II.TINJAUAN PUSTAKA A. PANGAN DARURAT Pangan darurat merupakan pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia (2100 kkal) (Zoumas et al., 2002). Tujuan utama dari pangan darurat ialah mengurangi timbulnya penyakit atau jumlah kematian diantara para pengungsi dengan menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya selama lima belas (15) hari. Waktu tersebut dihitung mulai dari pengungsian terjadi. Agar dapat disebut sebagai pangan darurat, maka pangan tersebut harus memenuhi karakteristik pangan darurat yaitu aman dikonsumsi dengan warna, bau, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat diterima, memiliki nutrisi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan, dan mudah digunakan. Selain itu, terdapat beberapa faktor pendukung kelima karakteristik tersebut, yaitu stabilitas mikroba, ketahanan nutrisi dan stabilitas kimia, flavor dan pewarna, komposisi, uji penerimaan prototipe produk, pengemasan, konfigurasi produk, dan metode produksi. Pangan darurat sangat diperlukan untuk membantu para pengungsi saat terjadi bencana alam. Pangan darurat diharapkan dapat disimpan sebagai stok sehingga saat bencana alam terjadi dapat langsung digunakan. Pemberian produk pangan darurat dilakukan bersama-sama dengan pemberian air minum untuk menurunkan tekanan osmotik pangan berkalori tinggi ini. Pemberian produk ini bermanfaat untuk mempertahankan kehidupan sampai isolasi daerah dapat dibuka atau ketika kehidupan normal telah berlangsung. Pangan darurat dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu produk pangan yang dirancang untuk kondisi dimana air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia, dan produk pangan yang dirancang untuk menghadapi situasi dimana air bersih tidak tersedia dan tidak bisa memasa. Pangan darurat juga diharapkan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya). Di Indonesia saat ini sudah banyak berkembang pangan darurat untuk kepentingan tentara di lapangan namun belum banyak dikembangkan pangan darurat untuk korban bencana alam. Bahan baku pangan darurat yang akan dikembangkan untuk korban bencana alam dapat berasal dari bahan baku lokal yang dapat meminimalkan biaya produksi. Pangan darurat harus memenuhi kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh (2100 kkal) dari berbagai komponen makronutrien penyumbang energi dengan kadar air yang rendah. Jumlah lemak yang direkomendasikan oleh Zoumas, et al (2002) adalah 35-45% dari total kalori yang dibutuhkan atau sekitar 9-12 gram per 50 gram. Bila jumlah lemak lebih dari 45% total energi maka produk akan menjadi kurang stabil. Makronutrien lainnya selain lemak adalah protein. Protein dalam pangan darurat adalah 1015% dari total energi atau sekitar 7.9 gram per 50 gram. Jumlah ini direkomendasikan untuk menghindari timbulnya gangguan pada ginjal dan rasa haus yang berlebihan (Zoumas et al, 2002). Sumber utama karbohidrat ialah pati yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk rasa, palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolik. Karbohidrat memberikan sumbangan energi sebesar 40-50% dari total 700 kkal atau 23-35 gram per 50 gram. Karbohidrat merupakan salah satu sumber utama energi pada produk pangan darurat di samping lemak, memberikan rasa manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk dan juga berperan penting dalam penyerapan natrium untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh. Sumbangan energi lemak, protein, dan karbohidrat ini diperoleh dari nilai energi masing-masing makronutrien terhadap total energi per bar dikalikan 100 persen.
