SKRIPSI
PENGEMBANGAN PANGAN SEMI BASAH BERBASIS DAGING SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
Oleh CHRISTINE F24104042
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Christine. F24104042. Pengembangan Pangan Semi Basah Berbasis Daging sebagai Alternatif Pangan Darurat. Di bawah bimbingan Nur Wulandari S.TP. MSi dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi RINGKASAN Keadaan geografis negara Republik Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam, oleh karena itu faktor yang sangat penting bagi korban adalah kebutuhan pangan yang disebut dengan pangan darurat. Pangan darurat adalah pangan yang diproduksi dan dapat dikonsumsi secara langsung untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian (2100 kkal) selama keadaan darurat. Karakteristik utama pangan darurat adalah aman, palatibilitas baik, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi serta memiliki kandungan nutrisi tinggi. Salah satu pangan darurat yang memenuhi kriteria tersebut adalah pangan semi basah (PSB). Menurut Fennema (1996), pangan semi basah memiliki kandungan air sebesar 20 – 50%, plastis dan lunak serta memiliki aw sebesar 0.70 – 0.85 yang tidak memungkinkan mikroba tumbuh. Pangan semi basah yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah pangan semi basah berbasis daging. Penelitian terbagi dalam 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan menghasilkan 3 jenis formula PSB yang berbeda jenis campuran tepungnya dengan nilai kalori melebihi 233 kkal per bar yaitu 264.57 kkal per bar untuk formula A menggunakan campuran tepung dari tapioka dan tepung ketan, 257.21 kkal per bar untuk formula B menggunakan campuran tepung dari tepung beras dan tapioka serta 252.70 kkal per bar untuk formula C yang menggunakan campuran tepung dari tepung beras dan tepung ketan. Penetapan proses pembuatan PSB diawali dengan penentuan waktu pemasakan dan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan. Hasil yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan adalah waktu pemasakan selama 8 menit dan jumlah air yang ditambahkan sebanyak 32 gram. Kemudian dilakukan pembuatan PSB sebagai pangan darurat dengan metode blending secara desorpsi. Kemudian dilakukan analisis fisikokimia yang meliputi analisis proksimat dan analisis aw. Analisis proksimat bertujuan untuk mengetahui sumbangan kalori secara aktual dan didapatkan nilai kalori sebesar 254.58 kkal per bar untuk formula campuran tapioka dan tepung ketan, 261.16 kkal per bar untuk formula campuran tapioka dan tepung beras, dan 245.02 kkal per bar untuk formula campuran tepung ketan dan tepung beras. Berdasarkan hasil proksimat untuk mendapatkan 50 gram b.k. memberikan bobot produk sebanyak 73.415 gram b.b. pada formula A (tapioka dan tepung ketan), 76.41 gram b.b. pada formula B (tapioka dan tepung beras) dan 72.32 gram b.b. pada formula C (tepung beras dan tepung ketan). Oleh karena itu untuk mendapatkan kebutuhan energi konsumsi harian, maka produk pangan darurat dengan teknologi PSB ini harus dikonsumsi sebanyak 9 – 10 bar/hari. Hasil analisis aw memberikan nilai sebesar 0.869 (28.9oC) untuk formula campuran tapioka dan tepung ketan, 0.886 (29.1oC) untuk formula campuran tapioka dan tepung beras dan 0.897 (29.1oC) untuk formula campuran tepung ketan dan tepung beras. Untuk menurunkan aw produk pangan darurat menjadi 0.75 – 0.79 maka dilakukan penambahan humektan. Jenis humektan yang digunakan adalah sorbitol bubuk dan gliserol cair. Penentuan jumlah humektan ke dalam produk pangan darurat didasarkan pada persamaan Grover. Penggunaan maksimal sorbitol sebesar 50 gram/hari sedangkan penggunaan gliserol sampai tidak
menimbulkan rasa pahit.. Berdasarkan prediksi aw dengan menggunakan persamaan Grover, humektan yang efektif dalam menurunkan aw adalah gliserol dengan konsentrasi 15%. Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas air aktual produk pangan darurat yang memberikan nilai sebesar 0.772 pada formula campuran tapioka dan tepung ketan, 0.778 pada formula campuran tapioka dan tepung beras dan 0.774 pada formula campuran tepung ketan dan tepung beras. Langkah selanjutnya adalah analisis sensori terhadap ketiga jenis formula dasar PSB. Analisis sensori dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dan uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan, aftertaste pahit dan kekenyalan. Berdasarkan hasil uji sensori didapatkan produk pangan darurat terbaik adalah formula yang menggunakan tepung ketan dan tapioka karena memiliki aftertaste yang tidak pahit dengan skor penilaian panelis sebesar 2.16 dan kekenyalan yang cukup dengan skor penilaian panelis sebesar 5.08. Jumlah energi yang disumbangkan dari produk pangan darurat terbaik sebesar 239.10 kkal per bar (1 bar = 50 gram) dengan nilai protein sebesar 18.12% atau 9.06 gram per bar, lemak sebesar 19.32% atau 9.66 gram per bar dan karbohidrat sebesar 57.96% atau 28.98 gram per bar. Langkah terakhir adalah pengujian mikrobiologi terhadap total mikroba (Total Plate Count) dan kandungan kapang khamir produk. Hasil TPC produk setelah penyimpanan selama 4 minggu sebesar 6.2 x 103 atau 3.79 log CFU/gram. Hasil uji kapang-khamir sebesar <1.0 x 101 kapang/gram (0.1 x 101 kapang/gram). Nilai mikroorganisme produk pangan darurat terbaik mengacu pada bahan pangan yangko. Menurut SNI 01–4325–1996 nilai standar mikroorganisme untuk yangko maksimum sebesar 1 x 105 koloni/gram untuk TPC (angka lempeng total) dan 1 x 103 koloni/gram untuk total kapang. Dengan demikian produk pangan darurat terbaik layak untuk dikonsumsi dan dapat digunakan untuk memenuhi kecukupan nutrisi pada masa darurat.
PENGEMBANGAN PANGAN SEMI BASAH BERBASIS DAGING SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh CHRISTINE F24104042
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGEMBANGAN PANGAN SEMI BASAH BERBASIS DAGING SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh CHRISTINE F24104042 dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1986 di Palembang, Sumatera Selatan
Tanggal lulus : Menyetujui, Bogor,
September 2008
Nur Wulandari S. TP, MSi Dosen Pembimbing I
Dr.Ir. Dede R. Adawiyah, MSi Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, 29 Desember 1986. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Fujianto The dan Chintya Han. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar di SD Xaverius Lubuk Linggau (LLG) pada tahun 1992-1998, Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Xaverius LLG pada tahun 1998-2001, dan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di SMU Xaverius LLG pada tahun 2001-2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di perkuliahan penulis aktif di kegiatan organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis Addhitthana (KMBA) dan HIMITEPA. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema ”Pengembangan Pangan Semi Basah Berbasis Daging sebagai Alternatif Pangan Darurat” di bawah bimbingan Nur Wulandari S.TP, MSi selaku pembimbing pertama dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi selaku pembimbing kedua.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Triratna karena anugerah-Nya , penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sangat besar kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis selama kuliah hingga selesainya skripsi ini, yaitu kepada: 1. Nur Wulandari S.TP, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang dengan penuh kesabaran telah memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, motivasi dan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi Penulis. 2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, MSi selaku dosen pembimbing kedua, yang telah memberikan ide, masukan-masukan serta pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian dan penyusunan skripsi ini. 3. Dra. Suliantari, MS sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya serta memberikan saran-saran yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Indofood Riset Nugraha yang telah memberikan bantuan dana selama penelitian ini. 5. Kedua orang tua penulis (Papa dan Mama) dan kakak-kakak penulis : Amelia The, Fredy The, Ria Anggraeni The, adik penulis Frans Nicholas serta ketiga keponakan penulis yang lucu-lucu (Celline Prajna Chaiyadi, Gilbert Karuna Chaiyadi dan Josephina Adeline Sindikhara) yang telah memberikan kasih sayang, nasihat, doa, dan dorongannya tiada henti kepada penulis. 6. Dosen ITP-IPB yang telah memberikan sumbangan ilmu yang sangat berharga kepada penulis. 7. Teknisi di Laboratorium yang telah membantu penulis: Bu Rubiyah, Bu Antin, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Gatot, Pak Koko, Mas Edi, Pak Yahya, Bu Sri di lab. Evsen, Pak Wahid, serta Mbak Darsih. 8. Teman-teman di Perwira 44: Ven-ven, Meme, Vonti, Ai, Willine, Sio, Dhika, Bagus, Sherly yang selalu membantu penulis. 9. Teman-teman ITP: Mustarofah Ahmad (yang selalu menemani dan memberikan nasihat-nasihat kepada penulis), Cicek, Citra, Rani (teman satu
penelitian yang sama-sama berjuang dalam membuat PSB), teman satu bimbingan (Soun, Ririn, dan Eci), Prita, Risma, Dini, Hesti, Ame, Vera, Yuli, Puke, Kani, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 10. Yl. Rachmat Mulia yang selama ini telah memberikan Dhamma yang sangat berharga kepada penulis dan Teman-teman di KMB-IPB (angkatan 39, angkatan 41 dan adik-adik kelas penulis) 11. Kepada pihak yang belum disebutkan namanya, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR......................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii I. PENDAHULUAN......................................................................................... 1 A. Latar Belakang........................................................................................... 1 B. Tujuan......................................................................................................... 3 C. Manfaat....................................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4 A. PANGAN DARURAT ........................................................................... 4 Kandungan Nutrisi Pangan Darurat ........................................................ 5 B. PANGAN SEMI BASAH........................................................................ 7 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pangan Semi Basah.................................... 7 2. Bahan Baku Pangan Semi Basah.......................................................... 9 a. Tapioka............................................................................................. 9 b. Tepung Ketan.................................................................................. 10 c. Tepung Beras................................................................................... 11 d. Abon Ayam..................................................................................... 12 e. Minyak Kelapa Sawit....................................................................... 12 C. AKTIVITAS AIR (aw)............................................................................ 14 D. HUMEKTAN......................................................................................... 16 1. Sorbitol............................................................................................... 17 2. Gliserol............................................................................................... 18 E. ASPEK MIKROBIOLOGI PRODUK PANGAN DARURAT............. 19
III. METODOLOGI....................................................................................... 22 A. BAHAN DAN ALAT............................................................................ 22 1. Bahan.................................................................................................. 22 2. Alat..................................................................................................... 22 B. TAHAPAN PENELITIAN.................................................................... 23 1. Penelitian Pendahuluan...................................................................... 24 2. Penelitian Utama................................................................................ 25 a. Penetapan proses PSB berbasis daging.......................................... 25 b. Penentuan jumlah dan aplikasi humektan pada formula pangan darurat............................................................................................. 25 c. Karakterisasi dan analisis mikrobiologi pangan darurat terbaik..... 26 C. METODE ANALISA............................................................................ 27 1. Kadar Air, Metode Oven (SNI 01-2981-1992) ................................. 27 2. Kadar Abu (SNI 01-2981-1992)........................................................ 27 3. Kadar Protein, Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995)....................... 28 4. Kadar Lemak (SNI 01-2981-1992).................................................... 28 5. Kadar Karbohidrat (by difference)...................................................... 29 6. Uji Organoleptik................................................................................. 29 a. Uji rating atribut (Meilgaard et al. 1999)....................................... 29 b. Uji hedonik (Meilgaard et al. 1999)............................................... 30 7. Uji Aktivitas Air (aw).......................................................................... 30 8. Uji Total Mikroba dan Total Kapang-Khamir EFP terbaik (SNI 013751-2006 yang dimodifikasi)........................................................... 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 34 A. PERSIAPAN BAHAN BAKU............................................................. 34 1. Penentuan Jenis Abon....................................................................... 35 2. Penentuan Jenis Tepung.................................................................... 35 B. PENENTUAN FORMULA DASAR PSB BERBASIS DAGING...... 37 C. PENETAPAN PROSES PEMBUATAN PSB BERBASIS DAGING. 40 1. Penentuan Jumlah Air pada Adonan PSB......................................... 40 2. Penentuan Waktu Pemasakan............................................................ 41
3. Penetapan Proses dan Pembuatan PSB.............................................. 42 D. DENSITAS PSB BERBASIS DAGING............................................... 44 1. Data Proksimat pada Formula Dasar PSB......................................... 44 2. Penentuan Densitas PSB.................................................................... 47 E. PENENTUAN JUMLAH DAN APLIKASI HUMEKTAN PADA FORMULA PANGAN DARURAT...................................................... 47 1. Prediksi Aktivitas Air Terhadap Produk Formula Dasar setelah Ditambahkan Humektan dengan Persamaan Grover......................... 51 2. Aktivitas Air pada Formula Dasar..................................................... 52 F. PEMILIHAN PRODUK PANGAN DARURAT TERBAIK................ 54 a. Uji Hedonik........................................................................................ 55 b. Uji Rating Atribut.............................................................................. 56 G. KARAKTERISASI DAN ANALISIS MIKROBIOLOGI EFP TERBAIK.............................................................................................. 59 1. Data Proksimat EFP terbaik............................................................... 59 2. Total Mikroba dan Total Kapang-Khamir EFP Terbaik.................... 60 V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 65 A. KESIMPULAN....................................................................................... 65 B. SARAN................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 67 LAMPIRAN...................................................................................................... 72
DAFTAR TABEL
Halaman a
Tabel 1
Kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP) ................ 6
Tabel 2
Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat Pada produk pangan semi basah....................................................... 8
Tabel 3
Syarat mutu tapioka (SNI 01 – 3451 – 1994)................................. 10
Tabel 4
Syarat mutu tepung ketan (SNI 01 – 4447 – 1998)......................... 11
Tabel 5
Syarat mutu tepung beras (SNI 01 – 3549 – 1994)........................ 11
Tabel 6
Sifat fisiko kimia minyak sawit....................................................... 13
Tabel 7
Kadar air beberapa bahan humektan pada suhu kamar.................... 17
Tabel 8
Karakteristik PSB yang telah ditambahkan abon ayam dan abon sapi.......................................................................................... 35
Tabel 9
Karakteristik Setiap Adonan Tepung dan Campuran Tepung......... 36
Tabel 10 Kandungan makronutrien dan energi dari bahan penyusun EFP..... 38 Tabel 11. Komposisi Bahan pada formula A, B dan C.................................... 39 Tabel 12. Perhitungan kalori pada Formula A, B, dan C berdasarkan prinsip kesetimbangan massa........................................................... 40 Tabel 13 Hasil pengamatan pangan semi basah dengan berbagai Penambahan air................................................................................ 40 Tabel 14 Hasil pengamatan pangan semi basah dengan berbagai waktu pemasakan....................................................................................... 41 Tabel 15 Hasil analisis proksimat dari setiap formula produk (b.k.).............. 44 Tabel 16 Karakteristik PSB dari setiap formula............................................. 47 Tabel 17 Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap Formula dengan persamaan Grover................................................. 51 Tabel 18 Hasil pengukuran aw dengan aw-meter pada ketiga formula dasar.. 52 Tabel 19 Hasil analisis proksimat EFP terbaik............................................... 60 Tabel 20 Hasil analisis mikrobiologis EFP terbaik selama 4 minggu............ 61
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Abon ayam merek Giant............................................................... 12
Gambar 2
Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw............................. 15
Gambar 3
Sorpsi-isothermis air bahan pangan pada suhu 20oC.................... 16
Gambar 4
Struktur kimia sorbitol.................................................................. 18
Gambar 5
Struktur kimia Gliserol................................................................. 19
Gambar 6
Diagram alir metode penelitian pembuatan PSB.......................... 23
Gambar 7
aw-meter Shibaura Electronics Co.Ltd WA-360........................... 30
Gambar 8
HAAR SYNTH-Higrometer......................................................... 31
Gambar 9
Alat Stomacher 400....................................................................... 31
Gambar 10 Diagram alir pembuatan produk pangan darurat berdasarkan proses yang telah ditetapkan......................................................... 43 Gambar 11 Penampakan ketiga produk pangan semi basah dengan campuran tepung yang berbeda..................................................................... 48 Gambar 12 Humektan yang digunakan dalam pembuatan PSB (a) sorbitol bubuk, (b) gliserol cair.................................................................. 51 Gambar 13 Hasil uji hedonik pada formula A, B dan C dengan uji Duncan pada taraf 5%................................................................................ 55 Gambar 14 Hasil uji rating kemudahan ditelan pada formula A, B dan C dengan uji Duncan pada taraf 5%................................................. 57 Gambar 15 Hasil uji rating kekenyalan dengan uji Duncan pada taraf 5%.... 58 Gambar 16 Hasil uji rating aftertaste pahit pada formula A, B dan C dengan uji Duncan pada taraf 5%................................................. 58 Gambar 17 Produk pangan darurat tebaik....................................................... 59 Gambar 18 Pertumbuhan total mikroba pada media PCA selama 4 minggu pada EFP terbaik........................................................................... 61
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Perhitungan dengan Persamaan Grover pada Formula A (Tepung Ketan dan Tapioka)..................................................... 72
Lampiran 2
Penghitungan dengan Persamaan Grover pada Formula B (Tepung Beras dan Tapioka)..................................................... 73
Lampiran 3
Penghitungan dengan Persamaan Grover pada Formula C (Tepung Beras dan Tapioka)...................................................... 74
Lampiran 4
Perhitungan Densitas Pangan Semi Basah................................. 75
Lampiran 5
Humektan yang umum digunakan, Konvensional dan Non Konvensional serta Peranan Utamanya dalam Pangan.............. 76
Lampiran 6
Formulir Kuisioner Uji Organoleptik........................................ 78
Lampiran 7
Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik................................. 80
Lampiran 8
Hasil Uji Hedonik pada Formula A, B dan C............................ 81
Lampiran 9
Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan pada Formula A, B dan C.......................................................................................... 82
Lampiran 10 Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit pada Formula A, B dan C..... 83 Lampiran 11 Hasil Uji Rating Kekenyalan pada Formula A, B dan C........... 84
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Keadaan geografis negara Republik Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam. Ketika bencana alam terjadi, kebutuhan pangan menjadi salah satu faktor yang sangat penting terutama bila tidak tersedia air bersih, dapur umum tidak dapat didirikan dan bila lokasi bencana sulit untuk dijangkau dalam mendistribusikan bantuan. Dalam kondisi seperti ini, pangan yang dibutuhkan adalah pangan yang bermanfaat dalam masa kepanikan atau yang disebut pangan darurat yang bersifat ready to eat. Pangan darurat atau Emergency Food Product (EFP) adalah pangan yang diproduksi dan dapat dikonsumsi secara langsung untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian (2100 kkal) yang terjadi pada keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksudkan adalah ketika terjadi banjir, longsor, gempa bumi, musim
kelaparan,
kebakaran,
peperangan
dan
kejadian
lain
yang
mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID 2001b). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan pasal 46a, pangan darurat disebut juga sebagai cadangan pangan nasional yang dapat digunakan ketika menghadapi masa paceklik dan bencana alam. Pada masa paceklik, pangan darurat merupakan cadangan bahan pangan pokok seperti beras, sedangkan pangan darurat untuk menghadapi bencana alam merupakan bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya proses pemasakan atau penambahan air bersih terlebih dahulu seperti nasi instant.. Karakteristik utama yang harus dipenuhi dalam membuat suatu produk pangan darurat adalah aman, palatibilitas yang baik, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi serta memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Salah satu produk pangan yang dapat dibentuk untuk memenuhi kriteria karakteristik utama tersebut adalah pangan semi basah atau Intermediate Moisture Foods (IMF). Pangan semi basah memiliki sifat plastis dan lunak yang dapat langsung dikonsumsi, tidak menyebabkan rasa haus, tidak memerlukan pemasakan terlebih dahulu serta dapat disimpan pada suhu kamar dalam jangka waktu lama
(Christian dan Troller 1978). Keawetan pangan semi basah disebabkan oleh aktivitas air dalam produk pangan semi basah yang diturunkan menjadi 0.70 – 0.85 dan kandungan airnya antara 20 – 50%, sehingga tidak memungkinkan bakteri tumbuh (Fennema 1996). Pangan semi basah merupakan makanan tradisional yang telah dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Secara umum, masyarakat Indonesia mengenal PSB berbasis rasa manis yaitu berupa dodol. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikembangkan alternatif PSB yang berbasis gurih atau asin dengan menggunakan bahan hewani dari abon ayam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kebosanan bagi korban bencana alam yang akan mengkonsumsi produk pangan darurat selama 15 hari setelah terjadi bencana. Agar pangan semi basah memiliki umur simpan yang cukup panjang, aktivitas air atau activity water (aw) PSB harus berada pada kisaran aw 0.75 – 0.79, untuk itu didalam formulasinya perlu ditambahkan humektan. Humektan berfungsi untuk mengikat air yang terkandung di dalam produk pangan. Jenis humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Humektan digunakan secara single humectant yang bertujuan untuk melihat kemampuan masingmasing humektan dalam menurunkan aw pangan semi basah. Menurut Troller (1989), kriteria pemakaian humektan dalam bahan pangan yaitu, aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif, sesuai dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau dan tidak mengubah warna produk pangan. Oleh karena itu untuk memperoleh pangan semi basah berbasis daging yang memenuhi kriteria, diperlukan kajian formulasi dan pengembangan produk agar pangan semi basah yang dihasilkan memiliki kandungan kalori sebesar 233 kkal per bar dengan 1 bar = 50 gram, memiliki daya terima konsumen yang cukup baik, awet dan memenuhi kriteria sebagai pangan semi basah.
