PENGEMBANGAN NASI KALENG SEBAGAI PENYUSUN PANGAN DARURAT
BAGUS RISKY DIPOWANA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Nasi Kaleng sebagai Penyusun Pangan Darurat benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2016 Bagus Risky Dipowana NIM F24110069
ABSTRAK BAGUS RISKY DIPOWANA. Pengembangan Nasi Kaleng sebagai Penyusun Pangan Darurat. Dibimbing oleh ELVIRA SYAMSIR dan DIAN HERAWATI. Produk nasi kaleng merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan para korban bencana alam sebagai sumber karbohidrat. Bahan yang diuji cobakan dalam formula nasi kaleng adalah jenis beras varietas IR 42, IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG). Indikator keamanan produk nasi kaleng dilihat berdasarkan nilai kecukupan panas pada saat proses sterilisasi. Karakteristik produk nasi kaleng yang dievaluasi adalah parameter sensori, fisik (kekerasan dan warna) dan komposisi kimia. Parameter sensori dievaluasi menggunakan uji rating hedonik dan deskriptif, sedangkan parameter fisik (kekerasan) dianalisis menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA), warna produk dianalisis menggunakan Chromameter Minolta. Uji stabilitas produk diamati menggunakan metode ASLT. Sampel delanggu (DLG) terpilih untuk dilakukan uji stabilitas setelah dilakukan uji fisik (kekerasan dan warna), organoleptik rating hedonik dan penetrasi panas (nilai Fo) pada suhu sterilisasi 115 oC dengan waktu operasi 60 menit. Waktu venting dan coming up time (CUT) proses berturut-turut adalah 7 dan 9 menit. Pada uji stabilitas, sampel delanggu (DLG) mengalami penurunan mutu selama penyimpanan pada suhu 40, 45 dan 50 o C. Paremeter sensori dan fisik menunjukan adanya korelasi yang baik pada kurva perubahan mutu sebagai fungsi waktu dan dapat dijelaskan menggunakan ordo 0 dan 1. Parameter sensori (warna) pada ordo 1 memiliki nilai Ea yang tinggi, yaitu memiliki laju perubahan yang paling sensitif terhadap perubahan suhu. Produk nasi kaleng memiliki takaran saji ±200 g dengan kandungan karbohidrat 58 g per porsi dengan %AKG yaitu 18%. Kata kunci: nasi kaleng, kecukupan panas, uji stabilitas
ABSTRACT BAGUS RISKY DIPOWANA. Canned Rice Development as Emergency Food Compiler. Supervised by ELVIRA SYAMSIR and DIAN HERAWATI. Canned rice products is one of the solution to fulfill natural disasters victims needs of food as a source of carbohydrates. The ingredients which were tested in canned rice formula are rice variety of IR 42, IR 64, cianjur (CJR) and delanggu (DLG). Canned rice product safety indicator was observed based on the adequacy of heat during the sterilization process. Canned rice product characteristics that were evaluated were sensory parameters, physical (hardness and color) and chemical composition. Sensory parameters were evaluated by a hedonic rating test and descriptive, whereas the physical parameters (hardness) were analyzed by Texture Profile Analyzer (TPA), the color of the product was analyzed by a Minolta Chromameter. Product stability test was observed by ASLT method. Delanggu samples (DLG) was selected to be used for stability test after physical test (hardness and color), organoleptic hedonic rating and heat penetration (Fo value) at sterilization temperature of 115 °C with operating time of 60 minutes were conducted. Venting time and coming up time (CUT) process were respectively 7 and 9 minutes. In the stability test, samples of delanggu (DLG) experienced deterioration during storage at 40, 45 and 50 oC. Sensory and physical parameters showed good correlation to the quality changes curve as function of time and could be explained by 0 and 1 order. The sensory parameters (color) on the order of 1 has high value of Ea, which has the most sensitive rate of change to temperature. Canned rice product has a serving size of ±200 g with 58 g of carbohydrate content per serving with the % AKG value is 18 %. Keywords: canned rice, heat adequacy, stability test
PENGEMBANGAN NASI KALENG SEBAGAI PENYUSUN PANGAN DARURAT
BAGUS RISKY DIPOWANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Pengembangan Nasi Kaleng sebagai Penyusun Pangan Darurat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Elvira Syamsir, STP, MSi dan Ibu Dian Herawati, STP, MSi. selaku pembimbing yang memberi arahan dan motivasi. 2. Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA selaku penguji yang telah memberikan banyak saran dan arahan. 3. Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan melalui dana Penelitian Strategis Aplikatif (PSA) . 4. Pak Nur, pak Gatot, ibu Sri, ibu Antin, pak Yahya, mbak Ulfa, mbak Yane, mbak Yuli, pak Rojak dan mbak Ririn selaku teknisi laboratorium yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. 5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis. 6. Bapak Warwanto, ibu Sri lemawati, Nila Dwi Ramadhanti dan Saviq Miftahul Alim selaku keluarga yang selama ini memberi dukungan moril selama masa penelitian. 7. Intan Nazilah Nisa atas segala pengorbanan, dan waktu selama ini serta doa yang dipanjatkan selama penelitian. 8. Maria dan Dewi selaku teman satu proyek penelitian yang saling bahu membahu dalam penyelesaian skripsi. 9. Seluruh teman-teman ITP 48 dan teman-teman seperjuangan Vito, Friendly, Hudi, Paung dan Fahmi yang menemani dan mendukung selama masa-masa awal penulisan hingga skripsi ini selesai. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu dan Teknologi Pangan
Bogor,
Mei 2016
Bagus Risky Dipowana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Pangan Darurat
2
Proses Termal dan Sterilisasi
3
Beras dan Pengaruh Proses Termal
4
METODE
6
Bahan
6
Alat
6
Tahapan Penelitian
6
Formulasi nasi kaleng
8
Evaluasi kondisi proses nasi kaleng
8
Pengujian stabilitas nasi kaleng
8
Penentuan nilai gizi nasi kaleng
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Formulasi nasi kaleng
16
Pemilihan waktu operasi termal nasi dalam kaleng
20
Profil stabilitas nasi kaleng
31
Kandungan gizi nasi kaleng
38
SIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL Spesifikasi pengukuran dengan Texture Profile Analyzer (TPA)
14
Kadar pati, amilosa, dan amilopektin dari beras yang digunakan (g/100g)
17
Pengaruh proporsi penambahan air pada beras terhadap nasi yang dimasak secara konvensional
18
Hasil uji warna menggunakan chromameter pada pemasakan konvensional
19
Fo produk nasi kaleng dengan waktu Operasi 60 dan 90 menit
23
Analisis sensori metode deskriptif nasi kaleng (t operasi= 60 menit)
23
Analisis sensori metode deskriptif nasi kaleng (t operasi= 90 menit)
24
2
Nilai r dan persamaan ordo 0 dan ordo 1 dari perubahan parameter atribut sensori dan fisik sebagai fungsi waktu
35
Persamaan Arrhenius dan nilai Ea dari parameter sensori dan fisik
36
kandungan nutrisi nasi kaleng dan beras
38
Informasi nilai gizi nasi kaleng
38
DAFTAR GAMBAR Alur penelitian karakterisasi nasi dalam kemasan kaleng sebagai bahan penyusun karobohidrat
7
Diagram alir tahap tiga uji stabilitas produk selama penyimpanan
9
Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas
9
Diagram kromatisasi CIE
15
Contoh kurva hubungan waktu dan respon pada suhu inkubasi sampel nasi kaleng
16
Nilai kekerasan pada sampel beras yang digunakan pada pemasakan konvensional
20
Kurva distribusi panas di dalam retort pada beberapa titik
21
Kurva penetrasi panas pada varietas IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit 22 Kurva penetrasi panas pada varietas IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) dengan waktu operasi 90 menit 22 Skor deskriptif nasi kaleng dengan waktu operasi 60 menit
24
Skor deskriptif nasi kaleng dengan waktu operasi 90 menit
24
Nilai kekerasan nasi kaleng dengan waktu operasi 60 dan 90 menit
25
Nilai L nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit
26
Nilai a nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit
27
Nilai b nasi kaleng waktu proses 60 dan 90 menit
27
Nilai kromatisasi CIE nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit
28
Alur proses produksi nasi kaleng modifikasi
29
Hasil uji rating hedonik pemilihan jenis nasi kaleng dengan atribut over all pada dua waktu operasi 60 dan 90 menit
30
Kurva perubahan parameter warna L, a, b dan kromatisitas CIE nasi kaleng selama penyimpanan
31
Kurva perubahan parameter kekerasan sampel nasi kaleng selama penyimpanan 32 Kurva perubahan parameter aroma sampel nasi kaleng selama penyimpanan 32 Kurva perubahan parameter warna sampel nasi kaleng selama penyimpanan 33 Kurva perubahan parameter tekstur sampel nasi kaleng selama penyimpanan 33 Kurva perubahan parameter rasa sampel nasi kaleng selama penyimpanan
34
Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis sensori ordo 0
36
Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis sensori ordo 1
37
Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis fisik ordo 0
37
Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis fisik ordo 1
37
DAFTAR LAMPIRAN Hasil analisis SPSS nilai L pada beras dengan pemasakan konvensional
43
Hasil analisis SPSS nilai a pada beras dengan pemasakan konvensional
43
Hasil analisis SPSS nilai b pada beras dengan pemasakan konvensional
44
Hasil analisis SPSS uji kekerasan bahan dengan pemasakan konvensional
45
Hasil analisis uji tekstur nilai kekerasan pada dua waktu operasi
45
Hasil analisis SPSS nilai L pada dua waktu operasi
46
Hasil analisis SPSS nilai a pada dua waktu operasi
47
Hasil analisis SPSS nilai b pada dua waktu operasi
48
Hasil analisis SPSS uji rating hedonik pemilihan nasi kaleng dengan tiga varietas dan dua waktu operasi
49
Hasil analisis kadar air bahan dan produk
52
Hasil analisis kadar abu bahan dan produk
52
Hasil analisis kadar lemak bahan dan produk
52
Hasil analisis kadar protein bahan dan produk
52
Hasil analisis kadar karbohidrat bahan dan produk
52
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter aroma ordo 0
53
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter aroma ordo 1
53
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter warna ordo 0
53
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter warna ordo 1
54
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter tekstur ordo 0
54
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter tekstur ordo 1
54
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter rasa ordo 0
55
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter rasa ordo 1
55
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter kekerasan ordo 0
55
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter kekerasan ordo 1
56
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter nilai L ordo 0
56
Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter nilai L ordo 1
56
Hasil uji stabilitas kekerasan selama penyimpanan
57
Hasil uji stabilitas warna selama penyimpanan
58
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan mengalami bencana alam karena kondisi geografis maupun topografis. Bencana alam tersebut dapat disebabkan oleh faktor alam, non alam, maupun manusia yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis. Keadaan darurat yang demikian menempatkan kebutuhan pangan sebagai hal utama bagi korban bencana. Umumnya, kebutuhan pangan korban bencana dipenuhi oleh dapur umum. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi pendirian dapur umum tidak memungkinkan. Oleh karena itu diperlukan desain pangan khusus untuk keadaan darurat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan para korban bencana. Menurut Zoumas et al. (2002), pangan darurat atau emergency food product adalah makanan yang memiliki energi dan densitas gizi tinggi untuk korban bencana alam yang dapat dikonsumsi segera pada keadaan darurat. Pemberian pangan darurat saat ini dirasa belum tepat, misalnya pemberian makanan yang tidak bisa dikonsumsi secara langsung (mi instan atau beras). Dalam keadaan darurat, kebutuhan makanan yang tepat yaitu makanan siap santap. Pangan darurat memiliki beberapa kendala dalam aplikasinya, antara lain dalam hal distribusi, tingkat penerimaan oleh konsumen serta harga yang relatif mahal. Oleh sebab itu, penyediaan pangan darurat dalam penelitian ini yaitu pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya berupa makanan pokok. Nasi kaleng merupakan bagian dari penyusun pangan darurat sebagai sumber karbohidrat, dalam 100 gram nasi mengandung jumlah kalori sebanyak 101 kalori, dengan komposisi air 73.93 gram, protein 3.99 gram, lemak 0.34 gram, karbohidrat 21.34 gram (USDA 2015). Sementara kebutuhan gizi makro dari pengungsi dan kebutuhan energi dalam keadaan darurat, yaitu sebesar 2000 kkal per hari (BPOM 2011). Hal ini bisa menjadi kajian bahwa nasi kaleng harus dikombinasikan dengan bahan lain yang kaya akan lemak dan protein seperti halnya daging untuk menjadi pangan darurat, karena komposisi komponen makro yang ada pada pangan darurat yaitu 40-50% karbohidrat, 10-15% protein dan 35-45% lemak (Zoumas et al 2002). Nasi kaleng sebagai penyusun bahan pangan darurat sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai alternatif pangan darurat sumber karbohidrat. Keunggulan produk ini yaitu terjaminnya keamanan selama proses distribusi, karena teknologi pengalengan yang digunakan. Penggunaan jenis varietas beras yang berbeda pada tahap awal dilakukan untuk memperoleh jenis varietas beras yang baik terhadap penerimaan konsumen. Varietas beras berpengaruh terhadap tekstur nasi karena kandungan jumlah amilosa dan amilopektin pada beras. Berdasarkan kadar amilosanya, beras dapat dikelompokkan menjadi beras ketan yang mengandung amilosa 0-2% dari berat kering, serta beras pulen dengan kandungan amilosa rendah (9-20%), beras menengah dengan kandungan amilosa (20-25%) dan beras pera dengan kandungan amilosa (lebih dari 25%) (Koswara 2009). Perlakuan uji stabilitas selama penyimpan dilakukan untuk mengetahui laju perubahan pada produk nasi kaleng yang akan terpilih selama penyimpanan. Teknologi yang digunakan dalam pembuatan nasi kaleng yaitu teknologi pengalengan, yaitu salah satu metode pengawetan pangan yang melibatkan unit
2 proses termal dan pengemasan secara hermetis. Teknologi pengalengan merupakan teknologi yang dapat menjamin keamanan produk dan memberikan kemudahan dalam penyajian. Umur simpan makanan kaleng biasanya mencapai 6 bulan – 2 tahun (Effendi 2009). Parameter penting pada proses termal adalah waktu dan suhu selama proses termal. Lama waktu proses sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: ketahanan mikroba terhadap panas, kondisi pemanasan, nilai pH produk pangan, jenis produk pangan, ukuran, bentuk kemasan dan bentuk fisik produk pangan (Estiasih 2011). Fokus dari penelitian ini yaitu nasi kaleng sebagai bahan penyusun pangan darurat bisa menjadi alternatif sebagai suplai pangan untuk korban bencana.
