kekerasan (firmness) dan peningkatan kelengketan (adhesiveness) selama penyimpanan. Kadar air sampel mie basah matang dengan pengawet Metil-paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dari jam ke-0 sampai jam ke48 berkisar antara 50,79 – 51,59 % (bb) dengan nilai Aw sebesar 0,95. Derajat keasaman (pH) mengalami penurunan, dari 9,10 pada jam ke-0 menjadi 5,99 pada jam ke-48, dan nilai TAT naik dari 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-0 menjadi 11,16 ml NaOH 0,1 N/100 g sampel pada jam ke-48. Warna mie tersebut adalah yellow dengan nilai oHue dari jam ke-0 sampai jam ke-48 berkisar antara 84,9000o – 87,0132o. Pengujian tekstur menunjukkan adalah penurunan kekerasan (firmness) dan peningkatan kelengketan (adhesiveness) selama penyimpanan. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi parameter bau tepung, bau asam, warna, kecerahan, tekstur, dan adanya lendir. Bau tepung, bau asam, warna, kecerahan dan tekstur mie basah matang dengan pengawet Monolaurin 0,25%+Metil-paraben 0,025%+Ca-propionat 0,075%+Na-asetat 2,5% selama penyimpanan mengalami perubahan yang signifikan (p<0,05), sedangkan adanya lendir tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0,05). Begitupun halnya dengan bau tepung, bau asam, warna, kecerahan dan tekstur mie basah matang dengan pengawet Metil-paraben 0,05%+Ca-Propionat 0,075%+Na-asetat 2,5% selama penyimpanan mengalami perubahan yang signifikan (p<0,05) dan adanya lendir tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0,05).
Berdasarkan hasil penelitian ini maka harus dilakukan publikasi dan pengenalan kepada masyarakat, khususnya produsen mie basah matang mengenai
cara
memproduksi mie basah
matang
dengan perlakuan
pengukusan. Pemasakan mie dengan pengukusan ternyata menghasilkan mie yang lebih baik dari segi warna dan teksturnya dibandingkan dengan perebusan. Selain itu, harus diperkenalkan dan dipublikasikan pula pengawet yang didapatkan. Untuk itu perlu dibuat suatu ”trademark” dari pengawet yang didapatkan, yang kemudian dikemas sudah dalam bentuk formula dalam suatu wadah agar mudah dipasarkan.
A. SARAN Dari hasil penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai aspek finansial penggunaan pengawet. Penggunaan pengawet harus diperhitungkan secara ekonomis karena akan diaplikasikan pada usaha kecil menengah (UKM). Penggunaan natrium asetat yang pure analyse (PA) akan sangat berkontribusi terhadap biaya produksi. Oleh karena itu, harus digunakan natrium asetat teknis yang kini sudah ada di pasaran. Penggunaan natrium asetat teknis ini perlu dilakukan uji coba dalam skala laboratorium karena tentunya aktivitasnya akan berbeda dengan natrium asetat PA dalam konsentrasi yang sama. Penggunaan monolaurin yang masih diimpor juga akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penggunaan monolaurin komersial yang kini juga sudah tersedia di pasaran walaupun dalam jumlah yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Alcamo, I.E. 1983. Fundamentals of Microbiology. Addison-Wesley Publishing Company Inc., Massachusetts. Anonim. 1982. Encyclopedia of Science and Technology. Mc. Graw-Hill Book Company, New Delhi. Anonim. 1996. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Anonim. 2003. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA, IPB. Bogor. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Int., Washington. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Int., Washington. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Budijanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor. Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai bahan pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Belitz, H. D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Beuchat, L. R. 1981. Water Activity of Some Foods and Susceptibility to Spoilage by Microorganisms. Di dalam : www.foodproductiondaily.com Bogasari. 2005. Manual Produksi Mie. Departement Research and Development Bogasari. Jakarta. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Chaplin,
M. 2005. Water Structure http://www.lsbu.ac.uk/water.htm
and
Behaviour.
Di
dalam
:
Charley, H. 1982. Food Science. 2nd ed. John Willey and Sons. New York. Christensen, C. M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products. Minnesota. American Association of Cereal Chemists.
