SKRIPSI
PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Angelia Merdiyanti. F24103133. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr.
RINGKASAN Mi kering berbahan baku pati dan tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Teknologi yang telah dihasilkan selanjutnya perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap penepungan jagung, karakterisasi tepung dan pati jagung, verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium, serta penggandaan skala produksi mi jagung kering. Proses penepungan jagung dilakukan dengan dua teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Proses penggilingan kering terdiri dari tahap penggilingan jagung menggunakan multi mill, perendaman dan pencucian selama + 2 jam, pengeringan dengan oven hingga kadar air 17%, penggilingan grits jagung dengan disc mill, dan pengayakan dengan saringan berukuran 100 mesh. Sedangkan proses penggilingan basah terdiri dari tahap pencucian, perendaman (6, 9, dan 12 jam), penggilingan jagung dengan penggiling batu, penyaringan dengan vibrating screen, pengendapan sampai terbentuk lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih, pemisahan endapan pati dari lapisan air, pengeringan dengan oven hingga kadar air 10%, dan penepungan dengan disc mill. Hasil penggilingan kering memberikan rendemen tepung sebesar 24,80% dari bobot awal 25 kg. Sedangkan penepungan basah dengan waktu perendaman selama 6, 9, dan 12 jam menghasilkan rendemen tepung jagung berturut-turut 22,21%; 24,38%; dan 32,47%. Karakteristik tepung jagung hasil penggilingan kering terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturutturut 7,94%; 0,68%; 8,73%; 2,99%; 79,66%; dan 20,22% dan mempunyai nilai wana L, a dan b berturut-turut 63,01; +3,10; dan +12,53. Karakteristik tepung jagung terbaik hasil penggilingan basah dengan waktu perendaman 12 jam terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturut-turut 5,48%; 0,79%; 8,78%, 6,33%; 78,62%; 20,26%. Pengukuran warna terhadap nilai L, a, dan b dari waktu perendaman 12 jam berturut-turut 63,89; +3,69; +7,08. Langkah selanjutnya adalah verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium dengan melakukan modifikasi terhadap formulasi menggunakan 30% pati jagung (dari berat tepung). Substitusi ini menghasilkan lembaran mi yang tidak mudah sobek, tidak cepat menjadi keras/kaku, dan halus permukaannya. Selain itu, untaian mi yang tercetak pun berukuran panjang atau kontinyu dan tidak mudah patah. Tahap verifikasi ini juga
dilakukan untuk menentukan parameter-paramater pada tiap bagian proses yang dianggap kritis untuk memperbaiki proses pada skala besar. Parameter proses tersebut diantaranya jenis pengaduk pada mixer dan lama pengadukan saat pencampuran adonan, suhu dan lama waktu pengukusan, suhu dan lama waktu pembentukan lembaran mi, serta suhu dan waktu pengeringan optimum pada oven. Tahap penggandaan skala produksi mi jagung kering dilakukan dengan mencoba proses produksi menggunakan jumlah bahan baku yang lebih besar serta automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih dilakukan secara manual. Proses produksi mi jagung kering terdiri dari tahap pencampuran bahan menggunakan varimixer dengan pengaduk jenis jari-jari (whisk) dan waktu pengadukan adonan selama 15-25 menit dengan suhu adonan sekitar 25-40oC. Proses pengukusan adonan dan pengulian dilakukan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC dengan waktu pengukusan selama 15 menit. Proses pembentukan lembaran mi (sheeting) dilakukan dengan melewatkan adonan di antara dua roller sheeting (5-10 kali) sampai ketebalan 1,5-2,0 mm, pencetakan untaian mi (slitting) menggunakan slitter, dan pemotongan (cutting) menggunakan lempengan pemotong. Pengukusan mi mentah dilakukan selama 10 menit dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 55-600C selama 1-1,5 jam. Bahan baku yang digunakan untuk membuat mi jagung kering antara lain tepung jagung dari hasil penggilingan kering dan basah (perendaman 12 jam), pati jagung, air, garam, baking powder, dan guar gum/CMC. Penambahan CMC terbukti lebih baik dalam mengurangi cooking loss mi, meningkatkan daya serap air saat proses rehidrasi mi, serta menurunkan kekerasan dan kelengketan mi dibandingkan dengan mi jagung yang ditambahkan guar gum. Namun, penambahan CMC masih kurang mampu meningkatkan elastisitas mi. Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan CMC berturut-turut 17,82%; 285,71%; 1153,65 gf; dan -295,95 gf. Sedangkan Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan guar gum berturut-turut 20,72%; 202,42%; 1469,20 gf; dan -469,75 gf. Berdasarkan hasil tersebut, penggunaan CMC lebih direkomendasikan untuk produksi mi jagung kering. Penggunaan tepung jagung hasil pengilingan kering juga lebih direkomendasikan karena menghasilkan produk akhir mi jagung kering yang secara kualitas lebih baik daripada tepung jagung hasil penggilingan basah. Mi kering dari tepung jagung penggilingan kering memiliki warna kekuningan. Lain halnya dengan mi kering dari tepung jagung penggilingan basah yang memiliki warna kecoklatan. Di samping itu, mi dari tepung jagung penggilingan basah mempunyai aroma dan rasa yang kurang sedap atau sedikit tengik setelah pemasakan serta memiliki tekstur yang lebih rapuh sehingga mudah sekali patah/hancur ketika dimasak. Hasil uji proksimat juga menunjukkan kadar lemak mi dari tepung jagung penggilingan basah lebih tinggi daripada mi dari tepung jagung penggilingan kering. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat dari mi jagung dengan tepung hasil penggilingan basah berturut-turut 4,66%; 1,27%; 6,13%; 1,83%; 86,11% dan berturut-turut 7,80%; 1,50%; 6,34%; 0,19%; 84,17% untuk mi jagung dari tepung hasil penggilingan kering.
PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133 Dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984 Di Jakarta Tanggal lulus: ...............................
Menyetujui, Bogor,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I
Februari 2008
Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Angelia Merdiyanti yang dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984 di Jakarta dan merupakan putri pertama dari pasangan Sriyanto dan Primertiningsih. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 06 Srengseng Sawah Jakarta Selatan (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 211 Jakarta Selatan (1996-1999), dan pendidikan lanjutan di SMUN 28 Jakarta Selatan (1999-2002). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan non akademik diantaranya Suksesi HIMITEPA 2004, Open House IPB 2004, Masa Perkenalan Kampus dan Masa Perkenalan Fakultas 2004, Lepas Landas Sarjana 2005, BAUR 2005, dan Dies Natalis Ke-42 IPB. Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Paket Teknologi Pembuatan Mi kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung” sebagai tugas akhir.
KATA PENGANTAR
Penulis menghaturkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Paket Teknologi Pembuatan Mi kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung”. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada: 1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis. 2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr. selaku Dosen Pembimbing II atas segala masukan dan bimbingannya kepada penulis. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan yang diberikan kepada penulis. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 5. Bapak, Ibu, Wenny, Sandy, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 6. Gilang selaku Partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu. 7. Rekan-rekan sebimbingan: Anggita, Fauzan, dan Sigit atas dukungan, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis. 8. Kak Bobby dan kak Rohana ITP 39 yang telah membantu penulis di awalawal penelitian. 9. Anak-anak Windy: Eka, Prima, Mardi, Lita, Anis, Eneng, dan yang lainnya atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama ini. 10. Anak-anak Ex-DR: Lasty, Maya, Gading, Mae, dan Isti. Kalian membuat hari–hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.
11. Teh Euis, Noor, Intan, Mona, Asih atas kebersamaan, dukungan, dan nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis. 12. Adis, Rucit, Susan, Sarwo, dan sahabat-sahabatku di golongan D atas kebersamaan dan keceriaan yang telah kita lalui bersama-sama. 13. Fitri, Lina, Dhani, Hay-Hay, Her-Her, Mita, dan sahabat-sahabat TPG 40 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna. 14. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur, Mbak Ari, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya. 15. Seluruh pustakawan dan pustakawati di PAU, PITP, dan LSI yang telah membantu penulis dalam mencari literatur. 16. Katja dan Lizzy atas bantuan, diskusi-diskusi, dan kebersamaan kita yang singkat tapi terasa menyenangkan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor,
Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
i
DAFTAR ISI......................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
A.
Latar Belakang ....................................................................................
1
B. Tujuan dan Luaran Penelitian..............................................................
3
C.
Manfaat ...............................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
A.
Jagung .................................................................................................
4
Jenis Jagung ........................................................................................
4
Morfologi dan Anatomi Biji Jagung ...................................................
5
Komposisi Kimia Biji Jagung .............................................................
7
Quality Protein Maize (QPM).............................................................
9
B.
Proses Penepungan Jagung ................................................................
10
C.
Pati Jagung ..........................................................................................
12
D.
Gelatinisasi..........................................................................................
14
Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi ..................................................
14
Suhu Gelatinisasi.................................................................................
16
Mi ........................................................................................................
17
Mi Kering ............................................................................................
17
Mi Jagung............................................................................................
18
Proses Penggandaan Skala ..................................................................
20
III. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
22
E.
F.
A.
Bahan dan Alat....................................................................................
22
B.
Metode Penelitian ...............................................................................
22
1. Kajian Pembuatan Tepung Jagung................................................
22
2. Karakterisasi Tepung Jagung ........................................................
24
3. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering ......
24
4. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering ..........................
26
Metode Analisis Produk......................................................................
27
Analisis Sifat Fisik ..............................................................................
27
1. Analisis Warna .............................................................................
27
2. Analisis Tekstur ............................................................................
27
3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan....................
28
4. Pengukuran Daya Serap Air..........................................................
28
5. Rendemen......................................................................................
29
Analisis Sifat Kimia ............................................................................
29
1. Analisis Kadar Amilosa ................................................................
29
2. Analisis Kadar Air ........................................................................
30
3. Analisis Kadar Abu .......................................................................
30
4. Analisis Kadar Lemak...................................................................
31
5. Analisis Kadar Protein ..................................................................
31
6. Analisis Kadar Karbohidrat ..........................................................
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
C.
A.
Kajian Pembuatan Tepung Jagung......................................................
33
B.
Karakterisasi Tepung Jagung ..............................................................
38
1. Komposisi Kimia Tepung Jagung.................................................
38
2. Warna Tepung Jagung ..................................................................
40
Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering ............
42
1. Modifikasi Pembuatan Mi Jagung Kering ....................................
43
C.
2. Identifikasi Tahapan Kritis Dalam Pembuatan Mi Jagung
D.
E.
Kering............................................................................................
47
Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering ................................
48
1. Pencampuran .................................................................................
49
2. Pengukusan Pertama .....................................................................
51
3. Pembentukan Lembaran, Pencetakan, dan Pemotongan...............
54
4. Pengukusan Kedua ........................................................................
58
5. Pengeringan...................................................................................
59
Analisis Sifat Kimia dan Fisik Mi Jagung Kering ..............................
61
1. Cooking Loss (KPAP) dan Daya Serap Air ..................................
65
2. Kekerasan dan Kelengketan..........................................................
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
71
A.
Kesimpulan .........................................................................................
71
B.
Saran....................................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
74
LAMPIRAN.......................................................................................................
78
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung .....................................................
7
Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung ...............................................................
7
Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung .................................
8
Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung .........................................................
9
Tabel 5. Karakteristik granula pati....................................................................
14
Tabel
6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ..................................................
16
Tabel
7. Syarat mutu mie kering menurut SNI 01-2974-1996.........................
17
Tabel
8. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis)..............................................................................................
27
Tabel 9. Rendemen tepung jagung hasil penggilingan teknik kering dan basah....................................................................................................
35
Tabel 10. Rekapitulasi tahapan proses penepungan dengan teknik penggilingan kering dan basah............................................................
36
Tabel 11. Komposisi kimia pati jagung dibandingkan dengan tepung jagung varietas Srikandi..................................................................................
39
Tabel 12. Hasil pengukuran warna pada pati dan tepung jagung .......................
40
Tabel 13. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual....................
45
Tabel 14. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan pati jagung.....
45
Tabel 15. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan tepung terigu ...................................................................................................
46
Tabel 16. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan isolat protein kedelai .................................................................................................
46
Tabel 17. Formulasi mi jagung kering terpilih....................................................
48
Tabel 18. Perlakuan terhadap jenis pengaduk.....................................................
51
Tabel 19. Penentuan waktu optimum pada pengukusan pertama .......................
53
Tabel 20. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum ..........................................
59
Tabel 21. Karakteristik kimia mi kering dari tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah..................................................................................
62
Tabel 22. Hasil pengukuran warna pada mi jagung kering setelah direhidrasi ..
63
Tabel 23. Perbedaan mi kering dari tepung jagung penggilingan kering dan penggilingan basah..............................................................................
64
Tabel 24. Rekapitulasi tahapan proses pembuatan mi jagung kering .................
70
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya......................
4
Gambar 2. Struktur biji jagung .........................................................................
6
Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati ............................................................
15
Gambar 4. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan kering .................
22
Gambar 5. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan basah...................
23
Gambar 6. Diagram alir pembuatan mi jagung kering......................................
25
Gambar 7. Aliran proses kegiatan penggandaan skala produksi mi jagung .....
26
Gambar 8. Kurva Profil Tekstur Mi..................................................................
28
Gambar 9. Beberapa macam tepung jagung .....................................................
41
Gambar 10. Jenis pengaduk pada varimixer .......................................................
50
Gambar 11. Proses pembentukan lembaran mi...................................................
55
Gambar 12. Slitter untuk mencetak untaian mi...................................................
56
Gambar 13. Proses pencetakan untaian mi .........................................................
56
Gambar 14. Mi jagung kering .............................................................................
62
Gambar 15. Mi jagung kering setelah rehidrasi ..................................................
63
Gambar 16. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap KPAP dan DSA mi jagung kering ....................................................................
66
Gambar 17. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap kekerasan dan kelengketan mi jagung kering ..................................................
67
Gambar 18. Diagram alir pembuatan mi jagung kering pada skala produksi 1 kg..................................................................................................
69
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil-hasil penelitian mi jagung................................................
78
Lampiran 2. Peralatan produksi mi jagung kering ........................................
83
Lampiran 3. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan teknik kering .............................................................................
88
Lampiran 4. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan teknik basah...............................................................................
89
Lampiran 5. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan kering ........................................................................................
90
Lampiran 6. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan basah..........................................................................................
91
Lampiran 7. Data analisis proksimat mi jagung kering.................................
93
Lampiran 8. Hasil pengukuran karakteristik fisik mi jagung kering .............
94
Lampiran 9. Diagram alir kesetimbangan massa pembuatan mi jagung kering ........................................................................................
95
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Mi biasanya terbuat dari tepung terigu yang bahan bakunya, yaitu gandum masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan. Salah satu alternatif substitusi tepung terigu terutama dalam pembuatan mi adalah dengan pemanfaatan jagung. Jagung merupakan salah satu komoditas yang memiliki kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia sudah digunakan sebagai makanan pokok. Pemilihan jagung sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan mi sejalan dengan program pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan. Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006, produksi jagung nasional mencapai 11,6 juta ton. Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007). Upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang
tidak
hanya
terbatas
pada
penggunaannya sebagai makanan pokok saja juga perlu dilakukan. Salah satu rencananya
adalah
pengembangan
industri
berbasis
jagung
dengan
meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi. Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dari tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Beberapa penelitian mengenai pembuatan mi dari bahan dasar jagung, baik berupa mi basah atau mi instan pun telah dilakukan. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting),
pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses pembuatan mi jagung basah terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan, sheeting, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak (Rianto, 2006). Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan pembuatan mi terigu karena setelah pencampuran bahan perlu dilakukan pengukusan untuk membentuk massa adonan yang kohesif dan cukup elastis sehingga dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini dikarenakan jagung tidak memiliki protein gluten yang dapat bereaksi dengan air untuk membentuk massa adonan yang elastis dan kohesif seperti halnya gandum. Menurut Juniawati (2003), mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung instan, melainkan hanya proses pengeringan menggunakan oven saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu lutein, zeaxanthin, dan
-
karoten. Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) telah melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten dan guar gum untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) telah merancang
proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning yang diperoleh dengan teknik penggilingan basah. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah dari bahan dasar tepung jagung hasil penelitian Juniawati. Serta Kurniawati (2006) yang juga telah mengoptimasi desain proses dan formulasi pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) hasil penelitian Budiyah. Namun demikian, hasil-hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium dan teknologi yang dihasilkan perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar. B. Tujuan Dan Luaran Penelitian Penelitian ini bertujuan merumuskan paket teknologi pembuatan mi kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung pada skala produksi 1 kilogram. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka luaran yang dihasilkan mencakup: Spesifikasi pati dan tepung jagung sebagai bahan baku utama pembuatan mi jagung kering. Spesifikasi proses (aliran dan kondisi) untuk pembuatan mi jagung kering. Spesifikasi alat yang dibutuhkan untuk pembuatan mi jagung kering.
