SKRIPSI
FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)
Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS F24104020
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Anggraeni Gigih S, F24104020. FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOOD (IMF). Di bawah bimbingan Dede R. Adawiyah. 2008
RINGKASAN Keadaan darurat di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 disebutkan sebagai terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Keadaan darurat yang demikian tetap menempatkan kebutuhan atas pangan sebagai hak yang utama bagi korban. Kebutuhan pangan korban bencana biasanya dipenuhi oleh dapur umum, tetapi beberapa kondisi bencana tidak memungkinkan didirikannya dapur umum. Oleh karena itu diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan para korban. Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak, mudah didistribusikan, mudah dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan. Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Hal ini dikarenakan kandungan air IMF yang masih cukup tinggi sehingga tidak menyebabkan haus dan nilai aw yang rendah menyebabkan daya awet IMF yang cukup lama. Produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.650.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %. Pembuatan IMF secara moderen melibatkan pola adsorpsi atau desorpsi yang di dalamnya terdapat hubungan antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis. Isotermi sorpsi ini digunakan untuk memperkirakan penyerapan air oleh bahan pada tingkat aw tertentu. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan (2) menghasilkan prototipe pangan darurat dengan teknologi intermediate moisture food. Penelitian ini meliputi pembuatan tepung instan sebagai bahan baku produk, formulasi awal, penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal sebagai penelitian pendahuluan kemudian dilanjutkan produksi IMF dengan teknik moist infiution. Formulasi awal menghasilkan tiga prototipe pangan darurat dengan bahan baku tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Formulasi produk mengacu pada nilai makronutrien pangan darurat yaitu protein 7.9-8.1, lemak 911.7, dan karbohidrat 23-35 dalam satuan gram/bar, dengan asumsi satu bar sama dengan 50 gram solid.
Penentuan isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal menunjukkan adanya kemiripan pola kurva. Kurva isotermi sorpsi formula mengikuti bentuk kurva isotermi sorpsi bahan baku tetapi letaknya lebih rendah dikarenakan terdapat minyak goreng dalam formula awal. Minyak goreng dapat menurunkan kemampuan bahan dalam mengikat air. Produksi IMF dimulai dengan penambahan air ke dalam formula awal diikuti penambahan humektan. Penambahan air sebenarnya dapat dihitung berdasarkan kurva isotermi sorpsi. Namun dalam penelitian ini kurva isotermi sorpsi formula pisang dan kacang hijau kurang dapat menggambarkan penyerapan air dengan tepat sehingga penambahan airnya dilakukan manual sampai diperoleh kriteria produk yang diinginkan yaitu mudah ditelan dan dicetak.. Aplikasi humektan pada produk IMF ini menggunakan persamaan Grover. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Berdasarkan persamaan Grover, aplikasi 10 % sorbitol cukup efektif menurunkan nilai aw produk. Namun setelah dilakukan pengukuran aw aktual dengan aw meter, nilai aktualnya lebih tinggi dibanding nilai prediksi dan nilai aw produk tanpa humektan. Penggunaan 4% gliserol cukup efektif untuk menurunkan nilai aw produk. Nilai aw aktual produk dengan gliserol tidak berbeda jauh dengan nilai aw prediksinya. Nilai aw aktual produk tanpa penambahan humektan adalah 0.771, 0.822, dan 0.853; nilai aw dengan 10% sorbitol adalah 0.772, 0.835, dan 0.832; nilai aw dengan 4% gliserol adalah 0.737, 0.804, dan 0.815 masing-masing untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Oleh karena itu dipilihlah produk dengan humektan gliserol untuk dianalisis lebih lanjut. Uji organoleptik dilakukan terhadap ketiga produk dengan gliserol sebagai humektan. Uji organoleptik meliputi uji kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan secara keseluruhan terhadap produk. Formula terpilih dari uji organoleptik ini adalah formula ubi jalar yang memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang hijau. Pengukuran isotermi sorpsi produk akhir dapat digunakan untuk melihat pengaruh penambahan humektan terhadap pergeseran kurva isotermi sorpsi. Kurva isotermi sorpsi produk akhir yang mengandung humektan berada di atas kurva isotermi sorpsi formula awal yang tidak mengandung humektan tetapi mempunyai pola yang hampir sama. Pergeseran ini disebabkan oleh adanya humektan pada produk akhir sehingga pengikatan airnya lebih tinggi. Humektan merupakan senyawa higroskopis yang berfungsi mengikat air. Produk terpilih kemudian dianalisis mutu mikrobiologisnya. Nilai total mikroba pada minggu ke-0 adalah 3.79 log CFU/gram dan pada minggu ke-4 sebesar 4.34 log CFU/gram atau mengalami kenaikan sekitar 0.55 log CFU/gram sedangkan jumlah kapang-khamir pada produk selama empat minggu mengalami kenaikan 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk selama empat minggu menunjukkan penampakan normal dan belum terdapat pertumbuhan mikroba. Namun berdasarkan acuan produk yaitu bakpia pathuk yang mempunyai nilai Angka Lempeng Total (total mikroba) maksimal 104, maka produk pangan darurat ini hanya dapat dikonsumsi satu minggu setelah produksi.
FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS F24104020
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FORMULASI PRODUK PANGAN DARURAT BERBASIS TEPUNG UBI JALAR, TEPUNG PISANG, DAN TEPUNG KACANG HIJAU MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANGGRAENI GIGIH SETYANINGTYAS F24104020
Dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1986 Di Pati Tanggal lulus :
Agustus 2008
Menyetujui Bogor, Agustus 2008
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 14 Mei 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Edy Santoso, S.P.,M.M dan Dra. Nisviati. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SD Negeri Pati Kidul 04 Pati pada tahun 1992-1998. Tahun 1998 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Pati dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Pati pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004. Penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif pada organisasi Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai anggota divisi Soskemas (2005-2006) dan Ketua Biro Kesekretariatan (2006-2007) serta Sekretaris Omda IKMP (Organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati) tahun 2005-2006. Penulis juga pernah terlibat pada beberapa kepanitiaan antara lain panitia LCTIP XIV, Baur 2006, NSPC V dan VI. Penulis menyusun skripsi sebagai tugas akhir untuk meraih gelar sarjana dengan judul “Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. Penelitian ini mendapatkan bantuan dana dari Indofood Riset Nugraha.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan Teknologi Intermediate Moisture Foods (IMF)” dengan baik. Selama penyelesaian skripsi ini penulis menyadari betul begitu banyak bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik yang berupa materi maupun non materi. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang begitu sabarnya dan penuh keikhlasan telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat kepada penulis. 2. Nur Wulandari, S.TP, M.Si dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji atas kesediaanya meluangkan waktu untuk menguji penulis dan memberi masukan yang memperkaya skripsi ini. 3. Bapak, Ibu, dan Mbak Santi serta seluruh keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan, doa dan segenap curahan kasih sayangnya yang tulus kepada penulis. 4. Indofood Riset Nugraha atas bantuan dana penelitian tugas akhir ini. 5. Seluruh dosen ITP-IPB atas transfer ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama kuliah. 6. Para laboran khususnya Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Rozak, Mas Edi, Teh Ida, Pak Koko dan Bu Antin serta seluruh staf Departemen ITP dan para pustakawan yang telah membantu selama kuliah dan penelitian. 7. Mas Andri atas perhatian dan dukungan serta doa yang memberi semangat lebih pada penulis. 8. Teman-teman satu bimbingan Christine, Hesti dan Ame atas informasi dan bantuannya untuk tetap semangat. 9. Sahabat penulis Arum dan Sukma sebagai power puff girls. Jeng Ofa, Dini, Jeng Rin, Kani, Aris, Dyah, Faried, Nene, Bima, Tika, Mbak April, Jamz atas
semangat dan kebersamaan untuk belajar banyak hal selama berjuang di Himitepa. 10. Teman-teman Golongan A terutama Nanang, Chabib, Qia, dan Babe Sofyan yang terlalu sering bersama dan menjadi bagian dari setiap tugas dan laporan praktikum selama kuliah 11. Azis dan Prita sesama pejuang pangan darurat, Hans Puke, Hans CeWe, Anca, Lia, Netha, Inke, Rizka (terutama atas info susu skim), Arif Fadli (untuk proteonya) Kang Maman, Indra, Memed, Shinta, Yuli (untuk pinjaman catatan yang lengkap), Jendi (untuk bantuan LCD) dan teman-teman ITP 41 lainnya atas kerja sama, persahabatan dan semangatnya selama kuliah, juga untuk Mike (ITP 42) dan Sadek (ITP 43) atas pinjaman buku-buku yang begitu membantu penulis serta teman-teman ITP 40, 42 dan 43 lainnya. 12. Rekan-rekan satu lab : Mbak Dian, Mbak Hana, Mbak Erni, Mbak Feny, Mbak Cyn, Bang Ahyar, Kak Marto, Mbak Betty yang telah meramaikan lab pengolahan. 13. Sahabat-sahabatku di Anpat Co. terutama Uuk, Icha, Ratna, Angsa Crew, Anpat 41, dan seluruh IKMP atas kekeluargaaan dan rasa senasibsepenanggungan selama di Bogor. 14. Keluarga kost Puri Fikryyah (atas canda tawa dan kebersamaan yang indah) dan Wisma Blobo. 15. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu proses penelitian ini. Akhirnya penulis sangat mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan memberikan wacana baru bagi perkembangan cakrawala dunia ilmu pengetahuan. Penulis menyadari hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Segenap saran, kritik dan masukan yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Bogor,
Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG .........................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................
3
C. MANFAAT PENELITIAN..................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. PANGAN DARURAT .........................................................................
4
B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) ....................................
7
1. Definisi dan Karakteristik IMF ......................................................
7
2. Teknologi pengolahan IMF ............................................................
8
3. Kemasan IMF .................................................................................
9
C. ISOTERMI SORPSI AIR ....................................................................
10
1. Aktivitas air (aw) ............................................................................
12
2. Model persamaan isotermi sorpsi air .............................................
14
D. HUMEKTAN .......................................................................................
14
1. Sorbitol ...........................................................................................
15
2. Gliserol ...........................................................................................
16
3. Aplikasi Humektan.........................................................................
20
E. TEPUNG KACANG HIJAU ...............................................................
20
F. TEPUNG UBI JALAR .........................................................................
23
G. TEPUNG PISANG ..............................................................................
24
III. BAHAN DAN METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ..........................................................................
28
B. METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................
29
1. Penelitian Pendahuluan ..................................................................
30
a. Pembuatan tepung instan ..........................................................
30
b. Penghitungan formula awal produk .........................................
30
c. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal ..........................................................................................
32
2. Penelitian Utama ............................................................................
34
3. Metode Analisis .............................................................................
37
a. Analisis Proksimat ....................................................................
37
a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992) ..................
37
a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992) ......................................
37
a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)....
38
a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992) ..................................
38
a.5. Kadar karbohidrat by difference ......................................
39
b. Analisis nilai aw dengan aw meter .............................................
39
c. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999)................................
39
d. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 01-3751-2006) ..........................................................................
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU ..................................................
42
B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK ............
44
C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU .........................................
46
D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN .................
54
E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN .......................
57
F. UJI ORGANOLEPTIK ........................................................................
63
G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH .....................
66
1. Komposisi nutrisi ...........................................................................
67
2. Pengaruh Penambahan Humektan .................................................
68
3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir .................................
70
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ....................................................................................
75
B. SARAN ................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
77
LAMPIRAN ....................................................................................................
82
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Humektan yang umum digunakan, konvensional, dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan ....................
18
Tabel 2.
Nilai Ei Persamaan Grover .............................................................
20
Tabel 3.
Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan .......
21
Tabel 4.
Kandungan asam amino kacang hijau ...........................................
22
Tabel 5.
Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) .................
23
Tabel 6.
Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan ................
24
Tabel 7.
Komponen gizi pisang uli per 100 gram ......................................
25
Tabel 8.
Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ...........................
26
Tabel 9.
Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepungtepungan lainnya ............................................................................
27
Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi ..........
29
Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi ...
45
Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat ........................................
46
Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula ....
46
Tabel 14. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB ....................
51
Tabel 15 Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau .....
58
Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap formula dengan Persamaan Grover ................................................
59
Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter ........
61
Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi jalar) ...............................................................................................
68
Tabel 19. Parameter isotermi sorpsi menurut persamaan GAB .....................
69
Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat minggu ...........................................................................................
71
Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba yang sering terdapat pada pangan semi basah .................................................................
73
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989) ...
11
Gambar 2.
Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 200) ..............
12
Gambar 3.
Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema 1996)
13
Gambar 4.
Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org) ............................
16
Gambar 5.
Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org) .............................
17
Gambar 6.
Diagram alir proses produksi tepung instan ................................
31
Gambar 7.
Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air .............................
33
Gambar 8.
Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution
36
Gambar 9.
Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360 ..............................
39
Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku .............................
43
Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006) ........................
48
Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan) ...........
49
Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan formula (kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atasbawah) .........................................................................................
50
Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data percobaan dan data prediksi dengan Persamaan GAB (a) ubi jalar, (b) pisang, dan (c) kacang hijau .........................................
53
Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan pisang (kiri-kanan) .....................................................................
63
Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik ..................................
64
Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel ...............................
65
Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel ....................................
65
Gambar 19. Nilai kesukaan dari ketiga sampel. ............................................
66
Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo .................
67
Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar tanpa humektan dan produk akhir yang mengandung humektan .................................
69
Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir.......................
71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Kadar air keetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang hijau, dan pisang.......................................................................
82
Lampiran 2.
Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Ubi Jalar.....
83
Lampiran 3.
Penghitungan dengan Pers. Gover pada Formula Pisang.........
84
Lampiran 4.
Penghitungan dengan Pers. Gover pada Form. Kacang Hijau .
85
Lampiran 5.
Formulir Kuesioner Uji Organoleptik .....................................
86
Lampiran 6.
Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik ...............................
88
Lampiran 7.
Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan .....................................
89
Lampiran 8.
Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit .............................................
90
Lampiran 9.
Hasil Uji Rating Hedonik ........................................................
91
Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) .....................
92
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Keadaan darurat secara eksplisit disebutkan di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Definisi pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam PP No.68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional. Keadaan darurat yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana (emergency foods). Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia mengakibatkan penderitaan yang cukup mendalam bagi korban dan pengungsi. Keadaan darurat dalam kondisi bencana yang demikian tetap menempatkan kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia yang utama bagi korban bencana. Beberapa lembaga pemberi bantuan biasanya mendirikan dapur umum. Keberadaan dapur umum begitu membantu pemenuhan kebutuhan pangan bagi korban bencana, tetapi pada kondisi-kondisi bencana tertentu, seringkali tidak memungkinkan didirikannya dapur umum, sedangkan korban selamat tetap memerlukan makanan. Bantuan pangan seringkali diberikan dalam bentuk mi instan. Padahal dalam kedaan bencana yang demikian, fasilitas memasak dan keberadaan air bersih untuk memasak begitu minimal bahkan seringkali tidak ada. Berdasarkan keadaan yang seperti ini, diperlukan disain pangan khusus untuk keadaan darurat bencana yang dapat langsung dikonsumsi (ready to eat), praktis didistribusikan, dan bergizi. Sifat penting dari pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan
memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya tidak mengandung bahan yang menyebabkan alergi. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan. Salah satu bentuk pangan darurat yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah produk pangan semi basah atau intermediate moisture foods (IMF). Menurut Robson (1976), produk pangan semi basah umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %. Karakteristik utama produk pangan semi basah yaitu mudah ditelan tanpa ada sensasi kering, dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya penyiapan lebih lanjut, dan daya awet pangan semi basah serta proses pembuatannya yang cukup sederhana memungkinkan produk pangan semi basah ini menjadi salah satu alternatif pangan untuk keadaan darurat. Cara pengolahan pangan semi basah terutama didasarkan pada penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup sehingga memiliki tekstur yang plastis, misalnya dengan penambahan humektan atau mengurangi kadar air dengan pengeringan. Menurut Karel (1976), teknik produksi pangan semi basah meliputi tiga kategori yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution) (2) Pencelupan kering (dry infution) dan (3) Pencampuran (blending). Pangan semi basah dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Cara tradisional misalnya penggaraman atau penambahan gula. Proses produksi pangan semi basah modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian dikontrol proses pembasahannya, sedangkan pada tipe desorpsi, bahan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan (Robson 1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan
antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989). Pangan darurat hendaknya bercita rasa dan dibuat dari bahan pangan lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat dalam rentang usia yang luas. Selain itu pemanfaatan bahan pangan lokal dapat meningkatkan potensi pertanian pada suatu daerah. Bahan pangan lokal Indonesia misalnya ubi jalar, pisang dan kacang hijau. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbiumbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007). Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi ketiga di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 535.10 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007). Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005).
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan 1). Mendapatkan pola isotermi sorpsi air bahan baku dan campurannya yang selanjutnya akan digunakan dalam formulasi pangan darurat dan 2). Menghasilkan prototipe produk pangan darurat melalui teknologi intermediate moisture foods (IMF) yang dapat diterima dan memenuhi standar kecukupan gizi produk pangan darurat, mudah ditelan, dan tidak menyebabkan haus.
