SKRIPSI
DESAIN PROSES PEMBUATAN DAN FORMULASI MI BASAH BERBAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
Oleh Bobby Fajar Rianto F24102077
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Bobby Fajar Rianto. F24102077. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Basah Berbahan Baku Tepung Jagung. Dibawah bimbingan Dahrul Syah dan Feri Kusnandar.
RINGKASAN Jagung merupakan komoditas pangan lokal yang berpotensi sebagai pangan alternatif pengganti beras. Oleh karena itu peningkatan nilai tambah jagung perlu dilakukan agar program diversifikasi pangan dapat berjalan. Salah satu peningkatan nilai tambah jagung adalah pembuatan mi basah berbahan baku tepung jagung. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperm dari bagian biji yang lain (Hoseney, 1998). Pembuatan tepung jagung dari jagung pipil kering dilakukan dengan metode penggilingan kering. Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan dua kali. Tepung jagung yang dihasilkan diayak dengan ukuran 80 mesh agar memiliki ukuran yang sesuai dengan kualifikasi tepung. Rendemen tepung jagung yang dihasilkan mencapai 40%. Sifat-sifat tepung jagung yang dianalisis meliputi warna, kisaran suhu gelatinisasi dan sifat kimia. Jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung merupakan jagung QPM (Quality Protein Maize) dengan varietas Srikandi. Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi basah. Menurut Hou dan Kruk (1998), mi basah merupakan produk pangan yang berbentuk seperti untaian benang dan umumnya terbuat dari tepung terigu dan atau tepung lain yang ditambahkan air dan garam – garam alkali. Biasanya disajikan dalam bentuk sup (berkuah). Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan – bahan, pengukusan, pencetakan (pressing, slitting dan cutting), dan perebusan. Penelitian ini merupakan verifikasi terhadap penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003). Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan desain proses dan formulasi mi basah berbahan baku tepung jagung. Formula dasar mi basah terdiri atas tepung jagung, air, garam dan baking powder. Penentuan formula mi basah yang akan dioptimasi dilakukan atas dasar jumlah air yang ditambahkan untuk mencapai tingkat gelatinisasi yang diinginkan pada saat pengukusan (pregelatinisasi). Penambahan jumlah air bervariasi mulai dari 20-100% terhadap berat tepung jagung. Pengukuran karakteristik adonan yang dihasilkan setelah pengukusan dilakukan secara visual yang meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi mi (sifat adonan), keseragaman pembentukan untaian mi dan keseragaman kematangan mi setelah perebusan. Formula terpilih yang akan dioptimasi adalah adonan tepung dengan penambahan air 30 ml. Formula ini memiliki karakteristik mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam. Optimasi desain proses pembuatan formula mi basah terpilih dilakukan pada waktu pengukusan adonan yang bervariasi antara 3, 5, 7, dan 10 menit. Hasil pengukuran derajat gelatinisasi menunjukkan bahwa waktu pengukusan 3 menit memiliki derajat gelatinisasi terbesar (88,25%) dan waktu pengukusan 5 menit memiliki derajat gelatinisasi terkecil (62%). Pengukuran karakteristik mi basah
dilakukan pada mi matang secara instrumental yang meliputi elongasi (rheoner), kekerasan dan kelengketan (Texture Analyzer) serta kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP metode Oh et al, 1985). Pengukuran sifat fisik menunjukkan nilai elongasi mi basah berkisar antara 14,24% (waktu pengukusan 5 menit) hingga 20,05% (waktu pengukusan 10 menit). Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit memberikan nilai terkecil (17,6%) sedangkan mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit memberikan nilai KPAP terbesar (20,8%). Nilai kekerasan mi basah terbesar ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit (1089,63 gf) dan nilai kekerasan mi basah terkecil ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit (1273,13 gf). Kelengketan mi basah memiliki nilai terbesar (-451,75 gf) yang ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit sedangkan nilai kelengketan paling kecil ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 10 menit (-250,13 gf). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama waktu pengukusan tidak berpengaruh terhadap persen elongasi dan KPAP (p<0,05) tetapi berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap kekerasan dan kelengketan mi basah matang pada tingkat kepercayaan 95%. Mi basah dengan formula dan desain proses terbaik pada penelitian ini adalah mi basah dengan penambahan air 30 ml dan waktu pengukusan 7 menit. Hasil analisis proksimat mi basah optimal menunjukkan kandungan air, abu, protein, lemak dan karbohidrat berturut-turut sebesar 66% (b.b); 0,41%; 6,45%; 8,20% dan 85,0% (berdasarkan berat kering). Perbandingan karakteristik mi basah jagung optimal dengan mi basah terigu (mi matang) menunjukkan bahwa mi basah matang jagung memiliki nilai kekerasan, kelengketan, dan elongasi yang lebih rendah serta nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang lebih tinggi dibandingkan mi basah matang terigu.
SKRIPSI
DESAIN PROSES PEMBUATAN DAN FORMULASI MI BASAH BERBAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Bobby Fajar Rianto F24102077
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN DESAIN PROSES PEMBUATAN DAN FORMULASI MI BASAH BERBAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Bobby Fajar Rianto F24102077 Dilahirkan Pada Tanggal 29 Desember 1984 Di Bandung, Jawa Barat Tanggal Lulus : Oktober 2006 Menyetujui Bogor, Oktober 2006
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc Dosen Pembimbing II Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Bobby Fajar Rianto, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 29 Desember 1984. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Yanto Rubianto dan Sari Yani. Penulis memulai pendidikan di TK Kalam Kudus, Ambon (1989-1990). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD ST. Agustinus, Bandung (19901996), dilanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu SLTP Providentia, Bandung (19961999) dan SMU Taruna Nusantara, Magelang (1999-2002). Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif pada berbegai kegiatan organisasi dan kepanitiaan seperti Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG), Food Chat Club, International Association of Agriculture and Related Sciences (IAAS), panitia Lepas Landas Sarjana, panitia Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan antar SMU tingkat Nasional, dan panitia The 3rd National Student Paper Competition. Penulis juga aktif dalam mengikuti kegiatan non akademis seperti seminar 2nd National Students Paper Competition On Food Issues (2003), Seminar Pangan Halal “Haram Analysis Critical Control Point” (2005), IDF International Conference of fgW Student Forum for Milk and Milk Products (2005). Penulis pernah melakukan kegiatan Praktek Lapang pada tahun 2005 di PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Cabang Bandung dengan topik “Mempelajari Aspek Penyimpanan Bahan Baku pada Produksi Mi Instan”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul “Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Basah Berbahan Baku Tepung Jagung” dengan bantuan dana dari program RUSNAS (Riset Unggulan Strategis Nasional) Diversifikasi Pangan dari Kementrian Riset dan Teknologi pada tahun 2005 di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc dan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Karunia, Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya. Shalawat dan salam bagi nabi Muhammad saw, manusia terbaik di muka bumi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam penyelesaian karya ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik pihakpihak yang senantiasa membimbing, membantu dan mendoakan penulis dalam menyalesaikan penelitian dan penyusunan skripsinya. Amin yaa rabbal alamin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan ucapan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tuaku, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materil yang telah kalian berikan. Tidak lupa Kakak dan kedua adikku, terimakasi atas segala kebahagiaan yang kalian berikan. 2. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., selaku dosen pembimbing, yang telah memberi nasihat, motivasi, saran, dan kritik yang membangun. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc., selaku dosen pembimbing II, yang banyak membantu selama penelitian dan penulisan skripsi. 4. Ir. Subarna, Msi., terimakasih atas kesediaan Bapak menjadi dosen penguji. 5. Kanyaka Wara Apsari, tidak ada untaian kata yang cukup untuk menggambarkan keceriaan yang kauberikan selama ini. 6. Seluruh Staf, Laboran dan Teknisi TPG, Pak Wahid, Pak Rojak, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Pak Gatot, Ibu Rubiah, Teh Ida, Mas Edi dan tak lupa kepada Pak Karna ”Abah” dan Pak Samsu. 7. Teman-teman sebimbingan : Anissa dan Rohana, ”So luck for me to met you Ladies!” dan Ari Fahmi. Terima kasih atas kebersamaan, pengertian dan bantuan selama kuliah dan penelitian. 8. Teman baik selama kuliah di TPG, Izal, Ulik, Didin, Dadik, Deddy, t-min (Futsal’ers), tidak lupa Randy ”orang terbelakang” n’ my step parents
”Ajeng-qy & Asep Ary”. Terima kasih untuk semua pengalaman yang tak akan terlupakan selama penulis menjalankan kuliah di TPG. 9. Keluarga C3 (Hana, MoOolid dan U-&), Keluarga yang unik yaa?!! 10. Penghuni Golongan C : Putra .com, Hanif (the Vice President), Vie-rus (Mom), Beck-ti, Rina ”Papua”, Ponk-e ”Oon”, Q-yas ”buncit”, Kang Fahrul, Yoga ”Kumis”, Steisi ”The artist”, Rikza S”uperman”, Farah ”Meng-ski”, Karen & Fenni (The Scientist), Re-beck, Retno E. D. S ”Kenot” Hadi, Eva ”Miss perpus”, Prasna (pedagang) dan Sam100, kalian membuat kuliah dan praktikum selalu menyenangkan. 11. Rekan-rekan TPG’39, Woro, Eko, Iqbal ”smile”, Heru, Qky, Inal, Tukep (nonton bareng lagi 2008 & 2010), Ex-Pubi’ers (Nuy, Dora, Tante, Ina, Tissa n Nene), Tono ”komti”, Herold, dan Tin2. Forza 39’ers! 12. Teman-teman TPG 38 (ST, Boz, Rahmat, Fajri, Bangun, Derry, Pitoy), TPG 40 (Mita, Teddy dan Gilang), TPG 41 (Iqbal, Anto, Ancha, Dodi, Aris). Terima kasih telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moril kepada penulis dengan ikhlas. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya manusia yang sempurna. Semoga dengan kekurangan yang masih ada, skripsi ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2006
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..... iii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………....
vi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... vii PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
A. Latar Belakang ......……………………………………………….......
1
B. Tujuan dan Sasaran……………………………………………...........
2
C. Manfaat …………………………………………................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………....
3
A. Jagung ………………………………………………………………..
3
Sejarah Tanaman Jagung …………………………………………….
3
Deskripsi Tanaman jagung …………………………………………...
3
Jenis Jagung ………………………………………………………….
4
Morfologi dan Anatomi Jagung ……………………………………...
6
Komposisi Kimia Biji Jagung ……………………………………….
8
I.
Quality Protein Maize ……………………………………………….. 10 B. Tepung Jagung ………………………………………………………. 11 C. Gelatinisasi Pati ……………………………………………………… 13 Konsep Gelatinisasi …………………………………………………. 13 Mekanisme Gelatinisasi ……………………………………………... 15 Suhu Gelatinisasi …………………………………………………….. 16 Sifat Birefringence …………………………………………………... 17 D. Mi Jagung ……………………………………………………………. 17 E. Mi Basah …………………………………………………………….. 19 Pengertian mi basah………………………………………………….. 19 Pembuatan mi basah ………………………………………………..... 20 III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………………....... 23 A. Bahan dan Alat ……………………………………………................. 23 B. Metode Penelitian……………………………………………………. 24 1. Persiapan Bahan Baku…………………………………................. 24
2. Karakterisasi Bahan Baku ……………………………………….. 25 3. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung …………………………….. 25 Desain Proses Mi Basah Jagung ………………………………… 25 Penentuan Formula Mi Basah Jagung …………………………… 26 4. Optimasi Desain Proses Mi Basah Jagung ………………………. 28 5. Analisis Produk ………………………………………………...... 28 C. Metode Pengamatan………………………………………………….. 29 Analisis Sifat Fisik…………………………………………………… 29 Analisis Sifat Kimia………………………………………………….. 33 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………. 37 1. Pembuatan Tepung Jagung ……………………………………… 37 2. Karakterisasi Bahan Baku ……………………………….………. 41 a. Warna tepung jagung ………………………………………...
41
b. Suhu gelatinisasi dan viskositas tepung jagung ………………. 42 c. Karakteristik kimia tepung jagung ……………………………. 44 3. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung ……………………………. 46 a. Desain Proses Mi Basah Jagung ……………………………… 46 b. Penentuan Formula Mi Basah Jagung ………………………… 50 4. Optimasi Desain Proses Mi Basah Jagung ………………………. 54 Pengukuran Derajat Gelatinisasi…………………………………. 55 5. Pengukuran Karakteristik Mi Basah …………………………….. 56 a. Elongasi ……………………………………………………….. 58 b. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan(KPAP)………………. 59 c. Kekerasan dan Kelengketan …………………………………... 60 6. Optimasi Mi Basah dengan Formula dan Desain Proses Terpilih.. 62 Analisis Proksimat Mi Basah Terpilih…………………………… 64 7. Perbandingan Mi Basah Jagung dan Mi Basah Terigu…………... 65 V. KESIMPULAN ………………………………………………………….. 68 A. Kesimpulan………………………………………………………....... 68 B. Saran………………………………………………………………..... 70 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 71 LAMPIRAN ………………………………………………………………….. 72
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya ……………………………………...
5
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung …………………………………
7
Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ……...