C. Manfaat Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan desain proses produksi dan formulasi mi jagung kering yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji– bijian dari keluarga rumput–rumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).
Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour (Anonimb, 2005). Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati
dengan endosperma berwarna bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di Indonesia. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masing–masing 250–300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160
m
tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84% dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron
atau peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula pati yang dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).
Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991). Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30,8% protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung
(Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Jumlah (%) Pericarp (bran) 5,3 Endosperma 82,9 Lembaga (germ) 11,1 0,8 Tip cap Sumber: Watson (2003) Komposisi Kimia Biji Jagung Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%. Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (Dglukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myoinositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10%-nya terdapat di dalam aleuron (Boyer dan Shannon, 2003). Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung Pati Protein Lipid Komponen (%) (%) (%) Biji utuh 73,4 9,1 4,4 Endosperma 87,6 8,0 0,8 Lembaga 8,3 18,4 33,2 Perikarp 7,3 3,7 1,0 Tip cap 6,3 9,1 3,8 Sumber: Watson (2003)
Gula (%) 1,9 0,62 10,8 0,34 1,6
Abu (%) 1,4 0,3 10,5 0,8 1,6
Serat (%) 9,5 1,5 14 90,7 95
Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma. Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung Kandungan pada jagung Protein Normal (%) Opaque-2 (%) Floury-2 (%) Albumin 4,7 20,2 5,6 Globulin 3,5 3,4 Prolamin 45,8 14,6 32,3 Glutelin 38,0 53,2 44,3 Residu 9,0 12,0 14,5 Sumber: Lawton dan Wilson (2003) Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa komponen, yaitu
, ß,
, dan
-zein.
-zein merupakan prolamin terbanyak
dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan
-zein, ß-
zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin.
-zein merupakan
prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya
-zein dan ß-zein,
-zein juga kekurangan asam amino lisin dan
triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan
-zein
kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson, 2003). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996). Menurut Lawton dan Wilson (2003), sekitar 76-83% lipid dalam biji jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah triasilgliserols (TAGs), yaitu sekitar 95%. Selain itu, biji jagung juga mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol), asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), tocol (vitamin E), dan waxes yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan TAG. Asam lemak yang terkandung
pada minyak jagung antara lain asam linoleat (59,7%), asam oleat (25,2%), asam palmitat (11,6%), asam stearat (1,8%), dan asam linolenat (0,8%). Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6,6 mg/kg), piridoksin (5,3 mg/kg), tiamin (3,8 mg/kg), riboflavin (1,4 mg/kg), asam folat (0,3 mg/kg), biotin (0,08 mg/kg), serta vitamin A ( -karoten) dan vitamin E ( -tokoferol) masing-masing sebesar 2,5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Sedangkan mineral–mineral yang terdapat pada biji jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung Mineral Rata – rata (%) Fosfor 0,29 Potasium 0,37 Magnesium 0,14 Sulfur 0,12 klorin 0,05 Kalsium 0,03 Sodium 0,03 Sumber: Watson (2003) Quality Protein Maize (QPM) Protein serealia, terutama jagung, memiliki kandungan nutrisi yang rendah karena kurangnya kadar asam amino esensial seperti lisin dan triptofan. Kandungan asam amino lisin dan triptofan pada jagung masingmasing hanya 0,28% dan 0,06% dari total protein biji. Angka ini kurang dari separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Pangan dan Pertanian seDunia (FAO) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004). Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas protein pada jagung. Salah satu caranya melalui rekayasa genetika dengan mutasi gen. Mutasi gen dilakukan untuk menghambat produksi zein karena fraksi protein ini mengandung lisin dan triptophan dalam jumlah sedikit. Penghambatan produksi zein dapat meningkatkan pembentukan fraksi protein lain yang kaya akan lisin dan triptophan sehingga presentasi kedua asam amino tersebut akan meningkat. Mutan yang pertama kali ditemukan adalah gen opaque-2 dan floury-2. Jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2/floury-2 dikenal
dengan Quality Protein Maize (QPM) karena memiliki kandungan lisin dan triptophan yang lebih tinggi daripada jagung normal (Prasanna et al., 2001). Pada tahun 2004, Badan Litbang Pertanian telah melepaskan dua varietas jagung QPM yang dikenal dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 ton/ha dan bijinya berwarna kuning sesuai dengan namanya. Sedangkan varietas Srikandi Putih-1 yang bijinya berwarna putih mampu berproduksi hingga 8,1 ton/ha. Adapun kadar protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masingmasing 10,3% dan 7,8% dengan kandungan lisin dan triptofan sebesar 0,46% dan 0,09% untuk Srikandi Kuning-1, serta 0,36% dan 0,07% untuk Srikandi Putih-1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004). B. Proses Penepungan Jagung Teknik penggilingan dalam usaha mereduksi ukuran jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Berdasarkan penelitian Juniawati (2003), metode
penggilingan
kering
jagung
dilakukan
sebanyak
dua
kali.
Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Hasil dari penggilingan kasar tersebut kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan grits jagung yang banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Kulit harus dipisahkan dari endosperma karena memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena berhubungan erat dengan ketahanan tepung terhadap ketengikan akibat oksidasi lemak. Tip cap juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan menimbulkan butir-butir hitam pada tepung apabila pemisahannya tidak sempurna. Jagung tidak mengalami perendaman yang lama pada proses penggilingan kering. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan
agar endosperma jagung melunak sebelum jagung dipaparkan pada hammer mill (Hoseney, 1998). Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits jagung yang telah dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus) sehingga dihasilkan tepung jagung. Proses pengayakan dengan saringan berukuran 80 atau 100 mesh dapat dilakukan untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang diinginkan sesuai kebutuhan. Adapun tahapan proses pada penggilingan basah berbeda dengan proses penggilingan kering biji jagung. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar, yaitu pati, lembaga, serat, dan protein. Menurut Johnson dan May (2003), pembuatan pati dengan metode penggilingan basah terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, dan pemisahan komponenkomponen biji jagung yang meliputi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, serta starch finishing. Proses penepungan jagung diawali dengan tahap pembersihan untuk membersihkan biji jagung dari kotoran dan kontaminan asing. Selanjutnya, biji jagung direndam dalam air yang telah ditambahkan SO2 dengan konsentrasi tertentu (0,12-0,2%) selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu 52oC. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam biji jagung sehingga kadar air meningkat dari 15% menjadi 45%. Penggunaan SO2 sangat penting karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida pada matriks protein yang membungkus granula pati sehingga dapat membebaskan granula pati tersebut. Selain itu, SO2 juga mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Asam laktat yang dihasilkan bakteri tersebut dapat meningkatkan pelunakkan biji, melarutkan protein endosperma, dan melemahkan dinding sel endosperma. Asam laktat juga membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan (Johnson dan May, 2003). Tahapan selanjutnya adalah penggilingan kasar biji jagung dan pemisahan lembaga dengan menggunakan attrition mill dan separator lembaga (hydroclone). Attrition mill terdiri dari dua jenis cakram (cakram statis dan cakram berputar) yang dilengkapi dengan kenop (devil’s teeth) pada
permukaannya untuk memecah biji jagung sehingga lembaga dapat lepas tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan kasar ini lalu dialirkan ke hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan. Setelah pemisahan lembaga, slurry kemudian disaring dengan menggunakan pressure-fed screen untuk memisahkan serat dari pati dan gluten. Slurry pati dan gluten yang disebut mill starch selanjutnya dialirkan menuju separator pati. Pada tahapan ini, gluten dipisahkan dari pati berdasarkan perbedaan berat jenisnya menggunakan disknozzle-type centrifuges (Johnson dan May, 2003). Beberapa protein dan kontaminan lain yang masih terdapat di dalam pati akan diproses lebih lanjut pada tahap pemurnian pati. Menurut Johnson dan May (2003), pati hasil sentrifuse masih mengandung 3-5% protein dan sejumlah kecil kontaminan terlarut/tak larut. Pati kasar tersebut lalu dicuci dengan air menggunakan hydroclone. Pati hasil pencucian harus mengandung <0,30% total protein dan 0,01% protein terlarut. Slurry pati murni dari penggilingan basah selanjutnya langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti bleaching agents atau asam untuk memodifikasi karakteristik pati tersebut. Residu kimia kemudian dicuci dari pati dengan menggunakan nozzle-type centrifuges atau penyaring vakum yang dilengkapi dengan spray. C. Pati Jagung Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1985), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat
menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
-glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada
umumnya, pati mengandung 25–30% amilosa dan 70–75% amilopektin. Menurut Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan
-(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus
terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai linier dari pati. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa). Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan
-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 107–5x108 (Fennema, 1996). Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, ada pula varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, varietas jagung yang dinamakan high-amylose corn mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah. Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.
Tabel 5. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (µm) Padi 3-8 Gandum 20-35 Jagung 15 Sorgum 25 Rye 28 Barley 20-25 Sumber: Hoseney (1998)
Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips
Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 5). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30
m. Jagung yang tinggi amilosa
(high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24
m. Sedangkan
pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100
m, 4-35
m, dan 2-55
m (Fennema, 1996). Menurut
Boyer dan Shannon (2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf. D. Gelatinisasi Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop
(Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi pada dasarnya terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.
Suhu Gelatinisasi Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya.
Winarno
(2004)
menyatakan
bahwa
suhu
dimana
sifat
birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi.
Pengukuran
suhu
gelatinisasi
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry. Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996) Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1981) menyatakan
keadaan
media
pemanasan
yang
mempengaruhi
proses
gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponenkomponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.
E. Mi Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al., 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996 Persyaratan Persyaratan No Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II Keadaan: 1.1 Bau Normal Normal 1. 1.2 Warna Normal Normal 1.3 Rasa Normal Normal 2. Air % b/b Maks. 8 Maks. 10 4. Protein (N x 6,25) % b/b Min. 11 Min. 8 Bahan Tambahan Makanan: 5. 5.1 Boraks Tidak boleh ada sesuai dengan 5.2 Pewarna SNI 01-0222-1995 Tambahan Cemaran Logam: 6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 6. 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05 7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5 Cemaran mikroba: 8.1 Angka koloni/g Maks. 1,0 x 106 Maks. 1,0 x 106 8. lempeng total 8.2 E. coli APM/g Maks. 10 Maks. 10 4 Maks. 1,0 x 104 8.3 Kapang koloni/g Maks. 1,0 x 10
Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi yang hampir sama. Keduanya dibedakan dalam tahapan proses pembuatan, kadar air, dan kadar protein. Mi kering diperoleh dengan cara mengeringkan mi mentah dengan metode penjemuran atau di angin-anginkan atau juga dikeringkan dalam oven pada suhu ± 50oC. Mi kering mempunyai daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 612 bulan. Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997). Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7,9 g, lemak 11,8 g, karbohidrat 50,0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2,8 mg, vitamin B1 0,01 mg, dan air 28,9 g. Mi Jagung Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting), pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses pembuatan mi jagung basah terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan, sheeting, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak (Rianto, 2006). Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka
adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006). Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003). Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung instan mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung instan, melainkan hanya proses pengeringan saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu
-karoten, lutein, dan zeaxanthin.
Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) merancang proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah
dari bahan dasar tepung jagung. Serta Kurniawati (2006) yang juga telah mengoptimasi desain proses dan formulasi pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Adapun rincian dari bahan baku yang digunakan, proses pengolahan, parameter mutu, dan jenis mi jagung yang dibuat dapat dilihat pada Lampiran 1. F. Proses Penggandaan Skala Menurut Hulbert (1998), penggandaan skala (scale up) merupakan tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant. Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi, pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan untuk dapat melakukan penggandaan skala. Proses penggandaan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan, diantaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan proses optimum. Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Biasanya tahap pilot plant digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi, dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi produk, dan panel sensori (Anonimc, 2007). Pada
tahap
pilot
plant,
proses
akan
dinilai
untuk
melihat
kemampuannya dalam memenuhi spesifikasi target, karakteristik produk, dan perlu/tidaknya modifikasi proses sebelum ditransfer ke skala pabrik. Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah
dan kekusutan dalam proses dapat diujicobakan sebelum membangun pabrik skala besar. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan data-data yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonimc, 2007). Langkah pertama dalam pengembangan sebuah produk pangan baru adalah mendefinisikan proses yang dibutuhkan untuk membuat produk. Salah satu perangkatnya adalah pengembangan diagram aliran proses yang menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada setiap tahapan proses. Langkah kedua adalah memecahkan masalah yang masih terdapat dalam proses perbesaran skala. Dalam hal ini, uji coba yang bersifat kontinyu perlu dilakukan untuk menentukan parameter optimum dan desain peralatan yang akan dimodifikasi pada skala yang lebih besar. Selain itu, interaksi kimia dan fisik yang bersifat kompleks dalam produk pangan perlu diperhatikan agar kerusakan produk terutama pada formulasi yang digunakan dapat dihindari. Hal ini akan membantu dalam penentuan ukuran dan ciri-ciri peralatan yang dibutuhkan atau spesifikasi alat yang akan menjadi referensi untuk pembelian (Hulbert, 1998). Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya, terutama karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan secara visual. Menurut Scott (2007), proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya. Berdasarkan
proses
dan
tingkat
produksi
yang
diinginkan,
penggandaan skala merupakan proses yang cukup sulit untuk diaplikasikan. Penggandaan skala merupakan proses menantang yang membutuhkan suatu perencanaan matang, fleksibel, dan pendekatan yang konsisten untuk meraih keberhasilan. Hal ini menyebabkan pergerakan produk dari tahap ke tahap akan menjadi lebih kompleks jika dijalankan dalam skala besar ini. Oleh karena itu, langkah yang harus diperhatikan dalam produksi skala besar diantaranya menentukan produk dan acuan paket termasuk definisi produk, ukuran dan tipe paket yang diinginkan, serta laju produksi (Scott, 2007).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Srikandi (QPM), pati jagung, Isolat Protein Kedelai (ISP), tepung terigu, air, garam, guar gum, carboxymethyl cellulose (CMC), dan baking powder. Sedangkan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis antara lain aquades, K2SO4, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, HBO3, HCl, hexan, dan bahan-bahan kimia lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan, mixer, kompor, alat pengukus, mesin pembuat mi, oven, dan alat perebus. Sedangkan alat-alat untuk keperluan analisis adalah Texture Analyzer TAXT2, Chromameter Minolta CR-310, spektrofotometer, oven, tanur, labu Kjeldahl, sokhlet, neraca analitik, dan alat-alat gelas, serta peralatan analisis lainnya. B. Metode Penelitian 1. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Jagung pipil QPM dengan varietas Srikandi yang diperoleh dari daerah Malingping, Provinsi Banten terlebih dahulu dijadikan tepung jagung. Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung ini adalah metode penggilingan kering (Gambar 4) dan metode penggilingan basah (Gambar 5). Jagung pipil kering
Penggilingan I (multi mill)
Tepung kasar
Grits
@
Kulit ari, lembaga
@
Perendaman dan pencucian dengan air Pengeringan Penggilingan II (disc mill) Pengayakan (80-100 mesh)
Tepung jagung Gambar 4. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan kering Tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung yang lolos ayakan 100 mesh. Partikel tepung jagung dengan ukuran kecil lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang lebih besar. Di samping itu, rendemen tepung yang dihasilkannya juga lebih banyak.
Jagung pipilan
Perendaman Penggilingan basah
Penyaringan
Pengendapan
Dekantasi
@
@
Sentrifugasi
Tepung jagung basah
Pengeringan (45-60oC, KA = 10%)
Tepung jagung kering Gambar 5. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan basah 2. Karakterisasi Tepung Jagung Karakterisasi tepung jagung dilakukan melalui pengukuran sifat kimia dengan analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, penentuan kadar karbohidrat yang dilakukan secara by difference, dan kadar amilosa. Selain itu, dilakukan pula pengukuran terhadap sifat fisik tepung jagung yaitu rendemen dan warna. 3. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering Tahap verifikasi ini dilakukan terhadap formulasi dan proses pengolahan mi jagung yang telah dikembangkan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Lampiran 1). Formulasi mi jagung kering mengacu pada hasil penelitian Rianto (2006), yaitu dengan menggunakan bahan baku tepung jagung (100%), air (30% dari berat tepung), garam (1% dari berat tepung), dan baking powder (0,3% dari berat tepung). Adapun desain proses produksi mi jagung kering mengacu pada hasil penelitian Juniawati (2003) dan Fadlillah (2005) seperti terlihat pada Gambar 6. Setelah diperoleh formulasi dan desain proses optimum pada skala laboratorium, beberapa penyesuaian pada formulasi atau proses itu sendiri perlu dilakukan sehingga dapat diterapkan pada skala yang lebih besar.
