PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
Perakitan Varietas Jagung QPM Tahan Hama Bubuk Sitophilus zeamais Nurnina Nonci1, Amran Muis1, dan M. Yasin HG2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jl. Lasoso no. 62 Biromaru, Sulawesi Tengah 2 Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi No. 276 Maros, Sulawesi Selatan
ABSTRACT. Development of QPM Varieties Resistant to Maize W eevil Sitophillus zeamais. The objective of the experiment was to evaluate source of maize resistant to maize weevil through screening carried out in the field and in laboratory. The experiment was conducted from January to December 2007. The S1 families were generated from varieties QPM Srikandi Kuning1 and QPM Srikandi Putih-1 in farmer’s field in Lolu village; subdistrict Biromaru, district of Donggala Central Sulawesi. The two varieties were planted 2200 seeds with 70 cm x 20 cm plant spacing, one seed per hill. Four hundred S1 families were chosen for selfing according to criteria: healthy, synchronous flowering, and not lodging. After harvesting, 196 ears of Srikandi Kuning-1 and 255 ears of Srikandi Putih-1 were selected and air dried until moisture content reached 12 percent. The mass rearing of maize weevil and the evaluation of S1 families were conducted at laboratory of Assessment Institute for Agricultural Technology Central Sulawesi. Five pairs of maize weevil adult with uniform age were infested in Petri-dishes containing 25 seeds of each S1 family. The treatments were arranged in completely randomized design with three replicates. Observation was done on number of healthy seeds, number of damaged seeds, weight of healthy seeds, weight of damaged seeds, number of F1 weevil progeny, and growth time of maize weevil. Identification of Sitophilus species was done in Plant Protection Dept., Bogor Agricultural University. The result of the experiment indicated that based on susceptibility index there were 21 out of 196 S1 families of Srikandi Kuning-1 showed resistant to maize weevil, and were 16 out of 255 S1 families of Srikandi Putih1 resistant to maize weevil. The resistance was showed from the number of F1 progeny, susceptibility index, and reduction of grain weight, which were lower than other tested S1 families. The highest susceptibility of Srikandi Kuning-1 S1 families was showed by SK1-C0-180 with the susceptibility index of 5.82, while on Srikandi Putih-1 S1 families the highest susceptibility was showed by SPC0-95 with susceptibility index of 6.45. Species identification showed that the maize weevil used was S. zeamais. Keywords: Maize, Yellow and white QPM, resistance, Sitophilus zeamais. ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sumber ketahanan jagung terhadap hama bubuk jagung Sitophilus zeamais melalui penyaringan ketahanan di lapang dan laboratorium. Penelitian berlangsung dari bulan Januari sampai Desem ber 2007. Perbanyakan galur S1 QPM Srikandi Kuning-1 dan QPM Srikandi Putih-1 dilaksanakan di lahan petani di Desa Lolu Donggala Sulawesi Tengah. Sebanyak 2200 tanaman setiap varietas (Srikandi Kuning dan Srikandi Putih-1) ditanam dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm, satu biji perlubang. Dari 2200 tanaman, dipilih masing-masing 400 tanaman untuk diselfing berdasarkan kriteria sehat, sinkron masa berbunganya, dan tahan rebah. Setelah panen terpilih 196 tongkol Srikandi Kuning-1 dan 255 tongkol Srikandi Putih-1 yang selanjutnya dipipil dan disortir serta dijemur hingga kadar air mencapai 12%. Perbanyakan hama bubuk jagung dan pengujian populasi S1 Srikandi Kuning-1 dan QPM Srikandi Putih-1 dilakukan di laboratorium Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Sebanyak 5 pasang imago