9
Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ………………………………. 16 Tabel 5. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992………………… 20 Tabel 6. Formula mi basah jagung ……………………………………….…. 25 Tabel 7. Rancangan percobaan penentuan formula mi basah jagung………... 27 Tabel 8. Pengaturan Texture Analyzer dalam pengukuran kekerasan dan kelengketan mi basah………………………………………………. 32 Tabel 9. Hasil pengukuran warna tepung jagung ………………………….... 42 Tabel 10. Hasil uji amilograf tepung jagung ... ………………………………. 43 Tabel 11. Karakteristik kimia tepung jagung varietas Srikandi ……………… 45 Tabel 12. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual ………….. 51 Tabel 13. Sifat adonan tepung jagung hasil pengukusan …………………….. 53 Tabel 14. Formula dasar mi basah jagung …………………………………… 54 Tabel 15. Rancangan percobaan penentuan formula mi basah jagung ……….. 54 Tabel 16. Derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan……………. 55 Tabel 17. Pengukuran karakteristik mi basah jagung terpilih ………………... 63 Tabel 18. Karakteristik kimia mi basah jagung terpilih……….……………… 64 Tabel 19. Perbandingan mi basah jagung dan mi basah terigu……………….. 66
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur biji jagung ………………………………………………
8
Gambar 2. Pembuatan tepung jagung ………………………………………. 12 Gambar 3. Struktur amilosa ……………………...…………………………. 13 Gambar 4. Struktur amilopektin ………………………………………….…. 14 Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah secara umum ………….…….. 21 Gambar 6. Mesin mi………………………………………………………..... 23 Gambar 7. Pembuatan tepung jagung ……………………………………..... 24 Gambar 8. Diagram alir pembuatan mi basah jagung……………………….. 26 Gambar 9. Penentuan formula mi basah…………………………………….. 27 Gambar 10. Jagung varietas Srikandi…………………………………………. 37 Gambar 11. Diagram kesetimbangan massa proses penepungan jagung……... 40 Gambar 12. Tepung jagung varietas Srikandi (80 mesh) …………………….. 41 Gambar 13. Adonan tepung setelah pengukusan……………………………... 47 Gambar 14. Proses pencetakan lembaran mi…………………………………. 48 Gambar 15. Proses pencetakan untaian mi……………………………………. 49 Gambar 16. Kurva standar derajat gelatinisasi………………………………... 55 Gambar 17. Proses pengukusan adonan………………………………………. 56 Gambar 18. Grafik pengukuran elongasi dan KPAP mi basah jagung……….. 58 Gambar 19. Grafik pengukuran kekerasan dan kelengketan mi basah jagung.. 60 Gambar 20. Mi basah jagung dengan formula dan desain proses optimal……. 63
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kurva amilogram suhu gelatinisasi tepung jagung ulangan 1……... 75 Lampiran 2. Kurva amilogram suhu gelatinisasi tepung jagung ulangan 2……... 76 Lampiran 3. Uji statistik derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan.. 77 Lampiran 4. Uji statistik elongasi mi basah……………………………………... 78 Lampiran 5. Uji statistik KPAP mi basah……………………………………….. 79 Lampiran 6. Uji statistik kekerasan mi basah……………………………………. 80 Lampiran 7. Uji statistik kelengketan mi basah…………………………………. 81
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diversifikasi pangan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras dan bahan pangan impor dengan mencari alternatif bahan pangan lokal lainnya. Program diversifikasi pangan terus digalakan oleh pemerintah mengingat tingginya kebutuhan masyarakat akan beras. Lebih lanjut, keadaan ketergantungan masyarakat terhadap beras dapat menyebabkan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kurang stabil. Jagung merupakan bahan pangan alternatif pengganti beras di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari digunakannya jagung sebagai makanan pokok di beberapa daerah seperti di Madura dan Nusa Tenggara Barat. Walaupun demikian, produk-produk pangan berbasis jagung umumnya dikembangkan sebagai kudapan ringan (snack) sehingga belum dapat dikategorikan sebagai bahan pangan alternatif. Di sisi lain, dalam upaya diversifikasi pangan perlu adanya pengembangan produk asal jagung sebagai makanan pokok. Salah satu upaya tersebut adalah pengembangan produk asal jagung menjadi mi. Mi merupakan produk pasta atau ekstrusi. Menurut Astawan (2002), mi merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan terigu atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lainnya. Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Menurut Juniawati (2003), mi merupakan produk pangan yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai sarapan maupun sebagai makanan selingan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat produk mi berbahan baku jagung. Diantaranya adalah Juniawati (2003) yang membuat mi jagung instan dengan menggunakan tepung jagung sebagai bahan baku utamanya. Keunggulan mi jagung berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2003) antara lain: dari segi gizi, nilai energi yang terkandung mi jagung instan yaitu 360 kalori. Nilai energi ini lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai energi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Beberapa keunggulan lain mi jagung instan adalah kandungan lemaknya yang lebih rendah dibandingkan mi terigu instan serta tidak perlunya digunakan pewarna buatan (tartrazine) seperti halnya dalam pengolahan mi terigu instan. Pengembangan produk mi basah berbahan baku tepung jagung merupakan tahap lanjutan dan pengembangan dari penelitian-penelitian mi berbasis jagung sebelumnya. Seluruh penelitian tersebut merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras dan tepung terigu. Selain itu, dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah jagung sebagai salah satu bahan pangan alternatif pengganti beras.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menentukan formula dan desain proses pembuatan optimal mi basah berbahan baku tepung jagung.
C. Manfaat Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini yaitu peningkatan nilai tambah jagung sebagai salah satu komoditi pangan alternatif pengganti beras dan pendukung upaya diversifikasi pangan. Lebih lanjut, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik mi basah yang dihasilkan dari jagung quality protein maize.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jagung Sejarah Tanaman Jagung Tanaman jagung sudah ditanam sejak ribuan tahun yang lalu di benua Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut. Awalnya jagung dibudidayakan di Meksiko dan Peru (Suprapto, 1998). Bukti arkeologi menunjukkan bahwa jagung merupakan tanaman domestik yang tumbuh sejak 5000 SM di sebuah daerah Meksiko bernama Tehuacan. Selanjutnya, pembudidayaan jagung berkembang ke daerah Argentina (Amerika Selatan), Eropa Tengah dan bagian utara benua Afrika hingga awal abad ke-16 masuk ke daerah subtropis dan tropis Asia termasuk Indonesia. (Suprapto, 1998) Pembudidayaan tanaman jagung di Indonesia sudah berkembang sangat luas. Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya tanaman jagung dilakukan secara intensif mengingat iklim dan jenis tanahnya sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung. Selain itu, di daerah Madura khususnya, jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).
Deskripsi Tanaman Jagung Tanaman Jagung (Zea mays. L.) merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat. Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif (Wikipedia Indonesia, 2005).
Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Umumnya tanaman jagung memiliki ketinggian antara satu sampai tiga meter. Namun demikian, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6 meter. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 meter meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 meter. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Wikipedia Indonesia, 2005). Daun jagung adalah daun sempurna dengan bentuk memanjang. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious).
Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) adalah salah satu jenis tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) (Warisno, 1998). Menurut Suprapto (1998) varietas jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain : tinggi tempat penanaman, umur varietas, perbenihannya, serta warna dan tipe biji.
Namun secara umum,
pengklasifikasian jagung dibedakan berdasarkan bentuk kernelnya. Berdasarkan bentuk kernelnya, ada 6 tipe utama jagung, yaitu: dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns. Perbedaan terutama didasarkan pada kualitas, kuantitas dan komposisi endosperma. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm, pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung lunak dan bertepung. Endosperma yang lunak akan menjulur hingga mahkota membentuk tipe tertentu, yang merupakan ciri khas jagung jenis dent (Johnson, 1991).
Jagung jenis flint memiliki bentuk agak tebal, keras, lapisan endosperma yang seperti kaca, kecil, lunak, dengan granula tengah. Jagung jenis pop, merupakan salah satu jenis jagung yang paling primitif. Ciri-cirinya adalah selaput endospermanya sangat keras dan memiliki kernel kecil seperti jenis flint. Jagung jenis flour juga merupakan jenis jagung yang sangat tua, dicirikan dengan adanya endosperma lunak yang menembus kernel, sangat mudah untuk dihancurkan tetapi sangat mudah juga ditumbuhi kapang, terutama bila ditanam di lahan basah (Johnson, 1991). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi. Kadar sakarida terlarutnya mencapai 12% berat kering, sedangkan jagung jenis lain hanya berkisar 2-3%. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Sedangkan jagung jenis pod, merupakan jagung hias dengan kernel tertutup, dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya* Jenis jagung Sifat-sifat Jagung gigi kuda Biji berbentuk gigi, pati yang keras (Zea mays identata) menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ke ujung. Jagung mutiara Biji sangat keras, pati yang lunak (Zea mays indurata) sepenuhnya diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang. Jagung bertepung Endosperma hampir seluruhnya berisi pati (Zea mays amylacea) yang lunak, biji mudah dibuat tepung, biji yang sudah kering permukaannya berkerut. Jagung berondong Butir biji sangat kecil, keras seperti pada tipe (Zea mays evertia) mutiara, proporsi pati lunak lebih kecil dibandingkan pada tipe mutiara Jagung manis Endosperma berwarna bening, kulit biji tipis, (Zea mays saccharata) kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji berkerut *Sumber : Suprapto (1998)
Menurut Suprapto (1998), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe
berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). Selain berdasarkan klasifikasi di atas, Suprapto (1998) juga membedakan jagung berdasarkan bentuk biji dan kandungan endospermanya. Jenis jagung dan sifat-sifatnya disajikan pada Tabel 1.
Morfologi dan Anatomi Jagung Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung, semakin kering kelobotnya (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung merupakan biji sereal yang paling besar, dengan berat masing-masing 250-300 mg. Biji-biji tumbuh menempel pada tongkol jagung membentuk flat, dan selama pertumbuhan akan mengalami tekanan (Johnson, 1991). Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm. Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-1000 biji jagung. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar ke ujung kelobot melalui sela-sela deret biji. Rambut mempunyai cabang-cabang yang halus sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat pembuahan (Suprapto, 1998). Jagung terdiri dari empat bagian pokok anatomi, yaitu kulit (perikarp); endosperma, yaitu bagian yang menyimpan nutrisi untuk mendukung germinasi; lembaga; dan tudung pangkal (tipcap), yaitu tempat penempelan biji pada tongkol. Setiap bagian anatomi memiliki komposisi yang berbedabeda. Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang disusun oleh 6 lapis sel yaitu epikarp (lapisan paling luar), mesokarp, dan tegmen (seed coat).
Bagian terakhir ini terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak (Johnson, 1991). Bagian terbesar biji jagung adalah endosperma yang mengandung pati, sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991). Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperm dengan kulit (perikarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapis sel sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel, demikian juga untuk gandum. Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan endosperm lunak (floury endosperm). Bagian keras tersususun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan struktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung* Bagian anatomi Jumlah (%) 5 Pericarp Endosperma 82 Lembaga 12 1 tipcap *Inglett (1970) Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998).
Gambar 1. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).
Komposisi Kimia Biji Jagung Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu,
jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya* Jumlah (%) Komponen Pati Protein Lemak Serat Lain-lain Endosperma 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4 Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4 Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1 Tip cap *Sumber: Johnson (1991) Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya prosentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Johnson, 1991). Zein merupakan protein dengan berat molekul rendah yang larut pada etil alkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu αzein (larut pada 95% etanol) dan ß-zein (larut dalam 60% etanol). Pada α-zein, kandungan asam amino histidin, arginin, proline, dan metionin lebih banyak daripada yang terkandung pada ß-zein (Laztity, 1986). Molekul zein merupakan globula yang memanjang (axial ratio sekitar 15:1). Seperti yang dihitung dengan optical rotary dispersion data, kandungan helix zein pada larutan etanol bervariasi antara 33%-37%. Zein memiliki
komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, proline, leusin, dan alanin tetapi rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin, dan metionin (Laztity, 1986). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986). Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986).
Quality Protein Maize (QPM) Jagung merupakan bahan pangan pokok ketiga di dunia setelah gandum dan beras. Walaupun demikian, kandungan gizi pada jagung khususnya protein belum dapat memenuhi kecukupan protein yang dianjurkan. Menurut Bressani (1972), jagung normal memiliki kualitas protein yang kurang baik karena rendah akan lisin dan triptofan. Lisin dan triptofan termasuk dalam asam amino yang penting bagi tubuh tetapi harus didapat dari asupan makanan (asam amino esensial). Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas protein pada jagung. Diantaranya adalah penggunaan gen hasil mutasi (opaque-2). Gen ini dapat meningkatkan kualitas protein jagung dengan menekan produksi zein pada jagung sehingga meningkatkan kandungan lisin dan triptofan (Bressani, 1972). Jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2 dikenal dengan Quality Protein Maize (QPM) karena telah memiliki kandungan protein yang baik. Pemanfaatan QPM sebagai bahan pangan telah dilakukan
oleh negara Brazil dan Colombia seperti disebutkan oleh Bauman et al. (1972). Hal ini menunjukkan korelasi positif pemanfaatan QPM sebagai sumber pangan khususnya untuk mencukupi kebutuhan protein manusia. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil jagung juga telah menanam jagung QPM. Menurut Balitbang Pertanian (2005) jagung QPM yang dikembangkan di Indonesia dengan nama varietas Srikandi (kuning-1 dan putih-1) memiliki kandungan protein antara 10,38%-10,44%. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kandungan lisin dan triptofan pada jagung varietas Srikandi Kuning-1 berturut-turut sebesar 0,48% dan 0,09%.
Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2003), pembuatan tepung jagung dilakukan menggunakan metode penggilingan kering. Penggilingan
dilakukan
sebanyak
dua
kali.
