SKRIPSI
KAJIAN NASI SORGHUM SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
Oleh RANDY ADISTYA F24102109
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
KAJIAN NASI SORGHUM SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RANDY ADISTYA F24102109
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Randy Adistya. F24102109. Kajian Nasi Sorghum sebagai Pangan Fungsional. Dibawah bimbingan: Ir. Sutrisno Koswara, MSi. 2006.
ABSTRAK Jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak mengakibatkan peningkatan akan kebutuhan konsumsi beras sebagai bahan pangan pokok. Akan tetapi, hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan dalam jumlah produksi beras sehingga perlu dilakukan diversifikasi pangan dengan mencari suatu bahan pangan alternatif yang bisa menggantikan beras. Bahan pangan yang cukup potensial adalah sorghum. Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan serealia yang tergolong ke dalam famili gramineae dan sub famili panicoideae. Sorghum yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas B 100 hasil dari pemuliaan dengan teknologi mutasi induksi oleh BATAN. Varietas ini memiliki keunggulan genjah, semi pendek, malai besar dan kompak, biji berwarna putih bersih, produksi (indeks panen) tinggi. Seperti beras, sorghum juga akan diolah menjadi nasi, yang akan disebut nasi sorghum. Pada penelitian ini akan dicari proses pemasakan yang akan menghasilkan nasi sorghum yang paling baik. Sorghum memiliki kandungan zat antinutrisi, yaitu tanin. Tanin tersebut dapat dimanfaatkan sehingga nasi sorghum yang dihasilkan bisa memiliki sifat fungsional. Tanin adalah sejenis polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengikat protein dan polisakarida. Berdasarkan kedua sifat tanin tersebut, diharapkan nasi sorghum yang dihasilkan dapat memiliki nilai indeks glisemik yang rendah. Indeks glisemik itu sendiri adalah suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi produk pangan dibandingkan dengan suatu standar. Indeks glisemik terutama berhubungan dengan para penderita diabetes, di mana mereka akan kesulitan mengkonsumsi bahan pangan dengan indeks glisemik tinggi, dalam hal ini nasi. Nasi sorghum yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi alternatif pengganti nasi bagi para penderita diabetes. Penelitian ini terbagi menjadi empat tahap yaitu pembuatan nasi sorghum, uji organoleptik, analisis kimia dan analisis indeks glisemik. Cara pembuatan untuk nasi sorghum adalah dengan metode aron kukus. Titik kritis untuk proses ini adalah volume air untuk mengaron dan waktu pengukusan. Volume air untuk mengaron yang digunakan adalah 1:2; 1:3; 2:3; 2:5; dalam perbandingan terhadap berat biji sorghum. Waktu pengukusan yang dilakukan yaitu selama 20, 30 dan 40 menit. Tahap kedua yaitu uji organoleptik. Dilakukan uji organoleptik terhadap empat formula yang telah di-screening dari 12 formula pada tahap 1 untuk mendapatkan satu formula paling optimum dan paling disukai panelis. Formula tersebut adalah formula dengan volume air untuk pengaronan 2:5 dan lama pengukusan 20 menit. Tahap ketiga yaitu analisis kimia. Dari analisis kimia , didapat kadar air dari nasi sorghum sebesar 64,25 %, kadar abu sebesar 0,38 %, kadar protein 4,03 %, kadar lemak 0,02 %, kadar karbohidrat sebesar 31,32 %. Dilakukan juga analisis kadar serat kasar, total fenol dan kapasitas antioksidan. Kadar serat kasar nasi
sorghum didapat sebesar 0,76 %, total fenol sebesar 2,55 mg/g sampel dan kapasitas antioksidan sebesar 47,65 mg AEAC/g sampel. Tahap keempat adalah analisis indeks glisemik. Analisis ini dilakukan secara in vivo menggunakan 10 orang panelis, terdiri dari 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Syarat panelis indeks glisemik ini antara lain, sehat, tidak diabetes dan memiliki BMI normal. Indeks glisemik nasi sorghum hasil perhitungan adalah sebesar 41. Nasi sorghum memiliki nilai indeks glisemik rendah, oleh karena itu baik untuk dikonsumsi oleh penderita penyakit diabetes melitus.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KAJIAN NASI SORGHUM SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Randy Adistya F24102109 Dilahirkan pada tanggal 19 November 1984 Di Jakarta Barat, DKI Jakarta Tanggal Lulus: September 2006 Menyetujui, Bogor, September 2006
Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
BIODATA PENULIS Penulis merupakan anak sulung dari pasangan Ade Tasmadja dan Juliantie Anggraeni Selodjojo. Penulis dilahirkan pada tanggal 19 November 1984 di sebuah rumah sakit di Jakarta. Penulis memiliki seorang adik yang dilahirkan 9 tahun kemudian bernama Reynaldo Yudistya, yang saat ini masih duduk di bangku SMP kelas 2. Penulis menempuh pendidikan di TK Mutiara Indonesia (1988 - 1990), SD Baptis Elim (1990 - 1996), SMP Baptis Elim (1996 1999), dan SMUK I BPK Penabur Jakarta (1999 – 2002). Penulis kemudian diterima di Institut Pertanian Bogor, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, sebelum berganti menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, melalui jalur SPMB. Penulis pada masa perkuliahan pernah menjadi panitia acara The 4th National Students Paper Competition sebagai seksi Logistik dan Transportasi, dan juga sebagai panitia Field Trip TPG ’39, juga sebagai seksi Logistik dan Transportasi. Penulis juga pernah mengikuti berbagai seminar antara lain NSPC ke-2 dan ke-3, Seminar Internasional Susu, Pelatihan Good Laboratory Practices dan berbagai seminar lainnya. Penulis menempuh tugas akhirnya dengan melakukan penelitian dengan topik ”Kajian Nasi Sorghum sebagai Pangan Fungsional”.
KATA PENGANTAR Skripsi yang berjudul “Kajian Nasi Sorghum sebagai Pangan Fungsional” ini merupakan tugas akhir yang disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Karya tulis ini diharapkan dapat membantu mahasiswa, peneliti maupun industri lainnya yang akan mengembangkan produk olahan dari sorghum, khususnya nasi sorghum. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian agar dapat dijadikan masukan. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat untuk pembaca sekalian. Ada banyak pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini, di mana tanpa mereka skripsi ini tidak akan selesai. 1. Kedua orang tuaku yang telah banyak memberikan bantuan biaya dan moril semasa penulis mengerjakan tugas akhirnya. Tidak lupa juga untuk adikku, Aldo. Semoga engkau bisa menjadi lebih baik dari kakakmu ini. 2. Pak Sutrisno Koswara selaku dosen pembimbing, yang telah banyak saya repotkan, terutama dalam pembuatan tugas akhir ini. Terima kasih atas bimbingannya. 3. Pak Slamet Budijanto & Pak Nugraha Edhi S. atas kesediaannya menguji. 4. Pak Budi Nurtama, Pak Arif dan Bu Didah atas masukan dan sarannya. 5. Pak Anton Apriyantono selaku ex PA. Semoga bapak sukses selalu. 6. Pak Rudy Nanggulangi atas bantuan penyediaan bahan baku sorghumnya. 7. Teman sebimbingan angkatku, Arvi dan Anita. G ditinggal hiks hiks... 8. Teman-teman sebimbingan Pak Anton, Hansib, Eko dan Dimol. 9. Kelompok D2: Dimol, Beta, Nanda, Ina. We’ve been through those troublesome years together.. It’s one hell of a job we’ve done back there. Great teamwork. 10. Buat Nanda, teman sekosan yang sudah banyak direpotkan dan merepotkan penulis, bersedia menemani penulis ngobrol sampe tengah malem, dll... Teman sekelompok dari TPB. Thx a lot.
11. Rekan-rekan penggila bola yang udah nemenin penulis nonton WC 2006 bareng, Dadik, Didin, Tukep, Boyon, Ajeng, Deddy, Tmin, Ulik, Ina Farah, Emon dkk.. (sori g lupa sapa lagi). Jeng, bola lu masih di gw. 12. Anak-anak Pubi atas tempatnya dan kesediannya menerima cowo-cowo jorok buat ngumpul disana semasa WC 2006. 13. Grup Jojopi yang (gw ga tau singkatannya benernya apa), Rebek, Ina, Tukep, Tono, Putra, Inal (sapa lagi sih) atas hiburannya selama tingkat akhir ini. Kapan ngumpul lagi nih????? 14. Para penggila Capsa yang sering ngumpul di Sapta. Kok belakangan jadi sepi ya?? 15. Temen-temen penelitian yang sama stresnya ama gw, Ijal si bihun, Didin & Dadik (buat transpornya), Ajeng (buat konsumsinya), Ulik (buat lagulagunya), Tmin, Shindol, Prasna, anak-anak mie (Kep, Kar, Grid, Meyce, Pret dkk), Woro si penyiar Radio PRO 2, QQ, Ech & yang lainnya. Semoga cepet selesai bwt yang belum. Tak lupa juga buat teman2 golongan D lainnya. 16. Panelis IG ku yang udah bersedia bangun pagi-pagi dan mau diberi makan nasi yang bikin mual, dan juga klinik Dr. Efi. 17. Para laboran atas bantuannya dan staf AJMP serta PF, terutama mas Edi yang udah mau bangun pagi-pagi buta waktu analisis IG. 18. Pompi, yang bersedia ditindas & dicium tiap hari tanpa byk protes. 19. Kantin di Sapta yang sudah menyediakan kudapan siang, terutama buat tukang soto atas nasinya yang banyak, dan kucing gendut yang setia menemani makan. 20. Temen2 penghuni Radar 73. 21. Rekan-rekan TPG 39 lainnya dan pihak-pihak lainnya yang lupa penulis sebutkan. Bogor, September 2006
Randy Adistya
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………
iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...
v
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... vii DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….. viii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...
ix
I.
PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
A. LATAR BELAKANG………………………………………………..
1
B. TUJUAN .......................……………………………………………...
3
C. MANFAAT ........................…………………………………………..
3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......……………………………………………..
4
A. SORGHUM ………………………………………………………......
4
B. KARBOHIDRAT ……………………………………………………..
9
1. Klasifikasi Karbohidrat ………………………………………...
9
2. Pati ....................………………………………………………….
10
3. Pencernaan dan Penyerapan Pati ...................................................
12
C. GELATINISASI .…………………………………………………….
13
1. Konsep Gelatinisasi .......................……………………………….. 13 2. Mekanisme Gelatinisasi .............……….......……………………..
14
3. Suhu Gelatinisasi ...................................………………………….. 15 4. Sifat Birefringence ..........................................................................
16
D. PENANAKAN NASI ………………………………………………..
17
E. TANIN SEBAGAI ANTIOKSIDAN ..................……………………
18
F.
INDEKS GLISEMIK ........................................................................... 20
III. METODOLOGI PENELITIAN...………………………………………… 23 A. BAHAN DAN ALAT………………………………………………...
23
B. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 23 1. Pembuatan Nasi Sorghum .........…………………………………. 24 2. Uji Organoleptik ............................................................................
25
3. Analisis Kimia .....………………………………………………... 26
a. Kadar Air………………….……………………………………
26
b. Kadar Abu ......................………………………………………
27
c. Kadar Protein ...………………………………………………... 27 d. Kadar Lemak ......………………………………………………
28
e. Kadar Karbohidrat …………………………………………….
28
f. Total Fenol ................................................................................
29
g. Kapasitas Antioksidan ...............................................................
29
h. Kadar Serat Kasar .....................................................................
29
4. Indeks Glisemik ...............................................................................
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………… 31 A. PEMBUATAN NASI SORGHUM .............…………………………
31
B. UJI ORGANOLEPTIK ......................……………………………….. 38 C. ANALISIS KIMIA ..............................................................................
44
1. Kadar Air .........................................................................................
44
2. Kadar Abu ........................................................................................
45
3. Kadar Protein ...................................................................................
45
4. Kadar Lemak .................................................................................... 46 5. Kadar Karbohidrat ............................................................................ 46 6. Kadar Serat Kasar ............................................................................
46
7. Total Fenol .......................................................................................
47
8. Kapasitas Antioksidan .....................................................................
48
D. INDEKS GLISEMIK ..........................................................................
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………… 54 A. KESIMPULAN………………………………………………………. 54 B. SARAN……………………………………………………………….
54
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
56
LAMPIRAN……………………………………………………………………
60
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis-jenis sorghum beserta karakteristiknya ...................................
5
Tabel 2. Hasil analisis kimia biji sorghum ………………................………..
7
Tabel 3. Komposisi kimia sorghum, gandum dan jagung (per 100 g bdd) ....
9
Tabel 4. Karakteristik granula pati ..………………………………………...
11
Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ….............…………………...
16
Tabel 6. Formula penanakan nasi sorghum ..................................................... 25 Tabel 7. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh …………………………………………………………….
34
Tabel 8. Hasil analisis kimia nasi sorghum A ...................………………….. 44 Tabel 9. Data klinis panelis indeks glisemik ........…………………………... 50 Tabel 10. Respon kadar gula darah panelis (mg/dl) ……………….…………. 51 Tabel 11. Kenaikan gula darah panelis setelah mengkonsumsi standar dan sampel ….........................................………………………………..
51
Tabel 12. Nilai indeks glisemik berbagai jenis bahan pangan dengan glukosa sebagai standar ……………………………………………………..
52
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tanaman sorghum .……………………………………………...
6
Gambar 2. Penampang melintang biji sorghum ……………………………
7
Gambar 3. Metabolisme glukosa .................................……………………...
13
Gambar 4. Struktur tanin terkondensasi ...................………………………..
19
Gambar 5. Mekanisme pengaturan kadar gula darah tubuh ..……………….
21
Gambar 6. Diagram alir pembuatan nasi sorghum ............................……….
25
Gambar 7. Biji sorghum yang belum disosoh ……………….............………
32
Gambar 8. Biji sorghum sosoh ………………………………….............…...
33
Gambar 9. Diagram alir pemasakan beras metode aron kukus .......................
35
Gambar 10. Nasi sorghum aron….....................................................................
36
Gambar 11. Nasi sorghum matang ..........................................……………….
36
Gambar 12. Histogram rata-rata ranking tiap sampel ………………………...
39
Gambar 13. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut warna .........................
41
Gambar 14. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut rasa .............................
41
Gambar 15. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut tekstur .........................
42
Gambar 16. Histogram rata-rata skor kesukaan overall ...................................
43
Gambar 17. Grafik kenaikan kadar gula darah panelis .....................................
51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir kuesioner uji hedonik ……………..………………..