C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perancangan bentuk bantuan pangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat yang terkena bencana alam, kekeringan, peperangan atau kekurangan pangan lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT Menurut IOM (1995), pangan darurat (emergency food product) adalah pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud adalah bencana alam, rawan pangan (kelaparan), peperangan, dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Di Indonesia, keadaan darurat secara eksplisit juga disebutkan di dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 1996 yaitu terjadinya peristiwa bencana alam yang hebat dan sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan. Konsep pangan darurat juga tercakup secara implisit dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 mengenai cadangan pangan nasional yaitu meliputi persediaan pangan di seluruh wilayah untuk konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat Keadaan darurat yang dimaksud dalam PP tersebut adalah keadaan paceklik yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di suatu daerah tertentu, tetapi seiring dengan beruntunnya bencana alam yang dihadapi bangsa Indonesia maka definisi cadangan pangan juga meliputi bahan pangan darurat untuk bencana (emergency foods). Karakteristik cadangan pangan untuk kondisi paceklik dan kondisi akibat bencana berbeda. Untuk kondisi paceklik, bentuk cadangan pangan merupakan bahan pangan pokok (beras maupun non beras) dengan penyiapan yang lengkap termasuk melalui pemasakan dan pencampuran dengan bahan lain (air, sumber protein dan lain-lain) sedangkan cadangan pangan untuk keadaan darurat akibat bencana merupakan produk pangan siap santap tanpa melalui proses pemasakan dan penambahan bahan lainnya (misal air). Perbedaan karakteristik dua jenis cadangan pangan tersebut belum begitu disadari oleh badan-badan yang berhubungan dengan penanganan bencana. Bantuan-bantuan pangan untuk keadaan bencana masih didominasi oleh beras atau mi instan yang memerlukan penambahan air dan pemasakan sebelum
dikonsumsi. Bantuan berupa beras dan mi instan seperti ini tidak efektif untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam keadaan darurat bencana. Tujuan pemberian pangan darurat adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi korban bencana sesuai dengan asupan harian selama kurang lebih lima belas hari, sehingga dapat mengurangi timbulnya penyakit atau kematian di antara pengungsi. Pangan darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi korban bencana dimulai dari awal pengungsian sampai bantuan pangan yang lebih lengkap datang dan pendirian dapur umum dapat dilakukan. Kondisi darurat seperti keadaan bencana alam ini membutuhkan bentuk pangan yang dapat langsung dikonsumsi. Sifat penting pangan darurat menurut US Agency of International Development (USAID) adalah aman dikonsumsi, enak dan mutu sensorinya dapat diterima, mudah didistribusikan, mudah digunakan atau dikonsumsi, dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup. Selain itu, pangan darurat hendaknya bercita rasa lokal agar lebih mudah diterima oleh penduduk setempat dalam rentang usia yang beragam. Beberapa kondisi bencana seringkali bermasalah dengan ketercukupan air bersih. Oleh karena itu disain pangan darurat bencana juga meliputi kemudahan ditelan dan tidak menyebabkan rasa haus sehingga tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi pangan. Jumlah energi yang dianjurkan terkandung di dalam pangan darurat adalah sebesar 2100 kkal per hari. Nilai ini berdasarkan laporan dari IOM (1995), bahwa rata-rata kebutuhan energi harian atau estimated the mean per capita energy requirements (EMPCER) individu di negara berkembang dengan aktivitas fisik yang cukup tinggi adalah sebesar 2100 kkal. Laporan ini menggunakan beberapa asumsi yaitu 1). Data populasi penduduk yang digunakan berdasarkan data dari World Population Profile tahun 1994 di negara berkembang, 2). Rata-rata tinggi pria dewasa adalah 170 cm sedangkan untuk wanita dewasa adalah 155 cm. Nilai ini merupakan rataan tinggi pada penduduk Sub-Saharan Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, 3). Nilai berat badan diukur berdasarkan median berat badan orang dewasa Amerika Serikat dengan tinggi yang proporsional, dan 4). Total energi yang
dikeluarkan oleh pria dan wanita dewasa adalah sebesar 1.55 dan 1.56 kali BMR (basal metabolic rate). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat menurut Zoumas et. al. (2002) adalah 1. Pangan darurat tidak didisain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ibu hamil dan menyusui. 2. Pangan darurat tidak sesuai untuk individu yang menderita malnutrisi dan membutuhkan perawatan medis. 3. Pangan darurat bukan therapeutic nutritional supplement. 4. Pangan darurat tidak dapat menggantikan ASI bagi bayi umur 0-6 bulan. 5. Pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air menjadi bentuk bubur untuk older infants (7-12 bulan) Ingridien merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan pangan darurat. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat akan dikonsumsi oleh beragam etnik dan budaya. Alkohol dan bahan hewani selain susu tidak boleh digunakan dalam pembuatan pangan darurat. Bahan-bahan pangan dengan kandungan zat alergen seperti kacang tanah, tidak boleh digunakan. Beberapa ingridien yang dapat digunakan dalam formulasi pangan darurat (Zoumas et. al., 2002) adalah 1. Cereal base : tepung gandum, jagung, oat, tepung beras 2. Protein : isolat atau konsentrat protein kedelai, susu, kasein, dan produk turunannya 3. Lemak : hydrogenated soybean oil, minyak biji kapas, minyak bunga matahari 4. Gula : sukrosa, glukosa, high-fructose corn syrup, maltodekstrin 5. Baking and leavening agents jika diperlukan 6. Vitamin dan mineral
B. INTERMEDIATE MOISTURE FOODS (IMF) 1. Definisi dan Karakteristik IMF Soekarto
(1979)
mendefinisikan
pangan
semi
basah
atau
intermediate moisture food (IMF) sebagai makanan dengan kadar air 1040% dengan nilai aktivitas air (aw) 0.6-0.9 serta mempunyai tekstur yang plastis sehingga memungkinkan IMF dapat dibentuk dan dapat langsung dimakan. Definisi IMF lainnya dikemukakan oleh Robson (1976), yaitu produk IMF umumnya mempunyai nilai aw pada kisaran 0.65-0.85 dan berkadar air sekitar 15-30 %. Sesuai dengan namanya “semi basah”, maka jenis pangan ini bersifat cukup basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa direhidrasi dan juga cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan. Ciri khas IMF yaitu kadar air 10-40 % dan nilai aw 0.6-0.9 membuat IMF memiliki daya awet yang cukup baik karena pada kondisi yang demikian tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada aw di atas 0.90. Demikian juga untuk pertumbuhan khamir yang bersifat patogen. Hal ini adalah suatu keuntungan dari IMF menjadi stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan, sterilisasi ataupun pengeringan. Hal ini juga ditunjang oleh kondisi substrat dari pangan semi basah yang bersifat sebagai pengawet. Menurut Taoukis et. al. (1999) karakteristik produk IMF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF secara signifikan lebih hemat energi dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan. Teknologi IMF juga menghasilkan produk dengan retensi nutrisi dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses lain seperti pengeringan dan proses panas. Sifat IMF yang plastis dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi kering menjadikan produk IMF dapat secara langsung dikonsumsi tanpa penyiapan, lebih convenience dan lebih hemat energi. Kandungan air yang tidak terlalu tinggi menbuat IMF memiliki kandungan nutrien dan densitas kalori yang tinggi. IMF juga
dapat dibentuk dengan ukuran dan bentuk geometris yang memudahkan pengemasan. Keunggulan karakteristik IMF sesuai dengan kebutuhan konsumen modern terhadap produk pangan dengan densitas nutrient tinggi. IMF terutama sangat diperlukan ketika suplai bahan pangan, kemampuan untuk mensuplai dan waktu persiapan adalah menjadi faktor pembatas, misalnya pada keadaan darurat militer, ruang angkasa, eksplorasi dan pendakian gunung (Taoukis et al, 1999). IMF bukanlah suatu hal baru di Indonesia. Beberapa pangan tradisional merupakan pangan yang diolah dengan teknologi IMF tradisional. Sebagai contoh adalah dodol yang merupakan campuran tepung dan gula, bakpia pathuk, kue wingko, manisan buah, ataupun hasil fermentasi yang sudah banyak dikenal. Makanan tradisional ini biasanya digunakan sebagai makanan ringan atau makanan selingan serta sebagai lauk-pauk.
2. Teknologi Pengolahan IMF Cara pengolahan IMF terutama didasarkan pada penurunan nilai kadar air diikuti aktifitas air (aw) sampai tingkat mikroba patogen dan pembusuk tidak tumbuh, tetapi kandungan airnya masíh cukup. Karel (1976) menggolongkan IMF menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan modern. Beberapa IMF tradisional adalah hasil olahan tanpa penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil olahan dengan penambahan gula dan garam, serta produk rerotian (bakery product). Tipe IMF modern dibagi lagi menjadi tiga tipe berdasarkan cara pengolahannya, yaitu (1) Pencelupan basah (moist infution), dimana bahan pangan padat direndam dalam larutan sehingga produk akhirnya mempunyai nilai aw seperti yang diinginkan misalnya prototipe produk yang direncanakan pada penelitian ini, (2) Pencelupan kering (dry infution), dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian direndam dalam larutan osmotik sampai tingkat aw yang diinginkan misalnya manisan buah. Proses ini memerlukan energi lebih tinggi dari
metode yang lain, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan (3) Pencampuran (blending) dimana komponen-komponen bahan pangan ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau perlakuan lain untuk mencapai aw produk yang diinginkan sehingga menghasilkan makanan dengan aw tertentu misalnya selai (jam) dan dodol. Berdasarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol proses pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan tipe desorpsi bahan dimasukkan kedalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat aw yang diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu (Robson, 1976).
3. Kemasan IMF Pengemasan
disebut
juga
pembungkusan,
pewadahan,
atau
pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya pembungkus dapat mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari pencemaran dan gangguan fisik seperti gesekan, benturan, dan getaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi (Syarief et. al., 1989). Menurut Waletzko dan Labuza (1976) daya simpan suatu produk pangan dipengaruhi oleh 1). Interaksi antar komponen dalam sistem pangan tersebut, 2). Proses produksi yang digunakan, 3). Permeabilitas kemasan terhadapa cahaya, kelembaban (air), dan gas, dan 4). Disribusi waktu-suhu-RH pada saat penyimpanan dan transportasi. Pangan semi basah apabila dilihat dari substratnya sudah bersifat mengawetkan, tetapi dengan pengemasan yang baik akan dapat meningkatkan keawetannya dan berperan dalam pemasaran. Kemasan pangan semi basah tradisional seperti dodol dan wingko umumnya menggunakan kertas yang dilapisi dengan lilin dan plastik.
Menurut Syarief et. al. (1989) produk yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki nilai aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah. Beberapa kemasan yang dapat digunakan adalah plastik jenis polipropilen dan aluminium foil. Penggunaan plastik polipropilen dikarenakan sifatnya yang mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah, tahan suhu tinggi sampai dengan 150 oC, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak (Syarief et. al., 1989). Konstanta permeabilitas plastik polipropilen adalah sebesar 0.12 gram/m2.mmHg.hari (Eskin dan Robinson, 2001 dikutip di dalam Histifarina, 2002) Aluminium foil (alufo) bersifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Alufo dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Berbagai makanan yang dibungkus dengan aluminium foil menunjukkan bahwa produk tersebut cukup baik dan tahan terhadap aluminium dengan resiko perkaratan yang kecil (Syarief et. al., 1989). Menurut pengukuran Histifarina (2002), konstanta permeabilitas uap air aluminium foil adalah 0.02 gram/m2.mmHg.hari.
C. ISOTERMI SORPSI AIR (ISA) Isotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan equilibrium relative humidity ruang tempat penyimpanan bahan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Soekarto (1979) menyebutkan bahwa hubungan ini telah banyak dipakai pada banyak lapangan seperti penggudangan, pengeringan, dan pengemasan. Suatu peranan baru yang sangat penting adalah penggunaannya dalam formulasi dan disain pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF). Kurva isotermi sorpsi air menggambarkan kadar air kesetimbangan dalam
hubungannya
dengan
aktivitas
air
atau
kelembaban
relatif
keseimbangan pada suhu tertentu. Bentuk kurva isotermi sorpsi air khas untuk setiap bahan pangan.
Moisture Content
2 Desorpsi
1
Adsorpsi
3
Water Activity
Gambar 1. Kurva isotermi sorpsi air pada bahan pangan (deMan, 1989)
Kurva di atas memperlihatkan dua jenis isotermi sorpsi air. Umumnya istilah isotermi adsorpsi diperlukan untuk pengamatan produk higroskopik dan isotermi desorpsi untuk meneliti proses pengeringan. Kurva dengan kemiringan curam menunjukkan bahan bersifat higroskopik dan kurva yang agak mendatar menunjukkan produk yang tidak peka terhadap air (deMan, 1989). Kurva isotermi sorpsi biasanya berbentuk sigmoid dan dapat dipenggal menjadi tiga daerah yang sesuai dengan kondisi air yang berlainan dalam makanan. Bagian pertama biasanya curam, sesuai dengan adsorbsi lapisan monomolekul air, bagian kedua agak lebih rata sesuai dengan adsorpsi lapisan tambahan air, dan bagian ketiga menyatakan pengembunan air dalam kapiler dan pori-pori bahan (deMan, 1989). Tidak ada pembagian yang tajam antara ketiga daerah sorpsi tersebut dan tidak ada harga kelembaban relatif yang pasti untuk menggambarkan ketiga bagian ini. Bell dan Labuza (2000) mengklasifikasikan bentuk kurva isotermi sorpsi menjadi tiga tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I (A) adalah bentuk kurva sorpsi yang khas untuk bahan anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan sejumlah besar air
pada aw yang rendah. Tipe II (B) merupakan bentuk kurva sorpsi yang paling banyak ditemui pada produk pangan. Tipe III (C) mewakili kurva sorpsi untuk bahan kristal seperti sukrosa.
Gambar 2. Tiga tipe kurva isotermi sorpsi (Bell dan Labuza, 2000)
1. Aktivitas Air (aw) Kandungan air suatu bahan pangan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan masa simpan. Oleh karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Aktivitas air memiliki peranan penting dalam hubungannya dengan stabilitas bahan. Gambar 3 menunjukkan hubungan aktivitas air dengan Aktivitas air atau water activity (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993).
Gambar 3. Stabilitas bahan pangan sebagai fungsi dari aw (Fennema, 1996) Masih di dalam Syarief dan Halid (1993) aktivitas air berdasarkan hukum Raoult berbanding lurus dengan jumlah mol zat terlarut dan berbanding terbalik dengan jumlah mol pelarut. aw =
n1 n1 + n2
dengan n1 n2
………………………………………..... (1) : jumlah mol zat terlarut : jumlah mol pelarut
n1 + n2 : jumlah mol larutan Aktivitas air dalam kondisi normal dinyatakan sebagai perbandingan tekanan uap air pada bahan (P) dan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama (Fennema, 1996). Sesuai definisi di atas, aktivitas air dinyatakan dalam persamaan aw =
P ………………………………………………. (2) Po
Tahanan air dalam makanan juga dipaparkan oleh hubungan antara kandungan air makanan dan kelambaban nisbi udara di sekelilingnya. Perbandingan kedua angka ini juga menyatakan aktivitas air. Kelembaban
nisbi yang berlaku dalam terminologi ini adalah kelembaban nisbi kesetimbangan atau equilibrium relative humidity / ERH (deMan, 1989). Aktivitas air pada keadaan kesetimbangan ini dinyatakan dalam persamaan aw = ERH 100
………………………………………….
(3)
2. Model Persamaan Isotermi Sorpsi Air Model matematika mengenai isotermi sorpsi air telah banyak dikemukakan oleh para ahli baik secara empiris maupun teoritis. Beberapa model masih dibatasi oleh kondisi percobaan. Model yang umum digunakan pada bahan pangan diantaranya adalah model BET dan GAB.. International Symposium on Properties of Water (ISOPOW) pada tahun 1983 menyatakan bahwa model persamaan yang paling tepat untuk menggambarkan isotermi sorpsi adalah model GAB (GuggenheimAnderson-de Boer). Persamaan ini dapat dipakai pada kelembaban relatif sampai 94% (van den Berg, 1985 di dalam Bell dan Labuza, 2000). Model persamaan GAB ini merupakan perluasan model BET. Persamaan tersebut adalah : m =
C . k . mo .aw ................................ (4) (1- k aw)(1-k aw + C k aw)
dengan : C
: konstanta Gunggenheim (energi adsorpsi)
k
: faktor koreksi
mo
: kadar air monolayer
D. HUMEKTAN Prinsip dasar pembuatan IMF adalah menurunkan aw bahan sampai mencapai zone aw IMF. Penurunan aw tersebut dapat dicapai dengan mengeringkan bahan. Akan tetapi produk kering biasanya memerlukan rehidrasi sebelum dapat dikonsumsi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan humektan. Humektan adalah bahan yang dapat menurunkan
nilai aw tetapi dapat mempertahankan kandungan air yang terdapat pada produk, serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al., 1999). Taoukis et. al. (1999) juga mengatakan bahwa terdapat empat kategori senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu (1) garam (mineral dan organik), (2) gula, (3) poliol, dan (4) turunan protein. Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis humektan dan berbagai fungsinya. Menurut Troller (1989), kriteria pemakaian humektan dalam bahan pangan yaitu, aman, diizinkan oleh undang-undang, efektif sesuai dengan konsentrasi penggunaannya, tidak merusak produk pangan, tidak berbau, tidak berwarna atau tidak mengubah warna produk pangan. Humektan selain berkemampuan mengikat air dan menurunkan aw, juga dapat bersifat sebagai anti mikroba (bacteriostatic dan mycostatic), memperbaiki tekstur, cita rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori. 1. Sorbitol Sorbitol diisolasi pertama kali pada tahun 1872 oleh kimiawan Prancis, J. B. Boussugault. Menurut Codex nama Sorbitol disebut juga DGlucitol, D-Glucitol syrup, Sorbit, D-Sorbitol, dan Sorbol. Menurut Badan POM, sorbitol merupakan monosakarida poliol (1,2,3,4,5,6–Hexanehexol) dengan rumus kimia C6H14O6. Sorbitol berupa senyawa yang berbentuk granul atau kristal dan berwarna putih dengan titik leleh berkisar antara 89° sampai dengan 101°C. Sorbitol mudah larut dalam air tetapi tidak dapat larut dalam pelarut organik kecuali etanol (Hough et. al.,1979). Tingkat kemanisan sorbitol 0.48-0.54 dari sukrosa. Sorbitol berwarna putih, tidak berbau, bersifat higroskopik, dan menimbulkan aftertaste dingin (Hough et. al., 1979). Nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g atau setara dengan 10,87 kJ/g. Penggunaan sorbitol tergolong GRAS, tetapi jika dikonsumsi lebih dari 50 gram/hari akan menimbulkan efek laksatif atau diare (Caloriecontrol, 2006). Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia sorbitol (www.wikipedia.org)
Sorbitol digunakan pada sugarless frozen dessert, menjaga kelembaban kelapa parut siap pakai, sugarless candy, permen karet, es krim, dan minuman/makanan rendah kalori (Igoe dan Hui, 1994). Poliol termasuk sorbitol merupakan bahan yang resisten terhadap metabolisme bakteri di dalam mulut. Bakteri ini memecah gula dan pati menjadi asam yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan enamel gigi. Sorbitol juga tahan terhadap suhu tinggi, sehingga tidak menyebabkan reaksi pencoklatan (Maillard reaction) (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol juga banyak digunakan sebagai gula alternatif bagi penderita diabetes karena cenderung tidak menimbulkan hyperglycaemia (peningkatan gula darah). Hal ini disebabkan sorbitol diubah menjadi fruktosa di dalam hati (Hough et. al., 1979 ).
