SKRIPSI
FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
Oleh Ferawati F24051044
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Ferawati F24051044
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Ferawati F24051044 Dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1988 di Jakarta Tanggal Lulus :
Agustus 2009
Menyetujui
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Dosen Pembimbing Akademik
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi A.n Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Sekretaris
Ferawati. F24051044. Formulasi dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar Tepung Kedelai, Terigu, Singkong dan Pisang sebagai Alternatif Pangan Darurat. Di bawah bimbingan Deddy Muchtadi. RINGKASAN Kerusakan yang timbul pasca bencana menyebabkan terputusnya jalur distribusi sehingga sering kali menyulitkan masyarakat pengungsi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pangan. Bantuan pangan yang biasanya diberikan oleh pemerintah berupa mie instan dan beras. Bantuan pangan ini tergolong belum efektif dan kurang dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan korban bencana. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang pangan darurat yang dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam keadaan darurat dan dapat dikonsumsi secara langsung. Emergency Food Product (EFP) merupakan produk pangan olahan yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal) dikonsumsi pada situasi yang tidak normal seperti banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (IOM, 1995). Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pembuatan tepung kedelai dan tepung singkong kemudian dilanjutkan dengan analisis proksimat bahan baku. Penelitian utama terdiri dari formulasi produk pangan darurat banana bars, pembuatan produk pangan darurat banana bars berdasarkan formulasi, analisis proksimat produk pangan darurat, analisis statistik, uji sensori, dan pendugaan umur simpan. Tepung kedelai yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 70.83 %. Hasil analisis tepung kedelai melputi kadar air sebesar 4.14 %, kadar abu sebesar 5.36 %, kadar protein sebesar 41.70 %, kadar lemak 24.66 %, dan kadar kabohidrat sebesar 24.14 %. Rendemen tepung singkong yang dihasilkan sekitar 40 %. Hasil analisis tepung singkong meliputi kadar air sebesar 8.88 %, kadar abu sebesar 2.84 %, kadar protein sebesar 0.42 %, kadar lemak 1.49%, dan kadar kabohidrat sebesar 86.37 %. Hasil analisis tepung terigu meliputi kadar air sebesar 13.35 %, kadar abu sebesar 0.70 %, kadar protein sebesar 5.28 %, kadar lemak 11.76 %, dan kadar kabohidrat sebesar 68.91 %. Tahap formulasi menghasilkan enam formula. Formula 1 terbuat dengan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 2 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1), Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1). Hasil pengolahan data secara statistik untuk keenam formula banana bar menunjukkan bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai energi. Faktor rasio tepung terigu-
tepung singkong berpengaruh nyata terhadap respon nilai energi pada taraf signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi. Sehingga diputuskan menggunakan rasio tepung kedelai-pisang 2:3 dan tetap menggunakan ketiga taraf rasio tepung terigu-tepung singkong. Formula yang masuk ke tahap uji organoleptik adalah formula 1, formula 2, dan formula 3. Setelah uji organoleptik didapat bahwa formula terpilih adalah formula 3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan rasio tepung terigu singkong (1:1)). Hasil uji pendugaan umur simpan dengan parameter kadar air pada suhu 28oC memiliki umur simpan selama 2.13 bulan, dan parameter tekstur objektif pada suhu 28oC memiliki umur simpan selama 3.17 bulan. Hasil uji mikrobiologi awal menunjukkan bahwa produk pangan darurat banana bars memiliki total mikroba 2.3x102 koloni/gram, sedangkan untuk total kapang-khamir sebesar 1.0x101 koloni/gram. Pengujian mikrobiologi juga dilakukan pada hari penyimpanan ke-28. Hasil uji menunjukkan jumlah total mikroba pada produk yang disimpan di suhu 37oC sebesar 6.9x102 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu 45oC nilai TPC sebesar 7.5x102 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x102 koloni/gram. Hasil uji total Kapang-Khamir produk yang disimpan di suhu 37oC sebesar 2.4x101 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu 45oC sebesar 4.5x101 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x101 koloni/gram. Perkiraan biaya produksi produk banana bars yaitu Rp. 1130.09/50 gram.
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bonang Supriyatna Lukman dan Ratnawati. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Februari 1988. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDS Sapta Setia (1993-1999), kemudian SMPN 1 Cikini (1999-2002), lalu SMAN 68 Jakarta (2002-2005). Penulis diterima di IPB pada tahun 2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi maupun kepanitiaan. Penulis menjadi staff pengurus HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) divisi Kaderisasi pada tahun kepengurusan 2006-2007, kemudian pada tahun kepengurusan berikutnya penulis menjadi staff pengurus divisi DPPI. Penulis juga terlibat dalam kepanitiaan HACCP V, Baur, Hari Bumi, dan Art IPB Day. Selain itu penulis juga ikut berpartisipasi menjadi penyuluh dalam Kampanye Keamanan Pangan bagi anak Sekolah Dasar dan Pedagang lingkar kampus IPB. Penulis tergabung dalam tim penerima dana penelitian Indofood Riset Nugraha dengan judul penelitian ”Fornulasi dan Pembuatan High Protein Banana Bars Berbahan Dasar Kedelai dan Pisang”. Penulis juga pernah menjadi presenter pada 8th National Student Conference, UNIKA Soegijapranata, Semarang dengan judul ”Emergency Food Product Innovation : The Role of Food Technology Student in Social Based Research”. Sebagai tugas akhir penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Formulasi dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar Tepung Kedelai, Terigu, Singkong dan Pisang sebagai Alternatif Pangan Darurat” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi hanya bagi Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya yang tiada terkira penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dengan baik dan lancar. Banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mama dan Papa yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, cinta, dukungan dan semangat yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi, serta saran dan kritik yang sangat berguna bagi penulis. 3. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSi dan Ibu Elvira Syamsir, STp, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran membangun untuk penulis. 4. Underline team : Wahyu, Tiyu, Beqi dan Umam. Terima kasih atas petualangan backpacker JogloSemar dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Selamat meniti mimpi kawan. 5. Teman-teman F-Track : Wiwi, Hesti, Cha2, Nina, Venty, Aji, Haris, Nanda, Midun dan Ardi. Terima kasih atas perjalanan, petualangan, canda tawa dan kebersamaan yang tak terlupakan bagi penulis. 6. Farkhatus, Belinda dan Tjan. Rekan-rekan satu bimbingan dan tim IRN, terima kasih untuk dukungan dan semangat kalian. 7. Teman-teman sesama penghuni lab biokim dan sekitarnya : Tuti, Cath, Kamlit, Peye, Yuni, Adi Leo, Arya, Galih Ika, Galih Eka, Santy, Indri, Reni, Dewi, Septi, Riska, Siyam, Sobur, Isna, Yusi, Ola, Susan, Tere, Suhendri, Riza, Muji, Fahmi dan Ikhwan. Geng kosan centil : Cany, Sina, Wita dan Mike.
8. Hesti Woro dan Tantri. Terima kasih atas waktu yang telah kalian luangkan untuk mendengarkan curahan hati penulis dan canda tawa kalian yang menghibur =). 9. Seluruh laboran dan teknisi laboratorium ITP : Bu Rub, Bu Antin, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Sidik dan Pak Rozak. 10. Semua teman-teman ITP 42 ‘The Golden Generation’ yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Penulis bangga menjadi bagian dari kalian.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR………………………………………………………….
i
DAFTAR ISI………………….……………………………………………….... iii DAFTAR TABEL…………...…………………………..…………………....… v DAFTAR GAMBAR……...………………………..……………………...…… vi DAFTAR LAMPIRAN..……………………………………………………….. vii I. PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1 A. Latar Belakang............................................................................................... 1 B. Tujuan………………………………………………………………………. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA..…………………………………………………....
4
A. Pangan Darurat (Emergency Food Product)…………………………………… 4 B.
Produk Pangan Darurat Komersial…………………………………. 5
C.
Bars………………………………………………………………………… 7
D. Kedelai………………………………………………………………........... 8 E. Pisang………………………………………………………………………. 10 F. Singkong…………………………………………………………………… 11 G. Terigu…………………………………………………………………….... 12 H. Umur Simpan…………………………………………………………….... 13 III. METODOLOGI PENELITIAN….……………………………………..... 16 A. Bahan dan Alat……………………………………………………………. 16 B. Metode Penelitian…………………………………………………………. 16 1. Penelitian Pendahuluan………………………………………………..... 16 2. Penelitian Utama………………………………………………………... 19 C. Metode Analisis………………………………………………………….... 21 D. Rancangan Percobaan………………………………………………….….. 26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………..… 28 A. Penelitian Pendahuluan………………………………………………..…... 28 1. Pembuatan Tepung Kedelai…………………………………………..... 28 2. Pembuatan Tepung Singkong………………………………………….. 29
3. Karakterisasi Bahan Baku…………………………………………….... 30 B. Penelitian Utama………………………………………………………..…. 33 1. Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars………………………….. 33 2. Pembuatan Produk dan Optimasi Suhu Pemanggangan……………...… 34 3. Analisis Statistik……………………………………………………….. 37 4. Hasil Uji Sensori……………………………………………………….. 40 5. Perubahan Mutu Produk selama Penyimpanan……………………..…. 43 6. Pendugaan Umur Simpan…………………………………………..….. 54 7. Hasil Uji Mikrobiologi…………………………………………………. 62 8. Hasil Analisis Biaya………………………………………………….... 63 V. KESIMPULAN DAN SARAN…..……………………………………..….
64
DAFTAR PUSTAKA….…………………………….…………………..…….
66
LAMPIRAN………..…………………………………………………………... 69
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Komposisi kimia tepung kedelai per 100 gram bahan............................... 9 Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon (setiap 100 gram daging buah)……...… 11 Tabel 3 Komposisi kimia tepung singkong …………………………………………… 12 Tabel 4 Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru ………………………… 13 Tabel 5 Formula lengkap produk banana bars……………………………...…… 19 Tabel 6 Data hasil analisis proksimat bahan baku……………………………..… 32 Tabel 7 Kandungan makronutrien dan energi bahan penyusun Produk Pangan Darurat……………………….................................................................. 34 Tabel 8 Kandungan makronutrien dan energi tiap formula………………...……. 38 Tabel 9 Nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut sensori…………...…….. 40 Tabel 10 Jumlah Makronutrien dan Kandungan Energi Formula Terpilih/50gr Produk…………………………………………………………............. 42 Tabel 11 Nilai peningkatan kadar air selama penyimpanan.................................... 45 Tabel 12 Nilai peningkatan nilai aw selama penyimpanan....................................... 46 Tabel 13 Nilai kekerasan selama penyimpanan....................................................... 48 Tabel 14 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut aroma............. 51 Tabel 15 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut rasa................ 52 Tabel 16 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut tekstur........... 54 Tabel 13 Nilai Awal dan Nilai Kritis Berdasarkan Beberapa Parameter................. 55 Tabel 15 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan parameter kadar air......... 56 Tabel 16 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan parameter tekstur............ 59 Tabel 17 Perkiraan biaya produksi banana bars………………………………...... 63
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Food Bars.............................................................................................. 6 Gambar 2 Meals-Ready-to-Eat............................................................................... 7 Gambar 3 Camping Pouch Product …………………………………………….. 7 Gambar 4 Diagram Proses Pembuatan Tepung Kedelai........................................ 17 Gambar 5 Proses pembuatan tepung singkong...................................................... 18 Gambar 6 Proses pembuatan Banana Bars............................................................ 20 Gambar 7 Hubungan linier ln konstanta laju reaksi dengan kebalikan suhu pada plot Arrhenius………………………………………………….. 24 Gambar 8 Biji kedelai var. Baluran dan tepung kedelai…………………….….. 29 Gambar 9 Tepung Singkong………………………………………………….… 30 Gambar 10 Banana Bars………………………………………………………… 35 Gambar 11 Hasil Uji Duncan untuk faktor rasio tepung terigu:singkong………... 39 Gambar 12 Grafik Pola Kenaikan Kadar Air selama Penyimpanan........................ 45 Gambar 13 Grafik Pola Kenaikan Nilai aw selama Penyimpanan............................ 47 Gambar 14 Grafik Pola Penurunan Nilai Kekerasan selama Penyimpanan............. 49 Gambar 15 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut Aroma pada 3 suhu penyimpanan............................................ 51 Gambar 16 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut Rasa pada 3 suhu penyimpanan................................................ 53 Gambar 17 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut tekstur pada 3 suhu penyimpanan............................................ 54 Gambar 18 Grafik Hubungan ln k rata-rata kadar air dengan suhu (1/T)................ 57 Gambar 19 Grafik Hubungan ln k rata-rata nilai kekerasan dengan suhu (1/T)...... 59
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 1…………………………… 69 Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 2…………………………… 70 Lampiran 3. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 3…………………………… 71 Lampiran 4. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 4…………………………… 72 Lampiran 5. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 5…………………………… 73 Lampiran 6. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 6…………………………… 74 Lampiran 7. Hasil Pengolahan data Rancangan Percobaan………………………. 75 Lampiran 8. Form Uji Hedonik…………………………………………………… 76 Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik…………………………………………………… 77 Lampiran 10. Spesifikasi Alat Pengukur Tekstur Objektif Rheoner……………... 82 Lampiran 11. Kuesioner Uji Rating Hedonik Uji Pendugaan Umur Simpan.......... 83 Lampiran 12. Tabulasi Data Uji Umur Simpan…………………………………... 84 Lampiran 13. Grafik Ordo nol dan Ordo satu tiap Parameter…………………….. 88 Lampiran 14. Umur simpan banana bars berdasarkan atribut aroma, parameter atribut rasa, kadar air, dan tekstur objektif........................................ 90
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun dari 17.504 pulau sehingga keadaan geografis Indonesia tergolong kompleks. Keadaan geografis yang kompleks dengan berbagai kondisi alam yang makin memburuk seperti terjadinya bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir) mengakibatkan kerugian yang besar dan korban jiwa. Akhir tahun 2004 terjadi gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang menyebabkan 150.000 orang hilang. Pada tahun berikutnya, 2005, gempa bumi kembali terjadi di pulau Nias dan pada tahun 2006 di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah terjadi gempa bumi yang menelan 5.000 korban jiwa. Selain menelan korban jiwa, bencana juga menimbulkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal sehingga mengungsi. Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah jumlah pengungsi sekitar 2.216 jiwa, bencana tsunami di Aceh dan Nias mengakibatkan sekitar 80 ribu jiwa harus mengungsi dan hidup di tenda darurat. Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung pada tahun 2009 menyebabkan 902 orang mengungsi dan 100 orang tewas (Anonim, 2009). Bencana yang terjadi selain menelan banyak korban jiwa juga menyebabkan banyak kerusakan infrastruktur. Kerusakan yang timbul pasca bencana menyebabkan terputusnya jalur distribusi sehingga sering kali menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pangan. Keadaan ini memerlukan reaksi yang cepat dari pemerintah. Bantuan pangan yang biasanya diberikan oleh pemerintah berupa mie instan dan beras. Bantuan pangan ini tergolong belum efektif dan kurang dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan korban bencana karena terbatasnya akses masyarakat korban bencana terhadap air bersih, bahan bakar, dan juga peralatan memasak. Selain belum efektif, bantuan pangan yang diberikan oleh pemerintah juga sering kali tidak memenuhi kebutuhan gizi masyarakat pengungsi, misalnya pemberian bantuan pangan berupa mie instan tanpa pemberian telur sehingga masyarakat hanya
mengkonsumsi karbohidrat saja yang tentunya tidak mencukupi asupan energi harian mereka. Kondisi seperti ini dapat mendorong terjadinya bencana lain yang lebih besar yaitu kelaparan pasca bencana. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang pangan darurat yang dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam keadaan darurat dan dapat langsung dikonsumsi. Emergency Food Product (EFP) merupakan produk pangan olahan yang dirancang khusus untuk memenhuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal) dikonsumsi pada situasi yang tidak normal seperti banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (IOM, 1995). Namun, pangan darurat ini selain untuk bantuan pangan korban bencana, juga dapat berfungsi sebagai ransum untuk keperluan militer, makanan untuk pendaki gunung dan sumber makanan untuk kegiatan outbond. EFP dapat dibuat dalam berbagai bentuk pangan seperti dodol (produk IMF), nasi dalam kaleng ataupun cookies. Pembuatan produk EFP dapat menggunakan bahan pangan lokal seperti kedelai, pisang, singkong, ubi jalar dan lain-lain sehingga produk ini dapat dikembangkan dan diproduksi oleh daerah, untuk meningkatkan ketahanan pangan didaerahnya dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2009, produktifitas kedelai lokal mencapai 13.32 Qu/ha, komoditas pisang mencapai 5 juta ton, dan komoditas singkong mencapai 182.44 Qu/ha. Produktifitas yang cukup tinggi ini menunjukkan besarnya potensi bahan lokal sebagai bahan baku pangan darurat. Bentuk
pangan
darurat
yang
berupa
bars
ini
dipilih
dengan
mempertimbangkan kemudahan dalam konsumsinya. Bahan baku tepung kedelai merupakan sumber protein yang sangat baik, paling sering digunakan dan murah, pisang berperan sebagai sumber flavor unik yang dapat menutupi flavor langu yang biasanya terdapat pada tepung kedelai, tepung terigu dan tepung singkong merupakan bahan pembentuk tekstur. Tepung singkong diharapkan dapat
mensubstitusi tepung terigu yang masih impor dan sebagai salah satu cara diversifikasi pangan.
