YASIN DAN ZUBACHTIRODIN: JAGUNG PROTEIN MUTU TINGGI SRIKANDI PUTIH-1
Penampilan Hasil Jagung Protein Mutu Tinggi Srikandi Putih-1 pada Berbagai Ekosistem Tumbuh M. Yasin HG dan Zubachtirodin
Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi No. 274, Maros, Sulawesi Selatan
ABSTRACT. The Yield Performance of QPM White Srikandi1 under Different Ecosystems. Srikandi Putih-1 was released in 2004 as the first national quality protein maize (QPM) variety. This QPM variety shows lysine and tryptophan contains nearly twice than normal maize. The yield trials of Srikandi Putih-1 together with nine QPM varieties introduced from CIMMYT were done on eight locations (Bajeng, Gorontalo, Muneng, Banjarbaru, Blora, East Lombok, Bukittinggi, and Kambang) during planting seasons of 20032004. In each location a randomized complete block design with three replications was used. Plot spacing was 75 x 25 cm in four rows per entries. Fertilizers applied were urea, SP36, KCl (300200-100 kg/ha). Check varieties were MS-2, Bayu and Pulut. The results showed that variety Srikandi Putih-1 out yielded MS-2 (9.2% higher) in all location, except in Gorontalo. The variety was also more stable than MS-2 in eight sites. Yield stability aanalysis showed highest slope with regression coefficient = 1.347 and coefficient of determination R2 = 0.948 or Srikandi Putih-1. This indicated that the variety would give increased yield with more favorable environment. The other characteristics of the variety were synchronized flowering between male and female plants, good ear position, good husk cover, and relatively resistant to leaf blight and rust diseases. Keywords: Maize, protein quality, ecosystem ABSTRAK. Srikandi Putih-1 dilepas pada tahun 2004 sebagai varietas perdana jagung protein mutu tinggi (quality protein maize, QPM) berbiji putih. Varietas unggul QPM ini mengandung lisin dan triptophan yang lebih tinggi dibanding jagung biasa. Untuk mengetahui daya hasil varietas Srikandi Putih-1 dan sembilan jagung QPM berbiji putih introduksi CIMMYT dilakukan penelitian di Bajeng, Gorontalo, Muneng, Banjarbaru, Blora, Lombok Timur, Bukittinggi, dan Kambang pada MT 2003-2004. Pengujian ditata dengan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Entri ditanam empat baris dengan jarak 75 cm x 25 cm, tanaman dipupuk dengan urea, SP36, dan KCl masingmasing dengan takaran 300 kg, 200 kg, dan 100 kg/ha. Sebagai pembanding adalah Maros Sintetik-2 (MS-2), Bayu, dan Pulut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Srikandi Putih-1 lebih tinggi (9,2% di atas MS-2) di semua lokasi, kecuali di Gorontalo. Hasil varietas Srikandi Putih-1 juga lebih stabil daripada MS-2 di delapan lokasi pengujian. Hasil analisis stabilitas menunjukkan Srikandi Putih-1 mempunyai slope tertinggi dengan koefisien regressi = 1,347 dan koefisien determinasi R2 = 94,8%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa jika lingkungan tumbuh makin baik maka hasil Srikandi Putih-1 akan meningkat. Srikandi Putih-1 mempunyai sinkronisasi pembungaan bunga jantan dengan bunga betina yang baik, tinggi tongkol berada pada posisi setengah tinggi tanaman, dan karakter tumbuh tanaman, penutupan kelobot, dan tongkol cukup baik sampai sangat baik (skor 1-2). Srikandi Putih-1 bereaksi tahan sampai sangat tahan terhadap penyakit bercak daun dan karat. Kata kunci: Jagung, mutu protein, ekosistem
170
J