61
Lampiran 2. Formulir kuesioner uji ranking ……..………………………..
63
Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik atribut warna ...……………….
64
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA atribut warna ..............................................
65
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik atribut rasa ......……………….
66
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA atribut rasa............................................…..
67
Lampiran 7. Rekapitulasi data uji hedonik atribut tekstur ...……………….
68
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA atribut tekstur .............................................
69
Lampiran 9. Rekapitulasi data uji hedonik atribut overall ..……………….
70
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA atribut overall .............................................
71
Lampiran 11. Rekapitulasi data uji ranking …………………………………….
72
Lampiran 12. Hasil Friedman’s Test uji ranking ……………………………
73
Lampiran 13. Hasil analisis kimia nasi sorghum ……………………………
74
Lampiran 14. Perhitungan total fenol ………………………………………
75
Lampiran 15. Perhitungan kapasitas antioksidan ………………………...…
76
Lampiran 16. Formulir uji indeks glisemik …………………………………
77
Lampiran 17. Rekapitulasi data hasil uji indeks glisemik ..............................
78
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling utama. Tanpa tersedianya pangan yang cukup, manusia tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, bahkan tidak dapat bertahan hidup. Selain itu, pangan merupakan sumber asupan zat gizi yang diperlukan oleh manusia untuk dapat tumbuh dan berkembang. Pangan merupakan salah satu faktor yang penting yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Belakangan ini, jumlah penduduk di Indonesia semakin bertambah dengan pesat. Hal ini mengakibatkan peningkatan dalam kebutuhan manusia akan pangan, terutama beras sebagai makanan pokok dan sumber energi utama. Akan tetapi, produksi beras di Indonesia saat ini tidak mampu mencukupi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. Impor beras tidak bisa dihindari lagi demi memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia akan pangan. Tahun 1999 impor beras Indonesia mencapai 4,2 juta ton, tahun 2000 sebanyak 2 juta ton, tahun 2005 sebesar 90.000 ton (Anonim a, 2006). Bila hal ini terus berkelanjutan, maka bangsa kita akan masuk ke dalam jebakan pangan (food trap). Untuk mengatasi hal tersebut dan mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras, perlu dilakukan berbagai upaya antara lain dengan melakukan diversifikasi pangan, yaitu dengan mencari pangan alternatif lainnya. Salah satu tanaman alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah sorghum. Sorghum merupakan salah satu jenis serealia yang termasuk dalam famili gramineae dan sub famili panicoideae (Mudjsihono dan Suprapto, 1987). Di Indonesia, sorghum masih kurang populer, hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui keberadaan sorghum. Pemanfaatannya juga masih belum optimal. Kebanyakan sorghum masih digunakan sebagai makanan ternak padahal aplikasinya pada produk pangan cukup banyak, misalnya sebagai tortilla, roti, pasta, bubur, bir, malt, pembuatan molasses dan bermacammacam produk pangan lainnya. Sorghum berada dalam urutan keempat dalam penyediaan kalori dunia setelah gandum, beras dan jagung (Hubeis, 1984).
Produksi sorghum Indonesia pada tahun 1999 mencapai 3-4 juta ton per hektar dengan daerah penghasil utamanya Jateng, Jatim dan NTT. Angka ini tidak berbeda jauh dari beras dimana pada tahun 2005 produksi beras sebesar 4,57 ton/ha (Anonim b, 2006). Sorghum juga mempunyai beberapa keunggulan, antara lain relatif tahan pada kondisi kering (Mudjsihono dan Suprapto, 1987). Selain itu, sorghum dengan tanin yang tinggi relatif tahan terhadap hama seperti burung. Kandungan pati biji sorghum cukup tinggi, sekitar 83% (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Kadar lemak dan proteinnya sebesar 3, 60% dan 12,3%. Pada beras, kadar karbohidrat sekitar 82%, lemak sebesar 0,8% dan protein sebesar 6% (Anonim c, 2006). Komposisi ketiga zat gizi tersebut diatas yang setara, bahkan lebih baik, daripada beras membuat sorghum cukup baik sebagai alternatif pengganti beras. Faktor-faktor tersebut menjadi alasan mengapa sorghum menjadi sumber pangan alternatif yang cukup potensial. Mengingat belum merakyatnya sorghum di Indonesia, maka sorghum harus dikenalkan kepada masyarakat dalam bentuk pangan yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Penggunaan beras yang paling populer di Indonesia adalah dimasak sebagai nasi. Mengingat hal tersebut maka sorghum akan diolah menjadi nasi sorghum. Pada penelitian ini akan dicari metode pemasakan sorghum untuk mendapatkan nasi sorghum dengan sifat-sifat yang paling disukai masyarakat. Setelah itu, akan dikaji juga sifat fungsional dari nasi sorghum. Pada sorghum terdapat kandungan zat antinutrisi yang sering dianggap merugikan. Zat antinutrisi tersebut adalah tanin. Tanin memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein dan polimer lainnya seperti polisakarida (von Elbe dan Schwartz, 1996). Meskipun tanin dapat mempengaruhi asam-asam amino dan protein sehingga menurunkan daya cernanya, tanin juga memiliki suatu keuntungan tersendiri. Adanya tanin dalam bahan pangan dapat menurunkan indeks glisemik bahan pangan. Hal ini baik bagi para penderita diabetes karena penderita diabetes kesulitan mengkonsumsi beras akibat indeks glisemiknya yang tinggi. Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan, yang dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif seperti
kanker dan penyakit jantung koroner. Diharapkan nasi sorghum yang dihasilkan juga dapat menjadi pengganti nasi bagi para penderita diabetes. B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan proses pengolahan beras sorghum menjadi nasi sorghum yang menghasilkan nasi sorghum yang paling diterima masyarakat. Tujuan lain penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat fungsional dari nasi sorghum yang dihasilkan, terutama sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes.
C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan produk pangan alternatif baru pengganti nasi untuk para penderita penyakit diabetes, dapat membantu program diversifikasi pangan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan bangsa, dan untuk meningkatkan nilai guna dari sorghum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SORGHUM Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk ke dalam famili gramineae dan sub famili panicoideae. Sorghum berasal dari Afrika. Tanaman ini mulai dikenalkan di Indonesia sejak tahun 1925. Sorghum dikenal di berbagai daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, seperti cantel di Jawa Tengah dan Jawa Timur, jagung cantrik di Jawa Barat dan batara tojeng di Sulawesi Selatan. Sorghum mulai berkembang baik sejak tahun 1973, terutama di Demak, Kudus, Grobogan, Purwodadi, Lamongan dan Bojonegoro (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Sorghum dapat tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis, dari dataran rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan untuk tumbuh berkisar antara 25 – 30 oC dengan kelembapan relatif 20-40 %. Sorghum juga tidak terlalu peka terhadap pH tanah, tapi pH 5,5-7,5 diperlukan untuk pertumbuhan sorghum yang baik. Sorghum dapat tumbuh dengan baik di daerah kering. Hal ini disebabkan karena lapisan lilin yang ada pada permukaan daun sorghum. Lapisan lilin tersebut akan mengurangi penguapan air dari dalam sorghum. Selain itu, pada beberapa jenis sorghum juga ditemui ketahanan yang tinggi terhadap burung dan hama karena kandungan taninnya. Meskipun begitu tetap ada beberapa jenis hama yang dapat menyerang sorghum. Beberapa hama yang penting antara lain belatung Aterigona, ulat Spodoptera, ulat Ostrinia, kumbang Dactilispa, ulat Sesamia, kumbang Pilofaga, pengisap daun dan kumbang Sitophilus (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Berdasarkan bentuk sekamnya, sorghum dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu sorghum biji, sorghum manis, sorghum rumput dan sorghum sapu. Jenis-jenis sorghum dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 1. Pada umumnya biji sorghum berbentuk bulat agak lonjong atau bulat telur dan terdiri dari tiga bagian utama yaitu kulit luar, lembaga dan endosperm. Susunan dari bagian-bagian bijinya adalah kulit luar 7,9 %, lembaga 9,8 % dan endosperm 82,3 % (Hoseney, 1998). Berat biji
bervariasi dari 8 mg sampai 50 mg dengan berat rata-rata sebesar 28 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorghum dapat dikelompokkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), medium (12-24 mg) dan besar (2535 mg). Tabel 1. Jenis-jenis sorghum beserta karakteristiknya (Hubeis, 1984) Jenis
Karakteristik Bentuk butir biji relatif besar, terpisah
Sorghum Biji
dari sekam, warna butiran biji putih, kuning, merah atau coklat
Sorghum Manis
Bentuk biji lebih kecil, ukuran sekam panjang, warna butir putih atau coklat Bentuk butir biji tertutup penuh oleh sekam
Sorghum Rumput
yang
berbentuk
cembung,
berukuran panjang dan runcing, warna butir kuning gelap, coklat atau coklat kemerahan Bentuk butir biji lebih kecil-kecil atau
Sorghum Sapu
jarang
yang
tertutup
oleh
sekam
berbentuk cembung, butir biji berwarna coklat
Kulit luar sorghum merupakan lapisan kulit biji yang mengelilingi endosperm. Kulit luar ini terdiri dari tiga bagian yaitu epikarp, mesokarp dan endokarp. Warna kulit luar bervariasi yaitu putih, merah atau coklat. Bagian penting dari kulit luar yaitu lapisan zat warna yang disebut testa. Lapisan ini terletak di bawah endokarp dan di sekeliling permukan endosperm. Beberapa peneliti mengatakan bahwa dalam lapisan testa terdapat senyawa polifenol (tanin) dengan kadar tinggi. Lapisan testa terkait kuat dengan lapisan perikarp dan sulit dihilangkan.
Gambar 1. Tanaman sorghum (Anonim d, 2006) Lembaga terdiri dari keping biji dan terikat kuat dengan endosperm. Hal ini mengakibatkan lembaga sulit dihilangkan dengan proses penggilingan. Lembaga kaya akan protein, lemak serta sejumlah mineral dan vitamin B. Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji. Teksturnya bisa keras dan sangat keras, lengket atau lembek serta warnanya putih atau kuning. Lapisan luar endosperm berupa sel-sel aleuron yang mengandung protein dalam jumlah tinggi (Hoseney, 1998). Gambar penampang biji sorghum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampang melintang biji sorghum (Anonim e, 2006) Komposisi kimia bji sorghum berbeda-beda tergantung pada bagian bijinya. Selain itu, komposisi kimia sorghum juga sangat bervariasi tergantung pada varietas, tanah dan kondisi lingkungan penanaman. Hasil analisis kimia terhadap bagian-bagian biji sorghum dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kimia biji sorghum Bagian biji
Susunan kimia bagian biji (%) Pati
Protein
Lemak
Abu
Serat
Biji utuh
73,8
12,3
3,60
1,65
2,2
Endosperm
82,5
12,3
0,63
0,37
1,3
Kulit Biji
34,6
6,7
4,90
2,02
8,6
Lembaga
9,8
13,4
18,9
10,36
2,6
Sumber: Mudjisihono dan Suprapto (1987) Pati pada biji sorghum sebagian besar terdapat pada bagian endosperm. Berdasarkan kandungan amilosanya, biji sorghum dapat
digolongkan menjadi jenis ketan (waxy sorghum) dan jenis beras (nonwaxy sorghum). Kadar amilosa jenis beras rata-rata 25 %, sedangkan untuk jenis ketan sebesar 2 %. Sorghum jenis beras dapat dimakan sebagai nasi atau campuran dengan nasi beras pada perbandingan tertentu, sedangkan sorghum jenis ketan dapat dimanfaatkan sebagai makanan tradisional seperti tape dan wajik (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Kandungan lemak pada biji sorghum utuh sekitar 3,60 % dengan konsentrasi tertinggi pada bagian lembaga. Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), lemak pada biji sorghum tersebut terdiri dari berbagai jenis asam lemak seperti asam palmitat (11-13 %), asam oleat (30-45 %) dan asam linoleat (33-49 %). Lemak dalam biji sorghum sangat berguna bagi hewan dan manusia tetapi dapat mengakibatkan off flavor pada produk pangan. Kandungan lemak ini dapat dihilangkan dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut. Protein pada biji sorghum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu protein pada bagian lembaga dan protein yang tersimpan dalam endosperm. Jika dibandingkan, protein dalam lembaga memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein endosperm. Kandungan protein pada biji sorghum paling banyak terdapat pada lapisan atas endosperm atau di bawah kulit biji. Kandungan asam-asam amino tertentu seperti lisin, triptofan dan treonin cukup rendah. Seperti serealia lainnya, protein pada biji sorghum dapat dicirikan menjadi empat jenis yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin (larut alkohol), dan glutelin (larut alkali). Protein albumin dan globulin paling banyak terdapat pada lapisan aleuron dalam endosperm. Protein matriks yang terdapat dalam protein biji dan pati terdiri atas protein glutelin. Jenis protein yang dominan pada sorghum yaitu prolamin (sekitar 32,6-58,8 % dari total protein). Selain itu, pada sorghum juga terdapat protein glutelin (19,0-37,4 %), albumin (1,3-7,7 %) dan globulin (2,0-9,3 %). Sorghum tidak memiliki protein gliadin dan glutenin yang mampu membentuk gluten seperti terigu.
Jika dibandingkan dengan jagung, kadar protein sorghum lebih tinggi. Kadar protein sorghum bervariasi antara 7,1-14,2 % tergantung pada varietas, tanah dan kondisi lingkungan penanamannya. Akan tetapi, kadar protein sorghum masih lebih rendah bila dibandingkan dengan gandum. Kandungan lemak sorghum lebih rendah daripada jagung tapi masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan gandum. Komposisi kimia sorghum, gandum dan jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia sorghum, gandum dan jagung (per 100 g bdd) Komposisi
Sorghum
Gandum
Jagung
Kalori (Kal)
355
344
363
Protein(g)
10,4
11,5
10,0
Lemak (g)
3,4
2,0
4,5
Karbohidrat (g)
71
70
71
Serat (g)
2,0
2,0
2,0
Ca (mg)
32
30
12
Fe (mg)
4,5
3,5
2,5
Thiamin (mg)
0,50
0,40
0,35
Riboflavin (mg)
0,12
0,10
0,13
Niacinamide (mg)
3,5
5,0
2,0
Sumber: Platt (1962)
B. KARBOHIDRAT 1. Klasifikasi Karbohidrat Karbohidrat
tersusun
dari
unit-unit
glukosa
(monosakarida).
