SKRIPSI
PEMBUATAN PROTOTIPE COOKIES DARI BERBAGAI BAHAN SEBAGAI PRODUK ALTERNATIF PANGAN DARURAT
Oleh : AZIS BOING SITANGGANG F24104002
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PEMBUATAN PROTOTIPE COOKIES DARI BERBAGAI BAHAN SEBAGAI PRODUK ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : AZIS BOING SITANGGANG F24104002
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMBUATAN PROTOTIPE COOKIES DARI BERBAGAI BAHAN SEBAGAI PRODUK ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh AZIS BOING SITANGGANG F24104002
Dilahirkan Pada Tanggal 11 September 1986 Di Pematang Siantar, Sumatera utara Tanggal Lulus : Mei 2008 Menyetujui, Bogor,
Juni 2008
Ir. Elvira Syamsir, MSi Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Siantar, 11 September 1986. Penulis adalah anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Alten Sitanggang dan Kerelly Gultom. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 122380 Pematang Siantar pada tahun 1992-1998, Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 7 Pematang Siantar pada tahun 1998-2001, dan Pendidikan Lanjutan Tingkat Atas di SMUN 2 Pematang Siantar pada tahun 2001-2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di perkuliahan penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi, seperti Youth of Nation Ministry (YoNM), Komisi Kesenian PMK IPB, Food Chat Club (FCC) dan HIMITEPA. Selain itu, penulis juga aktif dalam mengikuti kegiatan non akademis seperti seminar National Students’ Paper Competition on Food Issue (2006, 2007), IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Products (2005), dan Halal Food Seminar (2005). Penulis juga pernah bekerja sebagai asisten dalam berbagai mata kuliah, seperti mata kuliah Kimia (FMIPA), fisika (FMIPA), Prinsip Teknik Pangan (ITP) dan sebagai trainer pada Pelatihan Pengolahan Komoditas Laut Di Pantai Pangandaran oleh PT. FITS Mandiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Slamet Budijanto. M.Agr serta bekerja sebagai part timer sebagai field nutritionist di PT Tigaraksa: susu Produgen. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema “Pembuatan Prototipe Cookies dari Berbagai Bahan sebagai Produk Alternatif Pangan Darurat” di bawah bimbingan Ir. Elvira Syamsir, MSi dengan bantuan dana dari program RUSNAS (Riset Unggulan Strategi Nasional) pada tahun 2007.
Azis Boing Sitanggang. F24104002. Pembuatan Prototipe Cookies Dari Berbagai Bahan Sebagai Produk Alternatif Pangan Darurat. Di bawah Bimbingan Elvira Syamsir. 2008. RINGKASAN Pangan Darurat (EFP) adalah pangan yang dikonsumsi dalam kondisi darurat, dimana manusia tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. EFP dikonsumsi selama 15 hari, sampai bantuan pangan yang lebih stabil datang. Untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia perharinya, EFP harus memiliki kandungan kalori 2100 kkal/hari. Setiap bar EFP (per 50 gr), harus memiliki densitas energi sebesar 233 kkal dengan persentasi kalori protein sebesar 13,5%-15% , lemak 35%-45% dan karbohidrat 40-48,5% dari total kalori. EFP memiliki beberapa karakteristik dasar yang harus dimiliki yaitu, harus aman, rasanya enak, mudah untuk didistribusikan, mudah untuk diproduksi dan memiliki
kandungan
energi
yang
lengkap.
Di
samping
itu,
dalam
mengembangkan sebuah EFP juga mempertimbangkan faktor ekonomis. Faktor ekonomis mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan EFP sampai pendistribusiannya dibandingkan dengan konsumsi makanan dalam kondisi normal atau keuntungan nutrisi yang didapatkan dari EFP itu sendiri. EFP dapat dikembangkan dari pangan yang sudah ada (existing food) dengan memodifikasi komposisi dan proses pembuatan pangan itu sendiri. Langkah-langkah yang dilakukan untuk membuat EFP dari produk yang telah ada (existing product) adalah mengkarakterisasi produk target meliputi analisis aw, kadar air, tekstur, deskripsi produk dan proses pembuatannya; formulasi produk untuk memenuhi densitas kalori yang diharapkan; verifikasi proses pembuatan produk formulasi; analisis umur simpan produk terpilih. Melalui proses karakterisasi 3 produk pasaran target (kue satu, keju dan sagon panggang), terpilih dua produk (kue satu, keju) yang dikembangkan dalam formulasi EFP. Hasil karakterisasi ketiga produk di atas sesuai dengan syarat EFP dari segi nilai aw (aw< 0,6), tekstur, kadar air dan penampakan yang telah ditetapkan. Tetapi dalam proses pembuatannya, kue sagon panggang terlalu rumit prosesnya, sehingga untuk memodifikasi kembali prosesnya untuk memproduksi EFP akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, kue satu dan kejulah yang
diputuskan untuk direformulasi dan diverifikasi prosesnya untuk menghasilkan EFP yang terpilih. Formulasi EFP menggunakan prinsip kesetimbangan massa. Target formulasi ini adalah densitas kalori produk sebesar 233 kkal/50 gram produk dengan persentasi kalori protein sebesar 13,5%-15%, lemak 35%-45% dan karbohidrat 40-48,5% dari total kalori, dengan asumsi kadar air produk akhir adalah 3%. Formulasi terbaik yang didapatkan terdiri dari cookies kacang hijau FA1, FA2, FA3 dan cookies keju FB1, FB2. Verifikasi proses pembuatan formulasi terbaik meliputi proses pembuatan adonan, penambahan air dan kombinasi suhu dan waktu pemanggangan. Verifikasi ini bertujuan mendapatkan nilai aw produk tidak melebihi batas maksimum (0,6) dengan tekstur (kerenyahan) yang optimum. Produk terpilih dari verifikasi proses berasal dari cookies kacang hijau yaitu, FA31-20%(A), FA3220% (B) dan FA33-20%(C) dan dari cookies keju yaitu, FB1 (D) dan FB2(E). Analisis sensori dilakukan untuk mendapatkan produk terpilih yang selanjutnya dianalisis biayanya untuk mendapatkan produk terbaik yang di scale up menjadi produk EFP. Analisis berupa uji sensori yang meliputi uji ranking dan rating hedonik, dan analisis biaya bahan baku penyusun produk. Uji rating hedonik dengan uji Duncan memberikan kesimpulan bahwa produk A dan D berbeda secara nyata dengan produk B, C dan E pada taraf nyata 5% [(A=D) ≠ (B=C=E), α 5%). Uji ranking dengan uji Friedman terhadap kedua jenis cookies kacang hijau dan keju memberikan peringkat tertinggi pada cookies kacang hijau FA32-20% (B) dan cookies keju FB2 (E). Oleh karena itu, disimpulkan kedua jenis cookies kacang hijau FA32-20% (B) dan cookies keju FB2 (E) yang dianalisis lebih lanjut. Analisis biaya memberikan hasil perhitungan biaya yang dikeluarkan dalam pembelian bahan cookies kacang hijau FA32-20% (B) sebesar Rp. 8.142,51 per 450 gr/hari/orang. Sedangkan biaya pembelian bahan penyusun cookies keju FB2 (E) sebesar Rp. 9.768,92 per 450 gr/hari/orang. Biaya pembelian bahan cookies kacang hijau lebih rendah dibandingkan cookies keju FB1 dengan selisih Rp. 1.626,41 per 450 gr/hari/orang. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa cookies
kacang hijau FA32-20% merupakan produk terpilih yang di scale up menjadi produk pangan darurat (EFP). Scale up produk cookies kacang hijau FA32-20% (EFP) meliputi peningkatan jumlah adonan, skala alat dalam proses pembuatan produk, analisis fisikokimia, mikrobiologis dan densitas kalori aktual produk akhir. Formulasi adonan yang di scale up terdiri dari tepung kacang hijau sangrai sebesar 45,45%, minyak kelapa 5,16%, margarin 7,23%, susu bubuk full-cream 10,33%, gula pasir 20,66% dan air yang ditambahkan 20% basis bahan tepung-tepungan sehingga jumlah air 11,15% basis total adonan. Formulasi ini memberikan nilai kalori sebesar 227,57 kkal/50 gram produk. Proses pembuatan EFP scale up menghasilkan perubahan dalam proses pemanggangan EFP. Pada awalnya formulasi cookies kacang hijau FA32-20% dipanggang dengan suhu 1200C selama 28 menit, tetapi dalam proses pembuatan saat scale up pemanggangan dilakukan pada suhu 1300C selama 15 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan suhu 800C selama 5-6 jam. Perubahan proses ini diakibatkan ukuran produk hasil scale up yang lebih besar dibanding produk awal. EFP hasil scale up memiliki panjang 6 cm, lebar 4 cm dan ketebalan 1,5 cm. Perubahan ukuran ini bertujuan memperoleh berat EFP per barnya adalah 50 gram dengan densitas kalori 233 kkal. Analisis fisikokimia memberikan nilai aktivitas air (aw) sebesar 0,315 pada suhu 27,130C, analisis tekstur memberikan nilai peak force (+) 3429,9 gr; 1,458 sec; 0,928 mm dan densitas kamba 0,6 gr/ml. Analisis proksimat kadar air memberikan nilai sebesar 2,02% (BB), kadar abu 1,85% (BB), kadar protein 15,86% (BB), kadar lemak 16,28% (BB), dan kadar serat kasar 11,03% (BB). Sedangkan kadar karbohidrat yang dihitung secara by difference menghasilkan nilai sebesar 52,95%. Dari hasil proksimat, dapat dihitung densitas kalori aktual yang dimiliki oleh EFP yaitu sebesar 210,88 kkal. Hasil analisis mikrobiologis memberikan nilai TPC sebesar 5,1. 102 kol/gr, sedangkan hasil Total Kapang-Khamir sebesar 0,9.101 kol/gr. Menurut SNI (1992), jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1.106 kol/gr dan Total kapang sebesar 1.102 kol/gr. Dengan demikian produk EFP
layak dikonsumsi karena memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan. Pendugaan umur simpan EFP dilakukan dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing), menggunakan model persamaan Arrhenius. Sampel EFP disimpan pada 3 suhu berbeda yaitu 370C, 450Cdan 550C. Pengamatan dilakukan per empat hari dengan parameter mutu meliputi atribut sensori rasa, aroma, tekstur warna, nilai TBA (thiobarbituric acid), kerenyahan (peak force +), kadar air serta analisis warna dengan menggunakan chromameter. Dalam proses perhitungan umur simpan, semua parameter mengalami penurunan mutu mengikuti ordo reaksi satu. Parameter terpilih yang digunakan dalam perhitungan umur simpan adalah nilai kadar air dengan koefisien korelasi (r2) sebesar 0,966. Jika produk disimpan dalam suhu 300C, dengan menggunakan parameter kadar air sebagai parameter kerusakan selama penyimpanan maka umur simpan EFP mencapai 27,73 bulan atau sekitar 2,3 tahun. Analisis mikrobiologi lanjutan dilakukan juga dengan pengambilan sampel pada hari terakhir (hari ke 28) dari waktu penyimpanan. Analisis ini meliputi TPC (Total Plate Count) dan Total Kapang-Khamir. Nilai TPC yang didapatkan sebesar 2,6.102 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 370C; 8,4.103 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 450C dan 5,0.103 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 550C. Sedangkan Total Kapang-Khamir sebesar 2,3.101kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 370C; 3,0.101kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 450C, kol/gr dan 2,6.101kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 550C, kol/gr.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus karena anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang begitu besar kepada semua pihak yang turut membantu penulis selama kuliah hingga selesainya skripsi ini, yaitu kepada: 1. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini, ilmu pengetahuan,
pandangan-pandangan,
serta
nasihat-nasihat
yang
dapat
membuka wawasan penulis serta menjadi motivasi penulis untuk dapat menghadapi masa depan. 2. Orang tua penulis (Papa dan Mama) serta kakak-kakak penulis: Melda, SPd dan kakak ipar Arifin (Pol), Amri, SH (Pol), Dewi R, Amd, Lely, SE, Admaja B. S. serta kedua keponakanku Armenia Putri dan Medalin atas semua doa, dorongan, nasihat, semangat, dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat selalu termotivasi untuk berusaha memberikan dan menghasilkan karya yang terbaik. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan pikirannnya untuk perbaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr atas saran, nasehat dan informasinya yang membantu penyelesaian skripsi ini serta filosofinya (pandangan hidup) yang banyak mengajar dan menegur penulis, Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, M.Agr atas nasehat moral yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah di ITP dan kepada Drh. M. Rizal Damanik, M.Rep.Sc., PhD atas dorongannya untuk cepat menyelesaikan studi di tingkat sarjana dan atas semua saran-sarannya. 5. Teman-teman di Youth of Nation Ministry (Ka Darius S.Th, Bronson, STp, Eles, Tera, Tino, Agus Bali, Bagus, Prawira, Febrian, Binsar, Ida, Tities, Netha, Endang, Margie, Ida 42, Dita, Vera, Desliana, Leni, Niken, Buyung, Data, Novi, Febriani, dan adik-adik 43, 44)
ii
6. Teman-teman ITP 41 (Sherly Valentina serta keluarganya: tante Leni, om Tejo, Cindy valentina dan Vicktor, Yuliana monyong, Willine bacil, Vera ndut, Tika oneng, Hajrah himalogat, Dilla himalogat, Gina monster, Ancha edo, Anto otong, Lutfi mpus, kockpet). 7. Seluruh staff pengajar ITP yang telah memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan kepada penulis, Laboran-laboran ITP khususnya Ibu Antin thanks buat masukannya, Teknisi Pilot Plan SEAFAST Center yang telah banyak membantu selama penelitian, serta Program RUSNAS yang telah memberikan bantuan dana. 8. Teman-teman PF Fateta ( Prita, May land, Yuke, Lia, Au, Mula) atas kerjasama pelayanannya, teman-teman penghuni L2 (Ka Sarwo, Mb Mitoel, Ka Helmi, Rani) serta teman-teman PKM Cookies dan Uji Toksisitas (Teresia terimakasih buat koreksiannya seharian penuh, Veronica, Kallista, Margareth) terimakasih atas kerjasama nge-lab barengnya. 9. Keluarga Pdm. Ir. Ruddi Langitan ( Ka Yuli, Evan, Darrel, Feby), kakak PA ku Ryan yang selalu memberikan dorongan dan nasehat serta KOMPI 74 GKKD Bogor (Ko Yongki dan keluarganya, Edi, Jonathan, Lany, Vanya, Tumpal, Hendrik) atas dukungan doa selama penulis melaksanakan penelitian. 10. Teman- teman Komisi Kesenian PMK IPB angkatan 39, 40, 41 (Angel, Didit, Wastin, Rio, Sri, Sonti, Pretty, Tri, Yohan, Saor), 42, dan 43. Semoga kebersamaan dan kerjasama akan berlanjut untuk selamanya. 11. Kepada pihak yang belum disebutkan namanya, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Tuhan Yesus Kristus membalas semua kebaikan teman-teman semua. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan. Semoga informasi pada skripsi ini dapat digunakan oleh pihak lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Terimakasih. Bogor, Juni 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................iii DAFTAR TABEL..........................................................................................vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Tujuan ..................................................................................................... 2 C. Manfaat .................................................................................................. 3 I. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................4 A. PANGAN DARURAT (EMERGENCY FOOD PRODUCT, EFP) ........ 4 1. Karakteristik Pangan Darurat (EFP) .................................................5 2. Kandungan Nutrisi Pangan Darurat (EFP)........................................ 8 3. Sumber Energi Pangan Darurat (EFP) ............................................ 10 B. PRODUK PANGAN DARURAT (EFP) KOMERSIAL ..................... 12 1. Food Bars....................................................................................... 12 2. MREs (Meals Ready To Eat) .......................................................... 13 3. Camping Pouch Products ...............................................................13 4. Long Shelf Life Food Supply ........................................................... 14 C. KUE KERING ...................................................................................... 14 1. Kue Satu .......................................................................................... 14 2. Kue Sagu Keju ................................................................................ 15 D. COOKIES.............................................................................................. 17 1. Bahan Penyusun Cookies ................................................................ 17 2. Proses Pembuatan Cookies.............................................................. 19 3. Sifat-Sifat Fisik Cookies ................................................................. 21 E. KACANG HIJAU ................................................................................. 24 F. PENYANGRAIAN ............................................................................... 26
iv
G. PENGEMASAN ................................................................................... 27 H. UMUR SIMPAN................................................................................... 28 II. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................. 35 A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 35 1. Bahan .............................................................................................. 35 2.
Alat................................................................................................. 35
B. TAHAPAN PENELITIAN .................................................................. 35 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................... 35 2. Penelitian Utama ............................................................................. 36 a. Formulasi Produk Pangan Darurat Dengan Kandungan Total Nilai Kalori Mendekati 2100 Kkal .................................36 b. Pembuatan Produk Pangan Darurat Dari Produk Pasaran Yang Terpilih Berdasarkan Formulasi Dan Rekayasa Proses ................................................................36 c. Pendugaan Umur simpan Produk Terpilih................................37 C. METODE ANALISIS........................................................................... 40 1. Penentuan Kadar Air ....................................................................... 40 2. Penentuan Kadar Abu ..................................................................... 40 3. Penentuan Kadar Protein................................................................. 41 4. Penentuan Kadar Lemak ................................................................. 42 5. Penentuan Kadar Karbohidrat ......................................................... 42 6. Analisis Serat Kasar ........................................................................ 42 7. Pengukuran Aktivitas Air (aw) ........................................................ 43 8. Analisis Tekstur .............................................................................. 44 9. Uji Organoleptik ............................................................................. 45 10. Pengukuran Densitas Kamba .......................................................... 45 11. Pengukuran TBA (Thiobarbituric Acid) ........................................ 46 12. Penentuan Umur Simpan EFP......................................................... 46 III. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 49 A. KARAKTERISASI KUE KERING TRADISIONAL.......................... 49 1. Kue Satu (Satru).............................................................................. 49 2. Kue Sagu Keju ................................................................................ 51
v
3. Kue Sagon Panggang ...................................................................... 52 B. STANDARISASI PROSES PENYANGRAIAN DAN PENEPUNGAN KACANG HIJAU .....................................................55 C. FORMULASI PANGAN DARURAT..................................................58 1. Formulasi Cookies Kacang Hijau (Modifikasi Kue Satu = FA) ...........................................................60 2. Formulasi Cookies Keju (Modifikasi Kue Sagu Keju = FB)..................................................64 D. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN EFP .......................................66 1. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau (FA) ............................................................67 a. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 1 (FA1) .................................................67 b. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 2 (FA2) .................................................72 c. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 3 (FA3) .................................................75 2. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju (FB)……………..82 a. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju Formulasi 1 (FB1) ............................................................82 b. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju Formulasi 2 (FB2) ............................................................84 E. UJI SENSORI .......................................................................................86 1. Uji Rating Hedonik………………………………………………...86 2. Uji Ranking Hedonik………………………………………............88 F. ANALISI BIAYA BAHAN PENYUSUN EFP....................................90 G. SCALE UP COOKIES KACANG HIJAU FA3-20% (EFP).................91 1. Rekayasa Proses Scale up EFP……………………………............91 2. Analisis Fisikokimia, kalori dan Mikrobiologis EFP Scale up ...........................................................................................94 H. ANALISIS UMUR SIMPAN PRODUK TERPILIH ...........................96
vi
IV. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 107 A. Kesimpulan ......................................................................................... 107 B. Saran.................................................................................................... 109 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 110 LAMPIRAN ..................................................................................................... 117
vii
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1. Kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP)..................8 Tabel 2. Rentang usia, BMR dan kebutuhan energi dari pengungsi..............10 Tabel 3. Komposisi asam amino yang direkomendasikan untuk produk pangan darurat (EFP) ...........................................................11 Tabel 4. Formulasi kue kering sagu keju .......................................................16 Tabel 5. Syarat mutu cookies oleh SNI No.01-2973-1992 ............................20 Tabel 6. Komposisi kimia kacang hijau per 100gr bagian yang dapat dimakan ..............................................................24 Tabel 7. Komposisi asam amino kacang hijau...............................................25 Tabel 8. Spesifikasi probe dan pengaturan TA pada pangukuran kerenyahan biskuit............................................................................44 Tabel 9. Hasil karakterisasi kue kering tradisional ........................................53 Tabel 10. Hasil analisis proksimat tepung kacang hijau sangrai ...................58 Tabel 11. Kandungan makronutrien dan energi dari bahan penyusun EFP...60 Tabel 12. Komposisi adonan cookies FA1....................................................61 Tabel 13. Komposisi adonan cookies FA2.....................................................62 Tabel 14. Komposisi adonan cookies FA3.....................................................63 Tabel 16. Komposisi adonan cookies FB1.....................................................64 Tabel 17. Komposisi adonan cookies FB2.....................................................65 Tabel 18. Komposisi adonan cookies FA3-20% ............................................79 Tabel 19. Plot hubungan 1/T dengan ln slope k pada ordo reaksi satu..........99
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Contoh produk Food Bars............................................................ 12 Gambar 2. Kurva Umur simpan MREs..........................................................13 Gambar 3. Produk Camping Pouch ...............................................................14 Gambar 4. Produk Kue satu di pasaran..........................................................15 Gambar 5. Penampakan Kue Sagu Keju ........................................................16 Gambar 6. Kerusakan bahan pangan-model dasar.........................................29 Gambar 7. Hubungan nilai k dan suhu (1/T) pada ordo reaksi nol dan ordo reaksi satu.....................................................................................34 Gambar 8. Formulasi EFP menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan program Microsoft excel ....................................37 Gambar 9. Penampakan jenis kemasan, penyusunan produk dalam kemasan, skematik pengemasan produk EFP yang disimpan......................38 Gambar 10. Bentuk diagram kerja dan analisis keseluruhan penelitian ........39 Gambar 11. Jenis probe dalam pengukuran kerenyahan EFP........................44 Gambar 12. Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan TA............45 Gambar 13. Penampakan kue satu pasaran ....................................................50 Gambar 14. Penampakan kue sagu keju pasaran ...........................................51 Gambar 15. Penampakan kue sagon panggang pasaran.................................53 Gambar 16. Perbandingan proses pembuatan kue satu, kue keju dan kue sagon panggang.............................................................54 Gambar 17. Penampakan kacang hijau kupas kulit .......................................55 Gambar 18. Standarisasi penepungan kacang hijau kupas kulit sangrai........57 Gambar 19. Penampakan tepung kacang hijau sangrai..................................58 Gambar 20. Skematik kesetimbangan massa .................................................59 Gambar 21. Rekayasa proses pembuatan FA1...............................................68 Gambar 22. Mekanisme pengulenan pada adonan FA1.................................70 Gambar 23. Penampakan produk cookies FA1-17% .....................................71 Gambar 24. Penampakan produk cookies FA1-23% .....................................72 Gambar 25. Proses pembuatan cookies FA2..................................................74 Gambar 26. Perbandingan penampakan produk cookies FA2-25%
ix
dengan FA1-23%........................................................................75 Gambar 27. Proses pembuatan cookies FA3..................................................76 Gambar 28. Proses pembuatan cookies scale up FA3....................................78 Gambar 29. Perbandingan hasil optimasi penambahan air pada pembuatan cookies FA3-20% .......................................................................80 Gambar 30. Proses pembuatan cookies keju FB1 ..........................................82 Gambar 31. Penampakan produk FB1 ...........................................................83 Gambar 32. Proses pembuatan cookies keju FB2 ..........................................85 Gambar 33. Penampakan produk FB2 ...........................................................85 Gambar 34. Hasil rataan skor uji Duncan ......................................................87 Gambar 35. Hasil uji ranking hedonik (uji Friedman)...................................89 Gambar 36. Preferensi atribut cookies kacang hijau dan cookies keju ..........90 Gambar 37. Proses pembuatan EFP scale up.................................................92 Gambar 38. Penampakan produk EFP scale up .............................................92 Gambar 39. Skematik cetakan EFP scale up .................................................93 Gambar 40. Grafik hubungan skor rataan uji sensori warna dengan waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan pada ordo reaksi nol dan satu .....................................................97 Gambar 41. Grafik hubungan skor rataan uji warna (chromameter) dengan waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan pada ordo reaksi nol dan satu .....................................................98 Gambar 42. Kurva hubungan antara ln k dengan suhu penyimpanan (1/T) pada berbagai parameter mutu penyimpanan ...........................100 Gambar 43. Hubungan antara suhu penyimpanan terhadap umur simpan EFP berdasarkan parameter mutu kadar air..............................105
x
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Formulasi cookies kacang hijau 1 (FA1) ................................ 117
Lampiran 2.
Formulasi cookies kacang hijau 2 (FA2) ................................ 118
Lampiran 3.
Formulasi cookies kacang hijau 3 (FA3) ................................ 119
Lampiran 4.
Formulasi cookies keju 1 (FB1) .............................................. 120
Lampiran 5.
Formulasi cookies keju 2 (FB2) .............................................. 121
Lampiran 6.
Perbandingan rekayasa proses pembuatan FA3-20% ............. 122
Lampiran 7.
Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA31-20% ............................................................................... 123
Lampiran 8.
Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA32-20% ............................................................................... 124
Lampiran 9.
Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA33-20% ............................................................................... 125
Lampiran 10. Form uji rating hedonik........................................................... 126 Lampiran 11.
Hasil uji rating hedonik .......................................................... 137
Lampiran 12. Form uji ranking hedonik........................................................ 130 Lampiran 13. Hasil uji ranking hedonik ........................................................ 131 Lampiran 14. Perhitungan biaya bahan penyusun EFP ................................. 134 Lampiran 15. Analisis kalori formulasi cookies kacang hijau hasil scale up ........................................................................... 135 Lampiran 16. Form uji rating hedonik pendugaan umur simpan EFP .......... 136 Lampiran 17. Input data sensori dan fisikokimia pendugaan umur simpan EFP.......................................................................................... 137 Lampiran 18. Plot hubungan suhu penyimpanan dengan berbagai parameter mutu......................................................................................... 143 Lampiran 19. Grafik penurunan dan kenaikan nilai parameter mutu selama penyimpanan ............................................................... 144 Lampiran 20. Grafik hubungan ln k dengan suhu penyimpanan dari berbagai parameter mutu yang mengikuti ordo reaksi satu .... 152 Lampiran 21. Tabel umur simpan EFP dengan menggunakan berbagai parameter mutu yang mengikuti ordo reaksi satu ................... 155
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki keadaan geografis yang kompleks. Keadaan geografis yang kompleks dengan kondisi alam yang semakin memburuk mengakibatkan bencana alam (gunung meletus, banjir, longsor), yang dapat menyebabkan kerugian yang besar dan bahkan menelan korban jiwa sering terjadi. Selain karena keadaan geografis, bencana yang terjadi dapat disebabkan oleh perbuatan manusia. Sebagai contoh, peningkatan populasi manusia akan mendorong meningkatnya kebutuhan wilayah pemukiman yang berakibat pada pembukaan hutan sebagai areal pemukiman serta tingginya pembuangan sampah pada waduk atau sungai akibat kebiasaan buruk. Pembukaan
hutan,
pembuangan
sampah
secara
sembarangan
akan
meminimalisir daerah resapan air dan penyumbatan aliran air yang mengakibatkan terjadinya banjir pada musim hujan. Terputusnya jalur distribusi pangan pasca bencana seringkali menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup (terutama pangan). Aktivitas untuk mengolah pangan yang didapatkan juga akan sulit karena keterbatasan dalam memperoleh api dan persediaan air bersih. Keadaan inilah yang mengakibatkan pemberian bantuan pangan berupa mie instan dan atau beras bagi korban bencana (terutama banjir) kurang efektif dan cenderung tidak dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan masyarakat. Salah satu cara mengatasi masalah bahaya kelaparan pasca bencana yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian pangan darurat bagi korban bencana. Penyediaan pangan darurat yang bersifat ready to eat diperlukan pada kondisi dimana para korban bencana tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. Pada kondisi ini, pangan darurat harus memiliki kandungan kalori sesuai dengan kebutuhan manusia normal perharinya. Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian (2100 kkal) yang terjadi bila keadaan darurat (IOM, 1995b). Keadaan darurat yang dimaksudkan adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan,
2
kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID, 2001b). Tujuan pemberian EFP adalah mengurangi timbulnya penyakit atau kematian diantara pengungsi dengan menyediakan pangan bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama lima belas (15) hari, terhitung mulai dari terjadinya pengungsian (Zoumas, et al., 2002). EFP harus menyediakan pangan bernutrisi dimulai dari awal terjadinya pengungsian sampai datangnya bantuan pangan yang lebih lengkap. Konsumsi EFP dapat menyebabkan rasa haus karena karakteristik produk yang kering dengan nilai aw ± 0,4 serta densitas kamba yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian EFP hendaknya dilakukan bersama-sama dengan air yang cukup. EFP dapat dibuat dengan menggunakan bahan pangan lokal, seperti tepung kacang hijau, tepung ubi jalar, tapioka. Penggunaan bahan lokal ini bertujuan meningkatkan kemampuan wilayah tertentu untuk dapat memenuhi kubutuhan pangan sendiri dalam keadaan darurat. Tujuan lainnya adalah pemanfaatan potensi lokal pangan daerah tertentu yang memiliki produktivitas komoditi tertentu yang cukup besar seperti, Sumatera Utara yang memiliki produktivitas kacang hijau 10.64 ku/ha (2007), dan produktivitas kelapa 916 kg/ha (2006), Jawa timur yang memiliki produktivitas kacang hijau 11.06 ku/ha
(2007)
dan
produktivitas
kelapa
1,317
kg/ha
(2006)
(www.deptan.go.id). Alasan lain penggunaan bahan lokal ini bertujuan mengurangi konsumsi tepung terigu impor.
B. TUJUAN PENELITIAN 1. Karakterisasi produk pangan tradisional di pasaran yang akan dimodifikasi untuk dijadikan pangan darurat (EFP). 2. Menghitung formulasi dan mendisain proses pembuatan EFP berbahan dasar tepung kacang hijau sangrai, ubi jalar dan tapioka berdasarkan kebutuhan kalori 2100 kkal dengan sifat sensori, sifat fisikokimia dan mikrobiologis yang dapat diterima. 3. Pendugaan umur simpan produk dengan kemasan tertentu.
3
C. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan EFP dengan memodifikasi formulasi dan proses pembuatan produk pangan tradisional untuk menghasilkan kalori yang cukup (2100 kkal/hari) dengan sifat sensori, sifat fisikokimia dan mikrobiologis yang dapat diterima serta memiliki umur simpan yang relatif lama (± 2 tahun).