3
Komposisi bahan yang akan digunakan harus mengandung nilai nutrisi tertentu. Pangan darurat akan didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Oleh karena itu, alkohol maupun produk hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang dikenal dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas, et al., (2002) ada beberapa bahan yang direkomendasikan sebagai sumber gizi: a. Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras b. Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunannya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1.0 c. Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bunga matahari d. Gula: glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin e. Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk
B. PRODUK PANGAN DARURAT KOMERSIAL Pangan darurat telah berkembang di berbagai negara. Pangan darurat memiliki beberapa bentuk diantaranya Snack Bars, Meal Ready To Eat, Camping Pouch Product, Long Shelf Life Food Supply. Produk pangan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk pangan darurat adalah bars. Produk ini lebih dipilih daripada bentuk pangan lain seperti pangan kalengan ataupun pangan semi basah disebabkan oleh ketahanannya saat didistribusikan. Pangan dalam bentuk bars (batang) memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya, tahan mengalami guncangan ataupun lemparan karena tekturnya yang kokoh, tidak mudah hancur, dan tidak rapuh. 1. Snack bars Merupakan cookies yang difomulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang yang biasa dikonsumsi di sela-sela waktu makan. Menurut Ryland (2010), snack bars dapat memenuhi permintaan konsumen akan gizi, kenyamanan, dan rasa yang dapat memenuhi rasa lapar dalam waktu singkat sampai makanan utama berikutnya disantap. Ada tiga jenis snack bars. Jenis pertama merupakan cereal bars atau sarapan dengan sereal sebagai bahan utama dan bahan seperti kacang atau buah-buahan, dengan madu, atau karamel sebagai binder. Contohnya adalah granola bars, yang biasanya dikonsumsi saat sarapan. Jenis kedua adalah chocolate bars contohnya permen atau coklat yang berbentuk batang. Produk chocolate bars komersial adalah ”Snickers” dan ”Mars”. Jenis ketiga adalah energy bars yang biasanya mengandung sekitar 200-300 kalori per bar. Jenis ini biasanya dimakan oleh pengendara sepeda motor, pelari, dan atlet. Energy bars mengandung kalori seimbang, karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Aigster (2011), bars dengan nutrisi yang seimbang kalori, lemak, karbohidrat, dan protein, vitamin dan mineralnya sedang dicari untuk dikembangkan. Setiap bar mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini memilki umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang ekstrem (-54.2oC sampai dengan 134oC). 2. Meals Ready to Eat (MRE) Produk jenis ini merupakan salah satu bentuk makanan untuk keperluan militer. Awalnya produk ini dikembangkan untuk program luar angkasa dan kemudian berkembang menjadi makanan militer dan sekarang digunakan oleh petualang padang gurun. MRE bisa dibuat dengan
4
mengombinasikan beberapa jenis pangan untuk memenuhi kriteria menu lengkap, dikemas dalam satu wadah yang ringan, sehingga mudah didistribusikan terutama dalam kondisi tempur. MRE dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak terekspos udara seperti retort pouch. Menurut Hariyadi (2008), sebagai ransum tempur, MRE harus dikembangkan untuk memberikan dukungan gizi bagi seorang tentara untuk melakukan tugas tempur dengan baik; dimana kondisi logistik pangan normal tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, ransum MRE, selain harus aman dan bergizi, juga harus memenuhi beberapa kriteria logistik yang cukup berat. Kriteria MRE itu antara lain: Awet. MRE dipersyaratkan mempunyai umur simpan yang lama. The US Army mensyaratkan umur simpan minimum 3 tahun pada suhu penyimpanan 27 oC dan minimum 6 bulan pada suhu 37oC. Kuat. MRE harus dikemas dengan kuat, mampu bertahan dan tidak rusak jika dijatuhkan menggunakan parasut dari pesawat dengan ketinggian 400 meter. Atau, mampu bertahan untuk dijatuhkan atau dilemparkan dengan parasut dari helikopter dengan ketinggian sekitar 30 meter. Kemasan juga harus kuat mendapatkan perlakuan kasar dan kondisi logistik, penyimpanan dan distribusi yang tidak ideal bahkan kondisi lingkungan ekstrim. Kemasan juga harus tahan terhadap ancaman binatang yang mungkin terdapat pada lingkungan darurat. Bermutu. MRE yang diproduksi harus aman, bergizi dan mempunyai kualitas organoleptik, terutama citarasa yang bisa diterima. Persyaratan tentang kualitas organoleptik ini menjadi lebih penting untuk pengembangan ransum darurat untuk keperluan kemanusiaan (sering disebut dengan istilah Humanitarian Daily Rations, HDR). Hal ini disebabkan karena kondisi bencana tentunya memberikan efek depresi yang lebih bagi kelompok sipil daripada kelompok militer yang terlatih. Kondisi depresi sering mengakibatkan menurunnya atau bahkan hilangnya selera makan. Karena itulah pengembangan ransum darurat harus memperhatikan kebiasaan dan selera makan korban bencana. Sesuai dengan tujuannya, maka HDR disusun untuk memberikan jaminan pemenuhan keperluan gizi minimum bagi korban bencana untuk bisa tetap bertahan pada kondisi darurat. MREs dapat berbentuk pangan lengkap yang mengandung daging, sayur atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lain-lain. 3. Camping Pouch Products Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memiliki umur simpan sekitar dua tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil freeze drying dan setiap kemasan disemprot dengan nitrogen untuk mencegah deteriorasi dan memperpanjang umur simpan. Produk ini memiliki kandungan energi yang cukup dengan persentase makronutrien didominasi oleh lemak (40-50%). Pangan ini membutuhkan tambahan air panas atau air dingin untuk dapat dikonsumsi (Winarno, 2004). 4. Long Shelf Life Food Supply Produk ini juga merupakan hasil freeze drying yang dikemas di dalam double-enameled can, disemprot dengan nitrogen sehingga memiliki umur simpan yang sangat tinggi yaitu 10-15 tahun atau lebih. Jenis dari produk ini ada 2 yaitu Ready reserves dan Alpine aire. Perbedaan kedua jenis produk ini adalah komposisi penyusunnya. Untuk kandungan energinya, kedua jenis dari produk ini memiliki kandungan yang sama per kemasannya.
