MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI
SKRIPSI
ANNISA VANIA F24061582
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
QUALITY AND POTENCY OF STEAMED BROWNIES AS FUNCTIONAL FOOD BY SUBSTITUTION OF MODIFIED BANANA FLOUR Annisa Vania and Betty Sri Laksmi Jenie Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT Banana (Musa Paradisiaca) is a good source of starch to modified into type III resistant starch (RS). One of the banana plantain types is uli variety which is found abundant in Bogor. The RS content in banana could be increased by starch modification. Modified banana flour (MBF) was prepared by spontaneous fermentation and autoclaving-cooling. The objectives of this study were to prepared steamed brownies using MBF and to determined the effect of modified banana flour (MBF) substitution in steamed brownies making toward product quality (organoleptic characteristics, physical, chemical, and value biological) and its potential as a functional food. Combination process of spontaneous fermentation and autoclaving-cooling could increased banana flour level of RS from 6.17% up to 9.19%, higher than autoclaving-cooling process (7.02%). MBF was contained high level of fiber up to 18.38%. High content of RS and dietary fiber were caused low starch digestibility of MBF (58.96%). MBF had a high RS III retention of steaming up to 70.71%. Therefore, MBF was still suitable to use as functional food ingredient. In this study, the MBF was applied to substitute the wheat flour in steamed brownies making. The steamed brownies was prepared using several substitution of MBF i.e. 70%, 80%, 90%, 100% from total weight of flour. To obtain the best substitution of MBF, the sensory properties of steamed brownies were evaluated by the panelist using hedonic and ranking test. Objective test was also conducted to analyze steamed brownies color and texture. The result showed that steamed brownies made of 70% MBF substitution was the most preferred product and contained higher RS (1.51%), dietary fiber (10.08%) and lower starch digestibility (45.96%) than product without MBF substitution. Therefore, this steamed brownies had a potential as functional food. Steamed brownies made of 70% MBF substitution could be claimed as a good source of fiber because it was contained 3.79 grams fiber/serving. Steamed brownies made of 70% MBF substitution consumption per serving was meet the needs of 15.16% dietary fiber per day based oan 2000 calories. In addition, this steamed brownies had a potential to reduce heart disease risk because it was contained 2.14 grams of SDF/serving. Keywords: Modified Banana Flour, Resistant Starch, Steamed Brownies, Dietary Fiber
Annisa Vania. F24061582. Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. 2010
RINGKASAN
Pati buah pisang dapat dimodifikasi melalui proses fermentasi dilanjutkan dengan pemanasan dalam otoklaf dan pendinginan untuk menghasilkan tepung pisang modifikasi (TPM) kaya pati resisten. Dalam rangka pengembangan pangan fungsional, TPM ini akan diolah menjadi produk browinies kukus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi TPM terhadap mutu produk (sifat organoleptik, fisik, kimia, dan nilai biologis) dan potensinya sebagai pangan fungsional. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses fermentasi, otoklaf, dan pendinginan terhadap kadar RS tepung pisang dan potensi tepung pisang modifikasi (TPM) sebagai sumber prebiotik. Tahap selanjutnya adalah pembuatan brownies kukus TPM. Tahap ini bertujuan untuk menentukan formula terbaik hasil evaluasi sensori dan potensi formula terbaik brownies kukus TPM ini sebagai pangan fungsional. Dari kedua tahap ini dapat diketahui retensi RS III pada TPM dan adonan brownies kukus TPM setelah proses pengukusan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa proses pemanasan otoklaf maupun kombinasi antara proses pemanasan otoklaf dan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli secara signifikan (p<0.05). Pemanasan otoklaf dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli dari 6.17% bk menjadi 7.02% dan pemanasan otoklaf yang dikombinasikan dengan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli lebih tinggi lagi yaitu menjadi 9.19 % bk. Tepung pisang modifikasi (TPM) memiliki kadar RS dan serat pangan masing-masing sebesar 9.19% bk dan 18.38% bk. Tingginya kadar RS dan serat pangan ini menyebabkan TPM memiliki daya cerna yang rendah yaitu 58.96% bk. TPM memiliki retensi RS III terhadap pengukusan yang cukup tinggi yaitu 70.71%. Dengan demikian TPM cocok untuk diolah sebagai pangan fungsional Substitusi tepung terigu oleh TPM dapat dilakukan dengan baik mulai dari 70%, 80%, 90%, dan 100%. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap empat formula brownies kukus diperoleh 70% substitusi dengan nilai total pembobotan rata-rata dan nilai mutu overall tertinggi yaitu 41.05 dan 4.33 sebagai formula terbaik. Disamping itu, formula ini pun merupakan formula yang paling disukai dengan ranking kesukaan rata-rata yaitu 1.8. Formula terbaik brownies kukus TPM ini memiliki karakteristik warna dengan nilai °h (hue angle) sebesar 64.24° (kuning-merah) dan tekstur dengan nilai elastisitas rata- rata 61.29%. Formula terbaik brownies kukus TPM 70% memiliki kadar RS sebesar 1.51% bk yang berarti proses pengukusan dapat menurunkan RS III pada adonan brownies sebesar 0.56 g/100 g bk TPM atau sebanyak 27.05%. Retensi RS III pada adonan brownies kukus TPM setelah proses pengukusan sebesar 71.95%. Brownies kukus TPM memiliki kadar serat yang tinggi yaitu 10.08% bk. Kandungan RS III dan serat pangan yang tinggi menyebabkan brownies memiliki daya cerna pati yang rendah yaitu 45.96 gram/100 gram bk. Oleh karena itu, brownies kukus memiliki potensi sebagai pangan fungsional. Brownies kukus TPM dapat diklaim sebagai sumber serat yang baik (good source of fiber) karena mengandung 3.79 gram serat/ saji. Konsumsi brownies kukus TPM per saji dapat memenuhi 15.16% kebutuhan serat setiap hari berdasarkan diet 2000 kalori. Selain itu, brownies kukus TPM berpotensi untuk menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung karena mengandung 2.14 gram SDF/ saji.
MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ANNISA VANIA F24061582
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul : Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi Nama : Annisa Vania NRP : F24061582
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S NIP. 19480319.197412.2.001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. NIP. 19650814.199022.1.001
Tanggal Ujian Akhir Sarjana :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan
Annisa Vania F24061582
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di kota Bandung pada tanggal 16 September 1988 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Jafar Muflih dan Mahmudah Rohaeti. Penulis telah menjalani pendidikan mulai dari SD N Karya Bakti 1 Bandung, SLTPN 1 Bandung, SMAN 4 Bandung dan penulis pun berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjalani pendidikan, penulis berkesempatan untuk memperoleh berbagai penghargaan. Salah satu diantaranya adalah penulis pernah mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi tingkat tahap persiapan bersama IPB 2007, selain itu penulis pun pernah menjadi juara pertama pada kompetisi product innovation business plan yang diselenggarakan oleh FPIK 2009. Selama menjalani studi di IPB, penulis pun aktif dalam beberapa organisasi maupun kepanitiaan. Penulis menjadi anggota HIMITEPA sejak tahun 2007, selain itu penulis pun pernah menjadi bagian dari kepanitiaan IFOODEX 2009, seminar internasional PATPI 2010. Penulis pun pernah bekerja di beberapa lembaga seperti LPPOM MUI sebagai mahasiswa magang, bimbingan belajar MSC sebagai pengajar, laboratorium sebagai asisten praktikum beberapa mata kuliah seperti kimia dasar, biokimia pangan, teknik pangan, analisis pangan, dan evaluasi sensori.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Substitusi Tepung Pisang Modifikasi Pada Pembuatan Brownies Kukus Terhadap Mutu dan Potensi Sebagai Pangan Fungsional dilaksanakan di departemen ilmu dan teknologi pangan sejak bulan Februari sampai Agustus 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Kedua orang tua tercinta, Jafar Muflih dan Mahmudah Rohaeti, atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan dorongan semangat yang selalu menyertai penulis dalam menempuh pendidikan. 2. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., sebagai dosen pembimbing yang telah bersabar dalam memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini. 3. Ir. Sutrisno Koswara M.Si., sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Sukarno MSc., sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini 5. Bu Novi, Mbak Ani, dan pegawai UPT lainnya yang telah membantu penulis dalam pembuatan surat-surat dan keterangan lainnya di UPT. 6. Ibu Ari, Pak Taufik, Ibu Sari, Pak Nur, Pak Iyas, Pak Deni, Pak Jun yang telah membantu penulis bekerja di pilot plant PAU dan SEAFAST. 7. Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Rojak, Bu Rubiyah, dan Pak Yahya yang telah membantu penulis bekerja di laboratorium ITP. 8. Desi Ratih, Federika Rosephin, ibu Nurha sebagai teman seperjuangan tim peneliti yang telah bekerja sama dengan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan tugas akhir. 9. Adik penulis Dinna N H. dan Dwi H R atas doa dan dukungannya dalam menyelesaikan kuliah, penelitian dan tugas akhir di ITP. 10. Rimawati Oktavia, Siti Winarti, Desi Ratih, Wahyu Anggarini, Tsani Fasikhatun, Septi Dwi Utami yang telah menemani penulis selama masa-masa perkuliahan. 11. Semua ITP 43 yang telah menemani penulis selama berkuliah dan telah berbagi informasi. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu dan teknologi pangan.
Bogor,
Desember 2010
Annisa Vania
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. viii I.
PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG........................................................................................... 1 B. TUJUAN .............................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 3 A. BOTANI PISANG ................................................................................................ 3 B. TEPUNG PISANG ............................................................................................... 4 C. MODIFIKASI PATI ............................................................................................. 6 1.
Modifikasi Asam ............................................................................................ 6
2.
Modifikasi Fisik ............................................................................................. 7
D. PATI RESISTEN .................................................................................................. 8 E. SERAT PANGAN ................................................................................................ 9 F. PANGAN FUNGSIONAL .................................................................................... 10 G. BROWNIES KUKUS ........................................................................................... 11 III. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 13 A
B
C
BAHAN DAN ALAT ........................................................................................... 13 1.
Bahan............................................................................................................. 13
2.
Alat................................................................................................................ 13
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 13 1.
Kerangka Penelitian ....................................................................................... 13
2.
Metode Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi ................................................ 14
3.
Pembuatan Brownies Kukus TPM .................................................................. 15
METODE ANALISA ............................................................................................ 17 1.
Analisis Profil Mikroflora ............................................................................... 17
2.
Analisis Kimia dan Nilai Biologis ................................................................... 17
3.
a.
Kadar Pati ............................................................................................... 17
b.
Kadar Pati Resisten ................................................................................. 18
c.
Uji Daya Cerna Pati in vitro..................................................................... 19
d.
Kadar Serat Pangan ................................................................................ 19
Analisis Fisik ................................................................................................. 21 a.
Rendemen ............................................................................................... 21
iv
4.
b.
Derajat Warna ......................................................................................... 21
c.
Derajat Putih (whiteness) ......................................................................... 22
d.
Analisis Tekstur ...................................................................................... 22
Evaluasi Sensori ............................................................................................. 22 a.
Uji Organoleptik ...................................................................................... 22
b.
Uji Pembobotan ....................................................................................... 23
5.
Analisis Proksimat ......................................................................................... 23
6.
Analisis Statistik ........................................................................................... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 25 A. PENGARUH FERMENTASI DAN PEMANASAN OTOKLAF TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG ULI ............................... 25 1.
Perubahan Mikroflora dan pH Cairan Fermentasi ........................................ 25
2.
Kadar Pati dan Pati Resisten........................................................................ 25
3.
Derajat Putih............................................................................................... 28
4.
Komposisi Kimia Proksimat........................................................................ 29
B. PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI (TPM) TERHADAP MUTU BROWNIES KUKUS ............................................... 29 1.
2.
Pengukuran Objektif Sifat Produk ............................................................... 29 a.
Warna .................................................................................................. 29
b.
Tekstur ................................................................................................ 31
Evaluasi Sensori ......................................................................................... 32 a.
Uji Rating Hedonik .............................................................................. 32 1) Warna .......................................................................................... 32 2) Tekstur ......................................................................................... 32 3) Rasa ............................................................................................. 33 4) Aroma .......................................................................................... 34 5) Overall (keseluruhan) .................................................................... 35
b.
Uji Pembobotan ................................................................................... 36
c.
Uji Ranking Hedonik ........................................................................... 36
C. KARAKTERISTIK KIMIA BROWNIES KUKUS TPM ....................................... 37 1.
Pati Resisten (Resistant Starch atau RS) ..................................................... 37
2.
Serat Pangan ............................................................................................... 40
3.
Daya Cerna Pati .......................................................................................... 41
4.
Komposisi Kimia (Proksimat) Formula Terbaik Brownies Kukus TPM ........................................................................................................... 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................... 43 A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 43 B. SARAN................................................................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 44 LAMPIRAN ....................................................................................................................... 49
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli ............................................... 4
Tabel 2.
Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ...................................................... 5
Tabel 3.
Formulasi brownies kukus tepung pisang modifikasi ............................................. 15
Tabel 4.
Deskripsi warna berdasarkan °Hue ........................................................................ 22
Tabel 5.
Pengaruh substitusi TPM terhadap karakteristik warna brownies kukus TPM......... 30
Tabel 6.
Pengaruh Substitusi TPM terhadap karakteristik tekstur brownies kukus TPM ....... 31
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Musa paradisiaca (pisang uli) .................................................................................3
Gambar 2.
Metode pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf (Modifikasi Abdillah 2010) ................................................ 14
Gambar 3.
Diagram alir pembuatan brownies kukus tepung pisang modifikasi (TPM) (Modifikasi Febrial 2009) ...................................................................................... 16
Gambar 4.
Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati tepung pisang ........................................................................................................ 25
Gambar 5.
Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang............................................................................................ 26
Gambar 6.
Penampakan tiga jenis tepung pisang (Dari kiri ke kanan: Tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf dan tepung pisang modifikasi) ........................... 28
Gambar 7.
Grafik warna CIELAB .......................................................................................... 30
Gambar 8.
Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu warna brownies kukus TPM ............. 32
Gambar 9.
Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu tekstur brownies kukus TPM............ 33
Gambar 10. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu rasa brownies kukus TPM ................ 34 Gambar 11. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu aroma brownies kukus TPM............. 34 Gambar 12. Pengaruh tingkat substitusi TPM terhadap nilai mutu overall brownies kukus TPM .................................................................................................................... 35 Gambar 13. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai total pembobotan rata-rata brownies kukus TPM .......................................................................................................... 36 Gambar 14. Pengaruh susbstitusi TPM terhadap ranking kesukaan rata-rata brownies kukus TPM ........................................................................................................... 37 Gambar 15. Pengaruh proses substitusi TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM .................................................................................................................... 37 Gambar 16. Diagram kesetimbangan massa pembuatan brownies kukus TPM ........................... 38 Gambar 17. Diagram perhitungan kadar RS III sebelum dan setelah proses pengukusan dalam pembuatan brownies kukus TPM ........................................................................... 39 Gambar 18. Pengaruh substitusi TPM terhadap kadar IDF, SDF, dan TDF brownies kukus TPM .................................................................................................................... 40 Gambar 19. Pengaruh proses substitusi TPM terhadap daya cerna pati brownies kukus TPM ..... 41
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a. Tabel rendemen tepung pisang fermentasi otoklaf ........................................... 49 Lampiran 1b. Tabel derajat putih tepung pisang .................................................................... 49 Lampiran 1c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) derajat putih tiga jenis tepung pisang ............. 49 Lampiran 1d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) derajat putih tida jenis tepung pisang .......... 50 Lampiran 2a. Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-0 ......................................... 50 Lampiran 2b. Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-24 ....................................... 51 Lampiran 2c. Tabel penurunan pH selama fermentasi ........................................................... 51 Lampiran 3a. Tabel kadar pati brownies dan tepung pisang ................................................... 52 Lampiran 3b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis kadar pati ............................... 53 Lampiran 3c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang .................. 54 Lampiran 3d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) tiga jenis tepung pisang .............................. 55 Lampiran 3e. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati brownies kukus TPM ........................................................ 55 Lampiran 4a. Tabel kadar pati resisten brownies dan tepung pisang ...................................... 56 Lampiran 4b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis kadar pati resisten ................... 57 Lampiran 4c. Tabel analisis ragam (α = 0,05) kadar pati resisten tiga jenis tepung pisang ...... 57 Lampiran 4d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang .............. 58 Lampiran 4e. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM............................................ 59 Lampiran 5a. Tabel kadar IDF, SDF dan TDF tepung pisang modifikasi (TPM) dan brownies kukus TPM ...................................................................................... 60 Lampiran 5b. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap TDF brownies kukus TPM ................................................................ 61 Lampiran 5c. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap IDF brownies kukus TPM ................................................................. 61 Lampiran 5d. Tabel paired-samples T test (α = 0.05)
pengaruh substitusi 70% TPM
terhadap SDF brownies kukus TPM ................................................................ 62 Lampiran 6a. Tabel daya cerna pati tepung pisang modifikasi TPM dan brownies kukus ....... 63 Lampiran 6b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis daya cerna pati........................ 64 Lampiran 6c. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap daya cerna pati brownies kukus TPM ................................................ 65 Lampiran 7a Tabel analisis warna empat formula brownies kukus TPM ............................... 65 Lampiran 7b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut warna empat formula brownies kukus TPM ............................................................................................................... 66 Lampiran 7c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) atribut warna empat formula brownies kukus TPM ..................................................................................................... 66
viii
Lampiran 8a. Tabel analisis tekstur empat formula brownies kukus TPM .............................. 67 Lampiran 8b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut tekstur empat formula brownies kukus TPM ............................................................................................................... 67 Lampiran 9. Tabel analisis proksimat TPM dan brownies kukus TPM ................................. 68 Lampiran 10. Kuesioner uji ranking mutu sensori brownies kukus TPM ................................ 69 Lampiran 11. Kuesioner uji ranking hedonik brownies kukus TPM ....................................... 69 Lampiran 12. Kuesioner uji rating hedonik empat formula brownies kukus TPM................... 70 Lampiran 13a. Tabel data rekapitulasi hasil uji ranking hedonik empat mutu sensori brownies kukus TPM ...................................................................................... 71 Lampiran 13b. Tabel data rekapitulasi hasil uji pembobotan empat formula brownies kukus TPM ............................................................................................................... 72 Lampiran 13c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 73 Lampiran 13d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 73 Lampiran 14a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 74 Lampiran 14b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 75 Lampiran 14c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 75 Lampiran 15a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 76 Lampiran 15b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 77 Lampiran 15c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 77 Lampiran 16a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM ..................................................................................................... 78 Lampiran 16b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 79 Lampiran 16c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 79 Lampiran 17a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 80 Lampiran 17b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 81 Lampiran 17c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 81
ix
Lampiran 18a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik overall empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 82 Lampiran 18b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik overall empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 83 Lampiran 18c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik overall empat formula brownies kukus TPM ...................................................................................... 83 Lampiran 19a. Tabel data rekapitulasi hasil uji ranking hedonik empat formula brownies kukus TPM ..................................................................................................... 84 Lampiran 19b. Tabel Friedman Test hasil uji ranking hedonik empat formula brownies kukus TPM ..................................................................................................... 85 Lampiran 20. Prosedur analisis proksimat ............................................................................. 85
x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa fungsi pangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat lain terhadap kesehatan, hal ini menyebabkan permintaan masyarakat terhadap pangan fungsional pun semakin meningkat. Salah satu pangan fungsional yang masih dikembangkan adalah prebiotik. Sumber prebiotik yang dianggap potensial untuk dikembangkan adalah pati resisten. Pati resisten digolongkan sebagai sumber serat (British Nutrition Foundation 2005). Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRASS atau generally recognized as save (Gibson 2004; dan FAO 2007). Sifat prebiotik pati resisten memiliki kelebihan dibandingkan sifat prebiotik lain yang umum digunakan seperti FOS dan inulin. Umumnya prebiotik tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang banyak karena dapat menyebabkan sembelit, sedangkan pati resisten mampu mengikat air, memerangkap air dan dapat mempertahankan air dalam feses, sehingga tidak menimbulkan sembelit jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar. Selain itu, pati resisten juga diketahui mampu menurunkan kolesterol dan indeks glikemik (Lehman et al, 2002), serta mencegah terjadinya kanker kolon karena mikroflora mampu mengubah pati resisten menjadi senyawa asam lemak berantai pendek, mereduksi pembentukan batu empedu, dan membantu penyerapan mineral (Sajilata et al. 2006). Jenis pati resisten yang mendapatkan perhatian lebih adalah RS III karena bersifat sangat stabil selama pemanasan, sangat kompleks dan tahan enzim pencernaan (Eerlingan and Delcour 1995), sehingga sifat fungsionalnya tidak mengalami perubahan ketika digunakan sebagai komponen dalam pangan olahan (Shamai et al. 2004). Berdasarkan rekomendasi CSIRO Division of Human Nutrition Australia, pati resisten dapat menimbulkan efek kesehatan jika dikonsumsi sebanyak 20 gram setiap hari (Oldways, 2007). Kadar pati resisten pisang alami yaitu RS II masih sangat rendah yaitu 1.51 g/100 g bk (Saguilan et al. 2005). Oleh karena itu kadar pati resisten pisang perlu ditingkatkan dengan proses modifikasi pembuatan tepung ditingkat pati dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf agar dapat dijadikan sebagai komposisi pangan fungsional. Menurut Sajilata et al. (2006) untuk mengembangkan pati resisten komersional, sebaiknya digunakan pati yang secara alami mengandung kadar amilosa tinggi. Pisang mengandung kadar amilosa yang cukup tinggi dan dapat dijadikan sebagai sumber pati yang potensial untuk mengembangkan pati resisten komersial dan penelitian sebelumnya telah dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang (Jenie et al. 2009). Jenis pisang yang baik digunakan dalam pembuatan tepung pisang modifikasi ini adalah jenis plantain. Empat jenis pisang plantain yaitu kapok, siam, uli, dan tanduk memiliki kisaran kadar pati 61-73%, dan kadar amilosa yang tinggi yaitu 30-39%, serta daya cerna yang relatif rendah 27-45% (Jenie et al. 2010). Pisang uli dipilih sebagai bahan utama pembuatan produk tepung pisang modifikasi karena potensi sifat fisik dan kimia yang baik dan ketersediaannya yang tinggi, dan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis pisang lainnya sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang yaitu dengan cara pemanasan bertekanan menggunakan otoklaf dan kombinasinya dengan proses fermentasi (Jenie et al. 2009), namun belum diketahui apakah pengolahan tepung pisang lebih lanjut menjadi berbagai jenis produk pangan akan mempengaruhi kadar pati resisten tipe III. Disamping itu belum diketahui apakah sifat fisikokimia tepung pisang yang dibuat menggunakan proses fermentasi dan pemanasan otoklaf masih cocok untuk diolah menjadi berbagai jenis produk pangan fungsional. .
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk pangan fungsional berbasis tepung pisang modifikasi kaya pati resisten dengan melakukan substitusi tepung terigu pada pembuatan brownies kukus dan mengetahui potensi tepung pisang modifikasi (TPM) dan brownies kukus TPM sebagai pangan fungsional berdasarkan kandungan RS, daya cerna pati, dan kadar serat pangan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI PISANG Pisang termasuk divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledone, ordo Scitaminae, yang terdiri dari tiga family yaitu Musaceae, Zingiberaceae, dan Cannaceae. Famili Musaceae terdiri dari tiga sub family, yaitu Muscoideae dengan genus Musa yang meliputi semua jenis pisang, Streplitzoideae, dan Lowivedeae. Menurut sifat fisiologisnya, genus Musa dibagi menjadi tiga sub genus yaitu Physocanlis, Eumusa, dan Rhodoclamys. Pisang yang umum dikonsumsi sebagian besar berasal dari sub genus Eumusa (Simmonds 1968).
