SKRIPSI
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR F24050962
2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR F24050962
2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG LOKAL DAN MIE BASAH JAGUNG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HAMIGIA ZULKHAIR F24050962 Dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1986 Di Solok Tanggal lulus : 31 Juli 2009 Menyetujui, Bogor, 31 Juli 2009
Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc
Tjahja Muhandri, S.TP, MT
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen
Hamigia Zulkhair. F24050962. Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.
RINGKASAN Jagung merupakan salah satu komoditi lokal Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama dalam upaya diversifikasi pangan. Salah satunya dengan diolah menjadi mie jagung. Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan nasional yang diharapkan mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie basah jagung. Penelitian ini berguna untuk meningkatkan nilai tambah jagung unggul nasional dan untuk menyediakan database varietas jagung lokal yang cocok untuk dijadikan mie jagung. Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penepungan, karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, analisa mie secara fisik, penambahan guar gum dan pembandingan hasil analisa mie dengan dan tanpa guar gum, serta penentuan varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Penepungan jagung menggunakan metode penggilingan kering. Mie basah jagung dibuat dengan menggunakan ekstruder model MS9, Multifunctional noodle modality machine. Mie dibuat dengan menggunakan tekanan secara manual. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (filing rate). Karakterisasi tepung jagung berdasarkan sifat fisiko-kimia memiliki pH 5.83 - 6.67, warna kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) 87.07 - 88.81, kadar air 9.95 - 15.04% bk, kadar abu 0.55 - 0.83% bk, kadar lemak 1.62 - 1.85 % bk, kadar protein 8.96 - 9.20% bk, kadar karbohidrat 88.11 - 88.87% bk, kadar pati 71.69 - 75.70% bk, kadar amilosa 23.06 - 27.68% bk, dan kadar amilopektin 44.10 52.64% bk. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 72.0 - 73.5˚C, viskositas maksimum 222.50 - 462.50 BU, viskositas akhir 280 - 580 BU, breakdown viscosity 5.0 - 92.5 BU, dan setback viscosity 45.00 - 102.50 BU; water absorption capacity 1.34 - 1.69 (g/g) bk, kelarutan 5.00 - 7.92% dan swelling volume 7.53 - 9.30 (ml/g) bk. Filling rate diukur berdasarkan waktu sejak mie keluar pertama kali dari die sampai habis. Persen elongasi mie dan KPAP mie basah jagung tanpa tekanan adalah sebesar 108.46% dan 7.15%. Sedangkan dengan pemberian tekanan secara manual, persen elongasi dan KPAP sebesar 126.29% dan 5.56%. Hasil analisa ini juga didukung oleh hasil analisa mikrostruktur menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Hasil SEM menyatakan mie basah jagung dengan pemberian tekanan memiliki matriks pati yang lebih seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung tanpa tekanan. Ikatan antar granula yang kuat dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan KPAP. Selanjutnya pada penelitian utama, pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual.
Pada penelitian utama selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual juga diberikan perlakuan penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) jenis guar gum sebanyak 1%. Kemudian hasil analisa mie basah jagung tanpa penambahan guar gum dibandingkan dengan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode celup) dan mie ayam (metode rebus). Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 - 6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus 25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%; KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu berpengaruh terhadap penambahan guar gum. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya pada parameter mutu persen elongasi dan KPAP. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN......................................................................................
1
A.
Latar Belakang ....................................................................................
1
B.
Tujuan..................................................................................................
3
C.
Manfaat................................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ A.
4
Jagung .................................................................................................
4
1. Deskripsi dan Jenis-Jenis Tanaman Jagung ....................................
4
2. Morfologi dan Anatomi Tanaman jagung .......................................
5
3. Komposisi Kimi Jagung ..................................................................
6
4. Jagung Varietas Unggul Nasional ...................................................
7
B.
Tepung Jagung ....................................................................................
8
C.
Pati Jagung ..........................................................................................
9
1. Karakteristik Pati.............................................................................
9
2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Reologi Mie ............
9
Gelatinisasi..........................................................................................
10
1. Konsep Gelatinisasi.........................................................................
11
2. Mekanisme Gelatinisasi...................................................................
12
3. Suhu Gelatinisasi .............................................................................
25
E.
Mie Basah ...........................................................................................
13
F.
Mie Basah Jagung ...............................................................................
16
G.
Reologi Mie Basah..............................................................................
18
H.
Ekstrusi................................................................................................
19
1. Ekstruder .........................................................................................
19
2. Proses Ekstrusi.................................................................................
21
Scanning Electron Microscope (SEM) ...............................................
21
D.
I.
III. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
24
A.
Bahan dan Alat....................................................................................
24
B.
Metode Penelitian ...............................................................................
24
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................................
25
2. Penelitian Utama .............................................................................
31
Metode Analisa ...................................................................................
32
1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung ..............
32
a. Analisa pH (Derajat Keasaman)...............................................
32
b. Analisa Warna Metode Hunter..................................................
32
c. Analisa Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) .............
33
d. Analisa Kadar Abu Metode Pengabuan Kering ........................
33
e. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl...................................
34
f. Analisa Kadar Lemak, Metode Soxhlet.....................................
34
g. Analisis Kadar Karbohidrat by Difference................................
35
h. Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl .................................
36
i. Analisis Kadar Amilosa Metode IRRI .......................................
37
2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung ..................
38
a. Sifat Amilografi.........................................................................
39
b. Water Absorption Capasity (WAC) ..........................................
39
c. Kelarutan ...................................................................................
40
d. Swelling Volume........................................................................
40
3. Analisa Karakterisasi Fisik Mie Basah Jagung ...............................
40
a. Analisa Persen Elongasi Menggunakan Texture Anlyzer..........
41
b. Pengukuran KPAP ....................................................................
41
C.
c. Analisa Persen Elongasi dan Tensile Strength Menggunakan Rheoner .....................................................................................
41
d. Analisa Mikrostruktur Menggunakan SEM ..............................
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
43
A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung ......................................................
43
B. Karakterisasi Tepung Jagung...............................................................
45
1. Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung ..............
46
a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung
C.
D.
E.
1). Analisa pH (Derajat Keasaman) .........................................
46
2). Analisa Warna Metode Hunter ............................................
47
B Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung..........................................
48
1). Analisa Kadar Air ................................................................
48
2). Analisa Kadar Abu ..............................................................
50
3). Analisis Kadar Protein .........................................................
51
4). Analisa Kadar Lemak ..........................................................
52
5). Analisis Kadar Karbohidrat .................................................
53
6). Analisis Kadar Pati ..............................................................
54
7). Analisis Kadar Amilosa .......................................................
55
8). Analisa Kadar Amilopektin .................................................
56
2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung ..................
57
a. Sifat Amilografi.........................................................................
57
b. Water Absorption Capacity (WAC)..........................................
60
c. Kelarutan dan Swelling Volume ................................................
61
Penelitian Pendahuluan .......................................................................
63
1. Pembuatan Mie Basah Jagung.........................................................
63
2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung........................................
69
Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum ....
75
1. Persen Elongasi .............................................................................
76
a. Metode Celup.............................................................................
77
b. Metode Rebus ............................................................................
78
2. KPAP ............................................................................................
79
3. Tensile Strength ............................................................................
81
4. Warna ............................................................................................
83
Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie Basah Jagung ......................................................................................
86
Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu ..............
89
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
94
F.
A.
Kesimpulan .........................................................................................
94
B.
Saran....................................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
96
LAMPIRAN.......................................................................................................
103
DAFTAR TABEL
Tabel
1 Jenis-jenis jagung dan sifatnya ........................................................... 5
Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ............ 6 Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasiona; ............................................ 7 Tabel
4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .................................................. 12
Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik........................ 14 Tabel
6. Syarat mutu mie kering menurut SII 2046-90 ................................... 16
Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal........................................................ 20 Tabel
8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs……………………………………….. 22
Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan ...... ......... 23 Tabel 10. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ................................................................ 37 Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung ................................ 47 Tabel 12. Sifat Amilografi lima varietas tepung jagung ..................................... 58 Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak Model MS9........................................ 64 Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP penelitian pendahuluan ....
69
Tabel 15. Hasil filling rate ................................................................................
69
Tabel 16. Waktu pematangan mie....................................................................... 80 Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas tepung jagung........................................... 85 Tabel 18 Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu ............................................ 86 Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung .................................. 86 Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung dengan mie basah terigu.................. 91
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar jagung di ladang ................................................................ 4
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati ............................................................ 12 Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston .................... 17 Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron SEM.................... 22 Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel SEM......................................... 23 Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian ................................................. 26 Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung .......................................... 28 Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung ..................................... 30 Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung.............................................. 46 Gambar 10. Gambar lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh .................. 47 Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung............................................. 49 Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung ........................................... 50 Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung ..................................... 51 Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung ....................................... 53 Gambar 15 Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung .............................. 54 Gambar 16. Kadar air pati varietas tepung jagung............................................
55
Gambar 17 Kadar amilosa lima varietas tepung jagung ..................................
56
Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung............................
57
Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung .................................. 59 Gambar 20. WAC lima varietas tepung jagung .................................................. 60 Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung............................................ 62 Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung ................................ 62 Gambar 23. Gambar ekstruder pencetak Model MS9......................................... 64 Gambar 24. Gambar tepung jagung dan adonan hasil sebelum pengukusan 1... 65 Gambar 25. Gambar adonan diekstruder, untaian mie keluar dari die dan mie basah hasil pengukusan 2........................................................................... 67 Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung ................ 70 Gambar 27. Gambar SEM mie basah jagung tanpa dan dengan pemberian tekanan secara manual .................................................................................. 73 Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung ............ 77
Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung ............ 78 Gambar 30. KPAP lima varietas tepung jagung ................................................. 80 Gambar 31. Tensile strength metode celup lima varietas tepung jagung ........... 82 Gambar 32. Tensile strength metode rebus lima varietas tepung jagung ........... 82 Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung.............................. 84 Gambar 34. Gambar SEM mie basah terigu ....................................................... 92
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar alat-alat yang digunakan selama penelitian..................103 Lampiran 2. Gambar mie basah jagung..........................................................107 Lampiran 3. Gambar hasil analisis SEM ..................................................... 109 Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung110 Lampiran 5.
Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan ...................................112 A.Karakterisasi tepung...............................................................112 B.Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual dan penambahan BTP............................................................122
Lampiran 6. Hasil Uji T-test........................................................................ 111 A.Penggunaan alat analisa persen elongasi................................133 B.Mie basah jagung tanpa pembaerian tekanan dan dengan pemberian tekanan secara manual .........................................133
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih yang tiada henti kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan” dan menyelesaikan ujian skripsi dengan sangat baik. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1. Keluargaku tersayang, Papa H.Chairan, Mama Hj. Zurni Zaini, Da Andi Z dan ni Dewi, Da Oki Y Z dan ni Anggi, Da Ijes dan ni Nita, ponakan-ponakanku (Rizky, Chelline, dan Aira), Kakekku H. Zaini (Alm) dan Nenekku, keluarga besar-ku, terima kasih atas doa, kasih sayang, nasihat, dorongan, motivasi serta dukungan moril dan materil plus spirituil yang diberikan selama ini. Semua perjalan hidup yang telah kita lalui memberikan pelajaran hidup dan hikmah yang sangat berharga bagi penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana serta kasih sayangnya dalam membimbing dan mendukung penulis. 3. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku Dosen Pembimbing II yang selalu sabar dan memberikan masukan-masukan yang berguna hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Dr. Ir. Fahim M. Taqi, DEA atas kesediaannya sebagai Dosen Penguji dan pengarahannya selama ujian yang sangat membuka dan merubah pola pikir penulis. 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan mendukung kemajuan penulis. 6. Terimakasih buat my special editor, Jummi Waldi, atas editan ‘all about my finally exam’, dukungan agar bisa mencapai kesukses-an yang penulis inginkan, semangat untuk terus berjuang, ‘never give up jen and stay cool’, kesabaran, wejangan-wejangan yang sangat bermanfaat dalam menghadapi hambatan yang ada dan dukungan spirituil yang tak pernah habis diberikan kepada penulis. Plus buat keluarga besar Tem, mama, bapak, Da Andi dan keluarga, Ni Emma, dan Eka. Terima kasih atas doa dan support-nya.
7. Teman-teman sebimbingan sekaligus partner penelitian : Ririn, Shita dan Tami atas bantuan ilmu, tenaga, waktu, motivasi, dan kesabaran menghadapi penulis. Terima kasih atas kebersaman dan kekompakannya selama ini. Semoga kebersamaan dan persahabatan ini tidak lekang oleh waktu. 8. Teman sebimbingan-ku : Glenn, kakak-kakak sebimbingan Kak Santo , Kak Yunita, Kak Mariance, serta adik sebimbingan-ku Saiha. Terima kasih atas kebersamaan, nasehat dan motivasinya. 9. Terima kasih kepada seluruh laboran, staf laboran dan staf ITP dan Seafast Centre. Pak Junaedi, Pak Deni, Mas Marto, Pak Udin, Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Yahya, Pak Rozak, Bu Antin, Mas Samsu dan staf-staf lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dengan penulis selama penulis kuliah dan penelitian. 10. RegineR’s tercinta dari masa ke masa (2005-2009). Mb’Neni, K’Wina, K’ Lu’lu, K’Tari, K’Dewi, K’Wati, K’Ratih, KCepe, K’Nea, K’Desma, Teh Febri, K’Ruri, K’Astri, Hesti dan Uyung (walaupun cm beberapa bulan), K’Ririn, Ratih, V2n, K’Nono, K’Icha, K’Ina, K’Tin2, K’Juli, K’Mei2, K’Nining, Mb’Novi, Mb’Lina, Micha, Rahma, Sekar, Lia, K’Ina (Medan), Mb’Rahma, Teh Emil, Irma, dan K’Rida .Terima kasih atas kebersamaan yang tak ternilai, pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berharga, support dan motivasi yang tiada henti serta dukungan spirituil dan persahabatan yang telah diberikan kepada penulis. Disini kita menjalin cerita, canda, tawa, sedih, duka dan ceria. Terkhusus buat tim penyemangat sidang-ku yang saat-saat terakhir berdiam di Regina (Ratih, Rahma, Lia dan Irma), terima kasih sudah mau jadi satpam belajar-ku; penyemangat disaat aq down, lelah dan jenuh; begadang yang tiada henti di detik-detik ‘pembantaian’-ku; tim cheers saat aq di’bantai’…semua tak akan terlupakan…thank you (unlimited) so much girl’s…… 11. Teh Mila, A’Boink, Resti, Lisna dan Linda yang telah menjadi penghuni sejati Regina. Terima kasih atas bantuan-nya selama penulis di Regina. 12. Terima kasih buat teman-teman-ku “The Golden Generation of ITP”….Abie, Adi Woko, Achid, Acuy, Aji, Anggun, Arya, Atus, Belinda, Bombay, Cath, Ceu2 (Sina), Dewi, Difa, Dilla, Dion, Didot, Dita Adi, Si-Anak Kembar (Dina dan Esther), Epink, Fahmi, Fera, Fitri, Fuad, Galih N, Galih E, Galih I, Glenn, Haris, Harist, Hesti, Icha, Ike, Ikhwan,
Isna, Indri, Irene, Isna, Kenchi, Marcel, Marina, Melisa, Midun, Nanda, Nina N, Nina SR, Ola, Olo, Panji, Peye, Rika, Rino, Ririn, Riska, Riza, Septi, Shita, Suhe, Susan, Tami, Tiwi, Tiyu, Tuti, Zaqau, Veni, Venty, Wiwi, Wahyu, Yuni, Yusi dan teman2 ITP42 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua dukungan serta kebersamaan dan persahabatan-nya. Semoga semua ini tidak berhenti hanya sampai kita semua lulus dari ITP. 13. Terima kasih untuk seluruh anak ITP, ITP40 (Kak Santo, Kak Angga), ITP43, ITP44 (dede dkk), include praktikan-praktikan-ku (Evse P2 dan P3). Terima kasih atas kerjasama dan kebersamaannya. 14. Terima kasih yang tak ternilai kepada “my lepi” yang setia menemani penulis dari awal memasuki IPB, selama menjadi mahasiswi Ilmu dan Teknologi Pangan dan menemani serta mengantarkan penulis menjadi seorang Sarjana Teknologi Pertanian. 15. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihakpihak yang membutuhkan.
Bogor, 31 Juli 2009
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dan tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi tubuh. Pangan dibutuhkan untuk menyediakan energi bagi tubuh agar manusia dapat menjalankan aktivitas dengan baik dan menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Salah satu permasalahan pangan yang ada di Indonesia adalah ketergantungan masyarakat Indonesia akan komoditi bahan pangan tertentu misalnya beras dan gandum. Hal inilah yang mendorong pencarian sumber pangan baru. Pencarian sumber pangan baru difokuskan pada sumber daya lokal. Hal ini diharapkan dapat menurunkan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap sumber pangan luar negeri. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak sumber pangan lokal yang belum dikembangkan dengan baik. Salah satu sumberdaya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi sebagai pengganti beras di Indonesia. Jagung telah digunakan sebagai makanan pokok di beberapa daerah seperti di Madura dan Nusa Tenggara Barat. Walaupun demikian, produk-produk pangan berbasis jagung umumnya dikembangkan sebagai kudapan ringan (snack food) sehingga belum mampu dikategorikan sebagai bahan pangan alternatif. Di sisi lain, dalam upaya diversifikasi pangan perlu ada pengembangan produk asal jagung sebagai makanan pokok. Salah satu upaya tersebut adalah pengembangan produk asal jagung menjadi mie. Selain itu, tingkat produksi jagung yang cukup tinggi di Indonesia sangat mendukung program pengembangan produk asal jagung. Menurut Anonim [a] (2009), berdasarkan BPS (2008), terjadinya peningkatan produksi jagung pada tahun 2008 karena terdapatnya perluasan lahan untuk penanaman jagung serta terdapatnya program-program pemerintah yang
mendukung peningkatan produksi jagung di daerah-daerah Indonesia. Salah satu contohnya adalah pencanangan Gerakan Tambahan 2 Juta Ton Jagung (Gentaton)
Produksi
Indonesia
yang
dipelopori
oleh
Gorontalo
(www.gorontalo-agropolitan.com) [Januari 2009]. Hal ini juga dapat dijadikan menjadi suatu alasan bahwa jagung dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif selain beras dan tepung terigu. Mie merupakan produk pasta atau ekstrusi. Menurut Astawan (2002), mie merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan tepung terigu atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
lainnya.
Dalam
upaya
diversifikasi
pangan,
mie
dapat
dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena adapat berfungsi sebagai pangan pokok. Mie merupakan produk pangan yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Beberapa keunggulan mie jagung instan adalah kandungan lemaknya yang lebih rendah dibandingkan mie terigu instan serta tidak perlunya digunakan pewarna buatan (tartrazine) seperti halnya dalam pengolahan mie jagung instan. Beberapa waktu belakangan ini telah banyak dikembangkan produk mie berbahan dasar tepung ataupun pati jagung. Teknologi pembuatan mie jagung pun telah banyak dilakukan dengan berbagai macam modifikasi untuk menghasilkan mie jagung dengan kualitas yang lebih baik. Data mengenai varietas jagung hibrida yang cocok untuk dibuat mie basah jagung telah didapatkan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Muhandri (2006) yang melakukan pembuatan mie basah jagung pada varietas P11, P21, BISI 2, C7, NK3 dan DK3 dan Ekafitri (2009) yang melakukan karakterisasi pada tepung jagung varietas NT10, Bisi 16, Jaya, Prima dan Nusantara. Namun, belum ada data yang menunjukkan varietas jagung lokal terbaik yang cocok dijadikan mie jagung. Padahal jagung lokal juga memiliki potensi yang sama seperti halnya jagung hibrida. Oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi tepung jagung berbagai varietas jagung lokal untuk mendapatkan varietas yang cocok untuk dibuat mie jagung serta
2
mengungkap sifat-sifat dari varietas jagung lokal yang cocok tersebut. Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah jagung lokal sebagai salah satu bahan pangan alternatif pengganti beras.
B. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan varietas jagung lokal terbaik yang cocok untuk dibuat mie jagung. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik tepung berdasarkan sifat fisikokimia dan sifat fungsional tepung jagung lokal. 2. Memperbaiki kualitas mie yang dihasilkan dengan menggunakan Bahan Tambahan Pangan. 3. Mengetahui varietas jagung lokal yang paling cocok untuk dibuat mie serta mengetahui pengaruh kadar amilosa-amilopektin dan proksimat dari tepung terhadap sifat reologi mie jagung.
C. Manfaat Diharapkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai varietas jagung lokal yang berpotensi untuk dibuat mie sehingga dapat meningkatkan nilai tambah jagung.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG 1. Deskripasi dan Jenis - Jenis Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays. L.) merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat. Jagung masuk dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledae, Orde Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Umumnya tanaman jagung memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman delapan meter meskipun sebagian besar berada pada kisaran dua meter. (Wikipedia Indonesia, 2008).