Davidson, P. M. 2001. Chemical Preservatives and Natural Antimirobial Compounds. Di dalam: Food Microbiology: Fundamentals and Frontiers, ed. M. P. Doyle, L. R. Beuchat dan T. J. Montville, 2nd ed., pp. 593-627. ASM Press, Washington, D.C. Davidson, P.M. dan A.L. Branen. 1994. Antimicrobial in Food (ed.). Marcel Dekker Inc. New York. Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-01 2987-1992. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Doores, S. 1983. Organic Acids. Di dalam : Antimicrobial in Food. P.M. Davidson dan A.L. Branen (ed.). Marcel Dekker Inc. New York. Effendi, W. 1990. Masalah Teknologi Hasil Pertanian di PT. Sarimi Asli Jaya, Tangerang. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Egan, H., R. Kirk dan Sawyer. 1981. Pearson’s Chemical Analysis of Foods. Churchill Livingstone. Edinburg, London, and New York. Europe Commission of Scientific Committe for Food (SCF). 1994. Opinion of the Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Procesing Aids and Materials in Contact with food on a request from the Commission related to para-hydoxybenzoates (E 214-219). Di dalam : The EFSA Journal (2004) 83, 1-26. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fife, B. 2003. The Healing Miracles of Coconut Oil. Di dalam : www.NaturalHealthWeb.com Food and Drug Administration (FDA). 2001. The Miscellaneous Food Additives Regulations. Washington, D.C. Food and Drug Administration (FDA). 2000. sodium diacetate, sodium acetate, sodium lactate and pottassium lactate; Use as food additives. Food and Drug Administration, Washington, D.C. Frazier, W. C. dan Westhoff, D. C. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill Book Company. New York. Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor.
Hatcher, P. W. 2001. Asian Noodle Processing. Di dalam : Cereal Processing Technology 2nd edition. G. Owens (ed.). Woodhead Publishing Ltd., Cambridge. England. Heck, H. d’A., M. C. Schmitz, P.B. Dodd, E.N. Schachter, T.J. Witek, dan T. Tosun. 1985. Formaldehyde (CH2O) Concentration in The Blood of Humans and Fischer-344 Rats Exposed to CH2O under Controlled Conditions. J. Am. Ind. Hyg. Assoc. 46(1):1-3. Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota. USA. Hou, G. Dan Kruk, M. 1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin of Asian Noodle Vol. 20. http://edis.ifas.ufl.edu/. http://infoventures.com/e-hlth/pestcide/borax.html http://webmineral.com/chem/Chem-Ca.shtml http://www.ams.usda.gov/nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropionate.pdf http://www.efsa.eu.int/science/afc/afcopinions/630/opinion_afc16_ej83_parabens v2_en1.pdf. http://www.chemicalland21.com/arokorhi/ industrialchem/organic/CALCIUM% 20PROPIONATE.htm http://www.chemicalland21.com/lifescience/foco/PARABENS%20(METHYL,% 20ETHYL,%20PROPYL,%20BUTYL).htm http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/SODIUM%20 ACETATE.htm http:// www.dprin.go.id/regulasi/1999/07/pp6999.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj06.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj13.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je05.htm http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je44.htm http:// www.kedaulatan-rakyat.com/article.php
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/30/daerah/. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/06/daerah/. http:// www.mediaindo.co.id/berita.asp http://www.nad.go.id/index.php http://www.republika.co.id/koran_detail.asp International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials Chemicals and Drystuffs. IARC Monograph. Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam rangka Meningkatkan Kualitas Mie Basah di Jabotabek. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Ingram et al., 1956. Antimicrobial Agents. Di dalam : Antimicrobial in Food. P.M. Davidson dan A.L. Branen (ed.). Marcel Dekker Inc. New York. Kabara, J.J. 1984. Antimicrobial Agents Derived from Fatty Acids. J. American Oil Chemistry Society. 61: 397-403. Kato, N. 1981. Antimicrobial Activity of Fatty Acid and Their Esters Againts a Film Forming Yeast in Soy Souce. J. Food Safety. 3: 121-126. Kristianingsih. 1998. Analisis Produksi Mie Kering Sebagai Sarana Pendukung Efisiensi dan Produktivitas di PT. Asia Inti Selera, Jakarta. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Kruger, J.E., R.B. Matsuo, Miskelly, dan J.W. Dick. 1996. Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc., USA. Mappiratu. 1999. Penggunaan Biokatalis Dedak Padi dalam Biosintesis Antimikroba Monoasilgliserol dari Minyak Kelapa. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Mappiratu, Fardiaz, D. Dan Hasanuddin, A. 2003. Produksi dan Aplikasi Produk Monoasilgliserol dari Minyak Kelapa dalam Pengolahan Santan Awet. J. Teknol. dan Ind. Pangan, Vol.16 : 1. Matz, S. A. 1965. Water in Food. The AVI Pubhlising Company Inc., Westport. Connecticut. Merck Indeks. 1989. Preservation and Preservatives. 11th edition. Susan B (editor). Merck&Cg., Inc., Rahway, N. J. USA.