Tujuan Penelitian 1. Menentukan formula nasi kaleng dengan nilai kesukaan dan sifat fisik yang paling baik. 2. Menentukan waktu operasi untuk mencapai nilai Fo tertentu. 3. Menentukan stabilitas nasi kaleng. 4. Menentukan komposisi gizi nasi kaleng. Manfaat Penelitian Data karakterisasi pengalengan nasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman awal dalam proses pemasakan nasi dalam pengalengan untuk skala pilot plant.
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Darurat Pangan darurat (Emergency Food Product) merupakan pangan yang dibuat untuk menghadapi bencana, seperti banjir, kebakaran, gempa, wabah penyakit, maupun bencana akibat kesalahan manusia, seperti dalam kecelakaan industri. Pangan darurat (EFP) diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian yang direkomendasikan sebesar 2000 kkal dengan bobot sekitar 450 gram. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan pasal 46a, pangan darurat disebut juga sebagai cadangan pangan nasional yang dapat digunakan ketika menghadapi masa paceklik dan bencana alam. Pangan darurat yang ideal mampu diaplikasikan dan diterima di berbagai latar belakang budaya. Pada masa paceklik, pangan darurat merupakan cadangan bahan pangan pokok seperti beras, sedangkan pangan darurat untuk menghadapi bencana alam merupakan bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa adanya proses pemasakan atau penambahan air bersih terlebih dahulu. Tujuan pangan darurat adalah untuk memenuhi asupan harian korban bencana alam. Pangan darurat harus dapat memenuhi beberapa kriteria, di antaranya (1) dapat memenuhi kebutuhan nutrisi semua usia di atas 6 bulan, (2) dapat digunakan sebagai sumber penghidupan hingga 15 hari, (3) dapat diterima dari berbagai etnis dan budaya, serta berbagai latar belakang agama, (4) mudah dikonsumsi tanpa persiapan
3 khusus, (5) minimal stabil hingga 3 tahun dan (6) penyalurannya dapat dilakukan melalui pengiriman darat atau udara (IOM 2002). Keberhasilan pengembangan pangan darurat dapat dilihat dari karakteristik kritis meliputi (1) aman, (2) mudah didistribusikan, (3) memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen (seperti warna, rasa, aroma, tekstur dan penampakan), (4) memiliki nutrisi lengkap dan (5) mudah digunakan. Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama pada produk pangan darurat, yaitu sebagai sumber energi, pemberi rasa manis dan menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan oleh produk. komposisi gizi dalam pembuatan pangan darurat yang ideal dari segi gizi makro (Zoumas et al 2002), yaitu : 1. Karbohidrat menyumbang 40-50% atau sekitar 800 - 1000 kkal dari total kalori yang dibutuhkan, dapat dipenuhi dari sumber seperti, tepung terigu, jagung, beras dan lainnya. 2. Protein menyumbangkan 10-15% atau sekitaran 200 - 300 kkal dari total kalori yang dibutuhkan, dapat dipenuhi dari susu bubuk seperti kasein dan turunannya. 3. Lemak menyumbangkan 35-45% atau sekitaran 700 - 900 kkal dari total kalori yang dibtuhkan, dapat terpenuhi dari kacang-kacangan, seperti kacang kedelai, minyak kedelai dan daging-dagingan. 4. Vitamin dan mineral dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk. Proses Termal dan Sterilisasi Proses termal dalam suatu pengolahan pagan bertujuan untuk memperpanjang keawetan produk pangan dengan membunuh mikroba pembususk dan patogen, memperbaiki mutu sensori. Teknologi yang digunakan umumnya adalah teknologi pengalengan, yaitu merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack, kaleng alumunium, gelas jar, kemasan plastik, dan sebagainya (Murniyati 2009). Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih efektif dibandingkan pemansan kering (Kim 2000). Salah satu metode peningkatan umur simpan produk pangan adalah dengan cara pengalengan. Pengisian bahan harus dilakukan secara baik dan tertata ke dalam kaleng yang bersih. Pengisian bisa diterapkan menggunakan cara manual, mesin semi otomatis maupun mesin otomatis. Saat mengisi bahan, kita perlu memperhatikan head space. Head space adalah ruang antara permukaan bahan dengan tutup kaleng. Ruang ini diadakan untuk membantu proses pengeluaran gas dari dalam kaleng. Besarnya ruang head space bergantung pada jenis bahan pangan dan kemasan. Jenis pangan padat dalam kaleng membutuhkan ruang head space kirakira sebesar 0.25 inci. Bila pangan tersebut menggunakan suatu medium pemanasan, ruang head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci. Bila tidak menggunakan medium pemanasan, bahan pangan diperbolehkan untuk diisi hingga hampir penuh memenuhi kemasan dengan meninggalkan sedikit ruang untuk head space (Muchtadi 1994).
4 Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak dapat dimasuki udara, uap air, ataupun mikroba. Beberapa keuntungan dari proses termal, anatara lain : a. Terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai, b. Rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi, c. Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat, d. Terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan e. Menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusk, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan. Suhu sterilisasi yang dibutuhkan untuk menangani spora C. botulinum yang sangat resisten terhadap pemanasan adalah kisaran 115 – 133 oC (Winarno 2004). Beberapa kerugian yang disebabkan oleh proses pemanasan, antara lain kemungkinan terjadinya kerusakan beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik, tekstur, warna aroma, dan lain-lain), yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya proses pemanasan dengan baik. Perlunya pengontrolan dalam proses pemanasan dengan baik, kontrol terpenting dalam proses pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu. Oleh karena itu proses sterilisasi harus dapat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang tepat agar mikroba mati, namun komponen gizi tetap memiliki retensi yang baik (Muchtadi 2004). Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan, dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisasi. Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses pengalengan yang menentukan sukses tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan. Proses ini dilakukan setelah kaleng ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. Suhu sterilisasi standar yang digunakan adalah 121.1 o C (250 oF) (Kusnandar 2006). Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi komersial merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang hidup (Hariyadi 2006). Pemanasan dalam proses sterilisasi dilakukan pada suhu di atas 100 oC dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Muchtadi 2004). Beras dan Pengaruh Proses Termal Beras adalah makanan pokok utama di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, preferensi konsumen telah bergeser ke arah beras berkualitas baik, khususnya terhadap jenis dengan kualitas makan yang baik. Setiap negara, dan juga daerah, lebih memilih nasi dengan sifat dan kualitas tertentu (Calingacion et al 2014). Beras adalah bulir padi yang sudah dipisahkan dari sekam melalui tahap pengupasan dan penyosohan. Pengupasan gabah dengan alat pemecah kulit menghasilkan sekam dan beras pecah kulit yang berwarna kecoklatan (brown rice). Pati pada beras berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Beras mengandung pentosa berkisar 2.0 - 2.5% dan gula 0.6 - 1.4% dari berat beras pecah kulit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat fisikokimiawi beras ditentukan oleh sifat-sifat patinya, karena pati merupakan penyusun utama beras
5 (Haryadi 2006). Komponen terbesar dari beras adalah pati yaitu sekitar 80-85%. Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Menurut (Patiwiri 2006) dari segi kandungan gizinya, butiran beras mengandung 70-75 % karbohidrat, 6-7.5 % protein, 3 % lemak dan sedikit vitamin B2. Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat yaitu, amilosa (pati dengan struktur tidak bercabang) dan amilopektin (pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket). Perbandingan kedua golongan pati ini menentukan warna (transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras, atau pera). Perbandingan komposisi kedua golongan pati sangat menentukan warna (transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras atau pera). Semakin kecil kadar amilosa atau semakin tinggi kadar amilopektin, semakin lekat nasinya. Karena itu, beras ketan kadar amilosanya sangat rendah (12%), sedangkan beras yang kadar amilosanya lebih besar dari 2 % disebut beras bukan ketan atau beras biasa. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (bukan ketan) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu beras beramilosa tinggi (25-33%), beras beramilosa sedang (20-25%), beras beramilosa rendah (9-20%) dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (2-9%) (Koswara 2009). Mengacu pada (Grusak 2005), kebutuhan rata-rata mineral dari makanan yang bersumber dari tanaman untuk manusia adalah sebagai berikut: Kalsium (Ca) (12 mg / g makanan), Tembaga (Cu) (0.015-0.03 mg / g makanan), Besi (Fe) (0.15 mg / g makanan) , Magnesium (mg) (3.5 mg / g makanan) dan Seng (Zn) (0.15 mg / g makanan). Kekurangan ini memiliki dampak negatif pada kesehatan masyarakat di daerah maupun di tingkat global (Stein 2010). Tekstur adalah properti sensorik multi-parameter, dengan kekerasan dan lengket seperti parameter yang paling sering ditentukan untuk nasi (Patindol 2010). Selain sensorik evaluasi oleh panel manusia, sifat tekstur nasi yang biasanya diukur dengan instrumen seperti analisa tekstur (Cameron 2005). Tekstur nasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kadar amilosa, pengolahan pascapanen, dan metode memasak (Leelayuthsoontorn 2006) . Di antaranya, struktur pati memiliki peran penting dalam tekstur nasi (Cameron 2005). Tekstur nasi telah dibuktikan berkorelasi positif dengan kandungan protein dan amilosa (Juliano et al 1972). Proses termal akan mempengaruhi perubahan warna pada beras ketika tidak adanya pengaturan suhu dan waktu selama proses pemanasan. Selain itu, Beras mengandung enzim α-amilase yang bersifat tahan panas. Enzim ini akan aktif pada suhu di atas 60o C bersamaan dengan proses gelatinisasi pati yang mengakibatkan pati menjadi lebih mudah diserang oleh enzim tersebut. Enzim tersebut memecah sebagian pati menjadi glukosa. Gabungan enzim amilase seperti α-amilase, β-amilase dan α-glukosidase dalam beras aktif memecah pati selama pemasakan. Akibatnya rasa nasi akan menjadi agak manis dan teksturnya menjadi lebih lunak. Perubahan warna ini terjadi karena reaksi pencoklatan ketika proses pemanasan (Haryadi 2006). Sedangkan untuk tekstur disebabkan oleh kandungan amilosa dan amilopektin pada beras, amilosa rendah akan menghasilkan tekstur yang pulen pada beras setelah menjadi nasi, sedangkan amilosa tinggi akan menghasilkan tekstur yang agak keras pada nasi setelah pemasakan. Komponen paling kritis dalam hal ini terjadinya perubahan warna yang signifikan, yaitu terjadinya reaksi pencoklatan pada beras ketika proses pemasakan.
6
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2015 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pilot Plan PAU. Bahan Bahan baku utama yang digunakan adalah beras (Oryza sativa), beras pera IR 42, beras IR 64, beras pulen delanggu, dan beras pulen cianjur yang dibeli dari kios beras Artomoro pasar Bogor. Kaleng yang digunakan pada penelitian ini adalah two piece drawn can dengan material tin free steel (TFS ) berdimensi 307 x 113 produksi PT. United Can Company Limited, Indonesia. Bahan kimia yang digunakan meliputi bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat) dan analisis kadar pati, antara lain terdiri dari: K2SO4, HgO, larutan H2SO4 25%, larutan H3BO3, indikator metal merah 0.2%, metilen biru 0.2%, larutan NaOHNa2SO3, larutan HCl 0.02 N, HCL 3%, NaOH 30%, CH3COOH 3%, heksan, KI 20%, NaOH 1N, etanol 96%, asam asetat 1 N, larutan tio 0.1%, larutan iod, DNS, NaK - tartarat, dan akuades. Alat Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk nasi dibagi dalam dua kelompok, yakni alat yang digunakan untuk pembuatan nasi kaleng dan alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk pembuatan nasi aron adalah rice cooker merk miyako dengan kapasitas 1,6 liter, neraca digital, sendok dan centong. Sedangkan instrumen proses pengalengannya antara lain exhauster, seamer dan retort merk Korimat. Peralatan yang digunakan dalam menganalisis parameter uji pada penelitian ini anatara lain , spektrofotometer double beam model UV-1800 (Shimadzu, Jepang), TPA (Texture Profile Analyzer), Chromameter model CR - 310 (Konika Minolta, Jepang), corong gelas, cawan aluminium, oven, penjepit (gegep), cawan porselin, tanur listrik, pemanas Kjeldahl lengkap, labu Kjeldahl, alat destilasi, buret, labu takar 100 ml dan 1000 ml, pipet ukur 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml, Erlenmeyer 100 ml dan 250 ml, gelas beaker 250 ml, pengaduk magnetik, pipet tetes, pipet volumetrik, labu lemak 250 ml, kapas bebas lemak, tabung reaksi. Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan. Secara rinci penelitian ini terdiri dari empat tahapan, tahap pertama yaitu melakukan formulasi nasi kaleng untuk karakterisasi kadar amilosa, kadar amilopektin, dan kadar pati pada beras. Kemudian, melakukan optimasi proporsi penambahan air pada nasi kaleng dengan pemasakan konvensional. Tahap kedua yaitu pemilihan waktu operasi terbaik saat sterilisasi dengan suhu 115 oC. Tahap ketiga yaitu pengujian stabilitas penyimpanan produk selama enam minggu pada suhu penyimpanan 40, 45 dan 50 o C. Tahap keempat yaitu penentuan nilai gizi produk yang terpilih.
