SKRIPSI
PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN DENGAN SUBSTITUSI TERIGU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE AKSELERASI
Oleh: SIYAM SUSENO F24050340
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN DENGAN SUBSTITUSI TERIGU DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE AKSELERASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: SIYAM SUSENO F24050340
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi Nama
: Siyam Suseno
NIM
: F24050340
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
(Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc.)
(Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc.)
NIP. 19530815.197903.1.002
NIP. 19650729.199002.1.002
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP. 19650814.199002.1.001
Tanggal ujian: 19 Maret 2010
Siyam Suseno. F24050340. Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi. Di bawah bimbingan Budiatman Satiawihardja dan Sugiyono. 2010. RINGKASAN Tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan sejenis tanaman padi yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman/adat di wilayah Kabupaten Buru (Maluku). Penetapan tanaman hotong sebagai komoditas pangan alternatif adalah pilihan yang tepat karena beberapa pertimbangan penting, antara lain: (a) adaptif terhadap lahan marjinal dan iklim kering, (b) umur pendek (80-90 hari), (c) hasil panen dapat disimpan bertahuntahun (mencapai 20 tahun), dan (d) mengandung karbohidrat relatif tinggi (sama dengan beras) dan protein tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut adalah dengan rekayasa cara pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan masyarakat terhadap hotong meningkat. Salah satu alternatif pengolahannya ialah dengan membuat hotong menjadi mi instan. Untuk memperbaiki karakteristik mi yang dihasilkan digunakan substitusi terigu. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula dan proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi terigu terbaik yang memiliki karakteristik fisik yang dapat diterima konsumen secara sensori beserta pendugaan umur simpannya. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah komoditas buru hotong. Pembuatan tepung hotong menghasilkan tepung hotong 100 mesh dengan kandungan air 9.39%, abu 1.85%, protein 13.35%, lemak 6.96%, dan karbohidrat 68.45% dengan rendemen 31.10%. Pembuatan mi hotong instan substitusi terigu dilakukan melalui tiga tahap yaitu, penentuan jumlah air, penentuan tingkat substitusi terigu, dan penentuan parameter proses pembuatan mi hotong instan. Formula terbaik dipilih berdasarkan penilaian panelis melalui uji rating hedonik terhadap mi instan sebelum dimasak (mentah) dan setelah dimasak (matang) terhadap atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Berdasarkan uji tersebut, diperoleh satu produk yang terbaik, yaitu mi hotong instan dengan substitusi terigu 40% (dari campuran tepung) dengan penambahan air sebanyak 50% dan waktu penggorengan selama 2 menit pada suhu 160⁰C. Berdasarkan analisis kimia produk mi hotong instan terbaik memiliki kadar air 6.04%, abu 2.26%, protein 11.38%, lemak 20.53%, dan karbohidrat 59.79%. Produk tersebut mimpunyai karakter warna dengan nilai L sebesar 52.36, nilai a sebesar +5.67, nilai b sebesar +24.77 dan nilai ⁰hue 77.11 atau berwana campuran kuning-merah. Nilai kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan produk mi hotong instan terbaik berturut-turut 1893.10 gf, 557.35 gf, dan 0.285 gs. Nilai daya serap air (DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) masing masing 157.60% dan 10.26%, sedangkan waktu pemasakannya antara 4.5-6.5 menit menit. Pendugaan umur simpan mi hotong instan dengan metode akselerasi (model Arrhenius) dilakukan terhadap parameter mutu ketengikan (subyektif) dan bilangan TBA (obyektif). Berdasarkan pendugaan umur simpan dengan metode
akselerasi (model Arrhenius) produk mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki umur simpan 2.95 bulan apabila menggunakan parameter organoleptik ketengikan, dan memiliki umur simpan 12.76 bulan jika menggunakan parameter bilangan TBA, pada penyimpanan suhu 27⁰C. Untuk jaminan kualitas maka digunakan umur simpan yang lebih cepat yaitu 2.95 bulan.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Atas kehendak dan karunia-Nya, penelitian dan skripsi yang berjudul “Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilakukan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dapat diselesaikan atas sumbangan pemikiran dan masukan dari pembimbing serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, saran, bantuan dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan izin untuk mengerjakan proyek penelitian ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, saran, dan masukan bagi penulis. 3. Dr. Fahim Muchammad Taqi, STP., DEA yang telah bersedia mengalokasikan waktu sebagai dosen penguji. 4. Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Badan Litbang Departemen Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. selaku penanggung jawab dan Iin Yusliana, STP. selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian. 5. Keluarga besar tercinta saya di rumah, Si Mbok Kasini, Ramanda Sumarjo, Mas Slamet beserta keluarga, Mba Suyati beserta keluarga, Mba Sulastri, Mas Agus Wartoyo beserta keluarga, dan Mas Purnawan. Terima kasih atas limpahan kasih sayang yang telah tercurahkan tanpa henti kepada penulis
selama ini. Berkat doa dan dukungan kalian semua baik yang berupa materil maupun non materil. 6. Teknisi dan Laboran Laboratorium ITP dan SEAFAST Center: Pak Wahid, Pak Rojak, Pak Sidik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Bu Antin, Pak Nurwanto, Pak Junaedi, dan Bu Sri, terima kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. 7. Teman-teman semua yang telah membantu penelitian, memberikan motivasi dan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas akhir ini. Semoga Allah SWT menerima dan membalas seluruh kebaikan yang telah dilakukan.
Bogor, April 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 19 Mei 1987 sebagai anak keenam dari pasangan Sumarjo dan Kasini. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di SD Negeri Karangrena IV, SLTP Negeri 2 Maos dan SMA Negeri 1 Cilacap. Kemudian penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Partanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2005, dan masuk pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah tergabung dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi Staf Divisi Profesi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain sebagai Guide dalam acara Open House Asrama Putra TPB IPB, Sie Pubdekdok dalam acara Seminar dan Pelatihan HACCP, dan lain-lain. Penulis juga pernah mengikuti acara-acara seminar atau pelatihan, diantaranya Seminar Indonesian Food Expo 2007, Seminar Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi Tingkat Nasional, yang diselenggarakan oleh HIMITEPA IPB, Lokakarya
Nasional
Akselerasi
Industrialisasi
Tepung
Cassava
untuk
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional, Pelatihan Sistem Manajemen Halal, dan lain-lain. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ” Proses Pembuatan Mi Hotong Instan dengan Substitusi Terigu dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. pada tahun 2010.
DAFTAR ISI
RINGKASAN .................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv I.
II.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ........................................................................
1
B. TUJUAN .............................................................................................
4
C. MANFAAT .........................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN HOTONG ......................................................................
5
B. PATI .................................................................................................... 12 C. GELATINISASI PATI ....................................................................... 16 D. MI ....................................................................................................... 22 E. MI INSTAN ......................................................................................... 23 F. PENGGORENGAN ............................................................................ 25 G. UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI ................... 27 III.
METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 34 B. METODE PENELITIAN..................................................................... 35 1. Pembuatan Tepung Hotong ....................................................... 37 2. Seleksi Perlakuan Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ........... 38 1. Penentuan Jumlah Air ......................................................... 38 2. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu .................................. 38 3. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi hotong Instan 39 3. Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi Model Arrhenius (Arpah, 2001; Haryadi et al., 2006; Kusnandar dan Sutrisno, 2006) ........................................ 40
C. METODE ANALISIS ......................................................................... 44 1. Uji Organoleptik ........................................................................ 44 2. Analisis Statistik ....................................................................... 44 3. Analisis Proksimat .................................................................... 44 a. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) .......................... 45 b. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995) .... 45 c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 960.52 yang Dimodifikasi) .......................................................... 45 d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) ................ 46 d. Kadar Karbohidrat (By Difference) .................................. 47 4. Analisis Fisik ............................................................................. 47 a. Warna dengan Chromameter (Huthcing, 1999) ............... 47 b. Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan dengan Texture Analyzer TAXT-2 ............................................... 48 c. Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985) ............................................ 49 d. Waktu Pemasakan ............................................................ 49 5. Analisis Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) ........................................ 50 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN TEPUNG HOTONG ................................................. 51 1. Pembuatan Tepung Hotong .......................................................... 51 2. Analisis Proksimat Tepung Hotong ............................................. 51 B. PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN ............................. 52 1. Penentuan Jumlah Air .................................................................. 52 2. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu ........................................... 54 3. Proses Pembuatan Mi Hotong Instan ........................................... 56 4. Penentuan Produk Mi Hotong Instan Terbaik .............................. 50 i. Warna ............................................................................... 60 ii. Aroma .............................................................................. 61 iii. Rasa ................................................................................. 61 iv. Tekstur ............................................................................ 61
v. Uji Pembobotan ............................................................... 62 a. Mi Mentah .................................................................. 63 b. Mi Matang .................................................................. 65 5. Analisis Proksimat dan Fisik Produk Mi Hotong Instan Terbaik
66
a. Analisis Proksimat ............................................................ 66 b. Analisis Warna ................................................................. 69 c. Analisis Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan ......... 70 d. Daya Serap Air (DSA) dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ......................................................... 72 e. Waktu Pemasakan ............................................................ 73 C. PENDUGAAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS) ....... 74 1. Uji Organoleptik Off Flavor (Ketengikan) Mi Hotong Instan ...... 76 2. Pengukuran Bilangan TBA .......................................................... 81 V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN.................................................................................... 87 B. SARAN ............................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89 LAMPIRAN ....................................................................................................... 98
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Komposisi kimia biji hotong dibandingkan dengan hermada dan beras .................................................................................................
9
Tabel 2.
Komposisi kimi bagian-bagian biji buru hotong ............................. 10
Tabel 3.
Kandungan kimia buru hotong ......................................................... 10
Tabel 4.
Karakteristik mi instan hotong ......................................................... 11
Tabel 5.
Nilai indeks glikemik produk olahan buru hotong ........................... 12
Tabel 6.
Kadar amilosa beberapa jenis pati ................................................... 14
Tabel 7.
Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin ......... 16
Tabel 8.
Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati ................................... 21
Tabel 9.
Hasil analisis proksimat tepung hotong ............................................ 52
Tabel 10. Karakter adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda untuk terigu 10% dari bahan campuran tepung........................................... 53 Tabel 11. Karakter lembaran dan untaian mi pada tingkat substitusi terigu berbeda dengan penambahan air 50% dari bahan campuran tepung
55
Tabel 12. Hasil percobaan pengukusan mi basah dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih ......................... 57 Tabel 13. Karakteristik produk mi hotong instan hasil penggorengan dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih .............................................................................................. 58 Tabel 14. Hasil pembobotan pada setiap atribut mi hotong ............................. 63 Tabel 15. Hasil analisis proksimat mi hotong instan substitusi terigu 40% dan mi hotong instan tanpa substitusi ..................................................... 67 Tabel 16. Nilai ⁰hue dan daerah kisaran warna kromatis ................................. 69 Tabel 17. Perbandingan nilai kekerasan dan kelengketan antara mi hotong instan tanpa substitusi dengan mi hotong instan substitusi terigu 40% .................................................................................................. 70 Tabel 18. Perbandingan nilai DSA dan KPAP antara mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu 40%, dan mi instan terigu ................................................................................................. 73 Tabel 19. Skor rata-rata uji organoleptik ketengikan mi hotong instan substitusi terigu 40% pada berbagai suhu selama proses penyimpanan ..................................................................................... 76 Tabel 20. Tabulasi nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter ketengikan secara organoleptik ....................................... 79 Tabel 21. Hasil pengukuran bilangan TBA pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan .................................................................................... 81
Tabel 22. Tabulasi nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter pengukuran bilangan TBA ............................................................... 83
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Morfologi tanaman hotong ...........................................................
5
Gambar 2. (a) Tanaman buru hotong, dan (b) biji hotong ..............................
7
Gambar 3. Struktur kimia amilosa .................................................................. 15 Gambar 4. Struktur kimia amilopektin ........................................................... 15 Gambar 5. Diagram alir penelitian .................................................................. 36 Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tepung hotong ............................. 37 Gambar 7. (a) Mesin penepung biji hotong tipe disc mill, dan (b) Alat pengayak tepung tipe vibrating screen ......................................... 37 Gambar 8. Alat untuk sheeting dan slitting ..................................................... 39 Gambar 9.
Diagram alir percobaan pembuatan mi hotong instan ................... 40
Gambar 10. Proses penggorengan dengan alat deep fat fryer ........................... 59 Gambar 11. Diagram alir proses pembuatan mi hotong instan substitusi terigu 60 Gambar 12. Mi hotong instan mentah: (a) formula A, (b) formula B, dan (c) formula C ...................................................................................... 62 Gambar 13. Hubungan antara ketiga sampel mi mentah dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis .............................................................. 64 Gambar 14. Hubungan antara ketiga sampel mi matang dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis ............................................................ 65 Gambar 15. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 32⁰C ........................................................... 78 Gambar 16. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 45⁰C ........................................................... 78 Gambar 17. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 50⁰C ............................................................ 78 Gambar 18. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter ketengikan secara organoleptik .................................... 79 Gambar 19. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 32⁰C ...................................................................................... 82 Gambar 20. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 45⁰C ...................................................................................... 82 Gambar 21. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 50⁰C ...................................................................................... 82 Gambar 22. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter pengukuran nilai bilangan TBA ................................... 83 Gambar 23. Penentuan batas kritis nilai bilangan TBA .................................... 85
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Syarat mutu mi instan terigu menurut SNI 01-3551-1994 .......... 98 Lampiran 2. Contoh kuesioner uji rating hedonik .......................................... 99 Lampiran 3. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan mentah ........................................................................................ 100 Lampiran 4. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan matang ........................................................................................ 101 Lampiran 5. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut hedonik terhadap mi mentah ...................................................... 102 Lampiran 6. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan mentah ............................................................................. 103 Lampiran 7. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut hedonik terhadap mi matang ....................................................... 104 Lampiran 8. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan matang ............................................................................. 105 Lampiran 9. Contoh kuesioner uji rating off flavor (ketengikan) ................... 106 Lampiran 10. Skor organoleptik off flavor (ketengikan) mi hotong instan substitusi terigu 40% pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan .............................................................................. 107 Lampiran 11. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi terigu 40% berdasarkan uji sensori terhadap tingkat ketengikan .................................................................................. 108 Lampiran 12. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi terigu 40% berdasarkan parameter nilai TBA ........................... 109
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia karena pangan berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Ketahanan pangan bagi suatu negara sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena ketahanan pangan suatu negara sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakatnya. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim, memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial. Sewajarnya, pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduknya harus dapat dipenuhi, terutama pemenuhan dalam hal kebutuhan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan ekstensifikasi, intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Ekstensifikasi diarahkan pada pemanfaatan lahan kering yang merupakan bagian terbesar dari potensi lahan. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan kering (Herodian et al., 2008). Dewasa ini, daya dukung lingkungan semakin menurun sehingga ketersediaan
bahan
pangan
juga
semakin
berkurang.
Berkurangnya
kemampuan produksi pangan dalam negeri itu terjadi karena meningkatnya penggunaan konversi lahan di daerah-daerah pertanian dan perkebunan potensial menjadi daerah pemukiman dan industri. Akibatnya, produksi pangan dalam negeri tidak dapat mengimbangi kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Dampaknya, negara mendatangkan bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat dari luar negeri. Contoh kasus pada tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras dan terigu. Volume impor terigu di Indonesia cukup besar dengan harga yang terus meningkat (Herodian et al., 2008). Program diversifikasi pangan yang dijalankan oleh pemerintah dapat diartikan sebagai penganekaragaman pola konsumsi bahan pangan masyarakat
berbasis sumber pangan lokal yang potensial sebagai penyedia sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras. Namun, program diversifikasi pangan akan menjadi keliru jika justru bahan pangan berasal dari impor seperti terigu yang menjadi solusinya. Dampak kebijakan insidental pemerintah yang menyetujui menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) tepung terigu dan harga terigu yang murah mengakibatkan perubahan pola konsumsi warga ke berbagai produk pangan olahan terigu. Substitusi beras ke terigu bermakna dari sisi diversifikasi karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras. Namun, hal ini akan membuat ketergantungan terhadap terigu. Di Indonesia tidak ada petani yang menanam gandum yang merupakan bahan baku terigu, tetapi konsumsi terigu terus meningkat setiap tahunnya (17.11 kg per kapita). Konsumsi terigu Indonesia meningkat sangat signifikan dari 9.9 kg per kapita pada 2002, menjadi 17.11 kg per kapita pada 2007 atau sekitar 12% dari konsumsi pangan Indonesia. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke-6 importir terbesar di dunia setelah Brasil, Mesir, Iran, Jepang, dan Algeria (Kusmuljono, 2009). Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi terigu di Indonesia pada 2003 mencapai 19.8 gram per kapita per hari dan meningkat pada 2006 yang mencapai 22.6 gram per kapita per hari serta mencapai 38 gram per kapita per hari pada 2008 (Andrian 2009). Diperkirakan kebutuhan terigu rata-rata tumbuh minimal 5 persen per tahun (Andrian 2009). Menurut catatan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), total kebutuhan terigu setara dengan sekitar 4.5 hingga 5 juta ton biji gandum yang seluruhnya masih diimpor (Andrian 2009). Volume impor tepung terigu hingga bulan Maret tahun 2009 melonjak hingga dua kali lipat daripada periode yang sama tahun 2008. Konsumsi terigu saat ini diperkirakan sebesar 17 kg/kapita/tahun. Impor di bulan Januari 2009 mencapai 9,475 ton, bulan Februari mencapai 35,021 ton, dan bulan Maret sebesar 49,632 ton (Melyani, 2010). Pemanfaatan terigu secara luas membuat ketergantungan terhadap terigu semakin tinggi. Pada saat ini, terigu diolah menjadi produk-produk makanan
seperti mi, roti, kue, dan sebagainya, yang dikonsumsi di hampir setiap rumah tangga, yang meliputi segala lapisan masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan ke atas. Bahkan dalam kondisi bencana, bahan olahan terigu terutama mi instan menjadi produk utama untuk dikirim ke daerah bencana. Penelitian
yang
dilakukan
Herodian
et
al.
(2008) telah
mencoba
mengembangkan produk pangan alternatif berbahan baku komoditi indigenous lokal daerah sebagai sarana diversifikasi pangan, yakni salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Tanaman ini telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman/adat di wilayah Kabupaten Buru dan memiliki nilai budaya dan adat tinggi hingga saat ini masih tetap dijaga. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi, lebih mirip alang-alang, yang tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif yang tumbuh dengan baik di lahan kering dan marjinal. Selain itu, hasil analisis laboratorium IPB menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat pada biji hotong sama seperti pada beras, bahkan kandungan protein dan lemak lebih tinggi daripada beras, kentang dan sumber karbohidrat lainnya (Herodian et al., 2008). Penetapan tanaman hotong sebagai komoditas pangan alternatif adalah pilihan yang tepat karena beberapa pertimbangan penting, antara lain: (a) adaptif terhadap lahan marjinal dan iklim kering, (b) umur pendek (80-90 hari), (c) hasil panen dapat disimpan bertahun-tahun (mencapai 20 tahun), dan (d) mengandung karbohidrat relatif tinggi (sama dengan beras) dan protein tinggi (Herodian et al., 2008). Beberapa penelitian terdahulu yang juga dilakukan oleh Herodian et al., (2008) memberikan hasil bahwa komoditas buru hotong dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti bubur instan, cookies, kue, dan mi instan. Penelitian Wibowo (2008), produk mi hotong instan memiliki karakteristik fisik yang cukup baik, namun masih bersifat rapuh. Oleh karena itu untuk memperbaiki karakter fisik produk mi instan hotong dilakukan substitusi terigu agar lebih diterima oleh konsumen.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula dan proses pembuatan mi hotong instan dengan sustitusi terigu terbaik yang memiliki karakteristik fisik yang dapat diterima konsumen secara sensori beserta pendugaan umur simpannya.
C. MANFAAT Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: Meningkatkan nilai tambah komoditas buru hotong. Meningkatkan pemanfaatan hotong sebagai bahan baku produk pangan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN HOTONG Tanaman hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan tanaman serealia sejenis padi atau alang-alang. Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang biasanya tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi tanaman 60-150 cm (Dassanayake, 1994). Menurut Doust et al. (2009) tanaman hotong memiliki perawakan yang kecil dengan tinggi tanaman antara 20-215 cm. Tanaman ini berbentuk batang dengan sedikit cabang dan sistem perakaran yang dalam. Umur panennya adalah 8-15 minggu setelah tanam, dengan waktu berbunga antara 5-8 minggu setelah tanam. Tanaman hotong memiliki beberapa nama lain diantaranya foxtail millet, Italian millet, dan giant millet. Morfologi tanaman hotong disajikan pada Gambar 1. Keterangan: 1. bagian atas tanaman 2. mulut sarung (pedang) 3. bulir bunga berbulu 4. bulir biji
Gambar 1. Morfologi tanaman hotong
Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Tanaman hotong dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan (Herodian et al., 2008). Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian antara 0-2000 meter dari permukaan laut di wilayah tropis dan subtropis. Tanaman hotong dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur. Hal ini disebabkan tanaman ini memiliki karakter dinding sel tebal, distribusi akar yang padat, dan daun
yang sempit sehingga efisien dalam penggunaan air (Zhang et al., 2007 dan Li, 1997). Oleh sebab itu, tanaman ini sering ditanam pada musim kering atau kemarau. Selain itu, tanaman hotong juga memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi (Zhang et al., 2007 dan Veeranagamallaiah et al., 2008). Waktu penanaman terbaik adalah pada bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus pada daerah-daerah beriklim tropis, misalnya di wilayah India bagian selatan (Khrisiworld, 2005). Tanaman hotong termasuk dalam kelas Monocotyledone, famili Poaceae (Dassanayake, 1994). Botani tanaman buru hotong dapat dilihat sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Division
: Magnoliophyta (Angiospermae)
Class
: Liliopsida
Subclass
: Commelinidae
Ordo
: Cyperales
Family
: Poaceae (Graminae)
Genus
: Setaria Beauv.
