SKRIPSI
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
Oleh: KAREN PUSPASARI F24102091
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Karen Puspasari. F24102091. Aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan untuk meningkatkan umur simpan mie basah matang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 2007. RINGKASAN Mie basah telah menjadi makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2987-1992, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan terlarang, seperti formalin dan boraks, pada produk mie basah matang ternyata marak terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Formalin umumnya digunakan untuk memperpanjang umur simpan mie mencapai beberapa minggu, sedangkan boraks ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan mie. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan, dengan aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan, serta untuk memperoleh korelasi antara umur simpan mie basah matang dengan teknologi proses yang diaplikasikan. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Tahapan penelitian meliputi pengaruh garam alkali (Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%), penambahan hidrokoloid (CMC 0,2%, gum Arab 0,5%, dan karagenan 0,5%), aplikasi perlakuan fisik (pemasakan, penyimpanan suhu rendah, dan pengemasan), optimasi bahan pengawet yang diizinkan (natrium asetat, kalsium propionat, dan kalium sorbat), dan pemenuhan syarat CPPB. Setiap perlakuan yang memberikan umur simpan paling lama dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara bersamaan pada tahapan terakhir untuk dianalisis mutu fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya. Aplikasi garam alkali Na2CO3 dan STPP kedalam mie memberikan pengaruh terhadap tekstur, warna, dan umur simpan mie. Nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Warna mie yang diberi panambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam kisaran warna kuning kemerahan dengan nilai kecerahan (L) mie dengan penambahan STPP (L 72,27) lebih tinggi daripada mie dengan penambahan Na2CO3 (L 68,87). Mie dengan panambahan Na2CO3 memiliki umur simpan 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan STPP selama 24 jam. Penggunaan Na2CO3 0,6% sebagai garam alkali memberikan hasil yang lebih baik daripada STPP 0,2% dalam hal tekstur, warna, dan umur simpan, sehingga Na2CO3 0,6% untuk selanjutnya akan digunakan sebagai garam alkali yang diaplikasikan dalam formula untuk mie kontrol pada tahapan selanjutnya. Uji statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Tukey HSD menunjukkan nilai kekerasan mie dengan penambahan gum Arab 0,5% (3732,2 gf) tidak berbeda nyata dengan kontrol (3705,3 gf), namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC (3956,2 gf) dan karagenan 0,5% (3207,5 gf).
Warna ketiga sampel mie penambahan hidrokoloid berada dalam kisaran warna kuning kemerahan. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kecerahan tertinggi (L 72,89). Umur simpan mie dengan penambahan karagenan sama dengan mie kontrol, yaitu 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan 48 jam. Penambahan hidrokoloid tidak memperpanjang umur simpan mie karena konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan rendah sehingga tidak mampu menurunkan jumlah air bebas dalam bahan. Penambahan CMC kedalam formula mie memberikan kontribusi yang paling rendah terhadap biaya produksi dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik dari segi tekstur dan selanjutnya diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik. Minyak yang digunakan untuk melumur mie adalah minyak kelapa. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket, serta penggunaan minyak yang lebih efisien. Pengukusan mie yang dilakukan selama 10 dan 12 menit menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata (p<0,05). Namun, warna mie yang dikukus lebih gelap dan berbeda nyata (p<0,05) dengan warna mie yang direbus selama 2 menit. Hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada mie yang dikukus karena mie kukus memiliki nilai aw 0,945-0,95, yang lebih rendah dari mie yang direbus (aw 0,97). Umur simpan mie yang dikukus lebih panjang, yaitu 68 jam, dibandingkan dengan mie yang direbus (44 jam). Pemasakan mie dengan cara direbus selama 2 menit memberikan tekstur yang lebih baik (3705,3 gf), dimana mie yang dikukus memiliki tekstur yang liat dan keras dengan nilai kekerasan 9065,0 gf (10 menit) dan 9302,8 gf (12 menit). Berdasarkan pertimbangan terhadap tekstur dan warna, mie yang direbus selama 2 menit dengan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan pemasakan dan pelumuran yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik. Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama kemasan tertutup rapat, yaitu 44 jam. Pengemasan mie dengan kondisi tertutup mengurangi jumlah kontaminasi mikroba dari lingkungan. Pengemasan vakum terhadap mie menyebabkan penampakan mie menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah masih sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh produsen mie. Oleh karenanya, penyimpanan mie pada suhu ruang dengan kemasan LDPE dipilih sebagai perlakuan kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik. Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% (formula I) dan Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% (formula VI) menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam. Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% (formula III) menghasilkan mie dengan umur simpan 52 jam. Kombinasi pengawet Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% (formula II) dan Capropionat 0,15% + K-sorbat 0,05% (formula V), yang melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50%, menghasilkan mie dengan umur simpan paling pendek, yaitu 48 jam. Mie dengan penambahan kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + Ksorbat 0,05% (formula VII) memiliki umur simpan terpanjang, yaitu 60 jam. Formula VII sebagai pengawet terbaik setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25% menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam.
Mie kombinasi terbaik adalah mie yang dibuat dengan penambahan Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + Ksorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat pada nilai kecerahannya, dimana nilai kecerahan akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Nilai kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 48. Nilai kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 48 jam, sedangkan nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56. Nilai aw mie kombinasi terbaik hampir sama dengan mie kontrol, sekitar 0,965 dan 0,970. Selama penyimpanan, terjadi penurunan nilai pH mie dimana nilai pH berbeda nyata (p<0,05) setelah penyimpanan selama 48 jam. Perubahan nilai pH mie kontrol tidak berbeda nyata (p<0,05) sampai akhir penyimpanan, sedangkan nilai pH mie berbeda nyata (p<0,05) pada jam ke-48 (pH 6,89). Nilai TAT tidak diukur karena pH mie yang disimpan masih berada di atas pH netral. Total mikroba awal kedua sampel mie tergolong rendah, dimana TPC mie kontrol sebesar 2,96 log cfu/g dan mie kombinasi terbaik 0,57 log cfu/g. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32, walaupun secara subyektif mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis. Total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik pada waktu akhir penyimpanan masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, yaitu kurang dari 104. Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie. Uji organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik dengan skala hedonik 1 sampai 5. sebagai kontrol positif, ikut diujikan mie yang dijual di pasaran. Berdasarkan penilaian panelis, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna (skor 4,21 dan 4,43), aroma (skor 3,62 dan 3,70), tekstur (skor 4,07 dan 3,63), rasa (skor 3,73 dan 3,63), dan keseluruhan (skor 3,94 dan 4,17). Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna (skor 3,45), aroma (skor 1,90), tekstur (skor 2,53), rasa (skor 2,18), dan keseluruhan (skor 2,15). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie yang dibuat pada skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah praktek higiene dan sanitasi yang baik pada saat pengolahan sangat berperan dalam mengurangi kontaminasi mikroba, sehingga mie yang dihasilkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Selain itu, penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup juga akan mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar selama distribusi dan penjualan.
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh KAREN PUSPASARI F24102091
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh KAREN PUSPASARI F24102091
Tanggal lulus: 27 November 2006 Menyetujui, Bogor,
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Dosen Pembimbing I
Februari 2007
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 September 1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Felix Wirya dan Vonny Kartawinata. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Kristen VIII BPK Penabur, SD Kristen VIII BPK Penabur, SLTP Kristen V BPK Penabur, dan SMU Kristen I BPK Penabur. Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk SPMB pada tahun 2002. Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kampus, seperti di kepanitiaan beberapa acara, yaitu Lepas Landas Sarjana 2003, BAUR 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII, dan National Student Paper Competition. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar I dan Analisis Pangan. Penulis berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti dan mewakili IPB pada PIMNAS XIX 2006 di Universitas Muhammadiyah Malang, serta meraih penghargaan setara emas untuk kategori presentasi. Sejak tahun 2003 sampai akhir studinya, penulis menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International. Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian selama 6 bulan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pengasih, hanya karena berkat dan pimpinan-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama atas segenap waktu, bimbingan, dukungan, pengetahuan, serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk belajar dan berkarya sejak awal masa bimbingan sampai penulisan skripsi ini selesai. 2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing kedua, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi, serta memberikan masukan-masukan yang membangun selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. 3. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk berdiskusi, membimbing, dan memberikan masukan-masukan yang membangun, khususnya dalam hal penulisan ilmiah. 4. Keluarga tercinta: Papi, Mami, Cheryl, Wilman, dan Wilson, terimakasih atas kasih sayang, doa, canda tawa, pengertian, dan perhatiannya selalu. Penulis merasa sangat diberkati memiliki keluarga seperti kalian. 5. Yayasan Goodwill International: Mr. Paul O’Hannon, Bapak dan Ibu Hara, Ibu Cri, Mba Rossa, dan segenap keluarga besar YGI, atas dukungan dalam bentuk beasiswa, training kepemimpinan, dan kebersamaan yang tidak terlupakan selama 3 tahun terakhir. 6. Para sahabat: Lilyana, Selvie (Cepi), Foni, Ci Sianne, dan Ps. Rita, atas segala dukungan dalam doa, kata-kata membangun, cerita saat suka dan duka, serta persahabatan yang tulus sampai sekarang ini. 7. Sahabat-sahabat dalam perjuangan: Fenni dan Steisi, terimakasih atas persahabatan, doa, waktu-waktu yang dilalui bersama, canda tawa,
dukungan, serta kritik yang membangun sejak awal kuliah sampai saat ini. I thank my God upon every remembrance of you. 8. Teman-teman penelitian: Inggrid, Pretty, Elvina, Meilina, dan Dhenok, atas segala kebersamaan untuk berbagi cerita, suka-duka, canda-tawa, kepanikan, serta doa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung. Juga untuk Kiki, Shinta, Herold, Ribka, Nanda, Nuy, Dora, Eva, Hana, Mba Nani, Risna, Woro, Manginar, Ijal, Ulik, dan Manto, atas segala waktu dan dukungan selama penelitian bersama di Laboratorium ITP. 9. Para Laboran dan Teknisi: Pak Koko, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida, Pak Yahya, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Sobirin, Mas Edi, dan Mba Darsi, atas segala arahan, dukungan, pelayanan, kesabaran, pengertian, dan cerita-cerita menghibur yang menjadikan masa-masa penelitian sebagai pengalaman tidak terlupakan. 10. Teman-teman TPG 39: Tin2, Hanna, Fany Nene, Farah, Tissa, Ina, Ratry, Mohung, Randy, Inal, Bobby, Prasna, Inda, Papang, Echo, Adjeng, Didin, Dadik, Putra, dan Tono, atas kebersamaan semasa kuliah dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 11. Teman-teman Gilgal Youth Ministry (GYM): Lora, Dessy, Deliana, Melissa, Herman, Yusuf, Dian K., Iko, Ps. Erick, Ps. Ora & Rachel, Ps. Owen & Evelyn, atas perhatian, teladan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasaan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, November 2006 Penulis
DAFTAR ISI Hal. RIWAYAT PENULIS ........................................................................................ i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI....................................................................................................... iv DAFTAR TABEL............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN PENELITIAN......................................................................... 2 C. MANFAAT PENELITIAN..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE ......................................................................................................... 4 1. Definisi Mie ...................................................................................... 4 2. Jenis Mie ........................................................................................... 5 3. Proses Pengolahan Mie Basah .......................................................... 5 B. KERUSAKAN MIE................................................................................ 8 C. GARAM ALKALI .................................................................................. 9 D. HIDROKOLOID..................................................................................... 10 1. Gum Arab.......................................................................................... 11 2. Karagenan ......................................................................................... 12 3. CMC.................................................................................................. 15 E. BAHAN PENGAWET............................................................................ 17 1. Propionat dan Garamnya................................................................... 18 2. Sorbat dan Garamnya........................................................................ 19 3. Natrium Asetat .................................................................................. 20 F. KONDISI PENYIMPANAN .................................................................. 21 1. Penyimpanan Suhu Rendah .............................................................. 21 2. Pengemasan....................................................................................... 22
III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 25 1. Bahan ................................................................................................ 25 2. Alat.................................................................................................... 25 B. TAHAPAN PENELITIAN ..................................................................... 25 1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Mutu Mie ......................... 26 2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Mutu Mie ................ 27 3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Mutu Mie .................................................................................................... 28 4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Mutu Mie ...................... 29 5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Mutu Mie ......... 30 6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Mutu Mie ............................................................. 32 7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie ...................... 32 C. PENGAMATAN..................................................................................... 33 1. Mutu Fisik ......................................................................................... 33 a. Uji kekerasan, kelengketan, dan elastisitas ................................. 33 b. Pengukuran warna....................................................................... 34 2. Mutu Kimia ....................................................................................... 35 a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 35 b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 35 c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989) .............. 35 3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)................................................. 35 4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) ................................................ 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE .... 38 B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 40 C. PENGARUH PEMASAKAN DAN PELUMURAN MINYAK TERHADAP MUTU MIE .................................................................... 43
D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE ......................................................................................................... 47 E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 51 F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE........................ 54 G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE ......................................................................................................... 56 H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 56 1. Mutu Fisik .......................................................................................... 56 a. Warna .......................................................................................... 56 b. Tekstur ........................................................................................ 58 2. Mutu Kimia ....................................................................................... 59 a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 59 b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 60 c. Total asam tertitrasi (TAT) ......................................................... 61 3. Mutu Mikrobiologis .......................................................................... 61 a. Total mikroba .............................................................................. 61 b. Total kapang dan khamir............................................................. 64 c. Total koliform ............................................................................. 65 4. Mutu Organoleptik ............................................................................ 66
V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ....................................................................................... 71 B. SARAN ................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74 LAMPIRAN.......................................................................................................... 79
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 1. Syarat mutu mie basah ....................................................................... 4 Tabel 2. Formula mie standar........................................................................... 26 Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali ................................... 27 Tabel 4. Konsentrasi humektan yang digunakan dalam formula ..................... 27 Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran................................. 28 Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan............... 29 Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan ....................... 30 Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi ............................. 31 Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik ............................ 32 Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie ................... 39 Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie ..................... 41 Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi.......... 42 Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan ........................................................................................ 44 Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie ................................... 46 Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie ............. 49 Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya............. 55 Tabel 17. Perlakuan-perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie.............. 56 Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan ...................................... 57 Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan ..................................... 58
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum........................... 6 Gambar 2. Struktur molekul karagenan ............................................................ 13 Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan ........................................ 14 Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC.............................................................. 16 Gambar 5. Struktur molekul asam propionat .................................................... 19 Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat ........................................................ 20 Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP....................... 40 Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal dengan pengemasan vakum......................................... 48 Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 53 Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet............................................................................ 54 Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 55 Gambar 12. Aktivitas air mie.............................................................................. 59 Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie ................ 60 Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie ................... 62 Gambar 15. Pertambahan total kapang dan khamir selama penyimpanan mie .. 65 Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie .............................................................. 69
DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum ..................................... 80 Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC .................................................... 81 Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab ............................................. 82 Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan ............................................. 83 Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat................................... 84 Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat ......................................... 85 Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali .......... 86 Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali ........ 86 Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali ........... 87 Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali ......... 88 Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid ........... 88 Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89 Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89 Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid............. 90 Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91 Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91 Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ............ 91 Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92 Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92 Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan ............. 93 Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93 Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93 Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan .............. 94 Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan........... 94
Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 94 Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 94 Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95 Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95 Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............. 95 Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan ......... 96 Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 96 Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 96 Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97 Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97 Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie ............................................ 97 Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie ................................... 98 Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol .................................................. 98 Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol ................................... 98 Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik................................. 98 Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik ............. 99 Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol...................................... 99 Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik..................... 99 Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik ......................................................... 100 Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik ..................................... 101 Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna . 102 Lampiran 46. Skor uji hedonik Mie kontrol skala laboratorium atribut aroma. 103 Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur 104 Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa..... 105 Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara106 keseluruhan ................................................................................. 107 Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna ............ 108
Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma ............ 109 Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur ........... 110 Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa................ 111 Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan.............. 112 Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie................................ 112 Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terahadap atribut warna mie (p<0,05) ........... 112 Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie ............................... 112 Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05) ............. 112 Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie............................... 112 Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) ............ 113 Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie ................................... 113 Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05) ................ 113 Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie.................................. 113 Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05) ............... 113
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim, 1996). Namun ironisnya, masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini telah diguncang oleh masalah penggunaan formalin dalam beberapa jenis bahan pangan, antara lain mie basah, bakso, tahu, ikan asin, dan ayam potong. Selain penggunaan formalin, tidak sedikit produsen mie yang juga menambahkan boraks, yang merupakan bahan campuran untuk kuningan dan bahan las, kedalam produknya untuk memperbaiki tekstur menjadi jauh lebih kenyal. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Mie basah merupakan makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Produsen mie basah telah menjamur di seluruh kawasan Indonesia, terutama dalam bentuk industri kecil dan industri rumah tangga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika kita mengingat mudahnya cara pengolahan mie basah yang hanya melibatkan teknologi sederhana. Untuk industri kecil yang hanya memiliki modal kecil dan dikelola secara tradisional, teknologi pembuatan mie basah tidaklah menjadi masalah, namun mutu mie basah yang dihasilkan akan bervariasi tergantung kondisi sanitasinya. Berdasarkan penelitian Pahrudin (2006), mie basah matang tanpa penambahan pengawet memiliki umur simpan yang pendek, yaitu 26 jam pada
suhu ruang, berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Penggunaan bahan tambahan ilegal, seperti formalin, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah masih banyak dilakukan oleh para produsen. Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) menunjukkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal, yaitu formalin ataupun boraks. Perinciannya adalah 13 industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70,59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja. Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005). Mengingat banyaknya penyalahgunaan yang terjadi, maka diperlukan usaha-usaha untuk memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Usaha yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan pengawet selain formalin yang aman digunakan dan mengaplikasikan praktek pengolahan yang sesuai dengan prinsip Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB).
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk memperlajari pengaruh penggunaan garam alkali yang berbeda, penambahan hidrokoloid, aplikasi perlakuan fisik,
dan optimasi bahan pengawet yang diizinkan terhadap mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan.
C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaaat bagi pengusaha mie basah matang, khususnya pada tingkat Usaha Kecil Menengah (UKM), untuk menghasilkan mie basah matang dengan umur simpan yang lebih panjang dengan biaya produksi yang terjangkau.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIE BASAH 1. Definisi Mie Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan (Pagani, 1985). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu mie basah* No. Kriteria Uji 1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 2. Kadar air 3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering) 4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering) 5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna
Satuan
Persyaratan
% b/b
Normal Normal Normal 20 – 35
% b/b
Maks. 3
-
% b/b
–
5.3 Formalin 6. Cemaran logam : 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg) 7. Arsen (As) mg/kg 8. Cemaran mikroba : 8.1 Angka lempeng total Koloni/g APM/g 8.2 E. coli 8.3 Kapang Koloni/g *Badan Standarisasi Nasional (1992)
Min. 3
Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.05 Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104
2. Jenis Mie Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya ukuran diameter produk, bahan baku, cara pengolahan, dan karakterisitik produk akhirnya. Berdasarkan ukuran diameter produk, Pagani (1985) membedakan mie menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie (0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance noodle) dari bahan baku pati, misalnya soun dan bihun. Berdasarkan pengolahannya, mie dibedakan menjadi mie mentah (misalnya mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Sedangkan berdasarkan karakterisitik produk akhirnya, terdapat dua jenis mie, yaitu mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie instan). Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang hampir sama. Yang membedakan keduanya ialah kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatan. Mie basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b) dan sumber prtoteinnya berasal dari tepung terigu yang menjadi bahan baku utamanya. Jenis mie basah dengan bahan baku tepung aren biasa disebut masyarakat dengan mie “gleser” (Badrudin, 1994).
3. Proses Pengolahan Mie Basah Bahan dasar untuk pembuatan mie basah yang umum digunakan adalah tepung terigu dan air dengan bahan tambahan antara lain garam dapur, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan sumber protein, pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Penggunaan garam dapur sebanyak 1-2% akan mengembangkan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan. Garam dapur yang digunakan sebanyak 2-3% akan memperbaiki keseragaman dari jaringan gluten dan jumlah ini merupakan kontrol
terhadap enzim α-amilase jika aktivitasnya sedang minimum (Sunaryo, 1985). Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pemasakan (Gambar 1).