7 Tahap 1 : Formulasi nasi kaleng Karakterisasi amilosa, amilopektin dan kadar pati pada sampel beras Varietas IR 42, IR 64, delanggu dan cianjur. Kemudian menentukan proporsi penambahan air dalam pemasakan. Tujuannya untuk mengetahui karakteristik awal pada masing-masing varietas, serta untuk menentukan jenis beras yang masuk ke dalam jenis beras pera , menengah dan pulen. Kemudian, untuk mendapatkan tekstur nasi yang optimum ketika dilakukan proses pengalengan. Analisis: Analisis kadar amilosa, dan analisis kadar pati. Pemasakan masing-masing sampel beras menggunakan alat masak rice cooker dan dilihat secara visual. Analisis fisik meliputi analisis tekstur dan analisis warna. Tahap 2 : Evaluasi kondisi proses nasi kaleng Evaluasi kondisi proses nasi kaleng untuk mendapatkan waktu operasi terbaik selama sterilisasi menggunakan suhu retort 115 oC. Tujuannya untuk mendapatkan sampel yang disukai dan dapat diterima dengan memperhatikan keamananannya. Analisis : Analisis organoleptik uji rating hedonik dan uji deskriptif. Analisis fisik meliputi uji tekstur dan warna. Tahap 3 : Pengujian stabilitas nasi kaleng Uji stabilitas pada sampel yang terpilih selama penyimpanan 6 minggu terhitung dari minggu ke-0 pada suhu penyimpanan 40, 45 dan 50 oC. Tujuannya untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada produk selama penyimpanan 6 minggu dilihat dari uji fisik dan uji sensori. Analisis : Analisis organoleptik uji deskripsi setiap minggunya selama 6 minggu. Analisis fisik meliputi uji tekstur dan warna setiap minggunya selama 6 minggu. Tahap 4 : Penentuan nilai gizi Uji analisis proksimat untuk produk terpilih Tujuan untuk mengetahui informasi nilai gizi pada produk nasi kaleng Analisis : Analisis proksimat Gambar 1 Alur penelitian karakterisasi nasi dalam kemasan kaleng sebagai bahan penyusun karobohidrat
8 1. Formulasi Nasi Kaleng Karakterisasi Amilosa, Amilopektin dan Kadar Pati Tahap pertama penelitian ini yaitu melakukan karakterisasi amilosa, amilopektin, dan kadar pati terhadap varietas beras. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik awal pada masing-masing varietas beras yang digunakan, terutama untuk kadar amilosa, amilopektin dan kadar pati. Sehingga dapat diketahui klasifikasi beras pera, menengah, atau pulen. Hal ini akan berpengaruh terhadap profil produk untuk sifat fisik produk seperti warna dan tekstur serta penambahan air saat proses pemasakan dengan proses termal. Analisis yang digunakan yaitu analisis kadar amilosa dan analisis kadar pati. Optimasi Formulasi Nasi Kaleng dalam Penambahan Air dengan Pemasakan Konvensional Tahapan selanjutnya yaitu optimasi formulasi proses penambahan air saat pemasakan agar diperoleh tekstur nasi yang optimum secara objektif maupun subjektif. Tahapan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya tekstur sampel yang terlalu lembek atau terlalu keras. Prosedur tahap ini yaitu pemasakan nasi menggunakan ricecooker. Dari tahapan ini akan dipilih tiga varietas beras terbaik untuk uji selanjutnya berdasarkan parameter tekstur, warna dan kesukaan terhadap produk. Analisis fisik yang dilakukan meliputi uji tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer dan uji warna menggunakan Chromameter. 2. Evaluasi Kondisi Proses Nasi Kaleng Penelitian tahap kedua yaitu pemilihan waktu operasi terbaik dalam pengalengan beras pada suhu retort 115 oC. Penentuan waktu operasi termal dilakukan melalui eksperimen pendahuluan berupa trial pengalengan. Trial pengalengan ditujukan untuk memperoleh dua waktu operasi yang nilai sterilitas prosesnya memenuhi kaidah konsep 12D dalam sterilisasi untuk pangan berasam rendah. Dua waktu operasi yang akan diuji yaitu 60 menit dan 90 menit. Nilai sterilitas (nilai Fo) akan dianalisis menggunakan metode umum. Pemilihan waktu operasi pada tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan waktu operasi yang optimal dengan tidak merusak mutu organoleptik serta keamanan produk berdasarkan nilai Fo. Analisis yang dilakukan yaitu uji fisik meliputi tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer dan warna menggunakan Chromameter. Selain itu, dilakukan analisis organoleptik rating hedonik dengan 70 panelis untuk memilih produk yang paling disukai panelis. 3. Pengujian Stabilitas Nasi Kaleng Tahap ketiga penelitian ini ialah uji stabilitas selama penyimpanan terhadap produk dengan waktu proses terbaik berdasarkan parameter fisik serta organoleptik (disajikan pada Gambar 2). Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap produk selama penyimpanan enam minggu. Parameter yang diamati antara lain parameter fisik (warna dan tekstur) serta parameter sensori untuk uji deskriptif. Prosedur analisisnya yaitu nasi kaleng di
9 simpan pada suhu penyimpanan 40 0C, 45 0C, 50 0C dengan kontrol (suhu ruang) selama enam minggu. Pengujian produk akan dilakukan setiap minggu ( minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6). Analisis Uji yang dilakukan adalah uji deskriptif dan fisik meliputi uji tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer dan uji warna menggunakan Chromameter. Nasi kaleng
Suhu penyimpanan : 30 (suhu ruang), 40, 45 dan 50 oC
Analisis Fisik : Uji tekstur dan warna
Setiap minggunya
Analisis Organoleptik : Uji deskripsi
Gambar 2 Diagram alir tahap tiga uji stabilitas produk selama penyimpanan. 4. Penentuan Nilai Gizi Tahap keempat penelitian ini ialah penentuan nilai gizi pada produk nasi kaleng. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi yang ada pada nasi kaleng. Produk nasi kaleng akan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui jumlah %AKG pada masing-masing kandungan gizi makro pada produk. Analisis uji yang dilakukan adalah analisis proksimat. Prosedur Analisis Pengukuran Distribusi Panas (Kusnandar et al. 2009) Pengukuran distribusi panas bertujuan menentukan bagian terdingin dalam retort, waktu venting, dan menentukan come up time (CUT). Keranjang dalam retort diisi penuh dengan retort pouch yang berisi air. Sepuluh termokopel dipasang pada sepuluh titik tertentu dalam retort dan dihubungkan dengan alat pencatat (recorder) yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Titik-titik pemasangan termokopel dilakukan menyebar dalam retort (Gambar 3).
Gambar 3 Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas
10
Pengukuran Penetrasi Panas (Kusnandar et al 2009) Penetrasi panas dilakukan pada produk dengan memasang termokopel pada bagian tengah kemasan. Pengukuran penetrasi panas ke dalam produk menggunakan empat termokopel (tiga termokopel untuk mengukur suhu dalam produk dan satu termokopel untuk mengukur suhu retort). Produk disusun dalam satu tumpukan dalam keranjang retort paling atas dan retort diisi penuh dengan kaleng lain yang berisi air. Alat recorder kemudian mencatat perubahan suhu produk di dalam kemasan terhadap produk setiap satu menit. Berdasarkan data penetrasi panas, dibuat grafik pada semilogaritma. Suhu ditempatkan pada skala logaritmik (sumbu y), sedangkan waktu pada skala linier (sumbu x). Penentuan Waktu Sterilisasi Optimum dengan Metode Umum (improved general formula) (Kusnandar et al 2009) Untuk mencegah terjadinya overprocess maupun underprocess pada penelitian ini dilakukan perhitungan waktu sterilisasi. Nilai sterilitas proses dihitung berdasarkan luasan daerah di bawah kurva pada grafik semilogaritma yang berbentuk trapesium. Untuk menghitung luas trapesium, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah pararelogram pada interval waktu (Δt) tertentu. Masingmasing dihitung luasnya dengan rumus luas trapesium sehingga didapat nilai letal rate (LR) dan sterilitas parsial (Fo parsial) pada Δt tersebut. Masing-masing Fo parsial tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan nilai sterilitas total dari proses. ………………………………..(1) dimana : F0 = nilai sterilisasi pada suhu 250 oF (121.1 oC) bagi mikroorganisme yang mempunyai nilai Z tertentu ∆T = peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T T = suhu pengamatan pada waktu tertentu LR = 10 (T-Tref/z) adalah nilai lethal rate Analisis Kadar Air (AOAC 2005) Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama ± 15 menit. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Setelah didinginkan, cawan ditimbang bobotnya (a gram). Sebanyak 1-2 gram sampel bersama cawan (x gram), dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama lima jam didinginkan (desikator), dan ditimbang hingga mencapai bobot konstan (y gram).
11 Perhitungan: Kadar air = x-(y-a) x 100% a
Keterangan : x = bobot cawan awal (g) y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan a = bobot cawan kosong Analisis Kadar Abu (AOAC 2005) Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven dengan pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100 - 105ºC, kemudian didinginkan untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sebanyak 2 g sampel ditimbang dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar hingga tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan dalam tanur bersuhu 550 - 600ºC hingga pengabuan sempurna. Sampel yang telah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar abu = (C-A) x 100% / (B-A) Keterangan : A : berat cawan kosong dinyatakan dalam gram B : berat cawan + sampel awal dinyatakan dalam gram C : berat cawan + sampel kering dinyatakan dalam gram Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005) Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet dengan prinsip ekstraksi lemak menggunakan pelarut non polar. Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-105ºC, kemudian didinginkan dan ditimbang (A). Sebanyak 2 gram (B) sampel dibungkus dalam kertas saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Pelarut dituangkan sampai sampel terendam dan direfluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam hingga pelarut lemak yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung, kemudian ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105 ºC selama 1 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus : %lemak total = (C-A) x 100% / B Keterangan : A : berat labu alas bulat kosong dinyatakan dalam gram B : berat sampel dinyatakan dalam gram C : berat labu alas bulat dan lemak hasil ekstraksi dalam gram
12 Analisis Kadar Protein (AOAC 2005) Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl dengan prinsip oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia oleh asam sulfat, selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dan larutan dijadikan basa dengan NaOH. Amonia yang diuapkan akan diikat dengan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan ditentukan jumlahnya dengan titrasi menggunakan larutan baku asam. Prosedur analisis kadar protein sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0.1-0.5 g, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml, ditambahkan dengan 1/4 buah tablet kjeldal, kemudian didekstruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan SO2 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50 ml dan diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dimasukkan ke dalam alat destilasi, ditambahkan dengan 5-10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator (larutan bromcresol green 0.1% dan 29 larutan metil merah 0.1% dalam alkohol 95% secara terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengan 2 ml metil merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus: Protein (%) = (Va-Vb) HCL x N HCL x 14,007 X 6,25 x 100% / (w x 1000) Keterangan : Va : ml HCl untuk titrasi sampel Vb : ml HCl untuk titrasi blangko N : normalitas HCl standar yang digunakan 14.007 : berat atom Nitrogen 6.25 : faktor konversi protein untuk ikan W : berat sampel dalam gram Kadar protein dinyatakan dalam satuan g/100 g sampel (%) Analisis Kadar Karbohidrat (AOAC 2005) Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference yaitu diketahui dengan cara 100% dikurangkan dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Total Pati ( SNI 01-2095-1992 butir 7.3) Timbang seksama lebih kurang 5 g cuplikan kedalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 200 ml larutan HCL 3%, didihkan selama 3 jam dengan pendidih tegak, dinginkan dan netralkan dengan larutan larutan NaOH 30% (dengan lakmus atau fenoltalin), dan tambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan sedikit asam, pindahkan isinya kedalam labu ukur 500 ml dan impitkan hingga tanda garis, kemudian saring. Pipet 10 ml saringan ke dalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 25 ml larutan luff (dengan pipet) dan beberapa butir baut didih serta 15 ml air suling. Panaskan campuran tersebut dengan nyala yang tetap, usahakan agar larutan dapat mendidih dalam waktu 3 menit (gunakan stop watch), didihkan terus
13 selama tepat 10 menit (dihitung dari saat mulai mendidih dan gunakan stop watch) kemudian dengan cepat dinginkan dalam bak berisi es. Setelah dingin tambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 25% perlahan-lahan. Titar secepatnya dengan larutan tio 0.1 N (gunakan penunjuk larutan kanji 0.5%) Kerjakan juga blanko. Perhitungan : (blanko-penitar) x N tio x 10, setara dengan terusi yang tereduksi. Kemudian lihat dalam daftar Luff Schoorl berapa mg gula yang terkandung untuk ml tio yang dipergunakan. Kadar glukosa = w1 x fp x 100% / w Dimana : Kadar karbohidrat = 0.90 x kadar glukosa W1 = bobot cuplikan dalam mg W = glukosan yang terkandung untuk ml tio yang dipergunakan, dalam mg, dari daftar Fp = faktor pengencer Analisis Kadar Amilosa (IRRI 1978) Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Amilosa Sebanyak 40.0 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu tersebut kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 % dan 9.0 mL larutan NaOH 1 N. Labu takar kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 0C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel amilosa yang terbentuk ditambah dengan akuades sampai tanda tera. Larutan amilosa ini digunakan sebagai larutan stok amilosa standar. Dari larutan stok amilosa standar tersebut dipipet 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan 5.0 mL untuk dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N. Sebanyak 2.0 mL larutan iod (0.2 g I2 dan 2.0 g KI yang dilarutkan dalam 100.0 mL air destilata) dipipet ke dalam setiap labu, lalu ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan dibiarkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 625 nm. Persamaan dan kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Analisis Sampel Sebanyak 100.0 mg sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian ditambahkan 1.0 mL etanol 95 % dan 9.0 mL larutan NaOH 1 N. Labu takar ini lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dari labu takar ini dipipet 5.0 mL larutan gel pati dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL dan ditambahkan 1.0 mL larutan asam asetat 1 N, 2.0 mL larutan iod, serta akuades hingga tanda tera. Larutan sampel ini
14 dibiarkan selama 20 menit pada suhu ruang sebelum diukur absorbansinya pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan persamaan kurva standar larutan amilosa. Kadar amilosa % = C x V x FP x 100 W Keterangan : C = konsentrasi amilosa amilosa dari kurva standar (mg/mL) W = berat sampel (mg) FP = faktor pengencer V = volume akhir contoh (100 mL) Kadar amilopektin dihitung berdasarkan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa. Analisis Tekstur dengan Texture Profile Analyzer (Faridah et al 2008) Analisis tekstur dilakukan menggunakan alat Texture Profile Analyzer (TPA). Prinsip kerja dari alat ini adalah sampel akan ditekan dengan compression anvil. Jenis probe yang digunakan untuk menekan bahan tergantung dari karakteristik bahan yang akan diuji. Pengukuran dilakukan dengan memberikan dua kali gaya tekan terhadap sampel. Tabel 1 menunjukkan spesifikasi pengukuran alat yang digunakan. Tabel 1 Spesifikasi pengukuran dengan Texture Profile Analyzer (TPA) Test Mode and Option TPA Parameter : Pre test speed 2.00 mm/s Test speed 1.00 mm/s Post test speed 2.00 mm/s Ruputure test dist 1.0 % Distance 50.0 % Force 205 g Time 5.00 sec 5 Count Sistem Notasi I.C.I (Pratomo 2011) Berdasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari 3 warna dasar, yaitu merah (λ= 720 nm), hijau (λ= 520 nm) dan biru (λ= 380 nm). Masing masing warna dasar dinyatakan dengan besaran X (merah),Y (hijau), dan Z (biru). Tiap warna dapat disajikan dengan 2 parameter yang berkaitan dengan nilai X, Y dan Z. Dalam praktek, sistem notasi warna I.C.I menggunakan peta warna yang terdiri dari dua sumbu koordinat (x, y). Didalam bidang koordinat tersebut terdapat peta warna monokromatis dan warna-warna campurannya seperti pada Gambar 4 dibawah ini. Nilai Y pada notasi Yxy = Y pada XYZ x = X/(X+Y+Z) y = Y/(X+Y+Z)
15
Gambar 4 Diagram kromatisitas CIE Analisis Warna dengan Chromameter (Mugendi et al. 2010) Analisis warna dilakukan menggunakan alat Chromameter model CR - 310 (Konika Minolta Jepang). Setelah alat chromameter dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar dan Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan mendekatkan kamera pengukur warna sampel dan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheat. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Analisis Sensori dengan Metode Uji Rating Hedonik dan Uji Deskripsi (Adawiyah et al 2006) Pada uji rating hedonik, 70 orang panelis tidak terlatih diminta untuk mencicipi masing-masing sampel, dan memberikan penilaian tingkat kesukaan terhadap parameter tekstur, warna, rasa dan overall dari produk dengan menggunakan tujuh tingkat skala kesukaan di mulai dari 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka), tanpa membandingkan antar sampel. Pada uji deskripsi kuantitatif, 9 orang panelis terlatih diminta untuk mencicipi masing-masing sampel, dan memberikan penilaian tingkat deskripsi mereka terhadap paramter tekstur, warna, rasa dan overall. Kinetika Termal (Boekel 2008) Model kinetika merupakan model matematika yang dapat digunakan untuk menjelaskan laju perubahan suatu atribut mutu sebagai fungsi waktu pada suatu suhu tertentu. Atribut mutu yang dievaluasi antara lain tekstur kekerasan, nilai L, a, b dan skor deskriptif. Data analisis yang diperoleh digunakan untuk mengetahui
16 atribut mutu yang dapat dijelaskan sebagai fungsi waktu pada suhu penyimpanan sampel sayur kaleng. Berikut adalah kurva hubungan waktu proses dan respon pada suhu inkubasi sampel.