Species
: Setaria italica (L.) Beauv.
Menurut Sreenivasulu et al. (2004) dan Bai et al. (2009), hotong merupakan komoditas pertanian penting yang ditanam di India, China, dan Jepang. Hotong sering ditanam di lahan kering dan kadar garam tinggi. Selain itu, tanaman hotong juga ditanam di Australia, Afrika Utara, dan Amerika Selatan. Di Indonesia, tanaman hotong ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Pulau Buru (Maluku). Budidaya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dijadikan tanaman pangan alternatif pengganti beras (Herodian et al., 2008). Karena pembudidayaanya hanya terbatas di Pulau Buru, hotong di Indonesia sering disebut buru hotong. Tanaman buru hotong memiliki batang yang liat, semakin kering batang tanaman hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya.
Malai sebenarnya merupakan lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabangcabang yang semakin ke ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji hotong. Panjang malai hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 gram per malai. Biji hotong memiliki panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Tanaman buru hotong beserta bijinya disajikan pada Gambar 2.
a
b
Gambar 2. (a) Tanaman buru hotong, dan (b) biji hotong
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budidaya (Prakoso, 2006). Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah alluvial, bahkan pada tanah liat. Budidaya tanaman hotong pada tanah dengan komposisi liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perlokasi air tanah, karena tanaman hotong memerlukan drainase yang baik (Prakoso, 2006). Tanaman hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanah ini harus bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik. Varietas tanaman hotong yang dibudidayakan saat ini lebih dari satu spesies. Tiga spesies hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L.) Beauv, Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa (Dassanayake, 1994). Varietas tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah Setaria italica (L.) Beauv.
Buru hotong bukan hal baru di kalangan masyarakat Pulau Buru, sebab selama ini tanaman buru hotong telah dibudidayakan oleh para petani untuk dijadikan sebagai tanaman sela. Buru hotong dapat segera dimanfaatkan setelah dipanen. Penanganan buru hotong setelah pemanenan adalah melalui tahap pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan, penepungan, dan penyimpanan. Kegiatan pemanenan dilakukan ketika buru hotong sudah cukup tua. Panen dilakukan pada saat malai mulai berwarna kecoklatan dengan keseragaman warna mencapai 90% (Sutanto, 2006). Setelah dipanen, buru hotong dirontokkan dari malainya. Perontokan biji dari malai biasanya sebelum dikeringkan. Perontokan buru hotong dilakukan dengan cara manual dan semi-mekanis. Biji-biji yang sudah dirontokkan dibersihkan dari tangkai, jerami, biji hampa dan pengotor-pengotor lainnya (Sutanto, 2006). Setelah melewati proses pembersihan, buru hotong dikeringkan dengan pengering buatan maupun sinar matahari. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 13%. Apabila menggunakan sinar matahari, waktu rata-rata yang diperlukan agar biji sampai kering adalah 3-4 hari tergantung kondisi cuaca. Proses setelah pengeringan adalah penyosohan. Penyosohan bertujuan memisahkan kulit (sekam) dari bulir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit maksimum (Sutanto, 2006). Menurut Kalabadi (2007), proses penyosohan biji buru hotong sudah termasuk di dalam proses pengupasan biji buru hotong (pemisahan sekam). Hal ini disebabkan biji hotong sangat kecil dan pericarpnya mudah dilepaskan dari biji (McDonough and Rooney, 2000). Setelah itu dapat dilakukan penepungan biji hotong (Sutanto, 2006). Proses pengolahan biji buru hotong (kulitnya berwarna coklat tua) sampai tahap siap dimasak tidak sama dengan padi. Proses pengupasan kulit biji hotong tidak menggunakan alat pengupas biasa yang dipakai untuk mengupas padi, karena biji buru hotong lebih kecil dibandingkan padi. Penangan pasca panen buru hotong belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia dan pengolahannya juga masih terbatas (Wibowo, 2008). Proses penanganan pasca panen di masyarakat hanya sampai diperoleh biji terkupas (tersosoh).
Menurut Antony et al. (1996), hotong dapat dikonsumsi dalam bentuk whole grain atau diolah secara manual. Biji hotong dapat dimanfaatkan sebagai pangganti beras dan sebagai bahan untuk produk pangan lain seperti wajik dan bubur (Herodian et al., 2008). Biji hotong yang diolah secara manual dibuat menjadi bubur dan roti (Antony et al., 1996). Hotong memiliki nutrisi yang lebih baik daripada beras dan gandum. Semua komponen gizi dalam hotong menjadikan hotong memiliki kegunaan yang tepat sebagai bahan baku produk pangan seperti makanan bayi, snack, makanan untuk diet, dan lain lain baik biji maupun tepungnya (Hadimani et al., 2001 dan Subramanian dan Viswanathan, 2007). Komponen utama dalam hotong adalah karbohidrat protein dan lemak (Gu dan Li, 1986), namun terdapat juga gula bebas dan pilosakarida non karbohidrat (Malleshi et al., 1986; Kato et al., 1989). Rokhani et al. (2003) melaporkan bahwa biji buru hotong memiliki kandungan lemak dan protein yang cukup tinggi, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada biji hermada (Sorghum bicolour (L.) Moench). Kandungan lemak biji hotong sebesar 2.4% sedangkan kandungan protein sebesar 11.2%. Komposisi kimia biji buru hotong, biji hermada, dan beras disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia biji hotong dibandingkan dengan hermada dan beras Hotonga) Berasb) Komponen Hermadaa) Karbohidrat
72
73.4
78.9 + 0.70
Protein
11.3
11.2
8.37 + 0.60
Lemak
5.2
2.4
1.04 + 0.04
Serat kasar
8.5
-
6.60 + 0.00
Abu
3.3
1.3
0.80 + 0.20
Sumber: a) Rokhani et al. (2003) b) Junhua et al. (2005)
Sutanto (2006) menyatakan bahwa kandungan gizi buru hotong cukup bagus sebagai bahan pangan karena memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi. Setiap bagian dari malai buru hotong, bijinya
memiliki komposisi yang tidak jauh berbeda, antara bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian ujung malai. Komposisi kimia biji bagian-bagian malai buru hotong disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia biji bagian-bagian malai buru hotong Komponen
Pangkal (%)
Tengah (%)
Ujung (%)
Kadar air
11.85 + 0.04
11.82 + 0.05
11.84 + 0.10
Kadar protein
13.18 + 0.14
13.36 + 0.28
13.36 + 0.11
Kadar lemak
3.72 + 0.23
3.84 + 0.32
4.04 + 0.11
Kadar karbohidrat
67.59 + 0.28
67.91 + 0.09
67.49 + 0.21
Kadar abu
3.68 + 0.13
3.08 + 0.07
3.28 + 0.08
Sumber: Sutanto (2006)
Herodian et al. (2008) menyatakan bahwa hotong termasuk ke dalam komoditas berkadar amilosa sedang, bila diolah akan menghasilkan produk dengan tingkat kepulenan sedang. Selain itu, daya cerna pati in vitro biji sebesar 53.60% dan tepung hotong 50.78% lebih rendah dibandingkan dengan daya cerna beras (62-81%). Hal ini menunjukkan tingkat kecernaan hotong lebih rendah dibandingkan beras, dan memberi harapan bahwa produk-produk berbasis tepung hotong akan menghasilkan indeks glikemik yang cenderung rendah. Tabel 3 berikut menunjukkan kandungan kimia buru hotong.
Tabel 3. Kandungan kimia buru hotong Komponen (%)
Biji
Tepung
Amilosa
23.17
24.72
Daya cerna pati
53.60
50.78
Serat pangan tidak larut
7.44
6.69
Serat pangan larut
3.63
2.99
Total serat pangan
11.06
9.68
Tanin
0.22
0.06
Vitamin E
44.5
50.90
56.42 (nasi hotong)
55.30 (bubur hotong)
IG
Penelitian (Wibowo, 2008), mengolah biji hotong menjadi produk mi instan. Formula mi instan hotong tersebut terdiri atas 100% tepung hotong, air 30%, garam 1%, CMC 1%, dan baking powder 0.3% dengan basis 300 gram tepung hotong. Karakteristik mi instan yang dihasilkan cukup baik, seperti disajikan pada Tabel 4.
Tebel 4. Karakteristik mi instan hotong Parameter Kadar air
2.33% (bb)
-
Kadar abu
1.86% (bb)
1.90% (bk)
Proksimat Kadar protein
9.83% (bb) 10.06% (bk)
Kadar lemak
14.66% (bb) 15.01% (bk)
Kadar karbohidrat
71.33% (bb) 73.03% (bk)
Warna
Fisik
Nilai
merah-kuning
Kekerasan
1641.33 gram force
Kelengketan
473.49 gram force
Waktu rehidrasi
6.5 menit
Daya serap air
160.02%
Kehilangan padatan akibat pemasakan
19.38%
Umur
Ketengikan
99.86 hari
simpan
Bilangan TBA
109.77 hari
Sumber: Wibowo (2008)
Prasetyo (2008) melaporkan bahwa produk olahan buru hotong (kukis, mi instan, dan snack) tergolong pangan dengan indeks glikemik yang rendah, sedangkan bubur instan tergolong ke dalam pangan dengan indeks glikemik sedang. Karena nilai indeks glikemiknya yang rendah, kukis, mi instan, dan snack dapat diaplikasikan sebagai pangan alternatif untuk tujuan diet, terutama untuk penderita diabetes millitus. Bubur instan hotong yang memiliki nilai indeks glikemik sedang cocok dikonsumsi sebagai makanan pokok penghasil
energi/tenaga. Nilai indeks glikemik beberapa produk olahan hotong disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai indeks glikemik produk olahan buru hotong Produk olahan buru hotong
Indeks glikemik
Kukis hotong
47.25
Mi instan hotong
48.45
Bubur instan hotong
59.57
Snack hotong
45.32
Sumber : Prasetyo (2008)
B. PATI Pati merupakan komponen terbanyak dalam serealia dan umbi-umbian serta bersifat penting karena mempunyai sifat fungsional yang kompleks. Pada tanaman, pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan oleh tubuh dalam proses metabolisme sebagai cadangan makanan (Pomeranz, 1971). Pati adalah homopolimer yang tersusun atas satu jenis unit monomer glukosa (homoglikan) yang dihubungkan dengan ikatan glukosida (αglikosidik). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari sumber dan panjang rantai unit monomernya. Sebagai cadangan makanan, pati terdapat dalam bentuk butir kecil atau granula yang tersimpan di dalam sel tanaman di dalam biji atau umbi tanaman (Hodge dan Osman, 1976). Menurut Pandanwangi (1984), pati tersusun atas kumpulan butiran-butiran granula, berwarna putih, mengkilap, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Granula pati setidaknya mangandung tiga komoponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara (Manley, 1983). Ukuran dan bentuk dari granula pati berbeda untuk setiap jenis tanaman. Pada dasarnya granula pati tidak larut dalam air dingin (Parker, 2003), tetapi akan dapat menyerap air bila berada dalam kelembaban tinggi atau direndam air. Sebaliknya, granula pati akan kembali ke ukuran semula apabila kelembaban
diturunkan
atau
pati
dikeringkan
(Wuzburg,
1989).
Pembengkakan granula pati pada air dingin bersifat terbatas karena penetrasi air ke dalam granula dihambat oleh ikatan intermolekuler yang kuat. Pembengkakan pati pada mualnya bersifat reversible, yaitu granula pati yang telah mengalami pembengkakan dapat kembali pada kondisi semula. Namun dapat menjadi irreversible jika terus dipanaskan dengan suhu tinggi. Sifat pembengkakan yang reversible masih dapat bertahan sampai pada pemanasan suhu sekitar 60⁰C (Osman, 1972). Granula pati tersusun atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1997). Berdasarkan kedua fraksi tersebut, terdapat dua jenis pati yaitu pati waxy dan non waxy. Pati non waxy mengandung komponen amilosa dan amilopektin, sedangkan pati waxy hanya mengandung amilopektin dan tidak mengandung amilosa atau sangat sedikit mengandung amilosa (Nakamura et al., 1995). Fraksi dari pati yang terlarut dalam air panas adalah amilosa. Amilosa merupakan rantai lurus dari unit D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Amilosa terbentuk dari monomer glukosa yang bergabung dengan mengeliminasi satu molekul air pada setiap ikatan (Juliano, 1985). Sebuah rantai amilosa mengandung lebih dari 250-2000 unit D-glukosa yang satu sama lain diikat oleh ikatan α-(1,4) glikosidik. Kadang-kadang pada amilosa juga terdapat percabangan molekul, namun jumlahnya sangat terbatas. Percabangan akan timbul kurang lebih setelah 500 unit glukosa membentuk rantai lurus. Rantai lurus dan sifat hidrofilik amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabakan afinitas amilosa dalam air akan menurun. Berat amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dari bijibijian (Hodge dan Osman, 1976). Kadar amilosa pada biji-bijian menetukan tingkat kepulenannya. Misalnya, beras dengan amilosa rendah (beras ketan) memiliki sifat pulen, sedangkan beras dengan kadar amilosa tinggi (beras
pera) memiliki sifat pera. Umumnya pati memiliki kadar amilosa sekitar 25% (Fennema, 1996). Kadar amilosa bervariasi tergantung jenis sumber patinya (Tabel 6).
Tabel 6. Kadar amilosa beberapa jenis pati Jenis pati
Kadar amilosa (%)
Jagung
28
Kentang
21
Tapioka
17
Gandum
28
Hotong (foxtail millet)*
11.4-27.1
Sumber: Fennema (1996) * Fujita et al. (1996)
Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik gel karena kehadiran amilosa berpengaruh terhadap pembentukan gel (Parker, 2003). Kumpulan molekul amilosa dalam air akan meningkat sampai terbentuk endapan bila konsentrasi rendah, dan terbentuk gel bila konsentrasi tinggi. Amilosa dapat menyerap air sekitar 4 kali beratnya dan menyebabkan viskositas meningkat. Karena amilosa normalnya tidak mudah larut dalam air dingin, kelarutannya dalam air dapat dibuat dengan memanaskan amilosa pada suhu tinggi. Dengan adanya pemanasan dapat juga menyebabkan depolimerisasi amilosa, walaupun pada suhu tinggi larutan amilosa sangat cepat membentuk gel. Dalam larutan encer, amilosa memiliki bentuk lilitan. Lilitan ini cenderung menghilang jika pati larut. Bila ditambahkan senyawa seperti lemak, iodine , atau alifatik alkohol primer, sebuah struktur kompleks atau heliks dengan 6 atau 7 unit glukosa per siklus akan terbentuk dengan molekul pengkompleks yang menempati pusat rongga heliks. Apabila amilosa berintaraksi dengan iodine, iodin akan menempati pusat rongga kompleks dan memberikan kompleks warna biru (Baianu, 1992). Struktur kimia amilosa disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia amilosa
Amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekul yang kuat. Hal ini terjadi bila larutan pekat amilosa didinginkan perlahan-lahan. Kristalisasi sering pula dilihat sebagai retrogradasi, yaitu proses di mana molekul pati menjadi tidak larut dalam air secara irreversible sehubungan dengan pembentukan ikatan molekul yang kuat. Fraksi kedua dari pati adalah amilopektin. Amilopektin merupakan polimer dari D-glukosa yang mempunyai rantai lurus dan percabangan. Amilopektin mempunyai ikatan α-(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya dan ikatan β-(1,6)-D-glukosa pada titik percabangannya (Gambar 4). Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Winarno, 1997). Molekul amilopektin tersusun atas baratus-ratus cabang dan mempunyai sekitar 105-106 unit glukosa dengan berat molekul sekitar 1.6 x107-1.6x108 gram/mol. Amilopektin memiliki bentuk globula yang memeperlihatkan peningkatan pembengkakan dan viskositas yang lebih tinggi dibanding amilosa dalam larutan.
Gambar 4. Struktur kimia amilopektin
Pomeranz (1971) menerangkan bahwa struktur cabang amilopektin merupakan salah satu hasil mekanisme enzim yang memecah rantai linear
yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan 25 unit glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak. Proses kristalisasi amilopektin berbeda dengan amilosa. Pada amilopektin, kristalisasi terhalang oleh rantai cabang polimer. Hal ini dikarenakan kristalisasi dipengaruhi oleh keteraturan dan bentuk polimer. Menurut Hart dan Schemets (1972), dua jenis fraksi molekul pati tersebut, yaitu amilosa dan amilopektin yang memiliki sifat berbeda. Amilosa yang merupakan polimer linear dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa memiliki sifat larut dalam air panas. Amilopektin yang merupakan polimer bercabang dengan ikatan β-(1,6)-D-glukosa tidak larut dalam air panas. Derajat polimerisasi amilosa dan amilopektin pun berbeda. Derajat polimerisasi amilopektin lebih tinggi dibandingkan amilosa. Amilosa memberikan kompleks warna biru sewaktu bereaksi dengan iodin, sedangkan amilopektin memberikan kompleks warna ungu sewaktu berinteraksi dengan iodin (Baianu, 1992). Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan sifat-sifat komponen amilosa dan amilopektin Sifat komponen Struktur Panjang rantai rata-rata
Amilosa Tidak bercabang 103
Amilopektin Bercabang 20-25
Derajat polimerisasi Stabilitas dalam larutan Pewarnnaan Iod Konversi menjadi maltose % • Alfa amylase • Beta amylase • Debranching enzyme, kemudian alfa amilase
103 Tidak stabil/retrogradasi Biru tua
104-105 Stabil Ungu
110 70 100
90 55 75
Sumber: Pomeranz (1971)
C. GELATINISASI PATI Gelatinisasi pati merupakan aspek yang sangat penting dalam pembuatan mi hotong instan. Pati tergelatinisasi digunakan sebagai pembentuk struktur
sekaligus sebagai bahan pengikat. Pati yang tergelatinisasi merupakan bahan pengikat matriks adonan yang cukup baik. Beberapa prinsip dasar gelatinisasi yaitu konsep dan mekanisme gelatinisasi pati, suhu gelatinisasi, serta sifat birefringence.
Konsep dan mekanisme gelatinisasi pati Gelatinisasi pati adalah proses kompleks bersifat irreversible. Pada saat gelatinisasi pati granula pati membengkak secara irreversible (Winarno, 1997). Gelatinisasi pati ditandai dengan menghilangnya garis polarisasi (birefringence), peningkatan transmitan optis dan peningkatan viskositas (Swinkels, 1985). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi dimulai ketika pati diberi air. Pemberian air pada pati akan memisahkan kristalinitas amilosa dan menggangu struktur heliksnya. Granula pati kemudian mengembang dan volumenya menjadi 20-30 kalinya. Apabila panas dan air diberikan terus maka amilosa mulai keluar dari granula. Apabila proses gelatinisasi terus berlangsung maka granula menjadi pecah dan terbentuklah struktur gel koloidal. Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi pati terjadi dalam tiga tahap antara lain: (1) granula pati menyerap air sampai batas hampir mengembang di mana air secara perlahan-lahan berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula; (2) granula mengembang secara cepat karena menyerap air sampai kehilangan sifat birefringencenya; (3) jika cukup air dan suhu terus naik maka granula pecah sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan kemampuan membengkaknya terbatas. Air yang dapat diserap hanya sampai mencapai 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air dengan suhu 55⁰C-65⁰C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati tidak dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat
kembali lagi pada kondisi semula (irreversible). Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi mengalami pengembangan volume jika suspensi air-pati dipanaskan (Hodge dan Osman, 1976). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Greenwood dan Munro, 1979). Selanjutnya pemanasan akan lebih merenggangkan misela, sehingga air akan lebih banyak terperangkap dalam granula. Setelah itu granula semakin membesar hingga pati kehilangan struktrur kristalnya sama sekali (Hodge dan Osman, 1976). Selain fenomena gelatinisasi, pati juga dapat mengalami retrogradasi dan sineresis. Apabila pati yang telah tergelatinisasi tidak mengalami pemanasan lebih lanjut, maka pati tersebut akan mengalami pengkristalan. Pengkristalan tersebut terus meluas dan menyebabkan pengerasan struktur gel (Osman, 1972). Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian air masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Bila gel dibiarkan selama beberapa hari, air tersebut dapat keluar dari bahan. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel pati disebut sineresis (Osman, 1972 dan Winarno, 1997).
Perubahan-perubahan selama gelatinisasi pati Perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati mengalami hidrasi dan pengembangan, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang dengan diikuti semakin kuatnya ikatan antar granula. Kekentalan/viskositas semakin meningkat dan kejernihan pasta juga akan menigkat (Collison, 1968). Pada proses gelatinisasi terjadi perubahan struktur granula yaitu perusakan ikatan hidrogen yang berfungsi mempertahankan struktur dan integrites granula pati. Kerusakan intergritas granula pati menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk ke dalam medium
air. Sesudah perusakan granula selesai viskositas/kekentalan pati menurun. Kenaikan dan penurunan viskositas selama pemanasan dapat dideteksi dengan Brabender amilograph berupa kurva amilografi (Greenwood dan Munro, 1979 dan Hood, 1980). Ketika suhu naik, granula mengembang dan saling bersinggungan satu dengan yang lain, sehingga viskositas/kekentalan pasta granula pati meningkat. Proses ini berlangsung terus hingga viskositas maksimum tercapai. Pada kondisi ini daya kohesif struktur asli granula pati terlalu lemah. Kemudian dilanjutkan dengan struktur pasta dan viskositas yang menurun, karena kehilangan integritas granula pati. Menurut McCready (1970), dengan semakin naiknya suhu suspensi pati dalam air maka pengembangan granula semakin besar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di sisi lain molekul-molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula. Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecah sehingga molekulmolekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya perubahan kekentalan. Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadi gelatinisasi pati dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula tersebut. Indeks refraksi pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air dan hal inilah yang menyebabkan sifat translusen (Winarno, 1997).