Terigu Pencampuran bahan
Pengadukan
Pembentukan lembaran
Pemotongan Perebusan 100 oC, 2 menit
Pemberian minyak goreng pada air rebusan Mie basah matang Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum (modifikasi dari Widowati dan Buckle (1991)). Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari
28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985 di dalam Yustiareni, 2000). Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40oC. Apabila suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal. Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu yang baik adalah sekitar 37oC, jika kurang 37oC maka adonan akan menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mie mudah patah. Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin, 1994). Setelah dibentuk lembaran, dilanjutkan dengan proses pemotongan. Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk pita-pita mie dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm, kemudian dilakukan pemasakan mie. Pemasakan pita-pita mie dengan cara perebusan atau pengukusan (steaming) dengan uap air bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Proses gelatinisasi ini terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi, dan solidifikasi. Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaannya sehingga mie bersifat elastis dan tidak mudah patah. Setelah itu, mie tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie sehingga mie menjadi lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan
granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994). Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga mie menjadi halus, kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi permukaan mie pada saat mie tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai pelindung pada saat penggorengan sehingga mie tidak menyerap minyak terlalu banyak dan tekstur mie menjadi lembut, lunak, dan elastis. Selain itu, pemborosan minyak pun dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie dapat dilihat dari pati yang tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak sempurna, maka mie matang akan bersifat rapuh. Selain itu, bila produk dimasak dalam air, maka air akan menjadi keruh karena larutnya pati yang belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat digoreng akan membentuk gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk kurang baik. Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain, untuk memberikan citarasa, serta agar mie tampak mengkilap (Mugiarti, 2001).
B. KERUSAKAN MIE Mie matang merupakan mie basah mentah yang telah direbus terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah matang memiliki aw sebesar 0,97 dan pH sebesar 9,20 (Pahrudin, 2006). Berdasarkan Fardiaz (1992), makanan dengan kadar air dan pH relatif tinggi (pH > 5,3) dikelompokkan sebagai makanan yang mudah rusak. Kadar air dan aw yang tinggi menyebabkan mie basah riskan mengalami kerusakan jika simpan pada suhu ruang seperti yang umum dilakukan oleh penjual mie di pasaran. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang. Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat
menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000). Kerusakan pada mie basah matang yang direbus terlebih dahulu terjadi setelah penyimpanan suhu kamar selama 26 jam dengan indikator adanya lendir dan bau asam (Pahrudin, 2006). Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna tidak terjadi, karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Hasil survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005) menunjukkan bahwa ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.
C. GARAM ALKALI Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Mie tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali. Masyarakat kita sebenarnya kurang familiar dengan istilah garam alkali. Umumnya, garam alkali lebih mereka kenal dengan istilah obat mie atau “kansui”. Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan
tekstur mie. Konsentrasi Na2CO3 yang ditambahkan dalam formula mie basah pada penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) adalah sebanyak 0,6% sesuai dengan formula Bogasari. Formula mie dengan penambahan Na2CO3 0,6% dijadikan sebagai formula standar dalam penelitian ini. Kalium karbonat berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Sodium tripolifosfat atau STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie basah yang sekarang kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan boraks adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP dengan konsentrasi 0,1% sampai 0,2% dalam formula mie sudah cukup bagus untuk memberikan kekenyalan.
D. HIDROKOLOID Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan aw bahan pangan. Humektan juga bersifat antimikroba, memperbaiki tekstur, citarasa, dan dapat meningkatkan kalori (Labuza, 1975). Lebih lanjut Labuza (1975) menjelaskan bahwa ada tiga jenis humektan. Pertama, humektan yang memiliki kemampuan menurunkan aw; kedua, humektan yang dapat mempertahankan kadar air; dan ketiga, humektan dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Salah satu contoh humektan adalah hidrokoloid. Hidrokoloid atau koloid hirofilik adalah polimer berantai panjang yang larut dalam air dan mampu membentuk koloid dan gel. Polimer ini berukuran antara 10 Å sampai 1000 Å. Hidrokoloid juga sering dikenal dengan istilah gum. Ada berbagai macam hidrokoloid yang sekarang banyak digunakan di industri pangan antara lain gum Arab, xanthan gum, agar-agar, pektin, CMC, dan karagenan (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid dalam bahan pangan lebih
difokuskan untuk membentuk tekstur daripada sebagai pengikat air bebas dalam bahan. Berdasarkan klasifikasinya, hidrokoloid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid modifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Gum Arab termasuk hidrokoloid alami hasil eksudat sedangkan karagenan adalah hidrokoloid alami hasil ekstraksi rumput laut. Hidrokoloid alami hasil ekstraksi tanaman adalah pektin. Xanthan gum merupakan hidrokoloid alami hasil fermentasi bakteri. Contoh hidrokoloid hasil modifikasi adalah CMC (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokolid memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan. Hidrokoloid dapat digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh, pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental dalam produk pangan (Fardiaz, 1989). Berdasarkan fungsinya yang dapat mengikat air, hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas dalam bahan pangan (Garbutt, 1997). Kandungan air bebas dalam bahan pangan disebut sebagai aktivitas air (aw). Nilai aw bahan pangan merupakan salah faktor penting untuk kelangsungan hidup mikroba. Jika suatu hidrokoloid membentuk gel untuk menghasilkan suatu tekstur yang diinginkan dalam bahan pangan, secara langsung hal ini dapat menurunkan nilai aw pangan tersebut, walaupun penurunnya tidak akan terlalu signifikan karena hidrokoloid biasanya digunakan dalam kadar yang sangat rendah, yaitu sekitar 1% dari berat bahan pangan. Jika hidrokoloid ini membentuk gel, maka sebagian air bebas dalam bahan pangan akan terikat sehingga nilai aw akan turun dan jumlah air bebas yang dapat dipakai oleh mikroba untuk hidup akan berkurang juga. Belum ada penelitian yang menunjukkan secara pasti besar penurunan nilai aw oleh gum Arab, karagenan, dan CMC, yang akan digunakan sebagai hidrokoloid dalam penelitian ini. 1. Gum Arab Gum Arab merupakan eksudat dari tanaman spesies Acacia terutama Acacia senegal. Gum ini diperoleh dari bagian kulit kayu yang terluka. Gum Arab merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun
atas unit-unit L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan asam Dglukoronat, serta sejumlah kecil protein (2%). Proporsinya bervariasi tergantung pada spesies Acacia. Gum Arab memiliki rantai utama yang tersusun dari β-D-galaktopiranosil yang berikatan dengan ikatan 1→3 (Belitz dan Grosch, 1987). Gum Arab secara alami merupakan campuran kalsium, magnesium, dan garam-garam kalium dari asam arab (Glicksman, 1983). Gum Arab sangat larut dalam air. Kelarutan gum Arab dalam air sangat tinggi bila dibandingkan dengan hidrokoloid lainnya. Gum Arab dapat larut sampai konsentrasi sekitar 55%, sedangkan gum lainnya tidak dapat larut dalam air pada konsentrasi lebih besar dari 5%. Konsentrasi gum yang tinggi memberikan stabilisasi yang baik (Fardiaz, 1989). Kekentalan larutan akan meningkat pada penambahan gum Arab dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sifat ini sangat berbeda dengan jenis polisakarida lainnya, dimana penambahan konsentrasi yang rendah akan menghasilkan larutan yang kental. Kekentalan maksimum yaitu pada konsentrasi 40-50% pada pH 4,5-5,5. Pada pH kurang dari 4,5 dan lebih besar dari 5,5 menyebabkan kekentalannya rendah (Fardiaz, 1989). Menurut Whistler dan Miller (1973), viskositas rata-rata gum Arab pada konsentrasi sebesar 1% adalah 2,015. Kegunaan gum Arab dalam industri pangan antara lain sebagai emulsifier dan stabilizer dalam produk-produk hasil pemanggangan. Selain itu, gum Arab ini juga dapat menghambat proses kristalisasi gula dan pemisahan lemak pada produk-produk confectionery dan es krim. Gum Arab juga digunakan sebagai pengikat flavor pada produksi konsentrat aroma dalam bentuk kapsul ataupun bubuk. Sebagai contoh, minyak esensial diemulsifikasi dengan larutan gum Arab lalu dikeringkan dengan spray dryer. Polisakarida (gum Arab) akan membentuk film yang mengelilingi tetes minyak, yang akan melindungi minyak dari oksidasi (Belitz dan Grosch, 1987).
2. Karagenan Karagenan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling penting dalam produk pangan. Karagenan terdiri dari ester-ester kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat dalam polimer melalui ikatan gliko α-1,3 dan β-1,4. Kandungan ester sulfat karagenan berkisar antara 18-40%. Chapman dan Chapman (1980) menyatakan bahwa karagenan merupakan suatu polimer polisakarida yang tersusun dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 D-Galaktopiranosa. Polimer karagenan terdiri dari galaktosa dan dibedakan atas tiga fraksi utama yaitu λ- (lambda), ι- (iota), dan κ- (kappa) karagenan (Gambar 2). Ketiga fraksi tersebut dibedakan berdasarkan gugus ester sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosanya. Fraksi kappa-karagenan dan iota-karagenan dapat membentuk gel, sedangkan fraksi lamdakaragenan tidak dapat membentuk gel. Kandungan ester sulfat dalam kappa-karagenan sebesar 25-30%, dalam iota-karagenan sebesar 28-35%, dan dalam lamda-karagenan sebesar 32-39%.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan (c) lamda-karagenan (Nussinovitch, 1997) Fraksi kappa karagenan terdiri dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karagenan terbentuk sebagai hasil aksi enzim dekinkase yang mengkatalisis μ- (mu) karagenan menjadi kappa karagenan dengan cara menghilangkan sulfat pada C6 dari residu ikatan α-1,4 D-galaktosa-6-sulfat yang bersamaan dengan penutupan cincin membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Gliksman, 1983).
Berbeda dengan kappa karagenan, iota karagenan terbentuk dari ν(nu) karagenan, yang terdiri dari ikatan ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Sama seperti kappa karagenan, dengan menghilangkan sulfat pada C6 dari ν-karagenan maka terbentuklah 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota karagenan (Gliksman, 1983). Whistler dan Miller (1973) mengemukakan bahwa kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis karagenan, pengaruh ada tidaknya ion, suhu, pH, dan komponen organik larutan. Selain itu, kelarutan karagenan juga dipengaruhi oleh adanya gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan sulfat ester. Karagenan umumnya larut dalam air panas (>70oC). Dalam air dingin, hanya lamda karagenan dan garam natrium dari kappa dan iota karagenan yang larut (Glicksman, 1983). Viskositas terjadi pada saat dispersi karagenan dengan air. Viskositas ini tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, jenis karagenan, dan molekul terlarut lainnya. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat, maka viskositas juga meningkat secara logaritmik. Viskositas larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini bersifat reversible. Kappa dan iota karagenan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini juga bersifat reversible, artinya gel akan mencair jika dipanaskan dan bila didinginkan akan membentuk gel kembali (Glicksman, 1983). Pada suhu di atas titik cair gel, polimer karagenan dalam larutan berbentuk ramdom coils. Polimer akan membentuk double helix pada proses pendinginan (gel I), pendinginan selanjutnya membentuk struktur tiga dimensi (gel II). Mekanisme pembentukan gel ini dapat dilihat pada Gambar 3 (Rees, 1969).
Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969) Produk karagenan paling stabil pada pH netral dan alkali. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari iakatan gliko yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel, yang dipercepat oleh adanya panas (Moirano, 1977). Namun pada kenyataannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis terjadi tidak lama kemudian, sehingga gel dapat tetap stabil (Glicksman, 1983). Di Amerika Serikat, karagenan memiliki status GRAS dan diakui sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA. Di Eropa, karagenan juga telah diakui sebagai BTP dengan E number E407. Kurang lebih 80% produksi karagenan digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Whistler dan Miller, 1973). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, bahkan juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak (Suptijah, 2002). Karagenan dapat menghambat pembentukan kristal es pada produk makanan yang dibekukan. Pada umumnya, penggunaan karagenan dikombinasikan dengan CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose), locust bean gum, guaran, atau beberapa jenis bahan penstabil lainnya (Arbuckle, 1986). 3. CMC CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose) merupakan hidrokoloid sintetis yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC
merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linear. Monomer penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karboksimetil eter (Fennema, 1985). CMC ini diperoleh dengan cara menambahkan asam kloroasetat pada selulosa. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997) Kelarutannya dalam air cukup tinggi. Karakteristik produknya tergantung pada derajat substitusi dan polimerisasi. Jenis yang memiliki derajat substitusi rendah tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa, sedangkan jenis yang memiliki derajat substitusi tinggi larut di dalam air. Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH. Pada pH kurang dari 5,0, viskositasnya akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara 5-11. CMC memiliki viskositas maksimum dan stabilitas yang paling baik pada pH 7-9 (Whistler dan Miller, 1973). CMC dapat larut dalam air panas dan air dingin (Glicksman, 1983). CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan sebagai hidrokoloid pangan. Fungsi dasarnya adalah untuk mengikat air atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan komponen lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasanya dikombinasikan dengan gelatin, pektin, atau gum biji lokus. Kapasitas pengikatan airnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan-makanan dietetik. CMC biasa digunakan dalam campuran adonan mie basah yang banyak dijual di pasaran. CMC berfungsi sebagai penstabil pada mie basah. CMC dapat juga digunakan sebagai bahan pengganti gluten (gluten substitute). Hal ini didasarkan pada peranan senyawa tersebut yang
terbukti baik untuk mengembangkan adonan dalam formulasi roti dari tepung beras (Nishita, et. al, 1976). Penting untuk diperhatikan bahwa jika CMC yang ditambahkan terlalu banyak maka akan menyebabkan adonan mie tidak mengembang penuh, tekstur mie menjadi keras, dan daya rehidrasi berkurang. Keuntungan penggunaan CMC adalah pada pH tinggi kekentalannya akan meningkat (Fardiaz, 1989). Jika kekentalan meningkat berarti jumlah air bebas dalam bahan akan menurun sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba perusak.
E. BAHAN PENGAWET Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan utama (Anonim, 1996). Menurut Codex Alimentarus di dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan kedalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes No.1168/MenKes/Per/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur makanan).
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Departemen Kesehatan, 1988). Jenis bahan pengawet yang paling sering diaplikasikan kedalam bahan pangan adalah asam organik. Selain lebih aman karena umumnya buah-buahan juga menghasilkan asam organik secara alamiah, asam organik banyak digunakan karena kinerja antimikrobanya. Asam organik merupakan asam lipofilik lemah yang mudah berinteraksi dengan komponen lemak yang menyusun bagian membran sel mikroba. Asam organik akan menembus membran sel dalam bentuk tidak terdisodiasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau dapat membunuh mikroba. Setelah berada dalam sitoplasma yang memiliki pH netral sekitar 7, bentuk tidak berdisoasi ini akan terdisosiasi dan ion H+ yang terbentuk akan menurunkan pH sitoplasma sehingga kesetimbangan dalam sel mikroba menjadi kacau. Bentuk asam organik yang tidak terdisosiasi dapat diperoleh dengan menggunakan bentuk garam dari asam organik tersebut karena bentuk garam asam organik ini lebih dapat mempertahankan bentuk tidak berdisosiasi dan biasanya bentuk garam lebih mudah larut dalam air. Selain itu, informasi mengenai pKa penting untuk diketahui sebelum asam organik ini diaplikasikan sebagai pengawet. Garbutt (1997) mendefinisikan pKa sebagai nilai pH pada saat suatu pengawet terdisosiasi sebanyak 50%. Semakin tinggi nilai pKa maka semakin luas spektrum penggunaan suatu asam organik untuk dapat digunakan sebagai pengawet. Pemilihan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor meliputi zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Pengawet kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah kalsium propionat, kalium sorbat, dan natrium asetat. 1. Propionat dan Garamnya Asam propionat (C3H6O2) dengan rumus struktur CH3CH3COOH
(Gambar 2) umum digunakan sebagai penghambat kapang. Kalsium propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) bersifat larut dalam air, sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak larut dalam aseton dan benzena. Memurut Merck Index (1989), kalsium propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi.
Gambar 5. Struktur molekul asam propionat (Anonim, 1999a) Menurut Desrosier (1977), natrium atau kalsium propionat biasa digunakan pada industri pangan untuk menghambat kapang dan khamir pada produk roti, mentega, selai, jeli, keju, dan produk olahan lain yang tidak tahan lama. Efektivitasnya optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan meningkatnya pH. Propionat memiliki pKa 4,87 bentuk aktif sebagai asam propinat yang tidak terdisosiasi (Samelis dan Sofos, 2003). Toksisitasnya terhadap mikroba adalah karena mikroba tidak mampu memetabolisme tiga rantai karbon dari asam propionat. FDA menyatakan propionat sebagai Generally Recognized As Safe (GRAS) dalam 21 CFR 184.1221 dengan nilai Acceptable daily Intake (ADI) sebesar 0-20 mg/kg berat badan. Propionat dalam bentuk garam kalsiumnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,1-0,4% dan untuk produk dengan bahan dasar tepung digunakan sebesar 0,32% (CNFP, 2002a). Di Indonesia, asam dan kalsium propionat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum penggunaan 3 g/kg tunggal atau campuran dengan asam sorbat dan garamnya, sedangkan pada roti batas maksium penggunaannya adalah 2 g/kg. 2. Sorbat dan Garamnya Asam sorbat yang memiliki rumus C6H8O2 (Gambar 3) merupakan padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Kelarutan air pada suhu kamar adalah 0,15 g per 100 ml (0,15 %). Grup karboksil asam sorbat sangat reaktif sehingga dapat membentuk berbagai garam dan ester.
Sorbat memiliki nilai pKa 4,76 (Samelis dan Sofos, 2003). Ikatan ganda terkonjugasi asam sorbat juga reaktif dan mungkin mempengaruhi aktivitas antimikrobanya dan kualitas serta keasaman produk pangan. Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk kalsium, natrium, dan natrium sorbat.
Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat (Anonim, 1999b) Menurut Desrosier (1977), asam sorbat efektif dalam mengontrol pertumbuhan kapang pada keju, margarin, dan daging. Bahkan pada margarin penambahan asam sorbat lebih efektif dibanding dengan penambahan asam benzoat sebagai pengawet. Mekanisme penghambatan asam sorbat pada kapang yaitu dengan menghambat sistem enzim dehidrogenase pada kapang. Namun efektivitas asam sorbat hanya terlibat apabila kapang yang tumbuh dalam jumlah kecil. Pada tingkat pertumbuhan kapang yang tinggi, pengaruh asam sorbat sebagai penghambat tidak jelas terlihat (Desrosier, 1977). Sorbat dalam bentuk garamnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,025-0,1% untuk produk roti, kue, keju, pie, dan yoghurt (CNFP, 2002b). konsentrasi maksimum yang diijinkan di Amerika Serikat adalah 0,1%.
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
No.722/
Menkes/Per/IX/88, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan dengan batas maksimum 3 g/kg, pada produk keju, margarin, acar ketimun dalam botol, selai dan jeli, serta pekatan sari nenas batas maksimum penggunaannya sebesar 1g/kg, sedangkan pada aprikot yang dikeringkan dan marmalad penggunaan kalium sorbat yang diizinkan sebanyak 500 mg/kg. 3. Natrium Asetat Natrium asetat berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak berwarna, yang terbentuk dari reaksi antara asama asetat dengan natrium karbaonat atau natrium hidroksida. Natrium asetat larut dalam air dan
etoksietan serta sedikit larut dalam etanol. Natrium asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai buffer pada produksi petroleum, elastomer, dan sebagai pengawet. Natrium asetat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang. Asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Samelis dan Sofos, 2003). Natrium asetat dapat digunakan dalam saos, mayonaise, acid-pickle vegetable, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch, 1999). Sebagai pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS dengan ADI tidak terbatas oleh FDA. Batas maksimum Na-asetat yang masih aman dikonsumsi berdasarkan CODEX adalah 0,6% atau 6000 ppm.
F. KONDISI PENYIMPANAN 1. Penyimpanan Suhu Rendah Penyimpanan pada suhu rendah (di bawah 15oC) merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan. Suhu rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia, serta menghambat atau menghentikan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam makanan. Faktor yang perlu diperhatikan pada penyimpanan suhu rendah adalah penggunaan suhu yang paling tepat. Semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin lambat terjadi reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1987). Penyimpanan suhu rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, proses penuan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan warna dan tekstur, kehilangan air, kerusakan karena bakteri, kapang, dan khamir (Fellers, 1955). Daya tahan mikroorganisme terhadap suhu rendah bervariasi antara satu dengan lainnya. Kapang dan ragi lebih tahan pada kondisi beku daripada bakteri. Temperatur rendah menyebabkan penahanan sintesa enzim mikroorganisme dan menginaktifkan mekanisme transpor solut melalui membran sitoplasma pada bakteri mesofilik. Namun, hal tersebut
tidak terjadi pada bakteri psikrofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup pada suhu (– 7)oC hingga 10oC. Kebanyakan bakteri psikrofilik yang terdapat dalam makanan termasuk dalam genus Pseudomonas, dan beberapa termasuk dalam genus Acinetobacter, Alkaligenes, dan Flavobacterium. Kapang yang sering tumbuh pada makanan yang disimpan pada suhu rendah antara lain termasuk dalam genus Penicillium, Cladosporium, Botrytis, dan Geotrichum, sedangkan khamir yang mungkin tumbuh adalah genus Deberiomyces, Torulopsis, Candida, Rhodotorula, dan beberapa jenis lainnya (Fardiaz, 1992). 2. Pengemasan Pengemasan pangan dilakukan untuk melindungi produk dari lingkungan
sekitarnya
dalam
rangka
peningkatan
mutu
simpan.
Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan (Syarief et al., 1989). Pengemasan vakum dilakukan dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas. Ketersediaan
oksigen
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
mikroorganisme. Jamur atau kapang bersifat aerobik (memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisinya (Fardiaz, 1992). Kandungan oksigen yang rendah dalam kemasan terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Patersen et al. (1999) melaporkan bahwa rendahnya oksigen yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroba
dari
genus
Pseudomonas,
Moraxella,
Acinetobacter,
Flavobacterium dan Cytophaga. Pengemasan vakum dapat mempertahankan kesegaran dan flavor makanan 3-5 kali lebih lama dibandingkan dengan metode penyimpanan konvensional, karena tidak ada kontak dengan oksigen, serta juga dapat memelihara tekstur dan penampakan makanan karena mikroorganisme
seperti bakteri, jamur, dan khamir tidak dapat tumbuh dalam kondisi vakum. Plastik yang digunakan dalam pengemasan vakum yaitu plastik yang mempunyai permeabilitas O2 yang rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas (Sacharow dan Griffin, 1980). Polipropilen (PP) merupakan polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimerpolimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis, yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan bahan. Secara fisik, PP bersifat kuat, kaku, dan transparan. Kemampuan PP dalam menghalangi uap air cukup tinggi. Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk kemasan kaku. Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih kaku dari PE, serta tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP tahan suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. Polipropilen tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat. Polietilen (PE), yang mempunyai rumus kimia (-CH2-CH2-)n, merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri makanan. Berdasarkan densitasnya, polietilen dibagi menjadi tiga, yaitu polietilen densitas rendah (LDPE/Low Density Polyethylene), polietilen densitas sedang (MDPE/Medium Density Polyethylene), dan polietilen densitas tinggi (HDPE/High Density Polyethylene) (Hanlon, 1986). HDPE bersifat tidak transparan, tidak mudah meregang, mudah disobek, tidak mudah mengkerut dan meleleh saat dibakar dengan api. LDPE juga bersifat tidak transparan, tidak mudah sobek, mudah meregang, mudah meleleh dan mudah mengkerut. Perbedaan densitas ini akan berpengaruh terhadap harga masing-masing jenis plastik tersebut, dimana semakin tinggi densitas maka harga semakin mahal.
Pangan yang telah dikemas vakum nantinya akan disimpan pada suhu rendah untuk mencegah tumbuhnya bakteri anaerobik, khususnya Clostridium botulinum. Bakteri Gram positif berbentuk batang ini merupakan bakteri pembentuk spora yang hidup secara anaerobik. Clostridium botulinum ini dapat menghasilkan racun botulinum yang bersifat neuropatik dan dapat menyerang susunan saraf. Makanan yang dikemas vakum (anaerob) kadang-kadang masih terlihat normal dari luarnya dalam hal bentuk, rasa, dan baunya. Untuk menghindari terjadinya keracunan botulinum, maka dilakukan penyimpanan pada suhu rendah, yaitu di bawah suhu optimum pertumbuhan C. botulinum strain yang proteolitik (35oC) (Supardi dan Sukamto, 1999).
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam produksi mie adalah tepung terigu merek Segitiga Biru dan Cakra Kembar, garam dapur, air, bahan pengawet (Na-asetat, Ca-propionat, dan K-sorbat), hidrokoloid (CMC, gum Arab, dan karagenan), minyak kelapa, plastik LDPE, dan plastik PP. Bahanbahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis, fisik, kimia dan sensori adalah aquades, alkohol 96%, larutan pengencer steril NaCl 0,85%, media Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA), Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), spiritus, tissue, buffer pH 7, NaCl jenuh, kapas, dan korek api.
2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam produksi mie adalah noodle machine, mixer, timbangan, baskom, gelas ukur, gelas piala, dan pisau. Alat-alat untuk analisis adalah cawan aluminium, desikator, oven, cawan porselin, tanur, stomacher, cawan petri steril, tabung reaksi bertutup, tabung Durham, pipet, mikropipet, inkubator, bunsen, erlenmeyer, gelas ukur, otoklaf, hot plate, refrigerator, sealer, aluminium foil, sudip, awmeter, pH-meter, texture analyzer, chromameter, dan refluks.
B. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari tujuh tahap penelitian yang saling terkait. Pada tahap pertama dilakukan penambahan jenis garam alkali yang berbeda kemudian diamati pengaruhnya terhadap kualitas mie basah matang, khususnya tekstur mie. Pada tahap kedua, dilakukan penambahan hidrokoloid ke dalam formula mie standar, kemudian diamati pengaruhnya terhadap tekstur dan elastisitas mie basah matang. Tahap ketiga, dilakukan variasi cara pemasakan dan cara pelumuran mie basah matang. Tahap keempat merupakan
aplikasi teknologi penyimpanan suhu rendah dan pengemasan vakum untuk memperoleh mie dengan umur simpan lebih lama. Tahap kelima adalah optimasi penambahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan mie basah matang. Tahap keenam merupakan tahap penurunan konsentrasi kombinasi pengawet terbaik dari tahap kelima untuk memenuhi syarat Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB). Setelah semua tahapan tadi dilakukan dan diperoleh perlakuan terbaik dari masing-masing tahapan, maka dilakukan kombinasi perlakuan terbaik untuk membuat mie basah matang pada tahap ketujuh. Skema umum tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Fomula mie, proses pemasakan, pelumuran minyak, dan pengemasan yang digunakan diperoleh dari Pahrudin (2006) dan untuk selanjutnya disebut sebagai prosedur standar. Formula mie dapat dilihat pada Tabel 2 dan untuk selanjutnya disebut sebagai formula standar. Pemasakan mie basah dilakukan dengan perebusan pada 100oC selama 2 menit. Pelumuran dilakukan dengan minyak kelapa yang ditambahkan ke dalam air rebusan. Mie yang telah jadi dikemas menggunakan plastik LDPE. Tabel 2. Formula mie standar* Bahan Tepung terigu (Segitiga Biru : Cakra Kembar) Garam dapur Na2CO3 Air *Pahrudin (2006)
Komposisi 1:1 1,0% berat tepung 0,6% berat tepung 34% berat tepung
1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Kualitas Mie Tahapan pertama ini dilakukan untuk memperoleh formula garam alkali yang dapat menghasilkan mie dengan tekstur yang kenyal dan elastis atau tidak rapuh. Garam alkali yang akan digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP).
Formula yang digunakan adalah formula mie standar dengan penggunaan garam alkali sesuai perlakuan yang tertera pada Tabel 3. Setelah selesai dibuat, mie hasil formulasi kemudian diamati warna, tekstur, dan elastisitasnya dengan menggunakan instrumen. Data hasil pengamatan terhadap warna, tekstur, dan elastisitas kemudian diolah secara statistik menggunakan Uji T dengan program SPSS 11.5. Pengamatan subyektif dilakukan setiap 4 jam terhadap parameter bau asam dan ada tidaknya lendir untuk mengetahui umur simpannya. Garam alkali yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan tekstur serta elastisitas terbaik kemudian diaplikasikan dalam formula mie pada tahap kombinasi perlakuan terbaik. Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali Perlakuan I II
Jenis Garam Alkali Na2CO3 STPP
Konsentrasi 0,6% 0,2%
2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Kualitas Mie Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan optimasi penambahan hidrokoloid. Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar. Jenis hidrokoloid yang digunakan, yaitu CMC, gum Arab, dan karagenan. Penggunaan hidrokoloid dilakukan secara tunggal. Rancangan perlakuan tahap ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi hidrokoloid yang digunakan dalam formula Konsentrasi (% berat tepung) Kontrol Tanpa CMC – I CMC 0,2* II Gum arab 0,5** III Karagenan 0,5** * ** Keterangan: Pahrudin (2006) dan Permenkes (1988) Perlakuan
Jenis Hidrokoloid
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas
pada saat mie selesai dibuat (jam ke-0). Data hasil pengamatan terhadap warna,
tekstur,
dan elastisitas
kemudian
diolah secara
statistik
menggunakan ANOVA dengan program SPSS 11.5. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula hidrokoloid dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Kualitas Mie Dua cara pemasakan mie yang dilakuan pada tahapan ini, yaitu dengan perebusan dan pengukusan. Selain itu, juga dilakukan dua cara pelumuran minyak, yaitu penambahan minyak pada air rebusan dan setelah pemasakan. Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar. Jenis minyak yang digunakan, yaitu minyak kelapa. Kombinasi perlakuan pemasakan dan pelumuran dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran Perlakuan Pemasakan Pelumuran Minyak I II III Pengukusan
Direbus Dikukus pada
skala
Ditambahkan di air rebusan Setelah perebusan Setelah pengukusan laboratorium
dilakukan
dengan
menggunakan panci kukus, yaitu panci yang menyerupai dandang yang diberi air pada bagian dasarnya sampai ketinggian tertentu. Uap air untuk mengukus mie berasal dari air yang dibiarkan mendidih. Mie yang akan dikukus disemprot terlebih dahulu dengan air secara merata menggunakan botol semprot (sprayer) untuk meningkatkan kelembaban awal mie sehingga nantinya diperoleh mie dengan tekstur yang lebih kenyal. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna dan tekstur pada saat mie telah selesai dibuat (jam ke-0). Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Data hasil pengamatan terhadap warna, tekstur, dan elastisitas diolah secara statistik menggunakan ANOVA
dengan program SPSS 11.5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Kualitas Mie Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan optimasi perlakuan fisik. Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar. Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemasan plastik LDPE dan PP tebal. Perlakuan fisik yang dilakukan adalah penyimpanan pada suhu ruang (25oC) dan suhu rendah, yaitu pada suhu 13 ± 2 oC dan 5 ± 1oC, serta pengemasan vakum dengan plastik PP tebal yang disimpan pada suhu rendah (Tabel 6). Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan Perlakuan
Kemasan
I II III IV V VI
LDPE PP tebal LDPE PP tebal LDPE PP tebal
VII
PP tebal
VIII
PP tebal
Suhu Penyimpanan Suhu ruang Suhu ruang Suhu rendah 13 ± 2 oC Suhu rendah 5 ± 1oC Suhu rendah 13 ± 2 oC Suhu rendah 5 ± 1oC
Cara Pengemasan Tanpa vakum Tanpa vakum Tanpa vakum Tanpa vakum Tanpa vakum Tanpa vakum Kemas vakum Kemas vakum
Masing-masing sampel mie ditimbang seberat 100 gram dan dikemas dengan kondisi tertutup rapat. Pengemasan tanpa vakum dilakukan dengan cara dikelim menggunakan sealer pada skala 1 untuk plastik LDPE dan skala 3 untuk plastik PP tebal. Pengemasan vakum dilakukan menggunakan plastik PP tebal dengan alat vacuum sealer milik Laboratorium Pengemasan, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam untuk sampel yang disimpan pada suhu ruang dan setiap 1 hari untuk sampel yang disimpan pada suhu rendah. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2
hari (48 jam). Perlakuan fisik terbaik yang diperoleh selanjutnya akan diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik. 5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Kualitas Mie Tahapan ini dilakukan untuk eksplorasi bahan pengawet yang mungkin digunakan untuk pembuatan mie. Tahapan ini mencakup formulasi mie yang ditambahkan dengan bahan pengawet yang diizinkan. Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar. Penambahan bahan pengawet dilakukan sesuai dengan ketentuan kadar maksimal yang diatur dalam regulasi CODEX dan Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Kemudian asumsikan bila dengan kadar maksimal pengawet tidak dapat memenuhi target umur simpan yang diinginkan, maka pengawet tidak efektif untuk dapat meningkatkan umur simpan mie. Kadar maksimum bahan pengawet yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan Bahan Pengawet
Level Maksimum (%)
Na-asetat Ca-propionat K-sorbat Keterangan: *Permenkes (1988) dan **CODEX
0,6** 0,2* 0,2*
Perlakuan yang akan diterapkan adalah (1) tanpa penambahan pengawet (kontrol) dan (2) penambahan pengawet pada adonan dengan rancangan sesuai aturan pemakaian pada makanan secara kombinasi atau ADI kombinasi. Formula yang digunakan merupakan modifikasi dari Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) untuk memenuhi persyaratan atau regulasi yang baru. Selain itu, berat bahan pengawet yang digunakan merupakan persentase dari berat total adonan. Bahan pengawet yang digunakan sedapat mungkin merupakan senyawa teknis atau pengawet komersial dengan spesifikasi dan info harga yang lengkap. Batas maksium pengunaan natrium asetat adalah 0,6%. Namun, karena tidak ditemukan natrium asetat teknis yang food grade di pasaran
maka digunakan natrium asetat pure analysis (kemurnian 99%) seperti yang digunakan oleh Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) dengan konsentrasi yang diencerkan sampai satu per empat puluh (1/40) bagian dari 2,5% untuk mereduksi biaya. Untuk lebih jelasnya, formula bahan pengawet kombinasi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi Formula Nama BTP %* Keterangan** Kontrol
–
–
Tanpa BTP
Na-asetat 0,032 50% Ca-propionat 0,1 50% Ca-propionat 0,1 50% II Sorbat 0,1 50% Na-asetat 0,032 50% III Sorbat 0,1 50% Ca-propionat 0,15 75% IV Na-asetat 0,016 25% Ca-propionat 0,15 75% V Sorbat 0,05 25% Ca-propionat 0,05 25% VI Na-asetat 0,032 50% Sorbat 0,05 25% Na-asetat 0,016 25% VII Ca-propionat 0,1 50% Sorbat 0,05 25% * Keterangan: Modifikasi Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) ** Persentase dari konsentrasi maksimum I
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam dan pengukuran nilai pH. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Selain itu, perlu juga dipertimbangkan bahwa biaya bahan pengawet yang ditambahkan telah memenuhi syarat maksimal 10% dari harga jual mie yang ada di pasaran. Formula kombinasi pengawet dengan kualitas terbaik yang diperoleh akan digunakan pada tahapan penelitian selanjutnya, yaitu penurunan konsentrasi untuk memenuhi syarat CPPB.
6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Kualitas Mie Tujuan dilakukannya tahapan ini adalah untuk melakukan uji pemenuhan syarat CPPB, yaitu penambahan bahan tambahan pangan ke dalam bahan pangan dengan konsentrasi sesedikit mungkin untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar. Formula yang akan dikurangi konsentrasinya adalah hanya formula pengawet terbaik yang telah diperoleh berdasarkan hasil pengamatan subyektif pada tahap kelima. Konsentrasi yang diperoleh diturunkan secara bertahap sebanyak 50% per masing-masing tahapan. Rancangan perlakuan tahapan ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik Perlakuan
Konsentrasi
Kontrol positif I II IV V
100% formula 50% formula 25% formula 10% formula 5% formula
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan pengawet dengan konsentrasi optimum akan digunakan pada tahap selanjutnya.
7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie Formula mie yang digunakan dalam tahap ini adalah formula mie standar dengan penambahan garam alkali terbaik dari tahap pertama, perlakuan hidrokoloid terbaik dari tahap kedua, pemasakan serta pelumuran terbaik dari tahap ketiga, kondisi penyimpanan terbaik dari tahap keempat, dan bahan pengawet dengan penurunan konsentrasi yang menghasilkan kualitas mie terbaik dari tahap keenam.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan mutu fisik secara subjektif yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas pada saat mie telah selesai dibuat. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan pengawet dengan konsentrasi optimum yang menghasilkan mie kualitas terbaik selanjutnya akan diamati mutu fisik dengan instrumen, mutu kimia, mutu mikrobiologis, dan mutu organoleptiknya.
C. PENGAMATAN Tahapan ini bertujuan untuk mengamati perubahan yang terjadi selama penyimpanan dengan mengukur pH, warna, tekstur dan elastisitas, analisis total mikroba, total kapang-kamir, total bakteri E. coli, dan uji organoleptik terhadap mie yang diproduksi menggunakan kombinasi perlakuan dari hidrokoloid, bahan pengawet, dan kondisi penyimpanan terbaik. Pengamatan yang akan dilakukan meliputi pengamatan terhadap mutu fisik, mutu kimia, mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik. 1. Mutu Fisik a. Pengukuran Tekstur dan Elastisitas Pengukuran
terhadap
parameter
kekerasan
(firmness),
kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas dilakukan dengan texture analyzer. Untuk mengukur kekerasan dan kelengketan digunakan Clylinder Probe P/35. Sampel diletakkan pada wadah yang telah disediakan
kemudian
diukur
kekerasan
dan
kelengketannya.
Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian diulangi setiap 16 jam dan pada jam terakhir batas umur simpan. Elastisitas merupakan gaya maksimum yang dapat menahan sejumlah
beban
tertentu.
Elastisitas
diukur
menggunakan
Spaghetti/Noodle Tensile Rig A/SPR. Sampel dililitkan sejajar pada
probe dan bagian dasar (base), kemudian diukur elastisitasnya. Satuan kekerasan, kelengketan, dan elastisitas adalah gram force. b. Pengukuran warna Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian diulangi setiap 24 jam dan pada jam terakhir batas umur simpan. Sampel diletakkan pada wadah yang telah tersedia, kemudian ditekan tombil start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel dengan kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi “a “ menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai “+a” (positif) dari 0 sampai + 100 untuk warna merah dan nilai “–a “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi “b” menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai nilai “+b” (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus: o
b Hue = tan-1 a
Jika hasil yang diperoleh: 18o – 54o 54 o – 90o 90o – 126o 126o – 162o 162o – 198o 198o – 234o 234o – 270o 270o – 306o 306o – 342o 342o – 18o
maka produk berwarna red (R) maka produk berwarna yellow red (YR) maka produk berwarna yellow (Y) maka produk berwarna yellow green (YG) maka produk berwarna green (G) maka produk berwarna blue green (BG) maka produk berwarna blue (B) maka produk berwarna blue purple (BP) maka produk berwarna purple (P) maka produk berwarna red purple (RP)
2. Mutu Kimia a.
Aktivitas air (Aw)
Aktivitas air diukur menggunakan alat aw-meter Shibaura WA360. Sebelum digunakan untuk mengukur sampel, alat ini dikalibrasi terlebih dahulu dengan NaCl jenuh. Sampel diletakkan dalam cawan sensor. Cawan tersebut kemudian dimasukkan kedalam sensor awmeter. Tekan tombol start untuk memulai pengukuran. Nilai aw dapat dibaca pada layar setelah ada tulisan complete. b.
pH (AOAC, 1984)
Alat pH meter dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 10 gram contoh ditambahkan 100 ml air lalu dihancurkan dengan alat stomacher. Kemudian elektroda ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades. c.
Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989)
Sebanyak 10 gram sampel ditambahkan sedikit air, kemudian dihancurkan sampai menjadi pulp. Campuran tersebut
kemudian
dipanaskan samapi mendidih dan dipindahkan ke labu takar 100 ml. Ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diambil 25 ml larutan dan ditambahkan fenolftalein 3 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,01 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah muda. 3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)
Analisis sifat mikrobiologis yang dilakukan yaitu analisis total mikroba, total kapang-kamir dan total bakteri E. coli. Analisis total mikroba dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count). Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan pengencer
steril.
Sampel
tersebut
kemudian
dihancurkan
dengan
menggunakan alat stomacher selama 120 detik sehingga dihasilkan sampel
mie dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya. Dari masing-masing pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dilakukan secara duplo. Selanjutnya ditambahkan 15 – 20 ml medium PCA steril bersuhu 45 – 50oC. Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator dengan suhu 37oC selama 2 hari. Penghitungan total mikroba dilakukan menggunakan metode Harrigan dengan rumus sebagai berikut : CFU/g =
Σ N cawan [(n1 x 1) + (n2 x 0,1)] x D
Keterangan: N = Jumlah koloni yang berada dalam kisaran hitung (TPC: 25 – 250, kapang-khamir: 10 – 150) n = Jumlah cawan yang koloninya dapat dihitung D = Tingkat pengenceran terendah Analisis total kapang dan kamir dilakukan dengan metode TPC menggunakan
media
APDA.