Respon
T 1
T 2
T T
3
4 (hari ke-) Gambar 5 Contoh kurva hubungan waktu dan respon pada suhu inkubasi sampel nasi kaleng Kinetika perubahan atribut mutu dievaluasi menggunakan model ordo 0 (persamaan a) dan ordo 1 (persamaan b).
C = Co - ko t…………………………………………………(a) C = Co exp (- k1 t)…………………………………………..(b) dimana ko = konstanta laju reaksi untuk model ordo 0, k1 = konstanta laju reaksi untuk model ordo 1, C = nilai atribut yang diukur pada waktu t, Co = nilai atribut awal. Pemilihan model yang paling tepat untuk masing-masing respon atribut mutu dilihat berdasarkan nilai korelasi r2 terbesar. Model kinetik dengan korelasi R2 yang tinggi menunjukkan bahwa model itu dapat menjelaskan kinetika perubahan respon atribut mutu selama penyimpanan pada suhu yang berbeda (Charanjiv dan Sharma 2015). Ketergantungan konstanta laju reaksi (k) terhadap suhu direpresentasikan melalui persamaan Arhenius (persamaan c): k = kA exp (-Ea / RT)…………………………………………(c) Ea = (slope b x RT) Persamaan y = a + bx dimana k = konstanta laju reaksi, Ea = energi aktivasi (kJ/mol), R = konstanta gas universal (8.314 J/mol/K), T = suhu absolut (K)
HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi Nasi Kaleng 1 Karakteristik Amilosa, Amilopektin dan Kadar Pati pada Beras Tahap karakterisasi dilakukan untuk mengetahui kandungan amilosa, amilopektin, dan kadar pati pada sampel. Haryadi (2008) menyatakan bahwa sifat fisik dan kimiawi beras sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Secara spesifik, mutu ditentukan oleh kandungan amilosa, kandungan protein dan kandungan lemak. Hasil karakterisasi empat varietas beras (disajikan pada Tabel 2).
17
Tabel 2 Kadar pati, amilosa, dan amilopektin dari beras yang digunakan (g/100g) Sampel Total Pati (%) Amilosa (%) Amilopektin (%) IR 42 82.49 27.53 54.96 IR 64 73.09 23.76 49.32 Delanggu 71.70 20.16 51.53 Cianjur 81.19 19.44 61.65 Granula pati tersusun oleh dua komponen polisakarida utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer linier dari α-D glukopiranosa yang terhubung satu sama lain melalui ikatan glikosidik α(1-4). Amilopektin merupakan polimer dari α-D glukosa yang memiliki struktur percabangan, dimana terdapat 2 jenis ikatan glikosidik, yaitu ikatan glikosidik α(1-4) dan α(1-6) membentuk tititk-titik percabangan (Kusnanadar 2010). Cabang ini pada umumnya terlalu panjang atau terlalu pendek dan dipisahkan oleh jarak yang lebar. Bentuk ini membuat molekul-molekul dapat berperilaku seperti rantai lurus, selain itu membentuk serat dan selaput yang kuat serta menyebabkan dapat dengan mudah ter-retrogradasi (Bemiller 2007). Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dapat dikelompokkan menjadi beras ketan yang mengandung amilosa 0-2% dari berat kering, beras dengan kandungan amilosa rendah (9-20%), menengah (20-25%) dan tinggi (lebih dari 25%) (Koswara 2009). Dari perolehan data tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel dengan varietas IR 42 merupakan beras berkadar amilosa tinggi, beras IR 64 memiliki kadar amilosa sedang, sedangkan beras delanggu (DLG) dan cianjur (CJR) mengandung kadar amilosa rendah. Beras berkadar amilosa sedang mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering dan pera. Penggolongan ini didasarkan pada kemampuan amilosa untuk berasosiasi kembali dengan sesamanya membentuk struktur yang kaku. Bila pasta telah mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekulmolekul amilosa untuk bersatu kembali. Maka terjadi proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi atau dikenal juga sebagai proses retrogradasi. Hasil ini menunjukkan bahwa beras IR 42 dapat dikategorikan sebagai beras pera, sementara delanggu dan cianjur merupakan kategori beras pulen. Masyarakat lebih menyukai nasi yang pulen, sehingga penggunaan jenis beras yang pera tidak akan dilanjutkan. 2 Profil Nasi Kaleng dari Formulasi Penambahan Air yang Berbeda Optimasi proporsi penambahan air dilakukan untuk mendapatkan tekstur nasi yang optimum ketika proses pemasakan menggunakan retort. Menurut Budijanto et al (2005), untuk menentukan kisaran jumlah air dalam pemasakan beras perlu dilakukan percobaan pengukuran dan pemasakan. Hasil formulasi proporsi penambahan air pada beras terhadap nasi yang dimasak secara konvensional (disajikan pada Tabel 3). Pemasakan nasi dalam tahapan ini dilakukan menggunakan metode konvensional dengan ricecooker. Tujuannya ialah mengetahui kondisi nasi yang optimum saat pemasakan, yakni nasi yang
18 dapat diterima oleh masyarakat baik secara subjektif dan obyektif. Penelitian Valentina (2009) dan Yanuar (2009) melaporkan bahwa kondisi beras yang ideal untuk proses pengalengan adalah beras setengah mentah. Beras mentah yang sudah dicuci, lalu ditambah dengan air pada perbandingan (1:2)-(1:3) kemudian dimasak setengah matang (aron) lalu dikalengkan akan menghasilkan tekstur nasi yang lebih baik dari beras matang. Beras varietas IR 42 dengan rasio air dan beras 3:1 memiliki tekstur dan penampakan yang lebih baik dibandingkan dengan sampel dengan rasio air dan beras 2:1. hal ini menunjukkan bahwa beras pera membutuhkan lebih banyak air supaya tekstur yang diperoleh tidak terlalu keras. Beras varietas IR 64 dengan proporsi air dan beras 2:1 memiliki deskripsi tekstur dan penampakan yang lebih baik dibandingkan dengan proporsi air dan beras 1.5:1, 1.75:1, dan 3:1. Sedangkan untuk hasil percobaan sampel varietas cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) dengan proporsi air dan beras 1.5:1 memiliki deskripsi yang lebih baik dibandingkan dengan proporsi air dan beras 1.75:1, 1:2, dan 3:1. Tabel 3 Pengaruh proporsi penambahan air pada beras terhadap nasi yang dimasak secara konvensional Sampel Proporsi No Deskripsi (Varietas) (air : beras) 1 IR 42 2:1 Nasi tidak basah, tekstur sedikit keras 3:1 2
IR 64
1.5:1 1.75:1 2:1 3:1
3
Cianjur
1.5:1 1.75:1 2:1 3:1
4
Delanggu
1.5:1 1.75:1 2:1 3:1
Nasi tidak basah, tekstur tidak keras Nasi tidak basah, tekstur pulen dan sedikit keras Nasi tidak basah, tekstur pulen dan tidak keras Nasi tidak basah, tekstur pulen Nasi tidak basah, tekstur pulen dan terlalu lembek Nasi tidak basah, tekstur pulen Nasi tidak basah, tekstur pulen dan tidak keras Nasi tidak basah, tekstur pulen dan agak lembek Nasi tidak basah, tekstur pulen dan terlalu lembek Nasi tidak basah, tekstur pulen Nasi tidak basah, tekstur pulen dan tidak keras Nasi tidak basah, tekstur pulen dan agak lembek Nasi tidak basah, tekstur pulen dan terlalu lembek
19 Hasil analisis secara deskriptif ini tentu akan berbeda apabila pemasakan nasi dilakukan pada suhu tinggi dengan retort. Tekanan yang tinggi saat pemasakan dengan menggunakan retort akan memaksa air untuk masuk ke dalam granula, sehingga akan menyebabkan nasi terlalu lembek jika penambahan air terlalu banyak. Oleh sebab itu, hasil formulasi ini diperlukan sebagai referensi ketika dilakukan aplikasi proses pemasakan menggunakan retort. Sebelum bahan dimasukan kedalam kaleng untuk selanjutnya dilakukan proses sterilisasi, sampel nasi dimasak terlebih dahulu hingga aron dengan menggunakan alat pemasakan ricecooker. Tujuan pengaronan adalah memberikan kesempatan untuk penyerapan air yang optimum pemasakan awal, sehingga pada tahap pemasakan sterilisasi bagian beras akan matang. Pada penelitian ini pengaronan dianggap cukup setelah air tampak terserap semua. dari beberapal trial yang dilakukan diperoleh rasio air dengan beras yang terbaik ketika proses sterilisasi dengan produk yang tidak terlalu lembek. Proporsi air dan beras yang terbaik yaitu 1.5:1 untuk sampel IR 64, Cianjur, dan Delanggu. Nasi kaleng memiliki pH (>4.5) yaitu pH 5, sehingga nasi kaleng termasuk kedalam kategori produk berasam rendah. Head space yang digunakan dalam proses pembuatan nasi kaleng kira-kira sebesar 0.25 inchi. 3 Profil Warna dengan Pemasakan Konvensional Pengujian parameter warna pada pemasakan konvensional dilakukan untuk mengetahui nilai L, a dan b pada masing-masing sampel nasi. Hasil analisis warna nasi yang dimasak secara konvensional dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis warna nasi menggunakan chromameter Sampel L a b b a IR 42 78.72±0.438 -1.06±0.007 7.37±0.028 a IR 64 77.33±0.156 a -0.61±0.007 c 8.45±0.021 c Cianjur 79.13±0.170 b -0.67±0.014 b 7.41±0.028 a a c Delanggu 77.49±0.050 -0.63±0.007 8.15±0.021 b *Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf nyata 5% menggunakan uji lanjut Duncan.
Hasil analisis warna nasi menunjukan bahwa nilai L sampel IR 64 dan delanggu (DLG) berbeda nyata dengan sampel IR 42 dan cianjur (CJR) (P<0.05) (disajikan Lampiran 1). Menurut Juliano (2003), beras dengan kandungan amilosa yang tinggi cenderung menyerap air lebih dan mengembang lebih besar, sehingga warnanya lebih putih. Sampel IR 42 mengandung amilosa tinggi (lebih dari 25%), sedangkan sampel cianjur (CJR) memiliki nilai L yang tinggi mungkin disebabkan oleh karakteristik proses pemasakannya. Nilai a pada varietas IR 42 berbeda secara signifikan (P<0.05) dengan varietas lainnya yaitu -1.06a (disajikan pada Lampiran 2). Tetapi untuk nilai a tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan warna produk. Nilai b pada varietas IR 64 secara signifikan berbeda nyata (P<0.05) dengan varietas lainnya yaitu 8.45c (disajikan pada Lampiran 3), hal ini bisa disebabkan oleh kandungan amilosa dan karakteristik pada sampel IR 64 yang termasuk dalam amilosa menengah (20-25%).
20 4 Profil Tekstur dengan Pemasakan Konvensional Pengujian parameter tekstur dilakukan untuk mengetahui nilai kekerasan pada masing-masing sampel secara objektif menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA). Hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 6 yang menunjukan bahwa sampel IR 42 memiliki nilai kekerasan paling kecil (P<0.05) dibandingkan dengan varietas lainnya (disajikan pada lampiran 4). IR 42 termasuk kedalam jenis beras dengan kandungan amilosa tinggi. Beras berkadar amilosa sedang mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering dan pera. Sampel IR 42 ketika sudah matang memiliki penampakan menjadi nasi yang kering, hal ini dimungkinkan karena kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan tekstur nasi menjadi kering. Sampel IR 64, delanggu (DLG), dan cianjur (CJR) ketika proses pemasakan tidak menunjukan adanya tekstur nasi yang pecah. Hal ini bisa disebabkan oleh kandungan amilosa yang menengah dan rendah. Hasil dari analisis tekstur ini menunjukkan bahwa sampel IR 42 kurang baik apabila digunakan sebagai bahan untuk nasi kaleng.
d
Nilai kekerasan (gf)
2500,000
2219.90 6.12
2000,000
c
1303.66 9.14 1500,000 1000,000
1176.80 6.25
c
b
a
715.55 8.03
500,000
0,000 IR 42
IR 64
CJR
DLG
Gambar 6 Nilai kekerasan pada sampel beras dengan pemasakan konvensional Pemilihan Waktu Operasi Termal Nasi dalam Kaleng 1 Profil Ditribusi Panas Penentuan waktu operasi dilakukan untuk menghindari terjadinya overcooked atau undercooked pada proses sterilisasi. Dalam proses termal waktu dan suhu merupakan dua parameter penting dan berkaitan dengan kualitas penerimaan organoleptik. Proses distribusi panas dilakukan sebelum proses sterilisasi untuk sampel, hal ini dilakukan untuk mengetahui penyebaran panas yang terjadi pada retort.