Klasifikasi karbohidrat berdasarkan jumlah unit glukosa penyusunnya adalah disakarida (2 unit glukosa), oligosakarida (3 – 11 unit glukosa) dan polisakarida (lebih dari 11 unit glukosa) (Brand-Miller, 2000). Karbohidrat menurut Brand-Miller (2000) dibagi menjadi dua bagian berdasarkan kemampuannya untuk diserap dan dicerna tubuh, yaitu digestible carbohydrate dan non digestible carbohydrate. Digestible
carbohydrate juga disebut glycemic carbohydrate. Non digestible carbohydrate atau non glycemic carbohydrate adalah jenis karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap tubuh kita. Serealia adalah salah satu contoh dari sumber digestible carbohydrate. Digestible carbohydrate pada serealia sebagian besar terdapat dalam bentuk pati. 2. Pati Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80 persen tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro, 1979). Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat dalam biji-bijian atau umbi-umbian. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari air dan udara dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan
energi
radiasi
sinar
matahari.
Energi
surya
akan
dikonversikan menjadi energi kimia pada substansi atau zat yang dapat dimakan oleh manusia atau hewan pada umumnya (Greenwood dan Munro, 1979). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta permukaan granulanya (Hoseney, 1998). Granula pati endosperm sorghum berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 25 μm. Granula dalam perikarp biji sorghum lebih keras lagi. Bentuk granula pati sorghum jenis horny (keras) adalah polihedral dan kompak, sedangkan granula pati jenis floury (lunak) adalah bulat dan lebih tersebar. Bentuk dan ukuran granula pati serealia lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik granula pati Jenis Pati
Ukuran Granula (μm)
Padi
3-8
Gandum
Bentuk granula Poligonal
20-35
Lentikular atau bulat
Jagung
15
Polihedral atau bulat
Sorghum
25
Bulat
Rye
28
Lentikular atau bulat
Barley
20-25
Bulat atau Elips
Sumber: Hoseney (1998) Seperti halnya serealia lainnya, pati sorghum tersusun atas dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dikatakan sebagai bagian linier pati, meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil yang sempurna. Berat molekul amilosa beragam bergantung pada sumbernya dan metode ekstraksi yang digunakan. Menurut BeMiller dan Whistler (1996), amilosa memiliki berat molekul sekitar 106. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan batang memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan amilosa dari pati biji-bijian. Amilosa memiliki kemampuan berinteraksi dengan iodine membentuk warna biru, dan hal ini digunakan untuk mendeteksi adanya pati. Menurut Shelton dan Lee (1999), amilosa memiliki kecenderungan besar untuk membentuk ikatan hidrogen intramolekuler, yang artinya memiliki kecenderungan besar untuk terjadinya kristalisasi atau retrogradasi. Selain itu, amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks heliks. Pembentukan kompleks amilosa dan iodine menghasilkan warna biru yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum 640 nm. Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 % dari keseluruhan ikatan yang
ada pada amilopektin. Berat molekul amilopektin berkisar antara 107 sampai 5 X 108. Amilopektin terdapat pada semua jenis pati dan menyusun 75 % total pati, bahkan ada jenis pati yang seluruhnya terdiri dari amilopektin. Peti jenis ini dinamakan waxy starch (BeMiller dan Whistler, 1996). Amilopektin dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya di air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi yang larut dalam air panas adalah amilosa, sedangkan fraksi yang tidak larut adalah amilopektin. 3. Pencernaan dan Penyerapan Pati Karbohidrat dari pati yang akan diserap tubuh diubah terlebih dahulu menjadi komponen-komponen penyusunnya yaitu glukosa. Enzim yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut adalah α-amilase yang dihasilkan kelenjar saliva di mulut dan pankreas. α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva akan di-inaktivasi oleh pH lambung yang rendah sehingga tidak terlalu berperan dalam proses pemecahan pati. α-amilase yang dihasilkan pankreas akan lebih banyak berperan dalam memecah pati, yang terjadi di usus halus. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim glucoamylase dan α-dextrinase. Pada bagian tersebut juga terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida oleh enzim-enzim disakaridase (Sardesai, 2003). Glukosa adalah monosakarida yang paling cepat diserap oleh usus halus. Proses penyerapan ini dibantu oleh carrier/pembawa khusus yang bersifat ATP dependant. Proses penyerapan fruktosa terjadi melalui proses difusi dan berlangsung lambat. Konsumsi fruktosa dalam jumlah berlebih dalam waktu bersamaan akan memacu timbulnya diare (Brand-Miller, 2000).
Gambar 3. Metabolisme glukosa (Anonim f, 2006)
C. GELATINISASI Gelatinisasi dalam arti sempit didefinisikan sebagai perusakan struktur kristalin granula pati alami akibat panas. Gelatinisasi dalam arti luas meliputi proses pengembangan granula dan leaching polisakarida. Gelatinisasi digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan beberapa perubahan yang terjadi pada granula pati pada interval suhu yang berbeda. Perubahan-perubahan tersebut meliputi hilangnya sifat birefringence, hilangnya pola difraksi X-ray, penyerapan air dan pengembangan granula, perubahan bentuk dan ukuran granula, keluarnya amilosa dari granula (Shelton dan Lee, 1999). 1. Konsep Gelatinisasi Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979).
Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat translusen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antargranula, kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat di bawah mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang (Collison, 1968). 2. Mekanisme Gelatinisasi Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 persen dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen
yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin melemah. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air juga makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun, maka air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula makin besar (Meyer, 1982). Pada akhirnya, jika suhu suspensi tetap semakin naik maka granula pati akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan (Hodge dan Osman, 1976). McCready (1970) menyatakan bahwa mekanisme gelatinisasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap. Pertama, air akan secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula. Pada suhu antara -5 oC, granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya akan kehilangan sifat birefringence. Ketiga, jika temperatur tetap naik, maka molekul-molekul pati terdifusi ke luar granula. 3. Suhu Gelatinisasi Suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi pati sorghum yaitu sekitar 68-76 oC. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati. Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati
Suhu gelatinisasi (oC)
Beras
65-73
Ubi jalar
82-83
Tapioka
59-70
Jagung
61-72
Gandum
53-64
Sumber: BeMiller dan Whistler (1996) Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya (Mc Cready, 1970). Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, energi, yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan (Collison, 1968). Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. 4. Sifat Birefringence Dengan pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat
diketahui
keberadaan
sifat
birefringence
pati,
yaitu
sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat
birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen lebih banyak pada molekul air. Penetrasi panas
menyebabkan
peningkatan
derajat
ketidakteraturan,
dan
meningkatnya molekul pati yang terpisah, serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).
D. PENANAKAN NASI Menanak nasi adalah proses memasak beras menjadi nasi yang siap dihidangkan. Penanakan nasi yang umum dikenal adalah peliwetan, dengan menggunakan alat tradisional panci maupun alat modern bernama rice cooker, dan dengan cara aron kukus menggunakan alat panci dan dandang (Hubeis, 1985). Pengaronan adalah proses pemasakan tahap awal dimana beras mengembang menjadi nasi setengah matang. Pengukusan merupakan proses pemasakan nasi setengah matang menjadi nasi yang siap untuk dihidangkan. Sebelum dimasak, beras biasanya dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel. Pencucian beras akan menghilangkan sebagian zat gizinya karena akan terbawa oleh air pencucinya. Menurut Slamet, et. al. (1980), setelah dicuci beras akan kehilangan protein sebesar 0,1–0,3 %. Menurut Sediaoetama (1989), memasak nasi dengan cara mengaron kukus adalah dengan cara memasukkan beras yang sudah dicuci ke dalam panci, diberi air pada volume tertentu dan dipanaskan sambil diaduk beberapa kali sampai menjadi nasi aron (air pemasak terserap seluruhnya oleh beras). Setelah semua air terserap, panci ditutup dan api dikecilkan atau dimatikan. Nasi aron dibiarkan sampai beberapa lama (15 menit). Untuk menanak lebih lanjut, beras dipindahkan ke dalam kukusan untuk memberi uap air dari air yang dimasak dalam dandang sampai matang (30 menit). Lamanya bergantung pada sifat beras dan banyaknya air yang digunakan untuk mengaron. Selama pemasakan beras akan terjadi pengembangan granula pati. Pengembangan ini akan mengakibatkan permukaan butir beras menjadi retak.
Pengembangan butir beras selama dimasak tidak sebesar kemampuan pengembangan pati yang mencapai 64 kali volume awalnya. Tertahannya pengembangan pati disebabkan oleh karena adanya pembatasan oleh komponen bukan pati. Kandungan lemak, mineral, protein dan dinding sel berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi (Osman, 1972). Pada pemasakan beras terjadi gelatinisasi dan pengembangan granula pati dalam endosperm beras. Jaringan intergumen pada butir beras yang dibentuk oleh komponen protein akan menghalangi imbibisi air pada waktu gelatinisasi pati. Protein yang menghalangi pengembangan granula pati ini mengakibatkan perlunya tambahan waktu pemasakan beras dalam air mendidih (Osman, 1972). Penanakan nasi melibatkan proses penyerapan air, pengembangan volume dan pemasakan air. Utomo (1999) menyatakan bahwa proses penyerapan air pada penanakan nasi dipengaruhi oleh kadar amilosa dan protein. Peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan kapasitas granula pati dalam menyerap air dan pengembangan volume tanpa menimbulkan kolaps, sebab amilosa memiliki kapasitas lebih besar dalam mengikat hidrogen atau retrogradasi (Damardjati, 1981). Semakin tinggi kadar amilosanya, daya serap airnya pun akan semakin tinggi sehingga pengembangan volume dari beras yang dimasak akan tinggi pula (Mulyana, 1988). Semakin banyak volume larutan pemasak yang digunakan, maka semakin banyak pula jumlah cairan yang dapat diserap oleh beras selama pemasakan.
E. TANIN SEBAGAI ANTIOKSIDAN Pada biji sorghum terdapat dua jenis pigmen yaitu karoten dan polifenol. Senyawa polifenol terdiri dari empat senyawa yaitu flavonoid, antosianin, leukoantosianin dan tanin. Senyawa polifenol tersebut terdapat pada lapisan epikarp, endokarp dan testa (Rooney et.al., 1980). Tanin dapat dibedakan menjadi dua yaitu tanin yang dapat dihidrolisis (hydrolyzable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin) (Ribereau dan Gayon, 1974). Tanin yang terkondensasi terdapat pada buah-buahan, bijibijian dan tanaman lain yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai makanan.
Tanin yang dapat dihidrolisis terdapat pada kelompok tanaman bukan makanan (non-edible food) tapi mempunyai peranan penting dalam industri makanan, minuman dan obat-obatan (Singleton, 1981). Tanin terkondensasi atau proantosianidin merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (flavan-3-ol) atau leukoantosianidin (flavan 3,4-diol). Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol. Tanin memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein dan polimer lainnya seperti polisakarida (von Elbe dan Schwartz, 1996). Tanin larut dalam air dengan berat molekul antara 500–3000. Tanin juga memiliki kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya. Tanin bereaksi dengan protein membentuk kompleks tanin-protein yang tidak larut. Kompleks tanin-protein merupakan penyebab kekeruhan, pengendapan dan mempunyai sifat antinutrisi dan menghambat aktifitas enzim (Swain, 1965). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kompleks tersebut adalah suhu dan pH.
Gambar 4. Struktur tanin terkondensasi (Anonim g, 2006) Fenol khususnya tanin melindungi biji dari serangga, jamur, burung serta kerusakan pada penanganan panen (Hahn, et. al., 1983). Untuk sebagian besar ternak, makanan yang mengandung sorghum bertanin tinggi akan memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan sorghum tanpa atau bertanin rendah (Hahn, et. al., 1983).
Adanya tanin dalam biji sorghum telah lama diketahui dapat mempengaruhi fungsi asam-asam amino dan kegunaan protein. Kandungan tanin pada biji sorghum berkisar antara 0,4-3,6 % yang sebagian besar terdapat pada lapisan testa. Biji sorghum yang memiliki kadar tanin tinggi dicirikan oleh warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Mudjisihono dan Suprapto, 1987). Kandungan tanin pada biji sorhum dapat dihilangkan dengan cara perendaman dengan air suling pada suhu 30 oC selama 24 jam. Kadar tanin yang hilang dengan cara ini yaitu sekitar 31 %. Perendaman dengan larutan NaOH dan KOH 0,05 M pada suhu 30 oC selama 24 jam dapat menghilangkan kandungan tanin lebih besar yaitu sekitar 75-85 %. Perendaman dengan Na2CO3 pada kondisi yang sama dapat menghilangkan tanin sebesar 77 %. Kehilangan tanin pada beberapa perlakuan di atas diduga akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan testa selama perlakuan (Mudjisihono dan Suprapto, 1987).
F. INDEKS GLISEMIK Pati yang dicerna dan diserap tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15-45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar gula darah akan kembali normal setelah 2 sampai 3 jam. Hormon yang diproduksi tubuh untuk menurunkan kadar gula darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transport glukosa ke dalam sel dan laju pengubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw, 1999). Kadar glukosa darah adalah besarnya jumlah glukosa yang terdapat dalam darah. Pada keadaan normal, kadar glukosa darah meningkat setelah makan dan tetap bertahan dalam waktu singkat. Pada penderita diabetes, glukosa yang terdapat dalam darah terlalu banyak. Gejala yang muncul saat
kadar glukosa darah meningkat antara lain pusing, pandangan kabur, haus, urinasi dan kulit menjadi sering gatal. Insulin berperan sebagai regulator yang menjaga keseimbangan kadar gula darah dalam tubuh. Kadar gula darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55-140 mg/dl. Kadar gula darah minimum sebesar 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar gula darah tubuh adalah adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjar adrenal (Wardlaw, 1999).
