SKRIPSI
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
Oleh : ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014 Dilahirkan pada tanggal 14 April 1984 Di Madiun Tanggal lulus:............................... Menyetujui, Bogor,
September 2006
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dosen Pembimbing I
Ir. Sutrisno Koswara, MSc. Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen
KATA PENGANTAR
Bismillahirromanirrohim, Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, dengan judul: Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung Dan Corn Gluten Meal (CGM). Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di IPB khususnya dalam penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moral maupun material Pihak-pihak tersebut antara lain: 1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, wawasan, motivasi dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. 2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSc., selaku dosen pembimbing II atas arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis. 3. Bapak Dr. Sukarno, atas kesediannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji penulis. 4. Ibunda tercinta, terimakasih atas doa, kepercayaan, dan kasih sayang yang senantiasa tercurahkan tiada henti kepada penulis. 5. Kakak penulis (Rukmi Nur Wijayanti), terimakasih atas masukan dan dorongan semangatnya. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 7. Ibu Rubiyah, Teh Ida, , Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Wahid , Pak Rozak, Mbak Ari, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Iyas, Pak Nur dan seluruh teknisi Lab. yang telah banyak membantu penulis. 8. Pustakawan-pustakawan perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI, terimakasih atas segala bantuannya.
9. Teman-teman sebimbingan sekaligus seperjuangan penelitian: Nisa (makasih banget masukan-masukannya, keep on movin’), Bobby, terimakasih telah menjadi orang-orang yang paling bisa diandalkan, Ari Fahmi, terimakasih atas bantuannya. 10. Kakak-kakak kelas tersayang Kak Hendri, Mbak Okta, Mbak Irus, Kak Udin terimakasih atas masukan, saran dan bantuannya. 11. Rury, Ririn, Rizki, Nisa, terimakasih telah berbagi keceriaan, dan kenangan. Apapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kita di masa datang semoga persahabatan tetap terjalin. 12. Jasminers tersayang : Isyana, Ririn, Ucil, Nurul, eRLin, Mbak Ningsih, Dhani, Dian, Rita. Trima kasih atas kebersamaannya selama ini. 13. Teman-teman gol A: Mus, Herold, Iqbal, Nisvi, Fajar, Inda, Christ, Tina, Endang, Tintin, Julia, Ami’, Dadik, Ari, Didin, Novi, Mangi, Olga, Dhenok, Reza, Papang, special thx to A3 : Zulkipli, Heru, dan Rahmat .... senang bekerjasama dengan kalian. 14. United colour of TPG 39: alin, manto, susan, evrin, qco, rury, ajeng, desma, astri, arif, tono, evi, ijal, fafa, eko, jay, marlyn, anita, nea, hani, vivi, apong, andreas, dedi, kiki, samsul, fahrul, yoga, ulik, putra, yudhan, yayah, maya, farah, feni, karen, steisi, hanif, irwan, eva, prasna, bekti, sari, rina, ribka, hana, molid, gumi, rikza, risky, ina, tisha, elvina, nene’, nuy, beta, randy, kinoy, dian k s, vero, meilin, kanyaka, inal , dikres, dora, nanda, pretty, shinta, hanSib, risna, woro, stut, arvi, inggrid, ratry, yeye’........................................ terima kasih telah berbagi kenangan yang indah
selama di TPG. 15. Teman-teman se TPG (angk. 38, 40, 41), dan se IPB thanks for the memories. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga. 16. Teman-teman IMPATA. Thanks for make me feel like home di Bogor ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor,
September 2006
Penulis
Rohana Dwi Kurniawati. F24102014. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSc. RINGKASAN Produk pangan berbasis jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk mendukung program pemerintah yang mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007. Diversifikasi produk pangan berbahan dasar jagung diharapkan dapat menambah alternatif pengembangan industri pangan berbasis jagung. Menurut Juniawati (2003) produk mi jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan, mengingat produk mi merupakan komoditi yang sudah cukup dikenal masyarakat. Pengembangan mi basah dengan bahan utama pati jagung dilakukan untuk memberi alternatif bahan baku yang bisa digunakan dalam pembuatan mi basah yang aman. Bahan baku yang digunakan adalah pati jagung, corn gluten meal (CGM), pati kacang hijau, CMC, guar gum, garam, baking powder, dan air. Tahapan penelitian dimulai dengan penentuan desain proses yang paling optimum. Penentuan desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%. Urutan pencampuran bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) pada metode Budiyah (2005) dilakukan dengan mencampur bahan tambahan dengan bagian pati yang tidak dikukus. Urutan pencampuran bahan tersebut menghasilkan mi basah dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Perubahan tersebut secara nyata mampu menurunkan KPAP. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak. Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau (hunkwe). Variasi substitusi pati kacang hijau yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi jagung basah matang dengan % elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan - 251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf. Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan guar gum, sedangkan variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan
2%. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%. Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71%, kadar abu 0.41%, kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rohana Dwi Kurniawati. Penulis adalah putri kedua dari pasangan Sukaya (Alm) dan Suwarti yang dilahirkan di Madiun pada tanggal 14 April 1984. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Kepolorejo II Magetan (19901996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Magetan (19961999), dan pendidikan menengah lanjutan di SMUN 1 Magetan (1999-2002). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis sering mengikuti kegiatan kepanitiaan antara lain, pada kegiatan Lomba Futsal yang diselenggarakan BEM TPB (2002), Lepas Landas Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian ( 2003), Masa Orientasi Siswa TPG (BAUR 2003), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII (2004), The 4th National Student Paper Competition (2004). Penulis juga tercatat sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), dan IMPATA (Ikatan Mahasiswa, Pelajar dan Alumni Magetan). Selain itu penulis bersama tim juga pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan kegiatan kewirausahaan sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh DIKTI dengan judul ”Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi”. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)”.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
vii
I.
PENDAHULUAN....................................................................................
1
A.
Latar Belakang ..........................................................................................
1
B.
Tujuan .......................................................................................................
3
C.
Manfaat .....................................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
4
A.
PATI ..........................................................................................................
4
1. Granula Pati.........................................................................................
4
2. Kompsisi kimia pati ............................................................................
7
KOMPONEN PATI ..................................................................................
7
1. Amilosa ...............................................................................................
8
2. Amilopektin ........................................................................................
9
SIFAT-SIFAT PATI .................................................................................
10
1. Gelatinisasi ..........................................................................................
10
2. Suhu Gelatinisasi.................................................................................
11
3. Retrogradasi ........................................................................................
13
D.
PROSES PEMBUATAN PATI ................................................................
14
E.
CORN GLUTEN MEAL (CGM) ...............................................................
17
F.
PATI KACANG HIJAU ...........................................................................
17
G.
MI BASAH ...............................................................................................
21
1. Jenis Mi Basah ....................................................................................
22
2. Proses Pengolahan Mi Basah ..............................................................
22
3. Karakteristik Mi Basah .......................................................................
25
H.
MI PATI ....................................................................................................
28
I.
MI JAGUNG .............................................................................................
29
B.
C.
i
III. BAHAN DAN METODOLOGI .............................................................
35
A.
BAHAN DAN ALAT ...............................................................................
35
B.
METODOLOGI ........................................................................................
35
1. Tahapan Penelitian ...............................................................................
35
a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) ...........
35
b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang ................................................................................
36
c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang .............................
37
d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Jagung
2.
Basah Matang ................................................................................
38
Pengamatan ..........................................................................................
38
a. Analisis Sifat Fisik ........................................................................
38
a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Menggunakan Mikroskop Polarisasi...............................................................
38
a2. Analisa Warna .........................................................................
39
a3. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi ...
39
a4. Analisis Kekerasan dan Kelengketan .....................................
40
a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan ..............
40
a6. Analisis Derajat Gelatinisasi ..................................................
41
b. Analisis Sifat Kimia ......................................................................
42
b1. Analisis Kadar Air Metode Oven ...........................................
42
b2. Analisis Kadar Abu ................................................................
43
b3. Analisisi Kadar Lemak Metode Soxhlet ................................
43
b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl .....................
44
b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ............................
45
3.Analisis data .............................................................................................
45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
46
A.
Karakterisasi Bahan Baku .........................................................................
46
1. Karakterisasi Pati Jagung ....................................................................
46
2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM) .............................................
46
ii
B.
Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang 48 1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum......................
49
2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP ............................
51
a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap %elongasi mi .................................................
53
b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan ................................
55
c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kekerasan mi ...................................................................
56
d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kelengketan mi ...............................................................
57
e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi ..................
58
f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus
C.
terhadap tingkat gelatinisasi ..........................................................
61
3. Proses pembuatan mi jagung basah ....................................................
63
Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang........................................
67
1. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % Elongasi mi ..........................
68
2. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap
D.
tarikan ..................................................................................................
69
3. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ............................
70
4. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi .........................
71
Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Mi Jagung Basah Matang ..........................................................................
73
E.
Analisis proksimat mi jagung basah matang .............................................
75
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
79
LAMPIRAN .....................................................................................................
83
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati .........................................
5
Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin ....................................
9
Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati ....................................................................................................
12
Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan .....................................
27
Tabel 5. Formula mi jagung basah dengan subtitusi hunkwe .........................
37
Tabel 6. Karakteristik pati jagung ...................................................................
46
Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM .........................................................
47
Tabel 8. Komposisi kimia CGM .....................................................................
48
Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum ................................................
50
Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum ............................................
51
Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum.....................
66
Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang ........................................
75
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Granula pati kentang .....................................................................
6
Gambar 2. Granula tapioka .............................................................................
6
Gambar 3. Granula pati garut..........................................................................
6
Gambar 4. Granula pati jagung .......................................................................
6
Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah terigu .....................................
24
Gambar 6. Diagram proses pembuatan mie jagung instan metode Budiyah (2005) .............................................................................
36
Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh.
43
Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang ..................................
52
Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah matang ...........................................................................................
53
Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang ....................................................
55
Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah matang
..............................................................................
56
Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah matang ..........................................................................................
57
Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang ..
58
Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan dan kelengketan mi jagung basah matang ......................................
59
Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan BTP
62
Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan penambahan BTP ...............................................................................................
62
Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah ...................................
67
Gambar 18. Mi jagung basah matang ...............................................................
67
Gambar 19. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi jagung basah matang ...........................................................................................
68
v
Gambar 20. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang ....................................................
69
Gambar 21. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasans mi jagung basah matang ...........................................................................................
70
Gambar 22. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi jagung basah matang ...........................................................................................
72
Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang .....................
74
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap KPAP ...............................................................
Lampiran 2.
Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap % Elongasi .......................................................
Lampiran 3.
81
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ...........................................................................
Lampiran 9a.
80
Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi .............................................................
Lampiran 8b.
80
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan .........................................
Lampiran 8a.
80
Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi ...........................
Lampiran 7b.
79
Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi ...........................................................
Lampiran 7a.
79
Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi .........................................................
Lampiran 6b.
79
Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan ......................................................
Lampiran 6a.
78
Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan ..........................................................
Lampiran 5.
78
Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap resistentensi terhadap tarikan ...........................
Lampiran 4.
78
81
Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi .........................................................
81
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi ........................................................................
82
Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi CMC terhadap KPAP ..............................................................
82
vii
Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi CMC terhadap KPAP .............................................................. Lampiran 11.
82
Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi Guar gum terhadap KPAP.......................................................
Lampiran 12.
83
Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1% terhadap KPAP ..............................................
Lampiran 13.
83
Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1.5% terhadap KPAP ...........................................
Lampiran 14.
83
Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 2% terhadap KPAP ..............................................
Lampiran 15.
84
Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati dari beberapa jenis pati............................................................
89
Lampiran 16.
Skor evaluasi sensori mi pati ..................................................
89
Lampiran 17.
Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan dengan gel pati kacang hijau ...................................................
Lampiran 18.
90
Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses persiapan mi ............................................................................
Lampiran 19.
90
Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau .........................................................................................
Lampiran 20.
90
Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau ............................................................................ . 91
Lampiran 21.
Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas (90oC) ......................................................................................
Lampiran 22.
91
Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau. ........
Lampiran 23.
92
Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ......
Lampiran 24.
92
Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ......
92
viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negaranegara di Asia, termasuk Indonesia. Profil mi terigu telah melekat kuat pada masyarakat, sehingga terobosan-terobosan mi baru selalu dibandingkan dengan mi terigu, terutama dari sisi penerimaan sensorinya. Eviandaru dkk mensitir data dari majalah Asian Week (25 Mei 2001) seperti dikutip oleh Sawit (2003) menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara ke dua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan, padahal Indonesia bukanlah negara penghasil gandum. Secara tidak langsung, kebutuhan terigu Indonesia dicukupi dengan impor. Indonesia sendiri menurut Sawit (2003) menduduki posisi 6 importir gandum dunia dengan total impor 4 juta ton (tahun 2001/2). Salah satu produk mi terigu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah mi basah. Produksi mi basah cukup besar dan semakin meningkat. Data tahun 2001 menunjukkan produksi mi basah mencapai 8.561.173 kg (BPS, 2001).dan tahun 2002 produksinya meningkat menjadi 92.492.696 kg (BPS, 2002). Peningkatan jumlah produksi ini menunjukkan tingginya permintaan konsumen terhadap mi basah. Data lain menyebutkan konsumsi mi basah/ orang / minggu pada tahun 2001, 2002, 2003, dan 2004 berturut-turut adalah 0.003, 0.004, 0.003, 0.003 kg (BPS, 2004). Mi basah yang dikonsumsi berupa produk olahan mi basah seperti mi ayam (mi basah mentah), mi bakso dan taoge goreng (mi basah matang). Namun akhir-akhir ini mi basah banyak dikhawatirkan keamanannya karena rentan mengandung bahan kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks. Kedua hal diatas mendorong pemikiran untuk melakukan diversifikasi pangan, mencari alternatif bahan baku lain sebagai bahan dasar pembuatan mi basah yang aman. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan adalah jagung.
Jagung memiliki nilai gizi yang cukup
memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Rachman (2004) menyatakan berdasarkan data permintaan komoditas
1
tanaman pangan utama untuk konsumsi rumah tangga, jagung menempati urutan kedua setelah beras. Meskipun pada perkembangannya konsumsi total jagung mengalami penurunan karena pergeseran pola konsumsi masyarakat di beberapa wilayah. Hasil penelitian Erwidodo dan Ariani (1997) seperti dikutip oleh Rachman (2004) pergeseran terjadi pada kelompok pendapatan menengah ke atas terutama di wilayah perkotaan ke arah pangan yang siap saji, seperti instan, mi lainnya, roti, dan kue-kue yang banyak dibuat dengan menggunakan bahan baku gandum (terigu). Pemilihan jagung sebagai bahan baku pada penelitian kali ini sejalan dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010 yang dicanangkan pemerintah. Aksi pemantapan ketahanan pangan kali ini memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi. Arah pengembangan komoditas jagung sendiri adalah menuju swasembada pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah pengembangan di atas, salah satu upaya peningkatan kapasitas produksi jagung akan dilakukan dengan peningkatan nilai tambah jagung. Salah satu aksi yang direncanakan dalam peningkatan nilai tambah jagung adalah pengembangan industri berbasis jagung produk untuk dalam negeri (Deptan, 2005). Salah
satu
upaya
yang
bisa
dilakukan
untuk
mensukseskan
pengembangan industri berbasis jagung adalah dengan mengarahkan diversifikasi pangan menggunakan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah merintis diversifikasi pangan dengan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku utama. Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak membahas tentang pembuatan mi jagung instan. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2005) melakukan diversifikasi pembuatan mi jagung instan dengan bahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Fadlilah (2005) melakukan perbaikan proses metode Budiyah (2005) dan memperbaiki elastisitas mi dengan mensubtitusi sebagian CGM dengan gluten.
2
Selain itu, jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, subtitusi bagi industri mie pengguna terigu. Hal tersebut cukup penting dalam usaha lebih memasyarakatkan jagung, sebab menurut kajian preferensi konsumen terhadap produk-produk pangan non beras, mie merupakan produk yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Oleh karena itu usaha diversifikasi pangan mi berbahan dasar jagung cukup berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu produk olahan jagung yang banyak dikenal dan digunakan oleh masyarakat adalah pati jagung. Pati jagung bisa dikatakan sebagai produk utama olahan jagung untuk industri pangan. Penggunaan pati jagung sebagai bahan baku produk pangan dapat menjamin ketersediaan bahan baku. Hal ini yang mendasari penggunaan pati jagung sebagai bahan baku pembuatan mi basah pada penelitian kali ini. Pembuatan mi basah jagung didasarkan pada penelitian sebelumnya. Namun tetap harus dilakukan perbaikan desain proses dan perbaikan karakteristik mi untuk mendapatkan produk dengan karakteristik yang optimum.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain proses dan formulasi mi basah optimum berbahan dasar pati jagung dan CGM.
C. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam aplikasi pembuatan mi basah non terigu. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan tambahan wawasan adanya alternatif bahan baku selain terigu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi basah.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
PATI Pati adalah karbohidrat yang tersimpan dalam bentuk granular di dalam organ tanaman. Secara kimia, pati adalah polimer dari unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Balagopalan et., al, 1988). Pati memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi, lokasi hilum, permukaan granula dan kekristalan granulanya (Belitz, dan Grosch, 1999, dan Hodge dan Osman, 1976). Pati merupakan sumber energi utama bagi tanaman. Deposit granula pati terdapat pada setiap jaringan tanaman, seperti pada biji (jagung, gandum, beras, sorghum, kacang-kacangan), akar (garut, ubi, singkong), batang (sagu), umbi (kentang), buah, dan daun (tembakau). Pati yang dijual secara komersial umumnya bersumber dari biji serealia (jagung, beras, gandum, sorghum), umbi, akar (singkong, ubi, garut), dan batang (sagu). Secara umum, pati komersial dibedakan dalam 3 kelompok besar . Jenis pati yang termasuk kelompok pertama adalah pati yang berasal dari umbi, akar, dan batang, kelompok kedua adalah pati dari serealia. Kedua kelompok pati ini dibedakan berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya. Sedangkan kelompok ketiga adalah pati yang berasal dari waxy starches (waxy maize, waxy rice, waxy sorghum). Kelompok ketiga ini berasal dari serealia namun memiliki sifat seperti pati yang berasal dari akar.
1.
Granula Pati Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber pati, dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Perbedaan bentuk dan ukuran beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1- 4 menunjukkan beberapa bentuk granula pati. Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-
4
lapisan tipis yang tersusun terpusat. Menurut Swinkle (1985), fraksifraksi pati tersusun teratur secara radial terhadap hilum. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati Rentang Rata-rata diameter diameter Jenis pati Sumber granula granula (µm) (µm) a Jagung 3-26 15 Sereal Kentanga
Umbi
5-100
33
Bentuk granula Bulat
(round),
polygonal Oval,
bundar
(spherical)
Ganduma
Sereal
2-35
15
Bulat. Lenticular
Tapiokaa
Akar
4-35
20
Oval, truncated
Sorghuma
Sereal
3-26
15
Bulat, polygonal
3-8
5
Polygonal,
Berasa
Sereal
angular
Sagua
Batang
5-65
30
Oval, truncated
Garuta
Akar
5-70
30
Oval, truncated
Ubia
Akar
3-24
15
Polygonal
7-26
NA
Oval, bulat
Kacang hijaub
Biji
Keterangan : a : Swinkles (1985), b : Chen (2003), NA : Not available Granula pati tersusun atas daerah-daerah kristalin hingga tidak kristalin atau amorphus. Transisi antar daerah ini terjadi secara gradual. Daerah kristalin tebentuk karena adanya gaya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul pati yang sejajar satu sama lain. Gaya ikatan
5
hidrogen tersebut mendorong rantai molekul pati membentuk bundel kristalin atau micelles (Swinkle, 1985).
Gambar 1. Granula pati kentang
Gambar 3. Granula Pati garut
Gambar 2. Granula tapioka
Gambar 4. Granula Pati jagung
a
Sumber : Anonim (2003) Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorphus. Komplek amilosa-lipid yang banyak terdapat pada pati serealia dapat membentuk daerah kristalin lemah. Komplek amilosalipid memperkuat struktur granula pati yang berakibat dapat menghambat pengembangan granula (Swinkle, 1985). Granula pati bersifat mampu merefleksikan cahaya polarisasi sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Sifat ini disebut sifat birefringence. Menurut Hoseney (1998), sifat birefringence pati disebabkan karena granula pati memiliki derajat keteraturan molekul yang tinggi. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat
6
dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
2.
Komposisi kimia pati Komposisi penyusun utama pati adalah glukosa. Secara umum pati mempunyai kadar air sekitar 10-20% (w/w) dan beberapa elemen minor seperti lemak, protein dan mineral. Menurut Hoseney (1998) meskipun elemen minor tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat kecil, namun keberadaannya dapat berpengaruh terhadap karakteristik pati. Pati
serealia
memiliki
kandungan
lemak
lebih
tinggi
dibandingkan pati non serealia. Pati serealia mengandung sekitar 0,5-0,8 % lemak sedangkan pati kentang dan tapioka hanya mengandung kurang lebih 0.1% lemak. Lemak teradapat dalam bentuk komplek dengan amilosa. Komplek lemak-amilosa bersifat tidak larut dalam air, namun akan terdisosisi jika dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu. Keberadaan lemak dalam pati dapat berpengaruh terhadap sifas fisik pati. Komplek lemak-amilosa cenderung menghambat pengembangan dan kelarutan pati. Menurut Hoseney (1998) jenis lemak dalam pati umumnya termasuk dalam jenis lemak polar. Kandungan protein pada pati sangat kecil. Kandungan protein tapioka dan pati kentang hanya sekitar 0.1% (w/w) sedangkan kandungan protein serealia berkisar 0,3-0,5%. Kandungan mineral pati juga sangat rendah. Menurut Swinkles (1985), Kandungan mineral yang banyak terdapat pada pati komersial adalah sodium, kalium, magnesium, kalsium dan fosfor.
B.
KOMPONEN PATI Pati tersusun atas dua jenis unit polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi tersebut menyusun pati dalam rasio dan struktur yang berbeda antar sumber pati. Amilosa dikenal sebagai fraksi linier,
7
sedangkan amilopektin dikenal sebagai fraksi bercabang. Menurut Chen (2003) struktur dan komposisi kedua fraksi tersebut berperan penting dalam menentukan sifat pati. Kandungan amilosa pada kebanyakan pati berkisar antara (15-30%) (Swinkles, 1985).
1.
Amilosa Amilosa pada umumnya diasumsikan sebagai polimer linier dari α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1-4. Tidak semua amilosa terdapat dalam bentuk linier, sebagian amilosa juga bercabang. Namun cabang pada amilosa sangat panjang dan sangat sedikit, sehingga molekul amilosa dianggap berperilaku sebagai kesatuan yang tidak bercabang (Swinkles, 1985). Struktur linier amilosa bisa tersusun dari lebih dari 6000 unit glukosa. Sedangkan amilosa yang bercabang biasanya mengandung 320 cabang dengan panjang rata-rata cabang berkisar 500 unit glukosa (Swinkle, 1985). Bobot molekul amilosa sendiri berkisar antara 250.000. Bobot molekul amilosa bervariasi antar spesies bahkan dalam satu spesies dan sangat tergantung dari tingkat kematangan tanaman (Hoseney, 1998). Struktur amilosa yang panjang dan linier memberikannya beberapa karakteristik yang unik. Amilosa mampu membentuk komplek dengan alkohol organik, iodin, dan asam. Amilosa membentuk komplek yang tidak larut dengan alkohol dan iodin. Komplek amilosa dan iodin memberikan warna biru. Komplek warna biru yang terbentuk sering dijadikan indikator keberadaan pati yang mengandung amilosa. Selain itu, struktur linier amilosa juga bertanggungjawab terhadap sifat amilosa yang cenderung berikatan satu sama lain dan membentuk endapan. Amilosa dapat stabil dalam larutan bila pH larutan dipertahankan dalam kondisi basa. Menurut Hoseney (1998) hal ini disebabkan adanya muatan positif yang diinduksi grup OH, dan muatan ini pada rantai berdekatan menolak satu sama lain.
8
2.
Amilopektin Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hoseney, 1998). Tingkat percabangan amilopektin sangat tinggi. Rantai percabangan amilopektin rata-rata terdiri dari 20-25 unit glukosa. Tiap cabang hanya dipisahkan oleh satu unit glukosa. Bobot molekul amilopektin sendiri sangat besar yakni 108 (Hoseney, 1998). Bobot molekul ini termasuk yang terbesar yang pernah ditemukan di alam. Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin Sifat Amilosa Amilopektin Struktur molekul
Linier (α-1-4)
Bercabang (α-1-4, α-1-6)
Bobot molekul
10 Dalton
108 Dalton
Derajat polimerisasi
1500-6000
3 x 105, 3 x 106
Komplek helik
Kuat
Lemah
Komplek
6
warna Biru
Ungu-kemerahan
dengan Iodin Kelarutan
Tidak stabil
Stabil
Retrogradasi
Cepat
Lambat
Sifat gel
Keras,
tidak
dapat Lembut, dapat balik
balik Sifat film
Kuat
Lemah dan rapuh
Sumber: Chen (2003) Struktur bercabang amilopektin menyebabkan molekul ini lebih stabil dalam larutan (Balagopalan, 1988). Amilopektin membentuk komplek berwarna ungu dengan iodin. Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi
9
tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976). Beberapa karakteristik fisikokimia yang membedakan amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.
C.
SIFAT-SIFAT PATI Rasio amilosa dan amilopektin pada pati memegang peranan penting dalam penentuan sifat pati. Identifikasi sifat pati penting dalam menentukan proses, kondisi penyimpanan, atau pemilihan jenis pati yang tepat untuk diaplikasikan.
1.
Gelatinisasi Gelatinisasi
merupakan
istilah
yang
digunakan
untuk
menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya gelatinisasi adalah adanya pati, air, dan pemanasan. Namun tidak semua kombinasi ketiga faktor tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat minimum jumlah air dan suhu pemanasan tertentu yang harus tercapai. Pati murni bersifat tiak larut dalam air dingin atau air dengan suhu di bawah suhu gelatinisasinya. Saat pati ditambahkan pada air dingin, molekul air akan berpenetrasi secara bebas ke dalam granula pati. Dalam kondisi ini, pati hanya mampu menyerap air sebanyak 30% dari bobot keringnya (Hoseney, 1998). Granula pati hanya akan sedikit mengembang dalam air dingin (sekitar 10-15% dari diameter semula). Pengembangan granula pati dalam air dingin bersifat dapat balik. Jika pati dikeringkan kembali, granula akan menyusut dan kembali ke ukuran semula. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, air akan masuk ke dalam granula pati. Seiring dengan naiknya suhu pemanasan, jumlah air yang terserap akan semakin meningkat. Penyerapan air bersifat dapat balik hingga tercapai suhu tertentu (suhu awal gelatinisasi) dimana penyerapan air bersifat tidak dapat balik (Eliasson dan Gudmunsson,
10
1996). Penyerapan air menyebabkan pengembangan granula pati. Pengembangan pertama terjadi di daerah amorphus, karena ikatan hidrogen pada daerah ini lebih lemah dibandingkan daerah kristalin. Selanjutnya pengembangan granula mulai mengganggu keteraturan struktur granula pati, yang menyebabkan mulai hilangnya sifat birefringence.
Menurut
Winarno
(2002),
suhu
dimana
sifat
birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Seiring mengembangnya ukuran granula pati, fraksi amilosa mulai keluar dari granula. Namun granula pati belum pecah karena masih tertahan oleh misel yang belum terganggu atau rusak oleh hidrasi air dan pemanasan. Viskositas larutan meningkat karena semakin banyak air yang terperangkap dalam granula. Hidrasi air berkelanjutan mulai
merusak
struktur
kristalin.
Rusaknya
struktur
kristalin
menyebabkan hilangnya ikatan yang mampu menahan struktur granula pati. Sifat birefringence hilang, granula pati mulai pecah, dan viskositas larutan akan menurun. Hilangnya sifat birefringence menunjukkan gelatinisasi telah terjadi secara sempurna. Secara singkat perubahan fisik yang terjadi selama gelatinisasi adalah mengembangnya granula pati yang diiringi dengan hilangnya sifat birefringence, meningkatnya kekentalan, terlarutnya fraksi amilosa pati (bobot molekul rendah).
2.
Suhu Gelatinisasi Gelatinisasi terjadi jika suhu gelatinisasi telah tercapai. Suhu gelatinisasi menurut Whistler dan Daniel (1996) adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi biasanya berupa kisaran suhu. Hal ini disebabkan bervariasinya ukuran bentuk, dan energi yang diperlukan untuk pengembangan granula pati. Umumnya granula pati berukuran besar akan tergelatinisasi terlebih dahulu kemudian diikuti granula pati dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan
(Collison,1968).
Menurut
Wirakartakusumah
(1981),
11
keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya. Suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut. Greenwood (1979) menyatakan bahwa semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulernya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan jelas dengan kandungan amilosa pati, karena pati normal dan waxy starches dari spesies yang sama memiliki rentang suhu gelatinisasi yang sama (Balagopalan, 1988). Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin (Juliano, 1985). Derajat gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Amilosa Amilopektin Suhu gelatinisasi Jenis pati (%) (%) (oC) Jagunga 28 72 62-72 Kentanga
21
79
58-68
Ganduma
28
72
58-64
Tapiokaa
17
83
59-69
Sorghuma
28
72
68-78
Sagua
27
73
60-72
Garuta
20
80
62-70
32-35b
65-68 b
63-69c
Kacang hijau
Keterangan : a : Swinkles (1985), b: Chen et al., (1988), c : Lii et al., (1988)
12
3.
Retrogradasi Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut, Swinkle (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat retrogradasi.
Fenomena-fenomena
tersebut
antara
lain:
1).
meningkatnya viskositas, 2). meningkatnya kekeruhan, 3). terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 4). terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 5). terbentuknya gel, dan 6). keluarnya air dari pasta (sineresis). Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1985). Terjadinya peristiwa retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan sangat lambat pada pH dibawah 2. Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200
13
unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin. Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioka. Menurut Swinkle (1988) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 2001200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
D.
PROSES PEMBUATAN PATI Pati jagung komersial dihasilkan dari jagung pipil dengan metode penggilingan basah. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan ternak, minyak jagung, dan lain-lain
(Corn Refiner Assosiation, 2002).
Tahap-tahap pembuatan pati dengan metode penggilingan basah meliputi penanganan
pasca
panen
jagung
(pengeringan,
dan
penyimpanan),
pembersihan (cleaning), perendaman (steeping), dan pemisahan komponenkomponen kernel jagung. Tahap pemisahan kernel jagung dibagi lagi menjadi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, dan terakhir tahap starch finishing (Johnnson dan May, 2003). Jagung yang berasal dari ladang dikeringkan dan disimpan dalam silo. Faktor yang harus diperhatikan selama penyimpanan adalah kadar air jagung. Kadar air yang aman untuk penyimpanan jangka panjang adalah sekitar 15% atau kurang. Jagung yang disimpan harus telah memenuhi syarat mutu yang ditentukan. Menurut (Johnnson dan May, 2003) faktor yang diperhatikan dalam pemilihan mutu jagung adalah daya simpan dan
14
penampakan (bobot, adanya materi asing atau konmtaminan, total kernel yang rusak). Jagung yang lolos inspeksi memasuki tahap pembersihan (cleaning) dibersihkan. Pada tahap ini, jagung dibersihkan dari kotoran dan kontaminan asing (sekam, batu, pecahan kernel, bagian tubuh serangga, pasir, logam dan lain-lain). Tahap selanjutnya adalah perendaman. Jagung direndam dalam air yang telah dicampur SO2 dengan konsentrasi tertentu (0.12-0.2%). Perendaman dilakukan selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu 52°C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam kernel meningkatkan kadar airnya dari 15% menjadi 45%. Difusi air menyebabkan ukuran kernel membengkak dua kali ukuran semula, melunakkan kernel dan memudahkan pemisahan pada tahap selanjutnya. Air sisa perendaman dievaporasi hingga mencapai 40-50% padatan, dicampur serat jagung, dikeringkan dan dijual sebagai corn gluten feed atau sebagai fermentation enhancer. Menurut Johnnson dan May (2003) penggunaan SO2 sangat penting karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida matrix protein yang membungkus granula pati, sehingga dapat membebaskn granula pati. Selain itu SO2 mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus). Asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat dapat membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan. Asam laktat dapat meningkatkan pelunakan biji, melarutkan protein endosperm, dan melemahkan dinding sel endosperm. Tahap pemisahan kernel dimulai dengan penggilingan kasar dan pemisahan lembaga. Sebelum lembaga jagung dipisahkan menggunakan hydroclone, jagung terlebih dahulu digiling kasar untuk memecah kernel tanpa memecah lembaga. Selama perendaman, lembaga jagung menjadi lebih elastis, sehingga diharapkan tidak akan pecah dengan pengilingan kasar. Selanjutnya lembaga dipisahkan dari pecahan kernel jagung dalam hydroclone berdasarkan perbedaan berat jenis. Larutan kernel jagung dan lembaga dari penggilingan kasar dipompa masuk ke hydroclone. Dalam
15
hydroclone larutan lembaga dan kernel jagung teraduk oleh hembusan angin yang diberikan dan mendapat gaya sentrifugal. Lembaga akan terdorong keatas, dan pecahan kernel jagung terpisah kebawah. Lembaga yang terpisah, dicuci,
dihilangkan
kadar
airnya dengan
pengepresan,
dikeringkan
dikeringkan hingga kadar air 3% kemudian didinginkan. Lembaga yang dikeringkan bisa diolah lebih lanjut untuk ekstraksi minyak minyak jagung. Tahap selanjutnya adalah penggilingan halus dan pemisahan serat. Pada tahap ini, lumpur jagung dari penggilingan kasar digiling dalam penggilingan kuat yang akan menggerus jagung sehingga pati dan glutennya keluar dari dalam kernel. Selanjutnya suspensi pati, gluten, dan serat dialirkan ke atas ayakan cembung yang dapat menahan serat tetapi meneruskan pati. Serat yang terkumpul diayak lagi untuk menghilangkan residu pati atau protein, kemudian dipompa menuju lini pakan untuk dijadikan pakan hewan. Suspensi pati dan gluten yang disebut mill starch dialirkan menuju starch separators. Tahap pemisahan dan pemurnian pati dari mill starch dilakukan berdasarkan perbedaan berat jenis pati dan gluten. Gluten memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan pati. Mill starch dialirkan dalam sentrifuse, sehingga gluten mengambang lalu dipompa ke lini pakan. Pati dengan sisa protein sekitar 1-2% dilarutkan lalu dicuci 8 sampai 14 kali. Pelarutan dan pencucian
yang
berulang
di
dalam
hydroclones
digunakan
utuk
menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah. Pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5%. Sebagian pati dikeringkan untuk dijual sebagai pati tak termodifikasi, sebagiannya lagi dijual sebagai pati-pati yang sudah dimodifikasi atau mengalami proses lanjutan menjadi dekstrin dan sirup glukosa (Corn Refiner Assosiation, 2002). Tahap starch finishing dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Lumpur pati bisa langsung dikeringkan atau diberi perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti pemutih atau asam (memodifikasi sifat protein) untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
16
E.