Gambar 1. Musa paradisiaca (pisang uli) Tanaman pisang tumbuh di daerah beriklim tropis, dengan suhu antara 10°C sampai 40.5°C dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, cukup air dan terhindar dari angin kencang (Loesecke 1950). Produktivitas pisang merupakan tertinggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha pada tahun 2005 (Deptan 2007). Berdasarkan cara penggunaannya, menurut Simmonds (1966), pisang dibagi atas dua golongan, yaitu : 1. Banana (Musa paradisiaca var sapientum), merupakan golongan pisang yang dapat langsung dimakan setelah buahnya matang. Jenis pisang yang termasuk golongan banana diantaranya adalah pisang ambon, pisang sereh, pisang raja, dan pisang badak. 2. Plantain (Musa paradisiaca forma typica), merupakan golongan pisang yang dapat dimakan setelah mengalami pengolahan terlebih dahulu. Jenis pisang yang termasuk golongan planatain diantaranya adalah pisang nangka, pisang tanduk, pisang uli, pisang kepok, dan pisang siam. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan 5% pati, sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Ketiku (1973) yang diacu dalam Gowen (1995)). Pisang termasuk dalam golongan buah-buahan klimakterik, yaitu buah-buahan yang mengalami proses pematangan setelah dipanen sebagai hasil perubahan kimia di dalam jaringan secara biologis dan diawali dengan proses pembentukan etilen. Menurut Loesecke (1950) dan Simmonds (1966), selama proses pematangan buah pisang, terjadi perubahan sifat-sifat fisiologis, kimia, dan fisik, sehingga dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, rasa, dan aroma. Perubahan nyata pada proses pematangan tersebut adalah perubahan laju respirasi, keasaman, kadar air, karbohidrat, pektin, protopektin, nisbah daging dan kulit, tanin, dan zat-zat volatil yang mudah menguap. Selanjutnya Loesecke (1950) menyatakan bahwa perubahan kimia yang paling menyolok selama proses pematangan pisang adalah hidrolisis pati dan akumulasi gula. Akibat peristiwa tersebut, daging buah pisang yang kulitnya masih hijau akan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah pisang yang telah masak. Pada buah pisang yang kulitnya masih hijau mengandung 20-25% pati, sedangkan buah yang matang, mengandung 1-2% pati.
Sehubungan dengan turunnya kandungan pati pada peristiwa pematangan, kandungan gula dalam daging buah akan berubah dari 1-2% ketika masih hijau dan menjadi 15-20% pada saat buah matang. Beberapa jenis gula yang terdapat pada buah yang masak adalah sukrosa, fruktosa, dan glukosa.
B. TEPUNG PISANG Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam bentuk asal dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tersedianya tepung pisang dalam jumlah yang cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan bahan pangan sebagai sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu memperingan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman 1982) dan dapat mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Pisang dapat diproses menjadi tepung karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% bk gula dan 5%bk pati, sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Ketiku (1973) yang diacu dalam Gowen (1995)). Menurut Crowther (1979), tepung pisang sebaiknya dibuat dari buah pisang dengan tingkat kematangan ¾ penuh, yaitu sekitar 80 hari setelah berbunga. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut pembentukan pati telah mencapai maksimum dan tanin sebagian besar telah berubah menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Apabila buah pisang yang digunakan terlalu matang, maka pada proses pengeringannya akan mengalami kesukaran karena terbentuknya cairan. Sebaliknya apabila pisang terlalu muda yaitu kurang dari ¾ penuh, akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa pahit dan sepat. Hal ini disebabkan karena kadar asam dan tanin yang cukup tinggi sedangkan kadar patinya rendah. Judoamidjojo dan Lestari (2002) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis pisang plantain (nangka, siam dan uli) cukup tinggi yaitu berkisar antara 55-62%. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, siam dan uli dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli Jenis Pisang Karakteristik nangka Siam Uli Rendemen
30.02
30.11
39.6
Kadar air (%)
9.04
12.05
10.82
Kadar total gula (%)
9.58
12.82
26.56
Kadar pati
61.61
56.82
55.23
Kadar amilopektin (%)
54.29
49.63
48.54
Derajat putih (%)
42.96
57.08
41.6
(Judoamidjojo dan Lestari 2002)
Proses pembuatan tepung pisang secara umum terdiri atas dua cara, yaitu proses basah dan proses kering. 1. Proses basah Pada pembuatan tepung pisang secara basah, pisang yang telah berbentuk bubur atau pasta dikeringkan dengan menggunakan alat pengering seperti drum drier atau spray drier. Pengeringan menggunakan spray drier akan menghasilkan tepung pisang dengan rendemen
4
8-11 % dari buah pisang segar, sedangkan pengeringan dengan drum drier menghasilkan rendemen sekitar 13% dari buah segar. 2. Proses kering Pada proses pembuatan tepung pisang secara kering, setelah dikupas pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Setelah pisang kering, selanjutnya pisang digiling atau dihancurkan sampai kehalusan tertentu sehingga akan dihasilkan tepung pisang (Hardiman 1982). Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan. Tabel 2. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) Persyaratan Kriteria Uji Satuan Jenis A Jenis B
No. 1
Keadaan:
1.1
Bau
-
Normal
Normal
1.2
Rasa
-
Normal
Normal
1.3
Warna
-
Normal
Normal
2
Benda asing
-
Tidak ada
Tidak ada
3
Serangga (dalam segala bentuk stadia dan
-
Tidak ada
Tidak ada
-
Tidak ada
Tidak ada
potongan-potongan) 4
Jenis pati lain selain tepung pisang
5
Kehalusan lolos ayakan 60 mesh
%b/b
Min. 95
Min. 95
6
Air
%b/b
Maks. 5
Maks. 12
7
Bahan tambahan makanan
8
Sulfit (SO2)
9
Cemaran logam:
-
SNI 01-0222-1987
mg/Kg
Negatif
Maks. 10
9.1
Timbal (Pb)
mg/Kg
Maks.1.0
Maks.1.0
9.2
Tembaga (Cu)
mg/Kg
Maks.10.0
Maks.10.0
9.3
Seng (Zn)
mg/Kg
Maks.40.0
Maks.40.0
9.4
Raksa (Hg)
mg/Kg
Maks.0.05
Maks.0.05
10
Cemaran Arsen (As)
mg/Kg
Maks.0.5
Maks.0.5
11
Cemaran mikroba: Maks. 104
Maks. 106
11.1
Angka Lempeng Total
Kol/g
11.2
Bakteri pembentuk coli
APM/g
0
0
11.3
E. coli
Kol/g
0
Maks. 106
11.4
Kapang dan khamir
Kol/g
Maks. 102
Maks. 104
11.5
Salmonella/25 gram
-
Negatif
-
11.6
Staphylococcus aureus
Kol/g
Negatif
-
5
Masalah yang dihadapi saat pembuatan tepung pisang adalah adanya reaksi pencoklatan. Pencoklatan merupakan suatu hasil reaksi yang terjadi pada pengolahan bahan makanan yang banyak mengandung gula. Reaksi ini akan menyebabkan tepung yang dihasilkan berwarna gelap. Fennema (1996) menyatakan bahwa warna coklat pada makanan yang diproses dengan pemanasan biasanya terjadi karena reaksi antara gula pereduksi terutama D-glukosa dan asam amino bebas atau gugus amina bebas pada asam amino yang merupakan unit terkecil dari rantai protein. Reaksi ini disebut dengan reaksi Maillard. Proses pemanasan karbohidrat dalam hal ini suksrosa dan gula pereduksi tanpa adanya komponen yang mengandung nitrogen dapat menyebabkan dehidrasi gula. Hasil dehidrasi ini akan menghasilkan senyawa furan yang berwarna coklat. Proses pembentukan warna coklat ini dikenal dengan karamelisasi.
C. MODIFIKASI PATI 1.
Modifikasi Asam Proses lintnerisasi (hidrolisis asam sebagian) dapat menurunkan derajat polimerisasi pati, bila proses ini diikuti dengan retrogradasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten kacang polong kira-kira 20% (Lehmann et al. 2003). Beberapa strain bakteri asam laktat yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata 2006). Berry (1989) dan Saguilan (2005) pun menyatakan bahwa pati yang mengalami perlakuan lintnerisasi (hidrolisis sebagian menggunakan asam), pemanasan dan pendinginan menunjukkan kandungan pati resisten yang lebih tinggi dikarenakan adanya peningkatan rantai liniar glukan. Abdillah (2010) melakukan modifikasi tepung pisang tanduk dengan aplikasi fermentasi spontan yang dilanjutkan dengan pemanasan otoklaf. Proses fermentasi spontan dapat mengakibatkan pengembangan granula pati. Meyer (2003) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30%. Selain mengakibatkan pengembangan granula pati, fermentasi spontan akan menghasilkan asam laktat sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat yang secara alami terdapat pada irisan pisang. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari perlakuan fermentasi baik dengan cara spontan maupun dengan penambahan kultur adalah adanya bakteri asam laktat yang menghasilkan asam laktat sehingga membantu dalam meningkatkan kadar pati resisten. Lintnerisasi secara selektif memecah bagian amorfous pada granula pati menghasilkan material-material yang kaya akan kristalit-kristalit amilopektin (Mumny 2000; Saguilan et al. 2005). Perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin ini dapat meningkatkan jumlah molekul amilosa yang akan berperan dalam pembentukan ikatan hidrogen yang sangat stabil pada proses pemanasan yang diikuti dengan proses pendinginan, sehingga akan meningkatkan jumlah RS III yang terbentuk selama retrogradasi. Wurzburg (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal proses modifikasi asam, jumlah amilosa atau fraksi linear meningkat, yang mengindikasikan bahwa asam turut menghidrolisis bagian amilopektin yang mudah dijangkau. Wurzburg (1989) menunjukkan pula bahwa selama modifikasi asam tidak terjadi pembengkakan granula pati dan pati tidak kehilangan sifat birefringence, yang membuktikan bahwa asam akan lebih cenderung menyerang bagian amorfous dibandingkan dengan bagian kristalin. Wursburg (1989) menyatakan bahwa selama proses modifikasi asam menjadi dua tahap penyerangan: tahap awal terjadi penyerangan cepat pada bagian amorfous yang mengandung amilopektin, lalu dilanjutkan dengan penyerangan yang lebih kristalin. Franco et al. (2002) pun menyatakan bahwa asam menghidrolisis lebih cepat bagian amorfous pada granula pati namun bagian yang lebih tersusun rapi (kristalin) lebih lambat untuk dihidrolisis. Fermentasi secara tradisional pada tepung singkong dalam pembuatan tepung fufu dengan menggunakan BAL (Bakteri Asam Laktat), yaitu kultur Lactobacillus plantarum SL 14 dan L. plantarum SL 19 dapat meningkatkan kadar amilosa tepung fufu jika dibandingkan
6
dengan kontrol (tanpa fermentasi) (Sobowale et al. 2007). L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim amilolitik dan pululanase (amilopululanase) yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin (Kim et al. 2008; Kim et al. 2009). Abdillah (2010) melaporkan bahwa kadar amilosa dari tepung pisang yang difermentasi secara spontan selama 24 dan 48 jam tanpa kombinasi dengan pemanasan otoklaf adalah 35.64% bk dan 34.95% bk, tidak berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol (35.68% bk). Kadar pati resisten dari tepung pisang yang difermentasi selama 24 jam dan 48 jam dengan kombinasi pemanasan otoklaf masing-masing adalah 15.24% bk dan 11.01% bk (Abdillah 2010). 2.
Modifikasi Pati Secara Fisik
Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai reaksi kimia, modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, parboiling, steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment dan autoclaving. (Sajilata et al.2006). Perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9% (Saguilan 2005). Metode autoclavingcooling dilakukan dengan penambahan air 1 : 3.5 (b/v) (Sievert & Pomeranz 1989), kemudian dipanaskan menggunakan otoklaf pada suhu tinggi. Setelah diotoklaf, suspensi pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut disimpan pada suhu rendah sehingga terjadi retrogradasi. Pati resisten tertinggi diperoleh pada suhu otoklaf 120oC (Sievert dan Pomeranz 1989) dan suhu retrogradasi 4oC (Niba 2003). Lehmann (2002) menyatakan bahwa pembuatan RS III dilakukan dengan mensuspensikan pati dalam air (20% w/w), kemudian di-otoklaf selama 30 menit pada suhu 1210C, didinginkan dan disimpan pada suhu 40C selama 24 jam, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer. Tujuan dari pemanasan dengan otoklaf adalah terjadinya proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi dapat menyebabkan granula mengembang, kehilangan sifat birefringent, dan kehilangan kristalinitasnya. Proses gelatinisasi dapat menyebabkan granula pecah dan melepaskan molekul-molekul pati terutama amilosa (Fennema 1996). Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringent granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1999). Harper (1981) mengemukakan bahwa mekanisme gelatinisasi diawali dengan adanya pemberian air yang mengganggu kristanilitas amilosa dan mengganggu struktur heliksnya. Gelatinisasi pati terjadi karena granula pati secara bertahap menyerap air ketika suspensinya dipanaskan yang menyebabkan volumenya meningkat secara perlahan-lahan. Penyerapan air tersebut disebabkan oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Ikatan hidrogen tersebut semakin melemah dengan naiknya suhu suspensi. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air pun semakin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi meningkat, air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula yang semakin besar (Meyer 2003). Apata (2008), menjelaskan bahwa secara umum kadar karbohidrat yang tersedia (available carbohydrates) seperti gula-gula sederhana (glukosa dan fruktosa), karbohidrat rantai pendek (oligosakarida (rafinosa, stakiosa), inulin), dan pati di dalam biji-bijian yang diotoklaf tidak memiliki perubahan yang nyata (sedikit menurun) dibandingkan kadar karbohidrat yang tersedia pada bahan mentahnya. Apata (2008), melaporkan bahwa kadar pati tidak tersedia (unavailable carbohydrates), seperti selulosa, lignin, dan polisakarida nonselulosa tidak mengalami penurunan selama perlakuan otoklaf.
7
Proses pendinginan dilakukan setelah proses pemanasan berakhir pada suhu 40C selama 24 jam. Selama proses pendinginan, pati mengalami pembentukan strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Retrogradasi merupakan perubahan amilosa dari bentuk amorf menjadi bentuk kristalin. Retrogradasi terjadi apabila antar gugus hidroksil molekul amilosa yang berdekatan saling berikatan dengan ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur yang kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen tersebut. Amilosa mengalami proses retrogradasi lebih cepat dibandingkan dengan amilopektin. Struktur ini biasanya sangat stabil (Fennema 1996). Bila pati didinginkan maka energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 1997). Faktor yang mendukung terjadinya retrogradasi adalah suhu yang rendah, konsentrasi amilosa yang tinggi, dan adanya ion-ion organik tertentu (Jane 2004). Retrogradasi mengakibatkan perubahan sifat gel pati diantaranya meningkatkan ketahanan pati terhadap hidrolisis enzim amilolitik, menurunkan kemampuan melewatkan cahaya (transmisi) dan kehilangan kemampuan untuk membentuk kompleks berwarna biru dengan iodin.
D. PATI RESISTEN Englyst et al. (1992) menyatakan bahwa pati dapat dikelompokan menjadi tiga bagian berdasarkan kondisinya ketika diinkubasi dengan enzim pencernaan yaitu rapidly digestable starch (RDS), slowly digestable starch (SDS), dan resistant starch (RS). Pati Resisten adalah bagian pati yang tidak dapat dihidrolisis menjadi α-glukosa dalam usus kecil dalam waktu 120 menit setelah dikonsumsi. Pati resisten dapat difermentasi dalam usus besar. Pati resisten merupakan molekul linier yang terdiri dari 1,4- α-glukan, yang dihasilkan dari proses retrogradasi molekul amilosa. Pati resisten memiliki bobot molekul yang relatif rendah (1.2 x 105 Da) (Tharanathan 2002). Pati resisten diklasifikasikan ke dalam 4 jenis, yaitu: (1) RS I, merupakan pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena pati terdapat pada matriks sel, seperti pada polongpolongan atau biji-bijian; (2) RS II adalah pati resisten yang terbentuk secara alami karena kristalisasi dari struktur granula mengakibatkan rendahnya kemampuannya untuk dihidrolisis; (3) RS III adalah pati resisten yang berasal dari pati yang telah teretrogradasi hasil dari proses pemasakan bahan pangan yang kemudian disimpan dibawah suhu ruang; (4) RS IV adalah pati resisten yang dibentuk oleh proses kimiawi (Onyango et al. 2006). Dari keempat jenis pati resisten tersebut, pati jenis RS III mendapatkan perhatian lebih karena bersifat sangat stabil selama pemanasan, sangat kompleks dan tahan enzim pencernaan (Eerlingan and Delcour 1995), sehingga sifat fungsionalnya tidak mengalami perubahan ketika digunakan sebagai komposisi dalam pangan olahan (Shamai et al. 2004). RS III terbentuk karena proses retrogradasi pati yang telah tergelatinisasi. Selama pendinginan rantai polimer amilosa yang lepas dari granula pati akan bergabung kembali membentuk struktur double helix yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Wu dan Sarko 1978). Struktur double helix ini diperlukan untuk pembentukan struktur kristal pati. Derajat polimerisasi (DP) amilosa dapat mempengaruhi pembentukan RS III ini. Gidley menyatakan bahwa untuk membentuk struktur double helix dibutuhkan polimer dengan DP 10-100 (Gidley et al. 1995). Thompson (2000) melaporkan bahwa jika derajat polimerisasi amilosa lebih tinggi dari 300 dapat menyebabkan amilosa tidak mudah untuk mengkristal (membentuk kristalitas resisten). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan pati resisten. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar RS adalah (1) rasio amilosa : amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar RS, (2) rasio pati : air (b/v) dalam pembuatan RS, (3) proses pemanasan akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan, (4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) suhu autoclaving (Sajilata et al. 2006). Menurut Lehmann et al. (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan RS yaitu suhu pengolahan, konsentrasi pati, kondisi penyimpanan dan adanya lipid atau substansi lain. Nugent (2005) menyatakan bahwa kondisi pengolahan dapat meminimalkan resistensi RS III. Pemasakan dengan kadar uap air atau kelembaban dan suhu yang tinggi dapat menurunkan kandungan RS secara signifikan dengan merusak struktur struktur kristal pati. Interaksi pati dengan komponen pangan lainnya
8
pun dapat mempengaruhi kadar RS. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah protein, serat, inhibitor enzim, ion, gula, lemak dan emulsifier. Interaksi protein dengan pati dapat menurunkan kadar RS seperti yang terjadi pada pati kentang yang ditambah dengan albumin ketika diotoklaf dan didinginkan pada suhu -20°C. Serat pangan tidak larut seperti selulosa dan lignin memberikan pengaruh yang kecil dibandingkan dengan ion kalium dan kalsium terhadap kadar RS. Ion kalium dan kalsium dapat menurunkan kadar pati resisten karena ion-ion ini dapat menghambat pembentukan ikatan hidrogen antar rantai amilosa dan amilopektin (Escarpa et al. 1997). Penambahan gula seperti glukosa, maltosa, sukrosa, dan ribosa diketahui dapat menurunkan tingkat kristalisasi dan menurunkan kadar RS. Hal ini terjadi karena mekanisme retrogradasi dapat dihambat oleh interaksi antara molekul gula sederhana dan rantai molekul pati yang dapat mengubah matriks dari pati yang tergelatinisasi (Kohyama dan Nishinari 1991). Lemak dapat berinteraksi dengan rantai amilosa membentuk kompleks yang mudah dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Pembentukan kompleks amilosa dan lemak ini dapat menurunkan pembentukan RS (Czuchajowska et al. 1991). Kadar pati resisten pisang alami yaitu RS II masih sangat rendah yaitu 1.51 g/100 g bk (Saguilan et al. 2005). Menurut Sajilata et al. (2006) untuk mengembangkan pati resisten komersil, sebaiknya digunakan pati yang secara alami mengandung kadar amilosa tinggi. Pisang adalah sumber karbohidrat tinggi dimana komponen utamanya adalah pati. Eggleston et al. (1992) melaporkan bahwa kandungan amilosa plantain berkisar antara 10-11%. Kandungan amilosa pisang yang tinggi ini dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa amilosa akan membentuk pati resisten tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase. Saguilan et al. (2005) menyatakan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51% dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan pada suhu 121oC selama 1 jam (autoclaved starch). RS memiliki sifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia dan dapat diklasifikasikan sebagai serat pangan oleh AACC (2000). Meskipun terdapat kemungkinan bahwa RS terdiri dari molekul dextrin dengan berat molekul yang rendah, namun RS mengandung molekul-molekul amilosa teretrogradasi sebagai fraksi utama dalam RS (Ranhotra et al. 1991). Haralampu (2000) menyatakan bahwa dalam analisis, RS akan teruji sebagai IDF tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti SDF. RS telah direkomendasikan untuk digunakan sebagai prebiotik untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan seperti Bifidobacterium (Brown et al. 1996). Setelah mencapai kolon RS akan difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek atau short-chain fatty acid (SCFA) (Sajilata 2006). SCFA yang dihasilkan dari fermentasi RS mengandung asatat dalam jumlah yang rendah dan butirat dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan SCFA yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan biasa. SCFA merupakan sumber energi untuk sel-sel kolon (butirat) dan untuk sel-sel tubuh lainnya (asetat dan propionat). Respon insulin setelah mengonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS akan lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengonsumsi pati yang dapat dicerna (Cherbuy et al. 2004). RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Suplemen serat pangan dan RS berpotensi memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). Menurut Lehmann (2002), dibandingkan FOS (Fruktooligosakarida), RS memiliki beberapa kelebihan diantaranya tidak menyebabkan sembelit, dapat menurunkan kolesterol, dan indeks glikemik, dengan sumber yang beragam.
E. SERAT PANGAN Kin (2000) menyatakan bahwa berdasarkan sifat kelarutannya dalam air, serat dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu serat larut (Soluble Dietary Fiber / SDF) dan serat pangan tidak larut (Insoluble Dietary Fiber / IDF). SDF ketika berada di dalam usus halus akan membentuk larutan yang memiliki viskositas yang tinggi. SDF dapat mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat dan memiliki sifat antikarsinogenik. IDF dapat mempertahankan matriks strukturalnya dari air membentuk campuran yang memiliki viskositas rendah. IDF dapat
9
meningkatkan massa feses dan mempersingkat waktu transit. Gabungan dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air disebut serat pangan total (Total Dietary Fiber atau TDF). IDF terdiri atas selulosa dan hemiselulosa yang berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemorrhoid, sedangkan yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin, β-glukan, gum, dan musilase. Inulin disetarakan sebagai IDF dan dapat difermentasi, karena sifatnya yang tidak bisa dihidrolisis oleh sistem pencernaan manusia namun dapat difermentasi oleh koloni mikroflora di usus besar, hal ini akan mempengaruhi fungsi fisiologis sistem pencernaan (Tungland 2000). Ikatan 2,6-β-glikosidik pada rantainya menyebabkan inulin resisten terhadap enzim-enzim pencernaan mamalia seperti disakaridase (sukrase, maltase, isomaltase, atau laktase) yang dihasilkan di mukosa usus dan α-amilase yang dihasillan oleh pankreas (Oku et al. 1984). Akibatnya, inulin mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan. Serat pangan dapat berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroba usus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu serat pangan juga dapat mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan dalam saluran pencernaan dan pergerakan enzim. Pencernaan yang lambat menyebabkan respon glukosa darah juga menjadi rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Pisang jenis plantain memiliki buah dengan kandungan pati resisten dan serat yang tinggi (Kahlon dan Smith 2007) dan tepungnya merupakan sumber serat pangan yang tinggi (6-9%) (Higgins et al. 2004; Kahlon dan Smith 2007). American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi orang dewasa sekitar 20-35 gram per hari. Selain itu petunjuk penyajian makanan (USDA 2000) pun merekomendasikan jumlah minimum konsumsi serat pangan adalah 25 gram per hari, atau sama dengan 12.5 gram per 1000 Kal yang dikonsumsi. Sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi serat pangan lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36% dan konsumsi 29 gram serat per hari dapat menurunkan risiko serangan jantung sebesar 41% (Wardlaw 1999).