Gambar 5. Mekanisme pengaturan kadar gula darah tubuh (Anonim h, 2006) Para ilmuwan pada awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang mengandung karbohidrat kompleks lebih lambat untuk dicerna dan diserap tubuh sehingga memiliki efek glisemik yang rendah. Namun, beberapa makanan berkarbohidrat kompleks seperti kentang rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir sama dengan maltosa. Konsep indeks glisemik diperkenalkan pada awal tahun 1980-an untuk
memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar gula darah (Brand-Miller, 2000). Indeks glisemik menurut Whitney et. al. (1990) adalah suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar. Tiap makanan akan memiliki nilai indeks glisemik yang berbeda-beda. Makanan yang ber-indeks glisemik rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang tidak terlalu curam. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan indeks glisemiknya adalah sebagai berikut: (1) bahan pangan dengan indeks glisemik rendah (<55), (2) bahan pangan dengan indeks glisemik sedang (55-69) dan (3) bahan pangan dengan indeks glisemik tinggi (>70) (Foster-Powell et. al., 2002). Penelitian Ragnhild et. al. (2004) menyebutkan bahwa makanan-makanan yang memiliki indeks glisemik tinggi menyebabkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang cepat dan curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Indeksi glisemik dikaitkan dengan berbagai isu-isu kesehatan seperti obesitas, pencegahan diabetes dan jantung koroner. Penelitian Jones (2002) menunjukkan bahwa makanan yang memiliki indeks glisemik tinggi mengakibatkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes tipe I maupun II dianjurkan mengkonsumsi makanan ber-indeks glisemik rendah untuk membantu kontrol kadar gula darah tubuh. Penelitian Ragnhild et. al. (2004) menemukan bahwa konsumsi makanan berindeks glisemik rendah meningkatkan sensitivitas produk insulin dalam pankreas. Hal tersebut dikaitkan dengan pencegahan diabetes tipe II, penyakit jantung koroner dan kontrol LDL dalam tubuh.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah biji sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench.) varietas B 100. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah HgO, K2SO4, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, H3BO3, HCl, indikator metil merah dan metil biru, heksan, metanol 95 %, air bebas ion, reagen folin-ciocalteau, DPPH, standar asam askorbat, Na2CO3, larutan standar asam tanat dalam 95 % etanol, akuades, aseton, kertas tissue, kertas saring Whatman No. 1 dan kapas bebas lemak. Alat-alat yang digunakan adalah panci, dandang, baskom plastik, kompor, sendok kayu, sendok makan, piring, korek api, gelas ukur, labu Erlenmeyer, neraca analitik, cawan aluminium dan porselin, oven, tanur, desikator, labu dan pemanas Kjeldahl, alat destilasi, kondensor, labu takar, alat ekstraksi soxhlet, glucometer, tabung reaksi, pipet tetes, pipet Mohr, vorteks, spektrofotometer, kuvet, botol semprot, batang pengaduk, shaker, pendingin balik, desikator, gegep, pompa vakum, kalkulator dan alat-alat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari empat tahap. Tahap-tahap tersebut adalah pembuatan nasi sorghum, uji organoleptik, analisis kimia dan analisis indeks glisemik. Pertama-tama dilakukan pembuatan nasi sorghum dengan 12 formula. Parameter yang digunakan adalah perbandingan berat biji:volume air 1:2; 1:3; 2:3 dan 2:5 serta waktu pengukusan 20, 30 dan 40 menit. Parameter tersebut ditentukan berdasarkan Trial and Error. Formula yang terseleksi kemudian dilakukan uji organoleptiknya. Uji organoleptik perlu dilakukan untuk mengetahui nasi sorghum dengan formula mana yang paling disukai masyarakat. Hal ini sesuai dengan syarat pangan fungsional yaitu harus disukai dan diterima oleh masyarakat. Sebaik apapun sifat fungsional yang dimiliki suatu pangan fungsional tapi apabila tidak disukai masyarakat maka produk tersebut tidak akan bermanfaat. Analisis kimia dilakukan terhadap satu
produk nasi sorghum yang paling disukai masyarakat berdasarkan hasil uji organoleptik. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat), kadar serat kasar, total fenolik dan kapasitas antioksidan. Setelah analisis kimia, kemudian dilakukan analisis indeks glisemik. Dari data yang diperoleh lewat analisis, kemudian dikaji sifat fungsional dari nasi sorghum.
1. Pembuatan Nasi Sorghum Pembuatan nasi sorghum dilakukan dengan metode tradisional yaitu aron kukus. Bahan baku utama yang digunakan adalah biji sorghum varietas B 100 segar. Biji tersebut kemudian disosoh untuk memisahkan endosperm dari kulit luarnya. Penyosohan dilakukan dengan mesin penyosoh sorghum di CITS, PAU. Penyosohan dilakukan selama 1 jam untuk 1 kilogram biji sorghum. Biji sorghum yang telah disosoh kemudian ditanak untuk menghasilkan nasi sorghum. Pertama-tama, biji sorghum diaron menjadi nasi sorghum aron. Nasi sorghum aron kemudian dikukus untuk menghasilkan nasi sorghum matang. Kedua proses tersebut dilakukan pada suhu 100 0C, pada saat air mendidih. Titik kritis pada penanakan nasi sorghum adalah volume air yang digunakan untuk mengaron serta waktu pengukusan karena kedua titik kritis inilah yang akan menentukan kematangan nasi sorghum. Kedua titik kritis ini dijadikan parameter dalam menentukan formula penanakan nasi sorghum. Formula yang digunakan ada 12 dan dapat dilihat pada Tabel 6. Dari ke 12 nasi sorghum yang dihasilkan dari 12 formula tersebut, dilakukan screening untuk menentukan produk manakah yang akan dilakukan uji organoleptiknya. Screening tersebut dilakukan dengan melihat kematangan nasi sorghum yang dihasilkan. Diagram alir proses pembuatan nasi sorghum dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 6. Formula penanakan nasi sorghum Parameter
Kuantitas
Biji sorghum
50 gram
Volume air untuk mengaron (V)
2:3, 1:2, 2:5, 1:3
Lama pengukusan (T)
20 menit, 30 menit, 40 menit
Biji sorghum segar ↓ Penyosohan ↓ Penimbangan biji sorghum sosoh sebanyak 50 g ↓ Pencucian 2-3 kali ↓ Pengaronan dalam V ml air ↓ Pengukusan selama T menit ↓ Nasi sorghum Gambar 6. Diagram alir pembuatan nasi sorghum
2. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan indera manusia sebagai instrumennya. Uji ini sering digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan (Soekarto, 1990).
Pengujian
organoleptik ada beberapa cara, seperti pengujian pembedaan dan pengujian pemilihan atau penerimaan. Analisis organoleptik meliputi uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk dan uji ranking untuk mengetahui formulasi mana yang paling disukai. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan 35 orang
panelis tidak terlatih. Di sini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap warna, rasa, tekstur dan overall yang dikemukakan dalam skala hedonik. Pada uji hedonik produk nasi sorghum, skala hedonik yang digunakan adalah 1-7, dimana angka 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Pengolahan data uji ranking dilakukan dengan menggunakan Uji Friedman. Pengolahan data uji hedonik dilakukan dengan menggunakan Uji ANOVA (Analysis of Variance). Jika dari hasil Uji ANOVA didapat perbedaan nyata terhadap skor kesukaan pada tingkat kepercayaan 0,05; maka perlu dilakukan uji lanjut yaitu Uji Duncan. Uji tersebut dilakukan untuk melihat kelompok sampel yang berbeda.
3. Analisis Kimia a. Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1984) Penentuan kadar air dilakukan dengan metode oven di mana cawan aluminium kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator. Cawan yang kering yang telah
didinginkan
ditimbang.
Penimbangan
dilanjutkan
dengan
penimbangan sampel sebanyak 5 g ke dalam cawan. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven selam 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam desikator untuk didinginkan, setelah dingin ditimbang kembali. Kemudian keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat tetap (konstan). Perhitungan : Kadar air (% bb) = x – (y- a) x 100% x Keterangan: x = berat sampel (gram) y = berat cawan dan sampel yang telah di oven (gram) a = berat cawan (gram)
b. Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1984) Penentuan kadar abu didasarkan pada metode tanur. Cawan porselin disiapkan untuk pengabuan yang dibakar dalam tanur selama 10 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3,0-5,0 g sampel dimasukkan dalam cawan tersebut, lalu ditimbang, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan (sebelum masuk tanur sampel yang ada dalam cawan dibakar dulu pada pembakar sampai asapnya habis), bakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama pada suhu sekitar 400 0C dan kedua pada suhu 550 0C. Sampel didinginkan kemudian ditimbang. Perhitungan : Kadar abu (% bb) = berat abu (gram) x 100 % berat sampel (gram)
c. Kadar Protein, Metode Kjeldahl-Mikro (AOAC, 1984) Ditimbang sejumlah kecil sampel (0,2 g) ditempatkan dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4. Ditambahkan pula beberapa batu didih. Sampel didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Dilakukan pendinginan cairan yang dihasilkan untuk kemudian ditambahkan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukan ke alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan labu Erlenmeyer
yang berisi 5 ml larutan
H3BO3 dan beberapa tetes campuran indikator merah metil dan metil biru. Ujung selang kondensor harus terendam larutan tersebut untuk menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Hasil destilasi kemudian dititrasi oleh HCl 0,02 M sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (yang tidak mengandung sampel).
Perhitungan : Kadar N (%) = (ml HCl–ml blanko) x N HCL x 14,007 x 100% mg sampel Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25)
d. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1984) Penentuan kadar lemak dilakukan berdasarkan metode ekstraksi soxhlet. Labu takar dikeringkan dalam oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dalam bentuk tepung dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dangan kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel diletakkan
dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan
kondensor. Pelarut heksan dimasukkan ke dalam labu secukupnya kemudian dilakukan refluks selama minimal 5 jam. Labu takar akan berisi lemak hasil ekstraksi dan kemudian dipanaskan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dengan lemak sampel. Perhitungan : Kadar lemak (%) = berat lemak (gram) x 100 % berat sampel (gram)
e. Kadar Karbohidrat (by difference) (AOAC, 1984) Penentuan kadar karbohidrat dilakukan by difference, yaitu berat total produk dikurangi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak Perhitungan : Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L) Keterangan : P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= kadar abu (%)
L
= kadar lemak (%)
f. Analisis Total Fenol (AOAC, 1984) Untuk persiapan sampel, 0,2 gram bahan kering sampel ditambah dengan 200 ml metanol lalu dikocok selama 1 jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu, sampel dimasukkan ke tabung sentrifus lalu disentrifus selama 15 menit pada 3000 rpm. Supernatan diambil dan disaring dengan kertas Whatman no. 1 untuk mendapatkan filtrat. Dua ml filtrat atau larutan standar ditambah dengan 1 ml folin dan didiamkan 5 menit pada suhu ruang. Campuran tersebut kemudian ditambahkan 2 ml Na2CO3 dan divorteks lalu didiamkan 30 menit pada suhu ruang. Sampel divorteks lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 760 nm. Untuk kurva standar, digunakan asam tanat dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 ppm.
h. Pengukuran Kapasitas Antioksidan dengan Menggunakan Radikal Bebas Stabil DPPH (AOAC, 1984) Dua ml bufer asetat ditambahkan dengan 3,75 ml metanol dan 200 μl DPPH. Campuran tersebut kemudian divorteks hingga tercampur rata. 50 μl larutan sampel ditambahkan
ke dalam larutan tersebut.
Untuk kurva standar, larutan sampel diganti dengan 50 μl standar antioksidan. Campuran diinkubasi pada suhu 25 oC selama 20 menit. Absorbansi campuran diukur pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer.
h. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke labu Erlenmeyer 300 ml kemudian ditambahkan dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik selama 30 menit. Setelah ditambahkan 50 ml NaOH 1,5 N dan disaring kembali selama 30 menit. Cairan di dalam labu Erlenmeyer disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobotnya. Penyaringan dengan menggunakan pompa vakum. Selanjutnya dicuci berturut-turut
dengan 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Residu beserta kertas saring dikeringkan sampai bobotnya konstan lalu ditimbang. Perhitungan : Kadar serat kasar (%) = a – b X 100 % W Keterangan : a
: bobot residu dalam kertas saring yang dikeringkan (g)
b : bobot kertas saring kosong (g) W : bobot sampel (g)
4. Indeks Glisemik Analisis indeks glisemik dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai objek penelitian (in vivo). Panelis yang digunakan berjumlah 10 orang. Syarat-syarat panelis yang digunakan adalah sehat, non-diabetes dan memiliki nilai BMI/IMT dengan kisaran normal (El, 1999). Setiap panelis diberikan sampel berupa nasi sorghum matang yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat total. Kadar karbohidrat nasi sorghum diperoleh dari analisis proksimat (by difference). Standar yang digunakan adalah 50 gram bubuk glukosa yang telah dilarutkan dalam 200 ml air. Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa selama 9 jam. Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh kapiler jari tangan. Pengambilan darah tersebut dilakukan dalam selang waktu 2 jam yaitu 0, 30, 60, 90 dan 120 menit setelah konsumsi sampel. Pengukuran kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan glucometer. Indeks glisemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan standar dikalikan 100.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih komponen yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan dan minuman dan memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima konsumen. Melihat definisi tersebut maka syarat yang paling penting untuk pangan fungsional adalah memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, pada penelitian ini pertama-tama dilakukan optimasi pembuatan produk nasi sorghum dengan berbagai sifat yang paling diterima konsumen. Setelah didapat produk yang paling optimal, baru produk tersebut dianalisis untuk mengkaji sifat fungsional produk. Analisis yang paling penting disini adalah analisis indeks glisemik dalam hubungannya dengan penderita penyakit diabetes melitus. Komponen dalam nasi sorghum yang bisa memberikan sifat fungsional adalah polifenol (tanin) dan serat.