bubuk jagung yang berumur seragam diinfestasikan ke cawan-cawan plastik yang berisi 25 biji jagung setiap nomor. Percobaan ini disusun dalam rancangan acak lengkap yang diulang tiga kali. Aspek yang diamati meliputi jumlah biji sehat, jumlah biji rusak, bobot biji sehat, bobot biji rusak, jumlah progeni F1, dan waktu perkembangan hama bubuk jagung. Identifikasi spesies Sitophilus dan perbedaan serangga jantan dan betina dilakukan di laboratorium Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi bubuk jagung dilakukan dengan cara bedah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 196 nomor dari galur S1 Srikandi Kuning-1 dan 255 nomor dari galur S1 Srikandi Putih-1 bubuk diperoleh 21 nomor Srikandi Kuning-1 yang tahan. Dari galur S1 Srikandi Putih-1, ditemukan 16 nomor yang tahan. Ketahanan tersebut terlihat pada jumlah progeni F1, indeks kerentanan, dan kehilangan bobot biji yang rendah dibanding dengan nomor lainnya. Kerentanan tertinggi pada galur S1 Srikandi Kuning-1 diperlihatkan oleh SK1-C0-180 dengan indeks 5,82, sedangkan pada galur S1 Srikandi Putih-1, ditunjukkan oleh SP-C0-95 dengan indeks kerentanan 6,45. Hasil identifikasi spesies bubuk jagung yang digunakan adalah Sitophilus zeamais. Kata kunci: jagung QPM, ketahanan, Sitophilus zeamais
agung bermutu protein tinggi (QPM = Quality Protein Maize) merupakan jagung yang mengandung gen Opaque-2. Gen tersebut mengendalikan karakter peningkatan kandungan lisin dan triptofan menjadi lebih dari dua kali lipat dari jagung biasa, masing-masing dari 0,225% dan 0,05% menjadi 0,475% dan 0,11%. Selain itu kandungan protein kasarnya juga lebih tinggi, dari 11,0% menjadi 13,5% (Cordova 2001). Oleh karena itu, jagung QPM berpeluang dikembangkan guna meningkatkan mutu bahan pangan dan pakan. Pengembangan jagung QPM diarahkan pada daerah di mana masyarakatnya bergantung pada jagung sebagai makanan utama. Pangan berbasis jagung QPM dapat memperbaiki nutrisi pada anak balita dan ibu hamil (Vasal 1994; Cardova 2001). Salah satu kendala bagi petani dalam penyimpanan hasil jagung adalah hama gudang, yang merusak jagung di penyimpanan maupun di lapangan sebelum di panen. Bubuk jagung (Sitophilus zeamais) adalah salah satu jenis hama pascapanen utama. Hama ini dapat ditemukan di pedesaan maupun di perkotaan sehingga disebut hama kosmopolitan.
J
171
NONCI ET AL.: VARIETAS JAGUNG QPM TAHAN HAMA BUBUK
S. zeamais merusak biji dengan cara menggerek biji jagung hingga berlubang, baik untuk dimakan maupun tempat bertelur (Caliboso et al. 1985; Suprakorn 1985; Nonci et al. 2005). Telur yang dapat dihasilkan oleh seekor imago betina berkisar antara 300-400 butir (Kalshoven 1981; Morallo and Romeo 2001). Telur menetas menjadi larva di dalam biji, kemudian makan bagian dalam dari biji. Setelah stadia pupa berakhir, imago muncul dengan cara melubangi biji dari dalam, karena berada di dalam biji. Karena itu, S. zeamais relatif sulit dikendalikan. Salah satu cara pengendalian yang aman, murah, dan mudah adalah penggunaan varietas tahan. Sampai saat ini penelitian yang mengarah pada ketahanan terhadap S. zeamais masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mencari/mengevaluasi sumber ketahanan jagung QPM kuning dan putih melalui penyaringan ketahanan di lapang dan laboratorium.