Mugiarti. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai Terhadap Sifat FisikoKimia dan Daya Terima Mie Basah (Boiled Noodle). Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Mulya, H. 1980. Beberapa Aspek Teknologi Pembuatan Mie di PT. Suba Indah. Laporan Penelitian Lapangan. FATETA, IPB. Bogor. Nugrahani, M. D. 2005. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Basah Matang yang Mengandung Formaldehid dan Boraks. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Pagani, M. A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. P;5268. Di dalam : Ch. Mercier dan C. Centrallis (ed.) 1985. Pasta and Extruction Cooked Foods. Proceeding of An Internasional Symposium Held in Milan, Italy. Prangdimurti, E. 1991. Fortifikasi Zat Besi pada Mie Kering yang Dibuat dari Campuran Tepung Terigu dan Tepung Singkong. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tangerang dan Bekasi. Skripsi. FATETA, IPB. Bogor. Ruiter, D.D. 1978. Composite Flour. Di dalam : Y. Pomeranz (ed). Advanced in Cereal Science and Technology II. AACC Inc., St. Paul. Minnesota. Sampurno. 2003. Keterangan Pers Kepala Badan POM tentang Kinerja Badan POM tahun 2003 no. KH.00.01.241.1.I.2004. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 8 Januari 2003. Jakarta. Schlievert, P. M., Deringer, J. R., Kim, M. H., Projan, S. J., dan Novick, R. P. 1992. Effect of Glycerol Monolaurate on Bacterial Growth and Toxin Production. J. Antimicrob Agents Chemoter. Volume 36 (3): 626–631. Smith, J. 1993. Preservatives. Di dalam : Food Additive User’s Handbook. J. Smith (ed.). Blackie. London. Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Teknologi Pangan dan Gizi. FATETA, IPB. Bogor. Troller, J. A. dan Christian, J. H. B. 1978. Water Activity and Food. Academic Press. New York. www.lauric.org www.palcomtech.com
www.foodproductiondaily.com Winarno, F.G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah pada Seminar Sehari Serba Mie. IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F. G. dan Rahayu, T. S. 1994. Bahan Tambahan untuk Pangan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Wiriano, H. 1981. Pembuatan Roti. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Bogor. World Health Organization. 1989. Formaldehyde. Environmental Health Criteria, Geneva. World Health Organization. 2002. Formaldehyde. Concise International Chemical Assessment Document 40, Geneva.
Lampiran 1. Form uji organoleptik UJI SKALAR GARIS
Nama
:
Tanggal :
Sampel
: Mie Basah Matang
Instruksi
: Berilah tanda X pada garis dibawah ini sesuai dengan respon yang ditimbulkan setelah Anda menguji sampel. Jangan membandingkan antar sampel.
• Bau tepung 354
Sangat lemah
Sangat kuat
Sangat lemah
Sangat kuat
Sangat lemah
Sangat kuat
Sangat lemah
Sangat kuat
Sangat coklat
Sangat kuning
Sangat coklat
Sangat kuning
Sangat gelap
Sangat cerah
Sangat gelap
Sangat cerah
Sangat lembek
Sangat keras
Sangat lembek
Sangat keras
Sangat sedikit
Sangat banyak
Sangat sedikit
Sangat banyak
741 • Bau asam 354 741 • Warna 354 741 • Brightness 354 741 • Tekstur 354 741 • Adanya lendir 354 741
Komentar ……………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………………..