A. PEMBUATAN NASI SORGHUM Penelitian ini menggunakan bahan baku utama sorghum varietas B 100 segar yang diperoleh dari BATAN. Varietas ini merupakan hasil pemuliaan tanaman yang dilakukan BATAN dengan teknik mutasi induksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BATAN, varietas ini memiliki sifat unggul antara lain genjah, semi pendek, malai besar dan kompak, biji berwarna putih bersih dan produksi (indeks panen) tinggi. Sorghum varietas ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi varietas sorghum unggul untuk membantu menanggulangi masalah kekurangan pangan di Indonesia. Biji sorghum yang diperoleh oleh peneliti berupa biji sorghum yang masih utuh, terbungkus oleh kulit luarnya, tapi yang sudah terlepas dari malainya. Biji sorghum utuh berbentuk bulat agak gepeng dengan warna kulit luar coklat muda. Gambar biji sorghum utuh dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Biji sorghum yang belum disosoh Biji sorghum utuh yang diperoleh harus disosoh untuk menghilangkan sekamnya. Tujuan penyosohan sorghum ini adalah untuk memisahkan endosperm, kulit luar dan lembaga sebaik-baiknya. Penyosohan sorghum sulit untuk dilakukan karena sorghum memiliki kulit luar yang keras. Sekam dapat mengganggu proses penanakan sorghum karena sekam akan menghalangi air masuk ke dalam sorghum sehingga gelatinisasi berjalan kurang sempurna. Selain itu, sekam yang tertinggal akan meninggalkan suatu tekstur berserat pada nasi sorghum yang dihasilkan. Penyosohan dilakukan menggunakan alat penyosoh sorghum hasil desain Purwanegara (1983). Keunggulan dari alat ini yaitu kapasitasnya yang besar (sekitar 10 kg) dan proses penyosohan yang kontinyu. Alat tersebut terdiri dari unit penggiling dengan bagian-bagiannya seperti bagian penggiling, silinder saringan dan rumah penggiling. Unit penggiling ditopang oleh suatu susunan kerangka penunjang dan dihubungkan oleh suatu sistem penyalur tenaga dengan sumber tenaga penggerak. Fungsi unit penggiling yaitu untuk mengupas kulit biji sorghum dengan gaya gesekan yang terjadi antara batu gerinda penggiling sorghum dengan biji sorghum, dan gesekan antar biji sorghum itu sendiri. Tidak seperti pada alat penyosoh beras, huller dan polisher pada mesin
penyosoh sorghum tergabung dalam satu mesin yang akan langsung menghasilkan biji sorghum sosoh, sehingga tidak menghasilkan sorghum pecah kulit. Biji sorghum yang telah disosoh berwarna putih sedikit kekuningan dengan sedikit bintik kemerahan yang diakibatkan sebagian tanin yang tidak bisa tersosoh dengan bersih (Gambar 8). Hal ini bisa terjadi karena bentuk biji sorghum yang tidak bulat utuh. Penyosohan dilakukan selama kurang lebih 1 jam untuk 1 kilogram biji. Pada proses penyosohan, sebagian besar lembaga terbuang mengakibatkan hilangnya sebagian besar lemak sorghum.
Gambar 8. Biji sorghum sosoh Peneliti mengharapkan lapisan testa, tempat tanin berada, tersisa cukup banyak, tapi karena letak testa yang berada di bawah endokarp dan di atas aleuron, sedangkan aleuron itu sendiri ikut terbuang pada saat penyosohan, mengakibatkan sebagian besar lapisan testa terbuang. Semakin lama penyosohan, makin banyak testa yang terbuang. Rendemen hasil penyosohan juga cukup sedikit, hanya ± 40,32 %. Banyak biji yang tercecer di lantai juga makin mengurangi rendemen. Jika waktu penyosohan makin sebentar, maka rendemennya makin banyak tapi kulit luar tidak terbuang dengan sempurna,
dan sebaliknya. Selain itu, apabila penyosohan makin lama, makin banyak biji sorghum patah yang dihasilkan. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan karakteristik biji sorghum sebelum dan sesudah disosoh Karakteristik
Biji sorghum utuh
Biji sorghum sosoh Bulat agak gepeng dengan
Bentuk
Bulat agak gepeng
lekukan
di
salah
satu
ujungnya Putih
sedikit
kekuningan
Warna
Coklat muda
Bobot biji
± 30,5 mg
± 12,3 mg
Diameter ± 4,5 mm
Diameter ± 3,6 mm
Tebal ± 2,8 mm
Tebal ± 2,2 mm
Ukuran
dengan sedikit bintik merah
Pembuatan nasi sorghum dilakukan dengan metode aron kukus. Metode pemasakan yang dipilih adalah aron kukus karena metode inilah yang paling umum digunakan di rumah tangga selain menggunakan rice cooker. Penggunaan rice cooker tidak dilakukan karena keterbatasan bahan baku dan alat. Metode aron kukus untuk biji sorghum diadaptasi dari metode aron kukus untuk beras, sehingga tidak terlalu berbeda dari metode aron kukus beras. Yang berbeda hanyalah jumlah air untuk mengaron dan lama pengukusan. Metode ini terdiri dari dua tahap yaitu pengaronan dan pengukusan. Metode aron kukus untuk beras dapat dilihat pada Gambar 9. Sebelum dimasak, biji sorghum yang telah disosoh dicuci dahulu untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada, misalnya daun, kerikil, kutu, maupun aleuron yang masih tersisa pada sorghum. Pada saat pencucian, biji sorghum yang telah ditimbang sebanyak 50 g, ditampung terlebih dahulu di dalam wadah. Wadah tersebut diisi dengan air, kemudian diaduk-aduk dengan arah perputaran searah jarum jam. Kotoran, biji sorghum patah, kutu serta sekam yang tertinggal akan mengambang, karena berat jenisnya yang lebih rendah daripada air, sehingga mudah dipisahkan. Proses ini diulangi kurang
lebih dua sampai tiga kali sampai biji sorghum benar-benar bersih. Berat biji sorghum yang dimasak dipilih 50 g karena jumlah ini tidak terlalu sedikit, namun juga tidak terlalu banyak sehingga biji sorghumnya tidak mubazir terbuang.
Beras ↓ Pencucian 2-3 kali ↓ Pengaronan dalam air 1:1 atau 1:1,2 ↓ Pengukusan selama 35-45 menit ↓ Nasi Gambar 9. Diagram alir pemasakan beras metode aron kukus (Hubeis, 1985) Pada proses pengaronan, terjadi gelatinisasi parsial pati sorghum. Pengukusan
baru
akan
menggelatinisasi
sebagian
pati
yang
belum
tergelatinisasi sempurna pada proses pengaronan. Pengaronan dilakukan dengan volume air pada perbandingan 2:3, 1:2, 2:5, 1:3 terhadap berat biji sorghum. Digunakan perbandingan air, bukan suatu volume spesifik karena pati pada saat tergelatinisasi akan menyerap air dengan jumlah tertentu, sehingga jika jumlah sorghum makin banyak, makin banyak pula air yang dibutuhkan. Pada proses pengaronan, pertama sejumlah air dididihkan dahulu, baru kemudian sorghum dimasukkan. Api yang digunakan sedang. Api yang digunakan tidak boleh terlalu besar karena akan memberi kemungkinan sebagian air untuk menguap, bukan terserap oleh pati sorghum. Selain itu, api yang terlalu besar akan menyebabkan biji sorghum gosong dan lengketnya biji sorghum di panci. Proses ini akan menghasilkan nasi sorghum aron (Gambar 10).
Gambar 10. Nasi sorghum aron Nasi sorghum aron kemudian dikukus. Nasi sorghum aron baru dimasukkan ke dandang tempat pengukusan setelah air mendidih dan mengeluarkan uap. Uap panas inilah yang akan menyebabkan pati sorghum yang belum tergelatinisasi sempurna menjadi tergelatinisasi. Air yang dimasukkan untuk mengukus haruslah cukup agar sorghum yang dikukus tidak gosong. Hasil dari proses ini adalah nasi sorghum (Gambar 11).
Gambar 11. Nasi sorghum matang
Nasi sorghum yang dihasilkan terlihat mengkilap dan lengket. Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), kadar amilosa rata-rata sorghum adalah 2328 %, dan tidak ada sorghum yang memiliki kadar amilosa lebih dari 28 %. Sorghum dapat digolongkan menurut kadar amilosanya yaitu sorghum jenis beras dan jenis ketan. Pada sorghum jenis beras (non-waxy) kadar amilosanya berkisar antara 21-28 %, dan pada sorghum jenis ketan (waxy) kadar amilosanya berkisar 1-2 %. Sekarang, bahkan sudah ditemui sorghum dengan kadar amilopektin 100 %. Dapat disimpulkan bahwa varietas B 100 termasuk sorghum jenis ketan. Hal ini menunjukkan kadar amilosanya rendah, sedangkan amilopektinnya tinggi. Warna nasi sorghum yang dihasilkan agak kemerahan. Warna ini tidaklah umum dan wajar sebagai warna nasi. Warna kemerahan pada nasi hanya terdapat pada beras merah, dan beras jenis ini sekarang sulit ditemui. Warnanya yang aneh ini dikhawatirkan akan mempengaruhi preferensi konsumen akan produk ini. Hal tersebut akan dibahas kemudian. Dari ke-12 formula yang dibuat, ternyata ada delapan formula yang menghasilkan nasi sorghum yang tidak melewati screening berdasarkan tingkat kematangannya. Formula tersebut tiga di antaranya adalah formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 2:3, dimana nasi sorghum yang dihasilkan belum matang, ditandakan dengan teksturnya yang masih keras, terutama di bagian tengahnya dan agak berasa seperti tepung. Ketidakmatangan
ini
diakibatkan
kurangnya
volume
air
untuk
menggelatinisasi seluruh pati yang ada di sorghum. Tiga formula lainnya adalah formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 1:3, dimana nasi sorghum yang dihasilkan terlalu lembek dan hancur, hampir seperti bubur.
Hal
ini
diakibatkan
terlalu
banyak
air
yang
digunakan.
Kekurangmatangan juga terjadi pada formula volume air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 20 menit. Formula yang menggunakan volume air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 40 menit juga terlalu matang. Kedelapan formula tersebut tidak akan diikutsertakan dalam uji organoleptik. Keempat formula yang akan diorganoleptik adalah formula dengan air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit (Formula A), air untuk
mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 30 menit (Formula B), air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 30 menit (Formula C), dan air untuk mengaron 1:2 dan waktu pengukusan 40 menit (Formula D).
B. UJI ORGANOLEPTIK Pada penelitian ini dilakukan dua uji organoleptik yaitu uji hedonik dan uji ranking. Kedua uji ini termasuk ke dalam uji afektif atau kesukaan. Tujuan utama dilakukannya uji afektif adalah untuk mengetahui respon perorangan (preferensi dan/atau penerimaan) oleh pelanggan potensial/sekarang dari suatu produk, gagasan produk atau karakteristik produk spesifik. Ada beberapa alasan dilakukannya uji afektif ini yaitu product maintenance, perbaikan/optimasi produk, pengembangan produk baru, menganalisis potensi pasar, review kategori produk dan dukungan untuk klaim periklanan (Meilgaard et. al., 1999). Dalam penelitian ini, kedua uji tersebut dilakukan dalam rangka pengembangan produk baru. Uji ranking digunakan untuk membandingkan suatu produk langsung dengan produk lainnya. Akan tetapi, uji ini tidak menunjukkan apakah produk tersebut diterima atau tidak, jadi meskipun suatu produk lebih disukai dibandingkan produk lainnya, belum tentu produk tersebut sebenarnya dapat diterima dengan baik. Untuk mengetahui seberapa baik penerimaan panelis terhadap produk maka perlu dilakukan uji hedonik. Pada penelitian ini dilakukan uji ranking untuk melihat produk dari formula mana yang paling disukai panelis. Formula yang paling disukai tersebut dianggap sebagai formula yang paling baik/optimal. Selain itu dilakukan juga uji hedonik untuk melihat penerimaan panelis terhadap keempat fornula tersebut, untuk mendukung hasil dari uji ranking. Pada uji organoleptik ini digunakan 35 panelis tidak terlatih. Uji organoleptik dilakukan di Lab. Gizi PAU pukul 10.00-12.00. Untuk kedua uji ini, sampel masing-masing diberi nomor acak dan letaknya untuk masingmasing booth juga diacak. Pada uji ranking, panelis diminta untuk mengurutkan sampel berdasarkan tingkat kesukaannya secara keseluruhan terhadap produk. Pada uji ini panelis diwajibkan untuk membandingkan antar sampel. Ranking 1
diberikan untuk produk yang paling disukai, sedangkan 4 untuk produk yang paling tidak disukai. Formula A diberi nomor 810, 458 untuk B, 216 untuk formula C dan 606 untuk formula D. Setelah data hasil uji ranking diolah melalui program SPSS dengan uji Friedman yang dapat dilihat di Lampiran 12, diketahui produk yang paling disukai berkode 810 yaitu produk dengan formula volume air untuk pengaronan:berat sorghum 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit dengan skor 1,94. Urutan kedua adalah produk dengan kode 458 dengan skor 2,26; yaitu produk dengan formula volume air:berat sorghum 2:5 dan waktu pengukusan 30 menit, urutan ketiga adalah produk berkode 606 dengan skor 2,86; yaitu produk dengan formula volume air:berat sorghum 1:2 dan waktu pengukusan 40 menit dan produk yang paling tidak disukai adalah produk berkode 216 dengan skor 2,94; yaitu produk berformula volume air:berat sorghum 1:2 dan waktu pengukusan 30 menit. Histogram rata-rata ranking tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 12. Produk 216 tidak disukai karena produk tersebut paling kering dan tingkat kekerasannya yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Produk 458 lebih tidak disukai daripada produk 810 meskipun paling basah, lengket dan lembek dibanding yang lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat kebasahan dan kelembekannya sudah diluar tingkat kesukaan panelis.
4 3.5 2.94
Rata-rata Ranking
3 2.5 2
2.86
2.26 1.94
810 458 216
1.5
606
1 0.5 0
Gambar 12. Histogram rata-rata ranking tiap sampel
Pada uji hedonik, panelis diminta untuk mengekspresikan tingkat kesukaannya terhadap produk dalam skala 1-7 dimana skala 1 berarti sangat tidak suka dan 7 berarti sangat suka. Dalam uji ini, panelis tidak boleh membandingkan tingkat kesukaan antar sampel karena akan mengakibatkan bias dalam pengolahan data. Uji hedonik dilakukan terhadap atribut warna, rasa, tekstur dan overall. Keempat atribut tersebut dipilih karena keempat atribut tersebut adalah atribut yang dianggap penting dalam penilaian masyarakat terhadap produk sejenis (nasi). Pada produk ini, atribut yang cukup penting adalah warna. Warna produk ini agak kemerahan disebabkan oleh keberaadaan tanin, dan hal ini akan mempengaruhi penerimaan masyarakat karena warnanya yang tidak wajar, apalagi warna adalah atribut pertama yang ditangkap oleh indera manusia. Apakah hal ini benar atau tidak dapat dilihat sesaat lagi. Uji hedonik terhadap atribut aroma tidak dilakukan karena produk sejenis (nasi) umumnya tidak beraroma, kecuali beras Pandan Wangi dan beberapa beras jenis lainnya. Hasil uji hedonik diolah dengan menggunakan analisis ANOVA (Analysis of Variance) melalui program SPSS. Taraf kepercayaan yang digunakan adalah 0,05 karena memang nilai inilah yang umum digunakan untuk panelis tidak terlatih. Hasil uji ANOVA untuk warna menunjukkan signifikansi sebesar 0,212 (Lampiran 4). Karena nilai ini lebih besar dari taraf kepercayaan 0,05; maka dapat disimpulkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna keempat produk tersebut tidak berbeda nyata, dan bahwa perlakuan yaitu pengukusan dan pengaronan tidak mengakibatkan terjadinya perbedaan terhadap tingkat kesukaan warna. Pengaronan tidak menghasilkan perbedaan warna keempat formula, padahal tanin larut di dalam air dan juga terdapat perbedaan waktu pengaronan. Hal ini disebabkan karena tanin yang larut terendapkan lagi di permukaan biji sorghum. Rata-rata skor kesukaan keempat formula akan warna berkisar antara 3,91-4,23, artinya berada di antara agak suka dan agak tidak suka. Hal ini sudah cukuplah baik mengingat warnanya yang tidak umum.