21 140 120
Suhu (oC)
100 Tc 2
80
Tc 3
60
Tc 4
40
Tc 9
20
Tc 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 menit ke-
Gambar 7 Kurva distribusi panas di dalam retort pada beberapa titik Distribusi panas yang merata menandakan penyebaran panas di dalam retort berjalan dengan baik. Tujuan dilakukannya uji distribusi panas yaitu untuk mengetahui skedul venting dan CUT. Tren perubahan suhu yang diperoleh pada masing-masing termokopel menunjukkan hasil yang tidak bervariasi satu sama lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebaran panas pada retort cukup merata di setiap titik ( disajikan pada Gambar 7). Waktu venting dan coming up time (CUT) yang diperoleh adalah sebesar 7 dan 9 menit. Venting adalah waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan udara didalam retort dan menggantinya dengan uap panas dengan suhu ±105 oC. Coming up time adalah waktu yang dibutuhkan untuk merubah suhu didalam retort menjadi suhu sterilisasi yaitu suhu ±121.1 oC (Hariyadi 2006). Penelitian ini menggunakan suhu sterilisasi ±115 oC. 2 Profil Penetrasi Panas Uji penetrasi panas dilakukan terhadap 3 produk verietas yang berbeda, yaitu varietas IR 64, varietas cianjur (CJR), dan varietas delanggu (DLG). Setiap sampel yang sudah diaron dengan perbandingan beras dan air 1:1.5 ditimbang dengan bobot netto ±200 gram. Uji penetrasi panas dilakukan pada suhu 115 oC dengan waktu operasi 60 dan 90 menit. Sembilan buah termokopel digunakan untuk merekam perubahan suhu dari 3 varietas beras dalam kaleng. Termokopel diletakkan pada titik tengah nasi yang sudah aron. Melalui uji pendahuluan berupa trial and error, diperoleh dua perkiraan waktu operasi termal yang akan dianalisis nilai kecukupan panas (Fo) nya, yaitu 60 dan 90 menit. Penetrasi panas dilakukan untuk mengetahui nilai kecukupan panas dengan melihat nilai Fo produk. Dari nilai Fo yang diperoleh, dapat ditentukan waktu yang terbaik dengan memperhatikan keamanan dan mutu produk. Setelah mendapatkan perkiraan waktu operasi yang terbaik maka akan dilakukan uji analisis fisik dan organoleptik, hal ini dilakukan untuk mengetahui penerimaan produk baik secara objektif dan subjektif. Analisis fisik yang akan dilakukan yaitu analisis warna dan tekstur, sedangkan untuk uji organoleptik akan dilakukan uji deskripsi dan rating hedonik untuk mengetahui respon masyarakat.
22 140
120 Suhu (oC)
100 80
CJR
60
DLG
40
IR 64
20 0 0
20
40
60
80
100
menit ke-
Gambar 8 Kurva penetrasi panas pada varietas IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit 140 120
suhu (oC)
100 80 CJR
60
DLG
40
IR64
20
0 0
20
40
60
80
100
120
140
menit ke-
Gambar 9 Kurva penetrasi panas pada varietas IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) dengan waktu operasi 90 menit Proses termal pertama dilakukan dengan total waktu 89 menit (disajikan pada Gambar 8). Nilai CUT proses, yaitu waktu yang dibutuhkan retort untuk mencapai suhu proses yang diinginkan, adalah 9 menit sedangkan waktu operasi (operating time) nya adalah 60 menit. Nilai Fo terendah dari produk IR 64, delanggu (DLG) dan cianjur (CJR) secara berturut-turut adalah 5.47 menit, 6.11 menit dan 6.81 menit (disajikan pada Tabel 5). Proses termal kedua dilakukan dengan total waktu 119 menit (disajikan pada Gambar 9). Nilai CUT proses adalah 9 menit sedangkan waktu operasi (operating time) nya adalah 90 menit. Nilai Fo terendah dari produk delanggu (DLG), IR 64 dan cianjur (CJR) secara berturut-turut adalah 16.61 menit, 16.79 menit dan 17.51 menit (disajikan pada Tabel 5). Penentuan waktu proses merujuk pada nilai Fo, nilai Fo untuk semua produk sudah mencukupi untuk membunuh meikroba target. Produk nasi kaleng dengan waktu operasi 90 menit memiliki penampakan visual dan karakteristik fisik yang kurang menarik.
23 Tabel 5 Nilai Fo produk nasi kaleng dengan waktu operasi 60 dan 90 menit Varietas Waktu operasi Fo (menit) 60 menit 5.46 IR 64 90 menit 16.79 60 menit 6.11 Delanggu 90 menit 16.61 60 menit 6.80 Cianjur 90 menit 17.51 3 Profil Sensori Nasi Kaleng Uji deskripsi dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan parameter sensori aroma, warna, tekstur dan rasa pada nasi kaleng dengan waktu operasi 60 dan 90 menit. Sebelum dilakukan penilaian deskriptif, panelis terlatih diperkenalkan terlebih dahulu terhadap sampel dan disamakan persepsinya. Deskripsi panelis terlatih menunjukan adanya perbedaan dari kedua penyajian antara waktu operasi 60 menit 90 menit (disajikan pada Tabel 6 dan 7). Hal ini menunjukan bahwa waktu operasi yang semakin lama akan mempengaruhi mutu organoleptik sampel. Produk dengan waktu operasi 60 menit memiliki mutu yang jauh lebih baik dibandingkan dengan waktu operasi 90 menit. Sampel dengan waktu operasi 60 menit varietas delanggu (DLG) secara keseluruhan memiliki mutu sensori lebih baik dibandingkan dengan varietas IR 64 dan cianjur (CJR), hanya dari parameter aroma sampel IR 64 lebih baik dibandingkan dengan sampel delanggu (DLG). Parameter aroma yang lebih baik pada sampel IR 64 disebabkan oleh jenis beras IR 64 merupakan varietas beras pandan wangi. Sampel beras delanggu lebih unggul dalam parameter warna, tekstur, dan rasa dibandingkan dengan sampel lain. Tabel 6 Analisis sensori metode deskriptif nasi kaleng (t operasi= 60 menit) Parameter
Cianjur (CJR)
Delanggu (DLG)
Aroma
Bau nasi lama di ricecooker
Bau nasi biasa
Warna
Warna tidak terlalu putih
Warna tidak terlalu putih
Tekstur
Nasinya pulen
Nasinya pulen
Rasa
Rasanya enak
Rasanya enak dan pulen
IR 64 Wanginya harum Warna tidak terlalu putih Nasinya pulen Rasanya enak tapi agak keras
24 Tabel 7 Analisis sensori metode deskriptif nasi kaleng (t operasi=90 menit) Parameter
Cianjur (CJR)
Aroma
Bau nasi lama di ricecooker
Delanggu (DLG)
Warna agak kuning Nasinya lembek Rasa tidak enak dan lengket
Warna Tekstur
Skor
Rasa
IR 64
Bau nasi dihangatkan di ricecooker Warnanya tidak putih Agak pulen
Bau nasi dihangatkan di ricecooker Warnanya tidak terlalu putih Agak pulen
Agak enak
Agak enak
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Cianjur Delanggu
IR 64
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Parameter
Gambar 10 Skor deskriptif nasi kaleng waktu operasi 60 menit 7 6
Skor
5 4
Cianjur
3
Delanggu
2
IR 64
1 0 Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Parameter
Gambar 11 Skor deskriptif nasi kaleng waktu operasi 90 menit Keterangan skala :
aroma 1 (sangat lemah) – 10 ( sangat kuat) warna 1 (sangat gelap) – 10 (sangat cerah) tekstur 1 ( sangat lembek) – 10 (sangat pulen) rasa 1 ( sangat lemah) – 10 (sangat kuat)
25 4 Profil Tekstur Nasi Kaleng
Nilai kekerasan (gf)
Tekstur merupakan salah satu parameter fisik penting bagi produk nasi kaleng. Hal ini akan berkaitan dengan tekstur nasi yang pera atau pulen. Selain evaluasi sensori oleh panel manusia, sifat tekstur nasi biasanya diukur dengan instrumen seperti analisis tekstur (Cameron 2005). Tekstur nasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kadar amilosa (Juliano 1972), dan metode memasak (Leelayuthsoontorn 2006). Metode memasak antara menggunakan pemasakan konvensioanal dan retort akan memiliki perbedaan. Tekstur nasi dengan pemasakan konvensional cenderung akan lebih keras dibandingkan dengan pemasakan menggunakan retort (disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 12), hal ini disebabkan oleh proses selama pemasakan menggunakan retort. Perilaku amilosa terhadap perlakuan panas masih menjadi kontradiksi, sebagian peneliti menyatakan bahwa amilosa tidak menunjukkan korelasi terhadap semua parameter gelatinisasi (Singh et al 2006) dan tidak berkorelasi terhadap perlakuan panas (Matveev et al 2001). Namun sebagian peneliti lainnya menyimpulkan sebaliknya, bahwa amilosa berkorelasi terhadap perlakuan suhu dan parameter gelatinisasi (Singh et al 2003). Hal ini menyebabkan ketidakpastian mengenai korelasi amilosa terhadap karakter mutu tanak. Berdasarkan data hasil analisis, nilai kekerasan untuk varietas delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit berbeda secara signifikan dibanding sampel lain dan memiliki nilai kekerasan paling rendah yaitu 711a (P<0.05) (disajikan pada Lampiran 5). Hal ini disebabkan oleh kandungan amilosa rendah pada delanggu (DLG) yang menyebabkan teksturnya menjadi lebih lunak.
1000,00 800,00
d d 874.23±17.27 851.27±8.65 d b 872.50±8.66 821.57±9.91c 776.47±20.35 a 711.17 2.68
600,00 400,00
200,00 0,00 DLG
IR 64
60 menit
CJR
DLG
IR 64
CJR
90 menit
Gambar 12 Nilai kekerasan nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit
26 5 Profil Warna Nasi Kaleng Berdasarkan data hasil analisis yang (disajikan pada Gambar 13), terlihat bahwa sampel dengan waktu operasi 60 menit memiliki tingkat kecerahan yang lebih baik dibandingkan dengan waktu operasi 90 menit. Produk nasi kaleng memiliki nilai L berkisar 71–76. Perubahan nilai L pada sampel dengan pemasakan konvensional tidak berbeda jauh dengan sampel yang dimasak menggunakan retort pada waktu operasi 60 menit, sedangkan pada waktu operasi 90 menit terlihat perbedaan yang cukup besar. Menurut Hubeis (1985), sifat-sifat yang menentukan daya tarik dan penerimaan nasi yaitu keputihan, aroma dan kepulenan. Pengaturan suhu dan waktu sterilisasi nasi kaleng yang tepat dapat menghindari terjadinya reaksi pencoklatan akibat proses pemanasan (Haryadi 2006). Sampel delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit memiliki nilai L yang cenderung lebih tinggi yaitu 75.58d berbeda nyata secara signifikan (P<0.05) (disajikan pada Lampiran 6). Hal ini didukung oleh jumlah pati yang lebih sedikit pada sampel delanggu (DLG) sehingga terjadinya reaksi pencoklatan menjadi minimum. d
76 75
75.58 0.12 c 74.91±0.13 74.74±0.07c
Nilai L
74 b
b
73
72.30±0.04 72.42±0.04
a
72
71.24±0.09
71 70
69
DLG
IR 64
60 menit
CJR
DLG
IR 64
CJR
90 menit
Gambar 13 Nilai L nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit Nilai a menunjukan warna kromatik merah dan hijau, jika semakin besar nilai a (semakin positif) warna yang ditunjukan cenderung warna merah. Produk nasi kaleng memiliki nilai a yang berkisar antara -0.62 – 0.42 (disajikan pada Gambar 14). Secara keseluruhan terdapat perbedaan yang signifikan untuk sterilisasi pada waktu operasi 60 menit dan 90 menit (P<0.05) (disajikan pada Lampiran 7). Waktu operasi 60 menit memiliki nilai –a yaitu menuju warna hijau, sedangkan pada waktu operasi 90 menit memiliki nilai +a menuju warna merah. Nilai a yang kecil menunjukan bahwa warna merah (ataupun hijau) tidak terlalu tampak pada produk ini.
27
c 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8
d
d
0,42±0.07 0.39±0.06
0.03±0.01c
b
-0.25±0.01 a
a
-0.62±0.08
-0.59 0.06 DLG
IR 64
CJR
DLG
IR 64
CJR
90 menit
60 menit
Gambar 14 Nilai a nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit Nilai b menunjukan warna kuning biru. Nilai b dari produk berkisar antara +10 - +12. Berdasarkan data hasil analisis yang (disajikan pada Gambar 15), terlihat bahwa sampel delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit memiliki nilai +b= 10.26a yang berbeda nyata secara signifikan (P<0.05) dengan sampel delanggu pada waktu operasi 90 menit yang memiliki nilai +b= 11.57b (disajikan pada Lampiran 8). Nilai b menunjukan bahwa produk memiliki kecenderungan berwarna kuning (nilai b positif). Nilai b yang kecil menunjukan bahwa warna kuning (ataupun biru) tidak terlalu tampak pada produk ini.
c
12,0
c
11.69 0.21
11.57 0.47
Nilai b
11,5 11,0 10,5
ab
10.81 0.01
b
10.63 0.81
ab
10.26 0.28
a
10.22 0.35
10,0 9,5 9,0
DLG
IR 64
60 menit
CJR
DLG
IR 64
CJR
90 menit
Gambar 15 Nilai b nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit Berdasarkan data hasil analisis yang (disajikan pada Gambar 16), terlihat semua sampel dan semua waktu operasi memiliki nilai kromatisitas x= 0.34-0.35 dan kromatisitas y= 0.35-0.36. Pada diagram kromatisasi CIE, semua sampel menunjukan warna kromatis yang berada pada daerah warna putih (disajikan pada Gambar 5). Hal ini sesuai dengan warna nasi pada umumnya yaitu warna putih.