Gambar 1. Jagung di ladang (Wikipedia, 2008) Jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain : tinggi tempat penanamannya, umur varietas, perbenihan, serta warna dan tipe biji. Akan tetapi, secara umum jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk kernelnya. Ada enam tipe jenis jagung jika dibedakan berdasarkan bentuk kernel, yaitu : dent, flint, flour, sweet, pop, dan pop corns. Jagung jenis dent, dapat dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm, pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung lunak dan bertepung. Endosperm yang lunak akan menjulur hingga mahkota membentuk tipe tertentu yang merupakan ciri khas jagung jenis dent (Johnson, 1991). Menurut Johnson (1991), jagung jenis flint memiliki bentuk agak tebal, keras dan lapisan endospermnya seperti kaca, kecil, lunak, dengan granula tengah. Jagung jenis pop memiliki selaput endosperm yang sangat
keras dan memiliki kernel kecil dan termasuk jenis jagung yang primitif. Jagung jenis flour memiliki endosperm yang lunak dan menembus kernel, sangat mudah dihancurkan dan mudah ditumbuhi kapang jika ditanam di lahan basah. Jagung flour termasuk jenis jagung yang sudah tua. Jagung sweet merupakan jagung hasil mutasi. Jagung ini biasanya dicampur dalam sayuran dan memiliki kadar sakarida terlarut sebesar 12% berat kering yang nilainya lebih besar dari jagung jenis lainnya yang hanya 2-3 %. Sedangkan jagung pop corn merupakan jagung yang memiliki kernel yang tertutup. Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya Jenis jagung Jagung gigi kuda (Zea mays identata) Jagung mutiara (Zea mays indurata) Jagung bertepung (Zea mays amylacea) Jagung berondong (Zea mays evertia) Jagung manis (Zea mays saccharata) Sumber : Suprapto (1998)
Sifat-sifat Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ujung Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang. Biji mudah dibuat tepung karena semua endosperm berisi pati yang lunak, biji mudah kering tetapi permukaannya berkerut. Butir biji kecil, keras seperti jagung mutiara, pati lunak lebih sedikit Kandungan pati sedikit, kulit biji tipis, endosperm bening dan dimasak biji berkerut.
2. Morfologi dan Anatomi Tanaman Jagung Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), jagung tongkol terdiri atas kelobot, tongkol jagung, biji jagung dan rambut. Kelobot merupakan daun buah yang berfungsi sebagai pembungkus biji jagung. Dalam satu tanaman jagung umumnya terdapat 12-15 lembar kelobot dan jika tanaman jagung semakin tua maka kelobotnya akan semakin kering. Tongkol
jagung
merupakan
simpanan
makanan
untuk
pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Umumnya tongkol jagung memiliki panjang antara 8-12 cm dengan 300-1000 biji jagung. Biji jagung merupakan biji-bijian serelia terbesar dengan berat antara 250300 mg. Biji-biji tumbuh pada tongkol jagung dan membentuk flat. Biji jagung berbentuk bulat dan tersusun membentuk spiral pada tongkol jagung dengan jumlah yang selalu genap baik dari jumlah baris ataupun 5
deret. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang panjang yang keluar ke ujung kelobot (Suprapto, 1998).
3. Komposisi Kimia Jagung Komposisi kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas, cara menanam, iklim dan tingkat kematangan sehingga perlu dilakukan seleksi untuk mendapatkan varietas jagung yang memiliki komposisi kimia yang tepat untuk dibuat mie (Jugengheimer, 1976). Menurut Warisno (1998) komponen terbesar dalam jagung adalah pati terutama terletak pada bagian endosperm. Pati jagung terdiri dari amilosa dan amilopektin, dengan jenis gula berupa sukrosa. Lemak jagung terutama terdapat pada lembaga yaitu sekitar 85% dari total lemak jagung (Belitz, 1999). Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh berupa oleat dan linoleat. Dalam pembuatan mie jagung, bagian lembaga dipisahkan karena lemak dapat menyebabkan ketengikan sehingga memperpendek umur simpan mie. Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein utama dalam jagung adalah glutelin atau glutenin. Protein lain dalam jagung adalah zein. Zein merupakan protein yang tidak larut dalam air. Zein diekstrak dari gluten jagung. Ketidaklarutan zein dalam air disebabkan karena adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin, dan juga karena kadar rantai hidrokarbon dan gugus amida yang tinggi dibandingkan kadar gugus asam karboksilat bebas (Johnson, 1991). Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Komponen Endosperm Lembaga Kulit Tip cap Sumber : Johnson (1991)
Pati 86.4 8.0 7.3 5.3
Protein 8.0 18.4 3.7 9.1
Jumlah (%) Lemak 0.8 33.2 1.0 3.8
Serat 3.2 14.0 83.6 77.7
Lain-lain 0.4 26.4 4.4 4.1
6
4. Jagung Varietas Unggul Nasional Menurut Syuryawati et al. (2005), Indonesia memiliki enam varietas jagung unggul, yaitu Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Penelitian ini menggunakan lima varietas jagung unggul Indonesia tersebut, kecuali Srikandi Putih. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ciri-ciri jagung varietas unggul nasional Ciri-Ciri Tahun dilepas Asal
Biji
Arjuna 1980 TC1 Early DMR (S) C2, introduksi dari Thailand
Umumnya mutiara (flint) Warna Biji Kuning, kadangkadang terdapat 2-3 biji berwarna putih pada satu tongkol Barus Biji Lurus dan rapat Bobot 1000 biji ± 272 g Rata-rata hasil 4.3 t/ha pipilan kering Sumber : Syuryawati et al. (2005)
Bisma 4 September 1995 Persilangan Pool 4 dengan bahan introduks disertai seleksi massa selama 5 tahun Setengah mutiara (semi flint) Kuning
Lurus dan rapat ± 307 g 5.7 t/ha pipilan kering
Varietas Lamuru 25 Februari 2000 Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3.
Sukmaraga 14 Februari 2003 Bahan introduksi AMATL (Asian Mildew Acid Tolerance Late), asal CIMMYT Thailand
Srikandi Kuning 4 Juni 2004 Materi introduksi asal CIMMYT Meksiko
Mutiara (flint)
Semi mutiara (semiflint)
Kuning
Kuning tua
Semi mutiara, modified hard endosperm Kuning
Lurus ± 275 g 5.6 t/ha pipilan kering
Lurus dan rapat ± 270 g 6.0 t/ha pipilan kering
Lurus dan rapat ± 275 g 5.4 t/ha pipilan kering
7
B.
TEPUNG JAGUNG Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling tepung jagung (Zea mays LINN) yang bersih dan baik (SNI 013727-1995). Penggilingan jagung adalah proses penggecilan ukuran dari endosperm dan memisahkan endosperm dari bagian kulit, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian keras biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit merupakan bagian biji yang harus dibuang karena memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Lembaga memiliki kandungan lemak yang tinggi sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap harus dihilangkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua proses yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pati merupakan produk yang dihasilkan dari penggilingan biji jagung secara basah. Sedangkan grits, meal dan flour (tepung) merupakan produk yang dihasilkan dari penggilinggan kering biji jagung (Inglett, 1970). Penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan dilakukan sebanyak dua kali. Proses penggilingan pertama merupakan penggilingan kasar dengan menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung. Penggilingan
kedua
yang
merupakan
penggilingan
grits
jagung
menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak berukuran 100 mesh.
8
Penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan proses penepungan jagung dengan metode penggilingan kering menggunakan disc mill sebagai penggiling halus dan kasar dengan ukuran mesh yang berbeda. Tepung jagung yang akan digunakan adalah tepung jagung hasil ayakan 100 mesh. Hal ini didukung oleh Merdiyanti (2008) yang menyatakan bahwa ukuran partikel dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang lebih besar. Dengan ukuran tepung jagung yang makin halus tekstur mie jagung yang akan dihasilkan juga akan semakin halus (Pratama, 2008).
C.
PATI JAGUNG 1. Karakteristik Pati Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi. Pati tersusun dari unit-unit glukosa dan dihasilkan sebagai granula di dalam sebagian besar sel tanaman. Granula pati memiliki struktur dan komposisi yang berbeda dengan dua komponen utama yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%) (Cheng, 2006). Menurut Hoseney (1998), amilosa adalah polimer linear dari alpha-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-Dglukosa, sedangkan amilopektin terdiri dari alpha-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan alpha(1,4)-D-glukosa dengan cabang ikatan alpha(1,6)-D-glukosa pada setiap 20-25 unit amilosa. Menurut Winarno dan Rahayu (1984), pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolaisasi sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih (birefringence). Pada saat granula pati pecah sifat ini akan hilang.
2. Hubungan Amilosa dan Amilopektin Dengan Reologi Mie Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28% merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun (Astawan, 2005). Menurut Mita (1992), pasta pati dibentuk dengan cara pemanasan dispersi aquous di atas suhu gelatinisasi. Pasta dianggap
9
bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang terdispersi dalam matriks polimer (Morris, 1990; Noel, Ring, dan Whatman, 1993 dalam Chang, et al., 2003). Oleh karena itu karakteristik dari fase terdispersi, fase kontinu dan interaksi antara komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati (Rao,1999 dalam Chang, et al., 2003). Gelasi pasta pati selama pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa dan amilopektinnya (Miles, Morris, Orford dan Ring, 1987). Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang, proses pembentukan struktur (rekristaliasi) amilopektin berperan dalam perubahan tekstural yang diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp dan Ponte, 1981 dalam Chang, et al., 2003). Laju rekristalisasi (retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, dan keberadaan dan konsentrasi dari bahan organik dan inorganik (Whistler dan Daniel, 1996 dalam Fennema, 1996). Menurut Lie dan Kokini (1990), mempelajari sifatsifat reologi pati jagung amilosa tinggi (70%) dan amilopektin tinggi (98%) dan menunjukkan pengaruh yang kuat dari pengolahan terhadap hasil pengukuran viskositas produk.
D.
GELATINISASI 1. Konsep Gelatinisasi Molekul pati mempunyai gugus hidrofilik yang dapat menyerap air. Bagian yang amorf dapat menyerap air dingin sampai dengan 30%, dan dengan pemanasan daya serap air pada pati meningkat menjadi 60% (Winarno, 1980). Penyerapan air yang besar disebabkan karena pecahnya ikatan hidrogen pada bagian yang amorf. Pada awalnya perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf akan diikuti oleh pecahnya granula. Suhu pada saat granula pecah disebut suhu gelatinisasi. Pada saat suhu gelatinisasi tercapai maka perubahan-perubahan yang terjadi sudah bersifat irreversible (Hoseney, 1998).
10
Menurut Greenwood dan Munro (1979), granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau air hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat reversible jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi irreversible jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisai dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu. Terjadinya translusi larutan pati biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks reflaksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Menurut Collison (1968), perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengambang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang di ikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat dibawah mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang.
2. Mekanisme Gelatinisasi Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan
11
mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefringence dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985). Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 2. Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 2. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) 3. Suhu Gelatinisasi Suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang (BeMiller dan Whistler, 1999 dalam Fennema, 1996). Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 4). Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (°C) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber : BeMiller dan Whistler (1999) dalam Fennema (1996)
12
Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya.
E. MIE BASAH Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Mie basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b). Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Menurut Piyachomkwan et. al. (2001), mie dapat dibedakan berdasarkan berbagai kriteria dan karakteristiknya. Kriteria dan karakteristik mie tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam, dan membentuk sifat kekenyalan gluten. Hal tersebut dikarenakan gluten menyerap air sebagai sehingga serat-serat gluten mengembang. Garam dapur berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie dengan membantu reaksi gluten dengan karbohidrat. Garam dapur juga berfungsi untuk mengikat air, menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. Air abu biasa digunakan dalam pembuatan mie. Air abu berfungsi untuk
memberi warna, rasa, memperkuat struktur mie, mempercepat
pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas serta menghaluskan tekstur.
13
Tabel 5. Klasifikasi mie berdasarkan kriteria dan karakteristik Kriteria Bahan baku
Tipe 1. Tepung gandum rendah - Mi Jepang (udon) 2. Tepung gandum tinggi - Mi Cina (ra-men) 3. Buckwheat (campuran) - Mi buckwheat (soba) 4. Tepung beras - Bihun 5. Pati kacang hijau - Mi transparan 6. Pati Ubi jalar 7. Pati lain (Kentang, Canna) 1. Sangat tipis (So-men) Ukuran Mi 2. Tipis (Hiya-mugi) 3. Standar (Udon) 4. Pipih (Hira-men) 1. Tipe pengikat Pemprosesan - Protein : mi gandum - Pati pregelatinisasi : mi pati 2. Pembuatan untaian - Sheeting : So-men - Ekstrusi : Mi beras 3. Peralatan - Tangan : Tenobe so-men - Mesin : Udon 1. Mi segar tanpa dimasak Produk 2. Mi matang (Kukus, rebus) 3. Mi rebus yang dibekukan 4. Mi kering 5. Mi instan Sumber : Piyachomkwan et al. (2001).
Karakteristik Berwarna putih dan putih krem, tekstur lunak. Kuning mengkilap, tekstur sedikit keras. Berwarna caklat atau abuabu, cita rasa unik. Putih hingga kuning dan tidak transparan. Transparan, tekstur kompak dan solid Elastis dan transparan 1.0-1.2 mm 1.3-1.7 mm 2.0-3.8 mm 5.0-7.5 mm
Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mie. Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbubumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu. Pembuatan mie basah terigu terdiri atas beberapa tahapan proses, yaitu
pencampuran
bahan,
pengadukan,
pembentukan
lembaran,
pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, mencampurkan tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang
14
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Tahap selanjutnya dalah pembentukan lembaran dengan tujuan menghaluskan serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994). Kemudian dilakukan proses pembentukan lembaran terhadap adonan mie. Lembaran mie yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran 1-3 mm. Untaian mie yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mie basah matang. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi menyebabkan pecahnya pati dan melepaskan amilosa. Amilosa membentuk lapisan tipis pada permukaan mie sehingga memberikan kelembutan pada mie, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mie. Terakhir, untaian mie basah matang diberi minyak sawit. Proses ini bertujuan mencegah lengketnya untaian mie dan memperbaiki penampakan mie agar mengkilap (Mugiarti, 2001). Beberapa syarat mutu mie basah dapat dilihat pada Tabel 6. Menurut Hou dan Krouk (1998), warna dan tekstur merupakan karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie basah dan menyatakan persyaratan warna untuk mie basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, Hou dan Krouk (1998), mie basah matang harus memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Sedangkan menurut Astawan (2005) secara fisik, diameter mie basah berkisar antara 1.5–2 mm.
15
Tabel 6. Syarat mutu mie basah menurut SII 2046-90 No. 1.
Kriteria Uji Keadaan : 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna Kadar air Kadar abu (bk) Kadar protein (bk)
2. 3. 4.
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b % b/b
Normal Normal Normal 20-35 Maksimal 3 Minimal 3
5.
Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin 6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) mg/kg 6.2. Tembaga (Cu) mg/kg 6.3. Seng (Zn) mg/kg 6.4. Raksa (Hg) mg/kg 7. Arsen mg/kg Cemaran mikroba 8. 8.1. Angka Lempeng Total Koloni/gram 8.2. E. coli APM/gram 8.3. Kapang Koloni/gram Sumber : Departemen Perindustrian (1990)
F.
Tidak boleh ada sesuai SNI02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 Maksimal 1.0 Maksimal. 10.0 Maksimal 40.0 Maksimal 0.05 Maksimal 0.05 Maksimal 1.0 x 106 Maksimal 10 Maksimal 1.0 x 104
MIE BASAH JAGUNG Mie basah jagung merupakan mie basah yang dibuat dengan menggunakan bahan baku utama tepung jagung. Pembuatan mie basah jagung
(mie
non
terigu)
memanfaatkan
prinsip
gelatinisasi
pati
menggantikan fungsi protein pada mie terigu yang berguna untuk membentuk struktur mie Pembuatan mie basah jagung secara umum menurut Subarna et al (1999) dalam Fahmi (2007) dapat dilihat pada Gambar 3. Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi berbahan baku tepung jagung pertama kali dilakukan oleh Fahmi (2007). Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri dari tahap pencampuran bahan dan pemasakan yang terjadi selama di dalam ekstruder, pencetakan menjadi untaian mie dan perendaman untaian mie dalam air dingin. Proses pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi yang dilakukan oleh Fahmi (2007) berbeda dengan proses pembuatan mie terigu, terutama pada proses pencampuran, pemasakan dan pencetakan adonan menjadi untaian mie. Penelitian Fahmi (2007) menggunakan alat ekstruder pemasak (forming 16
extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE2530/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand), sedangkan pada penelitian ini digunakan jenis ekstruder pencetak mie yang berbeda yaitu pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China. Jagung kuning dipipil, direndam air biasa selama 12 jam Digiling dengan Buhr Mill (gilingan batu) Disaring 60 mesh dan pati kasarnya diendapkan dan ditiriskan 10 menit Cake (pasta) pati digiling dan dibentuk pelet Dikukus 15 menit Digiling dan dicetak menggunakan ekstruder piston Mie dikukus 15 menit Mie basah
Gambar 3. Proses pembuatan mie jagung metode ekstrusi piston (Subarna et al, 1999 dalam Fahmi, 2007) Metode calendering dilakukan pada proses pembuatan mie basah jagung sebelum Fahmi (2007). Metode ini membutuhkan pembuatan lembaran dengan cara melewatkan bahan baku (adonan) secara berulangulang diantara dua rol logam. Setelah lembaran terbentuk, adonan dipotong menjadi untaian mie menggunakan slitter. Menurut Budiyah (2004) proses pembuatan mie menggunakan metode calendering memiliki beberapa kelemahan, yaitu perlunya proses pengendalian suhu dan kelembaban selama proses, waktu pengolahan yang cukup lama karena tahapan proses yang panjang, yaitu proses pencampuran bahan,
pengukusan
pertama,
pengulian,
pembentukan
lembaran,
pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dengan minyak.
17
Untuk itu perlu dilakukan modifikasi teknik dalam pembuatan mie basah non terigu,
salah satunya menggunakan ekstruder. Teknik
pembuatan mie jagung dengan ekstrusi piston memiliki kelebihan yaitu proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga membutuhkan waktu produksi yang lebih singkat (Subarna et al, 1999 dalam Fahmi 2007).
G.
REOLOGI MIE BASAH Menurut Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983 Reologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Reologi pada bahan padat merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan reologi pada bahan cair merupakan hubungan antara gaya dengan aliran. Menurut Fahmi (2007), pada produk mie beberapa sifat reologi yang penting di antaranya adalah kekerasan, kekenyalan dan kekuatan tarik (tensile strength). Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk pangan padat yang tidak bersifat deformasi. Kekenyalan merupakan sifat bahan elastis yang bersifat deformasi (perubahan bentuk). Kekenyalan (elasticity) merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting pada produk mie. Kekenyalan diukur menggunakan Texture Analyzer. Alat ini akan mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mie) mengalami deformasi (Fahmi, 2007). Tensile strength merupakan gaya yang diperlukan untuk menarik bahan (untaian mie) hingga putus. Tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan. Rheoner merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tensile strength dengan cara mengukur gaya yang diperlukan sampai bahan (mie) putus (Szczesniak dalam Peleg dan Bagley, 1983)
18
H.
EKSTRUSI 1. Ekstruder Menurut Harper (1981), ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi. Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk. Bentuk yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston. Ekstrusi pemasakan merupakan proses dimana bahan pangan yang mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981). Menurut
Muchtadi
et
al.
(1987),
ekstruder
dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Berdasarkan sifat fungsional, ekstruder terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low–shear cooking extruder, coolet extruder, dan high–shear cooking extruder. Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous
yaitu
ekstruder
yang
menghasilkan
panas
dengan
mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas (Harper, 1981 dan Muchtadi et al., 1987). Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir ganda dan ekstruder berulir tunggal (Harper, 1981 dan Muchtadi et al., 1987). Ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw
19
extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder dengan ulir yang co-rotating banyak diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan yang sangat basah, lengket, dan berminyak, serta dapat menggunakan bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990). Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tungggal (Fellows, 1990). Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal Kategori
Low Shear
Kadar Air Produk (%) Densitas produk (g/ 100ml) Suhu barrel maksimum (°C) Tekanan barrel maksimum (kg /cm2) Kecepatan ulir (rpm)
25 – 75 32 – 80 20 – 65 6 – 63 100 Produk pasta daging
Produk khas
Medium Shear 15 – 30 16 – 51 55 – 145 21 – 42 200 Roti, makanan ternak
High Shear 5–8 3.2 – 20 110 – 180 42 – 84 200 Snack, breakfast cereal
Sumber : Smith, 1981
Ekstruder
ulir
tunggal
paling
cocok
digunakan
untuk
mengektrusi produk pasta. Hal dikarenakan ekstruder memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan, serta biasanya mempunyai bentuk geometris ulir yang konstan. Alat ini mendekati paling mendekati ekstruder jenis isotermal karena hanya 20
mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah. Pemotongan cepat, continue, alat tidak lansung (proses) cocok diaplikasikan untuk produk pasta dan produk sosis (Muchtadi et al., 1987)
2. Proses Ekstrusi Ekstrusi
adalah
proses
pengolahan
pangan
yang
mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows, 1990). Menurut Harper (1981), dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan disebabkan oleh pengaruh tekanan shear (σ), dimana tekanan shear tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah non-newtonian Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku
yang sama,
pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 1990). Selain itu, produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak banyak limbah.
I.
SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM) SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan alat untuk melihat benda yang sangat kecil dalm bentuk stereo dengan skala perbesaran tinggi (Noor, 2001). Prinsip dasar SEM ditemukan pada tahun 1930 di Jerman. Sesudah perang dunia II, penelitian ini berlanjut di London. Kemajuan teknologi SEM berhasil dilakukan oleh Jepang karena negara ini mampu memproduksi
SEM
dengan
melakukan
banyak
penelitian
dan
perkembangan teknologi SEM. Penelitian ini menggunakan SEM keluaran
21
Jepang, JEOL (Jepang Electron Optical Laboratory) JSM 5200 Scanning Microscope Multi Purpose SEMs. Untuk spesifikasi dari JEOL JSM 5200 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Spesifikasi JEOL 5200 SEMs HV Mode LV Mode HV Mode LV Mode 1.2 kV 5 to 25 kV (5 kV steps)
Resolution Magnification Accelerating Voltage
SEM
memiliki
perbesaran
5.0 nm 8.0 nm x 15 to 200.000 x 15 to 50.000
yang
bervariasi
(sekitar
10x
–
1.000.000x). Menurut Noor (2001), prinsip kerja SEM terbagi dua, yaitu (1) informasi yang didapatkan dari irradiasi pancaran elektron dan (2) prinsip perbesaran. Apabila suatu pancaran elektron diiradiasi pada permukaan sampel, interaksi antara pancaran elektron dan atom-atom yang dikandung oleh sampel akan memberikan bermacam-macam informasi (Gambar 4).
Gambar 4. Bermacam-macam informasi pancaran elektron (Noor, 2001) Apabila dilakukan scanning pada permukaan suatu sampel dengan fokus pancaran elektron yang tepat informasi akan diperoleh dari setiap titik scanning. Informasi ini akan dirubah kedalam bentuk signal elektrik, dikuatkan dan disalurkan ke Cathode Ray Tube (CRT). Pada CRT, informasi digunakan untuk mengontrol tingkatan cahaya pada titik-titik yang bersangkutan. Informasi yang didapatkan dari permukaan sampel ditayangkan di CRT dalam bentuk gambar. Perbesaran sampel didefinisikan sebagai ratio dari ukuran gambar di CRT dengan ukuran pancaran elektron yang menscanning permukaan sampel (Gambar 5).
22
Gambar 5. Prinsip perbesaran gambar sampel (Noor, 2001) SEM secara umum berfungsi untuk melihat bagian permukaan dari sampel. Signal-signal SEM bisa membawa berbagai macam informasi dan digunakan untuk tujuan yang berbeda. Kegunaan SEM berdasarkan signalsignal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kegunaan SEM berdasarkan signal-signal yang digunakan Signal Secondary Electron Backscattered Electron X-Ray Transmitted Electron Cathodoluminescence Electromotive Force Secondary Electron Backscattered Electron Sumber : (Noor, 2001)
Mode Operasi SEI BEI X-Ray TEI CL EBIC ECP MDI
Tujuan SEM Pengamatan topografi suatu permukaan Komposisi permukaan Analisa elemen spedimen Pengamatan struktur internal Pengamatan karakteristik internal Pengamatan karakteristik internal Struktur cristaline Pengamatan magnetic domain
Pada penelitian ini dilakukan analisis topografi sampel sehingga signal yang digunakan adalah Secondary Electron Immage (SEI). Jumlah secondary electron yang dihasilkan dari suatu permukaan sampel tergantung pada sudut pantulan pancaran elektron yang mengenai permukaan sampel.
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Bahan baku utama yang digunakan adalah lima varietas jagung kuning lokal unggulan nasional, yaitu varietas Srikandi kuning, Sukmaraga, Bisma, Lamuru, dan Arjuna. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam, dan guar gum. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisa proksimat (CuSO4, K2SO4, H2SO4, H3PO3, HCl, NaOH, dan Na2S2O3) dan analisa kadar pati (NaOH, HCl, indikator PP, KI, H2SO4, Nathiosulfat, dan larutan Luff-Schoorl), kadar amilosa dan amilopektin (asam asetat, I2, NaOH, etanol, dan larutan iod). Alat yang digunakan adalah penggiling tepung disc mill, vibrating screen, ekstruder pencetak mie (model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China), oven, sealer, freezer, panci pengukus. Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisik dan kimia mi basah jagung adalah Chromameter CR 200 Minolta, Texture Analyzer (TATX-2); Brabender Amylograph, Rheoner RE3305, Freeze dry Yamato di Lab Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, Scanning Electron Microscope JSM 5200 di Lab Genetika Fakultas Peternakan IPB, Sealer, Freezer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl, oven, cawan aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.
B. METODE PENELITIAN Metodologi penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Secara umum garis besar pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa tahap, yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie basah jagung. Penepungan lima varietas jagung merupakan tahap pertama yang dilakukan pada penelitian ini. Proses penepungan jagung menggunakan teknik penepungan kering (dry milling) yang terdiri atas beberapa proses yaitu proses pengilingan kasar, pencucian dan pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus, pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan pengeringan tepung setelah tepung diayak. Proses penggilingan kasar dilakukan pada jagung pipil menjadi grits menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh. Proses ini bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan lembaga, kulit dan tip cap. Setelah jagung pipil menjadi grits, grits dicuci dengan air bersih untuk mengambangkan lembaga dan kulit ari dari grits jagung agar bagian-bagian tersebut mudah untuk dipisahkan dan dibuang. Hal ini dilakukan karena bagian lembaga dapat menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan tengik dan kulit ari membuat tepung jagung bertekstur kasar. Setelah dicuci grits tersebut direndam dalam air selama 3 jam. Proses perendaman ini bertujuan memperlunak endosperma yang nantinya dapat mempermudah tahap proses penepungan halus.
25
Lima varietas jagung lokal pipil Pembuatan tepung jagung dengan metode dry milling
Karakterisasi sifat fisiko kimia : ▪ Proksimat ▪ Kadar amilosa ▪ Kadar pati ▪ pH ▪ Warna
Karakterisasi sifat fungsional : ▪ Sifat amilografi ▪ Water Absorption capacity ▪ Kelarutan dan Swelling volume
Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi Analisa : * Elongasi * KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) Uji hipotesis pengaruh tekanan pada tahap pengekstrusian bahan terhadap karakterisasi mie yang dihasilkan Analisa : * Filling rate * Elongasi * KPAP * Scanning Electron Microscope (SEM) Pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi dengan memberikan tekanan saat pengekstrusian bahan Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna Peningkatan mutu mie jagung dengan penambahan Guar Gum 1% Analisa : * Elongasi dan KPAP * Tensile Strength * Warna Dibandingkan hasil analisa mie basah jagung dengan BTP dan tanpa BTP Penentuan tepung jagung lokal yang paling berpotensi untuk dibuat mie jagung
Gambar 6. Garis besar pelaksanaan penelitian
26
Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan tangan. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Jika kadar air grits terlalu tinggi, grits jagung mudah lengket dalam mesin penggiling, akibatnya rendemen tepung menjadi lebih rendah dan mudah tengik jika dilakukan penyimpanan. Dan jika kadar airnya terlalu rendah, rendemen hasil penggilingannya pun juga rendah. Selanjutnya dilakukan proses penepungan halus menggunakan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh. Tahapan ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung. Tepung
jagung
yang
dihasilkan
kemudian
dikeringkan
menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam hingga kadar air tepung ± 35%. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Menurut Pratama (2008) ukuran tepung jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah jagung yaitu ukuran 100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan tekstur yang lebih halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung jagung dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung dikemas plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer. Kemudian dilakukan tahap kedua dari penelitian pendahuluan, yaitu analisa pada tepung jagung yang dihasilkan. Analisa yang dilakukan mencakup analisa sifat fisiko-kimia dan sifat fungsional dari tepung jagung. Analisa ini dilakukan untuk mengkarakterisasi tepung jagung yang dihasilkan. Analisa sifat fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat), kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin.
27
Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume. Tahapan proses penepungan jagung pipil dapat dilihat pada Gambar 7. Jagung dibersihkan dari biji cacat dan kontaminan lainnya Penggilingan I menggunakan disc mill dengan saringan 10 mesh Grits jagung
Tepung jagung kasar
Pengambangan jagung menggunakan air suhu normal untuk membuang kulit ari dan lembaga Perendaman grits selama 3 jam Pembuangan cairan dan penjemuran grits jagung sampai grits tidak terlalu basah Penggilingan dengan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam Pengayakan menggunakan vibrating screen dengan saringan 100 mesh Pengeringan dengan oven pada suhu 50oC selama 2 jam Pengemasan dengan plastik PP tiap 200 g, diberi silika gel dan disimpan di freezer
Gambar 7. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Fahmi, 2007 dengan modifikasi) Tahap ketiga dari penelitian pendahuluan adalah pembuatan mie basah menggunakan metode ekstrusi. Proses pembuatan mie basah jagung dengan metode ekstrusi terdiri atas beberapa proses, yaitu proses penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan lembaran secara manual, pengukusan pertama (pengukusan adonan), pencetakan mie dengan ekstruder, dan pengukusan kedua (pengukusan mie).
28
Pertama-tama
dilakukan
proses
penimbangan
bahan-bahan
pembuatan mie basah jagung yang meliputi basis tepung jagung 100 g, NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai 70% basis kadar air tepung. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan bahan yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan. Pencampuran air dan garam dilakukan dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Serta pengadonan dilakukan dengan cara penambahan larutan garam sedikit demi sedikit ke dalam tepung jagung. Hal ini agar tidak terbentuk gumpalan tepung. Jika air yang ditambahkan lansung sekaligus dibutuhkan waktu pengadonan yang lebih lama agar gumpalan tepung tidak terbentuk, sehingga distribusi air di dalam adonan lebih merata. Adonan kemudian dibentuk lembaran dengan menggunakan roll kayu sampai ketebalan adonan sekitar ± 0.5 cm. Hal ini bertujuan untuk meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses pengukusan pertama. Proses pengukusan akan membuat adonan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mie. Proses gelatinisasi pati sebagian dapat membuat tekstur adonan menjadi lebih lunak, kohesif, dan elastis. Pati yang tergelatinasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks pengikat berupa massa elastic-cohesive sehingga adonan dapat dicetak menjadi mie. Setelah pengukusan pertama, adonan dimasukkan kedalam ekstruder tipe MS9 Multy-Function Noodle Machine Operation. Adonan akan keluar melalui die ekstruder khusus untuk mie. Mie yang dihasilkan
kemudian
dikukus
(pengukusan
kedua)
untuk
menyempurnakan proses gelatinasi sehingga diperoleh mie basah jagung dengan tekstur yang lebih baik. Tahapan pembuatan mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 8.
29
NaCl (2%)
Air sampai kadar air tepung basis kering 70%
Tepung Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut
Mixing Pembuatan lembaran secara manual dengan ketebalan ± 0,5 cm Pengukusan adonan selama15 Pencetakan menggunakan Pengukusan mie selama 15 menit Mie basah jagung
Gambar 8. Diagram alir pembuatan mie basah jagung Mie basah yang dihasilkan kemudian dianalisa secara fisik, yaitu meliputi analisa elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan). Tahap
terakhir
pada
penelitian
pendahuluan
ini
yaitu
dilakukannya justifikasi pembuatan mie basah jagung. Justifikasi yang dilakukan yaitu dengan meningkatkan jumlah bahan baku menjadi dua kali lipat menjadi 200g tepung jagung dan memberikan tekanan secara manual pada saat pembuatan mie. Kemudian diukur filling rate dari mie. Filling rate yaitu menghitung waktu keluar mie sejak pertama kali keluar dari die hingga adonan tepung habis dari dalam ekstruder. Selanjutnya mie yang dihasilkan di analisa secara fisik (analisa elongasi dan KPAP) dan SEM (Scanning Electron Microscope).
30
2. Penelitian Utama Penelitian utama mencakup tahap perbaikan teknis mie jagung mentah hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu pembuatan mie basah jagung berdasarkan hasil justifikasi. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas mie jagung mentah yang dihasilkan sebelumnya. Tindakan teknis yang dilakukan mencakup pemberian tekanan secara manual pada saat pembuatan mie dengan menghitung waktu keluarnya mie dari die ekstruder sampai semua adonan dalam ekstruder habis (filling rate) dan penggunaan BTP (Bahan Tambahan Pangan) untuk memperbaiki kualitas mie basah jagung yang dihasilkan. Kemudian mie basah jagung yang dihasilkan dianalisa kembali elongasi, tensile strength, KPAP,dan warna untuk mengkarakterisasi mie basah jagung yang dihasilkan. Hal yang sama juga dilakukan pada mie basah jagung yang ditambahkan
BTP.
BTP
yang
ditambahkan
berfungsi
untuk
meningkatkan kualitas mie yang dihasilkan. BTP yang digunakan adalah jenis guar gum. Pemilihan guar gum sebagai BTP berdasarkan pada penelitian Fadlillah (2005) yang menyatakan bahwa pemakaian konsentrasi guar gum yang semakin tinggi akan menghasilkan persen elongasi yang juga semakin tinggi. Penambahan guar gum pada penelitian ini akan dilakukan pada taraf 1% sesuai dengan konsentrasi guar gum yang paling berpengaruh terhadap parameter mutu inti mie basah jagung. Selanjutnya mie basah jagung dengan BTP akan dilakukan analisa sifat reologi mie (elongasi dan tensile strength), KPAP dan warna. Terakhir dilakukan pembandingan hasil analisa mie basah jagung tanpa BTP dan dengan BTP serta membandingkan hasil analisis dengan hasil analisis mie basah terigu komersial. Dari hasil analisa terakhir inilah nantinya ditentukan varietas tepung jagung lokal yang paling baik untuk dibuat mie jagung. Hasil analisa yang terbaik merupakan hasil analisa yang memiliki nilai sama atau lebih bagus dibandingkan mie basah terigu komersial.
31
C. METODE ANALISA 1. Analisa Karakterisasi Fisiko-kimia Tepung Jagung Analisa karakterisasi fisik yang dilakukan meliputi analisa pH dan warna. Sedangkan analisa karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat (penentuan kadar karbohidrat menggunakan perhitungan by difference), kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. Penentuan kadar amilopektin menggunakan perhitungan selisih kadar pati dan kadar amilosa.
a. pH (Derajat keasaman) pH diukur dengan membuat suspensi tepung sebesar 10%, kemudian pH diukur dengan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi.
b. Analisa Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching, 1994) Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menggunakan
Chromameter
CR
200
Minolta.
Pengukuran
menghasilkan nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Cara Perhitungan : •
Konversi pertama : ⎛x⎞ X = Y ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ y⎠ Y = Lightness
⎛ 1 − (x + y ) ⎞ ⎟ Z = Y ⎜⎜ ⎟ y ⎠ ⎝
32
•
Konversi kedua : L = 10 Y
a=
1
2
17.5 (1.02 X − Y ) Y
1
b=
7.0 (Y − 0.847Z )
2
Y
1
2
c. Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC selama kurang lebih 16-24 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isi didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus : c − (a − b ) × 100% c c − (a − b ) Kadar Air (%b.k ) = × 100% a−b Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir(g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
Kadar Air (%b.b ) =
d. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. c − (a − b ) × 100% c Kadar Abu (b.b ) Kadar Abu (%b.b ) = × 100% (100 − Kadar Air (b.b )) Kadar Abu (%b.b ) =
33
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g) e. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCL 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 g ditimbang dan diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian tambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCL 0.02 N yang sudah distandarisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti pada penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : ml HCL sample − ml HCL blanco × N HCL × 14.007 × 100 mg sample Kadar Protein (%b.b ) = % N × Faktor Konversi (6.25)
KadarN (% ) =
Kadar Protein (%b.k ) =
Kadar Protein (b.b ) × 100% (100 − Kadar Air (b.b ))
f. Kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 g, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. 34
Refluks dilakukan 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstrusi dipanaskan dalam suhu 100oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. a −b × 100% c Kadar Lemak (b.b ) Kadar Lemak (%b.b ) = × 100% (100 − Kadar air (b.b )) Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g) Kadar Lemak (%b.b ) =
g. Kadar Karbohidrat by Difference (AOAC, 1995) Kadar Karbohidrat (%b.k ) = 100% × (P + A + L )
Keterangan : P = kadar protein (% b.k) A = abu (% b.k) L = kadar lemak (% b.k) h. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et.al., 1997) ¾ Pembuatan larutan Luff Schoorl Sebanyak 25 g CuSO4.5H2O sejauh mungkin bebas besi, dilarutkan dalam 100 ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50 ml air dan 388 g soda murni (Na2CO3.10H2O) dilarutkan dalam 300-400 ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam larutan soda sambil digojog hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan larutan CuSO4. Sesudah dingin ditambahkan air sampai 1 L. Bila terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring. ¾ Penentuan sakarosa Sebanyak 50 ml filtrat bebas Pb dari larutan, masukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah dengan 25 ml akuades dan 10 ml HCl 30% (berat jenis 1.15). Panaskan di atas penagas air pada suhu 67-70oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan cepatsepat sampai suhu 20oC. Netralkan dengan NaOH 45%, kemudian
35
diencerkan sampai volume tertentu sehingga 25 ml larutan mengandung 15-60 mg gula reduksi. Diambil 25 ml larutan dan dimasukkan dalam erlenmeyer, ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl dan dibuat pula percobaan blanko yaitu 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah dengan akuades 25 ml. Setelah ditambah beberapa butir batu didih, Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan. Diusahakan 2 menit sudah mendidih. Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Setelah dingin, tambahkan KI 20% dan dengan hati-hati tambahkan 25 ml H2SO4 26.5%. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Nathiosulfat 0.1 N memeakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi, pati ditambahkan pada saat titrasi hampir berakhir. ¾ Perhitungan kadar pati Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa dengan HCl 30%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan Tabel 7. Selisih kadar gula reduksi sesudah inversi dengan sebelum inversi dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan.
36
Tabel 10. Penentuan Glukosa, Fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl Glukosa, fruktosa, dan gula invert ml 0.1 N Mg C6H12O6 Na-thiosulfat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
2.4 4.8 7.2 9.7 12.2 14.7 17.2 19.8 22.4 25.0 27.6 30.3 33.0 35.7 38.5 41.3 44.2 47.1 50.0 53.0 56.0 59.1 62.2 -
∆ 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 2.6 2.6 2.7 2.7 2.7 2.8 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0 3.0 3.1 3.1 -
i. Kadar Amilosa, metode IRRI (AOAC, 1995) ¾ Pembuatan kurva standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kedalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4;.0.6; 0.8 dan 1.0 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pegukuran intensitas warna biri yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
37
¾ Penetapan sampel Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung kemudian ditambahkan dengan 1 ml etanol 96% dan 95 ml NaOH 1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selma 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan didiamkan selamam 20 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran
intensitas
warna
yang
terbentuk
dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar Amilosa (%b.k ) =
a × Fp × v 100 × × 100% b 100 − ka
Keterangan : a = konsentrasi amilosa dari kurva standar Fp = faktor pengenceran ka = kadar air b = berat sampel v = volume mula-mula 2. Analisa Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung Analisa karakterisasi sifat fungsional tepung jagung terdiri atas analisa sifat amilografi tepung jagung menggunakan Brabender Amilograf untuk mengetahui sifat gelatinisasi tepung jagung, analisa Water Absorption Capacity metode Sathe dan Salunke (1981), analisa Kelarutan dan Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998).
38
a. Sifat Amilografi Buret diberi 450 ml air akuades. Sampel sebanyak 45 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan sebagian air akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas buret kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30 oC kemudian di-switch pengatur suhu berada di bawah posisi 97oC dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl amilograph berputar serta dipanaskan dengan menggunakan air. Kemudian pasang pena pencatat pada skala kertas amilogram. Mesin amilograph dimatikan ketika pasta mencapai suhu 95oC. Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus : Suhu awal gelatinisasi
= suhu pada saat kurva mulai naik
Suhu pada puncak gelatinisasi
= suhu pada saat viskositas maksimum dicapai (kurva mencapai puncak)
Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut = Suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5 menit) Viskositas maksimum
= pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Amilograph atau Brabender Unit
b. Water Absorption Capacity (Metode Sathe dan Salunke, 1981) Absorbsi air ditentukan dengan cara sentrifugasi. Satu g contoh dicampur dengan 10 ml akuades, diaduk 30 detik. Kemudian campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Absorbsi air dinyatakan dalam g/g (bk) dan dihitung dengan rumus :
39
Absorbsi air =
a−b c
Keterangan : a = bobot air mula- mula b = bobot supernatan c = bobot sampel c. Kelarutan (Modifikasi Perez et. al., 1999) Suspensi pati disiapkan yaitu 0.5 g sampel dicampur dengan 50 ml akuades dalam labu erlenmeyer 100 ml. Tempatkan sampel pada penangas air pada suhu 90oC selama 2 jam dengan pengadukan kontinyu. Dari suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven bersuhu 100oC hingga bobotnya tetap, kemudian dihitung kenaikan bobotnya. Kelarutan(% ) =
Bobot Cawan Petri Akhir − Bobot Cawan Petri Awal × 50 ml × 100 0.5 g × 30 ml
d. Swelling volume (Collado, L.S dan H. Corke, 1998) Penghitungan swelling volume dimulai dengan menimbang sampel sebanyak 0.35 g di dalam tabung reaksi bertutup. Kemudian ditambahkan 12.5 ml akuades. Diamkan campuran selama 5 menit di suhu ruang. Selanjutnya campuran bahan dimasukkan ke dalam waterbath bersuhu 92.5oC selama 30 menit sambil sesekali di aduk. Kemudian sampel didinginkan dalam air es selama 1 menit. Diamkan campuran selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya sampel disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit. Timbang berat gel yang dihasilkan dan kemudian gel dikeringkan untuk mendapatkan volume gel per berat kering.
3. Analisa Fisik Mie Basah Jagung Analisa fisik mie jagung meliputi analisa persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TAXT-2 pada penelitian pendahuluan dan menggunakan Rheoner RE-3305 pada justifikasi dan penelitian utama, analisa tensile strength menggunakan Rheoner RE-3305, analisa 40
warna metode Hunter (Hutching, 1994), dan analisa cooking loss atau Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) menggunakan metode Oh et al. (1985). a. Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer Sampel dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus : Persen Elongasi =
b.