B. Tujuan 1. Menentukan formulasi dan desain proses pembuatan EFP (Emergency Food Product) banana bars berbahan dasar kedelai dan pisang berdasarkan kebutuhan energi 2100 kkal dengan sifat sensori, sifat fisiko kimia dan mikrobiologi yang dapat diterima. 2. Menentukan jenis formula EFP (Emergency Food Product) terpilih yang diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pemberian bantuan pada korban bencana.
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Pangan Darurat (Emergency Food Product) Pangan darurat (Emergency Food Product) merupakan pangan yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal berasal dari makronutrien) dalam kondisi darurat (IOM, 1995). Keadaan darurat tersebut adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Ada dua jenis EFP, jenis EFP pertama merupakan pangan darurat yang dirancang untuk kondisi dimana para korban bencana dapat memasak atau mempersiapkan makanan. Jenis EFP yang kedua adalah pangan darurat yang didesain untuk kondisi dimana akses terhadap air dan api terbatas sehingga para korban bencana tidak dapat memasak makanan. Pangan darurat untuk korban bencana, terutama yang bersifat siap santap, sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia tetapi sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara di lapangan (Syamsir, 2008). Tujuan dari EFP adalah mengurangi kematian para korban bencana dengan menyediakan makanan yang secara nutrisi lengkap sehingga dapat menjadi sumber nutrisi selama lima belas hari terhitung dari awal pengungsian terjadi. Terdapat lima karakteristik kritis untuk mengembangkan EFP : 1) Aman, 2) Memiliki warna, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat diterima, 3) Mudah didistribusikan, 4) Mudah digunakan dan 5) Nutrisi lengkap. EFP didesain untuk memiliki kandungan energi sebanyak 2100 kkal yang terdiri dari 35-45 % lemak, 10-15 % protein dan 40-50 % karbohidrat (Zoumas et al, 2002). Penerimaan warna, aroma, tekstur dan penampakan dari EFP menjadi faktor utama dalam pemilihan bahan-bahan pembuatnya. Lemak berfungsi sebagai sumber energi, membuat produk menjadi ringan, sebagai carrier vitamin larut lemak dan sumber asam lemak esensial. Jumlah protein maksimum sebesar 15 %, hal ini diatur untuk menghindari gangguan ginjal dan masalah kehausan (Zoumas et al, 2002).
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam mengembangkan komposisi nutrisi EFP (Zoumas et al, 2002) yaitu :
Potable water harus disediakan bersamaan dengan pemberian EFP
Individu (pengungsi) harus mengkonsumsi pangan ini untuk memenuhi kebutuhan energinya
Semua individu (pengungsi) dengan usia diatas 6 bulan akan mengkonsumsi pangan darurat ini
Produk ini merupakan sumber energi utama bagi korban bencana selama 15 hari
Kebutuhan nutrisi bagi wanita hamil dan menyusui tidak dimasukkan dalam perhitungan pembuatan EFP, tetapi diasumsikan bahwa mereka harus mengkonsumsi EFP melebihi asupan energi rata-rata per harinya (>2100 kkal)
Beberapa jenis EFP telah dikembangkan di luar negeri, diantaranya : Meal Ready To Eat (MRE), MRE ini biasanya digunakan sebagai ransum dan dikemas dalam retort pouch, tahan hingga 7 tahun dalam penyimpanan dingin, Camping Pouch Product, sama seperti MRE namun dibuat dengan metode freeze drying, dan Canned Emergency Food.
B. Produk Pangan Darurat Komersial Produk pangan darurat atau Emergency Food Product telah banyak dikembangkan diluar negeri. Ada berbagai bentuk pangan darurat diantaranya food barss, Meal Ready to Eat, Camping Pouch Product, dan Long Life Food Supply. Food Bars Merupakan cookies yang diformulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi. Setiap bars-nya mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini memiliki
umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang ekstrem. Dikemas dalam bentuk 3-days package yang mengandung 9 bar dengan nilai energi sekitar 400 kkal/bar. Bentuk Food Bars dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Food Bars.
MREs (Meals-Ready-to-Eat) Produk jenis ini merupakan salah satu bentuk ransum untuk keperluan militer. MREs dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak terekspos udara. MREs berbentuk dapat berbentuk pangan lengkap yang mengandung daging, sayur atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lainlain. Bentuk Meals-Ready-to-Eat dapat dilihat pada Gambar 2.
Camping Pouch Products Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memilki umur simpan sekitar dua tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil dehidrasi atau freeze dried. Sebelum dikonsumsi pangan ini membutuhkan tambahan air panas. Bentuk Camping pouch product dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Meals-Ready-to-Eat.
Gambar 3 Camping Pouch Product.
C. Bars Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buahbuahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder dalam barss dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan lain-lain (Gillies, 1974 diacu dalam Rahmi, 2003). Bentuk bars dipilih karena kemudahan dalam konsumsi. Pangan berbentuk bars mudah dibuat dan dikreasikan dengan berbagai macam bahan. Pada penelitian ini binder yang digunakan adalah puree pisang.
Bahan-bahan penyusun bars terdiri dari margarin, gula, garam, tepung terigu, tepung singkong, tepung kedelai, dan pisang. Lemak merupakan bahan baku yang sangat penting dalam pembuatan bars. Lemak dapat berasal dari hewan (butter dan lard) atau dari tumbuhan (margarin). Kemampuan membentuk krim oleh lemak pada pembuatan kue diperlukan karena adanya kemampuan lemak untuk menangkap dan menahan sel-sel udara bila lemak terus dikocok kuat-kuat, terutama bila dicampur dengan bahan adonan lainnya, seperti gula dan tepung. Margarin berperan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Gula berfungsi sebagai pemanis nutritif, pembentuk tekstur, pemberi warna, dan pengontrol penyebaran adonan. Garam berperan untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan bars adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8-9 %. Tepung terigu berfungsi membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses fermentasi dan membentuk struktur selama pemanggangan (Matz, 1978). Tepung singkong berperan sebagai bahan pembentuk tekstur, penambahan tepung singkong ini diharapkan dapat menggantikan atau mensubstitusi tepung terigu sebagai pembentuk tekstur. Tepung kedelai berperan sebagai sumber protein dan sumber lemak. Pisang berperan sebagai binder atau pengikat untuk produk bars ini.
D. Kedelai Kedelai (Glycine max Merr.) termasuk dalam famili Leguminosa, sub famili Papillionaceae dan Genus Glycine L. Kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati untuk manusia dan hewan di berbagai negara. Bentuk, ukuran, warna biji, sifat fisik dan sifat kimia kacang kedelai bervariasi tergantung pada varietasnya. Bentuk biji pada umumnya bundar sampai lonjong agak
memanjang dengan warna kuning, hijau, coklat, atau kehitaman (Liu, 1997). Komposisi kimia tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia tepung kedelai per 100 gram bahan Komponen
Komposisi
Air (g)
5.1
Protein (g)
34.5
Karbohidrat (g)
35.2
Lemak (g)
20.6
Abu (g)
4.4
Kalsium (mg)
205.9
Zat Besi (mg)
6.4
Magnesium (mg)
428.6
Fosfor (mg)
494
Potassium (mg)
2515
Sodium (mg)
12.9
Sumber: USDA (2008) Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di dunia dengan kadar 30.53 sampai dengan 40.00%. Berdasarkan kelarutannya, protein leguminosa digolongkan ke dalam albumin yang larut dalam air dan globulin yang larut dalam larutan garam. Sebagian besar protein kedelai adalah globulin. Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan asam amino pembatas methionin. Selain kadarnya yang tinggi, protein kedelai adalah protein yang lengkap kualitasnya hampir menyamai kualitas protein hewani. Nilai gizi protein kedelai dibatasi oleh faktor antitripsin serta kompaknya struktur kuarterner dan tersier protein kedelai (Liu, 1997). Selain mengandung protein, kacang kedelai mengandung lemak yang cukup tinggi. Kacang kedelai mengandung asam lemak tidak jenuh yang termasuk esensial, yaitu asam linoleat, linolenat yang sangat diperlukan tubuh. Lemak kedelai mengandung 86% linoleat, dan oleat, 10% palmitat, dan 2% masingmasing untuk stearat dan arachidat. Karbohidrat kedelai sebagian besar terdiri dari
disakarida dan oligosakarida, yaitu 2.5-8.2% sukrosa, 0.1-0.9% rafinosa, dan 1.44.1% stakiosa (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Citarasa langu (beany atau painty off flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha memproduksi makanan asal kedelai. Bau langu disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil etil fenil keton (Hariyadi, 1997).
E. Pisang Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Zingiberales. Famili Musaceae, mempuyai dua genera yaitu Musa dan Ensete. Semua varietas yang buahnya dapat dimakan dimasukkan ke dalam genus Musa (Palmer, 1971). Pisang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas besar, yaitu: 1. Pisang yang dapat dimakan langsung (banana), terdiri dari dua varietas, yaitu: a. Musa paradisiaca var. Sapientum (L) Kunze (M. sapientum var. paradisiaca Baker) b. Musa nana Lour (M. chinensis Sweet, M. cavendishii Lamb) 2. Pisang yang umumnya dimakan setelah dimasak terlebih dahulu (plantain), yaitu Musa paradisiaca L. Jenis pisang yang termasuk dalam tipe pisang buah (banana) antara lain ambon putih, ambon hijau, pisang mas, pisang raja, pisang susu, pisang badak, pisang seribu, dan pisang angleng. Jenis pisang yang tergolong dalam plantain antara lain pisang siam, pisang nangka, pisang kapas, pisang kepok, pisang gembor, pisang menggala, dan pisang tanduk (Munadjim, 1983). Komponen utama penyusun buah pisang adalah air yang mencapai 75% pada buah yang telah matang. Karbohidrat merupakan komponen penyusun kedua setelah air, kandungannya sekitar 20-25%. Jenis karbohidrat yang lain dalam buah pisang adalah serat kasar dan pektin. Serat kasar menyusun sekitar 0,84 persen daging buah. Daging buah pisang mengandung 0.5% lignin, 0,21% selulosa, dan 0,12% hemiselulosa (Chandler, 1995).
Pisang matang mengandung komponen volatil yang relatif tinggi kelengkapannya dan sebagian besar terdiri atas campuran kompleks ester-ester, namun demikian alkohol, aldehid, keton dan senyawa aromatik juga ada. Flavor seperti pisang ditentukan oleh ester amil dan isoamil dari asam asetat, propionat dan
butirat,
sedangkan
alkohol
dari
karbonil
memberikan
bau
yang
menggambarkan sebagai “green”, “woody” atau “musty”. Komposisi kimia pisang ambon dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon (setiap 100 gram daging buah) Jenis pisang
Ambon
Protein (g)
1.2
Lemak (g)
0.2
Karbohidrat (g)
25.8
Air (g)
72
Kalsium (mg)
8
Fosfor (mg)
28
Besi (mg)
0.5
Sumber : Prawiranegara (1981)
F. Singkong Ubi kayu atau singkong termasuk ke dalam Kingdom Plantae, divisi Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledone,
famili
Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas. Singkong digolongkan ke dalam dua jenis yaitu Manihot palmata (singkong pahit) dan Manihot aipi (singkong manis). Singkong mengandung sianogenik gliukosida linamarin dan lotaustralin yang akan menghasilkan asam sianida jika terjadi kerusakan pada sel tanaman. Singkong manis mengandung asam sianida kurang dari 50 mg/kg umbi segar. Linamarin akan menghasilkan glukosa, aseton dan HCN apabila dihidrolisis, sedangkan lotuaustralin akan menghasilkan glukosa, metil etil keton
dan HCN (Muchtadi, 1991). Hidrolisis terjadi karena kerja enzim linamarinase endogen yang bertemu dengan substratnya (glukosida) bila terjadi kerusakan sel secara fisik. Enzim ini terdapat di luar sel. Singkong dapat diolah menjadi bentuk tepung singkong dan tapioka. Tepung singkong berbeda dengan tepung tapioka baik dari segi pengolahannya maupun dalam hal komposisi kimianya. Pembuatan tepung singkong tidak menggunakan tahap ekstraksi pati sehingga komponen kimia yang terdapat pada tepung singkong relatif sama dengan komposisi kimia dalam umbi singkong (Fadilah, 2004). Tepung singkong dapat dibuat melalui dua cara yaitu pembuatan tepung singkong melalui penepungan irisan singkong yang telah dikeringkan dan penepungan parutan tepung singkong yang telah dikeringkan. Komposisi tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia tepung singkong per 100 gram bahan Komponen Protein (g)
Komposisi 1.6
Karbohidrat (g)
79.8
Lemak (g)
1.6
Sodium (mg)
417 Sumber : Anonimd (2008)
G. Terigu Tepung gandum (terigu) biasanya merupakan bahan utama dalam pembuatan cookies. Dalam hal ini karakter bars menyerupai cookies yaitu tidak butuh pengembangan yang besar, tetapi bars umumnya lebih empuk dibandingkan cookies. Oleh karena kesamaan karakter inilah maka untuk membuat barss dapat digunakan pula bahan baku pembuat cookies yaitu terigu ataupun jenis tepung lainnya. Berbeda dengan tepung-tepung lainnya, tepung gandum mengandung protein yang unik, yang disebut gluten (Husain, 1993). Gluten merupakan campuran antara dua kelompok atau jenis protein gandum,
yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar dan gliadin memberikan sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan dan membentuk struktur remah produk. Gluten, bersama-sama dengan pati gandum akan membentuk struktur dinding sel (building block) remah produk (Anonima, 1996). Kuantitas dan kualitas dari gluten dalam terigu merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kekuatan terigu dan paling menentukan dalam pemilihan terigu untuk membuat cookies. Jenis terigu yang cocok digunakan dalam pembuatan cookies yaitu jenis soft-wheat (gandum lunak) dengan kadar protein sebesar 8-9% (Husain, 1993). Jenis terigu inilah yang juga akan dipakai dalam pembuatan barss. Tepung cap Kunci Biru adalah jenis tepung yang mewakili tepung gandum lunak. Gandum lunak biasanya diperoleh dari gandum summer, dengan masa tanam yang pendek. Tepung gandum lunak biasanya digunakan khusus untuk membuat produk bakery yang tidak memerlukan keteguhan dan sempurnanya struktur remah (Anonima, 1996). Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru Komponen
Kadar (%)
Protein
11.00
Lemak
1.50
Karbohidrat
72.70
Air
14.30
Abu
0.50
Sumber : PT. Bogasari Flour Mill
H. Umur Simpan Terdapat dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS sering juga disebut metode konvensional adalah penentuan tanggala kadaluwarsa
dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaannya, metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Metode ESS ini sering digunkan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan. Keuntungan dari metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah, 2001).
