WYLIS: PENENTUAN KUALITAS PROTEIN JAGUNG
Penentuan Kualitas Protein Jagung dengan Metode Protein Efficiency Ratio Ratna Wylis Arief
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. ZA Pagar Alam No. IA Rajabasa, Bandar Lampung ABSTRACT. Protein Quality Determination on Maize using Protein Efficiency Ratio Methode. Quality of protein represents one of the criterion to determine nutrient value of food. Factors influencing the quality of protein includes: protein content, amino acid composition and its food materials composition. Many methods are suitable to be used to test the quality of protein i.e. biological value, protein digesting, net protein value (NPU), protein efficiency ratio (PER), and protein digestibility corrected amino acid score (PDCAAS). This research aimed to determine the quality of protein of some maize varieties using PER method. The research was executed by in vivo using white mouse Sparague Dawley type and 4 maize varieties as feed, namely: QPM Srikandi Kuning (A); QPM Srikandi Putih (B); Bisi-2 (C); Lamuru (D); and metabolit group (E). Parameters that were observed include amino acid score, total of feed consumed, total of protein cunsumed, body weight rate, feed efficiency, and protein efficiency ratio (PER). The results showed that QPM Srikandi Kuning and QPM Srikandi Putih have a better quality of protein than others based on protein efficiency ratio value. Keywords: Zea mays, protein quality, protein efficiency ratio ABSTRAK. Kualitas protein merupakan salah satu kriteria untuk menentukan nilai gizi bahan makanan. Faktor yang mempengaruhi kualitas protein antara lain adalah kadar protein, komposisi asam amino, dan komposisi nutrisi bahan pangan. Metode yang dapat digunakan untuk menguji kualitas protein adalah nilai biologis, kecernaan protein, penggunaan protein bersih, rasio efisiensi protein, dan kecernaan protein dan asam amino terkoreksi (PDCAAS) untuk menghitung kualitas relatif dari makanan sumber protein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas protein beberapa varietas jagung dengan menggunakan metode Protein Efficiency Ratio (PER). Penelitian dilaksanakan secara in vivo dengan menggunakan tikus putih jenis Sparague Dawley sebagai hewan percobaan, dengan delapan ulangan. Empat varietas jagung digunakan sebagai pakan tikus yang akan diketahui kualitas proteinnya. Keempat varietas jagung tersebut adalah QPM Srikandi kuning (A), QPM Srikandi putih (B), Bisi-2 (C), Lamuru (D), dan kelompok metabolit (E) yang hanya diamati kadar protein fesesnya untuk penghitungan daya cerna sejati. Parameter pengamatan meliputi skor asam amino, jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah protein yang dikonsumsi, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, dan rasio efisiensi protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan nilai PER, jagung QPM Srikandi Kuning dan Srikandi Putih mempunyai kualitas protein yang terbaik dengan nilai PER tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, karena lebih banyak protein yang dapat digunakan untuk pertambahan bobot badan tikus percobaan.