5
C. PENELITIAN TENTANG PANGAN DARURAT DI INDONESIA Saat ini produk pangan darurat belum banyak dikembangkan di Indonesia. Bantuan pangan yang diberikan untuk korban bencana alam biasanya berupa beras dan mi instan. Hal ini tidak membantu para pengungsi yang sedang mengalami kesulitan untuk memperoleh air bersih, peralatan memasak, dan bahan bakar. Mereka mengharapkan produk pangan yang dapat langsung dikonsumsi. Pada tahun 2009 pernah dibuat formulasi pangan darurat menggunakan bahan baku lokal bernama ImunoYoi oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek Serpong), Tangerang. Pangan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Kelebihan lainnya, makanan darurat ini mengandung zat aktif yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, misalnya supaya terhindar dari diare, influenza, dan gangguan kesehatan lainnya. ImunoYoi masih dibuat dalam skala percobaan dan diproduksi dengan berat 100 gram dengan kebutuhan energi sekitar 500 kilokalori (kkal). Nilai gizinya meliputi karbohidrat 56%, lemak 21%, protein 13%, dan mineral 3%. Setiap orang dewasa diperkirakan memiliki kebutuhan 2100 kkal sehingga setiap hari cukup mengonsumsi empat kemasan ImunoYoi. Untuk mengonsumsinya, tidak perlu memasak. Harga produksi ImunoYoi per 100 gram dalam kemasan siap didistribusikan berkisar Rp 4000,00. Bahan makanan ini dikemas dalam kemasan tertutup dan bisa tahan sampai enam bulan. Namun, makanan ini belum dikembangkan oleh pemerintah untuk diproduksi massal. Produk pangan darurat bukan hanya dapat dibuat oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah pun dapat membuatnya. Oleh karena itu, produk pangan yang berbasis bahan baku lokal akan lebih mudah dibuat karena bahan bakunya mudah diperoleh. Produk pangan darurat hendaknya memiliki umur simpan yang panjang agar dapat disimpan sebagai stok pada suhu ruang sehingga dapat digunakan bila tiba-tiba terjadi bencana alam. Selain itu, produk pangan darurat sebaiknya dibuat dalam bentuk olahan kering dan produk pangan kalengan. Namun, untuk mempermudah proses pendistribusian maka produk olahan kering lebih berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu bentuk pangan darurat olahan kering yang berpotensi untuk dikembangkan adalah snack bars jenis energy bars. Snack bars merupakan cookies yang difomulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang yang biasa dikonsumsi di sela-sela waktu makan. Energy bars memiliki kandungan makronutrien protein, lemak, dan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi harian (2100 kkal) yaitu sebesar 10-15% berasal dari protein, 35-45% dari lemak, dan 40-50% dari karbohidrat. Energy bars merupakan suplemen diet yang sering dikonsumsi oleh atlet dan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi untuk menjaga kecukupan energinya. Selain itu, bars memiliki bentuk batang yang mudah dibuat, mudah dikemas, mudah didistribusikan karena memiliki tekstur yang kokoh, serta dapat menghemat tempat penyimpanan dibandingkan bentuk bulat ataupun silinder. Formula bars seperti formula cookies. Kandungan protein pada cookies (SNI, 1992) maksimum 6% sedangkan kandungan protein pada bars menurut Zoumas et al (2002) adalah 1015%. Bars memiliki kandungan makronutrien protein, karbohidrat, dan lemak yang seimbang dan dapat memenuhi kebutuhan energi sehari. Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila dipanaskan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Di Indonesia belum ada standar khusus yang mengatur tentang pangan darurat berbentuk bars. Oleh karena itu, standar pangan darurat mengacu pada Zoumas et al (2002) yaitu sumbangan lemak sebesar 35-45%, protein 10-15%, dan karbohidrat 40-50% dengan nilai energi yang
6
