SKRIPSI
FORMULASI TEPUNG BUMBU DARI TEPUNG JAGUNG DAN PENENTUAN UMUR SIMPANNYA DENGAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
Oleh : FRANSISCA F24051017
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FORMULASI TEPUNG BUMBU DARI TEPUNG JAGUNG DAN PENENTUAN UMUR SIMPANNYA DENGAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : FRANSISCA F24051017
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi Nama NIM
: Formulasi Tepung Bumbu dari Tepung Jagung dan Penentuan Umur Simpannya dengan Pendekatan Kadar Air Kritis : Fransisca : F24051017
Menyetujui: Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc) NIP: 19650729.199002.1.002
(Aton Yulianto, M.Eng) NIP: 19700721.199401.1.001
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814.199022.1.001
Tanggal ujian : 12 Februari 2010
FRANSISCA. F24051017. Formulasi Tepung Bumbu dari Tepung Jagung dan Penentuan Umur Simpannya dengan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Sugiyono dan Aton Yulianto. ABSTRAK Analisis sifat amilograf pada tepung jagung menunjukkan bahwa tepung jagung memiliki nilai setback viscosity yang tinggi sebesar 570 BU. Hal inilah yang membuat tekstur gorengan dari tepung jagung menjadi keras setelah didinginkan lebih dari 30 menit. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan amilosa pada tepung jagung. Upaya menurunkan nilai setback viscosity ini dilakukan dengan memformulasi tepung jagung dengan tepung beras, tapioka dan tepung ketan. Formula tepung bumbu terpilih berdasarkan uji rating hedonik adalah 60% tepung jagung, 12,5% tepung beras, 12,5 % tapioka dan 15% tepung ketan. Penambahan tepung ketan yang memiliki kadar amilopektin tinggi mampu menghasilkan tepung bumbu dari tepung jagung dengan nilai setback viscosity yang lebih rendah dibandingkan nilai setback viscosity dari tepung jagung sebesar 315 BU. Penentuan umur simpan dari formula tepung bumbu terpilih menggunakan pendekatan kadar air kritis. Umur simpan dari tepung bumbu terpilih mencapai 7 bulan apabila disimpan pada RH 85% menggunakan kemasan polipropilena dengan permeabilitas sebesar 0,07 g/m2hr.mmHg.
FRANSISCA. F24051017. Formulation of Batter Made of Corn Flour and Prediction of Its Shelf Life Using Critical Moisture Content Approach. Under supervision of Sugiyono and Aton Yulianto. ABSTRACT The amylogram of corn flour showed a high setback viscosity (570 BU). This property gave hard texture in fried products after 30 minutes of cooling. High setback viscosity in corn flour was due to high amylose content. Therefore, rice flour, tapioca starch, and glutinous rice flour were added to corn flour to reduce the setback viscosity. According to hedonic test, the best batter formula was composed of 60% corn flour, 12.5% rice flour, 12.5% tapioca starch, and 15% glutinous rice flour. The addition of glutinous rice flour with high amylopectin content, gave lower setback viscosity of the batter (315 BU) compared to setback viscosity of corn flour. A critical moisture content approach was used to predict the shelf life of the batter. The shelf life of the product was 7 months when packaged in polypropylene (0.07 g/m2day.mmHg) at 85% RH.
FRANSISCA. F24051017. Formulasi Tepung Bumbu dari Tepung Jagung dan Penentuan Umur Simpannya dengan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Sugiyono dan Aton Yulianto RINGKASAN Ketergantungan Indonesia terhadap gandum semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi pangan berbahan baku tepung terigu seperti mie, kue kering, roti serta produk gorengan. Kebutuhan tepung terigu nasional saat ini berkisar antara 3,5 juta ton hingga 4 juta ton per tahun. Impor gandum Indonesia mencapai 5 juta ton per tahun. Total impor ini terus meningkat setiap tahunnya rata-rata 4-6 persen. Penggunaan tepung terigu untuk bahan baku produk gorengan di Indonesia sebesar 5% dari konsumsi tepung terigu nasional. Tepung terigu pada produk gorengan digunakan sebagai coating atau batter yang dapat menambah cita rasa. Penggantian tepung terigu untuk produk gorengan dengan tepung jagung diharapkan dapat mengurangi pemakaian tepung terigu dan juga dapat berperan dalam upaya meningkatkan pemanfaatan komoditi lokal Indonesia. Namun berdasarkan hasil trial and error, penggunaan 100% tepung jagung pada produk gorengan menghasilkan tekstur yang keras setelah produk mengalami pendinginan. Hal inilah yang mendasari dilakukannya formulasi di dalam pembuatan tepung bumbu dari tepung jagung untuk menghasilkan tepung bumbu yang memiliki tekstur yang renyah dan tidak keras setelah mengalami pendinginan. Selain itu, penyimpanan juga merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi mutu suatu produk. Oleh karena itu perlu juga dilakukan pendugaan umur simpan pada produk tepung bumbu dari tepung jagung ini. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: (1) tahap persiapan bahan, (2) tahap formulasi tepung bumbu, dan (3) tahap penentuan umur simpan. Tahap persiapan bahan meliputi pembuatan tepung jagung dan karakterisasi tepung jagung tersebut. Tahap formulasi tepung bumbu meliputi penentuan viskositas acuan, penentuan formula-formula tepung bumbu, penentuan formula terbaik, penambahan bumbu pada formula terpilih, dan analisis formula terpilih. Tahap terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis. Pembuatan tepung jagung menghasilkan rendemen tepung jagung yang lolos ayakan 120 mesh sebesar 31% dari berat jagung pipil. Hasil analisis tepung jagung meliputi kadar air 7,45 %bb, kadar abu 0,13 %bb, kadar lemak 2,38 %bb, kadar protein 6,67 %bb, kadar karbohidrat 83,37 %bb, kadar pati 59,39 %bb, kadar amilosa dan amilopektin berturut-turut 27,90 %bb dan 31,49 %bb, serta kadar serat kasar 0,88 %bb. Penentuan viskositas acuan bertujuan untuk mendapatkan besarnya viskositas adonan tepung bumbu komersial yang paling disukai baik dari kerenyahan yang dihasilkan maupun dari penampakannya. Besarnya viskositas ini kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada setiap formulasi tepung bumbu dari tepung jagung yang dilakukan. Viskositas acuan yang dihasilkan sebesar 75 cP.
Tahap selanjutnya merupakan tahap formulasi tepung bumbu dari tepung jagung. Formulasi tepung bumbu ini menggunakan empat macam tepung yaitu tepung jagung, tepung beras, tapioka dan tepung ketan. Penambahan tepung ketan dimaksudkan untuk meningkatkan proporsi pada tepung bumbu sehingga dapat mengurangi kekerasan yang terjadi setelah pendinginan lebih dari 30 menit pada tepung bumbu dari tepung jagung. Formulasi dari empat jenis bahan baku tepung tersebut menghasilkan 12 formula dengan penggunaan tepung jagung sebesar 4070%, tepung ketan sebesar 5%, 10% dan 15%, serta sisanya adalah proporsi yang sama untuk tepung beras dan tapioka dengan basis 100 gram jumlah tepung. Hasil uji ANOVA menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penampakan pada semua formula tidak berbeda nyata (p>0,05). Namun berdasarkan parameter kerenyahan dan overall, hasilnya berbeda nyata (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa formula 1 sampai 5 berbeda nyata (p<0,05) dengan formula 6 hingga 12, sedangkan formula 6 hingga 12 tidak berbeda nyata (p>0,05). Formula 6 dipilih menjadi formula terbaik karena memiliki tingkat penggunaan tepung jagung paling tinggi. Formula 6 memiliki komposisi 60% tepung jagung, 12,5% tepung beras, 12,5% tapioka, 15% tepung ketan. Formula terpilih kemudian ditambahkan bumbu. Bumbu yang ditambahkan adalah bawang merah bubuk, bawang putih bubuk, ketumbar bubuk, merica bubuk, garam, dan MSG (Monosodium Glutamat). Hasil analisis kimia tepung bumbu terpilih meliputi kadar air 8,39 %bb, kadar abu 1,17 %bb, kadar lemak 0,68 %bb, kadar protein 5,69 %bb, kadar karbohidrat 84,07 %bb, kadar pati 61,47 %bb, kadar amilosa dan amilopektin berturut-turut 21,45 %bb dan 40,02 %bb, serta kadar serat kasar 0,27 %bb. Penentuan umur simpan dari tepung bumbu terpilih menggunakan pendekatan kadar air kritis. Kadar air kritis dari tepung bumbu terpilih adalah 16,17% bk. Nilai kemiringan kurva sorpsi isothermis adalah 0,41. Umur simpan dari tepung bumbu terpilih adalah 7 bulan pada RH 85 % menggunakan kemasan polipropilena (PP) dengan permeabilitas sebesar 0,07 g/m2hr.mmHg.
RIWAYAT HIDUP Fransisca adalah anak kedua dari pasangan Gunawan Wijaya dan The Jen Nio Neneng. Penulis dilahirkan di Jakarta pada 11 Agustus 1987. Penulis lulus dari SMA Santa Ursula BSD dan diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) untuk mengikuti Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan non-akademik seperti mengikuti berbagai kepengurusan di organisasi dan terlibat dalam kepanitiaan sejumlah acara berskala nasional. Penulis menjadi pengurus organisasi sebagai pengurus HIMITEPA periode 2007-2008 di Departemen Himitepa Coorporation dan Koordinator Dana dan Usaha Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan ke-15. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan pelatihan, seperti Pelatihan Auditor HACCP, Pelatihan Sistem Management ISO 9001 dan ISO 22000, dan berbagai seminar lainnya. Penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Dosen di Laboratorium Mikrobiologi Pangan.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaanNya dalam hidup penulis, termasuk dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Formulasi Tepung Bumbu dari Tepung Jagung dan Penentuan Umur Simpannya dengan Pendekatan Kadar Air Kritis”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan selama masa kuliah, penelitian dan penulisan skripsi ini yaitu: 1. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan selama penulisan skripsi ini. 2. Aton Yulianto, M.Eng selaku pembimbing dari BPPT yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan selama penulisan skripsi ini serta memberikan bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian ini. 3. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si sebagai dosen penguji. Terimakasih atas kesediaannya dan juga atas saran-saran yang diberikan kepada penulis. 4. Orang tua dan adik-adik penulis. Terima kasih atas semua dukungan baik dalam bentuk doa, materi, nasehat, semangat, dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis. 5. Teman-teman seperjuangan: Esther Mariana dan Dina Marissa. Terima kasih untuk semua kerja keras dan waktu yang telah kita lalui bersama. 6. Teman-teman baik di ITP: Belinda, Eveline, Yusi, Wiwi, Hesti, Irene, Tuthie, Wahyu, Tere, dan Diana. Terima kasih telah menjadi teman untuk berbagi suka dan duka. 7. Teman-teman F-track: Nanda, Haris, Umam, Fera, Venty, Beqi, Midun, dan Ardi. Terimakasih untuk kebersamaan dan pengalaman yang telah kita lalui. 8. Teman-teman ITP 42: Arya, Rheiner, Kamlit, Marcel, Kallista, Vero, Juju, Ririn, Cath, Adi Leo dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan penulis satu per satu. Terimakasih atas kebersamaan dan kekeluargaan yang
ii
telah terjalin selama 3 tahun di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. 9. Sahabat-sahabatku: Margareth, Erick Agustien dan Dennis Gunardhy yang telah mendukung penulis serta memberikan bantuan dan semangat dalam penulisan skripsi ini. 10. Semua dosen, staff, dan teknisi di Departemen ITP dan Seafast (Pak Wahid, Pak Sob, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Edi, Bu Antin, Bu Rubiah, Pak Iyas, Pak Jun) atas segala ilmu, wawasan dan dukungan kepada penulis selama menuntut ilmu dan menjalankan penelitian di IPB. 11. Kak Ririn, Kak Nona, Kak Novia, Kak Tomi, Kak Dini, Kak Ratih dan kakak-kakak ITP 41 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk nasehat-nasehat dan kebersamaan selama ini. 12. Teman-teman kosan Perwira 44: Icha, Putri, Agnes, Dessy, Leni, Lisa, Lili, dan Aren. Terimakasih buat kebersamaan dan keakraban yang telah kita alami selama ini. 13. Semua teman-teman ITP 43 dan 44 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk semuanya. 14. Teman-teman Joyful Youth. Terima kasih atas seluruh dukungan kalian baik dalam bentuk doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. 15. Semua Staff PUSPIPTEK. Terimakasih untuk bimbingan serta kritik dan saran yang diberikan kepada penulis dalam menjalankan penelitian ini. Penulis berharap karya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan berguna bagi kemajuan pangan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Bogor, Februari 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian................................................................................. 2 C. Manfaat Penelitian............................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 A. Jagung.................................................................................................. 4 B. Tepung Jagung .................................................................................... 8 C. Tapioka ................................................................................................ 11 D. Tepung Beras ...................................................................................... 12 E. Tepung Ketan ...................................................................................... 14 F. Tepung Bumbu .................................................................................... 15 G. Penggorengan ...................................................................................... 18 H. Umur Simpan ...................................................................................... 19 I. Model Persamaan Sorpsi Isothermis ................................................... 26 III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 29 A. Bahan ................................................................................................... 29 B. Alat ...................................................................................................... 29 C. Metode Penelitian ................................................................................ 29 1. Tahap Persiapan Bahan .................................................................. 29 2. Formulasi Tepung Bumbu .............................................................. 30 a. Penentuan Viskositas Acuan ...................................................... 30 b. Penentuan Formula-formula Tepung Bumbu............................. 34 c. Penentuan Formula Terbaik ....................................................... 35 d. Penambahan Bumbu pada Fomula Terbaik ............................... 35 e. Analisis Formula Terpilih .......................................................... 37 3. Penentuan Umur Simpan ................................................................ 37 a. Penentuan Kadar Air Kritis ........................................................ 37 b. Penentuan Kurva Sorpsi Isothermis ........................................... 38 c. Penentuan Model Sorpsi Isothermis........................................... 40 d. Uji Ketepatan Model .................................................................. 42 e. Penentuan Kemiringan Kurva (slope) atau Nilai b .................... 42 f. Pendugaan Umur Simpan........................................................... 43 D. Metode Analisis................................................................................... 43 1. Analisis Kimia ................................................................................ 43 a. Kadar Air Metode Oven ............................................................. 43
iv
b. Kadar Abu .................................................................................. 44 c. Kadar Protein Metode Kjedahl-mikro........................................ 44 d. Kadar Lemak Metode Soxhlet ................................................... 45 e. Kadar Karbohidrat by difference ................................................ 46 f. Kadar Pati Metode Luff Schoorl ................................................ 46 g. Kadar Amilosa ........................................................................... 48 h. Kadar Serat Kasar ...................................................................... 49 2. Analisis Fisik .................................................................................. 50 a. Rendemen................................................................................... 50 b. Densitas Kamba ......................................................................... 50 c. Warna Metode Lab Hunter (Chromameter) ............................... 51 d. Sifat Amilograf........................................................................... 51 e. Viskositas ................................................................................... 53 f. Uji Organoleptik......................................................................... 54 1. Uji Rating Hedonik ........................................................... 54 2. Uji Pembobotan ................................................................. 55 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 56 A. Tahap Persiapan Bahan ....................................................................... 56 1. Pembuatan Tepung Jagung ............................................................. 56 2. Karakteristik Tepung Jagung .......................................................... 60 a. Komposisi Kimia Tepung Jagung .............................................. 60 1) Kadar Air ........................................................................... 60 2) Kadar Abu ......................................................................... 61 3) Kadar Lemak ..................................................................... 62 4) Kadar Protein..................................................................... 62 5) Kadar Karbohidrat ............................................................. 63 6) Kadar Pati, Amilosa, dan Amilopektin ............................. 64 7) Kadar Serat Kasar.............................................................. 65 b. Sifat Fisik ................................................................................... 66 1) Warna ................................................................................ 66 2) Densitas Kamba................................................................. 67 3) Sifat Amilograf .................................................................. 67 B. Tahap Formulasi Tepung Bumbu ........................................................ 71 1. Penentuan Viskositas Acuan .......................................................... 71 2. Penentuan Formula-formula Tepung Bumbu ................................. 75 3. Penentuan Formula Terbaik............................................................ 79 4. Penambahan Bumbu pada Formula Terpilih .................................. 84 5. Analisis Formula Terpilih............................................................... 86 a. Analisis Kimia............................................................................ 86 1) Analisis Proksimat ............................................................... 86 2) Kadar Pati, Amilosa, Amilopektin dan Serat Kasar............. 88 b. Analisis Fisik.............................................................................. 89 1) Warna ................................................................................... 89 2) Densitas Kamba ................................................................... 90 3) Sifat Amilograf..................................................................... 90 C. Penentuan Umur Simpan ..................................................................... 93 1. Penentuan Kadar Air Kritis ............................................................ 94 2. Penentuan Kurva Sorpsi Isothermis ............................................... 95 v
3. 4. 5. 6.
Penentuan Model Sorpsi Isothermis ............................................... 98 Uji Ketepatan Model ...................................................................... 101 Penentuan Nilai Kemiringan (slope) Kurva ................................... 102 Pendugaan Umur Simpan ............................................................... 103
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 105 A. Kesimpulan ......................................................................................... 105 B. Saran.................................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 107 LAMPIRAN ................................................................................................... 115
vi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Bagian – bagian anatomi biji jagung .................................................... 6
Tabel 2
Komposisi kimia biji jagung................................................................. 7
Tabel 3
Persyaratan mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 (BSN 1995) ........................................................................................... 9
Tabel 4
Komposisi tapioka per 100 gram bahan ............................................... 11
Tabel 5
Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994 (BSN 1994) ............ 13
Tabel 6
Komposisi kimia beras per 100 gram ................................................... 14
Tabel 7
Spesifikasi persyaratan mutu tepung bumbu menurut SNI 01-4476-1998 (BSN 1998)............................................................ 16
Tabel 8
Formulasi tepung bumbu per 100 gram tepung .................................... 35
Tabel 9
Jenis bumbu yang ditambahkan per 100 gram jumlah tepung ............. 36
Tabel 10 Jenis dan RH garam jenuh yang digunakan.......................................... 39 Tabel 11 Rendemen pemipilan jagung ................................................................ 57 Tabel 12 Hasil pembuatan tepung jagung dari 10 kg jagung pipil ...................... 59 Tabel 13 Komposisi kimia tepung jagung.............................................................. 60 Tabel 14 Hasil pengukuran warna tepung jagung ................................................... 66 Tabel 15 Hasil pengukuran sifat amilograf tepung jagung ..................................... 68 Tabel 16 Hasil perhitungan persentase pembobotan............................................... 74 Tabel 17 Rekapitulasi uji pembobotan .................................................................... 75 Tabel 18 Komposisi kimia tepung bumbu formula terpilih................................. 86 Tabel 19 Hasil pengukuran warna tepung bumbu terpilih ...................................... 90 Tabel 20 Hasil pengukuran sifat amilograf tepung bumbu terpilih ........................ 91 Tabel 21 Daftar RH larutan garam jenuh yang digunakan dan kadar air kesetimbangan .......................................................................................... 96 Tabel 22 Persamaan model kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih.......... 99 Tabel 23 Kadar air kesetimbangan tepung bumbu terpilih dari model – model persamaan ........................................................................ 99 Tabel 24 Hasil perhitungan nilai MRD model persamaan kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih............................................................................... 101 Tabel 25 Data penentuan umur simpan tepung bumbu terpilih menggunakan kemasan PP ............................................................................................... 104
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Kurva sorpsi isothermis secara umum ............................................. 22
Gambar 2
Diagram alir pembuatan tepung jagung ........................................... 31
Gambar 3
Prosedur pembuatan tempe goreng tepung ...................................... 32
Gambar 4
Irisan tempe ...................................................................................... 33
Gambar 5
Chamber yang berisi garam jenuh K2SO4 untuk kadar air kritis ..... 38
Gambar 6
Contoh chamber larutan garam jenuh ............................................. 39
Gambar 7
Alat Brabender amylograph ............................................................... 52
Gambar 8
Contoh amilogram dari suspensi pati yang diukur dengan Brabender amylograph .................................................................... 53
Gambar 9
Alat Brookfield viscometer ............................................................... 54
Gambar 10 Rotor Brookfield viscometer nomor 2 .............................................. 54 Gambar 11 Jagung tongkol ................................................................................. 56 Gambar 12 Perendaman jagung .......................................................................... 57 Gambar 13 Tepung jagung 120 mesh ................................................................. 59 Gambar 14 Profil gelatinisasi tepung jagung ...................................................... 68 Gambar 15 Hasil uji rating hedonik parameter kerenyahan dalam penentuan viskositas acuan................................................................................ 72 Gambar 16 Hasil uji rating hedonik parameter penampakan dalam penentuan viskositas acuan................................................................................ 73 Gambar 17 Adonan tepung tanpa bumbu dari tepung jagung ............................ 80 Gambar 18 Tempe goreng yang dihasilkan ........................................................ 80 Gambar 19 Hasil uji rating hedonik terhadap parameter penampakan pada pemilihan formulasi terbaik ............................................................. 81 Gambar 20 Hasil uji rating hedonik terhadap parameter kerenyahan pada pemilihan formulasi terbaik ............................................................. 82 Gambar 21 Hasil uji rating hedonik secara overall pada penentuan formulasi terbaik............................................................................................... 84 Gambar 22 Adonan formula tepung terpilih berbumbu ......................................... 85 Gambar 23 Tempe goreng tepung bumbu formula terpilih ................................... 85 Gambar 24 Tepung bumbu terpilih (kiri) dan tepung jagung (kanan) ................ 90 Gambar 25 Profil gelatinisasi tepung bumbu terpilih ......................................... 91 Gambar 26 Perbandingan profil gelatinisasi ....................................................... 93 viii
Halaman Gambar 27 Sampel uji rating hedonik kadar air kritis yang disimpan pada RH 91% (K2SO4) dengan waktu simpan yang berbeda (A) 0 jam (blind control), (B) 6 jam, (C) 12 jam, (D) 18 jam, dan (E) 24 jam .................................................................................. 94 Gambar 28 Hasil uji rating hedonik dalam penentuan kadar air kritis ............... 95 Gambar 29 Contoh tepung bumbu yang berkapang............................................ 97 Gambar 30 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih ............................... 98 Gambar 31 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih model Hasley ........ 99 Gambar 32 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih model Chen-Clayton ................................................................................... 100 Gambar 33 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih model Henderson ........................................................................................ 100 Gambar 34 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih model Caurie ........ 100 Gambar 35 Kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih model Oswin......... 101 Gambar 36 Penentuan nilai kemiringan (slope) kurva sorpsi isothermis ........... 102
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Form kuesioner uji rating hedonik untuk penentuan viskositas acuan ............................................................................................... 116
Lampiran 2
Form kuesioner uji rating hedonik untuk penentuan formulasi terbaik ............................................................................................. 117
Lampiran 3
Form kuesioner uji rating hedonik formula terpilih ditambah bumbu ............................................................................................. 118
Lampiran 4 Form kuesioner uji rating hedonik penentuan kadar air kritis ........ 119 Lampiran 5
Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl .................................... 120
Lampiran 6
Neraca massa pembuatan tepung jagung ........................................ 121
Lampiran 7
Komposisi kimia tepung jagung ..................................................... 122
Lampiran 8 Kadar pati, amilosa dan amilopektin dari tepung bumbu komersial Sajiku .............................................................................................. 124 Lampiran 9 Profil gelatinisasi tepung bumbu komersial ................................... 124 Lampiran 10 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik parameter kerenyahan pada penentuan viskositas acuan ................................. 125 Lampiran 11 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik parameter penampakan pada penentuan viskositas acuan ............................... 126 Lampiran 12 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter penampakan untuk penentuan formulasi terbaik ............................ 127 Lampiran 13 Hasil uji ANOVA rating hedonik terhadap parameter penampakan untuk penentuan formulasi terbaik ............................ 128 Lampiran 14 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter kerenyahan untuk penentuan formulasi terbaik .............................. 129 Lampiran 15 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik terhadap parameter kerenyahan untuk penentuan formulasi terbaik ............. 130 Lampiran 16 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter overall untuk penentuan formulasi terbaik ................................................. 131 Lampiran 17 Hasil uji ANOVA rating hedonik terhadap parameter overall untuk penentuan formulasi terbaik ........................................................... 132 Lampiran 18 Hasil uji rating hedonik formula tepung terpilih yang ditambah bumbu ............................................................................................. 133 Lampiran 19 Komposisi kimia tepung bumbu terpilih ........................................ 134 Lampiran 20 Komposisi kimia tepung beras ....................................................... 136 Lampiran 21 Komposisi kimia tapioka ................................................................ 136 x
Halaman Lampiran 22 Komposisi kimia tepung ketan ....................................................... 136 Lampiran 23 Hasil uji organoleptik rating hedonik pada penentuan kadar air kritis ................................................................................. 137 Lampiran 24 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik pada penentuan kadar air kritis ............................................................... 138 Lampiran 25 Contoh penentuan persamaan dan MRD model-model sorpsi isothermis........................................................................................ 139
xi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris
yang memiliki berbagai
komoditas pangan yang dapat tumbuh di tanah Indonesia yang subur ini. Namun ternyata sekarang ini tujuh komoditas pangan utama non-beras yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor, bahkan empat dari tujuh komoditas pangan utama non-beras yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras sudah masuk kategori kritis (Anonim 2008). Kebutuhan terhadap komoditas gandum terus meningkat. Salah satu penggunaan komoditas gandum di Indonesia yang menjadi mayoritas adalah tepung terigu. Menurut data Asosiasi Produsen Tepung Terigu di Indonesia (APTINDO), kebutuhan nasional tahun 2008 akan tepung terigu sebanyak 3,8 juta ton (Anonima 2009). Total impor gandum mencapai 5 juta ton per tahun (Anonimb 2009). Total impor ini meningkat terus setiap tahun, rata-rata 4-6 persen. Pada masa yang akan datang, impor diprediksi akan naik seiring dengan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap bahan pangan yang berasal dari bahan baku tepung terigu. Hal ini akan menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi. Ketergantungan Indonesia akan gandum dapat mengakibatkan pemborosan devisa negara. Sesungguhnya Indonesia mempunyai banyak potensi tanaman pangan sumber karbohidrat yang dapat dimanfaatkan untuk menggantikan tepung terigu, salah satunya adalah jagung. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 15,9 juta metrik ton dan kebutuhannya mencapai 13 juta ton (Anonimc 2009). Sejak dulu jagung merupakan sumber bahan pangan kedua setelah beras atau padi, bahkan di daerah tertentu, jagung merupakan makanan pokok bagi masyarakat setempat. Selama ini jagung banyak dipasarkan dalam bentuk pati jagung yang dikenal dengan sebutan maizena. Penggunaan jagung dalam bentuk tepung jagung belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penggunaan tepung terigu yang telah menjadi bagian dari pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini adalah sebagai bahan untuk membuat produk gorengan antara lain seperti fried chicken, pisang goreng, 1
gorengan tempe, dan lain-lain. Tepung terigu di dalam produk gorengan digunakan sebagai coating ataupun batter yang dapat menambah cita rasa dan kerenyahan dari produk tersebut. Menurut data Asosiasi Produsen Tepung Terigu di Indonesia tahun 2003, penggunaan tepung terigu untuk bahan baku produk gorengan sebesar 5% dari konsumsi tepung terigu nasional. Makanan gorengan merupakan salah satu pangan olahan terigu yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia baik di perkotaan maupun di pedesaan. Jumlah konsumsinya mencapai rata-rata 9,7 g/kap/hari (Hardinsyah dan Amalia 2007). Penggantian tepung terigu untuk produk gorengan dengan tepung jagung diharapkan dapat mengurangi pemakaian tepung terigu dan dapat juga berperan dalam upaya meningkatkan pemanfaatan komoditi lokal Indonesia. Berdasarkan hasil trial and error, penggunaan 100% tepung jagung pada produk gorengan dapat dilakukan namun menghasilkan tekstur yang keras setelah produk mengalami pendinginan. Hal inilah yang mendasari dilakukannya formulasi di dalam pembuatan tepung bumbu dari tepung jagung, sehingga dapat dihasilkan tepung bumbu yang memiliki tekstur yang renyah dan tidak keras setelah mengalami pendinginan. Selain itu, penyimpanan juga merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi mutu suatu produk yang kemudian dapat memengaruhi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Oleh karena itu perlu juga dilakukan pendugaan umur simpan pada produk tepung bumbu dari tepung jagung ini. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula tepung bumbu dari bahan dasar tepung jagung dengan tingkat kerenyahan terbaik dan disukai serta menentukan umur simpannya berdasarkan pendekatan kadar air kritis. C. Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu diharapkan dapat dihasilkan tepung bumbu dari tepung jagung yang memiliki tingkat kerenyahan terbaik
2
sehingga mampu mengurangi penggunaan tepung terigu dalam pembuatan produk gorengan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Jagung Jenis jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonim 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada enam tipe utama jagung yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corn (Darrah et al. 2003). Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm di sekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al. 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis kernel memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit, sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson 1991). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lainlain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe
4
berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masing-masing 250-300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62160 µm tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu 8284% dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron atau peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula pati yang dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak, sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian yang keras (Watson 2003). Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian yaitu embrio dan skutelum. Embrio
5
mencakup 1,1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30,8% protein. Skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan yaitu epithelium, parenkim, epidermis dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson 2003). Bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Bagian-bagian anatomi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi
Jumlah (%)
Pericarp (bran)
5,3
Endosperma
82,9
Lembaga (germ)
11,1
Tip cap
0,8
Sumber : Watson (2003) Komposisi Kimia Biji Jagung Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%. Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (Dglukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma), sedangkan maltosa, trisakarida dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Phytate (hexaphosphoric ester dari myoinositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat pada biji jagung.