B. TUJUAN PENELITIAN 1. Menghasilkan produk pangan darurat dengan menggunakan teknologi pangan semi basah atau intermediate moisture food berbasis daging dengan kalori yang mencukupi kebutuhan konsumsi harian masyarakat dengan sifat-sifat sensori yang dapat diterima. 2. Menentukan jenis dan jumlah humektan yang akan diaplikasikan ke dalam pangan darurat untuk menurunkan aw pangan darurat menjadi 0.75 – 0.79.
C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan alternatif produk pangan darurat berbasis daging dan berbahan baku lokal dengan nilai kalori sebesar 2100 kkal/hari yang dapat digunakan dalam keadaan darurat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan yang diproduksi dan dapat dikonsumsi secara langsung untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian (2100 kkal) yang terjadi bila keadaan darurat (IOM 1995b). Keadaan darurat yang dimaksudkan adalah keadaan pada masa bencana seperti banjir, gempa bumi, longsor atau perang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan pasal 46a, pangan darurat disebut juga sebagai cadangan pangan nasional yang dapat digunakan ketika menghadapi masa paceklik dan bencana alam. Pada masa paceklik, pangan darurat merupakan cadangan bahan pangan pokok seperti beras, sedangkan pangan darurat untuk menghadapi bencana alam merupakan bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya proses pemasakan atau penambahan air bersih terlebih dahulu. Tujuan dari penyediaan pangan darurat adalah untuk memenuhi asupan harian korban bencana sebesar 2100 kkal/hari. Nilai kalori ini didapatkan dari Institute of Medicine berdasarkan perhitungan kebutuhan energi rata-rata individu atau estimated the mean per capita energy requirements (EMPCER) di negara berkembang sebesar 2100 kkal/hari (IOM 1995b). IOM menghitung kebutuhan energi individu berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan dan status fisik setiap individu (rasio metabolisme basal) pada warga di negara berkembang. Lima karakteristik kritis dalam proses pembuatan pangan darurat antara lain, (1) aman, (2) memiliki palatibilitas yang baik, (3) mudah untuk didistribusikan, (4) mudah untuk dikonsumsi, (5) dan kandungan nutrisi atau kalorinya
tinggi.
Kelima
karakteristik
ini
menjadi
prioritas
dalam
pengembangan prototipe suatu pangan darurat (Zoumas et al. 2002). Menurut Zoumas et al. (2002), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat selama pengungsian sebagai berikut.
1. Pangan darurat tidak didisain untuk memenuhi seluruh kebutuhan nutrisi bagi orang yang sedang hamil dan menyusui, tetapi dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi semua wanita normal. 2. Pangan darurat tidak sesuai untuk individu yang menderita malnutrisi (penyakit gizi buruk) yang membutuhkan perawatan medis. 3. Pangan darurat bukan therapeutic nutritional supplement. 4. Pangan darurat bukan merupakan makanan subtitusi bagi bayi yang menyusui yang berumur 0 - 6 bulan. 5. Pangan darurat bukan didisain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi young infant (0 – 6 bulan) tetapi pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air menjadi bentuk bubur untuk older infants (7-12 bulan).
Kandungan Nutrisi Pangan Darurat (EFP) Produk pangan darurat harus mengandung energi sebesar 2100 kkal/hari dengan kandungan protein sebesar 7.9 – 8.9 gram per bar, lemak 9.1 – 11.7 gram per bar, dan karbohidrat 23 – 35 gram per bar dengan 1 bar = 50 gram. Menurut IOM (Institute of Medicine) EFP harus memiliki kandungan nutrisi makronutrien dan mikronutrien seperti yang disajikan pada Tabel 1. Kandungan karbohidrat yang diperbolehkan dalam pembuatan pangan darurat adalah sebagai berikut. 1. 40 – 50% energi berasal dari karbohidrat, dimana sekurang-kurangnya 50% berasal dari pati. 2. Penggunaan monosakarida tidak boleh lebih dari 25%. 3. Sekurang-kurangnya 8.6 g glukosa dari maltodextrin. 4. Laktosa dari susu bubuk tidak boleh lebih dari 17 gram. 5. Penggunaan sukrosa dan sirup jagung memberikan palatibilitas dan tekstur yang baik. 6. Tidak boleh dilakukan penambahan serat. Penentuan komposisi pangan darurat sangat penting untuk menghasilkan palatibilitas yang baik. Oleh karena itu dalam pembuatan pangan darurat komposisi bahan yang digunakan harus selalu diperhatikan.
Tabel 1 Kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP) a Nutrisi
Rentang usia
Jumlah minimum densitas nutrisi per 1.000 kkal a
Jumlah per bar (233 kkal; 50 gr)
Lemak Protein b Karbohidrat
-
-
9-12 gr 7.9 gr 23-35 gr
Natrium c Kalium c Klor c Kalsium Fosfor Magnesium Kromium Tembaga
2-5 tahun, anak-anak 2-5 tahun , anak-anak 2-5 tahun,anak-anak 9-13 tahun, anak-anak 9-13 tahun, anak-anak 14-18 tahun, laki-laki 51 tahun keatas, perempuan 1- 3 tahun, anak-anak 19-50 tahun, perempuan 1-3 tahun, anak-anak 14-18 tahun, perempuan 14-18 tahun, laki-laki 14-18 tahun, laki-laki 51-70 tahun, perempan 14-18 tahun , perempuan 19-50 tahun, laki-laki 51 tahun keatas, laki-laki 1- 3 tahun, anak-anak 14-18 tahun, laki-laki 14-18 tahun, laki-laki 51 tahun keatas, perempuan 14-18 tahun, perempuan 14-18 tahun, perempuan 14-18 tahun, perempuan 51 tahun keatas, perempuan 51 tahun keatas, laki-laki
1.3 gr 1.7 gr 2.0 gr 768 mg 740 mg 190 mg 13 µg d 560 µg d
300 mg 396 mg 466 mg 180 mg 172 mg 45 mg 3 µg 131 µg
105 µg 16 mg d 1.4 mg 28 µg 10.5 mg d 500 µg d 5.2 µg d 16 mg d 60 µg 100 mg d 12 mg d 1.2 mg d 11.2 mg d 1.2 mg d
25 µg 3.8 mg 0.33 mg 6.5 µg 2.4 mg 117 µg 1.2 µg 2.2 mg 14 µg 11.1 mg 0.28 mg 0.28 mg 2.6 mg 0.28 mg
310 µg d 12 µg d 3.9 mg d 24 µg d
72 µg 2.8 µg 0.9 mg 5.6 µg
366 mg d
85 mg
Iodin Besi e Mangan Selenium Seng Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K Vitamin C Thiamin Riboflavin Niasin Vitamin B6 Folat Vitamin B12 As Pantotenat Biotin Kolin a b c d e f
Rasio yang dibuat pada jumlah energi 2100 kkal/ hari (IOM 1995) Berdasarkan berat yang dibuat oleh IOM (1997) Nilai yang berdasarkan desirable intakes (NRC 1989) Di adopsi dari nilai densitas nutrisi Berdasarkan 10 % bioavailibilitas dari besi Jika folat disediakan secara sintesis dimana bersifat lebih mudah untuk diserap
Sumber : IOM (1997, 1998, 2000, 2001)
B. PANGAN SEMI BASAH 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pangan Semi Basah Salah satu alternatif produk pangan yang dapat dijadikan pangan darurat adalah pangan semi basah (PSB) atau Intermediate Moisture Foods (IMF). Menurut Christian dan Troller (1978), pangan semi basah adalah pangan yang memiliki sifat plastis dan lunak yang dapat langsung dikonsumsi, tidak menyebabkan rasa haus, tidak memerlukan pemasakan terlebih dahulu serta dapat disimpan pada suhu kamar dalam jangka waktu lama. Sedangkan menurut Hegenbart (1996), pangan semi basah adalah pangan yang memiliki tekstur lunak, diolah menggunakan satu perlakuan atau lebih, dapat dikonsumsi langsung, memiliki daya simpan selama beberapa bulan, tanpa perlakuan sterilisasi termal, pendinginan ataupun pembekuan, tetapi cukup dengan mengatur formulasi (komposisi, pH, bahan tambahan makanan dan aw). Pangan semi basah atau IMF memiliki kandungan air yang cukup rendah dan kalori yang terkandung dapat ditingkatkan dengan mengatur formulanya. Selain itu, produk pangan semi basah bersifat stabil atau memiliki tingkat keawetan selama beberapa bulan tanpa adanya perlakuan pengawetan lain seperti pengeringan, pendinginan maupun pembekuan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas air dalam produk pangan semi basah sebesar 0.70 – 0.85 dengan kandungan air antara 20 – 50% (berat basah), sehingga tidak memungkinkan bakteri tumbuh (Fennema 1996). Nilai aktivitas air mikroba yang sering terdapat pada produk pangan semi basah dapat dilihat pada Tabel 2. Produk pangan semi basah juga memiliki sifat plastis yang mudah dibentuk, tidak menimbulkan rasa haus dan tidak memerlukan biaya yang besar selama distribusi produk. Contoh PSB yang sering di konsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah dodol, yangko dan wingko.
Tabel 2 Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat pada produk pangan semi basah aw 0.90 – 0.98
0.88
Bakteri Lactobacillus Clostridium Flavobacterium Micrococcus Pediococcus Klebsiella Vibrio Streptococcus Corynebacterium Staphlylococcus Pediococcus -
Khamir Hansenula Saccharomyces Rhodotorula Pichia
Kapang Rhizopus Mucor
0.87 0.86 0.80
Staphylococcus -
Candida Debaryomyces Hanseniaspora Torulopsis Debaromyces Saccharomyces
Cladospora
0.75
Bakteri halofilik
-
0.70
-
-
0.62
-
Saccharomyces
Paecilomyces Aspergillus Penicillium Eremascus Emericella Aspergillus Wellemia Eurotium Chrysospotium Eurotorium Monascus
Sumber : Leistner dan Rodel (1976)
Menurut Karel (1976), pangan semi basah terbagi menjadi 2, yaitu pangan semi basah tradisional dan pangan semi basah modern. Pangan semi basah tradisional menggunakan pengeringan dari panas matahari untuk mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam produk. Pada pangan semi basah modern didasarkan dengan mengikuti prinsip teknologi, antara lain (1) menurunkan nilai aw dengan penambahan polihidrat alkohol, gula dan atau garam, (2) pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dengan penambahan komponen antimikroba dan komponen antibakteri, seperti propilen glikol dan asam sorbat, dan (3) mempertahankan faktor organoleptik, seperti tekstur dan flavor melalui perlakuan fisika dan kimiawi. Pengembangan
pangan semi basah modern sebagian besar telah digunakan pada produk berbahan baku daging (Beuchat dan Rockland 1987). Proses pembuatan PSB menurut Hegenbart (1996) terbagi menjadi 4 kategori, antara lain: 1. Pengeringan parsial dengan menggunakan matahari atau dehidrator komersil yang biasanya digunakan pada bahan makanan yang banyak mengandung humektan alami. Contoh PSB kategori ini adalah buah kering seperti kismis, sirup maple dan lain-lain. 2. Pengeringan osmosis (osmotic drying), dimana potongan bahan direndam dalam larutan campuran air dan humektan untuk menurunkan aw. Adanya perbedaan tekanan osmolalitas menyebabkan air berdifusi keluar dari bahan dan humektan akan berdifusi ke dalam bahan. 3. Pencelupan kering (dry infution) merupakan metode yang memerlukan energi lebih tinggi, dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian direndam dalam larutan air-humektan sampai mencapai aw yang diinginkan. 4. Pencampuran (blending), dimana berbagai bahan pangan termasuk humektan dicampur kemudian diikuti dengan perlakuan ekstrusi, pemasakan, dan perlakuan lain untuk mencapai kondisi aw yang diinginkan. Menurut Sudarsono (1981), pangan semi basah dapat digolongkan berdasarkan daya awetnya, yaitu daya awet antara 0-1 minggu (seperti tape ubi kayu), daya awet antara 1 minggu sampai 1 bulan (seperti ikan pindang), dan daya awet lebih dari 1 bulan (seperti dodol garut dan kecap).
2. Bahan Baku Pangan Semi Basah a. Tapioka Tapioka berasal dari pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai industri (Riadi 1990). Sedangkan menurut SNI 01–3451–1994, definisi tapioka adalah pati (amylum) yang diperoleh dari umbi ubi kayu segar setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Tanaman
ubi kayu adalah tanaman lokal yang merupakan komoditas substitusi makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia. Selain sebagai komoditas ekspor, ubi kayu dapat diolah menjadi makanan ringan berupa kue dan sebagainya dengan persentase penggunaan yang cukup tinggi yaitu sebesar 66%. Tepung tapioka memiliki ukuran granula pati berkisar antara 5 – 35 mikron. Tepung ini mengandung cukup banyak karbohidrat yaitu sebesar 86.9% dan sebagian kecil lemak dan protein dengan kandungan amilosanya sebanyak 17% dari seluruh pati. Kandungan molekul amilosa akan mempengaruhi sifat-sifat pati yang sudah tergelatinisasi. Dalam pembuatan tapioka berbagai faktor harus diperhatikan untuk memperoleh tepung tapioka yang bermutu tinggi. Mutu tapioka ditentukan oleh kadar air, serat dan kotoran, derajat putih dan kekentalan seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Syarat mutu tapioka (SNI 01 – 3451 – 1994) Karakteristik Air (maks.,%) Serat dan kotoran (maks., %) Derajat putih (BaSO4) Kekentalan (oEngler)
I 15 0.6 <92 <2.5
Mutu II 15 0.6 >=92 2.5-3
III 15 0.6 >=94.5 3-4
b. Tepung ketan Menurut Grits (1975), tepung ketan berasal dari beras ketan putih yang memiliki warna putih tidak transparan dan telah melalui tahap penggilingan sampai mencapai ukuran granula yang diinginkan. Definisi tepung ketan menurut SNI 01–4447–1998 adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling beras ketan (Oryza glutinosa) yang baik dan bersih. Syarat mutu tepung ketan menurut SNI 01–4447–1998 dapat dilihat pada Tabel 4. Pati beras ketan memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan amilosanya. Suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 58 - 78.5oC dan kadar amilosanya sebesar 2.91 jauh lebih
kecil dari kadar amilosa beras. Tepung ketan mengandung karbohidrat lebih besar dibandingkan dengan tepung tapioka yaitu sebesar 89.93% (Prawiranegara 1981).
