SKRIPSI
KAJIAN PENGEMBANGAN MI JAGUNG INSTAN DENGAN TEKNIK PENGERINGAN OVEN
Oleh Angga Andrian Asri Wijaya F24103074
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Kajian
Pengembangan
Mi
Jagung
Instan
dengan
Teknik
Pengeringan Oven Nama
: Angga Andrian Asri Wijaya
NIM
: F24103074
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si) NIP : 19610802.198703.2.002
(Ir. Tjahja Muhandri, MT) NIP : 19720515.199702.1.001
Mengetahui : Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP : 19650814.199002.1.001 Tanggal Lulus :
KAJIAN PENGEMBANGAN MI JAGUNG INSTAN DENGAN TEKNIK PENGERINGAN OVEN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ANGGA ANDRIAN ASRI WIJAYA F24103074
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ABSTRAK
ANGGA ANDRIAN ASRI WIJAYA. Kajian Pengembangan Mi Jagung Instan dengan Teknik Pengeringan Oven. Di bimbing oleh NURHENI SRI PALUPI dan TJAHJA MUHANDRI Jagung merupakan salah satu bahan pangan utama kedua setelah beras. Komoditi ini merupakan sumber karbohidrat yang penting sehingga dapat menjadi bahan pangan alternatif yang baik selain beras dalam rangka diversifikasi pangan. Mi jagung merupakan salah satu produk yang dapat meningkatkan nilai tambah jagung. Penelitian ini bertujuan mengoptimasi proses pembuatan mi basah jagung teknik ekstrusi dan pengembangannya menjadi mi jagung instan. Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung varietas P21 (Pioneer-21) dan bahan tambahan yang digunakan adalah NaCl, air, dan guar gum. Ekstruder yang digunakan adalah ekstruder model MS9 (Multifunctional Noodle Modality Machine model MS9 dari Guandong Henglian Food Machine Co. Ltd., China) merupakan ektruder pencetak berulir tunggal. Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : pembuatan tepung jagung, optimasi proses pembuatan mi jagung basah, dan optimasi proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan guar gum terbukti dapat mengurangi KPAP mi, meningkatkan elastisitas mi, menurunkan kekerasan dan kelengketan mi serta menurunkan kekenyalan mi pada mi jagung basah. Namun hasil uji organoleptik mi jagung basah terhadap atribut warna, elongasi, kekerasan, rasa, dan kekenyalan dapat disimpulkan bahwa formula yang paling disukai oleh panelis untuk sampel mi jagung adalah mi jagung basah tanpa penambahan guar gum. Selain itu, mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% dan 2% menimbulkan rasa pahit saat dicicipi dan warna mi jagung yang dihasilkan kuning gelap. Oleh sebab itu, formula optimum untuk dikembangkan menjadi mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven adalah tepung jagung 100%, NaCl 2%, dan kadar air 70%. Nilai KPAP, persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung basah formula terpilih berturut-turut adalah sebesar 3.86%, 130.09%, 3108.03 gf, -1288.22 gf, dan 0.44 gs. Waktu optimum pengeringan mi jagung instan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI 01-3551-2000 pada suhu 600C adalah 65 menit dengan kadar air 11.87%, 70 menit dengan kadar air 10.85%, dan 75 menit dengan kadar air 10.02%. Waktu pengeringan 65 menit memberikan hasil mi instan dengan sifat lebih baik dibandingkan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan dapat meningkatkan KPAP mi, menurunkan persen elongasi, kekerasan dan kekenyalan mi serta meningkatkan kelengketan mi pada mi jagung instan. Nilai KPAP, persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung instan dengan waktu pengeringan optimum berturut-turut adalah sebesar 3.77%, 181.28%, 3045.13 gf, -1109.33 gf, dan 0.40 gs. Mi jagung instan yang dihasilkan memiliki waktu rehidrasi optimum yaitu selama 5 menit.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Angga Andrian Asri Wijaya dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1984 di Bogor dan merupakan putra pertama dari pasangan M. Agus Ganda Wijaya dan
Asri
Supadmi. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Gunung Batu III (1991-1997), pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Ciomas (1997-2000), dan pendidikan menengah atas di SMUN 5 Bogor (2000-2003). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di berbagai kepanitian antara lain panitia Suksesi HIMITEPA (2004), panitia BAUR 2005) dan panitia Fieldtrip ITP’40 (2007). Adapun seminar dan pelatihan yang pernah diikuti penulis yaitu Seminar Nasional Pertanian (2005), Pelatihan Good Laboratory Practices (2007), dan Seminar Nasional “Food Safety, Quality, and Nutrition for The Best Future” (2007). Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, penulis meneliti dengan judul ‘Kajian Pengembangan Mi Jagung Instan dengan Teknik Pengeringan Oven’ di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi. dan Ir. Tjahja Muhandri, MT.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai dibuat, terutama kepada : 1. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi. selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing serta memberikan masukanmasukan yang berguna hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Ir. Tjahja Muhandri, MT. selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, tanggung jawab, kritikan dan segala masukan yang diberikan kepada penulis. 3. Ir. Subarna, M.Si. atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Dr. Ir. Dahrul Syah yang telah banyak membantu di saat-saat penulis kesulitan biaya perkuliahan serta memberikan arahan dan motivasi untuk lebih baik lagi. 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 6. Nenek, Ibu, Bapak (Alm), Kakek (Alm), Paman dan Bibi serta saudarasaudaraku atas doa, kasih sayang nasihat, dukungan moril dan spirituil, serta motivasi yang diberikan selama ini. 7. Keluarga besar Nenek Endeh, Teh Cici, Teh Ade, Mas Yogi, dan Teh Yola yang telah banyak membantu baik doa, nasihat, maupun materi. 8. Edi Muliawijaya selaku paman yang membuka jalan dalam melanjutkan studi S1 di Ilmu dan Teknologi Pangan. 9. Seluruh anggota Tim Jagung (Sigit, Ami, Oke, Bu Lisna, Ririn, dan Gia), atas kerja sama yang telah diberikan.
10. Anwarsyah alias Abo terima kasih atas pinjaman komputernya dan persahabatannya baik selama penulis kuliah maupun dalam pembuatan tugas akhir. 11. Teman-teman ITP 40 (Kaninta BY dan Eka Satriawan), 41 (Aris Dwi Toha, Andriyansyah, M Arif MAS), 42, dan 43 serta teman-teman ITP yang telah membantu penulis semasa kuliah, yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 12. Seluruh laboran dan teknisi laboratorium ITP (Bu Rub dan Mba Darsih), SEAFAST (Pak Jun dan Pak Deni), dan PAU yang telah banyak membantu penulis.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Maret 2010
Penulis
iv DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
x
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................
1
B. Tujuan ..................................................................................................
3
C. Manfaat ................................................................................................
3
II. TINJUAN PUSTAKA A. Jagung ..................................................................................................
4
B. Jenis Jagung .........................................................................................
5
C. Karakteristik Fisiko Kimia Jagung .......................................................
6
1. Tepung Jagung Pioneer 21 ..............................................................
11
2. Pati Jagung .....................................................................................
14
a. Amilosa ......................................................................................
15
b. Amilopektin ................................................................................
16
c. Granula Pati ................................................................................
17
3. Gelatinisasi Pati ..............................................................................
18
a. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi .........................................
18
b. Suhu Gelatinisasi ........................................................................
19
c. Retrogradasi ................................................................................
20
D. Jenis-Jenis Mi dan Proses Pembuatannya ............................................
21
1. Mi Segar .........................................................................................
21
2. Mi Basah .......................................................................................
22
3. Mi Kering .......................................................................................
23
4. Mi Instan ........................................................................................
24
5. Mi Jagung .......................................................................................
26
v E. Ekstrusi .................................................................................................
28
1. Proses Ekstrusi ...............................................................................
28
2. Ekstruder ........................................................................................
29
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat ......................................................................................
31
B. Metode Penelitian ................................................................................
31
1. Pembuatan Tepung Jagung .............................................................
32
2. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Basah ..............................
34
a. Penentuan Kadar Air Optimum Adonan ..................................
34
b. Penentuan Waktu Optimum Pengukusan .................................
34
c. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah ....................................
35
3. Optimasi Proses Pengeringan Untuk Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven ......................................
35
4. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Basah dan Mi Jagung Instan ..............................................................................................
37
C. Metode Analisis ...................................................................................
37
1. Analisis Sifat Fisik ...........................................................................
37
2. Analisis Sifat Kimia ..........................................................................
39
3. Analisis Organoleptik ......................................................................
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan Tepung Jagung ..................................................................
41
B. Kajian Pembuatan Mi Jagung Basah ...................................................
43
1. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Basah ..............................
43
a. Penentuan Kadar Air Optimum Adonan ..................................
44
b. Penentuan Waktu Optimum Pengukusan .................................
46
c. Pembuatan Mi Jagung Basah Berdasarkan Proses Optimum ..
49
d. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah ....................................
53
2. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Basah ...............................
54
a. Elongasi ....................................................................................
54
Persen elongasi celup ...............................................................
55
Persen elongasi rendam ............................................................
57
vi b. Kekerasan dan kelengketan ......................................................
58
c. Kekenyalan ...............................................................................
60
d. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) ......................
61
3. Hasil Uji Organoleptik Mi Jagung Basah ......................................
63
4. Perbandingan Mi Jagung Basah Formula Terpilih dan Mi Terigu Basah ..............................................................................................
68
C. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven ................................................................................
69
1. Pengeringan ....................................................................................
70
2. Penentuan Waktu Optimum Pengeringan ......................................
71
3. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Instan ...............................
73
a. Waktu rehidrasi ........................................................................
73
b. Persen elongasi celup ...............................................................
75
c. Persen elongasi rendam ............................................................
76
d. Kekerasan dan kelengketan ......................................................
77
e. Kekenyalan ...............................................................................
78
f. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) ......................
80
D. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Proses Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven ..........................
81
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .....................................................................................
84
B. SARAN .................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
86
LAMPIRAN .....................................................................................................
93
viii DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Tanaman jagung .........................................................................................
4
2. Struktur biji jagung ....................................................................................
8
3. Struktur amilosa .........................................................................................
16
4. Struktur amilopektin ..................................................................................
16
5. Mekanisme gelatinisasi pati ......................................................................
19
6. Rangkaian penelitian pembuatan mi jagung ..............................................
32
7. Proses penepungan jagung .........................................................................
33
8. Proses pembuatan mi jagung instan ..........................................................
36
9. Kurva Profil Tekstur Mi ............................................................................
38
10. Tepung jagung P 21 ....................................................................................
43
11. Ekstruder pencetak mi ...............................................................................
44
12. Adonan tepung jagung setelah pengepresan dan pemotongan menjadi kotak-kotak .................................................................................................
50
13. Proses pencetakan untaian mi jagung ........................................................
52
14. Proses pembuatan mi jagung basah yang telah dioptimasi .......................
52
15. Perubahan persen elongasi celup mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum .................................................................................
56
16. Perubahan persen elongasi rendam mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum ................................................................................
57
17. Perubahan kekerasan dan kelengketan mi jagung basah pada berbagai konsentrasi gum .........................................................................................
59
18. Perubahan kekenyalan mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum ....................................................................................................
61
19. Perubahan KPAP mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum .
62
20. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna sampel mi jagung basah ..............................................................................................
64
21. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut elongasi sampel mi jagung basah ..............................................................................................
64
ix 22. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekerasan sampel mi jagung basah ..............................................................................................
65
23. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekerasan sampel mi jagung basah ..............................................................................................
66
24. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekenyalan sampel mi jagung basah ..............................................................................................
67
25. Penampakan mi jagung basah ....................................................................
68
26. Klasifikasi mi oriental berdasarkan kadar air dan tingkat pra-masak .......
70
27. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada suhu 600C ...
72
28. Penampakan mi jagung instan sebelum dan setelah direhidrasi .................
74
29. Perubahan persen elongasi celup mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda .........................................................................
75
30. Perubahan persen elongasi rendam mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda .........................................................................
76
31. Perubahan kekerasan dan kelengketan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda .........................................................................
78
32. Perubahan kekenyalan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda ......................................................................................................
79
33. Perubahan KPAP mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda ......................................................................................................
80
34. Kesetimbangan massa proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven .......................................................................................
83
vii DAFTAR TABEL
Halaman 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung ............................................................
7
2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ...................
9
3. Jumlah mineral pada biji jagung ................................................................
11
4. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 ..........................
12
5. Hasil uji amilografi tepung jagung Pioneer 2 ...........................................
13
6. Hasil analisis proksimat tepung jagung Pioneer 21 ...................................
14
7. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung Pioneer 21 ...............
14
8. Karakteristik granula pati ..........................................................................
18
9. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .........................................................
20
10. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 ...................................
22
11. Syarat mutu mi instan menurut SNI 01-3551-2000 ..................................
25
12. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal ............................................................
29
13. Rancangan percobaan penentuan formula adonan mi jagung basah .........
34
14. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA .......................................
38
15. Spesifikasi ekstruder pencetak model MS9 ................................................
44
16. Jumlah air yang ditambahkan pada 200 g tepung jagung ..........................
45
17. Pengaruh penambahan air dengan konsentrasi berbeda ............................
45
18. Karakteristik fisik mi jagung selama pengukusan .....................................
47
19. Karakteristik fisik mi jagung basah setelah perebusan ..............................
53
20. Deskripsi fisik untaian mi pada berbagai taraf kadar guar gum secara visual ..........................................................................................................
55
21. Hasil uji organoleptik mi jagung basah .....................................................
63
22. Perbandingan karakteristik fisik mi jagung basah dan mi terigu basah ....
68
23. Karakteristik fisik mi jagung instan secara visual .....................................
72
24. Karakteristik fisik mi jagung instan setelah rehidrasi ...............................
74
x DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data elongasi mi jagung hasil pengukusan I secara manual .....................
93
2. Data elongasi mi jagung pengukusan II secara manual..............................
93
3. Data kadar air mi jagung basah .................................................................
93
4. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi celup mi jagung basah .........................................................................................
94
5. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi rendam mi jagung basah ........................................................................................
95
6. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan mi jagung basah .............................................................................................
96
7. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelengketan mi jagung basah .............................................................................................
97
8. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekenyalan mi jagung basah .............................................................................................
98
9. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap KPAP mi jagung basah ..............................................................................................
99
10. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut warna mi jagung basah .............................................................................................. 100 11. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut elongasi mi jagung basah ......................................................................................... 101 12. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut kekerasan mi jagung basah ......................................................................................... 102 13. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mi jagung basah .............................................................................................. 103 14. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut kekenyalan mi jagung basah ...................................................................... 104 15. Data hasil uji organoleptik mi jagung basah ..................................................
105
16. Kuisioner mi jagung basah ........................................................................ 106 17. Data elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung basah . 107 18. Kadar air mi jagung instan pada T = 600C ................................................ 108
xi 19. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi celup mi jagung instan ........................................................................................ 109 20. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi rendam mi jagung instan ......................................................................................... 110 21. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan mi jagung instan .............................................................................................. 111 22. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelengketan mi jagung instan ............................................................................................... 112 23. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekenyalan mi jagung instan ............................................................................................... 113 24. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap KPAP mi jagung instan .......................................................................................................... 114 25. Data elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung instan pada T = 600C ............................................................................................ 115 26. Contoh perhitungan penambahan jumlah air pada pembuatan mi jagung basah .......................................................................................................... 116
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan pangan meningkat pula baik secara kualitas maupun kuantitas. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan kurang stabil. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, bangsa Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar. Selain itu, masyarakat Indonesia mengalami perubahan pola konsumsi karena mi instan dijadikan sebagai pengganti lauk pauk atau pendamping nasi, bahkan sebagai pengganti nasi. Mi instan yang beredar di Indonesia menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama yang bukan merupakan produk hasil pertanian domestik. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena tepung terigu merupakan produk pangan impor. Tingkat konsumsi beras yang masih relatif tinggi dan pola konsumsi bahan pangan ke arah terigu berimplikasi sama bahayanya sehingga akan membahayakan ketahanan pangan Indonesia (Suwandi, 2006). Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi pangan. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah jagung. Jagung merupakan komoditi pangan Indonesia dengan tingkat produksi per tahun mencapai 12,45 juta ton pipilan kering. Produksi jagung ini meningkat dari tahun 2006 sebesar 11,61 juta ton menjadi 15,6 juta ton pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik 2008). Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Selain itu, jagung mampu tumbuh di semua daerah di Indonesia. Terbukti dari data Badan Pusat Stastitik (2006) yang menunjukkan semua propinsi di Indonesia menanam jagung dengan kapasitas produksi yang beragam. Tujuh propinsi penghasil utama jagung di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi
2 Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat (Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005 dan Badan Pusat Stastitik, 2006). Produk
pangan
olahan
jagung
yang
cukup
berpotensi
untuk
dikembangkan adalah mi. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan non beras, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Oleh karena itu, dibuatlah mi berbahan baku jagung untuk mengurangi ketergantungan beras dan terigu. Pembuatan mi jagung baik mi jagung basah maupun mi jagung instan telah dilakukan beberapa kali penelitian dengan desain proses dan formulasi yang berbeda untuk membentuk mi jagung yang terbaik dilihat dari sifat fisik maupun dari sifat kimia mi jagung itu sendiri. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat produk mi berbahan baku jagung. Salah satunya adalah Juniawati (2003) yang membuat mi jagung instan dengan menggunakan tepung jagung sebagai bahan baku utamanya. Keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu instan adalah tidak perlunya digunakan pewarna buatan (tartrazine) seperti halnya dalam pengolahan mi terigu instan. Berbagai teknik pembuatan mi jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) teknik pembuatan mi jagung dengan calendering yang meliputi proses pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sliting) atau modifikasi teknik mie terigu (Juniawati 2003; Budiyah 2004; Fadlillah 2005; Kurniawati 2006; Rianto 2006; Soraya 2006; Putra 2008), (2) teknik pembuatan mi jagung dengan ekstrusi piston atau ram (Subarna dkk, 1999), dan (3) pembuatan mie jagung teknik ekstrusi ulir dengan menggunakan ektruder tipe pemasak dan pencetak (Fahmi 2007; Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Susilawati 2007) dan dengan menggunakan ekstruder tipe pencetak/pasta (Ekafitri 2009; Zulkhair 2009). Selama ini sebagian besar proses pembuatan mi jagung menggunakan teknik ekstrusi baru sampai pada tahap mi basah. Oleh sebab itu, perlu adanya tahap lanjut dari proses pembuatan mi jagung basah yaitu proses instanisasi baik melalui proses penggorengan (instant fried noodle) maupun pengeringan dengan oven (instant dried noodle).
3 B. TUJUAN Penelitian yang dilaksanakan bertujuan : 1. Melakukan optimasi pembuatan mi jagung basah dengan teknik ekstrusi. 2. Mengevaluasi mutu fisik mi jagung basah. 3. Melakukan pengujian penerimaan konsumen terhadap produk mi jagung basah. 4. Mengevaluasi mutu fisik mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven dan menyusun SOP pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven. C. MANFAAT Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan desain proses dan formulasi optimum mi jagung basah dan pengembangannya menjadi mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven yang dapat diterapkan di industri serta mendorong munculnya usaha di bidang mi jagung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonim, 2008). Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi tanaman jagung adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Famili
: Graminaceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Gambar 1. Tanaman jagung Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Umumnya tanaman jagung memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Namun demikian, ada varietas
5 yang dapat mencapai tinggi 6 meter. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 meter meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 meter. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Wikipedia Indonesia, 2005). Daun jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Jumlah daun terdiri dari 8-48 helaian, tergantung varietasnya. Daun terdiri dari tiga bagian, yaitu kelopak daun, lidah daun, dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang. Antara kelopak dan helaian terdapat lidah daun yang disebut ligula. Bunga jagung tidak memiliki petal dan sepal sehingga disebut bunga tidak lengkap. Bunga jagung juga termasuk bunga tidak sempurna karena bunga jantan dan betina berada pada bunga yang berbeda (Purwono, 2007). Biji jagung tersusun rapi pada tongkol. Dalam satu tongkol terdapat 200400 biji. Biji jagung terdiri dari tiga bagian. Bagian paling luar disebut pericarp. Bagian atau lapisan kedua yaitu endosperm yang merupakan cadangan makanan biji. Sementara bagian paling dalam yaitu embrio atau lembaga (Purwono, 2007). B. Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) adalah salah satu jenis tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) (Warisno, 1998). Menurut Suprapto (1998) varietas jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain : tinggi tempat penanaman, umur varietas, perbenihannya, serta warna dan tipe biji. Namun secara umum, pengklasifikasian jagung dibedakan berdasarkan bentuk kernelnya. Berdasarkan bentuk kernelnya, ada 6 tipe utama jagung, yaitu : dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns. Perbedaan terutama didasarkan pada kualitas, kuantitas dan komposisi endosperma. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm, pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung lunak dan bertepung. Endosperma yang lunak akan menjulur hingga mahkota membentuk tipe tertentu, yang merupakan ciri khas jagung jenis dent (Johnson, 1991).
