PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS
SKRIPSI
Yuananda Parama Oktarani F24062713
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Shelf Life Estimation of Instant Noodle Substituted with Corn Using Arrhenius Accelerated Method
1
Yuananda Parama Oktarani1, Dahrul Syah1, and Feri Kusnandar1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agriculture Technology, Bogor Agricultural University IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 856 97171713, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
Nowadays, instant noodles corn-based product has been developed by many institutions. However, shelf life estimation of this product has not studied yet though information about the shelf life has become consumer rights as stated in PP. 69 1999 Chapter II Clause 2 and 3. Therefore, this study was aimed to determine the shelf life of instant noodle substituted with corn flour using accelerated method based on subjective and objective parameters. Estimation of corn-instant noodle shelf life was started by storing the products at different storage temperatures (32°C, 37°C, 45°C, 50°C, and 52°C) for five weeks where analyzed in terms of subjective and objective parameters. The best parameter to determine the shelf life is TBA parameter. This parameter gives the highest determination coefficient value among the others (R2= 0.975) and gives low activation energy (62720.82 J/mol). Based on TBA parameter, corn-instant noodle had shelf life of 81 days at 30°C. Keywords: corn, noodle, shelf life, Arrhenius
Yuananda Parama Oktarani. F24062713. Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi-Arrhenius. Dibawah bimbingan: Dahrul Syah dan Feri Kusnandar. 2011.
RINGKASAN
Pengembangan produk mi instan berbahan dasar jagung, masih banyak dilakukan untuk memperoleh formulasi optimal yang akan menghasilkan tekstur yang mendekati tekstur mi instan terigu pada umumnya. Akan tetapi, pendugaan umur simpan dari produk tersebut masih belum banyak diteliti. Padahal informasi mengenai umur simpan merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam label ini mencangkup kewajiban untuk mencantunkan masa kadaluarsa produk. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dengan metode akselerasi Arrhenius berdasarkan parameter objektif dan subjektif. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu tahap produksi mi instan subtitusi jagung dan tahap pendugaan umur simpan menggunakan Metode Arrhenius. Pada tahap pertama, pembuatan mi instan subtitusi jagung diproduksi dengan menggunakan formulasi optimal hasil pengembangan dari saudara Stefanus. Bahan-bahan yang digunakan meliputi tepung terigu 70%, tepung jagung 30%, guar gum 1%, garam 1%, baking soda 0.3%, dan air 40% (Stefanus, 2010). Setelah diperoleh produk berupa mi instan subtitusi jagung, produk tersebut kemudian disimpan di dalam inkubator yang diatur pada suhu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C untuk selanjutnya dianalisis secara berkala selama lima minggu waktu penyimpanan. Tahap yang kedua adalah tahap pendugaan umur simpan. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan menggunakan Metode Akselerasi Model Arrhenius. Pendugaan umur simpan tersebut dilakukan tehadap parameter mutu subjektif dan objektif. Karena pada penelitian ini dilakukan pendugaan umur simpan berdasarkan parameter subjektif, maka dilakukanlah serangkaian seleksi dan pelatihan panelis agar dapat diperoleh data penilaian sampel yang relevan dengan kondisi sebenarnya. Jenis uji yang digunakan dalam seleksi panelis terlatih adalah uji rasa dan aroma dasar serta uji segitiga. Sedangkan selama pelatihan, para panelis tersebut diperkenalkan menggunakan uji rating (scoring) untuk memberikan penilaian terhadap beberapa atribut sensori pada produk mi instan subtitusi jagung. Dari 21 panelis yang mempunyai kesedian waktu dan motivasi yang tinggi untuk mengikuti seleksi dan pelatihan panelis ini, diperoleh 10 orang kandidat panelis terlatih yang kemudian dilatih dengan memperkenalkan kepada berbagai sampel mi jagung instan dengan tingkat kerusakan mutu yang berbeda-beda. Pelatihan ini dilakukan sampai para panelis dapat memberikan penilaian yang konstan terhadap atribut sensori sampel tersebut. Penetapan parameter kritis yang dapat menyebabkan produk tidak diterima oleh konsumen juga dilakukan pada saat pelatihan panelis melalui diskusi focus grup (focus group discussing/FGD). Parameter-parameter kritis yang selanjutnya akan dianalisis meliputi bilangan TBA, bilangan peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), warna-Hunter, tekstur-TPA, dan parameter organoleptik seperti flavor, warna, dan tekstur sesudah direhidrasi. Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa parameter mutu yang memiliki tren nilai konstanta penurunan mutu (nilai k) meningkat terhadap kenaikan suhu adalah parameter sensori (flavor, warna, dan tekstur), parameter bilangan TBA, dan parameter bilangan peroksida. Dengan
demikian, dapat ditentukan lama umur simpan produk mi jagung instan subtitusi pada suhu penyimpanan 30°C berdasarkan parameter sensori atribut flavor adalah selama kurang lebih 41 hari, parameter sensori atribut warna selama 23 hari, parameter sensori atribut tekstur selama 26 hari, parameter bilangan TBA selama 81 hari, dan berdasarkan parameter bilangan peroksida adalah selama 181 hari. Penetapan umur simpan yang paling sesuai untuk produk mi instan subtitusi jagung ini, selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat sensitivitas reaksi penurunan muru terhadap perubahan suhu yang dapat dilihat dari nilai energi aktivasi yang paling rendah dan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi yang paling besar (R2). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dikatakan bahwa parameter yang dijadikan acuan dalam penentuan umur simpan adalah parameter atribut flavor secara organoleptik. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yang cukup besar (0.972), nilai energi aktivasi yang kecil (85600.94 J/mol), dan memberikan dugaan umur simpan yang cukup pendek (41 hari). Namun jika dilihat berdasarkan pertimbangan segi ekonominya, umur simpan mi jagung instan subtitusi dapat ditentukan berdasarkan parameter lainnya karena umur simpan yang ditentukan dari parameter atribut flavor secara organoleptik dirasa terlalu pendek dan tidak menguntungkan produsen. Oleh karena itu, berdasarkan alasan di atas dengan tetap memperhatikan syarat kriteria pemilihan parameter mutu, parameter lain yang dapat digunakan dalam pendugaan umur simpan adalah parameter bilangan TBA. Parameter ini memberikan nilai koefisien korelasi yang paling tinggi (0.975) diantara kelimanya. Selain itu energi aktivasinya pun masih belum terlalu besar (62720.82 J/mol). Menurut parameter TBA, mi jagung instan subtitusi memiliki umur simpan selama 81 hari jika disimpan pada suhu ruang (30°C).
PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG DENGAN METODE AKSELERASI-ARRHENIUS
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh YUANANDA PARAMA OKTARANI F 24062713
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIP
: :
Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode AkselerasiArrhenius Yuananda Parama Oktarani F24062713
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP 19680505 199203.2.002
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680505 199203 002
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP 19680505 199203.2.002
Tanggal lulus : 19 Januari 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi-Arrhenius adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan
Yuananda Parama Oktarani F 24062713
iii
BIODATA PENULIS
Penulis bernama Yuananda Parama Oktarani, dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Oktober 1987.Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Kamto Bayu Sasongko dan Nurheni Sri Palupi. Jenjang pendidikan pertamanya di tempuh di TK Mexindo Bogor (1992-1994), lalu dilanjutkan ke jenjang pendidikan dasar di SDN Polisi 1 Bogor (1994-2000), pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Bogor (2000-2003), dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor (2003-2006). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai pengurus HIMITEPA dan banyak terlibat dalam kepanitaan seperti dalam acara Indonesian Food Expo (IFOODEX) 2009, Training HACCP VI 2008, International Conference in Food Research, Penyuluhan Kemanan Pangan, dan masih banyak lagi. Selain itu, penulis juga beberapa kali menjadi peserta dalam pelatihan ataupun seminar seperti pelatihan Sistem Manajemen Halal, seminar ISO 22000: 2005, dan pelatihan produksi mi jagung yang diadakan oleh SEAFAST Center IPB. Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB selama tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2008 sampai tahun 2010. Selain itu, penulis juga mendapatkan hibah dari DIKTI melalui Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang berjudul “Pengembangan Teknologi Pembuatan Keju Rendah Lemak Berbasis Kedelai Kaya Probiotik (Soycheese)”. Pada pertengahan tahun 2010, penulis berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Universiti Putra Malaysia selama satu semester oleh DIKTI. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Pendugaan Umur Simpan Mi Instan Subtitusi Jagung dengan Metode Akselerasi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur Simpan Mi Jagung Instan Subtitusi Menggunakan Metode Akselerasi Berasarkan Parameter Subjektif dan Objektif dengan baik dan semaksimal mungkin. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juni 2010. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salan kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai, terutama kepada : 1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam mendidik penulis hingga menjadi manusia yang berguna. Terimakasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan kehangatan yang selalu penulis rasakan ketika berada di tengah-tengah kalian. Keluarga besar dari Bapak dan Ibu yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan dan kelancaran penulis selama belajar di sini. 2. Dr. Ir. Dahrul Syah sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, motivasi, segala pelajaran hidup dari awal penulis menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas kesabaran, nasihat, saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Pak Jun, Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin, Bu Rub, dan Bu Sri) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. 6. Sahabat-sahabat saya, Sadek, Henni, Laras, Dinda, Della dan seluruh teman-teman ITP 43, terimakasih banyak atas segala canda, tawa, suka, duka, susah, sedih atupun senang yang telah kita alami bersama karena tanpa dukungan dan keberadaan kalian masa-masa mahasiswa ini tidak akan menjadi lebih berwarna. 7. Pujiarta atas kasih saying, doa, dukungan, semangat, dan kesabaran yang diberikan kepada penulis. 8. Teman-teman produksi mi jagung, Bernand, Dela, Oni, Tiko, Adit, Stefanus, Abdi, Helen, dan semua tim produksi angkatan 43, 44, dan 45 yang tidak bisa saya sebutkan atas kebersamaan dan kerjasamanya. 9. Teman-teman sebimbingan, Yogi, Bojes, Viktor, dan Kak Dita atas kebersamaan dan dukungan kalian yang hebat. 10. Mba Alina Primasari dan Mas Nono Hartono yang telah setia member dukungan dan mendampingi penulis sampai saat ini. 11. Para panelis terlatihku, Dela, Mba Maya, Mas Issac, Hanna, Vita, Kanov, Andri, dan semuanya atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung. 12. Teman-teman TPB, Tunjung, Ratri, Sela, Alin, Memey, Ipin, Ridho, Oyot, Bayu,, semuanya atas keceriaan dan kebersamaan yang telah kalian bawa ke dalam kehidupan penulis.
v
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang kalian berikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………….. DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………………. I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………….. A. LATAR BELAKANG ……………………………………………………………… B. TUJUAN PENELITIAN …………………………………………………………… C. MANFAAT PENELITIAN ………………………………………………………… II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………… A. JAGUNG ……………………………………………………………………………. 1. Jenis Jagung ……………………………………………………………………. 2. Morfologi dan Anatomi Jagung ………………………………………………. 3. Komposisi Kimia Biji Jagung …………………………………………………. B. TEPUNG JAGUNG ………………………………………………………………… C. MI INSTAN …………………………………………………………………………. D. MI JAGUNG ………………………………………………………………………… E. PENENTUAN UMUR SIMPAN …………………………………………………… 1. Ordo Reaksi Nol ………………………………………………………………... 2. Ordo Reaksi Satu ………………………………………………………………. F. SELEKSI DAN PELATIHAN PANELIS …………………………………………. III. METODE PENELITIAN ……………………………………………………………….. A. BAHAN DAN ALAT ……………………………………………………………….. B. METODE PENELITIAN ………………………………………………………….. 1. Pembuatan Mi Instan Subtitusi Jagung ……………………………………… 2. Pendugaan Umur Simpan …………………………………………………….. 3. Metode Analisis ………………………………………………………………… IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………………… A. PEMBUATAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG …………………………… B. KARAKTERISTIK MUTU AWAL ……………………………………………... C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN ………………………………………………… 1. Penentuan Nilai Kritis ………………………………………………………… 2. Penentuan Ordo Reaksi ………………………………………………………. 3. Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Beberapa Parameter ……………… a. Bilangan TBA ……………………………………………………………. b. Bilangan Peroksida ………………………………………………………. c. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ……………………….. d. Warna ……………………………………………………………………. e. Tekstur …………………………………………………………………… f. Analisis Organoleptik ………………………………………………..... (i) Seleksi dan Pelatihan Panelis Terlatih ……………………………… (ii) Tekstur ………………………………………………………………
v ix x xi 1 1 2 2 3 3 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 14 14 14 16 20 26 26 27 28 28 29 29 29 31 32 32 33 34 34 35
vii
(iii) Warna ……………………………………………………………….. (iv) Flavor ………………………………………………………………... g. Penentuan Parameter Pembatas Pemolakan Produk dan Umur Simpan Produk …………………………………………………………. V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………….. A. KESIMPULAN …………………………………………………………………… B. SARAN ……………………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. LAMPIRAN ……………………………………………………………………………
36 37 38 41 41 41 43 46
viii
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning ……………. Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung …………………………………………………... Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung …………………………………………………………. Tabel 4. Konsentrasi larutan uji deskripsi rasa dasar …………………………………………. Tabel 5. Konsentrasi larutan uji segitga rasa dasar …………………………………………… Tabel 6. Nilai mutu awal mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …….. Tabel 7. Nilai kritis mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter …………... Tabel 8. Nilai R2 dari grafik penurunan mutu menurut ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 …..... Tabel 9. Nilai koefisien determinasi (R2) dan energi aktivasi (Ea) pada berbagai parameter ………………………………………………………………………………
4 4 6 23 24 27 28 30 38
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Struktur biji jagung ………………………………………………………………… Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian …………………………………………….. Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung …………………………………………... Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan mi jagung instan metode sheeting ………………. Gambar 5. Diagram alir pendugaan umur simpan produk mi jagung instan ……………….... Gambar 6. Ilustrasi model penurunan mutu pada ordo reaksi nol dan satu ………………… Gambar 7. Skema rangkaian seleksi dan pelatihan panelis terlatih …………………………. Gambar 8. Inkubator yang digunakan selama penyimpanan ……………………………….. Gambar 9. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan TBA ……….. Gambar 10. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan peroksida ….………………………………………………………………………. Gambar 11. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut tekstur organoleptik ……. Gambar 12. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut warna organoleptik …….. Gambar 13. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut flavor organoleptik ……...
5 15 16 17 18 19 22 27 31 32 36 37 38
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Format kuisioner seleksi panelis ………………………………………………… Lampiran 2. Format kuesioner uji rating ……………………………………………………… Lampiran 3. Hasil seleksi panelis pada serangkaian uji ………………………………………. Lampiran 4. Rekapitulasi konsep pelatihan panelis mi instan subtitusi jagung ………………. Lampiran 5. Rekapitulasi data dan nilai k berdasarkan beberapa parameter organoleptik …... Lampiran 6. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut tekstur ……………………… Lampiran 7. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur ……………….. Lampiran 8. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur ……….. Lampiran 9. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut warna ……………………… Lampiran 10. Pendugaan umur simpan parameter organleptik atribut warna ……………….. Lampiran 11. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut warna ……… Lampiran 12. Grafik ordo nol dan satu parameter organoleptik atribut flavor ……………… Lampiran 13. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor ……………… Lampiran 14. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor ……… Lampiran 15. Data pengukuran bilangan TBA (thio barbituric acid) ……………………….. Lampiran 16. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan TBA …………………………… Lampiran 17. Pendugaan umur simpan parameter bilangan TBA …………………………… Lampiran 18. Grafik pendugaan umur simpan bilangan TBA ………………………………. Lampiran 19. Data pengukuran bilangan peroksida …………………………………………. Lampiran 20. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan peroksida ……………………… Lampiran 21. Pendugaan umur simpan parameter bilangan peroksida ……………………… Lampiran 22. Grafik pendugaan umur simpan bilangan peroksida ………………………….. Lampiran 23. Data pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) ………… Lampiran 24. Grafik ordo nol dan satu parameter KPAP …………………………………… Lampiran 25. Data pengukuran warna (nilai L) ……………………………………………… Lampiran 26. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai L)……………………………. Lampiran 27. Data pengukuran warna (nilai a) ………………………………………………. Lampiran 28. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai a) …………………………… Lampiran 29. Data pengukuran warna (nilai b) ……………………………………………… Lampiran 30. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai b) …………………………… Lampiran 31. Data pengukuran TPA (nilai kekerasan) ……………………………………… Lampiran 32. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekerasan) …………………… Lampiran 33. Data pengukuran TPA (nilai kekenyalan) ……………………………………... Lampiran 34. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekenyalan) …………………. Lampiran 35. Data pengukuran TPA (nilai elastisitas) ………………………………………. Lampiran 36. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai elastisitas) …………………….