K
Kata kunci: Jagung, kualitas protein, rasio efisiensi protein
omponen dasar penyusun biji jagung terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan bahan organik lainnya. Perbedaan antarvarietas hanya terletak pada perbandingan susunan komponen132
komponen tersebut. Hasil penelitian Prasanna et al. (2001) menunjukkan bahwa jagung terdiri atas 6176,09% karbohidrat, 7,5-10% protein, 4-5,32% lemak, 2,33,27% serat kasar, dengan kandungan energi 3.578 kal/ kg, sedikit lebih rendah dari beras coklat (3.629 kal/kg) dan lebih tinggi dari gandum (3.327 kal/kg). Biji jagung menyumbang 15-56% total kalori harian dan dapat digunakan sebagai pengganti protein hewani yang harganya mahal. Potensi jagung sebagai pangan maupun pakan selain ditinjau dari kuantitas juga dari segi kualitas (Tangendjaja dan Gunawan 1988). Kelebihan dan kelemahan gizi jagung sering dibandingkan dengan bijibijian lain. Hasil penelitian Intengan (1979) menunjukkan bahwa nilai gizi jagung lebih rendah dibandingkan dengan gizi beras giling, tetapi lebih tinggi dibanding tepung terigu. Penelitian tersebut mencakup nisbah efisiensi protein (PER), protein neto (NPR), guna protein neto (NPU), nilai biologi (BV), dan daya cerna dengan menggunakan tikus putih sebagai hewan percobaan. Mutu protein merupakan salah satu kriteria untuk menentukan nilai gizi suatu komoditas. Faktor yang mempengaruhi mutu protein antara lain adalah kadar protein itu sendiri, komposisi asam-asam amino, dan komposisi bahan pangan. Ditinjau dari nilai nutrisinya sebagai bahan pangan maupun pakan, jagung masih mempunyai kelemahan karena memiliki kandungan asam amino lisin dan triptofan yang rendah, masingmasing 0,05% dan 0,225% dari total protein biji (Kasim et al. 2003), dan angka ini tidak memenuhi konsentrasi yang disarankan oleh WHO/FAO (WHO 1985). Namun melalui program seleksi berulang beberapa siklus seleksi, peneliti CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de maiz Y Trigo) menghasilkan jagung QPM dengan endosperm lebih keras (Bjarnason and Vasal 1992) dan kandungan asam amino lisin dan triptofannya meningkat berturut-turut menjadi 0,11% dan 0,47%. Saat ini jagung QPM telah diujimultilokasi di beberapa negara penghasil jagung, termasuk Indonesia. Di Indonesia telah dilepas dua varietas jagung QPM masing-masing Srikandi Kuning dan Srikandi Putih, namun penelitian untuk mengetahui kualitas protein jagung QPM yang ditanam di Indonesia belum banyak dilakukan.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007
Banyak metode yang digunakan untuk menguji kualitas protein, dan yang paling akurat adalah dengan mengukur keseimbangan nitrogen individual. Namun metode ini membutuhkan waktu yang lama dan biayanya cukup tinggi, sehingga perlu dicari metode lain yang efektif dan efisien. Metode tersebut antara lain adalah nilai biologis, kecernaan protein, penggunaan protein bersih, rasio efisiensi protein, dan skor kecernaan protein dan asam amino terkoreksi (PDCAAS) untuk menghitung kualitas relatif dari makanan sumber protein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuI kualitas protein beberapa varietas jagung dengan menggunakan metode Protein Efficiency Ratio (rasio efisiensi protein).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan secara in vivo di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dari bulan Oktober 2004 sampai Januari 2005, menggunakan tikus putih jenis Sparague Dawley sebagai hewan percobaan untuk mengetahui kualitas protein jagung yang diteliti. Dipilihnya tikus putih sebagai hewan percobaan karena hasil penelitian ini ditujukan untuk pangan manusia, sementara sistem pencernaan tikus putih mirip dengan sistem pencernaan manusia. Penelitian diawali dengan analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, dan kadar karbohidrat), dan analisis komposisi asam amino dari empat varietas jagung yang dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor. Kandungan asam amino esensial dan nonesensial dihitung dengan rumus: Kandungan asam = amino esensial
konsentrasi asam amino sampel protein sampel (g)
Skor asam amino jagung dihitung dengan rumus: Skor asam amino sampel =
kandungan asam amino esensial sampel
pola asam amino standar FAO