Apabila proses gelatinisasi pati diamati pada variasi suhu untuk setiap jenis pati maka akan terlihat beberapa perubahan. Perubahan tersebut adalah terbentuknya larutan bening dari larutan keruh. Terjadinya pengembangan butir granula pati bersamaan dengan berubahnya kekeruhan tersebut. Berubahnya ukuran granula di dalam air panas mula-mula terjadi dengan tibatiba. Pada awalnya, perubahan ini sangat cepat kemudian terjadi peningkatan kekentalan larutan. Hal ini dapat dipergunakan untuk mengetahui suhu gelatinisasi pati (Winarno, 1997).
Suhu gelatinisasi pati Suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat birefringence pati mulai menghilang (Fennema, 1996). Menurut Winarno (1997), suhu gelatinisasi pati adalah suhu pada saat granula pati pecah. Menurut Damardjati (1986), dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi berupa kisaran. Menurut Winarno (1997), suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Selain konsentrasi, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh pH larutan. Menurut Winarno (1997), apabila pH terlalu tinggi, pembentuan gel semakin cepat tercapai, namun akan cepat turun kembali. Apabila pH terlalu rendah terbentuknya gel lambat dan apabila pemanasan diteruskan, viskositas akan turun kembali. Winarno (1997) menambahkan, penambahan gula juga berpengaruh pada kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan. Hal ini disebabkan gula akan mengikat air sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat, akibatnya suhu gelatinisasi lebih tinggi. Adanya gula menyebabkan gel lebih tahan lama terhadap kerusakan mekanik. Gelatinisasi juga dipengaruhi oleh kehadiran lemak. Lemak dapat membentuk kompleks dengan pati sehingga memperlambat gelatinisasi. Tidak adanya lemak pada pati mengakibatkan peningkatan pembengkakan pati (Kar et al., 2005). Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan menggunakan viscometer. Suhu gelatinisasi juga dapat ditentukan dengan polarized microscop (Winarno,
1997). Suhu gelatinisai tidak memiliki hubungan yang jelas dengan kandungan amilosa pati. Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan amilopektin (Juliano, 1985). Suhu gelatinisasi pati tidak sama pada berbagai jenis pati (Fennema, 1996). Dalam suatu larutan pati, suhu gelatinisasi pati berupa kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula pati yang bervariasi dalam hal ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Granula-granula dari jenis pati yang sama mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi sehingga energi yang diperlukan untuk pembengkakan granula juga berbeda. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Suhu gelatinisasi beberapa jenis sumber pati Sumber pati Beras Ubi jalar Tapioka Jagung Gandum Tepung ketan giling/komersial *) Kentang **) Buru hotong (foxtail millet) ***) Sumber: Fennema (1996) **) Sugiyono (2004)
*)
Suhu gelatinisasi (⁰C) 65-73 82-83 59-70 61-72 53-64 68-78 58-68 62.5-75.1 Ridwan et al. (1996) Fujita et al. (1996)
***)
Sifat birefringence pati Sifat birefringence pati yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap-terang (hitam-putih) atau biru-kuning dengan pengamatan mikroskop terpolarisasi. Sifat birefringence dapat diketahui dengan melakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi (polarized microscope). Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat kristal. Pada pati mentah dan belum mendapat perlakuan akan didapati pola birefringence yang jelas daerah gelap dan terangnya. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringencenya lebih lemah jika dibandingkan pati dengan kadar amilopektin tinggi. Jika pati dapanaskan
bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang (Hoseney, 1998). Pada waktu granula mulai pecah, sifat birefringence ini akan menghilang (Winarno, 1997).
D. MI Menurut Hou, G. dan M. Kruk (1998), mi mula-mula berasal dari daratan Cina. Kemudian menyebar ke wilayah Eropa (Itali), hingga sampai kini mi sangat popular hampir di seluruh penjuru dunia terutama Asia bagian timur. Dalam bahasa Inggris mi dikenal sebagai noodle, dalam bahasa Jepang disebur ramen, udon, dan kisimen, sedangkan dalam bahasa Itali dikenal sebagai spaghetti. Bahkan di Indonesia pun mi sangat populer. Ini dibuktikan dengan banyak makanan daerah yang menggunakan bahan baku mi (Astawan, 1999). Oleh karena itu, mi dapat dikategorikan sebagai salah satu pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan utama (Sunaryo, 1985). Mi adalah bahan pangan bebentuk pipih dengan diameter 1.8 mm sampai 3.2 mm dibuat dari tepung terigu dengan penambahan telur, tapioka, melalui proses ekstrusi basah (Matz, 1962). Berdasarkan ukuran diameter, produk mi dibedakan menjadi tiga yakni spaghetti (2.8-6.9 mm), mi komersial pada umumnya (1.8-3.2 mm), dan vermicelli (kurang dari 1.02 mm), sedangkan menurut Hou dan Kruk (1998) serta Syamsir et al. (2008) mi dikelompokkan menjadi so-men (sangat tipis, lebar 0.7-1.2 mm), hiya-mugi (tipis, lebar 1.31.7 mm), udon (standar, lebar 1.9-3.8 mm), dan hira-men (datar, lebar 5.0-6.0 mm). Berdasarkan asal bahan baku produk mi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu mi keruh (noodle) dari bahan tepung terutama terigu dan mi transparan (transparant noodle) dari bahan pati misalnya bihun (Yustiareni, 2000). Berdasarkan penggunaan garam alkali, mi dibedakan menjadi mi putih (menggunakan garam) dan mi kuning (menggunakan garam alkali) (Hou, G. dan M. Kruk, 1998). Berdasarkan bahan bakunya, mi dikelompokkan ke dalam mi gandum, mi pati, dan mi beras (Kim, 1999). Berdasarkan proses pengolahannya, mi berbasis terigu dibedakan menjadi 4 jenis yaitu, mi basah mentah, mi basah matang, mi kering, dan mi instan (Syamsir et al., 2008).
Secara umum, proses pembuatan mi terdiri dari tahap pencampuran bahan, pembuatan adonan, pencetakan, dan pengukusan. Proses pencetakan mi atau ekstrusi dilakukan dengan memipihkan adonan dengan alat roll press dan dicetak menjadi alur-alur sampai diameter 1-2 mm sehingga dihasilkan mi mentah. Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100⁰C selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu kamar akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (penjemuran matahari 60⁰C selama 7 jam) menjadi mi kering. Setelah proses ekstrusi, bila digoreng pada suhu 140150⁰C sampai kadar air 3-5% dan dikeringkan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985). Walaupun pada prinsipnya mi dibuat dengan cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mi, seperti mi segar/mentah (raw Chinese noodle), mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried noodle), dan mi instan (instant noodle) (Astawan, 1999). Proses pembuatan mi non-terigu seperti mi bihun, soun, dan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi terigu. Pada proses pembuatan mi nonterigu, adonan mengalami proses pengukusan terlebih dahulu sebelum pembentukan lembaran adonan (pencetakan). Pengukusan ini dilakukan untuk menggelatinisasi pati di dalam adonan sehingga adonan menjadi lebih kompak dan mudah dicetak.
E. MI INSTAN Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3551-1994 mi instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan umumnya dikenal dengan nama ramen. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar, yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan. Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal ada dua macam mi instan. Proses
pengeringan
mi
yang
dilakukan
dengan
cara
menggoreng,
menghasilkan mi instan goreng (instant fried noodle), sedangkan proses pengeringan mi dengan udara panas disebut mi instan kering (instant dried
noodle). Mi instan goreng (instant fried noodle) mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan (Astawan, 1999). Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah terigu atau tepung beras atau tepung lainnya dan air. Bahan tambahan yang digunakan antaara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna, dan bumbu-bumbu (Sunaryo, 1985). Menurut Astawan (1999), tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Keistimewaan terigu di antara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mi menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Fungsi garam dapur adalah memberi rasa, memperkuat tekstur mi, dan mengikat air. Selain itu garam dapur dapat juga menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein. Penggunaan telur terutama putih telur harus secukupnya saja, karena pemakaian yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan mi menyerap air (daya rehidrasi) waktu direbus. Soda abu (baking powder) merupakan campuaran natrium karbonat dan kalium karbonat (1:1). Soda abu berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi, meningkatkan kahalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 1999). Bahan pengembang digunakan untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak selama penggorengan mi. Bahan tersebut seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) kadang-kadang juga ditambahkan. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air serta mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan (Sunaryo, 1985). Fungsi dari zat warna adalah memberi warna khas mi sedangkan bumbu-bumbu digunakan untuk memberi flavor tertentu.
Proses pembuatan mi instan terigu terdiri dari beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain persiapan bahan, mixing, rolling dan noodle formation, cutting, steaming, molding, frying, cooling, dan packaging. Proses mixing ini bertujuan untuk mendistribusikan ingridient secara seragam dan membentuk adonan yang kompak. Rolling adalah pembentukan lembaran yang tipis dengan ukuran disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian lembaran adonan dibentuk menjadi untaian mi (noodle formation). Proses selanjutnya adalah cutting yaitu proses pemotongan untaian mi dengan ukuran tertentu. Proses steaming adalah proses pengukusan untaian mi (Kim, 1996). Mi yang telah dipotong sesuai ukuran dan telah dikukus, diletakkan di sebuah wadah yang disebut molder sebelum dilanjutkan ke penggorengan. Proses ini disebut molding. Penggorengan adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai media. Penggorengan dilakukan pada suhu 140150ºC selama 60-70 detik untuk mi dalam kemasan biasa dan 157-160ºC selama 90-120 detik untuk mi dalam cup. Selama penggorengan terjadi penghilangan air dalam jumlah yang besar dan penyerapan minyak ke dalam mi. Selain itu, penggorengan juga memberikan proses gelatinisasi tambahan pada pati. Oleh karena itu, selama proses penggorengan akan terjadi kehilangan bobot mi sekitar 30-32% (mi dalam kemasan biasa) dan 32-33% (mi dalam cup) (Kim, 1996). Tahap terakhir yaitu pendinginan (cooling) sebelum mi dikemas. Pendinginan dilakukan dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Proses pendinginan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi minyak karena suhu mi setelah digoreng cukup tinggi yaitu 140ºC. Setelah didinginkan, mi langsung dikemas (Kim, 1996).
F. PENGGORENGAN Proses penggorengan merupakan proses untuk memasak bahan pangan menggunakan minyak pangan dalam wajan penggorengan (Ketaren, 1986). Menurut Djatmiko dan Enie (1985), penggorengan merupakan suatu proses mempersiapkan bahan pangan dengan pemanasan dalam wajan yang berisi minyak goreng. Teori penggorengan adalah pada saat bahan pangan
dimasukan ke dalam minyak panas, temperatur permukaan bahan pangan pun meningkat dengan cepat dan airnya menguap (Fellows, 2000). Tujuan utama penggorengan adalah untuk mendapatkan karakteristik warna, rasa, aroma pada permukaan makanan yang digoreng. Kualitas bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi reaksi Maillard dan komponen yang terabsorpsi dari minyak. Faktor-faktor utama yang mengontrol perubahan rasa dan warna makanan adalah jenis minyak yang digunakan untuk menggoreng, umur, dan suhu bekas pemakaian minyak, tegangan artifisial antara minyak dan bahan minyak, suhu dan waktu penggorengan, ukuran, kelembaban, dan karakteristik permukaan bahan pangan serta perlakuan setelah penggorengan selesai (Fellows, 2000). Suhu penggorengan sangat bervariasi dan tergantung pada sifat fisiko kimia dari bahan pangan yang digoreng (Yustica, 1994). Waktu yang dibutuhkan bagi bahan pangan untuk tergoreng sempurna tergantung pada tipe bahan pangannya, suhu minyak, metode penggorengan (shallow atau deep fat frying), ketebalan bahan pangan, dan perubahan kaulitas bahan pangan yang dihasilkan (Fellows, 2000). Terdapat dua metode utama dalam penggorengan komersial berdasarkan metode transfer panas. Metode penggorengan tersebut adalah shallow dan deep fat frying. Shallow frying merupakan metode yang cocok untuk bahan pangan dengan area permukaan dan rasio volume yang besar seperti irisan bacon, telur dadar, dan burger. Sedangkan metode deep fat frying merupakan kombinasi konveksi minyak panas dan konduksi minyak ke dalam bahan pangan (Fellows, 2000). Peralatan yang diperlukan untuk menggoreng adalah wajan/ketel dan kompor sebagai sumber panas (Yustica, 1994). Yustica (1994) menambahkan bahwa wajan adalah alat dari logam berbentuk bulat cekung yang umum digunakan untuk menggoreng, sedangkan ketel memiliki dasar yang datar /tidak cekung. Ketel terdiri dari dua bentuk umum yaitu ketel dengan dinding dangkal yang biasa digunakan untuk proses pan fat frying dan ketel dengan dinding dalam sering digunakan untuk proses deep fat frying (Yustica, 1994).
Penggorengan makanan ringan di industri pangan biasanya dilakukan dengan menggunakan metode deep fat frying. Mekanisme masuknya minyak ke dalam bahan pangan dalam metode deep fat frying terdiri dari tiga tahap yaitu surface wetting, capillary action, dan vacuum absorption (Fellows, 2000). Bahan pangan mentah dimasukkan ke dalam penggorengan berisi minyak panas dan terjadi interaksi dengan minyak di seluruh permukaan bahan yang dinamakan surface wetting. Setelah seluruh permukaan bahan pangan terselimuti minyak, penggorengan memasuki tahap selanjutnya yaitu tahap capillary action. Pada tahap tersebut minyak akan masuk secara kapiler ke dalam pori-pori bahan pangan tetapi belum meresap ke dalam bagian dalam atau bagian tengah bahan pangan. Bahan pangan digoreng dengan pengatur suhu dan lamanya bervariasi tergantung jenis dan ukuran bahan pangan yang digoreng. Setelah bahan pangan matang, bahan diangkat dan ditiriskan. Pada saat inilah terjadi tahap vacuum absorption. Pada tahap ini, yaitu saat bahan pangan ditiriskan dari minyak dan diletakan di udara luar, tekanan udara di dalam bahan pangan rendah sedangkan tekanan udara di lingkungan tinggi sehingga udara mengalir dari lingkungan ke dalam bahan pangan membawa serta minyak yang ada di permukaan bahan sehingga seluruh minyak masuk ke dalam bahan pangan.
G. UMUR SIMPAN DENGAN METODE AKSELERASI Institute of food Technologist di dalam Arpah (2001) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifatsifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Umur simpan menurut Floros (1993) adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan
irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu, hasil reaksi tersebut menyebabkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui batas masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun gizinya meskipun penampakannya masih bagus. Pendugaan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk pangan selama selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karena itu dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume. 3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) di mana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS sering disebut juga metode konvensional, yaitu penetapan kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal
sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001). Berbeda halnya dengan metode ESS, metode ASS membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati perubahan parameter yang berlangsung (Arpah, 2001). Metode akselerasi ini pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1.) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2.) Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika di mana mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahapan-tahapannya tidak menjadi fokus perhatian, namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung. Laju reaksi pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001). Pendekatan semi empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan produk pangan akan mengikuti pola reaksi.
A
produk intermediat
B
Dalam kondisi ini konsentrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi yang diukur adalah perubahan konsentrasi intermediet terhadap waktu.
Perubahan konsentrasi dianggap proporsional terhadap penurunan konsentrasi produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B. n
atau n
Di mana: [A] = penurunan konsentrasi A yang dikorelasikan dengan mutu produk [B] = peningkatan konsentrasi B yang dikorelasika dengan mutu produk t = waktu k = laju reaksi n = ordo reaksi Persamaan ini diterapkan pada penentuan umur simpan dilakukan dengan menentukan konsentrasi kriteria A atau B di mana pengaruhnya terhadap mutu mencapai tingkat kerusakan yang tidak dapat diterima konsumen. Menurut Syarief dan Halid (1993), untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode akselerasi diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan kadaan mutu produk yang diamati. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, atau uji mikrobiologi, seperti daya serap O2, kadar peroksida, kadar vitamin C, skor uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba, dan sebagaimya. Jenis parameter yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak, parameternya biasanya ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berbentuk bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk suatu produk, yang diukur tidak semua parameter, melainkan salah satunya saja, yakni parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen. Metode akselerasi (model Arrhenius) dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu. Kemudian tabulasi data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan dalan persamaan Arrhenius sehingga dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) dan umur simpan masing-masing produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan. Pada model Arrhenius, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap parameter produk pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi laju reaksi berbagai
senyawa kimia yang akan semakin mempercepat pula penurunan mutu produk (Haryadi et al., 2006). Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius menurut Syarief dan Halid (1993) adalah: 1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. 3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari prosesproses yang terjadi sebelumnya. 4. Suhu selama penyimpanann tetap atau dianggap tetap. Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar, 2006). Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan nilai temperatur yang telah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan temperatur menggunakan persamaan Arrhenius: k = koe-(Ea/RT) atau dalam bentuk logaritma ln k = ln ko – {Ea/R}1/T atau dalam bentuk persamaan linear y = b +ax di mana y = ln k; x = 1/T
1. Reaksi Ordo Nol Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak (ketengikan pada snacks dan dry food), pencoklatan enzimatis dan non enzimatis (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo nol yaitu: (Arpah, 2001)
Keterangan: dA
= perubahan parameter mutu
dt
= waktu penyimpanan
k
= konstanta
Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka: At = Ao – k.t Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan: t = (A0 – At)/k Keterangan: t
= umur simpan hari
Ao
= nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula
At
= nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluwarsa (titik kritis)
k
= konstanta
2. Reaksi Ordo Satu Penurunan mutu yang mengikuti ordo reksi satu meliputi ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza, 1982 dan Haryadi et al., 2006). Persamaan ordo satu yaitu: (Arpah, 2001)
= k [ A] Keterangan: [ A] = konsentrasi A Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:
atau ln (At) = ln (Ao) – k.t sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan:
3. Reaksi Ordo Lain Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti orde ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al., 2006). Contoh persamaan reaksi ordo dua yaitu: (Arpah, 2001) = k [ A]2 Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:
Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan:
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama terdiri dari tepung hotong, tepung terigu dan air. Bahan-bahan lainnya antara lain: CMC, garam dapur (NaCl), baking powder, dan minyak goreng. Kemasan yang digunakan adalah kemasan plastik Low Density Polyethylene (LDPE). Bahan yang digunakan untuk analisis lemak adalah pelarut heksana dan kertas saring. Bahan yang digunakan untuk analisis protein adalah air raksa oksida (HgO), bubuk kalium sulfat (K2SO4), larutan asam sulfat (H2SO4) pekat, campuran larutan NaOH-Na2S2O3, larutan asam borat (H3B03) jenuh 3%, larutan asam klorida (HCl) 0.02N, aquades, indikator campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol. Bahan yang digunakan untuk analisis bilangan TBA adalah aquades, larutan asan klorida (HCl) 4M, bubuk pereaksi TBA, asam asetat glasial 90%, dan bahan antibusa (antibuiha). Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung hotong adalah cabinet dryer, disc mill, dan vibrating screen. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan mi hotong instan diantaranya adalah timbangan analitik, gelas ukur, hand mixer, baskom, alat pembuat lembaran mi (sheeter), alat pemotong untaian mi (slitter), jangka sorong, tray, pisau, alat penggorengan deep fat fryer, dan sealer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kadar air adalah timbangan analitik, mortar, cawan alumunium, oven pengering, dan desikator. Alat yang digunakan untuk analisis kadar abu adalah neraca analitik, mortar, cawan porselen, pembakar bunsen, tanur, dan desikator. Alat yang digunakan untuk analisis kadar protein diantaranya adalah neraca analitik, mortar, spatula, labu dan alat destilasi Kjeldahl, botol semprot, pengaduk kaca, gelas piala, corong kaca, labu Erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet tetes, pipet mohr, bulb, dan buret. Alat yang digunakan untuk analisis kadar lemak diantaranya adalah neraca analitik, mortar, spatula, labu dan alat ekstraksi Soxhlet, serta oven pengering. Alat yang digunakan untuk analisis bilangan TBA diantaranya adalah timbangan analitik, hand blender, spatula, gelas ukur,
pipet mohr, pipet tetes, tabung reaksi bertutup, gelas piala, labu Erlenmeyer, alat pemanas, dan alat destilasi (kondensor). Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik diantaranya chromameter dan texture analyzer. Alat yang digunakan untuk penyimpanan adalah inkubator.
B. METODE PENELITIAN Penelitian diawali dengan pembuatan tepung hotong dan analisis proksimat tepungnya. Kemudian, dilakukan percobaan pembuatan mi hotong instan yang meliputi penentuan jumlah air, penentuan tingkat substitusi terigu, dan penentuan parameter proses pembuatan mi hotong instan. Selanjutnya, dilakukan penentuan produk terbaik melalui uji organoleptik. Produk terbaik kemudian dilakukan analisis proksimat dan fisik. Produk tersebut kemudian dilakukan pendugaaan umur simpannya menggunakan parameter organoleptik ketengikan dan pengukuran bilangan TBA. Gambaran umum tentang penelitian disajikan pada Gambar 5.