CORN GLUTEN MEAL (CGM) Produk utama jagung lainnya selain pati adalah Corn Gluten Meal (CGM). CGM merupakan produk sampingan utama penggilingan basah (wet milling).
CGM diproduksi setelah lembaga, serat, dan pati dihilangkan
dalam proses penggilingan basah. Setelah komponen tersebut dihilangkan akan dihasilkan light gluten (LG). LG kemudian dipekatkan menghasilkan heavy gluten (HG).
Setelah itu, HG dihilangkan airnya melalui proses
penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum menghasilkan gluten cake (GC). Akhirnya, GC dikeringkan dengan menggunakan rotary drum dryers menghasilkan CGM (Rausch et al., 2003). CGM biasanya digunakan sebagai sumber protein pakan ternak. CGM jarang digunakan dalam industri pangan karena ia memiliki aroma khas yang kurang disukai. Peningkatan nilai tambah CGM di bidang pangan telah dirintis pada penelitian terdahulu. Budiyah (2005) pada penelitiannya menggunakan CGM sebagai bahan baku pembuatan mi jagung instan. CGM ditambahkan sebagai bahan baku untuk meningkatkan kadar protein produk. Selain itu komplementasi CGM juga berperan dalam memberikan warna alami karena pigmen kuning yang terkandung pada CGM. Budiyah (2005) juga melaporkan penambahan CGM dapat mempengaruhi tekstur dan kemudahan terbentuknya adonan. Selain itu Wu et al., (2001) juga menggunakan CGM untuk memfortifikasi kandungan protein pada produk spaghetti karena CGM merupakan sumber protein nabati yang tidak mengandung kolesterol dan rendah kandungan asam lemak jenuh.
F.
PATI KACANG HIJAU Pati kacang hijau merupakan salah satu hasil olahan kacang hijau. Pembuatan pati kacang hijau secara tradisional sudah sering dilakukan yaitu dengan cara menggiling kacang hijau yang sudah dikupas menjadi bentuk pasta. Selanjutnya ditambahkan air berlebih, dan disaring dengan kain penyaring untuk memisahkan selulosa. Selanjutnya filtrat diendapkan, dicuci, dan diendapkan lagi sampai didapatkan filtrat yang jernih. Setelah itu,
17
barulah residu pati dikeringkan (Siegel dan Fawcett, 1976, seperti dikutip oleh Fawzya, 1983). Penggunaan pati kacang hijau atau yang dikenal dengan nama hunkwe di Indonesia, kebanyakan hanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue-kue basah. Namun di beberapa negara asia seperti Thailand, dan Cina pati kacang hijau merupakan salah satu bahan baku pembuatan mi yang cukup digemari. Mi berbahan dasar pati kacang hijau dikenal dengan nama Tong-Fung di Cina. Karakteristik tekstur mi yang unik dan rendahnya cooking loss menjadikan mi ini termasuk salah satu masakan cina yang digemari. Pati kacang hijau sangat disukai sebagai bahan dasar pembuatan mi pati karena ia menghasilkan mi dengan penampakan dan karakteristik yang diinginkan. Karakteristik mi pati kering yang diinginkan dinilai dari keseragaman, cooking quality dan eating quality. Faktor lain yang diiperhatikan konsumen saat membeli mi pati kering adalah tidak berwarna, tidak mengkilap (glossy), dan tidak transparan. Sedangkan untuk mi pati matang karakteristik yang paling penting adalah mouthfeel dan tekstur. Mi harus tetap kokoh (firm) dan tidak lengket setelah dimasak. Mi pati yang bagus memiliki waktu masak yang singkat dengan kehilangan padatan yang rendah, dan rasa yang hambar (Chen et al., 1988). Namun produksi mi pati kacang hijau tetap memiliki kendala yaitu harga pati kacang hijau yang mahal. Mahalnya harga pati kacang hijau mendorong banyak penelitian di bidang mi pati untuk mencari jenis pati yang lebih murah namun menghasilkan mi dengan karakteristik seperti mi pati kacang hijau. Riset ekstensif banyak dilakukan di Taiwan. Riset dilakukan dengan karakterisasi sifat fisikokimia dan kualitas mi dari baerbagai macam jenis pati. Hasil riset menunjukkan kehilangan padatan selama pemasakan mi pati kacang hijau paling rendah walau telah dimasak hingga 12 jam, sedangkan mi komersial dan mi dari pati ubi mengalami 100% cooking loss. Studi menggunakan mikroskop elektron menunjukkan terdapat struktur rigid dalam mi pati kacang hijau yang tidak terdapat dalam mi pati lainnya. Hasil riset tentang sifat fisikokimia pati menggunakan Brabender Viscoamylogram
18
menunjukkan jenis granula pati kacang hijau adalah pati ikatan silang bertipe C. Pati ikatan silang memiliki ketahanan penurunan viskositas terhadap asam lebih tinggi. Selain itu pati tipe C menunjukkan kestabilan viskositas yang tinggi terhadap pemanasan suhu tinggi. Namun percobaan pembuatan mi pati menggunakan pati kacang polong yang memiliki sifat fisikokimia sama dengan kacang hijau menghasilkan mi pati dengan tekstur yang tidak bagus. Menurut (Chen et al.,1988), tekstur unik mi pati kacang hijau tidak hanya disebabkan kandungan amilosanya yang tepat (32%-35%), tapi juga struktur molekulernya yang spesifik yang menghasilkan ikatan atau viskositas mi pati yang kuat dan stabil. Kim et al., (1996) mencoba mencari jenis pati lain yang berpotensi menggantikan pati kacang hijau. Penelitian menggunakan pati dari dua jenis kacang-kacangan (pinto dan navy bean), kentang dari dua jenis genotip (ND651-9, Mainechip), dan pati kentang komesial. Kedua jenis kacangkacangan tersebut dipilih karena dianggap memiliki sifat fisikokimia yang paling mirip dengan pati kacang hijau dan memiliki rendemen pati lebih tinggi dibanding pati kacang hijau. Kedua jenis kacang ini diharapkan menjadi sumber pati yang potensial yang menghasilkan mi pati berkualitas tinggi dibandingkan mi pati kacang hijau. Penggunaan pati kentang digunakan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa beberapa genotip pati kentang cukup berpotensi sebagai bahan baku pembuatan mi pati. Mi berbahan dasar pati kentang dilaporkan memiliki penampakan transparan, tekstur yang lembut dan licin, dan memiliki tingkat penyerapan kuah yang tinggi. Kim et al., (1996) membandingkan beberapa parameter, yaitu cooking quality (cooking loss dan cooked weight), dan karakteristik sensori mi pati dari beberapa jenis pati di atas dengan mi komersial yang terbuat dari pati kacang hijau. Lampiran 15 dan 16 menunjukkan hasil analisis cooking quality, tekstur, dan sensori yang dilakukan Kim et al., (1996). Hasil penelitian mereka menunjukkan mi berbahan dasar kacang-kacangan memiliki cooking quality yang hampir sama dengan mi pati komersial yang dibuat dari pati kacang hijau. Hasil pengukuran tekstur mi menggunakan
19
texture profile analyzer (TPA) menunjukkan mi dari pati kacang-kacangan memiliki nilai kekerasan lebih tinggi tapi nilai kelengketan lebih rendah dibandingkan mi dari pati kentang. Hasil analisis sensori menunjukkan mi pati kentang memiliki nilai transparansi lebih tinggi dibanding mi dari pati kacang-kacangan. Selain itu hasil analisis sensori terhadap penerimaan keseluruhan panelis juga menunjukkan mi pati kentang dengan genotip Minechip dinilai memiliki karakteristik menyamai mi pati komersial, sehingga genotip ini dianggap cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan mi pati komersial. Penelitian lain tentang usaha eksplorasi jenis pati yang lebih murah untuk menggantikan mi pati kacang hijau juga dilakukan oleh Chen (2003). Chen (2003) menggunakan pati ubi dari varietas (SuShu2, SuShu8 dan XuShu18). Chen (2003) membandingkan karakteristik fisik dan sensori mi yang dihasilkan dari ketiga varietas tersebut dengan mi yang dibuat dari pati kacang hijau. Karakteristik fisik mi dari ketiga varietas yang paling mendekati mi pati kacang hijau dan secara sensori masih diterima konsumen dianggap paling berpotensi untuk dikembangkan. Selain itu Chen (2003) juga melakukan penelitian tentang kemungkinan memprediksi kualitas mi dari sifat gel yang dihasilkan. Karakteristik gel yang diamati meliputi storage modulus (G’) yang menunjukkan nilai kekerasan gel, loss tan (tan δ) menunjukkan elatisitas gel, dan maximum strain yang menunjukkan tegangan maksimum gel. Karakteristik gel pada penelitian Chen (2003) dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pati dengan tingkat kekerasan dan elastisitas tinggi akan menghasilkan mi pati berkualitas tinggi. Sedangkan pengukuran karakteristik mi yang diamati meliputi karakteristik fisik menggunakan alat (texture profile analyzer) dan analisis sensori. Karakteristik fisik yang diamati meliputi, kelengketan, cutting behaviour, perpanjangan
mi (extention), cooking
loss dan
indeks
pengembangan. Hasil analisis fisik, sensori, dan gambar produk akhir mi pati yang dihasilkan pada penelitian Chen (2003) juga dapat dilihat pada Lampiran 18, 19, 20, 21, 22.
20
Menurut Chen (2003) pengukuran kelengketan perlu dilakukan tidak hanya untuk melihat karakter kelengketan mi pada beberapa tahapan proses tapi juga untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dalam pembuatan mi. Perlakuan yang diberikan adalah pembekuan. Perlakuan pembekuan terbukti mempermudah pemisahan mi pati ubi. Sedangkan mi pati kacang hijau memiliki kelengketan yang paling rendah dan tidak memerlukan perlakuan pembekuan untuk memisahkan untaian mi-nya. Karakteristik kelengketan diukur dengan mengukur cohesive force (Fco), yaitu gaya yang diperlukan untuk melepaskan dua untai mi yang dilekatkan satu sama lain. Karakteristik perpanjangan mi diukur dengan parameter modulus perpanjangan (E) yang menunjukkan kekerasan regangan (stretch stiffness) dan perpanjangan relatif (re) yang mengukur kemampuan memanjang (stretchability) mi. Karakteristik cutting behaviour ditunjukkan oleh parameter cutting force (Fc) dan peningkatan rasio panjang (rc) mi. Cutting force menunjukkan kekerasan mi, sedangkan peningkatan rasio panjang (rc) menunjukkan fleksibilitas mi. Karakteristik mi yang diinginkan pada penelitian ini adalah mi yang elastis, tekstur stabil dalam air panas, cukup keras, dan tidak lengket. Mi yang elastis dan cukup keras ditunjukkan dengan nilai cutting behaviour dan perpanjangan mi yang tinggi. Kestabilan dalam air panas ditunjukkan dengan rendahnya nilai cooking loss dan tingginya nilai indeks pengembangan. Sedangkan rendahnya kelengketan ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai cohesive force (Fco). Hasil penelitian Chen (2003) menunjukkan pati ubi dari varietas Sushu8 mampu menghasilkan mi pati kering dengan kualitas yang sebanding dengan mi pati kacang hijau, bahkan kualitas mi pati ubi masak lebih baik daripada mi pati kacang hijau. Hasil analisis sensori juga menunjukkan, varietas Sushu8 menghasilkan mi yang lebih disukai dibanding mi pati dari kedua varietas lainnya.
21
G. MI BASAH Mi merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2987-1992). Mi basah umumnya dibuat dengan bahan dasar terigu. Mi terigu menurut Astawan (1999) dapat dikelompokkan mejadi mi segar/mentah, mi basah, dan mi instan.
1.
Jenis Mi Basah Berdasarkan produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mi yaitu mi basah (mi ayam dan mi kuning) dan mi kering (mi telor dan mi instant). Komposisi kedua jenis tersebut di atas hampir sama. Perbedaan keduanya adalah pada kadar air, kadar protein dan tahapan proses pembuatannya. Berdasarkan bahan baku utamanya, mi basah dapat dibedakan menjadi dua yaitu mi basah yang terbuat dari terigu dan mi basah yang terbuat dari tepung aren. Mi basah yang terbuat dari tepung aren dikenal masyarakat dengan mi “gleser” (Badrudin, 1994). Namun kebanyakan masyarkat lebih mengenal mi basah dengan bahan baku utama terigu. Mi gleser hanya dikenal masyarakat di daerah tertentu. Mi basah dengan bahan baku terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mi basah mentah dan mi basah matang. Perbedaan keduanya adalah pada tahapan setelah pemotongan. Setelah pemotongan, mi basah mentah hanya ditaburi tapioka untuk menghindari untaian mi lengket satu sama lain. Sedangkan pada mi basah matang, setelah dipotong, mi direbus dan di olesi minyak. Pengolesan minyak bertujuan agar untaian mi matang tidak lengket satu sama lain. Perbedaan tahap perebusan tersebut menyebabkan kedua jenis mi tersebut memiliki perbedaan kadar air yang cukup besar. Mi basah mentah memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mi basah matang memiliki kadar air sekitar 52% (Astawan, 1999).
22
2.
Proses Pengolahan Mi Basah Bahan utama pembuatan mi basah adalah tepung dan air, sedangkan bahan tambahan lain diantaranya adalah garam, air abu, dan telur. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan protein, dan sumber gluten yang memberi sifat kenyal dan elastis. Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Air abu yang biasa digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), kalium polifosfat (KH2PO4). Air abu digunakan sebagai bahan alkali yang digunakan dalam pembuatan mi. Fungsi bahan alkali tersebut
berbeda-beda.
Na2CO3 berfungsi
untuk
meningkatkan
kehalusan tekstur mi, K2CO3 untuk meningkatkan kekenyalan mi. sedangkan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi (Badrudin, 1994). Penggunaan telur sebagai bahan baku jarang digunakan dalam skala industri. Telur sendiri cukup berperan dalam kemudahan pembentukan adonan. Kuning telur mengandung lesitin yang dapat mempercepat hidrasi air pada tepung terigu dan mengembangkan adonan. Potein dan lemak bersifat mengikat dan menahan air, sehingga memudahkan terigu menyerap air. Selain itu kegunaan telur adalah dapat meningkatkan kandungan protein dan lemak. Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mi dan perebusan. Tahapan proses pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 5. Tahapan pencampuran bertujuan untuk menghasilkan adonan yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, elastis, dan mengembang normal. Setelah pengadukan, tahap selanjutnya adalah pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk
23
menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Tahap sheeting dilakukan dengan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam pengepres. Sheeting dilakukan hingga ketebalan lembaran 1,5-2 mm (Astawan,1999). Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat yang searah, sehingga mi yang dihasilkan elastis, kenyal dan halus (Badrudin,1994). Terigu + air
Pencampuran dengan bahan tambahan Pengadukan hingga homogen Pembentukan lembaran Pemotongan
Mi basah mentah
Perebusan (2 menit) Penirisan dan pendinginan Pemberian minyak goreng Mi basah matang Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah Terigu (Astawan,1999) Tahap selanjutnya adalah pemotongan lembaran. Proses ini bertujuan membentuk lembaran pita-pita mi dengan dengan lebar 1-3 mm. Setelah tahap pemotongan, jenis mi yang dihasilkan adalah mi basah mentah. Tahap berikutnya untuk memperoleh mi basah matang adalah dengan mengukus atau merebus mi mentah. Pengukusan atau perebusan mi mentah bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan
24
koagulasi protein sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994). Menurut Astawan (1999), perebusan harus dilakukan pada suhu tinggi selama kurang lebih 2 menit. Suhu perebusan yang tinggi akan mempersingkat waktu perebusan. Waktu prebusan yang terlalu lama akan menyebabkan mi terlalu lembek. Tahap terakhir dari pembuatan mi basah matang adalah pelumasan mi yang telah direbus dengan minyak goreng. Pelumasan bertujuan agar mi tidak menjadi lengket satu sama lain. Selain itu menurut Mugiarti (2001) seperti dikutip oleh Gracecia (2005) penggunaan minyak dapat memberikan cita rasa dan memperbaiki penampakan mi menjadi mengkilap.
