SKRIPSI
PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
Oleh :
MONA FITRIA F24103015
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi. ABSTRAK Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis. Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras. Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal.
Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.
PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA F 24103015
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA F 24103015 Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007 Menyetujui, Bogor, Agustus 2007
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc.
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina. Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh). Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB dan Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pada tahun 2006, penulis berhasil masuk 6 besar Mahasiswa Berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis adalah penerima beasiswa PPA (2005) dan beasiswa PERTAMINA-BP MIGAS (2006). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang mendapatkan dana bantuan dari Laboratorium Jasa Analisis (LJA), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan judul: Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada: 1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik. 2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis. 4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini. 5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. 6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends. 7. Teman seperjuangan dalam pelaksanaan penelitian ini : Bos Fina dan Aji. “Fin, dari awal sampai akhir penelitian ini kita selalu bersama. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun”. “Aji, terima kasih untuk kerjasamanya”.
i
8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn, Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10. Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP : Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me. 11. Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya. 12. Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, temanteman di golongan A, teman-teman di HIMITEPA dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini. 13. Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. 14. Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.
Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitianpenelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Tujuan
4
C. Manfaat
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biskuit
5
B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit
11
C. Aktivitas Air
12
D. Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis
14
E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
17
F. Kemasan
20
G. Umur Simpan
24
H. Metode Akselerasi
26
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat
31
B. Metode Penelitian
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis
40
B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis
46
C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model
48
D. Permeabilitas Uap Air Kemasan
54
iii
Halaman E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan
56
F. Variabel Umur Simpan Lainnya
57
G. Umur Simpan
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN
70
DAFTAR PUSTAKA
73
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 01-2973-1992
5
Tabel 2. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya
6
Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air
16
Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan
42
Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC
43 46
Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan
48
Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak
49
Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras
50
Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan
51
Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme
54
Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan
61
Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan
62
Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 63 Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie
64
Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB
65
Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB
66
Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 68
v
Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 69
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum
11
Gambar 2. Kurva sorpsi isothermis secara umum
16
Gambar 3. Diagram alir metode penelitian
33
Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31
38
Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit
41
Gambar 6. Hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras
43
Gambar 7. Hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras
44
Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan adonan keras
48
Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB
52
Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie
52
Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB
53
Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB
58
Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB
58
Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB
59
Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie
59
Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB
60
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit
76
Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit
77
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit
78
Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan
79
Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear
80
Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis
82
Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan GAB
83
Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis
85
Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras
86
Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD
90
Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras
91
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005). Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya. Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan. Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006). Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah populer di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan. Karakteristik kerenyahan produk dapat dipertahankan dengan sistem pengemasan yang benar. Pemilihan bahan kemasan yang tepat sangat menentukan mutu produk biskuit dalam kemasan. Pengetahuan tentang pola penyerapan air dan kadar air kritis produk
dapat dijadikan dasar dalam
penentuan umur simpan produk. Karena produk yang dipilih adalah biskuit
2
yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis. Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat
3
diketahui dengan melihat kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik. Secara umum sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang sesuai, cepat, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.
B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.
C. MANFAAT PENELITIAN 1. Mengetahui perbandingan umur simpan biskuit yang ditentukan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan umur simpan yang ditentukan dengan pendekatan kadar air termodifikasi sehingga dapat diketahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menduga umur simpan produk biskuit secara umum. 2. Mengetahui nilai umur simpan produk biskuit pada umumnya, dimana umur simpan ini sangat penting karena terkait dengan keamanan produk.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BISKUIT Biskuit adalah salah satu jenis kue kering (cookies), yang terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978), dan diproses dengan proses pemanggangan sampai kadar air produk tidak lebih dari 5 % (BSN, 1992). Di dalam SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit, biskuit didefinisikan sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Matz dan Matz, 1978). Biskuit dicirikan oleh tingginya kadar gula dan shortening serta rendahnya kandungan air dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Apabila dikemas produk biskuit akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000). Menurut Whiteley (1971), suatu produk disebut biskuit bila 40% dari bahan utamanya merupakan serealia seperti gandum, jagung, oat, atau barley dan kadar air produk tidak lebih dari 5 %. Syarat mutu biskuit dapat ditemukan dalam SNI 01 – 2973 – 1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 Komponen Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Logam Kalori Serat kasar Jenis tepung Bau dan rasa Warna Sumber : BSN, 1992
Satuan % b/b % b/b % b/b % b/b % b/b Kal/ g % b/b -
Spesifikasi Maks. 5,0 Min. 9,0 Min. 9,5 Min. 70,0 Maks. 1,5 Negatif Min. 400,0 Maks. 0,5 Terigu Normal, tidak tengik Normal
Mutu biskuit tergantung pada beberapa hal, yaitu komponen penyusunnya dan penanganan bahan sebelum serta sesudah produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi karena penggunaan bahan yang tidak proporsional atau cara pembuatan yang tidak tepat (Vail et al., 1978). Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut. Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya Penyimpangan Penyebab Keras Kurang lemak Kurang air dan terlalu banyak campuran Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat dan kurang air Oven kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata Warna tidak rata Bentuk tidak merata Panas tidak merata Hambar dan berat Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Pemanggangan terlalu lama Permukaan keras Pemanggangan terlalu lama Suhu oven terlalu tinggi Berminyak dan rapuh Terlalu banyak lemak Sumber : Vail et al., 1978
1. Bahan Pembuat Biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak, dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi (Matz dan Matz, 1978).
6
Biskuit yang baik menggunakan terigu lunak sebagai bahan dasarnya. Terigu lunak memiliki kadar protein sekitar 8% dan kandungan glutennya tidak terlalu tinggi (Vail et al., 1978). Tepung terigu dalam pembuatan
biskuit
berperan
sebagai
pembentuk
adonan
selama
pencampuran, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya, pengikat gas selama proses fermentasi, dan pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978). Gula digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, dan pembentuk warna pada permukaan biskuit. Jenis gula yang biasa ditambahkan adalah gula pasir atau sirup glukosa. Jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur dan penampakan produk akhir sepeti warna (Matz dan Matz, 1978). Lemak dan minyak dalam biskuit akan melunakkan dan menghaluskan tekstur, membuat struktur yang elastis, memberi cita rasa khas biskuit. Keberadaan lemak dan minyak di dalam biskuit membuat biskuit cepat melunak di dalam mulut. Lemak dan minyak alami yang sering digunakan antara lain, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Lemak nabati lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus (Matz dan Matz, 1978). Bahan lain seperti telur berfungsi sebagai pengemulsi, peningkat flavor, warna, dan kelembutan. Selain itu, kerenyahan biskuit akan bertambah
dengan
adanya penambahan
telur. Bahan pengembang
ditambahkan untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2. Gas akan dilepaskan selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna. Adanya bahan pengembang juga dapat mencegah penyusutan dan menyeragamkan remah. Bahan pengembang yang sering digunakan adalah ammonium bikarbonat (Matz dan Matz, 1978).
2. Klasifikasi Biskuit Produk biskuit dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat, yaitu
berdasarkan
tekstur
(kekerasan),
perubahan
bentuk
akibat
pemanggangan, ekstensibilitas (sifat) adonan, dan pembentukan produk
7
(Manley, 1983). Menurut sifat adonan, biskuit dibedakan menjadi adonan lunak, keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek dari lemak (shortening) dan efek dari pelunakan oleh gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai pada batas tertentu dengan penambahan air. Adonan fermentasi mengalami pengembangan gluten penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan pengembangan tersebut. Sebagai akibatnya, terjadi penyusutan panjang produk setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985). Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%. Produk yang tergolong jenis ini adalah cookies, snap, biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Adonan lunak dibuat dengan mengocok lemak dan gula sampai membentuk krim. Selama dikocok perisa dan pewarna dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dan garam dilarutkan dulu dengan air atau susu cair dan selanjutnya dicampurkan dengan krim. Tepung terigu ditambahkan di akhir proses pencampuran (Soenaryo, 1985). Jenis adonan keras dibuat dengan cara yang hampir sama dengan adonan lunak, akan tetapi waktu pencampuran diperpanjang dan ditambahkan sodium metabisulfit untuk mereduksi pengembangan gluten. Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk dan biasanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tahapan aging, tergantung pada jenis bahan pengembang. Pada adonan keras ini terjadi pengikatan pati dengan
protein,
pelarutan
gula,
garam,
bahan
pengembang,
dan
pendispersian lemak ke seluruh bagian adonan. Jenis adonan keras mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%. Contoh produknya adalah biskuit marie, biskuit setengah manis, dan biskuit tidak manis (Soenaryo, 1985). Lain halnya dengan adonan fermentasi, adonan tersebut memiliki kadar gula rendah, kadar lemak 25-30%, dan tingkat kerenyahannya tertentu. Contoh produk jenis adonan fermentasi adalah biskuit crackers (Soenaryo, 1985).
8
3. Proses Pembuatan Biskuit Proses pembuatan biskuit terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan biasanya berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut Manley (1983), metode dasar pencampuran adonan dibagi menjadi dua yaitu, metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan adonan dengan metode krim dilakukan secara bertahap. Awalnya lemak dan gula dicampur sehingga membentuk krim yang homogen dan selama pembuatan krim bisa pula ditambahkan pewarna dan perisa (essence). Selanjutnya ditambahkan susu, bahan pengembang, dan garam yang telah dilarutkan dengan air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu ke dalam adonan dan dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode krim ini akan menghasilkan adonan yang sifat pengembangan glutennya tidak berlebihan dan terbatas (Matz dan Matz, 1978). Lain halnya dengan metode all in, semua bahan dicampur bersamaan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Metode ini lebih cepat, namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras. Setelah adonan dibuat, adonan tersebut akan mengalami proses aging selama ± 15 menit, tergantung jenis bahan pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan pada bahan pengembang untuk bekerja efektif. Selanjutnya dilakukan pencetakan terhadap adonan yang sebelumnya telah ditipiskan sampai mencapai ketebalan tertentu. Bentuk dan ukuran biskuit diusahakan seragam karena hal ini dapat membantu proses pemanggangan. Untuk menghindari kelengketan antara adonan dan alat, permukaan adonan diberi tepung. Adonan yang telah dicetak tersebut ditata di atas loyang yang telah diolesi lemak lalu dipanggang. Pengolesan lemak bertujuan untuk menghindari lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang. Pemanggangan merupakan tahap pemasakan adonan. Selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu penurunan densitas, terbentuknya tekstur yang porous, penurunan kadar air, dan perubahan warna karena adanya reaksi Maillard dan karamelisasi. Selain itu, pati akan
9
mengalami gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO2 dan komponen aroma dibebaskan. Pemanggangan segera dilakukan setelah pencetakan. Selama pemanggangan akan terbentuk struktur biskuit akibat adanya gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biskuit akan meningkat 4 - 5 kali dan kadar air akan menurun dari 21% menjadi kurang dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2,5 sampai 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Biasanya biskuit dipanggang pada suhu ± 350 oF (177 oC) selama ± 10 menit. Suhu dan lama pemanggangan akan menentukan kadar air akhir biskuit yang dihasilkan. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dibakar pada suhu yag lebih tinggi, yaitu 177-204 oC (Matz dan Matz, 1978). Faktor-faktor yang perlu dikendalikan pada proses pemanggangan adalah suhu, waktu, serta sirkulasi udara di dalam oven. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan biskuit menjadi hangus di bagian luar tetapi bagian dalam belum matang. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan pemanggangan terlalu lama sehingga biskuit akan menjadi kering karena penguapan air yang terlalu banyak. Selain itu, rasa dan aroma juga banyak berkurang. Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mendapatkan tekstur yang keras akibat memadatnya gula dan lemak. Biskuit dikemas untuk melindunginya dari kerusakan dan penyimpangan mutu. Menurut Manley (1983), biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen. Oleh karena itu, bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar matahari, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Bahan pengemas yang dapat digunakan diantaranya plastik, alumunium foil, kertas minyak, karton berlipat, dan kaleng berbentuk persegi dan bulat. Bahan kemasan diatas dapat berperan sebagai kemasan primer atau sekunder. Berikut ini adalah diagram alir pembuatan biskuit secara umum.
10
Bahan pembuat biskuit
di-mixing di-aging dicetak dipanggang didinginkan dikemas Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum (Soenaryo, 1985)
B. MUTU DAN PENURUNAN MUTU BISKUIT Mutu biskuit akan menurun seiring dengan bertambahnya umur produk. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, mutu produk pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor. Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan uap air atau gas. Biskuit memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kerenyahan produk. Biskuit mempunyai kadar air awal sebesar 1.52.5% (Vail et al., 1978). Makanan kering pada umumnya termasuk biskuit mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, perubahan organoleptik,
11
kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan off-flavor. Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahan yang menjadi kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada sebagian besar produk pangan (Vail et al., 1978).
C. AKTIVITAS AIR Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan kondisi air dalam bahan pangan. Istilah ini menunjukkan jumlah air yang tidak terikat atau bebas dalam sistem dan dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba, produksi racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia lainnya (Mercado dan Canovas, 1996). Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen. Menurut Winarno (2004), istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan pangan adalah air terikat. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena keterikatan air dalam bahan pangan berbeda-beda bahkan ada air yang tidak terikat. Menurut derajat keterikatannya, air dibagi dalam empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni (Winarno,
12
2004). Apabila air dalam bahan pangan terikat kuat dengan komponen bukan air, maka air tersebut lebih sukar digunakan untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan daya awet produk. Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi (Fennema, 1985). Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan umur simpan suatu produk pangan karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas diantaranya, kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan non-enzimatis (Winarno dan Jenie, 1983). Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Pada selang aktivitas air sekitar 0.7 – 0.75 atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. 2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6 – 0.7, jamur dapat mulai tumbuh. 3. Aktivitas air sekitar 0.35 – 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. 4. Pada selang aktivitas air 0.4 – 0.5, produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Secara matematis, aktivitas air (aw) dari suatu bahan pangan dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (Pf) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama. Persamaannya adalah sebagai berikut: aw = Pf Po
13
Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering dihubungkan dengan kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimabangan sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: aw = ERH 100 Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya.
D. KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN SORPSI ISOTERMIS Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan atau pengurangan bobot produk. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan dinyatakan sebagai kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity). Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992).
14
Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara meletakkan contoh dalam tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2mg/g untuk kondisi RH ≤ 90 % dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Lain halnya dengan metode dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan. Pergerakan udara dibutuhkan untuk untuk mempercepat pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva sorpsi isothermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban udara lingkungan. Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya digambarkan oleh suatu kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu
(Syarief
dan
Halid,
1993).
Kurva
sorpsi
isotermis
juga
menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan air) dari bahan makanan. Hubungan ERH atau aw dan kadar air bahan pangan pada suhu konstan digambarkan seperti pada gambar 2. Pada bahan pangan, sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 2004). Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.
15
Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982) Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air Keadaan air di dalam bahan pangan aw 0.00 – 0.35 Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) 0.35 – 0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer) 0.60 – 1.00 Air terkondensasi pada kapiler atau pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut Sumber : Gunasekharan dan John (1993) Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai aw yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi (Buckle et al., 1985). Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan
16
fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema, 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno, 2004). Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias, 1978).
E. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).
17
Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu: 1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda. 2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya. 3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya. Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut: V = Vm * [ba/(K+ba)] dimana:
V
= jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu
Vm
= jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal
a
= sifat termodinamika gas
b
= konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan
Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner, Emmet, dan Teller (1938) menambahkan bahwa proses adsorpsi tidak hanya
18
bersifat satu lapis molekul air, namun juga membentuk lapisan molekul ganda. Bentuk persamaan isotermis BET adalah sebagai berikut: aw
=
1
(1 – aw)M dimana:
+ aw (C – 1)
CMm
CMm
Mm
= kadar air pada lapisan tunggal
C
= tetapan adsorpsi BET
Model BET ini hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5, namun data yang didapat ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal dari suatu bahan pangan (Labuza, 1982 diacu dalam Arpah, 2001). Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB (Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi isotermis bahan pangan pada kisaran aw yang lebih luas dari model BET, yaitu 0.05 < aw < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Persamaan GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut: M=
X m C K aw (1 – K aw) (1 – K aw + C K aw)
dimana:
M
= kadar air (% basis kering)
aw
= aktivitas air
Xm
= kadar air monolayer (%)
K
= konstanta
C
= konstanta energi
Secara
empiris,
Henderson
mengemukakan
persamaan
yang
menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan untuk kebanyakan bahan pangan, terutama biji-bijian (Chirife dan Iglesias, 1978). Bentuk persamaan tersebut adalah seperti dibawah ini. 1 - aw = exp (-KMen)
19
dimana:
Me
= kadar air kesetimbangan (% basis kering)
K dan n
= konstanta
Selanjutnya, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut dengan P1 dan P2 merupakan konstanta. ln Me = ln P1 – (P2*aw) Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk bahan makanan dengan aw 0.1 sampai 0.81. Berikut ini adalah model persamaan Hasley. aw
= exp [-P1/(Me)P2)
Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada aw 0.00 sampai 0.85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk S (sigmoid). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti dibawah ini. Me
= P1 [aw/(1 – aw)]P2
Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk bahan pangan pada semua kisaran nilai aw. Persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut. aw
= exp[-P1/exp(P2*Me)]
F. KEMASAN Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli.
20
Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan gelombang karton (Syarief et al., 1989). Menurut Winarno dan Jenie (1983) tujuan makanan dikemas adalah untuk mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan mutu kesegaran, warnanya yang tetap, untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan prosuk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (3) menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989). Bahan
pangan
mempunyai
sifat
yang
berbeda-beda
dalam
kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al., 1989).