Lampiran 2.Analisis warna mie basah matang selama penyimpanan Waktu 0 jam 24 jam Sampel
48 jam
1 72,21 73,64 75,35 2 71,17 75,42 75,93 1 -5,10 -5,48 -5,61 Kontrol a 2 -5,52 -5,26 -5,65 1 +66,24 +64,75 +65,31 b 2 +64,64 +64,65 +66,13 1 71,65 74,30 76,19 L 2 71,73 73,28 77,81 1 -5,31 -5,27 -5,46 A a 2 -4,87 -5,29 -5,72 1 +65,93 +64,87 +64,72 b 2 +65,01 +62,87 +68,18 1 72,14 75,63 73,25 L 2 71,66 69,55 73,07 1 -5,38 -5,11 -4,79 B a 2 -5,44 -3,17 -3,39 1 +66,18 +65,39 +66,32 b 2 +65,06 +64,61 +64,30 A = Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B = Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5% L
Lampiran 3. Analisis ragam warna kontrol Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 32833.176 16.220 2.003 .290 32833.466
Derajat bebas 5 2 2 1 6
Rataan kuadrat 6566.635 8.110 1.001 .290
F hitung 22612.380 27.927 3.448
Sig. .005 .133 .356
Lampiran 4. Analisis ragam warna sampel A Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 33028.599 17.357 1.759 7.707E-02 33028.676
Derajat bebas 5 2 2 1 6
Rataan kuadrat 6605.720 8.679 .879 7.707E-02
F hitung 85714.357 112.612 11.409
Sig. .003 .066 .205
Lampiran 5. Analisis ragam warna sampel B Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 31593.651 .324 11.043 7.571 31601.222
Derajat bebas 5 2 2 1 6
Rataan kuadrat 6318.730 .162 5.522 7.571
F hitung
Sig.
834.567 .021 .729
.026 .979 .638
Lampiran 6. Kekerasan (firmness) mie basah matang Firmness (g force) Kontrol A B Waktu (jam) Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 1 2 0 5112,7 4937,3 5190,3 5184,3 4468,5 4855,7 6 4938,2 4971,4 4282,6 4821,8 4603,8 4676,2 12 5029,6 4792,0 3750,2 4512,4 4590,4 4451,4 18 4818,3 4447,3 3843,8 4012,0 4503,1 4534,5 24 4701,0 4508,2 3452,5 3768,5 4324,6 4710,0 30 4521,8 4372,8 3601,5 3598,1 4491,2 4306,8 36 4297,6 4235,6 3825,5 3615,7 4319,6 4359,2 42 4368,1 4054,7 3601,8 3496,2 4184,9 4407,3 48 4101,3 4033,5 3486,3 3468,9 4266,3 4100,5 A = Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B = Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%
Lampiran 7. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan kontrol Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM 48 24 0 Sig.
Jumlah kuadrat 126025101 31682.667 921545.173 4584.253 126029685
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N 2 2 2
Rataan kuadrat 31506275.13 31682.667 460772.587 2292.127
1 4067.400
F hitung
Sig.
13745.434 13.822 201.024
Subset untuk α = .05 2
.000 .065 .005
3
4604.600 1.000
1.000
5025.000 1.000
Lampiran 8. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel A Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total JAM
Jumlah kuadrat 104089256 14269.127 3618023.160 35828.253 104125084
Derajat bebas 4 1 2 2 6
F hitung
Sig.
1452.614 .797 100.982
.001 .466 .010
Subset untuk α = .05 1 2 3477.600 3610.500 5187.300 1.000 .425
N 2 2 2
48 24 0 Sig.
Rataan kuadrat 26022313.93 14269.127 1809011.580 17914.127
Lampiran 9. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel B Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total JAM 48 24 0 Sig.