3.
Karakteristik Mi Basah Jenis mi terigu yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi instan dan chinesse wet noodle atau yang kita kenal dengan mi basah.
Formula maupun proses
pembuatan mi basah yang dikenal di Indonesia awalnya mengadopsi dari Cina. Namun pada perkembangannya, produsen mi basah di Indonesia banyak melakukan modifikasi terutama dalam segi formulasi. Beberapa produsen mensubstitusi terigu dengan tapioka untuk meminimalkan biaya produksi. Namun, modifikasi pada formulasi maupun pada proses diharapkan tidak memberikan perubahan nyata pada karakteristik fisik maupun penampakan mi basah yang dihasilkan. Mi basah matang di Cina dikenal dengan nama Hokkien noodle. Menurut Miskelly (1996), mi Hokkien banyak dikenal di Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Mi Hokkien dimasak selama 1-2 menit dengan bagian tengah yang belum tergelatinisasi. Karakteristik fisik mi Hokkien telah ditetapkan untuk mempermudah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan mi tersebut. Mi Hokkien tergolong dalam mi alkali. Menurut Miskelly (1996), evaluasi terhadap mi alkali dilakukan terhadap warna, penampakan, karakteristik saat dimasak (kehilangan padatan akibat pemasakan),
25
eating quality (kekerasan, kelengketan, elastisitas), dan tekstur. Mi alkali seharusnya berwarna kuning, simetris, dapat dimasak dengan cepat dan tidak hancur. Selain itu, setelah dimasak mi tidak lengket dan memiliki tekstur yang elastis dan kenyal. Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mi basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk,1998). Secara
fisik,
diameter
mi
basah
berkisar
antara
1,5-2mm
(Astawan,1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna untuk mi basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut Hou dan Krouk (1998), mi basah matang harus memiliki tekstur yang kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit, dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Pengukuran parameter kualitas mi bisa dilakukan secara subyektif menggunakan panelis terlatih atau bisa juga dilakukan secara obyektif menggunakan beberapa instrumen pengukuran. Pengukuran secara subyektif agak sulit dilakukan karena menggunakan panelis terlatih yang memerlukan latihan intensif dan tidak bisa langsung menguji sampel dalam jumlah banyak. Pengukuran kualitas mi banyak dilakukan menggunakan alat seperti chromameter, spektrofotometer, texture analyzer atau rheoner. Karakteristik fisik yang diukur meliputi warna, cooking loss, kekerasan, kelengketan dan persen elongasi. Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatan. Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan tidak hanya dilakukan pada produk akhir, melainkan pada produk intermediet di setiap tahapan pembuatan. Menurut Hou dan Kruk (1998). Tahapan proses yang perlu diperhatikan pada pembuatan mi basah matang antara lain adalah tahap pencampuran, pembentukan lembaran, pemotongan, dan perebusan. Parameter yang diamati pada tahap pencampuran adalah penyerapan air yang optimum, ukuran partikel adonan kecil dan seragam. Sedangkan pada tahap pembentukan lembaran, parameter yang diamati adalah adonan mudah dibentuk lembaran, permukaan halus, tidak mudah sobek
26
dan bebas dari noda. Setelah terbentuk lembaran, tahap selanjutnya adalah pemotongan. Untaian mi yang diharapkan adalah memiliki ukuran yang tepat, dan hasil potongan yang rapi. Sedangkan pada tahap perebusan, mi memiliki coooking loss rendah atau secara visual, air rebusan tidak terlalu keruh. Mi basah termasuk komoditas pangan yang mudah rusak. Kerusakan mi basah utamanya disebabkan oleh tumbuhnya mikroba. Mi basah sangat mudah ditumbuhi kapang karena karakteristik kimia mi basah sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroba. Menurut Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2005) seperti dikutip oleh Gracecia (2005), mi basah mentah memiliki kadar air 26-27%, sedangkan mi basah matang memiliki kadar air 64-65%. Selain kadar air yang tinggi aw mi basah juga cukup tinggi. aw mi basah matang adalah 0.92-0,93. Kadar air dan aw yang tinggi sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba perusak. Selain kadar air dan aw, karakteristik kimia yang penting untuk mengetahui kualitas mi adalah pH. Mi basah dianggap belum rusak jika pH mi masih pada kisaran pH basa yakni sekitar 7,55 untuk mi mentah. Menurut Astawan (1999). Kerusakan mi basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam. Walaupun mi basah termasuk bahan pangan yang mudah rusak, namun ia telah menjadi salah satu bahan pangan yang dikonsumsi sebagai sumber energi selain nasi. Komposisi zat gizi mi basah matang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan Komposisi Gizi
Jumlah
Energi Protein Lemak Karbohidrat Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air
86 0,6 3,3 14,0 14 13 0,8 0 0 0 80,0
Kalori g g g mg mg mg SI mg mg g
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes (1992) seperti dikutip olah Astawan (1999).
27
H. MI PATI Berdasarkan bahan utamanya, mi digolongkan menjadi dua yaitu mi terigu dan mi non terigu. Mi pati tergolong dalam mi non terigu. Berbeda dengan mi terigu yang memiliki gluten sebagai pembentuk tekstur mi, struktur mi pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi. Sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang dihasilkan. Berbeda dengan mi terigu yang dibuat dengan metode sheeting, pembuatan mi pati kebanyakan menggunakan metode ekstrusi. Hingga saat ini, menurut Kim et al., (1996) karakteristik mi pati terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas mi pati adalah mi pati yang dibuat dari pati kacang hijau. Galvez and Resurreccion (1992) seperti dikutip oleh Kim et al., (1996) melaporkan kualitas mi pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar dan cooking loss kecil. Pati kacang hijau menghasilkan mi pati dengan kualitas terbaik karena sifat patinya yang tinggi kandungan amilosa, keterbatasan pengembangan granula, pasta pati stabil selama pemanasan dan pengadukan, dan memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi. Jenis mi pati yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah mi dari sagu. Mi jenis ini banyak dikembangkan di daerah bogor dan Sukabumi. Masyarakat mengenal mi ini dengan nama ”Mi gleser” atau Mi srodot” karena teksturnya yang licin. Pembuatan mi gleser diawali dengan pembuatan ”lem sagu” sebagai pengikat. Lem sagu dibuat dengan memasak kurang lebih 1/3 bagian pati dalam air mendidih (pati:air = 1:2). Lem sagu dicampur dengan sisa pati kering. Adonan diaduk hingga licin dan dapat dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi sagu akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih sampai mengapung dan direndam dalam air dingin yang mengalir, kemudian ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi tidak saling melengket, mi dilumuri minyak sayur (Taufiq, 2005)
28
I.
MI JAGUNG Mi jagung adalah mi yang dibuat dengan bahan utama hasil olahan jagung (tepung atau pati). Beberapa penelitian sebelumnya mengembangkan mi instan berbahan dasar tepung jagung dan pati jagung dengan penambahan protein jagung (Corn Gluten Meal) dan penambahan gluten terigu. Metode yang digunakan menyerupai pembuatan mi terigu, yakni menggunakan metode sheeting dengan beberapa modifikasi. Pembuatan mi jagung instan berbahan dasar tepung jagung dikembangkan oleh Juniawati (2003). Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mie jagung instan terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Pada pembuatan mi jagung, suspensi tepung jagung dengan air pada saat pengukusan mengalami proses gelatinisasi. Gelatinisasi menyebabkan pengembangan granula pati. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Setelah pengukusan dihasilkan massa adonan yang kohesif dan cukup elastis ketika diuleni (Juniawati, 2003). Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama. Adonan yang telah dikukus mengalami pemasakan yang tidak merata dimana bagian dalamnya sangat sedikit menerima panas sehingga tingkat kemasakan ataupun tingkat gelatinisasinya paling rendah. Untuk meratakan kadar air dan tingkat gelatinisasi diperlukan pengulian. Dalam hal ini, air merupakan faktor yang menentukan konsistensi adonan setelah pemasakan (Juniawati, 2003). Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan
29
tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung dengan air 1:1 (Juniawati, 2003). Mi hasil pengukusan pertama tidak dapat langsung dikeringkan karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua. Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga sulit dicetak (Juniawati, 2003). Mi hasil pengukusan pertama apabila langsung dikeringkan maka ketika dimasak akan hancur. Hal ini disebabkan apabila proses gelatinisasi belum cukup maka pati tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat pengikat tidak dapat mengikat secara sempurna partikel-partikel yang ada dalam bahan sehingga ketika dimasak dalam air akan larut. Proses pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat. Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003).. Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003). Faktor kritikal yang menjadi variabel bebas adalah volume air yang ditambahkan dan waktu pengukusan pertama. Berdasarkan hasil optimasi, maka hasil volume air dan waktu pengukusan yang optimum pada pengolahan mie jagung instan adalah 50 ml selama 15 menit dengan tingkat gelatinisasi yang dihasilkan adalah 80.77%. Waktu pengukusan kedua adalah
30
30 menit. Hasilnya diperoleh waktu masak mi jagung instan selama 7 menit (Juniawati, 2003). Waktu masak mi jagung instan selama 7 menit belum memenuhi persyaratan SNI bagi mi instan yang menyatakan bahwa waktu masak mi instan adalah 4 menit. Oleh karena itu dibutuhkan bahan tambahan yang dapat menghasilkan waktu masak selama 4 menit. Bahan tambahan yang digunakan yaitu baking powder sebanyak 0.3% (Juniawati, 2003). Mi jagung instan memiliki daya serap air (DSA) 91.97% dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) 8.47%. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung instan adalah kadar air 11.67%, kadar abu 1.20%, kadar protein 6.16%, kadar lemak 2.27%, karbohidrat 78.69%, pati 65.92%. Nilai energi yang terkandung dalam mi jagung instan adalah 360 kkal/100 gram. Tingginya kadar karbohidrat dan energi yang terkandung pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan alternatif pilihan produk pangan pokok. Kandungan serat pada mi jagung instan adalah 6.80%. Apabila mi jagung instan disajikan sebanyak 100 gram maka kebutuhan serat yang dipenuhi dari mi jagung instan adalah 23-27% per hari (Juniawati, 2003). Budiyah (2004) melakukan riset mengenai mi jagung instan yang terbuat dari pati jagung dan protein jagung (corn gluten meal). Dalam proses pembuatan mi jagung tersebut, Budiyah (2004) melakukan penyesuaian pada desain proses pembuatan mi jagung instan dari metode Juniawati (2003). Penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena bahan baku yang digunakan berbeda dan terdapat banyak kesulitan untuk melakukan scale up pembuatan mi jagung instan dengan metode yang digunakan Juniawati (2003) antara lain adalah derajat gelatinisasi pati yang tidak konsisten. Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan memisahkan adonan menjadi dua bagian. Adonan pertama adalah pati dan CGM yang dicampur air, kemudian dikukus hingga mengalami gelatinisasi sempurna. Sedangkan, adonan kedua adalah pati yang dicampur dengan bahan tambahan lainnya tanpa mengalami proses gelatinisasi. Selanjutnya adonan yang tergelatinisasi dan adonan yang tidak tergelatinisasi dicampur dengan varimixer sampai
31
adonan menjadi homogen. Proses ini bertujuan untuk membentuk adonan yang baik, memiliki cukup kadar air, dan matriks pati yang belum tergelatinisasi serta bahan-bahan lain terikat ke dalam matriks pati yang telah tergelatinisasi sehingga memudahkan pembentukan adonan yang kalis. Mi jagung yang dikembangkan Budiyah (2004) memiliki daya serap air 74.31%, kehilangan akibat pemasakan 20.10%, kekuatan tekstur 18 gf, dengan waktu rehidrasi 4 menit. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung instan tersebut adalah kadar air 7.47%, kadar abu 1.44%, kadar protein kasar 3.32%, kadar karbohidrat 81.91%, dengan nilai energi 379 kkal. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa metode yang dikembangkan oleh Budiyah (2004) akan menyulitkan bagi industri sebab industri harus menambah feeder ekstra dan mengatur ulang aliran proses pada peralatannya. Hal tersebut akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, dibutuhkan desain proses dimana proses pengukusan pertama dapat dilakukan pada seluruh bagian adonan. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan penting pada pengukusan pertama adalah kecukupan tingkat gelatinisasi, sehingga dapat terbentuk adonan yang kalis, elastis, kohesif, dan mudah dicetak menjadi mi. Fadlillah (2005)
telah melakukan penelitian pengukusan seluruh
bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Pengukusan seluruh bagian adonan pada suhu 70oC selama empat menit belum menghasilkan adonan yang kuat dan elastis. Pengukusan seluruh adonan pada suhu 70oC selama tujuh menit sudah menghasilkan adonan yang lebih baik.
Namun, adonan belum terlalu elastis, kasar dan masih patah.
Pengukusan selama 10 menit pada suhu 70oC menghasilkan adonan yang lebih kuat, namun karena gelanitisasi hanya terjadi sebagian, maka adonan yang dihasilkan masih kasar. Sedangkan, pada pengukusan selama 13 menit, adonan yang dihasilkan lebih licin dan halus tetapi lengket di mesin mi. Untuk
mempermudah
pembuatan
adonan
yang
kalis
dan
meningkatkan elastisitas mi, dilakukan penambahan protein gluten terigu (Fadlillah, 2005). Penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan dengan penambahan corn gluten meal (CGM), dengan total penambahan
32
10% dari adonan. Penambahan protein gluten terigu kurang dari 5%, tidak terlalu berpengaruh terhadap karakteristik adonan dan elastisitas mi jagung instan. Penambahan gluten terigu di atas 5%, akan meningkatkan kekerasan mi jagung instan. Pada perbandingan protein gluten terigu instan dengan CGM 5:5, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 15,57 Kgf. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3, diperoleh nilai kekerasan sebesar 46,33 Kgf.
Pada perbandingan
protein gluten
terigu:CGM sebesar 9:1, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 53,33 Kgf. Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan bahwa selain meningkatkan
kekerasan,
penambahan
protein
gluten
terigu
juga
meningkatkan elatisitas mi jagung instan. Pada penambahan protein gluten terigu:CGM sebesar 5:5, diperoleh nilai elongasi mi jagung instan sebesar 124,41%. Nilai elongasi meningkat menjadi 130,32%, pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, nilai elongasi mi jagung instan meningkat menjadi 150,63%. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, mi jagung instan sudah dapat dimasak seperti cara memasak mi terigu instan. Penambahan protein gluten terigu juga akan mempersingkat waktu pengukusan pertama, dan menghasilkan adonan yang lebih kalis, halus, dan lembut. Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan Syed Zakiuddin. Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka kembangkan adalah sebagai berikut : 1. Jagung dibuat menjadi grit 2. Grit jagung direndam dalam larutan sulfur dioksida 3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung 4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh 5. Tepung ditambah garam dan air 6. Campuran dikukus untuk membentuk tekstur tepung
33
7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan yang homogen 8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk untaian mi 9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan (Sowbhagya et al., 2000) Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite, dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian diekstrusi. Mi hasil ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit. Perendaman
dalam
larutan
sulfur
dioksida
diketahui
dapat
menyebabkan matriks protein mengalami pembengkakan gradual dan akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Sowbhagya et al., 2000). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan produk. Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit, cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, elastic recovery 12.1-12.5%, dan kandungan amilosa 30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan belum memenuhi standar waktu pemasakan yang hanya 4 menit, selain itu proses pembuatan mi seperti di atas membutuhkan waktu yang lama karena harus melalui tahapan pembuatan tepung terlebih dahulu.
34
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah maizena, protein jagung/ corn gluten meal (CGM), dan pati kacang hijau (pati kacang hijau). Sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam, baking powder, CMC (Carboxyl Methyl Cellulose), guar gum. Bahan kimia yang digunakan adalah HCl 0,5 N, KOH 0,2 N, akuades, heksana, H2SO4 pekat, HgO, larutan NaOH-Na2SO3, larutan asam borat jenuh, larutan HCl 0,02 N, larutan iodium, dan indikator (campuran 2 bagian Metil Merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian Metilen biru dalam 0,2% alkohol). Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan mi meliputi mesin mi, mi dan alat-alat masak. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia meliputi rheoner, texture analyzer, mikroskop polarisasi, timbangan jangka sorong, sentrifuse, stirer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, magnetic stirer, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl, oven, cawan aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik, tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.