6
Sekitar 90% phytate ditemukan dalam skutelum dan 10%-nya terdapat dalam aleuron (Boyer dan Shannon 2003). Komposisi kimia biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia biji jagung Pati
Protein
Lipid
Gula
Abu
Serat
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Biji utuh
73,4
9,1
4,4
1,9
1,4
9,5
Endosperma
87,6
8,0
0,8
0,62
0,3
1,5
Lembaga
8,3
18,4
33,2
10,8
10,5
14
Pericarp
7,3
3,7
1,0
0,34
0,8
90,7
Tip cap
6,3
9,1
3,8
1,6
1,6
95
Komponen
Sumber : Watson (2003) Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein) dan glutein. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp, dan lembaga, sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa komponen yaitu α, β,
, dan
-zein. α-zein
merupakan prolamin terbanyak dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan α-zein, β-zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin dan prolin. -zein merupakan prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya α-zein dan βzein, -zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein, sedangkan -zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson 2003). Glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan
7
triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity 1996). Menurut Lawton dan Wilson (2003), sekitar 76-83% lipid di dalam biji jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah triasilgliserols (TAGs) yaitu sekitar 95%. Selain itu biji jagung juga mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol), asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), tocol (vitamin E), dan waxes yang jumlahnya lebih sedikit dibanding TAG. Asam lemak yang terkandung pada minyak jagung antara lain asam linoleat (59,7%), asam oleat (25,2%), asam palmitat (11,6%), asam stearat (1,8%) dan asam linolenat (0,8%). B.
Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995 (BSN 1995), tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea Mays LINN) yang baik dan bersih. Teknik penggilingan jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), metode penggilingan
kering
jagung
terdiri
dari
penggilingan
pertama
(penggilingan kasar), perendaman dan pencucian untuk memisahkan lembaga, kulit dan tip cap, kemudian dilakukan penggilingan kedua menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Metode penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar, yaitu pati, lembaga, serat, dan protein. Persyaratan mutu tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Komponen terbesar dalam tepung jagung adalah pati. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood 1979).
8
Tabel 3 Persyaratan mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 (BSN 1995) No. 1
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal
1.2
Rasa
-
Normal
1.3
Warna
-
Normal
Benda-benda asing
-
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
2 3 4 5
Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati lain selain pati jagung Kehalusan
5.1
Lolos ayakan 80 mesh
%
Min. 70
5.2
Lolos ayakan 60 mesh
%
Min. 99
6
Air
% b/b
Maks. 10
7
Abu
% b/b
Maks. 1,5
8
Silikat
% b/b
Maks. 0,1
9
Serat Kasar
% b/b
Maks. 1,5
10
Derajat asam
ml.N.NaOH/100gr
Maks. 4,0
11
Cemaran logam
11.1 Timbal (Pb)
mg/kg
Maks. 1,0
11.2 Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks. 10,0
11.3 Seng (Zn)
mg/kg
Maks. 40,0
11.4 Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 0,05
mg/kg
Maks. 0,5
13.1 Angka Lempeng Total
koloni/gr
Maks. 5 x 106
13.2 E. coli
APM/gr
Maks. 10
13.3 Kapang
koloni/gr
Maks. 104
12
Cemaran arsen (As)
13
Cemaran mikroba :
9
Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan memengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 2502.000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40.000-340.000. Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan gugusnya bersifat polar. Amilosa dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya. Penyerapan air tersebut menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa mampu membentuk ikatan kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Rantai lurusnya cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berikatan dengan ikatan hidrogen (Taggart 2004). Amilopektin adalah glukan bercabang yang terdiri dari ± 4.000 unit glukosa. Pada rantai lurus amilopektin terdapat ikatan α-(1,4) dan pada titik percabangan terdapat ikatan α-(1,6). Ikatan percabangan ini terjadi setiap interval 20-30 unit glukosa. Percabangan ini menyusun sekitar 4-5% dari seluruh ikatan pada amilopektin. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart 2004). Molekul ini juga membentuk sifat kohesif dan pengental pada pati. Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, ada pula varietas jagung yang
tersusun
seluruhnya
(100%)
dari
amilopektin
yaitu
jenis
waxy/glutinous corn. Sebaliknya, varietas jagung yang dinamakan highamylose corn mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Pemilihan pati sebagai bahan baku produk gorengan pada umumnya didasarkan pada komposisi amilosa dan amilopektinnya. Komposisi amilosa dan amilopektin setiap pati berbeda-beda dan menentukan perbedaan sifat pengembangannya. Selama proses penggorengan, pati
10
mengalami proses gelatinisasi yang dilanjutkan dengan penguapan air. Pada proses gelatinisasi ini terjadi pengembangan (expansion) granula pati karena penyerapan air (Meyer 1973). Melalui pemanasan selama penggorengan, air menguap dan meninggalkan pori-pori kosong, yang sebagian di antaranya akan terisi oleh minyak. Pori-pori kosong tersebut menyebabkan bahan menjadi lebih porous dan apabila dimakan terasa renyah. Menurut Haryadi (1990) di dalam Ediati et al. (2006), tingkat pengembangan granula pati akan menentukan kerenyahan produk. Selain itu pada awal proses penggorengan, polisakarida membentuk film yang kompak di permukaan bahan sehingga mampu mencegah migrasi lemak ke dalam produk gorengan dan mencegah hilangnya air dari bahan (Pokorny 1999). C.
Tapioka Tapioka merupakan salah satu produk olahan dari ketela pohon atau singkong (Manihot utilistima atau manihot esculenta). Selain kandungan utamanya yang berupa karbohidrat, tapioka masih mengandung sedikit protein dan lemak seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi tapioka per 100 gram bahan Komposisi
Jumlah
Air (gram)
12,0
Karbohidrat (gram)
86,9
Protein (gram)
0,5
Lemak (gram)
0,3
Energi (kalori)
3266
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1981) Sifat pati tapioka mudah membengkak dalam air panas dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada pada kisaran 20-27% dari kadar patinya dan
11
kadar lipid pada tapioka sangat rendah (<0,1%). Tapioka mempunyai sifat dapat tergelatinisasi pada suhu yang relatif rendah dibandingkan dengan tepung yang mengandung amilopektin tinggi yaitu berkisar antara 58,5oC70oC serta mulai mengeras pada suhu 85oC. Pada suhu yang lebih tinggi dari 85oC akan menurunkan viskositas tepung tersebut (Charley 1982). Tapioka telah banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan seperti membuat kue-kue, kerupuk, pengental, saos, dan sebagainya. Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994 (BSN 1994) dapat dilihat pada Tabel 5. D.
Tepung Beras Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi utama yaitu amilosa (linier) dan amilopektin (bercabang). Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu ketan (2-9%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%), dan beras beramilosa tinggi (25-33%) (Allidawati dan Bambang 1989, diacu dalam Aliawati 2003). Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan, dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau campuran tepung beras:terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik. Beras yang mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan yang tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur, atau remuk (Siwi dan Damardjati 1986 dalam Belinda 2009).
12
Tabel 5 Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994 (BSN 1994) No
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Mutu I
Mutu II
Mutu III
1
Kadar Air
%
maks. 15,0
maks. 15,0
maks. 15,0
2
Kadar Abu
%
maks. 0,60
maks. 0,60
maks. 0,60
%
maks. 0,60
maks. 0,60
maks. 0,60
%
Min. 94,5
Min. 92,0
<92
Maks. 3
Maks. 3
Maks. 3
3 4
Serat dan benda asing Derajat putih (BaSO4=100%)
Volume 5
Derajat Asam
NaOH 1N/100g
6
7
Cemaran Logam Timbal
mg/kg
Maks. 1,0
Maks. 1,0
Maks. 1,0
Tembaga
mg/kg
Maks. 10,0
Maks. 10,0
Maks.10,0
Seng
mg/kg
Maks. 40,0
Maks. 40,0
Maks. 40,0
Raksa
mg/kg
Maks.0,05
Maks. 0,05
Maks. 0,05
Arsen
mg/kg
Maks. 0,5
Maks. 0,5
Maks. 0,5
Maks. 1,0
Maks. 1,0 x
Maks. 1,0 x
Cemaran Mikroba Angka Lempeng Total
koloni/g
E. coli
koloni/g
Kapang
koloni/g
x 10
6
-
-
Maks. 1,0 x 10
10
6
4
-
Maks. 1,0 x 10
106
4
Maks. 1,0 x 104
Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepung. Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir halus (> 10 mesh), tepung kasar atau bubuk (< 40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung halus ( 100 mesh) (Hubeis 1984). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi 13
manusia, serta bahan baku industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah, seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi kimia beras per 100 gram Komposisi
Beras Tumbuk
Giling
Tepung
Kalori (kcal)
359
360
364
Protein (g)
7,5
6,8
7,0
Lemak (g)
0,9
0,7
0,5
Karbohidrat (g)
77,6
78,9
80,0
Kalsium (mg)
16
6
5
Fosfor (mg)
163
160
140
Besi (mg)
0,3
0,8
0,8
Vitamin A (SI)
0
0
0
Vitamin B (mg)
0,21
0,12
0,12
Vitamin C (mg)
0
0
0
13,0
13,0
12,0
Air (%) Sumber: Hubeis (1984)
Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita dan Bean 1982). E.
Tepung Ketan Ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas padi yang mempunyai sifat-sifat berbeda dengan beras biasa. Menurut Grist (1975), ada beberapa perbedaan antara beras dengan ketan dalam
14
penampakannya. Beras mempunyai tekstur yang keras dan transparan, sedangkan ketan memiliki tekstur yang lebih rapuh, butirnya besar-besar, dan warnanya putih opak. Ketan memiliki suhu gelatinisasi yang tidak jauh berbeda dengan beras. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano (1972) mengungkapkan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 58-78,5oC, sedangkan suhu gelatinisasi beras berkisar antara 58-79oC. Suhu gelatinisasi pati ketan ini juga berkorelasi dengan sifat konsistensi gelnya. Konsistensi gel merupakan ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel. Ketan memiliki kandungan amilopektin
lebih
banyak
dibandingkan
kandungan
amilosanya.
Kandungan amilosa ketan berkisar antara 1-2%. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket, tidak mengembang dalam pemasakan dan juga tetap lunak setelah dingin. Tepung ketan merupakan produk olahan dari beras ketan dengan cara penggilingan. Ketan dalam bentuk tepung memiliki banyak kegunaan. Salah satu kegunaan yang paling popular adalah sebagai bahan pengental. Tepung ketan juga memiliki sifat yang tahan terhadap sineresis yaitu peristiwa lepasnya air dari molekul pati. Deobald (1972) menyatakan bahwa selain kandungan amilopektin yang meningkat, kestabilan tepung ketan sebagai pengental juga disebabkan oleh penyimpangan struktur kimia atau oleh kecilnya ukuran granula pati. Amilopektin merupakan molekul yang bercabang, sehingga molekul air yang terikat padanya tidak mudah lepas. Hal ini menyebabkan stabilnya produk selama penyimpanan. F.
Tepung Bumbu Menurut SNI 01-4476-1998 (BSN 1998), definisi tepung bumbu adalah bahan makanan berupa campuran tepung dan bumbu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 7.
15
Tabel 7 Spesifikasi persyaratan mutu tepung bumbu menurut SNI 01-4476-1998 (BSN 1998) No. 1
Jenis uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan :
1.1
Bau
-
normal khas
1.2
Rasa
-
normal khas
1.3
Warna
-
Normal
Benda-benda asing
-
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
2 3
Serangga (dalam bentuk setadia dan potongan)
4
Air
%, b/b
maksimum 12
5
Abu
%, b/b
maksimum 1,5
6
Abu silikat
%, b/b
maksimum 1
7
Serat kasar
%, b/b
maksimum 1,5
8
Derajat asam
9
Bahan Tambahan :
ml NaOH 1N/100g
maksimum 4,0
Sesuai SNI 01-0222-1995 dan 9.1
Pengawet
-
Permenkes No. 722/Men.Kes/Per/IX/1988 Sesuai SNI 01-0222-1995 dan
9.2
Pewarna
-
Permenkes No. 722/Men.Kes/Per/IX/1989
10
Cemaran logam :
10.1
Timbal (Pb)
mg/kg
maksimum 1,0
10.2
Tembaga (Cu)
mg/kg
maksimum 10.0
10.3
Seng (Zn)
mg/kg
maksimum 40,0
10.4
Raksa (Hg)
mg/kg
maksimum 0.05
11
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
maksimum 0.5
12
Cemaran mikroba :
12.1
Angka Lempeng Total
koloni/gram
maksimum 1,0 x 106
12.2
Escherichia Coli
APM/gram
Negatif
12.3
Kapang dan Khamir
koloni/gram
maksimum 1,0 x 102
16
Tepung bumbu biasa digunakan sebagai tepung pelapis atau coating bahan pangan. Secara umum, tepung bumbu yang biasanya digunakan sebagai tepung pelapis merupakan campuran dari berbagai macam tepung antara lain tepung terigu, maizena, tepung beras, dan tapioka. Bahan-bahan tambahan lainnya yang digunakan antara lain soda kue dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan cita rasa. Tepung terigu yang baik untuk tepung pelapis ini adalah tepung yang berprotein tinggi karena dapat menyerap air dan udara yang lebih banyak. Adonan tepung yang banyak mengikat udara akan berbintil-bintil ketika digoreng sehingga terasa renyah saat digigit. Bintil-bintil tersebut sebenarnya merupakan gelembung udara yang timbul karena adanya gluten dalam tepung terigu yang bersifat mengurung udara. Hal ini pula yang membuat permukaan gorengan menjadi mengembang. Proporsi tepung terigu dalam adonan tepung pelapis ini biasanya lebih besar dibanding tepung lainnya karena sifat tepung terigu yang mudah larut serta mampu menyerap dan mempertahankan kandungan air (Yuyun 2007). Maizena merupakan pati jagung yang bisa larut dalam air namun kurang mampu menahan air. Tekstur maizena goreng cenderung lebih renyah dan mudah patah saat digigit. Pemakaiannya yang berlebihan akan membuat gorengan menjadi keras, namun bila dicampur dengan terigu akan mampu mengurangi rasa puffy (empuk) dan starchy (liat) pada terigu (Yuyun 2007). Tepung beras merupakan salah satu pengganti maizena yang memberi tekstur mudah digigit dan renyah. Tepung beras juga mudah larut dalam air dan dapat membantu tepung terigu membentuk tekstur yang renyah dan padat. Tapioka memberi tekstur yang keras tetapi mudah digigit. Tapioka juga dapat mempertahankan air dalam adonan. Soda kue dapat membantu membentuk tekstur renyah (Yuyun 2007). Pada saat pemanasan, soda kue akan melepaskan karbon sehingga terbentuk struktur yang tidak terlalu kuat (renyah). Penggunaan soda kue ini relatif tidak terlalu banyak.
17
G.
Penggorengan Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air (Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma dan tekstur yang khas (Saguy dan Dana 2003, diacu dalam Juanita 2008). Proses penggorengan ada dua jenis yaitu proses gangsa (pan frying) dan menggoreng terendam (deep fat frying). Pada pan frying, bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak, sedangkan deep fat frying merupakan teknik menggoreng yang dicirikan dengan terendamnya seluruh bagian bahan pangan. Energi panas yang dihantarkan menghasilkan perubahan warna dan flavor yang diinginkan
(Fellows
2000).
Suhu
yang
digunakan
pada
proses
penggorengan umumnya berkisar antara 162-196oC (Orthoefer dan Cooper 2004). Penggorengan ditujukan untuk meningkatkan karakteristik warna, flavor dan aroma yang merupakan kombinasi dari reaksi Maillard dan komponen volatil yang diserap dari minyak (Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyatakan bahwa ketika makanan ditaruh dalam minyak panas, suhu permukaan makanan akan meningkat cepat menuju tingkat panas minyak, sedangkan suhu bagian dalam makanan meningkat secara perlahan. Pematangan terhadap bahan pangan merupakan akibat dari terjadi transfer panas selama proses penggorengan (Blumenthal 1996). Terdapat 8 hal yang terjadi selama proses menggoreng terendam, yakni: 1. Penguapan air dari bahan pangan Temperatur permukaan produk meningkat. Menggoreng merupakan proses dehidrasi, yakni keluarnya air dan udara panas dari produk akibat adanya panas dari minyak.
18
2. Pemanasan produk sesuai suhu yang diinginkan untuk mencapai karakteristik yang diinginkan 3. Meningkatnya suhu permukaan produk untuk mencapai warna kecoklatan dan kerenyahan. 4. Perubahan dimensi produk. Produk dapat mengecil, membesar maupun sama dengan ukuran sebelumnya. 5. Terjadi perpindahan lemak dari minyak ke produk. Dalam beberapa kasus terjadi perpindahan lemak dari produk ke minyak seperti pada ayam 6. Terdapatnya sistem pergantian minyak yang dipindahkan dari produk atau kelebihan minyak ke sistem penggorengan oleh produk. 7. Tidak hanya perubahan ukuran tetapi juga densitas 8. Perubahan kimia minyak dan kemampuan mentransfer panas yang berakibat terhadap kualitas produk (penyerapan minyak, tingkat pencoklatan produk, rasa dan lain-lain) Beberapa faktor yang memengaruhi masuknya minyak ke dalam produk gorengan selama penggorengan antara lain (1) suhu dan lama penggorengan, (2) kadar air , khususnya di lapisan permukaan bahan, (3) tipe, ukuran dan bentuk produk yang digoreng, (4) perlakuan sebelum penggorengan, misalnya aplikasi batter, serta (5) tipe dan kualitas dari minyak goreng yang digunakan (Pokorny 1999). H.
Umur Simpan Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Prosessor Association juga mendefinisikan umur simpan yaitu suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).