F. PANGAN FUNGSIONAL Pangan fungsional adalah pangan yang dapat menguntungkan salah satu atau lebih dari target fungsi-fungsi dalam tubuh seperti halnya nutrisi yang dapat memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, dan menurunkan risiko dari suatu penyakit (Roberfroid 2002). Menurut Badan POM (2005), beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2) menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan lain yang ditetapkan; (3) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah; (4) disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen; dan (6) komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain. Prebiotik adalah salah satu jenis pangan fungsional yang masih dikembangkan. Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif terhadap bakteri di dalam usus (Lactobacilii dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004). Menurut FAO (2007), prebiotik adalah komponen pangan yang tidak hidup (not viable) yang memberikan keuntungan kesehatan inang berasosiasi dengan memodulisasi mikrobiota. Manning et al. (2004) menyatakan, bahwa bahan pangan dikategorikan sebagai prebiotik, apabila : (1) tidak dapat dihidrolisis atau diserap oleh kolon bagian atas, (2) secara selektif menstimulir pertumbuhan bakteri potensial yang menguntungkan, (3) dapat menekan pertumbuhan patogen dan virus, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Menurut FAO (2007), kualifikasi prebiotik apabila : (1) merupakan komponen pangan yang tidak berbentuk organisme atau obat-obatan, dapat dikarakterisasi secara kimia, merupakan komponen food grade, (2) memberi keuntungan kesehatan, terukur, tidak diserap untuk masuk ke aliran darah atau komponen yang bertindak sendirian, (3) dapat memodulasi, adanya komponen secara tunggal
10
atau sudah diformulasikan dapat mengubah komposisi atau aktivitas mikrobiota target inang, mekanisme tersebut meliputi fermentasi, penghentian reseptor atau lainnya. Bahan baku pangan fungsional prebiotik yang dianggap potensial untuk dikembangkan dan paling sering digunakan adalah pati resisten tipe III (RS III). Pati resisten digolongkan sebagai sumber serat (British Nutrition Foundation 2005). RS III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan (Onyango 2004). Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fiber (serat makanan) dapat dikelompokan sebagai prebiotik, apabila: substrat tidak dapat diserap atau dihidrolisis di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium, fermentasi substrat yang memberikan efek sistemik bagi inangnya. Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRASS atau generally recognized as save (Weese 2002; Gibson 2004; dan FAO 2007).
G. BROWNIES KUKUS Brownies merupakan salah satu jenis cake yang berwarna coklat kehitaman. Brownies dapat dibagi menjadi dua macam, yakni brownies kukus dan brownies oven. Struktur brownies sama seperti cake yaitu ketika dipotong terlihat keseragaman pori remah, berwarna menarik, dan jika dimakan terasa lembut, lembab, dan menghasilkan cita rasa yang baik (Sulistyo 2006). Tekstur yang dikehendaki dari brownies agak bantat sehingga ia tidak membutuhkan pengembangan gluten sebagaimana cake. Bahan penyusun utamanya antara lain telur, lemak, gula, dan terigu. Sebagai bahan tambahan dapat ditambahkan emulsifier dan bahan pengembang (Sulistiyo 2006). Tepung yang umum digunakan sebagai bahan pembuat brownies adalah terigu. Tepung ini, di dalam adonan, berfungsi sebagai pembentuk struktur dan tekstur brownies, pengikat bahanbahan lain, dan penditribusi bahan-bahan lain secara merata, serta pembentuk citarasa (Matz 1992). Tepung terigu yang biasanya digunakan adalah terigu lunak (Subarna 1996). Alasan penggunaan terigu jenis lunak adalah kelebihannya dalam membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz 1992). Bahan utama lain dalam pembuatan brownies adalah gula yang berfungsi memberikan rasa manis. Selain itu, ia juga berperan dalam pembentukan struktur, tekstur, keempukan, pengikat air, serta penjaga kelembaban (Berenbaum 2003). Gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi aw bahan pangan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al. 1981). Lemak sebagai bahan penyusun utama brownies berfungsi melembutkan tekstur, membentuk citarasa, memacu pengembangan, membantu aerasi dan emulsifikasi adonan. Selain itu, lemak juga berperan meningkatkan nilai gizi. Adapun lemak yang biasa digunakan adalah mentega. Margarin lebih sering digunakan karena harganya lebih murah dari mentega. Margarin adalah lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial minyak nabati (Haryadi et al. 2000). Telur dalam pembuatan brownies berfungsi sebagai penggaanti air, pembentuk struktur, pelembut, pengikat udara (aerasi), dan pendistribusi adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, aroma, dan rasa. Lesitin pada kuning telur memiliki daya pengemulsi sedangkan putih telurnya membentuk tekstur yang lebih ringan (Berenbaum 2003). Sebagai pemberi warna dan rasa utama brownies adalah dark cooking chocolate yang khusus digunakan untuk membuat produk-produk bakery. Selain ditambahkan dark cooking chocolate dapat juga ditambahkan bubuk coklat. Bahan tambahan lainnya adalah emulsifier seperti valet. Fungsi emulsifier ini adalah mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Selain itu valet juga berperan sebagai pelembut tekstur. Penambahan garam dan flavor lain juga dapat dilakukan dalam pembuatan brownies. Keduanya berperan dalam meningkatkan cita rasa serta meningkatkan penerimaan produk. Terdapat dua proses inti dalam pembuatan brownies, yakni pembuatan adonan dan pengukusan. Pembuatan adonan, sebagaimana dikutip dari Ketaren (1986) di dalam Sulistyo (2006) dapat dilakukan dengan tiga metode pencampuran yaitu sugar-batter, flour-batter, dan single step.
11
Metode sugar-batter mencampurkan bagian gula dan margarin terlebih dulu, baru kemudian ditambahkan telur, tepung, dan bahan-bahan lainnya. Keuntungan dari metode ini adalah daya serap lemaknya terhadap udara dapat maksimal. Pada metode flour-batter, tepung dan margarinlah yang dicampur terlebih dulu. Metode ini lebih efektif dalam mendistribusikan dan mendispersikan margarine dalam adonan serta menghasilkan cake dengan tekstur yang lebih halus. Sedangkan metode single-step (mencampurkan dan mengaduk semua bahan sekaligus dan menambahkan baking powder ketika mendekati akhir pengadukan) memiliki kelebihan pada pengerjaannya yang lebih sederhana meskipun mutu cake yang dihasilkan tidak sebaik kedua metode lainnya. Sulistiyo (2006) melakukan proses pembuatan adonan dengan metode yang berbeda: telur dan gula dikocok terlebih dahulu, kemudian ditambahkan tepung, cokelat bubuk, baking powder dan garam yang sudah diayak. Margarin dan dark cooking chocolate yang sudah dicairkan diaduk dengan sendok dan dicampur ke dalam adonan hingga merata. Setelah pembuatan adonan, proses inti berikutnya adalah pengukusan. Pengukusan (steaming) merupakan salah satu teknik pengolahan produk cake yang menggunakan uap air panas bersuhu 1000C. Pengukusan adalah salah satu cara pemasakan bahan, selama proses pemasakan terjadi penurunan gizi tergantung pada suhu dan lamanya proses pemasakan. Tiga jenis reaksi yang dapat menurunkan nilai gizi selama proses pemasakan atau pemanasan yaitu (1) oksidasi lemak; (2) denaturasi protein berupa perubahan ikatan asam amino sehingga absorpsi terganggu dan terbentuknya ikatan baru sehingga enzim pencernaan tidak mampu lagi mencerna; dan (3) reaksi Maillard (Winarno 1997). Perubahan yang terjadi selama proses pengukusan (pemanasan) antara lain gelatinisasi pati membentuk struktur jaringan yang kokoh, koagulasi protein membentuk struktur yang lebih keras, penguapan zat volatil, serta reaksi maillard dan hidrolisis yang menyebabkan perubahan flavor dan warna pada brownies (Matz 1992). Pada waktu pengukusan terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap ar lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992). Proses pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan sehingga tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan menjadi lunak. Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga jaringan lebih poros. Proses pemberian panas dengan pengukusan akan menyebabkan berkurangnya komponen yang mudah menguap, terjadinya oksidasi dan hidrolisis yang menyebabkan perubahan flavor dan warna (Fennema 1996).
12
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1.
Bahan Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tepung pisang adalah buah pisang uli yang didapatkan dari daerah sekitar Bogor dengan tingkat kematangan ¾ penuh dan warna kulit masih hijau. Bahan yang digunakan untuk pembuatan brownies kukus adalah tepung pisang, tepung terigu, gula pasir, garam, telur, valet, margarin. Bahan yang digunakan untuk uji kimia adalah akuades, bubuk K2SO4, bubuk HgO, larutan H2SO4, larutan H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, pelarut heksama, indikator metil merah - metilen biru, larutan buffer Na-fosfat 0.1 N dengan pH 7.0, etanol, dietil eter, NaOH 0.1 M, asam asetat 1 N, larutan iod, petroleum benzene, buffer enzim termamil, HCl 4 N, pepsin, enzim protease, larutan maltosa, enzim α-amilase, DNS, Na-K tartarat, aseton, glukosa standar, maltosa standar, NaCO3 jenuh, dan celite kering. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain medium NA, medium APDA, medium MRSA dan larutan pengencer NaCl 0.85%.
2. Alat Peralatan pembuatan tepung pisang modifikasi meliputi pisau, plastik, erlenmeyer 2000 ml, oven pengering (cabinet drier), otoklaf, refrigerator, disc mill dan ayakan 60 mesh. Peralatan yang digunakan untuk membuat brownies kukus antara lain wadah plastik, mixer, loyang, mangkok, timbangan, dan alat pengukus. Peralatan pengujian mikrobiologi adalah cawan petri, pipet mikro, bunsen, hot plate, tabung reaksi, otoklaf,, pH meter, dan incubator. Peralatan pengujian kimia adalah oven, tanur listrik, desikator, labu Kjeldahl, destilator, Soxhlet, penyaring vakum, cawan porselin, oven pengering, neraca analitik, penangas air, penangas bergoyang, inkubator, sentrifus, magnetic stirrer, pH-meter, spektrofotometer, alatalat gelas, alufo, kapas, kertas saring whatman. Peralatan untuk analisis organoleptik antara lain piring-piring saji, kuesioner, dan label.
B. METODE PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian Penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni pembuatan tepung pisang uli modifikasi (Gambar 2) yang dilanjutkan dengan pembuatan brownies kukus. Tepung pisang modifikasi (TPM) yang dihasilkan dari tahap pertama ini kemudian dianalisis sifat kimia dan fisiknya. Analisis kimia dan fisik tersebut meliputi analisis kadar pati, kadar pati resisten, daya cerna pati, proksimat. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui potensi TPM sebagai sumber prebiotik. TPM yang dihasilkan pada tahap pertama tersebut kemudian digunakan dalam pembuatan brownies kukus TPM. Tahap pembuatan brownies kukus TPM ini meliputi formulasi, uji fisik objektif, evaluasi sensori dan analisis kimia untuk formula terbaik. Formulasi dilakukan untuk menentukan empat formula yang dapat dibentuk dengan tingkat substitusi tertinggi. Uji fisik objektif dilakukan terhadap keempat formula yang dapat dibentuk. Uji fisik ini meliputi warna dan tekstur. Selain uji fisik objektif, evaluasi sensori
pun dilakukan terhadap keempat formula tersebut untuk menentukan formula terbaik yaitu formula dengan tingkat substitusi tertinggi yang dapat diterima secara sensori. Evaluasi sensori ini meliputi uji rating, ranking hedonik dan pembobotan. Selanjutnya analisis kimia dan nilai biologis dilakukan terhadap formula terbaik berdasarkan hasil evaluasi sensori untuk mengetahui potensi brownies kukus TPM sebagai pangan fungsional prebiotik. Analisis kimia dan nilai biologis ini meliputi kadar pati, serat pangan, pati resisten, daya cerna pati in vitro.
2. Metode Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi Pembuatan tepung pisang modifikasi (TPM) secara skematis dapat dilihat pada diagram berikut.
Gambar 2.
Metode pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf (Modifikasi Abdillah 2010)
Pembuatan TPM diawali dengan pengupasan dan pengirisan pisang dengan ketebalan 5-6 mm Fermentasi spontan kemudian dilakukan dengan merendam irisan pisang dengan perbandingan pisang dan air yaitu 1:2 pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah fermentasi
14
selama 24 jam, dilakukan penirisan irisan pisang, pemanasan bertekanan dengan otoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit, pendinginan pada suhu 5-10°C selama 24 jam, dan thawing. Setelah rangkaian proses modifikasi tersebut, pengeringan dilakukan dengan cabinet dryer pada suhu 50-60°C sampai kadar air irisan pisang 8% bk. Irisan pisang yang telah kering tersebut kemudian ditepungkan dengan menggunakan disc mill dan diayak menggunakan vibrating siever berukuran 60 mesh. Pada pembuatan tepung pisang otoklaf tidak dilakukan proses fermentasi spontan, sedangkan pada proses pembuatan tepung pisang tanpa fermentasi dan otoklaf tidak dilakukan rangkaian proses modifikasi yaitu fermentasi, pemanasan, dan pendinginan. Pembuatan TPM ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan pisang, mempermudah penggunaan pisang untuk diversifikasi produk olahan. Selain itu pembuatan tepung pisang ini pun bertujuan untuk memodifikasi pati alami pisang menjadi pati resisten tipe III sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan fungsional. TPM yang digunakan untuk formulasi adalah tepung pisang dengan metode pengeringan terbaik. Metode pengeringan terbaik adalah metode yang menghasilkan TPM sesuai dengan persyaratan mutu yang ditentukan oleh SNI untuk tepung pisang dan memiliki karakteristik mutu visual yang baik. Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada tahap fermentasi pada proses pembuatan TPM adalah analisis profil mikroflora selama fermentasi pada jam ke-0 dan jam ke-24 meliputi analisis total bakteri mesofilik, total bakteri asam laktat (Bolognani et al. 2001), dan total kapang dan khamir. Analisis kimia dan nilai biologis yang dilakukan pada tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf, dan tepung pisang modifikasi adalah kadar air (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar pati (AOAC 1995), dan kadar pati resisten in vitro (Goni et al 1998). Sedangkan analisis nilai biologis seperti daya cerna pati in vitro (Anderson et al. 2002) dan kadar serat pangan (Asp 1983), hanya dilakukan untuk tepung pisang dengan kadar pati resisten atau potensi yang tinggi sebagai sumber prebiotik.
3. Pembuatan Brownies Kukus TPM Pembuatan brownies kukus bertujuan untuk mengetahui apakah TPM dapat diaplikasikan dalam pembuatan brownies sebagai salah satu jenis produk yang diolah dengan menggunakan panas uap air (pengukusan). Selain itu, tujuan lain dari pembuatan brownies adalah untuk mengetahui retensi pati resisten tepung pisang dalam pembuatan brownies kukus TPM. Variabel peubah dalam formulasi ini adalah jumlah subtitusi tepung terigu dengan tepung pisang modifikasi. Formula yang diinginkan adalah formula dengan jumlah substitusi tepung pisang yang tinggi dan memiliki sifat sensori yang baik. Tabel 3. Formulasi brownies kukus tepung pisang modifikasi % Substitusi Tepung Pisang Modifikasi (TPM) Bahan 70 80 90 100 Telur ayam
5 buah
5 buah
5 buah
5 buah
Gula pasir
100 gram
100 gram
100 gram
100 gram
Tepung pisang 140 gram
160 gram
180 gram
200 gram
Tepung terigu 60 gram
40 gram
20 gram
-
Margarin
125 gram
125 gram
125 gram
125 gram
Valet
1 sdt
1 sdt
1 sdt
1 sdt
1 sdm
1 sdm
1 sdm
Vanila bubuk 1 sdm
15
Pembuatan brownies kukus TPM secara skematis dapa dilihat pada diagram berikut ini
Margarin
Telur, gula, ovalet
Dicairkan dengan cara dikukus
Diaduk rata dengan mixer hingga kental dan kaku
Margarin cair
Adonan ditambahkan TPM dan terigu dengan perbandingan tertentu
Diaduk hingga merata
Tambahkan margarin cair Diaduk hingga merata
Adonan ditempatkan dalam loyang yang telah diolesi margarin secukupnya
Adonan dikukus selama 25 menit dengan api yang sedang
Brownies kukus TPM Gambar 3.
Diagram alir pembuatan brownies kukus tepung pisang modifikasi (TPM) (Modifikasi Febrial 2009)
Adonan dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) telur, gula, dan valet; (2) TPM dan tepung terigu; dan (3) margarin. Margarin dicairkan dengan cara dikukus. Telur, gula, dan valet diaduk rata dengan mixer sampai mengental, kemudian ditambahkan campuran TPM dan terigu diaduk hingga merata. Proses selanjutnya, margarin yang telah dicairkan dimasukan ke dalam adonan dan diaduk hingga merata. Adonan dituangkan ke dalam loyang kemudian dikukus selama 25 menit dengan api kecil (Febrial 2009). Analisis fisik dilakukan untuk seluruh formula. Analisis fisik tersebut diantaranya adalah analisis tekstur dan analisis warna. Analisis tekstur dan warna dilakukan pada seluruh produk brownies kukus TPM untuk melihat kesesuaian antara uji fisik instrumental dengan evaluasi sensori dan untuk mengkonfirmasi produk terbaik hasil evaluasi sensori produk brownies kukus TPM apabila hasil evaluasi sensori menunjukkan bahwa tekstur atau warna setiap formula berbeda nyata taraf signifikansi sebesar 0.05. Pengukuran tekstur dilakukan dengan alat texture analyzer TAXT Stable Micro Systems yang langsung dihubungkan dengan program pengukuran tekstur pada komputer sedangkan pengukuran warna dapat langsung diukur menggunakan Chromameter CR 300 Minolta.
16
Evaluasi sensori bertujuan untuk mengetahui formula brownies kukus TPM terbaik. Uji ranking atribut dilakukan oleh setiap panelis terhadap empat atribut mutu yaitu aroma, rasa, tekstur, dan warna. Nilai ranking atribut mutu yang ditetapkan oleh setiap panelis ini kemudian dikalikan dengan nilai rating kesukaan yang ditetapkan oleh setiap panelis untuk masing-masing parameter pada setiap formula. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai total pembobotan dari masing-masing panelis untuk setiap formula. Formula terbaik yang dapat diterima adalah fomula dengan nilai total pembobotan rata-rata tertinggi dari setiap panelis. Formula terbaik berdasarkan nilai total pembobotan ini akan dikonfirmasi ulang dengan menentukan formula yang memperoleh nilai tertinggi untuk uji rating hedonik terhadap parameter oveall. Analisis kimia dilakukan pada formula terbaik yang dihasilkan dari evaluasi sensori. Skala yang digunakan dalam uji rating hedonik adalah skala 1 (tidak suka) sampai 5 (suka) dengan nilai 3 sebagai rasa antara (netral). Uji ranking hedonik dilakukan untuk mengetahui formula yang paling disukai. Panelis yang digunakan dalam uji rating, uji pembobotan, ujiranking hedonik merupakan panelis tidak terlatih sejumlah 40 orang. Rekruitmen panelis dilakukan secara acak dengan prosedur pengambilan data CLT (Central Location Test). Data yang didapatkan dari uji rating dan uji pembobotan kemudian dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji menyatakan terdapat signifikansi perbedaan pada taraf 0.05, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Data dari uji ranking kemudian dianalisis menggunakan Friedman Test. Semua data yang didapatkan dari analisis ini dievaluasi dengan menggunakan SPSS 16.0. Analisis kimia dan nilai biologis hanya dilakukan pada formula brownies kukus TPM terbaik hasil evaluasi sensori dan brownies kukus kontrol. Brownies kukus kontrol adalah brownies kukus yang tidak disubstitusi dengan tepung pisang modifikasi. Analisis kimia yang dilakukan diantaranya adalah analisis kadar pati (AOAC 1995) dan proksimat (AOAC 1995), sedangkan analisis nilai biologis diantaranya adalah analisis kadar serat pangan (AOAC 1995), kadar pati resisten in vitro (Goni et al 1997), dan daya cerna pati in vitro (Anderson et al. 2002).
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Profil Mikroflora Analisis mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari uji profil mikroflora selama fermentasi pisang 0 dan 24 jam yang meliputi bakteri mesofilik, kapang khamir dan bakteri asam laktat (Bolognani et al. 2001).
2. Analisis Kimia dan Nilai Biologis a.
Kadar Pati (AOAC 1995)
Sebanyak 3 g sampel dicuci dengan menggunakan etanol 80% sebanyak 30 ml secara maserasi untuk menghilangkan gula-gula sederhana pada suhu kamar selama 15 menit. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat mencapai 250 ml. residu kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya sampel dibiarkan untuk menguapkan eter dari residu dan dicuci lagi dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari selama 3 jam.
17
Analisis kadar pati dengan metode hidrolisis langsung oleh asam (Direct Acid Hydrolysis). Selanjutnya sebanyak 0.5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu ditambahkan 25 ml akuades dan 5 ml HCl 25%. Erlenmeyer ditutup dan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100°C. setelah dingin larutan yang terbentuk dinetralkan dengan NaOH 25%, disaring, dan ditepatkan hingga 100 ml. Penentuan kadar pati dinyatakan sebagai glukosa pada filtrat. Total glukosa dianalisis dengan menggunakan metode DNS. Sebanyak 1 ml sampel (telah dihidrolisis dengan asam, dinetralkan, disaring dan ditepatkan hingga volume 100 ml) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100°C selama 10 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Akuades digunakan sebagai blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar, yaitu 5000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 500 ppl, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm, 4500 ppm, dan 5000 ppm. Persen pati diperoleh dengan mengalikan persen glukosa dengan faktor koreksi 0.9.
% Pati =
A FP x x 100 x 0.9 S W
Keterangan : A = Absorbansi sampel S = Slope atau kemiringan kurva Fp = Faktor Pengenceran W = Berat sampel (g)
b. Kadar Pati Resisten (Goni et al. 1998) Sebanyak 100 mg sampel kering yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, kemudian ditambahkan 10 ml buffer KCl-HCl pH 1.5 (penepatan pH menggunakan HCl 2M atau NaOH 0.5M) dan dihomogenkan. Larutan pepsin (1 g pepsin/10 ml buffer KCl-HCl) ditambahkan sebanyak 0.2 ml dan dikocok. Setelah itu dimasukan ke dalam penangas air bergoyang suhu 40 0C selama 60 menit. Dinginkan pada suhu ruang dan tambahkan buffer fosfat pH 6.9 sebanyak 9 ml (penepatan pH menggunakan HCl 2M atau NaOH 0.5M). Tambahkan 1 ml larutan α-amylase (40 mg αamylase per ml buffer fosfat), dikocok dan diinkubasi selama 16 jam dalam penangas air bergoyang suhu 37 0C. Sampel disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 3000 g, kemudian supernatan dibuang. Cuci residu dengan air destilata sebanyak 10 ml, kocok lalu sentrifus kembali dan buang kembali supernatannya. Tambahkan 3 ml KOH 4M, kocok dan letakkan pada suhu ruang dengan penggoyangan yang konstan selama 30 menit. Setelah itu tambahkan 5.5 ml HCl 2M dan 3 ml buffer sodium asetat 0.4M pH 4.75 (penepatan pH menggunakan HCl 2M atau NaOH 0.5M). Tambahkan amyloglucosidase (AMG) sebanyak 80l, kocok lalu letakan pada penangas air bergoyang suhu 60 0C selama 45 menit. Sampel disentrifus kembali selama 15 menit dengan kecepatan 3000 g, supernatan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Cuci residu dengan 10 ml air destilata, sentrifus kembali dan supernatan dicampurkan dengan supernatan sebelumnya, kocok hingga homogen. Sampel kemudian diencerkan hingga 100x pengenceran. Sebanyak 0.5 ml sampel diambil, kemudian ditambahkan pereaksi fenol sebanyak 0.5 ml, dikocok, ditambahkan 2.5 ml H2SO4, diamkan pada suhu ruang selama 10 menit, kocok. Lalu diinkubasi pada suhu 27 0C selama 15 menit. Sampel diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 490 nm.