Waktu Putus Sample (s ) × 0.3 cm s × 100% 2 cm
Pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) (Oh et al., 1985) Penentuan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dilakukan dengan cara merebus 5 gram mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: KPAP =
1 − Berat Sample Setelah Dikeringkan × 100% Berat Awal (1 − Kadar Air Contoh )
c. Analisis Persen Elongasi dan Tensile Strength menggunakan Rheoner Pada pengukuran elastisitas dan tensile strength digunakan probe yang dapat menjepit kedua ujung mie. Beban yang digunakan 0.2 volt, test speed 1 mm/s, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel mie basah yang telah diberi perlakuan pencelupan sebanyak tiga kali dan perendaman diletakkan di probe dan dijepit pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (kgf) dan waktu (s).
41
Cara perhitungan : • Persen Elongasi a
a = setengah jarak antar kedua ujung penjepit (mm), dimana a = 1.05 mm
b c
b = lebar kurva (mm) x 1.5 c = (a2 + b2)1/2 mm ΔL = (2 x c) – 21 mm % elongasi = (ΔL/21) x 100%
• Tensile Strength Menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart pada saat chart mencapai puncak tertinggi sebelum chart turun (puncak chart saat mie putus ketika mie diberikan gaya). Kemudian jumlah kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2 volt. Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf.
d.
Analisa
mikrostruktur
menggunakan
Scanning
Electon
Microscope (SEM) (Noor, 2001) Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM, sampel harus dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan SEM tidak bisa digunakan pada sampel dengan kadar air > 5%. Untuk itu, mie basah jagung yang akan dianalisis didehidrasi dengan metode freeze drying. Sampel difreeze drying menggunakan Freeze Dry Yamato dengan suhu (-76) oC. Sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon double tape. Kemudian sampel dicoating dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat. Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Kemudian dilakukan pengamatan mikrostruktur dari mie dengan perbesaran 2000x dan 3500x.
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Pembuatan tepung jagung dilakukan pada jagung pipil lima varietas jagung unggulan nasional, yaitu varietas jagung Srikandi Kuning, Bisma, Sukmaraga, Lamuru dan Arjuna. Jagung pipil ini didapatkan dari Balai Pusat Penelitian Serelia, Maros, Sulawesi Selatan. Proses penepungan yang dilakukukan merupakan modifikasi proses penepungan yang telah dilakukan pada penelitian Fahmi (2007). Teknik penepungan yang digunakan adalah teknik penepungan kering (dry process). Teknik penepungan kering ini terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu proses pengilingan kasar, pencucian dan pengambangan, perendaman, pengeringan grits, penggilingan halus, pengeringan tepung, pengayakan tepung ukuran 100 mesh, dan pengeringan tepung setelah tepung diayak. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan melakukan proses penggilingan kasar pada jagung pipil. Proses penggilingan kasar ini menggunakan dics mill dengan saringan 10 mesh sehingga menghasilkan grits jagung. Grits jagung yang dihasilkan dari proses penggilingan kasar ini masih bercampur dengan kotoran, lembaga, kulit dan tip cap. Komponenkomponen yang masih bercampur dengan grits ini merupakan komponen yang tidak diinginkan terdapat pada grits jagung. Untuk memisahkan komponen yang tidak diinginkan ini dilakukan proses pencucian. Grits dicuci dengan air bersih sehingga komponenkomponen
yang
tidak
diinginkan
tersebut
mengambang
sehingga
memudahkan proses pemisahan. Selama proses pencucian juga dilakukan proses pengadukan agar komponen-komponen yang tidak diinginkan tersebut tidak mengendap dalam tumpukan grits. Proses pencucian ini bertujuan untuk memisahkan grits (bagian endosperm jagung) dengan bagian lembaga, kulit, tip cap serta kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi.
Bagian lembaga jagung harus dibuang karena bagian ini dapat menyebabkan tepung jagung yang dihasilkan menjadi cepat tengik akibat reaksi oksidasi lemak karena kandungan lemaknya yang tinggi (Hoseney, 1998). Bagian kulit ari dan tip cap harus dibuang karena dapat menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Setelah proses pencucian, grits jagung kemudian direndam selama 3 jam. Proses perendaman ini berfungsi untuk memperlunak jaringan endosperm jagung sehingga memudahkan proses penggilingan selanjutnya. Kemudian, grits jagung dikeringkan menggunakan sinar matahari hingga kadar airnya mencapai ± 35% dan saat dirasa grits tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara memegang grits dan grits tersebut tidak begitu lengket dengan tangan. Hal ini dilakukan agar proses penggilingan menjadi lebih efisien sehingga rendemen yang dihasilkan pun lebih tinggi. Selanjutnya dilakukan proses penepungan halus menggunakan disc mill dengan saringan berukuran 48 mesh. Tahapan ini bertujuan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung. Tepung jagung yang dihasilkan ini masih merupakan tepung jagung kasar. Tepung
jagung
yang
dihasilkan
kemudian
dikeringkan
menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam. Kemudian tepung diayak menggunakan vibrating screen dengan ukuran ayakan 100 mesh. Ukuran 100 mesh ini dipilih berdasarkan penelitian Pratama (2008) yang meyatakan bahwa ukuran tepung jagung yang dianjurkan untuk membuat mie basah jagung adalah ukuran 100 mesh karena akan menghasilkan mie dengan tekstur yang lebih halus dibandingkan ukuran 80 mesh. Terakhir tepung jagung dikeringkan menggunakan oven suhu 50oC selama 2 jam untuk mengurangi jumlah air bebas pada tepung jagung sehingga dapat memperpanjang umur simpan tepung. Kemudian tepung jagung dikemas plastik PP ukuran 200 gram dan disimpan dalam freezer. Pembuatan tepung jagung menggunakan teknik penggilingan kering pertama kali dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada teknik ini dilakukan penggilingan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan
44
hammer mill. Kemudian dilakukan perendaman dan pencucian pada hasil penggilingan untuk memisahkan bagian endosperma jagung (grits) dengan kulit, lembaga dan tip cap. Perendaman bertujuan untuk melunakkan endosperm jagung agar mudah dihancurkan pada penggilingan kedua. Penggilingan kedua menggunakan disc mill yang bertujuan untuk menghaluskan grits jagung menjadi tepung jagung. Grits jagung terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh kadar air ± 35%. Jika kadar air terlalu tinggi maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemcetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras sehingga sulit untuk ditepungkan. Kedua hal tersebut mengakibatkan rendemen tepung jagung menjadi rendah. Agar ukuran tepung jagung seragam dilakukan proses pengayakan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto (1998), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar. Menurut Hoseney (1998), pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain, seperti lembaga, kulit (perikarp), dan tip cap. Bagian endosperma merupakan bagian yang akan dibuat menjadi tepung jagung. Hal ini dikarenakan bagian ini memiliki kandungan pati yang paling tinggi.
B. Karakterisasi Tepung Jagung Analisa karakterisasi tepung jagung yang dilakukan mencakup analisa sifat fisiko-kimia dan dan sifat fungsional dari tepung jagung. Analisa sifat fisiko-kimia meliputi analisa pH, warna, analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat), kadar pati, amilosa, dan amilopektin. Sedangkan analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat amilografi, water absorption capacity, kelarutan dan swelling volume.
45
1. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung Analisa yang dilakukan yaitu analisa sifat fisik dan sifat kimia tepung jagung. Analisa sifat fisik meliputi analisa pH dan warna. Analisa sifat kimia meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin.
a. Analisa Sifat Fisik Tepung Jagung 1). pH Hasil analisa pH dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pH tepung jagung Srikandi Kuning 5.83, Bisma 5.85, Sukmaraga 5.90, Lamuru 6.67 dan Arjuna 5.80. dari hasil analisa pH tersebut dapat diketahui bahwa nilai pH tepung jagung yang didapatkan ini masuk ke dalam range pH optimum pembentukan gel, karena menurut Manullang (1993) pH pembentukan gel optimum pada pH 4 - 7. Jika pH terlalu tinggi, pembentukan gel akan cepat tercapai, tapi akan cepat turun lagi. Jika pH terlalu rendah terbentuknya gel akan lambat dan bila pemanasan dilanjutkan, viskositasnya tidak berubah. Pada pH optimum ini pembetukan gel cenderung lambat, tetapi bila pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.
Gambar 9. Nilai pH lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan
46
uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap pH yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai pH yang berbeda (Lampiran 5A.1). 2). Warna Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter dimana pengukurannya dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa warna tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisa warna lima varietas tepung jagung Varietas Sifat Fisik
Warna
Srikandi Kuning
Bisma
Sukmaraga
Lamuru
Arjuna
L
88.81
87.86
87.07
88.14
88.74
a
0.40
1.18
0.68
1.15
0.73
b
26.18
26.96
25.43
26.07
25.88
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung memiliki nilai L yang cenderung sama. Nilai L yang cenderung sama menyebabkan tidak terlihatnya signifikansi perbedaan tingkat kecerahan tepung jagung. Hal ini dapat dibuktikan dengan gambar tepung jagung pada Gambar 10.
Gambar 10. Lima varietas tepung jagung ukuran 100 mesh
47
Tepung jagung Bisma memiliki nilai a dan b paling tinggi dibandingkan varietas tepung jagung lainnya. Tepung jagung Bisma memiliki nilai a sebesar +1.81 dan nilai b +26.96. Ini berarti tepung jagung Bisma memiliki warna kromatik kuning kemerahan. Warna kuning tepung jagung ini berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan [Lampiran 5A.2(a)], berpengaruh nyata terhadap nilai a dan b [Lampiran 5A.2(b dan c)] yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan tingkat kecerahan yang cenderung sama dengan tingkat warna kuning kemerahan yang berbeda.
b. Analisa Sifat Kimia Tepung Jagung Analisa sifat kimia tepung jagung meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar pati, amilosa dan amilopektin.
1) Kadar Air Penentuan kadar air dalam suatu bahan pangan sangat diperlukan karena akan mempengaruhi daya simpan bahan pangan tersebut. Proses penyimpanan ataupun lama dari waktu pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk sangat mempengaruhi kadar air dari tepung. Makin tinggi kadar air dari suatu bahan maka makin tinggi kemungkinan bahan tersebut untuk mengalami kerusakan. Kerusakan bahan seperti tepung lebih terutama disebabkan oleh kapang dan berbagai jenis kutu (Syarief dan Halid, 1993). Daya simpan suatu bahan pangan dapat diperpanjang dengan cara menghilangkan sebagian air yang terdapat pada bahan pangan
48
tersebut sampai mencapai kadar air tertentu. Salah satu cara memperpanjang daya simpan tepung adalah dengan pengeringan. Menurut
Fardiaz
(1989),
pengeringan
pada
tepung
dapat
mengurangi kadar air tepung sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15% (bb).
Gambar 11. Kadar air lima varietas tepung jagung Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa kadar air tepung jagung kelima varietas jagung yang diujikan memiliki nilai berkisar antara 9.95 - 15.04% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat pada beberapa varietas tepung jagung belum memenuhi syarat SNI tepung jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum 10%. Namun, kadar air ini masih masuk dalam batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14 - 15% b/b (Fardiaz, 1989). Untuk menjaga agar tepung jagung tidak mengalami kerusakan, tepung jagung disimpan di dalam freezer suhu -20°C dan diberi silika gel sampai digunakan dalam penelitian. Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar air yang 49
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar air yang berbeda (Lampiran 5A.3).
2) Kadar Abu Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral dalam suatu bahan pangan. Kadar abu merupakan sisa-sisa setelah bahan dibakar sehingga bebas karbon. Mineral merupakan zat organik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan dan lain-lain. Secara kuantitatif , kadar abu yang terdapat pada suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Umumnya, semakin tinggi nilai kadar abu maka semakin besar kandungan mineral dari suatu bahan pangan.
Gambar 12. Kadar abu lima varietas tepung jagung Dari Gambar 12 dapat diketahui bahwa tepung jagung yang dianalisa memiliki kadar abu berkisar antara 0.59 - 0.83% (bk). Hal ini sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung jagung (SNI 01-3727-1995) yaitu maksimum 1.5%. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang 50
dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar abu yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).
3) Kadar Protein Kadar protein dalam tepung jagung bukan merupakan syarat mutu tepung dalam SNI tepung jagung. Namun, keberadaannya dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Protein utama dari tepung jagung adalah protein jenis zein. Kadar protein dihitung dengan cara menghitung kadar nitrogen (N) dalam bahan pangan menggunakan metode Kjeldahl.
Gambar 13. Kadar protein lima varietas tepung jagung Dari Gambar 13 diketahui bahwa kadar protein tepung jagung berkisar antara 8.96 - 9.22 % (bk). Kandungan protein dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin. Akan tetapi kadar protein juga tidak boleh terlalu tinggi karena protein dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk gelatinisasi pati. (BeMiller dan Whistler, 1996 dalam Fennema, 1996). Hal ini akan berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi dan mempengaruhi proses pembuatan mie basah jagung yang sangat bergantung pada proses gelatinisasi pati.
51
Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar protein yang cenderung sama (Lampiran 5A.5).
4) Kadar Lemak Analisa kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak yang dianalisa merupakan kadar lemak kasar karena tidak hanya lemak yang terhidrolisa tetapi juga lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen. Menurut BeMiller dan Whistler (1996) dalam Fennema (1996), kadar lemak yang tinggi dapat menganggu proses gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Lemak dapat menganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula dan menyebabkan terjadi peningkatan suhu gelatinisasi. Dengan mengetahui kadar lemak pada tepung maka akan memudahkan dalam penentuan tujuan dan pembuatan produk, khususnya mie basah jagung yang proses pembuatannya sangat tergantung pada proses gelatinisasi pati.
52
Gambar 14. Kadar lemak lima varietas tepung jagung Dari hasil analisa pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kadar lemak kelima varietas tepung jagung cukup rendah yaitu berkisar antara 1.62 - 1.85 % (bk). Varietas jagung Lamuru memiliki kadar lemak paling rendah dibandingkan varietas jagung lainnya. Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar lemak yang cenderung sama (Lampiran 5A.4).
5) Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference. Kadar karbohidrat yang didapatkan dari hasil perhitungan ini merupakan kadar karbohidrat kasar. Dari hasil analisa diketahui bahwa kadar karbohidrat kelima varietas tepung jagung berkisar antara 88.11 - 88.87% (bk). Tepung jagung varietas Lamuru memiliki kadar karbohidrat paling tinggi yaitu 88.87% (bk). Hasil analisa karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 15.
53
Gambar 15. Kadar karbohidrat lima varietas tepung jagung Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar karbohidrat yang cenderung sama (Lampiran 5A.7).
6) Kadar Pati Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Menurut Thomas dan Atwell (1999) dalam Soh et al., (2006), komposisi pati merupakan faktor penting yang menetukan tekstur dan karakteristik dari produk. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar pati kelima varietas tepung jagung berkisar antara 71.69 - 75.70% (bk). Kadar pati yang dihasilkan ini cukup tinggi sehingga sangat membantu dalam proses gelatinisasi saat pembuatan mie basah jagung. Tepung jagung varietas Bisma memiliki kadar pati paling tinggi dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya, yaitu sebesar 75.50 % (bk). Hasil analisa pati dapat dilihat pada Gambar 16.
54
Gambar 16. Kadar pati lima varietas tepung jagung Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar pati yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar pati yang berbeda (Lampiran 5A.8). 7) Kadar Amilosa Analisa kadar amilosa yaitu menghitung banyaknya amilosa yang terdapat dalam granula pati. Amilosa sangat berperan dalam proses gelatinisasi dan jumlah amilosa yang cukup tinggi dalam granula pati dapat meningkatkan karakteristik dari pasta pati (Soh et al., 2006). Pati yang memiliki amilosa yang tinggi yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang tidak terlalu besar untuk gelatinisasi.
55
Gambar 17. Kadar amilosa lima varietas tepung jagung Dari Gambar 17. dapat dilihat bahwa kadar amilosa kelima varietas tepung jagung berkisar antara 23.06 - 27.68% (bk). Menurut Soh et al. (2006) kandungan amilosa dalam pati dapat meningkatkan elastisitas dan kekuatan tarik dari pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), menurunkan tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Dalam pembuatan pasta pati, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik (Galvez et al., 1994 dalam Collado dan Corke, 1998). Selanjutnya dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan kadar amilosa yang berbeda (Lampiran 5A.9). 8) Kadar Amilopektin Kadar amilopektin didaptkan dari selisih kadar pati dan amilosa. Dari Gambar 18 dapat diketahui bahwa kadar amilopektin kelima varietas tepung jagung berkisar antara 44.10 - 52.64% (bk). Kadar amilopektin pada tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie diharapkan memiliki nilai yang cenderung rendah. Hal ini dikarenakan amilopektin menyebabkan
56
terjadinya kristalisasi pati sehingga dapat meningkatkan suhu gelatinisasi (Grant et al., 2000 dalam Soh et al., 2006).
Gambar 18. Kadar amilopektin lima varietas tepung jagung Dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kadar amilopektin yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kadar amilopektin yang sama (Lampiran 5A.10).
2. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Jagung Analisa sifat fungsional tepung jagung meliputi analisa sifat amilografi, water absorption capacity (WAC), kelarutan dan swelling volume.
a. Sifat Amilografi Sifat gelatinisasi tepung diperoleh dengan analisa menggunakan Visco Amylograph Brabender. Prinsip kerjanya yaitu menaikkan suhu suspensi tepung 1.5°C tiap menit dan mencatat perubahan viskositas yang terjadi pada suspensi tepung tersebut. Sifat amilografi yang penting untuk diamati adalah suhu gelatinisasi awal, viskositas maksimum, breakdown viscosity, setback viscosity dan viskositas akhir. Suhu gelatinisasi awal adalah suhu dimana viskositas mulai
57
naik. Nilainya didapat dengan cara mengalikan kecepatan suhu (1.5°C/menit) dengan waktu gelatinisasi (menit) ditambah dengan suhu awal proses pemanasan (30°C). Pemanasan yang diberikan secara terus menerus menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus berlanjut sampai pada suhu 95° dan pada suatu titik tertentu akan terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut shear thinning (Hoseney, 1998). Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula sudah mulai pecah. Break down viscosity adalah selisih antara viskositas balik dan viskositas maksimum. Setback viscocity adalah selisih antara viskositas akhir dengan viskositas balik dimana telah terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi akhir
adalah suhu dimana
viskositas mencapai titik tertinggi. Suhu gelatinisasi akhir berguna untuk melihat viskositas akhir (viskositas tertinggi). Tabel 12. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung Sifat Amilografi Suhu Awal Gelatinisasi (°C) Viskositas Maksimum (BU) Viskositas Akhir (BU) Breakdown Viscocity (BU) Setback Viscocity (BU)
Srikandi Kuning
Bisma
Sukmaraga
Lamuru
Arjuna
73.5
72.0
72.0
73.5
73.5
462.5
222.5
285.0
250.0
200.0
580.0
350.0
422.5
340.0
280.0
92.5
5.0
25.0
15.0
20.0
47.5
97.5
102.5
65.0
45.0
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelima varietas tepung jagung memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar 72 - 73.5°C. Ini berarti pada range suhu inilah tepung jagung akan mulai tergelatinisasi dan terbentuk adonan yang elastis dan kohesif yang dapat dicetak menjadi untaian mie ketika keluar dari die ekstruder. Jika digunakan suhu
58
dibawah suhu awal gelatinisasi maka akan terbentuk adonan yang kurang elastis dan menghasilkan untaian mie yang permukaan teksturnya kasar dan mudah patah ketika melalui pencetakan pada ekstruder karena belum mengalami gelatinisasi (Hatorangan, 2007).
E
B C
F
D
A
Keterangan : A : Suhu awal gelatinisasi
D : Viskositas setelah holding suhu 95°C
B : Viskositas maksimum
E : Viskositas saat suhu 50°C
C : Viskositas saat holding suhu 95°C
F : Viskositas setelah suhu 50°C (V.akhir)
Gambar 19. Sifat amilografi lima varietas tepung jagung Viskositas maksimum lima tepung jagung berkisar antara 200.0 462.5 BU dan Viskositas akhir berkisar antara 280.0 – 580.0 BU. Viskositas maksimum terjadi pada saat range suhu 80 – 90°C (dilihat dari Gambar 19). Hal ini berarti saat suhu adonan berkisar antara 80 – 90°C terjadi proses peleburan granula pati, amilosa keluar, sehingga terbentuk matriks yang seragam yang dapat meningkatkan kekuatan ikatan
antar granula. Viskositas akhir berarti viskositas pati saat
proses gelatinisasi sudah sempurna. Breakdown viscosity lima varietas jagung berkisar antara 5.0 92.5 BU dan setback viscosity sebesar 45.0 - 102.5 BU. Breakdown
59
viscosity menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan
dan
setback
viscosity
menggambarkan
tingkat
kecenderungan proses retrogradasi pasta pati. Semakin besar nilai breakdown viscosity dan setback viscosity maka pasta pati tersebut akan semakin stabil terhadap pemanasan dan semakin tinggi tingkat kecenderungan mengalami retrogradasi. Retrogradasi yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan cepat mengalami kekerasan dan kering.
b. Water Absorption Capasity (WAC) Water absorption capacity digunakan untuk mengukur besanya kemampuan tepung untuk menyerap air. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masingmasing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Hasil analisa WAC dapat dilihat pada Gambar 20. WAC dari tepung perlu diperhatikan sebab banyaknya air yang ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari tepung. Menurut Kulp (1975), air yang terserap dalam molekul disebabkan oleh granula secara fisik maupun terikat secara intramolekular.
