SKRIPSI
PERANCANGAN PROSES DAN FORMULASI MI BASAH JAGUNG BERBAHAN DASAR HIGH QUALITY PROTEIN MAIZE VARIETAS SRIKANDI KUNING KERING PANEN
Oleh : ANISSA SORAYA F 24102005
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
29
PERANCANGAN PROSES DAN FORMULASI MI BASAH JAGUNG BERBAHAN DASAR HIGH QUALITY PROTEIN MAIZE VARIETAS SRIKANDI KUNING KERING PANEN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANISSA SORAYA F 24102005
2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
30
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PERANCANGAN PROSES DAN FORMULASI MI BASAH JAGUNG BERBAHAN DASAR HIGH QUALITY PROTEIN MAIZE VARIETAS SRIKANDI KUNING KERING PANEN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANISSA SORAYA F 24102005 Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1984 Di Lhokseumawe Tanggal lulus: Menyetujui, Bogor, September 2006
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I
Ir. Subarna, MSi. Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen
31
Anissa Soraya. F24102005. Perancangan Proses Dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Subarna, MSc. RINGKASAN Pengembangan produk berbasis jagung merupakan salah satu upaya dalam pelaksanaan diversifikasi pangan Upaya pengembangan jagung masih memiliki beberapa kendala, antara lain akses transportasi ke beberapa sentra produksi jagung yang sulit dan kendala cuaca yang sering menyebabkan pengeringan jagung terhambat terutama di musim hujan. Hal ini pada akhirnya berujung pada rendahnya kualitas jagung karena tingginya kadar aflatoksin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatasi masalah tersebut dengan merancang teknologi pengolahan yang cepat dan tepat sehingga dapat diterapkan secara in situ. Produk olahan jagung yang berpotensi untuk dikembangkan adalah mi. Penelitian ini difokuskan untuk memperoleh rancangan proses dan formula pembuatan mi basah jagung yang dapat diterapkan di masyarakat untuk meningkatkan nilai jual jagung. Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan konversi jagung kering panen menjadi tepung jagung, lalu dilanjutkan dengan perancangan proses pembuatan mi basah jagung dan upaya memperbaiki tekstur dan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan mi yang dihasilkan. Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung Srikandi Kuning. Jenis jagung ini memiliki nilai nutrisi yang lebih baik dibandingkan jagung dari varietas lain yang memiliki kadar protein 8-10% namun kekurangan asam amino lisin dan triptofan yang masing-masing hanya 0,225% dan 0,05%. Srikandi Kuning-1 mengandung protein sebanyak 10,38%, dengan kandungan lisin 0,48% dan triptofan 0,09%. Jagung yang digunakan adalah jagung kering panen dengan kadar air sekitar 25%-35% dan jagung kering pipil dengan kadar air sekitar 10%. Proses penepungan terdiri atas tahap pencucian biji jagung, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi, dan pengeringan. Perendaman berfungsi untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga memudahkan penggilingan. Waktu perendaman yang diujikan adalah enam dan dua belas jam. Waktu perendaman yang optimum adalah enam jam. Tahap selanjutnya adalah penggilingan jagung dengan penggiling batu. Hasil penggilingan disaring dengan kain batis dan diendapkan selama 2 jam. Lalu dilakukan sentrifugasi untuk mengendapkan pati jagung hingga diperoleh tepung jagung basah yang berkadar air 50%. Rendemen tepung jagung basah yang diperoleh adalah 58%. Sebagian tepung jagung basah yang diperoleh, dikeringkan dengan oven bersuhu 45oC hingga mencapai kadar air 10%. Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pencampuran sejumlah tepung jagung basah dengan 0,6% garam dan 0,2% baking powder. Campuran ini kemudian dikukus selama lima menit. Selanjutnya dilakukan penambahan tepung jagung kering, campuran ini kemudian diuleni hingga terbentuk adonan. Adonan ini kemudian dipress dan dislitting. Untuk mendapatkan adonan mi yang tidak lengket di mesin mi dan menghasilkan mi yang tidak mudah patah, dibuat variasi perbandingan antara tepung yang dipregelatinisasi dan tidak dipregelatinisasi
32
(50:50, 55:45, 60:40, 65:35, 70:30, 75:25, dan 80:20). Perbandingan yang menghasilkan adonan yang paling baik adalah 70:30. Selanjutnya, mi dimatangkan dengan perebusan. Mi diberi berbagai perlakuan waktu perebusan yaitu selama 1, 1,5, dan 2 menit. Waktu perebusan yang optimum adalah 1,5 menit. Mi yang telah direbus selanjutnya direndam dalam air dingin selama 10 detik. Setelah ditiriskan, mi dilumuri dengan minyak sawit. Untuk memperbaiki tekstur dan kehilangan padatan akibat pemasakan, dilakukan variasi waktu pengukusan dan digunakan guar gum sebagai bahan tambahan. Waktu pengukusan adonan divariasikan menjadi 5, 7, dan 9 menit. Konsentrasi guar gum yang ditambahkan adalah 0%, 0,3%, 0,6%, dan 1%. Derajat gelatinisasi pati adonan mi berkisar antara 17,5%-30%. Waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi pati (α > 0,05), sedangkan konsentrasi guar gum berpengaruh nyata (α < 0,05). Peningkatan konsentrasi guar gum menurunkan derajat gelatinisasi. Warna mi basah jagung yang dihasilkan adalah kuning dengan tingkat kecerahan sekitar 72,86-79,39. Waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap kecerahan warna mi (α < 0,05). Kecerahan warna mi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi guar gum dari 0,3% menjadi 0,6%, dan menurun kembali dengan peningkatan konsentrasi guar gum menjadi 1%. Peningkatan waktu pengukusan dari 5 menit menjadi 7 menit menit menurunkan kecerahan, sedangkan penambahan waktu pengukusan menjadi 9 menit meningkatkan kecerahan warna mi. Persen elongasi mi basah jagung berkisar antara 10,24%-18,16%. Waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap persen elongasi mi (α > 0,05), sedangkan konsentrasi guar gum berpengaruh nyata terhadap persen elongasi (α < 0,05). Elongasi mi menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum. Namun penambahan guar gum menghasilkan mi dengan elongasi yang lebih baik dibandingan mi tanpa penambahan guar gum. Resistensi terhadap tarikan maksimum mi basah jagung dari berbagai formula yang diujikan berkisar antara 8,8-10,1 gF. Waktu pengukusan, konsentrasi guar gum dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata (α > 0,05). Resistensi mi terhadap tarikan menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum dan waktu pengukusan. Namun aplikasi guar gum mengasilkan mi dengan resistensi terhadap tarikan yang lebih baik dibandingkan mi tanpa penambahan guar gum. Kekerasan mi basah jagung dari berbagai formula yang diujikan berkisar antara 728,24-1226,58 gF. Waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antar keduanya berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi basah jagung (α < 0,05). Kerasan mi meningkat dengan bertambahnya waktu pengukusan dan menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum. Mi basah jagung yang dihasilkan cenderung rigid. Rigiditas mi meningkat dengan bertambahnya waktu pengukusan dan menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum. Kelengketan mi basah jagung dari berbagai formula yang diujikan berkisar antara 448,52-591,24 gF. Waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap kelengketan mi basah jagung (α < 0,05). Kelengketan mi meningkat dengan bertambahnya konsentrasi guar gum dan waktu pengukusan.
33
Nilai KPAP berkisar antara 9,65%-11,42%. Waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap KPAP mi yang dihasilkan (α > 0,05), sedangkan konsentrasi guar gum yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap KPAP mi basah jagung (α < 0,05). Nilai KPAP menurun dengan meningkatnya konsentrasi guar gum dari 0,3% menjadi 0,6%, dan meningkat kembali dengan peningkatan konsentrasi guar gum menjadi 1%. Peningkatan waktu pengukusan menurunkan KPAP. Formula yang memberikan hasil paling optimum di antara kondisi proses dan formula yang diujikan adalah mi dengan penambahan guar gum 0,6% dan waktu pengukusan selama 5 menit. Persen elongasi dan resistensi formula ini cukup tinggi yaitu 14.7 % dan 9,9 gF. Kekerasan, kelengketan, dan KPAP formula ini cukup rendah yaitu 736,49 gF, 558,48 gF, dan 10,10%. Formula ini juga memberikan keuntungan dari segi ekonomi. Mi ini memiliki kadar air 62,0358%, kadar abu 0,82%, kadar protein 7,63%, kadar lemak 7,05%, dan kadar karbohidrat sebanyak 59,18%.
34
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Anissa Soraya dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1984 di Lhokseumawe dan merupakan putri kedua dari pasangan Dr. Ir. Adli Yusuf MSc. dan Ir. Syarifah Raihanah. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 24 Banda Aceh (1990-1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Banda Aceh (1996-1999), dan pendidikan lanjutan di SMUN 3 Banda Aceh (1999-2002). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2002. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis bersama tim pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan kegiatan wirausaha sebagai bagian dari Program Kreavitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh DIKTI dengan judul “Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi.” Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Perancangan Proses dan Formulasi Mi basah Jagung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen”.
35
KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Perancangan Proses Dan Formulasi Mi Basah Jagung Berbahan Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada : 1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis. 2. Ir. Subarna, MSi, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan wawasan baru kepada penulis. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc atas kesededian untuk menjadi dosen penguji dan atas masukan-masukan yang diberikan. 4. Ir. Tjahja Muhandri, MT. atas diskusi-diskusi mengenai mi jagung. 5. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 6. Keluarga tercinta (Ayah (atas waktunya untuk berbagi ilmu mengenai jagung), Nyanyak, Kak Dina dan Dek Radhi) atas kasih sayang, nasihat, dorongan dan motivasi yang diberikan. 7. Teman-teman sebimbingan sekaligus partner penelitian: Ana “the best bestfriend”, Bobby dan Ari atas bantuan ilmu, tenaga, waktu, dan kesabaran menghadapi penulis. 8. Ferryza Mirza yang selalu setia bantuan kepada penulis. 9. Saudara-saudaraku tercinta di Ar-Riyadh: Vico, Ita, dan Eva atas bantuan, dukungan dan kasih sayangnya. Sekar, Tata, Iska, Lisa, Nia, Didi, Firly, Indri, yang telah memberi warna dalam kehidupan penulis. Semoga persaudaraan ini tetap terjalin.
36
10. Sahabat-sahabat golongan A: Ririn dan Endang (atas bantuan dan dorongannya kepada penulis), kelompok A1 tersayang (Mumus, Herold, dan Iqbal), Tintin, Nisvy, Chris, Tina, Inda, Heru, Ari, Dadik, Didin, Dll, atas persahabatan yang indah. 11. Qco dan Rury atas persahabatan yang penuh makna. 12. Sahabat-sahabat TPG 39 lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna. 13. Pak Gatot, Bu rubiyah, Teh Ida, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Rozak, Pak Hendra AP4, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Penulis
37
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………..
i
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
vi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….
vii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….
viii
I.
II.
PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG …………………………………...
1
B.
TUJUAN DAN SASARAN ………………………...……
3
C.
MANFAAT ………………………………………………
4
TINJAUAN PUSTAKA A.
JAGUNG …………………………………………………
5
1. Jenis Jagung …………………………………………..
5
2. Morfologi Jagung ..........................................................
7
3. Anatomi Biji Jagung .....................................................
8
4. Komposisi Kimia Biji Jagung .......................................
10
5. High Quality Protein Maize...........................................
12
B. BUDIDAYA JAGUNG..................................
C.
D.
13
1. Sistem Produksi dan Pola Tanam ...................................
13
2. Teknik Bercocok Tanam ................................................
14
PATI JAGUNG....................... ...........................................
15
1. Amilosa..... ....................................................................
16
2. Amilopektin....................................................................
17
3. Granula Pati....................................................................
17
4. Proses Pembuatan Pati...................................................
18
GELATINISASI ………………………………………….
19
1. Konsep Gelatinisasi .......................................................
19
2. Mekanisme Gelatinisasi ................................................
20
3. Suhu Gelatinisasi ...........................................................
21
4. Sifat birefringence .........................................................
22
38
E.
F. III.
MI BASAH.....…………………………………………….
22
1. Defenisi Mi Basah.. .......................................................
22
2. Proses Pembuatan Mie Instan .......................................
24
MI JAGUNG.......................................................................
26
METODOLOGI PENELITIAN
29
A.
BAHAN DAN ALAT …………………………………....
29
B.
METODOLOGI
29
1. Tahapan Penelitian
29
a. Karakterisasi jagung srikandi kuning........................
29
b. Kajian pembuatan tepung jagung..............................
30
c. Kajian pembuatan mi basah jagung...........................
31
d. Kajian perbaikan karakteristik mi basah jagung......
32
2. Rancangan Percobaan
34
3. Pengamatan
35
a. Analisi Kimia............................................................
35
a.1 Analisis Kadar Air...........................................
35
a.2. Analisis Kadar Abu.........................................
35
a.3 Analisis Kadar Lemak.....................................
36
a.4 Analisis Kadar Protein.....................................
36
a.5 Analisis Kadar Karbohidrat..............................
37
b. Analisis Fisik.............................................................
37
b.1 Analisis Warna...............................................
37
b.2 Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan
38
Persen Elongasi Menggunakan Rheoner....... b.3 Analisis profil tekstur menggunakan alat
38
Texture Analyzer TAXT-2............................. b.4 Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan....
39
b.5 Pengukuran Dimensi......................................
39
b.6. Perhitungan rendemen....................................
39
b.7. Pengukuran Derajat Gelatinisasi....................
40
39
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
42
A.
KARAKTERISASI JAGUNG SRIKANDI KUNING.......
42
B.
KAJIAN PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG...................
44
C.
KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG………………...
47
D.
KAJIAN PEMBUATAN MI BASAH JAGUNG...............
49
E.
KAJIAN PERBAIKAN KARAKTERISTIK MI BASAH JAGUNG.............................................................................
53
1. Derajat Gelatinisasi Pati
54
2. Sifat Fisik Mi Basah Jagung
56
b. Warna Mi Basah................................................
56
c. Persen Elongasi dan Resistensi Terhadap Tarikan..............................................................
58
d. Profil tekstur......................................................
60
e. Kehilangan
Padatan
Akibat
Pemasakan
(KPAP).............................................................
64
3. Sifat Kimia Mi Basah Jagung.......................................
65
a. Kadar air............................................................
66
b. Kadar abu..........................................................
66
c. Kadar protein kasar...........................................
66
d. Kadar lemak .....................................................
67
e. Kadar karbohidrat.............................................
67
4. Perbandingan Karakter Mi basah Jagung dengan Mi Terigu dan Mi geleser................................................... F.
REKAPITULASI VARIABEL
KARAKTER
PROSES
PRODUK
PENGOLAHAN
DAN
67 68
JAGUNG
SRIKANDI KERING PANEN MENJADI MI BASAH ...
KESIMPULAN DAN SARAN
72
A.
KESIMPULAN ……………………........………..........
72
B.
SARAN ………………………………………………..
73
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
77
LAMPIRAN …………………………………………………………...
78
V.
40
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Jenis jagung dan sifat-sifatnya ............................................
7
Tabel 2.
Bagian-bagian anatomi biji jagung ......................................
9
Tabel 3.
Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagianbagiannya .............................................................................
Tabel 4.
10
Perbandingan sifat pati jagung dibandingkan dengan tepung jagung ......................................................................
16
Tabel 5.
Karakteristik granula pati …………………………………
18
Tabel 6.
Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ...................................
21
Tabel 7.
Syarat mutu mi basah...........................................................
23
Tabel 8.
Formula mi basah jagung.....................................................
33
Tabel 9.
Kandungan gizi Jagung Srikandi Kuning.............................
43
Tabel 10.
