PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (BIO URINE SAPI) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG QPM I Ketut Kariada1), I.B. Aribawa1) dan Evert Hosang2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT ABSTRAK Pengkajian dilakukan di dusun Mambang Tengah Selemadeg Timur Tabanan pada tanah latosol coklat pada MK 2005. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui dosis pengenceran terbaik dari pupuk bio urine sapi yang diaplikasikan pada tanaman jagung QPM. Selama ini bio urine sapi sering tidak dimanfaatkan untuk tanaman, namun dengan semakin bergemanya pertanian ramah lingkungan maka potensi bio urine ini sebagai pupuk cair sangat menjanjikan. Rancangan yang digunakan adalah Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Bio urine setelah diencerkan diberikan setiap 7 hari sekali mulai saat tanam hingga tanaman berbunga yang disiramkan pada sekitar akar tanaman. Perlakuan tersebut adalah (P1) pengenceran 4 kali, (P2) pengenceran 6 kali, (P3) pengenceran 8 kali, dan (P4) pengenceran 10 kali. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan parameter yang diukur adalah tinggi tanaman umur 30 dan 60 HST, diameter tongkol, panjang tongkol, bobot panen basah dan bobot pipilan kering. Dari analisis statistik menunjukkan bahwa hasil pipilan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan P4 (pengenceran bio urine sapi 10 kali) yaitu 5.92 t/ha dan produksi terendah adalah pada perlakuan P1 (4.97 t/ha). Analisis ekonomi juga menunjukkan bahwa perlakuan P4 memberikan keuntungan terbaik dengan R/C ratio 1.84 yang berarti bila diusahakan akan memberikan keuntungan. Bio urine sapi mudah diperoleh dan tidak dipasarkan sehingga cocok untuk mengembangkan pertanian organic dan mampu menggantikan peran pupuk an-organik. Kata kunci : jagung QPM, bio urine sapi, hasil. PENDAHULUAN Sektor pertanian sebagai penghasil kebutuhan pangan masyarakat telah menunjukkan kontribusi yang cukup nyata. Sejak Pelita I pembangunan pertanian telah diprioritaskan serta dipacu secara intensif dan ekstensif. Intensifikasi dilaksanakan dengan dukungan teknologi pemberdayaan lahan yang lebih baik, penggunaan benih unggul bermutu dengan produktivitas yang lebih tinggi, optimalisasi pengaturan air, penggunaan pupuk dengan takaran yang tepat, serta pengendalian hama dan penyakit (Suryana, 2000). Tantangan mendasar yang sedang dihadapi oleh masyarakat pada saat ini adalah adanya empat factor utama yakni : (a) adanya peningkatan jumlah penduduk dengan kebutuhan pangan yang terus meningkat, (b) peningkatan produksi pangan khususnya padi yang sudah maksimal (“level off”) membutuhkan adanya diversifikasi komoditas lainnya, (c) terjadinya pemanfaatan input-input produksi secara kimiawi yang sangat intensif sehingga telah mengganggu lingkungan dan keseimbangan lahan. Khususnya di daerah Bali, dengan sumberdaya yang terbatas serta jumlah penduduk yang besar diprediksi sekitar 0.7 % per tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk local dan pendatang dalam kurun waktu 1990 s/d 1995 (Anonimous, 1996) juga mengakibatkan kebutuhan pangan yang relatif tinggi. Keragaan produksi pertanian selama 5 tahun terakhir ini di daerah Bali secara umum mengalami fluktuasi pada hampir seluruh komoditas pertanian. Pada komoditas tanaman pangan, fluktuasi produksi ini ditengarai diakibatkan oleh adanya penurunan jumlah lahan produktif akibat pemanfaatan lahan-lahan pertanian untuk tujuan-tujuan di luar pertanian. Perkembangan perkotaan maupun modernisasi pedesaan dan tumbuhnya industri jasa dan pariwisata di Bali memacu adanya pengalihan fungsi lahan pertanian ke non pertanian (Kariada, et. al., 2000). Selain itu penurunan produksi pangan juga ditengarai oleh semakin intensifnya pemanfaatan input-input kimiawi akibat terjadinya pencemaran lingkungan lahan. Banyak pemerhati lingkungan menyarankan agar kembali menerapkan bahan-bahan organic atau pupuk organic pada budidaya tanaman.