Salah satu caranya dengan penambahan bahan-bahan tambahan untuk memperbaiki karakteristik mi jagung yang dihasilkan. Selain itu, penentuan parameter-paramater pada tiap bagian proses yang dianggap kritis juga harus dilakukan untuk memperbaiki proses pada skala besar. Parameter proses tersebut diantaranya jenis mixer dan lama pengadukan saat pencampuran adonan, suhu dan lamanya waktu pembentukan lembaran mi, suhu dan lama waktu pengukusan, serta suhu dan waktu pengeringan optimum pada oven.
Garam 1%, baking Powder 0,3%
Tepung jagung 100% Air 30% Pencampuran (mixer)
Pengukusan adonan (variasi waktu)
Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (Sheeting, slitting, and cutting)
Pengukusan mi mentah (variasi waktu)
Pengeringan dengan oven (Suhu 60oC selama 1-2 jam)
Mi kering Gambar 6. Diagram alir pembuatan mi jagung kering Verifikasi formulasi dan proses ini akan menghasilkan keluaran berupa formulasi terpilih yang akan diterapkan pada tahap penggandaan skala, tahapan proses yang optimum mulai dari penyiapan tepung jagung
hingga diperoleh produk akhir berupa mi, dan identifikasi tahap-tahap kritis dalam proses produksi mi jagung. 4. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi mi jagung dan proses produksinya yang optimum. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Teknologi yang telah dihasilkan perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar. Selain itu, proses produksi dengan jumlah bahan baku yang lebih besar serta automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih dilakukan secara manual juga akan diujicobakan. Penentuan formulasi dan desain proses optimum pada skala laboratorium (Lampiran 1)
Verifikasi formulasi dan desain proses optimum
Identifikasi tahap-tahap kritis
Penentuan formulasi dan desain proses terpilih
Penggandaan skala produksi
Identifikasi bahan dan peralatan proses produksi Gambar 7. Aliran proses kegiatan penggandaan skala produksi mi jagung
Target yang dihasilkan dari tahap ini adalah formulasi dan proses yang telah disesuaikan dengan kondisi skala komersial, identifikasi tahap kritis dalam proses produksi mi jagung kering yang harus diantisipasi pada skala komersial, dan identifikasi peralatan proses produksi yang dibutuhkan untuk mendirikan model industri mi jagung pada skala industri kecil. C. Metode Analisis Produk Analisis Sifat Fisik 1. Analisis warna menggunakan metode Hunter Analisis warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR-310. Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(70) untuk warna biru). 2. Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT–2 yang digunakan tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis) Parameter Setting Pre test speed 2,.0 mm/s Test speed 0,1 mm/s Post test speed 2,0 mm/s Rupture test distance 75% Distance 1% Force 100 g Time 5 sec Count 2
Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gF).
Gambar 8. Kurva profil tekstur mi 3. Pengukuran kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: ⎧ berat sampel setelah di ker ingkan ⎫ KPAP = 1 − ⎨ ⎬ × 100% ⎩ berat awal (1 − kadar air contoh) ⎭
4. Pengukuran daya serap air (DSA) Perhitungan didasarkan pada hasil penetapan kadar air sebelumnya. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven 105°C selama 10 detik, lalu didinginkan di dalam desikator. Sampel sebanyak 3 gram direbus dalam air selama 7 menit pada suhu 90-100°C. Kemudian sampel ditiriskan, lalu
ditimbang (A). Sampel yang telah ditiriskan dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 6 jam sampai diperoleh berat konstan (B). Daya adsorbsi air dihitung berdasarkan perhitungan:
DSA (%bk ) =
( A − B) − (kadar air contoh × berat awal contoh) × 100% berat awal contoh (1 − kadar air contoh)
dimana: A = berat sampel sebelum dikeringkan B = berat sampel setelah dikeringkan. 5. Rendemen
Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan perbandingan antara hasil dengan bahan awal dikalikan 100%. Re ndemen =
berat hasil akhir × 100% berat awal
Analisis Sifat Kimia 1. Analisis kadar amilosa tepung jagung, metode IRRI (AOAC, 1995)
Penentuan kadar amilosa diawali dengan pembuatan kurva standar. Sebanyak 40 mg sampel amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Lalu dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel dan didinginkan. Gel yang terbentuk lalu dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar ditambahkan asam asetat 1 N masingmasing 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml lalu ditambahkan masing-masing 2 ml larutan iod. Campuran ditepatkan hingga tanda tera dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat dengan memplotkan kadar amilosa pada sumbu x dan absorbansi pada sumbu y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa:
y = a + bx
Penetapan sampel dilakukan dengan menimbang 100 mg sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel, lalu gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan dipipet sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, ditepatkan sampai tanda tera, lalu didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar. 2. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dengan suhu 100oC. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 3-4 jam sampai tercapai berat konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:
Kadar air (%bb) = Keterangan:
c − ( a − b) × 100% c
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
3. Analisis kadar abu, metode oven (AOAC, 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven bersuhu 100oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3–5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap lagi dan dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400–6000C selama 4–6 jam
atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar abu (%bb) =
Keterangan:
a−b × 100% c
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
4. Analisis kadar lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100–1100C, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang, dibungkus dengan kertas saring, dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksana atau dietil eter). Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang bersuhu 1000C sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Berat lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak (%bb) = Keterangan:
a−b × 100% c
a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
5. Analisis kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira–kira membutuhkan 3–10 ml HCL 0,01N atau 0,02 N) yaitu sekitar 0,1 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 0,9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1–1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH–Na2S2O3. Gas
NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0,2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu–abu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus: Kadar N (%) =
( ml HCl sampel − ml HCl blanko ) × N HCl × 14,007 × 100 mg sampel
Kadar protein (%bb ) = % N × 6,25 ( faktor konversi ) 6. Analisis kadar karbohidrat (by difference)
Perhitungan kadar karbohidrat dapat ditentukan dengan rumus:
Kadar karbohidrat (%bb) = 100% − ( P + KA + A + L) Dimana: P = kadar protein (%) KA = kadar air (%) A = kadar abu (%) L = kadar lemak (%).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung
Proses penggilingan biji jagung menjadi tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang paling tinggi kandungan karbohidratnya (pati). Bagian inilah yang kemudian akan dibuat menjadi tepung jagung. Sedangkan kulit dan tip cap harus dipisahkan karena dapat membuat tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Begitu pula dengan lembaga yang harus dipisahkan karena kandungan lemaknya yang tinggi dapat membuat tepung jagung cepat tengik akibat oksidasi lemak. Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan multi mill yang dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian selama kurang
lebih 2 jam untuk memisahkan bagian endosperma (grits) jagung dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Perendaman juga bertujuan untuk melunakkan endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua. Grits jagung hasil pencucian terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh
kadar air 17%. Jika kadar air terlalu tinggi, maka grits akan menempel pada disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan di alat
tersebut. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Penggilingan kedua bertujuan untuk memperhalus ukuran grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan disc mill. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang
seragam, pengayakan dapat dilakukan menggunakan saringan berukuran 80 atau 100 mesh. Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar.
Penggandaan skala pada proses penggilingan kering dilakukan dengan meningkatkan jumlah jagung pipil yang akan ditepungkan dari 10 kg menjadi 25 kg. Jagung pipil yang digunakan merupakan jenis jagung QPM (Quality Protein Maize) dengan varietas Srikandi. Rianto (2006) sebelumnya telah
menepungkan 10 kg jagung pipil kering varietas Srikandi menjadi tepung jagung yang lolos ayakan 80 mesh dengan rendemen sebesar 40% (4 kg). Namun walaupun dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi jagung, tekstur mi yang dihasilkannya tidak sehalus mi yang dibuat dari tepung jagung berukuran 100 mesh. Oleh karena itu, pada proses penepungan jagung selanjutnya digunakan ayakan berukuran 100 mesh. Sebanyak 25 kg jagung pipil kering yang digiling menjadi tepung jagung yang lolos ayakan 100 mesh menghasilkan rendemen sebesar 24% (6 kg). Sementara sisanya terbuang selama proses penepungan dengan kehilangan terbesar terjadi saat proses perendaman dan pencucian (48%/12 kg) serta pengayakan (24%/6 kg). Diagram alir kesetimbangan massa proses penggilingan kering jagung dapat dilihat pada Lampiran 3. Penelitian ini juga mencoba metode penepungan jagung dengan teknik penggilingan basah untuk mendapatkan rendemen yang lebih banyak. Adapun proses penggilingan basah jagung secara garis besar terdiri dari tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses pencucian biji jagung bertujuan untuk memisahkannya dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Sedangkan perendaman bertujuan untuk melunakkan biji jagung sehingga memudahkan penggilingan. Lama waktu perendaman biji jagung yang dilakukan bervariasi antara 6, 9, dan 12 jam. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui waktu optimum dimana biji jagung dapat digiling dengan cukup halus dan menghasilkan rendemen yang cukup besar. Langkah selanjutnya, biji jagung digiling dengan menggunakan alat penggiling batu (burr mill) yang terdiri dari dua cakram batu yaitu cakram statis dan cakram dinamis yang digerakkan dengan motor penggerak cakram. Alat ini bertujuan menyobek biji jagung sehingga kulit dan lembaga dapat lepas. Selama proses penggilingan, air harus terus dialirkan secara kontinyu
untuk mendorong bahan sehingga tidak terjadi penumpukan di satu titik. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media pelarut bagi pati yang dilepaskan selama penggilingan. Hasil penggilingan kasar ini selanjutnya disaring untuk memisahkan cairan pati dengan hancuran lembaga, kulit, dan endosperma. Hasil penyaringan kemudian diendapkan selama + 20 jam sampai terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih. Selanjutnya, endapan pati dipisahkan dari lapisan air sehingga diperoleh tepung jagung basah. Tahap terakhir, tepung jagung basah dikeringkan menggunakan oven bersuhu 60-70oC selama kurang lebih 5 jam hingga diperoleh kadar air 10% kemudian digiling menggunakan disc mill. Tabel 9. Rendemen tepung jagung hasil penggilingan teknik kering dan basah Berat awal Berat akhir Rendemen Metode penggilingan (kg) (kg) (%) Teknik penggilingan kering 25 6,2008 24,80 6 jam 25 5,5531 22,21 Teknik 9 jam 25 6,0938 24,38 penggilingan basah 12 jam 25 8,1185 32,47
Hasil pengukuran pada Tabel di atas menunjukkan bahwa tepung jagung dari teknik penggilingan basah dengan perendaman selama 12 jam menghasilkan rendemen terbesar (32,47%), lebih besar daripada tepung jagung penggilingan kering (24,80%) dan tepung jagung penggilingan basah dengan perendaman 9 jam (24,38) dan 6 jam (22,21). Hal ini dikarenakan proses perendaman telah melunakkan endosperma jagung sehingga mudah digiling dan dihaluskan menjadi tepung. Semakin lama waktu perendaman biji jagung pada teknik penggilingan basah, semakin lunak endosperma biji jagungnya, sehingga semakin banyak pula tepung jagung yang dihasilkannya. Diagram alir kesetimbangan massa proses penggilingan basah jagung dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses penggilingan, baik teknik kering ataupun teknik basah, pada penelitian ini masih menghadapi beberapa kendala. Lebih lanjut, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 beserta beberapa solusi yang dapat menjadi alternatif.
Tabel 10. Rekapitulasi tahapan proses penepungan dengan teknik penggilingan kering dan basah Tahapan Proses Alat Masalah Solusi a) Teknik Penggilingan Kering Ukuran saringan 7 mm: masih Penggilingan I Ukuran saringan 5 mm Multi mill terdapat jagung pipil utuh yang lolos saringan dan belum tergiling menjadi grits Perendaman dan Bak plastik Banyak massa jagung yang pencucian terbuang (48%) Pengeringan Tray oven
Penggilingan II
Disc mill
Pengayakan
Siever
Disc mill tipe lama: waktu penepungan lebih cepat, rendemen banyak, tetapi tepung masih kasar. Sedikit yang lolos ayakan 100 mesh (7%) Ukuran saringan 80 mesh: tepung jagung masih agak kasar dengan ukuran partikel masih agak besar
Disc mill tipe baru
Ukuran saringan 100 mesh
b) Teknik Penggilingan Basah Pencucian Bak plastik
Perendaman
Bak plastik
Penggilingan I
Burr mill
Waktu perendaman lama (6, 9, dan 12 jam) tetapi endosperma jagung belum terlalu lunak Masih ada endosperma keras jagung yang belum tergiling
Waktu perendaman ditambah Waktu perendaman biji jagung ditambah
Hasil
Jagung pipil tergiling menjadi grits dan sudah tidak ada yang masih utuh Kulit, lembaga, dan tip cap terbuang Grits jagung kering dengan kadar air 17% Tepung lebih halus dan cukup banyak yang lolos ayakan 100 mesh (24%), tetapi waktu penepungan lebih lama Tepung jagung lebih halus dengan ukuran partikel yang lebih kecil biji jagung bebas dari kotoran dan kontaminan asing Pelunakkan biji jagung meningkat Biji jagung lebih lunak dan rendemen pati yang terektrak lebih banyak
Tabel 10. Lanjutan Tahapan Proses Penyaringan
Alat Vibrating Screen
Masalah Hancuran biji jagung yang masih banyak mengandung pati tidak lolos saringan
Pengendapan
Bak plastik
Waktu pengendapan lama (+ 20 jam), timbul bau asam/tengik
Pengeringan
Tray oven
Penggilingan II
Disc mill
Solusi Menyaring kembali hancuran biji jagung dengan menambahkan air dan dilakukan pengepresan manual Penggunaan sentrifuse
Hasil Cairan pati yang tersaring lebih banyak
Lama waktu pengendapan berkurang, rendemen lebih banyak, kurang efektif karena kapasitas sentrifuse yang kecil sehingga membutuhkan waktu yang lama Kepingan pati kering dengan kadar air 10% Tepung jagung halus dengan partikel berukuran kecil, rendemen cukup banyak
B. Karakterisasi Tepung Jagung 1) Komposisi Kimia Tepung Jagung
Pengujian
terhadap
karakteristik
kimia
dilakukan
untuk
mengetahui kandungan gizi tepung jagung sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi kering. Sifat kimia tepung jagung yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar amilosa. Perbandingan komposisi kimia pati dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis proksimat pada Tabel 11 menunjukkan kandungan protein pada tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah rata-rata di atas 8%. Nilai ini lebih tinggi daripada tepung jagung yang dihasilkan oleh Rianto dan Soraya (2006) dengan varietas yang sama (6-7%), atau lebih rendah daripada protein biji utuh jagung Srikandi Kuning yang mencapai 10,3%. Hal ini mungkin dikarenakan sebagian protein larut air terbuang selama proses perendaman atau penggilingan basah. Selain itu, sebagian protein kemungkinan ada yang terdenaturasi akibat perlakuan mekanik atau oleh panas yang terlalu tinggi. Tabel 11 juga menunjukkan kandungan lemak pada tepung jagung hasil penggilingan kering sebesar 2,99% atau lebih rendah daripada tepung jagung hasil penggilingan basah (7,11%, 6,32%, dan 6,33%). Rendahnya kandungan lemak pada tepung jagung hasil penggilingan kering disebabkan oleh adanya proses pemisahan lembaga (degerminasi) yang kaya akan lemak pada saat penepungan. Pada teknik penggilingan basah, semakin lama proses perendaman jagung yang dilakukan akan semakin rendah kadar lemaknya. Perendaman jagung selama 6 jam menghasilkan tepung jagung dengan kadar lemak yang lebih tinggi daripada perendaman jagung selama 9 dan 12 jam. Di samping itu, tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah memiliki kandungan amilosa dengan nilai yang kurang lebih sama, yaitu sebesar 20,22; 20,88; 20,47; dan 20,26%.