Hasil pengukuran terhadap dimensi jagung...... ..................
44
Tabel 11.
Hasil Pengamatan terhadap hasil penggilingan biji jagung..
46
Tabel 12.
Kandungan gizi berbagai tepung jagung dan pati jagung...................................................................................
Tabel 13.
Perbandingan antara tepung basah dan tepung kering (waktu pengukusan 5 menit)................................................
Tabel 14.
48 51
Pengaruh waktu perebusan terhadap tingkat kematangan mi..........................................................................................
53
Tabel 15.
Hasil pengukuran warna mi basah jagung............................
56
Tabel 16.
Komposisi mineral pada jagung
66
Tabel 17.
Perbandingan karekter mi basah jagung dengan mi terigu dan mi geleser.....................................................................
Tabel 18.
67
Rekapitulasi Karakter Produk dan Variabel Proses Pengolahan Jagung Srikandi Kering Panen Menjadi Mi Basah.....................................................................................
68
41
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung............ ...........
5
Gambar 2.
Struktur biji jagung ...........................................................
9
Gambar 3.
Diagram penggilingan jagung teknik basah di industri besar...................................................................................
19
Gambar 4.
Diagram alir pembuatan mi basah secara umum ..............
25
Gambar 5.
Diagram alir proses pembuatan tepung jagung ..........…..
30
Gambar 6.
Diagram alir tahapan pembuatan mi basah Jagung ..........
32
Gambar 7.
Biji jagung Srikandi Kuning kering pipil..........................
42
Gambar 8.
Diagram Kesetimbangan massa pada proses penepungan jagung................................................................................
47
Tepung jagung kering........................................................
48
Gambar 10. Mi basah jagung mentah....................................................
52
Gambar 11. Mi basah jagung matang....................................................
53
Gambar 12. Histogram derajat gelatinisasi pati pada berbagai formula mi basah jagung................................................... Gambar 13. Histogram nilai L berbagai formula mi
55
Gambar 14. Histogram elongasi mi basah jagung........................
59
Gambar 15. Histogram resistensi berbagai mi basah jagung…
60
Gambar 16. Histogram kekerasan mi dari berbagai formula …
61
Gambar 17
62
Gambar 9.
Histogram kelengketan mi dari berbagai formula ...
Gambar 18. Histogram kemiringan kurva antara kekerasan dan waktu mi dari berbagai formula ....................................... Gambar 19. Histogram KPAP mi dari berbagai formula …........
57
63 64
42
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7.
Hasil analisis ragam terhadap warna dan kecerahan mi basah jagung……………………………..……………. Hasil analisis ragam dan uji lanjut LSD terhadap persen elongasi dan resistensi terhadap tarikan mi basah jagung................................................................... Hasil analisis ragam dan uji lanjut LSD terhadap kekerasan mi basah jagung……………………………. Hasil analisis ragam dan uji lanjut LSD terhadap kelengketan mi basah jagung…………………………. Hasil analisis ragam dan uji lanjut LSD terhadap KPAP mi basah jagung………………………………... Hasil uji-T terhadap kandungan gizi jagung Srikandi kering panen dan jagung Srikandi Kuning kering pipil……………………………………………………. Hasil analisis ragam dan uji lanjut LSD terhadap derajat gelatinisasi berbagai formula mi basah jagung..
79 80 81 82 83 84 86
43
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas yang giat dibudidayakan akhirakhir ini dalam rangka mendukung program diversifikasi pangan. Produksi jagung nasional semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, diperkirakan produksi jagung nasional mencapai 12 juta ton (Badan Pusat Stastitik, 2006). Peningkatan produksi jagung di Indonesia didukung oleh program pemerintah berupa ”Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)” yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat. Program RPPK tersebut memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi (Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005). Arah pengembangan dan sasaran komoditas pangan selama periode 2005-2010 untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Jagung mampu tumbuh di semua daerah di Indonesia. Terbukti dari data Badan Pusat Stastitik (2006) yang menunjukkan semua propinsi di Indonesia menanam jagung dengan kapasitas produksi yang beragam. Tujuh propinsi penghasil utama jagung di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat (Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005 dan Badan Pusat Stastitik, 2006). Pangsa areal panen dari ketujuh propinsi tersebut mencapai 84,43 persen dari total areal panen jagung nasional, sementara pangsa produksinya mencapai 87,80 persen dari total produksi jagung nasional (Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2005). Namun, pengembangan pengolahan pasca panen jagung di beberapa wilayah di Indonesia mengalami kendala cuaca. Hambatan cuaca tersebut sangat berpengaruh pada penanganan pasca panen produk–produk asal jagung. Penanganan pasca panen yang umum dilakukan adalah jagung dibiarkan mengering di ladang hingga kadar air tertentu (20 – 25%) sehingga menjadi jagung kering panen. Kemudian, jagung kering panen dipipil dan dikeringkan
44
hingga memiliki kadar air 14%. Jagung yang dihasilkan dari proses pengeringan disebut jagung kering pipil yang selanjutnya didistribusikan sesuai permintaan. Kondisi cuaca, terutama curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia terkadang tidak memungkinkan untuk mengeringkan jagung sampai kadar air yang diinginkan (14%). Pengeringan yang tidak dilakukan sesegera mungkin dan kurang optimum dapat meningkatkan potensi kontaminasi aflatoksin. Menurut Badan Ketahanan Pangan propinsi Jawa Timur (2005), kadar aflatoksin di beberapa daerah seperti Malang, Tuban, Kediri dan Sumenep dapat mencapai lebih dari 35 ppb sedangkan batas maksimum aflatoksin yang diperbolehkan adalah 20 ppb. Kondisi ini akan menurunkan daya jual jagung tersebut. Jagung dengan kadar aflatoksin tinggi akan ditolak oleh konsumen (baik industri pangan maupun pakan). Data dari Anonima (2006) menunjukkan curah hujan tinggi (250-300 mm/bulan) terjadi di Sumatra bagian selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat, tengah dan selatan, Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan Papua. Curah hujan sedang (200-250 mm/bulan) terjadi di Sumatra bagian tengah, Kalimantan bagian timur, sebagian Sulawesi bagian tengah, Kepulauan Maluku, NTT (Nusa Tenggara Timur) dan NTB (Nusa Tenggara Barat). Curah hujan rendah (150-200 mm/bulan) terjadi di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) dan sebagian Sumatra bagian utara. Curah hujan tinggi maupun sedang di beberapa sentra penghasil jagung tentu perlu mendapat perhatian lebih, mengingat jagung yang dihasilkan (jagung kering pipil) merupakan suplai untuk industri – industri berbahan baku jagung. Kendala cuaca ini dapat diatasi dengan infrastruktur jalan yang memadai sehingga menjamin transportasi dan distribusi jagung. Namun, tidak semua sentra penghasil jagung memiliki infrastruktur yang mendukung hal tersebut. Hardinsyah et al., (2003) menyebutkan beberapa wilayah di Gorontalo mengalami masalah transportasi, sedangkan beberapa daerah di NTT (Nusa Tenggara Timur) mengalami kendala cuaca. Kendala–kendala yang dihadapi petani jagung pada saat pasca panen menyebabkan jagung yang dihasilkan tidak dapat segera dipasarkan. Jagung ini harus tertahan di kantung–kantung penghasilnya dengan kondisi penyimpanan yang kurang memadai.
45
Solusi yang dapat diterapkan untuk masalah transportasi adalah dengan membangun infrastruktur jalan yang memadai sehingga memperlancar distribusi. Namun, diperlukan pendekatan lain untuk menyelesaikan kendala cuaca. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan teknologi pangan. Inovasi teknologi yang bisa dilakukan antara lain dengan mengolah jagung yang baru dipanen menjadi produk lain yang memiliki nilai guna atau bahkan nilai ekonomis lebih tinggi. Pengolahan tersebut harus dilakukan secara in situ. Artinya, pengolahan tersebut dilakukan di sekitar sentra penghasil jagung, dan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hasil olahan tersebut bisa dikonsumsi sendiri oleh masyarakat atau bisa juga dijual jika memungkinkan. Kondisi ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan beras sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Produk
pangan
olahan
jagung
yang
cukup
berpotensi
untuk
dikembangkan adalah mi. Hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan non beras, menunjukkan bahwa mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Hardinsyah, et. al., 2003 dan Juniawati, 2003). Lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003) dan Budiyah (2005) menunjukkan bahwa jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku mi. Pengolahan jagung kering panen menjadi mi basah dapat mengatasi kendala cuaca pada proses pasca panen jagung, meningkatkan nilai tambah produk pangan asal jagung serta dapat menjadi salah satu komoditi pangan alternatif pengganti beras. B. Tujuan Dan Sasaran Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula dan rancangan proses pembuatan mi basah jagung dari Jagung Srikandi kering panen.
46
C. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan formula dan proses pembuatan mi basah jagung yang dapat diterapkan di masyarakat di daerah terpencil yang banyak menghasilkan jagung namun mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil panennya.
47
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG 1. Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) (Warisno, 1998). Tanaman ini awalnya berasal dari Amerika dan merupakan tanaman yang paling penting di benua tersebut. Menurut sejarahnya, tanaman Jagung ini kemudian menyebar ke daerah subtropis dan tropis. Berdasarkan bentuk kernelnya, ada 6 tipe utama jagung, yaitu: dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns.
Perbedaan terbesar
didasarkan pada kualitas, kuantitas dan komposisi endosperma. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm, pada bagian sisi dan belakang kernel, pada saat bagian tengah inti jagung lunak dan bertepung. Endosperma yang lunak akan menjulur hingga mahkota membentuk tipe tertentu, yang merupakan ciri khas jagung jenis dent (Johnson, 1991).
Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour. (sumber: Anonimb, 2005) Jagung jenis flint memiliki bentuk agak tebal, keras, lapisan endosperma yang seperti kaca, kecil, lunak, dengan granula tengah. Jagung
48
jenis pop, merupakan salah satu jenis jagung yang paling primitif. Ciricirinya adalah selaput endospermanya sangat keras dan memiliki kernel kecil seperti jenis flint. Jagung jenis flour juga merupakan jenis jagung yang sangat tua, yang banyak tumbuh pada jaman Aztec dan Inca. Dicirikan dengan adanya endosperma lunak yang menembus kernel, sangat mudah untuk dihancurkan tetapi sangat mudah juga ditumbuhi kapang, terutama bila ditanam di lahan basah (Johnson, 1991). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi. Kadar sakarida terlarutnya mencapai 12% berat kering, sedangkan jagung jenis lain hanya berkisar 2-3%.
Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai
campuran sayuran. Sedangkan jagung jenis pod, merupakan jagung hias dengan kernel tertutup, dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain.
Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di
Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). Selain berdasarkan bentuk kernelnya, Jugenheimer (1976) juga membedakan
jagung
berdasarkan
bentuk
biji
dan
kandungan
endospermanya. Jenis jagung dan sifat-sifatnya disajikan pada Tabel 1. Di Indonesia, daerah-daerah penghasil utama jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Gorontalo. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung dibudidayakan cukup intensif karena, selain tanah dan iklimnya sangat mendukung pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).
49
Tabel 1. Jenis jagung dan sifat-sifatnya (Jugenheimer , 1976) Jenis jagung Sifat-sifat Jagung gigi kuda Biji berbentuk gigi, pati yang keras (Zea mays identata) menyelubungi pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak sampai ke ujung. Jagung mutiara Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya (Zea mays indurata) diselubungi pati yang keras, tahan terhadap serangan hama gudang. Jagung bertepung Endosperma hampir seluruhnya berisi pati (Zea mays amylacea) yang lunak, biji mudah dibuat tepung, biji yang sudah kering permukaannya berkerut. Jagung berondong Butir biji sangat kecil, keras seperti pada tipe (Zea mays evertia) mutiara, proporsi pati lunak lebih kecil dibandingkan pada tipe mutiara. Jagung manis Endosperma berwarna bening, kulit biji tipis, (Zea mays saccharata) kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji berkerut. Biji berwarna buram, endosperma lunak, pati Jagung berlilin (Zea mays ceratina) mengandung amilopektin, merupakan sumber energi terbaik untuk makanan ternak. Jagung polong Tiap butiran biji diselubungi oleh kelobot, (Zea mays tunicata) membentuk tongkol yang juga diselubungi kelobot, merupakan keajaiban genetik, dan jagung ini tidak digunakan untuk produksi. 2. Morfologi Jagung Biji jagung merupakan biji sereal yang paling besar, dengan berat masing-masing 250-300 mg. Biji-biji tumbuh menempel pada tongkol jagung membentuk flat, dan selama pertumbuhan akan mengalami tekanan (Johnson, 1991). Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung, semakin kering kelobotnya (Effendi dan Sulistiati, 1991). Tongkol
jagung
merupakan
simpanan
makanan
untuk
pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm. Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-1000 biji jagung (Effendi dan Sulistiati, 1991).
50
Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar ke ujung kelobot melalui sela-sela deret biji. Rambut mempunyai cabangcabang
yang halus sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat
pembuahan (Effendi dan Sulistiati, 1991). 3. Anatomi Biji Jagung Menurut Honesey (1998), jagung terdiri dari empat bagian pokok yaitu kulit (perikarp); endosperma, yaitu bagian yang menyimpan nutrisi untuk mendukung germinasi; lembaga; dan tudung pangkal (tipcap), yaitu tempat penempelan biji pada tongkol. Setiap bagian anatomi memiliki komposisi yang berbeda-beda (Johnson, 1991). Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang disusun oleh 6 lapis sel yaitu epikarp (lapisan paling luar), mesokarp, dan tegmen (seed coat). Bagian terakhir ini terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak (Johnson, 1991). Bagian terbesar biji jagung adalah endosperma yang mengandung pati, sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991). Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperm dengan kulit (perikarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapis sel sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel, demikian juga untuk gandum. Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan endosperm lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari selsel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras
51
(Muchtadi dan Sugiyono, 1990). Bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan struktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991). Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian anatomi Jumlah (%) Pericarp
5
Endosperma
82
Lembaga
12
Tipcap
1
Sumber: Inglett (1970) Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat
52
penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998). 4. Komposisi Kimia Biji Jagung Jagung
mengandung lemak dan
protein yang jumlahnya
tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Jumlah (%) Komponen
Pati
Protein
Lemak
Serat
Lain-lain
Endosperma
86.4
8.0
0.8
3.2
0.4
Lembaga
8.0
18.4
33.2
14.0
26.4
Kulit
7.3
3.7
1.0
83.6
4.4
Tip cap
5.3
9.1
3.8
77.7
4.1
Sumber: Johnson (1991) Minyak jagung memiliki perbandingan antara lemak tak jenuh dengan lemak jenuh (unsaturated/saturated ratio) 6.7. Dari jumlah total asam lemak penyusunnya, asam lemak jenuhnya hanya terdiri atas asam palmitat (C16:0 = 11%) dan asam stearat (C18:0 = 2%). Untuk asam
53
lemak tak jenuhnya, minyak jagung terdiri atas asam oleat (C18:1 = 28%), asam linoleat (C18:2 = 58%), dan asam linolenat (C18:3 = 1%). Pada minyak jagung kasar (sebelum diproses lanjut), terdapat asam lemak-asam lemak bebas, fosfolipid, dan wax (Chung dan Ohm, 2000). Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya prosentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah (Johnson, 1991). Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu α-zein (larut pada 95% etanol) dan ß-zein (larut dalam 60% etanol). Pada α-zein, kandungan asam amino histidin, arginin, prolin, dan metionin lebih banyak daripada yang terkandung pada ß-zein (Laztity, 1986). Molekul zein merupakan globula yang memanjang (axial ratio sekitar 15:1). Seperti yang dihitung dengan optical rotary dispersion data, kandungan helix zein pada larutan etanol bervariasi antara 33%-37%. Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, prolin, leusin, dan alanin tetapi rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin, dan metionin (Laztity, 1986). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein kompleks dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986).