Gambar 20. Water absorption capacity lima varietas tepung jagung
60
Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa WAC berkisar antara 1.34-1.69 g/g (bk). Varietas Bisma memiliki nilai WAC paling tinggi yaitu 1.69 g/g (bk) dan varietas Srikandi Kuning memiliki nilai WAC paling rendah yaitu 1.34 g/g (bk). Hal ini disebabkan lebih tingginya kandungan amilosa pada varietas Bisma dibandingkan Srikandi Kuning. Menurut Soh, et al. (2006), kandungan amilosa yang tinggi dapat membantu penyerapan air pada granula. Kemudian dilakukan uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap nilai WAC yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai WAC yang berbeda (Lampiran 5A.11).
c. Kelarutan dan Swelling Volume Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume tepung selama mengalami pengembangan di dalam air. Setiap jenis tepung memiliki pola karakteristik kelarutan dan swelling volume yang berbeda. Menurut Leach (1965) di dalam Wurzburg (1965), sifat pengembangan sangat bergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul dalam granula, yang juga sangat bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dengan amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, dan (5) panjang dari cabang molekula amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan. Komponen non-karbohidrat yang secara alami terdapat dalam pati juga mempengaruhi daya ikat. Keberadaan zat lain dalam pati juga mempengaruhi swelling volume. Tingginya kandungan lemak
61
dalam tepung dapat menurunkan nilai swelling volume. Menurut Moorthy (1985) dalam Balagopalan et al (1988) perbedaan varietas, faktor lingkungan dan usia tanaman itu sendiri juga dapat mempengaruhi swelling volume dan kelarutan dari tepung jagung.
Gambar 21. Kelarutan lima varietas tepung jagung
Gambar 22. Swelling volume lima varietas tepung jagung Suhu juga merupakan salah satu faktor yang turut menetukan besarnya nilai kelarutan. Semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin meningkat. Analisa kelarutan dilakukan pada suhu 90°C dan swelling volume pada suhu 92.5°C. Dari hasil analisa pada Gambar 21 dan Gambar 22 dapat dilihat bahwa nilai kelarutan kelima varietas tepung jagung berkisar antara 5.00 - 7.92 % dan swelling volume sebesar 7.53 - 9.30 ml/g (bk).
62
Nilai kelarutan dan swelling volume paling tinggi dimiliki oleh tepung jagung varietas Srikandi Kuning dan paling rendah dimiliki oleh tepung jagung varietas Bisma. Nilai kelarutan dan swelling volume juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa didalam bahan pangan. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linear sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965 dalam Wurzburg, 1965). Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap kelarutan (Lampiran 5A.13) dan tidak berpengaruh nyata tehadap swelling volume (Lampiran 5A.12) yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai kelarutan yang berbeda dan swelling volume yang cenderung sama.
C. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini secara umum terdiri atas beberapa tahap, yaitu pembuatan tepung jagung, analisis karakterisasi tepung jagung, pembuatan mie basah jagung, dan justifikasi pembuatan mie basah jagung.
1. Pembuatan Mie Basah Jagung Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mie basah jagung menggunakan ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China. Spesifikasi dari ekstruder pencetak ini dapat dilihat pada Tabel 13.
63
Tabel 13. Spesifikasi ekstruder pencetak mie model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China. Model Production capacity Rating input Power Power Dimension Net Weight Voltage Frequensi Series no Date
MS9 9 kg/h 1.5 Kw 1.1 Kw 600x330x430 mm 60 kg 220 V 50 Hz VA 5000 2005
Gambar 23. Ekstruder pencetak mie Model MS9 Pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti pada penelitian Subarna et al. (1999) melakukan teknik pembuatatn mie jagung dengan ekstrusi piston atau ram dan teknik pembuatan mie dengan sistem ektrusi ulir oleh Waniska et al. (2000). Menurut Waniska et al. (2000) keuntungan dari proses pembuatan mie basah jagung menggunakan metode ekstrusi ini adalah proses lebih sederhana, tidak perlu tahapan sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran sehingga waktu proses yang
dibutuhkan lebih singkat. Hal ini dikarenakan pembuatan mie basah jagung menggunakan teknik calendaring memerlukan waktu pengolahan yang cukup lama, karena tahapan prosesnya panjang yaitu pencampuran bahan,
pengukusan
pertama,
pengulian,
pembentukan
lembaran,
pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran mie dg minyak (Budiyah,2004).
64
Proses pembuatan mie basah jagung ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu penimbangan bahan, pengadukan, pembuatan lembaran, pengukusan pertama, pencetakan adonan menggunakan ekstruder, dan pengukusan kedua. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pembuatan mie basah jagung basis 100 gram tepung jagung. Tahap penimbangan bahan dilakukan penimbangan 100 gram tepung jagung, 2% garam dapur basis tepung jagung (2 gram) dan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung. Penambahan air sampai kadar air adonan 70% basis tepung jagung ini didapatkan dari hasil optimasi pembuatan mie basah jagung yang dilakukan oleh Pratama (2008). Garam dilarutkan ke dalam air dan dicampur sedikit demi sedikit ke dalam tepung. Hal ini dilakukan agar distribusi larutan merata ke dalam adonan dan mencegah terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung yang akan menyebabkan tidak meratanya proses gelatinisasi pati nantinya. Selanjutnya adonan dibentuk lembaran menggunakan plastik jenis HDPE dengan ketebalan ± 0.5 cm menggunakan roll pengepres.
(a)
(b)
Gambar 24. (a) tepung jagung sebelum ditambahkan larutan garam, dan (b) lembaran adonan sebelum dikukus Kemudian dilakukan proses pengukusan terhadap adonan. Kukusan yang digunakan merupakan kukusan rumah tangga karena penelitian yang dilakukan masih skala laboratorium. Pengukusan dilakukan pada suhu uap air 90 – 100°C. Proses pengukusan adonan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan untaian mie. Hal ini dikarenakan tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti
65
halnya tepung terigu. Tepung jagung memiliki protein zein dan glutelin (zeanin) yang tidak bisa membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif jika diadon dengan air. Hal berbeda terjadi saat tepung terigu yang memiliki protein gluten saat diadon dengan air, maka akan membentuk massa yang lunak, elastis dan kohesif namun tidak lengket dan mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran. Pengukusan pertama (pengukusan adonan) bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian. Jika gelatinisasi pati sempurna maka adonan akan lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, mutu untaian mie kurang bagus, sehingga untaian mie mudah putus. Menurut Pratama (2008) pengukusan selama 15 menit sudah cukup untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk untaian mie. Adonan yang telah mengalami gelatinisasi sebagian ini kemudian lansung dimasukkan ke dalam ekstruder untuk dicetak menjadi untaian mie. Pembentukan untaian mie harus dilakukan selagi panas karena proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi) pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak-balik) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi mengalami rekristalisasi. Fenomena ini disebut retrogradasi. Kemudian lansung dilakukan proses pengukusan kedua pada untaian mie yang dihasilkan. Hal ini mencegah terjadinya retrogradasi yang menyebabkan untaian mie menjadi keras dan kering. Pengukusan kedua ini juga dilakukan selama 15 menit. Pada pengukusan kedua ini terjadi proses gelatinisasi secara sempurna. Menurut Harper (1981), pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks
66
amilopektin yang membentuk gel. Setelah dingin, amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Menurut Kim et al. (1996) kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mie non terigu karena dapat memiliki daya ikat antar granula yang lebih kuat.
(a) (b) (c) Gambar 25. (a) adonan dalam ekstruder dengan pemberian tekanan secara manual (normal) (b) untaian mie keluar dari ekstruder, dan (c) mie basah jagung matang (setelah pengukusan kedua). Hasil dari pengukusan kedua berupa untaian mie basah jagung yang siap untuk dianalisis. Proses pembuatan mie basah jagung ini memerlukan dua kali tahap pengukusan. Hal ini didukung oleh penelitian Subarna et al. (1999) dan Waniska et al. (2000) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan tahap pemasakan. Ditegaskan juga oleh Pagani (1985), untuk membuat produk pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan: 1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan. 2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten; dan 3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya
67
dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak. Pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan penyesuaian terhadap proses pengolahannya, seperti meningkatkan temperatur adonan (Ruiter, 1978). Penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah terpregelatinisasi. Untuk bahan baku yang mengandung sedikit protein seperti jagung, atau yang sama sekali tidak mengandung protein, pembuatan
produk
pasta
harus
dilakukan
dengan
merangsang
pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam tepung. Analisis mie basah jagung dilakukan pada dua parameter mutu penting mie basah yaitu persen elongasi dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan). Sebenarnya pengukuran karakteristik mie basah belum memiliki standar yang digunakan secara universal karena produk mie yang tersebar luas dan punya ciri khas yang berbeda-beda tiap negara (Kruger, 1996). Namun, analisis yang dilakukan ini didukung oleh Hou dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik fisik yang terpenting dari mie basah adalah elongasi dan KPAP. Mie basah jagung yang dinyatakan sebagai mie basah jagung yang bermutu baik memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Analisa persen elongasi pada penelitian pendahuluan ini menggunakan Texture Analyzer TATX-2. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP kelima varietas mie basah jagung dapat dilihat pada Tabel 14.
68
Tabel 14. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP lima varietas mie basah jagung No.
Varietas Jagung
Rata-rata % Elongasi ± SD
1
Srikandi Kuning
83.46 ± 5.86
Rata-rata KPAP ± SD (%) 7.88 ± 1.64
2 3 4 5
Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
88.82 ± 5.12 111.17 ± 7.98 105.32 ± 22.57 104.85 ± 8.70
6.28 ± 0.35 2.89 ± 1.76 5.69 ± 0.71 4.61 ± 0.14
Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa nilai standar deviasi untuk kedua parameter mutu cukup tinggi. Variasi ini diperkirakan terjadi akibat basis bahan baku yang digunakan terlalu sedikit (100 g) dan adanya parameter proses yang tidak terkontrol, yaitu tekanan. Oleh sebab itulah dilakukannya justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dengan menggunakan bahan baku yang lebih banyak dan memberikan tekanan secara manual.
2. Justifikasi Pembuatan Mie Basah Jagung Justifikasi proses pembuatan mie basah jagung dilakukan dengan menaikkan basis bahan baku menjadi dua kali lipat lebih banyak dari penelitian pendahuluan, yaitu 200 gram tepung jagung, 2% garam dapur (4 gram) dan jumlah air yang ditambah hingga kadar air tepung mencapai 70%. Selain itu juga dilakukan pemberian tekanan secara manual menggunakan sebuah balok kayu selama adonan berada dalam ekstruder. Pengukuran besarnya tekanan yang diberikan sulit dilakukan, sehingga yang diukur adalah waktu (laju) pengisian (fiiling rate). Filling rate diukur dengan cara menghitung waktu keluar mie yang pertama dari die hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder. Perlakuan tekanan dilakukan pada tepung jagung varietas NT10. Hasil pengukuran filling rate dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil filling rate Ulangan 1 2 3 Rata-Rata
Dengan Tekanan 2 menit 30 detik 2 menit 35 detik 2 menit 35 detik 2 menit 33 detik
Tanpa Tekanan (Normal) 2 menit 50 detik 2 menit 53 detik 2 menit 52 detik 2 menit 51 detik
69
Berdasarkan Tabel 15. dapat kita ketahui bahwa pemberian tekanan secara manual dapat mempersingkat waktu filling rate. Kecepatan berbanding terbalik dengan waktu. Semakin cepat mie keluar dari die maka semakin singkat waktu filling rate yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh penelitian Fahmi (2007) yang menyatakan bahwa kualitas mie basah jagung dengan teknologi ekstrusi yang paling baik adalah mie yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm dibandingkan dengan kecepatan ulir 110 dan 120 rpm. Mie basah jagung yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Nilai persen elongasi pada justifikasi dan penelitian selanjutnya tidak menggunakan Texture Analyzer TATX-2 tetapi menggunakan Rheoner. Hal ini dikarenakan Texture Analyzer yang ada tidak bisa digunakan. Akan tetapi, agar hasil yang didapatkan tidak rancu, dilakukan beberapa kali analisis sampel yang sama dengan penelitian pendahuluan menggunakan Rheoner. Dari hasil yang didapatkan dilakukan uji t-test menggunakan data analysis pada Microsoft Excel.
Dari hasil uji ini
didapatkan hasil bahwa nilai persen elongasi hasil TATX-2 tidak berbeda nyata dengan nilai persen elongasi menggunakan Rheoner pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 6A). Sehingga pergantian alat analisis tidak berpengaruh nyata pada hasil analisis yang didapatkan. Hasil analisa persen elongasi dan KPAP dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Persen elongasi dan KPAP justifikasi mie basah jagung
70
Dari Gambar 25. dapat kita ketahui bahwa mie basah jagung yang dihasilkan dengan perlakuan tekanan memberikan nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah jagung tanpa perlakuan tekanan. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh tekanan terhadap hasil analisa KPAP dan persen elongasi. Uji yang dilakukan menggunakan data analysis dengan Microsoft Excel. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% tekanan berpengaruh nyata terhadap kelarutan nilai KPAP dan persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan tekanan akan menghasilkan KPAP dan persen elongasi yang berbeda (Lampiran 6B). Justifikasi dilanjutkan dengan melakukan analisa mikrostruktur menggunakan
SEM
(Scanning
Elektron
Microscope).
Analisa
mikrostruktur ini berguna untuk melihat kekuatan ikatan antar granula dan keseragaman matriks amilosa setelah terjadinya proses gelatinisasi pati secara sempurna. Analisa ini dilakukan pada sampel mie basah jagung salah satu varietas terpilih dengan dan tanpa tekanan. Sebelum dilakukan analisis menggunakan SEM sampel didehidrasi terlebih dahulu. Hal ini mencegah kerusakan alat SEM yang disebabkan oleh uap air yang dihasilkan sampel saat dianalisis dengan tekanan tinggi. Proses dehidrasi yang dipilih adalah proses dehidrasi yang tidak merusak struktur dari sampel, salah satu metode yang disarankan adalah metode freeze drying (Kalab, 1983 dalam Peleg dan Bagley, 1983). Proses freeze drying dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Sampel mie basah dimasukkan ke dalam tabung khusus freeze drying. Kemudian atur suhu (-76) oC. Mesin freeze dry di running dan alat vakum dinyalakan. Sampel di freeze dry ± 15 jam agar sampel mencapai kadar air maksimum 5%. Sampel yang sudah di freeze dry kemudian di simpan dalam cawan petri yang dimasukkan ke dalam desikator. Hal ini berfungsi untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Menurut Noor (2001),
71
kontaminasi yang terjadi pada sampel dapat mengganggu hasil analisa, karena analisa SEM merupakan pengamatan permukaan sampel, jadi sampel benar-benar harus dipersiapkan sebersih mungkin. Kemudian sampel yang sudah kering di potong ± 1-3 mm. Sampel di letakkan di atas di atas stap yang sudah ditempeli dengan carbon double tape. Carbon double tape berfungsi untuk merekatkan sampel pada stap dan memudahkan alat membedakan pantulan sampel dan karbon saat stap ditembak elektron. Kemudian sampel dicoating dengan emas menggunakan JEOL JFC 110E Ion Sputtering Device Fine Coat. Selain berfungsi agar sampel memiliki sifat konduktif terhadap elektrik (bagus mengantarkan elektron, karena sampel biologis tidak bagus dalam mengantarkan elektron), coating juga berguna untuk mengurangi sampel menerima elektrostatik dan meningkatkan jumlah secondary electron (Noor, 2001). Hal yang terpenting dalam coating adalah membuat coating setipis mungkin. Coating juga bisa menggunakan platinum dan karbon. Coating dilakukan selama 4 menit. Menurut Noor (2001) dengan waktu 4 menit didapatkan ketebalan coating sebesar 300 °A. Setelah sampel dicoating, sampel diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisa SEM dilakukan pada dua perbesaran, yaitu X2000 dan X3500. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan mie basah jagung (X2000) dan melihat struktur granula pati setelah gelatinisasi (X3500). Hasil analisa menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 27. Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.
72
PDS SS
20 kV
20 kV
X2000
(a)
(b)
DS DS
20 kV
X2000
DS
20 kV
(b)
20 kV
X2000
(e)
X3500
X3500
(d)
20 kV
X3500
(f)
Keterangan : (a) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (c) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X11000 (X2000) (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual 20kV X9000 (X3500) (e) Mie basah jagung terigu 20kV X11000 (X2000) (f) Mie basah jagung terigu 20kV X9000 (X3500)
Gambar 27.
(a) dan (b) Mie basah jagung tanpa pemberian tekanan manual (c) dan (d) Mie basah jagung dengan pemberian tekanan manual (e) dan (f) Mie basah terigu SS = swollen starch (pati yang mengembang); PDS = partially disintegrated starch (bagian-bagian pati yang meleleh) ; DS= disintegrated starch (pati yang meleleh).
73
Dari Gambar 27 dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah jagung tanpa
pemberian
tekanan
secara
manual
menghasilkan
gambar
mikrostruktur yang tidak beraturan. Tidak terlihat jelas ikatan amilosa yang terbentuk akibat melelehnya pati (Gambar 27a.). Pada Gambar 27b. terlihat jelas bahwa antar granula amilosa yang keluar tidak membentuk matriks yang kompak dan masih banyak pati yang belum mengalami gelatinisasi sempurna, dimana PDS (bagian-bagian pati yang meleleh) tidak membentuk matriks yang kompak. Menurut Astawan (2005) proses gelatinisasi dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan kelembutan pada pati dan pengaruhi elastisitas mie. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih rendah karena tidak kuatnya amilosa yang keluar dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie cenderung mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih besar karena ikatan amilosa yang tidak kuat dan kurang kompak akan cenderung mudah lepas saat dilakukan pemasakan. Berbeda halnya dengan Gambar 27 c dan d. Pada gambar tersebut terlihat jelas ikatan yang terbentuk akibat keluarnya amilosa saat pati meleleh saat proses gelatinisasi terjadi. Matriks yang terbentuk cukup kompak dan ikatannya cukup kuat. Pati yang meleleh (DS) membentuk matriks yang cukup kompak. Hal ini akan berpengaruh pada nilai persen elongasi dan KPAP. Nilai persen elongasi akan menjadi lebih tinggi karena amilosa yang keluar cukup sempurna dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi sehingga saat dilakukan penarikan terhadap untaian mie, mie tidak mudah putus. Nilai KPAP akan cenderung lebih rendah karena ikatan amilosa yang cukup kuat dan matriks yang seragam menyebabkan tidak begitu banyak partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan pemasakan. Hasil SEM pada Gambar 27 e dan f (mie terigu) memperlihatkan hasil yang cenderung sama dengan Gambar 27 c dan d (mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual). Analisa SEM menggunakan
74
sampel mie basah terigu memperlihatkan bentuk matriks yang kuat dan kompak. Hal inilah yang membuat mie basah terigu memiliki nilai persen elongasi tinggi dan nilai KPAP yang rendah. Menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan tekstur produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat menyerap air lebih banyak. Banyak sedikitnya air yang terserap saat proses gelatinisasi akan mempengaruhi sempurna atau tidaknya proses gelatinisasi. Jika air yang terserap sedikit, maka yang terjadi hanya proses gelatinisasi sebagian (Muchtadi et al., 1987). Hal ini mendukung data hasil karakterisasi parameter mutu inti mie basah jagung yang dilakukan pada tahap awal justifikasi, dimana nilai persen elongasi mie basah jagung tanpa tekanan lebih rendah dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 108.46% dan 126.29% serta nilai KPAP mie basah jagung tanpa tekanan lebih tinggi dibandingan mie basah jagung dengan tekanan, yaitu sebesar 7.15% dan 5.56%. Oleh karena tekanan sangat berpengaruh terhadap kualitas mie basah jagung yang dihasilkan, maka pada penelitian utama akan dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual.
D. Pembuatan Mie Basah Jagung Berdasarkan Hasil Justifikasi dan Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Penambahan Guar Gum Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan menerapkan hasil justifikasi yang telah dilakukan. Pembuatan mie basah jagung dilakukan pada kelima varietas tepung jagung dengan pemberian tekanan secara manual saat adonan berada dalam ekstruder. Pada penelitian utama ini selain dilakukan pembuatan mie basah jagung dengan pemberian tekanan secara manual pada semua varietas tepung jagung juga dilakukan penambahan BTP (Bahan Tambahan Pangan) jenis guar gum untuk memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan.
75
Karakteristik fisik yang perlu diperbaiki adalah KPAP dari mie basah jagung. Kesimpulan ini dilihat dari hasil analisa karakteristik fisik pada penelitian pendahuluan bahwa nilai KPAP mie basah jagung cukup tinggi. Guar gum dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadlillah (2005). Fadlillah (2005) menyatakan bahwa diantara guar gum, carboxyl metil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi cooking loss (KPAP) mie jagung. Oleh karena itu pada penelitian ini juga digunakan guar gum untuk mengurangi cooking loss (KPAP). Karakteristik fisik yang menjadi parameter mutu mie basah jagung sama dengan parameter mutu mie basah pada penelitian pendahuluan, yaitu persen elongasi dan KPAP. Hal ini dikarenakan menurut Hou dan Krouk (1998), persen elongasi dan KPAP merupakan paremeter mutu inti mie basah. Pada penelitian utama ini ditambahkan analisis tensile strength dan warna. Analisis yang ditambahkan ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah dari mie basah jagung yang dihasilkan.