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT (EMERGENCY FOOD PRODUCT) Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) adalah pangan yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia (2100 kkal), yang terjadi bila keadaan darurat (IOM, 1995b). Keadaan darurat yang dimaksudkan adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID, 2001b). Tujuan pemberian EFP adalah mengurangi timbulnya penyakit atau kematian di antara pengungsi dengan menyediakan pangan yang bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama lima belas (15) hari. Waktu tersebut dihitung mulai dari pengungsian terjadi. EFP seharusnya menyediakan nutrisi makanan dimulai dari awal pengungsian terjadi sampai bantuan pangan yang lebih lengkap (stabil) datang. EFP dikonsumsi dengan jumlah air yang cukup karena menyebabkan rasa haus. Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam mengembangkan komposisi nutrisi EFP (Zoumas, et al., 2002). Asumsi ini didasarkan dengan situasi yang terjadi pada lokasi pengungsian. Beberapa asumsinya adalah: 1. Portable water harus disediakan bersamaan dengan pemberian EFP 2. Individu (pengungsi) harus mengkonsusi pangan ini untuk memenuhi kebutuhan energinya. 3. Semua individu (pengungsi) dengan usia diatas 6 bulan akan mengkonsumsi produk pangan darurat ini. 4. Produk ini merupakan sumber energi utama bagi korban bencana selama 15 hari (IOM, 1997). 5. Kebutuhan nutrisi bagi wanita hamil dan menyusui tidak dimasukkan dalam perhitungan pembuatan EFP, tetapi diasumsikan bahwa mereka harus mengkonsumsi EFP melebihi asupan energi rata-rata perharinya (> 2100 kkal). Kandungan energi dari EFP harus memenuhi kebutuhan energi per hari. Menurut asupan nutrisi yang direkomendasikan dan dilaporkan dari
5
Amerika dan Kanada, kandungan nutrisi dari EFP harus sesuai dengan standar yang ada yaitu sekitar 2100 kkal (IOM, 1998). Informasi kebutuhan energi per orang di dalam satu hari dapat dijadikan dasar untuk membuat prototipe pangan EFP (Zoumas, et al., 2002) .
1. Karakteristik Pangan Darurat (EFP) Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik umum dari EFP (Zoumas, et al., 2002) yang harus diketahui sebelum mengembangkan prototipe EFP seperti: 1) EFP harus memiliki energi 2100 kkal per unit nya; 2) Kadar air dari EFP maksimum 9,5% dengan nilai aktivitas air (aw) maksimum 0,6; 3) Jumlah makronutrien penyusun energi EFP sesuai dengan persyaratan dari Institute of Medicine (IOM 1995a, 1995b, 1997a, 1997b, 1998, 2000, 2001); 4) Atribut-atribut sensori yang dapat diterima; 5) Densitas kalori EFP adalah 223 kkal/50 gr produk (1 bar), dimana 1 unit EFP terdiri dari 9-10 bar. Menurut Zoumas, et al (2002), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan EFP selama pengungsian yaitu : 1. Konsumsi EFP bagi wanita hamil dan sedang menyusui diasumsikan lebih dari 2100 kkal untuk mendukung kebutuhan energi mereka selama mengandung atau menyusui. 2. EFP tidak didisain untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi atau nutrisi bagi orang yang sedang hamil atau menyusui, tetapi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi wanita normal. 3. EFP tidak sesuai untuk individu yang mengalami penyakit gizi buruk yang membutuhkan perlakuan medis. 4. EFP bukan Therapeutic Nutritional Supplement. 5. EFP bukan merupakan makanan substitusi untuk anak-anak menyusui yang berusia dari 0-6 bulan. 6. EFP bukan didisain untuk memenuhi seluruh kebutuhan dari young infants (0-6 bulan), tetapi EFP dapat dikombinasikan dengan air untuk menghasilkan bubur sebagai makanan pelengkap bagi older infants (712 bulan).
6
Pangan darurat (EFP) memiliki lima karakteristik dasar yang harus dipenuhi yaitu, (1) aman, (2) memiliki palatibilitas, (3) mudah untuk dikirim atau diangkut, (4) mudah untuk digunakan, (5) dan bernutrisi lengkap. Kelima karakteristik ini harus menjadi prioritas atau panduan dalam pengembangan prototipe dari pangan darurat (EFP). Dalam pengembangan produk pangan darurat (EFP) juga harus memperhatikan faktor ekonomis produk. Proses pembuatan EFP harus mempertimbangkan perbandingan biaya teknis dan keunggulan nutrisi dengan analisis biaya kerugian yang ada jika EFP tidak diberikan (Zoumas, et al., 2002). Kelima karakteristik dasar di atas harus didukung oleh faktor-faktor seperti: 1. Stabilitas mikroba Teknik pengawetan yang dipergunakan berkaitan dengan rendahnya nilai aw dari produk ini. Pengawetan lainnya dapat juga dengan menggunakan beberapa bahan pengawet yang mendukung tercapainya stabilitas mikrobiologi produk ini. 2. Ketahanan nutrisi dan stabilitas kimia Aktivitas air yang rendah (aw ± 0,4) sangat penting peranannya dalam pembuatan EFP untuk menjaga tidak terjadinya degradasi nutrisi. Teknik mikroenkapsulasi dapat diaplikasikan terutama untuk vitamin E, vitamin C, besi dan lemak tidak jenuh untuk mencegah terjadinya oksidasi lemak dan kehilangan nutrisi. Aplikasi antioksidan juga dapat dikombinasikan dengan teknik mikroenkapsulasi ini. 3. Flavor dan pewarna Sesuai dengan ketentuan dari Institute of Medicine hanya flavor pemanis dan pewarna alami yang boleh digunakan dalam membuat EFP. 4. Komposisi Komposisi atau ingredients dari EFP harus memenuhi kebutuhan kalori dan sesuai dengan spesifikasi yang dapat diterima oleh berbagai jenis masyarakat, karena akan dibagikan pada berbagai jenis masyarakat dengan berbagai tradisi makan yang berbeda. Penggunaan
7
dari susu bubuk harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat yang bersifat lactose intolerance. Penggunaan bahan yang menimbulkan alergi juga sebaiknya dicegah. 5. Uji penerimaan dari prototipe produk Semua jenis EFP sebelum diberikan kepada pengungsi harus diuji dahulu aspek penerimaannya (sensori) yang disesuaikan dengan diversifikasi dari etnis dan budaya makan masyarakat. 6. Pengemasan Kemasan yang digunakan untuk melindungi EFP harus tahan pada suhu penyimpanan dan berbagai gangguan fisik. Kemasan primer EFP harus bersifat tidak permeabel terhadap uap air. 7. Konfigurasi produk Kandungan energi yang direkomendasikan yang harus dimiliki EFP adalah 2100 kkal per hari dengan berat produk sekitar 450 gr. Jumlah ini harus dibagi ke dalam 9-10 bar (keping) produk dengan densitas kalori produk 233 kkal per 50 gr produk (1 bar). 8. Metode produksi EFP harus diproduksi dengan good Manufacturing Practices (GMP) dan harus memenuhi semua standar regulasi sanitasi dari pangan yang bersifat ready-to- eat. 9. Uji kualitas EFP Uji kualitas EFP meliputi pendugaan umur simpan, kualitas kandungan energi. Melihat begitu banyaknya persyaratan dan asumsi dalam mengembangkan prototipe EFP, ada beberapa komposisi bahan pangan yang
direkomendasikan
dalam
membuat
EFP
sebagai
sumber
makronutriennya (Zoumas, et al., 2002) yaitu : a. Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras. b. Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunannya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1,0.
8
c. Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bunga matahari. d. Gula : glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin. e. Jika dibutuhkan dapat ditambahkan bahan pengembang. f. Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk.
2. Kandungan Nutrisi Pangan Darurat (EFP) Menurut Institute of Medicine (IOM) EFP harus memiliki kandungan energi 2100 kkal dengan komposisi makronutrien dan mikronutrien seperti pada Tabel 1. Di Indonesia sendiri regulasi mengenai kandungan nutrisi EFP belum ada. Tabel 1. Kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP) a
Rentang usia
Jumlah minimum densitas nutrisi per 1.000 kkal a
Jumlah per bar (233 kkal; 50 gr)
-
-
9-12 gr
-
-
7,9 gr
Karbohidrat
-
-
23-35 gr
Natrium c
2 - 5 tahun, anakanak 2 - 5 tahun , anakanak 2 - 5 tahun,anakanak 9 - 13 tahun, anakanak 9 - 13 tahun, anakanak 14 - 18 tahun, lakilaki
1,3 gr
300 mg
1,7 gr
396 mg
2,0 gr
466 mg
768 mg
180 mg
740 mg
172 mg
190 mg
45 mg
Nutrisi Lemak Protein
b
Kalium c Klor c Kalsium Fosfor Magnesium Kromium
-
13 μg d
3 μg
Tembaga
51 tahun keatas, perempuan 1 - 3 tahun, anakanak 19 - 50 tahun, perempuan 1 - 3 tahun, anakanak
560 μg d
131 μg
105 μg
25 μg
16 mg d
3,8 mg
1,4 mg
0.33 mg
Iodin Besi e Mangan
9
Lanjutan Tabel 1. Kandungan nutrisi dari Emergency Food Product (EFP)a
Nutrisi
Rentang usia
Selenium
14 - 18 tahun, perempuan 14 - 18 tahun, lakilaki 14 - 18 tahun, lakilaki 51 - 70 tahun, perempuan 14 - 18 tahun , perempuan 19 - 50 tahun, lakilaki 51 tahun keatas, laki-laki 1 - 3 tahun, anakanak 14 - 18 tahun, lakilaki 14 - 18 tahun, lakilaki 51 tahu keatas, perempuan 14 - 18 tahun, perempuan 14 - 18 tahun, perempuan 14 - 18 tahun, perempuan 51 tahun keatas, perempuan 51 ahun keatas, laki-laki
Seng Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K Vitamin C Thiamin Riboflavin Niasin Vitamin B6 Folat Vitamin B12 As Pantotenat Biotin Kolin
Jumlah minimum densitas nutrisi per 1.000 kkal a
Jumlah per bar (233 kkal; 50 gr)
28 μg
6,5 μg
10,5 mg d
2,4 mg
500 μg d
117 μg
5,2 μg d
1,2 μg
16 mg d
2,2 mg
60 μg
14 μg
100 mg d
11,1 mg
12 mg d
0,28 mg
1,2 mg d
0,28 mg
11,2 mg d
2,6 mg
1,2 mg d
0,28 mg
310 μg d
72 μg
12 μg d
2,8 μg
3,9 mg d
0,9 mg
24 μg d
5,6 μg
366 mg d
85 mg
Rasio yang dibuat pad jumlah energi 2100 kkal/ hari (IOM, 1995). Berdasarkan berat IOM (1997), nilai berdasarkan desirable intakes (NRC, 1989). d ,e Diadopsi dari nilai densitas nutrisi, berdasarkan 10 % bioavailibilitas dari besi f Jika folat disediakan secara sintesis dimana bersifat lebih mudah diserap Sumber : IOM (1997a, 1998, 2000, 2001). a
b, c
Konsumsi EFP yang diatur oleh Institut Medikal, didasarkan pada perhitungan kebutuhan energi rata-rata per kepala untuk pangan darurat (IOM, 1995b). IOM mendeskripsikan kebutuhan energi sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan dan rasio metabolisme basal (BMR) yang
10
dapat dilihat pada Tabel 2. Perhitungan kebutuhan nutrisi ini dibuat berdasarkan penelitian pada warga Amerika serikat. Tabel 2. Rentang usia, BMR dan kebutuhan energi dari pengungsi Usia 7 -12 b,c Bulan 1 -3 tahun 4 -8 tahun 9 -13 tahun 14 -18 tahun 19 - 50 tahun 51 tahun keatas
Jenis kelamin
Berat (kg)
BMR (kkal/hari)
Energi (kkal/hari)
Laki-laki, perempuan Keduanya
7,0
371
578
Perkiraan jumlah dari EFP bar/ konsumsi EFP/hari a 1-2d
10,2
571
855
3-4
Keduanya
19,4
936
1. 456
6-7
Keduanya
26,5
1.086
1,693
7-9
Laki-laki
42,0
1.378
2.136
9
Perempuan
40,9
1.238
1.931
8-9
Laki-laki
54,3
1.509
2.339
9-10
Perempuan
51,0
1.264
1.972
8-9
Laki-laki
56,1
1.451
2.249
9-10
Perempuan
47,0
1.237
1.929
8-9
Setiap EFP bar memiliki energi sebesar 233 kkal; 9 bar = 2.100 kkal. Jumlah energi ini untuk rasio konsumsi per hari. b Data dari berat badan di dapatkan dari Mexico Nutrition CRSP (Allen, et al., 1992). c BMR (Basal Metabolic Rate) dihitung berdasarkan perhitungan dari Butte dan coworkers (2000). d Jumlah ini diasumsikan bahwa EFP hanya akan digunakan sebagai sumber energi pelengkap yang hanya memenuhi 50 % dari total energi yang dibutuhkan. Sumber: Zoumas, et al., 2002. a
2. Sumber Energi Pangan Darurat (EFP) Pangan darurat memiliki karakteristik energi yaitu mengandung lemak 35-45% per 2100 kkal, dengan kadar air yang rendah. Palatibilitas dari EFP merupakan hal yang paling utama, sehingga penentuan komposisi bahan pembuat EFP sangat penting. Minimal energi dari EFP/50 gram (1 bar) nya harus 233 kkal, dimana lemak memegang peranan penting di dalam penyusunannya. Komposisi lemak untuk EFP didefinisikan secara rinci yaitu:
11
1. Total lemak harus menyumbang kalori pada interval 35-45% dari total energi. 2. Energi dari lemak jenuh paling sedikit harus 10% dari total energi. 3. Energi dari total PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) harus 7-10% dari total energi. 4. Perbandingan antara asam linoleat dengan α – linolenat harus 5 : 1. Kebutuhan energi lainnya akan dipenuhi dari protein dan karbohidrat. Protein yang terkandung di dalam EFP harus mengandung asam amino berdasarkan berat badan individu. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Komposisi asam amino yang direkomendasikan untuk produk pangan darurat (EFP). Nutrisi Protein b (g/kg BB) Isoleusin Leusin Lisin Metionin + Sistin Phenilalanin + Tirosin Threonin Triptofan Valin Histidin
Jumlah a (mg/kg BB) 1 31 73 64 27 69 37 12.5 38 8
Asam amino (mg/g protein)c 28 66 58 25 63 34 11 35 19
a
Kebutuhan asam amino untuk anak-anak usia 2 tahun (NRC, 1989). Total protein berdasarkan 1 g/kg BB, menggunakan referensi berat badan (BB) dari laporan Dietary Reference Intake (IOM, 1997a). Sumber: Zoumas, et al., 2002.
b
Pada proses pembuatan EFP tidak boleh dilakukan suplementasi asam amino, karena dapat mengakibatkan perubahan rasa, meningkatkan biaya produksi dan dapat juga mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah akibat salah perhitungan premixing (Zoumas, et al., 2002). Kadar protein di dalam EFP minimal 10% dari total keseluruhan sumber energi. Pemenuhan energi yang terakhir adalah karbohidrat. Karbohidrat merupakan salah satu sumber utama energi pada produk pangan darurat di samping lemak. Karbohidrat dapat diklasifikasikan menjadi monosakarida
12
(glukosa, fruktosa dan galaktosa), disakarida (maltosa, sukrosa dan laktosa), oligosakarida (maltodekstrin) dan polisakarida–pati (amilosa dan amilopektin), serta non-pati (selulosa, xantan, pektin dan karagenan) (Bemiller and Whistler, 1996). Karbohidrat memiliki beberapa fungsi dalam penyusunan EFP yaitu sebagai sumber energi, memberi rasa manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk dan juga berperan
penting
dalam
penyerapan
Na
untuk
mempertahankan
keseimbangan elektrolit tubuh.
B. PRODUK PANGAN DARURAT (EFP) KOMERSIAL Menurut Byron (1992) ada berbagai jenis pangan darurat yang telah dikomersialisasikan dengan berbagai tujuan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Food Bars Produk ini (Gambar 1) memiliki formulasi seperti formulasi cookies yang mengandung protein dalam jumlah yang tinggi. Setiap barnya (potongan) mengandung vitamin dan energi dalam jumlah berlebih. Memiliki umur simpan sampai lima tahun dan dapat disimpan pada rentang suhu yang ekstrim (-54,20C sampai dengan 1340C). Setiap satu kemasan mengandung 9 potongan (bars) produk dimana masing-masing potongan memiliki energi sebesar 400 kkal. Rasa produk dapat diterima dan dijual dengan harga $10 per 9 barnya (satu kemasan).
Gambar 1. Contoh produk Food Bars
13
2. MREs (Meals-Ready-to-Eat) Jenis produk ini merupakan jenis persediaan makanan militer. Perbedaan produk ini dengan produk militer yang dibuat sebelumnya adalah rasa yang semakin baik. Produk MREs dikemas di dalam retort pouch dan tidak terekspos dengan udara sebelum dibuka. Umur simpan produk ini adalah 5-7 tahun, jika disimpan pada suhu dingin. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara umur simpan MREs dengan berbagai suhu penyimpanan. Terlihat jelas pada gambar tersebut bahwa kerusakan produk ini akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan penyimpanan. Produk MREs biasanya juga mengandung daging, buah atau sayur, ataupun peanut butter. Harga dari produk ini sebesar $ 7 per kemasan.
Gambar 2. Kurva umur simpan MREs
3. Camping Pouch Products Produk ini dikemas di dalam aluminium foil dengan umur simpan 2 tahun jika disimpan pada suhu ruang (Gambar 3). Produk ini merupakan hasil pengeringan dengan freeze drying dan setiap kemasan disemprot dengan nitrogen untuk mencegah deteriorasi dan memperpanjang umur simpan. Harga produk ini sebesar $2.50 perkemasan. Pangan darurat jenis
14
ini lebih banyak diminati dibandingkan dengan produk lainnya karena umur simpannya tidak terlalu lama dan harganya yang lebih ekonomis. Produk ini memiliki kandungan energi yang cukup dengan persentase makronutrien didominasi oleh lemak (40-50%).
Gambar 3. Produk Camping Pouch
4. Long Shelf Life Food Supply Produk ini juga merupakan hasil freeze drying yang dikemas di dalam double-enamelled can, disemprot dengan nitrogen sehingga memiliki umur simpan yang sangat tinggi yaitu 10-15 tahun atau lebih. Jenis dari produk ini ada 2 yaitu Ready reserves dan Alpine aire. Perbedaan kedua jenis produk ini adalah komposisi penyusunnya. Untuk kandungan energinya, kedua jenis dari produk ini memiliki kandungan yang sama per kemasannya.
C. KUE KERING
1. Kue Satu Ada berbagai macam kue kering, dan cara membuatnya pun bervariasi. Salah satu jenis kue kering adalah kue satu. Kue ini biasanya dibuat secara tradisional dimana hanya dikeringkan di atas matahari saja atau menggunakan pengering konvensional (oven arang). Kue satu biasanya berbahan dasar tepung kacang hijau yang disangrai sehingga
15
tidak memilki rasa mentah lagi jika dikonsumsi. Variasi dari kue satu pun bermacam-macam. Salah satu variasinya adalah dengan filler nangka (www.tabloidnova.com), seperti Gambar 4. Formulasi kue satu secara umum terdiri dari tepung kacang hijau dan gula pasir dengan perbandingan 1:1. Cara pembuatan kue satu adalah dengan terlebih dahulu menyangrai kacang hijau sampai kulit luarnya mengelupas. Tujuan penyangraian ini adalah untuk meningkatkan aroma dari kacang hijau serta untuk meningkatkan daya cerna serealia ini. Setelah itu, hasil sangraian dibersihkan lalu dikukus. Pencampuran dengan gula halus dilakukan sambil terus diaduk, hingga adonan menjadi kalis lalu dibentuk sesuai selera (ada cetakan khusus kue satu). Setelah pencetakan, hasilnya siap untuk dipanggang di atas oven panas atau hanya dijemur di matahari panas.
Setelah
dingin,
kue
satu
disusun
di
dalam
toples
(www.tabloidnova.com).
Gambar 4. Produk kue satu di pasaran
2. Kue Sagu Keju Kue kering ini sering disebut dengan semprit atau disebut juga dengan nama kue s-s an pada saat lebaran (Gambar 5). Kue ini memiliki aroma yang sangat enak. Menurut Bellnad (2005) kue ini akan cepat lumer (melting) di dalam mulut. Bellnad (2005) memformulasikan kue keju seperti pada Tabel 4 di bawah ini.
16
Tabel 4. Formulasi kue kering sagu keju Bahan Tepung sagu Daun pandan Margarine Butter Gula halus Kuning telur Keju edam parut Santan kental
Jumlah 300 gr 2 bh 100 gr 50 gr 150 gr 1 bh 100 gr 50 ml
Pembuatan kue ini diawali dengan menyangrai tepung sagu dan daun pandan dengan api kecil sampai daun pandan mengering, lalu diangkat, didinginkan, dan diayak hasilnya agar remahan daun pandan tidak terikut di dalam adonan.
Gambar 5. Penampakan kue sagu keju Setelah itu, gula, mentega dan kuning telur dikocok sampai putih (proses kriming) lalu dicampur dengan tepung sagu. Penambahan keju parut dilakukan secara bertahap agar keju tersebut terdistribusi secara merata di dalam adonan. Tahap selanjutnya adalah proses pencetakan. Adonan dimasukkan
ke dalam icing bag dengan menggunakan tip
bintang, lalu disusun kedalam loyang yang sudah dioles minyak dan ditaburin tepung. Pemanggangan hasil cetakan di dalam oven dengan api kecil, sampai tampak bintik-bintik kuning. Setelah pemanggangan, kue diangkat lalu didinginkan. Setelah itu kue dapat langsung dikonsumsi atau dikemas ke dalam stoples.
17
C. COOKIES Cookies adalah kue kering manis yang kecil-kecil (Pt. Bogasari Flour Mills, 1984). Husain (1993) menyatakan bahwa cookies termasuk jenis biskuit, dimana cookies biasanya mengandung kadar lemak dan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya. Menurut SNI (1992) cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat. Cookies dengan tepung non terigu termasuk kedalam golongan short dough (Manley, 1983).
1. Bahan Penyusun Bahan-bahan penyusun cookies terdiri atas bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat adalah tepung, air (penting dalam pembuatan gluten), padatan susu, putih telur atau telur utuh, garam dan produk cokelat. Sedangkan bahan pelembut adalah gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Husain, 1993). Tepung yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah tepung gandum lunak dengan kadar protein 8-9 %. Semakin keras tepung gandum, semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk memperoleh tekstur yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam serta penampakan permukaan. Bila jumlah tepung sangat sedikit, sedangkan lemak yang ditambahkan cukup banyak maka cookies akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz, 1978). Menurut Kaplan (1971), peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Matz (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang. Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi sebagai pemanis nutririf, pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan
18
mempengaruhi penyebaran cookies. Gula pasir halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula. Jenis pemanis lain yang dapat digunakan adalah brown sugar, invert syrup laktosa atau madu (Matz, 1978). Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening yang dapat digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti lemak babi atau lemak sapi. Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies (Matz, 1978). Mentega terbuat dari susu, terdiri dari 80% lemak susu, 16%air, 0.5% laktosa dan 0.1-0.3 % abu. Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya ditambahkan margarin (Matz, 1978). Telur mempengaruhi tekstur produk kue karena sifat pengemulsi, pengaerasi, pelembut, dan pengikat yang dimilikinya. Selain itu telur juga berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi, memberikan warna dan flavor yang disukai. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. Seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan struktur cookies yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebahagian atau seluruh telur akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur dalamnya tidak sebaik yang menggunakan seluruh telur (Matz, 1978). Gas
karbondioksida,
uap
air,
dan
udara
berperan
pada
pengembangan produk-produk kue. Sumber karbondioksida pada kue antara lain sodium bikarbonat, amonium bikarbonat, dan baking powder. Amonium bikarbonat digunakan untuk menghasilkan produk kue kering yang kadar airnya rendah, tetapi tidak untuk produk yang kadar airnya tinggi, karena aroma amoniak lebih terasa bila kadar air produk masih tinggi. Sodium bikarbonat lebih sering digunakan karena toksisitasnya
19
rendah, mudah ditangani, tidak meninggalkan rasa pada produk dan lebih murni. Baking powder merupakan campuran dari sodium bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium (Matz, 1978). Penambahan flavor pada cookies ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai flavor adalah vanilla, keju, almond, coklat, kopi dan caramel. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Menurut Manley (1983), biskuit dan produk yang dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1) ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2) ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang, 3) flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam, icing ataupun mallow.
2. Proses Pembuatan Cookies Pada prinsipnya proses pembuatan cookies atau kue kering meliputi tahapan persiapan bahan, pencampuran yang terdiri dari pembentukan krim dan pembuatan adonan, pencetakan atau pembentukan kue, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan. Pada tahap pembuatan adonan, formulasi memegang peranan yang sangat penting. Susunan dan perbandingan bahan harus diatur agar memudahkan dalam penanganannya, sebab karakteristik produk akhir ditentukan oleh susunan bahan dan proses yang dilakukan. Agar semua bahan menyebar rata di dalam adonan, maka mentega atau sumber lemak dibuat menjadi krim terlebih dahulu bersama dengan gula, telur, garam, dan susu (creaming method). Selanjutnya pencampuran krim dengan tepung dan bahan lainnya diberikan sehingga bahan-bahan menjadi satu adonan yang rata (homogen). Setelah adonan menjadi homogen, maka dilakukan proses pencentakan. Pencetakan cookies dapat bervariasi tergantung selera. Tahap akhir adalah pemanggangan. Suhu
20
yang biasa dipakai untuk pemanggangan kue kering berkisar antara 1802000C selama 16-20 menit. Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Seluruh
tahap
proses
pembuatan
cookies
tersebut
sangat
berpengaruh pada penampakan dan kualitas produk akhir. Cookies yang dihasilkan, secara organoleptik harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen dan dari segi nilai gizi dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia). Persyaratan untuk cookies dapat dilihat pada SNI No. 01-2973-1992 (Tabel 5). Pada Tabel 5 ditampilkan syarat mutu cookies yang meliputi karakteristik fisikokimia berupa bau, warna, tekstur kadar air, kadar abu dan protein; komposisi berupa pewarna dan pemanis buatan; cemaran fisik berupa kontaminasi berbagai logam; kimia dan mikrobiologis berupa ALT, total koliform, E.coli dan kapang. Tabel 5. Syarat mutu cookies yang ditetapkan oleh SNI No. 01-29731992. No 1 2 3 4 5
6
Kriteria Uji Bau, rasa, warna dan tekstur Kadar air Kadar abu kadar protein Bahan tambahan makanan ; 5.1. Pewarna 5.2. Pemanis buatan Cemaran Logam 6.1. Tembaga (Cu) 6.2. Timbal (Pb) 6.3. Seng (Zn)
Satuan %, b/b %, b/b %, b/b
Keadaan Normal Maksimum 5 Maksimum 2 Maksimum 6
sesuai SNI No 0222- N dan revisinya 722/NEW. KES/PER/IX/88 Tidak boleh ada mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimum 10.0 Maksimum 1.0 Maksimum 10.0
21
Lanjutan Tabel 5. Syarat mutu cookies yang ditetapkan oleh SNI No. 012973-1992. No Kriteria Uji 6.4. Air raksa 7 Arsen (As) 8 Cemaran Mikroba 8.1. Angka Lempeng Tipis 8.2. Koliform 8.3. Eschericia coli 8.4. Kapang
Satuan mg/kg mg/kg
Keadaan Maksimum 0.05 Maksimum 0.5
koloni/gram APM/gram APM/gram koloni/gram
Maksimum 1.0 X 106 Maksimum 20 <3 Maksimum 1.0 X 102
3. Sifat – Sifat Fisik cookies Sifat- sifat fisik memegang peranan sangat penting dalam pengawasan dan standarisasi produk, karena sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali atau diukur dibandingkan dengan sifat kimia dan mikrobiologi. Beberapa sifat fisik untuk pengawasan mutu diukur secara objektif dengan alat-alat sederhana, beberapa dapat diamati secara organoleptik sehingga lebih cepat dan langsung. Beberapa sifat fisik komoditas mempunyai korelasi langsung maupun tidak langsung dengan sifat-sifat lain seperti sifat kimiawi, mikrobiologi, organoleptik dan sifat fisiologi (Soekarto, 1990). Sifat-sifat fisik yang penting dalam pengawasan mutu dapat dikelompokkan menjadi sifat morfologi, sifat aspektral, sifat termal dan reologi (Soekarto, 1990). Sifat morfologi yang penting dalam pengawasan mutu adalah: bentuk, ukuran, sifat permukaan, susunan dan warna. Sifat-sifat morfologi dikenali dengan pengamatan visual (organoleptik) atau dengan alat (secara objektif). Warna merupakan sifat spektral. Warna suatu benda sebenarnya mengandung 3 unsur, yaitu warna kromatik yang disebut hue, warna akromatik yang disebut kecerahan (value, lightness), dan intensitas warna kromatik (kroma). Kecerahan menunjukkan banyaknya sinar yang dipantulkan dan diserap oleh benda. Makin banyak sinar yang dipantulkan, makin putih warna benda. Intensitas warna putih yang dihasilkan dinamakan kecerahan. Warna kromatis menujukkan spektrum warna yang
22
dipantulkan,
sedangkan
intensitas
warna
kromatik
menunjukkan
intensitas/kekuatan warna kromatik yang terlihat (Soekarto, 1990). Tekstur makanan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur makanan dan berhubungan dengan perubahan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang diberikan (sifat reologi), dan diukur secara subjektif dengan indera pengecap, pendengar dan penglihat. Tektsur makanan juga dapat diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan dan waktu. Beberapa sifat fisik cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah: hardness atau firmness, brittleness, crumbly dan sticky. Hardness/firmness (keteguhan/kekerasan), menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan (britlleness), yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah bila diberikan suatu gaya; sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur menjadi partikel-partikel yang kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookies yang lengket dimulut (Gaines, 1994). Pengukuran cookies dapat dilakukan secara subjektif, yaitu dengan uji sensori menggunakan panelis dan uji objektif dengan menggunakan alat. Terdapat korelasi antar uji objektif dan uji sensori. Salah satu alat yang biasa digunakan untuk mengukur tekstur cookies adalah General Foods Texturometer dan Intron Universal Testing Machine. Parameter yang terukur adalah keteguhan, kerapuhan, kekuatan ikatan antara partikel sejenis (cohesiveness), dan kekuatan ikatan antara partikel yang tidak sejenis (adhesiveness). Produk cookies dengan sifat rapuh dan kadar air yang rendah memiliki keteguhan yang cukup tinggi dan mudah rapuh. Cookies tidak memiliki sifat adhesiveness tetapi memiliki sifat cohesiveness yang sangat kecil (Faridi, 1994). Menurut Gaines et al,. (1992), kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies. Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies.