54
Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986). 5. High Quality Protein Maize Jagung memiliki kandungan protein yang rendah baik kualitas maupun kuantitasnya. Kadar protein jagung pada umumnya sekitar 8-10% (anonimd, 2006). Terdapat dua asam amino pembatas pada jagung yaitu lisin dan triptophan. Jumlah lisin dan triptophan yang terdapat dalam jagung masing-masing sebesar 0,225% dan 0,05%. Jumlah ini kurang dari setengah yang dianjurkan oleh FAO. Rendahnya kandungan nutrisi pada berbagai varietas jagung mendorong timbulnya gagasan untuk menghasilkan varietas jagung yang memiliki nilai nutrisi yang lebih baik. Untuk menperoleh jagung dengan karakteristik yang diinginkan dilakukan rekayasa genetik dengan cara mutasi gen. Mutasi dilakukan untuk menghambat gen pembentuk zein. Pembentukan zein perlu dihambat karena fraksi protein ini mengandung lisin dan triptophan dalam jumlah sedikit. Penghambatan pembentukan zein dapat meningkatkan pembentukan fraksi protein lain yang kaya akan lisin dan triptophan sehingga persentasi kedua asam amino tersebut akan meningkat. Mutasi ini akan menghasilkan jagung dengan kualitas dan kuantitas protein yang lebih tinggi sehingga disebut sebagai high quality protein maize (HQPM). Mutan yang pertama ditemukan adalah opaque-2 dan floury-2. Opaque-2 ditemukan oleh Singelton dan Jones, sedangkan Floury-2 ditemukan oleh Mumm (Vasal, 2001). Kedua mutan ini memiliki kadar lisin dan triptophan yang lebih tinggi dari jagung lain pada umumnya, selain itu jagung ini juga mengalami peningkatan jumlah arginin, histidin, asam aspartat, dan glisin. Di Indonesia, Badan Litbang Pertanian telah
55
melepaskan dua varietas HQPM yaitu Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning-1 pada tahun 2004. Srikandi Putih-1 memiliki kadar protein, lisin dan triptophan masing-masing 10,44%, 0,41%, dan 0,09% dengan potensi hasil 8,09 ton/ha. Sedangkan Srikandi Kuning-1 memiliki kadar protein, lisin dan triptophan masing-masing 10,38%, 0,48%, dan 0,09% dengan potensi hasil 7,92 ton/ha (anonimd, 2006).
B. BUDIDAYA JAGUNG 1. Sistem Produksi dan Pola Tanam. Cara memproduksi jagung dapat dibedakan ke dalam empat sistem, yaitu berdasarkan tipe lahan (karakteristik tanah dan pengaturan air), sistem penanaman (tunggal dan tumpang sari), keuntungan, dan pengelolaan masukan. Berdasarkan tipe lahan, jagung dapat ditanam di lahan kering (tegalan), lahan pasang surut dan sawah (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Sistem tegalan meliputi areal yang luas dan sangat heterogen kesuburannya, serta terdapat perbedaan waktu tanam maupun panen. Perbedaan ini karena curah hujan yang tidak sama di setiap wilayah. Lahan sawah terbagi menjadi lahan sawah irigasi dan tadah hujan. Berbeda dengan tegalan, pada lahan sawah irigasi, waktu tanam maupun panennya relatif sama. Lahan sawah irigasi produktivitasnya lebih tinggi daripada lahan sawah tadah hujan (Suprapto dan Marzuki, 2005). Ada dua sistem penanaman di lahan kering atau tegalan, yaitu penanaman secara ganda (tumpang sari) dan penanaman tunggal.Tanam ganda adalah penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada suatu luasan lahan. Produktivitas tanamannya dipengaruhi oleh populasi tanaman, pemupukan,
model
tumpang
sari,
penggunaan
varietas
unggul,
pemeliharaan, dan penanganan pasca panen. Sedangkan pada sistem tanam tunggal, dalam satu luasan lahan hanya ditanam satu jenis tanaman (Suprapto dan Marzuki, 2005). Berdasarkan tingkat produktivitasnya, sistem produksi digolongkan lagi kedalam dua subsistem, yaitu subsistem produktivitas tinggi dan
56
subsistem produktivitas rendah. Pada subsistem dengan produktivitas tinggi, petani menggunakan varietas unggul dan takaran pupuk yang tinggi. Petani pada subsistem produktivitas rendah menggunakan varietas lokal serta takaran pupuk yang rendah, biasanya disebabkan oleh rendahnya harga hasil produksi. Pada umumnya, subsistem produktivitas rendah terdapat di daerah hulu atau dataran tinggi (Suprapto dan Marzuki, 2005). 2. Teknik Bercocok Tanam. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas jagung, antara lain jenis tanah, kesuburan tanah, persiapan lahan, benih yang bagus, waktu tanam yang tepat, serta pengendalian hama, penyakit dan gulma.
Bercocok tanam jagung meliputi kegiatan persiapan lahan,
penanaman, pemupukan, pemeliharaan, dan pengairan (Suprapto dan Marzuki, 2005). Pada tahap persiapan, umumnya lahan untuk tanaman jagung dibajak sedalam 15-20 cm, diikuti dengan penggaruan tanah sampai rata. Sebaiknya tanah jangan terlampau basah, tetapi cukup lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket. Untuk jenis tanah yang kelebihan air, perlu dibuatkan saluran drainase. Pada tahap penanaman, tanah harus cukup lembab tetapi tidak becek. Jarak antara tanaman diusahakan teratur agar ruang tumbuh tanaman seragam dan pemeliharaan tanaman mudah. Pada lahan tegalan, penanaman lebih baik dilakukan pada saat musim labuhan (permulaan musim hujan), yaitu pada bulan SeptemberNovember, atau pada saat musim merengan (musim hujan hampir berakhir), yaitu pada bulan Februari-April. Sedangkan pada lahan jenis sawah, selain pada musim labuhan dan merengan, penanaman juga dapat dilakukan pada musim kemarau (Suprapto dan Marzuki, 2005). Tanaman jagung membutuhkan pasokan unsur P sampai stadia lanjut, khususnya saat tanaman masih muda. Gejala kekurangan fosfat akan terlihat sebelum tanaman setinggi lutut. Jumlah pupuk fosfat yang dianjurkan sekitar 40-80 kg TSP/ha. yang diberikan sebagai pupuk dasar
57
(sehari sebelum tanam atau bersamaan tanam). Unsur hara lainnya yang dibutuhkan, antara lain Nitrogen (N), dan Kalium (K) (Suprapto dan Marzuki, 2005). Tindakan pemeliharaan yang dilakukan pada tanaman jagung antara lain penyulaman, penjarangan, penyiangan, pembumbunan, dan pemangkasan daun.
Selain itu, pengairan juga sangat penting untuk
mencegah tanaman jagung agar tidak layu. Pengairan yang terlambat mengakibatkan daun layu (Suprapto dan Marzuki, 2005). C. Pati Jagung Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi manusia.
Pati memiliki
karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999). Dalam bentuk aslinya secara alami, pati merupakan butiran-butiran kecil yang disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula, karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976). Pati tidak larut pada air dingin dan akan membentuk massa pasta yang padat dan keras apabila dicampur dengan air dingin. Oleh karena itulah pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari industri penggilingan jagung dengan teknik basah (wet mill) (Greenwood, 1975).
58
Tabel 4. Perbandingan sifat pati jagung dibandingkan dengan tepung jagung. Parameter
Satuan
Pati jagung *
Tepung jagung**
Kadar air
%
10.21
10.9
Kadar protein (b/b)
%
0.56
5.8
Kadar abu
%
0.05
0.4
Kadar lemak (b/b)
%
0.68
0.9
Karbohidrat by difference
%
88.5
82.0
Kandungan pati
%
98.01
68.2
PH (5% suspensi)
-
5.18
-
ppm
9.21
-
Lolos ayakan 100 mesh
%
99.81
-
Viskositas
cps
900
-
Serat
%
-
7.8
Residu SO2
Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004) **) Juniawati (2003) Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu
amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein. Umumnya pati mengandung 15-30 persen amilosa, 70-85 persen bahan antara. Struktur dan jenis bahan antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibanding pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1975). 1. Amilosa Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dikatakan sebagai bagian linier dari pati, meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan ß-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil yang sempurna. ß-amilase
59
menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hoseney, 1998). Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa dari pati biji-bijian. Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati (Hoseney, 1998). 2. Amilopektin Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976). Amilopektin
dan
amilosa
dapat
dipisahkan
dengan
cara
melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). 3. Granula Pati Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis yang tersusun terpusat. Bentuk dan ukuran granula bervariasi tergantung jenis patinya (Tabel 5) (Hodge dan Osman, 1976). Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).
60
Tabel 5. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (µm)
Bentuk granula
Padi
3-8
Poligonal
Gandum
20-35
Lentikular atau bulat
Jagung
15
Polihedral atau bulat
Sorgum
25
Bulat
Rye
28
Lentikular atau bulat
Barley
20-25
Bulat atau elips
Sumber: Hoseney (1998). 4. Proses Pembuatan Pati. Pati jagung merupakan hasil penggilingan basah dari jagung pipilan. Selama lebih dari 150 tahun, penggilingan basah digunakan untuk memisahkan komponen-komponen jagung menjadi beberapa produk bernilai tambah yang tinggi. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan ternak, minyak jagung, dan lain-lain (Corn Refiner Assosiation, 2002). Dalam penggilingan basah terdapat lima langkah dasar proses. Pertama-tama, jagung pipilan diperiksa persyaratan mutunya. Tahap selanjutnya adalah pembersihan (inspection and cleaning). Jagung yang lolos inspeksi direndam selama 30-40 jam untuk memperlunak jaringan agar pati mudah diekstrak dan untuk menguraikan ikatan protein (steeping). Jagung yang sudah direndam dimasukkan ke coarse grinder untuk memisahkan lembaga yang tersisa pada kernel (germ separation). Pada tahap ini sekaligus dilakukan penggilingan (fine grinding and screening). Lumpur yang tersisa masih mengandung serat, pati, dan protein. Pati dipisahkan dari lumpur tersebut didalam hidroklon (Corn Refiner Assosiation, 2002).
61
perendaman
Pemisahan lembaga
Penggilingan pengayakan
serat jagung
Pemisahan gluten dan pati
fermentasi
gluten Pemurnian sirup
Pemurnian minyak lembaga
Minyak jagung
Konversi pati
Pakan hewan
Pengeringan pati
pati
Pemanis (HFS)
alkohol
Gambar 3. Diagram penggilingan jagung teknik basah di industri besar. D. GELATINISASI 1. Konsep Gelatinisasi Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979). Beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat transluen. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas
62
disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat di bawah mikroskop sehingga terlihat kristal gelap terang (Collison, 1968). 2. Mekanisme Gelatinisasi Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 persen dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekulmolekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatanikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin melemah. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air juga makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun, maka air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula makin besar (Mayer, 1982).
63
Pada akhirnya, jika suhu suspensi tetap semakin naik maka granula pati akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan (Hodge dan Osman, 1976). McCready (1970) menyatakan bahwa mekanisme gelatinisasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap. Pertama, air akan secara perlahanlahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula. Kemudian pada suhu antara 5oC, granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya akan kehilangan sifat birefringence. Ketiga, jika temperatur tetap naik, maka molekul-molekul pati terdifusi ke luar granula. 3. Suhu Gelatinisasi Fennema (1996) menyatakan bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada berbagai jenis pati (Tabel 6). Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC) Beras
65-73
Ubi jalar
82-83
Tapioka
59-70
Jagung
61-72
Gandum
53-64
Sumber: Fennema (1996) Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya (Mc Cready, 1970). Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, energi, yang diperlukan untuk mengembang. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan
64
(Collison,1968). Menurut Wirakartakusumah (1981), keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. 4. Sifat Birefringence Dengan pengamatan di bawah mikroskop (polarizing microscope) dapat diketahui keberadaan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan, dan meningkatnya molekul pati yang terpisah, serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).
E. MI BASAH 1. Definisi Mi Basah Dewan Standarisasi Nasional (1992) mendefenisikan mi basah sebagai produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah merupakan mi dengan kadar air maksimal 35% (b/b).
65
Tabel 7. Syarat mutu mi basah*) No 1
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan : 1.1 Bau
Normal
1.2 Rasa
Normal
1.3 Warna
Normal
2
Air
% (b/b)
20-35
3
Abu (berdasarkan berat kering) Protein ((N x 6,26) berdasarkan berat kering) Bahan tambahan makanan
% (b/b)
Maks. 3
% (b/b)
Min. 3
4 5
5.1 Boraks dan asam borat
Tidak boleh ada
5.2 Pewarna
Sesuai SNI-0222-M dan peraturan Menkes No. 722/Men.Kes/per/IX/88
5.3 Formalin
Tidak boleh ada
*) SNI 01-2987-1992 Mi basah dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan proses pembuatannya yaitu mi basah mentah dan mi basah matang. Pada proses pembuatan mi basah matang terdapat tambahan proses yaitu pematangan mi dengan cara pengukusan atau perebusan dan pelumuran dengan minyak sawit sehingga kadar airnya dapat meningkat hingga 52%. Pada proses pembuatan mi basah mentah tidak diperlukan tahapan tersebut. Bahan yang digunakan untuk membuat mi basah terbagi atas dua bagian yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Terdapat dua jenis bahan baku utama yang sering digunkan untuk membuat mi basah yaitu terigu dan pati aren. Mi basah dengan bahan baku pati aren dikenal masyarakat sebagai mi ”geleser” (Badrudin, 1994). Bahan tambahan yang biasa digunakan adalah garam, air abu, telur, bahan pengembang, zat pewarna, dan minyak goreng.
66
Menurut Astawan (2004), fungsi dari tepung terigu dalam pembuatan mi adalah sebagai bahan pembentuk struktur dan sumber karbohidrat serta protein. Air berfungsi sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, pelarut garam, dan pembentukan sifat kenyal gluten (Winarno dan Rahayu, 1994). Fungsi garam adalah memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air,
meningkatkan
fleksibilitas mi. Air abu berfungsi untuk
elastisitas dan
mempercepat pembentukan
gluten, meningkatkan sifat kenyal. Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan. Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mie sedangkan bumbu-bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu. Di dalam pembuatan mi kadang-kadang ditambahkan CMC (Carboxyl Metil Cellulose) sebagai bahan pengembang dan bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan. 2. Proses Pembuatan Mi Basah Proses pembuatan mi basah terdiri atas beberapa tahapan yaitu pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, pemotongan, pematangan, dan pelumuran dengan minyak sawit. Tahapan pembuatan mi basah dapat dilihat pada Gambar 4. Pencampuran bahan bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran, dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam proses pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran, sedanngkan jika lebih dari 38% adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Waktu pengadukan terbaik adalah 15-25 menit (Badrudin, 1994). Suhu adonan yang terbaik adalah 25-40oC.
67
Terigu ↓ Pencampuran bahan ↓ Pengadukan ↓ Pembentukan lembaran ↓ Pemotongan ↓ Pengukusan / perebusan ↓ Pemberian minyak goreng ↓ Mi basah Matang Gambar 4. Diagram alir pembuatan mi basah secara umum Tahap selanjutnya adalah pembentukan lembaran. Tujuan proses ini adalah untuk menghaluskan serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga dihasilkan mi yang elastis, kenyal, dan halus. Lembaran mi yang dihasilkan kemudian dipotong dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm. Untaian mi yang dihasilkan kemudian dikukus agar diperoleh mi basah matang. Mi basah matang dapat juga diperoleh dengan menganti pengukusan dengan perebusan. Proses pematangan ini bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Gelatinisasi menyebabkan pati meleleh sehingga terbentuk lapisan tipis pada permukaan mi yang memberikan kelembutan
68
pada mi, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi mi. Tahap akhir pembuatan mi basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran dengan minyak sawit dilakukan agar untaian mi tidak lengket satu sama lain serta untuk memperbaiki penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005).