2. Gliserol Gliserol merupakan plasticizer yang tergolong dalam senyawa poliol yang memiliki tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan berat molekul 92,10, massa jenis 1,23 g/cm3 serta titik didihnya 2040C (Winarno, 1992). Secara alami gliserol terdapat pada tanaman yaitu melalui penguraian fruktosa difosfat oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton kemudian direduksi menjadi α-gliserofosfat. Gugus fosfat dihilangkan melalui proses fosforilasi sehingga terbentuk molekul gliserol (Winarno, 1992). Gliserol juga dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun.
Gambar 5. Struktur kimia gliserol (www.wikipedia.org)
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air (humektan) dan platicizer. Gliserol juga biasa digunakan untuk mengatur kandungan air dalam makanan sehingga dapat mencegah kekeringan pada makanan. Gliserol berbentuk cair dengan rasa manis agak pahit (bittersweet) (Igoe dan Hui, 1994). Tingkat kemanisan gliserol adalah 0.75 kali sukrosa. Penggunaan gliserol dalam jumlah besar dapat menimbulkan rasa pahit (Fennema, 1996). Menurut Lindsay (1985), gliserol bersifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw. Gliserol banyak digunakan pada produk confectionary (permen dan marsmallow), sebagai pelarut flavor, untuk menurunkan lemak pada frozen dessert, dan mencegah pembentukan kristal es (Igoe dan Hui, 1994). Produk non pangan yang menggunakan gliserol antara lain produk perawatan tubuh, sabun, obat-obatan, dan produk kesehatan mulut. Berdasarkan FDA-21 CFR 182.1320, gliserol tergolong GRAS bila penggunaannya sesuai kebutuhan dan standar GMP (Good Manufacturing Practice).
Meskipun
aman
digunakan,
perlu
diwaspadai
adanya
kontaminasi gliserol oleh dietilen glikol yang merupakan senyawa yang berbahaya bagi kesehatan manusia (www.fda.gov).
Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangana Menu Fung KekeAktivitas Kemampuan Menahan Pema Bahan run Status FDA si nyalan antimikroba rehidrasi Kristalisasi nis kan aw lainb Garam Mineral NaCl, KCl, CaCl2 XX X X XX GRAS Phospat, polyphospat X XX CFR 182 and 184 Karbonat dan Sulfat tertentu XX XX CFR 182 and 184 Garam dari serum susu XX X CFR 182 and 184 Asam Organik Asam-asam pangan dan garamXX X XX X XX CFR 182 and 184 garam Na, K, dan Ca Asam Askorbat X XX CFR 182 and 184 Protein dan turunannya Asam-asam amino dan garam XX X XX 21 CFR 172.320 Oligopeptida X XX GRAS Hidrolisat protein XX X XX GRAS Monosakarida, Disakarida dan Polisakarida Pentosa XX XX GRAS Hexosa (glukosa, ftuktosa) XX XX XX XX GRAS Mannosa, galaktosa, dll XX XX GRAS Disakarida (sukrosa, laktosa, XX XX XX GRAS maltosa) Berbagai macam Oligosakarida XX XX X GRAS Produk alami dan industri : XX XX XX GRAS madu, gula invert, Sirup jagung tinggi fruktosa, sirup glukosa, sirup maple
Tabel 1. Humektan yang umum digunakan, konvensional dan non konvensional serta peranan utamanya dalam pangan (lanjutan) Menu Fung KekeAktivitas Kemampuan Menahan Pema Bahan run Status FDA si nyalan antimikroba rehidrasi Kristalisasi nis kan aw lainb Maltodekstrin (dekstrosa X XX GRAS ekivalen 3-20) dan hidrolisatnya; gum dan hidrolisatnya; selulosa dan hidrolisatnya XX XX XX X GRAS Alkohol dan polyols Ethanol XX XX 21 CFR 184.1293 Sorbitol XX XX XX XX XX 21 CFR 184.1835 Mannitol, xylitol, erythritol XX X XX 21 CFR 172.395 Gliserol XX XX X XX X X 21 CFR 182.1320 1,2-propanadiol, 1,2-butanadiol XX XX XX X 21 CFR 182.1666 (propilen glikol) 1,3-butanadiol, 1,3-pentanadiol XX XX XX 21 CFR 172.220 (1,3-butilen glikol) 1,3,5-polyol (empat untuk 12 XX XX 21 CFR 172.864 atom karbon) Polietilen glikol (mol wt 400, XX XX 21 CFR 172.820 600, 1500, 2400, dll) a dikutip dari Guilbert (1984) di dalam Taoukis et al. (1999) b Fungsi lainnya termasuk pengatur pH, meningkatkan nilai gizi, melarutkan protein dan antioksidasi
3. Aplikasi Humektan Jumlah pemakaian humektan dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa persamaan matematika, misalnya persamaan Grover. Grover (1974) memprediksi aw dari larutan air-gula. Persamaan Grover memprediksi nilai aw produk berdasarkan komposisi produk dan perbandingan bobot masing-masing komponen dengan total bobot air dalam produk tersebut. Persamaan ini sangat tepat untuk aplikasi produk confectionary tetapi tidak tepat untuk pemakaian humektan dalam konsentrasi tinggi. Persamaan Grover tersaji pada persamaan 5 dan nilai konstanta persamaan Gover (Ei) dapat dilihat pada Tabel 2. aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 ........................................ (5) dimana, Eo = Σ Ei / mi Tabel 2. Nilai Ei Persamaan Grover Komponen Lemak Pati Gum Pektin Sukrosa Laktosa Gula invert Protein Asam Gliserol Sodium klorida
Ei 0 0.8 0.8 0.8 1.0 1.0 1.3 1.3 2.5 4.0 9.0
E. TEPUNG KACANG HIJAU Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dikenal dengan beberapa nama, seperti mungo, mung bean, green bean dan mung. Tanaman kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting di Indonesia. Posisinya menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan kacang tanah (Marzuki dan Suprapto, 2005). Kacang hijau memiliki beberapa nama daerah, seperti artak (Madura), kacang wilis (Bali), buwe (Flores), tibowang cadi (Makassar).
Buah/polong kacang hijau merupakan polong bulat memanjang dengan ukuran antara 6-15 cm. Polong muda berwarna hijau tua dan setelah tua berwarna hitam atau coklat jerami. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan pada umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, berwarna hijau, coklat, kuning atau hitam (Kay, 1979). Dua jenis kacang hijau yang paling terkenal adalah golden gram dan green gram. Golden gram merupakan kacang hijau yang berwarna keemasan, dalam bahasa botaninya disebut Phaseolus aureus sedangkan yang berwarna hijau atau green gram disebut Phaseolus radiatus (Astawan, 2005). Komposisi nilai gizi kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi zat gizi kacang hijau mentah per 100 gram bahan.* Komponen Energi (Kal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalium (mg) Phospor (mg) Fe (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (gram) * Prawiranegara (1989)
Jumlah 345 22.2 1.2 62.9 125 320 6.7 157 0.64 6 10
Melihat komposisi nilai gizinya, kacang hijau merupakan bahan yang cukup tinggi kandungan proteinnya. Beberapa asam amino esensial terdapat dalam jumlah yang tinggi. Asam amino esensial adalah asam amino yang hanya dapat diperoleh melalui asupan makanan. Kacang hijau tinggi kandungan asam amino glutamat dan asam amino leusin tetapi rendah kandungan metioninnya. Leusin dan metionin merupakan asam amino esensial. Kandungan asam amino dalam kacang hijau tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan asam amino kacang hijau* Jenis Asam Amino Kandungan (%) Alanin 4.15 Arginin 4.44 Asam aspartat 12.10 Asam glutamat 17.00 Glisin 4.03 Histidin** 4.05 Isoleusin** 6.95 Leusin** 12.90 Lisin** 7.94 Metionin** 0.84 Fenilalanin** 7.07 Prolin 4.72 Serin 5.35 Treonin** 4.50 Triptofan 1.35 Tirosin 3.86 Valin** 8.23 * Marzuki dan Suprapto (2005) ** asam amino esensial Pemanfaatan kacang hijau sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan antara lain untuk diolah menjadi makanan atau ditumbuhkan menjadi kecambah (tauge). Kacang hijau dapat juga diolah menjadi tepung, baik tepung kacang hijau atau tepung pati kacang hijau (tepung hunkwe). Tepung kacang hijau dapat digunakan untuk membuat aneka kue basah (cake), cookies dan kue tradisional (kue satu), produk bakery, bubur, dan makanan bayi. Tepung kacang hijau menurut SNI 01-3728-1995 adalah bahan makanan yang diperoleh dari biji tanaman kacang hijau (Phaseolus radiatus L) yang sudah dihilangkan kulit arinya dan diolah menjadi tepung. Syarat mutu standar tepung kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat mutu tepung kacang hijau (SNI 01-3728-1995) No. 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 12.1 12.2 12.3 12.4 13. 14. 14.1 14.2 14.3
Kriteria Uji Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati selain pati kacang hijau Kehalusan Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 40 mesh Air Silikat Serat kasar Derajat asam Protein Bahan tambahan makanan : bahan pengawet Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
Satuan
Persyaratan
-
Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
% b/b % b/b % b/b % b/b % b/b ml N. NaOH/100 g % b/b -
Min. 95 100 Maks. 10 Maks. 0.1 Maks. 3.0 Maks. 2.0
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5
koloni/g APM/g koloni/g
Maks. 106 Maks. 10 Maks. 104
Min. 23 Sesuai SNI 010222-1995
F. TEPUNG UBI JALAR Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau biasa disebut ketela rambat (Jawa) atau sweet potato (Inggris) dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis maupun sekitar subtropis, juga dengan keadaan tanah yang kurang subur. Ubi jalar merupakan bahan lokal yang biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat beberapa penduduk Indonesia. Produktivitas ubi jalar tertinggi kedua dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lainnya yaitu mencapai angka 105 kuintal/Ha pada tahun 2006 (Deptan, 2007). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang mengandung betakaroten, vitamin C, kalsium, sat besi juga serat. Ubi jalar mengandung beberapa jenis
oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi, yaitu stakisa, rafinosa, dan verbakosa. Oligosakarida penyebab flatulensi ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya gas dalam usus besar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Komposisi kimia ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi zat gizi ubi jalar putih per 100 gram bahan.* Komponen Energi (Kal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalium (mg) Phospor (mg) Fe (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (gram) * Prawiranegara (1989)
Jumlah 123 1.8 0.7 27.9 30 49 0.7 60 0.09 22 68.5
Masyarakat Indonesia umumnya memanfaatkan ubi jalar hanya sebatas konsumsi secara langsung secara sederhana. Pengolahan lanjut ubi jalar menjadi tepung ubi jalar misalnya, selain menjadi upaya pengawetan ubi jalar juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna ubi jalar. Pembuatan tepung ubi jalar dapat dilakukan dengan mudah menggunakan peralatan yang sederhana dan dapat dilakukan dalam skala industri rumah tangga ataupun industri kecil. Tepung ubi jalar dapat dibuat dari ubi jalar mentah ataupun ubi jalar masak yang telah dikukus atau direbus.
G. TEPUNG PISANG Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman sepanjang musim yang tumbuh subur di daerah tropis. Pisang juga merupakan tanaman yang biasa menjadi tanaman rumah tangga penduduk Indonesia. Produktivitas pisang merupakan tertingggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha pada tahun 2005 (Deptan, 2007).
Umumnya pisang dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu banana dan plantain. Banana adalah pisang yang lebih sering dikonsumsi dalam bentuk segar setelah buah matang, contohnya pisang raja, ambon, susu, mas, dan badak. Plantain adalah pisang yang dikonsumsi setelah digoreng atau direbus, seperti pisang kepok, siam, tanduk, dan uli. Terdapat juga jenis pisang lainnya yaitu pisang berbiji banyak yang disebut pisang batu atau pisang klutuk (Munadjim, 1983). Komponen gizi pada pisang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komponen gizi pisang uli per 100 gram Komponen Energi (Kal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalium (mg) Phospor (mg) Fe (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) * Prawiranegara (1989)
Jumlah 146 2.0 0.2 38.2 10 28 0.9 75 0.05 3 59.1
Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam bentuk asli dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tepung pisang mempunyai sifat mudah dicerna dan cocok digunakan sebagai bahan makanan untuk anak-anak. Tepung pisang di Eropa dimanfaatkan sebagai campuran dengan bubuk kakao sebagai bahan puding. Tersedianya tepung pisang dalam jumlah cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan makanan sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu memperringan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman, 1982). Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang, yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan
mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan. Tabel 8. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) No. 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 9.1 9.2 9.3 9.4 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan Jenis A Jenis B
Keadaan: Normal Bau Normal Normal Normal Rasa Normal Warna Normal Tidak ada Tidak ada Benda asing Tidak ada Tidak ada Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongan) Tidak ada Jenis pati lain selain Tidak ada tepung pisang Kehalusan lolos ayakan %b/b Min. 95 Min. 95 60 mesh Air %b/b Maks. 5 Maks. 12 SNI 01-0222-1987 Bahan tambahan makanan Sulfit (SO2) mg/kg negatif Maks. 10 Cemaran logam : Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0 Maks. 1.0 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0 Maks. 10.0 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05 Maks. 0.05 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 Maks. 0.5 Cemaran mikroba : Angka lempeng total kol/g Maks. 104 Maks. 106 Bakteri pembentuk coli 0 APM/g 0 E. coli Maks. 106 kol/g 0 2 Kapang dan khamir Maks. 104 kol/g Maks. 10 Negatif Salmonella/25 gram Staphylococcus aureus kol/g Negatif Pisang cukup sesuai diproses menjadi tepung karena kandungan
karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan 5% pati sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Kekitu, 1973 di dalam Gowen, 1995). Potensi gizi tepung pisang sebagai sumber karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan nilai karbohidrat tepung pisang dengan tepungtepungan lainnya * Bahan Tepung pisang Tepung beras Tepung jagung Tepung gaplek Beras pecah kulit * Hardiman (1982)
Karbohidrat (gram/100gr) 71.74 80 73.7 81.3 76.2
Keterangan Sebagai sumber pati Sebagai karbohidrat by difference
Tepung pisang dapat dibuat dari pisang muda dan pisang tua yang belum matang. Tepung pisang dari pisang muda mengandung pati yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung pisang dari pisang tua, sedangkan gula-gula sederhana sebaliknya (Munadjim, 1983). Menurut Von Loesecke (1950), pisang yang akan dibuat tepung sebaiknya dipanen saat mencapai tingkat kematangan ¾. Pada kondisi ini pembentukan pati mencapai jumlah maksimum dan tanin sebagian besar terurai menjadi ester aromatik dan fenol sehingga menghasilkan rasa asam dan manis yang seimbang.
III. BAHAN DAN METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk formulasi produk dan bahan analisis. Bahan untuk formulasi produk meliputi tepung, susu bubuk full cream, gula, minyak goreng, konsentrat protein kedelai, air, dan humektan. Tepung yang digunakan adalah tepung matang (disebut juga tepung instan) yang masing-masing dibuat dari kacang hijau, ubi jalar, dan pisang uli. Tepung ini terbuat dari bahan yang telah dimasak (dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Bahan lainnya yaitu minyak goreng komersil merek bimoli, gula pasir yang dihaluskan, susu bubuk full cream komersil merek Dancow, konsentrat protein kedelai instan merek Proteo, air mineral, sorbitol cair dan gliserol sebagai humektan yang dibeli dari toko kimia Bratako Chemical dan Setia Guna, Bogor. Bahan-bahan untuk analisis meliputi sepuluh jenis larutan garam jenuh yang menghasilkan kelembaban relatif 7.58 – 91.2 % dan bahanbahan kimia untuk analisis produk. Jenis garam yang digunakan dan kelembaban relatif yang dihasilkan tersaji pada Tabel 10. Bahan lainnya yang digunakan untuk analisis produk yaitu akuades, silika gel, dan vaselin, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat seperti, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, indikator merah metil dan biru metil, HCl, kapas bebas lemak, heksana, asam tartarat, potato dextrose agar, dan plate count agar. Bahan-bahan kimia ini diperoleh dari Ruang Persediaan Bahan Departemen ITP, Fateta – IPB.