Pakan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas pakan standar dan pakan perlakuan. Pakan standar diberikan pada tahap I selama 1 minggu. Fase ini merupakan fase adaptasi untuk membiasakan tikus mengkonsusmsi pakan dalam bentuk tepung. Pakan perlakuan diberikan pada tahap II selama 3 hari. Pada fase ini meskipun telah diberikan pakan perlakuan
namun belum diamati sisa-sisa makanan sebelumnya, sehingga tidak terjadi bias pada hasil pengamatan. Selanjutnya pada tahap III diberikan pakan perlakuan selama 10 hari dan mulai diamati pengaruhnya dari tiap perlakuan. Komposisi pakan standar yang diberikan disesuaikan dengan anjuran AOAC (1990) dalam Muchtadi (1993), seperti tertera pada Tabel 1. Komposisi pakan perlakuan yang diberikan sesuai dengan rekomendasi National Research Council (1988), yang dimodifikasi untuk mendapatkan kadar protein pakan 6%, yaitu tepung jagung 85%, minyak jagung 5%, mineral mix 4%, vitamin 1%, dan pati jagung disesuaikan hingga diperoleh kadar protein pakan 6%. Setelah dilakukan konversi ke kadar protein dari masing-masing varietas jagung diperoleh komposisi pakan perlakuan yang digunakan pada penelitian ini seperti tersaji pada Tabel 2. Semua bahan pakan diaduk hingga homogen dan diukur kadar airnya untuk mengetahui berat kering pakan yang diberikan. Kadar air sisa pakan juga diukur untuk mengetahui berat kering pakan yang tersisa. Berat pakan yang dimakan tikus adalah selisih antara berat kering pakan yang diberikan dengan berat kering pakan sisa. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok. Perlakuan terdiri atas empat varietas jagung yang digunakan sebagai pakan tikus putih, untuk diketahui kualitas proteinnya, yaitu QPM Srikandi Kuning (A), QPM Srikandi Putih (B), Bisi-2 (C), dan Lamuru (D). MasingTabel 1. Komposisi pakan standar (g/kg). Komposisi
Jumlah (g)
Kasein Minyak jagung Selulosa Vitamin Mineral mix Air Pati jagung (maizena)
114,9 77,7 10 10 44,8 43.2 699,4
Tabel 2. Komposisi pakan perlakuan (g/kg). Jumlah (g) Komposisi
Tepung jagung Minyak jagung Mineral mix Vitamin Pati jagung
Srikandi Srikandi Kuning (A) Putih (B) 739,13 50 40 10 160,87
783,41 50 40 10 116,59
Bisi-2 (C)
Lamuru Kontrol (D)
607,14 50 40 10 292,86
739,13 50 40 10 160,67
50 40 10 900
133
WYLIS: PENENTUAN KUALITAS PROTEIN JAGUNG
masing perlakuan pakan diberikan kepada delapan ekor tikus jantan (sebagai ulangan) yang berumur 3 minggu (lepas sapih) secara ad libitum, untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemberian pakan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi tikus, jumlah protein yang dikonsumsi, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan, dan efisiensi protein. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat serta uji signifikansi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antarperlakuan, bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pakan yang paling banyak dikonsumsi oleh tikus percobaan (Tabel 3) adalah yang dibuat dari jagung QPM Srikandi Putih (B), walaupun secara statistik tidak berbeda dengan jagung QPM Srikandi Kuning (A). Hal ini menunjukkan bahwa pakan perlakuan berupa jagung QPM Srikandi Putih (B) lebih disukai oleh tikus percobaan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Menurut Wahyu (1991), jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat energi di dalam pakan, makin tinggi energi pakan makin rendah konsumsi dan makin rendah energi pakan makin tinggi konsumsi untuk mencukupi kebutuhan energinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kirchgessner et al. (1990), yang menunjukkan bahwa konsumsi ayam dipengaruhi oleh kandungan energi, protein, imbangan asam amino, vitamin, dan mineral. Namun hal itu tidak terjadi pada penelitian ini, karena dari perhitungan jumlah energi pakan yang tersaji pada Tabel 4 terlihat bahwa jumlah energi pada pakan yang menggunakan bahan baku jagung QPM Srikandi Putih (B) paling tinggi dibanding perlakuan lainnya, kecuali kontrol. Karena itu diduga ada faktor lain seperti komposisi asam amino dalam jagung yang mempengaruhi palatabilitas pakan.
Tabel 3. Kandungan asam amino sulfur jagung, protein dan jumlah pakan yang dikonsumsi.
Perlakuan
Srikandi Kuning (A) Srikandi Putih (B) Bisi 2 (C ) Lamuru (D)
Kandungan asam amino sulfur (mg/g protein) 47,97 58,37 39,40 34,63
Jumlah pakan yang dikonsumsi (g) 86,16 94,40 79,06 72,32
(ab) (a) (b) (b)
Jumlah protein yang dikonsumsi (g) 5,17 5,66 4,74 4,30
(ab) (a) (bc) (c)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 BNT.