F. MI JAGUNG Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung jagung. Mi jagung belum banyak diperdagangkan, namun penelitian mengenai mi ini telah banyak dilakukan. Jenis mi jagung yang banyak dikembangkan adalah mi instan dengan pertimbangan jenis mi ini memiliki daya simpan yang lebih tinggi. Proses pembuatan mi jagung hampir sama dengan mi terigu. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan terdiri dari pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endosperm dalam jagung 60% terdiri atas zein (Vasal, 2001). Pada gandum, protein total endospermnya terdiri dari gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutelin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat membentuk massa yang elastis-cohesive bila ditambah air dan diuleni. Pada protein gandum, walaupun gluten merupakan senyawa yang tidak larut air karena satu asam aminonya merupakan residu yang kepolarannya netral, tetapi cukup hidrofilik untuk bersatu dengan pati mengabsorpsi air dalam adonan. Tendensi yang kuat dari glutamin residu yang memiliki ikatan hidrogen memberikan kontribusi yang besar terhadap viskoelastik properti dari gluten. Gluten juga memiliki jumlah sisi rantai nonpolar yang relatif banyak. Keadaan ini memberikan efek ketidaklarutan gluten dalam air dan memberikan sifat kohesif dengan menggunakan ikatan hidrofobik (Bushuk dan Wrigley, 1971).
69
Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung dengan air 1:1 (Juniawati, 2003). Lama waktu pengukusan tergantung pada jumlah adonan yang dimasak ( Juniawati, 2003). Mi yang telah dicetak tidak dapat langsung dikeringkan karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua. Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga sulit dicetak (Juniawati, 2003). Proses pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003). Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003). Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan Syed Zakiuddin (Anonimc, 2005). Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut : 1. Jagung dibuat menjadi grit 2. Grit jagung direndam dalam larutan sulfur dioksida
70
3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung 4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh 5. Tepung ditambah garam dan air 6. Campuran dikukus untuk membentuk tekstur tepung 7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan yang homogen 8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk untaian mi 9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan (Anonimc, 2005) Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite, dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian di ekstrusi. Mi hasil ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit. Perendaman
dalam
larutan
sulfur
dioksida
diketahui
dapat
menyebabkan matrix protein mengalami pembengkakan gradual dan akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Anonimc, 2005). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan produk. Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit, cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, Elastic recovery kandungan amilosa
12.1-12.5%, dan
30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan
belum memenuhi standar waktu pemasakan mi instan yang hanya 4 menit (Anonimc, 2005).
71
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdari atas bahan baku utama dan bahan tambahan serta bahan-bahan kimia. Baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung kering panen dan jagung pipil kering dari jenis Srikandi Kuning-1 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah garam, baking powder, dan guar gum. Bahan kimia yang digunakan adalah HCl 0,5 N, KOH 0,2 N, iodin, akuades, heksana, H2SO4 pekat, HgO, larutan NaOH-Na2SO3, larutan asam borat jenuh, larutan HCl 0,02 N, larutan iodium, dan indikator (campuran 2 bagian Metil Merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian Metilen biru dalam 0,2% alkohol). Alat-alat yang digunakan pada proses pembuatan mi basah jagung adalah penggiling batu (stone mills), saringan, ember, neraca, mesin mi, steamer, dan oven. Alat-alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik dan kimia mi basah jagung adalah Rheoner, Chromameter, Texture Analyser, jangka sorong, sentrifuse, stirer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, magnetic stirer, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjedahl, oven, cawan aluminium, spektrofotometer, blender, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.
B. METODOLOGI 1. Tahapan Penelitian a. Karakterisasi Jagung Srikandi Kuning Karakteristik tiap jenis jagung berbeda. Oleh karena itu sebelum dilakukan kajian proses selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap jagung yang digunakan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi pengukuran sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein
72
kasar, kadar lemak kasar, dan kadar karbohidrat) dan sifat fisik (warna dan ukuran biji jagung).
b. Kajian pembuatan tepung jagung Pembuatan tepung jagung dilakukan dengan menggunakan penggiling batu. Tahap-tahap pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 5. Jagung kering panen pipil ↓ Pencucian ↓ Perendaman selama 6 dan 12 jam ↓ Penggilingan basah dengan alat penggiling batu ↓ Penyaringan dengan kain batis ↓ Pengendapan untuk memperoleh tepung jagung ↓ Dekantasi ↓ Sentrifugasi ↓ Tepung Jagung Basah ↓ Pengeringan dengan oven bersuhu 45 oC hingga kadar air 10% ↓ Tepung Jagung Kering Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan tepung jagung
73
Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah kemudahan penggilingan biji jagung, rendemen tepung jagung basah, dan karakteritik tepung jagung yang dihasilkan. Karakterisasi tepung jagung yang dilakukan meliputi pengukuran sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, dan kadar karbohidrat) dan pengukuran warna.
c. Kajian Pembuatan Mi basah Jagung Prinsip pembuatan mi basah jagung pada dasarnya sama dengan pembuatan mi basah berbasis terigu. Namun, jagung tidak memiliki gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang plastis dan kohesif. Oleh karena itu, diperlukan tahap pengukusan pada pembuatan mi basah jagung. Pengukusan diperlukan untuk membentuk adonan mi yang lunak, kohesif, dan cukup plastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran mi. Untaian mi yang dihasilkan kemudian direbus untuk mematangkan mi. Pada tahap ini, dilakukan percobaan dengan berbagai perbandingan antara pati yang dipregelatinisasi dan yang tidak dipreglelatinisasi yaitu 50:50, 55:45, 60:40, 65:35, 70:30, 75:25, dan 80:20. Pati yang dipregelatinisasi adalah tepung basah dengan kadar air sekitar 50% dan dikukus selama 5 menit. Sedangkan yang tidak dipregelatinisasi adalah tepung kering. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan percobaan perebusan dengan beberapa taraf waktu yaitu 1, 1,5, dan 2 menit. Tahapan pembuatan mi basah jagung dapat dilihat pada Gambar 6. bagian tepung basah, garam, dan baking powder bagian tepung kering ↓ Pengukusan (3 menit) ↓ @
74
@ ↓ Pencampuran ↓ Pressing ↓ Slitting ↓ Perebusan dalam air mendidih dengan perbandingan 1:10 (w/w) selama 1, 1.5, 2 menit ↓ Perendaman dalam air dingin selama 10 detik ↓ Mi basah Jagung Gambar 6. Diagram alir pembuatan mi basah Jagung Parameter yang diamati pada tahap ini adalah kelengketan adonan di mesin mi, kemudahan patah, dan tingkat kematangan mi setelah perebusan.
Pengamatan terhadap parameter-parameter ini
dilakukan secara visual.
d. Kajian Perbaikan Karakteristik Mi Basah Jagung Setelah diperoleh rancangan proses yang optimal, dilakukan formulasi mi basah jagung. Formulasi mi basah jagung dilakukan untuk mendapatkan mi basah dengan karakteristik yang lebih baik. Perbaikan karakeristik yang dilakukan dalam penelitian ini ditekankan pada minimalisasi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan perbaikan persen elongasi mi. Reduksi KPAP dilakukan dengan menambahkan guar gum dalam berbagai konsentrasi. Sedangkan perbaikan persen elongasi dilakukan dengan memvariasikan waktu pengukusan yaitu selama 5, 7, dan 9 menit. Formula yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.
75
Tabel 8. Formula mi basah jagung
0,6
Baking powder (%) 0,2
Guar gum (%) 0
Waktu pengukusan (menit) 5
30
0,6
0,2
0,3
5
70
30
0,6
0,2
0,6
5
Formula 3
70
30
0,6
0,2
1
5
Kontrol 2
70
30
0,6
0,2
0
7
Formula 4
70
30
0,6
0,2
0,3
7
Formula 5
70
30
0,6
0,2
0,6
7
Formula 6
70
30
0,6
0,2
1
7
Kontrol 3
70
30
0,6
0,2
0
9
Formula 7
70
30
0,6
0,2
0,3
9
Formula 8
70
30
0,6
0,2
0,6
9
Formula 9
70
30
0,6
0,2
1
9
Pati yang terpregelatinisasi (%)
Jumlah pati yang tidak terpregelatinisasi (%)
Garam (%)
Kontrol 1
70
30
Formula 1
70
Formula 2
Formula
Ket : Persentase bahan tambahan yang digunakan berdasarkan bobot total pati yang digunakan.
76
Parameter yang diukur terdiri atas derajat gelatinisasi pati yang dipregelatinisasi dan sifat fisik serta sifat kimia mi basah jagung. Parameter fisik yang diukur meliputi warna, persen elongasi, resistensi terhadap tarikan, kekerasan, kelengketan, dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu dilakukan juga pengukuran sifat fisik mi geleser yang berfungsi sebagai standar. Sifat kimia yang diukur meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, dan kadar karbohidrat) mi dengan formulasi yang optimum.
2. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian perbaikan karakteristik mi adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua kali ulangan. Model faktorial RAL yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yijk = μ + α i + β j + (αβ )ij + εijk Dengan : Yijk
= respon yang terukur
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh waktu pengukusan pada taraf ke-i
βj
= pengaruh jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara waktu pengukusan pada taraf ke-i dan jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j έijk
= galat percobaan untuk lama waktu pengukusan pada taraf ke-i dan jumlah guar gum yang ditambahkan pada taraf ke-j dan ulangan ke-k
Perlakuan yang diterapkan
:
A
: pengukusan dengan taraf lima, tujuh, dan sembilan menit
B
: penambahan guar gum dengan taraf 0%, 0,3%, 0,6%, dan 1%.
79
3. Pengamatan a. Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis derajat gelatinisasi pati jagung dan analisis proksimat. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar protein kasar lemak kasarr abu. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference. a.1
Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus: Kadar air (% b.b) = c – (a – b) x 100% c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
a.2
Kadar abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 °C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 46 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
80
Kadar abu (% b.b) = c – (a – b) x 100% c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g) a.3 Kadar lemak metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstrksi (soxhlet) yang telah berisi pelarurt (dietil eter atau heksan) Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di adalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100°C hingg beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar lemak (% b.b) = a – b c
x 100%
Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g) a.4 Kadar protein metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditabahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.
81
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOHNa2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar N (%)=(ml HCl spl– ml HCl blk) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (% b.b) = % N x faktor konversi (6.25) a.5
Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L ) Keterangan : P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= abu (%)
L
= kadar lemak (%)
b. Analisa Fisik b.1 Analisa warna menggunakan metode Hunter (Hutching,1999) Sampel
ditempatkan
pada
wadah
yang
transparan.
Pengukuran menghasilkan nilai L dan derajat Hue. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Derajat Hue menunjukkan warna yang terllihat. Nilai hue dikelompokkan sebagai berikut :
82
o
Hue 342-18 : Red purple
o
Hue 162-198
: Green
o
Hue 18-54
: Red
o
Hue 306-342
: Purple
o
Hue 54-90
: Yellow red
o
Hue 270-306
: Blue purple
Hue 90-126 : Yellow
o
Hue 198-234
: Blue green
Hue 234-270 : Blue
o
Hue 126-162
:Yellow green
o o
b.2 Analisis resistensi
terhadap tarikan dan persen elongasi
menggunakan Rheoner Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mi yang akan diukur resistensi terhadap tarikan dan ekstensibilitasnya. Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gF/0,25 cm), test speed 1 mm/s, jarak antar penjepit 24 mm, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (gF) dan waktu (s). Cara perhitungan : ¾
Resistensi terhadap tarikan Resistensi terhadap tarikan = tinggi kurva (cm) x 5 gf 0,25 cm
¾
Persen elongasi b = lebar kurva (mm) x 1,5 c = (a2 + b2) ½, dimana a = ½ x jarak penjepit (mm) Δ L = (2 xc) – 24 % elongasi = (Δ L/ 24) x 100%
b.3
Analisis profil tekstur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai berikut: pre test speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, rupture
83
test distance 75%, mode measure force in compression dan force 100g. Seuntai sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gF). Profil tekstur mi dapat dilihat dengan membandingkan kemiringan
kurva
yang
dihasilkan.
Kurva
yang
landai
menunjukkan bahwa mi relatif kompressibel, sedangkan kurva yang curam menunjukkan bahwa mi relatif rigid. b.4 Pengukuran kehilangan padatan akibat pemasakan (Oh et al., 1985) Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: KPAP =
1-
berat sampel setelah dikeringkan x 100% berat awal (1- kadar air contoh)
b.5 Pengukuran dimensi Pengukuran dimensi dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Sampel diletakkan di antara penjepit, kemudian dibaca skala yang ditunjukkan. b. 6 Rendemen Rendemen (%) = a – b x 100% a
84
Keterangan : a b
= bobot awal (kg) = bobot akhir (kg)
b.7 Derajat Gelatinisasi Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan merebus 30 g tepung jagung dalam 100 ml air hingga menjadi bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi merupakan suspensi tepung dalam air. Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi 100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%,
40:60
untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%. Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masingmasing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan di-stirer kembali selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan
85
dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B. Kurva
standar
dibuat
dengan
memplotkan
derajat
gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa : Y = a + bX dimana
y
merupakan
absorbansi,
x
merupakan
derajat
gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta. Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama seperti di atas. Dan derajat gelatinisasinya dihitung dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva standar.
86
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Jagung Srikandi Kuning Jagung yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung Srikandi Kuning. Jagung ini tergolong dalam High Quallity Protein Maize (HQPM), yaitu jagung dengan kualitas protein yang tinggi. Jagung ini dipilih karena kualitas proteinnya yang tinggi dan saat ini penanaman jagung ini sedang digalakkan oleh Departemen Pertanian. Bentuk jagung Srikandi Kuning dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Biji Jagung Srikandi Kuning kering pipil Jagung Srikandi yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jagung Srikandi Kuning kering panen yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan jagung pipil kering yang diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Jagung kering panen adalah jagung tua dengan kadar air yang masih tinggi yaitu sekitar 25-35%, sedangkan jagung kering pipil adalah jagung kering panen yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 14%. Penggunaan kedua jenis jagung ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kandungan gizi pada jagung Srikandi Kuning yang belum dan sudah dikeringkan. Hal ini penting diketahui karena jagung kering panen
87
relatif sulit ditemukan di luar musim panen, sehingga jika tidak terdapat perbedaan kandungan
gizi antara keduanya, jagung kering pipil dapat
digunakan untuk menggantikan jagung kering panen. Hasil pengukuran terhadap kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kandungan gizi Jagung Srikandi Kuning Kandungan (%)(berat kering) Parameter Jagung kering panen Jagung pipil kering Kadar air
29,84
9,86
Kadar abu
1,45
1,61
Kadar protein kasar
11,10
10,50
Kadar lemak kasar
6,73
5,67
Kadar Karbohidrat
80,57
81,58
Hasil uji T (Lampiran 6) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kandungan gizi jagung Srikandi Kuning kering panen dan kering pipil, sehingga jagung kering pipil dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menggantikan jagung kering panen pada tahap penelitian selanjutnya. Jagung kering pipil dengan kadar protein yang lebih rendah daripada jagung kering panen masih dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Ini berdasarkan hasil penelitian pembuatan mi jagung sebelumnya yang dilakukan oleh Juniawati (2003) dengan menggunakan jagung non-HQPM varietas Arjuna sebagai bahan baku. Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui bahwa kadar protein jagung Srikandi Kuning yang digunakan adalah 10,50%, nilai ini sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai yang dicantumkan oleh Anomind yaitu 10,38%. Perlakuan pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar protein jagung, namun nilainya tidak berbeda nyata dengan kandungan protein pada jagung yang tidak dikeringkan. Parameter lain yang diukur adalah dimensi biji jagung yang meliputi panjang, lebar, dan tebal biji jagung. Panjang biji yang diukur adalah jarak dari ujung tipcap ke ujung biji jagung. Sedangkan lebar yang diukur adalah
88
jarak terlebar pada sisi jagung. Hasil pengukuran dimensi biji jagung dapat dilihat pada tabel 10. Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa panjang jagung Srikandi Kuning berkisar antara 10,7-11,5 mm. Sedangkan tebalnya berkisar antara 8,69 mm. Lebar jagung ini berkisar antara 4,1- 4,3 mm. Tabel 10. Hasil pengukuran terhadap dimensi jagung Panjang (mm) Lebar (mm)
Tebal (mm)
Ulangan 1
11,5
9
4,1
Ulangan 2
10,7
8,6
4,2
Ulangan 3
11,3
8,7
4,3
B. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Juniawati (2003) telah melakukan penelitian tentang penepungan jagung dan pembuatan mi instan jagung berbahan dasar tepung jagung. Proses penepungan yang dilakukan Juniawati (2003) masih kurang efektif karena langkah pengerjaan yang terlalu panjang, selain itu metode yang dikembangkan juga kurang aplikatif karena alat yang digunakan yaitu multi mill cukup sulit ditemukan di pasaran. Oleh karena itu, pada penelitian ini coba dikembangkan metode penepungan jagung dengan menggunakan penggiling batu. Alat ini dipilih
karena relatif lebih mudah ditemukan.