memenuhi kebutuhan energi harian sebesar 2100 kkal sedangkan pengujian mikrobiologi didasarkan pada Standar Nasional Indonesia tentang cookies yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia Parameter Satuan Syarat mutu Keadaan (bau, warna, rasa, tekstur) Normal Kadar air % b/b Maksimum 5 Protein % b/b Maksimum 6 Kadar abu % b/b Maksimal 2 Bahan tambahan pangan Pewarna dan pemanis buatan Yang tidak diizinkan tidak boleh ada Cemaran logam Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10 Timbal (Pb) Maksimum 1.0 Seng (Zn) Maksimum 40.0 Raksa (Hg) Maksimum 0.05 Cemaran mikroba Angka lempeng total Koloni/g Maksimum 1.0 x 106 Coliform APM/g Maksimum 20 E.coli APM/g < 3.0 Kapang Koloni/g Maksimum 1.0 x 102 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993) Pangan darurat dalam bentuk food bars memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki nilai aw yang rendah sehingga memiliki umur simpan yang lama dibandingkan produk semi basah yang memiliki nilai aw lebih tinggi. Di samping kelebihan yang dimiliki, produk food bars yang memiliki tekstur kering ini dapat menyebabkan rasa haus bila dikonsumsi tanpa pemberian air minum. Selain itu, produk food bars ini mudah menyerap uap air yang ada di udara akibatnya produk menjadi lembab dan tidak renyah lagi. Oleh karena itu, kemasan produk food bars perlu diperhatikan secara khusus sehingga kualitas produknya tetap terjaga dan memiliki umur simpan yang lama. Produk pangan darurat yang pernah dibuat oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) antara lain banana bars berbahan baku puree pisang, tepung terigu, dan tepung singkong yang dilakukan oleh Ferawati (2009), cookies berbahan baku utama tepung kacang hijau yang dibuat oleh Sitanggang (2008), pangan darurat dodol berbahan baku tepung beras ketan, tepung kacang hijau, isolat protein, dan susu full cream yang dibuat oleh Sitanggang (2009), dan pangan darurat kaleng berbahan baku utama nasi dan ayam bumbu yang dibuat oleh Valentina (2009) yang ditunjukkan pada Tabel 2.
7
Tabel 2. Komposisi dan nilai energi pangan darurat yang pernah dikembangkan di skala laboratorium Penelitian Ferawati (2009)* Sitanggang (2008)* Sitanggang (2009) Bahan baku Tepung kedelai 48.78% Tepung kacang hijau 81.48% Susu full cream Pisang 73.17% Minyak kelapa 9.26% Ketan Terigu 6.1% Margarin 12.96% Kacang hijau Tepung singkong 6.1% Susu bubuk full cream 18.52% Gula merah Gula halus 39.02% Gula pasir 37.03% Gula pasir Margarin 24.39% Air 2% Margarin Air 2% Isolat protein Garam
Sumbangan makronutrien** Lemak (%) 36.92 Protein (%) 14.15 Karbohidrat (%) 48.94 Nilai energi per produk 203.85kkal/50 gram * dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan ** dihitung terhadap 700 kkal
17.46 17.05 30.43 227.57kkal/450 gram
48.16 11.28 40.56 531.99 kkal/100 gram
5.43% 21.74% 16.30% 10.87% 13.04% 5.43% 10.87% 1.09%
Valentina (2009) FORMULASI NASI Beras 36.87% Santan kara 6.16% Kaldu balok 1.47% Garam 0.18% Air 55.31% FORMULASI AYAM BUMBU Daging ayam 41.07% Santan kara 32.86% Minyak goreng 8.21% Bawang merah 3.09% Bawang putih 0.79% Kemiri 0.55% Ketumbar 0.03% Gula pasir 10.95% Garam 1.37% 49.63 11.26 39.11 639.42 kkal/200 gram
8
Penelitian tentang snack bars pernah dilakukan oleh Chandra (2010) berbahan baku tepung sorgum, tepung maizena, dan tepung ampas tahu, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2010) berbahan baku tepung jewawut dan tepung ampas tahu, serta penelitian Stephanie (2010) dengan bahan baku tepung jewawut dan serum (whey) tahu yang dapat digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Komposisi dan nilai energi yang dimiliki penelitian pembanding tersebut disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Komposisi dan Nilai Energi Snack Bars Penelitian Bahan baku
Chandra (2010) Sorgum Maizena Ampas tahu Selai nanas Telur Susu bubuk Minyak goreng
31.73% 10.58% 5.77% 26.92% 11.54% 7.69% 5.77%
Sumbangan makronutrien** Lemak (%) 9.08 Protein (%) 6.98 Karbohidrat (%) 8.89 Nilai energi per produk 167.08 kkal/41.6 gram * dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan ** dihitung terhadap 700 kkal
Wijaya (2010)* Tepung jewawut Tepung ampas tahu Tepung hunkue Tepung gula Susu skim Pala Minyak goreng Air
9.28% 18.34% 19.34% 8.84% 8.84% 6.63% 14.36% 14.36%
15 6 7 180 kkal/41 gram