47 49 51 52 53 53 54 54 55 55 56 56 57 57 58 58 59 59 60 60 61 61 62 62 63 63 64 64 65 65 66 66 67 67 68 68
xi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Jagung merupakan bahan pangan kaya akan sumber karbohidrat yang dapat menjadi bahan baku aneka produk pangan. Tingkat produktivitas jagung di Indonesia sudah cukup tinggi yaitu mencapai 17 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Satistik, 2009). Jagung banyak diproduksi di daerah Jawa Timur dan Madura serta merupakan komoditas serealia utama setelah beras. Jagung juga berperan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, dan pakan. Sebagai bahan pangan alternatif, jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri pengguna terigu, dan konsumen berpangan pokok beras. Selain itu, jagung dapat diolah menjadi tepung jagung dan dapat digunakan pada pembuatan berbagai produk pangan yang berbahan dasar tepung terigu seperti pada pembuatan produk mi. Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-negara di Asia termasuk Indonesia dan karakteristik mi terigu sangat melekat kuat pada cita rasa masyarakat Indonesia. Mi merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan ataupun makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan kajian preferensi konsumen, sebagian besar responden menyukai produk-produk berbahan dasar jagung. Dengan alasan tersebut, maka pengembangan produk mi berbahan baku jagung diperlukan sebagai salah satu upaya untuk mempercepat program diversifikasi pangan. Mi jagung mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya adalah (1) tidak menggunakan pewarna sintetis karena warna kuning pada mi berasal dari kandungan karoten jagung dan (2) dapat mengurangi ketergantungan terhadap terigu. Selama ini, teknologi pembuatan mi jagung subtitusi sudah banyak dikembangkan baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun mi jagung instan (Budiyah, 2004). Tetapi, mi instan cenderung lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan mi kering atau jenis mi lainnya karena proses pengolahannya yang relatif mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu (instant). Selain itu, mi instan saat ini dapat disajikan dengan rasa yang berbeda-beda yang mewakili citarasa Indonesia yang dimulai dari Sabang sampai Merauke tergantung dari bumbu mi itu sendiri. Fadhillah (2005) telah melakukan riset mengenai verifikasi formulasi mi jagung instan pada skala industri. Verifikasi dilakukan dengan menyesuaikan desain proses mi jagung instan dengan peralatan yang dimiliki oleh pabrik dan ternyata proses produksi mi jagung instan tersebut masih dimungkinkan untuk diterapkan pada skala industri. Pengembangan produk mi jagung instan juga merupakan salah satu program dari RUSNAS (Riset Unggulan Strategi Nasional). Untuk dapat diindustrialisasikan masih perlu dilakukan berbagai macam tahapan seperti proses penggandaan skala (scale up), analisis biaya, penentuan umur simpan, verifikasi produk, dan analisis bisnis. Penentuan umur simpan merupakan salah satu hal yang cukup kritis dalam pemasaran suatu produk. Hal ini disebabkan oleh umur simpan menggambarkan batasan waktu suatu produk masih layak untuk dikonsumsi. Umur simpan produk mi instan subtitusi jagung perlu ditetapkan agar masyarakat atau konsumen dapat mengetahui masa simpan produk tersebut selama penyimpanan. Informasi tentang umur simpan ini merupakan hak konsumen seperti yang tertera dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II Pasal 2 dan 3 yang berisi bahwa setiap orang atau pihak yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam
label ini mencangkup kewajiban untuk mencantumkan masa kadaluarsa produk. Oleh karena itu, masa kadaluarsa sebagai indikator keamanan produk, menjadi salah satu persyaratan paling utama dalam industri atau usaha kecil menengah untuk ditetapkan (Wahyuningrum, 2010). Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutunya selama penyimpanan. Perubahan mutu tersebut dapat dilihat dengan adanya perubahan parameter mutu suatu produk. Arpah (2001) menyatakan bahwa ada dua macam metode yang dapat digunakan untuk pendugaan umur simpan, yaitu Metode Konvensional dan Metode Akselerasi. Metode konvensional dapat dilakukan dengan menyimpan produk tersebut sampai mengalami kerusakan dan proses tersebut memerlukan waktu yang cukup lama. Metode ini biasa diterapkan pada produk yang mempunyai umur simpan relatif pendek, seperti daging segar, mi basah, dan sebagainya. Metode akselerasi atau yang biasa disebut dengan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat digunakan untuk memperpendek waktu penentuan umur simpan suatu produk, yaitu dengan cara mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pada suatu kondisi penyimpanan yang ekstrim. Salah satu metode ASLT adalah model Arrhenius. Menurut Kusnandar (2006), model Arrehnius pada umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang kerusakannya banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu, yaitu dengan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang berkontribusi pada kerusakan produk pangan. Pendugaan umur simpan model Arrhenius dapat dilakukan dengan menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim dimana kerusakan produk pangan tersebut dapat lebih cepat terjadi. Mi instan subtitusi jagung memiliki kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan suhu ekstrim. Perubahan suhu tersebut dapat memicu terjadinya reaksi oksidasi lemak. Oksidasi lemak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan lemak pada produk mi instan berbasis tepung jagung ataupun karena adanya proses penggorengan dalam tahapan pembuatan mi instan yang dapat meningkatkan kandungan lemak total. Merujuk pada berbagai hal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dan untuk mengetahui kapan produk pangan tersebut sudah dinyatakan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur simpan mi instan subtitusi jagung dengan metode accelerated shelf-life testing (ASLT) dengan pendekatan Model Arrhenius.
C. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perkiraan umur simpan produk mi instan yang disubtitusi dengan tepung jagung, baik secara subjektif maupun dengan menggunakan parameter objektif. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat diadopsi oleh investor sehingga dapat mendukung program diversifikasi pangan pokok dan pengurangan ketergantungan nasional terhadap impor tepung terigu.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG 1. Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) yang awalnya berasal dari Amerika dan merupakan tanaman serealia yang paling penting di benua tersebut (Anonim, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), jagung dibedakan menjadi 6 tipe utama, yaitu dent, flint, flour, pop, sweet, dan pod corns (Darrah et al, 2003). Perbedaan terbesar antara jagung tersebut terletak pada kualitas, kuantitas, dan komposisi endospermanya. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneus, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, sedangkan pada bagian tengahnya, inti jagung lunak dan bertepung (Johnson, 2000). Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung flour merupakan jagung yang banyak ditanam pada zaman Aztec dan Inca. Karena endosperma jagung flour terdiri dari pati halus dan selaput corneus, jagung ini sangat mudah sekali untuk digiling karena strukturnya yang lunak. Jagung jenis pop merupakan salah satu jenis jagung yang paling tua dengan selaput endosperma yang sangat keras dan memiliki kernel kecil seperti flint. Jagung jenis sweet biasa dikonsumsi sebagai capuran sayuran dan diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dan endosperma berwarna bening. Jagung ini merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikenal di United States dan Canada, dan kepopulerannya semakin mendunia (Lucier, 2000). Jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Jagung yang banyak ditanam di Indonesia diantaranya adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint) seperti Jagung Pioneer-2 (setengah mutiara), Jagung Hibrida C-1 (setengah mutiara), Jagung Arjuna (mutiara), dan lain sebagainya (Suprapto dan Marzuki, 2005). Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe brondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia. Jagung hibrida Pioneer 21 termasuk jenis jagung setengah mutiara/semiflint (Suprapto dan Marzuki, 2005). Jagung setengah mutiara lebih mudah dibuat tepung dibandingkan dengan jagung mutiara karena jagung setengah mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Jagung Pioneer 21 memiliki beberapa keunggulan antara lain memiliki ketahanan terhadap kondisi kering, tongkol terisi penuh, dan memiliki potensi hasil yang tinggi, yaitu mencapai 13.3 ton jagung pipil kering/Ha. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati (2007) dan jagung kuning (FAO, 2005) dapat dilihat pada Tabel 1. . Saat ini, tanaman jagung sudah mulai berkembang sangat luas di Indonesia. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung diantaranya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Madura, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Tanaman jagung ini sangat intensif dibudidayakan di daerah Jawa Timur dan Madura karena selain tanah dan iklimnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).
Tabel 1. Komposisi kimia tepung jagung Pioneer 21 dan tepung jagung kuning Komposisi Kimia Jagung Pioneer 21 Jagung Kuning Kadar air (%)
5,46
14
Kadar protein (%)
6,32
6,6
Kadar abu (%)
0,31
0,5
Kadar lemak (%)
1,73
2,8
Kadar karbohidrat (%)
86,18
76,1
Kadar amilopektin (%)
43,52
-
Kadar amilosa (%)
23,04
-
Kadar karoten (ppm)
-
1,3
Retinol equivalen (ppm)
-
0,21
Keterangan : (-) Tidak tercantum
2. Morfologi dan Anatomi Jagung Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Adapun komposisi tiap bagiannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian Anatomi Pericarp Endosperma Lembaga Tip cap
Jumlah (%) 5,3 82,9 11,1 0,8
Sumber: Watson (2003)
Pericarp adalah lapisan yang berfungsi membungkus biji dan melindungi bagian dalam biji jagung. Lapisan ini tersusun oleh 6 lapis sel, yaitu epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan tegmen yang terdiri dari lapisan spermoderm dan periperm. Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan tebal (62-160μm). Endosperma merupakan bagian terbesar biji jagung yang biasanya memiliki berat 80-85% dari berat total dan mengandung pati yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991). Lapisan yang membungkus endosperma adalah lapisan aleuron. Lapisan ini juga menyelubungi lembaga dan menjadi pembatas antara endosperma dengan kulit (pericarp). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian, yaitu endosperma keras (horny endosperm) yang tersusun dari sel-sel yang lebih kecil serta tersusun rapat dan endosperma lunak (floury endosperm) yang tersusun dari pati yang lebih banyak dan tidak serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).
4
Lembaga sebagian besar tersusun dari pati yang digunakan sebagai sumber energi utama perkecambahan biji jagung (Johnson, 2000). Lembaga terletak pada bagian dasar dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu bagian embrio yang mengandung 30,8% protein dan bagian skutelum yang merupakan tempat cadangan makanan selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung dan merupakan bagian terkecil pada biji jagung.
3. Komposisi Kimia Biji Jagung Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati yang tersusun atas dua polimer glucan, yaitu amilosa (25-30%) dan amilopektin (70-75%). Adapun struktur dari biji jagung dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu, jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan variteas jagung tersebut. Kandungan lemak dan protein pada jagung muda lebih rendah jika dibandingkan dengan jagung tua. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada bagian lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh berupa palmitat dan stearat seta asam lemak tidak jenuh berupa oleat dan linoleat. Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) yang larut dalam 70% alkohol dan glutelin.
Gambar 1. Struktur biji jagung (Shukla dan Cheryan, 2000)
Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6.6 mg/kg), piridoksin (5.3 mg/kg), tiamin (3.8 mg/kg), riboflavin (1.4 mg/kg), asam folat (0.3 mg/kg), biotin (0.08 mg/kg), serta vitamin A (β-karoten) dan vitamin E (α-tokoferol) masing-masing sebesar 2.5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3. Komposisi kimia biji jagung Komponen
Pati (%)
Protein (%)
Lipid (%)
Gula (%)
Abu (%)
Serat (%)
Biji utuh
73,4
9,1
Endosperma
87,6
8,0
4,4
1,9
1,4
9,5
0,8
0,62
0,3
1,5
Lembaga
8,3
18,4
33,2
10,8
10,5
14
Pericarp
7,3
3,7
1,0
0,34
0,8
90,7
Tip cap 6,3 Sumber: Watson (2003)
9,1
3,8
1,6
1,6
95
B. TEPUNG JAGUNG Tepung jagung adalah tepung yang diproduksi dari jagung pipil kering dengan cara menggiling halus bagian endosperma jagung yang mengandung pati sekitar 86-89%. Tepung jagung berwarna kuning dengan tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Penggilingan biji jagung kedalam bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian dari biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar. Selain itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tepung tidak menjadi tengik. Begitu pula dengan tip cap yang harus dipisahkan sebelum penepungan agar tidak terdapat butir-butir hitam pada tepung olahan (Johnson dan May, 2003). Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung lebih baik dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan kering umumnya banyak dilakukan dalam skala besar (Suprapto dan Marzuki, 2005). Penggilingan tepung jagung metode kering dibedakan menjadi dua tahapan. Penggilingan pertama dilakukan dengan menggunakan hammer mill yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan kuit, lembaga, dan tip cap. Hasil dari penggilingan kasar tersebut kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan grits jagung yang banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits jagung yang telah dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan saringan berukuran 100 mesh atau kurang sesuai dengan ukuran partikel tepung akhir yang diinginkan. Proses penepungan jagung dapat menghasilkan rendemen yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian Rianto (2006), proses penepungan jagung dengan menggunakan ayakan sebesar 80 mesh akan menghasilkan rendemen sebesar 40%. Tetapi, tekstur mi yang dihasilkan dari tepung tersebut tidak sehalus mi yang dibuat dari tepung jagung berukuran 100 mesh. Proses penepungan jagung yang menggunakan ayakan 100 mesh mempunyai rendeman sebesar 24% (Merdiyanti, 2008). Penurunan rendeman ini disebabkan oleh penggunaan ayakan tepung yang semakin kecil. Selain itu, kehilangan rendemen selama proses dapat terjadi pada saat proses perendaman dan penyucian yaitu sebesar 48%. Menurut Merdiyanti (2008), lama waktu perendaman jagung dapat meningkatkan rendemen penepungan, semakin lama jagung tersebut direndam maka akan membuat semakin lunak endosperma biji jagungnya dan semakin banyak pula tepung jagung yang dihasilkan. Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan produk mi baik sebagai pengganti sebagian atau seluruh penggunaan tepung terigu. Adapun keunggulan dari penggunaan tepung jagung diantaranya adalah dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi, tidak
6
menggunakan pewarna sintetis untuk memberikan warna kuning yang diinginkan karena adanya kandungan beta karoten, dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan baku tepung terigu. Penggunaan tepung jagung dalam pembuatan mi dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung itu sendiri yaitu kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein gluten yang berbeda dengan protein gluten yang ada di tepung terigu (Juniawati, 2003). Hal ini menyebabkan tepung jagung tidak dapat membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak sebagaimana yang terjadi pada adonan tepung terigu. Pembentukan lembaran adonan tepung jagung dapat terbentuk apabila dilakukan proses pemanasan (pengukusan) terlebih dahulu untuk menggelatinisasi sebagian pati yang akan berfungsi sebagai binding agent dalam pembentukan lembaran adonan (Budiyah, 2004). Warna kuning tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat di dalam biji jagung. Pigmen ini termasuk ke dalam golongan pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin yang mencapai 90% dari total pigmen karotenoid yang terdapat di dalam jagung. Warna kuning tepung jagung sangat berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak memerlukan adanya penambahan bahan pewarna untuk memperoleh mi yang berwarna kuning (Fadhillah, 2005).
C. MI INSTAN Mi instan menurut Standar Industri Indonesia (SII) 1716-90 adalah produk makanan kering dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan yang berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih maksimal selama 4 menit. Selain itu, definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1996 adalah mi yang dibuat dari adonan terigu atau tepung lainnya dan dapat diberi perlakuan alkali dimana proses pregelatinisasi pati dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya. Mi instan dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan proses pengeringannya. Pertama adalah mi instan goreng (instant fried noodle) dimana pengeringannya dilakukan dengan cara menggoreng dan kedua adalah mi instan kering (instant dried noodle) dimana mi dikeringkan dengan udara panas sehingga dihasilkan mi instan. Mi instan goreng mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan (Astawan, 1999). Mi instan kering memiliki kadar air yang rendah dan tahan lama (tidak mudah tengik) karena tidak adanya proses penggorengan. Namun, mi instan kering juga memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan mi instan goreng, yaitu rasa gurih yang rendah akibat kandungan rendah lemaknya. Menurut Sunaryo (1985), bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air, sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu. Tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan merupakan sumber karbohidrat dan juga protein. Air berfungsi sebagai media reaksi anatara karbohidrat dengan gluten, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi. Air abu berfungsi untuk mempercepat pembentukan gluten dan meningkatkan sifat kenyal. Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mi. Zat warna yang ditambahkan bertujuan memberikan warna khas pada mi, sedangkan bumbu-bumbu biasa
7
ditambahkan untuk memberikan flavor tertentu pasa produk mi instan tersebut. Selain itu, pada pembuatan mi juga sering ditambahkan CMC (Carboxyl Metil Cellulose) yang berfungsi sebagai pengembang dan dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan. Proses pembuatan mi instan terdiri atas beberapa tahap, yaitu pencampuran (mixing), pembentukan lembaran adonan dan pencetakan (pressing dan slitting), pemotongan (cutting), pengukusan (steaming), penggorengan (frying), pendinginan dan pengemasan (cooling and packing) (Dashanjiang Machine Ltd, 2003). 1. Pencampuran Pencampuran (mixing) adalah proses mencampurkan bahan utama (raw material) yang terdiri atas tepung terigu dan tapioka dengan larutan garam di dalam suatu alat mixer pada waktu tertentu hingga diperoleh adonan yang homogen. Proses ini bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan adonan yang homogen, dan membentuk adonan yang mempunyai struktur gluten yang baik. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air dan pengadukan menyebabkan serat gluten tersusun baik (saling bersilang dan terbungkus pati) sehingga adonan menjadi halus dan elastis. 2. Pembentukan Lembaran dan Pencetakan Pembentukan lembaran dan pencetakan adonan (pressing) adalah proses mencetak adonan yang telah dicampur homogen sehingga membentuk lembaran adonan dengan ketebalan tertentu. Slitting merupakan proses dimana lembaran adonan dipotong atau disisir menjadi untaian mi. Tahapan ini bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dengan arah yang sama secara merata sehingga lembaran adonan menjadi lembut dan elastik serta dapat dipotong atau disisir menjadi untaian mi dan dibentuk menjadi bergelombang. 3. Pemotongan Pemotongan (cutting) adalah proses memotong untaian mi dengan ukuran tertentu dan melipat menjadi dua bagian sama panjang sesuai dengan varian yang dikehendaki. Proses ini bertujuan untuk memotong untaian mi sesuai ukuran. 4. Pengukusan Pengukusan (steaming) adalah proses pengukusan untaian mi dengan menggunakan uap air panas bersuhu 100-110°C. Proses ini bertujuan untuk memasak mi menjadi sifat mi yang solid. Pemanasan ini menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh ke permukaan mi membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi. 5. Penggorengan Penggorengan (frying) adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai medianya. Tahapan ini merupakan proses untuk meletakkan mi basah (setelah pengukusan) di dalam mangkok penggorengan kemudian merendamnya dengan menggunakan minyak dengan suhu dan waktu tertentu (deep frying). Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air di dalam mi dan pemantapan pati tergelatinisasi. 6. Pendinginan dan Pengemasan Pendinginan (cooling) adalah proses pendinginan mi setelah keluar dari oven. Pendinginan dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Setelah pendinginan, mi dikemas dan dikelim (sealing).