Tabel 11. Komposisi kimia pati jagung dibandingkan dengan tepung jagung varietas Srikandi
Parameter
a
Pati Jagung
b
Maizena
Tepung Jagungc
Tepung Jagungd (Berat kering)
Tepung Jagung Hasil Penggilingan Kering
Tepung Jagung Hasil Penggilingan Basah 6 jam
9 jam
12 jam
Kadar air (%)
10,21
12,60
8,70
10,00
7,94
7,12
6,84
5,48
Kadar abu (%)
0,05
0,30
0,33
0,72
0,68
0,59
0,71
0,79
Kadar protein (%)
0,56
0,54
6,52
7,06
8,73
8,49
8,06
8,78
Kadar lemak (%)
0,61
0,77
1,03
6,56
2,99
7,11
6,32
6,33
Kadar karbohidrat (by difference) (%)
88,57
85,79
83,42
85,48
79,66
76,69
78,07
78,62
20,22
20,88
20,47
20,26
Kadar amilosa (%) Sumber:
a
) PT Suba Indah Tbk (2004)
b
) Maizena yang ada di pasaran
c
) Rianto (2006), dengan metode penggilingan kering
d
) Soraya (2006), dengan metode penggilingan basah
29,52
2) Warna Tepung Jagung
Secara kuantitatif, warna pati dan tepung jagung diukur menggunakan kromameter dengan metode Hunter yang akan memberikan tiga nilai pengukuran yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur, maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel, nilai L akan mendekati 0. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Bila a bernilai positif, sampel cenderung berwarna merah. Sebaliknya, bila a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru. Bila b bernilai positif, sampel cenderung berwarna kuning dan bila b bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna biru (Hutching, 1999). Hasil pengukuran warna pada pati dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil pengukuran warna pada pati dan tepung jagung Jenis Tepung Ulangan L a b 1 66,35 + 3,57 + 0,68 Pati Jagung 2 67,39 + 3,70 + 0,66 Rata-rata 66,37 + 3,64 + 0,67 1 62,98 + 3,10 + 12,56 Tepung Jagung Hasil 2 63,04 + 3,10 + 12,50 Penggilingan Kering Rata-rata 63,01 + 3,10 + 12,53 1 63,07 + 3,88 + 5,79 Tepung Jagung Hasil Penggilingan Basah 2 63,02 + 3,82 + 5,77 (6 jam) Rata-rata 63,05 + 3,85 + 5,78 1 63,49 + 3,87 + 5,95 Tepung Jagung Hasil Penggilingan Basah 2 63,55 + 3,91 + 6,18 (9 jam) Rata-rata 63,52 + 3,89 + 6,07 1 64,05 + 3,69 + 7,02 Tepung Jagung Hasil Penggilingan Basah 2 63,73 + 3,69 + 7,13 (12 jam) Rata-rata 63,89 + 3,69 + 7,08
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa tepung jagung hasil penggilingan kering memiliki tingkat kecerahan sebesar 63,01 dengan nilai a dan b masing-masing sebesar 3,10 dan 12,53. Besarnya nilai b menunjukkan bahwa tepung jagung tersebut memiliki warna kekuningan (Gambar 9). Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya
pigmen xantofil yang terdapat pada jagung. Xantofil termasuk ke dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung. Kandungan pigmen xantofil yang terdapat pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-36 mg/kg, sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2,8 mg/kg (Watson, 2003). Warna kuning pada tepung jagung inilah yang nantinya memberikan warna kuning alami pada produk mi jagung. Tepung jagung hasil penggilingan basah memiliki tingkat kecerahan (L) dan nilai a yang hampir sama dengan tepung jagung hasil penggilingan kering. Namun, intensitas warna kuning (nilai b) pada tepung jagung hasil penggilingan basah lebih rendah daripada tepung jagung hasil penggilingan kering, yaitu masing-masing sebesar 5,78; 6,07; dan 7,08. Jika dilihat secara visual, tepung jagung hasil penggilingan basah memiliki warna agak kecoklatan (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh sedikitnya pigmen xantofil yang ikut terekstrak bersama pati saat proses penggilingan basah. Menurut Watson (2003), sekitar 95-97% pigmen karotenoid (xantofil dan karoten) pada jagung terdapat di bagian endosperma dan konsentrasi terbesar (75%) terdapat pada bagian endosperma keras (horny endosperm). Sementara itu pada saat penggilingan basah, kemungkinan
bagian horny endosperm tidak terekstrak seluruhnya dan ikut terbuang bersama hancuran lembaga dan kulit.
(A) (B) (C) Gambar 9. Beberapa macam tepung jagung: (A) Pati jagung, (B) Tepung jagung hasil penggilingan kering, (C) Tepung jagung hasil penggilingan basah
Selain
memiliki
warna
kecoklatan,
tepung
jagung
hasil
penggilingan basah juga mempunyai bau yang agak tengik. Hal ini
dikarenakan pada proses penggilingan basah tidak dilakukan pemisahan lembaga yang banyak mengandung lemak sehingga menyebabkan molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno, 2004). Pati jagung yang diperoleh dari teknik penggilingan basah memiliki tingkat kecerahan yang lebih baik daripada tepung jagung. Namun, intensitas warna kuning (nilai b) pada pati jagung sangat rendah bila dibandingkan dengan tepung jagung, yaitu hanya sebesar 0,67. Jika dilihat secara visual, warna pati jagung lebih putih daripada tepung jagung (Gambar 9). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya proses pemisahan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar, lemak, dan protein, dimana pigmen yang terekstrak juga ikut terbuang pada saat dekantasi dan sentrifugasi. C. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering
Mi kering berbahan baku pati dan tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Menurut Pagani (1985), untuk membuat produk pasta dari bahan non konvensional seperti dari tepung jagung atau dari campuran tepung terigu dan tepung non terigu diperlukan beberapa bentuk penyesuaian, antara lain dapat dilakukan dengan: 1. Meningkatkan sifat fungsional komponen selain protein dan tepung pensubstitusi, dalam hal ini pati dari tepung yang bersangkutan. 2. Menambahkan protein dari sumber lain yang dapat membentuk gluten; dan 3. Menambahkan zat tambahan yang dapat bereaksi dengan pati dan dapat mencegah pembengkakan pati tersebut selama pemasakan, misalnya dengan menggunakan mono- dan digliserida dari asam-asam lemak yang membentuk kompleks dengan amilosa dan mencegah keluarnya pati dari produk ke dalam air yang digunakan untuk memasak. Ruiter (1978) juga mengungkapkan bahwa dalam pembuatan produk pasta dari tepung campuran diperlukan penyesuaian terhadap proses
pengolahannya, seperti meningkatkan temperatur adonan. Penyesuaian tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan air yang suhunya tinggi untuk melakukan pregelatinisasi terhadap tepung atau dengan menambahkan pati yang telah terpregelatinisasi. Bahan baku yang mengandung sedikit protein seperti jagung atau yang sama sekali tidak mengandung protein, pembuatan produk pasta harus dilakukan dengan merangsang pembentukan struktur yang khusus dari patinya. Hal ini dapat dilakukan dengan perlakuan pemanasan pada suhu tinggi terhadap adonan yang dimaksudkan untuk menggelatinisasi pati yang terkandung di dalam tepung. 1) Modifikasi Pembuatan Mi Jagung Kering
Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan, seperti tertera pada Lampiran 1. Pada penelitian ini, formula yang dijadikan acuan pembuatan mi jagung kering diambil dari hasil penelitian Rianto (2006) dengan menggunakan bahan baku 100 g tepung jagung, 30 ml air, 1 g garam, dan 0,3 g baking powder. Sedangkan desain proses produksi mi jagung kering mengacu pada hasil penelitian Juniawati
(2003)
dan
Fadlillah
(2005)
yang
sebelumnya
telah
memproduksi mi jagung instan. Pada awalnya, produk yang dipilih adalah mi basah yang dibuat dari tepung jagung. Namun, kadar air mi jagung basah yang tinggi menyebabkan masa simpannya tidak lebih dari dua hari. Hal ini cukup menyulitkan setiap kali akan menganalisis produk karena daya simpannya yang relatif singkat menyebabkan mi cepat rusak. Dengan alasan itulah, maka pembuatan mi jagung basah skala besar dilanjutkan dengan pembuatan mi jagung kering yang mempunyai masa simpan lebih lama. Tahap verifikasi bertujuan untuk menentukan apakah secara keseluruhan formulasi dan proses produksi yang akan diterapkan pada skala yang lebih besar telah sesuai dengan hasil skala laboratorium. Sebagai langkah awal, formulasi dan desain proses produksi optimum dari hasil penelitian Rianto (2003) diujicobakan dengan meningkatkan skala produksinya menjadi 250-300 g. Peningkatan skala produksi tersebut
ternyata memberikan hasil yang agak berbeda terutama dari karakteristik fisiknya. Kendala ditemui saat proses pembentukan lembaran dimana lembaran mi yang dihasilkan sangat rapuh sehingga mudah sekali sobek dan cepat menjadi keras sehingga untaian mi yang tercetak tidak kontinyu atau menjadi patah-patah. Oleh karena itu, modifikasi formula dilakukan dengan menambahkan bahan lain seperti tepung terigu, isolat protein kedelai (ISP), atau pati jagung (maizena). Penambahan bahan-bahan tersebut diharapkan dapat memperbaiki karakteristik lembaran mi yang dihasilkan sekaligus meningkatkan elastisitas mi. Selain penambahan bahan-bahan tersebut, bahan penstabil yang berguna untuk meminimalisasi cooking loss/kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) juga perlu
ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik mi saat rehidrasi. Bahan penstabil yang ditambahkan adalah guar gum dengan konsentrasi 1%. Pengukuran karakteristik mi jagung kering dilakukan secara visual dengan menggunakan Tabel 13 sebagai acuan. Pengukuran karakteristik yang dilakukan meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi lembaran mi (sheeting), keseragaman pembentukan untaian mi (slitting), dan kualitas pemasakan mi kering (cooking). Tabel 13-16 masing-masing menunjukkan sifat adonan mi setelah pengukusan pertama dengan penambahan pati jagung, tepung terigu, dan ISP. Lama waktu pengukusan untuk membentuk adonan yang dapat dicetak menjadi mi merupakan kelipatan dari 7 menit untuk setiap peningkatan 100 gram bahan berdasarkan metode Rianto. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa substitusi pati jagung dengan konsentrasi 30-50% dalam adonan menghasilkan lembaran dan untaian mi yang lebih bagus daripada substitusi adonan dengan tepung terigu dan ISP. Substitusi pati jagung tersebut menghasilkan lembaran mi yang tidak mudah sobek, tidak cepat menjadi keras/kaku, dan halus permukaannya. Untaian mi yang tercetak pun berukuran panjang atau kontinyu dan tidak mudah patah. Selanjutnya, pati jagung dengan konsentrasi 30% dipilih untuk mensubstitusi adonan mi jagung yang akan diterapkan pada tahap penggandaan skala.
Tabel 13. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual Proses Kriteria Pengukuran Adonan seragam; mampu menyerap air secara optimal Mixing Lembaran mi mudah dibentuk; permukaannya halus; tidak bergaris-garis; dan tidak ada noda Sheeting Ukurannya seragam dan sesuai; tersisir dengan baik; bentuknya bagus Slitting Memiliki derajat gelatinisasi yang baik; tidak lengket Steaming Waktu pemasakan singkat; rendah cooking loss (kehilangan padatan akibat pemasakan); teksturnya bagus Cooking Sumber: Hou dan Kruk (1998) Tabel 14. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan pati jagung (skala 250 gram) Tepung Pati Waktu Tepung jagung : Karakteristik adonan mi jagung jagung pengukusan I Pati jagung (secara visual) (gram) (gram) (menit) Adonan dapat dibuat lembaran tetapi agak lama, permukaannya halus, mudah sobek, dan agak keras/kaku 250 0 100 : 0 17,5 Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi tetapi sebagian patah-patah Mi mudah sekali patah dan agak keras
225
25
90 : 10
17,5
200
50
80 : 20
17,5
175
75
70 : 30
17,5
150
100
60 : 40
17,5
125
125
50 : 50
17,5
Adonan mudah dibuat lembaran, permukaannya halus, tetapi masih mudah sobek Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi tetapi mudah patah dan sedikit keras Adonan lebih mudah dibentuk menjadi lembaran (lembaran halus permukaannya, tidak mudah sobek, dan tidak cepat keras/kaku) Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi yang berukuran panjang dan tidak mudah patah
Tabel 15. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan tepung terigu (skala 250 gram) Tepung Tepung Waktu Tepung jagung : Karakteristik adonan mi jagung terigu pengukusan I Tepung terigu (secara visual) (gram) (gram) (menit) Adonan dapat dibuat lembaran yang halus permukaannya, tetapi mudah sobek dan agak keras/kaku 225 25 90 : 10 17,5 Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi tetapi sebagian patah-patah Mi mudah patah dan agak keras Adonan mudah dibuat lembaran yang halus permukaannya, tetapi masih 200 50 80 : 20 17,5 mudah sobek dan sedikit keras/kaku Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi, sedikit elastis, tetapi mudah 175 75 70 : 30 17,5 patah dan sedikit keras Tabel 16. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan isolat protein kedelai (skala 300 gram) Tepung Waktu ISP Tepung jagung : Karakteristik adonan mi jagung pengukusan I (gram) ISP (secara visual) (gram) (menit) Adonan dapat dibuat lembaran tetapi kurang halus permukaannya, mudah sobek, dan agak keras/kaku 270 30 90 : 10 21 Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi tetapi patah-patah Mi agak rapuh dan mudah patah Adonan menggumpal ketika dikukus dan agak keras saat diaduk, dapat 210 90 70 : 30 21 dibuat lembaran namun membutuhkan waktu yang lama Lembaran kurang halus permukaannya, mudah sekali sobek, dan agak keras/ kaku Lembaran dapat dicetak menjadi untaian mi tetapi patah-patah 150 150 50 : 50 21 Mi sangat rapuh dan mudah sekali patah/cenderung hancur
2) Identifikasi Tahapan Kritis Dalam Pembuatan Mi Jagung Kering
Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatannya. Oleh karena itu, penentuan parameter-paramater pada tiap bagian proses yang dianggap kritis harus dilakukan untuk memperbaiki proses pada skala besar diantaranya jenis mixer dan lama pengadukan saat pencampuran adonan, suhu dan lama waktu pengukusan, suhu dan lama waktu pembentukan lembaran mi, serta suhu dan waktu pengeringan optimum pada oven. Menurut Astawan (2005), proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air sehingga menghasilkan adonan yang homogen. Adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang ditambahkan (umumnya 28-38% dari berat tepung), lama pengadukan (sekitar 15-25 menit), dan suhu adonan yang dapat dipengaruhi oleh gesekan antara adonan dan pengaduk. Pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dimana granula pati akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan massa adonan yang kohesif dan cukup elastis ketika diuleni. Selain itu, gelatinisasi juga dapat menyebabkan pati meleleh ke permukaan mi membentuk lapisan tipis (film) yang dapat memberikan kelembutan pada mi serta meningkatkan daya cerna pati dan daya rehidrasi mi. Lama waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan dan produk yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama. Pada proses pembentukan lembaran, adonan dilewatkan berulangulang di antara dua rol logam yang akan mengubah adonan menjadi lembaran. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antarrol untuk mendapatkan ketebalan lembaran yang diinginkan. Selanjutnya lembaran mi yang tipis dicetak menjadi untaian mi dengan rol pencetak mi (slitter). Mi yang telah dicetak lalu dimasukkan dalam oven untuk dikeringkan secara sempurna sehingga menjadikannya produk yang kering dan renyah (kadar air 11-12%). Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan tekanan (Astawan, 2005).
D. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering
Hasil verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering telah menghasilkan keluaran berupa formulasi terpilih dan tahapan proses optimum yang akan diterapkan pada tahap penggandaan skala, serta identifikasi tahaptahap kritis dalam proses produksi mi jagung. Formulasi mi jagung kering terpilih dapat dilihat pada Tabel 17. Selanjutnya, formulasi tersebut perlu discale up (penggandaan skala proses produksi) dari skala laboratorium ke skala pilot plant untuk dapat diaplikasikan ke skala yang lebih besar. Pada tahapan
ini, proses produksi dengan jumlah bahan baku yang lebih besar akan diujicobakan serta dilakukan automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih dilakukan secara manual. Tabel 17. Formulasi mi jagung terpilih Bahan Jumlah* Tepung jagung 70 % Pati Jagung 30 %
Air 30 % Garam 1% Guar gum 1% 0,3 % Baking powder Keterangan: *) persentase dari berat total campuran tepung dan pati jagung Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi jagung kering adalah tepung jagung dan pati jagung. Sedangkan bahan baku tambahan yang digunakan antara lain air, garam, guar gum, dan baking powder. Menurut Astawan (2005), air berfungsi sebagai media reaksi yang penting untuk proses gelatinisasi. Garam berguna untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Baking powder dapat membuat struktur bahan menjadi lebih berpori karena
kemampuannya dalam membentuk gas CO2 sehingga diharapkan dapat mempercepat hidrasi air saat pemasakan. Baking powder merupakan campuran dari Na2CO3 dan K2CO3 dengan perbandingan 2:1. Adapun guar gum berfungsi sebagai pengembang yang dapat mempengaruhi sifat adonan.