Stephanie (2010) Tepung jewawut Kelapa parut kering Gula Garam Susu full cream Whey tahu Selai nenas
24.03% 24.03% 8.65% 0.02% 4.81% 19.23% 19.23%
12 6 7.5 85.65 kkal/20 gram
D. INGRIDIEN PANGAN Ada banyak bahan baku mentah yang harus diolah terlebih dahulu agar dapat menjadi pangan siap konsumsi. Bahan baku dalam bentuk tepung-tepungan merupakan bahan baku mentah yang biasanya sering digunakan sebagai ingridien utama dalam pengolahan menjadi pangan siap santap. 1. TEPUNG PISANG Tepung adalah produk olahan pangan setengah jadi yang dapat dikonsumsi langsung, tetapi harus diolah menjadi produk pangan siap santap. Pisang yang dibuat menjadi tepung dimaksudkan untuk memudahkan aplikasinya dalam pembuatan banana bars. Menurut Chong et al., (2008) apabila dibuat dalam bentuk tepung, pisang akan menjadi bahan pangan sumber karbohidrat yang lebih mudah diolah menjadi berbagai macam produk pangan. Selain itu, pisang dalam bentuk tepung memudahkan dalam hal penyimpanan karena memiliki daya simpan yang lebih lama akibat kadar airnya yang kecil. Tepung pisang adalah bentuk olahan pisang yang dapat memperpanjang umur simpan dan memberikan nilai tambah pada pisang (Kajuna, 1997). Beberapa olahan pisang yang sering dikonsumsi diantaranya adalah dalam bentuk minuman, buah kaleng, kripik pisang, bars, brandy, dan lain-lain (Joffre, 2001). Penggunaan tepung pisang sebagai tepung komposit (campuran) dalam pembuatan berbagai produk telah dilakukan, diantaranya digunakan dalam pembuatan roti, mi dan cookies (Mepba et al., 2007). Pisang yang baik untuk pembuatan tepung pisang adalah pisang yang dipanen pada saat mencapai tingkat ketuaan ¾ penuh atau kira-kira berumur 80 hari setelah berbunga. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut pembentukan pati telah mencapai maksimum, dan sebagian besar tannin telah terurai menjadi senyawa ester aromatik dan fenol sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Jika pisang yang digunakan terlalu matang maka rendemen tepung yang dihasilkan sedikit dan juga selama pengeringan akan terbentuk cairan. Hal ini karena pati telah terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana sehingga
9
kandungan patinya menurun. Jika pisang yang digunakan terlalu muda akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat karena kandungan tannin yang cukup tinggi sementara kandungan patinya masih terlalu rendah. (Crowther, 1979). Pembuatan tepung pisang diawali dengan dilepaskannya pisang dari sisirnya, dicuci dan dikukus selama 10-15 menit. Pengukusan ini akan mempermudah pengupasan, mengurangi atau menghilangkan getah, dan memperbaiki warna tepung yang dihasilkan. Pisang kemudian dikupas, diiris melintang dengan ketebalan 0.25- 0.75 cm dan dijemur atau dikeringkan dengan alat pengering. Pengering buatan dapat menggunakan suhu 60-75oC selama 6-8 jam. Sistem kerja mesin oven pengering ini adalah mengeringkan produk pada suhu yang dikehendaki (suhu bisa diatur secara konstan) (Syafriyudin, 2009). Tanda pisang yang telah kering adalah jika pisang mudah dipatahkan. 2. TEPUNG TEMPE Menurut Karta (1990) tempe dapat digunakan sebagai bahan penyusun makanan (food ingredient) dalam bentuk tepung tempe, untuk memperkaya nilai gizi makanan, seperti protein dan serat. Dari hasil pengujian yang dilakukan Bakara (1996) terhadap mutu protein secara in vivo dapat disimpulkan bahwa nilai gizi protein tepung tempe hampir sama dengan kasein. Nilai Net Protein Ratio (NPR), Daya Cerna (DC), Nilai Biologis (NB), dan Net Protein Utilization (NPU) kasein berturut-turut 5.5, 96%, 94, dan 91 sedangkan tepung tempe berturutturut adalah 4.3, 87%, 85, dan 74. Tempe segar yang baru jadi, dapat disimpan satu sampai dua hari pada suhu ruang tanpa banyak mengalami pengurangan sifat mutunya. Setelah dua hari, tempe akan mengalami proses pembusukan dan tidak dapat lagi dikonsumsi oleh manusia (Winarno, 1985). Untuk mengatasi hal itu menurut Ismariarsi (1982) tempe dapat diawetkan dengan cara pengeringan dalam bentuk tepung