8
D. MI JAGUNG Akhir belakangan ini, banyak pihak yang telah melakukan penelitian ke arah proses pembuatan mi berbahan dasar jagung baik dalam bentuk mi jagung basah, mi jagung kering, ataupun mi jagung instan. Mi jagung dapat dibuat dengan menggunakan pati jagung ataupun tepung jagung dengan berbagai macam persentase penambahan. Selain itu, mi jagung juga dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi kalendering ataupun teknologi ekstrusi. Teknologi kalendering merupakan teknologi pembuatan mi dengan membentuk lembaran adonan terlebih dahulu sebelum pembentukan untaian mi, sedangkan teknologi ekstrusi merupakan teknologi pembentukan untaian mi dengan menggunakan mesin ekstruder pasta (Sigit, 2008). Proses pembuatan mi jagung instan 100% terdiri dari tahap pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan (Juniawati, 2003), sedangkan pada pembuatan mi jagung instan subtitusi hanya terdiri dari tahap pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran adonan, pencetakan, pemotongan, pengukusan, dan penggorengan. Persentase tepung jagung yang dapat digunakan untuk mensubtitusi tepung terigu pada teknik pembuatan mi yang biasa masih terbatas karena karakteristik protein gluten yang terdapat dalam tepung jagung berbeda dengan yang terdapat dalam tepung terigu sehingga tepung jagung sulit membentuk lembaran adonan yang elastis dan kompak tanpa bantuan pemanasan (Kusnandar et al., 2009). Oleh karena itu, beberapa penelitian mulai memanfaatkan penambahan pati, protein jagung, dan bahkan dengan melakukan modifikasi pada pati tepung jagung untuk memperbaiki elastisitas adonan. Budiyah (2005) telah memanfaatkan penggunaan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam pembuatan mi jagung instan untuk meningkatkan elastisitas produk. Sedangkan, Indrawuri (2010) menggunakan pati termodifikasi dengan teknik HMT (high moisture treatment) dalam pembuatan mi jagung instan. Jenis protein yang membentuk massa lengket dengan larutan garam yang sangat encer disebut dengan gliadin. Sedangkan sebagian protein lain yang tidal larut, yaitu glutenin akan melemas dan membentuk struktur serat yang kokoh dengan protein yang larut tersebut sehingga dapat membentuk adonan yang sangat fleksibel dan tahan banting. Hal ini disebabkan oleh kandungan asam amino prolin yang cukup tinggi pada glutenin dimana asam amino prolin mempunyai struktur yang sedikit berlipat. Lipatan tersebut akan terbuka selama proses mixing dan kneading sehingga struktur menjadi renggang dan menyebabkan adonan menjadi elastis (Fennema, 1996). Pada riset skala industri yang dilakukan oleh Fadlillah (2005) memperlihatkan bahwa pada pembuatan mi jagung instan, industri dapat menambahkan protein gluten terigu untuk menghasilkan adonan yang viskoelastis. Tetapi, penambahan gluten ini dapat meningkatkan biaya produksi sehingga penggunaan protein gluten terigu ini tergantung pada kebijakan dan strategi bisnis masing-masing industri. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi pada awalnya dicampurkan terlebih dahulu hingga homogen. Sebelum adonan dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi kesempatan adonan untuk beristirahat sejenak. Pengistirahatan adonan ini bertujuan untuk menyeragamkan penyebaran air dan pengembangan gluten (Kusnandar et al., 2010). Kusnandar et al. (2010) menyatakan bahwa pada tahap pembentukan lembaran (sheeting), adonan dimasukkan ke dalam roll press dengan tujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Pada saat dipress, serat-serta gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan antara dua roller sampai ketebalan 1.6 mm. Setelah itu dilakukan pembentukan untaian mi dan pemotongan.
9
Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah tahapan pemotongan menjadi untaian mi dilakukan tahap pengukusan. Proses pengukusan ini bertujuan menggelatinisasi sebagian besar pati, yaitu sekitar 70%, sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Protein endosperma jagung banyak mengandung zein (sekitar 60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni. Oleh karena itu, tanpa pengukusan, adonan tidak akan bersifat elastik dan kompak. Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003)
E. PENENTUAN UMUR SIMPAN Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimum dan pada umumnya mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus. Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Speigel, 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain: 1. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan belum digunakan. 2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen. Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluwarsa dengan metode konvensional atau biasa disebut sebagai metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri sampel produk pada kondisi
10
normal sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu yang telah kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang berasngkutan (Ellis, 1994). Metode ASLT ini pada awalnya dilakukan dengan membuat plot data hubungan antara nilai mutu (Q t ) untuk masing-masing suhu terhadap waktu pengamatan (t, hari) menurut reaksi ordo O dan 1. Selanjutnya berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh nilai konstanta laju reaksi/penurunan mutu (k t ) dan dengan membandingkan nilai R2-nya, maka dapat ditentukan pula ordo reaksi yang paling cocok. Kemudian, penetapan umur simpannya dapat diperoleh melalui ekstrapolasi suhu penyimpanan pada persamaan Arrhenius (1.1). (1.1) k t = k o .exp (Ea/RT) dimana: k t = konstanta laju penurunan mutu k o = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K) R = konstanta gas (1.986 kal/mol K) Untuk menentukan umur simpan (t s ) pada suhu penyimpanan tertentu sebagaimana yang diinginkan dapat pula digunakan persamaan berikut : (1.2) Untuk laju reaksi ordo nol : t s = (Q 0 -Q t )/k T (1.3) Untuk laju reaksi ordo 1 : ts = [ln(Q 0 -Q t )]/k T dimana: t = umur simpan (hari) Q 0 = nilai mutu awal Q t = nilai batas kritis / batas mutu akhir k T = konstanta penurunan mutu pada suhu T Dalam model Arrhenius ini, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula laju reaksi berbagai senyawa kimia dan semakin mempercepat terjadinya penurunan mutu produk (Hariyadi et al., 2006). Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan). Menurut Labuza (1982), reaksi penurunan mutu pada kebanyakan produk pangan mengikuti ordo reaksi nol dan satu serta hanya sedikit yang mengikuti ordo reaksi lain.
1. Ordo Reaksi Nol Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya (1) degradasi enzimatis, misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku; (2) browning
11
non enzimatis, misalnya pada biji-bijian kering, produk susu kering; dan (3) oksidasi lemak, misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku. Pada reaksi ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan seperti pada persamaan (1.4). −𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑘𝑘
dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan (1.5). A = A 0 – kt dimana: A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t A 0 = nilai mutu awal t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun)
(1.4) (1.5)
2. Ordo Reaksi Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya (1) ketengikan, misalnya pada minyak salad dan sayuran kering; (2) pertumbuhan mikroorganisme pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas; (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982). Jika pada reaksi ordo nol persentase kehilangan masa simpan per hari bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan dalam persamaan (1.6). −𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝑘𝑘𝑘𝑘
(1.6)
dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut: (1.7) ln A = ln A 0 – kt dimana: A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t A 0 = nilai mutu awal K = konstanta laju reaksi ordo satu t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun) Menurut Arpah (2001), dalam penggunaannya untuk menetapkan umur simpan, persamaan Arrhenius menggunakan beberapa asumsi, yaitu: 1. Hanya ada satu jenis reaksi yang dihubungkan dengan penurunan mutu produk. Asumsi ini penting dalam hal melihat pengaruh suhu karena jika suhu meningkat, maka reaksi-reaksi yang memiliki energi aktivasi yang lebih tinggi dari reaksi yang diamati, dapat mulai berlangsung dan mempengaruhi mutu produk. 2. Tidak terjadi perubahan fase selama reaksi berlangsung dan mempengaruhi konsentrasi reaktan. 3. Pengaruh fase lain, misalnya jika terjadi proses partisi dari komponen reaktan ke dalam fase minyak atau lemak tidak dipengaruhi temperatur. 4. Tidak ada pengaruh pengolahan dan penanganan terhadap reaksi. Dalam hal ini, bagaimanapun proses pengolahan apabila produk disimpan pada suhu yang memungkinkan untuk tejadinya reaksi maka reaksi akan berlangsung. 5. Analisis penurunan konsentrasi komponen dan penentuan nilai k tidak didasarkan pada analisis hedonik.
12
F. SELEKSI DAN PELATIHAN PANELIS TERLATIH Penggunaan panelis terlatih diperlukan dalam memberikan penilaian terhadap atribut sensori produk mi instan subtitusi jagung karena penilaian tersebut akan digunakan dalam penentuan umur simpan sehingga diharapkan hasil penilaian dari para panelis dapat menggambarkan kondisi produk sebenarnya. Selain itu, evaluasi sensori ini juga diperlukan terutama untuk mendukung keseluruhan riset sehingga diperoleh data berdasarkan parameter subjektif yang dapat digunakan untuk mendukung pengukuran berdasarkan parameter objektif. Pemilihan panelis terlatih merupakan suatu hal yang kritis dalam uji sensori. Di dalam indutri pangan, panelis sensori merupakan salah satu hal yang paling penting di dalam perkembangan dan quality control mereka. Kesuksesan ataupun kegagalan panelis tersebut tergantung pada tahapan seleksinya (Meilgaard et al., 1999). Sebelum melakukan serangkaian tahapan seleksi, panelis tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki motivasi, sehat secara fisik (tidak mempunyai alergi atau intolerance terhadap suatu produk), mempunyai ketersediaan waktu, dan lain sebagainya. Seleksi panelis dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu identifikasi rasa dan aroma dasar, uji segitiga (triangle test), dan uji rangking (ranking test). Metode seleksi ini bertujuan untuk melihat kemampuan para panelis dalam membedakan karakter diantara banyak produk dan membedakan intesitas dari karakter tersebut (Meilgaard et al., 1999). Uji identifikasi rasa dan aroma dasar bertujuan untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan berbagai atribut rasa dan aroma dasar. Uji ini juga digunakan untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan dan penciuman. Uji segitiga dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam menemukan suatu perbedaan diantara atribut sampel yang sama. Uji rangking dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan intensitas atribut sampel yang diujikan. Panelis yang lolos tahapan seleksi (screening test) adalah panelis yang benar menjawab lebih dari 75% uji identifikasi rasa dan aroma dasar, lebih dari 60% uji segitiga, dan panelis yang dapat mengurutkan dengan benar pada uji rangking. Pelatihan panelis diawali dengan mengajarkan prosedur yang benar kepada para panelis dalam memperlakukan contoh pada saat pengujian dilakukan. Panelis tersebut harus ditekankan untuk membaca prosedur terlebih dahulu secara teliti sebelum melakukan pengujian. Panelis juga dituntut untuk mengabaikan kesukaan mereka terhadap suatu karakter atau atribut dan harus berkonsentrasi agar dapat membedakan atribut antara sampel yang sedang diujikan. Panelis kemudian diperkenalkan kepada berbagai macam atribut sampel yang nanti akan diujikan. Setelah dilakukan beberapa kali perkenalan, panelis diminta untuk melakukan simulasi pengujian yang sebenarnya. Pelatihan ini terus dilakukan sampai panelis dapat memberikan hasil yang signifikan dan konsisten.
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung Pioneer 21, tepung terigu Cakra Kembar, air, minyak goreng, baking powder, guar gum, garam, dan bahan-bahan yang digunakan dalam analisis TBA dan peroksida. Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung dan pembuatan mi instan subtitusi jagung adalah disc mill, hammer mill, vibrator screen, timbangan, oven pengering (dryer), dough mixer, roll press, steaming box, dan deep-fat frying yang semuanya tersedia di Pilot Plant Seafast Center-IPB, sedangkan alat-alat lain yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik, spektrofotometer, inkubator, gelas piala, erlenmeyer, buret, pipet, labu takar, dan kompor penangas. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan yaitu perangkat pengujian seperti gelas-gelas saji, sendok plastik, wadah saji, dan kompor.
B. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian akan dilakukan melalui dua tahapan utama, yaitu pembuatan mi instan subtitusi jagung dan pendugaan umur simpan (shelf-life) produk mi instan subtitusi jagung dengan metode Accelerated shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahapan kegiatan penelitian ini secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2. Pembuatan mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode sheeting, kemudian mi tersebut disimpan selama 5 minggu pada kondisi diatas normal, yaitu pada suhu 32, 37, 45, 50, dan 52°C. Penentuan umur simpan dilakukan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius berdasarkan parameter bilangan TBA, peroksida, kehilangan padatan akibat pemasakan atau cooking loss, tekstur, dan warna. Selain itu, penentuan umur simpan ini juga ditentukan berdasarkan parameter-parameter organoleptik (flavor, tekstur setelah direhidrasi, dan warna). Adapun penjelasan mengenai setiap tahapannya dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
1. Pembuatan Mi Instan Subtitusi Jagung Tahap pembuatan mi instan subtitusi jagung diawali dengan melakukan penepungan jagung terlebih dahulu. Tahapan proses penepungan jagung ini dapat dilihat pada Gambar 3. Proses penepungan ini dimulai dengan penggilingan kasar menggunakan mesin hammer mill. Setelah itu, jagung direndam dalam air untuk memisahkan endosperma dari bagian lembaga, kulit dan tip cap. Grits jagung yang dihasilkan ditiriskan dan dikeringkan untuk kemudian digiling secara halus menggunakan disc mill. Tepung jagung kasar yang dihasilkan kemudian diayak menggunakan ayakan berukuran 100 mesh hingga dihasilkan tepung jagung halus berukuran 100 mesh. Setelah diperoleh tepung jagung halus, pembuatan mi instan subtitusi jagung dapat dilanjutkan dengan menggunakan formulasi hasil optimalisasi pada penelitian mi jagung instan yang dilakukan sebelumnya oleh Stefanus (2010) dengan tahapan yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mi
instan subtitusi jagung tersebut kemudian dibandingkan teksturnya baik dari segi kekenyalan maupun elastisitasnya dengan mi instan biasa yang dibuat dari tepung terigu sebagai kontrol.
TUJUAN 1. Menentukan umur simpan (shelf life) mi jagung instan dengan metode ASLT Model Arrhenius dan parameter organoleptik 2. Menentukan parameter terbaik untuk pendugaan umur simpan
T A H A P
Penentuan Umur Simpan (shelf life)
II Analisis Organoleptik
Analisis Fisik
Analisis Kimia
- Uji Skoring/Rating
-
- Bilangan TBA - Bilangan Peroksida
Kadar Air Cooking loss/KPAP Warna sebelum direhidrasi Tekstur sesudah direhidrasi (TPA)
Penyimpanan (32, 37, 45, 50 dan 52°C; 5 minggu)
Mi Jagung T A H A P
Pembuatan Mi Jagung Instan Metode Sheeting
I Tepung Jagung 100 mesh
Penepungan
Jagung Pipil Gambar 2. Kerangka berpikir kegiatan penelitian
15
Jagung pipil
Penggilingan kasar (hammer mill)
Pemisahan endosperma dari lembaga, kulit, dan tip cap
Lembaga, kulit, dan tip cap
Grits jagung
Penirisan dan pengeringan
Penggilingan halus (disc mill)
Tepung jagung kasar
Pengayakan 100 mesh
Tepung jagung halus 100 mesh
Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung jagung (Putra, 2008)
2. Pendugaan Umur Simpan (shelf-life) Umur simpan produk pangan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk pangan untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan pengemasan yang spesifik. Umur simpan produk pangan juga diartikan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001). Tahap pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Model Arrhenius. Tahap ini dilakukan dengan menyimpan mi instan tersebut pada kondisi suhu ekstrim, menghitung kinetika penurunan mutu, dan menentukan umur simpan pada suhu yang diinginkan.
16
Tepung jagung 30%, tepung terigu 70 %, garam 1%, guar gum 1%, baking powder 0.3%, air 40% (berdasarkan hasil penelitian terpisah)
Pencampuran dengan dough mixer selama 10 menit
Pembulatan dan pengistirahatan adonan
Pembentukan lembaran mi (sheeting) hingga ketebalan 1.6 mm
Pencetakan untaian mi (slitting) dan pemotongan
Pengukusan (steaming) 100 0C, 15 menit
Minyak goreng
Penggorengan
Penirisan minyak goreng
Mi instan subtitusi jagung
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan mi jagung instan metode sheeting
a.
Penyimpanan Mi pada Kondisi Suhu Ekstrim
Pada penelitian ini, produk mi instan subtitusi jagung sebanyak 50 g akan disimpan pada lima kondisi suhu ekstrim, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C sehingga diharapkan mampu mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk. Semakin banyak suhu yang digunakan akan memberikan persamaan Arrhenius yang lebih baik dan lebih dipercaya dalam memprediksi umur simpan produk pada berbagai suhu penyimpanan, karena persamaan tersebut diperoleh dari lima suhu penyimpanan. Penyimpanan mi instan ini hanya menggunakan satu jenis kemasan yang memang biasa digunakan untuk produk mi instan, yaitu kemasan PP. Produk mi instan subtitusi jagung kemudian diamati dan dianalisis parameter mutunya selama 5 minggu (pada minggu ke1,2,3,4,dan 5). Parameter mutu yang diamati diantaranya adalah bilangan TBA, bilangan
17
peroksida, cooking loss/Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna dengan menggunakan Chromameter, tekstur dengan menggunakan TPA (Texture Profile Analyzer), dan beberapa faktor mutu berdasarkan parameter organoleptik seperti rasa dan bau tengik, warna, dan tekstur sesudah direhidrasi.
b.