23
Menurut Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lambat air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Anderson et al,. (1979) menyatakan ada korelasi antara kerapuhan dengan ukuran partikel remah. Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994). Sifat reologi tepung dapat dipelajari dengan alat Brabender Amilograf, yaitu dengan mengamati karakteristik gelatinisasi pati dalam campuran tepung – air selama pemanasan (Pomeranz, 1991). Selam pemanasan terjadi penyerapan air oleh pati yang menyebabkan pembengkakan pati serta peningkatan viskositas. Viskositas akan meningkat terus sampai granula pati pecah karena jumlah air yang diserap telah mencapai kapasitas maksimum. Pada titik ini viskositas sistem akan turun kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati adalah keberadaan protein dan lemak (Pomeranz, 1991).
24
E. KACANG HIJAU Phaseolus radiatus, Linn merupakan nama botani kacang hijau (kay, 1979). Kacang hijau termasuk dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionideae, genus Phaseolus dan spesies Radiatus. Sebutan kacang hijau lebih dari satu, di antaranya: “mungo”, “mung bean”, “green gram”, dan “mung”. Menurut Atjung (1981), kacang hijau di Indonesia mempunyai beberapa nama daerah, di antaranya; Artak (Madura), Kacang Wilis (Bali), Buwe (Flores), Tibowang Cadi (Ujung Pandang). Secara umum biji kacang hijau terdiri dari 3 bagian, yaitu; kulit biji, endosperma, dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, dan serangan kapang atau serangga. Sedangkan endosperma merupakan bagian biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut. Komposisi kimia kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi kimia kacang hijau per 100 gr bagian yang dapat dimakan Komponen Energi (kal) Air (g) Lemak (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg)
Jumlah 345 10 1.2 22.2 62.9 125 320 6.7
Vitamin A (IU)
157
Vitamin B1 (mg)
0.64
Vitamin C (mg)
6
Sumber: Suprapto dan Sutarman (1982)
Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar dibandingkan dengan komponen-komponen lain yang terdapat pada kacang hijau. Karbohidrat tersusun dari pati, gula, dan serat kasar (Sathe et a.l, 1982). Menurut Kay (1979), pati kacang hijau terdiri atas 28.8 % amilosa, dan 71.2 %
25
amilopektin. Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa, stakhiosa dan verbaskosa. Pati pada kacang hijau mempunyai daya cerna 99.8 % (Fleming dan Vote, 1976 yang dikutip oleh Sathe et al., 1982), sehingga dapat dikatakan bahwa daya cerna karbohidrat pada kacang hijau tinggi. Oligosakarida yang mempunya ikatan α- galaktosida telah ditemukan dapat menyebabkan flatulensi (Rackis et al., 1975). Oligosakarida tersebut terdapat dalam sebagian besar kacang-kacangan (Akpapunam dan Markis, 1979), yang terdiri dari ikatan α-galaktosa- glukosa dan α- galakto- galaktosa. Oligosakarida tersebut di atas tidak dapat dicerna karena usus mamalia tidak mempunyai enzim α- galaktosidase, sehingga tidak dapat diserap. Bakteri-bakteri dalam usus akan memfermentasinya sehingga terjadi pembentukan gas metan. Oleh karena itu akan terjadi kenaikan tekanan gas di dalam perut yang disebut dengan istilah flatulensi (Rackis, 1975; Anderson et al., 1979). Namun diketahui bahwa kandungan oligosakarida dalam kacang hijau tersebut relatif sedikit sehingga pengaruhnya kecil (Payumo, 1978). Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat. Protein ini terdiri dari berbagai asam amino seperti tercantum pada Tabel 7.
Seperti pada kacang-kacangan pada umumnya,
protein kacang hijau hanya sedikit mengandung asam amino belerang (metionin, dan sistin) namun kaya akan lisin. Tabel 7. Komposisi asam amino kacang hijau Asam Amino
Jumlah (μg/g N)
Asam Aspartat Sistin Threonin Serine Asam glutamat Prolin Glisin Alanin Valin Metionin Isoleusin
716 44 209 296 865 229 210 242 159 33 223
26
Lanjutan Tabel 7. Komposisi asam amino kacang hijau Asam Amino Leusin Tirosin Phenilalanin Lisin Histidin Arginin
Jumlah (μg/g N) 441 156 306 504 182 345
Sumber: Kay (1979).
Kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81 %, namun daya cerna protein ini dipengaruhi oleh adanya inhibitor tripsin; dan aktivitas enzim tripsin dapat pula dipengaruhi oleh adanya tannin atau polifenol (Elias, 1979 ; Fernandez, 1975; dan Ordones, 1976 yang dikutip oleh Bressani et al., 1982). Menurut Gervani dan Theopilus (1980), PER (Protein Efficiency Ratio) kacang hijau dipengaruhi oleh cara pengolahan. Penggorengan dan perkecambahan menurunkan PER, sedangkan perebusan meningkatkan PER.
F. PENYANGRAIAN Penyangraian
bertujuan
mengembangkan
rasa,
aroma,
warna,
memudahkan pelepasan kulit, mengurangi kandungan air, dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulit pada proses pembersihan. Rasa dan aroma hasil penyangraian ditentukan oleh suhu dan lama penyangraian, panas spesifik biji, kadar air biji, ukuran biji, bentuk biji, asal biji, jenis dan cara pengolahan, serta lama penyuimpanannya. Susut sangrai berkaitan erat dengan adanya penguapan air dan pirolisis bahan-bahan organik. Nilai susut organik sering digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui lamanya penyangraian, di samping juga mempertimbangkan kadar air awalnya. Biji yang relatif bulat, pada suhu dan lama penyangraian yang sama akan lebih cepat mengalami perubahan. Biji berukuran lebih kecil juga akan lebih cepat berubah warna daripada yang berukuran lebih besar. Jika
27
penyangraian biji-biji kecil dicampur dengan biji-biji yang besar, maka bijibiji yang kecil akan tersangrai lebih dahulu dan akan berwarna lebih gelap (Widyotomo dan Sri, 2000).
G. PENGEMASAN Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk pangan seperti terjadinya perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan pengemas dan terjadinya perubahan flavor (aroma), warna, teksur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen (Syarief, 1990). Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; (3) menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk dan pelunakan pada produk kering (Syarief, et al., 1989). Bahan pangan memiliki sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap lingkungan. Menurut Syarief (1990), produk pangan kering akan berada dalam keadaan setimbang dengan lingkungan dengan cara menyerap uap air dari lingkungan. Untuk mengurangi masuknya uap air ke dalam produk pangan terutama yang mempunyai sifat hidrofilik maka diperlukan barrier antara produk dan lingkungan yaitu kemasan yang memiliki daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al.,1985). Permeabilitas merupakan transfer molekul melalui kemasan baik dari produk ke lingkungan maupun sebaliknya. Menurut Robertson (1992), permeabilitas uap air
28
kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui satu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya relatif murah, lebih ringan daripada kemasan gelas dan metal, memerlukan
energi
pendistribusiannya
yang
kecil
(Hernandez
dalam
dan
pembuatan,
Giazin,
1998).
konversi Sebagai
dan bahan
pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau alufo. Kombinasi antara berbagai kemasan plastik berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil, selulosa) disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1992). Kemasan laminasi yang digunakan industri-industri pangan saat ini tidak hanya dikombinasi antara berbagai macam plastik saja, melainkan kombinasi antara berbagai plastik dengan aluminium yang disebut metallized plastic. Kemasan ini memiliki ketahanan terhadap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya dan menghambat masuknya oksigen. Penggunaan kemasan ini sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju dan roti panggang (Brown, 1992).
Menurut
Nugroho
(2007),
setelah
melakukan
pengukuran
permeabilitas metallized plastic dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31, ada beberapa nilai permeabilitas kemasan ini yaitu 0,0078 gH20/hari/m2.mmHg dan 0,0061 gH20/hari/m2.mmHg. Dimana menurut Nugroho (2007) juga bahwa kemasan dengan permeabilitas uap air rendah merupakan barrier uap air yang baik sehingga umur simpan produk pangan akan semakin lama.
H. UMUR SIMPAN Banyak perubahan yang terjadi pada makanan selama pengolahan dan penyimpanan (Man, 2000). Pengaruh berbagai jenis pengolahan, distribusi serta penyimpanan mengakibatkan perubahan pada kualitas atribut pangan. Pada selang penyimpanan dengan suhu tertentu, satu atau lebih atribut mutu akan mencapai kondisi yang tidak diinginkan. Saat itu, pangan tidak layak lagi
29
untuk dikonsumsi, dan disebut bahwa pangan tersebut telah mencapai umur simpan atau masa kadaluarsa pangan (Man, 2000). Menurut Institute of Food Science and Technology (IFST) (1993), ada dua faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang termasuk ke dalam faktor intrinsik adalah aw, pH, kadar oksigen, potensial reaksi oksidasi-reduksi (Eh), kandungan nutrisi, mikroflora dan total mikroba awal, kandungan biokimia produk dan penggunaan bahan pengawet. Faktor-faktor intrinsik ini dipengaruhi oleh kondisi bahan baku yang meliputi kualitasnya, formulasi produk dan struktur adonan. Pengertian faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor yang mempengaruhi selama produk berada pada rantai pangan (food chain). Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah profil suhu-waktu (time-temperature profile) selama proses dan besarnya tekanan pada head space, pengaturan suhu selama penyimpanan dan distribusi, kondisi RH selama proses pembuatan, penyimpanan dan distribusi, pemaparan terhadap cahaya (UV dan IR), kondisi sanitasi, kondisi atmosfer dalam kemasan, adanya pemanasan subsekuen (subsequent heat treatment) yaitu pemanasan sebelum pengkonsumsian produk, serta penanganan oleh konsumen (consumer handling). Kedua faktor ini akan berinteraksi dan biasanya tidak dapat langsung diprediksi. Menurut Man (2000) ada tiga bagian interaksi (basic model food deterioration) dalam kerusakan pangan, seperti Gambar 6 di bawah ini. Ketiga bagian interaksi ini akibat faktor-faktor yang telah disebutkan diatas.
Gambar 6. Kerusakan bahan pangan-model dasar
30
Menurut Corradini dan Peleg (2007), percepatan kerusakan bahan pangan oleh reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba dapat disebabkan oleh beberapa hal. Penyimpanan produk pangan dengan suhu yang meningkat sudah pasti penyebab yang umum kerusakan bahan pangan. Penyimpanan dengan suhu yang meningkat akan mengakibatkan meningkatnya kelembaban udara sehinga menginisiasi pertumbuhan mikroba. Tetapi ada penyebab lain yang mengakibatkan percepatan kerusakan produk pangan tersebut yaitu hilangnya faktor penghambat (inhibitory factor). Sebagai contoh, kerusakan daging yang disimpan pada suhu ruang akan dipengaruhi oleh konsentrasi garam dan kenaikan suhu penyimpanan. Konsentrasi garam disini memiliki fungsi sebagai faktor penghambat (inhibitory factor) untuk pertumbuhan mikroba. Dengan demikian, kecepatan kerusakan daging akan terfokus bukan hanya pada peningkatan suhu penyimpanan, tetapi juga pada penurunan konsentrasi garam pada daging tersebut. Umur simpan adalah jangka waktu antara saat produk mulai dikemas sampai produk tersebut digunakan, dimana pada saat digunakan mutu produk tersebut masih dapat diterima penggunaannya (Hine, 1987). Menurut Ellis (1994), umur simpan adalah waktu antara saat bahan pangan diproduksi dan dikemas, sampai produk tidak dapat lagi diterima lagi pada kondisi lingkungan, dimana produk tersebut digunakan. Penurunan umur simpan disebabkan oleh detriorisasi pada produk secara kimiawi (Arpah, 2001). Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu karakteristik produk, lingkungan dimana produk berada selama penyimpanan dan karakteristik kemasan yang digunakan (Ivory, 1994). Menurut Desrosier (1988), faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi, jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan kemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembapan penyimpanan. Selanjutnya dijelaskan oleh Desrosier (1988), bahwa setiap jenis bahan pangan yang berada dalam kondisi yang baik mempunyai potensi untuk disimpan. Potensi ini dapat hilang oleh perlakuan mekanis yang cukup berat,
31
pengemasan yang tidak memadai, dan kondisi penyimpanan yang jelek. Untuk mencegah hilangnya potensi tersebut diperlukan pemilihan jenis dan kondisi pengolahan yang sesuai, pengemasan dan penyimpanan yang tepat sehingga dapat
benar-benar
melindungi
dan
mempertahankan
kualitas
yang
dikehendaki. Menurut Syarief, et al., (1989), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Keadaan alamiah atau sifat bahan pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume. 3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembapan) dimana kemasan dapat bertahan selama distribusi dan sebelum digunakan. 4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk dari perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpannya. Untuk menganalisis penurunan mutu diperlukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, organoleptik, uji kadar vitamin C, total mikroba (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Desrosier (1988), untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur, zat gizi, kadar air, keapekan, ketengikan dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen. Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dapat dilakukan dengan mengamati produk tersebut selama penyimpanan sampai tercapai perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Selanjutnya
32
Syarief, et al.,(1989), menjelaskan bahwa penentuan umur simpan bahan pangan dapat diketahui dengan metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan (performance method) dan metode nilai waktu paruh. Metode konvensional dilakukan dengan pengemasan produk dengan berat yang sama dan disimpan pada tempat dan kondisi suhu 250C-300C serta RH 50%. Pengamatan dilakukan setiap selang waktu tertentu untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan. Menurut Hariyadi, et al., (2004), umur simpan ditentukan oleh faktor kritis atau parameter mutu yang paling cepat rusak. Penentuan kerusakan faktor kritis tersebut dapat dilakukan dengan 1) studi pustaka; 2) penelitian laboratorium; 3) konsultasi atau diskusi dengan ahli; 4) verifikasi dengan uji inkubasi. Metode akselerasi merupakan metode penggunaan umur simpan dengan cara mempercepat kerusakan pada bahan pangan dengan mengubah kondisi penyimpanan dari kondisi normal. Kondisi penyimpanan yang umum diubah adalah suhu. Kenaikan suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusakan yang memperpendek umur simpan dari bahan pangan (Syarief, et al.,1989). Menurut Hariyadi, et al., (2004), ada beberapa informasi yang diperlukan dalam penghitungan umur simpan suatu produk. Informasi tersebut meliputi identifikasi faktor kritis, batasan mutu dan batasan mutu minimum yang diharapkan (masih layak untuk dikonsumsi), parameter kinetika penurunan mutu serta kondisi awal produk. Menurut Institute of Food Technologist yang dikutip oleh Hariyadi, et al., (2004), kinetika penurunan mutu dengan metode akselerasi model Arhenius dapat dirumuskan sebagai berikut.
dimana ……………………1)
33
Q = kualitas (mutu) t
= waktu
k = konstanta laju penurunan mutu n
= ordo reaksi penurunan mutu
Nilai K diatas sangat dipengaruhi oleh suhu dengan persamaan:
dimana ………………….2) k = konstanta laju penurunan mutu ki = konstanta (faktor frekuensi, tidak tergantung suhu) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K) R = konstanta gas; 1,986 kal/mol (8,314 J/mol.K) Penentuan waktu kadaluarsa dapat diduga dengan melihat hubungan antara perubahan nilai k terhadap perubahan suhu (T) dengan model arhenius. Jika penurunan mutu (Q) mengikuti reaksi ordo nol (Gambar 7a) maka waktu kadaluarsanya adalah: , …………………………..3) Contoh penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo nol (Hariyadi, et al., 2004) adalah penurunan mutu (overall quality) pangan beku dan pencoklatan non enzimatis. Sedangkan penurunan mutu produk yang mengikuti reaksi ordo satu (Gambar 7b), penentuan waktu kadaluarsanya adalah:
dimana ………………4) ts = waktu kadaluarsa Qo = mutu awal produk
34
Qs = mutu akhir produk k
= konstanta laju penurunan mutu Contoh penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu adalah
kehilangan atau kerusakan vitamin, inaktivasi pertumbuhan mikroba, kerusakan warna oksidatif, dan kerusakan tekstur karena panas.
Gambar 7. Hubungan nilai mutu dan waktu penyimpanan pada; (a) ordo reaksi nol dan (b) ordo reaksi satu
35
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung kacang hijau, tepung ubi jalar, tapioka, gula pasir, susu full-cream, minyak kelapa dan margarin (blue band). Bahan-bahan untuk analisis kimia yang digunakan adalah K2SO4, HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H3BO3, indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, heksan, aquades dan alkohol 96 %. Bahan-bahan untuk penentuan umur simpan adalah antifoaming agent, asbes, kertas saring, pereaksi TBA, aquades serta kemasan metallized plastic.
2. Alat Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, cawan alumunium, oven baking Mah-Yih MD 48, waring blender, texture analyzer TA-XT2 stable Micro system, oven pengering MK3 Laboratory Equipments Mfg, hand mixer Philips, sealer AIE – 400 C, vary mixer 5Par JET, aw meter Shibura Electronics co.LTD WA-360, inkubator 370C, 460C, 560C, Chromameter, desikator, labu Kjedahl, batu didih, gelas erlenmeyer, cawan porselein, pencapit, tanur, kertas saring, labu soxhlet, gelas ukur, mortar dan alat-alat gelas lainnya.
B. TAHAPAN PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian ini bertujuan memilih produk pasaran yang akan dijadikan produk dasar yang akan dikembangkan menjadi pangan darurat (EFP). Karakterisasi produk pasaran dilakukan dengan pengukuran aw, kadar air dan teksturnya baik secara instrumentasi maupun dengan sensori
36
serta deskripsi produk target secara keseluruhan yang dilakukan dengan diskusi kelompok kecil. Produk target yang disebutkan di atas adalah produk kering tradisional yang telah lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan komposisi berbahan lokal (tepung kacang hijau, sagu, pati-patian).
2. Penelitian Utama a. Formulasi Produk Pangan Darurat Dengan Kandungan Total Nilai Kalori Mendekati 2100 Kkal Penelitian ini diawali dengan standarisasi proses penyangraian kacang hijau kupas kulit serta penepungannya untuk digunakan sebagai bahan utama pembuatan produk. Nilai kalori yang didapatkan melalui analisis proksimat akan digunakan dalam proses formulasi. Target pembuatan formulasi adalah karakteristik sensori yang dapat diterima dengan nilai kalori harian mendekati 2100 kkal. Formulasi komposisi bahan penyusun EFP ini didasarkan pada nilai energi sesuai dengan Daftar Komposisi Bahan Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1981), informasi nilai gizi pada label kemasan bahan serta
hasil
analisis
proksimat.
Perhitungan
total
energi
ini
menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan program Microsoft Excel. Basis perhitungan energi produk 233 kkal dengan berat produk akhir per barnya 50 gr. Rangkaian proses formulasi EFP melibatkan komponen makronutrien dan kandungan air bahan penyusun seperti yang terlihat pada Gambar 8.
b. Pembuatan Produk Pangan Darurat Dari Produk Pasaran Yang Terpilih Berdasarkan Formulasi Dan Rekayasa Proses Pada tahap ini dilakukan percobaan pembuatan produk pangan darurat berdasarkan
formulasi yang telah ditetapkan. Pada proses
pembuatan ini, dilakukan modifikasi prosedur untuk mencapai hasil
37
produk yang optimum dari segi organoleptik dengan keawetan tinggi (aw ±0,4) untuk memperoleh umur simpan ±2 tahun dengan rasa dan tekstur yang optimum. Produk hasil formulasi dibuat dengan memodifikasi proses pembuatannya dalam hal pembuatan adonan, waktu penambahan air dan kombinasi waktu dan suhu pemanggangan serta pengeringan. Analisis yang dilakukan adalah pengukuran nilai aw, tekstur dan uji sensori (over all) menggunakan rating dan ranking hedonik, serta biaya bahan penyusun untuk memilih satu produk terpilih untuk di scale up.
1 bar mengandung 233kkal
Gambar 8. Formulasi EFP menggunakan prinsip kesetimbangan massa menggunakan program Microsoft Excel
c. Pendugaan Umur Simpan Produk Terpilih Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat produk terpilih yang berdasarkan kesetimbangan massa pada penelitian sebelumnya untuk mengetahui nilai kalori aktual, organoleptik serta penentuan umur simpan produk akhir yang terpilih dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) model persamaan Arhenius. Analisis umur simpan dilakukan dengan menggunakan kemasan metallized plastic. Setiap kemasan primer berisikan 3 bar produk. Gambar kemasan dan penyusunan produk di kemasan selama
38
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini. Produk disimpan dalam inkubator dengan 3 jenis suhu penyimpanan, yaitu 370C, 460C, dan 560C. Pengambilan sampel akan dilakukan per empat hari dengan pengujian beberapa aspek, yaitu nilai TBA (Thiobarbituric acid), kadar air produk, tekstur, analisis warna menggunakan Chromameter dan uji sensori rating hedonik meliputi atribut aroma, rasa, tekstur dan warna. Uji mikrobiologis meliputi TPC dan total Kapang-Khamir juga dilakukan pada ketiga suhu penyimpanan pada hari terakhir. Secara keseluruhan skematik penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.
Gambar 9. Penampakan a) jenis kemasan; b) penyusunan produk dalam kemasan; c) skematik pengemasan produk EFP yang disimpan
39
Gambar 10. Diagram kerja dan analisis keseluruhan penelitian
40
C. METODE ANALISIS 1. Kadar air, metode oven biasa (Apriyantono, et al., 1989) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0003 gram). Perhitungan :
2. Kadar Abu (Apriyantono, et al., 1989) Pinggan porselin pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam pinggan tersebut, kemudian pinggan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama pada suhu sekitar 400oC dan kedua pada suhu 5500C. Pinggan porselin yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Catatan : Sebelum pinggan porselin masuk kedalam tanur, sampel yang ada dalam pinggan porselin dibakar dulu pada pembakar sampai asapnya habis. Setelah itu, pinggan dapat dimasukkan kedalam tanur.
41
Perhitungan :
3. Kadar protein metode Kjedahl-mikro (Apriyantono, et al., 1989) Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan dibutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Setelah itu, beberapa butir batu didih dimasukkan labu Kjedahl yang berisi sampel kemudian labu Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan betu didih didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko.
42
Cara perhitungan kadar protein :
4. Kadar lemak (metode soxhlet) Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Heksan dituang ke dalam labu lemak dan kemudian alat dirangkai. Refluks dilakukan selama 5-6 jam. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan sisa pelarut heksan diangkat dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C sampai pelarut menguap semua. Labu yang berisi lemak didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Perhitungan :
5. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut :
6. Kadar Serat Kasar (Apriyantono, et al., 1989) Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah halus diekstrak lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter (PE). Sampel bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0,5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes anti buih (antifoaming agent). Setelah itu
43
tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang. Setelah selesai saring suspensi dengan menggunakan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih, pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (pengujian dengan kertas lakmus). Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer kembali secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 1100C sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah itu sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator, lalu sampel ditimbang. Perhitungan:
Dimana: W2 = berat residu dan kertas saring yang dikeringkan (gr) W1 = berat kertas saring (gr) W = berat contoh yang dianalisis (gr)
7. Pengukuran Aktivitas Air (aw) Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan awmeter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada aw meter dan ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat angka
44
tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.
8. Analisis tekstur Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analizer dengan mengunakan probe silinder untuk analisis biskuit. Pengukuran dengan TA menunjukkan nilai kerenyahan produk. Spesifikasi probe dan setting dapat dilihat pada Tabel 8 dan bentuk probe yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 8. Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit PRODUCT Type Objective TA - XT2 Mode Option Pre- test Speed Test Speed Post - test Speed Distance Trigger type Data Acquistion Rate Probe
BISCUITS Plain Dough Biscuits Hardness Measurement of Biscuit by Probing Measure Force in Compression Return to Start 2.0 mm/s 0.5 mm/s 10.0 mm/s 4 mm Auto - 5 g 200 pps 2 mm cylinder Probe (P/2)
Gambar 11. Jenis probe dalam pengukuran kerenyahan EFP Profil perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat dilihat pada Gambar 12.
45
Gambar 12. Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer
9. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang digunakan adalah uji pemeringkatan (simple ranking test) untuk meranking setiap produk dari masingmasing jenis produk yang terpilih sesuai dengan kesukaan konsumen dengan keseluruhan atribut (over all) dan uji rating hedonik untuk menentukan apakah masing-masing produk berbeda nyata pada taraf nyata 5%. Panelis yang digunakan adalah panelis agak terlatih sebanyak 30 orang untuk kedua uji di atas. Analisis dari hasil uji ini akan diolah dengan menggunakan program SPSS 11.5. Sedangkan pengujian beberapa atribut sensori (rasa, warna, tekstur) dalam analisis pendugaan umur simpan produk akan menggunakan uji rating hedonik dengan panelis terlatih berjumlah 10 orang yang telah diberikan pengenalan akan produk EFP yang diuji umur simpannya.
10. Densitas kamba ( Modifikasi dari Khalil, 1999) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang.
Densitas kamba dihitung dengan cara
46
membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
11. Kadar TBA (Thiobarbituric Acid) (Apriyantono et al., 1989) Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan kedalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama dua menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Ditambahkan ± 2.5 ml HCL 4 M sampai pH menjadi 1.5. Kemudian ditambahkan batu didih dn pencegah buih (antifoaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destitlat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi tertutup. Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selam 35 menit dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan selama ± 10 menit, diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dihitung dan dinyatakan dalam mg malanoldehida per kg sampel. Bilangan TBA = 7.8 D. Hasil pengamatan bilangan TBA disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara TBA dan waktu pengamatan.
12. Penentuan Umur Simpan (ASLT) Pada umumnya, laju reaksi (dN/dt) merupakan fungsi dari berbagai variabel reaksi, antara lain jumlah molekul yang bereaksi, suhu
dan
keberadaan
katalis.
Beberapa
ordo
reaksi
yang
mengakibatkan deteriorisasi pada pangan adalah ordo nol, ordo satu,
47
ordo dua dan ordo tiga. Untuk ordo nol, laju reaksi (dN/dt) konstan dan tidak tergantung oleh konsestrasi reaktan. Sedangkan ordo satu, laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi reaktan. Secara umum persamaan laju reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan di bawah ini.
dimana……………………. 5) n
= ordo reaksi
k
= konstanta laju reaksi Perhitungan umur simpan diawali dengan memplotkan
beberapa rataan nilai (skor) parameter tertentu terhadap waktu penyimpanan per suhu penyimpanan. Jika reaksi kerusakan pangan yang disimpan belum diketahui model ordo reaksinya, maka plot nilai di atas dapat dilakukan baik pada orde nol maupun orde satu. Pada ordo nol, plot dilakukan antara rataan skor pengamatan dengan waktu penyimpanan, sedangkan ordo satu, nilai rataan skor terlebih dahulu diubah dalam bentuk lon (ln) lalu diplotkan dengan waktu penyimpanan. Hasil plot diatas akan memberikan nilai k, intersep dan koefisien korelasi masing-masing suhu penyimpanan. Untuk melihat dan menentukan ordo reaksi kerusakan pangan yang disimpan dapat ditentukan dari nilai nilai koefisien korelasi yang lebih besar (r2). Ketika jenis ordo reaksi kerusakan pangan telah didapatkan, maka langkah selanjutnya memplotkan nilai k terhadap suhu penyimpanan dalam bentuk kelvin (0K, 1/T). Nilai k terlebih dahulu diubah dalam bentuk ln jika ordo reaksi kerusakan pangan mengikuti ordo satu. Hasil plot tersebut akan memberikan nilai k, intersep dan koefisien korelasi. Nilai k hasil plot ini merupakan nilai dari energi aktivasi dibagi dengan konstanta gas (Ea/R), karena persamaan garis linear
hasil
pemplotan
akan
mengikuti
Persamaan Arrhenius dapat dilihat di bawah ini.
persamaan
Arhenius.
48
………………………….6)
dimana……....................................7) kt = Nilai k pada suhu penyimpanan t T = Suhu penyimpanan Ea = Energi aktivasi (J/mol) = Slope Model Arrhenius R = Konstanta gas (8,314 J/mol0K). Dengan demikian, dari persamaan Arrhenius kita dapatkan nilai k. Konstanta laju reaksi (k) ini akan memberikan informasi kecepatan kerusakan bahan pangan yang disimpan. Jika nilai k besar maka pangan yang disimpan akan semakin cepat mengalami kerusakan. Perhitungan
umur
simpan
pangan
didapatkan
dengan
membagi selisih mutu awal produk (Q0) dengan mutu kritis (Qs) dengan nilai k produk. Perhitungan ini dapat dilihat pada persamaan di bawah ini.
…………………8)
dimana…………………….9) ts = waktu kadaluarsa (hari) Qo = mutu awal produk Qs = mutu akhir produk k
= konstanta laju penurunan mutu
49
IV. PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI KUE KERING TRADISIONAL Karakterisasi merupakan upaya pendahuluan untuk mengetahui mutu dan sifat-sifat (kimia, fisik, mikrobiologi) suatu produk. Mutu adalah hal-hal tertentu yang membedakan produk satu dengan yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan daya terima dan kepuasan konsumen (Hariyadi, 2006). Secara umum, atribut mutu yang dimiliki oleh produk pangan adalah rasa, aroma, tekstur, warna dan penampakan (visual). Penelitian pada tahap ini bertujuan mengkarakterisasi beberapa produk kue kering tradisional yang ada di pasar untuk dijadikan produk dasar pembuatan pangan darurat (EFP). Beberapa kue kering yang telah ditetapkan adalah kue satu (satru), sagu keju dan sagon panggang. Dasar pemilihan ketiga produk ini adalah komposisi penyusunnya yang bersifat lokal, telah lama dikonsumsi oleh masyarakat serta proses pembuatan yang relatif mudah sehingga dapat diproduksi oleh industri rumah tangga. Karakterisasi ketiga jenis produk di atas meliputi analisis kadar air, aktivitas air (aw meter Shibura Electronics co.LTD WA-360), tekstur berupa kerenyahan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2 stable Micro system, serta uji deskripsi kelompok kecil.