tempe. Menurut Harnani (2009), penepungan tempe diawali dengan pengirisan tempe menjadi lembaran-lembaran tipis (ketebalan ± 5 mm), blansir dengan uap, pengeringan dengan oven, penggilingan dan pengayakan dengan disc mill. 3. TEPUNG BERAS KETAN PUTIH Tepung beras ketan dapat terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dihaluskan. Beras ketan (Oryza sativa var. glutinosa atau Oryza glutinosa; disebut juga sticky rice, sweet rice dan waxy rice) merupakan jenis beras Asia yang berbulir pendek dan memiliki sifat lengket (sticky) ketika dimasak. Beras ketan memiliki kadar amilopektin yang sangat tinggi dan kadar amilosanya berkisar antara 1-2% dari kadar pati seluruhnya (Koswara, 2006). Tepung beras ketan cenderung lebih rapuh, memiliki butir-butir yang cukup besar, dan berwarna putih opak, sedangkan beras memiliki tekstur yang keras dan lebih transparan (Grist, 1975). Tepung beras ketan dibedakan dari tepung beras berdasarkan kandungan amilosa dan amilopektin. Komponen utama dalam tepung beras ketan adalah amilopektin sedangkan kadar amilosanya hanya 0.8% sampai 1.3% dari kadar keseluruhan pati (Hubeis, 1985). Beras ketan tidak mengandung amilosa (seluruh pati mengandung amilopektin) yang jika dimasak bersifat amat lengket, lunak, basah, mengkilap padat, kurang menyerap air dan kurang mengembang (Wildman, 2000). Tepung ketan sifatnya lengket seperti beras ketan. Tepung ketan dibuat dari beras ketan yang ditumbuk atau digiling sampai halus dan dikeringkan sehingga dapat tahan lama. Kandungan utama beras adalah pati (starch) 80% dan protein 7%. Pati pada beras terdiri atas amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa dalam beras sangat erat hubungannya dengan tekstur nasi. Selain beras ketan, beras digolongkan
10
menjadi kadar amilosa tinggi (25-30 %), sedang (20-29 %) dan rendah (10-20 %). Kandungan amilosa mempunyai nilai kolerasi negatif terhadap nilai taste panel dengan kelekatan (cohesivenesses), kelunakan (tenderness), warna, kilap, nasi. Kadar kolerasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi sebelum pemasakan. Tepung beras ketan berfungsi sebagai sumber pati yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi. Penggunaan tepung beras ketan tidak mengurangi sineresis pada olahan yang dibekukan, disimpan, dan kemudian dicairkan esnya (Hariyadi, 2006). Tepung beras ketan sering digunakan sebagai bahan pengental untuk saus, gravies, dan pudding (Bao dan Bergman, 2004). Tepung beras ketan banyak digunakan untuk makanan yang mengandung banyak gula, yang umumnya diinginkan tekstur yang kenyal tapi lenting dan tidak lekat. Sifat lekat tersebut dapat dikurangi dengan penambahan minyak atau bahan yang mengandung minyak. Penganan tradisional Indonesia yang banyak menggunakan tepung beras ketan sebagai bahan bakunya antara lain kue mendut, kue mangkok, kue cucur, dan lupis (Koswara, 2006). 4. INULIN Inulin merupakan homopolimer fruktan yang diisolasi pertama kali dari tanaman Inula helenium. Inulin dapat diperoleh dari bawang merah, bawang daun, bawang putih, asparagus, pisang, gandum, barley (Tungland, 2002). Inulin juga ditemukan pada chicory, dandelion, artichoke (Roberfroid, 2005). Satu rantai inulin dibentuk oleh sekitar 30 unit fruktosa atau dengan kata lain memiliki derajat polimerisasi (DP) sebesar 30 atau lebih. Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologis dan fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak. Kedua substansi ini merupakan bagian yang penting dalam bidang pangan yang mana penggunaannya akan mempengaruhi struktur, rasa di mulut, kalori, dan memberikan rasa manis. Karena kemampuannya mengikat air dan mempunyai rasa dan warna yang netral, maka inulin mempunyai sifat memodifikasi tekstur yang unik, karena itulah inulin digunakan sebagai pengganti gula dan lemak dalam berbagai produk pangan. Dengan menggunakan sejumlah kecil inulin, rasa dan tekstur produk dapat ditingkatkan. Inulin meningkatkan flavor buahbuahan, menghasilkan tekstur dan mouthfeel (rasa di