Penghitungan Kinetika Penurunan Mutu
Penentuan umur simpan metode Arrhenius didasarkan atas kemudahan terjadinya penurunan mutu produk akibat penyimpanan produk pada suhu ekstrim. Kenaikan suhu ini dapat mempercepat berlangsungnya reaksi-reaksi kerusakan (deteriorasi) yang dapat memperpendek umur simpan suatu produk. Secara keseluruhan, tahapan pendugaan umur simpan melalui penghitungan kinetika penurunan mutu produk pada penelitian utama ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Mi jagung instan
Penyimpanan pada suhu 32 0C,370C, 45 0C, 500C dan 52 0C
Pengamatan subjektif dan objektif (organoleptik) pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya hingga sampel benar-benar tidak dapat diterima oleh panelis
Pemplotan nilai (skor) mutu dan waktu pengamatan pada masing-masing suhu dan atribut
Penetapan nilai mutu awal dan batas kritis produk
Penetapan ordo reaksi (ordo nol atau ordo satu) melalui kurva dengan nilai R2 tertinggi
Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dari kurva Gambar 5. Diagram alir pendugaan umur simpan produk mi jagung instan
18
Pemplotan nilai mutu (Q) pada masing-masing suhu dan jenis atribut terhadap waktu pengamatan (t) dapat dilihat seperti pada Gambar 6.
Slope = -kt
Slope = -kt
Q
ln Q
t t ordo nol ordo satu Gambar 6. Ilustrasi model penurunan mutu pada ordo reaksi nol dan satu
Berdasarkan plot data tersebut, dapat ditentukan model persamaan (2.1 dan 2.2) dari masing-masing ordo reaksi beserta nilai R2-nya. (2.1) Ordo nol : Qt = Qo – kTt (2.2) Ordo satu : ln Q t = ln Q o - k T t dimana: Q o = nilai mutu awal penyimpanan Q t = nilai mutu pada waktu penyimpanan t k T = konstanta laju reaksi/penurunan mutu pada suhu T t = waktu penyimpanan (hari) Dengan membandingkan nilai R2-nya, dapat ditentukan orde reaksi yang paling sesuai (nilai R2 lebih tinggi). Kemudian melalui persamaan yang diperoleh, ditentukan nilai konstanta laju penurunan parameter mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan. Dengan demikian, akan diperoleh nilai k pada 3 suhu yang berbeda. Nilai k pada suhu T tertentu ini merupakan selisih nilai mutu awal dan nilai mutu pada penyimpanan selama t yang dibagi dengan lama penyimpanan t.
c.
Penentuan Umur Simpan pada Suhu yang Diinginkan
Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dan nilai suhu yang diinginkan melalui pemplotan ln k dan 1/T pada kurva, sehingga dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan besar energi aktivasinya. Selanjutnya umur simpan dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut: Umur simpan ordo nol dapat dihitung dengan persamaan (2.3). t=
A0 − At k
(2.3)
Umur simpan ordo satu dapat dihitung dengan persamaan (2.4). t=
ln (A0) – ln (At) k
(2.4)
Keterangan: t = umur simpan (hari) A 0 = nilai mutu awal/konsentrasi awal A t = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluarsa (titik kritis) k = konstanta (laju reaksi) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)
19
R
= konstanta gas (1.986 kal/mol K; 8.314 J/mol.K) Nilai k yang telah diperoleh kemudian dihubungkan dengan suhu menggunakan persamaan Arrhenius. Secara empiris, pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dinyatakan sebagai persamaan (2.5). (2.5) k = k 0 e-(Ea/RT) Persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan (2.6). ln k = ln k 0 -
𝐸𝐸𝐸𝐸 1
𝑅𝑅 𝑇𝑇
(2.6)
Sehingga, melalui plot kurva antara ln k dan 1/T menghasilkan garis lurus yang dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan energi aktivasinya sebesar slope dikali konstanta gas (1.986 kal/mol K atau 8.314 J/mol.K). Parameter mutu yang digunakan pada pendugaan umur simpan ini adalah bilangan TBA (thio barbituric acid), bilangan peroksida, KPAP (Kehilangan Padatan AKibat Pemasakan), skor warna, dan tekstur
3. Metode Analisis a.
Analisis Bilangan TBA (AOAC, 2002)
Pada analisis bilangan TBA, asam 2-thiobarbituriat akan bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, yang intensitasnya dapat diukur dengan spektrofotometer. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lipid mengindikasikan adanya ketengikan pada produk. Pengukurannya dapat dilakukan dengan menghancurkan mi instan subtitusi jagung sebanyak 10 gram ke dalam waring blender bersama 50 ml akuades selama 2 menit. Kemudian, pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Atur pH menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M sebanyak 2.5 ml. Tambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya dan pasang labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Aduk merata destilat yang diperoleh, pipet 5 ml destilat ke dalam tabung reaksi bertutup. Tambahkan 5 ml pereaksi TBA, tutup, campur merata lalu panaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya buat larutan blanko dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi, dan beri perlakuan seperti penetapan sampel. Dinginkan tabung reaksi dengan air pendingin, kemudian ukur absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Analisis bilangan TBA ini dilakukan selama sampling dalam penyimpanan, sehingga dapat mendukung hasil analisis sensori subyektif oleh panelis.
b.
Analisis Bilangan Peroksida (AOAC, 2002)
Penentuan bilangan peroksida dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri atau metode titrimetri, tetapi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode titrimetri. Pada prinsipnya penentuan perosida dilakukan dengan mengukur sejumlah iod yang dibebaskan oleh KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida di dalam pelarut asam asetat/klorofoam. Iod yang berhasil dibebaskan ditentukan jumlahnya dengan menggunakan larutab Na 2 S 2 O 3 . Pengukurannya dilakukan dengan menimbang 5 gr contoh mi instan subtitusi jagung yang telah dihancurkan dengan waring blender ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 30
20
ml pelarut CH 3 COOH-CHCl 3 kemudian kocok. Setelah itu, tambahkan 0.5 ml KI ke dalam erlenmeyer dan tambahkan aquades sebanyak 30 ml. Titrasi contoh tersebut dengan Na 2 S 2 O 3 o.1 N sampai warna kuning hampir hilang lalu segera tambahkan 0.5 ml indikator larutan pati 1%. Lanjutkan titrasi sampai warna biru menghilang. Bilangan peroksida ditetapkan dengan rumus (2.7). Bilangan peroksida (BP) =
(𝑉𝑉𝑉𝑉−𝑉𝑉𝑉𝑉 )×𝑁𝑁 𝑊𝑊
x 1000
(2.7)
Keterangan: BP = bilangan peroksida (meq peroksida/kg contoh) Vs = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi contoh (ml) Vb = volume Na 2 S 2 O 3 untuk titrasi blangko (ml) N = konsentrasi Na 2 S 2 O 3 (N) W = berat contoh (gr)
c.
Analisis kehilangan padatan akibat pemasakan / cooking loss
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggambarkan lolosnya bahan ke dalam air. Mi instan yang terbuat dari tepung terigu mempunyai KPAP senilai 2%. Makin tinggi subtitusi tepung terigu, maka cooking loss akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh keberadaan gluten yang menurun sehingga kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula menjadi berkurang (Bhattacaharya and Corke, 1996). Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi instan subtitusi jagung dalam air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi tersebut kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100 0C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung sesuai persamaan (1.9) KPAP = 1-
d.
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 (1−𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 ℎ )
(1.9)
Analisis Warna dengan Chromameter
Sampel mi jagung instan ditempatkan dalam suatu wadah, kemudian dilakukan pengukuran intensitas warna dengan chromameter menghasilkan nilai L, a dan b. L menyatakan parameter kecerahan (0=hitam: 100=putih), warna kromatik campuran merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah; a- = 0-(-80) untuk warna hijau), sedangkan warna kromatik campuran biru-kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning; b- = 0-(70) untuk warna biru) (Taylor et al, 2008)
e.
Analisis Profil Tekstur-TA
Analisis profil tekstur dengan menggunakan Texture Analyzer dilakukan untuk mengkorelasikan tekstur keseluruhan produk yang dievaluasi oleh indera manusia dengan
21
instrumen. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan probe berbentuk silinder, dengan diameter 35 mm. Lakukan pengaturan kondisi pengukuran Texture Analyzer berdasarkan golongan contoh bahan yang diukur. Seuntai sampel mi yang telah direhidrasi dengan panjang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan, lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dengan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak, dengan satuan gram force (gf), kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi, dan elastisitas diperoleh dari pembagian antara jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan yang pertama.
f.
Analisis Organoleptik
Penilaian sampel berdasarkan parameter organoleptik dilakukan oleh sejumlah panelis terlatih. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir kesalahan penilaian yang biasa dilakukan oleh panelis tidak terlatih karena tidak terbiasa mendeteksi kerusakan atau penurunan mutu sekecil apapun yang terjadi pada produk mi instan subtitusi jagung. Penggunaan panelis terlatih ini, juga bertujuan agar penilaian sampel tersebut dapat mencerminkan kondisi sampel sebenarnya. Adapun skema rangkaian dari seleksi dan pelatihan untuk mendapatkan sejumlah panelis terlatih dapat dilihat pada Gambar 7.
Analisis Organoleptik - Uji Skoring/Rating
Panelis Terlatih
Pelatihan Calon Panelis Terlatih
Calon Panelis
Seleksi Panelis - Uji Deskriptif - Uji Segitiga
Panelis Gambar 7. Skema rangkaian seleksi dan pelatihan panelis terlatih
22
Pemilihan panelis merupakan hal yang kritis dalam uji sensori. Panelis yang potensial harus mempunyai ketersediaan waktu untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan uji-uji organoleptik, mempunyai kondisi fisik yang sehat, mempunyai motivasi, serta indera sensorinya juga harus berfungsi secara normal. Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperoleh 10 orang panelis yang bersedia dilatih. Seleksi ini dilakukan terhadap sekitar 50 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh sebanyak 10 orang. Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian yang dilakukan mencakup uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dasar dan uji segitiga. Pada uji identifikasi baik rasa maupun aroma dilakukan dengan tujuan untuk melihat kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa serta aroma dasar. Calon panelis diminta untuk menentukan lima rasa dasar dalam 5 larutan uji serta mendeskripsikan aroma dari flavor-flavor yang disajikan. Flavor uji yang akan disajikan kepada panelis meliputi contohcontoh flavor caramel, cis-3-hexenal, eugenol, kacang, rancid (tengik), acid, dan fruity, sedangkan untuk contoh uji rasa dasar, tingkatan konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Selanjutnya, pada uji segitiga, calon panelis diminta untuk menilai atau mengidentifikasi satu sampel yang berbeda diantara ketiga sampel yang disajikan. Uji segitiga dilakukan dengan menggunakan beberapa set rasa maupun aroma dasar yang memiliki perbedaan konsentrasi serta dilakukan sebanyak 10 ulangan untuk melihat konsistensi panelis dalam memberikan jawaban. Konsentrasi larutan yang biasa digunakan pada uji segitiga rasa dasar dapat dilihat seperti pada Tabel 5. Tetapi, sehubungan dengan parameter-parameter organoleptik yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian, uji segitiga kali ini dilakukan untuk menguji atribut tekstur (kekerasan, kekenyalan, dan elastisitas) dan atribut aroma (bau tengik). Format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 4. Konsentrasi larutan uji deskripsi rasa dasar Rasa dasar Konsentrasi Manis
Sukrosa 1 %
Asam
Asam sitrat 0.04 %
Asin
NaCl 0.2 %
Pahit
Kafein 0.05 %
Umami Sumber: Thomson (1986)
MSG 0.015 %
Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang mampu mengidentifikasi 100% rasa dasar dan minimal 50% dari aroma dasar melalui metode deskripsi. Selain itu, panelis yang terpilih adalah panelis yang menjawab dengan benar 60% dari semua seri uji segitiga yang dilakukan. Setelah diperoleh kandidat 10 orang panelis terlatih, maka dilakukanlah serangkaian proses pelatihan dalam bentuk diskusi fokus grup (FGD). Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri
23
dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu (Stone dan Sidel, 2004).
Tabel 5. Konsentrasi larutan uji segitga rasa dasar Rasa
Konsentrasi Sukrosa 1 %
Manis
Sukrosa 2 % Asam sitrat 0.04 %
Asam
Asam sitrat 0.08 % NaCl 0.2 %
Asin
NaCl 0.4 % Kafein 0.05 %
Pahit Umami
Kafein 0.1 % MSG 0.015 % MSG 0.03 %
Sumber: Meilgaard et al. (1999)
Diskusi fokus grup (FGD) dapat dilakukan oleh panel leader bersama dengan para panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk mi instan subtitusi jagung menjadi tidak diterima. Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau mengidentifikasi produk yang diperkirakan sudah tidak dapat lagi diterima oleh konsumen. Identifikasi produk yang sudah tidak dapat diterima (produk kritis) pada tahap simulasi kerusakan, selanjutnya didiskusikan bersama panelis terlatih melalui tahap FGD ini. Penentuan produk kritis tersebut didasarkan pada terjadinya kesepakatan diantara panelis. Produk kritis yang sudah disepakati kemudian akan diberi penilaian secara subjektif untuk dijadikan batas skor nilai mutu yang ditolak atau biasa disebut dengan nilai kritis. Penilaian ini juga didasarkan atas kesepakatan bersama diantara panelis. Selain penilaian secara subjektif, produk tersebut juga diuji secara objektif sehingga akan diperoleh nilai kritis berdasarkan beberapa parameter objektif yang telah disebutkan di atas. Tidak berbeda dengan nilai kritis, penentuan nilai awal produk mi instan subtitusi jagung juga dilakukan melalui FGD. Para panelis diberikan sampel produk yang baru diproduksi dan mereka diminta untuk menilai mutu awalnya. Nilai awal untuk parameter subjektif ditentukan berdasarkan rata-rata penilaian dari nilai mutu yang diberikan oleh setiap panelis, sedangkan nilai awal untuk parameter objektif ditentukan dengan menganalisis langsung produk mi instan subtitusi jagung yang baru diproduksi tersebut. Setiap panelis diberikan latihan pada selang waktu tertentu secara berulang-ulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut-atibut kritis yang telah diidentifikasi pada tahap FGD, seperti rasa tengik, warna, dan tekstur mi instan subtitusi jagung setelah rehidrasi. Pada pelatihan atribut tengik, panelis akan diperkenalkan berbagai jenis tingkat ketengikan pada produk mi instan serupa ataupun produk lainnya. Parameter-parameter organoleptik diujikan kepada para panelis terlatih melalui uji rating atau yang biasa disebut dengan uji scoring. Pengujian atribut mutu produk oleh panelis terlatih akan dilakukan terhadap (1) rasa/bau tengik, (2) warna, dan (3) tekstur setelah rehidrasi, sesuai
24
dengan hasil kesepakatan dalam FGD. Uji skoring baik pada atribut mutu rasa/tengik maupun atribut warna dilakukan oleh panelis sebelum produk mi jagung instan direhidrasi. Pada atribut rasa/bau tengik, panelis diminta untuk mengunyah dan mendeteksi rasa/bau tengik/off flavor mi jagung instan yang disajikan dan memberikan nilai sesuai dengan kolom yang sudah tersedia. Untuk atribut warna, panelis diminta untuk mendeskripsikan perubahan warna mi instan subtitusi jagung sebelum rehidrasi selama penyimpanan. Berbeda halnya dengan kedua atribut diatas, atribut tekstur dilakukan terhadap produk mi instan subtitusi jagung baik sebelum maupun sesudah rehidrasi. Panelis yang telah mengevaluasi sensori seperti telah dijelaskan diatas, kemudian diminta untuk menilai/memberi skor masing-masing contoh uji pada tiap-tiap atribut selama sampling penyimpanan. Nilai mutu kritis yang ditolak pada uji rasa/bau tengik adalah 3, pada uji warna adalah 5, dan pada uji tekstur adalah 4. Format uji skoring secara jelas dapat dilihat seperti pada Lampiran 2.
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN MI INSTAN SUBTITUSI JAGUNG Proses pembuatan mi instan subtitusi jagung terdiri dari tahap pencampuran (mixing), pembentukan lembaran adonan (sheeting), pembentukan untaian mi (sliting), pengukusan (steaming), penggorengan (frying), pendinginan (cooling), dan pengemasan. Formulasi yang digunakan adalah formulasi optimal yang telah dilakukan oleh Stefanus (2010) dengan komposisi sebagai berikut: tepung terigu yang digunakan sebanyak 49.19%, tepung jagung 21.08%, guar gum 0.705%, garam 0.705%, baking soda 0.21%, dan air 28.11%. Guar gum berfungsi dalam mempengaruhi daya ikat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, mempengaruhi sifat adonan, dan mempertahankan keempukan mi selam penyimpanan. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, meperkuat tekstur, mengikat air, dan meningkatkan elastisitas serta fleksibilitas mi. Baking soda dapat membentuk struktur bahan menjadi lebih berpori karena dapat membentuk gas CO 2 . Struktur bahan yang berpori akan lebih mudah menyerap air sehingga waktu rehidrasi yang dibutuhkan menjadi lebih cepat. Bahan-bahan yang sudah tersedia kemudian dicampur di dalam vary mixer, agar terbentuk adonan yang baik, homogen, memiliki kadar air yang cukup, dan terbentuk matriks pati yang baik untuk memudahkan pengepresan (sheeting). Mutu adonan mi yang baik harus cukup kuat, tidak melekat kembali ketika proses sheeting, dan tidak memiliki retakan-retakan atau tonjolan-tonjolan (kekompakan adonan mi) pada lembaran adonan yang dihasilkan (Park dan Baik, 2004). Sheeting merupakan proses pembentukan lembaran adonan samapai ketebalan tertentu. Sheeting dilakukan dengan menggunakan sheeter dengan prinsip memberikan tekanan pada adonan berulang-ulang diantara dua roll logam sehingga adonan semakin menyatu dan kompak satu sama lain. Setelah itu, kemudian dilakukan tahapan slitting dimana lembaran adonan akan dipotong dan dibuat menjadi untaian-untaian mi sesuai ukuran yang diinginkan. Proses slitting bertujuan untuk membentuk adonan menjadi lembut dan elastis serta dapat dipotong atau disisir menjadi untaian mi dan dibentuk menjadi bergelombang. Setelah proses slitting selesai, maka dilakukan tahapan pengukusan. Proses pengukusan harus dilakukan secara cepat setelah mi tersebut dipotong (slitting). Penundaan pengukusan akan menyebabkan mi menjadi keras dan kering karena air dalam matriks gel pati teruapkan (retrogradasi). Pengukusan atau steaming dilakukan selama 15 menit pada suhu 100°C. Proses ini bertujuan untuk memasak mi mentah menjadi sifat mi yang solid (Budiyah, 2004). Pada tahap pengukusan akan terjadi proses gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi, granula pati tepung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Setelah pengukusan akan dihasilkan untaian adonan yang kohesif dan elastik yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan penggorengan. Proses penggorengan adalah proses dimana bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan pangan akan menguap dan ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung pada mi selama proses penggorengan. Penggorengan dilakukan dengan teknik deep fat frying. Dengan cara ini, air akan menguap secara cepat dari permukaan ketika dicelupkan ke dalam minyak dan digantikan oleh minyak sehingga terbentuk pori-pori yang terjadi karena adanya perpindahan massa. Namun, kelemahan dari deep fat frying akan meningkatkan kandungan lipid mi instan subtitusi jagung yang berpengaruh terhadap keawetanya.