Penggiling batu yang digunakan merupakan penggiling kedelai yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu. Secara garis besar proses penepungan jagung terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman diperlukan untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga memudahkan penggilingan. Biji jagung direndam dalam air bersih dengan perbandingan 1:2 selama enam dan dua belas jam. Pada penelitian ini juga diujikan penggilingan biji jagung yang
89
tidak direndam. Waktu perendaman divariasikan untuk mengetahui waktu yang optimum, dimana biji jagung dapat digiling dengan hasil gilingan yang cukup halus dengan rendemen yang dihasilkan cukup besar. Biji jagung selanjutnya digiling dengan menggunakan penggiling batu. Alat ini terdiri atas feeder, dua cakram batu, motor penggerak cakram, dan saluran pengeluaran. Cakram pada alat ini terdiri atas cakram statis dan cakram dinamis. Prinsip kerja alat ini adalah menghancurkan sampel dengan gaya gesek antara sampel dengan permukaan cakram. Sampel dimasukkan melalui feeder dan langsung masuk ke dalam celah diantara kedua cakram, di sini sampel dihaluskan. Selama penggilingan, harus dialirkan air secara kontinyu. Aliran air ini berfungsi untuk mendorong sampel sehingga tidak terjadi tumpukan sampel di satu titik. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media pelarut bagi pati yang dilepaskan selama penggilingan. Hasil dari proses penggilingan ini kemudian disaring dengan kain batis. Penyaringan berfungsi untuk memisahkan pati dengan hancuran lembaga, tip cap, dan endosperm yang masih kasar. Bagian yang lolos saringan kemudian diendapkan untuk mendapatkan endapan tepung jagung. Pengendapan dilakukan sampai terbentuk dua lapisan yaitu lapisan endapan tepung jagung dan lapisan air yang jernih. Untuk mengetahui waktu perendaman yang optimum, dilakukan pengamatan setiap satu jam. Hasil pengamatan pada satu jam pertama menunjukkan bahwa mulai terbentuk endapan tetapi air masih keruh. Pada jam kedua, terbentuk tiga lapisan, lapisan terbawah adalah endapan pati, lalu lapisan suspensi pati, dan paling atas lapisan air jernih. Pada jam ketiga, masih terdapat tiga lapisan, tetapi lapisan air jernih semakin tebal, namun mulai tercium bau asam, yang menandakan mulai terjadinya kerusakan tepung jagung. Kerusakan tepung ini terjadi akibat fermentasi suspensi pati yang kaya nutrisi oleh khamir yang dapat berasal dari biji jagung itu atau dari udara. Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa waktu optimum pengendapan adalah dua jam. Tahap selanjutnya adalah pemisahan endapan tepung dari lapisan air sehingga diperoleh tepung jagung basah. Sebagian dari tepung basah ini kemudian dikeringkan dengan oven bersuhu 45oC hingga kadar air 10%. Pengeringan ini bertujuan untuk meningkatkan
90
daya simpan tepung jagung. Tepung jagung tidak dikeringkan semua agar tidak diperlukan penambahan air dari luar pada saat pembuatan adonan mi. Dari semua tahapan proses tersebut, dilakukan pengamatan terhadap hasil penggilingan dan rendemen tepung basah yang dihasilkan berdasarkan perbedaan waktu perendaman. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Pengamatan terhadap hasil penggilingan biji jagung Waktu Perendaman Hasil Penggilingan Rendemen (jam) (%) 0 Kasar 20,0 6
Halus
25,3
12
Halus
25,4
Berdasarkan data pada Tabel 11, diketahui bahwa tanpa perendaman pun biji jagung telah dapat digiling, namun hasil gilingannya masih kasar sehingga rendemen yang dihasilkan lebih sedikit. Perendaman selama enam jam sudah cukup untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga hasil penggilingannya halus dan rendemen yang dihasilkan lebih tinggi. Perendaman selama dua belas
jam memberikan hasil yang hampir sama
dengan perendaman selama enam jam dengan rendemen yang sedikit lebih tinggi. Waktu perendaman enam jam cukup optimum karena dengan waktu perendaman yang lebih singkat diperoleh hasil yang cukup baik. Rendahnya rendemen tepung yang diperoleh disebabkan belum semua pati terendapkan, yang ditunjukkan dengan adanya lapisan kedua yang berupa suspensi pati pada saat pengendapan. Namun jika waktu pengendapan ditambah akan menyebabkan kerusakan pati. Oleh karena itu, setelah tahap pengendapan, dilakukanlah sentrifugasi terhadap lapisan suspensi pati tersebut. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama lima menit. Dengan adanya sentrifugasi, rendemen tepung jagung basah dapat ditingkatkan hingga mencapai 58%.
Kesetimbangan massa pada proses
penepungan jagung dapat dillihat pada Gambar 8.
91
Jagung srikandi kering panen (100 kg)
Perendaman 6 jam
air bersih (2x kg)
↓ Penggilingan basah
air bersih (kontinyu)
↓ Penyaringan
endosperm keras, perikarp, sebagian lembaga.
↓ Pengendapan ↓ Dekantasi
air dan komponen larut air
↓ Sentrifugasi
air dan komponen larut air
↓ Tepung Jagung Basah Bobot = 58 Kg
(kadar air 50%) ↓ Pengeringan
air (25,72 Kg)
↓ Bobot = 32,22 Kg
Tepung Jagung Kering ( kadar air 10%)
Gambar 8. Diagram kesetimbangan massa proses penepungan jagung
C. Karakterisasi Tepung Jagung Hasil penggilingan basah jagung biasanya disebut sebagai pati. Namun hasil yang diperoleh dari penggilingan basah pada penelitian ini disebut tepung jagung karena penampakan dan kandungan gizinya yang lebih menyerupai penampakan dan kandungan gizi tepung jagung pada umumnya. Hal ini terjadi karena pemisahan komponen pati dan non pati hanya dilakukan dengan penyaringan, sehingga masih terdapat komponen non pati dalam produk akhir.
92
Tabel 12. Kandungan gizi berbagai tepung jagung dan pati jagung . Parameter (%) Tepung jagung** Tepung jagung Pati jagung* (metode Juniawati (berat kering) Kering Basah (2003)) Kadar air 10 50 10,21 10,9 Kadar abu
0,72
0,72
0,05
0,4
Kadar protein kasar
7,06
7,06
0,56
5,8
Kadar lemak
6,56
6,56
0,68
0,9
Kadar karbohidrat
85,48
85,46
88,5
82,0
Sumber : *) PT. Suba Indah Tbk (2004) **) Juniawati (2003)
Gambar 9. Tepung jagung kering Kandungan abu, protein kasar, dan lemak kasar pada tepung jagung lebih rendah dibandingkan pada jagung. Sedangkan kandungan karbohidrat tepung jagung lebih tinggi dari pada kandungan karbohidrat pada jagung. Penurunan kandungan beberapa zat gizi disebabkan adanya kehilangan sebagian komponen jagung seperti endosperm keras, lembaga, dan perikarp yang masih kasar pada tahap penyaringan dan adanya komponen larut air yang terbuang pada saat dekantasi dan sentrifugasi. Perhitungan kandungan karbohidrat dilakukan by difference, sehingga penurunan zat gizi lain akan meningkatkan kadar karbohidrat dalam sampel.
93
Tepung jagung kering yang dihasilkan memiliki derajat Hue 101,1 yang berarti tepung ini memiliki warna kuning. Warna kuning tepung jagung berasal dari pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Tingkat kecerahan tepung jagung ditunjukkan dengan nilai L. Semakin tinggi nilai L yang terukur semakin pucat warna aktual yang terlihat. Nilai L tepung jagung yang diukur adalah 90,91. Ini berarti tepung jagung ini memiliki warna yang sangat pucat.
D. Kajian Pembuatan Mi Basah Jagung Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi basah jagung terbagi dua yaitu bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah tepung jagung basah dan tepung jagung kering. Bahan tambahan yang digunakan adalah garam, baking powder, dan minyak sawit. Garam digunakan sebagai komponen pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Budiyah, 2004). Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga adonan tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2004). Konsentrasi garam yang ditambahkan adalah 0,6% dari total adonan. Baking powder merupakan Na2CO3:K2CO3 (2:1) mix. Baking powder dapat memperhalus tekstur mi yang dihasilkan. Konsentrasi baking powder yang ditambahkan adalah 0,2% dari total adonan. Proses pembuatan mi basah jagung terdiri atas tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian, pressing, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak sawit. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Pengukusan diperlukan agar adonan dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini terjadi karena 60% protein endosperm jagung terdiri atas zein, sedangkan pada terigu protein endospermnya terdiri atas gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat dapat membentuk massa yang elastic-cohesive bila ditambahkan air dan diuleni. Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pencampuran tepung basah jagung dengan garam dan baking powder. Campuran ini kemudian
94
dikukus selama lima menit. Pengukusan menyebabkan pati dalam tepung basah
mengalami
gelatinisasi.
Proses
gelatinisasi
diawali
dengan
pengembangan granula pati karena molekul-molekul air berpenetrasi ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Setelah pengukusan, ditambahkan tepung jagung kering ke dalam campuran ini lalu diuleni. Pengukusan menyebabkan dapat terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan. Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran. Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara roll pengepres dengan ketebalan tertentu hingga diperoleh ketebalan yang diinginkan yaitu 2 mm. Lembaran ini kemudian dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi yang terbentuk tidak mudah patah, jumlah pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai pengikat. Pati yang sudah dipregelatinisasi dapat berfungsi sebagai pengikat karena gelatinisasi menyebabkan amilosa keluar dari granula pati dan amilosa memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya (Krugar dan Murray, 1979). Untuk mengetahui pengaruh rasio antara pati yang terpregelatinisasi dan tidak terhadap kemudahan pembuatan dan tekstur mi dilakukan percobaan pembuatan
mi
dengan
berbagai
perbandingan
antara
pati
yang
terpregelatinisasi dan tidak. Perbandingan yang diujikan adalah 50:50, 55:45, 60:40, 65:35, 70:30, 75:25, dan 80:20. Untuk mengetahui perbandingan yang terbaik dilakukan pengamatan secara visual terhadap kelengketan adonan di mesin mi dan tekstur untaian mi yang dihasilkan. Pengujian tekstur dilakukan secara manual. Perbandingan yang memberikan hasil yang paling optimum digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya. Hasil pengamataan dapat dilihat pada Tabel 13.
95
Tabel 13. Perbandingan antara tepung basah dan tepung kering (waktu pengukusan 5 menit) Tepung Tepung tidak terpregelatinisasi terpregelatinisasi (%)
Hasil pengamatan
(%) Adonan tidak
Formula 1
50
50
lengket di mesin mi, mi mudah patah Adonan tidak
Formula 2
55
45
lengket di mesin mi, mi mudah patah Adonan tidak
Formula 3
60
40
lengket di mesin mi, mi mudah patah Adonan tidak
Formula 4
65
35
lengket di mesin mi, mi mudah patah Adonan tidak
Formula 5
70
30
lengket di mesin mi, mi tidak mudah patah Adonan lengket di
Formula 6
75
25
mesin mi, mi tidak mudah patah Adonan lengket di
Formula 6
80
20
mesin mi, mi tidak mudah patah
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pati yang dipregelatinisasi melebihi 70% menyebabkan adonan menjadi lengket di mesin mi. Peningkatan kelengketan ini terjadi karena semakin banyak jumlah amilosa yang keluar dari granula pati. Dan jika jumlah pati yang terpregelatinisasi kurang dari 70% mi yang dihasilkan mudah patah. Hal ini
96
terjadi karena, jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak cukup untuk membentuk massa yang kohesif, sehingga mudah patah. Perbandingan yang paling optimum adalah 70:30. Pada level ini, adonan tidak lengket di mesin mi dan mi yang dihasilkan tidak mudah patah. Tahapan penelitian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan perbandingan tersebut.
Gambar 10. Mi basah jagung mentah Untaian mi yang sudah diperoleh harus segera dimatangkan dengan cara perebusan. Penundaan perebusan dapat menyebabkan untaian mi menjadi keras dan kering akibat dari proses retrogradasi. Retrogradasi merupakan istilah bagi perubahan kondisi larutan pati dari terdisosiasi menjadi terasosiasi selama proses pendinginan yang menyebabkan penurunan kelarutan molekul pati (Wong, 1989). Perebusan ini juga berfungsi untuk menyempurnakan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula pati, dan setelah dingin amilosa akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat (Budiyah, 2004). Waktu perebusan merupakan salah satu titik kritis yang harus diperhatikan. Untuk mengetahui waktu yang optimum dilakukan percobaan perebusan mi dalam air mendidih (100oC) dengan waktu perebusan yang berbeda-beda.
97
Tabel 14. Pengaruh waktu perebusan terhadap tingkat kematangan mi Waktu perebusan Hasil Pengamatan 1 menit
Mi yang dihasilkan masih keras, belum matang sempurna
1,5 menit 2 menit
Mi yang dihasilkan sudah matang Mi yang dihasilkan sudah matang namun terlalu lunak
Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa waktu perebusan yang optimum adalah 1,5 menit. Waktu perebusan yang terlalu singkat menyebabkan mi tidak matang sempurna, sedangkan jika terlalu lama mi menjadi terlalu lunak. Mi yang telah direbus, direndam dengan air dingin selama sepuluh detik. Perendaman ini diperlukan untuk mengurangi kelengketan antar untaian mi. Selanjutnya mi ditiriskan dan dilumuri dengan minyak. Jumlah minyak yang digunakan adalah 2% dari bobot mi. Pelumuran ini berfungsi agar untaian mi tidak lengket satu sama lain selama penyimpanan serta untuk memperbaiki penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005).