134
Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan pakan tersebut yang dicerminkan oleh sifat organoleptik, seperti kenampakan, bau, rasa, dan tekstur (Proyek Pengembangan Masyarakat Pedesaan 2000). Hasil penelitian Siregar (1991), menunjukkan bahwa pakan berupa jagung yang berkadar lisin tinggi (opaque 2) dapat meningkatkan palatabilitas ransum kutuk ayam pedaging dibandingkan dengan jagung biasa dan dapat meningkatkan bobot badan, bila kandungan asam amino metioninnya diperbaiki. Pakan yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kenampakan dan tekstur yang sama, perbedaannya terdapat pada bau dan rasa yang diduga dipengaruhi oleh asam amino sulfur (metionin dan sistein) jagung QPM Srikandi Putih dan QPM Srikandi Kuning yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 3). Hal ini menyebabkan sifat superior jagung QPM akan terlihat, palatabilitas meningkat dan pertambahan bobot badan tikus yang diberi pakan dengan jagung QPM lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun informasi yang lebih konkrit tentang penyebab jagung QPM dapat meningkatkan palatabilitas pakan dibandingkan dengan perlakuan lainnya, masih perlu diteliti lebih lanjut. Jumlah protein yang dikonsumsi berbanding lurus dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Makin tinggi jumlah pakan yang dikonsumsi makin tinggi pula jumlah protein yang dikonsumsi, dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena persentase protein dari empat jenis pakan perlakuan yang digunakan pada penelitian ini sama, yaitu 6%. Namun, tingginya jumlah pakan yang dikonsumsi belum menjamin protein dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh secara mak-simal, karena sebagian dari protein yang dikonsumsi tikus akan dikeluarkan lagi melalui feses dan urine. Kebutuhan protein selalu diimbangi oleh kebutuhan energi dan variasi kebutuhan protein dengan energi ditentukan oleh kandungan, ketersediaan, dan kecernaan asam amino serta jenis dan variasi mutu bahan baku (Lubis 1992). Hasil penelitian Kompiang dan Supriyati (2001) menunjukkan bahwa perbedaan Tabel 4. Total energi pakan perlakuan. Energi pakan (kal/kg) Sumber energi Srikandi Srikandi Kuning Putih
Bisi 2
Lamuru
Kontrol
Protein Lemak Karbohidrat
204 204 204 204 676,17 826,51 646,71 662,87 2.893,39 2.818,47 2.995,29 2.893,39
450 3.6
Total energi
3.773,56 3.848,98
4.05
3.846
3.760,26
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007
Tabel 5. Rata-rata pertambahan berat badan, efisiensi pakan , dan PER
Perlakuan
Pertambahan berat badan (g)
QPM Srikandi Kuning (A) QPM Srikandi Putih (B) Bisi 2 (C ) Lamuru (D)
13,93 14,90 4,31 8,16
(a) (a) (b) (b)
Efisiensi pakan (g) 0,16 0,15 0,06 0,11
(a) (a) (c) (b)
PER 2,64 2,59 0,97 1,89
(a) (ab) (c) (b)
Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%.
Tabel 6. Skor asam amino jagung. Skor asam amino (%) Jenis asam amino
Treonin Valin Total Sulfur AA Isoleusin Leusin Lisin Triptofan
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
Bisi 2
Lamuru
132,56 201,23 191,88 176,50 258,67 67,47 79,00
108,88 132,54 233,48 130,00 202,95 33,64 86,54
126,11 164,63 157,60 147,11 215,00 57,26 73,54
159,85 203,31 138,52 192,00 255,59 68,71 86,91
dan secara statistik tidak berbeda nyata dengan jagung QPM Srikandi Kuning yang mempunyai skor asam amino lisin (asam amino pembatas) 67,5. Jagung Lamuru meskipun memiliki skor asam amino tertinggi (68,7), namun tidak memberikan pertambahan bobot badan yang tinggi. Diduga hal ini disebabkan oleh kandungan asam amino sulfur jagung Lamuru rendah, sehingga menurunkan palatabilitas pada tikus percobaan dan mempengaruhi pertambahan bobot badan tikus. Untuk asam amino triptofan, keempat sampel jagung yang digunakan telah melebihi standar yang dipersyaratkan oleh WHO/FAO/UNU yang menetapkan skor asam amino triptofan sebesar 11. Ilustrasi kenaikan bobot badan tikus disajikan pada Gambar 1. Keadaan asam amino yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya kelebihan energi yang akan menyebabkan penimbunan lemak dan penurunan laju pertumbuhan (Scott et