Selain menggunakan tepung jagung dari hasil penggilingan kering, pada penelitian ini juga digunakan tepung jagung dari hasil penggilingan basah dengan perendaman selama 12 jam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada/tidaknya pengaruh penggunaan kedua jenis tepung jagung dari hasil penggilingan yang berbeda tersebut terhadap karakteristik mi jagung kering yang dihasilkannya. Adapun proses produksi mi jagung kering terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama dan pengulian, pembentukan lembaran mi, pembentukan untaian mi, pemotongan, pengukusan kedua, dan pengeringan. 1) Pencampuran
Pembuatan mi jagung kering diawali dengan proses pencampuran bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Proses pencampuran ini bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air sehingga dihasilkan adonan yang homogen. Mula-mula tepung dan pati jagung ditambahkan dengan guar gum dan baking powder. Lalu garam yang telah dilarutkan dalam air ditambahkan sedikit demi sedikit pada adonan sambil diaduk hingga merata. Penambahan larutan garam ke dalam adonan harus dilakukan secara bertahap supaya tidak terbentuk gumpalan-gumpalan pada adonan. Jika pada adonan sampai terbentuk gumpalan-gumpalan, maka lembaran mi yang dihasilkan saat proses pembentukan lembaran akan kurang halus permukaannya atau terbentuk noda. Oleh karena itu, jenis pengaduk yang digunakan serta lamanya waktu pengadukan adonan perlu diperhatikan untuk menghindari hal tersebut. Menurut Astawan (2005), waktu pengadukan adonan dilakukan selama 15-25 menit dengan suhu adonan sekitar 25-40oC yang dapat dipengaruhi oleh gesekan antara adonan dan pengaduk. Suhu juga dapat meningkatkan mobilitas dan aktivitas air ke dalam jaringan tepung sehingga membantu pengembangan adonan. Oleh karena itu, adonan yang terbentuk diharapkan seragam/homogen, mampu menyerap air secara optimal, dan tidak lengket. Perbedaan proses pencampuran bahan pada skala laboratorium dengan skala yang lebih besar (pilot plant) terletak pada jumlah bahan
baku yang digunakan dan automatisasi proses dengan menggunakan alat/mesin. Pada skala laboratorium yang dilakukan oleh Rianto (2006), proses pencampuran masih dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan karena bahan baku yang digunakan masih sedikit yaitu 100 g. Pencampuran dengan peningkatan jumlah bahan baku menjadi 250-300 g sudah mulai menggunakan handmixer, tetapi adonan yang dihasilkan kurang merata dan terdapat beberapa bagian adonan yang menggumpal. Hal ini dapat diatasi dengan memperlama waktu pengadukan adonan. Namun, pada skala proses pencampuran yang lebih besar (500-1000 g) hal tersebut tidak akan efektif sehingga perlu digunakan alat pencampur (mixer) yang berkapasitas lebih besar pula. Alat pencampur yang dapat digunakan adalah varimixer yang dilengkapi dengan agitator/pengaduk untuk mencampurkan dua atau lebih bahan sampai terjadi distribusi yang homogen
di
antara
komponen-komponen
dalam
bahan
tersebut.
Spesifikasi dari varimixer dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 10. Jenis pengaduk pada varimixer (kiri-kanan: pengaduk berbentuk kait dan pengaduk berbentuk jari-jari)
Varimixer yang digunakan pada penelitian ini mempunyai dua
buah pengaduk yaitu pengaduk berbentuk kait (hook) dan pengaduk berbentuk jari-jari (whisk) (Gambar 10). Hasil pengujian terhadap kedua jenis pengaduk tersebut dalam mencampur adonan menunjukkan bahwa pengaduk berbentuk jari-jari menghasilkan adonan yang lebih seragam daripada pengaduk berbentuk kait (Tabel 18). Oleh karena itu, pengaduk berbentuk jari-jari pada varimixer lebih direkomendasikan untuk pencampuran adonan mi jagung. Namun demikian, proses pencampuran
ini masih belum menghasilkan adonan yang kalis dan kompak sehingga diperlukan tahap pengukusan agar adonan dapat dibentuk menjadi mi. Pengadukan yang optimal pada adonan akan menghasilkan distribusi parikel yang lebih homogen, adonan yang lebih halus, dan lebih mudah dicetak
menjadi
lembaran.
Keseragaman
distribusi
partikel
juga
mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati. Tabel 18. Perlakuan terhadap jenis pengaduk Jenis Pengaduk Keterangan Pencampuran adonan kurang merata, tidak kalis, Kait (hook) dan terbentuk beberapa gumpalan-gumpalan kecil pada tepung. Pencampuran adonan lebih homogen, tidak kalis, Jari-jari (whisk) dan gumpalan-gumpalan pada tepung berkurang. 2) Pengukusan Pertama
Pada pembuatan produk mi dari bahan non terigu, misalnya mi dari tepung jagung, diperlukan proses pengukusan adonan yang bertujuan untuk menggelatinisasi pati. Pati yang tergelatinisasi tersebut akan berperan sebagai bahan pengikat dalam proses pembentukan lembaran dan untaian mi. Hal ini dikarenakan protein pada tepung jagung yang sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin (zeanin) tidak mampu membentuk massa yang elastis dan kohesif jika hanya ditambahkan air saja. Berbeda halnya dengan protein gluten (gliadin dan glutenin) pada terigu yang dapat bereaksi dengan air membentuk massa yang elastis dan kohesif. Namun demikian, pengukusan adonan ini hanya bertujuan agar pati mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila pati telah mengalami gelatinisasi sempurna, maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket saat pembentukan lembaran mi. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel (Harper, 1981).
Proses pengukusan pada skala laboratorium yang dilakukan oleh Rianto dan Juniawati masih menggunakan pengukus biasa (langseng) yang sering dipakai di rumah tangga karena adonan yang dikukus masih berjumlah sedikit (100 g). Alat pengukus ini juga masih dapat digunakan untuk mengukus adonan hingga skala produksi 1 kg. Namun, pada pelaksanaannya diperlukan proses pengadukan secara manual agar distribusi panas lebih merata ke seluruh bagian adonan. Selain itu, pengukus yang digunakan juga berukuran lebih besar daripada pengukus untuk 100 g adonan. Alat pengukus seperti ini tentu tidak dapat digunakan pada proses produksi skala besar (pilot plant) karena jumlah adonan yang dikukus akan semakin banyak sehingga membutuhkan proses gelatinisasi pati yang cukup dan merata agar dapat menghasilkan adonan yang mudah dibentuk menjadi lembaran mi. Alat pengukus yang sebaiknya digunakan dalam produksi skala besar adalah alat yang mempunyai kontrol otomatis terhadap suhu, tekanan uap, dan waktu dengan kapasitas yang lebih besar pula. Menurut Fadlillah (2005), alat pengukus yang direkomendasikan adalah steaming box dengan proses pemasukan uap panas yang dilakukan melalui pipa-pipa
berlubang di dalam box steam. Uap panas ini dialirkan melalui steam generator atau boiler. Selain itu, steaming box juga harus dilengkapi
dengan agitator/pengaduk agar uap panas dapat didistribusikan secara merata ke seluruh bagian adonan. Oleh karena itu, adonan diharapkan memiliki tingkat gelatinisasi yang cukup sehingga mudah dibentuk menjadi lembaran mi. Faktor penting yang harus diperhatikan selama pengukusan adalah suhu dan waktu proses. Kedua parameter ini akan mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi dalam adonan. Selain itu, jenis dan ukuran alat pengukus yang digunakan juga akan mempengaruhi kecukupan dan pemerataan panas dalam adonan. Pada penelitian ini, proses pengukusan dilakukan dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC yang berasal dari pemanasan air menggunakan kompor. Sedangkan lama waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak,
akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama seperti terlihat pada Tabel 19. Tabel 19. Penentuan waktu optimum pada pengukusan pertama Waktu Formulasi Sifat adonan saat pembentukan pengukusan I (gram) lembaran dan untaian mi (menit) Adonan mudah dibuat lembaran dan 100 7 tidak patah-patah saat dicetak menjadi mi Adonan dapat dibuat lembaran (lama) 10 dan mudah patah saat dicetak menjadi mi Adonan mudah dibuat lembaran serta 15 dapat dicetak menjadi mi dengan ukuran 250 20 yang panjang dan tidak mudah patah Adonan dapat dibuat lembaran tetapi 25 agak sedikit lengket dan dapat dicetak menjadi mi Adonan dapat dibuat lembaran tetapi 10 lama dan mudah sobek, serta mudah patah saat dicetak menjadi mi 500 15 Adonan mudah dibuat lembaran serta dapat dicetak menjadi mi dengan ukuran 20 yang panjang dan tidak mudah patah 25 Adonan sulit dibuat lembaran (mudah 10 sobek) dan mudah patah saat dicetak menjadi mi 750 Adonan mudah dibuat lembaran (tidak 15 mudah sobek) serta dapat dicetak 20 menjadi mi dengan ukuran yang panjang 25 dan tidak mudah patah Adonan sulit dibuat lembaran (mudah 10 sobek) dan saat dicetak menjadi mi patah-patah 1000 Adonan mudah dibuat lembaran (tidak 15 mudah sobek) serta dapat dicetak 20 menjadi mi dengan ukuran yang panjang 25 dan tidak mudah patah
Berdasarkan Tabel 19, waktu pengukusan optimum yang memberikan hasil cukup baik dalam setiap peningkatan formulasi adonan dari 250g, 500 g, 750 g, dan 1 kg adalah selama 15 menit. Dengan waktu pengukusan tersebut, karakteristik mi jagung yang dihasilkan menyerupai mi jagung dari hasil skala laboratorium dengan formulasi 100 g dan waktu
pengukusan selama 7 menit dimana adonan mudah dibuat menjadi lembaran dan tidak patah-patah saat dicetak menjadi mi. Menurut Scott (2007), proses skala yang lebih besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya. Namun, waktu pengukusan selama 15 menit tersebut tidak berlaku untuk adonan mi jagung dari tepung hasil penggilingan basah. Proses pembentukan lembaran dan untaian mi dengan formulasi dan waktu pengukusan yang sama ternyata memberikan hasil yang kurang bagus. Lembaran mi yang terbentuk mudah sobek dan cepat menjadi keras sehingga patah-patah saat dicetak menjadi untaian mi. Peningkatan waktu pengukusan menjadi 20 menit dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang dihasilkannya walaupun tidak sebaik mi jagung dari tepung hasil penggilingan kering. 3) Pembentukan lembaran, Pencetakan, dan Pemotongan
Proses pengukusan dan pengulian pada adonan mi jagung ternyata belum mampu membentuk massa yang kalis dengan struktur yang kompak, halus, lembut, lunak, dan cukup elastis seperti halnya adonan dari terigu. Adonan yang terbentuk masih berupa partikel-partikel tepung yang terberai. Hal ini dikarenakan proses pengukusan hanya dilakukan untuk menggelatinisasi sebagian pati saja. Jika proses pengukusan dilakukan hingga seluruh pati tergelatinisasi sempurna, maka adonan akan menjadi sangat lengket dan menempel di roller sheeting saat dibentuk menjadi lembaran mi. Pada proses pembentukan lembaran, adonan yang telah dikukus sedikit demi sedikit dilewatkan di antara roller sheeting secara berulang kali (5-10 kali) yang akan mengubah adonan tersebut menjadi lembaran mi. Mula-mula digunakan jarak antarrol yang kecil (0,6-0,8 mm) sehingga terbentuk lempengan-lempengan tipis dan baru kemudian jarak antarrol diperbesar sampai menghasilkan lembaran mi dengan ketebalan 1,5-2,0 mm. Cara ini dapat membuat proses pembentukan lembaran berlangsung lebih cepat walaupun memang tidak lazim seperti pembuatan mi dari terigu pada umumnya, dimana terlebih dulu digunakan jarak antarrol yang
besar kemudian semakin kecil. Saat proses pengepresan ini, lembaran mi ditarik ke satu arah sehingga serat-seratnya sejajar. Menurut Astawan (2005), serat yang halus dan searah akan menghasilkan mi yang halus, kenyal, dan cukup elastis.
Gambar 11. Proses pembentukan lembaran mi
Selain
jarak
antarrol,
faktor
yang
mempengaruhi
proses
pembentukan lembaran adalah suhu adonan. Untuk pembuatan mi jagung, adonan yang akan dilewatkan pada roller sheeting harus dalam keadaan masih panas. Jika adonan yang digunakan sudah dingin, maka proses pembentukan lembaran mi akan lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan berkurangnya bahan pengikat di dalam adonan tersebut, yaitu pati yang terpregelatinisasi. Proses gelatinisasi sebagian (tidak mencapai suhu puncak gelatinisasi) pada adonan menyebabkan pengembangan granula pati bersifat bolak-balik (reversible) sehingga pati yang sebelumnya telah tergelatinisasi mengalami rekristalisasi. Fenomena ini dikenal dengan istilah proses retrogradasi. Suhu adonan yang diharapkan berada pada kisaran suhu gelatinisasinya. Menurut Fadlillah (2005), suhu gelatinisasi pati jagung berkisar antara 73,5-91,5 oC. Sedangkan menurut Rianto (2006), suhu gelatinisasi tepung jagung varietas srikandi berkisar antara 72,75-93,75 oC. Oleh karena adonan yang digunakan pada penelitian ini merupakan campuran dari pati dan tepung jagung, maka diharapkan adonan tersebut berada pada kisaran suhu gelatinisasi di atas saat dibentuk menjadi lembaran mi. Jika adonan berada di bawah kisaran suhu gelatinisasinya,
mutu lembaran mi yang dihasilkan akan kurang bagus. Lembaran mi menjadi kasar permukaannya, mudah sobek, dan mudah patah saat dicetak menjadi untaian mi. Selain itu, kecepatan berputarnya roller sheeting yang terdiri dari dua rol logam juga harus diperhatikan dalam proses pembentukan lembaran karena akan mempengaruhi mutu lembaran mi yang dihasilkannya.
Gambar 12. Dari kiri ke kanan: slitter untuk mencetak untaian mi dan slitter yang dilengkapi dengan lempengan pemotong
Lembaran mi yang tipis selanjutnya dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak mi (slitter) (Gambar 12). Seperti halnya roller pressing, slitter juga terdiri dari dua rol logam tetapi sekeliling
permukaannya telah dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menjadi cetakan untuk membuat mi. Pada tiap cetakan tersebut terdapat semacam sisir untuk melepaskan untaian mi dari slitter. Selain itu, bagian bawah slitter juga dilengkapi dengan lempengan berbentuk siku yang berfungsi
untuk menekan dan memotong untaian mi yang telah dicetak. Keseluruhan proses ini akan menghasilkan mi mentah.
Gambar 13. Proses pencetakan untaian mi
Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pencetakan untaian mi adalah jarak antarrol, ketajaman sisir, dan lempengan pemotong mi. Jarak antarrol pada slitter sebaiknya disesuaikan dengan jarak pada roller sheeting saat pembentukan lembaran. Hal ini dimaksudkan agar ketebalan
lembaran dan untaian mi yang dihasilkan sama. Ketajaman sisir akan menentukan mutu untaian mi yang tercetak. Jika sisir kurang tajam, untaian mi yang tercetak tidak rapi, permukaannya kasar/bergerigi, ketebalan mi tidak sama, atau bahkan mi menempel di slitter. Hasil cetakan mi yang kurang rapi akan berpengaruh terhadap cooking quality dari mi tersebut karena dapat meningkatkan cooking loss saat pemasakan. Adanya lempengan pemotong akan menekan untaian mi yang tercetak sekaligus memotongnya dengan panjang yang diinginkan. Namun pada penelitian ini, lempengan pemotong dilepaskan dari slitter karena mi yang tertekan lempengan ini menjadi patah-patah. Keseluruhan proses di atas, mulai dari pembentukan lembaran, pencetakan, hingga pemotongan untaian mi biasanya dilakukan dalam satu alat/mesin mi dengan spesifikasi seperti tertera pada Lampiran 2. Mesin mi yang digunakan pada penelitian ini dilengkapi dengan konveyor berjalan dan memiliki kapasitas produksi sekitar 1-1,5 kilogram. Berdasarkan percobaan dengan peningkatan skala produksi dari 100 g menjadi 250 g, 500 g, 750 g, dan 1 kg, masih ditemui beberapa kendala terutama pada saat proses pembentukan lembaran mi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengukusan hanya dilakukan untuk menggelatinisasi sebagian pati saja sehingga belum dapat membuat adonan menjadi kalis dan masih terberai seperti tepung sehingga menyulitkan saat pembentukan lembaran mi. Apalagi bila jumlah adonan yang digunakan semakin banyak, kondisi ini tentu kurang efektif karena akan membuat proses pembentukan lembaran menjadi lebih lama dan juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih. Alangkah baiknya bila dalam satu tahapan pembentukan lembaran dapat terdiri dari beberapa roller sheeting, sehingga adonan dapat langsung ditekan berulang-ulang untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan.