Gambar 11. Mi basah jagung matang
E. Kajian Perbaikan Karakteristik Mi basah Jagung Persen elongasi mi basah jagung yang dihasilkan pada tahap penelitian sebelumnya relatif rendah dan kehilangan padatan akibat pemasakan-nya
98
relatif tinggi. Ini merupakan akibat dari kurangnya bahan pengikat sehingga ikatannya lemah dan mi mudah putus. Oleh karena itu, pada tahap ini, waktu pengukusan pati divariasikan menjadi 5, 7, dan 9 menit. Semakin lama waktu pengukusan, diharapkan semakin banyak amilosa yang keluar dari granula pati, sehingga ikatan yang terbentuk semakin kuat. Perbaikan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dilakukan dengan aplikasi bahan tambahan pangan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa di antara guar gum, carboxyl methil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3, penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss mi jagung. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan guar gum. Guar gum merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari hasil ekstraksi biji tanaman Cyamopsis tetragonoloba (Goldstein, et al., 1973). Guar gum tersusun atas rantai β-D-manopyranosyl yang berikatan dengan ikan 1→4, dan setiap residu kedua memiliki rantai samping D-galactopyranosyl yang berikatan dengan rantai utama melalui ikatan 1→6 (Belitz dan Grosch, 1999). Guar gum biasanya digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil es krim. Guar gum mengandung air sebanyak 10-15%, protein sebanyak 5-6%, serat kasar sebanyak 2,5%, dan abu sebanyak 0,5-0,8% (Belitz dan Grosch, 1999). Dibandingkan biji lokus, guar gum lebih larut air karena lebih banyak tersubtitusi oleh galaktosa (Fardiaz, 1989).
1. Derajat Gelatinisasi Pati Penentuan
derajat
gelatinisasi
dilakukan
berdasarkan
pada
intensitas warna kompleks antara amilosa dan iodin, namun ini bergantung pada kelarutan pati tergelatinisasi dalam KOH 0,2 N (Birch, et. al., 1973). Pengukuran derajat gelatinisasi dilakukan pada kesembilan formula mi basah jagung setelah tahap pengukusan pertama. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi pati, sedangkan konsentrasi guar gum berpengaruh
99
nyata dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata. Uji lanjut LSD menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi adonan dengan konsentrasi guar gum 1% berbeda nyata dengan derajat gelatinisasi adonan dengan konsentrasi guar gum 0,3% dan 0,6%. Sedangkan dengan derajat gelatinisasi adonan dengan konsentrasi guar gum 0,3% tidak berbeda nyata dengan derajat gelatinisasi adonan dengan konsentrasi guar gum 0,6%. Derajat Gelatinisasi dari sembilan formula mi basah yang diujikan dapat dilihat pada Gambar 12.
derajat gelatinisasi (%)
30 25 20 15 10 5 0 9
0.3 0.6 konsentrasi guar gum (%)
7 1
5
w ak tu pengukusan (m enit)
Gambar 12. Histogram derajat gelatinisasi pati pada berbagai formula mi basah jagung Data pada Gambar 12. menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi meningkat dengan meningkatnya waktu pengukusan pada konsentrasi guar gum yang sama. Walaupun terjadi peningkatan, waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi pati karena peningkatan yang terjadi tidak signifikan. Hal ini terjadi karena jumlah air yang terdapat dalam adonan terbatas, sehingga pati tidak dapat tergelatinisasi lagi walaupun waktu pengukusan ditambah. Sedangkan pada waktu pengukusan yang sama, derajat gelatinisasi menurun dengan pertambahan jumlah guar gum. Guar gum mempunyai sifat dapat mengikat komponen lain, termasuk air melalui ikatan hidrogen. Adanya guar gum menyebabkan air yang terdapat dalam adonan tidak dapat bebas berdifusi ke dalam granula pati. Semakin tinggi konsentrasi guar gum semakin
100
sedikit jumlah air bebas yang tersedia, sehingga gelatinisasi lebih terhambat.
2. Sifat Fisik Mi Basah Jagung a. Warna mi basah jagung Pengukuran warna mi hanya dilakukan terhadap kesembilan formula yang diujikan. Parameter warna yang diukur adalah warna tampak (ohue) dan nilai L. Nilai L menunjukkan kecerahan, semakin besar nilai L, semakin pucat warna aktual yang terlihat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa warna mi basah jagung yang dihasilkan adalah kuning. Warna kuning ini berasal dari xantofil yang merupakan pigmen alami jagung. Xantofil merupakan pigmen dari golongan karotenoid. Hasil pengukuran warna mi basah dengan menggunakan kromameter dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil pengukuran warna mi basah jagung o Interpretasi warna NO Formula Hue 1.
Formula 1
93,3
Kuning
2.
Formula 2
92,8
Kuning
3.
Formula 3
93,2
Kuning
4.
Formula 4
92,9
Kuning
5.
Formula 5
92,8
Kuning
6.
Formula 6
92,6
Kuning
7.
Formula 7
92,8
Kuning
8.
Formula 8
92,7
Kuning
9.
Formula 9
92,9
Kuning
Hasil analisis ragam (lampiran 1) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap kecerahan warna mi. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa kecerahan warna mi yang dihasilkan dengan pengukusan lima menit dan sembilan menit
101
berbeda nyata dengan kecerahan mi yang dihasilkan dengan pengukusan tujuh menit. Sedangkan kecerahan warna mi dengan pengukusan lima menit tidak berbeda nyata dengan kecerahan mi dengan pengukusan sembilan menit. Kecerahan warna mi dengan penambahan guar gum 0,3% dan 1% berbeda nyata dengan kecerahan warna mi dengan penambahan guar gum 0,6%. Sedangkan kecerahan warna mi dengan penambahan guar gum 0,3% tidak berbeda nyata dengan kecerahan mi dengan penambahan guar gum 1%. Kecerahan
nilai L
warna mi basah jagung dapat dilihat pada Gambar 13.
80 79 78 77 76 75 74 73 72 71 70 69
0.3
5
1 7
9
k ons entras i guar gum (%)
w aktu pe nguk usan (m enit)
Gambar 13. Histogram nilai L berbagai formula mi Gambar 13. menunjukkan bahwa nilai L yang terukur berkisar antara 72,86-79,39. Pada waktu pengukusan yang sama, kecerahan warna mi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi guar gum dari 0,3% menjadi 0,6%. Namun peningkatan konsentrasi guar gum menjadi 1% menurunkan nilai kecerahan. Pada konsentrasi guar gum yang sama, penambahan waktu pengukusan dari 5 menit menjadi 7 menit
menurunkan
kecerahan,
sedangkan
penambahan
waktu
pengukusan menjadi 9 menit meningkatkan kecerahan warna mi. Perlakuan panas dapat menyebabkan kandungan karotenoid dalam bahan pangan menurun, stabil, bahkan meningkat (Kidmose, et. al., 2002). Penurunan kecerahan dapat terjadi karena degradasi pigmen oleh panas sehingga menurunkan jumlah pigmen dalam bahan.
102
Peningkatan kecerahan terjadi karena pemanasan dapat menyebabkan kerusakan dinding sel, kehilangan air, dan inaktivasi enzim sehingga meningkatkan kemapuan ekstraksi pigmen. Waktu pemanasan yang semakin lama menyebabkan semakin banyak pigmen yang dapat diekstrak, sehingga warnanya menjadi lebih cerah. b. Persen Elongasi dan Resistensi terhadap tarikan Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang mi yang mengalami tarikan. Resistensi terhadap tarikan adalah nilai yang menggambarkan kemampuan maksimum mi untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Persen elongasi dan resistensi terhadap tarikan merupakan parameter yang paling sering diukur untuk mengetahui sifat fisik mi. Mi yang diinginkan adalah mi dengan nilai elongasi dan resistensi terhadap tarikan yang relatif tinggi. Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perbedaan waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap persen elongasi mi dari kesembilan formula, sedangkan konsentrasi guar gum berpengaruh nyata terhadap persen elongasi. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap persen elongasi mi. Waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap elongasi mi karena waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi pati. Hasil uji lanjut LSD terhadap pengaruh konsentrasi guar gum menunjukkan bahwa persen elongasi mi dengan penambahan guar gum 0,3% berbeda nyata dengan persen elongasi mi dengan penambahan 0,6% dan keduanya berbeda nyata dengan persen elongasi mi dengan penambahan guar gum 1%. Konsentrasi guar gum yang semakin tinggi menurunkan derajat gelatinisasi pati, sehingga hanya terdapat sedikit amilosa yang dapat berfungsi sebagai pengikat sehingga mi mudah dideformasi. Hasil pengukuran elongasi mi dapat dilihat pada Gambar 14.
103
15 10 5 5 waktu 7 pengukusan 9 (menit)
Elongasi(%)
20
0 0.6
1
0.3
0
konsentrasi guar gum(%)
Gambar 14. Histogram elongasi mi basah jagung Hasil pengukuran pada Gambar 14. menunjukkan bahwa pada waktu pengukusan yang sama, persen elongasi menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum. Pada konsentrasi guar gum yang sama, persen elongasi menurun dengan bertambahnya waktu pengukusan. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pada mi basah jagung tanpa penambahan guar gum (kontrol), elongasi mi meningkat dengan
meningkatnya
pengukusan,
waktu
meningkatkan
pengukusan.
derajat
Peningkatan
gelatinisasi
pati
waktu
walaupun
peningkatannya tidak signifikan. Ini menyebabkan semakin banyak amilosa yang berdifusi keluar dan mampu berfungsi sebagai pengikat. Data menunjukkan penambahan guar gum mampu meningkatkan elongasi mi. Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% terhadap resistensi maksimum (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perbedaan waktu pengukusan, konsentrasi guar gum dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap resistensi mi dari kesembilan formula. Waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap resistensi mi karena waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi. Hasil pengukuran resistensi terhadap tarikan dapat dilihat pada Gambar 15.
104
r e s is te n s i m a k s im u m te r h a d a p ta r ik a n (g F )
12 10 8 6 4 2 0 5 waktu 7 pengukusan (menit)
9
0
0.3
0.6
1
konsentrasi guar gum (%)
Gambar 15. Histogram resistensi berbagai mi basah jagung Hasil pengukuran pada Gambar 15. menunjukkan bahwa pada waktu pengukusan yang sama, resistensi terhadap tarikan menurun dengan bertambahnya konsentrasi guar gum. Pada konsentrasi guar gum yang sama, resistensi terhadap tarikan menurun dengan bertambahnya waktu pengukusan. Gambar ini juga menunjukkan bahwa pada adonan tanpa penambahan guar gum (kontrol), resistensi mi meningkat dengan meningkatnya waktu pengukusan. Peningkatan waktu pengukusan, meningkatkan jumlah amilosa yang keluar dari granula pati, sehingga semakin banyak komponen yang mampu berfungsi sebagai pengikat. Data juga menunjukkan penambahan guar gum mampu meningkatkan resistensi mi terhadap tarikan. Ini disebabkan guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponenkomoponen lain dalam adonan sehingga terbentuk massa yang lebih kompak. c. Profil tekstur. Profil tekstur yang diukur meliputi rigiditas, kekerasan, dan kelengketan mi. Kekerasan yang dimaksud di sini adalah besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menekan sampel hingga ketebalan tertentu. Sedangkan kelengketan merupakan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan sampel dari probe. Sifat mi dapat ditentukan dengan mengaitkan besar gaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menekan mi hingga ketebalan tertentu.
105
Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 3) menunjukkan bahwa waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi basah jagung. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa kekerasan mi dengan pengukusan selama lima menit berbeda nyata dengan kekerasan mi dengan pengukusan tujuh dan sembilan menit. Pengukusan selama tujuh dan sembilan menit tidak menyebabkan perbedaan kekerasan mi yang nyata. Uji lanjut LSD terhadap pengaruh konsentrasi menunjukkan bahwa setiap level konsentrasi guar gum yang digunakan menyebabkan perbedaan kekerasan yang nyata. Peningkatan konsentrasi guar gum dapat menurukan kekerasan mi, karena guar gum dapat mengikat air. Semakin tinggi konsentrasi guar gum, semakin banyak air yang dapat diikat, sehingga kekerasannya menurun. Semakin lama waktu pengukusan, dapat menyebabkan terjadinya penguapan air. Jumlah air yang berkurang menyebabkan mi menjadi lebih keras. Data kekerasan mi basah jagung dapat dilihat pada Gambar 16.
1400
kekerasan (gF)
1200 1000 800 600 400 200 0 0.3
0.6
kons entras i guar gum (%)
7 1
5
9 w aktu pe ngukus an (m enit)
Gambar 16. Histogram kekerasan mi dari berbagai formula Berdasarkan Gambar 16. diketahui bahwa pada waktu pengukusan
yang
sama,
peningkatan
konsentrasi
guar
gum,
menurunkan kekerasan mi basah jagung. Sedangkan pada konsentrasi
106
guar gum yang sama, penambahan waktu pengukusan, meningkatkan kekerasan mi basah jagung. Hasil analisis ragam dengan taraf kepercayaan 95%, (Lampiran 4) menunjukkan bahwa waktu pengukusan, konsentrasi guar gum, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap kelengketan mi basah jagung. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa kelengketan mi dengan pengukusan selama lima menit berbeda nyata dengan kelengketan mi dengan pengukusan tujuh dan sepuluh menit. Pengukusan adonan selama tujuh dan sembilan menit tidak menyebabkan perbedaan kelengketan mi basah yang nyata. Uji lanjut LSD terhadap pengaruh konsentrasi menunjukkan bahwa kelengketan mi dengan penambahan guar gum 0,3% berbeda nyata dengan kelengketan mi dengan penambahan guar gum sebanyak 0,6% dan 1%. Sedangkan kelengketan mi dengan penambahan guar gum 0,6% tidak berbeda nyata dengan kelengketan mi dengan penambahan guar gum 1%. Data kelengketan mi basah jagung dapat dilihat pada gambar 17.
kelengketan (gF)
600 500 400 300 200 100 0 9
0.3
7
0.6 1
5
k ons entrasi guar gum (%)
w ak tu pe nguk us an (m enit)
Gambar 17. Histogram kelengketan mi dari berbagai formula Data pada Gambar 17. menunjukkan bahwa pada waktu pengukusan
yang
sama,
kelengketan
mi
meningkat
dengan
meningkatnya jumlah guar gum yang digunakan. Dan pada konsentrasi guar gum yang sama, kelengketan mi meningkat dengan bertambahnya waktu pengukusan. Peningkatan konsentrasi guar gum menyebabkan peningkatan jumlah air yang diikat, sehingga terjadi peningkatan
107
kelengketan mi. Waktu pengukusan yang semakin lama menyebabkan semakin banyak amilosa yang keluar dari granula pati. Amilosa ini merupakan komponen pati yang menimbulkan kelengketan. Profil tekstur mi basah jagung yang dihasilkan ditentukan berdasarkan kemiringan (slope) kurva yang menghubungkan kekerasan dengan waktu. Nilai kemiringan yang semakin besar menunjukkan bahwa mi bersifat rigid. Artinya dibutuhkan gaya yang besar untuk menekan mi hingga ketebalan tertentu. Sedangkan mi dengan nilai kemiringan yang lebih kecil bersifat kompresibel, artinya untuk mendeformasi mi dibutuhkan gaya yang relatif lebih kecil. Hasil perhitungan terhadap kemiringan kurva antara kekerasan dan waktu dapat dilihat pada Gambar 18.