Penggilingan
pertama
(penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan hammer mill. Hasil penggilingan kasar berupa grits, kulit, lembaga dan tip cap. Kemudian kulit, lembaga dan tip cap dipisahkan melalui pengayakan. Selanjutnya, grits jagung yang diperoleh dari penggilingan kasar dicuci dan direndam dalam air selama
3 jam. Tujuan dilakukannya perendaman adalah untuk membuat grits jagung tidak terlalu keras sehingga memudahkan proses penggilingan grits jagung. Penggilingan kedua yang merupakan penggilingan grits jagung menggunakan disc mill (penggiling halus). Hasil penggilingan halus berupa tepung jagung. Tepung jagung tersebut kemudian diayak dengan menggunakan pengayak berukuran 100 mesh. Proses pembuatan tepung jagung yang dilakukan oleh Juniawati (2003) dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen terbesar dalam tepung jagung adalah pati. Berdasarkan hasil penelitian Juniawati (2003), tepung jagung memiliki kadar pati sebesar 68,2%. Jagung Pipilan Penggilingan I (multi mill) Tepung kasar
Grits
Pencucian dan Perendaman dalam air selama 3 jam Pengeringan Penggilingan II (disc mill) Pengayakan (100 mesh) Tepung Jagung Gambar 2. Pembuatan tepung jagung (Juniawati, 2003)
Kotoran
Gelatinisasi Pati Konsep Gelatinisasi Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi dan secara luas tersebar di berbagai macam tanaman. Pati tersusun dari unit-unit glukosa. Pati dihasilkan sebagai granula di dalam sebagian besar sel tanaman. Granula pati memiliki struktur dan komposisi yang berbeda-beda tergantung dari sumber pati, namun umumnya granula pati memiliki dua komponen utama, yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%). Keduanya merupakan polimer α-D-glukosa. Dalam keadaan murni, molekul amilosa dan amilopektin terorganisir dalam granula yang secara fisik berupa semikristalin dan amorfus (Cheng, 2006). Amilosa adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa. Amilosa terdiri dari 50-300 unit glukosa. Meskipun polimer ini umumnya diasumsikan linear, namun sebenarnya amilosa juga mempunyai cabang. Titik percabangan amilosa berada pada ikatan α-1,6. Hanya saja derajat percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linear, cabang-cabang amilosa berada pada titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney,1998). Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur amilosa (Cheng, 2006) Amilopektin terdiri dari α-D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa. Namun, amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α(1,6)-D-glukosa. Cabang-cabang amilopektin lebih banyak dari pada amilosa. Amilopektin terdiri dari 300-500 unit glukosa, namun glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan rantai α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Hoseney,1998). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur amilopektin (Cheng, 2006) Molekul pati mempunyai gugus hidrofilik yang dapat menyerap air. Bagian yang amorf dapat menyerap air dingin sampai dengan 30%. Pemanasan pati dapat meningkatkan daya serap air sampai 60% (Winarno, 1980). Penyerapan air yang besar disebabkan karena pecahnya ikatan hidrogen pada bagian yang amorf. Pada awalnya perubahan volume dan penyerapan air masih bersifat reversible. Namun, pada suhu tertentu, pecahnya bagian amorf akan diikuti oleh pecahnya granula. Suhu pada saat granula pecah disebut suhu gelatinisasi. Pada saat suhu gelatinisasi tercapai maka perubahanperubahan yang terjadi sudah bersifat irreversible (Hoseney, 1998). Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekulmolekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang
menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Mekanisme Gelatinisasi Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 persen dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekul-molekul air berpenetrasi
masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan
molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin melemah. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air juga makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun, maka air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula makin besar (Meyer, 1982). Pada akhirnya, jika suhu suspensi tetap semakin naik maka granula pati akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan (Hodge dan Osman, 1976). McCready (1970) menyatakan bahwa mekanisme gelatinisasi dapat dibedakan menjadi tiga
tahap. Pertama, air akan secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula. Kemudian pada suhu sekitar 60oC, granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya akan kehilangan sifat birefringence. Ketiga, jika temperatur tetap naik, maka molekul-molekul pati terdifusi ke luar granula. Suhu Gelatinisasi Fennema (1985) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi berbedabeda bagi tiap-tiap pati dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati* Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 * Fennema (1985)
Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya (McCready, 1970). Menurut Collison (1968), suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh pemanasan, pengadukan, dan konsentrasi pati. Pemanasan dengan pengadukan dapat mempercepat terjadinya gelatinisasi. Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin lambat tercapai. Bahkan pada suhu tertentu, kekentalan larutan pati tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun. Konsentrasi optimum larutan pati adalah 20% (Winarno, 1980).
Sifat Birefringence Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut sifat birefringence. Intensitas sifat birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal (Hoseney, 1998). Dengan pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat diketahui keberadaan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen lebih banyak pada molekul air. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan, dan meningkatnya molekul pati yang terpisah, serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).
Mi Jagung Mi merupakan produk pasta atau ekstrusi. Menurut Astawan (2004), mi merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan terigu atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lainnya. Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok. Jagung merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan mi. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan
sebagai makanan pokok. Pengembangan jagung sudah didukung oleh teknologi unggul yang mencakup penyediaan lebih unggul, budidaya tanam yang sederhana dan praktis, serta pengelolalan pasca panen yang berorientasi pasar. Selain itu jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri mi pengguna terigu. Juniawati (2003) menyatakan berdasarkan kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk asal jagung, dapat diketahui bahwa semua responden menyukai produk-produk asal jagung. Oleh karena itu pengembangan produk asal jagung berupa mi jagung perlu dilakukan dalam upaya diversifikasi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuat produk mi berbahan baku jagung. Diantaranya adalah Juniawati (2003) yang membuat mi jagung instan dengan menggunakan tepung jagung sebagai bahan baku utamanya. Keunggulan mi jagung berdasarkan penelitian yang dilakukan Juniawati (2005) antara lain: dari segi gizi, nilai energi yang terkandung mi jagung instan yaitu 360 kalori. Nilai energi ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai energi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Akan tetapi nilai energi ini lebih rendah dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Selain Juniawati (2003), beberapa penelitian lain tentang pembuatan mi berbahan baku jagung telah dilakukan oleh Budiyah (2005) dan Fadilah (2005). Budiyah (2005) membuat mi jagung berbahan baku pati jagung dan CGM (Corn Gluten Meal), sedangkan Fadlillah (2005) membuat mi jagung dari pati jagung, CGM (Corn Gluten Meal) dan gluten terigu. Tahapan proses pembuatan mi jagung instan dengan metode Budiyah (2005) secara garis besar tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan mi pada umumnya, yaitu penimbangan bahan dan pembuatan larutan garam, mixing, pengukusan pertama, pressing, slitting and cutting, pengukusan kedua, pengeringan dengan oven, pendinginan, dan pengemasan. Perbedaan utama pembuatan mi jagung dengan mi terigu terletak pada proses pengukusan pertama setelah pencampuran adonan. Menurut Juniawati (2003),
tujuan pengukusan pertama dalam tahapan pembuatan mi jagung instan adalah untuk membentuk adonan yang dapat dicetak kedalam bentuk lembaran mi. Fadlillah (2005) menambahkan protein gluten terigu dalam pembuatan mi jagung. Penambahan gluten terigu bertujuan untuk meningkatkan elastisitas mi jagung instan, sehingga dapat diolah selayaknya mi terigu biasa. Penambahan protein gluten terigu akan dikombinasikan dengan penambahan corn gluten meal (CGM), dengan total penambahan 10% dari adonan. Penambahan dilakukan pada awal proses, dan dicampurkan secara merata dengan pati, CMC, dan CGM. Setelah itu, dicampur dengan larutan garam dengan baking powder, kemudian dilakukan pengadukan hingga kalis. Mi Basah Pengertian mi basah Menurut SNI 01-2987-1992 mi basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air antara 25-30%. Kualitas mi basah menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Hou dan Kruk (1998), mi basah didefinisikan sebagai produk pangan yang berbentuk seperti untaian benang yang terbuat dari campuran tepung terigu dan atau tepung lainnya, air serta garam dan umumnya disajikan dalam bentuk berkuah. Pengklasifikasian mi sebetulnya tidak memiliki standar yang universal. Hal ini menyebabkan belum adanya keseragaman dalam penentuan jenis-jenis mi. Namun demikian, Hou dan Kruk (1998) mengklasifikasikan mi menjadi empat jenis berdasarkan prosesnya, yaitu mi mentah (mi yang setelah pengadonan, pembentukan lembaran, dan pemotongan tidak mengalami proses lebih lanjut), mi kering (mi mentah yang mengalami proses pengeringan alami dengan sinar matahari atau dengan ruang terkontrol), mi matang (mi mentah yang mengalami proses lanjut dengan perebusan setengah matang atau matang sempurna), dan mi kukus (mi mentah yang diproses lebih
lanjut dengan pengukusan). Selain itu, mi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ukurannya, yaitu somen, udon dan hira-men (Nagao, 1996). Tabel 5. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992. No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan : 1.1. Bau Normal 1.2. Rasa Normal 1.3. Warna Normal 2. Kadar air % b/b 20-35 3. Kadar abu (bk) % b/b Maks. 3 4. Kadar protein (bk) % b/b Min. 3 Tidak boleh ada sesuai 5. Bahan tambahan SNI-02220 M dan pangan : Peraturan Menteri 5.1. Boraks dan asam Kesehatan No. borat 722/Menkes/Per/IX/88 5.2. Pewarna 5.3. Formalin 6. Cemaran logam : Maks. 1.0 Mg/kg 6.1. Timbal (Pb) Maks. 10.0 Mg/kg 6.2. Tembaga (Cu) Maks. 40.0 Mg/kg 6.3. Seng (Zn) Maks. 0.05 Mg/kg 6.4. Raksa (Hg) 7. Arsen Mg/kg Maks. 0.05 8. Cemaran mikroba Maks. 1.0 x 106 8.1. Angka Lempeng Koloni/gram APM/gram Total Maks. 10 Koloni/gram 8.2. E. coli Maks. 1.0 x 104 8.3. Kapang Pembuatan mi basah Bahan baku dalam pembuatan mi adalah tepung terigu, air, garam dapur (NaCl), dan garam-garam alkali seperti natrium karbonat, kalium karbonat, atau natrium tripolifosfat. Air merupakan komponen penting dalam pembentukan gluten, sebagai media pencampur, dan pengikat karbohidrat sehingga terbentuk adonan yang baik. Air yang ditambahkan biasanya sebanyak 32 – 35% dari berat terigu, tergantung jenis dan kualitas terigu yang digunakan. Batas maksimum penambahan air dalam pembentukan lembaran adalah 38-40% . Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, adonan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 40%, adonan akan menjadi basah dan lengket.
Garam dapur juga ditambahkan ke dalam adonan sebanyak 0.5 – 2% dari berat terigu, tergantung selera masyarakat lokal. Garam dapur (NaCl) berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, mengurangi kelengketan adonan, serta meningkatkan elastisitas adonan. Garam karbonat berfungsi dalam pembentukan gluten, menghaluskan tesktur adonan, dan meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas adonan. Natrium tripolifosfat digunakan sebagai bahan pengikat air, agar air di dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Bahan-bahan mi ¶ pencampuran bahan ¶ pengadukan ¶ pembentukan lembaran ¶ pengistirahatan ¶ penipisan lembaran ¶ pemotongan lembaran ¶ Mi basah mentah ¶ Perebusan ¶ Mi basah matang Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah secara umum (Astawan, 2002) Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mi, serta perebusan. Proses pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 5. Tahap pencampuran berfungsi agar proses hidrasi air dengan tepung berlangsung merata dan untuk menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran yaitu jumlah air yang
ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan. Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 hingga 25 menit. Apabila waktu pengadukan kurang dari 15 menit, adonan akan menjadi lunak dan lengket, sedangkan jika lebih dari 25 menit adonan akan menjadi keras, rapuh dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25oC hingga 40oC. Apabila suhu adonan kurang dari 25oC, adonan akan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila suhu adonan lebih dari 40oC adonan akan menjadi lengket dan mi kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis dan mengembang dengan normal. Lembaran adonan ini kemudian dipipihkan dengan alat rollpress dan dicetak menjadi untaian benang mi hingga diameter mencapai 1-2 mm. Produk akhir mi basah dapat berupa mi mentah ataupun mi matang tergantung tujuan penggunaan mi tersebut. Mi mentah biasanya digunakan oleh pedagang mi ayam sedangkan mi matang biasanya dijajakan oleh pedagang baso. Untuk mencegah kelengketan antar untaian, mi biasanya ditaburi dengan tepung tapioka (mi mentah) atau dengan minyak goreng (mi matang (Astawan, 2002).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Srikandi (Quality Protein Maize) yang disuplai oleh Departemen Pertanian. Selanjutnya, jagung pipil ini akan diolah menjadi tepung jagung sebagai bahan baku dalam pembuatan mi basah. Bahan-bahan tambahan yang digunakan antara lain air, garam, dan baking powder. Bahanbahan kimia yang diperlukan untuk analisis adalah aquades, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, HBO3, HCl, NaOH, hexan, larutan amilosa standar, larutan etanol 95%, larutan iod, larutan KOH 0,2 N, larutan asam asetat, serta larutan glukosa standar. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk mencetak mi (Gambar 6), alat-alat untuk penggilingan jagung yaitu multi mill (hammer mill) dan disc mill, alat-alat untuk analisis seperti Rheonner, Texture analyzer TAXT-2, oven, tanur, labu Kjeldahl, sokhlet, neraca analitik, dan alat-alat gelas serta peralatan masak.
Gambar 6. Mesin mi (pressing, slitting, dan cutting)
B. Metode Penelitian 1. Persiapan Bahan Baku Jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung merupakan jagung QPM (Quality Protein Maize) dengan varietas Srikandi. Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung adalah metode penggilingan kering (Gambar 7). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan dua kali. Penggilingan pertama bertujuan untuk memisahkan bagian endosperm jagung dengan lembaga, kulit dan tip cap. Penggilingan ini dilakukan dengan alat multimill. Penggilingan kedua dilakukan untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung dan dilakukan dengan menggunakan discmill. Selanjutnya, tepung hasil penggilingan discmill diayak dengan ukuran 80 mesh agar tepung yang dihasilkan lebih homogen. Pengukuran rendemen dilakukan dengan membandingkan tepung jagung yang dihasilkan dengan jagung pipil kering dikalikan 100%. Jagung Pipil Kering Penggilingan I (multi mill) Tepung kasar
Grits Pencucian dan Perendaman dalam air mengalir Pengeringan Penggilingan II (disc mill) Pengayakan (80 mesh) Tepung Jagung Gambar 7. Pembuatan tepung jagung
Kotoran
2. Karakterisasi Bahan Baku Analisis yang dilakukan pada tepung jagung meliputi : a. Analisis warna, metode Hunter (Hutching, 1999) b. Penentuan suhu gelatinisasi dan viskositas, metode amilograf (AACC, 1983) c. Analisis kadar amilosa, metode IRRI (AOAC, 1995) d. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995) e. Analisis kadar abu, metode oven (AOAC, 1995) f. Analisis kadar lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1995) g. Analisis kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC, 1995) h. Analisis kadar karbohidrat (by difference)
3. Pembuatan Mi Basah Jagung Desain Proses Mi Basah Jagung Desain proses yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003). Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi dari tepung jagung memerlukan pengukusan pertama untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga adonan tepung mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Tahapan pembuatan mi jagung basah terdiri atas pencampuran bahan, pengukusan adonan, pencetakan mi dan perebusan mi mentah. Bahan-bahan yang digunakan dan persentase komposisinya dapat dilihat pada Tabel 6. Formula ini merupakan dasar dalam penentuan formula terpilih.
Tabel 6. Formula mi basah jagung Jumlah
Bahan
Tepung Jagung 100 gram Air 20-100 ml Garam 1 % (1 gram) Baking Powder 0,3 % (0,3 gram) Proses pencampuran dilakukan secara manual dan bertujuan untuk membuat adonan menjadi homogen. Meskipun demikian, adonan yang dihasilkan belum dapat dicetak menjadi lembaran mi sehingga diperlukan proses pengukusan. Pada saat pengukusan, adonan tepung jagung akan mengalami gelatinisasi sehingga adonan dapat dicetak menjadi lembaran mi didalam mesin mi. Selanjutnya, lembaran mi dicetak dalam bentuk untaian mi. Mi yang dihasilkan kemudian direbus dalam air mendidih selama dua menit agar dihasilkan mi basah dengan tekstur yang lebih solid.