Perhitungan
total
kapang-khamir
menggunakan metode Harrigan, sedangkan analisis total koliform dilakukan dengan metode MPN tiga tabung menggunakan media BGLBB. Inokulasi pada tiga tingkat pengenceran. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 2 hari. Penilaian positif atau negatifnya tabung dilihat berdasarkan pembentukan gas. Pembentukan gas sebanyak 10% atau lebih dari volume di dalam tabung Durham atau terbentuknya kekeruhan dinyatakan sebagai hasil positif. Jika tetap tidak terbentuk gas, dihitung sebagai tabung negatif. Jumlah tabung yang positif dihitung pada masingmasing seri. Jumlah tabung positif pada tiap pengenceran kemudian dicocokkan dengan Tabel MPN untuk mendapatkan jumlah total koliform. Jika terdapat tabung positif, maka selanjutnya dilakukan uji penguat pada media EMBAuntuk mendapatkan jumlah bakteri E. coli dalam sampel.
4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih dan semi terlatih. Uji hedonik dilakukan dengan 5 (lima) skala hedonik, yaitu sangat suka (5), suka (4), netral (3), tidak suka (2), dan sangat tidak suka (1). Parameter yang diujikan meliputi atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan (overall). Penyajian sampel dilakukan satu per satu secara bergantian untuk mendapatkan penilaian yang objektif dari panelis. Uji kesukaan dilakukan terhadap dua sampel mie, yaitu mie kontrol dan mie kombinasi terbaik. Selain itu, diujikan juga sampel mie yang dijual di Pasar Merdeka dan Pasar Anyar – yang dibeli pada hari yang berbeda-beda – sebagai kontrol positif. Mie matang pasar dan mie kontrol skala laboratorium diujikan kepada panelis sebanyak 5 kali ulangan untuk melihat konsistensi panelis. Setelah diperoleh 5 data ulangan, kemudian data dirata-rata untuk mendapatkan hasil yang objektif. Data hasil uji organoleptik dianalisis secara statistik menggunakan analisis (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan memakai program SPSS 11.5.
ragam
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE
Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan kondisi basa dalam pembuatan mie. Keberadaan garam alkali berguna untuk meningkatkan kekerasan mie yang terbentuk karena adanya interaksi antar protein gluten dalam tepung (Shiau dan Yeh, 2001). Selain itu, garam alkali juga berperan dalam pembentukan warna kuning pada mie sebagai hasil interaksi flavonoid gandum dalam tepung terigu dengan pH alkali (Asenstorfer et al., 2006).
Dua jenis garam alkali yang diaplikasikan dalam tahapan ini adalah natrium karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005), Na2CO3 merupakan garam alkali yang paling umum digunakan oleh para pengrajin dan industri mie di daerah Jabotabek. Selain itu, Na2CO3 memiliki harga yang relatif murah (Rp. 7000,/kg) dan mudah untuk diperoleh. Sedangkan STPP merupakan salah satu jenis garam alkali yang diduga dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie. Pembuatan mie dengan Na2CO3 dilakukan menurut formula dan prosedur standar (Tabel 2) yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. STPP digunakan dengan konsentrasi sebesar 0,2% sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Konsentrasi STPP 0,2% umum diaplikasikan untuk produk olahan daging. Mie yang dihasilkan kemudian dibandingkan dan diamati tekstur, warna, dan umur simpannya. Pengaruh penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2% terhadap mie yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T terhadap tekstur mie (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Mie dengan penambahan Na2CO3 memiliki tekstur yang
sedikit lebih keras dan lebih elastis dibandingkan mie dengan penambahan STPP. Umumnya, STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sewaktu penipisan lembaran, adonan mie yang ditambahkan STPP cenderung terasa lebih lembab daripada adonan kontrol. Jika diberi penilaian secara subjektif, penambahan STPP kedalam adonan mie sebenarnya sudah memberikan hasil yang cukup baik dari segi tekstur dan elastisitasnya. Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie Parameter
Na2CO3 0,6%
STPP 0,2%
Umur simpan mie (jam) Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Warna (oHue) Kecerahan (L)
44 3705,3 -661,5 17,7 84,21 68,91
24 3521,8 -601,6 15,7 83,60 72,27
Penambahan jenis garam alkali yang berbeda juga dapat berpengaruh terhadap warna mie yang dihasilkan. Warna mie dengan penambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam kisaran 54 – 90 oHue dengan warna kuning kemerahan (yellow red). Hasil uji statistik menggunakan uji T (Lampiran 10) menunjukkan bahwa nilai oHue kedua sampel tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), namun nilai kecerahan (lightness (L)) kedua sampel berbeda nyata. Mie yang menggunakan STPP memiliki warna kuning kemerahan yang lebih cerah daripada mie dengan penambahan Na2CO3. Pembentukan warna kuning pada produk mie sangat dipengaruhi oleh pH garam alkali yang digunakan, dimana semakin tinggi pH alkali maka semakin baik pembentukan warna kuning khas mie oleh flavonoid gandum. Namun, warna kuning khas ini berbeda dengan warna kuning mie yang dijual di pasaran. Mie yang beredar di pasaran umumnya memiliki warna kuning terang yang berasal dari penambahan pewarna buatan. Setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut, mie dengan penambahan STPP memiliki pH 7,20, yang jauh lebih rendah dibandingkan mie dengan Na2CO3 yang memiliki pH 9,00. Nilai pH yang lebih tinggi tersebut
menyebabkan intensitas warna kuning yang terbentuk oleh Na2CO3 lebih baik dibandingkan STPP. Perbedaan warna kedua mie ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP Perbedaan nilai pH yang cukup signifikan ternyata tidak hanya mempengaruhi penampakan mie secara fisik saja, namun juga berpengaruh terhadap umur simpan. Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator terdeteksinya bau asam, umur simpan mie dengan penambahan Na2CO3 mencapai 44 jam, sedangkan mie dengan STPP hanya mencapai 24 jam. Mie dengan STPP yang memiliki pH mendekati pH netral lebih rentan terhadap pertumbuhan mikroba pembusuk, khususnya bakteri, sehingga umur simpannya lebih pendek dari mie dengan penambahan Na2CO3. Jika dibandingkan dari segi ekonomi, penggunaan STPP sebanyak 0,2% berkontribusi sebesar Rp. 30,- per kg mie dan penggunaan Na2CO3 sebanyak 0,6% berkontribusi sebesar Rp. 42,- per kg mie. Berdasarkan keseluruhan hasil di atas, Na2CO3 0,6% digunakan untuk pembuatan mie pada tahapan selanjutnya.
B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE
Penambahan hidrokoloid diharapkan dapat memperbaiki tekstur mie. Survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005) menunjukkan bahwa 40% industri mie menggunakan CMC dalam adonan mienya. Disamping CMC,
gum Arab dan karagenan juga digunakan dalam penelitian ini. Spesifikasi ketiga hidrokoloid yang digunakan tertera pada Lampiran 2 – 4. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mie tertera pada Tabel 11. Berdasarkan analisis
ragam terhadap tekstur mie yang dihasilkan, nilai
kekerasan dan kelengketan ketiga hidrokoloid ini berbeda secara nyata dalam taraf
kepercayaan
95%
(Lampiran
12).
Penambahan
hidrokoloid
meningkatkan kekerasan karena terjadi proses gelasi pada hidrokoloid. Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 13), nilai kekerasan mie dengan penambahan gum Arab 0,5% dan mie kontrol tidak berbeda secara nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC yang memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan mie dengan penambahan karagenan 0,5% yang memiliki nilai kekerasan yang paling rendah. Mie dengan penambahan CMC memiliki nilai kelengketan paling rendah dan tidak berbeda nyata dengan mie kontrol dan mie dengan panambahan gum Arab. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kelengketan paling tinggi dan berbeda nyata dengan dua mie yang ditambahkan hidrokoloid lainnya. Sedangkan untuk elastisitasnya, ketiga mie yang ditambahkan dengan hidrokoloid memiliki nilai elastisitas yang tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Hasil pengukuran tekstur ini mendukung penggunaan CMC yang memang merupakan hidrokoloid yang paling umum diaplikasikan untuk mie selama ini. Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie CMC Gum Arab Karagenan Parameter Kontrol 0,2% 0,5% 0,5% Kekerasan (gforce) 3705,3 3956,2 3732,2 3207,5 Kelengketan (gforce) -661,5 -819,0 -753,7 -542,9 Elastisitas (gforce) 17,7 18,0 17,9 17,7 o Warna ( Hue) 84,21 83,31 84,75 83,64 Kecerahan (L) 68,91 69,64 69,62 72,89 Umur simpan mie (jam) 44 48 48 44 Warna mie dengan penambahan CMC, gum Arab, dan karagenan berada dalam kisaran 54 – 90 oHue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Hasil pengolahan data warna menggunakan analisis ragam tertera pada Lampiran 15. Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai
o
Hue ketiganya
(Lampiran 16), mie dengan penambahan gum Arab memiliki oHue yang paling besar mendekati mie kontrol dan berbeda nyata (p<0,05) dengan mie yang ditambahkan CMC dan karagenan. Sedangkan mie dengan penambahan CMC dan karagenan tidak berbeda nyata (p<0,05). Dari nilai kecerahannya, karagenan memiliki warna merah kekuningan yang paling cerah dan berbeda nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan mie kontrol dan mie yang ditambahkan dengan CMC maupun gum Arab. Penambahan hidrokoloid pada mie tidak berpengaruh terhadap umur simpan. Berdasarkan pengamatan secara subyektif dengan indikator terdeteksinya bau asam, mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan mencapai 48 jam, sedangkan mie dengan karagenan memiliki umur simpan yang sama dengan kontrol, yaitu 44 jam. Adanya peningkatan umur simpan pada mie dengan penambahan CMC dan gum Arab mungkin disebabkan oleh adanya sebagian kecil air bebas yang diikat oleh CMC dan gum Arab saat kedua hidrokoloid ini membentuk gel sewaktu mie dimasak. Berdasarkan Gracecia (2005), rata-rata harga mie matang di pasaran sebesar Rp. 3000,- dan harga ini dianggap sebagai harga mie kontrol. Penggunaan hidrokoloid dalam mie meningkatkan biaya produksi. Tabel 12 menunjukkan perbandingan kontribusi ketiga hidrokoloid terhadap biaya produksi. Penambahan CMC kedalam formula mie memerlukan biaya paling rendah dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. Pada prakteknya, penambahan CMC ini dapat tidak dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tekstur dan biaya produksi, maka CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik. Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi Biaya hidrokoloid/ Jenis hidrokoloid Harga mie/kg kg mie Kontrol (tanpa – Rp. 3000,-* hidrokoloid) CMC 0,2% Rp. 100,Rp. 3100,Gum Arab 0,5% Rp. 670,Rp. 3670,Karagenan 0,5% Rp. 200,Rp. 3200,Keterangan: * = Harga rata-rata di pasaran berdasarkan Gracecia (2005)
C. PENGARUH
PEMASAKAN
DAN
PELUMURAN
MINYAK
TERHADAP MUTU MIE
Menurut Mugiarti (2001), pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain dan agar mie tampak mengkilap. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sesuai dengan perlakuan pelumuran minyak terbaik yang diperoleh Pahrudin (2006). Dalam penelitian dilakukan dua cara pelumuran minyak yang lazim dilakukan, yaitu penambahan minyak kedalam air rebusan mie sebanyak 10% dari berat air rebusan atau 40% dari berat mie mentah sesuai prosedur standar dan pelumuran minyak sebanyak 10% berat mie mentah setelah perebusan, kemudian diamati umur simpan dan kelengketannya secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan mie dengan penampakan yang lebih baik dan untuk menghemat biaya minyak goreng. Hasil perbandingan perlakuan pelumuran minyak dapat dilihat pada Tabel 13. Pelumuran minyak dengan prosedur standar cenderung menghasilkan mie yang lengket antar untaian mie satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena minyak yang ditambahkan kedalam air rebusan tidak terserap dengan merata pada permukaan mie. Minyak yang ditambahkan dalam air rebusan cenderung berada pada bagian atas air, sehingga pelumuran menjadi tidak merata. Dalam aplikasinya di industri secara umum, pelumuran dilakukan setelah perebusan mie dengan minyak berlebih. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah perebusan memberikan penampakan yang lebih baik dimana untaian-untaian mie cenderung tidak saling lengket, walaupun kadang-kadang masih ditemukan untaian mie yang saling lengket jika pelumuran tidak dilakukan secara merata sebelum mie dingin. Pelumuran ini lebih efisisen dalam hal penggunaan minyak goreng dan tidak mempengaruhi umur simpan mie (Tabel 13). Untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian ini, pelumuran minyak yang diaplikasikan dalam prosedur standar adalah pelumuran minyak setelah perebusan dengan minyak kelapa sebanyak 10% dari berat adonan mie mentah.
Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan Umur simpan Kelengketan Cara pemasakan Pelumuran minyak (jam) Dalam air rebusan Perebusan selama 44 +++ (kontrol) 2 menit Setelah perebusan 44 + Keterangan: + : sangat sedikit lengket ++ : sedikit lengket +++ : lengket Mie dapat dimasak dengan dua cara, yaitu dengan perebusan dan dengan pengukusan seperti yang umum dilakukan di daerah Makasar. Pemasakan mie bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakkan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994). Pemilihan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dilakukan berdasarkan warna dan kematangan mie yang dikukus. Pada awalnya, dilakukan pengukusan selama 10 dan 15 menit. Pengukusan selama 15 menit menghasilkan mie yang berwarna sangat coklat dengan tekstur yang keras. Mie yang dikukus selama 10 menit memberikan penampakan warna yang lebih baik, yaitu kuning agak gelap. Waktu pengukusan dibuat menjadi 12 menit dan diperoleh mie dengan warna kuning sedikit lebih gelap dari mie yang dikukus selama 10 menit. Warna coklat yang terbentuk pada mie kukus berbanding lurus dengan meningkatnya waktu pengukusan. Warna coklat ini diduga terbentuk karena reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi Maillard (Maillard, 1912). Reaksi Maillard terjadi saat gula pereduksi bereaksi dengan senyawasenyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida, atau amonium) dan terjadi bila bahan dipanaskan atau direhidrasi (Maillard, 1912). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi Maillard antara lain pH dan aw. Reaksi Maillard berlangsung pada laju yang sangat lambat pada
kondisi asam dan laju reaksi mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pH dan mencapai maksimum pada pH 10. Kisaran pH mie masuk dalam kisaran tersebut. Menurut Ames dan Apriyantono (1994), pH sangat berpengaruh terhadap pembentukan 2 furfural, terutama pada pemanasan tanpa kontrol pH. Furfural merupakan senyawa penyusun pigmen melanoidin yang membentuk warna coklat. Reaksi Maillard lebih berpeluang terjadi pada mie kukus karena mie ini memiliki nilai aw yang lebih rendah daripada mie yang direbus. Mie yang dikukus memiliki nilai aw sekitar 0,945 – 0,950 dimana nilai ini lebih rendah dibandingkan mie yang direbus yang memiliki nilai aw sebesar 0,97. Labuza (1975) menyatakan bahwa peluang terjadinya reaksi pencoklatan nonenzimatis meningkat seiring dengan penurunan nilai aw dan mencapai maksimum pada aw 0,70. Adanya perlakuan penyemprotan awal dengan air yang meningkatkan kelembaban dan faktor penunjang seperti pH dan aw yang tidak optimum menyebabkan pencoklatan hanya terjadi sedikit saja. Berdasarkan pertimbangan terhadap warna tersebut, maka mie dengan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dipilih untuk diuji umur simpannya dan dibandingkan dengan mie kontrol yang dimasak dengan cara direbus. Cara pemasakan yang berbeda mempengaruhi sifat fisik, khususnya tekstur dan warna, serta umur simpan mie. Pengaruh cara pemasakan terhadap mie yang dihasilkan tertera pada Tabel 14. Berdasarkan analisis
ragam
dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 18 dan 19), tekstur mie yang dimasak dengan cara direbus (kontrol) berbeda nyata dengan mie yang dikukus untuk kekerasan dan kelengketan pada taraf nyata 95% (p<0,05). Mie yang dikukus memiliki tekstur sangat keras, rapuh atau mudah patah, dan tidak elastis. Bagian inti dari diameter mie yang dikukus cenderung masih mentah karena uap panas tidak dapat mencapai inti dalam waktu pengukusan yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan mie kukus ini rapuh dan tidak elastis seperti mie yang direbus. Karena permukaannya kering, mie yang dikukus
cenderung
memiliki
dibandingkan mie yang direbus.
nilai
kelengketan
yang
lebih
rendah
Pengukusan mie menggunakan panci kukus memiliki beberapa kelemahan, antara lain tekstur mie yang dihasilkan tidak seragam dan uap air serta suhu pengukusan tidak dapat dipantau. Panci kukus yang digunakan adalah panci skala rumah tangga dengan diameter tidak terlalu besar (30 – 40 cm). Karena keterbatasan ukuran diameter panci, mie yang dikukus akan bertumpuk-tumpuk saat dikukus sehingga luas permukaan yang kontak dengan uap panas tidak merata. Walaupun telah disemprot dengan air, mie kukus yang dihasilkan tetap memiliki permukaan yang kering. Hal ini menyebabkan
tekstur
mie
kukus
yang
dihasilkan
tidak
seragam.