90 80 70 slope
60 50 40 30 20 10 0 0.3
0.6
1 konsentrasi guar gum(%)
5
7
9 waktu Pengukusan (menit)
Gambar 18. Histogram kemiringan kurva yang menghubungkan kekerasan dan waktu mi dari berbagai formula Gambar 18. menunjukkan bahwa pada waktu pengukusan yang sama, peningkatan konsentrasi guar gum menurunkan nilai kemiringan kurva. Sedangkan pada konsentrasi guar gum yang sama, peningkatan waktu pengukusan meningkatkan nilai kemiringan kurva. Ini berarti bahwa peningkatan konsentrasi guar gum menurunkan rigiditas mi, sedangkan peningkatan waktu pengukusan meningkatkan rigiditas mi. Peningkatan konsentrasi guar gum dapat menurukan rigiditas mi, karena guar gum dapat mengikat air. Semakin tinggi konsentrasi guar
108
gum, semakin banyak air yang dapat diikat, sehingga rigiditasnya menurun. Semakin lama waktu pengukusan, dapat menyebabkan terjadinya penguapan air, sehingga mi menjadi lebih rigid.
d. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) KPAP merupakan salah satu parameter mutu yang penting diketahui karena berkaitan kehilangan energi dan kualitas mi setelah dimasak. Padatan yang hilang selama pemasakan adalah pati yang tidak terikat kuat (Fadlillah, 2005). Nilai KPAP yang diinginkan adalah yang relatif kecil. Hasil sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap KPAP mi yang dihasilkan, sedangkan konsentrasi guar gum yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap KPAP mi basah jagung. Interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut LSD terhadap pengaruh konsentrasi guar gum yang ditambahkan menunjukkan bahwa besarnya KPAP mi basah jagung dengan penambahan guar gum 0,3% tidak berbeda nyata dengan nilai KPAP mi basah jagung dengan penambahan guar gum 1%, namun nilai KPAP keduanya berbeda nyata dengan nilai KPAP mi basah jagung dengan penambahan guar gum 0,6%. Data hasil pengukuran KPAP dapat dilihat pada Gambar 19.
14 12 10 KPAP(%)
8 6 4 2 5
waktu pe ngukusan (me nit)
7
9
0.6
0
0
konse ntrasi guar gum(%)
Gambar 19. Histogram KPAP mi dari berbagai formula
109
Berdasarkan data pada Gambar 19, diketahui bahwa pada waktu pengukusan yang sama, terjadi penurunan nilai KPAP dengan peningkatan jumlah guar gum yang digunakan hingga 0,6%, namun peningkatan jumlah guar gum hingga 1% menyebabkan kenaikan nilai KPAP. Sedangkan pada konsentrasi guar gum yang sama, penambahan waktu pengukusan, menurunkan nilai KPAP mi basah jagung. Data pada Gambar 17. juga menunjukkan bahwa penggunaan guar gum dengan konsentrasi 0,6% dapat menurunkan KPAP. Peningkatan konsentrasi guar gum hingga konsentrasi tertentu dapat menurukan nilai KPAP mi, karena guar gum dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut tidak lepas. Semakin tinggi konsentrasi guar gum, semakin besar kemampuan pengikatan. Namun setelah mencapai konsentrasi optimum, kemampuan mengikat guar gum menurun. Semakin lama waktu pengukusan, semakin banyak amilosa yang keluar dari granula pati, sehingga semakin banyak amilosa yang dapat berfungsi sebagai pengikat. Namun derajat gelatinisasi antara waktu pengukusan yang berbeda tidak berbeda nyata, sehingga waktu pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap KPAP mi yang dihasilkan.
3. Sifat Kimia Mi Basah Jagung Sifat kimia mi yang diukur meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, dan kadar karbohidrat). Pengukuran ini hanya dilakukan terhadap mi dengan kondisi proses dan formula yang paling optimum. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa formula yang memberikan hasil paling optimum di antara kesembilan formula yang diujikan adalah formula 2 yaitu mi dengan penggunaan guar gum 0,6% dan waktu pengukusan 5 menit. Persen elongasi dan resistensi formula ini cukup tinggi yaitu 14,7% dan 9,9 gF. Kekerasan, kelengketan, dan KPAP formula ini cukup rendah yaitu 736,49 gF, 558,48 gF, dan 10,10%. Formula ini juga memberikan keuntungan dari
110
segi ekonomi, karena dengan waktu pengukusan yang singkat diperoleh hasil yang optimum. a) Kadar Air Mi basah jagung memiliki kadar air 62,03%. Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat menentukan kualitas bahan pangan tersebut. Kadar air berkaitan dengan umur simpan produk. b) Kadar abu Kadar abu mi basah jagung adalah 0,82% (berat kering). Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral dalam suatu bahan pangan. Semakin tinggi kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar mineral yang terkandung. Kadar abu mi basah lebih tinggi dari pada kadar abu tepung jagung karena adanya penambahan garam dalam pembuatan mi basah jagung. Garam merupakan salah satu sumber mineral. Tabel 16. Komposisi mineral pada jagung (mg/100g) Komposisi Kandungan Fosfor
310
Potasium
330
Kalsium
30
Magnesium
140
Besi
Sumber
2
Tembaga
0,2
Mangan
0,6
: Hoseney (1998)
c) Kadar protein kasar Kadar protein kasar adalah 7,63 % (berat kering). Nilai protein mi jagung ini sudah memenuhi SNI 01-2987-1992 yang menyebutkan bahwa minimal mi basah harus mengandung protein sebanyak 3%. Mi basah jagung memiki kadar protein yang lebih tinggi daripada tepung
111
jagung karena adanya tambahan protein dari guar gum. Tepung guar gum mengandung protein sebanyak 5-6% (Belitz dan Grosch, 1999). d) Kadar lemak Kadar lemak mi basah jagung 7,05%. Lemak yang terdapat pada mi basah jagung berasal dari tepung jagung dan minyak nabati yang ditambahkan. Kandungan lemak pada mi jagung lebih tinggi dari pada kandungan lemak pada tepung jagung. Hal ini disebabkan adanya penambahan minyak sawit. e) Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat mi basah jagung adalah sebesar 59,18%. Tingginya kadar karbohidrat mi basah jagung menunjukkan bahwa mi ini cocok untuk dijadikan sebagai sumber energi.
4. Perbandingan Karakter Mi Basah Jagung Dengan Mi Terigu Dan Mi Geleser Mi berbahan terigu merupakan mi yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat umum, sehingga terbentuk persepsi bahwa karakter mi yang baik adalah yang menyerupai karakter mi terigu. Oleh karena itu, mi terigu digunakan sebagai pembanding. Mi geleser merupakan mi yang terbuat dari pati sagu aren. Penggunaan mi geleser sebagai standar didasari pemikiran bahwa mi geleser merupakan mi non-terigu yang sudah cukup komersial. Karakter mi jagung yang dibandingkan adalah yang berasal dari formula yang paling optimum. Tabel 17. Perbandingan karekter mi basah jagung dengan mi terigu dan mi geleser Karakter Mi basah Jagung Mi terigu Mi geleser Elongasi (%) 14,7 98,40 33,36 Resistensi terhadap 9,9 38 14,4 tarikan(gF) Kekerasan (gF) 736,49 2388,7 598,6 Kelengketan (gF) 558,48 423,16 82,52 KPAP (%) 10,10 10,84 -
112
Data pada Tabel 17. menunjukkan bahwa nilai elongasi dan kekerasan mi jagung jauh di bawah terigu. Nilai resistensi mi basah jagung tidak berbeda jauh dengan nilai resistensi mi geleser, namun nilainya hanya seperempat nilai resitensi mi terigu. Sedangkan nilai KPAP dan kelengketan mi terigu dan mi jagung tidak berbeda jauh. Data ini menunjukkan bahwa karakter mi jagung yang harus diperbaiki adalah elongasi dan resistensi terhadap tarikan.
F. Rekapitulasi Karakter Produk dan Variabel Proses Pengolahan Jagung Srikandi Kering Panen Menjadi Mi Basah. Rekapitulasi karakter produk dan variabel proses pada setiap tahap pengolahan dilakukan untuk mengetahui karakter produk ysng harus dicapai dari satu tahap pengolahan sebelum memasuki tahap selanjutnya. Selain itu, melalui rekapitulkasi ini dapat diketahui variabel proses yang penting dan karakter produk yang ideal. Tabel 18. Rekapitulasi Karakter Produk dan Variabel Proses Pengolahan Jagung Srikandi Kering Panen Menjadi Mi Basah. Tahapan Proses Variabel Proses Karakter Karakter Produk ideal 1. Penepungan Jagung a. Perendaman
Perbandingan air dan biji jagung 2:1,waktu perendaman 6 jam
b. Penggilingan
Air harus dialirkan secara kontinyu
Jagung mengalami pengembangan hingga 2 kali ukuran semula dan teksturnya melunak Terbentuk suspensi pati dan hancuran biji jagung yang terdiri atas perikarp, tip cap, dan endosperma keras (panjang hancuran sekitar 2 mm)
Jagung mengembang hingga 2 kali ukuran semula dan tekstur melunak Ukuran hancuran biji jagung cukup kecil
113
Lanjutan Tabel 18. Tahapan Proses
Variabel Proses
Karakter Produk Suspensi pati (bahan yang digunakan untuk tahap selanjutnya) dan hasil samping berupa hancuran lembaga, pericarp, tip cap, endosperm keras Terbentuk tiga lapisan; endapan pati, suspensi pati; air
c. Penyaringan
Menggunakan kain batis (60 mesh)
d. Pengendapan
Waktu maks. 2 jam
e. Dekantasi
-
f. Sentrifugasi
2000 rpm, 5 menit
g. Pengeringan
450C, 15 jam
Tepung jagung kering (kadar air 10%) yang bewarna kuning dan tidak terdapat penyimpangan bau
Homogenisasi campuran hingga tidak begitu lengket Ket : persentese BTP dihitung berdasarkan total tepung jagung yang digunakan.
Adonan yang terbentuk tidak begitu lengket dan dapat diangkat. Adonan bersifat opque
2. Pembuatan mi a. Pencampuran tepung jagung basah (70%) + 0,6% guar gum, 0,2% baking powder, dan 0,6% garam.
Endapan dan suspensi pati Tepung jagung basah (kadar air 50%) yang bewarna kuning dan berbau khas pati
Karakter ideal Hancuran lembaga dan serat kasar tidak ikut masuk ke dalam suspensi pati
Hanya terbentuk 2 lapisan yaitu edapan tepung jagung dan air Tepung jagung mengendap sempurna dengan hasil samping berupa air yang jernih Tepung jagung yang berwarna kuning, tidak terdapat penyimpangan bau.
114
Lanjutan Tabel 18. Tahapan Proses Variabel Proses b. Pengukusan
c.
Ketebalan adonan 1,5 cm, dikukus dengan uap air mendidih selama 5 menit
Homogenisasi Pencampuran hingga terbentuk adonan yang dengan kompak. tepung jagung kering
d. Pressing
Dimulai dari skala 0,0 hingga 1,2. Pengepressan sebanyak 50 kali
e. Slitting
-
f. Perebusan
Perbandingan air dan mi 10:1, waktu perebusan 1,5 menit
g. Perendaman
waktu 10 detik
h. Pelumuran dengan minyak sawit
Jumlah minyak yang ditambahkan 2% (w/w)
Karakter Produk Adonan sudah tergelatinisasi parsial (derajat gelatinisasi 21,7%), berwarna kuning tranparan. Adonan yang terbentuk berupa butiran-butiran pati terpregelatinisasi yang mengikat tepung jagung kering. (kadar air sekitar 38%), adonan kembali bersifat opaque Lembaran adonan yang kompak, tidak putus dan tidak lengket di mesin mi Untaian mi yang tidak mudah putus, hasil potongannya lurus dan rapi Mi matang, untaian mi sangat lengket. Mi bersifat opaque dan berwarna kuning Mi tidak saling lengket Untaian mi tidak lengket untuk waktu lama dan permukaan mi mengkilap. Karakter mi Elongasi :14.7 % Resistensi:9,9 gF
Karakter ideal
Adonan homogen, yang ditandai dengan tidak adanya bagian tepung kering yang tidak terikat dengan tepung yang terpregelatinisasi Lembaran yang kompak, tidak putus dan tidak lengket di mesin mi Untaian mi yang tidak mudah putus, hasil potongannya lurus dan rapi Mi matang yang tidak lengket.
Karakter mi Elongasi: 98,4 % Resistensi: 38 gF. Kekerasan: 2388,7 gF
115
Lanjutan Tabel 18. Tahapan Proses
Variabel Proses
Karakter Produk Kekerasan: 736,49 gF kelengketan: 558,48 gF KPAP:10,10%. kadar air 62,03% kadar abu 0,82% kadar protein 7,63% kadar lemak 7,05% kadar karbohidrat 59,18%.
Karakter ideal kelengketan: 423,16 gF KPAP:10,84%. kadar abu maks. 3 % kadar protein min. 3%
116
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Jagung Srikandi Kuning kering panen berpotensi untuk diolah menjadi mi basah jagung. Jagung ini memiliki kadar air sekitar 29,8%, kadar abu 1,45%, kadar protein kasar 11,10%, kadar lemak kasar 6,73%, dan kadar karbohidrat 80,57%. Kandungan gizi jagung Srikandi Kuning kering panen tidak berbeda nyata dengan kandungan gizi jagung Srikandi Kuning kering pipil, sehingga jagung ini dapat saling disubtitusi. Proses penepungan biji jagung terdiri atas tahap pencucian biji jagung, perendaman selama enam jam, penggilingan, penyaringan, pengendapan, sentrifugasi, dan pengeringan sebagian tepung basah. Rendemen tepung basah yang dihasilkan adalah 58%. Kadar air tepung basah mencapai 50%, sedangkan kadar air tepung kering sekitar 10%. Kandungan zat gizi lain kedua tepung ini sama yaitu protein kasar sebanyak 7,06%, lemak kasar sebanyak 6,73%, abu sebanyak 0,72%, dan karbohidrat sebanyak 85,48%. Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pencampuran 70 bagian tepung jagung basah dengan 0,6% garam dan 0,2% baking powder. Campuran ini kemudian dikukus selama lima menit. Selanjutnya dilakukan penambahan tepung jagung kering sebanyak 30 bagian, campuran ini kemudian diuleni hingga terbentuk adonan. Adonan ini kemudian dipress dan dislitting. Selanjutnya, mi direbus selama selama 1,5 menit untuk pematangan. Lalu mi direndam dalam air dingin selama 10 detik. Setelah ditiriskan, mi dilumuri dengan minyak sawit. Peningkatan
konsentrasi
guar
gum yang
diaplikasikan
dapat
menurunkan derajat gelatinisasi, persen elongasi, dan resistensi terhadap tarikan, namun menurunkan kekerasan dan kelengketan mi yang dihasilkan. Aplikasi guar gum juga dapat menurunkan KPAP. Namun penggunaan guar gum melebihi konsentrasi optimumnya dapat meningkatkan KPAP. Peningkatan waktu pengukusan tidak dapat memperbaiki persen elongasi dan resistensi mi. Namun peningkatan waktu pengukusan dapat menyebabkan penurunan KPAP.
117
Formula yang memberikan hasil paling optimum di antara kesembilan formula yang diujikan adalah mi dengan penambahan guar gum 0,6% dan pengukusan selama 5 menit. Persen elongasi dan resistensi formula ini cukup tinggi yaitu 14.7 % dan 9,9 gF. Kekerasan, kelengketan, dan KPAP formula ini cukup rendah yaitu 736,49 gF, 558,48 gF, dan 10,10%. Mi dengan formula ini memiliki kadar air 62,03%, kadar abu 0,82%, kadar protein 7,63%, kadar lemak 7,05%, dan kadar karbohidrat sebanyak 59,18%. Formula ini juga memberikan keuntungan dari segi ekonomi.
B. SARAN Mi basah jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan dalam skala industri. Namun, karakteristik mi basah jagung terutama resistensi terhadap tarikan dan elongasinya masih rendah.