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dan di laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, dan laboratorium Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Januari sampai November 2007. Tahapan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut: Perbanyakan Galur S1 Pembentukan galur S1 dilaksanakan di lahan petani di Desa Lolu Kecamatan Biromaru. Jagung QPM Srikandi Kuning-1 ditanam pada bulan Maret 2007. Selang tiga minggu kemudian ditanam jagung QPM Srikandi Putih1 pada lokasi yang sama. Galur S1 dari varietas Srikandi Kuning-1 (SK1) dan Srikandi Putih-1 (SP) dibentuk dengan menanam masing-masing 2200 benih setiap varietas dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm, satu biji/ lubang. Tanaman dipupuk dengan urea, Ponska, ZA dengan takaran masing-masing 200, 100, 50 kg/ha. Setengah takaran pupuk urea dan seluruh pupuk Ponska dan ZA diberikan 10 hari setelah tanam (HST). Sisa pupuk urea diberikan pada 30 HST. Tanaman disiang dan dibumbun pada 10, 30, dan 60 HST. Penyungkupan 400 tanaman bunga betina pada Srikandi Kuning-1 dimulai pada umur 45 HST dan berlangsung selama satu minggu, sedangkan penyungkupan bunga jantan pada tanaman yang telah disungkup bunga
172
betinanya dilakukan mulai pada 52 HST yang juga berlangsung selama satu minggu. Satu hari setelah penyungkupan bunga jantan, dilakukan kawin diri (selfing) dengan kriteria tanaman sehat, sinkron masa berbunga dan tidak rebah. Kegiatan ini berlangsung selama satu minggu. Penyungkupan 400 tanaman bunga betina pada Srikandi Putih-1 dimulai pada umur 34 HST, kegiatan ini berlangsung selama satu minggu. Penyungkupan bunga jantan pada tanaman yang telah disungkup bunga betinanya dimulai pada 34 HST yang juga berlangsung selama satu minggu. Satu hari setelah penyungkupan bunga jantan, mulai dilakukan kawin diri (selfing) dengan kriteria tanaman: sehat, sinkron masa berbunga, dan tidak rebah. Kegiatan ini berlangsung selama satu minggu. Pengujian Ketahanan Famili S1 Kegiatan ini dilakukan di laboratorim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah yang berlangsung dari bulan Januari hingga Nopember 2007. Perbanyakan Hama Bubuk Jagung Bubuk jagung diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serelia dan beberapa daerah di Sulawesi Tengah, antara lain Labuan (Donggala), Ulu Bongka (Tojo Una-Una), dan Palolo (Donggala). Bubuk jagung yang dikumpul dimasukkan ke cawan plastik berukuran tinggi 15 cm dan diameter 30 cm, tutup wadah dilubangi lalu diberi kain batis sebagai ventilasi. Telur yang diletakkan dibiarkan hingga menjadi dewasa (imago). Imagoimago tersebut dikumpulkan kemudian dimasukkan ke wadah lain untuk peneluran berikutnya. Setelah mencapai populasi + 25.000 ekor, imago dikumpulkan lalu dimasukkan ke wadah lain yang telah diisi jagung varietas Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Selanjutnya imago dibiarkan bertelur selama 2 minggu, lalu imagoimago tersebut dikeluarkan dari wadah pemeliharaan. Telur yang diletakkan dibiarkan berkembang menjadi imago. Imago yang muncul dalam waktu yang bersamaan (berumur seragam) digunakan pada pengujian berikutnya. Identifikasi Spesies Hama Bubuk Jagung Identifikasi dilakukan di laboratorium Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan meliputi cara membedakan antara jantan dan betina secara visual dan bedah genitalia. Selain membedakan jantan dan betina, juga dilakukan identifikasi spesies hama bubuk jagung. Lima puluh ekor imago bubuk jagung jantan dan betina dimasukkan ke tabung reaksi kecil, kemudian ditambahkan alkohol 80%, lalu
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