Ketidakseragaman ini juga menyebabkan beberapa bagian mie kurang matang dan mie menjadi rapuh atau mudah patah. Peluang terjadinya ketidakseragaman ini dapat diperkecil dengan menggunakan alat steam yang suplai uap panasnya berasal dari boiler sehingga tekanan uap, kelembaban, dan suhu dapat dipantau agar konstan. Mie yang akan dikukus dengan alat steam diletakkan pada keranjang khusus yang memiliki permukaan cukup luas untuk meletakkan mie tanpa bertumpukkan sehingga permukaan yang terpapar uap lebih merata. Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie Direbus Dikukus Parameter (2 menit) (10 menit) Umur simpan mie (jam) 44 64 Kekerasan (gforce) 3705,3 9065,0 Kelengketan (gforce) -661,5 -543,7 Elastisitas (gforce) 17,7 –* o Warna ( Hue) 84,21 88,84 Kecerahan (L) 68,91 61,17 Keterangan: * = Tidak diukur
Dikukus (12 menit) 68 9302,8 -468,9 –* 89,19 58,94
Mie yang dikukus memiliki warna yang berbeda dengan mie yang direbus. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 21 dan 22), kedua sampel mie yang dikukus memiliki warna (oHue dan kecerahan) yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dan kedua sampel mie yang dikukus ini memiliki warna yang berbeda secara nyata dengan mie yang direbus. Mie yang dikukus berada dalam kisaran warna yang sama dengan mie yang direbus, yaitu pada kisaran 54 – 90 oHue
berwarna kuning kemerahan (yellow red). Namun, kedua mie yang dikukus memiliki warna yang lebih gelap. Semakin lama waktu pengukusan akan menghasilkan mie dengan warna yang lebih gelap dan kecoklatan. Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator terdeteksinya bau asam, mie yang dikukus memiliki umur simpan yang lebih panjang dari mie yang direbus karena mie yang dikukus memiliki kadar air dan nilai aw yang lebih rendah. Mie yang dikukus selama 10 menit berdasarkan parameter tekstur, warna, dan umur simpan tidak berbeda nyata dengan mie yang dikukus selama 12 menit. Dari segi ekonomi, mie yang direbus selama 2 menit membebani biaya paling kecil dibandingkan mie yang dikukus. Berdasarkan keunggulan yang dimiliki dalam hal kekerasan, warna, dan biaya produksi, maka mie yang dimasak dengan direbus selama 2 menit dan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan cara pemasakan dan pelumuran terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE
Umur simpan mie sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan kondisi penyimpanannya. Mie dijual di pasaran dengan wadah yang sangat bervariasi. Pada pasar-pasar tradisional, mie dijual dalam kondisi terbuka dengan wadah plastik bening berukuran besar sekitar 20 kilogram, kantong plastik bening atau berwarna, atau diwadahi dengan tampah dari anyaman bambu yang tidak diketahui kondisi sanitasinya. Di pasar swalayan, mie dijual dengan kemasan plastik LDPE atau PP tipis ukuran 1 kilogram dalam keadaan tertutup rapat dan disimpan di lemari pendingin terbuka dengan suhu sekitar 13-17oC. Mie disimpan pada dua kondisi suhu yang berbeda, yaitu pada suhu ruang dan suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah pada awalnya dilakukan dengan menyimpan mie dalam cool room yang memiliki suhu 13 ± 2oC. Mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC dalam kemasan LDPE dan PP tebal baik dengan atau tanpa vakum memiliki umur simpan selama 10 hari. Indikator kerusakan mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC adalah munculnya spot-spot berwarna hitam dan oranye yang diduga merupakan koloni bakteri atau kapang. Karena tidak dilakukan identifikasi di bawah mikroskop, maka jenis
mikroba tersebut tidak dapat diketahui. Penyimpan mie pada suhu 13 ± 2oC cukup beresiko terhadap pertumbuhan mikroba mesofilik. Menurut Garbutt (1997), suhu optimum pertumbuhan mikroba mesofilik berkisar antara 2843oC, dengan suhu minimum 5oC dan maksimum 52oC. Hal ini menunjukkan ada pertumbuhan mikroba yang kemungkinan tidak terhambat pada suhu 13 ± 2 oC, namun dapat dihambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah. Kemudian mie disimpan dalam kulkas skala rumah tangga yang memiliki suhu 5 ± 1oC. Kondisi ini berbeda dengan kondisi penyimpanan suhu rendah yang dipraktekkan di pasaran. Prinsip pengemasan vakum pada dasarnya sama dengan pengeliman menggunakan sealer, yang membedakan hanya udara pada kemas vakum dibuat hampa dengan menarik keluar semua udara dalam kemasan. Proses penghampaan ini menyebabkan kemasan dan bahan yang dikemas mengkerut. Perbandingan penampakan sampel dengan dan tanpa pengemasan vakum dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal dengan pengemasan vakum Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie dapat dilihat pada Tabel 15. Indikator kerusakan untuk mie yang disimpan pada suhu ruang adalah terdeteksinya bau asam, sedangkan indikator kerusakan mie yang disimpan pada suhu rendah adalah spot-spot berwarna merah atau hitam yang kemungkinan disebabkan oleh koloni kapang. Mie yang disimpan pada suhu ruang dengan plastik LDPE maupun PP tebal memiliki umur simpan yang sama, yaitu 44 jam. Secara teori, PP tebal memiliki ketahanan terhadap permeabilitas O2 yang lebih baik daripada PE. Penggunaan PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa kemasan plastik yang tertutup dengan rapat dapat
melindung bahan dari kontaminasi mikroba perusak yang berasal dari udara, debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Jadi, kemasan yang tertutup merupakan salah satu praktek sanitasi yang berperan dalam memperpanjang umur simpan mie. Penyimpanan mie pada suhu 5 ± 1oC meningkatkan umur simpan secara signifikan sampai 40 hari. Suhu rendah juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba perusak. Pada umumnya, mikroba perusak termasuk dalam kelompok mesofilik yang terhambat pertumbuhannya pada suhu dingin (-1 sampai 5oC) (Garbutt, 1997). Peristiwa rusaknya sel mikroba karena perubahan temperatur dari suhu ruang ke suhu rendah dikenal dengan istilah chilling injury. Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie Kemasan LDPE PP tebal LDPE PP tebal PP tebal LDPE PP tebal PP tebal
Suhu penyimpanan
Cara pengemasan
Suhu ruang
Tanpa vakum
Suhu rendah 13 ± 2oC
Tanpa vakum
Suhu rendah 5 ± 1oC
Kemas vakum Tanpa vakum Kemas vakum
Umur simpan 44 jam 44 jam 10 hari 10 hari 10 hari 40 hari 40 hari 40 hari
Terdapat dua jenis chilling injury, yaitu cold shock yang bersifat langsung dan indirect chilling injury yang bersifat tidak langsung (Garbutt, 1997). Cold shock terjadi jika makanan didinginkan secara langsung dari suhu ruang ke suhu rendah dengan kecepatan pendinginan tertentu. Mikroba yang terpapar cold shock akan mengalami perubahan struktur membran sel karena terjadi kebocoran ATP dan asam amino dari dalam sel. Indirect chilling injury terjadi jika makanan disimpan dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari) pada suhu rendah dan tidak tergantung pada kecepatan pendingian tertentu. Transpor nutrisi yang diperlukan sel mikroba lama kelamaan akan terhambat diikuti dengan akumulasi metabolit yang bersifat racun dan habisnya ATP. Keadaan ini akan menyebabkan sel menjadi kehabisan nutrisi dan lama kelamaan akan menyebabkan kematian sel mikroba. Kedua jenis chilling injury ini kemungkinan besar terjadi pada penyimpanan mie pada suhu rendah.
Cold shock berpeluang terjadi pada berada di sisi sebelah luar mie dan indirect chilling injury terjadi pada sisi sebelah dalam atau pada bagian tengah.
Kemasan plastik yang digunakan tidak berpengaruh terhadap umur simpan, namun berpengaruh terhadap bentuk mie yang disimpan (Gambar 8). Mie yang disimpan pada suhu rendah dan tidak dikemas vakum memiliki bentuk yang lebih kaku sesuai dengan bentuk wadahnya. Penyimpanan pada suhu rendah memiliki kelembaban relatif (RH) yang lebih rendah dibandingkan RH suhu ruang, sehingga permukaan mie yang disimpan pada suhu rendah menjadi lebih kering karena kehilangan sebagian air (Jenie, 1995). Kemasan PP tebal bersifat kaku sehingga memberikan bentuk yang lebih teratur jika dibandingkan mie yang dikemas dengan LDPE. Bentuk mie yang kaku ini akan segera kembali ke bentuk awalnya setelah dibiarkan sebentar pada suhu ruang. Bentuk mie yang dikemas vakum akan mengkerut dan tidak dapat kembali membentuk untaian-untaian mie setelah dibiarkan di suhu ruang. Mie matang lebih lengket dibandingkan mie mentah karena pati telah tergelatinisasi saat perebusan. Adanya tekanan yang diberikan oleh vacuum sealer untuk menciptakan kondisi hampa membuat mie mengkerut
dan untaian mie saling menempel satu sama lain. Pengemasan secara vakum untuk mie dinilai kurang sesuai dari segi penampakannya. Penyimpanan suhu rendah pada 5 ± 1oC memberikan hasil yang lebih memuaskan dalam hal umur simpan dibandingkan penyimpanan pada suhu 13 ± 2oC. Namun, aplikasi keduanya harus disertai dengan cold chain atau rantai distribusi suhu rendah yang biayanya terlalu mahal dan tidak terjangkau untuk produsen mie tingkat UKM bahkan oleh industri menengah sekalipun. Selama ini, aplikasi suhu rendah umum dilakukan pada produk daging seperti sosis, ham, dan daging olahan dengan harga mahal. Jika harga yang sama harus dikenakan untuk mie, maka biaya yang tinggi ini menjadi tidak aplikatif bagi produsen mie. Selain itu, alat pendingin yang tersedia di pasar-pasar swalayan memiliki suhu sekitar 13-17oC dan tidak mencapai suhu 5 ± 1oC. Menurut Nuraida (1995), beberapa jenis makanan akan menurun mutunya jika disimpan pada suhu 13-17oC dibandingkan disimpan pada suhu 5-7oC.
Penyimpanan mie pada suhu 13 ± 2oC mungkin untuk diaplikasikan pada pasar-pasar swalayan, sedangkan penyimpanan pada suhu 5 ± 1oC sejauh ini baru dapat diaplikasikan pada tingkat rumah tangga yang membuat mie untuk konsumsi sendiri. Dengan pertimbangan terhadap kesulitan dalam aplikasi di pasaran, penyimpanan mie dengan suhu rendah tidak dipilih menjadi perlakuan terbaik pada tahap ini. Kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik adalah penyimpanan pada suhu ruang dengan plastik LDPE tanpa pengemasan vakum.
E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE
Bahan pengawet biasanya ditambahkan kedalam pangan yang mudah rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau kapang. Mie yang memiliki aw dan kadar air tinggi termasuk dalam kelompok makanan yang mudah rusak. Pertumbuhan bakteri yang dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH bahan pangan. Tiga jenis pengawet yang digunakan adalah kalium sorbat, kalsium propionat, dan natrium asetat. Kalsium propionat dan kalium sorbat yang digunakan merupakan bahan kimia teknis. Spesifikasi kalsium propionat dan kalium sorbat teknis tertera pada Lampiran 5 dan 6. Pengawet digunakan dalam bentuk garamnya agar lebih mudah larut dan dapat mempertahankan bentuk asam tidak berdisosiasi. Ketiga pengawet ini dikombinasikan menjadi dua atau tiga dengan konsentrasi sesuai aturan pemakaian pada makanan secara kombinasi atau ADI kombinasi sehingga diperoleh tujuh formula pengawet. Indikator kerusakan awal yang umum terjadi pada mie matang adalah terdeteksinya bau asam dan adanya lendir yang merupakan akibat dari aktivitas bakteri pembusuk. Namun, dalam penelitian pada tahapan ini ditemukan indikator kerusakan lain, yaitu munculnya miselia-miselia kapang berbentuk serabut-serabut berwarna putih. Kapang yang tumbuh ini kemungkinan besar merupakan kontaminasi spora kapang dari udara atau ruang pengolahan. Mie dengan penambahan formula pengawet yang
kerusakannya disebabkan oleh kapang diberi tanda bintang (*). Hasil
pengamatan
terhadap
umur
simpan
mie
(Gambar
9)
menunjukkan bahwa umur simpan terpanjang dimiliki oleh mie yang diberi pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%, yaitu selama 60 jam. Mie dengan pengawet formula III (Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1%) memiliki umur simpan 52 jam. Mie dengan penambahan pengawet formula II* (Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1%) dan formula V* (Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05%) yang melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50% memiliki umur simpan paling pendek, yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sorbat tidak memberikan efek penghambatan terhadap mikroba. Pada umumnya, sorbat digunakan sebagai pengawet pada produk daging yang dikombinasikan dengan penambahan nitrit atau benzoat (Jay, 2000). Mie dengan penambahan pengawet formula I (Na-asetat 0,032% + Capropionat 0,1%) dan formula VI* (Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05%) memiliki umur simpan 56 jam. Berdasarkan umur simpan mie yang ditambahkan pengawet formula VII, I, dan VI*, terlihat adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat, dimana asetat berperan sebagai anti bakteri dan propionat sebagai anti kapang. Kemungkinan adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat ini sesuai dengan penelitian Pahrudin (2006). Mie dengan hasil terbaik yang diperoleh Pahrudin (2006) melibatkan pengawet Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%, disamping penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025%. Mie terbaik Pahrudin (2006) ini memiliki umur simpan 56 jam, sedangkan mie kontrol yang dibuat tanpa penambahan pengawet memiliki umur simpan 26 jam (berdasarkan pengamatan secara subyektif terhadap terdeteksinya bau asam dan lendir).
70 56
Umur simpan (jam)
60 50
48
44
52
56
56
60
48
40 30 20 10 0 Kontrol
I
II*
III
IV
V*
VI*
VII
Formula pengawet
Keterangan: * : Kerusakan karena kapang Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,015 + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam) Penambahan pengawet kedalam adonan mie tidak berpengaruh terhadap pH mie. Mie yang diberi penambahan pengawet memiliki pH sekitar 9,30 – 9,53 (Gambar 10). Nilai pH mie berhubungan dengan pembentukan warna kuning yang dilepaskan oleh flavonoid gandum pada pH alkali. Dari nilai pH yang tidak berbeda nyata ini dapat disimpulkan bahwa warna mie yang ditambahkan dengan formula pengawet memiliki warna kuning dengan kecerahan yang hampir sama. Mie formula VII (mie dengan penambahan Naasetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) selanjutnya diturunkan konsentrasinya untuk memenuhi syarat CPPB.
10.00 9.80 9.53
Nilai pH
9.60
9.41 9.30
9.40 9.20
9.50
9.48
9.33
9.33
9.04
9.00 8.80 8.60 8.40 Kontrol
I
II*
III
IV
V*
VI*
VII
Formula pengawet
Keterangan: Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet F. PENGARUH
PENGGUNAAN
PENGAWET
TERBAIK
DALAM
KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE
Dalam aplikasinya, produsen mie masih terbentur dalam hal biaya produksi untuk menggunakan bahan pengawet dalam konsentrasi yang diajurkan. Berdasarkan pengalaman, produsen mie akan mengencerkan konsentrasi pengawet tetapi tanpa takaran yang jelas. Untuk menghindari hal tersebut, maka diterapkan prinsip cara produksi pangan yang baik (CPPB). Dengan teknik ini, penurunan konsentrasi pengawet dilakukan secara terukur sehingga kontribusi penggunaan pengawet formula VII (Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) terhadap biaya produksi dapat dihitung seperti yang tertera pada Tabel 16.
Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya Konsentrasi pengawet
Kontribusi biaya/kg mie
Kontrol negatif (tanpa pengawet) 100% 50% 25% 10% 5%
– Rp. 137,Rp. 69,Rp. 35,Rp. 14,Rp. 7,-
Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet Na-asetat 0,016% + Capropionat 0,1% + K-sorbat 0,05% terhadap biaya produksi per kilogram mie ternyata cukup signifikan. Setelah kontribusi terhadap biaya produksi diketahui, selanjutnya pengaruh penurunan konsentrasi terhadap umur simpan mie dapat dilihat pada Gambar 11. 72 60
Umur simpan (jam)
60 48
56
56
52
52
50%
25%
10%
5%
44
36 24 12 0 Kontrol negatif
100%
Konsentrasi pengawet
Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam) Berdasarkan pengamatan, umur simpan mie yang dibuat dengan pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% dengan konsentrasi 100% hanya berbeda 4 jam dibandingkan mie dengan konsentrasi pengawet 50% dan 25%. Walaupun umur simpan mie dengan penggunaan 50% pengawet dan 25% pengawet sama, namun dari segi ekonomi keduanya berbeda nyata dimana penurunan konsentrasi pengawet sampai 25% mengurangi kontribusi terhadap biaya produksi sampai 75% atau Rp. 102,-/kg
mie. Oleh karena pertimbangan biaya, maka formula pengawet terbaik, yaitu Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% yang telah diturunkan konsentrasinya menjadi 25% kemudian diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE
Perlakuan
terbaik
dari
masing-masing
tahapan
sebelumnya
dikombinasikan pada tahapan ini untuk selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap mutu fisik, mutu kimia, mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik. Masing-masing perlakuan terbaik dari tiap-tiap tahapan sebelumnya dirangkum dalam Tabel 17. Mie yang dibuat dengan kombinasi perlakuan terbaik masing-masing tahapan akan disebut sebagai mie kombinasi terbaik. Sedangkan, mie dengan penambahan Na2CO3 0,6% yang dibuat dengan prosedur standar akan disebut sebagai mie kontrol. Tabel 17. Perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie Tahapan Perlakuan Pengaruh Jenis Garam Alkali Na2CO3 0,6% Pengaruh Penambahan Hidrokoloid CMC 0,2% Pengaruh Pemasakan Rebus (100oC, 2 menit) Pengaruh Perlakuan Fisik LDPE + Truang Na-asetat 0,004% Konsentrasi Pengawet yang Ca-propionat 0,025% diaplikasikan dengan CPPB 25% K-sorbat 0,0125%
H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP MUTU MIE 1. Mutu Fisik a. Warna
Pengukuran warna mie dengan kromameter memberikan nilai L, yaitu parameter kecerahan, dan nilai oHue atau panjang gelombang dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau kuning. Hasil pengukuran warna selama penyimpanan mie dapat dilihat pada Tabel 18.
Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD, nilai kecerahan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 24, dan 44 pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) (Lampiran 24 dan 25), sedangkan nilai kecerahan mie kombinasi terbaik berbeda nyata pada jam ke-56 (Lampiran 27 dan 28). Hal ini menunjukkan bahwa nilai kecerahan mie berubah setelah disimpan selama 48 jam menjadi lebih pucat (semakin mendekati warna putih) ditandai dengan meningkatnya nilai kecerahan. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik berada pada kisaran 54 – 90
o
Hue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Berdasarkan
analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai oHue, mie kontrol memiliki oHue yang berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam ke-44 (Lampiran 24 dan 25), sedangkan mie kombinasi terbaik memiliki nilai oHue berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam ke-48 dan 56 (Lampiran 27 dan 28). Walaupun berbeda secara nyata (p<0,05), perubahan nilai oHue tidak signifikan karena sampai akhir penyimpanan kedua sampel mie tetap berwarna kuning kemerahan. Dapat disimpulkan bahwa perubahan warna mie lebih jelas terlihat pada perubahan nilai kecerahan dibandingkan nilai oHue-nya. Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan o Hue Kecerahan (L) Mie Mie Jam Mie kontrol kombinasi Mie kontrol kombinasi terbaik terbaik 0 68,55 69,24 83,34 83,01 24 75,90 71,26 83,63 83,85 44 75,96 – 82,04 – 48 – 71,21 – 81,78 56 – 73,87 – 80,72
b. Tekstur
Gracecia (2005) menyebutkan salah satu ciri kerusakan mie adalah adanya perubahan tekstur mie yang menjadi hancur dan lebih lengket karena lendir yang berasal dari pertumbuhan mikroba. Hasil pengamatan terhadap tekstur mie selama penyimpanan tertera dalam Tabel 19. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Hasil pengukuran tekstur kemudian diuji dengan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD dalam taraf kepercayaan 95% (p<0,05). Kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 44 (Lampiran 30 dan 31). Kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan selama 48 jam, sedangkan nilai kelengketannya berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 16 jam dan memiliki nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56 (Lampiran 33 dan 34). Nilai kelengketan mie sangat fluktuatif karena pengukuran dengan alat texture analyzer bersifat dangat sensitif. Jika probe tidak dibersihkan dengan baik, pengotor yang ada pada probe dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Secara umum, tekstur mie yang telah mencapai umur simpannya berbeda nyata dengan tekstur awal pada jam ke-0, ditandai dengan penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan Kelengketan (gforce) Kekerasan (gforce) Mie Mie Jam Mie kontrol kombinasi Mie kontrol kombinasi terbaik terbaik 0 3705,3 3913,1 -661,5 -803,9 16 3259,7 3203,5 -512,2 -509,0 32 3593,0 3353,7 -682,6 -612,0 44 3363,1 – -602,8 – 48 – 2911,5 – -551,5 56 – 2571,1 – -375,0
2. Mutu Kimia a. Aktivitas air (aw)
Air berperan dalam reaksi metabolisme dalam sel dan berfungsi sebagai alat transpor zat-zat gizi maupun komponen metabolit kedalam dan keluar sel. Jumlah air bebas dalam bahan pangan diukur dengan nilai aw. Jenis mikroorganisme yang berbeda memerlukan aw yang berbeda juga untuk tumbuh. Bakteri pada umumnya tumbuh dan berkembang biak pada bahan dengan aw tinggi sektar 0,91 atau lebih, khamir memerlukan aw yang lebih rendah antara 0,87-0,91, dan kapang membutuhkan aw yang paling rendah untuk tumbuh, yaitu 0,80-0,87 (Garbutt, 1997). Mie matang yang diteliti Pahrudin (2006) memiliki nilai aw berkisar antara 0,95 – 0,97. Nilai aw mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tertera pada Gambar 12. Kedua sampel mie tersebut memiliki nilai aw yang hampir sama, yaitu antara 0,965-0,97. Nilai aw yang tinggi ini menunjukkan bahwa bakteri pembusuk lebih berpeluang untuk tumbuh daripada kapang ataupun khamir. Selain aw yang tinggi, kandungan protein dalam mie yang cukup tinggi juga menjadi faktor penunjang pertumbuhan bakteri pembusuk, khususnya bakteri proteolitik. 0.98 0.97 0.97
0.965
Nilai Aw
0.96 0.95 0.94 0.93 0.92 0.91 0.90 Sampel Mie kontrol
Mie kombinasi terbaik
Gambar 12. Aktivitas air mie
b. Derajat keasaman (pH)
Nilai
pH
mie
berangsur-angsur
turun
seiring
dengan
bertambahnya jumlah mikroba perusak dalam mie yang disimpan. Penurunan nilai pH ini disebabkan oleh dekomposisi karbohidrat dan protein mie oleh mikroba pembusuk, khususnya bakteri sehingga terbentuklah asam. Perubahan nilai pH selama penyimpanan mie dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan uji statistik dengan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 37 dan 38), penurunan pH mie kontrol pada jam ke-0, 24, dan 44 jam tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05). Sedangkan, penurunan pH pada mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata antara jam ke-0 dan 24, namun kedua nilai pH tersebut berbeda nyata dengan nilai pH pada jam ke-48 dan 56 jam (Lampiran 39 dan 40). Penyimpanan mie menyebabkan penurunan nilai pH cukup signifikan dimulai pada jam ke-48 dan seterusnya.