Setelah dilakukan tahapan penggorengan, mi kemudian didinginkan (cooling). Cooling adalah proses pendinginan mi setelah keluar dari oven. Pendinginan mi dilakukan dengan dianginanginkan secara manual. Setelah didinginkan, mi dikemas dalam kemasan plastik polypropylene (PP) dan dikelim (sealing). Mi yang sudah dikemas kemudian disimpan selama lima minggu pada suhu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52°C di dalam inkubator. Adapun inkubator yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Inkubator yang digunakan selama penyimpanan
B. KARAKTERISTIK MUTU AWAL Karakterisasi mi instan subtitusi jagung sebelum penyimpanan dilakukan untuk memperoleh nilai mutu awal dari produk tersebut. Nilai mutu awal untuk parameter subjektif ditentukan berdasarkan rata-rata penilaian para panelis terlatih terhadap produk mi instan subtitusi jagung yang baru diproduksi, sedangkan nilai mutu awal untuk parameter objektif ditentukan dengan melakukan analisis kimia terhadap mi insta subtitusi jagung yang baru diproduksi tersebut. Karakterisasi ini dilakukan terhadap parameter bilangan TBA, bilangan peroksida, kadar air, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), warna, tekstur, dan parameter organoleptik. Adapun hasil dari pengukuran mutu awal produk mi instan subtitusi jagung dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai mutu awal mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter Parameter Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Bilangan Peroksida (mili-equivalen/kg sampel) Kadar Air (%) KPAP (%) Warna L a b Tekstur Kekerasan (gf) Kekenyalan (gf) Elastisitas Tekstur organoleptik Warna organoleptik Flavor organoleptik
Nilai Awal 0.1396 0.1298 4.38 1.26 59.10 7.03 34.95 1690.4 0.2174 0.6146 7 6.8 7
27
C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN 1. Penentuan Nilai Kritis Nilai kritis produk mi instan subtitusi jagung juga ditentukan pada saat diskusi fokus grup (FGD) selama pelatihan panelis terlatih. Para panelis terlatih menetapkan produk yang sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Panelis tersebut kemudian berunding untuk menetapkan batas skor nilai mutu kritis dari produk yang sudah dipilih. Nilai kritis ditetapkan berdasarkan adanya kesepakatan bersama diantara panelis. Produk tersebut kemudian, dianalisis secara kimiawi maupun fisik untuk mendapatkan data objektifnya yang meliputi data bilangan TBA, bilangan peroksida, Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP), warna menggunakan chromameter, dan tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA). Adapun nilai kritis setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai kritis mi instan subtitusi jagung berdasarkan beberapa parameter Parameter Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel) Bilangan Peroksida (mili-equivalen/kg sampel) KPAP (%) Warna L a b Tekstur Kekerasan (gf) Kekenyalan (gf) Elastisitas Tekstur organoleptik Warna organoleptik Flavor organoleptik
Nilai Kritis 0.4272 13.4685 1.98 66.24 3.37 31.86 3242.43 0.4283 0.7429 4 5 3
Berdasarkan kesepakatan bersama yang telah disetujui sebelumnya, panelis menyatakan bahwa skor kesukaan terhadap parameter warna pada produk mi instan subtitusi jagung, jika sudah menunjukkan skor 4 diasumsikan bahwa produk sudah tidak dapat dikonsumsi oleh konsumen. Untuk parameter flavor (aroma dan rasa tengik), jika sudah menunjukkan skor 3 diasumsikan bahwa produk sudah tidak dapat dikonsumsi lagi. Begitu pula dengan parameter tekstur sesudah direhidrasi, jika sudah menunjukkan skor 5 diasumsikan bahwa produk tersebut sudah tidak layak dikonsumsi oleh konsumen. Selanjutnya, parameter warna hasil uji organoleptik dikorelasikan dengan hasil pengukuran warna menggunakan chromameter. Nilai kritis atribut warna secara subjektif menunjukkan angka 4 dan nilai ini berkorelasi dengan nilai L sebesar 66.24, nilai a sebesar 3.37, dan nilai b sebesar 31.86 pada pengukuran objektif menggunakan chromameter. Parameter flavor dikorelasikan dengan bilangan TBA yang terukur dan didukung pula oleh pengukuran bilangan peroksida. Nilai kritis atribut flavor (aroma tengik) secara subjektif menunjukkan angka 3 dan nilai ini berkorelasi dengan nilai bilangan TBA dan peroksida masing masing sebesar 0.4272 mg malonaldehid/kg sampel dan
28
13.4685 meq/kg sampel. Parameter tekstur dikorelasikan dengan pengukuran tekstur menggunakan TPA (texture profile analyzer). Nilai kritis atribut tekstur secara subjektif menunjukkan angka 5 dan nilai ini berkorelasi dengan nilai kekerasan sebesar 3242.43 gf, nilai kekenyalan sebesar 0.4283 gf, dan nilai elastisitas sebesar 0.7429 pada pengukuran menggunakan texture profile analyzer (TPA). Sedangkan parameter KPAP diukur secara objektif dengan menggunakan sampel kritis hasil penolakan organoleptik.
2. Penentuan Ordo Reaksi Laju perubahan mutu setiap parameter pada produk mi instan subtitusi jagung dapat berbedabeda. Jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo reaksi nol, sedangkan jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara exponensial atau logaritmik maka mengikuti ordo reaksi satu. Pemilihan ordo reaksi yang sesuai dapat dilakukan dengan memplotkan nilai mutu masingmasing parameter setiap minggunya mengikuti ordo reaksi nol ataupun ordo reaksi satu. Ordo reaksi yang terpilih adalah ordo reaksi yang mempunyai nilai koefisien korelasi (R2) yang lebih besar. Ordo reaksi yang sesuai bagi setiap parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
3. Pendugaan Umur Simpan berdasarkan Beberapa Parameter Mutu a.
Bilangan TBA
Analisis bilangan thiobarbituric acid (TBA) dilakukan setiap minggu pada produk yang telah disimpan di dalam inkubator yang berbeda suhunya, yaitu 32°C, 37°C, 45°C, 50°C, dan 52 °C. Penyimpanan pada kelima suhu ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya kerusakan pada produk sehingga umur simpan ditentukan berdasarkan penggunaan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Data bilangan TBA yang diperoleh dari pengukuran mi instan subtitusi jagung setiap minggunya, kemudian di plotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1. Pada ordo 0, data bilangan TBA (sumbu-y) diplotkan terhadap waktu penyimpanan (sumbu-x), sedangkan pada ordo 1 yang diplotkan ke dalam sumbu-y adalah dalam bentuk ln bilangan TBA. Adapun data hasil pengukuran bilangan TBA dapat dilihat pada Lampiran 15. Setelah data tersebut diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1, maka ordo reaksi yang paling sesuai adalah ordo reaksi yang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) paling tinggi yaitu ordo reaksi nol. Dari kelima persamaan garis tersebut, kemudian dapat diperoleh nilai konstanta laju penurunan mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan, yaitu sebesar 0.004, 0.007, 0.010, 0.0018, dan 0.019 yang dapat dilihat pada Lampiran 17. Nilai k yang semakin meningkat menunjukkan semakin tingginya laju penurunan mutu pada suhu penyimpanan yang semakin tinggi. Adanya tren peningkatan nilai k ini akan memberikan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi pada model Arrhenius. Selain itu, peningkatan nilai k ini menunjukkan bahwa parameter bilangan TBA dipengaruhi oleh adanya perubahan suhu, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan pendugaan umur simpan. Perhitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh dengan nilai suhu yang diinginkan melalui
29
Tabel 8. Nilai koefisien determinasi (R2) dari grafik penurunan mutu menurut ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 Parameter TBA
Peroksida
KPAP
Warna Nilai L
Nilai a
Nilai b
Tekstur Kekerasan
Kekenyalan
Elastisitas
Suhu Penyimpanan (°C)
R2
32 37 45 50 52 32 37 45 50 52
Ordo Reaksi 0 0.711 0.566 0.839 0.937 0.924 0.932 0.947 0.919 0.989 0.989
Ordo Reaksi 1 0.701 0.546 0.801 0.929 0.933 0.872 0.849 0.874 0.883 0.882
32 37 45 50 52
0.512 0.528 0.612 0.548 0.143
0.525 0.529 0.612 0.546 0.141
32 37 45 50 52 32 37 45 50 52 32 37 45 50 52
0.095 0.332 0.650 0.312 0.130 0.574 0.259 0.260 0.353 0.277 0.774 0.440 0.637 0.554 0.658
0.094 0.338 0.646 0.311 0.136 0.565 0.224 0.233 0.350 0.248 0.769 0.432 0.653 0.566 0.660
32 37 45 50 52 32 37 45 50 52 32 37 45 50 52
0.006 0.480 0.292 0.436 0.177 0.366 0.662 0.496 0.549 0.317 0.101 0.057 0.352 0.420 0.525
0.039 0.580 0.326 0.487 0.216 0.428 0.706 0.514 0.549 0.395 0.100 0.060 0.367 0.422 0.524
Ordo reaksi yang dipilih
0
0
1
1
0
1
1
1
1
30
pemplotan ln k dan 1/T pada kurva (Gambar 9), sehingga dapat diketahui ekstrapolasi umur simpan produk pada tingkatan suhu lain dan besar energi aktivasinya. Dari persamaan tersebut, diperoleh nilai energi aktivasinya (Ea) sebesar 62.780,82 J/mol dan laju perubahan mutu (nilai k) pada suhu ruang sebesar 0.0036. Umur simpan produk mi instan subtitusi jagung pada suhu ruang (30°C) dapat diketahui dengan memasukkan nilai k, nilai kritis, dan nilai awal produk pada persamaan tersebut, yaitu selama kurang lebih 81 hari atau 3 bulan.
0.00306
0.00312
0.00318
0.00324
0.00330
0 -1
Ln Kt
-2 -3 -4
y = -7544.x + 19.26 R² = 0.975
-5 -6
1/T (K-1)
Gambar 9. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan TBA
b.
Bilangan Peroksida
Penentuan umur simpan mi instan subtitusi jagung berdasarkan parameter bilangan peroksida, tidak terlalu berbeda dengan bilangan TBA. Perbedaan tersebut hanya terletak pada metode analisis dan perhitungan bilangan peroksida saja. Data pengukuran bilangan peroksida produk selama penyimpanan, dapat dilihat pada Lampiran 19. Data-data tersebut kemudian diplotkan kembali ke dalam grafik ordo 0 dan ordo 1. Dari kedua grafik tersebut dapat dilihat bahwa grafik ordo 0 mempunyai koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dibandingkan dengan koefisien determinasi ordo 1 sehingga persamaan ordo 0 paling sesuai digunakan untuk perhitungan selanjutnya. Nilai k dari kelima persamaan tersebut (Lampiran 21), semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu penyimpanan. Hal ini menunjukkan laju penurunan mutu produk semakin tinggi dengan semakin meningkatnya suhu dan parameter ini sensitif terhadap adanya perubahan suhu. Nilai k tersebut, kemudian diplotkan kedalam grafik yang dapat dilihat pada Gambar 10 dengan 1/T sebagai sumbu-x dan ln k sebagai sumbu-y. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh nilai energi aktivasinya sebesar 102.578,13 J/mol dan dapat diperoleh pula nilai k (konstanta laju penurunan mutu) pada suhu ruang (30°C) sebesar 0.0736. Selanjutnya nilai k tersebut diplotkan ke dalam persamaan perhitungan umur simpan mengikuti ordo reaksi nol, sehingga dapat diperoleh umur simpan mi instan subtitusi jagung berdasarkan parameter peroksida selama 181 hari atau 6.5 bulan.
31
0.00306
0.00312
0.00318
0.00324
0.00330
0.5 0.0
Ln Kt
-0.5 -1.0 -1.5 -2.0
y = -12338x + 38.11 R² = 0.974
-2.5 -3.0
1/T (K-1)
Gambar 10. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan parameter bilangan peroksida
c.
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang keluar atau terlarut ke dalam air selama proses pemasakan. Nilai KPAP diukur selama 5 minggu penyimpanan dan diperoleh data pengukuran KPAP seperti yang terlihat pada Lampiran 23. Perubahan nilai mutu KPAP mi instan subtitusi jagung selama 5 minggu penyimpanan menunjukkan data yang sangat tidak beraturan sehingga menyebabkan nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan garis pada berbagai suhu penyimpanan mempunyai nilai yang kecil seperti yang terlihat pada Lampran 24. Selain itu, setelah diolah ke dalam ordo 1, yaitu ordo yang mempunyai nilai R2 lebih besar, nilai k yang diperoleh tidak semakin besar dengan semakin tingginya suhu melainkan mengalami perubahan yang tidak sebanding dengan peningkatan suhu penyimpanan, yaitu 0.014, 0.008, 0.007, 0.009, dan 0.01. Hal ini menunjukkan bahwa parameter ini memang tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu dan akan memberikan model Arrhenius yang mempunyai nilai koefisien korelasi kecil, sehingga umur simpan produk mi instan subtitusi jagung tidak dapat diduga dari parameter KPAP. Reaksi deteriorasi yang terjadi berdasarkan parameter KPAP, diduga lebih kompleks dibandingkan dengan parameter TBA atau peroksida, sehingga kerusakan produk yang mengakibatkan kerusakan pada parameter KPAP ini terjadi lebih lama.
d.
Warna
Warna merupakan salah satu komponen terpenting bagi suatu produk pangan (Gokmen, 2006). Warna juga sering diasosiasikan sebagai faktor yang menggambarkan tingkat kesegaran, kematangan, daya beli, dan keamanan dari suatu produk. Selain itu, konsumen menggunakan penglihatan mereka untuk mengevaluasi warna produk ketika mereka akan membeli produk tersebut (Hatcher et al., 2000). Oleh karena itu, warna menjadi faktor yang harus dikontrol untuk menjaga mutu dari suatu produk pangan.
32
Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna. Cahaya tersebut bisa diserap ataupun dipantulkan oleh permukaan benda. Identitas suatu warna ditentukan oleh panjang gelombang cahaya tersebut. Panjang gelombang warna yang masih dapat ditangkap oleh mata manusia berkisar antara 380-780 nanometer. Jika pigmen pada suatu benda menyerap cahaya maka, benda tersebut akan terlihat berwana. Begitu pula yang terjadi pada warna mi instan subtitusi jagung. Warna pada produk mi instan subtitusi jagung dapat mengalami perubahan selama penyimpanan. Hal ini desebabkan oleh pigmen karoten yang terdapat pada mi jagung itu sendiri tidak stabil terhadap panas sehingga diperkirakan produk akan mengalami perubahan warna. Pengukuran warna produk dilakukan dengan menggunakan chromameter Hunter Lab. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan (light), nilai a menunjukkan karakteristik warna merah dan hijau, dan nilai b memperlihatkan karakteristik warna kuning dan biru (Papadakis et al., 2000). Pengukuran warna dilakukan selama 5 minggu dengan menggunakan alat chromameter. Hasil pengukuran warna mi instan subtitusi jagung dapat dilihat pada Lampiran 25 untuk nilai L, Lampiran 27 untuk nilai a, dan Lampiran 29 untuk nilai b. Tabel tersebut menunjukkan perubahan mutu warna yang terjadi selama 5 minggu penyimpanan pada produk mi instan subtitusi jagung. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa, hasil yang diperoleh baik pada nilai kecerahan (L), nilai warna merah (a), dan nilai warna kuning (b), ketiganya tidak menunjukkan perubahan warna yang berbanding lurus dengan meningkatnya suhu penyimpanan sehingga parameter warna tidak dapat digunakan untuk pendugaan umur simpan mi instan subtitusi jagung. Hal tersebut juga dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) pada masing-masing atribut yang sangat kecil, bahkan ada yang dibawah 0.100 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai mutu yang terukur tidak menunjukkan adanya keeratan data satu sama lain dan akan menghasilkan perhitungan umur simpan yang tidak akurat.
e.
Tekstur
Tekstur mi instan subtitusi jagung diukur dengan menggunakan alat Texture Profile Analyzer (TPA). Parameter yang dilihat pada pengukuran kali ini adalah kekerasan, kekenyalan, dan elastisitas dari produk tersebut. Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Kekenyalan merupakan daya tahan bahan untuk lepas oleh adanya gaya tekan. Sedangkan elastisitas diartikan sebagai kemampuan mi matang untuk kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama. Data hasil pengukuran tekstur menggunakan TPA dapat dilihat pada Lampiran 31 untuk atribut kekerasa, Lampiran 33 untuk atribut kekenyalan, dan Lampiran 35 untuk atribut elastisitas. Berdasarkan hasil pengukuran selama 5 minggu, dapat dilihat bahwa nilai kekerasan, kekenyalan, dan juga elastisitas tidak menunjukkan penurunan mutu yang signifikan dengan semakin meningkatnya suhu penyimpanan. Hal ini memperlihatkan bahwa parameter tekstur tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu dan reaksi deteriorasi yang terjadi berlangsung sangat lambat. Selain itu, kondisi mi pada saat pengukuran berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi tekstur mi tersebut. Mi yang diukur pada urutan terakhir akan cenderung lebih keras karena mi tersebut sudah dalam kondisi dingin dan kaku. Oleh karena itu, parameter tekstur tidak dapat digunakan untuk pedugaan umur simpan karena diperkirakan dapat memberikan model Arrhenius yang tidak baik.