agung protein mutu tinggi (QPM) varietas Srikandi Putih-1 dilepas pertama kalinya sebagai varietas unggul bersari bebas sintetik berbiji putih pada 4 Juni 2004. Pelepasan varietas jagung QPM di Indonesia sebenarnya tergolong lambat. Di negara lain, penelitian dan pengembangan jagung QPM secara komersial telah dimulai sejak 1970. Cina mulai melepas varietas jagung QPM pada tahun 1999. Vietnam dan beberapa negara Afrika telah melepas jagung QPM pada tahun 1996. Jagung QPM bersari bebas dan hibrida telah meluas pengembangnya di Brasil, Colombia, India, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Hungaria (Bourlaug 1992). Jagung QPM ditemukan oleh Linn Bates pada November 1963, di mana gen opaque-2 pada biji jagung ternyata mengandung lisin dan triptophan yang lebih tinggi dari jagung biasa (Mertz 1992) Dilaporkan oleh Komisi Nasional Plasma Nutfah (2004) bahwa kebutuhan jagung termasuk jagung putih menempati deretan ketiga di dunia (7%) setelah padi (26%) dan gandum (23%). Di Indonesia jagung putih lazim digunakan sebagai bahan makanan ringan (rebus muda, bakar muda, dan bassang). Jagung muda rebus sebagai hidangan ringan mempunyai nilai jual yang memadai, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan petani. Di masa mendatang jagung putih akan semakin berkembang, baik sebagai pangan maupun bahan baku industri tepung, terutama jika kandungan proteinnya tinggi. Pengembangan jagung putih di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini tercermin dari masih sedikitnya varietas jagung putih yang dilepas. Varietas jagung putih bersari bebas yang pertama dilepas pada tahun 1966 diberi nama Pandu dengan hasil 3,7 t/ha (Balitsereal 2005). Jagung putih termasuk Srikandi Putih-1 adalah jagung yang secara genetik serupa dengan jagung kuning, kecuali warna bijinya putih, berasal dari populasi S98TLWQ(F/D) asal CIMMYT. Pada tahun 2003-2004 dilakukan uji multilokasi populasi jagung putih bersama jagung lokal khas Sulawesi Selatan (Pulut) dan varietas Bayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dan produktivitas hasil jagung putih QPM Srikandi Putih-1 di beberapa sentra produksi jagung.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
BAHAN DAN METODE
Pengujian stabilitas hasil dilakukan pada MT 2003-2004 selama dua musim. Pada musim pertama (menjelang akhir musim hujan Januari/Februari - Mei), pengujian dilakukan di empat lokasi yakni di Bajeng (Sulawesi Selatan), Tinilo (Gorontalo), Muneng (Jawa Timur), dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Pengujian pada musim kedua dilaksanakan di Lombok Timur (NTB), Blora (Jawa Tengah), Bukittinggi dan Kambang (Sumatera Barat). Pada setiap set percobaan digunakan 12 entri. Sebagai kontrol digunakan jagung putih varietas Bayu, Pulut, dan MS-2. Metode pengujian untuk setiap lokasi menggunakan rancangan acak kelompok, tiga ulangan. Model analisis yang digunakan adalah:
penutupan kelobot, skor 1 adalah tertutup rapat, skor 3 setengah terbuka, skor 5 terbuka penuh. Pengamatan juga dilakukan terhadap kadar air saat panen dan hasil pada kadar air biji 15%. Ketahanan penyakit utama dinilai dengan skor 1 sampai 5 (1 sangat ringan, 2 ringan, 3 sedang/moderat, 4 berat, dan 5 sangat berat). Di samping itu juga dilakukan pengamatan terhadap sifat fisik dan kimia tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik lokasi pengujian berupa sifat fisik-kimia tanah untuk musim I disajikan pada Tabel 1.