Garam Baking Powder
Tepung Jagung Pencampuran Pengukusan Adonan
Pembentukan lembaran, Pencetakan dan Pemotongan (Pressing, slitting and cutting) Mi Basah Mentah Perebusan selama 2 menit Mi Basah Matang Gambar 8. Diagram alir pembuatan mi basah jagung
Air
Penentuan Formula Mi Basah Jagung Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung basah adalah tepung jagung, air, garam dan baking powder (Tabel 6). Jumlah air yang ditambahkan akan mempengaruhi tingkat kecukupan gelatinisasi dalam membentuk adonan mi. Oleh karena itu, jumlah air yang ditambahkan menjadi titik kritis dalam penentuan formula mi basah yang akan dioptimasi. Rancangan percobaan dalam pembuatan mi jagung basah dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rancangan percobaan penentuan formula mi basah jagung Percobaan Waktu Pengukusan* Volume Air (menit) (ml) 1 10 100* 2 10 75* 3 10 60 4 10 50 5 10 40 6 10 35 7 10 30 8 10 25 9 10 20 * Juniawati (2003) Pengukuran karakteristik mi basah untuk menentukan formula terpilih dilakukan secara visual yang meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi mi (mudah patah atau sudah elastis), keseragaman pembentukan untaian mi dan keseragaman kematangan mi setelah pengukusan. Proses penentuan formula mi basah dapat dilihat pada Gambar 9.
Pembuatan Mi Basah Pengukuran Karakteristik Secara Kualitatif Pemilihan Formula Optimasi Disain Proses Formula Terpilih Analisis Karakteristik Mi Basah Mi basah dengan Formula dan Disain Proses Optimal Gambar 9. Penentuan formula mi basah
4. Optimasi Desain Proses Mi Basah Jagung Optimasi desain proses dilakukan pada formula mi basah jagung terpilih. Desain proses pembuatan mi basah jagung ditekankan pada waktu pengukusan. Lamanya waktu pengukusan akan mempengaruhi tingkat kecukupan gelatinisasi untuk membentuk massa adonan. Selain itu, waktu pengukusan juga akan berpengaruh terhadap jumlah energi yang akan digunakan. Waktu pengukusan yang dioptimasi bervariasi antara 3-10 menit. Parameter yang diamati pada tahap ini meliputi elongasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), kekerasan dan kelengketan mi matang (mi basah jagung setelah perebusan).
5. Analisis Produk Analisis Sifat Fisik a. Derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan (Birch et al., 1973) b. Persen elongasi mi basah matang menggunakan Rheoner c. Kekerasan dan kelengketan mi basah matang menggunakan Texture Analyzer TAXT-2
d. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking Loss ( metode Oh et al., 1985) Analisis Sifat Kimia a. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995) b. Analisis kadar abu, metode oven (AOAC, 1995) c. Analisis kadar lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1995) d. Analisis kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC, 1995) e. Analisis kadar karbohidrat (by difference) C. Metode Pengamatan Analisis Sifat Fisik a. Penentuan suhu gelatinisasi dan viskositas tepung jagung, metode amilograf (AACC, 1983) Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam botol gelas yang volumenya 500 ml air ditambah dengan 400 ml air aquades, diaduk selama 5 menit dengan pengaduk, kemudian dipindahkan ke mangkuk amilograf yang sebelumnya telah dipasang pada alat. Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 50 ml aquades, lalu air bilasan dituangkan ke mangkuk amilograf. Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75 rpm, sambil suhunya dinaikkan mulai dari 30oC sampai 90oC dengan kenaikan 1.5oC, lalu diturunkan sampai suhu 50oC dengan laju penurunan yang sama. Perubahan viskositas pasta dicatat secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan Brabender Unit (BU). Grafik (amilogram) yang diperoleh dapat diinterpretasikan menjadi 3 parameter, yaitu: 1) Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik. Suhu awal gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5) oC
2) Suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan berikut : Suhu puncak gelatinisasi = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5) oC 3) Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). b. Analisis warna tepung jagung, metode Hunter (Hutching,1999) Sampel (tepung jagung) ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0- (-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0- (70) untuk warna biru). c. Analisis derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan (Birch et al., 1973) Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0-100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan merebus 5 g tepung jagung dalam 100 ml air hingga menjadi bening sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi adalah suspensi 5 g tepung jagung didalam 100 ml air. Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi 100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%.
Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masing-masing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan distirer kembali selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B. Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa : Y = a + bX Variabel Y merupakan nilai absorbansi, variabel X merupakan derajat gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta. Absorbansi sampel (adonan tepung setelah pengukusan) diukur dengan metode yang sama seperti pengukuran sampel kurva standar. Selanjutnya
penghitungan
derajat
gelatinisasi
dilakukan
dengan
menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar. d. Analisis persen elongasi mi basah menggunakan rheoner Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mi yang akan diukur kekerasan dan elastisitasnya. Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gf / 0,25 cm), test speed 1 mm/s, dan chart speed 40
mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (kgf) dan waktu (s). Cara perhitungan : ¾ Persen elongasi b = lebar kurva (mm) x 1.5 c = (a2 + b2) ½, dimana a = 12 mm Δ L = (2 xc) – 24 % elongasi = (Δ L/ 24) x 100% e. Analisis kekerasan dan kelengketan mi basah menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Kekerasan dan kelengketan dinyatakan dalam satuan gram force (gf). Seting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran kekerasan produk ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaturan texture analyzer dalam pengukuran kekerasan dan kelengketan mi basah Parameter Setting Pre test speed Test speed Post test speed Rupture test distance Distance Force Time Count
2.0 mm/s 0.1 mm/s 10.0 mm/s 75% 20.0 mm 100 g 5 sec 2
Seuntai sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gF). Profil tekstur mi dapat dilihat dengan membandingkan kemiringan kurva yang dihasilkan. Kurva yang landai menunjukkan bahwa mi relatif
kompressibel, sedangkan kurva yang curam menunjukkan bahwa mi relatif rigid. f. Pengukuran kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) / cooking loss (Oh et al., 1985) Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: KPAP = 1 -
berat sampel setelah dikeringkan berat awal (1- kadar air contoh)
x 100%
Analisis Sifat Kimia a. Analisis kadar amilosa, metode IRRI (AOAC, 1995) Pembuatan kurva standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera. Selanjunya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1,2,3,4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pengukuran intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Penetapan sampel Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung kemudian ditambah dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk kemudian dipindahkan ke dalam labu
takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera dengan aquades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Tahap selanjutnya adalah
pengukuran
intensitas
warna
yang
terbentuk
dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. b. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100oC hingga diperoleh berat yang konstan 6 jam atau lebih). Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus : Kadar air (% b.b) = (berat awal – berat akhir) x 100 % berat awal
c. Analisis kadar abu, metode oven (AOAC, 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus : Kadar abu (% b.b) = berat abu (gram) x 100 % berat sampel (gram)
d. Analisis kadar lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC, didinginkan, dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet), yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana). Reflux dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1000C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus : Kadar lemak (%b.b) = berat lemak (gram) x 100 % berat sampel (gram) e. Analisis kadar protein, metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4 , 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dedngan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2%dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Ditambah larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml, kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan
sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara
yang
sama.
Perhitungan
kadar
protein
dilakukan
menggunakan rumus : Kadar N (%) = (ml HCl – ml blanko) x N x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (%b.b) = % N x faktor konversi (6.25)
f. Analisis kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L) Keterangan :
P KA A L
= = = =
kadar protein (%) kadar air (%) kadar abu (%) kadar lemak (%)
dengan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Tepung Jagung Jagung merupakan jenis serealia yang memiliki ukuran biji terbesar diantara jenis serealia lainnya. Selain itu, karakteristik biji jagung yang keras menyebabkan biji jagung lebih sulit diolah menjadi tepung. Penggilingan biji jagung menjadi tepung umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Perbedaan kedua cara penggilingan ini terletak pada penggunaan air untuk mempermudah proses penggilingan. Menurut Suprapto (1998), penggilingan kering (dry process) umumnya dilakukan dalam skala besar. Jagung Srikandi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung merupakan jagung QPM (Quality Protein Maize). Jagung ini dipilih karena kualitas proteinnya yang tinggi dan saat ini penanaman jagung ini sedang digalakkan oleh Departemen Pertanian. Jagung Srikandi memiliki bentuk biji mirip dengan jagung mutiara. Gambar jagung Srikandi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Jagung varietas Srikandi Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk memisahkan endosperm dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit (perikarp) dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung. Kandungan kimia terbesar endosperm adalah
pati (karbohidrat) sehingga endosperm yang merupakan komponen utama dalam pembuatan tepung jagung dapat berfungsi sebagai sumber energi. Pemisahan kulit dan tip cap bertujuan agar tepung jagung yang dihasilkan tidak memiliki tekstur yang kasar, sedangkan pemisahan lembaga dilakukan agar tepung jagung yang dihasilkan tidak cepat tengik. Menurut Johnson (1991), bagian lembaga jagung memiliki kandungan lemak terbesar yaitu sebesar 33,2%. Untuk mempermudah penggilingan, biasanya dilakukan perendaman selama 6-12 jam pada jagung kering pipil untuk memperlunak tekstur jagung. Pembuatan tepung jagung pada penelitian ini dilakukan dengan metode penggilingan kering. Metode yang digunakan berdasarkan pada metode penepungan jagung yang telah dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan dua kali. Penggilingan pertama dilakukan dengan menggunakan multi mill (hammer mill). Prinsip kerja alat ini adalah gaya pukul yang diberikan oleh pin mesin pada sampel dengan kecepatan yang tinggi secara berulang. Hal ini akan menyebabkan biji jagung terbelah sehingga lebih mudah untuk memisahkan bagian – bagian biji jagung. Proses penepungan jagung kemudian dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap (degerminasi). Proses perendaman dan pencucian biji jagung ini merupakan tahapan proses yang disesuaikan dengan peralatan yang ada. Secara tidak langsung, proses degerminasi dengan menggunakan air lebih merugikan sebab meningkatkan biaya produksi. Untuk skala industri, proses degerminasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hembusan angin. Lembaga dan kulit ari yang memiliki densitas lebih kecil dibandingkan grits (endosperma) akan terdorong oleh angin dan kemudian dihisap dan dipisahkan. Grits jagung (endosperma) hasil pencucian dikeringkan secukupnya agar lebih mudah digiling kedalam bentuk tepung. Penggilingan kedua menggunakan discmill dilakukan untuk memperkecil ukuran grits jagung menjadi tepung. Mesin discmill terdiri atas feeder, cakram (dinamis dan statis) serta pin. Prinsip kerja discmill adalah gaya pukul antara pin pada cakram
dengan sampel. Pengayakan 80 mesh bertujuan untuk menyesuaikan ukuran tepung jagung dengan standar tepung yang ada yaitu sekitar 75 mesh. Hasil penepungan jagung pipil kering dengan menggunakan metode Juniawati menunjukkan rendemen tepung jagung yang tidak terlalu besar (35%). Besar kecilnya rendemen tepung jagung yang dihasilkan disebabkan oleh perbedaan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung. Juniawati (2003) menggunakan jagung varietas Arjuna yang termasuk kategori semi mutiara sedangkan jagung Srikandi (QPM) termasuk dalam kategori jagung mutiara. Menurut Hoseney (1998), jagung mutiara memiliki kandungan endosperma keras yang lebih banyak dibandingkan jenis jagung lain sehingga akan lebih sulit dijadikan tepung. Untuk meningkatkan rendemen tepung jagung yang dihasilkan, perlu dilakukan modifikasi terhadap proses penggilingan biji jagung. Modifikasi proses dilakukan pada tahapan pengayakan tepung jagung menjadi 80 mesh. Menurut Rooney dan Sergio (2003), tepung yang dihasilkan dari jagung memiliki ukuran kurang dari 0,191 mm atau setara dengan 75 mesh. Sehingga modifikasi proses dengan pengayakan 80 mesh masih dapat menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik yang ditentukan. Modifikasi proses yang dilakukan pada tahapan pengayakan dapat meningkatkan rendemen tepung jagung menjadi 40%. Gambar 11 menunjukkan proses penepungan jagung yang dilengkapi dengan kesetimbangan massa pada setiap tahapan proses. Diagram alir kesetimbangan massa ini diperlukan untuk mengukur rendemen yang dihasilkan serta untuk melihat tahapan proses yang memiliki nilai penyusutan rendemen terbesar. Gambar 11 menunjukkan bahwa pengurangan massa terbesar terjadi pada saat proses pencucian yaitu sebesar 2,5 kg. Proses pencucian dan perendaman bertujuan untuk memisahkan grits (endosperm) dengan lembaga dan kulit serta memperlunak jaringan endosperm jagung agar lebih mudah digiling kedalam bentuk tepung. Lembaga, kulit ari dan tip cap memiliki berat sekitar 20% dari berat jagung kering pipil. Pemisahan ketiga bagian biji tersebut tentunya berpengaruh terhadap rendemen tepung jagung yang dihasilkan. Selain itu, penghilangan bagian – bagian biji selain
endosperm juga dapat mempengaruhi kandungan gizi tepung jagung yang dihasilkan. Soraya (2006) melakukan proses penepungan jagung dengan metode penggilingan basah. Pada metode penggilingan basah, proses penepungan jagung dilakukan dengan menggunakan penggiling batu yang ditambahkan air secara kontinyu. Proses penepungan ini memang lebih aplikatif di masyarakat tetapi tepung jagung yang dihasilkan akan memiliki kadar air yang tinggi (sekitar 50%) sehingga lebih cepat rusak dan memiliki umur simpan yang pendek. Oleh karena itu, proses penepungan jagung untuk skala besar akan lebih efektif dilakukan dengan metode penggilingan kering dengan beberapa modifikasi proses tertentu khususnya tahapan proses degerminasi. Jagung kering pipil (10 kg)
Penggilingan I (multimill)
Tepung kasar (1,5 kg)
Grits, lembaga, tip cap dan kulit ari (8,5 kg) Pencucian, perendaman, dan pengeringan
Sebagian lembaga, tip cap dan kulit ari (2,5 kg)
Penggilingan II (discmill)
Tepung kasar dan sebagian lembaga (0,5 kg)
Pengayakan (80 mesh)
Endosperma keras (1,5 kg)
Grits / endosperma (6 kg)
Tepung 60 mesh (5,5 kg)
Tepung jagung 80 mesh (4 kg)
Gambar 11. Diagram kesetimbangan massa proses penepungan jagung
2. Karakterisasi Bahan Baku a. Warna tepung jagung Tepung jagung yang dihasilkan memiliki warna putih kekuningan (Gambar
10).
menggunakan
Secara
kuantitatif,
kromameter
dengan
warna
tepung
menggunakan
jagung
diukur
metode
Hunter
(Hutching, 1999). Pengukuran warna tepung jagung menggunakan metode ini akan memberikan tiga parameter pengukuran yaitu nilai L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel, semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel akan menunjukkan nilai L yang mendekati 0.