21
Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic. Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metallized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan. Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastik transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa digunakan adalah aluminium. Proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan dan melelehkan aluminium pada suhu 1500 oC. Uap aluminium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ± 15 oC (Febriyanti, 2002). Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, dan CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Plastik juga merupakan jenis kemasan yang dapat menarik selera konsumen.
22
Salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai bahan pengemas diantaranya polipropilen. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat utama polipropilen adalah sebagai berikut: 1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, namun tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku. 2. Mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen. Pada suhu rendah akan rapuh sehingga tidak bisa digunakan sebagai kemasan beku. 3. Lebih kaku dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. 4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, dan tidak baik untuk produk yang peka terhadap oksigen. 5. Tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. 6. Titik leburnya tinggi sehingga susah dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi menjadi OPP (Oriented Polypropilene), dimana dalam pembuatannya ditarik ke satu arah. Jika ditarik ke dua arah disebut BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). OPP mempunyai sifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, tetapi rapuh terhadap suhu rendah. OPP digunakan untuk produk-produk yang memerlukan sifat penahanan terhadap uap air tinggi (Robertson, 1993). Biskuit merupakan salah satu produk yang biasanya menggunakan bahan kemasan OPP. Aluminium foil merupakan jenis kemasan yang juga sering dipakai. Foil merupakan bahan kemas dari logam, berupa lembaran dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau bagian tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al., 1989). Ketebalan dari aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Aluminium foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui gas dan uap air.
23
Aluminium foil dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Sifat-sifatnya yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas sehingga menjadi foil-plastik, foilkertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama dihubungkan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson, 2001). Transfer uap air melalui bahan kemasan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer uap air terjadi melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopis yang berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas. Difusi aktif adalah adalah proses solubilitas dan difusi, dimana uap air terlarut pada permukaan polimer , lalu dengan adanya perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan.
G. UMUR SIMPAN Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima ini disebut sebagai umur simpan. Bahan pangan akan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
24
Umur simpan produk pangan biasa dituliskan sebagai best before date yang berarti produk masih dalam kondisi baik dan masih dapat dikonsumsi beberapa saat setelah tanggal yang tercantum terlewati. Istilah lain yang digunakan adalah use by date yang menyatakan produk tidak dapat lagi dikonsumsi, karena berbahaya bagi kesehatan manusia (produk yang sangat mudah rusak oleh mikroba) setelah tanggal yang tercantum terlewati (Ellis, 1994). Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000). Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waku tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu pangan dapat diketahui dari perubahan faktor-faktor mutunya. Oleh karena itu, untuk menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Keadaaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume. 3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban, dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
25
4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan umur simpannya dengan menggunakan dua konsep yaitu dengan metode konvesional (Extended Storage Studies) dan metode percepatan (Accelerated Shelf Life Testing). Metode konvensional adalah penentuan umur simpan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun membutuhkan waktu yang panjang dan analisis parameter mutu yang relatif banyak. Biasanya metode konvensional digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001). Metode ASLT menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).
H. METODE AKSELERASI Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan umur simpan menurut Gunasekharan dan John (1993) adalah sebagai berikut: 1. Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif, dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air, dan sebagainya). 2. Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil penilaian organoleptik dan toksikologi. 3. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja. Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arhenius dan model kadar air kritis.
26
1. Model Arrhenius Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh merupakan nilai perkiraan yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instant, tepung-tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar, 2006). Pendugaan umur simpan dengan metode ASLT pada prinsipnya sangat bertumpu pada model Arrhenius, yaitu upaya mempercepat penurunan umur simpan dengan meningkatkan suhu secara terukur. Secara umum, rumus umum penurunan mutu adalah: -dQ/dt = kQn Pengujian laju kerusakan mutu biasanya dilakukan pada minimal tiga suhu yang berbeda. Nilai konstanta laju penurunan mutu (k) dapat ditentukan berdasarkan persamaan Arrhenius, dimana nilai k merupakan fungsi suhu. Selanjutnya masa kadaluarsa (ts) produk ditentukan dengan persamaan ts = (Qo-Qs)/k untuk laju reaksi ordo nol dan ts = [ln(Qo/Qs)]/k untuk reaksi ordo 1, dimana Qo adalah nilai mutu awal dan Qs adalah nilai mutu akhir. Berikut ini adalah persamaan Arrhenius: k = k0.exp (–Ea/RT) dimana: k
= konstanta laju penurunan mutu
k0
= konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)
Ea
= energi aktivasi 27
T
= suhu mutlak
R
= konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986kal/mol.K)
2. Model Kadar Air Kritis Model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis ini kerusakan produk semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari lingkungan hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Pada metode pendekatan kadar air kritis ini, produk pangan kering disimpan pada kondisi lingkungan penyimpanan yang memiliki kelembaban relatif tinggi, sehingga akan mengalami penurunan mutu akibat menyerap air (Labuza, 1982). Labuza (1982) menyatakan bahwa penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : dw k = ( Pout − Pin )A dt x
dimana: dw/dt
= jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram)
k/x
= permeabilitas kemasan (g H2O/hari.m2.mmHg)
A
= luas permukaan kemasan (m2)
Pout
= tekanan uap air di luar kemasan (mmHg)
Pin
= tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)
Model kadar air kritis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan metode kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai kurva isotermis yang biasanya berbentuk sigmoid (bentuk S). Penentuan umur simpan produk pangan dengan menggunakan pendekatan 28
kurva sorpsi isotermis memperhitungkan pengaruh perbedaan kadar air awal dibandingkan dengan kadar air kritis, perbedaan tekanan udara di luar dan di dalam kemasan, permeabilitas uap air kemasan, dan luas kemasan. Keseluruhan faktor yang mempengaruhi umur simpan ini diformulasikan oleh Labuza menjadi persamaan kadar air kritis (Labuza, 1982). Persamaan Labuza ini dapat digunakan untuk menentukan umur simpan produk pada suhu dan kondisi RH tertentu. Persamaan tersebut adalah : θ = ln (me – mo) / (me – mc) k * ( A ) ( Po ) x
Ws b
dimana: θ
= Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam)
me
= Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan)
mo
= Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
mc
= Kadar air kritis (g H2O/g padatan)
b
= Slope kurva sorpsi isotermis
k/x
= Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= Luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= Berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
Po
= Tekanan uap jenuh (mmHg) Pendekatan kadar air kritis termodifikasi digunakan untuk produk
yang memiliki kelarutan tinggi, seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi (Labuza, 1982). Produk ini akan sulit mencapai kadar air kesetimbangan dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linear, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat. Dengan demikian, persamaan kadar air kritis di atas tidak dapat digunakan dan Labuza telah memodifikasi persamaan tersebut menjadi:
29
θ =
(mc – mo) * Ws k * ( A ) * ( ΔP ) x
dimana: θ
= Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam)
mo
= Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
mc
= Kadar air kritis (g H2O/g padatan)
k/x
= Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= Luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= Berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
ΔP
= Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan (mmHg)
30
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biskuit jenis adonan lunak (biskuit glukosa) dan adonan keras (marie), garam MgCl2.6H2O, NaBr, NaCl, KCl, dan garam KNO3 yang mempunyai nilai RH yang bervariasi dan digunakan untuk penentuan kurva sorpsi isotermis, kemasan produk biskuit, silika gel, vaselin, dan akuades. Sampel biskuit merupakan sampel yang sudah ada di pasaran dengan satu kode produksi yang sama dan dibeli di salah satu hypermarket yang ada di kota Bogor. Produk biskuit ini dianggap sebagai produk segar (baru). Umur simpan produk biskuit dari saat membeli adalah 12 bulan untuk biskuit glukosa dan 17 bulan untuk biskuit marie. Jenis kemasan biskuit yang dianalisis adalah metallized plastic dan kemasan PP tebal sebagai pembanding. Alat-alat yang digunakan dalam penentuan umur simpan ini antara lain inkubator 30 oC, oven, desikator kecil, Permatran W 3*31, neraca analitik, pencapit logam, peralatan gelas, cawan alumunium, alumunium foil, hygrometer, aw meter, dan peralatan lain yang mendukung penelitian ini. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yaitu di Laboratorium Jasa Analisis Pangan dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan di Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK), Jakarta. B. METODE PENELITIAN 1. Model Penentuan Umur Simpan Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza:
θ
= ln (me – mo) / (me – mc)
.........................Pers 1
k * ( A ) ( Po ) x
Ws b
dimana: θ
= Waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam)
me
= Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan)
mo
= Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
b
= Slope kurva sorpsi isotermis
mc
= Kadar air kritis (g H2O/g padatan)
k/x
= Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
A
= Luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= Berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
Po
= Tekanan uap jenuh (mmHg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis
termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ
=
(mc – mo) * Ws
……………….Pers 2
k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982).
2. Tahapan Penelitian Mengacu pada kedua pendekatan di atas, maka dilakukanlah suatu rangkaian penelitian secara bertahap. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
32
Penentuan kadar air awal Penentuan kadar air kritis Penentuan pola kurva sorpsi isotermis
Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dan uji ketepatan model
Penentuan permeabilitas kemasan Penentuan berat padatan per kemasan dan luas kemasan Penentuan perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan Pendugaan umur simpan Gambar 3. Diagram alir metode penelitian
a. Penentuan Kadar Air Awal (SNI 01-2891-1992) Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Pengukuran kadar air dilakukan terhadap sampel segar yang baru saja dibuka dari kemasan aslinya. Kadar air awal produk juga diperlukan untuk mengetahui berat padatan produk biskuit. Cawan bersih kosong dikeringkan dalam oven bersuhu ± 105 – 110 o
C selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit
dan ditimbang sebagai (W1). Dua gram sampel (W2) yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam cawan dan dioven pada suhu 105 – 110 oC selama tiga jam sampai mencapai berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W3). Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar air basis kering (g H2O/ g padatan)
=
(W1 + W2) – W3 (W3 – W1)
33
Kadar air basis basah (g H2O/ g padatan)
=
(W1 + W2) – W3 W2
b. Penentuan Parameter Kritis dan Kadar Air Kritis Penentuan parameter kritis dilakukan dengan survei konsumen tentang penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dapat diketahui dengan cara menyebarkan kuisioner kepada 35 orang panelis tentang parameter penyebab kerusakan produk biskuit. Panelis diminta memilih atribut yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk biskuit. Form untuk survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit dapat dilihat pada Lampiran 1. Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan biskuit di suhu ruang selama 5 jam untuk produk biskuit merk A dan 6 jam untuk produk biskuit merk B. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis kadar air, nilai kerenyahan, dan sifat organoleptik kerenyahannya. Uji organoleptik difokuskan pada nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan produk tersebut, dengan skala kesukaan 1 – 7, dimana satu merupakan skala sangat tidak suka dan tujuh adalah skala sangat suka. Contoh form uji kesukaan dapat dilihat pada Lampiran 3. Sampel diujikan kepada 30 orang panelis tidak terlatih. Kadar air diukur berdasarkan SNI 012891-1992 sedangkan nilai kerenyahan diukur dengan alat texture analyzer, menggunakan cylinder probe (P2/E). Setting alat texture analyzer pada saat pengukuran nilai kerenyahan dapat dilihat di Lampiran 4. Sampel diletakkan di atas meja sampel dan ditekan dengan cylinder probe yang berdiameter 2 mm (P2/E). Hasil pengukuran diperoleh dalam bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer. Nilai kerenyahan adalah nilai puncak pertama yang signifikan pada grafik dan dinyatakan sebagai gf (gram force). Data kadar air dan nilai kerenyahan masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan, selanjutnya diplotkan dengan nilai kesukaannya masing-masing, sehingga diperoleh grafik yang menunjukkan hubungan antara skor kesukaan dengan kadar air dan hubungan antara skor kesukaan dengan nilai kerenyahan. Hubungan tersebut
34
dinyatakan dalam persamaan regresi linear. Berdasarkan regresi linear yang diperoleh, kadar air kritis dihitung pada saat skor kesukaan panelis bernilai 3 (skala agak tidak suka) berdasarkan persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan kadar air. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat pula diperoleh dari persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan nilai kerenyahan, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai 3. Selain menentukan hubungan regresi linear antara nilai kerenyahan dan skor kesukaan di atas, ditentukan pula persentase penurunan kerenyahan sampai kadar air kritis tercapai berdasarkan rumus berikut ini: % penurunan = (kerenyahan awal – kerenyahan kritis) × 100% kerenyahan awal
c. Penentuan Pola Kurva Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf, 1987) Penentuan kurva sorpsi isotermis diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh yang digunakan untuk mengatur RH ruangan (desikator). Garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah MgCl2, NaBr, NaCl, KCl, dan KNO3. Sekitar dua gram produk biskuit diletakkan pada cawan alumunium kering kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh yang mempunyai nilai RH berbeda-beda. Desikator kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 30oC. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik setiap hari sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992) dan dinyatakan dalam basis kering. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva sorpsi
35
isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw).
d. Penentuan Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model Penentuan
model
sorpsi
isotermis
perlu
dilakukan
untuk
mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus. Dari sekian banyak model persamaan sorpsi isotermis, dipilih beberapa model persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. Persamaan yang dipilih adalah persamaan-persamaan sederhana yang mempunyai parameter tidak lebih dari tiga serta dapat digunakan pada kisaran nilai aw yang luas sehingga dapat mewakili ketiga daerah sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan penggunaan model ini ditujukan untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting). Dalam penelitian ini digunakan enam model, yaitu model GAB, Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Persamaan non linear (Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton) yang digunakan diubah ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga dapat ditentukan nilai-nilai konstanta dalam persamaannya dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1995). Lain halnya dengan model GAB, persamaan ini diubah ke dalam bentuk persamaan regeresi kuadratik sehingga nilai-nilai konstanta dalam persamaan juga dapat ditentukan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan sorpsi isotermis untuk menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Uji ketepatan model ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1990). Rumus MRD tersebut adalah sebagai berikut: MRD =
dimana : Mi
100 n ∑ Mi − Mpi / Mi n i =1
……………………….Pers 3
= kadar air percobaan
Mpi
= kadar air hasil perhitungan
n
= jumlah data
36
Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Dari model persamaan yang terpilih, ditentukan nilai b (kemiringan kurva sorpsi isotermis) untuk dimasukkan dalam perhitungan umur simpan berdasarkan persamaan Labuza. Slope (kemiringan) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada tiga daerah untuk melihat pengaruh nilai b terhadap umur simpan yang diperoleh. Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. 2. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal . 3. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan masing-masing RH penyimpanan.
e. Penentuan Permeabilitas Kemasan (ASTM, F1249-01) Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31 di Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta. Kemasan sampel dipotong sesuai cetakan kemudian diukur ketebalannya. Kemasan sampel dikondisikan terlebih dahulu selama 24 jam dalam ruangan uji. Kemasan sampel ditempel pada tempat uji. Nilai ketebalan kemasan, luas kemasan, suhu uji, lamanya uji, laju alir udara, dan kelembaban udara yang digunakan dimasukkan pada program komputer yang telah disediakan. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji
(plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran
nitrogen basah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan
37
melalui plastik. Pengujian dianggap selesai bila kondisi kesetimbangan telah tercapai (steady state). Kondisi dianggap setimbang bila laju uap air yang terdeteksi sensor infra merah telah tetap. Prinsip kerja alat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada akhir pengujian, alat akan menunjukkan nilai WVTR. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali Po dan RH.
Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 Jika kemasan sampel mempunyai pori-pori yang cukup besar, maka pengujian dilakukan secara manual sesuai (ASTM E-96,1995) yaitu dengan cara potong kemasan plastik yang digunakan sesuai mulut wadah yang digunakan. Hitung luas permukaan mulut wadah. Masukkan desikan (silika gel) secukupnya ke dalam tiap wadah. Letakkan kemasan plastik di mulut wadah dan rekatkan dengan lem silikon dan seal dengan rapat. Letakkan wadah ke dalam chamber tertutup yang telah berisi larutan garam jenuh. Wadah ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama selama satu minggu dan ditentukan pertambahan berat dari tiap cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat (g) dan waktu (jam). Laju permeabillitas uap air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : WVTR =
slope
× 100 × 100 m2
luas kemasan yang dilalui udara
38
WVTR = g/ m2/ hari/ RH, suhu Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali Po dan RH.
f. Penentuan Berat Padatan per Kemasan dan Luas Kemasan Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan dan dinyatakan dalam m2. Berat produk awal (Wo) dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya (mo) dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat padatan per kemasan (Ws). Ws
= W × (%solid/ 100)
% solid
= (1 - (mo/ (1+mo)) × 100
g. Penentuan Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan Tekanan uap di luar kemasan pada suhu tertentu dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (Po) dengan kelembaban udara (RH). Tekanan uap di dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (Po) dengan aktivitas air (aw). Nilai Po pada suhu tertentu dapat dilihat dari tabel uap air (Labuza, 1982). Nilai ΔP dinyatakan sebagai berikut: ΔP
= P out – P in
Pout
= Po × (RH/100)
Pin
= Po × aw
h. Penentuan Umur Simpan Biskuit (Labuza, 1982) Umur simpan produk biskuit dihitung dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan akan ditentukan pada 3 nilai RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (persamaan 1). Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan 2.