1. Kue Satu (Satru) Kue ini biasanya dibuat secara tradisional dan hanya dikeringkan di atas matahari saja atau menggunakan pengering konvensional (oven arang). Kue satu biasanya berbahan dasar tepung kacang hijau yang disangrai sehingga tidak memiliki rasa mentah lagi jika dikonsumsi. Cara pembuatan kue satu adalah dengan terlebih dahulu menyangrai kacang hijau sampai kulit luarnya mengelupas. Tujuan penyangraian ini adalah untuk meningkatkan aroma dari kacang hijau serta untuk meningkatkan daya cerna serealia ini. Setelah itu, hasil sangraian dibersihkan lalu dikukus. Pencampuran dengan gula halus dilakukan sambil terus diaduk, hingga adonan menjadi kalis lalu dibentuk sesuai selera (ada cetakan khusus kue satu). Setelah pencetakan, hasilnya siap untuk dipanggang di
50
atas oven panas atau hanya dijemur di matahari panas. Setelah dingin, kue satu disusun di dalam toples (www.tabloidnova.com). Kue satu yang dianalisis didapatkan dari pasar lokal yang ada di daerah Bara, Dramaga Bogor. Kue satu ini memiliki tekstur yang rapuh dengan penampakan yang sangat beremah dan warna putih pucat (Gambar 13). Kue ini memiliki kemanisan yang cukup. Salah satu keunikan kue ini adalah walaupun terasa sangat kering tetapi saat dimulut (mouthfeel) kue ini terasa lembut. Analisis sifat-sifat fisik yang dilakukan untuk mengkarakterisasi produk ini berupa nilai aw, kadar air dan tekstur. Nilai aw produk ini sebesar 0,52 pada suhu 31,20C. Nilai kadar air yang diperoleh sebesar 4,33% (BB).
Gambar 13. Penampakan kue satu (satru) pasaran Karakterisasi sifat fisik lainnya adalah analisis tekstur. Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2 stable Micro system. Hasil analisis tekstur memberikan nilai peak force (+) sebesar 4.027,7 gr; 3,16 sec; 1,580 mm. Menurut Rosenthal (1999) nilai Peak force (+) (gram force) adalah nilai kerenyahan suatu produk dan diambil dari peak pertama yang signifikan pada kurva. Semakin tinggi nilai gram force, maka kerenyahan produk tersebut juga semakin tinggi (Rosenthal, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa kue satu memiliki kerenyahan yang tinggi, karena nilai gram force nya tinggi.
51
2. Kue Sagu Keju Kue kering ini sering disebut dengan semprit atau disebut juga dengan nama kue s-s an pada saat lebaran. Kue ini memiliki aroma yang sangat enak. Menurut Bellnad (2005) kue ini akan cepat lumer (melting) di dalam mulut. Proses pembuatan kue ini diawali dengan menyangrai tepung sagu dan daun pandan dengan api kecil sampai daun pandan mengering, lalu diangkat, didinginkan, dan diayak hasilnya agar remahan daun pandan tidak terikut di dalam adonan. Setelah itu, gula, mentega dan kuning telur dikocok sampai putih (proses kriming) lalu dicampur dengan tepung sagu. Penambahan keju parut dilakukan secara bertahap agar keju terdistribusi secara merata di dalam adonan. Tahap selanjutnya adalah proses pencetakan. Adonan dimasukkan kedalam icing bag dengan menggunakan tip bintang, lalu disusun kedalam loyang yang sudah dioles minyak dan ditaburin tepung. Pemanggangan hasil cetakan di dalam oven dengan api kecil, sampai tampak ada bintik-bintik kuning. Setelah pemanggangan, kue diangkat lalu didinginkan, setelah itu dikemas kedalam stoples. Kue sagu keju yang dianalisis didapatkan dari pasar lokal Bara, Dramaga Bogor. Bentuk dari kue ini memang mirip dengan huruf S dengan penampakan permukaanya agak kasar, sedikit beremah dengan warna kuning kecoklatan. Remah pada produk ini diakibatkan oleh tekstur produk agak renyah. Penampakan produk kue sagu keju dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
Gambar 14. Penampakan kue sagu keju pasaran
52
Hasil analisis aw kue ini sebesar 0,466 pada suhu 31,20C; kadar air 4,07% (BB) serta hasil pengukuran teksturnya memberikan nilai peak force (+) sebesar 902,4 gr; 1,673 sec; 0,836 mm.
3. Kue Sagon Panggang Kue sagon panggang sering juga disebut sebagai round coconut cookies. Kue ini memiliki aw yang rendah dan tekstur yang cukup keras. Komposisi dalam membuat kue ini (resep) terdiri dari kelapa parut, tepung ketan, gula pasir serta air (www.tabloidnova.com). Proses pembuatan kue sagon panggang dimulai dari proses penyangraian kelapa yang telah diparut. Tujuan dari penyangraian ini adalah untuk mengurangi kadar air dari kelapa hasil pemarutan. Penyangraian dilakukan diatas api kecil selama 20 menit. Penyangraian dilakukan sampai warna daging buah kelapa parut mendekati warna coklat. Setelah itu, dilakukan pencampuran antara kelapa hasil sangraian dengan tepung ketan, lalu gula pasir, dan jika diperlukan dilakukan penambahan air. Pencampuran tiga bahan yang terakhir dilakukan secara bertahap, agar bahan dapat tercampur secara merata dalam adonan. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit. Jika terjadi kelebihan air, maka proses pemanggangan akan terjadi sangat lama, sehingga menimbulkan warna gelap pada permukaan kue sagon panggang. Setelah bahan tercampur dengan merata, maka adonan dicetak dengan loyang berukuran 4 cm x 5 cm dengan ketebalan 0,5 cm. Hasil cetakan dapat langsung dipanggang dalam oven suhu rendah selama 20 menit. Setelah itu produk diangkat dan siap untuk dikonsumsi (www.tabloidnova.com). Penampakan kue sagon panggang hasil proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 15. Analisis kadar air produk ini menghasilkan nilai 2,50% (BB). Analisis aw memberikan nilai 0,32 pada suhu 31,00C. Uji deskripsi produk memberikan penilaian sensorik terhadap beberapa atribut. Produk ini memiliki tekstur yang keras (tidak rapuh), permukaan kasar (Gambar 15),
53
kemanisan cukup. Secara instrumentasi, pengukuran kerenyahan produk memberikan nilai peak force sebesar 583,7 gr; 0,742 sec; 0,371 mm.
Gambar 15. Penampakan kue sagon panggang pasaran Rekapitulasi hasil karakterisasi ketiga produk kering di atas dapat ditunjukkan pada Tabel 9. Jika dilihat dari nilai peak force (+) atau gram force ketiga produk diatas, terdapat perbedaan nilai yang cukup besar. Kue satu memiliki nilai gram force yang lebih besar (4.027,7 gr), dengan demikian kerenyahan dari kue satu lebih besar dibandingkan dengan kue sagu keju dan sagon panggang. Tabel 9. Hasil karakterisasi kue kering tradisional Jenis kue / Parameter
kue satu
kue keju
kue sagon panggang
aw
0,52; T=31,20C
0,46; T=31,20C
0,32; T=31,00C
4,33
4,07
2,50
4.027,7 gr; 3,16 sec; 1,580 mm
902,4 gr; 1,673 sec; 0,836 mm
583,7 gr; 0,742 sec; 0,371 mm
kadar air (%BB) Kerenyahan, peak force (+)
Menurut Zoumas, et al., (2002) produk pangan darurat (EFP) harus memiliki nilai aw maksimum sebesar 0,6. Jika dilihat dari nilai aw tiga produk di atas maka setiap kue kering tersebut berpeluang untuk dijadikan prototipe EFP. Proses pembuatan ketiga produk di atas berbeda, dimana proses pembuatan kue satu lebih singkat. Perbedaan proses pembuatan ini mungkin akan menyebabkan perbedaan karakteristik ketiga produk di atas. Proses pembuatan kue sagu keju melibatkan proses pemanggangan
54
(aplikasi suhu tinggi), sedangkan untuk pembuatan kue satu dan sagon panggang setelah pencetakan, produk dikeringkan dengan mengunakan cahaya matahari (kue satu) atau dengan menggunakan oven pengering dengan suhu yang relatif lebih rendah (kue satu dan sagon panggang). Menurut Manley (2001), pengeringan dengan suhu rendah dan waktu pengeringan yang lama akan memberikan kekompakan struktur adonan pada produk yang dikeringkan. Dengan demikian akan memperbesar pengeluaran air dari adonan. Perbandingan ketiga proses pembuatan kue diatas dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Perbandingan proses pembuatan (a) kue satu, (b) kue keju, (c) kue sagon panggang Dari hasil karakterisasi ini, melihat faktor kemudahan proses pembuatan, nilai aw, kadar air dan karakterisasi sensori ketiga kue kering
55
di atas, diputuskan untuk mengembangkan 2 kue kering saja sebagai dasar pengembangan pangan darurat (EFP). Kue sagon panggang memiliki kadar air, aw, serta karakteristik sensori yang memenuhi syarat prototipe EFP namun proses pembuatan kue sagon panggang (Gambar 16) sangat rumit dan lebih lama dibandingkan dengan kedua kue lainnya. Hal ini akan mengakibatkan kerumitan dalam memodifikasi proses pembuatannya untuk mendapatkan EFP yang diinginkan. Maka, kue satu dan sagu keju lah yang dikembangkan sebagai prototipe pangan darurat (EFP).
B. STANDARISASI PROSES PENYANGRAIAN DAN PENEPUNGAN KACANG HIJAU Pembuatan tepung kacang hijau sangrai diawali dengan penyangraian kacang hijau kupas kulit. Kacang hijau kupas kulit yang digunakan diperoleh dari PD. Aneka Loyang yang terletak di Pasar Anyer, Bogor. Kacang hijau dikemas dalam plastik polietilen (PE) dengan jumlah per kemasan sebesar 250 gram. Warna kacang hijau kupas kulit adalah kuning terang dengan kondisi biji kacang telah pecah menjadi dua bagian. Penampakan kacang hijau kupas kulit dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Penampakan kacang hijau kupas kulit Sebelum disangrai kacang hijau kupas kulit dicuci terlebih dahulu untuk membersihkannya dari kontaminan fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Setelah itu kacang hijau kupas kulit direndam selama 2 jam pada suhu ruang (300C), dengan perbandingan kacang hijau dengan air perendam sebesar 1:2. Karena adanya molekul air yang terserap pada bagian granula kacang hijau
56
pada saat perendaman, maka dapat terjadi pregelatinisasi pada biji kacang hijau pada saat penyangraian. Penyangraian kacang hijau dilakukan dengan suhu ± 1200C selama 4045 menit. Menurut Widyotomo dan Sri (2000), penyangraian bertujuan mengembangkan
rasa,
aroma,
warna,
memudahkan
pelepasan
kulit,
mengurangi kandungan air, dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulit pada proses pembersihan. Penyangraian kacang hijau disini selain untuk mencapai beberapa tujuan di atas juga berfungsi untuk mengeliminasi komponen antinutrisi pada biji kacang hijau (Kay, 1979). Menurut Elias (1979) yang dikutip oleh Bressani, et al (1982), kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81 %, namun daya cerna protein ini dipengaruhi oleh adanya inhibitor tripsin. Pengeliminasian komponen antinutrisi (inhibitor tripsin) ini dapat dilakukan dengan memanaskan biji kacang hijau karena komponen ini akan mengalami denaturasi. Menurut Gervani dan Theopilus (1980), PER (Protein Efficiency Ratio) kacang hijau dipengaruhi oleh cara pengolahan. Penggorengan dan perkecambahan menurunkan PER, sedangkan perebusan meningkatkan PER. Oleh karena itu, penyangraian ini juga dapat meningkatkan PER karena adanya proses pemanasan yang mengakibatkan ikatan kompleks protein dengan molekul lain (polimer) mengalami pemecahan karena suhu tinggi. Dengan
demikian,
ketersediaan
protein
menjadi
meningkat
yang
meningkatkan nilai PER. Perbedaan kondisi fisik (ukuran) dari biji kacang hijau dapat mengakibatkan beragamnya warna biji kacang hijau. Pindah panas pada biji kacang hijau yang lebih kecil akan lebih cepat terjadi karena memiliki luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan biji kacang hijau besar. Oleh karena itu, jika penyangraian biji-biji kecil dicampur dengan biji-biji yang besar, maka biji-biji yang kecil akan tersangrai lebih dahulu dan akan berwarna lebih gelap (Widyotomo dan Sri, 2000). Rendemen hasil penyangraian kacang hijau kupas kulit sebesar 85,40% berdasarkan bobot kacang hijau kupas kulit sebelum direndam.
57
Kacang hijau hasil penyangraian ditepungkan mengunakan alat penggiling serealia disc mill. Hasil pengilingan disc mill langsung diayak menggunakan ayakan bertingkat (vibrating screen) dengan ukuran pori paling kecil sebesar 60 mesh. Rendemen penepungan kacang hijau sangrai ini sebesar 78,92% berdasarkan bobot kacang hijau kupas kulit hasil penyangraian, sedangkan rendemen berdasarkan kacang hijau kupas kulit sebelum penyangraian sebesar 67,40%. Secara lengkap, proses standarisasi penepungan kacang hijau sangrai dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Standarisasi penepungan kacang hijau kupas kulit sangrai Tepung kacang hijau sangrai ini siap untuk digunakan sebagai bahan pembuatan EFP. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah makronutrien dan kandungan kalori tepung kacang hijau sangrai. Tepung kacang hijau sangrai yang dianalisis dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil
58
analisis proksimat memberikan nilai gizi kalori tepung kacang hijau sangrai sebesar 368,37 kkal per 100 gram bagian yang dapat dimakan. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa kandungan karbohidrat (by difference) lebih besar dibandingkan dengan nilai protein dan lemak, yaitu sebesar 61,03%. Kandungan protein lebih besar (26,36%) dibandingkan dengan kandungan lemak yang hanya sebesar 2,09%. Hasil analisis proksimat tepung kacang hijau sangrai akan digunakan dalam formulasi EFP.
Gambar 19. Penampakan tepung kacang hijau sangrai Tabel 10. Hasil analisis proksimat tepung kacang hijau sangrai Keterangan Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat (by difference)
Jumlah (%) 7,74 2,78 26,36 2,09 61,03
C. FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT Menurut Pt. Bogasari Flour Mills (1984), cookies adalah kue kering manis yang berukuran kecil. Dengan demikian kedua jenis produk diatas, baik kue satu dan sagu keju adalah bagian dari cookies. Husain (1993) menyatakan bahwa cookies termasuk jenis biskuit, dimana cookies biasanya mengandung kadar lemak dan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya. Formulasi pangan darurat (EFP) bertujuan mendapatkan produk pangan (dalam hal ini cookies) yang mengandung kalori sebesar 233 kkal per
59
barnya (1 bar = 50 gram) (Zoumas, et al., 2002). Densitas kalori hasil formulasi harus dapat memenuhi kebutuhan kalori manusia per hari (2100 kkal). Sehingga untuk sekali makan harus mengkonsumsi EFP sebanyak 3 bar untuk memberikan energi sebesar 700 kkal. Formulasi EFP menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan program Microsoft Excel. Dalam prinsip kesetimbangan massa setiap material yang masuk (in put) harus memiliki jumlah yang setara dengan akumulasi yang terjadi selama proses dan output yang dihasilkan (Gambar 20). Formulasi dari setiap EFP selalu mengasumsikan bahwa kadar air produk akhir harus 3%. Hal ini bertujuan menjaga aw akhir produk EFP tidak melebihi 0,6 (Zoumas, et al., 2002).
Gambar 20. Skematik konsep kesetimbangan massa Formulasi EFP menggunakan data nilai kalori yang terdapat pada DKBM (Daftar Komposisi Bahan Pangan) yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1981), informasi nilai gizi pada label kemasan serta hasil analisis proksimat. Kalori dihitung berdasarkan jumlah makronutrien (protein, lemak dan karbohidrat) yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Untuk protein memiliki kalori sebesar 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram dan karbohidrat sebesar 4 kkal/gram (Prawiranegara, 1981). Kandungan kalori (energi) dari seluruh
60
bahan yang digunakan dalam formulasi EFP dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Kandungan makronutrien dan energi dari bahan penyusun EFP Komposisi
Kalori /100 gr (kkal)
Tapioka a Tepung ubi jalar a Tepung k. hijau sangrai c Margarin b Minyak kelapa b Minyak jagung b Keju b Susu Full-cream b Susu skim b Shortening b Isolate soy protein b Kaseinat b Gula halus a
362 123 353,57 733 886 900 326,3 513,2 359,4 765 380 340 376
Sumber:
a
DKBM (Prawiranegara, 1981); analisis proksimat
Protein (g) 0,5 5,0 26,36 0,6 1,0 0 22,8 24,6 35,6 0 95 85 0 b
Makronutrien Lemak Karbohidrat (g) (g) 0,3 86,9 1,95 77,94 2,09 57,33 81,0 0,4 98,0 0 100,0 0 20,3 13,1 30,0 36,2 1,0 52,0 85,0 0 0 0 0 0 0 94,0
Air 12,0 12,0 7,74 15,5 0 0 38,5 35 3,5 15,0 5 15,0 5,4
Jumlah sesuai pada label dikemasan;
c
Hasil
Sesuai dengan penelitian pendahuluan, dua jenis kue kering (kue satu dan sagu keju) akan dikembangkan menjadi EFP. Formulasi terbaik yang didapatkan dari kedua jenis kue ini masing-masing tiga jenis dari kue satu (FA1, FA2 dan FA3), dan dua jenis dari kue sagu keju (FB1 dan FB2). Secara keseluruhan bahan yang digunakan untuk menyusun formulasi diatas adalah tepung kacang hijau, tepung ubi jalar, tapioka, margarin, minyak kelapa, minyak jagung, keju, susu bubuk full-cream, susu skim, shortening, isolat protein kedelai, kaseinat, gula halus dan air.
1. Formulasi Cookies Kacang Hijau (FA) Bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi cookies kacang hijau (FA) terdiri dari tepung kacang hijau sangrai, tapioka, minyak kelapa, minyak jagung, margarin, isolat protein kedelai, shortening, kaseinat, gula halus dan susu bubuk full-cream. FA dibagi menjadi 3 formula yaitu FA1, FA2 dan FA3.
61
Formulasi Cookies Kacang Hijau 1 (FA1) Fornulasi yang pertama ini melibatkan komposisi bahan yang lebih bervariasi jika dibandingkan dengan dua formulasi lainnya. Formulasi ini melibatkan 2 komponen utama selain gula yaitu tepung kacang hijau sangrai sebesar 20,50%, tapioka 20,86% basis jumlah keseluruhan adonan dengan penambahan air 15 % basis bahan yang berbentuk tepung (tepung kacang hijau sangrai, tapioka, ISP, kaseinat) (Tabel 12). Hasil akhir dari formulasi per 50 gr produk akhir FA1 (1 bar) memiliki kandungan protein sebesar 9,8218 gr (19,64%), lemak sebesar 10,4055 gr (20,81%) dan karbohidrat sebesar 29,5159 gr (59,03%). Dari keseluruhan total adonan, karbohidrat memiliki persentasi yang lebih besar dibandingkan kedua makronutrien lainnya. Dari hasil FA1 didapatkan nilai kalori akhir dari produk tersebut per 1 barnya adalah 250,00 kkal. Kesetimbangan massa dan formulasi cookies kacang hijau yang pertama ini (FA1) dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 12. Komposisi adonan cookies FA1 Nama Bahan Tepung Kacang hijau sangrai Tapioka Minyak jagung Shortening Blue Band ISP Kaseinat Gula Pasir Air
Jumlah (gr) 165 168 73.5 30 30 42 42 192 62,25
Total adonan
742.5
Persentasi (%) 20,50 20,87 9,13 3,73 3,73 5,22 5,22 23,86 7,73 (15,00)*
* Jumlah air yang ditambahkan bahan berbentuk tepung-tepungan
Formulasi Cookies Kacang Hijau 2 (FA2)
62
Formulasi cookies kacang hijau yang kedua (FA2), melibatkan beberapa bahan yang tidak terlalu bervariasi. Bahan-bahan penyusun formulasi ini terdiri dari tepung kacang hijau sangrai, margarin, susu bubuk full cream, gula halus serta air (Tabel 13). Jika dilihat dari persentasinya maka jumlah kacang hijau memiliki persentasi lebih besar yaitu 44,17% berdasarkan jumlah total adonan dengan penambahan air 25% basis tepung. Tabel 13. Komposisi adonan cookies FA2 Bahan Tepung Kacang hijau sangrai Margarin Susu bubuk Full Cream Gula halus Air Total adonan
Jumlah (gr) 180 50 50 70 57,5 407,5
Persentasi (%) 44,17 12,26 12,26 17,17 14,1 (25,00)*
* Jumlah air yang ditambahkan berdasarkan bahan berbentuk tepung-tepungan
Hasil akhir dari formulasi per 1 barnya memberikan nilai protein sebesar 7,9947 gr (15,99%); lemak sebesar 7,5959 gr (15,19%) dan karbohidrat sebesar 30,3293 gr (60,66%) (Lampiran 2) . Nilai kalori yang didapatkan dari formulasi kedua ini adalah 221,66 kkal. Nilai kalori ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan formulasi yang pertama (FA1) yang bernilai 251,00 kkal karena FA2 ini memiliki komposisi bahan yang lebih sederhana tanpa penggunaan ISP dan kaseinat. Formulasi pertama (FA1) yang menggunakan ISP dan kaseinat pada formulasinya, ternyata memberikan aroma langu yang cukup kuat pada produk akhir. Aroma langu ini akan mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Oleh karena itu dicari formulasi lain tanpa penggunaan kedua bahan tersebut. Menurut Zoumas, et al., (2002) pembuatan EFP juga harus memperhatikan faktor ekonomisnya. Faktor ekonomis yang dimaksudkan disini meliputi biaya bahan baku, produksi dan distribusi. Formulasi FA2 yang dibuat tanpa menggunakan ISP dan kaseinat, juga dapat mengurangi biaya bahan baku.
63
Formulasi Cookies Kacang Hijau 3 (FA3) Formulasi ini menggunakan bahan yang mirip dengan formulasi cookies kacang hijau 2 (FA2) ditambah dengan minyak kelapa. Substitusi minyak
jagung
dengan
minyak
kelapa
bertujuan
menghasilkan
penampakan dan tekstur produk akhir yang baik. Pada saat pemanggangan, sebagian minyak kelapa yang terdapat pada adonan akan keluar ke permukaan produk dan akhirnya mengering pada akhir pemanggangan. Hal ini mengakibatkan tekstur permukaan produk menjadi gurih, karena lemak berperan dalam memberikan kegurihan produk. Jika dilihat dari persentasinya maka tepung kacang hijau sangrai merupakan komposisi terbesar dari adonan ini, yaitu sebesar 46,76% basis total adonan dengan penambahan air 15% basis tepung-tepungan. Persentasi terbesar kedua diperoleh dari gula halus dengan jumlah 21,25%. Komposisi adonan FA3 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Komposisi adonan cookies FA3 Bahan Tepung Kacang hijau sangrai Minyak Kelapa Margarin Susu Bubuk Full-Cream Gula halus Air Total berat adonan
Jumlah (gr) 220 25 35 50 100 40.5 470.5
Persentasi (%) 46.75 5.31 7.43 10.62 21.25 8.60 (15,00)*
* Jumlah air yang ditambahkan berdasarkan bahan berbentuk tepung-tepungan
Formulasi ini memberikan nilai kalori per 50 gr produk sebesar 234,10 kkal. Kandungan makronutrien dari protein sebesar 8,7706 gr (17,54%); lemak sebesar 8,9809 gr (17,96%); dan karbohidrat sebesar 29,5486 gr (59,09%) masing-masing per 50 gr produk (EFP). Perhitungan formulasi produk ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
64
Menurut (Zoumas, et al., 2002) kandungan laktosa maksimum yang harus dimiliki oleh EFP adalah 17 gr/1000 kkal. Nilai ini setara dengan 4 gr laktosa/50 gr EFP (1 bar). Berdasarkan formulasi FA3, kandungan laktosa yang dimiliki sebesar 2,24 gr/50 gr EFP. Formulasi ini berbeda dengan FA2 yang memiliki kandungan laktosa 4,24 gr/50 gr EFP. Hal ini diakibatkan persentasi laktosa pada FA2 lebih besar dibandingkan dengan FA3 (12,25%:10,62%). Hal ini menunjukkan bahwa formulasi FA3 masih memenuhi syarat dalam hal kandungan laktosa.
2. Formulasi Cookies Keju (Modifikasi Kue Sagu Keju = FB) Formulasi cookies keju (FB) menghasilkan 2 formulasi terbaik, FB1 dan FB2. Bahan-bahan yang digunakan dalam perhitungan formulasi ini terdiri dari: tapioka, tepung ubi jalar, tepung kacang hijau sangrai, margarin, minyak kelapa, keju tabur, susu bubuk full cream, susu skim dan gula halus. Perbedaan formulasi cookies kacang hijau dan keju hanya terjadi pada jenis penyusun adonan. Pada formulasi cookies keju, bahan keju tabur sangat berperan penting dalam pengembangan atribut rasa, yang nantinya akan mempengaruhi preferensi konsumen.
Formulasi Cookies Keju1 (FB1) Formulasi cookies keju (FB1) menggunakan bahan yang sangat bervariasi. Komposisi bahannya terdiri dari tepung ubi jalar, tepung kacang hijau sangrai, margarin, minyak kelapa, keju tabur, susu bubuk full cream, susu skim dan gula halus. Formulasi cookies keju ini memiliki persentasi terbesar pada tepung ubi jalar, yaitu sebesar 28,89% (Tabel 15). Penggunaan tepung kacang hijau sangrai kecil, sebesar 12,8%. Hal ini bertujuan melihat kapasitas penggunaan tepung lokal Indonesia. Oleh karena itu, FB1 mengunakan tepung ubi jalar sebagai komposisi terbesar pada formulasinya. Tabel 16. Komposisi adonan cookies FB1 Bahan
Jumlah (gr) Persentasi (%)
65
Tepung ubi jalar Tepung kacang hijau Margarin Minyak kelapa Keju
90 40 17.5 20 40
28,8 12,8 5,6 6,4 12,8
Lanjutan Tabel 16. Komposisi adonan cookies FB1 Bahan Susu Full-Cream Susu Skim Gula halus Total Adonan
Jumlah (gr) 20 45 40 312,5
Persentasi (%) 6,4 14,4 12,8
Formulasi FB1 memiliki kandungan makronutrien (per 50 gr EFP) protein sebesar 7,9544 gr (15,91%); lemak 8,9226 gr (17,84%) dan karbohidrat sebesar 29,1887 gr (58,37%). Formulasi cookies keju 1 ini tidak menambahkan air. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar air awal formulasi ini yang berasal dari bahan seperti keju tabur, yaitu sekitar 30,80% per 100 gr keju tabur. Tingginya kadar air pada adonan dikhawatirkan dapat meningkatkan suhu dan waktu pemanggangan. Total kalori yang dimiliki oleh formula ini sebesar 228,88 kkal.
Formulasi Cookies Keju 2 (FB2) Perbedaan antara FB1 dan FB2 (cookies keju 2) adalah substitusi tepung ubi jalar dengan tapioka. Substitusi di antara kedua bahan tersebut mengakibatkan penggunaan terbesar dari tepung kacang hijau sangrai, yaitu sebesar 19,23% basis total adonan (Tabel 17). Hal ini diakibatkan kandungan protein dari tapioka tidak cukup besar sebagai sumber protein sehingga dibutuhkan sumbangan protein yang lebih dari bahan yang lain. Selain itu, tapioka mengandung karbohidrat dalam jumlah yang tinggi (86,9%). Dimana jika bahan ini digunakan dalam jumlah yang besar akan mereduksi kadar bahan lainnya. Sama halnya dengan FB1, pada FB2 ini juga tidak melakukan penambahan air pada formulasinya. Tabel 17. Komposisi adonan cookies FB2
66
Bahan Tapioka Tepung kacang hijau Margarin Minyak kelapa Keju
Jumlah (gr) 50 45 17.5 15 40
Persentai (%) 18,35 16,51 6,42 5,50 14,67 Lanjutan
Tabel 17. Komposisi adonan cookies FB2 Bahan Susu Full-Cream Susu Skim Gula halus Total Adonan
Jumlah (gr) 20 45 40 272,5
Persentai (%) 7,33 16,51 14,67
Pada Lampiran 5 dapat dilihat kandungan makronutrien lemak memiliki jumlah yang besar yaitu 12,8019 gr (25,60%) per 50 gr EFP. Menurut Zoumas, et al., (2002), kandungan lemak dari EFP harus terdapat pada rentang 9,1 gr- 11,7 gr atau sekitar 35-45% dari total energi. Formulasi ini (FB2) memiliki kandungan total kalori sebesar 197,60 kkal. Jika kita konversi total energi maksimum yang disumbangkan oleh lemak adalah 0,45 x 218,96 kkal = 98,53 kkal. Nilai ini jauh dibawah nilai kalori total lemak formulasi FB2 yang sebesar 115,2171 kkal. Kelebihan jumlah lemak ini diakibatkan kurangnya jumlah komposisi bahan yang lain. Kandungan makronutrien protein dari formulasi ini sebesar 8,8236 gr (17,65%). Jumlah yang mengalami pengurangan persentasi adalah karbohidrat. Jumlah karbohidrat dalam formulasi hanya sebesar 17,1116 gr (34,22%). Menurut Zoumas, et al., (2002), kandungan karbohidrat (pati, glukosa, laktosa) harus berada pada rentang 23-35 gr per 50 gr EFP (4050% dari total kalori). Menurut FAO/WHO (1998), karbohidrat harus berada dalam jumlah yang cukup di dalam EFP untuk memberikan fungsi rasa, palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolisme yang proporsional. Oleh karena itu, kurangnya kandungan karbohidrat pada formulasi ini dikhawatirkan memberikan nilai palatibilitas yang kurang.