Metode ASS (Accelerated Storage Studies) Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu pangan. Sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada metode akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan, yaitu : 1). Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2). Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius. Yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001). Salah satu faktor mutu makanan yang terpenting adalah citarasa atau flavor. Perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan makanan perlu dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap atribut tersebut (Syarief, 1993). Uji
pendugaan umur simpan untuk produk bars ini menggunakan metode akselerasi model Arrhenius. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode Arrhenius diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji fisik atau mikrobiologis seperti daya serap oksigen, kadar peroksida, intensitas warna TBA, kadar vitamin C, skor uji citarasa, tekstur, warna, total warna mikroba dan sebagainya. Dalam penyimpanan, parameter-parameter mutu tersebut akan berubah oleh adanya pengaruh dari faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara atau karena faktor komposisi makanan itu sendiri. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawaan kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan. Dalam penyimpanan makanan, keadaan suhu ruangan penyimpanan selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Apabila keadaan suhu penyimpanan tetap dari waktu ke waktu (atau dianggap tetap) maka perumusan masalahnya bisa sederhana, yaitu menduga laju penurunan mutu cukup dengan menggunakan persamaan Arrhenius : k ko .e Ea / RT Dimana : Ko = faktor pra-eksponensial (1/hari)
R= konstanta gas universal (1.987 kal/mol/K) T = suhu mutlak ruang penyimpanan (K) Ea = Energi aktivasi (kal/mol) Dengan mengubah persamaan diatas menjadi: ln k ln ko
Ea
1
R
T
Persamaan Arrhenius dapat diduga untuk menduga laju penurunan mutu selama penyimpanan dengan menggunakan asumsi-asumsi: a. Perubahan faktor mutu makanan hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya. d. Suhu ruangan penyimpanan selama penyimpanan dianggap tetap
III. METODOLOGI
A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk formulasi adalah kedelai lokal varietas Baluran yang didapatkan dari Balai Biogen, Cimanggu, Bogor, pisang ambon, tepung terigu cap kunci biru, tepung singkong dari jenis singkong roti yang didapatkan dari petani singkong di daerah Sawangan, Depok, margarin, gula halus, garam serta bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat yang digunakan untuk formulasi dan analisis adalah neraca, baskom, hand mixer, loyang, oven pemanggang, oven pengering, pin disc mill, plastik, pisau, kemasan metalized plastic, rumah pengering (rumah kaca), tanur, cawan porselin, cawan aluminium, desikator, neraca analitik, kapas, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, alat destilasi, alat titrasi, kertas saring, corong pemisah, erlenmeyer, tabung reaksi dan penyangga, cawan petri, pipet tetes, pipet mohr, bunsen dan spiritus, dan alat-alat gelas lainnya. Selain itu diperlukan juga alat ukur kekerasan Rheoner.
B. Metode Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan 1.1 Persiapan Bahan Baku Pembuatan Banana Bars Pembuatan Tepung Kedelai (Modifikasi Mustakas et al, 1967) Pembuatan tepung kedelai diawali dengan pemisahan kedelai dari kotoran dan biji yang rusak. Hasilnya adalah biji kedelai bersih lalu dilakukan conditioning (pelunakan dengan disemprot/dipercikan air) selanjutnya dikeringkan selama 2-4 jam kemudian dikupas kering. Tahap selanjutnya adalah pengukusan pada 100oC selama 15 menit untuk inaktifasi antitripsin dan enzim lipoksigenase, lalu dikeringkan kembali
dalam oven kemudian digiling dan diayak. Skema proses pembuatan tepung kedelai dapat dilihat pada Gambar 4.
Kedelai
Sortasi
Conditioning (pelunakan dengan disemprot/dipercikan air)
Dikeringkan 60-70oC 2-4 jam
Dikupas kering dengan grinder
Dikukus pada 100oC 15 menit
Dikeringkan 60-70oC selama 6 jam
Digiling menggunakan Pin Disc Mill
Diayak 80 mesh
Tepung kedelai Gambar 4 Diagram Proses Pembuatan Tepung Kedelai.
Pembuatan Tepung Singkong (Soeryo, 1991) Proses pembuatan tepung singkong meliputi tahap pengupasan, pembersihan (pencucian secara cepat), pemotongan (panjang sekitar 4-5 cm), pencucian (perendaman selama 15 menit dan penirisan selama 5 menit), pemarutan, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Umbi singkong segar
Dikupas, dicuci, dipotong
Direndam (15 menit) dan ditiriskan (5 menit)
Diparut
Dijemur di rumah pengering selama 24 jam
Digiling
Diayak (80 mesh)
Tepung singkong Gambar 5 Proses pembuatan tepung singkong (Soeryo, 1991).
1.2 Karakterisasi Bahan Baku Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku utama untuk pembuatan produk pangan darurat Banana Bars. Analisis dilakukan untuk tepung kedelai, tepung singkong, dan tepung terigu. Hasil analisis ini akan digunakan untuk pembuatan formulasi produk.
2. Penelitian Utama 2.1 Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars dengan Kandungan Energi 2100 Kkal Penelitian tahap ini menggunakan data hasil analisis proksimat bahan baku utama. Pada tahap ini akan ditentukan besar perbandingan antara tepung kedelai dan pisang serta perbandingan tepung terigu dan tepung singkong sebagai binder. Selain itu akan dilakukan juga perhitungan total energi produk dengan menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan Microsoft Excel (diacu dari Sitanggang, 2008). Basis perhitungan energi produk 233 kkal dengan berat per bar sebesar 50 gram. Pada Tabel 5 dapat dilihat formula lengkap produk banana bars. Tabel 5 Formula lengkap produk banana bars
1
Tepung Kedelai 40 %
2
40 %
60 %
-
10 %
32 %
20 %
0.25 %
3
40 %
60 %
5%
5%
32 %
20 %
0.25 %
4
50 %
50 %
10 %
-
32 %
20 %
0.25 %
5
50 %
50 %
-
10 %
32 %
20 %
0.25 %
6
50 %
50 %
5%
5%
32 %
20 %
0.25 %
Formula
60 %
Tepung Terigu* 10 %
Tepung Singkong* -
Pisang
Gula *
Margarin*
Garam*
32 %
20 %
0.25 %
Keterangan : * dihitung dari jumlah tepung kedelai dan pisang
2.2 Pembuatan Produk Pangan Darurat Banana Bars berdasarkan Formulasi Pada tahap ini dilakukan percobaan pembuatan produk banana bars berdasarkan formula yang telah dibuat. Pada proses ini dilakukan penyesuain proses untuk mendapatkan produk yang optimum dari segi organoleptik dengan keawetan tinggi dan rasa serta tekstur yang optimum. Pada tahap ini selanjutnya dilakukan analisis proksimat dan semua analisis yang dibutuhkan sehingga diketahui energi aktual yang terkandung di dalam produk, selain itu juga dilakukan analisis sensori untuk melihat tingkat penerimaan produk. Pada Gambar 6 dapat dilihat proses pembuatan banana bars.
Pisang
Dicincang dengan pisau
Margarin, gula
Terigu, tepung singkong, garam
Mixing, 20 menit
Mixing
Pencetakan
Dioven 150oC selama 15 menit
Banana Bars
Gambar 6 Proses pembuatan Banana Barss.
Campur kering
Tepung kedelai
2.3 Pendugaan Umur Simpan Pendugaan
umur
simpan
dilakukan
dengan
metode
ASLT
(Accelerated Shelf Life Testing) model persamaan Arrhenius. Analisis umur simpan dilakukan dengan menggunakan kemasan metalized plastic. Produk disimpan dalam inkubator pada tiga suhu penyimpanan yaitu 37oC, 45oC dan 50oC. Pengambilan sampel dilakukan setiap satu minggu sekali dengan pengujian aw, kadar air, tekstur dan uji sensori rating hedonik (parameter aroma, rasa, dan tekstur).
C. METODE ANALISIS 1. Kadar Air, metode oven (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot 0.0003 gram). Perhitungan : Kadar air = X –(Y – a ) x 100% X Keterangan : X = bobot sampel awal (g) Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan a = bobot cawan kosong
2. Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989)
Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu 5500C. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Perhitungan : Kadar abu (%) =
bobot abu (g) x 100% bobot sampel (g)
3. Kadar Protein Metode Kjedahl (Apriyantono et al, 1989) Sejumlah kecil sampel ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Labu Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Cara perhitungan kadar protein :
Kadar N(%) = (ml HCl contoh– ml HCl Blanko) x N HCl x 14.007 x 100% mg sampel Kadar protein(%) = %N x faktor konversi
4. Kadar Lemak (metode Soxhlet) Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Heksan dituang ke dalam labu lemak dan kemudian alat dirangkai. Refluks dilakukan selama 5-6 jam. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan sisa pelarut heksan diangkat dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C sampai pelarut menguap semua. Labu yang berisi lemak didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Perhitungan : Kadar lemak (%) = X – Y x 100% W Keterangan : X = bobot lemak hasil ekstraksi dan labu lemak Y = bobot labu lemak kosong W = bobot sampel
5. Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) 6. Kadar Serat Kasar ( Apriyantono et al, 1989) Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah halus diekstrak lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter (PE). Sampel bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes anti buih. Setelah
itu tambahkan kedalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang. Setelah selesai saring suspensi dengan menggunakan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih , pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 110oC sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah itu sampel didinginkan dan dimasukkan kedalam desikator, lalu sampel ditimbang. Perhitungan : Kadar serat kasar (gr/100gr contoh) = W1 – W2 x 100 W Keterangan : W1 = berat residu dan kertas saring yang dikeringkan W2 = berat kertas saring W = berat sampel yang dianalisis
7. Pengukuran Aktivitas Air (Sitanggang, 2008) Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan aw meter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75 %. Sampel dimasukkan kedalam chamber pada aw meter dan ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakuakn pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.
8. Analisis Tekstur Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Rheoner. Pengukuran dilakukan terhadap bars. Bars ditekan dengan menggunakan probe jarum. Nilai hasil pengujian disajikan dalam grafik.
9. Uji Mikrobiologi Total Plate Count dan Total Kapang – Khamir (Fardiaz, 1989) Total mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan pada media Plate Count Agar, sedangkan untuk total kapang – khamir digunakan media APDA (Acidified Potato Dextrose Agar). Sepuluh gram contoh dilarutkan dalam larutan garam fisiologis 0,85 % sebanyak 90 ml. Dari larutan ini diencerkan kembali sampai tingkat pengenceran yang dikehendaki. Dari setiap pengenceran diambil 1 ml dan dimasukan ke dalam cawan petri, dan diberi 15 ml PCA/APDA cair (duplo). Selanjutnya cawan diputar membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 2 hari untuk TPC dan inkubasi pada 37oC selama 3-5 hari untuk total kapangkhamir.
10. Uji Sensori Uji organoleptik yang akan dilakukan yaitu uji rating hedonik. Pada uji rating hedonik, panelis diminta untuk mengevaluasi tiga atau lebih contoh berkode dan kemudian menilai sampel tersebut dengan memberikan skor 1-5 dari yang paling disukai (1) hingga yang paling tidak disukai (5). Parameter yang diuji adalah aroma, rasa, tekstur, dan overall. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS 13 dan uji lanjutan menggunakan uji Duncan.
11. Penentuan Umur Simpan Pendugaan umur simpan bars yang terpilih dilakukan dengan menggunakan model persamaan Arrhenius. Menurut Syarief (1993) di dalam Muliandi (1994), suhu dan konstanta laju reaksi tersebut diformulasikan oleh Arrhenius menjadi persamaan berikut: k ko .e Ea / RT Dimana : ko
= faktor pra-eksponensial (1/hari)
R
= konstanta gas universal (1.987 kal/mol/K)
T
= suhu mutlak ruang penyimpanan (K)
Ea
= Energi aktivasi (kal/mol)
Dengan mengubah persamaan diatas menjadi: ln k ln ko
Ea
1
R
T
maka akan diperoleh kurva garis lurus pada plot antara ln k terhadap kebalikan suhu mutlak (1/T) dan kemiringan garis adalah energi aktivasi dibagi dengan konstanta gas (R) seperti Gambar 7. Sampel dikemas dalam kemasan metalized plastic dengan teknik pengemasan biasa yaitu kemasan dirapatkan dengan menggunakan sealer. Prosedur analisisnya yaitu penyimpanan sampel dilakukan pada suhu 37oC, 45oC, dan 50oC selama 28 hari dengan interval waktu pengamatan setiap tujuh hari sekali. Dari hasil pengamatan ini akan dihasilkan tiga persamaan regresi linier (hubungan waktu pengamatan dalam hari (sumbu x) dengan parameter pengamatan (sumbu y), sehingga akan didapatkan masing-masing satu nilai k. Jika masing-masing nilai k dibuat menjadi ln k dan nilai kebalikan suhu mutlak penyimpanan (1/T) diplotkan dalam grafik maka akan diperoleh juga hubungan linier beserta persamaan regresi liniernya. Dari persamaan regresi linier inilah
dapat dicari nilai Ea dan ko sehingga akhirnya akan dihasilkan model Arrhenius ( k ko.e Ea / RT ).
Nilai kemiringan garis = -Ea/R Ln k
1/T (K-1)
Gambar 7 Hubungan linier ln konstanta laju reaksi dengan kebalikan suhu pada plot Arrhenius (Syarief, 1993). Perhitungan umur simpan jika mengikuti ordo nol : t = (Qo – Qs)/k Perhitungan umur simpan jika mengikuti ordo satu : t = (ln Qo – ln Qs)/ k dimana t : umur simpan (hari) Qo : nilai mutu awal Qs : nilai mutu kritis k : konstanta laju penurunan mutu D. RANCANGAN PERCOBAAN Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial dengan dua faktor. Model persaman matematikanya yaitu Y ijk = µ + i + ßj + (ß) ij + ε ijk (i = 1,...a; j = 1,....b;k = 1,....r) Dimana i : pengaruh perlakuan œ ke-i ßj : pengaruh perlakuan ß ke-j (ß) ij : pengaruh inteaksi perlakuan i dan ßj
Dua faktor yang digunakan yaitu : Faktor A adalah rasio tepung kedelai dan pisang dengan menggunakan dua level (2:3 dan 1:1). Faktor B adalah rasio antara tepung terigu dan tepung singkong dengan menggunakan tiga level (0:1, 1:0, 1:1). Sehingga dari dua faktor A dan B diatas dihasilkan enam formula : Faktor B Perlakuan B0
B1
B2
Faktor
A0
A0B0
A0B1
A0B2
A
A1
A1B0
A1B1
A1B2
F1 (A0B0) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (1:0) F2 (A0B1) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (0:1) F3 (A0B2) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (1:1) F4 (A1B0) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (1:0) F5 (A1B1) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1) F6 (A1B2) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu singkong (1:1)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan beberapa tahap persiapan bahan baku untuk proses pembuatan produk dan juga analisis proksimat bahan baku utama yaitu tepung kedelai, tepung singkong, dan tepung terigu. 1. Pembuatan Tepung Kedelai Salah satu kendala dalam pembuatan tepung kedelai adalah citarasa langu yang dihasilkan oleh biji kedelai. Citarasa langu pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya udara, air, dan sel kedelai yang pecah. Bau langu disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil. Senyawa volatil inilah yang menyebabkan citarasa langu (Hariyadi, 1997). Senyawa penyebab langu tergolong dalam kelompok heksanal dan heksanol (Koswara, 1992). Tahapan pembuatan tepung kedelai pada penelitian ini meliputi tahap pemilihan (sortasi), pengupasan, pengukusan, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Metode pembuatan tepung kedelai yang digunakan tidak melibatkan tahapan perendaman dan perebusan yang biasanya merupakan rangkaian tahapan pada proses pembuatan tepung kedelai secara umum. Untuk menggantikan tahap perendaman dan perebusan tersebut, dilakukan pengukusan pada 100oC selama 15 menit pada biji kedelai yang telah dikupas kering. Tujuan dari tahap pengukusan ini adalah untuk menginaktivasi enzim lipoksigenase. Pada Gambar 8 dapat dilihat gambar kedelai yang digunakan dan tepung kedelai yang dihasilkan. Penelitian lain yang mengembangkan teknik pengolahan tepung kedelai (Mustakas et al, 1969) menyimpulkan bahwa inaktivasi enzim lipoksigenase merupakan tahapan yang penting untuk memperoleh tepung kedelai dengan citarasa yang baik. Penelitian ini menyebutkan adanya pembentukan
hidroperoksida selama perendaman kedelai dalam air dan bau tengik pada bungkil kedelai yang direndam hingga mencapai kadar air 25%.
Gambar 8 Biji kedelai var. Baluran (kiri) dan tepung kedelai (kanan). Pemanasan kering pada suhu 100oC atau penguapan (steaming) kedelai tanpa kulit dapat menginaktivasi lipoksigenase sehingga akan diperoleh tepung kedelai dengan citarasa yang baik setelah proses penggilingan.
2. Pembuatan Tepung Singkong Proses pembuatan tepung singkong meliputi tahap pengupasan, pembersihan,
pemotongan,
pencucian
dengan
air
bersih,
pemarutan,
pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Umbi singkong yang digunakan sebagai bahan baku memiliki usia sekitar 9-11 bulan. Kisaran usia umbi ini dipilih karena pada usia ini umbi singkong memiliki kandungan akumulasi karbohidrat yang maksimum dan sangat baik sebagai bahan baku tepung singkong (Alves, 2001). Pada Gambar 9 dapat dilihat gambar tepung singkong yang dihasilkan.