18
Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan glukosa standar 100 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar, yaitu 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, 70 ppm, 80 ppm, 90 ppm dan 100 ppm. Persen pati resisten diperoleh dengan cara mengalikan persen glukosa dengan faktor koreksi 0.9.
% Pati Resisten =
A FP x x 100 x 0.9 S W
Keterangan : A = Absorbansi sampel S = Slope atau kemiringan kurva FP = Faktor pangenceran W = Berat sampel (g)
c. Uji Daya Cerna Pati secara in vitro (Anderson et al. 2002) Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M pH 7. Pereaksi dinitrosalisilat (DNS) dibuat dengan melarutkan 1 gram 3.5-dinitrosalisilat, 30 gram NaK tartarat dan 1.6 gram NaOH dalam 100 ml akuades. Kurva standar dibuat menggunakan larutan maltosa standar, yaitu 1000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm, 800 ppm, 900 ppm dan 1000 ppm. Sebanyak 0.5 gram pati disuspensikan dalam 50 ml akuades sehingga diperoleh konsentrasi 1% w/v, kemudian dipanaskan dalam waterbath suhu 90°C selama 30 menit kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dipindahkan ke dalam tabing reaksi, ditambahkan 3 ml akuades, dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit. Sebanyak 1 ml sampel dari tabung reaksi dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat (DNS). Lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Warna merah jingga yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat (DNS) menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosesdur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-Fosfat 0.1 M pH 7.
% DC Pati =
(kadar maltosa − kadar maltosa blanko) sampel x 100% (kadar maltosa − kadar maltosa blanko)pati murni
d. Kadar Serat Pangan (Asp et al. 1983) Persiapan Sampel Sampel dikeringkan terlebih dahulu dengan oven vakum, kemudian diekstraksi lemak dengan menggunakan petroleum eter selama semalam dengan dilakukan pengadukan menggunakan stirrer. Setelah itu dikeringkan kembali dengan
19
menggunakan oven vakum. Sampel yang telah bebas lemak ditimbang sebanyak 1 gram, dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1M pH 6 dan diaduk. Penambahan buffer berguna untuk menstabilkan enzim termamyl. Ke dalam erlenmeyer ditambahkan enzim termamyl sebanyak 0.1 ml, kemudian erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100 0C selama 15 menit, lalu didinginkan pada suhu ruang. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan adalah untuk memecah pati dengan menggelatinisasi terlebih dahulu. Kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 menggunakan HCl. Pengaturan pH ini dimaksudkan agar kondisi lingkungan optimum bagi aktivitas pepsin. Setelah itu, ditambahkan pepsin sebanyak 100 mg, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 400C selama 60 menit. Air destilata ditambahkan sebanyak 20 ml, lalu pHnya diatur menjadi 6.87 (dengan menggunakan NaOH) yang merupakan pH optimum bagi aktivitas enzim pankreatin. Ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100 mg, kemudian erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 0C selama 60 menit. Lalu pH diatur menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl, kemudian disaring menggunakan kertas saring yang telah ditimbang beratnya (KS1) dan dicuci 2 kali dengan 10 ml air destilata. Setelah proses ini didapatkan residu dan filtrat. Penentuan Kadar Serat Pangan Tidak Larut (IDF) Residu yang didapat dari tahap persiapan sampel dicuci 2 kali dengan menggunakan etanol 95% 10 ml dan etanol 10 ml. Kemudian ditimbang beratnya bersama dengan kertas saring yang digunakan (KS2). Selanjutnya KS2 dikeringkan pada suhu 105 0C sampai beratnya tetap (semalam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (CW2). Residu diabukan dalam tanur pada suhu 5500C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (CW1). Penentuan Kadar Serat Pangan Larut (SDF) Filtrat yang didapat dari tahap persiapan sampel ditepatkan volumenya sampai 100 ml dengan menggunakan labu takar 100 ml. Larutan dituang ke dalam gelas piala lalu ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60 0C) dan dibiarkan mengendap selama 1 jam. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah ditimbang beratnya (KS3). KS3 ini kemudian dicuci 2 kali dengan menggunakan etanol 95% 10 ml dan dua kali dengan aseton 10 ml. Residu yang dihasilkan ditimbang bersama kertas saring yang digunakan (KS4). KS4 kemudian dikeringkan pada suhu 105 0C sampai beratnya tetap (semalam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (R2). Residu diabukan dalam tanur pada suhu 5500C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (CW3). Pembuatan Blanko Blanko untuk serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan larut (SDF) diperoleh dengan cara yang sama pada tahap persiapan sampel tetapi pada pembuatan blanko tidak digunakan sampel dan semua pereaksi yang digunakan dalam tahap persiapan sampel harus digunakan. Dari tahap pembuatan blanko juga didapat residu dan filtrat. Residu yang didapat diberikan perlakuan yang sama seperti pada tahap penentuan kadar serart pangan tidak larut. Berat residu detelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai blanko untuk penentuan kadar serat pangan tidak larut. Berat filtrat setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai blanko untuk penentuan kadar serar pangan larut. Perhitungan Serat Pangan
IDF (%bb) =
((KS2 − KS1) − (CW2 − CW1)) − B1 x 100% A X 100 100 − (Ka − Kl)
20
SDF (%bb) =
((KS4 − KS3) − (CW4 − CW3)) − B2 x 100% A X 100 100 − (Ka − Kl) TDF = IDF + SDF
Keterangan : A : Berat sampel kering bebas lemak B1 : Berat blanko bebas abu untuk IDF B2 : Berat blanko bebas abu untuk SDF Ka : Kadar air sampel Kl : Kadar lemak sampel KS1 & KS3 : Kertas saring kosong KS2 & KS4 : Kertas saring + residu CW1 & CW3: Cawan Porselen kosong CW2 & CW4: Cawan Porselen + abu
3. Analisis Fisik a.
Rendemen
Efektifitas penepungan dihitung dengan membandingkan antara berat tepung pisang modifikasi setelah penepungan dan pengayakan dengan berat pisang utuh setelah pengupasan.
µt =
Wpn x 100% Ws
Keterangan : µ : rendemen penepungan (%) Wpn : berat pisang setelah penepungan dan pengayakan (g) Ws : berat pisang setelah pengupasan
b. Derajat Warna Metode Hunter (Hutching 1994)
Analisis dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chromameters. Pada prinsipnya, Minolta Chromameters bekerja berdasarkan pengukuran perbedaan warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam (misalnya cawan petri). Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai L, a, dan nilai b terhadap sampel. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah dan hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah, dan nilai –a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Selanjutnya dihitung °Hue = arctan (b/a). Deskripsi warna °Hue dapat dilihat pada Tabel 4.
21
Tabel 4. Deskripsi warna berdasarkan °Hue °Hue [arctan (b/a)] Deskripsi warna
c.
18-54
Red (R)
54-90
Yellow Red (YR)
90-126
Yellow (Y)
126-162
Yellow Green (YG)
162-198
Green (G)
198-234
Blue Green (BG)
234-270
Blue (B)
270-306
Blue Purple (BP)
306-342
Purple (P)
342-18
Red Purple (RP)
Derajat Putih (Whiteness)
Pengukuran derajat putih dilakukan dengan menggunakan alat whieness meter Kett Electric laboratory tipe C-100-3. Sampel dimasukkan ke dalam tempat yang sudah disediakan. Nilai derajat putih dapat dilihat pada monitor dan derajat putih sampel akan semakin tinggi dengan semakin besarnya nilai yang tertera di layar. Derajat putih sampel dibandingkan dengan standar BaSO4 yang memiliki nilai hasil pengukuran 110. Derajat putih = Derajat putih sampel x 100% 110
d. Analisis Tekstur Pengukuran tekstur dilakukan dengan alat texture analyzer TAXT Stable Micro Systems yang langsung dihubungkan dengan program pengukuran tekstur pada komputer. Pada program pengukuran tekstur ini, alat diatur dengan mode measure force in compression, option Hold until time. Pre-test Speed 1.00 mm/s, Terst Speed 1.00 mm/s, Post-test speed 10.00 mm/s, strain 25%, dan chart time 60 s. Sampel diletakkan pada probe silinder dengan diameter 35 cm dan diletakan diatas permukaan yang rata. Hasil pengukuran berupa kurva yang menyatakan elastisitas dan dinyatakan dalam persen (%). Pengukuran elastistas ini dilakukan dengan membandingkan peak force minimum yaitu 60 s setelah probe menyentuh sampel dengan ketinggian peak force maksimum pada saat awal probe menyentuh sampel, dikalikan 100%.
4.
Evaluasi Sensori a.
Uji Organoleptik Metode Hedonik 5 skala (Modifikasi Soekarto 1985) Uji Organoleptik yang digunakan adalah uji rating dan ranking hedonik. Dalam uji rating hedonik, panelis diminta tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap empat formula brownies kukus. Pengujian ini menggunakan
22
skor skala kesukaan yaitu : 5 (suka), 4 (agak suka), 3 (netral), 2 (agak tidak suka), 1 (tidak suka). Parameter yang diuji secara sensori adalah aroma, rasa, tekstur, warna dan overall (keseluruhan). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat pada Lampiran 12. Dalam uji ranking hedonik, panelis diminta untuk mengurutkan empat sampel yang disajikan menurut tingkat kesukaannya. Sampel yang sangat disukai diberi nilai 1 (satu) sedangkan sampel yang sangat tidak disukai diberi 4 (empat). Sampel dengan nilai rata-rata terendah adalah adalah sampel yang paling disukai. Kuesioner uji ranking hedonik dapat dilihat pada Lampiran 11. Panelis yang digunakan dalam uji ranking dan rating hedonik merupakan panelis tidak terlatih sejumlah 40 orang. Rekruitmen panelis dilakukan secara acak dengan prosedur pengambilan data CLT (Central Location Test). Data yang didapatkan dari uji rating kemudian dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji menyatakan terdapat signifikansi perbedaan pada taraf 0.05, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Sedangkan data yang didapatkan dari uji ranking hedonik kemudian dianalisis dengan menggunakan Friedman test. Semua data dievaluasi dengan menggunakan SPSS 16.0.
b. Uji Pembobotan
Hal yang perlu dilakukan panelis pada uji pembobotan adalah mengurutkan empat parameter mutu yang akan diujikan pada uji rating hedonik yaitu aroma, rasa, tekstur, dan warna untuk mengetahui urutan parameter menurut tingkat kepentingannya pada produk brownies kukus. Pengujian ini melibatkan 40 orang panelis. Kuesioner untuk uji ranking parameter mutu ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Setiap parameter diberi skor sesuai dengan nilai ranking yang diberikan oleh setiap panelis berdasarkan tingkat kepentingannya. Skor yang didapatkan untuk setiap parameter ini kemudian akan dikalikan dengan nilai kesukaan yang ditetapkan oleh setiap panelis pada uji rating hedonik untuk masing-masing parameter pada setiap formula.
Nilai total pembobotan = (nilai uji rating x skor pembobotan)aroma + (nilai uji rating x skor pembobotan)rasa + (nilai uji rating x skor pembobotan)tekstur + (nilai uji rating x skor pembobotan)warna Nilai rata-rata total pembobotan =
∑
Nilai total pembobotan untuk setiap panelis tersebut kemudian dirata-ratakan dan didapatkanlah nilai rata-rata total pembobotan untuk setiap formula. Formula terbaik yang dapat diterima adalah fomula dengan nilai total pembobotan tertinggi. Formula terbaik berdasarkan nilai total ini akan dikonfirmasi ulang dengan menentukan formula yang memperoleh nilai tertinggi untuk uji rating hedonik terhadap parameter overall (keseluruhan).
5. Analisis Proksimat Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, abu metode tanur, protein metode mikro kjehdal, lemak metode soxhlet dan karbohidrat metode by difference (AOAC 1995). Prosedur analisis lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 20.
23
6. Analisis Statistik Seluruh proses pengolahan data secara statistik dilakukan pada taraf signifikansi (α = 5%) dengan bantuan program SPSS 16.0. Pengolahan data pun dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (Randomized Complete Design) yaitu rancangan yang disusun berdasarkan perlakuan. Perubahan Mikroflora
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGARUH FERMENTASI DAN PEMANASAN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG ULI
OTOKLAF
1. Perubahan Mikroflora dan pH Cairan Fermentasi Selama proses fermentasi irisan pisang diamati perubahan-perubahan yang terjadi meliputi pertumbuhan bakteri asam laktat, mesofilik, kapang dan khamir. Fermentasi spontan irisan pisang ini dapat menurunkan pH cairan fermentasi dari 6.19 saat 0 jam sampai 5.24 saat jam ke-24 (Lampiran 2c). Nilai pH cairan fermentasi akan turun karena diproduksinya asam laktat yang merupakan hasil metabolisme bakteri asam laktat. Beberapa strain bakteri asam laktat yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008) Berdasarkan hasil pengamatan jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh pada media MRSA meningkat dengan cepat dalam waktu 24 jam yaitu dari 1.2 x 103 cfu/ml pada jam ke0 sampai 2.0 x 108 pada jam ke-24, demikian pula dengan bakteri mesofilik yang tumbuh pada media NA meningkat dari 2.4 x 103 cfu/ml pada jam ke-0 (Lampiran 2a) sampai 3.1 x 108 cfu/ml pada jam ke-24 (Lampiran 2b). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri asam laktat adalah mikroba yang paling mendominasi selama proses fermentasi dibandingkan dengan jenis mikroba lainnya. Kapang dan khamir tidak ditemukan selama fermentasi 24 jam. Pertumbuhan bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain seperti kapang dan khamir.
Kadar pati (% bk)
2. Kadar Pati dan Pati Resisten
60 50 40 30 20 10 0
52.84 a
Tanpa Fermentasi dan Otoklaf
56.07 a,b
60.57 b
Otoklaf
Fermentasi dan Otoklaf
Perlakuan Gambar 4.
Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati tepung pisang Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa proses pemanasan otoklaf serta kombinasi pemanasan otoklaf dan fermentasi tidak dapat meningkatkan kadar pati tepung pisang otoklaf secara signifikan. Secara umum kadar karbohidrat yang tersedia (available carbohydrates) seperti gula-gula sederhana (glukosa dan fruktosa), karbohidrat rantai pendek (oligosakarida
Kadar Pati Resisten (%bk)
(rafinosa, stakiosa) dan inulin), dan pati di dalam biji-bijian yang diotoklaf tidak mengalami perubahan yang nyata dibandingkan kadar karbohidrat yang tersedia pada bahan mentahnya (Apata 2008). Kadar pati tepung pisang modifikasi hasil kombinasi proses pemanasan otoklaf dan fermentasi tidak berbeda nyata dengan kadar pati tepung pisang hasil pemanasan otoklaf. Hal ini terjadi karena proses fermentasi spontan selama 24 jam diduga tidak mengubah jumlah molekul pati yang terkandung pada pisang secara signifikan tetapi hanya dapat mengubah rasio amilosa dan amilopektin yang merupakan komponen dari molekul-molekul pati. Asamasam organik seperti asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat memotong rantai cabang pada amilopektin sehingga rantai amilopektin menjadi lurus. Proses ini akan meningkatkan jumlah amilosa yang akan berperan dalam pembentukan pati resisten tipe III (Resistant Starch III atau RS III). RS III ini akan terbentuk pada proses pemanasan otoklaf yang diikuti dengan pendinginan.
9.19 c
10 8
6.17 a
7.02 b
6 4 2 0 Tanpa Fermentasi dan Otoklaf
Otoklaf
Fermentasi dan Otoklaf
Perlakuan Gambar 5.
Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang. Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa proses modifikasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli. Kadar RS tepung pisang uli tanpa modifikasi adalah 6.17% bk. Kadar RS yang terhitung pada tepung pisang uli ini kemungkinan sebagian besar adalah RS II yang merupakan RS alami yang terdapat pada buah pisang. Proses pemanasan otoklaf ternyata dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang menjadi 7.02% bk. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 4d), diketahui bahwa kadar RS tepung pisang tanpa modifikasi ini berbeda nyata dengan kadar RS tepung pisang pemanasan otoklaf. Hasil ini menunjukkan bahwa proses pemanasan otoklaf dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang secara signifikan (p<0.05). Proses pemanasan otoklaf yang dikombinasikan dengan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang lebih tinggi lagi menjadi 9.19% bk yang berbeda nyata (Lampiran 4d) dengan kadar RS tepung pisang tanpa modifikasi. Hasil ini memperlihatkan bahwa proses pemanasan otoklaf maupun kombinasi antara proses pemanasan otoklaf dan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli secara signifikan (p<0.05). Proses modifikasi yang merupakan kombinasi antara pemanasan otoklaf dengan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang lebih tinggi (48.95%) dibandingkan dengan proses pemanasan otoklaf tanpa fermentasi (13.78) (Lampiran 4d). Hal ini sejalan dengan pernyataan Sajilata (2006) bahwa linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan pada suhu otoklaf. Berry (1989) dan Saguilan (2005) pun menyatakan bahwa pati yang mengalami perlakuan lintnerisasi (hidrolisis sebagian menggunakan asam), pemanasan dan pendinginan menunjukkan kandungan pati resisten yang lebih tinggi dikarenakan adanya
26
peningkatan rantai linier glukan. Oleh sebab itu, pati yang telah mendapat perlakuan ini cenderung mudah mengalami retrogradasi yang pada gilirannya memicu terbentuknya RS yang lebih besar. Peningkatan kadar RS tepung pisang modifikasi hasil kombinasi pemanasan otoklaf dan fermentasi kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin dari pati tepung pisang akibat hidrolisis oleh asam (pada jumlah tertentu) yang diproduksi oleh bakteri asam laktat selama fermentasi spontan 24 jam. Proses lintnerisasi (hidrolisis asam sebagian) dapat menurunkan bobot molekul pati, bila proses ini diikuti dengan retrogradasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten kacang polong kirakira 20% (Lehmann et al. 2003). Proses debranching, autoclaving, dan cooling ini ternyata hanya dapat meningkatkan kandungan RS tepung pisang uli dari 6.17% bk menjadi 9.19% bk. Saguilan et al. (2005) melaporkan bahwa bila pemanasan dilakukan pada pati pisang (bukan tepung seperti pada penelitian ini) maka pemanasan otoklaf suhu 121°C selama 1 jam dapat meningkatkan kadar RS pati pisang dari 1.51% menjadi 16.02%. Kadar RS ini dapat lebih ditingkatkan dengan linierisasi amilopektin dengan menggunakan asam. Kadar RS III pati pisang yang telah dihidrolisis dengan HCl 0.1 M dan diberi perlakuan pemanasan otoklaf meningkat menjadi 19.34%. Menurut Sajilata (2006), hal yang mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan adalah rasio pati dan air dalam pembuatan RS dan proses pemanasan yang akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan. Dalam proses pembuatan tepung pisang modifikasi dilakukan pembuangan air rendaman fermentasi atau penirisan. Pembuangan air rendaman fermentasi mengakibatkan sedikitnya jumlah air yang terlibat dalam proses gelatinisasi selama pemanasan otoklaf. Pembuangan air rendaman fermentasi bertujuan untuk menghindari rusaknya struktur primer dan terbentuknya pulp akibat pemanasan pada suhu yang tinggi. Hal lain yang mungkin menyebabkan rendahnya pembentukan RS III ini adalah proses modifikasi dilakukan pada irisan pisang tanpa mengisolasi patinya terlebih dahulu. Irisan pisang memiliki matriks yang lebih kompleks dibandingkan dengan pati alami pisang yang telah diisolasi karena banyak molekul lain selain pati pada irisan pisang yang dapat menghambat proses debranching dan retrogradasi pati. Gula seperti glukosa, maltosa, sukrosa, dan ribosa diketahui dapat menurunkan tingkat kristalisasi dan menurunkan kadar RS. Hal ini terjadi karena proses retrogradasi dapat dihambat oleh interaksi antara molekul gula sederhana dan rantai molekul pati yang dapat mengubah matriks dari pati yang tergelatinisasi (Kohyama dan Nishinari 1991). Kandungan gula pada pisang jenis plantain mencapai 66% bk (Ketiku (1973) yang diacu dalam Gowen (1995)). Kandungan gula sederhana yang tinggi ini diduga dapat menghambat proses retrogradasi dalam pembentukan RS III. Pada Gambar 5 terlihat bahwa tepung pisang uli memiliki kecenderungan peningkatan kadar RS ketika dilakukan proses modifikasi. Hasil analisis kadar pati resisten pada tepung pisang uli baik tanpa atau dengan modifikasi memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdillah (2010) sebelumnya dengan menggunakan pisang tanduk sebagai bahan baku dalam pembuatan tepung pisang modifikasi. Kombinasi proses fermentasi dan pemanasan otoklaf akan meningkatkan kadar RS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proses pemanasan otoklaf tanpa kombinasi dengan fermentasi. Tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki daya cerna pati yang rendah yaitu 58.96 % (Lampiran 6a). Daya cena pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana). Pati resisten (RS) tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat, sehingga RS akan mencapai kolon dan difermentasi oleh mikroflora. Setelah mencapai kolon, RS difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (Sajilata 2006). Rendahnya daya cerna pati membuat tepung pisang modifikasi ini sangat potensial untuk dijadikan bahan baku produk pangan prebiotik. Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif terhadap bakteri di dalam usus (Lactobacilii dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004).
27
3. Derajat Putih Selain memiliki perbedaan kandungan pati dan pati resisten, ketiga jenis tepung pisang uli ini yaitu tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf, dan tepung pisang modifikasi memiliki perbedaan derajat putih (%). Derajat putih merupakan faktor kualitas utama dari tepung-tepungan (Hutching 1994). Whiteness Meter Model C-100 digunakan untuk mengukur tingkat warna putih ketiga jenis tepung pisang ini. Prinsip pengukuran tingkat warna ini adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor fotoiodida.
Gambar 6.
Penampakan tiga jenis tepung pisang (Dari kiri ke kanan: Tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf dan tepung pisang modifikasi)
Gambar 6 diatas menunjukkan perbedaan derajat putih tiga jenis tepung pisang. Berdasarkan hasil analisis ragam, derajat putih ketiga jenis tepung pisang tersebut berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 1c). Tepung pisang tanpa modifikasi memiliki derajat putih yang paling tinggi (51.18%) dibandingkan dengan dua jenis tepung pisang lainnya dengan BaSO4 (110.8% derajat putih) sebagai standar. Tepung pisang dengan pemanasan otoklaf memiliki derajat putih 24.40%, nilai ini lebih rendah dibandingkan tepung pisang tanpa modifikasi. Tepung pisang dengan derajat putih terendah (17.20%) adalah tepung pisang hasil modifikasi kombinasi fermentasi dan pemanasan otoklaf. Secara umum tepung pisang uli baik tanpa maupun dengan modifikasi memiliki derajat putih yang rendah dibandingkan dengan derajat putih tepung pada umumnya. Masalah yang dihadapi saat pembuatan tepung pisang adalah adanya reaksi pencoklatan. Pencoklatan non-enzimatis adalah reaksi yang umum terjadi pada pengolahan bahan makanan terutama pada pengolahan makanan yang banyak mengandung gula. Pencoklatan non-enzimatis ini terjadi saat proses otoklaf dan pengeringan irisan pisang. Reaksi inilah yang menyebabkan derajat putih tepung pisang umumnya lebih rendah dibandingkan dengan jenis tepung lainnya. Berdasarkan hasil penelitian penduhuluan diketahui bahwa pengeringan terbaik dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 600C selama 3 jam karena pada suhu dan waktu tersebut chip pisang yang dihasilkan lebih cepat kering sehingga tidak mengalami oksidasi berlebihan yang dapat menyebabkan warna chip pisang menjadi lebih gelap. Selain pencoklatan non-enzimatis rendahnya derajat putih tepung pisang pun disebabkan pisang mudah mengalami reaksi pencoklatan enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis akan terjadi antara senyawa fenol dengan enzim fenolase atau senyawa polifenol dengan enzim polifenolase yang terdapat pada pisang. Enzim ini akan mengkatalisa reaksi oksidasi senyawa fenol dan polifenol seperti katekol, tyrosin, asam galat, dan lain-lain menjadi keton. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi pada kondisi cukup oksigen yaitu selama pengupasan dan pengirisan pisang. Proses modifikasi mengakibatkan derajat putih tepung pisang semakin rendah. Hal ini terjadi karena pisang tidak hanya mengalami proses pencoklatan non-enzimatis karena proses pengeringan, tetapi pisang pun mengalami reaksi pencoklatan non-enzimatis berlebihan akibat oksidasi selama fermentasi dan pemanasan otoklaf. Fennema (1996) menyatakan bahwa pencoklatan non-enzimatis dapat terjadi karena reaksi Maillard maupun karamelisasi. Reaksi Maillard terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi terutama D-glukosa dan
28
asam amino bebas atau gugus amina bebas pada asam amino yang merupakan unit terkecil dari rantai protein. Sedangkan reaksi karamelisasi terjadi karena proses pemanasan karbohidrat dalam hal ini sukrosa dan gula pereduksi tanpa adanya komponen yang mengandung nitrogen. Proses pemanasan ini dapat menyebabkan dehidrasi gula yang akan menghasilkan senyawa furan yang berwarna coklat.