Seleksi proses
Parameter analisis
Pembuatan tepung hotong
Tepung hotong 100 mesh
Penentuan jumlah air (30, 40, 50, dan 60%)
Visual: Karakter adonan
Dipilih satu jumlah air optimal
Penentuan tingkat substitusi terigu (10, 20, 30, 40, 50, dan 60%)
Visual: Karakter lembaran, untaian mi, dan kemudahan dibentuk
Dipilih tiga substitusi terigu untuk adonan
Penentuan waktu pengukusan mi basah (0, 5, 10, dan 15 menit)
Visual: Warna dan penyerapan minyak
Waktu pengukusan terpilih
Penentuan waktu penggorengan (30, 60, 90, 120 , dan 150 detik)
Visual: Tingkat kematangan, kerenyahan, dan warna
Waktu penggorengan terpilih
Tiga mi hotong instan terpilih
Penentuan mi hotong instan terbaik
Organoleptik mi mentah dan matang: warna, aroma, rasa, dan tekstur
Mi hotong instan terbaik
Analisis proksimat dan fisik
Pendugaan umur simpan
Gambar 5. Diagram alir penelitian
Umur simpan
1. Pembuatan Tepung Hotong Pembuatan tepung hotong dilakukan untuk membuat tepung hotong dari biji hotong yang sudah disosoh. Pembuatan tepung hotong menggunakan metode penggilingan kering. Proses pembuaan tepung hotong dilakukan dengan beberapa tahap yaitu pencucian, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan 100 mesh (Gambar 6).
Biji hotong sosoh
Pencucian Pengeringan (cabinet dryer) Penggilingan (disc mill) Pengayakan 100 mesh (vibrating screen)
Tepung hotong Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tepung hotong
Pembuatan tepung hotong menggunakan alat berupa mesin penepung tipe disc mill. Pengayakan tepung hotong yang dihasilkan menggunakan alat pengayak tepung tipe vibrating screen. Ilustrasi dari kedua alat tersebut disajikan pada Gambar 7.
a b Gambar 7. (a) Mesin penepung biji hotong tipe disc mill, dan (b) Alat pengayak tepung tipe vibrating screen
2. Seleksi Perlakuan Proses Pembuatan Mi Hotong Instan Formulasi pembuatan mi hotong instan substitusi tepung terigu mengacu pada formulasi mi hotong instan (Wibowo, 2008). Formula tersebut terdiri atas 100% tepung hotong, 30% air, 1% CMC, 1% garam dapur, dan 0.3% baking powder (basis 300 gram tepung hotong). Pada tahap penelitian ini dilakukan tiga langkah yaitu penentuan jumlah air, penentuan tingkat substitusi terigu, dan penentuan parameter proses pembuatan mi hotong instan.
a. Penentuan Jumlah Air Formula yang digunakan untuk menentukan jumlah air terdiri atas 90 gram tepung hotong, 10 gram tepung terigu, 1 gram CMC, 1 gram garam dapur, dan 0.3 gram baking powder. Digunakan substitusi terigu 10% karena ditujukan menggunakan terigu seminimal mungkin. Jumlah air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60 % dari bahan campuran tepung. Digunakan penambahan air dimulai dari 30% sesuai hasil penelitian Wibowo (2008). Prosesnya adalah, pertama bahan kering tepung hotong, tepung terigu, dan CMC dicampur menggunakan
hand mixer, kemudian
dicampurkan dengan larutan garam dan baking powder. Formula mi kemudian dibuat menjadi adonan, kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan dilakukan terhadap karakter adonan pada saat sheeting. Jumlah air terpilih kemudian digunakan dalam penentuan tingkat substitusi terigu. b. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu Formula untuk menentukan tingkat substitusi terigu dilakukan untuk enam macam tingkat substitusi, yaitu 10, 20, 30, 40, 50, dan 60% dari bahan campuran tepung. Dengan penambahan air berdasarkan hasil penentuan jumlah air optimal yang diperoleh pada tahap penentuan jumlah air. Pengamatan dilakukan terhadap karakter lembaran pada saat sheeting dan untaian mi pada saat slitting. Alat untuk sheeting dan slitting disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Alat untuk sheeting dan slitting
c. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi Hotong Instan Proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi tepung terigu mengacu pada proses pembuatan mi instan terigu pada umumnya. Pada tahap ini dilakukan percobaan pengaruh proses terhadap produk mi hotong instan. Bahan kering dilakukan proses pencampuran dengan mixer, kemudian ditambahkan dengan larutan garam dan baking powder hingga homogen. Adonan selanjutnya dilakukan proses sheeting dengan cara melewatkan adonan pada dua roller penegepres dimulai dari jarak yang lebar, kemudian jarak antara dua roller yang semakin menyempit. Sheeting dilakukan sampai terbentuk lembaran mi yang elastis dengan ketebalan yang sesuai. Lembaran mi selanjutnya dilakukan slitting dan dipotong menjadi untaian mi, lalu dibentuk sehingga diperoleh mi basah. Parameter proses yang dilakukan percobaan adalah waktu pengukusan dan waktu penggorengan mi basah. Mi basah dilakukan percobaan pengukusan pada suhu + 100⁰C selama 0, 5, 10, dan 15 menit. Pengamatan yang dilakukan adalah warna dan tingkat penyerapan minyak saat dilakukan penggorengan. Dari hasil pengamatan dipilih satu waktu pengukusan. Selanjutnya dilakukan percobaan waktu penggorengan. Parameter proses yang paling berpengaruh terhadap produk mi hotong instan adalah waktu penggorengan, sehingga dilakukan percobaan penggorengan dengan waktu yang berbeda. Waktu penggorengen yang dicobakan yakni selama 30, 60, 90, 120, dan 150
detik. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kematangan, kerenyahan dan warna produk yang dihasilkan. Diagram alir percobaan pembuatan mi hotong instan disajikan pada Gambar 9.
Bahan kering: tepung hotong, terigu, dan CMC
Proses mixing
Larutan garam, baking powder
Pembuatan lembaran/sheeting (ketebalan + 1.8 mm) Pemotongan untaian mi/slitting Pengukusan/steaming (suhu + 100⁰C, selama 0, 5, 10, dan 15 menit) Penggorengan (suhu + 160⁰C, selama 30, 60, 90, 120, dan 150 detik)
Pendinginan
Mi hotong instan Gambar 9. Diagram alir percobaan pembuatan mi hotong instan
3. Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi Model Arrhenius (Arpah, 2001; Haryadi et al., 2006; Kusnandar dan Sutrisno, 2006) Pendugaaan umur simpan dilakukan terhadap produk mi hotong instan terbaik (mi hotong mentah) yang diperoleh dari uji organoleptik. Percobaan untuk menentukan umur simpan dilakukan dengan metode Arrhenius. Tahap-tahap pendugaan umur simpan yaitu penetapan mutu produk mi hotong/sampel, proses penyimpanan produk, penentuan batas kadaluwarsa, penentuan ordo reaksi, dan perhitungan umur simpan.
a. Penentuan atribut mutu produk sebagai faktor kritis penentu umur simpan Penetapan atribut mutu produk dilakukan dengan mengamati perubahan mutu produk yang paling cepat mengalami kerusakan dan paling berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Penentuan atribut mutu ini dilakukan melalui pengamatan sampel setiap hari yang disimpan pada suhu tinggi, yaitu 80°C. Pengamatan dilakukan hingga terdeteksi terjadinya perubahan mutu yang dapat diuji secara sensori. Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2008), mutu yang paling cepat mengalami parubahan pada mi hotong instan adalah timbulnya off flavor (ketengikan). Hal ini didukung dengan pernyataan Kusnandar (2006) bahwa apabila produk mengandung lemak nabati (misal minyak sawit), maka produk berpotensial mengalami reaksi oksidasi lemak dan menyebabkan terjadinya ketengikan. Kusnandar (2006) juga menambahkan apabila penolakan disebabkan oleh faktor ketengikan, maka atribut mutu yang dapat dipilih adalah uji asam lemak bebas, uji bilangan TBA, atau uji sensori terhadap derajat ketengikan. Dengan demikian, perubahan mutu yang diamati pada pendugaan umur simpan mi hotong instan adalah ketengikan dengan uji organoleptik (subyektif) dan pengukuran bilangan TBA (obyektif). b.
Proses penyimpanan produk dan penentuan batas kadaluwarsa Penyimpanan dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu dari produk/sampel. Perubahan mutu yang diamati meliputi perubahan secara subyektif (pengukuran dengan organoleptik) dan obyektif berupa
nilai
bilangan
TBA
(pengukuran
dengan
alat/instrument/analisis). Sampel disimpan dalam kemasan plastik LDPE pada suhu 32°C, 45°C, dan 50°C. Pengamatan subyektif (uji organoleptik) dilakukan pada hari ke-1, 7, 12, 16, 21, 26, dan seterusnya sampai sampel benar-benar tidak dapat diterima lagi oleh panelis (batas kadaluwarsa) dalam bentuk penilaian dengan skor. Analisis pengukuran bilangan TBA dilakukan selama sebulan setiap 7 hari yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28.
Selain itu ditetapkan juga batas kritis mutu produk. Pengamatan obyektif (analisis TBA) juga dilakukan pada saat sampel tidak diterima yaitu saat batas kadaluwarsa. Uji organoleptik menggunakan 16 orang panelis semi terlatih. Panelis merupakan mahasiswa dari Depatemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang sudah cukup mengenal dan mampu mendeteksi perubahan
mutu
suatu
produk.
Panelis
dilatih
dengan
cara
memperkenalkan beberapa contoh sampel yang sudah mengalami tingkat perubahan mutu yang telah ditetapkan dengan skor tertentu. Skor yang digunakan yaitu skor 1-5. c. Penentuan ordo reaksi Penentuan ordo reaksi dilakukan setelah data perubahan nilai mutu produk diperoleh. Data-data hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan nilai mutu diplot pada masing-masing suhu penyimpanan (32°C, 45°C, dan 50°C) menggunakan plot ordo nol dan satu. Kemudian, persamaan regresi linear dari masing-masing data tersebut ditentukan sehingga diperoleh ordo reaksi yang paling sesuai (dengan nilai R2/korelasiyang lebih dekat ke nilai 1). d. Perhitungan umur simpan Penetapan umur simpan dengan model persamaan Arrhenius dilakukan menurut tahap-tahap berikut (Arpah, 2001): 1. Plot data hasil pengukuran TBA dengan waktu penyimpanan masing-masing suhu penyimpanannya. 2. Dari grafik, kemudian diperoleh nilai slope yang merupakan konstanta laju kecepatan reaksi (k) pada suhu tersebut. Satuan (k) adalah unit TBA/ hari atau unit/hari untuk ordo reaksi nol dan 1/hari untuk ordo reaksi satu. 3. Tabulasi nilai parameter persamaan Arrhenius: k, ln k, dan 1/T (K). 4. Kemudian dilakukan regresi linear yang menghubungkan suhu penyimpanan (1/T) sebagai sumbu X, dengan nilai ln k masingmasing suhu penyimpannya sebagai sumbu Y.
5. Dari grafik, kemudian diperoleh nilai slope yang merupakan nilai (-Ea/R) sedangkan intersep merupakan nilai ln ko. 6. Dengan bantuan model persamaan Arrhenius dapat ditentukan nilai k pada suhu penyimpanan yang dicari. 7. Tentukan nilai bilangan TBA awal (pada t=0 atau Ao) serta konsentrasi (nilai) TBA pada waktu kadaluwarsa (pada t=t atau At). 8. Hitung umur simpan menggunakan persamaan kinetika reaksi ordo nol/satu Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan suhu yang diinginkan. Nilai k dihubungkan dengan suhu menggunakan persamaan Arrhenius: k = koe-(Ea/RT) Umur simpan ordo nol:
Umur simpan orde satu:
Keterangan: t
= umur simpan (hari)
Ao = nilai mutu awal/konsentrasi mula-mula At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas kadaluwarsa (titik kritis) k
= konstanta (laju reaksi)
Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K) R = konstanta gas (1.986 kal/mol)
C. METODE ANALISIS 1. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan 1-7. Skor 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=netral, 5=agak suka, 6=suka, 7=sangat suka. Uji rating hedonik dilakukan untuk menganalisis tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk mi hotong instan berdasarkan kriteria warna, rasa, aroma, dan tekstur. Uji ini dilakukan terhadap produk mi hotong mentah yang belum dimasak dan mi matang yang telah dimasak dengan air. Dalam penyajiannya, mi hotong matang setelah pemasakan tidak ditambahkan bumbu penyedap, hanya dilakukan pemasakan dengan air mendidih sehingga diperoleh mi yang siap untuk dikonsusmsi. Pengamatan dibedakan menjadi mi mentah dan mi matang.
2. Analisis Statistik Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis ragam terhadap data hasil uji organoleptik menggunakan software komputer yaitu SPSS 13.0 for Windows. Jika berdasarkan analisis ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan digunakan untuk menetukan produk mana yang berbeda secara nyata. Berdasarkan uji ini, maka dicari satu produk terbaik. Pada produk terbaik ini dilakukan analisis proksimat, fisik, dan pendugaan umur simpan.
3. Analisis Proksimat Analisis proksimat ini dilakukan terhadap tepung hotong dan mi hotong instan substitusi terigu terbaik. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat.
a. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3-5 gram contoh dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 g). Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. (berat awal contoh – berat akhir contoh) Kadar air (%) =
berat awal contoh
x 100%
b. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin
dikeringkan
terlebih
dahulu
dalam
oven,
kemudian
didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang, kemudian dibakar di atas pembakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai abu berwarna putih dan beratnya konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu (%) =
berat abu berat awal contoh
x 100%
c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC 960.52 yang Dimodifikasi) Sebanyak 0.1-0.25 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 mg
HgO,
dan
2.0
+
0.1
ml
H2SO4.
Kemudian
contoh
dididihkan/didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan jernih. Sampel didinginkan, lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjehldahl dicuci dengan air 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cuciannnya
dimasukan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8 – 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakan Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 3 % dan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0.2 % dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3 kemudian isi Erlemeyer diencerkan sampai 50 ml. Lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi. Titrasi dihentikan sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal yang sama dilakukan pula terhadap blanko. (ml HCl contoh – ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 %N=
mg contoh
x 100%
Kadar protein (%) = %N x faktor konversi
Faktor konversi yang digunakan adalah 5.68 untuk tepung hotong (Owusu-Apenten, 2002) dan 5.71 untuk mi hotong instan substitusi terigu.
d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105oC hingga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator.
Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut : Kadar lemak (%) =
berat lemak
x 100%
berat awal contoh
e. Kadar Karbohidrat (By Difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan : Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% air+% abu+% protein+% lemak)
4. Analisis Fisik Analisis fisik dilakukan terhadap produk akhir mi hotong terbaik yang mencakup mi mentah dan mi matang. Analisis untuk mi mentah meliputi warna, daya serap air, kehilangan padatan akibat pemasakan, dan waktu optimum rehidrasi. Analisis untuk mi matang meliputi kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan.
a. Warna dengan Chromameter (Hutching, 1999) Pengukuran warna dilakukan dengan Minolta Chroma Meters CR310. Sebelum digunakan, chromameter harus dikalibrasi. Kalibrasi menggunkan plat putih dengan nilai Y=92.89, x=0.3178, dan y=0.3338. Pengukuran warna dilakukan dengan cara sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih sampai mi terisi penuh dan rapat dalam cawan petri. Kemudian dilakukan pemotretan menggunakan chromameter. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai ⁰hue. ⁰hue = tan -1 (b/a) Sistem warna yang digunakan adalah sistem warna Hunter. Sisten warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan sampel, memiliki skala dari 0 sampai dengan 100 di mana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan
sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel. Nilai a positif menunjukkan warna merah dan nilai a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala sari -80 sampai dengan 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Nilai b posotif menunjukkan warna kuning dan nilai b negatif menunjukkan waran biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai dengan 70.
b. Kekerasan,
Kelengketan,
dan
Kekenyalan
dengan
Texture
Analyzer TAXT-2 Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Kekerasan dan kelengketan dinyatakan dalam satuan gram force (gf), sedangkan kekenyalan dinyatakan dalam satuan gram second (gs). Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai berikut: Test Mode and Option
: TPA
Pre test speer
: 2.0 mm/s
Test speed
: 0.1 mm/s
Post test speed
: 2.0 mm/s
Repture test speed
: 1.0 mm/s
Distance
: 75.0%
Force
: 100g
Time Count
`
: 5 sec :2
Pengukuran dilakukan dengan cara mi sebanyak 2 untai dengan panjang melebihi diameter probe diletakkan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (force) dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Kekenyalan diperoleh dari rasio antar dua area kompresi.
c. Daya Serap Air dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985) Sebanyak 5 gram sampel yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam air mendidih (100˚C) selama 4.5-6.5 menit (tergantung lama pemasakan), mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Segera setelah itu dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan ditimbang (A). Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven 105˚C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya konstan. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (B).
Keterangan: A
= berat cawan + sampel setelah direhidrasi
B
= berat cawan + sampel setelah dikeringkan
C
= berat cawan
Kam
= kadar air mula-mula
Bsm
= berat sampel mula-mula
d. Waktu Pemasakan Air sebanyak 300 ml dipanaskan sampai mendidih, kemudian mi dimasukkan dalam air mendidih, dan dibiarkan sampai matang. Penentuan waktu pemasakan dihitung dari mulai mi dimasukkan ke dalam air mendidih sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi yaitu saat ketika inti bagian dalam mi yang berwarna putih menghilang. Percobaan waktu pemasakan dimulai dari waktu 4 menit kemudian bertingkat dengan selang 0.5 menit. Waktu pemasakan ditentukan dari uji organoleptik pada panelis.
5. Analisis Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti, lalu dimasukkan ke dalam blender, kemudian ditambah 50 ml aquades dan dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuatitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Selanjutnya ditambahkan + 2.5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1.5). Sampel didestilasi dengan menggunakan kondensor (alat destilasi) hingga diperoleh cairan destilat sebanyak 50 ml selama + 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 5 ml. Pereaksi TBA ditambahkan sebanyak 5 ml, kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit. Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehida per kg sampel. Perhitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan: Bilangan TBA = 7.8 x A528 Keterangan: TBA = thiobarbituric acid (mg malonaldehid per kg sampel) A528 = Nilai absorbansi pada 528 nm
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBUATAN TEPUNG HOTONG 1. Pembuatan Tepung Hotong Proses pembuatan tepung hotong dari biji hotong dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap pengeringan, penyosohan, pemisahan, dan penepungan. Biji hotong yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan langsung dari daerah asalnya, yaitu Pulau Buru, Maluku. Biji hotong yang digunakan juga telah mengalami proses penyosohan, sehingga tidak perlu disosoh. Proses pembuatan tepung hotong dari biji hotong tersosoh dengan metode penepungan kering. Proses ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pencucian, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Proses pencucian bertujuan untuk membersihkan endosperm biji dari sekam yang masih tertinggal dan sisa dedak yang masih menempel supaya tepung yang dihasilkan memiliki penampakan yang baik. Proses penepungan dipengaruhi oleh kadar air biji. Kadar air biji akan menentukan rendemen hasil penepungan. Kadar air yang tepat dapat menghasilkan rendemen yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2008), penepungan dengan kadar air biji tersosoh sebesar 11.16% menghasilkan rendemen hasil penepungan dan pengayakan 100 mesh sekitar 47.00%. Rendemen tepung hasil penepungan dan pengayakan 100 mesh pada penelitian ini adalah 31.10%.
2. Analisis Proksimat Tepung Hotong Analisis proksimat tepung hotong dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia tepung hotong sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi hotong instan. Tepung hotong yang dianalisis diperoleh dari hasil penepungan kering. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil analisis proksimat tepung hotong jika dibandingkan dengan biji hotong disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis proksimat tepung hotong Komponen
Hotong Biji *)
Tepung*)
Tepung
Air (% bb)
9.03
6.82
9.39
Abu (% bk)
1.26
0.97
2.04
Protein (% bk)
14.95
13.12
14.73
Lemak (% bk)
3.37
3.11
7.69
Karbohidrat (% bk)
81.32
82.80
75.54
*)
Sumber: Herodian et. al. (2008)
Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa nilai kadar abu dan kadar lemak tepung hotong lebih tinggi daripada biji hotong. Padahal seharusnya lebih rendah dari biji hotong. Hal ini dimungkinkan karena proses pembersihan biji dari aleuron dan lembaga kurang sempurna. Aleuron pada serealia/bibi-bijian merupakan bagian yang banyak mengandung lemak, protein, dan mineral, sedangkan pada lembaga terdapat sejumlah besar lemak. Kadar protein tepung hotong lebih rendah daripada biji hotong.
B. PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN 1. Penentuan Jumlah Air Dalam penentuan jumlah air pada pembuatan mi hotong instan substitusi terigu menggunakan bahan dengan jumlah tepung terigu 10% karena ditujukan menggunakan terigu seminimal mungkin. Dengan demikian adonan terdiri atas 90 gram tepung hotong, 10 gram terigu, 1 gram CMC, 1 gram garam dapur, dan 0.3 gram baking powder. Jumlah air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60 % dari bahan campuran tepung. Digunakan penambahan air dimulai dari 30% sesuai hasil penelitian Wibowo (2008), bahwa dengan penambahan air 30% menghasilkan mi hotong instan yang baik. Pertama bahan kering tepung hotong, tepung terigu, dan CMC dicampur menggunakan
hand mixer, kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan baking powder. Formula mi kemudian dibuat menjadi adonan, kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pada penambahan air sebesar 30% adonan belum dapat dibentuk karena masih berbentuk butiran tepung, sedangkan pada penambahan air sebesar 40% adonan mulai dapat dibentuk walaupun masih belum dapat dicetak
menjadi
lembaran.
Pada
penambahan
air
sebesar
50%
menghasilkan adonan yang baik karena dapat dicetak menjadi lembaran dan tidak lengket. Pada penambahan air sebesar 60% adonan menjadi sangat lembek dan lengket ketika dibentuk menjadi lembaran sehingga mudah putus. Karakter adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda disajikan pada Table 10.