Gambar 9 Tepung Singkong. Konsumsi produk-produk bakery seperti roti, biskuit, cookies, dan lainlain semakin besar sehingga meningkatkan impor gandum untuk pemenuhan tepung terigu di negara tropis dimana gandum tidak dapat tumbuh dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu langkah untuk mengatasi permasalahan ini, salah satu solusinya adalah dengan mensubstitusi sebagian atau mengganti tepung terigu dalam pangan dengan tepung atau pati dari umbi, seperti singkong dan ubi jalar, dan serealia seperti sorgum, jagung, dan beras. Diantara semua jenis umbi-umbian, singkong merupakan pilihan yang paling baik karena memiliki rendemen yang tinggi dan harganya yang murah (Morton, 1988 di dalam Akingbala et al, 2009). Di Afrika, telah banyak dikembangkan produk bakery yang terbuat dari tepung komposit (terigu yang dicampur dengan tepung singkong), dengan begitu pendapatan negara dapat meningkat dengan berkurangnya impor gandum dari luar negeri.
3. Karakterisasi Bahan Baku Tahap karakterisasi bahan baku meliputi analisis proksimat bahan baku utama dan penentuan tingkat kematangan pisang yang digunakan. Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein (metode Kjeldahl), kadar lemak metode soxhlet, dan kadar karbohidrat (by difference).
Bahan baku yang dianalisis secara proksimat adalah tepung kedelai, tepung singkong, dan tepung terigu. Hasil analisis dinyatakan dalam % berat kering. Analisis kadar air dalam bahan pangan sangat penting dilakukan baik untuk bahan pangan segar maupun olahan. Analisis kadar air dalam bahan pangan sering menjadi tidak sederhana karena air dalam bahan pangan berada dalam bentuk terikat secara fisik atau kimia dengan komponen bahan pangan lainnya. Hasil analisis kadar air tepung kedelai yaitu sebesar 4.14 %, kadar air tepung singkong sebesar 8.88 %, dan kadar air tepung terigu sebesar 13.35 %. Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Hasil analisis kadar abu tepung kedelai sebesar 5.36 %, kadar abu tepung singkong sebesar 2.84 %, dan kadar abu tepung terigu sebesar 0.70 %. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tepung kedelai memiliki kandungan mineral yang paling tinggi dibanding tepung singkong dan tepung terigu, sedangkan tepung terigu memiliki total mineral paling rendah. Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak dari suatu bahan pangan, terdapat berbagai metode analisis kadar lemak, pada penelitian ini digunakan metode ekstraksi soxhlet. Hasil analisis kadar lemak tepung kedelai sebesar 24.66 %, kadar lemak tepung singkong sebesar 0.42 %, dan kadar lemak tepung terigu sebesar 5.28 %. Analisis protein metode Kjeldahl digunakan untuk menentukan kadar protein kasar dari bahan pangan. Metode ini didasarkan pada pengukuran nitrogen total yang ada dalam contoh. Kadar protein tepung kedelai adalah sebesar 41.70 %, kadar protein tepung singkong sebesar 1.49 %, dan kadar protein tepung terigu sebesar 11.76 %. Karbohidrat merupakan komponen utama bahan pangan yang memiliki sifat fungsional yang penting dalam proses pengolahan pangan. Total karbohidrat ditentukan dengan metode by difference. Kadar karbohidrat tepung kedelai adalah sebesar 24.14 %, kadar karbohidrat tepung singkong sebesar 86.37 %,
dan kadar karbohidrat tepung terigu sebesar 68.91 %. Nilai hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Data hasil analisis proksimat bahan baku (% bk)
Tepung Kedelai
Kadar air (%) 4.14
Kadar abu (%) 5.36
Kadar lemak (%) 24.66
Kadar protein (%) 41.70
Kadar karbohidrat by difference (%) 24.14
Tepung singkong
8.88
2.84
0.42
1.49
86.37
Tepung terigu
13.35
0.70
5.28
11.76
68.91
Sampel
Terdapat dua macam pisang ambon yang terkenal, yakni pisang ambon hijau dan pisang ambon kuning. Pisang ambon kuning kulitnya kuning menarik jika telah matang, sedangkan pisang ambon hijau kulitnya tetap hijau walaupun telah matang sehingga kurang disukai (Putra, 1994). Penelitian ini menggunakan pisang ambon kuning. Pisang ambon kuning dipilih karena warna daging buah yang putih kekuningan, tidak berbiji, rasanya manis, dan aroma pisangnya yang sangat tajam sehingga dapat menutupi aroma langu yang berasal dari tepung kedelai. Tingkat kematangan pisang dibagi berdasarkan umur dan bentuknya. Buah yang telah berumur 80 hari diberi istilah ¾ penuh, buah yang berumur 90 hari disebut lewat ¾ penuh, bila sudah mencapai 100 hari dinamakan penuh, dan setelah lebih dari 100 hari disebut retak penuh. Selama pematangan, terjdai perubahan visual pada kulit pisang yang dibedakan berdasarkan indeks warna dari 1-7, yaitu : 1. Hijau tua, 2. Hijau muda, 3. 50% hijau 50% kuning, 4. Kuning agak hijau, 5. Kuning dengan pangkal dan ujung hijau, 6. Kuning penuh, dan 7. Kuning bercak coklat. Penelitian ini menggunakan pisang berwarna kuning dengan pangkal dan ujung hijau, tingkat kematangannya sekitar ¾ penuh. Komposisi buah pisang berubah selama proses pematangan. Ada korelasi antara perbandingan kadar pati dan gula dengan warna kulit. Kandungan pati menurun dari 20-23 % pada daging buah pisang mentah menjadi hanya 1-2 % pada pisang matang penuh, sedangkan kandungan gula
dari 1 % pada pisang mentah menjadi hampir 20 % pada pisang matang (Palmer, 1971).
B. Penelitian Utama 1. Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars Formulasi produk pangan darurat menggunakan prinsip kesetimbangan massa. Dalam prinsip kesetimbangan massa, setiap bahan yang masuk (input) harus memiliki jumlah yang setara dengan akumulasi selama proses dan bahan yang keluar atau dihasilkan (output). Tahap formulasi menggunakan dasar dari rancangan percobaan. Penetuan level yang digunakan pada rancangan percobaan dilakukan melalui perhitungan perkiraan nilai target energi sekitar 233 kkal per 50 gram produk (Zoumas et al, 2002) dengan menggunakan data hasil analisis proksimat bahan baku dan literatur komposisi bahan pangan. Sehingga diharapkan formula yang dirancang dapat memenuhi kriteria nilai energi dan densitas kandungan makronutrien pangan darurat yaitu kandungan energi sebanyak 2100 kkal yang terdiri dari 35-45 % lemak dari total energi setara dengan 82-105 g/2100 kkal atau 8-9 g/50 gram produk, 10-15 % protein dari total energi setara dengan 63-80 g2100 kkal atau 9-12 g/50 gram produk dan 40-50 % karbohidrat dari total energi setara dengan 210-262 g/2100 kkal atau 23-29 g/50 gram produk (Zoumas et al, 2002). Asumsi konsumsi produk pangan darurat sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan sajian per konsumsi 3 bars (150 gram). Nilai energi dihitung berdasarkan jumlah makronutrien (protein, lemak, dan karbohidrat) dari setiap bahan penyusun kemudian dikalikan dengan nilai energi masing-masing makronutrien. Protein memiliki nilai energi sebesar 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat mengandung energi sebesar 4 kkal/gram. Kandungan energi dari setiap bahan penyusun produk pangan darurat dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan, didapatkan enam formula sebagai berikut: Formula 1 terbuat dengan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 2 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1), Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1). Perhitungan perkiraan nilai energi keenam formula dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, Lampiran 4, Lampiran 5, dan Lampiran 6. Tabel 7 Kandungan makronutrien dan energi bahan penyusun produk pangan darurat Bahan penyusun
Energi/100 gr (kkal)
Makronutrien
Air
Tepung kedelaia
481.88
Lemak (g) 23.68
Protein (g) 40.05
Karbohidrat (g) 27.14
3.98
Pisangb
109.80
0.20
1.20
25.80
72.00
Tepung Terigua
373.34
4.58
10.19
72.84
11.78
Tepung Singkonga Gulab
357.00
0.39
1.36
87.50
8.16
376.00
-
-
94.00
5.40
Margarinb
733.00
81.00
0.60
0.40
15.50
a
hasil analisis proksimat
b
Daftar Komposisi Bahan Pangan (Prawiranegara, 1981)
2. Pembuatan Produk dan Optimasi Suhu Pemanggangan Produk pangan darurat banana bars terbuat dari tepung kedelai, pisang, tepung terigu, tepung singkong, gula, margarin, dan garam. Tahap pertama dalam pembuatan produk ini adalah creaming margarin dan gula selama 10
menit hingga campuran berwarna putih pucat, lalu ditambahkan puree pisang (buah pisang yang telah dihancurkan dengan cara dicincang) kemudian mixing hingga tercampur dan merata. Tahap selanjutnya yaitu penambahan bahanbahan kering yang telah dicampur secara terpisah. Bahan-bahan kering terdiri dari tepung kedelai, tepung singkong, tepung terigu, dan garam. Kemudian adonan dicetak dengan cetakan alumunium dengan ukuran 10 cm x 3.3 cm x 1.5 cm. Tahapan terakhir yaitu pemanggangan bars pada suhu 150oC selama 15 menit (Sitanggang, 2008). Produk banana bars dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Banana Bars. Produk pangan darurat banana bars ini memiliki karakteristik adonan yang sangat basah karena kadar air pisang yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam proses pemanggangan, sehingga harus dilakukan penyesuaian suhu dan perlakuan tambahan yang diperlukan. Pada proses awal, pemanggangan banana bars dilakukan pada suhu 150oC selama 15 menit. Produk yang dihasilkan tidak matang di bagian tengah dan mengalami case hardening. Penggunaan suhu tinggi menyebabkan kehilangan air pada permukaan produk terjadi lebih cepat dibandingkan dengan bagian tengah produk sehingga bagian permukaan membentuk lapisan yang menghambat
pengeluaran air dari bagian tengah. Hal inilah yang menyebabkan produk tidak matang dibagian tengah namun keras dibagian luar. Pada trial selanjutnya suhu pemanggangan diturunkan menjadi 125oC dengan memperpanjang waktu pemanggangan menjadi 25 menit. Masalah yang sama juga terjadi pada suhu pemanggangan ini. Untuk mengatasinya dilakukan pemanggangan secara bertahap dimulai dari suhu 50oC 15 menit lalu 75oC 15 menit kemudian 100oC 10 menit dilanjutkan 125oC 10 menit. Tujuan pemanggangan secara bertahap adalah mengeluarkan sebagian besar air dari produk. Dengan pemanasan pada suhu rendah kemudian secara bertahap naik diharapkan air yang terperangkap pada bagian tengah produk dapat dikeluarkan sehingga produk memiliki kadar air dan tekstur yang baik, kisaran kadar air yang diinginkan sekitar 5 %. Pada trial selanjutnya dilakukan pengurangan ketebalan bars menjadi setengah dan sepertiganya (0.75 cm dan 0.5 cm) dengan perlakuan suhu 50oC 15 menit lalu 75oC 25 menit kemudian 100oC 25 menit diteruskan 110oC 20 menit. Hasilnya produk bars kering bagian dalamnya namun alot di bagian luar, kemudian dicoba untuk dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven pengering pada suhu 70-80oC selama 2-3 jam. Proses ini dapat meningkatkan kerenyahan produk bars namun dari segi harga produksi mahal. Selanjutnya dilakukan kembali trial tanpa menggunakan oven pengering dengan suhu pemanggangan pada
130oC selama 30 menit, tekstur yang
dihasilkan sangat renyah namun rasa yang dihasilkan menjadi pahit karena gosong. Lalu dilakukan juga trial dengan suhu pemanggangan 100oC 40 menit dilanjutkan 120oC 20 menit. Produk bars dengan proses ini memiliki tekstur yang cukup baik dan dapat diterima. Penggunaan kombinasi suhu ini dapat menghasilkan produk dengan kadar air yang diinginkan yaitu sekitar 5 %. Suhu 100oC selama 40 menit dapat mengeluarkan sebagian besar air dari produk tanpa menyebabkan case hardening kemudian suhu 120oC selama 20 menit bertujuan untuk mengeluarkan air tahap lanjutan dan mematangkan produk. Akhirnya proses pemanggangan pada suhu ini diputuskan menjadi suhu
pemanggangan akhir yang digunakan untuk memproduksi produk banana bars. Permasalahan utama bagian tengah produk yang agak basah juga dapat disebabkan oleh metode kriming. Ada dua jenis metode pembuatan krim, yaitu two stage-method dan three-stage method. Proses pembuatan krim two stagemethod adalah pembuatan krim dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu. Pencampuran dilakukan selama 4-10 menit sampai bahan padatannya terlarut dan membentuk krim. Setelah itu tepung dan bahan pengembang dicampurkan. Proses pembuatan krim two stage-method akan memberikan hasil yang kompak pada krim. Kualitas krim yang dihasilkan dilihat dari banyaknya udara yang
terinkorporasi
di
dalam
krim.
Udara
disini
berfungsi
untuk
mendispersikan komponen lainnya pada saat penambahan bahan lainnya. Oleh karena itu, ikatan jaringan antar bahan juga kuat yang akhirnya mempengaruhi penampakan produk (warna lebih gelap) dan memberikan kondisi yang agak basah pada bagian tengah produk (Matz and Matz, 1978). Three-stage method adalah metode pembuatan krim dengan membedakan penambahan pewarna, flavor, dan garam. Langkah pertama pembuatan krim diawali dengan mencampurkan bahan-bahan cair seperti lemak, air, dan shortening. Selanjutnya, ditambahkan dengan pewarna, flavor, dan garam, dilanjutkan dengan penambahan bahan pengembang. Bila dilihat dari pengertian kedua metode, maka metode kriming pada penelitian ini mendekati metode two-stage method yaitu mencampur gula dan lemak untuk membentuk krim kemudian dilanjutkan dengan penambahan bahan kering. Tahap pembuatan krim ini menyebabkan pemerangkapan udara yang berfungsi untuk mendispersikan komponen lain pada saat penambahan bahan lainnya. Komponen lain yang dimaksud salah satunya adalah air. Karena ikatan jaringan yang terbentuk sangat kuat menyebabkan air dalam adonan sulit untuk keluar ketika terjadi penetrasi panas saat pemanggangan. Sehingga kondisi produk banana bars ini menjadi agak basah pada bagian tengah.
3. Hasil Analisis Statistik Keenam formula produk banana bars kemudian dibuat prototype nya sebanyak dua kali ulangan dan dianalisis proksimat yang terdiri dari kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Berdasarkan data hasil analisis proksimat dilakukan perhitungan nilai kandungan energi aktual produk per 50 gram. Kandungan makronutrien dan energi tiap formula dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kandungan makronutrien dan energi tiap formula/50 gram produk Formula
Ulangan
Kadar protein (%)
Kadar Lemak (%)
Kadar Karbohidrat (%)
Nilai energi (kkal)
1
16.93
20.39
52.75
231.12
2
16.84
20.59
52.75
231.84
1
15.49
19.20
55.15
227.68
2
15.34
18.92
55.41
226.64
1
18.28
18.73
52.10
225.00
2
18.31
18.54
52.23
224.51
1
18.15
21.53
49.93
233.04
2
18.16
21.27
50.02
232.08
1
18.11
20.71
49.58
228.58
2
18.06
20.33
50.18
227.96
1
18.62
19.51
49.10
223.24
2
18.46
19.92
49.04
224.64
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Formula 6
Nilai energi ini kemudian menjadi respon untuk analisis secara statistik dengan menggunakan model Rancangan Faktorial dengan dua faktor. Namun, terdapat berbagai faktor lain selain faktor nilai energi yang digunakan sebagai alat pengambil keputusan formula terpilih. Hasil pengolahan data secara
statistik menunjukkan bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai energi. Untuk faktor rasio tepung terigu-tepung singkong terhadap respon nilai energi berpengaruh nyata pada taraf signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi. Hasil pengolahan data statistik secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Apabila dilihat dengan uji lanjut Duncan pada Lampiran 7, terlihat bahwa masing-masing taraf pada rasio tepung terigu-tepung singkong memberikan pengaruh nilai energi yang berbeda nyata, terlihat dari huruf yang berbedabeda untuk masing-masing taraf rasio tepung terigu-tepung singkong. Sehingga formula 4 berbeda nyata dari formula lainnya namun tidak berbeda nyata dengan formula 1, formula 5 berbeda nyata dari formula lainnya namun tidak berbeda nyata dengan formula 2, formula 3 berbeda nyata dari formula lainnya namun tidak berbeda nyata dengan formula 6 seperti terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor rasio tepung terigu:singkong. Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan formula terpilih selain nilai energi, misalnya dari segi ekonomis yaitu harga dan segi teknis yaitu proses pembuatan. Faktor
rasio tepung
kedelai-pisang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi maka diputuskan untuk mengambil faktor rasio antara tepung kedelaipisang 2:3. Pemilihan faktor rasio antara tepung kedelai-pisang 2:3 didasarkan pada pertimbangan harga yang lebih murah. Nilai rasio ini akan digunakan dalam pembuatan formula yang akan diuji secara organoleptik. Faktor rasio tepung terigu-tepung singkong tetap digunakan ketiga levelnya untuk menentukan jenis formula yang paling disukai.