Tabel 10. RH berbagai jenis garam dalam penentuan isotermi sorpsi * No. Jenis Garam 1. NaOH 2. LiCl 3. CH3COOK 4. MgCl2 K2CO3 5. 6. NaBr 7. KI 8. NaNO3 9. KCl 10. KNO3 * Bell dan Labuza (2000)
RH pada 25-30oC (%) 7.58 11.2 22.2 32.5 43.7 56.8 68.2 73.0 83.8 91.2
2. Alat Peralatan yang digunakan untuk pembuatan produk adalah mangkok, sendok pengaduk, neraca, penangas air, dan termometer. Sedangkan alatalat yang digunakan untuk analisis meliputi neraca analitik, cawan aluminium, cawan porselen, aluminium foil, inkubator suhu ruang, oven, desikator kecil, aw meter, tanur, labu Kjeldahl, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, buret, pipet, cawan petri, dan peralatan gelas lainnya yang mendukung penelitian.
B. METODOLOGI PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung yang digunakan sebagai bahan baku. Tahap kedua formulasi awal produk yang disesuaikan dengan persyaratan nilai makro nutrien pangan darurat. Tahap formulasi ini akan menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang hijau, dan tepung pisang. Verifikasi kandungan nutrisi prototipe produk dilakukan dengan analisis proksimat. Tahap ketiga dilakukan penentuan kurva isotermi sorpsi dari bahan baku dan formula ketiga prototipe produk yang telah dihasilkan.
Penelitian utama meliputi pembuatan produk dengan pengaturan kadar air dan aktivitas air (aw) serta aplikasi penambahan humektan. Analisis yang dilakukan pada produk adalah analisis proksimat dan uji organoleptik. Pengukuran isotermi sorpsi, analisis proksimat produk akhir dan pengujian mikrobiologis dilakukan pada produk terpilih hasil uji organoleptik.
2. Penelitian Pendahuluan b. Pembuatan tepung instan Tepung yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung matang atau tepung instan, yaitu tepung yang dibuat dari bahan yang telah dimasak sampai matang. Tahap awal penepungan adalah mengukus bahan-bahan seperti ubi jalar, pisang, dan kacang hijau sampai matang. Bahan yang telah matang tersebut kemudian diiris tipis (kecuali kacang hijau) lalu dikeringkan. Bahan yang telah kering kemudian dihaluskan dan diayak. Pengayakan bertujuan mendapatkan tepung dengan ukuran 80 mesh. Proses pembuatan tepung instan dapat dilihat pada Gambar 6.
c. Penghitungan formula awal produk Penghitungan formula awal produk didasarkan pada persyaratan nutrisi pangan darurat yaitu mengandung kalori minimal 233 kkal/ 1 bar dengan kandungan protein sebesar 7.9-8.1 g, lemak 9.1-11.7 g, dan karbohidrat 23-35 g. Nilai ini berdasarkan asumsi bahwa satu bar sama dengan 50 gram bobot kering. Tahap formulasi ini akan menghasilkan tiga prototipe produk berbahan dasar tepung ubi jalar, tepung kacang hijau, dan tepung pisang dengan target rasa manis. Bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi adalah masingmasing tepung sebagai sumber karbohidrat, konsentrat protein kedelai sebagai sumber protein, susu bubuk fullcream sebagai sumber protein dan lemak serta menambah cita rasa, dan minyak goreng sebagai
Bahan-bahan yang akan ditepungkan
Dibersihkan
Dimasak/dikukus sampai matang
Ditiriskan dan dibersihkan kembali
Diiris tipis-tipis (kecuali kacang hijau)
Dikeringkan
Dihaluskan dan diayak 80 mesh
Dikemas
Tepung instan Gambar 6. Diagram alir proses produksi tepung instan
sumber lemak. Penambahan gula dilakukan untuk memperoleh rasa manis sesuai target rasa produk. Formulasi ini dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel dengan prinsip kesetimbangan massa. Data-data awal komposisi bahan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan (DKBM) dan dari informasi nilai gizi pada label bahan yang dipakai. Data-data awal tersebut juga diperoleh dari analisis proksimat untuk bahan-bahan yang tidak terdapat pada DKBM. Analisis proksimat juga dilakukan untuk verifikasi formulasi awal.
d. Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula awal Penentuan kurva isotermi sorpsi ini digunakan untuk mengetahui jumlah air yang akan ditambahkan pada formulasi awal sesuai nilai aw yang diinginkan. Penentuan kurva isotermi sorpsi diawali dengan pengukuran kadar air awal sampel. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven menurut SNI 01-2891-1992. Kadar air awal ini digunakan untuk mengetahui kondisi awal dan bobot solid sampel. Penentuan kurva isotermi sorpsi ini menggunakan sepuluh jenis larutan garam jenuh. Larutan garam jenuh dibuat dengan melarutkan garam ke dalam aquades pada desikator kecil sampai menjadi jenuh. Kondisi jenuh diketahui ketika garam tidak dapat larut lagi. Sekitar lima gram sampel diletakkan pada cawan aluminium foil kering yang telah diketahui bobotnya kemudian dimasukkan ke dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh seperti terdapat pada Tabel 10. Desikator yang telah berisi sampel disimpan dalam inkubator suhu ruang (+ 30 oC). Susunan alat dapat dilihat pada Gambar 7.
Keterangan :
1
1. Inkubator 2. Desikator 2
3. Penyangga berlubang 4
3
4. Cawan aluminium berisi sampel
5
5. Larutan garam jenuh
Gambar 7. Susunan Alat Penentuan Isotermi Sorpsi Air
Sampel dalam cawan ditimbang bobotnya setiap hari sekali sampai diperoleh bobot konstan. Bobot konstan ditandai oleh selisih antara tiga penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g bobot kering untuk sampel pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2002). Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992). Kadar air ini adalah kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva isotermi sorpsi dibuat dengan memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai aw atau ERH (equilibrium relative humidity) dengan menggunakan model persamaan GAB. m =
C.k .mo.aw (1 − kaw)(1 − kaw + Ckaw)
dengan m menunjukkan kadar air, C adalah konstanta Gunggenheim atau menunjukkan energi adsorpsi air, dan k sebagai persamaan GAB, serta mo sebagai kadar air monolayer. Penentuan kurva isotermi sorpsi juga dilakukan pada produk terpilih yang telah ditambah humektan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan isotermi sorpsi GAB untuk menggambarkan keseluruhan kurva isotermi sorpsi hasil percobaan. Uji ketepatan
model dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1992). Rumus MRD adalah : MRD =
100 n
n
∑ | ( Mi − Mpi) / Mi | i =1
dengan Mi menunjukkan kadar air percobaan, Mpi sebagai kadar air hasil penghitungan dengan persamaan GAB, dan n adalah jumlah data. Nilai MRD < 5 menunjukkan model isotermi sorpsi dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan cukup tepat. Nilai 5 < MRD <10 menyatakan keadaan yang agak tepat dan MRD > 10 menggambarkan keadaan yang tidak tepat.
3. Penelitian Utama Formulasi produk IMF dilakukan dengan pengaturan kadar air formula awal dan penggunaan humektan. Metode produksi yang digunakan adalah moist infution yaitu bahan-bahan seperti pada formulasi awal ditambah air sampai tidak menyebabkan rasa haus dan mudah ditelan. Besarnya jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui dari persamaan isotermi sorpsi formulasi awal. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada aw tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Bahan yang telah dicampur air kemudian ditambah humektan untuk menurunkan nilai aw menjadi 0.6 – 0.8. Tahap selanjutnya adalah pencetakan dan pengemasan. Skema diagram alir proses produksi dapat dilihat pada Gambar 8. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Jumlah humektan yang ditambahkan ke dalam produk harus mampu mencapai kisaran aw produk akhir 0.6 – 0.8. Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan Grover dengan rumus: aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2
dimana Eo = Σ Ei / mi Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3, karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan mi adalah kadar air dalam gram air per gram bahan. Nilai Ei pada gliserol sebesar 4,0 dan nilai Ei pada sorbitol sebesar 2,0. Hasil perhitungan jumlah humektan yang diperoleh dengan persamaan Grover diaplikasikan pada proses produksi IMF. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan aftertaste pahit. Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik meliputi kemudahan ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan keseluruhan produk. Hasil uji organoleptik adalah formula terpilih diantara tiga formula yang direncanakan. Karakterisasi produk akhir dilakukan pada formula terpilih uji organoleptik. Karakterisasi produk akhir meliputi analisis proksimat akhir, pengaruh humektan pada kurva isotermi sorpsi, dan analisis mikrobiologi produk (total mikroba dan kapang-khamir).
Bahan-bahan formulasi awal
Dicampur sampai homogen
Formula awal
Ditambah air mineral (air telah direbus sampai suhu + 80 oC)
Cek dengan aw meter
Diaduk sampai homogen
Dicicipi
Haus/tidak mudah ditelan
Tidak haus/mudah ditelan
Ditambah humektan sampai aw + 0.6-0.8
Cek dengan aw meter
Dicampur sampai homogen
Dicetak dan dikemas
Produk IMF Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution
4. Metode Analisis b. Analisis Proksimat a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992) Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam oven bersuhu + 105-110 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dua gram sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105110 oC selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air (% bk)
= (W1 + W2) –W3 x 100 (W3 – W1)
Kadar air (% bb)
= (W1 + W2) – W3 x 100 W2
Keterangan : W1 = bobot cawan aluminium kosong (g) W2 = bobot sampel (g) W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992) Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550 oC hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan : Kadar abu (% bb)
=
Keterangan : W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot abu (g)
W2 W1
x
100
a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, 2.0 + 0.1 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Sampel didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan : Kadar N (%)
= (Vs – Vb) x C x 14.007 x 100 % bobot sampel
Kadar protein (%) = % N x 6.25
Keterangan : Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = volume untuk titrasi blanko (ml) C = konsentrasi HCl (N)
a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992) Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven
bersuhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan : Kadar lemak (% bb) =
W2 W1
x 100 %
Keterangan : W1 = bobot sampel (g) W2 = bobot lemak (g)
a.5. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (air + abu + protein + lemak) (% bb) c. Analisis nilai aw dengan aw meter Analisis dengan aw meter dilakukan untuk mengetahui nilai aw aktual pada produk. Pengukuran dilakukan dengan aw meter merek Shibaura. Pengukuran dimulai dengan mengkalibrasi alat aw meter dengan garam jenuh NaCl yang memiliki nilai aw 0.75. Selanjutnya dilakukan pengujian nilai aw pada sampel uji. Sampel yang diuji berukuran 3-5 gram. Nilai aw terbaca pada saat alat menunjukkan nilai aw yang tetap atau complete test.
Gambar 9. Alat aw meter Shibaura Electronics WA-360
d. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999) Uji
organoleptik
dilakukan
untuk
mengetahui
penilaian
konsumen terhadap produk. Uji yang dilakukan adalah uji rating
hedonik dan uji rating atribut kemudahan ditelan dan aftertaste pahit menggunakan skala 1-7. Uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif sedangkan uji rating atribut dapat digolongkan pada multisample difference test : rating approach. Pengujian menggunakan 25 orang panelis dari lingkungan kampus IPB. Kuesioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4. Pengujian rating hedonik dan uji rating terhadap masing-masing atribut dilakukan tanpa membandingkan antar sampel. Pengujian dilakukan di dalam ruangan khusus uji organoleptik yang berisi 10 booth dengan tipe pintu rounding door. Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA).
e. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 013751-2006) Analisis mikrobiologis dilakukan terhadap formula terpilih dari uji organoleptik. Pengujian ini dilakukan tiap minggu sekali selama satu bulan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis total mikroba (TPC) dengan menggunakan plate count agar (PCA) dan total kapangkhamir menggunakan acidified potato dextrose agar (APDA). APDA merupakan PDA yang diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10%. Analisis mikrobiologi mengacu pada SNI 01-3751-2006 yaitu cara uji cemaran mikroba pada tepung terigu. Hal ini dikarenakan produk pangan darurat ini berbahan baku tepung. Sampel uji yang berupa padatan ditimbang 10 gram kemudian ditempatkan dalam plastik steril dan ditambahkan larutan fisiologis NaCl 0.85% sebanyak 90 ml. Larutan ini kemudian dihomogenisasi di dalam alat stomacher selama satu menit. Larutan ini merupakan larutan konsentrasi 10-1. Pemupukan dilakukan sampai 10-5. Metode yang digunakan adalah cawan tuang, yaitu agar steril dituangkan ke dalam cawan yang telah berisi sampel pada tingkat pengenceran tertentu. Cawan yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama dua hari di dalam inkubator suhu 37 oC untuk total mikroba dan 25 oC
untuk kapang-khamir. Cawan diinkubasi dalam posisi terbalik. Pada analisis total mikroba, dipilih cawan yang menunjukkan jumlah koloni antara 25-250 sedangkan pada analisis kapang khamir dipilih cawan dengan jumlah koloni 10-150. Penghitungan koloni total mikroba : N
=
ΣC a [(1.n1) + (0.1.n2)] x d
Keterangan : N
= total koloni per ml atau gram sampel
C
= jumlah koloni yang dapat dihitung
n1
= jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2
= jumlah cawan pada pengenceran kedua
d
= tingkat pengenceran pertama saat mulai penghitungan
Penghitungan koloni total kapang-khamir : N
= rata-rata jumlah koloni x faktor pengenceran
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU UNTUK FORMULASI PRODUK Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat ini adalah tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Ketiga tepung ini merupakan tepung masak atau tepung instan. Hidayah (2002) mengatakan bahwa perbedaan dasar dari proses pembuatan tepung kacang hijau instan dan non instan adalah pada tahap pematangan atau pengukusan sebelum proses pengeringan sehingga kacang hijau dalam keadaan telah matang pada saat pengeringan. Tepung instan yang digunakan dalam formulasi ini dibuat dari bahan-bahan yang telah dimasak sampai matang (dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Tepung instan dapat langsung dikonsumsi tanpa dimasak lebih lanjut. Masing-masing tepung berukuran 80 mesh. Tepung ubi jalar berwarna putih agak kecoklatan karena menggunakan ubi jalar putih dan memiliki aroma khas ubi. Warna kecoklatan ini dapat disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Ubi jalar mentah jika dibiarkan kontak dengan udara luar akan berubah kecoklatan akibat adanya aktivitas enzim polifenolase (Syarif dan Halid, 1993). Namun reaksi pencoklatan enzimatis dapat dihambat salah satunya dengan pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga memiliki kandungan gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26 % (Tsou et. al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Tingginya kandungan gula ini kemungkinan juga menyebabkan tepung ubi jalar yang terbuat dari ubi jalar putih berwarna agak kecoklatan akibat reaksi pencoklatan atau karamelisasi. Tepung ubi jalar ini memiliki nilai kadar air sebesar 4.78 %bk. Tepung pisang berwarna coklat muda dan memiliki aroma khas pisang (amil asetat). Pisang yang digunakan untuk membuat tepung ini adalah jenis pisang uli. Pisang uli merupakan jenis plantain, yaitu pisang yang perlu dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Tepung pisang ini dibuat dari pisang uli yang telah dikukus sampai matang. Pisang secara umum
mengandung senyawa fenol yang memberikan sensasi rasa astringent pada pisang muda dan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis (John dan Marchal, 1995). Pisang uli mentah berwarna putih kekuningan, tetapi setelah dikukus sampai matang berubah menjadi kuning kecoklatan sehingga menghasilkan tepung pisang yang berwarna coklat muda. Kadar air tepung pisang adalah sebesar 3.76 %bk. Tepung kacang hijau dibuat dari kacang hijau yang telah dihilangkan kulit arinya yang berwarna hijau dengan cara merendam kacang hijau dalam air selama satu malam sehingga kulit arinya mudah lepas atau dapat juga menggunakan kacang hijau kupas kulit komersial sehingga lebih efisien waktu. Tepung kacang hijau berwarna kuning karena kacang hijau yang telah hilang kulit arinya berwarna kuning. Permasalahan yang timbul dari tepung kacang hijau ini adalah masih terdapatnya bau langu kacang hijau sehingga agak mengganggu karakteristik sensorinya. Tepung kacang hijau memiliki kadar air sebesar 4.20 %bk. Penampakan masing-masing tepung tersaji pada Gambar 10.
Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku Ingridien lain yang digunakan dalam formulasi ini adalah susu bubuk, konsentrat protein kedelai, gula, dan minyak goreng. Susu bubuk dan konsentrat protein kedelai berfungsi sebagai sumber protein. Susu bubuk yang dipakai adalah susu bubuk fullcream dengan pertimbangan efek sensori yang dihasilkannya yaitu lebih berasa creamy dan manis. Susu merupakan satusatunya bahan hewani yang diizinkan untuk digunakan sebagai ingridien
dalam produksi pangan darurat, namun penggunaanya tidak boleh berlebihan dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber karbohidrat meskipun susu mengandung gula (laktosa). Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat mengkonsumsi susu sapi karena adanya efek lactose intolerance pada beberapa orang. Konsentrat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi ini adalah jenis konsentrat protein kedelai instan yaitu dapat langsung dikonsumsi tanpa pemasakan lebih lanjut. Gula berperan sebagai pencita rasa manis, sesuai dengan target rasa produk, sebagaimana dijelaskan oleh Zoumas et. al. (2002), bahwa pangan darurat dianjurkan memiliki cita rasa manis. Gula yang digunakan berupa gula pasir (sukrosa) kristal yang dihaluskan. Penghalusan ini bertujuan mempermudah percampuran bahan. Minyak di dalam komposisi formula digunakan sebagai sumber lemak. Sumber lemak di dalam komposisi pangan darurat hendaknya berupa lemak nabati dan tidak boleh menggunakan lemak hewani, seperti lemak babi (lard), lemak sapi (tallow), dan produk turunannya (Zoumas et. al. 2002). Minyak yang digunakan dalam formulasi ini adalah minyak goreng atau minyak kelapa sawit.