Oleh
sebab itu, diperlukan eksplorasi lebih lanjut untuk dapat meningkatkan elongasi mi jagung. Selain itu, diperlukan kajian terhadap kemungkinan pemanfaatan hasil samping dari tahap pembuatan tepung jagung sebagai bahan pangan. Eksplorasi
lebih
lanjut
juga
diperlukan
sebelum
melakukan
penggandaan skala dalam pembuatan mi basah jagung. Eksplorasi dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan beberapa variabel proses yang penting yaitu derajat gelatinisasi adonan yang dipregelatinisasi (21,7%) dan kadar air adonan (38%).
118
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T. dan Widyastuti, Y. E. 2004. Meningkatkan Produksi Jagung. Penebar Swadaya, Jakarta. Anonima. 2006. Prediksi Curah Hujan di Indonesia selama Februari 2006. Early warning Buletin, Edisi 3 (Februari, 2006). LAPAN dan WFP (World Food Programme), Jakarta. Anonimb. 2005.http://www.mnsu.edu/Flint_dent_flour_ears.html Anonimc. 2005.http://www.uspto.gov/patft/index.html Anonimd. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Departemen Pertanian, Jakarta. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland. Astawan, Made. 2004. Membuat Mi dan bihun. Penebar Swadaya. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Harvested Area, Yield Rate and Production of Maize by Province (2006). Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) sebagai Bahan Pembuat Mi Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian, Jakarta. Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Birch, G. G., Brennan, J. G., Priestly, R. J., dan Sodah, A. G. 1973. The Molecular Basis of Starch Technology in New Food Product. Di dalam : Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Birch G. G. dan Green L. F. (eds). Applied Science Publishers Ltd. London Bogasari. 2005. Manual produksi mi. Departement Research and Development Bogasari. Jakarta. Budiyah. 2005. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) Dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
119
Chung, Okkyung Kim dan J. B. Ohm. 2000. Cereal Lipids. Di dalam Handbook of Cereal Science and Technology 2nd Edition Revised and Expended. Karel Kulp dan Joseph G. Ponte Jr (Eds.). Marcel Dekker, Inc. New York. Collison. 1968. Swelling Gelation of Starch. Di dalam Starch and Its Derivatives. Chapmen and Hall Ltd, London. Corn Refiner Association. 2002. Corn Refining. USA. Dashanjiang Machine Ltd. 2003. Noodle Machine.China
.
Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-01 2987-1992. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna. Jakarta. Fadlillah, H.N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan skala. Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel. Goldstein,A. M., Alter, E. N., dan Seaman, J. K. 1973. Guar Gum. Di dalam: Wistler, R.L. (ed). Industrial Gum. Academic Press. New York. Greenwood, C.T. 1975. Observation on The Structure of The Starch Granule. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Greenwood, C.T. and D. N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam T.R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Y.F. Baliwati, T. Susanto, Djamaludin, A. Daryanto, B. Setiawan, dan D. Briawan. 2003. Analisis Situasi Produksi, Pemanfaatan dan Konsumsi Pangan Pokok Non-Beras Serta Implikasi Pada Kebijakan Diversifikasi Pangan. PSKPG-IPB dan Proyek Kementrian Ristek. Hodge, J.E. and Osman, E.M. 1976. Carbohydrates. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
120
Huthcing,J. B. 1999. Food Color and Appearance, 2nd ed. Aspen publisher, Inc, Gaithersburg, Maryland. Johnson, Lawrence A. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam: Handbook of Cereal Science and Technology. Lorenz, K.J. and K. Karel (eds.). Marcell Dekker, Inc. Basel. Jugenheimer, R. W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John Willey and Sons. New York. Juniawati.2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kidmose, U., Edelenbos, M., Norbaek, R., dan Chistensen, L. P. 2002. Colour Stability in Vegetables. Di Dalam : Colour in Food Impoving Quality. MacDougall, D. B. (ed.). CRC Press, Boston. Krugar, L. H. dan Murray, R. 1979. Starch texture. Di dalam: deMann, J.M. , Voisey, P.W., Rasper, V.F., dan Stanley, D.W. (eds). Rheology and Texture in Food Quality. AVI publ. Comp. Connecticut, USA. Lasztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc. USA. McCready, R.M. 1970. Starch and Dextrin. Di dalam T. R. Muchtadi, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Meyer, C.H. 1982. Food Chemistry. Reinhold Publishing Company. New York. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mugiarti. 2001. Pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap sifat fisiko-kimia dan daya terima mi basah (boiled noodle). Skripsi. FATETA. IPB, Bogor. Oh, N. H., P. A. Seib, C. W. Deyou, dan A.B. Ward. 1985. Noodles. Measuring The Textural Characteristic of Dry Noodles. Cereal Chemistry. 60:433437. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB, Bogor. Suprapto dan H. A. R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung edisi Revisi. Cetakan ke14. Penebar Swadaya. Jakarta.
121
Vasal, S. K. 2001. High Quality Protein Corn. Di dalam: Hallawer, A.R.(ed). Specialty Corns. CRC Press, New York. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. dan Rahayu, T. S. 1994. Bahan Tambahan untuk Pangan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison. Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold. New York.
122
LAMPIRAN
123
Lampiran 1. Hasil analisis sidik ragam terhadap warna dan kecerahan mi basah jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kecerahan Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 134.588(a) 213134.572
1
213134.572
A
70.520
2
35.260
F 28.745 364167.17 6 60.246
B
46.503
2
23.252
39.728
.000
A*B
17.565
4
4.391
7.503
.000
Error
15.802
27
.585
Total
213284.962
36
150.390
35
Intercept
Corrected Total
Df 8
Mean Square 16.823
Sig. .000 .000 .000
a R Squared = .895 (Adjusted R Squared = .864)
Multiple Comparisons Dependent Variable: kecerahan LSD Mean Difference (I-J)
(I) waktu pengukusan
(J) waktu pengukusan
a1
a2 a3
-2.7275(*) .4350
.31232 .31232
.000 .175
Lower Bound -3.3683 -.2058
Upper Bound -2.0867 1.0758
a2
a1
2.7275(*)
.31232
.000
2.0867
3.3683
a3
3.1625(*) -.4350 -3.1625(*)
.31232 .31232 .31232
.000 .175 .000
2.5217 -1.0758 -3.8033
3.8033 .2058 -2.5217
a3
a1 a2
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Based on observed means. • The mean difference is significant at the .05 level.
Multiple Comparisons Dependent Variable: kecerahan LSD (I) (J) konsentrasi konsentrasi guar gum guar gum
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
b1
b2 b3
2.2425(*) -.3075
.31232 .31232
.000 .334
Lower Bound 1.6017 -.9483
b2
b1
-2.2425(*)
.31232
.000
-2.8833
-1.6017
b3
-2.5500(*) .3075 2.5500(*)
.31232 .31232 .31232
.000 .334 .000
-3.1908 -.3333 1.9092
-1.9092 .9483 3.1908
b3
b1 b2
Upper Bound 2.8833 .3333
Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level.
124
Lampiran 2. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut LSD terhadap persen elongasi dan resistensi terhadap tarikan mi basah jagung.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ELONGASI (%) Type III Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept
337.093(a)
Df 8
Mean Square 42.137
F 3.587
Sig. .001
16530.459
1
16530.459
1407.119
.000
A
38.510
2
19.255
1.639
.201
B
269.533
2
134.767
11.472
.000
A*B
29.050
4
7.263
.618
.651
Error
951.566
81
11.748
Total
17819.118
90
1288.660
89
Corrected Total
a R Squared = .262 (Adjusted R Squared = .189)
Multiple Comparisons Dependent Variable: ELONGASI (%) LSD (J) Mean (I) konsentrasi konsentrasi Difference Std. guar gum (I-J) Sig. guar gum Error
1.7263 4.2160(*)
.88498 .88498
.055 .000
Lower Bound -.0345 2.4552
b1
-1.7263
.88498
.055
-3.4872
.0345
b3
2.4897(*) -4.2160(*) -2.4897(*)
.88498 .88498 .88498
.006 .000 .006
.7288 -5.9768 -4.2505
4.2505 -2.4552 -.7288
b1
b2 b3
b2 b3
95% Confidence Interval
b1 b2
Upper Bound 3.4872 5.9768
Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: RESISTENSI TERHADAP TARIKAN Source Corrected Model Intercept A B
Type III Sum of Squares 2149.356(a)
Df 8
Mean Square 268.669
F 2.391
Sig. .023
11334.444
1
11334.444
100.865
.000
644.622
2
322.311
2.868
.063
436.622
2
218.311
1.943
.150
A*B
1068.111
4
267.028
2.376
.059
Error
9102.200
81
112.373
Total
22586.000
90
Corrected Total
11251.556
89
a R Squared = .191 (Adjusted R Squared = .111)
125
Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut LSD terhadap kekerasan mi basah jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KEKERASAN
A
Type III Sum of Squares 2249831.646( a) 76858505.93 3 626384.097
B
Source Corrected Model Intercept
Df
Mean Square
F
Sig.
8
281228.956
91.914
.000
1
76858505.933
25119.608
.000
2
313192.048
102.360
.000
1252114.841
2
626057.420
204.614
.000
A*B
371332.708
4
92833.177
30.341
.000
Error
247835.831 79356173.41 0 2497667.477
81
3059.702
Total Corrected Total
90 89
a R Squared = .901 (Adjusted R Squared = .891)
Multiple Comparisons Dependent Variable: KEKERASAN LSD Mean Difference (I-J)
(I) Waktu pengukusan
(J) Waktu pengukusan
a1
a2 a3
-169.4333(*) -183.6533(*)
14.28216 14.28216
.000 .000
a2
a1
169.4333(*)
14.28216
.000
141.0163
197.8504
a3
-14.2200 183.6533(*) 14.2200
14.28216 14.28216 14.28216
.322 .000 .322
-42.6370 155.2363 -14.1970
14.1970 212.0704 42.6370
a3
a1 a2
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -197.8504 -141.0163 -212.0704 -155.2363
Based on observed means. • The mean difference is significant at the .05 level.
Multiple Comparisons Dependent Variable: KEKERASAN LSD (I) (J) Mean konsentrasi konsentrasi Difference guar gum guar gum (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 149.6896 206.5237 257.6496 314.4837
b1
b2 b3
178.1067(*) 286.0667(*)
14.28216 14.28216
.000 .000
b2
b1
-178.1067(*)
14.28216
.000
-206.5237
-149.6896
b3
107.9600(*) -286.0667(*) -107.9600(*)
14.28216 14.28216 14.28216
.000 .000 .000
79.5430 -314.4837 -136.3770
136.3770 -257.6496 -79.5430
b3
b1 b2
Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level.
126
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut LSD terhadap kelengketan mi basah jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KELENGKETAN
A
Type III Sum of Squares 139231.181(a ) 27701164.01 1 53117.665
2
26558.832
8.923
.000
B
52399.718
2
26199.859
8.802
.000
A*B
33713.798
4
8428.449
2.832
.030
Error
241101.348 28081496.54 0 380332.529
81
2976.560
Source Corrected Model Intercept
Total Corrected Total
Df
Mean Square
F
Sig.
8
17403.898
5.847
.000
1
27701164.011
9306.436
.000
90 89
a R Squared = .366 (Adjusted R Squared = .303)
Multiple Comparisons Dependent Variable: KELENGKETAN LSD Mean (I) Waktu (J) Waktu Difference pengukusan pengukusan (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound -74.4749 -83.4683
Upper Bound -18.4184 -27.4117
a1
a2 a3
-46.4467(*) -55.4400(*)
14.08678 14.08678
.001 .000
a2
a1
46.4467(*)
14.08678
.001
18.4184
74.4749
a3
-8.9933 55.4400(*) 8.9933
14.08678 14.08678 14.08678
.525 .000 .525
-37.0216 27.4117 -19.0349
19.0349 83.4683 37.0216
a3
a1 a2
Based on observed means. • The mean difference is significant at the .05 level.
Multiple Comparisons Dependent Variable: KELENGKETAN LSD (I) (J) Mean Konsentrasi Konsentrasi Difference guar gum guar gum (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound -76.8683 -81.2749
Upper Bound -20.8117 -25.2184
b1
b2 b3
-48.8400(*) -53.2467(*)
14.08678 14.08678
.001 .000
b2
b1
48.8400(*)
14.08678
.001
20.8117
76.8683
b3
-4.4067 53.2467(*) 4.4067
14.08678 14.08678 14.08678
.755 .000 .755
-32.4349 25.2184 -23.6216
23.6216 81.2749 32.4349
b3
b1 b2
Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level.
127
Lampiran 5. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut LSD terhadap KPAP mi basah jagung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KPAP Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 27.976(a)
8
Mean Square 3.497
4269.533
1
4269.533
3441.289
.000
A
1.805
2
.903
.727
.492
B
17.184
2
8.592
6.925
.004
8.987
4
2.247
1.811
.156
Error
33.498
27
1.241
Total
4331.008
36
61.474
35
Intercept
A*B
Corrected Total
Df
F 2.819
Sig. .021
a R Squared = .455 (Adjusted R Squared = .294)
Multiple Comparisons Dependent Variable: KPAP LSD (I) (J) konsentrasi konsentrasi guar gum guar gum
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
b1
b2 b3
1.5967(*) .3125
.45473 .45473
.002 .498
Lower Bound .6636 -.6205
Upper Bound 2.5297 1.2455
b2
b1
-1.5967(*)
.45473
.002
-2.5297
-.6636
b3
-1.2842(*) -.3125 1.2842(*)
.45473 .45473 .45473
.009 .498 .009
-2.2172 -1.2455 .3511
-.3511 .6205 2.2172
b3
b1 b2
Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level.
128
Lampiran 6. Hasil uji-T terhadap kandungan gizi jagung Srikandi kering panen dan jagung Srikandi Kuning kering pipil
Uji T terhadap kandungan lemak kasar Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KR_PANEN KR_PIPIL
-.1425
Std. Error Mean
Std. Deviation 1.33946
.66973
Lower -2.2739
Upper
t
1.9889
df -.213
Sig. (2-tailed) 3
.845
Uji T terhadap kandungan protein kasar Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KR_PANEN KR_PIPIL
1.7600
Std. Deviation 4.78452
Std. Error Mean 2.39226
Lower -5.8532
Upper 9.3732
t
df .736
Sig. (2-tailed) 3
.515
129
Uji T terhadap kandungan abu Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KR_PANEN KR_PIPIL
-.3550
Std. Error Mean
Std. Deviation .17597
.08799
Lower -.6350
Upper -.0750
t
df
-4.035
Sig. (2-tailed) 3
.027
Uji T terhadap kandungan karbohidrat Paired Samples Test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
KR_PANEN KR_PIPIL
-.9825
Std. Deviation 4.12625
Std. Error Mean 2.06313
Lower -7.5483
Upper 5.5833
t
df -.476
Sig. (2-tailed) 3
.666
130
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut LSD terhadap derajat gelatinisasi berbagai formula mi basah jagung Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: GELATINISASI Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 227.481(a)
df 8
Mean Square 28.435
F 2.256
Sig. .124
10956.934
1
10956.934
869.483
.000
A
48.538
2
24.269
1.926
.201
B
175.248
2
87.624
6.953
.015
A*B
3.696
4
.924
.073
.989
Error
113.415
9
12.602
Total
11297.830
18
340.896
17
Corrected Total
a R Squared = .667 (Adjusted R Squared = .372)
Multiple Comparisons Dependent Variable: GELATINISASI LSD
(I) B b1
(J) B b2 b3
b2
b1 b3
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J) 4.1500 7.6333(*)
Std. Error 2.04953 2.04953
Sig. .074 .005
Lower Bound -.4863 2.9970
Upper Bound 8.7863 12.2697
-4.1500
2.04953
.074
-8.7863
.4863
.123 .005 .123
-1.1530 -12.2697 -8.1197
8.1197 -2.9970 1.1530
3.4833 2.04953 -7.6333(*) 2.04953 -3.4833 2.04953 Based on observed means. * The mean difference is significant at the .05 level. b3
b1 b2
131