4. Hasil Uji Sensori Setelah uji secara statistik, dilakukan uji organoleptik rating hedonik menggunakan 30 panelis semi terlatih untuk menentukan formula terpilih yang akan memasuki tahapan pendugaan umur simpan. Formula yang memasuki tahap organoleptik adalah Formula 1 (rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0)), Formula 2 (rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1)), dan Formula 3 (rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1)). Atribut yang diuji adalah atribut aroma, rasa, tekstur, dan overall. Tujuan uji organoleptik tahap ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga formula yang mengandung rasio tepung terigu-tepung singkong berbeda. Uji rating hedonik ini menggunakan skala 1-5 (1: sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: netral, 4: suka, 5: sangat suka). Form uji hedonik terdapat pada Lampiran 8 dan hasil pengolahan data organoleptik dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 9. Pada Tabel 9 dapat dilihat nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut sensori.
Tabel 9 Nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut sensori Atribut Sensori Aroma Rasa Tekstur Overall
F1 3.6 3.7 2.7 3.2
F2 3.5 3.5 2.9 3.3
F3 3.6 3.6 3.0 3.5
4.1 Atribut Aroma Salah satu pengujian kesukaan produk pangan dapat dilakukan dengan pengujian aroma. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan indera penciuman/pembau. Aroma makanan banyak menetukan kelezatan makanan tersebut dan pembauan dapat mengenal enak tidaknya satu makanan (Winarno, 1997). Hasil analisis ragam seperti dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut aroma.
4.2 Atribut Rasa Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk. Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997). Hasil analisis ragam seperti dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut rasa.
4.3 Atribut Tekstur Tekstur merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh pada penerimaan konsumen selain atribut aroma, rasa, dan warna. Tekstur berkaitan dengan proses konsumsi pangan. Hasil analisis ragam seperti
dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut tekstur.
4.4 Atribut Overall Penentuan formula terpilih didasarkan pada atribut overall. Atribut overall menggambarkan tingkat penerimaan panelis secara menyeluruh terhadap produk, baik dari segi aroma, rasa maupun tekstur. Hasil analisis ragam seperti dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut overall. Berdasarkan hasil keseluruhan uji organoleptik dapat ditarik kesimpulan bahwa substitusi atau penggantian tepung terigu dengan tepung singkong sebagai bahan baku banana bars tidak memberikan perbedaan penerimaan panelis, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan lokal memiliki potensi yang sangat besar untuk produk pangan darurat sehingga produk ini juga dapat dikembangkan dan diproduksi oleh daerah. Pembuatan produk pangan darurat oleh daerah akan meningkatkan ketahanan pangan daerah tersebut dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Selain itu, penggunaan bahan lokal dapat menekan harga produksi produk pangan darurat. Namun, dengan mempertimbangkan segala aspek baik dari segi ekonomis maupun teknis diputuskan untuk memilih Formula 3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan rasio tepung terigu singkong (1:1)) sebagai formula terpilih yang akan memasuki tahap pendugaan umur simpan. Formula 3 yang akan memasuki tahap pendugaan umur simpan kemudian dianalisis kembali untuk mengetahui kandungan nilai energi akhir. Produk akhir ini memiliki kadar air sebesar 4.87 %, kadar abu sebesar 3.38 %, kadar protein sebesar 16.31 %, kadar lemak sebesar 18.94
%, dan kadar karbohidrat sebesar 56.5 %. Jumlah makronutrien dan kandungan energinya dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan data pada Tabel 10, terlihat bahwa produk pangan darurat banana bars telah memenuhi persyaratan kandungan makronutrien yaitu terdiri dari 35-45 % lemak, 10-15 % protein dan 40-50 % karbohidrat dari total energi (Zoumas et al., 2002). Persentase kandungan makronutrien produk ini memasuki kisaran yang disyaratkan. Produk banana bars mengandung 14.15 % protein dari total energi, 36.92 % lemak dari total energi, dan 48.94 % karbohidrat dari total energi. Total energinya sebesar 230.85 kkal/50 gram produk. Tabel 10 Jumlah Makronutrien dan Kandungan Energi Formula Terpilih / 50 gram produk Kadar air (g) 2.435 Nilai energi makronutrien (kkal) % makronutrien dari total energi
Kadar Protein (g) 8.155
Kadar Lemak (g) 9.47
Kadar Kabohidrat (g) 28.25
32.62
85.23
113
14.15 %
36.92 %
48.94 %
Nilai Energi (kkal) 230.85
Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI pada tahun 2003 mengenai Pedoman Pelabelan Pangan, terdapat beberapa klaim mengenai kandungan gizi. Klaim tersebut terbagi menjadi pangan berkalori, pangan rendah kalori, pangan kurang kalori dan pangan tanpa kalori.
Pangan berkalori apabila pangan tersebut dapat memberikan
minimum 300 kkal per hari. Pangan rendah kalori apabila pangan tersebut mengandung kurang atau sama dengan 40 kkal per saji. Pangan kurang kalori apabila pangan tersebut sedikitnya mengandung 25% kalori lebih rendah dari jumlah kalori dalam pangan sejenis per saji. Pangan tanpa kalori apabila pangan tersebut mengandung kurang dari 5 kkal per saji. Produk pangan darurat banana bars memiliki kandungan energi 230.85/50 gram atau setara dengan 2077.65 kkal/hari, nilai total energi produk ini
telah melampaui nilai energi minimum yang ditetapkan oleh BPOM sehingga pangan ini dapat disebut sebagai pangan berkalori.
5.
Perubahan Mutu Produk selama Penyimpanan Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan (Arpah, 2001). Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis (Arpah, 2001).
5.1 Parameter Kadar Air Air merupakan komponen utama dalam bahan makanan yang mempengaruhi rupa, tekstur maupun citarasa bahan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan suatu bahan makanan, kesegaran, dan daya tahan suatu bahan (Winarno, 1997).
Selama
penyimpanan, kadar air produk banana bars cenderung mengalami kenaikan. Pada keadaan awal, kadar air produk ini sebesar 4.87 %. Setelah penyimpanan selama 28 hari, kadar air produk naik hingga mencapai 8.38 %. Pola perubahan kadar air pada produk yang disimpan di 37oC cenderung tidak konstan namun mengalami kenaikan. Sedangkan pola kenaikan kadar
air pada produk yang disimpan di suhu 45oC dan 50oC memiliki kecenderungan yang sama. Pada akhir masa penyimpanan, produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki kadar air sebesar 7.93 %. Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki nilai kadar air sebesar 7.835 %, sedangkan produk yang disimpan pada suhu 50oC memiliki kadar air sebesar 8.38 %. Peningkatan kadar air dapat meningkatkan laju reaksi deteriorasi dengan cepat. Produk pangan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok dalam hubungannya dengan perubahan kadar air selama penyimpanan yaitu : pertama, produk pangan yang menyerap uap air dan kedua adalah produk pangan yang mengalami kehilangan kandungan air. Makanan kering mengalami kerusakan jika menyerap uap air yang berlebihan. Kerusakan ini cukup kompleks karena dapat melibatkan atau memicu berbagai jenis reaksi deteriorasi lain yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, reaksi oksidasi dan reaksi pembentukan off-flavor yang dapat menurunkan mutu pangan (Arpah, 2001). Nilai peningkatan kadar air selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Pola kenaikan kadar air selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 11 Nilai peningkatan kadar air selama penyimpanan Suhu
37oC
Hari ke-
Kadar air (%)
Hari ke-
Kadar air (%)
Hari ke-
Kadar air (%)
0
4.87
0
4.87
0
4.87
7
5.98
7
5.10
7
5.11
14
4.72
14
5.76
14
5.14
21
5.52
21
5.79
21
6.52
28
7.93
28
7.84
28
8.38
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 12 Grafik Pola Kenaikan Kadar Air selama Penyimpanan
5.2 Parameter Aktifitas Air (aw) Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan pangan terhadap serangan mikroba, yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya ataupun untuk reaksi kimiawi. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik. Namun nilai aw juga dapat mempengaruhi berbagai reaksi yang terjadi dalam pangan seperti oksidasi lipid, pencoklatan non-enzimatik, reaksi hidrolitik dan aktivitas enzim (Winarno, 1997). Sehingga nilai aw menjadi suatu hal yang sangat penting yang menentukan tingkat keawetan suatu produk pangan. Nilai aw pada produk awal sebelum disimpan adalah 0.464. Kemudian selama penyimpanan 28 hari nilai aw produk yang disimpan di ketiga suhu (37oC, 45oC, dan 50oC) mengalami kenaikan. Pola kenaikan cenderung stabil, tidak mengalami fluktuasi yang besar. Pada akhir masa penyimpanan, produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki aw sebesar 0.568. Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki nilai aw sebesar 0.613, sedangkan produk yang disimpan pada suhu 50oC memiliki aw sebesar 0.623. Nilai aw meningkat seiring dengan peningkatan kadar air walaupun tidak berbanding secara lurus. Peningkatan kadar air yang tinggi
tidak menentukan kenaikan nilai aw yang juga tinggi. Nilai aw mencerminkan air bebas yang ada dalam bahan pangan. Makin tinggi nilai aw dapat memicu kerusakan secara mikrobiologis maupun kimiawi. Batas nilai aw pada produk kering yaitu pada aw sekitar 0.6 untuk mencegah kerusakan mikrobiologis oleh khamir osmofilik. Pola kenaikan nilai aw selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai peningkatan nilai aw selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai peningkatan nilai aw selama penyimpanan Suhu
37oC
Hari ke-
Nilai aw
Hari ke-
Nilai aw
0.46
0
0.46
0
0.46
7
0.53
7
0.47
7
0.44
14
0.46
14
0.57
14
0.48
21
0.57
21
0.60
21
0.61
28
0.57
28
0.61
28
0.62
Hari ke-
Nilai aw
0
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 13 Grafik Pola Kenaikan Nilai aw selama Penyimpanan.
5.3 Parameter Tekstur Objektif Tekstur makanan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur makanan dan berhubungan dengan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang diberikan (sifat reologi), dan
diukur secara subjektif dengan indera
pengecap, pendengar, dan penglihat. Tekstur makanan juga dapat diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan, dan waktu (Sitanggang, 2008). Tekstur suatu produk pangan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penerimaannya oleh konsumen. Setiap jenis produk bakery memiliki variasi berdasarkan karakteristik teksturnya, tidak hanya berdasarkan komposisi dan sifat fisik bahan penyusunnya namun juga ukuran dan bentuk
udara yang terkandung didalamnya
(Coppock dan Cornford, 1960). Pengukuran tekstur secara objektif untuk produk banana bars ini menggunakan alat Rheoner dengan probe jarum. Atribut yang diukur adalah kekerasan/keteguhan (hardness/firmness) yaitu menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai suatu gaya. Spesifikasi pengaturan alat ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada keadaan awal, nilai kekerasan produk ini sebesar 1387.5 gramforce. Setelah penyimpanan selama 28 hari, nilai kekerasan produk turun hingga mencapai 512.5 gramforce. Pola perubahan nilai kekerasan pada produk yang disimpan di 37oC cenderung menurun namun tidak tajam. Sedangkan pola penurunan nilai kekerasan pada produk yang disimpan di suhu 45oC dan 50oC memiliki kecenderungan yang mirip. Pada akhir masa penyimpanan, produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki nilai kekerasan sebesar 1050 gramforce. Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki nilai kekerasan sebesar 512.5 gramforce, sedangkan produk yang disimpan pada suhu 50oC memiliki nilai kekerasan sebesar 537.5 gramforce. Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa : a). pengempukan; b). retrogradasi; c). stalling; d). perubahan kekentalan; e). pengendapan; f). perubahan stabilitas dan pecahnya emulsi; g). pemasiran dan masih banyak lagi penyimpangan lainnya. Penyimpangan-
penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur aslinya, seperti pada awal produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak diterima oleh konsumen. Pada pangan produk bakery, kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur (Arpah, 2001). Misalnya reaksi oksidasi lemak dan pencoklatan non-enzimatis dapat mengakibatkan degradasi protein sehingga produk menjadi alot (Labuza, 1982). Jika dihubungkan dengan tren perubahan kadar air, maka nilai kekerasan semakin menurun karena kandungan air dalam produk yang meningkat sehingga karakteristik renyah produk hilang (produk menjadi melunak) menyebabkan nilai kekerasannya menurun (Cauvain dan Young, 2000). Pola penurunan nilai kekerasan dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai kekerasan selama penyimpanan terdapat pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai kekerasan selama penyimpanan Suhu
37oC
Hari ke-
Nilai kekerasan (gforce)
Hari ke-
Nilai kekerasan (gforce)
Hari ke-
Nilai kekerasan (gforce)
0
1387.5
0
1387.5
0
1387.5
7
1400
7
1400
7
1350
14
1350
14
1362.5
14
1325
21
1100
21
1350
21
1287.5
28
1050
28
512.5
28
537.5
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 14 Grafik Pola Penurunan Nilai Kekerasan selama Penyimpanan.
5.4 Parameter Organoleptik Penilaian parameter organoleptik adalah untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik. Uji hedonik dilakukan selama penyimpanan dengan parameter yang diuji yaitu aroma, rasa, dan tekstur. Skala yang digunakan adalah skala 1-7 (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka).
a. Atribut Aroma Pada awal penyimpanan, skor kesukaan panelis terhadap atribut aroma produk banana bars yang disimpan pada tiga suhu penyimpanan (37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar pada skor kesukaan 5.1 (agak suka). Setelah mengalami penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan terhadap atribut aroma banana bars yang disimpan pada suhu 37oC dan 45oC cenderung memiliki pola menurun yang mirip, sedangkan pola penurunan mutu produk yang disimpan pada suhu 50oC agak lebih tajam
dibandingkan kedua suhu penyimpanan lainnya. Skor kesukaan produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki pola penurunan yang sedikit, skor kesukaannya berkisar 5.1 (agak suka) – 4.6 (agak suka). Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki pola menurun yang agak tajam, skor kesukaannya berkisar dari 5.1 (agak suka) – 4.3 (netral) dan produk yang disimpan pada suhu 50oC menurun dari 5.1 (agak suka) – 3.8 (netral). Perubahan aroma adalah masalah yang sensitif di dalam produk pangan, hal ini disebabkan daya deteksi oleh sel-sel pembau di dalam hidung yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Terbentuknya beberapa molekul offflavor pada produk akan dapat dengan segera merusak flavor secara keseluruhan. Reaksi deteriorasi yang banyak menyebabkan penurunan mutu produk pangan setelah produksi adalah reaksi oksidasi lemak yang menyebabkan terbentuknya komponen volatil yang bertanggung jawab terhadap timbulnya off-flavor. Penyebab reaksi oksidasi adalah oksigen yang terdapat di udara, peroksida, suhu, logam dan oksidator lainnya. Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawaan kimia akan semakin cepat. Produk banana bars mengandung lemak yang cukup tinggi, sebagian besar berasal dari margarin dan tepung kedelai. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka reaksi oksidasi lemak akan semakin cepat berlangsung dan dengan demikian akan semakin cepat terjadi ketengikan (Syarief, 1993). Perubahan nilai aw juga memiliki pengaruh terhadap oksidasi. Pada aw rendah (di bawah nilai aw monolayer) laju oksidasi menurun dengan meningkatnya aw. Laju reaksi oksidasi ini mendekati minimum sekitar aw monolayer kemudian laju oksidasi kembali meningkat dengan meningkatnya aw (Labuza, 1975). Pengaruh aw terhadap oksidasi lipid adalah dengan mempengaruhi konsentrasi dari radikal bebas yang
menginisiasi reaksi. Jumlah air yang tersedia juga mempengaruhi derajat kontak dan mobilisasi reaktan (Leung, 1987). Pada Gambar 15 dapat dilihat pola penurunan skor kesukaan panelis terhadap atribut aroma. Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut aroma dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Penurunan skor parameter organoleptik atribut aroma Suhu
37oC
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
0
5.1
0
5.1
0
5.1
7
4.9
7
4.6
7
4.4
14
5.0
14
4.9
14
4.6
21
4.8
21
4.6
21
3.9
28
4.6
28
4.3
28
3.8
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 15 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut Aroma pada 3 suhu penyimpanan. b.