4) Pengukusan Kedua
Untaian mi yang telah tercetak perlu dikukus terlebih dahulu sebelum
dilakukan
pengeringan
untuk
menghasilkan
mi
kering.
Pengukusan untaian mi ini bertujuan untuk menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak akan hancur ketika dimasak. Menurut Astawan (2005), proses gelatinisasi ini dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang akan memberikan kelembutan pada mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi, serta terjadi perubahan pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air sekitar 11-12%. Seperti halnya pada pengukusan pertama, pengukusan kedua ini juga dilakukan dengan cara pemberian uap panas. Pada penelitian ini, pengukusan mi mentah hingga skala produksi 1 kg masih menggunakan alat pengukus biasa. Namun, pada penggandaan skala produksi yang lebih besar, alat yang digunakan sebaiknya berupa steaming box dengan proses pemasukan uap panas dilakukan melalui pipa-pipa berlubang di dalam box steam yang dialirkan dari boiler. Steaming box yang digunakan sebaiknya
juga dilengkapi dengan konveyor berjalan atau tray-tray untuk menempatkan mi yang akan dikukus. Selain itu, suhu dan tekanan pada steaming box juga diatur secara otomatis sehingga proses dapat berjalan
secara efektif apalagi jika akan diterapkan pada skala yang lebih besar. Ukuran dan kapasitas steaming box sebaiknya disesuaikan pula dengan banyaknya mi yang akan dikukus. Proses pengukusan kedua dilakukan dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC. Sedangkan lama waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung ukuran mi yang akan dikukus, akan tetapi tingkat gelatinisasi yang diharapkan hampir sama. Kedua faktor di atas nantinya akan mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi. Proses gelatinisasi ini akan menghasilkan mi yang solid dengan tekstur yang lebih lembut, basah, lunak, dan warnanya menjadi lebih kuning. Pengukusan kedua ini menjadi salah satu faktor kritis pada pembuatan mi kering dengan cara
pengeringan menggunakan oven karena mempengaruhi laju rehidrasi air pada produk. Penentuan waktu pengukusan kedua dilakukan menggunakan mi jagung mentah dengan berat kurang lebih 100 g per sampel yang diambil dari masing-masing formulasi 250 g, 500 g, 750 g, dan 1 kg. Kecukupan waktu pengukusan kedua ini akan menentukan waktu rehidrasi yang diperlukan agar mi jagung kering menjadi masak. Selang waktu pengukusan yang digunakan adalah 10, 15, 20, 25, dan 30 menit. Selain waktu rehidrasi, faktor yang menjadi acuan penentuan waktu pengukusan kedua adalah banyak/sedikitnya mi yang hancur atau patah saat pemasakan dan kekeruhan air pemasakan mi. Tabel 20. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum Waktu rehidrasi mi Sifat mi setelah direhidrasi (menit) 4 Mi kurang matang dan ada spot di bagian tengah mi. 5 Mi masih agak keras dan tidak elastis sehingga sebagian mi menjadi patah-patah saat dimasak 6 Mi sudah cukup matang, lunak, lembut, dan tidak ada 7 spot di bagian tengah mi. Mi kurang elastis sehingga 8 sebagian mi menjadi patah-patah saat dimasak 9 Mi sudah matang, terlalu lunak/ lembek, dan kurang elastis sehingga mi menjadi patah-patah saat dimasak 10
Waktu pengukusan kedua (10-30 menit) pada mi jagung tersebut ternyata memberikan hasil yang hampir sama satu sama lain saat direhidrasi dimana sebagian mi menjadi patah-patah saat dimasak dan air pemasakan mi menjadi keruh. Oleh karena itu, waktu pengukusan kedua yang dipilih adalah selama 10 menit dengan waktu rehidrasi mi jagung kering selama 7 menit. Namun demikian, waktu rehidrasi mi ini masih belum memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan/kering adalah selama 4 menit. 5) Pengeringan
Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan akibat proses pindah panas yang berhubungan dengan adanya perbedaan
suhu antara permukaan produk dengan permukaan air pada beberapa lokasi dalam produk. Ukuran bahan yang akan dikeringkan dapat mempengaruhi kecepatan waktu pengeringan. Semakin kecil ukuran bahan akan semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini disebabkan bahan yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan proses penguapan air dari bahan (Wirakartakusumah et al., 1992). Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Penelitian kali ini
menggunakan metode pengeringan mi dengan oven yang dilengkapi dengan tray-tray untuk menempatkan mi yang akan dikeringkan. Tray yang digunakan memiliki banyak lubang di bagian bawahnya agar panas dapat mengenai bagian bawah produk yang dikeringkan. Sumber energi pengeringan berupa udara panas hasil pengubahan uap panas dari boiler yang berlangsung di dalam radiator. Proses pemasukan udara panas dilakukan melalui lubang-lubang di dalam dinding oven. Untuk meratakan panas, oven dilengkapi pula dengan blower. Spesifikasi oven pengering dapat dilihat pada Lampiran 2. Mi jagung yang telah dikukus lalu dimasukkan ke dalam oven untuk
dikeringkan
secara
sempurna
(kadar
air
11-12%),
dan
menjadikannya produk yang kering dan renyah. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 55-600C selama 1-1,5 jam. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Berdasarkan produksi hingga skala 1 kg, rendemen produk mi kering yang dihasilkan sebesar 74,53% (986,29 g). Diagram alir kesetimbangan massa pembuatan mi jagung kering dapat dilihat pada Lampiran 9. Menurut Hou dan Kruk (1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering. Lama waktu pengeringan juga akan menentukan karakteristik produk akhir yang dihasilkan. Jika waktu
pengeringan terlalu lama, mi kering menjadi rapuh. Hal ini tentunya akan mempengaruhi cooking quality dari mi kering tersebut karena saat dimasak mi menjadi patah-patah dan juga dapat meningkatkan cooking loss yang ditandai dengan kekeruhan warna air pemasakan mi. Mi instan/kering yang diperoleh dengan cara pengeringan memiliki kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992). Tahapan penggandaan skala di atas merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya dimana perbedaan terutama terletak pada jumlah dan komposisi bahan baku yang digunakan, parameter proses produksi, peralatan yang digunakan, serta parameter mutu yang dihasilkannya (Lampiran 1). E. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Mi Jagung Kering
Tahap penggandaan skala telah menghasilkan formulasi dan proses produksi mi jagung kering hingga skala produksi 1 kilogram yang telah disesuaikan dengan kondisi pada skala komersial. Selain itu, tahapan kritis dalam proses produksi mi jagung kering dan peralatan yang dibutuhkan untuk mendirikan model industri mi jagung pada skala industri kecil pun telah diidentifikasi. Selanjutnya, produk akhir berupa mi jagung kering perlu dianalisis sifat kimia dan fisiknya. Pengukuran karakteristik tersebut dilakukan dengan membandingkan mi kering yang dibuat dari tepung jagung dengan penggilingan kering dan penggilingan basah.
Tabel 21. Karakteristik kimia mi kering dari tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah Bahan dasar mi kering Parameter Tepung jagung hasil Tepung jagung hasil penggilingan kering penggilingan basah Kadar air (% bb) 7,80 4,66
Kadar abu (%)
1,50
1,27
Kadar protein (%)
6,34
6,13
Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%) (by difference)
0,19
1,83
84,17
86,11
Hasil analisis proksimat pada mi jagung kering memperlihatkan kadar lemak mi dari tepung jagung penggilingan basah (1,83 %) yang lebih tinggi daripada mi dari tepung jagung penggilingan kering (0,19 %). Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak dalam tepung jagung yang menjadi bahan baku utama dalam pembuatan mi kering tersebut. Namun demikian, kadar lemak dan protein pada mi jagung kering mengalami penurunan dibandingkan dengan kadar lemak dan protein pada tepung jagung. Penurunan ini dapat disebabkan oleh adanya proses pengolahan dari tepung jagung
menjadi
mi
kering,
misalnya
dengan
pemanasan,
sehingga
menyebabkan kerusakan pada komponen pangan termasuk protein. Di sisi lain, justru terjadi peningkatan kadar karbohidrat dan kadar abu pada mi jagung kering. Peningkatan kadar abu menunjukkan bertambahnya kandungan mineral pada mi jagung kering yang mungkin diperoleh dari bahan lain seperti air, garam, dan baking powder yang ditambahkan pada proses pengolahan.
Gambar 14. Mi jagung kering (kiri-kanan): mi dari tepung jagung penggilingan basah dan mi dari tepung jagung penggilingan kering
Tabel 22. Hasil pengukuran warna pada mi jagung kering setelah direhidrasi Jenis Mi Ulangan L a b 1 72,91 + 2,74 + 27,10 Mi dari tepung 2 73,43 + 3,07 + 28,10 penggilingan kering Rata-rata 73,17 + 2,91 + 27,60 1 71,17 + 5,09 + 20,46 Mi dari tepung 2 72,75 + 5,02 + 20,96 penggilingan basah Rata-rata 71,96 + 5,06 + 20,71
Mi yang berwarna kuning merupakan salah satu keunggulan mi jagung dibandingkan dengan mi terigu. Oleh sebab itu, pada pembuatan mi jagung tidak diperlukan lagi zat pewarna tambahan untuk memberikan warna kuning pada mi. Secara visual, mi kering dari tepung jagung penggilingan kering memiliki warna kekuningan. Lain halnya dengan mi kering dari tepung jagung penggilingan basah yang memiliki warna kecoklatan. Hal ini dibuktikan pula dengan hasil pengukuran warna mi jagung kering setelah rehidrasi pada Tabel 22. Intensitas warna kuning pada mi dari tepung jagung penggilingan kering (27,60) menunjukkan nilai yang lebih tinggi daripada mi dari tepung jagung penggilingan basah (20,71).
Gambar 15. Mi jagung kering setelah rehidrasi (kiri-kanan): mi dari tepung jagung penggilingan kering dan mi dari tepung jagung penggilingan basah
Apabila dibandingkan dengan mi dari tepung jagung penggilingan kering, mi dari tepung jagung penggilingan basah mempunyai aroma dan rasa yang kurang sedap atau sedikit tengik setelah pemasakan. Selain itu, mi kering yang dihasilkannya memiliki tekstur yang lebih rapuh sehingga mudah sekali patah/hancur ketika dimasak. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya pati yang tergelatinisasi pada saat pengukusan. Kandungan pati
dalam tepung jagung juga akan menentukan jumlah pati yang tergelatinisasi saat pengukusan. Jenis tepung yang digunakan sangat mempengaruhi karakteristik akhir dari produk mi jagung yang dihasilkannya (Tabel 23). Berdasarkan percobaan, tepung jagung dari penggilingan kering lebih bagus digunakan untuk membuat mi kering daripada tepung jagung penggilingan basah. Oleh karena itu, penggunaan
tepung
jagung
dari
hasil
penggilingan
kering
lebih
direkomendasikan untuk membuat mi jagung pada skala komersial. Tabel 23. Perbedaan mi kering dari tepung jagung penggilingan kering dan penggilingan basah Mi dari tepung Mi dari tepung Perbedaan penggilingan kering penggilingan basah
Warna
kekuningan
kecoklatan
Tekstur
sedikit keras
lebih rapuh
seperti jagung rebus
sedikit tengik
normal
agak pahit
agak patah-patah
sangat patah-patah
Aroma (setelah dimasak) Rasa (setelah dimasak) Konsistensi (setelah dimasak)
Mi jagung kering yang dihasilkan pada penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan, diantaranya elastisitas mi yang sangat rendah dan cooking loss-nya yang masih tinggi. Rendahnya elastisitas mi menyebabkan
mi kering menjadi mudah patah saat direhidrasi. Adanya pengadukan saat pemasakan juga menyebabkan mi menjadi patah-patah. Oleh karena itu, proses pemasakan mi dilakukan dengan menggunakan api sedang dan air rebusan yang tidak terlalu mendidih (suhu 80-90oC). Mi jagung kering ini juga lebih baik dikonsumsi sebagai mi rebus daripada sebagai mi goreng. Proses penggorengan pada mi yang telah direhidrasi justru akan membuat mi semakin patah-patah atau hancur. Adanya substitusi pati jagung sebanyak 30% dari berat tepung dan penambahan bahan lain seperti garam, guar gum, dan baking powder memang dapat memperbaiki karakteristik mi jagung terutama saat pembentukan lembaran dan untaian mi. Namun, bahan-bahan tersebut belum mampu
berperan dalam meningkatkan elastisitas dan mengurangi cooking loss mi. Oleh karena itu, pada penelitian ini diujicobakan pula penggunaan CMC (Carboxymethyl cellulose) dalam pembuatan mi jagung kering untuk melihat pengaruhnya terhadap tekstur, elastisitas, dan cooking loss mi. Seperti halnya guar gum, CMC juga berfungsi sebagai pengembang dalam pembuatan mi. CMC memiliki sifat higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan
terhadap
air,
dan
mempertahankan
keempukan
selama
penyimpanan (Astawan, 2005). Jumlah CMC yang ditambahkan adalah 1% dari berat tepung. Penggunaan CMC atau guar gum yang berlebihan akan menyebabkan tekstur mi yang terlalu keras dan daya rehidrasinya menjadi berkurang. Analisis fisik mi jagung kering dilakukan dengan membandingkan mi yang ditambahkan CMC dan mi yang ditambahkan guar gum. Parameter yang diukur antara lain cooking loss, daya serap air, dan tekstur mi (kekerasan dan kelengketan). Mi jagung kering yang akan dianalisis dibuat dengan menggunakan tepung jagung hasil penggilingan kering dan telah direhidrasi terlebih dahulu. 1) Cooking Loss dan Daya Serap Air
Cooking loss/kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) terjadi
karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi lebih kental. Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi lemah dan kurang licin. Cooking loss yang
tinggi
disebabkan
oleh
kurang
optimumnya
matriks
pati
tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati, 2006). Berdasarkan Gambar 16, mi jagung dengan penambahan CMC (17,82%) menunjukkan nilai cooking loss yang lebih rendah daripada mi jagung dengan penambahan guar gum (20,72%). Secara visual, mi jagung dengan penambahan CMC memiliki warna yang lebih kuning dan
penampakan yang lebih licin. Tingkat kekeruhan pada air rebusan mi jagung dengan penambahan CMC juga agak berkurang.
285,71
H asil p en g u ku ran (% b erat kerin g )
300 250
202,42
200 KPAP
150
DSA
100 50
20,72
17,82
0 CMC
Guar gum
Bahan tambahan pangan
Gambar 16. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap KPAP dan DSA mi jagung kering
Daya serap air (DSA) menunjukkan kemampuan mi untuk menyerap air secara maksimal selama proses pemasakan. Pengukuran DSA dilakukan dengan memasak mi dalam air mendidih selama 7 menit. Nilai DSA dihitung dari banyaknya air yang diserap per berat kering sampel. DSA secara umum menggambarkan perubahan bentuk mi selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai DSA, maka akan semakin banyak air yang mampu diserap oleh mi dan mi semakin mengembang. Berdasarkan Gambar 16, mi jagung dengan penambahan CMC (285,71%) memberikan nilai DSA yang lebih tinggi daripada mi jagung dengan penambahan guar gum (202,42%). Hal ini menunjukkan bahwa mi jagung dengan penambahan CMC mengembang lebih baik ketika direhidrasi. 2) Kekerasan dan Kelengketan
Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf). Kekerasan didefinisikan sebagai luas area positif yang menggambarkan besarnya usaha probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak
kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, maka kekerasan mi akan semakin meningkat. Kekerasan pada mi dapat diakibatkan oleh proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosaamilosa yang telah terdispersi ke dalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses retrogradasi pati semakin mungkin terjadi. Penggunaan bahan tambahan seperti CMC atau guar gum diharapkan dapat menyebabkan turunnya amilosa terlarut sehingga fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit. Hal ini menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lunak (Kurniawati, 2006). Berdasarkan Gambar 17, mi jagung dengan penambahan guar gum (1469,20 gf) menunjukkan nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada mi jagung dengan penambahan CMC (1153,65 gf).