Gambar 12. Tepung jagung varietas Srikandi (80 mesh) Nilai a dan nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah hijau. Bila nilai a positif menunjukkan bahwa sampel cenderung berwarna merah sebaliknya bila nilai a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Sama halnya dengan pengukuran nilai a, nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran biru kuning. Bila nilai b positif menunjukkan bahwa sampel berwarna kuning dan sebaliknya bila nilai b bernilai negatif maka sampel berwarna biru. Tabel 9 menunjukkan bahwa tepung jagung varietas Srikandi memiliki nilai rata-rata L, a, dan b berturut-turut sebesar 62,30; 2,98; dan 7,89. Data pengukuran warna tepung jagung menunjukkan bahwa tepung jagung yang digunakan sebagai bahan baku mi basah memiliki
karakteristik cerah dan berwarna merah kekuningan. Hal ini diakibatkan oleh kandungan pigmen karotenoid pada biji jagung (Johnson, 1991). Tabel 9. Hasil pengukuran warna tepung jagung Ulangan Pengukuran L 1 63,61 2 63,62 1 3 63,62 1 62,99 2 2 62,97 3 62,98 Rata-rata 62,30
a +2,99 +2,96 +2,94 +2,99 +3,00 +3,00 +2,98
b +7,84 +7,85 +7,86 +7,92 +7,93 +7,93 +7,89
Warna kuning pada tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap warna mi yang dihasilkan. Lebih lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu mengingat tidak diperlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi matang yang berwarna kuning. Warna kuning pada mi basah jagung disebabkan oleh pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung (Inglett, 1970). Xantofil termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil (Winarno, 1997). b. Suhu gelatinisasi dan viskositas tepung jagung (Brabender Amylograf) Uji amilograf dilakukan untuk mengukur tingkat gelatinisasi. Tiga parameter penting yang diukur dalam uji amilograf adalah suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas maksimum. Suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Nilai viskositas maksimum yang dihasilkan pada pengukuran ini dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1,50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu
awal yang digunakan pada saat pengukuran. Sedangkan suhu puncak gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kenaikan kurva mencapai maksimum dikalikan dengan kenaikan suhu (1,50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran adalah 300C. Kurva amilogram menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi pada ulangan pertama berturut-turut adalah 28 dan 42 menit sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi pada ulangan kedua berturut-turut adalah 29 dan 43 menit. Uji amilograf dilakukan terhadap sampel tepung jagung yang telah diayak 80 mesh. Sampel ditimbang sebanyak 45 gram dan dilarutkan dalam 450 ml air aquades. Suhu awal pemanasan diatur pada suhu 30oC sedangkan suhu akhir 97oC. Hasil uji berupa kurva amilogram dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2, sedangkan data pengukuran parameter amilograf dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil uji amilograf tepung jagung Ulangan
SAG (oC)
1 72,0 2 73,5 Rata-rata 72,75 Keterangan : SAG : Suhu awal gelatinisasi SPG : Suhu puncak gelatinisasi BU : Barbender Unit
SPG (oC) 93,0 94,5 93,75
Viskositas Maksimum (BU) 600 615 607,5
Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi tepung jagung yaitu 72 oC untuk ulangan pertama dan 73,5 oC untuk ulangan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan tepung jagung pada kisaran suhu 72 oC hingga 73,5 oC sudah cukup untuk memulai proses gelatinisasi. Suhu awal gelatinisasi ditandai dengan mulai menaiknya kurva pada amilogram yang awalnya berbentuk garis mendatar.
Nilai suhu gelatinisasi tepung jagung berada diatas kisaran suhu gelatinisasi pati jagung yaitu antara 61 oC hingga 72 oC (Fennema, 1985). Tepung jagung memiliki komposisi yang lebih lengkap dibandingkan dengan pati jagung termasuk kandungan protein dan lemak. Menurut Lorenz dan Karel (1991), protein dan lemak pada bahan pangan dapat membentuk lapisan yang melingkupi pati sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk menggelatinisasi pati. Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan suhu gelatinisasi. Pemanasan yang terus diberikan pada suspensi tepung dengan air akan menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva yang menaik. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati mengembang akibat menyerap air (pasting). Pemanasan terus dilanjutkan hingga suhu 97 oC dan pada suatu titik tertentu akan terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh lepasnya molekul amilosa dari pati. Fenomena ini disebut dengan shear thinning (Hoseney, 1998). Hasil uji amilograf menunjukkan bahwa suhu puncak gelatinisasi tepung jagung sebesar 93 oC pada ulangan pertama dan sebesar 94,5 oC pada ulangan kedua. Nilai suhu puncak gelatinisasi rata-rata tepung jagung berada pada suhu 93,75 oC dengan nilai viskositas maksimum rata-rata sebesar 607,5 BU. c. Karakteristik kimia tepung jagung Pengujian
terhadap
karakteristik
kimia
dilakukan
untuk
mengetahui nilai kandungan gizi tepung jagung sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi basah. Sifat kimia tepung jagung yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar amilosa. Komposisi kimia tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis proksimat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tepung jagung yang dihasilkan masih memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi (6,52%) dan rendah akan lemak (1,03%). Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi (pemisahan lembaga) pada waktu proses penepungan. Lembaga merupakan bagian biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan.
Tabel 11. Karakteristik kimia tepung jagung varietas Srikandi Parameter
Tepung
Tepung
Jagung
a
jagung
Jagung Srikandi* (kering panen)
Kadar air (%)
8,70
10,9
9,86
Kadar abu (%)
0,33
0,4
1,61
Kadar protein (%)
6,52
5,8
10,50
Kadar lemak (%)
1,03
0,9
5,67
83,42
82,0
72,36
29,52
-
-
Kadar karbohidrat (%) (by difference) Kadar amilosa (%) Keterangan : a
: Juniawati (2003)
* Jagung Srikandi kering panen didapatkan dari Balai Penelitian Biotropika, Cimanggu, Bogor.
Jagung yang digunakan pada penelitian ini merupakan jagung Quality Protein Maize (QPM). Menurut Balitbang Pertanian (2005), jagung Srikandi yang termasuk kedalam jenis jagung QPM memiliki kandungan protein lebih dari 10%. Meskipun demikian, kandungan protein yang dikandung oleh tepung jagung pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 10% (6,52%) tetapi lebih besar dibandingkan kandungan protein pada tepung jagung Juniawati (2003). Jumlah kandungan protein tepung jagung yang lebih rendah dibandingkan jagung kering panen dapat disebabkan adanya kehilangan sebagian komponen
pada saat proses penepungan. Gambar 11 (diagram kesetimbangan massa) menunjukkan bahwa bagian lembaga, kulit dan tip cap biji jagung sengaja dipisahkan dari tepung jagung. Padahal bagian – bagian biji jagung tersebut berpengaruh terhadp kandungan gizi biji jagung secara keseluruhan. Menurut Johnson (1991), bagian lembaga biji jagung dapat mengandung protein hingga 18,4%. Sehingga pemisahan lembaga dalam proses penepungan jagung akan mempengaruhi kandungan protein pada tepung jagung yang dihasilkan. Kandungan amilosa tepung jagung sebesar 29,52% (b.k). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan data kadar amilosa jagung seperti yang diungkapkan oleh Bellitz dan Grosch (1999). Menurut Bellitz dan Grosch (1999), kandungan amilosa pada jagung sebesar 28%. Perbedaan nilai amilosa dapat disebabkan oleh perbedaan varietas jagung. Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mi non-terigu karena dapat memiliki daya ikat yang lebih kuat (Kim et al., 1996).
3. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung Mi basah berbahan baku tepung jagung merupakan produk baru yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Prinsip pembuatan mi basah berbahan baku tepung jagung pada dasarnya sama dengan pembuatan mi basah berbasis terigu. Namun, tepung jagung tidak memiliki protein gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang lengket dan elastis dengan penambahan air. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan mi basah dari tepung jagung diperlukan adanya proses pengukusan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, elastis tetapi tidak lengket sehingga adonan dapat dicetak dalam bentuk lembaran mi. a. Desain Proses Mi Basah Jagung Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing,
slitting, dan cutting) dan perebusan. Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mi. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk gumpalan. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan yang terbentuk tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin sedangkan protein total endosperm dalam gandum sebagian besar terdiri atas gliadin dan glutenin yang merupakan jenis protein yang mempunyai sifat mampu membentuk massa yang elastic-cohesive dengan penambahan air. Walaupun demikian, proses pengukusan hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila tepung telah mengalami gelatinisasi sempurna maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket. Gambar 13 menunjukkan adonan tepung setelah pengukusan. Bila dibandingkan dengan adonan tepung sebelum pengukusan (Gambar 12) terlihat bahwa adonan tepung setelah pengukusan berukuran relatif lebih besar. Hal ini dapat disebabkan oleh masuknya air kedalam granula pati yang berakibat pembengkakan pati (starch swelling). Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996) pembengkakan pati (swelling) merupakan salah satu tahapan yang terjadi dalam proses gelatinisasi pati. Proses gelatinisasi diawali dengan pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati akan berpengaruh terhadap massa adonan. Dalam pembuatan mi basah jagung, proses pengukusan merupakan tahapan yang paling kritis karena tahap ini akan mempengaruhi jumlah pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat adonan.
Gambar 13. Adonan tepung setelah pengukusan Proses pencetakan merupakan tahapan yang dilakukan untuk membentuk untaian-untaian mi dengan karakter yang diinginkan. Beberapa karakter mi yang diinginkan antara lain : memiliki ukuran diameter 1,5 mm; tidak lengket; tidak ada noda dan seragam. Proses pencetakan ini terdiri atas tiga tahap yaitu pembentukan lembaran adonan tepung jagung yang telah dikukus, pembentukan dan pemotongan untaian mi. Ketiga proses ini biasanya dilakukan dalam satu alat. Dalam rangka penggandaan skala, tahapan yang perlu diperhatikan pada saat proses pencetakan adalah proses pembentukan lembaran. Pembuatan mi basah dalam skala yang lebih besar tentunya menggunakan proses yang kontinyu sehingga perlu ada standar operasi yang teratur. Dalam penelitian ini, proses pembentukan lembaran untuk mencapai tingkat ketebalan lembaran mi yang diinginkan masih kurang seragam. Oleh karena itu, diperlukan suatu tahapan proses yang dapat membantu proses pembentukan lembaran mi. Tahapan tersebut adalah proses pengulian adonan setelah pengukusan. Proses pengulian adonan akan memeratakan air ke dalam seluruh adonan sehingga adonan akan lebih mudah dibentuk.
Gambar 14. Proses pencetakan lembaran mi Adonan setelah pengukusan akan masuk ke dalam roll press yang akan mengubah adonan menjadi bentuk lembaran-lembaran (Gambar 14). Saat pengepresan, adonan akan ditarik ke satu arah sehingga seratnya sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan, kekenyalan dan elastisitas mie (Fadlillah, 2005). Adonan dapat ditekan berulang-ulang dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan. Menurut Hou dan Kruk (1998) untaian mi basah memiliki ukuran diameter 1,5 mm. Lembaran yang tipis selanjutnya masuk ke mesin pencetak mie (slitter) yang berfungsi mencetak lembaran mie menjadi untaian mie (Gambar 15). Kemudian untaian mi yang terbentuk dipotong sesuai dengan panjang yang diinginkan (cutting). Tahapan ini akan menghasilkan mi mentah. Mi mentah yang dihasilkan dapat ditaburi dengan tepung untuk menjaga kelembaban mi sehingga tidak cepat menjadi kering.
Gambar 15. Proses pencetakan untaian mi Untaian mi yang sudah diperoleh harus segera dimatangkan dengan cara perebusan. Penundaan perebusan dapat menyebabkan untaian mi menjadi keras dan kering akibat dari proses retrogradasi. Retrogradasi merupakan istilah bagi perubahan kondisi larutan pati dari terdisosiasi menjadi terasosiasi selama proses pendinginan yang menyebabkan penurunan kelarutan molekul pati. Perebusan merupakan proses yang bertujuan untuk mematangkan mi mentah. Selama perebusan, mi mentah akan mengalami proses gelatinisasi sempurna sehingga tekstur mi akan menjadi lebih lunak, kenyal dan elastis. Menurut Hou dan Kruk (1998), proses perebusan biasanya dilakukan antara 45-90 detik. Mi yang telah direbus, direndam dengan air dingin selama sepuluh detik. Perendaman ini diperlukan untuk mengurangi kelengketan antar untaian mi. Mi matang kemudian dilapisi dengan minyak goreng (vegetable oil) sebanyak 1-2% (dari berat mi matang) untuk mencegah kelengketan antar untaian mi.
b. Penentuan Formula Mi Basah Jagung Tahapan ini merupakan penentuan formula dasar yang akan dioptimasi dalam pembuatan mi jagung basah. Formula yang dijadikan dasar pembuatan mi basah diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003). Secara garis besar, kesempurnaan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kadar air dan suhu proses (Muchtadi et al., 1988). Berdasarkan teori ini maka tahapan pertama yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah mengetahui jumlah penambahan air yang diperlukan untuk mencapai tingkat gelatinisasi tertentu tanpa membuat adonan menjadi lengket. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi jagung basah adalah tepung jagung, air, garam 1% dan baking powder 0,3%. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Budiyah, 2005). Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga adonan tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2002). Baking powder merupakan Na2CO3:K2CO3 (2:1) mix. Baking powder dapat memperhalus tekstur mi yang dihasilkan. Untuk keseragaman, tepung jagung yang digunakan dalam setiap adonan sebanyak 100 gram. Penambahan air dilakukan mulai dari 20% hingga 60% terhadap berat tepung jagung. Sebagai pembanding digunakan penambahan air 75% dan 100% (dari berat tepung jagung) yang merupakan
formula
Juniawati
(2003).