Jumlah kuadrat 114118210 299.627 49845.670 667.603 114118877
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N 2 2 2
Rataan kuadrat 28529552.38 299.627 24922.835 333.802
1 4258.850
F hitung
Sig. .000 .443 .013
85468.574 .898 74.664
Subset untuk α = .05 2
3
4341.900 1.000
1.000
4479.850 1.000
Lampiran 10. Kelengketan (adhessiveness) mie basah matang selama penyimpanan Adhessiveness (g force) Waktu Kontrol A B (jam) Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 1 2 0 -549,7 -580,1 -750,5 -689,1 -698,4 -672,4 6 -577,6 -512,8 -795,8 -732,4 -794,5 -627,9 12 -512,1 -493,7 -773,3 -705,7 -658,6 -518,2 18 -506,8 -545,2 -736,3 -663,9 -619,2 -495,4 24 -435,6 -507,4 -618,0 -638,0 -556,8 -597,6 30 -544,5 -485,9 -513,5 -714,5 -637,0 -531,8 36 -508,4 -442,6 -540,4 -586,2 -444,1 -467,5 42 -445,7 -510,1 -599,9 -520,1 -521,6 -513,0 48 -393,9 -491,3 -656,9 -493,7 -451,1 -473,1 A = Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B = Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%
Lampiran 11. Aktivitas air (Aw) mie basah matang Sampel
Ulangan
Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
1 2 1 2 1 2
Kontrol
Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5%
Aktivitas air (Aw) 0,963 0,977 0,941 0,963 0,975 0,951
Rata-rata 0,970 0,952 0,963
Lampiran 12. Analisis ragam aktivitas air (Aw) mie basah matang Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 8.324 4.940E-04 2.400E-05 6.040-04 8.324
Derajat bebas 5 2 2 4 9
Rataan kuadrat 1.665 2.470E-04 1.200E-05 1.510E-04
F hitung 11024.825 1.636 .079
Sig. .000 .303 .925
Lampiran 13. Kadar air mie basah matang selama penyimpanan Kadar Air (% bb) Waktu Kontrol A B (jam) Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 1 2 0 51,12 49,86 50,23 48,89 49,82 51,76 24 50,89 50,67 49,56 49,84 50,31 52,11 48 51,46 50,88 50,17 49,65 50,64 52,54 A = Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B = Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%
Lampiran 14. Analisis ragam kadar air kontrol Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 13672.946 1.667E-03 .208 .385 13673.330
Derajat bebas 4 1 2 2 6
Rataan kuadrat 3418.236 1.667E-03 .104 .192
F hitung 17778.622 .009 .541
Sig. .000 .934 .649
Lampiran 15. Analisis ragam kadar air sampel A Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 14834.999 .416 .124 .656 14835.656
Derajat bebas 4 1 2 2 6
Rataan kuadrat 3708.750 .416 6.207E-02 .328
F hitung 11304.866 1.268 .189
Sig. .000 .377 .841
Lampiran 16. Analisis ragam kadar air sampel B Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 15039.129 2.817E-03 .101 7.233E-03 15039.136
Derajat bebas 4 1 2 2 6
Rataan kuadrat 3759.782 2.817E-03 5.045E-02 3.617E-03
F hitung 1039571 .779 13.949
Sig. .000 .471 .067
Lampiran 17. Derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan pH Waktu Kontrol A B (jam) Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 1 2 0 9,20 9,20 8,99 9,21 9,17 8,95 6 9,21 9,19 9,07 9,11 8,96 9,06 12 8,97 9,23 8,85 8,87 9,20 8,76 18 8,36 8,12 8,94 8,24 8,85 8,95 24 7,64 7,96 7,79 8,61 8,81 8,93 30 7,18 5,72 8,13 7,47 8,48 9,10 36 6,50 5,30 7,66 7,56 8,32 9,10 42 5,72 3,90 6,50 7,78 8,29 8,73 48 4,49 4,91 6,27 5,71 8,16 8,30 A = Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B = Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%
Lampiran 18. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap pH kontrol Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM
Jumlah kuadrat 335.231 9.127E-02 21.213 4.813E-02 335.279
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N
48 24 0 Sig.
Rataan kuadrat 83.808 9.127E-02 10.607 2.407E-02
Sig.
3482.319 3.792 440.720
Subset untuk α = .05 2
1 2 2 2
F hitung
.000 .191 .002
3
4.7000 7.800 1.000
1.000
9.200 1.000
Lampiran 19. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel A Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM
Jumlah kuadrat 371.899 3.840E-02 10.244 .479 372.377
Derajat bebas 4 1 2 2 6
F hitung 388.365 .160 21.395
Sig. .003 .728 .045
Subset untuk α = .05 1 2 5.990
N 2 2 2
48 24 0 Sig.
Rataan kuadrat 92.975 3.840E-02 5.122 .239
8.200 9.100 0.351
1.000
Lampiran 20. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel B Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM 48 24 0 Sig.