Tabel 4 Syarat mutu tepung ketan (SNI 01 – 4447 – 1998) Karakteristik Air (maks.,%) Serat kasar (maks., %) Amilosa(maks., %) Derajat asam (maks., ml NaOH 1N per 100 g)
Mutu 12 0.2 9 4.0
c. Tepung beras Tepung beras berasal dari beras yang telah melalui tahap penggilingan sampai mencapai ukuran granula yang diinginkan. Sedangkan menurut SNI 01–3549–1994, definisi tepung beras adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling beras (Oryza-sativa LINN) yang baik dan bersih. Menurut BPS dan The Rice Report, produksi beras di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 36.970 juta ton. Syarat mutu tepung beras menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Syarat mutu tepung beras (SNI 01 – 3549 – 1994) Karakteristik Air (maks.,%) Serat kasar (maks., %) Benda – benda asing Derajat asam (maks., ml NaOH 1N per 100 g)
Mutu 12 1.0 Tidak boleh ada 4.0
Tepung beras berwarna putih agak transparan dan sebagian besar terdiri dari karbohidrat yaitu 89.96% (Prawiranegara 1981). Kandungan amilosa yang dimiliki tepung beras lebih tinggi dibandingkan tepung ketan yaitu sebesar 24.59%. Rasio amilosa dan amilopektin dari pati beras ini merupakan faktor penting dalam menentukan mutu rasa atau tekstur. Peningkatan amilosa akan meningkatkan kapasitas granula pati dalam menyerap air dan pengembangan volume tanpa menimbulkan collaps,
sebab amilosa mempunyai kapasitas lebih besar dalam mengikat hidrogen (Juliano 1972).
d. Abon ayam Menurut SNI 01–3707–1995, Definisi abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayatsayat, dibumbui, digoreng dan dipres. Mutu abon sangat dipengaruhi oleh kadar air, yaitu sebesar maksimum 7%, kadar lemak maksimum 30% dan kadar protein minimum 15%. Umur simpan abon minimal 3 bulan dalam kondisi kemasan yang baik. Abon ayam adalah abon yang terbuat dari daging ayam. Ayam merupakan salah satu jenis unggas yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Daging ayam lebih digemari masyarakat daripada daging-dagingan lainnya, karena daging ayam gampang dimasak dan memiliki palatibilitas. Menurut data dari Departemen Pertanian, produktivitas daging ayam sangat tinggi yaitu mencapai 955.750 ton pada tahun 2006 untuk ayam ras pedaging sedangkan produktivitas sapi hanya mencapai 389.300 ton. Abon ayam komersial yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Abon ayam merek Giant
e. Minyak kelapa sawit Minyak kelapa sawit diperoleh melalui ekstraksi (secara rendering atau pengepresan atau pelarutan) dan proses pemurnian (pengendapan dan pemisahan gum, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi) (Winarno 1999). Secara umum minyak sawit yang dihasilkan mempunyai karakteristik warna kuning pucat sampai orange tua, aroma yang menyenangkan, stabil
atau resisten terhadap ketengikan dan mempunyai sifat fisiko kimia seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Sifat fisiko kimia minyak sawit Karakteristik Densitas pada 50oC (kg/m3) Berat jenis (40oC) Indeks refraktif Titik leleh (oC) Bahan tak tersabunkan Bilangan iod Nilai saponifikasi Sumber: Winarno (1999)
Nilai 891.000 0.921 - 0.925 1.453 - 1.458 25 -50 0.2 - 0.8 44 - 58 195 - 205
Menurut Zoumas et al. (2002), komposisi sumber lemak untuk EFP didefinisikan secara rinci sebagai berikut. 1. Total lemak harus menyumbang kalori pada interval 35 – 45% dari total energi 2. Energi dari lemak jenuh paling sedikit harus 10% dari total energi. 3. Energi dari total PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) harus 7 - 10% dari total energi. 4. Perbandingan antara asam linoleat dengan α-linolenat harus 5 : 1. Penggunaan minyak kelapa sawit ini didasarkan oleh kriteria yang masih memenuhi kriteria sumber lemak pada produk pangan darurat, yaitu kandungan trigliserida minyak kelapa sawit yang terdiri dari asam lemak jenuh (asam miristat, asam palmitat, asam stearat) dan asam lemak tidak jenuh (asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat). Asam lemak yang paling dominan didalam minyak kelapa sawit adalah asam palmitat (50.46%) dan asam oleat (40.35%). Kandungan PUFA di dalam minyak kelapa sawit ini terdiri dari asam lemak linoleat sebesar 6-9% dan asam lemak linolenat sebesar 0.21%. Kebutuhan energi lainnya untuk memenuhi total energi pangan darurat akan dipenuhi dari protein dan karbohidrat.
C. AKTIVITAS AIR (aw) Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena peranannya dalam reaksi-reaksi kimia (Belitz and Grosch 1999) dan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan (Winarno, 1992). Pada pengolahan pangan semi basah, aktivitas air, kadar air, maupun tekanan uap air dalam berbagai keadaaan sangat berpengaruh terhadap reaksi kimia, tekstur, kandungan gizi serta daya tahan produk terhadap mikroba. Kadar air yang terdapat dalam bahan pangan sangat berperan besar dalam reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan non enzimatis. Sedangkan aktivitas air merupakan faktor utama pengendali mikroorganisme pada pangan semi basah. Setiap mikroorganisme membutuhkan jumlah air dan aw minimum yang berbeda untuk mendukung pertumbuhannya. Pada umumnya, bakteri hidup pada aw >0.9, kapang hidup pada aw 0.6 – 0.7 dan khamir hidup pada aw 0.8 – 0.9 (Fennema 1996). Menurut Fennema (1996), aktivitas air dalam pangan semi basah sebesar 0.70 – 0.85 dengan kandungan air antara 20 – 50% (berat basah). Adanya kondisi aw yang rendah pada pangan semi basah dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme secara efektif sehingga memiliki daya awet yang cukup lama. Selain itu, daya awet pada pangan semi basah juga sangat tergantung dari komposisi bahan penyusun, cara pengolahan, kemasan yang digunakan, ada tidaknya zat pengawet serta aktivitas mikroba. Hubungan antara kadar air, laju reaksi mikrobiologis, kimia, enzimatis dan non-enzimatis dalam produk pangan dapat dilihat pada Gambar 2. Penurunan aw dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, menghambat pencoklatan non enzimatis, serta menghambat aktivitas enzim sedangkan laju autooksidasi lipid meningkat dalam sistem pangan kering.
Gambar 2 Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema 1996). Nilai aktivitas air (aw) pada pengolahan pangan semi basah modern dapat diperoleh dengan 2 tipe, yaitu tipe adsorpsi dan tipe desorpsi (Robson 1976). Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan, sambil dikontrol proses pembasahan kembali sampai mencapai keadaan yang diinginkan. Sedangkan pada tipe desorpsi, bahan pangan dimasukkan ke dalam larutan dengan tekanan osmosis yang tinggi sampai diperoleh keseimbangan aw. Dalam keadaan seimbang, aw bahan pangan sama dengan ERH (ERH = Equilibrium Relative Humidity) dimana ERH adalah kelembaban nisbi udara di sekeliling bahan pangan. aw = ERH/100 ……………………….…………………………. (1) Hubungan kadar air dengan aktivitas air pada pangan semi basah pada umumnya berbentuk sigmoid yang ditunjukkan oleh grafik sorpsi-isotermis (Gambar 3).
Zone II
Moisture Content
Zone I
Zone III
Desorpsi
Absorpsi
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Water Activity
Gambar 3 Sorpsi-isothermis air bahan pangan pada suhu 20 oC (Bell dan Labuza 2000) D. HUMEKTAN Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis sehingga mampu menurunkan aw bahan pangan. Oleh karena itu, aktivitas air pada bahan pangan dapat diatur dengan penambahan sejumlah humektan tertentu. Humektan juga memiliki sifat sebagai antimikroba, memperbaiki cita rasa, tekstur serta dapat meningkatkan nilai kalori (Sloan dan Labuza 1975). Menurut Taoukis et al. (1999), terdapat empat kategori senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan, yaitu (1) garam (mineral dan organik), (2) gula, (3) poliol, dan (4) turunan protein. Jenis-jenis humektan dan berbagai fungsinya dapat dilihat pada Lampiran 1. Humektan yang digunakan pada produk pangan semi basah bertujuan untuk menurunkan aw produk pangan darurat mencapai kisaran aw yang diinginkan yaitu sebesar 0.75 – 0.79. Berbagai humektan memiliki sifat pengikatan air yang berbeda - beda pada kisaran aw 0.70 – 0.90 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kadar air beberapa bahan humektan pada suhu kamar Jenis bahan Kasein Tepung ketan Tepung susu Gliserol Sorbitol Sukrosa Polietil glikol Tepung jagung NaCl Sumber : Karel (1976)
aw = 0.70 15 28 28 64 46 38 38 16.5 -
Kadar air (%bb) aw = 0.80 aw = 0.90 19 26 20 28 56 92 108 215 67 135 56 77 60 120 19.7 26.7 332 605
Jenis humektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sorbitol dan gliserol. Pemilihan kedua jenis humektan ini didasarkan pada Berat Molekul yang rendah sehingga memiliki aktivitas kadar air yang tinggi. Pemakaian jenis humektan dapat memberikan perbedaan dalam mengendalikan mikroba serta menghasilkan perubahan cita rasa pada produk akhir bila digunakan dalam konsentrasi yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan humektan dalam bahan pangan harus selalu dikontrol. Menurut Troller (1989), Kriteria pemakaian humektan dalam bahan pangan adalah: aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif, sesuai dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak berwarna atau tidak mengubah warna produk pangan.
1. Sorbitol Sorbitol termasuk gula alkohol dengan kemanisan 0.48 – 0.54 dari sukrosa dan sangat larut dalam air tetapi tidak dapat larut dalam pelarut organik kecuali etanol (Hough et al. 1979). Sorbitol merupakan monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6–Hexanehexol) dengan rumus kimia C6H14O6. Berat molekul sorbitol sebesar 182.17 dengan nilai kalori 3 kalori/gram serta titik didihnya sebesar 96 – 97oC (Nabors dan Gelardi 1991). Menurut Smith (1991), sorbitol memiliki kestabilan yang sangat tinggi terhadap panas dan tidak bereaksi dengan senyawa kimia. Struktur
kimia sorbitol dapat dilihat pada Gambar 4. Sorbitol tergolong GRAS (Generally
Recognized As Safe) dengan batas penggunaan maksimal
sebesar 50 gram/hari Karena bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih dapat menimbulkan efek laksatif atau diare (Bronen et al. 1990).
Gambar 4 Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org)
Menurut Gelardi dan Nabors (1991), Selain sebagai humektan, sorbitol juga sering digunakan sebagai sekuestran (bahan yang dapat mengikat ion logam pada makanan sehingga memantapkan warna dan tekstur makanan), penstabil, dan agen pengontrol kekentalan. Berdasarkan peraturan GMPs (Good Manufacturing Practices) (21 CFR 184.1835), batas penggunaan maksimum sorbitol pada beberapa bahan pangan seperti permen keras sebesar 99%, chewing gum 75%, soft candy 98%, jam dan jelli 30%, roti dan campurannya 30%, frozen dairy dessert dan campurannya 17% dan pangan lainnya 12%.
2. Gliserol Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol dengan tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Gliserol merupakan senyawa kimia yang tidak berbau, tidak berwarna serta berwujud cair dengan kemanisan yang rendah (Lewis 1989). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan berat molekul 92.10, massa jenis 1.23 g/cm3 serta titik didihnya 204oC (Winarno 1992). Gliserol sebagai humektan lebih efektif dibandingkan dengan senyawa golongan diol dan turunannya (Frankenfeld et al. yang dikutip oleh Karel 1976). Struktur kimia gliserol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org)
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal dan platicizer. Gliserol juga biasa digunakan untuk mengatur kandungan air dalam makanan sehingga dapat mencegah kekeringan pada makanan (Igoe dan Hui 1994). Menurut Lindsay (1985), gliserol bersifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw. Gliserol dalam bahan pangan pada umumnya digunakan untuk soft candy (seperti Big Babol, Happydent, Lotte) dan marsmallow, untuk menurunkan lemak pada frozen dessert, mencegah pembentukkan kristal es dan sebagai pelarut flavor. Penggunaan gliserol dalam jumlah besar dapat menimbulkan rasa pahit (Fennema 1996). Berdasarkan FDA-21CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing Practices).
E. ASPEK MIKROBIOLOGI PRODUK PANGAN DARURAT Pada umumnya suatu bahan pangan memiliki kandungan senyawa berupa protein, karbohidrat dan lemak yang merupakan medium pertumbuhan bagi mikroba. Populasi mikroorganisme dalam setiap bahan pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen, potensial reduksi dan adanya zat penghambat (Supardi dan Sukamto 1999). Pengujian mikrobiologi terhadap produk pangan bertujuan untuk menjaga keamanan produk yang merupakan salah satu karakteristik utama produk pangan. Menurut Karel (1976), penentuan adanya mikroba di dalam PSB dapat dilihat dengan adanya pertumbuhan tiga macam mikroba, yaitu Aspergillus glaucus, Aspergillus niger dan Staphylococcus. Hal ini disebabkan karena ketiga jenis mikroba tersebut yang paling tahan terhadap kondisi substrat.
Dengan demikian analisa perubahan aw, pH dan konsentrasi bahan pengawet perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya pertumbuhan mikroba tersebut. Menurut Zoumas et al. (2002), bakteri patogen yang paling banyak terdapat di dalam PSB adalah Staphylococcus aureus dimana bila jumlah bakteri ini berlebih dapat menghasilkan enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan. Lebih lanjut lagi Zoumas et al. (2002), menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme di dalam PSB dapat diminimalkan dengan menggunakan teknologi Hurdle dimana adanya kombinasi dari beberapa metode seperti pengaturan aw, pengeringan, pengaturan suhu penyimpanan, pemilihan kemasan yang baik dan penambahan bahan pengawet. Sedangkan menurut
Leistner
dan
Rodel
(1976),
penghambatan
pertumbuhan
mikroorganisme di dalam PSB tidak hanya tergantung pada teknologi Hurdle tetapi juga jumlah mikroba awal yang terdapat di dalam produk. Oleh karena itu, proses pembuatan PSB berbasis daging sebagai pangan darurat menggunakan kalium sorbat untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan penambahan humektan bertujuan untuk menurunkan aktivitas air produk pangan sehingga umur simpan prosuk lebih lama. Kalium sorbat merupakan turunan dari asam sorbat yang pertama kali diisolasi dari minyak rowanberries yang belum matang oleh seorang ahli kimia dari Jerman yang bernama A. W. Von Hofmann pada tahun 1859 di London (Davidson dan Branen 1993). Asam sorbat dan kalium sorbat memiliki karakteristik berwarna putih, berbentuk bubuk atau granula, memiliki rasa asam dan berbau asam. Potensial antimikroba pada kalium sorbat sebesar 74% dari asam sorbat. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), mekanisme kerja asam sorbat dan garamnya sebagai bahan pengawet berdasarkan permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap molekul asam yang tidak terdisosiasi sehingga di dalam sel banyak terdapat ion hidrogen. Hal ini menyebabkan pH sel menjadi rendah dan dapat merusak organ sel mikroba sehingga bahan pangan memiliki umur simpan yang lebih lama. Konsentrasi sorbat sebagai antimikroba yang diperbolehkan di dalam bahan pangan sebesar 0.05% - 0.30% (Davidson dan Branen 1993).
Pengujian mikrobiologi pada produk pangan darurat dilakukan dengan menggunakan metode hitungan cawan. Menurut Fardiaz (1989), metode hitungan cawan merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung jumlah mikroba. Beberapa keuntungan dari penggunaan metode hitungan cawan, antara lain (1) hanya sel yang masih hidup yang dihitung, (2) beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus, (3) dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikoba dengan penampakan pertumbuhan spesifik. Selain memiliki keuntungan, metode ini juga mempunyai kelemahan – kelemahan, antara lain (1) hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya, (2) medium dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda, (3) mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak dan jelas, (4) membutuhkan persiapan dan waktu inkubasi beberapa hari hingga pertumbuhan koloni dapat dihitung. Metode hitungan cawan dibedakan menjadi dua cara yaitu metode tuang dan metode permukaan. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode tuang dengan menggunakan media Plate Count Agar untuk menghitung total mikroba dan media Acidified Potato Dextose Agar untuk menghitung total kapang dan khamir (Fardiaz 1989).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk formulasi produk dan bahan analisis. Bahan baku yang digunakan dalam formulasi produk terdiri dari tepung tapioka komersial, tepung ketan, tepung beras komersial merek Rose Brand, abon ayam komersial merek Giant, abon sapi komersial, air mineral komersial dan minyak goreng komersial merek Bimoli. Humektan yang digunakan untuk menurunkan aw adalah gliserol dan sorbitol bubuk merek Delalande. Bumbu-bumbu yang digunakan adalah garam, gula halus dan kaldu instan komersial merek Royco untuk menambah cita rasa. Bahan kimia untuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat antara lain; K2SO4, HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H3BO3, indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, heksana, aquades dan alkohol 96%. Bahan lain yang digunakan untuk analisis produk meliputi silika gel, asam tartarat, media potato dextrose agar dan media plate count agar. 2. Alat Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi kompor gas, panci penggorengan, sendok, piring, pengaduk kayu, aw-meter merk Shibaura Electronics Co.Ltd tipe WA-360, neraca analitik, cawan aluminium, waring blender, cawan porselen, alumunium foil, desikator, inkubator suhu 30oC dan 37oC, oven vakum, labu Kjeldahl, labu takar, pipet, tanur, alat destilasi, buret, soxhlet, water bath, refluks, kertas saring dan alat-alat gelas lainnya yang mendukung penelitian.
B. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.
Persiapan bahan baku
Penentuan formula dasar PSB
Penetapan proses dan pembuatan PSB
Karakterisasi formula dasar PSB terpilih
Penentuan jumlah dan aplikasi humektan
Penentuan PSB sebagai pangan darurat terbaik
Analisis proksimat pangan darurat (EFP) terbaik
Karakterisasi dan analisis mikrobiologi EFP terbaik Gambar 6 Diagram alir metode penelitian pembuatan EFP
1. Penelitian Pendahuluan Sebelumnya dilakukan persiapan bahan baku lokal meliputi tapioka, tepung ketan dan tepung beras sebagai sumber karbohidrat. Ketiga tepung ini diayak dengan ayakan 80 mesh dan disangrai pada suhu + 100oC selama 20 menit. Penentuan jenis tepung pada formula dasar PSB dilakukan oleh penulis secara subjektif terhadap tepung dan campuran berbagai tepung dengan komposisi yang berbeda-beda. Abon ayam komersial dan abon sapi komersial yang digunakan sebagai sumber protein dihaluskan dengan menggunakan blender kering selama 5 menit. Tujuan penghalusan ini adalah untuk memperkecil dan menyeragamkan luas permukaan serat–serat abon sampai lolos pada ayakan sebesar 40 mesh. Penentuan sumber abon sebagai formula dasar PSB didasarkan pada pengamatan penulis secara subjektif terhadap karakteristik warna dan tekstur produk yang dihasilkan. Penentuan formula dasar pangan semi basah (PSB) berbasis daging ini dilakukan dengan menggunakan berbagai campuran jenis tepung dan abon dengan memperhitungkan nilai kalorinya. Target di dalam pembuatan formulasi ini adalah nilai kalori harian yang mendekati 2100 kkal atau 233 kkal per 50 g dengan kandungan protein sebesar 7.9 – 8.9 g, lemak 9.1 – 11.7 g, dan karbohidrat 23 – 35 g, asumsi 50 g = 1 bar dimana 1 unit pangan darurat terdiri dari 9 – 10 bar (Zoumas et al. 2002). Formulasi komposisi bahan penyusun pangan darurat ini didasarkan pada nilai energi dari Daftar Komposisi Bahan Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1981) dan informasi nilai gizi pada label kemasan bahan. Perhitungan total energi ini menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan program Microsoft Excel. Cita rasa yang dimiliki oleh produk pangan darurat yang dihasilkan pada penelitian ini adalah rasa asin atau gurih.