Lama
pengukusan
untuk
membentuk adonan yang kohesif-elastis adalah 10 menit. Penentuan waktu pengukusan ini merupakan verifikasi terhadap formula Juniawati. Penambahan air dengan jumlah yang berbeda pada tepung jagung akan menyebabkan adonan tepung memiliki tingkat kekentalan yang berbeda pula. Namun, untuk setiap penambahan air mulai dari 20% hingga 100% (terhadap berat tepung) belum dapat dihasilkan massa adonan yang dapat dicetak dalam bentuk lembaran mi. Proses pengukusan akan menyebabkan suspensi tepung dengan air yang ditambahkan mengalami proses gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi, granula pati tepung jagung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Pati yang telah tergelatinisasi mampu bertindak sebagai zat pengikat sehingga adonan tepung jagung dapat dibentuk menjadi lembaran mi. Pengukuran karakteristik mi basah untuk menentukan formula terpilih berdasarkan jumlah air yang ditambahkan dilakukan secara visual
yang meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi mi (sifat adonan), keseragaman pembentukan untaian mi dan keseragaman kematangan mi setelah perebusan. Menurut Hou dan Kruk (1998), evaluasi karakteristik mi umumnya dititikberatkan pada tiga hal pokok yaitu proses pembuatan, warna dan tekstur mi. Pengukuran terhadap proses pembuatan mi meliputi proses pencampuran, pembentukan lembaran mi hingga proses perebusan mi matang. Standar pengukuran terhadap karakteristik mi secara visual dapat dilihat pada Tabel 12. Kriteria pengukuran sifat mi pada Tabel 12 menjadi dasar dalam penentuan formula untuk optimasi proses mi basah. Pengukuran yang dilakukan pada penelitian ini meliputi sifat adonan mi dan kemudahan pembentukan lembaran mi (sheeting), proses pembentukan untaian mi (slitting) dan proses perebusan mi mentah menjadi mi matang (parboiling). Sifat adonan mi yang terbentuk setelah pengukusan tergantung pada tingkat gelatinisasi suspensi tepung jagung dan air yang ditambahkan. Sifat adonan tepung jagung setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 12. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual* Proses Kriteria Pengukuran Adonan seragam; mampu menyerap air secara optimal Mixing Lembaran mi mudah dibentuk; permukaannya halus, tidak Sheeting bergaris-garis dan tidak ada noda Ukurannya seragam dan sesuai; tersisir dengan baik; Slitting bentuknya bagus Memiliki derajat gelatinisasi yang baik; tidak lengket Steaming Rendah cooking loss (kehilangan padatan akibat pemasakan) Parboiling * Hou dan Kruk (1998) Formula tepung jagung terpilih diharapkan memiliki karakteristik adonan yang baik seperti lembaran mi yang halus dan mudah dibentuk, untaian mi yang seragam dan cooking loss yang rendah. Tabel 13 menunjukkan karakteristik adonan setelah pengukusan dengan jumlah penambahan air yang berbeda. Jumlah air yang ditambahkan akan membantu terjadinya proses gelatinisasi dalam membentuk adonan.
Penambahan air sebanyak 100 ml akan menyebabkan lembaran mi menempel (lengket) pada roller (pembentuk lembaran mi). Selain itu, mi matang yang dihasilkan pun mudah hancur. Kelengketan adonan tepung berkurang seiring dengan pengurangan jumlah air yang ditambahkan. Pada penambahan air sebanyak 20 ml adonan tepung tidak lengket lagi pada roller tetapi adonan lebih sulit dibentuk menjadi lembaran. Kelengketan adonan dan kemudahan pembentukan lembaran mi ditentukan oleh jumlah air yang ditambahkan pada tepung agar terjadi proses gelatinisasi selama proses pengukusan. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit maka proses gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik (adonan sulit dibentuk). Namun, bila penambahan air terlalu banyak maka pada saat pengukusan adonan menjadi
terlalu matang
(overcooked). Adonan yang terlalu matang menyebabkan lembaran mi yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa adonan tepung dengan karakteristik terbaik terdapat pada formula dengan penambahan air 30 ml. Adonan yang dihasilkan pada penambahan air 30 ml memiliki sifat mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam. Selain itu, mi yang dihasilkan memiliki kadar air sekitar 30,94%. Kandungan kadar air pada mi ini sesuai dengan persyaratan pada SNI 01-2987-1992 yang menyebutkan bahwa mi basah mentah memiliki kandungan air antara 25-30%. Tabel 13. Sifat adonan tepung jagung hasil pengukusan Kadar Tepung Penambahan air mi Karakter Adonan Mi jagung air (ml) mentah (secara visual) (gram) (%) Lembaran mi menempel di roller pada ketebalan 1,8 mm, sangat lengket 100 100 52,88 Mi mentah sangat lengket, setelah perebusan 2 menit mi mudah hancur
100
75
49,76
100
60
44,52
100
50
40,27
100
40
36,68
100
35
32,69
100
30
30,94
100
25
27,87
100
20
24,64
Lembaran mi masih menempel di roller pada ketebalan 1,8 mm Mi mentah masih lengket, setelah perebusan 2 menit, mi masih mudah hancur Lembaran mi menempel di permukaan roller pada ketebalan 1,5 mm, basah/lengket Mi mentah tidak tersisir / ter-slitting dengan baik Lembaran mi masih basah, menempel di permukaan roller pada ketebalan 1,5 mm Mi mentah tidak tersisir dengan baik, elastis Mi matang masih hancur Lembaran mi halus, mudah terbentuk, agak basah, menempel di ketebalan 1,5 mm Mi mentah tidak tersisir dengan baik, elastis Mi matang tidak hancur, lengket Lembaran mi mudah dibentuk, menempel pada ketebalan 1,5 mm Mi mentah agak elastis, tidak tersisir dengan baik. Mi matang tidak hancur Lembaran mi halus, mudah dibentuk, tidak menempel pada ketebalan 1,5 mm Mi mentah tersisir dengan baik, agak keras Mi matang tidak hancur, lebih elastis Lembaran mi halus, agak sulit dibentuk, tidak menempel pada ketebalan 1,5 mm Mi mentah tersisir dengan baik, agak keras Mi matang tidak hancur Lembaran mi sulit dibentuk, keras Mi mentah tersisir dengan baik, keras Mi matang tidak hancur
4. Optimasi Desain Proses Mi Basah Jagung Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan penting pada pengukusan adonan adalah kecukupan tingkat gelatinisasi agar terbentuk adonan yang kalis, elastis, kohesif, dan mudah dicetak menjadi mie. Untuk memenuhi hal tersebut, maka dilakukan optimasi pengukusan adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Selain itu, optimasi waktu pengukusan dapat menghasilkan mi dengan karakter yang baik tetapi mengeluarkan energi seefisien mungkin. Optimasi waktu pengukusan dilakukan pada formulasi terpilih pada tahapan sebelumnya. Formula yang akan dioptimasi dapat dilihat pada Tabel 14 sedangkan rancangan percobaan optimasi waktu pengukusan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 14. Formula dasar mi basah jagung Bahan / Proses Tepung Jagung Air Garam Baking Powder
Jumlah 100 gram 30 ml 1 % (1 gram) 0,3 % (0,3 gram)
Tabel 15. Rancangan percobaan penentuan formula mi basah jagung Percobaan Volume Air (ml) Waktu Pengukusan (menit) 1 30 3 2 30 3 3 30 5 4 30 5 5 30 7 6 30 7 7 30 10 8 30 10 Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu pengukusan yang optimal agar dapat dihasilkan adonan yang mudah dibentuk kedalam lembaran mi. Waktu pengukusan yang akan dioptimasi bervariasi mulai dari 3 menit hingga 10 menit. Menurut Juniawati (2003), waktu pengukusan adonan tepung jagung dalam pembuatan mi instan yang lebih dari 10 menit menyebabkan adonan tepung yang dihasilkan lengket. Variabel penelitian waktu pengukusan
(3, 5, 7 dan 10 menit) diambil dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik mi yang dihasilkan.
Pengukuran Derajat Gelatinisasi Penentuan derajat gelatinisasi dilakukan berdasarkan pada intensitas warna kompleks antara amilosa dan iodin, namun ini bergantung pada kelarutan pati tergelatinisasi dalam KOH 0,2 N (Birch, et. al., 1973). Waktu pengukusan yang berbeda-beda menyebabkan tingkat gelatinisasi adonan tepung yang dihasilkan pun berbeda. Lebih lanjut, ini dapat berpengaruh pada karakteristik fisik mi yang dihasilkan. Pengukuran derajat gelatinisasi menunjukkan jumlah pati tergelatinisasi yang terbentuk selama proses pengukusan. Pada penelitian ini, nilai derajat gelatinisasi sampel didapatkan dengan memplotkan nilai absorbansi sampel pada kurva standar (Gambar 16). Kurva standar yang dihasilkan memiliki persamaan y = 0,0004x + 0,0102. Variabel y menunjukkan nilai absorbansi sedangkan variabel x menunjukkan derajat gelatinisasi sampel. 0,06
Absorbansi
0,05
0,051
y = 0,0004x + 0,0102
0,04 0,029
0,03
0,021
0,031
0,03
0,02 0,01
0,007
0 0
20
40
60
80
100
120
Derajat Gelatinisasi (%)
Gambar 16. Kurva standar derajat gelatinisasi Tabel 16. Derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan Waktu Derajat Gelatinisasi (%) Pengukusan Ulangan 1 Ulangan 2 (menit) 5 menit 59,5 64,5 7 menit 62 69,5 10 menit 72 64,5
Rata -rata 62 65,75 68,25
Tabel 16 menunjukkan hasil pengukuran derajat gelatinisasi adonan setelah pengukusan dengan waktu yang berbeda-beda. Tabel 16 menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi adonan tepung meningkat seiring lamanya waktu pengukusan. Derajat gelatinisasi adonan tepung dengan pengukusan 5 menit memberikan nilai terkecil (62%) kemudian secara bertahap nilai derajat gelatinisasi meningkat pada adonan tepung dengan pengukusan 7 menit (65,75%) dan 10 menit (68,25%).
Gambar 17. Proses pengukusan adonan Walaupun demikian, analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada derajat gelatinisasi adonan (Lampiran 3). Secara statistik dapat dikatakan bahwa adonan tepung dengan derajat gelatinisasi yang berbeda tidak dipengaruhi oleh lamanya waktu pengukusan. Derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan dapat mempengaruhi karakteristik mi yang dihasilkan. Secara umum, tidak dapat dikatakan bahwa derajat gelatinisasi yang tinggi akan menghasilkan mi dengan karakteristik yang baik. Tingkat/derajat gelatinisasi yang diharapkan (optimum) dalam pengukusan adonan tepung dapat ditentukan dengan mengukur karakteristik mi yang dihasilkan.
5. Pengukuran Karakteristik Mi Basah Pengukuran terhadap karakteristik mi basah belum memiliki standar yang digunakan secara universal (Kruger, 1996). Fenomena ini disebabkan mi basah merupakan produk pangan yang tersebar secara luas di seluruh dunia
dan memiliki ciri khas yang berbeda-beda antar negara. Walaupun demikian, Hou dan Kruk (1998) menyebutkan bahwa pengukuran terhadap karakteristik mi basah yang sering dilakukan meliputi pengukuran terhadap proses pembuatan, tekstur dan warna mi. Mi basah jagung mentah yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras dan mudah patah. Oleh karena itu, pengukuran karakteristik mi hanya dilakukan terhadap mi matang. Pengukuran karakteristik mi basah yang dilakukan pada penelitian ini mencakup elongasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking loss), kekerasan dan kelengketan. Hasil pengukuran terhadap karakteristik fisik mi basah jagung akan dijadikan dasar dalam penentuan formula dan desain proses yang optimal dalam pembuatan mi basah berbahan baku tepung jagung. Selanjutnya akan dilakukan perbandingan karakteristik fisik antara mi basah jagung dengan formula dan desain proses optimal dengan mi basah terigu. Karakteristik mi basah jagung yang dihasilkan dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi adonan tepung pada saat pengukusan. Kim et al. (1996) menyatakan bahwa mi yang terbuat dari tepung selain terigu membutuhkan tahapan proses yang dapat menggelatinisasi pati dalam tepung tersebut. Disebutkan
pula,
derajat/tingkat
gelatinisasi
yang
dihasilkan
akan
mempengaruhi karakteristik mi yang dihasilkan (Kim et al., 1996). Gambar 18 dan 19 menunjukkan hasil pengukuran karakteristik fisik mi basah jagung. Karakteristik-karakteristik fisik yang diukur meliputi elongasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)/cooking loss, kekerasan dan kelengketan. Hou dan kruk (1998) menyatakan bahwa parameter fisik terpenting untuk mi basah adalah elongasi (ekstensibilitas) dan KPAP. Oleh karena itu, mi basah terbaik yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan memiliki nilai elongasi yang tinggi dan cooking loss yang rendah. Nilai kekerasan dan kelengketan mi basah akan berperan sebagai nilai tambah mi yang dihasilkan.