19
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Arpah (2001) menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). Pendugaan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Metode Arrhenius merupakan pendugaan umur simpan dengan menggunakan metode simulasi. Metode Arrhenius sangat baik untuk diterapkan dalam penyimpanan yang relatif stabil dari waktu ke waktu (Syarief dan Halid 1993). Laju penurunan mutu ditentukan dengan persamaan Arrhenius yaitu sebagai berikut : k = k0 . e-Ea/RT Keterangan : k
= konstanta penurunan mutu
k0
= konstanta (tidak bergantung pada suhu)
Ea
= energi aktivasi (kal/mol)
T
= suhu mutlak (K)
R
= konstanta gas (1,986 kal/mol K)
Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh suhu terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik lurus hubungan ln k dengan 1/T. Dengan demikian, energi
20
aktivasi yang besar mempunyai arti bahwa nilai ln k berubah cukup besar dengan hanya perubahan beberapa derajat dari temperatur sehingga nilai kemiringan kurva akan besar (Arpah 2001). Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : 1. Kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk akibat kerusakan karotenoid, klorofil atau oksidasi asam lemak. 2. Sedang (Ea 15-30 kkal/mol), kerusakan produk akibat kerusakan vitamin, kerusakan pigmen yang larut air dan reaksi Maillard. 3. Besar (Ea 50-100 kkal/mol), kerusakan produk akibat denaturasi enzim, inaktivasi mikroba dan spora. Labuza (1982) menyatakan penilaian tentang umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) dan selanjutnya dapat diprediksi umur simpan yang sebenarnya. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan produk pangan pada suhu yang tinggi sehingga kerusakan produk lebih cepat terjadi. Penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius termasuk ke dalam metode akselerasi ini. Meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering yang disimpan dalam kemasan dapat mengakibatkan meningkatnya kadar air pada bahan tersebut sampai mencapai kondisi yang tidak diinginkan. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat digunakan untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Faktor-faktor yang dibutuhkan untuk memperkirakan umur simpan suatu produk pangan kering adalah sebagai berikut (Labuza 1982): 1. Kurva Sorpsi Isothermis Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi digambarkan dengan kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air
21
(aw) pada suhu tertentu. Istilah sorpsi air dipakai untuk penggabungan air ke dalam bahan pangan, sedangkan apabila proses dimulai dengan bahan basah disebut desorpsi (Syarief dan Halid 1993). Hubungan antara besarnya aw atau ERH dengan kadar air dalam bahan pangan pada suhu yang konstan digambarkan seperti Gambar 1. Kurva sorpsi isothermis ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air dalam bahan pangan tersebut. Daerah A menyatakan adsorpsi air bersifat satu lapis adsorpsi molekul air (monolayer), daerah B menyatakan terjadinya penambahan lapisan-lapisan di atas satu lapis molekul air (multilayer) dan daerah C merupakan daerah dimana kondensasi air pada pori-pori bahan mulai terjadi (kondensasi kapiler) (Syarief dan Halid 1993).
Kadar Air (% bk) A
B
C
desorpsi
adsorpsi
aw Gambar 1 Kurva sorpsi isothermis secara umum (Labuza 1982) Kurva sorpsi isothermis ini diasumsikan sebagai garis linear dengan persamaan sebagai berikut (Labuza 1982): m = ba + co
22
Keterangan: m = kadar air bahan (% bk) a
= aktivitas air
b
= slope kurva
co = intersep kurva 2. Kadar air kesetimbangan Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al. 1992). Menurut Fellows (2000), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan bobot produk. Kadar
air
kesetimbangan
penting
untuk
menentukan
bertambah atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban relatif lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al. 1992). Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara meletakkan contoh pada tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol. Metode statis biasa digunakan untuk metode penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara 3 kali penimbangan berturut-turut
23
tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH
90% dan tidak lebih
dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Lievonen dan Ross 2002 di dalam Adawiyah 2006). Lain halnya dengan metode dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses
pengeringan.
Pergerakan
udara
dibutuhkan
untuk
mempercepat pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al. 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva sorpsi isotermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban udara lingkungan. 3. Permeabilitas kemasan Permeabilitas kemasan merupakan faktor penting dalam menentukan kemasan yang akan digunakan dalam penyimpanan dan dapat juga memengaruhi masa simpan dari suatu produk. Permeabilitas kemasan (k/x) adalah laju transmisi uap air dibagi dengan perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan. Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan (pengemas) selama satu satuan waktu pada kondisi suhu dan RH yang relatif konstan (ASTM 1980, diacu dalam Kurniawan 2003). Keterangan: k
= konstanta permeabilitas (g.H2O.ketebalan/hari.area.tekanan uap)
x
= ketebalan
4. Rasio luas kemasan (A) dengan berat kering produk (Ws) (m2/g padatan) Luas kemasan yang perlu diketahui adalah luas kemasan primer yang digunakan dan yang dihitung adalah luasan dari kedua sisisnya. Berat kering produk (Ws) adalah berat solid produk awal
24
untuk setiap kemasan setelah dikoreksi dengan kadar air awal (Kusnandar 2006). 5. Kadar air awal produk (Mi) dan kadar air kritis produk (Mc) Kadar air awal produk diukur dari produk yang baru diproses (freshly processed products). Kadar air awal ini digunakan untuk menentukan berat solid (Ws). Kadar air kritis adalah kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara organoleptik (Syarief et. al. 1989). 6. RH dan suhu tempat produk disimpan RH
yang
berbeda
akan
menghasilkan
kadar
air
kesetimbangan yang berbeda pula (Kusnandar 2006). RH yang dipilih adalah RH pada kondisi penyimpanan produk. Dari kondisi ini ditentukan kadar air kesetimbangan (Me) dan tekanan uap jenuh (Po). Umur simpan dapat ditentukan dari nilai-nilai di atas dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana : ts
= waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam)
Me
= kadar air kesetimbangan produk (%bk)
Mi
= kadar air awal produk (%bk)
Mc
= kadar air kritis produk (%bk)
k/x
= konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2) 25
I.
Ws
= berat kering produk dalam kemasan (g)
Po
= tekanan uap jenuh (mmHg)
b
= kemiringan kurva sorpsi isotermik
Model Persamaan Sorpsi Isothermis Model matematika mengenai kadar air kesetimbangan atau sorpsi isothermis telah banyak dikemukakan oleh para ahli baik secara teoritis, semi teoririts, maupun empiris (Chirife dan Iglesias 1978; Van den Berg dan Bruin 1981). Namun model matematik yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakupi keseluruhan kurva sorpsi isothermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isothermis pada salah satu dari ketiga daerah sorpsi isothermis. Selain itu penggunaan model sorpsi isothermis juga sangat tergantung dari tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya. Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isothermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut: 1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda. 2. Sorpsi
isothermis
suatu
bahan
pangan
menggambarkan
kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya. 3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia dan lainnya.
26
Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal (monolayer) yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan pertama kali oleh Langmuir. Persamaan yang didapat dari percobaannya dengan menggunakan permukaan platina, gelas dan mika adalah sebagai berikut :
Dimana: V
= jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu
Vm
= jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal
a
= sifat termodinamika gas
b
= konstanta yang tergantung dari suhu dan jenis bahan pangan
Secara empiris, Henderson pada tahun 1952 mengemukakan persamaan
yang
menggambarkan
hubungan
antara
kadar
air
kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini menurut Chirife dan Iglesias (1978) merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan. Persamaan Henderson ini dapat berlaku pada kebanyakan bahan pangan terutama biji-bijian pada seluruh nilai aw. Bentuk persamaan tersebut (Chirife dan Iglesias 1978) adalah : 1 – aw = exp [- KMen] Caurie pada tahun 1970 dari hasil percobaannya mendapatkan sebuah model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0,0 sampai 0,85. Persamaan tersebut adalah: Ln Me = ln P(1) – P(2)aw Hasley
mengembangkan
suatu
persamaan
yang
dapat
menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan Iglesias 1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif antara 10-81%. Persamaan ini adalah : (Isse et al. 1983) 27
!
Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada RH 0 sampai 85% dan sesuai bagi kurva sorpsi isothermis yang berbentuk sigmoid (Chirife dan Iglesias 1978). Model persamaan Oswin tersebut adalah : !
Lebih lanjut Chen Clayton juga telah membuat model matematik yang berlaku untuk bahan pangan pada semua nilai aktivitas air (aw). Persamaan tersebut adalah : !
28
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung varietas BPPT-IPB 1, tapioka merek Gunung Agung, tepung beras merek Rose Brand, tepung ketan merek Rose Brand, soda kue, lada bubuk merek Ladaku, bawang merah bubuk, bawang putih bubuk, ketumbar bubuk, garam merek Dolphin, air dan minyak goreng. Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis, antara lain heksana, HCl 1 N, NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, air suling, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0,02 N, indikator merah metil serta metil biru, HCl 0,01 N, NaOH 0,01 N, NaOH 2N, HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, dan bahan lainnya. B. Alat Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mangkok, sendok, piring, blender, ayakan 120 mesh, penggorengan, termometer, chromameter Minolta, polisher (pengupas kulit ari), disc mill, Brookfield viscometer , dan Brabender amylograph. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah alat ekstraksi Soxhlet, aw meter, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet Mohr, neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml, labu lemak, gelas piala, gelas arloji, kapas, oven, tanur, gelas ukur 100 ml, tabung reaksi, inkubator, cawan porselen, cawan alumunium, cawan petri, erlenmeyer 125 ml, batang gelas, hot plate, desikator dan alat-alat gelas lain. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan bahan, tahap formulasi tepung bumbu, dan tahap penentuan umur simpan. 1. Tahap Persiapan Bahan Pada tahap persiapan bahan dilakukan pembuatan tepung jagung kemudian dilakukan karakterisasi terhadap tepung jagung yang dihasilkan meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia yang 29
dilakukan antara lain yaitu analisis proksimat yang meliputi uji kadar air, abu, lemak, protein, dan kadar karbohidrat by difference, selain itu juga dilakukan pengukuran kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin dan serat kasar. Analisis secara fisik yang dilakukan meliputi pengukuran warna dengan chromameter Minolta, densitas kamba, rendemen dan sifat amilograf menggunakan alat Brabender amylograph. Diagram alir pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 2. 2. Formulasi Tepung Bumbu Tahap formulasi tepung bumbu dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap penentuan viskositas acuan, penentuan formula-formula tepung bumbu, penentuan formula terbaik, penambahan bumbu pada formula terpilih, dan analisis formula terpilih. a. Penentuan Viskositas Acuan Penentuan viskositas acuan bertujuan untuk mendapatkan besarnya viskositas adonan tepung bumbu komersial yang paling disukai baik dari kerenyahan yang dihasilkan maupun dari penampakannya. Besarnya viskositas ini kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada setiap formulasi tepung bumbu dari tepung jagung yang dilakukan. Langkah awal untuk menentukan viskositas acuan ini adalah menentukan perbandingan tepung bumbu komersial dan air yang paling disukai, kemudian ditentukan viskositas dari adonan tersebut. Penentuan viskositas ini menggunakan produk tepung bumbu Sajiku renyah.
30
Jagung tongkol Dipipil Direndam 2,5 kg jagung pipil (20 menit) Ditiriskan (10 menit) Dibuang kulit arinya (polisher) Jagung disosoh Dikecilkan ukuran dengan disc mill tanpa saringan Dipisahkan perikarp dan germ Jagung dibersihkan Ditiriskan Dikeringkan dalam oven 60oC (2 jam) Ditepungkan dengan disc mill Dikeringkan dalam oven 60oC (3 jam) Diayak Tepung jagung (120 mesh) Gambar 2 Diagram Diagram alir pembuatan tepung jagung
31
Pertama-tama, tepung bumbu komersial dibuat dalam berbagai perbandingan dengan air. Perbandingan tepung dan air yang diujikan ada 3 formula yaitu formula A = 1:1, formula B = 1:1,25, dan formula C = 1:1,5. Adonan tepung dan air diaduk, lalu diaplikasikan pada tempe goreng tepung. Prosedur pembuatan tempe goreng tepung dapat dilihat pada Gambar 3. Tempe yang digunakan didapatkan dari toko Agro Lestari dekat kampus IPB Dramaga. Tempe tersebut kemudian dipotong-potong setipis mungkin dengan ketebalan rata-rata 2-3 mm. Dimensi tempe juga dibuat seragam yaitu rata-rata berukuran 3,5 cm x 2 cm dengan berat berkisar antara 3-4 gram per tempe (Gambar 4).
Seluruh bahan (kecuali air)
Tempe
Ditambahkan air*) sambil diaduk
Ket : *) jumlah air sesuai dengan formula
Dicelupkan sampai merata
Diiris dengan ketebalan yang sama (2-3 mm)
Digoreng dengan penggorengan terendam (160oC, ± 3 menit)
Diangkat dan didinginkan selama 30 menit
Gambar 3 Prosedur pembuatan tempe goreng tepung
32
Gambar 4 Irisan tempe Banyaknya adonan tepung yang menyalut tempe juga dibuat sama dengan cara menggunakan sendok yang ukurannya sama ketika memasukan sampel ke dalam penggorengan. Tempe yang telah dilumuri dengan adonan tersebut dimasukan ke dalam penggorengan dengan suhu minyak 160oC selama 3 menit. Suhu penggorengan dijaga tetap saat memasukkan sampel ke dalam penggorengan. Suhu tersebut merupakan suhu penggorengan terendam (Orthoefer dan Cooper 2004). Pengujian yang dilakukan untuk menentukan viskositas acuan ini adalah uji organoleptik rating hedonik kepada 30 orang panelis tidak terlatih yaitu mahasiswa terhadap parameter kerenyahan dan penampakan dengan 7 skala penilaian dari sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (7). Form kuesioner uji rating hedonik pada penentuan viskositas acuan dapat dilihat pada Lampiran 1. Penetapan formula yang paling disukai dilakukan menggunakan uji pembobotan. Setelah didapatkan formula yang paling
disukai,
diukur
viskositas
dari
formula
tersebut.
Pengukuran dilakukan dengan alat Brookfield viscometer. Viskositas inilah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam formulasi berikutnya.
33
b. Penentuan Formula-formula Tepung Bumbu Formulasi
tepung
bumbu
dilakukan
dengan
mengidentifikasi bahan-bahan yang digunakan pada tepung bumbu komersial yang ada di pasaran. Bahan-bahan yang digunakan antara lain tepung terigu, tepung beras, tapioka dan maizena. Tepung terigu sama sekali tidak digunakan dalam formulasi ini dan digantikan dengan tepung jagung, kemudian dilakukan trial and error. Trial and error dilakukan hingga didapatkan formula tepung bumbu yang teksturnya tidak keras setelah didinginkan lebih dari 30 menit. Tepung lain yang digunakan adalah tepung beras, tapioka dan tepung ketan. Jumlah tepung jagung, tepung beras, tapioka dan tepung ketan ditetapkan sebagai variabel bebas, sedangkan bahan lainnya yaitu garam, MSG dan soda kue dianggap sebagai variabel tetap. Tepung jagung yang digunakan adalah 40% hingga 70%, tepung ketan yang digunakan adalah 5%, 10% dan 15%, sedangkan sisanya adalah proporsi yang sama untuk tepung beras dan tapioka. Pada tahap formulasi ini, hanya ditambahkan garam, MSG dan soda kue yang jumlahnya secara berurutan adalah 4%, 1% dan 0,2%. Formulasi yang dilakukan dengan bahan baku keempat jenis tepung tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
34
Tabel 8 Formula tepung bumbu per 100 gram tepung Tepung Tepung Tepung Tepung F
jagung
tapioka
beras
ketan
(%)
(%)
(%)
(%)
1
70
12,5
12,5
2
70
10
3
70
4
Garam MSG
Soda kue
Air
(%)
(%)
5
4
1
0,2
185
10
10
4
1
0,2
190
7,5
7,5
15
4
1
0,2
195
60
17,5
17,5
5
4
1
0,2
170
5
60
15
15
10
4
1
0,2
175
6
60
12,5
12,5
15
4
1
0,2
180
7
50
22,5
22,5
5
4
1
0,2
155
8
50
20
20
10
4
1
0,2
160
9
50
17,5
17,5
15
4
1
0,2
165
10
40
27,5
27,5
5
4
1
0,2
140
11
40
25
25
10
4
1
0,2
145
12
40
22,5
22,5
15
4
1
0,2
150
(%)
(ml)
c. Penentuan Formula Terbaik Formula-formula pada Tabel 8 kemudian diaplikasikan pada tempe goreng dan dilakukan uji organoleptik untuk mendapatkan formula terbaik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik. Uji ini dilakukan kepada 25 orang panelis yang terdiri dari 10 orang bukan mahasiswa dan 15 orang mahasiswa terhadap parameter kerenyahan, penampakan dan overall dengan 5 skala dari sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (5). Panelis menilai satu per satu sampel yang diberikan kepada mereka secara terpisah. Form kuesioner uji hedonik untuk penentuan formula terbaik terdapat pada Lampiran 2. d. Penambahan Bumbu pada Formula Terbaik Formula yang terpilih kemudian ditambahkan dengan bumbu-bumbu sebagai berikut: lada bubuk, bawang merah bubuk, 35
bawang putih bubuk, ketumbar bubuk, garam yang jumlahnya ditentukan dari hasil trial and error. Bumbu-bumbu yang digunakan sebelumnya ada yang dibuat terlebih dahulu, namun ada juga yang telah terdapat di pasaran. Bubuk bawang merah dan bawang putih dibuat dengan cara memotong-motong bawang, kemudian memasukkannya ke dalam larutan Na-bisulfit 0,2% selama 20 menit lalu ditiriskan. Tapioka sebanyak 5% dari berat bawang ditambahkan ke atas bawang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering 70oC selama 3,5 jam. Bawang yang telah kering kemudian diblender sampai halus (Hambali et al. 2005).
Ketumbar bubuk dibuat
dengan cara menggiling halus atau memblender ketumbar yang diperoleh dari pasar sampai halus. Merica bubuk, MSG dan garam yang digunakan diperoleh dari pasar. Jumlah bumbu yang ditambahkan pada formula terpilih tepung bumbu dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah bumbu yang ditambahkan per 100 gram jumlah tepung Jenis bumbu
Jumlah (%)
Bubuk bawang putih
3
Bubuk bawang merah
0,5
Merica bubuk
1
Ketumbar bubuk
1
Garam
5
MSG
1
Formula yang telah ditambah bumbu kemudian diuji organoleptik kembali untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap formula yang ditambah bumbu. Uji yang dilakukan adalah uji rating hedonik secara overall. Uji rating hedonik dilakukan kepada 25 panelis yang sama dengan panelis 36
sebelumnya terhadap parameter overall, yaitu terdiri atas 10 orang bukan mahasiswa dan 15 orang mahasiswa. Form kuesioner uji rating hedonik terhadap formula tepung tepilih yang ditambah bumbu ini dapat dilihat pada Lampiran 3. e. Analisis Formula Terpilih Analisis yang dilakukan terhadap formula terpilih dalam bentuk tepung meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat by difference), kadar serat kasar, kadar pati, kadar amilosa dan amilopektin, serta analisis fisik yang meliputi pengukuran warna, densitas kamba dan sifat amilograf. 3. Penentuan Umur Simpan Formula tepung yang terpilih ditentukan umur simpannya menggunakan pendekatan kadar air kritis metode Labuza (Labuza 1982). Tahapan analisis metode ini meliputi : penentuan kadar air kritis, penentuan kadar air kesetimbangan, penentuan kurva sorpsi isothermis, penentuan model sorpsi isothermis, uji ketepatan model, penentuan kemiringan kurva (slope) dan pendugaan umur simpan menggunakan rumus Labuza (Labuza 1982). a. Penentuan Kadar Air Kritis (Spiess dan Wolf 1987) Penentuan kadar air kritis ini dilakukan dengan menyimpan sampel tepung bumbu terpilih sebanyak ± 3 gram dalam cawan aluminium.
Sampel
diatur
sedemikian
rupa
sehingga
permukaannya rata dan tidak terlalu tebal atau menumpuk. Sampel dimasukkan ke dalam chamber yang berisi larutan garam jenuh yang memiliki RH tertinggi yaitu K2SO4 (Gambar 5) pada suhu 30oC, kemudian dilakukan uji rating hedonik terhadap penggumpalan atau daya mawur dari sampel tersebut setiap 6 jam sampai 24 jam. Uji rating hedonik pada penentuan kadar air kritis ini menggunakan tujuh skala dari sangat tidak suka (1) sampai
37
sangat suka (7). Form kuesioner untuk penentuan kadar air kritis ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Jika sampel tidak dapat diterima lagi oleh panelis atau penilaiannya mencapai angka 3 (agak tidak suka) karena penampakannya sudah menggumpal, maka dikatakan bahwa tepung telah mencapai kadar air kritisnya.
Gambar 5 Chamber yang berisi larutan garam jenuh K2SO4 untuk kadar air kritis b. Penentuan Kurva Sorpsi Isothermis (Spiess dan Wolf 1987) Penentuan
kurva
sorpsi
isothermis
diawali
dengan
penentuan kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan ditentukan dengan cara mengkondisikan sampel dalam beberapa larutan garam jenuh mulai dari LiCl yang memberikan RH 11,13% hingga K2SO4 yang memberikan RH 97%. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan aluminium kemudian disimpan pada masing-masing desikator yang berisi larutan garam jenuh, kemudian diletakkan dalam inkubator dengan suhu 30oC. Berbagai macam larutan garam jenuh yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan contoh chamber yang digunakan untuk larutan garam jenuh dapat dilihat pada Gambar 6.
38
Tabel 10 Jenis dan RH larutan garam jenuh yang digunakan Jenis garam
RH larutan garam jenuh (%)
LiCl
11,3
MgCl2
32,4
K2CO3
43,2
NaBr
56,0
NaCl
75,1
KCl
83,6
BaCl2
89,7
K2SO4
97,1
Sumber : Spiess and Wolf (1987)
Gambar 6 Contoh chamber larutan garam jenuh Selama penyimpanan dilakukan penimbangan berat sampel per hari hingga tercapai berat konstan atau setimbang yang ditandai dengan selisih antara 3 penimbangan berturut-turut ≤ 2mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan ≤ 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Lievonen dan Ross 2002, diacu dalam Adawiyah 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven biasa dan dinyatakan dalam basis kering. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu.
39
Kurva sorpsi isotermis kemudian dibuat setelah didapatkan kadar air kesetimbangan dari tepung bumbu terpilih pada masing-masing RH. Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan nilai aw atau kelembaban relatif (sumbu x) dengan kadar air kesetimbangan (sumbu y) (Kusnandar 2006). c. Penentuan Model Sorpsi Isothermis (Spiess dan Wolf 1987) Kurva sorpsi isotermis yang dihasilkan juga dibuat dalam bentuk model lainnya yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Oswin dan Caurie. Persamaan yang dipilih dalam menentukan
model
sorpsi
isothermis
adalah
persamaan-
persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan, mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga serta dapat digunakan pada jangkauan relatif yang lebar (0-90%) sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isothermis (Labuza 1968). Persamaan-persamaan non linear yang digunakan dibuat dalam bentuk persamaan linear sehingga dapat ditentukan nilai tetapannya atau konstantanya dengan metode kuadrat terkecil (Walpole 1995, diacu dalam Kurniawan 2003). Modifikasi model-model sorpsi isothermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear adalah sebagai berikut : 1. Persamaan Hasley !
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum : y = a + bx Log [ ln(1/aw)] = log P(1)-log P(2) Dimana : y = log[ln(1/aw)] a = log P(1)
x = log Me b = -P(2)
40
2. Persamaan Chen-Clayton ! Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum : y = a + bx Ln[ln(1/aw)]=ln P(1)-P(2) Me Dimana : y = ln[ln(1/aw)]
x = Me
a = ln P(1)
b = -P(2)
3. Persamaan Henderson 1 – aw = exp [- KMen] Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum : y = a + bx Log [ln(1/(1-aw))] = log K + nlogMe Dimana : y = Log [ln(1/(1-aw))]
x = log Me
a = log K
b=n
4. Persamaan Caurie Ln Me = ln P(1) – P(2)aw Dimana : y = ln Me A = ln P(1)
x = aw b = -P(2)
5. Persamaan Oswin !
41
Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum : y = a + bx Ln Me = ln P(1) + P(2) ln [aw/(1-aw)] Dimana : y = ln Me
x = ln[aw/(1-aw)]
a = ln P(1)
b = P(2)
d. Uji Ketepatan Model (Isse et al. 1983) Uji ketepatan model atau MRD (Mean Relative Determination) dilakukan untuk menguji ketepatan suatu persamaan sorpsi isothermis. Rumus MRD adalah sebagai berikut : "#
Dimana : mi
$$
= kadar air hasil percobaan
mpi
= kadar air hasil perhitungan
n
= jumlah data
Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isothermis itu dapat
menggambarkan
keadaan
yang
sebenarnya,
jika
5<MRD<10, maka model tersebut agak tepat dan jika MRD>10
maka
model
tersebut
tidak
tepat
untuk
menggambarkan sorpsi isothermis yang sebenarnya. e. Penentuan Kemiringan Kurva (slope) atau Nilai b Penentuan kemiringan kurva (slope) atau nilai b dilakukan dengan membuat regresi linear dari kurva model sorpsi isothermis yang terpilih. Regresi linear ini dibuat dari titik kadar air awal sampai titik kadar air kritis. Nilai kemiringan kurva ditentukan dari persamaan regresi yang dihasilkan.
42
f.