2. Penelitian Utama a. Penetapan proses PSB berbasis daging Penetapan proses PSB diawali dengan penentuan waktu pemasakan dan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan pangan semi basah. Waktu pemasakan yang digunakan adalah 7 menit sampai 10 menit sedangkan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan PSB sebanyak 28 gram, 32 gram dan 36 gram. Setelah dilakukan penetapan proses maka selanjutnya dilakukan pembuatan PSB berdasarkan formulasi yang telah ditetapkan dan pengukuran densitas PSB. Proses pembuatan PSB diawali dengan pencampuran masingmasing tepung dengan gula, bahan antikapang (kalium sorbat sebesar 0.1%), garam, abon ayam, kaldu instan, minyak kelapa sawit serta air panas (+ 80oC) sebanyak 24.43% pada formulasi A dan B serta 23.71% pada formulasi C. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan sendok secara merata. Kemudian campuran adonan tersebut dituang kedalam wajan pengorengan. Proses pengorengan dimulai dengan menyalakan api kecil pada kompor gas dengan kisaran suhu + 100oC selama 8 menit. Setelah pemasakan, produk segera dicetak secara langsung dengan menggunakan cetakan aluminium berukuran 5 cm x 5 cm x 2.5 cm. Kemudian dilakukan pengemasan terhadap produk PSB dengan menggunakan plastik Polyprophylene yang di-seal.
b. Penentuan jumlah dan aplikasi humektan pada formula pangan darurat Sebelum penentuan jumlah humektan dilakukan karakterisasi produk terlebih dahulu pada masing-masing formula terhadap tekstur dan warna produk yang dihasilkan. Kemudian dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui nilai kalori aktual dari setiap formula. Pengukuran aw dilakukan juga terhadap produk dari setiap formula untuk mengetahui aktivitas air pada masing-masing formula.
Kemudian penambahan jumlah humektan ke dalam produk harus mampu mencapai kisaran aw produk akhir pangan semi basah sebesar 0.70 – 0.85. Target aw produk EFP yang diinginkan adalah 0.75 – 0.79. Humektan yang akan digunakan adalah gliserol dan sorbitol. Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan Grover (Bell dan Labuza 2000) dengan rumus: aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 .................................. (2) dimana, Eo = Σ Ei / mi
......................................................................... (3)
Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3, karbohidrat = 0.8, lemak = -1, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam gram air per gram bahan. Nilai Ei pada gliserol sebesar 4.0 dan nilai Ei pada sorbitol sebesar 2.0. Berdasarkan hasil perhitungan Grover akan didapatkan jumlah humektan yang optimal dalam menurunkan aktivitas air PSB. Kemudian jumlah humektan ini diaplikasikan pada proses produksi EFP. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan aftertaste pahit.
c. Karakterisasi dan analisis mikrobiologi pangan darurat terbaik Berdasarkan sifat sensori, tekstur, warna, dan nilai aktivitas air yang telah dilakukan pada masing-masing formula maka langkah selanjutnya dilakukan uji organoleptik untuk mendapatkan formula produk terpilih. Analisis sensori terdiri atas dua uji, yaitu uji hedonik dan uji rating atribut meliputi kemudahan ditelan, aftertaste pahit dan kekenyalan produk. Pengujian
stabilitas
selama
penyimpanan
dilakukan
uji
mikrbiologis analisis total bakteri (TPC) dan uji kapang-khamir dari produk yang disimpan pada minggu ke-0, 1, 2, 3 dan 4 pada penyimpanan suhu 29oC dan RH 79%.
C. METODE ANALISA 1. Kadar Air, Metode Oven (SNI 01-2981-1992) Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam oven bersuhu + 105-110oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak dua gram sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105-110oC selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai bobot konstan (selisih bobot ≤0.0003 gram). Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air (% b.k.)
= (W1 + W2) –W3 (W3 – W1)
x 100.................. (4)
Kadar air (% b.b.)
= (W1 + W2) – W3 x 100.................. (5) W2
Keterangan : W1 = bobot cawan aluminium kosong (g) W2 = bobot sampel (g) W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
2. Kadar Abu (SNI 01-2981-1992) Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550oC hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan : Kadar abu (% b.b.) =
W2 W1
Keterangan : W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot abu (g)
x
100......................................... (6)
3. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, 2.0 + 0.1 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Sampel didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan : Kadar N (%)
=
(Vs – Vb) x C x 14.007 x 100 % ........... (7) bobot sampel
Kadar protein (%) = % N x 6.25 ................................................ (8)
Keterangan : Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = volume untuk titrasi blanko (ml) C = konsentrasi HCl (N)
4. Kadar Lemak (SNI 01-2981-1992) Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan :
Kadar lemak (% b.b.) =
W2 W1
x 100 % ........................... (9)
Keterangan : W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot lemak (g)
5. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut : Kadar Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) ....................................... (10)
6.
Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan dengan 2 metode, yaitu uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan, aftertaste pahit, tingkat kekenyalan produk dan uji hedonik secara over all terhadap produk dari setiap formula yang telah ditambahkan humektan. Pengujian dilakukan terhadap 25 orang panelis tidak terlatih di dalam ruangan yang berisi 10 booth dengan tipe pintu rounding door. a. Uji rating atribut (Meilgaard et al. 1999) Dalam uji rating atribut ini panelis diminta mencicipi sampel dan di antara masing-masing pencicipan sampel diharuskan mengkonsumsi air penetral, kemudian diminta untuk memberikan penilaian dengan 7 tingkat skala pengukuran. Penilaian pada uji rating kemudahan ditelan dimulai dari produk yang sangat sulit ditelan (=1) sampai produk yang sangat mudah ditelan (=7). Uji rating terhadap atribut kekenyalan memiliki penilaian skala 1 untuk produk yang sangat tidak kenyal sampai skala 7 untuk produk yang sangat kenyal sekali. Sedangkan pada uji rating terhadap atribut aftertaste pahit memiliki skala 1 untuk produk yang sangat tidak pahit sampai skala 7 untuk produk yang sangat pahit sekali. Data yang diperoleh
ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) menggunakan program SPSS 12. b. Uji hedonik (Meilgaard et al. 1999) Dalam uji hedonik panelis diminta mencicipi sampel dan di antara masing-masing pencicipan sampel diharuskan mengkonsumsi air penetral, kemudian diminta untuk memberikan penilaian kesukaan terhadap produk dengan 7 tingkat skala pengukuran. Skala 1 untuk produk yang sangat tidak disukai sampai skala 7 untuk produk yang sangat disukai. Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) menggunakan program SPSS 12.
7. Uji Aktivitas Air (aw) Pengukuran aktivitas air bertujuan untuk mengetahui jumlah air bebas dalam produk yang dapat digunakan oleh mikroba. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan aw meter Shibaura Electronics Co.Ltd WA360 (Gambar 7) yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Sampel dimasukkan kedalam chamber pada aw meter dan ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.
Gambar 7 aw-meter Shibaura Electronics Co.Ltd WA-360
8. Uji Total Mikroba dan Total Kapang-Khamir EFP Terbaik (SNI 01-3751-2006 yang dimodifikasi) Pengujian mikrobiologi dilakukan pada EFP terbaik yang telah disimpan di dalam desikator dengan RH 71% dan suhu 29oC selama
minggu 0, 1, 2, 3 dan 4. Pengukuran RH dan suhu di dalam desikator menggunakan alat HAAR SYNTH-Higrometer seperti pada Gambar 8.
Gambar 8 HAAR SYNTH-Higrometer
Analisis mikrobiologi yang dilakukan menggunakan metode hitungan cawan dengan metode tuang. Pengujian dilakukan pada media Plate Count Agar untuk mengetahui total mikroorganisme (Total Plate Count) dan media Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) untuk mengetahui total kapang – khamir dari EFP terbaik. Sebanyak 10 gram contoh dihomogenisasi dalam larutan garam fisiologis 0.85% sebanyak 90 ml secara aseptik dengan menggunakan alat stomacher 400 (Gambar 9) selama 60 detik. Hasil homogenisasi ini merupakan pengenceran 10-1. Dari larutan ini diencerkan kembali sampai pengenceran 10-5.
Gambar 9 Alat Stomacher 400
Pada setiap tingkat pengenceran, sebanyak 1 ml larutan tersebut dipipet ke dalam cawan petri menggunakan pipet 1 ml dan dimasukkan dalam cawan petri steril secara triplo. Kemudian ke dalam cawan tersebut dimasukkan masing – masing media (PCA cair dan APDA cair yang steril) yang telah didinginkan sampai (45 + 1) oC sebanyak 15 ml dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. Selama penuangan medium, tutup cawan
tidak boleh dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Selanjutnya cawan petri diputar membentuk angka delapan agar penyebaran sel – sel mikroba merata dan dibiarkan membeku. Kemudian semua cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator dalam posisi terbalik dan diinkubasi pada suhu (35 + 1) oC untuk media PCA dan 30oC untuk media APDA selama 24 - 48 jam. Cara perhitungan koloni total mikroba pada cawan adalah sebagai berikut: 1. Cawan yang dipilih dan dihitung adalah cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 25 – 250 koloni dari setiap pengenceran. Semua koloni dalam cawan petri dihitung dengan menggunakan alat penghitung kolon. Hitung rata-rata jumlah koloni dan dikalikan dengan faktor pengenceran. Hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri per gram. 2. Jika salah satu dari dua cawan petri terdapat jumlah koloni lebih kecil dari 25 atau lebih besar dari 250, hitung jumlah koloni yang terletak pada 25 – 250 koloni, kalikan dengan faktor pengenceran dan nyatakan hasilnya sebagai jumlah koloni per gram. 3. Jika hasil dari dua pengenceran jumlahnya berturut-turut terletak antara 25 – 250 koloni, hitung jumlah koloni dari masing-masing pengenceran koloni per gram dengan rumus: ALT = Σ C / [ (1 * n1) + (0.1 * n2)]*(d)............................................ (11) Keterangan : Σ C = jumlah koloni n1 = jumlah cawan pengenceran pertama n2 = jumlah cawan pengenceran kedua d = pengenceran pertama 4. Bila jumlah koloni dari masing-masing petri lebih dari 25 koloni nyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan. 5. Jika jumlah koloni dari masing-masing koloni yang tumbuh pada cawan petri kurang dari 25 nyatakan jumlah bakteri perkiraan lebih kecil dari 25 dikalikan pengenceran yang terendah. 6. Menghitung koloni perambat, ada 3 macam permabat pada koloni, yaitu: a. Merupakan rantai yang tidak terpisah
b. Perambat yang terjadi diantara dasar cawan petri dan pembenihan c. Perambat yang terjadi pada pinggir atau penukaran pembenihan. Apabila terjadi hanya satu perambatan (seperti rantai) maka koloni dianggap satu. Tetapi apabila ada satu atau lebih rantai terbentuk dan berasal dari sumber yang terpisah-pisah maka uap sumber dihitung sebagai satu koloni. Cara perhitungan koloni kapang pada cawan adalah sebagai berikut: Cawan petri yang dipilih adalah cawan petri dari satu pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 10 – 150 koloni setiap cawan petri. Hitung semua koloni dalam cawan petri dengan menggunakan alat penghitung koloni. Hitung rata-rata jumlah koloni dan kalikan dengan faktor pengenceran. Nyatakan hasilnya sebagai jumlah kapang per gram. Keterangan : (1) koloni kapang biasanya buram dan berbulu (2) koloni khamir berwarna putih dan licin (berbau asam) (3) Tegaskan
koloni
dengan
pemeriksaan
di
bawah
mikroskop sehingga yakin bahwa koloni tersebut adalah kapang.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN BAHAN BAKU Persiapan
bahan
baku
merupakan
upaya
pendahuluan
untuk
menyeragamkan dan memperbaiki mutu bahan baku. Menurut Hariyadi (2006), mutu adalah hal-hal tertentu yang membedakan produk satu dengan yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan daya terima dan kepuasan konsumen. Mutu bahan baku sangat mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan, oleh karena itu mutu bahan baku harus selalu dikontrol. Persiapan bahan baku meliputi pengayakan dan penyangraian pada ketiga jenis tepung yang digunakan, perlakuan penghalusan terhadap serat–serat abon, penentuan jenis tepung, penentuan sumber abon yang akan digunakan dalam PSB serta pendidihan terhadap air yang akan digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat. Ketiga jenis tepung yang digunakan yaitu tapioka, tepung beras dan tepung ketan diayak dengan ayakan 80 mesh. Kegiatan ini bertujuan untuk memisahkan tepung dari kontaminan fisik yang terdapat di dalam ketiga tepung tersebut agar dapat memenuhi syarat mutu dari masing-masing tepung. Syarat mutu tepung beras (SNI 01–3549–1994) dan tepung ketan (SNI 01–4447– 1998), tidak memperbolehkan adanya kontaminan fisik di dalam tepung sedangkan kontaminan pada tapioka (SNI 01–3451–1994) maksimal sebesar 0.6% dari berat bahan yang digunakan. Setelah diayak, masing-masing tepung tersebut disangrai pada suhu 100oC selama 20 menit di atas api kecil. Penyangraian dilakukan untuk mengurangi kadar air awal yang terdapat pada tepung dan mempercepat proses pemasakan pangan semi basah. Air yang digunakan untuk pembuatan produk terlebih dahulu dididihkan untuk membunuh mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Persiapan bahan baku lainnya meliputi penggunaan sumber lemak berupa minyak goreng komersial merek Bimoli dan bumbu–bumbu berupa garam komersial merek Refina, gula halus, kaldu instant komersial merek Royco untuk menambah cita rasa produk yang dihasilkan. Humektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol cair dan sorbitol bubuk merek Delalande.
1. Penentuan Jenis Abon Abon yang digunakan dalam penelitian ini adalah abon ayam dan abon sapi komersial. Penentuan jenis abon yang digunakan didasarkan pada warna dan tekstur produk yang dilakukan oleh penulis secara subyektif. Hasil pengamatan karakteristik warna dan tekstur terhadap penambahan masingmasing abon ke dalam PSB dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik PSB yang ditambahkan abon ayam dan abon sapi Jenis Abon Sapi Ayam
Karakteristik PSB Warna Tekstur Sedikit keras Coklat kehitaman (sulit ditarik dengan jari) Cukup kenyal Kuning kecoklatan (mudah ditarik dengan jari)
Kriteria yang diinginkan dalam pembuatan pangan semi basah ini adalah pangan semi basah yang memiliki warna kuning kecoklatan dan memiliki tekstur cukup kenyal (mudah ditarik dengan jari) agar memiliki warna menyerupai dodol dan memudahkan pencetakan. Berdasarkan hasil pengamatan secara subyektif maka jenis abon yang memenuhi kriteria yang diinginkan adalah abon ayam.
2. Penentuan Jenis Tepung Setelah proses penyangraian tepung, dilakukan penentuan jenis tepung yang akan digunakan dalam pembuatan PSB berdasarkan komposisi bahan yang berbeda-beda. Jenis tepung yang digunakan adalah tepung yang berbahan baku lokal untuk mengurangi konsumsi terigu impor, yaitu tepung ketan, tepung beras dan tapioka. Ketiga tepung ini dilarutkan di dalam air sebanyak 100 gram kemudian dimasak selama 5 menit pada suhu 100oC. Karakteristik yang diinginkan dari tepung ini adalah sedikit kenyal dan kenyal, sedikit lengket di jari, menyatu dan mudah ditarik dengan jari agar memudahkan pencetakan produk. Karakteristik dari setiap tepung dan campuran tepung dapat dilihat pada Tabel 9. Adanya penggunaan campuran
tepung yang berbeda-beda ini bertujuan untuk membandingkan tekstur produk pangan darurat yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, jenis formula yang sesuai dengan karaktertistik yang diinginkan adalah formula 4, formula 7 dan formula 8. Formula 4 menggunakan campuran tapioka 15 g dan tepung ketan 35 g, formula 7 menggunakan campuran tapioka 35 g dan tepung beras 15 g dan formula 8 menggunakan campuran tepung beras 15 g dan tepung ketan 35 g. Hasil ketiga tepung ini akan digunakan sebagai sumber karbohidrat pada pangan semi basah.