6 Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour juga merupakan jenis jagung yang sangat tua, yang banyak tumbuh pada jaman Aztec dan Inca. Dicirikan dengan adanya endosperma lunak yang menembus kernel, sangat mudah untuk dihancurkan tetapi sangat mudah juga ditumbuhi kapang, terutama bila ditanam di lahan basah (Johnson, 1991). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Menurut Suprapto (1998), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semi flint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). C. Karakteristik Fisiko Kimia Jagung Biji jagung merupakan biji sereal yang paling besar, dengan berat masing-masing 250-300 mg. Biji-biji tumbuh menempel pada tongkol jagung membentuk flat, dan selama pertumbuhan akan mengalami tekanan (Johnson, 1991). Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung, semakin kering kelobotnya (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991).
7 Biji jagung terdiri dari lapisan perikarp (5%), endosperm (82%) dan lembaga (12%) serta bagian pangkal (1%) (Tabel 1). Perikarp merupakan lapisan paling luar dari biji. Perikarp menempel pada lapisan aleuron. Perikarp berkontribusi sekitar 5-6% dari berat kering biji. Perikarp terdiri dari sel-sel selulosa. Perikarp mempunyai ketebalan 25-140 µm. Berat kering perikarp kurang dari 2% total berat biji (Sugiyono, 2002). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 μm tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesocarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat). Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Pericarp (bran) Endosperma Lembaga (germ) Tip cap
Jumlah (%) 5 82 12 1
Sumber: Sugiyono (2002)
Endosperm mengandung pati 86-89% dan beratnya sekitar 82-84% dari berat kering biji. (Sugiyono, 2002). Endosperma matang terbagi menjadi dua bagian yaitu lapisan
lunak (floury endosperm) dan lapisan keras (horny
endosperm).Umumnya, jagung memiliki perbandingan lapisan keras dan lunak sekitar 2 : 1. Jagung tipe popcorn dan flint memiliki lapisan keras yang banyak dan sedikit lapisan lunak. Bagian endosperma yang lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian yang keras. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein. Lapisan keras mengandung lebih banyak matriks protein daripada lapisan lunak dan tidak rusak selama pengeringan. Lapisan keras memiliki 1,5% sampai 2,0% kandungan protein lebih besar dibandingkan lapisan lunak. Pada lapisan terluar endosperma, tepatnya di bawah aleuron mengandung protein dalam jumlah besar sekitar 28% (Inglett,1970). Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Lembaga mempunyai kontribusi 8-10%
8 berat biji. Lembaga merupakan sumber nutrisi dan hormon yang akan diaktifkan oleh enzim-enzim selama perkecambahan (germinasi) (Sugiyono, 2002). Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1.1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30.8% protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal. Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998).
Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991)
9 Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung jenis varietas, cara tanam, iklim dan tingkat kematangan. Masing-masing bagian biji jagung memiliki komposisi kimia yang berbeda (Rukmana, 2001). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Komponen Endosperma Lembaga Kulit Tip cap
Pati 86.4 8.0 7.3 5.3
Jumlah (%) Protein Lemak 8.0 0.8 18.4 33.2 3.7 1.0 9.1 3.8
Serat 3.2 14.0 83.6 77.7
Lain-lain 0.4 26.4 4.4 4.1
Sumber: Johnson (1991)
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein diekstrak dari gluten jagung. Zein adalah sekelompok protein yang ditemukan di prolamin jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya prosentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Johnson, 1991). Selain ketidaklarutannya dalam air, zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa komponen, yaitu α, ß, γ, dan δ-zein. αzein merupakan prolamin terbanyak dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan α-zein, ß-zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin. γ-
10 zein merupakan prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya α-zein dan ß-zein, γ-zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan δ-zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson, 2003). Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada etil alkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu α-zein (larut pada 95% etanol) dan ß-zein (larut dalam 60% etanol). Pada α-zein, kandungan asam amino histidin, arginin, prolin, dan metionin lebih banyak daripada yang terkandung pada ß-zein (Laztity, 1986). Molekul zein merupakan globula yang memanjang (axial ratio sekitar 15:1). Seperti yang dihitung dengan optical rotary dispersion data, kandungan helix zein pada larutan etanol bervariasi antara 33%-37%. Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, prolin, leusin, dan alanin tetapi rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin, dan metionin (Laztity, 1986). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam asam atau basa encer (Winarno, 1984). Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986). Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986). Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6.6 mg/kg), piridoksin (5.3 mg/kg),
11 tiamin (3.8 mg/kg), riboflavin (1.4 mg/kg), asam folat (0.3 mg/kg), biotin (0.08 mg/kg), serta vitamin A (β-karoten) dan vitamin E (α-tokoferol) masing-masing sebesar 2.5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Sedangkan mineral-mineral yang terdapat pada biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah mineral pada biji jagung Mineral Fosfor Potasium Magnesium Sulfur Klorin Kalsium Sodium
Rata - rata (%) 0.29 0.37 0.14 0.12 0.05 0.03 0.03
Sumber: Watson (2003)
1. Tepung Jagung Pioneer 21 Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) jagung hibrida Pioneer 21 termasuk jenis jagung setengah mutiara (semi flint). Jagung setengah mutiara atau semi mutiara lebih mudah dibuat tepung dibandingkan jagung mutiara. Hal ini disebabkan karena jagung semi mutiara mengandung endosperm lunak yang lebih banyak dibandingkan dengan endosperm kerasnya. Endosperm keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat sedangkan endosperm lunak susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras (Muchtadi dan Sugiono, 1989). Jagung Pioneer 21 memiliki beberapa keunggulan antara lain memiliki ketahanan yang baik terhadap kekeringan, tongkol terisi penuh, dan memiliki potensi hasil tinggi mencapai 13,3 ton pipilan kering/Ha (Koentjoro, 2007). Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Proses penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pada penggilingan kering tidak dilakukan tahap perendaman biji jagung seperti pada proses penggilingan basah. Produk yang dihasilkan pada penggilingan basah biji jagung adalah pati. Sedangkan produk yang dihasilkan dari penggilingan
12 kering biji jagung adalah grits, meal dan flour (tepung) (Inglett, 1970). Syarat mutu tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 (BSN, 1995) No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12. 13.
Kriteria uji Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Warna 1.3 Rasa Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan Jenis pati selain pati jagung 5.1 Lolos ayakan 80 mesh 5.2 Lolos ayakan 60 mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Cemaran logam 11.1 Timbal (Pb) 11.2 Tembaga (Cu) 11.3 Seng (Zn) 11.4 Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba : 13.1 Angka lempeng total 13.2 E. Coli 13.3 Kapang
Satuan
Persyaratan Mutu I
-
Normal Normal Normal Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada % Min. 70 % Min. 99 % b/b Maks. 10 % b/b Maks. 1.5 % b/b Maks. 0.1 % b/b Maks. 1.5 ml.N.NaOH/100gr Maks. 4.0 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.5
koloni/gr APM/gr koloni/gr
Maks. 5 x 106 Maks. 10 Maks. 104
Dalam usaha mereduksi ukuran jagung telah dikenal dua jenis teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung dilakukan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan multi mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan tip cap. Kemuditan kulit,
13 lembaga dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan dan perendaman. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama 3 jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung. Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung menggunakan disc mill (penggiling halus) menghasilkan tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak berukuran 100 mesh. Komponen terbesar dalam tepung jagung adalah pati. Berdasarkan hasil penelitian Juniawati (2003), tepung jagung memiliki kadar pati sebesar 68.2%. Tepung jagung Pioneer 21 yang dihasilkan memiliki suhu awal gelatinisasi 73oC dan suhu gelatinisasi maksimum 92oC. Analisa suhu gelatinisasi digunakan untuk menduga kisaran suhu dalam ekstruder pada penelitian pendahuluan (Muhandri, 2006). Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 1997). Suhu awal gelatinisasi artinya suhu pada saat tepung jagung akan mulai tergelatinisasi dan terlihat kurva mulai naik. Sedangkan suhu gelatinisasi maksimum artinya suhu pada saat viskositas maksimum dicapai dan terlihat ketika mencapai puncak. Hasil pengukuran sifat amilografi tepung jagung Pioneer 21 yang telah dilakukan oleh Muhandri (2006) disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji amilografi tepung jagung Pioneer 21 Komponen Kadar air Suhu awal gelatinisasi Suhu gelatinisasi maksimum Viskositas pada gelatinisasi maksimum
Hasil 4.81% 73oC 92oC 800 BU
Sumber : Muhandri (2006)
Tepung jagung Pioneer 21 memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (86.18%) dan lemak yang rendah (1.73%). Kadar karbohidrat yang tinggi menjadikan tepung jagung Pioneer 21 cocok digunakan sebagai bahan pangan sumber energi. Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan
14 menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan. Hasil analisis proksimat tepung jagung Pioneer 21 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis proksimat tepung jagung Pioneer 21 Komponen Kadar air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Kadar (%) 5.46 6.32 1.73 0.31 86.18
Sumber : Muhandri (2006)
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang lurus dengan α-(1,4)-D-glukosa (Winarno, 1997). Kandungan total pati, amilosa, dan amilopektin disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung Pioneer 21 Kadar Amilosa Amilopektin Total pati
Komponen (%) 23.04 43.52 66.56
Sumber : Muhandri (2006)
Berdasarkan pengukuran warna yang telah dilakukan oleh Etikawati (2008), tepung jagung Pioneer 21 memiliki derajat Hue 82.65 yang berarti tepung ini memiliki warna yellow red. Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. 2. Pati Jagung Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz dan Grosch,
15 1999). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati ini dapat dimanfaatkan dalam pembuatan aneka produk pangan yang salah satunya adalah mi jagung. Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro, 1979). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah (Greenwood, 1975). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak. Umumnya pati mengandung 12-30% amilosa, 75-80% amilopektin dan 5-10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1975). a. Amilosa Amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa. Amilosa terdiri dari 50-300 unit glukosa. Meskipun polimer ini umumnya diasumsikan linear, namun sebenarnya
16 amilosa juga mempunyai cabang. Titik percabangan amilosa berada pada ikatan α-1,6. Hanya saja derajat percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linear, cabang-cabang amilosa berada pada titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney, 1998). Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur amilosa (Cheng, 2006) Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbiumbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati (Hoseney, 1998). b. Amilopektin Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan α(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5% dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Fennema 1996). Cabang-cabang amilopektin lebih banyak dari pada amilosa. Amilopektin terdiri dari 300-500 unit glukosa, namun glukosa yang dihubungkan dengan ikatan rantai α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Hoseney,1998). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur amilopektin (Cheng, 2006)
17 Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). c. Granula Pati Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 μm, namun rata-rata ukuran granula pati jagung adalah 15 μm. Pati dengan ukuran granula besar mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil. Pengamatan dengan DSC (Differential Scanning Calorimetry) menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran granula lebih besar (Wirakartakusumah, 1981). Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya. Di dalam Hodge dan Osman (1976) menjelaskan bahwa ikatan paralel terbentuk antara molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf mudah dimasuki air. Misela menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Whistler et al., 1996). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 8). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2-30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (highamylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Sedangkan pati pada
18 kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm, dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Tabel 8. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (µm) Padi 3-8 Gandum 20-35 Jagung 15 Sorgum 25 Rye 28 Barley 20-25
Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips
Sumber: Hoseney (1998)
3. Gelatinisasi Pati a. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop (Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 5.
19
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 5. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Menurut Swinkels (1985), pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahanlahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan
ikatan
hidrogen
antara
molekul-molekul
granula,
(2)
pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. b. Suhu Gelatinisasi Fennema (1985) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap-tiap pati dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 9.
20 Tabel 9. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Beras Ubi jalar Tapioka Jagung Gandum
Suhu gelatinisasi (oC) 65-73 82-83 59-70 61-72 53-64
Sumber : Fennema (1985)
Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya (McCready, 1970). Menurut Collison (1968), suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh pemanasan, pengadukan, dan konsentrasi pati. Pemanasan dengan pengadukan dapat mempercepat terjadinya gelatinisasi. Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin lambat tercapai. Bahkan pada suhu tertentu, kekentalan larutan pati tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun. Konsentrasi optimum larutan pati adalah 20% (Winarno, 1980). c. Retrogradasi Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa (Swinkles, 1985). Lebih lanjut, Swinkles (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain : 1) meningkatnya viskositas, 2)
21 meningkatnya kekeruhan, 3) terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 4) terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 5) terbentuknya gel, dan 6) keluarnya air dari pasta (sineresis). Retrogradasi adalah peristiwa yang kompleks dan tergantung banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkles, 1985). D. Jenis-jenis Mi dan Proses Pembuatannya Mi mula-mula berasal dari daratan Cina. Mi sangat popular di Asia terutama Asia bagian timur. Mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan utama (Sunaryo, 1985). Mi adalah bahan pangan berbentuk pipih dengan diameter 1.8 mm sampai 3.2 mm dibuat dari terigu dengan penambahan telur, tapioka, melalui proses ekstrusi basah (Matz, 1962). Berdasarkan ukuran diameter, produk mi dibedakan menjadi tiga yakni spaghetti (2,8-6,9 mm), mi komersial pada umumnya (1,8-3,2 mm), dan vermicelli (< 1,02 mm). Berdasarkan bahan bakunya, mi juga dapat dikelompokkan ke dalam mi gandum, mi pati, dan mi beras (Kim, 1999). Berdasarkan produk yang dipasarkan, terdapat empat jenis mi yaitu mi segar/mentah (raw chinese noodle) mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried noodle), dan mi instan (instant noodle). Komposisi dari keempat jenis mi tersebut hampir sama, perbedaannya pada kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatannya (Astawan, 1999). 1. Mi Segar Mi segar atau mi mentah adalah mi yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu, mi ini cepat rusak, kecuali bila disimpan dalam refrigerator mi segar dapat bertahan hingga 50-60 jam dan menjadi gelap warnanya setelah waktu simpan tersebut. Mi segar umumnya dibuat dari terigu yang keras agar mudah penanganannya. Mi segar ini umumnya digunakan sebagai bahan baku mi ayam (Astawan, 1999).
22 2. Mi Basah Mi basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Menurut SNI 01-2987-1992, mi basah merupakan produk makanan dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah umumnya dibuat dengan bahan dasar terigu. Berdasarkan bahan baku utamanya, mi basah dapat dibedakan menjadi dua yaitu mi basah yang terbuat dari terigu dan mi basah yang terbuat dari tepung sagu. Mi basah yang terbuat dari tepung sagu dikenal masyarakat dengan mi sagu atau mi golosor. Menurut Badrudin (1994) mi basah yang terbuat dari tepung aren dikenal dengan mi gleser, akan tetapi di daerah Bogor, masyarakat menyebutnya dengan mi golosor. Beberapa syarat mutu mi basah dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 (BSN, 1999) No. Kriteria Uji Keadaan : 1.1. Bau 1. 1.2. Rasa 1.3. Warna 2. Kadar air Kadar abu (bk) 3. Kadar protein (bk) 4. Bahan tambahan pangan : 5.1. Boraks dan asam borat 5. 5.2. Pewarna 5.3. Formalin
6. 7. 8.
Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) Arsen Cemaran mikroba 8.1. Angka Lempeng Total 8.2. E. coli 8.3. Kapang
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b % b/b
Normal Normal Normal 20-35 Maks. 3 Min. 3 Tidak boleh ada sesuai SNI-02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 Maks. 0.05
Koloni/gram APM/gram Koloni/gram
Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104
23 Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mi basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk, 1998). Secara fisik, diameter mi basah berkisar antara 1.5-2 mm (Astawan, 1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna untuk mi basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut Hou dan Krouk (1998), mi basah matang harus memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Mi basah termasuk komoditas pangan yang mudah rusak. Kerusakan mi basah utamanya disebabkan oleh tumbuhnya mikroba. Mi basah sangat mudah ditumbuhi kapang karena karakteristik kimia mi basah sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroba. Menurut Gracecia (2005), mi basah mentah memiliki kadar air 26-27%, sedangkan mi basah matang memiliki kadar air 64-65%. Selain kadar air yang tinggi, aw mi basah juga cukup tinggi. Aw mi basah matang adalah 0.92-0.93. Kadar air dan aw yang tinggi sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba perusak. Selain kadar air dan aw, karakteristik kimia yang penting untuk mengetahui kualitas mi adalah pH. Mi basah dianggap belum rusak jika pH mi masih pada kisaran pH basa yakni sekitar 7.55 untuk mi mentah. Menurut Astawan (1999), kerusakan mi basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam. 3. Mi Kering Mi kering adalah mi segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang dan mudah penanganannya. Mi kering sebelum dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mi ini dikenal dengan mi telur (Astawan, 1999). Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997).