Yi = µ + i + j + ij
di mana: Yi = hasil pengamatan setiap peubah, µ = nilai tengah umum, i = pengaruh entri/calon varietas, j = pengaruh blok, ij = pengaruh galat
Analisis stabilitas hasil Srikandi Putih-1 secara gabungan dibandingkan dengan jagung biasa MS-2 menggunakan model Eisensmith: yi = µ + i + j + k + ()ik +ijk,
di mana: yi = hasil pengamatan, µ = nilai tengah umum, i = pengaruh entri/calon varietas, j = pengaruh blok pada setiap lokasi, k = pengaruh lokasi, ()ik = interaksi entri x lokasi, ijk = pengaruh galat
Peubah bebas (xi) yang dibakukan adalah indeks lingkungan (environmental index) dengan model regresi sederhana, yakni: y = 0 + 1x (Singh and Chaudhary 1985, Einsensmith 1988). Ukuran petak percobaan 3 m x 5 m, terdiri atas empat baris tanaman setiap petak dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Pada waktu tanam diberikan pupuk dengan takaran 100 kg urea, 200 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 30-40 hari setelah tanam (HST) dengan 200 kg urea/ha. Data yang dikumpulkan dari dua baris tengah pertanaman antara lain umur berbunga jantan dan betina, tinggi tanaman, dan tinggi letak tongkol. Karakter tumbuh tanaman dinilai dengan skor 1 sangat baik, 3 sedang, dan 5 sangat jelek. Untuk tongkol, skor 1 sangat baik, skor 3 sedang, dan skor 5 sangat jelek. Untuk
Hasil Biji
Rata-rata hasil biji (ka 15%) Srikandi Putih-1 dari delapan lokasi pengujian disajikan pada Tabel 2. Terdapat selisih hasil 9,2% antara Srikandi Putih-1 dengan MS-2. Selisih hasil tertinggi terdapat di Lombok Timur, yakni 22,3%. Di Gorontalo, hasil MS-2 (4,06 t/ha) lebih tinggi dibanding Srikandi Putih-1 (2,61 t/ha). Berdasarkan pengujian ini diketahui bahwa hasil Srikandi Putih-1 lebih baik dari MS-2 pada tujuh lokasi, kecuali di Gorontalo. Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah lokasi pengujian. Uraian Tekstur (%) Liat Debu Pasir pH : - air - KCl Bhn organik, % N - total (%) - C/N P - Olsen, ppm Kdd (me/100 g) Cadd (me/100 g) Mgdd (me/100 g) Nadd (me/100 g) Aldd (me/100 g) H + (me/100 g) KTK (me/100 g) Kejenuhan basa,% Ketinggian m. dpl. Ekologi Jenis tanah Tipe iklim
Bajeng
Banjarbaru Gorontalo
Muneng
13 47 40
19 41 40
5 59 36
21 56 23
5,5 5,0 1,94 0,09 29,9 0,43 6,12 1,02 0,19 0,06 9,8 79,0 < 50,0 L. K. Ultisol C2
5,5 5,0 5,32 0,16 19,0 15,2 1,26 4,30 1,07 0,18 17,2 40,0 200 L.K. Vertisol C3
8,2 7,4 0,81 0,04 12,0 7,9 0,24 15,81 1,64 0,14 0,02 12,8 100,0 <50,0 L.K C2
6,4 6,0 2,34 0,10 13,0 13,8 0,83 13,17 1,58 0,41 0,06 23,7 67,0 < 20,0 L.K. C3
Contoh tanah dianalisis di laboratorium Balitsereal Maros *) : sangat rendah - : tidak terukur KTK : kapasitas tukar kation L.K : lahan kering
171
YASIN DAN ZUBACHTIRODIN: JAGUNG PROTEIN MUTU TINGGI SRIKANDI PUTIH-1
Analisis stabilitas hasil selama dua musim tanam pada delapan lokasi disajikan pada Tabel 3. Nilai koefisien regresi Srikandi Putih-1 ( 1=1,301), menunjukkan respon hasil semakin tinggi dan nyata meningkat dibanding MS-2 ( 1=0,813) jika lingkungan tumbuhnya semakin baik. Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa Tabel 2. Rata-rata hasil jagung Srikandi Putih-1 dan MS-2 di delapan lokasi dan musim pengujian, 2003-2004.
Srikandi Putih-1 mempunyai hasil lebih stabil pada berbagai lingkungan tumbuh dibanding MS-2. Menurut Hallauer dan Miranda (1988), lingkungan seleksi (lokasi dan musim) sangat berperan terhadap keragaman fenotipe jagung. Jagung yang mengalami perbaikan populasi akan meningkat hasilnya pada lingkungan tumbuh optimal. Hasil biji setiap entri dan analisis stabilitas hasil di delapan lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4 dan 5. Tinggi Tanaman dan Tinggi Letak Tongkol
Hasil (t/ha) Musim tanam dan lokasi
Srikandi Putih-1
MS-2
Selisih (%)
K.K (%)
MT 2003 Bajeng (Sulsel) Gorontalo (Gorontalo) Muneng (Jatim) Banjarbaru (Kalsel)
7,91 2,61 6,35 3,67
6,60 4,06 5,38 3,23
19,84 55,55 18,03 13,62
15,40 16,70 9,12 20,60
MT 2004 Blora (Jateng) Lombok Timur (NTB) Bukittinggi (Sumbar) Kambang (Sumbar)
5,71 6,59 4,29 3,67
4,67 5,84 4,11 3,45
22,26 12,84 4,37 6,37
10,25 9,05 13,43 11,95
Rata-rata
5,10
4,67
9,21
-
Tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol merupakan parameter penting untuk seleksi terhadap populasi atau calon varietas. Tinggi tanaman menentukan ketahanan terhadap rebah akar atau rebah batang, sedangkan letak tongkol pada posisi sekitar setengah dari tinggi tanaman
Hasil (t/ha) 6,0
5,0 x
Srikandi Putih-1 x
4,0
Tabel 3. Parameter stabilitas hasil jagung Srikandi Putih-1 dan MS-2 di delapan lokasi uji multilokasi, 2003-2004.