7
Rata-rata Skor Kesukaan
6 5 4.11
4.23
4
3.91
4.06
810 458 216
3
606 2 1 0
Gambar 13. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut warna Dari atribut rasa terdapat perbedaan yang nyata dalam tingkat penerimaan. Hal ini dapat dilihat dari signifikansinya yaitu sebesar 0,029 (Lampiran 6), yang lebih kecil dari taraf kepercayaan 0,05. Rata-rata skor kesukaannya berkisar dari 4,00-4,51; yang dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai tersebut berkisar antara netral sampai agak suka, yang cukup baik mengingat adanya tanin yang akan menimbulkan rasa sepat/astringent. Ternyata rasa sepat yang berasal dari tanin tidak begitu berpengaruh terhadap kesukaan konsumen akan produk ini. 7
Rata-rata Skor Kesukaan
6 5
4.51
4.37
4.09
4.00
4 3
810 458 216 606
2 1 0
Gambar 14. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut rasa
Dari atribut tekstur, diperoleh signifikansi 0,001 (Lampiran 8). Karena nilai ini lebih kecil dari taraf kepercayaan 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan tingkat kesukaan terhadap tekstur dan juga bahwa perlakuan mengakibatkan perbedaan terhadap tingkat kesukaan atribut tekstur. Perbedaan tekstur yang terjadi disebabkan karena berbedanya jumlah air yang diserap pada proses pengaronan dan pengukusan. Pada kedua proses ini terjadi gelatinisasi pati dan air terserap masuk sehingga terjadi perubahan tekstur. Setelah dilakukan uji Duncan, dapat dilihat bahwa sampel 810 dan 458 berada di subset yang sama sedangkan sampel 606 dan 216 berada pada subset sendiri. Dapat disimpulkan bahwa sampel 606 dan 216 berbeda nyata dengan kedua sampel lainnya pada selang kepercayaan 0,05. Rata-rata skor kesukaan 810 dan 458 sama, yaitu 4,46; yang berada antara netral dan agak suka. Rata-rata skor kesukaan tiap sampel dapat diamati pada Gambar 15. 7
Rata-rata Skor Kesukaan
6 5 4
4.46
4.46 3.91 3.43
810 458 216
3
606 2 1 0
Gambar 15. Histogram rata-rata skor kesukaan atribut tekstur Skor kesukaan terhadap tekstur produk ini sudah cukup baik. Tekstur agak berserat yang diakibatkan tersisanya sedikit sekam karena proses penyosohan yang tidak sempurna tampaknya tidak terlalu menjadi masalah bagi panelis. Kesukaan bangsa Indonesia terhadap tekstur nasi sebenarnya berbedabeda meskipun umumnya menyukai yang memiliki tingkat kepulenan dan kekerasan sedang. Misalnya, penduduk Sumatera ada yang menyukai nasi yang
pera. Lain halnya dengan bangsa Jepang menyukai nasi yang sangat pulen dan lengket. Dari atribut overall, didapat nilai signifikansi sebesar 0,006 (Lampiran 10). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesukaan terhadap overall dan juga bahwa perlakuan mengakibatkan perbedaan terhadap atribut overall. Rata-rata skor kesukaan terhadap overall dapat dilihat pada Gambar 16. 7
Rata-rata Skor Kesukaan
6 5
4.71
4.66 4.11
3.97
4
810 458 216
3
606 2 1 0
Gambar 16. Histogram rata-rata skor kesukaan overall Dari uji Duncan dapat dilihat bahwa sampel 810 dan 458 berada pada subset yang sama. Dapat disimpulkan bahwa sampel 810 dan 458 berbeda dengan sampel 216 dan 606 pada taraf kepercayaan 0,05. Sampel 810 memiliki nilai rata-rata skor kesukaan paling baik, sesuai dengan hasil uji ranking. Nilai rata-rata skor kesukaannya adalah 4,71. Nilai ini cukup tinggi dan mendekati agak suka. Hal ini sangatlah baik mengingat bahwa produk ini adalah produk yang sama sekali baru. Panelis sepertinya cenderung membedakan atribut overall berdasarkan teksturnya, hal ini dapat diketahui dari hanya atribut teksturlah yang memiliki perbedaan nyata dalam tingkat kepercayaannya. Dari hasil uji ranking, di mana yang menduduki urutan pertama, dan dari uji hedonik atribut overall, yang memiliki rata-rata tingkat penerimaan paling tinggi, maka ditetapkan produk nasi sorghum yang paling optimum adalah nasi sorghum dengan formula volume air untuk pengaronan:berat sorghum 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit. Nasi sorghum dari formula ini memiliki
karakteristik pulen, tingkat kelembekan sedang, tidak terlalu lengket dan sudah matang seluruhnya. Sebenarnya ada pertimbangan lain dalam memilih produk yang terbaik, antara lain biaya dan efisiensi produksi tapi karena faktor-faktor lain tersebut tidak terlalu penting dalam proses pembuatan nasi sorghum ini maka faktor-faktor tersebut dapat diabaikan. Selain itu, produk ini merupakan pangan fungsional. Sesuai dengan syarat utamanya yaitu harus disukai dan diterima oleh masyarakat, maka kesukaan dan penerimaan masyarakat menjadi pertimbangan yang paling utama.
C. ANALISIS KIMIA Analisis kimia dilakukan terhadap produk yang dianggap paling optimum, yaitu produk nasi sorghum dengan formula A. Formula lain tidak perlu dilakukan analisis karena tidak akan dikaji sifat fungsionalnya. Bahan baku juga tidak perlu dilakukan proksimatnya karena yang akan dikaji sifat fungsionalnya adalah produk jadinya. Hasil analisis kimia produk A dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil analisis kimia nasi sorghum Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%) Kadar serat kasar (%) Total fenol (mg/g sampel) Kapasitas antioksidan (mg AEAC/g sampel)
Produk A 64,25 0,38 4,03 0,02 31,32 0,76 2,55 47,65
1. Kadar Air Prinsip dari analisis ini yaitu gravimetri. Air yang ada dalam bahan pangan diuapkan seluruhnya dengan panas dari oven bersuhu 100 oC. Berat air dapat diketahui dengan menghitung pengurangan berat sampel sebelum dan sesudah dioven.
Kandungan air produk ini terbilang tinggi, yaitu 64,25 %. Kadar air dari biji sorghum sendiri sangatlah kecil. Pertambahan air yang sangat besar ini diakibatkan oleh proses pengaronan dan pengukusan, dimana pada kedua proses tersebut terjadi gelatinisasi. Biji sorghum akan menyerap air ke dalam granula patinya sehingga kadar airnya menjadi cukup tinggi. Kadar air yang tinggi tidak baik untuk penyimpanan bahan pangan karena kadar air yang tinggi akan memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh.
2. Kadar Abu Prinsip dari penentuan kadar abu sama dengan penentuan kadar air, yang berbeda hanya suhu pemanasan yang digunakan. Senyawa organik pada bahan pangan disingkirkan agar tidak ada senyawa organik yang tersisa karena akan mempengaruhi validitas hasil analisis. Yang dimaksud abu disini adalah residu inorganik bahan pangan yang tersisa setelah oksidasi sempurna dari komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari nasi sorghum A sebesar 0,38 %.
3. Kadar Protein Pengukuran kadar protein biasanya dilakukan secara empiris. Prinsip dari pengukuran kadar protein adalah menentukan jumlah N yang ada dalam bahan pangan. Bahan pangan didestruksi untuk melepas N yang terkandung di dalamnya, lalu melalui titrasi, jumlah N yang terdapat pada sampel dapat dihitung. Perhitungan melalui metode ini tidaklah tepat karena nitrogen pada bahan pangan tidak hanya berasal dari protein saja. Kadar protein pada nasi sorghum A sebesar 4,03 %. Kadar protein ini lebih tinggi daripada nasi yang sebesar 2,1 % (Departemen Kesehatan, 1975). Kadar protein yang lebih tinggi ini merupakan keunggulan tersendiri bagi nasi sorghum. Keunggulan ini juga memperkuat alasan mengapa sorghum cocok untuk digunakan dalam program diversifikasi pangan Indonesia.
4. Kadar Lemak Analisis kadar lemak memanfaatkan kelarutan lemak pada pelarut organik, dalam analisis ini digunakan heksan untuk mengekstraksi lemak dari sampel. Kadar lemak pada nasi sorghum sebesar 0,02 %. Kadar lemak yang terlalu kecil ini disebabkan sebagian lemak sudah rusak pada saat penanakan. Kandungan lemak pada sorghum sebagian besar adalah asam oleat (30-45 %) dan asam linoleat (33-49 %). Asam oleat dan linoleat mudah rusak oleh panas karena ikatan rangkap yang dimilikinya. Selain itu, lemak pada biji sorghum sebagian besar terdapat pada lembaganya, di mana lembaga sudah terbuang pada proses penyosohan.
5. Kadar Karbohidrat Penghitungan kadar karbohidrat dilakukan by difference, artinya dengan mengurangkan 100 % dengan kadar air, abu, lemak, dan protein. Kadar karbohidrat nasi sorghum sebesar 31,32 %. Kadar karbohidrat perlu ditentukan karena karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia. Kadar karbohidrat juga diperlukan untuk analisis indeks glisemik selanjutnya.
6. Kadar Serat Kasar Serat adalah polisakarida dan lignin yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan manusia, tidak seperti pati (Bennink, 1998). Beberapa dari serat ini bisa mencapai usus besar dan menjadi media tumbuh untuk bakteri usus besar, atau sering juga disebut sebagai prebiotik. Serat juga bisa mencegah terjadinya konstipasi, terjadinya kanker kolon dan mempersingkat waktu transit bahan pangan. Serat diklaim dapat menurunkan kadar kolesterol darah sehingga menurunkan resiko terkena penyakit jantung (BeMiller dan Whistler, 1996). Metode penentuan serat kasar ini menghitung jumlah dari selulosa dan lignin di bahan pangan , tapi hemiselulosa, pektin dan hidrokoloid ikut terlarutkan dan tidak terdeteksi (Bennink, 1998). Kadar serat kasar dari nasi sorghum A adalah 0,76 %, artinya terdapat 0,76 g serat dalam 100 g
nasi sorghum. Tidak ada RDI untuk serat tapi para ahli menyarankan konsumsi serat antara 25-50 g/hari. Manusia kurang lebih mengkonsumsi kurang lebih 600 g nasi seharinya. Apabila jumlah yang sama untuk nasi sorghum dikonsumsi tiap harinya, maka kita sudah mengkonsumsi ± 4,6 g serat seharinya. Jumlah ini sudah mencukupi sekitar 18 % dari jumlah yang disarankan, dan cukup tinggi. Dapat disimpulkan nasi sorghum A merupakan sumber serat yang cukup baik meskipun belum dapat memenuhi syarat untuk diberikan klaim kesehatan.
7. Total Fenol Senyawa fenolik merupakan antioksidan alami yang banyak terdapat pada tanaman. Fenolik adalah senyawa yang mrngandung gugus kimia hidroksil (-OH) yang terikat pada suatu gugus hidrokarbon aromatik. Fenolik memegang peran yang penting sebagai antioksidan. Senyawa fenolik mampu mendonorkan atom hidrogen dari grup hidroksilnya ke senyawa radikal (Shahidi dan Naczk, 1995). Aktivitas antioksidan terjadi karena
senyawa
fenolik
memiliki
karakteristik
redoks
yang
memungkinkan senyawa tersebut berperan sebagai pereduksi, pendonor hidrogen, pengkelat metal dan singlet oxygen quencher. Antioksidan fenolik menghambat peroksidasi lipid dengan donasi atom hidrogen secara cepat kepada radikal peroksil (ROO-) menghasilkan alkil peroksida (ROOH). Meskipun demikian,
pada beberapa kondisi seperti adanya
fenolik antioksidan konsentrasi tinggi, pH tinggi dan adanya ion besi, antioksidan fenolik justru dapat menginisiasi proses autooksidasi dan lebih bersifat sebagai prooksidan daripada antioksidan (Fuhrman dan Aviram, 2002). Senyawa fenolik yang dominan pada sorghum adalah tanin. Hasil analisis menunjukkan total fenol pada nasi sorghum A sebesar 2,55 mg/g sampel (Lampiran 14). Sebagai bandingan, kadar tanin pada teh yang sudah diseduh sebesar 10 mg/ 100 ml teh atau 0,1 mg/ml teh. Jumlah fenol pada nasi sorghum jauh lebih besar daripada teh.
Komponen fenolik dapat menurunkan kandungan LDL dan menurunkan resiko terjadinyan oksidasi. Konsumsi bahan pangan yang banyak mengandung komponen fenolik dapat menurunkan resiko terjadinya penyakit jantung karena komponen fenolik dapat menurunkan proses pembentukan atherosclerosis dengan berperan sebagai antioksidan terhadap LDL (Landbo dan Meyer, 2001). Meskipun begitu, aktivitas antioksidan tidak hanya ditentukan dari jumlah kandungan total fenol bahan pangan saja, tapi juga dari struktur kimia komponen fenolik yang terkandung tersebut. Struktur kimia akan mempengaruhi karakteristik komponen
fenolik
tersebut
untuk
berperan
sebagai
antioksidan.
Pengukuran kapasitas antioksidan juga perlu dilakukan.
8. Kapasitas Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat menunda atau menghambat oksidasi lipid atau molekul lainnya dengan menghambat tahap inisiasi atau propagasi dari rantai reaksi oksidasi. Antioksidan alami banyak terdapat pada bahan pangan, contohnya komponen fenolik. Salah satu cara untuk mengukur kapasitas antiosidan adalah dengan metode radical scavenging. Metode ini umum digunakan karena antioksidan dalam bahan pangan umumnya bekerja dengan cara ini. Metode yang umum digunakan adalah metode DPPH. Kapasitas antioksidan sendiri didefinisikan sebagai kemampuan senyawa untuk mengurangi jumlah prooksidan (Anonim i, 2005). Satuan yang digunakan untuk mengukur kapasitas antioksidan ini adalah AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Selain AEAC, biasa juga digunakan satuan TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity). Kapasitas antioksidan dari nasi sorghum sebesar 47,65 mg AEAC/g sampel. Jumlah ini cukuplah besar mengingat RDA Vitamin C yang kurang lebih 60 mg per harinya. Nasi sorghum bisa menjadi sumber antioksidan yang potensial.