mulut) yang baik bagi produk pangan rendah gula dan lemak (Roberfroid, 2005). Sifat fisiologisnya yaitu inulin tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan kimiawi. Di dalam usus besar, inulin terfermentasi oleh koloni mikroflora dan menghasilkan berbagai produk metabolit akhir. Hal ini membuat inulin digolongkan sebagai serat makanan (Nondigestible oligosakarida/NDO) yang memberikan beberapa sifat fisiologis dan menghasilkan keuntungan yang unik bagi kesehatan tubuh. Sifat fisiologis inulin ini banyak dimanfaatkan dalam bidang medis dan farmasi. Antara lain mengurangi resiko kanker usus besar (Tungland, 2002) dan menormalkan kadar gula darah bagi penderita diabetes (Franck dan De Leenher, 2004). Pada kondisi normal inulin dari chicory dapat terdispersi dalam air, namun ada kecenderungan menggumpal selama hidrasi karena sifatnya yang higroskopis. Inulin chicory mempunyai daya ikat air (water binding capacity) sekitar 1:1.5 (Tungland, 2002).Struktur kimia inulin dapat dilihat pada Gambar 1.
11
Gambar 1. Struktur kimia inulin Inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan seperti α-amilase ataupun enzim penghidrolisis lainnya, yaitu sukrase, maltase, dan isomaltase baik pada pH rendah maupun tinggi (Oku et al., 1984). Inulin dapat sampai di usus dengan utuh sehingga dapat difermentasi probiotik. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 4. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan Inulin (g/100 g) Sumber Kisaran Rata-rata Bawang merah (Allium cepa) Mentah 1,1-7,5 4,3 Mentah-kering 4,7-31,9 18,3 Dimasak 0,8-5,3 3,0 Jerusalem artichoke (umbi)-(Heliacnthus tuberosus) 16,0-20,0 18,0 Chicory (akar)-(Chicorium intybus) 35,7-47,6 41,6 Asparagus (akar/umbi)-(Asparagus officinalis) Mentah 2,0-3,0 2,5 Kering 1,4-2,0 1,7 Bawang daun (Allium ampeloprasum) Mentah 3,0-10,0 6,5 Bawang putih (Allium sativum) Mentah 9,0-16,0 12,5 Kering 20,3-36,1 28,2 Globe artichoke (daun/jantung)-(Cynara scolymus) 2,0-6,8 4,4 Pisang (buah)-(Musa cavendishii L.) Mentah 0,3-0,7 0,5 Mentah-kering 0,9-2,0 1,4 Dikalengkan 0,1-0,3 0,2 Gandum (Triticum sp) Mentah 1,0-4,0 2,5 Tepung-dipanggang 1,0-3,0 2,4 Tepung-direbus 0,2-0,6 0,4 Rye (cereal)-(Secale cereale) Dipanggang 0,5-0,9 0,7 Barsley (cereal)-(Hordeum vulgare) Mentah 0,5-1,0 0,8 Dimasak 0,1-0,2 0,2 Dandelion (daun)-(Taraxacum officinale) Mentah 12,0-`15,0 13,5 Dimasak 8,1-10,1 9,1 *Tungland (2002) Inulin telah ditambahkan ke dalam berbagai produk seperti produk susu dan turunannya, selai, roti, dan produk panggangan, sereal sarapan, bahkan dalam bentuk tablet suplemen dengan tujuan untuk memperkaya kandungan serat serta berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher, 2005). Inulin merupakan homopolimer furanosidik, yang berarti inulin merupakan polimer yang
12
tersusun atas monomer yang sama. Monomer penyusun inulin adalah fruktosa yang berbentuk cincin bersegi lima atau furanosa (Sinnott, 2007). Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa inulin dan oligofruktosa meningkatkan penyerapan mineral seperti kalsium, magnesium dan besi oleh tubuh. Kenaikan yang signifikan dihasilkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram per hari. Suatu penelitian (EKM, 2011) yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nutrition Research 2006 melaporkan bahwa tikus yang mendapat suplementasi inulin dan oligofruktosa mengalami peningkatan absorpsi kalsium sebesar 40% yang mengakibatkan kekuatan tulangnya menjadi lebih besar. Selain memiliki efek menguntungkan sebagai prebiotik dan meningkatkan penyerapan mineral, inulin juga berperan dalam meningkatkan tekstur makanan. Biasanya inulin dari umbi chicory dapat larut dalam air dengan cepat (60g/L pada 10 oC, 330g/L pada 90oC) dan agak higroskopis. Inulin membantu mengikat air, mengentalkan dan meningkatkan mouthfeel dalam berbagai produk makanan, dan sudah digunakan secara komerisal misalnya pada industri roti, dressing, pasta, dan seafood (International Partnering Event on Health and Food, 2003).