dipanaskan selam 3 menit. Selanjutnya alkohol dibuang, kemudian ditambahkan KOH dan dibedah di bawah mikroskop. Selain dengan bedah genetalia, perbedaan antara jantan dan betina dapat diketahui berdasarkan karakteristik rostrum (moncong). Pada imago jantan, permukaan moncong ditandai oleh bintik-bintik kasar dengan lekukan yang lebih dalam. Moncong imago jantan lebih pendek dibanding imago betina. Moncong imago betina lebih runcing, licin, ramping, dan lebih panjang (Morallo and Romeo 2001). Peadt (1978) melaporkan bahwa imago jantan mempunyai ujung abdomen melengkung ke bawah, sedangkan imago betina lebih mengarah ke belakang. Penentuan Indeks Kerentanan Sebanyak 222 galur S1 Srikandi Kuning-1 dan 270 galur S1 Srikandi Putih-1 (hasil panen dari perbanyakan galur S1) yang telah dipipil dengan tangan dan dijemur hingga mencapai kadar air 12% kemudian disortir, masingmasing diambil 75 biji, dimasukkan ke cawan plastik ukuran tinggi 6 cm dan diameter 10 cm. Ke dalam setiap cawan diinfestasikan imago bubuk jagung yang berumur seragam yaitu 7 hari (berasal dari hasil perbanyakan B.1) sebanyak 5 ekor betina dan 5 ekor jantan. Imago betina dibiarkan bertelur selama 7 hari, setelah itu imago jantan dan betina dikeluarkan dari kantung. Aspek yang diamati meliputi: jumlah biji sehat, jumlah biji rusak, jumlah lubang gerekan oleh imago S. zeamais, jumlah lubang gerekan oleh keturunan (F1) imago S. zeamais, bobot biji sehat, dan bobot biji rusak. Pengamatan dilakukan setiap hari, dimulai saat imago S. zeamais mulai muncul hingga tidak ada lagi imago yang muncul. Kerentanan jagung dihitung dengan indeks Dobie (1977) menggunakan persamaan sebagai berikut: LnF x 100 SI = ————— DME di mana: SI = Indeks kerentanan Ln = Logaritma biasa F = Jumlah total projeni F1 DME = Waktu perkembangan F1
Penentuan Kerusakan Biji Setelah imago S. zeamais muncul seluruhnya, jumlah biji rusak dihitung dengan metode Bergvinson (2002): a P = —— x 100% b di mana: P = Persentase biji rusak a = Jumlah biji rusak b = Jumlah biji keseluruhan Penentuan Kehilangan Bobot Biji Kehilangan bobot biji untuk setiap famili dihitung dengan metode Bergvinson (2002): (Wh/Nh) – (Wd/Nd) Nd P = ———————————— x 100% (Nh + Nd) ( (Wh/Nh) di mana: P = Persentase kehilangan bobot Wh = Bobot biji sehat (g) Nh = Jumlah biji sehat Wd = Bobot biji rusak (g) Nd = Jumlah biji rusak Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Data dianalisis dengan menggunakan progarm komputer SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan Galur S1 Panen dilakukan setelah tongkol masak fisiologis, yakni pada saat black layer sudah nampak pada germ biji, baik pada galur S1 Srikandi Kuning-1 maupun Srikandi Putih1. Pada saat panen juga dilakukan sortasi tongkol dan pengamatan terhadap beberapa aspek pemuliaan, antara lain panjang tongkol, jumlah biji pertongkol, bentuk dan warna biji, bobot tongkol, dan kadar air. Dari masing-masing varietas (Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1) dipanen 400 sampel galur S1, namun setelah disortir terpilih 196 tongkol galur S1 Srikandi Kuning-1 dan 255 tongkol galur S1 Srikandi Putih-1. Setelah disortir, tongkol-tongkol tersebut dimasukkan ke dalam amplop lalu dijemur. Setelah di jemur jagung dipipil, dimasukkan ke dalam amplop lainnya, lalu dijemur kembali hingga kadar air biji mencapai 12%.
173
NONCI ET AL.: VARIETAS JAGUNG QPM TAHAN HAMA BUBUK
Gambar 2. Alat kelamin jantan S. zemais dan S. oryzae
Gambar 1. Alat kelamin jantan (aedeagus) dan betina (“Y” shape) bubuk jagung Gambar 3. Alat kelamin betina S. zeamais dan S. oryzae
Perbedaan Kelamin Jantan dan Betina serta Identifikasi Spesies Bubuk Jagung Perbedaan Kelamin Jantan dan Betina Perbedaan antara bubuk jagung jantan dan betina dapat diketahui dengan cara bedah genetalia (kelamin). Hasil bedah genetalia yang dilakukan di bawah mikroskop didapatkan alat kelamin serangga jantan (aedeagus) dan alat kelamin serangga betina (’Y’ shape) seperti tertera pada Gambar 1. Identifikasi Spesies Hama Bubuk Jagung Hasil identifikasi spesies hama bubuk jagung berdasarkan bedah genetalia didapatkan bahwa spesiesnya adalah S. zemais. Perbedaan antara S. zemais dan S. oryzae diketahui dari karakteristik alat kelamin jantan (Gambar 2) dan betina (Gambar 3). Indeks Kerentanan Rata-rata progeni baru F1 yang diuji pada galur S1 Srikandi Kuning-1 bervariasi antara 0-37 ekor. Waktu perkembangan hama bubuk jagung pada setiap entri bervariasi sampai 65 hari. Dari 196 galur S1 Srikandi Kuning-1 yang diuji, terdapat 21 galur yang menunjukkan indeks kerentanan 0 (nol) (Tabel 1). Kerentanan tertinggi diperlihatkan oleh SK1-C0-180 dengan indeks kerentanan 5,82. Seperti halnya galur-galur S1 Srikandi Kuning-1, ratarata progeni baru F1 yang diuji pada galur S1 Srikandi