24 4. Mi Instan Mi instan adalah produk pasta atau ekstrusi. Definisi mi instan menurut SII (Standar Industri Indonesia) 1716-90 adalah produk makanan kering dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh oleh air mendidih paling lama 4 menit. Sedangkan menurut SNI 013551-2000, mi instan adalah produk yang terbuat dari adonan terigu atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya dan dapat diberi perlakuan alkali. Proses pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya. Definisi ini meliputi mi (dari terigu), bihun (dari beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan atau sagu), dan kwetiau (dari beras dan atau terigu). Instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Mi instan merupakan produk makanan yang sangat banyak diproduksi di Indonesia. Mi instan siap dikonsumsi setelah direbus selama 3-5 menit, tidak seperti mi tradisional yang harus direbus selama 10-15 menit untuk gelatinisasi pati (Setyaningrum dan Marsono, 1999). Mi instan juga dikenal sebagai ramen di Jepang atau ramyeon di Korea (Kim, 1996). Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan. Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal ada dua macam mi instan. Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng, menghasilkan mi instan goreng (instant fried noodle), sedangkan pengeringan dengan udara panas disebut mi instan kering (instant dried noodle). Mi instan goreng mampu menyerap hingga 20 % selama penggorengan (Astawan, 1999). Keunggulan instant dried noodle yaitu kadar air lebih rendah dan lebih tahan lama (tidak mudah tengik). Namun, instant dried noodle juga memiliki kekurangan dibandingkan dengan instant fried noodle yaitu rasa gurih yang rendah akibat kandungan rendah lemak. Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air. Bahan tambahan yang digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan
25 bumbu-bumbu (Sunaryo, 1985). Syarat mutu mi instan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Syarat mutu mi instan menurut SNI 01-3551-2000 (BSN, 2000) No. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 4.1 4.2 5 5.1 5.2 6 7 7.1 7.2 7.3 8 8.1 8.2 8.3
1)
Kriteria Uji Keadaan 2) Tekstur Aroma Rasa Warna Benda asing 2) Keutuhan 1) Kadar air 1) Proses penggorengan Proses pengeringan Kadar protein Mi dari terigu Mi bukan dari terigu Bilangan asam Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Arsen (As) 2) Cemaran mikroba E. coli Salmonella Kapang
Satuan
Persyaratan
%, b/b
Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Tidak boleh ada Min. 90
%, b/b %, b/b
Maks. 10.0 Maks. 14.5
%, b/b %, b/b mg KOH/g minyak
Min. 8.0 Min. 4.0
mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 2.0 Maks 0.05 Maks 0.5
APM/g koloni/g
<3 Maks 1.0 x 103
Berlaku untuk keping mi Berlaku untuk keping mi dan bumbunya
2)
Proses pembuatan mi instan terigu terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap pencampuran, roll press (pembentukan lembaran), pembentukan mi, pengukusan atau penguapan, penggorengan atau pengeringan (Sunaryo, 1985). Tahap pertama adalah pencampuran, tujuan proses ini adalah menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan campuran yang homogen dan membentuk adonan dari jaringan gluten. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air. Peremasan menyebabkan serat gluten tersusun dengan baik (bersilang dan terbungkus pati) sehingga adonan menjadi halus dan elastis (Sunaryo, 1985). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan seratserat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Pada proses pemotongan
26 lembaran, pemotongan adonan dilakukan menggunakan roll khusus yang umumnya sudah terangkai dalam alat roll press. Tujuan dari proses ini adalah untuk membentuk pita-pita mi dengan ukuran lebar 1-2 mm. Dalam proses pengukusan, pita-pita mi dimasak dengan menggunakan uap air. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh ke permukaan mi membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi. Sedangkan proses pengeringan bertujuan menurunkan kadar air sehingga mi dapat disimpan lama. Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain penggorengan dan pengeringan dengan oven (Sunaryo, 1985). 5. Mi Jagung Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Di Filipina mi yang terbuat dari pati jagung maupun tepung jagung dinamakan bijon. Tekstur permukaannya opaque, agak kasar dan berwarna putih karena terbuat dari jagung putih (Inglett, 1970). Berbagai teknik pembuatan mi jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) teknik pembuatan mi jagung dengan calendering yang meliputi proses pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sliting) atau modifikasi teknik mi terigu (Juniawati 2003; Budiyah 2004; Fadlillah 2005; Kurniawati 2006; Rianto 2006; Soraya 2006; Putra 2008), (2) teknik pembuatan mi jagung dengan ekstrusi piston atau ram (Subarna et al, 1999), dan (3) pembuatan mi jagung teknik ekstrusi ulir dengan menggunakan ektruder tipe pemasak dan pencetak (Fahmi 2007; Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Susilawati 2007) dan dengan menggunakan ekstruder tipe pencetak/pasta (Ekafitri 2009; Zulkhair 2009). Ketiga teknik pembuatan mi tersebut melalui tahap pemasakan terlebih dahulu. Teknik pembuatan mi jagung dengan calendering memiliki kelebihan utama dalam produksi massal yaitu peralatan dan mesin yang telah siap dan banyak digunakan di industri besar dan kecil (Lestari 2009). Namun kelemahan dari teknik ini adalah waktu pengolahan yang lama karena terdiri dari tahapan proses pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin,
27 dan pelumuran mi dengan minyak (Budiyah, 2004). Teknik pembuatan mi jagung dengan ekstrusi piston atau ram serta teknik pembuatan mi jagung dengan sistem ekstrusi ulir memiliki kelebihan yaitu proses yang lebih sederhana karena tidak memerlukan tahapan proses sheeting dan slitting, pengulian, dan pembentukan lembaran serta dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Kelemahan teknik pembuatan mi jagung dengan ekstrusi piston atau ram yaitu belum tersedianya mesin dan peralatan yang dibutuhkan serta teknik pembuatan mi jagung ini dilakukan secara terputus (batch). Sedangkan kelemahan teknik pembuatan mi jagung dengan sistem ekstrusi ulir adalah adanya tahap atau proses pemasakan adonan terlebih dahulu sebelum proses berikutnya yang mengolah adonan menjadi mi dan belum banyak diterapkan di industri besar dan kecil. Selama ini sebagian besar proses pembuatan mi jagung menggunakan teknik ekstrusi baru sampai pada tahap mi basah. Menurut Ekafitri (2009), tahapan proses pembuatan mi jagung basah meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : penimbangan bahan, pencampuran, pengadonan, pembentukan lembaran secara manual, pengukusan pertama, pencetakan mi dengan ekstruder, dan pengukusan kedua. Penimbangan bahan-bahan pembuatan mi basah jagung meliputi basis tepung jagung 100 g, NaCl 2% (4 g), dan penambahan air hingga mencapai 70% bk adonan. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak membentuk gumpalan. Pencampuran air dan garam dilakukan dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Kemudian adonan dibentuk lembaran menggunakan pengepres kayu sampai ketebalan ± 0,5 cm dan dipotong kotak-kotak. Selama pengukusan, adonan akan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga tekstur adonan akan menjadi lebih lunak, kenyal, dan elastis sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mi. Pati yang tergelatinisasi pada proses ini akan berperan membentuk matriks pengikat sehingga adonan dapat dicetak menjadi mi. Setelah itu, adonan yang telah dikukus dimasukan ke dalam ekstruder pencetak. Adonan yang telah mengalami pencampuran di dalam ekstruder,
28 kemudian akan keluar melalui lubang/die ekstruder khusus untuk mi dengan ukuran diameter die 1.5 mm. Selanjutnya mi yang dihasilkan kembali dikukus untuk menyempurnakan proses gelatinisasi sehingga diperoleh tekstur yang lebih baik. E. Ekstrusi 1. Proses Ekstrusi Webbster’s dalam Harper (1981) mendefinisikan istilah ekstrusi sebagai suatu proses membentuk suatu bahan dengan tekanan dan melalui bentukan khusus, yang sering kali bahan tersebut mengalami pemanasan terlebih
dahulu.
Menurut
Smith
(1976),
proses
pemasakan
dengan
menggunakan metode ekstrusi adalah suatu proses yang menyebabkan air, pati, dan bahan yang mengandung protein dibuat menjadi plastis dan dimasak dalam sebuah ruangan dengan kombinasi tekanan, panas, dan gesekan mekanik. Pada proses pemasakan dengan metode ekstrusi sebenarnya terjadi empat proses yaitu pencampuran, pemasakan, pembentukan, dan pengembangan (Matz, 1984). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan ’shear’ (σ), dimana tekanan ’shear’ tergantung pada kecepatan ’shear’ dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan ’shear’ dan kecepatan ’shear’. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaedah nonnewtonian (Harper, 1981). Tekanan pada proses ekstrusi bervariasi antara 70-800 psi atau lebih, sesuai dengan keperluan. Tekanan ini dipengaruhi oleh bentuk ulir pada ekstruder, jumlah dan tipe kepala ekstruder, kecepatan berputarnya ulir dan arus listrik (Smith, 1981). Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah serta mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 2000).
29 2. Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper,
1981).
Ekstruder
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
sifat
termodinamika, kadar air, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Menurut Harper (1981), berdasarkan sifat fungsional, ekstruder terdiri atas pasta ekstruder, high-pressure forming extruder, low-shear, cooking extruder, coolet extruder, dan high-shear cooking extruder. Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan mengkonversi energi mekanik pada aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder. Berdasarkan kadar air, ektruder terbagi atas low moisture extruder, intermediate moisture extruder, high moisture extruder. Berdasarkan jumlah ulirnya, ektruder terbagi atas ektruder berulir tunggal dan ektruder berulir ganda. Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Ekstruder ulir tunggal tidak memiliki sumber panas berupa steam (uap panas) untuk memanaskan jaket pemanas, dan semua produk dipanaskan dengan gaya friksi secara mekanik atau gaya gesek (Harper, 1981). Ekstruder tunggal ini bisa memproses bahan-bahan baku yang mempunyai kadar airnya 10%-40%, tergantung pada campuran dari formula bahan. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal (Smith, 1981) Kategori Kadar Air Produk (%) Densitas produk (g/100ml) Suhu barrel maksimum (°C) Tekanan barrel maksimum (kg /cm2) Kecepatan ulir (rpm) Produk khas
Low Shear 25 – 75 32 – 80 20 – 65
Medium Shear 15 – 30 16 – 51 55 – 145
High Shear 5–8 3.2 – 20 110 – 180
6 – 63
21 – 42
42 – 84
100 Produk pasta daging
200 Roti, makanan ternak
200 Snack, breakfast cereal
30 Ekstruder ulir tunggal paling cocok untul mengekstrusi produk pasta. Hal ini dikarenakan ekstruder memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan serta biasanya mempunyai bentuk ulir yang geometris dan konstan. Alat ini paling mendekati ekstruder jenis isotermal karena hanya mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah, pemotongan cepat, continue, alat tidak langsung (proses) cocok diaplikasikan untuk produk pasta dan produk sosis ( Muctadi et al., 1988). Ekstruder pasta termasuk ke dalam ekstruder ulir tunggal tipe low shear extruder dengan tiga zona utama, yaitu mixing dan conditioning, plasticizing, dan extrusion (Ranken et al., 1997). Menurut Ranken et al., (1997), ekstruder pasta umumnya memiliki sistem pendingin yang berfungsi untuk mengurangi panas yang ditimbulkan selama proses pengekstrusian. Ekstruder pasta memiliki vacuum treatment yang berfungsi untuk memastikan tidak terdapat gelembung udara pada adonan, karena gelembung udara pada adonan akan mengurangi transparansi dan menghasilkan penampakan yang kurang baik pada produk akhir (Ranken et al., 1997). Ekstruder jenis ini memiliki deep-flight-screw yang beroperasi pada kecepatan rendah dalam barrel untuk menguleni dan mengekstrusi material dengan sedikit gesekan yang kemudian diarahkan seragam menuju die (Fellow, 2000). Menurut Riaz (2000), ekstruder pasta dikategorikan dalam ekstrusi suhu rendah atau dingin (< 500C). Pada pengekstrusian dingin, suhu akan dipertahankan tetap untuk mencampur dan membentuk makanan serta untuk menghasilkan produk akhir dengan mutu yang baik seperti produk pasta dan daging.
III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung kuning varietas Pioneer 21, NaCl, air, dan guar gum. Peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan tepung jagung adalah penggiling jagung (hammer mill), penggiling tepung (disc mill), Vibrating Screen, dan freezer. Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat mi jagung adalah ekstruder pencetak mi (Multifunctional Noodle Modality Machine model MS9 dari Guandong Henglian Food Machine Co. Ltd., China), baskom, gelas ukur plastik, timbangan, sendok, pisau, plastik, roll pengepres, kompor gas, panci pengukus, oven (dryer), tray dryer, dan mesin sealer. Alat-alat untuk analisis sifat fisik yaitu Texture Analyzer, heater, oven vakum, gelas piala, dan hotplate. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan yaitu perangkat pengujian seperti mangkuk styrofoam, sendok plastik dan sebagainya. B. Metodologi Penelitian Secara umum penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Pada tahap pertama dilakukan proses penepungan jagung Pioneer 21 dengan teknik penggilingan kering. Selanjutnya dilakukan optimasi proses pembuatan mi jagung basah teknik ekstrusi meliputi penentuan kadar air adonan optimum, penentuan waktu optimum pengukusan, dan perbaikan elastisitas mi jagung basah. Dalam usaha memperbaiki elastisitas mi jagung basah maka pada proses pembuatan mi jagung basah ditambahkan bahan pengikat guar gum. Mi jagung basah yang dihasilkan dianalisis sifat fisik baik secara subjektif maupun objektif. Selain itu dilakukan pula uji organoleptik untuk melihat sifat fisik mi secara subjektif dan melihat tingkat kesukaan panelis terhadap mi jagung basah yang dihasilkan. Selanjutnya hasil uji organoleptik ini dihubungkan dengan sifat fisik mi yang diamati secara objektif dengan alat. Tahap terakhir adalah pengembangan mi jagung basah yaitu optimasi proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven. Kemudian dilakukan analisis sifat fisik terhadap mi jagung instan teknik pengeringan oven secara objektif. Garis besar pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
32 Jagung pipil Pioneer 21 Pembuatan tepung jagung dengan metode dry milling Optimasi proses pembuatan mi jagung basah dengan teknik ekstrusi Pembuatan mi jagung basah dengan menambahkan bahan pengikat guar gum
Uji Organoleptik (analisis subjektif mi) : ▪ Hedonik metode rating
Analisis fisik mi jagujng basah secara objektif : ▪ Elongasi ▪ Kekerasan dan kelengketan ▪ Kekenyalan ▪ KPAP
Melihat hubungan tingkat kesukaan dengan parameter fisik mi Formula mi jagung basah terpilih Optimasi proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven Analisis fisik mi instan secara objektif : ▪ Elongasi ▪ Kekerasan dan kelengketan ▪ Kekenyalan ▪ KPAP ▪ Waktu rehidrasi Gambar 6. Rangkaian penelitian pembuatan mi jagung 1. Pembuatan Tepung Jagung Jagung yang digunakan adalah Pioneer 21. Varietas ini diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo. Jagung hibrida Pioneer 21 dipilih karena merupakan jagung semi mutiara sehingga lebih mudah dibuat tepung jagung dibandingkan jagung mutiara. Pembuatan tepung jagung dilakukan dengan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan jagung dilakukan
33 secara dua kali. Penggilingan pertama menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits jagung (endosperma) yang masih bercampur dengan kulit ari, tip cap, dan lembaga. Selanjutnya hasil penggilingan pertama direndam dalam air untuk mengambangkan kulit ari, lembaga, tip cap, dan kotoran. Sedangkan pada penggilingan kedua menggunakan disc mill yang berfungsi memperhalus ukuran grits jagung menjadi tepung. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan homogen, maka dilakukan pengayakan dengan menggunakan vibrating screen dengan ukuran mesh 100. Cara penepungan jagung dapat dilihat pada Gambar 7. Jagung pipil kering Penggilingan I dengan hammer mill Grits, kulit, lembaga, dan tip cap Pengambangan dalam air untuk dibuang kulit ari dan lembaganya Perendaman selama 3 jam lalu cairan dibuang Grits Jagung Pengeringan (oven T = 600C, t = 1 jam hingga kadar air ± 35 %) Penggilingan II dengan disc mill Tepung kasar Pengeringan (oven T = 600C, t = 3-5 jam) Pengayakan 100 mesh dengan vibrating screen Pengeringan (oven T = 600C, t = 2 jam hingga kadar air ± 5 %) Pengemasan dalam plastik Polipropilen tiap 200 gram Penyimpanan (freezer) Tepung jagung 100 mesh Gambar 7. Proses penepungan jagung
34 2. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Basah Proses pembuatan mi jagung basah dengan teknik ektrusi terdiri atas tahap pencampuran bahan, pembuatan lembaran, pengukusan adonan, pencetakan adonan, dan pengukusan mi. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung basah terbagi menjadi dua yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan utama yang digunakan adalah tepung jagung kering dan bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam, dan guar gum. Proses pembuatan mi jagung basah dengan teknik ekstrusi ini, didasarkan pada penelitian Ekafitri (2009) dan Zulkhair (2009). a. Penentuan Kadar Air Adonan Optimum Tahapan ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mendapatkan kadar air adonan yang optimum sehingga akan didapatkan mi yang tidak lengket dan tidak mudah putus. Selain itu penentuan kadar air ini untuk mendapatkan formula dasar dalam pembuatan mi jagung. Adapun kadar air yang digunakan adalah 60%, 70%, 80%, dan 90% dari berat kering tepung. Oleh karena itu perlu dilakukan penghitungan bobot air yang berdasarkan kadar air tepung jagung sehingga sesuai dengan kadar air adonan yang diinginkan. Parameter yang diamati adalah sifat adonan saat dibentuk lembaran dan mi saat keluar dari ektruder. Rancangan percobaan dalam penentuan formula adonan mi jagung basah dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rancangan percobaan penentuan formula adonan mi jagung basah Waktu Pengukusan Formula adonan (menit) F1 : tep. jagung 200 g + garam 4 g + kd. air 60% (bk) 15 F2 : tep. jagung 200 g + garam 4 g + kd. air 70% (bk) 15 F3 : tep. jagung 200 g + garam 4 g + kd. air 80% (bk) 15 F4 : tep. jagung 200 g + garam 4 g + kd. air 90% (bk) 15 b. Penentuan Waktu Optimum Pengukusan Tahapan ini untuk menentukan waktu optimum pengukusan adonan dan waktu optimum pengukusan mi dengan melihat besarnya persen elongasi yang diukur secara manual. Sebanyak 200 gram tepung jagung dicampur dengan larutan garam, dibuat dengan cara melarutkan 4 gram garam dalam air
35 yang telah dihitung bobotnya sehingga sesuai dengan kadar air adonan optimum. Adonan digiling dengan roll kayu membentuk lembaran dan disayat menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2. Kemudian adonan dikukus dengan variabel waktu 15, 20, dan 25 menit. Sehingga pada tahap ini dibuat tiga kali pembuatan mi jagung. Setelah itu adonan yang telah dikukus dicetak menjadi mi di dalam ekstruder dan diukur elongasinya. Setelah didapatkan waktu optimum pengukusan adonan, maka tahap selanjutnya dilakukan pengukusan mi untuk mematangkan mi jagung. Variabel waktu untuk pengukusan mi adalah 15, 20, dan 25 menit. Parameter yang diamati adalah persen elongasi mi sebelum dan sesudah dikukus serta karakteristik fisik mi yang dihasilkan. c. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Setelah didapatkan kadar air adonan dan waktu pengukusan yang optimum maka proses selanjutnya dilakukan percobaan penambahan guar gum. Tujuan pemilihan guar gum sebagai bahan tambahan dalam pembuatan mi jagung basah untuk memperbaiki sifat fisik mi terutama elastisitas mi jagung basah. Adapun konsentrasi yang dipakai adalah 0%, 1%, dan 2%. Dalam prosesnya guar gum dicampur kering dengan tepung jagung. Lalu dicampur dengan larutan garam sampai terbentuk adonan. Parameter yang diukur adalah sifat fisik mi dan persen elongasi secara obyektif dengan Texture Analyzer. 3. Optimasi Proses Pengeringan Untuk Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven Mi jagung instan merupakan hasil dari proses pengeringan mi jagung basah setelah proses pengukusan mi. Proses pengeringan mi bertujuan agar produk dapat disimpan lebih lama dengan menghilangkan sebagian besar air. Diharapkan kadar air yang diperoleh sesuai dengan SNI 01-3551-2000 yaitu < 14,5%. Formula mi jagung untuk dijadikan mi jagung instan diperoleh dari hasil uji organoleptik mi jagung basah. Pada penelitian ini metode pengeringan yang digunakan adalah pengeringan menggunakan oven. Proses pengeringan mi jagung berdasarkan penelitian Budiyah (2004), yaitu pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-750C selama 1-1.5
36 jam. Tahapan proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven dapat dilihat pada Gambar 8.
Tepung jagung
NaCl 2% bb
Pencampuran dan pengadonan
Air hingga kadar air adonan optimum
Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut
Pembuatan lembaran dengan ketebalan ± 0.5 cm
Pengukusan adonan Pencetakan dalam ekstruder Pengukusan mi Mi jagung basah
Pengeringan mi (T = 600C; t = 1-1.5 jam)
Mi jagung instan Gambar 8. Proses pembuatan mi jagung instan Faktor penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan mi jagung instan adalah suhu dan waktu pengeringan. Suhu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan mi jagung adalah 55-600C. Pengeringan dilakukan dengan variasi waktu yaitu 60, 65, 70, 75, dan 80 menit. Setelah dikeringkan mi jagung instan diukur kadar airnya dan ditentukan kadar air dengan waktu pengeringan yang optimum. Kadar air mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven harus < 14,5% sesuai dengan SNI 01-3551-2000.