28
kromatisitas y
0,360 IR 64 60
0,359
DLG 60
0,358
CJR 60
0,357
IR 64 90
0,356
DLG 90 CJR 90
0,355 0,336
0,338
0,340
0,342
0,344
kromatisitas x
Gambar 16 Nilai kromatisitas CIE nasi kaleng waktu operasi 60 dan 90 menit 6 Penetapan Prosedur dan Penentuan Waktu Operasi Termal Nasi Kaleng Waktu operasi sterilisasi dipilih berdasarkan keamanan (nilai Fo), uji fisik untuk warna, dan nilai sensori (uji rating hedonik) produk nasi kaleng yang dirancang dengan waktu operasi 60 dan 90 menit. Waktu operasi yang semakin lama menyebabkan beberapa kekurangan secara visual baik fisik maupun organoleptik. Secara warna untuk nilai L produk delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit memiliki nilai kecerahan yang berbeda signifikan dengan produk nasi kaleng dengan varietas IR 64 dan cianjur (CJR) (P<0.05). Beberapa kekurangan pada sampel dengan waktu operasi 90 menit, seperti hasil deskripsi produk yang lebih cenderung tidak baik, hal ini berbeda dengan waktu operasi 60 menit yang lebih baik. Waktu operasi mempengaruhi mutu akhir produk, semakin lama waktu operasi maka penurunan mutu semakin terlihat. Selain itu memperhatikan jenis produk yang diolah adalah nasi kaleng dianggap tidak terlalu kompleks, sehingga dengan nilai Fo berkisar 6 menit aman untuk dikonsumsi.
29 Prosedur pengalengan nasi kaleng yang dimodifikasi
Beras Ditimbang Pencucian
Air
Nasi aron
Pemasakan menggunakan ricecooker hingga aron (beras:air = 1:1.5) Pengisian Exhausting (80 oC, 5 menit) Seaming
2 waktu operasi : 60 ´ dan 90´
Retorting (115 oC) Cooling
Nasi kaleng Gambar 17 Alur proses produksi nasi kaleng modifikasi Beras delanggu (DLG) digunakan sebagai bahan utama produk nasi kaleng. Produksi nasi kaleng yang telah dimodifikasi (disajikan pada Gambar 17). Proporsi komposisi air dengan beras yaitu 1.5:1. Bobot total nasi kaleng ±200 g. Prosedur produksi nasi kaleng : 1. Beras delanggu (DLG) disiapkan 2. Beras delanggu (DLG) ditimbang sebanyak sekian gram 3. Beras delanggu (DLG) dicuci hingga bersih 4. Beras delanggu (DLG) dimasak menggunakan ricecooker hingga menjadi nasi aron dengan proporsi air dan beras 1.5:1 5. Kaleng tin free steel 307 x 113 diisi nasi aron dengan bobot ±200 g.
30 6. Kaleng yang telah diisi dengan nasi aron dimasukan kedalam exhaust box dengan suhu sebesar 80 oC dan proses exhausting dilakukan selama 5 menit 7. Kaleng yang telah keluar dari exhaust box dikelim menggunakan double seamer 8. Kaleng yang telah dikelim dimasukan ke dalam air dingin untuk menurunkan suhu internal kaleng hingga mendekati suhu ruang (30 oC) 9. Kaleng yang telah selesai didinginkan, diletakan didalam retort vertikal 10. Venting dilakukan dengan membuka katup secara penuh 11. Saat suhu retort mencapai 95 oC, katup ditutup setengah bagian 12. Venting dilakukan selama 7 menit dan suhu retort telah mencapai ±105 oC dan coming up time (CUT) proses sebesar 9 menit 13. Sterilisasi dilakukan pada suhu 115 oC dengan waktu operasi 60 dan 90 menit 14. Saat telah mencapai waktu operasi yang ditentukan, tekanan di dalam retort diturunkan secara perlahan 15. Penurunan tekanan dilakukan ±9 menit 16. Menit ketiga tekanan diturunkan hingga mencapai 0.6 bar, pada menit kelima tekanan mencapai 0.5 bar, pada menit ketujuh tekanan turun hingga 0.3 bar dan pada menit kesembilan tekanan turun hingga 0 bar 17. Air mengalir dialirkan untuk merendam dan menurunkan suhu produk hingga mencapai suhu ruang
Rata-rata skor hedonik overall
Hasil uji organoleptik rating hedonik (disajikan pada Gambar 18), terlihat bahwa sampel delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit secara signifikan (P<0.05) lebih disukai over all dengan skor 5.59c (disajikan pada lampiran 9). Dengan demikian waktu operasi 60 menit dan sampel delanggu (DLG) dipilih sebagai sampel dan waktu operasi terbaik. Sampel delanggu (DLG) dengan waktu operasi 60 menit ini selanjutnya akan dilanjutkan pada tahap uji stabilitas.
6,00
5.59 a 4.73 ab 4.81
5,00
ab 4.47
b 4.31
b 4.03
c
4,00 3,00 2,00
1,00 0,00 DLG
IR 64
60 menit
CJR
DLG
IR 64
CJR
90 menit
Gambar 18 Hasil uji rating hedonik pemilihan jenis nasi kaleng dengan atribut over all pada dua waktu operasi 60 dan 90 menit
31 Profil Stabilitas Nasi Kaleng Uji stabilitas dilakukan terhadap nasi kaleng dengan beras varietas delanggu (DLG) dan waktu operasi 60 menit. Nilai Fo untuk sampel terpilih yaitu 6.11 menit dan dianggap aman untuk produk pengalengan. 1 Tren Perubahan Mutu Produk Penyimpanan produk dilakukan pada tiga suhu berbeda, yaitu 40, 45, dan 50 C. Hasil pengamatan terhadap perubahan warna produk (disajikan pada Gambar 19). Nilai L yang mengindikasikan kecerahan menunjukkan penurunan selama penyimpanan, sedangkan nilai b cenderung meningkat meskipun tidak signifikan. Nilai a, b dan kromatisasi CIE selama pengamatan cenderung tidak banyak berubah selama penyimpanan pada ketiga suhu yaitu 40, 45 dan 50 oC. Nilai b yang sedikit meningkat pada ketiga suhu penyimpanan mengindikasikan warna kuning yang semakin dominan. Kromatisi CIE memiliki nilai x= 0.34-0.35 dan y= 0.35-0.37, nilai x dan y ini menunjukan sampel berada pada warna kromatis putih dilihat dari diagram kromatisi CIE. o
0
78
0
40
74
45
72
nilai a
76 nilai L
20
40
60
-0,1 -0,2
40 45
-0,3
50
50
-0,4
70 0
20
40
-0,5
60
hari ke-
hari-ke
15
0,360
40 45
0,355
nilai b
kromatisitas y
0,365
10 40
5
45
50
0,350 0,335
50
0 0,340
0,345
kromatisitas x
0,350
0
20
40
60
hari ke-
Gambar 19 Kurva perubahan parameter warna L, a, b dan kromatisitas CIE nasi kaleng selama penyimpanan
32 Hasil pengamatan terhadap parameter tekstur menunjukan adanya peningkatan kekerasan produk selama penyimpanan (disajikan pada Gambar 20). Penurunan parameter warna yang paling terlihat yaitu pada suhu penyimpanan 50 o C. Sedangkan untuk penyimpanan pada suhu 40 oC penurunan parameter warna tidak terlalu curam Penurunan mutu tekstur paling signifikan terjadi pada produk yang disimpan pada suhu 40 oC. Hal ini disebabkan oleh proses retrogradasi pada sampel, yaitu proses pembentukan kembali ikatan-ikatan hidrogen pada molekul amilosa dan amilopektin sehingga membentuk tekstur (keras). Hasil ini sesuai dengan uji tekstur berdasarkan sensori (subyektif), yaitu panelis menilai mutu tekstur produk yang semakin menurun selama penyimpanan.
nilai kekerasan (gf)
1200,00 1000,00
800,00 600,00
40
400,00
45
200,00
50
0,00
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 20 Kurva perubahan parameter kekerasan sampel nasi kaleng selama penyimpanan
Skor aroma
Hasil pengamatan terhadap parameter aroma selama penyimpanan pada suhu 40, 45 dan 50 oC (disajikan pada Gambar 21). Penurunan parameter aroma yang paling curam terjadi pada sampel yang disimpan pada suhu 50 oC, sedangkan kemiringan paling landai terjadi pada penyimpanan suhu 40oC. Hasil ini menjelaskan bahwa penurunan parameter aroma bisa disebabkan oleh lamanya waktu dan suhu penyimpanan. 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
40 45 50
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 21 Kurva perubahan parameter aroma sampel nasi kaleng selama penyimpanan
33
skor warna
Hasil pengamatan terhadap parameter warna menunjukan adanya penurunan skor warna selama penyimpanan pada ketiga suhu yaitu 40, 45 dan 50 oC (disajikan pada Gambar 22). Penilaian warna dilihat dari kecerahan produk, artinya produk dengan penyimpanan pada suhu 40 oC tingkat kecerahannya tidak terlalu berubah, berbeda dengan penyimpanan pada suhu 50 oC penururunan kecerahan warnanya terlihat berubah secara signifikan. Hasil ini menjelaskan bahwa penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama menyebabkan perubahan warna pada produk. 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
40 45 50
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 22 Kurva perubahan parameter warna sampel nasi kaleng selama penyimpanan Perubahan parameter tekstur pada produk (disajikan pada Gambar 23), adanya penurunan parameter tekstur pada semua suhu penyimpanan yaitu 40, 45 dan 50 oC. Produk pada penyimpanan suhu 50 oC memiliki mutu produk yang kurang baik, terlihat dari penurunan parameter tekstur pada analisis deskriptif. Sedangkan produk pada penyimpanan suhu 40 oC relatif stabil untuk parameter tekstur. Urutan tingkat penurunan yang paling curam sampai landai adalah yang disimpan pada suhu 50, 45 dan 40 oC. Hasil ini menjelaskan bahwa penyimpanan pada suhu tinggi dan waktu penyimpanan menyebabkan perubahan tekstur pada produk. 10,00
skor tekstur
8,00 6,00 40
4,00
45
2,00
50
0,00
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 23 Kurva perubahan parameter tekstur sampel nasi kaleng selama penyimpanan
34 Perubahan parameter rasa pada produk (disajikan pada Gambar 24) dapat terlihat penurunan parameter rasa yang signifikan pada produk dengan suhu penyimpanan 50 oC. Produk dengan penyimpanan pada suhu 50 oC memiliki parameter rasa yang menurun secara signifikan. Produk dengan suhu penyimpanan 40 oC relatif memiliki parameter rasa yang stabil, berbeda halnya dengan produk pada penyimpanan suhu 50 oC. Urutan tingkat penurunan paling curam pada parameter rasa terjadi pada penyimpanan suhu 50, 45, dan 40 oC. Hasil ini menjelaskan bahwa penyimpanan pada suhu yang semakin tinggi mengakibatkan penurunan parameter rasa pada produk. 10,00
skor rasa
8,00 6,00 40
4,00
45
2,00
50
0,00
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Gambar 24 Kurva perubahan parameter rasa sampel nasi kaleng selama penyimpanan 2 Kinetika Perubahan Mutu Nasi Kaleng Parameter sensori mengalami penurunan mutu selama penyimpanan yang mencakup atribut aroma, warna, tekstur dan rasa. Penurunan mutu ini dinyatakan sebagai fungsi waktu dengan persamaan ordo 0 maupun ordo 1. Olivera & Viviana (2012) melaporkan bahwa kinetika perubahan mutu analisis sensori sebagai fungsi waktu dapat dijelaskan menggunakan persamaan ordo 0, terlihat dari nilai korelasi (r2 >). Nilai korelasi atribut sensori untuk reaksi ordo 0 dan ordo 1 (r2>0.5). Terlihat dari nilai korelasi nya yang tinggi (r2>0.5) (disajikan pada Tabel 8), hal ini menunjukkan bahwa parameter sensori (aroma, warna, tekstur dan rasa), kekerasan dan nilai L bisa dijadikan sebagai indikator untuk menilai perubahan selama penyimpanan. Secara umum terlihat bahwa parameter sensori dan fisik mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Parameter sensori (aroma, warna, tekstur dan rasa), kekerasan dan nilai L akan dianalisis lebih lanjut mengikuti reaksi ordo 0 dan ordo 1. Nilai k merupakan slope dari persamaan reaksi laju perubahan parameter sensori. Nilai k yang besar menunjukkan semakin cepatnya laju perubahan parameter. Berdasarkan persamaan, nilai k yang diperoleh pada parameter sensori (aroma, warna, tekstur, dan rasa) dan nilai L relatif lebih besar pada suhu penyimpanan 50 oC, sedangkan nilai k yang paling kecil pada suhu penyimpanan 40 oC. Berbeda dengan parameter kekerasan, nilai k yang paling tinggi yaitu pada suhu penyimpanan 40 oC. Pada suhu 40 oC laju perubahan untuk parameter tekstur semakin cepat, sedangkan pada suhu 50 oC laju perubahan untuk sensori (aroma,
35 warna, tekstur dan rasa) dan nilai L semakin cepat. Hal ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan yang semakin tinggi dan waktu penyimpanan yang semakin lama akan menyebabkan laju perubahan yang lebih cepat pada parameter sensori (aroma, warna, tesktur dan rasa), kekerasan dan nilai L. Tabel 8 Konstanta laju perubahan dan korelasi (r2) untuk persamaan ordo 0 dan ordo 1 dari perubahan parameter atribut sensori dan fisik sebagai fungsi dari waktu Ordo 0 Ordo 1 Parameter Suhu ( oC ) Nilai K Korelasi Nilai K Korelasi 40 -0.0405 0.9325 -0.0062 0.9181 Skor aroma 45 -0.0536 0.9792 -0.0086 0.9773 50 -0.0845 0.9706 -0.0157 0.9664 40 -0.0306 0.9668 -0.0045 0.9727 Skor warna 45 -0.0462 0.9785 -0.0072 0.9792 50 -0.0694 0.9746 -0.0119 0.9799 40 -0.0351 0.8580 -0.0047 0.8667 Skor tekstur 45 -0.0488 0.8941 -0.0068 0.9159 50 -0.0649 0.8600 -0.0097 0.8985 40 -0.0371 0.9290 -0.0049 0.9300 Skor rasa 45 -0.0495 0.8874 -0.0069 0.9104 50 -0.0865 0.9556 -0.0140 0.9691 40 7.9136 0.9215 0.0093 0.9368 Kekerasan 45 4.6740 0.9196 0.0059 0.9225 50 3.2848 0.9140 0.0043 0.9134 0.9941 -0.0013 0.9941 40 -0.0974 Nilai L 0.9821 -0.0014 0.9839 45 -0.1062 0.9941 -0.0018 0.9949 50 -0.1341 3 Persamaan Arrhenius Persamaan arrhenius dapat menjelaskan pengaruh perubahan suhu terhadap laju perubahan parameter yang diuji. Parameter yang akan dilihat pada persamaan arrhenius ini yaitu parameter sensori. Pada persamaan arrhenius akan diperoleh nilai Ea dan kolerasi. Nilai Ea atau energi aktivasi menunjukan jumlah energi yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi, dalam hal ini kerusakan parameter sensori pada produk nasi kaleng. Nilai Ea menunjukan tingkat sensitifitas parameter terhadap perubahan suhu. Nilai Ea dan kolerasi parameter sensori produk nasi kaleng (disajikan pada Tabel 9). Semua parameter sensori memiliki nilai korelasi (r2> 0.5), artinya nilai Ea sensitif terhadap perubahan suhu. Reaksi dengan nilai Ea yang lebih besar lebih sensitif terhadap perubahan suhu. Semakin tinggi nilai Ea menunjukan bahwa reaksi penurunan kualitas memerlukan energi aktivasi yang lebih besar. Berdasarkan persamaan, nilai Ea yang paling besar yaitu pada parameter sensori (warna ordo 1), Nilai Ea untuk parameter sensori (warna ordo 1) yaitu 111078.31 J/mol. Sedangkan nilai Ea yang peling kecil yaitu pada