Atribut Rasa Pada awal penyimpanan, skor kesukaan panelis terhadap atribut rasa produk banana bars yang disimpan pada tiga suhu penyimpanan (37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar pada skor kesukaan 5.5 (agak suka – suka). Setelah masa penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan
terhadap atribut rasa banana bars yang disimpan pada suhu 37oC memiliki pola yang naik turun, sedangkan pola mutu produk yang disimpan pada suhu 45oC dan 50oC mengalami penurunan yang agak mirip. Penurunan skor kesukaan pada kedua suhu ini lebih tajam dibandingkan dengan penurunan skor kesukaan pada suhu penyimpanan 37oC. Skor kesukaan produk yang disimpan pada suhu 37oC berkisar 5.5 (agak suka) – 4.8 (agak suka). Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki pola menurun yang agak tajam, skor kesukaannya berkisar dari 5.5 (agak suka) – 4.2 (netral) dan produk yang disimpan pada suhu 50oC menurun dari 5.5 (agak suka) – 3.4 (agak tidak suka). Pola perubahan kesukaan panelis dapat disebabkan oleh berbagai hal. Produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki pola penurunan yang tidak terlalu tajam hal ini dikarenakan perubahan rasa produk tidak berubah secara signifikan dari rasa awal produk, rasa pisang masih mendominasi. Pada produk yang disimpan pada suhu 45oC, penurunan kesukaan panelis cukup tajam, hal ini disebabkan perubahan rasa yang cukup berbeda dari rasa awal, mulai timbul rasa asam yang tipis pada produk. Produk yang disimpan pada suhu 50oC mengalami penurunan tingkat kesukaan yang tajam, hal ini disebabkan rasa produk berbeda dengan rasa awal produk, timbul rasa agak asam walaupun rasa pisang masih tersisa pada produk. Selain itu, peningkatan suhu penyimpanan dapat meningkatkan laju reaksi kimia maupun mikrobiologi yang menyebabkan degradasi atribut mutu produk salah satunya rasa. Pada Gambar 16 dapat dilihat pola penurunan skor kesukaan panelis terhadap atribut rasa. Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut rasa dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut rasa Suhu
37oC
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
0
5.5
0
5.5
0
5.5
7
4.8
7
5.2
7
5.0
14
5.1
14
4.9
14
4.4
21
5.1
21
4.6
21
3.6
28
4.8
28
4.2
28
3.4
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 16 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut Rasa pada 3 suhu penyimpanan.
c. Atribut Tekstur Tekstur suatu produk pangan merupakan faktor penting yang mempengaruhi penerimaannya oleh konsumen. Pada awal penyimpanan, skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur produk banana bars yang disimpan pada tiga suhu penyimpanan (37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar pada skor kesukaan 3.3 (agak tidak suka – netral). Setelah mengalami penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan terhadap atribut tekstur banana bars yang disimpan pada ketiga suhu yaitu 37oC, 45oC, dan
50oC memiliki pola yang naik turun (tidak konstan menurun). Skor kesukaan produk yang disimpan pada suhu 37oC berkisar 3.3 (agak tidak suka) – 2.7 (agak tidak suka). Produk yang disimpan pada suhu 45oC skor kesukaannya berkisar dari 3.3 (agak tidak suka) – 3.2 (agak tidak suka) dan produk yang disimpan pada suhu 50oC menurun dari 3.3 (agak tidak suka) – 3.0 (agak tidak suka). Pada Gambar 17 dapat dilihat pola penurunan skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur. Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut tekstur dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut tekstur Suhu
37oC
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
Hari ke-
Skor kesukaan
0
3.3
0
3.3
0
3.3
7
2.7
7
3.8
7
3.9
14
4.3
14
4.1
14
3.6
21
3.5
21
3.3
21
3.0
28
3.0
28
3.2
28
3.2
Suhu
45oC
Suhu
50oC
Gambar 17 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap Atribut tekstur pada 3 suhu penyimpanan.
6.
Pendugaan Umur Simpan Salah satu faktor mutu makanan yang terpenting adalah citarasa atau flavor. Perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan makanan perlu dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap atribut tersebut (Syarief, 1993). Untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode Arrhenius diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Uji pendugaan umur simpan untuk produk bars ini menggunakan metode akselerasi model Arrhenius. Produk disimpan pada tiga jenis suhu yaitu 37 oC, 45oC, dan 50oC selama empat minggu. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu. Parameter yang diamati meliputi parameter sensori terhadap atribut aroma, rasa, dan tekstur, parameter kadar air, parameter nilai aw, dan parameter tekstur objektif. Untuk parameter sensori dilakukan uji rating hedonik dengan menggunakan 28 orang panelis tetap. Skala penilaian yang digunakan adalah skala 1-7 (1: sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak tidak suka, 4: netral, 5: agak suka, 6: suka, 7: sangat suka). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada Lampiran 11. 6.1 Penentuan Nilai Kritis Nilai kritis kerusakan produk banana bars untuk atribut sensori adalah nilai penerimaan dengan skala 2. Nilai kritis untuk paramete aw adalah 0.6, nilai ini ditentukan berdasarkan kisaran nilai aw untuk produk kering yaitu sekitar 0.2 - 0.6 (Zoumas et al, 2002). Nilai kritis kekerasan sebesar 512.5 gramforce ketika penilaian penelis berada pada skor yang paling rendah. Nilai kritis kadar air yaitu sebesar 8.38 % ditentukan ketika kekerasan mencapai nilai minimum. Pada Tabel 17 dapat dilihat nilai awal dan nilai kritis berdasarkan beberapa parameter.
Tabel 17 Nilai Awal dan Nilai Kritis Berdasarkan Beberapa Parameter Parameter Sensori (Aroma) Sensori (Rasa) Sensori (Tekstur) Kadar Air Tekstur Objektif
Nilai Awal 5.1 5.5 3.3 4.87 % 1387.5 gr force
Nilai Kritis 2 2 2 8.38 % 512.5 gr force
6.2 Pendugaan Umur Simpan Beberapa Parameter Pengolahan data uji pendugaan umur simpan diawali dengan mencari rataan skor (nilai) dari tiap parameter, lalu diplotkan terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu penyimpanan. Untuk ordo 0, nilai rataan diplotkan terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu. Untuk ordo 1, nilai rataan dibuat menjadi bentuk ln terlebih dahulu kemudian diplotkan terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu. Hasil plot ini akan memberikan grafik dengan persamaan linear. Ordo reaksi ditentukan dengan melihat nilai R2 yang lebih besar. Grafik ordo nol dan ordo satu tiap parameter dapat dilihat pada Lampiran 13.
a. Parameter Kadar Air Berdasarkan grafik, diperoleh nilai R2 yang lebih besar pada reaksi ordo satu. Untuk selanjutnya perhitungan umur simpan atribut kadar air akan menggunakan ordo satu. Slope yang diperoleh dari ketiga grafik merupakan nilai k masing-masing suhu. Nilai k ini harus diubah kedalam bentuk ln lalu diplotkan dengan suhu penyimpanan dalam bentuk 1/T. Nilai k dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan Suhu Penyimpanan 37
T
1/T
ln k
K
310
0.003226
-4.42285
0.012
45
318
0.003145
-4.19971
0.015
50
323 0.003096 -3.96332 0.019 k = konstanta penurunan suhu T = suhu penyimpanan (Kelvin) Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, maka diperoleh grafik seperti Gambar 18.
Gambar 18 Grafik Hubungan ln k rata-rata kadar air dengan suhu (1/T). Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 18, maka dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : y = -3458 x + 6.719 ln k = -3458 (1/T) + 6.719 Dari persamaan dapat diperoleh ln k dengan memasukkan nilai 1/T (28oC):
y = -3458 (0.003322259) + 6.719 y = -4.769371622 maka k = Arc ln y = 0.008485711
Pada awal penyimpanan tingkat kesukaan parameter kadar air produk banana bars adalah 4.87 % dan nilai kritisnya adalah 8.38 %. Reaksi
menggunakan ordo satu maka umur simpan produk pada suhu penyimpanan 28oC adalah : t = (ln Qt – ln Qo) / k t = 0.542753977/0.008485711 t = 63.960.93327 hari = 2.13 bulan Dengan cara yang sama diperoleh perhitungan pendugaan umur simpan produk pada suhu penyimpanan 37oC, 45oC dan 50oC : k 37oC = 0.011845146 t 37oC = 45.82079399 hari = 1.53 bulan k 45oC = 0.015682442 t 45oC = 34.60902164 hari = 1.15 bulan k 50oC = 0.018557495 t 50oC = 29.24715802 hari = 0.97 bulan b. Parameter nilai aw Parameter nilai aw tidak dijadikan sebagai parameter pendugaan umur simpan. Hal ini disebabkan perubahan nilai aw lebih cocok digunakan sebagai parameter umur simpan dengan model pendekatan kadar air kritis atau pendekatan kurva sorpsi isotherm dimana kerusakan produk semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari lingkungan hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima oleh konsumen, sehingga perubahan aw menjadi hal yang signifikan. Namun, pada penelitian ini perubahan nilai aw tetap dijadikan sebagai tolok ukur produk banana bars agar berada dalam batas kisaran aw yang ditentukan (sekitar 0.4-0.6) untuk memastikan keamanan produk ketika dikonsumsi selama masa penyimpanan. Alasan lain adalah kisaran nilai aw berupa angka desimal yang nilainya kurang dari 1, ketika nilai aw diubah dalam
bentuk ln menghasilkan nilai yang negatif sehingga tidak dapat digunakan untuk perhitungan umur simpan.
c. Parameter Tekstur Objektif Berdasarkan grafik, diperoleh nilai R2 yang lebih besar pada reaksi ordo nol. Untuk selanjutnya perhitungan umur simpan atribut tekstur objektif akan menggunakan ordo nol. Slope yang diperoleh dari ketiga grafik merupakan nilai k masing-masing suhu. Nilai k ini harus diubah kedalam bentuk ln lalu diplotkan dengan suhu penyimpanan dalam bentuk 1/T. Nilai k dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan Suhu Penyimpanan 37
T
1/T
ln k
K
310
0.003226
2.633327
13.92
45
318
0.003145
3.24688
25.71
50
323 0.003096 3.225653 k = konstanta penurunan suhu T = suhu penyimpanan (Kelvin)
25.17
Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, maka diperoleh grafik seperti Gambar 19.
Gambar 19 Grafik Hubungan ln k rata-rata nilai kekerasan dengan suhu(1/T) .
Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 19, maka dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut : y = -4868x + 18.39 ln k = -4868 (1/T) + 18.39 Dari persamaan dapat diperoleh ln k dengan memasukkan nilai 1/T (28oC): y = -4868 (0.003322259) + 18.39 y = 2.217243188 maka k = Arc ln y = 9.181982941 Pada awal penyimpanan nilai kekerasan produk banana bars adalah 1387.5 gr force dan nilai kritisnya adalah 512.5 gr force. Reaksi menggunakan ordo nol maka umur simpan produk pada suhu penyimpanan 28oC adalah : t = (Qt – Qo) / k t = 875/9.181982941 t = 95.29531971 hari = 3.17 bulan Dengan cara yang sama diperoleh perhitungan pendugaan umur simpan produk pada suhu penyimpanan 37oC, 45oC dan 50oC : k 37oC = 14.68426323 t 37oC
= 59.58759974 hari = 1.99 bulan
k 45oC = 21.79813309 t 45oC
= 40.14105228 hari = 1.34 bulan
k 50oC = 27.62700399 t 50oC
= 31.67191058 hari = 1.06 bulan
Dari hasil pengolahan data pendugaan umur simpan, diperoleh umur simpan produk banana bars yang berbeda-beda berdasarkan tiap parameter. Umur simpan banana bars berdasarkan parameter kadar air, dan tekstur objektif dapat dilihat pada Lampiran 14.
d. Parameter Sensori Parameter sensori untuk atribut aroma memiliki persamaan Arrhenius y = -9028x + 23.23 dengan R2 sebesar 0.914. Jika produk pangan darurat banana bars disimpan pada suhu 28oC maka umur simpan produk ini adalah 27.06 bulan. Parameter sensori untuk atribut rasa memiliki persamaan y = -12900x + 37.43 dengan nilai R2 0.996 dan memiliki umur simpan produk pada suhu 28oC sekitar 43.17 bulan. Sedangkan parameter sensori atribut tekstur tidak memiliki persamaan Arrhenius karena nilai R2 untuk kedua ordo reaksi sangat kecil. Hasil pengujian parameter sensori dapat memperlihatkan bahwa penurunan mutu atribut aroma dan rasa produk banana bars stabil, dapat dilihat dari tren kenaikan nilai k yang menunjukkan bahwa penurunan mutu produk konsisten. Ada beberapa kriteria dalam pemilihan parameter mutu untuk menentukan umur simpan suatu produk yaitu : 1. Parameter mutu yang paling cepat mengalami penurunan selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (R2) yang paling besar, 2. Parameter mutu yang paling sensitif terhadap perubahan suhu, yang dilihat dari nilai slope persamaan Arrhenius atau dapat dilihat dari energi aktivasi yang paling rendah, 3. Bila terdapat lebih dari salah satu parameter mutu yang memenuhi kriteria, maka dipilih parameter mutu yang memiliki umur simpan paling pendek (Hariyadi et al, 2004). Jika dilihat dari ketentuan pertama maka parameter mutu sensori atribut rasa dan aroma memiliki nilai koefisien korelasi yang besar. Hasil uji umur simpan untuk kedua atribut juga memenuhi persyaratan umur simpan pangan darurat yaitu sekitar dua tahun. Namun, parameter sensori untuk kedua atribut aroma dan atribut rasa diputuskan untuk tidak digunakan dalam perhitungan pendugaan umur simpan produk banana bars. Hal ini disebabkan uji sensori yang digunakan yaitu rating hedonik tidak dapat menggambarkan pola kerusakan produk yang
sebenarnya. Penurunan nilai kesukaan panelis tidak berkolerasi secara linear
dengan
pengujian
parameter
secara
objektif.
Misalnya
peningkatan kadar air pada produk yang menyebabkan penurunan tingkat kekerasan bisa saja memiliki tingkat kesukaan panelis yang tinggi.
Tingkat
kesukaan
panelis
bersifat
subjektif
dan
pola
perubahannya tidak konsisten sehingga hasil perhitungan umur simpan yang didapatkan tidak tepat. Parameter mutu kadar air memiliki koefisien korelasi sebesar 0.974. Parameter mutu tekstur objektif memiliki koefisien korelasi sebesar 0.840. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan menurut Hariyadi et al (2004), parameter kadar air digunakan sebagai parameter mutu pendugaan umur simpan pangan darurat karena memiliki umur simpan yang lebih pendek dan nilai koefisien korelasi yang lebih besar dibandingkan
dengan
parameter
kekerasan
objektif.
Dengan
menggunakan kadar air sebagai parameter mutu penyimpanan, jika produk disimpan pada suhu 28oC, produk pangan darurat banana bars memiliki umur simpan selama 2.13 bulan. Hal ini dapat disebabkan kenaikan kadar air yang cukup besar selama penyimpanan sehingga pola kenaikan yang cukup tajam menurunkan daya awet produk ini. Kenaikan kadar air ini dapat disebabkan oleh teknik pengemasan yang digunakan. Teknik pengemasan pada penelitian ini adalah dengan merapatkan kemasan metallized plastic menggunakan sealer. Uap air dari lingkungan dapat berdifusi masuk melalui keliman yang tidak rapat, sehingga terjadi peningkatan kadar air. Nilai umur simpan ini sebenarnya belum memenuhi kriteria yang disyaratkan untuk produk pangan darurat yaitu sekitar 36 bulan atau 3 tahun pada suhu penyimpanan 21oC (Zoumas et al, 2002). Untuk itu dibutuhkan teknik pengemasan lain yang dapat meningkatkan umur simpan produk.
7. Hasil Uji Mikrobiologi Uji mikrobiologi yang dilakukan untuk produk ini adalah uji total mikroba (TPC) dan uji total kapang-khamir. Hasil uji H-0 menunjukkan bahwa produk pangan darurat banana bars memiliki total mikroba 2.3x102 koloni/gram, sedangkan untuk total kapang-khamir sebesar 1.0 x 101 koloni/gram. Menurut SNI no. 01-2973-1992 untuk produk cookies, disyaratkan jumlah total mikroba maksimum sebesar 1 x 106 koloni/gram dan jumlah
total
kapang-khamir
sebesar
1x102
koloni/gram.