D. INDEKS GLISEMIK Efek glisemik dari suatu bahan pangan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat dan tinggi kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi bahan pangan tertentu. Efek glisemik juga menggambarkan kecepatan respon tubuh manusia untuk mengembalikan kadar gula darah menjadi normal (Whitney et. al., 1990). Kadar gula darah normal manusia berkisar antara 70-110 mg/dl (Wardlaw, 1999). Beras merupakan bahan pangan yang dikenal memiliki indeks glisemik sedang sampai tinggi. Kisaran indeks glisemik beras menurut Miller et. al. (1992) yaitu antara 66-93. Nilai yang beragam tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, tapi faktor yang paling berperan adalah kadar amilosa dari beras. Beras dengan kadar amilosa rendah dan amilopektin tinggi cenderung memiliki indeks glisemik tinggi karena amilopektin lebih mudah dicerna oleh tubuh dan juga lebih cepat diserap oleh tubuh. Faktor lainnya yang berperan dalam menentukan nilai IG dari bahan pangan adalah cara pengolahan pangan, ukuran partikel pangan, tingkat gelatinisasi pati, kadar gula dan gaya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan dan kadar antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Metode pengukuran indeks glisemik pada penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan panelis manusia. Hal ini dilakukan karena manusia merupakan organisme yang sangat rumit metabolismenya sehingga tidak mungkin untuk membuat model in vitro yang sesempurna tubuh manusia. Panelis yang digunakan adalah 10 orang, dengan 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Panelis yang digunakan harus memiliki BMI normal (antara 18,5-24,9). Data ini dapat dilihat pada Tabel 9. Sampel nasi sorghum A yang diberikan kepada panelis setara dengan 50 g karbohidrat, yaitu sebanyak ± 164 g. Sampel yang dikonsumsi harus setara dengan 50 g karbohidrat, kalau tidak akan mengakibatkan kesalahan dalam analisis. Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh darah kapiler di ujung jari. Penelitian Ragnhild et .al. (2004), mengatakan bahwa darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar gula darah antar panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena. Alat yang
digunakan untuk mengukur kadar gula darah tersebut dinamakan glucometer. Pengambilan darah dilakukan tiap selang waktu 30 menit, tapi apabila diinginkan hasil yang lebih teliti maka selang waktu bisa dipersempit. Tabel 9. Data klinis panelis indeks glisemik Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tinggi (m) Berat (kg) 1,75 1,67 1,66 1,55 1,58 1,62 1,57 1,58 1,67 1,71
71 54 51 57 49 58 51 48 56 55
BMI 23,18 19,36 18,51 23,73 19,63 22,10 20,82 19,23 20,08 18,81
Perhitungan indeks glisemik dilakukan dengan membandingkan luasan kurva kadar gula darah terhadap waktu sampel dengan standar yaitu glukosa. Glukosa digunakan sebagai standar karena glukosa adalah karbohidrat yang diserap oleh tubuh. Jumlah glukosa yang harus dikonsumsi yaitu 50 g, angka ini dipilih karena jumlah ini dianggap cukup untuk menimbulkan pengaruh pada kadar gula darah yang bisa diamati. Kurva standar dan sampel dibuat pada hari yang berbeda. Panelis dipuasakan terlebih dahulu sebelum diambil darahnya bertujuan untuk membiarkan kadar gula darah normal kembali sehingga pada saat menganalisis tidak ada pengaruh dari karbohidrat lainnya. Untuk perhitungan, kadar gula darah panelis untuk tiap selang waktu diratarata terlebih dahulu dan dapat dilihat pada Tabel 10. Setelah itu, dihitung kenaikan kadar gula darah tiap selang waktu 30 menit (Tabel 11) baru kemudian dibuat kurvanya (Gambar 17).
Tabel 10. Respon kadar gula darah panelis (mg/dl) Sampel Glukosa Nasi sorghum A
0 75,5 78,5
Menit ke60 127,8 96,7
30 148,7 120,3
90 106,3 84,3
120 81,3 78,5
Tabel 11. Kenaikan gula darah panelis setelah mengkonsumsi standar dan sampel Sampel
Kadar gula darah (mg/dl)
Glukosa Nasi sorghum A
30 73,2 41,8
Menit ke60 90 52,3 30,8 18,2 5,8
120 5,8 0
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Standar Sampel
0'
30'
60'
90'
120'
Waktu (menit)
Gambar 17. Grafik kenaikan kadar gula darah panelis Dari hasil perhitungan cara ini diperoleh nilai indeks glisemik nasi sorghum A sebesar 41. Maka, nasi sorghum A dapat digolongkan sebagai makanan ber-indeks glisemik rendah (<55). Bila nilai IG perorangan dihitung dahulu kemudian dirata-rata didapat IG nasi sorghum sebesar 45. Nilai indeks glisemik berbagai bahan pangan sumber karbohidrat lainnya dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai indeks glisemik berbagai jenis bahan pangan dengan glukosa sebagai standar Bahan Pangan
Indeks Glisemik
Nasi sorghum*
41
Beras
80
Beras Basmati
58
Singkong
78
Sukun
90
Pisang
92
Kimpul
95
Gembili
90
Ubi jalar
179
Ganyong
95
Sumber: Anonim j (2006). * Hasil Penelitian Bisa dilihat bahwa beras memiliki IG yang tergolong tinggi (80), begitu juga dengan singkong (78), dan beberapa umbi-umbian sumber karbohidrat lainnya. IG nasi sorghum jauh lebih rendah daripada bahan-bahan pangan tersebut. IG nasi sorghum bahkan lebih rendah dari beras Basmati yang selama ini dikenal sebagai beras untuk penderita diabetes. Sebenarnya, kebanyakan sayur, buah dan kacang-kacangan, terutama kedelai, memiliki indeks glisemik yang lebih rendah daripada sorghum. Sayur dan buah cenderung memiliki IG yang rendah karena sebagian besar karbohidrat yang terkandung di dalamnya berupa serat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan kita. Kedelai memiliki IG rendah karena mengandung fitat didalamnya yang merupakan komponen antinutrisi. Meskipun IG dari bahan pangan tersebut rendah, tapi mereka tidak bisa menggantikan nasi sebagai sumber energi karena kandungan kalorinya yang rendah. Nilai IG yang rendah disebabkan karena kemampuan tanin untuk berikatan dengan protein dan polisakarida (von Elbe dan Schwartz, 1996). Tanin akan membentuk kompleks dengan enzim amilase (protein) yang akan
mengakibatkan
turunnya
aktifitas
dari
amilase.
Hal
tersebut
akan
mengakibatkan turunnya kemampuan tubuh untuk memecah karbohidrat, sehingga tidak mengakibatkan kenaikan gula darah yang tinggi dalam waktu singkat. Semakin banyak tanin, maka akan semakin banyak pula enzim amilase yang terkompleks sehingga akan makin menurunkan kemampuan tubuh untuk mencerna karbohidrat. Selain itu, tanin juga dapat berikatan dengan karbohidrat yang mengakibatkan karbohidrat menjadi lebih sulit untuk dipecah tubuh. Sayangnya, tidak hanya enzim amilase yang diikat oleh tanin, tapi juga enzim pencernaan lainnya dan protein yang kita konsumsi. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut efek samping dari konsumsi produk ini. Karena nasi sorghum tergolong memiliki IG rendah, maka nasi sorghum baik dikonsumsi penderita diabetes. Nasi sorghum tidak akan menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang tinggi dalam waktu singkat, yang tidak baik bagi penderita diabetes, karena mereka kekurangan/tidak memiliki enzim untuk menurunkan kadar gula darah tubuh ke tingkat normalnya. Bahan pangan dengan IG rendah dapat memperbaiki pengendalian metabolik pada penderita diabetes tipe II dewasa. Selain itu, studi pemberian jangka menengah pangan dengan IG rendah pada penderita diabetes menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah berhubungan dengan peningkatan pengendalian gula darah (Miller, et. al., 1991). Oleh karena itu, penderita diabetes disarankan untuk mengkonsumsi bahan pangan ber-IG rendah. Bahan pangan ber-IG rendah juga baik untuk para non-diabetes karena jika mereka mengkonsumsi bahan pangan IG tinggi, yang akan meningkatkan kadar gula darah tinggi dalam waktu singkat, akan meningkatkan beban kerja pankreas untuk menghasilkan insulin dalam jumlah banyak. Lama kelamaan, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sejumlah yang diperlukan, sehingga akan mengakibatkan diabetes tipe II. Konsumsi bahan pangan ber-IG rendah akan membantu mencegah terjadinya hal ini. Untuk lebih lanjutnya, mungkin bisa diajukan klaim nasi sorghum sebagai bahan pangan ber-indeks glisemik rendah, membantu mengatasi dan mencegah penyakit diabetes melitus.
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan Metode pembuatan nasi sorghum dilakukan dengan metode aron kukus. Titik kritis untuk proses ini adalah volume air untuk mengaron dan waktu pengukusan. Volume air untuk mengaron yang digunakan adalah 1:2; 1:3; 2:3; 2:5; dalam perbandingan terhadap berat biji sorghum. Waktu pengukusan yang dilakukan yaitu selama 20, 30 dan 40 menit. Suhu yang digunakan adalah 100 o
C, yaitu pada saat air mendidih. Setelah di-screening, empat formula yang
akan dilakukan uji organoleptiknya adalah volume air untuk mengaron 1:2 dengan waktu pengukusan 30 dan 40 menit, dan volume air untuk mengaron 2:5 dengan waktu pengukusan 20 dan 30 menit. Dari uji organoleptik, didapat formula yang paling optimum dan disukai panelis yaitu formula dengan volume air untuk mengaron 2:5 dan waktu pengukusan 20 menit. Dari hasil analisis proksimat didapat kadar air dari nasi sorghum sebesar 64,25 %, kadar abu sebesar 0,38 %, kadar protein 4,03 %, kadar lemak 0,02 %, kadar karbohidrat sebesar 31,32 %, kadar serat kasar sebesar 0,76 %, total fenol sebesar 2,55 mg/g sampel dan kapasitas antioksidan sebesar 47,65 mg AEAC/g sampel. Indeks glisemik dari nasi sorghum tersebut yaitu 41 dan digolongkan rendah. Dengan demikian, nasi sorghum ini baik dikonsumsi oleh penderita penyakit diabetes melitus.
B. Saran Penelitian ini masih belum sempurna dan masih perlu dikembangkan lagi. Perlu diadakan penelitian lanjutan dalam: 1. Mencari metode penanakan sorghum yang lebih baik lagi daripada metode aron kukus. 2. Mencari metode penyosohan sorghum yang lebih optimal, dimana penyosohan dapat berlangsung lebih cepat, sedikit menghasilkan sorghum patah, dan lebih banyak menyisakan lapisan tanin pada sorghum.
3. Analisis pasar lebih lanjut untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk ini, karena uji penerimaan oleh 35 orang panelis tidaklah mencukupi. 4. Efek sampingan dari konsumsi produk ini, baik yang buruk ataupun sifat fungsional lainnya. 5. Seberapa jauh manfaat produk ini bagi para penderita diabetes.
DAFTAR PUSTAKA Anonim a. 2006. Menkominfo: Impor Beras Bukan Masalah Politik. http://www.depkominfo.go.id. [24 September 2006]. Anonim b. 2006. Harvested Area, Yield Rate and Production of Paddy in Indonesia. http://www.bps.go.id. [24 September 2006]. Anonim c. 2006. Rice Nutrition Facts. http://www.pechsiam.com/. [8 Mei 2006]. Anonim d. 2006. Sorghum. http://cropwatch.unl.edu. [30 Agustus 2006]. Anonim e. 2006. CHAPTER VII SORGHUM: Post-harvest Operations. http://www.fao.org. [30 Agustus 2006]. Anonim f. 2006. Biology of Exercise. http://biology.kenyon.edu. [11 Agustus 2006]. Anonim g. 2006. Molecular Soil Organic http://staff.science.uva.nl. [11 Agustus 2006].
Matter
Transformations.
Anonim h. 2006 Animal Structure and Function. http://fig.cox.miami.edu. [11 Agustus 2006]. Anonim i. 2005. Antioxidants: Finding the http://nutraceuticalsworld.com. [14 November 2005].
Right
Balance.
Anonim j. 2003. Indeks Glisemik Kacang Buncis (Phaseolus vulgaris) dan Kacang Panjang (Vigna sesquipedalis) Serta Uji Efek Hipoglisemiknya Pada Tikus Sprague Dawley. http://72.14.203.104. [30 Agustus 2006]. AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Agricultural Chemists. AOAC, Inc., Washington. BeMiller, J.N. dan R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema, O. R. (Ed.). Food Chemistry, 3rd Ed. Marcel Dekker Inc., New York. Bennink, M. R. 1998. Fiber Analysis. Di dalam: Nielsen, S. S. (Ed.). Food Analysis, Second Edition. Aspen Publishers, Inc., Massachussetts. Brand-Miller, J. C. 2000. Carbohydrates. Di dalam: Mann, J. dan A. S. Truswell (Eds.) Essentials of Human Nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press, Oxford. Collison. 1968. Starch and Its Derivatives. Chapman and Hall, Ltd., London. Damardjati, D. S. 1981. Struktur dan Komposisi Beras. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kesehatan. 1975. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan Repubilk Indonesia, Jakarta. El, S. N. 1999. Determination of Glycemic Index for Some Breads. Journal of Food Chemistry. 67: 67-69. Foster-Powell, K., S. H. A. Holt dan J. C. Brand-Miller. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values. Am. J. Clin. Nutr. 75: 556. Fuhrman, B. dan M. Aviram. 2002. Polyphenols and Flavonoid Protects LDL against Atherogenic Modifications. Di dalam: E. Cadenas dan L. Packer (Eds.). Handbook of Antioxidants, 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York. Greenwood, C. T. dan D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: Muchtadi, T. R., P. Hariyadi dan A. B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hodge, J. E. dan E. M. Osman. 1976. Carbohydrates. Di dalam: Muchtadi, T. R., P. Hariyadi dan A. B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology,2nd ed. American Association of Cereal Chemists, Inc., St. Paul, Minnesota. Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. _________. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan Nasi. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Landbo, A. K. dan A. S. Meyer. 2001. Ascorbic acid improves the antioxidant capacity of european grape juice to inhibit lipid peroxidation of human ldl in vitro. International Journal of Food Science and Technology, 36th Ed., pp 727-736. McCready, R.M. 1970. Starch and Dextrin. Di dalam: Muchtadi T.R., P. Hariyadi dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Meilgaard, M., G.V. Civille dan B.T . Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3 rd Ed. CRC Press, Florida. Meyer, C.H. 1982. Food Chemistry. Reinhold Publishing Company, New York.