33
f.
Analisis Organoleptik
Sebelum dilakukan pengukuran parameter tektur, warna, dan flavor secara organoleptik, diperlukan serangkaian seleksi dan pelatihan untuk memperoleh panelis terlatih. Panelis terlatih ini diharapkan akan dapat memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.
(i) Seleksi dan Pelatihan Panelis Terlatih
Panelis terlatih digunakan untuk mengevaluasi mutu sensori mi instan subtitusi jagung selama penyimpanan. Pembentukan panelis terlatih ini diawali dengan seleksi panelis dan kemudian diikuti dengan serangkaian pelatihan panelis. Menurut Meilgaard (1999), tahapan seleksi panelis terlatih untuk uji pembedaan meliputi matching test yang terdiri dari uji kesesuaian atau uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dasar, uji rangking, dan uji pembedaan dalam bentuk uji segitiga. Seleksi panelis terlatih menggunakan 2 macam metode, yaitu uji rasa dan aroma dasar dan uji segitiga. Form dari uji-uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Calon panelis yang lolos seleksi yang menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 80% untuk uji deskriptif dan 60% untuk uji segitiga (Meilgaard et al., 1999). Calon panelis terlatih yang lolos uji rasa dan aroma dasar kemudian diminta untuk melakukan uji segitiga. Pada uji segitiga panelis diminta untuk mengidentifikasi 1 sampel berbeda dari 3 sampel yang disediakan berdasarkan atribut tekstur, warna, dan tingkat ketengikannya. Berdasarkan ujiuji tersebut diperoleh 11 orang calon panelis terlatih yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah panelis yang memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti serangkaian pelatihan yang diadakan secara konsisten. Calon panelis terlatih yang telah diseleksi harus mengikuti rangkaian pelatihan secara kontinu sehingga dapat secara layak dikatakan terlatih dalam hal evaluasi mi instan subtitusi jagung. Setelah diperoleh calon panelis terlatih, maka dapat dilakukan pelatihan panelis selama 5 minggu (10 kali tatap muka, 2 jam). Proses pelatihan ini lebih cepat dibandingkan yang dijelaskan dalam Meillgard, et al (1999) karena calon panelis terlatih tersebut sudah dapat memberikan nilai yang konstan terhadap perbedaan suhu penyimpanan dan dapat mengidentifikasi dengan baik perbedaan tekstur, warna, dan flavor antar sampel mi selama 5 minggu penyimpanan pada suhu penyimpanan yang berbeda-beda. Tahap pelatihan panelis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan panelis dalam mengenali, membedakan, mendeskripsikan, dan mengkuantifikasi atribut sensori yang terdapat dalam suatu produk dengan menggunakan bahasa flavor yang telah disepakati bersama (Heymann et al,. 1993). Namun demikian, pada intinya tahap pelatihan panelis ini bertujuan untuk melatih kepekaan dan konsistensi panelis dalam mengevaluasi kualitas mi dari sudut pandang beberapa atribut/parameter kritis. Jenis uji yang digunakan dalam pelatihan panelis ini adalah uji rating atribut. Uji rating ini menggunakan skala 1-7 yang bertujuan untuk memberi keleluasaan kepada panelis dalam mengevaluasi sampel dalam kisaran atau rentang nilai skala yang lebih luas. Lawless dan Heymann (1998) menyatakan bahwa penggunaan skala kategori dengan tingkatan skala yang lebih banyak diperbolehkan sehingga dapat memberikan alternatif yang cukup kepada panelis dalam mempresentasikan tingkat perbedaan yang ada.
34
Pada awal proses pelatihan para calon panelis terlatih diperkenalkan dengan beberapa sampel mi dari mulai sampel mi reference, sampel mi yang masih dalam kondisi bagus atau belum lama diproduksi sampai mi yang sudah mengalami penyimpanan 5 minggu, mengalami penurunan mutu, dan berbau tengik. Menurut Diana (2008), reference untuk pelatihan harus merupakan reference yang baik (as an anchor point), yaitu memiliki variasi yang terukur dimana panelis masih dapat membedakan intensitasnya. Dalam hal ini, reference yang digunakan adalah sampel mi instan subtitusi jagung yang belum lama diproduksi atau yang disimpan di suhu ruang. Penggunaan reference pada setiap kali pengujian selama pelatihan berguna untuk memperlihatkan kepada panelis mengenai batas mutu awal sampel yang belum mengalami penyimpanan karena adanya kemungkinan panelis tidak dapat mengingat mutu awal produk. Perkenalan sampel ini dilakukan setiap kali pertemuan sampai panelis dapat merasakan perbedaan antara sampel mi yang sudah mulai mengalami penurunan mutu dengan mi yang masih dapat diterima konsumen. Setelah para panelis dapat memberikan penilaian yang konstan terhadap perubahan mutu produk, maka panelis tersebut sudah siap untuk melakukan berbagai serangkaian uji yang sebenarnya. Selain itu, hasil diskusi grup bersama panelis memperlihatkan bahwa parameter penting yang berperan terhadap penolakan produk oleh konsumen adalah atribut flavor (aroma tengik), warna mi sebelum direhidrasi, dan tekstur mi setelah direhidrasi. Beberapa parameter hasil kesepakatan diskusi dari panelis inilah yang ditetapkan sebagai parameter kritis organoleptik dan selanjutnya diujikan selama penyimpanan. Sebagai pendukung data subyektif ini, ditetapkan pula beberapa analisis objektif dalam pendugaan umur simpan, yaitu analisis bilangan TBA, bilangan peroksida, kehilangan padatan akibar pemasakan (KPAP), analisis warna dengan chromameter dan analisis tekstur dengan texture profile analyzer (TPA). Setelah itu, para calon panelis terlatih tersebut diminta untuk menentukan skor nilai mutu awal dan nilai mutu yang ditolak (nilai kritis) melalui FGD (Focus Group Discussing). Nilai mutu awal ditentukan dengan memberikan penilaian terhadap produk mi instan subtitusi jagung yang baru diproduksi. Hasil penilaian sensori tersebut kemudian dirata-ratakan dan dijadikan nilai mutu awal untuk parameter subjektif, sedangkan untuk parameter objektif, nilai mutu awal diperoleh dengan menganalisis sampel yang baru diproduksi secara kimiawi maupun fisik. Berbeda dengan nilai mutu awal, nilai mutu kritis untuk parameter subjektif ditentukan berdasarkan kesepakatan yang terjadi di antara panelis tersebut pada saat FGD, sedangkan parameter objektif ditentukan dengan menganalisis sampel secara kimiawi maupun fisik yang sebelumnya telah ditentukan sebagai sampel pembatas penolakan produk.
(ii) Tekstur
Hasil uji sensori oleh para panelis terlatih terhadap atribut tekstur mi instan subtitusi jagung selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Jika data tersebut diolah lebih lanjut lagi, dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) ordo ke satu lebih besar dibandingkan ordo ke nol, sehingga pendugaan umur simpan selanjutnya dapat mengikuti reaksi ordo ke satu. Ketiga persamaan tersebut mempunyai nilai k yang semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu penyimpanan seperti terlihat pada Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa laju penurunan mutu produk semakin tinggi pula dengan meningkatnya suhu penyimpanan dan dapat dikatakan juga bahwa parameter organoleptik atribut tekstur sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
35
Nilai k tersebut, kemudian diplotkan ke dalam grafik yang dapat dilihat pada Gambar 11 dengan 1/T sebagai sumbu-x dan ln k sebagai sumbu-y. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh nilai energi aktivasinya sebesar 28.151,2 J/mol dan dapat diperoleh pula nilai k pada suhu ruang (30°C) sebesar 0.0417. Selanjutnya nilai k tersebut diplotkan ke dalam persamaan perhitungan umur simpan mengikuti ordo ke satu, sehingga dapat diperoleh umur simpan mi instan subtitusi jagung berdasarkan parameter organoleptik atribut tektur selama kurang lebih 26 hari.
0.00308
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
-2.4 -2.5
Ln Kt
-2.6 -2.7
y = -3386.x + 7.998 R² = 0.897
-2.8 -2.9 -3.0
1/T (K-1)
Gambar 11. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut tekstur organoleptik
(iii) Warna
Atribut mutu lain yang dinilai pada pendugaan umur simpan mi instan subtitusi jagung secara organoleptik adalah atribut warna. Data hasil pengukuran atribut warna dapat dilihat pada Lampiran 5. Setelah data tersebut diolah lebih lanjut lagi, dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) ordo satu lebih besar daripada ordo nol, sehingga penurunan mutu atribut warna ini mengikuti reaksi ordo ke satu. Pada Lampiran 10 dapat dilihat juga bahwa konstanta laju penurunan mutu (k) atribut warna semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu. Hal ini menunjukkan bahwa parameter organoleptik atribut warna peka terhadap perubahan suhu penyimpanan. Selanjutnya konstanta (k) ini kemudian digunakan untuk membuat grafik pendugaan umur simpan seperti yang terlihat pada Gambar 12. Berdasarkan grafik tersebut dapat diperoleh energi aktivasi dari atribut warna sebesar 40.539,05 J/mol dengan konstanta laju penurunan mutu (nilai k) sebesar 0.0252. Selain itu, dapat diperoleh pula umur simpan mi instan subtitusi jagung berdasarkan parameter sensori atribut warna, yaitu selama kurang lebih 23 hari.
36
0.00308
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
0.0 -0.5
Ln Kt
-1.0 -1.5 -2.0
y = -4876.x + 12.41 R² = 0.882
-2.5 -3.0 -3.5
1/T (K-1)
Gambar 12. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut warna organoleptik
(iv) Flavor
Atribut flavor merupakan salah satu atribut mutu yang akan mempengaruhi penolakan konsumen terutama karena timbulnya aroma tengik. Aroma tengik ini disebabkan oleh adanya reaksi autooksidasi dan oksidasi asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat (Nawar, 1996). Data hasil penilaian mi instan subtitusi jagung terhadap atribut flavor dapat dilihat pada Lampiran 5. Data tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik ordo 0 dan ordo 1 untuk melihat ordo yang paling sesuai dengan penurunan atribut flavor ini. Karena nilai koefisien determinasi (R2) ordo 0 lebih besar dari ordo 1, maka ordo yang dipilih untuk pendugaan umur simpan selanjutnya adalah ordo reaksi nol. Dari persamaan-persamaan ordo 0 tersebut, akan diperoleh nilai k (Lampiran 13) atau laju penurunan mutu atribut flavor yang dapat dilihat dari gradient persamaan tersebut. Nilai k tersebut semakin meningkat dengan meningkatnya suhu penyimpanan, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan umur simpan. Nilai k yang diperoleh kemudian diplotkan ke dalam persamaan Arrhenius sehingga diperoleh grafik seperti yang terlihat pada Gambar 13. Dari persamaan tersebut dapat diperoleh energi aktivasinya sebesar 85.600,94 J/mol dan nilai k sebesar 0.0973. Selain itu dengan memasukan nilai k pada suhu tertentu (suhu kamar, 30°C) ke dalam persamaan perhitungan umur simpan untuk ordo 0, maka akan diperoleh umur simpan dari mi instan subtitusi jagung selama kurang lebih 41 hari.
37
Ln Kt
0.00308 0.00 -0.20 -0.40 -0.60 -0.80 -1.00 -1.20 -1.40 -1.60 -1.80
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
y = -10296x + 31.65 R² = 0.972 1/T(K-1)
Gambar 13. Grafik pendugaan umur simpan berdasarkan atribut flavor organoleptik
g.
Penentuan Parameter Pembatas Penolakan Produk dan Umur Simpan Produk
Menurut Kusnandar (2006), ada beberapa kriteria-kriteria dalam pemilihan parameter mutu untuk menentukan umur simpan suatu produk, yaitu: (1) parameter mutu yang paling cepat mengalami penurunan selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi (R2) paling besar, (2) parameter mutu yang paling sensitive terhadap perubahan suhu yang dilihat dari nilai kemiringan (slope) persamaan Arrhenius atau dapat dilihat dari energi aktivasi (Ea) yang paling rendah, (3) bila terdapat lebih dari satu parameter mutu yang memenuhi kriteria, makan dipilih parameter mutu yang memiliki umur simpan lebih pendek. Berdasarkan ketentuan tersebut, tingkat sensitivitas beberapa parameter tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Nilai koefisien korelasi (R2), energi aktivasi (Ea), dan umur simpan pada berbagai parameter. Umur Parameter R2 Ea (J/mol) Persamaan Arrhenius Simpan (hari) Bil. TBA 0.975 62720.82 ln k = -7544(1/T) + 19.26 81 Peroksida
0.974
102578.13
ln k = -12338(1/T) + 38.11
181
Atribut tekstur
0.897
28151.20
ln k = -3386(1/T) + 7.998
26
Atribut warna
0.882
40539.06
ln k = -4876(1/T) + 12.41
23
Atribut flavor
0.972
85600.94
ln k = -10296(1/T) + 31.65
41
Dengan melihat Tabel 9, jika ditinjau dari kriteria seperti yang tertera dalam Kusnandar (2006), maka dapat dikatakan bahwa parameter yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan umur simpan adalah parameter atribut warna secara organoleptik. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yang cukup besar, nilai energi aktivasi yang kecil, dan memberikan dugaan umur simpan yang paling pendek. Tetapi, walaupun atribut warna memberikan umur simpan paling pendek, hal ini tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, karena proses pendugaan umur simpan itu sendiri dilakukan selama 35 hari dan produk sampai pada minggu ke-5 pun belum menunjukkan kerusakan mutu yang signifikan. Selain itu, jika dilihat dari hubungan energi aktivasi dengan
38
umur simpan yang dihasilkan oleh parameter organoleptik atribut warna, terjadi ketidaksesuaian hubungan sebab-akibat didalamnya. Hubungan tersebut adalah semakin besar energi aktivasi suatu reaksi, maka semakin tinggi pula energi yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu reaksi, sehingga reaksi deteriorasi yang terjadi pun tidak secepat reaksi dengan energi aktivasi yang lebih kecil dan akan menghasilkan umur simpan yang lebih lama. Nilai energi aktivasi atribut warna lebih besar daripada atribut tekstur dan seharusnya atribut warna mempunyai umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan atribut tesktur, tetapi ternyata umur simpan atribut warna lebih pendek dibandingkan dengan atribut tekstur. Ketidaksesuaian pendugaan umur simpan dapat disebabkan oleh reaksi kerusakan (deteriorasi) yang terjadi pada parameter organoleptik atribut warna merupakan reaksi ordinal, bukan interval sehingga atribut ini tidak cocok digunakan untuk pendugaan umur simpan Metode Arrhenius. Hal ini pada umunya juga terjadi pada semua parameter organoleptik, sehingga parameter organoleptik ini sebaiknya tidak digunakan untuk pendugaan umur simpan Metode Arrhenius. Parameter mutu yang masih memungkinkan digunakan sebagai parameter mutu penolakan produk adalah parameter bilangan TBA dan bilangan peroksida saja. Pengukuran parameter bilangan TBA dan bilangan peroksida ini didasarkan pada adanya reaksi autooksidasi lemak yang akan menghasilkan senyawa intermediet berupa peroksida dan produk akhir berupa malonaldehid yang menyebabkan timbulnya bau tengik pada produk. Reaksi oksidasi lemak berlangsung secara spontan. Adapun persyaratan berlangsungnya reaksi secara spontan adalah sebagai berikut: (1) terjadinya penurunan entalpi (ΔH negatif), (2) terjadinya peningkatan entropi (ΔS positif), dan (3) mempunyai nilai energi Gibbs (ΔG) negatif (Petrucci, 1985). Entalpi merupakan energi internal yang terdapat di dalam suatu sistem ditambah dengan energi yang digunakan untuk melakukan kerja, entropi merupakan derajat ketidakteraturan yang terjadi di dalam suatu sistem, dan energi Gibbs menggambarkan kapasitas dari suatu sistem untuk melakukan kerja (Blaxter, 1989). Oksidasi lemak mempunyai nilai ΔH negatif (Blaxter, 1989) dan ΔS positif sehingga akan dihasilkan nilai ΔG negatif dan reaksi pun akan berlangsung secara spontan. Nilai ΔS yang positif ini disebabkan oleh terjadinya perubahan bentuk selama reaksi dari padat menjadi gas sehingga terjadi peningkatan ketidakteraturan sistem dan menyebabkan nilai ΔS positif. Jika dilihat berdasarkan pertimbangan ekonomi dan keamanan pangannya, umur simpan yang ditentukan dari parameter organoleptik atibut warna dirasa terlalu pendek dan tidak menguntungkan produsen sehingga umur simpan mi instan subtitusi jagung ditentukan berdasarkan parameter yang lain. Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan syarat kriteria pemilihan parameter mutu, parameter lain yang dapat digunakan dalam pendugaan umur simpan adalah parameter bilangan TBA. Parameter ini mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang lebih besar, energi aktivasi yang lebih kecil, dan umur simpan yang lebih pendek dibandingkan dengan parameter bilangan peroksida, sehingga parameter TBA lebih baik digunakan sebagai parameter penolakan produk daripada bilangan peroksida. Berdasarkan parameter bilangan TBA, mi instan subtitusi jagung ini memiliki umur simpan selama 81 hari atau kurang lebih selama 3 bulan jika disimpan pada suhu ruang (30°C). Umur simpan mi instan tersebut tergolong cukup pendek karena pada umumnya, mi instan yang ditemukan di pasaran mempunyai masa kadaluarsa sekitar 4-6 bulan setelah waktu produksi. Umur simpan yang cukup pendek ini dapat disebebkan oleh kandungan lemak pada produk ini lebih tinggi dibandingkan dengan produk mi instan di pasaran. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan alat untuk meniriskan mi instan setelah proses penggorengan. Tahapan penirisan pada penelitian ini tidaklah optimal. Penirisan hanya dilakukan dengan meletakkan mi tersebut di
39
atas kertas minyak setelah diangkat dari deep fat frying. Sedangkan di industri, proses penirisan minyak goreng dibantu dengan melewatkan mi tersebut di atas conveyor belt yang bergoyang untuk meniriskan minyak.