Tabel 10. Karakter adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda untuk terigu 10% dari bahan campuran tepung Jumlah air Karakter adonan 30%
Adonan belum terbentuk, masih berbentuk butiran tepung sehingga belum dapat dicetak menjadi lembaran
40%
Adonan dapat dibentuk tetapi belum dapat dicetak menjadi lembaran
50%
Adonan terbentuk dengan mudah, dapat dicetak menjadi lembaran, dan tidak lengket
60%
Adonan menjadi sangat lembek dan lengket sehingga mudah putus ketika dicetak menjadi lembaran
Salah satu hal yang menjadi faktor kritis pada pembuatan mi adalah jumlah air. Jumlah air mempengaruhi pembentukan adonan dan lembaran mi. Jika penambahan air kurang, adonan menjadi keras, pecah-pecah, rapuh, dan sulit dibentuk, sedangkan air yang terlalu banyak menjadikan adonan basah, lengket, dan sulit dibentuk. Dalam pembuatan mi, air berfungsi melarutkan garam dan membentuk gluten. Jika air yang ditambahkan kurang adonan menjadi rapuh dan sulit dicetak, sedangkan jika berlebih adonan menjadi sangat lengket (Syamsir et. al., 2008).
Penambahan air < 50% menyebabkan adonan sulit dicetak, sedangkan penambahan
air
>50%
menyebabakan
adonan
menjadi
lengket.
Berdasarkan pengamatan pada sifat adonan, jumlah air yang ditambahkan sebanyak 50% dari berat campuran tepung. Jumlah air tersebut cukup untuk membentuk gluten sehingga adonan sudah dapat dicetak menjadi lembaran. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter adonan pada saat sheeting, jumlah air yang dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi hotong instan selanjutnya adalah sebanyak 50% dari berat campuran tepung. Jumlah air ini merupakan jumlah yang optimal untuk menghasilkan mi hotong instan yang baik.
2. Penentuan Tingkat Substitusi Terigu Penentuan tingkat substitusi terigu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penambahan terigu untuk menghasilkan sifat/karakter lembaran mi yang elastis pada saat proses sheeting dan sifat/karakter untaian mi yang baik pada saat proses slitting/pemotongan. Pada tahap ini dilakukan enam macam percobaan tingkat substitusi terigu yaitu dengan substitusi sebesar 10, 20, 30, 40, 50 dan 60% dari bahan campuran tepung, dengan penambahan air yang sama (yaitu 50%). Dari enam macam formula ini diambil tiga tingkat susbstitusi terigu yang menghasilkan produk mi hotong instan yang memiliki karakter yang cukup baik. Percobaan menunjukkan bahwa penambahan air sebanyak 50% pada substitusi terigu 30, 40, dan 50% menghasilkan kondisi adonan yang baik (Tabel 11).
Tabel 11. Karakter lembaran dan untaian mi pada tingkat substitusi terigu berbeda dengan penambahan air 50% dari bahan campuran tepung Jumlah Karakter lembaran Karakter untaian mi terigu 10%
Lembaran mi lama dibentuk Untaian mi tidak dapat dan masih sangat rapuh
20%
dibentuk
Lembaran mi lama dibentuk Untaian mi tidak dapat dan masih rapuh
30%
Lembaran
mi
dibentuk mudah Untaian
mi
dapat
dibentuk, masih agak rapuh dibentuk, dipotong, dan namun
sudah
dapat disisir
dilakukan slitting 40%
Lembaran
mi
dibentuk
dan
mudah Untaian
Lembaran
mi
dibentuk
dan
disisir mudah Untaian
mi
dapat
dapat dibentuk, dipotong, dan
dilakukan slitting 60%
dapat
dapat dibentuk, dipotong, dan
dilakukan slitting 50%
mi
disisir
Lembaran mi menjadi sangat Untaian
mi
menjadi
lembek dan lengket sehingga lengket ketika dibentuk. mudah putus ketika dilakukan sheeting dan slitting
Tingkat substitusi terigu sebesar 10% belum dapat menghasilkan lembaran mi yang elastis dan belum dapat dicetak menjadi untaian mi. Hal ini disebabkan tidak cukup adanya gluten untuk membentuk lembaran mi yang elastis. Menurut Syamsir et. al. (2008), terigu memegang peranan penting dalam pembentukan tekstur mi. Protein gliadin dan glutenin di dalam terigu berperan dalam pembentukan gluten saat dilakukan pengadonan dengan air. Gluten inilah yang membuat mi menjadi kenyal dan tidak mudah putus.
Seperti diketahui hotong tidak memiliki protein gluten seperti layaknya terigu. Padahal untuk membentuk lembatan mi yang elastis diperlukan adanya gluten. Untuk itu diperlukan substitusi tepung terigu yang cukup banyak untuk membentuk gluten dan menghasilkan tekstur mi yang baik. Pada tingkat substitusi terigu sebesar 30% sudah menghasilakan teksur mi yang cukup baik. Hal ini karena adanya cukup gluten yang terbentuk selama proses pengadonan. Namun, pada tingkat substitusi terigu sebesar 60% justru adonan mi menjadi sangat lengket dan lembek. Hal ini menunjukkan tingkat substitusi sebesar itu sudah berlebihan. Tekstur yang lengket disebabkan interaksi gluten dengan air. Menurut Syamsir et. al. (2008), air berfungsi melarutkan garam dan membentuk gluten. Air yang berlebih justru akan merusak pembentukan gluten sehingga tekstur mi justru menjadi lengket dan liat. Berdasarkan pengamatan terhadap lembaran dan untaian mi, maka dipilih tiga macam formula mi hotong instan dengan substitusi tepung terigu yaitu tingkat substitusi sebesar 30%, 40%, dan 50% yang selanjutnya disebut formula A, B, dan C. Formula tersebut adalah formula mi hotong instan dengan substitusi tepung terigu yang akan dilakukan analisis lanjutan berupa uji organoleptik untuk menentukan produk yang paling disukai oleh konsumen.
3. Proses Pembuatan Mi Hotong Instan Proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi tepung terigu mengacu pada proses pembuatan mi instan terigu pada umumnya yaitu meliputi pencampuran, pembentukan adonan dan lembaran, pencetakan mi dan pemotongan, penggorengan dan pendinginan. Pencampuran bahan bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan campuran yang homogen dan membentuk adonan. Pembentukan adonan dan lembaran menggunakan roll press dengan jalan melewatkan adonan secara berulang-ulang di antara dua roll logam sehingga adonan semakin menyatu dan kompak satu sama lain. Lembaran dibuat bertahap dari yang
tebal sampai ke tipis dengan cara mengatur jarak roll. Berdasarkan percobaan diketahui bahwa jarak anatara dua roll yang baik adalah sebesar 1.8 mm. Jarak ini menghasilkan lembaran mi dengan ketebalan sekitar 1.8 mm yang cukup elastis dan tidak terlalu mudah sobek ketika dilakukan slitting. Pencetakan mi atau slitting merupakan tahapan di mana lembaran adonan dipotong dan disisir menjadi untaian mi. Untaian mi dipotong sesuai panjang yang didinginkan dan menghasilkan mi basah. Untaian mi basah yang baik adalah dengan karakter mudah disisir dan tidak saling lengket satu dengan yang lain. Mi basah terigu pada umumnya mengalami pengukusan menggunakan uap panas untuk mematangkan mi. Percobaan pengukusan dilakukan terhadap tiga macam mi basah dari hasil adonan terpilih yaitu mi hotong dengan substitusi terigu 30%, 40%, dan 50%. Hasil percobaan pengukusan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil percobaan pengukusan mi basah dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih Hasil Suhu (0C) Waktu (menit) 100
0
Warna mi normal
100
5
Warna mi menjadi gelap
100
10
Warna mi menjadi gelap
100
15
Warna mi menjadi gelap
Berdasarkan hasil pengamatan percobaan pengukusan (Tabel 12), pada proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi
terigu tidak
dilakukan proses pengukusan. Apabila dilakukan pengukusan, mi hotong instan substitusi tepung terigu akan menjadi berwarna gelap dan ketika dilakukan penggorengan menjadi menyerap minyak berlebihan. Hal ini disebabkan selama pengukusan reaksi pencoklatan karena adanya panas. Selain itu juga karena terjadi penyerapan air ke dalam mi, sehingga ketika proses penggorengan terjadi penyerapan minyak yang banyak ke dalam mi. Menurut Kim (1999), selama penggorengan terjadi penghilangan air
dalam jumlah yang besar dan penyerapan minyak ke dalam mi, serta memberikan proses gelatinisasi pada pati. Penggorengan mi instan terigu dilakukan pada suhu 145-150°C selama 60-70 detik. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Tujuan dari proses penggorengan diantaranya : (1) melakukan proses pemanasan pada bahan pangan; (2) pemasakan; dan (3) pengeringan pada bahan pangan yang digoreng (Dewi, 2009). Optimasi proses penggorengan perlu dilakukan untuk mengetahui waktu dan suhu yang tepat untuk mendapatkan produk dengan nilai organoleptik yang baik. Produk digoreng dengan menggunakan deep fat fryer. Produk yang dibuat dalam basis 100 gram bahan baku digoreng dalam 6 liter minyak goreng agar seluruh bagian produk terendam dalam minyak. Percobaan penggorengan dilakukan terhadap tiga macam mi basah dari hasil adonan terpilih yaitu mi hotong dengan substitusi terigu 30%, 40%, dan 50%. Hasil percobaan penggorengan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik produk mi hotong instan hasil penggorengan dengan waktu yang berbeda terhadap tiga macam mi basah dari adonan terpilih 0 Hasil Suhu ( C) Waktu (detik) 160
30
Warna kekuningan, belum matang
160
60
Warna kekuningan, belum matang
160
90
Warna kekuningan, belum matang
160
120
Bagian dalam matang, warna kuning kecoklatan
160
150
Matang, warna terlalu kecoklatan
Berdasarkan hasil Tabel 13, penggorengan mi hotong instan substitusi terigu dilakukan pada suhu 160°C selama 120 detik (2 menit). Ketiga mi basah dari tiga adonan terpilih yakni, substitusi terigu 30%, 40%, dan 50% menggunakan waktu penggorengan yang sama. Dalam hal ini, digunakan suhu dan waktu yang lebih tinggi daripada suhu penggorengan mi instan
terigu karena jumlah air yang ditambahkan lebih banyak yaitu 50%. Penggorengan yang lebih singkat menyebabkan mi hotong kurang matang, sedangkan jika terlalu lama warna mi akan semakin kecoklatan (gelap). Ilustrasi proses penggorengan dengan alat deep fat fryer disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Proses penggorengan dengan alat deep fat fryer
Tahap terakhir yaitu pendinginan yang disertai penirisan minyak pada mi
setelah
penggorengan.
Pendinginan
dilakukan
dengan
cara
mengeringanginkan mi sebelum dikemas. Tujuannya untuk mencegah terjadinya pengembunan uap panas akibat penggorengan. Menurut Astawan (1999), apabila pendinginan tidak sempurna, uap air panas yang tersisa mengembun dan menempel pada permukaan mi sehingga memicu tumbuhnya jamur. Menurut Kim (1996), pendinginan dapat mencegah oksidasi minyak karena suhu tinggi dan mengeluarkan minyak pada mi. 1.
Berdasarkan penelitian maka diperoleh proses pembuatan mi hotong instan dengan substitusi terigu adalah mula-mula bahan kering dilakukan proses pencampuran hingga homogen kemudian ditambahkan larutan garam dan baking powder dan dilakukan mixing hingga diperoleh adonan berbentuk bulatan. Adonan selanjutnya dibuat menjadi lembaran dengan cara melewatkan pada roll pengepres hingga terbentuk lembaran dengan ketebalan 1.8 mm. Lembaran adonan selanjutnya dipotong dengan mesin pemotong, sehingga lembaran menjadi bentuk mi basah. Mi basah kemudian dibentuk dan dilakukan penggorengan selama 2 menit dengan suhu 160⁰C. Setelah digoreng mi instan ditiriskan dan didinginkan (Gambar 11).
Bahan kering: tepung hotong, terigu, CMC
Proses mixing
Larutan garam, baking powder
Pembuatan lembaran/sheeting (ketebalan + 1.8 mm)
Pemotongan untaian mi/slitting
Penggorengan (suhu + 160⁰C, selama 2 menit)
Pendinginan
Mi hotong instan Gambar 11. Diagram alir proses pembuatan mi hotong instan substitusi terigu 4. Penentuan Produk Mi hotong Instan Terbaik Pemilihan produk terbaik berdasarkan tingkat kesukaan konsumen dilakukan dengan uji rating hedonik. Uji rating hedonik dilakukan untuk menganalisis tingkat kesukaan atau penerimaan panelis terhadap produk mi hotong instan berdasarkan kriteria warna, rasa, aroma, dan tekstur.
i. Warna Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Menurut Winarno (1997), penilaian mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa faktor di antaranya cita rasa, warna tekstur, dan nilai gizinya. Akan tetapi sebelum faktor-faktor ini dipertimbangkan, secara visual faktor warna kadang-kadang sangat menentukan. Suatu nilai produk pangan yang dinilai
bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memeberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator keseragaman atau kematangan. Maupun baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan (Winarno, 1997). Warna dalam suatu produk pangan umumnya dipengaruhi oleh formula bahan baku dan proses pengolahan. Dalam hal ini yang mempengaruhi warna produk mi hotong instan antara lain tepung hotong, terigu, proses pencampuran, dan proses penggorengan.
ii. Aroma Salah satu pengujian kesukaan produk pangan dapat dilakukan dengan pengujian aroma. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan indra pambau/penciuman. Winarno (1997) menjelaskan bahwa aroma makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut dan pembau dapat mengenal enak tidaknya suatu makanan. Pada saat proses pembuatan mi hotong instan, mi mengalami tahap penggorengan. Aroma pada mi instan hotong mentah ini banyak ditentukan oleh tahap tersebut.
iii. Rasa Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tertentu selain faktor warna produk. Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997). Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al. 1999).
iv. Tekstur Tekstur pada mi mentah berhubungan dengan kerenyahan dan kerapuhan/mudah tidaknya dipatahkan. Menurut Winarno (1997), tekstur
dan konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan pangan tersebut. Tekstur pada mi matang berhubungan dengan kekenyalan, elastisitas, kelembutan, dan kemudahan saat digigit.
Uji rating hedonik dilakukan terhadap produk mi hotong yang belum direhidrasi (mentah) dan mi yang telah direhidrasi
(matang). Dalam
penyajiannya, mi hotong matang tidak ditambahkan bumbu penyedap, hanya disajikan seperti mi basah tanpa kuah mi. Pengamatan dibedakan menjadi mi mentah dan matang. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan yaitu pada kisaran satu sampai tujuh. Skor 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=netral, 5=agak suka, 6=suka, 7=sangat suka. Tiga macam formula mi hotong instan dengan substitusi tepung terigu yang dilakukan uji organoleptik yaitu formula A, B, dan C masing-masing dengan tingkat substitusi sebesar 30%, 40%, dan 50% . Ketiga macam mi instan mentah tersebut memiliki penampakan yang tidak terlalu berbeda. Warna ketiganya sama kuning kecoklatan. Mi instan formula A untaiannya kurang menyatu antara satu dengan yang lain. Mi instan formula C untaiannya saling menyatu (lengket) satu dengan yang lain. Penampakan terbaik adalah mi instan formula B (Gambar 12).
a
b
c
Gambar 12. Mi hotong instan mentah: (a) formula A, (b) formula B, dan (c) formula C v.Uji Pembobotan Uji pembobotan digunakan untuk menentukan produk terbaik. Uji pembobotan ini dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu atribut
dari mi hotong instan yang memegang peranan penting dan sangat mempengaruhi penerimaan panelis. Panelis diminta mengurutkan atribut dari yang sangat penting (skor 4) sampai tidak penting (skor 1) yang mempengaruhi
penerimaan
panelis
terhadap
mi
hotong
instan.
Berdasarkan penelitian Wibowo (2008), hasil pembobotan pada setiap atribut mi hotong disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil pembobotan pada setiap atribut mi hotong Atribut
Bobot (%)
Warna
15.7
Aroma
17.7
Tekstur
30.3
Rasa
36.3
Total
100
Sumber: Wibowo (2008)
Nilai persentase bobot dari masing-masing atribut (Tabel 14) kemudian dikalikan dengan skor setiap atribut masing-masing panelis pada uji hedonik (mentah dan matang). Skor terbobot kemudian dijumlahkan untuk masing-masing atribut hingga diperoleh skor kesukaan terbobot. Skor terbobot = pesentase bobot x skor kesukaan
a. Mi Mentah Mi instan dapat juga dikonsumsi tanpa dimasak terlebih dahulu, yakni langsung dimakan sebagai makanan camilan seperti layaknya snack, maka perlu dilakukan juga uji organoleptik terhadap mi hotong instan substitusi terigu mentah. Hasil pembobotan skor kesukaan mi hotong instan mentah setiap panelis disajikan secara lengkap pada Lampiran 5. Hasil pembobotan skor kesukaan panelis terhadap mi mentah (skor kesukaan terbobot mi mentah) kemudian diolah dengan analisis ragam (ANOVA) untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang nyata (signifikan) di antara ketiga sampel (formula A, B, dan C)
dari segi kesukaan. Jika terdapat perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil pengolahan tersebut disajikan pada Gambar 13.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Sampel A = substitusi terigu 30% Sampel B = substitusi terigu 40% Sampel C = substitusi terigu 50%
Gambar 13. Hubungan antara ketiga sampel mi mentah dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis Hasil analisis ragam terhadap skor kesukaan terbobot mi hotong instan mentah disajikan pada Lampiran 6. Hasil tests of betweensubjects effects menunjukkan signifikansi dari sampel adalah sebesar 0.228 dan nilai tersebut lebih besar dari nilai alpha (0.05). Hal ini menunjukkan nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan mentah tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% di antara ketiga sampel. Perlakuan tingkat substitusi terigu yang berbeda tidak mempengaruhi kesukaan panelis terhadap produk mi hotong instan mentah yang dihasilkan. Hal ini disebabkan substitusi terigu hanya mempengaruhi sifat mi apabila mi dalam keadaan basah. Apabila mi dalam keadaan kering, faktor yang lebih berpengaruh adalah tepung hotong. Tepung hotong merupakan bahan utama dalam pembuatan mi ini, sehingga faktor yang paling dominan menentukan sifat mi mentah adalah tepung hotong.
b. Mi Matang Mi instan dapat dikonsumsi melalui dua cara yaitu tanpa dimasak terlebih dahulu atau dimasak menjadi makanan pokok pengganti nasi. Pada umumnya mi instan dikonsumsi setelah dimasak terlebih dahulu, maka perlu dilakukan juga uji organoleptik terhadap mi hotong instan substitusi terigu matang. Hasil pembobotan skor kesukaan mi hotong instan matang setiap panelis disajikan secara lengkap pada Lampiran 7. Hasil pembobotan skor kesukaan panelis terhadap mi matang (skor kesukaan terbobot mi matang) kemudian diolah dengan analisis ragam (ANOVA) untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang nyata (signifikan) di antara ketiga sampel (formula A, B, dan C) dari segi kesukaan. Jika terdapat perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil pengolahan tersebut disajikan pada Gambar 14.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Sampel A = substitusi terigu 30% Sampel B = substitusi terigu 40% Sampel C = substitusi terigu 50%
Gambar 14. Hubungan antara ketiga sampel mi matang dengan nilai skor kesukaan terbobot panelis Hasil analisis ragam terhadap skor kesukaan terbobot mi hotong instan mentah
disajikan pada Lampiran 8. Hasil tests of between-
subjects effects menunjukkan signifikansi dari sampel adalah sebesar 0.001 dan nilai tersebut lebih kecil dari nilai alpha (0.05). Hal ini menunjukkan nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan matang
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% di antara ketiga sampel. Hal ini menunjukkan nilai skor kesukaan terbobot panelis terhadap ketiga mi matang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa sampel B memiliki skor kesukaan terbobot paling tinggi (4.0) untuk produk yang telah dimasak (matang) dan berbeda secara signifikan dengan sampel A, namun tidak berbeda secara signifikan dengan sampel C. Nilai skor terbobot paling rendah adalah sampel A yaitu sebesar 3.6. Berdasarkan hasil pembobotan atribut uji rating hedonik baik terhadap mi matang, sampel/produk terbaik adalah sampel B, yaitu formula mi hotong instan dengan substitusi terigu 40%, penambahan air sebanyak 50% dari berat campuran tepung, dan waktu penggorengan selama 2 menit. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada hasil pembobotan mi matang, karena mi instan dikonsumsi dalam bentuk matang (setelah dimasak). Dalam hal ini dipilih sampel B karena ditujukan menggunakan bahan tepung hotong sebanyak mungkin dan penggunaan terigu sesedikit mungkin. Dengan demikian menunjukkan dengan penambahan air sebanyak 50%, tingkat substitusi terigu yang optimal untuk menghasilkan mi hotong instan yang baik adalah sebesar 40% dan waktu penggorengan selama 2 menit. Jika substitusi terigu kurang dari 40% menyebabkan mi hotong instan masih memiliki tekstur berpasir sedangkan apabila substitusi terigu lebih besar dari 40% menyebabkan mi hotong instan menjadi lengket terutama setelah dilakukan rehidrasi.