39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit adonan lunak dan adonan keras dilakukan dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis. Pendekatan kadar air kritis yang dipakai terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pada dasarnya, pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk menduga umur simpan produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, misalnya produk biskuit, sedangkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi biasanya digunakan untuk produk yang mempunyai kurva sorpsi isotermis, tapi bentuknya tidak sigmoid sehingga tidak bisa diasumsikan linear, misalnya produk dengan kelarutan tinggi seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi, misalnya permen. Penelitian ini membandingkan hasil pendugaan umur simpan yang diperoleh berdasarkan kedua pendekatan dan selanjutnya menentukan pendekatan yang tepat untuk produk biskuit. Biskuit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis biskuit yang berbeda. Alasan pemilihan dua jenis biskuit yang berbeda ini adalah untuk mewakili jenis biskuit secara umum. Biskuit yang digunakan diambil dari produk yang sudah ada di pasaran yaitu biskuit glukosa yang mewakili biskuit jenis adonan lunak dan biskuit marie yang mewakili jenis adonan keras. Biskuit adonan lunak memiliki kadar gula 25 – 40% dan kadar lemak 15% (Soenaryo, 1985). Biskuit adonan keras memiliki kadar gula 20% dan kadar lemak 12 – 15% (Soenaryo, 1985). Perbedaan komposisi kedua jenis biskuit dapat dilihat pada Lampiran 11.
A. KADAR AIR AWAL DAN KADAR AIR KRITIS Kadar air awal dan kadar air kritis merupakan parameter pertama yang perlu diukur dalam pendugaan umur simpan. Penentuan kadar air kritis ini diawali dengan survei konsumen tentang atribut utama biskuit dan penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui parameter kritis yang menentukan penolakan konsumen terhadap produk biskuit. Survei dilakukan terhadap 35 orang panelis (lihat Lampiran 2), dimana panelis
diminta untuk memilih salah satu atribut yang paling menentukan kerusakan produk biskuit secara umum. Berikut ini disajikan data hasil survei parameter kritis kerusakan produk biskuit:
Jumlah panelis yang memilih atribut
35 30 25 20 15 10 5 0 Tekstur
Rasa
Aroma
Warna
Atribut
Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit Data yang disajikan pada grafik menunjukkan bahwa atribut yang sangat menentukan kerusakan produk biskuit adalah atribut tekstur. Dari 35 orang panelis, 30 orang diantaranya memilih atribut tekstur sebagai atribut yang menentukan kerusakan produk biskuit, sedangkan 4 orang memilih atribut rasa, dan 1 orang lainnya memilih atribut aroma. Menurut Manley (1983), biskuit merupakan produk pangan kering dengan kadar air maksimal 5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab kerusakan produk biskuit adalah hilangnya kerenyahan akibat kenaikan kadar air produk. Hal ini sangat sesuai dengan hasil survei yang menyatakan atribut tekstur adalah penyebab kerusakan produk biskuit. Setelah diketahui parameter kritis dari hasil survei konsumen, selanjutnya dilakukan analisis kadar air awal dan kadar air kritis dengan metode oven. Produk biskuit yang diuji kadar air awalnya adalah produk segar, yaitu produk yang baru dikeluarkan dari kemasannya. Kadar air awal untuk biskuit adonan lunak adalah 0.0183 g H2O/ g padatan dan 0.0249 g H2O/ g padatan untuk biskuit adonan keras. Nilai kadar air kedua jenis produk sangat sesuai dengan standar untuk biskuit yang berlaku di Indonesia (SNI 01-2973-
41
1992), yaitu maksimal 5% (BSN, 1992). Kadar air biskuit adonan lunak berbeda dari biskuit adonan keras karena komposisi kedua produk memang jauh berbeda. Masing-masing bahan pada komposisi akan menyumbangkan kadar air pada produk akhir, tergantung pada formulasi dan keadaan awal bahan penyusun biskuit tersebut. Kadar air kritis adalah nilai kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik. Kadar air kritis biskuit pada penelitian ini ditentukan berdasarkan persamaan regresi linear dari kurva yang menunjukkan hubungan kadar air dan skor kesukaan panelis. Kadar air kritis ditetapkan pada skor kesukaan tiga yaitu pada saat panelis menyatakan agak tida suka. Kadar air kritis ditetapkan pada penilaian ’agak tidak suka’ bukan pada penilaian ’tidak suka’ karena pada kondisi ini produk dianggap sudah mulai ditolak konsumen dan kondisi ini harus diwaspadai untuk menjamin kepuasan dan kenyamanan konsumen serta meminimalkan risiko kerusakan produk. Kadar air kritis ini ditentukan melalui serangkaian percobaan, dimana biskuit disimpan tanpa kemasan pada suhu kamar (30 ± 1oC) di ruangan terbuka dengan kisaran RH 75 – 80% selama 5 jam untuk biskuit adonan lunak dan 6 jam untuk biskuit adonan keras. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan diukur kadar air, tingkat kerenyahan, dan penerimaan panelis terhadap kerenyahannya. Tabel 4 dan 5 berikut ini menyajikan data kadar air dan nilai kerenyahan biskuit serta tingkat kesukaan panelis. Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimpanan (jam) 0 1 2 3 4 5
Kadar air
(g H2O/g padatan) 1.83 3.25 4.30 6.37 7.47 8.31
Nilai kerenyahan (gf) 496.7750 452.8750 333.8500 194.9250 94.7250 75.9000
Skor kesukaan 6.2667 6.0333 5.2667 3.2333 1.7000 1.3333
42
Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimpanan (jam) 0 1 2 3 4 5 6
Kadar air (g H2O/ g padatan) 2.45 4.17 4.92 6.74 7.06 8.34 10.19
Nilai kerenyahan (gf) 698.2500 563.2250 481.5500 338.2000 311.2500 213.2000 161.7750
Skor kesukaan 6.3000 5.1667 4.3333 2.7333 2.6333 1.7667 1.1000
Berdasarkan data di atas, dibuatlah grafik yang menunjukkan hubungan kadar air di sumbu x dengan rata-rata skor kesukaan panelis di sumbu y. Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan tersebut untuk kedua jenis biskuit:
8,00 rata‐rata skor kesukaan
7,00 6,00 5,00
y = ‐71,3558x + 7,9081 2 R = 0,9753
4,00 3,00
Biskuit adonan keras
2,00 1,00 0,00 0,00
Biskuit adonan lunak
y = ‐84,3785x + 8,4057 2 R = 0,9604 0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
kadar air (g H2O/g padatan)
Gambar 6. Grafik hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras adalah y = -84.3785x + 8.4057 dan y = -71.3558x + 7.9081, dengan nilai R2 masing-masing sebesar 0.9604 dan 0.9753. Semakin tinggi kadar air produk semakin menurun skor kesukaan panelis terhadap kerenyahannya. Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat ditentukan nilai kadar air kritis masing-masing
43
produk, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai tiga. Kadar air kritis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras berturut-turut adalah 0.0641 g H2O/ g padatan dan 0.0688 g H2O/ g padatan. Selain diukur kadar airnya, sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan tersebut diukur pula nilai kerenyahannya. Tingkat kerenyahan biskuit diukur dengan alat Texture Analyzer. Biskuit ditekan dengan probe yang sesuai, yaitu probe P2/E (cylinder probe dengan diameter 2 mm) sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur produk tersebut. Nilai kerenyahan dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva dan dinyatakan dalam satuan gf (gramforce). Nilai kerenyahan sampel biskuit yang di-sampling setiap jam tersebut diplotkan dengan rata-rata skor kesukaan 30 orang panelis, dimana nilai kerenyahan pada sumbu x dan skor kesukaan pada sumbu y. Berikut ini grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan panelis:
Gambar 7. Grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak adalah y = 0.0119x + 0.6880 dengan nilai R2 = 0.9745 dan untuk biskuit adonan keras adalah y = 0.0097x – 0.4121 dengan nilai R2 = 0.9974. Semakin tinggi nilai
44
kerenyahan, skor kesukaan panelis terhadap produk biskuit juga semakin meningkat. Berdasarkan persamaan di atas dapat ditentukan nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis telah tercapai, yaitu pada saat rata-rata skor kesukaan panelis bernilai tiga. Nilai kerenyahan pada saat tercapai kadar air kritis untuk biskuit adonan lunak adalah 194.2857 gf dan untuk biskuit adonan keras senilai 351.7629 gf. Nilai kerenyahan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena perbedaan komposisi, terutama komposisi lemak atau shortening dan telur. Lemak atau shortening akan melunakkan dan menghaluskan tekstur serta membuat struktur yang elastis. Kadar lemak biskuit adonan lunak lebih tinggi daripada biskuit adonan keras, sehingga kerenyahan biskuit adonan lunak lebih rendah dari biskuit adonan keras. Selain itu, biskuit menggunakan telur dalam pembuatannya. Adanya putih telur akan menyebabkan produk biskuit menjadi mantap dan terkesan lebih keras. Oleh karena itu, biskuit adonan keras menjadi lebih keras dari biskuit adonan lunak. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai di atas selanjutnya digunakan untuk mengetahui persentase penurunan kerenyahan. Persentase penurunan kerenyahan biskuit adonan lunak sampai kadar air kritisnya tercapai adalah sebesar 60.89% dan untuk biskuit adonan keras sebesar 49.62%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 60%, sedangkan biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 50%. Metode penentuan kadar air kritis dalam penelitian ini merupakan metode yang relatif baru. Namun demikian, prinsip yang digunakan sama dengan penentuan kadar air kritis yang telah biasa dilakukan, yaitu kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoleptik. Biasanya penentuan kadar air kritis dilakukan dengan cara menyimpan produk pada beberapa kondisi RH tertentu selama waktu tertentu dan diujikan tingkat kerenyahannya pada panelis. Kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoletik. Dalam penelitian ini, produk disimpan di ruangan terbuka (suhu kamar dengan RH 75-
45
80%) selama 5 – 6 jam, disampling setiap jam, dan diujikan tingkat kesukaan terhadap kerenyahannya pada 30 oarang panelis tidak terlatih. Alasan pemilihan metode ini adalah karena metode ini dianggap lebih cepat dan mudah. Dalam penelitian ini tidak dibutuhkan chamber yang berisi larutan garam jenuh yang RH nya terkondisikan dengan baik.
B. KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN KURVA SORPSI ISOTERMIS Kadar air kesetimbangan perlu ditentukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis. Kadar air kesetimbangan dapat ditentukan dengan cara menyimpan biskuit dalam lima desikator yang berisi berbagai jenis larutan garam jenuh dengan nilai kelembaban relatif (RH) bervariasi mulai dari 32.4% (garam MgCl2) sampai 92.3% (garam KNO3). Nilai RH masing-masing larutan garam jenuh disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC No. 1. 2. 3. 4. 5.
Nama larutan garam Magnesium Klorida (MgCl2) Natrium Bromida (NaBr) Natrium Klorida (NaCl) Kalium Klorida (KCl) Kalium Nitrat (KNO3)
Nilai RH (%) 32.4 ± 0.1 56.0 ± 0.4 75.1 ± 0.1 83.6 ± 0.3 92.3 ± 0.6
Sumber : Bell dan Labuza (2000) Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH diatas akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi sebagai akibat perbedaan RH lingkungan dan produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh bobot sampel yang konstan. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% ( Liovonen dan Ross dalam Adawiyah,
46
2006). Peningkatan atau penurunan bobot sampel selama penyimpanan menunjukkan fenomena hidratasi (deMan, 1989). Selama penyimpanan, kedua jenis biskuit menunjukkan fenomena kenaikan bobot. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit mengalami proses adsorpsi uap air dari lingkungan karena aktivitas air kedua jenis biskuit lebih rendah dari kelembaban relatif lingkungannya. Berikut ini adalah data kadar air kesetimbangan biskuit pada masing-masing RH dan waktu tercapainya kesetimbangan. Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan RH kesetimbangan (%) 32.40 56.00 75.10 83.60 92.30
me 0.0490 0.0774 0.1239 0.2089 0.2791
Biskuit A Waktu (hari) 6 7 7 8 8
Biskuit B me Waktu (hari) 0.0410 4 0.0890 6 0.1643 7 0.2342 8 0.3073 8
Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan untuk biskuit adonan lunak tercapai setelah disimpan 6 – 8 hari, sedangkan biskuit adonan keras mencapai kesetimbangan setelah disimpan 4 – 8 hari. Semakin tinggi RH penyimpanan, semakin tinggi kadar air kesetimbangan dan semakin lama pula waktu tercapainya kesetimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka semakin lama proses difusi uap air berlangsung menuju tercapainya kesetimbangan. Waktu tercapainya kesetimbangan dan kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena kondisi sampel berbeda, terutama kadar air awal dan nilai aw produk. Semakin dekat nilai aw produk dengan RH lingkungan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari percobaan masingmasing diplotkan dengan nilai aw atau RH lingkungannya, sehingga membentuk sebuah kurva yang disebut kurva sorpsi isotermis. Kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat pada Gambar 8. Kedua kurva tersebut memiliki bentuk yang hampir sama, yaitu
47
menyerupai huruf S (sigmoid), namun tidak sempurna. Bentuk kurva sangat beragam tergantung sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi, dan
k a d a r a ir (g H 2O / g p a d a ta n
tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi (Fennema, 1985).