Dengan
membandingkan standar SNI dan kandungan total mikroba dan kapang-khamir yang dikandung dalam produk, maka produk pangan darurat banana bars ini aman dikonsumsi oleh manusia. Pengujian mikrobiologi juga dilakukan pada hari penyimpanan ke-28. Hasil uji menunjukkan jumlah total mikroba pada produk yang disimpan di suhu 37oC sebesar 6.9x102 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu 45oC nilai TPC sebesar 7.5x102 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x102 koloni/gram. Hasil uji total Kapang-Khamir produk yang disimpan di suhu 37oC sebesar 2.4x101 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu 45oC sebesar 4.5x101 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x101 koloni/gram. Nilai TPC maupun nilai Total Kapang-Khamir untuk hari penyimpanan ke-28 masih berada dalam batas aman untuk konsumsi manusia sesuai dengan yang ditetapkan di dalam SNI. 8. Hasil Analisis Biaya Perhitungan biaya produksi banana bars hanya dihitung berdasarkan biaya bahan baku dan biaya operasional (biaya pemakaian oven). Rincian perkiraan biaya dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Perkiraan biaya produksi banana bars Bahan baku
Harga
Tepung Kedelai Rp 9.88/gram Pisang Rp 500.00/buah Tepung Terigu Rp 11.40/gram Tepung singkong Rp 5.00/gram Gula Rp 16.00/gram Margarin Rp 18.00/gram Garam Rp 5.00/gram Jumlah Total Biaya Bahan Baku Total Adonan Berat produk akhir 50 gram maka FP Harga Oven Baking Rp 20000/jam Biaya Baking/50 gram Biaya Produksi/50 gram
Jumlah (gram)
Jumlah Biaya (Rp)
200 300 25 25 160 100 1.25
1976 2500 285 125 2560 1800 6.25 9252.25
811.25 11.97
772.95
357.14 1130.09
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Tepung kedelai yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 70.83 %. Tepung singkong yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 40 %. Hasil analisis tepung kedelai melputi kadar air sebesar 4.14 %, kadar abu sebesar 5.36 %, kadar protein sebesar 41.70 %, kadar lemak 24.66 %, dan kadar kabohidrat sebesar 24.14 %. Rendemen tepung singkong yang dihasilkan sekitar 40 %. Hasil analisis tepung singkong meliputi kadar air sebesar 8.88 %, kadar abu sebesar 2.84 %, kadar protein sebesar 0.42 %, kadar lemak 1.49%, dan kadar kabohidrat sebesar 86.37 %. Hasil analisis tepung terigu meliputi kadar air sebesar 13.35 %, kadar abu sebesar 0.70 %, kadar protein sebesar 5.28 %, kadar lemak 11.76 %, dan kadar kabohidrat sebesar 68.91 %. Tahap formulasi menghasilkan enam formula. Formula 1 terbuat dengan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 2 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1), Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1). Hasil pengolahan data secara statistik untuk keenam formula banana bars menunjukkan bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai energi. Untuk faktor rasio tepung terigu-tepung singkong, berpengaruh nyata terhadap respon nilai energi pada taraf signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi. Berdasarkan uji lanjut Duncan, masing-masing taraf pada rasio tepung terigu-tepung singkong memberikan pengaruh nilai energi yang berbeda nyata. Ada banyak faktor yang
menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan formula terpilih selain nilai energi, misalnya dari segi ekonomis yaitu harga dan segi teknis yaitu proses pembuatan. Sehingga formula yang masuk ke tahap uji organoleptik adalah formula 1, formula 2 , dan formula 3. Setelah uji organoleptik didapat bahwa formula terpilih adalah formula 3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan rasio tepung terigu singkong (1:1)). Hasil uji pendugaan umur simpan dengan parameter kadar air pada suhu 28oC memiliki umur simpan selama 2.13 bulan dan parameter tekstur objektif pada suhu 28oC memiliki umur simpan selama 3.17 bulan. Parameter sensori untuk kedua atribut aroma dan atribut rasa diputuskan untuk tidak digunakan dalam perhitungan pendugaan umur simpan produk banana bars. Hal ini disebabkan uji sensori yang digunakan yaitu rating hedonik tidak dapat menggambarkan pola kerusakan produk yang sebenarnya, namun parameter sensori ini dapat menunjukkan bahwa penurunan mutu produk secara sensori stabil. Hasil uji menunjukkan bahwa produk pangan darurat banana bars memiliki total mikroba 2.3x102 koloni/gram, sedangkan untuk total kapangkhamir sebesar 1.0x101 koloni/gram. Nilai ini memenuhi SNI untuk produk cookies sehingga produk ini layak dan aman dikonsumsi manusia. Perkiraan biaya produksi produk banana bars yaitu Rp. 1130.09/50 gram.
B. Saran
1. Pemilihan metode uji pendugaan umur simpan lain seperti metode pendekatan kadar air kritis atau kurva sorpsi isotherm untuk produk kering. 2.
Penggunaan variasi jenis pisang lokal lainnya seperti pisang kepok, pisang uli atau pisang raja sebagai perbandingan untuk menghasilkan produk banana bars terbaik.
3.
Pemilihan teknik pengemasan seperti pengemasan vakum untuk produk sehingga diperoleh daya awet yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akingbala, J. O., K. O. Falade, and M. A. Ogunjobi. 2009. The Effect of Root Maturity, Preprocess Holding and Flour Storage on the Quality of Cassava Biscuit. Journal of Food Bioprocess Technology. doi:10.1007/s11947-009-0185z Alves, A. A. C. 2001. Cassava Botany and Physiology. Di dalam : R. J. Hillocks, J.M. Thresh dan A. C. Bellotti (ed.). Cassava Biology, Production and Utilization. CABI Publishing, New York. Anonima. 1996. Makalah yang Disampaikan pada Pelatihan Produk-Produk Olahan Ekstrusi, Bakery and Frying. PAU Pangan dan Gizi. Kantor Menteri Urusan Pangan, Jakarta. Anonimb. 2008. http : //www.bogasarifloumill.com [10 Desember 2008] Anonimc. 2008. http : //www.nutritiondata.com [5 Agustus 2009] Anonimd. 2008. http : //www.barryfarm.com [5 Agustus 2009] Apriyantono, A., D. Fardiaz, S. Budiyanto, dan N. L. Puspitasari. 1989. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Fateta IPB, Bogor. Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan IPB, Bogor. Badan Pengawas Obat dan Makananan. 2003. Pedoman Pelabelan Pangan. http://www.bpom.or.id [28 Agustus 2009] Cappock, J. B. M dan S. J. Cornford.1960. Texture in Bread and Flour Confectionary. Society of Chemical Industry, London. Cauvain, S. P dan L. S. Young. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality : Water Control and Effects. Blackwell Science, Gloucester. Chandler, S. 1995. The Nutritional Value of Bananas. Di dalam : Gowen, S (ed.). Bananas and Plaintains. Chapman and Hall, New York. Djoebaedah, H. S. 1990. Mempelajari Sifat Fisiologis Pasca Panen Buah Pisang Raja (Musa Paradisiaca L.) Selama Penyimpanan : Pengaruh Penggunaan Benlate-50, Kantong Plastik Polietilen Serta Campuran Kapur dan KMnO4. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Fadilah, N. 2004. Pengaruh Pengolahan dan Penyimpanan Mi Instan Berbahan Dasar Terigu-Tepung Singkong-Tapioka Serta Penambahan CMC (carboxymetilselullose) Terhadap Daya Cerna Pati Secara in vitro. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Penerbit IPB, Bogor. Gillies, M.T. 1974. Compressed Food Bars. Noyes Data Corporation. Park Ridge, New Jersey. Hariyadi, P, N. Andarwulan, F. Kusnandar, S. Koswara. 2004. Pendugaan Waktu Kadaluwarsa (Shelf Life) Bahan dan Produk Pangan. Di dalam : Modul Pelatihan Pendugaan Umur Simpan, 4-5 Oktober 2004, Bogor. Husain, E. 1993. Biskuit, Crackers and Cookies Pengenalan tentang: Aspek Bahan Baku, Teknologi dan Produksi. Makalah yang Disampaikan dalam Paket Seminar Industri Pangan. Himitepa-IPB, Bogor. IOM (Institute of Medicine). 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Energy Food and Rations. National Academy Press, Washington, DC. John, P. dan Marchal, J. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam : Gowen, S (ed.). Bananas and Plaintains. Chapman and Hall, New York. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai : Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Lan, P. J. 1989. Perubahan Fisiko Kimia Buah Pisang Raja Bulu Selama Pematangan. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Liu, K. 1997. Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. Chapman and Hall, New York. Matz, S. A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Morton, S. 1988. Bread without Wheat. Journal of New Sciences 28, April, 1988. Muchtadi, D dan P. S. Soeryo. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Bahan Pensubstitusi Terigu dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi dengan Tepung Tempe. Fateta IPB, Bogor. Munadjim.1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta.
Mustakas, G. C., W. J. Albrecht, G. N. Bookwalter dan E. L. Griffin Jr. 1967. Full – Fat Soya Flour by Simple Method for Villagers. Food and Agricultural Organization of The United Nations, Rome. Palmer, J. K. 1971. The Bananas. Di dalam : A. C. Hulme (ed.). The Biochemistry of Fruits and Their Product. Vol II. Academic Press, London. Prawiranegara. 1981. Daftar Komposisi Bahan Pangan. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Putra, D. K. W. 1994. Pengaruh Pemberongsongan terhadap Mutu Pasca Panen Pisang Ambon Kuning. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Riskawati, J. H. 2003. Kajian Proses Pembuatan Tahu Instan Fungsional dari Tepung Kedelai Lemak Penuh (Full Fat Soy Flour) dengan Metode Pencampuran Kering. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Sediaoetama, A. D. 1976. Ilmu Gizi dan Ilmu Diit di Daerah Tropik. Balai Pustaka, Jakarta. Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1979. Tofu and Soymilk Production. New-Age Food Study Centre. Lafayette. Sitanggang, A. B. 2008. Pembuatan Prototipe Cookies dari Berbagai Bahan sebagai Produk Alternatif Pangan Darurat. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Soeryo, P. S. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Bahan Pensubstitusi Terigu dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi dengan Tepung Tempe. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Fateta IPB, Bogor. Syamsir, E. 2008. Pengembangan Pangan Darurat.http://www.ilmupangan.com. [20 November 2008] Syarief, R. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zoumas, B. L, L. E. Amstrong., J. R. Backstrand, W. L. Chenoweth, P. Chnachoti, B. P. Klein, H. W. Lane, K. S. Marsh, M. Toluanen. 2002. High Energy, Nutrient- Dense Emergency Relief Product. National Academy Press, Washington, DC.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 1
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 200 300 50 160 100 1.25
Protein (g) 80.10 3.60 5.09 0.60 -
Lemak (g) 47.38 0.60 2.29 81.00 -
KH (g) 54.28 77.40 36.42 150 0.40 -
Air (g) 7.96 216.00 5.89 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
89.39
131.27
318.50
253.99
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
7.48 29.92
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
235.34
31.30 5 213.35
597.90
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
11.95
10.98 98.82
26.65 106.60
12.71
41.99
45.29
69
Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 2
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 200 300 50 160 100 1.25
Protein (g) 80.10 3.60 0.68 0.60 -
Lemak (g) 47.38 0.60 0.19 81.00 -
KH (g) 54.28 77.40 43.75 150 0.40 -
Air (g) 7.96 216.00 4.08 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
84.98
129.17
325.83
252.18
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
7.08 28.32
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
233.93
31.08 5 211.57
599.68
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
11.99
10.77 96.93
27.17 108.68
12.10
41.43
46.45
70
Lampiran 3. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 3
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 200 300 25 25 160 100 1.25
Protein (g) 80.10 3.60 10.01 0.34 0.60 -
Lemak (g) 47.38 0.60 1.14 0.09 81.00 -
KH (g) 54.28 77.40 18.21 21.87 150 0.40 -
Air (g) 7.96 216.00 2.94 2.04 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
94.65
130.21
322.16
253.08
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
7.09 28.36
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
233.83
31.19 5 212.46
598.79
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
11.97
10.87 97.83
26.91 107.64
12.12
41.83
46.03
71
Lampiran 4. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 4
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 250 250 50 160 100 1.25
Protein (g) 100.12 3.00 5.09 0.60 -
Lemak (g) 59.22 0.50 2.29 81.00 -
KH (g) 67.85 64.50 36.42 150 0.40 -
Air (g) 9.95 180.00 5.89 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
108.81
143.01
319.17
219.98
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
8.61 34.44
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
237.40
27.11 5 179.36
631.89
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
12.63
11.32 101.88
25.27 101.08
14.50
42.91
42.57
72
Lampiran 5. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 5
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 250 250 50 160 100 1.25
Protein (g) 100.12 3.00 0.68 0.60 -
Lemak (g) 59.22 0.50 0.19 81.00 -
KH (g) 67.85 64.50 43.75 150 0.40 -
Air (g) 9.95 180.00 4.08 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
104.40
140.91
326.50
218.17
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
8.23 32.92
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
236.04
26.89 5 177.58
633.67
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
12.67
11.12 100.08
25.76 103.04
13.94
42.39
43.65
73
Lampiran 6. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 6
Bahan Tepung Kedelai Pisang Terigu Tepung Singkong Gula Halus Margarin Garam
Jumlah (g) 250 250 25 25 160 100 1.25
Protein (g) 100.12 3.00 10.01 0.34 0.60 -
Lemak (g) 59.22 0.50 1.14 0.09 81.00 -
KH (g) 67.85 64.50 18.21 21.87 150 0.40 -
Air (g) 9.95 180.00 2.94 2.04 8.64 15.50 -
Total Adonan (g)
811.25
114.07
141.95
322.83
219.07
Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)
9.01 36.04
Total energi/ bar (50 g) kkal Persentase makro terhadap total energi (%)
239.10
27.00 5 178.47
632.78
Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya Nilai makronutrien per 50 gram Perhitungan kalori/bar (50 g)
Kadar air awal (%) Asumsi kadar air (%) Massa air yang hilang (g)
12.65
11.22 100.98
25.52 102.98
15.07
47.23
42.69
74
Lampiran 7. Hasil analisis statistik rancangan percobaan Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Kedelaipsg
1:1 2:3
6 6
TTTsingkong
0:1
4
1:0
4
1:1
4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: energi Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 121,383(a)
Intercept
df
Mean Square
F
Sig.
5
24,277
57,053
,000
623958,489
1
623958,489
1466383,711
,000
Kedelaipsg
,630
1
,630
1,481
,269
TTTsingkong
118,320
2
59,160
139,034
,000
Kedelaipsg * TTTsingkong
2,433
2
1,216
2,858
,134
,426
Error
2,553
6
Total
624082,425
12
123,936
11
Corrected Total
a R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,962)
Post Hoc Tests TTTsingkong Homogeneous Subsets energi Duncan Subset TTTsingkong 1:1
N 4
0:1
4
1:0
4
Sig.
1 224,3475
2
3
227,7150
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,426. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b Alpha = ,05.
232,0200 1,000
Lampiran 8. Form Uji Hedonik UJI RATING HEDONIK Nama
:
18 Mei 2009 No. HP :
Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buah-buahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder dalam bars dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan puree buah segar (Gillies, 1974). Instruksi : Dihadapan Anda terdapat empat sampel. Salah satu sampel berkode C. Sampel ini merupakan contoh bar. Silahkan Anda cicipi untuk memberikan gambaran tekstur bar. Jangan membandingkan sample C dengan sampel lainnya yang akan diuji. Anda diminta untuk melakukan uji rating hedonic terhadap tiga sampel berkode. Atribut yang diuji meliputi aroma, rasa, tekstur dan overall. Lakukan uji dari kiri ke kanan. Netralkan indra pencicip Anda dengan air sebelum melakukan pengujian ke sampel selanjutnya. Jangan membandingkan antar sampel. Skor untuk uji rating : 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka
Kode sampel
Aroma
Rasa
Tekstur
Overall
Pertanyaan tambahan Apakah Anda bersedia untuk menjadi panelis tetap untuk uji pendugaan umur simpan produk ini?..................