37 4. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Basah dan Mi Jagung Instan Analisis fisik mi jagung basah dan mi jagung instan meliputi persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan menggunakan Texture Analyzer, waktu rehidrasi serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggunakan metode oven. C. Metode Analisis 1. Analisis Sifat Fisik 1.1a Analisis Persen Elongasi menggunakan Texture Analyzer Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Pengukuran elongasi secara dengan alat dilakukan dua metode persiapan terhadap mi jagung yaitu pencelupan dan perendaman mi jagung dalam air panas. Untuk pengukuran elongasi celup mi jagung basah terlebih dahulu dicelup sebanyak 3 kali ke dalam air panas. Sedangkan untuk pengukuran elongasi rendam, mi jagung basah di rendam dalam selama 2 menit dalam air panas. Untuk mi jagung instan, mi di rehidrasi terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Selain itu dilakukan pengamatan secara visual terhadap karakteristik mi jagung selama pengukuran elongasi. Pengukuran elongasi dengan alat Texture Analyzer dilakukan sebagai berikut : sampel yang telah disiapkan selanjutnya dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :
Persen elongasi (%) =
Waktu putus sampel (s) x 0.3 cm/s x 100% 2 cm
1.1b Analisis Persen Elongasi Secara Manual
Elongasi mi diukur dengan menggunakan penggaris. Untaian mi dengan panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung skala 0 cm sampai skala 10 cm, lalu dipegang/jepit menggunakan ibu jari dan telunjuk di kedua ujung mi. Kemudian ditarik perlahan sampai putus. Jarak terakhir yang ditempuh oleh untaian mi sampai putus ditulis sebagai elongasi secara manual. Pengukuran elongasi secara manual bertujuan melihat besarnya
38 persen elongasi dari pertambahan panjang mi saat ditarik/diregangkan hingga putus. Persen elongasi secara manual dihitung dengan rumus :
Persen elongasi (%) =
Pertambahan panjang mi x 100% 10 cm
Keterangan : Pertambahan panjang mi = Jarak Awal - Jarak Akhir
1.2 Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2
Sebelum dilakukan pengukuran, mi jagung basah direhidrasi kembali dengan cara direbus selama 2 menit dalam air panas. Sedangkan untuk mi jagung instan, mi di rehidrasi/direbus terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT–2 yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) Parameter Pre test speed Test speed Post test speed Rupture Distance Force Time Count
Setting 2.0 mm/s 0.1 mm/s 2.0 mm/s 1.0 mm 75 % 100 g 5 sec 2
Seuntai sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF). Sedangkan kekenyalan ditunjukkan dengan perbandingan luas area peak kedua dengan peak pertama.
39
Gambar 9. Kurva profil tekstur mi 1.3 Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking Loss ( Metode Oh et al., 1985)
Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 1000C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus sebagai berikut : ⎡ berat sampel setelah dikeringkan ⎤ KPAP = 1 - ⎢ ⎥ × 100% ⎣ berat awal (1 - kadar air contoh) ⎦
1.4 Waktu Rehidrasi
Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam 150 ml air. Kemudian dihitung waktunya pada saat mi telah terhidrasi (tidak ada spot putih di tengah untaian mi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh tekstur yang homogen.
40 2. Analisis Sifat Kimia 2.1 Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel (sekitar 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan, dikeringkan dalam oven bersuhu 1000C selama 6 jam atau sampai beratnya konstan. Kemudian cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air (% b.b) =
c – (a - b) x 100% c
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
3. Analisa Organoleptik (Meilgaard, 1999)
Analisa organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik metode rating. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Produk yang diuji dapat berupa produk baru, atau produk yang telah mengalami perubahan atau modifikasi pada proses atau formulanya. Uji ini dilakukan dengan mengunakan 30 orang panelis. Kepada setiap panelis diminta tanggapannya untuk menilai sampel mi jagung berdasar kesukaannya terhadap atribut (warna, elongasi, kekerasan, rasa, dan kekenyalan) dengan skor 1-7 (sangat tidak suka-sangat suka). Sampel mi jagung disiapkan dengan cara merebus mi selama 2 menit. Selanjutnya diambil 6 untai mi dengan panjang yang sama dan diletakkan diatas mangkok styrofoam yang telah diberi kode berdasarkan perlakuan. Hasil yang diperoleh diolah dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada program SPSS.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Tepung Jagung Varietas jagung yang digunakan untuk membuat tepung jagung dalam penelitian ini adalah Pioneer 21. Varietas ini diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Proses penggilingan biji jagung menjadi tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998). Pembuatan
tepung
jagung
dengan
metode
penggilingan
kering
didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan hammer mill yang akan menghasilkan grits jagung yang masih bercampur dengan kulit ari, lembaga, tip cap, dan kotoran. Sehingga untuk memisahkan grits dari semua campuran dilakukan pencucian dan perendaman dalam air. Selanjutnya dilakukan proses pencucian yang berfungsi untuk mengambangkan kulit ari, lembaga, tip cap, dan kotoran sehingga bagian-bagian tersebut mudah dibuang dan dipisahkan. Kemudian
grits
jagung
yang
telah
bersih
jam.
Perendaman
perendaman/pengendapan
selama
3
melunakkan
jagung
agar
endosperma
mudah
dilakukan bertujuan
dihancurkan
saat
proses untuk proses
penggilingan kedua. Setelah itu grits dijemur atau dikeringkan dengan oven hingga kadar air mencapai ± 35%. Jika kadar air lebih dari 35% maka pada penggilingan kedua, grits akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Setelah itu grits ditiriskan selama ± 2 jam. Penggilingan kedua bertujuan untuk memperhalus ukuran grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan disc mill, saringan yang dipasang berukuran 48 mesh. Tepung yang dihasilkan masih berupa tepung kasar. Kemudian tepung kasar dikeringkan di dalam oven pada suhu 60°C selama 3-5 jam. Untuk memperoleh tepung jagung halus dengan ukuran partikel yang seragam, dapat dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen berukuran 100 mesh. Selanjutnya tepung yang sudah diayak dihomogenkan dan dioven pada suhu 60°C
42 selama 2 jam hingga kadar airnya ± 5% yang bertujuan mengurangi resiko tepung mengalami kerusakan dan memperpanjang umur simpan tepung. Tepung jagung yang diperoleh kemudian ditimbang sebanyak 200 g per kemasan dan dikemas dalam plastik polipropilen (Gambar 10). Lalu disusun dalam kantung plastik besar yang sudah diberi silica gel, dan disimpan di dalam freezer. Sebanyak 10 kg jagung pipil varietas Pioneer 21 melalui proses penepungan menghasilkan 2.91 kg tepung jagung lolos ayakan 100 mesh. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan 29.14% dari keseluruhan bahan baku. Berbeda dengan penepungan jagung yang dilakukan oleh Pratama (2007), sebanyak 25 kg jagung varietas Srikandi, melalui proses penepungan mengihasilkan tepung jagung sebesar 3.97 kg kg sehingga rendemen yang dihasilkan hanya 15.89% dari keseluruhan bahan baku. Rendemen yang dihasilkan dari proses penepungan jagung pada penelitian ini lebih besar dibandingan dengan penepungan yang dilakukan Pratama (2007). Hal ini dikarenakan, pada proses penepungan jagung jagung yang dilakukan Pratama (2007) tidak dilakukan proses perendaman grits jagung setelah pemisahan kulit ari, lembaga, tip cap, dan kotoran. Selain itu perbedaan varietas jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung ternyata akan menghasilkan rendemen tepung jagung yang berbeda pula. Jagung varietas Pioneer 21 merupakan jenis jagung semi mutiara, sedangkan jagung varietas Srikandi termasuk kedalam kategori jagung mutiara. Menurut Hoseney (1998), jagung mutiara memiliki kandungan endosperma keras yang lebih banyak dibandingkan jenis jagung lain sehingga akan lebih sulit dijadikan tepung dan bentuk biji mutiara berukuran sedang dengan bagian bulat yang tidak berlekuk, karena hampir keseluruhan bijinya mengandung lapisan pati keras. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), endosperma keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat satu sama lain. Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar. Adapun proses penepungan jagung dengan metode penggilingan basah secara garis besar terdiri dari tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi dan pengeringan (Merdiyanti, 2007).
43
Gambar 10. Tepung jagung P 21 B. Kajian Pembuatan Mi Jagung Basah 1. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Basah Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung terbagi dua yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah tepung jagung kering ukuran 100 mesh. Bahan baku tambahan yang digunakan antara lain air, garam, dan guar gum. Menurut Astawan (1999), air berfungsi sebagai media reaksi yang penting untuk proses gelatinisasi. Selain itu, air juga berfungsi untuk melarutkan garam sebelum dicampur dengan tepung jagung. Garam berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Adapun guar gum berfungsi sebagai pengembang yang dapat mempengaruhi sifat adonan. Proses pembuatan mi jagung basah pada penelitian ini dilakukan dengan prinsip ektrusi. Tipe ektruder yang digunakan adalah ekstruder pencetak (pasta) model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, dari Guandong Henglian Food Machine Co. Ltd., China (Gambar 11). Ekstruder ini berbeda dengan ekstruder yang digunakan oleh Fahmi (2006), Etikawati (2007), Hatorangan (2007), dan Susilawati (2007) yaitu ekstruder tipe Forming-cooking Extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Ekstruder pasta yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki pengaturan suhu, waktu, dan kecepatan ulir. Namun memiliki kelebihan dari segi ukuran dye yang sesuai dengan produk mi pada umumnya. Pembuatan mi jagung dengan alat ini diperlukan proses gelatinisasi adonan tepung jagung yang dilakukan di luar ekstruder karena ekstruder tidak memiliki pemanas internal.
44
Gambar 11. Ekstruder pencetak mi Ekstruder pencetak model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine, dari Guandong Henglian Food Machine Co. Ltd., China ini memiliki spesifikasi sebagai berikut (Tabel 15). Tabel 15. Spesifikasi ekstruder pencetak model MS9 Model Production capacity Rating Input Power Power Dimension Net weight Voltage Frequency Series no Date a.
MS9 9 kg/h 1.5 Kw 1.1 Kw 600x330x430 mm 60 kg 220 V 50 Hz VA 5000 2005
Penentuan Kadar Air Optimum Adonan Tahapan ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan kadar air
adonan yang optimum sehingga akan didapatkan adonan yang cukup kenyal dan elastis dan mi yang dihasilkan tidak lengket dan tidak mudah putus. Penentuan kadar air ini untuk mendapatkan formula dasar dalam pembuatan mi jagung. Adapun kadar air yang digunakan adalah 60%, 70%, 80%, dan 90% dari berat kering tepung. Dalam hal ini perlu dilakukan penghitungan bobot air yang akan ditambahkan sehingga sesuai dengan kadar air adonan yang
45 diinginkan. Jumlah air yang ditambahkan pada tiap kadar air adonan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah air yang ditambahkan pada 200 g tepung jagung Kadar air adonan (% bk) 60 70 80 90
Jumlah air (g) 92.26 110.52 128.79 147.05
Contoh perhitungan penambahan jumlah air pada pembuatan mi jagung basah dapat dilihat pada Lampiran 26. Dalam tahap ini dibuat empat kali pembuatan mi jagung dan hanya dilakukan pengukusan adonan selama 15 menit. Parameter yang diamati adalah sifat adonan saat dibentuk lembaran, adonan dicetak dalam ekstruder dan untaian mi saat keluar dari ektruder. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, karakteristik mi jagung basah dengan variabel penambahan air dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Karakteristik deskriptif adonan mi dengan penambahan air dengan berbeda Konsentrasi (%)
60
70
80
90
Karakteristik adonan dan mi (secara visual) Adonan terlalu kering, adonan sulit dibentuk lembaran (rapuh), setelah dikukus warna adonan tidak seragam ada beberapa bagian yang berwarna putih, adonan dapat dicetak menjadi mi, mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, dan elastis, beberapa helai mi masih ada yang bewarna putih. Adonan semi basah, adonan dapat dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, warna mi seragam, dan elastis Adonan basah, adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan agak lengket dan elastis Adonan terlalu basah dan lengket, adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak, setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah), mi yang dihasilkan sangat lengket, basah, dan mudah putus, pada permukaan barrel ektruder masih banyak adonan yang menempel
46 Pada penambahan air sebanyak 60%, adonan terlalu kering dan sulit dibentuk lembaran (rapuh). Setelah dikukus warna adonan tidak seragam ada beberapa bagian yang berwarna putih. Adonan dapat dicetak menjadi mi dengan panampakan lurus, tidak lengket, dan elastis serta ada beberapa helai mi masih ada yang bewarna putih. Pada penambahan air sebanyak 70%, adonan yang dihasilkan semi basah. Setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Adonan dapat dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak. Mi yang dihasilkan lurus, tidak lengket, warna mi seragam, dan elastis. Pada penambahan air sebanyak 80%, adonan yang dihasilkan basah. Adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Mi yang dihasilkan agak lengket dan elastis. Pada penambahan air sebanyak 90%, adonan yang dihasilkan terlalu basah dan lengket. Setelah dikukus warna adonan seragam (kuning cerah). Adonan mudah dibentuk lembaran dan dipotong kotak-kotak. Namun mi yang dihasilkan sangat lengket, basah, dan mudah putus. Selain itu pada permukaan barrel ektruder masih banyak adonan yang menempel. Berdasarkan pengamatan secara visual, maka kadar air adonan optimum yang dipakai untuk membuat mi jagung basah adalah 70%. Kelengketan adonan dan kemudahan pengekstrusian mi ditentukan oleh jumlah air yang ditambahkan pada tepung agar terjadi proses gelatinisasi selama proses pengukusan. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit maka proses gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik (adonan sulit dibentuk). Namun, bila penambahan air terlalu banyak maka pada saat pengukusan adonan menjadi terlalu matang (over cooked). Adonan yang terlalu matang menyebabkan mi yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati. b. Penentuan Waktu Optimum Pengukusan Tahapan ini untuk menentukan waktu optimum pengukusan adonan dan waktu optimum pengukusan mi dengan melihat besarnya persen elongasi yang diukur secara manual. Sebanyak 200 gram tepung jagung dicampur dengan larutan garam, dibuat dengan cara melarutkan 4 gram garam dalam air
47 yang telah dihitung bobotnya sehingga sesuai dengan kadar air adonan optimum yaitu 70% dari berat kering tepung. Adonan digiling dengan roll kayu membentuk lembaran dan disayat dengan pisau menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2. Kemudian adonan dikukus dengan variabel waktu 15, 20, dan 25 menit. Sehingga dalam penelitian pendahuluan ini dibuat tiga kali pembuatan mi jagung. Setelah itu adonan yang telah dikukus dicetak menjadi mi di dalam ekstruder dan diukur elongasinya secara manual. Setelah didapatkan waktu optimum pengukusan I (adonan), maka tahap selanjutnya dilakukan pengukusan II (mi) untuk mematangkan mi jagung. Variabel waktu untuk pengukusan mi adalah 15, 20, dan 25 menit dan mi diukur elongasinya secara manual. Parameter yang diamati adalah karakteristik mi dan persen elongasi mi pengukusan I dan pengukusan II. Elongasi mi diukur secara manual. Untaian mi dengan panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung skala 0 cm sampai skala 10 cm, dipegang/jepit menggunakan ibu jari dan telunjuk. Kemudian ditarik perlahan sampai putus. Jarak terakhir yang ditempuh oleh untaian mi sampai putus ditulis sebagai elongasi secara manual. Adapun tujuan pengukuran elongasi secara manual adalah untuk melihat besarnya persen elongasi dari pertambahan panjang mi jagung mentah yang diperoleh saat pengukusan I (adonan) dan mi jagung basah matang saat pengukusan II (mi) saat ditarik/diregangkan hingga putus. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, karakteristik mi jagung basah pada pengukusan I dan pengukusan II dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Karakteristik fisik mi jagung selama pengukusan Waktu pengukusan (menit) 15 20 25
Karakteristik mi yang dihasilkan (secara visual) Pengukusan I (adonan) Pengukusan II (mi) adonan semi basah, mi mi matang, lunak, elastis, tidak belum matang, keras, dan ada spot putih, dan warna mi cukup elastis kuning seragam (kuning cerah) mi matang, lunak, lengket, adonan basah, mi belum mudah patah, tidak ada spot matang, lengket, dan putih, dan warna mi kuning mudah patah pucat
48 Pada pengukusan I (adonan) selama 15 menit adonan semi basah dan mi yang dihasilkan belum matang dan masih keras namun mi cukup elastis. Sedangkan pengukusan adonan selama 20 dan 25 menit adonan menjadi basah karena terlalu lama dikukus dan mi yang dihasilkan belum matang, lengket, dan mudah patah. Selain itu pengukusan I (adonan) selama 15 menit menghasilkan mi dengan nilai persen elongasi terbesar dibandingan dengan waktu pengukusan selama 20 dan 25 menit yaitu 43.5% (Lampiran 1). Sehingga waktu optimum yang dipilih pada pengukusan I (adonan) ini adalah selama 15 menit. Proses pengukusan adonan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi berfungsi sebagai bahan pengikat dalam proses pembuatan untaian mi. Hal ini dikarenakan protein pada tepung jagung yang sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin (zeanin) tidak mampu membentuk massa yang elastis dan kohesif jika hanya ditambahkan air saja. Berbeda halnya dengan protein gluten (gliadin dan glutenin) pada terigu yang dapat bereaksi dengan air membentuk massa yang elastis dan kohesif. Gluten adalah protein yang terdapat pada tepung terigu. Protein gluten merupakan protein kompleks yang memiliki residu glutamin dan prolin yang tinggi. Secara sederhana protein gluten terdiri dari dua kelas protein, berdasarkan kelarutan dan berat molekulnya, yaitu gliadin dan glutenin (Bushuk dan MacRitchie, 1989). Walaupun demikian, proses pengukusan I (adonan) hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila tepung telah mengalami gelatinisasi sempurna maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket dan sulit dicetak. Pada proses ini diharapkan adonan berada dalam kisaran suhu gelatinisasinya. Jika adonan berada dibawah kisaran suhu gelatinisasinya, maka untaian mi yang dihasilkan kurang bagus dan mi mudah putus. Pada pengukusan II (mi) selama 15 menit mi yang dihasilkan matang, lunak, elastis, dan warna mi kuning seragam (kuning cerah). Sedangkan pada pengukusan mi selama 20 dan 25 menit, menghasilkan mi yang matang dan lunak namun mi lengket, mudah patah, dan warna kuning pucat. Selain itu pengukusan II (mi) selama 15 menit menghasilkan mi dengan nilai persen
49 elongasi terbesar dibandingan dengan waktu pengukusan selama 20 dan 25 menit yaitu 47 % (Lampiran 2). Sehingga waktu optimum yang dipilih pada pengukusan II (mi) ini adalah selama 15 menit. Penentuan waktu optimum pengukusan II (mi) ini, bertujuan agar didapatkan mi yang matang dan warna mi seragam. Kematangan dapat dilihat dari pemerataan tingkat kematangan mi sampai lapisan yang paling dalam ditandai dengan tidak adanya warna khas tepung mentah pada diameter mi. Pada pengukusan II (mi) ini terjadi proses gelatinisasi yang sempurna. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel (Harper, 1981). Setelah dingin, amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. c. Pembuatan Mi Jagung Basah Berdasarkan Proses Optimum Langkah awal dalam pembuatan mi jagung adalah penimbangan bahan-bahan. Bahan-bahan yang ditimbang meliputi basis tepung jagung 200 g, NaCl 2% (2 g), dan penambahan air hingga mencapai kadar air adonan 70% bk tepung. Selanjutnya dilakukan pencampuran dan pengadonan secara manual yang bertujuan mendapatkan adonan yang homogen dan meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga tidak terbentuk gumpalan. Pencampuran dan pengadonan secara manual dapat menjamin keseragaman adonan. Apabila pada tahap ini tidak dicapai pencampuran yang homogen akan mengakibatkan gelatinisasi yang tidak merata pada proses pengukusan adonan yang ditandai dengan adanya spot-spot berwarna putih atau beberapa permukaan adonan berwarna kuning pucat. Pencampuran air dan garam ke dalam tepung jagung dilakukan sedikit demi sedikit dengan cara melarutkan garam terlebih dahulu dalam air yang akan ditambahkan. Proses pencampuran dan pangadonan membutuhkan waktu ± 5 menit.