10.00
9.03 9.27 9.13 9.17 9.09 9.08 8.96 9.03 9.03 9.00 8.81 8.49
Nilai pH
9.00 8.00
9.16 9.02 8.98 9.00 9.27 9.27 9.05 8.97 8.98 8.95 8.84 8.62 7.93
7.00
7.45 6.89
6.00 5.00 0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 Jam keMie kontrol
Mie kombinasi terbaik
Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie Mie kontrol yang diteliti oleh Pahrudin (2006) mengalami penurunan nilai pH dari 9,20 (jam ke-0) menjadi 4,70 (jam ke-48). Umur simpan mie kontrol Pahrudin (2006) selama 26 jam berdasarkan pengamatan subyektif terhadap terdeteksinya bau asam dan lendir. Sedangkan mie dengan hasil terbaik Pahrudin (2006), yaitu mie
dengan penambahan pegawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% memiliki umur simpan secara subyektif selama 56 jam. Mie terbaik ini mengalami penurunan pH dari 9,06 (jam ke-0) menjadi 8,23 (jam ke-48). c. Total asam tertitrasi (TAT)
Total asam tertitrasi merupakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh NaOH. Satuan TAT adalah ml NaOH 0,1N/100 gram sampel. Pengukuran TAT dilakukan untuk verifikasi terhadap perubahan nilai pH yang terukur dan pada umumnya dilakukan terhadap sampel dengan pH di bawah 7. Penurunan pH suatu bahan seharusnya diikuti dengan peningkatan nilai TAT. Namun, karena nilai pH dari penyimpanan kedua sampel masih tinggi (pH di atas 7), maka nilai TAT tidak dapat diukur dan tidak dilakukan pengukuran TAT.
3. Mutu Mikrobiologi a. Total mikroba
Mikroba perusak yang tumbuh pada mie kemungkinan besar berasal dari tepung terigu. Kapang dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium, serta bakteri dari genus Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus, dan beberapa species Achromobacter merupakan mikroba yang umumnya tumbuh pada
tepung (Christensen, 1974). Menurut Jay (2000), bakteri dari genus Pseudomonas merupakan penyebab kerusakan berbagai bahan pangan
karena bakteri ini dapat memproduksi enzim yang dapat memecah komponen protein dan lemak. Syarat mutu SNI mie untuk cemaran mikroba harus memiliki angka lempeng total maksimum 1,0 x 106 atau 6 log cfu/g sampel. Pada Gambar 14 terlihat adanya penghambatan pertumbuhan mikroba pada mie kombinasi terbaik di awal penyimpanan sampai jam ke-28. Total mikroba mie kombinasi terbaik secara umum pada jam yang sama berbeda 1 log dibandingkan mie kontrol.
Secara subyektif, mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang jika diamati berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Nilai TPC awal mie kombinasi terbaik (0,57 log cfu/g) lebih rendah dibandingkan mie kontrol (2,96 log cfu/g). Namun, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat
pertumbuhan
mikroba
perusak
dan
tidak
dapat
memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis.
8 6.79
7
6.31
Log cfu/g
6
5.10
5 4
6.15
6.00 5.82
7.54 6.76
7.13
6.08 6.20
4.27 4.40 4.16 3.69
4.54
3.19 2.96 3.09
4.28
3
3.46
3.78
2.76
2 0.55
1 0
7.26
1.70
0.57
0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 Jam keMie kontrol
Mie kombinasi terbaik
Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie Nilai TPC awal pada penelitian Pahrudin (2006), yaitu 3,51 log cfu/g (mie kontrol) dan 3,08 log cfu/g (mie terbaik). Mie kontrol melewati batas mutu SNI pada jam ke-30, sedangkan mie terbaik pada jam ke-48. Penggunaan Metil-paraben dalam kombinasi pengawet yang digunakan Pahrudin (2006) sangat berperan dalam menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk. Paraben memiliki pKa 8,5 dengan kisaran pH 1 – 14 sehingga pengawet ini sesuai untuk diaplikasikan sebagai pengawet mie. Kemampuan
pengawet
untuk
menghambat
pertumbuhan
mikroba perusak sangat erat kaitannya dengan nilai pKa pengawet
tersebut. Ketiga pengawet yang digunakan memiliki nilai pKa yang rendah, yang menunjukkan bahwa ketiga pengawet ini akan bekerja dengan lebih efektif pada pH asam yang mendekati nilai pKa-nya. Sorbat memiliki pKa 4,80. Sorbat pada pH 4,0 terdapat 86% dalam bentuk tidak berdisosiasi dan pada pH 6,5 hanya 6% dalam bentuk tidak berdisosiasi (Jay, 2000). Nilai pKa tersebut menunjukkan bahwa sorbat lebih efektif digunakan untuk makanan berasam rendah dan kurang efektif pada pH basa. Demikian juga halnya dengan propionat dan asetat yang memiliki pKa 4,87 dan 4,75. Jay (2000) juga menjelaskan bahwa propionat pada pH 4,0 terdapat 88% dalam bentuk tidak berdisosiasi dan pada pH 6,0 hanya 6,7% dalam bentuk tidak berdisosiasi. Nilai pKa yang kurang sesuai dengan pH mie menyebabkan penggunaan pengawet menjadi kurang efektif karena pengawet tidak bekerja secara optimum. Faktor yang juga berpengaruh terhadap umur simpan pada mie adalah praktek sanitasi yang benar. Jumlah mikroba awal yang tumbuh pada mie kontrol cukup rendah. Tempat pengolahan dan peralatan yang berbeda pasti memiliki kondisi sanitasi yang berbeda juga. Jumlah awal mikroba rendah ini bisa tercapai karena mie dibuat di laboratorium pengolahan dengan bahan-bahan dan peralatan yang memiliki sanitasi cukup baik. Kondisi ini berbeda sekali dengan ruang pengolahan dan peralatan yang dimiliki oleh kebanyakan pengrajin mie, khususnya tingkat UKM, yang memiliki sanitasi yang buruk. Air yang
digunakan
untuk
membuat
mie
juga
tidak
terjamin
kebersihannya. Belum lagi tambahan kontaminasi mikroba dari pekerja yang tidak memiliki edukasi yang cukup mengenai masalah higiene. Kemasan yang digunakan untuk menyimpan mie juga seadanya. Mie yang
nantinya
dijual
dalam
kondisi
terbuka
akan
semakin
mengakumulasi jumlah mikroba dalam mie tersebut. Chamdani (2005) melakukan perbandingan antara mutu mikrobiologis mie basah mentah yang dihasilkan sebelum dan sesudah pembersihan terhadap peralatan, lantai ruangan, dan pekerja produksi
pada UKM mie basah mentah. Peralatan dibersihkan menggunakan alkohol 96%, lantai ruangan dengan pine oil, dan pekerja diminta untuk mencuci tangan dengan sabun antiseptik. Nilai TPC awal pada mie yang dibuat sesudah pembersihan (5,0 x 103 cfu/g) lebih rendah daripada sebelum pembersihan (4,1 x 104 cfu/g). Sampai pada jam ke48, nilai TPC mie mentah sesudah pembersihan (7,7 x 105 cfu/g) juga lebih rendah dibandingkan nilai TPC sebelum pembersihan (1,3 x 106 cfu/g). Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang baik sangat berperan dalam menurunkan total mikroba pada produk mie. b. Total kapang dan khamir
Nilai aw mie yang tinggi menyebabkan kapang dan khamir tidak tumbuh pada jam-jam awal penyimpanan mie. Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 15), pertumbuhan kapang dan khamir baru terjadi pada penyimpanan jam ke-8 sebesar 0,19 log cfu/g (mie kontrol) dan jam ke-12 sebesar 0,04 log cfu/g (mie kombinasi terbaik). Sampai waktu akhir penyimpanan, total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, dimana nilai total kapang dan khamir harus di bawah 104 atau 4 log cfu/g. Penambahan pengawet kalium sorbat dan kalsium propionat yang bersifat anti kapang tidak memberikan efek penghambatan terhadap kapang karena pH mie yang terlalu tinggi tidak optimum untuk kinerja penghambatan kedua pengawet tersebut. Berbeda dengan hasil mie terbaik Pahrudin (2006) yang juga melibatkan penambahan pengawet Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%, disamping penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025%, tidak ditemukan pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan bahwa penghambatan terhadap kapang dan khamir pada mie oleh Monolaurin dan Metil-paraben lebih efektif dibandingkan oleh kalsium propionat dan kalium sorbat. Nilai total kapang dan khamir untuk mie
kontrol Pahrudin (2006) pada jam ke-0 adalah 1,0 log cfu/g atau lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian ini. Nilai total kapang dan khamir yang rendah pada kedua sampel mie menunjukkan bahwa pengolahan mie dilakukan dengan sanitasi yang baik. Jika praktek sanitasi sangat buruk, kapang mungkin tumbuh sejak awal penyimpanan. Kapang ini dapat berasal dari kontaminasi silang spora kapang yang terdapat pada lingkungan, ruang pengolahan, atau peralatan. Tempat pengolahan mie Pahrudin (2006) dilakukan di Pilot Plant FTDC dengan peralatan produksi dengan skala yang lebih
besar. Tempat pengolahan, peralatan, dan kondisi sanitasi yang berbeda ini yang memungkinkan perbedaan yang cukup besar pada nilai kapang dan khamir antara kedua penelitian ini. 4
3.28
Log cfu/g
3
2 1.53
1.50
1.30
1 0.47
0.60
1.24
1.81
1.33 1.67
1.73 1.60
2.23 1.98
1.63 1.62
0
0 0.19
0.23 0.30 0.04 0.08
0
4
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56
0.37
0 8
Jam keMie kontrol
Mie kombinasi terbaik
Gambar 15. Total kapang dan khamir selama penyimpanan mie c. Total koliform
Uji total koliform dilakukan untuk mendeteksi adanya bakteri koliform, khususnya E. coli sebagai bakteri indikator sanitasi. Metode MPN ini lebih baik bila dibandingkan metode hitungan cawan karena lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah sangat rendah di dalam contoh (Jenie dan Fardiaz, 1989). Bakteri E. coli tidak ditemukan pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik
yang ditandai dengan tidak terbentuknya gas atau kekeruhan pada tabung Durham di semua seri pengenceran (lihat Lampiran 41 dan 42). Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang dilakukan sudah cukup baik.
4. Mutu Organoleptik
Salah satu uji penerimaan yang paling sering digunakan terhadap produk pangan adalah uji hedonik seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam uji hedonik, panelis diminta untuk mengemukakan pendapat pribadinya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap beberapa atribut sampel maupun terhadap sampel secara keseluruhan (overall). Parameter yang diujikan terhadap sampel mie ini meliputi atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa, serta tingkat kesukaan secara keseluruhan. Tingkat-tingkat kesukaan panelis dalam uji hedonik dikenal dengan istilah skala hedonik. Rentang skala hedonik dapat diatur sesuai dengan kebutuhan penilaian terhadap sampel. Untuk sampel yang sudah dikenal secara umum, biasanya digunakan skala penilaian antara 1 sampai 5, yaitu nilai 1 untuk “sangat tidak suka”, nilai 2 untuk “tidak suka”, nilai 3 untuk “netral”, nilai 4 untuk “suka”, dan nilai 5 untuk “sangat suka”. Sedangkan untuk sampel yang tergolong produk baru atau sampel yang jarang dikonsumsi, biasanya skala hedonik direntangkan sampai 7 bahkan 9 skala. Mie tergolong makanan yang umum dikonsumsi dalam masyarakat sehingga uji hedonik terhadap sampel mie cukup dilakukan dengan skala hedonik 1 sampai 5. Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan mie tertera pada Gambar 16. Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (Lampiran 55), warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie berada dalam subset yang sama dengan skor kesukaan 4,21 dan 4,43 (Lampiran 56). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC
dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak berpengaruh tehadap warna mie. Skor uji kesukaan terhadap warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan mie pasar, dimana warna mie pasar memiliki skor kesukaan terendah, yaitu 3,45. Skor warna mie pasar berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya. Berdasarkan skor kesukaan, panelis lebih suka pada warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik dibandingkan dengan mie pasar. Mie pasar memiliki warna kuning yang sangat terang yang diduga berasal dari pewarna sintetik, yaitu Tartazine. Syah et al. (2005) menyebutkan zat pewarna lain yang mungkin digunakan sebagai perwarna mie adalah Metanil Yellow yang memberikan warna kuning cerah pada mie. Metanil Yellow merupakan zat pewarna yang dilarang untuk ditambahkan kedalam makanan karena pewarna ini digunakan sebagai pewarna untuk produk-produk tekstil, cat kayu, dan cat lukis. Pewarna ini termasuk kelompok azo yang dicurigai mempunyai dampak buruk terhadap jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan jaringan kulit. Aroma yang terdeteksi pada mie segar yang baru direbus adalah aroma terigu dan minyak kelapa yang digunakan untuk melumur mie. Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (Lampiran 57), aroma mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan 3,62 dan 3,70. Skor aroma kedua mie ini berada dalam subset yang sama pada uji lanjut Duncan (Lampiran 58). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak berpengaruh terhadap aroma mie. Aroma mie yang dibeli di pasar berbeda nyata dengan kedua mie yang dibuat dalam skala laboratorium. Mie pasar memiliki skor kesukaan paling rendah, yaitu 1,98 dan berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya. Mie pasar memiliki bau menyengat yang kemungkinan besar berasal dari bau minyak kacang bercampur dengan formalin.
Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis
ragam (lihat
Lampiran 59), tekstur mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan 4,07 dan 3,93. Skor tekstur mie ini berada dalam subset yang sama pada uji lanjut Duncan (Lampiran 60), yang berarti menurut penilaian panelis, penambahan CMC dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak mengubah tekstur mie. Tekstur kedua mie yang dibuat dalam skala laboratorium berbeda nyata dengan mie yang dibeli di pasar. Mie pasar memiliki skor kesukaan 2,53 dan berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya. Mie pasar memiliki tekstur yang lebih liat dan keras. Uji terhadap adanya kandungan formalin tidak dilakukan pada sampel mie pasar. Jika kontrol positif ini menggunakan formalin, tekstur yang liat dan keras ini terbentuk akibat interaksi antara formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin pada gugus ε-NH2 memebtuk ikatan silang (Marquie et al., 1997). Uji statistik menggunakan analisis ragam untuk skor kesukaan terhadap atribut rasa (Lampiran 61) menunjukkan tekstur mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan 3,73 dan 3,63. Skor rasa kedua mie ini berada dalam subset yang sama pada uji lanjut Duncan (Lampiran 62). Berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak mengubah rasa mie. Rasa mie pasar memiliki skor kesukaan 2,18 dan berbeda secara nyata dengan kedua sampel mie lainnya. Perbedaan ini ditunjukkan oleh letak subset yang berbeda antara mie pasar dengan mie matang kontrol dan mie kombinasi terbaik. Hal ini menunjukkan bahwa untuk atribut rasa, panelis lebih menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada mie yang dijual di pasar. Uji statistik untuk skor kesukaan terhadap mie menggunakan analisis ragam (Lampiran 63) menunjukkan bahwa mie kontrol dan mie kombinasi terbaik secara keseluruhan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie ini
berada dalam subset yang sama dengan skor kesukaan 3,94 dan 4,17. Hal ini berarti
penambahan CMC dan pengawet kedalam mie kombinasi
terbaik tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap mie secara keseluruhan. Mie pasar, yang memiliki skor kesukaan 2,15, berbeda secara nyata dengan kedua sampel mie lainnya. Mie pasar yang memiliki skor kesukaan yang lebih rendah berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan panelis lebih menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada mie yang dijual di pasar.
5.00 4.43 4.21
4.07
4.00 3.45
4.17 3.94
3.93
3.62 3.70
3.73 3.63
3.00 Skor
2.53 2.18
2.15
1.98
2.00
1.00
0.00 Warna
Arom a
Tekstur
Rasa
Mie kontrol Mie kombinasi terbaik Mie pasar
Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie
Keseluruhan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pemilihan garam alkali yang tepat sangat penting dalam proses pembuatan mie karena sangat berpengaruh terhadap warna dan tekstur mie. Penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% kedalam adonan mie memberikan hasil yang lebih baik dalam hal umur simpan, warna, tekstur, dan elastisitas dari pada STPP 0,2%. Penambahan hidrokoloid cukup berpengaruh terhadap tekstur mie. Mie yang ditambahkan CMC 0,2% memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan memerlukan biaya produksi paling kecil dibandingkan kedua hidrokoloid lainnya. Pada prakteknya di lapangan, penambahan CMC ini dapat tidak dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket dengan penggunaan minyak yang lebih efisien (10% berat mie mentah). Pemasakan mie dengan cara dikukus menghasilkan mie dengan umur simpan lebih panjang dan berwarna kecoklatan yang berbanding lurus dengan peningkatan waktu pengukusan. Warna coklat ini terbentuk karena terjadinya reaksi Maillard. Mie yang dikukus memiliki tekstur tidak seragam, sangat keras, rapuh atau mudah patah, dan tidak elastis. Dari segi warna dan tekstur, mie yang direbus memiliki penampakan yang lebih baik dari mie yang dikukus. Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama dalam kondisi tertutup. Kemasan plastik yang tertutup rapat merupakan salah satu praktek sanitasi yang dapat mereduksi jumlah mikroba perusak hasil kontaminasi silang dari luar, seperti dari udara, debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Pengemasan vakum tidak sesuai untuk diaplikasikan pada mie karena menyebabkan penampakan menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Pertumbuhan mikroba terhambat karena terjadi chilling injury pada sel
mikroba. Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah yang harus disertai dengan cold chain atau rantai distribusi suhu rendah masih terlalu mahal dan tidak
terjangkau untuk produsen mie pada tingkat UKM maupun industri menengah. Mie dengan penambahan pengawet formula VII, yaitu kombinasi Naasetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% memiliki umur simpan terpanjang (60 jam) berdasarkan pengamatan secara subyektif (bau asam). Penambahan pengawet tidak mempengaruhi pH dan warna secara signifikan. Setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25%, mie yang ditambahkan pengawet formula VII memiliki umur simpan 56 jam, berdasarkan terdeteksinya bau asam dan adanya lendir. Perlakuan terbaik, berdasarkan mutu fisik dan umur simpan secara subyektif, dari masing-masing tahapan dikombinasikan menjadi mie kombinasi terbaik. Mie kombinasi terbaik dibuat dengan penambahan Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Mie memiliki nilai aw yang tinggi, sekitar 0,965-0,97, sehingga mie tergolong sebagai makanan yang mudah rusak. Selama penyimpanan mie kontrol dan mie kombinasi terbaik, terjadi perubahan terhadap parameter pH, warna, dan tekstur. Nilai pH mie menurun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang mendekomposisi karbohidrat dan protein menghasilkan asam. Warna mie berubah menjadi semakin pucat karena peningkatan nilai kecerahan. Selama penyimpanan juga terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik masih memenuhi standar mutu SNI (TPC maksimum 106) selama penyimpanan 32 jam berdasarkan analisis mutu mikrobiologis. Nilai pH mie yang kurang sesuai dengan pKa pengawet menyebabkan
penggunaan
pengawet
menjadi
kurang
efektif
dalam
menghambat pertumbuhan mikroba karena pengawet tidak bekerja secara optimum. Nilai total kapang dan khamir mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah (maksimum 104) sampai
akhir penyimpanan (56 jam). Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie. Berdasarkan hasil uji hedonik, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.
B. SARAN
Mie yang dibuat tanpa penambahan pengawet jika pengolahannya dilakukan dengan praktek sanitasi yang baik dapat diaplikasikan pada produsen mie tingkat UKM. Penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup juga dapat mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar selama distribusi dan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA
Ames, J. M. dan A. Apriyantono. 1994. Effect of pH on the volatil compound formed in a xylose-lysine model system. Di dalam T. H. Parliament, M. J. Morello dan R. J. Mec Gorrin (eds.). Thermal Generation Flavor. Washington American Chemical Society.
Anonim. 1996. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. . 1999a. Propionic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title= Propionic_acid.html. [27 Januari 2006]. . 1999b. Sorbic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title= Sorbic_acid.html. [27 Januari 2006]. AOAC. 1984. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington D.C Apriyantono, A., D. Fardiaz, Puspitasari N. L., Sedarnawati Y., Budijanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor. Arbuckle, W. S. 1986. Ice Cream. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mi Basah. SNI-01 2987-1992. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Belitz, H. D. dan ,W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Branen, A. L dan R. J. Haggerty. 2002. Introduction of Food Additives. 2nd Edition. Marcel Dekker Inc. New York. Basel. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan. UI Press, Jakarta. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chapman, W dan Chapman. 1980. Karrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Marine Colloid Division FMC Corp. Springfield, New Jersey.