Pendugaan Umur Simpan Umur simpan hingga produk mencapai kadar air kritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (1982):
Dimana : ts
= waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar
air awal menuju kadar air
kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari) Me
= kadar air kesetimbangan produk (%bk)
Mi
= kadar air awal produk (%bk)
Mc
= kadar air kritis produk (%bk)
k/x
= konstanta
permeabilitas
uap
air
kemasan
2
(g/m .hari.mmHg) A
= luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= berat kering produk dalam kemasan (g)
b
= slope kurva sorpsi isothermis
Po
= tekanan uap jenuh (mmHg)
D. Metode Analisis 1. Analisis Kimia a.
Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 43
menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0,0003 gram). Kadar air dihitung dengan persamaan: (
%& &'
( (
%& &'
$$'
$$'
Keterangan : x = bobot sampel awal (g) y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan a = bobot cawan kosong b. Kadar Abu (AOAC 1995) Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3 gram ditimbang dalam cawan tersebut. Sampel yang ada dalam cawan dibakar dulu pada pembakar sampai asapnya habis, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar dalam tanur pada suhu 550oC sampai didapatkan abu berwarna putih. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Kadar abu dihitung dengan persamaan:
%& ) '
%& ) '
)* * %& ) ' $$ % & &'
$$'
$$'
c. Kadar Protein Metode Kjedahl-mikro (AOAC 1995) Sampel sejumlah 200 mg ditimbang di dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1,0 ± 0,1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2,0 ± 0,1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Sampel kemudian dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi
44
jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan satu bagian metilen biru 0,2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 50 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air. Selanjutnya isi erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. Kadar protein dihitung dengan persamaan:
' + &*
,*
%& &
'
%& &
'
+ ,1
' + &*
2
./$$0
&
%& & ' $$ % & &'
$$'
3& $$'
Keterangan : Faktor konversi = 6,25 untuk tepung jagung dan tepung bumbu d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 2 gram dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujungujungnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam alat lalu sampel 45
direfluks selama 6 jam. Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh berat tetap. Labu lemak kemudian dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan
dan ditimbang. Kadar
lemak dihitung dengan menggunakan persamaan:
%&
%&
!
'
$$'
%& ' $$ % & &'
'
$$'
Keterangan : W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat lemak (g) e. Kadar Karbohidrat by difference (AOAC 1995) Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference yaitu dihitung dengan menggunakan persamaan : % & & 1%& '
$$' +
% & & 1%& '
%& &
%& &
%&
$$' %&
%& ) %& &
'
%& ) '
'
f. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997) Pembuatan larutan Luff Schoorl Air sebanyak 1 ml dicampurkan dengan 2,5 gram CuSO4.5H2O lalu diaduk. Larutan ini disebut larutan A. Air sebanyak 5 ml dicampurkan dengan 5 gram asam asetat. Larutan ini disebut larutan B. Air mendidih sebanyak 40 ml dicampurkan dengan 38,8 gram soda murni (Na2CO3.10H2O). Larutan ini disebut larutan C. Larutan A dan B kemudian dicampurkan ke dalam larutan C (sambil digoyang-
46
goyang), lalu didinginkan. Larutan tersebut kemudian ditera di dalam labu takar 100 ml. Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 N Sebanyak 12,5 gram Na2S2O3.5H2O dicampurkan dengan 0,15 gram Na2CO3 dalam labu takar 500 ml lalu ditera. Titrat dibuat dengan cara melarutkan 20 mg KIO3 dalam 10 ml akuades lalu ditambahkan larutan KI 20% sebanyak 10 ml dan HCl 2N sebanyak 10 ml, kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 yang telah dibuat sebelumnya. Titrasi dilakukan sampai titrat berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan indikator pati sebanyak 5 tetes, kemudian titrasi dilanjutkan sampai warna biru menghilang. Perhitungan normalitas larutan Na2CO3 adalah sebagai berikut: + + !4!56
* 756 $/$6890 + !4!56
Pengukuran sampel Sebanyak 0,2 gram sampel ditimbang dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambah 40 ml akuades dan 10 ml HCl 25%, lalu dipanaskan di atas penangas air mendidih selama 2 jam kemudian didinginkan secara cepat. Sampel diberi indikator PP sebanyak 3 tetes, ditambahkan NaOH 45% sampai larutan berwarna pink, kemudian sampel dimasukkan dalam labu takar 100 ml lalu ditera. Sampel kemudian disaring dan diambil filtratnya sebanyak 5 ml ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan akuades sebanyak 5 ml dan 5 ml larutan Luff-Schoorl. Blanko juga dibuat dengan cara yang sama menggunakan akudes sebanyak 5 ml. Erlenmeyer yang berisi sampel kemudian diletakkan pada pendingin balik, dididihkan selama 10 menit, kemudian didinginkan secara cepat. Sampel kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 26,5%, 3 ml KI 20%, dan 2-3 tetes indikator pati. Sampel kemudian dititrasi dengan Na-thiosulfat 0,1 N yang telah distandarisasi (sampai berwarna putih). Penetapan bobot glukosa dilakukan dengan membandingkan volume Na-thiosulfat yang diperlukan dengan tabel Luff Schrool (Lampiran 5). Kadar pati dihitung dengan menggunakan persamaan: 47
Kadar gula (%) = bobot glukosa x FP x 100% bobot sampel Kadar pati (%bb) = kadar gula x 0,9
%&
%& ' $$ % & & '
'
$$'
g. Kadar Amilosa (Apriyantono et al. 1989) Pembuatan kurva standar Amilosa murni sebanyak
40 mg ditimbang, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Sampel kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama lebih kurang 10 menit sampai semua bahan membentuk
gel,
setelah
itu
didinginkan.
Seluruh
campuran
dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, lalu ditepatkan sampai tanda tera dengan air. Larutan tersebut kemudian dipipet masing-masing 1, 2, 3, 4 dan 5 ml lalu dimasukkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan asam asetat 1N masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml, lalu ditambahkan masing-masing 2 ml larutan Iod. Masing-masing campuran ditepatkan dalam labu takar sampai tanda tera dengan akuades, kemudian dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat dengan memplotkan antara konsentrasi amilosa vs absorbansi. Pengukuran sampel Sampel sebanyak kurang lebih 100 mg dalam bentuk tepung ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Sampel kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit, lalu dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, dikocok, ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan tersebut kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan Iod kemudian ditepatkan sampai tanda tera 48
dengan air, dikocok, didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dalam sampel dihitung dengan menggunakan rumus : %&
%&
-
'
'
:
%& ' $$ % & &'
$$
$$'
Dimana : C
= konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml)
V
= volume akhir contoh (ml)
FP
= faktor pengenceran
W
= berat contoh (mg)
h. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al. 1989) Sebanyak 2 gram sampel tepung ditimbang dan lemaknya yang terkandung di dalamnya diekstrak dengan menggunakan Soxhlet dengan pelarut petroleum eter lalu sampel yang sudah bebas lemak tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml, lalu ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Erlenmeyer tersebut kemudian diletakkan ke dalam pendingin balik dalam keadaan yang tertutup dan dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit dan sesekali digoyang-goyangkan. Setelah selesai, suspensi tersebut disaring dan residu yang tertinggal dicuci dengan air mendidih. Pencucian dilakukan hingga air cucian tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu kemudian dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer kembali yang dapat dilakukan dengan spatula. Pencucian sisa residu di kertas saring kembali dilakukan dengan menggunakan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu 49
masuk ke dalam erlenmeyer dan dididihkan kembali sampel tersebut selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyanggoyangkan, lalu dilakukan penyaringan kembali sampel tersebut dengan menggunakan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Residu di kertas saring dicuci kembali dengan air mendidih, kemudian dengan alkohol 95%. Setelah itu, kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven 105oC sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah didinginkan dalam desikator sampel ditimbang. Kadar serat kasar dihitung dengan persamaan :
%& &
%& &
!
&'
&'
$$
%& & &' $$ % & & '
$$'
Keterangan: W2
= berat residu dan kertas saring yang telah dikeringkan (g)
W1
= berat kertas saring (g)
W
= berat contoh yang dianalisis (g)
2. Analisis Fisik a. Rendemen (Wirakartakusumah et al. 1989) Rendemen dapat dihitung berdasarkan perbandingan berat bahan yang dihasilkan dengan berat bahan dasar mula-mula (sebelum diolah). '" %
&
1 ( * %1 & 1 % &
$$'
b. Densitas kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a g) kemudian sampel
50
dimasukan dalam gelas ukur 50 ml sampai tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b g). Densitas kamba dihitung berdasarkan rumus: *
#
8$
c. Warna Metode Lab Hunter (Chromameter) Sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih. Sampel diratakan sampai semua permukaan tertutup sampel. Pengukuran dilakukan pada dua posisi yang berbeda dan dua kali untuk tiap sampel
menggunakan
Chromameter
Minolta.
Pengukuran
menghasilkan nilai untuk parameter Y, x, y, L, a, b, Hueo, dan C. dalam pengukuran ini dipakai parameter sistem Hunter L, a, b. L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100). Parameter a menunjukkan campuran merah hijau (a + = 0-100 untuk warna merah dan a - =0-(-80) untuk warna hijau). Parameter b menunjukkan campuran warna biru kuning (b + = 0-70 untuk warna kuning dan b = 0-(-70) untuk warna biru. d. Sifat Amilograf (Faridah et al. 2008) Sampel sebanyak 45 gram dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml air ditambah dengan 400 ml air akuades, diaduk selama 5 menit dengan pengaduk, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat. Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 50 ml akuades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf. Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm, sambil suhunya dinaikkan mulai dari 30oC sampai 95oC dengan kenaikan 1,5oC, lalu ditahan pada suhu tersebut selama 20 menit, kemudian diturunkan suhunya sampai 50oC dengan laju penurunan yang sama, lalu ditahan pada suhu tersebut selama 20 menit. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas 51
grafik dalam satuan Brabender Unit (BU). Gambar 7 menunjukkan alat Brabender amylograph. Grafik atau amilogram yang diperoleh (Gambar 8) dapat diinterpretasikan dengan menghitung parameter sebagai berikut : 1. Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik 2. Suhu pada puncak gelatinisasi = suhu pada saat viskositas maksimum dicapai (kurva mencapai puncak). Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut : Suhu awal + (waktu dalam menit x 1,5 oC/menit) 3. Viskositas
maksimum
=
viskositas
pada
puncak
gelatinisasi (dinyatakan dalam Brabender Unit atau BU) 4. Setback viscosity = viskositas pada suhu 50oC setelah 20 menit – viskositas pada suhu 95oC setelah 20 menit (Bussie et al. 2007).
Gambar 7 Alat Brabender amylograph
52
Gambar 8 Contoh amilogram dari suspensi pati yang diukur dengan Brabender amylograph (Faridah et al. 2008) e. Viskositas (Faridah et al. 2008) Pengukuran
viskositas
dilakukan
dengan
menggunakan
Brookfield viscometer (Gambar 9). Sebelum digunakan, Brookfield viscometer harus distandardisasi terlebih dahulu. Tahap pertama standardisasi adalah memilih nomor (jenis) rotor dan menentukan kecepatan putaran (rpm) rotor tersebut. Semakin kental larutan, maka semakin besar nomor rotor dan kecepatan rotor yang harus dipilih. Nomor rotor yang digunakan pada penelitian ini adalah rotor nomor 2 (Gambar 10) dan kecepatan yang dipilih adalah 60 rpm. Sampel sebanyak 80 ml dimasukkan ke dalam wadah sampel. Rotor kemudian dicelupkan dengan kedalaman kurang lebih tiga perempat dari permukaan sampel yang telah dimasukkan ke dalam wadah contoh. Pengukuran dilakukan selama 20 detik hingga diperoleh pembacaan jarum pada posisi yang stabil. Angka hasil pembacaan selanjutnya harus dikonversikan dengan faktor konversi yang telah ditetapkan.
53
Gambar 9 Alat Brookfield viscometer
Gambar 10 Rotor Brookfield viscometer nomor 2 f. Uji Organoleptik (Meilgaard et al. 1999) 1. Uji Rating Hedonik Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang diuji. Pengujian dilakukan terhadap 25 orang panelis tidak terlatih yang terdiri dari 15 orang mahasiswa dan 10 orang bukan mahasiswa. Parameter uji pada uji hedonik adalah penampakan, tekstur (kerenyahan) dan overall (keseluruhan). Terdapat dua skala hedonik yang digunakan untuk uji rating pada penelitian ini yaitu skala 5 untuk penentuan formula terbaik dan uji hedonik formula yang ditambah bumbu, dan skala 7 untuk penentuan viskositas acuan. Skala 5 dan 7 mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1)
54
sampai dengan sangat suka (skala numerik = 5 atau 7). Data dari uji hedonik diolah secara statistik dengan menggunakan analisis ragam Anova-Duncan (Meilgaard et al. 1999). 2. Uji pembobotan Uji pembobotan bertujuan untuk menentukan produk terpilih. Uji ini dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan suatu atribut sensori yang ada dalam suatu produk pangan. Atribut yang diperhatikan pada penelitian ini meliputi kerenyahan dan penampakan. Terhadap 30 orang panelis dilakukan polling untuk melihat tingkat kepentingan dalam suatu produk gorengan. Atribut sensori yang sangat penting terdapat dalam produk gorengan diberi nilai 4, penting (3), tidak penting (2), dan yang sangat tidak penting diberi nilai 1. Form polling untuk uji pembobotan ini disatukan dengan form kuesioner untuk penentuan viskositas acuan (Lampiran 1). Nilai-nilai tersebut kemudian dikalkulasikan dan dihitung persentasenya. Skor yang diperoleh dari hasil uji organoleptik dikalikan dengan persentase pembobotan untuk masing-masing atribut sensori. Nilai terbobot = skor uji hedonik x persentase pembobotan
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tahap Persiapan Bahan Tahap persiapan bahan terdiri dari tahap pembuatan tepung jagung dan karakterisasi tepung jagung yang dihasilkan. Karakterisasi tepung jagung meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat by difference), analisis kadar pati, amilosa dan amilopektin serta kadar serat kasar. Analisis fisik yang dilakukan antara lain rendemen, pengukuran warna, densitas kamba dan sifat amilograf dari tepung jagung. 1. Pembuatan Tepung Jagung Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung jagung sebagai bahan baku utama dari tepung bumbu. Jagung yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung dengan varietas BPPT-IPB 1. Jagung yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Jagung tongkol Pembuatan tepung jagung ini menggunakan metode penggilingan kering. Proses ini diawali dengan memipil jagung dari tongkolnya secara manual. Jagung tongkol yang dipipil mencapai 65,20 kg. Jagung pipil yang dihasilkan mencapai 51,40 kg sehingga rendemen jagung pipil dari jagung tongkol adalah sebesar 78,80%. Tongkol jagung yang dihasilkan dari pemipilan memiliki rendemen sebesar 17,70%. Rendemen pemipilan jagung dapat dilihat pada Tabel 11.
56
Tabel 11 Rendemen pemipilan jagung Jenis Jagung tongkol Jagung pipil Tongkol jagung
Berat (kg) 65,20 51,40 11,55
Rendemen (%) 78,80 17,70
Jagung pipil yang dihasilkan kemudian direndam selama 20 menit dengan tujuan untuk membuat endosperma jagung pipil tersebut tidak terlalu keras atau melunak sehingga mempermudah proses pelepasan kulit ari dan juga proses penggilingan kasar (Hoseney 1998). Selain itu, perendaman (Gambar 12) bertujuan untuk membersihkan jagung pipil dari kotoran yang mengkontaminasi. Kulit ari harus dilepaskan dari jagung pipil karena memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pelepasan tip cap dilakukan karena dapat menimbulkan butir-butir hitam pada tepung. Jagung yang telah dimasukkan ke dalam polisher disebut jagung sosoh. Proses ini menghasilkan rendemen jagung sosoh sebesar 76% dan kulit ari sebesar 24%.
Gambar 12 Perendaman jagung Jagung sosoh kemudian dimasukkan ke dalam disc mill tanpa saringan untuk pengecilan ukuran. Proses ini disebut penggilingan pertama. Pada penggilingan pertama ini dihasilkan beras jagung dimana bagian lembaga, kulit, dan tip cap terpisah dari bagian endosperm. Rendemen beras jagung yang dihasilkan dari penggilingan kasar ini
57
sebesar 72% dan kemudian dilakukan pemisahan perikarp dan germ melalui proses pencucian dan perendaman. Germ atau lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya, sehingga pemisahan germ ini bertujuan untuk mengurangi kadar lemak dari tepung jagung yang nantinya dapat memengaruhi penyimpanan dari tepung jagung. Kadar lemak berperan penting dalam ketahanan tepung terhadap ketengikan akibat oksidasi. Pencucian akan membersihkan beras jagung dari kotoran yang akan mengkontaminasi, sedangkan perendaman akan membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan air. Hal ini disebabkan di dalam lembaga banyak terdapat kandungan lemak yang mempunyai massa jenis yang lebih kecil daripada air. Proses pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan dibuang tidak terendam di dalam tumpukan beras jagung. Pencucian dan perendaman ini dilakukan kurang lebih selama 1 jam. Rendemen perikarp dan germ pada proses ini adalah sebesar 11%. Beras jagung yang telah dipisahkan dari perikarp dan germ kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering pada suhu 60oC selama 2 jam. Rendemen beras jagung kering yang dihasilkan dari proses ini sebesar 58%. Beras jagung kering kemudian dimasukkan ke dalam disc mill dengan menggunakan saringan untuk dilakukan penggilingan kedua. Hasil dari penggilingan kedua adalah tepung jagung, tetapi masih terdapat tepung kasar yang belum terpisahkan berdasarkan ukurannya. Rendemen tepung jagung yang dihasilkan sebesar 54%. Tepung jagung ini kemudian dikeringkan dengan oven pengering 60oC selama 3 jam untuk mengurangi kandungan air yang dapat menyebabkan kerusakan. Proses pengeringan ini mengurangi rendemen tepung jagung sebesar 2% menjadi 52%. Hal ini disebabkan karena terjadinya pelepasan air yang menurunkan bobot dari tepung jagung dan adanya sisa tepung jagung yang masih tertinggal pada alat.
58
Tepung kasar dipisahkan dengan tepung halus melalui proses pengayakan. Fungsi dari pengayakan yaitu untuk menghomogenkan ukuran dari tepung jagung yang diinginkan. Proses pengayakan dilakukan selama kurang lebih 1 jam dan menghasilkan rendemen sebesar 31% dari keseluruhan jagung pipil atau sekitar 15 kg, sedangkan sisanya yaitu berupa tepung kasar (tidak lolos ayakan 120 mesh) sebesar 21%. Data hasil pembuatan tepung jagung dari 10 kg jagung pipil dapat dilihat pada Tabel 12 dan tepung jagung yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13. Tabel 12 Hasil pembuatan tepung jagung dari 10 kg jagung pipil Jenis Jagung pipil Beras jagung Tepung jagung kasar Tepung jagung 120 mesh
Berat (kg) 10,00 7,26 5,34 3,08
Gambar 13 Tepung jagung 120 mesh Pembuatan tepung jagung 120 mesh ini masih menghasilkan rendemen yang kecil (31%). Hal ini disebabkan karena banyaknya bagian tepung yang tidak lolos ayakan 120 mesh dan juga banyak tepung jagung yang tertinggal di alat. Bagian tepung yang tidak lolos ayakan 120 mesh merupakan bagian endosperma jagung yang keras (horny endosperm). Pada saat penggilingan, bagian ini tidak dapat tergiling hingga halus dalam sekali penggilingan sehingga tidak dapat lolos ayakan 120 mesh. Oleh
59
karena itu dibutuhkan penggilingan berulang agar didapatkan rendemen yang lebih besar. Cara lain untuk meningkatkan rendemen dari tepung jagung ini adalah dengan waktu perendaman yang lebih lama. Perendaman pada jagung berfungsi untuk melunakan bagian endosperma, sehingga apabila dilakukan perendaman yang lebih lama, akan menghasilkan endosperma yang lebih lunak dan mudah digiling. Neraca massa dari pembuatan tepung jagung ini dapat dilihat pada Lampiran 6. 2. Karakteristik Tepung Jagung a. Komposisi Kimia Tepung Jagung Sifat kimia tepung jagung yang diuji antara lain kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat by difference, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin serta kadar serat kasar. Komposisi kimia dari tepung jagung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 13, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 13 Komposisi kimia tepung jagung Kandungan
%bb
%bk
Air
7,45
8,06
Abu
0,13
0,14
Lemak
2,38
2,57
Protein
6,67
7,24
Karbohidrat
83,37
90,05
Pati
59,39
64,17
Amilosa
27,90
30,14
Amilopektin
31,49
34,03
Serat kasar
0,88
0,95
1) Kadar Air Air merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam bahan pangan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut
60
menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Kadar air yang tinggi akan mengurangi daya tahan bahan sehingga
mengurangi
umur
simpannya.
Air
juga
dapat
memengaruhi tekstur, penampakan dan cita rasa makanan. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 1992). Kadar air tepung jagung yang dihasilkan sebesar 7,45 %bb. Nilai kadar air tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01-3727-1995 (BSN 1995) untuk tepung jagung yaitu maksimal 10 %bb. Nilai kadar air yang rendah pada tepung jagung disebabkan karena adanya proses pengeringan dalam proses pembuatannya. Pengeringan pada tepung dapat mengurangi kadar air tepung sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. 2) Kadar Abu Pengukuran kadar abu dilakukan untuk mengetahui banyaknya mineral yang terkandung di dalam suatu bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar
selama
proses
pembakaran.
Kadar
abu
sangat
dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan, dan lain-lain. Secara kuantitatif, kadar abu yang terdapat dalam suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Menurut Nielsen (2003), kadar abu tepung-tepungan bervariasi antara 0,30-1,40 %bb. Semakin besar kadar abu suatu bahan pangan, semakin besar pula kandungan mineral yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar abu dari tepung jagung yang
61
dihasilkan sangat rendah yaitu 0,13 %bb. Nilai tersebut memenuhi persyaratan SNI 01-3727-1995 (BSN 1995) yang menetapkan kadar abu tepung jagung maksimal sebesar 1,50 %bb. Menurut Watson (2003), bagian biji jagung yang memiliki banyak kandungan abu adalah bagian lembaga. Adanya pemisahan bagian lembaga pada proses pembuatan tepung jagung, menyebabkan nilai kadar abu pada tepung jagung yang dihasilkan rendah. Selain itu, bagian tip cap dan pericarp juga mengandung mineral, penghilangan bagian ini juga menyebabkan nilai kadar abu yang rendah pada tepung jagung yang dihasilkan. 3) Kadar Lemak Analisa kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet dimana kadar lemak yang dianalisa merupakan kadar lemak kasar yaitu tidak hanya lemak yang terekstrak oleh pelarut organik tetapi juga lilin, fosfolipid, sterol, hormon, minyak atsiri, pigmen, dan juga vitamin yang larut lemak (Ketaren 1986). Jumlah lemak di dalam suatu bahan juga ikut memengaruhi penyimpanannya. Kadar lemak yang tinggi pada tepung jagung yang disimpan pada waktu yang cukup lama akan menyebabkan penurunan mutu akibat adanya oksidasi lemak yang menyebabkan ketengikan pada tepung jagung tersebut (Syarief dan Halid 1993). Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar lemak tepung jagung yang dihasilkan sebesar 2,38 %bb. Kandungan lemak yang rendah ini disebabkan karena adanya proses pemisahan bagian lembaga pada proses pembuatan tepung jagung. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak, sehingga jika lembaga tidak dipisahkan, nantinya akan menghasilkan tepung
jagung
yang
tinggi
kandungan
lemaknya
dan
menyebabkan tepung jagung tersebut cepat tengik.