1. Persen Elongasi Persen elongasi merupakan persen pertambahan panjang untaian mie saat diberikan gaya tarik. Pada penelitian ini dilakukan dua metode analisa pengukuran persen elongasi, yaitu dengan proses pencelupan dalam air panas dan proses perendaman. Hal ini dilakukan berdasarkan aplikasi mie basah, yaitu untuk mie bakso (mie basah dicelup ke dalam air panas) dan mie ayam (mie basah direbus di dalam air panas). Proses pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali celupan dan proses perebusan dilakukan sampai mie basah matang. Penentuan mie basah matang atau tidak dilakukan dengan cara memotong untaian dan dilihat masih ada atau tidaknya warna putih pada diameter mie. Jika masih ada warna putih pada diameter mie, berarti mie belum matang karena masih ada pati yang berwarna putih.
76
a. Persen elongasi metode celup Pengukuran persen elongasi metode celup dilakukan berdasarkan pada aplikasi mie basah sebagai mie bakso. Aplikasi mie bakso, mie basah dicelup sebanyak 2-3 kali ke dalam air panas. Untuk keseragaman hasil, dilakukan 3 kali pencelupan mie basah ke dalam air panas. Hasil analisa persen elongasi metode celup dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Persen elongasi metode celup lima varietas tepung jagung Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.1). Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas
77
tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar 95.43% dan dengan penambahan guar gum sebesar 106.24%.
b. Persen elongasi metode rebus Pengukuran persen elongasi metode rebus dilakukan berdasarkan pada aplikasi mie basah sebagai mie ayam. Aplikasi mie ayam, mie basah direndam sampai matang di dalam air panas. Perendaman dilakukan umumnya berkisar antara 3 – 5 menit. Untuk keseragaman hasil, dilakukan perendaman selama waktu pematangan yang didapatkan pada analisa KPAP. Waktu pematangan mie adalah waktu dimana untaian mie saat dipotong tidak memiliki bintik putih lagi. Hasil pengukuran waktu pematang mie dapat dilihat pada Tabel 15. Hasil analisa persen elongasi metode rebus dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Persen elongasi metode rebus lima varietas tepung jagung Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa dengan penambahan guar gum sebanyak 1%, menghasilkan persen elongasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan
78
sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mie, mie tidak mudah putus. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap persen elongasi yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai persen elongasi yang berbeda (Lampiran 5B.2). Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai persen elongasi metode celup yang paling tinggi dibandingkan keempat varietas tepung jagung lainnya. Mie basah varietas Lamuru ini memiliki nilai persen elongasi paling tinggi baik pada pembuatan mie basah tanpa penambahan ataupun dengan penambahan guar gum. Nilai persen elongasi varietas Lamuru tanpa penambahan guar gum sebesar 25.09% dan dengan penambahan guar gum sebesar 61.49%. Secara umum tingginya persen elongasi disebabkan oleh pemberian tekanan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan sifat kohesif partikel-partikel pati yang bersifat sebagai pengikat saat tergelatiniasi semakin meningkat. Gelatinisasi pati terjadi saat proses pengukusan dan proses ini bertindak sebagai matriks pengikat pada mie jagung menggantikan fungsi protein gluten (gliadin dan glitinin) yang tidak terdapat pada tepung jagung, sehingga mie basah jagung bisa dengan mudah dicetak, kohesif dan bersifat elastik(Rianto, 2006; Soraya, 2005; dan Budiyah, 2004). Menurut Kim et al. (1996), pati mampu menjaga struktur mie yang elastis karena amilosa yang terdapat dalam pati mampu berikatan satu sama lain membentuk matriks yang kuat dan seragam.
2. KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) atau cooking loss merupakan lepasnya partikel-partikel pati dari untaian mie yang dibuktikan dengan keruhnya air bekas masak. KPAP berpengaruh
79
terhadap kehilangan energi dan kualitas mie setelah mie dimasak. Tingginya KPAP mengakibatkan kuah mie menjadi keruh dan kental akibat pati yang terlepas. Penambahan guar gum sampai dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan nilai KPAP karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ketika mie dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Pengukuran KPAP diawali dengan pemasakan mie sampai mie matang (tidak memiliki bintik putih lagi) atau yang sering disebut sebagai waktu pematangan mie. Kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pengering suhu 110°C selama 10 jam (Purwani et al., 2006). Hasil pengukuran waktu pematangan mie dapat dilihat pada Tabel 16. dan KPAP pada Gambar 30. Tabel 16. Waktu pemasakan sampai mie cukup matang Jenis Jagung Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna
Waktu 3 menit 10 detik 3 menit 39 detik 3 menit 30 detik 3 menit 25 detik 3 menit 35 detik
Gambar 30. Persen KPAP lima varietas tepung jagung Pemberian tekanan dapat meningkatkan kekompakkan antar partikel dalam untaian mie yang dihasilkan, sehingga dapat menurunkan
80
nilai KPAP. Hal inilah yang menyebabkan nilai KPAP mie basah jagung dengan perlakuan tekanan lebih rendah dibandingkan mie basah jagung tanpa perlakuan tekanan. Penambahan guar gum pada proses pembuatan mie basah jagung juga dapat menurunkan nilai KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dari Gambar 29 dapat diketahui bahwa dengan penambahan guar gum, mie basah jagung lima varietas memiliki nilai KPAP yang cukup kecil, berkisar antara 4.23-4.61%. Nilai ini dianggap kecil karena dari penelitian sebelumnya, KPAP mie basah jagung >10% (Rianto, 2006). Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap KPAP yang dihasilkan. Artinya, perbedaan varietas akan menghasilkan nilai KPAP yang berbeda (Lampiran 5B.3).
3. Tensile Strength Tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan. Nilai tensile strength ditunjukkan dengan tingginya kurva elastisitas yang dihasilkan kemudian nilainya dikonversi menjadi satuan kilo gram force (kgf). Semakin tinggi nilai tensile strength mie menunjukkan semakin tinggi elastisitas mie tersebut. Artinya, diperlukan kekuatan yang cukup besar untuk membuat untaian mie putus saat dilakukan penarikkan. Nilai tensile strength menggambarkan kemampuan maksimal mie untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Nilai tensile strength diukur dengan menghitung jumlah kotak yang dilewati oleh chart saat pengukuran elongasi pada saat chart mencapai puncak tertinggi sebelum chart turun (puncak chart saat mie putus ketika mie diberikan gaya). Kemudian jumlah kotak dikalikan dengan kekuatan saat beban 0.2 volt. Kekuatan 1 kotak chart saat 0.2 volt = 4 kgf. Hal ini berarti semakin tinggi nilai persen elongasi maka semakin tinggi pula nilai tensile strength yang dihasilkan.
81
Hasil analisa tensile strength metode celup dan rebus dapat dilihat pada Gambar 31 dan Gambar 32.
Gambar 31. Persen tensile strength metode celup lima varietas tepung jagung
Gambar 32. Persen tensile strength metode rebus lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 30 dan 31 di atas diketahui bahwa mie basah jagung pada kedua metode pengukuran persen elongasi dengan penambahan guar gum memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan nilai tensile strength tanpa penambahan guar gum. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa guar gum dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan tensile strength (Goldstein et al., 1973). Teori ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006) yang menyatakan bahwa penambahan guar gum dapat meningkatkan persen elongasi dan
82
tensile strength
karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat
komponen-komponen lain dalam adonan sehingga terbentuk massa yang lebih kompak. Mie basah jagung varietas Lamuru memiliki nilai tensile strength yang paling tinggi baik pada mie basah dengan penambahan guar gum ataupun tanpa penambahan guar gum. Semakin besar nilai persen elongasi maka semakin besar tensile strength yang dihasilkan karena dibutuhkan kekuatan yang cukup besar untuk menarik untaian mie untuk putus,artinya semakin tinggi nilai persen elongasi mie. Daya tahan mie akibat gaya tarik yang diberikan (kekuatan mie saat ditarik) juga akan semakin besar, inilah yang disebut dengan tensile strength. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap tensile strength yang dihasilkan. Hal ini berarti nilai tensile strength yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung [Lampiran 5B(4 dan 5)].
4. Warna Analisis warna dan tensile strength berperan sebagai nilai tambah mie basah jagung yang dihasilkan. Analisis warna yang dilakukan menggunakan metode Hunter dengan menggunakan alat Chromameter CR 200 Minolta. Hasil pengukuran yang dihasilkan berupa nilai Y, x dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam skala Hunter L a b. Untuk mendapatkan derajat Hunter dilakukan dua kali proses konversi (Hutching, 1994). Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Nilai a menggambarkan warna kromatik merah hijau dan b warna kromatik kuning biru. Hasil analisa warna mie basah jagung dapat dilihat pada Gambar 32 untuk nilai L dan Tabel 16 untuk nilai a dan b.
83
Gambar 33. Tingkat kecerahan lima varietas tepung jagung
Dari Gambar 32 dapat diketahui bahwa kelima mie basah jagung menghasilkan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Mie basah jagung tanpa penambahan guar gum memiliki tingkat kecerahan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan mie basah jagung dengan penambahan guar gum. Dengan penambahan guar gum, tingkat kecerahan mie basah cenderung mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan tingkat kecerahan mie basah jagung yang dihasilkan ini tidak begitu signifikan. Dilihat dari hasil analisa pada Gambar 32 selisih nilai L antara mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum tidak begitu besar. Tingkat kecerahan mie basah tanpa dan dengan penambahan guar gum dimiliki oleh mie basah jagung varietas Bisma, yaitu sebesar 56.00 dan 55.79. Hal berbeda terjadi pada mie basah varietas Srikandi kuning dan Arjuna. Pada kedua varietas ini, mie basah jagung dengan penambahan guar gum mengalami kenaikan tingkat kecerahan. Akan tetapi kenaikan yang terjadi ini juga tidak begitu signifikan. Kemudian dilakukan juga uji pengaruh varietas terhadap hasil analisa. Uji yang dilakukan menggunakan ANOVA unvariate dan uji lanjut Duncan. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa pada taraf signifikansi 5% varietas berpengaruh nyata terhadap tingkat kecerahan yang dihasilkan. Hal ini berarti nilai tingkat kecerahan yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan varietas tepung jagung (Lampiran 5B.6).
84
Tabel 17. Nilai a dan b lima varietas mie basah jagung Nilai a
Varietas
b
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Tanpa Guar Gum
Dengan Guar Gum
Srikandi Kuning
-0.20
0.41
26.91
19.22
Bisma
0.32
0.53
29.84
29.54
Sukmaraga
-0.47
-0.34
26.96
25.99
Lamuru
0.58
0.56
23.38
26.53
Arjuna
-0.04
0.32
25.20
26.69
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa secara umum mie basah jagung yang dihasilkan memiliki warna kromatik kuning kemerahan. Dengan penambahan guar gum, tingkat kuning kemerahan dari warna kromatik mie basah jagung ada yang mengalami penurunan warna kuning dan ada yang mengalami peningkatan warna kuning. Warna kuning ini berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada tepung jagung. Pigmen xantofil yang paling utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung (Watson, 2003). Warna kuning pada tepung jagung-lah yang memberikan warna kuning alami pada produk mie basah jagung ini. Mie jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mie jagung dibandingkan mie terigu karena tidak diperlukan lagi penambahan bahan tambahan pangan (pewarna) untuk menghasilkan mie matang yang berwarna kuning (Fadlillah, 2005). Menurut Kidmose et al. (2002) perlakuan panas dapat menyebabkan kandungan karotenoid dalam bahan pangan menurun, stabil, bahkan meningkat. Penurunan kecerahan dapat terjadi karena degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen dalam bahan.
Peningkatan
kecerahan
terjadi
karena
pemanasan
dapat
menyebabkan kerusakan dinding sel, kehilangan air, dan inaktivasi enzim sehingga meningkatkan kemapuan ekstraksi pigmen. Waktu pemanasan yang semakin lama menyebabkan semakin banyak pigmen yang dapat diekstrak sehingga warna menjadi lebih cerah.
85
E. Penentuan Varietas Jagung yang Paling Cocok Untuk Dibuat Mie Basah Jagung Penentuan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mie basah jagung didapatkan dengan cara memilih varietas jagung yang memiliki karakteristik terbaik. Karakteristik terbaik dicari berdasarkan standar karakteristik terbaik mie terigu. Menurut Eastern Pearl Flours Mills (2009), mie yang baik adalah mie yang tidak mudah putus (elastisitas tinggi). Hal ini juga didukung oleh Anonim [b] (2009) yang menyatakan bahwa karakteristik penting dari mie basah terigu adalah mie yang kenyal (tidak mudah putus) dan tidak mudah lembek bila mie direbus. Mie yang tidak mudah lembek bila direbus berarti mie memiliki tekstur yang cukup kompak sehingga untaian mie tidak mudah melepaskan patikel-partikel amilosa saat proses perebusan. Artinya, KPAP produk mie yang dihasilkan rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2006), Rianto (2006) dan Kurniawati (2006), karakteristik mie basah terigu yang paling utama adalah persen elongasi dan KPAP. Oleh karena itu dalam penelitian ini penentuan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung berdasarkan pada nilai persen elongasi dan KPAP. Tabel 18. Karakterisasi sifat fisik mie basah terigu Mie basah terigu 10.84 KPAP (%) 98.40 Persen Elongasi (%) Sumber : Soraya (2006), Rianto (2006), dan Kurniawati (2006)
Tabel 19. Hasil karakterisasi sifat fisik mie basah jagung Srikandi Kuning Tanpa Dengan Guar Guar Gum Gum KPAP (%) Persen Elongasi (%)
Bisma Tanpa Dengan Guar Guar Gum Gum
Sukmaraga Tanpa Dengan Guar Guar Gum Gum
Lamuru Tanpa Dengan Guar Guar Gum Gum
Arjuna Tanpa Dengan Guar Guar Gum Gum
6.92
4.49
5.06
4.23
6.14
4.61
5.41
4.57
6.66
4.49
58.70
81.80
80.32
93.88
64.31
103.13
95.43
106.25
72.93
95.41
Dari Tabel 19 dapat dilihat hasil karakterisasi sifat fisik lima varietas mie basah jagung. Hasil karakterisasi yang di-shading merupakan hasil karakterisasi terbaik berdasarkan perbandingan nilai persen elongasi 86
dan KPAP dari kelima varietas mie basah jagung dengan nilai persen elongasi dan KPAP mie terigu yang tercantum pada Tabel 18. Dari hasil shading dapat diketahui bahwa varietas Lamuru dan Sukmaraga merupakan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung. Varietas Lamuru dan Sukmaraga yang ditambahkan guar gum saat proses pembuatan memiliki nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie terigu. Nilai persen elongasi tertinggi dimiliki oleh varietas Lamuru dengan penambahan guar gum, yaitu sebesar 106.25%. Hal ini berarti varietas Lamuru merupakan varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Tiga varietas jagung lainnya, Srikandi Kuning, Bisma dan Arjuna belum cocok dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang lebih rendah dibandingkan mie terigu. Penambahan guar gum sangat berpengaruh terhadap nilai persen elongasi dan KPAP mie basah jagung yang dihasilkan. Dengan penambahan guar gum sebanyak 1% dapat meningkatkan nilai persen elongasi dan menurunkan persen KPAP mie basah. Tingginya nilai persen elongasi dan rendahnya KPAP mie basah jagung varietas Lamuru selain karena pengaruh penambahan guar gum saat proses pembuatan mie basah jagung, juga disebabkan karena karakteristik tepung jagung varietas Lamuru itu sendiri. Varietas ini memiliki pH tepung yang berada dalam range PH optimum pembentukan gel saat terjadinya proses gelatinisasi yaitu 6.67; memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi (>25%) yaitu 27.68%, karena Menurut Galvez et al. (1994) dalam pembuatan pasta pati non-konvensional, tepung diharapkan memiliki kadar amilosa minimum sebesar 25% untuk menghasilkan mie dengan karakteristik fisik yang baik. Amilosa sangat berperan dalam proses gelatinisasi pati, karena proses gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk berdisosiasi dengan sesamanya membentuk matriks yang seragam dengan ikatan antar granula yang cukup kuat. Kadar amilosa yang cukup tinggi juga menyebabkan terjadinya peningkatan elastisitas dan kekuatan tarik (tensile strength) dari
87
pasta pati dan meningkatkan daya serap air (WAC), serta menurunkan tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Hal ini dikarenakan fraksi amilosa yang keluar dari granula akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Budiyah, 2004). Ikatan antar granula yang meningkat menyebabkan elastisitas dan tensile strength meningkat. Jika dilihat dari suhu awal gelatinisasi, kelima varietas jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang cukup rendah, sehingga tidak membutuhkan waktu steaming yang cukup lama agar proses gelatinisasi bisa berlansung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan pati jagung. Tepung jagung memiliki suhu awal gelatinisasi 60 - 80°C dan pati jagung 63 – 72°C. Hal ini dikarenakan tepung jagung memiliki komposisi lebih lengkap dibandingkan tepung jagung (BeMiller dan Whistler, 1996). Nilai WAC paling tinggi, kelarutan dan swelling volume paling rendah dimiliki oleh jagung varietas Sukmaraga. Berdasarkan analisa tambahan yang dilakukan dapat dilihat bahwa kelima varietas jagung yang diujikan memiliki warna yang cenderung sama, yaitu kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan (L) yang hampir sama dna memiliki warna kuning kemerahan. Nilai tensile strength paling tinggi dimiliki oleh varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai persen elongasi maka akan semakin tinggi nilai tensile strength yang dihasilkan. Berdasarkan pembahasan diatas dapat dinyatakan bahwa varietas jagung yang paling cocok untuk dibuat mie basah jagung adalah Lamuru, diikuti oleh varietas Sukmaraga. Varietas Srikandi Kuning kurang cocok dijadikan mie basah jagung karena memiliki nilai persen elongasi yang paling rendah dan KPAP yang cukup besar. Padahal kedua parameter tersebut merupakan parameter mutu inti mie basah. Varietas jagung tersebut paling cocok dibuat mie basah dengan melakukan penambahan guar gum sebanyak 1% basis tepung jagung dalam proses pembuatan mie basah jagung. Penambahan guar gum sebanyak 1% ini untuk menghasilkan nilai persen elongasi yang lebih tinggi dan nilai KPAP yang lebih rendah.
88
F.
Perbandingan Mie Basah Jagung dengan Mie Basah Terigu Mie basah jagung memiliki ciri khas (karakteristik) tersendiri yang berbeda dengan mie terigu. Akan tetapi, karakteristik yang dimiliki ini mesti disesuaikan dengan mie basah terigu. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi mie basah terigu sebagai makanan seharihari. Untuk itulah dilakukan perbandingan mie basah jagung dengan mie basah terigu, baik dari segi proses maupun karakteristik fisik yang dianggap sebagai parameter mutu mie basah (persen elongasi dan KPAP). Perbedaan utama antara mie basah jagung dengan mie basah terigu terletak pada proses pembuatan mie. Tepung terigu memiliki protein gluten (gliadin dan glutenin) yang punya sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Gliadin memiliki berat molekul yang rendah sehingga berguna untuk meningkatkan kekentalan larutan dan glutenin bertanggung jawab terhadap sifat elastis adonan dnegan bentuk ikatan thiol-disulfida (Slade, et al., 1989). Kemudian terbentuklah matriks gluten yang berfungsi sebagi pengikat bagi komponen-komponen lainnya yang berada di dalam adonan. Berbeda halnya dengan tepung jagung. Tepung jagung tidak memiliki protein gluten. Tepung jagung memerlukan proses gelatinisasi yang berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen lain yang berada dalam adonan. Oleh karena itu, dalam pembuatan mie basah jagung diperlukan proses pengukusan agar pati dalam tepung jagung mengalami proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi merupakan proses kritis dalam pembuatan mie basah jagung. Proses gelatinisasi berkaitan dengan suhu dan waktu proses, karena suhu dan waktu proses mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi dalam adonan. Suhu adonan diharapkan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika suhu adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, untaian mie akan memiliki tekstur yang kasar dan mudah patah. Waktu proses berpengaruh karena lamanya waktu pengukusan berguna untuk melihat pencapaian tingkat gelatinisasi yang diinginkan dari
89
adonan. Tingkat gelatinisasi yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat menyebabkan karakteristik mi basah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Warna kuning alami yang terdapat pada mie basah jagung merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mie basah jagung. Selain bukan karena penambahan bahan tambahan pangan, warna kuning pada mie basah jagung menunjukkan bahwa masih terdapat kandungan pigmen beta karoten pada mie. Pigmen beta karoten merupakan senyawa provitamin A yang dapat membantu meningkatkan ketahanan tubuh (Rianto, 2006). Varietas mie basah jagung yang dibandingkan dengan mie basah terigu adalah varietas Lamuru. Hal ini dikarenakan varietas ini memiliki karakteristik terbaik berdasarkan hasil perbandingan yang terdapat pada Tabel 19. Khususnya parameter mutu inti mie basah, nilai terbaik dimiliki oleh varietas ini. Persen elongasi dan KPAP dijadikan parameter mutu inti mie basah karena kebiasaan masyarakat mengkonsumsi mie menggunakan sumpit sehingga diharapkan mie basah tidak mudah putus, dalam arti nilai elongasi mie basah cukup tinggi dan diharapkan kuah dari hasil perebusan mie tidak kental akibat banyaknya partikel-partikel pati yang lepas saat dilakukan pemasakan. Banyaknya partikel pati yang lepas saat pemasakan tidak hanya membuat kuah mie hasil pemasakan menjadi kental akibat adanya pati, tetapi juga menyebabkan rapuhnya untaian mie yang mengakibatkan mie basah mudah putus. Hal ini berarti nilai KPAP mie basah diharapkan serendah mungkin.