5. Analisis Proksimat dan Fisik Produk Mi Hotong Instan Terbaik a. Analisis Proksimat Analisis proksimat ini dilakukan terhadap mi hotong mentah yang terpilih. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference. Hasil analisis proksimat mi hotong instan terpilih disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil analisis proksimat mi hotong instan substitusi terigu 40% dan mi hotong instan tanpa substitusi Jenis Mi instan *)
*)
Hotong
Hotong
Hotong
tanpa
tanpa
substitusi
ubstitusi
substitusi
substitusi
terigu 40%
terigu 40%
(% bb)
(% bk)
(% bb)
(% bk)
Air
2.33
-
6.04
-
Abu
1.86
1.91
2.26
2.42
Protein
9.83
10.06
11.39
12.12
Lemak
14.66
15.01
20.53
21.96
Karbohidrat
71.33
73.03
59.79
63.50
Komponen
Hotong
Sumber: *) Wibowo (2008)
Kadar air yang terdapat dalam suatu produk pangan berpengaruh terhadap kerusakan produk pangan secara mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Kadar air yang rendah menjadikan produk pangan lebih tahan lama dari terjadinya kerusakan baik secara mikrobiologis, enzimatis, maupun kimiawi. Berdasarkan Tabel 15 mi hotong instan terpilih
memiliki
kadar
air
yang
rendah
(6.04%),
sehingga
dimungkinkan memiliki umur simpan yang lama. Nilai ini lebih tinggi daripada mi hotong instan tanpa substitusi (2.33%), namun masih memenuhi syarat SNI mi instan terigu sebesar maksimal 8% (Lampiran 1). Hal ini disebabkan adanya perbedaan formula penambahan air dari dua macam mi instan tersebut. Formula mi hotong instan (tanpa substitusi) menggunakan penambahan air sebesar 30%, sedangkan formula mi hotong instan menggunakan penambahan air sebanyak 50%. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8%, sehingga memiliki daya simpan yang lama (Astawan, 1999). Abu merupakan residu anorganik yang terdiri dari bermacammacam mineral. Kadar abu menunjukkan jumlah kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan (Faridah et al., 2008). Kadar abu produk terbaik yaitu 2.42% bk lebih besar daripada kadar abu mi
hotong instan tanpa substitusi (1.86% bk). Walaupun dalam pembuatan mi hotong instan substitusi terigu 40% ditambahkan baking powder (mengandung Na2CO3 dan K2CO3) dan garam (NaCl), kadar abu mi hotong instan ini tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan kadar abu bahan baku tepung hotong yang dipakai yaitu sebesar 2.67% bk (Tabel 9). Hal ini disebabkan penambahan baking powder hanya sebesar 0.3% dari campuran tepung, dan adanya bahan pensubtitusi yang ditambahkan (terigu). Kadar protein mi hotong instan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi. Berdasarkan hasil analisis protein dengan metode mikro-Kjeldahl, kadar protein mi hotong instan substitusi terigu 40% sebesar 12.12% bk. Nilai ini lebih besar daripada nilai kadar protein mi hotong instan tanpa substitusi (11.06% bk) dan masih memenuhi kriteria kadar protein SNI mi instan terigu yaitu minimal 8% bb (Lampiran 1). Hal ini disebabkan bahan substitusi terigu juga mengandung protein + 11.49 % (Wibowo, 2008). Kadar lemak mi hotong instan substitusi terigu sebesar 21.96% bk, sedangkan kadar lemak mi hotong instan tanpa substitusi lebih rendah yaitu 15.01% bk. Kadar lemak mi hotong instan substitusi terigu 40% lebih tinggi karena mi dengan substitusi terigu mamiliki sifat porositas yang tinggi sehingga daya serap terhadap minyak saat penggorengan tinggi. Selain itu, waktu penggorengan yang lebih lama (2 menit) menyebabkan penyerapan minyak ke dalam mi semakin banyak. Selama penggorengan, mi instan menyerap minyak hingga 20% sehingga memiliki cita rasa yang lezat (Astawan, 1999). Kadar karbohidrat dalam analisis dilakukan secara by difference. Kadar karbohidrat mi hotong instan substitusi terigu lebih rendah (63.50% bk) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (73.03% bk). Hal ini disebabkan perubahan komponen yang lain seperti kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu.
b. Analisis Warna Analisis warna dilakukan terhadap mi hotong instan yang terpilih sebelum direhidrasi menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pemantulan cahaya oleh permukaan sampel. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar (Dharmawan, 2009). Berdasarkan hasil pengukuran dengan chromameter diperoleh data nilai L sebesar 52.36, nilai a sebesar +5.67 dan nilai b sebesar +24.77. Nilai L menunjukkan kecerahan sampel, nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, sedangkan niilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Semakin tinggi nilai L, maka warna semakin cerah. Nilai ⁰hue menggambarkan kisaran warna kromatis yang disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai ⁰hue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai ⁰hue 342⁰-18⁰ 18⁰-54⁰ 54⁰-90⁰ 90⁰-126⁰ 126⁰-162⁰ 162⁰-198⁰ 198⁰-234⁰ 234⁰-270⁰ 270⁰-306⁰ 306⁰-342⁰
Daerah kisaran warna Ungu-Merah Merah Merah-Kuning Kuning Kuning-Hijau Hijau Hijau-Biru Biru Biru-Ungu Ungu
Warna mi hotong instan substitusi terigu memiliki nilai a positif dan nilai b juga positif. Berdasarkan perhitungan, nilai ⁰hue mi hotong instan adalah 77.11. Dari Tabel 16, nilai 77.11 berada pada kisaran ⁰hue 54-90, maka dapat disimpulkan bahwa warna mi hotong instan berwarna campuran merah dan kuning.
c. Analisis Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan Kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi diukur setelah mi mengalami pemasakan (rehidrasi) dari produk terbaik. Kekerasan dan kelengketan,
dan
kekenyalan
mi
diukur
secara
instrumental
menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Hasil pengukuran diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Perbandingan nilai kekerasan dan kelengketan antara mi hotong instan tanpa substitusi dengan mi hotong instan substitusi terigu 40% Produk Kekerasan Kelengketan (gram force) (gram force) Mi hotong instan tanpa 1641.33 473.43 *) substitusi Mi hotong instan 1893.10 557.35 substitusi terigu 40% Sumber :*) Wibowo (2008)
Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kekerasan (hardness) pada
mi
dapat
diakibatkan
karena
proses
retrogradasi
pati.
Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosaamilosa yang telah terdispersi ke dalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses retrogradasi pati semakin mungkin terjadi. Penggunaan bahan tambahan seperti CMC atau guar gum diharapkan dapat menyebabkan turunnya amilosa terlarut sehingga fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit. Hal ini menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lunak (Kurniawati, 2006). Mi hotong instan dengan substitusi terigu 40% memiliki nilai kekerasan yang lebih besar (1893.10 gf) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (1641.33 gf). Hal ini disebabkan dalam proses pembutan mi hotong instan tanpa substitusi, dilakukan proses pregelatinisasi dengan pengukusan sehingga pati dari tepung hotong yang
tergelatinisasi menyebabakan mi hotong instan tanpa substitusi menjadi lebih lunak. Lain halnya dengan mi hotong instan substitusi terigu 40%, tidak dilakukan proses pre-gelatinisasi sehingga mi menjadi lebih keras. Kelengketan
(gummines/stickiness/adhesiveness)
didefinisikan
sebagai absolute (-) peak yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Menurut Merdiyanti (2008), kelengketan merupakan daya rekat yang dibutuhkan untuk menarik bahan pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi. Menurut Wibowo (2008), kekerasan dan kelengketan mi salah satunya dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin. Mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki nilai kelengketan yang lebih besar (557.35 gf) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (473.43 gf). Hal ini disebabkan bahan substitusi terigu mengandung protein yang mampu membentuk gluten sehingga menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lengket dan adanya amilosa yang terlarut dari tepung hotong. Matriks protein yang terurai dan mengembang berlebihan menyebabkan kelengketan (Merdiyanti, 2008). Berbeda dengan mi hotong instan tanpa substitusi, yang hanya memiliki bahan pengikat berupa pati tergelatinisasi sehingga teksturnya menjadi lebih tidak lengket. Penyebab kelengketan mi hotong instan tanpa substitusi hanya berasal dari amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati tepung hotong. Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996) dan Merdiyanti (2008), amilosa yang terlepas dari granula pati dapat menyebabkan kelengketan. Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting (Putra, 2008). Satuan yang
digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Kekenyalan diperoleh dari rasio antar dua area kompresi. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Nilai kekenyalan mi hotong instan substitusi terigu adalah sebesar 0.285 gs.
d. Daya Serap Air (DSA) dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Pada saat mi mengalami proses pemasakan terjadi penyerapan air ke dalam mi instan. Air memasuki rongga-rongga dalam mi dan menggantikan minyak serta udara. Kemampuan mi untuk menyerap air secara maksimal disebut daya serap air (DSA). Nilai DSA dihitung dari banyaknya air yang diserap per berat kering sampel dalam satuan persen (%). DSA secara umum menggambarkan perubahan bentuk mi selama pemasakan. Semakin tinggi nilai DSA, maka akan semakin banyak air yang mampu diserap oleh mi dan semakin mengembang. Selama pemasakan mi, juga terjadi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP). KPAP (cooking loss) menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang keluar dari mi selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air perebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar dari mi selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi menjadi kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mi yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak (Putra, 2008). Nilai DSA dan KPAP mi instan hotong disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Perbandingan nilai DSA dan KPAP antara mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu 40%, dan mi instan terigu Produk DSA (%) KPAP (%) Mi hotong instan tanpa substitusi *) Mi hotong instan substitusi terigu 40% Mi instan terigu **)
160.02
19.38
157.60
10.26
138.60
10.14
Sumber: *) Wibowo (2008) **) Indriani (2005)
Berdasarkan Tabel 18, nilai DSA mi hotong instan substitusi terigu lebih rendah daripada mi hotong instan tanpa substitusi, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan mi instan terigu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu rehidrasi antara ketiga jenis mi tersebut. Mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu, dan mi instan terigu memiliki waktu rehidrasi secara berturtturut adalah 6.5 menit, 6 menit, dan 4 menit. Ini menunjukkan semakin lama waktu rehidrasi maka semakin banyak air yang terserap masuk ke dalam mi. Nilai KPAP mi hotong instan substitusi terigu juga berada di antara nilai KPAP mi hotong instan tanpa substitusi dan mi instan terigu (Tabel 18). Hal ini dimungkinkan karena perbedaan bahan baku. Bahan dasar mi berupa terigu memiliki kandungan gluten yang mampu merekatkan tekstur mi sehingga tidak mudah terlepas ketika dilakukan pemasakan (rehidrasi). Sedangkan mi hotong instan hanya memiliki bahan pengikat berupa pati tergelatinisasi yang mudah terlepas ke dalam air perebusan ketika dilakukan rehidrasi, sehingga padatan yang terlarut semakin banyak.
e. Waktu Pemasakan Waktu optimum pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan mi untuk kembali menyerap air sehingga teksturnya menjadi kenyal dan elastis. Penentuan waktu optimum pemasakan dilakukan dengan
memasak mi dalam air mendidih, dan menghitung waktu sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi. Penentuan waktu optimum pemasakan penting dilakukan untuk menghindari mi mengalami overcooked maupaun undercooked. Pada saat overcooked, mi menjadi terlewat matang sehingga teksturnya menjadi lengket bahkan hancur, sedangkan jika undercooked mi masih keras saat dimakan. Hasil pengujian terhadap panelis menunjukkan produk mi hotong instan
substitusi terigu 40% memiliki waktu optimum
pemasakan antara 4.5 sampai 6.5 menit.
C. PENDUGAAAN UMUR SIMPAN MI HOTONG INSTAN DENGAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS) Umur simpan produk pangan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan suatu produk pangan untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan pengemasan. Umur simpan produk pangan diartikan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizinya (Arpah, 2001). Sebelum dilakukan, perlu ditentukan terlebih dahulu atribut mutu yang digunakan sebagai faktor kritis penentu umur simpan mi hotong instan. Penentuan dilakukan dengan mengamati perubahan mutu yang paling cepat mengalami kerusakan dan berpengaruh terhadap penerimaan konsumen. Penentuan atribut ini dilakukan melalui pengamatan sampel mi hotong setiap hari disimpan pada suhu tinggi (80⁰C) dengan uji sensori. Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2008), mutu yang paling cepat mengalami parubahan pada mi hotong instan adalah timbulnya off flavor (ketengikan). Hal ini didukung dengan pernyataan Kusnandar (2006) bahwa bila produk terdapat kandungan lemak nabati (missal minyak sawit), maka produk berpotensial mengalami reaksi oksidasi lemak dan menyebabkan terjadinya ketengikan. Kusnandar (2006) juga menambahkan bila penolakan disebabkan oleh faktor ketengikan, maka atribut mutu yang dapat dipilih
adalah uji asam lemak bebas, uji bilangan TBA, atau uji sensori terhadap derajat ketengikan. Dengan demikian, perubahan mutu yang diamati pada pendugaan umur simpan mi hotong instan adalah ketengikan dengan uji organoleptik (subyektif) dan pengukuran bilangan TBA (obyektif). Nilai TBA awal mi hotong instan ditentukan dengan pengukuaran melalui analisis. Selain itu, skor awal organoleptik terhadap ketengikan produk ditetapkan. Skor awal organoleptik yang digunakan yaitu skor 1 (normal/sama dengan control). Setelah itu produk disimpan dalam kemasan palstik PE (polietilen) pada suhu 32⁰C, 45⁰C, dan 50⁰C. Polietilen merupakan film yang lunak, transparan, dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan fisik serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110⁰C. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polietilen yang mempunyai ketebalan 0.001 sampai dengan 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang thermoplastic, polietilen mudah dibuat kantung dengan kerapatan yang baik. Jenis plastik ini paling banyak digunakan dalam industri, kerena memiliki sifat muda dibentuk, tahan bahan kimia, jernih, dan mudah dieliminasi. PE banyak digunakan untuk mengemas buah-buahan dan sayuran segar, roti, produk pangan beku, dan tekstil (Syarief, 1989). .Pengamatan organoleptik dan pengukuran nilai bilangan TBA dilakukan pada setiap suhu penyimpanan sampai batas kadaluwarsa, yaitu sampai produk tidak dapat diterima lagi oleh panelis dengan rata-rata skor organoleptik tertentu. Penetapan batas skor yang tidak diterima lagi dilakukan melalui kuesioner yang diisi oleh panelis pada hari ke-0. Selain itu juga dilakukan pengenalan terhadap contoh produk mi hotong instan yang telah tengik. Berdasarkan kuesioner yang diisi oleh panelis, batas kritis skor organoleptik tidak diterima lagi oleh panelis ditetapkan bahwa skornya adalah 4 (tengik tercium kuat). Pada saat batas kadaluwarsa, dilakukan juga pengukuran nilai bilangan TBA yang digunakan sebagai batas kritis. Pengamatan parameter organleptik hanya dilakukan terhadap atribut ketengikan (off flavor) mi hotong instan sebelum dimasak (mentah). Uji rating
ketengikan dilakukan menggunakan 16 orang panelis semi terlatih dengan menggunakan skor penilaian antara 1 sampai dengan 5 (Kusnandar dan Sutrisno, 2006). Penilaian organoleptik dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1 = Normal (sama dengan kontrol) 2 = Off flavor (tengik) tercium sangat lemah 3 = Off flavor (tengik) tercium lemah 4 = Off flavor (tengik) tercium kuat 5 = Off flavor (tengik) tercium sangat kuat
1. Uji Organoleptik Off Flavor (Ketengikan) Mi Hotong Instan Uji organoleptik yang dilakukan adalah tingkat ketengikan terhadap mi hotong instan mentah. Pengamatan organoleptik dilakukan pada setiap suhu penyimpanan (32⁰C, 45⁰C, dan 50⁰C) pada hari ke-1, 7, 12, 16, 21, dan 26. Skor rata-rata ketengikan produk mi hotong instan pada berbagai tingkat dan hari penyimpanan disajikan pada Tabel 19. Perhitungan pendugaan umur simpan berdasarkan uji sensori terhadap tingkat ketengikan disajikan secara lengkap pada Lampiran 11.
Tabel 19. Skor rata-rata uji organoleptik ketengikan mi hotong substitusi terigu 40% pada berbagai suhu selama penyimpanan Suhu Skor ketengikan rata-rata hari ke-(unit) penyimpanan 1 7 12 16 21 (⁰C) 32 1.1 1.6 1.7 1.9 2.1 45 1.4 1.8 2.3 3.1 3.3 50 1.5 1.9 2.6 4.1 4.3
instan proses
26 2.4 3.4 4.7
Berdasarkan penyimpanan produk selama selang waktu tertentu (Tabel 19), mi hotong instan mengalami peningkatan ketengikan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya skor penilaian panelis terhadap ketengikan produk tersebut. Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada
saat tertentu, hasil reaksi tersebut menyebabkan mutu pangan tidak dapat diterima konsumen. Data nilai skor organoleptik kemudian diplotkan dengan waktu penyimpanan. Berdasarkan plot data nilai skor organoleptik ketengikan dengan waktu penyimpanan, diperoleh nilai kemiringan (slope) yang merupakan konstanta laju kecepatan reaksi (k) pada suhu tertentu (Arpah, 2001). Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 10), maka nilai korelasi pada ordo nol (R2= 0.960) lebih besar dibandingkan dengan korelasi pada ordo satu (R2= 0.946). Hal ini menunjukkan orde reaksi umur simpan mi hotong instan substitusi terigu berdasarkan organoleptik ketengikan mengikuti reaksi ordo nol. Hal ini dilihat dari nilai korelasi yang lebih mendekati ke nilai 1. Sesuai dengan pernyataan (Labuza, 1982) yang menyatakan bahwa penurunan mutu akibat oksidasi lemak yang meyebabkan ketengikan umumnya mengikuti reaksi ordo nol. Demikian juga menurut Haryadi et al., (2006), tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol salah satunya adalah oksidasi lemak penyebab ketengikan. Setelah diketahui ordo reaksinya,
maka kemudian dilakukan
perhitungan umur simpan mi hotong instan substitusi terigu 40%. Pertama, data waktu penyimpanan diplotkan dengan rata-rata nilai skor ketengikan masing-masing suhu penyimpanannya. Nilai (slope) kemiringan yang diperoleh dari persamaan regresi linear yang menghubungkan (plot) antara waktu penyimpanan dan rata-rata nilai skor ketengikan pada berbagai tingkat suhu penyimpanan dinyatakan sebagai nilai konstanta laju kecepatan reaksi (k) untuk masing-masing suhu penyimpanannya. Plot waktu penyimpanan dengan rata-rata nilai skor ketengikan pada suhu 32⁰C, 45⁰C, dan 50⁰C masing-masing disajikan pada Gambar 15, 16, dan 17.
Gambar 15. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 32⁰C
Gambar 16. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 45⁰C
Gambar 17. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai rata-rata skor ketengikan pada suhu 50⁰C
Selanjutnya, dilakukan tabulasi nilai parameter persamaan Arrhenius meliputi nilai k, ln k, dan 1/T (K). Tabulasi nilai k, ln k, dan suhu penyimpanannya disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Tabulasi nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter ketengikan secara organoleptik Suhu penyimpanan 1/T (1/K) k (unit/hari) ln k T (K) (⁰C) 32 305 0.00328 0.048 -3.036554 45
318
0.00314
0.088
-2.430418
50
323
0.00310
0.143
-1.944911
Selanjutnya, setiap suhu penyimpanannya (1/T) yang dinyatakan dalam Kelvin diplotkan dengan masing-masing nilai ln k. Hubungan antara suhu penyimpanan dengan nilai ln k disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter ketengikan secara organoleptik Batas kritis produk tidak dapat diterima lagi berdasarkan penilaian panelis adalah skor 4. Dengan demikian dapat ditentukan umur simpan mi hotong instan berdasarkan uji organoleptik ketengikan menggunakan persamaan tersebut. Berdasarkan persamaan pada Gambar 18, maka dapat diperoleh nilai energi aktivasi (Ea) dan konstanata laju penurunan mutu (ketengikan) mi hotong instan (ko).
-Ea/R
= -5665 K
Ea
= (5657 K) x (1.986 kal/mol K)
Ea
= 11250.69 kal/mol
Nila ko diperoleh sebagai berikut: ln k0
= 15.50
ko
= 5389698.476 unit/hari
Apabila produk disimpan pada suhu ruangan yang diasumsikan sebesar 27⁰C (300 K), perhitungan pendugaan umur simpan produk adalah sebagai berikut: Persamaan laju reaksi: y
= -5665x + 15.50
ln k = -5665(1/T) + 15.50 ln k = -5665(1/300) + 15.50 ln k = -3.383333 k
= 0.033934 unit/hari
atau menggunakan persamaan Arrhenius: k
= koe-Ea/RT
k
= 5389698.476 unit/hari x e{-11234.802 (kal/mol)/ (1.986 (kkal/mol K) x 300 (K))}
k
= 0.033934 unit mutu per hari
Batas kritis produk adalah suatu titik (nilai) saat produk sudah tidak dapat diterima dari segi atribut ketengikan, ditetapkan berdasarkan penilaian panelis berupa skor 4 (tengik tercium kuat), sedangkan nilai awal produk berupa skor 1 (normal/sama dengan kontrol). Dengan demikian dapat diduga umur simpan produk mi hotong instan menggunakan persamaan reaksi ordo nol sebagai berikut: Pendugaan umur simpan
= (4.0-1.0) unit/0.034161 unit/hari = 88.41 hari = 2.95 bulan
Berdasarkan perhitungan umur simpan secara subyektif (organoleptik), maka mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki masa umur simpan selama 88.41 hari atau 2.95 bulan.
2. Pengukuran Bilangan TBA Pengukuran bilangan TBA dilakukan terhadap mi hotong instan mentah. Mi hotong instan dibuat melalui proses penggorengan dengan menggunakan minyak sekali pakai dan penggunaan minyaknya pun singkat (diganti setiap
1 jam), sehingga minyak yang digunakan
berpengaruh terhadap umur simpan terutama terhadap bilangan TBA. Menurut Andarwulan et al., (1997), nilai bilangan TBA minyak semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penggorengan. Pengukuran bilangan TBA dilakukan di setiap suhu penyimpanan (32⁰C, 45⁰C, dan 50⁰C) pada hari ke-0, 7,14, 21, dan 28. Hasil rata-rata nilai pengukuran bilangan TBA disajikan pada Tabel 21. Perhitungan pendugaan umur simpan berdasarkan bilangan TBA disajikan secara lengkap pada Lampiran 12.