50 Lalu adonan dialasi dengan plastik agar mudah dibentuk lembaran dengan menggunakan roll kayu sampai ketebalan ± 0.5 cm kemudian lembaran adonan disayat dengan pisau menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2 (Gambar 12). Hal ini dilakukan untuk meratakan distribusi panas yang diterima adonan saat proses pengukusan adonan. Pengukusan adonan dilakukan dengan menggunakan panci kukus di atas kompor gas selama 15 menit.
Gambar 12. Adonan tepung jagung setelah pengepresan dan pemotongan menjadi kotak-kotak Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endospermnya dalam jagung 60% terdiri atas zein dan glutelin. Sedangkan pada terigu protein endospermnya terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni (Fahmi, 2006). Oleh sebab itu, pembuatan mi jagung basah lebih memanfaatkan adanya pati tergelatinisasi untuk membentuk tekstur mi yang baik. Pati yang tergelatinisasi akan bertindak sebagai matriks pengikat sebelum adonan dapat diadon dan diekstrusi menjadi untaian mi (Tam et al., 2004) Selama pengukusan, adonan akan mengalami proses gelatinisasi sebagian sehingga tekstur adonan akan menjadi lebih lunak, kenyal, dan elastis sehingga adonan mudah dicetak menjadi untaian mi. Pregelatinisasi ini hanya bertujuan agar tepung tergelatinisasi sebagian, karena jika mengalami gelatinisasi sempurna adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket. Oleh
51 karena itu dalam penelitian pendahuluan perlu dilakukan waktu optimasi pengukusan adonan. Pada saat gelatinisasi, maka granula pati tepung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan yang kohesif dan elastis. Lembaran adonan yang dihasilkan pada pengukusan pertama ini memiliki tekstur yang agak lengket dan kenyal serta penampakan yang semi transparan. Setelah itu, adonan yang telah dikukus langsung dimasukkan ke dalam ektruder pencetak model MS9, Multifunctional Noodle Modality Machine. Selama pencetakan dalam ekstruder, adonan diberi tekanan secara manual dengan menggunakan balok kayu. Pemberian tekanan perlu dilakukan karena diperkirakan tekanan yang diterima tidak sama oleh tiap untaian mi (Gambar 13). Sehingga dengan pemberian tekanan ini akan didapatkan mi dengan elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Menurut Ekafitri (2009), mi jagung basah yang dihasilkan dengan pemberian tekanan memberikan nilai KPAP yang lebih rendah daripada mi yang dihasilkan tanpa pemberian tekanan. Hal ini disebabkan pemberian tekanan meningkatkan kekompakan antar partikel dalam untaian mi yang dihasilkan. Selain itu dengan tekanan yang tinggi, molekul-molekul pati jagung akan lebih rapat sehingga membentuk matriks pengikat yang lebih kuat dan mengakibatkan molekul pati akan sulit terlepas dari untaian mi yang dihasilkan, sehingga mampu meningkatkan persen elongasi dan menurunkan KPAP mi. Pemberian tekanan berhubungan dengan waktu filling rate atau waktu keluar pertama mie dari die, hingga adonan tepung habis di dalam ekstruder. Jika waktu keluar mi hingga adonan habis di dalam ekstruder lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diberi penekanan, artinya adonan mendapatkan tekanan yang lebih besar dan akan dihasilkan mi yang memiliki elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Sedangkan menurut Stanley (1987) pemberian tekanan saat membuat produk ekstruder sangat diperlukan karena sifat penyerapan air saat proses gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh tekanan. Tekanan menyebabkan tekstur
52 produk lebih porous, sehingga saat proses gelatinisasi dapat menyerap air lebih banyak.
Gambar 13. Proses pencetakan untaian mi jagung Selanjutnya
mi
yang
dihasilkan
kembali
dikukus
untuk
menyempurnakan proses gelatinisasi sehingga didapatkan mi yang lebih baik mutu fisiknya. Proses pembuatan mi jagung basah dapat dilihat pada Gambar 14.
Tepung jagung 200 gr
NaCl 2% basis basah
Pencampuran dan pengadonan
Air sampai kadar air tepung basis kering 70 %
Pencampuran air dan NaCl hingga NaCl larut
Pembuatan lembaran dengan ketebalan ± 0.5 cm dan disayat menjadi bentuk persegi ± 3 x 3 cm2 Pengukusan adonan selama 15 menit Pencetakan dalam ekstruder dengan penekanan pada adonan secara manual Pengukusan mi selama 15 menit Mi jagung basah Gambar 14. Proses pembuatan mi jagung basah yang telah dioptimasi
53 Sebelum dilakukan analisa pengukuran sifat fisik (kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan) dengan alat Texture Analyzer TAXT-2, mi jagung basah cenderung mengeras pada suhu ruang maka perlu direhidrasi kembali yaitu dengan perebusan. Selama perebusan, mi akan mengalami proses gelatinisasi sempurna sehingga tekstur mi akan menjadi lebih lunak, kenyal dan elastis. Menurut Hou dan Kruk (1998), proses perebusan biasanya dilakukan antara 45-90 detik. Tetapi karena karakteristik fisik mi jagung basah mengeras bila dibiarkan lama pada suhu ruang maka dalam penelitian ini dibutuhkan waktu selama 2 menit. Tujuan perebusan adalah memudahkan mi jagung basah saat pengukuran kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan dengan mengkondisikan mi jagung basah seperti penyajian mi bakso/ayam. Karakteristik mi jagung basah setelah perebusan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik fisik mi jagung basah setelah perebusan Waktu perebusan (menit) 1 2 3
Karakteristik mi yang dihasilkan (secara visual) Mi matang dan agak keras Mi matang, lunak dan kenyal Mi matang, sangat lunak dan mudah patah
Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa waktu perebusan selama 1 menit menghasilkan mi yang matang namun agak keras. Waktu perebusan selama 2 menit menghasilkan mi matang, lunak, dan kenyal. Sedangkan waktu perebusan selama 3 menit menghasilkan mi matang namun mi sangat lunak dan mudah patah. Sehingga waktu perebusan yang paling optimum adalah selama 2 menit. Waktu perebusan yang terlalu singkat menyebabkan mi masih keras, sedangkan jika terlalu lama mi menjadi sangat lunak dan mudah patah. d. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Setelah didapatkan kadar air adonan dan waktu pengukusan yang optimum maka proses selanjutnya adalah menambahkan bahan pengikat guar gum. Tujuan pemilihan guar gum sebagai bahan tambahan dalam pembuatan mi jagung basah untuk memperbaiki sifat fisik mi terutama elastisitas mi jagung basah. Adapun tingkat konsentrasi yang dipakai adalah 0%, 1%, dan
54 2%. Pemilihan guar gum dalam pembuatan mi jagung berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadlillah (2005). Setelah itu, menyatakan bahwa diantara guar gum, carboxil metil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi cooking loss (KPAP) mi jagung. Guar gum merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari hasil ekstrasi biji tanaman Cyamopsis tetragonoloba (Goldstein et al., 1973). Guar gum tersusun atas rantai β-D-manopyranosyl yang berikatan dengan ikatan 1→4, dan setiap residu kedua memiliki rantai samping D-galactopyranosyl yang berikatan dengan rantai utama melalui ikatan 1→6 (Belitz dan Grosch, 1999). Guar gum biasanya digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil es krim. Guar gum mengandung air sebanyak 10-15%, protein sebanyak 5-6%, serat kasar sebanyak 2.5%, dan abu sebanyak 0.5-0.8% (Belitz dan Grosch, 1999). Dibandingkan biji lokus, guar gum lebih larut air karena lebih banyak tersubstitusi oleh galaktosa (Fardiaz, 1989). Guar gum disetujui sebagai GRAS oleh FDA tahun 1987 dengan konsentrasi maksimal digunakan sebagai bahan tambahan yaitu 2% (Nussinovitch, 1997). Dalam prosesnya guar gum dicampur kering dengan tepung jagung. Lalu dicampur dengan larutan garam sampai terbentuk adonan. Parameter yang diukur adalah sifat fisik mi dan persen elongasi secara obyektif dengan Texture Analyzer. 2. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Basah Selanjutnya, produk mi jagung basah perlu dianalisis sifat fisiknya. Analisis fisik mi jagung basah meliputi elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan menggunakan alat Texture Analyzer serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggunakan metode oven. a. Elongasi Persen elongasi adalah pertambahan panjang mi akibat gaya tarikan. Pada penelitian ini dilakukan dua metode persiapan pengukuran persen elongasi, yaitu proses pencelupan dan perendaman dalam air panas. Hal ini
55 dilakukan berdasarkan aplikasi pada penyajian mi basah, yaitu mi bakso (mi basah dicelup ke dalam air panas) dan mi ayam (mi basah direndam/direbus dalam air panas). Pada penelitian ini proses pencelupan dilakukan sebanyak 3 kali dan proses perendaman dilakukan selama 2 menit. Hasil pengamatan pengaruh penambahan guar gum pada mi jagung basah dengan metode celup dan rendam dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Deskripsi fisik untaian mi pada berbagai taraf kadar guar gum secara visual Kadar guar gum (%) 0 1 2
Celup dalam air panas Mi matang, warna kuning cerah seragam, elastis Mi matang, warna kuning tua, elastis
Metode Rendam dalam air panas Mi mengembang, warna kuning seragam, mudah patah Mi mengembang, warna kuning tua, mudah patah
Berdasarkan hasil pengamatan pada metode celup, mi jagung basah tanpa guar gum memiliki penampakan mi matang, warna mi kuning cerah seragam, dan elastis. Sedangkan mi jagung basah dengan kadar guar gum 1% dan 2% memiliki penampakan mi matang, warna mi kuning tua, dan elastis Pada metode rendam, mi jagung basah tanpa guar gum memiliki penampakan mi mengembang, warna mi kuning seragam, dan mudah patah. Sedangkan mi jagung basah dengan kadar guar gum 1% dan 2% memiliki penampakan mi mengembang, warna mi kuning tua, dan mudah patah. Persen elongasi celup Pengukuran persen elongasi celup dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi bakso. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung basah dicelup dalam air panas sebanyak 3 kali. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap persen elongasi celup pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 4). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa elongasi mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% berbeda nyata dengan mi jagung basah penambahan guar gum 1% dan tanpa guar gum. Hasil analisa persen elongasi celup dapat dilihat pada Gambar 15.
56
Gambar 15. Perubahan elongasi celup mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum Dari gambar 15 dapat terlihat bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum sebanyak 2% menghasilkan persen elongasi celup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan guar gum 1% dan tanpa guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mi, mi tidak mudah putus. Guar gum relatif meningkatkan persen elongasi celup mi jagung basah. Mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% memiliki persen elongasi celup paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 199.44%. Sedangkan mi jagung basah tanpa guar gum memiliki persen elongasi celup paling rendah yaitu sebesar 130.09%. Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran elongasi secara manual. Pengukuran elongasi mi jagung basah secara manual menghasilkan nilai persen elongasi sebesar 47%. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran yang digunakan berbeda. Pengukuran secara manual adalah sebagai berikut: untaian mi dengan panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung skala 0 cm sampai skala 10 cm, kedua ujung mi dipegang/jepit menggunakan ibu jari dan telunjuk, kemudian ditarik/diregangkan perlahan sampai putus. Pengukuran persen elongasi secara manual berdasarkan pertambahan panjang mi yaitu jarak mi setelah ditarik dikurangi jarak mi sebelum ditarik. Sedangkan pengukuran dengan
57 alat Texture Analyzer berdasarkan waktu putus mi, sampel mi dililitkan pada probe dengan jarak probe sebesar 2 cm. Agar tidak mudah lepas, lilitan mi di kedua probe lebih dikencangkan, sehingga saat ditarik mi tidak cepat putus. Sehingga dalam perhitungannya, nilai persen elongasi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan cara manual. Persen elongasi rendam Pengukuran persen elongasi rendam dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi ayam. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung basah direndam/direbus dalam air panas selama 2 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap persen elongasi rendam pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 5). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa elongasi mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% tidak berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1%. Namun mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% berbeda nyata dengan mi jagung basah tanpa guar gum. Hasil analisa persen elongasi rendam dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Perubahan elongasi rendam mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum Dari gambar 16 dapat terlihat bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum sebanyak 2% menghasilkan persen elongasi rendam
58 yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan guar gum 1% dan tanpa guar gum. Hal ini dikarenakan guar gum berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan sehingga ikatan produk menjadi lebih kuat dan saat diberikan gaya tarik pada untaian mi, mi tidak mudah putus. Guar gum relatif meningkatkan persen elongasi rendam mi jagung basah. Mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% memiliki persen elongasi rendam paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 120.44%. Sedangkan mi jagung basah tanpa guar gum memiliki persen elongasi rendam paling rendah yaitu sebesar 71.97%. Pengukuran elongasi dengan alat Texture Analyzer menghasilkan nilai persen elongasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran secara manual. Pengukuran elongasi secara manual menghasilkan nilai persen elongasi sebesar 47%. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran
yang
digunakan
berbeda.
Pengukuran
persen
elongsi
berdasarkan pertambahan panjang mi yaitu jarak mi setelah ditarik dikurangi jarak mi sebelum ditarik. Sedangkan pengukuran dengan alat Texture Analyzer berdasarkan waktu putus mi. Nilai persen elongasi rendam dalam air panas lebih rendah dibandingkan dengan persen elongasi celup. Hal ini disebabkan oleh panas yang diterima oleh mi yang direndam air panas lebih besar daripada mi yang dicelup, sehingga menurunkan daya ikat pati dan pada akhirnya menurunkan elongasi mi. b. Kekerasan dan kelengketan Kekerasan dan kelengketan mi jagung basah diukur secara objektif menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai luas area positif yang menggambarkan besarnya usaha probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, maka kekerasan mi akan semakin meningkat. Kekerasan pada mi dapat diakibatkan oleh proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosa-amilosa yang telah terdispersi ke dalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi,
59 maka proses retrogradasi pati semakin mungkin terjadi. Penggunaan bahan tambahan seperti guar gum diharapkan dapat menyebabkan turunnya amilosa terlarut sehingga fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit. Hal ini menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lunak (Kurniawati, 2006). Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung basah direhidrasi dengan direbus dalam air panas selama 2 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap kekerasan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 6). Hasil dari uji
lanjut Duncan
menunjukkan bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% tidak berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1%. Namun mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% berbeda nyata dengan mi jagung basah tanpa guar gum. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap kelengketan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 7). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% tidak berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1%. Namun mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% berbeda nyata dengan mi jagung basah tanpa guar gum. Hasil analisis kekerasan dan kelengketan dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Perubahan kekerasan dan kelengketan mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum
60 Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung basah penambahan guar gum 2% menghasilkan kekerasan dan kelengketan paling rendah dibandingkan dengan tanpa guar gum dan 1%. Peningkatan kadar guar gum menyebabkan tingkat kekerasan dan kelengketan mi semakin menurun. Peningkatan kadar guar gum menyebabkan daya ikat terhadap air menjadi semakin tinggi. Semakin tinggi daya ikat menyebabkan tingkat kekerasan mi cenderung menurun atau mi menjadi semakin lunak. Hal ini telah dilaporkan oleh Soraya (2006) dalam penelitiannya, bahwa peningkatan konsentrasi guar gum relatif menurunkan kekerasan mi jagung basah. Berbeda dengan kelengketan, kelengketan cenderung menurun dengan meningkatnya kadar guar gum karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Hal ini sesuai dengan penelitian Fadlillah (2005) yang menyatakan bahwa guar gum memiliki pengaruh paling besar dalam mengurangi kelengketan. Mi jagung basah tanpa guar gum memiliki nilai kekerasan paling tinggi sebesar 3108.03 gf dan nilai kelengketan paling tinggi sebesar -1288.22 gf. Sedangkan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% memiliki nilai kekerasan paling rendah yaitu sebesar 2250.32 gf dan nilai kelengketan paling rendah pula sebesar -1089.08 gf. c. Kekenyalan Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan cara membagi luas area kurva kedua dengan luas area kurva pertama. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung basah direhidrasi dengan direbus dalam air panas selama 2 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung basah tanpa guar gum,
61 penambahan guar gum 1%, dan penambahan guar gum 2% tidak berbeda nyata untuk kekenyalan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 8). Hasil analisis kekenyalan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Perubahan kekenyalan konsentrasi guar gum
mi
jagung
basah
pada
berbagai
Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung basah tanpa guar gum menghasilkan kekenyalan paling tinggi dibandingkan dengan dengan penambahan guar gum 1% dan 2%. Peningkatan kadar guar gum menyebabkan tingkat kekenyalan mi semakin menurun. Peningkatan kadar guar gum menyebabkan daya ikat terhadap air menjadi semakin tinggi. Semakin tinggi daya ikat menyebabkan tingkat kekenyalan mi cenderung menurun. Mi jagung basah tanpa guar gum memiliki nilai kekenyalan paling tinggi sebesar 0.44 gs. Sedangkan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2% memiliki nilai kekenyalan paling rendah yaitu sebesar 0.37 gs. d. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Cooking loss/kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh
62 kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006). KPAP merupakan salah satu parameter mutu yang penting diketahui karena berkaitan dengan kehilangan energi dan kualitas mi setelah dimasak. Nilai KPAP adalah yang relatif kecil. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap KPAP pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 9). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% tidak berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 2%. Namun mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% berbeda nyata dengan mi jagung basah tanpa guar gum. Hasil analisis KPAP dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Perubahan KPAP mi jagung basah pada berbagai konsentrasi guar gum Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% menghasilkan KPAP paling rendah dibandingkan dengan penambahan guar gum 2% dan tanpa guar gum. Guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Peningkatan konsentrasi guar gum relatif menurunkan KPAP mi jagung basah. Mi jagung basah tanpa guar gum memiliki nilai KPAP paling tinggi sebesar 3.86%. Sedangkan mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% memiliki nilai KPAP paling rendah yaitu sebesar 3.09%.
63 3. Hasil Uji Organoleptik Mi Jagung Basah Setelah dilakukan analisis fisik mi jagung basah secara objektif langkah selanjutnya adalah uji penerimaan terhadap mi jagung basah pada berbagai taraf kadar guar gum. Uji organoleptik yang diterapkan adalah uji kesukaan (rating hedonik). Uji rating hedonik dilakukan untuk mengetahui formula yang menghasilkan mi jagung basah terbaik meliputi beberapa atribut yaitu warna, elongasi, kekerasan, rasa, dan kekenyalan. Dalam uji organoleptik disajikan pula mi terigu (sarimi) yang sudah umum dikonsumsi oleh masyarakat. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Kisaran penilaian yang diberlakukan adalah mulai angka 1 sampai 7. Nilai 7 diberikan untuk sampel yang sangat disukai dan nilai 1 adalah untuk sampel yang sangat tid ak disukai. Hasil uji organoleptik mi jagung basah dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil uji organoleptik mi jagung basah Parameter Warna Elongasi Kekerasan Rasa Kekenyalan
313 5.47a 5.33a 5.63a 5.93a 5.63a
317 5.43a 5.13a 4.10b 4.53b 3.60b
195 4.93ab 4.40b 3.90b 4.03c 3.57b
137 4.77b 4.17b 4,.27b 3.77c 3.43b
Keterangan : 313 = mi terigu (sarimi) ; 317 = mi jagung basah tanpa guar gum ; 195 = mi jagung basah guar gum 1% ; 137 = mi jagung basah guar gum 2% Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar sampel (α<0.05)
Warna Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap warna pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 10), dapat dilihat bahwa mi jagung basah tanpa guar gum tidak berbeda nyata dengan mi terigu (sarimi) dan mi jagung basah dengan guar gum 1%. Namun mi jagung basah tanpa guar gum dan mi terigu (sarimi) berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan guar gum 2%. Berdasarkan Gambar 20, dalam menilai kesukaan
64 terhadap warna, mi jagung basah tanpa guar gum dan mi jagung basah dengan guar gum 1% terlihat sudah mendekati mi terigu (tidak berbeda nyata).