4. Komposisi Kimia Proksimat Komposisi kimia tepung pisang modifikasi (TPM) secara proksimat meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (Lampiran 9). Kadar air TPM (10.14% bk) memenuhi persyaratan kadar air menurut SNI yaitu 12%. Kadar abu menunjukkan jumlah total mineral yang terdapat pada tepung pisang. Jumlah mineral pada TPM adalah 2.12% bk. Kadar lemak TPM sangat rendah yaitu hanya sekitar 0.2% bk. Kadar protein TPM sangat rendah yaitu hanya sekitar 5.27% bk. TPM dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat dan kalori karena kadar karbohidrat yang tinggi yaitu 92.41% bk. Tersedianya tepung pisang dalam jumlah yang cukup dan memiliki kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan makanan sumber kalori dan menambah variasi penyediaan makanan sebagai sumber karbohirdrat. Dengan demikian tepung pisang dapat memperingan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman 1982).
B. PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI (TPM) TERHADAP MUTU BROWNIES KUKUS Bahan penyusun utama pembuatan brownies kukus TPM antara lain telur, lemak, gula, tepung pisang modifikasi (TPM), dan terigu. TPM digunakan sebagai bahan dasar pembuatan brownies kukus karena memiliki karakteristik fisik dan kimia yang baik sebagai bahan dasar pembuatan pangan fungsional. Dalam pembuatan brownies kukus ini, TPM dijadikan sebagai bahan untuk mensubstitusi tepung terigu. Variabel peubah dalam setiap formula adalah jumlah tepung pisang modifikasi yang mensubstitusi tepung terigu. Selain itu dalam pembuatan brownies kukus ini pun tidak dilakukan penambahan coklat karena karakteristik warna yang dimiliki tepung pisang modifikasi dapat memberikan warna coklat yang dibutuhkan dalam pembuatan brownies kukus. Formulasi dilakukan untuk menentukan substitusi TPM yang tepat (Tabel 3). Formula yang diinginkan adalah formula dengan jumlah substitusi tepung pisang modifikasi yang tinggi dan masih memberikan sifat fisik dan sensori yang diinginkan. Karakteristik tekstur dari brownies umumnya agak bantat dan tidak membutuhkan pengembangan gluten sebagaimana cake. Oleh karena itu substitusi tepung terigu oleh TPM dapat dilakukan dengan baik mulai dari 70%, 80%, 90%, hingga 100%.
1. Pengukuran Objektif Sifat Fisik Produk a.
Warna
Pengukuran warna dilakukan menggunakan Minolta Chromameter untuk mengetahui nilai objektif warna produk. Karakteristik warna dari keempat formula brownies kukus TPM dapat dilihat pada Tabel 5. Deteksi warna menggunakan Minolta Chromameter menghasilkan nilai L, a, b. Berdasarkan nilai L, a, dan b inilah didapatkan nilai hue yang menunjukkan sudut warna yang dimiliki oleh warna sampel. Warna brownies kukus TPM ini dapat diidentifikasi dengan memplotkan nilai h° pada grafik warna CIELAB (Gambar 8).
29
Tabel 5.
Pengaruh substitusi TPM terhadap karakteristik warna brownies kukus TPM Deskripsi Subsitusi TPM (%) L rata-rata h° rata-rata warna 70 80 90
64.24a
Kuning merah
38.39
b
Kuning merah
c
Kuning merah
d
Kuning merah
35.34
100 Keterangan:
39.05
35.28
62.56
61.23 58.17
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) L : tingkat kecerahan (0= hitam mutlak, 100= putih) ho : hue angle
Berdasarkan hasil perhitungan dengan sistem warna Hunter L, a, b, keempat formula brownies kukus TPM memliki nilai °h pada kisaran 54 - 90°. Nilai ini terletak pada kuadran I grafik warna CIELAB. Pada kisaran ini, produk dapat dideskripsikan memiliki warna kuning merah. Dari analisis ragam (Lampiran 7b) diketahui bahwa warna dari keempat formula brownies kukus TPM ini berbeda nyata (p<0.05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 7c), menunjukkan bahwa masing-masing tingkat substitusi tepung pisang berpengaruh nyata terhadap nilai °h. Formula substitusi 70% TPM memiliki nilai °h tertinggi yaitu 62.24°, sedangkan formula dengan nilai °h terendah adalah formula substitusi 100% TPM dengan nilai °h sebesar 62.56°. Semakin tinggi nilai °h, maka warna kuning akan lebih mendominasi dibandingkan dengan warna merah, sedangkan semakin rendah nilai °h, maka warna merah akan lebih mendominasi dibandingkan dengan warna kuning. Semakin tinggi jumlah substitusi TPM maka warna merah akan semakin mendominasi warna produk, sedangkan semakin rendah jumlah substitusi TPM maka warna merah akan lebih mendominasi dibandingkan dengan warna kuning.
Gambar 7. Grafik warna CIELAB
Nilai L (Lightness) menunjukkan tingkat kecerahan suatu bahan. Nilai L dalam sistem munsell sama dengan nilai value (Pomeranz 1980). Formula substitusi 70% TPM dengan memiliki nilai L tertinggi yaitu 39.05 sedangkan formula dengan nilai L terendah (35.28) adalah formula substitusi 100%. Dengan demikian semakin tinggi tingkat substitusi TPM akan mengakibatkan kecerahan produk semakin berkurang, intensitas warna kuning berkurang dan intensias warna merah meningkat, artinya produk yang dihasilkan semakin gelap.
30
b. Tekstur
Parameter tekstur, dalam hal ini springiness atau elastisitas yang berhubungan dengan tingkat kelembutan juga dilakukan secara objektif dengan instrument texture analyzer TAXT Stable Micro Systems. Berikut ini adalah karakteristik tekstur keempat formula brownies.
Tabel 6. Pengaruh Substitusi TPM terhadap karakteristik tekstur brownies kukus TPM Tingkat substitusi TPM (%) Elastisitas rata-rata (%)
Keterangan:
70
61.29a
80
60.87a
90
60.26a
100
59.46a
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 8b), diketahui bahwa tekstur keempat formula brownies kukus tepung pisang ini tidak berbeda nyata (p<0.05). Masing-masing tingkat substitusi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap elastisitas atau tekstur brownies kukus TPM.
2. Evaluasi Sensori a.
Uji Rating Hedonik
Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu uji afektif kuantitatif yang mengukur tingkat penerimaan dan tingkat respon pribadi panelis tentang kesukaan atau ketidaksukaan. Keempat formula brownies kukus TPM yang dihasilkan kemudian dianalisis mutu organoleptiknya dengan uji rating hedonik pada taraf kepercayaan 95% dengan parameter mutu tekstur, aroma, rasa, warna dan overall.
1) Warna
Hasil evaluasi sensori panelis terhadap warna brownies kukus TPM menunjukkan bahwa warna yang paling disukai diperoleh dari 70%, 80%, dan 100% substitusi TPM. Nilai mutu warna ketiga formulasi ini berada pada rentang empat dan lima, yang berarti berada pada kriteria suka sampai sangat suka. Gambar 8 berikut menunjukan nilai mutu warna empat formula brownies kukus TPM.
31
Nilai Mutu Warna
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4.2 b
4.2 b 3.8 a
70%
80%
90%
4.1 a,b
100%
Substitusi TPM (%) Gambar 8.
Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu warna brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 14b), diketahui bahwa tingkat substitusi TPM memberikan perbedaan nyata (p<0.05) terhadap warna brownies kukus. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 14c) menunjukkan bahwa mutu sensori warna brownies kukus 80% substitusi TPM ini berbeda nyata (p<0.05) dengan brownies kukus 90% substitusi TPM. Selain itu hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 14c) menunjukkan bahwa mutu sensori warna brownies kukus 80% substitusi TPM tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan brownies kukus substitusi TPM 70% maupun 100%. Hasil ini berbeda dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 7c) dari hasil analisis menggunakan alat Minolta Chromameters yang menyatakan bahwa masingmasing tingkat substitusi TPM memberikan perbedaaan yang nyata (p<0.05) pada mutu sensori warna brownies kukus.
2) Tekstur
Tekstur yang diharapkan untuk produk brownies kukus adalah tekstur yang halus, lembut dan kompak. Hasil evaluasi sensori panelis terhadap tekstur brownies kukus TPM menunjukkan bahwa tekstur yang paling disukai diperoleh dari 70% substitusi TPM. Dari Gambar 9 terlihat bahwa brownies kukus dengan 70% substitusi TPM memperoleh nilai tertinggi yaitu 3.7. Nilai ini berada pada rentang empat dan lima, yang berarti berada pada kriteria suka sampai sangat suka. Terlihat bahwa terdapat pola penurunan nilai mutu tekstur dari tingkat substitusi 70% ke 100% TPM. Pola penurunan ini terjadi seiring penambahan TPM pada formula. Dengan semakin bertambahnya jumlah TPM yang mensubstitusi tepung terigu, daya ikat adonan pun akan semakin berkurang. Hal inilah menyebabkan tekstur menjadi kurang kompak.
32
Nilai Mutu Tekstur
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3.7 c 3.1 b
3.0 a,b 2.6 a
70%
80%
90%
100%
Substitusi TPM (%) Gambar 9.
Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu tekstur brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 15b), diketahui bahwa tingkat substitusi TPM berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap tekstur dari setiap formula. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15c) menunjukkan bahwa mutu sensori tekstur brownies kukus dengan 70% substitusi TPM berbeda nyata (p<0.05) dengan ketiga brownies kukus lainnya. Hasil tersebut berbeda dengan hasil analisis ragam sifat fisik tekstur (Lampiran 8c) yang diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT Stable Micro Systems yang menunjukkan masing-masing tingkat substitusi TPM tidak memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) pada mutu sensori tekstur brownies kukus. Ketidaksesuaian antara hasil evaluasi sensori dengan hasil pengukuran objektif ini mungkin terjadi karena panelis tidak hanya dapat mengukur tingkat elastisitas tetapi juga dapat mengukur sifat tekstur lainnya seperti tingkat kehalusan produk dan tekstur brownies yang berpasir akibat penambahan TPM.
3) Rasa
Pada produk brownies kukus, rasa menjadi parameter paling utama dan memiliki nilai bobot tertinggi dalam menentukan nilai kuantitatifnya. Hasil evaluasi sensori panelis terhadap warna brownies kukus TPM menunjukkan bahwa rasa yang paling disukai diperoleh dari 70%, 80%, dan 90% substitusi TPM. Nilai mutu rasa dari ketiga formula ini berada pada rentang tiga dan lima, yang berarti berada pada kriteria netral sampai sangat suka.
33
Nilai Mutu Rasa
5
4.2 b
4
3.9 b
3.8 b 3.3 a
3 2 1 0 70%
80%
90%
100%
Substitusi TPM (%) Gambar 10. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu rasa brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) Dari Gambar 10 diketahui bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah substitusi TPM, tingkat penerimaan konsumen terhadap rasa pun semakin menurun. Hasil analisis ragam (Lampiran 16b), diketahui bahwa tingkat substitusi TPM memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap rasa brownies kukus. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rasa brownies kukus 100% substitusi TPM berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan rasa dari ketiga formula lainnya, namun rasa brownies kukus 70% substitusi TPM tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan brownies kukus 80% maupun 90% substitusi TPM.
Nilai Mutu Aroma
4) Aroma
5
4.8 b
4.5 a,b
4.3 a
4.2 a
70%
80%
90%
100%
4 3 2 1 0 Substitusi TPM (%)
Gambar 11. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu aroma brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) Hasil evaluasi sensori panelis terhadap aroma brownies kukus TPM menunjukkan bahwa aroma yang paling disukai diperoleh dari 70% dan 80% substitusi TPM. Nilai mutu aroma kedua formula tersebut berada pada rentang empat dan lima, yang berarti berada pada kriteria suka sampai sangat suka. Dari Gambar 11 diketahui bahwa peningkatan jumlah substitusi TPM akan menurunkan penerimaan konsumen terhadap aorma brownies kukus TPM. Dari hasil analisis ragam (Lampiran 17b), diketahui bahwa tingkat substitusi TPM
34
berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap aroma brownies kukus. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 17c) menunjukkan bahwa mutu sensori aroma brownies kukus 70% substitusi TPM ini berbeda nyata (p<0.05) dengan brownies kukus 90% dan 100%. Selain itu, mutu sensori aroma brownies kukus 70% substitusi TPM tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan brownies kukus 80% substitusi TPM.
5) Overall (keseluruhan)
Nilai Mutu Sensori Overall
Hasil evaluasi sensori panelis terhadap nilai mutu overall brownies kukus TPM menunjukkan bahwa nilai mutu overall yang paling disukai diperoleh dari 70% substitusi TPM. Dari Gambar 12 diketahui bahwa produk dengan 70% substitusi TPM mempunyai nilai tertinggi yaitu 4.3. Nilai tersebut berada pada rentang empat sampai lima, yang berarti berada pada kriteria suka suka sampai sangat suka.
5
4.3c 3.6b
4
3.5b 3.0a
3 2 1 0 70%
80%
90%
100%
Substitusi TPM (%) Gambar 12. Pengaruh tingkat substitusi TPM terhadap nilai mutu overall brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Dari hasil analisis ragam (Lampiran 18b), diketahui bahwa tingkat substitusi TPM memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) terhadap mutu sensori overall dari brownies kukus TPM. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 18c) menunjukkan bahwa mutu sensori overall brownies kukus 70% substitusi TPM ini berbeda nyata (p<0.05) dengan ketiga brownies kukus TPM lainnya. Hasil pengujian terhadap mutu sensori overall ini sejalan dengan hasil pengujian terhadap masing-masing mutu sensori. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa brownies kukus 70% substitusi TPM menempati posisi sebagai produk yang paling disukai baik dalam mutu sensori warna, tekstur, rasa, maupun aroma. Brownies kukus 70% substitusi TPM memiliki tekstur yang berbeda nyata dengan ketiga brownies kukus TPM lainnya, namun dalam mutu sensori warna, rasa, dan aroma, brownies kukus 70% substitusi TPM tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan brownies kukus 80%. Selain itu, brownies kukus 70% dan 90% substitusi TPM tidak memiliki rasa yang berbeda nyata. Brownies kukus 70% TPM pun tidak memilki warna yang berbeda nyata dengan brownies kukus 100% TPM.
35
b. Uji Pembobotan
Berdasarkan hasil uji rating hedonik dari masing-masing mutu sensori pada setiap formula, dilakukan pembobotan untuk memperoleh formula terbaik. Masing-masing formula dinilai keseluruhan mutu sensorinya berdasarkan nilai total pembobotan yang diperoleh dari setiap panelis. Hasil penilaian setiap panelis dalam uji rating hedonik terhadap empat mutu sensori brownies kukus (rasa, aroma, warna, dan tekstur) pada masing-masing formula dikalikan dengan nilai ranking dari setiap mutu sensori berdasarkan tingkat kepentingannya menurut masing-masing panelis. Nilai total pembobotan dari setiap panelis kemudian dirataratakan dan didapatkan nilai total pembobotan rata-rata untuk masing-masing formula (Lampiran 13b).
Nilai Total Pembobotan
50 41.05a
40
37.70b
37.35b
80
90
34.43b
30 20 10 0 70
100
% Substitusi TPM Gambar 13. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai total pembobotan rata-rata brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambar 13 menunjukkan bahwa 70% substitusi TPM merupakan formula terbaik dengan nilai total pembobotan tertinggi yaitu 41.05. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai total pembobotan untuk 70% substitusi TPM berbeda nyata (p<0.05) dengan 80%, 90%, dan 100% substitusi TPM, sedangkan nilai total pembobotan untuk 80%, 90% dan 100% substitusi TPM tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 13 c,d). Sebagai pembanding digunakan parameter overall (penilaian menyeluruh). Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai mutu sensori overall tertinggi diantara keempat formula ini diperoleh produk dengan 70% substitusi TPM yaitu 4.33 yang berada pada kisaran agak suka sampai suka. Hasil ini sesuai dengan hasil pembobotan yang menunjukkan bahwa 70% substitusi TPM adalah formula terbaik.
c.
Uji Ranking Hedonik Berdasarkan analisis statistik menggunakan Friedman Test diketahui bahwa 70% substitusi TPM adalah formula yang paling disukai dengan nilai ranking rata-rata yaitu 1.8 (Lampiran 19b). Berdasarkan hasil uji rating hedonik, uji pembobotan dan uji ranking hedonik diperoleh 70% substitusi TPM sebagai formula terbaik. Gambar 14 berikut ini menunjukkan grafik ranking hedonik rata-rata untuk setiap tingkat substitusi.
36
4 3.4
Ranking rata-rata
3.5 2.7
3 2.2
2.5 2
1.8
1.5 1 0.5 0 70%
80%
90%
100%
Substitusi TPM (%) Gambar 14. Pengaruh susbstitusi TPM terhadap ranking kesukaan rata-rata brownies kukus TPM
C. KARAKTERISTIK
KIMIA FORMULA BROWNIES KUKUS TPM
TERBAIK 1. Pati Resisten (Resistant Starch atau RS)
Kadar Pati Resisten (%bk)
Proses substitusi TPM yang memiliki kandungan RS dan serat pangan yang tinggi pada pembuatan brownies kukus dapat meningkatkan kandungan RS dan serat pangan pada brownies kukus tersebut. Hasil analisis paired-samples T test menunjukkan bahwa penambahan TPM berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM, brownies kukus TPM memiliki kadar RS yang lebih tinggi dibandingkan dengan brownies kukus kontrol (100% terigu) (Lampiran 4e). Kadar RS brownies kukus TPM adalah 1.51% bk, sedangkan kadar RS brownies kontrol hanya 0.25% bk. Hal ini menunjukkan bahwa formula terbaik yaitu substitusi 70% TPM dapat meningkatkan kadar RS brownies kukus sebanyak 6 kali lipat.
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
1.51 b
0.25 a
100% terigu
70% TPM
Substitusi (%) Gambar 15. Pengaruh proses substitusi TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada paired-samples T test, (p<0.05)
37
RS yang terhitung pada brownies kukus TPM sebagian besar adalah adalah RS III yang terbentuk selama proses modifikasi pati pada saat pembuatan TPM, sedangkan RS yang terhitung pada brownies kukus kontrol (100% terigu) adalah RS II. RS II adalah RS yang secara alami terbentuk karena proses kristalisasi struktur granula pati. Proses inti dalam pembuatan brownies kukus adalah pengukusan. Pengukusan (steaming) merupakan salah satu teknik pengolahan produk cake yang menggunakan uap air panas bersuhu 1000C. Perubahan kadar RS akibat proses pengukusan dapat diketahui dengan melakukan perhitungan kadar RS untuk setiap bahan yang berpotensi sebagai sumber RS dalam pembuatan brownies kukus TPM. Selain itu, perhitungan kadar RS pun dilakukan pada formula terbaik brownies kukus TPM dan brownies kukus 100% terigu sebagai kontrol. Perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa sumber RS utama adalah tepung pisang modifikasi (TPM), sedangkan sumber RS setelah pengukusan adalah tepung terigu dan TPM. Gambar 16 dan 17 menunjukkan diagram kesetimbangan massa pembuatan brownies TPM serta perhitungan jumlah RS sebelum dan setelah proses pengukusan. Diagram ini membantu perhitungan perubahan kadar RS setelah proses pengukusan dalam pembuatan brownies kukus TPM. Berikut ini adalah diagram alir pembuatan brownies kukus TPM beserta perhitungan jumlah RS sebelum dan setelah pengukusan.
Telur bb: 156.25 g MIX 1 Gula bb: 50 g
TPM bb: 70 g ka: 10.14% bk: 62.9 g RS: 9.19% bk
MIX 3
MIX 2 Tepung terigu bb: 30 g KA: 14% bk: 25.8 g Margarin bb: 62.5
STEAMING 100OC
Margarin cair
STEAMING 100oC 25 menit
Air
Brownies Kukus TPM bb: 445.35 g KA: 37.28% bk: 279.32 g RS1: 1.51% bk brownies tp.pisang RS2: 0.25% bk brownies kontrol
Gambar 16. Diagram kesetimbangan massa pembuatan brownies kukus TPM
38
Brownies kukus TPM (bk: 279.32 g) RS: 1.51 g/ 100 g bk brownies 4.22 g/ 279.32 g bk brownies
Adonan sebelum dikukus (bk: 279.32 g) RS: 2,07 g/ 100 g bk adonan 5.78 g/ 279.32 g bk adonan Tepung terigu (bk: 25.8 g) TPM (bk: 62,9 g) RS: 9.19 g/ 100 g bk TPM 5.78 g/ 62.9 g bk TPM
STEAMING 100°C 25’
Tepung terigu (bk: 25.8 g) RS: 0.29 g/ 100 g bk terigu 0.075 g 25.8 g bk terigu TPM (bk: 62.9 g) RS: 6.59 g/ 100 g bk TPM 4.14 g/ 62.9 g bk TPM
Gambar 17. Diagram perhitungan kadar RS III sebelum dan setelah proses pengukusan dalam pembuatan brownies kukus TPM
Diagram tersebut memperlihatkan bahwa kadar RS pada adonan brownies sebelum pengukusan adalah 2.07 g/100 g bk adonan sedangkan kadar RS pada brownies kukus TPM setelah dilakukan pengukusan hanya 1.51 g/100 g bk brownies kukus TPM. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kadar RS dalam adonan menurun sebanyak 0.56 g/100 g bk atau menurun sebesar 27.05%. Retensi RS pada adonan brownies kukus TPM terhadap proses pengukusan adalah 71.95%. Perhitungan retensi RS tersebut masih melibatkan tepung terigu sebagai salah satu bahan yang berpotensi membentuk RS setelah proses pengukusan. Untuk itu dilakukan perhitungan retensi RS berdasarkan berat kering TPM. Diagram perhitungan kadar RS pada Gambar 17 memperlihatkan bahwa kadar RS pada TPM sebelum pengukusan adalah 9.19 g/ 100 g bk, sedangkan kadar RS pada TPM setelah pengukusan adalah 6.59 g/ 100 g bk. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa kadar RS menurun sebanyak 2.6 g/ 100 g bk atau menurun sebesar 28.29%. Retensi RS pada TPM terhadap pengukusan adalah 70.71%. Nugent (2005) menyatakan bahwa kondisi pengolahan dapat meminimalkan resistensi RS III. Pemasakan dengan kadar uap air atau kelembaban dan suhu yang tinggi dapat menurunkan kandungan RS secara signifikan dengan merusak struktur struktur kristal pati. Penurunan kadar RS ini diduga terjadi karena proses gelatinisasi selama pengukusan. Proses pengukusan adalah proses pengolahan menggunakan uap air panas pada keadaan jenuh. Proses gelatinisasi umumnya terjadi pada suhu 40 - 120°C tergantung pada asal tanaman dan kadar amilosanya. Kondisi pengolahan dengan melibatkan air dan panas ini akan berpengaruh terhadap struktur polimer pati karena terjadinya proses gelatinisasi. Struktur awal polimer pati yang telah teretrogradasi (RS III) pada TPM dalam adonan brownies sebelum pengukusan adalah kristalin. Pada saat pengukusan kemungkinan struktur kristal RS ini akan berubah bentuk menjadi amorf kembali. Mekanisme perubahan bentuk kristalin menjadi bentuk amorf kembali ini sama seperti mekanisme penyerapan air ke dalam granula ketika terjadinya gelatinisasi. Mekanisme penyerapan air tersebut disebabkan oleh molekul-molekul amilosa yang secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen tersebut akan semakin melemah dengan naiknya suhu pengukusan. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga mudah berpenetrasi tetapi ikatan hidrogen antar molekul air pun semakin melemah. Akhirnya, jika suhu suspensi meningkat, air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa sehingga akan mengubah struktur kristal amilosa menjadi amorf kembali. Proses ini juga yang menyebabkan tingginya kadar air brownies kukus tepung pisang modifikasi. Proses gelatinisasi yang terjadi selama pengukusan ini kemungkinan tidak diikuti dengan retrogradasi. Dalam pembuatan brownies kukus TPM (Gambar 16) digunakan margarin dan telur yang berfungsi sebagai sumber lemak dan emulsifier dalam jumlah yang
39
cukup banyak. Dalam pembuatan brownies kukus ini diduga terjadi pembentukan kompleks antara molekul pati dengan lemak tersebut. Pembentukan kompleks pati (amilosa) dan lemak ini dapat menurunkan pembentukan RS (Czuchajowska et al. 1991). Fennema (1996) menyatakan bahwa proses retrogradasi dapat dihambat karena terbentuknya kompleks pati dan lemak polar (emulsifier dan asam lemak). Terhambatnya proses retrogradasi ini menyebabkan tidak terbentuknya RS III selama proses pengukusan.