Tabel 21. Hasil pengukuran bilangan TBA pada berbagai tingkat suhu dan hari penyimpanan Suhu Nilai TBA hari ke- (mg malonaldehid/kg sampel) penyimpanan 0 7 14 21 28 (⁰C) 32 0.92 0.96 1.00 1.07 1.09 45 0.92 1.28 1.42 1.67 1.79 50 0.92 1.67 1.95 2.22 2.51 Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 11), maka nilai korelasi pada orde nol (R2=1.000) lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi pada ordo satu (R2=0.998). Oleh karena itu, umur simpan mi hotong instan substitusi terigu berdasarkan nilai TBA juga mengikuti orde reaksi nol. Setelah diketahui ordo reaksinya,
maka kemudian dilakukan
perhitungan umur simpan mi hotong instan substitusi terigu 40%. Pertama, waktu penyimpanan diplotkan dengan data hasil pengukuran TBA masingmasing suhu penyimpanannya. Nilai (slope) kemiringan yang diperoleh dari persamaan regresi linear yang menghubungkan (plot) antara waktu penyimpanan dan nilai rata-rata bilangan TBA pada berbagai tingkat suhu penyimpanan dinyatakan sebagai nilai konstanta laju kecepatan reaksi (k) untuk masing-masing suhu penyimpanan. Plot waktu penyimpanan dengan
data hasil pengukuran TBA pada suhu 32⁰C, 45⁰C, dan 50⁰C masingmasing disajikan pada Gambar 19, 20, dan 21.
Gambar 19. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 32⁰C
Gambar 20. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 45⁰C
Gambar 21. Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai bilangan TBA pada suhu 50⁰C
Selanjutnya, dilakukan tabulasi nilai parameter persamaan Arrhenius meliputi nilai k, ln k, dan 1/T (K). Tabulasi nilai k, ln k, dan suhu penyimpanannya disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Tabulasi nilai k dan ln k pada tiga suhu penyimpanan untuk parameter pengukuran bilangan TBA Suhu 1/T k (mg malonaldehid/(kg T penyimpanan ln k (K) (1/K) sampel.hari)) (⁰C) 32 305 0.003279 0.006 -5.12 45 318 0.003145 0.030 -3.51 50 323 0.003096 0.053 -2.94 Selanjutnya, setiap suhu penyimpanannya yang dinyatakan dalam Kelvin diplotkan dengan nilai ln k. Hubungan antara suhu penyimpanan dengan nilai ln k disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22. Hubungan antara suhu penyimpanan (1/T) dengan ln k untuk parameter pengukuran nilai bilangan TBA Berdasarkan persamaan pada Gambar 22, maka dapat diperoleh nilai energi aktivasi (Ea) dan konstanata laju penurunan mutu (peningkatan nilai TBA) mi hotong instan (ko). -Ea/R
= -11941 K
Ea
= (11941 K) x (1.986 kal/mol K)
Ea
= 23714.826 kal/mol
Nila ko diperoleh sebagai berikut: ln ko
= 34.03
ko
= 6.012 x1014 mg malonaldehid/(kg sampel.hari)
Apabila produk disimpan pada suhu ruangan yang diasumsikan sebesar 27⁰C (300 K), perhitungan pendugaan umur simpan produk adalah sebagai berikut: Persamaan laju reaksi: y
= -11941x + 34.03
ln k = -11941(1/T) + 34.03 ln k = -11941(1/300) + 34.03 ln k = -5.773333 k
= 0.003109 mg malonaldehid/(kg sampel.hari)
atau menggunakan persamaan Arrhenius: k = koe-Ea/RT k = 6.012 x1014 mg malonaldehid/kg sampel.hari x e{-23714.826
(kal/mol)/
1.986 (kkal/mol K) x 300 (K)}
k = 0.003109 mg malonaldehid/(kg sampel.hari)
Batas kritis nilai TBA adalah nilai bilangan TBA pada saat produk sudah tidak dapat diterima lagi. Batas kritis nilai TBA ditentukan dengan cara menghubungkan grafik skor rata-rata penilaian panelis terhadap ketengikan pada penyimpanan 50⁰C (Gambar 17) dengan grafik pengukuran nilai TBA pada suhu penyimpanan 50⁰C (Gambar 21). Nilai TBA kritis diperoleh pada saat panelis menyatakan tidak dapat menerima lagi
produk
(ditetapkan
skor
4).
Kemudian
ditentukan
hari
penyimpanannya dengan memasukkan ke persamaan grafik hingga diperoleh waktu penyimpanan kritis ( diperoleh penyimpanan hari ke-19). Dari waktu penyimpanan kritis inilah diperoleh batas kritis nilai TBA dengan memasukkan ke persamaan grafik yaitu sebesar 2.11 mg malonaldehid/kg sampel (Gambar 23).
Gambar 23. Penentuan batas kritis nilai bilangan TBA
Batas kritis nilai TBA adalah nilai bilangan TBA pada saat produk sudah tidak dapat diterima lagi (penyimpanan hari ke-19 pada penyimpanan suhu 50⁰C) yaitu sebesar 2.11 mg malonaldehid/kg sampel, sedangkan nilai bilangan TBA awal adalah 0.92 mg malonaldehid/kg sampel. Dengan demikian, pendugaan umur simpan produk mi hotong instan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan reaksi ordo nol sebagai berikut: Umur simpan = (2.11-0.92) mg malonaldehid/kg sampel/0.003109 mg malonaldehid/(kg sampel.hari) = 382.71 hari = 12.76 bulan Berdasarkan perhitungan umur simpan secara obyektif (pengukuran bilangan TBA), maka mi hotong instan substitusi terigu memiliki masa umur simpan selama 382.71 hari atau 12.76 bulan. Penelitian pendugaan umur simpan mi hotong instan substitusi terigu dilakukan menggunakan dua parameter yaitu parameter ketengikan secara organoleptik dan parameter pengukuran nilai bilangan TBA. Berdasarkan hasil di atas, ditunjukkan bahwa produk mi hotong instan substitusi terigu memiliki umur simpan yang lebih singkat apabila dilihat dari atribut ketengikan secara organoleptik yaitu selama 88.41 hari. Namun, memiliki umur simpan yang lebih lama apabila berdasarkan parameter bilangan
TBA (382.71 hari). Hal ini disebabkan analisis bilangan TBA memiliki keterbatasan. Keterbatasan cara ini seperti banyak makanan yang flavornya sudah rusak (tengik) tetapi kadar malonaldehidanya masih rendah untuk dideteksi (Syarief dan Halid, 1993). Untuk tujuan keamanan dan jaminan kualitas, maka biasanya digunakan umur simpan dengan waktu yang lebih singkat yaitu selama 88.41 hari.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk baru dalam bentuk mi instan, yaitu mi hotong instan substitusi terigu. Produk dibuat dengan untaian memanjang layaknya mi instan terigu dengan ketebalan + 1.8 mm. Pengembangan produk dilakukan dengan melakukan serangkaian percobaan. Cara pembuatannya didasarkan pada
cara
pembuatan
mi
instan
terigu
pada
umumnya.
Tahapan
pembuatannya, yaitu pencampuran bahan, pembentukan adonan, pembuatan lembaran, pencetakan untaian mi, dan penggorengan. Pengembangan hotong menjadi mi instan dengan substitusi terigu diharapkan mampu meningkatkan nilai ekonomis hotong dan memperbaiki karakter mi hotong instan tanpa substitusi. Formula terbaik dipilih berdasarkan penilaian panelis melalui uji rating hedonik, yaitu formula yang paling disukai dan dapat diterima panelis. Uji tersebut dilakukan terhadap mi instan sebelum dimasak (mentah) dan setelah dimasak (matang) terhadap atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Berdasarkan uji tersebut, diperoleh satu produk yang terbaik, yaitu mi hotong instan dengan substitusi terigu 40% dari campuran tepung dengan penambahan air sebanyak 50% dan dengan waktu penggorengan selama 2 menit pada suhu + 160⁰C. Berdasarkan analisis kimia produk mi instan hotong substitusi terigu memiliki kadar air 6.04%, abu 2.26%, protein 11.39%, lemak 20.53%, dan karbohidrat 59.79%. Produk tersebut mimpunyai karakter warna dengan nilai L sebesar 52.36, nilai a sebesar +5.67, nilai b sebesar +24.77 dan nilai ⁰hue 77.11 atau berwana campuran kuning-merah. Nilai kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan produk mi hotong instan substitusi terigu masing-masing berturut-turut 1893.10 gf, 557.35 gf, dan 0.285 gs. Nilai daya serap air (DSA) dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) masing masing 157.60% dan 10.26%, sedangkan waktu optimum pemasakannya antara 4.5-6.5 menit.
Pendugaan umur simpan mi hotong instan dengan metode akselerasi model Arrhenius dilakukan terhadap parameter mutu ketengikan (subyektif) dan bilangan TBA (obyektif). Berdasarkan pendugaan umur simpan dengan metode akselerasi model Arrhenius produk mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki umur simpan 2.95 bulan apabila menggunakan parameter organoleptik ketengikan, dan memiliki umur simpan 12.76 bulan jika menggunakan parameter bilangan TBA, pada penyimpanan suhu 27⁰C. Untuk jaminan kualitas maka digunakan umur simpan yang lebih cepat yaitu 2.95 bulan.
B. SARAN Memperhatikan hasil penelitian yang diperoleh serta kendala yang dihadapi selama penelitian berlangsung, maka dapat dinyatakan beberapa saran untuk melanjutkan penelitian ini, yaitu : 1. Mi hotong instan yang dihasilkan masih cukup rapuh. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan bahan pensubstitusi yang optimal untuk menghasilkan mi instan dengan karakter fisik yang lebih baik. 2. Waktu penggorengan mi hotong instan masih terlalu lama. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mempersingkat waktu penggorengan. 3. Dalam pendugaan umur simpan masih digunakan kemasan PE. Untuk lebih mengetahui umur simpan produk yang sebenarnya, perlu dilakukan penelitian menggunakan kemasan yang biasa digunakan pada produk mi instan komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Andrian.
2009.
Ketergantungan
impor
gandum
harus
dikurangi.
http://www.suarakarya-online.com [16 Juni 2009]. Andarwulan, N., Y.T. Sadikin, dan F.G. Winarno. 1997. Pengaruh lama penggorengan dan penggunaan adsorben terhadap mutu minyak goring bekas penggorengan tahu-tempe. Buletin Teknol dan Industri Pangan 8(1):40-45. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. AOAC Inc., Arlington. Antony, U., G. Sripriya, dan T. S. Chandra. 1996. The effect of fermentation on the primary nutrients in foxtail millet (Setaria italica). Food Chem 56(4):381-384. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni, dan S. Budijanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan, Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astawan, M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Standar Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3551-1994. Mi Instan. Badan Standar Nasional, Jakarta. Bai, Q., M. Chai, Z. Gu, X. Cao, Y. Li, dan K. Liu. 2009. Effects of components in culture medium on glutamate decarboxylase activity and c-aminobutyric acid accumulation in foxtail millet (Setaria italica L.) during germination. Food Chem 116:152–157. Baianu, I.C. 1992. Physical Chemistry of Food Processes Volume I. Van Nostrand Reinhold, New York. Baker, R.D. 2003. Millet Production Cooperative Extension Service. Collage of Agruculture and Home Economics of New Mexico State University, USA. Collision, R. 1968. Swelling and gelatinization of starch. Di dalam: J.A.Redly
(Editor). Starch and Derivative. Chapman and Hall Ltd., New York. Damardjati, D.S. 1986. Phiysical, Chemical Properties and Protein Charcteristic of Some Indonesian Rice Varieties. Disertasi yang Tidak Dipublikasikan. Program Studi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dassanayake, M.D. 1994. A revisied handbook of the flora of ceylon volume VIII. http//www.depkes.org/pier/index.html. Di dalam: W.T. Prakoso. 2006. Kajian Metode Tanam pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dewi, R.R. 2009. Formulasi dan Karakterisasi Profil Sensori Produk Simulated Cassava French Fries. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dharmawan, I.P.G.A. 2009. Pengaruh Kopigmentasi Pewarna Alami Antosianin dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Brazilein dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap Stabilitas Warna pada Model Minuman Ringan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Djatmiko, B. dan Ennie. 1985. Teknologi Minyak dan Lemak I. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Doust, A.N., E.A. Kellog, K.M. Devos, dan J.L. Bennetzen. 2009. Foxtail millet: a sequence-driven grass model system[W]. Plant Physiol 149:137–141. Eliasson, A.C. dan M. Gudmundsson. 1996. Starch: Physicochemical and functional
aspects.
Di
dalam:
Ann-Charlotte
Eliasson
(Editor).
Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc., New York. Faridah, D.N., F. Kusnandar, D. Herawati, H.D. Kusumaningrum, N. Wulandari, dan D. Indrasti. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry 3rd Edition. Marcell Dekker Inc., New York. Fellows, P. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practices 2nd Edition. Woodhead Publishing Limited, Cambridge.
Floros, J.D. 1993. Shelf life prediction of package food. Di dalam: J.D. Floros (Editor). Shelf Life Studies of Food and Beverages: Chemical, Biologycal, and Nutritional Aspects. Elsevier, London. Fujita, J.D., Y. Sugimoto, Y. Yamashita, dan H. Fuwa. 1996. Physicochemical studies of starch from foxtail millet (Setaria italica (L.) Beauv.). Food Chem 55(3):209-213. Greenwood, C.T. dan D.N. Munro. 1979. Carbohydrates. Di dalam: B.W. Pigman dan D. Horton (Editor). The Carbohydrate Chemistry and Biochemistry Volume II. Academic Press, London. Gu, S. L. Z. dan Li, L. 1986. A study on protein and fat contents and their interrelation in various varieties of foxtail millet in Shanxi province. J Foxtail Millet 1:28-34. Hadimani, N.A., G. Muralikrishna, R. N. Tharanathan, dan N. G. Malleshi. 2001. Nature of carbohydrates and proteins in three pearl millet varieties varying in processing pharacteristics and kernel texture. J of Cereal Sci 33:17–25. Harper, J.M. 1981. Extrusion of Food Volume I & II. CRC Press Inc., Florida. Hart, H dan R.D. Schemets. 1972. Organic Chemistry: A Short Course, Michigan. Haryadi, Y., N. Wulandari, dan D. Indrasti. 2006. Penuntun Praktikun Teknologi Penyimpanan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herodian, S., Sugiyono, dan S. Widowati. 2008. Laporan Hasil Penelitian: Pengembangan Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) Sebagai Sumber Pangan Pokok Alternatif. Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Element of Food Engineering. The AVI Publishing Company Inc., Westport. Hood, C.F. 1980. Advance in maize carbohydrate. Di dalam: G.E. Inglett dan Munck (Editor). Cereal for Food and Beverages: Recent Progress in Cereal Chemistry. Academic Press, New York. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology 2nd Edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul. Hou, G. dan M. Kruk. 1998. Asian noodle technology. Technical Bulletin 20(12).
Huthcing, J.B. 1999. Food and Appearance 2nd Edition. Aspen Publishing Inc., Gaitersburg. Indriani, S. 2005. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Instan dari Campuran Tepung Sorghum, Pati Jagung, dan Gluten Terigu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanaian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juliano. 1985. Criteria and testing for rice quality. Di dalam: D.F. Houston (Editor). Rice: Chemistry and Technology. American Association Cereal Chemistry Inc., St. Paul. Junhua, H., Y. Yuexin, C. Shurong, W. Zhu, Y. Xiaoli,W. Guodong, dan M. Jianhua. 2005. Comparison of nutrient composition of parental rice and rice genetically modified with cowpea trypsin inhibitor in China. J of Food Comp and Analy 18:297–302. Kalabadi, K. 2007. Modifikasi dan Uji Performansi Mesin Penyosoh Biji Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kar, Aditi, Jean-Christhope, J.M. Desmond, G.L. James, dan B.M. McKenna. 2005. Influence of lipid extraction process on the rheologycal characteristics, swelling power, and granule size of rice starchs in excess water. J Agric Food Chem 52(21):8259-8264. Kato, K., S. Makino, T. Kito, R. Yamauchi, dan Y. Ueno. 1989. Chemical structure of n-glucan in the seed of sawa millet. J Jap Soc Starch Sci 36:245-8. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta Kharisun, A. 2003. Uji Performansi Perontok Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) pada Berbagai Ukuran Puli. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kim, S.K. 1999. Instant noodles. Di dalam: J.E. Kruger, R.B. Matsuo, dan J.W. Dick (Editor). Pasta and Noodle Technology. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul. Krishiworld.
2005.
Fields
crops
of
(Setaria
italica
(L.)
Beauv.).
http//www.krishiworld.com/startsearch.asp. Di dalam: W.T. Prakoso.
2006. Kajian Metode Tanam pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kurniawati, R.D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusmuljono, 2009. Mengembangkan gandum nusantara. http://www.bisnis.com [19 Juli 2009]. Kusnandar, F. 2006. Desain Percobaan dalam penetapan umur simpan produk pangan dengan metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusnandar, F. dan S. Koswara. 2006. Kasus pendugaan masa kadaluarsa produkproduk pangan spesifik (metode Arrhenius). Di dalam: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Food. Food and Nutrition Press Inc., Westport. Li, D. 1986. Inhibitory action of ‘food therapy No.1’ on the growth of Sarcoma 180 preliminary report. J. Foxtail Mille, 1:14. Li, Y.M. 1997. Drought-resistant mechanism and genetic expression of foxtail millet. Di dalam: Y.M. Li (Editor). Foxtail Millet Breeding. China Agricultural Press, Beijing. Malleshi, N. G., H.R.S. Desikachar, dan R.N. Tharanathan. 1986. Free sugars and non-starchy polysaccharides of finger millet, pearl millet, foxtail millet and their malts. Food Chem 20:61-253. Manley, D.J.R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers, and Cookies. Ellis Horwood Limited, London. Matz, S.A. 1962. Food Texture. The AVI Publishing Company, Westport.
McDonough, C.M. dan L.W. Rooney. 2000. The millets. Di dalam: K. Kulp, dan J.G. Ponte, Jr. (Editor). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Edition. CRC Pr, New York. Melyani, V. 2010. Impor terigu melejit dua kali lipat. http://www.tempointeraktif.com [17 Februari 2010]. Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T.R, P. Hariyadi, dan A.B. Azra. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nakayama, H., M. Afzal, dan K. Okuno. 1998. Intraspecific differentiation and geographical distribution of waxy alleles for low amylose content in endosperm of foxtail millet (Setaria italica (L.) Beauv.). Euphytica 102:289-293. Oh, N.H., P.A. Seib, C.W. Deyoe, dan A.B. Word. 1985. Noodles II: The surface firmness of coocked noodles from soft and hard wheat flours. Cereal Chem 62:431. Osman, E.M. 1972. Starch and other polisaccharides. Di dalam: C.P.J. Paul dan H.H. Palmers (Editor). Food Theory and Application. John Willey and Sons Inc., New York. Owusu-Apenten, R.K. 2002. Food Protein Analysis: Quantitive Effects on Processing. Marcel Dekker Inc., New York. Pandanwangi, I. 1984. Karakter Umbi Gembili (Dioscorea esculenta). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar, Thomson Learning Inc., New York. Pomeranz, Y. 1971. Composition and functionallity of wheat flour components. Di dalam: Y. Pomeranz (Editor). Wheat Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemistry Inc., St. Paul.
Prakoso, W.T. 2006. Kajian Metode Tanam pada Budidaya Tanaman Hotong Buru. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prasetyo, R. 2008. Evaluasi Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Hotong (Setaria italica). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putra, S.N. 2008. Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ridwan, I.N., R.S. Eka, dan S. Ign.1996. Pengaruh suhu dan waktu pengukusan terhadap sifat fisiko kimia opak tepung ketan. J Ilmu dan Tek Pangan 1(1):1-6. Rokhani, H., Sutrisno, dan S. Herodian. 2003. Teknologi Pengolahan Hermada dalam Rangka Diversifikasi Usaha Tani Hotong. Makalah Lokakarya Pengembangan Hotong. Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Hotel Indonesia. Jakarta 6-7 Okt 2003. Sreenivasulu N., M. Miranda, H. S. Prakash, U. Wobus, dan W. Weschke. 2004. Transcriptome changes in foxtail millet genotypes at high salinity: Identification and characterization of a PHGPX gene specifically upregulated by NaCl in a salt-tolerant line. J Plant Physiol 161:467–477. Subramanian dan Viswanathan. 2007. Bulk density and friction coefficients of selected minor millet grains and flours. J of Food Eng 81:118–126. Sugiyono. 2004. Tepung dan pati. Di dalam: Sugiyono (Editor). Teknologi Tepung dan Pati. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutanto. 2006. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Swinkles, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam: V. Beynum dan J.A. Roels (Editor). Starch Convertion Technology. Marcell Dekker Inc., New York. Syamsir, E., F. Kusnandar, D.R. Adawiyah, N.E. Suyatma, D. Herawati, dan D. Hunaefi. 2008. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Monograf. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Syarief, R., S. Santausa, dan B.S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarladgis, B.G., B.M. Watts, dan M. Yonathan. 1960. Distillation method for the determination of malonaldehyde ın rancid foods. J Am Oil Chem Soc 37(1): 44–48. Veeranagamallaiah G., G. Jyothsnakumari, M. Thippeswamy, P. C. O. Reddy, G. K. Surabhi, G. Sriranganayakulu, Y. Mahesh, B. Rajasekhar, Ch. Madhurarekha, dan C. Sudhakar. 2008. Proteomic analysis of salt stress responses in foxtail millet (Setaria italica L. cv. Prasad) seedlings. Plant Sci 175:631–641. Wibowo, S.E. 2008. Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wuzburg, O.B. 1989. Modified Starch, Properties and Uses 4th Printing. CRC Press, Boca Raton.
Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai pada Pembuatan Mi Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yustica, H. 1994. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Minyak Selama Penggorengan Kerupuk Sagu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zhang J., T. Liu, J. Fu, Y. Zhu, J. Jia, J. Zheng, Y. Zhao, Y. Zhang, dan G. Wang. 2007. Construction and application of EST library from Setaria italica inresponse to dehydration stress. Genomics 90:121–131.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Syarat mutu mi instan terigu menurut SNI 01-3551-1994 No.