al. 1985, Anggorodi 1985). Ditambahkan oleh Lubis (1992), kelebihan energi terjadi karena asam amino yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak cukup sehingga rasio energi/protein makin besar yang akan mengakibatkan terjadi kelebihan energi yang kemudian diubah menjadi lemak tubuh. Menurut Uzu (1982), derajat lemak dapat dicegah dengan penambahan asam amino lisin dan metionin. Tabel 5 menunjukkan bahwa efisiensi pakan jagung QPM Srikandi Kuning dan QPM Srikandi Putih tidak berbeda dan memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai efisiensi pakan berhubungan dengan pertambahan bobot badan. Makin tinggi nilai efisiensi pakan makin banyak pakan yang dapat dimanfaatkan untuk pertambahan bobot badan. (Tabel 3) menunjukkan bahwa jagung QPM Srikandi 16 Pertambahan berat badan (g)
kebutuhan protein pada ayam, disebabkan oleh perbedaan komposisi pakan, baik dari bahan baku, imbangan asam amino, maupun energi. Jumlah pakan yang terkonsumsi mengikuti jumlah protein yang dimakan untuk memenuhi kebutuhan energi, namun bila protein yang terkonsumsi melebihi kebutuhan akan menyebabkan nilai PER lebih rendah pada ayam kampung (Kompiang et al. 2001). Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan jaringan otot yang dicerminkan oleh pertambahan bobot badan dan pemenuhan kebutuhan hidup pokok (Anggorodi 1985). Nilai rata-rata pertambahan total bobot badan tikus selama 10 hari setelah diberi pakan perlakuan menunjukkan bahwa tikus yang diberi jagung QPM Srikandi kuning (A) dan jagung QPM Srikandi Putih (B) memiliki pertambahan bobot badan tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Namun demikian, pertambahan bobot badan yang tinggi pada tikus yang diberi pakan jagung QPM Srikandi Putih diduga berupa penimbunan lemak dan bukan pembentukan jaringan otot. Data skor asam amino yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan pula bahwa jagung QPM Srikandi Putih mempunyai skor asam amino lisin (asam amino pembatas) paling rendah dibandingkan dengan jagung lainnya, yaitu 33,6 dan tidak memenuhi standar FAO/WHO/UNU yang menetapkan skor asam amino lisin sebesar 58. Akan tetapi jagung QPM Srikandi Putih memberikan pertambahan bobot badan tertinggi
A
14
B 12
C
10
D
8 6 4 2 0 2
4
6
8
10
Hari keA = QPM Srikandi Kuning B = QPM Srikandi Putih C = Bisi-2 D = Lamuru
Gambar 1. Ilustrasi kenaikan berat badan harian tikus.
135
WYLIS: PENENTUAN KUALITAS PROTEIN JAGUNG
Kuning dan QPM Srikandi Putih memang lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jagung Bisi-2 lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan jagung Lamuru, tetapi tidak memberikan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada tikus percobaan. Diduga hal ini disebabkan karena jagung Bisi-2 mengandung serat yang tinggi, sehingga walaupun dikonsumsi dalam jumlah banyak tidak mengakibatkan pertambahan bobot badan secara signifikan. Nilai PER tertinggi terdapat pada jagung QPM Srikandi Kuning, yaitu 2,64 dan secara statistik tidak berbeda nyata dengan jagung QPM Srikandi Putih dengan nilai PER 2,59. Perhitungan nilai PER tidak didasarkan pada keseimbangan nitrogen, akan tetapi perbandingan pertambahan bobot badan dan jumlah protein yang dikonsumsi (Muchtadi 1989). Oleh karena itu, agar penentuan kadar protein seragam maka kadar protein pakan yang digunakan pada penelitian ini sama, yaitu 6%. Menurut Lubis (1992), peningkatan nilai PER merupakan indikator peningkatan kualitas protein dan daya cerna. Berdasarkan nilai PER yang tersaji pada Tabel 5, terlihat bahwa jagung QPM Srikandi Kuning dan QPM Srikandi Putih mempunyai kualitas protein yang terbaik dengan nilai PER tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jagung QPM Srikandi Putih dengan skor asam amino 34 mempunyai nilai PER dan pertambahan bobot badan tidak berbeda dengan jagung QPM Srikandi Kuning yang memiliki skor asam amino 67. Diduga, pertambahan bobot badan tikus tidak karena pembentukan jaringan tubuh, melainkan pembentukan lemak akibat kelebihan energi karena ketidakseimbangan komposisi asam amino esensial.