Jumlah kuadrat 456.987 2.667E-04 .76 4.093E-02 457.028
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N 2 2 2
Rataan kuadrat 114.247 2.667E-04 .378 2.047E-02
F hitung 5582.090 .013 18.479
Subset untuk α = .05 1 2 8.230
1.000
8.870 9.060 .0315
Sig. .000 .920 .051
Lampiran 21. Total asam tertitrasi mie basah matang (ml NaOH 0,1 N/100 g ) TAT (ml NaOH 0,1 N/100 g) Waktu Kontrol A B (jam) Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 1 2 1 2 0 3,91 4,57 6,35 4,93 5,12 4,34 12 5,87 5,83 6,92 5,82 5,67 4,55 24 7,23 7,96 7,61 7,45 6,31 5,47 36 9,87 9,52 8,58 9,32 7,13 6,01 48 12,84 11,75 10,79 11,53 8,29 6,63 A =Metil-Paraben 0,05% + Ca-Propionat 0,075% + Na-Asetat 2,5% B =Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% + Ca-Propionat 0,075% + NaAsetat 2,5%
Lampiran 22. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap TAT kontrol Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM
Jumlah kuadrat 453.672 1.500E-02 65.486 1.063 454.736
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N
0 24 48 Sig.
Rataan kuadrat 113.418 1.500E-02 32.743 .532
Sig. .005 .882 .016
213.332 .028 61.588
Subset untuk α = .05 2
1 2 2 2
F hitung
3
4.240 7.595 1.000
1.000
12.295 1.000
Lampiran 23. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel A Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM 0 24 48 Sig.
Jumlah kuadrat 426.230 .118 31.480 1.177 427407
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N 2 2 2
Rataan kuadrat 106.557 .118 15.740 .589
F hitung 181.035 .200 26.741
Subset untuk α = .05 1 2 5.640 7.530 .133
11.160 1.000
Sig. .006 .699 .036
Lampiran 24. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel B Sumber keragaman Model Sampel Jam Galat Total
JAM 0 24 48 Sig.
Jumlah kuadrat 227.226 1.793 7.509 .242 227.468
Derajat bebas 4 1 2 2 6
N 2 2 2
Rataan kuadrat 56.807 1.793 3.754 0.121
F hitung 469.994 14.835 31.063
Sig. .002 .061 .031
Subset untuk α = .05 1 2 4.730 5.890 0.079
7.460 1.000
Lampiran 25. Hasil analisis mikrobiologis mie basah matang yang dibuat pada skala laboratorium Kontrol Waktu Kandungan Mikroba (jam) TPC (cfu/g) Kapang (cfu/g) E. coli (MPN/g) Ulangan 1 Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 2 1 2 1 2 3 3 1 0 3,3 x 10 3,1 x 10 1,0 x 10 0 0 0 6 9,4 x 103 9,2 x 103 2,1 x 101 0 0 0 12 1,5 x 104 5,9 x 104 9,8 x 101 3,2 x 101 0 0 4 4 2 2 18 7,8 x 10 8,0 x 10 3,3 x 10 2,9 x 10 0 0 24 4,7 x 105 6,5 x 105 1,0 x 103 3,8 x 103 0 0 30 1,8 x 106 2,6 x 106 2,2 x 103 2,6 x 103 0 0 6 6 3 3 36 5,3 x 10 9,1 x 10 5,1 x 10 5,7 x 10 0 0 42 4,9 x 106 1,2 x 107 1,3 x 104 9,0 x 103 0 0 48 1,0 x 107 2,6 x 107 2,1 x 104 2,5 x 104 0 0 Metil-Paraben 0,05 % + Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5% Waktu Kandungan Mikroba (jam) TPC (cfu/g) Kapang (cfu/g) E. coli (MPN/g) Ulangan 1 Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 2 1 2 1 2 3 3 0 3,9 x 10 1,5 x 10 0 0 0 0 6 7,3 x 103 3,1 x 103 0 0 0 0 12 9,2 x 103 7,0 x 103 0 0 0 0 4 3 18 1,0 x 10 8,2 x 10 0 0 0 0 24 3,8 x 104 3,2 x 104 0 0 0 0 5 5 1 30 2,1 x 10 2,5 x 10 1,3 x 10 0 0 0 36 7,0 x 105 1,9 x 106 9,6 x 101 6,2 x 101 0 0 42 3,2 x 106 3,6 x 106 2,4 x 102 4,0 x 101 0 0 6 6 2 2 48 2,1 x 10 9,3 x 10 3,7 x 10 1,3 x 10 0 0
Monolaurin 0,25% + Metil-Paraben 0,025% Ca-Propionat 0,075 % + Na-Asetat 2,5 % Waktu Kandungan Mikroba (jam) TPC (cfu/g) Kapang (cfu/g) E. coli (MPN/g) Ulangan 1 Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 2 1 2 1 2 0 1,5 x 103 9,0 x 102 0 0 0 0 6 3,4 x 103 1,2 x 103 0 0 0 0 3 3 12 7,5 x 10 3,5 x 10 0 0 0 0 18 9,9 x 103 5,7 x 103 0 0 0 0 4 3 24 1,6 x 10 8,4 x 10 0 0 0 0 30 1,1 x 105 7,7 x 104 0 0 0 0 36 2,3 x 105 1,9 x 105 0 0 0 0 5 5 42 5,0 x 10 4,4 x 10 0 0 0 0 48 8,1 x 105 5,1 x 105 0 0 0 0
Lampiran 26. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 10,2 5,5 3,4 2 4,3 4,7 1,0 3 10,9 8,5 8,5 4 3,1 1,1 0,0 5 7,2 6,5 6,3 6 4,5 2,9 3,2 7 8,5 5,4 3,2 8 10,3 10,3 8,0
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM 48 24 0 Sig.