Tabel 9 Karakteristik Setiap Adonan Tepung dan Campuran Tepung Formula
Jenis Tepung (gram)
Karakteristik Adonan Tepung
Tapioka Tepung Tepung Beras Ketan 1
-
50
-
Cukup kenyal, mudah ditarik, tidak lengket di jari dan tidak menyatu
2
-
-
50
Kenyal, menyatu, mudah ditarik dan lengket di jari
3
50
-
-
Kenyal sekali, menyatu, sulit ditarik dengan jari dan sedikit lengket di jari
4
15
-
35
Sedikit kenyal, menyatu, mudah ditarik dan sedikit lengket di jari
5
35
-
15
Kenyal, menyatu, cukup ditarik dan lengket di jari
6
15
35
-
Lunak, tidak menyatu, mudah ditarik dan sedikit lengket di jari
7
35
15
-
Sedikit kenyal, menyatu, mudah ditarik dan sedikit lengket di jari
8
-
15
35
Sedikit kenyal, mudah ditarik, cukup menyatu dan sedikit lengket di jari
9
-
35
15
Lunak, mudah ditarik, tidak menyatu dan lengket di jari.
sulit
B. PENENTUAN FORMULA DASAR PSB BERBASIS DAGING Bahan–bahan yang digunakan untuk formulasi pangan semi basah berbasis daging terdiri dari tapioka, tepung ketan, tepung beras, minyak kelapa sawit, abon ayam, garam, gula, kaldu instan, gliserol dan sorbitol bubuk. Formulasi PSB berbasis daging untuk menjadi produk pangan darurat (EFP) bertujuan mendapatkan kandungan kalori sebesar 233 kkal per bar (1 bar = 50 g) dengan nilai kalori dari protein sebesar 7.9 – 8.9 g, lemak 9.1 – 11.7 g, dan karbohidrat 23 – 35 g (Zoumas et al. 2002). Target nilai kalori yang diinginkan sebesar 2100 kkal sehingga untuk mencukupi kebutuhan kalori harian harus mengkonsumsi produk pangan darurat ini sebanyak 9 – 10 bar per hari. Menurut Karel (1976), prinsip pengolahan pangan semi basah dapat dilakukan melalui pengaturan terhadap komposisi zat gizi sehingga didapatkan nilai total kalori yang diinginkan. Tahap formulasi dilakukan dengan menghitung kandungan total nilai kalori dari masing-masing formula mencapai total kalori yang telah ditentukan. Formulasi pangan darurat ini menggunakan prinsip kesetimbangan massa (Mass Balance Concept) dimana setiap material yang masuk (input) harus memiliki jumlah yang setara dengan akumulasi yang terjadi selama proses dan out put yang dihasilkan. Formulasi EFP dihitung berdasarkan sumbangan energi dari masingmasing bahan baku di dalam campuran produk sesuai dengan Daftar Komposisi Bahan Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1981) serta informasi gizi pada label kemasan yang disajikan pada Tabel 10. Penentuan formulasi dasar PSB dilakukan terhadap 3 jenis campuran tepung yang terbaik dengan memperhitungkan masing-masing total kalori yang dihasilkan agar dapat mencapai 233 kkal per 50 gram. Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Lampiran 1 untuk formula campuran tapioka dan tepung ketan, Lampiran 2 untuk formula campuran tapioka dan tepung beras dan Lampiran 3 untuk formula campuran tepung beras dan tepung ketan.
Tabel 10 Kandungan makronutrien dan energi dari bahan penyusun EFP Komposisi
Kalori /100g (kkal) 362
Protein
Makronutrien (g) Lemak Karbohidrat
Air
Tapioka a 0.5 0.3 86.9 2.0 Tepung Ketan 362 6.7 0.7 79.4 2.0 Putih a a Tepung Beras 34 7.0 0 80.0 2.0 a Gula Pasir 364 0 0 94.0 0 488 32 24 36 0 Abon ayam b Minyak kelapa a 900 0 100 0 0 a Keterangan : = berdasarkan data DKBM dengan konversi bobot solidnya b = berdasarkan data pada label kemasan produk Menurut Prawiranegara (1981), nilai kalori total didapatkan dari jumlah makronutrien yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien (Protein memiliki kalori sebesar 4 kkal, karbohidrat 4 kkal dan lemak 9 kkal). Target dalam penelitian ini adalah menghasilkan produk pangan darurat berbasis hewani yang memiliki rasa asin atau gurih. Penambahan garam ke dalam produk pangan darurat dilakukan secara subyektif oleh penulis. Komposisi dari formula A, B, dan C disajikan pada Tabel 11. Dari ketiga formulasi ini terdapat perbedaan pada jenis campuran tepung yang digunakan. Komposisi formula A menggunakan tapioka sebesar 9.16% dan tepung ketan sebesar 15.27%. Kandungan nilai kalori pada formula A yang dihitung dengan menggunakan prinsip kesetimbangan massa per bar sebesar 8.75 gram (17.50%) untuk protein, 13.11 gram (26.22%) untuk lemak dan 25.99 gram (51.98%) untuk karbohidrat serta nilai total kalori pada produk akhir sebesar 264.57 kkal. Pada komposisi formula B menggunakan tapioka sebesar 18.32% dan tepung beras sebesar 9.17%. Kandungan nilai kalori pada formula B berdasarkan prinsip kesetimbangan massa per bar sebesar 8.40 gram (16.8%) untuk protein, 13.07 gram (26.14%) untuk lemak dan 26.50 gram (53.00%) untuk karbohidrat serta menghasilkan nilai kalori total pada produk akhir sebesar 257.21 kkal. Sedangkan komposisi formula C menggunakan tepung ketan 20.74% dan tepung beras sebesar 8.89%. Kandungan nilai kalorinya
berdasarkan prinsip kesetimbangan massa per bar sebesar 8.82 gram (17.60%) untuk protein, 12.64 gram (25.28%) untuk lemak, 26.98 gram (53.96%) untuk karbohidrat dengan total nilai kalori sebesar 252.70 kkal. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkan nilai kalori setiap makronutrien dan total kalori pada masing-masing formula melebihi nilai makronutrien dan total kalori yang disarankan sebagai pangan darurat, yaitu 233 kkal per bar (1 bar = 50 gram) yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 11 Komposisi bahan pada formula A, B dan C Formula Nama Bahan Jumlah (g) A
B
C
Tapioka Tepung ketan Abon ayam Minyak kelapa Air Gula Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat Tapioka Tepung beras Abon ayam Minyak kelapa Air Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat Tepung ketan Tepung beras Abon ayam Minyak kelapa Air Gula Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat
12 20 48 14 32 4 0.6 0.2 0.08 0.098 24 12 48 14 32 0.6 0.2 0.08 0.098 28 12 48 14 32 4 0.6 0.2 0.08 0.098
Persentasi (%) 9.16 15.27 36.65 10.67 24.43 3.05 0.0045 0.0015 0.0006 0.0007 18.32 9.17 36.65 10.69 24.43 0.0046 0.0015 0.0006 0.0007 20.15 8.63 34.54 10.07 23.02 2.88 0.0045 0.0014 0.0006 0.0007
Tabel 12 Perhitungan kalori pada formula A, B, dan C berdasarkan prinsip kesetimbangan massa Keterangan Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Total Kalori/50g (kkal)
Formula A 8.75 13.11 25.99 264.57
Formula B 8.40 13.07 26.50 257.21
Formula C 8.82 12.64 26.98 252.70
C. PENETAPAN PROSES PEMBUATAN PSB BERBASIS DAGING 1. Penentuan Jumlah Air pada Adonan PSB Jumlah air yang ditambahkan pada adonan ketiga formula PSB sebesar 28 gram, 32 gram dan 36 gram. Karakteristik pangan semi basah yang ingin dihasilkan adalah bertekstur cukup sampai kenyal dan mudah ditarik dengan jari agar memudahkan ketika pencetakan produk. Karakteristik pangan semi basah yang dihasilkan dengan adanya penambahan air pada setiap formula dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil pengamatan pangan semi basah dengan berbagai penambahan air. Formula
Tapioka dan tepung ketan
Jumlah Air (gram) 28 32 36
Tapioka dan tepung beras
Bertekstur agak keras (cukup sulit ditarik dengan jari dan terasa sedikit masak) Bertekstur kenyal (cukup mudah ditarik dengan jari) Bertekstur agak kenyal (sangat mudah ditarik dengan jari)
28
Bertekstur keras (sulit ditarik dengan jari)
32
Bertekstur sedikit kenyal (cukup mudah ditarik dengan jari) Bertekstur sedikit kenyal (sangat mudah ditarik dengan jari) Bertekstur kenyal (cukup sulit ditarik dengan jari dan terasa sedikit masak) Bertekstur sedikit kenyal (mudah ditarik dengan jari) Bertekstur lunak (sangat mudah ditarik dengan jari)
36 Tepung beras dan tepung ketan
Karakteristik Pangan Semi Basah
28 32 36
Berdasarkan hasil yang didapatkan, jumlah air yang ditambahkan ke dalam setiap formula pangan semi basah yang memenuhi karakteristik yang diinginkan adalah sebanyak 32 gram.
2. Penentuan Waktu Pemasakan Waktu pemasakan pangan semi basah dilakukan dengan berbagai selang waktu, yaitu 7 menit, 8 menit, 9 menit dan 10 menit. Karakteristik pangan semi basah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil pengamatan pangan semi basah dengan berbagai waktu pemasakan. Formula
Tapioka dan tepung ketan
Waktu Pemasakan (menit) 7 8 9 10
Tapioka dan tepung beras
7 8 9 10
Tepung beras dan tepung ketan
7 8 9 10
Karakteristik Pangan Semi Basah Berwarna kuning kecoklatan dan tekstur cukup kenyal (sangat mudah ditarik dengan jari dan terasa belum masak) Berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur kenyal (cukup mudah ditarik dengan jari) Berwarna coklat dan bertekstur agak keras (cukup sulit ditarik dengan jari) Berwarna coklat dan bertekstur keras (sangat sulit untuk ditarik dengan jari) Berwarna kuning kecoklatan dan tekstur cukup kenyal (mudah ditarik dengan jari tetapi kurang menyatu) Berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur kenyal (mudah ditarik dengan jari) Berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur agak keras (sulit ditarik dengan jari) Berwarna coklat dan bertekstur cukup keras (sulit untuk ditarik dengan jari) Berwarna kuning kecoklatan dan tekstur sedikit kurang kenyal (sangat mudah ditarik dengan jari tetapi menyatu) Berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur cukup kenyal (mudah ditarik dengan jari) Berwarna kuning kecoklatan dan bertekstur keras (sulit ditarik dengan jari) Berwarna coklat dan bertekstur keras (sulit untuk ditarik dengan jari)
Waktu pemasakan yang memenuhi kriteria yang diinginkan dari ketiga formula adalah selama 8 menit. Penampakan pangan semi basah pada setiap formula yang dimasak dengan waktu 8 menit memiliki warna produk kuning kecoklatan dan memiliki tekstur cukup kenyal dan kenyal .
3. Penetapan Proses dan Pembuatan PSB Setelah dilakukan penentuan waktu pemasakan dan jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan PSB, maka selanjutnya dilakukan pembuatan PSB berdasarkan proses yang telah ditetapkan seperti pada Gambar 10. Pembuatan PSB berbasis daging ini dilakukan dengan menggunakan teknologi blending. Metode blending adalah metode dimana berbagai bahan pangan termasuk humektan dicampur kemudian diikuti dengan perlakuan ekstrusi, pemasakan, dan perlakuan lain untuk mencapai kondisi aw yang diinginkan (Hegenbart 1996). Pangan semi basah dibuat berdasarkan komposisi formula A, formula B dan formula C yang telah didapatkan dari perhitungan kesetimbangan massa. Komposisi bahan-bahan yang digunakan meliputi tepung tapioka, tepung beras, tepung ketan, abon ayam, minyak kelapa sawit, garam, gula, dan bumbu – bumbu tambahan lainnya. Proses pemasakan bertujuan untuk mereduksi mikroorganisme, meningkatkan daya cerna komponen PSB, meningkatkan aroma dan tekstur serta memperpanjang umur simpan PSB. Sedangkan pengemasan berfungsi untuk mencegah perpindahan uap air dan melindungi produk dari cemaran mikroorganisme.
Tepung sumber pati (tapioka, ketan dan beras) diayak pada ayakan 80 mesh Diangkat dan dimasukkan ke dalam wajan (d = 38 cm)
Disangrai pada suhu 100oC selama 20 menit di atas api kecil
Didinginkan dan ditimbang untuk setiap formula ke dalam mangkuk
Formula A Tapioka Tepung ketan Abon ayam Minyak Air panas 80oC Gula Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat
Formula B
12g 20g 48g 14g 32g 4g 0.6g 0.2g 0.08g9. 0.098g
Tapioka Tepung beras Abon ayam Minyak Air panas 80oC Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat
24g 12g 48g 14g 32g 0.6g 0.2g 0.08g 0.098g
Formula C Tepung beras Tepung ketan Abon ayam Minyak Air panas 80oC Gula Garam Penyedap rasa Lada Kalium sorbat
12g 28g 48g 14g 32g 4g 0.6g 0.2g 0.08g 0.098g
Dicampur merata
Dicampur merata
Dicampur merata
Adonan PSB
Adonan PSB
Adonan PSB
Dimasak 8 menit pada wajan (d = 22 cm) sampai kalis dan berwarna kuning kecoklatan, + 100oC
Diangkat dan dicetak dengan cetakan alumunium berukuran 5 x 5 x 2.5 cm untuk mendapatkan 50 gram b.k.
Dikemas dengan Polyprophylene yang berukuran 18 x 6 cm
Pangan Semi Basah
Gambar 10 Diagram alir pembuatan produk pangan darurat berdasarkan proses yangntelah ditetapkan
D. DENSITAS PSB BERBASIS DAGING Dalam perhitungan densitas PSB diperlukan data proksimat dari ketiga jenis formula.
1. Data Proksimat pada Formula Dasar PSB Tujuan analisa proksimat ini untuk mengetahui kandungan kalori aktual produk dari masing-masing formulasi. Kandungan kalori awal produk setiap formula didapatkan dari hasil perhitungan berdasarkan kesetimbangan massa dengan target total kalori sebesar 233 kkal per bar dengan 1 bar = 50 gram basis kering (protein 7.9 – 8.9 gram, lemak 9.1 – 11.7 gram, dan karbohidrat 23 – 35 gram). Hasil analisis proksimat PSB dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil analisis proksimat dari setiap formula produk (basis kering) Data Proksimat
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%) Total kalori /50 g produk (kkal)
Tapioka & Tapioka & Tepung Ketan Tepung Ketan Tepung Beras & Tepung Beras 46.83 52.82 44.64 3.91 6.65 6.14 23.81 22.40 20.90 24.96 29.78 22.92 47.32 41.17 50.04 254.58 261.15 245.02
Nilai kalori yang dihasilkan pada masing-masing produk sebesar 254.58 kkal/bar untuk formula campuran tapioka dan tepung ketan, 261.15 kkal/bar untuk formulacampuran tapioka dan tepung beras, dan 245.02 kkal/bar untuk formula campuran tepung beras dan tepung ketan. Berdasarkan hasil analisis proksimat yang telah dilakukan maka didapatkan nilai kalori total dari setiap formula melebihi kebutuhan energi konsumsi harian (lebih besar dari 2100 kkal atau 233 kkal/bar). Dengan demikian produk pangan darurat dengan teknologi PSB yang berbasis daging ini harus dikonsumsi sebanyak 9 – 10 bar/hari (1 bar setara 50 gram) dengan 1
unit penyajian sebanyak 3 bar yang dikonsumsi sebanyak 3 kali per hari (Zoumas et al. 2002). Bila dibandingkan dengan nilai total kalori awal yang didasarkan pada perhitungan kesetimbangan massa, nilai total kalori aktual dari formula campuran tapioka dan tepung ketan serta formula campuran tepung ketan dan tepung beras jauh lebih rendah. Formula campuran tapioka dan tepung ketan memberikan total kalori sebesar 264.57 kkal per bar dan formula campuran tepung ketan dan tepung beras memberikan kalori sebesar 252.70 kkal per bar. Sedangkan nilai kalori total aktual pada formula campuran tapioka dan tepung beras lebih tinggi dibandingkan nilai total kalori awal berdasarkan perhitungan yaitu sebesar 257.21 kkal per bar. Hal ini disebabkan oleh kandungan nilai gizi aktual pada bahan pangan tidak tepat dengan informasi nilai gizi dari DKBM dan label bahan pangan yang digunakan pada perhitungan kesetimbangan massa. Kalori yang disumbangkan dari protein pada setiap formula lebih besar dibandingkan kalori protein awal yang didasarkan pada perhitungan kesetimbangan massa. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan kalori aktual pada makronutrien karbohidrat dan lemak. Tetapi walaupun kalori aktual yang dihasilkan dari setiap makronutrien lebih rendah dibandingkan dengan kalori makronutrien perhitungan awal, nilai kalori ini masih memenuhi kisaran kalori yang disarankan sebagai produk pangan darurat yaitu pada formula campuran tapioka dan tepung ketan memberikan kalori aktual dari makronutrien protein sebesar 11.91 gram, lemak sebesar 12.48 gram dan karbohidrat sebesar 23.66 gram. Formula campuran tapioka dan tepung beras memberikan sumbangan kalori pada makronutrien protein sebesar 11.20 gram dan lemak sebesar 14.89 gram. Sedangkan formula campuran tepung beras dan tepung ketan memberikan sumbangan kalori pada makronutrien protein sebesar 10.45 gram, lemak sebesar 11.46 gram dan karbohidrat sebesar 25.02 gram. Penurunan kalori makronutrien aktual yang tidak memenuhi sebagai kriteria produk pangan darurat terdapat pada sumbangan kalori dari karbohidrat pada formula campuran tapioka dan tepung beras. Menurut
Zoumas et al. (2002), kandungan karbohidrat harus berada pada rentang 23 – 35 gram per bar EFP. Menurut FAO/WHO (1998), karbohidrat harus berada dalam jumlah yang cukup di dalam EFP untuk memberikan fungsi rasa, palatibilitas, stabilitas, dan fungsi metabolisme yang proporsional. Selain
itu,
ada
kemungkinan
terjadinya
penurunan
kalori
makronutrien ini disebabkan oleh kerusakan kimiawi. Menurut Williams (1976), kerusakan kimiawi yang banyak terjadi di dalam PSB adalah reaksi oksidasi oleh lemak dan reaksi pencoklatan non-enzimatis oleh karbohidrat dengan asam amino (protein). Reaksi oksidasi melibatkan lemak dan oksigen yang dapat menimbulkan off-flavor serta dapat dipercepat dengan adanya air karena kemampuannya memobilisasi katalis dalam larutan. Selain itu, aktivitas air dalam PSB juga berperan terhadap kecepatan reaksi oksidasi dimana kisaran aw PSB 0.6 – 0.85 merupakan kecepatan reaksi oksidasi maksimum terjadi. Reaksi pencoklatan non-enzimatis meliputi reaksi Maillard dan dekomposisi asam askorbat. Reaksi ini merupakan reaksi kompleks yang menghasilkan melanoidin pada akhir reaksi (Arpah 2001). Menurut Williams (1976), pencoklatan non enzimatis terjadi dari reaksi Maillard karena adanya interaksi antara gula pereduksi dengan asam amino. Reaksi Maillard di pengaruhi oleh suhu, pH dan aw. Lebih lanjut Williams (1976) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan pH maka kecepatan reaksi juga semakin tinggi. Sedangkan pengaruh aw terhadap reaksi pencoklatan nonenzimatis sama seperti yang terjadi pada reaksi oksidasi. Menurut Karel (1976), reaksi oksidasi di dalam PSB dapat dicegah dengan menggunakan antioksidan (BHA atau BHT). Sedangkan reaksi pencoklatan non-enzimatis lebih sukar untuk dicegah karena kecepatan reaksi ini maksimum terjadi pada kisaran aw PSB, yaitu 0.6 – 0.9. Menurut Labuza yang dikutip Karel (1976), penggunaan alkohol polihidrat dalam konsentrasi yang tinggi seperti gliserol, polipropilen glikol dapat menghambat reaksi pencoklatan.