36 parameter nilai L (ordo 0), nilai Ea untuk parameter nilai L (ordo 0) yaitu 27093.66 J/mol. Dapat disimpulkan bahwa parameter sensori (warna ordo 1) laju perubahannya memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap perubahan suhu, sementara laju perubahan parameter nilai L (ordo 0) memiliki sensitifitas paling rendah terhadap perubahan suhu. Tabel 9 Persamaan Arrhenius dan nilai Ea dari parameter sensori dan fisik Parameter Ordo Persamaan Ea (J/mol) r2 Aroma Tekstur Warna Rasa Kekerasan Nilai L
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
y = 20.292 – 7360.9x y = 26.503 – 9906.3x y = 16.657 – 6260.8x y = 17.080 – 7006.0x y = 23.399 – 8421.1x y = 29.965 – 11107x y = 24.231 – 8629.8x y = 27.834 – 10390x y = 8913.2x – 26.434 y = 8197.7x – 30.899 y = 8.0538 – 3258.8x y = 3.805 – 3280.3x
61198.52 82360.98 52052.29 58247.88 70013.03 111078.31 71748.16 86382.46 74104.34 68155.68 27093.66 27272.41
0.9779 0.9882 0.9983 0.9993 10.000 10.000 0.9686 0.9580 0.9891 0.9999 0.9321 0.9048
0,000 -0,5000,0031 0,0031 0,0031 0,0031 0,0032 0,0032 0,0032
Ln K
-1,000 -1,500
Skor aroma
-2,000
Skor warna
-2,500
Skor tekstur
-3,000
Skor rasa
-3,500 -4,000
1/T
Gambar 25 Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis sensori ordo 0
37 0,000 0,0031 0,0031 0,0031 0,0031 0,0032 0,0032 0,0032 -1,000
Ln K
-2,000
Skor aroma Skor warna
-3,000
Skor tekstur
-4,000
Skor rasa
-5,000 -6,000
1/T
Ln K
Gambar 26 Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis sensori ordo 1 2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 -0,5000,0031 0,0031 0,0031 0,0031 0,0032 0,0032 0,0032 -1,000 -1,500 -2,000 -2,500 -3,000 1/T
nilai L Kekerasan
Gambar 27 Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis fisik ordo 0 0,000 0,0031 0,0031 0,0031 0,0031 0,0032 0,0032 0,0032 -1,000 -2,000 Ln K
-3,000 -4,000
nilai L
-5,000
Kekerasan
-6,000 -7,000 -8,000
1/T
Gambar 28 Kurva hubungan antara nilai 1/T dan Ln K analisis fisik ordo 1
38 Kandungan Gizi Nasi Kaleng Hasil analisis proksimat terhadap beras (bahan baku) dan nasi kaleng (produk akhir) (disajikan pada Tabel 10). Dengan jumlah karbohidrat yang mencapai 28,90 g/100 g menjadikan nasi kaleng sebagai sumber karbohidrat. Kadar air yang tinggi berasal dari proses penambahan air ketika memasak nasi kaleng. Tabel 10 kandungan nutrisi nasi kaleng dan beras Bahan (per 100 gram bahan) Nutrisi Beras Nasi kaleng Air (%) 12.56 ± 0.032 67.41 ± 0.016 Karbohidrat (%) 77.60 ± 0.008 28.90 ± 0.005 Protein (%) 8.96 ± 0.038 3.50 ± 0.009 Lemak (%) 0.49 ± 0.014 0.09± 0.005 Abu (%) 0.40 ± 0.003 0.09 ± 0.008 Informasi nilai gizi dalam satu porsi nasi kaleng (disajikan pada Tabel 11). Menurut keputusan kepala BPOM nomor : HK.00.05.5.1142 angka kecukupan gizi (AKG) untuk protein, lemak dan karbohidrat orang dewasa secara berturutturut adalah 50 g, 55 g dan 325 g perhari dengan kebutuhan energi sebanyak 2000 kalori. Dalam satu kaleng produk memiliki bobot ±200 g dan mengandung karbohidrat sebanyak 58 g per kaleng. Rancangan jumlah sajian untuk satu kaleng adalah satu porsi. Dalam satu nasi kaleng terkandung jumlah karbohidrat sebanyak 18 % AKG, protein 14% AKG dan lemak 0.4% AKG. Produk nasi kaleng memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan produk lainnya, yaitu pemilihan jenis beras yang memiliki tekstur nasi pulen. Tabel 11 Informasi nilai gizi nasi kaleng INFORMASI NILAI GIZI Takaran saji : 200 gram Jumlah Sajian per Kemasan : 1 JUMLAH PER SAJIAN Energi total 261 kkal Lemak total Protein Karbohidrat total
0.2 g 7g 58 g
% AKG 0.4% 14% 18%
* Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal. Kebutuhan energi Anda mungkin lebih tinggi atau lebih rendah.
39
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Formula nasi kaleng pada sampel mengindikasikan bahwa IR 42 termasuk kedalam jenis beras amilosa tinggi, IR 64 amilosa menengah, sedangkan cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) termasuk jenis beras amilosa rendah. Proporsi air pada nasi kaleng diperoleh perbandingan 1:1.5 untuk sampel IR 64, cianjur (CJR) dan delanggu (DLG) pada proses sterilisasi nasi kaleng. Proses distribusi panas menunjukan bahwa penetrasi panas pada retort merata, sehingga diperoleh waktu venting 7 menit dan coming up time CUT 9 menit. Evaluasi untuk waktu operasi terbaik nasi kaleng diperoleh 60 menit pada suhu sterilisasi 115 oC dengan varietas delanggu (DLG) setelah dilakukan uji rating hedonik dan uji fisik pada semua perlakuan. Uji stabilitas selama penyimpanan menunjukan bahwa parameter warna untuk nilai L, parameter sensori (aroma, warna, tekstur dan rasa), serta parameter tekstur untuk kekerasan mengalami penurunan yang berbeda pada masing-masing suhu penyimpanan. Semakin lama dan tinggi suhu penyimpanan menyebabkan mutu produk yang semakin menurun. Parameter sensori untuk warna adalah parameter yang paling sensitif terhadap perubahan suhu. Produk nasi kaleng memiliki kandungan karbohidrat 58 g per porsi dan mampu memenuhi 18% AKG sehari-hari. SARAN Untuk penelitian tahap selanjutnya dapat dilakukan waktu penyimpanan yang lebih lama pada produk nasi kaleng untuk melihat tren perubahan yang lebih akurat. Serta percobaan pembuatan pangan darurat dengan menggunakan kemasan selain kaleng, hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai ergonomis.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. Washington D.C.: AOAC International. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Acuan Pencantuman Persentase Angka Kecukupan Gizi Pada Label Produk Pangan. HK.00.05.5.1142. [IOM] Institute of Medicine. 2002. High-Energy, Nutrient-Dense Emergency Relief Food Product. Washington, D.C. : National Academy Press. [IRRI] International Rice Research Institute. 1978. Rice Research and Production In China : An IRRI Team’s View (Los Banos, Philippenes, International Rice Research Institute). [USDA] United States Departement of Agriculture. 2015. National Nutrient Database for Standard Reference Release 27: Agricutural Research Service. Dapat diakses pada 26 Oktober 2015. Website. http://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods. Adawiyah D et al. 2006. Modul Praktikum Evaluasi Sensori. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.
40 Badan Standarisasi Nasional SNI 01-2095-1992 butir 7.3 : Analisis Pati dengan metode luffscoohrl. Bemiller J N. 2007. Starches, Modified Food Starches, and Other Products From Starches. Carbohydrate Chemistry For Food Scientists. AACC. pp 173–224. Boekel M. 2008. Kinetic modeling of food quality : a critical review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. 7:146-158. Budijanto S, Suroso, Subarna, Sutrisno. 2005. Pengembangan Metode Menanak Optimum untuk Beras Varietas Sintanur, IR 64 dan Ciherang. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/26076/prosiding_se minar_teknologi_inovatif_pascapanen-37.pdf. [senin 24 Maret 2016]. Calingacion M, Laborte A, Nelson A, Resurreccion A, Concepcion J C, Daygon V D, Mumm R, Reinke R, Dipti S, & Bassinello P Z. 2014. Diversity of global rice markets and the science required for consumer-targeted rice breeding. PloS ONE, 9, e85106. Cameron D K, & Wang Y J. 2005. A better understanding of factors that affect the hardness and stickiness of long-grain rice. Cereal Chemistry, 82(2), 113–119. Charanjiv S, Sharma H K. 2015. Kinetics of colour change and quality parameters of uncoated and sodium alginate coated dehydrated pineapple samples during storage. International Journal of Food and Nutritional Sciences. 4: 41-49. Damardjati D S. 1988. Struktur Kandungan Gizi Beras. Dalam Padi - Buku 1. Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Effendi S. 2009. Teknologi Pengawetan Pangan. Bandung : Alfabeta. Estiasih T. dan Ahmadi, Kgs. 2011. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta. Faridah D N et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Grusak M A, & Cakmak I. (2005). Methods to improve the crop delivery of minerals to humans and livestock. In M. R. Broadley & P. J. White (Eds.), Plant Nutritional Genomics (pp. 265–286). Oxford: Blackwell. Haryadi. 2006. Tekonologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gajah Mada. Haryadi. 2008. Tekonologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: Penerbit Universitas Gajah Mada. Hariyadi P dan Kusnandar F. 2000. Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Hubeis. 1985. Pengembangan Metode Kepulenan Nasi. Tesis. Pasca Sarjana. IPB. Bogor Hutching J B. 1999. Food Color and Appearance Second Edition. Aspen Publishers, Inc, Maryland. Juliano B O. (2003). Rice: Chemistry and quality. Manila, Philippines: Phil Rice. 480. Juliano B O, Onate L & Del Mundo A. (1972). Amylose and protein contents of milled rice as eating quality factors. Philippine Agriculturist, 56, 44–47
41 Kim J and Foegeding P M. 2000. Principles of Control.Di dalam Hauschild AHW and Doddi KI (ed). Clostridium botulinum Ecology and Control in Foods. New York: Marcel Dekker Inc. Koswara S. 2009. Teknologi Pengolahan Beras. Bogor : eBookPangan.com Kusnandar F et al. 2006. Prinsip Teknik Pangan. IPB. Kusnandar F, Hunaefi D, Nuraida L, Purnomo E H, Taqi F M, Fierliyanti A S dan Hartoyo A. 2009. Prinsip proses produksi sari buah. Dalam: Palupi N S dan Syah D (eds). Penuntun Praktikum Terpadu Pengolahan Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hal 13-36. Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : PT. DIAN RAKYAT Leelayuthsoontorn P & Thipayarat A. (2006). Textural and morphological changes of Jasmine rice under various elevated cooking conditions. Food Chemistry, 96 (4), 606–613. Matveev Y I, Van Soest J J G, Nieman C, Wasserman L A, Protserov V A and Ezernitskaja M. 2001. The Relationship Between Thermodynamic and Structural Properties of Low and High Amylose Maize Starches. J. Carbohydrate Polymers. 44: 151–160. Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi & Pengawasan Mutu. Bogor (ID) : Jurusan Teknologi Pangan & Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi T R. 2004. Prinsip Proses Pengolahan Pangan. Bogor : IPB Press. Mugendi J B, Njagi E M, Kurnia E N, Mwasaru M A, Mureithi J G and Apostolides Z. 2010. Nutritional quality and physicochemical properties of mucuna bean (Mucuna pruriens L.) protein isolates. Int Food Res J.17(1): 357-366. Murniyati. 2009. Penggunaan retort pouch untuk produk pangan siap saji. Squalen 4(2). Olivera D F, Viviana O S. 2012. Kinetic modeling of quality changes of chilled ready to serve lasagna. Journal of Food Engineering. 110:487-492. Patindol J, Gu X & Wang Y J. 2010. Chemometric analysis of cooked rice texture in relation to starch fine structure and leaching characteristics. Starch Stärke, 62 (3–4), 188–197. Patiwiri A W. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Pratomo H. 2011. Warna-Color: Colorimetry Part I-Part II http://pengantarwarna. blogspot.com/favicon.ico. Diakses tanggal 24 April 2016. Makassar. Ramesh M, Zakiuddin A S & Bhattacharya K. 1999. Structure of rice starch and its relation to cooked-rice texture. Carbohydrate Polymers, 38(4), 337–347. Singh N J, Singh L, Kaur N S, Sodhi and Singh B G. 2003. Morphological, Thermal and Rheological Properties of Starches From Different Botanical Sources. Food Chemistry. 81: 219–231. Singh N L, Kaur K S, Sandhu J, Kaur J and Nishinari K. 2006. Relationships Between Physicochemical, Morphological, Thermal, Rheological Properties of Rice Starches. Food Hydrocolloids. 20:532–542.
42 Stein A J. (2010). Global impacts of human mineral malnutrition. Plant and Soil, 335, 133–154. Valentina S. 2009. Pembuatan Produk Pengalengan Berbasis Beras sebagai Alternatif Pangan Darurat [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. Winarno F G. 2004. Sterilisasi Pangan. Bogor (ID) : M-Brio Press. Yanuar W. 2009. Studi Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Lokal Nonberas pada Nasi Instan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,Institut Pertanian Bogor. Zoumas B L, Amstrong L E, Backstrand J R, Chenoweth W L, Chinacoti P, Klein B P, Lane H W, Marsh K S, Tolvanen M. 2002. High Energy,Nutrient Dense Emergency Relief Product. Food and Nutrition Board: Institute of Medecine. Washington: National Press Academy.