3,0
o
o
Analisis Koefisien korelasi sederhana (r) Koefisien determinasi (R2) Intersept () Slope () Galat baku T-hitung Kwadrat tengah galat (KT acak) Rata-rata respon (t/ha)
Srikandi Putih-1
MS-2
0,978 0,956 -1,280 1,301* 0,114 2,629 0,211
0,851 0,725 0,653 0,813 0,204 0,916 0,674
5,10
4,67
* : tidak berbeda nyata dari 1,0 pada taraf 5% (terima H0: 1=1)
o MS-2
x
2,0
o
o
x x
1,0
2,4
3,2
4,0
4,8
5,6
(I)
Indeks lingkungan
Gambar 1. Respon hasil jagung varietas Srikandi Putih-1 vs MS-2.
Tabel 4. Analisis stabilitas hasil terhadap sembilan entri jagung protein mutu tinggi di delapan lokasi penelitian. Analisis r R2 Intersept () Slope () Se t-hitung KT galat Hasil (t/ha)
172
S98TL WQ(F/D)
S99TL WQ-AB
S00TL WQ-B
S00TL WQ-AB
OBA TAMPA
POZA RICA 8563
0,973 0,948 -1,542 1,347 0,129 2,679 0,270 5,071
0,945 0,893 0,478 0,889 0,126 0,880 0,256 4,845
0,868 0,754 0,874 0,722 0,168 1,650 0,457 4,420
0,984 0,968 -1,075 1,219 0,090 2,430 0,131 4,913
0,589 0,347 1,682 0,538 0,301 1,535 0,461 4,324
0,893 0,797 -0,171 1,111 0,229 0,484 0,846 5,285
ACROSS POPULASI POPULASI 8763 62C6QPMTLWD 3C2QPMTLWD 0,822 0,676 0,214 0,977 0,276 0,085 1,229 5,010
0,984 0,967 -0,008 0,976 0,073 0,325 0,086 4,787
0,853 0,727 0,877 0,917 0,230 0,361 0,849 5,381
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
Tabel 5. Rata-rata hasil entri jagung protein mutu tinggi di delapan lokasi penelitian, 2003-2004. Hasil (t/ha) MT 2003
MT 2004
Entri Bajeng Gorontalo Muneng Banjarbaru Blora Lombok Timur Bukittinggi (Sulsel) (Gorontalo) (Jatim) (Kalsel) (Jateng) (NTB) (Sumbar) Srikandi Putih-1 S99TLWQ-B S99TLWQ-AB S00TLWQ-B S00TLWQ-AB OBATAMPA POZA RICA 8563 ACROSS 8763 POPULASI62C6QPMTLWD POPULASI63C2QPMTLWD MS-2 Bayu Pulut
7,91 6,84 7,25 5,57 7,29 3,60 7,06 7,01 6,96 7,77 6,60 6,74 -
2,61 2,41 4,16 2,35 3,46 3,03 4,73 2,89 3,47 4,36 4,06 3,33 -
6,35 6,69 6,43 5,81 5,47 5,16 7,24 7,02 6,63 6,74 5,38 4,46
3,67 2,85 3,25 4,40 2,80 3,25 4,03 3,35 4,17 3,58 3,23 3,23 -
5,71 5,49 4,91 5,42 5,29 4,77 5,34 5,71 5,13 5,92 4,67 3,49
6,59 7,11 6,78 6,12 7,40 7,22 7,54 5,54 6,65 7,33 5,84 2,38
4,29 3,89 3,64 3,58 3,68 4,07 3,80 4,42 3,23 4,23 4,11 1,39
Kambang Rata-rata Sumbar) 3,67 3,24 4,28 3,16 3,71 3,71 3,48 3,70 2,71 2,67 3,45 1,39
5,10 4,67 4,67 4,42 4,62 4,26 5,00 2,68 4,64 5,13 4,67
Tabel 6. Rata-rata tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung Srikandi Putih-1 dan MS-2 di delapan lokasi pengujian, 2003-2004. Srikandi Putih-1
MS-2
Musim tanam/Lokasi
KK tinggi tanaman (%)
KK tinggi letak tongkol (%)
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi letak tongkol (cm)
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi letak tongkol (cm)
MT 2003 Bajeng (Sulsel) Gorontalo (Gorontalo) Muneng (Jatim) Banjarbaru (Kalsel)
187 194 192 150
80 93 77 55
159 201 170 90
78 95 85 60
12,4 10,9 4,4 17,8
11,2 22,3 13,4 17,6
MT 2004 Blora (Jateng) Lombok Timur (NTB) Bukittinggi (Sumbar) Kambang (Sumbar)
220 223 178 172
110 110 70 82
191 240 161 156
91 93 74 65
7,0 8,5 6,4 3,7