2. Penentuan Densitas PSB Berdasarkan hasil perhitungan maka dari setiap formula untuk 50 gram basis kering memberikan produk sebanyak 73.415 gram b.b. pada formula A (tapioka dan tepung ketan), 76.41 gram b.b. pada formula B (tapioka dan tepung beras) dan 72.32 gram b.b. pada formula C (tepung beras dan tepung ketan). Berat produk dalam basis basah dari setiap formula ini akan digunakan dalam menentukan ukuran produk per bar yang akan dicetak dengan cetakan alumunium. Dari hasil penelitian, ukuran setiap produk yang didapatkan sebesar + 5 cm x 5 cm x 2.5 cm per bar (50 gram basis kering). Densitas yang dihasilkan untuk formula A sebesar 1.17 g/cm3, formula B sebesar 1.22 g/cm3 dan formula C sebesar 1.16 g/cm3.
E. PENENTUAN JUMLAH DAN FORMULA PANGAN DARURAT
APLIKASI
HUMEKTAN
PADA
Sebelum penentuan humektan dilakukan karakterisasi produk dari masing-masing formula yang dapat dilihat pada Tabel 16. Selanjutnya dilakukan pengukuran aw untuk mengetahui aktivitas air pada masing-masing formula dasar.
Tabel 16 Karakteristik produk pangan semi basah dari setiap formula Formula
Warna
Tapioka dan tepung ketan
Kuning kecoklatan
Tapioka dan tepung beras
Kuning kecoklatan
Tepung beras dan tepung ketan
Kuning kecoklatan
Karakteristik Tekstur Cukup kenyal (mudah ditarik, tidak lengket di jari dan tidak lengket di langit–langit mulut) Cukup kenyal (mudah ditarik, tidak lengket di jari dan tidak lengket di langit–langit mulut) Kenyal (dapat ditarik, tidak lengket di jari dan tidak lengket di langit–langit mulut)
Tapioka & tepung ketan Tapioka dan tepung beras
Tepung ketan dan beras
Gambar 11 Penampakan ketiga produk pangan semi basah dengan campuran tepung yang berbeda Dari hasil pengamatan terhadap ketiga produk (Gambar 11), ternyata penggunaan campuran tepung yang berbeda–beda pada setiap formula tidak menunjukkan perbedaan tekstur dan warna yang signifikan yaitu masih bersifat cukup kenyal dan plastis (mudah ditarik, tidak lengket di jari dan tidak lengket di langit–langit mulut) serta memiliki warna kuning kecoklatan. Pengecekan aktivitas air (aw) dilakukan terhadap produk dari ketiga formula dengan menggunakan aw-meter Shibaura Electronics Co.Ltd WA-360 dengan tujuan untuk mengetahui nilai aktivitas air yang terdapat pada masingmasing formula produk. Menurut Fennema (1996), aktivitas air yang terdapat pada pangan semi basah berkisar antara 0.70 – 0.85 sedangkan menurut Leistner dan Rodel (1976) kisaran aw PSB sebesar 0.60 – 0.90. Hasil pengukuran aw pada produk A sebesar 0.869 dengan suhu 28.9oC, produk B sebesar 0.886 dengan suhu 29.1oC dan produk C sebesar 0.897 dengan suhu 29.1oC. Kisaran aw dari ketiga produk tersebut memenuhi kisaran aw pangan semi basah pada umumnya Pemakaian humektan ke dalam PSB bertujuan untuk menurunkan aktivitas air produk menjadi kisaran aktivitas air yang diinginkan yaitu sebesar 0.75 – 0.79. Pada teknologi blending, aplikasi humektan dilakukan pada awal proses, yaitu pada saat pencampuran minyak dan air panas. Teknologi pengolahan PSB ini termasuk tipe desorpsi dimana bahan pangan dicampur dengan larutan (humektan) dengan tekanan osmosis yang tinggi sampai diperoleh keseimbangan aw. Menurut Sinskey (1976), mekanisme kerja humektan di dalam bahan pangan terbagi menjadi 3 yaitu, (1) menurunkan aktivitas air, (2) terlibat dalam penurunan kadar air bahan pangan, (3) menghambat mikroba yang terdapat di dalam bahan pangan.
Humektan yang digunakan untuk menurunkan aktivitas air produk PSB adalah sorbitol dan gliserol. Jenis-jenis humektan lain yang dapat digunakan dalam menurunkan aw produk pangan dapat dilihat pada Lampiran 4. Penggunaan humektan ke dalam PSB dilakukan secara sendiri-sendiri (single humectant) dengan tujuan untuk melihat kemampuan masing-masing humektan dalam menurunkan aw produk. Selain penambahan humektan, diterapkan juga teknologi Hurdle untuk mempertahankan umur simpan produk sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa adanya pendinginan. Menurut Rockland dan Beuchat (1987), teknologi Hurdle yang digunakan dalam proses pembuatan PSB meliputi pemanasan, penambahan garam, penambahan gula serta penambahan bahan pengawet. Teknologi Hurdle yang diterapkan dalam penelitian ini untuk menghasilkan produk pangan darurat yang berbasis hewani adalah penambahan humektan, pemanasan, penambahan garam, penambahan gula dan penambahan bahan pengawet. Menurut Bell dan Labuza (2000), untuk memprediksi jumlah humektan yang harus ditambahkan ke dalam bahan pangan dapat ditentukan dengan model matematika antara lain; metode Raoult’s Law, persamaan Norrish, persamaan Grover dan persamaan Ross. Pada penelitian ini menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi jumlah humektan yang ditambahkan dan memprediksi aktivitas air produk akhir berdasarkan komposisi bahan penyusunnya. Lebih lanjut Bell dan Labuza (2000) menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi aw daging yang ditambahkan glikol sebagai humektan dan memprediksi jumlah humektan yang digunakan untuk menurunkan aw daging tersebut. Beberapa keunggulan dari persamaan Grover menurut Adawiyah (2006) adalah dapat diterapkan pada kisaran aw 0.43 – 0.91 dengan nilai simpangan sebesar 6.8% dan menghasilkan prediksi data aw model campuran pangan yang lebih baik dibandingkan dengan persamaan Ross. Penentuan jumlah humektan berdasarkan persamaan Grover didapatkan dengan rumus: aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 ................................................ (12)
dimana, Eo = Σ Ei / mi .................................................................................. (13) Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun yang telah diketahui (protein = 1.3, karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam gram air per gram bahan (Bell dan Labuza 2000). Penambahan minyak di dalam bahan pangan cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air di daerah monolayer, oleh sebab itu dilakukan modifikasi pada koefisien Ei minyak menjadi -1 (Adawiyah 2006). Dalam persamaan Grover dibutuhkan bobot bahan penyusun yang diperoleh dari analisis proksimat. Hasil analisis proksimat tersebut meliputi kadar air, protein, karbohidrat, lemak dan gula yang telah disajikan pada Tabel 14. Pada penelitian ini, sorbitol yang digunakan adalah sorbitol bubuk merek Delalande yang dapat dilihat pada Gambar 12(a). Sorbitol bubuk ini tergolong food grade yang memiliki warna putih, tidak berbau dan cukup manis. Konstanta persamaan Grover (Ei) untuk sorbitol sebesar 2.0. Menurut Bronen et al. (1990), pemakaian maksimum sorbitol sebesar 50 gram/hari. Oleh karena itu konsentrasi pemakaian sorbitol hanya sebesar 5% dan 10% dengan asumsi berat produk per bar 50 gram yang dikonsumsi sebanyak 9 – 10 bar per hari. Apabila sorbitol dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih maka dapat menimbulkan efek laksatif atau diare. Gliserol yang digunakan adalah gliserol cair (Gambar 12(b)) yang tergolong food grade dengan penampakan jernih (tidak berwarna), sedikit rasa manis dan cukup kental. Menurut FDA-21CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing Practices). Penggunaan gliserol
dalam jumlah besar dapat
menimbulkan rasa pahit (Fennema 1996). Konstanta persamaan Grover untuk gliserol sebesar 4.0.
(a)
(b)
Gambar 12 Humektan yang digunakan dalam pembuatan PSB (a) sorbitol bubuk, (b) gliserol cair
1. Prediksi Aktivitas Air terhadap Produk Formula Dasar setelah Ditambahkan Humektan dengan Persamaan Grover Pengunaan humektan bertujuan untuk menurunkan aktivitas air produk menjadi kisaran aktivitas air yang dinginkan yaitu 0.75 – 0.79. Hasil prediksi aw dari penambahan sorbitol dan gliserol terhadap masing – masing formula dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap formula dengan persamaan Grover Formula Kontrol Sorbitol 10 % Gliserol 15 % Tapioka dan tepung ketan 0.932 0.879 0.782 Tapioka dan tepung beras 0.957 0.907 0.815 Tepung ketan dan tepung 0.928 0.874 0.776 beras Berdasarkan hasil perhitungan dengan persamaan Grover, untuk mencapai nilai aw produk sebesar 0.75 – 0.79 maka pemakaian gliserol sebanyak 15% cukup efektif pada formula campuran tapioka dan tepung ketan (aw = 0.782) dan formula campuran tepung beras dan tepung ketan (aw = 0.776). Sedangkan pemakaian sorbitol kurang efektif dalam menurunkan aw produk pangan. Hal ini disebabkan oleh nilai Ei sorbitol yang hanya setengah dari nilai Ei gliserol. Selain itu, penggunaan sorbitol ke dalam produk pangan maksimal 10% dengan asumsi mengkonsumsi produk sebanyak 450 – 500 gram/hari agar tidak menimbulkan efek laksatif. Sedangkan penggunaan gliserol hanya pada batas sampai tidak menimbulkan
aftertaste pahit. Nilai aw dari prediksi ini diuji lanjut dengan pengukuran aktivitas air aktual pada produk dengan menggunakan aw-meter. 2. Aktivitas Air pada Formula Dasar Pengukuran aktivitas air menggunakan aw-meter Shibaura Electronics Co.Ltd WA-360 untuk mengetahui nilai aktivitas air aktual yang terdapat pada masing-masing produk. Hasil pengukuran aw aktual pada ketiga formula dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil pengukuran aw dengan aw-meter pada ketiga formula dasar Formula
Kontrol
Humektan
Tapioka & tepung ketan Tapioka & tepung beras Tepung ketan & tepung beras
C. (28.9oC) 0.886 (29.1oC)
Gliserol 15% Sorbitol 10% Gliserol 15% Sorbitol 10% Gliserol 15%
0.897 (29.1oC)
Sorbitol 10%
Aktivitas Air Prediksi Aktual Produk Produk 0.782 0.772 ( 30.3oC) 0.879 0.799 (28.4oC) 0.815 0.778 (30.3oC) 0.907 0.811 (28.6oC) 0.776 0.774 (30.3oC) 0.874
0.816 (28.4oC)
Humektan seperti gliserol dan sorbitol banyak mengandung gugus OH. Atom H dari molekul humektan yang bermuatan negatif dapat membentuk ikatan hidrogen dengan atom O yang bermuatan positif dari molekul air yang terkandung di dalam PSB. Adanya ikatan ini, mengakibatkan humektan dapat mengikat kandungan air yang terdapat di dalam PSB sehingga aktivitas air yang terkandung di dalam produk PSB menurun. Berdasarkan hasil pengukuran, aktivitas air pada produk dengan tapioka dan tepung ketan sebelum ditambah humektan sebesar 0.869 dan setelah ditambah gliserol dengan konsentrasi 15% mampu menurunkan aw produk menjadi 0.772. Nilai yang dihasilkan aw aktual tidak jauh berbeda dengan nilai aw prediksi berdasarkan persamaan Grover yaitu 0.782. Aktivitas air pada produk dengan tapioka dan tepung beras sebelum ditambah humektan sebesar 0.886 dan setelah ditambah gliserol 15% mampu menurunkan aw produk menjadi 0.778. Nilai aw aktual produk dari tapioka dan tepung beras lebih kecil dibandingkan dengan nilai aw prediksi dengan
persamaan Grover yaitu 0.815. Produk dengan tepung beras dan tepung ketan sebelum ditambah humektan memiliki aktivitas air sebesar 0.897 dan setelah ditambahkan gliserol sebesar 15% dapat menurunkan aw produk tersebut menjadi 0.774. Nilai aw aktual dari produk tepung ketan dan tepung beras hampir sama dengan nilai aw prediksi dari persamaan Grover yaitu sebesar 0.776. Berdasarkan hasil pengukuran aw secara aktual, penambahan sorbitol dengan konsentrasi sebesar 10% belum mampu menurunkan aktivitas air produk untuk mencapai kisaran aw yang diinginkan (0.75 – 0.79). Nilai aw aktual produk setelah penambahan sorbitol dengan konsentrasi 10% memberikan nilai sebesar 0.799 pada produk dengan tapioka dan tepung ketan, 0.811 pada produk dengan tapioka dan tepung beras dan 0.816 pada produk dengan tepung beras dan tepung ketan. Sedangkan nilai aw prediksi sorbitol 10% ke dalam masing – masing produk jauh lebih besar dibandingkan dengan aw aktualnya, yaitu pada produk dengan tapioka dan tepung ketan sebesar 0.879, produk dengan tapioka dan tepung beras sebesar 0.907 dan produk dengan tepung ketan dan tepung beras sebesar 0.874. Aktivitas air aktual lebih rendah dibandingkan aktivitas air perdiksi berdasarkan perhitungan Grover. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis humektan yang digunakan pada bahan pangan dengan jenis humektan yang digunakan pada perhitungan Grover berdasarkan literatur. Oleh karena itu berdasarkan persamaan Grover, humektan yang lebih sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk PSB sebagai produk pangan darurat adalah gliserol dengan konsentrasi sebesar 15%. Pemakaian gliserol sebesar 15% ini masih memiliki sensori yang dapat diterima oleh panelis (tidak memiliki aftertaste pahit, memiliki tekstur yang cukup kenyal dan tidak menyebabkan produk menjadi kering).
E. PENETAPAN PRODUK PANGAN DARURAT TERBAIK Pemilihan produk pangan darurat terbaik dari ketiga jenis formula dasar PSB berdasarkan pengujian sensori (organoleptik). Pengujian sensori secara umum terbagi menjadi 3, yaitu; uji beda (discrimination test), uji deskripsi
(descripsi test) dan uji afektif (affective test) (Meilgaard et al. 1990). Menurut Soekarto (1981), uji untuk pengembangan produk baru baik yang khas maupun yang tiruan dapat dilakukan dengan uji hedonik yang bertujuan untuk eksplorasi terhadap akseptabilitas produk. Oleh karena itu, uji sensori terhadap EFP dilakukan dengan uji hedonik secara keseluruhan. Uji hedonik ini merupakan bagian dari uji afektif kuantitatif. Selain uji hedonik dilakukan juga uji rating atribut yang merupakan bagian dari Multisample Difference Test. Pengujian dilakukan terhadap ketiga jenis produk dari formula campuran tapioka dan tepung ketan, campuran tapioka dan tepung beras serta campuran tepung ketan dan tepung beras yang telah ditambahkan gliserol sebanyak 15% dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Pada kuisioner pengujian diberikan kode untuk mengindikasikan produk-produk yang diuji seperti pada Lampiran 5. Data rekapitulasi hasil pengujian terhadap 25 panelis tidak terlatih dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengujian hedonik dan uji rating terhadap 3 jenis atribut dilakukan didalam ruangan yang berisi 10 booth dengan tipe pintu rounding door. Data pengujian ini diolah menggunakan ANOVA dengan program SPSS.12. Pada Tabel Betweens-Subjects menunjukkan jumlah panelis yang digunakan, yaitu sebanyak 25 orang dan kode sampel 1 untuk formula campuran tapioka dan tepung ketan, kode 2 untuk formula campuran tapioka dan tepung beras dan kode 3 untuk formula campuran tepung beras dan tepung ketan. Tabel Test of Between-Subject Effects menunjukkan pengelompokkan sampel-sampel pada taraf nyata sebesar 5%. Pengelompokkan sampel–sampel tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% apabila nilai signifikan pada sampel lebih besar dari 0.05. Sedangkan pengelompokkan sampel-sampel berbeda nyata pada taraf 5% apabila nilai signifikan pada sampel lebih kecil dari 0.05. Pengelompokkan sampel-sampel yang berbeda nyata pada taraf 5% akan dilanjutkan lagi dengan uji Duncan. Pada uji Duncan tabel Homogeneous Subsets (Skor) menunjukkan sampel yang tidak berbeda nyata terletak pada kolom yang sama sedangkan sampel yang berbeda nyata terletak pada kolom yang beda.
a. Uji Hedonik Uji hedonik adalah uji yang digunakan untuk menentukan respon sejumlah panelis melalui pengisian kuisioner berkaitan dengan kesukaan, preferensi dari satu atau keseluruhan atribut sensori. Menurut Soekarto (1981), penganalisaan skala hedonik dapat ditransformasikan menjadi skala numerik dengan nilai menaik menurut tingkat kesukaan. Skala pengukuran pada uji hedonik dilakukan pada nilai 1 untuk produk yang sangat tidak disukai sampai nilai 7 untuk produk yang sangat disukai. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dari ketiga sampel karena nilai signifikan sampel (0.061) lebih besar dari 0.05 pada taraf 5% yang dapat dilihat pada Lampiran 7. Selanjutnya dilakukan uji Duncan dimana sampel C dan sampel B tidak berbeda nyata karena terletak pada kolom yang sama (Subset 1) sedangkan sampel A dan sampel C tidak berbeda nyata karena terletak pada kolom yang sama (Subset 2) yang dapat dilihat pada Gambar 13
Skala penerimaan
7 6
a
5.28
5
b
ab
4.56
4.76
Tapioka & tepung beras
Tepung ketan & tepung beras
4 3 2 1 Tapioka & tepung ketan
Keterangan :
a
b
= tidak berbeda nyata antara tapioka & tepung beras dengan tepung ketan dan tepung beras = tidak berbeda nyata antara tapioka & tepung beras dengan tepung ketan dan tepung beras
Gambar 13 Hasil uji hedonik pada ketiga formula dengan uji Duncan pada taraf 5%.