2. Serat Pangan Tepung pisang modifikasi (TPM) mengandung serat pangan total yang tinggi yaitu 18.38% bk (Lampiran 5a). Serat pangan total (Total Dietary Fibrer atau disingkat TDF) terdiri dari komponen serat pangan larut (Soluble Dietary Fiber atau disingkat SDF) dan serat pangan tidak larut (Insoluble Dietary Fiber atau disingkat dengan IDF). TPM memiliki kadar SDF rata-rata sebesar 10.95% bk (Lampiran 5a). Pisang mengandung inulin dalam jumlah yang cukup tinggi. Tungland (2000) melaporkan bahwa kadar inulin pisang mentahkering adalah 0.9 - 2.0%. Kandungan inulin pada pisang ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kadungan SDF pada TPM. Inulin disetarakan dengan SDF dan dapat difermentasi, karena sifatnya yang tidak dapat dihidrolisis tetapi dapat difermentasi oleh koloni mikroflora dalam usus besar, hal ini akan mempengaruhi fungsi fisiologis sistem pencernaan (Tungland, 2000). Ikatan 1,2- dan 2,6-β-glikosidik pada rantai inulin menyebabkan inulin resisten terhadap enzim-enzim pencernaan mamalia seperti disakaridase (sukrase, maltase, isomaltase atau laktase) yang dihasilkan oleh mukosa usus dan α-amilase yang dihasilkan oleh pankreas (Oku et al. 1984). Selain memiliki kadar SDF yang tinggi, TPM pun memiliki kadar IDF yang tinggi yaitu 7.43% bk (Lampiran 5a). Penyebab tingginya kadar IDF pada TPM adalah pembentukan RS III melalui proses modifikasi yaitu linierisasi amilopektin selama fermentasi dan retrogradasi selama pendinginan yang dilakukan setelah proses gelatinisasi selama pemanasan. Haralampu (2000) menyatakan bahwa dalam analisis, RS akan teruji sebagai IDF tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti SDF. Oleh karena itu, terbentuknya RS III dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar IDF dan TDF pada tepung pisang.
12
10.08 b
Kadar (%bk)
10 8 5.68 b
6
4.4 b
4 2
2.38 a 0.91 a
1.47 a
0 IDF
SDF
TDF
Serat Pangan 100% Terigu
70% TPM
Gambar 18. Pengaruh substitusi TPM terhadap kadar IDF, SDF, dan TDF brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada paired-samples T test, (p<0.05)
40
Hasil analisis paired-samples T test menunjukkan bahwa penambahan TPM berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar IDF, SDF dan TDF brownies kukus TPM. Kadar SDF dan IDF brownies kukus TPM (5,68% bk dan 4.40% bk) lebih tinggi dibandingkan brownies kontrol (1.47% bk dan 0.91% bk) (Lampiran 5a, b, c). Kadar TDF pada brownies kukus kontrol hanya 2.38% bk, sedangkan kadar TDF pada brownies kukus tepung pisang jauh lebih tinggi yaitu 10.08% bk. Substitusi TPM dapat meningkatkan kadar TDF brownies kukus kontrol sebesar 7.7% bk. Brownies kukus TPM memiliki kandungan IDF sebesar 4.40% bk, nilai tersebut meliputi kandungan RS brownies kukus TPM sebesar 1.51% bk karena dalam analisisnya RS akan terhitung sebagai IDF. Brownies kukus TPM memiliki kadar SDF lebih tinggi (5.68% bk) dibandingkan dengan IDF. SDF memiliki efek yang baik terhadap respon glikemik, insulin dan kolesterol. FDA telah menetapkan bahwa pangan yang mengandung 1.7 gram SDF per saji dapat menurunkan risiko penyakit jantung (FDA 2001). Brownies kukus TPM mengandung SDF sebesar 3.56% bb, nilai ini setara 2.14 gram SDF/ saji dengan berat brownies kukus TPM per saji sebesar 60 gram. Pangan dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat (high fiber) apabila mengandung lebih dari 5 gram serat/ saji, diklaim sebagai sumber serat yang baik (good source of fiber) apabila mengandung 2.5 - 4.9 gram serat/ saji, dan diklaim sebagai pangan yang diperkaya serat (more/ added fiber) apabila mengandung 2.5 gram serat/ saji (Anderson et al. 2010). Brownies kukus TPM dapat diklaim sebagai sumber serat yang baik karena mengandung serat sebanyak 6.32% bb atau setara dengan 3.79 gram serat/ saji. Konsumsi brownies TPM kukus per saji dapat memenuhi 15.16% kebutuhan serat setiap hari yaitu 25 gram berdasarkan diet 2000 kalori.
3. Daya Cerna Pati
Daya Cerna Pati (%)
Daya cerna brownies kukus tepung pisang hanya 45.96% bk pati sedangkan daya cerna tepung pisang lebih tinggi yaitu 58.96% bk pati. Daya cerna brownies kukus lebih rendah dibandingkan dengan tepung pisang. Hal ini terjadi karena brownies kukus TPM memiliki kadar lemak dan protein yang tinggi sehingga dalam proses pengolahannya terbentuk struktur matriks pati yang kompleks akibat interaksi komponen pati dengan komponen lain seperti protein dan lemak. Struktur matriks pati yang kompleks ini menjadikan pati sulit untuk dicerna, karena enzim α-amilase yang berperan dalam menghidrolisis pati menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa) dan alfa limit dekstrin tidak dapat bekerja dengan optimal.
100
94.63 a
80 60
45.96 b
40 20 0 100% Terigu
70% TPM
Substitusi (%) Gambar 19. Pengaruh proses substitusi TPM terhadap daya cerna pati brownies kukus TPM Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada paired-samples T test, (p<0.05)
41
Hasil analisis paired sample T-test menunjukkan bahwa penambahan TPM berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap daya cerna pati, brownies kukus TPM memiliki daya cerna yang lebih rendah dibandingkan dengan brownies kukus kontrol (Lampiran 6c). Hal ini diduga terjadi karena kandungan RS dan TDF brownies kukus TPM lebih tinggi dibandingkan dengan RS dan TDF brownies kukus kontrol. Daya cerna brownies kukus kontrol adalah 94.63% sedangkan daya cerna brownies kukus TPM 45.96%. Menurut Mahadevamma et al. (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati lambat dicerna dalam usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi daya cerna pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, kadar tannin, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya. Brownies kukus TPM berpotensi memberikan fungsi sebagai sumber prebiotik karena mengandung pati resisten yang cukup tinggi. Selain itu kadar total serat pangan yang tinggi pun membuat brownies kukus TPM memiliki potensi yang besar sebagai sumber serat. Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif terhadap bakteri di dalam usus (Lactobacilii dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004).
4. Komposisi Kimia (Proksimat) Formula Terbaik Brownies Kukus TPM Analisis proksimat brownies kukus TPM dari formula terbaik (70%) meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat (by difference) (Lampiran 9). Kadar air adalah kandungan air dalam bahan pangan, biasanya dihitung per berat kering bahan pangan. Kadar air brownies kukus TPM adalah 37.2 % bk. Tingginya kadar air brownies kukus TPM disebabkan bahan penyusun atau komposisi brownies tepung pisang ini mengandung kadar air yang cukup tinggi seperti telur. Telur dalam pembuatan brownies berfungsi sebagai pengganti air, pembentuk struktur, pelembut, pengikat udara (aerasi), dan pendistribusi adonan. Selain itu, pada waktu pengukusan terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992). Brownies kukus TPM dengan kadar air yang tinggi ini akan memiliki umur simpan yang pendek. Kadar abu menunjukkan kadar mineral total yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Kadar abu brownies kukus TPM yaitu 1.72 % bk. Dari hasil pengukuran dan perhitungan diperoleh kadar protein brownies kukus TPM yaitu 11.98 % bk. Tingginya kadar protein brownies kukus tepung pisang disebabkan oleh tingginya kadar protein bahan baku brownies kukus yaitu telur. Kadar lemak menunjukkan jumlah lemak yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar lemak brownies kukus TPM sangat tinggi yaitu 31.92% bk. Tingginya kadar lemak brownies kukus TPM ini karena digunakannya margarin sebagai salah satu komposisi utama brownies kukus TPM. Lemak sebagai bahan penyusun utama brownies berfungsi melembutkan tekstur, membentuk citarasa, memacu pengembangan, membantu aerasi dan emulsifikasi adonan. Selain itu, lemak juga berperan meningkatkan nilai gizi. Kadar karbohidrat by difference menunjukkan jumlah total karbohidrat hasil pengurangan dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak suatu bahan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat penting bagi makhluk hidup dikarenakan kandungan energi yang disimpannya. Karbohidrat merupakan komponen yang umum terdapat pada bahan pangan. Karbohidrat memiliki struktur molekul, ukuran, sifat fisik dan kimia yang bervariasi. Karbohidrat umumnya tersedia di alam dalam bentuk oligomer (oligosakarida) atau polimer (polisakarida) dari gula sederhana (Fennema 1996). Kadar karbohidrat TPM lebih tinggi dibandingkan dengan brownies tepung pisang. Kadar karbohidrat TPM yaitu 92.41% bk, sedangkan kadar karbohidrat brownies TPM hanya 54.38% bk. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar protein dan lemak pada brownies TPM mengakibatkan rendahnya kadar karbohidrat by difference.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Tepung pisang modifikasi (TPM) berpotensi sebagai sumber prebiotik (RS) dan sumber serat dengan kandungan masing-masing sebesar 9.19% bk dan 17.27% bk. Tingginya kadar RS dan serat menyebabkan TPM memiliki daya cerna pati yang rendah yaitu 58.96% bk. Oleh karena itu, TPM berpotensi untuk diolah menjadi pangan fungsional. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap empat formula brownies kukus diperoleh 70% substitusi TPM sebagai formula terbaik dengan nilai total pembobotan dan nilai mutu overall tertinggi yaitu 41.05 dan 4.33. Disamping itu formula ini pun merupakan formula yang paling disukai dengan nilai ranking kesukaan rata-rata yaitu 1.8. Proses pengukusan dalam pembuatan brownies kukus 70% TPM dapat menurunkan RS pada TPM sebesar 2.6 g/100 g bk TPM atau sebesar 28.29% dan menurunkan RS pada adonan brownies sebesar 0.56 g/100 g bk adonan atau sebesar 27.05%. Dengan demikian TPM dan adonan brownies kukus memiliki retensi RS terhadap pengukusan yang relatif tinggi yaitu 70.71% dan 71.95%. Brownies kukus TPM ini memiliki kadar RS dan serat yang tinggi yaitu 1.51% bk dan 10.08% bk. Kandungan RS dan serat yang tinggi menyebabkan brownies memiliki daya cerna pati yang rendah yaitu 45.96 % bk. Brownies kukus TPM dapat diklaim sebagai sumber serat yang baik karena mengandung serat sebanyak 6.32% bb atau setara dengan 3.79 gram serat/ saji. Konsumsi brownies kukus per saji dapat memenuhi 15.16% kebutuhan serat setiap hari berdasarkan diet 2000 kalori. Selain itu, brownies kukus TPM berpotensi membantu menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung karena mengandung 2.14 gram SDF/ saji.
B. SARAN Perlu kajian lebih lanjut mengenai nilai indeks glikemik brownies kukus TPM untuk melengkapi keunggulan lain dari potensi brownies kukus TPM sebagai pangan fungsional.
43
DAFTAR PUSTAKA
[AACC] American Assn. of Cereal Chemist. 2000. Approved methods of the AACC. 10th ed. Method 44-15A. St Paul, Minn: AACC. Abdillah, F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. American Dietetic Assosiation. 1999. Functional Foods. Position of ADA. J Am. Diet. Assoc. 99: 1278-1285. Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L. 2002. Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting temperature (Tm). J Starch/Starke 54: 401-409. Anderson J, Perryman S, Young L, Prior S. 2010. Dietary fiber: food labeling of fiber. www.ext.colostate.edu/pubs/foodnut/09333.pdf. [9 Nov 2010]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC Apata David F. 2008. Effect of cooking method on available and unavailable carbohydrates of some tropical gain legumes. African J Biotech 7 (16): 2940-2945. Asp NG, Johansson CG, Holmer H, Siljestrom M. 1983. Rapid Enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chem 31:476-482. Belitz HD, Grosch W. 1999. Polysaccharides. In: Food chemistry. 2nd ed. Berlin, Germany: SpringerVerlag. P 301. Berenbaum, RL. 2003. The Bread Bible.W.W Norton & Company, New York. Berry CS. 1986. Resistant starch. Formation and measurement of starch that survives exhaustive digestion with amylolytic enzymes during the determination of dietary fiber. J Cereal Sci 4: 301-14 Bolognani F, Rumney CJ, Pool-Zobel BL, Rowland IR. 2001. Effect of lactobacilli, bifidobacteria and inulin on the formation of aberrant crypt foci in rats. J Nutr 40: 293-300. [BPPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Teknis Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Nomor HK.00.05.52.0685 Tahun 2005. [BNF] British Nutrition Foundation. 2005. Resistant Starch Question and Answer Brown IL, McNaught KJ, Ganlyb RN, Conway PL, Evanz AJ, Topping DL, Wang X. 1996. Probiotic Compositions. Intl. Patent WO 96/ 08261/ A1. Issued Mar 21, 1996. Buckle AE, Cooper AW, Lyne AR, and Ewart JM. (1981). Formaldehyde fumigation in animal housing and hatcheries. Society of Applied Bacteriology Technical Series 16: 213-222. Cherbuy C, Andrieux C, Hinvo-Houeto E, Thomas M, Ide C, Druesne N, Chaumontet C, Darley Vrillon B, Duee PH. 2004. Expression of mitochondrial HGMCoA synthase and glutaminase in the colonic mucosa is modulated by bacterial species. Eur J Biochem 271: 87-96. Crowther PC. 1979. The Processing of Banana Products for Food Use. Tropical Product Institute Czuchajowska Z, Sievert D, Pomeranz Y. 1999. Enzyme-resistant starch.IV. Effect of complexing lipids. Cereal chem 68(5): 537-42. Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan www.database.deptan.go.id [15 Juli 2007]
Komoditi
Tanaman Pangan.
Eerlingan RC, Delcour JA. 1995. Formation, analysis, structure and properties of type III enzyme resistant starch. J Cereal Sci 22: 129-138.
Eggleston G, Swennen R, & Akoni, S. 1991. Physicochemical studies on starches isolated from plantain cultivars, plantain hybrids and cooking bananas. Stach/Staerke 44: 42-50. Englyst HN, Cummings JH. 1986. Digestion of the carbohydrates of banana (Musa paradisiaca sapientum) in the human small intestine. European J of Clinical Nutrition 44: 42–50. Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. European J of Clinical Nutrition 46(2): 533-550. Englyst HN, Wiggins HS, Cummings JM. 1982. Determination of the no-starch polysaccharides in plant foods by gas-liquid chromatography of constituent sugars as aditol acetates. Analyst 107: 307-18. Escarpa A, Gonzales MC, Morales MD, Saura-Calixto F. 1997. An Approach to the influence of nutrient and other food constituents on resistant starch formation. J Agric Food Chem 60(4): 572-32. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2007. FAO Technical Meeting on Prebiotics. Food Quality and Standards Service (AGNS) FDA. 2001. Health claims: Soluble fiber from certain food and risk of heart disease. Code of Federal Regulations, 21, 10181. Febrial E. 2009. Pengembangan Produk Pangan Fungsional Brownies Kukus Dari Tepung Pisang Kecambah dan Tepung Tempe Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fennema O.R. 1996. Food Chemistry 3rd Ed. Westport, Connecticut: Marcel Dekker., Inc. Gibson GR. 2004. Fibre and effect on prebiotics (die prebiotics concept). Clinical Nutrition Supplements 1: 25-31. Gidley MJ, Cooke D, Drake AH, Hoffman RA, Russell AL, Greenwell P. 1995. Molecular order and structure in enzyme resistance retrograded starch. Carbohydrate Polym 28:23-31. Goni I, Garcia-Diz L, Manas E, & Saura-Calixto F. 1996. Analysis of resistant starch: a method for foods and food products. Food Chemistry 56: 445–449. Gowen S. 1995. Bananas and Plantains. London: Chapman & Hall. Inc. Greenhill AR et al. 2008. Spontaneous fermentation of traditional sago starch in Papua New Guinea. Food Microbiol xxx: 1-6. Haralampu SG. 2000. Resistant starch- a review of the physical properties and bilological impact of RS3. Carbohydrate Polym 41:285-92. Hardiman. 1982. Tepung Pisang. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Harper AE. 1981. Carbohydrate in human nutrition. Di dalam: Symposium in Food: Carbohydrate and Their Roles. Wesper, Connecticut: The Aus Publishing. Co. Inc. Hariyadi P. Budijanto S, Kitu, NE. 2000. Utilization of coconut fatty acid destilate for the production of mono- and diacylglycerols by lipase-catalyzed reaction. Paper presented at Institute of Technologist Annual Meeting. Dallas, USA. Higgins JA, DR Higbee, WT Donahoo, IL Brown, ML Bell, DH Bessesen. 2044. Resistant starch consumption promotes lipid oxidation. Nutrition & Metabolism 1:8. Hutching JB. 1994. Food Color and Appearance. London: Chapman & Hall. Inc. Jacobasch G, Dongowski G, Schiemidl D, Schmel KM. 2006. Hydrothermal treatment of novelose 330 result in high yield of resistant starch type 3 with beneficial prebiotic properties and decreased secondary bile acid formation in rats. British J of Nutrition 95: 1063 – 1074. Jane JL. 2004. Starch: Structure and Properties. England: CRC Press.
45
Jenie BSL, Widowati S, Nurjanah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB Judoamidjojo RM, Nani L, 2002. Studi Rendemen dan Karakterisasi Tepung Pisang Nangka, Siam dan Oli dengan Penundaan Kematangan oleh KMnO4. J teknologi Industri Pertanian. Vol. 3 (1) Ketiku AO. 1973. Chemial composition of unripe (green) and ripe plantain (Musa paradisiaca) J Sci Food Agric. 24: 703-707. Ketaren S. 1996. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press: Jakarta. Kim JH et al. 2008. Characterization of gene encoding amylopullunase from plant originated lactic acid bacterium, Lactobacillis plantarum L137. J Biosci and Bioengine 106: 449-459. Kim JH et al. 2008. Characterization of gene encoding amylopullunase from plant originated lactic acid bacterium, Lactobacillis plantarum L137. J. Biosci and Bioengine 106: 449 459. Kin YI. 2000. Alga technical review: Impact of dietary fiber on colon cancer ocuurrence. Gastroenterology 118:1235-1257. Kahlon TS, Smith GE. 2007. In vitro binding of bile acids by bananas, peaches, pineapple, grapes, pears, apricots and nectarines. Food Chem 101:1046-1051. Lehmann U, G Jacobasch, D Schmield. 2002. Characterization of resistant starch type III from banana (Musa acuminata). J of Agricultural and Food Chemistry 50: 5236-5240. Lehmann U, Jacobasch G, dan Schmiedl D, Rossler C. 2003. Production and physicochemical characterization of resistant starch type III derived from pea starch. J Food 47(1):60-63. Lukman AH. 1992. Pengaruh Perajangan dan Lama Pengukusan Biji Saga Pohon (Adenathera pavonine L) Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak yang Dihasilkan pada Proses Ekstraksi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mahadevamma S, KV Harish P, Taranathanan RN. 2003. Resistant Starch derived from processed legume-purification and structural characterization. J Carbohydrate Polymers 54: 219 Manning TS, Rastall R, Gibson G. 2004. Prebiotics and Lactic Acid Bacteria. Di dalam: Salminen S. Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc., pp 407-418. Manning TS dan Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Pratices & Research Clinical Gastroenterology 18(2): 287-298 Marlis A. 2008. Pengaruh Pengolahan Terhadap Sifat Prebiotik (Oligosakarida) Tepung Ubi Jalar (Ipoma Batatas L) [tesis]. Bogor: Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Matz SA. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Texas: Pan-tech International Inc. Meyer LH. 2003. Food Chemistry. New York: Textbook Publisher. Niba LL. 2003. Effect of storage period and temperature on resistance starch and beta-glucan content in cornbread. Food chem 83(4): 493-8. Nugent AP. 2005. Health properties of resistant starch. Br Nutr Foundation Nutr Bull 30:27-54. Okoniewska M, Witwer RS. 2007. Natural resistant starch: an overview of health properties a useful replacement for flour, resistant starch may also boost insulin sensitivity and satiety. Nutr Outlook Oku T. 1994. Special Phsiology Function of Newly Developed Mono and Oligosacharides. Di dalam: Goldberg, I. (Ed). Function Foods Designer Foods, Phamafoods, Mutraceutical. New York: Chapman and Hall. Oldways. 2007. Resistant starch FAQ, the new fiber story: natural resistant starch. Philadelphia
46
Onyango C. Thomas B, Annette J, Thomas H, Harald R. 2006. Influence of incubation temperature and time on resistant starch type III formation from autoclaved and acid hydrolyzed cassava starch. Carbohydrate Polymer 66: 494-499. Potter, N.N. 1973. Food Science 2nd Ed. Westport, Connecticut: AVI Publishing Co., Inc. Pomeranz, Y dan E. M. Cliffon. 1978. Food Analysis Theory and Practice. Westport, Connecticut: AVI Publishing Co., Inc. Ranhotra GS, Gelroth JH, Astrith K, Eisenbraun GJ. 1991. Effect of resistant starch in intestinal responses in rats. Cereal Chem 68(2):130-2. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya. Roberfroid MB. 2002. Functional food concept and its application to prebiotics. Digest Liver Dis 34 (21): 105-108. Robertson MD, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch a review. Comprehensive Reviews in Food Sci and Food Safety, Institute of Food Technologists. Saguilan AA, E Flores-Huicochea, J Tovar, F Garcia-Suarez, F Guitierres-Meraz, LA Bello-Perez. 2005. Resistant starch-rich powder prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch 57: 405-412. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant Starch a review. Comprehensive Reviews in Food Sci and Food Safety, Institute of Food Technologist. Schiemidl D, Bauerlein M, BengsJacobasch G. 2000. Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. Di dalam: G Jacobasch, G Dongowski, D Schiemidl, KM Schmehl. Hydrothermal treatment of Novelose 330 results in high yield of resistant starch type 3 with beneficial pebiotic properties and decreased secondary bile acid formation in rats. British J of Nutrition 95: 1063 – 1074. Shamai, K., H.B. Peled, dan E. Shimoni. 2003. Polymorphism of resistant starch type III. Carbohydrate Polymer. www.elsevier.com/locate/carpbpol. [8 Februari 2010]. Sievert D, Pomeranz Y. 1989. Enzyme-resistant starch. I. Characterization and evauation by enzymatic, thermoanalytical and microscopic methods. Cereal Chem 67(3): 217-21. Simmonds NW. 1966. Bananas. London, UK: Longman. Sobowale AO, Olurin TO, Oyewole OB. 2007. Effect of lactic acid bacteria starter culture fermentation of cassava on chemical and sensory characteristics of fufu flour. African J Biotechnol 6: 1954 1958. Soekarto TS. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Subarna. 1996. Formulasi Produk-produk Serealia dan Umbi-umbian Untuk Produk Ekstruksi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Produk-produk Olahan, Ekstruksi, Bakery, dan Frying. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Kantor Menteri Urusan Pangan, Jakarta. Sulistiyo CN. 2006. Pengembangan Brownies Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) di PT. Fits Mandiri Bogor [skripsi]. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Tharanathan RN, Mahadevamma S. 2003. Grain legumes- a boom to human nutrition. Trends Food Sci Technol 14: 507-18 Tharanathan RN. 2002. Food-derived carbohydrates: Structural complexity and functional diversity. Critical Reviews in Biotechnology 22(1): 65–84. Thompson DB. 2000. On the non-random nature of amylopectin branching. Carbohydrate Polymer 43:223-39.