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal
1.2
Rasa
-
Normal
1.3
-
Normal
2
Warna Benda-benda asing
-
Tidak boleh ada
3
Keutuhan
% b/b
Min 90
4
Uji kematangan
menit
Maks 4
5
Kadar air
% b/b
Maks 8
6
Protein
Min 8
7 8
Derajat asam Bahan tambahan makanan
% b/b ml N NaOH/ 100g sampel
8.1
Boraks
-
8.2
Pewarna tambahan
-
Tidak boleh ada sesuai SNI 010222-1995
9
Camaran logam
9.1
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 1.0
9.2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 10.0
9.3
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks 0.05
9.4
Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40.0
10
Arsen (As)
mg/kg
Maks 0.5
11 11
Cemaran mikroba Angka lempeng total
koloni/g
Maks 1.0 X 106
11
E. coli
APM/g
0
koloni/g
Maks 1.0 X 104
11 Kapang Sumber : SNI 01-3551-1994
Maks 3
Lampiran 2. Contoh kuesioner uji rating hedonik
UJI RATING HEDONIK Nama : Tanggal : No. hp : Produk: Mi hotong instan Petunjuk : 1. Di hadapan Anda terdapat 3 contoh mi hotong instan. Anda diminta untuk menilai atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan atribut keseluruhan (overall) masing-masing contoh dengan mencicipinya. 2. Mulailah mencicipi dari contoh yang paling kiri hingga paling kanan dan berilah skor penilaian. 3. Tuliskan hasil penilaian Anda untuk masing-masing atribut ke dalam kolom yang telah disediakan. Jangan membandingkan antarcontoh! Keterangan skor penilaian: 1= sangat tidak suka 2= tidak suka 3= agak tidak suka 4= netral Kode sampel Warna
5= agak suka 6= suka 7= sangat suka Atribut Aroma Rasa
Terima kasih
Tekstur
Lampiran 3. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan mentah Atribut
Warna Aroma Rasa Tekstur Sampel Sampel Sampel Sampel Panelis A B C A B C A B C A B C 1 3 3 3 3 4 4 5 5 2 6 3 3 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 4 5 6 3 3 2 2 2 3 6 2 5 1 6 6 6 4 2 2 2 3 3 3 5 4 4 6 3 3 5 3 3 3 4 4 4 5 4 5 6 6 6 6 2 2 2 2 3 2 1 2 1 4 5 3 7 4 4 3 4 3 4 4 4 3 6 6 6 8 3 3 3 4 4 4 5 6 6 5 5 5 9 3 3 3 4 4 4 4 6 5 5 5 5 10 3 4 4 3 2 2 4 5 6 5 4 4 11 4 5 4 3 3 3 5 2 3 4 4 4 12 3 4 3 4 4 3 4 4 5 5 5 5 13 2 2 3 6 6 6 5 5 5 5 5 5 14 6 6 6 2 2 2 3 4 5 6 6 6 15 2 2 2 3 3 3 6 4 5 5 5 5 16 4 4 3 5 4 5 4 4 4 4 4 4 17 4 2 3 4 3 4 3 4 4 4 3 2 18 3 4 2 3 3 3 4 4 5 4 5 5 19 3 4 3 3 4 4 6 6 5 6 6 4 20 5 5 4 4 4 5 4 4 4 6 5 4 21 2 2 2 6 6 6 4 6 3 5 5 5 22 4 4 3 4 4 4 5 4 5 4 3 5 23 3 4 4 4 5 5 3 4 5 6 6 6 24 3 3 4 4 4 4 4 4 4 5 4 5 25 5 6 3 6 4 4 5 5 6 6 6 6 26 3 3 2 3 3 3 6 4 5 6 4 3 27 4 4 4 6 6 6 3 3 3 6 6 6 28 3 5 5 4 3 5 5 6 6 7 7 6 29 3 5 4 3 5 4 5 5 6 5 6 3 30 3 3 2 4 5 4 5 5 3 6 5 2 Rerata 3.3 3.5 3.1 3.7 3.8 3.9 4.2 4.4 4.2 5.3 4.9 4.6 Keterangan: Sampel A: substitusi terigu 30%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel B: substitusi terigu 40%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel C: substitusi terigu 50%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit
Lampiran 4. Rekapitulasi data skor uji rating hedonik mi hotong instan matang Atribut
Warna Aroma Rasa Tekstur Sampel Sampel Sampel Sampel Panelis A B C A B C A B C A B C 1 4 5 3 4 5 4 2 3 3 4 4 5 2 4 4 3 2 2 2 3 4 2 3 4 3 3 5 5 5 2 5 5 1 2 1 2 3 5 4 3 3 3 3 4 4 2 2 2 3 3 3 5 3 3 3 6 5 5 2 2 2 5 5 4 6 2 5 4 6 5 5 5 3 4 4 4 2 7 5 5 4 3 4 4 2 3 3 4 3 3 8 2 2 2 4 4 4 5 5 5 2 2 3 9 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 4 2 10 2 2 2 2 3 4 1 3 2 3 4 4 11 2 3 2 3 3 2 2 4 3 2 4 4 12 1 4 3 4 5 4 4 4 4 4 4 4 13 3 4 4 4 4 4 2 2 2 2 2 1 14 3 3 3 4 3 3 4 4 4 3 2 3 15 2 2 2 3 2 2 4 3 3 4 4 4 16 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 17 4 4 5 4 4 4 2 4 3 3 4 4 18 5 5 4 4 3 4 4 3 4 4 4 3 19 2 4 3 6 5 4 2 3 4 2 3 4 20 6 5 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 21 3 3 3 6 6 6 5 5 4 4 5 4 22 4 5 3 5 4 4 5 5 5 4 4 5 23 3 4 4 5 4 5 5 3 3 3 4 3 24 4 4 4 3 5 5 3 5 4 4 5 4 25 5 6 5 4 4 4 4 5 5 3 4 5 26 6 6 6 2 4 4 4 5 6 6 6 6 27 4 5 5 4 4 4 5 6 5 6 6 6 28 4 6 4 4 6 6 3 6 5 3 6 5 29 3 6 3 6 6 6 4 5 6 6 6 5 30 3 3 3 4 4 4 6 6 5 6 6 6 Rerata 3.4 4.1 3.5 3.9 4.2 4.2 3.4 3.9 3.7 3.7 4.1 4.0 Keterangan: Sampel A: substitusi terigu 30%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel B: substitusi terigu 40%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel C: substitusi terigu 50%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit
Lampiran 5. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut hedonik terhadap mi mentah Skor Atribut Aroma Rasa
Tekstur
Skor terbobot
5 5
6 3
4.6 3.9
4
2
3
2.8
3 3
2 2
3 3
4 5
3.1 3.4
C A
2 3
2 2
3 2
6 6
3.6 3.4
3 3
B C
2 2
3 6
5 1
6 6
4.5 3.6
4 4 4
A B C
2 2 2
3 3 3
5 4 4
6 3 3
4.5 3.2 3.2
5 5
A B
3 3
4 4
5 4
6 6
4.8 4.4
5 6 6
C A B
3 2 2
4 2 3
5 1 2
6 4 5
4.8 2.2 3.1
6 7
C A
2 4
2 4
1 4
3 6
1.9 4.6
7 7 8
B C A
4 3 3
3 4 4
4 3 5
6 6 5
4.4 4.1 4.5
8 8 9 9 9 10 10 10 11
B C A B C A B C A
3 3 3 3 3 3 4 4 4
4 4 4 4 4 3 2 2 3
6 6 4 6 5 4 5 6 5
5 5 5 5 5 5 4 4 4
4.9 4.9 4.1 4.9 4.5 4.0 4.0 4.4 4.2
11 11 12 12 12 13 13 13 14 14 14 15
B C A B C A B C A B C A
5 4 3 4 3 2 2 3 6 6 6 2
3 3 4 4 3 6 6 6 2 2 2 3
2 3 4 4 5 5 5 5 3 4 5 6
4 4 5 5 5 5 5 5 6 6 6 5
3.3 3.5 4.1 4.3 4.3 4.7 4.7 4.9 4.2 4.6 4.9 4.5
15 15
B C
2 2
3 3
4 5
5 5
3.8 4.2
Panelis
Sampel
Warna
1 1
A B
3 3
3 4
1
C
3
2 2
A B
2 3
Skor Atribut Sampel
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Skor terbobot
16
A
4
5
4
4
4.2
16 16
B C
4 3
4 5
4 4
4 4
4.0 4.0
17 17 17
A B C
4 2 3
4 3 4
3 4 4
4 3 2
3.6 3.2 3.2
18 18 18 19 19
A B C A B
3 4 2 3 4
3 3 3 3 4
4 4 5 6 6
4 5 5 6 6
3.7 4.1 4.2 5.0 5.3
19 20
C A
3 5
4 4
5 4
4 6
4.2 4.8
20 20
B C
5 4
4 5
4 4
5 4
4.5 4.2
21 21 21
A B C
2 2 2
6 6 6
4 6 3
5 5 5
4.3 5.1 4.0
22 22 22 23 23 23 24
A B C A B C A
4 4 3 3 4 4 3
4 4 4 4 5 5 4
5 4 5 3 4 5 4
4 3 5 6 6 6 5
4.4 3.7 4.5 4.1 4.8 5.1 4.1
24 24 25 25 25
B C A B C
3 4 5 6 3
4 4 6 4 4
4 4 5 5 6
4 5 6 6 6
3.8 4.3 5.5 5.3 5.2
26 26 26 27 27
A B C A B
3 3 2 4 4
3 3 3 6 6
6 4 5 3 3
6 4 3 6 6
5.0 3.7 3.6 4.6 4.6
27 28
C A
4 3
6 4
3 5
6 7
4.6 5.1
28 28 29 29 29 30 30 30
B C A B C A B C
5 5 3 5 4 3 3 2
3 5 3 5 4 4 5 4
6 6 5 5 6 5 5 3
7 6 5 6 3 6 5 2
5.6 5.7 4.3 5.3 4.4 4.8 4.7 2.7
Panelis
Keterangan: Sampel A: substitusi terigu 30%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel B: substitusi terigu 40%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel C: substitusi terigu 50%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit
Lampiran 6. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan mentah
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model
Type III Sum of Squares 1651.171(a)
df 32
Mean Square 51.599
F 228.303
Sig. .000
Sampel
.685
2
.342
1.515
.228
Panelis
32.503
29
1.121
4.959
.000
Error
13.109
58
.226
Total
1664.280
90
a R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .988)
Lampiran 7. Hasil perhitungan pembobotan pada masing-masing atribut hedonik terhadap mi matang Sampel
Atribut Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Skor terbobot
16 16 16
A B C
3 3 3
4 4 4
3 4 3
3 3 3
3.2 3.5 3.2
17 17
A B
4 4
4 4
2 4
3 4
3.0 4.0
17 18 18 18
C A B C
5 5 5 4
4 4 3 4
3 4 3 4
4 4 4 3
3.8 4.2 3.6 3.7
19
A
2
6
2
2
2.7
19 19
B C
4 3
5 4
3 4
3 4
3.5 3.8
20
A
6
5
5
5
5.2
20 20
B C
5 5
5 6
5 5
5 6
5.0 5.5
21 21
A B
3 3
6 6
5 5
4 5
4.6 4.9
21 22 22
C A B
3 4 5
6 5 4
4 5 5
4 4 4
4.2 4.5 4.5
3.3 3.4 3.4 3.7 2.5
22 23
C A
3 3
4 5
5 5
5 3
4.5 4.1
23 23 24
B C A
4 4 4
4 5 3
3 3 3
4 3 4
3.6 3.5 3.5
4 2 3 4 4
3.3 2.7 1.9 3.1 3.0
24 24 25 25 25
B C A B C
4 4 5 6 5
5 5 4 4 4
5 4 4 5 5
5 4 3 4 5
4.8 4.2 3.9 4.7 4.8
2 4
2 4
2.2 3.7
2 4 5
3 4 4
4 4 4
3.0 3.5 4.2
26 26 26 27
A B C A
6 6 5 4
2 4 4 4
4 5 6 5
6 6 6 6
4.6 5.3 5.5 5.0
3 3 4 4 3 3 3 2 2
4 4 4 4 4 3 3 3 2
4 2 2 2 4 4 4 4 3
4 2 2 1 3 2 3 4 4
3.8 2.5 2.7 2.4 3.5 3.1 3.4 3.5 3.0
2
2
3
4
3.0
27 27 28 28 28 29 29 29 30 30 30
B C A B C A B C A B C
5 5 4 6 4 3 6 3 3 3 3
4 4 4 6 6 6 6 6 4 4 4
6 5 3 6 5 4 5 6 6 6 5
6 6 3 6 5 6 6 5 6 6 6
5.5 5.1 3.3 6.0 5.0 4.8 5.6 5.2 5.2 5.2 4.8
Sampel
Atribut Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Skor terbobot
1
A
4
4
2
4
3.3
1 1
B C
5 3
5 4
3 3
4 5
4.0 3.8
2 2 2
A B C
4 4 3
2 2 2
3 4 2
3 4 3
3.0 3.6 2.5
3 3
A B
5 5
2 5
1 2
2 3
2.1 3.3
3 4
C A
5 3
5 3
1 2
5 3
3.5 2.6
4 4 5
B C A
3 3 3
4 4 6
2 2 2
3 3 5
2.8 2.8 3.8
5 5
B C
3 3
5 5
2 2
5 4
3.6 3.3
6 6 6
A B C
4 5 2
6 5 5
5 3 4
4 4 2
4.7 4.0 3.3
7 7
A B
5 5
3 4
2 3
4 3
3.3 3.5
7 8 8 8 9
C A B C A
4 2 2 2 3
4 4 4 4 2
3 5 5 5 2
3 2 2 3 3
9 9 10 10 10
B C A B C
3 3 2 2 2
3 3 2 3 4
3 3 1 3 2
11 11
A B
2 3
3 3
11 12 12
C A B
2 1 4
12 13 13 13 14 14 14 15 15
C A B C A B C A B
15
C
Panelis
Panelis
Keterangan: Sampel A: substitusi terigu 30%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel B: substitusi terigu 40%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit Sampel C: substitusi terigu 50%, air 50%, waktu penggorengan 2 menit
Lampiran 8. Hasil analisis statistik nilai skor kesukaan terbobot mi hotong instan matang
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model
Type III Sum of Squares 1370.636(a)
df 32
Mean Square 42.832
F 220.355
Sig. .000
Sampel
2.993
2
1.496
7.698
.001
Panelis
61.194
29
2.110
10.856
.000
Error
11.274
58
.194
Total
1381.910
90
a R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .987)
Post Hoc Tests Sampel Homogeneous Subsets Skor Duncan Subset Sampel sampel A
30
1 3.587
sampel C
30
3.810
sampel B
30
Sig.
N
2 3.810 4.033
.055 .055 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .194. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b Alpha = .05.
Lampiran 9. Contoh kuesioner uji rating off flavor (ketengikan)
Uji Rating Off Flavor (Ketengikan) Nama : Tanggal: Hp : Sampel: Mi hotong instan Instruksi : 1. Di depan Anda terdapat tiga macam sampel mi hotong instan. Sampel dicium dari kiri ke kanan dan bandingkan dengan kontrol. 2. Beri penilaian pada kolom yang tersedia dengan memberi tanda checklist (V). Kode sampel Nilai 1 2 3 4 5
Kriteria Normal (sama dengan control) Off flavor (tengik) tercium sangat lemah Off flavor (tengik) tercium lemah Off flavor (tengik) tercium kuat Off flavor (tengik) tercium sangat kuat Apakah sampel masih dapat diterima Ya Tidak Terima kasih
Lampiran 10. Skor organoleptik off flavor (ketengikan) mi hotong instan substitusi terigu 40% pada berbagai tingkat suhu dan penyimpanan Suhu 32⁰C Suhu 45⁰C Suhu 50⁰C Hari keHari keHari kePanelis 1 7 12 16 21 26 1 7 12 16 21 26 1 7 12 16 21 1 1 1 2 2 3 4 2 3 4 4 4 5 2 3 4 5 5 2 1 3 3 3 3 4 2 3 4 4 4 5 3 4 5 5 5 3 1 1 2 2 2 3 2 3 3 4 4 4 2 2 3 5 5 4 1 2 2 2 2 2 2 2 3 4 4 4 1 2 3 5 5 5 2 3 4 3 4 4 3 4 4 4 5 5 4 4 5 5 5 6 1 1 1 2 2 2 1 1 2 2 3 4 1 1 1 3 4 7 1 2 2 2 2 3 1 2 3 3 3 4 1 2 3 4 4 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 3 3 1 1 2 4 3 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 3 1 1 1 3 4 10 1 2 2 2 2 3 1 1 1 1 2 2 1 1 1 3 3 11 1 1 1 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 1 1 3 4 12 1 1 1 2 2 1 1 1 2 3 3 3 1 1 1 3 2 13 1 1 1 2 3 3 2 2 3 4 4 4 2 3 4 5 5 14 1 3 2 2 2 2 1 1 1 3 3 2 1 1 2 4 5 15 1 1 1 2 2 2 1 1 1 3 3 2 1 1 2 4 5 16 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 3 2 1 2 3 4 4 Rerata 1.1 1.6 1.7 1.9 2.1 2.4 1.4 1.8 2.3 3.1 3.3 3.4 1.5 1.9 2.6 4.1 4.3
hari
26 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 3 5 5 5 4 4.7
107
Lampiran 11. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi terigu 40% berdasarkan uji sensori terhadap tingkat ketengikan
305
Persamaan umur simpan ordo 0 1/T k ln k Slope (1/K) (unit/hari) 0.003279 0.048 -3.036554
45
318
0.003145
0.088
-2.430418
50
323
0.003096
0.143
-1.944911
Perhitungan nilai k (laju kecepatan reaksi) Suhu (⁰C)
32
Waktu (hari)
Skor (unit)
ln Skor
1
1.1
0.1
7
1.6
0.5
12
1.7
0.5
16
1.9
0.6
21
2.1
0.7
26
2.4
0.9
1
1.4
0.3
7
1.8
0.6
12
2.3
0.8
16
3.1
1.1
21
3.3
1.2
26
3.4
1.2
1
1.5
0.4
7
1.9
0.6
12
2.6
1.0
16
4.1
1.4
21
4.3
1.5
26
4.7
1.5
Ordo
Slope
Intersep
Korelasi
0
0.048
1.132
0.974
1
0
0.028
0.088
0.164
1.319
0.038
0.354
T (K)
0.936
0.937
45
1
Suhu (⁰C) 32
305
Persamaan umur simpan ordo 1 1/T k (1/hari) ln k Slope (1/K) 0.003279 0.028 -3.575551
45
318
0.003145
0.038
-3.270169
50
323
0.003096
0.050
-2.995732
Suhu (⁰C) 32
T (K)
0.926
0.143
1.205
0.929
0.050
0.376
0.928
Satuan
ln k
-3.383333
k
0.033934
unit/hari
88.41
hari
50
1
-2982
Korelasi
15.50
0.960
Intersep
Korelasi
6.184
0.946
Perhitungan umur simpan orde 0 Suhu 27⁰C (300K)
0
-5665
Intersep
Umur simpan
Suhu 35⁰C (308K)
Satuan
ln k
-2.892857
k
0.055418
unit/hari
54.13
hari
Umur simpan 2.95
bulan
Suhu 45⁰C (318K) ln k
-2.314465
k
0.098819 30.36
Umur simpan 1.80
bulan
1.01
Nilai skor kritis 4.0 108
Lampiran 12. Perhitungan pendugaan umur simpan mi hotong instan subtitusi terigu 40% berdasarkan parameter nilai TBA Perhitungan nilai k Suhu (⁰C)
32
Waktu (hari)
Nilai TBA (mg malonaldehid/kg sampel)
ln Nilai TBA
0
0.92
-0.09
Ordo
Slope
Intersep
Korelasi
0
0.006
0.918
0.979
Persamaan umur simpan ordo 0 k (mg malonaldehi/ ln k (kg sampel. hari))
Suhu (⁰C)
T (K)
1/T (1/K)
32
305
0.0032787
0.006
-5.115996
7
0.96
-0.04
45
318
0.0031447
0.030
-3.506558
14
1.00
0.00
50
323
0.003096
0.053
-2.937463
21
1.07
0.07
28
1.09
0.08
1
0
0.92
0.006
-0.083
Slope
Intersep
Korelasi
-11941
34.03
1.000
Slope
Intersep
Korelasi
-9275
25.30
0.998
0.979 Persamaan umur simpan ordo 1
-0.09 0
0.030
0.988
Suhu (⁰C)
T (K)
1/T (1/K)
k
ln k
32
305
0.0032787
0.006
-5.115996
0.965
7
1.28
0.25
45
318
0.0031447
0.022
-3.816713
14
1.42
0.35
50
323
0.003096
0.032
-3.442019
21
1.68
0.52
28
1.79
0.58
45 1
0.022
0.001
0.926 Perhitungan umur simpan orde 0 Suhu 27⁰C (300K)
0
0.92
-0.09
7
1.67
0.51
14
1.95
0.67
21
2.22
0.80
28
2.51
0.92
0
0.053
1.104
0.032
0.101
Satuan
Suhu 45⁰C (318K)
-5.773333
-
ln k
-4.739481
-
ln k
-3.520314
k
0.003109
mg malonaldehi/ (kg sampel. hari)
k
0.008743
mg malonaldehi/ (kg sampel. hari)
k
0.029590
Umur simpan
382.71
hari
Umur simpan
136.11
hari
Umur simpan
40.22
12.76
bulan
4.54
bulan
0.941
0.856
Suhu 35⁰C (308K)
ln k
50
1
Satuan
1.34
Nilai TBA kritis 2.11 109