Hasil uji hedonik ini menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga produk hampir sama, dengan skala yang tertinggi terletak pada formula campuran tapioka dan tepung ketan dengan skala penerimaan
sebesar 5.28 yang menunjukkan cukup suka terhadap produk pangan semi basah tersebut. b. Uji Rating Atribut Pengujian rating dilakukan terhadap 3 jenis atribut yang terdapat pada produk pangan semi basah berbasis daging, yaitu uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan, aftertaste pahit dan kekenyalan. Uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan bertujuan untuk mengetahui tingkat kemudahan produk ketika ditelan dan seberapa besar kesan haus yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi produk tersebut. Skala pengukuran pada uji rating ini adalah nilai 1 untuk produk yang sangat sulit ditelan sampai nilai 7 untuk produk yang sangat mudah ditelan. Pada uji rating atribut kekenyalan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kekenyalan setiap produk yang diuji dengan skala pengukuran, nilai 1 untuk produk yang sangat tidak kenyal sampai nilai 7 untuk produk yang sangat kenyal sekali. Uji rating atribut aftertaste pahit bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan gliserol sebanyak 15% ke dalam produk yang dilakukan dengan skala pengukuran dari nilai 1 untuk produk yang sangat tidak pahit sampai nilai 7 untuk produk yang sangat pahit sekali. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan menunjukkan tidak adanya perbedaan dari ketiga sampel karena nilai signifikan sampel (0.155) lebih besar dari 0.05 pada taraf 5% yang dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil ini mengindikasikan bahwa dari ketiga formula, yaitu formula campuran tapioka dan tepung ketan, formula campuran tapioka dan tepung beras serta formula campuran tepung beras dan tepung ketan memiliki skala penilaian panelis cukup mudah untuk ditelan. Hasil uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan dapat dilihat pada Gambar 14.
Skala kemudahan ditelan
7 6 4.82
5
a
5.04a
4.52 a
4 3 2 1 Tapioka & tepung ketan
Keterangan :
a
Tapioka & tepung beras
Tepung ketan & tepung beras
= tidak berbeda nyata antara ketiga jenis formula
Gambar 14 Hasil uji rating kemudahan ditelan pada ketiga formula dengan uji Duncan pada taraf 5%.
Hasil uji rating terhadap kekenyalan dan aftertaste pahit menunjukkan adanya perbedaan dari ketiga sampel karena nilai signifikan sampel, yaitu sebesar 0.017 pada atribut kekenyalan (Lampiran 9.) dan 0.039 pada atribut aftertaste pahit (Lampiran 10.) jauh lebih kecil dari 0.05 pada taraf 5%. Berdasarkan hasil uji Duncan terhadap kedua jenis atribut ini menunjukkan bahwa sampel campuran tapioka dan tepung beras dan formula campuran tepung beras dan tepung ketan tidak berbeda nyata karena terletak pada kolom yang sama (Subset 1) sedangkan formula tapioka dan tepung ketan berbeda nyata karena terletak pada Subset 2. Skala penilaian tertinggi pada uji atribut kekenyalan dan aftertaste pahit terletak pada formula campuran tapioka dan tepung ketan dengan nilai 5.08 (yang menunjukan kenyal) dan nilai 2.16 ( yang menunjukkan tidak pahit). Hasil uji rating terhadap kekenyalan dan uji rating terhadap aftertaste pahit dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.
Skala kekenyalan
7 6
5.08
a b
5
b
4.4
4.36
Tapioka & tepung beras
Tepung ketan & tepung beras
4 3 2 1 Tapioka & tepung ketan
Skala aftertaste pahit
Gambar 15 Hasil uji rating kekenyalan pada formula A, B dan C dengan uji Duncan pada taraf 5%.
7 6 5 4 3
2.16
a
2.48
b
2.44
b
2 1 Tapioka & tepung ketan
Keterangan :
a
b
Tapioka & tepung beras
Tepung ketan & tepung beras
= tidak berbeda nyata antara tapioka & tepung beras dengan tepung ketan dan tepung beras = berbeda nyata
Gambar 16 Hasil uji rating aftertaste pahit pada formula A, B dan C dengan uji Duncan pada taraf 5%. Berdasarkan hasil uji organoleptik baik uji hedonik maupun uji rating ketiga jenis atribut maka dapat diperoleh produk pangan darurat terbaik (EFP), yaitu PSB dari formula dengan komposisi bahan penyusun terbuat dari tapioka sebesar 9.16% dan tepung ketan sebesar 15.27%. Pemilihan ini didasarkan oleh aftertaste yang dimiliki pada formula A tidak pahit dengan skala penilaian panelis sebesar 2.16 akibat adanya penambahan gliserol dengan konsentrasi 15% dan kekenyalan produk formula tersebut memiliki
skala penilaian sebesar 5.08, yaitu kenyal (dapat ditarik dengan jari dan tidak lengket pada langit-langit mulut). Skor penerimaan panelis terhadap kesukaan produk sebesar 5.28 (yaitu cukup suka terhadap EFP terbaik) dan skor penilaian panelis terhadap kemudahan produk ditelan sebesar 4.82 yaitu cukup mudah ditelan bagi panelis.
F. KARAKTERISASI DAN ANALISIS MIKROBIOLOGI EFP TERBAIK 1. Data Proksimat EFP terbaik Pada produk pangan darurat terbaik (produk formula campuran tapioka dan tepung ketan) dilakukan analisis proksimat dengan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat untuk mengetahui total kalori yang terdapat dari produk tersebut setelah penambahan gliserol 15%. Produk pangan darurat terbaik ini dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Produk pangan darurat terbaik Hasil dari analisis kadar air pada produk terbaik sebesar 40.55% b.k., kadar abu sebesar 4.51%, kadar protein sebesar 18.12% atau 9.06 gram per bar, kadar lemak sebesar 19.32% atau 9.66 gram per bar dan
kadar
karbohidrat sebesar 57.96% dari perhitungan by different atau 28.98 gram per bar (1 bar = 50 gram). Jumlah total kalori yang dihasilkan dari produk pangan darurat (EFP) terbaik sebesar 239.1 kkal/bar. Hasil ini memenuhi target kebutuhan kalori harian untuk EFP sebesar 233 kkal/bar. Oleh karena
itu untuk menghasilkan 2100 kkal/hari, produk EFP terpilih ini harus dikonsumsi sebanyak 9 – 10 bar (1 bar = 50 gram b.k.). Hasil analisa proksimat dari EFP terbaik dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Hasil analisis proksimat EFP terbaik Keterangan
Formula Tapioka dan Tepung Ketan
Kadar air (% b.k.) Kadar abu (% b.k.) Kadar protein (% b.k.) Kadar lemak (% b.k.) Kadar karbohidrat (% b.k.) Total kalori /50 gram produk (kkal)
40.55 4.51 18.12 19.32 57.96 239.10
2. Total Mikroba dan Total Kapang-Khamir EFP Terbaik Pengujian mikrobiologi dilakukan terhadap produk EFP terbaik untuk menjaga keamanan produk yang merupakan salah satu karakteristik utama produk pangan darurat (Zoumas et al. 2002). Pengujian dilakukan pada produk yang telah disimpan di dalam desikator dengan RH 71% dan suhu 29oC selama minggu 0, 1, 2, 3 dan 4. Pemilihan kemasan yang baik sangat penting untuk mendukung umur simpan produk. Kemasan yang digunakan untuk
melindungi
produk
selama
penyimpanan
adalah
plastik
PolyProphylene (PP). Analisis mikrobiologi yang dilakukan menggunakan metode hitungan cawan dengan cara metode tuang. Menurut Fardiaz (1989), prinsip hitungan cawan dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba yang terdapat di dalam sampel. Pengujian dilakukan dengan menggunakan media Plate Count Agar untuk mengetahui total mikroorganisme (Total Plate Count) dan media Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) untuk mengetahui total kapang – khamir dari EFP terbaik. Hasil perhitungan pertumbuhan mikroba pada media TPC dan media APDA selama 1 bulan dapat dilihat pada Tabel 20. Setelah penyimpanan selama 1 bulan jumlah kapang-khamir yang terdapat pada media APDA sebesar <1.0 x 101 kapang/gram (0.1 x 101 kapang/g). Hal ini disebabkan
adanya penambahan bahan antikapang yaitu kalium sorbat sebesar 0.1%. Pertumbuhan total mikroba pada media PCA dapat dilihat pada Gambar 18.
Tabel 20 Hasil analisis mikrobiologis EFP terbaik selama 4 minggu Jumlah Mikroba (koloni/gram) Kapang-Khamir Total Mikroba < 1,0 x 101 1.2 x 102 1 (0.1 x 10 ) < 1,0 x 101 2.5 x 102 1 (0.1 x 10 ) < 1,0 x 101 2.8 x 103 (0) 4.8 x 103 < 1,0 x 101 (0) < 1,0 x 101 6.2 x 103 1 (0.1x 10 )
Minggu 0 1 2 3
jumlah mikroba (log CFU/gram)
4
4.2 3.8
3.79
3.68 3.45
3.4 3 2.6 2.40 2.2
2.08
1.8 0
1
2
3
4
5
waktu penyimpanan (minggu)
Gambar 18 Pertumbuhan total mikroba pada media PCA selama 4 minggu pada EFP terbaik Berdasarkan hasil pengujian, total mikroba awal yang terdapat pada EFP terbaik sebesar 1.2 x 102 koloni/gram atau 2.08 log CFU/gram. Setelah penyimpanan selama 4 minggu pertumbuhan total mikroba mengalami peningkatan sebesar 1.71 log CFU/gram. Nilai total mikroba pada minggu
ke-4 menjadi 6.2 x 103 atau sebanyak 3.79 log CFU/gram. Penampakkan visual EFP terbaik setelah 1 bulan (4 minggu) masih terlihat normal dengan tekstur yang sedikit lebih keras dan tidak terdapat pertumbuhan kapang. Nilai mikroorganisme pada EFP terbaik mengacu pada produk pangan yangko. Hal ini disebabkan karena EFP terbaik dan yangko termasuk pangan semi basah yang terdiri dari bahan baku tepung ketan dan mengalami proses pengeringan. Menurut SNI 01–4325–1996 nilai standar mikroorganisme untuk yangko maksimum sebesar 1 x 105 koloni/gram untuk TPC (angka lempeng total) dan 1 x 103 koloni/gram untuk total kapang. Dengan demikian produk EFP terpilih masih layak di konsumsi dalam jangka waktu 4 minggu setelah produksi karena kandungan mikroba yang dimiliki belum melebihi standar yang ada. Oleh karena itu, EFP terbaik dapat digunakan untuk memenuhi kecukupan nutrisi pada masa darurat. Menurut Arpah (2001), pertumbuhan mikroba pada produk dapat menyebabkan perubahan organoleptik maupun penurunan nilai gizi dan bahkan dapat menyebabkan keracunan serta kematian. Pertumbuhan mikroba pada bahan pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi pH, aw, Eh, kandungan nutrisi, struktur biologis serta kandungan bahan anti mikroba sedangkan faktor ekstrinsik dipengaruhi oleh temperatur penyimpanan, kelembaban relatif (RH), jenis dan jumlah gas pada lingkungan. Aktivitas air merupakan faktor intrinsik yang sangat penting dalam pengendalian mikroba. Oleh karena itu dalam proses pengolahan EFP terbaik menggunakan gliserol untuk menurunkan aktivitas airnya. Aktivitas air pada EFP terpilih ini sebesar 0.772 yang memungkinkan bakteri tidak dapat tumbuh sehingga umur simpan EFP terbaik cukup lama dan keamanannya
terjamin.
Menurut
Supardi
dan
Sukamto
(1999),
mikroorganisme yang paling banyak menyerang PSB dengan kisaran aw 0.7 – 0.85 adalah bakteri halofilik dan S. aureus. Berdasarkan hasil pengujian terhadap TPC, jumlah mikroorganisme yang terkandung lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kapang – khamir yang terdapat pada APDA.
Hal ini disebabkan karena media Plate Count Agar (PCA) merupakan media pertumbuhan bagi semua mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir) dan juga adanya kemungkinan cemaran mikroba dari tangan, udara, maupun peralatan yang digunakan. Menurut Fardiaz (1989), Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus, tumbuh secara anaerobik fakultatif, tahan garam dan sering ditemukan pada makanan – makanan yang mengandung protein tinggi. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Labuza et al. (1976) menyatakan bahwa baik sorbitol maupun gliserol tidak dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Habitat S. aureus terdapat pada kulit, kelenjar kulit, membran mukosa dari hewan berdarah panas, termasuk manusia sehingga cemaran dari bakteri ini sangat mudah terjadi selama pengolahan. Namun Beberapa masalah yang timbul dari pengembangan PSB dalam hubungannya dengan Staphylococcus aureus menurut Pawsey dan Davies (1976), antara lain; 3. Kemungkinan enterotoksigenik dari Staphylococcus aureus. 4. Peluang pertumbuhan Staphylococcus aureus yang tinggi di dalam PSB. 5. Membutuhkan
metode
yang
tepat
untuk
analisis
keberadaan
Staphylococcus aureus di dalam PSB. Faktor intrinsik dalam pertumbuhan mikroba yang cukup penting selain aktivitas air adalah kandungan antimikroba. Pengunaan bahan antimikroba masih diperlukan untuk menghambat atau menghentikan aktivitas mikroba baik bakteri, kapang dan khamir sehingga dapat meningkatkan keawetan PSB pada kisaran aw 0.7 – 0.85. Menurut Seiler (1976) masalah mikrobial utama pada PSB modern adalah kapang. Oleh karena itu dalam pengolahan EFP terpilih ini menggunakan kalium sorbat dengan konsentrasi 0.10% sebagai antimikroba. Batas maksimum penggunaan kalium sorbat yang diperbolehkan di dalam bahan pangan sebesar 0.30% (Davidson dan Branen 1993).
Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologi terhadap total kapang khamir pada EFP terbaik setelah minggu ke-4 hanya mengandung mikroba sebesar <1.0 x 101 kapang/gram (0.1 x 101 kapang/gram). Dengan demikian penggunaan kalium sorbat di dalam EFP terbaik cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang dan khamir.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Formulasi EFP menghasilkan 3 jenis formula berbeda. Formula A adalah formula campuran tepung ketan dan tepung tapioka, formula B adalah campuran tepung beras dan tapioka dan formula C adalah campuran tepung beras dan tepung ketan. Berdasarkan persamaan Grover, humektan yang sesuai untuk menurunkan aw produk PSB adalah gliserol dengan konsentrasi 15%. Aktivitas air aktual pangan semi basah memberikan nilai 0.772 pada formula A, 0.778 pada formula B dan 0.774 pada formula C. Uji organoleptik berupa uji hedonik dan uji rating atribut terhadap kemudahan ditelan, aftertaste pahit dan kekenyalan. Berdasarkan hasil uji, produk pangan darurat (EFP) terbaik adalah EFP dari formula A (campuran tapioka dan tepung ketan) karena memiliki aftertaste yang tidak pahit dengan skala penilaian panelis sebesar 2.16 dan memiliki kekenyalan yang cukup dengan skala penilaian sebesar 5.08. Analisis mikrobiologi terhadap EFP terbaik menggunakan media PCA untuk uji total mikroba dan media APDA untuk uji kapang-khamir. Hasil analisis menunjukkan
pertumbuhan
kapang-khamir 1
setelah
minggu
keempat
1
penyimpanan sebesar <1.0 x 10 kapang/gram (0.1 x 10 kapang/g). Hal ini disebabkan adanya penambahan bahan antikapang, yaitu kalium sorbat sebesar 0.1%. Sedangkan pertumbuhan total mikroba menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi selama 4 minggu menjadi 6.2 x 103 atau sebanyak 3.79 log CFU/gram. Penampakkan visual pada EFP terbaik setelah penyimpanan 4 minggu, yaitu terlihat normal baik warna maupun aroma, tekstur yang sedikit lebih keras dan tidak terdapat pertumbuhan kapang. Jumlah energi yang disumbangkan dari EFP terbaik mencukupi kebutuhan konsumsi harian dengan mengkonsumsi sebanyak 9 – 10 bar/hari ( 1 bar = 50 gram). Energi yang dihasilkan sebesar 239.1 kkal per bar dengan nilai protein sebesar 18.12% atau 9.06 gram per bar, lemak sebesar 19.32% atau 9.66 gram per bar dan karbohidrat sebesar 57.96% atau 28.98 gram per bar.
B. SARAN Penggunaan humektan dapat dilakukan secara kombinasi agar dapat menghasilkan penurunan aktivitas air produk yang cukup signifikan. Perlunya dilakukan proses pembuatan EFP yang memenuhi standar Good Manufacturing Practices dan pemilihan kemasan yang lebih baik agar umur simpan EFP dapat lebih lama. Selain itu diperlukan juga proses scale up EFP dengan karakteristik yang optimum agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi bagi korban bencana alam.
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah DR. 2006. Hubungan sorpsi air, suhu transisi gelas, dan mobilitas air serta pengaruhnya terhadap stabilitas produk pada model pangan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anonima. 2008. Pengaruh Jarak Tanam dan Penggunaan Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Ubi Kayu. http://jatim.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=81&Itemid=107 [24 Juni 2008]. Anonimb. 2008. Chicken. http://www.wikipedia.org [12 Juni 2008]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist: Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Budiyanto S, Puspitasari NL. 1989. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Jurusan TPG: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. SNI 012981-1992. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tapioka. SNI 01–3451–1994. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Beras. SNI 01–3451–1994. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI 01–3707–1995. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Yangko. SNI 01–4325–1996. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1998. Tepung Ketan. SNI 01–4447–1998. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI 01–3751–2006. Jakarta. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. New York: Springer. Bell LN, Labuza TP. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isoterm Measurement and Use. Minnesota, USA: American Association Cereal Chemist. Bone D. 1969. Water activity: its chemistry and application. Food product dev. August-Sept. 1969. Di dalam: Sudarsono. 1981. Mempelajari berbagai jenis dan sifat pangan semi basah tradisional serta hubungannya dengan
keawetan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bronen AL, Davidson PM, Salmien S. 1990. In Food Additive. New York: Marcel Dekker, Inc. Christian JHB, Troller JA. 1978. Water Activity and Food. New York: Academic Press. Davidson PM, Branen AL. 1993. Antimicrobial in Foods. Volume ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc. Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Tanaman Pangan. http://www.database.deptan.go.id [28 Juli 2008]. Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. IPB, Bogor. . 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT. Gramedia. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Volume ke-1. New York: Marcel Dekker, Inc. . 1996. Food Chemistry. Volume ke-3. New York: Marcel Dekker, Inc. Gelardi RC, Nabors LO. 1991. Alternative Sweeteners. Volume ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc. Grist DH. 1975. Rice. London: Longman. Hegenbart S. 1996. Exploring Dimensions in Intermediate Moisture Foods. http://www.foodproductdesign.com/archive/1993/0793CS.html [17 September 2007]. Hough CAM, Parker KJ, Viltous AJ. 1979. Development in Sweeteners. Volume ke-1. London: Applied Science Publ. LTD. Igoe RS, Hui YH. 1994. Dictionary of Food Ingridients. New York: Chapman and Hall. IOM (Institute of Medicine). 1995b. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Energy Food Aid Rations. Washington, DC: National Academy Press. IOM (Institute of Medicine). 1997. Dietary Reference Intakes for Calcium, Phosporous, Magnesium, Vitamin D, and Fluoride. Washington, DC: National Academy Press.