0.35 0.30 0.25 0.20
B is kuit adonan lunak
0.15 0.10
B is kuit adonan keras
0.05 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
a ktivita s a ir
Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan keras
C. MODEL SORPSI ISOTERMIS DAN UJI KETEPATAN MODEL Model-model persamaan sorpsi isotermis perlu dibuat untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi. Kadar air kesetimbangan yang didapat diplotkan dengan nilai aktivitas air. Banyak model persamaan matematika yang telah dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis secara teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978; Van den Berg dan Bruin, 1981), namun dalam penelitian ini digunakan enam model persamaan, yaitu model Hasley, Chen-Clayton, Henderson, Caurie, Oswin, dan persamaan Guggenheim Anderson de Boer (GAB). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, persamaan tersebut dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air (aw) yang luas (Chirife dan Iglesias, 1978). Selain itu, model persamaan di atas memiliki parameter kurang atau sama dengan tiga, sehingga lebih sederhana dan mudah diselesaikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Labuza (1982) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis adalah untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting) yang
48
tinggi maka model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya lebih cocok digunakan. Model persamaan matematika yang digunakan perlu dimodifikasi ke bentuk yang lebih sederhana untuk memudahkan perhitungan. Persamaanpersamaan tersebut dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan linear dengan transformasi logaritmik (log) dan atau logaritmik normal (ln). Selanjutnya nilai tetapan dalam persamaan (nilai a dan b) ditentukan dengan metode kuadrat terkecil. Menurut Walpole (1995), metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu garis regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Modifikasi lima model sorpsi isotermis yang pertama dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis dapat dilihat pada Lampiran 6. Lain halnya dengan model persamaan GAB, yang harus dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan non linear (polinomial), dimana menunjukkan hubungan aw/Me dan aw. Konstanta α, β, dan γ pada persamaan non linear dapat ditentukan dengan metode regresi kuadratik. Selanjutnya nilai konstanta yang diperoleh disubtitusikan ke dalam persamaan awal GAB, sehingga didapatkan persamaan yang lebih sederhana yang menunjukkan hubungan kadar air kesetimbangan dan nilai aktivitas air. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan non linear dapat dilihat pada Lampiran 7. Persamaan kurva sorpsi isothermis yang dihasilkan dari model-model sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak Model
Persamaan
Hasley
log(ln(1/aw)) = -1.8183 – 1.4292 log Me
Chen-Clayton
ln(ln(1/aw)) = 0.3671 – 10.5043 Me
Henderson
log(ln(1/(1 – aw))) = 0.9903 + 1.0160 log Me
Caurie
ln Me = -4.0694 + 2.8997 aw
Oswin
ln Me = -2.6356 + 0.5660 ln(aw/(1-aw))
GAB
Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw)
49
Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras Model
Persamaan
Hasley
log(ln(1/aw)) = -1.5932 – 1.2358 log Me
Chen-Clayton
ln(ln(1/aw)) = 0.4010 – 9.4825 Me
Henderson
log(ln(1/(1 – aw))) = 0.8551 + 0.9069 log Me
Caurie
ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw
Oswin
ln Me = -2.6175 + 0.6427 ln(aw/(1-aw))
GAB
Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw) Persamaan kurva sorpsi isotermis yang telah diperoleh digunakan
untuk menghitung kadar air kesetimbangan masing-masing sampel biskuit. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan keras berdasarkan model persamaan di atas dapat dilihat pada Lampiran 8. Kurva sorpsi isotermis dari masing-masing model persamaan dan perbandingannya dengan kurva hasil percobaan dapat dilihat pada Lampiran 9. Gambar pada Lampiran 9 menunjukkan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan keras dengan menggunakan enam model persamaan kurva sorpsi isotermis. Semakin berhimpit antara kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan kurva sorpsi isotermis model-model persamaan, maka model tersebut semakin tepat menggambarkan fenomena sorpsi isotermis. Untuk biskuit adonan lunak kurva hasil percobaan paling berhimpit dengan kurva model GAB, sedangkan untuk biskuit adonan keras kurva hasil percobaan paling berhimpit dengan kurva model Caurie dan GAB. Penentuan ketepatan model
dilanjutkan
dengan
perhitungan
nilai
MRD
(Mean
Relative
Determination). Perbandingan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan modelmodel sorpsi isotermis memperlihatkan bahwa beberapa model sorpsi isotermis dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan tepat, agak tepat, dan tidak tepat. Hal ini perlu diperkuat dengan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) yang merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan berdasarkan model dengan kadar air kesetimbangan hasil percobaan. Contoh perhitungan
50
nilai MRD dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai MRD masing-masing model untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat dalam Tabel 10. Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan Model Hasley Chen Clayton Henderson Caurie Oswin GAB
Biskuit adonan lunak 6.3060 18.9140 11.6360 12.6000 7.2180 5.8660
MRD Biskuit adonan keras 15.7566 10.1140 3.0970 1.8860 10.6840 2.1940
Model persamaan yang dipilih adalah model yang memberikan nilai MRD terkecil, dimana model tersebut dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat. Hasil perhitungan MRD pada tabel 10 menunjukkan bahwa model GAB adalah model yang paling tepat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dengan nilai MRD terkecil, yaitu 5.8660. Model Hasley dan Oswin menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dengan agak tepat (5 < MRD < 10), sedangkan model Henderson, Caurie, dan Chen-Clayton tidak dapat menggambarkan dengan tepat keseluruhan kurva (MRD > 10). Jadi, model yang dipilih untuk menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk biskuit adonan keras, model yang terpilih adalah model Caurie, yaitu model yang memberikan nilai MRD terkecil sebesar 1.8860 dimana model ini dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat. Model GAB dan Henderson juga dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis dengan tepat (MRD < 5), namun model Oswin, Chen-Clayton, dan Hasley tidak dapat menggambarkan kurva dengan tepat karena nilai MRDnya besar dari 10. Dengan demikian, model yang terpilih untuk
51
menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan keras dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB
Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie
52
Selain model Caurie, model GAB juga dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat, yaitu dengan nilai MRD 2.1940. Jadi, model GAB dapat pula dipilih sebagai model yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis dangan persamaan Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model GAB dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB Model sorpsi isotermis GAB yang terpilih untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat digunakan untuk menjelaskan kadar air monolayer produk biskuit. Kadar air monolayer (Xm) dapat dicari berdasarkan perhitungan seperti yang terlihat dalam Lampiran 7. Kadar air monolayer biskuit adonan lunak adalah 0.0388 dan kadar air monolayer biskuit adonan keras adalah 0.0846. Kadar air monolayer kedua jenis biskuit lebih besar daripada kadar air awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit adonan lunak maupun adonan keras cukup stabil, karena kadar air awal produk jauh di bawah kadar air monolayer. Model sorpsi isotermis yang terpilih dapat pula digunakan untuk menentukan nilai aw pada saat kadar air kritis tercapai. Untuk biskuit adonan lunak, nilai aw berdasarkan model GAB pada saat kadar air kritis tercapai
53
(0.0641 g H2O/g padatan) adalah 0.4644. Nilai aw biskuit adonan keras pada saat kadar air kritisnya tercapai (0.0688 g H2O/g padatan) berdasarkan model Caurie adalah sebesar 0.4814, sedangkan menurut model GAB adalah sebesar 0.4741. Berdasarkan nilai aw yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa produk biskuit masih aman pada saat tercapai kadar air kritisnya. Nilai aw ini masih berada pada kisaran yang aman dari pertumbuhan semua jenis mikroorganisme, sehingga biskuit masih aman dikonsumsi. Berikut ini dalam Tabel 11 dapat dilihat
kisaran
aw
minimum
untuk
pertumbuhan
berbagai
jenis
mikroorganisme. Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme No. 1 2 3 4 5 6
Jenis mikroorganisme Bakteri Khamir Kapang Bakteri halofilik Kapang xerofilik Khamir osmofilik
aw minimum pertumbuhan 0.91 0.88 0.80 0.75 0.65 0.60
Sumber : Reardon dan Wade (1991)
D. PERMEABILITAS UAP AIR KEMASAN Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas kemasan ditentukan pada kondisi RH dan suhu tertentu. Semakin tinggi suhu, maka pori-pori plastik akan semakin membesar sehingga permeabilitas plastik meningkat (Syarief et al, 1989). Oleh karena itu penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan dengan suhu yang konstan untuk menghindari peningkatan ukuran pori-pori plastik. Dalam penelitian ini, kemasan yang ditentukan permeabilitasnya adalah kemasan metallized plastic (kemasan asli masing-masing biskuit) serta kemasan pembanding, yaitu plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan ditentukan dengan cara menentukan nilai WVTR (Water Vapor Transmission Rate) terlebih dahulu. Nilai WVTR ditentukan dengan alat Permatran W*3/31, di bawah kondisi suhu 100 oF (37.8
54
o
C). Pengukuran nilai WVTR dengan alat ini memiliki beberapa keunggulan
diantaranya nilai RH dan suhu dapat dikondisikan konstan selama pengujian dan pengujian jauh lebih cepat daripada metode gravimetri. Prinsip kerja alat ini didasari oleh adanya pergerakan uap air dari daerah dengan kelembaban relatif sangat tinggi (RH = 100%) menuju daerah dengan kelembaban relatif sangat rendah (RH = 0%). Pergerakan ini merupakan akibat dari adanya perbedaan tekanan parsial antara kedua daerah tersebut. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Aliran gas nitrogen basah merupakan penyedia uap air (RH dapat diatur) dengan cara melewatkan gas tersebut pada sebuah humidifier yang berisi air destilata. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik (Anonim, 2007). Nilai WVTR dalam satuan gram/m2.hari dapat langsung didapatkan dari program komputer yang tersedia. Nilai WVTR untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, metallized plastic biskuit adonan keras, dan kemasan PP tebal berturut-turut adalah 0.6683, 0.8872, dan 3.6320 gram/m2.hari. Nilai permeabilitas kemasan dapat dihitung dangan cara membagi nilai WVTR dengan hasil perkalian tekanan uap jenuh pada suhu pengujian (37.8 oC) dengan nilai RH. Dengan demikian, nilai permeabilitas kemasan masing-masing kemasan adalah 0.0136 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, 0.0180 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan keras, dan 0.0739 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan PP tebal . Nilai permeabilitas kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak menunjukkan nilai paling kecil, sedangkan kemasan PP tebal memberikan nilai permeabilitas yang paling besar. Dengan kata lain, bahan kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak maupun adonan keras lebih baik dari kemasan PP tebal dalam hal permeabilitas terhadap uap air.
55
Nilai permeabilitas kemasan spesifik untuk setiap jenis kemasan tergantung pada karakteristik masing-masing bahan kemasan tersebut. Nilai permeabilitas kemasan yang lebih kecil menunjukkan bahwa kemampuan bahan kemasan sebagai barrier terhadap uap air lebih baik. Difusi uap air ke dalam produk akan semakin sedikit dan kerenyahan (tekstur) dapat lebih terjaga. Oleh karena itu, hal tersebut mendukung semakin lamanya umur simpan.
E. PERBEDAAN TEKANAN LUAR DAN DALAM KEMASAN Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan ditentukan berdasarkan nilai aw produk, RH ruangan, dan tekanan uap air murni pada suhu terukur. Nilai aktivitas air (aw) awal ditentukan dengan menggunakan alat aw meter. Nilai aktivitas air awal biskuit adonan lunak adalah 0.2800 sedangkan biskuit adonan keras memiliki aktivitas air awal sebesar 0.3683. Selanjutnya, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan (∆P) dihitung sebagai selisih antara tekanan luar dan dalam kemasan. Tekanan luar kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan RH ruangan, sedangkan tekanan dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan aw awal produk. Nilai ∆P pada suhu 30 oC dan RH 80% untuk biskuit adonan lunak adalah 16.5485 mmHg dan untuk biskuit adonan keras adalah 13.7374 mmHg. Adanya perbedaan tekanan luar dan tekanan udara dalam kemasan akan menyebabkan adanya mobilisasi air. Bila tekanan luar lebih besar daripada tekanan dalam kemasan maka uap air akan berpindah dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air produk lambat laun akan meningkat. Bila mobilisasi air telah mencapai batas air kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya. Semakin besar perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, semakin singkat umur simpan produk karena mobilisasi air terjadi semakin cepat. Pada suhu yang sama, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan akan semakin besar dengan semakin tingginya RH lingkungan penyimpanan.
56
F. VARIABEL UMUR SIMPAN LAINNYA Umur simpan suatu produk ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu luas kemasan, berat padatan per kemasan, kemiringan kurva sorpsi isothermis, dan tekanan uap jenuh pada suhu pengujian. Model sorpsi isotermis masing-masing produk yang terpilih berdasarkan nilai MRD digunakan untuk menentukan nilai kadar air kesetimbangan produk pada RH tertentu dan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis produk. Model yang terpilih untuk biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw), sedangkan model yang terpilih untuk biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw dan model GAB dengan persamaan Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw). Nilai slope kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah, 1998). Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan slope kurva sorpsi isothermis diambil pada daerah yang melewati mo (kadar air awal). Melalui penelitian ini juga dilihat pengaruh nilai slope kurva terhadap umur simpan biskuit. Untuk itu, slope kurva ditentukan dengan tiga cara. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Nilai slope 1 untuk biskuit adonan lunak adalah 0.1111, sedangkan untuk biskuit adonan keras adalah 0.1457 berdasarkan model Caurie dan 0.2072 berdasarkan model GAB. Nilai slope 2 diperoleh sebagai nilai slope kurva sorpsi isotermis pada daerah landai yang melewati kadar air awal. Gambar 12 dan 13 menunjukkan slope kurva sorpsi isotermis yang dipakai.
57
Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB
: Caurie : GAB
Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB Berdasarkan gambar di atas, nilai slope kurva untuk biskuit adonan lunak adalah sebesar 0.1180, sedangkan untuk biskuit adonan keras senilai 0.1743 berdasarkan model Caurie dan 0.2185 berdasarkan model GAB. Nilai slope 3 ditentukan sebagai slope garis lurus yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Gambar 14, 15, dan 16 memperlihatkan slope kurva untuk masing-masing jenis biskuit.
58
k a d a r a i r (g H 2 O /g p a d a ta n )
0,25 0,20
y = 0.2168x ‐ 0.0113 R ² = 0.8899
0,15
R H 75%
y = 0.155x + 0.003 R ² = 0.951
0,10
R H 80%
y = 0.1790x ‐ 0.0020 R ² = 0.9223
R H 85%
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB
kadar air (g H2O/g padatan)
0,30 y = 0,2829x - 0,0427 R2 = 0,9295
0,25
0,20
RH 75%
y = 0,2515x - 0,0327 R2 = 0,9403
RH 80%
0,15
RH 85%
0,10 y = 0,3193x - 0,0544 R2 = 0,9221 0,05
0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
aktivitas air
Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie
59
kadar air (g H2O/g padatan)
0,25
0,20 y = 0,2775x - 0,0518 2 R = 0,9782 RH 75%
0,15
RH 80%
0,10 y = 0,3095x - 0,0632 R2 = 0,9685
RH 85% y = 0,3522x - 0,0785 R2 = 0,9588
0,05
0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
aktivitas air
Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB Berdasarkan gambar di atas, untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat bahwa slope kurva untuk masing-masing RH penyimpanan berbeda. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut adalah 0.1550, 0.1790, dan 0.2168. Untuk biskuit adonan keras, slope ditentukan berdasarkan dua model yang terpilih, yaitu model Caurie dan model GAB. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut berdasarkan model Caurie adalah 0.2515, 0.2829, dan 0.3193, sedangkan berdasarkan model GAB adalah 0.2775, 0.3095, dan 0.3522. Selain untuk menentukan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis, model sorpsi isotermis terpilih digunakan pula untuk menentukan kadar air kesetimbangan pada nilai RH tertentu. Berat padatan per kemasan merupakan berat awal produk yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Berat padatan biskuit adonan lunak adalah 216.0017 g dan untuk biskuit adonan keras adalah 122.6230 g. Luas kemasan biskuit adonan lunak sebesar 0.0588 m2, sedangkan luas kemasan biskuit adonan keras terukur 0.0359 m2. Tekanan uap air jenuh pada suhu peyimpanan (30 oC) adalah sebesar 31.8240 mmHg.
60
G. UMUR SIMPAN Umur simpan biskuit akan ditentukan pada tiga kondisi RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Metode pendugaan umur simpan yang digunakan adalah pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. 1. Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis Hasil pendugaan umur simpan biskuit adonan lunak dan adonan keras dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dilihat pada Tabel 12 sampai Tabel 17. Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan Parameter
RH 75%
RH 80%
RH 85%
Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0183 0.0183 0.0183 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0641 0.0641 0.0641 Model persamaan GAB : Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.1111 0.1111 0.1111 b. slope 2 0.1180 0.1180 0.1180 c. slope 3 0.1550 0.1790 0.2168 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1309 0.1574 0.1968 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0136 0.0136 0.0136 Luas kemasan (m2) 0.0588 0.0588 0.0588 Berat padatan per kemasan (g padatan) 216.0017 216.0017 216.0017 Tekanan uap jenuh suhu 30 oC (mmHg) 31.8240 31.8240 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 492 376 279 b. slope 2 522 399 296 c. slope 3 686 606 545 Umur simpan (bulan) a. slope 1 16.4 12.5 9.3 b. slope 2 17.4 13.3 9.9 c. slope 3 22.9 20.2 18.2 Keterangan: Slope 1 : perbandingan selisih kadar air kritis dan kadar air awal dengan selisih aw kritis dan aw awal Slope 2 : slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal Slope 3 : slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan
61
Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan Parameter RH 75% RH 80% Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0183 0.0183 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0641 0.0641 Model persamaan GAB : Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.1111 0.1111 b. slope 2 0.1180 0.1180 c. slope 3 0.1550 0.1790 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1309 0.1574 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0739 0.0739 Luas kemasan (m2) 0.0588 0.0588 Berat padatan per kemasan (g padatan) 216.0017 216.0017 Tekanan uap jenuh suhu 30 oC (mmHg) 31.8240 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 91 69 b. slope 2 96 73 c. slope 3 126 111 Umur simpan (bulan) a. slope 1 3.0 2.3 b. slope 2 3.2 2.4 c. slope 3 4.2 3.7
RH 85% 0.0183 0.0641
0.1111 0.1180 0.2168 0.1968 0.0739 0.0588 216.0017 31.8240 51 55 100 1.7 1.8 3.3
Berdasarkan hasil perhitungan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis pada Tabel 12 dan Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai umur simpan biskuit adonan lunak pada berbagai nilai slope kurva yang dipakai akan menurun seiring dengan meningkatnya kondisi RH penyimpanan. Bila biskuit adonan lunak dikemas dengan bahan kemasan yang berbeda, maka umur simpannya pun jauh berbeda. Umur simpan biskuit yang dikemas dengan metallized plastic jauh lebih besar daripada biskuit yang dikemas dengan PP tebal, karena permeabilitas kemasan metallized plastic lebih kecil dari plastik PP tebal. Nilai permeabilitas kemasan berbanding terbalik dengan umur simpan produk. Umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic dengan berbagai nilai slope kurva yang digunakan dalam perhitungan berada dalam selang yang masih masuk akal. Bila dibandingkan dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label produk, perhitungan dengan nilai slope 1
62
dan 2 memberikan nilai yang mendekati yaitu 16.4 bulan dan 17.4 bulan pada RH 75%. Tanggal kadaluarsa produk pada kemasan adalah 12 bulan dari saat produk dibeli. Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie Parameter RH 75% Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0249 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0688 Model persamaan Caurie : ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.1457 b. slope 2 0.1743 c. slope 3 0.2515 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1703 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0180 Luas kemasan (m2) 0.0359 Berat padatan per kemasan (g padatan) 122.6230 Tekanan uap jenuh suhu 30 oC (mmHg) 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 312 b. slope 2 374 c. slope 3 539 Umur simpan (bulan) a. slope 1 10.4 b. slope 2 12.5 c. slope 3 18.0
RH 80% 0.0249 0.0688
RH 85% 0.0249 0.0688
0.1457 0.1743 0.2829 0.2016 0.0180 0.0359 122.6230 31.8240
0.1457 0.1743 0.3193 0.2386 0.0180 0.0359 122.6230 31.8240
248 297 482
200 239 438
8.3 9.9 16.1
6.7 8.0 14.6
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 14 dan 15, dapat dilihat bahwa umur simpan biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie menurun seiring dengan meningkatnya RH penyimpanan, sama halnya dengan biskuit adonan lunak. Umur simpan dengan menggunakan slope 1 memberikan umur simpan yang paling kecil, sedangkan perhitungan menggunakan slope 3 (18.0 bulan pada RH 75%) memberikan umur simpan yang paling mendekati dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label, yaitu 18 bulan sejak produk dibeli. Kelembaban relatif lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi umur simpan. Kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif
63
tinggi mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan kondisi RH yang lebih rendah. Untuk bahan pangan yang bersifat higroskopis, semakin tinggi RH lingkungan penyimpanan, semakin banyak uap air yang diserap oleh bahan pangan sehingga mempercepat kerusakan mutu terutama parameter tekstur (kerenyahan). Hal ini akan berakibat pada lebih singkatnya umur simpan produk. Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie Parameter RH 75% Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0249 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0688 Model persamaan Caurie : ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.1457 b. slope 2 0.1743 c. slope 3 0.2515 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1703 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0739 Luas kemasan (m2) 0.0359 Berat padatan per kemasan (g padatan) 122.6230 o Tekanan uap jenuh suhu 30 C (mmHg) 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 76 b. slope 2 91 c. slope 3 131 Umur simpan (bulan) a. slope 1 2.5 b. slope 2 3.0 c. slope 3 4.4
RH 80% 0.0249 0.0688
RH 85% 0.0249 0.0688
0.1457 0.1743 0.2829 0.2016 0.0739 0.0359 122.6230 31.8240
0.1457 0.1743 0.3193 0.2386 0.0739 0.0359 122.6230 31.8240
60 72 117
49 58 107
2.0 2.4 3.9
1.6 1.9 3.6
Perhitungan pada Tabel 16 dan 17 menunjukkan umur simpan biskuit adonan keras bila dihitung berdasarkan model GAB yang terpilih. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan terbesar diperoleh bila menggunakan slope 3, sedangkan umur simpan terkecil diperoleh bila menggunakan slope 1. Dari semua slope yang digunakan, umur simpan yang diperoleh dengan menggunakan slope 2 (16.5 bulan) memberikan umur simpan
64
yang paling dekat dengan tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label biskuit, yaitu 18 bulan sejak produk dibeli. Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB Parameter RH 75% RH 80% Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0249 0.0249 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0688 0.0688 Model persamaan GAB : Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.2072 0.2072 b. slope 2 0.2185 0.2185 c. slope 3 0.2775 0.3095 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1641 0.1950 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0180 0.0180 Luas kemasan (m2) 0.0359 0.0359 Berat padatan per kemasan (g padatan) 122.6230 122.6230 Tekanan uap jenuh suhu 30 oC (mmHg) 31.8240 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 468 369 b. slope 2 494 389 c. slope 3 627 551 Umur simpan (bulan) a. slope 1 15.6 12.3 b. slope 2 16.5 13.0 c. slope 3 20.9 18.4
RH 85% 0.0249 0.0688
0.2072 0.2185 0.3522 0.2348 0.0180 0.0359 122.6230 31.8240 290 306 493 9.7 10.2 16.4
Dari semua perhitungan umur simpan pada Tabel 12 sampai Tabel 17, dapat disimpulkan bahwa nilai slope kurva sorpsi isotermis sangat menentukan umur simpan yang diperoleh. Untuk biskuit adonan lunak, umur simpan yang mendekati tanggal kadaluarsa pada label adalah umur simpan yang dalam perhitungannya menggunakan slope 1 dan slope 2, sedangkan untuk biskuit adonan keras, umur simpan yang paling mendekati tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label adalah umur simpan yang dalam perhitungannya menggunakan slope 3 bila berdasarkan model Caurie dan slope 2 bila menggunakan model GAB. Biskuit adonan keras menggunakan dua model persamaan sorpsi isotermis dalam perhitungannya, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur
65
simpan yang diperoleh dengan dua model ini cukup jauh berbeda. Umur simpan yang diperoleh berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope lebih mendekati umur simpan yang tercantum pada label, yaitu pada selang 15-21 bulan. Umur simpan yang diperoleh berdasarkan model Caurie cukup bervariasi dan cukup kecil pada berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis, yaitu 10-18 bulan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB Parameter RH 75% RH 80% RH 85% Kadar air awal (g H2O/ g padatan) 0.0249 0.0249 0.0249 Kadar air kritis (g H2O/ g padatan) 0.0688 0.0688 0.0688 Model persamaan GAB : GAB : Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw) Slope kurva sorpsi isotermis a. slope 1 0.2072 0.2072 0.2072 b. slope 2 0.2185 0.2185 0.2185 c. slope 3 0.2775 0.3095 0.3522 Kadar air kesetimbangan (g H2O/ g padatan) 0.1641 0.1950 0.2348 Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.0739 0.0739 0.0739 Luas kemasan (m2) 0.0359 0.0359 0.0359 Berat padatan per kemasan (g padatan) 122.6230 122.6230 122.6230 Tekanan uap jenuh suhu 30 oC (mmHg) 31.8240 31.8240 31.8240 Umur simpan (hari) a. slope 1 114 90 71 b. slope 2 120 95 74 c. slope 3 153 134 120 Umur simpan (bulan) a. slope 1 3.8 3.0 2.4 b. slope 2 4.0 3.2 2.5 c. slope 3 5.1 4.5 4.0
Jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan suatu produk. Hasil perhitungan umur simpan produk biskuit dengan dua jenis kemasan yang berbeda memberikan nilai umur simpan yang jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat pada perhitungan umur simpan biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie pada RH 75% menggunakan slope 1. Bila dikemas dengan kemasan
66
metallized plastic, umur simpan biskuit mencapai 10.4 bulan, namun bila dikemas dengan PP tebal, umur simpan biskuit hanya 2.5 bulan. Perbedaan ini disebabkan oleh nilai permeabilitas antara kedua kemasan sangat jauh berbeda. Semakin besar nilai permeabilitas kemasan, semakin singkat umur simpan produk. Umur simpan kedua biskuit bila menggunakan kemasan metallized plastic masing-masing biskuit (kemasan asli) akan jauh berbeda. Bila menggunakan bahan kemasan yang sama (PP tebal), umur simpan kedua jenis biskuit menjadi hampir sama, namun umur simpan biskuit adonan keras relatif lebih panjang daripada biskuit adonan lunak.
2. Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi Hasil pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dilihat pada Tabel 18 dan Tabel 19. Berdasarkan hasil perhitungan umur simpan biskuit dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi pada Tabel 18 dan 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai umur simpan menurun seiring dengan meningkatnya kondisi RH penyimpanan, sama halnya dengan umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Biskuit adonan lunak memiliki umur simpan selama 27.5 bulan jika disimpan pada kondisi RH 75%, 24.9 bulan pada RH 80%, dan 22.7 bulan pada RH 85%. Biskuit adonan keras memiliki umur simpan 22.9 bulan pada RH 75%, 20.2 bulan pada RH 80%, dan 18.1 bulan pada RH 85%. Umur simpan kedua jenis biskuit cukup jauh berbeda karena kondisi produk dan kemasannya memang jauh berbeda. Meningkatnya kondisi RH penyimpanan menyebabkan semakin besarnya nilai perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan. Semakin tinggi RH lingkungan, semakin besar nilai tekanan di luar kemasan, sehingga perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan semakin besar. Sebagai akibatnya, nilai umur simpan akan semakin singkat karena nilai umur simpan berbanding terbalik dengan perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan. Jenis kemasan akan sangat mempengaruhi nilai umur simpan karena setiap bahan kemasan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam melindungi produk yang dikemas tersebut. Dari hasil perhitungan dapat dilihat
67
bahwa umur simpan kedua jenis biskuit jauh berbeda karena menggunakan bahan kemasan yang berbeda dengan nilai permeabilitas yang jauh berbeda. Metallized plastic memiliki permeabilitas yang jauh lebih kecil daripada PP tebal, karena bahan kemasan metallized plastic dilapisi dengan lapisan logam (alumunium foil) yang mempunyai sifat barrier yang sangat bagus terhadap uap air. Namun, bila bahan kemasan yang digunakan sama, nilai umur simpan tidak terlalu jauh berbeda. Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi Parameter Kadar air awal (g H2O/g padatan) Kadar air kritis (g H2O/g padatan) Permeabilitas kemasan (g H2O/m2.hari.mmHg) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) ∆P (mmHg) Umur simpan (hari) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal Umur simpan (bulan) a. Metallized plastic biskuit adonan lunak b. Plastik PP tebal
RH 75% 0.0183 0.0641
RH 80% 0.0183 0.0641
RH 85% 0.0183 0.0641
0.0136 0.0739 0.0588 216.0017 22.2068
0.0136 0.0739 0.0588 216.0017 23.7980
0.0136 0.0739 0.0588 216.0017 25.3892
826 152
747 137
681 125
27.5 5.1
24.9 4.6
22.7 4.2
Hasil perhitungan umur simpan dengan dua pendekatan yang berbeda di atas memberikan nilai umur simpan yang berbeda. Umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal, tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza
68
(1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi Parameter Kadar air awal (g H2O/g padatan) Kadar air kritis (g H2O/g padatan) Permeabilitas kemasan (g H2O/m2.hari.mmHg) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal Luas kemasan (m2) Berat padatan per kemasan (g padatan) ∆P (mmHg) Umur simpan (hari) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal Umur simpan (bulan) a. Metallized plastic biskuit adonan keras b. Plastik PP tebal
RH 75% 0.0249 0.0688
RH 80% 0.0249 0.0688
RH 85% 0.0249 0.0688
0.0180 0.0739 0.0359 122.6230 18.1365
0.0180 0.0739 0.0359 122.6230 19.7277
0.0180 0.0739 0.0359 122.6230 21.3189
686 167
606 148
543 132
22.9 5.6
20.2 4.9
18.1 4.4
Jenis biskuit sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang terlalu besar terhadap nilai umur simpan yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena penentuan umur simpan dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis. Pada pendekatan ini, faktor-faktor utama yang mempengaruhi umur simpan adalah kadar air awal, kadar air kritis, kadar air keseimbangan, dan jenis kemasan. Meskipun kadar air awal biskuit adonan keras lebih besar daripada biskuit adonan lunak, namun hal ini juga diikuti oleh lebih besarnya kadar air kritis dan kadar air keseimbangan biskuit adonan keras tersebut. Pada perhitungan umur simpan yang dilakukan, nilai umur simpan kedua biskuit cukup jauh berbeda karena kedua biskuit dikemas dengan bahan kemasan yang berbeda. Jika bahan kemasan yang digunakan sama, maka nilai umur simpan kedua jenis biskuit tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat pada perhitungan umur simpan kedua jenis biskuit dengan kemasan PP tebal. Nilai umur simpan kedua jenis biskuit hampir sama, namun secara umum biskuit adonan keras memberikan umur simpan yang yang sedikit lebih panjang.
69
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Produk biskuit tergolong ke dalam produk pangan kering. Parameter kerusakan produk biskuit adalah hilangnya kerenyahan produk. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei terhadap 35 orang konsumen, dimana 30 orang dari mereka memilih atribut tekstur sebagai atribut yang menentukan kerusakan produk biskuit. Berdasarkan hasil survei ini, metode pendugaan umur simpan yang digunakan adalah pendekatan kadar air kritis. Sampel yang digunakan ada dua jenis biskuit, yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras. Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 1220 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan. Jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat
70
dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal. Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari
71
penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi. Namun metode ini memiliki kelemahan yaitu sulitnya mengontrol suhu dan kelembaban selama penyimpanan. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.
B. SARAN Penelitian ini perlu didukung dengan data umur simpan produk sebenarnya dalam kondisi normal, sehingga dibutuhkan penelitian yang menduga umur simpan dengan metode konvensional. Dengan demikian, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat diketahui tingkat ketepatannya. Nilai slope kurva sorpsi isotermis yang paling tepat digunakan dalam perhitungan umur simpan pun dapat diketahui. Pengembangan metode penentuan kadar air kritis berdasarkan persentase penurunan kerenyahan dapat dilakukan dalam menentukan umur simpan produk biskuit. Penggunaan panelis terlatih dalam menentukan kadar air kritis juga dapat dilakukan, namun uji yang dilakukan adalah uji rating atribut kerenyahan bukan uji hedonik. Selain itu, untuk lebih menguatkan hasil penelitian ini sebaiknya dilakukan pendugaan umur simpan terhadap jenis biskuit yang lain sehingga diperoleh kesimpulan umum untuk semua jenis biskuit.
72
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D. R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas Air serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk pada Model Pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Anonim. 2007. Water Vapor Transmission Rate. Vinatoru Enterprises, Inc., USA. [http//www.google.com]. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. IPN Pasca Sarjana IPB, Bogor. Arpah, M. Dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Bul. Teknologi dan Industri Pangan. XI 1 : 11. Bell, L. N. Dan Labuza, T. P. 2000. Moisture Sorption Practical Aspects of Isotherm Measurement and Use 2nd Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc., USA. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 012973-1992). BSN, Jakarta. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman (SNI 01-2891-1992). BSN, Jakarta. Boente, G., Gonzalez, H. H.L., Martinez, E., Pollio, M. L., dan Resnik, S. L. 1996. Sorption isotherm of corn-study of mathematical models. J. Food Eng. 29:115-128. Brooker, D. B., Bakker-Arkema, F. W., dan Hall, C. W. 1992. Drying Cereal Grains. AVI Publishing Company, Connecticut. Brown, A. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc., Belmont. Brown, E. W. 1992. Plastic in Food Packaging, Properties, Design, and Fabrication. Marcell Dekker Inc., New York. Buckle, K.A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., Wooton, M. 1985. Ilmu Pangan, UI Press, Jakarta. Chirife, J. dan Iglesias, H. A. 1978. Equation for fitting water sorption isotherm of foods. Part I – a review. J. Food Tech. 13:159-593. de Man, J. 1989. Principles of Food Chemistry. Wadsworth, Inc., Belmont.
73
Ellis, M. J. 1994. The Methodology of Shelf LifeDetermination. Di dalam : Shelf Life Evaluation of Foods. C. M. D. Man dan A. A. Jones, hal 27. Blackie Academic & Professional, London. Eskin, M. dan Robinson, D. 2001. Food Shelf Life Stability: Chemical, Biochemical and Microbial Changes. CRC Press, USA. Faridi, H. dan Faubion, J. M. 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. Nostrand Reinhold, USA. Febriyanti. 2002. Mempelajari Aspek Pengawasan Mutu Kemasan Pangan di PT. Interkemas Flexipack. Laporan Praktek Lapang. Fateta IPB, Bogor. Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practice. Woodhead Publishing, London. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel-Dekker Inc., New York. Gunasekharan, V. dan John, D. F. 1993. Shlef Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam : Shelf Life Studies of Foods and Beverages. Charalambous, G. (ed). Elsevier, New York. Heldman, D. R. dan Singh, R. P. 1981. Food Process Engineering. AVI Publishing, Connecticut. Kusnandar, F. 2006. Disain Percobaan dalam Penetapan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Modul Pelatihan: Pendugaan dan Pengendalian Umur Simpan Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006, Bogor. Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press., Inc., Westport, Connecticut. Manley, D. J. R. 1983. Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies. Ellies Horwood Ltd. Publ., England. Matz, S. A. dan Matz, T. D. 1978. Cookie and Crackers Technology 2nd Edition. AVI Publishing. Co. Inc., Westport. Mercado, V. dan Canovas, B. 1996. Dehydration of Foods. International Thomson Publishing, New York. Mir, M. A. dan Nath. 1995. Sorption isotherm of fortified mango bars. J. Food Eng. 25:141-150. Purnomo dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. IU Press, Jakarta.
74
Reardon dan Wade. 1991. Some Water Based Adjuncts. Di dalam: Biscuits, Cookies, and Crackers. AVI Publishing Company, Connecticut. Robertson, G. L. 1993. Food Packaging Principles and Practices. Marcell Dekker Inc., New York. Setiawan, H. A. 2005. Penentuan Umur Simpan Produk Biskuit Marie dengan Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soenaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan TPG, FATETA-IPB, Bogor. Spiess, W. E. L. dan Wolf, W. 1987. Critical Evaluation of Methods to Determine Moisture Sorption Isotherm. Di dalam : Water Activity : Theory and Application to Food. Marcell Dekker, Inc., New York. Sun, W. D. 2000. Comparison and Selection of EMC/ERH Isotherm Equation for Drying and Storage of Grain and Oilseed. University College Dublin, Dublin. Syarief, R. dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. PAU Rekayasa Proses Pangan, IPB, Bogor. Syarief, R. dan Irawati, A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Syarief, R., Santausa, S., dan Isyana, B. 1989. Buku dan Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Vail, G. E., Philips, J. A., Rust, L. O., Griswold, R. M., dan Justin, M. 1978. Foods. 7th ed. Houghton Mifflin Company, Boston. Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Whiteley, P. R. 1971. Biscuits Manufacture. Applied Science Publishing, London. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. dan Jennie, B. S. L. 1983. Kerusakan Bahan Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
75
Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit
KUISIONER ATRIBUT UTAMA PRODUK BISKUIT
Nama
: ……………………
Tanggal
: ...............................
1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk biskuit? a. Ya
b.Tidak
2. Menurut Anda perubahan atribut apa yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk tersebut? (pilih salah satu) a. warna
b. aroma
c. tekstur
d. rasa
3. Apakah Anda bersedia menjadi panelis tetap? (Jika ya, mohon tuliskan no telepon yg dpt dihubungi) a. ya (no hp :....................................)
b. tidak
Terimakasih banyak atas kesediaannya untuk meluangkan waktu, pemikiran, dan pendapat. Bantuan Anda akan sangat berarti bagi saya.
76
Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Gilang Fina Irma Bima Indah Hapsakti Ratih Purwono Andal Maulita Denny Dian Listyawati Hayuning Eka Beatrice Andreas Noor Beti Agus Sumarto Natalia Christine Fany Eko Andrea Angelia Rhais Vera Teddy Trifena Paula Andini Agnes Nana Jumlah
Jenis kelamin L P P L P L P L L P L P P P P P L P P L L P P L L P P L P L P P P P P
Atribut penyebab kerusakan warna rasa aroma tekstur 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 4 1 30
77
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit
UJI HEDONIK Nama : Tanggal: Jenis sampel : Biskuit Instruksi : 1. Cicipi sampel dari kiri ke kanan. Netralkan dengan air putih sebelum Anda mencicipi sampel berikutnya. 2. Nyatakan nilai kesukaaan Anda terhadap kerenyahan sampel pada kolom nilai kesukaan. 3. Jangan bandingkan antar sampel. Nilai 1 : sangat tidak suka 5 : agak suka 2 : tidak suka 6 : suka 3 : agak tidak suka 7 : sangat suka 4 : netral Kode sampel Nilai kesukaan
189
345
162
791
Komentar :
78
Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan TA-XT2 APPLICATION STUDY Hardness Measurement of Biscuits by Probing
Product
: Biscuits
Objective
: Hardness measurement of biscuits by probing
TA-XT2 settings
:
Mode
: measure force in compression
Option
: return to start
Pre-test speed
: 2.0 mm/s
Test speed
: 0.5 mm/s
Pos-test speed
: 10.0 mm/s
Distance
: 4 mm
Trigger type
: auto – 5 g
Data acquisition rate : 200 pps Calibration probe
: 20.0 mm
Accesory
: 2 mm cylinder probe (P/2) using 25 kg load cell
Test set up
: Samples are placed centrally on the blank plate, secured on the heavy duty platform and the probe penetration test is commenced.