67
D. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN EFP Lima produk terpilih (FA1, FA2, FA3 dan FB1, FB2) hasil formulasi dibuat dengan memodifikasi proses pembuatan masing-masing produk (verifikasi proses). Parameter utama verifikasi proses yang menjadi screening bagi proses itu sendiri adalah rasa dan nilai aw, tekstur, kadar air serta penampakan produk. Menurut Zoumas, et al., (2002), nilai aw dari EFP tidak boleh melebihi 0,6. Kondisi ini harus dicapai untuk memperoleh umur simpan EFP sekitar 2 tahun (faktor efektifitas). Beberapa alat utama yang digunakan dalam proses pembuatan produk adalah hand mixer, yang berfungsi sebagai alat pencampur adonan serta oven pemanggang dan pengering. Mixer dengan skala yang besar disebut dengan vary mixer (planetary dough mixer). Perbedaan kedua alat pencampur ini adalah skala (beban) pencampuran dan model kepala pencampur yang digunakan. Hand mixer biasanya digunakan untuk mencampur bahan adonan yang memiliki viskositas tinggi dengan kapasitas pencampuran yang kecil. Sedangkan vary mixer memiliki kapasitas pencampuran adonan yang lebih besar dan memiliki berbagai tipe kepala pencampur baik untuk adonan yang memiliki viskositas tinggi atau bahanbahan kering yang memiliki kadar air rendah (tepung-tepungan). Alat pemanggang menggunakan oven pemanggang Mah-Yih MD dengan sistem gas-listrik (electric gas). Pada alat ini dapat diatur suhu bagian atas dan bawah dari ruang pemanggangan. Oven ini juga dilengkapi dengan pengatur waktu (timer). Oven pengering yang berfungsi sebagai pengering, menghasilkan udara panas yang digerakkan oleh blower sehinga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas kepada bahan yang dikeringkan.
1. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau (FA) a. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 1 (FA1) Pembuatan FA1 dilakukan dengan menambahkan air sebanyak 15%. verifikasi proses pembuatan produk ini meliputi waktu dan jumlah penambahan air. Alasan mengapa melakukan modifikasi pada penambahan air karena diinginkan nilai aw produk hasil modifikasi
68
proses tidak melebihi batas maksimalnya (0,6) serta karakteristik tekstur (kerenyahan) yang optimum. Proses Pembuatan FA1 dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Verifikasi proses pembuatan FA1 Verifikasi proses pembuatan FA1 memberikan variasi dalam jumlah air yang ditambahkan pada proses pembuatannya. Pada awalnya FA1 diformulasikan dengan penambahan air 15%. Ternyata setelah dilakukan pembuatan produk, air yang ditambahkan tidak
69
optimum dalam proses pengikatan tepung, sebagai akibatnya adonan menjadi sangat kering. Menurut Manley (2001), air berfungsi sebagai katalis didalam adonan, karena hampir keseluruhan air yang terdapat dalam adonan akan dikeluarkan selama proses pemanggangan. Selama pencampuran (mixing), air berperan dalam mengembangkan protein. Kondisi ini berfungsi untuk mendeterminasi sifat adonan yang akan terbentuk, perilaku dan strukturnya. Selain itu air juga berfungsi sebagai media terjadinya reaksi-reaksi kimia di dalam adonan. Kekurangan jumlah air pada adonan FA1 diatasi dengan melakukan penambahan air kepada adonan yang terlebih dahulu dibagi dua. Air yang ditambahkan sebesar 2% dan 8%. Adonan yang memperoleh penambahan air sebesar 2%, untuk selanjutnya disebut sebagai FA1-17% dan adonan yang memperoleh penambahan air 8% basis bahan berbentuk tepung-tepungan, untuk selanjutnya disebut sebagai FA1-23%. Perbedaan jumlah air yang ditambahkan ini bertujuan melihat karakter akhir produk jika ditambah dengan sedikit air dan sebaliknya. Perubahan jumlah air yang ditambahkan pada FA1 berkaitan dengan konsistensi adonan (dough consistency). Menurut Manley (2001) pengertian konsistensi adonan (dough consistency) adalah keadaan yang menyatakan sifat-sifat softness, stickiness, elastisitas dan extensibility. Kondisi-kondisi fisik diatas menurut Manley (2001), dihasilkan dari seberapa besar jumlah air yang ditambahkan, keadaan mixing, dan suhu pemanggangan. Secara umum, apabila dalam adonan terdapat banyak bahan-bahan cair (liquid materials) dan suhu pemanggangan yang tinggi akan menghasilkan produk yang lembut. Bahan-bahan cair (liquid materials) biasanya terdiri dari air yang ditambahkan, sirup, susu cair, telur dan lemak. Pada diagram alir proses pembuatan FA1 terdapat proses pengulenan
atau
penekanan
(pemijatan).
Hal
ini
bertujuan
mendispersikan air semaksimal mungkin kedalam struktur adonan.
70
Menurut Husain (1993), air adalah bahan yang berfungsi dalam pengikatan adonan. Dengan kondisi jumlah air yang sedikit maka dilakukan pengulenan (external force) agar air tersebut terdispersi secara merata. Mekanisme pengulenan dapat dilihat pada Gambar 22. Proses pemanggangan dilakukan dengan suhu 1200C selama 45 menit. Tujuan penggunaan suhu yang lebih rendah (1200C) dibandingkan suhu standar pemanggangan cookies (170-1800C) (Faridi,
1994)
mencegah
kegosongan
permukaannya. Proses pencetakan
produk
pada
bagian
menghasilkan produk dengan
ketebalan 1,5 cm. Jika suhu 170-1800C dengan waktu yang singkat diaplikasikan pada produk ini, maka bagian permukaan produk akan gosong, tetapi bagian dalamnya masih basah. Oleh karena itu, suhu diturunkan dengan konsekuensi penambahan waktu pemanggangan.
Gambar 22. Mekanisme pengulenan pada adonan FA1
Produk FA1-17% Analisis deskripsi produk FA1-17% memiliki kemanisan yang cukup, penampakan produk yang beremah, permukaan retak dengan warna yang lebih terang (Gambar 23) serta adanya bau langu. Kondisi permukaan produk yang retak menunjukkan kandungan air pada saat pembuatan adonan FA1-17% kurang, pada saat pemanggangan air tersebut keluar dengan memaksa ikatan yang sudah terbentuk di dalam
71
jaringan adonan putus, yang mengakibatkan struktur produk menjadi meregang (retak). Warna yang terang dari produk FA1-17% menunjukkan
bahwa
pemanggangan
pada
suhu
1200C
tidak
mengakibatkan kegosongan pada produk walaupun dengan waktu yang cukup lama (45 menit).
Gambar 23. Penampakan produk cookies FA1-17% Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah penentuan kadar air produk, tekstur dan aw. Produk ini memiliki kadar air sebesar 1,17%(BB). Hasil analisis tekstur memberikan nilai peak force (+) sebesar 885,6 gr; 1,438 sec; 0,716 mm. Nilai aw produk sebesar 0,247 pada suhu 30,50C. Rendemen produk yang dihasilkan sebesar 82,34% basis total adonan.
Produk FA1-23% Produk
ini
memiliki
penampakan
sedikit
beremah
dibandingkan dengan produk FA1-17%, warnanya sedikit lebih gelap (Gambar 24), dengan kemanisan yang cukup dan permukaan produk yang masih retak serta adanya bau langu. Produk FA1-23% memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan produk FA1-17%. Jika mengkonsumsi produk FA1-23%, produk ini akan lebih cepat lumer di mulut dibandingkan dengan FA1-17%. Secara komposisi bahan penyusun, antara produk FA1-23% dan FA1-17% tidak terlalu berbeda nyata. Perbedaan hanya terjadi pada jumlah air yang ditambahkan kedalam adonan. Secara proses, baik produk FA1-23% dan FA1-17% memiliki perlakuan proses yang sama.
72
Hasil pengukuran kadar air produk ini sebesar 1,28% (BB). Nilai ini berada diatas nilai kadar air FA1-17%. Pengukuran tekstur (dalam hal ini kerenyahan) menunjukkan bahwa FA1-23% lebih renyah dibandingkan dengan FA1-17%. Hal ini terbukti dari nilai peak force (+) FA-23% lebih besar dibandingkan dengan FA1-17% yaitu 1192,23 gr; 1,627 sec; 0,812 mm. Menurut Rosenthal (1999), kerenyahan suatu produk akan lebih tinggi dibandingkan dengan produk lain jika nilai peak force (+) (gram force) nya lebih besar dibandingkan dengan peak force (+) produk lainnya. Pengukuran aktivitas air (aw) memberikan nilai 0,292 pada suhu 30,10C. Rendemen akhir dari produk ini sebesar 77,40% basis total berat adonan.
Gambar 24. Penampakan produk cookies FA1-23% Bau langu yang terdapat pada kedua produk merupakan hasil oksidasi lemak oleh enzim tripsinogen. Menurut Bressani et al (1982), aktivitas enzim tripsinogen dipengaruhi oleh adanya tanin atau komponen fenolik. Aktivitas enzim ini dapat diminimalisir dengan pemanasan. Enzim merupakan salah satu bagian protein, maka enzim akan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu tinggi. Denaturasi yang terjadi pada enzim, mengakibatkan aktivitas kerjanya menurun. Adanya kaseinat dan ISP yang merupakan produk hasil olahan kedelai diduga masih membawa aroma langu dari oksidasi lemak kedelai, sehingga mengakibatkan bau langu pada kedua produk tersebut.
b. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 2 (FA2) Mempertimbangkan kekurangan proses yang terjadi pada FA1 maka, pada proses pembuatan FA2 dilakukan penambahan air dalam
73
jumlah yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan FA1. Jumlah air yang ditambahkan pada proses pembuatan FA2 sebesar 25% berbasis bahan-bahan yang berbentuk tepung. Komposisi penyusun FA2 juga lebih sederhana dibandingkan dengan FA1. Pengurangan komposisi pada formulasi FA2 bertujuan mengurangi bau langu yang terdapat pada dua jenis produk FA1 (FA1-17% dan FA1-23%). Kedua komponen ISP dan kaseinat tidak digunakan lagi dalam formulasi FA2. Pada proses pembuatan FA2, penambahan air dilakukan pada dua tahap yang berbeda. Tahap pertama, air yang ditambahkan pada saat pelarutan gula sebanyak 35% dari total air yang ditambahkan. Lalu tahap yang kedua dilakukan pada saat adonan telah terbentuk, air yang ditambahkan sebesar 65% dari total air yang ditambahkan. Tujuan pemisahan penambahan air ini melihat karakteristik produk akhir, apakah masih memiliki permukaan yang retak jika terjadi perubahan waktu proses penambahan air. Jika air secara keseluruhan ditambahkan pada gula maka air tersebut akan terikat kuat pada adonan, saat pemanggangan air tersebut akan sulit untuk keluar yang mengakibatkan bagian dalam produk akhir masih basah (Faridi, 1994). Sehingga jika jumlah air yang ditambahkan pada pembuatan larutan gula besar, kemungkinan bagian dalam produk basah masih tinggi. Alternatif yang dapat diambil untuk mengatasi fenomena diatas adalah dengan tidak mengurangi jumlah air yang ditambahkan, tetapi melakukan penambahan air pada saat adonan telah terbentuk. Penambahan air disini, bertujuan membasahi adonan (wetting material) sehingga lebih mudah untuk dibentuk. Proses pembuatan FA2 dapat dilihat pada Gambar 25.
74
Gambar 25. Proses pembuatan cookies FA2 Dari Gambar 25 terlihat jelas adanya kenaikan waktu pemanggangan produk dari 40 menit (waktu pemanggangan FA1) menjadi 50 menit pada suhu yang sama (1200C). Hal ini terjadi karena jumlah air yang ditambahkan pada formulasi bertambah. Menurut Manley (2001), kenaikan penambahan air pada adonan akan mengakibatkan meningkatnya suhu pemanggangan atau lamanya proses pemanggangan dan kombinasi keduanya. Dengan dasar pemikiran, jika suhu pemanggangan yang dinaikkan maka akan terjadi kegosongan
pada
bagian
permukaan
produk,
maka
waktu
pemangganganlah yang diperpanjang. Produk dianalisis baik secara analisis deskriptif terhadap penerimaan produk,dan pengukuran nilai aw. Hasil pengujian sensorik memberikan warna produk yang lebih gelap jika dibandingkan dengan produk FA1-23% (Gambar 26), dengan tekstur yang sangat keras, kemanisan kurang dan bagian dalam produk yang masih basah.
75
Gambar 26. Perbandingan penampakan FA2-25% dengan FA1 23% Pengukuran nilai aw memberikan nilai sebesar 0,574 pada suhu 31,30C. Nilai ini sangat jauh diatas nilai aw pada kedua produk FA1. Hal ini dapat diprediksi dari penampakan sifat fisik dari produk FA2. Bagian dalam dari produk FA2 masih agak basah atau tidak sekering bagian dalam kedua produk FA1. Oleh karena itu kemungkinan masih adanya air bebas pada struktur produk masih ada, sehingga meningkatkan nilai aw. Rendemen produk akhir
yang didapatkan
sebesar 93,31%.
c. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Kacang Hijau 3 (FA3) Bahan yang digunakan dalam pembuatan formulasi FA3 adalah bahan-bahan penyusun FA2 ditambah dengan minyak kelapa. Kondisi FA2 yang memiliki penampakan yang gelap dengan bagian dalam produk yang masih basah memberikan nilai aw yang mendekati batas maksimal (0,574, T=31,30C). Hal ini akan mempengaruhi aspek penerimaan produk dan kondisi aw yang cukup tinggi akan mempersingkat umur simpan produk tersebut. Oleh karena itu, pembuatan FA3 dilakukan dengan penambahan air pada jumlah yang semula (15%) dengan modifikasi suhu pemanggangan. Jika pada proses pemanggangan antara FA1 dan FA2, suhu pemangangan oven bagian atas dan bawah disamakan. Pada pembuatan FA3 ini, suhu pemanggangan oven bagian atas dan bawah dibedakan dengan suhu bagian atas sebesar 1300C dan bawah 1100C.
76
Pembedaan ini dimasukkan untuk memperoleh pengaruh yang sama pada bagian permukaan dan bawah produk selama pemanggangan. Suhu pada bagian bawah oven diperkecil karena jarak antara bagian bawah produk dengan elemen pemanas oven bagian bawah dekat sehingga dengan suhu yang lebih rendah dapat mencegah kegosongan terlalu cepat. Sedangkan jarak antara elemen pemanas oven bagian atas dengan permukaan produk agak jauh, dengan suhu yang tinggi diharapkan mampu memberikan pemanggangan yang optimum pada permukaan produk. Proses pembuatan FA3 dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Proses pembuatan cookies FA3 Menurut Manley (2001), ada 3 perubahan yang terjadi selama proses pemanggangan, yaitu: 1) Peningkatan ketebalan sebagai akibat dari pengembangan struktur internal adonan; 2) Perubahan warna pada permukaan produk (misalnya: reddish brown colouration) karena adanya reaksi Mailard; 3) pengeluaran uap air. Oleh karena itu suhu
77
pemanggangan produk FA3 berubah lagi untuk mencari suhu optimum untuk mematangkan serta mengeringkan produk. Hal yang paling penting diperhatikan dalam memanggang EFP adalah cara yang paling optimum dalam mengeluarkan air yang terdapat pada produk. Manley (2001) menyebut proses ini sebagai proses ekstraksi. Menurut Manley (2001), proses ekstraksi dapat dicapai dengan pemberian panas secara natural convection dan force convection dengan penggunaan fan. Pengaturan ekstraksi dapat dikontrol dengan kombinasi waktu dan suhu pemanggangan. Biasanya bagian tengah produk merupakan bagian yang terakhir yang paling susah untuk melepaskan air. Hal ini dapat dibantu dengan pindah panas sistem force convection. Karena jenis pindah panas ini selain memanggang produk juga berfungsi untuk mengeringkan produk (Manley, 2001). Oven yang digunakan dalam pemanggangan ini adalah oven pemanggang Mah-Yih MD dengan sistem gas-listrik (electric gas) yang bersifat natural convection. Oleh karena itu cara alternatif yang paling tepat untuk mengoptimasi pemanggangan adalah dengan mengubah suhu pemanggangan baik pada bagian atas dan bawah serta lamanya proses pemanggangan. Rendemen yang didapatkan dari pembuatan FA3 adalah 81,82% basis berat total adonan. Produk FA3 memberikan kemanisan yang cukup dengan rasa yang disukai dan tekstur yang renyah. Kekurangan dari produk ini adalah permukaan yang masih retak dan kasar serta menimbulkan rasa haus. Pengukuran nilai aw memberikan nilai sebesar 0,423 pada suhu 30,90C. Nilai aw ini mendekati aw yang diinginkan dari sebuah EFP yaitu ±0,4 (Zoumas, et al., 2002). Oleh karena itu diputuskan untuk memproduksi FA3 kembali dengan jumlah adonan diperbanyak. Scale up FA3 dilakukan dengan menambah jumlah adonan menjadi empat kali dari resep awal sesuai Tabel 14. Pada prosesnya adonan dibagi menjadi 3 bahagian, yaitu adonan dengan penambahan
78
air 15% yang disebut dengan FA3-15%, adonan dengan penambahan air 20% yang disebut dengan FA3-20% dan 25% yang disebut dengan FA3-25%. Jumlah air yang ditambahkan basis total bahan berbentuk tepung-tepungan. Dengan demikian, FA3 memiliki 3 jenis produk. Skematik pembuatan F3 dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Proses pembuatan scale up FA3 Rendemen produk FA3 15% sebesar 86,55%; FA3 20% sebesar 97,06% dan FA3 20% sebesar 80,70%. Selain perhitungan rendemen, dilakukan analisis lanjut untuk ketiga jenis produk FA3 diatas. FA3-15%
hasil scale up memiliki tekstur yang renyah,
memiliki remah yang banyak, kemanisan cukup dan permukaan kasar. Analisis tekstur secara instrumen memberikan nilai kerenyahan sebesar 2.445,33 gr; 1,468 sec; 0,732 mm. Hasil analisis aktivitas airnya (aw) memberikan nilai sebesar 0,368 pada suhu 27,90C.
79
Analisis FA3-20% memberikan respon yang positif terhadap analisis deskriptif atribut rasa. Rasa yang enak dengan remah yang sedikit membuat produk ini lebih disukai. Analisis teksturnya memberikan nilai Peak force (+) 3.685,36 gr; 5,466 sec; 2,731 mm. Nilai aktivitas airnya adalah 0,473 pada suhu 27,810C. Produk FA3-25% memiliki aw 0,582 pada suhu 27,480C. Bagian dalam produk ini masih basah. Penampakannya tidak beremah sama sekali dan memiliki permukaan yang tidak kasar. Hasil analisis tekstur memberikan nilai kerenyahan 2.836,43 gr; 5,938 sec; 2,97 mm. Proses pembuatan scale up FA3 ini mengalami beberapa perubahan, yaitu waktu penambahan air serta kondisi pemanggangan. Sesuai Gambar 28, pemanggangan dilakukan pada kondisi suhu antara oven bagian atas dan bawah sama yaitu 1200C. Pemanggangan dilakukan selama 28 menit. Hal ini menunjukkan bahwa scale up produk dapat mempengaruhi kondisi proses pembuatan produk itu sendiri. Melihat karakteristik dari ketiga jenis produk FA3, maka FA320% memiliki penerimaan yang baik dengan nilai aw yang baik. Oleh karena itu diputuskan untuk menstandarisasi proses FA3-20% dengan optimasi proses penambahan air. Perbandingan standarisasi proses pembuatan FA3-20% dapat dilihat pada Lampiran 6. Bahan-bahan pembuatan FA3-20% dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Komposisi adonan cookies FA3-20% Bahan Tepung Kacang hijau sangrai Minyak kelapa Margarin Susu Bubuk Full-cream Gula Halus Air Total Adonan
Jumlah (gr) 110 12.5 17.5 25 50 27 242
Persentasi (%) 45,45 5,16 7,23 10,33 20,66 11.15 (20)*
* jumlah air yang ditambahkan berdasarkan bahan berbentuk tepung-tepungan
80
Dari Lampiran 6, gambar (a) merupakan FA3-20% dengan penambahan air 20% dan dilakukan pada saat pelarutanan gula pasir. Gambar (b) menunjukkan proses penambahan air dilakukan pada adonan secara keseluruhan. Sedangkan Gambar (c) menunjukkan proses penambahan air dilakukan setengah bagian pada pelarutanan gula pasir dan sebahagian lagi pada adonan. Hasil optimasi proses penambahan air ini memberikan penampakan yang berbeda pada ketiga produk yang dapat dilihat pada Gambar 29.
Hasil analisis
ketiga jenis produk ini meliputi deskripsi produk, pengukuran tekstur dan nilai aw dapat dilihat pada Lampiran 7, 8 dan 9.
Gambar 29. Perbandingan hasil optimasi penambahan air pada FA320% Perbedaan ketiga karakteristik produk diatas dapat dijelaskan dari segi pembuatan kriming (creaming method) untuk persiapan adonan (dough preparation). Menurut Matz and Matz (1978) ada 2 jenis pembuatan krim, yaitu two-stage method dan three-stage method. Proses pembuatan krim two-stage method adalah pembuatan krim dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent dan komponen
minor
lainnya
selain
pengembang
menjadi
satu.
Pencampuran dilakukan selama 4-10 menit sampai bahan padatannya terlarut dan membentuk krim. Pencampuran ini tergantung dari kecepatan mixer yang digunakan. Setelah itu tepung dan bahan pengembang dicampurkan. Dari pengertian ini, maka Gambar (a) pada Lampiran 6 tergolong ke dalam pembuatan krim two-stage method. Proses
81
pembuatan krim two-stage method akan memberikan hasil yang kompak pada krim. Kualitas krim (cream quality) yang dihasilkan dilihat dari banyaknya udara yang terinkorporasi di dalam krim (Manley, 2001). Udara disini berfungsi untuk mendispersikan komponen lainnya pada saat penambahan bahan yang lainnya. Oleh karena itu, ikatan jaringan antar bahan di dalam produk menjadi kuat, sehingga air yang terjerap didalam bahan juga kuat yang akhirnya mempengaruhi
penampakan
produk (warna lebih gelap) dan
memberikan kondisi yang agak basah pada bagian tengah produk. Three-stage method adalah metode pembuatan krim dengan membedakan penambahan pewarna
(colorant), flavor (flavouring
agent) dan garam. Langkah pertama pembuatan krim diawali dengan mencampurkan bahan-bahan cair (liquid materials) seperti lemak, air, dan shortening. Selanjutnya, ditambahkan dengan bahan pewarna, flavor dan garam, dilanjutkan dengan penambahan bahan pengembang dan tepung. Jika dilihat dari pengertian ini, maka Gambar (b) dan (c) dari Lampiran 6 tidak termasuk ke dalam pembuatan krim baik secara two atau three-stage method. Pembuatan krim seperti ini akan memberikan struktur internal adonan yang lebih regang, karena proses pembuatan krimnya tidak optimum sehingga air lebih mudah dikeluarkan saat pemanggangan. Oleh karena itu, hasil pengukuran aktivitas air dari kedua produk ini lebih rendah dibandingkan dengan produk hasil pembuatan dengan two-stage method. Secara keseluruhan ketiga produk ini memiliki peluang untuk di scale up baik itu dari segi organoleptik maupun dari segi sifat fisiknya (tekstur dan nilai aw). Oleh karena itu, dari ketiga formulasi FA (cookies kacang hijau; FA1, FA2, FA3), maka FA31-20%, FA3220%, FA32-20% yang dipilih untuk diuji secara organoleptik dengan uji ranking dan rating hedonik.
82
2. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju (FB) a. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju Formulasi I (FB1) Bahan-bahan penyusun FB1 adalah tepung ubi jalar, tepung kacang hijau sangrai, margarin, minyak kelapa, keju, susu bubuk fullcream, skim dan gula halus. Pada proses pembuatan FB1 tidak dilakukan penambahan air. Karena bahan pengikatnya (liquid materials) memiliki jumlah yang cukup besar dalam adonan. Komposisi bahan terbesar berasal dari tepung ubi jalar yaitu 28,8%, sedangkan kacang hijau hanya memiliki persentasi sebesar 12,%. Pembuatan FB1 dilakukan dengan pencampuran bahan secara berturutturut untuk mengoptimumkan distribusi partikel-partikel bahan di dalam adonan. Pencampuran menggunakan mixer dengan kecepatan tingi. Proses pembuatan FB1 dapat dilihat pada Gambar 30.
* Urutan penambahan bahan
Gambar 30. Proses pembuatan cookies keju FB1 Proses pembuatan FB1 berbeda dari pembuatan berbagai produk FA (cookies kacang hijau). Perbedaannya terdapat pada proses pemanggangan dan pengulenan. Pembuatan FB1 tidak melibatkan
83
proses pengulenan sebagaimana pada pembuatan FA. Hal ini disebabkan tingginya kadar bahan cair (liquid materials) di dalam adonan FB1. Menurut Manley (2001) yang termasuk ke dalam bahan cair (liquid materials) yang berfungsi sebagai pengikat di dalam adonan adalah air, lemak (minyak) serta larutan sirup. Tingginya jumlah bahan cair di dalam adonan akan meningkatkan suhu pemanggangan, lama pemanggangan atau kombinasi keduanya (Manley, 2001). Oleh karena itu, pada proses pemanggangan FB1 dilakukan dua kali tahap pemanggangan, yaitu pada suhu 1350C selama 15 menit, dan suhu 800C selama 65 menit. Pemanggangan pada suhu pertama
(suhu
tinggi) dimaksudkan untuk lebih mematangkan produk, sedangkan pemanggangan yang kedua lebih bertujuan untuk mengeringkan produk terutama pada bagian dalamnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat kegosongan produk (Manley, 2001). Rendemen produk ini sebesar 88,90% basis total adonan. Hasil analisis deskriptif produk memberikan respon produk yang beremah dengan rasa yang disukai serta memiliki warna yang cukup gelap (Gambar 31).
Gambar 31. Penampakan produk FB1 Pengujian kerenyahan produk memberikan nilai peak force (+) sebesar 7.147, 03 gr; 2,810 sec; 1,404 mm. Menurut Rosenthal (1999), nilai peak force (+) yang besar menunjukkan tingkat kerenyahan produk yang tinggi. Analisis nilai aw memberikan nilai 0,319 pada suhu 27,550C. Nilai aw yang rendah ini diakibatkan pemanggangan dengan
84
menggunakan suhu dua tingkat tersebut, dengan proses pindah panas dan distribusi yang optimum.
b. Pembuatan dan Verifikasi Proses Cookies Keju Formulasi 2 (FB2) Bahan penyusun cookies
keju yang kedua ini (FB2) mirip
dengan bahan penyususn pada FB1, hanya terjadi substitusi antara tepung ubi jalar dengan tapioka. Penggantian tepung ubi jalar dengan tapioka
bertujuan
melihat
karakteristik
produk
akhir,
berupa
kerenyahan produk. Selain itu, juga bertujuan memanfaatkan sumber pati lain yang yang telah diproduksi secara lokal di Indonesia. Jumlah tapioka yang digunakan dalam pembuatan adonan lebih besar dibandingkan dengan bahan penyusun lainnya, sebesar 18,35% berbasis total adonan. Tepung kacang hijau sendiri memiliki persentasi sebesar 16,51%. Proses
pembuatan
FB2
serupa
dengan
FB1,
dengan
penambahan berbagai bahan secara berurutan. Penambahan tapioka dilakukan pada bagian akhir, sama seperti penambahan tepung ubi jalar ada pembuatan FB1. Secara keseluruhan proses pembuatan FB2 dapat dilihat pada Gambar 32. Rendemen pembuatan produk FB2 adalah 85,72% basis total keseluruhan adonan. Produk ini memiliki karakteristik sensori dengan rasa enak (disukai), agak beremah, tidak retak dengan warna yang lebih gelap (Gambar 33). Hasil analisis fisik FB2 memberikan nilai aw yang rendah yaitu 0,303 pada suhu 27,700C. Nilai ini sangat baik sebagai dasar untuk mengembangkan produk ini menjadi prototipe dari EFP. Nilai kerenyahannya sebesar 316,46 gr; 0,463 sec; 0,231 mm. Dilihat dari kerenyahanya maka produk ini tidak terlalu renyah. Tetapi secara keseluruhan produk ini dapat diterima.
85
* Urutan penambahan bahan
Gambar 32. Proses Pembuatan Cookies Keju FB2
Gambar 33. Penampakan Produk FB2 Berdasarkan hasil verifikasi dan proses pembuatan dua jenis cookies keju (FB1 dan FB2), maka kedua produk ini layak untuk dijadikan sebagai produk dasar pengembangan EFP. Oleh karena itu, kedua produk ini akan diuji bersama dengan tiga (3) jenis produk cookies kacang hijau, FA3-20% (FA31-20%, FA32-20%, FA33-20%) untuk mendapatkan satu produk terpilih. Pemilihan akan dilakukan dengan uji sensori ranking dan rating hedonik serta uji lanjut analisis biaya. Produk terpilih akan di scale up untuk dijadikan EFP. E. UJI SENSORI
86
1. Uji Rating Hedonik Menurut Meilgaard, et al.,(1990), ada beberapa uji sensori yaitu: uji beda (discrimination test), uji deskripsi (descriptive test) dan uji afektif (affective test). Pengertian dari uji afektif adalah uji yang digunakan untuk mengukur sikap subyektif panelis terhadap suatu produk berdasarkan alat sensorinya. Hasil uji ini memberikan indikasi preferensi panelis (memilih satu produk diantara yang lain), kesukaan panelis (derajad kesukaan) dan penerimaan panelis terhadap suatu produk. Uji rating hedonik merupakan bagian dari uji afektif kuantitatif. Dimana pengertian uji afektif kuantitatif adalah penentuan respon sejumlah panelis melalui pengisisan kuisioner berkaitan dengan kesukaan, preferensi dari satu atau keseluruhan atribut sensori. Pengujian rating hedonik dilakukan terhadap kelima produk cookies terbaik yang telah didapatkan melalui proses formulasi dan Verifikasi proses pembuatan. Cookies tersebut adalah 3 jenis cookies kacang hijau (FA31-20%, FA32-20%, FA33-20%) dan 2 jenis cookies keju (FB1 dan FB2). Pengujian dilakukan dengan menggunakan 30 panelis tidak terlatih. Menurut ASTM (American Standards Testing Materials) yang dikutip oleh (Meilgaard, et al., 1999), untuk melakukan uji rating hedonik diperlukan sebanyak 20 panelis tidak terlatih atau 8 panelis terlatih. Oleh karena itu untuk mengurangi kesalahan (bias) di dalam pengujian, maka panelis yang digunakan jauh lebih banyak dari standar yang ada. Ruang pengujian terdiri dari 10 booth, dengan tipe pintu rounding door. Pada kuisioner pengujian diberikan kode untuk mengindikasikan produk-produk yang diuji. Skala pengujian dimulai dari angka 1 (sangat tidak suka) sampai angka 7 (sangat suka). Kuisioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran
10.