43
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis SPSS nilai L pada beras dengan pemasakan konvensional ANOVA skor Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4,798
3
1,599
,248
4
,062
5,045
7
F 25,831
Sig. ,004
Skor a
Duncan
sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
IR 64
2
77,3300
DLG
2
77,4850
IR 42
2
78,7200
CJR
2
79,1300
Sig.
,567
,175
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 2 Hasil analisis SPSS nilai a pada beras dengan pemasakan konvensional ANOVA skor Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
,271
3
,090
Within Groups
,000
4
,000
Total
,271
7
F 1032,905
Sig. ,000
44 Skor a
Duncan
sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
3
IR 42
2
CJR
2
DLG
2
-,6250
IR 64
2
-,6050
Sig.
-1,0550 -,6700
1,000
1,000
,099
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 3 Hasil analisis SPSS nilai b pada beras dengan pemasakan konvensional ANOVA skor Sum of Squares Between Groups
Mean Square
1,730
3
,577
,003
4
,001
1,732
7
Within Groups Total
df
Skor a
Duncan
sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
IR 42
2
7,3700
CJR
2
7,4100
DLG
2
IR 64
2
Sig.
3
8,1450 8,4450 ,185
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
F 922,480
Sig. ,000
45 Lampiran 4 Hasil analisis SPSS uji kekerasan bahan dengan pemasakan konvensional ANOVA
skor Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2382647,333
3
794215,778
14159,763
,000
Within Groups
224,358
4
56,090
Total
2382871,691
7
Skor a
Duncan
sampel
N
Subset for alpha = 0.05 1
IR 42
2
IR 64
2
CJR
2
DLG
2
2
3
4
715,5550 1176,7900 1303,6600 2219,8950
Sig.
1,000
1,000
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 5 Hasil analisis uji tekstur nilai kekerasan pada dua waktu operasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares a
6
2016912,704
12507,641
,000
12101476,227
6
2016912,704
12507,641
,000
Error
1935,053
12
161,254
Total
12103411,280
18
Model sampel
12101476,227
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
46 Skor a,b
Duncan
sampel
N
Subset 1
2
3
4
DLG 60
3
711,1667
DLG 90
3
IR 64 60
3
IR 64 90
3
851,2667
CJR 90
3
872,5000
CJR 60
3
874,2333
776,4667 821,5667
Sig.
1,000
1,000
1,000
,056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 161,254. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b. Alpha = 0,05.
Lampiran 6 Hasil analisis SPSS nilai L pada dua waktu operasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares a
6
10818,775
914445,818
,000
64912,650
6
10818,775
914445,818
,000
Error
,071
6
,012
Total
64912,721
12
Model
64912,650
sampel
a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
skor a,b
Duncan
sampel
N
Subset 1
2
3
4
CJR 90
2
DLG 90
2
72,2984
IR 64 90
2
72,4150
CJR 60
2
74,7384
IR 64 60
2
74,9134
DLG 60
2
Sig.
71,2367
75,5834 1,000
,325
,159
1,000
47 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,012. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = 0,05.
Lampiran 7 Hasil analisis SPSS nilai a pada dua waktu operasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares a
6
,373
115,329
,000
2,241
6
,373
115,329
,000
Error
,019
6
,003
Total
2,260
12
Model
2,241
sampel
a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,983) skor a,b
Duncan
sampel
N
Subset 1
2
3
4
CJR 60
2
-,6150
DLG 60
2
-,5917
IR 64 60
2
CJR 90
2
IR 64 90
2
,3917
DLG 90
2
,4167
Sig.
-,2534 ,0267
,696
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = 0,05.
,676
48 Lampiran 8 Hasil analisis SPSS nilai b pada dua waktu operasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares a
6
236,564
1269,100
,000
1419,385
6
236,564
1269,100
,000
Error
1,118
6
,186
Total
1420,503
12
Model
1419,385
sampel
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998) skor a,b
Duncan
sampel
N
Subset 1
2
CJR 90
2
10,2167
DLG 60
2
10,2550
CJR 60
2
10,6267
10,6267
IR 64 90
2
10,8117
10,8117
DLG 90
2
11,5667
IR 64 60
2
11,6850
Sig.
,236
,059
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,186. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = 0,05.
49 Lampiran 9 Hasil analisis SPSS uji rating hedonik pemilihan nasi kaleng dengan tiga varietas dan dua waktu operasi Skor a,b
Duncan
Subset Sampel CJR 90
N
1
2
3
70
4,0286
IR 64 90
70
4,3143
4,3143
DLG 90
70
4,4714
4,4714
IR 64 60
70
4,7286
CJR 60
70
4,8143
DLG 60
70
5,5857
Sig.
,081
,057
1,000
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:
Source Model
Skor Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
75
125,668
62,389
,000
Panelis
214,962
69
3,115
1,547
,006
Sampel
100,743
5
20,149
10,003
,000
Error
694,924
345
2,014
Total
10120,000
420
9425,076
50 Lembar uji rating hedonik UJI RATING HEDONIK Produk : Nasi kaleng Nama : Jenis Kelamin : Pekerjaan : Asal daerah :
No Booth Tanggal
: :
Petunjuk : Anda akan mendapat 6 sampel uji yang akan diberikan: - Bersihkan mulut dan lidah dengan air minum yang telah disediakan setiap akan mencoba sampel yang berbeda - Lakukan penilaian terhadap sampel uji (satu persatu dan tidak dibandingkan antar sampel) secara keseluruhan (overall) mulai dari penampakan, aroma, rasa dan tekstur - Tuliskan kode sampel pada kolom kosong yang tersedia - Tuliskan respon anda terhadap sampel yang sedang diuji dengan cara memberi tanda centang (√ ) pada kolom di bawah kode contoh sesuai dengan status kesukaan yang anda pribadi rasakan - Isikan komentar anda terhadap sampel yang disajikan pada kotak komentar Penilaian
Sangat Suka Suka Agak Suka Netral Agak tidak suka Tidak Suka Sangat Tidak Suka Komentar :
Kode sampel
51 Lembar uji deskriptif Produk Nama
: Nasi :
Minggu ke
:
Instruksi : Lakukan pencicipan sampel satu persatu Evaluasi intensitas aroma, tekstur, warna serta rasa dengan membandingkan terhadap referen Beri skor di bawah kolom masing-masing sampel Aroma Kode Sampel
R
Skor 1 = lemah ; 10 = kuat Tekstur Kode Sampel
R
Skor 1 = lembek ; 10 = keras Warna Kode Sampel
R
Skor 1 = gelap ; 10 = cerah Rasa Kode Sampel Skor 1 = lemah ; 10 = kuat
R
A
B
C
D
52 Lampiran 10 Hasil analisis kadar air bahan dan produk Sampel Beras Nasi
Hasil (%) b.b 12.53 12.58 67.41 67.39
Hasil (%) b.k 14.33 14.39 206.91 206.71
Rata" (%) b.b 12.56
Rata" (%) b.k 14.36
STDEV (%) b.b 0,032
STDEV (%) b.k 0.041
67.41
206.81
0.015
0.149
STDEV (%) b.b 0.0003
STDEV (%) b.k 0.0005
0.007
0.023
Lampiran 11 Hasil analisis kadar abu bahan dan produk Sampel Beras Nasi
Hasil (%) b.b 0.39 0.39 0.09 0.10
Hasil (%) b.k 0.45 0.45 0.28 0.31
Rata" (%) b.b 0.39
Rata'' (%) b.k 0.45
0.09
0.30
Lampiran 12 Hasil analisis kadar lemak bahan dan produk Sampel Beras Nasi
Hasil (%) b.b 0.48 0,49 0.10 0.09
Hasil (%) b.k 0.55 0.57 0.32 0.29
Rata" (%) b.b 0.49
Rata'' (%) b.k 0.56
STDEV (%) b.b 0.014
STDEV (%) b.k 0.016
0.09
0.30
0.005
0.017
Lampiran 13 Hasil analisis kadar protein bahan dan produk Sampel Beras Nasi
Hasil (%) b.b 8.99 8.93 3.50 3.51
Hasil (%) b.k 10.28 10.22 10.74 10.78
Rata" (%) b.b 8.96
Rata'' (%) b.k 10.25
STDEV (%) b.b 0.038
STDEV (%) b.k 0.039
3.50
10.76
0.009
0.022
Lampiran 14 Hasil analisis kadar karbohidrat bahan dan produk Sampel Beras Nasi
Karbohidrat (%) 77.60 77.59 28.89 28.89
Rata-rata 77.60
STDEV 0.008
28.89
0.005
53
Lampiran 15 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter aroma ordo 0 8,00 7,00 skor aroma
6,00
T1 T2
5,00 4,00
40
T3
3,00
45
2,00
50
1,00 0,00 0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 16 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter aroma ordo 1 2,50
Ln skor aroma
2,00 T1 T2
1,50
T3
40
1,00
45
0,50
50
0,00 0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 17 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter warna ordo 0 8,00
skor warna
7,00 6,00
T1
5,00
T2
4,00
T3
40
3,00
45
2,00
50
1,00 0,00 0
10
20
30 hari ke-
40
50
54 Lampiran 18 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter warna ordo 1 2,50
Ln skor warna
2,00
T1 T2
1,50
T3
40
1,00
45
0,50
50
0,00 0
10
20
30
40
50
hari ke-
skor tekstur
Lampiran 19 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter tekstur ordo 0 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
T1 T2 T3 40 45 50
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 20 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter tekstur ordo 1 2,50
Ln skor tekstur
2,00
T1 T2 T3
1,50
40
1,00
45
0,50
50
0,00 0
10
20
30 hari ke-
40
50
55
skor rasa
Lampiran 21 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter rasa ordo 0 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
T1 T2 40
T3
45 50
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 22 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter rasa ordo 1
Ln skor rasa
2,50 2,00
T1 T2
1,50
T3
40
1,00
45
0,50
50
0,00 0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 23 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter kekerasan ordo 0 1200,00 T1
nilai kekerasan
1000,00
T2 T3
800,00 600,00
40
400,00
45 50
200,00 0,00 0
10
20
30 hari ke-
40
50
56
nilai Ln kekerasan
Lampiran 24 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter kekerasan ordo 1 7,00 6,95 6,90 6,85 6,80 6,75 6,70 6,65 6,60 6,55 6,50
T1
T2 40
T3
45 50
0
10
20
30
40
50
hari ke-
Lampiran 25 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter nilai L ordo 0 77 76
nilai L
75 74 73
40
T1 T2
72 71
45 50
T3
70 69 0
10
20
30
40
50
hari ke-
Ln nilai L
Lampiran 26 Kurva hubungan lama penyimpanan dengan parameter nilai L ordo 1 4,34 4,33 4,32 4,31 4,30 4,29 4,28 4,27 4,26 4,25 4,24
40
T1 T2
45 50
T3 0
10
20
30 hari
40
50
57 Lampiran 27 Hasil uji stabilitas kekerasan selama penyimpanan Suhu Inkubasi (Co) Suhu ruang
40
45
50
Minggu ke-
Kekerasan (g)
SD
0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6
711.17 763.63 831.60 912.17 1163.33 1232.53 1310.80 711.17 734.40 751.10 779.87 877.70 969.03 1030.10 711.17 722.67 723.33 763.17 836.60 868.97 881.73 711.17 710.30 712.47 763.17 800.33 808.73 831.40
2.68 3.47 1.61 2.59 3.30 3.25 18.47 2.68 2.57 2.15 2.58 10.13 4.55 1.93 2.68 2.57 5.14 2.63 2.51 3.36 2.34 2.68 1.95 3.02 2.63 1.90 1.82 2.76
58 Lampiran 28 Hasil uji stabilitas warna selama penyimpanan Suhu (oC) Ruang
40
45
50
Minggu ke-
L
a
b
x
y
Warna
0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6
75.98±0.002 75.66±0.011 75.58±0.014 75.48±0.050 74.98±0.017 74.83±0.005 74.80±0.019 75.98±0.002 75.41±0.009 74.87±0.007 73.82±0.059 73.28±0.002 72.67±0.009 71.97±0.014 75.98±0.002 75.23±0.002 74.21±0.014 73.24±0.002 72.64±0.009 72.12±0.000 71.64±0.024 75.98±0.002 75.10±0.012 73.96±0.019 72.84±0.007 72.04±0.495 71.42±0.024 70.31±0.005
-0.25±0.007 -0.24±0.019 -0.26±0.028 -0.24±0.009 -0.25±0.007 -0.25±0.139 -0.30±0.097 -0.25±0.007 -0.28±0.002 -0.27±0.014 -0.33±0.017 -0.39±0.040 -0.42±0.007 -0.45±0.028 -0.25±0.007 -0.30±0.007 -0.31±0.000 -0.31±0.033 -0.36±0.038 -0.33±0.005 -0.32±0.005 -0.25±0.007 -0.33±0.019 -0.32±0.019 -0.33±0.007 -0.30±0.040 -0.34±0.002 -037±0.012
10.26±0.280 10.49±0.005 10.99±0.252 11.06±0.151 11.60±0.007 11.91±0.047 12.08±0.024 10.26±0.280 11.56±0.151 11.92±0.005 12.05±0.047 12.11±0.276 12.48±0.033 12.78±0.021 10.26±0.280 12.12±0.012 12.33±0.026 12.76±0.457 12.83±0.035 13.07±0.051 13.31±0.401 10.26±0.280 12.81±0.000 13.10±0.073 13.33±0.005 13.47±0.420 13.66±0.023 13.82±0.002
0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.35 0.34 0.34 0.34 0.34 0.35
0.36 0.36 0.36 0.36 0.35 0.36 0.36 0.36 0.36 0.35 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36 0.36
Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih Putih
59
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lebak, 28 Juni 1993 dari pasangan ayah Warwanto dan ibu Sri Lemawati sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Bayah Barat V, SMP Negeri 1 Bayah dan SMA Negeri 1 Bayah. Penulis melanjutkan studi di IPB melalui jalur snmptn undangan pada tahun 2011 dan terdaftar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, antara lain menjadi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) (2012 - 2014) dan bergabung dalam berbagai kepanitiaan acara. Penulis juga aktif sebagai pengajar untuk anak SD, SMP dan SMA. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di laboratorium SEAFAST PAU dan laboratorium departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul skripsi “Pengembangan Nasi Kaleng sebagai Penyusun Pangan Darurat”