Gambar 20. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut warna mi jagung basah Elongasi Menurut Hou and Kruk (1998) elongasi merupakan salah satu parameter terpenting dari produk mie basah jagung. Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap elongasi pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 11), dapat dilihat bahwa mi jagung basah tanpa guar gum tidak berbeda nyata dengan mi terigu (sarimi). Namun mi jagung basah tanpa guar gum dan mi terigu (sarimi) berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan guar gum 1% dan mi jagung basah dengan guar gum 2%. Berdasarkan Gambar 21, mi jagung basah tanpa guar gum sudah mendekati produk mi terigu dalam menilai kesukaan terhadap elongasi.
Gambar 21. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut elongasi mi jagung basah
65 Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran persen elongasi dengan Texture Analyzer, sampel mi jagung basah dengan guar gum 2% memiliki nilai persen elongasi paling tinggi. Sedangkan hasil uji organoleptik, sampel mi jagung basah tanpa guar gum memiliki skor rata-rata kesukaan terhadap elongasi paling tinggi untuk sampel mi jagung. Dengan demikian panelis lebih menyukai sampel mi jagung yang tidak terlalu elastis. Kekerasan Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap kekerasan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 12), dapat dilihat bahwa mi jagung basah dengan guar gum 2%, mi jagung basah dengan guar gum 1%, dan mi jagung basah tanpa guar gum tidak berbeda nyata. Namun, kekerasan ketiga mi jagung basah tersebut berbeda secara signifikan dengan produk mi terigu. Berdasarkan Gambar 22, dalam menilai kesukaan terhadap kekerasan, didapatkan hasil bahwa mi jagung basah tanpa guar gum, mi jagung basah dengan guar gum 1%, dan mi jagung basah dengan guar gum 2% belum mendekati mi terigu (sarimi).
Gambar 22. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekerasan mi jagung basah Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kekerasan dengan Texture Analyzer, sampel mi jagung basah dengan guar gum 2% memiliki nilai kekerasan paling rendah. Sama halnya dengan hasil uji organoleptik, sampel mi jagung basah dengan guar gum 2% memiliki skor rata-rata kesukaan terhadap
66 kekerasan paling tinggi. Dengan demikian panelis lebih menyukai sampel mi jagung yang kurang keras. Rasa Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk. Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997). Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap rasa pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 13), dapat dilihat mi jagung basah tanpa guar gum dan mi jagung basah dengan guar gum 1% tidak berbeda nyata dan berbeda nyata dengan mi jagung basah dengan guar gum 2%. Namun, ketiga mi jagung basah tersebut berbeda secara signifikan dengan produk mi terigu. Berdasarkan Gambar 23, dalam menilai kesukaan terhadap rasa, didapatkan hasil bahwa mi jagung basah tanpa guar gum, mi jagung basah dengan guar gum 1%, dan mi jagung basah dengan guar gum 2% belum mendekati mi terigu.
Gambar 23. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut rasa sampel mi jagung basah Kekenyalan Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan menunjukkan bahwa pengaruh penambahan guar gum berpengaruh nyata terhadap kekenyalan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 14), mi jagung basah tanpa guar gum, mi jagung basah dengan guar gum 1%, dan mi jagung basah dengan guar gum 2% tidak berbeda nyata. Namun, ketiga mi jagung basah tersebut berbeda secara
67 signifikan dengan produk mi terigu. Berdasarkan Gambar 24, dalam menilai kesukaan terhadap kekenyalan, didapatkan hasil bahwa mi jagung basah tanpa guar gum, mi jagung basah dengan guar gum 1%, dan mi jagung basah dengan guar gum 2% belum mendekati mi terigu.
Gambar 24. Skor rata-rata kesukaan panelis berdasarkan atribut kekenyalan mi jagung basah Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kekenyalan dengan Texture Analyzer, sampel mi jagung basah tanpa guar gum memiliki nilai kekenyalan paling tinggi. Sama halnya dengan hasil uji organoleptik, sampel mi jagung basah tanpa guar gum memiliki skor rata-rata kesukaan terhadap kekenyalan paling tinggi untuk sampel mi jagung. Dengan demikian panelis lebih menyukai sampel mi jagung yang cukup kenyal. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terhadap lima jenis atribut, dapat disimpulkan bahwa formula terbaik untuk sampel mi jagung adalah mi jagung basah tanpa guar gum. Hal ini dikarenakan sampel mi jagung basah tanpa guar gum tidak berbeda nyata dengan sampel mi terigu (sarimi) dalam atribut warna dan elongasi. Selain itu, dari ketiga sampel mi jagung basah panelis lebih menyukai sampel mi jagung basah tanpa guar gum dalam atribut warna, elongasi, dan kekenyalan. Beberapa orang panelis menilai bahwa sampel mi jagung basah dengan guar gum 1% dan 2% terasa pahit saat dicicipi dan warna mi yang dihasilkan kuning gelap (Gambar 25). Setelah didapatkan formula optimum dari pembuatan mi jagung basah, langkah selanjutnya adalah pengembangan mi jagung basah menjadi mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven.
68
A
B
C
Gambar 25. Penampakan mi jagung basah tanpa guar gum (A), dengan guar gum 1% (B), dan dengan guar gum 2% (C) 4. Perbandingan Mi Jagung Basah Formula Terpilih dan Mi Terigu Basah Mi jagung basah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan mi tersebut dari mi terigu basah. Walaupun demikian, karakteristik mi jagung basah perlu disesuaikan dengan mi terigu basah mengingat masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi mi terigu basah sebagai makanan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan ditampilkan perbandingan antara mi jagung basah dan mi terigu basah. Hou dan Krouk (1998) yang menyatakan bahwa karaketristik fisik mi yang terpenting adalah KPAP dan elongasi. Mi jagung basah dinyatakan bermutu baik apabila memiliki persen elongasi yang tinggi dan KPAP yang rendah. Perbandingan karakteristik fisik mi jagung basah dan mi terigu basah dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbandingan karakteristik fisik mi jagung basah dan mi terigu basah Faktor Pembeda Warna Nilai Elongasi Nilai KPAP Nilai Kekerasan Nilai Kelengketan
Mi jagung basah Kuning 130,09% 3,86% 3108,03 gf -1288,22 gf
Mi terigu basah* Putih 98,40% 10,84% 2838,7 gf -423,16
*Keterangan : Rianto (2006)
Perbedaan yang dapat dilihat jelas antara mi jagung basah dan mi terigu basah adalah warna, dimana mi jagung basah berwarna kuning sedangkan mi terigu basah berwarna putih. Warna kuning pada mi jagung basah merupakan
69 karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mi jagung basah. Warna kuning pada mi jagung basah menunjukkan bahwa masih terdapat kandungan pigmen beta karoten pada mi. Pigmen beta karoten merupakan senyawa provitamin A yang dapat membantu meningkatkan ketahanan tubuh. Data pada Tabel 22, menunjukkan bahwa nilai elongasi mi jagung basah lebih tinggi bila dibandingkan dengan mi terigu basah. Nilai elongasi yang tinggi menunjukkan karakteristik mi jagung basah yang tidak mudah putus. Mi jagung basah memiliki nilai KPAP lebih rendah dibandingkan dengan mi terigu basah. Nilai KPAP yang rendah menyebabkan air rebusan mi jagung basah tidak terlalu keruh dan tekstur mi menjadi licin. Walaupun demikian, mi jagung basah memiliki nilai kekerasan dan kelengketan lebih tinggi dibandingkan dengan mi terigu basah. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality produk mi jagung basah pada saat dikonsumsi. Secara umum karakteristik fisik mi jagung basah sudah mendekati mi terigu basah terutama pada nilai KPAP dan elongasi. C. Optimasi Proses Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven Mi jagung instan merupakan proses pengeringan mi jagung basah setelah tahap pengukusan mi. Proses pengeringan mi jagung ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan dengan menggunakan udara panas (oven) menghasilkan instant dried corn noodle dan pengeringan dengan cara digoreng menghasilkan instant fried corn noodle. Namun, pada penelitian ini metode pengeringan yang digunakan adalah pengeringan menggunakan udara panas (oven). Proses instanisasi mi jagung mengikuti proses pembuatan mi oriental (Oriental Noodle) Oh et al (1983). Menurut Kim (1996) mi instan dicirikan dengan adanya pangukusan dan pengeringan baik dengan cara digoreng (instant fried noodle) maupun dikeringkan dengan oven (instant dried noodle). Proses pengeringan mi bertujuan agar produk dapat disimpan lebih lama dengan menghilangkan sebagian besar air. Formula mi jagung terbaik untuk dikembangkan menjadi mi jagung instan diperoleh dari hasil uji organoleptik mi jagung basah yaitu tepung jagung 100%, garam 2%, dan kadar air 70%. Proses pengeringan mi jagung dilakukan berdasarkan penelitian Budiyah (2004), yaitu
70 pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-750C selama 1-1,5 jam. Klasifikasi mi oriental dapat dilihat pada Gambar 26. Instant Dry Noodle
Fresh (Raw) Noodle
Mixing
Sheeting
Boiling in water Wet Noodle
Cutting
Drying Dry Noodle
Forming
Shaping
Frying Fried Noodle
Steaming
Forming Single Servings
Frying
Instant Fried Noodle
Gambar 26. Klasifikasi mi oriental berdasarkan kadar air dan tingkat pra-masak (Oh et al., 1983) 1. Pengeringan Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono, 1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti agar bahan memiliki masa simpan yang lama (Taib et al., 1988). Menurut Wirakartakusumah et al (1992) prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan akibat proses pindah panas yang berhubungan dengan adanya perbedaan suhu antara permukaan produk dengan permukaan air pada beberapa lokasi dalam produk. Ukuran bahan yang akan dikeringkan dapat mempengaruhi kecepatan waktu pengeringan. Semakin kecil ukuran bahan akan semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini disebabkan bahan yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan proses penguapan air dari bahan.
71 Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Penelitian kali ini menggunakan metode pengeringan mi dengan oven yang dilengkapi dengan tray-tray untuk menempatkan mi yang akan dikeringkan. Tray yang digunakan memiliki banyak lubang di bagian bawahnya agar panas dapat mengenai bagian bawah produk yang dikeringkan. Sumber energi pengeringan berupa udara panas hasil pengubahan uap panas dari boiler yang berlangsung di dalam radiator. Proses pemasukan udara panas dilakukan melalui lubang-lubang di dalam dinding oven. Untuk meratakan panas, oven dilengkapi pula dengan blower. Menurut Hou dan Kruk (1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering. Lama waktu pengeringan juga akan menentukan karakteristik produk akhir yang dihasilkan. Jika waktu pengeringan terlalu lama, mi instan/kering menjadi rapuh. Hal ini tentunya akan mempengaruhi cooking quality dari mi instan/kering tersebut karena saat dimasak mi menjadi patah-patah dan juga dapat meningkatkan cooking loss yang ditandai dengan kekeruhan warna air pemasakan mi. 2. Penentuan Waktu Optimum Pengeringan Faktor penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan mi jagung instan adalah suhu dan waktu pengeringan. Suhu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan mi jagung adalah 55-600C. Mi jagung yang telah dikukus selama 15 menit dipisah satu persatu agar tidak menempel satu dengan yang lainnya. Ambil ± 20 helai mi dan dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk kepingan berukuran sedang lalu dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan secara sempurna, dan menjadikannya produk yang kering dan renyah. Pengeringan dilakukan dengan variasi waktu yaitu 60, 65, 70, 75, dan 80 menit. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Setelah dikeringkan mi jagung diukur kadar airnya dan ditentukan kadar air dengan waktu pengeringan yang optimum. Kadar air mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven harus < 14,5% sesuai dengan SNI 01-3551-2000.
72 Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada suhu 600C dapat dilihat pada Gambar 27. Sedangkan karakteristik fisik mi jagung instan secara visual dapat dilihat pada Tabel 23.
Gambar 27. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada suhu 600C Tabel 23. Karakteristik fisik mi jagung instan secara visual Waktu pengeringan (menit)
Karakteristik mi yang dihasilkan
60
Mi agak liat saat dipatahkan dan masih menempel pada tray
65 70 75 80
Mi mudah dipatahkan Mi sangat rapuh
Berdasarkan Gambar 27 dan Tabel 23 dapat diketahui bahwa waktu optimum pengeringan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI 01-3551-2000 pada suhu 600C adalah 65 menit dengan kadar air 11.87%, 70 menit dengan kadar air 10.85%, dan 75 menit dengan kadar air 10.02%. Sebenarnya waktu pengeringan selama 60 menit sudah memenuhi kadar air SNI dengan kadar air rata-rata 13.53%, akan tetapi mi yang dihasilkan agak liat saat dipatahkan dan sebagian masih menempel pada tray. Pengeringan dengan waktu 80 menit menghasilkan mi dengan kadar air rata-rata 8,58%. Namun, waktu pengeringan tersebut tidak dipilih karena
73 dianggap terlalu kering dan saat direhidrasi mi menjadi cepat rapuh. Oleh karena itu proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven selanjutnya dilakukan pada suhu 60OC dengan kisaran waktu 65, 70, dan 75 menit. Mi jagung instan yang diperoleh dengan cara pengeringan dengan oven memiliki kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992). Selain itu, proses pembuatan mi dengan cara instant dried noodle memiliki kekurangan dibandingkan dengan instant fried noodle yaitu rasa gurih yang rendah akibat kandungan rendah lemak. 3. Analisis Karakteristik Fisik Mi Jagung Instan Selanjutnya, produk akhir berupa mi jagung instan perlu dianalisis sifat fisiknya. Analisis fisik mi jagung instan meliputi persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan menggunakan Texture Analyzer, waktu rehidrasi serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) menggunakan metode oven. a. Waktu rehidrasi Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Penentuan waktu optimum rehidrasi dilakukan dengan memasak mi dalam air mendidih, lalu menghitung waktu yang dibutuhkan sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi, tetapi menjaga jangan sampai mi terlewat matang. Karakteristik fisik mi jagung instan setelah rehidrasi dapat dilihat pada Tabel 24.
74 Tabel 24. Karakteristik fisik mi jagung instan setelah rehidrasi Waktu rehidrasi (menit) 2 3 4 5 6
Sifat mi setelah direhidrasi (secara visual) Mi kurang matang, masih keras, tidak elastis serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi Mi matang, agak keras, elastis serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi Mi matang, lunak, lembut, elastis, dan tidak ada spot putih di bagian tengah mi Mi lembek, lengket, kurang elastis sehingga mi menjadi patah-patah
Mi jagung instan yang direhidrasi selama 2 menit kurang matang, masih keras, tidak elastis serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit. Waktu rehidrasi selama 4 menit, mi matang dan elastis namun agak keras serta terlihat ada spot putih di bagian tengah mi. Waktu rehidrasi selama 5 menit, mi matang, lunak, lembut, elastis, dan tidak ada spot putih di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 6 menit, mi lembek, lengket, kurang elastis sehingga mi menjadi patah-patah ketika dimasak. Waktu rehidrasi selama 5 menit merupakan waktu rehidrasi mi jagung instan yang paling optimum. Akan tetapi waktu rehidrasi mi jagung instan belum memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan/kering adalah selama 4 menit. Penampakan mi jagung instan sebelum dan setelah direhidrasi dapat dilihat pada Gambar 28.
A
B
Gambar 28. Penampakan mi jagung instan sebelum (A) dan setelah direhidrasi (B)
75 b. Persen elongasi celup Pengukuran persen elongasi celup dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi bakso. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung instan yang telah direhidrasi selama 5 menit kemudian dicelup dalam air panas sebanyak 3 kali. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap persen elongasi celup pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 19). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit berbeda nyata dengan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hasil analisa persen elongasi celup dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Perubahan elongasi celup mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan persen elongasi celup yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering dan elongasi menjadi berkurang. Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki persen elongasi celup paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 181.28%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki persen elongasi celup paling rendah yaitu sebesar 86.17%. Nilai persen elongasi celup mi jagung instan lebih tinggi dibandingkan dengan
76 nilai persen elongasi celup mi jagung basah yang sama-sama diukur dengan alat Texture Analyzer. Besarnya nilai persen elongasi pada mi jagung instan dikarenakan proses pemanasan/pengeringan menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga nilai persen elongasi menjadi lebih tinggi. Selain itu, nilai persen elongasi mi jagung instan yang diukur dengan alat Texture Analyzer juga lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran elongasi mi jagung basah secara manual. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran elongasi yang digunakan berbeda dan telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. c. Persen elongasi rendam Pengukuran persen elongasi rendam dilakukan berdasarkan pada aplikasi mi ayam. Sebelum dilakukan pengukuran, sampel mi jagung instan yang telah direhidrasi selama 5 menit kemudian direndam dalam air panas selama 2 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap persen elongasi rendam pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 20). Hasil dari uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit berbeda nyata dengan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hasil analisa persen elongasi rendam dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Perubahan elongasi rendam mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda
77 Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan persen elongasi rendam yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering dan elongasi menjadi berkurang. Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki persen elongasi rendam paling tinggi dibandingkan dengan dua sampel lainnya yaitu sebesar 84.83%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki persen elongasi rendam paling rendah yaitu sebesar 40.83%. Nilai persen elongasi rendam mi jagung instan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai persen elongasi rendam mi jagung basah yang sama-sama diukur dengan alat Texture Analyzer. Besarnya nilai persen elongasi pada mi jagung instan
dikarenakan
proses
pemanasan/pengeringan
menyebabkan
meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga nilai persen elongasi menjadi lebih tinggi. Namun nilai persen elongasi mi jagung instan yang diukur dengan alat Texture Analyzer lebih besar bila dibandingkan dengan pengukuran elongasi mi jagung basah secara manual. Hal ini dikarenakan teknik dan prinsip pengukuran elongasi yang digunakan berbeda dan telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. d. Kekerasan dan kelengketan Kekerasan dan kelengketan mi jagung instan diukur secara objektif menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai luas area positif yang menggambarkan besarnya usaha probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, maka kekerasan mi akan semakin meningkat. Sebelum dilakukan pengukuran mi jagung instan direhidrasi/direbus terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk kekerasan dan kelengketan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 2122). Hasil analisis kekerasan dan kelengketan dapat dilihat pada Gambar 31.
78
Gambar 31. Perubahan kekerasan dan kelengketan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan kekerasan paling tinggi dan kelengketan terendah dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan kekerasan yang dihasilkan relatif berkurang dan kelengketan relatif meningkat. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering mengakibatkan tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering sehingga kekerasan menurun. Karena mi terlalu kering maka terjadi peningkatan jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan pada tepung jagung sehingga meningkatkan kelengketan.
Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai kekerasan paling tinggi sebesar 3045.13 gf dan nilai kelengketan terendah sebesar -1109.33 gf. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai kekerasan paling rendah yaitu sebesar 2857.13 gf dan nilai kelengketan paling tinggi sebesar -1445.57 gf. e. Kekenyalan Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan
79 merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan cara membagi luas area kurva kedua dengan luas area kurva pertama. Sebelum dilakukan pengukuran mi jagung instan direhidrasi/direbus terlebih dahulu dalam air panas selama 5 menit. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk kekenyalan pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 23). Hasil analisis kekenyalan dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Perubahan kekenyalan mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan kekenyalan paling tinggi dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan kekenyalan yang dihasilkan relatif menurun. Hal ini dikarenakan waktu pengeringan yang lebih lama, menyebabkan menurunnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering mengakibatkan tekstur mi menjadi rapuh karena terlalu kering sehingga kekenyalan menurun.