25
nilai pengukuran
20,79 20
20,04
19,78
19,55
18,29
17,79
17,60 14,24
15
Elongasi (%) KPAP (%)
10 5 0 mi jagung 3'
mi jagung 5'
mi jagung 7'
mi jagung 10'
jenis mi
Gambar 18. Grafik pengukuran elongasi dan KPAP mi basah jagung a. Elongasi Elongasi menggambarkan kemampuan mi untuk meregang (memanjang) dari ukuran awal pada saat menerima tekanan dari luar. Pengukuran elongasi dilakukan dengan menggunakan alat rheoner. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Nilai elongasi mi basah jagung mulai dari yang tertinggi berturutturut adalah 20,04% (pengukusan 10 menit); 19,78% (pengukusan 7 menit); 18,29% (pengukusan 3 menit) dan 14,24% (pengukusan 5 menit). Data tersebut menunjukkan bahwa secara umum peningkatan nilai elongasi berbanding lurus dengan semakin lamanya waktu pengukusan. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi. Lebih lanjut, pati tergelatinisasi ini dapat menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan tepung sehingga meningkatkan elongasi mi. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu pengukusan terhadap elongasi mi basah jagung. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa waktu pengukusan tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) pada elongasi mi matang dengan tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 4). Dengan kata lain, uji statistik menerangkan bahwa tidak ada perbedaan elongasi mi basah yang disebabkan oleh waktu pengukusan yang berbeda.
b. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Kehilangan
padatan
akibat
pemasakan
(cooking
loss)
menunjukkan banyaknya padatan dalam mi basah yang keluar atau terlarut ke dalam air selama proses pemasakan (perebusan mi mentah menjadi mi matang). Nilai KPAP dinyatakan sebagai perbandingan berat padatan yang terlepas per berat kering sampel dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Hou dan Kruk (1998) menyatakan bahwa KPAP merupakan parameter terpenting untuk produk-produk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Semakin rendah nilai KPAP mi matang menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Gambar 18 menunjukkan nilai KPAP mulai dari yang tertinggi berturut-turut adalah 20,79% (pengukusan 3 menit); 19,55% (pengukusan 5 menit); 17,79% (pengukusan 10 menit) dan 17,60% (pengukusan 7 menit). Data ini menunjukkan bahwa secara umum waktu pengukusan berbanding terbalik dengan nilai KPAP (semakin lama waktu pengukusan, nilai KPAP semakin kecil). Walaupun demikian, analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa lamanya waktu pengukusan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap nilai KPAP mi basah jagung (Lampiran 5). Mi basah dengan waktu pengukusan adonan 3 menit memiliki nilai cooking loss terbesar. Hal ini diakibatkan oleh nilai derajat gelatinisasi adonan yang juga memiliki nilai terbesar yaitu 88,25%. Nilai derajat gelatinisasi yang tinggi menunjukkan semakin banyak amilosa yang terdispersi dalam air sehingga padatan yang terlarut/keluar ketika proses pemasakan pun akan semakin banyak. Teori ini juga membuktikan bahwa adonan dengan nilai derajat gelatinisasi yang tinggi belum tentu memiliki karakteristik mi yang baik. Mi basah jagung yang memiliki karakteristik KPAP yang rendah ditunjukkan oleh mi dengan waktu pengukusan adonan selama 7 menit. Nilai derajat gelatinisasi adonan dengan waktu pengukusan 7 menit sebesar 65,75% (Tabel 17). Dapat dikatakan bahwa derajat gelatinisasi
yang diharapkan untuk membuat mi jagung dengan karakteristik mi yang baik (nilai KPAP rendah) sebesar 65%. c. Kekerasan dan Kelengketan Kekerasan dan kelengketan mi basah jagung diukur secara instrumental menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force.
Kekerasan
didefinisikan
sebagai
luas
area
positif
yang
menggambarkan besarnya usaha probe untuk menekan mi basah. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva maka nilai kekerasan mi basah jagung akan semakin tinggi pula.
1400
1273,17 1172,93
nilai pengukuran
1200
1089,63
1106,11
1000 800 600
Kekerasan (gf) Kelengketan (-gf)
451,75 341,54
400
288,66
250,13
mi jagung 7'
mi jagung 10'
200 0 mi jagung 3'
mi jagung 5'
jenis mi
Gambar 19. Grafik pengukuran kekerasan dan kelengketan mi basah jagung Gambar 19 menunjukkan nilai kekerasan mulai dari yang tertinggi berturut-turut adalah 1273,17 gf (pengukusan 3 menit); 1172,93 gf (pengukusan 5 menit); 1106,11 gf (pengukusan 10 menit) dan 1089,63 gf (pengukusan 7 menit). Data ini menunjukkan bahwa secara umum waktu pengukusan berbanding terbalik dengan nilai kekerasan (semakin lama waktu pengukusan, nilai kekerasan semakin kecil). Nilai kekerasan mi basah tertinggi ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit. Nilai kekerasan ini akan menurun dengan peningkatan waktu pengukusan. Pada saat terjadinya proses gelatinisasi selama pengukusan, air bebas yang awalnya berada di luar
granula pati akan berdifusi masuk ke dalam pati (Winarno, 1997). Hal ini akan menyebabkan ukuran pati menjadi lebih besar (pembengkakan pati). Air yang masuk kedalam granula pati tidak dapat bergerak bebas karena sudah berada dalam ikatan antar penyusun pati. Semakin lama waktu pengukusan menyebabkan jumlah air yang masuk ke dalam granulagranula pati semakin banyak dan menyebabkan adonan menjadi lebih lunak. Lebih lanjut ini akan menyebabkan nilai kekerasan mi yang dihasilkan semakin kecil. Analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa waktu pengukusan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kekerasan mi basah (Lampiran 6). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai kekerasan mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit menunjukkan nilai terbesar (1273,17 gf) dan nilai kekerasan mi basah dengan pengukusan 7 dan 10 menit tidak berbeda karena berada dalam satu subset yang sama (Lampiran 6). Pengukuran secara instrumental mendefinisikan kelengketan sebagai luas area negatif yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva maka nilai kelengketan mi semakin tinggi. Kelengketan juga berbanding lurus dengan nilai KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan). Menurut Kusnandar (1998), peningkatan KPAP akan diikuti dengan peningkatan kelengketan mi. Mi basah yang dihasilkan diharapkan memiliki nilai kelengketan yang rendah agar memiliki eating quality yang baik. Gambar 19 menunjukkan nilai kelengketan mulai dari yang tertinggi berturut-turut adalah -451,75 gf (pengukusan 3 menit); -341,54 gf (pengukusan 5 menit); -288,66 gf (pengukusan 7 menit) dan -250,13 gf (pengukusan 10 menit). Data ini menunjukkan bahwa secara umum waktu pengukusan berbanding terbalik dengan nilai kelengketan (semakin lama waktu pengukusan, nilai kelengketan semakin kecil). Kandungan amilosa pada permukaan mi matang mempengaruhi kelengketan permukaan mi. Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996),
amilosa yang terlepas dari granula pati dapat menyebabkan kelengketan. Mi basah dengan waktu pengukusan adonan 3 menit memiliki nilai derajat gelatinisasi terbesar (88,25%) yang menunjukkan bahwa banyak amilosa yang keluar dari granula pati. Banyaknya amilosa yang keluar ini dapat menyebabkan kelengketan mi basah. Lebih lanjut, data pada Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai kelengketan mi basah dengan pengukusan 3 menit memiliki nilai kelengketan terbesar (-451,75 gf). Keterangan tersebut sesuai dengan analisis keragaman yang menunjukkan bahwa waktu pengukusan berpengaruh nyata terhadap kelengketan mi basah pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa nilai kelengketan mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit menunjukkan nilai terbesar (-451,75 gf) dan nilai kelengketan mi basah dengan pengukusan 7 dan 10 menit tidak berbeda karena berada dalam satu subset yang sama (Lampiran 7).
6. Optimasi Mi Basah dengan Formula dan Desain Proses Terpilih Hasil pengukuran sifat fisik mi basah matang menunjukkan bahwa waktu pengukusan berpengaruh terhadap karakteristik mi basah matang. Secara lebih rinci, hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama pengukusan berpengaruh terhadap kekerasan dan kelengketan mi matang tetapi tidak berpengaruh terhadap elongasi dan persen kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP).
Gambar 20. Mi basah jagung dengan formula dan desain proses optimal Pengukuran terhadap karakteristik mi basah juga menunjukkan bahwa mi basah dengan pengukusan 7 dan 10 menit memiliki karakteristik mi basah terbaik. Hal ini dapat dilihat karakter mi yaitu nilai elongasi yang tinggi, nilai KPAP yang rendah, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket. Hal ini dapat diartikan bahwa mi basah dengan pengukusan 7 menit (Gambar 20) merupakan mi basah dengan desain proses yang terbaik dalam penelitian ini karena memerlukan energi yang lebih kecil untuk menghasilkan karakteristik mi yang baik. Data pada Tabel 17 merupakan pengukuran lanjutan untuk melihat kestabilan karakteristik mi basah yang dihasilkan berdasarkan formula dan desain proses terpilih. Pengukuran karakteristik mi basah dilakukan sebanyak lima kali ulangan kemudian standar deviasi antar ulangan ditentukan untuk mengetahui tingkat keragaman antar ulangan. Tabel 17. Pengukuran karakteristik mi basah jagung terpilih Kekerasan Kelengketan Elongasi Ulangan (gf) (-gf) (%) 1 1067,6 317,9 14,25 2 1050,8 315,4 25,32 3 934,8 327,8 20,02 4 1094,2 363,2 18,70 5 1078,8 305,7 26,14 Rata-rata 1045,2 326,0 20,90 S. D 63,8 22,2 4,92 % S. D 6,1 6,8 23,56 S. D. : Standar Deviasi antar ulangan % S. D. : Standar Deviasi X 100% rata-rata
KPAP (%) 19,34 15,86 20,38 19,77 17,36 18,5 1,88 10,13
Data pengukuran karakteristik mi basah terpilih (Tabel 17) menunjukkan bahwa pengukuran kekerasan dan kelengketan memiliki persen standar deviasi dibawah 10%. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran antar ulangan sudah memberikan hasil yang cukup seragam. Namun, nilai elongasi dan
KPAP
masih
memiliki
persen
standar
deviasi
diatas
10%.
Ketidakseragaman hasil pengukuran antar ulangan ini dapat diakibatkan oleh ketergantungan nilai KPAP dan elongasi yang tinggi terhadap pati
tergelatinisasi sebagai zat pengikat. Padahal tingkat gelatinisasi dapat berbedabeda selama proses pengukuran. Untuk meningkatkan keseragaman dapat ditambahkan bahan-bahan lain yang dapat memperbaiki sifat adonan seperti guar gum atau CMC. Menurut Fadlillah (2005), penambahan hidrokoloid seperti guar gum dapat memperbaiki tekstur mi dengan berperan sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Soraya (2006) menambahkan bahwa penambahan guar gum dalam adonan mi basah dari tepung jagung dapat memberikan peningkatan karakteristik fisik mi basah yang dihasilkan. Mi basah yang dihasilkan dalam penelitian Soraya (2006) memberikan nilai persen elongasi, resistensi kekerasan, kelengketan, dan KPAP berturut – turut yaitu 14,7%, 9,9 gF, 736,49 gF, 558,48 gF, dan 10,10. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa mi basah optimal yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki nilai elongasi dan kelengketan yang lebih baik tetapi memiliki nilai KPAP dan kekerasan yang lebih jelek dibandingkan mi basah optimal dalam penelitian Soraya (2006).
Analisis Proksimat Mi Basah Terpilih Tabel 18. Karakteristik kimia mi basah jagung terpilih Parameter Mi Jagung Basah (b.k) Kadar air (%) 196 Kadar abu (%) 0,41 Kadar protein (%) 6,45 Kadar lemak (%) 8,20 Kadar karbohidrat (%) (by difference) 85,0 b.k. : berat kering Mi basah jagung terbaik memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 66,20% (b.b). Hal ini disebabkan mi basah yang dihasilkan merupakan mi basah matang yang sudah mengalami proses gelatinisasi sempurna dan sudah menyerap lebih banyak air pada saat proses perebusan. Hou dan Kruk (1998) menyatakan bahwa kandungan air pada mi basah yang sudah dimasak berkisar antara 60-70%. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kandungan air yang cukup tinggi ini menyebabkan umur simpan mi basah matang hanya selama 23 hari.
Kandungan protein dan karbohidrat mi basah jagung terbaik mengalami penurunan jumlah bila dibandingkan dengan kadar protein (6,52%) dan karbohidrat (92,11%) tepung jagung (berdasarkan berat kering). Penurunan jumlah ini disebabkan adanya komponen protein dan karbohdrat yang terdegradasi selama proses pengolahan tepung menjadi mi basah matang. Winarno (1997) menyebutkan bahwa proses pengolahan seperti pemanasan dapat merusak komponen pangan termasuk protein. Di sisi lain, terjadi peningkatan yang cukup besar terhadap kandungan lemak mi basah bila dibandingkan dengan kandungan lemak pada tepung jagung (1,03% b.k). Peningkatan kandungan lemak ini dapat diakibatkan oleh pelapisan minyak goreng pada mi basah setelah proses perebusan untuk mencegah kelengketan antar untaian.
7. Perbandingan Mi Basah Jagung dan Mi Basah Terigu Mi basah jagung memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan mi tersebut dari mi basah terigu. Walaupun demikian, karakteristik mi basah jagung perlu disesuaikan dengan mi basah terigu mengingat masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi mi basah terigu sebagai makanan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam bab ini akan ditampilkan perbandingan antara mi basah jagung dan mi basah terigu mulai dari proses pembuatan mi hingga karakteristik mi yang dihasilkan. Tabel 19 menunjukkan hasil perbandingan mi basah jagung dengan formulasi dan desain proses optimal dengan mi basah terigu. Perbedaan utama antara mi basah jagung dengan mi basah terigu terletak pada proses pembuatan mi. Tepung terigu memiliki protein gluten yang dapat membentuk adonan yang kohesif-elastis dengan penambahan air. Selanjutnya, matriks gluten ini dapat berperan sebagai bahan pengikat bagi bahan-bahan lainnya. Tepung jagung yang tidak memiliki gluten memerlukan proses gelatinisasi untuk membentuk pati tergelatinisasi yang berfungsi sebagai pengikat bahanbahan di dalam adonan. Oleh karena itu, dalam pembuatan mi basah dari tepung jagung diperlukan suatu proses yang dapat menggelatinisasi granula pati di dalam tepung yang diwakili oleh proses pengukusan.