Komoditi pangan selain untuk konsumsi masyarakat, juga dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Jagung adalah salah satu sumber pakan yang sangat baik karena mengandung 80% karbohidrat, 10 % protein, 4.5 % minyak dan 2 % mineral (Koswara, 1982). Sementara Jugenheimer (1976) menyebutkan bahwa jagung mengandung 77 % pati, 2 % gula, 9 % protein, 5 % pentosan serta 2 % bahan-bahan yang mengandung unsure Ca, Mg, P, Al, Fe, Na dan Cl. Dengan komposisi ini maka jagung bernilai sangat baik untuk pakan ternak. Akhir-akhir ini semakin banyak varietas jagung telah berkembang di masyarakat yang mempunyai tingkat produktivitas yang baik. Jagung QPM adalah salah satu varietas yang memiliki kadar protein yang baik sehingga cocok untuk sumber pakan ternak. Dengan semakin berkembangnya ternak sapi, babi dan ayam di daerah pedesaan di Bali maka salah satu sumber pakan yang layak dikembangkan adalah jagung QPM. Limbah ternak seperti limbah padat maupun cair juga mempunyai peranan yang baik karena kandungan unsur hara yang dimilikinya. Selama ini telah banyak kajian yang dilakukan terhadap limbah padat atau pupuk kandang yang terbukti mampu meningkatkan produksi dengan baik, sementara kajian terhadap limbah cairnya belum banyak dikaji walaupun secara naluriah beberapa petani juga telah menerapkan limbah cair ternak sapi untuk memupuk tanamannya. Dalam tulisan ini akan dikaji pengaruh limbah cair ternak sapi (bio urine) untuk tujuan pemupukan jagung dan pengaruhnya terhadap produksi jagung QPM. METODOLOGI Pengkajian pengaruh bio urine sapi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung QPM dilakukan pada lahan petani di dusun Mambang Tengah Kecamatan Selemadeg Timur Kabupaten Tabanan Bali dengan sasaran agar diperoleh takaran dosis yang sesuai sehingga dapat diterapkan oleh masyarakat petani dipedesaan dalam memanfaatkan potensi local dari limbah ternak untuk meningkatkan efisiensi dan produksi tanaman. Benih yang digunakan dalam kajian ini adalah tanaman jagung QPM. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dimana terdapat 4 perlakuaan dan 5 ulangan. Perlakuan terdiri dari : P1- pengenceran bio urine sapi 4 kali; P2- pengenceran bio urine sapi 6 kali; P3pengenceran bio urine sapi 8 kali; dan P4- pengenceran bio urine sapi 10 kali. Selanjutnya bio urine sapi yang telah diencerkan diberikan setiap satu minggu sekali dengan takaran 250 ml penyiraman per lubang tanaman hingga tanaman berumur 50 HST. Aplikasi bio urine dilakukan dengan menyiramkan pada sekitar akar tanaman jagung. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah yang sebelumnya digunakan untuk penanaman padi. Jarak tanam yang digunakan adalah 40 x 80 cm dan setiap lubang berisi 2 tanaman sehingga kerapatan tanaman adalah 62.500 per ha. Penanaman jagung QPM dilakukan pada MT. 2005 (Juni – Oktober 2005). Adapun parameter yang diamati meliputi aspek agronomi yaitu rata-rata tinggi tanaman jagung, panjang tongkol, lingkar tongkol, bobot tongkol dan bobot pipilan kering. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5 % (Gomez dan Gomez, 1995). Selanjutnya dilakukan analisis ekonomi terhadap produksi jagung QPM yaitu analisis keuntungan per ha, B/C dan R/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis statistik terhadap tinggi tanaman umur 30 HST dan 60 HST disajikan pada Tabel 1. Perlakuan dosis pupuk cair bio urine sapi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi pada umur 30 HST dihasilkan oleh perlakuan P4 yaitu 78,80 cm, kemudian diikuti oleh perlakuan P 2, P1 dan P3 dengan tinggi tanaman berturut-turut 72,04 cm; 66,20 cm dan 54,20 cm. Sementara perlakuan dosis pupuk cair bio urine sapi juga memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman pada umur 60 HST. Tinggi tanaman tertinggi pada umur 60 HST dihasilkan oleh