80 Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai kekenyalan paling tinggi sebesar 0.40 gs. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai kekenyalan paling rendah yaitu sebesar 0.36 gs. f. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Cooking loss/kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65, 70, dan 75 menit tidak berbeda nyata untuk KPAP pada taraf signifikansi α 0.05 (Lampiran 24). Hasil analisis KPAP dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 33. Perubahan KPAP mi jagung instan pada waktu pengeringan yang berbeda Dari gambar dapat terlihat bahwa mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit menghasilkan KPAP paling rendah dibandingkan dengan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan menyebabkan KPAP yang dihasilkan relatif besar. Hal ini dikarenakan waktu
81 pengeringan yang lebih lama menyebabkan menurunnya kekompakkan dan ikatan antar partikel sehingga nilai cooking loss akan bertambah. Mi jagung instan dengan waktu pengeringan 75 menit memiliki nilai KPAP paling tinggi sebesar 4.58%. Sedangkan mi jagung instan dengan waktu pengeringan 65 menit memiliki nilai KPAP paling rendah yaitu sebesar 3.77%. D. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Proses Pembuatan Mi Jagung Instan Dengan Teknik Pengeringan Oven SOP (Standard Operating Procedure) merupakan dokumen tingkat kedua dalam struktur dokumentasi setelah mutu (quality manual). SOP mencakup tahapan-tahapan yang harus diikuti selama proses produksi mi jagung instan. Menurut Priyadi, prosedur adalah cara tertulis untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh bagian atau personel, dalam hal ini adalah kegiatan produksi. Penggunaan SOP bertujuan untuk mengatur aliran kegiatan tertentu oleh bagian atau personel SOP bermanfaat sebagai standarisasi dalam melaksanakan kegiatan produksi, mengurangi kesalahan dan kelalaian serta meningkatkan akuntabilitas. Selain itu, penyusunan SOP dapat menjamin seluruh tahapan kritis (critical point) dalam proses produksi mi jagung instan dapat dikendalikan. Berikut adalah SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven dengan formula tepung jagung 100%, garam 2%, kadar air 70%, dan guar gum 0% serta saran penyajiannya : 1. Produksi mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven menggunakan peralatan sebagai berikut : (1) timbangan; (2) pensuplai uap (boiler); (3) panci kukus atau steaming box; (4) ekstruder (Multifunctional Noodle Modality Machine); (5) kompor gas; (6) oven pengering (dryer); (7) tray stainless steel; dan (8) mesin sealer. 2. Timbang tepung jagung sebanyak 200 g, kemudian air 70% dari berat kering tepung setelah dikurangi dengan kadar air tepung serta garam 2% dari berat adonan. 3. Buatlah larutan garam dengan cara melarutkan 4 g garam ke dalam air yang telah dihitung bobotnya (g).
82 4. Campur tepung jagung dan larutan garam secara manual dengan menggunakan sarung tangan plastik hingga rata. 5. Setelah itu adonan dibentuk lembaran dengan dilapisi plastik sampai ketebalan ± 0,5 cm menggunakan roll pengepres dan disayat dengan pisau stainless steel menjadi bentuk persegi dengan ukuran ± 3x3 cm2. 6. Kemudian, pindahkan lembaran yang telah homogen di atas kain saring dalam kukusan atau steaming box. Kemudian dikukus pada suhu 1000C selama 15 menit. 7. Adonan yang telah dikukus kemudian segera dimasukkan ke dalam ekstruder pasta yang telah dinyalakan sebelumnya. 8. Selama proses pengekstrusian, adonan diberi gaya tekan agar secara manual dengan balok kayu mi yang dihasilkan kompak dan seragam. 9. Potong untaian mi yang terbentuk sepanjang ± 20 cm dengan pisau. 10. Selanjutnya kukus lagi untaian mi selama 15 menit untuk menyempurnakan gelatinisasi pati. 11. Pisahkan untaian-untaian mi basah satu persatu agar tidak menempel satu dengan yang lainnya. 12. Siapkan tray, ambil ± 20 helai mi dan dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk kepingan berukuran sedang. 13. Masukkan tray yang berisi mi jagung basah yang telah dibentuk tadi ke dalam oven pengering (dryer) dengan suhu 600C. Pastikan blower dryer sudah menyala dan pada saat memasukkan tray gunakan sarung tangan tahan panas. 14. Keringkan mi jagung basah selama 1-1.5 jam. 15. Pengeringan sudah dianggap cukup, jika mi mudah dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Setelah dingin, kemas mi jagung instan dalam plastik (200 g per kemasan) dan diseal. Berikut adalah saran penyajian mi jagung instan : 1. Rebus mi jagung instan dalam 400 ml (2 gelas) air mendidih selama 5 menit sambil diaduk. Setelah matang angkat mi dan tiriskan. 2. Keluarkan mi dari air dan tiriskan. 3. Masak mi menurut selera Anda. 4. Mi jagung instan lezat siap disajikan.
83 Tepung jagung 200 gr
Pencampuran dan pengadonan
NaCl 2% bb
Air sampai kadar air tepung basis kering 70 %
Pencampuran dan pengadukan hingga NaCl larut
Adonan mi jagung 303,03 g Pengukusan adonan Adonan pre-gelatinisasi 310,28 g Pencetakan dalam ekstruder Pengukusan mi Mi jagung basah 249,90 g Pengeringan mi
Mi jagung instan 143,22 g Gambar 34. Kesetimbangan massa proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Penambahan guar gum terbukti dapat mengurangi cooking loss (KPAP) mi, meningkatkan elastisitas mi, menurunkan kekerasan dan kelengketan mi serta menurunkan kekenyalan mi pada mi jagung basah. Namun, hasil uji organoleptik terhadap atribut warna, elongasi, kekerasan, rasa, dan kekenyalan dapat disimpulkan bahwa formula yang paling disukai oleh panelis untuk sampel mi jagung basah adalah mi jagung basah tanpa guar gum. Hal ini dikarenakan sampel mi jagung basah tanpa penambahan guar gum tidak berbeda nyata dengan sampel mi terigu (sarimi) dalam atribut warna dan elongasi. Selain itu, mi jagung basah dengan penambahan guar gum 1% dan 2% menimbulkan rasa pahit saat dicicipi dan warna mi jagung yang dihasilkan kuning gelap sehingga tidak disukai oleh panelis. Oleh sebab itu, formulasi mi jagung basah terpilih yang akan diaplikasikan pada tahap pengeringan dengan oven (instant dried noodle) terdiri dari tepung jagung 100%, garam 2%, kadar air, dan 70%. Nilai KPAP, persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung basah formula terpilih berturut-turut adalah sebesar 3.86%, 130.09%, 3108.03 gf, -1288.22 gf, dan 0.44 gs. Waktu optimum pengeringan mi jagung instan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI 01-3551-2000 pada suhu 600C adalah 65 menit dengan kadar air 11.87%, 70 menit dengan kadar air 10.85%, dan 75 menit dengan kadar air 10.02%. Waktu pengeringan 65 menit memberikan hasil analisis fisik lebih baik dibandingkan waktu pengeringan 70 dan 75 menit. Peningkatan waktu pengeringan dapat meningkatkan KPAP, menurunkan persen elongasi, kekerasan dan kekenyalan serta meningkatkan kelengketan mi jagung instan. Nilai KPAP, persen elongasi, kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi jagung instan dengan waktu pengeringan optimum berturut-turut adalah sebesar 3.77%, 181.28%, 3045.13 gf, -1109.33 gf, dan 0.40 gs. Mi jagung instan yang dihasilkan memiliki waktu rehidrasi optimum yaitu selama 5 menit. Berdasarkan proses dan formulasi optimum mi jagung instan memiliki persen elongasi yang lebih besar dibandingkan dengan mi jagung basah. Besarnya
85 nilai
persen
elongasi
pada
mi
jagung
instan
dikarenakan
proses
pemanasan/pengeringan menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga nilai persen elongasi menjadi lebih tinggi. B. Saran Mi jagung basah dan pengembangannya menjadi mi jagung instan memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mi jagung instan dengan teknik pengeringan oven masih menghadapi beberapa kendala, diantaranya pada saat proses penataan mi jagung basah yang akan dikeringkan. Selain itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam hal : 1. Scale up dan analisis biaya dalam pengolahan produk mi jagung instan. 2. Perbaikan perlakuan pada lini pengolahan terutama pada proses pengeringan mi. 3. Untuk menghasilkan mi jagung instan dengan rasa yang gurih dapat dilakukan proses pengeringan dengan teknik penggorengan 4. Uji penerimaan konsumen terhadap mi jagung instan. 5. Pendugaan umur simpan mi jagung instan.
86 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [18 Februari 2008]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist, Inc., Washington D. C. Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian. www. Balitbang. co. id. [16 Februari 2008]. Badan Pusat Statistik. 2006. Harvested Area, Yield Rate and Production of Maize by Province (2006). Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Jagung. http//: bps.go.id. [20 Mei 2009]. Badan Standarisasi Nasional. 1990. Standar Industri Indonesia. SII 1716-1990. Mie Instan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-29871992. Mi Basah. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-37271995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-35512000. Syarat Mutu Mi Instan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badrudin C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mi Kering. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Belitz H D dan Grosch W. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Budiyah. 2004. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bushuk W. and Wrigley CW. 1971. Glutenin in Developing Wheat Grain. Cereal Chem.48, 448-455 Cheng.
2006. Starch Structure : Composition http://www.cheng.cam.ac.uk. [28 Juni 2006].
and
Structure.
87 Collison. 1968. Swelling Gelation of Starch. Di dalam Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd. London. Effendi S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV Yasaguna. Jakarta. Ekafitri R. 2009. Karakterisasi Tepung Lima Varietas Jagung Kuning Hibrida dan Potensinya Untuk Dibuat Mie Jagung Berdasarkan Sifat Fisik dan Organoleptik. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Etikawati EC. 2007. Pengaruh Perlakuan Passing, Konsentrasi Na2CO3, dan Kadar Air Terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung Yang Dibuat Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fadlillah HN. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fahmi A. 2006. Mempelajari Optimasi Ekstruder Tipe LE25-30/C dalam Pembuatan Mie Basah Berbasis Tepung Jagung Varietas Bisi II. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fellows. 2000. Food Engineering. Marcell Dekker, Basel. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel. Goldstein AM, Alter EN, dan Seaman JK. 1973. Guar gum. Didalam: Wistler RL (ed). Industrial Gum. Academic Press. New York. Gracecia D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Greenwood CT. 1975. Observation on The Structure of The Starch Granule. Di dalam: Muchtadi TR, Hariyadi P, dan Azra AB. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Greenwood CT dan Munro DN. 1979. Carbohydrates. Di dalam: Muchtadi TR, Hariyadi P, dan Azra AB. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.Bogor. Harper JM. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton. Florida.
88 Hatorangan EF. 2007. Pengaruh Perlakuan Konsentrasi NaCL, Kadar Air, dan Passing terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Diproduksi dengan Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak dan Pencetak. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hodge JE dan Osman EM. 1976. Carbohydrates. Di dalam Muchtadi TR, Hariyadi P, dan Azra AB. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota. USA. Hou G dan Kruk M. 1998. Asian Noodle Technology. http://secure.aibonline.org. [28 Juni 2006]. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Intan AD. 1997. Mempelajari proses produksi mi kering dan mi instan di PT Asia Inti Selera, Cimanggis-Bogor. Laporan Praktek Lapang. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Johnson LA. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz KJ. and Karel K (eds.). Marcell Dekker, Inc. Basel. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kim SK. 1996. Instant Noodles. Di dalam: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW. Pasta and Noodle Technology. Minnesota: American Association of Cereal Chemist, Inc. hlmn 195-226. Koentjoro T. 2007. Pioneer Bantu Petani Rekonstruksi Jalan dan Jembatan di Areal Jagung. http://www.id.dupont.com. [28 Juni 2007]. Kurniawati RD. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lasztity R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc. USA.
89 Matz SA. 1962. Food Texture. The AVI Publishing Co. Westport. Connecticut. Matz SA. 1984. Snack Food Technology, 2nd edition. The AVI Publishing Company Inc., Westport. Connecticut. McCready RM. 1970. Starch and Dextrin. Di dalam Muchtadi TR, Hariyadi P, dan Azra AB. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Meilgaard M, Civille GV dan Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3 rd Ed. CRC Press, Florida. Merdiyanti A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi TR, Hariyadi P, dan Azra AB. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Lembaga Swadaya Informatika, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muhandri T. 2006. Karakterisasi Reologis Pada Pengolahan Mie Jagung Dengan Proses Ekstrusi Pencetak [Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda]. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nussinovitch A. 1997. Hydrocolloid Applications : Gum technology in the food and other industries. Faculty of Agricultural, Food and Environmetal Quality Sciences, Food Science and Nutrition, Institute of Biochemistry, Rehovot. Israel. Oh NH, Seib PA, Deyoe CW, and Ward AB. 1983. Noodles.I. Measuring The Textural Characteristic of Cooked Noodles. Cereal Chem. 60:433-438. Oh NH, Seib PA, Finney KF, dan Pomeranz Y. 1985. Oriental Noodles. Cereal Chem. 63: 93-96. Pramono L. 1993. Mempelajari Karakterisasi Pengeringan Teh Hitam (TC Carling Tearing Crushing) Tipe FBD (Fluidizes Bed Dryer). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pratama GGFS. 2008. Paket Teknologi Untuk Memproduksi Mi Jagung dengan Bahan Baku Tepung Jagung. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
90 Priyadi G. 1996. Menerapkan SNI Seri 9000: ISO 9000 (Series) Produk Manufakturing. Buni Aksara. Jakarta. Purwono dan Hartoni R. 2007. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Ranken MD, Baker C, and Kill R C. 1997. Food Industries Manual. Springer. USA. Riaz MN. 2000. Ekstruder In Food Applications. CRC Press Inc. USA. Rukmana. 2001. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya. Depok. Setyaningrum, Aryani dan Marsono Y. 1999. Pengkayan Vitamin A dan Vitamin E dalam Pembuatan Mi Instant Menggunakan Minyak Sawit Merah. Di dalam Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha 19882001. Smith OB. 1976. Extrussion and Forming : Creating New Foods Eng, 47(7). Smith OB. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980. Bangkok. Stanley. 1987. Food Texture and Microstructure. Di dalam : Moskowitz HR. Food Texture, Instrumental, and Sensory Measurement. Marcel Dekker Inc, New York. Basel Soraya A. 2006. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Basah Jgaung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subarna et al., 1999. Pengembangan Bahan Baku Campuran Tepung-Tepungan Sebagai Alternatif Makanan Pokok Agar Mudah Memasuki Pasar Regional atau Global. PAU – IPB. Bogor. Sunaryo E. 1985. Pengolahn Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiyono. 2002. Teknologi Tepung dan Pati. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi dengan Asosiasi Produsen Terigu Indonesia. Bogor. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya. Jakarta. Suprapto dan Marzuki H A R. 2005. Bertanam Jagung edisi Revisi. Cetakan ke14. Penebar Swadaya. Jakarta.
91 Susilawati I. 2007. Mutu Fisik Dan Organoleptik Mi Basah Jagung Dengan Teknik Ekstrusi. [Skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Semberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suwandi
A. 2006. Pergeseran Pola Konsumsi Masyarakat Jatim. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0610/04/jatim/57717.htm. [19 Mei 2008].
Swinkels JJM. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam Starch Conversion Tehnology, V. Beynum dan J. A. Roels (eds). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Taib G, Said G, dan Wiraatmadja S. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta. Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, and Collado LS. 2004. Production of BihonType Noodle From Maize Starch Differing in Amylose Content. J Cereal Chem, 81(4):475-480. Waniska RD, Yi T, dan Wei L. 2000. Effects of Preheating Temperature, Moisture, and Sodium Metabisulfite Content on Property of Maize Flour Dough. Chemical Research in Chineese Universities Vol. 16 No. 3 P 250-258. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta. Watson SA. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of The Corn Kernel. Di dalam: White PJ dan Johnson LA (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota. USA. Webster’s 3rd New dictionary, Merian Company, Springfield, Mass., 1996, 808. Didalam : Harper J M. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton Florida. Whistler dan Daniel. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry, Fennema, O. R. (ed.). Marcell Dekker Inc. Basel. Wikipedia Indonesia. 2005. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [30 Januari 2008]. Winarno
FG 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA-Food Development Center, IPB. Bogor.
Technology
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
92 Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison. Wirakartakusumah M A, Subarna, Arpah M, Syah D, dan Budiawati SI. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. DEPDIKBUD, Dirjen Dikti, PAU, IPB, Bogor. Yustiareni E. 2000 Kajian Substitusi Terigu Oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai pada Pembuatan Mi Kering. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zulkhair H. 2009. Karakterisasi Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung Yang Dihasilkan. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
93 Lampiran 1. Data elongasi mi jagung hasil pengukusan I secara manual Waktu Elongasi mi jagung secara visual pengukusan Ulangan I (%) Ulangan II (%) Rata-rata (%) (menit) 1 2 1 2 15 48.0 45.0 46.0 35.0 43.5 20 38.0 35.0 30.0 40.0 35.8 25 15.0 18.0 22.0 20.0 18.8 Lampiran 2. Data elongasi mi jagung hasil pengukusan II secara manual Waktu Elongasi mi jagung secara visual pengukusan Ulangan I (%) Ulangan II (%) Rata-rata (%) (menit) 1 2 1 2 15 50.0 55.0 43.0 40.0 47.0 20 25.0 30.0 28.0 25.0 27.0 25 20.0 12.0 15.0 15.0 15.5 Lampiran 3. Data kadar air mi jagung basah Guar gum B. cawan + sampel Kadar air Ulangan B. cawan B. sampel awal (%) instan (%) U1.1 4.5730 5.0032 7.2983 45.53 U1.2 3.9835 5.0037 6.5992 47.72 U2.1 4.5722 5.0068 7.3251 45.02 U2.2 3.9889 5.0020 6.6917 45.97 0 U3.1 4.5725 5.0096 7.3543 44.47 U3.2 3.9861 5.0043 6.7328 45.11 Rata-rata 45.64 SD 1.13855 U1.1 1.8977 5.0062 4.7988 42.05 U1.2 1.9320 5.0055 4.8392 41.92 U2.1 1.9664 5.0033 4.8605 42.16 U2.2 1.9283 5.0015 4.8346 41.89 1 U3.1 1.9091 5.0073 4.8241 41.78 U3.2 1.9904 5.0014 4.9146 41.53 Rata-rata 41.89 SD 0.21958 U1.1 9.0932 5.0039 11.9200 43.51 U1.2 8.7278 5.0056 11.5251 44.12 U2.1 7.2235 5.0089 10.0455 43.66 U2.2 6.9034 5.0078 9.7426 43.30 2 U3.1 6.3366 5.0070 9.1204 44.40 U3.2 6.8940 5.0066 9.6884 44.19 Rata-rata 43.86 SD 1.13855
94
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi celup mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:elongasi_celup Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
Model
241011.663a
5
48202.333
198.906
.000
guar_gum
7575.190
2
3787.595
15.629
.013
ulangan
2020.957
2
1010.479
4.170
.105
Error
969.349
4
242.337
Total
241981.012
9
a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,991)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets elongasi_celup Duncan Subset guar_gum
N
1
2
mi jagung guar gum 0%
3
1.3009E2
mi jagung guar gum 1%
3
1.5149E2
mi jagung guar gum 2%
3
Sig.
1.9948E2 .168
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 242,337.
1.000
F
Sig.