90
Tabel 20. Perbandingan mie basah jagung varietas Lamuru dengan mie basah terigu Faktor Pembeda
Proses Pembuatan
Warna
Nilai Elongasi
Celup tanpa guar gum Rebus tanpa guar gum Celup dengan guar gum Rebus dengan guar gum
Nilai KPAP
Mi Basah jagung Pencampuran bahan, Pengukusan 1, Pencetakan mie Pengukusan 2, Perebusan Kuning
Mi basah Terigu
Putih
95.43 %
107.35%
25.09 %
118.47%
106.24 %
Tidak dilakukan
61.49 %
Tidak dilakukan
5.41%
5.59%
Pencampuran bahan, Pengulian, Pencetakan mie, Perebusan
Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa perbedaan proses pembuatan kedua mie ini adalah mie basah jagung membutuhkan dua kali proses pengukusan dan satu kali proses perebusan untuk menghasilkan mie basah jagung matang, sedangkan mie basah terigu hanya membutuhkan proses perebusan saja untuk menghasilkan mie basah terigu matang. Mie basah jagung memiliki warna kuning alami yang merupakan nilai plus dari mie basah jagung karena tidak membutuhkan bahan tambahan pangan seperti mie basah terigu agar mie basah matang berwarna kuning. Nilai persen elongasi mie basah jagung dengan metode celup ataupun dengan metode rebus tanpa penambahan guar gum dan dengan penambahan guar gum masih lebih rendah dibandingkan mie basah terigu tanpa penambahan guar gum. Akan tetapi nilai KPAP mie basah jagung lebih rendah dibandingkan mie basah terigu. Telah disebutkan sebelumnya bahwa elongasi dan KPAP merupakan faktor terpenting dalam menentukan karakteristik mie. Walaupun demikian, mie basah jagung memiliki nilai KPAP yang lebih rendah dibandingkan mie basah terigu. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality produk mi pada saat dikonsumsi. Analisa kemudian dilanjutkan dengan analisa mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) pada mie basah terigu. Hasil SEM dapat dilihat pada Gambar 34. 91
20 kV
10µm
X2000
20 kV
(a)
X3500
5µm (b)
Keterangan : (a) Mie basah terigu 20kV X11000 (X2000) (b) Mie basah terigu 20kV X9000 (X3500)
Gambar 34. (a) dan (b) Foto SEM mie basah terigu Nilai X11000 dan X9000 merupakan nilai magnification (perbesaran) sebenarnya. Nilai ini didapatkan dari pembagian panjang garis yang terdapat pada gambar dengan direct magnification (panjang garis yang terdapat pada gambar, yaitu 10µm dan 5µm). Nilai 20kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM. Dari Gambar 34 di atas dapat dilihat bahwa (a) dan (b) mie basah terigu menghasilkan gambar mikrostruktur yang beraturan. Ikatan gluten yang dihasilkan terlihat jelas (Gambar 34a.). Hal ini dikarenakan protein gluten yang terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin berfungsi sebagai plasticizer dan pemerekat yang dapat menginduksi sifat rheology yang dimiliki oleh glutenin, sedangkan glutenin berfungsi untuk membentuk visko-elastisitas tepung terigu. Glutenin bisa membentuk visko-elastisitas karena kaya akan asam amino prolin dnegan struktur sedikit terlipat dimana lipatan terbuka selama proses pencampuran dan pengulian (kneading) sehingga strukur menjadi renggang dan adonan menjadi elastis. Ini juga didukung oleh sifat protein gandum yang unik, ikatanikatan serta interaksi yang terdapat di dalamnya ( Damodaran, 1996 dalam Fennema 1996).
92
Inilah yang menjadi pembeda utama antara mie basah jagung dengan mie basah terigu. Mie basah terigu memiliki mikrostruktur yang homogen karena terbentuknya ikatan protein (gluten), sedangkan pada mie basah jagung (Gambar 27 c dan d) memiliki mikrostruktur yang cenderung tidak seragam dan ikatan yang terbentuk berupa ikatan antar granula pati yang membentuk matriks yang cukup kuat. Ikatan antar granula pati ini memiliki fungsi sama dengan gluten pada proses pembuatan mie, yaitu sebagai pengikat komponen-komponen lain dalam adonan mie. Hal ini didukung oleh Khoo et al. (1975) yang menyatakan bahwa hasil SEM dapat memperlihatkan kehalusan matriks protein dibandingkan jaringan dari granula pati.
93
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Varietas jagung yang digunakan merupakan varietas jagung unggulan nasional yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie basah jagung. Karakterisasi tepung jagung dilakukan pada tepung jagung hasil penggilingan kering. Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung jagung terutama pada kadar protein dan lemak tepung jagung yang cukup rendah, dan kadar amilosa yang tinggi. Tepung jagung memiliki kadar protein 8.92 – 9.20% (bk) dan kadar lemak 1.62 – 1.85% (bk). Hal ini berarti protein dan lemak yang terdapat dalam tepung jagung tidak terlalu berpengaruh dalam proses gelatinisasi pati. Jika kadar protein dan lemak tinggi di dalam tepung, maka protein dan lemak akan membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi. Karakterisasi sifat fungsional terutama pada sifat amilografi untuk mengetahui suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan bahan terhadap panas dan kecenderungan bahan mengalami retrogradasi. Proses pembuatan mie basah jagung metode ekstrusi terdiri atas beberapa tahap, yaitu penimbangan, pencampuran, pembentukan lembaran, pengukusan pertama, pencetakan untaian mie, dan pengukusan kedua. Pembuatan mie basah jagung pada penelitian utama dilakukan dengan pemberian tekanan secara manual. Pada penelitian utama ini diberi perlakuan penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP), yaitu jenis guar gum sebanyak 1%. Analisa sifat fisik yang dilakukan tidak hanya pada parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi dan KPAP, tetapi juga analisa tambahan yang dapat memberikan nilai tambah pada mie basah jagung, yaitu warna dan tensile strength. Analisa persen elongasi dan tensile strength juga dilakukan dalam dua metode, yaitu metode celup dan rebus. Hal ini dilakukan sesuai dengan aplikasi mie basah sebagai mie bakso (metode celup) dan mie ayam (metode rebus).
94
Persen elongasi mie basah jagung tanpa penambahan guar gum metode celup 58.70 - 95.43% dan metode rebus 26,17 - 40.23; KPAP 5.06 6.92%; tensile strength metode celup 42.50 - 202.50 kgf dan metode rebus 25.50 -112.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Nilai persen elongasi dengan penambahan guar gum metode celup 81.80 - 106.245 dan metode rebus 35.28 - 61.49%; KPAP 4.23 - 4.61%; tensile strength metode celup 71.00 - 252.13 kgf dan metode rebus 27.50 - 131.50 kgf; dan warna mie basah jagung kuning kemerahan dengan tingkat kecerahan cukup tinggi. Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa dengan penambahan guar gum dapat memperbaiki karakteristik mie basah jagung yang dihasilkan khususnya meningkatkan hasil parameter inti dari mie basah jagung yang dihasilkan (persen elongasi dan KPAP) dan tensile strength. Warna mie basah jagung tidak terlalu berpengaruh terhadap penambahan guar gum. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa varietas tepung jagung terbaik yang cocok untuk dibuat menjadi mie jagung adalah varietas Lamuru. Tepung jagung varietas Lamuru menghasilkan nilai terbaik pada analisa sifat fisik yang menjadi parameter mutu inti mie basah, yaitu persen elongasi paling tinggi dan KPAP rendah. Tepung jagung varietas Lamuru akan menghasilkan mie basah jagung yang lebih baik jika dilakukan penambahan bahan tambahan pangan jenis guar gum sebanyak 1%.
B. Saran Mie basah jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mie basah jagung masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya pada saat proses pembentukan untaian mie dilakukan pemberian tekanan secara manual. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan modifikasi ekstruder. Modifikasi yang dilakukan yaitu ekstruder memiliki pengaturan tekanan sehingga tekanan dapat dikontrol, dan mie basah yang dihasilkan lebih terstandar dan juga diperlukan optimasi lebih lanjut untuk proses scale-up.
95
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Gorontalo Pelopor Gentaton Jagung di Indonesia. www.gorontaloagropolitan.com [24 Januari 2009]. Anonim [a]. 2009. Jagung. http//: bps.go.id. [30 Januari 2009]. Anonim [b]. 2009. Peluang Usaha Mie Basah - Bisnis&Waralaba Usaha Mie Surabaya. www.88DB.com. [11 Juli 2009]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland. Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2987-1992. Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2891-1992. Analisis Kadar Air. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3727-1995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi kayu (Manihot esculanta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Spinger, Berlin. BeMiller, J.N dan Whistler, R.L. 1996. Carbohydrates. Di dalam : Fennema, O.R (ed). Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Budiyah. 2005. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chang, Y.H, S.T, Lim, dan Yoo, B. 2003. Dynamic rheology corn starch-sugar composites. Journal of Food Engineering, 64 : 521-527. Cheng.
2006. Starch Structure : Composition http://www.cheng.cam.ac.uk [28 Juni 2008]
and
Structure.
Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346.
Collison. 1968. Swelling gelation of starch. Di dalam : Radley, J.A (ed). 1968. Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd. London. Damodaran, S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam : Fennema, O.R. Food Chemistry. 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Departemen Perindustrian Indonesia. 1990. Standar Industri Indonesia. SII 2046-90. Mie Basah. Departemen Perindustrian Indonesia. Jakarta. Eastern Pearl Flours Mills. 2009. Kategori tepung. http://g6.plasa.com/~admin345/main.php?tl=ProdukEPFM&fl=produk&ctgy=pr oduk [11 Juli 2009]. Efendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok tanam Jagung. CV Yasaguna, Jakarta. Fadlillah, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mie Jagung Instan Dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung Dengan Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fellows, P.J. 1990. Food Processing Technology. Ellis Horwood. Great Britain. Galvez, F.C.F., Resurreccion, A.V.A., and Ware, G.O. 1994. Process variable gelatinized starch moisture effect on physical properties of mungbean noodles. Journal of Food Science, 59 (386), 378-381. Di dalam : Collado, L.S dam Corke, H. 1998. Heat-moisture treatment effects on sweetpotato starches differing in amylose content. Elsevier : Food Chemistry 65 (1999) 339-346. Goldstein, A.M, Alter, E.N., and Seaman, J.K.1973. Guar Gum. Di dalam : Whistler, R.L (ed). Industrial Gum. Academic Press. New York. Grant, L.A., Sissons, M.J, Morre, M. K., and Batey, I. L. 2000. Effect of starches differing in amylase content on pasta quality. Pages 629-633 in : 11th Cereal and Bread Congress and 59th Australian Cerial Chemistry Conference. M. Wootton, I.L, Batey, and C. W. Wrigley, eds. RACI : Melbourne. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. MN. Greenwood, C.T and DN Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam : Muchtadi T.R., P.Haryadi, dan Azra A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
97
Harper, J.M. 1981. Extrusion of Foods Vol I. CRC Press. Boca Roton, Florida. Hatorangan, E.F. 2007. Pengaruh Perlakuan Konsentrasi NaCl, Kadar Air, dan Passing terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Diproduksi dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak dan Pencetak. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Honesey, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. 2nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Hou,
G. dan Krouk, M. 1998. Asian Noodle Technology. http://secure.aibonline.org/catalog/example/V201ss12.pdf [25 Juni 2008].
Hutching, J.B. 1994. Food Color and Appearance. 1st edition. Aspen publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland. Inglet, G.E (ed). 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The Avi Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and Utilization. Di dalam : Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz, KJ and K Karel (eds.). Marcell Dekker, Inc. New York. Basel. Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John Willey and Sons. New York. Juniawati. 2003. Optimasi Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lie, L.S dan Kokini, J.L. 1990. The effects operating conditions on the on-line McCready, R.M. 1970. Starch and dextrin. Di dalam :. Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Azra, A.B.. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. 1987. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kalab, M. 1983. Electron Microscopy of Foods. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B. 1983. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Khoo, C., Christianson, D.D., and Inglett, G.E. 1975. Scanning and transmission microscopy of dough and bread. The Bakers Digest 49, 24-26. Di dalam : Prabhansankar, P., D. Indrani, J. Rajiv., and Rao, G.V. 2003. Scanning electron microscopic and electrophoretic studies of the baking process of south Indian parotta-an unleavened flat bread. Elsevier: Food Chemistry 82 (2003) 603-609. Kidmose, U. Edelenbos, M., Norbaek, R. dan Chistensen, L. P. 2002. Colour Stability in Vegetables. Di dalam : MacDougall, D.B (ed). Colour in Food Improving Quality. CRC Press. Boston 98
Kim, Y.S., Dennis P.W., James H.L., dan Patricia B. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. http://www.aaccnet.org/cerealchemistry/backissues/1996/73_302.pdf. [22 Mei 2009]. Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam : G. Reed (ed). 1975. Enzyme in Food Processing. Academic Press. New York. Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kruger, J.E. 1996. Noodle quality - what can we learn from the chemistry of bread making? Di dalam : Kruger, J.E., R.B. Matsuo dan Dick, J.W. (eds.). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota. Leach, M.W. 1965. Gelatinization of Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di dalam : Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches : Properties and Uses. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Lorenz, K.J. dan Karel, K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Basel. Manullang, M. 1997. Karbohidrat Pangan. Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Industri. Universitas Pelita Harapan. Jakarta. Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mie Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Miles, M.J., V. Moris, P.D. Orford, dan Ring, S.G. 1985. The Role of Amylose and Amylopectin in the Gelation and Retrogradation of Starch. Carbohydrate Research, 135:271-281. Mita, T. 1992. Structure of potato starch pastes in the ageing process by the measurement of their dynamics moduli. Carbohydrate Polymers, 17:269-276. Moorthy, S.N. 1985. Effect of Surfacttants on Cassava Starch Viscosity. Journal Agricultural Food Chemistry. Di dalam : Balagopalan, C., G. Padmaja, S.K., Nanda, dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Muchtadi, T.R., P. Hariyadi, dan Ahza, A.B. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antara Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
99
Muhandri, T. 2006. Karakteristik Reologi Mie Jagung dengan Ekstrusi Pencetak. Penelitian Dosen Muda. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mugiarti. 2001. Pengaruh Penambahan Tepung Kedele terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Daya Terima Mie Basah (Boiled Noodles). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noor, R.R.N. 2001. Scanning Electron Microscope. Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Oh, N. H., P. A. Seib, C.W. Deyou, dan Ward, A.B.. 1985. Noodles. Measuring the textural caharacteristic of dry noodles. Cereal Chemistry. 60:433-437. Pagani, M.A. 1985. Pasta Product From Non-conventional Raw Material. Di dalam: Mercier, C.H. and Centrallis, C. (eds.). Pasta and Extrution Cooked Foods. Proceeding of an international symposium. Milan, Italy. Piyachomkwan, K et al. 2001. Development of a Standart Protokol for the Processing of High Quality Sweet Potato Starch for Noodle Making. In Sweet Potato Post Harvest Research and Development in China. Proceedings of an International Workshop, Chengdu, 7-8 November. Bogor : International Potato Center, East, Southeast Asia Pasific Region, hlm. 140-165. Pratama, G.G.F.S. 2008. Paket Teknologi untuk Memproduksi Mi Jagung dengan Bahan Baku Tepung Jagung. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwani, E.Y, Widaningrum, R. Thahir, and Muslich. 2006. Effect of heat moisturure treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7 (1), 2006 : 8 – 14. Rianto, B.F. 2006 Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Basah Berbahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riyanti, E. 2009. Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung Berdasarkan Sifat Fisik dan Organoleptik. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ruiter, D. D. 1978. Composite Flours. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advanced in Cereal Science and Technology II. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota.
100
Sathe, S.K. & Salunke, D.K. (1981). Functional properties of the great northern bean (Phaseolus vulgaris L.) proteins: Emulsion, foaming, viscosity and gelation properties. J. Food Sc., 46, 71-81. Di dalam : Chatziantoniou, S., D. Triantafillou, and Thomareis, A.S. Functional properties of enzymatically hydrolysed soy proteins, using actinidin. International Symposium on “Functional Foods in Europe – International Developments in Science and Health Claims”.9-11 May 2007. Malta. Slade, L., Harry, L., and Finley, J. W. 1989. Protein-Water Interaction : Water as A Plasticizer of Gluten and Other Protein Polymers. Di dalam Phillips, R.D and Finley, J.W (eds). Protein Quality and The Effects of Processing. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok. Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota. Soraya, A. 2005. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stanley. 1987. Food Texture and Microstructure. Di dalam : Moskowitz, H.R. Food Texture, Instrumental and Sensory Measurement. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Subarna et al. 1999. Pengembangan Bahan Baku Campuran Tepung-Tepungan sebagai Alternatif Makanan Pokok agar Mudah Memasuki Pasar Regional/ Global. Pusar Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sudaradji, S, Bambang H, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Keempat. Alberti, Yogakarta. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya. Jakarta. Swinkles, J.J.M.1985.Source of Starch In Chemistry and Physics. Di dalam : V Beyum dan JA Roels (eds). Pasta and Noodle Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Basel. Syarief, R dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpan Pangan. Argan. Jakarta. Syuryawati, C., Rapar dan Zubachtirodin. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serelia. Bogor.
101
Szczesniak, A.S. 1983. Physical Properties of Foods : What They Are and Their Relation to Other Food Properties. Di dalam Peleg, M dan Bagley, E.B. 1983. Physical Properties of Foods. AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Thomas, D.J. dan Atwell, W.A. 1999. Starches. AACC International, Inc. St Paul. MN. Di dalam : Soh, H.N, M.J. Sissons, dan Turner, M.A. 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylase content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. AACC International, Inc. St Paul. Minnesota. Waniska, RD, T Yi, J Lu, L Xue Ping, W Xu dan H.Lin. 1999. Effect of Preheating Temperature, Moisture, and Sodium Metabisulfite Content on Quality of Noodles Prepared from Maize Flour and Meal. Journal Food Science and Technology International, 5 : 339-346. Warisno.1998. Budidaya Jagung Hibrida.Gramedia, Jakarta Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry, Fennema, OR (ed). Marcell Dekker Inc. New York. Basel. Wikipedia Indonesia. 2008. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/jagung [5 Mei 2008]. Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Garamedia. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Stach Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation. University of Wisconsin. Madison.
102
No.
1.
2.
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian Peralatan Spesifikasi PILOT PLANT PAU TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No. 62066303 SER No. IF 3074 50 Hz, 220 Volt, 8077 A TECO ELEC & MACH PTE, LTD Made in Singapore Kapasitas : 6.25 kg/jam Disc mill
Pengayak (Siever)
Gambar
PILOT PLANT Seafast Centre Manufactured by DALAL ENGINEERING PVT. LTD THANA Under License From WILLIAM BOULTON LTD, ENGLAND Model 66 CMS Serial No : 107 Type : Dry Motor HP :1 Material : SS 604 Kapasitas : 5 kg/sekali pengayakan
103
No.
3.
4
4
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) Peralatan Spesifikasi PILOT PLANT Seafast Centre Engineering and Equipment GmbH 6072 Dreieich – West Germany H. ORTH GmbH Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700 Ludwigshafen Baujahr : 1981 Tray dryer Fabr. Nr. : 2193 / 1 Type : ITHU Nenntemperatur : 1200C Frischluftwechsel/min : 4.94 m3 Nutzraum : 2.64 m3 Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart : 3 PH ~ Spannung : 220/380 V
Gambar
Brabender Amylograph
Ekstruder Pencetak Model MS9
Pilot Plant Seafast Centre Model MS9 Production capacity 9 kg/h Rating input Power 1.5 Kw Power 1.1 Kw Dimension 600x330x430 mm Net Weight 60 kg Voltage 220 V Frequensi 50 Hz Series no VA 5000 Date 2005
104
No.
5
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) Peralatan Spesifikasi Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Rheoner RE-3305
Gambar
Rheoner
1. JEOL JFC 1100E Sputtering device fine (untuk coating)
Ino coat
2. EYELA Cool Ace CA-1100 (Untuk cooling) Volt 100 ± 10V Current max 20 A Power max 2 kVA Frequency 1 ± 50/60 Hz Ground resistance max 100Q Cooling water 2 L/min 6
Scanning Electron Microscope
3. STAVOL Matsunaga Manufacturing Co., Ltd Yakohama 233 Serial number 40701k Date of MFG 1904.7 (untuk menaikkan teganggan) Model SVC-5KSS-K Input Votage 1φ 220 V± 15% Output Votage φ 100 V± 1% Capacity 5 kVA/ 50 A Frequency 50 / 60 Hz
105
No.
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan selama penelitian (Lanjutan) Peralatan Spesifikasi 4. JEOL JSM 5200 Scanning Microscope Multi Purpose SEMs • Resolution HV Mode 5.0nm LV Mode 8.0nm • Magnification HV Mode x15 to 200.000 LV Mode x15 to 50.000 • Accelerating 1.2 kV Voltage 5 to 25 kV (5 kV steps)
Gambar
106
Lampiran 2. Mie Basah Jagung Varietas Tepung Mie Basah Jagung Tanpa No. Jagung Guar Gum
1.
Srikandi Kuning
2.
Bisma
3.
Sukmaraga
4.
Lamuru
Mie Basah Jagung dengan Guar Gum
107
Lampiran 2. Mie Basah Jagung ( Lanjutan ) Varietas Tepung Mie Basah Jagung Tanpa No. Jagung Guar Gum
5.
Mie Basah Jagung dengan Guar Gum
Arjuna
108
Lampiran 3. Hasil analisa SEM No.
Jenis Mie Basah
1.
Mie basah jagung tanpa tekanan manual (Varietas Lamuru)
Perbesaran 2500 (X2500)
Perbesaran 3500 (X3500)
10µm 20 kV
5µm
X11000
X2000
20 kV
2.