perlakuan P2 yaitu 217,00 cm, kemudian diikuti oleh perlakuan P1, P3 dan P4 dengan tinggi tanaman berturut-turut 206,60 cm; 201,80 cm dan 199,80 cm. Tabel 1. Pengaruh beberapa dosis pupuk cair bio urine sapi terhadap pertumbuhan jagung QPM di desa Mambang, Selemadeg, Tabanan Perlakuan Tinggi tanaman 30 HST (cm) Tinggi tanaman 60 HST (cm) P1 66,20a 199,80a P2 72,04a 206,60a P3 54,20a 201,80a P4 78,80a 217,00a Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5 %. Analisis statistik terhadap diameter tongkol disajikan pada Tabel 2. Perlakuan dosis pupuk cair bio urine sapi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap diameter tongkol. Diameter tongkol terbesar dihasilkan oleh perlakuan P4 yaitu 16,50 cm, kemudian diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 yaitu berturut-turut 16,10 cm; 16,10 cm dan 15,80 cm. Sementara analisis statistik terhadap panjang tongkol menunjukkan hal yang sama yaitu tidak berbeda nyata (P>0,05). Panjang tongkol terpanjang dihasilkan oleh perlakuan P4 yaitu 20,90 cm, kemudian diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 dengan diameter tongkol, berturut-turut 19,60 cm; 18,80 cm dan 18,40 cm. Tabel 2. Pengaruh beberapa dosis bio urine sapi terhadap komponen diameter dan panjang tongkol jagung QPM di desa Mambang, Selemadeg, Tabanan. Perlakuan Diameter tongkol (cm) Panjang tongkol (cm) P1 15,80a 18,40a P2 16,10a 18,80a P3 16,10a 19,60a P4 16,50a 20,90a Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5 %. Analisis statistik terhadap bobot tongkol disajikan pada Tabel 3. Perlakuan dosis pupuk cair bio urine sapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol tertinggi dihasilkan oleh perlakuan P4 yaitu 224,00 g, kemudian diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 dengan bobot tongkol, berturut-turut 208,00 g; 208,00 g dan 196,00 g. Sementara analisis statistik terhadap hasil pipilan kering jagung disajikan pada Tabel 3. Perlakuan dosis pupuk cair bio urine sapi memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap hasil jagung. Hasil jagung tertinggi dihasilkan oleh perlakuan P4 yaitu 5.92 t ha-1, kemudian diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 dengan hasil jagung, berturut-turut 5.47 t ha -1; 5.17 t ha-1 dan 4.97 t ha-1.
Tabel 3. Pengaruh beberapa dosis bio urine sapi terhadap komponen hasil jagung QPM di desa Mambang, Selemadeg, Tabanan. Perlakuan Bobot tongkol (g) Hasil jagung t ha-1 P1 196,00a 4.97a P2 205,00ab 5.17ab P3 208,00ab 5.47b P4 224,00b 5.92c Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5 %.
Adanya perbedaan pada hasil jagung dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan maupun kadar unsur hara dari pupuk organik tersebut. Unsur N pada cair (bio urine) umumnya lebih tinggi dari pupuk padatnya serta N pupuk cair ini lebih mudah diabsorpsi oleh tanaman (Anonimous, 2005). Selain itu, kadar K, Mg, dan S banyak terdapat pada bio urine sapi sehingga sangat baik terhadap pembentukan jaringan tanaman. Berdasarkan pengalaman para petani yang menggunakan bio urine sapi pada umumnya mereka melakukan pengenceran 10 kali untuk diaplikasikan kepada tanaman. Berdasarkan data-data hasil pengkajian ini ternyata hasil tertinggi diperoleh pada pengenceran bio urine sapi yang 10 kali. Pada pengenceran yang lebih rendah yaitu 4 atau 6 kali kemungkinan kadar unsur yang dikandung bio urine menjadi lebih pekat sehingga dosis pada pengenceran ini lebih tinggi. Sementara pada pengenceran 10 kali, sesuai pula dengan kebiasaan para petani, kemungkinan dosis ini adalah optimal dalam memberikan pertumbuhan dan produksi. Dari seluruh parameter ternyata pada komposisi ini menghasilkan yang tertinggi baik untuk tinggi tanaman, diameter tongkol, panjang tongkol, bobot tongkol maupun bobot pipilan kering. Kandungan unsur hara dari bio urine sapi disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Kandungan unsur hara pupuk padat dan cair (bio urine sapi) dalam (%) Unsur Bahan padat Bahan cair (bio urine) Bahan kering 16.5 7.7 Air 83.5 92.3 Nitrogen 0.59 1.0 Asam fosfor 0.28 0.15 