62
4) Kadar Protein Analisis kadar protein pada tepung jagung yang dihasilkan menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total yang ada di dalam bahan. Analisis protein ini berperan dalam menentukan aktivitas biologis, mengetahui sifat fungsional dalam suatu bahan pangan, serta berperan penting dalam menentukan pelabelan. Selain itu, protein
juga
berperan
penting
dalam
menentukan
sifat
organoleptik dari suatu bahan pangan juga memengaruhi teksturnya (Pomeranz dan Meloan 2000). Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Kadar protein dari tepung jagung yang dihasilkan dalam penelitian ini sebesar 6,67 %bb. Kadar protein dalam tepung bukan merupakan syarat mutu tepung menurut SNI, namun keberadaannya dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18% dan paling banyak terkandung pada bagian lembaga. Pemisahan bagian lembaga pada proses pembuatan tepung jagung juga menyebabkan berkurangnya kandungan protein. Selain itu, bagian endosperma yang mengandung kadar protein paling banyak adalah pada bagian endosperma keras (horny endosperm). Bagian ini merupakan bagian yang tidak lolos ayakan 120 mesh. Hal inilah yang menyebabkan kadar protein pada tepung jagung yang dihasilkan menjadi rendah. 5) Kadar Karbohidrat Kadar
karbohidrat
dihitung
dengan
menggunakan
perhitungan by difference, artinya kandungan tersebut diperoleh dari hasil pengurangan angka 100 dengan persentase komponen lain (air, abu, lemak, dan protein). Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa
63
maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pectin, selulosa, dan lignin. Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam
menentukan
karakteristik
bahan
makanan,
misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain (Winarno 1992). Kadar karbohidrat dalam tepung jagung yang dihasilkan sebesar 83,37 %bb. Nilai tersebut merupakan hasil selisih dari seluruh jumlah komponen bahan pangan kecuali serat kasar. 6) Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan αglukosidik. Pati beserta komponennya yaitu amilosa dan amilopektin merupakan bagian dari karbohidrat dimana selain pati terdapat komponen polisakarida lainnya seperti hemiselulosa, pentosan, selulosa, β-glukan, dan glukofruktan (Belitz dan Grosch 1999).
Komposisi
pati
merupakan
faktor
penting
yang
menentukan tekstur dan karakteristik dari produk yang dihasilkan. Kadar pati yang terdapat pada tepung jagung yang dihasilkan sebesar 59,39 %bb. Pati tersusun dari dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa sangat berperan dalam proses gelatinisasi dan jumlah amilosa yang cukup tinggi dalam granula pati dapat meningkatkan karakteristik pasta pati. Kandungan amilosa dalam pati juga dapat meningkatkan daya serap air (WAC), menurunkan tingkat kelarutan dan swelling volume tepung. Kadar amilosa dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 27,90 %bb. Kadar amilosa dari tepung jagung ini jauh lebih tinggi dibandingkan kadar amilosa dari tepung bumbu komersial (Lampiran 8). Kadar amilosa yang tinggi memengaruhi sifat amilograf dari tepung jagung. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang besar untuk gelatinisasi.
64
Menurut Ediati et al. (2006), pemilihan pati sebagai bahan baku produk goreng pada umumnya didasarkan pada komposisi amilosa-amilopektinnya. Komposisi amilosa-amilopektin setiap pati
berbeda-beda
dan
menentukan
perbedaan
sifat
pengembangannya. Selain itu, amilosa juga berperan dalam penyerapan minyak selama penggorengan. Tepung yang kaya akan amilosa dapat digunakan untuk mengurangi penyerapan minyak karena kemampuannya dalam membentuk film (Huang dan Rooney 2001). Kadar amilopektin diperoleh dari hasil selisih antara kadar pati dan kadar amilosa. Kandungan amilopektin yang tinggi dapat menyebabkan suspensi pati membutuhkan waktu yang lama untuk beretrogradasi dibandingkan dengan suspensi pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi (Eliasson 2006). Kadar amilopektin dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 31,49 %bb. 7) Kadar Serat Kasar Serat kasar ditentukan dari residu setelah bahan pangan diperlakukan dengan asam dan basa kuat. Penentuan kadar serat kasar ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil penggilingan dan pemisahan bagian kulit dari endosperma pada proses penepungan jagung (Pomeranz dan Meloan 2000). Kadar serat kasar dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 0,88 %bb. Angka ini memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam SNI tepung jagung, yaitu maksimal 1,5 %bb. Menurut Watson (2003), bagian biji jagung yang tinggi akan serat adalah bagian kulit (pericarp) dan tip cap. Adanya pemisahan bagian tersebut dalam proses pembuatan tepung jagung menyebabkan rendahnya kadar serat kasar dalam tepung jagung.
65
b. Sifat Fisik Analisis fisik yang dilakukan antara lain pengukuran warna, densitas kamba, dan sifat amilograf tepung jagung. 1) Warna Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter dengan metode Hunter yang memberikan tiga nilai pengukuran yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur, maka nilai L akan semakin mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel, nilai L akan mendekati 0. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Bila a bernilai positif, sampel cenderung berwarna merah. Sebaliknya, bila a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru. Bila b bernilai positif, sampel cenderung berwarna kuning dan bila bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna biru (Hutching 1999). Hasil pengukuran warna tepung jagung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil pengukuran warna tepung jagung Ulangan
L
a
b
I
82,52
0,12
39,48
II
82,52
0,12
39,48
Rata2
82,52
0,12
39,48
Tabel 14 menunjukan bahwa tepung jagung yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan sebesar 82,52 dengan nilai a sebesar 0,12 dan b sebesar 39,48. Tepung jagung yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan yang cukup tinggi, dimana semakin mendekati 100, maka warna tepung jagung
semakin cerah.
Besarnya nilai b yang bertanda positif menunjukkan bahwa tepung 66
jagung tersebut memiliki warna kekuningan. Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada jagung. Xantofil termasuk ke dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung. Kandungan pigmen xantofil yang terdapat dalam jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg (Watson 2003). 2) Densitas Kamba Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik yang penting bagi bahan pangan yang berupa tepungtepungan. Sifat fisik ini berperan penting dalam penyimpanan, transportasi, dan penjualan. Hasil pengukuran densitas kamba yang dilakukan sebesar 0,70 g/ml. Menurut (Kaletunc dan Breslauer 2003), densitas kamba dari tepung jagung berkisar antara 0,5-0,7 g/cm3. Semakin besar densitas kamba, biaya transportasi akan semakin murah karena membutuhkan ruang yang lebih kecil dalam pengangkutan (Riyani 2007). 3) Sifat Amilograf Sifat amilograf ditentukan dengan menggunakan Brabender amylograph. Beberapa sifat amilograf yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, setback viscosity dan viskositas akhir. Karakteristik sifat ini diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung (Muhandri 2007). Hasil pengukuran sifat amilografi dari tepung jagung yang
67
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 15, sedangkan gambar amilogram yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 15 Hasil pengukuran sifat amilograf tepung jagung
Parameter yang diamati Suhu awal gelatinisasi (oC) Waktu awal gelatinisasi (menit) Viskositas maksimum (BU) Suhu puncak gelatinisasi (oC) Viskositas saat 95oC (BU) Viskositas setelah holding 95oC (BU) Viskositas saat 50oC (BU) Viskositas setelah holding 50oC (BU) Setback viscosity (BU)
Nilai 69 26 725 93,75 720 600 1000 1170 570 50oC
95oC
Holding 95oC
Holding 50oC
Gambar 14 Profil gelatinisasi tepung jagung Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini disebabkan karena terjadinya penyerapan air dan pembengkakan granula pati yang irreversible di dalam air pada saat pemanasan, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik
68
pati di dalam granula pati. Suhu awal gelatinisasi merupakan suatu fenomena fisik pati yang kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ukuran molekul amilosa dan amilopektin (Jane et. al. 1999, diacu dalam Charles et. al. 2004). Hasil pengukuran sifat amilograf menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 69oC. Menurut Fennema (1996), suhu awal gelatinisasi pati jagung berkisar antara 60-72oC. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu tersebut, sifat birefringence granula pati jagung mulai menghilang. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut. Menurut Hubeis (1985), suhu gelatinisasi dibagi menjadi suhu gelatinisasi rendah (55-69,5oC), suhu gelatinisasi sedang (7074,5oC) dan suhu gelatinisasi tinggi (>74,5oC). Berdasarkan penggolongan tersebut, suhu gelatinisasi tepung jagung termasuk ke dalam suhu gelatinisasi rendah. Waktu awal gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan adalah sekitar 26 menit. Waktu awal gelatinisasi merupakan saat dimana pati jagung mulai mengalami gelatinisasi. Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini granula pati mulai pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Viskositas maksimum dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU). Viskositas maksimum dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 725 BU. Suhu puncak gelatinisasi merupakan suhu pada saat tercapainya viskositas maksimum hingga selanjutnya pecah. Suhu puncak gelatinisasi ini ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kenaikan kurva mencapai maksimum dikalikan dengan kecepatan kenaikan suhu (1,5oC/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang
69
digunakan pada saat pengukuran (30oC). Suhu puncak gelatinisasi pada tepung jagung yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 93,75oC. Setelah
Brabender
amylograph
mencapai
suhu
95oC
dilakukan holding pada suhu tersebut selama 20 menit. Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam Brabender amylograph dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi, granula
pati
menjadi
rapuh,
pecah
dan
terpotong-potong
membentuk polimer dan agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Viskositas pada saat suhu 95oC dari pasta pati jagung yang dihasilkan sebesar 720 BU, sedangkan setelah dilakukan holding pada 95oC terjadi penurunan viskositas pasta menjadi 600 BU. Pasta pati yang telah mengalami pemanasan 95oC selama 20 menit kemudian diturunkan suhunya hingga mencapai 50oC. Pendinginan pada pasta pati mengakibatkan pasta pati mengalami kenaikan viskositas akibat retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen intermolekuler (Swinkels 1985). Nilai kenaikan viskositas pasta pati pada saat didinginkan ini disebut setback viscosity. Nilai ini ditentukan dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati setelah holding 50oC dengan viskositas setelah holding 95oC. Semakin besar nilai setback viscosity, proses retrogradasi semakin kuat (Bussie et al. 2007). Nilai setback viscosity dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 570 BU. Nilai ini cukup besar, sehingga menunjukan bahwa tepung jagung cenderung mengalami proses retrogradasi ketika didinginkan. Tingginya kecenderungan retrogradasi ini disebabkan karena tingginya amilosa yang terdapat dalam tepung jagung. Retrogradasi pada produk gorengan ditandai dengan peningkatan kekerasan ketika pendinginan, sehingga tingkat retrogradasi yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan cepat mengalami kekerasan dan kering (Eliasson dan
70
Gudmundsson
2006).
Profil
gelatinisasi
tepung
jagung
menunjukkan bahwa kecenderungan retrogradasi ini cukup tinggi bila dibandingkan data profil gelatinisasi pati dari tepung bumbu komersial yang hanya 110 BU (Lampiran 9). Hal inilah yang menyebabkan tepung bumbu dari tepung jagung menjadi keras ketika didinginkan. B. Tahap Formulasi Tepung Bumbu Tahap formulasi ini dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu penentuan viskositas acuan, penentuan formula-formula tepung bumbu, penentuan formula terbaik, dan analisis formula terbaik. 1.
Penentuan Viskositas Acuan Tahap awal formulasi ini dilakukan dengan penentuan viskositas acuan. Proses ini bertujuan untuk menyeragamkan viskositas dari formula tepung bumbu yang dibuat. Viskositas dari tepung bumbu memengaruhi ketebalan coating yang menempel pada tempe, dimana ketebalan bahan juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tekstur produk (Fiszman 2009). Jika ketebalan bahan relatif kecil (tipis), maka produk yang dihasilkan biasanya kering, sedangkan jika bahan relatif tebal, maka akan didapat produk yang kering bagian luarnya, sementara bagian dalamnya relatif basah. Penentuan viskositas acuan ini dilakukan agar variasi kerenyahan yang didapatkan bukan berasal dari perbedaan ketebalan coating yang menempel pada tempe tapi hanya berasal dari perbedaan komposisi tepung yang digunakan. Penentuan viskositas acuan ini dilakukan menggunakan produk komersial yang ada di pasaran. Produk komersial yang digunakan adalah tepung bumbu Sajiku renyah. Produk komersial tersebut dibuat dalam 3 perbandingan jumlah tepung dan air yaitu formula A = 1:1, formula B = 1:1,25 dan formula C = 1:1,5. Ketiga adonan tersebut kemudian diaplikasikan pada tempe goreng tepung dengan pendinginan kurang lebih 30 menit. Dimensi dari tempe yang digunakan dibuat seragam.
71
Penyeragaman ini bertujuan supaya panelis tidak bias dengan perbedaan ketebalan dari tempe yang digunakan. Pengujian organoleptik rating hedonik dilakukan pada ketiga formula tersebut dengan menggunakan 30 panelis tidak terlatih. Parameter yang diujikan dalam penentuan viskositas terbaik ini adalah kerenyahan
coating
tepung
pada
tempe
dan
penampakannya.
Penampakan yang dimaksud adalah banyaknya tepung yang menempel dan yang menutupi permukaan tempe. Hasil dari uji rating hedonik pada penentuan viskositas acuan terhadap parameter kerenyahan dan penampakan dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
*) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Keterangan : Sampel A : perbandingan tepung : air = 1:1 Sampel B : perbandingan tepung : air = 1: 1.25 Sampel C : perbandingan tepung : air = 1:1.5 Gambar 15 Hasil uji rating hedonik parameter kerenyahan dalam penentuan viskositas acuan.
72
*) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Keterangan : Sampel A : perbandingan tepung : air = 1:1 Sampel B : perbandingan tepung : air = 1: 1.25 Sampel C : perbandingan tepung : air = 1:1.5 Gambar 16 Hasil uji rating hedonik parameter penampakan dalam penentuan viskositas acuan. Hasil uji ANOVA rating hedonik (Lampiran 10) pada parameter kerenyahan menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) diantara ketiga formula. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10) diketahui bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap parameter kerenyahan pada formula A berbeda nyata (p<0,05) dengan formula B dan C, sedangkan formula B dan C tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji ANOVA rating hedonik (Lampiran 11) pada parameter penampakan menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) di antara ketiga formula. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11) menyatakan bahwa nilai rata-rata kesukaan terhadap parameter penampakan pada formula C berbeda nyata (p<0,05) dengan formula A dan B, sedangkan formula A dan B tidak berbeda nyata (p>0,05). Semakin banyak air yang ditambahkan pada adonan tepung, semakin berkurang viskositas dari adonan tersebut. Hal ini memengaruhi daya adhesif dari adonan sehingga hanya sedikit bagian tempe yang mampu tertutupi (coating) oleh adonan tepung tersebut, namun produk gorengan yang dihasilkan akan semakin renyah. Hal inilah yang 73
menyebabkan produk kurang disukai dari segi penampakannya, namun disukai dari segi kerenyahannya. Sebaliknya, apabila jumlah air yang ditambahkan terlalu sedikit, akan terlalu banyak tepung yang menempel pada produk, sehingga semua permukaan tertutupi. Namun produk gorengan yang dihasilkan akan kurang renyah sehingga kurang disukai dari segi kerenyahannya. Berdasarkan hasil uji rating hedonik tersebut sulit diputuskan formula mana yang paling disukai oleh para panelis, sehingga diperlukan metode lain untuk menentukan formula terpilihnya yaitu dengan cara pembobotan. Sebelum dilakukan pembobotan, dilakukan polling mengenai parameter mana yang sangat memengaruhi penerimaan panelis terhadap produk gorengan yang di-coating dengan tepung. Kuesioner yang diberikan menggunakan 4 skala penilaian yaitu 1= sangat tidak penting, 2= tidak penting, 3= penting, dan 4= sangat penting. Panelis diminta menilai seberapa penting atribut kerenyahan dan penampakan terhadap penerimaan produk gorengan yang di-coating tepung. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil perhitungan persentase pembobotan Parameter
Skor
Persentase (%)
Kerenyahan
210
70
Penampakan
89
30
Total
299
100
Tabel 16 menunjukkan bahwa secara umum panelis menilai bahwa atribut atau parameter yang paling penting pada suatu produk gorengan yang di-coating dengan tepung adalah kerenyahan. Hasil persentase pembobotan kemudian dikalikan dengan skor rata-rata penilaian panelis pada uji hedonik. Rekapitulasi hasil perkalian tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
74
Tabel 17 Rekapitulasi uji pembobotan Formula
Kerenyahan Penampakan
Total
(70%)
(30%)
Formula A
3,60
1,56
5,16
Formula B
4,16
1,60
5,76
Formula C
4,23
1,35
5,58
Berdasarkan hasil pada Tabel 17, formula yang memiliki nilai total paling besar adalah formula B yaitu dengan perbandingan tepung : air sebesar 1:1,25. Formula tersebut kemudian ditentukan viskositasnya menggunakan Brookfield
viscometer. Nilai viskositas acuan yang
terpilih sebesar 75 cP. Nilai viskositas dari formula terpilih ini selanjutnya akan digunakan sebagai viskositas acuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada setiap formula tepung pada tahap berikutnya. 2.
Penentuan Formula-formula Tepung Bumbu Penentuan formulasi dilakukan secara trial and error. Sebelumnya telah dilakukan identifikasi terhadap produk tepung bumbu yang beredar di pasaran untuk melihat komposisi yang digunakan oleh tepung bumbu komersial pada umumnya. Hasil identifikasi menyatakan bahwa hampir semua tepung bumbu menggunakan komposisi tepung yang sama, antara lain yaitu tepung terigu, tepung beras, tapioka dan maizena. Mengarah pada tujuan penelitian ini yaitu meningkatkan pemanfaatan komoditi lokal, maka dalam formulasi tepung bumbu ini sama sekali tidak menggunakan tepung terigu. Trial and error dilakukan pertama-tama dengan membuat tepung bumbu dari 100% tepung jagung. Hasilnya tidaklah seperti yang diinginkan. Gorengan tersebut akan menjadi sangat keras sebelum mengalami pendinginan selama 30 menit. Hal ini terjadi karena tingginya kecenderungan retrogradasi dari tepung jagung yang ditandai dengan tingginya nilai setback viscosity pada amilogram yang dihasilkan. Oleh
75
karena itu dilakukan formulasi dengan mencampur tepung jagung dengan tepung lainnya. Menurut Supriyanto et al. (2006), pencampuran dua jenis jagung yang memiliki jumlah amilosa yang berbeda secara proporsional dapat menaikkan atau menurunkan kadar amilosa dan amilopektin pada jagung campuran yang dihasilkan. Perbedaan kadar amilosa dan amilopektin pada masing-masing bahan berpati dapat memberikan perbedaan sifatsifat fisik dan kimianya. Pencampuran berbagai macam tepung yang memiliki jumlah amilosa berbeda, diharapkan mampu memberikan kerenyahan yang berbeda pula. Formula campuran tepung awal yang dicoba adalah menggunakan tepung jagung, tepung beras dan tapioka. Formulasi ini tidak menggunakan maizena karena maizena juga merupakan bahan baku yang juga berasal dari jagung. Selain itu maizena juga memiliki harga yang cukup mahal, sehingga tidak akan ekonomis bila digunakan pada formula tepung bumbu ini. Maizena memiliki harga yang lebih mahal dibanding tepung jagung karena maizena memiliki tahapan pembuatan yang lebih rumit dan sulit dibanding tepung jagung. Selain itu, tingkat kemurnian patinya pun lebih tinggi karena diperoleh dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein (Merdiyanti 2008). Tepung beras merupakan jenis tepung yang biasa digunakan untuk tepung pelapis karena kadar amilosa dari tepung beras dapat meningkatkan kerenyahan dari tepung pelapis itu sendiri. Namun tekstur yang dibentuk menjadi sangat tegar dan pengembangannya kurang (Ediati et al. 2006), selain itu gorengan yang dihasilkan juga masih menjadi keras setelah didinginkan. Penambahan tapioka bertujuan untuk menghasilkan tekstur mengembang yang diharapkan. Tapioka biasa digunakan dalam pembuatan kerupuk yang memiliki pengembangan dan kerenyahan yang baik. Selain itu, menurut Rahman (2007), nilai setback viscosity tepung tapioka tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan
76
nilai setback viscosity tepung jagung, sehingga diharapkan mampu mengurangi kekerasan setelah didinginkan. Penentuan formula tepung ini tidak menggunakan bumbu rempah terlebih dahulu, karena penentuan formula ini hanya bertujuan untuk menemukan formula kerenyahan terbaik yang paling disukai, sehingga bumbu yang digunakan hanyalah garam, MSG (Monosodium Glutamat), dan soda kue. Masing-masing jumlahnya secara berturut-turut adalah 4%, 1%, dan 0,2% dari total tepung. Tekstur gorengan yang dihasilkan dari campuran tepung jagung, tepung beras dan tapioka sudah seperti tekstur pada gorengan pada umumnya. Namun tekstur masih akan menjadi keras setelah mengalami pendinginan lebih dari 30 menit. Pendinginan ini menyebabkan terjadinya retrogradasi dimana amilosa saling berikatan kembali dan membentuk tekstur yang keras (Eliasson dan Gudmundsson 2006). Semakin
tingginya
kadar amilosa pada tepung,
kecenderungan
retrogradasinya semakin tinggi, kekerasannya juga akan semakin bertambah. Tingginya kecenderungan retrogradasi pada tepung jagung dibuktikan dengan tingginya nilai setback viscosity pada tepung jagung yang digunakan untuk bahan baku tepung bumbu ini. Penambahan tapioka yang memiliki nilai setback viscosity yang lebih rendah ternyata belum mampu menurunkan nilai setback viscosity dari tepung bumbu. Hal inilah yang menyebabkan tepung bumbu dari tepung jagung menghasilkan tekstur yang keras. Kerenyahan yang dihasilkan dari tepung jagung lebih ke arah keras karena tepung jagung juga tidak memiliki gluten seperti yang dimiliki oleh tepung terigu. Gluten mampu memerangkap gas ketika proses penggorengan berlangsung menyebabkan struktur berongga dan mampu meningkatkan kerenyahan. Struktur yang dibentuk oleh gluten inilah yang kemudian merupakan jalan bagi untuk air dan minyak (Fiszman 2009). Selain itu, kecenderungan retrogradasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain rasio kadar amilosa dan amilopektin, komponen dalam pati, berat molekul amilosa dan panjang rantai dari
77
amilopektin (Abera dan Rakshit 2003). Menurut Reputra (2009), semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka akan semakin tinggi tingkat kerenyahan produk gorengan. Formulasi berikutnya ditambahkan tepung ketan. Penambahan tepung ketan ke dalam formulasi tepung bumbu ini bertujuan untuk menambah proporsi amilopektin pada campuran tepung. Tepung ketan memiliki kadar amilopektin yang tinggi. Menurut Elliason (2006), tepung dengan kadar amilopektin yang tinggi memiliki kecenderungan retrogradasi
dan
sineresis
yang
rendah.
Penambahan
proporsi
amilopektin ke dalam campuran tepung diharapkan dapat mengurangi setback viscosity atau memperlambat pengerasan tekstur produk gorengan yang dihasilkan. Struktur amilopektin yang bercabang dapat menghalangi terjadinya amilosa berikatan kembali, sehingga dapat memperlambat tekstur produk gorengan menjadi keras. Selain itu, pati kaya amilopektin lebih mengembang karena strukturnya yang bercabang, sedangkan amilosa memiliki struktur rantai lurus yang saling berikatan antar mereka sendiri sehingga sulit saling mendorong untuk terjadinya pengembangan (Eliasson dan Gudmundsson 2006). Penambahan tepung ketan ini juga diharapkan dapat memperkecil rasio amilosa dan amilopektin dari campuran tepung. Pada akhirnya digunakan empat komposisi tepung yaitu tepung jagung, tepung beras, tapioka dan tepung ketan. Keempat jenis tepung tersebut diformulasikan dalam 12 formula. Tepung jagung yang diformulasikan adalah 40% sampai 70%. Range ini didapatkan dari trial and error dimana penggunaan tepung jagung di atas 70% akan menghasilkan gorengan yang memiliki tekstur yang sangat keras setelah didinginkan kurang lebih 30 menit. Tepung ketan yang diformulasikan adalah 5%, 10% dan 15%. Penggunaan tepung ketan di atas 15% akan menghasilkan produk gorengan yang sangat berminyak. Hal ini disebabkan karena kadar amilopektin yang cukup tinggi pada tepung ketan mampu meningkatkan
78
penyerapan minyak (Fiszman 2009). Yustica (2007) mengatakan bahwa dampak negatif dari absorpsi minyak yang terlalu banyak adalah mengurangi tingkat penerimaan konsumen karena penampakan produk yang berminyak. Menurut Moreira et al. (1997), faktor yang memengaruhi penyerapan minyak pada produk goreng antara lain adalah komposisi bahan dan kadar air bahan. Penambahan tepung ketan pada formulasi diiringi juga dengan penambahan air yang dibutuhkan untuk membuat adonan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung ketan akan membuat penyerapan air yang lebih banyak sehingga ketika digoreng, jumlah minyak yang menggantikan air di dalam bahan juga lebih banyak. Soda kue merupakan bahan pengembang yang digunakan untuk meningkatkan kerenyahan dari gorengan yang dihasilkan. Fungsi bahan pengembang adalah untuk menghasilkan gas CO2. Soda kue yang ditambahkan adalah sebesar 0,2% dari berat tepung seluruhnya. Garam yang ditambahkan pada adonan berfungsi untuk menambah cita rasa. 3.