15,0 12,4 7,1 5,1
Rata-rata
189
84
171
80
-
merupakan seleksi yang ideal bagi populasi jagung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan letak tongkol populasi Srikandi Putih-1 masing-masing berkisar antara 150-223 cm dan 55-110 cm dengan ratarata 189 cm untuk tinggi tanaman dan 84 cm untuk letak tongkol. Karakter ini sudah menunjukkan sifat ideal bagi tanaman jagung, yakni tongkol berada pada posisi sekitar setengah dari tinggi tanaman (Tabel 6). Periode Penyerbukan (ASI) dan Kadar Air Biji Saat Panen
ASI (Anthesis Silking Interval) adalah selisih antara umur berbunga betina dan umur berbunga jantan. Semakin mendekati nilai nol populasi atau galur jagung semakin
tinggi produktivitas. Umur berbunga jantan dan umur berbunga betina Srikandi Putih-1 masing-masing berkisar antara 42-59 hari dan 47-60 hari. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa Srikandi Putih-1 dan MS-2 mempunyai periode waktu penyerbukan yang sama (Tabel 7). Menurut Bolanos dan Edmeages (1966) dan Westgate (1996), jagung mempunyai ASI sinkron pada lingkungan seleksi optimal, dan dapat diperoleh hasil maksimal. Jika ASI lebih dari enam hari maka tidak diperoleh hasil. ASI berperan dalam seleksi untuk populasi yang ideal. Jika nilai ASI tinggi (>6,0 hari) maka tidak diperoleh hasil maksimal. Kadar air saat panen atau saat masak fisiologis untuk populasi Srikandi Putih1 berkisar antara 25,1-33,5%, sedangkan untuk MS-2 berkisar antara 25,5-32,5%. 173
YASIN DAN ZUBACHTIRODIN: JAGUNG PROTEIN MUTU TINGGI SRIKANDI PUTIH-1
Tabel 7. Rata-rata umur berbunga jantan (UBJ), umur berbunga betina (UBB), dan kadar air biji jagung Srikandi Putih-1 vs MS-2 di enam lokasi pengujian, 2003-2004. Srikandi Putih-1
MS-2
Musim tanam/lokasi UBJ (hari) UBB (hari)
Ka %
UBJ (hari) UBB (hari)
KK UBJ (%)
KK UBB (%)
KK kadar air (%)
Ka %
MT 2003 Bajeng (Sulsel) Gorontalo (Gorontalo) Muneng (Jatim) Banjarbaru (Kalsel)
45 51 42
47 50 53 47
29,9 28,0 26,4 25,1
45 54 41
46 50 53 46
28,4 27,2 26,4 25,5
5,1 1,3 1,1
2,2 2,2 1,4 1,2
6,2 10,8 5,6 3,3
MT 2004 Blora (Jateng) Lombok Timur (NTB) Bukittinggi (Sumbar) Kambang (Sumbar)
59 -
55 60 -
33,4 33,5 -
60 -
55 61 -
32,3 32,5 -
1,7 -
2,3 1,9 -
7,1 7,5 -
Rata-rata
49
52
29,4
50
51
28,7
-
-
UBJ (umur berbunga jantan) UBB (umur berbunga betina)
Tabel 8. Skoring visual serta serangan penyakit utama terhadap Srikandi Putih-1 dan MS-2 di enam lokasi pengujian 2003-2004. Srikandi Putih-1
MS-2
Musim tanam/lokasi (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
MT 2003 Bajeng (Sulsel) Gorontalo (Gorontalo) Muneng (Jatim) Banjarbaru (Kalsel)
1 2 2 2
1 1 1 1
1 2 2 3
1 1 2 -
1 1 2 -
1 2 2 2
1 1 1 -
1 2 2 2
1 2 -
2 2 -
MT 2004 Blora (Jateng) Lombok Timur (NTB) Bukittinggi (Sumbar) Kambang (Sumbar)
2 1 -
1 1 -
1 1 -
3 3
3 4
1 3 -
1 1 -
2 1 -
3 4
5 2
1,7
1,0
2,0
1,7
2,2
1,8
1,0
1,7
1,7
2,7
Rata-rata Pengamatan visual (1) Karakter tumbuh tanaman (2) Penutupan kelobot (3) Tongkol
Penularan penyakit (4) Helminthosporium maydis (5) Puccinia sp.