Miller, J. B., Colagiuri S., Crossman S., Allen A., Roberts D. C. Dan Truswell A. S. 1991. Low-Glycemic Index Foods Improve Long-Term Glycemic Control in NIDDM. Diabetes Care, Vol. 14:95-101. Miller, J. B., E. Pang dan L. Bramall. 1992. Rice: High or Low Glycemic Index Food? Am. J.Clin. Nutr. 56: 1034-1036. Mudjisihono, R. dan H. S. Suprapto. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorghum. Penebar Swadaya, Jakarta. Mulyana. 1988. Pengaruh Varietas Beras, Perlakuan Kimia dan Suhu Pengeringan pada Pembuatan Bubur Nasi Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Osman, E. M. 1972. Starch and Other Polysaccharides. Di dalam: P. C. Paul dan H. H. Palmer (Eds.). Food Theory and Application. John Willey and Sons. New York. Platt, B. S. 1962. Tables of representative values of foods commonly used in tropical countries. Di dalam: Hulse, J. H., E. M. Laing dan O. E. Pearson.1980. Sorghum and the Millets: Their Composition and Nutritive Values. Academic Press, New York. Purwanegara, T. 1983. Desain dan Studi Teknis Prototype Alat Penyosoh Sorghum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Ragnhild, A. L., N. L. Asp., Axelsen, M. dan A. Raben. 2004. Glycemic Index: Relevance for Health, Dietary Recommendations and Nutritional Labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2): 84-94. Rimbawan, A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya, Jakarta. Rooney, L. W., M. N. Kan dan C. F. Earp. 1980. The Technologycal of Sorghum Products. Cereal Quality Laboratorium, Texas. Sardesai, V. M. 2003. Introduction to Clinical Nutrition 2nd Ed. Marcel, Dekker, Inc., New York. Sediaoetama, A.D. 1989. Ilmu Gizi. Dian Rakyat, Jakarta. Shahidi, F. dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Pub.Co. Inc., Lancaster-Basel. Shelton, D. R. dan W. J. Lee. 1999. Cereal Carbohydrates. Di dalam: Kulp, K. Dan J. G. Ponte (Eds.). Handbook of Cereal Science and Technology, 2nd Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York, Basel.
Slamet, D. S., M. Enoch, J. Krisdinamurtirin, M. K. Mahmud dan I. Tartwodjo. 1971. Kadar Zat Gizi Beras dan Nasi Lima Varietas Padi Unggul. Di dalam: N. Barina. Penambahan sumber amilopektin dan modifikasi pati terhadap peningkatan mutu organoleptik nasi dan beras. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Soekarto, S.T. 1990. Penilaian Organoleptik. Angkasa Bathara Karya. Jakarta. Utomo, W. 1999. Perbandingan Mutu Tanak Beras dan Ketan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Von Elbe, J. H. dan Steven J. Shwartz. 1996. Colorants. Di dalam: Fennema, O. R. (Ed.). Food Chemistry, 3rd Ed. Marcel Dekker Inc., New York. Wardlaw,G. M. 1999. Perspective in Nutrition. McGraw Hill, Boston. Whitney, E. N., Hamilton , E. M. N. dan S. R. Rolfes. 1990. Understanding Nutrition, 5th ed. West Publishing, New York. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. Ph.D Disertation. University of Wisconsin, Madison.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir kuesioner uji hedonik
FORM UJI HEDONIK Nama Panelis Telp
: :
Tanggal : 27 Juni 2006 Sampel : Nasi Sorghum
Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu persatu dari kiri ke kanan dengan menggunakan sendok yang disediakan 2. Setiap anda selesai mencicipi berikan penilaian anda berdasarkan tingkat kesukaan pada tempat yang disediakan dengan memberikan check list (√) 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan Warna Respon
Kode sampel
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Rasa Respon
Kode sampel
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Tekstur Respon Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Kode sampel
Overall Respon
Kode sampel
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Komentar : ______________________________________________________________ ______________________________________________________________ ______________________________________________________________
Lampiran 2. Formulir kuesioner uji ranking FORM UJI RANKING Nama Panelis Telp
: :
Tanggal : 27 Juni 2006 Sampel : Nasi Sorghum
Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu persatu dari kiri ke kanan dengan menggunakan sendok yang disediakan 2. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel 3. Urutkan tingkat kesukaan anda terhadap sampel dengan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel 4. Tuliskan tingkat kesukaan anda pada sampel, dengan 1 untuk sampel yang paling disukai hingga 4 untuk sampel yang paling tidak disukai, pada tempat yang telah disediakan 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan
Kode Sampel
Rank
Komentar : ______________________________________________________________ ______________________________________________________________ ______________________________________________________________
Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik atribut warna Sampel Panelis 810 458 216 606 4 2 3 4 3 5 4 4 2 3 3 4 2 4 4 6 5 3 5 4 5 4 5 6 4 3 4 6 4 5 5 4 6 5 4
4 2 3 5 6 4 3 5 2 3 5 4 2 4 4 6 6 3 4 4 5 5 4 6 5 5 4 4 3 4 5 4 6 5 4
4 2 3 4 5 4 4 5 2 3 4 4 2 5 5 5 5 3 3 4 2 4 5 5 5 4 4 5 3 5 4 4 6 6 4
4 2 3 4 4 2 3 4 2 3 3 4 1 4 5 5 5 4 4 4 3 3 5 5 5 5 4 5 3 4 5 4 6 6 4
Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA atribut warna
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model SAMPEL PANELIS Error Total
Type III Sum of Squares 2461.043a 1.793 130.386 39.957 2501.000
df 38 3 34 102 140
Mean Square 64.764 .598 3.835 .392
a. R Squared = .984 (Adjusted R Squared = .978)
Post Hoc Tests SKOR Duncan
a,b
SAMPEL 606 216 810 458 Sig.
N 35 35 35 35
Subset 1 3.91 4.06 4.11 4.23 .056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .392. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. b. Alpha = .05.
F 165.326 1.526 9.789
Sig. .000 .212 .000
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik atribut rasa Sampel Panelis 810 458 216 606 2 4 4 5 2 4 4 3 6 5 5 4 5 4 2 6 6 3 5 6 5 4 4 5 4 5 6 5 5 4 4 6 5 3 4
3 4 4 4 5 4 4 6 6 2 5 4 6 4 2 6 6 4 5 5 4 4 4 6 5 4 6 3 2 4 4 6 5 3 4
4 4 4 5 3 4 4 4 6 2 3 4 5 3 3 5 5 2 3 6 4 4 4 5 5 3 6 3 3 5 4 6 4 5 4
4 4 4 5 4 2 4 5 6 2 5 4 2 4 6 4 5 3 2 5 3 4 5 4 5 4 6 2 4 4 3 6 5 4 4
Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA atribut rasa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model SAMPEL PANELIS Error Total
Type III Sum of Squares 2635.586a 6.086 109.243 66.414 2702.000
df 38 3 34 102 140
Mean Square 69.358 2.029 3.213 .651
a. R Squared = .975 (Adjusted R Squared = .966)
Post Hoc Tests SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL 606 216 458 810 Sig.
N
1 35 35 35 35
2 4.00 4.09 4.37 .071
4.37 4.51 .461
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .651. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. b. Alpha = .05.
F 106.520 3.116 4.935
Sig. .000 .029 .000
Lampiran 7. Rekapitulasi data uji hedonik atribut tekstur Sampel Panelis 810 458 216 606 5 3 6 6 3 3 4 2 6 6 6 3 1 5 2 6 5 5 2 6 5 5 5 5 4 6 5 5 5 5 5 5 3 3 5
4 6 5 4 6 3 4 6 6 3 5 4 6 4 5 6 7 5 5 6 4 4 3 3 4 6 3 3 3 3 4 5 3 3 5
3 5 2 4 5 5 3 3 3 3 3 4 1 3 5 3 5 2 3 6 3 3 3 3 4 5 3 6 2 2 3 2 1 4 5
2 3 3 5 4 2 3 6 3 3 6 3 2 5 2 5 5 3 2 5 3 4 6 3 4 5 4 6 5 5 5 3 3 3 6
Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA atribut tekstur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 2424.986a 86.671 25.736 148.014 2573.000
df 38 34 3 102 140
Mean Square 63.815 2.549 8.579 1.451
a. R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .921)
Post Hoc Tests SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL 216 606 458 810 Sig.
N
1 35 35 35 35
2 3.43 3.91
.095
3.91 4.46 4.46 .077
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.451. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. b. Alpha = .05.
F 43.977 1.757 5.912
Sig. .000 .016 .001
Lampiran 9. Rekapitulasi data uji hedonik atribut overall Sampel Panelis 810 458 216 606 5 5 3 6 3 5 5 3 6 5 5 4 6 5 3 6 6 6 3 5 2 6 4 6 4 3 5 5 5 5 5 6 5 4 5
4 5 5 5 6 4 6 5 6 2 5 5 6 4 6 6 7 5 6 4 4 6 3 5 5 3 3 4 2 4 3 5 5 4 5
3 2 4 5 5 4 3 3 5 2 3 4 3 3 3 5 5 5 3 4 5 6 5 3 5 5 3 5 4 5 4 2 3 5 5
2 3 4 6 4 2 3 4 5 2 6 4 3 4 2 5 5 4 3 3 2 5 6 4 5 5 4 5 5 4 4 5 5 5 6
Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA atribut overall Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 2751.629a 70.171 14.879 115.371 2867.000
df 38 34 3 102 140
Mean Square 72.411 2.064 4.960 1.131
a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)
Post Hoc Tests SKOR Duncan
a,b
Subset SAMPEL 216 606 458 810 Sig.
N
1 35 35 35 35
2 3.97 4.11
.575
4.66 4.71 .823
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.131. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. b. Alpha = .05.
F 64.019 1.825 4.385
Sig. .000 .011 .006
Lampiran 11. Rekapitulasi data uji ranking Sampel Panelis 810 458 216 606 4 1 1 1 4 1 1 3 2 1 3 3 2 1 4 1 2 3 3 1 1 1 1 1 2 1 3 1 1 2 1 1 2 4 4
1 2 2 4 1 3 2 1 1 3 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 3 3 4 2 4 4 4 4 4 1 4 2 1 3 2
2 3 4 3 2 2 3 4 3 4 4 2 3 4 2 4 4 4 2 3 2 2 3 4 3 3 1 2 3 3 3 4 4 1 3
3 4 3 2 3 4 4 2 4 2 1 4 4 3 3 3 3 2 4 4 4 4 2 3 1 2 2 3 2 4 2 3 3 2 1
Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Lampiran 12. Hasil Friedman’s Test uji ranking Ranks
SKOR_810
Mean Rank 1.94
SKOR_458
2.26
SKOR_216
2.94
SKOR_606
2.86
Test Statistics N 35 Chi-Square 14.554 3 df Asymp. Sig. .002 a Friedman Test
Lampiran 13. Hasil analisis kimia nasi sorghum Parameter Kadar air (% wb) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%) Kadar serat kasar (%)
Ulangan 1
2
63.2198 0.3819 3.7034 0.0187 32.6862 0.7749
65.2745 0.386 4.3621 0.0207 29.9567 0.7426
Rata-rata 64.24715 0.38395 4.03275 0.0197 31.32145 0.75875
Lampiran 14. Hasil analisis total fenol Kurva Standar [Asam tanat] (ppm) 0 5 10 15 20 25
Abs 0.065 0.197 0.350 0.468 0.630 0.728
Kurva Standar Asam Tanat 0.800
Absorbansi
0.700 0.600 Kurva Standar
0.500 0.400
Regresi Kurva Standar
0.300 0.200 0.100 0.000 0 ppm
5 ppm 10 ppm 15 ppm 20 ppm 25 ppm [asam tanat] (ppm)
Persamaan regresi: y = 0,02704 x + 0,06833 Sampel Ulangan
Abs
1-1 1-2 2-1 2-2
0.249 0.260 0.266 0.271
Lampiran 15. Hasil analisis kapasitas antioksidan Kurva Standar [Asam askorbat] (mM) 0 0.5 1 1.5 2 2.5
Abs 0.429 0.362 0.277 0.224 0.176 0.141
Abs blanko - abs standar 0.000 0.067 0.152 0.205 0.253 0.288
Kurva standar asam askorbat 0.350 0.300
Abs
0.250 0.200
Kurva standar
0.150
Regresi kurva standar
0.100 0.050 0.000 0
0.5
1
1.5
2
2.5
[asam askorbat] (mM)
Persamaan regresi: y = 0,1172 x + 0,01433 Sampel Ulangan 1-1 1-2 2-1 2-2
Abs 0.332 0.322 0.324 0.326
Abs blanko - abs sampel 0.097 0.107 0.105 0.103
Lampiran 16. Formulir uji indeks glisemik FORM UJI INDEKS GLISEMIK Nama HP Berat Badan Tinggi Badan
: : : :
Tanggal : 26 Juli 2006 No. : Sampel : Glukosa Teknis
Waktu (Menit)
Kadar Gula Darah
0 30 60 90 120 Komentar: _________________________________________________________ _________________________________________________________ _________________________________________________________ FORM UJI INDEKS GLISEMIK Nama HP Berat Badan Tinggi Badan
: : : :
Tanggal : 27 Juli 2006 No. : Sampel : Nasi Sorghum
Waktu (Menit)
Kadar Gula Darah
0 30 60 90 120 Komentar: _________________________________________________________ _________________________________________________________ _________________________________________________________
Lampiran 17. Rekapitulasi data hasil uji indeks glisemik
Kadar Gula Darah (mg/dl) Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Glukosa 0' 86 71 77 75 66 75 86 73 71 75
30' 138 129 154 145 123 98 194 159 151 196
60' 107 91 147 138 122 95 176 112 143 147
IG
Nasi Sorghum 90' 120' 112 86 84 95 102 83 119 91 111 66 89 59 130 84 93 71 111 79 112 99
0' 79 84 79 75 74 74 89 78 73 80
30' 101 104 128 145 125 98 140 116 131 115
60' 73 77 113 95 83 83 111 110 125 97
90' 83 76 87 79 72 74 89 90 112 81
120' 86 81 78 76 77 76 83 75 78 75
X X
= 45
SD = 16,9
29 34 52 51 38 59 32 56 77 23 45