Penentuan Formula Terbaik Penentuan
formula
terbaik
dilakukan
dengan
pengujian
organoleptik terhadap 12 formula. Semua formula tepung bumbu yang akan diuji diaplikasikan pada tempe. Adonan tepung penyalut dibuat dengan cara menambahkan tepung dengan air sampai mencapai viskositas acuan, kemudian diaduk. Tempe yang telah dilumuri dengan adonan tersebut dimasukan ke dalam penggorengan dengan suhu minyak 160oC selama 3 menit. Jika suhu penggorengan yang digunakan terlalu tinggi akan cenderung menurunkan kerenyahan. Hal ini terjadi karena bagian luar bahan akan lebih cepat mengembang lalu mengeras (matang), sedangkan bagian dalamnya belum terlalu mengembang atau matang. Apabila suhu yang digunakan untuk menggoreng terlalu rendah mengakibatkan sebagian minyak tidak dapat terserap ke dalam bahan sehingga penampilannya akan sangat berminyak (Winarno et al. 1999).
79
Tempe yang telah digoreng kemudian diangkat, ditiriskan dan didinginkan selama kurang lebih 30 menit, kemudian dicicipi dan dilihat tekstur dari tepung yang menyalut tempe. Gambar 17 menunjukkan contoh adonan tepung bumbu dari tepung jagung, sedangkan produk tempe goreng yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17 Adonan tepung tanpa bumbu dari tepung jagung
Gambar 18 Tempe goreng yang dihasilkan a. Penampakan Pada uji rating hedonik atribut penampakan ini, panelis memberikan nilai tingkat kesukaannya terhadap penampakan produk berupa coating-an tepung terhadap tempe. Gambar 19 menunjukkan bahwa hasil uji rating hedonik terhadap atribut penampakan ini memiliki
rata-rata
nilai
tingkat
kesukaan
panelis
terhadap
penampakan adalah 3,48 – 3,92. Data hasil uji rating hedonik parameter penampakan dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil uji ANOVA (Lampiran 13) menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penampakan pada semua formula tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan formulasi
80
tidak menghasilkan perbedaan tingkat kesukaan konsumen terhadap penampakan dari produk gorengan yang dihasilkan. Penampakan dari produk gorengan dipengaruhi oleh jumlah coating tepung yang menempel pada tempe. Jumlah coating tepung yang menempel pada tempe dipengaruhi oleh viskositas adonan. Pada penelitian ini, viskositas adonan dari tepung bumbu dibuat seragam, yaitu sebesar 75cP, sehingga penampakannya tidak akan berbeda jauh. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan semua formula tidak berbeda nyata.
*) Huruf yang sama menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata
Gambar 19 Hasil uji rating hedonik terhadap parameter penampakan pada pemilihan formulasi terbaik b. Kerenyahan Pada
uji
rating
hedonik
atribut
kerenyahan,
panelis
memberikan penilaian kesukaannya terhadap kerenyahan coating tepung bumbu pada tempe. Panelis menilainya dengan cara mencicipi atau menggigit bagian coating tempe tersebut. Hasil uji rating
hedonik
(Gambar
20)
terhadap
atribut
kerenyahan
menunjukkan bahwa tingkat kerenyahan formula 6 hingga 12 memiliki nilai yang tinggi yaitu berkisar antara 3,64 – 4,12, sedangkan formula 1 hingga 5 memiliki nilai kesukaan yang rendah
81
3,2-3,32. Data rating hedonik parameter kerenyahan dapat dilihat pada Lampiran 14.
Hasil uji ANOVA rating hedonik (Lampiran 15) pada parameter kerenyahan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) di antara semua formula. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) menyatakan bahwa formula 6 hingga 12 tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi signifikansi 5%, sehingga dibutuhkan pertimbangan lain untuk menentukan formula terbaik. Oleh karena itu dipilih formula 6 yang menggunakan tepung jagung paling banyak yaitu 60% dari jumlah tepung keseluruhan.
*) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 20 Hasil rating hedonik parameter kerenyahan pada penentuan formulasi terbaik Hasil organoleptik ini menunjukkan bahwa formula 1 sampai 3 yang
menggunakan
tepung
jagung
70%
kurang
disukai
kerenyahannya oleh panelis dan tingkat kesukaannya hanya netral. Namun saat proporsi tepung jagung dikurangi menjadi 60%, tingkat kesukaan panelis meningkat pada sampel yang ditambahkan 15% tepung ketan (formula 6). Saat proporsi tepung jagung dikurangi menjadi 50%, penambahan tepung ketan sebesar 5% sudah dapat membuat sampel disukai oleh panelis.
82
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin sedikit proporsi tepung jagung, kerenyahan dari sampel semakin dapat diterima. Saat proporsi tepung jagung mencapai 60%, harus ditambahkan tepung ketan sebanyak 15% agar kerenyahannya dapat diterima oleh para panelis. Namun apabila tepung jagung yang digunakan kurang dari sama dengan 50%, maka tepung ketan yang ditambahkan cukup 5% saja untuk dapat diterima kerenyahannya oleh panelis. c. Overall Secara overall, hasil uji rating hedonik (Gambar 21) juga menunjukkan hal yang sama seperti pada parameter kerenyahan. Namun secara garis besar nilainya lebih besar dibandingkan nilai kesukaan pada parameter kerenyahan. Hasil uji rating hedonik menunjukkan bahwa formula 6 hingga 12 memiliki nilai kesukaan yang tinggi yaitu berkisar antara 3,76 – 4,20. Pada formula 1 sampai 5 nilai kesukaannya lebih rendah berkisar antara 3,12-3,48. Data uji rating hedonik secara overall dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil uji ANOVA rating hedonik (Lampiran 17) pada parameter overall menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) di antara semua formula. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 17) menyatakan bahwa nilai kesukaan pada formula 6 hingga 12 tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan tujuan penelitian yaitu pemanfaatan tepung jagung, dipilih formula yang menggunakan tepung jagung yang paling banyak untuk menjadi formula terbaik, yaitu formula 6. Interpretasi data secara overall ini tidak terlalu berbeda jauh dengan data dari parameter kerenyahan. Formula 1 sampai 3 merupakan tepung bumbu dengan proporsi tepung jagung sebesar 70%, namun tingkat kesukaannya rendah. Begitu juga dengan formula 4 dan 5 dengan proporsi tepung jagung 60% serta tepung
83
ketan sebesar 5% dan 10%. 10%. Tingkat kesukaan dari kelima formula itu adalah netral. Saat proporsi tepung jagung dikurangi menjadi 60%, penambahan tepung ketan sebesar 15% dapat membuat sampel tersebut disukai oleh panelis. Namun ketika proporsi tepung jagung kurang dari sama dengan dengan 50%, hanya dibutuhkan tepung ketan sebanyak 5% untuk dapat membuat sampel tersebut disukai oleh panelis.
*) Perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 21 Hasil rating hedonik secara overall pada penentuan formulasi terbaik 4.
Penambahan Bumbu pada Formula Terpilih Formula terpilih (formula 6) kemudian diberi tambahan bumbu. Formulasi bumbu yang digunakan merupakan hasil trial and error. Dasar
dari trial and error ini adalah dengan melihat komposisi dari tepung bumbu komersial yaitu tepung bumbu Sajiku renyah. Tepung bumbu tersebut menggunakan bubuk bawang merah, bubuk bawang putih, merica serta bubuk kari. Namun pada tepung bumbu yang berasal dari tepung jagung ini, bumbu yang ditambahkan antara lain bubuk bawang merah, bubuk bawang putih, putih, merica, ketumbar bubuk, garam, dan MSG.
84
Pada tepung ini tidak digunakan bubuk kari karena bubuk kari pada umumnya sulit dicari dan kurang aplikatif di industri rumah tangga. Tepung formula 6 yang telah ditambahkan bumbu-bumbu tersebut kemudian diuji rating hedonik kembali untuk melihat penerimaan panelis terhadap formula tepung yang telah ditambahkan bumbu. Penambahan bumbu ini bertujuan untuk memperbaiki atau menambah cita rasa dari tepung bumbu yang terpilih. Formula tepung terpilih yang ditambah bumbu harus ditambahkan air yang lebih banyak yaitu dengan perbandingan tepung dan air sebesar 1:2 atau sebesar 2 kali berat tepung yang akan dikonsumsi untuk mencapai viskositas acuan. Hal ini terjadi karena adanya penambahan bumbu yang meningkatkan jumlah padatan dalam tepung bumbu terpilih. Gambar 22 menunjukkan adonan formula tepung terpilih yang ditambah bumbu, sedangkan
Gambar 23 menunjukkan tempe yang
digoreng dengan tepung bumbu terpilih. Hasil uji rating hedonik (Lampiran 18) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kesukaan panelis adalah sebesar 4,04. Hal ini menunjukkan bahwa produk tepung bumbu dari tepung jagung ini disukai oleh panelis.
Gambar 22 Adonan formula tepung terpilih berbumbu
Gambar 23 Tempe goreng tepung bumbu formula terpilih 85
5.
Analisis Formula Terpilih Uji organoleptik yang telah dilakukan menghasilkan formula 6 sebagai formula terpilih. Formula 6 terdiri dari 60 % tepung jagung, 15 % tepung ketan, 12,5% tepung beras dan 12,5 % tapioka. Terhadap formula terpilih ini dilakukan analisis baik kimia maupun fisik. Analisis ini dilakukan terhadap produk dalam bentuk tepung. a.
Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan antara lain analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat by difference), kadar serat kasar, pati, amilosa dan amilopektin. Hasil analisis kimia dari tepung bumbu terpilih ini dapat dilihat pada Tabel 18, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19. Tabel 18 Komposisi kimia tepung bumbu formula terpilih Kandungan
%bb
%bk
Air
8,39
9,16
Abu
1,17
1,28
Lemak
0,68
0,74
Protein
5,69
6,21
Karbohidrat
84,07
91,77
Pati
61,47
67,10
Amilosa
21,45
23,41
Amilopektin
40,02
43,69
Serat kasar
0,27
0,30
1) Analisis Proksimat Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. Kadar air dari formula terpilih sebesar 8,39 %bb. Kadar air produk mengalami peningkatan dibandingkan kadar air tepung jagung. Hal ini terjadi karena adanya pencampuran dengan tepung lain yaitu 86
tapioka, tepung beras dan tepung ketan serta bumbu-bumbu lainnya yang kadar airnya lebih besar daripada kadar air tepung jagung. Data proksimat tepung beras, tapioka dan tepung ketan dapat dilihat pada Lampiran 20, 21 dan 22. Kadar air tepung bumbu terpilih ini memenuhi kadar air yang ditetapkan oleh SNI Tepung Bumbu yaitu maksimal 12 % bb. Kadar abu dari tepung bumbu terpilih sebesar 1,17 %bb. Kadar abu dari tepung bumbu terpilih ini lebih besar dibanding kadar abu tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya pencampuran dengan jenis tepung lainnya yang memiliki kadar abu lebih besar dibanding tepung jagung. Kadar abu pada tepung bumbu terpilih ini memenuhi syarat yang ditetapkan oleh SNI Tepung Bumbu yaitu maksimal 1,5% bb. Kadar lemak dari tepung bumbu terpilih sebesar 0,68 %bb. Kadar lemak tepung bumbu terpilih lebih kecil dibandingkan kadar lemak dari tepung jagung. Hal ini terjadi karena bahanbahan lain yang dicampurkan memiliki kadar lemak lebih rendah dibandingkan kadar lemak tepung jagung. Kadar lemak tepung bumbu tidak menjadi persyaratan dalam SNI Tepung Bumbu. Namun untuk produk tepung-tepungan, kadar lemak diusahakan rendah, karena kadar lemak yang tinggi akan mudah teroksidasi dan membuat produk menjadi cepat tengik (Syarief dan Halid 1993). Hal ini tidak diinginkan oleh konsumen dan sangat memengaruhi penerimaan terhadap produk. Kadar protein tepung bumbu terpilih sebesar 5,69 %bb. Kadar protein tepung bumbu ini juga lebih rendah dibandingkan kadar protein tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya pencampuran dengan bahan-bahan lain yang memiliki kadar protein yang lebih rendah dibanding kadar protein tepung jagung. Kadar karbohidrat tepung bumbu terpilih diperoleh dengan cara by difference. Kadar karbohidrat yang terdapat dalam tepung bumbu terpilih adalah sebesar 84,07 %bb. Kadar
87
karbohidrat dalam tepung bumbu terpilih lebih besar daripada yang terdapat pada tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan kadar protein dan kadar lemak pada tepung bumbu terpilih. 2) Kadar Pati, Amilosa, Amilopektin dan Serat Kasar Kadar pati dari tepung bumbu terpilih sebesar 61,47 % bb. Kadar ini lebih besar dibandingkan kadar pati yang terdapat pada tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan pati tapioka yang memiliki jumlah pati lebih besar dibanding tepung jagung. Pati merupakan komponen dari bahan makanan yang penting dalam membentuk tekstur makanan gorengan. Komponen pati yang berperan penting dalam pembentukan tekstur adalah amilosa dan amilopektin. Tepung bumbu terpilih memiliki kadar amilosa sebesar 21,45 %bb. Kadar amilosa dari tepung bumbu terpilih ini lebih rendah dibanding kadar amilosa tepung jagung. Hal ini menunjukkan bahwa pencampuran tepung jagung dengan bahan lainnya yang memiliki kadar amilosa yang berbeda dapat memengaruhi kadar amilosa pada produk yang dihasilkan. Kadar amilosa yang berkurang inilah yang membuat campuran keempat tepung tersebut memiliki tekstur yang tidak keras setelah mengalami pendinginan kurang lebih 30 menit. Kadar amilopektin dari tepung bumbu yang terpilih diperoleh dari hasil selisih kadar pati dan kadar amilosa. Kadar amilopektin dari tepung bumbu terpilih sebesar 40,02 %bb. Kadar amilopektin ini lebih tinggi dibanding kadar amilopektin tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan tepung ketan yang memiliki kadar amilopektin yang sangat tinggi yaitu mencapai 45,56 %bb dan kadar amilosa yang rendah mencapai 5,68 %bb (Ridwan dan Eka 1996). Struktur amilopektin yang bercabang mampu mencegah struktur amilosa
88
berikatan kembali pada saat terjadi pendinginan, sehingga dapat mencegah pengerasan tekstur pada tepung bumbu yang terpilih (Eliasson dan Gudmundsson 2006). Kadar serat kasar dari tepung bumbu terpilih (0,27 %bb) mengalami penurunan dari kadar serat kasar tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan tepung dengan kadar serat kasar yang rendah. b. Analisis Fisik 1) Warna Hasil pengukuran warna tepung bumbu terpilih dapat dilihat pada Tabel 19. Warna tepung bumbu terpilih yang dihasilkan memiliki nilai L sebesar 84,93, nilai a sebesar -1,13, nilai b sebesar 24,93. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran warna dari tepung jagung, tepung bumbu terpilih memiliki nilai L lebih besar dibanding tepung jagung. Hal ini disebabkan karena adanya pencampuran dengan jenis tepung lainnya yang berwarna putih, sehingga mampu meningkatkan kecerahan tepung bumbu tersebut. Nilai a yang bernilai negatif pada tepung bumbu menunjukkan bahwa sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b dari tepung bumbu terpilih lebih rendah dibandingkan nilai b dari tepung jagung. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas warna kuning pada tepung jagung lebih tinggi dibandingkan intensitas warna kuning pada tepung bumbu terpilih. Gambar 24 menunjukkan gambar tepung jagung dan tepung bumbu terpilih.
89
Tabel 19 Hasil pengukuran warna tepung bumbu terpilih Ulangan
L
a
b
I
84,93
-1,12
24,93
II
84,93
-1,14
24,93
Rata2
84,93
-1,13
24,93
Gambar 24 Tepung bumbu terpilih (kiri) dan Tepung jagung (kanan) 2) Densitas Kamba Densitas kamba dari tepung bumbu terpilih tidak berbeda jauh dengan densitas kamba dari tepung jagung yaitu sebesar 0,73 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan bumbubumbu
lainnya
pada
tepung
jagung
tidaklah
terlalu
memengaruhi volume yang dibutuhkan untuk penyimpanan produk. 3) Sifat Amilograf Secara garis besar, sifat amilograf dari tepung bumbu mengalami penurunan dibanding sifat amilograf tepung jagung. Hal ini karena jumlah amilosa tepung bumbu terpilih lebih rendah daripada tepung jagung. Charles et al. (2005) menyatakan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi dan viskositas. Hasil pengukuran sifat amilograf terhadap tepung bumbu terpilih dapat dilihat pada
90
Tabel 20, sedangkan gambar profil gelatinisasi tepung bumbu terpilih dapat dilihat pada Gambar 25. Tabel 20 Hasil pengukuran sifat amilograf tepung bumbu terpilih Parameter
Nilai
Suhu awal gelatinisasi (oC)
75
Waktu awal gelatinisasi (menit)
30
Viskositas maksimum (BU)
-
Suhu puncak gelatinisasi (oC)
-
o
Viskositas saat 95 C (BU)
320
Viskositas setelah holding 95oC (BU)
435
Viskositas saat 50oC (BU)
640
Viskositas setelah holding 50oC (BU)
750
Setback viscosity (BU)
315
95oC
50oC
Gambar 25 Profil gelatinisasi tepung bumbu terpilih Suhu awal gelatinisasi dari tepung bumbu terpilih lebih tinggi dibandingkan tepung jagung dan tepung bumbu komersial. Hal ini menunjukkan bahwa hidrasi atau pengikatan
91
air lebih mudah terjadi pada tepung bumbu komersial daripada tepung bumbu terpilih. Viskositas maksimum dari tepung bumbu terpilih paling rendah bila dibandingkan dengan tepung jagung dan tepung bumbu komersial. Viskositas maksimum pada tepung bumbu terpilih tidak tercapai. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai komponen dalam tepung bumbu terpilih yang dapat menghalangi tercapainya viskositas maksimum seperti serat kasar. Menurut Abera dan Rakshit (2003), komponen serat kasar dapat menghalangi transfer panas sehingga suhu puncak gelatinisasi lebih lambat tercapai. Semakin rendahnya viskositas maksimum, menunjukkan bahwa tepung tersebut semakin mudah mengalami pemecahan granula pati. Dalam hal ini berarti tepung bumbu komersial lebih cepat mengalami pemecahan granula pati dibandingkan tepung jagung dan tepung bumbu terpilih. Nilai setback viscosity dari tepung bumbu terpilih lebih rendah dibanding tepung jagung. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan retrogradasi dari tepung bumbu terpilih juga lebih rendah dibandingkan tepung jagung. Kadar amilosa tepung bumbu terpilih yang lebih rendah menyebabkan molekul amilosa tepung bumbu yang dihasilkan memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk kembali berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling) dibandingkan tepung jagung yang memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi. Perbandingan bentuk amilogram dari tepung jagung, tepung bumbu terpilih, dan tepung bumbu komersial dapat dilihat pada Gambar 26, sedangkan profil gelatinisasi dari tepung bumbu komersial dapat dilihat pada Lampiran 9. Charles et al. (2005) juga melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa, setback viscosity juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kadar amilosa, setback viscosity
92
juga akan semakin rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa penambahan tepung ketan pada campuran tepung mampu menurunkan setback viscosity dari tepung jagung yang sebesar 570 BU menjadi 315 BU pada tepung bumbu terpilih. Apabila hasilnya dibandingkan dengan profil gelatinisasi pati dari tepung bumbu komersial (Gambar 26) yang memiliki kadar amilosa yang lebih rendah yaitu sebesar 19,07 %bb (Lampiran 8), tepung bumbu yang terpilih masih memiliki nilai setback viscosity yang lebih tinggi karena kadar amilosanya juga lebih tinggi.
!
!
"
#
$ ! "%
Gambar 26 Perbandingan profil gelatinisasi C. Penentuan Umur Simpan Penentuan umur simpan formula terpilih dilakukan dengan metode kadar air kritis atau Labuza (Labuza 1982). Kadar air kritis adalah kadar air dimana secara organoleptik produk sudah tidak dapat diterima oleh konsumen (Syarief et al. 1989), sehingga penentuan umur simpan pada metode ini adalah untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kritis. Metode ini cocok untuk produk pangan yang mudah rusak karena menyerap air. Metode ini melalui beberapa tahapan, antara lain penentuan kadar air kritis, pembuatan kurva sorpsi isotermis, penentuan model sorpsi isothermis, uji ketepatan model, serta penentuan umur simpan menggunakan rumus Labuza.
93
1. Penentuan Kadar Air Kritis Parameter yang diujikan dalam penentuan kadar air kritis adalah daya
mawur
atau
penggumpalan
dari
tepung
bumbu
tersebut.
Penggumpalan atau penurunan daya mawur produk merupakan salah satu akibat dari perubahan kadar air pada produk (Syarief et al. 1989). Uji organoleptik yang dilakukan adalah rating hedonik. Pada uji ini, panelis diminta untuk melihat dan memberi penilaian kesukaan kesukaan terhadap daya mawur sampel yang disajikan (Gambar 27).
A
B
D
C
E
Gambar 27 Sampel uji rating hedonik kadar air kritis yang disimpan pada RH 91 % (K2SO4) dengan waktu simpan yang berbeda (A) 0 jam, (B) 6 jam, (C) 12 jam, (D) 18 jam, dan (E) 24 jam. Hasil uji organoleptik terhadap daya mawur sampel tepung bumbu dapat dilihat pada Gambar 28, sedangkan data hasil organoleptiknya dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil uji ANOVA (Lampiran 24) menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap daya mawur dari kelima sampel yang diujikan berbeda nyata (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 24) menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap daya mawur sampel 0 jam dan sampel yang disimpan selama selama 6 jam tidak berbeda nyata (p>0,05). Namun berbeda nyata (p<0,05) dengan sampel yang disimpan selama 12, 18, dan 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa tepung bumbu terpilih mencapai kadar air kritis setelah disimpan selama kurang lebih 12
94
jam dengan penilaian rata-rata panelis sebesar 3,68.
Hal ini berarti
menurut panelis, setelah disimpan selama 12 jam, daya mawur dari tepung bumbu sudah berkurang dan sudah tidak dapat diterima. Kadar air kritis dari tepung bumbu terpilih adalah sebesar 16,17% bk.