2000,00 Hasil pengukuran (gf)
1469,20 1500,00
1153,65
1000,00 Kekerasan
500,00
Kelengketan
0,00 Guar gum -500,00
-469,75
CMC -295,95
-1000,00 Bahan tambahan pangan
Gambar 17. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap kekerasan dan kelengketan mi jagung kering
Kelengketan didefinisikan sebagai luas area negatif yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi. Kelengketan juga berbanding lurus dengan nilai cooking loss. Peningkatan cooking loss akan diikuti dengan peningkatan kelengketan mi. Kelengketan disebabkan oleh adanya fraksi amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati. Selain itu, kelengketan
pada permukaan mi juga disebabkan karena terurainya matriks protein dan pengembangan yang berlebihan dari granula pati. Berdasarkan Gambar 17, mi jagung dengan penambahan guar gum (-469,75 gf) menunjukkan nilai kelengketan yang lebih tinggi daripada mi jagung dengan penambahan CMC (-295,95 gf). Hasil pengukuran di atas menunjukkan bahwa mi jagung yang ditambahkan dengan CMC memberikan karakteristik fisik yang lebih baik daripada dengan penambahan guar gum. CMC terbukti lebih baik dalam mengurangi cooking loss mi, meningkatkan daya serap air saat proses rehidrasi mi, serta menurunkan kekerasan dan kelengketan mi. Namun, penambahan CMC masih kurang mampu meningkatkan elastisitas mi. Mi dengan penambahan CMC masih mudah patah saat rehidrasi, hanya saja sedikit lebih baik daripada mi dengan penambahan guar gum. Pengukuran persen elongasi mi, baik menggunakan rheoner maupun texture analyzer, sulit untuk dilakukan karena mi yang telah rehidrasi mudah sekali putus saat akan diukur elastisitasnya. Berdasarkan hasil di atas, penggunaan CMC lebih direkomendasikan untuk produksi mi jagung kering pada skala komersial walaupun belum mampu memperbaiki elastisitas mi. Ujicoba dengan penambahan bahan lain yang mampu berperan seperti halnya gluten pada tepung terigu juga perlu dilakukan untuk meningkatkan elastisitas pada mi jagung. Diagram alir pembuatan mi jagung kering pada tahap penggandaan skala selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 18.
Tepung jagung hasil penggilingan kering 100 mesh : Pati jagung (1000 g; 70:30) Baking powder 3 g (0,3%) CMC 10 g (1%)
Garam 10 g (1%) Air 300 ml (30%) Pencampuran bahan (varimixer dengan pengaduk jenis jari-jari (whisk) selama 15-25 menit)
Pengukusan adonan (alat pengukus/langseng, suhu 90-100oC, 15 menit)
Pembentukan lembaran, pencetakan untaian mi, dan pemotongan (roller sheeting/pressing sebanyak 5-10 kali, slitter, dan lempengan pemotong dengan ketebalan mi 1,5-2 mm)
Pengukusan mi mentah (alat pengukus/langseng, suhu 90-100oC, 10 menit)
Pengeringan (oven pada suhu 55-60oC selama 1-1,5 jam)
Mi jagung kering
Gambar 18. Diagram alir pembuatan mi jagung kering pada skala produksi 1 kg
Tabel 24. Rekapitulasi tahapan proses pembuatan mi jagung kering Tahapan Alat Masalah Proses Pencampuran Adonan kurang merata, ada Varimixer bahan adonan yang menggumpal saat di aduk Pengukusan I Alat pengukus Distribusi panas kurang merata (langseng) ke seluruh adonan, adonan tidak diameter 30 cm bisa kalis dan masih terberai Pembentukan Roller sheeting/ Adonan masih terberai seperti lembaran mi tepung, adonan/lembaran mi pressing menempel di roller sheeting
Pencetakan untaian mi dan pemotongan
Slitter dan lempengan pemotong
Pengukusan II
Alat pengukus (langseng) diameter 26 dan 30 cm Tray oven
Pengeringan
Solusi
Penambahan larutan garam sedikit demi sedikit, waktu pencampuran ditambah Pengadukan secara manual
Mula-mula digunakan jarak antarrol yang kecil (0,6-0,8 mm) lalu diperbesar sampai ketebalan lembaran mi 1,5-2,0 mm, penyesuaian jumlah air yang di tambahkan dan waktu pengukusan Untaian mi tidak tersisir dengan Merapatkan sisir pada slitter, baik, sebagian mi menempel di membersihkan slitter dari sisaslitter, mi ada yang patah/putus sisa mi yang menempel, karena tertekan lempengan melepaskan lempengan pemerata dan pemotong pemerata dan pemotong Jumlah dan kapasitas alat terbatas Mi dibagi masing-masing sehingga mi mentah tidak dapat sebesar + 100 g mi/sekali pengukusan langsung dikukus semuanya tetapi sebagian-sebagian Mi kering menjadi keras dan agak rapuh sehingga butuh penanganan yang hati-hati
Hasil
Adonan lebih homogen, lembab, dan tidak lengket Distribusi panas cukup merata, adonan agak basah/lembab Lembaran mi kompak, halus permukaannya, tidak lengket di roller sheeting, tidak mudah sobek
Untaian mi tersisir dengan baik, tidak menempel di slitter, mi yang tercetak berukuran panjang dan kontinyu serta tidak patah-patah Mi yang solid dengan tekstur yang lebih lembut, basah, lunak, dan warnanya menjadi lebih kuning Mi kering renyah namun agak keras dan rapuh
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Tepung jagung yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil penggilingan kering dan penggilingan basah. Proses penggilingan kering terdiri dari tahap penggilingan jagung menggunakan multi mill dengan saringan berukuran 7 mm, perendaman dan pencucian selama + 2 jam, pengeringan dengan oven suhu 60-70oC hingga kadar air 17%, penggilingan grits jagung dengan disc mill, dan pengayakan dengan saringan berukuran 100
mesh. Proses penepungan 25 kg jagung pipil dengan teknik penggilingan kering menghasilkan tepung jagung dengan rendemen sebesar 24,80% (6,2 kg). Adapun proses penggilingan basah terdiri dari tahap pencucian, perendaman (6, 9, dan 12 jam), penggilingan jagung dengan penggiling batu, penyaringan dengan vibrating screen, pengendapan selama + 20 jam sampai terbentuk lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih, pemisahan endapan pati dari lapisan air, pengeringan dengan oven bersuhu 60-70oC selama + 5 jam hingga kadar air 10%, dan penepungan dengan disc mill. Tepung jagung yang diperoleh dari teknik penggilingan basah dengan perendaman selama 6, 9, dan 12 jam masing-masing menghasilkan tepung jagung dengan rendemen sebesar 22,21% (5,6 kg), 24,38% (6,1 kg), dan 32,47% (8,1 kg). Spesifikasi alat yang digunakan pada penggilingan kering dan basah seperti multi mill, disc mill, siever (pengayak), penggiling batu, dan vibrating screen dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan percobaan hingga skala produksi 1 kilogram, formulasi mi jagung kering terpilih terdiri dari tepung jagung hasil penggilingan kering 100 mesh (70%), pati jagung (30%), air (30%), garam (1%), CMC (1%), dan baking powder (0,3%). Tepung jagung hasil penggilingan kering baik
digunakan untuk membuat mi kering karena memiliki warna kekuningan dengan tingkat kecerahan (L) sebesar 63,01 dan nilai kromatik kuning (b) sebesar (+) 12,53; kadar air < 10% (7,94); kadar abu < 1,5% (0,68%); kadar protein cukup tinggi (8,73%); kadar lemak rendah (2,99%); dan kadar amilosa sebesar 20,22%. Sedangkan pati jagung diperoleh dari PT Suba Indah yang memiliki warna putih dengan tingkat kecerahan sebesar 66,37 dan nilai
kromatik kuning sebesar (+) 0,67; kadar air < 10% (10,21); serta kadar abu, protein, dan lemak yang rendah (masing-masing 0,05%, 0,56%, dan 0,61%). Proses pembuatan mi kering dari campuran tepung dan pati jagung terdiri dari tahap pencampuran bahan dengan waktu pengadukan adonan selama 15-25 menit dan suhu adonan sekitar 25-40oC, pengukusan adonan dan pengulian menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC dengan waktu pengukusan selama 15 menit, pembentukan lembaran mi (sheeting) dengan melewatkan adonan di antara dua roller sheeting (5-10 kali) sampai ketebalan 1,5-2,0 mm, pencetakan untaian mi (slitting) menggunakan slitter, pemotongan (cutting), pengukusan mi mentah selama 10 menit dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC, dan pengeringan dengan oven bersuhu 55-600C selama 1-1,5 jam. Alat-alat yang digunakan pada proses pembuatan mi kering antara lain varimixer, alat pengukus, mesin mi, dan oven. Spesifikasi alat-alat tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Produk mi jagung kering yang dihasilkan dari formulasi dan dengan proses produksi di atas memiliki warna kuning dengan tingkat kecerahan (L) sebesar 73,17 dan nilai kromatik kuning (b) sebesar (+) 27,60. Kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat masing–masing sebesar 7,80%, 1,50%, 6,34%, 0,19%, dan 84,17%. Sedangkan rehidrasi mi jagung kering membutuhkan waktu selama 7 menit. B. Saran
Mi jagung kering memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan dalam skala industri. Namun, pada proses pembuatannya masih perlu dilakukan optimasi kembali terhadap formulasi dan desain proses produksi terpilih dengan menyesuaikannya pada kondisi dan kapasitas peralatan
yang
telah
diidentifikasi
sebelumnya.
Tahap
pengukusan
memerlukan kondisi yang tepat agar dapat dikontrol prosesnya. Selain itu, kapasitas alat pengukus yang digunakan juga harus disesuaikan dengan jumlah bahan bakunya. Agar lebih efisien, proses pengukusan adonan dapat dilakukan bersamaan dengan pencampuran bahan dalam satu alat, misalnya dengan steaming box yang dilengkapi pengaduk. Selain itu, mesin mi yang
berkapasitas besar (misal + 5 kg) dengan beberapa roller sheeting juga dibutuhkan agar adonan saat proses pembentukan lembaran dapat langsung ditekan berulang-ulang untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2007. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [12 Juni 2007]. Anonimb. 2005. What’s new in version 7 (the highlights). http://www.stat-ease. com. [21 Mei 2006]. Anonimc. 2007. Expert in Food Product Development. http://www.intota.com/ viewbio.asp?bioID=603568&perID=108041&strQuery=pilot+plant+scale% 2Dup. [7 Desember 2007]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland. Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize by Province (2007). http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table4.shtml. [8 Januari 2007]. Boyer, C. D. dan J. C. Shannon. 2003. Carbohydrates of the Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mi jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Darrah, L. L., M. D. McMullen, dan M. S. Zuber. 2003. Breeding, Genetics, and Seed Corn Production. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi formulasi mi jagung instan dalam rangka penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., Basel. Harper, J. M. 1981. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida. Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota.
Hou, G. dan M. Kruk. 1998. Asian Noodle Technology.http://secure.aibonline.org /catalog/example/V20Iss12.pdf. [28 Juni 2006]. Hulbert, G. 1998. Design and Construction of Food Processing Operations. http://cpa.utk.edu/pdffiles/adc18.pdf. [8 November 2007]. Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance, 2nd edition. Aspen publisher, Inc, Gaithersburg, Maryland. Intan, A. D. 1997. Mempelajari proses produksi mi kering dan mi instan di PT Asia Inti Selera, Cimanggis-Bogor. Laporan Praktek Lapang. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Johnson, L. A. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Lorenz, K. J. dan K. Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker Inc., New York. Johnson, L. A. dan J. B. May. 2003. Wet Milling: The Basis for Corn Refineries. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Juniawati. 2003. Optimasi proses pengolahan mi jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniawati, R. D. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lawton, J. W. dan C. M. Wilson. 2003. Proteins of the Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Laztity, R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Mauro, D. J., I. R. Abbas, dan F. T. Orthoefer. 2003. Corn Starch Modification and Uses. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Oh, N. H., P. A. Seib, dan D. S. Chung. 1985. Noodles III. Effect of processing variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chem. 62(6): 437-440.
Pagani, M. A. 1985. Pasta Product From Non-conventional Raw Material. Di dalam: Mercier, C. H. and C. Centrallis (eds.). Pasta and Extrution Cooked Foods. Proceeding of an international symposium, Milan, Italy. Prasanna, B. M., S. K. Vasal, B. Kassahun, dan N. N. Singh. 2001. Quality Protein Maize. http://144.16.79.155/currsci/nov252001/1308.pdf. [10 September 2007]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2004. Ini Dia, Jagung Berprotein Tinggi. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr264048. pdf. [10 September 2007]. Rianto, B. F. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mi basah berbahan baku tepung jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruiter, D. D. 1978. Composite Flours. Di dalam: Pomeranz, Y. (ed.). Advanced in Cereal Science and Technology II. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota. Scott, D. D., J. Timothy, P. E. Bowser, dan W. G. McGlynn. 2007. Scaling Up Your Food Process. http://www.fapc.okstate.edu/factsheets/fapc141.pdf. [14 November 2007]. Soraya, A. 2006. Perancangan proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar High Quality Protein Maize varietas srikandi kuning kering panen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprapto dan H. A. R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Cetakan ke-14. Penebar Swadaya, Jakarta. Swinkels, J. J. M. 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beynum V. dan J. A. Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel. Tanikawa, E. T. dan A. Motohiro. 1985. Marine Products in Japan. Kosersha Koseikaku Co. Ltd., Tokyo. Watson, S. A. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of the Corn Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wirakartakusumah, M. A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison. Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S. I. Budiawati. 1992. Peralatan dan unit proses industri pangan. DEPDIKBUD, Dirjen Dikti, PAU, IPB, Bogor.
Lampiran 1. Hasil-hasil penelitian mi jagung No. Produk Bahan Proses 1. Mi Tepung jagung + air + garam Tepung jagung jagung + baking powder varietas srikandi basah (100 g), air (30 ml), Pencampuran garam (1%), baking powder (0,3%) Pengukusan adonan (7 menit)
Pressing, slitting, cutting
Mi basah mentah Perebusan (2 menit) Mi basah matang 2.
Mi jagung basah
Tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen (HQPM) (100 g), garam (0,6%), baking powder (0,2%), guar gum (0,6%).
70% tepung jagung basah + garam + baking powder Pengukusan adonan (5 menit) Pencampuran dengan 30% tepung jagung kering Pressing, slitting, cutting
Parameter Mutu Analisis fisik • Suhu adonan setelah pengukusan: 73,45 oC • Derajat gelatinisasi: 65,75% • Persen elongasi: 19,78% • KPAP: 17,60% • Kekerasan: 1089,63 gf • Kelengketan: -288,66 gf Analisis kimia • Kadar air: 196% (bk) • Kadar abu: 0,41% • Kadar protein: 6,45% • Kadar lemak: 8,20% • Kadar karbohidrat: 85,0% Analisis fisik • Warna mi jagung basah o Hue: 92,8 (kuning) • Persen elongasi: 14,7% • Resistensi terhadap tarikan: 9,9 gf • Kekerasan: 736,49 gf • Kelengketan: 558,48 gf KPAP: 10,10%
Keterangan Rianto, B.F. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mi basah berbahan baku tepung jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.
Soraya, A. 2006. Perancangan proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar High Quality Protein Maize varietas srikandi kuning kering panen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.
Lampiran 1. Lanjutan No. Produk
Bahan
Proses
Perebusan (1,5 menit) Perendaman dalam air dingin (10 detik) Mi basah matang 3.
Mi jagung basah
Maizena (90 g), Corn Gluten Meal (CGM) (10 g), air (30 ml), CMC (1%), garam (1%), baking powder (0,3%), pati kacang hijau (5%), guar gum (1%)
Parameter Mutu Analisis kimia • Kadar air: 62,03% (bb) • Kadar abu: 0,82% • Kadar protein: 7,63% • Kadar lemak: 7,05% • Kadar karbohidrat: 59,18%
½ bagian maizena + CGM + CMC/guar gum + air + garam + baking powder
Analisis fisik • Persen elongasi: 15,86% • Resistensi terhadap tarikan: 15,73 gf Pencampuran sampai homogen • Kekerasan: 964,89 gf • Kelengketan: -251,2 gf Pengukusan adonan (3 menit) • KPAP terendah diperoleh pada pengunaan guar gum Penambahan dengan sisa dengan konsentrasi: 1% ½ bagian maizena Analisis kimia Pencampuran sampai homogen • Kadar air: 63,71% (bb) • Kadar abu: 0,41% Pressing, slitting, cutting • Kadar protein: 7,14% • Kadar lemak: 4,49% Perebusan (2,5 menit) • Kadar karbohidrat: 87,99%
Keterangan
Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.