X9000
X3500
Mie basah jagung dengan tekanan manual (Varietas Lamuru)
10µm 20 kV
3.
X2000
X11000
5µm 20 kV
X3500
X9000
Mie terigu
10µm 20 kV
X2000
X11000
20 kV
5µm
X3500
X9000
Keterangan • 20 Kv = Tegangan yang digunakan alat SEM • X2500 dan X3500 = Perbesaran yang digunakan • = magnification (perbesaran) sebenarnya.
109
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung Produk yang dianalisis
Sifat yang diKarakterisasi
Faktor-faktor yang diamati pH L
Fisik
Kimia
Tepung Jagung
Fungsional
Mie Basah Jagung tanpa Penambahan Guar Gum
Fisik
Varietas Srikandi Kuning 5.83 88.81
Bisma
Sukmaraga
Lamuru
Arjuna
5.85
5.90
6.67
5.80
87.86
87.07
88.41
88.74
a
0.41
1.18
0.68
1.15
0.73
b
26.18
26.96
25.43
26.07
25.88
°Hue
89.11
87.49
88.47
87.47
88.37
Kadar air (% bk)
15.04
15.04
12.00
9.95
12.55
Kadar abu (% bk)
0.59
0.59
0.73
0.83
0.55
Kadar protein (% bk)
9.12
9.12
9.22
9.20
8.96
Kadar lemak (% bk) Kadar karbohidrat (% bk) Kadar pati (% bk)
1.69
1.69
1.82
1.85
1.62
88.60
88.60
88.23
88.11
88.87
71.69
71.69
75.70
74.96
74.92
23.06
27.59
23.67
27.68
27.14
44.10
44.10
52.64
51.29
47.24
73.50
72.00
72.00
73.50
73.50
462.50
222.50
285.00
250.00
200.00
580.00
350.00
422.50
340.00
280.00
92.50
5.00
25.00
15.00
20.00
47.50
97.50
102.50
65.00
45.00
1.34
1.34
1.69
1.45
1.43
7.92
7.92
5.00
6.61
5.67
9.30
9.30
7.53
8.26
7.66
58.70
80.32
64.31
95.43
72.93
26.17
32.95
40.23
25.09
29.44
6.92
5.06
6.14
5.41
6.66
42.50
46.50
195.00
202.50
45.00
25.50
21.50
88.13
112.50
18.50
51.86
56.00
51.81
51.71
49.40
-0.20
0.32
-0.47
0.58
-0.04
Warna
Kadar amilosa (% bk) Kadar amilopektin (% bk) Suhu Awal Gelatinisasi (°C) Viskositas Maksimum (BU) Viskositas Amilografi Akhir (BU) Breakdown Viscocity (BU) Setback Viscocity (BU) Water Absorption Capacity (g/g)(bk) Kelarutan (%) Swelling volume (ml/g) (bk) Persen Celup Elongasi Rebus (%) KPAP (%) Tensile Celup Strength Rebus (kgf) Warna L a
110
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil karakterisasi lima varietas mie basah jagung (Lanjutan)
Mie Basah Jagung denganPenambahan Guar Gum
Fisik
Persen Elongasi (%) KPAP (%) Tensile Strength (kgf)
Warna
b
26.91
29.84
26.96
23.38
25.20
°Hue Celup
89.57 81.80
89.39 93.88
89.01 103.13
88.58 106.24
89.90 85.41
Rebus
35.28
38.94
42.71
61.49
46.64
4.49
4.23
4.61
4.57
4.49
Celup
71.00
60.50
232.50
252.13
81.00
Rebus
34.00
27.50
103.13
131.25
31.50
L
53.59
55.79
51.14
51.10
50.58
a
0.41
0.53
-0.34
0.56
0.32
b
19.22
29.54
25.99
26.53
26.69
°Hue
88.77
88.98
89.26
88.80
89.31
Keterangan : = Karakterisasi terbaik = Analisis tambahan yang menjadi nilai tambah dari mie basah jagung
111
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Dan Uji Lanjut Duncan A. Karakterisasi Tepung Jagung Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors
Varietas
Ulangan
1 2 3 4 5 1 2
Value Label Srikandi Kuning Bisma Sukmaraga Lamuru Arjuna Ulangan 1 Ulangan 2
N 2 2 2 2 2 5 5
1. pH Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 361.959(a) 6 60.326 Varietas 1.118 4 .279 Ulangan .000 1 .000 Error .004 4 .001 Total 361.962 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 61636.192 285.488 .368
Sig. .000 .000 .577
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 5.795000 5.827500 5.845000
Subset 2
3
Arjuna 2 Srikandi Kuning 2 5.827500 Bisma 2 5.845000 Sukmaraga 2 5.895000 Lamuru 2 6.672500 Sig. .191 .102 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
112
2. Warna a. Tingkat Kecerahan (Lightness) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 77761.646(a) 6 12960.274 Varietas 4.217 4 1.054 Ulangan 1.116 1 1.116 Error .995 4 .249 Total 77762.642 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 52082.278 4.237 4.486
Sig. .000 .095 .102
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Sukmaraga 2 87.068650 Bisma 2 87.860550 87.860550 Lamuru 2 88.412700 88.412700 Arjuna 2 88.743500 Srikandi Kuning 2 88.812300 Sig. .058 .134 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .249. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
b. Nilai a Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 7.797(a) 6 Varietas .885 4 Ulangan .002 1 Error .102 4 Total 7.899 10 a R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .968)
Mean Square 1.300 .221 .002 .026
F 50.951 8.673 .059
Sig. .001 .030 .820
113
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Srikandi Kuning 2 .404950 Sukmaraga 2 .679650 Arjuna 2 .734350 .734350 Lamuru 2 1.154100 Bisma 2 1.183500 Sig. .113 .051 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .026. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
c. Nilai b Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 6817.592(a) 6 Varietas 2.491 4 Ulangan .021 1 Error .038 4 Total 6817.630 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Mean Square 1136.265 .623 .021 .009
F 119955.973 65.740 2.165
Sig. .000 .001 .215
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 3 4 Sukmaraga 2 25.432950 Arjuna 2 25.879650 Lamuru 2 26.073600 26.073600 Srikandi Kuning 2 26.179150 Bisma 2 26.963200 Sig. 1.000 .117 .339 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
114
3. Kadar Air Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 1616.124(a) 6 269.354 Varietas 28.130 4 7.033 Ulangan .064 1 .064 Error .313 4 .078 Total 1616.437 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 3441.482 89.854 .815
Sig. .000 .000 .418
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 3 4 Sukmaraga 2 9.953800 Bisma 2 12.004900 Lamuru 2 12.548700 Arjuna 2 13.454650 Srikandi Kuning 2 15.044500 Sig. 1.000 .124 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .078. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
4. Kadar Abu Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 4.436(a) 6 Varietas .063 4 Ulangan .004 1 Error .012 4 Total 4.447 10 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)
Mean Square .739 .016 .004 .003
F 248.114 5.259 1.352
Sig. .000 .068 .310
115
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 .551450 .593350 .668050
Subset 2
3
Lamuru 2 Srikandi Kuning 2 .593350 Arjuna 2 .668050 .668050 Bisma 2 .734600 .734600 Sukmaraga 2 .757400 Sig. .104 .064 .183 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
5. Kadar Protein Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 833.374(a) 6 Varietas .082 4 Ulangan .872 1 Error .854 4 Total 834.228 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Mean Square 138.896 .021 .872 .214
F 650.368 .096 4.085
Sig. .000 .978 .113
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 Lamuru 2 8.964450 Arjuna 2 9.113150 Srikandi Kuning 2 9.117200 Sukmaraga 2 9.203000 Bisma 2 9.220700 Sig. .604 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .214. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
116
6. Kadar Lemak Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 30.673(a) 6 Varietas .071 4 Ulangan .016 1 Error .047 4 Total 30.721 10 a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Mean Square 5.112 .018 .016 .012
F 431.327 1.502 1.384
Sig. .000 .351 .305
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 Lamuru 2 1.617550 Srikandi Kuning 2 1.694150 Arjuna 2 1.763550 Bisma 2 1.819350 Sukmaraga 2 1.849800 Sig. .104 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
7. Kadar Karbohidrat Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 78264.713(a) 6 13044.119 Varietas .623 4 .156 Ulangan .997 1 .997 Error .404 4 .101 Total 78265.116 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 129233.394 1.543 9.881
Sig. .000 .342 .035
117
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 Sukmaraga 2 88.189750 Bisma 2 88.225400 Arjuna 2 88.455150 Srikandi Kuning 2 88.595350 Lamuru 2 88.866500 Sig. .104 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .101. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
8. Kadar Pati Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 54719.124(a) 6 9119.854 Varietas 24.429 4 6.107 Ulangan .017 1 .017 Error 1.291 4 .323 Total 54720.415 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 28253.022 18.920 .053
Sig. .000 .007 .829
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Srikandi Kuning 2 71.687500 Arjuna 2 72.511050 Lamuru 2 74.921700 Sukmaraga 2 74.958750 Bisma 2 75.700250 Sig. .221 .249 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .323. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
118
9. Kadar Amilosa Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 6713.517(a) 6 Varietas 41.176 4 Ulangan 1.959 1 Error 6.280 4 Total 6719.796 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Mean Square 1118.919 10.294 1.959 1.570
F 712.702 6.557 1.248
Sig. .000 .048 .326
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 23.059000 23.666950
Subset 2
3
Srikandi Kuning 2 Sukmaraga 2 23.666950 Arjuna 2 27.143500 27.143500 Bisma 2 27.586450 Lamuru 2 27.679500 Sig. .653 .050 .694 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.570. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
10. Kadar Amilopektin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 23203.468(a) 6 Varietas 37.329 4 Ulangan 2.344 1 Error 10.177 4 Total 23213.645 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)
Mean Square 3867.245 9.332 2.344 2.544
F 1519.922 3.668 .921
Sig. .000 .118 .392
119
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Arjuna 2 45.367600 Lamuru 2 47.242250 47.242250 Bisma 2 48.113750 48.113750 Srikandi Kuning 2 48.628500 48.628500 Sukmaraga 2 51.291800 Sig. .116 .068 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.544. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
11. WAC Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 21.897(a) 6 3.649 Varietas .146 4 .036 Ulangan .000 1 .000 Error .001 4 .000 Total 21.897 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 21026.012 210.048 .067
Sig. .000 .000 .808
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 3 4 Srikandi Kuning 2 1.325250 Lamuru 2 1.429150 Sukmaraga 2 1.452350 1.452350 Arjuna 2 1.473550 Bisma 2 1.693800 Sig. 1.000 .153 .183 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
120
12. Swelling volume Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 695.838(a) 6 Varietas 4.571 4 Ulangan .001 1 Error 1.775 4 Total 697.613 10 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994)
Mean Square 115.973 1.143 .001 .444
F 261.313 2.575 .002
Sig. .000 .191 .964
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 Lamuru 2 7.528200 Bisma 2 7.656100 Sukmaraga 2 8.263800 Arjuna 2 8.821700 Srikandi Kuning 2 9.301400 Sig. .060 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .444. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
13. Kelarutan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 409.478(a) 6 68.246 Varietas 9.656 4 2.414 Ulangan .005 1 .005 Error .011 4 .003 Total 409.489 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 25442.730 899.948 1.849
Sig. .000 .000 .246
121
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 4.995950
2
Subset 3
4
5
Srikandi Kuning 2 Bisma 2 5.665400 Arjuna 2 6.427200 Sukmaraga 2 6.609850 Lamuru 2 7.917150 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
B. Mie Basah Jagung dengan Pemberian Tekanan secara Manual dan Penambahan BTP 1. Persen Elongasi Celup a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 56916.285(a) 6 Varietas 1655.696 4 Ulangan .663 1 Error 157.362 4 Total 57073.646 10 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .993)
Mean Square 9486.047 413.924 .663 39.340
F 241.127 10.522 .017
Sig. .000 .021 .903
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset 2
1 3 Srikandi Kuning 2 58.699400 Sukmaraga 2 64.306000 64.306000 Arjuna 2 72.928900 72.928900 Bisma 2 80.321150 80.321150 Lamuru 2 95.429650 Sig. .090 .067 .074 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 39.340. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
122
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Model 93066.740(a) 6 Varietas 724.708 4 Ulangan 4.193 1 Error 109.514 4 Total 93176.255 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Mean Square 15511.123 181.177 4.193 27.379
F 566.542 6.617 .153
Sig. .000 .047 .716
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Srikandi Kuning 2 81.795650 Bisma 2 93.879300 93.879300 Arjuna 2 95.413350 95.413350 Sukmaraga 2 103.129500 Lamuru 2 106.245100 Sig. .063 .082 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 27.379. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
2. Persen Elongasi Rebus a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 9774.090(a) 6 1629.015 Varietas 298.747 4 74.687 Ulangan 3.482 1 3.482 Error 65.926 4 16.481 Total 9840.016 10 a R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .983)
F 98.839 4.532 .211
Sig. .000 .086 .670
123
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Lamuru 2 25.094750 Srikandi Kuning 2 26.165900 Arjuna 2 29.441400 29.441400 Bisma 2 32.952750 32.952750 Sukmaraga 2 40.227150 Sig. .130 .060 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 16.481. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 21082.308(a) 6 3513.718 Varietas 822.143 4 205.536 Ulangan .831 1 .831 Error 75.946 4 18.986 Total 21158.254 10 a R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .991)
F 185.065 10.825 .044
Sig. .000 .020 .845
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 Srikandi Kuning 2 35.275000 Bisma 2 38.942750 Sukmaraga 2 42.705850 Arjuna 2 46.640300 Lamuru 2 61.487950 Sig. .064 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 18.986. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
124
3. KPAP a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 369.800(a) 6 61.633 Varietas 5.047 4 1.262 Ulangan .006 1 .006 Error .019 4 .005 Total 369.819 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 12692.236 259.820 1.205
Sig. .000 .000 .334
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
Subset
N
1
Bisma
2
Lamuru
2
Sukmaraga
2
Arjuna
2
Srikandi Kuning
2
Sig.
2
3
4
5
5.064300 5.408650 6.143200 6.657050 6.923950 1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .005. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 200.594(a) 6 33.432 Varietas .175 4 .044 Ulangan .014 1 .014 Error .025 4 .006 Total 200.619 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 5342.484 6.984 2.213
Sig. .000 .043 .211
125
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 2 Bisma 2 4.228950 Srikandi Kuning 2 4.486450 Arjuna 2 4.490700 Lamuru 2 4.570150 Sukmaraga 2 4.607100 Sig. 1.000 .207 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .006. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
4. Tensile Strength Celup a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 170053.725(a) 6 28342.288 Varietas 57052.600 4 14263.150 Ulangan 4.225 1 4.225 Error 152.900 4 38.225 Total 170206.625 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
F 741.459 373.137 .111
Sig. .000 .000 .756
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 Srikandi Kuning 2 42.500000 Arjuna 2 45.000000 Bisma 2 46.500000 Sukmaraga 2 195.000000 Lamuru 2 202.500000 Sig. .557 .292 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 38.225. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
126
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 266814.838(a) 6 44469.140 Varietas 71830.125 4 17957.531 Ulangan 33.306 1 33.306 Error 26.350 4 6.587 Total 266841.188 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 6750.534 2726.001 5.056
Sig. .000 .000 .088
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset 3
1 2 4 5 Bisma 2 60.500000 Srikandi Kuning 2 71.000000 Arjuna 2 81.000000 Sukmaraga 2 232.500000 Lamuru 2 253.125000 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.587. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
5. Tensile Strength Rebus a. Tanpa Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 43756.288(a) 6 7292.715 Varietas 15425.025 4 3856.256 Ulangan 2.256 1 2.256 Error 34.400 4 8.600 Total 43790.688 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
F 847.990 448.402 .262
Sig. .000 .000 .635
127
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 18.500000 21.500000 25.500000
Subset 2
3
Arjuna 2 Bisma 2 Srikandi Kuning 2 Sukmaraga 2 88.125000 Lamuru 2 112.500000 Sig. .079 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8.600. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
b. Dengan Guar Gum Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 60777.350(a) 6 10129.558 Varietas 18385.150 4 4596.288 Ulangan 12.100 1 12.100 Error 115.400 4 28.850 Total 60892.750 10 a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .995)
F 351.111 159.317 .419
Sig. .000 .000 .553
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 27.500000 31.500000 34.000000
Subset 2
3
Bisma 2 Arjuna 2 Srikandi Kuning 2 Sukmaraga 2 101.250000 Lamuru 2 131.250000 Sig. .299 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 28.850. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
128
6. Warna a. Tanpa Guar Gum 1). Nilai L (Tingkat Kecerahan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 27246.909(a) 6 4541.152 Varietas 45.609 4 11.402 Ulangan .038 1 .038 Error .107 4 .027 Total 27247.016 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 169757.302 426.234 1.413
Sig. .000 .000 .300
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset 2
1 3 Arjuna 2 49.395750 Lamuru 2 51.712700 Sukmaraga 2 51.809350 Srikandi Kuning 2 51.856050 Bisma 2 56.000300 Sig. 1.000 .436 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .027. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
2). Nilai a Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 1.465(a) 6 .244 Varietas 1.388 4 .347 Ulangan .063 1 .063 Error .647 4 .162 Total 2.113 10 a R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .234)
F 1.510 2.145 .392
Sig. .359 .239 .565
129
Post Hoc Tests Respon Duncan Subset 1 Sukmaraga 2 -.467850 Srikandi Kuning 2 -.202700 Arjuna 2 -.044350 Bisma 2 .318500 Lamuru 2 .581050 Sig. .063 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .162. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05. Varietas
N
3). Nilai b Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 7049.891(a) 6 1174.982 Varietas 45.932 4 11.483 Ulangan 4.023 1 4.023 Error 6.979 4 1.745 Total 7056.870 10 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
F 673.461 6.582 2.306
Sig. .000 .048 .203
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 Lamuru 2 23.379150 Arjuna 2 25.195850 Srikandi Kuning 2 26.910250 26.910250 Sukmaraga 2 26.962100 26.962100 Bisma 2 29.839600 Sig. .057 .095 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.745. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
130
b. Dengan Guar Gum 1). Nilai L (Tingkat Kecerahan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 27539.870(a) 6 4589.978 Varietas 39.046 4 9.762 Ulangan .155 1 .155 Error .702 4 .176 Total 27540.572 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 26137.127 55.586 .882
Sig. .000 .001 .401
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 50.580900 51.101450 51.136950
Subset 2
3 Arjuna 2 Lamuru 2 Sukmaraga 2 Srikandi Kuning 2 53.591950 Bisma 2 55.794150 Sig. .261 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .176. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
2). Nilai a Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 1.950(a) 6 .325 Varietas 1.071 4 .268 Ulangan .000 1 .000 Error .209 4 .052 Total 2.159 10 a R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .758)
F 6.209 5.117 .000
Sig. .049 .071 .984
131
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
Subset
1 2 Sukmaraga 2 -.336800 Arjuna 2 .322500 Srikandi Kuning 2 .413600 Bisma 2 .526800 Lamuru 2 .555800 Sig. 1.000 .369 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .052. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
3). Nilai b Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Respon Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 6666.444(a) 6 1111.074 Varietas 116.918 4 29.230 Ulangan .001 1 .001 Error 1.147 4 .287 Total 6667.591 10 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 3876.004 101.968 .003
Sig. .000 .000 .956
Post Hoc Tests Respon Duncan Varietas
N
1 19.215800
Subset 2
3
Srikandi Kuning 2 Sukmaraga 2 25.992900 Lamuru 2 26.521700 Arjuna 2 26.692200 Bisma 2 29.537600 Sig. 1.000 .268 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .287. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
132
Lampiran 6. Hasil Uji t-test A. Penggunaan Alat Analisa Persen Elongasi (Texture Analyzer Dan Rheoner) t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 86.140 14.365 2.000 7.752 0.000 1 0.372 0.373 2.920 0.746 4.303
Variable 2 85.105 1.140 2.000
B. Mie Basah Jagung Tanpa Pemberian Tekanan dan Dengan Pemberian Tekanan secara Manual 1. KPAP t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 7.150 0.002 2.000 0.005 0.000 1 22.280 0.001 2.920 0.002 4.303
Variable 2 5.555 0.008 2.000
133
2. Persen Elongasi t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 108.460 0.065 2.000 0.044 0.000 1 -84.522 0.000 2.920 0.000 4.303
Variable 2 126.290 0.024 2.000
134
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Hamigia Zulkhair dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1986 di Solok, Sumatera Barat dan merupakan anak keempat dari pasangan H. Chairan dan Hj. Zurni Zaini. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 02 PPA Kota Solok, Sumatera Barat (1993-1999), pendidikan menengah pertama di MTsN Koto Baru Kab. Solok, Sumatera Barat (1999-2002), dan pendidikan lanjutan di SMUN 1 Gn. Talang Kab. Solok, Sumatera Barat (20022005). Penulis diterima di Program Mayor Minor Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Pada Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai anggota HIMITEPA periode 2006-2008, anggota Food Processing Club divisi Fermented Food periode (2007), anggota Food Processing Club divisi Bakery (2008), anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk anak SD (2008) dan anggota Penyuluhan Keamanan Pangan untuk pedagang dalam dan sekitar kampus IPB darmaga (2008). Penulis pernah mengikuti Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (2008), Quality Management System ISO 9001:2000 (2008) dan Quality Safety Management System ISO 22000: 2005 (2008). Penulis juga pernah menjadi asisten pratikum pada mata kuliah Evaluasi Sensori Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2008). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang Dihasilkan”, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc dan Tjahja Muhandri, STP, MT.