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pendugaan umur simpan produk mi instan subtitusi jagung dilakukan dengan menggunakan metode Arrhenius. Pendugaan umur simpan ini didasarkan pada beberapa parameter subjektif dan objektif. Pengukuran parameter subjektif dilakukan dengan menggunakan penilaian dari para panelis terlatih. Adapun parameter yang diukur adalah parameter terhadap atribur flavor tengik, tekstur, dan juga warna. Sedangkan pengukuran parameter objektif dilakukan terhadap bilangan TBA (thiobarbitusic acid), bilangan peroksida, KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)/cooking loss, warna, dan tekstur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk mi instan subtitusi jagung mengalami penurunan mutu yang cukup signifikan selama penyimpanan, terutama pada parameter bilangan TBA, parameter bilangan peroksida, dan parameter subjektif. Laju penurunan mutu parameter bilangan TBA, peroksida dan parameter subjektif atribut flavor mengikuti ordo reaksi nol. Hal ini memperlihatkan bahwa laju penurunan mutu tersebut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi dan terjadi secara konstan. Sedangkan untuk parameter organoleptik atribut tekstur dan warna mengikuti ordo reaksi satu, sehingga penurunan parameter tersebut terjadi secara eksponensial. Parameter mutu kritis yang paling sesuai untuk digunakan adalah parameter bilangan TBA karena parameter bilangan TBA mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang paling besar dan energi aktivasi yang cukup kecil. Parameter bilangan TBA akan menghasilkan pendugaan umur simpan mi instan subtitusi jagung yang disimpan pada suhu ruang (30°C) selama 81 hari atau kurang lebih selama 3 bulan.
B. SARAN Mi instan subtitusi jagung mempunyai umur simpan yang relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan yang ada di pasaran, yaitu sekitar 81 hari. Umur simpan yang pendek ini dapat menjadi kendala yang besar jika produk mi instan subtitusi jagung ingin dikomersialisasikan secara besar-besaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian lanjutan yang dapat memperpanjang umur simpan produk mi instan subtitusi jagung, diantaranya dengan melakukan beberapa kajian mengenai pengaruh penggunaan jenis kemasan dan kajian cara-cara penghambatan laju kerusakan oksidasi dari mi instan tersebut. Selain itu, diperlukan juga adanya modeling pendugaan umur simpan yang dapat digunakan untuk menghitung umur simpan pada berbagai suhu penyimpanan dan diperlukannya suatu tindakan verifikasi atas modeling tersebut. Di lain pihak, untuk dapat dikomersialisasikan lebih lanjut diperlukan suatu strategi pemasaran yang tepat. Penggunaan strategi pemasaran yang tepat dari berbagai pihak industri mi jagung dapat membantu menangani masalah keterbatasan umur simpan mi instan subtitusi jagung yang relatif masih pendek. Misalkan saja pembukaan industri-industri kecil dan menengah dapat dilakukan di beberapa daerah yang potensial untuk pemasaran produk ini bukan hanya di beberapa titik terpusat saja. Hal ini dapat menurunkan waktu transportasi dari mi instan subtitusi jagung sehingga masa kadaluarsa produk tersebut tidak terbuang di jalan dan dapat segera menjangkau pasarpasar lokal. Di samping itu, produksi jagung juga harus terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, karena
dikhawatirkan jika pengembangan produk berbahan dasar jagung yang tidak diimbangi dengan peningkatan volume produksinya, akan berdampak pada penurunan stock untuk kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan untuk pakan ternak dan lain sebagainya.
42
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/jagung. [11 Juni 2010] Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Sudi Ilmu Pangan Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arpah, M. dan R. Syarief. 2000. Evaluasi Model-model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Tekn. dan Industri Pangan. XI 1-11. Astawan, M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Harvested Area, Yield Rate, and Production Maize by Province (2009). Badan Pusat Statistik. Jakarta. Bhattacharya, M. dan Corke. 1996. Selection of desirable starch pasting properties in wheat for use in white salted or yellow alkalined noodles. J Cereal Chemistry 73(6): 721-728. Blaxter, K.L. 1989. Energy Metabolism in Animals and Man. Cambridge University Press. Australia. Boyer, C.D. dan J.C. Shannon. 2003. Carbohydrates of The Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Darrah, L.L., M.D. McMullen, dan M.S. Zuber. 2003. Breeding, Genetics, and Seed Corn Production. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Dashanjiang Machine Ltd. 2003. Noodle Machine. China. Dudly, J.W. 1974. Seventy Generations of Selection for Oil and Protein in Maize. Crop Science Society of America, Inc. Madison, Wisconsin. Effendi dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV Yasaguna. Jakarta. Ellis, M.J. 1994. The Methodology of Shelf Life Determinantion. Di dalam: Shelf Life Evaluation of Foods. C.M.D Man dan A.A. Jones, hal 27. Blackie Academic & Professional. London. Etikawati, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fadhillah, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. FAO.
2005. Standard Table of Food Composition. http://www.fao.org/infood/tables_asia_en.sym#japan [10 September 2008]. Di dalam: Lestari, O. A. Karakterisitik Sifat Fisiko-Kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung Kering yang Disubtitusi Tepung Jagung Termofifikasi. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gokmen, H.Z. 2006. Study of colour and acrylamide formation in coffee, wheat flour, and potato chips during heating. J Food Chemistry 99 (2006): 238–243. Hariyadi, P. dan N. Andarwulan. 2006. Perubahan Mutu (Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi) Produk Pangan Selama Pengolahan dan Penyimpanan. Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB. Bogor. Hatcher, D.W., S.J. Symons, dan M.J. Anderson. 2000. Assessment of oriental noodle appearance as a function of flour refinement and noodle type by image analysis. J Cereal Chemistry 77 (2000): 181–186.
Heymann, H., Holt D.L., dan Cliff M.A. 1993. Measurment of Flavor by Sensory Descriptive Techniques. Di dalam: Manley, C. H. dan Ho, C. T. (eds). Flavor Measurement. Marcell Dekker, Inc. New York. Horwitz, W. editor. 2002. 41.1.16 AOAC Official Method 965.33, Peroxide value of oils and fats. Official Methods of Analysis of AOAC International, 17th ed., MD: AOAC International. Gaithersberg. Indrawuri, I. 2010. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi Terhadap Mutu dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and Utilization. Di dalam: Lorenz, K. J. dan K. Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker Inc. New York. Johnson, L.A. 2000. Corn: Chemistry and Technology. 2nd Edition. Ed: Pamela J. White. American Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota, USA. Johnson, L.A. dan J.B. May. 2003. Wet milling: the basis for corn biorefineries. Pages 449-494 in: Corn: Chemistry and Technology, 2nd Ed. P. J. White and L. A. Johnson, eds. AACC International. St. Paul, Minessota. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakulats Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusnandar, F. 2006. Desain Percobaan dalam Penetapan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB. Bogor. Kusnandar, F., N.S. Palupi, Tjahja, dan M. Subarna. 2010. Modul Pelatihan Produksi Mie Kering Subtitusi dan Mie Jagung. Seafast Center. Institut Pertanian Bogor. Bogor Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc. Westport Connecticut. Lawless, H.T. dan H. Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food Principles and Practices. Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York. Lucier, G. 2000. Vegetables and Specialities Situation and Yearbook. Economic Research Service. USDA. Washington DC. Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press. New York. Merdiyati, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nawar, W.W. 1996. Lipids. Di dalam: Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcell Dekker Inc. New York. Papadakis, S.E., S. Abdul-Malek, R.E. Kamdem, dan K.L. Yam. 2000. A versatile and inexpensive technique for measuring colour of foods. J Food Technology 54 (2000): 48–51. Park, C.S. dan B.K. Baik. 2004. Relationship between protein characteristics and instant noodle making quality of wheat flour. J Cereal Chemistry, 81 (2004): 159-164. Petrucci, R.H. 1985. General Chemistry Fourth Edition. Collier Macmillan Canada Inc. New York.
44
Putra, S.N. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rianto, B.F. 2006. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mie Basah Berbahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sandewi, F.A. 2005. Pengaruh Pemanasan dengan Gelombang Mikro (Microwave) terhadap Mortalitas Serangga Imago Sitophilus zaemais (Coleopterata: Curcilionidae) dan Keturunnya. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Shukla, R. dan M. Cheryan. 2000. Zein: the industrial protein from corn. J Industrial Crops and Products 13 (2000): 171-192. Sigit, N.P. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Spiegel, A. 1992. Shelf-Life Testing. Di dalam: Brown, W. E. Plastics in Food Packaging: Properties, Design, and Fabrication. Marcel Deker, Inc. New York. Standar Nasional Indonesia. 1996. SNI 01-3551-1996 tentang Mi Instan. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta. Stefanus. 2010. Formulasi dan Optimasi Waktu Penggorengan Produk Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stone, H dan J.L. Sidel. 2004. Sensory Evaluation Practises. Elsevier, Amsterdam. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suprapto dan H.A.R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Cetakan ke-14. Penebar Swadaya. Jakarta. Syarief, R., S. Santausa, dan St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syarief dan Y. Halid. 1993. Teknologi Pengemasan Pangan. Arcan. Bandung. Taylor, T.P., O. Fasina, dan L.N Bell. 2008. Physical properties and consumer liking of cookies prepared by replacing sucrose with tagose. J. Food Sci 73(3): 145-151. Thomson, D.M.H. 1986. The Meaning of Flavor. Di dalam: Birch, GG. dan MG. Lindley (ed.). Development in Food Flavors. Elsevier, London. Wahyuningrum, I. 2010. Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Subtitusi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi-Model Arrhenius. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta. Watson. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of The Corn Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Format kuisioner seleksi panelis Identifikasi Rasa Dasar Nama :………….. Tanggal pengujian :………….. Sampel: larutan rasa dasar Petunjuk: Berikut ini telah disediakan lima jenis larutan. Lakukan pencicipan secara berurutan dari kiri ke kanan satu per satu. Ambil satu sendok sampel larutan, tempatkan pada sendok pencicip. Rasakan selama 5 detik, kemudian identifikasi rasa tersebut. Lakukan pembilasan lidah setiap akan mencicipi sampel berikutnya dengan air. Kode sampel Deskripsi rasa
Identifikasi Bau Dasar Nama : ……………….. Tanggal pengujian :…………….. Sampel: larutan bau/aroma Petunjuk: Berikut ini telah disediakan lima jenis larutan volatil. Lakukan penciuman sampel secara berurutan dari kiri ke kanan satu per satu. Buka botol sampel larutan, kemudian kibaskan tepat didepan hidung. Amati dan identifikasi aroma tersebut. Istirahatkan hidung Anda setiap akan menguji sampel berikutnya. Kode sampel
Deskripsi aroma
47
Uji Segitiga Nama : ......................................................... :..................................................... Produk : Mi instan dan minyak goreng
Tanggal
Petunjuk: Berikut ini akan disediakan 1 set minyak goreng dan 3 set mi instan yang terdiri dari 2 sampel uji sama dan 1 sampel uji beda. Lakukan pencicipan (untuk atribut kekerasan dan kekenyalan), dan perabaan/peregangan (untuk atribut elastisitas) pada 3 set mi instan (1 set untuk 1 atribut) serta penciuman untuk atribut (aroma) pada 1 set sampel minyak goreng secara berurutan dari kiri ke kanan satu per satu. Kemudian identifikasi mana sampel yang berbeda. Berikan tanda contreng () didepan kode sampel yang berbeda. Kode Sampel ........
Atribut Kekerasan
Kode Sampel ……
Atribut Kekenyalan
Kode Sampel ……
Atribut Elastisitas
Kode Sampel ……
........
……
……
……
.......
……
……
……
Atribut Aroma
48
Lampiran 2. Format kuesioner uji rating Nama : ………………………………. Tanggal Pengujian : ……………………………… Petunjuk: 1. Dihadapan Anda terdapat 3 set sampel yang terdiri dari 3 sampel berbeda. Cantumkan kode sampel sesuai yang ada dihadapan Anda. 2. Cicipi sampel pertama untuk atribut flavor. Kemudian deskripsikan sampel dengan memberi tanda checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda pilih (sampel harus habis pada satu kali penyicipan) 3. Cicipi sampel kedua dengan mengunyah seluruh sampel yang tersedia kemudian beri penilaian dengan memberi tanda checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda pilih. 4. Berilah penilaian secara kasat mata terhadap warna pada set sampel ketiga dan beri tanda checklist (√) pada skor masing-masing atribut yang Anda pilih.
Atribut
Spesifikasi/ intensitas
Normal kuning
7
Normal, mulai terlihat pudar
6
Warna sedikit pudar
5
Warna
Warna pudar sebagian
4
(kemasan)
Warna pudar dominan
3
Warna mulai menghitam
2
Warna sebagian besar mulai menghitam akibat tumbuhnya kapang
Kode contoh
Skor ….
….
….
….
....
....
….
….
….
….
….
….
1
Normal
7
Normal, off flavor mulai tercium tetapi sangat lemah
6
Flavor
Off flavor tercium jelas
5
(sebelum
Off flavor tercium jelas, tengik sangat lemah
4
direhidrasi)
Off flavor tercium kuat, tengik
3
Off flavor tercium kuat, sangat tengik
2
Off flavor tercium kuat, sangat amat tengik
1
49
Tidak mudah patah, kenyal
7
Sedikit patah, kenyal
6
Tekstur
Sedikit patah, kurang kenyal
5
sesudah
Mudah patah, kurang kenyal
4
rehidrasi
Mudah patah dan hancur, kurang kenyal
3
Mudah patah dan hancur, tidak kenyal
2
Sangat mudah patah dan hancur, tekstur lunak
1
Komentar:
Kritik dan Saran:
Diantara ketiga sampel tersebut, menurut Anda apakah sampel tersebut masih dapat diterima oleh konsumen? Jika Ada tuliskan kodenya pada kolom yang disediakan! (boleh lebih dari 1) Jawab: Atribut
Kode Sampel yang Ditolak
Tekstur Flavor Warna
50
Lampiran 3. Hasil seleksi panelis pada serangkaian uji Persentase Panelis
Uji Identifikasi
Uji Segitiga
Lulus Seleksi
Rasa
Aroma
Panelis 1
50
60
25
tidak
Panelis 2
100
100
75
ya
Panelis 3
80
40
50
tidak
Panelis 4
80
80
50
tidak
Panelis 5
100
100
100
ya
Panelis 6
100
100
100
ya
Panelis 7
100
100
75
ya
Panelis 8
100
100
100
ya
Panelis 9
60
60
50
tidak
Panelis 10
80
60
25
tidak
Panelis 11
40
20
25
tidak
Panelis 12
100
100
75
ya
Panelis 13
80
20
25
tidak
Panelis 14
100
100
100
ya
Panelis 15
60
40
50
tidak
Panelis 16
80
0
75
tidak
Panelis 17
100
100
75
ya
Panelis 18
100
100
100
ya
Panelis 19
80
40
50
tidak
Panelis 20
60
40
75
tidak
Panelis 21
100
100
100
ya
51
Lampiran 4. Rekapitulasi konsep pelatihan panelis mi instan subtitusi jagung No.