Fase masak fisiologis ditandai oleh terbentuknya warna hitam (black layer) pada pangkal biji. Untuk Srikandi Putih-1 dan MS-2, masak fisiologi berada pada kisaran umur 102-105 hari. Pengamatan Visual dan Penyakit
Tabel 8 menunjukkan bahwa karakter tumbuh tanaman, penutupan kelobot, dan tongkol Srikandi Putih-1 dan MS-2 mempunyai sifat yang relatif sama dengan kisaran skor 1-2. Kedua populasi tergolong tahan terhadap penyakit hawar daun (Helminthosporium maydis). Dikemukakan oleh De Leon (1984), penyakit hawar daun 174
banyak menginfeksi tanaman jagung di dataran rendah tropis yang memiliki temperatur tinggi. Skor 1-2 menunjukkan tanaman tergolong tahan. Penyakit yang dominan di semua lokasi pengujian adalah bercak daun (H. maydis) dan karat (Puccinia polysora).
KESIMPULAN
1. Varietas Srikandi Putih-1 berdaya hasil lebih tinggi dibanding MS-2. 2. Varietas Srikandi Putih-1 juga lebih stabil daripada MS-2.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 25 NO. 3 2006
DAFTAR PUSTAKA Balitsereal, 2005. Deskripsi varietas unggul jagung. Edisi keempat. Balitsereal Maros. 114p.
Bolanos, J., and G. O. Edmeages. 1996. The importance of the ASI in breeding for drought tolerance in tropical maize. Proceedings of a Symposium Developing Drought and Low N Tolerance Maize. March 25-29, 1996. CIMMYT El Batan Mexico. 355p. Bourlaug, N. 1992. Potential role of quality protein maize in sub saharan Africa. Departement of soils and crops Texas A & M. University College Station. The American Association of Cereal Chemists St. Paul. Minnesota. USA. p.94-95. De Leon, C. 1984. Maize diseases. A guide for field identification. Maize Program. CIMMYT El Batan, Mexico. 29p.
Einsensmith, S.P. 1988. User ’s guide to MSTAT-C. A software program for the design, management, and analysis of agronomic research experiments. Michigan State University. p. 1-12.
Hallauer, A.R. and J. D. Miranda. 1988. Quantitative genetics in maize breeding. 2nd edition. Iowa state university. Press/Ames. 411p. KNP. 2004. Traktat internasional sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian. Kumpulan bahan ratifikasi. Komisi Nasional Plasma Nutfah (KNP), Jakarta. Mertz, E.T. 1992. Discovery of high lysine, high tryptophan cereals. Departement of Agronomy. Purdue University West Lafayette. Indiana. The American Association of Cereal Chemists St. Paul. Minnesota. USA. p.94-95. Singh, R.K. and R.D. Chaudhary. 1985. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani publishers. Kamia Nagar. India. 253p.
Westgate, M.E. 1996. Physiology of flowering in maize: Identifying avenues to improve kernel set during drought. Proceedings of a Symposium Developing Drought and Low N Tolerance Maize. March 25-29, 1996. CIMMYT El Batan Mexico. 137p.
175