Proses pengukusan menjadi titik kritis dalam pembuatan mi basah jagung. Hal ini disebabkan terutama oleh kecukupan waktu pengukusan untuk mencapai tingkat gelatinisasi yang diinginkan. Tingkat gelatinisasi yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi dapat menyebabkan karakteristik mi basah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lebih lanjut, proses pengukusan ini akan semakin kritis ketika proses produksi mi basah jagung menggunakan bahan baku yang lebih besar (penggandaan skala). Jumlah bahan baku yang besar (> 2 kg) menyebabkan proses pengukusan tidak dapat lagi menggunakan panci pengukus karena proses gelatinisasi tidak akan berlangsung baik. Sehingga perlu disusun suatu alat yang dapat memanaskan adonan tepung dalam jumlah besar secara merata. Prinsip kerja alat pengukus untuk proses scale-up mi basah jagung mirip dengan prinsip kerja exhauster. Sampel disimpan diatas konveyor berjalan yang kemudian masuk ke dalam chamber yang telah terisi dengan uap panas selama waktu tertentu. Sampel adonan tepung yang keluar dari chamber diharapkan telah memiliki tingkat gelatinisasi yang cukup agar mudah terbentuk menjadi lembaran mi. Tabel 19. Perbandingan mi basah jagung dan mi basah terigu Faktor Pembeda Mi Basah jagung Proses Pembuatan
Mi basah Terigu
Pencampuran bahan,
Pencampuran bahan,
Pengukusan,
Pengulian,
Pengulian,
Pencetakan mi,
Pencetakan mi,
Perebusan
Perebusan Warna
Kuning
Putih
Nilai Elongasi
19,78%
98,40%
Nilai KPAP
17,60%
10,84%
Nilai Kekerasan
1089,6 gf
2838,7 gf
Nilai Kelengketan
-288,66 gf
-423,16
Perbedaan
dalam
proses
pembuatan
mi
akan
mempengaruhi
karakteristik mi yang dihasilkan. Tabel 19 menunjukkan bahwa mi basah
jagung memiliki karakteristik mi dibawah mi basah terigu. Hal ini terutama ditunjukkan oleh nilai elongasi yang lebih rendah dan nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang lebih tinggi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa elongasi dan KPAP merupakan faktor terpenting dalam menentukan karakteristik mi. Walaupun demikian, mi basah jagung memiliki nilai kekerasan dan kelengketan yang lebih rendah dibandingkan mi basah terigu. Karakteristik ini tentu berpengaruh terhadap eating quality produk mi pada saat dikonsumsi. Warna kuning pada mi basah jagung merupakan karakteristik khas yang dapat meningkatkan nilai tambah mi basah jagung. Warna kuning pada mi basah jagung menunjukkan bahwa masih terdapat kandungan pigmen karotenoid pada mi. Selain itu, warna kuning juga dapat disebabkan adanya reaksi oleh garam – garam alkali. Keunikan mi basah jagung akan lebih bermanfaat bila penggunaannya disesuaikan dengan segmentasi tertentu. Sebagai contoh, warna mi basah jagung yang kuning dapat menambah daya tarik makanan tradisional seperti soto mi, toge goreng atau mi bakso. Selain itu, pemanfaatan mi basah jagung tentu menunjang upaya diversifikasi pangan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Jagung varietas Srikandi yang merupakan jagung quality protein maize (QPM) dapat digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan mi basah dalam bentuk tepung jagung. Tepung jagung dihasilkan dari proses penggilingan jagung pipil kering (metode penggilingan kering). Perbandingan proses penepungan jagung metode kering dan metode basah (Soraya, 2006) menunjukkan bahwa metode basah menghasilkan rendemen yang lebih besar tetapi memiliki umur simpan produk yang lebih singkat. Rendemen tepung jagung yang dihasilkan dapat mencapai 40% dari berat jagung pipil. Warna tepung jagung yang dihasilkan pada penelitian ini adalah putih kekuningan. Suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi tepung jagung adalah 72,75ºC dan 93,75ºC dengan nilai viskositas maksimum sebesar 607,5 Barbender Unit. Tepung jagung memiliki kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat dan kadar amilosa masing-masing sebesar 8,70%; 0,33%; 6,52%; 1,03%; 92,11% dan 29,52% (berdasarkan berat kering). Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing, slitting, dan cutting) dan perebusan. Penentuan formula mi basah yang akan dioptimasi didasarkan atas jumlah air yang ditambahkan untuk mencapai tingkat gelatinisasi yang diinginkan pada saat pengukusan (pregelatinisasi). Penambahan jumlah air bervariasi mulai dari 20-100% terhadap berat tepung tepung jagung. Pengukuran karakteristik mi basah untuk menentukan formula terpilih berdasarkan jumlah air yang ditambahkan dilakukan secara visual yang meliputi kemudahan adonan untuk dibentuk menjadi mi (sifat adonan), keseragaman pembentukan untaian mi dan keseragaman kematangan mi setelah perebusan. Pada penelitian ini formula mi basah yang akan dioptimasi terdiri atas tepung jagung 100 gram, air 30 ml, garam 1% (1gram), dan baking powder 0,3% (0,3 gram). Adonan yang dihasilkan pada penambahan air 30 ml memiliki sifat mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam.
Optimasi desain proses mi basah dilakukan pada lamanya waktu pengukusan. Waktu pengukusan dioptimasi pada penelitian ini dimulai dari 3, 5, 7 dan 10 menit. Tahapan optimasi desain proses ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mi basah yang meliputi elongasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), kekerasan dan kelengketan. Pengukuran mi basah hanya dilakukan pada mi matang dikarenakan karakteristik mi mentah yang tidak terlalu baik. Hasil
pengukuran
derajat
gelatinisasi
adonan
tepung
setelah
pengukusan menunjukkan nilai mulai dari yang terbesar berturut-turut adalah 88,25% (waktu pengukusan 3 menit), 68,25% (waktu pengukusan 10 menit), 65,75% (waktu pengukusan 7 menit) dan 62% (waktu pengukusan 5 menit). Hasil pengukuran sifat fisik menunjukkan nilai elongasi mi basah berkisar antara 14,24 % (waktu pengukusan 5 menit) hingga 20,05% (waktu pengukusan 10 menit). Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit memberikan nilai terkecil (17,6%) sedangkan mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit memberikan nilai KPAP terbesar (20,8%). Nilai kekerasan mi basah terbesar ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit (1089,63 gf) dan nilai kekerasan mi basah terkecil ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit (1273,13 gf). Kelengketan mi basah memiliki nilai terbesar (-451,75 gf) yang ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 3 menit sedangkan nilai kelengketan paling kecil ditunjukkan oleh mi basah dengan waktu pengukusan 10 menit (-250,13 gf). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa lama waktu pengukusan tidak berpengaruh terhadap persen elongasi dan KPAP (p<0,05) tetapi berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap kekerasan dan kelengketan mi basah matang pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil pengukuran sifat fisik mi basah menunjukkan bahwa mi basah jagung dengan formula dan desain proses terbaik pada penelitian ini adalah mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit. Hal ini didasarkan pada karakteristik mi basah matang yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket, memiliki nilai KPAP yang terkecil dan nilai elongasi yang cukup besar. Perbandingan karakteristik fisik mi basah jagung optimal menunjukkan
bahwa mi yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki persen elongasi dan nilai kelengketan yang lebih baik dibandingkan dengan mi basah optimal hasil penelitian Soraya (2006). Analisis sifat kimia terhadap mi basah jagung terpilih menunjukkan kandungan air, abu, protein, lemak dan karbohidrat berturut-turut sebesar 66% (b.b); 0,41%; 6,45%; 8,20% dan 85,0% (berdasarkan berat kering). Perbandingan karakteristik mi basah jagung optimal dengan mi basah terigu menunjukkan bahwa mi basah terigu memiliki karakteristik fisik yang lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai elongasi yang lebih tinggi dan nilai KPAP yang lebih rendah. B. Saran Jagung dapat digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi basah dalam bentuk tepung jagung. Hal ini semakin memberikan nilai tambah bagi tanaman jagung sebagai salah satu pangan lokal alternatif pengganti beras. Walaupun demikian, mi basah jagung memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan mi basah berbahan baku terigu. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperbaiki karakteristik mi basah jagung khususnya untuk meningkatkan nilai elongasi dan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan. Salah satu cara untuk memperbaiki karakteristik mi basah jagung adalah dengan menambahkan bahan-bahan tambahan seperti guar gum atau CMC dengan konsentrasi tertentu. Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk menyesuaikan proses pembuatan mi basah dalam skala yang lebih besar agar pembuatan mi basah jagung dapat diterapkan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA AACC. 1983. American Association of Cereal Chemists Approved Methods., Volume II. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland. Astawan, Made. 2002. Membuat Mi dan bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian. www. Balitbang. co. id. [26 Februari 2006] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-29871992. Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-37271995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mi Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Bauman L. F., P. L. Crane, D. V. Glover, E. T. Mertz, D. W. Thomas (eds.). High-Quality Protein Maize. Dowden, Hutchinson and Ross, Inc. Stroudsburg, Pennsylvania. Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Birch, G. G., J. G. Brenan, R. J. Priestley dan G. Sodah-Ayernor. 1973. The molecular basis of starch technology in new food products. Di dalam : G. G. Birch dan L. F. Green (eds.) Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Applied Science Publisher LTD. London. Bressani, Ricardo. 1972. Improving maize diets with amino acid and protein supplements. Di Dalam : L. F. Bauman, P. L. Crane, D. V. Glover, E. T. Mertz, D. W. Thomas (eds.). High-Quality Protein Maize. Dowden, Hutchinson and Ross, Inc. Stroudsburg, Pennsylvania. Budiyah. 2005. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) Dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Cheng.
2006. Starch Structure : Composition and Structure. http://www.cheng.cam.ac.uk/research/groups/polymer/RMP/nitin/Starchs tructure.html. [28 Juni 2006].
Collison. 1968. Swelling Gelation of Starch. Di dalam Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd, London. Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna. Jakarta. Eliasson, Ann-Charlotte dan Magnus Gudmundsson. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. Di dalam Ann-Charlotte Eliasson (Ed.). Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc. New York Fadlillah, Henry Noer. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York. Greenwood, C.T. and D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Hodge, J.E. and Osman, E.M. 1976. Carbohydrates. Di dalam Muchtadi T.R., P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Hou,
Guoquan dan Mark Kruk. 1998. Asian Noodle http://secure.aibonline.org/catalog/example/V20Iss12.pdf. 2006].
Technology. [28 Juni
Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance, 2nd ed. Aspen publisher, Inc, Gaithersburg, Maryland. Inglett, G. E. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Johnson, Lawrence A. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz, K.J. and K. Karel (eds.). Marcell Dekker, Inc. Basel. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kim, Y. S., Dennis P. W., James H. L., dan Patricia B. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodles. www.aaccnet.org/cerealchemistry/backissues/1996/73_302.pdf. [22 Juli 2006]. Kruger, J. E. 1996. Noodle quality - what can we learn from the chemistry of bread making? Di dalam : Kruger, J.E., R.B. Matsuo dan J.W. Dick (eds.). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc., St. Paul. Minnesota. Kusnandar, Feri. 1998. Effect of Processing Conditions, Additives and Starch Substitution on The Quality of Starch Noodle. Thesis-Faculty of Food Science and Biotechnology Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Lasztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc. USA. Lorenz, K.J. dan K. Karel. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. Basel. McCready, R.M. 1970. Starch and Dextrin. Di dalam Muchtadi T.R., P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Meyer, C.H. 1982. Food Chemistry. Reinhold Publishing Company. New York. Nagao, Seiichi. 1996. Processing technology of noodle products in Japan. Di dalam : James E. Kruger, Robert B. Matsuo, Joel W. Dick (eds.). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Oh, N. H., Seib, P. A., Finney, K. F., dan Pomeranz, Y. 1985. Oriental Noodles. Cereal Chem. 63: 93-96. Rooney, Lloyd W., dan Sergio O. Serna-Saldivar. 2003. Food use of whole corn and dry-milled fractions. Di dalam: Pamela J. White dan Lawrence A. Johnson (eds.). Corn Chemistry and Technology, 2nd Edition. American Association of Cereal Chemist Inc. St. Paul, Minnessota. USA. Soraya, Anissa. 2006. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprapto. 1998. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya, Jakarta. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.
Wikipedia Indonesia. 2005. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [22 Juli 2006]. Winarno, F. G. 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA - Food Technology Development Center, IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison Wirakartakusumah, M.A. 1981. kinetics of Starch Gelatinization and water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin. Madison.
Lampiran 1. Kurva amilogram suhu gelatinisasi tepung jagung ulangan 1
suhu awal gelatinisasi
viskositas maksimum suhu puncak gelatinisasi
Lampiran 2. Kurva amilogram suhu gelatinisasi tepung jagung ulangan 2
suhu awal gelatinisasi
viskositas maksimum suhu puncak gelatinisasi
Lampiran 3. Uji statistik derajat gelatinisasi adonan tepung setelah pengukusan
Analisis deskripsi derajat gelatinisasi adonan tepung Descriptives Derajat Gelatinisasi
N MJT3 MJT5 MJT7 MJT10 Total
2 2 2 2 8
Mean Std. Deviation Std. Error 88,2500 12,37437 8,75000 62,0000 3,53553 2,50000 65,7500 5,30330 3,75000 68,2500 5,30330 3,75000 71,0625 12,24289 4,32852
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum -22,9293 199,4293 79,50 97,00 30,2345 93,7655 59,50 64,50 18,1017 113,3983 62,00 69,50 20,6017 115,8983 64,50 72,00 60,8272 81,2978 59,50 97,00
One Way Anova (Analisis Keragaman) derajat gelatinisasi adonan tepung ANOVA Derajat Gelatinisasi
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 827,344 221,875 1049,219
df 3 4 7
Mean Square 275,781 55,469
F 4,972
Sig. ,078
Lampiran 4. Uji statistik elongasi mi basah Uji kehomogenan varian populasi Test of Homogeneity of Variances Elongasi Levene Statistic 1,444
df1
df2 3
Sig. ,246
36
One Way Anova (Analisis Keragaman) elongasi mi basah ANOVA Elongasi
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 215,418 1408,016 1623,433
df 3 36 39
Mean Square 71,806 39,112
F 1,836
Sig. ,158
Lampiran 5. Uji statistik KPAP mi basah
Uji kehomogenan varian populasi Test of Homogeneity of Variances KPAP Levene Statistic 2,878
df1
df2 3
Sig. ,080
12
One Way Anova (Analisis Keragaman) KPAP mi basah ANOVA KPAP
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 27,624 305,320 332,944
df 3 12 15
Mean Square 9,208 25,443
F ,362
Sig. ,782
Lampiran 6. Uji statistik kekerasan mi basah
Uji kehomogenan varian populasi Test of Homogeneity of Variances Kekerasan Levene Statistic ,798
df1
df2 3
Sig. ,503
36
One Way Anova (Analisis Keragaman) kekerasan mi basah ANOVA Kekerasan Sum of Squares 208298,6 178956,7 387255,2
Between Groups Within Groups Total
df 3 36 39
Mean Square 69432,855 4971,019
Uji lanjut Duncan Kekerasan Duncan
a
Formula MJT7 MJT10 MJT5 MJT3 Sig.
N 10 10 10 10
Subset for alpha = .05 1 2 3 1089,630 1106,110 1172,930 1273,170 ,604 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000.
F 13,968
Sig. ,000
Lampiran 7. Uji statistik kelengketan mi basah
Uji kehomogenan varian populasi Test of Homogeneity of Variances Kelengketan Levene Statistic ,580
df1
df2 3
Sig. ,632
36
One Way Anova (Analisis Keragaman) kelengketan mi basah ANOVA Kelengketan Sum of Squares 230079,7 97655,094 327734,7
Between Groups Within Groups Total
df 3 36 39
Mean Square 76693,217 2712,642
Uji lanjut Duncan Kelengketan Duncan
a
Formula MJT3 MJT5 MJT7 MJT10 Sig.
N 10 10 10 10
Subset for alpha = .05 1 2 3 -451,750 -341,540 -288,660 -250,130 1,000 1,000 ,107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000.
F 28,273
Sig. ,000