76
Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik Atribut aroma Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
sampel
panelis
atribut aroma
1
Value Label f1
N 30
Panelis
F1
F2
F3
2
f2
30
khrisia
4
3
4
3
f3
30
1
galih eka
2
4
4
3
2
3
tiara
4
3
3
3
3
adi
4
3
2
4
3
indri
3
3
4
5
3
catrien
3
4
4
6
3
venty
4
4
3
7
3
tuti
4
4
4
8
3
9
subkhi
4
3
4
3
10
3
11
3
12
3
13
haris
4
3
4
oloan
2
2
3
septi
4
4
4
3
ikhwan
4
4
4
14
3
tri erza
4
2
3
15
3
dede
3
3
3
16
3
tiyu
4
3
3
17
3
18
kenchi
4
4
3
3
19
3
20
3
21
arya
4
4
4
pratiwi
4
4
4
3
isna
3
4
4
22
3
dewi
3
4
3
23
3
nanda
4
4
4
24
3
fahmi
3
4
3
25
3
26
wahyu
4
3
4
3
27
3
cath
3
4
3
28
3
muji
3
3
4
4
4
4
29
3
sobur
30
3
arif
4
3
4
novia
4
4
4
cici
3
3
4
Rataan
3.57
3.47
3.60
77
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1144.622(a)
panelis sampel
df 32
Mean Square 35.769
F 112.888
Sig. .000
13.656
29
.471
1.486
.100
.289
2
.144
.456
.636
Error
18.378
58
.317
Total
1163.000
90
a R Squared = .984 (Adjusted R Squared = .975)
Atribut rasa Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors sampel
panelis
1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Value Label f1 f2 f3
N 30 30 30 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
panelis khrisia galih eka tiara adi indri catrien venty tuti subkhi haris oloan septi ikhwan tri erza dede tiyu kenchi arya pratiwi isna dewi nanda fahmi wahyu cath muji sobur arif novia cici Rataan
atribut rasa F1 F2 2 3 4 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 3 5 5 3 3 5 4 3 4 4 2 5 5 3 3 5 4 3 2 4 4 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 3 2 3.73 3.53
F3 4 4 4 2 3 4 3 4 4 4 4 5 3 4 3 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 4 4 3 3 4 3.60
78
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1205.289(a)
df 32
Mean Square 37.665
F 105.479
Sig. .000
sampel
.622
2
.311
.871
.424
panelis
23.822
29
.821
2.300
.003
20.711
58
.357
Error Total
1226.000 90 a R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .974)
Atribut tekstur Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label N sampel 1 f1 30 2 f2 30 3 f3 30 panelis 1 3 2 3 3 3 4 3 5 3 6 3 7 3 8 3 9 3 10 3 11 3 12 3 13 3 14 3 15 3 16 3 17 3 18 3 19 3 20 3 21 3 22 3 23 3 24 3 25 3 26 3 27 3 28 3 29 3 30 3
Panelis khrisia galih eka tiara adi indri catrien venty tuti subkhi haris oloan septi ikhwan tri erza dede tiyu kenchi arya pratiwi isna dewi nanda fahmi wahyu cath muji sobur arif novia cici Rataan
atribut tekstur F1 F2 2 3 2 2 4 5 3 4 2 2 3 3 3 3 1 3 2 4 2 2 2 3 4 3 2 2 3 3 4 4 2 3 4 4 2 2 4 4 4 2 3 4 3 2 3 4 2 2 2 3 3 3 1 1 3 2 4 2 3 4 2.73 2.93
F3 4 3 2 2 2 3 4 2 4 4 4 4 1 4 2 3 3 4 3 4 3 2 4 2 2 4 3 2 3 2 2.97
79
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 779.956(a)
df 32
Mean Square 24.374
F 34.442
Sig. .000
sampel
.956
2
.478
.675
.513
panelis
33.656
29
1.161
1.640
.055
41.044
58
.708
Error Total
821.000 90 a R Squared = .950 (Adjusted R Squared = .922)
Atribut overall Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
sampel
panelis
1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Value Label f1 f2 f3
N 30 30 30 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Panelis khrisia galih eka tiara adi indri catrien venty tuti subkhi haris oloan septi ikhwan tri erza dede tiyu kenchi arya pratiwi isna dewi nanda fahmi wahyu cath muji sobur arif novia cici Rataan
atribut overall F1 F2 2 2 3 3 4 4 4 4 2 3 4 4 4 4 2 4 3 4 2 3 3 3 4 4 3 2 4 3 3 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 2 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 2 4 3 4 3 3 3 3.23 3.27
F3 4 4 5 2 3 4 3 4 4 4 4 4 2 4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 4 3 4 4 3 3 4 3.50
80
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1015.933(a)
panelis sampel Error Total
df 32
Mean Square 31.748
F 70.641
Sig. .000
14.667
29
.506
1.125
.343
1.267
2
.633
1.409
.253
26.067
58
.449
1042.000 90 a R Squared = .975 (Adjusted R Squared = .961)
81
Lampiran 10. Spesifikasi Alat Pengukur Tekstur Objektif Rheoner
Distance
: 400 x 0.01 mm
Speed
: 0.5 mm/s
Sensitivitas
: 1 Volt
Chart Speed
: 40 mm/minute
Probe
: Jarum
Nilai Konversi: 50 gr force
Probe Jarum
Alat pengukur tekstur objektif Rheoner
82
Lampiran 11. Kuesioner Uji Rating Hedonik Uji Pendugaan Umur Simpan UJI RATING HEDONIK Nama : No. HP : Instruksi : Dihadapan Anda terdapat sampel. Anda diminta untuk melakukan uji rating hedonic. Atribut yang diuji meliputi aroma, rasa, dan tekstur. Skor untuk uji rating
: 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral 5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka
Kode sampel
Aroma
Rasa
Tekstur
UJI RATING HEDONIK Nama : No. HP : Instruksi : Dihadapan Anda terdapat sebuah sampel. Anda diminta untuk melakukan uji rating hedonik. Atribut yang diuji meliputi aroma, rasa, dan tekstur. Skor untuk uji rating
: 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral 5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka
Kode sampel
Aroma
Rasa
Tekstur
83
Lampiran 12. Tabulasi Data Uji Umur Simpan Parameter Sensori Atribut Aroma o
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Rataan
0
7
37 C 14
6 6 6 5 6 5 6 4 6 6 3 6 7 4 6 6 5 3 5 6 6 6 6 6 4 2 3 3 5.11
5 4 4 4 6 6 6 3 6 6 3 6 6 4 6 6 5 6 4 3 4 5 5 6 6 3 6 3 4.89
3 5 6 4 6 4 4 6 2 6 6 6 6 5 6 6 6 4 6 6 6 4 4 5 6 2 6 4 5.00
o
21
28
0
7 4 6 4 5 5 4 4 6 5 3 5 6 6 4 4 4 4 4 4 6 6 6 5 5 5 3 5 4.82
6 5 4 5 5 5 3 6 5 5 5 4 4 5 5 6 4 5 4 5 4 5 5 4 6 4 1 5 4.64
6 6 6 5 6 5 6 4 6 6 3 6 7 4 6 6 5 3 5 6 6 6 6 6 4 2 3 3 5.11
o
7
45 C 14
21
28
0
4 4 5 4 5 4 5 3 4 6 3 6 3 4 6 5 5 4 4 6 4 6 5 3 6 6 5 4 4.61
6 5 5 5 5 5 4 6 4 5 5 6 4 5 5 5 6 4 6 6 5 4 4 4 3 4 5 5 4.86
4 6 6 5 4 5 4 4 6 5 4 5 5 6 4 2 4 6 4 4 5 6 6 3 5 2 6 4 4.64
6 6 4 4 5 5 6 4 5 6 4 4 5 6 2 5 3 5 3 3 4 4 4 3 4 1 5 5 4.32
6 6 6 5 6 5 6 4 6 6 3 6 7 4 6 6 5 3 5 6 6 6 6 6 4 2 3 3 5.11
7
50 C 14
21
28
3 4 5 4 5 4 6 2 6 6 3 6 6 4 6 5 5 4 2 3 2 3 4 6 5 6 5 3 4.39
3 5 5 3 5 5 5 6 4 6 5 6 4 5 6 5 5 2 6 5 5 4 4 5 6 3 5 2 4.64
6 3 4 3 3 4 2 3 3 5 5 5 4 6 4 2 4 3 3 4 3 5 4 5 5 1 6 3 3.86
6 6 3 4 4 5 4 3 4 2 4 5 4 5 5 3 2 5 3 3 3 5 5 4 4 1 2 3 3.82
84
Parameter Sensori Atribut Rasa o
Panelis
o
37 C
o
45 C
50 C
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
1
6
6
5
6
6
6
7
6
6
3
6
6
5
3
5
2
5
5
6
4
6
5
5
5
3
5
5
5
6
2
5
3
6
6
5
5
5
6
6
5
5
4
6
6
4
4
3
4
6
6
5
4
5
6
5
6
5
4
6
6
3
4
3
5
6
6
5
4
5
6
3
5
5
5
6
5
4
4
5
6
6
4
5
6
4
6
6
3
6
3
6
4
4
5
4
7
6
4
3
4
4
6
4
3
3
7
6
4
3
2
3
8
5
3
5
6
6
5
4
6
7
4
5
4
5
6
2
9
6
6
3
4
4
6
6
5
5
4
6
6
5
5
4
10
4
6
5
5
5
4
5
3
6
5
4
6
6
6
3
11
5
4
6
5
4
5
3
6
6
4
5
3
6
5
4
12
6
6
6
4
6
6
5
5
3
4
6
6
4
3
4
13
6
6
6
6
5
6
5
7
5
5
6
6
6
4
4
14
5
5
6
6
6
5
6
6
5
5
5
6
5
3
3
15
4
4
6
3
5
4
6
4
4
3
4
5
6
3
4
16
7
6
6
6
5
7
5
6
5
5
7
4
3
3
2
17
6
2
6
5
4
6
6
3
6
2
6
6
2
5
3
18
4
5
3
6
5
4
6
4
5
4
4
5
3
3
3
19
6
4
4
6
3
6
5
5
5
3
6
6
5
6
3
20
6
3
6
3
6
6
5
5
4
5
6
4
6
3
5
21
6
4
5
6
5
6
5
3
3
5
6
2
4
3
4
22
6
6
5
6
5
6
6
4
5
6
6
6
3
5
3
23
6
6
4
6
5
6
3
4
5
6
6
5
3
4
3
24
6
3
6
5
4
6
5
5
5
4
6
3
3
3
3
25
5
3
6
3
5
5
6
5
4
3
5
3
6
2
2
26
5
3
3
6
4
5
7
6
1
1
5
6
3
1
1
27
6
6
6
6
1
6
4
6
1
2
6
6
3
2
3
28
3
5
5
6
6
3
6
6
5
6
3
6
6
3
4
Rataan
5.5
4.75
5.07
5.07
4.79
5.5
5.18
4.89
4.57
4.18
5.5
5.00
4.36
3.64
3.39
85
Parameter Sensori Atribut Tekstur o
Panelis
o
37 C
o
45 C
50 C
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
1
4
3
6
5
2
4
4
3
6
2
4
4
2
3
3
2
3
2
6
2
3
3
3
5
2
3
3
3
4
2
4
3
2
5
3
3
2
2
6
3
3
4
2
6
1
3
3
4
2
2
4
3
3
2
6
5
5
4
2
5
3
4
3
5
2
2
3
2
5
2
2
3
4
5
2
3
2
1
3
6
2
4
3
5
1
2
4
5
6
2
2
3
4
5
2
7
6
2
5
3
1
6
4
4
4
2
6
3
4
4
2
8
4
3
5
4
3
4
6
4
3
4
4
4
3
3
4
9
6
3
6
4
4
6
4
6
3
3
6
4
3
3
2
10
3
2
4
1
2
3
4
4
2
2
3
5
6
2
3
11
3
2
4
2
3
3
3
5
3
4
3
3
5
3
4
12
3
3
4
4
3
3
6
3
4
3
3
6
3
3
4
13
5
6
6
6
5
5
5
6
5
4
5
6
3
3
4
14
4
2
2
5
5
4
2
3
3
2
4
3
3
3
6
15
3
3
5
4
2
3
5
3
4
2
3
4
4
4
2
16
6
3
6
3
2
6
3
6
4
3
6
3
5
3
2
17
4
1
5
2
3
4
2
5
3
3
4
2
3
3
3
18
2
3
3
3
4
2
6
4
2
5
2
6
4
2
5
19
3
1
3
1
1
3
1
4
1
2
3
2
5
3
5
20
3
2
2
4
5
3
4
2
4
5
3
2
2
4
4
21
4
1
4
5
2
4
1
4
3
3
4
2
4
3
1
22
5
4
5
5
4
5
5
4
4
4
5
4
5
6
4
23
6
4
6
5
4
6
3
2
3
4
6
3
5
4
4
24
2
3
4
5
3
2
3
3
5
4
2
4
3
3
4
25
2
2
6
2
5
2
5
5
2
3
2
5
6
2
2
26
1
3
3
4
2
1
3
3
1
3
1
6
4
2
1
27
1
3
5
3
1
1
3
6
2
1
1
5
2
1
1
28
2
1
3
2
3
2
2
5
1
3
2
2
2
1
3
Rataan
3.32
2.68
4.32
3.46
2.96
3.32
3.75
4.11
3.29
3.18
3.32
3.86
3.57
2.96
3.15
86
Parameter Kadar Air o
Ulangan
o
37 C
o
45 C
50 C
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
1
4.88
5.97
4.71
6.56
7.84
4.88
5.05
5.58
5.69
7.72
4.88
5.16
5.77
5.12
8.58
2
4.86
5.99
4.72
6.49
8.02
4.86
5.15
5.45
5.82
7.95
4.86
5.06
5.82
5.16
8.18
Rataan
4.87
5.98
4.715
6.525
7.93
4.87
5.1
5.515
5.755
7.835
4.87
5.11
5.795
5.14
8.38
Parameter Nilai aw o
Ulangan
o
37 C
o
45 C
50 C
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
1
0.467
0.520
0.453
0.566
0.573
0.467
0.467
0.565
0.608
0.605
0.467
0.437
0.607
0.486
0.622
2
0.460
0.534
0.456
0.569
0.561
0.460
0.469
0.580
0.617
0.611
0.460
0.453
0.613
0.477
0.623
Rataan
0.464
0.527
0.455
0.568
0.567
0.464
0.468
0.573
0.613
0.608
0.464
0.445
0.610
0.482
0.623
Parameter Tekstur Objektif o
Ulangan
o
37 C
o
45 C
50 C
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
0
7
14
21
28
1
1375
1400
1350
1150
1100
1375
1400
1375
1350
525
1375
1300
1350
1300
500
2
1400
1400
1350
1050
1000
1400
1400
1350
1350
500
1400
1350
1350
1275
575
Rataan
1387.5
1400
1350
1100
1050
1387.5
1400
1362.5
1350
512.5
1387.5
1325
1350
1287.5
537.5
87
Lampiran 13. Grafik Ordo nol dan Ordo satu tiap Parameter Parameter Kadar Air Ordo 0
Ordo 1
88
Parameter Tekstur Objektif Ordo 0
Ordo 1
89
Lampiran 14. Umur simpan banana bars berdasarkan parameter sensori atribut aroma, parameter sensori atribut rasa, kadar air, dan tekstur objektif Ordo 1
Parameter
Suhu (K (1/T)
Persamaan
nilai Y
Arc Ln Y (K)
ln Qawal-ln Qakhir
Sensori Aroma
0.003322259 0.00330033 0.003225806 0.003144654 0.003095975 0.003322259 0.00330033 0.003225806 0.003144654 0.003095975 0.003322259 0.00330033 0.003225806 0.003144654 0.003095975
y=-9028x + 23.23
-6.763354252 -6.56537924 -5.892576568 -5.159936312 -4.7204623 -7.154881413 -6.84772231 -5.803864642 -4.665168578 -3.983321825 -4.769371622 -4.69354114 -4.435837148 -4.155213532 -3.98688155
0.001155347 0.00140829 0.002759857 0.005742065 0.008911058 0.000781042 0.001061872 0.003015877 0.00941766 0.018623672 0.008485711 0.009154212 0.011845146 0.015682442 0.018557495
0.938052224
Sensori Rasa
kadar air
Ordo 0
Parameter tekstur objektif
y=-14007x + 39.38
y=-3458x + 6.719
1.011600912
0.542753977
Suhu (K (1/T)
Persamaan
nilai Y
Arc Ln Y (K)
Qawal- Qakhir
0.003322259 0.00330033 0.003225806 0.003144654 0.003095975
y=-4868x + 18.39
2.217243188 2.32399356 2.686776392 3.081824328 3.3187937
9.181982941 10.21639272 14.68426323 21.79813309 27.62700399
875
Umur simpan (hari) 811.9222598 666.0931891 339.8916575 163.3649502 105.2683332 1295.193716 952.6584524 335.4251325 107.4153092 54.31801622 63.96093327 59.29007942 45.82079399 34.60902164 29.24715802
umur simpan (bulan) 27.06407533 22.2031063 11.32972192 5.44549834 3.508944439 43.17312386 31.75528175 11.18083775 3.580510306 1.810600541 2.132031109 1.976335981 1.5273598 1.153634055 0.974905267
Umur simpan (hari) 95.29531971 85.64666842 59.58759974 40.14105228 31.67191058
umur simpan (bulan) 3.176510657 2.854888947 1.986253325 1.338035076 1.055730353
90