174
Putih-1 bervariasi antara 0-33 ekor dengan waktu perkembangan hama bubuk jagung pada setiap entri juga bervariasi sampai 70 hari. Dari 255 galur yang diuji, terdapat 16 galur yang menunjukkan indeks ketahanan 0 (nol) (Tabel 2). Kerentanan tertinggi ditunjukkan oleh SP-C0-95 dengan indeks kerentanan 6,45. Waktu perkembangan hama bubuk jagung pada setiap galur S1 Srikandi Kuning-1 bervariasi sampai 37 hari. Masa perkembangan progeni baru F1 berkisar antara 28-65 hari. Pada Tabel 1 terlihat perbedaan waktu perkembangan bubuk jagung pada galur S1 Srikandi Kuning-1. Waktu perkembangan hama bubuk jagung pada setiap galur S1 Srikandi Putih-1 yang diuji bervariasi sampai 36 hari. Masa perkembangan progeni baru F1 berkisar antara 27-63 hari (Tabel 2). Nilai indeks kerentanan galur S1 Srikandi Kuning-1 terhadap bubuk jagung bevariasi dari 0 sampai 5,82, galur-galur dengan indeks kerentanan 0 adalah galur S1 yang tidak ditemukan imago, tidak didapati adanya progeni F1(Tabel 1). Nilai indeks kerentanan galur S1 Srikandi Putih-1 terhadap hama bubuk jagung juga bervariasi dari 0 sampai 0,45. Galur-galur dengan indeks kerentanan 0 adalah galur S1 yang tidak ditemukan imago keluar dari biji, tidak ada progeni F1 (Tabel 2). Tinggi rendahnya indeks kerentanan sangat dipengaruhi oleh jumlah progeni (F1), dan waktu perkembangan dari hama bubuk jagung yang keluar. Semakin tinggi indeks kerentanan semakin rentan populasi S1 yang diuji. Pada galur S1 Srikandi Kuning-1 jumlah progeni dengan masa perkembangan progeni baru (F1) terhadap indeks kerentanan berkorelasai positif (Gambar 4). Pada galur-galur tahan tersebut tidak
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
ditemukan progeni baru F1, sehingga indeks kerentanannya juga 0. Demikian pula galur S1 Srikandi Putih-1 yang tahan tersebut (Gambar 5). Menurut Classen et al. (1990), indeks kerentanan berkorelasi dengan faktor resistensi genetik yang penting seperti jumlah progeni, penurunan bobot biji, dan laju peningkatan populasi hama bubuk jagung. Kerusakan Biji Pada galur S1 Srikandi Kuning-1 ditemukan dua nomor yang menunjukkan kerusakan biji yang relatif rendah Tabel 1. Rata-rata projeni baru F1, rata-rata waktu perkembangan, dan rata-rata indeks kerentanan pada galur S1 Srikandi Kuning-1 (SK1). Galur S1
Projeni (F1) (ekor)
SK1-C0-6 SK1-C0-7 SK1-C0-9 SK1-C0-10 SK1-C0-14 SK1-C0-18 SK1-C0-19 SK1-C0-20 SK1-C0-25 SK1-C0-29 SK1-C0-41 SK1-C0-53 SK1-C0-70 SK1-C0-76 SK1-C0-101 SK1-C0-107 SK1-C0-117 SK1-C0-142 SK1-C0-147 SK1-C0-185 SK1-C0-247 Bisma
0,00 0,33 0,00 0,67 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,33 0,33 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,33
Waktu Perkembangan Indeks (hari) kerentanan
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a b
0,00 a 11,33 a 0,00 a 26,33 ab 20,33 a 11,33 a 0,00 a 0,00 a 0, 00 a 0,00 a 0,00 a 0, 00 a 0,00 a 0,00 a 13,67 a 16,00 a 0,00 a 0, 00 a 0,00 a 0,00 a 0, 00 a 46,67 b
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,79
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a b