*)
Keterangan : perbedaan huruf menyatakan nilai yang berbeda nyata
Gambar 28 Hasil uji rating hedonik dalam penentuan kadar air kritis
2. Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis Kurva sorpsi isotermis adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif seimbang ruang penyimpanan (ERH) dengan kandungan air per gram suatu bahan pangan (Winarno 1992). Pada penelitian ini digunakan 8 jenis garam yaitu LiCl,
MgCl2, K2CO3, NaBr, NaCl, KCl, BaCl2, dan K2SO4. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan aluminium lalu disimpan pada chamber yang berisi larutan garam jenuh yang memiliki RH berbeda-beda pada
suhu 30oC. Suhu ini sesuai dengan kondisi penyimpanan tepung bumbu selama distribusi dan pemasaran. Setiap harinya sampel ditimbang dan dicatat beratnya sampai mencapai kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan tercapai setelah 7-30 hari berbeda-beda tergantung pada jenis garam dan tingkat kejenuhannya. Semakin besar perbedaan nilai aw antara bahan dan lingkungan, maka semakin lama pula suatu bahan mencapai kadar air kesetimbangannya. Pada penelitian ini, sampel tepung bumbu yang disimpan pada larutan garam jenuh K2CO3 paling cepat mencapai kesetimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa aw
95
produk mendekati nilai RH ruangan. Aw produk awal yang terukur adalah sebesar 0,498. Hasil pengukuran kadar air kesetimbangan tepung bumbu pada masing-masing RH dapat dilihat pada Tabel 21. Nilai dari RH larutan garam jenuh pada literatur berbeda dengan nilai RH larutan garam jenuh hasil percobaan. Hal ini mungkin saja disebabkan karena jenis garam yang digunakan tidaklah murni. Menurut Labuza (2002), untuk mendapatkan hasil yang baik dan akurat, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan kadar air kesetimbangan adalah kemurnian dari larutan garam yang digunakan. Tabel 21 Daftar RH larutan garam jenuh yang digunakan dan kadar air kesetimbangan Kadar air RH RH Jenis literatur*) percobaan kesetimbangan garam (%) (% bk) (%) LiCl
11,3
16,5
4,16
MgCl2
32,4
37,2
6,20
K2CO3
43,2
45,7
7,64
NaBr
56,0
56,0
10,75
NaCl
75,1
75,1
20,48
KCl
83,6
81,3
28,60**)
BaCl2
89,7
86,3
35,69**)
K2SO4
97,1
91,1
44,48**)
Keterangan : *) Sumber : Spiess and Wolf (1987) **) Sampel ditumbuhi kapang Sampel yang disimpan pada larutan garam jenuh LiCl, MgCl2, dan K2CO3 mengalami penurunan berat (desorpsi) karena aw larutan-larutan garam jenuh tersebut lebih rendah dibandingkan aw sampel sehingga terjadi perpindahan atau difusi uap air dari dalam bahan ke lingkungan. Sebaliknya, sampel yang disimpan pada larutan garam jenuh NaBr, NaCl,
96
KCl, BaCl2 dan K2SO4 mengalami pertambahan berat (adsorpsi) karena RH tempat penyimpanan lebih tinggi dari aw sampel, sehingga terjadi difusi air dari lingkungan sekitar ke dalam sampel. Penambahan dan penurunan berat sampel menunjukkan fenomena karakteristik hidratasi. Interaksi molekul air dengan sampel ini terjadi karena perbedaan RH sampel dengan lingkungan (desikator) (Syarief dan
Halid 1993). Transfer uap air dari lingkungan ke sampel atau sebaliknya, akan terjadi selama penyimpanan penyimpanan tertentu sampai mencapai kondisi kesetimbangan. Sampel yang disimpan pada RH di atas 80% ditumbuhi kapang sebelum mencapai kesetimbangannya (Gambar 29), sehingga data kadar air kesetimbangannya tidak dapat digunakan. Hanya data dari lima garam saja yaitu LiCl, MgCl2, K2CO3, NaBr dan NaCl yang dapat digunakan dan dibentuk kurva sorpsi isotermis dari kelima data tersebut.
Gambar 29 Contoh tepung bumbu yang berkapang Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan memplotkan nilai aw dengan kadar air kesetimbangan. Nilai aw larutan garam jenuh yang dipakai adalah
nilai aw yang berasal dari percobaan. Bentuk kurva sorpsi isotermis adalah khas untuk setiap jenis bahan pangan. Namun, pada umumnya kurva ini berbentuk sigmoid. Bentuk sigmoid ini disebabkan karena pada umumnya bahan makanan terdiri dari campuran beberapa komponen (heterogen) (Syarief dan Halid 1993). Bentuk kurva sorpsi isotermis dari tepung bumbu terpilih dapat dilihat pada Gambar 30.
97
Gambar 30 Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih 3. Penentuan Model Sorpsi Isotermis Telah
banyak
model-model
persamaan
matematis
yang
dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis secara teoritis. Model-model persamaan ini digunakan untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi. Pada penelitian ini dipilih lima model persamaan matematis, yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie dan Oswin. Kelima model persamaan ini dipilih karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air yang luas (Chirife dan Iglesias 1978, Isse et al. 1983, Van den Berg dan Bruin 1981). Selain itu, modelmodel persamaan ini mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga sehingga sesuai dengan pernyataan Labuza (1968) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis tersebut untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka lebih cocok menggunakan model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya. Selanjutnya model-model persamaan matematis yang digunakan dimodifikasi bentuknya dari persamaan non linear menjadi persamaan linear
sehingga
dapat
ditentukan
nilai-nilai
tetapannya
dengan
menggunakan metode kuadrat terkecil untuk mempermudah perhitungan. Contoh perhitungan untuk mendapatkan persamaan model kurva sorpsi isothermis dapat dilihat pada Lampiran 25. Persamaan linear model kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih dapat dilihat pada Tabel 22.
98
Tabel 22 Persamaan model kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih Model
Persamaan Bentuk Linear (y=a+bx)
Hasley
log (ln(1/aw)) = -1,33 – 1,12 log Me
Chen-Clayton
ln(ln(1/aw)) = 0,67 - 10,07 Me
Henderson
log(ln(1/(1-aw))) = 1,05 + 1,21 log Me
Caurie
ln Me = -3,73 + 2,74 aw
Oswin
ln Me = -2,36 + 0,59 ln (aw/(1-aw))
Kadar air kesetimbangan tepung bumbu terpilih dihitung dengan menggunakan persamaan model-model kurva sorpsi isotermis tersebut. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan tepung bumbu terpilih dengan menggunakan model-model persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Kurva sorpsi isothermis dari masing-masing model persamaan yang dibandingkan dengan kurva sorpsi isothermis hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 31 sampai 35. Tabel 23 Kadar air kesetimbangan tepung bumbu terpilih dari model-model persamaan Aw 0,17 0,37 0,46 0,56 0,75
percobaan 0,04 0,06 0,08 0,11 0,20
Kadar Air Kesetimbangan (g H2O/g solid) Hasley Chen-Clayton Henderson 0,04 0,01 0,03 0,07 0,07 0,07 0,08 0,09 0,09 0,11 0,12 0,12 0,20 0,19 0,18
% &
Caurie 0,04 0,07 0,08 0,11 0,19
Oswin 0,04 0,07 0,09 0,11 0,18
"
Gambar 31 Kurva Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih model Hasley
99
#
&
"
Gambar 32 Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih model Chen-Clayton
"%
"
Gambar 33 Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih model Henderson
"
"
Gambar 34 Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih model Caurie
100
' %(
"
Gambar 35 Kurva sorpsi isotermis tepung bumbu terpilih model Oswin
4. Uji Ketepatan Model Uji ketepatan model digunakan untuk memilih persamaan kurva sorpsi isothermis yang dapat menggambarkan fenomena sorpsi isothermis
setepat mungkin. Uji ketepatan model ini dilakukan dengan menghitung nilai Mean Relatif Determination (MRD). Nilai MRD kurang dari 5 (MRD<5) berarti kurva tersebut dapat menggambarkan fenomena sorpsi isothermis dengan tepat. Model persamaan seperti itulah yang akan dipilih untuk hasil yang akurat. Hasil perhitungan nilai MRD model persamaan dapat dilihat pada Tabel 24, sedangkan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 25. Tabel 24 Hasil perhitungan nilai MRD model persamaan kurva sorpsi isothermis tepung bumbu terpilih Model Nilai MRD
Hasley
4,77
Chen-Clayton
26,09
Henderson
15,01
Caurie
7,59
Oswin
9,97
Model persamaan kurva yang dipilih adalah model Hasley karena memiliki tingkat kemulusan kurva yang lebih tinggi dibanding model-
101
model yang lainnya. Hal ini terbukti dari nilai MRD model Hasley yang rendah yaitu 4,77. Model tersebut dianggap dapat menggambarkan fenomena sorpsi isothermis yang paling baik dari tepung bumbu terpilih. Namun demikian, terpilihnya persamaan model Hasley untuk produk tepung bumbu terpilih bukan berarti secara umum persamaan tersebut dapat digunakan dalam menggambarkan fenomena sorpsi isothermis untuk produk tepung bumbu lainnya. Menurut Taokis et al. (1988) tidak ada satu pun persamaan sorpsi isothermis yang dapat digunakan secara umum dan dapat diaplikasikan pada kisaran aw tertentu untuk kategori makanan tertentu. 5. Penentuan Nilai Kemiringan (slope) Kurva Nilai kemiringan (slope) kurva sorpsi isothermis (b) ditentukan pada daerah linear. Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan slope kurva sorpsi isothermis diambil antara daerah kadar air awal dan kadar air kritis. Nilai kemiringan kurva sorpsi isothermis dalam penelitian ini ditentukan dengan membuat garis lurus dari aw 0,46-0,75 (Gambar 36). Daerah ini merupakan daerah yang melalui kadar air awal dan kadar air kritis dari tepung bumbu. Hasil regresi linear kurva sorpsi isothermis tersebut menghasilkan persamaan garis: y = 0,41x - 0,11 (R2 = 0,98). Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai b (slope) kurva sebesar 0,41.
&)
* +,)
Gambar 36 Penentuan nilai kemiringan (slope) kurva sorpsi isothermis
102
6. Pendugaan Umur Simpan Faktor-faktor lain yang diperlukan dalam menentukan umur simpan produk berdasarkan pendekatan kadar air kritis antara lain adalah rasio luas kemasan dengan berat produk (A/Ws) dan tekanan uap air jenuh (Po) pada kondisi penyimpanan. Menurut SNI tepung bumbu (SNI 01-44761998), tepung bumbu dikemas dalam wadah yang tertutup rapat, tidak memengaruhi atau dipengaruhi isi, aman selama penyimpanan dan pengangkutan. Kemasan yang digunakan adalah kemasan Polipropilena atau PP dengan nilai permeabilitas sebesar 0,07 g/m2/hari/mmHg (Nugroho 2007). Nilai permeabilitas kemasan (k/x) digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk pangan (Labuza 2002). Polipropilena (PP) memiliki daya tembus terhadap uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap. Selain itu PP merupakan jenis kemasan yang mudah didapatkan dimana saja dengan harga yang terjangkau. Berdasarkan uji ketepatan model (Mean Relatif Determination atau MRD), maka persamaan model Hasley digunakan untuk menentukan umur simpan tepung bumbu terpilih. RH penyimpanan yang digunakan dalam perhitungan umur simpan ini adalah 85%. Tepung bumbu terpilih memiliki kadar air kritis (Mc) sebesar 0,16 g H2O/g solid, kadar air awal (Mi) sebesar 0,09 g H2O/g solid, kadar air produk pada RH penyimpanan 85% sebesar 0,33. Bobot kering produk per kemasan sebesar 81,76 gram. Bobot ini merupakan bobot tepung bumbu yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Kemasan yang dipakai mempunyai ukuran (9,5x12,5x2) cm2. Besarnya kemasan dan banyaknya sampel dalam kemasan mengacu pada tepung bumbu komersial yang telah ada di pasaran. Menurut Kusnandar (2006), semakin besar luas kemasan maka uap air yang masuk akan tersebar semakin meluas di dalam kemasan dan memperlambat tercapainya kadar air kritis sehingga umur simpan produk menjadi semakin panjang. Tekanan uap air jenuh pada kondisi ruang penyimpanan (30oC) sebesar
103
31,82 mmHg (Labuza 1982). Data yang digunakan untuk penentuan umur simpan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Data penentuan umur simpan tepung bumbu terpilih menggunakan kemasan PP Parameter
satuan
RH 85%
Kadar air awal (Mi)
g H2O/g solid
0,09
Kadar air kritis (Mc)
g H2O/g solid
0,16
Slope kemiringan kurva (b)
0,41 g/m2hr.mmHg
0,07
g H2O/g solid
0,33
Berat kering produk (Ws)
g
81,76
Tekanan uap air jenuh (Po)
mmHg
31,82
m2
0,02
hari
209
bulan
7
Permeabilitas kemasan PP (k/x) Kadar air produk pada RH penyimpanan (Me)
Luas kemasan (A) Umur simpan
Setelah dimasukkan ke dalam rumus Labuza (Labuza 1982), didapatkan bahwa waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan dari tepung bumbu tersebut adalah 7 bulan apabila tepung disimpan pada RH 85% dengan kemasan PP yang memiliki permeabilitas sebesar 0,07 g/m2/hari/mmHg.
Lamanya
umur
simpan
suatu
produk
pangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan baku, kondisi pengolahan, kondisi pengemas, serta kondisi penyimpanan, distribusi dan penjajaan. Menurut Kusnandar (2006), semakin besar perbedaan antara kadar air awal dengan kadar air kritis produk juga akan membuat umur simpan dari suatu produk semakin lama. Umur simpan dari tepung bumbu ini dapat diperpanjang dengan menggunakan kemasan yang memiliki permeabilitas lebih kecil dan juga dengan mengurangi kadar air awal dari tepung bumbu tersebut. 104
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pembuatan tepung jagung menghasilkan tepung jagung 120 mesh dengan rendemen sebesar 31% dari keseluruhan berat jagung pipil. Hasil analisis tepung jagung meliputi kadar air 7,45 %bb, kadar abu 0,13 %bb, kadar lemak 2,38 %bb, kadar protein 6,67 %bb, kadar karbohidrat 83,37 %bb, kadar pati 59,39 %bb, kadar amilosa dan amilopektin berturut-turut 27,90 %bb dan 31,49 %bb, serta kadar serat kasar 0,88 %bb. Kadar amilosa yang tinggi pada tepung jagung menyebabkan kecenderungan retrogradasi yang tinggi pada produk gorengan setelah didinginkan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya setback viscosity pada sifat amilograf dari tepung jagung yang dihasilkan sebesar 570 BU. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa formula 6 merupakan formula yang terpilih. Komposisi formula 6 meliputi 60% tepung jagung, 12,5% tepung beras, 12,5% tapioka dan 15% tepung ketan. Tepung bumbu terpilih memiliki karakteristik kimia yang meliputi kadar air 8,39 %bb, kadar abu 1,17 %bb, kadar lemak 0,68 %bb, kadar protein 5,69 %bb, kadar karbohidrat 84,07 %bb, kadar pati 61,47 %bb, kadar amilosa dan amilopektin berturut-turut 21,45 %bb dan 40,02 %bb, serta kadar serat kasar 0,27 %bb. Penambahan tepung ketan pada campuran tepung bumbu mampu mengubah proporsi amilosa dan amilopektin dari tepung bumbu tersebut dan mengubah sifat fisikokimianya serta menghasilkan nilai setback viscosity yang lebih rendah pada tepung bumbu terpilih (315 BU) dibandingkan dengan nilai setback viscosity pada tepung jagung (570 BU). Hal inilah yang menyebabkan penurunan kecenderungan terjadinya retrogradasi pada produk gorengan yang dihasilkan sehingga tidak terlalu keras ketika didinginkan. Penentuan umur simpan tepung bumbu terpilih menggunakan pendekatan kadar air kritis dalam kemasan polipropilena atau PP dengan permeabilitas 0,07 g/m2hr.mmHg. Hasil perhitungan dengan rumus Labuza menunjukkan bahwa umur simpan tepung bumbu terpilih pada RH 85% adalah 7 bulan.
105
B. Saran Rendemen tepung jagung yang dihasilkan masih tergolong rendah, untuk itu diperlukan usaha lain untuk meningkatkan rendemennya. Salah satunya adalah dengan melakukan penggilingan berulang dan memperpanjang waktu perendaman serta meminimalisir bagian yang loss dalam proses pembuatannya. Selain itu, bumbu yang ditambahkan pada formula tepung terpilih perlu diformulasikan kembali supaya dapat lebih meningkatkan kesukaan konsumen terhadap rasa dari tepung bumbu yang dihasilkan. Umur simpan dari tepung bumbu terpilih dapat diperpanjang dengan menggunakan kemasan yang memiliki nilai permeabilitas lebih kecil dan juga dengan mengurangi kadar air awal dari tepung bumbu terpilih.
106
DAFTAR PUSTAKA Abera S, Rakshit SK. 2003. Comparison of physicochemical and functional properties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips. Starch/Starke 55: 287-296. Adawiyah DR. 2006. Hubungan sorpsi air, suhu transisi gelas, dan mobilitas air serta pengaruhnya terhadap stabilitas produk pada model pangan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aliawati G. 2003. Teknik analisis kadar amilosa dalam beras. [catatan penelitian]. Bul Teknik Pertanian 8(2): 82-84. Allidawati, Bambang K. 1989. Metode uji mutu beras dalam program pemuliaan padi. Di dalam: Ismunadji M, Syam M, Yuswadi, editor. Padi. Ed ke-2. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm 363-375. Anonim. 2007. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung [12 Juni 2008]. Anonim. 2008. Mengatasi ancaman perangkap pangan. [Online Poultry Indonesia]. http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article&sid =1335. [13 Februari 2009]. —a. 2009. Meretas jalan mengurangi ketergantungan akan gandum impor. [Berita daerah.com]. http://beritadaerah.com/news.php?pg=artikel_national&id=8786&sub=column &page=17. [ 18 Januari 2010]. —b. 2009. Terapkan antidumping tepung impor. [Suara Pembaruan]. http://epaper.suarapembaruan.com/default.aspx?iid=23479&startpage=page000 0016.[ 18 Januari 2010]. —c . 2009. Indonesia Eksportir Jagung Dunia. http://matanews.com/2009/07/30/indonesia-eksportir-jagung-dunia. [5 Januari 2010]. [AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC: AOAC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, and Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
107
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 1980. Plastics General Test Methods. USA: ASTM (Annual book of ASTM standard: 36) Belinda. 2009. Evaluasi mutu cookies campuran tepung kacang hijau (Phaseolus radiatus, Linn) dan beras (Oryza sativa) sebagai pangan tambahan bagi ibu hamil [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer. Blumenthal MM. 1996. Frying technology. Di dalam: Shahidi F, editor. Bailey's Industrial Oil and Fat Products Vol 3. Ed ke-6. New York: John Wiley and Sons, Inc. Boyer CD, Shannon JC. 2003. Carbohydrates of the kernel. Di dalam: White PJ, Johnson LA. Corn: Chemistry and Technology. Ed ke-2. St.Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists Inc. Brooker DB, Bakker-Arkema FW, Hall CW. 1992. Drying Cereal Grains. Connecticut: AVI Publishing Company. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI No. 01-2891-1992. Kadar air metode oven. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. SNI No. 01-3451-1994. Syarat Mutu Tepung Tapioka. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI No. 01-3727-1995. Syarat Mutu Tepung Jagung. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI No. 01-4476-1998. Syarat Mutu Tepung Bumbu. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Bussie, MD, Dixon AGO, Adebowale AA. 2007. Targeting different end uses of cassava: genotypic variations for cyanogenic potentials and pasting properties. J Food Sci and Technol 42(8): 969-976. Charles AL, Ko WC, Chang YH, Sriroth K, Huang TC. 2004. Some physical and chemical properties of starch isolates of cassava genotypes. Starch-Starke 56: 413-418. Charles AL, Ko WC, Chang YH, Sriroth K, Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylose content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. J Agric Food Chem 53(7): 2717-2725. Charley H. 1982. Food Science. New York: John Wiley and Sons, Inc.
108
Chirife J, Iglesias HA. 1978. Equation for fitting water sorption isotherm of foods: part II. J Food Technol 13: 319-327. Darrah LL, McMullen MD, Zuber MS. 2003. Breeding, genetics, and seed corn production. Di dalam: White PJ, Johnson LA. Corn : Chemistry and Technology, 2nd edition. St.Paul,Minnesotta,USA: American Association of Cereal Chemists Inc. Deobald HJ. 1972. Rice flour. Di dalam: Houston DF. Rice Chemistry and Technology. Minnesota: American Association of Cereal Chemists. [Direktorat Gizi Depkes RI] Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Ediati R, Rahardjo B, Hastuti P. 2006. Pengaruh kadar amilosa terhadap pengembangan dan kerenyahan tepung pelapis selama penggorengan [catatan penelitian]. Agrosains 19(4): 395-413. Effendi S, Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta: CV.Yasaguna. Eliasson AC. 2006. Starch in Food Structure, Function and Applications. Washington DC: CRC Press. Eliasson AC, Gudmundsson M. 2006. Starch: physicochemical and functional aspects. Di dalam: Eliasson AC. Carbohydrates in Food 2nd Edition. Boca raton, London, New York: CRC Press, Inc. hlm 393. Faridah DN et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practice. London: Woodhead Publishing. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc. Fiszman SM. 2009. Coating ingredients. Di dalam : Tarte R. Ingredients in Meat Products Properties, Functionality and Applications. Paterna: Springer Science Bussiness Media. Grist DH. 1975. Rice. London: Longman. Hambali E, Fatmawati, Permanik R. 2005. Membuat Aneka Bumbu Instan Kering. Depok: Penebar Swadaya.
109
Hardinsyah, Amalia L. 2007. Perkembangan konsumsi terigu dan pangan olahannya di Indonesia 1993-2005. J Gizi dan Pangan 2 (1): 8-15. Haryadi. 1990. Pengaruh kadar amilosa beberapa jenis pati terhadap pengembangan, higroskopisitas, dan sifat inderawi kerupuk. Yogyakarta: FTP Universitas Gadjah Mada. Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd Edition. St.Paul, Minnesota: American Association of Cereal Chemists, Inc. Huang DP, Rooney LW. 2001. Starches for snack foods. Di dalam: Lusas RW, Rooney LW. Snack Foods Processing. Washington DC: CRC Press. hlm 115136. Hubeis M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hubeis M. 1985. Pengembangan metode uji kepulenan nasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance. Edisi ke-2. Maryland: Aspen Publishers, Inc. Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Divided sorption isotherm concept an alternative way to describe sorption isotherm data. J Food Process Eng 16(2): 147-157. Jane et al. 1999. Effect of amylopectin branch chain length and amylose content on gelatinization and pasting properties of starch. J Cereal Chem 76(5): 629637. Johnson LA. 1991. Corn: production, processing, and utilization. Di dalam: Lorenz KJ, Kulp K. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Juanita Y. 2008. Efek hidrokoloid CMC dan gellan gum pada berbagai konsentrasi terhadap penyerapan minyak dan kualitas pilus [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Juliano BO. 1972. The rice grain caryopsis and its composition. Di dalam: Houston DF. Rice Chemistry and Technology. Minnesota: American Association of Cereal Chemists. Juniawati. 2003. Optimasi proses pengolahan mi jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 110
Kaletunc G, Breslauer KJ. 2003. Characterization of Cereals and Flours. New York: Marcel Dekker, Inc. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kurniawan S. 2003. Penentuan umur simpan bubuk zat warna alami kayu secang (Caesalpinia sappan, Linn) dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusnandar F. 2006. Disain percobaan dalam penetapan umur simpan produk pangan dengan metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Labuza TP. 1968. Sorpsi phenomena in foods. J Food Technol. 22: 263-272. Labuza TP. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Westport, Connecticut: Food and Nutrition Press, Inc. Labuza TP. 2002. IFT short course: water activity and sorption isotherms. department of food science and nutrition. www.wateractivity.org/LabuzaIFT2002.pdf. Minnesota St Paul,USA. [20 Februari 2009] Lawton JW, Wilson CM. 2003. Proteins of the kernel. Di dalam: White PJ, Johnson LA. Corn: Chemistry and Technology. 2nd Edition. St.Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists Inc. Laztity R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein. 2nd Edition. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc. Lievonen SM., Ross YH. 2002. Water sorption of food models for studies of glass transition and reaction kinetics. J Food Sci 65(5): 1758-1766. Mauro DJ, Abbas IR, Orthoefer FT. 2003. Corn starch modification an uses. Di dalam: White PJ, Johnson LA. Corn: Chemistry and Technology. 2nd edition. St.Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists Inc. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Edition. Washington DC: CRC Press.