IOM (Institute of Medicine). 1998. Dietary Reference Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. Washington, DC: National Academy Press. IOM (Institute of Medicine). 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium and Carotenoids. Washington, DC: National Academy Press. IOM (Institute of Medicine). 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdeum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington, DC: National Academy Press. Juliano BO. 1980. Nutritional quality of rice endosperm. Di dalam: Luh BS, editor. Rice: Production and Utilization. Minnesota: AVI Publishing Company, Inc. Karel M. 1976. Technology and application of new intermediate moisture foods. Di dalam: Davies RG, Birch G, Parker KJ, editor. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Labuza TP. 1971. Kinetics of lipidoxidation in foods. Crit. Rev. Jurnal Food Technology 2: 355. Di dalam: Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. New York: Springer. Labuza TP, Accot K, Tatini SR, Lee RY. 1976. Water activity determination : A collaborative study of different methods. J. Food Sci 37 Vol. 41 : 910917. Lewis JR. 1989. Food Additives Hanbook. New York: Chapman and Hall. Liovonen SM, Ross YH. 2002. Water sorption of food model for studies of glass transition and reaction kinetic. Vol 65, Nr 5. Di dalam: Adawiyah DR. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan [ Disertasi]. Bogor: Program Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lindsay RC. 1985. Food Additivies. Di dalam Fennema OR. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Man CMD. 2000. Shelf-life Evaluation of Foods. Volume ke-2. London: Aspen Publisher Incorporation. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Volume ke-3. USA: CRC Press. NRC (National Research Council). 1989. Recommended Dietary Allowances. Volume ke-10. Wasnington, DC: National Academy Press.
Pawsey R, Davies R. 1976. The safety of intermediate moisture foods with respect to Staphylococcus aureus. Di dalam: Davies RG. Birch G, Parker KD. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Prawiranegara DD. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Riadi R. 1990. Penentuan Koefisien Difusivitas Efektif dan Sorpsi Isotermi Tepung Tapioka. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robson JN. 1976. Some Introductory Thought on Intermediate Moisture Foods. Di dalam Davies RG, Birch G, dan Parker KJ (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London. Rockland, L. B. And L. R. Beuchat. 1987. Water Activity: Theory and Applications to Food. Marcel Dekker Inc., New York. Rodel, W. and L. Leistner. 1976. The Stability of Intermediate Moisture Foods with Respect to Micro-organisms. Di dalam: Davies RG. Birch G, Parker KD. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Seiler DAL. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. 1976. Di dalam: Davies RG. Birch G, Parker KD. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Sinskey AJ. 1976. New Development in Intermediate Moisture Foods: Humectant. Di dalam: Davies RG. Birch G, Parker KD. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Sloan AE, Waletzkop P, Labuza. 1976. Effect of order-of-mixing on aw-lowering ability of food humectants. J. Food Sci. 41:536-540. Smith J. 1991. Food Additive User’s Handbook. London: Blackie and Son Ltd. Soekarto ST. 1981. Penilaian Organoleptik. Bogor: Pusbangtepa, Institut Pertanian Bogor. Sudarsono. 1981. Mempelajari Berbagai Jenis dan Sifat Pangan Semi Basah Tradisional Serta Hubungannya Dengan Keawetan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Supardi I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung: Penerbit Alumni.
Taoukis PS, Breene WM, Labuza TP. 1999. Intemediate Moisture Food. Paper No. 14,969 of the scientific journal series of the minnesota agricultural experiment station. Minnesota: Departement of Food Science and Nutrition. Tilbury RH. 1976. The microbial stability of intermediate moisture foods with respect to yeasts. Di dalam: Davies RG. Birch G, Parker KD. Intermediate Moisture Food. London: Applied Science Publisher LTD. Troller JA. 1989. Water activity and food quality. Di dalam: Hardman TM. New York. Elsevier Applied Science USAID.
2001b. USAID Humanitarian Response. Online. www.usaid.gov/hum_response/.Accessed June 12, 2001.
Available
at
Williams, J. C. 1976. Chemical and Non Enzymatic Changes in Intermediate Moisture Foods. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1999. Minyak Pusbangtepa IPB
Goreng
Dalam
Menu
Masyarakat.
Bogor:
Zoumas BL, Armstrong LE, Backstrand JR., Chenoweth WL, Chinachoti P, Klein BP, Lane HW, Marsh KS, Tolvanen M. 2002. High-Energy, NutrienDense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. Washington, DC: National Academy Press.
Lampiran 1 Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula A (Tepung Ketan dan Tapioka) Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat (pati) Gula TOTAL
Komposisi (b.k.) 19,173103 20,096926
Komposisi (b.b.) 31,89 12,66 13,27
Komposisi (b.b. 100 g) 32,56740196 12,92892157 13,55187908
53,975466 6,7545055 100
35,64 4,46 97,92
36,39705882 4,554738562 100
Ei
mi
Ei/mi
1,3 -1
2,5189573 2,403165
0,516086548 -0,4161179
0,8 1
0,8947811 7,1502242
0,894073377 0,139855754
Eo F. A Eo2 aw Ei gliserol = 4.0 Ei sorbitol = 2.0 Humektan Jumlah (%)
Gliserol
Sorbitol
5 10 15 5 10
mi
Ei/mi
6,5134804 3,2567402 2,1711601 6,5134804 3,2567402
0,614111007 1,228222013 1,84233302 0,307055503 0,614111007
Eo humektan +Eo f. A 1,7480088 2,3621198 2,9762308 1,4409533 1,7480088
1,133897774 1,285724161 0,932395981
Eo2 campuran
aw
3,0555347 5,5796099 8,8579497 2,0763463 3,0555347
0,878949028 0,828896266 0,782237694 0,905248231 0,878949028
Lampiran 2 Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula B (Tepung Beras dan Tapioka) Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat Gula TOTAL
Komposisi (b.k.) 16,963569 22,548548 60,487883
Komposisi (b.b.) 34,57 10,57 14,05 37,69
100
96,88
Komposisi (b.b. 100 g) 35,68331957 10,91040462 14,50247729 38,90379851 0 100
Ei
1,3 -1 0,8 1
mi
Ei/mi
3,2705771 2,4604982 0,9172194 0
0,397483367 -0,4064217 0,872201331 0
Eo F. B Eo2 aw Ei gliserol = 4.0 Ei sorbitol = 2.0 Humektan Jumlah (%)
Gliserol
Sorbitol
5 10 15 5 10
mi
Ei/mi
7,1366639 3,568332 2,378888 7,1366639 3,568332
0,56048597 1,120971941 1,681457911 0,280242985 0,56048597
Eo humektan +Eo F. B 1,4237489 1,9842349 2,5447209 1,1435059 1,4237489
0,863262945 0,745222912 0,957027209
Eo2 camp
aw
2,027061 3,9371881 6,4756042 1,3076058 2,027061
0,906746883 0,859293858 0,814668133 0,931533633 0,906746883
Lampiran 3 Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula C (Tepung Beras danTepung Ketan) Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat (pati) Gula TOTAL
Komposisi (b.k.) 17,596953 19,300374
Komposisi (b.b.) 30,85 11,57 12,69
Komposisi (b.b. 100 g) 31,93581119 11,97722319 13,13664324
57,366066 5,7366066 100
37,7182 3,77182 96,60002
39,04574761 3,904574761 100
Ei
mi
Ei/mi
1,3 -1
2,6663786 2,4310481
0,487552674 -0,4113452
0,8 1
0,8179075 8,1790754
0,978105673 0,122263209
Eo F. C Eo2 aw Ei gliserol = 4.0 Ei sorbitol = 2.0 Humektan Jumlah (%) Gliserol
Sorbitol
5 10 15 5 10
mi
Ei/mi
6,3871622 3,1935811 2,1290541 6,3871622 3,1935811
0,626256207 1,252512415 1,878768622 0,313128104 0,626256207
Eo humektan +Eo F. C 1,8028325 2,4290888 3,055345 1,4897044 1,8028325
1,176576337 1,384331877 0,92857186
Eo2 campuran
aw
3,2502052 5,9004722 9,3351328 2,2192193 3,2502052
0,874342669 0,82364325 0,776473602 0,901016043 0,874342669
Lampiran 4 Perhitungan Densitas Pangan Semi Basah
Formula
Tapioka & Tepung Ketan Tapioka & Tepung Beras Tepung Ketan & Tepung Beras
23.42
Bobot padatan (gram b.k.) 50
Total Produk (gram b.b.) 73.42
52.82
26.41
50
76.41
44.64
22.32
50
72.32
Kadar air (%) 46.83
Bobot air (g / 50 g b.k.)
Volume produk = p x l x t = 5 cm x 5 cm x 2.5 cm = 62.5 cm3 Densitas produk = bobot produk (g) / volume (cm3) Densitas formula tapioka & tepung ketan = 73.42 g / 62.5 cm3 = 1.17 g/cm3 Densitas formula tapioka & tepung beras = 76.41 g / 62.5 cm3 = 1.22 g/cm3 Densitas formula tepung beras & tepung ketan = 72.32 g / 62.5 cm3 = 1.17 g/cm3
Lampiran 5 Humektan yang umum digunakan, Konvensional dan Non Konvensional serta Peranan Utamanya dalam Pangan Menu KekeAktivitas Kemampuan Menahan Pema Fungs Status FDA runka Bahan nyalan antimikroba rehidrasi Kristalisasi nis i lainb n aw Garam Mineral NaCl, KCl, CaCl2 XX X X XX GRAS Phospat, polyphospat X XX CFR 182 and 184 Karbonat dan Sulfat tertentu XX XX CFR 182 and 184 Garam dari serum susu XX X CFR 182 and 184 Asam Organik Asam-asam pangan dan garamXX X XX X XX CFR 182 and 184 garam Na, K, dan Ca Asam Askorbat X XX CFR 182 and 184 Protein dan turunannya Asam-asam amino dan garam XX X XX 21 CFR 172.320 Oligopeptida X XX GRAS Hidrolisat protein XX X XX GRAS Monosakarida, Disakarida dan Polisakarida Pentosa XXd XX GRAS Hexosa (glukosa, ftuktosa) XX XX XX XX GRAS Mannosa, galaktosa, dll XX XX GRAS Disakarida (sukrosa, laktosa, XX XX XX GRAS maltosa) Berbagai macam Oligosakarida XX XX X GRAS XX XX XX GRAS Produk alami dan industri : madu, gula invert, Sirup jagung tinggi fruktosa, sirup glukosa, sirup maple
Lampiran 5 Humektan yang umum digunakan, Konvensional dan Non Konvensional serta Peranan Utamanya dalam Pangan (lanjutan) Aktivitas Kemampuan Menahan Pema Fungs Menuru KekeStatus FDA Bahan antimikroba rehidrasi Kristalisasi nis i lainb nkan aw nyalan GRAS XX X Maltodekstrin (dekstrosa ekivalen 3-20) dan hidrolisatnya; gum dan hidrolisatnya; selulosa dan GRAS X XX XX XX hidrolisatnya Alkohol dan polyols Ethanol XX XX 21 CFR 184.1293 Sorbitol XX XX XX XX XX 21 CFR 184.1835 Mannitol, xylitol, erythritol XX X XX 21 CFR 172.395 Gliserol XX XX X XX X X 21 CFR 182.1320 1,2-propanadiol, 1,2XX XX XX X 21 CFR 182.1666 butanadiol (propilen glikol) 1,3-butanadiol, 1,3-pentanadiol XX XX XX 21 CFR 172.220 (1,3-butilen glikol) 1,3,5-polyol (empat untuk 12 XX XX 21 CFR 172.864 atom karbon) Polietilen glikol (mol wt 400, XX XX 21 CFR 172.820 600, 1500, 2400, dll) a dikutip dari Taoukis et al. (1999) b Fungsi lainnya termasuk pengatur pH, meningkatkan nilai gizi, melarutkan protein dan antioksidasi
Lampiran 6 Formulir Kuisioner Uji Organoleptik UJI RATING KEMUDAHAN DITELAN Sampel
: Intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kemudahan ditelan dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon
Kode Sampel 212 324 434
Sangat mudah Mudah Agak mudah Netral Agak sulit Sulit Sangat sulit
UJI RATING AFTERTASTE PAHIT Sampel
: Intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon Sangat pahit sekali Sangat pahit Pahit Cukup pahit Sedikit pahit Tidak pahit Sangat tidak pahit
212
Kode Sampel 324 434
UJI RATING KEKENYALAN Sampel
: Intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel 5. Kode Sampel Respon 212 324 434 Sangat kenyal sekali Sangat kenyal kenyal Cukup kenyal Sedikit kenyal Tidak kenyal Sangat tidak kenyal UJI HEDONIK Sampel
: Intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kesukaan keseluruhan atribut sampel (over all) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
212
Kode Sampel 324 434
Lampiran 7 Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik Rating kemudahan ditelan Panelis A B C Shofia 4 4 3 Prita 6 5 5 Tri Eko 5 6 2 Anto P 6 4 6 Dyah Ayu 6 5 5 Indi 6 6 5 Fina 6 6 6 Arif M 6 6 6 Faried 3 5 4 Ety 6 7 6 Sherly V 3 6 5 Odhe 7 4 5 Erma 6 6 6 Edy 4 3 3 Risma 6 6 6 Chiechie 3 5 3 Gema 5 4 4 Sissy 7 6 6 NN 5 6 3 Kurnia 4 6 5 Federika 6 7 6 NN 4 3 3 Stefanus 1 2 3 Vera L 3 2 3 Royama 3 6 4
Rating Aftertaste pahit Panelis A B Shofia 2 3 Prita 2 4 Tri Eko 2 4 Anto P 2 2 Dyah Ayu 2 2 Indi 2 2 Fina 2 2 Arif M 3 3 Faried 2 2 Ety 2 2 Sherly V 2 2 Odhe 2 2 Erma 2 2 Edy 2 3 Risma 2 2 Chiechie 2 2 Gema 2 3 Sissy 3 2 NN 2 2 Kurnia 3 4 Federika 3 2 NN 2 3 Stefanus 2 3 Vera L 2 2 Royama 2 2
C 2 4 3 2 2 2 3 4 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 2 3 2 3
Rating kekenyalan Panelis A B Shofia 6 5 Prita 5 5 Tri Eko 5 4 Anto P 5 3 Dyah ayu 6 3 Indi 6 5 Fina 4 4 Arif M 4 6 Faried 5 4 Ety 4 4 Sherly V 5 3 Odhe 7 3 Erma 5 5 Edy 4 3 Risma 5 5 Chiechie 5 5 Gema 4 5 Sissy 4 5 NN 5 6 Kurnia 5 5 Federika 7 5 NN 5 3 Stefanus 6 3 Vera L 5 6 Royama 5 5
C 6 4 6 4 4 4 3 7 4 4 4 4 5 4 5 3 5 4 4 6 4 4 2 5 4
Panelis Shofia Prita Tri Eko Anto P Dyah Ayu Indi Fina Arif M Faried Ety Sherly Odhe Erma Edy Risma Chiechie Gema Sissy NN Kurnia Federika NN Stefanus Vera L Royama
Hedonik A 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 4 5 5 6 5 4 5 5 4 3 6 6 3 5
B 5 4 4 4 3 6 6 5 4 2 7 5 5 4 6 6 4 6 6 3 5 3 3 3 5
C 4 4 3 6 4 6 5 4 5 5 7 6 6 4 6 4 4 6 4 6 6 4 2 4 4
Lampiran 8 Hasil Uji Hedonik pada Formula A, B dan C Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Type III df Mean F Sum of Square Squares Model 1825.240 27 67.601 58.194 PANELIS 42.000 24 1.750 1.506 SAMPEL 6.907 2 3.453 2.973 Error 55.760 48 1.162 Total 1881.000 75 a R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .954)
Sig.
.000 .113 .061
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan N
Subset
SAMPEL 1 2 2 25 4.56 3 25 4.76 4.76 1 25 5.28 Sig. .515 .095 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.162. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
Lampiran 9 Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan pada Formula A, B dan C Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Type III df Mean F Sum of Square Squares Model 1837.440 27 68.053 76.752 panelis 106.000 24 4.417 4.981 sampel 3.440 2 1.720 1.940 Error 42.560 48 .887 Total 1880.000 75 a R Squared = .977 (Adjusted R Squared = .965)
Sig.
.000 .000 .155
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan sampel
N
Subset 1 3 25 4.52 1 25 4.84 2 25 5.04 Sig. .070 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .887. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
Lampiran 10 Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit pada Formula A, B dan C Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Type III df Mean F Sum of Square Squares Model 434.520 27 16.093 73.710 panelis 15.280 24 .637 2.916 sampel 1.520 2 .760 3.481 Error 10.480 48 .218 Total 445.000 75 a R Squared = .976 (Adjusted R Squared = .963)
Sig.
.000 .001 .039
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan N Subset sampel 1 2 1 25 2.16 3 25 2.44 2 25 2.48 Sig. 1.000 .763 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .218. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.
Lampiran 11 Hasil Uji Rating Kekenyalan Pahit pada Formula A, B dan C Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Type III df Mean F Sum of Square Squares Model 1631.520 27 60.427 65.209 panelis 27.120 24 1.130 1.219 sampel 8.187 2 4.093 4.417 Error 44.480 48 .927 Total 1676.000 75 a R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .959)
Sig.
.000 .274 .017
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan N
Subset
sampel 1 2 3 25 4.36 2 25 4.40 1 25 5.08 Sig. .884 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .927. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25.000. b Alpha = .05.