E. PROSES PENGOLAHAN DAN MUTU BANANA BARS Proses pemanggangan snack bars sama dengan proses pemanggangan cookies. Tahapan pembuatan cookies meliputi pembentukan krim, pembentukan adonan, pencetakan, pemanggangan, pendinginan, dan pengemasan. Agar semua bahan tercampur merata dalam adonan maka mentega dibuat krim terlebih dahulu bersama gula, telur, dan susu skim (creaming method). Menurut Matz dan Matz (1978), pencampuran dan pengadukan dengan metode krim baik untuk cookies yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan. Krim dicampur hingga homogen dengan tepung dan bahan lainnya, setelah homogen, adonan dicetak. Tahap akhir pembuatan cookies adalah pemanggangan. Suhu pemanggangan bergantung pada jenis cookies yang dibuat. Pada umumnya, pemanggangan dilakukan pada suhu kurang lebih 170°C selama 15−20 menit (Suarni, 2009). Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Setelah pengembangan, diperlukan penanganan selama pendinginannya. Jika cookies terlalu cepat didinginkan bisa terjadi keretakan. Keretakan internal biasanya tidak segera terlihat, tetapi karena kerusakan selama pengemasan dan pendistribusiannya (Almond, 1989). Pendinginan di suhu ruang bertujuan untuk mengeluarkan uap panas akibat proses pemanggangan. Bila cookies tidak didinginkan dan langsung dikemas, maka uap panas tidak dapat keluar dan akan terserap kembali sehingga kadar airnya akan meningkat dan menjadi tidak awet untuk disimpan lama. Menurut Muchtadi (2008), produk bakery yang telah dipanggang perlu didinginkan (dibiarkan) sampai mencapai suhu kamar untuk memudahkan penanganan/pengemasan, mengempukkan tekstur dan memudahkan pengirisan. Kriteria uji fisik (bau, rasa, warna, dan tekstur) cookies harus normal, artinya bau khas kue kering sesuai dengan bahan kue yang digunakan, rasa enak, warna sesuai dengan zat pewarna yang ditambahkan, dan tekstur renyah, tidak mudah hancur, tetapi tidak keras. Secara umum, keadaan fisik kue kering tersebut sesuai aslinya (Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009). Selain itu, memiliki nilai gizi yang memenuhi standar mutu cookies (Tabel 2) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia. Pengukuran cookies dapat dilakukan secara subjektif, yaitu dengan uji sensori menggunakan panelis dan uji objektif dengan menggunakan alat. Terdapat korelasi antar uji objektif dan uji sensori. Salah satu alat yang biasa digunakan untuk mengukur tekstur cookies adalah General Foods Texturometer dan Intron Universal Testing Machine. Parameter yang terukur adalah
13
keteguhan, kerapuhan, kekuatan ikatan antara partikel sejenis (cohesiveness), dan kekuatan ikatan antara partikel yang tidak sejenis (adhesiveness). Cookies tidak memiliki sifat adhesiveness tetapi memiliki sifat cohesiveness yang sangat kecil (Faridi, 1994). Kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies (Gaines et al,. 1992). Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lama air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994). Selama pemanasan terjadi penyerapan air oleh pati yang menyebabkan pembengkakan pati serta peningkatan viskositas. Viskositas akan meningkat terus sampai granula pati pecah karena jumlah air yang diserap telah mencapai kapasitas maksimum. Pada titik ini viskositas sistem akan turun kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati adalah keberadaan protein dan lemak (Pomeranz, 1991).
14