Pengujian
rating
hedonik
ini
dilakukan
tanpa
membandingkan tingkat kesukaan antar sampel (antar sampel tidak dibandingkan). Hasil pengujian dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada Tabel Betweens-Subjects Factors dapat dilihat jumlah panelis sebanyak 30 orang dengan kode sampel A, B, C, D dan E. Sampel A
87
merupakan cookies kacang hijau FA31-20%; sampel B adalah FA32-20%; sampel C adalah FA32-20%; sampel D adalah cookies FB1 serta sampel E adalah
cookies
FB2.
Tabel
Multiple
Comparisons
menunjukkan
pengelompokan sampel-sampel yang sama pada taraf nyata 5%. Sampel A dan D tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%, diindikasikan dengan kolom Mean Difference (i-j) atau selisih rata-rata yang tidak memiliki tanda bintang (*). Dengan demikian sampel A dan D tidak berbeda nyata pada taraf 5% tetapi berbeda nyata dengan sampel B, C dan E pada taraf 5%. Kesimpulan pada Tabel Multiple Comparisons di perjelas lagi dengan skor uji Duncan. Pada Tabel Homogenous Subsets (Skor) ditemukan sampel A dan D berada pada kolom yang sama (Subset 1), sedangkan sampel B, C dan E berada pada kolom yang sama tapi berbeda dengan sampel A dan D (Subset 2). Hal ini menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5% maka sampel A dan D tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan sampel B, C dan E pada taraf nyata 5% atau dapat dinotasikan [(A=D) ≠(B=C=E)]. Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Gambar 34.
b
b
b
a a
Keterangan: a formulasi yang berada pada kolom atau subset 1 b
formulasi yang berada pada kolom atau subset 2
Gambar 34. Nilai skor penerimaan berbagai cookies (uji Duncan) Setelah mendapatkan hasil uji rating hedonik, maka dilakukan lagi uji ranking hedonik pada kelima produk. Uji ranking dibagi menjadi 2
88
bagian yaitu uji ranking hedonik khusus untuk cookies kacang hijau (FA31-20%, FA32-20%, FA33-20%) dan khusus untuk cookies Keju (FB1 dan FB2).
2. Uji Ranking Hedonik Pada uji ranking hedonik panelis diminta untuk mengevaluasi beberapa contoh berkode kemudian mengurutkannya dari yang paling disukai hingga yang paling tidak disukai. Pada kuisioner pengujian panelis diminta untuk mengevaluasi kesukaan terhadap produk secara keseluruhan (overall). Pengujian produk dilakukan dengan cara membandingkan derajat kesukaan diantara produk lalu merankingnya dengan menuliskan angka pada kolom yang berkode yang telah disesuaikan. Kuisioner uji ranking hedonik dapat dilihat pada Lampiran 12. Panelis yang digunakan berjumlah 30 orang, sama dengan jumlah panelis pada uji rating hedonik. Menurut ASTM (American Standards Testing Materials) yang dikutip oleh (Meilgaard, et al., 1999), pengujian ranking hedonik dilakukan dengan jumlah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang atau dengan panelis terlatih dengan jumlah 5 orang. Dengan demikian, pengujian ini masih masuk dalam rentang standar yang ada. Hasil Pengujian pada Lampiran 13.A menunjukkan bahwa ketiga produk cookies kacang hijau berbeda peringkatnya. Pengujian dilakukan dengan Friedman test. Peringkat tertinggi diperoleh sampel B sebesar 1,67. Nilai Assym sig. sampel 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,05), oleh karena itu diantara ketiga produk diatas ada perbedaan pada taraf nyata 5%. Uji lanjut dengan menggunakan LSDrank memberikan hasil bahwa sampel A berbeda nyata dengan sampel B dan C pada taraf 5%, namun antara sampel B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5% karena selisih nilai Rsum < LSDrank (Lampiran 13.C). Walaupun antara formulasi cookies FA32-20% (B) dan FA33-20% (C) tidak berbeda nyata pada taraf 5% namun produk yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut adalah cookies kacang hijau FA32-20% (B). Hal ini mempertimbangkan kemudahan dalam proses pembuatannya (FA32-20%) yang tidak terlalu rumit karena
89
tidak perlu melakukan pemisahan waktu penambahan air pada proses pembuatannya. Hasil Pengujian pada Lampiran 13.B dengan Friedman test memberikan peringkat tertinggi pada sampel E dengan nilai peringkat 1,27 dibandingkan dengan sampel D sebesar 1,73. Nilai Assym sig. sampel 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,05). Dapat ditarik kesimpulan kedua produk di atas berbeda nyata pada taraf 5%. Hasil uji ini tidak perlu dilanjutkan dengan uji LSDrank karena perlakuan pengujian hanya dua saja. Oleh karena itu, sampel E (cookies keju FB2) akan dipilih untuk dianalisis lebih lanjut. Kedua hasil uji ranking dapat ilustrasikan pada Gambar 35. Dengan demikian didapat 2 sampel terbaik dari masing-masing jenis cookies kacang hijau dan keju untuk dianalisis biaya bahan-bahan penyusunnya.
Gambar 35. Hasil uji ranking hedonik berbagai cookies (uji Friedman) Pada kuisioner rating hedonik terdapat pertanyaan tertutup (closed question), yang menanyakan atribut utama yang disukai oleh panelis dari produk cookies kacang hijau dan keju. Pengumpulan data ini bertujuan mengidentifikasi atribut sensori utama dalam mengembangkan kedua jenis cookies terpilih di atas. Sehingga dapat dijadikan dasar bila ingin mengembangkan suatu produk yang serupa dengan kedua cookies di atas. Data hasil pertanyaan ini dapat dilihat pada Gambar 36.
90
Jika dilihat dari Gambar 36, dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan cookies kacang hijau ada dua hal utama yang harus diperhatikan dari segi atribut sensorinya yaitu rasa serta kerenyahan, sedangkan untuk cookies keju hal utama dari atribut sensori yang harus diperhatikan adalah atribut sensori rasanya.
Gambar 36. Preferensi atribut a) cookies kacang hijau, b) cookies keju Menurut Zoumas, et al (2002), salah satu karakteristik dasar dari EFP adalah memiliki palatibilitas. Karakteristik ini memiliki kaitan dengan rasa sebagai salah satu atribut sensori yang menentukan penerimaan konsumen terhadap sebuah prototipe EFP.
F. ANALISI BIAYA BAHAN PENYUSUN EFP Setelah mendapatkan dua produk terpilih (FA32-20%, FB2), maka dilakukan analisis lebih lanjut yaitu analisis biaya bahan pembuatan produk cookies terpilih untuk mendapatkan satu produk yang akan di scale up sebagai produk pangan darurat (EFP). Menurut Zoumas, et al (2002), untuk mengembangkan suatu pangan darurat (EFP) harus memperhatikan faktor efisiensi dari proses produksi EFP itu sendiri. Efisiensi dari proses produksi dilihat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi EFP, meliputi biaya pembelian bahan, proses produksi, karyawan dan lainnya. Analisis biaya yang dilakukan untuk mengambil produk terpilih untuk di scale up
dari dua jenis cookies diatas hanya pada bagian total biaya
91
bahannya. Perhitungan biaya bahan kedua cookies di atas dapat dilihat pada Lampiran 14. Biaya yang dibutuhkan untuk pembelian bahan penyusun cookies kacang hijau FA32-20% sebesar Rp. 8.142,51 per 450 gr/ hari/ orang. Sedangkan biaya untuk pembelian bahan penyusun cookies keju FB2 sebesar Rp. 9.768,92 per 450 gr /hari/ orang. Dengan demikian maka biaya bahan cookies kacang hijau lebih rendah dibandingkan cookies keju FB1 dengan selisih Rp. 1.626,41 per 450gr/ hari/ orang. Oleh karena itu, cookies kacang hijau FA32-20% dipilih sebagai produk yang akan di scale up.
G. SCALE UP COOKIES KACANG HIJAU FA3-20% (EFP) Scale up produk meliputi jumlah bahan adonan, proses pembuatan, serta analisis deskriptif, fisikokimia, mikrobiologis, nilai kalori aktual produk akhir. Analisis Fisikokimia meliputi aktivitas air (aw), kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar karbohidrat (by difference), densitas kamba serta kerenyahan (tekstur) produk. Sedangkan analisis mikrobiologis meliputi Total Plate Count (TPC) serta Total KapangKhamir. 1. Verifikasi Proses Scale up EFP Pembuatan produk menggunakan formulasi FA32-20% yaitu tepung kacang hijau sangrai sebesar 45,45%, minyak kelapa 5,16%, margarin 7,23%, susu bubuk full-cream 10,33%, gula pasir 20,66% dan air yang ditambahkan 20% basis bahan tepung-tepungan dengan kadar totalnya 11,15% basis total adonan. Proses scale up mengakibatkan perubahan cetakan EFP dan skala alat (skala laboratorium menjadi skala pilot plan). Perubahan juga terjadi pada proses pemanggangan. Pada awalnya, proses pemanggangan pada FA32-20% menggunakan suhu 1200C selama 28 menit. Tetapi setelah produk di scale up pemanggangan dilakukan pada suhu 1300C selama 15 menit lalu dilanjutkan dengan proses pengeringan dengan suhu 800C selama 5-6 jam. Proses pembuatan EFP scale up dapat dilihat pada Gambar 37.
92
Randemen produk ini sebesar 84,71%. Uji deskriptif
sensori
produk memberikan penilaian bahwa tekstur produk renyah, rasa yang enak, permukaan agak kasar serta kemanisan yang cukup. Kekurangan dari produk ini adalah warna tidak merata pada setiap permukaannya. Warna permukaan
produk
yang
tidak
merata
diakibatkan
oleh
suhu
pemanggangan yang tidak terdistribusi secara merata pada ruang pemanggangan (Manley, 2001). Pada permukaan produk ada spot berwarna coklat yang merupakan hasil rekasi karamelisasi karena adanya pemanasan gula. Penampakan EFP scale up dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 37. Proses pembuatan EFP scale up
Gambar 38. Penampakan EFP scale up Pada proses pemanggangan EFP scale up terjadi perubahan. Perubahan proses pemanggangan pada scale up EFP disebabkan oleh
93
perubahan cetakan yang digunakan. Cetakan yang digunakan pada scale up EFP memilii ukuran panjang 6 cm, lebar 4 cm dan tinggi (kedalaman) 1,5 cm. Cetakan ini memiliki panjang dan lebar yang lebih besar dari cetakan semula. Tujuan penggunaan cetakan ini adalah untuk memperoleh berat EFP/barnya sebesar 50 gr dengan kandungan kalori 233 kkal. Skematik cetakan EFP dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39. Skematik cetakan EFP scale up Produk hasil cetakan memiliki ketebalan dan ukuran yang lebih besar dari kondisi semula. Menurut Manley (2001), oven statis akan lebih baik digunakan jika memiliki blower. Hal ini bertujuan untuk mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas ke pada produk yang dipanggang. Pemanggangan EFP dilakukan pada Baking Oven Gas Electric Mah-Yih MD yang bersifat statis tanpa adanya blower. Jika pemanggangan suhu rendah dilakukan pada oven ini sangat tidak efektif karena membutuhkan arus listrik dan gas yang banyak dengan meningkatnya
waktu
pemanggangan.
Oleh
karena
itu
proses
pemanggangan dilakukan dengan waktu yang singkat (15 menit) dengan suhu 1300C yang bertujuan untuk mematangkan produk, lalu dilanjutkan dengan pengeringan. Pengeringan menggunakan oven pengering dengan suhu 800C selama 5-6 jam. Dengan adanya pengeringan ini akan mengefektifkan pindah panas udara pengering terhadap permukaan dan bagian dalam produk. Dengan demikian didapatkan kondisi produk akhir yang kering dengan tekstur yang renyah.
94
2. Analisis Fisikokimia, kalori dan Mikrobiologi EFP Scale up Analisis fisikokimia meliputi pengukuran nilai aw, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar, kadar karbohidrat serta densitas kamba. Nilai aw yang didapatkan dari produk hasil scale up adalah 0,315 pada suhu 27,130C. Menurut Zoumas, et al (2002), nilai ini aw maksimum yang boleh dimiliki oleh EFP adalah 0,6. Dengan demikian, verifikasi proses yang telah dilakukan pada pembuatan EFP scale up telah berhasil untuk mendapatkan nilai aw yang optimum. Tujuan pembatasan nilai aw untuk meminimalisir proses deteorisasi produk yang diakibatkan oleh mikroorganisme dan reaksi kimia sehingga mendapatkan umur simpan yang lama (±2 tahun). Menurut Hariyadi, et al (2006) produk kering (aw < 0,6) akan memiliki umur simpan yang lama dibandingkan dengan pangan semi basah IMF (aw = 0,5-0,85) karena penghambatan metabolisme mikroba. Analisis tekstur memberikan nilai peak force (+) sebesar 3429,9 gr; 1,458 sec; 0,928 mm. Nilai ini mengindikasikan bahwa EFP hasil scale up memiliki kerenyahan yang tinggi. Analisis densitas kamba dilakukan dengan modifikasi metode Khalil (1999). Modifikasi analisis ini menggunakan pasir pengisi (filler) yang berukuran 10 mesh. Densitas kamba yang didapatkan sebesar 0,6 gr/ml. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) semakin tinggi nilai densitas kamba suatu produk, maka di dalam pencernaan akan memberikan perasaan kenyang. Menurut Zoumas, et al (2002), EFP akan dikonsumsi selama 15 hari pada saat terjadi pengungsian, dan merupakan sumber makanan utama sebagai penghasil energi. Oleh karena itu densitas kamba yang tinggi diinginkan pada EFP dengan tujuan memberikan sensasi kenyang pada pengungsi sehingga tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsi makanan lainnya. Analisis kadar air memberikan nilai sebesar 2,02% (BB), kadar abu 1,85% (BB), kadar protein 15,86% (BB), kadar lemak 16,28% (BB) dan kadar serat kasar 11,03% (BB). Kadar karbohidrat yang dihitung secara by
95
difference, didapatkan nilai sebesar 52,95%. Analisis kalori EFP hasil scale up secara formulasi dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil perhitungan kalori formulasi EFP scale up pada Lampiran 15 memberikan nilai kalori/50 gr produk (1 bar) sebesar 227,57 kkal. Jika dibandingkan dengan nilai kalori aktual hasil analisis proksimat (210,88 kkal) maka terdapat selisih sebesar 16,69 kkal. Selisih ini diakibatkan oleh perbedaan teknik analisis serta varietas sampel yang digunakan dalam analisis bahan. Pada Lampiran 15 kalori yang didapatkan berasal dari makronutrien yang merujuk pada hasil analisis DKBM yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1981). Kemungkinan terjadinya perbedaan teknik dan varietas bahan yang dianalisis akan memberikan nilai kalori yang berbeda. Analisis mikrobiologis meliputi Total Plate Count (TPC) dan Total Kapang-khamir. Media yang digunakan untuk TPC adalah Plate Count Agar (PCA), sedangkan untuk menghitung Total Kapang-Khamir digunakan Potatoes Dextrose Agar (PDA). Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-1 sampai 10-5. Hasil pemupukan untuk PCA diinkubasi pada suhu 370C selama 2 hari, dan PDA diinkubasi pada suhu 300C selama 3 hari. Hasil perhitungan memberikan nilai TPC sebesar 5,1. 102 kol/gr, sedangkan hasil Total Kapang-Khamir sebesar 0,9.101 kol/gr. Menurut SNI (1992), jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1.106 kol/gr dan Total kapang sebesar 1.102 kol/gr. Dengan demikian produk EFP dapat dikonsumsi karena memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan. Perhitungan kontaminasi mikroba EFP sangat perlu dilakukan, karena menurut Zoumas, et al (2002) salah satu karakteristik dasar EFP adalah keamanan produk (safety).
H. ANALISIS UMUR SIMPAN EFP Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) merupakan metode penghitungan umur simpan dengan mempercepat kerusakan produk pangan
96
dengan meningkatkan suhu penyimpanan. Menurut Kilcast dan Subraiman (2000), metode ASLT dapat diaplikasikan pada semua proses kerusakan pangan (food deteorization) yang memiliki model kinetika yang valid. Proses kerusakan dapat diakibatkan secara kimia, fisik dan mikrobiologi. Pendekatan yang dibuat pada metode ASLT adalah bagaimana mendapatkan kerusakan yang pasti pada selang waktu tertentu, model apa yang digunakan dan bagaimana memprediksi umur simpan aktual produk. Pendugaan umur simpan pangan darurat (EFP) dilakukan dengan metode ASLT dengan persamaan Arrhenius. Produk disimpan pada 3 jenis suhu ekstrim yaitu 370C, 450C, 550C selama satu bulan. Pengamatan dilakukan setiap empat (4) hari untuk setiap suhu penyimpanan. Parameter yang diamati pada setiap pengamatan meliputi aspek sensori terhadap atribut rasa, aroma, tekstur dan warna dan aspek fisikokimia yang terdiri dari kadar air (%BB), nilai TBA (thiobarbituric acid), nilai kerenyahan (tekstur) menggunakan Texture Analyzer serta nilai warna dengan Chromameter. Uji organoleptik yang digunakan adalah rating hedonik, dengan menggunakan 10 panelis terlatih. Panelis yang digunakan terlebih dahulu diberi pengetahuan tentang produk yang akan diuji. Skala penilaian untuk semua uji sensori dimulai dari angka 1 sampai dengan 7. Kuisioner uji rating hedonik umur simpan dapat dilihat pada Lampiran 16. Batas kritis seluruh atribut sensori adalah nilai penerimaan dengan skala 3. Data aspek sensori dan fisikokimia hasil pengamatan selama 1 bulan dapat dilihat pada Lampiran 17. Pengolahan data hasil pengamatan dimulai dengan mencari rataan skor (nilai) dari setiap parameter, lalu diplotkan terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu penyimpanan. Hasil plot ini dapat memberikan informasi nilai slope, intersep dan koefisien korelasi (Lampiran 18). Secara umum, laju perubahan mutu EFP mengikuti reaksi ordo 1, karena memiliki koefisien korelasi yang lebih besar (r2) dibandingkan dengan ordo 0. Menurut Man (2000) pangan yang memiliki pola kerusakan mengikuti ordo 1 akan mengalami penurunan atribut mutu secara eksponensial terhadap waktu penyimpanan. Penurunan mutu yang memiliki koefisien korelasi yang besar
97
menunjukkan bahwa selama pengamatan penurunan mutu dari setiap parameter terjadi secara konsisten. Dengan demikian, model yang dipilih untuk penentuan umur simpan EFP didasarkan pada model ordo 1. Parameter mutu warna baik secara sensori dan objektif (chromameter) untuk selanjutnya tidak digunakan dalam penentuan umur simpan. Hal ini diakibatkan oleh parameter warna kritis yang tidak dimiliki. Menurut Manley (2001), proses pemanggangan dengan suhu yang tidak merata mengakibatkan kecenderungan perbedaan intensitas warna pada setiap produk. Oleh karena itu, perbedaan nilai skor warna EFP yang didapatkan mungkin tidak berasal dari kerusakan EFP selama penyimpanan tetapi karena proses pemanggangan dengan suhu yang tidak merata. Pada Gambar 40 dapat dilihat plot hasil uji sensori warna selama waktu penyimpanan pada ketiga suhu penyimpanan (370C, 450C, 550C) baik pada ordo nol maupun ordo satu.
Gambar 40. Grafik hubungan skor rataan uji sensori warna dengan waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan pada ordo nol dan ordo satu. Parameter mutu warna secara objektif (chromameter) juga tidak dimasukkan dalam perhitungan umur simpan karena memiliki nilai koefisien korelasi yang sangat kecil (r2 = 0,058-0,124) baik pada ordo reaksi nol maupun satu. Nilai ini menunjukkan bahwa penurunan mutu warna tidak konsisten
98
terhadap waktu penyimpanan. Hasil pengukuran warna
memberikan data
yang tersebar sehingga ketika diplotkan dengan suhu penyimpanan tidak menghasilkan pola penurunan warna yang spesifik. Grafik hasil pemplotan tersebut dapat dilihat pada Gambar 41. Dengan demikian parameter-parameter mutu yang selanjutnya digunakan untuk memperhitungkan umur simpan EFP adalah parameter sensorik rasa, aroma, tekstur, nilai TBA, nilai kerenyahan (TA) dan kadar air.
Gambar 41. Grafik hubungan skor rataan uji warna (chromameter) dengan waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan pada ordo nol dan ordo satu Data pada Lampiran 18 untuk ordo satu memberikan nilai sensitivitas slope (k) terhadap suhu. Nilai k ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Menurut Labuza (1988), semakin tinggi nilai suhu maka akan mengakibatkan besarnya nilai k dan mempercepat kerusakan bahan pangan yang disimpan. Oleh karena itu, persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk menduga umur simpan produk. Nilai k masing-masing suhu penyimpanan per parameter terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk ln lalu diplotkan dengan suhu penyimpanan produk (370C, 450C, 550C) dalam bentuk Kelvin (1/T).
99
Hasil ini memberikan grafik linear dengan persamaan y = bx + a. (Lampiran 21). Persamaan linear ini analog dengan persamaan Arrhenius . Dengan persamaan Arrhenius tersebut, maka dapat diperoleh nilai slope (k), intersep, energi aktivasi (Ea) dan koefisien korelasi (r2) dari masing-masing parameter pengamatan. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 19 di bawah ini. Tabel 19. Plot Hubungan 1/T dengan ln slope (k) pada ordo reaksi satu Parameter
Slope (Ea/R) Rasa -1506 Aroma -128.9 Tekstur 2438 TBA -19298 Tekstur (TA) 10449 Kadar Air -5593
Ordo 1 Ea (KJ/mol) -12.5209 -1.07167 20.26953 -160.443 86.87299 -46.5002
Intercept -0.812 -5.539 -13.5 55.19 -38.21 12.17
Korelasi 0.271 0.002 0.385 0.964 0.910 0.966
Setelah didapatkan nilai-nilai tersebut, maka perhitungan umur simpan dapat dilakukan berdasarkan data diatas disesuaikan dengan parameter pengamatannya. Perhitungan menggunakan persamaan Arhenius dilakukan pada setiap parameter mutu yang diamati untuk memperkirakan umur simpan EFP. Setiap nilai slope (Ea/R) dan intersept (ln ko) dari setiap parameter mutu disubstitusikan ke dalam persamaan y = bx + a. Maka akan didapatkan persamaan umur simpan dari parameter mutu tersebut. Pada Lampiran 21 akan disajikan prediksi umur simpan berdasarkan parameter mutu yang diamati pada suhu 250 C, 370C, 450C dan 55 0C dengan ordo reaksi satu.
Parameter Sensori Rasa Grafik hubungan antara ln skor sensori rasa dengan beberapa suhu penyimpanan (1/T) pada ordo satu memberikan nilai koefisien korelasi yang kecil (r2 = 0,271). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 42. Persamaan garis yang didapatkan adalah y = -1506.x - 0.812. Energi aktivasi penurunan atribut rasa sebesar -12,52 KJ. Untuk menghitung umur simpan produk EFP berdasarkan parameter mutu sensori rasa, hanya memasukkan nilai suhu kedalam
100
persamaan garis tersebut. Nilai suhu terlebih dahulu diubah ke bentuk Kelvin (0K). Nilai k yang didapatkan digunakan sebagai faktor pembagi selisih antara mutu awal (ln Qo) dan mutu akhir (ln Qs). Nilai mutu awal (ln Qo) dari parameter sensori rasa adalah 1,887, sedangkan nilai mutu akhir (kritis) adalah 1.098. Umur simpan EFP berdasarkan mutu sensori rasa pada suhu 300C sebesar 7,48 bulan. Sedangkan pada suhu 250C sebesar 8,15 bulan. Dari kedua nilai ini dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap percepatan kerusakan bahan pangan (Labuza, 1988). Nilai
koefisien
korelasi
parameter
sensori
rasa
yang
kecil
menunjukkan bahwa konsistensi penurunan atribut rasa terhadap suhu selama penyimpanan tidak teratur. Dengan demikian hasil perhitungan umur simpan menjadi tidak akurat.
Gambar 42. Kurva hubungan antara ln k dengan suhu penyimpanan pada berbagai parameter mutu penyimpanan Parameter Sensori Tekstur Persamaan garis yang didapatkan dari plot nilai ln k terhadap suhu penyimpanan (1/T) pada parameter sensori tekstur yaitu y = 2438.x – 13,5 dengan nilai koefisien korelasi (r2 = 0,385). Grafik hubungan ini dan
101
persamaanya dapat dilihat pada Gambar 42. Jika nilai suhu 300C kita substitusikan kepada persaman diatas sebagai nilai x, maka didapatkan nilai y = -5.45 dan nilai k menjadi 0.00428. Nilai mutu awal (ln Qo) parameter ini adalah 1,887 dan nilai mutu akhir (ln Qs) sebesar 1,098. Umur simpan EFP berdasarkan parameter sensori tekstur pada suhu penyimpanan 300C adalah 6,14 bulan. Umur simpan ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai umur simpan berdasarkan parameter sensori rasa. Jika kita lihat pada Lampiran 21, maka umur simpan EFP berdasarkan parameter mutu sensori tekstur, semakin tinggi suhu nilai umur simpannya semakin tingi. Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh penilaian panelis pada saat pengujian.
Parameter Sensori Aroma Nilai koefisien korelasi parameter sensori aroma sangat kecil sekali (r2 = 0,002). Inkonsistensi penurunan mutu ini mungkin dapat disebabkan oleh deteksi perubahan aroma oleh panelis yang mengalami kesalahan (bias). Persamaan garis dari grafik hubungan nilai ln k dengan berbagai suhu penyimpanan adalah y = -128.9x - 5.539 (Gambar 42). Nilai mutu awal (ln Qo) atribut sensori aroma adalah 1,945 sedangkan mutu kritisnya (ln Qs) sebesar 1,098. Jika nilai suhu 300C kita masukkan dalam persamaan ini sebagai nilai x maka didapatkan nilai k sebesar 0,0025. Dengan demikian umur simpan produk ini pada suhu 300C adalah 10,99 bulan.
Parameter Nilai TBA (Thiobarbituric Acid) Kenaikan nilai TBA berhubungan dengan peningkatan aroma tengik dari produk akibat pembentukan senyawa malonaldehida. Kenaikan bilangan TBA sangat lambat sekali selama penyimpanan pada ketiga suhu penyimpanan. Nilai koefisien korelasi grafik hubungan antara nilai ln k dengan tiga suhu penyimpanan sebesar 0,964 (Gambar 42). Nilai ini sangat tinggi dan menunjukkan konsistensi kenaikan bilangan TBA selama penyimpanan. Persamaan garis yang dimiliki adalah y = -19298x + 55,19. Kadar TBA awal yang dimiliki oleh EFP adalah 0,0540 mg malonaldehida/kg
102
produk, sedangkan batas kritis TBA dalam produk cookies adalah 0,5 mg malonaldehida/kg produk. Dengan demikian, nilai mutu awal (ln Qo) dari parameter ini adalah -2,917 sedangkan nilai mutu akhir (ln Qs) sebesar -0,693. Jika produk disimpan pada suhu 300C, maka umur simpan EFP berdasarkan nilai TBA adalah 365,25 bulan. Umur simpan ini diperkiran mencapai 30.44 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan nilai TBA produk sangat lambat sekali dalam selang waktu penyimpanan tertentu. Tetapi nilai TBA ini sangat dipengaruhi oleh suhu, terlihat dari nilai produk EFP jika disimpan pada suhu 550C hanya mencapai 2,84 bulan. Menurut Labuza (1982), bahwa kerusakan pangan sebagian besar disebabkan oleh tingginya suhu penyimpanan. Hal ini disebabkan karena suhu dapat mempercepat terjadinya reaksi-reaksi kimia internal yang terdapat pada bahan pangan yang disimpan.
Parameter Nilai Kerenyahan (peak force +) Nilai koefisien korelasi (r2) dari persamaan garis y = 10449x -38.21 adalah 0,910 (Gambar 42). Nilai kerenyahan produk sangat dipengaruhi oleh kondisi RH didalam kemasan. Menurut Syarief dan Halid (1993), jika RH di dalam suatu kontainer (kemasan) tinggi maka kadar air produk pangan kering akan meningkat demi mencapai kondisi yang setimbang di dalam kemasan. Dengan demikian struktur internal produk akan melemah yang mengakibatkan produk tidak renyah lagi akibat meningkatnya kadar air bebas di dalam internal produk. Hal ini juga dapat menginisiasi terjadinya pertumbuhan mikroorganisme. Untuk menentukan nilai kritis kerenyahan, maka produk EFP disimpan pada kondisi lingkungan dengan RH 75-80% (RH ruangan laboratorium) selama 10 jam. Setiap 2 jam sampel produk diambil untuk dianalisa apakah teksturnya masih dapat diterima. Tekstur dari produk EFP tidak dapat diterima lagi pada saat nilai peak force (+) mencapai 597,30 gr force. Sehingga nilai mutu kritis (ln Qs) kerenyahan produk EFP adalah 6,392. Sedangkan nilai mutu awal (ln Qo) dari produk EFP adalah 8,140.
103
Jika produk EFP disimpan pada suhu 300C, maka didapatkan nilai k sebesar 0.024116. Nilai ini digunakan sebagai faktor pembagi pada selisih mutu awal dengan mutu kritis produk EFP. Sehingga umur simpan yang didapatkan jika menggunakan parameter mutu kerenyahan adalah 2,42 bulan. Nilai ini sangat kecil sekali dan tidak mungkin karena EFP yang dihasilkan memiliki aw sekitar ± 0,4, sehingga tidak mungkin memiliki nilai umur simpan sekecil itu. Kesalahan pengukuran mungkin menjadi penyebab utama mengapa nilai umur simpan EFP berdasarkan parameter mutu tekstur (TA) kecil sekali. Pengukuran tekstur seharunya dilakukan pada beberapa titik dalam jumlah yang besar sehingga simpangan nilai yang dihasilkan menjadi kecil. Dan jika dilihat pada Lampiran 21, sama halnya dengan umur simpan berdasarkan parameter mutu sensori tekstur bahwa nilai umur simpan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu.