79
Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear menjadi persamaan linear
1. Persamaan Hasley aw = exp [-P1/(Me)P2) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/aw)] = log P1 – P2 log Me dimana : y = log [ln(1/aw)] a = log P1
x = log Me b = -P2
2. Persamaan Chen-Clayton aw = exp[-P1/exp(P2 * Me)] Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln [ln(1/aw)] = ln P1 – P2 Me dimana : y = ln [ln(1/aw)] a = log P(1)
x = log Me b = -P(2)
3. Persamaan Henderson 1 - aw = exp (-KMen) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx log [ln(1/(1 - aw))] = log K + n log Me dimana : y = log [ln(1/(1-aw))] a = log K
x = log Me b=n
4. Persamaan Caurie ln Me = ln P1 – (P2 * aw) Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx
80
ln Me = ln P1 – P2 aw dimana : y = ln Me a = ln P1
x = aw b = -P2
5. Persamaan Oswin Me = P1 * [aw/(1 – aw)]P2 Persamaan diubah menjadi bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum y = a + bx ln Me = ln P1 + P2 ln[aw/(1 – aw)] dimana : y = ln Me a = ln P1
x = ln[aw/(1 – aw)] b = P2
81
Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi isotermis
Persamaan model Hasley untuk biskuit adonan lunak log [ln(1/aw)] = log P1 – P2 log Me dimana : y = log [ln(1/aw)]
x = log Me
a = log P1
b = -P2
Nilai a dan b merupakan nilai konstanta yang dihitung dengan metode kuadrat terkecil. n
n
n
i =1
i =1
i =1
b = n∑ X iYi − ∑ X i ∑ Yi n
n
i =1
i =1
a = Y − bX
n∑ X i2 − ∑ ( X i ) 2
No 1 2 3 4 5
aw
Me
X=log Me
Y=log(ln(1/aw))
X2
XY
0.3240
0.0410
-1.3877
0.0519
1.9258
-0.0721
0.5600
0.0890
-1.0508
-0.2367
1.1041
0.2487
0.7510
0.1643
-0.7844
-0.5431
0.6153
0.4260
0.8360
0.2342
-0.6304
-0.7468
0.3974
0.4708
0.9230 Sum
0.3073
-0.5124
-1.0962
0.2625
0.5617
-4.3657
-2.5709
4.3052
1.6352
Kuadrat X bar
19.0593 -0.8731
-0.5142
Dari hasil perhitungan dengan metode kuadrat terkecil diperoleh nilai: b = -1.2358 a = -1.5932 Persamaan Hasley yang didapat adalah: y = -1.5932 - 1.2358x log [ln(1/aw)] = -1.5932 – 1.2358 log Me
82
Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai konstanta persamaan GAB
Untuk mendapatkan model persamaan GAB, persamaan GAB perlu diubah ke dalam bentuk regresi kuadratik yang menunjukkan hubungan aw/Me dengan aw. Me
=
Xm C K aw (1 – K aw) (1 – K aw + C K aw)
Bentuk persamaan dasar regresi kuadratik adalah: y
= αx2 + βx + γ
aw/Me = α * aw2 + β * aw + γ Dengan menggunakan data aw dan kadar air kesetimbangan percobaan, maka dapat ditentukan persamaan non linear dengan metode regresi kuadratik. Berikut ini adalah nilai aw dan kadar air kesetimbangan percobaan untuk biskuit adonan keras. No. 1 2 3 4 5
aw 0.3240 0.5600 0.7510 0.8360 0.9230
Me 0.0490 0.0774 0.1239 0.2089 0.2791
X = aw 0.3240 0.5600 0.7510 0.8360 0.9230
Y = aw/Me 6.6164 7.2328 6.0598 4.0026 3.3069
Persamaan regresi kuadratik yang diperoleh berdasarkan data di atas adalah: y = -22.909x2 + 22.551x + 1.7439. Nilai α, β, dan γ yang diperoleh dari persamaan regresi kuadratik ini digunakan untuk menentukan konstanta dalam persamaan GAB. Persamaan yang dimaksud adalah sebagai berikut: K= C=
β 2 − 4(α .γ ) − β 2γ 1
γ .K
+2
Xm =
1
γ .K .C
Berdasarkan persamaan di atas, nilai konstanta K, C, dan Xm dapat ditentukan. Nilai konstanta tersebut berturut-turut adalah 0.9481, 14.6154, dan 0.0415. Dengan menggunakan data-data tersebut dapat ditentukan model sorpsi isotermis berdasarkan persamaan dasar GAB, yaitu:
83
Me
=
Xm C K aw (1 – K aw) (1 – K aw + C K aw)
Model GAB yang diperoleh dengan mensubtitusikan nilai K, C, dan Xm adalah: Me = 0.5744 aw/(1 - 0.9481 aw)(1 + 13.8569 aw).
84
Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan aw
Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak (g H2O/g padatan) Percobaan
Hasley
Chen-Clayton
Henderson
0.3240
0.0490
0.0491
0.0236
0.0421
0.0437 0.0473 0.0489
0.5600
0.0774
0.0782
0.0868
0.0873
0.0867 0.0822 0.0783
0.7510
0.1239
0.1282
0.1540
0.1466
0.1508 0.1339 0.1313
0.8360
0.2089
0.1780
0.1987
0.1899
0.1930 0.1802 0.1840
0.9230
0.2791
0.3124
0.2752
0.2678
0.2483 0.2924 0.3078
aw
Caurie
Oswin
GAB
Kadar air kesetimbangan biskuit adonan keras (g H2O/g padatan) Percobaan Hasley
Chen-Clayton
Henderson
Caurie
Oswin
GAB
0.3240
0.0410
0.0466
0.0297
0.0406
0.0405 0.0455
0.0408
0.5600
0.0890
0.0799
0.0998
0.0918
0.0897 0.0852
0.0902
0.7510
0.1643
0.1413
0.1742
0.1640
0.1709 0.1484
0.1647
0.8360
0.2342
0.2066
0.2236
0.2191
0.2276 0.2079
0.2226
0.9230
0.3073
0.3961
0.3085
0.3221
0.3053 0.3602
0.3196
85
Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras
kadar air (g H2O/g padatan)
1. Biskuit adonan lunak 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
Ha sle y
0,10
P e rcoba a n
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
kadar air (g H2O/g padatan)
a ktivita s a ir
0,30 0,25 0,20 0,15
C he n C la yton
0,10
P e rcoba a n
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
kadar air (g H2O/g padatan)
a ktivita s a ir
0,30 0,25 0,20 0,15 Hende rson
0,10
P ercoba a n
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
86
kad ar air (g H2O / g p ad atan )
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
O swin
0,10
P e rcoba a n
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
kadar air (g H2O/g padatan)
a ktivita s a ir
0,30 0,25 0,20 0,15 C a urie
0,10
P e rcoba a n
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
k ad ar air (g H 2O / g p ad atan )
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 P erc obaan
0,10
GAB 0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
87
kadar air (g H2O/g padatan)
2. Biskuit adonan keras 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,00
Has ley P erc obaan
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
kadar air (g H2O/g padatan)
a ktivita s a ir
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
C hen C layton
0,10
Perc obaan
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
kadar air (g H2O /g padatan)
a ktivita s a ir
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
Henders on
0,10
P erc obaan
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
88
kad ar air (g H2O /g p ad atan )
0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 Os win
0,15
P erc obaan
0,10 0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
kad ar air (g H2O /g p ad atan )
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
Caurie
0,10
Perc obaan
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
kadar air (g H2O /g padatan)
0,35 0,30 0,25 0,20 0,15
GAB
0,10
P erc obaan
0,05 0,00 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
a ktivita s a ir
89
Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD
Berikut ini adalah contoh perhitungan MRD biskuit adonan lunak model GAB: Percobaan(Mi)
GAB(Mpi)
Mi-Mpi/Mi
0.0489
0.0007
0.0783
0.0111
0.1313
0.0596
0.1840
0.1191
0.3078
0.1028
0.0490 0.0774 0.1239 0.2089 0.2791 n
∑ Mi − Mpi / Mi i =1
MRD =
0.2933
100 n ∑ Mi − Mpi / Mi n i =1
MRD = (100/5) * 0.2933 MRD = 5.8660
90
Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras
Komposisi biskuit adonan lunak
Komposisi biskuit adonan keras
Tepung terigu, gula, minyak nabati, sirup Tepung terigu, mentega asli, glukosa, susu bubuk skim, sirup fruktosa, lemak tumbuhan, telur, gula garam, soda kue, lesitin kedelai, perisa pasir, tepung susu, glukosa, (vanilla, mentega), Vitamin A, B1, B2, B3, garam, dan soda kue. B6, B12, D, E, asam folat, zat besi, iodium, seng, selenium, dan kalsium.
91
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis Feri Kusnandar dan Dede R. Adawiyah1) dan Mona Fitria2)
2)
1) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Program Sarjana, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Abstract Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan,kelembaban relatif lingkungan, dan nilai slope terhadap umur simpan produk. Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan. Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal. Nilai slope kurva juga sangat berpengaruh pada umur simpan yang diperoleh. Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%. Keywords : umur simpan, metode akselerasi, biskuit, kadar air kritis
PENDAHULUAN Latar Belakang Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan.
Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan
informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005). Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan. Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006). Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan
yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah. Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan. Karena produk yang dipilih adalah biskuit yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis. Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat diketahui dengan melihat
kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik..
di Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK), Jakarta.
Tujuan Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.
Metode
METODOLOGI Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi biskuit jenis adonan lunak (biskuit glukosa) dan adonan keras (marie), garam MgCl2.6H2O, NaBr, NaCl, KCl, dan garam KNO3 yang mempunyai nilai RH yang bervariasi dan digunakan untuk penentuan kurva sorpsi isotermis, kemasan produk biskuit, silika gel, vaselin, dan akuades. Sampel biskuit merupakan sampel yang sudah ada di pasaran dengan satu kode produksi yang sama dan dibeli di salah satu hypermarket yang ada di kota Bogor. Produk biskuit ini dianggap sebagai produk segar (baru). Umur simpan produk biskuit dari saat membeli adalah 12 bulan untuk biskuit glukosa dan 17 bulan untuk biskuit marie. Jenis kemasan biskuit yang dianalisis adalah metallized plastic dan kemasan PP tebal sebagai pembanding. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penentuan umur simpan ini antara lain inkubator 30 oC, oven, desikator kecil, Permatran W 3*31, neraca analitik, pencapit logam, peralatan gelas, cawan alumunium, alumunium foil, hygrometer, aw meter, dan peralatan lain yang mendukung penelitian ini. Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, yaitu di Laboratorium Jasa Analisis Pangan dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan
a. Model Penentuan Umur Simpan
Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza: θ = ln (me – mo) / (me – mc) .....Pers 1 k * ( A ) ( Po ) x Ws b
dimana: θ = waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) = Kadar air keseimbangan me produk (g H2O/g padatan) mo = kadar air awal produk (g H2O/g padatan) b = slope kurva sorpsi isotermis mc = kadar air kritis (g H2O/g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = tekanan uap jenuh (mmHg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ = (mc – mo) * Ws .....Pers 2 k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982).
b.
Tahapan Penelitian 1. Penentuan Kadar Air awal (SNI-012891-1992) Pendugaan umur simpan produk biskuit dilakukan berdasarkan pendekatan kadar air kritis dengan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza:
θ
= ln (me – mo) / (me – mc) .....Pers 1 k * ( A ) ( Po ) x Ws b
dimana: θ = waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam) me = Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan) mo = kadar air awal produk (g H2O/g padatan) b = slope kurva sorpsi isotermis mc = kadar air kritis (g H2O/g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g padatan) Po = tekanan uap jenuh (mmHg) Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan: θ = (mc – mo) * Ws .....Pers 2 k * ( A ) * ( ΔP ) x dimana ΔP merupakan selisih antara tekanan udara di luar dimana produk disimpan dan tekanan udara di dalam kemasan (Labuza, 1982). 2. Penentuan Kadar Air Kritis Penentuan parameter kritis dilakukan dengan survei konsumen tentang penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dapat diketahui dengan cara menyebarkan kuisioner kepada 35 orang panelis tentang parameter penyebab kerusakan produk biskuit. Panelis diminta memilih atribut yang paling penting dalam menentukan kerusakan produk biskuit. Penentuan kadar air kritis diawali dengan menyimpan biskuit di suhu ruang selama 5 jam untuk produk biskuit merk A dan 6 jam untuk produk biskuit merk B. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan dianalisis kadar air, nilai kerenyahan, dan sifat organoleptik kerenyahannya. Uji organoleptik difokuskan pada nilai kesukaan panelis terhadap kerenyahan produk tersebut, dengan skala kesukaan 1 – 7, dimana satu merupakan skala sangat tidak suka dan tujuh adalah skala sangat suka. Sampel diujikan kepada 30 orang panelis tidak terlatih. Kadar air diukur berdasarkan SNI 01-2891-1992 sedangkan nilai
kerenyahan diukur dengan alat texture analyzer, menggunakan cylinder probe (P2/E). Sampel diletakkan di atas meja sampel dan ditekan dengan cylinder probe yang berdiameter 2 mm (P2/E). Hasil pengukuran diperoleh dalam bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer. Nilai kerenyahan adalah nilai puncak pertama yang signifikan pada grafik dan dinyatakan sebagai gf (gram force). Data kadar air dan nilai kerenyahan masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan, selanjutnya diplotkan dengan nilai kesukaannya masing-masing, sehingga diperoleh grafik yang menunjukkan hubungan antara skor kesukaan dengan kadar air dan hubungan antara skor kesukaan dengan nilai kerenyahan. Hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi linear. Berdasarkan regresi linear yang diperoleh, kadar air kritis dihitung pada saat skor kesukaan panelis bernilai 3 (skala agak tidak suka) berdasarkan persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan kadar air. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat pula diperoleh dari persamaan regresi yang menyatakan hubungan skor kesukaan dengan nilai kerenyahan, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai 3. Selain menentukan hubungan regresi linear antara nilai kerenyahan dan skor kesukaan di atas, ditentukan pula persentase penurunan kerenyahan sampai kadar air kritis tercapai berdasarkan rumus berikut ini: % penurunan = (kerenyahan awal – kerenyahan kritis)/ kerenyahan awal × 100% 3. Penentuan Pola Kurva Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf, 1987) Penentuan kurva sorpsi isotermis diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh yang digunakan untuk mengatur RH ruangan (desikator). Garam yang digunakan dalam penelitian ini adalah MgCl2, NaBr, NaCl, KCl, dan KNO3. Sekitar dua gram produk biskuit diletakkan pada cawan alumunium kering kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh yang mempunyai nilai RH berbeda-beda. Desikator kemudian disimpan dalam inkubator
dengan suhu 30oC. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik setiap hari sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992) dan dinyatakan dalam basis kering. Kadar air ini merupakan kadar air kesetimbangan pada RH tertentu. Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw). 4. Penentuan Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model Penentuan model sorpsi isotermis perlu dilakukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus. Dari sekian banyak model persamaan sorpsi isotermis, dipilih beberapa model persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. Persamaan yang dipilih adalah persamaan-persamaan sederhana yang mempunyai parameter tidak lebih dari tiga serta dapat digunakan pada kisaran nilai aw yang luas sehingga dapat mewakili ketiga daerah sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan ditentukan berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya dan penggunaan model ini ditujukan untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting). Dalam penelitian ini digunakan enam model, yaitu model GAB, Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Persamaan non linear (Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton) yang digunakan diubah ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga dapat ditentukan nilai-nilai konstanta dalam persamaannya dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1995). Lain halnya dengan model GAB, persamaan ini diubah ke dalam bentuk persamaan regeresi kuadratik sehingga nilai-nilai konstanta dalam persamaan juga dapat ditentukan. Uji ketepatan model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model persamaan
sorpsi isotermis untuk menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan. Uji ketepatan model ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan Mean Relative Determination (MRD) (Walpole, 1990). Rumus MRD tersebut adalah sebagai berikut: 100 n MRD = ∑ Mi − Mpi / Mi n i =1 dimana : Mi = kadar air percobaan Mpi = kadar air hasil perhitungan n = jumlah data Jika nilai MRD < 5 maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya, dari model persamaan yang terpilih, ditentukan nilai b (kemiringan kurva sorpsi isotermis) untuk dimasukkan dalam perhitungan umur simpan berdasarkan persamaan Labuza. Slope (kemiringan) kurva sorpsi isotermis ditentukan pada beberapa daerah untuk melihat pengaruh nilai b terhadap umur simpan yang diperoleh. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. 5. Penentuan Permeabilitas Kemasan (ASTM F1249-01) Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menggunakan alat Permatran Mocon W*3/31 di Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta. Kemasan sampel dipotong sesuai cetakan kemudian diukur ketebalannya. Kemasan sampel dikondisikan terlebih dahulu selama 24 jam dalam ruangan uji. Kemasan sampel ditempel pada tempat uji. Nilai ketebalan kemasan, luas kemasan, suhu uji, lamanya uji, laju alir udara, dan
kelembaban udara yang digunakan dimasukkan pada program komputer yang telah disediakan. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik. Pengujian dianggap selesai bila kondisi kesetimbangan telah tercapai (steady state). Kondisi dianggap setimbang bila laju uap air yang terdeteksi sensor infra merah telah tetap. Prinsip kerja alat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada akhir pengujian, alat akan menunjukkan nilai WVTR. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali Po dan RH.
Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 Jika kemasan sampel mempunyai pori-pori yang cukup besar, maka pengujian dilakukan secara manual sesuai (ASTM E-96,1995) yaitu dengan cara potong kemasan plastik yang digunakan sesuai mulut wadah yang digunakan. Hitung luas permukaan mulut wadah. Masukkan desikan (silika gel) secukupnya ke dalam tiap wadah. Letakkan kemasan plastik di mulut wadah dan rekatkan dengan lem silikon dan seal dengan rapat. Letakkan wadah ke dalam chamber tertutup yang telah berisi larutan garam jenuh. Wadah ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama selama satu minggu dan ditentukan pertambahan berat dari tiap cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat (g) dan waktu
(jam). Laju permeabillitas uap air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : WVTR = (slope/luas kemasan) × 10000 WVTR = g/ m2/ hari/ RH, suhu Nilai permeabilitas kemasan (k/x) selanjutnya ditentukan dengan membagi nilai WVTR dengan hasil kali Po dan RH. 6. Penentuan Berat Padatan per Kemasan dan Luas Kemasan Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan dan dinyatakan dalam m2. Berat produk awal (Wo) dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi dengan kadar air awalnya (mo) dan selanjutnya dinyatakan sebagai berat padatan per kemasan (Ws). 7. Penentuan Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan Tekanan uap di luar kemasan pada suhu tertentu dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (Po) dengan kelembaban udara (RH). Tekanan uap di dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni pada suhu tertentu (Po) dengan aktivitas air (aw). Nilai Po pada suhu tertentu dapat dilihat dari tabel uap air (Labuza, 1982). 8. Penentuan Umur Simpan Biskuit Umur simpan produk biskuit dihitung dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Umur simpan akan ditentukan pada 3 nilai RH, yaitu 75%, 80%, dan 85%. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (persamaan 1). Penentuan umur simpan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat dihitung dengan persamaan 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit adonan lunak dan adonan keras dilakukan dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis. Pendekatan kadar air kritis yang dipakai terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pada dasarnya, pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk menduga umur simpan produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis yang
berbentuk sigmoid, misalnya produk biskuit, sedangkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi biasanya digunakan untuk produk yang mempunyai kurva sorpsi isotermis, tapi bentuknya tidak sigmoid sehingga tidak bisa diasumsikan linear, misalnya produk dengan kelarutan tinggi seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi, misalnya permen. Penelitian ini membandingkan hasil pendugaan umur simpan yang diperoleh berdasarkan kedua pendekatan dan selanjutnya menentukan pendekatan yang tepat untuk produk biskuit. Biskuit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis biskuit yang berbeda. Alasan pemilihan dua jenis biskuit yang berbeda ini adalah untuk mewakili jenis biskuit secara umum. Biskuit yang digunakan diambil dari produk yang sudah ada di pasaran yaitu biskuit glukosa yang mewakili biskuit jenis adonan lunak dan biskuit marie yang mewakili jenis adonan keras. Biskuit adonan lunak memiliki kadar gula 25 – 40% dan kadar lemak 15% (Soenaryo, 1985). Biskuit adonan keras memiliki kadar gula 20% dan kadar lemak 12 – 15% (Soenaryo, 1985). Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis Kadar air awal dan kadar air kritis merupakan parameter pertama yang perlu diukur dalam pendugaan umur simpan. Penentuan kadar air kritis ini diawali dengan survei konsumen tentang atribut utama biskuit dan penyebab kerusakan produk biskuit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui parameter kritis yang menentukan penolakan konsumen terhadap produk biskuit. Survei dilakukan terhadap 35 orang panelis, dimana panelis diminta untuk memilih salah satu atribut yang paling menentukan kerusakan produk biskuit secara umum. Berikut ini disajikan data hasil survei parameter kritis kerusakan produk biskuit: 35 30 25 20 15 10 5 0 Tekstur
Rasa
Arom a
Warna
Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit
Data yang disajikan pada grafik menunjukkan bahwa atribut yang sangat menentukan kerusakan produk biskuit adalah atribut tekstur. Dari 35 orang panelis, 30 orang diantaranya memilih atribut tekstur sebagai atribut yang menentukan kerusakan produk biskuit, sedangkan 4 orang memilih atribut rasa, dan 1 orang lainnya memilih atribut aroma. Menurut Manley (1983), biskuit merupakan produk pangan kering dengan kadar air maksimal 5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab kerusakan produk biskuit adalah hilangnya kerenyahan akibat kenaikan kadar air produk. Hal ini sangat sesuai dengan hasil survei yang menyatakan atribut tekstur adalah penyebab kerusakan produk biskuit. Setelah diketahui parameter kritis dari hasil survei konsumen, selanjutnya dilakukan analisis kadar air awal dan kadar air kritis dengan metode oven. Produk biskuit yang diuji kadar air awalnya adalah produk segar, yaitu produk yang baru dikeluarkan dari kemasannya. Kadar air awal untuk biskuit adonan lunak adalah 0.0183 g H2O/ g padatan dan 0.0249 g H2O/ g padatan untuk biskuit adonan keras. Nilai kadar air kedua jenis produk sangat sesuai dengan standar untuk biskuit yang berlaku di Indonesia (SNI 012973-1992), yaitu maksimal 5% (BSN, 1992). Kadar air biskuit adonan lunak berbeda dari biskuit adonan keras karena komposisi kedua produk memang jauh berbeda. Masingmasing bahan pada komposisi akan menyumbangkan kadar air pada produk akhir, tergantung pada formulasi dan keadaan awal bahan penyusun biskuit tersebut. Kadar air kritis adalah nilai kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik. Kadar air kritis biskuit pada penelitian ini ditentukan berdasarkan persamaan regresi linear dari kurva yang menunjukkan hubungan kadar air dan skor kesukaan panelis. Kadar air kritis ditetapkan pada skor kesukaan tiga yaitu pada saat panelis menyatakan agak tida suka. Kadar air kritis ditetapkan pada penilaian ’agak tidak suka’ bukan pada penilaian ’tidak suka’ karena pada kondisi ini produk dianggap sudah mulai ditolak konsumen dan kondisi ini harus diwaspadai untuk menjamin kepuasan dan kenyamanan konsumen serta meminimalkan risiko kerusakan produk. Kadar air kritis ini ditentukan melalui serangkaian percobaan, dimana biskuit disimpan tanpa kemasan pada suhu kamar (30 ± 1oC) di ruangan terbuka dengan kisaran RH
75 – 80% selama 5 jam untuk biskuit adonan lunak dan 6 jam untuk biskuit adonan keras. Setiap jam dilakukan pengambilan sampel dan diukur kadar air, tingkat kerenyahan, dan penerimaan panelis terhadap kerenyahannya. Tabel 4 dan 5 berikut ini menyajikan data kadar air dan nilai kerenyahan biskuit serta tingkat kesukaan panelis. Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimp anan (jam) 0
Kadar air (g H2O/g padatan) 0.0183
Nilai kerenyahan (gf)
Skor kesukaan
496.7750
6.2667
1
0.0325
452.8750
6.0333
2
0.0430
333.8500
5.2667
3
0.0637
194.9250
3.2333
4
0.0747
94.7250
1.7000
5
0.0831
75.9000
1.3333
Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan Penyimp anan (jam) 0
Kadar air (g H2O/ g padatan) 2.45
Nilai kerenyahan (gf) 698.2500
Skor kesukaan
1
4.17
563.2250
5.1667
2
4.92
481.5500
4.3333
3
6.74
338.2000
2.7333
4
7.06
311.2500
2.6333
5
8.34
213.2000
1.7667
6
10.19
161.7750
1.1000
6.3000
Berdasarkan data di atas, dibuatlah grafik yang menunjukkan hubungan kadar air di sumbu x dengan rata-rata skor kesukaan panelis di sumbu y. Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan tersebut untuk kedua jenis biskuit:
Gambar 6. Grafik hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras
Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras adalah y = -84.3785x + 8.4057 dan y = -71.3558x + 7.9081, dengan nilai R2 masing-masing sebesar 0.9604 dan 0.9753. Semakin tinggi kadar air produk semakin menurun skor kesukaan panelis terhadap kerenyahannya. Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat ditentukan nilai kadar air kritis masingmasing produk, yaitu pada saat skor kesukaan bernilai tiga. Kadar air kritis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras berturut-turut adalah 0.0641 g H2O/ g padatan dan 0.0688 g H2O/ g padatan. Selain diukur kadar airnya, sampel yang telah diberi perlakuan waktu penyimpanan tersebut diukur pula nilai kerenyahannya. Tingkat kerenyahan biskuit diukur dengan alat Texture Analyzer. Biskuit ditekan dengan probe yang sesuai, yaitu probe P2/E (cylinder probe dengan diameter 2 mm) sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur produk tersebut. Nilai kerenyahan dilihat dari peak pertama yang signifikan pada kurva dan dinyatakan dalam satuan gf (gramforce). Nilai kerenyahan sampel biskuit yang di-sampling setiap jam tersebut diplotkan dengan rata-rata skor kesukaan 30 orang panelis, dimana nilai kerenyahan pada sumbu x dan skor kesukaan pada sumbu y. Berikut ini grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan panelis:
Gambar 7. Grafik hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras Persamaan yang diperoleh untuk biskuit adonan lunak adalah y = 0.0119x + 0.6880 dengan nilai R2 = 0.9745 dan untuk biskuit adonan keras adalah y = 0.0097x – 0.4121 dengan nilai R2 = 0.9974. Semakin tinggi nilai kerenyahan, skor kesukaan panelis terhadap produk biskuit juga semakin meningkat. Berdasarkan persamaan di atas dapat ditentukan nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis telah tercapai, yaitu pada saat rata-rata skor kesukaan panelis bernilai tiga. Nilai kerenyahan pada saat tercapai kadar air
kritis untuk biskuit adonan lunak adalah 194.2857 gf dan untuk biskuit adonan keras senilai 351.7629 gf. Nilai kerenyahan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena perbedaan komposisi, terutama komposisi lemak atau shortening dan telur. Lemak atau shortening akan melunakkan dan menghaluskan tekstur serta membuat struktur yang elastis. Kadar lemak biskuit adonan lunak lebih tinggi daripada biskuit adonan keras, sehingga kerenyahan biskuit adonan lunak lebih rendah dari biskuit adonan keras. Selain itu, biskuit menggunakan telur dalam pembuatannya. Adanya putih telur akan menyebabkan produk biskuit menjadi mantap dan terkesan lebih keras. Oleh karena itu, biskuit adonan keras menjadi lebih keras dari biskuit adonan lunak. Nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai di atas selanjutnya digunakan untuk mengetahui persentase penurunan kerenyahan. Persentase penurunan kerenyahan biskuit adonan lunak sampai kadar air kritisnya tercapai adalah sebesar 60.89% dan untuk biskuit adonan keras sebesar 49.62%. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 60%, sedangkan biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritisnya jika persentase penurunan kerenyahan sekitar 50%. Metode penentuan kadar air kritis dalam penelitian ini merupakan metode yang relatif baru. Namun demikian, prinsip yang digunakan sama dengan penentuan kadar air kritis yang telah biasa dilakukan, yaitu kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoleptik. Biasanya penentuan kadar air kritis dilakukan dengan cara menyimpan produk pada beberapa kondisi RH tertentu selama waktu tertentu dan diujikan tingkat kerenyahannya pada panelis. Kadar air kritis akan tercapai pada saat panelis mulai tidak menerima produk secara organoletik. Dalam penelitian ini, produk disimpan di ruangan terbuka (suhu kamar dengan RH 75-80%) selama 5 – 6 jam, disampling setiap jam, dan diujikan tingkat kesukaan terhadap kerenyahannya pada 30 oarang panelis tidak terlatih. Alasan pemilihan metode ini adalah karena metode ini dianggap lebih cepat dan mudah. Dalam penelitian ini tidak dibutuhkan chamber yang berisi larutan garam jenuh yang RH nya terkondisikan dengan baik. PENGAMATAN TERHADAP TIKUS
Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis Kadar air kesetimbangan perlu ditentukan untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis. Kadar air kesetimbangan dapat ditentukan dengan cara menyimpan biskuit dalam lima desikator yang berisi berbagai jenis larutan garam jenuh dengan nilai kelembaban relatif (RH) bervariasi mulai dari 32.4% (garam MgCl2) sampai 92.3% (garam KNO3). Nilai RH masing-masing larutan garam jenuh disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC No.
Nama larutan garam
1. 2. 3. 4. 5.
Magnesium Klorida (MgCl2) Natrium Bromida (NaBr) Natrium Klorida (NaCl) Kalium Klorida (KCl) Kalium Nitrat (KNO3)
Nilai RH (%) 32.4 ± 0.1 56.0 ± 0.4 75.1 ± 0.1 83.6 ± 0.3 92.3 ± 0.6
Sumber : Bell dan Labuza (2000) Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH diatas akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi sebagai akibat perbedaan RH lingkungan dan produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh bobot sampel yang konstan. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% ( Liovonen dan Ross dalam Adawiyah, 2006). Peningkatan atau penurunan bobot sampel selama penyimpanan menunjukkan fenomena hidratasi (deMan, 1989). Selama penyimpanan, kedua jenis biskuit menunjukkan fenomena kenaikan bobot. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit mengalami proses adsorpsi uap air dari lingkungan karena aktivitas air kedua jenis biskuit lebih rendah dari kelembaban relatif lingkungannya. Berikut ini adalah data kadar air kesetimbangan biskuit pada masingmasing RH dan waktu tercapainya kesetimbangan.
Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan RH Biskuit A Biskuit B me hari me hari 32.40 0.0490 6 0.0410 4 56.00 0.0774 7 0.0890 6 75.10 0.1239 7 0.1643 7 83.60 0.2089 8 0.2342 8 92.30 0.2791 8 0.3073 8 Data dalam tabel di atas menunjukkan bahwa kadar air kesetimbangan untuk biskuit adonan lunak tercapai setelah disimpan 6 – 8 hari, sedangkan biskuit adonan keras mencapai kesetimbangan setelah disimpan 4 – 8 hari. Semakin tinggi RH penyimpanan, semakin tinggi kadar air kesetimbangan dan semakin lama pula waktu tercapainya kesetimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka semakin lama proses difusi uap air berlangsung menuju tercapainya kesetimbangan. Waktu tercapainya kesetimbangan dan kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berbeda karena kondisi sampel berbeda, terutama kadar air awal dan nilai aw produk. Semakin dekat nilai aw produk dengan RH lingkungan, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari percobaan masing-masing diplotkan dengan nilai aw atau RH lingkungannya, sehingga membentuk sebuah kurva yang disebut kurva sorpsi isotermis. Kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat pada Gambar 8. Kedua kurva tersebut memiliki bentuk yang hampir sama, yaitu menyerupai huruf S (sigmoid), namun tidak sempurna. Bentuk kurva sangat beragam tergantung sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi, dan tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi
Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan keras
Model Sorpsi Isotermis dan Uji ketepatan Model Model-model persamaan sorpsi isotermis perlu dibuat untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi. Kadar air kesetimbangan yang didapat diplotkan dengan nilai aktivitas air. Banyak model persamaan matematika yang telah dikembangkan untuk menjelaskan fenomena sorpsi isotermis secara teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978; Van den Berg dan Bruin, 1981), namun dalam penelitian ini digunakan enam model persamaan, yaitu model Hasley, ChenClayton, Henderson, Caurie, Oswin, dan persamaan Guggenheim Anderson de Boer (GAB). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, persamaan tersebut dapat menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada jangkauan nilai aktivitas air (aw) yang luas (Chirife dan Iglesias, 1978). Selain itu, model persamaan di atas memiliki parameter kurang atau sama dengan tiga, sehingga lebih sederhana dan mudah diselesaikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Labuza (1982) bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis adalah untuk mendapatkan kemulusan kurva (curve fitting) yang tinggi maka model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya lebih cocok digunakan. Model persamaan matematika yang digunakan perlu dimodifikasi ke bentuk yang lebih sederhana untuk memudahkan perhitungan. Persamaan-persamaan tersebut dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan linear dengan transformasi logaritmik (log) dan atau logaritmik normal (ln). Selanjutnya nilai tetapan dalam persamaan (nilai a dan b) ditentukan dengan metode kuadrat terkecil. Menurut Walpole (1995), metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu garis regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar. Lain halnya dengan model persamaan GAB, yang harus dimodifikasi ke dalam bentuk persamaan non linear (polinomial), dimana menunjukkan hubungan aw/Me dan aw. Konstanta α, β, dan γ pada persamaan non linear dapat ditentukan dengan metode regresi kuadratik. Selanjutnya nilai konstanta yang diperoleh disubtitusikan ke dalam persamaan awal GAB, sehingga didapatkan persamaan yang lebih sederhana yang menunjukkan hubungan kadar air kesetimbangan dan nilai aktivitas air. Persamaan kurva sorpsi isothermis yang dihasilkan dari model-model sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat dalam Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak Model Hasley ChenClayton Henderson Caurie Oswin GAB
Persamaan log(ln(1/aw)) = -1.8183 – 1.4292 log Me ln(ln(1/aw)) = 0.3671 – 10.5043 Me log(ln(1/(1 – aw))) = 0.9903 + 1.0160 log Me ln Me = -4.0694 + 2.8997 aw ln Me = -2.6356 + 0.5660 ln(aw/(1-aw)) Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw)
Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras Model Hasley ChenClayton Henderson Caurie Oswin GAB
Persamaan log(ln(1/aw)) = -1.5932 – 1.2358 log Me ln(ln(1/aw)) = 0.4010 – 9.4825 Me log(ln(1/(1 – aw))) = 0.8551 + 0.9069 log Me ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw ln Me = -2.6175 + 0.6427 ln(aw/(1-aw)) Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw)
Perbandingan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan model-model sorpsi isotermis memperlihatkan bahwa beberapa model sorpsi isotermis dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan tepat, agak tepat, dan tidak tepat. Hal ini perlu diperkuat dengan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) yang merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan berdasarkan model dengan kadar air kesetimbangan hasil percobaan. Nilai MRD masing-masing model untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat dalam Tabel 10.