Christensen, M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products. American Association of Cereal Chemist. Minnesota. CNFP. 2002a. Calcium Propionate. Technical Advisory Panel (TAP) Review. USDA. USA. _____. 2002b. Pottasium Sorbate. Technical Advisory Panel (TAP) Review. USDA. USA. Departemen Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Desrosier. 1977. The Technology of Food Preservation. 4th Edition. AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. IPB Press. Bogor. Fardiaz, S. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fellers, C. R. 1955. Food Preservation. Di dalam: F. C. Blanck (ed.). Handbook of Food and Agriculture. Reinhold Publishing Corporation. New York. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker. New York. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1979. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., New Delhi. Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold. London. Glicksman, M. 1983. Food Hidrocolloids II. CRC Press. Boca Rota, Florida. Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanlon, J. F. 1971. Handbook of Package Engineering. McGraw-Hill Book Company. New York. Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam Rangka Meningkatkan Mutu Mie Basah di Jabotabek. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publisher, Inc. Maryland.
Jenie, B. S. L. 1995. Prinsip Pengawetan Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor. Labuza, T. P. 1975. Storage Stability and Improvement of Intermediate Moisture Foods. University of Minnesota Publ. St. Paul. Minnesota. Maillard, L. C. 1912. Action of amino acids on sugars: Formation of melanoidins in a methodical way. Compt. Rend. 154: 66-68. Di dalam: Whistler, R. L. dan J. R. Daniel. Carbohydrates. O. R. Fennema (Ed.). 1985. Food Chemistry. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel. Marquie, C., A. M. Tessier, C. Aymard, dan S. Guilbert. 1997. HPLC determination of the reactive lysine content of cottonseed protein films to monitor the cross-linking by formaldehyde, glutaraldehyde, and glyoxal. J. Agric. Food Chem. 45:922-926. Merck Indeks. 1989. Preservation and Preservatives. 11th Edition. Susan, B. (ed.). Merck & Cg., Inc. Rahway, N. J. USA. Moriano, A. L. 1977. Sulfated Seaweed Polysacharide. Di dalam: Food Colloid. AVI Publishing. Westport, Connecticut. P347 – 784. Mugiarti. 2001. Mempelajari Pengaruh Substitusi Tepung Kedelai pada Pembuatan Mie Basah (Boiled Noodle). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nishita, K.D., R.L. Robert, dan M.M. Bean. 1976. Development of yeast leaved rice bread formula. J. Cereal Chemistry, 53 (5): 626-635. Nuraida, L. 1995. Mikrobiologi Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor. Nussinovitch, A. 1997. Hydrocolloids Application: Gum technology in the food and other industries. Blackie Academic & Professional. London. Pagani, M. A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. P52-68. Di dalam: Ch. Mercier dan C. Centrallis (eds.) 1985. Pasta and Extruction Cooked Foods. Proceeding of an Internasional Symposium held in Milan. Italy. Pahrudin. 2006. Aplikasi Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Patersen, K., P. V. Nielsen, G. Bertelsen, M. Lawther, M. B. Olsen, N. H. Nilson dan G. Mortensen. 1999. Potential of biobased materials for food packaging. J. Food Science and Technology 10: 52-68. Elsevier Science Ltd., UK. Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tangerang dan Bekasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rani, H. 1989. Jenis dan Mekanisme Kerja Bahan Pengawet Pangan. Makalah. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rees, D. A. 1969. Structure, Comformation, and Mechanism in The Formation of Polysacheride Gel and Network. Di dalam: Adv. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Edinburg, Scotland. 24:279 – 282. Saccharow, S dan R. C. Griffin. 1980. Food Packaging: Principles of Food Packaging. 2nd Edition. The AVI Publishing. Westport, Connecticut. Samelis, J. dan J. N. Sofos. 2003. Organic Acid. Di dalam: Roller, S. (Ed.). Natural antimicrobial for the minimal processing of foods. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England. Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suptijah, P. 2002. Karagenan. http://rudyct.tripod.com/ sem2_012/pipih_ suptijah. html. [10 Mei 2004]. Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Syah, D., S. Utama, Z. Mahrus, F. Fauzan, R. Siahaan, O. Oktavia, S. Supriyadi, dan W. Kartawijaya. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syarief, R., S. Santausa dan S. I. Budiana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widowati, S. dan K.A. Buckle. 1991. Gude (Cajanus cajan L Mill sp.) Sebagai Sumber Pati dan Bahan Baku Mie Kering. Makalah pada Seminar Rutin Balitan Sukamandi, Februari 1991. Whistler, R. L. dan J. N. B. Miller. 1973. Industrial Gum: Polysacharides and Their Derivatives. 2nd Edition. Academic Press. New York.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. . 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Serba Mie, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai dalam Pembuatan Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum
Pembuatan Mie Basah Matang dengan Formula Standar
Tahap 1: Perlakuan Garam Alkali
Tahap 2: Perlakuan Hidrokoloid
Tahap 3: Perlakuan Pemasakan & Pelumuran
Tahap 4: Perlakuan Kondisi Penyimpanan
Tahap 5: Perlakuan Optimasi Pengawet Tahap 6: Penurunan Konsentrasi Pengawet
Humektan Terbaik
Pemasakan & Pelumuran Terbaik
Kondisi Penyimpanan Terbaik
Tahap 7: Pembuatan Mie Basah Matang dengan Kombinasi Perlakuan Terbaik Pengamatan: Mutu Fisik, Kimia, Mikrobiologis, & Sensori
Konsentrasi Pengawet Terbaik
Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC
Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab
Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan
Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat
Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat
Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6% Titik Kekerasan Kelengketan Elastisitas keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 3374,6 3838,3 -546,9 -789,5 16,7 17,2 2 3783,4 3715,5 -710,5 -837,5 17,8 17,0 3 3350,1 4049,0 -548,1 -656,9 20,5 17,2 4 3707,1 3677,3 -673,2 -620,0 15,1 16,9 5 3676,6 3880,4 -594,0 -639,1 20,0 18,2 Rata3578,4 3832,1 -614,5 -708,6 18,0 17,3 rata 3705,3 -661,5 17,7 SD 126,85 -47,1 0,4 Mie dengan STPP 0,2% Titik Kekerasan Kelengketan Elastisitas keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 3597,0 3469,9 -619,8 -529,3 15,7 17,1 2 3505,5 3291,5 -593,1 -567,4 15,8 17,9 3 3600,4 3671,6 -655,3 -505,8 14,7 14,2 4 3484,8 3473,6 -593,0 -624,8 15,3 14,6 5 3436,4 3687,1 -564,1 -762,7 15,6 16,3 Rata3524,8 3518,7 -605,1 -598,0 15,4 16,0 rata 3521,8 -601,6 15,7 SD 3,05 3,55 0,3
Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup
Kekerasan Kelengketan Elastisitas
Garam Alkali
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kontrol
5
3705.260
65.7218
29.3917
STPP 0,2%
5
3521.800
89.1574
39.8724
Kontrol
5
-661.580
67.8604
30.3481
STPP 0,2%
5
-601.560
37.0682
16.5774
Kontrol
5
17.680
1.3103
.5860
STPP 0,2%
5
15.760
.9915
.4434
Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur perlakuan garam alkali (Lanjutan) Uji T Levene's Test for Equality of Variances
Kekerasan
Kelengketan
Elastisitas
Equal variances assumed Equal variances assumed Equal variances assumed
t-test for Equality of Means
F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
.468
.513
3.704
8
.006
183.460
49.5346
.909
.368
-1.736
8
.121
-60.020
34.5806
.628
.451
2.613
8
.031
1.920
.7348
Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6% Kecerahan (L) Titik keUlangan 1 Ulangan 2 1 69,28 67,75 2 68,62 68,10 3 67,83 71,85 Rata68,58 69,23 rata 68,91 SD 0,33 Mie dengan STPP 0,2% Kecerahan (L) Titik keUlangan 1 Ulangan 2 1 73,60 70,48 2 73,06 71,35 3 74,08 71,03 Rata73,58 70,95 rata 72,27 SD 1,32
o
Hue
Ulangan 1 -84.35 -83.73 -84.16 -84.08
Ulangan 2 82.47 85.13 85.42 84.34 84,21 0,13 o
Hue
Ulangan 1 -82,24 -82,32 -82,19 -82,25
Ulangan 2 85,29 84,76 84,77 84,94 83,60 1,35
Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup
Derajat Hue Kecerahan (L)
Garam Alkali
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kontrol
3
84.2000
.72111
.41633
STPP 0,2%
3
83.6000
.17321
.10000
Kontrol
3
68.9000
.78102
.45092
STPP 0,2%
3
72.2667
.30551
.17638
Uji T Levene's Test for Equality of Variances F Derajat Hue Kecerahan (L)
Equal variances assumed Equal variances assumed
Sig.
t
t-test for Equality of Means Sig. (2Mean tailed) Difference df
Std. Error Difference
4.966
.090
1.401
4
.234
.6000
.42817
4.797
.094
-6.953
4
.002
-3.3667
.48419
Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2% Titik Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 3994,2 3979,9 -861,5 -619,2 19,9 20,4 2 3817,2 4016,8 -1316,5 -672,9 16,1 19,3 3 3717,5 3948,2 -818,0 -747,3 15,9 17,5 4 3692,9 3967,1 -799,3 -830,2 17,1 19,8 5 4175,1 4132,7 -843,1 -681,2 17,1 16,5 Rata3903,4 4008,9 -927,7 -710,2 17,2 18,7 rata 3956,2 -819,0 18,0 SD 52,8 -108,8 0,8 Mie dengan Gum Arab 0,5% Titik Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 3272,9 3964,1 -526,3 -751,5 17,1 18,4 2 3546,9 3683,5 -790,3 -706,1 16,1 20,0 3 3391,5 3992,4 -564,8 -883,9 17,4 18,6 4 3906,7 3935,5 -776,5 -811,2 17,8 17,3 5 3560,0 4068,7 -947,5 -778,2 17,2 18,7 Rata3535,6 3928,8 -721,1 -786,2 17,1 18,6 rata 3732,2 -753,7 17,9 SD 196,6 -32,6 0,8
Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan) Mie dengan Karagenan 0,5% Titik Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 3376,2 2902,6 -560,0 -390,0 17,9 19,2 2 3492,3 3088,4 -670,1 -425,7 15,9 18,8 3 3303,2 3118,9 -586,0 -400,9 17,0 17,8 4 3316,8 2872,9 -573,0 -423,9 18,6 19,1 5 3202,9 3175,4 -938,6 -460,8 15,7 17,0 Rata3338,3 3031,6 -665,5 -420,3 17,0 18,4 rata 3207,5 -542,9 17,7 SD 175,9 -122,6 0,7
Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid Sum of Squares Kekerasan
Kelengketan
Elastisitas
df
Mean Square
Between Groups
1561532.010
3
520510.670
Within Groups
181939.232
16
11371.202
Total
1743471.242
19
Between Groups
215251.132
3
71750.377
Within Groups
121271.960
16
7579.498
Total
336523.092
19
Between Groups
.289
3
.096
Within Groups
19.448
16
1.216
Total
19.738
19
F
Sig.
45.774
.000
9.466
.001
.079
.970
Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid Kekerasan Subset for alpha = .05
Hidrokoloid
N
Karagenan 0,5%
5
Kontrol
5
3705.260
Gum Arab 0,5%
5
3732.240
CMC 0,2%
5
1
2
3
3185.000
3944.180
Sig.
1.000
.978
1.000
Kelengketan Subset for alpha = .05
Hidrokoloid
N
CMC 0,2%
5
-818.960
Gum Arab 0,5%
5
-753.660
Kontrol
5
-661.580
Karagenan 0,5%
5
Sig.
1
2
-661.580 -542.920
.050
.178
Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan) Elastisitas
Kontrol
5
Subset for alpha = .05 1 17.680
Karagenan 0,5%
5
17.740
Gum Arab 0,5%
5
17.900
CMC 0,2%
5
17.980
Hidrokoloid
N
Sig.
.972
Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2% Kecerahan (L) Titik keUlangan 1 Ulangan 2 1 69,62 70,31 2 67,69 70,57 3 70,11 70,95 Rata68,66 70,61 rata 69,64 SD 0,98 Mie dengan Gum Arab 0,5% Kecerahan (L) Titik keUlangan 1 Ulangan 2 1 68,17 69,09 2 70,84 69,47 3 73,27 70,60 Rata69,51 69,72 rata 69,62 SD 0,11 Mie dengan Karagenan 0,5% Kecerahan (L) Titik keUlangan 1 Ulangan 2 1 70,81 73,16 2 75,60 72,53 3 72,77 72,02 Rata73,21 72,57 rata 72,89 SD 0,32
o
Hue
Ulangan 1 -83,35 -83,27 -83,54 -83,39
Ulangan 2 83,10 83,09 83,47 83,22 83,31 0,09 o
Hue
Ulangan 1 -84,48 -84,47 -83,85 -84,27
Ulangan 2 85,47 84,81 85,37 85,22 84,75 0,48 o
Hue
Ulangan 1 -84,15 -83,21 -83,50 -83,62
Ulangan 2 83,67 83,56 83,76 83,66 83,64 0,02
Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
2.419
3
.806
6.445
.052
.125
10.897
.021
Derajat Hue
Between Groups Within Groups
.500
4
2.919
7
19.119
3
6.373
Kecerahan
Total Between Groups Within Groups
2.339
4
.585
Total
21.458
7
Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid Derajat Hue Hidrokoloid
N
Subset for alpha = .05 1
2
CMC 0,2%
2
83.3050
Karagenan 0,5%
2
83.6400
83.6400
Kontrol
2
84.2100
84.2100
Gum Arab 0,5%
2
84.7450
Kecerahan Subset for alpha = .05
Hidrokoloid
N
Kontrol
2
68.9050
Gum Arab 0,5%
2
69.6150
CMC 0,2%
2
69.6350
Karagenan 0,5%
2
1
2
72.8900
Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Mie Kukus 10’
Titik ke1 2 3 4 5 Ratarata SD
Kekerasan (gforce) Ulangan 1 Ulangan 2 9144,4 8868,5 9408,2 8801,7 9683,6 9240,8 9165,1 8973,2 7902,7 9462,2 9060,8 9069,3 9065,0 4,25
Kelengketan (gforce) Ulangan 1 Ulangan 2 -554,8 -607,9 -537,7 -481,2 -556,3 -617,1 -556,8 -499,9 -467,0 -558,0 -534,5 -552,8 -543,7 8,65
Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan (Lanjutan) Mie Kukus 12’
Titik ke1 2 3 4 5 Ratarata SD
Kekerasan (gforce) Ulangan 1 Ulangan 2 8941,7 10102,4 9750,7 9290,4 9065,3 9153,1 9389,8 8821,2 9266,2 9247,1 9282,7 9322,8 9302,8 20,05
Kelengketan (gforce) Ulangan 1 Ulangan 2 -488,9 -484,7 -526,7 -362,8 -498,2 -347,4 -619,8 -361,5 -462,3 -536,4 -519,2 -418,6 -468,9 50,5
Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Kekerasan
Between Groups Within Groups Total
Kelengketan
Between Groups
Sum of Squares 100194781.15 6 500454.148 100695235.30 4 94360.528
Mean Square 2
50097390.578
12
41704.512
F
Sig.
1201.246
.000
19.866
.000
14 2
47180.264
28499.508
12
2374.959
122860.036
14
Within Groups Total
df
Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Kekerasan Pemasakan
Subset for alpha = .05
N 1
2
Kontrol
5
Kukus 10'
5
3705.260 9065.080
Kukus 12'
5
9302.820
Kelengketan Pemasakan
N
Kontrol
5
Kukus 10'
5
Kukus 12'
5
Subset for alpha = .05 1
2
3
-661.580 -543.700 -468.900
Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan Mie Kukus 10’
Titik ke1 2 3 Ratarata SD
o
Kecerahan (L) Ulangan 1 Ulangan 2 62,47 60,73 63,65 62,00 63,81 60,33 63,31 61,02 61,17 1,15
Ulangan 1 -89,25 -89,49 -89,04 -89,26
1 2 3 Ratarata SD
Ulangan 2 -88,47 -88,41 -88,38 -88,42 -88,84 0,42
Mie Kukus 12’
Titik ke-
Hue
o
Kecerahan (L) Ulangan 1 Ulangan 2 59,96 57,52 59,58 58,17 58,76 59,66 59,43 58,45 58,94 0,49
Hue
Ulangan 1 89,25 89,49 89,04 89,26
Ulangan 2 87,89 89,98 89,47 89,11 89,19 0,08
Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
2.419
3
.806
6.445
.052
.125
10.897
.021
Derajat Hue
Between Groups Within Groups
.500
4
2.919
7
19.119
3
6.373
Kecerahan (L)
Total Between Groups Within Groups
2.339
4
.585
Total
21.458
7
Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan Derajat Hue Pemasakan
N
Subset for alpha = .05 1
2
Kontrol
2
Kukus 10'
2
84.2100 88.8400
Kukus 12'
2
89.1850
Kecerahan (L) Subset for alpha = .05
Pemasakan
N
Kukus 12'
2
58.9400
Kukus 10'
2
62.1650
Kontrol
2
1
2
68.9050
Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan o Hue L a b Jam 1 2 1 2 1 2 1 2 0 69,08 68,01 2,78 2,81 24,06 23,80 83,41 83,27 24 78,70 73,10 2,88 2,63 25,31 24,05 83,50 83,75 44 77,47 74,44 3,19 3,12 23,21 21,95 82,17 81,90 Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
72.671
2
36.336
5.230
.105
20.843
3
6.948
55.643
.004
Kecerahan (L)
Between Groups Within Groups
93.514
5
2.875
2
1.437
Derajat Hue
Total Between Groups Within Groups
.077
3
.026
Total
2.952
5
Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan Derajat Hue Subset for alpha = .05
Mie kontrol
N
44 jam
2
0 jam
2
83.3400
24 jam
2
83.6250
1
2
82.0350
Sig.
1.000
.317
Kecerahan Mie kontrol
N
0 jam
2
Subset for alpha = .05 1 68.5450
24 jam
2
75.9000
44 jam
2
75.9550
Sig.
.131
Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan o L a b Hue Jam 1 2 1 2 1 2 1 2 0 68,64 69,84 2,86 3,02 23,94 24,07 83,16 82,86 24 71,36 71,15 2,46 2,67 23,20 24,39 83,94 83,75 48 71,14 71,27 3,13 3,08 20,73 22,27 81,43 82,13 56 74,47 73,27 3,35 3,37 20,65 20,47 80,79 80,65
Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
21.651
3
7.217
19.631
.007
.368
47.418
.001
Kecerahan (L)
Between Groups Within Groups
1.471
4
23.121
7
11.304
3
3.768
Derajat Hue
Total Between Groups Within Groups
.318
4
.079
Total
11.622
7
Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan Derajat Hue Mie kombinasi terbaik
N
56 jam
2
Subset for alpha = .05 1 2 80.7200
48 jam
2
81.7800
0 jam
2
24 jam
2
Sig.
83.0100 83.8450 .064
.129
Kecerahan Mie kombinasi terbaik
N
Subset for alpha = .05 1
0 jam
2
69.2400
48 jam
2
71.2050
24 jam
2
71.2550
56 jam
2
Sig.
2
73.8700 .093
1.000
Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan Kekerasan (gfroce) Kelengketan (gfroce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3578,4 3832,1 3705,3 -614,5 -708,6 -661,5 16 2659,7 3259,7 3259,7 -466,6 -557,7 -512,2 32 3590,8 3593,0 3593,0 -706,5 -658,6 -682,6 44 3150,2 3576,0 3363,1 -567,1 -638,5 -602,8
Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
650258.744
3
216752.915
2.863
.168
75709.271
3.793
.115
Kekerasan
Between Groups Within Groups
302837.085
4
953095.829
7
34913.284
3
11637.761
Kelengketan
Total Between Groups Within Groups
12273.195
4
3068.299
Total
47186.479
7
Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan Kekerasan Mie kontrol
N
16 jam
2
Subset for alpha = .05 1 2959.700
44 jam
2
3363.100
32 jam
2
3591.900
0 jam
2
3705.250
Sig.
.163
Kelengketan Mie kontrol
N
32 jam
2
Subset for alpha = .05 1 -682.550
0 jam
2
-661.550
44 jam
2
-602.800
16 jam
2
-512.150
Sig.