Kalium 0.14 1.55 Kalsium 0.24 0.03 Magnesium 0.18 0.01 Asam belerang 0.12 0.03 Sumber : Anonimous, 2005 Dari Tabel tersebut di atas, ternyata kadar N bio urine sapi termasuk sangat tinggi (>0.75 %). Demikian pula unsur makro lain yang dimilikinya cukup lengkap sehingga dengan kondisi ini tanaman jagung akan mampu tumbuh dengan baik. Dengan kondisi lahan-lahan sawah di Bali yang sudah mengalami degradasi sumberdaya sedemikian rupa dimana kadar C-oragnik yang sudah rendah (Adnyana, 2000), maka pemberian pupuk organik ke dalam tanah akan memberikan makna khusus yaitu membantu memberikan energi kepada mikro organisme di dalam tanah sehingga diharapkan akan mampu memperbaiki kondisi tanah. Dengan demikian maka kesuburan tanah dapat ditingkatkan agar produksi jagung dapat dihasilkan dengan baik. Beberapa data terhadap kadar unsur hara yang dikandung limbah sapi yang telah terdekomposisi menunjukkan kandungan unsur yang cukup baik antara lain unsur N = 1,99%, P = 3,92 %, K = 0,69 %, S = 0,26 %, Cu = 0,045 % serta Fe = 0,081 % (C.V. Sarana Petani Bali, 2000). Unsur hara yang dikandung ini sangat sesuai dengan kebutuhan tanaman jagung yang membutuhkan kation-kation makro maupun mikro dalam fase pertumbuhan awal. Sementara berdasarkan Anonimous (1998) menyatakan bahwa kandungan unsur hara bahan organik (campuran padat dan bio urine) adalah sangat baik yaitu kadar N (0.5-2.0 %), P2O5 (0.2-0.9 %), K2O (0.5-1.5 %). Komposisi unsur yang dikandung sangat berimbang sehingga ketersediaan unsur hara yang siap diabsorpsi oleh akar pada fase generatif akan terpenuhi terutama pada saat fase-fase absorpsi nitrogen dalam pembentukan akar, batang dan daun. Unsur hara N yang dikandung dalam bio urine memberikan efek yang sangat menyolok dan cepat menstimulir pertumbuhan pada phase vegetatif. Nitrogen juga merupakan unsur pengatur absorpsi kalium (K) dan phosphor (P) atau sebagai unsur penyeimbang, sementara N yang diabsopsi adalah dalam bentuk NO3 dan NH4 untuk membentuk asam amino dan protein serta jaringan tanaman (Miller, 1972). Bio urine merupakan pupuk organik cair yang dapat menyediakan bahan-bahan asam amino dan protein yang siap membangun jaringan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pupuk cair ini merupakan salah satu pupuk organik yang perlu dipertimbangkan pemanfaatannya dalam menggalakkan pemanfaatan potensi local yang murah dan mudah dilakukan (Kariada, et. al. 2004). Dengan demikian maka pemahaman terhadap pupuk organic ditujukan kepada petani
untuk menggerakkan agar sumberdaya lahan dapat diperbaiki baik sifat-sifat fisik tanah (memperbaiki struktur tanah, porositas, permeabilitas, meningkatkan kemampuan menahan air), sifat kimia (meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap kation, sebagai sumber hara makro dan mikro, menaikkan pH tanah dan menekan kelarutan Al dengan membentuk kompleks Al-organik), dan sifat biologi tanah (meningkatkan aktivitas mikroba tanah, sebagai sumber energi bagi bakteri penambat N dan pelarut fosfat). Disisi lain, unsur hara N yang tersedia mudah tercuci (leaching) sementara unsur P dalam bentuk H2PO4 dan HPO4 dapat terjerap atau terikat oleh oksida-oksida Fe, Al menjadi Fe-P, Al-P maupun Occluded-P sehingga pemberian bio urine ini perlu secara bertahap dan dalam hal ini setiap minggu sekali. Dengan demikian maka akan selalu tersedia unsur unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Dalam analisis ekonomi usaha tani jagung QPM maka diperoleh data bahwa usaha tani ini memberikan keuntungan (Tabel 5). Tabel 5. Analisis usaha tani pengkajian pupuk cair (bio urine sapi) pada tanaman jagung QPM di lahan irigasi / sawah di desa Mambang TA 2005. URAIAN * Sewa lahan * Bibit jagung QPM * Tenaga Kerja (mengolah tanah, membumbun, tanam ) * Pupuk bio urine sapi Total Biaya input Produksi jagung per hektar (pipilan kering) Nilai produksi (harga jual pipilan kering) Keuntungan per hektar Analisis B/C ratio Analisis R/C ratio