B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK Proses formulasi awal produk dilakukan untuk mendapatkan formulasi awal produk sesuai dengan standar nutrisi pangan darurat 2100 kkal/hari atau 233 kkal/bar dan sifat sensori rasa produk. Produk yang diharapkan memiliki rasa manis. Menurut Drewnoski (1997) di dalam Zoumas et. al. (2002), flavor yang paling mudah diterima oleh sebagian besar populasi yang beragam di dunia ini adalah rasa manis. Prototipe produk mengacu pada kue-kue tradisional Indonesia yaitu kue satu dan bakpia pathuk (isi kacang hijau) atau makanan ringan komersial yang terbuat dari tepung kedelai dan buah-buahan kering (fruit soy bar). Penghitungan
formulasi
dan
nilai
kecukupan
nutrisi
dihitung
berdasarkan nilai makronutrien yang terdapat pada Daftar Komposisi Bahan Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1989) tetapi pada konsentrat
protein kedelai instan yang tidak terdapat pada daftar tersebut dilakukan analisis proksimat sendiri untuk mengetahui komposisi nutrisinya. Komposisi nutrisi susu bubuk mengacu pada daftar nutrisi yang terdapat pada kemasan produk. Daftar nilai makronutrien bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi pangan darurat ini terdapat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi Makronutrien (g/100 g bobot solid) Protein Lemak KH a Ubi jalar putih 5.7143 2.2222 88.5714 Pisang ulia 4.8900 0.4890 93.3985 a Kacang hijau 24.6667 1.3333 69.8889 Konsentrat protein kedelaib 88.8421 0.8842 5.8842 c Susu bubuk fullcream 29.0187 24.4368 38.5643 Gulaa 0 0 99.3658 Minyak kelapa sawita 0 100 0 a Keterangan : = berdasarkan data DKBM dengan konversi bobot solidnya b = hasil analisis proksimat c = berdasarkan data pada label kemasan produk Bahan
Penghitungan formulasi menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan Microsoft excel. Prototipe produk yang diharapkan memiliki nilai protein 7.9–8.1 gram, lemak 9-11.7 gram, dan karbohidrat 23-35 gram per bar dengan asumsi tiap bar sama dengan 50 gram solid. Nilai kalori total didapatkan dari jumlah makronutrien bahan yang digunakan dalam formulasi dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Tiap gramnya karbohidrat dan protein memiliki kalori sebesar 4 kkal sedangkan lemak 9 kkal (Prawiranegara, 1989). Formulasi dasar produk dan prediksi kecukupan persyaratan nutrisi dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.
Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat FORMULA
Ubi Jalar
Pisang
Kacang Hijau
BAHAN Tepung ubi jalar Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng Tepung pisang Susu bubuk fullcream Konsentrat protein kedelai Gula Minyak goreng Tepung kacang hijau Gula Minyak goreng
% 39.22 16.67 13.73 13.73 16.67 42.27 19.59 9.28 15.46 13.40 64.70 17.65 17.65
Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula
Protein (g/bar) Lemak (g/bar) Karbohidrat (g/bar) Total Kalori/bar (kkal)
Formula Ubi Jalar 9.6357 10.8661 27.8037 247.5527
Formula Pisang 7.9970 9.2387 31.4747 241.0231
Formula Kacang Hijau 7.9804 9.2549 31.3787 240.7303
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa formula dengan bahan baku tepung kacang hijau tidak menggunakan konsentrat protein kedelai dan susu bubuk sebagai tambahan ingridien sumber protein. Hal ini dikarenakan hanya dengan menggunakan tepung kacang hijau sudah mencukupi nilai kecukupan protein, yaitu 7.9 – 8.1 gram/bar. Kacang hijau merupakan jenis kacang-kacangan yang tinggi kandungan proteinnya. Produk dengan bahan baku tepung ubi jalar dan tepung pisang perlu ditambahkan ingridien sebagai sumber protein karena kedua bahan tersebut rendah kandungan proteinnya.
C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU DAN FORMULA AWAL Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku digunakan untuk melihat stabililitasnya dan perkiraan pola isotermi sorpsi dari formula awal sedangkan isotermi sorpsi formula awal digunakan untuk mengetahui jumlah air yang ditambahkan dalam produksi IMF.
IMF dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Proses produksi IMF modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian dikontrol proses pembasahannya sedangkan pada tipe desorpsi, bahan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi sampai
diperoleh
keseimbangan
pada
tingkat
aw
yang
diinginkan
(Robson,1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan antara kandungan air dengan nilai aw yang digambarkan dengan grafik isotermi sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989). Pembuatan kurva isotermi sorpsi diawali dengan penentuan kadar air kesetimbangan pada berbagai RH pada suhu + 30 oC. Masing-masing bahan mengalami kesetimbangan pada rentang waktu yang berbeda, yaitu sekitar 4 – 14 hari. Data pengukuran kadar air masing-masing bahan tersaji pada Lampiran 1. Isotermi sorpsi tepung ubi jalar, tepung pisang, tepung kacang hijau, dan ketiga formula awal memperlihatkan model yang sama yaitu berbentuk sigmoid atau seperti huruf S. Bentuk kurva isotermi sorpsi yang demikian merupakan bentuk yang umum ditemui pada bahan pangan. Tipe kurva isotermi sorpsi yang berbentuk sigmoid ini menurut Bell dan Labuza (2000) disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari kombinasi efek koligatif, efek kapiler, dan interaksi permukaan solid dengan air. Bahan dari formula awal yang dianalisis isotermi sorpsinya terbatas pada bahan baku masing-masing produk. Tepung ubi jalar, tepung pisang dan tepung kacang hijau dalam masing-masing formula memiliki presentasi yang lebih tinggi dibanding bahan-bahan yang lainnya yaitu sebesar 39.22%, 42.27%, dan 64.70%. Hal ini mengacu pada Adawiyah (2006) yang melakukan penelitian terhadap isotermi sorpsi model pangan dan komponen penyusunnya. Penelitian tersebut menghasilkan pola isotermi sorpsi model pangan berbentuk sigmoid menyerupai pola sorpsi pati dan kasein yang prosentasenya lebih tinggi dibanding bahan lainnya dan tidak tampaknya pengaruh gula pada pola isotermi sorpsi model pangan dikarenakan
proporsinya yang kecil. Bentuk kurva isotermi sorpsi gula dapat dilihat pada Gambar 11 yang memperlihatkan patahan tajam pada nilai aw 0.84.
Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006)
Bahan yang berada pada RH tinggi (80-90%) ditumbuhi kapang sebelum mencapai titik kesetimbangan. Pada saat kapang telah tumbuh, bobot bahan menjadi naik-turun tidak stabil. Kapang pada tepung ubi jalar mulai tumbuh pada RH 83.8 sedangkan pada tepung kacang hijau dan tepung pisang dimulai pada RH 91.2. Pertumbuhan kapang pada pengukuran isotermi sorpsi formula dimulai pada RH 83.8 pada masing-masing formula. Hal ini mungkin disebabkan lebih kompleknya bahan yang terdapat pada formula, seperti susu bubuk, konsentrat protein, dan gula. Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikororganisme.
Nutrisi
yang
diperlukan
dalam
pertumbuhan
mikroorganisme adalah sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi, dan faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan mineral. Contoh pertumbuhan kapang pada tepung dan formula dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan) Data hubungan kadar air (M) dengan nilai aw dari kurva isotermi sorpsi yang telah diperoleh kemudian diubah dalam persamaan matematis model GAB. Persamaan GAB tersebut adalah : m=
C.k .mo.aw ............................................... (6) (1 − kaw)(1 − kaw + Ckaw)
dengan m = kadar air basis kering (%), mo = kadar air monolayer (%), aw = aktivitas air, C dan k merupakan konstanta persamaaan GAB. Pembuatan kurva isotermi sorpsi dengan model GAB ini dimulai dengan membuat plot hubungan kuadratik antara aw/M dan aw. Persamaan GAB tersebut di atas diubah menjadi persamaan polinomial ordo dua atau persamaan kuadratiknya dengan aw/M sebagai ordinat dan aw sebagai absis seperti terlihat pada persamaan (7). Kurva hubungan kuadratik tepung dan formula awal dapat dilihat pada Gambar 13. aw k 1 1 2 1 = ( -1)aw2 + (1- )aw + ...................... (7) M mo C mo C Ckmo Persamaan kuadratik yang diperoleh dapat disederhanakan menjadi: Y = αX2 + βX + Є .................................................................... (8) dengan Y=
aw , X=aw, M
α=
k 1 1 2 1 ( -1), β = (1- ), dan Є = .................. (9) mo C mo C Ckmo
Substitusi α, β, dan Є dengan nilai persamaan kuadratik yang diperoleh menghasilkan nilai konstanta C dan k serta nilai kadar air monolayer (mo). Nilai k merupakan konstanta faktor koreksi dari molekul multilayer sedangkan C menunjukkan konstanta Gunggenheim (Liovonen dan Ross, 2002) atau menurut Adawiyah (2006) nilai C berhubungan dengan energi adsorpsi. Mo merupakan nilai kadar air monolayer. Daerah monolayer berada pada kisaran RH 0-20% (Syarief et. al., 1989). Nilai-nilai parameter persamaan GAB tersaji pada Tabel 14. 0,12
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00
2
y = -0,2738x + 0,2423x + 0,0092
aw/M
0,10 0,08 0,06 2
0,04
2
R = 0,9617
y = -0,3981x + 0,3598x + 0,0286 2 R = 0,9776
0,02 0,00
0,0
0,2
0,4
0,6
0
0,8
0,2
0,4
0,6
0,8
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00 0,00
0,12 0,10 0,08 aw/M
aw/M
aw
0,06 0,04
y = -0,2003x 2 + 0,2136x + 0,0007 R2 = 0,9756
2
y = -0,2192x + 0,2412x + 0,0378 2
0,02
R = 0,8878
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
0
0,2
0,4
0,6
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00 0,00
0,8
1
aw
0,12 0,1 0,08 aw/M
aw /M
aw
2
y = -0,1686x + 0,1813x + 0,0092 2 R = 0,9627
0,06 2
0,04
y = -0,2814x + 0,2617x + 0,0496
0,02
R = 0,94
2
0
0,20
0,40
0,60 aw
0,80
1,00
0
0,2
0,4
aw
0,6
0,8
1
Gambar 13. Hubungan Kuadratik aw dan aw/M dari tepung (kiri) dan formula (kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-bawah)
Tabel 14. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB
k C Mo MRD
Tepung K. Hijau 0.8898 24.1477 5.0589 3.79
Formula K.Hijau 0.9159 7.7426 2.8374 3.18
Tepung Ubi Jalar 1.0853 26.2674 3.8129 5.03
Formula Ubi Jalar 1.0232 14.2949 2.3905 2.85
Tepung Pisang 0.9349 328.4014 4.6531 4.42
Formula Pisang 0.8068 9.9091 3.3091 6.98
Kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar agak berbeda dari tepung kacang hijau dan pisang. Bentuk kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar landai sampai mencapai nilai aw sekitar 0.3-0.6. Pada nilai aw tersebut tepung ubi jalar mengalami kenaikan kadar air yang tidak terlalu tinggi tetapi pada aw 0.8-0.9 nilai kadar ainya naik cukup tinggi. Kurva yang berbentuk landai ini hampir menyerupai kurva isotermi sorpsi gula (Gambar 11), tetapi tidak terjadi patahan tajam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan gula dalam ubi jalar yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26% (Tsou et. al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Kurva isotermi tepung kacang hijau memiliki bentuk yang hampir sama dengan tepung pisang. Hal ini diduga karena kedua bahan tersebut mengandung karbohidrat (pati) dalam jumlah tinggi. Ubi jalar juga mengandung pati dalam jumlah cukup tinggi tetapi menurut Bradbury dan Holloway (1988) di dalam Sulistiyo (2006), pemasakan dapat menghidrolisis pati sehingga terjadi peningkatan maltosa. Kurva isotermi bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui stabilitasnya selama penyimpanan dan berhubungan dengan rencana pengemasan. Parameter stabilitas bahan berdasarkan kurva isotermi sorpsi terutama terletak pada nilai kadar air monolayer (mo). Menurut Bell dan Labuza (2000) pada kebanyakan produk pangan kering, kadar air monolayer menunjukkan kadar air kritis yang dapat juga diasosiasikan dengan nilai aw kritis. Penurunan kualitas produk terjadi seiring dengan peningkatan kadar air di atas kadar air monolayernya. Hal ini berarti jika produk memiliki kadar air
di atas kadar monolayernya maka produk akan lebih cepat mengalami penurunan kualitasnya. Pada kebanyakan produk pangan kering, kenaikan nilai aw sebesar 0.1 dapat menurunkan umur simpan produk 2-3 kalinya. Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan proses produksi yang bervariasi, penyimpanan dapat ditoleransi pada kondisi 1% di atas kadar air monolayernya (Bell dan Labuza, 2000). Berdasarkan pengukuran isotermi sorpsi bahan baku dapat diketahui masing-masing nilai kadar air monolayernya. Tabel 14 menunjukkan bahwa tepung ubi jalar memiliki kadar air monolayer sebesar 2.39% bk. Nilai ini lebih rendah dibandingkan kadar air awalnya yaitu sebesar 4.78% bk. Tepung kacang hijau dan tepung pisang masing-masing memiliki nilai kadar air monolayer di bawah nilai kadar air awalnya yaitu sebesar 5.06% bk dan 4.65% bk sedangkan kadar air awalnya masing-masing adalah 4.20%bk dan 3.76% bk. Gambar 14 memperlihatkan kurva isotermi sorpsi formula awal memiliki pola yang hampir sama dengan pola kurva isotermi sorpsi bahan bakunya tetapi letaknya lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada formula terdapat penambahan minyak goreng. Adanya minyak ini cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air (Adawiyah, 2006). Selain itu juga dapat dilihat bahwa tidak tampaknya pengaruh gula pada masing-masing pola kurva isotermi sorpsi formula awal. Masing-masing bahan memperlihatkan bahwa nilai kadar air monolayer dan konstanta C pada formula lebih rendah dibanding tepung tunggalnya sedangkan nilai k formula tidak terlalu berbeda dengan tepung tunggalnya. Menurut Adawiyah (2006) adanya penambahan minyak pada model pangan menurunkan jumlah dan energi pengikatan air pada lapis monolayer. Nilai MRD atau ketepatan model pada masing-masing pengukuran isotermi sorpsi menunjukkan nilai kurang dari 10% atau dapat dikatakan memiliki ketepatan cukup tinggi.
a
kadar air (%bk)
50 40
percobaan tep.ubi jalar
30
GAB tep.ubi jalar percobaan formula ubi jalar GAB formula ubi jalar
20 10 0 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
aw
b
kadar air (%bk)
35 30
percobaan tep.pisang
25
GAB tep.pisang
20 15
percobaan formula pisang
10
GAB formula pisang
5 0 0,0
0,2
0,4
aw
0,6
0,8
1,0
c
kadar air (%bk)
30 25
percobaan tep.k.hijau
20
GAB tep.k.hijau
15
percobaan formula k.hijau
10
GAB formula k.hijau
5 0 0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
aw
Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data percobaan dan data prediksi dengan persamaan GAB (a) basis tepung ubi jalar, (b) basis tepung pisang, (c) basis tepung kacang hijau
D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN DALAM FORMULASI Produksi IMF dilakukan dengan teknik pembuatan IMF metode moist infution, yaitu campuran bahan-bahan kering dikontrol proses pembasahannya (Robson, 1976). Proses pembasahan dilakukan dengan menambahkan air pada campuran bahan-bahan kering. Jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui dari kurva isotermi sorpsi formula. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada aw tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Air yang digunakan untuk produksi IMF ini merupakan air mineral yang telah dipanaskan sampai mencapai suhu + 80 oC.
1. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Ubi Jalar Penambahan jumlah air pada formula ubi jalar mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti terlihat pada Gambar 14. Penambahan air direncanakan sampai aw produk sekitar 0.8-0.9. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pada aw 0.8-0.9 kadar air produk cukup tinggi sehingga produk yang dihasilkan nantinya tidak menyebabkan haus, seret, dan susah ditelan. Jumlah air yang ditambahkan pada formula ubi jalar diperoleh dari interpolasi kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti pada Gambar 14, yaitu pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 12.9752% bk dan pada aw 0.9 diperoleh nilai kadar air 30.0410% bk. Nilai kadar air ini merupakan nilai kadar air perkiraan. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air awal formula yaitu sebesar 5.3408% bk dan kadar air yang ingin dicapai pada produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada produk, yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0763 gram H2O/gram bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.2470 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan penulis). Pengujian ini meliputi kemudahan ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik subjektif menyatakan bahwa pada aw 0.8 produk masih bersifat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah ditelan. Produk yang ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9 terlihat terlalu lembek sehingga sulit dicetak dan menempel pada langitlangit mulut ketika dikonsumsi. Kedua produk yang telah dicoba ternyata memberikan hasil yang tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu dicobakan lagi penambahan air pada kisaran aw 0.84-0.88. Hasil produk yang sesuai kriteria yaitu mudah ditelan dan mudah dicetak diperoleh pada nilai aw 0.88 yaitu dengan penambahan air sebanyak 0.1848 gram H2O/gram bobot solidnya dengan perkiraan kadar air totalnya sebesar 23.8254 % bk.
2. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Pisang Prosedur yang sama juga dilakukan pada tepung pisang. Jumlah air yang ditambahkan mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula pisang dan penambahan air dilakukan sampai aw produk mencapai kisaran 0.8-0.9. Jumlah air yang ditambahkan pada formula pisang diperoleh dari interpolasi kurva isotermi sorpsi formula seperti pada Gambar 14 yaitu pada aw 0.8 diperoleh nilai kadar air 8.8425 % bk dan pada aw 0.9 diperoleh nilai kadar air 11.6387 % bk. Kadar air awal formula pisang adalah 6.1233 % bk. Berdasarkan nilai kadar air ini dapat dihitung jumlah air yang ditambahkan dalam formula pisang. Jumlah air yang ditambahkan pada produk dengan nilai perkiraan aw 0.8 adalah sebesar 0.0272 gram H2O/gram bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.0551 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan penulis) dengan atribut pengujian sama seperti formula ubi jalar yaitu kemudahan ditelan dan dicetak. Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa pada aw 0.8 produk bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah ditelan serta teksturnya masih mirip formula awalnya. Produk yang ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9 juga masih menunjukkan
karakteristik yang hampir sama dengan produk yang ditambah air sampai aw 0.8. Oleh karena penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan sifat produk yang free flowing dan sulit ditelan maka dilakukan penambahan air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi sorpsinya. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai diperoleh tekstur produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak. Hasil percobaan menunjukkan jumlah air yang harus ditambahkan untuk memenuhi kriteria tersebut adalah sebesar 0.2133 gram H2O / gram bobot solidnya.
3. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Kacang Hijau Penambahan air pada formula kacang hijau juga dilakukan dengan cara yang sama. Jumlah air yang ditambahkan mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula kacang hijau pada kisaran aw 0.8-0.9. Kurva isotermi sorpsi formula kacang hijau dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai kadar air pada aw 0.8 adalah sebesar 10.1374 % bk dan 15.7153 % bk pada aw 0.9. Nilai kadar air ini merupakan nilai kadar air perkiraan pada produk. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air awal formula yaitu sebesar 5.1912 % bk dan kadar air yang ingin dicapai pada produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada produk yaitu pada aw 0.8 ditambahkan air sebesar 0.0495 gram H2O/gram bobot solidnya dan pada aw 0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.1052 gram H2O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan penulis). Karakteristik pengujian ini meliputi kemudahan ditelan dan dicetak. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa pada aw 0.8 produk bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah ditelan. Demikian halnya dengan produk yang ditambah air sampai mencapai nilai aw 0.9. Produk tersebut masih bersifat free flowing, tidak bisa menyatu dengan baik, mudah rapuh, dan susah ditelan. Oleh karena penambahan air sampai aw 0.9 masih menunjukkan sifat produk yang
belum memenuhi kriteria yang diharapkan maka dilakukan penambahan air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi sorpsinya. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai diperoleh tekstur produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak. Hasil menunjukkan jumlah air yang harus ditambahkan untuk memenuhi kriteria tersebut adalah sebesar 0.2166 gram H2O/gram bobot solidnya.
E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN Tahap selanjutnya dalam proses produksi paroduk pangan darurat debgan teknologi IMF ini adalah aplikasi humektan. Penggunaan humektan dimaksudkan untuk menurunkan nilai aw produk sampai pada kisaran nilai aw IMF tetapi kadar air produk tetap terjaga sehingga menghasilkan produk yang masih cukup basah. Bahan yang telah dicampur dengan air selanjutnya ditambah humektan dengan konsentrasi tertentu. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Penggunaan humektan dalam produk merupakan penggunaan single humectant atau kedua humektan digunakan terpisah. Menurut Sloan et. al. (1976), pada penggunaan single humectant dapat dipilih metode pencampuran kering atau larutan. Penelitian ini mengaplikasikan humektan dengan cara pencampuran kering. Aplikasi humektan menggunakan model persamaan Grover. Persamaan Grover dapat diterapkan pada kisaran aw 0.43-0.91 dengan nilai simpangan sebesar 6.8%. Persamaan Grover menghasilkan prediksi data aw model campuran pangan yang lebih baik dibanding persamaan Ross (Adawiyah, 2006). Keunggulan persamaan Grover adalah memperhitungkan komposisi masing-masing komponen yang digunakan di dalam model campuran. Bell dan Labuza (2000) menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi aw daging yang ditambahkan glikol sebagai humektan dan memprediksi jumlah humektan yang digunakan untuk menurunkan aw daging tersebut. Persamaan Grover biasa dipakai untuk memprediksi aw produk berdasarkan komposisi bahan penyusunnya. Persamaan ini banyak diterapkan
pada produk confectionery (Taoukis et. al., 1999). Bentuk persamaan Grover adalah aw = 1.04 – 0.1(Eo) + 0.0045 (Eo)2 dimana, Eo = Σ Ei / mi Ei adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun. Beberapa nilai Ei yang sudah diketahui diantaranya protein 1.3, karbohidrat (pati) 0.8, lemak 0, sukrosa 1. mi menunjukkan kadar air dalam gram air per gram bahan (Bell dan Labuza, 2000). Menurut Adawiyah (2006) penambahan minyak di dalam model pangan cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air di daerah monolayer. Oleh karena itu dilakukan modifikasi pada koefisien Ei minyak menjadi -1. Perkiraan nilai aw dengan persamaan Grover membutuhkan data bobot masing-masing komponen. Oleh karena itu pada masing-masing formula dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui nilai komposisi aktualnya meskipun sebelumnya telah diketahui komposisinya menurut penghitungan kesetimbangan massa. Hasil analisis proksimat ketiga formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau Komponen Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat
Ubi Jalar % BB % BK 5.07 5.34 2.23 2.35 21.39 22.53 16.43 17.31 54.88 57.80
Pisang % BB % BK 5.77 6.12 2.52 2.67 18.69 19.83 14.14 15.01 58.88 62.49
Kacang Hijau % BB % BK 4.94 5.19 1.61 1.69 18.37 19.32 15.29 16.08 59.79 62.89
Aplikasi humektan ini diharapkan dapat menurunkan aw produk hingga mencapai 0.7-0.8. Pemakaian sorbitol menggunakan sorbitol cair. Sorbitol cair tidak berwarna (jenih), agak kental, dan tidak berbau. Sorbitol tergolong GRAS tetapi asupan tiap harinya dibatasi karena konsumsi yang berlebihan dapat menyebabkan efek laksatif atau diare. Batas konsumsi sorbitol adalah 50 gram/hari (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol mempunyai konstanta persamaan Grover (Ei) sebesar 2.0.
Gliserol merupakan humektan yang dapat juga berperan sebagai plasticizer. Gliserol yang digunakan merupakan gliserol food grade. Gliserol juga tidak berwarna (jenih) dengan kekentalan yang lebih tinggi dibanding sorbitol cair. Gliserol tergolong food additive GRAS dengan nomor 21 CFR 182.1320. Kekurangan gliserol adalah aftertaste pahit pada pemakaian dengan konsentrasi tinggi. Oleh karena itu batas penggunaan konsentrasi gliserol pada produk ini selain telah mencapai nilai aw yang diharapkan juga ditentukan oleh aftertaste pahit yang ditimbulkannya. Konstanta Grover untuk gliserol adalah 4.0. Pemakaian sorbitol ditentukan pada konsentrasi 5% dan 10%. Asumsi yang digunakan adalah berat produk per bar adalah 50 gram solid dengan ukuran saji 10 bar per hari. Dengan demikian jumlah konsumsi maksimal sorbitol sekitar 50 gram/hari sehingga tidak menyebabkan efek laksatif. Pemakaian gliserol dicoba mulai dari konsentrasi yang rendah dengan melihat nilai aw yang dihasilkan dan aftertaste pahitnya. Tabel 16. Prediksi aw pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap formula dengan persamaan Grover Sebelum Sorbitol (%) Gliserol (%) Formula ditambah 5 10 2 4 6 8 humektan Ubi jalar 0.851 0.811 0.773 0.819 0.788 0.759 0.731 Pisang 0.862 0.826 0.791 0.833 0.804 0.777 0.752 K.hijau 0.850 0.813 0.778 0.820 0.792 0.765 0.739 Berdasarkan Tabel 16 tersebut dapat dilihat nilai prediksi aw produk dengan penambahan sorbitol atau gliserol. Penambahan sorbitol dalam konsentrasi 5% mampu menurunkan aw produk sampai dibawah 0.85 dan penggunaan konsentrasi 10% dapat menurunkan aw sampai nilai dibawah 0.8. Dengan demikian dipilih produk dengan penambahan sorbitol konsentrasi 10% untuk diuji lebih lanjut. Nilai aw ubi jalar sebelum ditambah sorbitol sebesar 0.851 dan setelah ditambah 10% sorbitol turun menjadi 0.773. Produk formula pisang yang memiliki nilai aw awal sebelum penambahan humektan sebesar 0.862 turun menjadi 0.791. Demikian halnya produk formula kacang hijau dengan nilai aw awal sebelum ditambah humektan 0.85 turun menjadi
0.778. Tekstur produk yang telah ditambah sorbitol tampak lebih menyatu, kompak, tidak rapuh, dan terasa lebih manis. Jumlah gliserol yang ditambahkan pada produk dimulai dari 2% - 8%. Berdasarkan penghitungan dengan persamaan Grover diperoleh data penurunan nilai aw yang cukup signifikan. Nilai aw tanpa penambahan gliserol pada formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah 0.851, 0.862, dan 0.850. Pada setiap penambahan konsentrasi gliserol dilakukan pencicipan terhadap ketiga produk dengan atribut kritis aftertaste pahit. Penambahan gliserol pada konsentrasi 2% menghasilkan nilai aw 0.819 , 0.833, dan 0.820 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Aplikasi 2% gliserol belum menunjukkan adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Jumlah 4% gliserol menghasilkan nilai aw 0.788, 0.804, dan 0.792 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Hasil pencicipan produk dengan konsentrasi 4% gliserol juga menunjukkan belum adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Dengan demikian dicobakan konsentrasi penambahan gliserol yang lebih tinggi yaitu 6%. Konsentrasi 6% gliserol menghasilkan nilai aw sebesar 0.759, 0.778, dan 0.765 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Penambahan 6% gliserol pada formula pisang dan kacang hijau menunjukkan adanya aftertaste pahit sedangkan formula ubi jalar belum menunjukkan aftertaste pahit. Oleh karena itu pada formula ubi jalar dicobakan konsentrasi 8% gliserol dan menghasilkan nilai aw sebesar 0.731 dengan rasa normal atau belum menunjukkan aftertaste pahit.. Data hasil penambahan gliserol menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6% gliserol sudah terdeteksi aftertaste pahit pada formula pisang dan kacang hijau. Oleh karena itu jumlah gliserol yang ditambahkan pada formula pisang dan kacang hijau adalah sebesar 4%. Penambahan gliserol pada formula ubi jalar menunjukkan bahwa sampai pada konsentrasi 8% belum terdeteksi aftertaste pahit. Hal ini kemungkinan karena tingginya kandungan gula pada tepung ubi jalar sehingga dapat menutupi aftertaste pahit yang disebabkan gliserol. Produk formula ubi jalar jika dilihat nilai penurunan awnya maka pada konsentrasi 4% aw yang diperoleh sudah cukup rendah dan memenuhi kriteria aw IMF. Oleh karena itu,
pada formula ubi jalar juga dipilih konsentrasi 4% gliserol yang akan diuji lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi penggunaan humektan. Tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran aw dengan aw meter untuk melihat aw aktualnya. Pengukuran dengan aw meter ini juga sebagai verifikasi prediksi aw dengan persamaan isotermi sorpsi GAB dan persamaan Grover. Nilai aw aktual hasil pengukuran dengan aw meter dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil pengukuran aw aktual ketiga formula dengan aw meter
Tanpa humektan
Formula Ubi Jalar 0.771 / 29.7 oC
Formula Pisang 0.822 / 30.6 oC
Formula Kacang Hijau 0.853 / 30.2 oC
Sorbitol 10 % Gliserol 4 %
0.772 / 29.9 oC 0.737 / 30.2 oC
0.835 / 30.6 oC 0.804 / 30.6 oC
0.832 / 30.2 oC 0.815 / 30.3 oC
Hasil pengukuran aw produk tanpa humektan dengan aw meter (aw aktual tanpa humektan) menunjukkan nilai yang agak berbeda dengan nilai prediksi baik dengan persamaan isotermi sorpsi GAB ataupun dengan persamaan Grover. Nilai aw prediksi formula ubi jalar dengan persamaan GAB adalah 0.88 dan dengan persamaan Grover adalah 0.851 sedangkan pengukuran nilai aw aktualnya adalah 0.771. Prediksi aw formula pisang tanpa humektan dengan persamaan GAB menunjukkan nilai aw lebih besar dari 0.9 dan dengan persamaan Grover adalah 0.862 sedangkan pengukuran aw aktualnya bernilai 0.822. Nilai aw prediksi formula kacang hijau tanpa humektan dengan persamaan GAB juga menunjukkan nilai lebih besar dari 0.9 sedangkan dengan persamaan Grover memiliki nilai aw sebesar 0.850. Nilai aw prediksi dengan persamaan Grover pada formula kacang hijau tidak berbeda jauh dengan nilai aw aktualnya yaitu 0.853. Pengukuran aw aktual pada formula ubi jalar tanpa dan dengan penambahan humektan menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai prediksinya dengan persamaan Grover. Formula ubi jalar dengan penambahan 10% sorbitol memiliki nilai aw aktual sebesar 0.772 dan penambahan 4% gliserol menghasilkan nilai aw aktual sebesar 0.737. Nilai aw aktual formula pisang dengan penambahan 10% sorbitol lebih besar dibandingkan dengan nilai aw prediksinya sedangkan formula dengan
penambahan 4% gliserol mempunyai nilai aw aktual 0.804 yang sama dengan nilai prediksinya yaitu 0.804. Formula kacang hijau dengan penambahan sorbitol memiliki nilai aw 0.832. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai prediksi yaitu 0.778. Nilai aw formula kacang hijau yang ditambah 4% gliserol adalah 0.815 tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yaitu sebesar 0.792. Perbedaan antara nilai aw aktual dengan aw prediksi persamaan Grover mungkin disebabkan oleh penghitungan persamaan Grover yang kurang tepat. Pada penghitungan prediksi aw dengan persamaan Grover terdapat konstanta Grover untuk nilai protein, lemak, gula, dan pati sedangkan pada penelitian tidak dilakukan analisis total pati dan total gula pada formula. Penghitungan total pati pada formula menggunakan selisih total karbohidrat (karbohidrat by difference) dengan total sukrosa yang ditambahkan pada formula sedangkan total gula dihitung berdasarkan jumlah sukrosa yang ditambahkan dalam formulasi. Adanya perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan nilai aw aktual dengan aw prediksi persamaan Grover. Berdasarkan hasil pengukuran nilai aw aktual tersebut dapat dilihat bahwa pada formula ubi jalar dan pisang dengan penambahan sorbitol memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan aw produk tanpa humektan pada masing-masing formula. Nilai aw produk dengan penambahan sorbitol seharusnya lebih rendah dibanding aw produk tanpa humektan karena adanya humektan dapat menurunkan aw bahan. Oleh karena itu produk yang akan diuji lebih lanjut adalah produk yang menggunakan gliserol sebagai humektan. Produk yang ditambah gliserol menunjukkan penurunan aw yang cukup signifikan dan nilainya memenuhi kisaran aw IMF. Produk masing-masing formula kemudian dicetak dengan bentuk persegi dan mempunyai dimensi 5 x 5 x 2 cm dengan bobot 50 gram solid. Penampakan produk dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan pisang (kiri-kanan)
F. UJI ORGANOLEPTIK Uji sensori secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu uji pembedaan (discrimination test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif (affective test) (Meilgaard, et al., 1999). Uji pembedaan digunakan untuk menentukan perbedaan yang nyata diantara sampel. Uji deskriptif digunakan untuk menentukan intensitas perbedaan diantara sampel sedangkan uji afektif digunakan untuk mengukur sikap subjektif panelis tehadap suatu produk berdasarkan alat sensorinya. Uji organoleptik yang akan dilakukan terhadap produk pangan darurat ini adalah uji rating atribut dan uji rating hedonik. Uji rating atribut termasuk dalam multisample difference test : rating approach sedangkan uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif kuantitatif. Uji rating dapat menggunakan skala pengukuran 5, 7, atau 9. Pengujian ini menggunakan skala 7. Pengujian ini menggunakan 25 panelis tidak terlatih yang diambil dari lingkungan kampus IPB Bogor. Data hasil pengujian organoleptik (Lampiran 4) diolah menggunakan program SPSS 13 dengan uji Anova dan uji lanjut Duncan pada taraf nyata 0.05. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila hasil uji Anova menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05. Penyajian sampel uji dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik
1. Uji Rating Atribut Uji rating atribut meliputi kemudahan ditelan dan aftertaste pahit. Atribut kemudahan ditelan digunakan untuk melihat tingkat kemudahan produk dapat ditelan atau dengan kata lain seberapa banyak air yang dibutuhkan untuk menyertai konsumsi. Hal ini berdasarkan kriteria produk pangan darurat yaitu tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai konsumsi. Pengukuran pada uji rating kemudahan ditelan menggunakan skala 7 dengan angka 1 menunjukkan sangat sulit ditelan dan angka 7 sangat mudah ditelan. Hasil yang diperoleh pada uji rating terhadap atribut kemudahan ditelan menunjukkan bahwa ketiga formula berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.000. Oleh karena ketiga formula berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa formula pisang dan kacang hijau berada pada kolom subset yang sama sedangkan formula ubi jalar berada pada kolom subset yang berbeda. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini berbeda nyata dengan formula ubi jalar dalam hal kemudahan ditelan. Nilai kemudahan ditelan untuk formula pisang dan formula kacang hijau adalah sebesar 4.08 dan 3.92. Nilai ini menyatakan panelis memberikan penilaian netral terhadap kemudahan ditelan bagi kedua formula tersebut. Nilai kemudahan ditelan formula ubi menunjukkan angka 4.96 yang berarti formula ubi jalar agak mudah ditelan.