111
Merdiyanti A. 2008. Paket teknologi pembuatan mi kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Meyer LH. 1973. Food Chemistry. New Delhi: Affiliated East-West. PVT. Ltd. Moorthy SN. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Eliasson AC, editor. Starch in Food : Structure, Function, and Application. Boca Raton, Florida: CRC Press Moreira RG, Sun X, Chen Y. 1997. Factors affecting oil uptake in tortilla chips in deep fat frying. J Food Eng 31(4): 485-498. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: PAU IPB. Muhandri T. 2007. Pengaruh ukuran partikel, kadar padatan, NaCl dan Na2CO3 terhadap sifat amilografi tepung dan pati jagung. J Teknol dan Industri Pangan 18(2): 109-117. Nielsen SS. 2003. Food Analysis. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. Nishita KD, Bean MM. 1982. Grinding methods: their impact on rice flour properties. J Cereal Chem 59(1): 46-49. Nugroho A. 2007. Kajian metode penentuan umur simpan produk flat wafer dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan model kadar air kritis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Orthoefer FT, Cooper DS. 2004. Initial quality of frying oil. Di dalam: Perkins EG and Erickson MD. Deep Frying Chemistry, Nutrition, and Practical Applications. Champaign: AOCS Press. hlm 29-42. Pokorny J. 1999. Changes of nutrients at frying temperatures. Di dalam: Boskou D, Elmadfa I. Frying of Food. Lancaster, Pensylvania, USA: Technomic Publishing Company, Inc. hlm 69-95. Pomeranz Y, Meloan CE. 2000. Food Analysis Theory and Practice. Maryland: Aspen Publishers, Inc. Rahman AD. 2007. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut [skripsi]. Bogor: Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
112
Reputra J. 2009. Karakterisasi tapioka dan penentuan formulasi premix sebagai bahan penyalut untuk produk fried snack [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ridwan IN, Eka RSS. 1996. Pengaruh suhu dan waktu pengukusan terhadap sifat fisiko-kimia opak tepung ketan. J Ilmu dan Teknol Pangan 1(1): 1-6. Riyani. 2007. Teknologi produksi dan karakterisasi tepung jagung varietas unggul nasional [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saguy S, Dana D. 2003. Integrated approach to deep fat frying: engineering, nutrition, health, and consumer aspects. J Food Eng 56(2-3): 143-152. Siwi BH, Damardjati DS. 1986. Perkembangan dan kebijaksanaan produksi beras nasional. Makalah disampaikan pada Konsultasi Teknik Pengembangan Industri Pengolahan Beras Non Nasi, Jakarta. Spiess WEL, Wolf W. 1987. Critical evaluation of methods to determine moisture sorption isotherm. Di dalam: Rockland RB. Water Activity : Theory and Application to Food. New York: Marcel Dekker Inc. Sudarmadji S, Bambang H, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Keempat. Yogyakarta: Alberti. Suprapto, Marzuki HAR. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Jakarta: Penebar Swadaya. Supriyanto, Rahardjo B, Marsono Y, Supranto. 2006. Kinetika perubahan kadar 5hydroxymethyl-2-furfural (HMF) bahan makanan berpati selama penggorengan. J Teknol dan Industri Pangan 17 (2): 109-119. Swinkles JJM. 1985. Source of starch in chemistry and physics. Di dalam: Beyum V, Roels JA. Pasta and Noodle Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: IPB Press. Syarief R, Santausa S, Isyana B. 1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Taggart P. 2004. Starch as an ingredient : manufacture and application. Di dalam : Eliasson AC, editor. Starch in Food : Structure, Function, and Application. Boca Raton, Florida: CRC press.
113
Taokis PS, Meskine AE, Labuza TP. 1988. Moisture transfer and shelf life of packages foods. Di dalam: Hotchkiss JH. ACS Symposium Series Foods and Packaging Interaction. Colorado: American Chemical Society. Van den Berg C, Bruin S. 1981. Water Activity and Its Estimation in Food System: Theoritical Aspects. New York: Academy Press. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta : PT.Gramedia Watson SA. 2003. Description, development, structure, and composition of the corn kernel. Di dalam: White PJ, Johnson LA. Corn: Chemistry and Technology. 2nd Edition. St.Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemists Inc. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG et al. 1999. Kumpulan Makanan Tradisional I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wirakartakusumah MA, Hermanianto D, Andarwulan N. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Yustica H. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi minyak selama penggorengan kerupuk sagu [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Yuyun A. 2007. Membuat Lauk Crispy. Jakarta : Agromedia Pustaka.
114
LAMPIRAN
115
Lampiran 1 Form kuesioner uji rating hedonik untuk penentuan viskositas acuan UJI RATING HEDONIK Nama : No. Hp : Instruksi
:
-. Jenis produk yang ada di depan Anda adalah coating tepung bumbu pada tempe goreng -. Cicipi produk dari kiri ke kanan -. Berikan nilai tingkat kesukaan : 1 = sangat tidak suka
4 = netral
7 = sangat suka
2 = tidak suka
5 = agak suka
3 = agak tidak suka
6 = suka
-. Netralkan indra pencicip Anda sebelum dan di antara penilaian produk. -. Jangan membandingkan antar sampel
Penilaian
Kode Sampel 742
859
964
Kerenyahan Penampakan
Berikan penilaian terhadap atribut yang dapat memengaruhi penerimaan produk tepung bumbu di bawah ini: (1= sangat tidak penting, 2=tidak penting, 3= penting, 4= sangat penting) a. Kerenyahan =.............
b. Penampakan = .............
116
Lampiran 2 Form kuesioner uji rating hedonik untuk penentuan formulasi terbaik Nama :
tanggal :
Instruksi : -. Jenis produk yang ada di depan Anda adalah coating tepung bumbu pada tempe goreng -. Cicipi produk -. Netralkan indra pencicip Anda sebelum dan di antara penilaian produk, lalu berikan penilaian. 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= netral 4= suka 5= sangat suka
Parameter
742
859
Kode sampel 964 177
228
591
Kerenyahan Penampakan Overall
117
Lampiran 3 Form kuesioner uji rating hedonik formula terpilih ditambah bumbu Nama
:
No. Hp :
Instruksi : -. Jenis produk yang ada di depan Anda adalah Coating Tepung Bumbu pada Tempe Goreng -. Cicipi produk -. Berikan penilaian (√) secara overall dari produk Tepung Bumbu tersebut. Penilaian
Kode Sampel 742
Sangat suka (5) Suka (4) Netral (3) Tidak suka (2) Sangat tidak suka (1)
118
Lampiran 4 Form kuesioner uji rating hedonik penentuan kadar air kritis
Nama
:
Tanggal
:
No.Hp :
RATING HEDONIK
Berikan penilaian terhadap produk tepung bumbu, berikut ini : 7 = sangat suka
3 = agak tidak suka
6 = suka
2 = tidak suka
5 = agak suka
1 = sangat tidak suka
4 = netral Kode sampel Penilaian
Daya mawur
119
Lampiran 5 Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ml 0.1N Na2S2O3 Glukosa, fruktosa, dan gula invert mg C6H12O6 ; 1
2.4
2.4
2
4.8
2.4
3
7.2
2.5
4
9.7
2.5
5
12.2
2.5
6
14.7
2.5
7
17.2
2.6
8
19.8
2.6
9
22.4
2.6
10
25.0
2.6
11
27.6
2.7
12
30.3
2.7
13
33.0
2.7
14
35.7
2.8
15
38.5
2.8
16
41.3
2.9
17
44.2
2.9
18
47.1
2.9
19
50.0
3.0
20
53.0
3.0
21
56.0
3.1
22
59.1
3.1
23
62.2
-
24
-
-
120
Lampiran 6 Neraca massa pembuatan tepung jagung Air 0,47 kg (4,7%)
Jagung pipil
Perendaman
Loss : 0,29 kg (0,29%)
Penirisan
Jagung pipil bersih 10,47 kg (104,70%)
Pembuangan kulit ari
Kulit ari 2,66 kg (26,60%)
10,00 kg
Penirisan
Beras jagung bersih
Pembuangan germ
Beras jagung
Pengecilan ukuran
7,26 kg (72,60%) Perikarp dan germ
Jagung sosoh 7,52 kg (75,20%)
Loss: 0,26 kg (2,60%) Loss: 0,06 kg (0,60%)
1,02 kg (1,02%)
2,07 kg (20,70%) Sisa tepung kasar
Pengeringan (oven 60oC, 2 jam)
Beras jagung kering
Penepungan
5,82 kg (58,20%)
Pengeringan (oven 60oC, 3 jam)
5,34 kg (53,40%) Loss: 0,48 kg (4,80%)
Loss: 0,42 kg (4,20%)
Tepung jagung
Tepung jagung kering
Pengayakan
5,21 kg (52,10%)
Loss: 0,13kg (1,30%)
Tepung jagung 120 mesh
3,08 kg (30,80%)
121
Lampiran 7 Komposisi kimia tepung jagung KADAR AIR Kadar air (%) Ul I II rataan
bb 7,43 7,48 7,45 ± 0,032
bk 8,03 8,08 8,06 ± 0,038
KADAR ABU Ul I II Rataan
Kadar abu (%) bb 0,13 0,12 0,13 ± 0,004
bk 0,14 0,13 0,14 ± 0,004
KADAR PROTEIN Konsentrasi HCl = 0,0153 N Blanko Ul I II Rataan
= 0,10 ml Kadar protein (%) bb bk 6,69 7,23 6,66 7,26 6,67 ± 0,020 7,24 ± 0,024
KADAR LEMAK Ul I II Rataan
Kadar lemak (%) bb bk 2,38 2,58 2,37 2,56 2,38 ± 0,007 2,57 ± 0,008
KADAR KARBOHIDRAT By Difference Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (7,45% + 0,13% + 6,67% + 2,38%) = 83,37%.
122
Lampiran 7 Komposisi kimia tepung jagung (lanjutan) Kadar karbohidrat (% bk) = 100% - (0,14% + 7,24% + 2,57%) = 90,05%. KADAR SERAT KASAR Ul I II Rataan
Kadar serat kasar (%) bb bk 0,87 0,94 0,89 0,96 0,88 ± 0,016 0,95 ± 0,018
KADAR PATI Ul
kadar pati (%bb)
Kadar pati (%bk)
I II Rataan
58,74 60,03 59,39 ± 0,909
63,47 64,86 64,17 ± 0,983
KADAR AMILOSA Persamaan kurva standar: y = 23,81x + 0,002 R2= 0,999
&)
*+,)
Ul I II Rataan
Kadar amilosa (%bb) 28,50 27,30 27,90 ± 0,848
Kadar amilosa (%bk) 30,79 29,49 30,14 ± 0,919
123
Lampiran 8 Kadar pati, amilosa dan amilopektin dari tepung bumbu komersial Sajiku Kandungan
(%bb)
Pati
54,48
Amilosa
19,07
Amilopektin
35,41
Lampiran 9 Profil gelatinisasi tepung bumbu komersial Parameter Suhu (oC) Suhu awal gelatinisasi (oC)
72,75
Waktu awal gelatinisasi (menit)
28,50
Viskositas maksimum (BU)
640
Suhu puncak gelatinisasi (oC)
95
Viskositas saat 95oC (BU)
600
Viskositas setelah holding 95oC (BU)
430
Viskositas saat 50oC (BU)
480 o
Viskositas setelah holding 50 C (BU)
540
Setback viscosity (BU)
110 95oC
50oC
124
Lampiran 10 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik parameter kerenyahan pada penentuan viskositas acuan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 92.167(a)
31
Mean Square 2.973
2924.100
1
2924.100
4163.612
.000
panelis
77.567
29
2.675
3.809
.000
sampel
14.600
2
7.300
10.394
.000
Error
40.733
58
.702
Total
3057.000
90
Intercept
Df
F 4.233
Sig. .000
Corrected Total
132.900 89 a R Squared = .694 (Adjusted R Squared = .530)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel 1:1
N
1 30
1:1.25
30
1:1.5
30
Sig.
2 5.13 5.93 6.03
1.000
.646
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .702. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
125
Lampiran 11 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik parameter penampakan pada penentuan viskositas acuan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
53.844(a)
31
1.737
1.575
.068
2290.178
1
2290.178
2076.195
.000
panelis
41.822
29
1.442
1.307
.191
sampel
12.022
2
6.011
5.449
.007
Error
63.978
58
1.103
Total
2408.000
90
117.822
89
Intercept
Corrected Total
a R Squared = .457 (Adjusted R Squared = .167)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel 1:1.5
N
1 30
2 4.53
1:1
30
5.23
1:1.25
30
5.37
Sig.
1.000 .625 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.103. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
126
Lampiran 12 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter penampakan untuk penentuan formulasi terbaik Panelis F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4 4 3 3 4 4 5 4 3 4 3 4 2 4 4 5 3 4 4 3 2 3 2 3 2 4 3 5 5 2 2 5 2 3 4 5 4 3 6 3 3 4 4 3 5 4 4 3 7 4 4 5 5 4 4 4 5 4 8 4 4 4 4 4 4 4 4 4 9 4 4 4 5 4 4 4 4 4 10 4 4 5 5 4 5 4 4 4 11 4 5 4 4 4 4 4 4 4 12 3 3 3 4 4 3 3 4 4 13 4 4 5 3 4 4 4 4 4 14 3 3 4 2 2 3 4 4 3 15 3 3 2 3 4 4 4 4 5 16 4 4 4 4 4 4 2 3 3 17 4 4 4 5 3 4 3 4 4 18 4 4 4 4 4 4 4 4 3 19 3 3 3 4 5 3 4 4 3 20 4 3 3 4 4 4 5 4 4 21 2 3 2 2 2 2 5 3 4 22 4 4 4 4 4 4 3 3 4 23 3 4 3 3 4 3 5 5 3 24 4 4 4 4 4 4 3 3 3 25 2 3 4 2 4 4 3 3 2 rata2 3,48 3,52 3,80 3,52 3,68 3,76 3,92 3,84 3,68
F10 F11 F12 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 3 3 4 3 5 4 5 5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 3 4 3 4 4 4 3 4 5 5 3 3 3 3 4 5 4 4 3 4 5 3 3 5 4 3 3 3 3 4 4 4 3 2 4 4 5 4 4 4 3,64 3,84 3,84
127
Lampiran 13 Hasil uji ANOVA rating hedonik terhadap parameter penampakan untuk penentuan formulasi terbaik
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 46,117(a)
df
Mean Square
F
Sig.
35
1,318
2,957
,000
4129,230
1
4129,230
9265,498
,000
sampel
5,930
11
,539
1,210
,280
panelis
40,187
24
1,674
3,757
,000
Error
117,653
264
,446
Total
4293,000
300
163,770
299
Corrected Total
a R Squared = ,282 (Adjusted R Squared = ,186)
128
Lampiran 14 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter kerenyahan untuk penentuan formulasi terbaik Panelis F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 1 4 3 3 4 4 4 3 4 4 3 4 5 2 4 4 5 4 4 5 3 5 3 5 4 5 3 5 1 5 2 5 2 5 5 2 5 3 3 4 4 3 3 4 3 3 4 5 4 4 3 4 5 2 4 4 5 2 5 4 3 2 5 2 4 6 4 2 2 5 4 5 4 5 3 4 3 5 7 4 3 5 5 5 4 4 5 5 3 5 5 8 4 3 2 4 4 4 4 3 3 4 5 2 9 4 4 3 5 3 3 4 4 3 5 5 5 10 4 4 4 5 4 5 3 5 2 2 4 5 11 4 4 2 4 4 3 5 5 5 4 5 4 12 3 2 4 5 5 2 3 5 4 4 3 4 13 3 3 4 4 5 5 3 4 5 4 5 5 14 3 4 4 3 2 5 4 3 2 2 4 3 15 4 5 2 1 3 5 4 4 4 3 5 5 16 2 4 4 1 2 5 2 5 3 4 5 4 17 4 4 4 5 2 5 5 5 5 4 4 5 18 3 3 2 1 1 3 4 4 4 3 2 3 19 2 2 2 2 2 4 4 3 5 3 5 5 20 2 3 3 2 2 3 3 4 5 4 5 2 21 3 3 1 2 3 2 4 3 3 3 2 3 22 3 3 4 2 2 4 3 4 5 4 4 5 23 3 3 3 2 2 4 4 2 3 2 3 3 24 3 3 3 2 3 5 4 2 5 3 4 5 25 2 3 3 2 4 4 5 3 4 4 3 4 rata2 3,32 3,20 3,24 3,24 3,2 3,96 3,80 4,00 3,72 3,64 3,88 4,12
129
Lampiran 15 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik terhadap parameter kerenyahan untuk penentuan formulasi terbaik
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Intercept panelis sampel
df
Mean Square
Sig.
96,890(a)
35
2,768
2,895
,000
3909,630
1
3909,630
4088,016
,000
63,120
24
2,630
2,750
,000
3,210
,000
33,770
11
3,070
Error
252,480
264
,956
Total
4259,000
300
349,370
299
Corrected Total
F
a R Squared = ,277 (Adjusted R Squared = ,182)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel F2
N
1
2
3
25
3,20
F5
25
3,20
F3
25
3,24
F4
25
3,24
F1
25
3,32
3,32
F10
25
3,64
3,64
3,64
F9
25
3,72
3,72
3,72
F7
25
3,80
3,80
3,80
F11
25
3,88
3,88
F6
25
3,96
F8
25
4,00
F12
25
4,12
Sig.
,065
,072
,139
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,956. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
130
Lampiran 16 Hasil organoleptik uji rating hedonik terhadap parameter overall untuk penentuan formulasi terbaik Panelis F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 1 3 3 3 2 4 4 5 4 4 4 3 3 2 4 3 4 3 3 4 3 2 5 4 4 5 3 3 3 4 2 3 4 3 3 2 3 4 4 4 3 3 4 2 2 4 3 4 5 4 4 5 5 3 3 2 2 3 2 5 3 4 3 2 3 6 2 3 3 3 3 3 3 4 4 4 5 3 7 3 3 3 2 4 4 5 4 5 4 5 4 8 3 3 3 2 2 4 4 4 3 3 2 3 9 3 3 3 4 3 5 4 4 5 4 4 4 10 2 3 4 1 2 5 2 4 3 4 4 3 11 3 3 2 2 4 5 5 5 5 4 5 5 12 3 3 4 3 2 4 4 4 3 3 3 3 13 3 3 4 4 5 5 3 4 5 4 5 5 14 3 3 3 5 5 2 3 5 4 4 3 4 15 4 4 3 4 4 3 4 5 5 4 5 4 16 4 3 4 4 5 3 3 4 4 3 4 5 17 4 3 5 3 3 5 5 5 4 4 4 5 18 3 3 4 4 5 4 5 4 2 5 2 4 19 4 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 5 20 4 3 5 3 2 5 3 5 4 4 4 5 21 4 3 2 5 3 5 5 4 2 4 4 5 22 4 3 5 5 5 4 5 5 4 3 5 5 23 4 3 3 4 4 4 4 4 4 5 5 3 24 4 4 3 5 3 3 4 4 4 5 5 5 25 4 3 4 5 4 5 3 5 2 2 4 5 rata2 3,36 3,12 3,48 3,28 3,48 3,96 3,84 4,08 3,80 3,76 3,92 4,20
131
Lampiran 17 Hasil uji ANOVA rating hedonik terhadap parameter overall untuk penentuan formulasi terbaik
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Intercept panelis sampel
df
Mean Square
Sig.
76,777(a)
35
2,194
3,158
,000
4084,830
1
4084,830
5880,231
,000
45,087
24
1,879
2,704
,000
4,147
,000
31,690
11
2,881
Error
183,393
264
,695
Total
4345,000
300
260,170
299
Corrected Total
F
a R Squared = ,295 (Adjusted R Squared = ,202)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel F2
N
1
2
3
4
5
25
3,12
F4
25
3,28
3,28
F1
25
3,36
3,36
3,36
F3
25
3,48
3,48
3,48
3,48
F5
25
3,48
3,48
3,48
3,48
F10
25
3,76
3,76
3,76
3,76
F9
25
3,80
3,80
3,80
3,80
F7
25
3,84
3,84
3,84
F11
25
3,92
3,92
F6
25
3,96
3,96
F8
25
4,08
F12
25
4,20
Sig.
,179
,053
,076
,080
,110
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,695. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
132
Lampiran 18 Hasil organoleptik uji rating hedonik formula tepung terpilih yang ditambah bumbu Panelis tepung berbumbu 1
4
2
4
3
4
4
5
5
4
6
4
7
3
8
5
9
5
10
5
11
3
12
4
13
5
14
4
15
4
16
4
17
4
18
4
19
4
20
4
21
3
22
4
23
3
24
4
25
4
Rata2
4,04
133
Lampiran 19 Komposisi kimia tepung bumbu terpilih Kadar air U I II Rata2
Kadar air %bb 8,25 8,54 8,39 ± 0,207
%bk 8,99 9,34 9,16 ± 0,247
Kadar abu U I II Rata2
Kadar abu %bb 1,2 1,14 1,17 ± 0,043
%bk 1,31 1,24 1,28 ± 0,046
Kadar lemak U I II Rata2
Kadar lemak %bb %bk 0,67 0,73 0,68 0,74 0,68 ± 0,007 0,74 ± 0,008
Kadar protein U I II Rata2
Kadar protein %bb %bk 5,62 6,13 5,76 6,28 5,69 ± 0,096 6,21 ± 0,104
Kadar serat kasar U I II Rata2
Kadar serat kasar %bb %bk 0,27 0,30 0,27 0,30 0,27 ± 0,000 0,30 ± 0,000
134
Lampiran 19 Komposisi kimia tepung bumbu (lanjutan) Kadar Karbohidrat (KK) KK (%bb)
= 100%-(8,39 + 1,17 + 0,68 + 5,69) = 84,07
KK (%bk)
= 100%- (1,28 + 0,74 + 6,21) = 91,77
Kadar pati U I II Rata2
Kadar pati %bb 61,84 61,1 61,47 ± 0,523
%bk 67,50 66,70 67,10 ± 0,571
Kadar amilosa U I II Rata2
Kadar amilosa %bb %bk 20,67 22,56 22,23 24,26 21,45 ± 1,103 23,41 ± 1,202
135
Lampiran 20 Komposisi kimia tepung beras Kandungan kadar air kadar abu kadar protein kadar lemak kadar karbohidrat kadar pati kadar amilosa kadar amilopektin
Jumlah (%bb) 11,28 0,26 7,76 0,62 80,08 61,13 17,37 43,76
Lampiran 21 Komposisi kimia tapioka Kandungan kadar air kadar abu kadar protein kadar lemak kadar karbohidrat kadar pati kadar amilosa kadar amilopektin
Jumlah (%bb) 12,22 0,05 0,35 0,48 86,90 66,81 24,25 42,56
Lampiran 22 Komposisi kimia tepung ketan Kandungan kadar air kadar abu kadar protein kadar lemak kadar karbohidrat kadar pati kadar amilosa kadar amilopektin
Jumlah (%bb) 12,64 0,18 5,67 0,96 80,55 51,24 5,68 45,56
136
Lampiran 23 Hasil uji organoleptik rating hedonik pada penentuan kadar air kritis Panelis 0 jam 6 jam 12 jam 18 jam 24 jam 1 6 5 5 3 2 2 5 4 3 2 2 3 4 4 3 3 2 4 5 5 3 3 2 5 6 6 5 5 5 6 5 6 2 2 1 7 5 5 5 4 4 8 6 5 5 3 3 9 6 6 5 3 3 10 6 6 3 3 2 11 5 6 5 4 4 12 6 6 3 2 2 13 6 3 3 3 2 14 6 5 3 2 1 15 5 5 3 2 1 16 4 5 3 2 2 17 6 6 4 3 3 18 5 6 4 3 2 19 4 5 3 3 2 20 4 4 4 5 6 21 4 5 3 2 2 22 5 6 5 5 4 23 5 5 4 6 3 24 4 3 2 1 2 25 4 3 4 3 2 Rata2 5,08 5,00 3,68 3,08 2,56
137
Lampiran 24 Hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan rating hedonik pada penentuan kadar air kritis
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
194.720(a)
28
6.954
10.042
.000
1881.800
1
1881.800
2717.401
.000
panelis
66.800
24
2.783
4.019
.000
sampel
46.181
.000
Intercept
127.920
4
31.980
Error
66.480
96
.693
Total
2143.000
125
261.200
124
Corrected Total
a R Squared = .745 (Adjusted R Squared = .671)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets
skor
Duncan Subset sampel 24 jam
N
1 25
18 jam
25
12 jam
25
6 jam
25
0 jam
25
Sig.
2
3
4
2,56 3,08 3,68 5,00 5,08 1,000
1,000
1,000
,735
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,693. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000. b Alpha = ,05.
138
Lampiran 25 Contoh penentuan persamaan dan MRD model-model sorpsi isotermis Hasley
log(ln(1/aw)) = log P(1) – P(2) log Me
aw 0,17
Me
x = log Me
y = log (ln(1/aw))
0,04
-1,38
0,26
0,04
0,07
0,37
0,06
-1,21
-0,01
0,07
0,06
0,46
0,08
-1,12
-0,11
0,08
0,06
0,56
0,11
-0,97
-0,24
0,11
0,01
0,75
0,20
-0,69
-0,54
0,20
0,03
Konstanta
a b
-1,33 -1,12
Me Hasley
MiMpi/Mi
MRD
Persamaan Hasley
log (ln(1/aw)) = -1,33-1,12 log Me
4,77 &)
*
! "
+,)
! "
139