47
Tungland BC. 2000. Inulin- A Comprehensive Scientific Review. Duncan Crow Wholistic Consultan. http://memberts.shaw.ca/duncancrow/inulin_review.html USDA. 2000. Nutrition and your health: dietary guidliness for Americans. 5th ed. Departement of agriculture and Departement of health and human services. Washington, DC, USA. www.health.gov/dietaryguidlines/dga2005/document/html/chapter2.htm Wardlaw GM. 1999. Perspective in Nutrition Ed k-4. Boston: McGraw-Hill. Weese JS. 2002. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Elsevier Scien 22(8). Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wu HC, Sarko A. 1978. The double helical molecular structure of cristaline A-amylose. Carbohyde Res 61:7 Wurzburg OB. 1989. Modified Starches: Properties and Use. Boca Raton: CRC Press.
48
LAMPIRAN
Lampiran 1a.
Tabel rendemen tepung pisang fermentasi otoklaf Rendemen berdasarkan
Rendemen berdasarkan berat
berat pisang utuh (%)
pisang yang telah dikupas (%)
24379.800
-
-
Pengupasan
13487.000
55.32
-
3
Pengirisan
12315.360
50.51
91.31
4
Fermentasi
16863.800
69.17
125.04
5
Pengeringan
5525.000
22.66
40.97
6
Penepungan
4715.000
19.34
34.96
7
Pengayakan
2605.000
10.69
19.31
No
Tahapan
Berat (g)
1
Pisang utuh
2
Lampiran 1b.
Tabel derajat putih tepung pisang
Sampel
x1
x2
x3
x4
x5
Tepung pisang alami
55.8
55.7
56.5
55.5
Tepung pisang otoklaf
25.3
27.4
26.2
Tepung Pisang fermentasi + otoklaf
16.9
19.8
19.4
Lampiran 1c.
rata-rata
% whiteness
58.0
56.3
51.18
26.2
29.1
26.84
24.40
18.9
19.6
18.92
17.20
Tabel analisis ragam (α = 0.05) derajat putih tiga jenis tepung pisang
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Whiteness Source
Type III Sum of Squares a
df
Mean Square
Model 21253.827 7 3036.261 Sampel 3879.804 2 1939.902 Ulangan 13.617 4 3.404 Error 4.723 8 .590 Total 21258.550 15 a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 5.143E3 3.286E3 5.767
Sig. .000 .000 .017
49
Lampiran 1d.
Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) derajat putih tiga jenis tepung pisang
Sampel Homogeneous Subsets Whiteness Duncan Subset Sampel
N
1
2
3
Tepung Pisang Fermetasi dan Otoklaf 5 18.9200 Tepung Pisang Otiklaf 5 26.8400 Tepung Pisang Tanpa Fermentasi dan Otoklaf 5 56.3000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .590.
Lampiran 2a. Media
Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-0
Ulangan
1 NA 2
1 APDA 2
1 MRSA 2
Pengenceran 10
-1
10
-2
Jumlah 10
-3
285
30
0
408
43
4
94
27
2
85
72
3
0
0
1
1
0
0
1
1
2
0
0
0
151
19
6
190
32
18
56
14
17
38
32
0
mikroba
Rataan
3,6 x 103 2,4 x 103 1,3 x 103 < 1,5 x 102 < 1,5 x 102 < 1,5 x 102 1,8 x 103 1,2 x 103 6,0 x 102
50
Lampiran 2b. Media
Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-24 Pengenceran
Ulangan 10 1
NA 2
1 APDA 2
1 MRSA 2
Lampiran 2c.
-5
10
-6
10
-7
Jumlah 10
-8
-9
10
654
258
26
2
1
854
269
39
0
0
1697
281
34
4
0
1704
249
73
3
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
2
0
0
0
0
1
1
0
0
0
854
244
34
5
0
721
230
47
3
3
736
156
11
2
0
540
134
0
1
0
mikroba
Rataan
3,2 x 108 3,1 x 108 3.0 x 108 < 1,5 x 106 < 1,5 x 106 < 1,5 x 106 2,5 x 108 2,0 x 108 1,4 x 108
Tabel penurunan pH selama fermentasi pH
Sampel
1
2
0 jam 6,16 6,16 6,21 6,21
Rata-rata 6,16
6,21
24 jam 5,25 5,25 5,23 5,23
Rata-rata
Penurunan Rata-rata pH
5,25
0,91
5,23
0,98
51
Lampiran 3a.
Tabel kadar pati brownies kukus dan tepung pisang
Sampel
Abs1
Abs2
Absorbansi Rata-rata
Kadar Glu (mg)
Kadar Pati total
50 50 25
Berat kering (mg) 484.3051 484.3051 240.2338
0.5490 0.5690 0.4300
0.5530 0.5710 0.4300
0.5510 0.5700 0.4300
125.6278 130.1121 49.4731
113.0650 117.1009 44.5258
Kadar pati per bk (%) 23.35 24.18 18.53
25
240.2338
0.4500
0.4500
0.4500
51.7152
46.5437
19.37
50 50 25 25
448.8795 448.8795 244.7680 244.7680
0.5240 0.5600 0.6240 0.6200
0.5240 0.5600 0.6240 0.6200
0.5240 0.5600 0.6240 0.6200
120.0224 128.0942 71.2220 70.7735
108.0202 115.2848 64.0998 63.6962
24.06 25.68 26.19 26.02
100 100 200 200
269.4022 269.4022 476.5405 476.5405
0.6940 0.6870 0.6480 0.6540
0.6940 0.6870 0.6480 0.6540
0.6940 0.6870 0.6480 0.6540
174.8737 173.1061 326.0212 329.0469
157.3864 155.7955 293.4191 296.1422
58.42 57.83 61.57 62.14
50 50 100 100
131.4272 131.4272 260.0650 260.0650
0.3260 0.3260 0.3360 0.3360
0.3250 0.3250 0.3370 0.3370
0.3255 0.3255 0.3365 0.3365
75.5157 75.5157 155.9641 155.9641
67.9641 67.9641 140.3677 140.3677
51.71 51.71 53.97 53.97
50
135.5750
0.3490
0.3490
0.3490
80.7848
72.7063
53.63
50 100 100
135.5750 275.7700 275.7700
0.3500 0.3900 0.3860
0.3500 0.3900 0.3860
0.3500 0.3900 0.3860
81.0090 179.9552 178.1614
72.9081 161.9596 160.3453
53.78 58.73 58.14
Ulangan
FP
1* Brownies 100% 2* 1* Brownies 2* 1* Tepung Pisang 2** 1* Tepung Pisang Alami* 2** 1* Tepung Pisang Otoklaf* 2** Keterangan:
rata2 duplo
rata2 ulangan
23.83 21.39 18.95 24.87 25.49 26.11 59.27 60.57 61.86 51.71 52.84 53.97 53.70 56.07 58.44
* Kurva Standar Glukosa 1 ** Kurva Standar Glukosa 2
52
Lampiran 3b.
Tabel dan gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis kadar pati
Standar Glukosa 1
Standar Glukosa 2
Glukosa (mg/ml)
A
Glukosa (mg/ml)
A
1
0.206
0.5
0.196
2
0.440
1
0.396
3
0.661
1.5
0.604
4
0.881
2
0.801
5
1.101
2.5
0.985
Standar Glukosa 1 1.2
Absorbansi
1 0.8 0.6
y = 0.2230x - 0.0113 R² = 0.9998
0.4 0.2 0 0
1
2
3
4
5
6
Glukosa (mg/ml)
Standar Glukosa 2 1.2
Absorbansi
1 0.8 0.6 y = 0.3966x + 0.0015 R² = 0.9995
0.4 0.2 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Glukosa (mg/ml)
53
Lampiran 3c.
Tabel analisis ragam (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Sampel
N
1
TP_Fermentas i_Otoklaf
2
2
TP_Otoklaf
2
3
TP_Alami
2
Descriptive Statistics Dependent Variable:Kadar_Pari Sampel
Mean
Std. Deviation
TP_Fermentasi_Otoklaf TP_Otoklaf TP_Alami Total
60.5650 56.0700 52.8400 56.4917
N
1.83141 3.35169 1.59806 3.93321
2 2 2 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar_Pari Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
F
Model 19208.059 3 6402.686 Sampel 19208.059 3 6402.686 Error 17.142 3 5.714 Total 19225.201 6 a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
1.121E3 1.121E3
Sig. .000 .000
Estimated Marginal Means Sampel Dependent Variable:Kadar_Pari 95% Confidence Interval Sampel TP_Fermentasi_Otoklaf TP_Otoklaf TP_Tanpa Modifikasi
Mean 60.565 56.070 52.840
Std. Error 1.690 1.690 1.690
Lower Bound 55.186 50.691 47.461
Upper Bound 65.944 61.449 58.219
54
Lampiran 3d.
Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_Pari Duncan Subset Sampel
N
1
2
TP_Tanpa Modifikasi 2 52.8400 TP_Otoklaf 2 56.0700 56.0700 TP_Fermentasi_Otoklaf 2 60.5650 Sig. .269 .157 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.714.
Lampiran 3e.
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati brownies kukus TPM
T-Test Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kontrol
21.3900
2
3.45068
2.44000
Brow_70
25.4900
2
.87681
.62000
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
Kontrol & Brow_70
2
Sig.
-1.000
.000
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair Kontrol 1 Brow_70
4.10000
Std. Std. Error Deviation Mean 4.32749
3.06000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-42.98099
34.78099
t
Sig. (2df tailed)
1 1.340
.408
55
Lampiran 4a.
Sampel
Brownies Kontrol*
Tabel kadar pati resisten brownies kukus dan tepung pisang
Kadar Lemak (% bk)
A
µg contoh kurva
Kadar glukosa sampel (per gram bk sampel)
Kadar glukosa sampel (%)
Kadar pati (%)
1.1 1.2 2.1 2.2
0.1780 0.1800 0.1800 0.1810
22.6706 22.9059 22.9059 23.0235
0.0027 0.0028 0.0028 0.0028
0.2732 0.2760 0.2766 0.2780
0.2459 0.2484 0.2489 0.2502
101.8367 101.8367 101.8367 101.8367
1.1 1.2 2.1 2.2
0.2730 0.2770 0.2740 0.2780
33.8471 34.3176 33.9647 34.4353
0.0166 0.0168 0.0167 0.0169
1.6618 1.6849 1.6676 1.6907
1.4956 1.5164 1.5008 1.5216
6.53 6.53 6.53 6.53
50.5089 50.5089 50.8096 50.8096
1.1 1.2 2.1 2.2
0.5620 0.5720 0.5740 0.5960
67.8471 69.0235 69.2588 71.8471
0.0672 0.0683 0.0682 0.0707
6.7163 6.8328 6.8155 7.0702
6.0447 6.1495 6.1340 6.3632
7.21 7.21 7.21 7.21
50.6136 50.6136 50.7138 50.7138
1.1 1.2 2.1 2.2
0.6480 0.6520 0.6620 0.6640
77.9647 78.4353 79.6118 79.8471
0.0770 0.0775 0.0785 0.0787
7.7020 7.7484 7.8491 7.8723
6.9318 6.9736 7.0642 7.0851
50.5000
10.14 10.14
50.6159 50.6159
1.1 1.2
0.8550 0.8550
102.3176 102.3176
0.1011 0.1011
10.1073 10.1073
9.0965 9.0965
9.0965
50.6000
10.14 10.14
50.7161 50.7161
2.1 2.2
0.8750 0.8750
104.6706 104.6706
0.1032 0.1032
10.3193 10.3193
9.2873 9.2873
9.2873
Berat sampel tanpa lemak (mg bk)
50.1000 32.4380 50.0000 50.0000
Brownies
31.9256 50.0000
Tep. Pis. Alami
50.4000 0.2016 50.7000 50.5000
Tep. Pis. Oto
0.2082 50.6000
Tep. Pis. Fer + Oto
0.2057
Kadar air
Berat sampel (mg)
U
37.28 37.28 37.28 37.28
103.7396 103.7396 103.5325 103.5325
37.28 37.28 37.28 37.28
Ratarata duplo
Rata-rata ulangan
0.2471 0.2483 0.2495 1.5060 1.5086 1.5112 6.0971 6.1729 6.2486 6.9527 7.0137 7.0747
9.1919
Keterangan: * pengenceran 25 kali
56
Lampiran 4b.
Tabel dan gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 untuk analisis kadar pati resisten
Konsentrasi (Ug/ml)
A
9.98
0,061
19.96
0,152
29.94
0,243
39.92
0,331
49.9
0,418
59.88
0,486
69.86
0,575
79.84
0,668
89.82
0,74
99.8
0,827
Absorbansi
Kurva Standar Glukosa 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
y = 0.008x - 0.014 R² = 0.999
0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi glukosa (µg/ml)
Lampiran 4c.
Tabel analisis ragam (α = 0.05) kadar pati resisten tiga jenis tepung pisang
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Sampel
N
1
TP_Fermentas i_Otoklaf
2
2
TP_Otoklaf
2
3
TP_Alami
2
57
Descriptive Statistics Dependent Variable:Kadar_Pati_Resisten Sampel
Mean
TP_Fermentasi_Otoklaf TP_Otoklaf TP_Alami Total
Std. Deviation
9.1932 7.0114 6.1736 7.4594
N
.13683 .08294 .10812 1.39700
2 2 2 6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar_Pati_Resisten Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
a
Model 343.575 3 114.525 Sampel 343.575 3 114.525 Error .037 3 .012 Total 343.612 6 a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Sig.
9.214E3 9.214E3
.000 .000
Estimated Marginal Means Sampel Dependent Variable:Kadar_Pati_Resisten 95% Confidence Interval Sampel
Mean
TP_Fermentasi_Otoklaf TP_Otoklaf TP_Alami
Lampiran 4d.
Std. Error
9.193 7.011 6.174
Lower Bound
.079 .079 .079
Upper Bound
8.942 6.760 5.923
9.444 7.262 6.424
Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Kadar_Pati_Resisten Duncan Subset Sampel
N
1
2
TP_Alami 2 6.1736 TP_Otoklaf 2 7.0114 TP_Fermentasi_Otoklaf 2 Sig. 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .012.
3
9.1932 1.000
58
Lampiran 4e.
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM
Paired Samples Statistics Mean Pair 1 Kontrol
N Std. Deviation Std. Error Mean
.248300 2
.0016971
.0012000
brownies_70 1.508600E0 2
.0036770
.0026000
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 kontrol & brownies_70 2
1.000 .000
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
95% Confidence Interval of the Difference Std. Std. Error Deviation Mean Lower Upper
T
Sig. (2df tailed)
Pair kontrol .0019799 .0014000 -1.2780887 -1.2425113 -900.214 1 1 brownies_70 1.2603000E0
.001
59
Lampiran 5a.
Tabel kadar IDF, SDF dan TDF tepung pisang TPM dan brownies kukus
Sampel
U 1
Berat sampel basah+lemak (g) 1,9854
KS1 0,7345
KS2 0,9479
CW1 16,0222
CW2 16,0386
% IDF (bb) 9,8947
% IDF (bk) 11,0113
2
1,7988
0,7412
0,9303
19,3183
19,3308
9,7871
10,8915
Brownies Kontrol
1 2
2,2717 2,2179
0,7918 0,7584
0,8201 0,7825
18,3612 16,5280
18,3761 16,5388
0,5657 0,5749
0,9019 0,9166
Brownies 70%
1 2
2,3598 2,1816
0,7666 0,7568
0,8450 0,8308
15,6531 16,8546
15,6665 16,8671
2,7311 2,7939
4,3545 4,4545
Blanko
1 2
0,9568 0,9444
0,9578 0,9454
16,5241 16,6685
16,5246 16,6689
0,0005 0,0006 0,00055
Tepung Pisang Modifikasi
U
Berat Sampel basah+lemak(g)
KS3
KS4
CW3
CW4
% SDF (bb)
%SDF (bk)
% TDF (bb)
% TDF (bk)
Rataan
Tepung Pisang Modifikasi
1 2
1,9854 1,7988
0,7685 0,7236
0,9058 0,8466
19,3316 21,5013
19,3345 21,5054
6,7568 6,5961
7,5193 7,3404
16,6516 16,3831
18,5306 18,2319
18.38
Brownies Kontrol
1 2
2,2717 2,2179
0,7468 0,7532
0,7739 0,7768
21,6649 18,3144
21,6704 18,3178
0,9398 0,8995
1,4984 1,4342
1,5055 1,4744
2,4003 2,3507
2.38
Brownies 70%
1 2
2,3598 2,1816
0,7990 0,7217
0,8838 0,8036
16,5546 19,3113
16,5558 19,3147
3,5320 3,5869
5,6314 5,7189
6,2631 6,3807
9,9858 10,1734
10.08
Blanko
1 2
0,9685 0,9712
0,9694 0,9721
16,2592 21,3265
16,2599 21,3271
0,0002 0,0003
Sampel
0,00025 Keterangan Berat sampel = Berat sampel awal x 100/(100-(kadar lemak+kadar air)); IDF = ((((KS2-KS1)-(CW2-CW1)) – Blanko)/ Berat sampel) x 100; SDF = ((((KS4-KS3)-(CW4-CW3)) – Blanko)/ Berat sampel)x100; TDF = IDF + SDF; IDF = Insoluble Dietary Fiber; SDF=Soluble Dietary Fiber;TDF = Total Dietary Fiber; KS1 & KS3 = Kertas saring kosong; KS2 & KS4 = Kertas saring + residu; CW1 & CW3 = Cawan Porselen kosong; CW2 & CW4 = Cawan Porselen + abu
60
Lampiran 5b.
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap TDF brownies kukus M
T-Test Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 Kontrol
2.3750 2
.03536
.02500
Brow_70 10.0800 2
.12728
.09000
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Kontrol & Brow_70 2
-1.000 .000
Paired Samples Test Paired Differences Std. Deviation
Mean Pair Kontrol 1 Brow_70
Lampiran 5c.
7.70500
Std. Error Mean
.16263
95% Confidence Interval of the Difference Lower
.11500
-9.16621
Upper
T
Sig. df (2-tailed)
-6.24379 -67.000 1
.010
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar IDF brownies kukus TPM
T-Test Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 Kontrol
.5703 2
.00651
.00460
Brow_70 2.7175 2
.01923
.01360
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Kontrol & Brow_70 2
-1.000
.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair Kontrol 1 Brow_70
2.14720
Std. Std. Error Deviation Mean .02574
.01820
95% Confidence Interval of the Difference Lower -2.37845
Upper
T
Sig. df (2-tailed)
-1.91595 -117.978 1
.005
61
Lampiran 5d.
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar SDF brownies kukus TPM
T-Test Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 Kontrol 1.4663 2
.04540
.03210
Brow_70 5.6752 2
.06187
.04375
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Kontrol & Brow_70 2
-1.000 .000
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair Kontrol 1 Brow_70
4.20885
Std. Deviation .10727
Std. Error Mean .07585
95% Confidence Interval of the Difference Lower -5.17262
Upper
T
Sig. df (2-tailed)
-3.24508 -55.489 1
.011
62
Lampiran 6a.
Sampel
Pati ke-
1* Pati Murni
2** 3** 1*
Tepung pisang 2** 1* Brown 70% 2** 1* Brown Kontrol 3** Keterangan:
Tabel daya cerna pati tepung pisang modifikasi TPM dan brownies kukus
A enzim
Kadar maltosa blanko (mg)
Kadar maltosa sampel (mg)
Maltosa Blanko (mg/g) bk
Maltosa Sampel (mg/g) bk
0.184 0.242 0.242
0.648 0.747 0.519
0.8065 0.9935 1.9422
2.3032 2.6226 3.9436
8.3432 10.2788 21.5369
23.8281 27.1320 43.7308
0.0902 0.0909 0.0909 0.2994
0.239 0.026 0.025 0.002
0.511 0.582 0.588 0.748
1.9205 0.3815 0.3743 0.2194
3.8858 4.3988 4.4422 2.6258
21.2965 4.1970 4.1175 0.7327
43.0898 48.3921 48.8690 8.7710
60.57 60.57 60.57 25.49
0.2994 0.0905 0.0905 0.2449
0.003 0.031 0.028 0.002
0.786 0.214 0.214 0.556
0.2226 0.4176 0.3960 0.2194
2.7484 1.7399 1.7399 2.0065
0.7435 4.6146 4.3751 0.8958
9.1805 19.2247 19.2247 8.1937
0.9607 0.2466 0.2466 1.0830
25.49 25.49 25.49 21.39
0.2449 0.0629 0.0629 0.2313
0.001 0.023 0.023 0.026
0.559 0.110 0.114 0.512
0.2161 0.3598 0.3598 0.3815
2.0161 0.9884 1.0173 3.8931
0.8826 5.7252 5.7252 1.6493
8.2332 15.7269 16.1868 16.8301
1.0830 0.2952 0.2952
21.39 21.36 21.36
0.2313 0.0632 0.0632
0.026 0.007 0.003
0.518 0.373 0.374
0.3815 0.2442 0.2153
3.9364 2.8887 2.8960
1.6493 3.8671 3.4095
17.0175 45.7421 45.8566
U
Berat basah sampel (g)
kadar air (%bk)
Berat kering sampel (g)
Kadar Pati (%bk)
Berat pati kering (g)
A blanko
1.0 2.0 1.0
0.1074 0.1074 0.1002
10.00 10.00 10.00
0.0967 0.0967 0.0902
100.00 100.00 100.00
0.0967 0.0967 0.0902
2.0 1.0 2.0 1.1
0.1002 0.1010 0.1010 0.5501
0.0902 0.0909 0.0909 0.4943
100.00 100.00 100.00 60.57
1.2 2.1 2.2 1.1
0.5501 0.1663 0.1663 1.5317
10.00 10.00 10.00 10.14 10.14 10.14 10.14 37.28
0.4943 0.1494 0.1494 0.9607
1.2 2.1 2.2 1.1
1.5317 0.3931 0.3931 1.7268
37.28 37.28 37.28 37.28
1.2 2.1 2.2
1.7268 0.4707 0.4707
37.28 37.28 37.28
Rataan
Daya Cerna Pati (%)
16.1691
100.00
21.9936
100.00
44.4734
100.00
8.2376
50.95
Daya Cerna Pati Rataan (%)
100.00
58.96 14.7299
66.97
7.3243
45.30 45.91
10.2317
46.52
15.2745
94.47 94.63
42.1610
94.80
* Kurva Standard Maltosa 1 ** Kurva Standard Maltosa 2
63
Lampiran 6b.
Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis daya cerna pati
Standar Maltosa 1
Standar Maltosa 2
Maltosa (mg/ml)
A
Maltosa (mg/ml)
A
1
0.089
1
0.056
2
0.252
2
0.103
3
0.391
4
0.241
4
0.560
6
0.389
5
0.714
8
0.532
10
0.666
Absorbansi
Standard Maltosa 1 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0.155x - 0.066 R² = 0.999
0
1
2
3
4
5
6
Maltosa (mg/ml)
Standard Maltosa 2 0.7 Absorbansi
0.6 0.5 0.4 y = 0.0692x - 0.0268 R² = 0.9988
0.3 0.2 0.1 0 0
2
4
6
8
10
12
Maltosa (mg/ml)
64
Lampiran 6c.
Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap daya cerna pati brownies kukus TPM
T-Test Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 Kontrol 94.8006 2
.00000
.00000
Brow_70 45.9097 2
.86493
.61160
Paired Samples Correlations N Correlation Sig. Pair 1 Kontrol & Brow_70 2
.
.
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Std. Error Deviation Mean Lower Upper
Mean Pair Kontrol 1 Brow_70
Lampiran 7a. Sampel Brownies 70%
Brownies 80%
Brownies 90%
Brownies 100%
4.88909E1
.86493
.61160
41.11979
t
Sig. df (2-tailed)
56.66201 79.939 1
.008
Tabel analisis warna empat formula brownies kukus TPM L
a
b
b/a
°H
39.92
9.63
15.36
1.5950
64.3488
38.40
9.70
15.32
1.5794
64.0666
38.84
9.66
15.39
1.5932
64.3165
35.44
9.90
14.86
1.5010
62.5862
35.12
9.85
14.75
1.4975
62.5176
35.29
9.82
14.74
1.5010
62.5861
35.24
10.77
15.34
1.4243
61.0304
35.19
10.83
15.52
1.4331
61.2145
35.60
10.74
15.51
1.4441
61.4427
37.91
8.24
10.88
1.3204
58.7352
37.84
8.51
11.27
1.3243
58.8255
39.42
7.48
9.32
1.2460
56.9451
°H rataan
64.2440
62.5633
61.2292
58.1686
65
Lampiran 7b.
Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut warna empat formula brownies kukus TPM
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Sampel
N
1
70%
3
2
80%
3
3
90%
3
4
100%
3
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hue Type III Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept Sampel Error Total Corrected Total a.
df
a
59.463 45462.701 59.463 2.386 45524.550 61.849
Mean Square 3 1 3 8 12 11
19.821 45462.701 19.821 .298
F 66.467 1.525E5 66.467
Sig. .000 .000 .000
R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .947)
Lampiran 7c.
Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) atribut warna empat formula brownies kukus TPM
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Hue Duncan Subset Sampel
N
1
2
3
90% 3 58.1686 80% 3 61.2292 70% 3 62.5633 60% 3 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .345.
4
64.2440 1.000
66
Lampiran 8a.
Tabel analisis tekstur empat formula brownies TPM Lama
Sampel
Brownies 70%
Brownies 80%
Brownies 90%
Brownies 100%
Jarak
Gaya
Gaya
tertekan
Maksimum
minimum
(s)
(mm)
(gf)
(gf)
1
0.410
9.410
1934.8
1182.7
61.13
2
9.130
9.125
2062.3
1234.4
59.86
3
8.680
8.680
1991.6
1252.7
62.90
1
9.410
9.047
5160.8
3136.1
60.77
2
9.125
9.068
4886.6
2985.3
61.09
3
8.680
8.913
5216.1
3169.2
60.76
1
8.850
8.847
7944.8
4748.1
59.76
2
8.405
8.938
7937.5
4700.8
59.22
3
8.855
8.852
5853.1
3616.1
61.78
1
8.630
8.627
7447.7
4373.4
58.72
2
8.278
8.275
10418.9
6209.2
59.60
3
8.368
8.365
7525.5
4520.2
60.07
U Penekanan
Lampiran 8b.
Elastisitas
Elastisit
Rata-rata
as (%)
(%)
61.29
60.87
60.26
59.46
Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut tekstur empat formula brownies TPM
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label Sampel
N
1
70%
3
2
80%
3
3
90%
3
4
100&
3
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tekstur Source
Type III Sum of Squares
df
Corrected Model 5.719a 3 Intercept 43881.870 1 Sampel 5.719 3 Error 9.314 8 Total 43896.903 12 Corrected Total 15.033 11 a. R Squared = .380 (Adjusted R Squared = .148)
Mean Square 1.906 43881.870 1.906 1.164
F 1.637 3.769E4 1.637
Sig. .256 .000 .256
67
Lampiran 9.
Tabel analisis proksimat TPM dan brownies kukus TPM
Sampel
Tepung pisang fermentasi-otoklaf
Brownies kukus 70%
Analisis
U1
U2
Rataan
Kadar air
10.12
10.15
10.14
Kadar abu
2.13
2.10
2.12
Kadar lemak
0.17
0.24
0.21
Kadar protein
5.49
5.05
5.27
Kadar karbohidrat
92.21
92.61
92.41
Kadar air
37.34
37.22
37.28
Kadar abu
1.70
1.74
1.72
Kadar lemak
31.81
32.04
31.93
Kadar protein
11.86
12.10
11.98
Kadar karbohidrat
54.64
54.11
54.38
68
Lampiran 10.
Kuesioner uji ranking atribut sederhana brownies kukus TPM Karakter Terpenting Brownies Kukus
Sampel Nama
: Brownies Kukus Tepung Pisang Prebiotik :
Tanggal:
Urutkan karakter brownies kukus berikut ini menurut tingkat kepentingannya dari yang paling penting (tulis angka 1 dibawah kolom ranking) sampai yang paling kurang penting (tulis angka 4 dibawah kolom ranking). Karakteristik Aroma Rasa Telstur Warna
Lampiran 11.
Ranking
Kuesioner uji ranking hedonik brownies kukus TPM UJI RANKING
Sampel Nama Instruksi
: Brownies Kukus TPM :
Tanggal: 21 April 2010
Urutkan contoh-contoh brownies kukus di bawah ini berdasarkan tingkat kesukaan dari yang paling disukai (tulis angka 1 dibawah kolom ranking) sampai yang paling kurang disukai (tulis angka 4 dibawah kolom ranking). Ujilah masing-masing contoh dan berkumurlah untuk menetralkan mulut anda sebelum melakukan pengujian. Kode Contoh 558 942 376 711
Ranking
Keterangan: kode 558 (F1), kode 942 (F2), kode 376 (F3), kode 711 (F4)
69
Lampiran 12.
Kuesioner uji rating hedonik empat formula brownies kukus TPM
Sampel Nama
: Brownies Kukus TPM :
Tanggal No. Hp
: 21 April 2010 :
Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Pada tabel respon berikan penilaian anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan chek list (√). 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antarsampel. 5. Setelah selesai berikan komentar Anda pada kolom yang tersedia
A. Aroma Respon
D. Warna
558
Kode sampel 942 376 711
Sangat suka Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka
558
Kode sampel 942 376 711
558
Kode sampel 942 376 711
Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka Sangat suka
B. Tekstur Respon
Respon
E. Overall
558
Kode sampel 942 376 711
Sangat suka Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka
Respon Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka Sangat suka
C. Rasa Respon
558
Kode sampel 942 376 711
Komentar:
Sangat suka Suka Netral Tidak suka Sangat tidak suka
70
Lampiran 13a. Tabel data rekapitulasi skor hasil uji ranking empat mutu sensori brownies kukus TPM Skor Panelis 1
Aroma
Rasa
Skor Tekstur
Warna
Panelis
Rank
Skor
Rank
Skor
Rank
Skor
Rank
Skor
3
2
1
4
2
3
4
1
Aroma
Rasa
Tekstur
Warna
Rank
Skor
Rank
Skor
Rank
Skor
Rank
Skor
21
4
1
1
4
3
2
2
3
2
3
2
1
4
2
3
4
1
22
3
2
1
4
2
3
4
1
3
3
2
1
4
2
3
4
1
23
4
1
2
3
3
2
1
4
4
2
3
1
4
4
1
3
2
24
3
2
1
4
2
3
4
1
5
3
2
1
4
2
3
4
1
25
3
2
1
4
2
3
4
1
6
2
3
1
4
3
2
4
1
26
2
3
1
4
3
2
4
1
7
4
1
2
3
3
2
1
4
27
1
4
3
2
2
3
4
1
8
3
2
1
4
2
3
4
1
28
4
1
3
2
2
3
1
4
9
2
3
1
4
3
2
4
1
29
4
1
1
4
2
3
3
2
10
3
2
1
4
2
3
4
1
30
3
2
1
4
2
3
4
1
11
4
1
1
4
2
3
3
2
31
2
3
1
4
3
2
4
1
12
4
1
1
4
2
3
3
2
32
2
3
1
4
3
2
4
1
13
3
2
2
3
4
1
1
4
33
4
1
1
4
2
3
3
2
14
2
3
3
2
4
1
1
4
34
4
1
1
4
3
2
2
3
15
4
1
1
4
3
2
2
3
35
3
2
2
3
1
4
4
1
16
2
3
1
4
3
2
4
1
36
1
4
2
3
3
2
4
1
17
2
3
1
4
4
1
3
2
37
3
2
1
4
2
3
4
1
18
3
2
1
4
4
1
2
3
38
3
2
1
4
2
3
4
1
19
3
2
2
3
1
4
4
1
39
3
2
1
4
4
1
2
3
20
3
2
1
4
2
3
4
1
40
1
4
3
2
2
3
4
1
71
Lampiran 13b. Tabel data rekapitulasi hasil uji pembobotan empat formula brownies kukus TPM Nilai total pembobotan Panelis Panelis F1 (70%) F2 (80%) F3 (90%) F4 (100%) F1 (70%) 1
37
34
32
26
21
40
Skor F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
44
36
30
2
50
43
43
43
22
32
28
34
36
3
50
31
41
31
23
40
39
30
28
4
50
34
44
31
24
41
38
47
50
5
47
45
44
44
25
50
41
34
20
6
49
41
27
30
26
46
40
36
37
7
33
25
22
22
27
45
46
40
43
8
36
31
36
22
28
39
39
33
27
9
50
46
50
46
29
32
22
27
20
10
29
37
34
38
30
44
37
38
22
11
35
37
37
34
31
42
36
33
38
12
47
44
42
30
32
34
44
44
40
13
34
32
35
33
33
41
34
33
23
14
40
39
37
37
34
37
37
37
37
15
42
46
44
39
35
30
31
39
35
16
48
45
50
44
36
50
44
44
50
17
38
32
22
32
37
41
44
38
36
18
48
45
43
46
38
26
25
30
28
19
48
21
31
30
39
42
46
36
37
20
40
47
44
40
40
39
38
47
42
41.05
37.7
37.35
34.43
Nilai rata-rata total pembobotan Nilai total pembobotan =
(nilai uji rating x skor pembobotan) aroma + (nilai uji rating x skor pembobotan)rasa + (nilai uji rating x skor pembobotan) tekstur + (nilai uji rating x skor pembobotan)warna
Nilai rata-rata total pembobotan =
∑
72
Lampiran 13c. Tabel analisis ragam (α =0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM Between-Subjects Factors Value Label Formula
N
1
70% TPM
40
2
80% TPM
40
3
90% TPM
40
4
100% TPM
40
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Nilai_Tota_Pembobotan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
227459.825a
4
56864.956
1.085E3
.000
Formula
227459.825
4
56864.956
1.085E3
.000
Error
8175.175
156
52.405
Total
235635.000
160
a.
R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .964)
Lampiran 13d. Tabel uji lanjut Duncan (α =0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM Nilai_Total_Pembobotan Duncan Subset Formula
N
1
2
100% TPM
40
34.42
90% TPM
40
37.35
80% TPM
40
37.70
70% TPM
40
Sig.
41.05 .057
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 52.405.
73
Lampiran 14a.
Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
1
5
5
5
5
21
3
3
3
3
2
5
5
5
5
22
5
5
5
5
3
5
5
5
5
23
4
4
4
4
4
5
5
5
5
24
5
5
5
5
5
5
5
5
5
25
5
5
2
1
6
4
5
2
4
26
3
3
3
3
7
2
2
2
2
27
4
5
4
5
8
4
4
3
4
28
3
4
3
2
9
5
5
5
5
29
3
2
1
1
10
1
1
5
5
30
5
5
5
5
11
4
4
4
4
31
5
5
5
5
12
5
5
3
4
32
5
5
5
5
13
3
3
3
3
33
4
5
2
2
14
4
4
4
4
34
4
4
4
4
15
5
5
4
4
35
3
2
4
5
16
5
5
5
5
36
5
5
4
5
17
4
4
3
5
37
5
5
4
4
18
5
5
4
5
38
5
3
2
5
19
3
3
3
3
39
4
5
3
3
20
5
5
5
5
40
5
5
5
5
rataan
4.225
4.25
3.825
4.1
74
Lampiran 14b. Tabel analisis ragam (α =0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
2823.050a
43
65.652
118.265
.000
4.550
3
1.517
2.732
.047
128.900
39
3.305
5.954
.000
Error
64.950
117
.555
Total
2888.000
160
Model Formula Panelis
a. R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .969)
Lampiran 14c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM Post Hoc Tests Sampel Skor Duncan Subset Formula
N
1
2
Brownies_TPM_90%
40
3.82
Brownies_TPM_100%
40
4.10
Brownies_TPM_70%
40
4.23
Brownies_TPM_80%
40
4.25
Sig.
.101
4.10
.401
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .555.
75
Lampiran 15a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
1
2
1
1
1
21
5
5
3
2
2
5
4
4
4
22
3
3
3
3
3
5
2
4
4
23
4
3
1
1
4
5
4
3
2
24
2
1
4
5
5
4
4
3
3
25
5
2
4
1
6
5
4
2
2
26
4
4
5
3
7
4
2
2
2
27
5
5
4
4
8
4
3
3
4
28
4
4
4
4
9
5
5
5
5
29
3
2
3
2
10
2
2
1
1
30
3
2
1
1
11
2
4
2
2
31
3
2
2
3
12
4
3
4
2
32
5
4
2
2
13
3
3
1
1
33
4
3
4
3
14
4
3
3
3
34
4
4
4
4
15
3
3
4
1
35
2
1
3
2
16
4
4
5
4
36
5
4
4
5
17
3
1
2
2
37
2
3
2
2
18
5
4
5
5
38
1
2
2
1
19
5
1
2
2
39
4
5
3
2
20
3
4
3
3
40
4
3
4
3
rataan
3.725
3.075
3.025
2.65
76
Lampiran 15b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
a
Model 1718.669 43 Formula 23.919 3 Panelis 138.494 39 Error 88.331 117 Total 1807.000 160 a. R Squared = .951 (Adjusted R Squared = .933)
39.969 7.973 3.551 .755
F
Sig.
52.941 10.561 4.704
.000 .000 .000
Lampiran 15c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM Post Hoc Tests Sampel Skor Duncan Subset Formula
N
1
2
Brownies_TPM_100% 40 2.65 Brownies_TPM_90% 40 3.02 3.02 Brownies_TPM_80% 40 3.08 Brownies_TPM_70% 40 Sig. .056 .797 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .755.
3
3.72 1.000
77
Lampiran 16a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating rasa hedonik empat formula brownies kukus TPM Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
1
4
4
4
2
21
4
5
4
3
2
5
4
4
4
22
2
1
3
3
3
5
3
4
2
23
4
4
3
3
4
5
2
4
1
24
5
5
5
5
5
5
5
5
5
25
5
5
3
2
6
5
4
3
4
26
5
5
2
4
7
4
3
2
2
27
5
5
4
3
8
3
2
4
1
28
5
3
3
2
9
5
4
5
4
29
3
2
3
2
10
3
5
4
5
30
5
4
5
1
11
4
3
5
4
31
4
3
3
3
12
5
5
5
3
32
1
4
5
4
13
3
3
4
4
33
4
3
3
2
14
4
4
3
3
34
3
3
3
3
15
4
5
5
5
35
5
5
5
4
16
5
5
5
4
36
5
5
4
5
17
3
2
2
2
37
5
5
5
5
18
5
4
4
4
38
2
2
3
3
19
5
2
4
3
39
4
5
4
4
20
4
5
5
4
40
5
4
5
4
rataan
4.175
3.8
3.9
3.275
78
Lampiran 16b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 2413.025 43 Formula 17.025 3 Panelis 100.775 39 Error 84.975 117 Total 2498.000 160 a. R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .953)
F
56.117 5.675 2.584 .726
77.266 7.814 3.558
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 16c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM Post Hoc Tests Sampel Skor Duncan Subset Formula Brownies_TPM_100% Brownies_TPM_80% Brownies_TPM_90% Brownies_TPM_70% Sig.
N
1 40 40 40 40
2 3.27
1.000
3.80 3.90 4.18 .064
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .726.
79
Lampiran 17a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
1
5
5
4
5
21
5
5
5
5
2
5
5
5
5
22
5
5
4
5
3
5
4
4
3
23
4
5
3
1
4
5
4
5
5
24
5
5
5
5
5
5
4
5
5
25
5
5
4
4
6
5
4
3
2
26
5
3
5
4
7
5
4
4
4
27
4
4
4
5
8
4
5
4
1
28
5
5
3
3
9
5
5
5
5
29
5
4
4
4
10
5
5
5
5
30
5
5
5
5
11
5
5
3
4
31
5
5
4
5
12
5
5
4
4
32
5
5
5
5
13
5
4
5
4
33
5
3
5
2
14
4
4
4
4
34
5
5
5
5
15
5
5
4
5
35
2
5
4
5
16
5
4
5
5
36
5
4
5
5
17
5
5
2
4
37
5
5
4
3
18
4
5
5
5
38
5
4
5
4
19
5
4
4
5
39
5
3
4
5
20
5
5
5
5
40
3
4
5
5
rataan
4.75
4.5
4.325
4.25
80
Lampiran 17b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 3217.669 43 Formula 5.919 3 Panelis 34.444 39 Error 69.331 117 Total 3287.000 160 a. R Squared = .979 (Adjusted R Squared = .971)
F
74.830 1.973 .883 .593
126.279 3.329 1.490
Sig. .000 .022 .053
Lampiran 17c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM Post Hoc Tests Sampel Skor Duncan Subset Formula Brownies_TPM_100% Brownies_TPM_90% Brownies_TPM_80% Brownies_TPM_70% Sig.
N
1 40 40 40 40
2 4.25 4.32 4.50 .174
4.50 4.75 .149
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .593.
81
Lampiran 18a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik overall empat formula brownies kukus TPM Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4 (100%)
1
4
2
2
1
21
5
5
4
4
2
5
4
2
4
22
5
5
3
3
3
5
3
4
2
23
5
4
2
1
4
5
4
5
2
24
5
1
5
5
5
5
4
4
4
25
5
5
4
2
6
5
4
2
2
26
5
4
5
3
7
3
2
1
1
27
5
5
4
5
8
3
3
4
2
28
4
4
4
2
9
5
4
5
4
29
4
3
3
2
10
3
3
4
3
30
5
3
3
2
11
3
4
2
4
31
4
4
4
4
12
5
4
5
4
32
3
4
2
3
13
3
3
2
2
33
4
3
2
2
14
4
4
3
2
34
4
4
4
4
15
4
4
5
4
35
3
2
1
1
16
5
5
5
4
36
5
5
4
5
17
4
1
3
3
37
3
4
4
4
18
5
4
4
5
38
4
2
3
4
19
5
1
4
2
39
5
4
4
2
20
4
5
5
4
40
5
4
5
4
rataan
4.325
3.575
3.525
3.025
82
Lampiran 18b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik overall empat formula brownies kukus TPM Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Skor Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
a
Model 2222.475 43 Formula 34.475 3 Panelis 99.975 39 Error 89.525 117 Total 2312.000 160 a. R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .947)
F
51.685 11.492 2.563 .765
67.548 15.018 3.350
Sig. .000 .000 .000
Lampiran 18c. Tabel uji lanjut Duncan uji (α = 0.05) rating hedonik overall empat formula brownies Post Hoc Tests Sampel Skor Duncan Subset Formula Brow_TPM_100 Brow_TPM_90 Brow_TPM_80 Brow_TPM_70 Sig.
N
1 40 40 40 40
2
3
3.03 3.52 3.57 1.000
.799
4.33 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .765.
83
Lampiran 19a. Panelis
Tabel rekapitulasi hasil uji ranking hedonik empat formula brownies kukus TPM
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4(100%)
Panelis
F1 (70%)
F2 (80%)
F3 (90%)
F4(100%)
1
1
3
2
4
21
3
1
4
2
2
1
2
3
4
22
2
1
4
3
3
1
2
4
3
23
2
1
3
4
4
3
1
4
2
24
3
1
2
4
5
3
4
2
1
25
4
1
3
2
6
2
3
1
4
26
2
3
4
1
7
1
2
3
4
27
1
2
3
4
8
1
3
2
4
28
1
2
3
4
9
2
3
1
4
29
3
2
1
4
10
1
2
3
4
30
1
2
4
3
11
2
1
4
3
31
1
3
2
4
12
1
2
3
4
32
1
2
3
4
13
3
2
1
4
33
2
1
3
4
14
2
3
1
4
34
1
4
3
2
15
1
4
3
2
35
1
2
3
4
16
1
4
3
2
36
1
3
2
4
17
1
3
2
4
37
1
2
3
4
18
4
1
2
3
38
1
2
4
3
19
4
1
2
3
39
2
1
4
3
20
3
1
2
4
40
1
3
2
4
1.8
2.15
2.7
3.35
Rata-rata Ranking
84
Lampiran 19b. Tabel Friedman test hasil uji ranking hedonik empat formula brownies kukus TPM Ranks Mean Rank 1.80 2.15 2.70 3.35
Brownies_70 Brownies_80 Brownies_90 Brownies_100 Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig. a. Friedman Test
Lampiran 20.
40 33.000 3 .000
Prosedur analisis proksimat
Kadar Air (AOAC 1995)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Ditimbang dengan tepat ± 5 gram sampel yang sudah dihomogenkan dalam cawan. Cawan dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam. Untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Cawan dipindahkan ke desikator, didinginkan, dan ditimbang kembali. Cawan dikeringkan kembali di dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap (konstan).
% Kadar air (berat kering) =
W3 x 100% W2
% Kadar air (berat basah) =
W2 x 100% W1
W1 = Bobot sampel sebelum dikeringkan W2 = Bobot sampel setelah dikeringkan W3 = W1 - W2
Kadar Abu, Metode Tanur (AOAC 1995)
Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 6000C sampai berwarna putih dan barat konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu =
berat abu x 100% berat contoh
85
Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC 1995)
Sebanyak 1-2 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu kjehldal, lalu ditambahkan 1,9 ± 0,1 gram K2SO4, 40 ±10 ml H2O, dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4. Kemudian contoh dididihkan sampai cairan jernih. Larutan jernih ini kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu kjehldal dicuci dengan air kemudian air cuciannya dimasukkan ke dalam alat destilasi. Dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH – Na2SO3. Di bawah kondensor diletakan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metal merah 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml lalu dititrasi dengan HCl 0.02% sampai warna berubah menjadi abu.
%N=
ml HCl contoh − ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 100% mg Contoh % Protein = % N x 6.25
Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 1995)
Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dalam bentuk potongan kecil dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukan ke dalam alat ekstraksi dan sokhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refuks selam 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C hinggga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang. Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
% Lemak =
(berat lemak + labu) − bobot labu(g) x 100% berat contoh (g)
Kadar Karbohidrat, Metode by difference
Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan:
Kadar karbohidrat = 100% - (% air+ % abu+ % protein + % lemak)
86