Tujuan
Jenis Uji
Menetapkan parameter mutu kritis mi jagung instan 1
subtitusi yang berpotensi mengalami kerusakan
FGD
selama penyimpanan
Hasil Parameter mutu kritis berdasarkan kesepakatan antara panelis meliputi warna, flavor, dan tekstur sesudah direhidrasi Nilai mutu kritis untuk parameter warna adalah nilai 5, untuk
2
Menetapkan nilai mutu kritis setiap parameter
FGD
parameter flavor adalah nilai 3, dan untuk parameter tekstur adalah nilai 4
3
4
Melatih panelis dalam memberi nilai/skor pada saat penilaian sampel Melihat konsistensi panelis dalam memberikan nilai/skor
FGD dan uji rating
FGD dan uji rating
Keragaman penilaian panelis cukup tinggi sehingga belum dihasilkan penilaian skor yang benar-benar sama Secara keseluruhan, panelis dapat memberikan skor dalan kisaran ragam yang tidak terlalu besar
52
Lampiran 5. Rekapitulasi data dan nilai k berdasarkan beberapa parameter organoleptik Warna
Flavor
0
Tektur Suhu Penyimpanan 37°C 45°C 50°C 7.00 7.00 7.00
Suhu Penyimpanan 37°C 45°C 50°C 6.70 6.70 6.70
Suhu Penyimpanan 37°C 45°C 50°C 7.00 7.00 7.00
1
6.20
5.80
5.40
6.60
6.20
5.80
7.00
6.60
6.60
2
6.00
5.60
5.20
6.20
5.80
5.60
6.80
6.00
5.20
3
5.80
5.40
5.40
6.40
5.40
5.40
6.80
5.80
5.00
4
5.60 5.20
4.80 4.60
4.60 4.40
6.00 5.40
5.60 5.20
4.60 4.60
6.40 5.80
5.00 5.00
4.60 4.60
0.314 0.922
0.434 0.903
0.434 0.783
0.231 0.830
0.277 0.879
0.408 0.925
0.222 0.809
0.428 0.962
0.520 0.873
0.052 0.940
0.077 0.931
0.079 0.821
0.038 0.816
0.047 0.887
0.074 0.933
0.034 0.794
0.072 0.959
0.092 0.891
Minggu
5 Ordo 0 R2 Ordo 1 R2
Nilai k
Lampiran 6. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut tekstur
Ordo Reaksi Satu 2.50
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
y = -0.314x + 6.752 R² = 0.922 y = -0.434x + 6.619 R² = 0.903 y = -0.434x + 6.419 R² = 0.783 Suhu 37 0
2
4 Minggu
6
Suhu 45 Suhu 50
y = -0.052x + 1.912 R² = 0.94
2.00 Ln (SMT)
Skor Mutu Tekstur
Ordo Reaksi Nol
1.50
y = -0.077x + 1.894 R² = 0.931 y = -0.079x + 1.86 R² = 0.821
1.00 0.50
Suhu 37
0.00 0
2
4 Minggu
6
Suhu 45 Suhu 50
53
Lampiran 7. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur Suhu (°C)
Suhu (K)
Sb X (1/T)
kt
Sb Y(Ln k t )
37
310
0.00323
0.052
-2.9565
45
318
0.00314
0.077
-2.5639
50
323
0.00310
0.079
-2.5383
R (J/mol.K) 8.314
Ea (J/mol) 28151.20
At
A0
Ln k t
kt
4
7
-3.1769
0.0417
Hari 26.34
Shelf Life Minggu 3.76
Bulan 0.94
Lampiran 8. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut tekstur 0.00308
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
-2.4 -2.5
Ln kt
-2.6 -2.7
y = -3386.x + 7.998 R² = 0.897
-2.8 -2.9 -3.0
1/T (K-1)
54
Lampiran 9. Grafik ordo nol dan satu parameter sensori atribut warna
Ordo Reaksi Satu 2.50
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
y = -0.231x + 6.795 R² = 0.830 y = -0.277x + 6.509 R² = 0.879 y = -0.408x + 6.471 R² = 0.925 0
2
4
6
Minggu
y = -0.038x + 1.919 R² = 0.816
2.00 Ln (SMW)
Skor Mutu Wrna
Ordo Reaksi Nol
1.50
y = -0.047x + 1.874 R² = 0.887
1.00
y = -0.074x + 1.873 R² = 0.933
0.50 0.00
Suhu 37
0
Suhu 45
2
4 Minggu
Suhu 50
6
Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50
Lampiran 10. Pendugaan umur simpan parameter organleptik atribut warna Suhu (°C)
Suhu (K)
Sb X (1/T)
kt
Sb Y(Ln k t )
37
310
0.00323
0.038
-3.2702
45
318
0.00314
0.047
-3.0576
50
323
0.00310
0.074
-2.6037
R (J/mol.K) 8.314
Ea (J/mol) 40539.06
At
A0 5
6.7
Ln k t -3.6824
kt 0.0252
Hari 23.36
Shelf Life Minggu 3.34
Bulan 0.83
55
Lampiran 11. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut warna 0.00308
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
0.0 -0.5
Ln kt
-1.0 -1.5 y = -4876.x + 12.41 R² = 0.882
-2.0 -2.5 -3.0 -3.5
1/T (K-1)
Lampiran 12. Grafik ordo nol dan satu parameter organoleptik atribut flavor
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Ordo Reaksi Satu 2.50
y = -0.222x + 7.190 R² = 0.809 y = -0.428x + 6.971 R² = 0.962 y = -0.52x + 6.8 R² = 0.873
0
2
4 Minggu
6
Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50
y = -0.034x + 1.976 R² = 0.794
2.00 Ln (SKF)
Skor Mutu Flavor
Ordo Reaksi Nol
1.50
y = -0.072x + 1.949 R² = 0.959 y = -0.092x + 1.920 R² = 0.891
1.00 0.50 0.00 0
2
4 Minggu
6
Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50
56
Lampiran 13. Pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor Suhu (°C)
Suhu (K)
Sb X (1/T)
kt
Sb Y(Ln k t )
37
310
0.00323
0.222
-1.5051
45
318
0.00314
0.428
-0.8486
50
323
0.00310
0.873
-0.1358
R (J/mol.K) 8.314
Ea (J/mol) 85600.94
At
A0
Ln k t
kt
3
7
-2.3302
0.0973
Hari 41.12
Shelf Life Minggu 5.87
Bulan 1.47
Lampiran 14. Grafik pendugaan umur simpan parameter organoleptik atribut flavor 0.00308
0.00312
0.00316
0.00320
0.00324
0.00 -0.20 -0.40
Ln kt
-0.60 -0.80 -1.00 -1.20 -1.40 -1.60 -1.80
y = -10296x + 31.65 R² = 0.972 1/T(K-1)
57
Lampiran 15. Data pengukuran bilangan TBA (thio barbituric acid) dalam satuan (mg malonaldehid/kg sampel) Minggu
Suhu Penyimpanan 32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
0.1392
0.1392
0.1392
0.1392
0.1392
1
0.1520
0.1599
0.1719
0.1724
0.1723
2
0.1411
0.1333
0.1805
0.1887
0.1645
3
0.1567
0.1505
0.1860
0.1902
0.1910
4
0.1582
0.1754
0.1910
0.2097
0.2128
5
0.1622
0.1793
0.1988
0.2440
0.2479
0.711
0.566
0.839
0.937
0.924
2
R
Lampiran 16. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan TBA y = 0.004x + 0.140 R² = 0.711 y = 0.007x + 0.137 R² = 0.566 y = 0.010x + 0.152 R² = 0.839 y = 0.018x + 0.145 R² = 0.937 y = 0.019x + 0.138 R² = 0.924
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 0
2
4
0.0 -0.5 Ln (TBA)
TBA (mg malonaldehid/kg)
Ordo Reaksi Nol
-1.0 -1.5 -2.0 -2.5
Minggu
y = 0.028x - 1.958 R² = 0.701 y = 0.047x - 1.981 6 R² = 0.546 y = 0.060x - 1.885 R² = 0.801 y = 0.097x - 1.914 R² = 0.929 y = 0.104x - 1.950 R² = 0.933 Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
58
Lampiran 17. Pendugaan umur simpan parameter bilangan TBA Suhu (°C)
Suhu (K)
Sb X (1/T)
kt
Sb Y(Ln k t )
32
305
0.00328
0.004
-5.5215
37
310
0.00323
0.007
-4.9618
45
318
0.00314
0.01
-4.6052
50
323
0.00310
0.018
-4.0174
52
325
0.00308
0.019
-3.9633
R (J/mol.K) 8.314
Ea (J/mol) 62720.816
At
A0
Ln k t
kt
0.4272
0.1392
-5.6377
0.0036
Hari 80.88
Shelf Life Minggu 11.55
Bulan 2.89
Lampiran 18. Grafik pendugaan umur simpan bilangan TBA 0.00306
0.00312
0.00318
0.00324
0.00330
0 -1
Ln kt
-2 -3 -4
y = -7544.x + 19.26 R² = 0.975
-5 -6
1/T (K-1)
59
Lampiran 19. Data pengukuran bilangan peroksida (meq/kg sampel) Minggu
Suhu Penyimpanan 32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
0.1299
0.1299
0.1299
0.1299
0.1299
1
0.1731
0.2732
0.3728
0.6029
0.5729
2
0.3730
0.7059
1.0889
1.6057
1.6383
3
0.4394
0.7728
2.5705
2.8374
2.8368
4
0.4727
0.9389
2.6701
3.7027
3.6366
5
0.5395
1.0718
2.9361
4.7353
4.6681
0.932
0.947
0.919
0.989
0.989
2
R
Lampiran 20. Grafik ordo nol dan satu parameter bilangan peroksida y = 0.086x + 0.139 R² = 0.932 y = 0.193x + 0.164 R² = 0.947 y = 0.640x + 0.027 R² = 0.919 y = 0.958x - 0.128 R² = 0.989 y = 0.945x - 0.115 R² = 0.989
Bil Peroksida (meq/kg)
5 4 3 2 1 0 -1
0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 0
Ln (Bil Peroksida)
Ordo Reaksi Nol
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5
2
4
Minggu
y = 0.294x - 1.897 R² = 0.872 6 y = 0.409x - 1.681 R² = 0.849 y = 0.638x - 1.586 R² = 0.874 y = 0.685x - 1.408 R² = 0.883 y = 0.685x - 1.419 R² = 0.882 Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
60
Lampiran 21. Pendugaan umur simpan parameter bilangan peroksida Suhu (°C)
Suhu (K)
Sb X (1/T)
kt
Sb Y(Ln k t )
32
305
0.00328
0.086
-2.4534
37
310
0.00323
0.193
-1.6451
45
318
0.00314
0.640
-0.4463
50
323
0.00310
0.958
-0.0429
52
325
0.00308
0.945
-0.0566
R (J/mol.K) 8.314
Ea (J/mol) 102578.13
At
A0
Ln k t
kt
13.4685
0.12985
-2.6095
0.0736
Hari 181.30
Shelf Life Minggu 25.90
Bulan 6.47
Lampiran 22. Grafik pendugaan umur simpan bilangan peroksida 0.00306
0.00312
0.00318
0.00324
0.00330
0.5 0.0
Ln kt
-0.5 -1.0 -1.5 -2.0
y = -12338x + 38.11 R² = 0.974
-2.5 -3.0
1/T (K-1)
61
Lampiran 23. Data pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) (%) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
1.25
1.25
1.25
1.25
1.25
1
1.33
1.19
1.25
1.21
1.44
2
1.23
1.24
1.25
1.23
1.30
3
1.24
1.19
1.25
1.23
1.26
4
1.21
1.19
1.21
1.17
1.27
5
1.19
1.18
1.21
1.19
1.25
0.512
0.528
0.612
0.548
0.143
2
R
Lampiran 24. Grafik ordo nol dan satu parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan)
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
2
4 Minggu
y = -0.018x + 1.285 R² = 0.512 y = -0.010x + 1.233 R² = 0.528 y = -0.008x + 1.256 R² = 0.612 y = -0.011x + 1.242 R² = 0.548 y = -0.014x + 1.330 R² = 0.143 Suhu 32 Suhu 37 6 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu
Ln (KPAP)
KPAP (%)
Ordo Reaksi Nol
0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0
2
4 Minggu
y = -0.014x + 0.251 R² = 0.525 y = -0.008x + 0.21 R² = 0.529 y = -0.007x + 0.228 R² = 0.612 y = -0.009x + 0.217 R² = 0.546 y = -0.010x + 0.283 R² = 0.141 Suhu 32 Suhu 37 6 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
62
Lampiran 25. Data pengukuran warna (nilai L) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
59.10
59.10
59.10
59.10
59.10
1
62.97
60.14
62.16
61.23
63.03
2
63.74
59.91
63.58
61.37
63.49
3
65.75
66.98
63.89
59.89
62.10
4
59.27
62.68
62.73
60.13
61.27
5
64.04
62.28
64.56
62.81
62.58
0.094
0.338
0.646
0.311
0.136
2
R
Lampiran 26. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai L) y = 0.446x + 61.36 R² = 0.095 y = 0.873x + 59.66 R² = 0.322 y = 0.838x + 60.57 R² = 0.650 y = 0.394x + 59.76 R² = 0.312 y = 0.306x + 61.16 R² = 0.130
68.00 67.00 66.00 65.00 64.00 63.00 62.00 61.00 60.00 59.00 58.00 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu Ln (Nilai L)
Nilai L
Ordo Reaksi Nol
y = 0.007x + 4.116 R² = 0.094 y = 0.014x + 4.088 R² = 0.338 y = 0.013x + 4.103 R² = 0.646 y = 0.006x + 4.090 R² = 0.311 y = 0.005x + 4.112 R² = 0.136
4.22 4.20 4.18 4.16 4.14 4.12 4.10 4.08 4.06 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
63
Lampiran 27. Data pengukuran warna (nilai a) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
7.03
7.03
7.03
7.03
7.03
1
4.45
6.80
4.78
7.11
4.35
2
4.17
6.55
5.36
5.72
4.08
3
2.97
5.12
4.90
7.00
3.68
4
3.95
6.19
5.66
6.63
5.28
5
3.59
6.41
5.00
5.44
4.11
0.574
0.259
0.260
0.353
0.277
2
R
Lampiran 28. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai a)
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0
2
4 Minggu
y = -0.569x + 5.782 R² = 0.574 y = -0.182x + 6.803 R² = 0.259 y = -0.228x + 6.025 R² = 0.260 y = -0.231x + 7.068 R² = 0.353 y = -0.348x + 5.626 R² = 0.277 6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 2.5 2.0 Ln (Nilai a)
Nilai a
Ordo Reaksi Nol
1.5 1.0 0.5
y = -0.116x + 1.725 R² = 0.565 y = -0.028x + 1.914 R² = 0.224 y = -0.036x + 1.779 R² = 0.233 y = -0.036x + 1.956 R² = 0.350 y = -0.063x + 1.691 R² = 0.248
0.0 0
2
4 MInggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
64
Lampiran 29. Data pengukuran warna (nilai b) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
34.95
39.45
39.45
39.45
34.95
1
35.02
34.54
33.08
32.84
32.91
2
34.09
32.03
33.57
32.33
31.97
3
31.69
34.41
33.29
33.19
31.00
4
32.10
33.80
33.02
32.42
32.40
5
32.16
33.00
30.93
31.36
30.94
0.774
0.440
0.637
0.554
0.658
2
R
Lampiran 30. Grafik ordo nol dan satu parameter warna (nilai b)
45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0
2
4 Minggu
y = -0.717x + 35.12 R² = 0.774 y = -0.916x + 36.82 R² = 0.440 y = -1.23x + 36.96 R² = 0.637 y = -1.166x + 36.51 R² = 0.554 y = -0.644x + 33.97 R² = 0.658 6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 3.70 3.65 Ln (Nilai b)
Nilai b
Ordo Reaksi Nol
3.60 3.55 3.50 3.45
y = -0.021x + 3.559 R² = 0.769 y = -0.025x + 3.603 R² = 0.432 y = -0.035x + 3.608 R² = 0.653 y = -0.033x + 3.594 R² = 0.566 y = -0.019x + 3.525 R² = 0.660
3.40 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
65
Lampiran 31. Data pengukuran TPA (nilai kekerasan) (gf) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
1690.4
1690.4
1690.4
1690.4
1690.4
1
3596.4
1782.4
3101.5
2271.7
3476.7
2
3600.6
3645.5
3292.9
3944.0
3947.1
3
2425.8
5439.4
2992.4
3929.2
2104.2
4
2532.1
3089.8
2845.6
2627.3
3481.3
5
3002.2
4344.8
3073.7
3959.2
3482.2
0.006
0.480
0.292
0.436
0.177
2
R
Lampiran 32. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekerasan)
y = 62.61x + 2651. R² = 0.024 y = 542.5x + 1975. R² = 0.480 y = 167.0x + 2415 R² = 0.292 y = 354.1x + 2184. R² = 0.436 y = 203.7x + 2521 R² = 0.177
Nilai Kekerasan
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu Ln (nilai kekerasan)
Ordo Reaksi Nol
y = 0.040x + 7.806 R² = 0.070 y = 0.193x + 7.538 R² = 0.580 y = 0.075x + 7.738 R² = 0.326 y = 0.133x + 7.644 R² = 0.487 y = 0.085x + 7.758 R² = 0.216
8.8 8.6 8.4 8.2 8.0 7.8 7.6 7.4 7.2 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
66
Lampiran 33. Data pengukuran TPA (nilai kekenyalan) (gf) Suhu Penyimpanan
Minggu
32°C
37°C
45°C
50°C
52°C
0
0.2174
0.2174
0.2174
0.2174
0.2174
1
0.3225
0.2290
0.3153
0.2854
0.3247
2
0.4794
0.2857
0.3081
0.3169
0.3630
3
0.4874
0.3961
0.3889
0.3432
0.5146
4
0.4221
0.2949
0.3576
0.2887
0.3834
5
0.3889
0.3875
0.3293
0.3394
0.3542
0.366
0.662
0.496
0.549
0.317
2
R
Lampiran 34. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai kekenyalan)
y = 0.037x + 0.266 R² = 0.566 y = 0.033x + 0.219 R² = 0.662 y = 0.021x + 0.264 R² = 0.496 y = 0.018x + 0.252 R² = 0.549 y = 0.028x + 0.287 R² = 0.317
Nilai Kekenyalan
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 0 Ln (nilai kekenyalan)
Ordo Reaksi Nol
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 -1.2 -1.4 -1.6 -1.8
2
4
Minggu
y = 0.117x - 1.344 R² = 0.613 6 y = 0.113x - 1.508 R² = 0.706 y = 0.076x - 1.348 R² = 0.514 y = 0.066x - 1.387 R² = 0.549 y = 0.094x - 1.289 R² = 0.395 Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
67
Lampiran 35. Data pengukuran TPA (nilai elastisitas)
0
32°C 0.6146
Suhu Penyimpanan 37°C 45°C 50°C 0.6146 0.6146 0.6146
52°C 0.6146
1
0.6674
0.6096
0.6266
0.6920
0.6336
2
0.5749
0.6850
0.6311
0.6723
0.6408
3
0.6741
0.6257
0.7434
0.6508
0.6960
4
0.6241
0.6160
0.7884
0.6867
0.6266
5
0.6678
0.5944
0.6548
0.6993
0.7426
R2
0.101
0.057
0.352
0.420
0.525
Minggu
Lampiran 36. Grafik ordo nol dan satu parameter TPA (nilai elastisitas)
Nilai Elastisitas
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2
y = 0.006x + 0.620 R² = 0.101 y = -0.004x + 0.634 R² = 0.057 y = 0.022x + 0.619 R² = 0.352 y = 0.011x + 0.641 R² = 0.420 y = 0.019x + 0.610 R² = 0.525
0.0 0
2
4 Minggu
6
Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
Ordo Reaksi Satu 0
2
4
0.0 -0.1 Ln (NE)
Ordo Reaksi Nol
-0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6
Minggu
y = 0.010x - 0.479 R² = 0.100 6 y = -0.006x - 0.456 R² = 0.060 y = 0.033x - 0.479 R² = 0.367 y = 0.016x - 0.444 R² = 0.422 y = 0.028x - 0.490 R² = 0.524 Suhu 32 Suhu 37 Suhu 45 Suhu 50 Suhu 52
68