P1 3.000.000 60.000
P2 3.000.000 60,000
P3 3.000.000 60,000
P4 3.000.000 60,000
800.000
800,000
800,000
800,000
3.860.000
3.860.000
3.860.000
3.860.000
4,97 5.964.000
5,17 6.204.000
5,47 6.564.000
5,92 7.104.000
2.104.000 0,55 1,55
2.344.000 0,61 1,61
2.704.000 0,70 1,70
3.244.000 0,84 1,84
Dari Tabel 5, dapat diperoleh gambaran seluruh perlakuan memberikan keuntungan bila diusahakan oleh petani. Keuntungan yang diperoleh bisa dilihat dari R/C ratio dari masingmasing perlakuan, dimana perlakuan P4 memberikan keuntungan tertinggi yaitu Rp. 3.244.000/ha dengan R/C ratio 1.84 berturut-turut diikuti oleh perlakuan P3 (Rp. 2.704.000), P2 (Rp. 2.344.000) dan P1 (Rp. 2.104.000). Berdasarkan analisis ekonomi ini maka pengelolaan jagung QPM dengan perlakuan bio urine sapi masih layak diusahakan dengan memebrikan keuntungan yang baik. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : (a) perlakuan pupuk cair (bio urine) sapi dengan perlakuan P4 yaitu pengenceran 10 kali setiap aplikasi pemupukan memberikan rata-rata hasil jagung QPM yang terbaik. Produksi yang dicapai mencapai 5,92 t/ha diikuti oleh perlakuan P3, P2 dan P1 yaitu masing-masing 5.47 t/ha, 5.17 t/ha dan 4.97 t/ha. Produksi yang dicapai dalam perlakuan ini cukup baik sehingga memberikan harapan ke depan untuk dapat diterapkan di tingkat masyarakat mengingat potensi pupuk cair (bio urine) sapi ini cukup tinggi dan selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Pupuk cair ini mudah didapatkan dan tidak perlu membeli. Dengan demikian maka potensi ini sangat penting untuk dapat mensubstitusi peran pupuk an-organik NPK yang semakin mahal dan bersifat kimiawi. Selain itu secara tidak langsung kita mengajari para petani untuk kembali kepada alam,
menata sumberdaya yang sudah rusak dengan menerapkan pupuk organik secara berkesinambungan untuk mencapai pertanian ramah lingkungan. Jadi aplikasi pupuk organik cair (bio urine) akan mampu menekan biaya input pertanian sehingga memungkinkan untuk melakukan efisiensi pemupukan di tingkat usaha tani. Disarankan agar dilakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap peran pupuk cair (bio urine) sapi ini terhadap produksi tanaman pangan dan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, I. M., 2000. Masalah Kesuburan Tanah Pada Lahan Sawah Di Bali. Makalah Paket Teknologi Tentang Pemanfaatan Pupuk Alternatif. Jurusan Tanah Faperta UNUD. Denpasar. Anonimous, 2005. Pengantar Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Anonimous, 1998. Rabbit Manure Fertilizer Values. Fertilizer Values Of Some Manures. Countryside & Small Stock Journal. September – October. P.75 Anonimous, 1996. Laporan Tahunan. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Tahun 1996. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I Bali. C.V. Sarana Petani Bali. 2000. Pupuk Organik Kascing (POK). Pupuk Organik Pertama di Indonesia. Alami, Ramah Lingkungan, Bebas Bahan Kimia. Denpasar. Gomez, A.K. Dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian. UI-Press. Jakarta. 698 Hlm. Jugenheimer, R.W. 1976. Corn Improvement, Seed Production and Uses. A Wiley-Intersci. Pub. John Wiley & Sons, New York. Pp3-42. Kariada, I.K., I.B. Aribawa, I.M. Londra, dan I. N. Dwijana. 2004. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah. BPTP Bali. Kariada, I.K. M. Sukadana, L. Kartini dan Y. Handayani. 2000. Laporan Pengkajian Pupuk Organik Kascing pada sayuran pinggiran perkotaan. IP2TP Denpasar. Koswara, J. 1982. Budidaya Jagung. Departemen Agronomi, Faperta IPB. Bogor. Miller, F.P. 1972. Fertilizers And Our Environment. The Fertilizer Hand Book. The Fertilizer Institut New York. Pp. 24-46. Suryana, A. 2000. Peran Sektor Pertanian Dalam Memenuhi Kecukupan Pangan Nasional. Prosiding Seminar nasional Pengembangan Teknologi Pertanian dalam Upaya mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Puslitbang Sosek bekerjasama dengan Universitas Udayana.