model yang paling tepat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dengan nilai MRD terkecil, yaitu 5.8660. Persamaan model GAB adalah Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat pada Gambar 9. Untuk biskuit adonan keras, model yang terpilih adalah model Caurie, yaitu model yang memberikan nilai MRD terkecil sebesar 1.8860 dimana model ini dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat. Persamaan model Caurie adalah ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan keras dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB
Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan Model
Hasley
MRD Biskuit adonan lunak 6.3060
Biskuit adonan keras 15.7566
Chen Clayton Henderson
18.9140
10.1140
11.6360
3.0970
Caurie
12.6000
1.8860
Oswin
7.2180
10.6840
GAB
5.8660
2.1940
Model persamaan yang dipilih adalah model yang memberikan nilai MRD terkecil, dimana model tersebut dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat. Hasil perhitungan MRD pada tabel 10 menunjukkan bahwa model GAB adalah
Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie Selain model Caurie, model GAB juga dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat, yaitu dengan nilai MRD 2.1940. Jadi, model GAB dapat pula dipilih sebagai model yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis dangan persamaan Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw). Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model GAB dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB Model sorpsi isotermis GAB yang terpilih untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat digunakan untuk menjelaskan kadar air monolayer produk biskuit. Kadar air monolayer (Xm) dapat dicari berdasarkan perhitungan. Kadar air monolayer biskuit adonan lunak adalah 0.0388 dan kadar air monolayer biskuit adonan keras adalah 0.0846. Kadar air monolayer kedua jenis biskuit lebih besar daripada kadar air awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit adonan lunak maupun adonan keras cukup stabil, karena kadar air awal produk jauh di bawah kadar air monolayer. Model sorpsi isotermis yang terpilih dapat pula digunakan untuk menentukan nilai aw pada saat kadar air kritis tercapai. Untuk biskuit adonan lunak, nilai aw berdasarkan model GAB pada saat kadar air kritis tercapai (0.0641 g H2O/g padatan) adalah 0.4644. Nilai aw biskuit adonan keras pada saat kadar air kritisnya tercapai (0.0688 g H2O/g padatan) berdasarkan model Caurie adalah sebesar 0.4814, sedangkan menurut model GAB adalah sebesar 0.4741. Berdasarkan nilai aw yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa produk biskuit masih aman pada saat tercapai kadar air kritisnya. Berikut ini dalam Tabel 11 dapat dilihat kisaran aw minimum untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme No.
Jenis mikroorganisme
1 2 3 4 5 6
Bakteri Khamir Kapang Bakteri halofilik Kapang xerofilik Khamir osmofilik
aw minimum pertumbuhan 0.91 0.88 0.80 0.75 0.65 0.60
Sumber : Reardon dan Wade (1991)
Permeabilitas Uap Air Kemasan Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas kemasan ditentukan pada kondisi RH dan suhu tertentu. Semakin tinggi suhu, maka pori-pori plastik akan semakin membesar sehingga permeabilitas plastik meningkat (Syarief et al, 1989). Oleh karena itu penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan dengan suhu yang konstan untuk menghindari peningkatan ukuran pori-pori plastik. Dalam penelitian ini, kemasan yang ditentukan permeabilitasnya adalah kemasan metallized plastic (kemasan asli masingmasing biskuit) serta kemasan pembanding, yaitu plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan ditentukan dengan cara menentukan nilai WVTR (Water Vapor Transmission Rate) terlebih dahulu. Nilai WVTR ditentukan dengan alat Permatran W*3/31, di bawah kondisi suhu 100 oF (37.8 oC). Pengukuran nilai WVTR dengan alat ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya nilai RH dan suhu dapat dikondisikan konstan selama pengujian dan pengujian jauh lebih cepat daripada metode gravimetri. Prinsip kerja alat ini didasari oleh adanya pergerakan uap air dari daerah dengan kelembaban relatif sangat tinggi (RH = 100%) menuju daerah dengan kelembaban relatif sangat rendah (RH = 0%). Pergerakan ini merupakan akibat dari adanya perbedaan tekanan parsial antara kedua daerah tersebut. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Aliran gas nitrogen basah merupakan penyedia uap air (RH dapat diatur) dengan cara melewatkan gas tersebut pada sebuah humidifier yang berisi air destilata. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik (Anonim, 2007). Nilai WVTR dalam satuan gram/m2.hari dapat langsung didapatkan dari program komputer yang tersedia. Nilai WVTR untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, metallized
plastic biskuit adonan keras, dan kemasan PP tebal berturut-turut adalah 0.6683, 0.8872, dan 3.6320 gram/m2.hari. Nilai permeabilitas kemasan dapat dihitung dangan cara membagi nilai WVTR dengan hasil perkalian tekanan uap jenuh pada suhu pengujian (37.8 oC) dengan nilai RH. Dengan demikian, nilai permeabilitas kemasan masing-masing kemasan adalah 0.0136 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, 0.0180 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan keras, dan 0.0739 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan PP tebal . Nilai permeabilitas kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak menunjukkan nilai paling kecil, sedangkan kemasan PP tebal memberikan nilai permeabilitas yang paling besar. Dengan kata lain, bahan kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak maupun adonan keras lebih baik dari kemasan PP tebal dalam hal permeabilitas terhadap uap air. Nilai permeabilitas kemasan spesifik untuk setiap jenis kemasan tergantung pada karakteristik masing-masing bahan kemasan tersebut. Nilai permeabilitas kemasan yang lebih kecil menunjukkan bahwa kemampuan bahan kemasan sebagai barrier terhadap uap air lebih baik. Difusi uap air ke dalam produk akan semakin sedikit dan kerenyahan (tekstur) dapat lebih terjaga. Oleh karena itu, hal tersebut mendukung semakin lamanya umur simpan. Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan ditentukan berdasarkan nilai aw produk, RH ruangan, dan tekanan uap air murni pada suhu terukur. Nilai aktivitas air (aw) awal ditentukan dengan menggunakan alat aw meter. Nilai aktivitas air awal biskuit adonan lunak adalah 0.2800 sedangkan biskuit adonan keras memiliki aktivitas air awal sebesar 0.3683. Selanjutnya, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan (∆P) dihitung sebagai selisih antara tekanan luar dan dalam kemasan. Tekanan luar kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan RH ruangan, sedangkan tekanan dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan aw awal produk. Nilai ∆P pada suhu 30 oC dan RH 80% untuk biskuit adonan lunak adalah 16.5485 mmHg dan untuk biskuit adonan keras adalah 13.7374 mmHg.
Adanya perbedaan tekanan luar dan tekanan udara dalam kemasan akan menyebabkan adanya mobilisasi air. Bila tekanan luar lebih besar daripada tekanan dalam kemasan maka uap air akan berpindah dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air produk lambat laun akan meningkat. Bila mobilisasi air telah mencapai batas air kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya. Semakin besar perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, semakin singkat umur simpan produk karena mobilisasi air terjadi semakin cepat. Pada suhu yang sama, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan akan semakin besar dengan semakin tingginya RH lingkungan penyimpanan. Variabel Umur Simpan Lainnya Umur simpan suatu produk ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu luas kemasan, berat padatan per kemasan, kemiringan kurva sorpsi isothermis, dan tekanan uap jenuh pada suhu pengujian. Model sorpsi isotermis masing-masing produk yang terpilih berdasarkan nilai MRD digunakan untuk menentukan nilai kadar air kesetimbangan produk pada RH tertentu dan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis produk. Model yang terpilih untuk biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 + 13.8569aw), sedangkan model yang terpilih untuk biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw dan model GAB dengan persamaan Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw). Nilai slope kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah, 1998). Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan slope kurva sorpsi isothermis diambil pada daerah yang melewati mo (kadar air awal). Melalui penelitian ini juga dilihat pengaruh nilai slope kurva terhadap umur simpan biskuit. Untuk itu, slope kurva ditentukan dengan tiga cara. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masingmasing RH penyimpanan.
Nilai slope 1 untuk biskuit adonan lunak adalah 0.1111, sedangkan untuk biskuit adonan keras adalah 0.1457 berdasarkan model Caurie dan 0.2072 berdasarkan model GAB. Nilai slope 2 diperoleh sebagai nilai slope kurva sorpsi isotermis pada daerah landai yang melewati kadar air awal. Gambar 12 dan 13 menunjukkan slope kurva sorpsi isotermis yang dipakai. Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie
Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB : Caurie : GAB
Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB Berdasarkan gambar di atas, nilai slope kurva untuk biskuit adonan lunak adalah sebesar 0.1180, sedangkan untuk biskuit adonan keras senilai 0.1743 berdasarkan model Caurie dan 0.2185 berdasarkan model GAB. Nilai slope 3 ditentukan sebagai slope garis lurus yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Gambar 14, 15, dan 16 memperlihatkan slope kurva untuk masingmasing jenis biskuit.
Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB
Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB Berdasarkan gambar di atas, untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat bahwa slope kurva untuk masing-masing RH penyimpanan berbeda. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut adalah 0.1550, 0.1790, dan 0.2168. Untuk biskuit adonan keras, slope ditentukan berdasarkan dua model yang terpilih, yaitu model Caurie dan model GAB. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut berdasarkan model Caurie adalah 0.2515, 0.2829, dan 0.3193, sedangkan berdasarkan model GAB adalah 0.2775, 0.3095, dan 0.3522. Selain untuk menentukan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis, model sorpsi isotermis terpilih digunakan pula untuk menentukan kadar air kesetimbangan pada nilai RH tertentu. Berat padatan per kemasan merupakan berat awal produk yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Berat padatan biskuit adonan lunak adalah 216.0017 g dan untuk biskuit adonan keras adalah 122.6230 g. Luas kemasan biskuit adonan lunak sebesar 0.0588 m2, sedangkan luas kemasan biskuit adonan keras terukur 0.0359 m2. Tekanan uap air jenuh pada suhu peyimpanan (30 oC) adalah sebesar 31.8240 mmHg. Umur Simpan Pemberian ransum dilaksanakan selama total 82 hari yang terbagi dalam 2
tahap. Tahap pertama yaitu masa adaptasi tikus selama 7 hari. Pada tahap ini, tikus diberi ransum standar dan air secara ad libitum. Tikus percobaan perlu mengalami masa adaptasi agar terbiasa dengan lingkungan laboratorium. Masa adaptasi ini juga dapat digunakan untuk mengamati apakah tikus percobaan dapat terus digunakan dalam masa perlakuan selanjutnya. Tahap kedua yaitu masa perlakuan selama 75 hari. Pada masa perlakuan ini, tikus dikelompokkan ke dalam 3 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus percobaan. Masing-masing tikus mengkonsumsi ransum sesuai dengan perlakuannya. Ransum diberikan setiap pagi. Sisa ransum ditimbang untuk mengetahui jumlah konsumsi ransum per hari. Setiap 2 hari sekali, dilakukan penimbangan berat badan tikus percobaan untuk mengetahui pertumbuhan berat badan tiap kelompok perlakuan. Hasil pengamatan terhadap berat badan, konsumsi ransum, dan rasio konsumsi ransum dengan berat badan tikus tiap perlakuan disajikan dalam Tabel 4. Kurva pertumbuhan berat badan tikus selama masa perlakuan disajikan dalam Gambar 1.
DAFTAR PUSTAKA Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Arjmandi, B.H., M.J. getlinger, N.V. Goyal, L.Alekel, C.M. Hasler, S. Juma, M.L. Drum, B.W. Hollis, S.C. Kukreja. 1998. Role of Soy Protein with Normal or Reduced Isoflavon Content in Revensing Bone Loss Induced by Ovarian Hormone Deficiency in Rats. In: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741 Badan
Standardisasi Nasional. 1992. Standardisasi Nasional Indonesia. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Cheftel, J.C., J.L. Cuq and D. Lorient. 1985. Amino Acid, Peptide and Protein. Di dalam O.R. Fennema (ed). Food Chemistry. Marcel Dekker inc., new York Conti, M., P.C. Moramd, P. Levillaind dan A. Lemonnier. 1991. Improve Fluorometric Determination of Malonaldehyde. J. Clin. Chem. Soc. 103: 6472-6477. Franke, A.A., L. J. Custer, C.M. Cerna, K. Narala. 1995. Rapid HPLC Analysis of Dietary Phytoestrogens from Legumes and from Human Urine. In: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741 Friedewald WT, Levy RI & Fredriskson DS (1972). Estimation of the concentration of low-density lipoprotein cholesterol in plasma without use of the preparative ultracentrifuge. Clin Chem 18:499-502. Groff, J.L., S.S. Gropper dan S. M. Hunt. 1995. Advanced Nutrition and Human Metabolism. West Publishing Company, USA Guillon, F dan Champ, M.M.J. 2002. Carbohydrate Fraction of Legumes: Uses in Human Nutrition and Potential for Health. British Journal of Nutrition, 88, Suppl. 3, S293S306 Guyton dan Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. eBook. Elsevier Inc. Hailgren, B. O. 1981. The Role of Dietary Fibre in Food. Problems in Nutrition Research Today. Academic Press, Switzerland Hillis, W. E. And K. Isoi. 1965. Variation in The Chemical Composition of Eucalyptus sideroxylon in: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741
Kahl`s, P. 1999. Why LDL is Important To Your Health. http://www.zoneperfect.com/kahl_in tro.html Khodijah, S. 2003. Pola Elektroforesis Protein Globulin 7S dan 11S dari Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor Lucas, E.A., D.A. Khalil, B.P. Baggy, B.H. Arjmandi. 2001. Ethanol-Extracted Soy Protein Isolate Does Not Modulate Serum Cholesterol in Golden Syrian Hamster: A Model of Postmenopausal Hypercholesterolemia in: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 2004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741 Mahfouz, M.M. dan Kummerow, F.A. 2000. Cholesterol-rich Diets Have Different Effects on Lipid Peroxidation, Cholesterol Oxides, and Antioxidant Enzymes in Rats and Rabbits. J.Nutr. Biochem 11:293-302 Potter, S.M., R.M. Bakhit, D.L.E. Sorlie, K.E. Weingartner, K.M. Chapman, R.A. Nelson, M. Prabhudesai, W.D. Svage, A.I. Nelson, L.W. Winter and J.W. Erdman. 1993. Depression of Plasma Cholesterol in Men by Consumption of Baked Products Containing Soy Protein. Am.J.Clin. Nutr. 58: 501-506 Schaefer, E.J., McNamara J.1997. Overview of The Diagnosis and Treatment of Lipid Disorders. In. Rifai N, Warnick GR, Dominiczak MH, eds. Handbook of Lipoprotein Testing. Washington: AACC Press: 25-48 Schneeman, B.O. dan J. Tietyen. 1994. Dietary Fibre. Di dalam. Shils M.E., J.A. Olson, dan M. Shike (eds). Modern Nutrition in Health and Disease 8th ed. A. Waverly Company, Philadelphia
Sihombing, A.B.H. 2003. Pemanfaatan Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan dalam Ransum Untuk Menurunkan Kadar Kolesterol Darah Tikus Percobaan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor Suwarno, M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Isolat Protein. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor Vidyadaran, MK, Ng TKW, Teh, CB., Tee, ES., Thong, ML., Kandiah, M., Ehalid, AH. 1997. A critical evaluation of high density lipoprotein cholesterol as an index of coronary artery disease risk in Malaysians. Mal J Nutr 3: 61-70 Wolever, T.M.S., R.A. Hegele, P.W. Connelly, T.P.P Ranson, J.A. Story, E.J. Furumoto, dan D.J.A. Jenkins. 1997. Long-term Effect of SolubleFibre Foods on Postprandial Fat Metabolism in Dyslipidemic with Apo E3 and Apo E4 Genotypes. Am. J. Nutr. 66: 584-590 Wormser, Henry. 2004. Lipoprotein Metabolism an PowerPoint Presentation. PSC 3110 Fall Yulia, Olga. 2007. Pengujian Kapasitas Antioksidan Ekstrak Polar, Nonpolar, Fraksi Protein dan Nonprotein Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.