kemudahan ditelan
7 6 5
4,96 a 4,08 b
3,92 b
pisang
kacang hijau
4 3 2 1 0 ubi jalar
sampel
Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel
Atribut
aftertaste pahit
digunakan
untuk
melihat
pengaruh
penggunaan gliserol. Angka 1 pada uji aftertaste pahit menunjukkan sangat tidak pahit dan angka 7 sangat pahit. Pengujian terhadap aftertaste pahit juga menunjukkan ketiga formula berbeda nyata. Nilai signifikansi pengujian sebesar 0.000. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan ketiga formula. Uji Duncan menunjukkan bahwa formula ubi jalar mempunyai nilai aftertaste pahit 3.16 atau dapat dikatakan agak tidak pahit. Tingkat aftertaste pahit formula ubi jalar berbeda nyata dengan formula pisang dan kacang hijau yang mempunyai nilai aftertaste pahit 4.16 atau mempunyai tingkat kepahitan netral. Hasil
tingkat aftertaste pahit
pengujian terhadap atribut aftertaste pahit dapat dilihat pada Gambar 18. 7 6 5 4,16b
4,16b
pisang
kacang hijau
4 3,16a 3 2 1 0 ubi jalar
sampel
Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel
2. Uji Rating Hedonik Uji rating hedonik yang termasuk dalam uji afektif kuantitaf dapat digunakan untuk menentukan preferensi atau kesukaan secara keseluruhan terhadap produk. Uji rating hedonik ini menggunakan skala 7 dengan angka 1 bernilai sangat tidak suka dan angka 7 sangat suka. Hasil uji rating hedonik menunjukkan secara nyata terdapat perbedaan diantara ketiga formula. Uji lanjut Duncan menyatakan formula pisang dan kacang hijau berada pada kolom subset yang sama sedangkan formula ubi jalar berada pada subset yang lain. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat kesukaan terhadap formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini berbeda nyata dengan formula ubi jalar. Panelis memberikan nilai kesukaan 3.44 untuk formula pisang dan 3.6 untuk formula kacang hijau atau dapat dikatakan panelis agak tidak suka dengan kedua formula tersebut. Formula ubi jalar mempunyai nilai kesukaan 5.32. Nilai ini menunjukkan panelis agak suka terhadap formula ubi jalar. Hasil uji hedonik dapat dilihat pada Gambar 19.
7
tingkat kesukaan
6
5,32a
5 4
3,44b
3,6b
pisang
kacang hijau
3 2 1 0 ubi jalar
sampel
Gambar 19. Hasil uji rating hedonik ketiga sampel.
G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa produk yang paling mudah ditelan, paling tidak terasa pahit, dan paling disukai diantara ketiga formula tersebut adalah produk dengan formula ubi jalar. Oleh karena itu produk formula ubi jalar merupakan produk yang akan dianalisis lebih lanjut.
Analisis meliputi perbandingan kurva isotermi sorpsi produk akhir dengan formula awalnya, analisis proksimat produk akhir, dan analisis mikrobiologis. Produk IMF biasanya dikemas dengan kertas berlapis lilin misalnya dodol Garut dan kue wingko, atau dengan plastik misalnya dodol buah atau jenang Kudus. Kemasan tersebut merupakan kemasan primer atau kemasan yang langsung kontak dengan produk. Menurut Syarief et. al. (1989), produk yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produkproduk ini memiliki nilai aw atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah. Produk pangan darurat ini akan dikemas dengan aluminium foil. Pemilihan kemasan aluminium foil dikarenakan aluminium foil mempunyai konstanta permeabilitas uap air yang sangat rendah. Selain itu aluminium foil juga bersifat hermetis dan fleksibel sehingga memudahkan pengemasan. Produk yang dikemas dengan aluminium foil dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo
1. Komposisi Nutrisi Analisis proksimat dilakukan pada produk yang telah ditambah humektan (gliserol). Analisis proksimat ini digunakan untuk melihat komposisi nutrisi aktual produk akhir yang merupakan produk terpilih. Hasil analisis proksimat tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18. Komposisi jalar) Komponen Kadar air Kadar abu Lemak Protein Karbohidrat
nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi % BB 20.38 1.70 15.98 12.05 49.89
% BK 25.60 2.13 20.07 15.13 62.67
Berdasarkan hasil analisis proksimat pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa kandungan proteinnya belum memenuhi kisaran nilai yang dianjurkan oleh IOM. Nilai protein produk hanya 15.13% bk atau setara 7.56 gram/bar produk sedangkan kandungan lemak dan karbohidatnya memenuhi pesyaratan nutrisi pangan darurat. Kandungan lemak produk adalah 20.07% bk atau setara dengan 10.03 gram/bar dan jumlah karbohidrat pada produk adalah sebesar 62.67% bk atau setara 31.33 gram/bar. Nilai total kalori per bar sebesar 245.917 kkal. Terjadinya
perbedaan
nilai
protein
aktual
produk
dengan
penghitungan diduga dikarenakan pada tahap formulasi menggunakan acuan nilai nutrisi berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan dan informasi nilai gizi yang tercantum pada kemasan susu fullcream yang digunakan. Nilai-nilai tersebut mungkin berbeda dengan nilai aktual bahan yang digunakan pada penelitian ini disebabkan varietas dan proses produksi yang berbeda. Meskipun nilai proteinnya masih kurang dari anjuran nutrisi minimal pangan darurat, produk pangan darurat formula ubi ini mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi dan memenuhi minimal kalori yang dipersyaratkan dalam pangan darurat yaitu 233 kkal/bar.
2. Pengaruh Penambahan Humektan terhadap Kurva Isotermi Sorpsi Penambahan humektan pada produk akhir berpengaruh pada kurva isotermi sorpsi. Gambar 21 memperlihatkan adanya pergeseran kurva isotermi sorpsi formula awal (formula tanpa humektan). Kurva isotermi sorpsi produk akhir memiliki pola yang hampir sama tetapi berada di atas kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan.
70
percobaan form ubi tanpa humektan
k ad ar air (% B K )
60 50
GAB form ubi tanpa humektan
40 30 20 10 0 0,0
0,2
0,4
0,6 aw
0,8
1,0
percobaan form ubi dengan humektan GAB form ubi dengan humektan
Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan dan produk akhir formula ubi jalar yang mengandung humektan Tabel 19. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB Formula Ubi Formula Ubi Tanpa Humektan dengan Humektan 1.0232 1.0095 k 14.2949 20.9096 C 2.3905 5.2640 Mo 2.85 3.71 MRD Nilai kadar air monoloyer produk akhir yang mengandung humektan adalah 5.2640 %bk. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai kadar air monolayer formula tanpa humektan yaitu 2.3905 %bk sedangkan nilai energi pengikatan air (C) pada produk akhir yang mengandung humektan sebesar 20.9096 lebih tinggi dibanding formula tanpa humektan yang memiliki energi pengikatan air sebesar 14.2949. Hal ini disebabkan pada produk akhir yang mengandung humektan lebih banyak mengikat air. Pada Gambar 21 juga dapat dilihat bahwa penggunaan humektan dapat menurunkan aw tetapi kadar air produk masih dapat dipertahankan. Kurva tersebut menunjukkan bahwa pada nilai kadar air yang sama, formula yang ditambah humektan mempunyai nilai aw yang lebih rendah dibandingkan formula tanpa humektan.
Penyerapan air lebih besar terjadi pada produk akhir dibandingkan dengan produk tanpa humektan. Penelitian tentang isotermi sorpsi pindang ikan tongkol yang dilakukan oleh Kadir (1982) juga memperlihatkan fenomena yang sama. Nilai kadar air pada tingkat aw yang sama untuk pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0% lebih kecil dibandingkan dengan pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6%. Jika dibuat kurva isotermi sorpsinya maka kurva isotermi sorpsi pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6% berada di atas kurva isotermi sorpsi pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0%. Garam merupakan salah satu jenis humektan. Keberadaan humektan pada produk akhir dapat meningkatkan pengikatan air. Hal ini sesuai dengan fungsi humektan yaitu mengikat air. Menurut Taoukis et. al. (1999) humektan merupakan senyawa yang bersifat higroskopis. Humektan yang digunakan pada produk terpilih adalah gliserol. Berdasarkan struktur kimianya, gliserol mempunyai tiga gugus hidroksil (OH). Adanya gugus hidroksil ini menyebabkan gliserol mudah berikatan dengan air. Ikatan ini adalah ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen merupakan interaksi elektrostatik yang dapat terjadi pada dua molekul air yaitu antara muatan negatif sebagian pada atom oksigen dari satu molekul air dengan muatan positif sebagian pada atom hidrogen dari molekul yang lain (Lehninger, 1993). Atom hidrogen dari molekul humektan yang bermuatan positif sebagian dapat membentuk ikatan hidrogen dengan atom oksigen yang bermuatan negatif sebagian dari molekul air yang terkandung di dalam produk. Oleh karena itu produk akhir yang mengandung humektan gliserol memperlihatkan pengikatan air yang lebih tinggi dibandingkan produk tanpa gliserol.
3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir Analisis kestabilan mikrobiologis dilakukan satu kali seminggu selama empat minggu. Analisis kestabilan mikrobiologis ini meliputi analisis pertumbuhan kapang-khamir dan total mikroba. Analisis kapang khamir menggunakan media potato dextrose agar (PDA) yang kemudian
diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10 % sedangkan total mikroba menggunakan media plate count agar (PCA). Pemupukan dilakukan sampai pengenceran -5 dengan metode cawan tuang atau pour plate. Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat minggu Jumlah Mikroba (koloni/gram) Minggu Kapang-Khamir Total Mikroba 0 6.0 x 101 (< 1.0 x 102) 6.3 x 103 1 2 1 7.3 x 10 (< 1.0 x 10 ) 9.4 x 103 2 1.2 x 102 1.3 x 104 2 3 1.3 x 10 1.6 x 104 4 1.4 x 102 2.2 x 104
jumlah koloni (log CFU/gram)
total mikroba
kapang-khamir
5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
minggu
Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir selama empat minggu Hasil analisis mikrobiologis produk seperti yang terdapat pada Tabel 20 menunjukkan bahwa pertumbuhan total mikroba dan kapang-khamir mengalami kanaikan yang tidak terlalu tinggi selama empat minggu. Nilai total mikroba pada minggu ke-0 sebesar 6.3 x 103 koloni/gram atau 3.79 log CFU/gram dan pada minggu keempat produk mengandung 2.2 x 104 koloni/gram atau sebanyak 4.34 log CFU/gram. Nilai total mikroba mengalami kenaikan sebesar 0.55 log CFU/g. Analisis kapang-khamir menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni hanya terdapat pada cawan dengan pengenceran 10-1 sedangkan pada cawan dengan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5 tidak terdapat
pertumbuhan koloni sampai minggu keempat. Jumlah kapang-khamir pada minggu ke-0 sebesar 6.0 x 101 atau sebesar 1.78 log CFU/gram dan pada minggu minggu ke-4 jumlah kapang-khamir adalah 1.4 x 102 atau 2.15 log CFU/gram. Kenaikan jumlah kapang-khamir selama empat minggu sebesar 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk sampai minggu keempat masih menunjukkan penampakan normal dan tidak terdapat pertumbuhan mikroba. Menurut Seiler (1976) kapang merupakan masalah mikrobial utama pada IMF modern. Nilai mutu mikrobiologis produk mengacu pada bakpia pathuk (isinya) dikarenakan adanya kemiripan tekstur dan bentuk produk akhir dengan isi bakpia pathuk. Menurut SNI 01-4291-1996 disebutkan bahwa bakpia pathuk merupakan makanan semi basah dengan angka lempeng total (total plate count) yang menunjukkan total mikroba maksimal 104 dan jumlah kapang maksimal 103. Berdasarkan jumlah kapang-khamirnya, produk pangan darurat berbahan baku tepung ubi jalar ini masih dapat dikonsumsi dalam rentang waktu empat minggu setelah produksi, tetapi jika mengacu pada nilai total mikrobanya, produk ini hanya dapat dikonsumsi sampai satu minggu setelah produksi. Sebagai pembanding lainnya, pangan basah misalnya bandeng asap dengan nilai aw 0.9 mempunyai total mikroba setelah tiga hari penyimpanan sebesar 8.1 x 106 koloni/gram dan mengalami penurunan kesegaran dua hari kemudian dengan nilai total mikroba sebesar 9.0 x 107 koloni/gram.
Dengan
demikian
bandeng
asap
selama
dua
hari
penyimpanan mengalami kenaikan jumlah mikroba sebesar 1.04 log CFU (Susijahadi, 1983). Aktifitas air merupakan faktor penting dalam pengendalian mikroba. Rendahnya nilai aw IMF dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia lain sehingga IMF bersifat lebih awet. Walaupun demikian pengendalian mikroba yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada penurunan aw, melainkan dipengaruhi pula oleh pH, suhu, bahan pengawet dan kondisi bersaing dengan mikroflora lainnya.
Salah satu keuntungan IMF adalah pertumbuhan bakteri tidak terjadi pada aw dibawah 0.85. Beberapa jenis kapang dan khamir dapat tumbuh tetapi khamir patogen tidak dapat tumbuh pada aw yang rendah (Tilbury, 1976). Beberapa jenis mikroorganisme yang potensial dapat tumbuh pada IMF dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai aktivitas air (aw) minimum mikroba pada pangan semi basah aw Bakteri Khamir a 0.90 Lactobacillus Hansanula Micrococcus Saccharomyces Pediococcus Vibrioa 0.88 Candida Debaryomyces Hanseniaspora Torulopsis 0.87 Debaryomyces a 0.86 Staphylococcus b 0.80 Saccharomyces
0.75
Bakteri Halophilic
0.70
-
0.62
-
Ket :
Saccharomyces
yang sering terdapat kapang -
Cladosporium
Paecilomyces Aspergillus Penicillium Emericella eremascus Aspergillus, a wellemia Eurotium chrysosporium Eutorium, a Monascus
a
beberapa strain , b aerobik Leistner dan Rödel (1976)
Hasil pengujian total mikroba menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kapang-khamir. Hal ini dikarenakan pada pegujian total mikroba semua mikroba baik bakteri, kapang, atau khamir dapat tumbuh pada media tersebut. Berdasarkan Tabel 22 bakteri yang dapat tumbuh pada kisaran aw IMF adalah bakteri halofilik dan Staphylococcus. Kemungkinan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk pangan darurat ini sangat rendah karena produk ini memiliki rasa manis dan tidak menggunakan garam NaCl di dalam ingridiennya sedangkan kontaminasi Staphylococcus mungkin terjadi. Hal ini disebabkan salah satu habitat Staphylococcus adalah kulit, kelenjar kulit, membran mukosa
dari
hewan
berdarah
panas,
termasuk
manusia.