B. METODOLOGI 1. Tahapan Penelitian a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) Penelitian kali ini menggunakan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal) sebagai bahan baku utama pembuatan mi basah jagung. Oleh karena itu perlu dilakukan tahap karakterisasi pati jagung dan CGM. Karakterisasi bahan baku meliputi karakterisasi sifat fisik dan kimia (kadar air, kadar protein kasar, kadar lemak, dan kadar abu).
35
b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang Pembuatan mi basah jagung merupakan pengembangan dari pembuatan mi jagung instan. Desain proses dan formulasi pada penelitian kali ini didasarkan pada penelitian mi jagung instan metode Budiyah (2005). Selain itu desain proses pembuatan mi basah jagung juga menggabungkan pembuatan mi basah
terigu. Gambar 6
menunjukkan metode pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005). Beberapa variabel proses yang diubah meliputi jumlah air yang ditambahkan, dan waktu pengukusan. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah karaketistik fisik mi yang dihasilkan, meliputi kekerasan, kelengketan, % elongasi, resistensi terhadap tarikan, KPAP dan derajat gelatinisasi.
Pati(450 g/setengah total pati yang dibutuhkan) + CGM 100 g + air 350 ml
Pati (450 g/setengah total pati) + baking powder 0,3% + Garam 1% + CMC 1%
Pencampuran sampai merata
Pencampur sampai merata
Pengukukusan sampai tergelatinisasi sempurna (7 menit)
Pencampuran sampai adonan menjadi kalis Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (Pressing, slitting, cutting) Pengukukusan (10 menit) (tahap pematangan bagian yang belum tergelatinisasi) Pengeringan pada suhu 60-70oC selama 2 jam Pendinginan (cooling) Pengemasan Gambar 6. Diagram proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005).
36
c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang Perbaikan elongasi mi dilakukan dengan mensubstitusi sebagian pati jagung yang dikukus dengan pati kacang hijau. Tujuan pemilihan pati kacang hijau untuk memperbaiki sifat fisik mi terutama pati kacang hijau merupakan bahan baku mi pati yang dianggap memberikan karakteristik fisik dan cooking quality yang paling baik. Selain itu penelitian sebelumnya telah menggunakan gluten terigu untuk meningkatkan elongasi mi jagung instan. Penelitian kali ini ingin menghasilkan produk pangan bebas gluten atau yang dikenal dengan istilah gluten free food, sehingga dicari alternatif bahan pangan selain gluten terigu untuk meningkatkan elongasi mi. Parameter yang diamati pada tahap penelitian ini adalah semua parameter pengukuran fisik kecuali parameter KPAP. Substitusi pati kacang hijau yang paling baik memperbaiki sifat elongasi mi tanpa menurunkan atau paling tidak hanya sedikit menurunkan karakteristik fisik mi yang lain akan dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Tabel 5 menunjukkah tingkat substitusi pati kacang hijau yang digunakan pada formulasi mi basah jagung. Tabel 5. Formula mi basah jagung dengan substitusi pati kacang hijau Formula Formula Formula Formula Formula Komposisi* (%) 1 2 3 4 5 Maizena yang 45 40 35 30 25 dikukus Maizena yang 45 45 45 45 45 tidak dikukus Pati pati kacang 0 5 10 15 20 hijau CGM 100 mesh 10 10 10 10 10 Air 30 30 30 30 30 CMC 1 1 1 1 1 Garam 1 1 1 1 1 Baking powder 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 * : dihitung berdasarkan total pati + CGM
37
d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Basah Jagung Matang Perbaikan sifat kehilangan padatan akibat pemasakan dilakukan dengan memvariasikan jenis pengikat dan konsentrasi yang digunakan. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan Guar gum. Konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Parameter yang diamati adalah kehilangan padatan akibat pemasakan.
e. Analisis Proksimat Produk Akhir Analisis proksimat yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar dan kadar karbohidrat (by difference)
2. Pengamatan a. Analisis Sifat Fisik Analisis fisik yang dilakukan meliputi pengukuran % elongasi dan resistensi terhadap tarikan menggunakan Rheoner, pengukuran kekerasan dan kelengketan mi menggunakan texture analyzer, pengukuran
warna
kehilangan
padatan
menggunakan akibat
chromameter,
pemasakan
pengukuran
menggunakan
metode
gravimetri, dan pengamatan sifat birefringent pati menggunakan mikroskop polarisasi.
a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Dengan Menggunakan Mikroskop Polarisasi Pengamatan sifat birefringence pati di di bawah mikroskop polarisasi dilakukan untuk mengetahui kecukupan proses gelatinisasi.
Sampel disuspensikan dalam akuades dan
diaduk secara merata. Kemudian, satu tetes sampel diteteskan ke gelas objek dan diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sampel yang bukan berupa tepung perlu ditepungkan terlebih dahulu
38
hingga diperoleh ukuran partikel yang dapat disuspensikan dalam akuades. Pati yang belum mengalami proses gelatinisasi akan memiliki sifat birefringence sehingga ketika diamati dengan mikroskop
polarisasi
akan
tampak
granula-granula
yang
mengkilat dan berwarna. Sedangkan, pati yang telah mengalami gelatinisasi sempurna tidak memiliki sifat birefringence, sehingga tidak tampak di bawah mikroskop polarisasi.
a2. Analisis Warna (Hutching,1999)
Menggunakan
Metode
Hunter
Sampel dipotong 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0- (80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0(-70) untuk warna biru). Nilai hue dikelompokkan sebagai berikut: Red purple
: Hue° 342-18
Green
: Hue°162-198
Red
: Hue°18-54
Purple
: Hue°306-342
Yellow red
: Hue°54-90
Blue purple : Hue°270-306
Yellow
: Hue°90-126
Blue green
Blue
: Hue°234-270
Yellow green : Hue°126-162
: Hue°198-234
a3. Analisis Sifat Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi Menggunakan Rheoner Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mie yang akan diukur kekerasan dan elastisitasnya. Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gf/0.25cm), test speed 1 mm/s, dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi
39
diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (kgf) dan waktu (s). Cara perhitungan : ¾ Kekerasan Kekerasan =
Jarak ke puncak kurva (cm) x 5 gf 0.25 cm
¾ Persen elongasi b = lebar kurva (mm) x 1.5 c = (a2 + b2) ½, dimana a = 12 mm Δ L = (2 xc) – 24 % elongasi = (Δ L/ 24) x 100%
a4. Analisis Kelengketan dan Kekerasan Kenggunakan Texture Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai berikut: pre test speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, rupture test distance 75%, dan force 100g, test mode : measure force in compression. Sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gF).
a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985) Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum
40
perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut: KPAP =
1-
berat sampel setelah dikeringkan berat awal (1- kadar air contoh)
x 100%
a6. Analisis Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1973) Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan merebus 10 g pati jagung dalam 200 ml air hingga menjadi bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi adalah pati. Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi 100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%,
40:60 untuk sampel dengan derajat
gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%. Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masingmasing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan di-stirer kembali selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua
41
tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B. Kurva
standar
dibuat
dengan
memplotkan
derajat
gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa : Y = a + bX dimana
y
merupakan
absorbansi,
x
merupakan
derajat
gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta. Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama seperti di atas. Dan derajat gelatinisasinya dihitung dengan menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva
b. Analisis Sifat Kimia Analisa kimia yang dilakukan pada produk mi jagung instan adalah analisa proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar protein kasar lemak kasar abu. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference.
b1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam
42
desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus: Kadar air (% b.b) = c – (a – b) x 100% c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
b2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 °C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kadar abu (% b.b) = c – (a – b) x 100% c Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
b3. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstrksi (soxhlet) yang telah berisi pelarurt (dietil eter atau heksan)
43
Refluk dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di adalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstruksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100°C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kadar lemak (% b.b) = a – b x 100% c Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl(AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 0.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditabahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOHNa2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:
44
Kadar N (%) = (ml HCl spl – ml HCl blk) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (% b.b) = % N x faktor konversi (6.25) b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L ) Keterangan : P
= kadar protein (%)
KA
= kadar air (%)
A
= abu (%)
L
= kadar lemak (%)
3. Analisis Data Data pengukuran fisik karakteristik mi basah jagung diolah menggunakan program SPSS 11.5. Jenis analisis statistik yang digunkaan meliputi uji T, dan uji keragaman atau ANOVA. Jika sampel yang dianalisis dengan ANOVA menunjukkan hasil berbeda nyata, dilakukan uji lanjut Duncan.
45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Bahan Baku 1. Karakterisasi Pati Jagung Pati jagung yang digunakan berasal dari PT. Suba Indah Tbk. Karakteristik pati jagung yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik pati jagung Parameter Satuan
Pati jagung *
Kadar air
%
10.21
Kadar protein (b/b)
%
0.56
Kadar abu
%
0.05
Kadar lemak (b/b)
%
0.68
Karbohidrat by difference
%
88.5
Kandungan pati
%
98.01
pH (5% suspensi)
-
5.18
ppm
9.21
Lolos ayakan 100 mesh
%
99.81
Viskositas
cps
900
Serat
%
-
Residu SO2
Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004)
2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM) CGM merupakan salah satu hasil samping dari proses pembuatan pati metode penggilingan basah. CGM biasanya digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas. CGM memiliki aroma yang kuat dan kecenderungan membentuk ketengikan karena tingginya kandungan asam lemak tak jenuh. Hal ini menyebabkan CGM kurang diminati industri pangan. Menurut Laztity (1986) seperti dikutip oleh Budiyah (2005) diperlukan ekstraksi pigmen, minyak, dan flavor tertentu agar CGM untuk menambah nilai guna CGM di bidang pangan.
46
Penampakan fisik CGM adalah granula kasar berukuran tidak seragam, dan berwarna kuning emas. Tahap pengayakan perlu dilakukan sebelum CGM digunakan. Ukuran CGM yang digunakan adalah 100 mesh. Menurut Budiyah (2005) ukuran CGM berpengaruh terhadap adanya tidaknya sifat sandiness pada produk akhir. Semakin kecil ukuran partikel CGM akan semakin menurunkan sandiness pada produk akhir.
Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM
CGM sebelum diayak
L 68.46
Hasil a b +11.15 +88.38
ho 82.85
CGM 100 mesh
73.89
+5.72
86.7
Perlakuan
+90.62
Warna kuning CGM disebabkan adanya pigmen Xanthofil pada jagung. Proses pengayakan menyebabkan perubahan warna CGM. Hasil pengukuran warna pada Tabel 7 menunjukkan warna CGM termasuk warna kuning kemerahan karena memiliki Hueo berkisar 54-90. Selain itu, perlakuan pengayakan ternyata dapat meningkatkan kecerahan CGM terlihat dari meningkatnya nilai L CGM setelah pengayakan. Gambar 7 menunjukkan perbedaan warna CGM sebelum dan setelah diayak 100 mesh. Keterangan : A : CGM sebelum diayak B : CGM 100 mesh
A
B
Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh
47
Tabel 8. Komposisi kimia CGM CGM yang Komposisi (% bk) digunakan Kadar air 8.23
Syarat mutu CGM* Maks. 10
Kadar protein kasar
65.02
Min. 60
Kadar lemak kasar
4.35
Min. 2.5
Kadar abu
2.02
Maks. 2.5
* ) SNI 01-4484-1998
Tabel 8 menunjukkan komposisi kimia CGM yang digunakan. Hasil pengamatan menunjukkan CGM yang digunakan masih memenuhi syarat mutu CGM. Menurut Budiyah (2005) selama penyimpanan, kandungan kimia CGM yang rentan terdegradasi adalah kandungan lemak. Degradasi lemak menimbulkan bau tengik pada CGM.
B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang Rancangan proses pembuatan mi jagung basah merupakan kombinasi dari proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) dan mi basah terigu. Tahap awal pembuatan mi jagung basah mengikuti metode Budiyah (2005). Tahapan proses pembuatan mi jagung metode Budiyah meliputi tahap pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Modifikasi mulai dilakukan setelah tahap pemotongan atau setelah terbentuk mi jagung basah mentah. Jika pada pembuatan mi jagung instan, setelah tahap pemotongan, mi dikukus dan dikeringkan, maka pada mi jagung basah, tahap berikut yang dilakukan adalah perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak. Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi terigu. Proses pembuatan mi jagung merupakan kombinasi mi pati dan mi terigu. Terigu memiliki gluten yang mampu membentuk masa adonan yang elastis dan kohesif bila ditambah air dan uleni. Pada mi pati, sebagian pati harus tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi bertindak sebagai gluten yang mengikat sisa pati lainnya. Selama pengukusan, granula pati akan
48
mengembang karena proses gelatinisasi. Sebagian fraksi amilosa keluar dari granula dan membentuk matrik yang berfungsi memerangkap sisa pati yang ditambahkan saat tahap pengulian, sehingga terbentuk adonan yang dapat dibentuk lembaran dan dicetak. Tahap penentuan desain proses optimum pembuatan mi jagung basah matang dimulai dari penentuan jumlah air dan waktu pengukusan yang optimum. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat gelatinisasi yang cukup sehingga menghasilkan adonan yang bisa dibentuk dan dipotong pada ukuran yang diinginkan. Setelah didapat jumlah air dan waktu pengukusan yang optimum, dilakukan perbaikan kehilangan akibat pemasakan (KPAP) mi karena KPAP yang dihasilkan masih cukup tinggi. Perbaikan KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (garam, CMC, dan baking powder) pada bagian yang dikukus. Selain parameter KPAP, pada tahap penentuan desain proses ini diamati pula pengaruh penambahan bahan tambahan pada bagian yang diukus terhadap beberapa karakteristik fisik mi. Hal ini dilakukan untuk menentukan langkah perbaikan selanjutnya yang perlu dilkukan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi. Karakteristik fisik mi yang diamati meliputi % elongasi, kekerasan, kelengketan, dan resistensi terhadap tarikan dan derajat gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati dilakukan secara kualitatif
menggunakan
mikroskop
polarisasi
dan
secara
kuantitatif
menggunakan metode kimia.
1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum Jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengukusan memegang peranan penting demi tercapainya tingkat gelatinisasi optimum. Tingkat gelatinisasi optimum berarti matriks pati yang terbentuk cukup untuk mengikat sisa pati yang tidak tergelatinisasi dan mampu membentuk adonan yang bisa dibentuk dan tidak lengket di mesin mi. Tidak tercapainya tingkat gelatinisasi yang optimum menyebabkan adonan terlalu kering dan sulit dibentuk lembaran dan tidak dapat dipotong. Tingkat gelatinisasi pati yang berlebihan menyebabkan lembaran mi
49
lengket di mesin mi sehingga tidak dapat dicetak pada ukuran yang diinginkan. Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum Air yang ditambahkan* Hasil pengamatan 35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus 33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus 30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus * Penambahan didasarkan terhadap jumlah total pati + CGM
Tabel 9 menunjukkan jumlah air optimum untuk pembuatan mi jagung basah pada penelitian ini adalah 30%. Penentuan jumlah air pada tahap optimasi didasarkan pada formulasi Budiyah (2005). Budiyah (2005) menggunakan penambahan air 35% untuk 1 kg adonan. Penelitian kali ini menggunakan skala yang lebih kecil, yakni 100 g adonan (total pati + CGM). Jumlah air 35% menghasilkan adonan yang terlalu basah, penambahan air harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena penambahan air yang tidak hati-hati menyebabkan air tidak terserap semua ke dalam adonan dan menghasilkan adonan pseudoplastis yang tidak dapat dikukus. Oleh karena itu dilakukan pengurangan jumlah air yang ditambahkan menjadi 33%. Penambahan air masih harus dilakukan dengan hati-hati, walaupun kemungkinan terbentuk adonan yang tidak dapat dikukus lebih kecil. Adonan pseudoplastis yang terbentuk masih bisa diatasi dengan mengukus adonan dalam bentuk kepalan-kepalan. Pengukusan dalam bentuk kepalan menghasilkan pematangan adonan yang kurang merata. Selanjutnya, pengurangan air dilakukan hingga jumlah air yang ditambahkan hanya 30%, adonan yang dihasilkan cukup basah, homogen, dan dapat dikukus tanpa dikepal.
50
Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum Waktu Hasil pengamatan pengukusan 10 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab, tapi terlalu lengket/elastis untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4 5 menit Adonan dapat dibentuk lembaran tapi masih lengket untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4 3 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab dan dapat dipotong di ukuran roll 1,4. Selain jumlah air yang ditambahkan, kecukupan waktu dan suhu pengukusan juga sangat penting. Tabel 10 menunjukkan penentuan waktu yang optimum untuk pengukusan adonan. Setelah dikukus, adonan tergelatinisasi dicampur dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi, diuli hingga homogen dan dibentuk lembaran pada mesin. Waktu pengukusan optimum menghasilkan pati tergelatinisasi yang cukup untuk membentuk adonan yang tidak lengket di mesin mi. Hasil pengamatan menunjukkan, waktu pengukusan 10 dan 5 menit menghasilkan adonan yang mampu mengikat sisa pati, dapat dibentuk lembaran, tetapi masih terlalu lengket jika dipotong pada ukuran roll yang diinginkan (1,4). Waktu pengukusan 3 menit memberikan waktu pengukusan yang optimum. Lama pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, namun tingkat gelatinisasi yang diharapkan hampir sama.