Lampiran 1. Lanjutan No. Produk
Bahan
Proses
Parameter Mutu
Keterangan
Perendaman dalam air dingin (15 detik) Penirisan Penambahan minyak (2%) Mi jagung basah matang 4.
Mi jagung instan
Maizena (90%), gluten terigu : CGM (10%; 9:1), air (35% total adonan), garam (1%), baking powder (0,3%), CMC (1%)
Maizena + gluten terigu + CGM + air + garam + baking powder + CMC Pencampuran Pengukusan I (10 menit) Pengadukan sampai adonan kalis Pressing, slitting, cutting
Pengukusan II (10 menit)
Analisis fisik • Persen elongasi: 150,63% • Kekerasan: 53,33 Kgf
Fadlillah, H.N. 2005. Verifikasi formulasi mi jagung instan dalam rangka penggandaan skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor
Lampiran 1. Lanjutan No. Produk
Bahan
Proses
Parameter Mutu
Keterangan
Analisis fisik • Ketebalan mi: 0,43-0,47 mm • KPAP: 24,39% • Daya serap air: 75% • Waktu rehidrasi: 4 menit
Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (CGM) dalam pembuatan mi jagung instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.
Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 2 jam
5.
Mi jagung instan
Pati jagung (90%), Corn Gluten Meal (CGM) (10%), air (35%), CMC (1%), garam (1%), baking powder (0,3%)
Mi jagung instan ½ bagian pati jagung + air + CGM Pencampuran Pengukusan I (7 menit) Penambahan dengan sisa ½ bagian pati jagung + garam + CMC + baking powder Pencampuran sampai kalis Pressing, slitting, cutting
Pengukusan II (10 menit) Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 2 jam Mi jagung instan
Analisis kimia • Kadar air: 7,95% (bb) • Kadar abu: 1,26% • Kadar protein: 3,43% • Kadar lemak: 2,52% • Kadar karbohidrat: 84,84% • Nilai energi: 376 kalori
Lampiran 1. Lanjutan No. Produk Bahan 6. Mi Tepung jagung jagung varietas bisma : air instan (1:1), baking powder (0,3%), garam (1%)
Proses Tepung jagung + air + garam + baking powder
Pencampuran Pengukusan I (15 menit) Pressing, slitting, cutting
Pengukusan II (15 menit) Pengeringan dengan oven (60-70 oC) selama 1-2 jam Mi jagung instan
Parameter Mutu Analisis fisik • Warna mi jagung oHue: 5490 (yellow red) • Tingkat gelatinisasi: 80,77% • KPAP: 8,47% • Daya serap air: 91,97% • Waktu rehidrasi: 7 menit Analisis kimia • Kadar air: 11,67% (bb) • Kadar abu: 1,20% • Kadar protein: 6,16% • Kadar lemak: 2,27% • Kadar karbohidrat: 78,69% • Kadar pati: 65,92% • Kadar serat makanan: 6,80% • Nilai energi: 360 kkal/100 g
Keterangan Juniawati. 2003. Optimasi proses pengolahan mi jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB, Bogor.
Lampiran 2. Peralatan produksi mi jagung kering No. Peralatan Spesifikasi 1. Manufactured by Gansms Limited Multi mill Bombay – 55 Engineers to the chemical and pharmaceutical industry RPM 750 – 3000 3 H. P 3 Ø 440 V SR. NO. 1452 Kapasitas : 300 kg/jam
Gambar
Lampiran 2. Lanjutan No. Peralatan 2. Disc mill
Spesifikasi TECO 3 Phase Induction Code AEE AO 4 Pole, INS 1 1425 RPM BS 4999 & 5000 Cont. Rating 198 BRG No. 62066303 SER No. IF 3074 50 Hz, 220 Volt, 8077 A TECO ELEC & MACH PTE, LTD Made in Singapore Kapasitas : 6.25 kg/jam
Gambar
Lampiran 2. Lanjutan No. Peralatan 3. Penggiling Basah
4.
Pengayak (Siever)
Spesifikasi Saito Separator Limited Model : STK – 300 HR Sr No : 4410 14-2, HANEDA 1 CHOME OHTA – KO TOKYO 144, JAPAN Type : AMC 112 M 4Y3 N : 273343 3 PH, 50 Hz, 220/380 V, 14.7/8.5 A 4.0 Kw, 1410 r/min, eff. 85.0% Kapasitas : 25 kg/25 menit
Manufactured by DALAL ENGINEERING PVT. LTD THANA Under License From WILLIAM BOULTON LTD, ENGLAND Model 66 CMS Serial No : 107 Type : Dry Motor HP :1 Material : SS 604 Kapasitas : 5 kg/sekali pengayakan
Gambar
Lampiran 2. Lanjutan No. Peralatan 5. Vibrating Screen
6.
Varimixer
Spesifikasi Kotobuki Vibrating Screen Type : TM – 70 – 25 Date : Nov. 1981 MFG No. 8111922 TOKUJU KOSAKUSHO CO. LTD TOKYO, JAPAN
Alexanderwerk Masch. Typ : U.G. II Masch. Nr : 23515 Mot. Nr : 444170 B 35 3,2/4,3 A 1,3/1,8 kW 148/299 U/min 50 P.s. Kapasitas : 5 kg
Gambar
Lampiran 2. Lanjutan No. Peralatan 7. Mesin mi
8.
Tray dryer
Spesifikasi SINGLE PHASE AC MOTOR Type JY2B-4 ¾ HP 1420 RPM CONT CLASS E 110/220 V 11/5,5 A 50 Hz No. 040113 Made in China Kapsitas : 1-1.5 kg
PILOT PLANT Engineering and Equipment GmbH 6072 Dreieich – West Germany H. ORTH GmbH Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700 Ludwigshafen Baujahr : 1981 Fabr. Nr. : 2193 / 1 Type : ITHU Nenntemperatur : 1200C Frischluftwechsel/min : 4.94 m3 Nutzraum : 2.64 m3 Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart : 3 PH ~ Spannung : 220/380 V
Gambar
Lampiran 3. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan teknik kering
Jagung kering pipil (25 kg)
Penggilingan I (multimill)
Grits, lembaga, tip cap,kulit yang terbuang (0,5 kg) / 2%
Grits, Lembaga, tip cap, dan kulit (24,5 kg) / 98%
Pencucian, perendaman, dan pengeringan
Lembaga, tip cap, kulit (12 kg) / 48%
Grits jagung (12,5 kg) / 50%
Penggilingan II (discmill)
Grits jagung yang terbuang (0,5 kg) / 2%
Tepung kasar (12 kg) / 48%
Pengayakan (100 mesh)
Tepung jagung (6 kg) / 24%
Tepung jagung selain 100 mesh (6 kg) / 24%
Lampiran 4. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan teknik basah
Jagung kering pipil (25 kg)
Air 50 kg / 200%
Perendaman
Air 40 kg / 160%
Jagung pipilan basah 35 kg / 140%
Air 10 kg / 40%
Penggilingan basah
Pecahan jagung dan air 10 kg / 40%
Hancuran jagung dan air 35 kg / 140%
Penyaringan
Ampas jagung 10 kg / 40%
Campuran pati kasar 25 kg / 100%
Pengendapan
Dekantasi
Air 15 kg / 60%
Endapan pati 10 kg / 40%
Pengeringan
Tepung jagung kering 6,5 kg / 26%
Air 3,5 kg / 14%
Lampiran 5. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan kering Kadar Air Ulangan
1 2
Berat cawan (g) 4,5947 4,6209
Berat sampel (g) 2,5143 2,4074
Berat cawan + sampel (g) 6,9075 6,8390
Kadar air (%) 8,01 7,86
Rata-rata (%)
Berat cawan (g) 20,1687 20,6041
Berat sampel (g) 2,9021 2,7052
Berat cawan + sampel (g) 20,1899 20,6208
Kadar abu (%) 0,73 0,62
Rata-rata (%)
7,94
Kadar Abu Ulangan
1 2
0,68
Kadar Protein Berat sampel (g) 0,1112 0,0952
Ulangan
1 2
Kadar Lemak Berat labu Ulangan (g) 1 81,0520 2 103,4017
Volume HCl (ml) 3,00 2,60
Berat sampel (g) 2,8160 2,5716
Kadar protein (%) 8,70 8,76
Berat labu + lemak (g) 81,1361 103,4789
Rata-rata (%)
8,73
Kadar lemak (%) 2,99 3,00
Rata-rata (%)
2,99
Kadar Karbohidrat Ulangan
Perhitungan
1 2
100% - (8,01-0,73-8,70-2,99) 100% - (7,86-0,62-8,76-3,00)
Kadar Karbohidrat (%) 79,57 79,76
Rata-rata (%)
79,66
Kadar Amilosa Sampel
1 2
Berat sampel (g) 0,226 0,226
Kadar Amilosa (%) 20,23 20,20
Rata-rata (%)
20,22
Kadar Pati Berat Titrasi Titrasi Kadar Rata-rata Sampel sampel blanko (ml) sampel (ml) (B – C) pati (%) (%) (g) (B) (C) 1 16,05 8,50 71,93 0,1056 24,55 71,93 2 16,05 8,50 71,93
Lampiran 6. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan basah
Keterangan : 6.1 = Perlakuan perendaman selama 6 jam ulangan pertama 6.2 = Perlakuan perendaman selama 6 jam ulangan kedua 9.1 = Perlakuan perendaman selama 9 jam ulangan pertama 9.2 = Perlakuan perendaman selama 9 jam ulangan kedua 12.1 = Perlakuan perendaman selama 12 jam ulangan pertama 12.2 = Perlakuan perendaman selama 12 jam ulangan kedua Kadar Air Sampel
6.1 6.2 9.1 9.2 12.1 12.2
Berat cawan (g) 2,3945 5,1069 5,3505 4,8145 3,4184 3,4157
Berat sampel (g) 2,0166 2,0389 2,0325 2,0494 2,0129 2,0205
Berat cawan + sampel (g) 4,2746 6,9936 7,2424 6,7252 5,3217 5,3246
Kadar air (%) 6,7688 7,4648 6,9716 6,7678 5,4449 5,5234
Rata-rata (%)
Berat cawan (g) 22,4358 23,8526 19,7451 20,8094 23,6243 18,2567
Berat sampel (g) 5,0732 5,0044 5,0358 5,0117 5,0393 5,0570
Berat cawan + sampel (g) 22,4661 23,8825 19,7810 22,8447 23,6632 18,2973
Kadar abu (%) 0,5973 0,5975 0,7129 0,7044 0,7719 0,8028
Rata-rata (%)
7,12 6,84 5,48
Kadar Abu Sampel
6.1 6.2 9.1 9.2 12.1 12.2
0,59 0,71 0,79
Kadar Protein Sampel
6.1 6.2 9.1 9.2 12.1 12.2
Berat sampel (g) 0,0910 0,0704 0,0851 0,0789 0,0651 0,0681
Volume HCl (ml) 3,50 2,80 3,25 3,00 2,70 2,85
Kadar protein (%) 8,60 8,38 8,09 8,03 8,73 8,80
Rata-rata (%)
8,49 8,06 8,78
Lampiran 6. Lanjutan Kadar Lemak Berat labu Sampel (g) 6.1 92,2729 6.2 97,9340 9.1 104,4780 9.2 102,7248 12.1 115,9475 12.2 102,7341
Berat sampel (g) 4,0535 4,0153 4,0014 4,1313 4,1271 4,0495
Berat labu + lemak (g) 92,5526 98,2282 104,7318 102,9851 116,2089 102,9888
Kadar Karbohidrat Sampel Perhitungan 6 100% - (7,12-0,59-8,49-7,11) 9 100% - (6,84-0,71-8,06-6,32) 12 100% - (5,48-0,79-8,78-6,33)
Kadar lemak (%) 6,9002 7,3269 6,3428 6,3007 6,3774 6,2897
Rata-rata (%)
7,11 6,32 6,33
Kadar Karbohidrat (%) 76,69 78,07 78,62
Kadar Amilosa Sampel
6.1 6.2 9.1 9.2 12.1 12.2
Berat sampel (g) 0,235 0,236 0,232 0,231 0,232 0,233
Kadar Amilosa (%) 20,83 20,92 20,51 20,42 20,21 20,30
Rata-rata (%)
20,88 20,47 20,26
Kadar Pati Berat Titrasi Titrasi Kadar Rata-rata Sampel sampel blanko (ml) sampel (ml) (B – C) pati (%) (%) (g) (B) (C) 12.1 12,50 12,05 66,48 0,1648 24,55 66,78 12.2 12,40 12,15 67,07
Lampiran 7. Data analisis proksimat mi jagung kering
Keterangan : A = Mi dari tepung jagung hasil penggilingan kering B = Mi dari tepung jagung hasil penggilingan basah Kadar Air Sampel
A.1 A.2 B.1 B.2
Berat cawan (g) 4,7597 4,5602 5,1361 5,0907
Berat sampel (g) 3,7352 2,9721 2,5054 2,7726
Berat cawan + sampel (g) 8,2195 7,2878 7,5147 7,7454
Kadar air (%) 7,37 8,23 5,06 4,25
Rata-rata (%)
Berat cawan (g) 18,9675 17,9621 18,4324 19,7876
Berat sampel (g) 3,4233 2,8316 2,5137 2,9116
Berat cawan + sampel (g) 19,0176 18,0057 18,4647 19,8244
Kadar abu (%) 1,46 1,54 1,28 1,26
Rata-rata (%)
7,80 4,66
Kadar Abu Sampel
A.1 A.2 B.1 B.2
1,50 1,27
Kadar Protein Sampel
A.1 A.2 B.1 B.2
Berat sampel (g) 0,0537 0,0808 0,0805 0,7078
Kadar Lemak Berat labu Sampel (g) A.1 97,9238 A.2 114,7463 B.1 92,2638 B.2 102,7256
Volume HCl (ml) 2,00 2,80 2,80 3,65
Berat sampel (g) 2,7080 2,5371 2,5791 2,5556
Kadar protein (%) 6,52 6,16 6,18 6,07
Berat labu + lemak (g) 97,9292 114,7509 92,3119 102,7716
Kadar Karbohidrat Sampel Perhitungan A 100% - (7,80-1,50-6,34-0,19) B 100% - (4,66-1,27-6,13-1,83)
Kadar lemak (%) 0,20 0,18 1,86 1,80
Rata-rata (%)
6,34 6,13
Rata-rata (%)
0,19 1,83
Kadar Karbohidrat (%) 84,17 86,11
Lampiran 8. Hasil pengukuran karakteristik fisik mi jagung kering
Keterangan : A = Mi dari tepung jagung hasil penggilingan kering + guar gum B = Mi dari tepung jagung hasil penggilingan kering + CMC Tabel data pengukuran cooking loss (KPAP) dan daya serap air (DSA) Berat sampel Berat cawan + Berat sampel Berat Berat sampel Sampel setelah sampel setelah awal (g) cawan (g) kering (g) rehidrasi (g) kering (g)
DSA (% bk)
A.1
6,2202
4,8356
16,7899
9,4672
4,6316
203,54
A.2
6,0605
5,1182
16,0686
9,4655
4,3473
201,31
B.1
6,6403
5,3637
22,7764
10,3549
4,9912
282,04
B.2
6,3602
5,1232
22,3237
9,9808
4,8576
289,39
Tabel data pengukuran tekstur (kekerasan dan kelengketan) Sampel
Kekerasan (gf)
A.1
1489,1
A.2
1449,3
B.1
1111,3
B.2
1196,0
Rata-rata (gf)
1469,20 1153,65
Kelengketan (gf)
-469,7 -469,8 -294,6 -297,3
Rata-rata (gf)
-469,75 -295,95
Rata-rata (% bk)
202,42 285,71
KPAP (% bk)
19,24 22,19 18,47 17,16
Rata-rata (% bk)
20,72 17,82
Lampiran 9. Diagram alir kesetimbangan massa pembuatan mi jagung kering
Garam 10 g Air 300 g
Tepung jagung : Pati jagung (1000 g; 70:30)
Pencampuran bahan Baking powder 3 g CMC 10 g
Uap air 45 g (3,4%)
Adonan terbuang 3 g (0,2%)
Adonan mi 1320 g (99,8%)
Pengukusan adonan
Adonan setelah dikukus 1365 g (103,2%)
Pembentukan lembaran mi (sheeting)
Adonan terbuang 25 g (2%)
Lembaran mi 1340 g (101,2%)
Pencetakan untaian mi dan pemotongan (slitting dan cutting)
Mi terbuang 2 g (0,2%)
Mi mentah 1338 g (101%) Uap air 144 g (11%)
Pengukusan mi mentah
Mi setelah dikukus 1482 g (112%)
Pengeringan
Mi jagung kering 986 g (74,5%)
Uap air + mi kering terbuang 496 g (37,5%)