yaitu SK1-C0-117 dan SK1-C0-185 yang berbeda sangat nyata dengan SK1-C0-9, SK1-C0-10 dan SK1-C0-14. Kerusakan biji tertinggi ditemukan pada pembanding Bisma (Gambar 6). Pada galur S1 Srikandi Putih-1 ditemukan 5 nomor yang menunjukan kerusakan biji yang relatif rendah, yaitu SP-C0-71, SP-C0-225, SP-C0239, SP-C0-253, dan SP-C0-279 yang berbeda sangat nyata dengan SP-C0-333. Kerusakan biji tertinggi juga ditemukan pada pembanding Bisma (Gambar 7). Rendahnya tingkat kerusakan biji pada beberapa galur S1 Srikandi Kuning-1 disebabkan oleh jumlah progeni baru (F1) juga rendah. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi kimiawi biji. Tingkat kerusakan biji terendah pada galur S1 Srikandi Kuning-1 ditunjukkan oleh galur SK1-C0-177 dan SK1-C0-185 masing-masing Tabel 2. Rata-rata projeni baru F1, rata-rata waktu perkembangan, dan rata-rata indeks kerentanan pada galur S1 Srikandi Putih-1 (SP). Galur S1
Progeni (F1) (ekor)
SP-C0-8 SP-C0-24 SP-C0-55 SP-C0-64 SP-C0-71 SP-C0-103 SP-C0-144 SP-C0-146 SP-C0-149 SP-C0-199 SP-C0-225 SP-C0-229 SP-C0-239 SP-C0-253 SP-C0-278 SP-C0-333 Bisma
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 0,00 0,00 0,00 1,00 6,33
Waktu perkembangan Indeks (hari) kerentanan
a a a a a a a a a a a a a a a a b
0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a 45,33 bc 0,00 a 0,00 a 0,00 a 43,33 bc 46,67 c
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,79
a a a a a a a a a a a a a a a a a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
12 9
y = 0,358x + 0,734 R2 = 0,0835
y = 0,328x + 1,087 R2 = 0,0803
8 Indeks kerentanan
Indeks kerentanan
10
8 6 4
7 6 5 4 3
2
2 1
0 0
5
10
15
20
25
30
Progeni F1 (ekor)
Gambar 4. Korelasi antara indeks kerentanan dengan projeni F1 pada 196 galur S1 Srikandi Kuning-1.
0 0
5
10
15
20
25
Progeni F1 (ekor)
Gambar 5. Korelasi antara indeks kerentanan dengan projeni F1 pada 255 galur S1 Srikandi Putih-1.
175
NONCI ET AL.: VARIETAS JAGUNG QPM TAHAN HAMA BUBUK
Gambar 6. Rata-rata persentase kerusakan biji pada 21 galur S1 Srikandi Kuning-1 dan varietas pembanding Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%).
Gambar 7. Rata-rata persentase kerusakan biji pada 16 galur S1 Srikandi Putih-1 dan varietas pembanding Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%).
100
100 80 Kerusakan biji (%)
Kerusakan biji (%)
90 80
60 y = 3,898x + 19,19 R2 = 0,521
40
20
70 60 50 40 30 y = 3,355x + 14,05 R2 = 0,531
20 0
10 0
5
10
15
20
25
30
Progeni F1 (ekor)
Gambar 8. Korelasi antara kerusakan biji dengan projeni F1 pada 196 galur S1 Srikandi Kuning-1.
dengan kerusakan 1,33%, berhubungan dengan tidak adanya progeni F1 pada kedua populasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan biji yang terjadi pada kedua galur S1 tersebut disebabkan oleh imago awal yang diinfestasikan, bukan karena progeni F1. Kerusakan biji oleh imago yang diinfestasikan dicirikan oleh adanya lubang kecil pada germ biji. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Nonci dan Mejaya (2006) bahwa imago bubuk jagung merusak biji dengan cara menggerek biji jagung dari luar atau dari dalam, baik untuk dimakan maupun bertelur. Tingkat kerusakan terendah biji pada galur S1 Srikandi Putih-1 itunjukkan oleh galur SP-C0-71, SP-C0225, SP-C0-239, SP-C0-253, dan SP-C0-278 masingmasing 0,0%, 0,0%, 1,3%, 2,7%, dan 4,0% (Gambar 7). Seperti halnya galur S1 Srikandi Kuning-1, rendahnya tingkat kerusakan pada sebagian galur S1 Srikandi Putih1 juga disebabkan oleh rendahnya populasi progeni F1 pada populasi tersebut. Namun demikian, terdapat famili S1 yang tidak ditemukan adanya progeni F1 walaupun terjadi serangan pada biji. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh imago awal yang diinfestasikan tidak mampu meletakkan telur.
176
0 0
5
10
15
20
25
Progeni F1 (ekor)
Gambar 9. Korelasi antara kerusakan biji dengan projeni F1 pada 255 galur S1 Srikandi Putih-1.