.116
Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3769,2 4057,0 3913,1 -883,0 -724,7 -803,9 16 3188,2 3218,8 3203,5 -559,3 -458,7 -509,0 32 3115,6 3591,7 3353,7 -539,8 -684,1 -612,0 48 2739,4 3083,6 2911,5 -513,1 -589,8 -551,5 56 2523,3 2618,9 2571,1 -357,0 -393,0 -375,0
Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
2020870.036
4
505217.509
11.533
.010
43804.941
7.798
.022
Kekerasan
Between Groups Within Groups
219024.705
5
2239894.741
9
197070.830
4
49267.708
Kelengketan
Total Between Groups Within Groups
31590.315
5
6318.063
Total
228661.145
9
Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan Kekerasan Subset for alpha = .05
Mie kombinasi terbaik
N
56 jam
2
2571.100
48 jam
2
2911.500
16 jam
2
3203.500
3203.500
32 jam
2
3353.650
3353.650
0 jam
2
Sig.
1
2
3913.100 .065
.091
Kelengketan Mie kombinasi terbaik
N
Subset for alpha = .05 1
2
0 jam
2
-803.850
32 jam
2
-611.950
-611.950
48 jam
2
-551.450
-551.450
16 jam
2
-509.000
-509.000
56 jam
2
Sig.
-375.000 .067
Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie Nilai aw Ulangan 1 Ulangan 2 Sampel Mie kontrol 0,970 0,970 Mie kombinasi terbaik 0,960 0,970
.138
Rata-rata 0,970 0,965
Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie Jam Mie kontrol Mie kombinasi terbaik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 9,00 9,05 9,03 9,18 9,14 9,16 4 9,27 9,27 9,27 9,01 9,02 9,02 8 9,10 9,16 9,13 8,93 9,02 8,98 12 9,15 9,18 9,17 8,99 9,01 9,00 16 9,14 9,04 9,09 9,22 9,31 9,27 20 9,07 9,09 9,08 9,23 9,31 9,27 24 8,95 8,97 8,96 9,03 9,07 9,05 28 9,03 9,02 9,03 8,92 9,01 8,97 32 8,94 9,11 9,03 8,94 9,01 8,98 36 8,98 9,01 9,00 8,93 8,97 8,95 40 8,77 8,84 8,81 8,85 8,82 8,84 44 8,93 8,04 8,49 8,59 8,65 8,62 48 – – – 7,64 8,21 7,93 52 – – – 7,22 7,68 7,45 56 – – – 6,65 7,13 6,89 Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.348
2
.174
1.312
.390
.398
3
.133
.745
5
Between Groups Within Groups Total
Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol Mie Kontrol
N
44 jam
2
Subset for alpha = .05 1 8.4850
24 jam
2
8.9600
0 jam
2
9.0250
Sig.
.412
Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
6.846
3
2.282
.279
4
.070
7.126
7
F 32.689
Sig. .003
Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik Subset for alpha = .05
Mie kombinasi terbaik
N
56 jam
2
6.8900
48 jam
2
7.9250
24 jam
2
9.0500
0 jam
2
9.1600
Sig.
1
.057
2
.973
Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol Total Mikroba Total Kapang-khamir Jam Total koliform (cfu/g) (cfu/g) keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 0 3,1 x 102 1,5 x 103 0 0 0 0 4 1,5 x 102 2,3 x 103 0 0 0 0 3 3 0 0 8 1,4 x 10 1,7 x 10 1,1 x 10 2,0 x 10 0 0 12 1,5 x 103 8,4 x 103 1,5 x 100 1,9 x 100 0 0 4 4 0 0 16 1,1 x 10 2,6 x 10 2,7 x 10 3,2 x 10 0 0 20 1,7 x 104 3,3 x 104 3,1 x 100 4,9 x 100 0 0 4 4 1 1 24 1,2 x 10 1,7 x 10 2,2 x 10 1,8 x 10 0 0 5 5 1 1 28 1,5 x 10 1,0 x 10 4,6 x 10 2,1 x 10 0 0 32 2,0 x 106 2,1 x 106 4,8 x 101 1,5 x 101 0 0 6 6 2 1 36 1,3 x 10 1,5 x 10 1,1 x 10 2,0 x 10 0 0 40 6,3 x 106 6,0 x 106 2,8 x 101 1,5 x 101 0 0 7 7 1 1 44 1,9 x 10 1,7 x 10 7,2 x 10 2,2 x 10 0 0 Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik Total Mikroba Total Kapang-khamir Total koliform Jam (cfu/g) (cfu/g) keUlangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 0 3,0 x 100 4,5 x 100 0 0 0 0 4 3,0 x 100 4,1 x 100 0 0 0 0 1 1 8 7,1 x 10 3,0 x 10 0 0 0 0 12 8,1 x 102 3,4 x 102 1,0 x 100 1,0 x 100 0 0 3 3 0 0 16 3,9 x 10 1,9 x 10 1,4 x 10 1,0 x 10 0 0 20 1,1 x 104 1,1 x 103 2,0 x 100 2,0 x 100 0 0 4 4 0 0 24 1,2 x 10 2,6 x 10 2,5 x 10 2,2 x 10 0 0 4 4 1 1 28 4,5 x 10 2,4 x 10 2,0 x 10 1,5 x 10 0 0 32 1,4 x 106 6,1 x 105 2,5 x 101 5,4 x 101 0 0 5 5 1 1 36 6,1 x 10 7,0 x 10 9,2 x 10 1,6 x 10 0 0 40 1,3 x 106 1,1 x 106 2,3 x 101 6,0 x 101 0 0 6 6 1 1 44 1,3 x 10 1,9 x 10 1,7 x 10 6,9 x 10 0 0 48 6,7 x 106 4,9 x 106 1,0 x 102 8,4 x 101 0 0 7 7 1 2 52 1,4 x 10 1,3 x 10 8,0 x 10 2,6 x 10 0 0 7 7 3 3 56 5,6 x 10 1,4 x 10 2,2 x 10 1,6 x 10 0 0
Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik
Uji Hedonik Nama
:
Tanggal :
Jenis Produk
: Mie Basah Matang
Kode sampel
:
Instruksi
:
1. Netralkan lidah anda dengan air putih yang disediakan (sebelum memulai dan antar sampel). 2. Cicipi sampel (diamkan selama 10 detik) dan berikan penilaian. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan anda untuk setiap parameter.
Penilaian
Warna
Aroma
Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Komentar
:
Terima kasih
Tekstur
Rasa
Keseluruhan
Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
542 Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Keseluruhan
5 2 5 5 5 5 5 5 5 3 5 4 4 4 5 5 2 5 4 4 4 5 5 4 5 5 4 5 4 5
5 2 3 5 4 5 4 5 3 2 3 4 2 5 3 4 5 2 5 3 1 5 3 4 4 5 2 5 3 5
4 3 2 5 5 4 4 5 4 2 5 4 4 5 5 4 2 5 3 4 4 4 5 4 3 5 3 4 2 5
5 4 3 5 3 5 3 4 4 2 4 4 3 4 5 3 4 2 3 2 4 4 5 4 4 3 4 4 3 2
5 3 4 5 4 5 5 5 5 2 5 5 3 5 5 5 4 4 3 3 4 5 5 4 4 4 3 4 3 4
4,43
3,70
3,93
3,63
4,17
Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Warna 988
189
267
325
913
Rata2
5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 3 4 5 4 5 4 4 4,63
4 4 1 5 4 3 5 4 4 3 3 3 3 4 4 3 5 3 4 1 5 3 3 2 5 1 4 2 2 4 3,37
5 4 5 5 5 5 5 4 5 5 5 2 3 4 4 4 5 5 4 4 5 5 4 4 4 5 2 5 5 5 4,40
4 5 5 5 5 5 5 5 4 3 4 5 5 4 2 4 4 3 4 5 2 3 4 5 3 4 4 4 5 4 4,13
5 3 3 5 5 4 5 5 4 2 5 5 4 4 5 5 4 5 5 5 4 5 4 5 5 5 5 5 4 5 4,50
4,6 4,0 3,8 5,0 4,8 4,4 5,0 4,6 4,4 3,4 4,4 3,8 3,8 4,2 4,0 4,2 4,6 4,2 4,4 3,8 4,2 4,2 4,0 3,8 4,2 4,0 3,8 4,2 4,0 4,4 4,21
Lampiran 46. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut aroma Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Aroma 988
189
267
325
913
Rata2
5 5 3 5 4 3 2 5 3 3 3 3 3 5 3 4 5 2 5 4 2 5 4 4 3 4 3 4 4 5 3,77
4 4 1 5 5 3 3 5 4 3 4 3 2 4 5 2 5 4 4 3 3 4 5 3 4 3 3 2 1 3 3,47
3 3 3 3 5 5 5 4 3 4 5 2 3 3 1 4 5 5 2 4 5 3 3 3 2 5 3 4 5 5 3,67
4 4 5 5 4 4 4 5 4 2 2 5 5 3 5 5 4 3 4 5 3 3 4 5 4 3 1 4 5 3 3,90
5 3 3 4 2 4 3 5 2 2 2 5 5 1 2 3 2 5 4 1 4 4 3 3 5 4 5 4 2 2 3,30
4,2 3,8 3,0 4,4 4,0 3,8 3,4 4,8 3,2 2,8 3,2 3,6 3,6 3,2 3,2 3,6 4,2 3,8 3,8 3,4 3,4 3,8 3,8 3,6 3,6 3,8 3,0 3,6 3,4 3,6 3,62
Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Tekstur 988
189
267
325
913
Rata2
2 4 5 5 5 5 4 5 5 2 5 4 4 5 4 2 5 5 3 3 5 4 5 3 4 5 2 5 4 4 4,10
5 5 1 3 5 2 4 5 5 4 2 4 4 3 5 2 5 4 4 4 4 4 3 3 4 4 3 2 3 4 3,67
5 4 4 4 5 5 5 4 3 4 5 2 3 5 5 4 5 5 4 3 4 5 4 4 2 5 4 3 5 5 4,17
5 5 5 5 5 4 4 5 5 4 4 5 5 4 5 5 4 4 5 4 4 4 3 5 3 3 5 5 5 4 4,43
5 5 3 3 5 4 3 5 3 3 5 5 5 4 2 5 3 2 5 5 5 3 4 3 5 4 5 4 4 2 3,97
4,4 4,6 3,6 4,0 5,0 4,0 4,0 4,8 4,2 3,4 4,2 4,0 4,2 4,2 4,2 3,6 4,4 4,0 4,2 3,8 4,4 4,0 3,8 3,6 3,6 4,2 3,8 3,8 4,2 3,8 4,07
Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Rasa 988
189
267
325
913
Rata2
4 5 2 5 5 5 3 5 5 3 5 2 3 3 4 3 5 5 3 2 5 3 4 3 3 5 3 5 5 3 3,87
4 3 1 4 4 3 4 3 5 4 4 3 3 4 5 3 4 5 5 3 4 2 1 3 5 3 3 3 1 2 3,37
5 4 3 4 5 2 5 5 5 4 5 1 4 2 4 4 5 4 1 3 4 3 4 4 2 5 3 5 5 5 3,83
4 5 4 5 5 4 2 5 5 3 4 3 5 3 5 5 4 3 3 4 2 4 4 5 3 3 3 5 5 3 3,93
5 4 3 4 3 3 4 5 3 2 3 5 4 2 3 5 3 5 5 5 3 5 3 4 2 4 5 3 2 2 3,63
4,4 4,2 2,6 4,4 4,4 3,4 3,6 4,6 4,6 3,2 4,2 2,8 3,8 2,8 4,2 4,0 4,2 4,4 3,4 3,4 3,6 3,4 3,2 3,8 3,0 4,0 3,4 4,2 3,6 3,0 3,73
Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara keseluruhan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Keseluruhan 988
189
267
325
913
Rata2
5 4 3 5 5 5 4 5 5 3 5 4 3 5 4 4 5 5 4 3 5 5 5 3 4 5 4 5 4 4 4,33
4 4 1 4 4 3 4 4 5 4 4 3 3 4 5 3 5 4 4 2 4 3 2 3 5 3 2 2 1 3 3,40
5 4 5 4 5 3 5 4 4 4 5 2 3 3 2 4 5 5 4 3 4 3 4 3 2 5 3 5 5 5 3,93
4 5 5 5 5 5 4 5 5 3 4 4 5 4 4 5 4 3 4 4 3 4 4 5 3 3 3 5 5 4 4,20
5 4 3 4 4 3 4 5 4 2 4 5 4 2 3 5 4 4 5 5 4 4 3 4 4 4 5 3 2 3 3,83
4,6 4,2 3,4 4,4 4,6 3,8 4,2 4,6 4,6 3,2 4,4 3,6 3,6 3,6 3,6 4,2 4,6 4,2 4,2 3,4 4,0 3,8 3,6 3,6 3,6 4,0 3,4 4,0 3,4 3,8 3,94
Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Warna 553
511
291
756
824
Rata2
2 2 5 1 5 5 5 5 5 3 3 5 5 2 5 1 4 5 5 1 2 3 3 1 1 1 5 2 5 1 3,27
5 5 5 4 5 4 5 4 5 5 4 4 4 3 5 5 5 5 4 3 1 5 3 4 3 5 4 3 2 2 4,03
3 4 4 5 3 5 4 3 5 5 5 3 2 4 5 5 5 4 4 4 4 3 2 5 3 5 3 4 4 2 3,90
5 5 2 1 2 1 1 2 5 2 2 4 3 2 5 4 4 1 3 5 4 4 2 1 2 4 2 1 4 2 2,83
5 4 5 2 5 5 5 5 5 3 1 1 1 5 1 5 5 2 5 2 5 4 5 3 1 1 2 1 1 2 3,23
4,0 4,0 4,2 2,6 4,0 4,0 4,0 3,8 5,0 3,6 3,0 3,4 3,0 3,2 4,2 4,0 4,6 3,4 4,2 3,0 3,2 3,8 3,0 2,8 2,0 3,2 3,2 2,2 3,2 1,8 3,45
Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Aroma 553
511
291
756
824
Rata2
1 1 1 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1,30
1 2 4 3 5 5 1 2 1 5 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 3 3 2 1 2 3 2,07
1 4 1 2 1 1 2 2 3 2 2 2 1 2 2 3 4 2 2 3 1 2 1 3 4 1 2 5 3 4 2,27
2 3 1 1 2 1 1 1 2 3 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 5 2 1 1 1 1 1 1 4 1 1,57
5 2 5 4 4 2 4 4 4 2 1 4 1 2 5 4 2 3 2 3 4 2 1 3 1 1 2 1 1 2 2,70
2,0 2,4 2,4 2,2 2,8 2,0 2,0 2,0 2,4 2,8 1,8 2,0 1,2 1,4 2,2 2,0 1,8 1,8 1,4 1,8 2,6 1,6 1,2 2,4 2,0 1,4 1,6 1,8 2,2 2,2 1,98
Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Tekstur 553
511
291
756
824
Rata2
3 4 4 1 5 2 3 5 3 3 2 5 4 2 4 3 2 4 3 1 4 4 3 5 1 1 5 2 5 3 3,20
4 2 1 1 5 5 1 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 4 2 5 5 2 3 3 2,10
2 5 3 2 1 1 2 2 2 5 3 5 2 3 4 2 4 2 2 2 3 4 2 3 2 4 2 4 4 4 2,87
1 5 1 1 2 1 1 2 2 2 3 2 1 2 4 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 3 3 1,77
5 2 2 2 2 4 4 2 5 3 1 1 1 1 5 5 2 2 4 2 4 1 5 4 1 1 4 1 4 2 2,73
3,0 3,6 2,2 1,4 3,0 2,6 2,2 2,6 2,6 2,8 2,2 2,8 1,8 1,8 3,8 2,6 2,0 2,0 2,4 1,6 2,8 2,2 2,4 3,6 1,4 2,4 3,4 2,0 3,8 3,0 2,53
Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Rasa 553
511
291
756
824
Rata2
1 1 1 1 5 3 4 1 3 3 3 4 1 1 2 1 1 1 3 1 2 1 2 2 1 1 4 1 1 2 1,93
1 2 2 4 2 5 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1 4 1 1 1 1 2 3 4 3 3 2 2 1,93
2 2 1 3 1 1 3 1 2 5 2 5 2 2 4 5 5 4 4 3 2 2 1 2 4 2 3 4 2 1 2,67
2 4 1 1 2 1 2 1 4 2 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 3 1 1,57
5 5 5 3 2 4 4 5 4 2 5 1 1 1 1 4 3 5 3 3 3 3 2 3 1 1 1 1 1 2 2,80
2,2 2,8 2,0 2,4 2,4 2,8 2,8 1,8 2,8 2,6 3,0 2,4 1,2 1,2 2,4 2,4 2,2 2,4 3,0 1,8 2,0 1,6 1,4 2,2 2,0 1,8 2,4 2,0 1,8 1,6 2,18
Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata2
Keseluruhan 553
511
291
756
824
Rata2
1 1 2 1 5 2 4 1 3 3 3 4 1 1 2 1 1 1 4 1 2 1 2 1 1 1 4 1 2 1 1,93
2 2 2 3 4 5 1 1 1 1 3 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 3 4 2 2 1 2 1,93
2 4 3 2 1 1 2 2 2 5 2 3 2 2 4 4 5 3 2 3 2 2 1 4 4 2 3 3 3 2 2,67
2 4 1 1 2 1 1 1 3 2 1 2 1 1 4 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 2 1 1 4 1 1,63
5 3 4 3 2 4 4 5 5 2 1 1 1 1 1 5 3 3 4 3 2 3 1 3 1 1 2 1 1 2 2,57
2,4 2,8 2,4 2 2,8 2,6 2,4 2 2,8 2,6 2 2,4 1,2 1,4 2,4 2,6 2,2 1,8 2,4 1,8 1,8 1,8 1,4 2,6 2 2 2,4 1,6 2,2 1,6 2,19
Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
30.292(a)
31
.977
2.088
.008
Intercept
1462.487
1
1462.487
3125.382
.000
SAMPEL
15.793
2
7.896
16.875
.000
PANELIS
14.500
29
.500
1.068
.405
Error
27.140
58
.468
Total
1519.920
90
57.433
89
Source
Corrected Total
Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terhadap atribut warna mie (p<0,05) Sampel
Subset
N
1
2
Mie matang pasar
30
3.453
Mie kontrol
30
4.207
Mie kombinasi terbaik
30
4.433
Sig.
1.000
.204
Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie Source
Type III Sum of Squares
df
Corrected Model
77.444(a)
31
Intercept
864.900
1
PANELIS
20.900
29
SAMPEL
56.544
2
.588
Error
34.096
58
Total
976.440
90
Corrected Total
111.540
89
Mean Square
F
Sig.
2.498
4.250
.000
864.900
1471.263
.000
.721
1.226
.251
28.272
48.093
.000
Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05) Sampel
Subset
N
Mie matang pasar
30
Mie kontrol
30
Mie kombinasi terbaik
30
1
2
1.980 3.620 3.700
Sig.
1.000
.688
Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
57.767(a)
31
1.863
3.572
.000
Intercept
1102.500
1
1102.500
2113.651
.000
SAMPEL
42.467
2
21.233
40.707
.000
PANELIS
15.300
29
.528
1.011
.472
Error
30.253
58
.522
Total
1190.520
90
Corrected Total
88.020
89
Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) Subset
N
Sampel
1
2
Mie matang pasar
30
Mie kombinasi terbaik
30
2.533 3.900
Mie kontrol Sig.
30
4.067 1.000
.375
Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie Source
Type III Sum of Squares
df
Corrected Model
63.721(a)
31
Intercept
910.116
1
PANELIS
18.591
29
SAMPEL
45.131
2
.405
Error
23.483
58
Total
997.320
90
Corrected Total
87.204
89
Mean Square
F
Sig.
2.056
5.077
.000
910.116
2247.902
.000
.641
1.583
.068
22.565
55.734
.000
Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05) Subset
Sampel
N
Mie matang pasar
30
Mie kombinasi terbaik
30
3.633
Mie kontrol Sig.
30
3.727
1
2
2.180
1.000
.572
Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
88.250(a)
31
2.847
8.838
.000
Intercept
1051.308
1
1051.308
3263.923
.000
PANELIS
14.772
29
.509
1.581
.069
SAMPEL
73.478
2
36.739
114.061
.000
Error
18.682
58
.322
Total
1158.240
90
Corrected Total
106.932
89
Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05) Sampel
Subset
N 1
Mie matang pasar
30
Mie kontrol
30
Mie kombinasi terbaik Sig.
30
2
2.147 3.940 4.167 1.000
.127