95
Lampiran 5. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi rendam mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:elongasi_rendam Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
98356.590a
5
19671.318
52.789
.001
guar_gum
3980.296
2
1990.148
5.341
.074
ulangan
2140.579
2
1070.290
2.872
.169
Error
1490.560
4
372.640
Total
99847.151
9
Model
a. R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,966)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets elongasi_rendam Duncan Subset guar_gum
N
1
2
mi jagung guar gum 0%
3
71.9667
mi jagung guar gum 1%
3
1.1129E2
mi jagung guar gum 2%
3
Sig.
1.1129E2 1.2044E2
.067
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 372,640.
.593
96
Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kekerasan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
7.081E7a
5
1.416E7
384.419
.000
guar_gum
493472.222
2
246736.111
6.697
.053
ulangan
233922.695
2
116961.348
3.175
.149
Error
147360.558
4
36840.140
Total
7.096E7
9
Model
a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,995)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets kekerasan Duncan Subset guar_gum
N
1
2
mi jagung guar gum 2%
3
2.5503E3
mi jagung guar gum 1%
3
2.7132E3
mi jagung guar gum 0%
3
Sig.
2.7132E3 3.1080E3
.357
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 36840,140.
.065
97
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelengketan mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kelengketan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1.294E7a
5
2587248.675
606.724
.000
guar_gum
60020.141
2
30010.070
7.038
.049
ulangan
42872.301
2
21436.150
5.027
.081
Error
17057.164
4
4264.291
Total
1.295E7
9
Model
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,997)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets kelengketan Duncan Subset guar_gum
N
1
2
mi jagung guar gum 0%
3 -1.2882E3
mi jagung guar gum 1%
3 -1.2051E3 -1.2051E3
mi jagung guar gum 2%
3
Sig.
-1.0891E3 .194
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 4264,291.
.095
98
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekenyalan mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kekenyalan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1.512a
5
.302
248.161
.000
guar_gum
.009
2
.005
3.734
.122
ulangan
.010
2
.005
4.213
.104
Error
.005
4
.001
Total
1.517
9
Model
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,993)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets kekenyalan Duncan Subset guar_gum
N
1
mi jagung guar gum 2%
3
.366967
mi jagung guar gum 1%
3
.410067
mi jagung guar gum 0%
3
.444700
Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,001.
.056
99
Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap KPAP mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KPAP Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
110.924a
5
22.185
260.198
.000
guar_gum
.876
2
.438
5.135
.079
ulangan
.078
2
.039
.458
.662
Error
.341
4
.085
Total
111.265
9
Model
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,993)
Post Hoc Tests guar_gum Homogeneous Subsets KPAP Duncan Subset guar_gum
N
1
2
mi jagung guar gum 1%
3
3.0867
mi jagung guar gum 2%
3
3.5567
mi jagung guar gum 0%
3
Sig.
3.8433 .120
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,085.
3.5567
.296
100
Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut warna mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WARNA Type III Sum of Squares
Source Model
df
Mean Square
F
Sig.
3255.233(a)
33
98.643
86.891
.000
PANELIS
61.300
29
2.114
1.862
.014
SAMPEL
11.233
3
3.744
3.298
.024
Error
98.767
87
1.135
Total
3354.000
120
a R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .959)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets WARNA Duncan
a,b
SAMPEL Mi jagung guar gum 2% Mi jagung guar gum 1% Mi jagung guar gum 0% Sarimi Sig.
N 30 30 30 30
Subset 1 4.77 4.93
2
.546
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.135. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
4.93 5.43 5.47 .069
101
Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut elongasi mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ELONGASI Source Corrected Model Intercept PANELIS SAMPEL Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 146.233a 2717.008 117.742 28.492 115.758 2979.000 261.992
df 32 1 29 3 87 120 119
Mean Square 4.570 2717.008 4.060 9.497 1.331
a. R Squared = .558 (Adjusted R Squared = .396)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets ELONGASI Duncan
a,b
SAMPEL Mi jagung guar gum 2% Mi jagung guar gum 1% Mi jagung guar gum 0% Sarimi Sig.
N 30 30 30 30
Subset 1 4.17 4.40
2
.435
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.331. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
5.13 5.33 .504
F 3.434 2042.010 3.051 7.138
Sig. .000 .000 .000 .000
102
Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut kekerasan mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KERAS Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 2559.442a 100.675 55.692 97.558 2657.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 77.559 3.472 18.564 1.121
F 69.165 3.096 16.555
a. R Squared = .963 (Adjusted R Squared = .949)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets KERAS Duncan
a,b
SAMPEL Mi jagung guar gum 1% Mi jagung guar gum 0% Mi jagung guar gum 2% Sarimi Sig.
N 30 30 30 30
Subset 1 3.90 4.10 4.27 .210
2
5.63 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.121. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .000
103
Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: RASA Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 2673.300a 86.967 83.800 88.700 2762.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 81.009 2.999 27.933 1.020
F 79.456 2.941 27.398
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .968 (Adjusted R Squared = .956)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets RASA Duncan
a,b
SAMPEL Mi jagung guar gum 2% Mi jagung guar gum 1% Mi jagung guar gum 0% Sarimi Sig.
N 30 30 30 30
1 3.77 4.03
Subset 2
.309
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.020. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
3
4.03 4.53 .058
5.93 1.000
104
Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap atribut kekenyalan mi jagung basah Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KENYAL Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 2167.442a 91.342 99.692 95.558 2263.000
df 33 29 3 87 120
Mean Square 65.680 3.150 33.231 1.098
F 59.798 2.868 30.254
a. R Squared = .958 (Adjusted R Squared = .942)
Post Hoc Tests SAMPEL Homogeneous Subsets KENYAL Duncan
a,b
SAMPEL Mi jagung guar gum 2% Mi jagung guar gum 1% Mi jagung guar gum 0% Sarimi Sig.
N 30 30 30 30
Subset 1 3.43 3.57 3.60 .566
2
5.63 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.098. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .000
105 Lampiran 15. Data hasil uji organoleptik mi jagung basah No
Panelis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Umul Meri H Teresia T Dewi F Edi Gunawan Norma JP Dini Anggrasari Nisa Harmia Y Tri Eko Ratih Manto Rismawati O Wahyu Anggarini Annisa Vanie Sigit NP Sabina Novi I Hesti W Tomi Yenti Susanti Cahya Yunsta Sofiatul Andariah Resti Rahmalia Mega Brestada Indi Prita Ety Latifah Aris Dwi Toha Ririn Rata-rata
313 6 7 6 5 5 7 7 4 6 3 3 6 6 6 6 6 4 6 6 4 4 4 3 7 7 6 6 6 6 6 5.47
Warna 317 195 5 5 5 5 3 3 6 4 5 5 5 4 5 5 5 6 6 6 5 6 6 5 6 5 3 3 6 5 6 6 7 7 5 5 5 4 5 5 7 7 6 6 6 5 7 5 4 3 4 4 6 5 7 6 6 3 6 5 5 5 5.43 4.93
137 5 5 2 4 5 5 6 5 5 5 5 6 3 5 3 7 5 5 4 7 5 4 4 2 4 6 7 3 6 5 4.77
313 5 6 6 7 6 7 7 4 6 6 2 6 6 5 4 5 2 4 6 6 3 5 7 6 6 4 6 6 5 6 5.33
Elongasi 317 195 6 4 3 4 5 4 3 2 5 4 7 7 7 4 4 4 6 3 6 6 6 5 6 5 3 3 4 3 3 3 2 2 5 6 6 3 5 5 7 6 4 3 4 3 7 7 6 5 4 4 6 4 6 6 6 6 6 5 6 6 5.13 4.40
137 6 3 2 2 2 3 4 4 5 4 6 6 3 4 2 2 5 5 4 2 4 3 7 5 5 4 6 6 5 6 4.17
313 5 7 6 6 3 5 7 5 6 6 6 7 6 5 5 5 6 5 6 6 6 5 4 6 7 4 6 6 6 6 5.63
Kekerasan 317 195 5 6 4 1 3 4 4 2 3 3 2 3 2 2 7 6 3 4 6 6 7 3 5 6 2 2 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 5 4 3 5 4 5 2 1 5 6 3 2 4 4 4 3 4 5 6 6 5 5 5 5 4.10 3.90
137 6 4 5 3 3 4 2 7 3 6 3 5 5 4 4 3 4 4 4 7 4 3 6 2 3 4 4 6 5 5 4.27
313 6 7 7 4 4 6 7 7 5 6 7 6 6 5 6 6 6 5 7 4 6 5 6 6 7 6 7 6 6 6 5.93
Rasa 317 195 5 5 3 3 5 5 4 3 4 4 5 3 5 5 5 5 2 2 6 4 5 2 5 6 4 2 6 3 6 5 6 5 3 3 5 4 3 4 7 6 3 5 3 2 7 6 2 2 4 3 3 4 4 5 5 5 6 5 5 5 4.53 4.03
137 6 4 5 3 3 3 5 2 1 4 2 6 4 3 2 4 4 3 3 4 4 3 6 2 3 5 5 5 4 5 3.77
313 5 6 6 5 5 5 7 7 6 6 6 6 6 6 4 7 5 5 7 4 6 4 4 6 7 4 7 6 5 6 5.63
Keterangan : 313 (Sarimi); 317 (Mi jagung basah guar gum 0%); 195 (Mi jagung basah guar gum 1%); 137 (Mi jagung basah guar gum 2)
Kekenyalan 317 195 137 6 6 6 3 1 4 5 6 4 3 3 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 4 3 3 3 3 2 6 4 4 5 3 2 4 5 5 2 2 4 3 2 2 4 5 3 4 3 2 4 4 4 5 4 4 4 4 4 2 6 3 3 5 4 1 1 2 5 6 6 3 2 2 4 4 5 2 2 3 4 3 3 3 5 5 5 4 3 5 5 4 3.60 3.57 3.43
106
Lampiran 16. Kuisioner mi jagung basah Nama : …………………………… No.HP : …………………………… Tanggal : …………………………… Intruksi : 1. Berikanlah penilaian dalam bentuk angka terhadap tingkat kesukaan mi basah jagung yang disajikan. 2. Bacalah kode sampel mi basah jagung dari kiri ke kanan. 3. Minumlah air sebelum dan setelah menilai sampel. 4. Penilaian elongasi, Pegang ujung2 mi dengan kedua tangan, tarik perlahan-lahan oleh tangan kanan sedangkan tangan kiri menahan, beri penilaian Anda terhadap kelastisannya. 5. Penilaian kekerasan, Gigitlah mi secara perlahan hingga putus, beri penilaian Anda terhadap kekerasannya. 6. Penilaian kekenyalan, Kunyahlah mi sebanyak 3 x, beri penilaian Anda terhadap kekenyalannya. 7. JANGAN MEMBANDINGKAN ANTAR SAMPEL ! Skala Hedonik Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Atribut Warna Elongasi Kekerasan Rasa Kekenyalan
313
Skala Numerik 7 6 5 4 3 2 1 317
195
137
Komentar / Saran : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………
107
Lampiran 17. Data elongasi, kekerasan, kelengketan, kekenyalan, dan KPAP mi jagung basah Elongasi (%) Guar gum Ulangan Kekerasan (gf) Kelengketan (gf) Kekenyalan (gs) (%) pencelupan perendaman U1.1 155.40 94.58 3342.8 -1553.4 0.3890 U1.2 113.70 54.68 3125.4 -1242.5 0.3798 U2.1 145.28 83.40 3022.2 -1323\.0 0.4201 U2.2 105.90 59.25 2947.7 -1253.4 0.4797 0 U3.1 132.83 72.08 3299.2 -1151.1 0.5029 U3.2 127.43 67.80 2910.9 -1205.9 0.4966 Rata-rata 130.09 71.97 3108.03 -1288.22 0.4447 SD 18.65317 14.66632 181.05102 141.71189 0.05518 U1.1 177.45 133.20 2742.1 -1382.4 0.3373 U1.2 161.55 127.88 3035.8 -1016.8 0.3359 U2.1 163.95 107.48 2718.9 -1145.3 0.4425 U2.2 153.23 87.15 2706.2 -1340.2 0.4346 1 U3.1 130.80 126.53 2672.9 -1298.3 0.4490 U3.2 121.95 85.50 2403.3 -1047.4 0.4589 Rata-rata 151.49 111.29 2713.20 -1205.07 0.4197 SD 21.13808 21.21280 201.32042 156.38143 0.04581 U1.1 242.63 174.53 2983.9 -1244.1 0.3930 U1.2 215.70 152.10 2651.8 -1073.5 0.3399 U2.1 229.65 134.85 2824.6 -1230.2 0.3591 U2.2 174.88 86.33 2610.7 -1106,6 0.3546 2 U3.1 178.43 93.23 2159.3 -963.9 0.3927 U3.2 155.55 81.60 2071.6 -916.2 0.3622 Rata-rata 199.44 120,44 2550.32 -1089.08 0.3669 SD 34.70797 38,85397 363.10729 134.20378 0.02150
KPAP (%) 3.72 4.03 3.61 3.55 3.90 4.23 3.86 0.26806 3.36 2.95 3.42 3.28 2.89 2.61 3.09 0.31867 3.82 3.79 3.44 3.57 3.36 3.33 3.55 0.21329
108
Lampiran 18. Kadar air mi jagung instan pada T = 600C Waktu Pengeringan Suhu Pengeringan Ulangan (menit) (0C) U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 60 U3.1 U3.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 65 U3.1 U3.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 70 60 U3.1 U3.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 75 U3.1 U3.2 Rata-rata SD U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 80 U3.1 U3.2 Rata-rata SD
Kadar Air (%) 11.64 13.82 12.98 13.02 14.48 15.25 13.53 1.27119 11.24 12.51 11.38 11.89 11.92 12.25 11.87 0.48862 10.10 11.57 10.22 10.71 10.77 11.72 10.85 0.67241 9.00 9.24 9.58 9.64 11.22 11.45 10.02 1.04611 7.85 9.08 8.04 8.63 8.84 9.02 8.58 0.51733
109
Lampiran 19. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi celup mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:elongasi_celup Source
Type III Sum of
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
168006.438a
5
33601.288
742.424
.000
13786.090
2
6893.045
152.303
.000
1539.995
2
769.997
17.013
.011
Error
181.036
4
45.259
Total
168187.473
9
Model waktu_pengeringan ulangan
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets elongasi_celup Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
75
3
70
3
65
3
Sig.
2
3
86.1667 1.2330E2 1.8128E2 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 45,259.
1.000
1.000
110
Lampiran 20. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap elongasi rendam mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:elongasi_rendam Source
Type III Sum of
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
38106.895a
5
7621.379
75.100
.000
2905.921
2
1452.960
14.317
.015
ulangan
117.187
2
58.594
.577
.602
Error
405.935
4
101.484
Total
38512.830
9
Model waktu_pengeringan
a. R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,976)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets elongasi_rendam Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
2
75
3
40.8333
70
3
61.6467
65
3
Sig.
84.8267 .065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 101,484.
1.000
111 Lampiran 21. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekerasan mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kekerasan Type III Sum of
Source
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
7.861E7a
5
1.572E7
1.107E3
.000
53018.136
2
26509.068
1.866
.268
160488.184
2
80244.092
5.650
.068
Error
56814.341
4
14203.585
Total
7.867E7
9
Model waktu_pengeringan ulangan
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets kekerasan Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
75
3
2.8571E3
70
3
2.9522E3
65
3
3.0451E3
Sig.
.131
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 14203,585.
112 Lampiran 22. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelengketan mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kelengketan Type III Sum of
Source
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
1.567E7a
5
3133774.123
86.962
.000
186584.749
2
93292.374
2.589
.190
63574.754
2
31787.377
.882
.482
Error
144144.031
4
36036.008
Total
1.581E7
9
Model waktu_pengeringan ulangan
a. R Squared = ,991 (Adjusted R Squared = ,979)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets kelengketan Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
75
3
-1.4456E3
70
3
-1.3713E3
65
3
-1.1098E3
Sig.
.101
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 36036,008.
113 Lampiran 23. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekenyalan mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:kekenyalan Type III Sum of
Source
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
1.272a
5
.254
105.959
.000
.002
2
.001
.458
.662
5.590E-5
2
2.795E-5
.012
.988
Error
.010
4
.002
Total
1.281
9
Model waktu_pengeringan ulangan
a. R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,983)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets kekenyalan Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
75
3
.358867
70
3
.371333
65
3
.396467
Sig.
.406
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,002.
114 Lampiran 24. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap KPAP mi jagung instan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:KPAP Source
Type III Sum of
df
Squares
Mean Square
F
Sig.
155.747a
5
31.149
175.892
.000
waktu_pengeringan
1.022
2
.511
2.887
.168
ulangan
1.543
2
.772
4.356
.099
Error
.708
4
.177
Total
156.456
9
Model
a. R Squared = ,995 (Adjusted R Squared = ,990)
Post Hoc Tests waktu_pengeringan Homogeneous Subsets KPAP Duncan Subset waktu_pengeringan
N 1
65
3
3.7667
70
3
4.0333
75
3
4.5767
Sig.
.082
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,177.
115 Lampiran 25. Data elongasi, kekerasan, kelengketan, kekenyalan, dan KPAP mi jagung instan pada T = 600C Elongasi Waktu (%) Pengovenan Ulangan Kekerasan (gf) Kelengketan (gf) Kekenyalan (gs) (menit) pencelupan perendaman U1.1 207.35 102.75 3383.4 -1153.4 0.5508 U1.2 195.95 93.08 3220.6 -1038.4 0.3561 U2.1 185.55 89.63 3087.7 -1192.5 0.3731 U2.2 181.17 78.63 2960.2 -969.6 0.3798 65 U3.1 160.35 82.50 2782.2 -1326.2 0.4089 U3.2 157.28 62.36 2836.7 -978.9 0.3099 Rata-rata 181.28 84.83 3045.13 -1109.33 0.3964 SD 19.63244 13.86361 231.00514 138.68476 0.08237 U1.1 139.10 73.55 3172.7 -1319.8 0.3371 U1.2 133.43 55.55 3163.8 -1893.2 0.3433 U2.1 122.66 70.65 2728.9 -1582.5 0.3361 U2.2 112.92 63.50 3048.7 -1351.0 0.3733 70 U3.1 116.85 54.90 2732.4 -1207.2 0.4707 U3.2 114.83 51.71 2866.5 -873.9 0.3675 Rata-rata 123.30 61.64 2952.17 -1371.27 0.3713 SD 10.71218 9.02893 204.07179 344.78543 0.05117 U1.1 107.36 35.97 2972.3 -1385.1 0.3561 U1.2 96.05 30.71 2764.6 -1351.6 0.3228 U2.1 89.85 42.68 3114.6 -1658.3 0.3985 U2.2 85.95 43.05 2793.8 -1520.3 0.3715 75 U3.1 76.92 46.62 2873.3 -1584.6 0.3924 U3.2 60.86 45.95 2624.2 -1173.5 0.3117 Rata-rata 86.17 40.83 2857.13 -1445.57 0.3588 SD 16.03982 6.23095 171.25728 177.01809 0.03574
KPAP (%) 3.49 3.57 3.76 3.86 3.92 4.00 3.77 0.20096 3.58 3.84 3.96 4.11 4.29 4.41 4.03 0.30394 3.40 3.58 4.61 5.02 5.19 5.65 4.58 0.90595
116
Lampiran 26. Contoh perhitungan penambahan jumlah air pada pembuatan mi jagung basah Tepung Jagung Mixing 200 g Kadar air = X% bb Padatan = (100 – x)% x 200 g =Yg Air
Adonan Kadar air = 70% bk = 70% Y
Zg Contoh perhitungan pada tepung jagung P21 basis tepung 200 gram : Kadar air tepung = X = 8,67% bb Padatan Y = (100 – x)% x 200 g = 182,66 g Input = Output (X% x 200 g) + Z = 70% Y (8,67% x 200 g) + Z = 70% x 182,66 g 17,34 + Z = 127,862 Z = 110,52 g