Jumlah kuadrat 1001.683 173.436 40.486 20.387 1022.070
Derajat bebas
Rataan kuadrat 100.168 24.777 20.243 1.456
10 7 2 14 24
N
Sig. .000 .000 .000
68.785 17.014 13.901
Subset untuk α = .05 2
1 8 8 8
F hitung
3
4.200 5.613 1.000
1.000
7.375 1.000
Lampiran 27. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 8,1 3,6 2,5 2 3,5 3,5 0,2 3 8,1 4,9 6,8 4 4,8 1,8 0,0 5 9,5 8,7 5,3 6 5,4 2,2 3,7 7 4,4 6,9 3,6 8 11,8 9,6 7,0
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM
Jumlah kuadrat 843.197 138.746 44.001 30.352 873.550
Derajat bebas 10 7 2 14 24
F hitung
Sig.
38.892 9.142 10.148
.000 .000 .002
Subset untuk α = .05 1 2 3.638 5.150
N
48 24 0 Sig.
Rataan kuadrat 84.320 19.821 22.000 2.168
8 8 8
.059
6.950 1.000
Lampiran 28. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 0,5 2,7 3,2 2 0,3 1,9 3,3 3 0,0 0,8 1,9 4 1,8 2,9 3,5 5 2,7 3,7 4,6 6 2,9 4,3 5,7 7 0,8 1,7 2,4 8 0,7 2,5 3,5
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 188.723 25.730 21.373 1.607 190.330
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 18.872 3.676 10.687 .115
F hitung 164.448 32.029 93.120
Sig. .000 .000 .000
JAM
N
0 24 48 Sig.
1 8 8 8
Subset untuk α = .05 2 1.213 2.563 1.000
3
3.513 1.000
1.000
Lampiran 29. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 0,7 2,5 2,8 2 0,1 1,4 2,1 3 0,0 0,7 1,7 4 1,5 2,0 2,4 5 2,6 2,7 2,9 6 3,2 3,8 4,3 7 0,8 1,1 1,5 8 0,6 2,9 3,6
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM 0 24 48 Sig.
Jumlah kuadrat 124.420 19.876 8.943 3.390 127.810
Derajat bebas 10 7 2 14 24
N 8 8 8
Rataan kuadrat 12.442 2.839 4.472 .242
F hitung 51.383 11.726 18.467
Subset untuk α = .05 1 2 1.188
1.000
2.137 2.663 .051
Lampiran 30. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap warna sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 6,7 9,5 8,7 2 5,4 5,6 10,5 3 6,8 4,0 8,4 4 6,3 13,3 10,9 5 6,5 7,7 8,3 6 5,5 5,9 5,8 7 2,7 4,6 3,6 8 9,4 8,0 10,5
Sig. .000 .000 .000
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 1379.106 89.938 18.952 43.834 1422.940
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 137.911 12.848 9.476 3.131
F hitung 44.047 4.104 3.027
Sig. .000 .012 .081
Lampiran 31. Analisis ragam terhadap parameter warna sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 10,1 11,2 11,5 2 8,5 10,0 11,4 3 3,4 4,9 8,7 4 10,3 10,7 12,5 5 10,4 6,7 7,4 6 6,9 7,3 8,1 7 7,0 9,3 9,0 8 11,1 9,1 10,1 Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 2021.169 75.467 8.896 27.671 2048.840
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 202.117 10.781 4.448 1.976
F hitung 102.261 5.455 2.250
Sig. .000 .003 .142
Lampiran 32. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap kecerahan (brightness) sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 6,2 11,0 8,7 2 6,0 10,4 7,5 3 5,7 8,7 9,3 4 8,3 10,2 13,0 5 7,0 7,4 7,2 6 5,9 6,5 7,8 7 2,7 3,6 5,0 8 10,9 8,6 11,1 Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 1598.351 94.550 20.147 28.519 1626.870
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 159.835 13.507 10.074 2.037
F hitung 78.463 6.631 4.945
Sig. .000 .001 .024
JAM
Subset untuk α = .05 1 2 6.588
N
0 24 48 Sig.