Keberadaan
Staphylococcus pada produk IMF mengindikasikan dua hal yaitu 1). Indikator ketidakhigienisan dalam proses pembuatan IMF dan 2). Adanya enterotoksin Staphylococcus yang dapat meyebabkan keracunan makanan. Staphylococcus dapat tumbuh optimal pada aw yang tinggi yaitu sekitar 0.995. Namun beberapa survei terhadap 14 strain Staphylococcus yang dapat menyebabkan keracunan makanan baik dalam skala laboratorium atau pada makanan menunjukkan Staphylococcus dapat tumbuh pada aw 0.86 (Pawsey dan Davies,1976). Selain diduga akibat kontaminasi Staphylococcus dari tangan pekerja pada saat produksi, bakteri yang terdapat pada produk mungkin diakibatkan oleh spora bakteri yang berasal dari bahan bakunya, yaitu tepung ubi jalar. Nilai kadar air tepung ubi jalar yang berada di atas kadar air monolayernya mempengaruhi stabilitas tepung ubi jalar salah satunya terhadap
mikroorganisme,
selain
itu
pembuatan
tepung
yang
memanfaatkan pengeringan alami panas matahari pada ruang terbuka juga berpengaruh terhadap keberadaan spora bakteri pada tepung ubi jalar. Kerusakan pangan lainnya yang potensial dan merupakan kerusakan kimiawi utama yang terjadi pada produk IMF adalah reaksi pencoklatan (Waletzko dan Labuza, 1976).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pengukuran isotermi sorpsi bahan baku (tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau) dan formula awal menghasilkan kurva yang berbentuk sigmoid. Nilai-nilai persamaan GAB yaitu C, k, dan Mo untuk tepung ubi jalar adalah 26.2674, 1.0853, dan 3.8129; tepung pisang 328.4014, 0.9349, dan 4.6531; dan tepung kacang hijau 24.1477, 0.8898, dan 5.0589. Pola kurva isotermi sorpsi formula awal mengikuti pola kurva bahan bakunya tetapi mengalami pergeseran ke bawah. Hal ini disebabkan adanya minyak dalam formula yang menurunkan penyerapan air. Berdasarkan isotermi sorpsi formula awalnya, jumlah air yang harus ditambahkan pada formula ubi jalar pada aw 0.88 adalah 0.1848 gram/gram solid. Penambahan air pada formula pisang dan kacang hijau dilakukan manual karena penghitungan dengan kurva isotermi sorpsinya kurang tepat. Jumlah air yang ditambahkan pada formula pisang adalah 0.2133 gram/gram solid sedangkan pada formula kacang hijau sebesar 0.2166 gram/gram solid. Perkiraan nilai aw produk dengan menggunakan persamaan Grover menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai aw aktualnya dibandingkan dengan menggunakan kurva isotermi sorpsi. Humektan yang akhirnya digunakan pada produk adalah gliserol. Nilai aw aktual produk dengan penambahan gliserol untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah 0.737, 0.804, dan 0.815. Uji organoleptik dilakukan pada produk yang menggunakan gliserol sebagai humektan. Hasil uji organoleptik menyatakan bahwa formula ubi jalar memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang hijau. Analisis kapang-khamir dan total mikroba dilakukan pada produk pangan darurat terpilih dari uji organoleptik yaitu produk formula ubi jalar. Hasil pengujian kapang-khamir selama empat minggu menunjukkan kenaikan sebesar 0.37 log CFU sedangkan nilai total mikroba mengalami kenaikan
sebesar 0.55 log tetapi penampakan visual produk sampai minggu keempat memperlihatkan kondisi produk masih normal dan belum terdapat pertumbuhan mikroba. Berdasarkan acuan produk yaitu SNI 01-4291-1996 tentang bakpia pathuk, produk pangan darurat terpilih dengan bahan baku tepung ubi jalar hanya dapat dikonsumsi sampai satu minggu setelah diproduksi jika mengacu pada nilai Angka Lempeng Total (total mikroba) produk yang masih dibawah batas maksimal.
B. SARAN Nilai protein produk terpilih masih belum mencukupi standar nilai protein yang dianjurkan dalam pangan darurat. Oleh karena itu perlu diadakan analisis proksimat terhadap ingridien yang digunakan untuk melihat komposisi nutrisi aktualnya atau dapat juga mengganti konsentratprotein kedelai dengan isolat protein atau bahan lain yang tinggi kandungan proteinnya. Pengujian organoleptik pada penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dengan 25 panelis yang memiliki usia yang hampir sama. Oleh karena itu perlu dilakukan uji organoleptik dengan lebih banyak panelis dengan rentang usia yang lebih luas karena diharapkan produk pangan darurat ini dapat dikonsumsi oleh semua golongan usia kecuali bayi. Hasil uji mikrobiologi menyatakan bahwa produk pangan darurat ini hanya dapat dikonsumsi sampai waktu satu minggu setelah produksi jika mengacu pada jumlah total mikrobanya yang masih di bawah batas maksimal yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4291-1996 tentang bakpia pathuk. Oleh karena
itu
untuk
mereduksi
jumlah
mikroba
awal
dan
menekan
pertumbuhannya hendaknya diupayakan kondisi produksi yang lebih saniter dan dilakukan pemanggangan produk sehingga daya awet produk dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah D. R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor Anonim. 2008. Glycerol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] Anonim. 2008. Sorbitol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Astawan, M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang Membantu Kesuburan Pria. Departement of Food Science and Technology, IPB, Bogor di dalam http://www.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde.php [8 Juni 2008] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI 012981-1992. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 1996. Bakpia Pathuk. SNI 01-4291-1996. Jakarta Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI 01-2981-1992. Jakarta Bradbury, J. H dan W. D Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops : Significance for Nutrition and Agriculture in the Pasific. ACIAR. Canbera. Di dalam Sulistiyo, C. N. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) di PT Fits Mandiri Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bell, L. N. dan T. P. Labuza. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isoterm Measurement and Use. American Association Cereal Chemist, minnesota, USA. Calorie control. 2006. Reduce-Calorie Sweeteners : Sorbitol. Di dalam http://www.caloriecontrol.org/index.html [ 8 Juni 2008] deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit ITB, Bandung Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Tanaman Pangan. www.database.deptan.go.id [15 Juli 2007] Drewnoski, A. 1997. Taste Preference and Food Intake. Annu Rev Nutr 17:237253. Di dalam Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M.
Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC. Eskin, N. A. M. dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability Chemical, Biochemical dan Microbiological Changes. CRC Press, NY. Di dalam Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya Informasi IPB, Bogor Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Guilbert, S. 1984. Additifs et Agents d.presseurs de lÕaw. Pages 199-227. Di dalam : Additifs et Auxiliaires de Fabrication dans les Industries Agroalimentaires. J.L. Multon, ed. Tec et Doc Lavoisier, Aprix, Paris. Di dalam Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No. 14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota Hardiman. 1982. Tepung Pisang, Ciri, Jenis, Cara Pembuatan, Resep Penggunaan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hidayah, N. 2002. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Kacang Hijau Instan dan Analisa Gizinya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor Hough, C.A.M, K.J.Parker, A.J.Viltous.1979. Development in Sweeteners-1. Applied Science Publ. LTD, London Igoe, R. S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and Hall, New York IOM. 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning Emergency Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC. John, P. dan J. Marchal. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam Gowen, S. (ed.). Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY
Kadir, S. 1982. Isothermal Sorpsi Air dan Pengaruh Garam Dapur terhadap Kadar Air dan Aktivitas Air (aw) Pindang Iikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London. Kay, D. E. 1979. Food Legume. Tropical Product Institute, London. Kekitu, A. O. 1973. Chemical Composition of Unripe (Green) and Ripe Plantain (Musa paradisiaca). J. Sci. Food Agric 24 : 703-707. Di dalam Chandler S. 1995. The Nutitional Value of Bananas. Di dalam Gowen, S. (ed.) Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY Leistner, L. dan W. Rödel. 1976. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London. Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja, penerjemah. Erlangga, Jakarta Lindsay, R. C. 1985. Food Additivies. Di dalam Fennema O.R. 1996. Food Chemistry. 3rd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Marcel Dekker. Inc., New York Liovonen S. M dan Y. H. Ross. 2002. Water Sorption of Food Model for Studies of Glass Transition and Reaction Kinetic. Vol 65, Nr 5. Marzuki, R dan Soeprapto. 2005. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta Meilgaard, M., G.. V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, USA. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta Pawsey, R. dan R. Davies. 1976. The Safety of Intermediate Moisture Foods with Respect to Staphylococcus aureus. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London Prawiranegara. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan RI. Penerbit Bhratara, Jakarta
Robson J. N. 1976. Some Introductory Thoughts on Intermediate Moisture Foods. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London Seiler. D. A. L. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. 1976. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London Sloan, A. E., P. Waletzko, T. P. Labuza. 1976. Effect of Order-of-Mixing on awLowering Ability of Food Humectants. J. Food Sci. 41:536-540. Soekarto S. T. 1979. Air Ikatan, Penetapan Kuantitatif dan Penerapannya pada Stabilitas Pangan dan Disain Pangan Semi Basah. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB, Bogor Susijahadi. 1983. Pertumbuhan Mikroba pada Bandeng (Chanos chanos) Asap Selama Penyimpanan Suhu Kamar dalam Berbagai Tingkat Kelembaban. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarif, R., S. Santausa, Isyana, St. 1989 Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Lab Rekayasa Proses Pangan PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No. 14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition, Minnesota Tilbury, R. H. 1976. The Microbial Stability of Intermediate Moisture Foods with Respect to Yeasts. Di dalam : R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker, (eds.). Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD, London. Troller, J. A. 1989. Water Activity and Food Quality. Di dalam T. M. Hardman.(ed.). Water and Food Quality. Elsevier Applied Science, New York. Tsou, S. C. S, KK. Kan, SJ. Wang. 1989. Biochemical Studies on Sweet Potato for Better Utilization at AVRDC . Di dalam Mackay, K.T., M. K. Palomar, R.T. Sanico (eds.). Sweet Potato Research and Decelopment for Small Farmers. SEAMEO-SEARCA, Laguna
USFDA. 2007. FDA Advises Manufacturers to Test Glycerin for Possible Contamination, Glycerin Contaminated with Diethylene Glycol (DEG) Remains a Potential Health Hazard to Consumers. www.fda.gov [ 14 Agustus 2008] van den Berg, C. 1985. Description of Water Activity of Food for engineering Purposes by means at the GAB Model of Sorption. Di dalam Bell, L. N. dan Labuza, T. P. 2000. Moisture Sorption Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use.. Am. Assoc. of Cereal Chem. St. Paul, MN von Loesecke, H. M. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc. New York. Waletzko, P. Dan T. P. Labuza. 1976. Accelerate Shelf-life Testing of an Intermediate Moisture Food in Air and in an Oxygen-Free Athmoshphere. J. Food Sci. 4 : 1338-1444 Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri, penerjemah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. HighEnergy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press, Washington DC.
Lampiran 1. Kadar air kesetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang hijau, dan pisang Kadar Air Kesetimbangan (%bk) RH Ubi Jalar Kacang Hijau Pisang (%) Tepung Formula Tepung Formula Tepung Formula 7.58 3.1464 1.3929 3.3305 1.0966 4.9711 1.1867 11.2 3.2353 -----4.2225 1.4707 5.4961 1.9186 22.2 4.5943 -----5.4247 2.5481 5.6464 3.1546 32.5 5.1491 3.2634 6.7235 2.9515 6.0378 3.5891 3.8352 43.7 7.0862 7.0681 3.8705 8.0302 4.1435 56.8 10.3983 5.5092 10.1937 5.4321 10.1361 5.0339 68.2 13.7923 7.4100 13.2121 7.1996 13.5282 6.8942 9.5156 73.0 ------13.8990 7.8212 14.5647 7.8508 83.8 berkapang berkapang 19.0898 berkapang 20.3352 berkapang 91.2 berkapang berkapang berkapang berkapang berkapang berkapang Ket . ------- = data tidak digunakan
Lampiran 2. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Ubi Jalar Komponen air protein lemak KH gula total
Komposisi (BK) 23,8254 17,3128 22,5324 57,8005 121,4711
Komposisi Komposisi BB (BB) (basis 100) 19,2411 19,6140 13,9816 14,2526 18,1969 18,5496 32,9535 33,5922 13,7255 13,9915 98,0986 100
mi
Ei
Ei/mi
1,3762 1,0574 0,5839 1,4019
1,3 -1,0 0,8 1,0
0,9446 -0,9457 1,3701 0,7133
Eo Eo2 aw Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Sorbitol Gliserol
5 10 2 4 6 8
3,9228 1,9614 9,8070 4,9035 3,2690 2,4518
Ei/mi 0,5098 1,0197 0,4079 0,8157 1,2236 1,6315
Eo kontrol + Eo humektan 2,5922 3,1021 2,4903 2,8981 3,3060 3,7139
Eo2 formula 6,7196 9,6228 6,2014 8,3992 10,9297 13,7929
2,0824 4,3363 0,851 aw 0,811 0,773 0,819 0,788 0,759 0,731
Lampiran 3. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Pisang Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB (BK) (BB) (basis 100) air 27,5376 21,7091 22,0533 protein 15,0058 11,8297 12,0173 lemak 19,8344 15,6363 15,8842 KH 62,4907 33,8002 34,3361 gula 15,4639 15,7091 total 124,8685 98,4392 100
mi
Ei
Ei/mi
1,8351 1,3884 0,6423 1,4039
1,3 -1,0 0,8 1,0
0,7084 -0,7203 1,2456 0,7123
Eo Eo2 aw Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Sorbitol Gliserol
5 10 2 4 6 8
4,4107 2,2053 11,0266 5,5133 3,6755 2,7567
Ei/mi 0,4534 0,9069 0,3628 0,7255 1,0883 1,4510
Eo kontrol + Eo humektan 2,3995 2,8529 2,3088 2,6715 3,0343 3,3971
Eo2 formula 5,7575 8,1391 5,3305 7,1371 9,2070 11,5400
1,9460 3,7870 0,862 aw 0,826 0,791 0,833 0,805 0,778 0,752
Lampiran 4. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Kacang Hijau Komponen air protein lemak KH gula total
Komposisi (BK) 26,8483 16,0837 19,3236 62,8991 125,1547
Komposisi (BB) 21,1657 12,6795 15,2336 31,9390 17,6471 98,6649
Komposisi BB (basis 100) 21,4521 12,8511 15,4398 32,3712 17,8859 100
mi
Ei
Ei/mi
1,6693 1,3894 0,6627 1,1994
1,3 -1,0 0,8 1,0
0,7788 -0,7197 1,2072 0,8338
Eo Eo2 aw Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0 Humektan Jumlah mi Sorbitol Gliserol
5 10 2 4 6 8 10
4,2904 2,1452 10,7260 5,3630 3,5753 2,6815 2,1452
Ei/mi 0,4662 0,9323 0,3729 0,7458 1,1188 1,4917 1,8646
Eo kontrol + Eo humektan 2,5662 3,0323 2,4729 2,8459 3,2188 3,5917 3,9646
Eo2 formula 6,5852 9,1949 6,1154 8,0989 10,3605 12,9003 15,7182
2,1000 4,4100 0,850 aw 0,813 0,778 0,820 0,792 0,765 0,739 0,714
Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik UJI RATING KEMUDAHAN DITELAN Sampel
: intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kemudahan ditelan dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon
366
Kode Sampel 145 810
Sangat mudah Mudah Agak mudah Netral Agak sulit Sulit Sangat sulit
UJI RATING AFTERTASTE PAHIT Sampel
: intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon Sangat pahit Pahit Agak pahit Netral Agak tidak pahit Tidak pahit Sangat tidak pahit
Kode Sampel 366 145 810
UJI HEDONIK Sampel
: intermediate moisture food
Nama / HP : ……………………………………………..
Tanggal : ……………
Instruksi : 1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan 2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kesukaan keseluruhan atribut sampel (over all) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel 4. Jangan membandingkan antar sampel Respon
Kode Sampel 366 145 810
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
KOMENTAR (wajib diisi)
- terima kasih -
Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik 366 (ubi) 145 (pisang) 810 (kacang ijo) Panelis ditelan pahit suka ditelan pahit suka ditelan pahit suka 1 6 2 5 4 5 3 6 2 2 2 7 5 6 6 4 6 6 5 4 3 6 2 6 3 5 3 5 5 5 4 3 1 7 5 5 1 1 5 5 5 6 2 6 5 2 1 3 2 4 6 5 2 7 6 5 5 4 5 2 7 3 5 3 2 5 5 3 4 5 8 6 2 6 5 5 4 5 6 2 9 4 4 4 3 5 3 6 3 6 10 6 4 6 6 2 5 5 4 5 11 5 5 6 3 4 3 2 3 3 12 6 1 7 1 4 5 2 5 3 13 5 4 5 6 6 1 3 6 1 14 3 5 4 4 6 3 5 4 6 15 3 2 4 3 5 3 2 4 3 16 6 2 7 5 2 5 3 6 2 17 6 4 6 4 3 5 6 4 4 18 6 5 4 2 6 2 3 5 1 19 5 1 6 3 4 4 4 6 3 20 3 5 5 5 5 3 5 4 3 21 3 2 4 5 2 3 7 5 6 22 5 4 6 4 5 4 3 5 5 23 3 4 4 5 3 4 3 2 5 24 6 3 3 4 3 3 2 3 1 25 4 3 6 3 3 2 4 4 4
Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1490,347(a)
panelis
74,987
sampel Error Total
df 27
Mean Square 55,198
F 28,908
Sig. ,000
24
3,124
1,636
,073
15,680
2
7,840
4,106
,023
91,653
48
1,909
1582,000
75
a R Squared = ,942 (Adjusted R Squared = ,909)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel 3
25
1 3,920
2
25
4,080
1
25
Sig.
N
2
4,960
,684 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,909. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1165,667(a)
panelis
50,747
sampel
16,667
Error Total
df 27
Mean Square 43,173
F 25,479
Sig. ,000
24
2,114
1,248
,252
2
8,333
4,918
,011
81,333
48
1,694
1247,000
75
a R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,898)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel 1
N 25
1 3,160
2
3
25
4,160
2
25
4,160
Sig.
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,694. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1380,653(a)
panelis
53,253
sampel Error Total
df 27
Mean Square 51,135
F 26,579
Sig. ,000
24
2,219
1,153
,329
54,320
2
27,160
14,117
,000
92,347
48
1,924
1473,000
75
a R Squared = ,937 (Adjusted R Squared = ,902)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel 2
25
1 3,440
3
25
3,600
1
25
Sig.
N
2
5,320 ,685
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,924. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan 1.1 Warna Normal 1.2 Bau Normal 1.3 Rasa Normal 2. Air % b/b Maks. 30 3. Jumlah gula dihitung sebagai sakarosa % b/b Min. 25 4. Lemak % b/b Maks. 10 5. Protein % b/b Min. 8 6. Bahan tambahan makanan % b/b 6.1 Pemanis buatan 6.1.1 Sakarin Tidak boleh ada 6.1.2 Siklamat Tidak boleh ada 6.2 Pengawet Sesuai SNI 01-0222-1995 7. Cemaran logam 7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0 7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0 7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0 7.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05 8. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0.5 9. Cemaran mikroba 9.1 Angka lempeng total koloni/g Maks. 104 9.2 E. coli APM/g negatif 9.3 Kapang koloni/g Maks. 103