2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP Setelah terpilih jumlah air dan waktu pengukusan yang optimum, masalah lain yang ditemukan adalah tingginya kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) mi saat direbus. KPAP yang tinggi tidak dikehendaki karena menyebabkan kuah mi menjadi keruh. Hal ini mungkin disebabkan BTP (garam, baking powder, dan CMC) yang digunakan ditambahkan pada pati yang tidak ikut tergelatinisasi. BTP yang ditambahkan pada pati yang tidak digelatinisasi menyebabkan fungsi BTP kurang optimum dalam pembentukan
adonan
maupun
dalam
menghasilkan
mi
dengan
karakteristik yang diinginkan. Oleh karena dilakukan perbaikan desain
51
proses dengan mencoba menambahkan BTP pada bagian pati yang dikukus untuk mengurangi KPAP.
Kehilangan PAdatan Akibat Pemasakan (KPAP)
17
16.525
16.5 16 15.5 15 14.5
14.14
14 13.5 13 12.5 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang Gambar 8 menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang tergelatinisasi dapat menurunkan KPAP mi saat direbus. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 1) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan KPAP. Metode Budiyah (2005) menambahkan semua BTP yang digunakan pada pati yang tidak dikukus. Perlakuan ini tidak menghasilkan produk dengan KPAP tinggi, karena adanya tahap pengukusan kedua yang memungkinkan BTP bekerja dan menghasilkan mi dengan KPAP rendah. KPAP atau cooking loss bisa didefinisikan sebagai lepasnya massa padatan mi ke air rebusan. Menurut Chen et al., (2003) KPAP terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan . Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh juga menjadikan kuah mi lebih kental (thick). Tingginya KPAP juga menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lemah dan kurang licin. KPAP yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya kemampuan matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan yang mampu
52
membantu pengikatan pati. Bahan tambahan pangan yang dipakai dan berfungsi sebagai pengikat adalah CMC. CMC mampu berfungsi sebagai pengikat jika berinteraksi dengan air dan membentuk gel. Gel CMC yang terbentuk akan membantu pengikatan pati yang tidak tergelatinisasi, sehingga mampu menurunkan KPAP. Interaksi CMC dengan air dimungkinkan dengan menambahkan CMC pada bagian pati yang akan dikukus.
a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap %elongasi mi Persen elongasi adalah pertambahan panjang mi akibat gaya tarikan. Sifat ini termasuk karakteristik mi yang sangat penting. Mi dengan %elongasi tinggi menunjukkan karaktersitik mi yang tidak mudah putus. Sifat ini penting karena kita tidak ingin mengonsumsi mi yang hancur saat dimakan
25 20.55
% Elongasi
20 15
11.66
10 5 0 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah matang Gambar 9 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada adonan yang dikukus menyebabkan penurunan %elongasi mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 2) dengan selang
53
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan %elongasi mi. BTP yang ditambahkan meliputi garam, baking powder dan CMC. Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi (Budiyah, 2005). Baking powder merupakan campuran dari Na2CO3:K2CO3 (2:1). Bahan ini dapat mebuat struktur bahan menjadi lebih berpori karena kemampuannya membentuk gas CO2. Struktur bahan yang berpori diharapkan dapat mempercepat hidrasi air saat pemasakan. CMC sendiri berfungsi sebagai bahan penstabil, pengikat, dan membantu pengikatan air. Eliasson dan Gudmunsson (1996) menyatakan tingginya amilosa terlarut dan tingginya kemampuan pengembangan granula mampu meningkatkan elastisitas. Sebaliknya tingginya amilopektin terlarut dapat mengganggu pembentukan gel dan menurunkan elastisitas. Hal ini menunjukkan kecukupan gelatinisasi sangat menentukan sifat elongasi mi. Selama gelatinisasi, granula pati akan mengembang dan fraksi amilosa akan terlarut keluar dari granula. Jumlah air yang cukup berpengaruh terhadap pengembangan granula dan jumlah amilosa terlarut. Penambahan CMC akan mengurangi porsi air yang bisa diserap oleh pati, sehingga proses gelatinisasi kurang optimum. Hal ini menyebabkan penurunan %elongasi mi. Kantanka
dan
Acquistucci
(1996)
menyatakan
bahwa
penambahan garam pada granula pati yang rapuh dapat meningkatkan kekuatan granula pati sehingga meningkatkan pengembangan pati. Tetapi penambahan garam pada granula pati yang kuat dapat menghambat
gelatinisasi
sehingga
menghambat
pengembangan
granula. Pengaruh penambahan garam terhadap sifat gelatinisasi pati tergantung dari konsentrasi garam yang ditambahkan. Eliasson dan Gudmunsson
(1996)
menyatakan
penambahan
garam
dapat
menghambat gelatinisasi hingga konsentrasi tertentu. Penambahan garam berlebihan justru akan menurunkan suhu gelatinisasi.
54
Baking powder bepengaruh terhadap pH air yang digunakan. Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pH hanya berpengaruh kecil terhadap sifat pati, karena pati sendiri biasanya tidak bermuatan. Namun Eliasson dan Gudmunsson (1996) melaporkan modulus elatisitas optimum pati terjadi pada pH 9.4 dan terendah pada 5.6, walaupun perbedaannya elastik modulusnya kecil. pH air yang ditambahkan pada pati yang dikukus adalah 7.10
b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan Resistensi terhadap tarikan adalah nilai yang menggambarkan kemampuan untaian mi untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Semakin tinggi nilai karakteristik ini menunjukkan untaian mi
Resistensi terhadap tarikan (gf)
tidak mudah patah.
17
16.6
16.5 16 15.5 15 14.4
14.5 14 13.5 13 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang Gambar 10 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada adonan yang dikukus menyebabkan penurunan sifat resistensi terhadap tarikan mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 3) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP
55
pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan sifat resistensi untaian mi terhadap tarikan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penambahan BTP pada adonan yang dikukus menurunkan derajat gelatinisasi, sehingga menurunkan fraksi amilosa terlarut. Hal ini menyebabkan matrik yang terbentuk kurang kuat sehingga menurunkan nilai resistensi terhadap tarikan.
c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kekerasan mi Kekerasan mi dalam definisi sensori dimaksudkan sebagai gaya yang diperlukan untuk menggigit untaian mi. Pengukuran kekerasan mi dilakukan dengan menekan untaian mi hingga ketebalan tertentu. Kekerasan mi dilihat dari gaya yang diperlukan untuk menekan mi hingga ketebalan yang ditentukan.
1600
Kekerasan (gf)
1400
1348.3
1200 937.8
1000 800 600 400 200 0 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah matang Gambar 11 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kekerasan mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 4) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kekerasan mi.
56
BTP yang ditambahkan menyebabkan turunnya amilosa terlarut. Amilosa terlarut akan berikatan satu sama lain membentuk matriks pengikat. Amilosa cenderung mengalami retrogradasi yang dapat meningkatkan kekerasan mi. Turunnya jumlah amilosa terlarut menyebabkan fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit sehingga tekstur mi menjadi lebih lunak. Selain itu adanya gel CMC juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi.
d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kelengketan mi Karakteristik kelengketan termasuk salah satu parameter yang penting untuk diukur karena parameter ini berkaitan dengan kualitas mi itu sendiri. Karakteristik kelengketan yang dimaksud disini adalah kecenderungan mi untuk menempel satu sama lain. Kelengketan diukur dengan gaya yang diperlukan unutuk menarik probe yang menekan mi dari permukaan mi. Pengukuran kekerasan dilakuakn bersamaan dengan pengukuran kekerasan mi.
0 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Kelengketan (gf)
-100 -200
-158.96
-300 -400 -500 -600
-558.98 Perlakuan terhadap BTP
Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah matang Gambar 12 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kelengketan mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 5) dengan selang
57
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kelengketan mi. Kelengketan pada permukaan mi disebabkan adanya fraksi amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati (Eliasson dan Gudmunssson, 1996). Selain itu (Moss et al., 1987 seperti dikutip oleh Miskelly, 1996) kelengketan pada permukaan mi disebabkan karena terurainya matriks protein dan pengembangan yang berlebihan dari granula pati. Penambahan BTP menurunkan amilosa terlarut sehingga kelengketan mi juga menurun.
e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi Secara lebih singkat pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Gambar 13 menunjukkan pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik % elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP. Sedangkan Gambar 14 menunjukkan
pengaruh
pengukusan
BTP
terhadap
parameter
Hasil pengukuran %Elongasi, resistensi terhadap tarikan, dan KPAP mi
kekerasan dan kelengketan.
25 20.55 20
%Elongasi (%)
16.6 15
16.525
10
14.4 14.14 11.66
Resistensi Terhadap tarikan (gf) KPAP (%)
5 0 BTP tidak dikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang
58
Hasil pengukuran kekerasan dan kelengketan mi
1500
1348.3
1000
937.8
500
Kekerasan (gf) Kelengketan (gf)
0 BTP tidak dikukus
-158.96 BTP dikukus
-500 -558.98 -1000 Perlakuan terhadap BTP
Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan dan kelengketan mi jagung basah matang Gambar 13 dan 14 menunjukkan penambahan BTP pada bagian yang dikukus menyebabkan penurunan semua karakteristik mi. Hal ini menunjukkan
keberadaan
BTP
berpengaruh
terhadap
tingkat
gelatinisasi pati. Berkurangnya jumlah amilosa terlarut menyebabkan menurunnya % elongasi mi dan matriks yang terbentuk juga kurang kuat. Kurang kuatnya matriks yang terbentuk ditunjukkan dengan turunnya karakteristik resistensi terhadap tarikan. Kekerasan mi yang menurun disebabkan oleh jumlah amilosa yang bertanggungjawab terhadap sifat retrogradasi juga berkurang. Selain itu, adanya gel CMC juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi. Amilosa terlarut juga bertanggung jawab terhadap kelengketan mi. Penambahan BTP menurunkan jumlah amilosa terlarut sehingga kelengketan mi juga menurun. Tidak semua penurunan karakteristik mi menurunkan kualitas mi. Penurunan KPAP dan kelengkatan justru hal yang diinginkan. Sebaliknya penurunan %elongasi, resistensi terhadap tarikan, dan kekerasan adalah hal yang dihindari. Penurunan KPAP adalah tujuan dari dilakukannya penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Oleh karena itu pada tahapan proses selanjutnya dilakukan dengan penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Perbaikan karakteristik
59
% elongasi, resistensi terhada tarikan dan kekerasan mi dilakukan pada tahap selanjutnya. Sampai saat ini belum ada data secara kuantitatif yang menunjukkan karakteristik mi basah yang ideal. Namun masyarakat yang telah lebih dahulu mengenal mi basah terigu akan menganggap mi basah terigu adalah mi dengan karakteristik terbaik dan akan cenderung membandingkan produk mi basah baru dengan mi basah terigu. Karakteristik mi basah di Indonesia mengacu pada mi basah cina (Hou dan Kruk, 1998). Menurut Hou dan Kruk (1998) karakteristik tekstur yang diinginkan pada mi basah matang cina adalah kenyal, elastis, tidak lengket, good bite, dan memiliki tekstur yang stabil dalam air panas. Karakteristik elastis dapat dilihat dari hasil pengukuran parameter % elongasi dan resistensi terhadap tarikan. Semakin tinggi % elongasi dan resistensi terhadap tarikan menunjukkan semakin baiknya nilai elastisitas mi. Karakteristik kelengketan dapat dilihat pada pengukuran parameter kelengketan dengan texture analyzer. Mi dengan tingkat kelengketan rendah lebih disukai karena kita tidak menghendaki untaian mi menempel di gigi saat dikunyah atau sulit disumpit/disendok karena menempel satu sama lain. Karakteristik tekstur yang stabil dalam air panas dapat dilihat dari hasil pengukuran KPAP. Tekstur yang stabil ditunjukkan dengan semakin rendahnya nilai KPAP. Karakteristik good bite dan kekenyalan dapat dilihat dari hasil pengukuran nilai kekerasan. Definisi good bite untuk mi basah matang cina menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi dengan tekstur yang agak keras jika digigit (hard bite). Karakteristik kekerasan untuk jenis mi lain bisa berarti lebih lunak namun tetap kokoh (firm bite), atau bisa juga berarti lunak (softer). Hasil pengukuran karakteristik mi menunjukkan, karakteristik % elongasi mi sebesar 11.66 masih jauh dari % elongasi mi sagu yang mencapai 33.36% atau mi basah terigu yang mencapai 98.40%. Karakteristik resistensi terhadap tarikan juga menurun dari 16.6 gf
60
menjadi 14.4 gf. Nilai ini juga masih jauh jika dibandingkan mi basah terigu yang mencapai 39.2 namun sama dengan mi sagu yaitu 14.4. Karakteristik lain yang juga mengalami penurunan adalah kekerasan. Kekerasan mi jagung bsah matang pada tahap ini turun dari 1348.3 gf menjadi 937.8 gf. Penurunan ini menyebabkan karakteristik mi jagung basah matang semakin jauh dari karakterstik kekerasan mi terigu yang lebih keras dan mencapai angka 2797.12gf. Namun penamabahan bahan tambahan pada bagian yang dikukus menyebabkan penurunan KPAP dan kelengketan. Parameter kelengketan turun dari -558.98 gf menjadi -158.96 gf. Nilai KPAP ini justru lebih kecil dibanding mi asah terigu (-435.7 gf) walaupun masih lebih besar jika dibandingkan mi sagu (-82.52 gf). Dari segi ekonomi, penurunan kelengketan. KPAP mi basah jagung turun dari 16.525% menjadi 14.14%. Sementara itu KPAP mi basah terigu masih lebih baik yaitu 10.84%. mi bisa berarti pengurangan jumlah minyak yang digunakan. Hal ini tentu sangat menguntungkan jika benar-benar diterapkan dalm industri. KPAP turuKarakteristik mi basah matang terigu yang dijadikan acuan dapat dilihat pada Tabel 11. Pengukuran terhadap mi sagu juga dilakukan karena dilihat dari bahan bakunya, mi basah jagung menggunakan bahan dasar pati jagung. Mi sagu dipilih karena mi tersebut adalah mi pati yang paling mudah didapat dan dijual dalam bentuk mi basah matangnya.
f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap tingkat gelatinisasi Penentuan derajat gelatinisasi dilakukan berdasarkan pada intensitas warna kompleks antara amilosa dan iodin (Birch dan Green, 1973). Selama gelatinisasi, amilosa akan berdifusi keluar dari granula, semakin sempurna gelatinisasi semakin banyak fraksi amilosa yang keluar dari granula. Amilosa terlarut akan stabil pada pH basa. Indikator iodin ditambahkan agar terbentuk komplek warna biru dan bisa dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
61
Penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus ternyata menurunkan derajat gelatinisasi pati. Derajat gelatinisasi pati adonan yang dikukus dengan BTP adalah 51.82%, sedangkan derajat gelatinisasi pati adonan yang dikukus tanpa BTP adalah 67.27%. Derajat gelatinisasi yang lebih rendah menunjukkan semakin rendahnya amilosa terlarut.
Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan BTP
Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan penambahan BTP Keterangan :
: Granula pati tergelatinisasi :Granula pati belum tergelatinisasi
62
Pengukuran derajat gelatinisasi secara kualitatif bisa dilakukan menggunakan mikroskop polarisasi. Granula pati yang belum tergelatinisasi
memperlihatkan
sifat
birefringence,
yaitu
sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Semakin banyak granula pati yang tidak lagi menunjukkan sifat birefringence menunjukkan semakin besar derajat gelatinisasi. Gambar 15 dan 16 menunjukkan pengaruh penambahan bahan tambahan pada bagian pati yang dikukus terhadap derajat gelatinisasi pati adonan mi. Panah hitam pada Gambar 15 menunjukkan granula pati yang telah kehilangan sifat birefringence. Sedangkan panah biru pada Gambar 16 menunjukkan granula yang masih memiliki sifat birefringence. Granula yang tergelatinisasi terlihat transparan dan tidak lagi memancarkan cahaya terpolarisasi (biru-kuning). Hasil pengamatan menunjukkan penambahan bahan tambahan
pada
bagian
adonan
yang
dikukus
menyebabkan
berkurangnya jumlah granula pati yang tergelatinisasi. Hal ini dapat terlihat dari masih banyaknya granula pati yang masih memiliki sifat birefringence (Gambar 16). 3. Proses pembuatan mi jagung basah Tujuan utama penentuan desain proses penambhan BTP pada adonan yang dikukus adalah untuk memperbaiki cooking loss. Hasil pengamatan menunjukkan penambahan BTP pada bagian adonan yang dikukus berpengaruh nyata menurunkan cooking loss. Oleh karena itu, penambahan BTP pada bagian adonan yang dikukus digunakan untuk tahapan proses selanjutnya. Proses pembuatan mi basah jagung dimulai dengan metode Budiyah (2005) namun dalam pelaksanaannya metode ini menghasilkan mi dengan KPAP yang sangat tinggi. Selanjutnya desain proses pembuatan mi basah jagung dibuat dengan prosedur seperti pada Gambar 17. Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pembagian pati menjadi dua bagian sama besar. Sebagian pati dicampur dengan CGM dan CMC dan
63
diaduk hingga homogen. Garam dan baking powder dilarutkan dalam air kemudian ditambahkan pada pati yang telah dicampur dengan CGM dan CMC. Air ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diuli untuk memastikan hidrasi air yang merata dan homogen. Selanjutnya adonan tersebut dikukus selama 3 menit dan suhu inti adonan mencapai 75oC. Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi pati, agar terbentuk matriks sebagai pengganti gluten terigu. Matriks yang terbentuk berfungsi sebagai pengikat dalam pembentukan adonan. Setelah tiga menit, adonan yang tergelatinisasi dicampurkan dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi. Adonan dicampur dan diuli hingga homogen. Proses ini bertujuan agar matrik pati yang tidak digelatinisasi terikat dalam matriks yang tergelatinisasi, terbentuk adonan yang baik, bisa dibentuk lembaran dan tidak lengket di mesin mi. Tahap selanjutnya adalah pengepresan. Adonan yang telah homogen dibentuk lembaran dengan melewatkan adonan pada dua roll pengepres pada ketebalan tertentu. Lembaran dipress setahap demi setahap dari roll ukuran besar hingga roll dengan ukuran ketebalan yang diinginkan. Ukuran roll terkecil yang digunakan pada pembuatan mi kali ini adalah adalah 1.4. Ukuran roll ini menghasilkan lembaran mi dengan ketebalan 1.5-1.7 mm. Setelah mencapai tebal lembaran yang diinginkan, lembaran mi masuk ke tahap slitting. Tahap ini adalah tahap dimana lembaran mi dipotong menjadi untaian mi. Ketajaman roll pemotong sangat penting untuk diperhatikan. Roll pemotong yang kurang tajam menyebabkan untaian mi tidak terpotong denga rapi dan bergerigi. Hasil potongan yang kurang rapi akan berpengaruh terhadap cooking quality mi. Potongan yang kurang rapi dapat meningkatkan KPAP. Mi yang telah dipotong harus segera direbus karena penundaan perebusan menyebabkan mi menjadi keras, kering dan mudah patah. Hal ini disebabkan air dalam matriks gel pati menguap (retrogradasi). Proses perebusan bertujuan mematangkan untaian mi. Selama perebusan, pati yang belum tergelatinisasi akan tergelatinisasi dan membentuk tekstur mi
64
yang lembut, lunak, dan kenyal. Hou dan Kruk (1998) menyebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan selama perebusan mi antara lain : 1). Bobot air rebusan minimal adalah sepuluh kali bobot mi mentah, 2). Wadah perebus bisa merendam semua bagian mi, 3). pH air rebusan berkisar 5.5-6.0, 4). Waktu perebusan harus dikontrol untuk mendapatkan hasil rebusan yang optimum, 5). Suhu perebusan harus dipertahankan pada suhu 98-100oC selama perebusan. Waktu perebusan termasuk salah satu tahapan proses yang penting. Oleh karena itu dilakukan percobaan untuk menentukan waktu perebusan mi yang optimum. Kruger et al., (1996), menyatakan bahwa waktu pemasakan tergantung pada lebar dan ketebalan untaian mi. Waktu pemasakan optimum menurut Kruger et al., (1996) adalah waktu ketika bagian putih di tengah diameter untaian mi tepat menghilang. Hou dan Kruk menyatakan perebusan mi basah terigu biasanya berlangsung selama 45-90 detik hingga tercapai 80-90% pati tergelatinisasi. Moss ( 1982) seperti dikutip oleh Miskelly (1996) menyatakan bahwa mi Hokkien (mi basah cina) direbus selama 1-2 menit selama proses dan masih meninggalkan bagian yang tidak tergelatinisasi di bagian tengah mi. Astawan (1999) melakuakan perebusan mi basah matang selama 2 menit, dengan catatan api yang digunakan harus besar. Api yang besar mempersingkat waktu perebusan mi. Waktu perebusan yang terlalu lama menyebabkan tekstur mi terlalu lembek. Tabel 11 menunjukkan waktu perebusan optimum yang digunakan pada pembuatan mi kali ini. Pemilihan waktu perebusan awal, 2 menit, didasarkan pada standar waktu perebusan mi basah terigu. Waktu perebusan 2 menit masih menghasilkan mi yang belum matang dan keras. Hal ini terlihat dari bagian putih di tengah mi masih cukup besar. Perebusan hingga 2.5 menit terlihat memberikan hasil yang paling optimum, meskipun bagian putih ditengah mi masih terlihat. Bagian putih di tengah mi masih terlihat hingga waktu pemasakan 3 menit masih. Tekstur mi yang dihasilkan pada waktu perebusan ini terlihat lembek dan kurang menarik.
65
Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum Waktu perebusan Hasil pengamatan (menit) Mi belum matang, bagian putih ditengah masih 2 cukup besar dan mi masih keras 2.5
3
Mi sudah matang, bagian putih mengecil dan mi cukup kenyal Mi matang, bagian putih masih ada, tetapi tekstur mi terlihat terlalu lembek
Tahap selanjutnya setelah perebusan adalah pelumasan mi dengan minyak sayur. Tahap ini dilakukan untuk mencegah untaian mi menempel satu sama lain. Setelah perebusan, untaian mi ditiriskan dari air rebusan, dibilas dengan air kurang lebih 15 detik, ditiriskan, dan dilumuri minyak. Pembilasan untaian mi dengan air dimaksudkan untuk membersihkan sisa fraksi pati di permukaan mi yang dapat menyebabkan kelengketan. Selanjutnya mi dilumuri minyak. Jumlah minyak yang digunakan adalah 2% dari total bobot mi yang telah ditiriskan. Jumlah minyak yang ditambahkan didasarkan pada jumlah minyak yang biasa digunakan pada mi basah. Hou dan Kruk (1998) menyatakan setelah direbus, mi basah cina dilumuri dengan 1-2% minyak sayur untuk mencegah untaian mi menempel satu sama lain. Miskelly (1996) menyatakan jumlah minyak yang ditambahkan bisa lebih besar jika mi tidak cukup dibilas atau didinginkan. Pelumuran minyak juga berfungsi untuk memperbaiki penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005). Proses pembuatan mi basah jagung matang lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 17. Sedangkan gambar produk mi jagung basah matang dapat dilihat pada Gambar 18.
66
Air 30 ml + garam 1% + baking powder 0.3%
45 g maizena + 10 g CGM + CMC 1%
Pengadukan hingga homogen Pengukusan (3 menit) Pencampuran dengan sisa maizena (45 g) Pengadukan hingga homogen Pembentukan lembaran dan pemotongan
Mi jagung basah mentah
Perebusan (2.5 menit) Perendaman dalam air dingin (sambil digoyang) selama 15 detik Penirisan Penambahan minyak (2%) Mi jagung basah matang Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah
Gambar 18. Mi jagung basah matang
C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang Perbaikan elastisitas dilakukan dengan mensubstitusi sebagian maizena yang dikukus dengan pati kacang hijau. Substitusi dilakukan adalah 5%, 10%,
67
15%, dan 20% dari total adonan (pati+CGM). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas adonan yang tergelatinisasi, sehingga diharapkan dapat memperbaiki karakteristik fisik mi. Subtitusi pati kacang hijau diharapkan dapat meningkatkan %elongasi, kekekrasan, dan resistensi terhadap tarikan, tapi menurunkan kelengketan dan KPAP.
1. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % Elongasi mi Substitusi pati kacang hijau diharapkan mampu meningkatkan % elongasi mi. Tingkat substitusi yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Gambar 19 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu meningkatkan elongasi mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 6a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi mi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6b) menunjukkan penambahan pati kacang hijau pada semua tingkat substitusi berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi mi. Namun peningkatan konsentrasi substitusi pati kacang hijau tidak meningkatkan elongasi mi secara nyata. 18
15.86
16.03
16.86
16.45
16
% Elongasi
14 12
11.66
10 8 6 4 2 0 0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe Subtitusi hunkwe yang digunakan
Gambar 19. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % elongasi mi jagung basah matang
68
Penambahan pati kacang hijau diharapkan meningkatkan jumlah amilosa terlarut. Tetapi jumlah air yang terbatas menyebabkan terbatasnya perkembangan granula dan jumlah amilosa yang terlarut juga tidak optimal. Sehingga peningkatan jumlah pati kacang hijau yang ditambahkan tidak diikuti dengan peningkatan elongasi secara gradual. Kurang optimalnya hasil yang diperoleh mungkin juga disebabkan perbedaan proses yang digunakan. Lii et all., (1988) menyebutkan pati pati kacang hijau memiliki tingkat pengembangan dan kelarutan yang tinggi pada suhu 95oC. Selain jumlah air yang terbatas, suhu pengukusan tidak mencapai suhu tersebut, sehingga pengembangan dan kelarutan pati kacang hijau tidak sempurna. Waktu perebusan mi yang terlalu singkat, tidak memberikan kesempatan bagi granula pati untuk mengembang optimum. Hal ini menyebabkan penambahan pati kacang hijau tidak memberikan hasil yang diinginkan.
2.Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan Pati kacang hijau memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi. Sifat ini yang menjadikan mi pati berbahan baku pati kacang hijau memiliki karakteristik paling disukai karena teksturnnya yang kokoh. Kontribusi amilosa pati kacang hijau diharapkan bisa meningkatkan tekstur
Resistensi terhadap tarikan (gf)
mi jagung. 25 20.73 20 15
14.4
15.73
22.27
16.87
10 5 0 0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe Subtitusi hunkwe yang digunakan
Gambar 20. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang
69
Gambar 20 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu meningkatkan resistensi mi terhadap tarikan. Hasil uji sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 7a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau berpengaruh nyata terhadap peningkatan karakteristik resistensi mi terhadap tarikan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7b) menunjukkan pada tingkat substitusi 5% tidak berbeda nyata dengan resistensi mi terhadap tarikan tanpa substitusi. Resistensi mi tanpa substitusi berbeda nyata dengan tingkat substitusi 10%, 15%, dan 20%. Sedangkan tingkat substitusi mi 5% tidak berbeda nyata dengan tingkat substitusi 10% tetapi berbeda nyata dengan tingkat substitusi 15%, dan 20%. Meningkatnya jumlah amilosa terlarut meningkatkan kekuatan matriks pengikat sehingga meningkatkan resistensi terhadap tarikan mi. 3. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasan mi Kekerasan mi dipengaruhi oleh sifat retrogradasi pati. Retrogradasi meningkatkan kekerasan mi. Fraksi pati yang bertanggungjawab atas sifat retrogradas
adalah
amilosa.
Semakin
banyak
amilosa
terlarut
Kekerasan (gf)
kecenderungan retrogradasi akan semakin tinggi.
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
1774.67 1579.26
1478.2
937.81
964.89
0% hunkwe 5% hunkwe
10% hunkwe
15% hunkwe
20% hunkwe
Subtitusi hunkwe yang digunakan
Gambar 21. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasans mi jagung basah matang
70
Gambar 21 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu meningkatkan kekerasan mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 8a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan substitusi pati kacang hijau 5% tidak berbeda nyata dengan mi tanpa substitusi. Kekerasan keduanya berbeda nyata dengan mi dengan substitusi 10%, 15%, dan 20%. Kekerasan mi pada substitusi 10% tidak berbeda nyata dengan taraf substitusi 20% dan kekerasan keduanya berbeda nyata dengan kekerasan mi pada substitusi 15%. Kekerasan mi dengan substitusi pati kacang hijau terlihat meningkat hingga taraf substitusi 15%. Kekerasan mi pada tingkat substitusi pati kacang hijau 20% terlihat menurun. Hal ini disebabkan mungkin disebabkan terbatasnya air yang dapat digunakan untuk pengembangan granula, sehingga kelarutan amilosa menurun. Taraf substitusi 15% mungkin taraf substitusi optimum untuk formulasi mi pada penelitian kali ini. Karena penambahan pati kacang hijau lebih dari 15 % tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, bahkan mengalami penurunan.
4. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi Kelengketan mi dipengaruhi oleh fraksi amilosa yang keluar saat pemasakan. Smith (1999) mengemukakan jaringan protein juga berperan dalam pencegahan sifat lengket pada pasta. Jaringan protein yang tidak cukup kuat menahan pati tergelatinisasi menyebabkan pasta yang dimasak menjadi lengket.
71
0
Kelengketan (gf)
-100 -200
0% hunkwe 5% hunkwe
10% hunkwe
15% hunkwe
20% hunkwe
-158.96 -251.2
-300 -400 -500 -600
-598.21
-612.44
-700
-724.73
-800
Subtitusi hunkwe yang digunakan
Gambar 22. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi jagung basah matang Gambar 22 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu meningkatkan kelengketan mi hingga taraf substitusi 15%. Nilai kelengketan menurun pada tingkat substitusi 20%. Hasil uji sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 9a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau berpengaruh nyata terhadap karakteristik kelengketan mi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) menunjukkan kelengketan mi tanpa substitusi berbeda nyata dengan mi tersubstitusi pati kacang hijau. Kelengketan mi pada substitusi pati kacang hijau 5% berbedanya nyata dengan mi pada substitusi pati kacang hijau 10%, 15%, dan 20%. Kelengketan pada substitusi 10% berbeda nyata dengan kelengketan pada tingkat substitusi 15% tapi tidak berbeda nyata dengan kelengketan pada substitusi 20%. Semakin tinggi tinggi tingkat substitusi semakin meningkatkan amilosa terlarut yang bertanggungjawab terhadap kelengketan mi. Sehingga peningkatan konsentrasi pati kacang hijau meningkatkan kecenderungan kelengketan
mi.
Tetapi
jumlah
air
yang
terbatas
menyebabkan
pengembangan pati pati kacang hijau terbatas sehingga membatasi kelarutan amilosa. Hal ini menyebabkan penurunan kelengketan pada tingkat substitusi 20%.
72
Berdasarkan hasil pengamatan, substitusi pati kacang hijau yang paling optimum dalam memperbaiki karakteristik fisik mi adalah mi jagung dengan substitusi pati kacang hijau sebesar 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi dengan karakteristik %elongasi 15.86%, resistensi terhadap tarikan 15.73gf, kekerasan 964.89 gf dan kelengketan -251.2gf. Formulasi optimum ini akan digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.
D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Mi Jagung Basah Matang Perbaikan KPAP mi dilakukan dengan mencoba jenis pengikat baru yakni penggunaan guar gum. Pemilihan guar gum didasarkan pada penelitian sebelumnya. Fadlillah (2005) melakukan percobaan dengan memvariasikan beberapa jenis bahan tambahan pangan untuk memperbaiki KPAP mi jagung instan. Bahan tambahan pangan yang digunakan adalah guar gum, carboxyl methil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3 dengan konsentrasi 1%. Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan guar gum 1% menunjukkan KPAP yang paling rendah. Penelitian kali ini selain mencoba jenis pengikat baru, dilakukan pula variasi konsentrasi untuk mendapatkan konsentrasi pengikat yang optimum untuk mengurangi KPAP. Konsentrasi pengikat yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Penentuan variasi konsentrasi ini didasarkan pada penelitian sebelumnya. Budiyah (2005) menyatakan bahwa penggunaan CMC konsentrasi 0.5% masih menghasilkan mi dengan cooking loss tinggi Namun penggunaan CMC hingga 2% menghasilkan mi instan dengan tekstur yang terlalu kenyal. Pengamatan parameter KPAP pada kedua penelitian sebelumnya dilakukan secara visual dengan mengamati air rebusan mi. Penelitian kali ini ingin melihat pengaruh konsentrasi dan jenis pengikat secara kuantitatif. Asumsi yang digunakan, semakin tinggi konsentrasi pengikat nilai KPAP mi akan semakin rendah. Gambar 23 menunjukkan peningkatan konsentrasi CMC justru menaikkan KPAP. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 10a) menunjukkn kenaikkan konsentrasi CMC berpengaruh nyata terhadap kenaikkan KPAP mi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) menunjukkan KPAP mi dengan
73
konsentrasi CMC 1% berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 1.5 dan 2%. Sedangkan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 1.5% tidak berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 2%.
Kehiangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
18
16.24
16 14
13.48 12.8
13.22
16.88 13.95
12 10
CMC Guar gum
8 6 4 2 0 1%
1.50%
2%
Konsentrasi binder
Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang Peningkatan konsentrasi CMC berarti mengurangi jumlah air yang diperlukan untuk gelatinisasi. Penggunaan CMC yang optimum adalah pada konsentrasi 1% karena penambahan 0.5% menyebabkan peningkatan KPAP yang cukup tinggi. Gel pengikat yang terbentuk oleh CMC dengan air mungkin cukup besar. Namun jumlah pati yang tidak tergelatinisasi secara optimum juga meningkat sehingga matriks amilosa yang terbentuk tidak optimum. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan daya ikat matrik secara keseluruhan. Gambar 23 juga menunjukkan peningkatan konsentrasi guar gum dapat meningkatkan KPAP. Namun hasil uji sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan kenaikkan konsentrasi guar gum tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan KPAP mi. Pengikatan air oleh guar gum tidak sebesar pengikatan CMC, sehingga jumlah air yang tersedia masih cukup untuk menggelatinisasi pati secara optimum. Gambar 23 juga menunjukkan pengaruh jenis pengikat terhadap KPAP pada konsentrasi yang sama. Penggunaan guar gum menunjukkan KPAP yang lebih kecil pada semua tingkat konsentrasi. Hasil uji perbedaan rata-rata
74
dengan selang kepercayaan 95%
mengenai pengaruh jenis konsentrasi
terhadap KPAP (Lampiran 12) menunjukkan, pada konsentrasi pengikat 1%, KPAP mi menggunakan guar gum tidak berbeda nyata dengan KPAP mi yang menggunakan CMC. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan selang kepercayaan 95%
mengenai pengaruh jenis konsentrasi terhadap KPAP menunjukkan,
pada konsentrasi pengikat 1.5% (Lampiran 13), dan 2% (Lampiran 14) KPAP mi menggunakan guar gum berbeda nyata dengan KPAP mi menggunakan CMC. Secara keseluruhan, dari pemilihan jenis pengikat dan konsentrasi yang digunakan penggunaan guar gum 1% terlihat memberikan hasil yang paling optimum.
E. Analisis proksimat mi jagung basah matang Analisis proksimat dilakukan pada mi jagung basah matang dengan formulasi terpilih. Mi jagung basah yang diuji proksimat adalah mi dengan substitusi pati kacang hijau 5% dan menggunakan guar gum 1% sebagai pengikat. Hasil analisis proksimat mi jagung basah matang dapat dilihat pada Tabel 12. Tujuan utama analisis proksimat ini adalah untuk melihat apakah mi yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu mi basah terutama dari segi kandungan proteinnya. Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang Parameter (bk) Mi jagung Kadar air 63.71 %
Mi sagu* 79.00%
Kadar abu
0.41%
2.43%
Kadar protein
7.14%
3.52%
Kadar lemak
4.49%
24.67%
Kadar karbohidrat
87.99%
69.38%
* : Purwani et al., (2004) seperti dikutip oleh Azriani (2006) Kadar air mi jagung basah matang adalah sebesar 63.71% (bb). Sementara itu, kadar air mi basah matang untuk terigu berkisar antara 64-65% (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2005, seperti dikutip oleh Gracecia, 2005). Hasil pengkuran kadar air mi jagung basah matang menunjukkan nilai yang lebh rendah dibandingkan mi basah matang terigu. Jika dibandingkan
75
dengan mi berbasis pati lainnya, dalam hal ini mi sagu, kadar air mi jagung juga masih lebih rendah. Kadar abu mi jagung basah adalah 0.41%. Kadar abu mi jagung basah lebih kecil dibandingkan kadar abu mi sagu yang mencapai 2.43%. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan kedua jenis mi. Mi sagu yang umum diperdagangkan umumnya menggunakan tambahan pottasium alum (KAl(SO4)2 12 H2O) untuk memperbaiki karakteristik mi yang dihasilkan. Selain potasium alum, alkali lain yang sering digunakan adalah sodium karbonat atau kalium karbonat. Mi jagung basah yang dihasilkan hanya menggunakan sodium karbonat atau kalium karbonat sebagai sumber alkali. Perbedaan sumber dan jumlah alkali yang digunakan menyebabkan jauhnya perbedaan kadar abu kedua jenis mi. Menurut SNI 01-2987-1992 kadar abu maksimal untuk mi basah adalah 3.75%-4.62% (bk). Hal ini menunjukkan kadar abu mi jagung basah masih memenuhi standar mutu. Kadar protein kasar mi jagung basah adalah 7.14%. Kadar protein mi jagung basah jauh lebih tinggi dibandingkan mi sagu (3.52%). Hal ini menandakan penambahan CGM terbukti mampu menambah kadar protein mi. Kadar protein mi basah menurut SNI 01-2987-1992 minimal 3.75%-4.62% (bk). Sedangkan menurut SNI 01-3551-1996 seperti dikutip oleh Budiyah (2005), kadar protein minimal mi non-terigu adalah 4%. Kadar protein mi jagung terlihat masih memenuhi kedua standar minimal protein. Kadar lemak kasar diukur dengan metode Soxhlet. Kadar lemak mi jagung basah matang adalah sebesar 4.49%. Sementara itu mi sagu memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi yaitu 24.67%. Tingginya kadar lemak mi sagu mungkin disebabkan jumlah minyak yang digunakan sebagai pelumas mi lebih banyak dibandingkan jumlah minyak yang digunakan pada pembuatan mi jagung basah matang. Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Perhitungan kadar karbohidrat didasarkan pada pengurangan 100% terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat mi jagung basah matang adalah 87.99%. Kadar karbohidrat mi sagu adalah 69.39%.
76
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi instan jagung metode Budiyah (2005) dengan beberapa modifikasi untuk mendapatkan hasil paling optimal. Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Urutan pencampuran bahan pada metode Budiyah (2005) menghasilkan mi basah dengan KPAP tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas
produksi.
Namun
variabel
berubah
tersebut
diharapkan
menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak. Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi mi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi hunkwe 5% menghasilkan mi basah jagung matang dengan %elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan -251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf. Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%. Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71% (bb), kadar abu 0.41%,
77
kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.
B.
SARAN
Mi basah jagung cukup berpotensi untuk dikembangkan. Namun karakteristik fisik mi ini masih perlu diperbaiki terutama dari karakteristik % elongasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi penggunaan pati atau tepung yang bisa digunakan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi Penelitian lanjutan tentang umur simpan, atau bahan kemasan yang sesuai untuk memperlama umur simpan mi basah jagung perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing mi ini.
78
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap KPAP Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F KPAP
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
1.034
t-test for Equality of Means
t
.348
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-2.907
6
.027
-2.3850
.82053
-4.39277
-.37723
-2.907
4.792
.035
-2.3850
.82053
-4.52203
-.24797
Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap % Elongasi Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
ELONGASI
Equal variances assumed Equal variances not assumed
4.926
Sig.
.035
t-test for Equality of Means
t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-7.579
28
.000
-8.8880
1.17267
-11.29012
-6.48592
-7.579
18.146
.000
-8.8880
1.17267
-11.35028
-6.42576
Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap resistentensi terhadap tarikan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
RSISTNSI
Equal variances assumed Equal variances not assumed
10.266
Sig.
.003
t-test for Equality of Means
t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-2.849
28
.008
-2.2000
.77213
-3.78164
-.61836
-2.849
21.332
.010
-2.2000
.77213
-3.80422
-.59578
83
Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F
KKERASAN
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig.
3.350
.078
t-test for Equality of Means t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Std. Error Difference Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-7.211
28
.000
-410.4800
56.92304
-527.08157
-293.87843
-7.211
23.869
.000
-410.4800
56.92304
-527.99746
-292.96254
Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
KLNGKTAN
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.000
t-test for Equality of Means
Sig.
.997
t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
18.284
28
.000
370.3933
20.25756
328.89761
411.88906
18.284
27.813
.000
370.3933
20.25756
328.88506
411.90161
Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi ANOVA ELONGASI Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
267.172
4
66.793
Within Groups
293.984
70
4.200
Total
561.155
74
F 15.904
Sig. .000
84
Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi ELONGASI Duncan Subset for alpha = .05 Konsentrasi hunkwe 0% hunkwe
N
1 15
2
11.6639
5% hunkwe
15
15.8671
10% hunkwe
15
16.0266
20% hunkwe
15
16.4533
15% hunkwe
15
16.8614
Sig.
1.000
.233
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.
Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi ANOVA RSISTNSI
Between Groups
Sum of Squares 675.867
df 4
Mean Square 168.967 3.373
Within Groups
236.133
70
Total
912.000
74
F 50.089
Sig. .000
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan RSISTNSI Duncan Subset for alpha = .05 Konsentrasi hunkwe 0% hunkwe
N
1
2
15
14.4000
5% hunkwe
15
15.7333
10% hunkwe
15
15% hunkwe
15
20% hunkwe
15
Sig.
3
4
15.7333 16.8667 20.7333 22.2667
.051
.095
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.
85
Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ANOVA KKERASAN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8512686.0 78 1491365.8 92 10004051. 970
df
Mean Square 4
2128171.519
70
21305.227
F 99.890
Sig. .000
74
Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi KKERASAN Duncan Subset for alpha = .05 Konsentrasi hunkwe 0% hunkwe
N 15
1 937.8067
2
3
5% hunkwe
15
964.8867
10% hunkwe
15
1478.2000
20% hunkwe
15
1579.2600
15% hunkwe
15
1774.6733
Sig.
.613
.062
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.
Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi ANOVA KLNGKTAN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3428281.1 51 458318.27 2 3886599.4 23
df
Mean Square 4
857070.288
70
6547.404
F 130.902
Sig. .000
74
86
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi KLNGKTAN Duncan Subset for alpha = .05 Konsentrasi hunkwe 15% hunkwe
N
1 15
2
3
4
-724.7267
10% hunkwe
15
-612.4400
20% hunkwe
15
-598.2067
5% hunkwe
15
0% hunkwe
15
-251.2000 -188.5867
Sig.
1.000
.632
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.
Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi CMC terhadap KPAP ANOVA KPAP Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
26.076
2
13.038
Within Groups
11.217
9
1.246
Total
37.293
11
F 10.461
Sig. .004
Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi CMC terhadap KPAP KPAP Duncan Subset for alpha = .05 konsentrasi CMC cmc 1%
N
1 4
2
13.4819
cmc 1,5%
4
16.2392
cmc 2%
4
16.8796
Sig.
1.000 .438 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
87
Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi Guar gum terhadap KPAP ANOVA KPAP Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
2.726
2
1.363
Within Groups
13.503
9
1.500
Total
16.229
11
F
Sig. .909
.437
Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1% terhadap KPAP Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F KPAP
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.004
Sig.
t-test for Equality of Means
t
.953
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-.658
6
.535
-.6814
1.03612
-3.21669
1.85389
-.658
6.000
.535
-.6814
1.03612
-3.21674
1.85394
Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 1.5% terhadap KPAP Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KPAP
Equal variances assumed Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
F
Sig.
t
17.248
.006
-4.791
6
.003
-3.0180
.62997
-4.55944
-1.47646
-4.791
4.167
.008
-3.0180
.62997
-4.73969
-1.29621
88
Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 2% terhadap KPAP Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
KPAP
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.001
Sig.
.979
t-test for Equality of Means
t
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-3.810
6
.009
-2.9255
.76785
-4.80442
-1.04668
-3.810
5.887
.009
-2.9255
.76785
-4.81319
-1.03791
Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati dari beberapa jenis pati TPA Meansb Cooked Cooking loss Starch Hardness weight (g)a (%)a Cohesiveness (kg) c Mainechip 32.9b 3.4a 1.16bc 0.62a ND651-9 3502a 3.3a 1.03c 0.61a Avebed 29.7d 2.8a 0.85d 0.54b Navy bean 31.0cd 0.9c 1.24b 0.35d Pinto bean 28.1e 1.3bc 1.75a 0.41c Commerciale 32.4bc 1.9b 0.77d 0.62a Sumber : Kim et al., (1996) Keterangan tabel a : Nilai yang dilaporka adalah rataan dari dua kali ulangan b : Nilai yang dilaporkan adalah rataan dari lima kali pengamatan c : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan d : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company e : Diproduksi dari pati kacang hijau
Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi patia Pati Commercialc Avebee Mainechip ND651-9 Navy bean Pinto bean
TR 11.21bd 11.91a 10.83b 11.93a 5.41d 6.05c
SL 11.24a 9.67b 11.28a 10.97a 10.86a 10.92a
Rata-ratab FI CH 9.19c 9.03b 9.20c 10.17a 11.16a 10.32a 10.20b 10.11a 11.17a 8.05c 11.80a 10.19a
TP 4.60b 5.47a 4.94ab 5.04ab 4.82b 5.00ab
OA 12.04a 10.09c 11.92a 11.15b 7.01d 7.40d
Sumber : Kim et al., (1996)
89
Keterangan tabel a : skala rating : 0 (rendah) hingga 15 (tinggi) b : TR = transparancy, SL=slipperiness FI=firmness CH=chewiness TP=tooth packing,OA=overall acceptability c : Diproduksi dari pati kacang hijau d : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan e : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company
Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari dengan gel pati kacang hijau. Sampel G’ (Pa) SuShu2 160c ± 10 SuShu8 300b ± 17 XuShu18 320b ± 30 Kacang hijau 820a ± 27
tiga varietas ubi Cina dibandingkan Tan δ 0.034a ± 0.004 0.030a ± 0.003 0.027a ± 0.004 0.007b ± 0.001
Max strain 0.35a ± 0.03 0.35a ± 0.05 0.33a ± 0.04 0.38a ± 0.03
Sumber : Chen (2003) N = 3 Rataan sampel dengan huruf yang sama dalam satu kolom adalah berbeda nyata p<0.05
Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses persiapan mi Mi Sampel Setelah Mentah Masak pembekuan SuShu2 0.043a ± 0.005 0.0106a ± 0.0019 0.0075a ± 0.0018 SuShu8 0.033b ± 0.005 0.0068b ± 0.0023 0.0049b ± 0.0015 XuShu18 0.024c ± 0.006 0.0065b ± 0.0023 0.0050b ± 0.0011 Kacang hijau 0.019c ± 0.004 0.0044b ± 0.0015 0.0046b ± 0.0014 Sumber : Chen (2003)
Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau Mi kering Mi masak Sampel E (Pa) re Fc (N) rc E (Pa) re Fc (N) 4.74x108c 9.70x10-2b 10.40c 7.45 x10-2b 2.62 x105c 1.23 x10-1b 1.13 x10-1c SuShu2 8 -2 -2 5 -1 -1 (0.38x10 ) 8
(0.8 x10 ) -2
(1.39)
(1.95 x10 ) -1
(0.55 x10 ) 5
(0.20 x10 )
(0.24 x10 )
-1
SuShu8
5.6x10 ab (0.44x108)
2.15 x10 a (0.33 x10-1)
19.69a (2.22)
1.13 x10 a (0.19 x10-1)
4.32 x10 b (0.67 x105)
2.59 x10 a (0.72 x10-1)
1.58 x10-1b (0.28 x10-1)
XuShu18
4.95x108bc (0.73 x108)
1.11 x10-1b (0.26 x10-1)
15.16ab (2.32)
8.95 x10-2ab (1.72 x10-2)
4.13 x105b (0.64 x105)
2.16 x10-1a (0.36 x10-1)
1.50 x10-1b (0.21 x10-1)
Kacang hijau
6.10 x108a (1.22 x108)
1.15 x10-1b (2.41 x10-2)
19.79a (2.06)
9.86 x10-2a (1.39 x10-2)
1.18 x106a (1.65 x105)
1.99 x10-1a (2.93 x10-2)
2.94 x10-1a (4.41 x10-2)
Sumber : Chen (2003) N= 8. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara signifikan pada p<0.5. Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi.
90
Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.
Sumber : Chen (2003)
Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas (90oC)
Sumber : Chen (2003)
91
Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.
Sumber : Chen (2003)
Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau Atribut Sampel Warna Transparansi Glossiness Fleksibilitas SuShu2 10.9 ± 2.0a 5.6 ± 3.2c 5.0 ± 2.5c 6.2 ± 3.4b SuShu8 6.9 ± 2.1c 9.6 ± 2.9a 8.9 ± 3.2ab 10.3 ± 2.3a XuShu18 8.7 ± 1.6b 6.9 ± 2.1b 7.5 ± 2.3b 7.8 ± 2.7b Kacang 5.5 ± 2.2c 10.5 ± 3.1a 11.1 ± 3.2a 10.5 ± 2.5a hijau
pati kering Kesukaan 5.3 ± 2.1c 10.1 ± 2.6a 8.1 ± 2.6b 11.7 ± 1.4a
Sumber : Chen (2003) N = 12. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata pada p<0.05.
Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau Sampel
Warna 6.8±3.4a 5.4±3.7a 6.3±2.9a 6.0±4.2a
Transparansi 6.1±3.5a 7.3±4.3a 6.2±2.8a 5.1±2.6a
SuShu2 SuShu8 XuShu18 Kacang hijau Sumber : Chen (2003)
Glossiness 7.7±3.1a 9.4±1.8a 8.1±2.5a 9.2±2.7a
Atribut Elastisitas 6.1±3.5b 11.5±2.1a 7.9±3.5b 8.8±4.5b
Kelicinan 9.4±3.1a 11.0±1.9a 9.6±2.0a 11.0±2.2a
Kekerasan 4.8±2.0c 8.3±3.2ab 6.6±2.2b 10.0±2.7a
Kekenyalan 5.9±2.1b 9.8±2.0a 8.7±2.8a 10.3±2.6a
92
Kesukaan 6.3±3.1b 11.8±2.6a 7.6±2.6b 8.5±3.0b
93