Ketidakmampuan imago-imago untuk meletakkan telur mungkin disebabkan oleh kerasnya biji sehingga alat peletak telur betina tidak mampu menembus biji. Menurut Morallo dan Rejesus (2001), Derera et al. (2001), dan Santos et al. (2006), imago betina bubuk jagung melubangi biji dengan moncongnya (rostrum), meletakkan telur pada lubang tersebut, setelah itu lubang ditutup dengan zat lilin (egg plug). Jumlah progeni baru (F1) yang muncul berkorelasi positif dengan kerusakan biji. Semakin banyak jumlah progeni F1, semakin tinggi persentase kerusakan biji, baik pada galur S1 Srikandi Kuning-1 maupun pada Srikandi Putih-1 (Gambar 8 dan 9). Kehilangan Bobot Biji Kehilangan bobot biji juga dipengaruhi oleh berat ringannya serangan hama bubuk jagung. Pada galur S1 Srikandi Kuning-1, persentase kehilangan bobot biji terendah ditunjukkan oleh galur SK1-C0-6, SK1-C0-7, SK1-C0-14, SK1-C0-18, SK1-C0-19, SK1-C0-20, SK1-C025, SK1-C0-29, SK1-C0-41, SK1-C0-53, SK1-C0-70, SK1-
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 3 2008
Gambar 10. Rata-rata persentase kehilangan bobot biji pada 21 galur S1 Srikandi Kuning-1 dan varietas Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%).
Gambar 11. Rata-rata persentase kehilangan bobot biji pada 16 galur S1 Srikandi Putih-1 dan varietas Bisma (data diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%).
60
y = 0,787x + 5,138 R2 = 0,112
50
Kehilangan bobot biji (%)
Kehilangan bobot biji (%)
60
40 30 20 10
y = 0,746x + 0,393 R2 = 0,180
50 40 30 20 10
0
0
0
5
10
15
20
25
30
Progeni F1 (ekor)
0
5
10
15
20
25
30
Progeni F1 (ekor)
Gambar 12. Korelasi antara kehilangan bobot biji dengan progeni F1 pada 196 galur S1 Srikandi Kuning-1.
Gambar 13. Korelasi antara kehilangan bobot biji dengan progeni F1 pada 255 galur S1 Srikandi Kuning-1.
C0-76, SK1-C0-101, SK1-C0-107, SK1-C0-117, SK1-C0-147, SK1-C0-185, dan SK1-C0-247 yang berbeda nyata dengan varietas pembanding Bisma (Gambar 10). Pada galur S1 Srikandi Putih-1, kehilangan bobot biji akibat serangan hama bubuk jagung ditunjukkan oleh seluruh nomor yang diuji, berbeda nyata dengan varietas pembanding Bisma (Gambar 11). Rendahnya persentase kehilangan bobot biji pada galur S1 tersebut disebabkan oleh rendahnya persentase serangan dan rendahnya progeni F1 yang dihasilkan. Hal ini terkait dengan imago yang tidak mampu menyesuaikan diri untuk makan dan bertelur. Imago setelah diinfestasikan akan menyesuaikan diri dengan inang, kemudian makan dengan cara melubangi biji pada germ atau endosperm (Nonci dan Mejaya 2006). Ketebalan dan kekerasan kulit biji serta kekerasan bagian biji jagung merupakan salah satu faktor fisik yang mempengaruhi imago untuk makan dan berkembang (Nonci et al. 2005; Santos et al. 2006). Dikemukakan pula bahwa kulit biji jagung yang tebal serangan hama bubuk jagung dipengaruhi oleh tinggi-
nya populasi progeni F1. Pada Gambar 12 dan 13 terlihat bahwa persentase kehilangan bobot biji pada S1 Srikandi Kuning-1 maupun galur S1 Srikandi Putih-1 berkorelasi positif dengan jumlah progeni F1 bubuk jagung yang dihasilkan oleh imago.
KESIMPULAN Sebanyak 196 galur S1 Srikandi Kuning-1 dan 255 galur S1 Srikandi Putih-1 terpilih dari 400 galur S1 untuk diuji ketahanannya terhadap hama bubuk jagung (S. zeamais) di laboratorium. Berdasarkan indeks kerentanan terhadap bubuk jagung, diperoleh 21 galur S1 Srikandi Kuning-1 yang tahan, yaitu SK1-C0-6, SK1C0-7, SK1-C0-9, SK1-C0-10, SK1-C0-14, SK1-C0-18, SK1C0-19, SK1-C0-20, SK1-C0-25, SK1-C0-29, SK1-C0-41, SK1C0-53, SK1-C0-70, SK1-C0-76, SK1-C0-101, SK1-C0-107, SK1-C0-117, SK1-C0-142, SK1-C0-147, SK1-C0-185, dan SK1-C0-247.