Parameter Nilai Kadar Air Nilai koefisien korelasi dari grafik hubungan antara ln k dengan berbagai suhu penyimpanan sebesar 0,966 dengan persamaan garis y = 5593.x + 12.17 (Gambar 42). Hal ini menunjukkan nilai kadar air mengalami kenaikan selama produk disimpan. Jika produk EFP disimpan dalam suhu 300C, maka umur simpan dari produk EFP sebesar 27,73 bulan (2,3 tahun). Peningkatan kadar air sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Terlihat dari perubahan umur simpan produk EFP yang menurun drastis jika disimpan pada suhu 550C, yaitu sebesar 4,58 bulan. Menurut Hariyadi, et al (2004) ada beberapa kriteria dalam pemilihan parameter mutu untuk menentukan umur simpan suatu produk yaitu: 1) parameter
mutu
yang
paling
cepat
mengalami
penurunan
selama
penyimpanan, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi (r2) yang paling besar, 2) parameter mutu yang paling sensitif terhadap perubahan suhu, yang dilihat dari nilai slope persamaan Arrhenius, atau dapat dilihat dari energi aktivasi yang paling rendah, 3) bila terdapat lebih dari salah satu parameter mutu yang memenuhi kriteria, maka dipilih parameter mutu yang memiliki umur simpan yang paling pendek.
104
Jika dilihat dari ketentuan pertama maka parameter mutu sensori rasa, aroma dan tekstur tidak dapat digunakan dalam menduga umur simpan EFP karena memiliki nilai koefisien korelasi yang sangat kecil (r2 = 0,002-0,385), sedangkan nilai koefisien korelasi dari parameter mutu kerenyahan, nilai TBA dan kadar air sangat tinggi (r2 = 0,910-0,966). Kurva
pendugan
umur
simpan
berdasarkan
parameter
mutu
kerenyahan (TA) memiliki nilai koefisien korelasi yang besar (r2 = 0,91). Namun, parameter mutu menunjukkan pola yang aneh. Dimana, semakin meningkatnya suhu, umur simpan produk menjadi lebih tinggi. Menurut Gainess (1994) yang dikutip oleh Faridi (1994) bahwa peningkatan suhu pada penyimpanan cookies akan menurunkan nilai kerenyahannya. Menurut Moskowitz (1981) yang dikutip oleh Faridi (1994) bahwa pengukuran tekstur cookies berdasarkan fundamentals assessments harus dilakukan dengan pengulangan dalam jumlah yang besar sehingga menghasilkan simpangan akhir yang kecil di antara nilai-nilai yang didapatkan. Kesalahan pola umur simpan produk mungkin diakibatkan oleh kesalahan pengukuran kerenyahan menggunakan TA karena sedikitnya jumlah ulangan yang diberikan. Walaupun kurva penyimpanan parameter mutu tekstur (TA) memberikan nilai korelasi yang tinggi, namun data hasil analisis umur simpannya tidak dapat digunakan, karena analisis kerenyahan selama pengamatan mengalami kesalahan. Parameter mutu nilai TBA memiliki koefisien korelasi sebesar 0.964. Parameter kadar air juga memiliki koefisien korelasi yang besar (r2 = 0.966). Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan pertama dan ketiga menurut Hariyadi, et al (2004), kadar air digunakan sebagai parameter mutu pendugaan umur simpan EFP karena memiliki umur simpan yang lebih pendek dibandingkan dengan parameter mutu nilai TBA. Pemilihan kadar air sebagai parameter mutu diakibatkan karena adanya pengaruh perubahan kerenyahan (tekstur) akibat meningkatnya kadar air dari produk selama penyimpanan. Alasan lainnya adalah jika parameter TBA dipilih sebagai parameter mutu penyimpanan, selama penyimpanan ketika nilai TBA belum mencapai batas kritis, kadar air telah terlebih dahulu mencapai batas kritis dan mengakibatkan
105
penolakan produk oleh konsumen. Oleh karena itu, kadar air merupakan parameter mutu penyimpanan dari produk EFP. Dengan menggunakan kadar air sebagai parameter mutu penyimpanan, jika produk disimpan pada suhu penyimpanan standar (300C), produk EFP mencapai umur simpan sebesar 27,73 bulan (2,3 tahun). Dengan demikian produk EFP yang dibuat telah memenuhi kriteria sebagai pangan darurat berdasarkan umur simpan mencapai 2 tahun seperti yang telah disebutkan Zoumas, et al (2002). Hubungan pengaruh suhu penyimpanan dengan umur simpan EFP berdasarkan parameter mutu kadar air dapat dilihat pada Gambar 43. Dari Gambar 43, dapat disimpulkan bahwa penurunan umur simpan EFP terhadap peningkatan suhu penyimpanan terjadi secara konsisten. Hal ini dapat diprediksi dari nilai koefisien korelasi yang tinggi (r2 = 0,954).
Gambar 43. Hubungan antara suhu penyimpanan terhadap umur simpan EFP berdasarkan parameter mutu kadar air Analisis mikrobiologi lanjutan dilakukan juga dengan pengambilan sampel pada hari terakhir (hari ke 28) dari waktu penyimpanan. Analisis ini meliputi TPC (Total Plate Count) dan Total Kapang-Khamir. Nilai TPC didapatkan sebesar 2,6.102 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 370C; 8,4.103 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 450C dan 5,0.103
106
kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 550C. Sedangkan Total KapangKhamir didapatkan sebesar 2,3.101 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 370C; 3,0.101 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 450C, kol/gr dan 2,6.101 kol/gr untuk sampel yang disimpan pada suhu 550C. Menurut SNI (1992), jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1.106 kol/gr dan Total kapang sebesar 1.102 kol/gr. Dengan demikian produk EFP dapat dikonsumsi karena memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan.
107
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pangan Darurat (EFP) adalah pangan yang dikonsumsi dalam kondisi darurat, dimana manusia tidak dapat hidup normal untuk memenuhi kebutuhannya. EFP dikonsumsi selama 15 hari, sampai bantuan pangan yang lebih stabil datang. Untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia per harinya, EFP harus memiliki kandungan kalori 2100 kkal/hari. Setiap bar EFP (per 50 gr EFP), harus memiliki densitas energi sebesar 233 kkal dengan persentase kalori protein sebesar 13,5%-15%, lemak 35%-45% dan karbohidrat 40-48,5% dari total kalori. EFP memiliki beberapa karakteristik dasar yang harus dimiliki yaitu, harus aman, rasanya enak, mudah untuk didistribusikan, mudah untuk diproduksi dan memiliki kandungan energi yang lengkap. Di samping itu, dalam mengembangkan sebuah EFP juga mempertimbangkan faktor ekonomis. Faktor ekonomis mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan EFP sampai pendistribusiannya dibandingkan dengan konsumsi makanan dalam kondisi normal atau keuntungan nutrisi yang didapatkan dari EFP itu sendiri. Formulasi EFP dapat dilakukan dengan prinsip kesetimbangan massa menggunakan program Microsoft excel. Dalam formulasi, yang perlu diperhatikan adalah jumlah makronutrien bahan, kadar air awal serta kadar air akhir produk. EFP dapat dikembangkan dari produk lokal. Beberapa produk lokal yang dapat dikembangkan untuk menjadi EFP seperti kue satu dan kue keju dengan target kalori 233 kkal/50 gram produk dengan aw sekitar 0,4. Telah didapatkan formulasi lima (5) pangan darurat berbasis kue satu dan kue keju dengan karakteristik sensori yang dapat diterima. Formulasi terpilih yang dikembangkan lebih lanjut adalah cookies kacang hijau dengan komposisi tepung kacang hijau sangrai sebesar 45,45%, minyak kelapa 5,16%, margarin 7,23%, susu bubuk full-cream 10,33%, gula pasir 20,66% dan air yang ditambahkan 20% basis bahan tepung-tepungan dengan jumlah 11,15% basis total adonan. Analisis biaya pembelian dari
108
bahan penyusun formulasi terpilih sebesar Rp. 8.142,51 per 450 gr/ hari/ orang. Total densitas kalori yang diperoleh dari hasil formulasi sebesar 227,57 kkal. Proses scale up produk terpilih memberikan perubahan terhadap jumlah adonan ukuran produk, skala alat dalam proses pembuatan serta proses pembuatan produk. Perubahan yang signifikan terjadi pada ukuran produk dan proses pembuatan sebagai akibat perbahan ukuran. Modifikasi proses pembuatan EFP dilakukan untuk mendapatkan nilai aw, organoleptik dan tekstur yang sesuai. Analisis fisikokimia memberikan nilai aktivitas air (aw) sebesar 0,315 pada suhu 27,130, analisis tekstur memberikan nilai peak force (+) 3429,9 gr; 1,458 sec; 0,928 mm dan densitas kamba 0,6 gr/ml. Analisis proksimat kadar air memberikan nilai sebesar 2,02% (BB), kadar abu 1,85% (BB), kadar protein 15,86% (BB), kadar lemak 16,28% (BB) dan kadar serat kasar 11,03% (BB). Sedangkan kadar karbohidrat yang dihitung secara by difference, didapatkan nilai sebesar 52,95%. Hasil analisis mikrobiologis memberikan nilai TPC sebesar 5,1. 102 kol/gr, sedangkan hasil Total Kapang-Khamir sebesar 0,9.101 kol/gr. Jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1.106 kol/gr dan total kapang khamir sebesar 1.102 kol/gr. Dengan demikian produk EFP dapat dikonsumsi karena memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan. Umur simpan EFP dihitung dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) menggunakan model persamaan Arrhenius. Umur simpan EFP didapatkan sebesar 27,73 bulan (2,3 tahun) jika produk disimpan pada suhu 300C, dengan menggunakan kadar air sebagai parameter mutu penyimpanan. Jika menggunakan parameter tekstur (kerenyahan), maka umur simpan EFP adalah 2,41 bulan dan dengan parameter mutu nilai TBA sebesar 365,25 bulan (30,44 tahun) pada suhu yang sama yaitu 300C.
B. SARAN 1. Perlunya pengkajian yang lebih dalam lagi tentang proses pembuatan scale up EFP untuk menghasilkan produk dengan karakteristik yang optimum.
109
Kesulitan yang dialami selama proses scale up adalah pada proses pencetakannya yang hanya dapat dilakukan secara manual untuk memperoleh produk yang padat. 2. Produksi EFP dapat dilakukan secara mekanisasi dengan memodifikasi mesin pencetak (sheeting) yang telah ada sehingga mempercepat proses pencetakan, tetapi tetap harus memperhatikan densitas (kepadatan) dari produk hasil cetakan. 3. Faktor GMP dan sanitasi dalam produksi EFP tetap harus diperhatikan terutama pada saat proses pencetakan, karena kadar air dari produk hasil cetakan masih tinggi. Kondisi saniter diperlukan untuk menghambat tingginya jumlah mikroba awal pada produk yang akan dipanggang. 4. Karena adanya kesenjangan (gap) antara waktu pemanggangan (15 menit) dengan waktu pengeringan (5-6 jam), maka perlu dikaji lebih dalam lagi perubahan
proses
pemanggangan
dan
pengeringan
EFP
untuk
mengefisienkan waktu produksi. 5. Penentuan parameter umur simpan EFP dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) mengunakan model persamaan Arrhenius seharusnya menggunakan parameter-parameter yang dapat berubah karena terjadinya percepatan reaksi kimia sebagai akibat peningkatan suhu. Penggunaan kadar air sebagai parameter mutu penyimpanan dengan metode ASLT kurang tepat karena tidak mencerminkan reaksi kimia yang terjadi
di
dalam
produk
selama
penyimpanan.
Parameter
yang
mengindikasikan ketengikan perlu dianalisa kembali untuk memperoleh umur simpan yang lebih mencerminkan kondisi sesungguhnya.
110
DAFTAR PUSTAKA Akpapunam, M. A, dan Markakis, P. 1979. Oligosaccarides of American Cultivars of Cowpeas (Vigna sinensis). J. Food Sci. 44: 1317-1318/1321. Allen, L. H., Backstrand. J. R., Stanek, E. J., 3rd, Pelto, G. H., Chavez, A., Molina, E, Castillo, J. B., Mata, A. 1992. The Interactive Effects of Dietary Quality on the Growth and attained Size of Young Mexican Children. Am J Clin Nutr 56:353-364. Anderson, R. L., J.J. Rackis, dan W. H. Talent. 1979. Biologically active substance in soy products. Di dalam: H. L. Wicke, D. T. Hopkins dan D. H. Waggle (ed.). Soy Protein and Human Nutrition. Academic Press, New York. Apriyantono, A., D. Fardiaz, S. Budiyanto, dan N. L. Puspitasari. 1989. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Jurusan TPG, FATETA, IPB, Bogor. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atjung. 1981. Tanaman yang Menghasilkan Minyak, Tepung dan Gula. CV, Yasaguna, Jakarta. Bellnad, R. 2005. Gifts From The Kitchen. http://www.google.com/SagooKeju. [15 Februari 2008]. Bemiller, J. N and Whistler, R. L. 1996. Carbohydrates. In: Fennema OR, ed. Food Chemistry. 3rd ed. New York: Marcell Dekker, pp. 157-223. Bressani, R., R. Fernandez, L. G. Elias, dan J. E. Braham. 1982. Trypsin Inhibitor and Hemaglutinins in Beans (Phaseolus vulgaris) and Their Relationship With The Content of Tannin and Associated Polyphenols. J. Agric. Food. Chem. 30: 734. Buckle, K. A., Edward, R. A., Fleet, G. H., Wooton, M. 1985. Ilmu Pangan. UI Press, Jakarta. Burt, D. J. dan Fearn, T. 1983. A Quantitative study of Biscuit Manufacture. Starch 35: 351-354. Butte, N. F., Wong, W. W., Hopkins, J. M., Heinz, C. J., Mehta, N. R., Smith, E. O. 2000. Energy Requirements Derived from Total Energy Expenditure and Energy Deposition During the First 2 years of Life. Am J Clin Nutr. 72:1558-1569.
111
Choirudin, R. 2008. Sedap Sekejap. http://www.tabloidnova.com. [2 Februari 2008]. Corradini, M. G and Peleg, M. 2007. Shelf-life Estimation from Accelerated Storage Data. ELSEVIER: J.Trends in Food Science and Technology. 18:37-47. Departemen Pertanian. 2007. Data Produksi komoditas Pertanian. 2000–2009. http://www.deptan.go.id. [7 Agustus 2007]. Ellis, M. J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determination. Blackie Academic and Professional, London. Faridi, H. dan J. A. Menjivar. 1994. Rheological properties of cookie and cracker doughs. Di dalam: O. R. fennema. (ed). Food Cehemistry (2nd ed.). Marcel Dekker, Inc., New York. Faridi, H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. Great Britanian, Chapman and Hall, London. FAO/WHO. 1998. Carbohydrates in Human Nutrition. FAO Food and Nutrition Paper 57. Rome: FAO. Fleming, S. E. 1981. A Study of Relationship Between Flatus Potential and carbohydrate distribution in Legume Seeds. J. Food. Sci. 46(4): 794-798. Gaines, C. S., A. Kassuba, P. L. Finney dan J. R. Donelson. 1992. Instrumental Measurement of Cookie Hardness, Application to Product Quality Variables. Cereal Chemistry. 69:115-119. Gaines, C. S. 1994. Objective assessment of cookie and cracker texture. Di dalam: H. Faridi (ed.). The science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York. Gervani, P. dan F. Theopillus. 1980. Effect of Home Processing on The Quality of Selected Legumes. J. Food. Sci. 45: 794-798. Hariyadi, P. 2006. Prinsip-prinsip penetapan dan pendugaan masa kadaluarsa produk pangan. Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006, Bogor. Hariyadi, P, N. Andarwulan, F. Kusnandar, S. Koswara. 2004. Pendugan waktu kadaluarsa (shelf life) bahan dan produk pangan. Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan Umur Simpan, 4-5 Oktober 2004, Bogor. Hernandez, R. J. and J. R. Giacin. 1998. Factors effecting permeation, sorption, and migration process in package-product systems. Di dalam: Food Storage Stability. Irwin A. Taub and R. Paulsingh. CRC Press, USA
112
Husain, E. 1993. Biskuit, Crackers dan Cookies Pengenalan Tentang; Aspek Bahan Baku, Teknologi dan Produksi. Makalah yang Disampaikan dalam Paket Seminar Industri Pangan. HIMITEPA-IPB, Bogor. IFST (Institute of Food and Science Technology). 1993. Shelf Life of Foods – Guidelines for its Determination and Prediction. Institute of Food Science & Technology, London. IOM (Institute of Medicine). 1995a. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Energy Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 1995b. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Energy Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 1997a. Dietary Reference Intakes for Calcium, Phosporous, Magnesium, Vitamin D, and Fluoride. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 1997b. Vitamin C fortification of Food Aid Comodities. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 1998. Dietary Reference Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 2000. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium and Carotenoids. National Academy Press, Washington, DC. IOM (Institute of Medicine). 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdeum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. National Academy Press, Washington, DC. Ivory, J. E. 1994. Typical seasoning formulations. Di dalam: Underriner, E. W. dan I. R. Hume (ed.). Handbook of Industrial Seasonings. Blackie Academic and Professional, London. Kaplan, A. 1971. Element of Food Production and Baking. ITT Educational Service Inc., New York. Kay, D. E. 1979. Food Legume. Tropical Product Institute, London. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Bobot Jenis. Media Peternakan. 22 (1) :1-11
113
Kilcast, D dan Subraiman, P. 2000. The Stability and Shelf-Life of Food. Woodhead Publishing Limited and CRC PressLLC, USA. Kirkwood, B. 1992. B and A Products: An Emergency-Survival Food Products. http://www.baproducts.com. [ 12 Februari 2008]. Labuza, T. P. (2000). FScN 8334, Reaction Kinetics of Food Deterioration. Available from http://courses.che.umn.edu/00fscn8334e1f/FScN8334_Reading.html. Labuza, T. P. 1988. A Theoretical Comparison of Losses in Foods Under Fluctuating Temperature Sequences. J of Food Science, 44: 1162. Man, C. M. D. 2000. Shelf-life Evaluation of Foods. 2nd ed. Aspen Publisher Incorporation. London, England. Manley, D. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellies Horwood Limited, London. Manley, D. 2001. Biscuit, Cracker, Cookie Recipes for The Industry. Woodhead Ltd. and CRC Press LLC. Matz, S. A dan Matz, T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co., Inc., Texas. Matz, S. A dan Matz, T. D. Matz. 1978. Cookies and crackers technology. Di dalam: Manley, D. 2001. Biscuit, Cracker, Cookie Recipes for The Industry. Woodhead Ltd. and CRC Press LLC, USA Meilgaard, M., Civille, Gail Vance, Carr, B.Thomas. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press LLC, USA. Moskowitz, H. R. 1981. Relating Subjective and Instrumental Measures: A Physophysical Overview. Di dalam: H. Faridi (ed.). The science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York. Muchtadi, T.R. Dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. NRC (National Research Council). 1989. Recommended Dietary Allowances. 10th ed. National Academy Press, Washington, DC. Nugroho, A. 2007. Kajian Metode Umur Simpan Produk Flat Wafer dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Model Kadar Air Kritis. Skripsi, Bogor.
114
Payumo, E. M. 1978. The potential of mung beans as a protein supplement for child feeding. Di dalam: The1st International Mung Bean Symposium, UNIDO. Prawiranegara, D. D. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Foods (2nd ed.). Academic Press, Inc., New York. PT. Bogasari Flour Mills. 1984. Petunjuk Pembuatan Roti. PT. Bogasari Flour Mills, Jakarta. Racis, J. J. 1975. Oligosaccarides of food legumes: α-galactosidase activity and the flatus problem. Di dalam: A. Jeanes and J. Hodge (ed.). Physiological Effect of Food Carbohydrates. Amer. Chem. Soc., Washington, DC. Robertson, G. L. 1992. Predicting the shelf life of packaged foods. Di dalam: Liang, O. B., Buchanan, A, dan Fardiaz, D (ed.). Development of Food Science Technlogy in South East Asia. IPB Press, Bogor. Rosenthal, A. J. 1999. Food Texture, Measurement, and Perception. An Aspen Publication, Maryland. Sathe, S. K., S. S. despande, dan D. K. Salunkhe. 1982. Dry beans of Phaseolus. sp. alreview. part 2. chemical composition; carbohydrates, fibers, minerals, vitamins, and lipids. Di dalam: Critical Review in Food Science and Nutrition. CRC Press, Inc., Boca Rato, Florida. SNI. 1992. Biskuit. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standardisasi Mutu Pangan. PAU-IPB, Bogor. Suprapto, H. S, dan Sutarman. 1982. Bertanam Kacang Hijau. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Syarief, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Syarief, R., S. Santausa, dan B. Isyana. 1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Syarief, R. 1990. Peranan Pengemasan Dalam Mempertahankan Mutu Pangan. Pusbangtepa-IPB, Bogor.
115
Syarief, R, dan Y. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Bandung. USAID. 2001b. USAID Humanitarian Response. Online. Available at www.usaid.gov/hum_response/.Accessed June 12, 2001. Widyotomo, S. dan Sri, M. 2000. Alsin Produksi Lemak dan Bubuk Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Proyek Kawasan Sentra Produksi, Dinas Perkebunan Daerah tingkat I, Sulawesi Tengah. Zoumas, B. L., L. E. Armstrong., J. R Backstrand., W. L. Chenoweth., P. Chinachoti., B. P. Klein., H. W. Lane., K. S. Marsh., M. Tolvanen. HighEnergy, Nutrient-Dense Emergency Relief Product. Food and Nutrition Board: Institute of Medicine. National Academy Press, Washington, DC.
116
LAMPIRAN
117
Lampiran 1. Formulasi cookies kacang hijau 1 (FA1) Bahan
Jumlah (gr)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr
Kadar air awal (%)
15.33
Tepung kacang hijau sangrai
55
14.50
1.15
31.53
4.26
Kadar protein awal (%)
14.92
Tapioka
56
0.28
0.17
48.66
6.72
Kadar Lemak awal (%)
15.81
Minyak jagung
24.50
0
24.50
0
0
Kadar Karbohidrat awal (%)
52.32
Shortening
10
0
8.50
0
1.50
As.KA akhir ( %)
3.00
Margarin
10
0.06
8.1
0.04
1.55
Massa Air yang hilang (gr)
64.53
ISP
14
13.30
0
0
0.70
Kaseinat
14
11.90
0
0
2.10
Gula pasir halus
64
0
0
60.16
3.46
Air
20.85
0
0
0
20.85
Total Berat adonan (gr)
268.35
40.04
42.42
140.40
41.13
Pati
80.24
Total berat Makro adoan (gr)
222.85
gula
60.16
Jika diasumsikan kadar air 3% maka berat produk akhir (gr)
203.82
Jika berat produk per barnya 50 gram maka didapatkan faktorpembaginya
4.07
Maka nilai makro nutrien per 50 gram (gr)
9.82
10.41
14.76
14.76
Persentase makronutrien/50 gr (%)
19.64
20.81
29.52
29.52
Pati
Gula
Perhitungan kalori /50 gram (1 bar)
39.29
93.65
59.03
59.03
Pati
Gula
Total energi/ 50 gram produk (1 bar) kkal
251.00
118
Lampiran 2. Formulasi cookies kacang hijau 2 (FA2) Bahan
Jumlah (gr)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr)
Kadar air awal (%)
23.43
Tepung kacang hijau sangrai
180
47.45
3.76
103.20
13.93
Kadar protein awal (%)
12.72
Margarin
50
0.30
40.50
0.20
7.75
Kadar Lemak awal (%)
12.09
Susu bubuk full-cream
50
4.10
5
27.50
12.50
Kadar Karbohidrat awal (%)
48.27
Gula halus
70
0
0
65.80
3.78
As.KA akhir ( %)
3.00
Air
57.5
0
0
0
57.50
Massa Air yang hilang (gr)
83.24
Total Adonan (gr)
407.50 51.85
49.26
196.70
95.46
Pati
130.89
Gula
65.80
Total berat makro adonan (gr)
297.80
Jika kadar air 3 % maka berat produk akhir (gr)
324.26
Jika berat produk per bar nya 50 gram maka didapatkan faktor pembaginya
6.49
Maka nilai makronutrien/ 50 gram
20.18
10.15
Pati
Gula
7.99
7.56
Persentase makronutrien/50 gr (%)
15.99
15.19
40.37
20.29
Perhitungan kalori / 50 gram
31.98
68.36
80.73
40.58
Pati
Gula
Total energi/ 50 gram produk (1 bar)
221.66
119
Lampiran 3. Formulasi cookies kacang hijau 3 (FA3) Bahan
Jumlah (gr)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr)
Kadar air awal (%)
17.77
Tepung kacang hijau sangrai
220
57.99
4.60
126.13
17.03
Kadar protein awal (%)
15.04
Minyak kelapa
25
0.25
24.5
0
0
Kadar Lemak awal (%)
15.40
Margarin
35
0.21
28.35
0.14
5.43
Kadar Karbohidrat awal (%)
50.66
Susu bubuk full-cream
50
12.30
15
18.10
1.75
As.KA akhir %
3.00
Gula halus
100
0
0
94
5.40
Massa Air yang hilang (gr)
67.16
Air
40.50
0
0
0
540
Total berat adonan
470.50 70.75
72.45
238.37
83.60
Pati
126.27
Gula
112.10
Total berat makro dalam adonan (gr)
381.57
Berat produk akhir, jika kadar air 3 % (gr)
403.34
Jika berat produk per barnya 50 gram, maka didapatkan faktor pembaginya
8.07
Maka nilai makronutrien/50 gram (gr)
15.65
13.90
Pati
Gula
62.61
55.58
Pati
Gula
31.30
27.79
Pati
Gula
Perhitungan kalori/50 gram (kkal) Persentase Makro (%)
Total energi/ 50 gram produk (1 bar) (kkal)
8.77
35.08 17.54
8.98
80.83 17.96
234.11
120
Lampiran 4. Formulasi cookies keju 1 (FB1) Bahan
Jumlah (gram)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr)
Kadar air awal (%)
11.66
Tepung ubi jalar
180
9
3.51
140.29
21.60
Kadar protein awal (%)
14.53
Kacang hijau sangrai
80
21.09
1.67
45.86
6.19
Kadar Lemak awal (%)
16.30
Margarin
35
0.21
28.35
0.14
5.43
Kadar Karbohidrat awal (%)
53.32
Minyak kelapa
40
0.40
39.20
0
0
As.KA akhir %
3.00
Keju
80
18.24
16.24
10.48
30.80
Massa Air yang hilang
54.13
Full-cream
40
9.84
12
14.48
1.40
Susu Skim
90
32.04
0.90
46.80
3.15
Gula halus
80
75.2
4.32
Total berat adonan (gr)
625 101.872
333.26
72.89
Pati
211.26
Gula
122
90.82 Total Makronutrien (gr)
525.95
Jika Kadar air produk 3 %, maka berat produk (gr)
570.86
Maka didapat faktor pembaginya adalah
11.42
Jumlah makro/50 gr produk (gr)
7.95
8.92
18.50
10.69
Pati
Gula
Persentase Makronutrien/50 gr (%)
15.91
17.84
37.00
21.37
Kalori makro/50gr produk (kkal)
31.82
80.30
74.01
42.74
Total kalori/50 gram (1 bar) produk (kkal)
228.88
121
Lampiran 5. Formulasi cookies keju 2 (FB2) Bahan
Jumlah (gr)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr)
Kadar air awal (%)
10.96
Tapioka
100
0.50
0.30
86.90
12
Kadar protein awal (%)
15.57
Kacang hijau sangrai
90
23.72
1.88
51.60
6.97
Kadar Lemak awal (%)
16.34
Margarin
35
0.21
28.35
0.05
5.42
Kadar Karbohidrat awal (%)
38.59
Minyak kelapa
30
0.30
29.40
0
0
As.KA akhir %
3.00
Keju
80
18.24
16.24
10.48
30.8
Massa Air yang hilang (gr)
43.39
Full-cream
40
9.84
12
14.48
1.40
Susu Skim
90
32.04
0.90
46.80
3.15
Gula halus
80
0
0
75.20
4.32
84.85
89.07
210.30
59.74
149.03
61.28
Pati
Gula
14.85
6.11
Pati
Gula
Total berat adonan (gr)
545
Total Makronutrien (gr)
384.23
Jika Kadar air produk 3 %, maka berat produk (gr)
501.61
Maka didapat faktor pembaginya adalah
10.03
Jumlah makro/50 gr produk (gr)
8.46
8.88
Persentase Makronutrien/ 50 gr (%)
16.92
17.76
29.71
12.22
Kalori makro /50gr produk (kkal)
33.83
79.91
59.42
24.43
Total kalori/50 gram (1 bar) produk
197.60
122
Lampiran 6. Perbandingan verifikasi proses pembuatan FA3-20%
123 Lampiran 7. Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA31-20%
Deskripsi produk : 1. Kemanisan cukup 2. Keras 3. Ada bintik-bintik gelap 4. Bagian dalam agak basah 5. Tidak beremah 6. Tidak retak
Analisis aw Kue Satu F31- 20 % Ulangan aw Suhu ulangan 1 0,532 28,59 OC Ulangan 2 0,529 28,70OC Ulangan 3 0,528 28,790C Rataan 0,529 28,690C
Ulangan Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3 Rataan
Analisis Tekstur Kue Satu F31-20 % Keterangan Peak force = 2811,9 gr 2,000 s 1,030 mm Peak force = 2410,1 gr 2,145 s 1,070 mm Peak force = 858,1 gr 0,520 s 0,257 mm Pf = 2026,7 gr; 1,555 s; 0,785mm
124 Lampiran 8. Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA32-20%
Deskripsi produk : 1. Kemanisan cukup 2. Keras 3. Tidak ada bintik-bintik gelap 4. Bagian dalam kering 5. Beremah 6. Agak retak
Analisis aw Kue Satu F31- 20 % Ulangan ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rataan
Ulangan Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3 Rataan
aw 0,486 0,488 0,486 0,486
Suhu 29,49 OC 29,59OC 29,620C 29,560C
Analisis Tekstur Kue Satu F32-20 % Keterangan Peak force = 1398,2 gr 1,830 s 0,913 mm Peak force = 1334,0 gr 2,105 s 1,053 mm Peak force = 2189,5 gr 0,175 s 0,97 mm Pf = 1640,56 gr; 1,370 s; 0,978 mm
125 Lampiran 9. Analisis deskriptif, pengukuran tekstur dan nilai aw FA33-20%
Deskripsi Produk: 1. Kemanisan cukup 2. Keras 3. Ada bintik-bintik hitam 4. Bagian dalam agak basah 5. Tidak beremah 6. Tidak retak
Analisis aw Kue Satu F31- 20 % Ulangan aw Suhu ulangan 1 0,523 29,52 OC Ulangan 2 0,532 29,36OC Ulangan 3 0,527 29,420C Rataan 0,527 29,430C
Ulangan Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3 Rataan
Analisis Tekstur Kue Satu F33-20 % Keterangan Peak force = 1985,7 gr 1,470 s 0,735 mm Peak force = 2087,5 gr 1,245 s 0,623 mm Peak force = 2708,6 gr 3,175 s 1,585 mm Pf = 2.260,6 gr; 1,963 s; 0,981 mm
126 Lampiran 10. Form uji rating hedonik FORM UJI HEDONIK Produk
:
Nama panelis
:
Telp/HP :
KUESIONER* UJI RATING Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (√). 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 5.
Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan. Kode sampel
Respon
372
374
799
461
276
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Komentar : __________________________________________________________ __________________________________________________________
127
Lampiran 11. Hasil uji rating hedonik
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
SAMPEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1 2 3 4 5
A B C D E
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 30 30 30 30 30
128
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 3164.827a 85.793 77.427 174.173 3339.000
df 34 29 4 116 150
Mean Square 93.083 2.958 19.357 1.501
F 61.994 1.970 12.892
Sig. .000 .006 .000
a. R Squared = .948 (Adjusted R Squared = .933)
Post Hoc Tests SAMPEL Multiple Comparisons Dependent Variable: SKOR
LSD
Mean Difference (I) SAMPEL (J) SAMPEL (I-J) Std. Error A B -1.37* .316 C -1.07* .316 D .53 .316 E -.97* .316 B A 1.37* .316 C .30 .316 D 1.90* .316 E .40 .316 C A 1.07* .316 B -.30 .316 D 1.60* .316 E .10 .316 D A -.53 .316 B -1.90* .316 C -1.60* .316 E -1.50* .316 E A .97* .316 B -.40 .316 C -.10 .316 D 1.50* .316
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .000 .001 .095 .003 .000 .345 .000 .209 .001 .345 .000 .753 .095 .000 .000 .000 .003 .209 .753 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.99 -.74 -1.69 -.44 -.09 1.16 -1.59 -.34 .74 1.99 -.33 .93 1.27 2.53 -.23 1.03 .44 1.69 -.93 .33 .97 2.23 -.53 .73 -1.16 .09 -2.53 -1.27 -2.23 -.97 -2.13 -.87 .34 1.59 -1.03 .23 -.73 .53 .87 2.13
129
Homogeneous Subsets SKOR Subset SAMPEL Duncana,b D A E C B Sig.
N
1 30 30 30 30 30
2 3.37 3.90
.095
4.87 4.97 5.27 .237
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.501. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
130
Lampiran 12. Form uji ranking hedonik KUESIONER* UJI RANKING HEDONIK A.COOKIES KACANG HIJAU
B. COOKIES KEJU
Instruksi :
Instruksi :
1.
1. Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel. 2. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel. 5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama.
Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel. 2. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel. 5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama. Kode Sampel Urutan ranking
372
374
799
Note : Urutan Ranking (1-3) Ranking 1 (untuk sampel yang paling Anda sukai), Ranking 3 (untuk sampel yang paling tidak Anda sukai) Closed Question : Atribut apa yang paling anda sukai dari produk tersebut (lingkari jawaban anda) ? Warna, rasa, kerenyahan (tekstur)
Kode Sampel Urutan ranking
461
276
Note : Urutan Ranking (1-2) Ranking 1 (untuk sampel yang paling Anda sukai), Ranking 2 (untuk sampel yang paling tidak Anda sukai) Closed Question : Atribut apa yang paling anda sukai dari produk tersebut (lingkari jawaban anda) ? Warna, rasa, kerenyahan (tekstur)
131
Lampiran 13. Hasil uji ranking hedonik A. Produk Cookies Kacang hijau NPar Tests Friedman Test Ranks Mean Rank 2.60 1.67 1.73
RANK_A RANK_B RANK_C
Test Statistics N Chi-Square df Asymp. Sig.
a
30 16.267 2 .000
a. Friedman Test
B. Produk Cookies Keju NPar Tests Friedman Test Ranks RANK_D RANK_E
Mean Rank 1.73 1.27
Test Statistics N Chi-Square df Asymp. Sig. a. Friedman Test
a
30 6.533 1 .011
132
C. Uji LSD rank cookies Kacang Hijau Panelis
Sampel A
Sampel B
Sampel C
1
1
3
2
2
3
2
1
3
3
2
1
4
3
2
1
5
2
1
3
6
3
1
2
7
3
1
2
8
2
1
3
9
2
1
3
10
3
1
2
11
3
1
2
12
1
3
2
13
3
1
2
14
2
3
1
15
3
2
1
16
3
1
2
17
3
2
1
18
3
2
1
19
2
3
1
20
3
2
1
21
3
2
1
22
3
2
1
23
2
1
3
24
2
1
3
25
3
1
2
26
3
2
1
27
3
1
2
28
3
1
2
29
2
3
1
30
3
1
2
Rank Sum (R)
78
50
52
Uji Friedman dengan table khi-kuadrat (X2)
p = banyaknya panelis t = banyaknya perlakuan R = jumlah peringkat setiap perlakuan Penarikan kesimpulan: Jika T < nilai kritik x2 maka tidak ada perbedaan diantara sampel pada taraf α Jika T ≥ nilai kritik x2 maka ada perbedaan diantara sampel pada taraf α, dan perlu dilanjutkan dengan dengan uji LSD rank (Least Significant Difference)
Penarikan kesimpulan: Jika selisih R dua sampel ≥ LSD rank maka ada perbedaan antara kedua sampel pada taraf α Jika selisih R dua sampel < LSD rank maka tidak ada perbedaan antara kedua sampel pada taraf α
133
Pengolahan Data Perhitungan nilai T
Berdasarkan Tabel nilai-nilai kritik Kai-Kuadrat (x2α,v) untuk uji satu sisi (Meilgaard, et al., 1999), maka nilai kritik x2 dengan db = 2, pada taraf 0.05 adalah 5.99. Dengan demikian, karena T (16.27) ≥ nilai kritik x2 (5.99) disimpulkan bahwa berdasarkan uji Friedman terdapat perbedaan diantara ketiga sampel cookies A, B dan C. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut LSD rank.
Nilai
adalah nilai kritik t pada taraf nyata α/2 dengan derajat bebas v = .
Menurut Meilgaard, et al., 1999, untuk taraf α 5%, nilai
adalah 1.960
Urutan R sampel terbesar – terkecil: A (78) – C (52) – B (50) RA – RB = 78 – 50 = 28 > LSD rank, maka A ≠ B RA – RC = 78 – 52 = 26 > LSD rank, maka A ≠ C RC – RB = 78 – 50 = 2 < LSD rank, maka B = C
Kesimpulan Diantara ketiga sampel cookies kacang hijau (A, B, C) terdapat perbedaan. Sampel A berbeda nyata dengan B dan C pada taraf 5%, tetapi sampel B dan C tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
134
Lampiran 14. Perhitungan biaya bahan penyusun EFP COOKIES KACANG HIJAU F32-20 % Bahan Harga/satuan Jumlah (gr) Kacang hijau sangrai 15000/ 1 kg 220 Minyak Kelapa 20000/ 1 kg 25 Margarin 3050/ 200 gr 35 Susu Bubuk Full-Cream 21975/400 gr 50 Gula halus 7000/ 1 kg 100 Total faktor pembagi
430 8.6
Biaya Bahan (Rp) 3300 500 533.75 2746.86 700 7780.63
Biaya bahan untuk produk untuk 1 bar (50 gr) 50
904.72
Biaya bahan untuk produk 450 gr /orang/hari
8142.51
Bahan Tapioka Kacang hijau sangrai Margarin Minyak kelapa Keju Susu Bubuk Full-Cream Susu Skim Gula halus Total Faktor pembagi
Cookies Keju F2 Harga/satuan Jumlah (gr) 6500/ 1 kg 100 15000/ 1 kg 90 3050/ 200 gr 35 20000/ 1 kg 30 9000/ 200 gr 80 21975/400 gr 40 13000/ 500 gr 90 7000/ 1 kg 80 545 10.9
Biaya Bahan (Rp) 650 1350 533.75 600 3600 2197.50 2340 560 11831.25
Biaya bahan untuk produk untuk 1 bar (50 gr) 50
1085.44
Biaya bahan untuk produk 450 gr /orang/hari
9768.92
135
Lampiran 15. Analisis kalori formulasi cookies kacang hijau hasil scale up Bahan
Jumlah (gr)
Protein (gr)
Lemak (gr)
KH (gr)
Air (gr)
Kadar air awal (%)
17.27
Tepung kacang hijau sangrai
220
57.99
4.60
126.13
17.03
Kadar protein awal (%)
14.62
Minyak kelapa
25
0.25
24.5
0
0
Kadar Lemak awal (%)
14.97
Margarin
35
0.21
28.35
0.14
5.42
Kadar Karbohidrat awal (%)
49.25
Susu bubuk full-cream
50
12.3
15
18.1
1.75
As.KA akhir %
3.00
Massa Air yang hilang (gr)
69.08
Gula halus
100
0
0
94
5.40
Air
54
0
0
0
54
Total berat adonan (gr)
484 70.75
72.45
238.37
83.60
Pati
126.27
Gula
112.10
Total berat makro dalam adonan (gr)
381.57
Berat produk akhir, jika kadar air 3 % (gr)
414.92
Jika berat produk per barnya 50 gram, maka didapatkan faktor pembaginya
8.30
Maka nilai makronutrien/50 gram (gr)
15.22
13.51
Pati
Gula
60.86
54.03
Pati
Gula
30.43
27.02
Pati
Gula
Perhitungan kalori/50 gram (kkal) Persentase Makro (%) Total energi/ 50 gram produk (1 bar) (kkal)
8.53
34.10 17.05
8.73
78.57 17.46 227.58
136
Lampiran 16. Kuisioner uji rating hedonik pendugaan umur simpan EFP FORM UJI HEDONIK Produk Nama panelis Telp/HP
: EFP (Cookies) : :
Instruksi : 1. 2.
3.
Cicipilah sampel (sampel terbatas) Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (√). Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.
Keterangan Rasa
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka B.
Deteksi Aroma
Respon Normal Normal, diduga ada offflavor ttp belum tercium Normal, off-flavor mulai tercium ttp sgt lemah off-flavor tercium lemah off-flavor tercium jelas off-flavor tercium kuat, tengik off-flavor tercium sangat kuat, sangat tengik
Respon
Keterangan Tekstur
Sangat renyah Renyah Agak renyah Netral Agak tidak renyah Tidak renyah Sangat tidak renyah D. Deteksi Warna
A. Deteksi Rasa Respon
C. Deteksi Tekstur
Keterangan Aroma
Respon
Keterangan Warna
Normal (tidak ada spot) Warna spot sedikit cokelat Warna spot sedikit lebih cokelat Warna spot cokelat membesar Warna spot cokelat menutupi permukaan Warna coklat gelap Warna coklat gelap kehitaman
komentar …………………………………………… …………………………………………… …………………………………………… …………………………………………… …………………………………………… …………………………………………… …………………………………………… …………………
137
Lampiran 17. Input data sensori dan fisikokimia pendugaan umur simpan EFP
INPUT DATA HASIL UJI ORGANOLEPTIK (HEDONIK) ATRIBUT RASA 37 PANELIS
46
56
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
1
7
6
7
7
7
6
6
6
7
6
6
6
5
6
6
6
7
7
6
6
6
6
7
6
2
7
7
6
6
6
6
7
5
7
6
6
7
5
7
7
5
7
6
6
6
6
6
6
5
3
6
6
7
7
6
6
6
6
6
7
6
6
5
5
7
5
6
7
6
6
6
7
4
6
4
7
6
6
7
6
7
7
6
7
6
6
6
6
7
6
6
7
7
6
7
6
6
6
6
5
7
7
6
6
6
7
5
6
7
7
7
7
4
7
5
5
7
7
6
7
4
4
5
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
5
6
6
7
5
7
6
7
6
7
7
7
6
6
6
6
7
6
7
6
7
7
5
5
5
6
7
6
7
4
7
6
7
6
8
7
6
6
6
7
7
6
6
7
7
6
6
7
6
6
6
7
6
7
7
7
7
7
6
9
6
6
6
7
6
7
7
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
7
7
7
7
6
10
6
7
6
7
5
6
6
3
6
6
6
6
7
7
6
3
6
7
6
7
4
7
6
3
RATAAN
6.6
6.4
6.3
6.5
6.1
6.4
6.3
5.6
6.6
6.3
6.2
6.3
5.6
6.2
6
5.3
6.6
6.5
6.3
6.2
6
6.2
6.2
5.6
138
INPUT DATA HASIL UJI ORGANOLEPTIK (HEDONIK) ATRIBUT AROMA 37 PANELIS
46
56
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
1
7
7
7
7
6
5
7
7
7
6
6
7
7
7
7
6
7
7
7
5
7
7
7
6
2
7
7
6
4
6
6
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
7
6
6
6
5
3
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
6
6
5
7
7
7
7
7
7
7
6
7
4
7
7
6
7
6
6
4
5
7
7
7
7
7
7
5
7
7
7
7
7
7
7
6
7
5
7
6
7
5
7
7
5
6
7
7
6
6
6
6
6
6
7
7
7
7
7
7
7
6
6
7
7
7
7
7
7
6
7
7
7
7
6
6
6
7
7
7
7
6
7
6
7
6
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
7
7
7
7
7
7
8
7
7
7
7
4
4
6
6
7
7
7
6
6
6
7
6
7
7
7
7
6
6
6
6
9
7
7
6
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
6
7
6
7
6
7
6
6
6
5
6
10
7
7
7
6
7
7
7
6
7
7
6
6
6
6
7
7
7
6
7
7
7
7
7
6
RATAAN
7
6.9
6.7
6.4
6.4
6.3
6.3
6.4
7
6.9
6.7
6.5
6.4
6.4
6.5
6.6
7
6.7
6.8
6.7
6.6
6.7
6.3
6.3
139
INPUT DATA HASIL UJI ORGANOLEPTIK (HEDONIK) ATRIBUT TEKSTUR PANELIS
37
46
56
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
1
7
7
7
7
6
6
6
6
7
6
6
7
5
6
5
5
7
6
6
6
7
6
7
6
2
5
7
7
7
6
6
7
6
5
7
7
6
6
6
6
5
5
6
7
6
7
7
6
6
3
7
6
6
6
6
6
6
5
7
6
6
7
5
6
6
7
7
7
7
6
6
6
6
6
4
7
7
6
6
6
6
7
6
7
6
6
7
6
6
5
6
7
7
6
7
7
7
7
7
5
7
5
5
5
7
6
7
7
7
7
7
5
7
7
6
5
7
7
7
7
7
6
5
6
6
7
7
7
6
6
6
4
6
7
7
6
6
6
6
6
6
7
6
7
6
6
6
7
7
7
7
7
7
6
7
6
7
7
7
6
6
6
7
7
7
7
7
7
6
7
7
7
5
5
8
5
7
7
6
6
6
6
6
5
7
7
7
6
6
7
7
5
7
6
7
6
6
6
7
9
7
6
5
7
6
6
6
7
7
6
6
6
6
6
5
5
7
7
7
7
6
6
7
7
10
7
7
7
7
5
5
4
6
7
7
7
7
6
5
4
6
7
7
6
6
7
7
7
5
RATAAN
6.6
6.6
6.4
6.3
6.1
5.9
6.0
6.2
6.6
6.5
6.4
6.4
6
6.1
5.7
5.9
6.6
6.7
6.5
6.5
6.6
6.4
6.3
6.2
140
INPUT DATA HASIL UJI ORGANOLEPTIK (HEDONIK) ATRIBUT WARNA PANELIS
37
46
56
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
1
7
6
6
6
6
6
7
7
7
6
6
6
6
6
6
6
7
7
7
7
5
6
6
7
2
7
7
6
6
6
6
7
4
7
6
7
6
6
6
6
7
7
7
7
6
7
6
6
6
3
6
7
6
7
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
7
6
6
7
7
7
7
6
6
4
4
7
7
7
6
7
7
7
6
7
7
7
6
7
7
5
6
7
6
6
7
7
7
6
6
5
7
6
6
7
7
7
6
4
7
7
6
6
6
7
5
4
7
6
6
6
7
7
6
6
6
7
7
6
6
7
7
6
6
7
7
7
7
6
6
7
7
7
7
6
6
6
6
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
6
7
7
7
6
6
6
6
6
7
7
7
6
6
7
6
7
8
7
6
7
6
6
6
6
6
7
6
6
7
6
6
7
5
7
6
6
6
5
6
6
6
9
7
7
7
6
6
6
6
7
7
7
7
7
6
6
7
6
7
7
7
7
7
6
6
6
10
6
7
7
7
7
7
6
6
6
7
7
7
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
7
7
RATAAN
6.8
6.7
6.5
6.4
6.5
6.5
6.4
5.8
6.8
6.7
6.6
6.4
6.1
6.2
6.2
5.9
6.8
6.7
6.5
6.4
6.3
6.3
6.2
6.2
141
INPUT DATA HASIL UJI FISIKOKIMIA A. NILAI TBA (mg malonaldehida/kg sampel) PENGA MATAN 1
2
3
RATAAN
37
45
0
4
8
12
16
20
0.0 42 5 0.0 63 2 0.0 56 5 0.0 54 06 7
0.0 39 6 0.0 45 5 0.0 74 1 0.0 53 06 7
0.0 52 1 0.0 56 8 0.0 53 6 0.0 54 16 7
0.0 51 9
0.0 52
0.0 48
0.0 57 8 0.0 53 7
0.0 58 9 0.0 56 7 0.0 54 53 3
0.0 57 0.0 53 8 0.0 54 23 3
0.0 54 5
24 0.0 52 1 0.0 50 3 0.0 61 3 0.0 54 56 7
28 0.0 39 0.0 39 0.0 85 8 0.0 54 6
56
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0.0 42 5 0.0 63 2 0.0 56 5 0.0 54 06 7
0.0 42 9 0.0 63 5 0.0 57 9 0.0 54 76 7
0.0 53 1 0.0 59 8 0.0 58 7
0.0 50 4 0.0 60 9 0.0 58 1 0.0 56 46 7
0.0 56 9 0.0 60 5 0.0 55 7
0.0 60 5 0.0 72 3 0.0 43 5 0.0 58 76 7
0.0 77 8 0.0 60 4 0.0 56 5
0.0 85 8 0.0 62 4 0.0 46 8
0.0 50 1 0.0 57 8 0.0 57 5 0.0 55 13 3
0.0 65 2 0.0 63 2 0.0 52 3 0.0 60 23 3
0.0 67 2 0.0 59 7 0.0 60 7 0.0 62 53 3
0.0 84 5 0.0 89 1 0.0 90 8 0.0 88 13 3
0.1 09 2
0.0 65
0.0 47 6 0.0 73 2 0.0 46 5 0.0 55 76 7
0.0 78 1 0.0 70 9 0.0 87 1
0.0 64 9
0.0 42 5 0.0 63 2 0.0 56 5 0.0 54 06 7
0.0 57 2
0.0 57 7
0.0 78 7
0.1 17 0.0 62 4 0.0 96 2
B. TEKSTUR (TA) (gr force) PENGA MATAN 1
2
3
RATAAN
37
45
55
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
35 67. 8 36 54. 2 30 67. 9 34 29. 96 7
37 53. 8 23 45. 3 26 68. 2 29 22. 43 3
30 27. 8
23 12. 8 36 79. 9 17 93. 5
32 09. 4 12 09. 5 14 31. 8 19 50. 23 3
32 09. 4 18 09. 5 24 63. 9 24 94. 26 7
31 32. 5 12 09. 5 20 07. 7 21 16. 56 7
32 73. 5
35 67. 8 36 54. 2 30 67. 9 34 29. 96 7
27 31. 6 26 78. 9 26 81. 6 26 97. 36 7
24 31. 6 16 82. 6 23 10. 7 21 41. 63 3
27 93. 9 12 48. 9 27 81. 4 22 74. 73 3
21 56. 1 22 11. 8 24 91. 2 22 86. 36 7
31 24. 8 13 54. 5 15 76. 3 20 18. 53 3
22 09. 4 12 09. 5 25 43. 1 19 87. 33 3
31 30. 4
35 67. 8 36 54. 2 30 67. 9 34 29. 96 7
21 38. 7 25 26. 3 32 10. 1 26 25. 03 3
24 67. 7 21 15. 2 23 41. 7
24 67. 7 21 15. 2 19 87. 8 21 90. 23 3
17 89. 4 29 92. 9 19 87. 7 22 56. 66 7
32 45. 2 19 09. 5 18 76. 9 23 43. 86 7
32 09. 4 15 19. 6 17 65. 3 21 64. 76 7
40 29. 5
26 00 31 60. 3 29 29. 36 7
25 95. 4
87 3.4 19 7.3 14 48. 06 7
43 0.3 21 07. 8 18 89. 5
23 08. 2
57 8 22 19. 6 22 75. 7
142
INPUT DATA HASIL UJI FISIKOKIMIA C. KADAR AIR PENG AMAT AN 1 2 3 RATA AN
37
45
55
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
2.0 4 2.0 1 2.0 3 2.0 266 67
2.0 8 1.9 6 2.0 9 2.0 433 33
2.1 1
2.1 9 2.0 4 2.2 1 2.1 466 67
2.1 9 2.0 7 2.0 2 2.0 933 33
2.2 4 2.0 1 2.1 5 2.1 333 33
2.3 4 2.2 1 2.1 7
2.4 2 2.2 1 2.1 3 2.2 533 33
2.0 4 2.0 1 2.0 3 2.0 266 67
1.8 7 2.1 3 2.1 3 2.0 433 33
2.0 3 2.0 9 2.0 9
2.2 5 2.0 7 2.2 5
2.1 1 2.0 6 2.1 6
2.0 7
2.1 9
2.0 8 1.9 9 2.1 8 2.0 833 33
2.2 1 2.3 2 2.1 7 2.2 333 33
2 2.0 3 2.0 466 67
2.2 4
2.1 1
28 2.3 2.2 5 2.4 5 2.3 333 33
0 2.0 4 2.0 1 2.0 3 2.0 266 67
4
8
2.1
2.1
2.0 9 2.0 9 2.0 933 33
1.9 8 2.1 8 2.0 866 67
12
16
20
24
28
2.2 5 2.0 7 2.1 4 2.1 533 33
2.2 1
2.1 9 2.1 666 67
2.4 5 2.2 5 2.2 1 2.3 033 33
2.5 5 2.3 1 2.7 7 2.5 433 33
2.2 2 2.9 2 2.5 2 2.5 533 33
2.1
D. WARNA (C-METER) PENG AMAT AN 1.Nilai L 2.Nilai a 3.Nilai b 4.Nilai warn a
37
45
55
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
0
4
8
12
16
20
24
28
58. 9 3.9 8 18. 32 54. 826 19
56. 78 4.5 2 18. 68 52. 699 46
56. 24
56. 54 4.7 5 19. 42 52. 162 04
56. 99
56. 79 4.1 7 18. 16 52. 943 88
57. 31 4.2 1 17. 86 53. 533 46
56. 87 4.3 5 18. 48 52. 876 44
58. 9 3.9 8 18. 32 54. 826 19
57. 62 4.0 3 18. 34 53. 646 35
56. 87 4.1 7 19. 78 52. 367 72
56. 38 4.4 6 18. 31 52. 483 14
56. 87 4.2 8 18. 85 52. 736 51
57. 17 4.3 4 19. 85 52. 594 65
58. 07
56. 89 4.1 4 17. 97 53. 111 49
58. 9 3.9 8 18. 32 54. 826 19
57. 76 4.3 5 18. 96
56. 67 4.3 6 18. 35 52. 743 03
57. 04 4.2 3 18. 94 52. 860 02
56. 86 4.3 7 18. 49 52. 861 52
57. 63 4.5 7 17. 19 54. 047 87
58. 16 3.9 9 17. 79 54. 360 22
55. 94 4.3 1 17. 66 52. 337 28
4.4 18. 25 52. 383 2
4.2 18. 36 53. 046 94
Nilai Warna = 100-((100-L)2 + a2 + b2)0,5
4.3 18. 85 53. 827 09
53. 496
143
Lampiran 18. Plot hubungan suhu penyimpanan dengan berbagai parameter mutu Parameter
Sensori Rasa
Sensori Aroma
Sensori Tekstur
Nilai TBA
Nilai Tekstur
Nilai Kadar air
Suhu (K, 1/T)
Suhu (C)
0.003226
Ordo 0
Ordo 1
Slope (K)
Intercept
Korelasi
Slope (K)
Ln K
Intercept
Korelasi
37
-0.022
6.591
0.509
-0.003
-5.809
1.887
0.504
0.003145
45
-0.033
6.533
0.613
-0.005
-5.298
1.878
0.602
0.003049
55
-0.026
6.575
0.73
-0.004
-5.521
1.884
0.718
0.003226
37
-0.025
6.9
0.777
-0.003
-5.809
1.93
0.778
0.003145
45
-0.017
6.875
0.606
-0.002
-6.214
1.926
0.599
0.003049
55
-0.021
6.941
0.795
-0.003
-5.809
1.937
0.792
0.003226
37
-0.022
6.575
0.699
-0.003
-5.809
1.883
0.692
0.003145
45
-0.03
6.625
0.86
-0.004
-5.521
1.891
0.852
0.003049
55
-0.014
6.683
0.763
-0.002
-6.214
1.899
0.761
0.003226
37
4.00E-05
0.053
0.525
0.0007
-7.264
-2.924
0.518
0.003145
45
4.00E-05
0.053
0.856
0.006
-5.115
-2.932
0.867
0.003049
55
0.001
0.046
0.875
0.022
-5.816
-3.008
0.897
0.003226
37
-59.08
3313
0.84
-0.025
-4.688
8.137
0.799
0.003145
45
-43.72
2952
0.716
-0.018
-5.017
7.988
0.785
0.003049
55
-30.38
2874
0.5
-0.011
-6.509
7.948
0.516
0.003226
37
0.008
2.007
0.855
0.003
-5.809
0.699
0.874
0.003145
45
0.009
2.006
0.722
0.004
-5.521
0.697
0.727
0.003049
55
0.019
1.965
0.871
0.008
-4.828
0.682
0.886
144
Lampiran 19. Grafik penurunan dan kenaikan nilai parameter mutu selama penyimpanan. 1. Atribut sensori rasa
145
2. Atribut sensori aroma
146
3. Atribut sensori tekstur
147
4. Atribut sensori warna
148
5. Nilai TBA
149
6. Nilai kerenyahan (peak force +)
150
7. Nilai kadar air (%BB)
151
8. Nilai warna (chromameter)
152
Lampiran 20. Grafik hubungan ln k dengan suhu penyimpanan dari berbagai parameter mutu yang mengikuti reaksi ordo satu 1. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter sensori rasa
2. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter sensori aroma
153
3. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter sensori tekstur
4. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter bilangan TBA
154
5. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter tekstur
6. Plot hubungan suhu (1/T) dengan nilai ln k dari parameter kadar air
155
Lampiran 21. Tabel umur simpan EFP dengan menggunakan berbagai parameter mutu mengikuti reaksi ordo satu Ordo
Parameter 1
Suhu (K, 1/T)
Nilai Y
Arc Ln Y (Nilai K)
-5.865691275
0.002835
8.149876543
0.00330033
-5.78229698
0.003088
7.482156736
0.003225806
-5.670064516
0.003447
0.003144654
-5.547849057
0.003895
-5.403463415
0.0045
5.134422222
-5.971550336
0.00255
11.07571242
0.00330033
-5.964412537
0.002568
10.99807892
0.003225806
-5.954806452
0.002593
0.003144654
-5.944345912
0.00262
10.77979644
0.00304878
-5.931987805
0.002653
10.64570926
-5.318791946
0.004896
5.368035131
0.00330033
-5.45379546
0.00428
6.140630841
0.003225806
-5.635483871
0.003568
0.003144654
-5.833333333
0.002983
8.810559839
0.00304878
-6.067073171
0.002317
11.34307294
0.003355705
-9.568389262
0.000069
32237.44928
0.00330033
-8.49976834
0.000203
365.2518883
-7.061612903
0.000857
0.003144654
-5.495534591
0.0041
18.08442276
0.00304878
-3.645365854
0.026111
2.839651233
0.003355705
-3.146241611
0.043013
1.354508327
0.00330033
-3.72485183
0.024116
-4.503548387
0.011069
0.003355705 Rasa
Persamaan y= -1506x-0.812
0.00304878 0.003355705 Aroma
0.003355705 Tekstur
TBA
Tekstur (TA)
0.003225806
0.003225806
y=-128.9x-5.539
y= 2438x-13.50
y= -19298x+55.19
y=10449x-38.21
Ln (Qawal-Qakhir)
0.693147
Umur Simpan (bulan)
6.702901073 5.931938383
0.847292
0.788457
2.224384
1.747844
10.89204268
7.366003363
86.51824193
2.415884337 5.263480591
156
Ordo
Parameter Tekstur (TA)
1 Kadar Air
Suhu (K, 1/T)
Persamaan
Nilai Y
Arc Ln Y (Nilai K)
Ln (Qawal-Qakhir)
Umur Simpan (bulan)
0.003144654
-5.351509434
0.00474
12.29144866
0.00304878
-6.353292683
0.001741
33.46436914
0.003355705
-30.93845638
0.001362
37.80947137
0.00330033
-6.28874569
0.001857
27.73101777
-5.871935484
0.002817
0.003144654
-5.418050314
0.004435
11.6113867
0.00304878
-4.881829268
0.011241
4.581131572
0.003225806
y= -5593x+12.17
1.544895
18.28061768
Contoh perhitungan umur simpan EFP berdasarkan parameter rasa pada suhu 250C, akan memiliki persamaan perhitungan umur simpan sebagai berikut.
………….