8 8 8
1.000
8.300 8.700 .584
Lampiran 33. Analisis ragam terhadap parameter kecerahan (brightness) sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 7,2 8,3 12,1 2 6,9 12,5 8,1 3 9,0 9,2 9,7 4 11,1 8,8 12,3 5 7,9 5,1 8,1 6 8,7 9,0 8,9 7 10,8 9,6 12,0 8 10,2 10,2 11,7 Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 2198.236 34.118 9.502 37.744 2235.980
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 219.824 4.874 4.751 2.696
F hitung 81.537 1.808 1.762
Sig. .000 .164 .208
Lampiran 34. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 8,5 9,7 10,3 2 7,5 7,3 5,2 3 9,3 4,0 3,4 4 5,4 6,8 4,7 5 9,2 7,8 5,8 6 9,7 8,6 6,5 7 7,0 4,5 1,2 8 4,5 2,7 1,9
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
Jumlah kuadrat 1082.588 95.566 30.678 29.223 1111.810
Derajat bebas 10 7 2 14 24
Rataan kuadrat 108.259 13.652 15.339 2.087
F hitung 51.865 6.541 7.349
Sig. .000 .001 .007
JAM
Subset untuk α = .05 1 2 4.875
N
48 24 0 Sig.
8 8 8
1.000
6.425 7.638 .115
Lampiran 35. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 11,6 11,5 9,9 2 9,8 6,1 8,6 3 8,8 5,4 4,5 4 5,8 6,2 3,6 5 7,9 6,3 7,3 6 9,1 9,6 7,2 7 9,8 7,4 4,3 8 4,1 2,9 2,8
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM 48 24 0 Sig.
Jumlah kuadrat 1346.791 113.290 22.241 21.679 1368.470
Derajat bebas 10 7 2 14 24
N 8 8 8
Rataan kuadrat 134.679 16.184 11.120 1.549
F hitung 86.973 10.451 7.181
Sig. .000 .000 .007
Subset untuk α = .05 1 2 6.025 6.925 .170
8.362 1.000
Lampiran 36. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel A Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 0,4 0,6 5,0 2 0,0 1,7 1,5 3 0,7 2,4 2,6 4 0,0 0,2 1,7 5 0,3 0,9 2,2 6 0,2 3,6 4,8 7 0,8 4,1 4,8 8 0,7 0,7 2,2
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM
Jumlah kuadrat 121.072 17.786 29.436 13.618 134.690
Derajat bebas 10 7 2 14 24
N
0 24 48 Sig.
Rataan kuadrat 12.107 2.541 14.718 .973
Sig.
12.447 2.612 15.131
Subset untuk α = .05 2
1 8 8 8
F hitung
.000 .060 .000
3
.388 1.775 1.000
3.100 1.000
1.000
Lampiran 37. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir Sampel B Skor Panelis 0 jam 24 jam 48 jam 1 0,7 1,3 2,3 2 0,0 0,4 2,1 3 0,3 1,0 2,5 4 0,0 0,2 0,4 5 0,2 0,8 2,2 6 0,4 0,9 1,8 7 0,4 1,1 3,1 8 0,2 0,6 1,5
Sumber keragaman Model Panelis Jam Galat Total
JAM 0 24 48 Sig.
Jumlah kuadrat 40.974 3.807 12.361 1.966 42.940
Derajat bebas
Rataan kuadrat 4.097 .544 6.180 .140
10 7 2 14 24
N
Sig. .000 .015 .000
29.180 3.873 44.015
Subset untuk α = .05 2
1 8 8 8
F hitung
3
.275 .788 1.000
1.000
1.988 1.000