177
NONCI ET AL.: VARIETAS JAGUNG QPM TAHAN HAMA BUBUK
Pada Srikandi Putih-1 ditemukan 16 galur S1 yang tahan, yaitu SP-C0-8, SP-C0-24, SP-C0-55, SP-C0-64, SPC0-71, SP-C0-103, SP-C0-144, SP-C0-146, SP-C0-149, SPC0-199, SP-C0-225, SP-C0-229, SP-C0-239, SP-C0-253, SPC0-278, dan SP-C0-333. Ketahanan tersebut terlihat pada jumlah progeni F1, indeks kerentanan, dan kehilangan bobot biji yang rendah dibanding galur S1 lainnya. Kerentanan tertinggi galur S1 Srikandi Kuning-1 diperlihatkan oleh SK1-C0-180 dengan indeks 5,82, sedangkan pada galur S1 Srikandi Putih-1 ditunjukkan oleh SP-SC0-95 dengan indeks kerentanan 6,45.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi sebagai penyandang dana penelitian ini, seluruh rekan peneliti dan teknisi BPTP Sulawesi Tengah, dan Balitsereal yang telah menyumbangkan waktu dan tenaga selama penelitian berlangsung. Penulis juga menyampaikan terima kasih pada Dr. Ir. Purnama Hidayat MSc, dosen Institut Pertanian Bogor atas bimbingannya.
Cardova, M. 2001. Quality protein maize: improved nutrition and livelihoods for the poor. Maize Research Highlights 19992000. CYMMIT. p. 27-31. Classen, D. 1990. Correlation of phenolic acid content of maize to resistance to Sitophilus zeamais, the maize weevil, in CIMMYT’s collection. J. Chem. Ecol. 16:361-315. Derera, J., P.D. Giga, and K.V. Pixley. 2001. Resistance of maize to the maize weevil. African Crop Science Journal 9(2):441450. Dobbie, P. 1977. The contribution of the tropical stored product center to the study of insect resistence in stored maize. Trop. Prod. Inf. 34:7-22. Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Morallo, B.R. and R.S. Romeo. 2001. Biology and management of stored product and post harvest insect pest. Dept. of Entolmolgy College of Agriculture. University of the Philippines, Los Banos. 248 p. Nonci, N., M.H.G. Yasin, dan Suarni. 2005. Interaksi populasi jagung sintetik dengan serangan Sitophilus sp. Motschulsky (Coleoptera: Curculionidae). Makalah disampaikan pada International Conference of Food Security. 25 p. Nonci, N. dan M.J. Mejaya. 2006. Evaluasi ketahanan populasi jagung QPM terhadap kumbang bubuk Sitophilus spp. 6 p. (belum dipublikasikan). Peadt, R.C. 1978. Fundamental of Applied Entomology. 3rd ed. Mc Millian Publishing Inc. New York.
DAFTAR PUSTAKA
Santos, J.P., E. Paulo, O. Guimares, and T.M. Waquil. 2006. Resistance to maize weevil in quality protein maize lines and commercial corn hybrids. National Corn and Sorghum Research Center Brazil. 4 p.
Bergvinson, D. 2002. Storage pest resistance in maize. CIMMYT Maize Programs. p. 32-39.
Sjam, S. 2000. Bionomi Acanthescelides obtectus (Say) (Coleoptera: Brachidae) pada kacang buncis. Disertasi Program PascaSarjana Unhas. 50 p.
Caliboso, F.M., P.D. Sayaboc, and M.R. Amoranto. 1985. Pest problem and the use of pesticidesin grain storage in the Philippines, ACIAR Proceeding, No. 14. p. 17-29.
Suprakorn, C. 1985. Pest problems and use of pesticide in grain storage in Thailand. ACIAR Proceedings No. 14. p. 31-36.
178
Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. pp. 79-122. In A.R. Hallauer (Ed). Specially Corns. First Ed. CRC Press, LLC, Boca Raton, Florida.