KESIMPULAN
Jagung QPM Srikandi Kuning dengan nilai PER 2,64 dan QPM Srikandi Putih dengan nilai PER 2,59 mempunyai kualitas protein terbaik dibandingkan dengan jagung lainnya. Makin tinggi nilai PER makin banyak protein yang dapat digunakan untuk pertambahan bobot badan. Diduga pertambahan bobot badan tikus putih yang mengkonsumsi jagung QPM Srikandi Putih bukan karena pembentukan otot melainkan penimbunan lemak. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan komposisi asam amino pada jagung QPM Srikandi Putih yang memiliki skor asam amino lisin sangat rendah (33,6 mg/g protein).
136
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1985. Kemajuan mutakhir dalam ilmu makanan ternak unggas. UI Press. 135p.
Bjarnason, M. and S.K. Vasal. 1992. Breeding of quality protein maize (QPM). In: Janick (ed). Plant breeding reviews, Vol 9. John Wiley & Sons, Inc. p.181-216. Intengan, C.L.L. 1979. The nutritional value of foods. Proceeding of a 1977 Workshop held on the Interfaces between Agriculture, Nutrition and Food Science. IRRI, Laguna. Philippines. p.6879. Kasim, F., M. Yasin, E. Hosang, dan Koesnang. 2003. Penampilan jagung protein tinggi di dua lingkungan tumbuh. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22 (2):96-100. Kirchgessner, R., U. Steinruck, and R.X. Rose. 1990. Selective zink intake in broilers. Jurnal Animal Physiology and Animal Nutrition. 64:50-60.
Kompiang, I.P. dan Supriyati. 2001. Pengaruh cara pemberian pakan dan ampas sagu terfermentasi terhadap kinerja ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 6 (1):14-20.
Kompiang, I.P., Supriyati, M.H. Togatorop, dan S.N. Jermani. 2001. Kinerja ayam kampung dengan sistem pemberian pakan secara memilih dengan bebas. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6 (2):94-99. Lubis, A.H. 1992. Respon ayam broiler terhadap penurunan tingkat protein dalam ransum berdasarkan efisiensi penggunaan protein dan suplementasi asam amino metionin dan lisin. Disertasi. IPB. Bogor. 106p. Muchtadi, D. 1989. Protein: sumber dan teknologi. Pusat AntarUniversitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 63 p.
Muchtadi, D. 1993. Teknik evaluasi nilai gizi protein. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 242 p. National Research Council. 1988. Quality protein maize. National Academy Press. Washington, DC. 100 p.
Prasanna, B.M., S.K. Vasal, B. Kassahun, and N.N. Singh. 2001. Quality protein maize. Review article. Current Science 18:10. p. 1308-1319.
Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. 2000. Daya cerna pakan ternak. Download : http://www.ristek.go.id. Mei 2004. Scott, M.L., M.C. Nasheim, and R.J. Young. 1985. Nutrition of the chicken. Third eds. M.L. Scott and Associates. Ithaca. New York. 52 p. Siregar, A.P. 1991. Penggunaan jagung opaque-2 dalam ransuman kutuk ayam pedaging. Bulletin No. 14. Lembaga Penelitian Peternakan. Bogor. p.61-78. Tangendjaja, B dan Gunawan. 1988. Jagung dan limbahnya untuk makanan ternak. Puslitbangtan. Bogor. p. 349-378.
Uzu, G. 1982. Limit of reduction of protein level in broiler feeds, Poult. Sci. 61:1557-1558. Wahyu, J. 1991. Ilmu nutrisi unggas. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 73 p. WHO. 1985. FAO?WHO/UN expert consultation. WHO Technical Report Series No. 724. Geneva.